Minggu, 08 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 10-1: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Praktik Penyelenggaraan Pemerintahan Negara

Bahan Ajar PPKn

Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Praktik Penyelenggaraan Pemerintahan Negara

Kajian Kritis bagi Generasi Bangsa


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang implementasi nilai-nilai Pancasila dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional tidak hanya menjadi norma dasar konstitusional, tetapi juga pedoman etik dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik. Artikel ini menganalisis keterkaitan antara nilai-nilai dalam setiap sila Pancasila dengan pelaksanaan fungsi pemerintahan, serta menyoroti realitas ketatanegaraan melalui studi kasus seperti Dana Desa, BPJS Kesehatan, Pemilu, dan penanganan pandemi COVID-19. Di samping itu, dibahas pula tantangan ideologis dan struktural seperti korupsi, politik identitas, ketimpangan ekonomi, serta rendahnya literasi ideologi Pancasila dalam masyarakat. Dengan pendekatan reflektif dan kritis, artikel ini menegaskan pentingnya partisipasi aktif warga negara—terutama generasi muda—dalam mengawal pemerintahan yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila. Penutup artikel ini merumuskan perlunya revitalisasi pendidikan kewarganegaraan, penguatan lembaga negara, dan sinergi antaraktor untuk mewujudkan pemerintahan yang adil, inklusif, dan berbasis etika Pancasila.

Kata Kunci: Pancasila, pemerintahan, ideologi negara, keadilan sosial, partisipasi warga negara, pendidikan kewarganegaraan, ketatanegaraan Indonesia.


PEMBAHASAN

Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Praktik Penyelenggaraan Pemerintahan Negara


1.           Pendahuluan

Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional, dan pandangan hidup bangsa Indonesia telah menjadi fondasi utama dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kerangka konstitusional, Pancasila tidak hanya menjadi landasan normatif, tetapi juga arah etis dan ideologis yang mengarahkan penyelenggara negara untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa yang telah digali dari kepribadian dan budaya Indonesia sendiri. Sebagai norma dasar (grundnorm), Pancasila berfungsi menjiwai dan mengarahkan segala peraturan perundang-undangan, kebijakan publik, serta etika pemerintahan yang adil dan demokratis.¹

Kendati demikian, dalam praktik pemerintahan kontemporer, implementasi nilai-nilai Pancasila seringkali menghadapi tantangan serius. Di satu sisi, ada upaya sistematis untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam sistem kelembagaan dan birokrasi pemerintahan melalui pendidikan ideologi dan reformasi kelembagaan. Namun, di sisi lain, muncul pula kecenderungan pragmatisme politik, penyalahgunaan kekuasaan, dan krisis integritas birokrasi yang justru mereduksi semangat Pancasila dalam pengambilan kebijakan.² Hal ini mencerminkan adanya kesenjangan antara nilai ideal dan realitas praktis yang perlu dianalisis secara kritis, terutama dalam konteks pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bagi generasi muda.

Sebagai generasi penerus bangsa, peserta didik di tingkat SLTA perlu dibekali dengan pemahaman mendalam tentang pentingnya nilai-nilai Pancasila dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Hal ini bukan hanya untuk membentuk warga negara yang cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter dan berwawasan kebangsaan. Pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam analisis kebijakan publik akan memampukan siswa untuk berpikir kritis terhadap praktik pemerintahan, sekaligus membangun sikap partisipatif dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.³

Oleh karena itu, pembahasan dalam artikel ini diarahkan untuk mengkaji secara sistematis nilai-nilai dasar Pancasila dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan negara, menganalisis peran lembaga-lembaga negara dalam mengaktualisasikannya, serta mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam menjaga kemurnian implementasi nilai-nilai tersebut. Dengan pendekatan reflektif dan kontekstual, diharapkan artikel ini dapat menjadi kontribusi strategis dalam pembelajaran PPKn yang berbasis karakter, kebangsaan, dan kesadaran konstitusional.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, Edisi Revisi (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 53–55.

[2]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 320–322.

[3]                Siti Zuhro, “Reaktualisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Tata Kelola Pemerintahan,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 22, no. 2 (2019): 112–115.


2.           Hakikat Pancasila sebagai Dasar Penyelenggaraan Pemerintahan

Pancasila sebagai dasar negara memiliki posisi sentral dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia. Kedudukannya sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan secara eksplisit dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia “disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, …” dan seterusnya, yang merupakan rumusan resmi Pancasila.¹

Secara filosofis, Pancasila merupakan hasil refleksi historis dan kultural bangsa Indonesia, yang mencerminkan nilai-nilai dasar yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Kaelan menyebut Pancasila sebagai dasar filsafat negara (philosophische grondslag) sekaligus sebagai pandangan hidup (weltanschauung) bangsa Indonesia.² Ini berarti bahwa Pancasila tidak sekadar merupakan norma normatif dalam sistem hukum, tetapi juga landasan etik yang membimbing arah penyelenggaraan negara. Dengan demikian, semua bentuk kebijakan, regulasi, serta praktik kekuasaan negara harus menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai acuan utama.

Dalam kerangka ketatanegaraan, Pancasila memiliki peran sebagai sumber dari segala sumber hukum. Hal ini ditegaskan dalam Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara.³ Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan, baik pada level eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, wajib menjabarkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap kebijakan dan tindakan yang diambil.

Implikasi dari hal ini adalah bahwa penyelenggaraan pemerintahan tidak semata-mata bersifat administratif atau teknokratis, melainkan juga ideologis dan moral. Pemerintahan yang ideal menurut Pancasila adalah pemerintahan yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial. Nilai-nilai ini menjadi tolok ukur keberhasilan sistem pemerintahan Indonesia, bukan hanya dari segi efisiensi, tetapi juga dari segi legitimasi moral dan sosial.⁴

Dalam konteks sejarah Indonesia, keberadaan Pancasila sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan menunjukkan fleksibilitas dan relevansi yang tinggi. Meskipun mengalami dinamika politik dan perubahan rezim, Pancasila tetap menjadi landasan utama yang tidak tergantikan. Bahkan pada era reformasi yang ditandai dengan liberalisasi politik, Pancasila tetap dipertahankan sebagai norma fundamental, justru untuk menghindari dominasi ideologi asing yang dapat mengancam integritas nasional.⁵

Bagi peserta didik di tingkat SLTA, pemahaman terhadap hakikat Pancasila dalam penyelenggaraan pemerintahan menjadi sangat penting sebagai fondasi pembentukan sikap kritis, rasional, dan bertanggung jawab terhadap sistem negara. Dengan demikian, mereka tidak hanya mampu memahami struktur formal pemerintahan, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan yang mendasari setiap kebijakan publik dan praktik kekuasaan.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan Alinea ke-4.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, Edisi Revisi (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 5–6.

[3]                Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 2.

[4]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 338–340.

[5]                A. Mukti Fajar, Pancasila dan Konstitusionalisme Indonesia (Yogyakarta: FH UII Press, 2016), 49–52.


3.           Nilai-Nilai Dasar Pancasila dan Maknanya dalam Pemerintahan

Pancasila sebagai dasar negara mengandung lima nilai fundamental yang membentuk kerangka moral, ideologis, dan operasional bagi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Setiap sila memiliki makna kontekstual dalam praktik bernegara yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat, supremasi hukum, keadilan sosial, dan keberagaman budaya. Pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai ini sangat penting bagi pemerintahan agar tetap berpijak pada jati diri bangsa dan tidak terjebak dalam praktik-praktik kekuasaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar konstitusional.

3.1.       Ketuhanan Yang Maha Esa

Nilai Ketuhanan mengandung prinsip dasar bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan menjunjung tinggi moralitas dan etika spiritual. Pemerintah tidak boleh bersifat sekuler dalam arti memisahkan total antara agama dan negara, tetapi harus memberi ruang bagi keberagamaan dalam kebijakan publik, sepanjang tidak melanggar prinsip keadilan dan keberagaman. Hal ini tercermin dalam pengakuan terhadap enam agama resmi, jaminan kebebasan beragama dalam Pasal 29 UUD 1945, serta kebijakan negara yang menghormati hari-hari besar keagamaan dan pendirian lembaga keagamaan.¹

Nilai Ketuhanan juga menjadi fondasi etik bagi pejabat publik agar tidak melakukan penyimpangan kekuasaan dan senantiasa mengedepankan kejujuran, integritas, serta rasa tanggung jawab kepada Tuhan.² Dengan demikian, kebijakan publik yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan yang universal, seperti korupsi, ketidakadilan, dan ketidakpedulian sosial, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap sila pertama.

3.2.       Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Nilai kemanusiaan dalam penyelenggaraan pemerintahan menuntut adanya perlakuan yang adil, setara, dan beradab terhadap seluruh warga negara tanpa diskriminasi. Prinsip ini tercermin dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia, perlindungan hukum bagi kelompok rentan, dan jaminan atas keadilan sosial dalam pelayanan publik.³ Pemerintahan yang humanis tidak hanya memperhatikan aspek hukum, tetapi juga memperjuangkan nilai-nilai keadaban publik dan empati sosial.

Penerapan nilai ini dapat dilihat dalam penyusunan undang-undang yang menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan, kebijakan afirmatif bagi penyandang disabilitas dan perempuan, serta program-program bantuan sosial untuk masyarakat miskin. Dalam konteks ini, negara menjadi aktor aktif dalam menghilangkan segala bentuk ketimpangan struktural.⁴

3.3.       Persatuan Indonesia

Sila ketiga menekankan pentingnya integrasi nasional dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah harus mampu merajut kohesi sosial dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui kebijakan yang inklusif dan tidak diskriminatif berdasarkan identitas suku, agama, ras, atau antar-golongan (SARA).⁵

Implementasi nilai ini diwujudkan dalam semangat otonomi daerah yang tetap berada dalam kerangka negara kesatuan, pelestarian budaya lokal dalam kerangka kebangsaan, serta kebijakan desentralisasi yang merata. Pemerintah berkewajiban untuk mencegah disintegrasi melalui penguatan wawasan kebangsaan dalam pendidikan dan media.⁶

3.4.       Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan

Nilai demokrasi Pancasila yang terkandung dalam sila keempat menekankan pentingnya proses pengambilan keputusan yang melibatkan musyawarah, keterwakilan, dan kebijaksanaan kolektif. Demokrasi yang dianut bukan demokrasi liberal individualistik, melainkan demokrasi substantif yang menempatkan kepentingan rakyat sebagai dasar dari setiap kebijakan.⁷

Dalam praktik pemerintahan, ini berarti bahwa lembaga legislatif dan eksekutif harus saling mengontrol dan menjalankan proses deliberatif yang rasional dan etis, serta melibatkan partisipasi masyarakat. Mekanisme pemilu, pembentukan peraturan, serta proses penyusunan APBN/APBD harus mencerminkan prinsip keterwakilan dan kepentingan umum.⁸

3.5.       Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila kelima menuntut pemerintahan untuk menjamin pemerataan kesejahteraan dan akses terhadap sumber daya nasional bagi seluruh warga negara. Nilai ini menjadi tolok ukur terhadap keberhasilan negara dalam mengurangi kesenjangan sosial, mengentaskan kemiskinan, dan menciptakan struktur ekonomi yang inklusif.⁹

Pemerintah yang berpegang pada nilai keadilan sosial harus memastikan bahwa pembangunan tidak hanya dinikmati oleh segelintir elite, melainkan menyentuh kelompok marginal. Program-program seperti BPJS Kesehatan, bantuan UMKM, dan subsidi pendidikan merupakan bentuk nyata implementasi sila kelima. Namun, tantangan masih besar karena disparitas antardaerah dan ketimpangan ekonomi struktural masih menjadi persoalan utama.¹⁰


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 29.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, Edisi Revisi (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 106–108.

[3]                Komnas HAM, Laporan Tahunan Komnas HAM 2022 (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2023), 22–24.

[4]                Siti Zuhro, “Mewujudkan Pemerintahan Berbasis Kemanusiaan,” Jurnal Ilmu Pemerintahan 17, no. 1 (2021): 33–35.

[5]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 212–215.

[6]                M. Quraish Shihab, Wawasan Kebangsaan dalam Bingkai Kebinekaan (Depok: Lentera Hati, 2020), 88–90.

[7]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 144–147.

[8]                Bivitri Susanti, “Demokrasi dan Representasi dalam Sistem Pemerintahan,” Jurnal Konstitusi 10, no. 3 (2018): 45–47.

[9]                Sri Edi Swasono, Ekonomi Pancasila: Paradigma Ekonomi Berbasis Keadilan Sosial (Jakarta: LP3ES, 2012), 61–64.

[10]             Badan Pusat Statistik, Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia Maret 2023 (Jakarta: BPS, 2023), 4–6.


4.           Lembaga-Lembaga Negara dan Implementasi Nilai Pancasila

Penyelenggaraan pemerintahan negara tidak dapat dilepaskan dari peran lembaga-lembaga negara yang secara konstitusional memiliki fungsi untuk menjalankan kekuasaan negara dalam bingkai nilai-nilai Pancasila. Sejak era reformasi, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami pergeseran besar menuju model pemerintahan yang lebih demokratis, terbuka, dan akuntabel. Di tengah dinamika tersebut, penguatan nilai-nilai Pancasila dalam fungsi dan peran lembaga negara menjadi penting untuk memastikan bahwa pemerintahan tetap berorientasi pada prinsip-prinsip dasar negara.

4.1.       Lembaga Eksekutif: Implementasi Nilai Tanggung Jawab dan Keadilan

Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan nasional. Dalam pelaksanaan tugasnya, Presiden wajib berpegang pada prinsip keadilan sosial (sila kelima), nilai kemanusiaan (sila kedua), dan integritas moral (sila pertama). Kebijakan pemerintah seperti program jaminan kesehatan nasional (JKN), bantuan sosial (bansos), serta kebijakan fiskal dan ekonomi kerakyatan, merupakan contoh bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat diartikulasikan melalui kebijakan publik.¹

Namun, tantangan yang dihadapi lembaga eksekutif cukup signifikan, seperti ketimpangan kesejahteraan, praktik oligarki dalam pengambilan kebijakan, dan masih maraknya penyalahgunaan anggaran. Hal ini menunjukkan pentingnya pengawasan publik dan revitalisasi ideologi Pancasila dalam tubuh birokrasi dan pemerintahan.²

4.2.       Lembaga Legislatif: Implementasi Nilai Musyawarah dan Representasi Rakyat

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang menjadi instrumen utama dalam memperjuangkan nilai demokrasi dan keterwakilan sebagaimana diamanatkan dalam sila keempat. Proses penyusunan undang-undang harus mencerminkan musyawarah mufakat, bukan hanya keputusan mayoritas yang pragmatis.³

Sayangnya, dalam praktiknya, proses legislasi tidak jarang mengabaikan aspirasi publik. Undang-undang yang kontroversial seperti UU Cipta Kerja menjadi contoh bagaimana proses legislasi terkadang lebih mengakomodasi kepentingan elite ekonomi dibandingkan kepentingan rakyat luas.⁴ Dalam konteks ini, nilai-nilai Pancasila perlu dijadikan tolok ukur evaluatif terhadap setiap produk hukum dan kebijakan legislasi.

4.3.       Lembaga Yudikatif: Implementasi Nilai Keadilan dan Kemanusiaan

Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki mandat untuk menegakkan hukum yang berkeadilan, beradab, dan bermartabat. Sila kedua dan kelima menjadi dasar moral bagi pengambilan keputusan yudisial yang tidak hanya legal-formal, tetapi juga etis-substansial.⁵

Contoh implementasi nilai Pancasila dapat ditemukan dalam putusan-putusan MK yang membatalkan undang-undang yang dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia. Namun demikian, tantangan independensi dan integritas aparat peradilan masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam menciptakan sistem hukum yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.⁶

4.4.       Lembaga Independen: Penjaga Etika dan Nilai Pancasila

Pasca reformasi, sejumlah lembaga independen dibentuk sebagai wujud penguatan demokrasi dan perlindungan terhadap nilai-nilai dasar konstitusi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Ombudsman RI merupakan contoh lembaga yang secara fungsional menjadi instrumen untuk menegakkan nilai-nilai Pancasila, khususnya keadilan, kemanusiaan, dan akuntabilitas kekuasaan.⁷

Namun, pembatasan kewenangan lembaga-lembaga tersebut, seperti yang terjadi pada revisi UU KPK, menunjukkan adanya kemunduran dalam semangat penegakan nilai-nilai Pancasila. Hal ini perlu menjadi perhatian kritis, karena pelemahan institusi pengawasan sama dengan mereduksi prinsip negara hukum yang demokratis dan berkeadilan.⁸

4.5.       Sinergi Antarlembaga dan Tantangan Implementasi

Secara ideal, implementasi nilai-nilai Pancasila dalam sistem ketatanegaraan menuntut adanya sinergi antarlembaga negara yang saling melengkapi dan mengoreksi. Prinsip checks and balances yang dijalankan dengan semangat kolektivitas dan musyawarah menjadi sarana untuk mencegah dominasi kekuasaan tunggal dan memastikan semua kebijakan berada dalam koridor ideologi negara.⁹

Namun, fragmentasi politik, kepentingan partisan, dan lemahnya etika birokrasi sering kali menyebabkan pelaksanaan pemerintahan menjauh dari nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, revitalisasi pendidikan ideologi Pancasila serta peningkatan kapasitas institusi menjadi hal yang mendesak.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, Edisi Revisi (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 133–135.

[2]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 348–351.

[3]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 112–115.

[4]                Bivitri Susanti, “Krisis Representasi dalam Pembentukan UU Cipta Kerja,” Jurnal Konstitusi 17, no. 3 (2020): 67–70.

[5]                Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009 tentang Uji UU Penanaman Modal, diakses 3 Juni 2025.

[6]                Komisi Yudisial Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2023, (Jakarta: KY RI, 2024), 15–17.

[7]                Komnas HAM, Laporan Kinerja 2023 (Jakarta: Komnas HAM, 2024), 31–35.

[8]                Hadar Nafis Gumay, “Pelemahan KPK dan Masa Depan Penegakan Hukum,” Jurnal Demokrasi 19, no. 1 (2021): 22–24.

[9]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 98–101.


5.           Praktik Penyelenggaraan Pemerintahan dalam Perspektif Pancasila

Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa tidak hanya berhenti pada level normatif dan retoris, melainkan menuntut aktualisasi dalam bentuk praktik penyelenggaraan pemerintahan yang mencerminkan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Implementasi nilai-nilai tersebut menjadi tolok ukur keberhasilan negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan publik, pelindung hak-hak warga negara, dan penggerak pembangunan yang berkeadilan.

Dalam praktiknya, penyelenggaraan pemerintahan Indonesia menunjukkan dinamika yang kompleks antara idealisme Pancasila dan realitas politik-administratif. Di satu sisi, berbagai kebijakan strategis telah menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai Pancasila; namun di sisi lain, masih banyak persoalan yang mencerminkan deviasi dari prinsip-prinsip luhur tersebut.

5.1.       Studi Kasus: Program Dana Desa dan Keadilan Sosial

Program Dana Desa merupakan bentuk implementasi nyata dari sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sejak diluncurkan pada tahun 2015 melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah berupaya mewujudkan distribusi kesejahteraan yang lebih merata melalui alokasi anggaran langsung ke desa-desa di seluruh Indonesia. Dana tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi lokal, serta penguatan kelembagaan desa.¹

Program ini secara positif mencerminkan semangat pemerataan dan pengakuan terhadap peran masyarakat akar rumput. Namun, di berbagai daerah, implementasi Dana Desa masih menghadapi kendala seperti rendahnya kapasitas aparatur desa, kurangnya partisipasi masyarakat, dan praktik penyalahgunaan anggaran.² Hal ini menegaskan bahwa nilai keadilan sosial tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga pada etika penyelenggaraan pemerintahan dan partisipasi publik yang aktif.

5.2.       Studi Kasus: BPJS Kesehatan dan Nilai Kemanusiaan

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah program strategis yang berakar pada sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dengan prinsip universal health coverage, program ini berupaya memastikan setiap warga negara memperoleh hak atas pelayanan kesehatan yang layak tanpa diskriminasi.³

Dalam praktiknya, BPJS telah menjangkau lebih dari 220 juta penduduk Indonesia, menciptakan sistem proteksi sosial yang lebih inklusif. Namun, masih terdapat permasalahan struktural seperti defisit anggaran, keterlambatan klaim rumah sakit, serta ketidakpuasan pelayanan, yang mencerminkan perlunya perbaikan tata kelola yang sejalan dengan prinsip kemanusiaan.⁴

5.3.       Studi Kasus: Pemilu dan Demokrasi Pancasila

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan manifestasi dari sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat, pemilu menjadi instrumen penting dalam menciptakan pemerintahan yang sah secara demokratis. Mekanisme pemilu Indonesia yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER JURDIL) telah menjadi fondasi utama demokrasi Pancasila.⁵

Akan tetapi, praktik pemilu juga sering dirusak oleh pragmatisme politik, politik uang, serta rendahnya kualitas representasi. Fenomena ini memperlihatkan degradasi nilai musyawarah dan kebijaksanaan, serta menunjukkan bahwa demokrasi prosedural belum sepenuhnya menjelma menjadi demokrasi substantif yang menyejahterakan rakyat.⁶

5.4.       Studi Kasus: Penanggulangan COVID-19 dan Persatuan Nasional

Penanggulangan pandemi COVID-19 menjadi ujian bagi sila ketiga, Persatuan Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah, bersama TNI, Polri, tenaga medis, dan masyarakat, bersinergi dalam melaksanakan kebijakan kesehatan publik seperti PSBB, PPKM, vaksinasi nasional, dan bantuan sosial. Upaya ini menunjukkan semangat gotong royong dan solidaritas nasional dalam menghadapi krisis bersama.⁷

Namun, koordinasi antarlembaga dan antarwilayah sempat terganggu oleh kebijakan yang tidak sinkron, distribusi bantuan yang tidak merata, serta perbedaan kepentingan politik. Tantangan-tantangan ini memperlihatkan pentingnya memperkuat semangat persatuan dan kebijakan yang berpijak pada kepentingan nasional di atas kepentingan sektoral.⁸

5.5.       Evaluasi Umum dan Pelajaran bagi Generasi Muda

Dari berbagai praktik penyelenggaraan pemerintahan tersebut, tampak bahwa nilai-nilai Pancasila telah dijadikan acuan dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan negara. Namun demikian, implementasinya masih sering bersifat formalistik dan belum menyentuh substansi nilai secara menyeluruh. Hal ini memunculkan kebutuhan mendesak untuk membangun kembali political will, integritas moral aparatur negara, serta partisipasi aktif warga negara, khususnya generasi muda.

Dalam konteks pendidikan kewarganegaraan, penting untuk menanamkan pemahaman bahwa Pancasila bukan sekadar dokumen historis, tetapi prinsip hidup yang harus direfleksikan dalam tindakan, kebijakan, dan budaya politik negara.⁹


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 72.

[2]                Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI, Laporan Evaluasi Dana Desa 2022 (Jakarta: Kemendes PDTT, 2023), 14–16.

[3]                Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Laporan Kinerja 2022 (Jakarta: BPJS, 2023), 6–9.

[4]                Nurul Fajri, “Evaluasi Kritis BPJS Kesehatan dalam Perspektif Keadilan Sosial,” Jurnal Pelayanan Publik 10, no. 2 (2023): 45–48.

[5]                Komisi Pemilihan Umum (KPU), Laporan Penyelenggaraan Pemilu 2019 (Jakarta: KPU RI, 2020), 2–3.

[6]                Burhanuddin Muhtadi, Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2019), 122–124.

[7]                Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Laporan Penanganan COVID-19 Nasional 2020–2021 (Jakarta: BNPB, 2022), 35–38.

[8]                Budi Gunadi Sadikin, “Tantangan Pemerintah dalam Merespons Pandemi COVID-19,” Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia 11, no. 1 (2021): 11–13.

[9]                Yudi Latif, Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (Bandung: Mizan, 2014), 87–89.


6.           Tantangan dan Problematika Implementasi Pancasila dalam Pemerintahan

Meskipun secara normatif Pancasila telah diakui sebagai dasar negara, ideologi nasional, dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, implementasinya dalam praktik pemerintahan masih menghadapi tantangan struktural, kultural, dan ideologis yang serius. Tantangan-tantangan ini tidak hanya menghambat efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga melemahkan legitimasi ideologi Pancasila sebagai fondasi etis dan moral bernegara. Oleh karena itu, analisis kritis terhadap berbagai problematika implementasi menjadi penting untuk merumuskan strategi revitalisasi nilai-nilai Pancasila secara lebih transformatif.

6.1.       Fragmentasi Kepentingan Politik dan Pragmatisme Kekuasaan

Salah satu tantangan utama dalam implementasi Pancasila adalah meningkatnya fragmentasi kepentingan politik yang menjadikan kekuasaan sebagai arena kompetisi pragmatis, bukan sebagai sarana pengabdian kepada rakyat. Politik elektoral yang sarat dengan praktik clientelism, politik uang, dan pencitraan sering kali mengesampingkan nilai-nilai kebijaksanaan, keadilan, dan kemanusiaan sebagaimana digariskan oleh Pancasila.¹

Fenomena ini tampak dalam banyak kebijakan yang lebih mengakomodasi kepentingan elite politik dan korporasi besar daripada aspirasi masyarakat luas. Hal ini mencerminkan adanya jurang antara idealisme Pancasila dan kenyataan politik transaksional yang mengabaikan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

6.2.       Lemahnya Integritas Birokrasi dan Korupsi Sistemik

Penyalahgunaan kewenangan dan korupsi merupakan masalah struktural yang menghambat terwujudnya pemerintahan yang berlandaskan nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa praktik korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga merambah hingga pemerintahan daerah dan lembaga legislatif.³

Korupsi mengikis kepercayaan publik terhadap negara dan menciptakan ketimpangan sosial yang semakin tajam. Ketika kekayaan negara dikuasai oleh segelintir elit melalui jalur yang tidak sah, maka nilai sila kelima menjadi sekadar retorika kosong tanpa substansi implementatif.⁴

6.3.       Polarisasi Sosial dan Politik Identitas

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami peningkatan polarisasi sosial akibat eksploitasi politik identitas, terutama menjelang kontestasi elektoral. Fenomena ini berpotensi merusak persatuan nasional dan mencederai sila ketiga, Persatuan Indonesia. Alih-alih mempersatukan, politik identitas sering digunakan sebagai alat mobilisasi untuk meraih dukungan sektoral dengan mengorbankan kohesi sosial.⁵

Pemerintah menghadapi dilema antara menjaga kebebasan berekspresi dan menanggulangi ujaran kebencian berbasis SARA. Kurangnya literasi ideologi Pancasila dalam masyarakat turut memperparah problem ini, sehingga nilai-nilai inklusifitas dan toleransi menjadi semakin terpinggirkan.⁶

6.4.       Rendahnya Literasi Ideologis dan Pendidikan Kewarganegaraan Kritis

Rendahnya pemahaman masyarakat, terutama generasi muda, terhadap Pancasila sebagai ideologi terbuka, menjadi tantangan serius bagi pengarusutamaan nilai-nilainya dalam pemerintahan. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) masih cenderung bersifat dogmatis dan hafalan, belum sepenuhnya mampu membentuk kesadaran kritis dan partisipatif.⁷

Tanpa literasi ideologis yang kuat, masyarakat akan kesulitan menilai dan mengkritisi kebijakan publik dalam kerangka nilai-nilai Pancasila. Hal ini membuat masyarakat pasif dan apatis, serta membuka ruang bagi ideologi-ideologi ekstrem yang bertentangan dengan semangat Pancasila.⁸

6.5.       Kesenjangan Sosial dan Ketimpangan Ekonomi

Meskipun berbagai program pro-rakyat telah diluncurkan, kesenjangan ekonomi antarwilayah, antarstatus sosial, dan antarsektor masih cukup tinggi. Laporan Gini Ratio oleh BPS pada Maret 2023 menunjukkan bahwa ketimpangan distribusi pengeluaran penduduk Indonesia berada di angka 0,388, yang masih mencerminkan ketidakmerataan kesejahteraan.⁹

Ketimpangan ini bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga merupakan manifestasi dari kegagalan negara dalam mengimplementasikan nilai keadilan sosial secara menyeluruh. Selama struktur ekonomi masih dikuasai oleh kelompok oligarkis, nilai sila kelima hanya akan menjadi jargon dalam retorika pembangunan.¹⁰

6.6.       Ancaman terhadap Kelembagaan Ideologi Negara

Lembaga-lembaga negara yang bertugas menjaga dan menyosialisasikan Pancasila, seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), masih menghadapi tantangan dalam hal efektivitas kelembagaan dan dukungan politik. Kontroversi terkait eksistensi dan kewenangan BPIP menunjukkan bahwa masih ada resistensi ideologis dalam elite maupun masyarakat terhadap upaya reaktualisasi Pancasila dalam pemerintahan.¹¹

Dalam jangka panjang, jika lembaga-lembaga ini gagal menghidupkan kembali semangat ideologis bangsa, maka Pancasila akan mengalami delegitimasi sebagai dasar orientasi moral dan kebijakan publik.


Footnotes

[1]                Burhanuddin Muhtadi, Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2019), 98–102.

[2]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 358–362.

[3]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2023 (Jakarta: KPK, 2024), 6–10.

[4]                Sri Edi Swasono, Ekonomi Pancasila: Paradigma Ekonomi Berbasis Keadilan Sosial (Jakarta: LP3ES, 2012), 72–75.

[5]                Saiful Mujani, “Polarisasi Politik dan Demokrasi di Indonesia,” Jurnal Demokrasi 14, no. 2 (2020): 17–20.

[6]                M. Quraish Shihab, Wawasan Kebangsaan dalam Bingkai Kebinekaan (Depok: Lentera Hati, 2020), 91–93.

[7]                Abidin, Zainal, “Transformasi Pendidikan PPKn dalam Menjawab Tantangan Ideologis Abad 21,” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan 10, no. 1 (2022): 23–26.

[8]                BPIP, Pancasila dalam Tindakan: Laporan Kinerja 2023 (Jakarta: Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, 2024), 12–14.

[9]                Badan Pusat Statistik (BPS), Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia Maret 2023 (Jakarta: BPS, 2023), 2.

[10]             Faisal Basri, “Oligarki Ekonomi dan Ketimpangan Sosial di Indonesia,” Jurnal Ekonomi dan Pembangunan 25, no. 1 (2023): 51–53.

[11]             Yudi Latif, Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (Bandung: Mizan, 2014), 105–108.


7.           Peran Warga Negara dalam Mengawal Pemerintahan Berdasarkan Pancasila

Dalam sistem demokrasi Pancasila, warga negara tidak hanya berfungsi sebagai objek kebijakan publik, melainkan juga sebagai subjek yang memiliki peran aktif dalam mengontrol, mengoreksi, dan mengarahkan jalannya pemerintahan agar tetap berada pada rel nilai-nilai Pancasila. Partisipasi warga negara dalam proses politik dan pemerintahan merupakan bentuk konkret dari pengejawantahan sila keempat (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan) serta sila kedua dan kelima yang menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan.

7.1.       Partisipasi Aktif dalam Proses Politik dan Demokrasi

Salah satu bentuk peran strategis warga negara dalam mengawal pemerintahan adalah melalui partisipasi politik yang aktif dan bertanggung jawab. Partisipasi ini tidak terbatas pada penggunaan hak pilih dalam pemilu, tetapi juga mencakup keterlibatan dalam forum-forum dialog publik, musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), dan partisipasi dalam organisasi masyarakat sipil.¹

Sebagaimana diungkapkan oleh Miriam Budiardjo, demokrasi yang sehat membutuhkan warga negara yang cerdas secara politik, kritis terhadap kebijakan pemerintah, dan berani menyuarakan pendapatnya dalam ruang publik.² Dengan demikian, kontrol sosial dari masyarakat menjadi mekanisme alami yang mendorong pemerintah untuk bertindak sesuai dengan aspirasi rakyat dan nilai-nilai Pancasila.

7.2.       Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan

Warga negara juga berperan sebagai pengawas (watchdog) terhadap jalannya pemerintahan, terutama dalam hal penegakan hukum, akuntabilitas kebijakan, dan pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, peran masyarakat melalui media sosial, LSM, komunitas jurnalisme warga, dan lembaga pemantau seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) telah berkontribusi besar dalam membongkar penyimpangan kekuasaan.³

Prinsip keterbukaan informasi publik yang dijamin oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 merupakan instrumen penting yang memungkinkan warga negara memperoleh akses terhadap informasi kebijakan dan pelaksanaan program pemerintah, sehingga dapat memberikan kritik konstruktif dan masukan perbaikan.⁴ Hal ini memperkuat nilai keadilan sosial dan kemanusiaan yang beradab dalam ruang publik.

7.3.       Peran dalam Membangun Etika dan Budaya Politik yang Pancasilais

Warga negara memiliki tanggung jawab untuk membangun dan menjaga budaya politik yang berakar pada nilai-nilai Pancasila. Budaya politik yang sehat adalah budaya yang mengedepankan musyawarah, toleransi, anti-kekerasan, dan kejujuran dalam kehidupan bernegara. Ini menjadi penting di tengah menguatnya politik identitas, ujaran kebencian, dan disinformasi yang mencederai persatuan dan kemanusiaan.⁵

Dengan menjadi agen penyebar nilai-nilai toleransi, empati sosial, dan inklusivitas dalam lingkungan sosial, warga negara berkontribusi terhadap penguatan kohesi sosial dan integrasi nasional, sesuai dengan semangat sila ketiga, Persatuan Indonesia.

7.4.       Peran Generasi Muda dalam Menghidupkan Pancasila

Generasi muda sebagai pelanjut estafet kepemimpinan nasional memiliki tanggung jawab moral untuk menginternalisasi dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendidikan formal seperti mata pelajaran PPKn, serta kegiatan non-formal seperti organisasi pelajar, mahasiswa, dan komunitas sosial, generasi muda dapat dilatih menjadi warga negara yang cerdas secara intelektual dan tangguh secara moral.⁶

Lebih dari itu, mereka juga diharapkan mampu menjadi agen perubahan yang inovatif dan berintegritas, serta mengembangkan model kepemimpinan yang berpihak kepada rakyat, bukan kepada kekuasaan semata. Upaya reaktualisasi Pancasila di kalangan generasi muda menjadi sangat penting di era digital yang penuh disrupsi nilai.⁷

7.5.       Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan dan Literasi Ideologi

Pendidikan kewarganegaraan yang kontekstual, reflektif, dan berbasis nilai harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan nasional. Tujuannya bukan hanya membentuk warga negara yang patuh secara hukum, tetapi juga membentuk karakter yang mampu membedakan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi, serta mampu mengambil sikap dalam menghadapi masalah kebangsaan.⁸

Dengan memperkuat literasi ideologis, warga negara akan memiliki ketahanan terhadap pengaruh ideologi asing yang bertentangan dengan Pancasila, serta mampu mendeteksi penyimpangan kebijakan publik dari nilai-nilai dasar negara.


Footnotes

[1]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 121–123.

[2]                Ibid., 130.

[3]                Indonesia Corruption Watch (ICW), Laporan Tahunan ICW 2023 (Jakarta: ICW, 2024), 5–9.

[4]                Republik Indonesia, Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 4–5.

[5]                Saiful Mujani, “Demokrasi dan Budaya Politik di Indonesia,” Jurnal Demokrasi 12, no. 1 (2021): 22–25.

[6]                Zainal Abidin, “Peran Generasi Muda dalam Mewujudkan Nilai-Nilai Pancasila di Era Digital,” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan 10, no. 1 (2022): 34–36.

[7]                Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Pancasila dalam Tindakan: Laporan Kinerja 2023 (Jakarta: BPIP, 2024), 20–23.

[8]                Kaelan, Pendidikan Pancasila Edisi Revisi (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 176–179.


8.           Penutup

Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional, dan sumber nilai dalam kehidupan berbangsa memiliki kedudukan yang tak tergantikan dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia. Dalam konteks kenegaraan modern, implementasi nilai-nilai Pancasila tidak hanya bersifat normatif, tetapi harus diwujudkan secara nyata dalam seluruh aspek kebijakan, regulasi, dan perilaku aparatur negara. Kelima sila Pancasila bukanlah kumpulan semboyan kosong, melainkan landasan filosofis dan moral yang harus menjiwai sistem hukum, politik, ekonomi, dan sosial dalam praktik pemerintahan sehari-hari.¹

Sepanjang pembahasan artikel ini, terlihat bahwa meskipun terdapat berbagai upaya konkret untuk mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam pemerintahan—seperti melalui program Dana Desa, BPJS Kesehatan, pelaksanaan Pemilu, dan penanganan pandemi COVID-19—masih terdapat kesenjangan antara idealisme dan kenyataan. Praktik korupsi, dominasi oligarki, disinformasi politik, rendahnya literasi ideologi, serta lemahnya penegakan hukum merupakan sejumlah persoalan sistemik yang menghambat internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam tubuh birokrasi dan lembaga-lembaga negara.²

Dalam kerangka ini, penguatan pendidikan ideologi Pancasila menjadi hal yang sangat strategis dan mendesak. Tidak hanya pada tataran formal pendidikan, tetapi juga dalam pembudayaan nilai melalui media, institusi keagamaan, komunitas sipil, dan ruang digital.³ Warga negara, terutama generasi muda, harus dididik untuk menjadi aktor perubahan yang tidak hanya menguasai pengetahuan, tetapi juga memiliki kepekaan moral, integritas, dan tanggung jawab sosial.⁴

Lebih dari itu, diperlukan komitmen bersama antara pemerintah, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan masyarakat sipil untuk menjadikan Pancasila sebagai acuan evaluatif dalam merancang, melaksanakan, dan mengawasi setiap kebijakan publik. Setiap kebijakan negara seharusnya diuji kesesuaiannya dengan sila-sila Pancasila—apakah menjunjung nilai kemanusiaan, apakah mendorong keadilan sosial, apakah memperkuat persatuan nasional, dan apakah berpijak pada etika ketuhanan dan kearifan kolektif.⁵

Dengan menjadikan Pancasila sebagai "bintang penuntun" (leitstar) dalam praktik pemerintahan, Indonesia tidak hanya akan memiliki sistem politik yang sah secara konstitusional, tetapi juga kuat secara moral dan spiritual. Ini adalah fondasi utama bagi pembangunan bangsa yang berkelanjutan, adil, dan berkarakter.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, Edisi Revisi (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 5–7.

[2]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 365–368.

[3]                Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Pancasila dalam Tindakan: Laporan Kinerja 2023 (Jakarta: BPIP, 2024), 18–21.

[4]                Zainal Abidin, “Peran Strategis Generasi Muda dalam Reaktualisasi Nilai Pancasila,” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan 10, no. 1 (2022): 34–35.

[5]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Ideologi Pancasila (Jakarta: Konstitusi Press, 2009), 99–102.


Daftar Pustaka

Abidin, Z. (2022). Peran strategis generasi muda dalam reaktualisasi nilai Pancasila. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 10(1), 34–36.

Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar ilmu hukum tata negara. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2009). Konstitusi dan ideologi Pancasila. Jakarta: Konstitusi Press.

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. (2024). Pancasila dalam tindakan: Laporan kinerja 2023. Jakarta: BPIP.

Badan Pusat Statistik. (2023). Ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia Maret 2023. Jakarta: BPS.

Badan Penanggulangan Bencana Nasional. (2022). Laporan penanganan COVID-19 nasional 2020–2021. Jakarta: BNPB.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. (2023). Laporan kinerja 2022. Jakarta: BPJS.

Basri, F. (2023). Oligarki ekonomi dan ketimpangan sosial di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 25(1), 51–53.

Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik (edisi revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Fajri, N. (2023). Evaluasi kritis BPJS Kesehatan dalam perspektif keadilan sosial. Jurnal Pelayanan Publik, 10(2), 45–48.

Gumay, H. N. (2021). Pelemahan KPK dan masa depan penegakan hukum. Jurnal Demokrasi, 19(1), 22–24.

Indonesia Corruption Watch. (2024). Laporan tahunan ICW 2023. Jakarta: ICW.

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila (Edisi Revisi). Yogyakarta: Paradigma.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2024). Laporan tahunan 2023. Jakarta: KPK.

Komisi Pemilihan Umum. (2020). Laporan penyelenggaraan pemilu 2019. Jakarta: KPU RI.

Komisi Yudisial Republik Indonesia. (2024). Laporan tahunan 2023. Jakarta: KY RI.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2023). Laporan evaluasi dana desa 2022. Jakarta: Kemendes PDTT.

Komnas HAM. (2023). Laporan tahunan Komnas HAM 2022. Jakarta: Komnas HAM.

Komnas HAM. (2024). Laporan kinerja 2023. Jakarta: Komnas HAM.

Latif, Y. (2011). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualisasi Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Latif, Y. (2014). Mata air keteladanan: Pancasila dalam perbuatan. Bandung: Mizan.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2009). Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009 tentang uji UU Penanaman Modal. Diakses 3 Juni 2025 dari https://www.mkri.id

Mujani, S. (2020). Polarisasi politik dan demokrasi di Indonesia. Jurnal Demokrasi, 14(2), 17–20.

Mujani, S. (2021). Demokrasi dan budaya politik di Indonesia. Jurnal Demokrasi, 12(1), 22–25.

Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta.

Republik Indonesia. (2000). Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta: Sekretariat MPR RI.

Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Jakarta: Sekretariat Negara.

Sadikin, B. G. (2021). Tantangan pemerintah dalam merespons pandemi COVID-19. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 11(1), 11–13.

Shihab, M. Q. (2020). Wawasan kebangsaan dalam bingkai kebinekaan. Depok: Lentera Hati.

Susanti, B. (2018). Demokrasi dan representasi dalam sistem pemerintahan. Jurnal Konstitusi, 10(3), 45–47.

Susanti, B. (2020). Krisis representasi dalam pembentukan UU Cipta Kerja. Jurnal Konstitusi, 17(3), 67–70.

Swasono, S. E. (2012). Ekonomi Pancasila: Paradigma ekonomi berbasis keadilan sosial. Jakarta: LP3ES.

Zuhro, S. (2019). Reaktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam tata kelola pemerintahan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 22(2), 112–115.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar