Bahan Ajar PPKn
Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Praktik Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
Kajian Kritis bagi Generasi Bangsa
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang implementasi
nilai-nilai Pancasila dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan negara
Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional tidak hanya
menjadi norma dasar konstitusional, tetapi juga pedoman etik dalam merumuskan
dan melaksanakan kebijakan publik. Artikel ini menganalisis keterkaitan antara
nilai-nilai dalam setiap sila Pancasila dengan pelaksanaan fungsi pemerintahan,
serta menyoroti realitas ketatanegaraan melalui studi kasus seperti Dana Desa,
BPJS Kesehatan, Pemilu, dan penanganan pandemi COVID-19. Di samping itu,
dibahas pula tantangan ideologis dan struktural seperti korupsi, politik
identitas, ketimpangan ekonomi, serta rendahnya literasi ideologi Pancasila
dalam masyarakat. Dengan pendekatan reflektif dan kritis, artikel ini
menegaskan pentingnya partisipasi aktif warga negara—terutama generasi
muda—dalam mengawal pemerintahan yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila.
Penutup artikel ini merumuskan perlunya revitalisasi pendidikan
kewarganegaraan, penguatan lembaga negara, dan sinergi antaraktor untuk
mewujudkan pemerintahan yang adil, inklusif, dan berbasis etika Pancasila.
Kata Kunci: Pancasila, pemerintahan, ideologi negara, keadilan
sosial, partisipasi warga negara, pendidikan kewarganegaraan, ketatanegaraan
Indonesia.
PEMBAHASAN
Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Praktik
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
1.
Pendahuluan
Pancasila sebagai
dasar negara, ideologi nasional, dan pandangan hidup bangsa Indonesia telah
menjadi fondasi utama dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,
termasuk dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kerangka
konstitusional, Pancasila tidak hanya menjadi landasan normatif, tetapi juga
arah etis dan ideologis yang mengarahkan penyelenggara negara untuk bertindak
sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa yang telah digali dari kepribadian dan
budaya Indonesia sendiri. Sebagai norma dasar (grundnorm), Pancasila berfungsi
menjiwai dan mengarahkan segala peraturan perundang-undangan, kebijakan publik,
serta etika pemerintahan yang adil dan demokratis.¹
Kendati demikian,
dalam praktik pemerintahan kontemporer, implementasi nilai-nilai Pancasila
seringkali menghadapi tantangan serius. Di satu sisi, ada upaya sistematis
untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam sistem kelembagaan dan
birokrasi pemerintahan melalui pendidikan ideologi dan reformasi kelembagaan.
Namun, di sisi lain, muncul pula kecenderungan pragmatisme politik,
penyalahgunaan kekuasaan, dan krisis integritas birokrasi yang justru mereduksi
semangat Pancasila dalam pengambilan kebijakan.² Hal ini mencerminkan adanya
kesenjangan antara nilai ideal dan realitas praktis yang perlu dianalisis
secara kritis, terutama dalam konteks pembelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) bagi generasi muda.
Sebagai generasi penerus bangsa, peserta didik di tingkat SLTA perlu
dibekali dengan pemahaman mendalam tentang pentingnya nilai-nilai Pancasila
dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Hal ini bukan hanya untuk membentuk
warga negara yang cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter dan
berwawasan kebangsaan. Pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila
dalam analisis kebijakan publik akan memampukan siswa untuk berpikir kritis
terhadap praktik pemerintahan, sekaligus membangun sikap partisipatif dan
bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.³
Oleh karena itu,
pembahasan dalam artikel ini diarahkan untuk mengkaji secara sistematis
nilai-nilai dasar Pancasila dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan negara,
menganalisis peran lembaga-lembaga negara dalam mengaktualisasikannya, serta
mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam menjaga kemurnian implementasi
nilai-nilai tersebut. Dengan pendekatan reflektif dan kontekstual, diharapkan
artikel ini dapat menjadi kontribusi strategis dalam pembelajaran PPKn yang
berbasis karakter, kebangsaan, dan kesadaran konstitusional.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Edisi Revisi (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 53–55.
[2]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualisasi Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 320–322.
[3]
Siti Zuhro, “Reaktualisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Tata Kelola
Pemerintahan,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 22, no. 2 (2019):
112–115.
2.
Hakikat
Pancasila sebagai Dasar Penyelenggaraan Pemerintahan
Pancasila sebagai
dasar negara memiliki posisi sentral dalam sistem pemerintahan Republik
Indonesia. Kedudukannya sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan secara
eksplisit dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia “disusun
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, …” dan seterusnya, yang merupakan rumusan resmi Pancasila.¹
Secara filosofis,
Pancasila merupakan hasil refleksi historis dan kultural bangsa Indonesia, yang
mencerminkan nilai-nilai dasar yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Kaelan menyebut Pancasila sebagai dasar filsafat negara (philosophische
grondslag) sekaligus sebagai pandangan hidup (weltanschauung)
bangsa Indonesia.² Ini berarti bahwa Pancasila tidak sekadar merupakan norma
normatif dalam sistem hukum, tetapi juga landasan etik yang membimbing arah penyelenggaraan
negara. Dengan demikian, semua bentuk kebijakan, regulasi, serta praktik
kekuasaan negara harus menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai acuan utama.
Dalam kerangka
ketatanegaraan, Pancasila memiliki peran sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Hal ini ditegaskan dalam Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan bahwa Pancasila
adalah sumber dari segala sumber hukum negara.³ Oleh karena itu,
penyelenggaraan pemerintahan, baik pada level eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif, wajib menjabarkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam
setiap kebijakan dan tindakan yang diambil.
Implikasi dari hal
ini adalah bahwa penyelenggaraan pemerintahan tidak semata-mata bersifat
administratif atau teknokratis, melainkan juga ideologis dan moral.
Pemerintahan yang ideal menurut Pancasila adalah pemerintahan yang menjunjung
tinggi nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan
Sosial. Nilai-nilai ini menjadi tolok ukur keberhasilan sistem pemerintahan
Indonesia, bukan hanya dari segi efisiensi, tetapi juga dari segi legitimasi
moral dan sosial.⁴
Dalam konteks
sejarah Indonesia, keberadaan Pancasila sebagai dasar penyelenggaraan
pemerintahan menunjukkan fleksibilitas dan relevansi yang tinggi. Meskipun
mengalami dinamika politik dan perubahan rezim, Pancasila tetap menjadi
landasan utama yang tidak tergantikan. Bahkan pada era reformasi yang ditandai
dengan liberalisasi politik, Pancasila tetap dipertahankan sebagai norma
fundamental, justru untuk menghindari dominasi ideologi asing yang dapat
mengancam integritas nasional.⁵
Bagi peserta didik
di tingkat SLTA, pemahaman terhadap hakikat Pancasila dalam penyelenggaraan
pemerintahan menjadi sangat penting sebagai fondasi pembentukan sikap kritis,
rasional, dan bertanggung jawab terhadap sistem negara. Dengan demikian, mereka
tidak hanya mampu memahami struktur formal pemerintahan, tetapi juga
menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan yang mendasari setiap kebijakan publik
dan praktik kekuasaan.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Pembukaan Alinea ke-4.
[2]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Edisi Revisi (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 5–6.
[3]
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan, Pasal 2.
[4]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualisasi Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 338–340.
[5]
A. Mukti Fajar, Pancasila dan Konstitusionalisme Indonesia
(Yogyakarta: FH UII Press, 2016), 49–52.
3.
Nilai-Nilai
Dasar Pancasila dan Maknanya dalam Pemerintahan
Pancasila sebagai
dasar negara mengandung lima nilai fundamental yang membentuk kerangka moral,
ideologis, dan operasional bagi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Setiap sila memiliki makna kontekstual dalam praktik bernegara yang
berorientasi pada kesejahteraan rakyat, supremasi hukum, keadilan sosial, dan
keberagaman budaya. Pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai ini sangat
penting bagi pemerintahan agar tetap berpijak pada jati diri bangsa dan tidak
terjebak dalam praktik-praktik kekuasaan yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar konstitusional.
3.1.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Nilai Ketuhanan
mengandung prinsip dasar bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan menjunjung
tinggi moralitas dan etika spiritual. Pemerintah tidak boleh bersifat sekuler
dalam arti memisahkan total antara agama dan negara, tetapi harus memberi ruang
bagi keberagamaan dalam kebijakan publik, sepanjang tidak melanggar prinsip
keadilan dan keberagaman. Hal ini tercermin dalam pengakuan terhadap enam agama
resmi, jaminan kebebasan beragama dalam Pasal 29 UUD 1945, serta kebijakan
negara yang menghormati hari-hari besar keagamaan dan pendirian lembaga
keagamaan.¹
Nilai Ketuhanan juga
menjadi fondasi etik bagi pejabat publik agar tidak melakukan penyimpangan
kekuasaan dan senantiasa mengedepankan kejujuran, integritas, serta rasa
tanggung jawab kepada Tuhan.² Dengan demikian, kebijakan publik yang
bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan yang universal, seperti korupsi,
ketidakadilan, dan ketidakpedulian sosial, merupakan bentuk pengkhianatan
terhadap sila pertama.
3.2.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Nilai kemanusiaan
dalam penyelenggaraan pemerintahan menuntut adanya perlakuan yang adil, setara,
dan beradab terhadap seluruh warga negara tanpa diskriminasi. Prinsip ini
tercermin dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia, perlindungan hukum
bagi kelompok rentan, dan jaminan atas keadilan sosial dalam pelayanan publik.³
Pemerintahan yang humanis tidak hanya memperhatikan aspek hukum, tetapi juga
memperjuangkan nilai-nilai keadaban publik dan empati sosial.
Penerapan nilai ini
dapat dilihat dalam penyusunan undang-undang yang menjamin perlindungan
terhadap korban kekerasan, kebijakan afirmatif bagi penyandang disabilitas dan
perempuan, serta program-program bantuan sosial untuk masyarakat miskin. Dalam
konteks ini, negara menjadi aktor aktif dalam menghilangkan segala bentuk
ketimpangan struktural.⁴
3.3.
Persatuan Indonesia
Sila ketiga
menekankan pentingnya integrasi nasional dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintah harus mampu merajut kohesi sosial dan menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui kebijakan yang inklusif dan tidak
diskriminatif berdasarkan identitas suku, agama, ras, atau antar-golongan
(SARA).⁵
Implementasi nilai
ini diwujudkan dalam semangat otonomi daerah yang tetap berada dalam kerangka
negara kesatuan, pelestarian budaya lokal dalam kerangka kebangsaan, serta
kebijakan desentralisasi yang merata. Pemerintah berkewajiban untuk mencegah
disintegrasi melalui penguatan wawasan kebangsaan dalam pendidikan dan media.⁶
3.4.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
Nilai demokrasi
Pancasila yang terkandung dalam sila keempat menekankan pentingnya proses
pengambilan keputusan yang melibatkan musyawarah, keterwakilan, dan
kebijaksanaan kolektif. Demokrasi yang dianut bukan demokrasi liberal
individualistik, melainkan demokrasi substantif yang menempatkan kepentingan
rakyat sebagai dasar dari setiap kebijakan.⁷
Dalam praktik
pemerintahan, ini berarti bahwa lembaga legislatif dan eksekutif harus saling
mengontrol dan menjalankan proses deliberatif yang rasional dan etis, serta
melibatkan partisipasi masyarakat. Mekanisme pemilu, pembentukan peraturan,
serta proses penyusunan APBN/APBD harus mencerminkan prinsip keterwakilan dan
kepentingan umum.⁸
3.5.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila kelima menuntut
pemerintahan untuk menjamin pemerataan kesejahteraan dan akses terhadap sumber
daya nasional bagi seluruh warga negara. Nilai ini menjadi tolok ukur terhadap
keberhasilan negara dalam mengurangi kesenjangan sosial, mengentaskan
kemiskinan, dan menciptakan struktur ekonomi yang inklusif.⁹
Pemerintah yang
berpegang pada nilai keadilan sosial harus memastikan bahwa pembangunan tidak
hanya dinikmati oleh segelintir elite, melainkan menyentuh kelompok marginal.
Program-program seperti BPJS Kesehatan, bantuan UMKM, dan subsidi pendidikan
merupakan bentuk nyata implementasi sila kelima. Namun, tantangan masih besar
karena disparitas antardaerah dan ketimpangan ekonomi struktural masih menjadi
persoalan utama.¹⁰
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Pasal 29.
[2]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Edisi Revisi (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 106–108.
[3]
Komnas HAM, Laporan Tahunan Komnas HAM 2022 (Jakarta: Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, 2023), 22–24.
[4]
Siti Zuhro, “Mewujudkan Pemerintahan Berbasis Kemanusiaan,” Jurnal
Ilmu Pemerintahan 17, no. 1 (2021): 33–35.
[5]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualisasi Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 212–215.
[6]
M. Quraish Shihab, Wawasan Kebangsaan dalam Bingkai Kebinekaan
(Depok: Lentera Hati, 2020), 88–90.
[7]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Demokrasi (Jakarta:
Konstitusi Press, 2005), 144–147.
[8]
Bivitri Susanti, “Demokrasi dan Representasi dalam Sistem
Pemerintahan,” Jurnal Konstitusi 10, no. 3 (2018): 45–47.
[9]
Sri Edi Swasono, Ekonomi Pancasila: Paradigma Ekonomi Berbasis
Keadilan Sosial (Jakarta: LP3ES, 2012), 61–64.
[10]
Badan Pusat Statistik, Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia
Maret 2023 (Jakarta: BPS, 2023), 4–6.
4.
Lembaga-Lembaga
Negara dan Implementasi Nilai Pancasila
Penyelenggaraan
pemerintahan negara tidak dapat dilepaskan dari peran lembaga-lembaga negara
yang secara konstitusional memiliki fungsi untuk menjalankan kekuasaan negara
dalam bingkai nilai-nilai Pancasila. Sejak era reformasi, sistem ketatanegaraan
Indonesia mengalami pergeseran besar menuju model pemerintahan yang lebih
demokratis, terbuka, dan akuntabel. Di tengah dinamika tersebut, penguatan
nilai-nilai Pancasila dalam fungsi dan peran lembaga negara menjadi penting
untuk memastikan bahwa pemerintahan tetap berorientasi pada prinsip-prinsip
dasar negara.
4.1.
Lembaga Eksekutif: Implementasi Nilai Tanggung
Jawab dan Keadilan
Presiden sebagai
kepala pemerintahan dan kepala negara bertanggung jawab atas jalannya
pemerintahan nasional. Dalam pelaksanaan tugasnya, Presiden wajib berpegang
pada prinsip keadilan sosial (sila kelima), nilai kemanusiaan (sila kedua), dan
integritas moral (sila pertama). Kebijakan pemerintah seperti program jaminan
kesehatan nasional (JKN), bantuan sosial (bansos), serta kebijakan fiskal dan
ekonomi kerakyatan, merupakan contoh bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat
diartikulasikan melalui kebijakan publik.¹
Namun, tantangan yang
dihadapi lembaga eksekutif cukup signifikan, seperti ketimpangan kesejahteraan,
praktik oligarki dalam pengambilan kebijakan, dan masih maraknya penyalahgunaan
anggaran. Hal ini menunjukkan pentingnya pengawasan publik dan revitalisasi
ideologi Pancasila dalam tubuh birokrasi dan pemerintahan.²
4.2.
Lembaga Legislatif: Implementasi Nilai
Musyawarah dan Representasi Rakyat
Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan yang menjadi instrumen utama dalam memperjuangkan
nilai demokrasi dan keterwakilan sebagaimana diamanatkan dalam sila keempat.
Proses penyusunan undang-undang harus mencerminkan musyawarah mufakat, bukan
hanya keputusan mayoritas yang pragmatis.³
Sayangnya, dalam
praktiknya, proses legislasi tidak jarang mengabaikan aspirasi publik.
Undang-undang yang kontroversial seperti UU Cipta Kerja menjadi contoh
bagaimana proses legislasi terkadang lebih mengakomodasi kepentingan elite
ekonomi dibandingkan kepentingan rakyat luas.⁴ Dalam konteks ini, nilai-nilai
Pancasila perlu dijadikan tolok ukur evaluatif terhadap setiap produk hukum dan
kebijakan legislasi.
4.3.
Lembaga Yudikatif: Implementasi Nilai Keadilan
dan Kemanusiaan
Mahkamah Agung (MA),
Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman memiliki mandat untuk menegakkan hukum yang berkeadilan, beradab, dan
bermartabat. Sila kedua dan kelima menjadi dasar moral bagi pengambilan
keputusan yudisial yang tidak hanya legal-formal, tetapi juga etis-substansial.⁵
Contoh implementasi
nilai Pancasila dapat ditemukan dalam putusan-putusan MK yang membatalkan
undang-undang yang dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan hak
asasi manusia. Namun demikian, tantangan independensi dan integritas aparat
peradilan masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam menciptakan sistem hukum
yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.⁶
4.4.
Lembaga Independen: Penjaga Etika dan Nilai
Pancasila
Pasca reformasi,
sejumlah lembaga independen dibentuk sebagai wujud penguatan demokrasi dan
perlindungan terhadap nilai-nilai dasar konstitusi. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Ombudsman RI
merupakan contoh lembaga yang secara fungsional menjadi instrumen untuk
menegakkan nilai-nilai Pancasila, khususnya keadilan, kemanusiaan, dan
akuntabilitas kekuasaan.⁷
Namun, pembatasan
kewenangan lembaga-lembaga tersebut, seperti yang terjadi pada revisi UU KPK,
menunjukkan adanya kemunduran dalam semangat penegakan nilai-nilai Pancasila.
Hal ini perlu menjadi perhatian kritis, karena pelemahan institusi pengawasan
sama dengan mereduksi prinsip negara hukum yang demokratis dan berkeadilan.⁸
4.5.
Sinergi Antarlembaga dan Tantangan Implementasi
Secara ideal,
implementasi nilai-nilai Pancasila dalam sistem ketatanegaraan menuntut adanya
sinergi antarlembaga negara yang saling melengkapi dan mengoreksi. Prinsip checks
and balances yang dijalankan dengan semangat kolektivitas dan
musyawarah menjadi sarana untuk mencegah dominasi kekuasaan tunggal dan
memastikan semua kebijakan berada dalam koridor ideologi negara.⁹
Namun, fragmentasi
politik, kepentingan partisan, dan lemahnya etika birokrasi sering kali
menyebabkan pelaksanaan pemerintahan menjauh dari nilai-nilai Pancasila. Oleh
karena itu, revitalisasi pendidikan ideologi Pancasila serta peningkatan
kapasitas institusi menjadi hal yang mendesak.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Edisi Revisi (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 133–135.
[2]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualisasi Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 348–351.
[3]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), 112–115.
[4]
Bivitri Susanti, “Krisis Representasi dalam Pembentukan UU Cipta
Kerja,” Jurnal Konstitusi 17, no. 3 (2020): 67–70.
[5]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan MK No.
27/PUU-VII/2009 tentang Uji UU Penanaman Modal, diakses 3 Juni 2025.
[6]
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2023,
(Jakarta: KY RI, 2024), 15–17.
[7]
Komnas HAM, Laporan Kinerja 2023 (Jakarta: Komnas HAM, 2024),
31–35.
[8]
Hadar Nafis Gumay, “Pelemahan KPK dan Masa Depan Penegakan Hukum,” Jurnal
Demokrasi 19, no. 1 (2021): 22–24.
[9]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), 98–101.
5.
Praktik
Penyelenggaraan Pemerintahan dalam Perspektif Pancasila
Pancasila sebagai
dasar negara dan ideologi bangsa tidak hanya berhenti pada level normatif dan
retoris, melainkan menuntut aktualisasi dalam bentuk praktik penyelenggaraan
pemerintahan yang mencerminkan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Implementasi nilai-nilai tersebut menjadi
tolok ukur keberhasilan negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan
publik, pelindung hak-hak warga negara, dan penggerak pembangunan yang
berkeadilan.
Dalam praktiknya,
penyelenggaraan pemerintahan Indonesia menunjukkan dinamika yang kompleks
antara idealisme Pancasila dan realitas politik-administratif. Di satu sisi,
berbagai kebijakan strategis telah menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai
Pancasila; namun di sisi lain, masih banyak persoalan yang mencerminkan deviasi
dari prinsip-prinsip luhur tersebut.
5.1.
Studi Kasus: Program Dana Desa dan Keadilan
Sosial
Program Dana Desa
merupakan bentuk implementasi nyata dari sila kelima, Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sejak diluncurkan pada tahun
2015 melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah berupaya
mewujudkan distribusi kesejahteraan yang lebih merata melalui alokasi anggaran
langsung ke desa-desa di seluruh Indonesia. Dana tersebut digunakan untuk
pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi lokal, serta penguatan
kelembagaan desa.¹
Program ini secara
positif mencerminkan semangat pemerataan dan pengakuan terhadap peran
masyarakat akar rumput. Namun, di berbagai daerah, implementasi Dana Desa masih
menghadapi kendala seperti rendahnya kapasitas aparatur desa, kurangnya
partisipasi masyarakat, dan praktik penyalahgunaan anggaran.² Hal ini
menegaskan bahwa nilai keadilan sosial tidak hanya bergantung pada regulasi,
tetapi juga pada etika penyelenggaraan pemerintahan dan partisipasi publik yang
aktif.
5.2.
Studi Kasus: BPJS Kesehatan dan Nilai
Kemanusiaan
Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah program strategis yang berakar pada sila
kedua, Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab. Dengan prinsip universal health coverage, program
ini berupaya memastikan setiap warga negara memperoleh hak atas pelayanan
kesehatan yang layak tanpa diskriminasi.³
Dalam praktiknya,
BPJS telah menjangkau lebih dari 220 juta penduduk Indonesia, menciptakan
sistem proteksi sosial yang lebih inklusif. Namun, masih terdapat permasalahan
struktural seperti defisit anggaran, keterlambatan klaim rumah sakit, serta
ketidakpuasan pelayanan, yang mencerminkan perlunya perbaikan tata kelola yang
sejalan dengan prinsip kemanusiaan.⁴
5.3.
Studi Kasus: Pemilu dan Demokrasi Pancasila
Pemilihan Umum
(Pemilu) merupakan manifestasi dari sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sebagai sarana
perwujudan kedaulatan rakyat, pemilu menjadi instrumen penting dalam
menciptakan pemerintahan yang sah secara demokratis. Mekanisme pemilu Indonesia
yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER JURDIL)
telah menjadi fondasi utama demokrasi Pancasila.⁵
Akan tetapi, praktik
pemilu juga sering dirusak oleh pragmatisme politik, politik uang, serta
rendahnya kualitas representasi. Fenomena ini memperlihatkan degradasi nilai
musyawarah dan kebijaksanaan, serta menunjukkan bahwa demokrasi prosedural
belum sepenuhnya menjelma menjadi demokrasi substantif yang menyejahterakan
rakyat.⁶
5.4.
Studi Kasus: Penanggulangan COVID-19 dan
Persatuan Nasional
Penanggulangan
pandemi COVID-19 menjadi ujian bagi sila ketiga, Persatuan Indonesia. Pemerintah
pusat dan daerah, bersama TNI, Polri, tenaga medis, dan masyarakat, bersinergi
dalam melaksanakan kebijakan kesehatan publik seperti PSBB, PPKM, vaksinasi
nasional, dan bantuan sosial. Upaya ini menunjukkan semangat gotong royong dan
solidaritas nasional dalam menghadapi krisis bersama.⁷
Namun, koordinasi
antarlembaga dan antarwilayah sempat terganggu oleh kebijakan yang tidak
sinkron, distribusi bantuan yang tidak merata, serta perbedaan kepentingan
politik. Tantangan-tantangan ini memperlihatkan pentingnya memperkuat semangat
persatuan dan kebijakan yang berpijak pada kepentingan nasional di atas
kepentingan sektoral.⁸
5.5.
Evaluasi Umum dan Pelajaran bagi Generasi Muda
Dari berbagai
praktik penyelenggaraan pemerintahan tersebut, tampak bahwa nilai-nilai
Pancasila telah dijadikan acuan dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan
negara. Namun demikian, implementasinya masih sering bersifat formalistik dan
belum menyentuh substansi nilai secara menyeluruh. Hal ini memunculkan
kebutuhan mendesak untuk membangun kembali political will, integritas moral
aparatur negara, serta partisipasi aktif warga negara, khususnya generasi muda.
Dalam konteks
pendidikan kewarganegaraan, penting untuk menanamkan pemahaman bahwa Pancasila
bukan sekadar dokumen historis, tetapi prinsip hidup yang harus direfleksikan
dalam tindakan, kebijakan, dan budaya politik negara.⁹
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa,
Pasal 72.
[2]
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI, Laporan
Evaluasi Dana Desa 2022 (Jakarta: Kemendes PDTT, 2023), 14–16.
[3]
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Laporan Kinerja 2022
(Jakarta: BPJS, 2023), 6–9.
[4]
Nurul Fajri, “Evaluasi Kritis BPJS Kesehatan dalam Perspektif Keadilan
Sosial,” Jurnal Pelayanan Publik 10, no. 2 (2023): 45–48.
[5]
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Laporan Penyelenggaraan Pemilu 2019
(Jakarta: KPU RI, 2020), 2–3.
[6]
Burhanuddin Muhtadi, Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu
Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2019), 122–124.
[7]
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Laporan Penanganan
COVID-19 Nasional 2020–2021 (Jakarta: BNPB, 2022), 35–38.
[8]
Budi Gunadi Sadikin, “Tantangan Pemerintah dalam Merespons Pandemi
COVID-19,” Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia 11, no. 1 (2021):
11–13.
[9]
Yudi Latif, Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan
(Bandung: Mizan, 2014), 87–89.
6.
Tantangan
dan Problematika Implementasi Pancasila dalam Pemerintahan
Meskipun secara
normatif Pancasila telah diakui sebagai dasar negara, ideologi nasional, dan
sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, implementasinya dalam praktik
pemerintahan masih menghadapi tantangan struktural, kultural, dan ideologis
yang serius. Tantangan-tantangan ini tidak hanya menghambat efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga melemahkan legitimasi ideologi
Pancasila sebagai fondasi etis dan moral bernegara. Oleh karena itu, analisis
kritis terhadap berbagai problematika implementasi menjadi penting untuk
merumuskan strategi revitalisasi nilai-nilai Pancasila secara lebih
transformatif.
6.1.
Fragmentasi Kepentingan Politik dan Pragmatisme
Kekuasaan
Salah satu tantangan
utama dalam implementasi Pancasila adalah meningkatnya fragmentasi kepentingan
politik yang menjadikan kekuasaan sebagai arena kompetisi pragmatis, bukan
sebagai sarana pengabdian kepada rakyat. Politik elektoral yang sarat dengan
praktik clientelism,
politik uang, dan pencitraan sering kali mengesampingkan nilai-nilai
kebijaksanaan, keadilan, dan kemanusiaan sebagaimana digariskan oleh
Pancasila.¹
Fenomena ini tampak
dalam banyak kebijakan yang lebih mengakomodasi kepentingan elite politik dan
korporasi besar daripada aspirasi masyarakat luas. Hal ini mencerminkan adanya
jurang antara idealisme Pancasila dan kenyataan politik transaksional yang
mengabaikan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan.²
6.2.
Lemahnya Integritas Birokrasi dan Korupsi
Sistemik
Penyalahgunaan
kewenangan dan korupsi merupakan masalah struktural yang menghambat terwujudnya
pemerintahan yang berlandaskan nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan
Sosial. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa praktik
korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga merambah hingga
pemerintahan daerah dan lembaga legislatif.³
Korupsi mengikis
kepercayaan publik terhadap negara dan menciptakan ketimpangan sosial yang
semakin tajam. Ketika kekayaan negara dikuasai oleh segelintir elit melalui
jalur yang tidak sah, maka nilai sila kelima menjadi sekadar retorika kosong
tanpa substansi implementatif.⁴
6.3.
Polarisasi Sosial dan Politik Identitas
Dalam beberapa tahun
terakhir, Indonesia mengalami peningkatan polarisasi sosial akibat eksploitasi
politik identitas, terutama menjelang kontestasi elektoral. Fenomena ini
berpotensi merusak persatuan nasional dan mencederai sila ketiga, Persatuan
Indonesia. Alih-alih mempersatukan, politik identitas sering
digunakan sebagai alat mobilisasi untuk meraih dukungan sektoral dengan
mengorbankan kohesi sosial.⁵
Pemerintah menghadapi
dilema antara menjaga kebebasan berekspresi dan menanggulangi ujaran kebencian
berbasis SARA. Kurangnya literasi ideologi Pancasila dalam masyarakat turut
memperparah problem ini, sehingga nilai-nilai inklusifitas dan toleransi
menjadi semakin terpinggirkan.⁶
6.4.
Rendahnya Literasi Ideologis dan Pendidikan
Kewarganegaraan Kritis
Rendahnya pemahaman
masyarakat, terutama generasi muda, terhadap Pancasila sebagai ideologi
terbuka, menjadi tantangan serius bagi pengarusutamaan nilai-nilainya dalam
pemerintahan. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) masih cenderung
bersifat dogmatis dan hafalan, belum sepenuhnya mampu membentuk kesadaran
kritis dan partisipatif.⁷
Tanpa literasi
ideologis yang kuat, masyarakat akan kesulitan menilai dan mengkritisi kebijakan
publik dalam kerangka nilai-nilai Pancasila. Hal ini membuat masyarakat pasif
dan apatis, serta membuka ruang bagi ideologi-ideologi ekstrem yang
bertentangan dengan semangat Pancasila.⁸
6.5.
Kesenjangan Sosial dan Ketimpangan Ekonomi
Meskipun berbagai
program pro-rakyat telah diluncurkan, kesenjangan ekonomi antarwilayah,
antarstatus sosial, dan antarsektor masih cukup tinggi. Laporan Gini Ratio oleh
BPS pada Maret 2023 menunjukkan bahwa ketimpangan distribusi pengeluaran
penduduk Indonesia berada di angka 0,388, yang masih mencerminkan
ketidakmerataan kesejahteraan.⁹
Ketimpangan ini
bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga merupakan manifestasi dari
kegagalan negara dalam mengimplementasikan nilai keadilan sosial secara
menyeluruh. Selama struktur ekonomi masih dikuasai oleh kelompok oligarkis,
nilai sila kelima hanya akan menjadi jargon dalam retorika pembangunan.¹⁰
6.6.
Ancaman terhadap Kelembagaan Ideologi Negara
Lembaga-lembaga
negara yang bertugas menjaga dan menyosialisasikan Pancasila, seperti Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), masih menghadapi tantangan dalam hal
efektivitas kelembagaan dan dukungan politik. Kontroversi terkait eksistensi
dan kewenangan BPIP menunjukkan bahwa masih ada resistensi ideologis dalam
elite maupun masyarakat terhadap upaya reaktualisasi Pancasila dalam
pemerintahan.¹¹
Dalam jangka
panjang, jika lembaga-lembaga ini gagal menghidupkan kembali semangat ideologis
bangsa, maka Pancasila akan mengalami delegitimasi sebagai dasar orientasi
moral dan kebijakan publik.
Footnotes
[1]
Burhanuddin Muhtadi, Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu
Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2019), 98–102.
[2]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualisasi Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 358–362.
[3]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2023
(Jakarta: KPK, 2024), 6–10.
[4]
Sri Edi Swasono, Ekonomi Pancasila: Paradigma Ekonomi Berbasis
Keadilan Sosial (Jakarta: LP3ES, 2012), 72–75.
[5]
Saiful Mujani, “Polarisasi Politik dan Demokrasi di Indonesia,” Jurnal
Demokrasi 14, no. 2 (2020): 17–20.
[6]
M. Quraish Shihab, Wawasan Kebangsaan dalam Bingkai Kebinekaan
(Depok: Lentera Hati, 2020), 91–93.
[7]
Abidin, Zainal, “Transformasi Pendidikan PPKn dalam Menjawab Tantangan
Ideologis Abad 21,” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan 10, no. 1
(2022): 23–26.
[8]
BPIP, Pancasila dalam Tindakan: Laporan Kinerja 2023 (Jakarta:
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, 2024), 12–14.
[9]
Badan Pusat Statistik (BPS), Ketimpangan Pengeluaran Penduduk
Indonesia Maret 2023 (Jakarta: BPS, 2023), 2.
[10]
Faisal Basri, “Oligarki Ekonomi dan Ketimpangan Sosial di Indonesia,” Jurnal
Ekonomi dan Pembangunan 25, no. 1 (2023): 51–53.
[11]
Yudi Latif, Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan
(Bandung: Mizan, 2014), 105–108.
7.
Peran
Warga Negara dalam Mengawal Pemerintahan Berdasarkan Pancasila
Dalam sistem
demokrasi Pancasila, warga negara tidak hanya berfungsi sebagai objek kebijakan
publik, melainkan juga sebagai subjek yang memiliki peran aktif dalam
mengontrol, mengoreksi, dan mengarahkan jalannya pemerintahan agar tetap berada
pada rel nilai-nilai Pancasila. Partisipasi warga negara dalam proses politik
dan pemerintahan merupakan bentuk konkret dari pengejawantahan sila keempat (Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan)
serta sila kedua dan kelima yang menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan.
7.1.
Partisipasi Aktif dalam Proses Politik dan
Demokrasi
Salah satu bentuk
peran strategis warga negara dalam mengawal pemerintahan adalah melalui partisipasi
politik yang aktif dan bertanggung jawab. Partisipasi ini tidak terbatas pada
penggunaan hak pilih dalam pemilu, tetapi juga mencakup keterlibatan dalam
forum-forum dialog publik, musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), dan
partisipasi dalam organisasi masyarakat sipil.¹
Sebagaimana
diungkapkan oleh Miriam Budiardjo, demokrasi yang sehat membutuhkan warga
negara yang cerdas secara politik, kritis terhadap kebijakan pemerintah, dan
berani menyuarakan pendapatnya dalam ruang publik.² Dengan demikian, kontrol
sosial dari masyarakat menjadi mekanisme alami yang mendorong pemerintah untuk
bertindak sesuai dengan aspirasi rakyat dan nilai-nilai Pancasila.
7.2.
Pengawasan terhadap Penyelenggaraan
Pemerintahan
Warga negara juga
berperan sebagai pengawas (watchdog) terhadap jalannya
pemerintahan, terutama dalam hal penegakan hukum, akuntabilitas kebijakan, dan
pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, peran masyarakat melalui media sosial,
LSM, komunitas jurnalisme warga, dan lembaga pemantau seperti Indonesia Corruption
Watch (ICW) telah berkontribusi besar dalam membongkar penyimpangan kekuasaan.³
Prinsip keterbukaan
informasi publik yang dijamin oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 merupakan
instrumen penting yang memungkinkan warga negara memperoleh akses terhadap
informasi kebijakan dan pelaksanaan program pemerintah, sehingga dapat
memberikan kritik konstruktif dan masukan perbaikan.⁴ Hal ini memperkuat nilai keadilan
sosial dan kemanusiaan yang beradab dalam
ruang publik.
7.3.
Peran dalam Membangun Etika dan Budaya Politik
yang Pancasilais
Warga negara
memiliki tanggung jawab untuk membangun dan menjaga budaya politik yang berakar
pada nilai-nilai Pancasila. Budaya politik yang sehat adalah budaya yang
mengedepankan musyawarah, toleransi, anti-kekerasan, dan kejujuran dalam
kehidupan bernegara. Ini menjadi penting di tengah menguatnya politik
identitas, ujaran kebencian, dan disinformasi yang mencederai persatuan dan
kemanusiaan.⁵
Dengan menjadi agen
penyebar nilai-nilai toleransi, empati sosial, dan inklusivitas dalam
lingkungan sosial, warga negara berkontribusi terhadap penguatan kohesi sosial
dan integrasi nasional, sesuai dengan semangat sila ketiga, Persatuan
Indonesia.
7.4.
Peran Generasi Muda dalam Menghidupkan
Pancasila
Generasi muda
sebagai pelanjut estafet kepemimpinan nasional memiliki tanggung jawab moral
untuk menginternalisasi dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari. Melalui pendidikan formal seperti mata pelajaran PPKn,
serta kegiatan non-formal seperti organisasi pelajar, mahasiswa, dan komunitas
sosial, generasi muda dapat dilatih menjadi warga negara yang cerdas secara
intelektual dan tangguh secara moral.⁶
Lebih dari itu,
mereka juga diharapkan mampu menjadi agen perubahan yang inovatif dan
berintegritas, serta mengembangkan model kepemimpinan yang berpihak kepada
rakyat, bukan kepada kekuasaan semata. Upaya reaktualisasi Pancasila di
kalangan generasi muda menjadi sangat penting di era digital yang penuh
disrupsi nilai.⁷
7.5.
Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan dan
Literasi Ideologi
Pendidikan
kewarganegaraan yang kontekstual, reflektif, dan berbasis nilai harus menjadi
prioritas dalam sistem pendidikan nasional. Tujuannya bukan hanya membentuk
warga negara yang patuh secara hukum, tetapi juga membentuk karakter yang mampu
membedakan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi, serta mampu
mengambil sikap dalam menghadapi masalah kebangsaan.⁸
Dengan memperkuat
literasi ideologis, warga negara akan memiliki ketahanan terhadap pengaruh
ideologi asing yang bertentangan dengan Pancasila, serta mampu mendeteksi
penyimpangan kebijakan publik dari nilai-nilai dasar negara.
Footnotes
[1]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), 121–123.
[2]
Ibid., 130.
[3]
Indonesia Corruption Watch (ICW), Laporan Tahunan ICW 2023
(Jakarta: ICW, 2024), 5–9.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 4–5.
[5]
Saiful Mujani, “Demokrasi dan Budaya Politik di Indonesia,” Jurnal
Demokrasi 12, no. 1 (2021): 22–25.
[6]
Zainal Abidin, “Peran Generasi Muda dalam Mewujudkan Nilai-Nilai
Pancasila di Era Digital,” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan 10, no. 1
(2022): 34–36.
[7]
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Pancasila dalam
Tindakan: Laporan Kinerja 2023 (Jakarta: BPIP, 2024), 20–23.
[8]
Kaelan, Pendidikan Pancasila Edisi Revisi (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 176–179.
8.
Penutup
Pancasila sebagai
dasar negara, ideologi nasional, dan sumber nilai dalam kehidupan berbangsa
memiliki kedudukan yang tak tergantikan dalam penyelenggaraan pemerintahan
Indonesia. Dalam konteks kenegaraan modern, implementasi nilai-nilai Pancasila
tidak hanya bersifat normatif, tetapi harus diwujudkan secara nyata dalam
seluruh aspek kebijakan, regulasi, dan perilaku aparatur negara. Kelima sila
Pancasila bukanlah kumpulan semboyan kosong, melainkan landasan filosofis dan
moral yang harus menjiwai sistem hukum, politik, ekonomi, dan sosial dalam
praktik pemerintahan sehari-hari.¹
Sepanjang pembahasan
artikel ini, terlihat bahwa meskipun terdapat berbagai upaya konkret untuk
mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam pemerintahan—seperti melalui
program Dana Desa, BPJS Kesehatan, pelaksanaan Pemilu, dan penanganan pandemi
COVID-19—masih terdapat kesenjangan antara idealisme dan kenyataan. Praktik
korupsi, dominasi oligarki, disinformasi politik, rendahnya literasi ideologi,
serta lemahnya penegakan hukum merupakan sejumlah persoalan sistemik yang
menghambat internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam tubuh birokrasi dan
lembaga-lembaga negara.²
Dalam kerangka ini,
penguatan pendidikan ideologi Pancasila menjadi hal yang sangat strategis dan
mendesak. Tidak hanya pada tataran formal pendidikan, tetapi juga dalam
pembudayaan nilai melalui media, institusi keagamaan, komunitas sipil, dan
ruang digital.³ Warga negara, terutama generasi muda, harus dididik untuk
menjadi aktor perubahan yang tidak hanya menguasai pengetahuan, tetapi juga
memiliki kepekaan moral, integritas, dan tanggung jawab sosial.⁴
Lebih dari itu,
diperlukan komitmen bersama antara pemerintah, lembaga legislatif, lembaga
yudikatif, dan masyarakat sipil untuk menjadikan Pancasila sebagai acuan
evaluatif dalam merancang, melaksanakan, dan mengawasi setiap kebijakan publik.
Setiap kebijakan negara seharusnya diuji kesesuaiannya dengan sila-sila
Pancasila—apakah menjunjung nilai kemanusiaan, apakah mendorong keadilan
sosial, apakah memperkuat persatuan nasional, dan apakah berpijak pada etika
ketuhanan dan kearifan kolektif.⁵
Dengan menjadikan
Pancasila sebagai "bintang penuntun" (leitstar) dalam praktik
pemerintahan, Indonesia tidak hanya akan memiliki sistem politik yang sah
secara konstitusional, tetapi juga kuat secara moral dan spiritual. Ini adalah
fondasi utama bagi pembangunan bangsa yang berkelanjutan, adil, dan
berkarakter.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Edisi Revisi (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 5–7.
[2]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualisasi Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 365–368.
[3]
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Pancasila dalam
Tindakan: Laporan Kinerja 2023 (Jakarta: BPIP, 2024), 18–21.
[4]
Zainal Abidin, “Peran Strategis Generasi Muda dalam Reaktualisasi Nilai
Pancasila,” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan 10, no. 1 (2022): 34–35.
[5]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Ideologi Pancasila (Jakarta:
Konstitusi Press, 2009), 99–102.
Daftar Pustaka
Abidin, Z. (2022). Peran strategis generasi muda
dalam reaktualisasi nilai Pancasila. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 10(1),
34–36.
Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar ilmu hukum
tata negara. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. (2009). Konstitusi dan ideologi
Pancasila. Jakarta: Konstitusi Press.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. (2024). Pancasila
dalam tindakan: Laporan kinerja 2023. Jakarta: BPIP.
Badan Pusat Statistik. (2023). Ketimpangan
pengeluaran penduduk Indonesia Maret 2023. Jakarta: BPS.
Badan Penanggulangan Bencana Nasional. (2022). Laporan
penanganan COVID-19 nasional 2020–2021. Jakarta: BNPB.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
(2023). Laporan kinerja 2022. Jakarta: BPJS.
Basri, F. (2023). Oligarki ekonomi dan ketimpangan
sosial di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 25(1),
51–53.
Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik
(edisi revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fajri, N. (2023). Evaluasi kritis BPJS Kesehatan
dalam perspektif keadilan sosial. Jurnal Pelayanan Publik, 10(2),
45–48.
Gumay, H. N. (2021). Pelemahan KPK dan masa depan
penegakan hukum. Jurnal Demokrasi, 19(1), 22–24.
Indonesia Corruption Watch. (2024). Laporan
tahunan ICW 2023. Jakarta: ICW.
Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila (Edisi
Revisi). Yogyakarta: Paradigma.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2024). Laporan
tahunan 2023. Jakarta: KPK.
Komisi Pemilihan Umum. (2020). Laporan
penyelenggaraan pemilu 2019. Jakarta: KPU RI.
Komisi Yudisial Republik Indonesia. (2024). Laporan
tahunan 2023. Jakarta: KY RI.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2023). Laporan evaluasi dana desa 2022.
Jakarta: Kemendes PDTT.
Komnas HAM. (2023). Laporan tahunan Komnas HAM
2022. Jakarta: Komnas HAM.
Komnas HAM. (2024). Laporan kinerja 2023.
Jakarta: Komnas HAM.
Latif, Y. (2011). Negara paripurna:
Historisitas, rasionalitas, dan aktualisasi Pancasila. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Latif, Y. (2014). Mata air keteladanan:
Pancasila dalam perbuatan. Bandung: Mizan.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2009). Putusan
MK No. 27/PUU-VII/2009 tentang uji UU Penanaman Modal. Diakses 3 Juni 2025
dari https://www.mkri.id
Mujani, S. (2020). Polarisasi politik dan demokrasi
di Indonesia. Jurnal Demokrasi, 14(2), 17–20.
Mujani, S. (2021). Demokrasi dan budaya politik di
Indonesia. Jurnal Demokrasi, 12(1), 22–25.
Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta.
Republik Indonesia. (2000). Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
Jakarta: Sekretariat MPR RI.
Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang No. 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jakarta: Sekretariat
Negara.
Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang No. 6
Tahun 2014 tentang Desa. Jakarta: Sekretariat Negara.
Sadikin, B. G. (2021). Tantangan pemerintah dalam
merespons pandemi COVID-19. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 11(1),
11–13.
Shihab, M. Q. (2020). Wawasan kebangsaan dalam
bingkai kebinekaan. Depok: Lentera Hati.
Susanti, B. (2018). Demokrasi dan representasi
dalam sistem pemerintahan. Jurnal Konstitusi, 10(3), 45–47.
Susanti, B. (2020). Krisis representasi dalam
pembentukan UU Cipta Kerja. Jurnal Konstitusi, 17(3), 67–70.
Swasono, S. E. (2012). Ekonomi Pancasila:
Paradigma ekonomi berbasis keadilan sosial. Jakarta: LP3ES.
Zuhro, S. (2019). Reaktualisasi nilai-nilai
Pancasila dalam tata kelola pemerintahan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, 22(2), 112–115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar