Objek Kajian Filsafat
Ruang Lingkup, Klasifikasi, dan Relevansinya dalam
Kehidupan
Alihkan ke: Objek
Material Filsafat, Objek
Formal Filsafat.
Filsafat Manusia, Filsafat Akal Budi.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
objek kajian filsafat, baik dari segi ruang lingkup, klasifikasi, hingga
relevansinya dalam kehidupan manusia modern. Objek kajian filsafat terdiri dari
dua aspek utama, yakni objek material yang mencakup segala sesuatu yang ada dan
mungkin ada, serta objek formal yang mencerminkan pendekatan kritis, rasional,
dan reflektif khas filsafat dalam memahami realitas. Kajian ini menguraikan
tiga cabang utama filsafat—ontologi, epistemologi, dan aksiologi—sebagai dasar
klasifikasi objek kajian filsafat. Selain itu, artikel ini menyoroti implikasi
penting filsafat dalam kehidupan, seperti pengembangan pola pikir kritis,
kesadaran etis, dan kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Melalui perbandingan dengan ilmu-ilmu lain, ditunjukkan bahwa filsafat memiliki
peran integratif dan normatif dalam membentuk pemikiran yang utuh dan bernilai.
Penutup artikel menegaskan pentingnya filsafat sebagai sarana refleksi manusia
dalam pencarian makna hidup yang mendalam dan bertanggung jawab.
Kata Kunci: Filsafat, objek kajian, ontologi, epistemologi,
aksiologi, pemikiran kritis, refleksi, nilai.
PEMBAHASAN
Objek Kajian Filsafat
1.
Pendahuluan
Filsafat merupakan
salah satu bentuk pemikiran manusia yang paling mendasar dalam memahami
realitas, pengetahuan, dan nilai. Secara etimologis, kata “filsafat”
berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang berarti cinta
kebijaksanaan atau kecintaan terhadap hikmah.¹ Dalam konteks keilmuan, filsafat tidak hanya mencerminkan rasa ingin
tahu manusia terhadap hakikat sesuatu, tetapi juga menggambarkan upaya
sistematis untuk memahami keberadaan, kebenaran, dan nilai secara mendalam dan
menyeluruh.
Filsafat berperan
penting sebagai landasan berpikir kritis dan reflektif dalam menjawab berbagai
pertanyaan fundamental, seperti: “Apa hakikat realitas?”, “Bagaimana
kita mengetahui sesuatu itu benar?”, dan “Apa yang membuat suatu
tindakan dianggap baik atau buruk?”.² Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menandai perbedaan filsafat
dengan ilmu-ilmu lain yang cenderung bersifat praktis dan empiris. Jika ilmu
menjelaskan bagaimana sesuatu terjadi, maka
filsafat bertanya mengapa dan apa
makna dari sesuatu tersebut.³
Dalam tradisi
pemikiran klasik hingga modern, filsafat telah menjadi sumber lahirnya berbagai
cabang ilmu pengetahuan. Misalnya, ilmu fisika dahulu merupakan bagian dari
filsafat alam, sementara logika merupakan bagian integral dari filsafat
rasional.⁴ Oleh karena itu, memahami filsafat – termasuk objek kajiannya –
menjadi penting tidak hanya untuk para akademisi, tetapi juga bagi siapa saja
yang ingin berpikir secara lebih bijaksana, mendalam, dan holistik.
Salah satu unsur
mendasar dalam memahami filsafat sebagai ilmu adalah mengenal apa saja objek
kajian filsafat. Objek kajian ini membantu kita memahami ruang
lingkup persoalan yang dibahas oleh filsafat dan cara pendekatan yang digunakan
dalam menjawabnya. Dalam ilmu apa pun, pengenalan terhadap objek kajian
merupakan syarat utama untuk memahami hakikat dan tujuan ilmu tersebut.⁵
Dengan demikian,
pembahasan mengenai objek kajian filsafat menjadi fondasi penting dalam
membangun pemahaman yang lebih utuh terhadap peran filsafat dalam sejarah
pemikiran manusia, serta relevansinya terhadap tantangan intelektual dan moral
zaman modern.
Catatan Kaki
[1]
Harold H. Titus dan Marilyn Smith, Living Issues in Philosophy, 9th
ed. (New York: Oxford University Press, 1974), 1.
[2]
Ahmad Tafsir, Ilmu Filsafat (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), 11.
[3]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), 23.
[4]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), 42.
[5]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu
(Yogyakarta: Liberty, 2000), 14.
2.
Pengertian
Objek Kajian Filsafat
Dalam setiap
disiplin ilmu, mengenal dan memahami objek kajian merupakan langkah awal yang
sangat penting untuk menelusuri hakikat dan tujuan ilmu tersebut. Tidak
terkecuali dalam filsafat, pengenalan terhadap objek kajian menjadi dasar dalam
memahami ruang lingkup persoalan yang ditelaah serta metode pendekatan yang
digunakan. Objek kajian filsafat secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua
bentuk: objek material dan objek
formal. Pemahaman atas kedua bentuk ini akan membantu kita
membedakan filsafat dari cabang ilmu lainnya serta memperjelas karakteristiknya
sebagai ilmu yang bersifat universal, mendalam, dan reflektif.
Secara umum, objek
material dalam filsafat merujuk pada apa
yang dikaji oleh filsafat, yakni seluruh kenyataan atau segala sesuatu yang ada
dan mungkin ada. Artinya, filsafat tidak membatasi diri hanya pada objek
empiris atau fisik, melainkan juga mencakup aspek metafisik, spiritual, dan
abstrak.⁽¹⁾ Dalam hal ini, filsafat membahas keberadaan (being), kebenaran
(truth), kebaikan (goodness), serta nilai-nilai lainnya
yang mendasari realitas. Oleh karena itu, objek material filsafat memiliki
jangkauan yang sangat luas dan bersifat universal, menjangkau seluruh aspek
kehidupan dan pemikiran manusia.
Sementara itu, objek
formal filsafat berkaitan dengan bagaimana filsafat memandang dan
mengkaji objek materialnya. Objek formal merupakan sudut pandang atau
pendekatan khas yang digunakan dalam filsafat, yakni pendekatan kritis,
rasional, radikal, sistematis, dan spekulatif.⁽²⁾ Dalam pendekatan ini,
filsafat tidak hanya berhenti pada fakta-fakta lahiriah, tetapi berusaha
menyelami hakikat terdalam dari sesuatu yang dikaji. Pendekatan filosofis
cenderung mempertanyakan asumsi dasar, menggali makna, serta mengevaluasi
secara logis dan mendalam suatu konsep, ide, atau fenomena.
Sebagai contoh,
realitas sosial seperti keadilan dapat dikaji oleh ilmu hukum, sosiologi, dan
filsafat. Namun pendekatan filsafat terhadap keadilan tidak hanya terbatas pada
aspek prosedural atau sosiologis, melainkan berusaha mencari dasar ontologis
dan normatif dari konsep keadilan itu sendiri.⁽³⁾ Dengan demikian, filsafat
lebih tertarik pada hakikat, dasar, dan makna yang mendasari fenomena, bukan
sekadar gejalanya.
Perbedaan antara
objek material dan objek formal ini juga dapat dijumpai dalam disiplin ilmu
lainnya. Misalnya, baik biologi maupun kimia dapat mengkaji makhluk hidup
sebagai objek materialnya. Namun pendekatan atau objek formal keduanya berbeda.
Biologi menekankan aspek kehidupan secara keseluruhan, sementara kimia lebih
fokus pada struktur molekul dan reaksi zat-zat penyusun makhluk hidup
tersebut.⁽⁴⁾ Dalam konteks filsafat, pendekatan ini menjadi pembeda utama
dibandingkan ilmu-ilmu lain yang lebih bersifat empiris dan eksperimental.
Karena pendekatannya
yang mendalam dan universal, filsafat sering kali disebut sebagai “induk
ilmu pengetahuan” (the mother of sciences).⁽⁵⁾ Banyak ilmu modern
seperti fisika, psikologi, dan ilmu politik yang pada mulanya lahir dari
refleksi filosofis para pemikir Yunani klasik. Oleh sebab itu, memahami objek
kajian filsafat tidak hanya memberikan wawasan konseptual, tetapi juga membantu
kita melihat akar dan dasar dari ilmu-ilmu lainnya.
Catatan Kaki
[1]
Ahmad Tafsir, Ilmu Filsafat (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), 13.
[2]
K. Bertens, Pengantar Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), 11–12.
[3]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), 25.
[4]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), 58–59.
[5]
Harold H. Titus dan Marilyn Smith, Living Issues in Philosophy, 9th
ed. (New York: Oxford University Press, 1974), 3.
3.
Objek
Material Filsafat
Dalam kajian
filsafat, objek material adalah segala
sesuatu yang menjadi bahan telaah atau pembahasan filsafat. Dalam
hal ini, objek material filsafat sangat luas, mencakup segala
sesuatu yang ada (realitas) dan segala sesuatu yang mungkin ada (kemungkinan
realitas).⁽¹⁾ Hal ini mencakup keberadaan Tuhan, alam semesta,
manusia, akal, nilai-nilai, bahkan ide-ide yang bersifat abstrak. Maka dari
itu, filsafat tidak membatasi dirinya pada objek yang dapat ditangkap oleh
pancaindra atau diverifikasi melalui eksperimen seperti dalam ilmu empiris,
melainkan juga mencakup hal-hal metafisik yang bersifat spekulatif namun
rasional.
Keunikan filsafat
sebagai ilmu terletak pada keluasannya dalam menjangkau objek kajian. Dalam
pandangan Harold H. Titus, filsafat tidak mempelajari bagian-bagian dari
pengalaman seperti yang dilakukan oleh ilmu-ilmu khusus, melainkan berusaha
melihat kehidupan secara menyeluruh, dari sudut pandang yang paling
mendasar.⁽²⁾ Filsafat ingin mengetahui apa yang berada di balik segala sesuatu,
bukan hanya gejala luarnya. Oleh karena itu, realitas secara keseluruhan—baik
fisik maupun nonfisik, aktual maupun potensial—menjadi objek material dari
filsafat.
Objek material
filsafat sering kali dibagi ke dalam tiga rumpun besar yang mencerminkan subbidang
utama filsafat:
1)
Ontologi:
membahas tentang apa yang ada, keberadaan, dan struktur realitas.
2)
Epistemologi:
mengkaji hakikat pengetahuan, sumber, batas, dan validitasnya.
3)
Aksiologi:
menyelidiki nilai-nilai, terutama nilai moral (etika) dan keindahan (estetika).⁽³⁾
Sebagai contoh,
ketika seseorang bertanya: “Apakah Tuhan itu ada?”, “Apa
hakikat jiwa manusia?”, atau “Apakah nilai keadilan itu bersifat objektif
atau subjektif?”, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut menyangkut
objek material filsafat. Filsafat tidak membatasi dirinya hanya pada realitas
yang kasat mata, tetapi juga mempersoalkan entitas nonmaterial seperti ide,
nilai, dan makna.
Jika dibandingkan
dengan ilmu-ilmu empiris, objek material filsafat memiliki cakupan yang lebih
luas. Ilmu fisika, misalnya, membatasi kajiannya pada objek-objek fisik dan
hukum-hukum yang mengatur alam semesta. Biologi hanya mengkaji makhluk hidup.
Namun filsafat tidak membatasi dirinya seperti itu. Ia bisa menelaah hakikat
fisika itu sendiri (ontologi ilmu), menanyakan dasar validitas metode ilmiah
(epistemologi), atau mengevaluasi penggunaan ilmu dalam kehidupan manusia
(aksiologi).⁽⁴⁾
Keleluasaan objek
material inilah yang menyebabkan filsafat mampu menjadi ilmu yang melandasi dan
menyatukan semua cabang ilmu pengetahuan lainnya. Dalam sejarah pemikiran,
sebelum ilmu-ilmu terpecah menjadi disiplin tersendiri, semua kajian ilmiah
bermula dari pertanyaan-pertanyaan filosofis. Oleh karena itu, memahami objek
material filsafat adalah memahami pula sumber inspirasi dan titik tolak dari
berbagai ilmu yang berkembang kemudian.
Catatan Kaki
[1]
Ahmad Tafsir, Ilmu Filsafat (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), 15.
[2]
Harold H. Titus dan Marilyn Smith, Living Issues in Philosophy, 9th
ed. (New York: Oxford University Press, 1974), 4.
[3]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), 28.
[4]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), 65.
4.
Objek
Formal Filsafat
Jika objek material
menjawab pertanyaan “apa yang dikaji?”, maka objek
formal filsafat menjawab “bagaimana cara atau sudut pandang dalam
mengkaji?”. Dalam konteks ini, objek formal filsafat
menunjukkan metode, pendekatan, dan cara pandang khas yang digunakan oleh
filsafat dalam menelaah objek materialnya. Dengan kata lain, objek formal
merupakan titik pembeda antara filsafat dengan ilmu-ilmu lainnya yang mungkin
memiliki objek material serupa.
Ciri utama
pendekatan filsafat terletak pada cara berpikir yang radikal,
sistematis, menyeluruh (komprehensif), dan reflektif. Radikal
berarti menelusuri suatu persoalan hingga ke akar-akarnya (dari bahasa Latin radix
yang berarti akar). Filsafat tidak puas dengan penjelasan permukaan, melainkan
berusaha mencari dasar terdalam dari suatu kenyataan atau konsep.⁽¹⁾ Misalnya,
ketika sains menyatakan bahwa benda jatuh karena gravitasi, filsafat bertanya: “Apakah
hukum alam bersifat tetap?” atau “Mengapa hukum-hukum itu bisa berlaku dan
dikenali oleh akal manusia?”
Selain itu, filsafat
juga bersifat sistematis. Ia tidak berpikir secara acak atau parsial, melainkan
menghubungkan satu gagasan dengan gagasan lain dalam kerangka rasional yang
runtut dan menyeluruh.⁽²⁾ Cara berpikir filsafat juga menyeluruh dan mendalam.
Ia tidak hanya membahas aspek teknis atau praktis, melainkan menggali makna dan
nilai di balik setiap kenyataan.
Pendekatan formal
dalam filsafat juga mengandalkan penalaran logis
sebagai alat utamanya. Oleh karena itu, metode yang lazim digunakan dalam
filsafat antara lain:
·
Metode
rasional: menggunakan akal untuk menemukan kebenaran,
sebagaimana ditunjukkan oleh para filsuf rasionalis seperti René Descartes.
·
Metode
reflektif: merenungkan secara mendalam makna dari suatu konsep
atau realitas.
·
Metode
kritis: mempertanyakan dan mengevaluasi pandangan-pandangan
yang sudah ada.⁽³⁾
Sebagai contoh
konkret, konsep “kebahagiaan” bisa dikaji oleh psikologi, sosiologi, bahkan
ekonomi. Namun kajian filsafat terhadap kebahagiaan tidak terbatas pada gejala
atau statistik kebahagiaan, melainkan pada hakikat kebahagiaan itu sendiri:
Apa itu
kebahagiaan? Apakah kebahagiaan bersifat subjektif atau objektif? Apakah
kebahagiaan identik dengan kenikmatan? Pendekatan semacam ini
menuntut kedalaman berpikir yang khas dari filsafat.
Objek formal
filsafat juga memiliki kecenderungan untuk menggugah kesadaran manusia
terhadap realitas hidupnya. Hal ini terlihat dalam tradisi filsafat
eksistensialisme, di mana pendekatan filosofis diarahkan untuk memahami makna
keberadaan manusia secara otentik, bukan sekadar sebagai bagian dari sistem
sosial atau biologis.⁽⁴⁾ Dalam pendekatan inilah filsafat mengambil peran
penting dalam memperkaya dimensi batiniah manusia, membimbingnya pada kesadaran
akan nilai, tanggung jawab, dan tujuan hidup.
Dengan memahami
objek formal filsafat, kita dapat melihat bahwa keistimewaan filsafat bukan
terletak pada apa yang dikaji, melainkan pada bagaimana
filsafat mengkaji sesuatu. Ini pula yang menjadikan filsafat mampu bersanding,
bahkan menjadi dasar berpikir, bagi berbagai ilmu lainnya.
Catatan Kaki
[1]
K. Bertens, Pengantar Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), 12.
[2]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), 30.
[3]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), 45–47.
[4]
Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu (Jakarta:
Gramedia, 1992), 26–27.
5.
Klasifikasi
Objek Kajian dalam Filsafat
Objek kajian
filsafat yang sangat luas dan mendalam telah mendorong para filsuf untuk
mengelompokkan pembahasannya ke dalam beberapa cabang utama. Klasifikasi ini
bukan hanya untuk memudahkan kajian, tetapi juga untuk memperjelas fokus
pertanyaan dan pendekatan dalam masing-masing aspek realitas.
Meskipun berbagai aliran dan tradisi filsafat memiliki cara pengelompokan yang
beragam, secara umum objek kajian filsafat dapat dibagi ke dalam tiga
cabang pokok: ontologi, epistemologi,
dan aksiologi.⁽¹⁾
5.1.
Ontologi (Filsafat
tentang Keberadaan)
Ontologi berasal
dari kata Yunani ontos (yang ada) dan logos
(ilmu/pembahasan). Cabang ini mengkaji apa yang dimaksud dengan “ada”,
apa saja
yang benar-benar eksis, serta bagaimana struktur realitas itu sendiri.⁽²⁾
Pertanyaan-pertanyaan dalam ontologi meliputi: Apakah yang dimaksud dengan “ada”?,
Apakah
keberadaan itu bersifat tunggal atau jamak?, Apakah
realitas bersifat materiil, immateriil, atau gabungan keduanya?
Dalam sejarah
filsafat, para filsuf seperti Aristoteles, Ibn Sina, hingga Heidegger telah
menjadikan ontologi sebagai fondasi utama dalam memahami segala sesuatu secara
filosofis.⁽³⁾
5.2.
Epistemologi
(Filsafat tentang Pengetahuan)
Epistemologi berasal
dari kata epistēmē
(pengetahuan) dan logos (ilmu). Cabang ini membahas asal-usul,
struktur, validitas, dan batas-batas pengetahuan manusia.⁽⁴⁾
Filsafat di sini menanyakan: Bagaimana kita tahu sesuatu?, Apa yang
membedakan pengetahuan sejati dari pendapat atau dugaan?, Apa
sumber pengetahuan: akal, pengalaman, intuisi, atau wahyu?
Pertanyaan-pertanyaan
epistemologis menjadi landasan penting dalam menjamin keandalan metode berpikir
dan pengembangan ilmu pengetahuan. Filsuf besar seperti Plato, Descartes, John
Locke, dan Immanuel Kant banyak menyumbang gagasan penting dalam bidang ini.
5.3.
Aksiologi (Filsafat
tentang Nilai)
Aksiologi berasal
dari kata axios
(nilai) dan logos (ilmu). Cabang ini membahas hakikat
nilai-nilai, termasuk nilai moral (etika) dan nilai
keindahan (estetika).⁽⁵⁾ Filsafat dalam dimensi ini bertanya: Apa yang
membuat sesuatu baik atau buruk?, Apakah nilai itu bersifat objektif atau
subjektif?, Apa dasar dari perilaku etis?, dan Bagaimana
manusia bisa hidup dengan baik (eudaimonia)?
Etika sebagai bagian
dari aksiologi menjadi sangat penting dalam merespons persoalan-persoalan
kemanusiaan, seperti keadilan sosial, tanggung jawab, dan hak asasi manusia.⁽⁶⁾
Sementara estetika merenungkan tentang keindahan dan makna dalam seni, budaya,
dan pengalaman manusia yang bersifat simbolik.
Selain ketiga cabang
utama di atas, perkembangan filsafat modern dan kontemporer juga melahirkan
banyak sub-cabang lain seperti:
·
Filsafat
manusia (antropologi filosofis)
·
Filsafat
agama
·
Filsafat
politik
·
Filsafat
hukum
·
Filsafat
ilmu
·
Filsafat
Bahasa
Setiap sub-cabang ini tetap merujuk pada
pendekatan filosofis yang khas, dengan objek formal filsafat yang tetap
mendalam, kritis, dan sistematis.
Klasifikasi ini
penting karena membantu mengorganisasi pertanyaan-pertanyaan filosofis secara
tematik dan metodologis. Dengan demikian, pengkaji filsafat dapat memfokuskan
diri pada aspek tertentu dari realitas, sembari tetap menyadari keterkaitan
antara cabang-cabang filsafat tersebut dalam satu kerangka pemikiran yang utuh
dan saling menyempurnakan.
Catatan Kaki
[1]
Ahmad Tafsir, Ilmu Filsafat (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), 17.
[2]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), 32.
[3]
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), 45–47.
[4]
Harold H. Titus dan Marilyn Smith, Living Issues in Philosophy, 9th
ed. (New York: Oxford University Press, 1974), 105–106.
[5]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), 66–68.
[6]
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 15–16.
6.
Implikasi
Objek Kajian Filsafat dalam Kehidupan
Objek kajian
filsafat yang bersifat luas, mendalam, dan reflektif tidak hanya memiliki nilai
teoritis semata, tetapi juga membawa implikasi yang sangat signifikan dalam kehidupan
nyata manusia. Filsafat tidak berdiri di menara gading
akademik, melainkan hadir sebagai cara berpikir dan cara hidup
yang dapat membimbing manusia untuk memahami makna hidup, bertindak bijaksana,
dan mengambil keputusan secara rasional serta bertanggung jawab.⁽¹⁾
6.1.
Membentuk Pola Pikir
Kritis dan Reflektif
Filsafat membantu
manusia untuk mengembangkan pola pikir yang kritis dan reflektif. Dengan
mengkaji objek formal filsafat yang menekankan pemikiran mendalam, sistematis,
dan logis, seseorang akan terbiasa mempertanyakan hal-hal yang sering dianggap
biasa, serta mengevaluasi berbagai asumsi dan keyakinan yang mendasari tindakan
maupun pemahamannya terhadap dunia.⁽²⁾ Kemampuan ini sangat penting di tengah
masyarakat modern yang dibanjiri oleh informasi dan opini yang beragam, di mana
individu perlu memilah mana yang rasional, relevan, dan benar-benar bernilai.
6.2.
Memperdalam
Kesadaran Etis dan Tanggung Jawab Moral
Melalui kajian
aksiologi, filsafat memperkuat kesadaran akan nilai-nilai moral dan etika.
Dengan merenungkan makna kebaikan, keadilan, dan tanggung jawab, filsafat
membantu manusia dalam membentuk pandangan hidup yang bermartabat dan beradab.
Franz Magnis-Suseno menyebutkan bahwa etika filsafat tidak hanya mengajarkan apa yang
benar atau salah, tetapi juga mengasah kemampuan moral manusia
untuk mengambil keputusan yang bermakna bagi dirinya sendiri dan bagi
sesama.⁽³⁾ Dalam konteks ini, filsafat menjadi alat pembimbing moral yang
penting dalam kehidupan pribadi, sosial, bahkan dalam lingkup kebijakan publik.
6.3.
Menjadi Landasan
Bagi Ilmu dan Kebudayaan
Objek kajian
filsafat yang menyentuh realitas paling mendasar juga menjadi fondasi bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. Epistemologi filsafat, misalnya,
mengkaji sumber, struktur, dan batas pengetahuan, yang menjadi dasar bagi
keilmuan modern.⁽⁴⁾ Thomas Kuhn dalam karya terkenalnya The
Structure of Scientific Revolutions menyatakan bahwa perubahan
besar dalam ilmu pengetahuan sering kali dipicu oleh krisis paradigma, yang
diselesaikan dengan refleksi filosofis terhadap dasar-dasar ilmu itu
sendiri.⁽⁵⁾ Dengan demikian, filsafat berkontribusi pada pembaruan intelektual
dan pengembangan ilmu secara lebih matang dan berorientasi nilai.
6.4.
Mendorong Kesadaran
Eksistensial dan Spiritualitas
Objek kajian
filsafat juga menyentuh pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang makna
hidup dan keberadaan manusia. Filsafat eksistensialisme,
misalnya, mendorong manusia untuk menemukan keaslian (authenticity), kebebasan,
dan tanggung jawab pribadi dalam menghadapi kehidupan.⁽⁶⁾ Pemikiran ini penting
dalam konteks kehidupan modern yang sering kali cenderung mekanistik dan
kehilangan arah spiritual. Dengan merenungkan pertanyaan-pertanyaan filosofis
seperti “Untuk
apa saya hidup?”, “Apa yang membuat hidup ini bermakna?”,
manusia dibantu untuk menemukan arah hidup yang lebih dalam dan otentik.
6.5.
Menumbuhkan Dialog
dan Toleransi
Filsafat juga
berperan dalam membangun dialog lintas budaya dan agama,
karena pendekatannya yang rasional, terbuka, dan menghargai argumen. Objek
kajian filsafat yang meliputi filsafat agama dan filsafat budaya, memungkinkan
terbentuknya jembatan pemahaman antara berbagai sistem nilai.⁽⁷⁾ Dalam
masyarakat yang plural dan dinamis, kemampuan berdialog secara bijaksana
menjadi kebutuhan mutlak bagi terciptanya kehidupan sosial yang harmonis dan
damai.
Dengan berbagai
implikasi tersebut, filsafat—melalui kajian objek-objeknya—tidak hanya
berfungsi sebagai sarana intelektual, tetapi juga sebagai panduan praktis dalam
membentuk manusia yang utuh, yaitu
makhluk rasional, etis, dan spiritual. Dalam arti ini, filsafat tetap relevan
dan bahkan sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman modern yang
kompleks dan penuh krisis makna.
Catatan Kaki
[1]
Ahmad Tafsir, Ilmu Filsafat (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), 21.
[2]
K. Bertens, Pengantar Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), 14.
[3]
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 23.
[4]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), 70.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 88–90.
[6]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 25–27.
[7]
Paul Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in
Hermeneutics, ed. Don Ihde (Evanston: Northwestern University
Press, 1974), 9–10.
7.
Perbandingan
Objek Kajian Filsafat dengan Objek Kajian Ilmu Lain
Meskipun filsafat
dan ilmu pengetahuan sama-sama bertujuan untuk memahami realitas, keduanya
memiliki perbedaan mendasar dalam hal objek
kajian, pendekatan, dan tujuan akhir. Membandingkan objek
kajian filsafat dengan objek kajian ilmu lain bukan dimaksudkan untuk
mempertentangkan keduanya, tetapi untuk memperlihatkan keunikan
dan kontribusi khas masing-masing dalam membangun pengetahuan
manusia yang utuh dan menyeluruh.
7.1.
Luas dan
Universalitas Objek Kajian
Objek kajian
filsafat bersifat universal dan tidak
terbatas pada aspek tertentu dari kenyataan. Filsafat membahas
segala sesuatu yang ada (being) dan mungkin ada, baik fisik
maupun nonfisik, empiris maupun metafisis, konkret maupun abstrak.⁽¹⁾
Sebaliknya, ilmu pengetahuan (sains) memiliki objek kajian yang spesifik
dan terbatas.
Ilmu fisika mengkaji gerak dan hukum materi, biologi mengkaji makhluk hidup,
sosiologi mengkaji masyarakat, dan sebagainya.
Dengan demikian,
perbedaan mendasar terletak pada cakupan objek materialnya.
Filsafat bertanya: Apa hakikat realitas secara keseluruhan?,
sementara ilmu hanya bertanya: Bagaimana realitas tertentu bekerja?
Hal ini menjadikan filsafat sebagai ilmu yang menyatukan dan menjadi induk dari
ilmu-ilmu lainnya—sebuah pandangan yang telah hidup sejak zaman Aristoteles.⁽²⁾
7.2.
Pendekatan
Metodologis
Filsafat menggunakan
pendekatan rasional-reflektif, yaitu
melalui penalaran logis, spekulatif, dan kontemplatif terhadap suatu objek.⁽³⁾
Ia tidak mengandalkan observasi langsung atau eksperimen, melainkan mengkaji
konsep-konsep, asumsi-asumsi dasar, serta prinsip-prinsip universal di balik
realitas. Misalnya, filsafat ilmu tidak meneliti bakteri secara laboratorium,
tetapi meneliti bagaimana metode ilmiah digunakan dalam penelitian itu.
Sementara itu, ilmu
pengetahuan menggunakan pendekatan empiris dan eksperimental. Ia
mengandalkan observasi, pengukuran, pengujian, dan verifikasi data untuk
mendapatkan pengetahuan objektif.⁽⁴⁾ Oleh karena itu, hasil ilmu bersifat
praktis, kuantitatif, dan dapat diuji ulang dalam kondisi yang sama.
7.3.
Tujuan dan Orientasi
Pengetahuan
Filsafat bertujuan
mencari kebenaran hakiki dan makna
terdalam dari sesuatu. Ia lebih tertarik pada pertanyaan mengapa
dan apa
makna di balik ini semua.⁽⁵⁾ Tujuan ini melibatkan pencarian nilai,
kebijaksanaan, dan landasan moral dalam kehidupan. Sedangkan ilmu pengetahuan
lebih berorientasi pada pemecahan masalah praktis dan
penguasaan teknologi untuk mengontrol gejala alam atau sosial.
Misalnya, ilmu
kedokteran berusaha menyembuhkan penyakit, sedangkan filsafat bertanya: Apa
makna sakit dan sehat? Apakah hidup yang baik selalu harus bebas dari rasa
sakit?⁽⁶⁾ Dalam hal ini, filsafat menjadi refleksi atas tujuan dan
penggunaan hasil-hasil ilmu.
7.4.
Interdisipliner dan
Integratif
Filsafat memiliki
sifat interdisipliner.
Ia bisa mengkaji ilmu dari segi ontologis (apa yang diteliti oleh ilmu),
epistemologis (bagaimana ilmu memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (untuk
apa ilmu digunakan). Dengan demikian, filsafat tidak berkompetisi dengan ilmu,
tetapi justru melengkapi dan memberikan kerangka nilai
bagi ilmu.⁽⁷⁾
Seperti yang
ditegaskan oleh Jujun S. Suriasumantri, filsafat dan ilmu dapat saling
menopang: ilmu memberi filsafat data faktual, sementara filsafat memberi ilmu
arah dan dasar berpikir yang lebih fundamental.⁽⁸⁾ Oleh sebab itu, keduanya
tidak bisa dipisahkan jika manusia ingin membangun peradaban yang tidak hanya
canggih secara teknologi, tetapi juga luhur secara moral.
Catatan Kaki
[1]
Ahmad Tafsir, Ilmu Filsafat (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), 15.
[2]
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat Barat
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), 32–33.
[3]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), 25.
[4]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), 64.
[5]
Harold H. Titus dan Marilyn Smith, Living Issues in Philosophy, 9th
ed. (New York: Oxford University Press, 1974), 5.
[6]
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 34.
[7]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu
(Yogyakarta: Liberty, 2000), 17.
[8]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 70.
8.
Penutup
Pembahasan mengenai objek
kajian filsafat membawa kita pada pemahaman yang lebih mendalam
tentang hakikat filsafat sebagai disiplin ilmu yang menyeluruh, mendasar, dan
bernilai strategis bagi kehidupan manusia. Melalui pembahasan objek material,
kita memahami bahwa filsafat mengkaji segala sesuatu yang ada dan mungkin ada,
baik yang bersifat konkret maupun abstrak, fisik maupun metafisik.⁽¹⁾ Sementara
melalui objek formal, kita menyadari bahwa
cara filsafat mengkaji realitas bersifat khas—yakni dengan pendekatan rasional,
kritis, sistematis, dan reflektif.⁽²⁾
Klasifikasi kajian
filsafat ke dalam cabang-cabang seperti ontologi, epistemologi,
dan aksiologi,
semakin memperjelas keluasan dan kedalaman bidang kajiannya.⁽³⁾ Filsafat tidak
hanya membahas apa yang ada, tetapi juga bagaimana
manusia mengetahui sesuatu dan apa nilai yang terkandung dalam realitas
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat menjangkau baik aspek
teoritis maupun praktis dari kehidupan, serta menjadi fondasi bagi pengembangan
ilmu dan pembentukan karakter manusia.
Lebih jauh,
implikasi filsafat dalam kehidupan nyata sangatlah besar. Ia membantu manusia
mengembangkan pola pikir kritis, kesadaran
etis, serta pemahaman eksistensial yang dalam.
Dalam konteks sosial dan budaya, filsafat mendorong dialog, toleransi, dan
pencarian makna bersama dalam keberagaman.⁽⁴⁾ Perbandingannya dengan ilmu-ilmu
lain pun menunjukkan bahwa filsafat tidak bersaing dengan ilmu, melainkan melengkapi
dan mengarahkan
ilmu agar tetap berpijak pada nilai dan makna yang luhur.
Di tengah
kompleksitas zaman modern, tantangan global, dan krisis moral yang melanda
banyak lapisan masyarakat, kajian filsafat menjadi semakin relevan. Filsafat
mengajak kita untuk tidak hanya mengetahui sesuatu, tetapi juga memahami
dan merenungkan
secara mendalam tentang apa artinya menjadi manusia.
Dalam semangat inilah, mempelajari objek kajian filsafat bukan sekadar kegiatan
intelektual, tetapi juga bentuk pertumbuhan kepribadian dan spiritualitas yang
utuh.
Dengan demikian,
memahami objek kajian filsafat adalah memahami inti dari pencarian manusia akan
kebenaran,
kebijaksanaan, dan kehidupan yang bermakna. Sebagaimana
dikatakan Bertrand Russell, filsafat mungkin tidak memberikan jawaban pasti
seperti ilmu eksakta, tetapi ia membesarkan pikiran, memperluas cakrawala, dan
membebaskan akal dari kekakuan dogmatis.⁽⁵⁾
Catatan Kaki
[1]
Ahmad Tafsir, Ilmu Filsafat (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), 15.
[2]
K. Bertens, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,
2001), 12.
[3]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), 31–33.
[4]
Paul Ricoeur, The Conflict of Interpretations: Essays in
Hermeneutics, ed. Don Ihde (Evanston: Northwestern University
Press, 1974), 9–10.
[5]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 1912), 92–93.
Daftar Pustaka
Bakhtiar, A. (2004). Filsafat ilmu. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Bertens, K. (2001). Pengantar filsafat (ed.
revisi). Yogyakarta: Kanisius.
Bertens, K. (2001). Ringkasan sejarah filsafat
Barat. Yogyakarta: Kanisius.
Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific
revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
Magnis-Suseno, F. (1987). Etika dasar:
Masalah-masalah pokok filsafat moral (ed. revisi). Yogyakarta: Kanisius.
Magnis-Suseno, F. (1992). Filsafat sebagai ilmu.
Jakarta: Gramedia.
Ricoeur, P. (1974). The conflict of
interpretations: Essays in hermeneutics (D. Ihde, Ed.). Evanston, IL:
Northwestern University Press.
Russell, B. (1912). The problems of philosophy.
Oxford: Oxford University Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). New Haven, CT: Yale University Press.
(Original work published 1946)
Suriasumantri, J. S. (1993). Filsafat ilmu:
Sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tafsir, A. (2004). Ilmu filsafat. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
The Liang Gie. (2000). Pengantar filsafat ilmu.
Yogyakarta: Liberty.
Titus, H. H., & Smith, M. (1974). Living
issues in philosophy (9th ed.). New York, NY: Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar