Hermeneutika
Telaah Epistemologis dan Aplikatif atas Makna, Penafsiran,
dan Bahasa
Alihkan ke: Aliran Filsafat Linguistik dan Analitis.
Hermeneutika Klasik, Hermeneutika Islam, Hermeneutika Modern, Hermeneutika Kritis, Hermeneutika Eksistensial, Hermeneutika Dekonstruktif, Hermeneutika Filosofis.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
perkembangan, fondasi filosofis, serta aplikasi interdisipliner dari
hermeneutika dalam konteks filsafat bahasa. Hermeneutika awalnya berkembang
sebagai metode penafsiran teks-teks religius, namun dalam perkembangan modern
mengalami transformasi menjadi suatu filsafat pemahaman yang mendalam,
khususnya melalui kontribusi tokoh-tokoh seperti Schleiermacher, Dilthey,
Heidegger, dan Gadamer. Melalui pendekatan ontologis dan dialogis, hermeneutika
memosisikan bahasa bukan hanya sebagai medium komunikasi, tetapi sebagai
fondasi eksistensial manusia dalam memahami realitas. Artikel ini juga
mengeksplorasi kritik dari berbagai aliran seperti positivisme logis, filsafat
bahasa analitis, strukturalisme, hingga dekonstruksionisme, yang memperkaya
diskursus hermeneutika sekaligus menantangnya secara metodologis dan
konseptual. Lebih lanjut, kajian ini menunjukkan relevansi kontemporer
hermeneutika dalam era globalisasi, pluralisme budaya, dan teknologi digital,
serta aplikasinya dalam bidang teologi, sastra, hukum, sejarah, pendidikan, dan
komunikasi. Kesimpulan artikel ini menekankan bahwa hermeneutika bukan hanya
alat interpretatif, tetapi juga kerangka epistemologis dan etis yang
memfasilitasi dialog, refleksi diri, dan transformasi sosial melalui pemahaman
yang terbuka dan bertanggung jawab.
Kata Kunci: Hermeneutika; Filsafat Bahasa; Penafsiran;
Epistemologi; Ontologi; Makna; Bahasa; Tradisi; Gadamer; Heidegger; Ricoeur;
Konteks; Etika Dialogis.
PEMBAHASAN
Hermeneutika dalam Filsafat Bahasa
1.
Pendahuluan
Dalam lintasan sejarah filsafat, persoalan mengenai
makna, bahasa, dan penafsiran menjadi tema fundamental yang
menghubungkan epistemologi, ontologi, dan aksiologi. Bahasa tidak hanya
dipahami sebagai alat komunikasi, melainkan sebagai medium eksistensial yang
membentuk pemahaman manusia terhadap realitas. Dalam konteks ini, hermeneutika
hadir bukan sekadar sebagai metode penafsiran teks, melainkan sebagai suatu
kerangka filosofis untuk menelaah struktur pemahaman manusia terhadap dunia
melalui bahasa. Hermeneutika mengalami transformasi dari ranah teologis ke
ranah filosofis dan bahkan linguistik, mencerminkan kedalaman serta
fleksibilitasnya dalam merespons kompleksitas pengalaman manusia terhadap
makna.
Awalnya, hermeneutika dikembangkan dalam konteks
penafsiran teks-teks keagamaan, khususnya dalam tradisi Kristen. Namun sejak
era Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey, terjadi pergeseran besar
ketika hermeneutika dimaknai sebagai dasar epistemologis bagi ilmu-ilmu
kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Schleiermacher menekankan pentingnya
memahami struktur gramatikal dan psikologis teks, sementara Dilthey memperluas
cakupan hermeneutika untuk memahami ekspresi kehidupan manusia secara historis
dan kultural¹.
Transformasi lebih radikal terjadi pada abad ke-20
melalui pemikiran Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer, yang
mengangkat hermeneutika dari sekadar metode menjadi dasar ontologis pemahaman
manusia. Heidegger, dalam Being and Time, memperkenalkan gagasan bahwa
pemahaman (Verstehen) bukan hanya kegiatan kognitif, tetapi eksistensial—yaitu
bagaimana keberadaan manusia (Dasein) berada dalam dunia². Gadamer kemudian
mengembangkan pendekatan ini dalam karyanya Truth and Method, menegaskan
bahwa penafsiran selalu terjadi dalam horizon historis tertentu dan bahwa
dialog antartradisi merupakan fondasi dari proses pemahaman³.
Di tengah dominasi filsafat analitis yang cenderung
berorientasi pada struktur logika formal dan analisis proposisional,
hermeneutika tampil sebagai pendekatan yang lebih kontekstual, historis, dan
reflektif terhadap makna. Jika filsafat bahasa analitis seperti yang
dikembangkan oleh Wittgenstein awal, Bertrand Russell, atau Rudolf Carnap
berfokus pada klarifikasi logis dan struktur sintaksis bahasa, maka
hermeneutika menekankan kedalaman historis dan horizon subjektif dalam memahami
ujaran dan teks⁴. Dengan demikian, hermeneutika memperluas cakrawala filsafat
bahasa dari sekadar persoalan verifikasi dan kebenaran proposisional menjadi
ruang refleksi atas bagaimana makna dihasilkan, dialami, dan
ditransformasikan dalam dialog manusia dan dunia.
Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh
pluralitas budaya, interpretasi atas teks-teks—baik religius, filosofis, maupun
sosial—tidak lagi dapat dilepaskan dari perspektif hermeneutis. Masalah
relativisme makna, bias tradisi, dan dinamika antara pengarang, teks, dan
pembaca menjadikan hermeneutika sebagai kerangka yang semakin relevan untuk
menelaah bagaimana bahasa bukan hanya merepresentasikan dunia, tetapi juga
membentuknya. Oleh karena itu, studi ini bertujuan menelaah hermeneutika dalam
kaitannya dengan filsafat bahasa, dengan menekankan aspek epistemologis dan
aplikatif dari penafsiran, makna, dan komunikasi.
Footnotes
[1]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and
Criticism, ed. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
22–30; Wilhelm Dilthey, Selected Works: Volume IV: Hermeneutics and the
Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton:
Princeton University Press, 1996), 110–115.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
182–195.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 271–290.
[4]
Michael N. Forster, After Herder: Philosophy of
Language in the German Tradition (Oxford: Oxford University Press, 2010),
95–100.
2.
Definisi
dan Ruang Lingkup Hermeneutika
Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermēneuein,
yang berarti “menafsirkan” atau “menjelaskan,” dan berakar pada nama dewa
Hermes, yang dalam mitologi Yunani bertugas menyampaikan pesan dari para dewa
kepada manusia. Etimologi ini mencerminkan bahwa hermeneutika berkaitan erat
dengan proses penerjemahan atau pengalihan makna dari satu tataran pemahaman ke
tataran lainnya, sering kali dalam konteks teks, simbol, atau ujaran yang
memiliki kompleksitas makna yang tidak langsung⁽¹⁾.
Secara umum, hermeneutika dapat didefinisikan
sebagai teori dan praktik penafsiran, terutama terhadap teks-teks yang
memuat dimensi historis, budaya, dan simbolis. Namun dalam konteks filosofis,
hermeneutika tidak hanya merujuk pada teknik penafsiran, melainkan berkembang menjadi
suatu kerangka epistemologis dan ontologis untuk memahami bagaimana
makna dihasilkan, diartikulasikan, dan ditransmisikan melalui bahasa dan
interaksi manusia.
Dalam konteks filsafat bahasa, hermeneutika
berkembang dari tiga pendekatan besar:
1)
Hermeneutika sebagai metode, yang berorientasi pada aturan dan teknik memahami teks secara akurat,
sebagaimana dikembangkan oleh Schleiermacher dan Dilthey.
2)
Hermeneutika sebagai epistemologi pemahaman, yang memperluas ruang lingkupnya ke dalam bidang
humaniora secara umum.
3)
Hermeneutika sebagai filsafat, yang dirumuskan oleh Heidegger dan Gadamer sebagai refleksi atas
struktur keberadaan dan pengalaman manusia yang secara inheren bersifat
interpretatif⁽²⁾.
Menurut Paul Ricoeur, hermeneutika adalah “teori
tentang operasi pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi teks”⁽³⁾.
Dalam kerangka ini, teks dipahami sebagai ruang artikulasi makna yang melampaui
intensi pengarang maupun pengalaman langsung pembaca. Ricoeur menegaskan
pentingnya “jarak” antara teks dan realitas empiris sebagai kondisi
produktif untuk penafsiran, dan bahwa pemahaman adalah hasil dari dialektika
antara eksplikasi dan apropriasi⁽⁴⁾.
Sementara itu, Hans-Georg Gadamer menolak anggapan
bahwa penafsiran bersifat mekanistik atau netral. Baginya, semua pemahaman
adalah termediasi oleh prapemahaman (Vorverständnis) yang
dibentuk oleh sejarah, bahasa, dan tradisi. Ia mengembangkan konsep “fusi
cakrawala” (Horizontverschmelzung), yakni pertemuan antara cakrawala
makna pembaca dan cakrawala teks atau tradisi yang ditafsirkan⁽⁵⁾. Oleh karena
itu, hermeneutika menolak pandangan objektivistik dan mengusung pendekatan
dialogis dalam membangun makna.
Ruang lingkup hermeneutika dalam filsafat bahasa
sangat luas, meliputi:
·
Penafsiran teks tertulis dan lisan, termasuk sastra, hukum, kitab suci, dan wacana budaya.
·
Analisis makna simbolis dan naratif, sebagai medium ekspresi kolektif dan individu.
·
Pemahaman historis atas bahasa dan tradisi, dalam kaitannya dengan horizon-horizon pemaknaan
yang terus berubah.
·
Refleksi filosofis atas komunikasi, pemahaman, dan relasi antara bahasa
dan realitas⁽⁶⁾.
Dengan cakupan ini, hermeneutika menjadi antitesis
terhadap reduksionisme linguistik yang hanya memusatkan perhatian pada struktur
sintaksis atau fungsi komunikatif bahasa. Hermeneutika berupaya mengungkap dimensi
eksistensial dan historis dari makna, yakni bagaimana manusia menghayati
dunia melalui bahasa yang hidup dalam konteks sosial dan historis.
Footnotes
[1]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation
Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston:
Northwestern University Press, 1969), 13–15.
[2]
Jean Grondin, Introduction to Philosophical
Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press,
1994), 18–23.
[3]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse
and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press,
1976), 3.
[4]
Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in
Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston:
Northwestern University Press, 1991), 106–114.
[5]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 300–307.
[6]
Nicholas Davey, Unquiet Understanding: Gadamer's
Philosophical Hermeneutics (Albany: State University of New York Press,
2006), 45–53.
3.
Akar
Historis Hermeneutika
Hermeneutika sebagai
disiplin intelektual memiliki akar sejarah yang sangat panjang dan kompleks,
yang berkembang dari praktik-praktik penafsiran dalam konteks religius dan
filosofis kuno, hingga menjadi fondasi penting dalam filsafat bahasa modern.
Evolusinya mencerminkan perubahan pemahaman manusia terhadap bahasa, makna, dan
hakikat pengetahuan. Dengan demikian, memahami akar historis hermeneutika
adalah penting untuk melacak transisi dari metode interpretasi menuju kerangka
filosofis yang lebih komprehensif.
3.1.
Tradisi Yunani Kuno: Dari Mitos ke Logos
Dalam tradisi Yunani
kuno, hermeneutika tidak dipahami secara sistematis sebagaimana dalam pemikiran
modern, namun prinsip-prinsipnya sudah tampak dalam usaha menafsirkan mitos,
nubuat, dan teks-teks puitik. Hermes, sebagai dewa pembawa pesan dalam mitologi
Yunani, sering dianggap sebagai simbol pertama dari aktivitas hermeneutis
karena perannya dalam menjembatani komunikasi antara dunia ilahi dan
manusia⁽¹⁾.
Plato, meskipun
lebih kritis terhadap puisi dan mitos, memperkenalkan konsep dianoia
(pemikiran rasional) dan logos (kata/diskursus) dalam
memahami realitas, yang kemudian menjadi dasar bagi penalaran interpretatif.
Sementara itu, Aristoteles dalam Peri Hermeneias (On
Interpretation) membahas hubungan antara kata, pikiran, dan
realitas—sebuah kontribusi awal terhadap problematika makna dalam konteks
semantik dan logika⁽²⁾.
3.2.
Hermeneutika Teologis: Kitab Suci dan Otoritas
Teks
Pada masa patristik
dan Abad Pertengahan, hermeneutika berkembang pesat dalam kerangka penafsiran
teks-teks keagamaan, khususnya Alkitab. Tokoh-tokoh seperti Origenes
dan Augustinus
memperkenalkan model penafsiran yang mencakup dimensi literal (historia),
alegoris (allegoria),
moral (tropologia),
dan eskatologis (anagogia)⁽³⁾. Penafsiran bukan
hanya sekadar membaca teks, tetapi juga mengungkap makna spiritual yang
tersembunyi di balik kata-kata tertulis.
Pada Abad
Pertengahan, figur seperti Thomas Aquinas menekankan
pentingnya harmoni antara rasio dan wahyu dalam memahami teks suci. Namun,
perubahan besar terjadi pada masa Reformasi, ketika Martin
Luther dan John Calvin menekankan perlunya
kembali ke makna literal dan historis Alkitab, serta memberdayakan umat untuk
menafsirkan teks secara langsung tanpa otoritas institusional yang kaku⁽⁴⁾.
Perkembangan ini membuka jalan bagi pendekatan hermeneutika yang lebih otonom
dan rasional.
3.3.
Humanisme Renaisans dan Kritik Filologis
Pada masa Renaisans,
hermeneutika mendapatkan penguatan melalui gerakan humanisme
filologis. Tokoh seperti Erasmus dari Rotterdam
mendorong studi kritis terhadap teks-teks klasik dan kitab suci melalui
pendekatan linguistik, historis, dan kontekstual. Semangat ad fontes (“kembali ke sumber”)
mendorong interpretasi yang berbasis pada pemahaman konteks orisinal teks⁽⁵⁾.
Ini memperlihatkan pergeseran penting dari penafsiran alegoris ke penafsiran
historis-kritis, yang kemudian menjadi fondasi hermeneutika modern.
3.4.
Menuju Hermeneutika Modern: Sistematisasi dan
Rasionalisasi
Akar historis hermeneutika
yang semula bercorak teologis dan filologis mulai mengalami sistematisasi pada
era modern awal. Pergeseran dari iman menuju rasionalitas dalam era Pencerahan
menempatkan pemahaman sebagai bagian dari proses kognitif dan ilmiah.
Hermeneutika kemudian mulai dilepaskan dari dominasi teologi dan menjadi bagian
dari refleksi filsafat tentang pemahaman manusia atas makna, sejarah, dan
bahasa.
Tokoh seperti Friedrich
Ast dan Friedrich Schleiermacher
menjadi pelopor pendekatan hermeneutika sebagai suatu metodologi
universal untuk semua teks, yang menekankan pentingnya memahami
keseluruhan melalui bagian, dan bagian melalui keseluruhan—a yang dikenal
sebagai lingkaran
hermeneutis (hermeneutic circle)⁽⁶⁾. Schleiermacher juga membedakan
antara penafsiran gramatikal dan psikologis, meletakkan fondasi bahwa
penafsiran bukan hanya urusan struktur bahasa, tetapi juga intuisi terhadap
maksud pengarang.
Footnotes
[1]
Jean Grondin, Introduction to
Philosophical Hermeneutics, trans.
Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 20–21.
[2]
Aristotle, On Interpretation, trans. E. M. Edghill, in The Works of Aristotle,
ed. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1908), 16a–25b.
[3]
Henri de Lubac, Medieval Exegesis: The
Four Senses of Scripture, trans.
Mark Sebanc (Grand Rapids: Eerdmans, 1998), 101–112.
[4]
Anthony C. Thiselton, The
Two Horizons: New Testament Hermeneutics and Philosophical Description (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), 23–31.
[5]
Gerald L. Bruns, Hermeneutics Ancient
and Modern (New Haven: Yale
University Press, 1992), 67–73.
[6]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics
and Criticism, ed. Andrew Bowie
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 85–93.
4.
Perkembangan
Hermeneutika Modern
Hermeneutika modern
mengalami transformasi besar dari sekadar teknik menafsirkan teks menjadi kerangka
filsafat yang berfokus pada kondisi-kondisi fundamental pemahaman
manusia. Perkembangan ini mencerminkan pergeseran paradigma dari pendekatan
metodologis menuju pendekatan ontologis dan linguistik, yang tidak hanya
berkutat pada bagaimana memahami teks, tetapi
juga apa arti
pemahaman itu sendiri sebagai pengalaman manusia yang eksistensial.
Tokoh-tokoh seperti Friedrich Schleiermacher, Wilhelm
Dilthey, Martin Heidegger, dan Hans-Georg
Gadamer memainkan peran sentral dalam perumusan dan pematangan
gagasan hermeneutika modern.
4.1.
Schleiermacher dan Fondasi Hermeneutika Umum
Friedrich Schleiermacher
(1768–1834) sering dianggap sebagai pendiri hermeneutika modern karena usahanya
untuk membangun hermeneutika sebagai disiplin universal
yang tidak terbatas pada teks-teks keagamaan atau hukum, melainkan mencakup
seluruh komunikasi manusia. Ia memperkenalkan dua pendekatan utama: penafsiran
gramatikal, yang berfokus pada struktur bahasa, dan penafsiran
psikologis, yang mencoba memahami maksud batin pengarang⁽¹⁾.
Dalam pandangan
Schleiermacher, proses penafsiran bersifat sirkular, yakni pemahaman bagian
tergantung pada keseluruhan, dan sebaliknya—sebuah prinsip yang dikenal sebagai
lingkaran
hermeneutis (hermeneutischer Zirkel). Ia juga
menekankan bahwa pemahaman sejati bukan sekadar rekonstruksi teknis, tetapi
juga suatu “penciptaan kembali” (Nachbilden) makna dalam horizon
pembaca⁽²⁾. Kontribusinya menandai peralihan hermeneutika dari praktik
penafsiran sektoral menuju teori pemahaman intersubjektif.
4.2.
Dilthey dan Hermeneutika sebagai Dasar Ilmu
Humaniora
Wilhelm Dilthey
(1833–1911) melanjutkan gagasan Schleiermacher dan menempatkan hermeneutika
dalam kerangka epistemologi ilmu-ilmu kemanusiaan
(Geisteswissenschaften).
Ia membedakan antara eksplanasi dalam ilmu alam dan pemahaman
(Verstehen)
dalam ilmu sosial dan sejarah. Bagi Dilthey, pengalaman manusia harus
ditafsirkan dalam konteks historisnya, karena makna selalu tertanam dalam
struktur kehidupan nyata yang berkembang secara temporal⁽³⁾.
Hermeneutika menurut
Dilthey menjadi sarana untuk memahami ekspresi kehidupan (seperti teks,
tindakan, dan institusi) secara historis, menjadikannya sebagai upaya
rekonstruksi pengalaman batin yang telah diobjektifikasi. Ia percaya bahwa
struktur makna tidak bisa dilepaskan dari struktur sejarah manusia, sehingga
pemahaman bersifat dinamis dan temporal⁽⁴⁾.
4.3.
Heidegger dan Hermeneutika Ontologis
Transformasi besar
terjadi dalam pemikiran Martin Heidegger (1889–1976),
yang menggeser fokus hermeneutika dari epistemologi ke ontologi,
yaitu apa
artinya “menjadi” dan “memahami” sebagai struktur eksistensial manusia.
Dalam karya monumentalnya, Sein und Zeit (Being
and Time), Heidegger menyatakan bahwa pemahaman bukanlah satu
tindakan dari banyak tindakan manusia, melainkan dasar keberadaan manusia itu
sendiri sebagai Dasein (makhluk yang
"ada-di-dalam-dunia")⁽⁵⁾.
Heidegger
memperkenalkan gagasan bahwa manusia selalu sudah berada dalam dunia yang dapat
dipahami, dan bahwa pemahaman adalah bentuk dari keterlemparan
manusia ke dalam horizon makna yang tidak pernah netral atau bebas dari
prapemahaman (Vorverständnis). Hermeneutika,
dalam pengertian ini, bukan lagi metode, tetapi proses pembukaan makna dalam
struktur keberadaan manusia⁽⁶⁾.
4.4.
Gadamer dan Hermeneutika Filosofis
Hans-Georg Gadamer
(1900–2002), murid Heidegger, memperluas dan memperhalus hermeneutika ontologis
melalui karyanya yang sangat berpengaruh, Wahrheit und Methode (Truth
and Method). Gadamer mengembangkan konsep “fusi
cakrawala” (Horizontverschmelzung), yang
menunjukkan bahwa pemahaman adalah hasil dari dialog antara horizon makna
pembaca dan teks, yang keduanya terbentuk secara historis dan kultural⁽⁷⁾.
Bagi Gadamer,
pemahaman tidak pernah bebas dari prapemahaman atau tradisi; sebaliknya, ia
adalah dialog yang terbuka dalam sejarah yang terus hidup. Oleh karena itu,
Gadamer menolak pendekatan objektivistik dan metodologis yang mengandaikan
jarak netral antara penafsir dan objek. Ia menegaskan bahwa kebenaran dalam
penafsiran bersifat partisipatif dan dialogis, bukan korespondensial
atau representasional⁽⁸⁾.
Footnotes
[1]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics
and Criticism, ed. Andrew Bowie
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 5–15.
[2]
Kurt Mueller-Vollmer, The
Hermeneutics Reader: Texts of the German Tradition from the Enlightenment to
the Present (New York: Continuum,
1985), 72–78.
[3]
Wilhelm Dilthey, Selected Works: Volume
IV: Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton
University Press, 1996), 106–112.
[4]
Eric Dunning, The Sociology of Sport (London: Routledge, 2003), 53–55.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 182–190.
[6]
Charles Guignon, Heidegger and the
Problem of Knowledge (Indianapolis:
Hackett, 1983), 40–48.
[7]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 306–316.
[8]
Nicholas Davey, Unquiet Understanding:
Gadamer's Philosophical Hermeneutics
(Albany: State University of New York Press, 2006), 88–94.
5.
Hermeneutika
Filosofis: Heidegger dan Gadamer
Perkembangan
hermeneutika modern mencapai titik balik fundamental dalam pemikiran Martin
Heidegger dan Hans-Georg Gadamer, yang secara
radikal mengubah arah hermeneutika dari metodologi interpretatif menjadi filsafat
pemahaman yang bersifat ontologis dan eksistensial. Mereka
melepaskan hermeneutika dari batasan epistemologis dan mengorientasikannya pada
persoalan dasar keberadaan manusia dalam dunia. Pendekatan ini kemudian dikenal
sebagai hermeneutika filosofis, yang
tidak lagi sekadar membahas bagaimana manusia memahami, tetapi mengapa dan
dalam kondisi apa manusia bisa memahami.
5.1.
Martin Heidegger: Pemahaman sebagai Struktur
Keberadaan
Martin Heidegger
(1889–1976) memperkenalkan hermeneutika sebagai dimensi ontologis dalam Sein und
Zeit (Being and Time), di mana ia
menempatkan pemahaman (Verstehen) sebagai struktur
mendasar eksistensi manusia (Dasein). Bagi Heidegger, manusia
bukan sekadar subjek yang mengenal objek, tetapi makhluk yang
“ada-di-dalam-dunia” (In-der-Welt-sein), dan selalu
terlibat secara eksistensial dalam dunia yang dapat dimaknai⁽¹⁾.
Pemahaman dalam
pengertian ini bukanlah hasil dari proses kognitif yang netral, melainkan cara
berada manusia dalam dunia yang sudah selalu penuh makna.
Karena manusia tidak pernah menghadapi dunia secara kosong, melainkan dengan
horizon pengalaman, bahasa, dan sejarah, maka pemahaman selalu bersifat termediated
oleh prahorizon
atau prafaham
(Vorverständnis)⁽²⁾.
Heidegger juga
menegaskan bahwa seluruh upaya manusia untuk memahami sesuatu terletak dalam lingkaran
hermeneutis: manusia hanya bisa memahami bagian tertentu dari
dunia berdasarkan keseluruhan horizon yang ia miliki, namun pemahaman atas
keseluruhan itu sendiri dibentuk dari bagian-bagian pengalaman yang ia
pahami⁽³⁾. Dalam kerangka ini, bahasa (Sprache) menjadi bukan hanya alat
komunikasi, tetapi rumah bagi keberadaan (“die
Sprache ist das Haus des Seins”)—di mana makna dan eksistensi saling
menyusun satu sama lain⁽⁴⁾.
5.2.
Hans-Georg Gadamer: Tradisi, Dialog, dan Fusi
Cakrawala
Hans-Georg Gadamer
(1900–2002), murid sekaligus penerus Heidegger, mengembangkan lebih lanjut
kerangka hermeneutika filosofis dalam karya monumentalnya Wahrheit
und Methode (Truth and Method). Gadamer menolak
pandangan bahwa pemahaman dapat dicapai melalui metode ilmiah yang objektif,
karena menurutnya, pemahaman selalu terjadi dalam konteks historis
dan kultural yang tidak dapat ditanggalkan oleh penafsir⁽⁵⁾.
Salah satu konsep
kunci dari Gadamer adalah “fusi cakrawala” (Horizontverschmelzung),
yaitu pertemuan antara horizon makna dari teks yang ditafsirkan dan horizon
historis dari pembaca. Pemahaman yang sejati bukan sekadar menangkap maksud
asli pengarang, tetapi melibatkan dialog antartradisi
dan kesediaan untuk membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan baru dari
makna⁽⁶⁾.
Gadamer juga
menekankan peran tradisi (Überlieferung)
dalam proses penafsiran. Tradisi tidak dilihat sebagai beban historis yang harus
diatasi, tetapi sebagai medium produktif yang membentuk horizon pemahaman kita.
Oleh karena itu, pemahaman adalah peristiwa historis-linguistik,
di mana makna dibentuk melalui keterlibatan aktif dengan teks dan dunia
sosial⁽⁷⁾.
Bagi Gadamer, bahasa
adalah medium pemahaman yang paling hakiki. Dalam dialog,
bahasa tidak sekadar menjadi alat, tetapi menjadi tempat di mana dunia terbuka
dan dipahami. Dalam hal ini, hermeneutika filosofis menolak pemisahan antara
subjek dan objek, antara pengamat dan yang diamati. Penafsir selalu sudah
terlibat (involviert)
dalam apa yang ia pahami⁽⁸⁾.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 182–195.
[2]
Charles Guignon, Heidegger and the
Problem of Knowledge (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1983), 42–45.
[3]
Richard E. Palmer, Hermeneutics:
Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969),
132–137.
[4]
Martin Heidegger, “Letter on Humanism,” in Basic Writings, ed.
David Farrell Krell (New York: HarperCollins, 1993), 217.
[5]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 271–290.
[6]
Jean Grondin, Introduction to
Philosophical Hermeneutics, trans.
Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 122–130.
[7]
Nicholas Davey, Unquiet Understanding:
Gadamer's Philosophical Hermeneutics
(Albany: State University of New York Press, 2006), 56–62.
[8]
Gadamer, Truth and Method, 450–460.
6.
Hermeneutika
Kritis dan Pascamodern
Setelah perkembangan
hermeneutika filosofis oleh Heidegger dan Gadamer yang menekankan aspek
ontologis dan dialogis dari pemahaman, muncul arus pemikiran baru yang mencoba mengkritisi
keterbatasan hermeneutika tradisional, khususnya dalam hal
netralitas, kekuasaan, dan struktur ideologis di balik praktik penafsiran. Dua
arus besar muncul dari fase ini: hermeneutika kritis, yang
dipelopori oleh Jürgen Habermas dan Karl-Otto Apel,
serta hermeneutika
pascamodern, yang dikembangkan oleh tokoh seperti Paul
Ricoeur dan Jacques Derrida.
6.1.
Hermeneutika Kritis: Rasionalitas Emansipatoris
dan Ideologi
Hermeneutika kritis
berangkat dari kesadaran bahwa penafsiran tidak pernah berlangsung dalam ruang
hampa sosial dan bebas nilai. Jürgen Habermas, seorang
pemikir utama dari Mazhab Frankfurt generasi kedua, mengkritik Gadamer karena
terlalu menekankan kontinuitas tradisi dan mengabaikan dimensi konflik sosial serta
struktur kekuasaan yang menyusup dalam bahasa dan pemahaman⁽¹⁾.
Dalam pandangan
Habermas, proses pemahaman harus dilandasi oleh rasionalitas komunikatif yang
menjamin partisipasi simetris dan bebas dominasi. Bahasa bukan hanya medium
untuk membuka makna, tetapi juga medan perjuangan ideologis, di mana
kepentingan sosial dan struktur dominasi bisa termanifestasi⁽²⁾. Oleh karena
itu, hermeneutika harus dilengkapi dengan kritik ideologi agar mampu
membebaskan subjek dari distorsi komunikasi.
Habermas mengusulkan
bahwa hermeneutika tidak cukup hanya bersandar pada “pengalaman sejarah” atau
“fusi cakrawala,” melainkan harus melibatkan kapasitas reflektif untuk
mengidentifikasi distorsi sistemik dalam bahasa, hukum, dan institusi⁽³⁾.
Dengan demikian, hermeneutika kritis menggabungkan dimensi pemahaman dengan tujuan
emansipatoris, yaitu membebaskan manusia dari struktur yang
menindas melalui pencerahan reflektif dan komunikasi rasional.
6.2.
Paul Ricoeur: Antara Eksplanasi dan Pemahaman
Paul
Ricoeur menempuh jalan sintesis antara hermeneutika filosofis
dan pendekatan kritis, dengan mengembangkan apa yang disebut sebagai hermeneutika
ganda—yakni integrasi antara penjelasan (explanation)
dan pemahaman (understanding). Dalam bukunya Interpretation
Theory, Ricoeur menekankan pentingnya memahami teks sebagai medan
konflik antara makna literal dan makna simbolik⁽⁴⁾.
Ricoeur berargumen
bahwa penafsiran tidak dapat dilepaskan dari struktur simbolik yang
membentuk teks, dan bahwa pemahaman sejati terjadi ketika penafsir mampu
“menjauhkan diri” dari niat pengarang dan membuka horizon makna yang baru. Ia
menyebut proses ini sebagai “jarak produktif”, yaitu
kondisi di mana pembaca dapat menegosiasikan makna dengan otonomi, tanpa
terjebak dalam intensi subjektif atau beban tradisi⁽⁵⁾.
Ricoeur juga
mengembangkan hermeneutika naratif, yang
menekankan bahwa identitas manusia dibentuk melalui proses penafsiran narasi
hidup. Dalam karya Time and Narrative, ia menunjukkan
bagaimana waktu, tindakan, dan bahasa saling berkelindan dalam struktur naratif
yang membentuk pengalaman manusia⁽⁶⁾. Hermeneutika Ricoeur membuka jalan bagi
pemahaman teks sebagai ruang negosiasi makna, bukan sebagai representasi
tunggal atas kebenaran.
6.3.
Jacques Derrida dan Dekonstruksi: Hermeneutika
Pascamodern
Dalam ranah hermeneutika
pascamodern, Jacques Derrida mengambil
pendekatan radikal terhadap bahasa dan makna. Dalam konsep dekonstruksi,
Derrida menolak asumsi bahwa makna bersifat stabil, transparan, dan dapat
direkonstruksi secara penuh oleh subjek rasional. Sebaliknya, ia menyatakan
bahwa makna
selalu tertunda dan terpecah dalam jaringan tanda yang tak pernah selesai,
sebuah prinsip yang ia sebut sebagai différance⁽⁷⁾.
Bagi Derrida, teks
tidak memiliki “pusat makna” yang tetap. Penafsiran selalu melibatkan
permainan antara kehadiran dan ketidakhadiran, antara yang tersurat dan yang
tersirat. Oleh karena itu, tugas penafsir bukan untuk menemukan makna asli,
melainkan untuk membongkar struktur oposisi biner
yang mendasari teks, seperti antara rasional/irasional, laki-laki/perempuan,
atau barat/timur⁽⁸⁾.
Hermeneutika
pascamodern ini menantang seluruh fondasi pemikiran metafisik Barat yang
berorientasi pada keutuhan, kehadiran, dan identitas. Dalam kerangka ini,
penafsiran tidak lagi bertujuan untuk mencapai kebenaran yang objektif, tetapi
untuk mengungkap
kerentanan, ambiguitas, dan ketegangan makna yang tersembunyi
dalam teks.
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, The Philosophical
Discourse of Modernity: Twelve Lectures,
trans. Frederick Lawrence (Cambridge: MIT Press, 1987), 307–312.
[2]
Jürgen Habermas, Communication and the
Evolution of Society, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1979), 1–20.
[3]
Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics,
Tradition and Reason (Cambridge:
Polity Press, 1987), 131–138.
[4]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning
(Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 29–45.
[5]
Paul Ricoeur, From Text to Action:
Essays in Hermeneutics II, trans.
Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press,
1991), 131–138.
[6]
Paul Ricoeur, Time and Narrative,
Vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin
and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 52–87.
[7]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1976), 61–73.
[8]
Christopher Norris, Deconstruction:
Theory and Practice (London:
Routledge, 1991), 19–31.
7.
Konsep
Kunci dalam Hermeneutika
Hermeneutika sebagai
teori dan filsafat pemahaman melibatkan sejumlah konsep kunci yang membentuk
fondasi analitis dan ontologisnya. Konsep-konsep ini tidak hanya menggambarkan
bagaimana penafsiran berlangsung, tetapi juga menjelaskan struktur dasar
pemahaman manusia dalam konteks historis, linguistik, dan eksistensial.
Beberapa konsep penting yang harus dikaji secara mendalam meliputi makna,
pengarang,
teks,
pembaca,
lingkaran
hermeneutis, prahorizon, dan fusi
cakrawala.
7.1.
Makna (Meaning)
Dalam hermeneutika, makna
tidak dipandang sebagai entitas tetap atau esensial yang dapat dipindahkan
secara langsung dari pengarang ke pembaca, melainkan sebagai produk
dialogis antara teks dan pembacanya. Paul Ricoeur membedakan
antara sense
(makna linguistik internal dari teks) dan reference (dunia yang ditunjuk atau
ditampilkan oleh teks)⁽¹⁾. Dalam konteks ini, makna bersifat terbuka dan selalu
terbentuk melalui proses interpretatif yang melibatkan horizon historis dan
kultural.
7.2.
Pengarang (Author) dan Intensi
Dalam hermeneutika
klasik seperti Schleiermacher, terdapat penekanan kuat pada upaya “memahami
pengarang lebih baik daripada pengarang memahami dirinya sendiri”⁽²⁾. Namun,
dalam hermeneutika filosofis dan pascamodern, intensi pengarang tidak lagi
dianggap sebagai sumber otoritatif makna. Gadamer menegaskan bahwa makna tidak
melekat pada niat pengarang, melainkan muncul dalam ruang dialog antara pembaca
dan tradisi yang menghidupi teks⁽³⁾.
7.3.
Teks (Text)
Teks dalam
hermeneutika bukanlah kumpulan tanda linguistik semata, tetapi struktur makna
yang terbuka terhadap banyak kemungkinan interpretasi. Ricoeur menyatakan bahwa
teks
menjadi otonom begitu dilepaskan dari intensi pengarang, dan
dengan demikian menjadi medan interaksi interpretatif antara pembaca dan dunia
simbolik⁽⁴⁾. Teks membentuk ruang interpretasi, di mana makna
tidak hanya diungkap, tetapi juga diciptakan.
7.4.
Pembaca (Reader)
Hermeneutika
menempatkan pembaca sebagai aktor aktif
dalam pembentukan makna. Gadamer menyatakan bahwa pembaca tidak hanya menerima
makna, tetapi berkontribusi terhadap makna melalui horizon
pengalaman, bahasa, dan tradisi⁽⁵⁾. Pandangan ini sejalan
dengan pendekatan pascastrukturalis yang melihat makna sebagai hasil konstruksi
pembaca dalam konteks historis dan ideologis tertentu.
7.5.
Lingkaran Hermeneutis (Hermeneutic Circle)
Konsep lingkaran
hermeneutis merupakan prinsip fundamental dalam hermeneutika, yang
menyatakan bahwa pemahaman terhadap bagian dari teks tergantung pada pemahaman
terhadap keseluruhan, dan sebaliknya. Schleiermacher menyebutnya sebagai proses
timbal balik antara bagian dan keseluruhan dalam struktur linguistik dan
psikologis⁽⁶⁾. Heidegger dan Gadamer memperluasnya menjadi struktur
ontologis pemahaman, di mana seluruh pengalaman manusia
terstruktur secara sirkular melalui prapemahaman dan keterlibatan
eksistensial⁽⁷⁾.
7.6.
Prapemahaman (Vorverständnis) dan Horizon
Pemahaman tidak
pernah bebas nilai atau netral; ia selalu dibentuk oleh prahorizon
pengalaman, latar belakang budaya, bahasa, dan sejarah
penafsir. Gadamer menegaskan bahwa setiap pemahaman adalah aplikasi
dari tradisi dan prakonsepsi tertentu⁽⁸⁾. Prapemahaman ini bukan penghalang,
tetapi pra-syarat
produktif untuk membuka makna.
7.7.
Fusi Cakrawala (Fusion of Horizons)
Konsep Horizontverschmelzung
atau fusi cakrawala, yang diperkenalkan oleh Gadamer, merupakan deskripsi
tentang bagaimana pemahaman sejati tercapai melalui pertemuan
antara cakrawala makna pembaca dan teks. Fusi ini bukan sekadar
sintesis, melainkan transformasi timbal balik di mana kedua horizon mengalami
perluasan melalui dialog⁽⁹⁾. Dalam fusi ini, kebenaran tidak dicapai melalui
objektivitas ilmiah, melainkan melalui keterlibatan historis dan dialogis
yang terbuka terhadap alteritas.
Footnotes
[1]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning
(Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 13–15.
[2]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics
and Criticism, ed. Andrew Bowie
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 92.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 291–295.
[4]
Paul Ricoeur, From Text to Action:
Essays in Hermeneutics II, trans.
Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press,
1991), 105–110.
[5]
Jean Grondin, Introduction to
Philosophical Hermeneutics, trans.
Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 122–127.
[6]
Richard E. Palmer, Hermeneutics:
Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969),
87–89.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 194.
[8]
Gadamer, Truth and Method, 306–310.
[9]
Nicholas Davey, Unquiet Understanding:
Gadamer's Philosophical Hermeneutics
(Albany: State University of New York Press, 2006), 62–69.
8.
Hermeneutika
dalam Konteks Filsafat Bahasa dan Linguistik
Hermeneutika
memainkan peran penting dalam perkembangan filsafat bahasa dengan menghadirkan
pendekatan yang menekankan dimensi historis, kontekstual, dan dialogis
dari makna. Berbeda dengan pendekatan filsafat bahasa analitis yang cenderung
berfokus pada struktur logis proposisi, sintaksis, dan teori referensi,
hermeneutika memusatkan perhatian pada pengalaman manusia dalam memahami bahasa
sebagai fenomena hidup, bukan sekadar sistem tanda. Dengan
demikian, hermeneutika tidak hanya memperluas cakupan filsafat bahasa tetapi
juga menantangnya untuk mempertimbangkan dimensi eksistensial dan kultural dari
komunikasi.
8.1.
Kritik terhadap Filsafat Bahasa Analitis
Filsafat bahasa
analitis, sebagaimana terlihat dalam pemikiran tokoh seperti Frege, Russell,
dan awal Ludwig Wittgenstein, menekankan kejelasan makna dan struktur formal bahasa.
Makna dianggap identik dengan rujukan (referensialisme), dan kesalahan dalam
filsafat sering dikaitkan dengan penyalahgunaan bahasa⁽¹⁾. Meskipun pendekatan
ini berhasil dalam menjernihkan ekspresi filosofis, ia dikritik karena mengabaikan
dimensi historis dan konteks pemahaman.
Hermeneutika,
terutama sejak Heidegger dan Gadamer, mengajukan keberatan terhadap pendekatan
yang memisahkan makna dari pengalaman eksistensial. Heidegger berargumen bahwa
makna tidak dapat direduksi menjadi fungsi referensial belaka, sebab bahasa
adalah cara manusia “ada di dunia”⁽²⁾. Dengan kata lain, makna tidak
hanya tentang
sesuatu, tetapi mengungkapkan keterlibatan manusia
dengan dunia dalam konteks yang konkret.
8.2.
Bahasa sebagai Medium Pemahaman
Gagasan penting dari
hermeneutika adalah bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan
medium di mana pemahaman itu sendiri terjadi. Gadamer
menyatakan bahwa bahasa adalah medium historis dari pengalaman;
dalam setiap percakapan, yang dipahami bukan semata pernyataan logis, tetapi
horizon makna yang lebih luas⁽³⁾. Oleh sebab itu, dalam kerangka hermeneutis,
komunikasi bukan sekadar pertukaran informasi, melainkan peristiwa
pemahaman.
Hermeneutika juga
mengakui peran historis dan tradisional dari bahasa.
Tidak ada pemahaman yang bebas dari horizon historis atau prapemahaman
linguistik. Bahkan makna kata-kata yang digunakan dalam wacana modern terikat
pada konteks historis tertentu. Di sinilah hermeneutika bersentuhan dengan linguistik
historis dan semantik kontekstual, yang juga menyoroti
pergeseran makna dalam perkembangan bahasa⁽⁴⁾.
8.3.
Perbandingan dengan Filsafat Bahasa Belakangan:
Wittgenstein dan Austin
Menariknya, dalam
perkembangan filsafat bahasa selanjutnya, khususnya dalam pemikiran Wittgenstein
akhir dan J. L. Austin, terjadi
pergeseran yang mendekatkan filsafat bahasa analitis kepada sensibilitas
hermeneutik. Wittgenstein dalam Philosophical Investigations
menolak esensialisme makna dan menekankan bahwa makna adalah penggunaan dalam konteks kehidupan
bahasa (meaning is use)⁽⁵⁾. Ini bersesuaian
dengan keyakinan hermeneutik bahwa makna bergantung pada praktik sosial dan
horizon pemahaman.
Demikian pula, teori
tindak tutur (speech act theory) dari Austin dan Searle
menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya menyatakan fakta, tetapi juga melakukan
sesuatu (misalnya, berjanji, memerintah, bertanya). Konsepsi ini
membuka ruang untuk melihat bahasa sebagai tindakan yang terkontekstualisasi secara sosial
dan budaya, sebuah posisi yang bisa dijembatani oleh kerangka
hermeneutis⁽⁶⁾.
8.4.
Kontribusi Hermeneutika bagi Linguistik dan
Studi Bahasa Kontemporer
Dalam lingkup
linguistik, hermeneutika memberi kontribusi terhadap analisis
wacana, sosiolinguistik, dan linguistik
kognitif, yang menekankan bahwa makna tidak semata produk
sintaksis atau semantik formal, melainkan juga hasil dari proses interpretatif dalam konteks
sosial. Pendekatan hermeneutik mendorong peneliti bahasa untuk
mempertimbangkan struktur pemaknaan yang lebih luas, termasuk identitas budaya,
kekuasaan, dan ideologi.
Selain itu,
hermeneutika memberikan dasar bagi pendekatan interpretatif dalam pragmatik
dan teori
komunikasi, di mana makna bergantung pada interaksi antara
pembicara, pendengar, dan konteks percakapan. Dalam era digital dan
globalisasi, ketika komunikasi lintas budaya menjadi semakin kompleks,
pendekatan hermeneutika menjadi semakin relevan untuk menafsirkan makna yang
cair dan berlapis-lapis.
Footnotes
[1]
Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, eds. Peter Geach and Max Black (Oxford: Blackwell,
1980), 56–78.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 210–225.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 384–392.
[4]
Nicholas Davey, Unquiet Understanding:
Gadamer’s Philosophical Hermeneutics
(Albany: State University of New York Press, 2006), 71–75.
[5]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1958), §43.
[6]
J. L. Austin, How to Do Things with
Words, eds. J. O. Urmson and Marina
Sbisà (Oxford: Clarendon Press, 1962), 94–107.
9.
Implikasi
Epistemologis dan Etis
Hermeneutika tidak
hanya mengubah cara kita memahami teks dan bahasa, tetapi juga merevolusi
pemahaman kita tentang pengetahuan (epistemologi) dan tanggung
jawab moral dalam memahami yang lain (etika). Dengan menolak
klaim objektivitas netral dan menerima keterlibatan subjek dalam proses
pemahaman, hermeneutika memberikan kerangka epistemologis yang reflektif dan
terbuka, serta etos dialogis yang mendasari
kehidupan etis dalam keberagaman budaya dan perspektif.
9.1.
Epistemologi sebagai Pemahaman yang Historis
dan Kontekstual
Dalam kerangka
hermeneutika, pengetahuan tidak lagi dipandang sebagai
representasi netral atas realitas objektif, melainkan sebagai
hasil dari proses pemahaman yang situasional, historis, dan linguistik.
Hans-Georg Gadamer menolak pemisahan radikal antara subjek dan objek
pengetahuan yang diwarisi dari epistemologi modern, dan menggantinya dengan model
dialogis, di mana makna muncul melalui fusi cakrawala antara
penafsir dan objek yang ditafsirkan⁽¹⁾.
Hermeneutika
menyatakan bahwa semua pengetahuan bersifat interpretatif,
dan bahwa tidak ada titik nol epistemologis yang bebas dari pengaruh tradisi,
bahasa, dan horizon pemahaman. Dalam pandangan ini, kebenaran bukanlah
korespondensi antara proposisi dan fakta, tetapi peristiwa pemahaman (Erlebnis
der Wahrheit) yang terjadi dalam keterbukaan terhadap makna yang
lain⁽²⁾.
Lebih jauh, Paul
Ricoeur menekankan pentingnya dimensi simbolik dan naratif
dalam epistemologi. Ia menyatakan bahwa pemahaman tidak selalu bersifat analitik
dan proposisional, tetapi sering kali diwujudkan melalui pemaknaan
simbolik dan refleksi naratif, yang memungkinkan subjek untuk
memahami realitas melalui kisah-kisah yang menggambarkan pengalaman manusia
secara kompleks⁽³⁾.
9.2.
Penolakan Terhadap Relativisme Ekstrem
Meskipun
hermeneutika mengakui keterkaitan makna dengan konteks dan tradisi, ia tidak
secara otomatis jatuh ke dalam relativisme epistemologis.
Gadamer menolak nihilisme atau skeptisisme mutlak, dan menegaskan bahwa
pemahaman adalah bentuk kebenaran praktis yang dicapai
melalui keterlibatan yang jujur dan terbuka terhadap tradisi dan pengalaman
lain⁽⁴⁾. Oleh karena itu, hermeneutika memfasilitasi pluralisme
kritis, bukan relativisme absolut.
9.3.
Etika Pemahaman: Tanggung Jawab terhadap yang
Lain
Implikasi etis dari
hermeneutika terletak pada pengakuannya terhadap alteritas
(otherness). Setiap proses pemahaman adalah perjumpaan dengan
yang asing, yang berbeda, dan yang tidak sepenuhnya dapat direduksi ke dalam
horizon kita sendiri. Oleh karena itu, hermeneutika menuntut sikap
rendah hati epistemologis dan keterbukaan terhadap transformasi
diri melalui dialog dengan “yang lain”⁽⁵⁾.
Konsep ini sangat
penting dalam konteks interkultural dan interreligius,
di mana hermeneutika memungkinkan terjadinya dialog tanpa menuntut asimilasi
atau dominasi makna tunggal. Emmanuel Levinas bahkan menekankan bahwa etika
adalah bentuk asli dari hermeneutika, karena wajah yang lain selalu menuntut
tanggung jawab sebelum ia dipahami secara konseptual⁽⁶⁾.
Ricoeur juga
menambahkan bahwa pemahaman yang sejati melibatkan imajinasi
etis, yaitu kemampuan untuk menempatkan diri dalam horizon
pengalaman orang lain. Dalam hal ini, hermeneutika membuka ruang bagi empati
dan solidaritas, karena setiap interpretasi adalah juga usaha
untuk memahami penderitaan, harapan, dan keutuhan eksistensial yang terkandung
dalam teks maupun tindakan manusia⁽⁷⁾.
9.4.
Hermeneutika sebagai Dasar Etika Komunikatif
Dalam pendekatan hermeneutika
kritis, Jürgen Habermas mengembangkan gagasan tentang rasionalitas
komunikatif sebagai landasan bagi tindakan etis dalam
masyarakat plural. Ia menyatakan bahwa pemahaman sejati hanya mungkin tercapai
dalam kondisi komunikasi yang bebas dari dominasi, di mana semua peserta dapat
berbicara setara dan terbuka⁽⁸⁾. Dalam hal ini, hermeneutika tidak hanya
menjadi teori interpretasi, tetapi juga prinsip normatif bagi kehidupan demokratis dan
deliberatif.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 302–310.
[2]
Jean Grondin, Introduction to
Philosophical Hermeneutics, trans.
Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 131–137.
[3]
Paul Ricoeur, Time and Narrative,
Vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin
and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 71–86.
[4]
Gadamer, Truth and Method, 490–498.
[5]
Nicholas Davey, Unquiet Understanding:
Gadamer's Philosophical Hermeneutics
(Albany: State University of New York Press, 2006), 112–119.
[6]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity:
An Essay on Exteriority, trans.
Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 199–200.
[7]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 172–180.
[8]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, Vol. 1, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 286–290.
10. Aplikasi Hermeneutika dalam Berbagai Disiplin
Salah satu kekuatan
metodologis dan filosofis hermeneutika adalah kemampuannya untuk melintasi
batas-batas disiplin, mulai dari teologi, sastra, hukum,
sejarah, hingga ilmu sosial dan pendidikan. Sebagai pendekatan yang menekankan
pada pemahaman,
makna,
dan konteks,
hermeneutika menyediakan perangkat konseptual dan reflektif untuk menafsirkan
fenomena manusia yang kompleks dan bersifat simbolik. Dalam bagian ini, dibahas
berbagai aplikasi hermeneutika dalam sejumlah bidang keilmuan utama.
10.1.
Teologi dan Tafsir Keagamaan
Sejarah awal
hermeneutika sangat erat dengan bidang teologi, terutama dalam tradisi
Kristen. Sejak masa gereja awal, penafsiran Alkitab dilakukan dengan pendekatan
yang menyeimbangkan makna literal, alegoris, moral, dan anagogis⁽¹⁾. Dalam
konteks modern, hermeneutika teologis diperkaya oleh pendekatan filosofis, seperti
dalam karya Rudolf Bultmann, yang
mengembangkan metode demitologisasi untuk memahami pesan
Injil dalam horizon eksistensial kontemporer⁽²⁾.
Dalam Islam,
meskipun istilah “hermeneutika” bukan bagian dari tradisi klasik,
pendekatan serupa dapat ditemukan dalam metode tafsir kontekstual, seperti yang
dikembangkan oleh Fazlur Rahman melalui
pendekatan double
movement—dari konteks historis wahyu ke prinsip moral universal,
lalu ke konteks kekinian⁽³⁾. Hermeneutika membuka kemungkinan pembacaan teks
keagamaan secara historis, kritis, dan etis, tanpa mereduksi kesakralannya.
10.2.
Sastra dan Kritik Naratif
Dalam kajian sastra,
hermeneutika digunakan sebagai pendekatan utama dalam kritik dan penafsiran
karya fiksi. Paul Ricoeur mengembangkan hermeneutika
naratif, yang memandang teks sastra sebagai struktur makna simbolik
yang mencerminkan dan membentuk identitas manusia melalui alur cerita,
karakter, dan konflik⁽⁴⁾. Dalam konteks ini, sastra tidak hanya dipahami
sebagai estetika, tetapi sebagai medium reflektif untuk memahami eksistensi
manusia.
Konsep jarak
produktif antara teks dan pembaca dalam hermeneutika Ricoeur
memungkinkan terjadinya negosiasi makna yang kreatif. Penafsiran tidak
dimaksudkan untuk menemukan satu makna yang benar, tetapi untuk membuka
kemungkinan pemahaman yang memperkaya pengalaman pembaca secara
eksistensial⁽⁵⁾.
10.3.
Hukum dan Interpretasi Yuridis
Dalam dunia hukum,
hermeneutika digunakan untuk menafsirkan teks hukum dan konstitusi yang selalu
berada dalam konteks historis dan sosial yang berubah. Para pemikir seperti Ronald
Dworkin dan Emilio Betti telah menerapkan
pendekatan hermeneutika dalam analisis yuridis, di mana makna hukum tidak hanya
berasal dari teks legal itu sendiri, tetapi juga dari praktik
interpretatif dan nilai-nilai normatif masyarakat⁽⁶⁾.
Dalam kerangka ini,
hermeneutika memberikan dasar bagi tafsir hukum progresif, yang
memperhatikan prinsip keadilan substantif dan dinamika sosial, bukan hanya kaidah
formalistik. Teks hukum dipandang sebagai teks yang “hidup” dan perlu
dibaca secara kontekstual demi menjamin relevansi dan keadilan.
10.4.
Sejarah dan Ilmu Sosial
Hermeneutika
memiliki pengaruh besar dalam metodologi ilmu sejarah dan ilmu
sosial interpretatif. Wilhelm Dilthey mengembangkan
fondasi bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan harus dibedakan dari ilmu alam karena
keduanya melibatkan struktur pemahaman yang berbeda⁽⁷⁾. Dalam sejarah,
hermeneutika membantu peneliti memahami tindakan dan makna dalam konteks waktu
tertentu melalui rekonstruksi horizon-horizon historis yang kompleks.
Demikian pula dalam antropologi
dan sosiologi, pendekatan hermeneutis membantu menafsirkan
budaya, simbol, dan praktik sosial sebagai ekspresi makna yang tidak bisa
direduksi menjadi data statistik semata. Hermeneutika kultural seperti yang
dikembangkan oleh Clifford Geertz menekankan
bahwa interpretasi budaya memerlukan “membaca” tindakan sosial sebagai teks⁽⁸⁾.
10.5.
Pendidikan dan Pedagogi Reflektif
Dalam bidang pendidikan,
hermeneutika berkontribusi terhadap pendekatan pedagogi reflektif dan dialogis,
yang memandang proses belajar sebagai interaksi pemahaman antar-subjek, bukan
sekadar transfer informasi. Gert Biesta dan Maxine
Greene menunjukkan bagaimana hermeneutika membantu pendidik
melihat siswa bukan sebagai objek pengajaran, melainkan sebagai subjek aktif
yang memiliki latar pengalaman dan horizon makna yang berbeda⁽⁹⁾.
Penerapan
hermeneutika dalam pedagogi mengajak guru dan peserta didik untuk mengembangkan
sikap
interpretatif, empatik, dan kritis, serta membangun komunitas
belajar yang terbuka terhadap dialog dan pluralitas makna.
Footnotes
[1]
Henri de Lubac, Medieval Exegesis: The
Four Senses of Scripture, trans.
Mark Sebanc (Grand Rapids: Eerdmans, 1998), 101–112.
[2]
Rudolf Bultmann, New Testament and
Mythology and Other Basic Writings,
trans. Schubert Ogden (Minneapolis: Fortress Press, 1984), 20–37.
[3]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–21.
[4]
Paul Ricoeur, Time and Narrative,
Vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin
and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 65–78.
[5]
Paul Ricoeur, From Text to Action:
Essays in Hermeneutics II, trans.
Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press,
1991), 106–110.
[6]
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986),
45–51.
[7]
Wilhelm Dilthey, Selected Works: Volume
IV: Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton
University Press, 1996), 114–120.
[8]
Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books,
1973), 5–10.
[9]
Gert Biesta, Good Education in an
Age of Measurement (Boulder:
Paradigm Publishers, 2010), 27–35; Maxine Greene, Releasing the Imagination: Essays on Education, the Arts, and
Social Change (San Francisco:
Jossey-Bass, 1995), 35–42.
11. Kritik terhadap Hermeneutika
Meskipun
hermeneutika telah memberikan kontribusi penting dalam memperluas horizon
epistemologis dan metodologis dalam berbagai bidang, ia tidak lepas dari kritik
yang serius, baik dari kalangan filsafat analitis, positivisme ilmiah,
strukturalisme, hingga pendekatan poststrukturalis. Kritik-kritik ini
mencerminkan tensi metodologis dan filosofis
antara pendekatan interpretatif dan pendekatan yang menekankan objektivitas,
verifikasi, atau dekonstruksi radikal terhadap makna.
11.1.
Kritik Positivis: Kekaburan dan Ketidaktepatan
Ilmiah
Kaum positivis
logis seperti anggota Lingkaran Wina (Wiener Kreis)
mengkritik hermeneutika karena dianggap kurang memiliki verifikasi empiris dan presisi
logis. Dalam kerangka mereka, makna suatu pernyataan harus
dapat diverifikasi secara empiris atau diverifikasi secara logis untuk dianggap
bermakna secara filosofis⁽¹⁾. Hermeneutika, dengan penekanannya pada
subjektivitas, sejarah, dan konteks, dianggap terlalu spekulatif dan tidak
memenuhi kriteria ilmiah.
Hans
Albert, misalnya, menuduh hermeneutika bersifat dogmatis karena
mengandalkan lingkaran hermeneutis yang tidak dapat dipecahkan secara
metodologis, sehingga menyulitkan kemungkinan untuk mengoreksi atau menguji
klaim interpretatif secara rasional⁽²⁾. Bagi pendekatan ini, hermeneutika gagal
memenuhi prinsip falsifiabilitas yang menjadi
syarat bagi pengetahuan ilmiah dalam tradisi Popperian.
11.2.
Kritik Filsafat Analitis: Ketidakjelasan
Konseptual
Filsuf bahasa
analitis seperti Willard Van Orman Quine dan Donald
Davidson mengajukan keberatan terhadap asumsi dasar
hermeneutika mengenai makna dan pemahaman. Mereka menganggap bahwa bahasa dan
makna tidak bisa dipisahkan dari teori semantik dan logika, dan bahwa interpretasi
tidak dapat diklaim sebagai bentuk pemahaman tanpa landasan dalam struktur
proposisional yang jelas⁽³⁾.
Davidson
bahkan menolak gagasan tentang prapemahaman dan horizon sebagai entitas
epistemologis yang koheren, dan mengganti pendekatan hermeneutis dengan teori
interpretasi radikal yang menekankan koherensi internal dan prinsip kebenaran dalam
bahasa alami⁽⁴⁾. Dalam pandangan ini, makna adalah hasil
interaksi antara prinsip holistik dan prinsip kebenaran, bukan hasil fusi
subjektif antara pembaca dan tradisi.
11.3.
Kritik Strukturalis: Pengabaian Terhadap
Struktur Bahasa
Para strukturalis
seperti Claude Lévi-Strauss dan Roland
Barthes mengkritik hermeneutika karena dianggap terlalu
berfokus pada subjek dan sejarah, sementara mengabaikan struktur objektif dalam sistem
tanda. Dalam kerangka strukturalisme, makna tidak ditentukan
oleh subjektivitas pembaca atau pengarang, melainkan oleh hubungan diferensial
antar tanda dalam sistem bahasa⁽⁵⁾.
Hermeneutika
dianggap gagal memahami bahwa teks memiliki struktur internal yang mengatur
makna secara sistematis dan tidak tergantung pada konteks historis atau niat
interpretatif. Oleh karena itu, penafsiran hermeneutis dianggap cenderung subjektif
dan cenderung mengacaukan antara makna teks dan efek dari pembacaan.
11.4.
Kritik Dekonstruksionis: Ketidakstabilan Makna
Dalam pendekatan dekonstruksionis,
terutama yang dikembangkan oleh Jacques Derrida, hermeneutika
dikritik karena masih mengandaikan adanya struktur makna yang dapat dipulihkan melalui
proses interpretasi. Dekonstruksi menolak gagasan bahwa ada
horizon makna yang dapat difusikan secara koheren, sebab makna
selalu bersifat tertunda dan terpecah dalam jaringan tanda—konsep
yang disebut différance⁽⁶⁾.
Derrida menolak
klaim hermeneutika tentang keutuhan teks dan pemahaman, serta mengkritik
kecenderungan hermeneutika untuk membangun kembali “kehadiran” makna
yang stabil dan koheren. Baginya, setiap teks selalu mengandung aporia—titik-titik
ketegangan yang tidak terselesaikan dan yang membuka kemungkinan pembacaan yang
tak terbatas⁽⁷⁾. Dalam hal ini, hermeneutika dianggap terlalu “rekonsiliatif”
dan tidak cukup radikal dalam membongkar struktur kekuasaan dalam bahasa.
11.5.
Kritik Ideologis: Potensi Konservatif
Hermeneutika
Dari sudut pandang teori
kritis, terutama dalam generasi awal Mazhab
Frankfurt, hermeneutika juga dikritik karena cenderung mempertahankan
status quo dan tidak cukup kritis terhadap struktur ideologi. Theodor
W. Adorno menuduh bahwa penekanan Gadamer pada “tradisi”
dan “otoritas historis” berisiko menjadikan hermeneutika sebagai alat
justifikasi normatif terhadap nilai-nilai dominan dalam masyarakat⁽⁸⁾.
Jürgen Habermas juga
memberikan kritik terhadap Gadamer karena dianggap kurang
memberi ruang bagi dimensi emansipatoris dalam pemahaman. Bagi
Habermas, hermeneutika harus dikombinasikan dengan teori komunikasi dan kritik
ideologi agar tidak jatuh ke dalam romantisisme historis⁽⁹⁾.
Footnotes
[1]
A. J. Ayer, Language, Truth and
Logic (New York: Dover Publications,
1952), 40–52.
[2]
Hans Albert, Treatise on Critical
Reason, trans. Mary V. Rorty
(Princeton: Princeton University Press, 1985), 200–204.
[3]
W. V. Quine, Word and Object (Cambridge, MA: MIT Press, 1960), 68–75.
[4]
Donald Davidson, “Radical Interpretation,” in Inquiries into Truth and Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1984), 125–139.
[5]
Roland Barthes, “The Death of the Author,” in Image-Music-Text,
trans. Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 142–148.
[6]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1976), 61–75.
[7]
Christopher Norris, Deconstruction:
Theory and Practice (London:
Routledge, 1991), 36–41.
[8]
Theodor W. Adorno, Negative Dialectics, trans. E. B. Ashton (New York: Continuum, 1973),
234–240.
[9]
Jürgen Habermas, The Philosophical
Discourse of Modernity: Twelve Lectures,
trans. Frederick Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 284–292.
12. Sintesis dan Relevansi Kontemporer
Hermeneutika telah
berkembang dari sekadar metode penafsiran teks religius menjadi salah satu
pendekatan paling reflektif dan lintas disiplin dalam filsafat modern. Melalui
kontribusi tokoh-tokoh seperti Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Gadamer,
hingga Ricoeur dan Habermas, hermeneutika telah melintasi batas antara
epistemologi, ontologi, dan etika, serta merambah ke berbagai bidang seperti
hukum, sastra, sejarah, pendidikan, dan studi budaya. Sintesis dari berbagai
pendekatan tersebut menegaskan bahwa hermeneutika bukan hanya tentang “memahami
teks”, tetapi juga tentang bagaimana manusia memahami dirinya, yang lain,
dan dunia secara lebih mendalam dan transformatif.
12.1.
Hermeneutika sebagai Epistemologi Partisipatif
Salah satu
kontribusi utama hermeneutika dalam filsafat bahasa dan ilmu pengetahuan
kontemporer adalah penolakannya terhadap model epistemologi objektivis yang
memisahkan subjek dan objek pengetahuan. Hermeneutika menegaskan bahwa pengetahuan
adalah hasil keterlibatan aktif subjek dalam horizon sejarah dan bahasa.
Dalam pandangan Gadamer, kebenaran muncul dalam “peristiwa pemahaman”
yang bersifat dialogis, bukan sebagai representasi netral atas fakta⁽¹⁾.
Dengan demikian,
hermeneutika mengusulkan suatu epistemologi partisipatif, yang
mengakui peran pengalaman, tradisi, dan kebahasaan dalam membentuk pemahaman.
Pendekatan ini sangat relevan dalam era pascakolonial dan multikultural, ketika
struktur kekuasaan epistemik dan bias representasi menjadi perhatian utama
dalam filsafat dan ilmu sosial⁽²⁾.
12.2.
Relevansi Etis dan Interkultural
Hermeneutika juga
menawarkan kerangka etis yang kuat dalam menghadapi
pluralitas budaya dan pandangan dunia. Dalam dunia yang semakin
global dan terfragmentasi, hermeneutika menekankan pentingnya keterbukaan
terhadap “yang lain” dan kesediaan untuk berdialog dalam perbedaan.
Ricoeur menyebut hal ini sebagai hospitality of interpretation,
yakni etika pemahaman yang menyambut keberlainan bukan sebagai ancaman, tetapi
sebagai peluang untuk memperluas horizon⁽³⁾.
Dalam konteks interkultural
dan antaragama, pendekatan hermeneutis memungkinkan terjadinya dialog
yang autentik tanpa menuntut universalisasi makna atau
asimilasi paksa. Ini penting dalam upaya membangun perdamaian berbasis
pemahaman lintas tradisi.
12.3.
Hermeneutika dalam Era Digital dan Informasi
Dalam perkembangan
mutakhir, hermeneutika dihadapkan pada tantangan dan peluang baru yang datang
dari era
digital, kecerdasan buatan, dan komunikasi virtual. Di satu
sisi, digitalisasi mempercepat sirkulasi teks dan memperluas kemungkinan
interpretasi lintas batas. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan mendasar
tentang bagaimana memahami makna dalam ruang yang
didominasi oleh algoritma, representasi audiovisual, dan informasi yang
terfragmentasi⁽⁴⁾.
Beberapa pemikir
kontemporer seperti Mark C. Taylor dan Bernard
Stiegler mulai mengeksplorasi bagaimana hermeneutika dapat
diperluas ke dalam ekologi teknologi dan semiotik digital,
di mana makna tidak hanya dihasilkan dari teks, tetapi juga dari citra,
antarmuka, dan interaksi jaringan⁽⁵⁾. Hal ini membuka peluang untuk
pengembangan hermeneutika digital, yaitu
pembacaan kritis terhadap simbol dan narasi dalam ruang maya.
12.4.
Menjembatani Ilmu Humaniora dan Teknologi
Dalam dunia
akademik, hermeneutika menawarkan jembatan metodologis antara ilmu humaniora dan
ilmu eksakta, terutama dalam konteks studi interdisipliner.
Misalnya, dalam bidang digital humanities, hermeneutika
menjadi dasar untuk memahami relasi antara data, interpretasi, dan nilai. Di
tengah obsesi terhadap “big data” dan kalkulasi, hermeneutika
mengingatkan bahwa makna bukanlah hasil kuantifikasi, tetapi
pemahaman reflektif yang tak tereduksi menjadi angka⁽⁶⁾.
12.5.
Potensi Transformasional dalam Pendidikan dan
Kebudayaan
Akhirnya,
hermeneutika juga memiliki peran strategis dalam dunia pendidikan dan
kebudayaan sebagai pendekatan yang menumbuhkan kesadaran reflektif, empati, dan keterbukaan
dialogis. Dalam pendidikan, pendekatan hermeneutik dapat
menguatkan praksis pedagogis yang humanistik, membebaskan, dan berbasis pada
pengalaman hidup peserta didik⁽⁷⁾.
Dalam kebudayaan,
hermeneutika membuka ruang bagi rekonstruksi identitas kultural dan kritik
ideologis, yang relevan untuk membangun masyarakat yang plural
namun koheren secara etis.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 310–320.
[2]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies
of the South: Justice against Epistemicide (New York: Routledge, 2014), 8–17.
[3]
Paul Ricoeur, From Text to Action:
Essays in Hermeneutics II, trans.
Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press,
1991), 248–254.
[4]
Luciano Floridi, The Philosophy of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 243–255.
[5]
Bernard Stiegler, Technics and Time, 1:
The Fault of Epimetheus, trans.
Richard Beardsworth and George Collins (Stanford: Stanford University Press,
1998), 121–134.
[6]
Johanna Drucker, Graphesis: Visual Forms
of Knowledge Production (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2014), 71–78.
[7]
Gert J. J. Biesta, The Beautiful Risk of
Education (Boulder: Paradigm
Publishers, 2014), 79–86.
13. Penutup
Hermeneutika telah membuktikan dirinya sebagai
salah satu pendekatan paling fleksibel, reflektif, dan transformatif dalam
ranah filsafat bahasa. Dari akar teologisnya dalam penafsiran kitab suci hingga
pengembangannya menjadi filsafat pemahaman oleh tokoh-tokoh seperti
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, dan Gadamer, hermeneutika telah mengalami
ekspansi konseptual yang signifikan. Ia tidak lagi sekadar dipahami sebagai
metode penafsiran teks, melainkan sebagai modus eksistensial manusia
dalam berelasi dengan bahasa, sejarah, dan makna⁽¹⁾.
Transformasi besar yang dibawa oleh hermeneutika
filosofis, khususnya melalui Heidegger dan Gadamer, menunjukkan bahwa memahami
bukanlah tindakan kognitif yang netral, melainkan keterlibatan eksistensial
yang terbentuk oleh horizon-horizon historis, linguistik, dan kultural⁽²⁾.
Dalam kerangka ini, bahasa menjadi rumah makna, bukan sekadar alat komunikasi,
dan pemahaman adalah peristiwa ontologis yang melibatkan seluruh keberadaan
manusia.
Sementara itu, hermeneutika kritis dan
pascamodern memperkaya wacana hermeneutik dengan menyadarkan kita pada
dimensi kekuasaan, ideologi, dan dekonstruksi dalam setiap proses penafsiran.
Ricoeur, Habermas, dan Derrida menunjukkan bahwa hermeneutika harus terus
bersikap reflektif dan kritis agar tidak terjebak dalam reproduksi dogma atau
hegemoni kultural⁽³⁾. Mereka mengingatkan bahwa pemahaman bukan sekadar proses
individual, tetapi juga medan perjumpaan antara etika, politik, dan tanggung
jawab sosial.
Di tengah tantangan kontemporer seperti globalisasi
budaya, krisis komunikasi, kecanggihan teknologi digital, dan fragmentasi makna,
hermeneutika tetap relevan sebagai alat konseptual untuk menjembatani
perbedaan, membuka dialog, dan membentuk kesadaran reflektif yang lebih dalam.
Ia menawarkan jalan tengah antara skeptisisme postmodern dan universalisme
modern, dengan cara menegaskan bahwa makna selalu terbuka, tetapi tetap terarah
melalui sejarah, tradisi, dan tanggung jawab interpretatif⁽⁴⁾.
Akhirnya, hermeneutika memberi kita alat untuk
tidak hanya membaca dunia, tetapi juga menghidupinya secara penuh dan
bermakna. Dalam dunia yang sarat ambiguitas dan perbedaan, hermeneutika
mengajarkan bahwa kebenaran tidak dimiliki, melainkan ditransformasikan
dalam peristiwa pemahaman yang jujur, terbuka, dan dialogis. Sebagaimana
disampaikan Gadamer, “pemahaman sejati bukanlah menguasai makna, melainkan
membiarkan makna menyapa kita”⁽⁵⁾.
Footnotes
[1]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation
Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston:
Northwestern University Press, 1969), 20–23.
[2]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–271.
[3]
Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in
Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston:
Northwestern University Press, 1991), 148–154; Jürgen Habermas, The
Philosophical Discourse of Modernity, trans. Frederick Lawrence (Cambridge,
MA: MIT Press, 1987), 284–292; Jacques Derrida, Writing and Difference,
trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–294.
[4]
Jean Grondin, Introduction to Philosophical
Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press,
1994), 139–145.
[5]
Gadamer, Truth and Method, 379.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W. (1973). Negative dialectics
(E. B. Ashton, Trans.). Continuum.
Albert, H. (1985). Treatise on critical reason
(M. V. Rorty, Trans.). Princeton University Press.
Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic.
Dover Publications.
Barthes, R. (1977). The death of the author (S.
Heath, Trans.). In Image-music-text (pp. 142–148). Hill and Wang.
Biesta, G. J. J. (2010). Good education in an
age of measurement. Paradigm Publishers.
Biesta, G. J. J. (2014). The beautiful risk of
education. Paradigm Publishers.
Bultmann, R. (1984). New Testament and mythology
and other basic writings (S. Ogden, Trans.). Fortress Press.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Dilthey, W. (1996). Selected works: Volume IV:
Hermeneutics and the study of history (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds.).
Princeton University Press.
Donaldson, D. (1984). Radical interpretation. In Inquiries
into truth and interpretation (pp. 125–139). Clarendon Press.
Drucker, J. (2014). Graphesis: Visual forms of
knowledge production. Harvard University Press.
Dworkin, R. (1986). Law’s empire. Harvard
University Press.
Floridi, L. (2011). The philosophy of
information. Oxford University Press.
Frege, G. (1980). On sense and reference. In P.
Geach & M. Black (Eds.), Translations from the philosophical writings of
Gottlob Frege (pp. 56–78). Blackwell. (Original work published 1892)
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum. (Original work published
1960)
Geertz, C. (1973). The interpretation of
cultures. Basic Books.
Grondin, J. (1994). Introduction to
philosophical hermeneutics (J. Weinsheimer, Trans.). Yale University Press.
Habermas, J. (1979). Communication and the
evolution of society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action, Vol. 1 (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1987). The philosophical discourse
of modernity: Twelve lectures (F. Lawrence, Trans.). MIT Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work
published 1927)
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Lubac, H. de. (1998). Medieval exegesis: The
four senses of Scripture (M. Sebanc, Trans.). Eerdmans.
Mueller-Vollmer, K. (Ed.). (1985). The
hermeneutics reader: Texts of the German tradition from the Enlightenment to
the present. Continuum.
Norris, C. (1991). Deconstruction: Theory and
practice. Routledge.
Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics:
Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer.
Northwestern University Press.
Quine, W. V. O. (1960). Word and object. MIT
Press.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.
Ricoeur, P. (1984). Time and narrative, Vol. 1
(K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays
in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern
University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Santos, B. de S. (2014). Epistemologies of the
South: Justice against epistemicide. Routledge.
Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and
criticism (A. Bowie, Ed.). Cambridge University Press. (Original work
published 1838)
Stiegler, B. (1998). Technics and time, 1: The
fault of Epimetheus (R. Beardsworth & G. Collins, Trans.). Stanford
University Press.
Taylor, M. C. (2001). The moment of complexity:
Emerging network culture. University of Chicago Press.
Wittgenstein, L. (1958). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar