Rabu, 11 Juni 2025

Relativisme Moral: Analisis Filsafat Etika terhadap Kebenaran Moral yang Kontekstual dan Subjektif

Relativisme Moral

Analisis Filsafat Etika terhadap Kebenaran Moral yang Kontekstual dan Subjektif


Alihkan ke; Etika dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep relativisme moral sebagai salah satu pendekatan dalam filsafat etika yang menyatakan bahwa kebenaran moral bersifat kontekstual dan bergantung pada latar budaya, sosial, atau individu tertentu. Dengan mengkaji pengertian dasar, sejarah perkembangan, bentuk-bentuk, serta argumen pendukung dan kritik terhadap relativisme moral, artikel ini bertujuan memberikan pemahaman mendalam atas peran dan posisi relativisme dalam diskursus etika kontemporer. Melalui analisis terhadap implikasi relativisme dalam konteks global, multikulturalisme, agama, serta etika profesi dan teknologi, artikel ini menyoroti ketegangan antara pengakuan terhadap pluralitas nilai dengan kebutuhan akan prinsip-prinsip etika universal. Sebagai sintesis, dikemukakan pendekatan alternatif seperti pluralisme etis, relativisme moderat, dan etika dialogis sebagai bentuk respons kritis terhadap tantangan relativisme ekstrem maupun absolutisme moral. Dengan demikian, artikel ini menawarkan kerangka pemikiran yang reflektif, terbuka, dan kontekstual untuk menghadapi dinamika etika dalam masyarakat global yang plural.

Kata Kunci: Relativisme Moral, Etika, Filsafat Moral, Multikulturalisme, Pluralisme Etis, Konteks Sosial, Nilai Moral, Universalisme, Agama, Etika Global.


PEMBAHASAN

Relativisme Moral dalam Etika (Filsafat Moral)


1.           Pendahuluan

Etika sebagai cabang filsafat telah lama menjadi arena diskursus fundamental tentang kebaikan, kewajiban, dan keadilan. Di dalam ranah ini, berbagai aliran muncul untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif mengenai apa yang dianggap sebagai tindakan benar dan salah. Salah satu pendekatan paling kontroversial dalam etika adalah relativisme moral, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa standar moral bersifat kontekstual dan tergantung pada latar budaya, sosial, atau pribadi tertentu, tanpa adanya kebenaran moral universal yang berlaku mutlak untuk semua orang dalam segala waktu dan tempat1.

Kemunculan relativisme moral berakar dari kesadaran akan pluralitas nilai dan praktik etis di berbagai masyarakat. Fenomena ini tidak hanya diamati dalam kerangka antropologi budaya, tetapi juga menjadi sorotan utama dalam filsafat moral modern, terutama ketika dunia semakin dihadapkan pada realitas globalisasi, migrasi, dan interaksi lintas budaya yang kompleks2. Dalam konteks ini, relativisme moral tampil sebagai upaya untuk memahami dan mengakomodasi keberagaman nilai yang ada, sekaligus sebagai kritik terhadap universalisme moral yang kerap dianggap bersifat hegemonik atau etnosentris3.

Relativisme moral secara umum dapat dipahami sebagai penolakan terhadap klaim bahwa ada satu standar moral yang benar secara objektif, terlepas dari kerangka budaya atau subjektivitas individu. Dengan demikian, suatu tindakan yang dianggap salah di satu masyarakat dapat dianggap benar atau sah di masyarakat lain, tanpa harus tunduk pada penghakiman moral dari sudut pandang eksternal4. Argumen ini telah menjadi sumber perdebatan intens di kalangan filsuf, terutama karena relativisme moral sering dianggap melemahkan fondasi etika normatif dan mengaburkan batas antara toleransi dan permisivitas5.

Namun demikian, relativisme moral juga menawarkan kontribusi penting dalam wacana etika kontemporer. Ia mengajak manusia untuk lebih berhati-hati dalam menggeneralisasi nilai moral dan membuka ruang bagi dialog yang lebih adil dalam perjumpaan antarbudaya. Dalam masyarakat pluralistik seperti saat ini, perdebatan mengenai relativisme moral tidak dapat dihindari, melainkan harus dikaji secara mendalam untuk menemukan keseimbangan antara penghargaan terhadap keberagaman nilai dan perlindungan terhadap prinsip-prinsip etis yang fundamental6.

Artikel ini akan membahas relativisme moral secara sistematis, mulai dari definisi dan fondasi konseptualnya, perkembangan historis, bentuk-bentuk dan argumen pendukungnya, hingga kritik dan implikasinya dalam konteks global dan keagamaan. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman filosofis yang kritis dan reflektif terhadap salah satu isu paling menantang dalam etika modern.


Footnotes

[1]                James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 8th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2014), 19–20.

[2]                Melville J. Herskovits, Cultural Relativism: Perspectives in Cultural Pluralism (New York: Random House, 1972), 11–15.

[3]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 44–46.

[4]                Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity (Oxford: Blackwell, 1996), 3–6.

[5]                Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 81–83.

[6]                David B. Wong, Natural Moralities: A Defense of Pluralistic Relativism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 32–35.


2.           Pengertian dan Dasar Konseptual Relativisme Moral

Relativisme moral merupakan salah satu aliran dalam filsafat etika yang menyatakan bahwa standar moral tidak bersifat universal, melainkan bergantung pada konteks budaya, sosial, historis, atau bahkan individu. Dalam pandangan ini, tidak ada kebenaran moral yang berlaku secara mutlak dan tetap untuk seluruh umat manusia; sebaliknya, klaim-klaim moral dinilai benar atau salah relatif terhadap kerangka acuan tertentu1.

Secara konseptual, relativisme moral terbagi ke dalam dua bentuk utama: relativisme deskriptif dan relativisme normatif. Relativisme deskriptif adalah klaim empiris bahwa berbagai masyarakat atau kelompok memiliki sistem moral yang berbeda-beda. Ia tidak membuat penilaian apakah perbedaan tersebut benar atau salah, melainkan sekadar mengamati bahwa moralitas memang bervariasi secara budaya2. Sementara itu, relativisme normatif lebih jauh menyatakan bahwa tidak ada standar moral yang lebih benar dari yang lain, dan bahwa kita tidak boleh menilai sistem moral lain menggunakan standar moral kita sendiri3.

Dalam kerangka meta-etika, relativisme moral sering diasosiasikan dengan penolakan terhadap objektivisme moral. Objektivisme moral menyatakan bahwa pernyataan moral dapat benar atau salah secara independen dari kepercayaan atau sikap manusia. Sebaliknya, relativisme moral berpandangan bahwa kebenaran moral sepenuhnya bergantung pada sikap dan keyakinan suatu masyarakat atau individu, sehingga tidak mungkin ada satu prinsip moral yang dapat berlaku universal bagi semua konteks4.

Salah satu dasar filosofis dari relativisme moral adalah pemahaman bahwa moralitas merupakan produk konstruksi sosial. Para pendukung relativisme, seperti Gilbert Harman, menekankan bahwa prinsip-prinsip moral bukanlah entitas metafisik yang independen, melainkan hasil kesepakatan dalam masyarakat tertentu yang mencerminkan nilai, pengalaman, dan kebutuhan historisnya5. Oleh karena itu, upaya untuk menilai budaya lain dengan standar moral sendiri dianggap sebagai bentuk etnosentrisme yang menyalahi asas keadilan lintas budaya6.

Di sisi lain, relativisme juga berkaitan erat dengan pragmatisme dan pendekatan kontekstual dalam filsafat bahasa dan pengetahuan. Richard Rorty, misalnya, menolak adanya landasan epistemik atau moral yang final dan universal. Baginya, seluruh sistem nilai hanya dapat dipahami dalam konteks kebudayaan dan wacana tertentu. Maka, relativisme tidak berarti nihilisme, tetapi justru penegasan akan pentingnya komunikasi antar-wacana dan sikap ironis terhadap klaim-klaim kebenaran absolut7.

Meski demikian, relativisme moral tidak berarti bahwa semua tindakan dapat dibenarkan hanya karena sesuai dengan nilai-nilai lokal. Dalam bentuknya yang moderat, relativisme mengakui adanya nilai-nilai dasar yang bersifat lintas budaya, namun tetap membuka ruang bagi keberagaman dalam ekspresi moral dan norma etis yang spesifik8.

Dengan demikian, relativisme moral memberikan kerangka filosofis untuk memahami dan menghargai pluralisme nilai dalam dunia yang multikultural, sekaligus mengingatkan akan keterbatasan klaim-klaim moral universal yang tidak peka terhadap konteks sosial dan budaya yang melatarbelakanginya.


Footnotes

[1]                James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 8th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2014), 19–21.

[2]                Melville J. Herskovits, Cultural Relativism: Perspectives in Cultural Pluralism (New York: Random House, 1972), 14.

[3]                Michael Walzer, Interpretation and Social Criticism (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 6–9.

[4]                Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 72–74.

[5]                Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity (Oxford: Blackwell, 1996), 4–7.

[6]                Kwame Anthony Appiah, The Ethics of Identity (Princeton: Princeton University Press, 2005), 97–99.

[7]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 44–47.

[8]                David B. Wong, Natural Moralities: A Defense of Pluralistic Relativism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 49–51.


3.           Sejarah dan Perkembangan Gagasan Relativisme Moral

Relativisme moral sebagai gagasan filosofis tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan berkembang melalui sejarah panjang interaksi antara pemikiran filsafat, antropologi, dan pengalaman manusia dalam merespons keragaman nilai moral. Asal-usul relativisme moral dapat ditelusuri sejak zaman Yunani Kuno, tetapi memperoleh bentuk konseptual yang lebih sistematis dalam diskursus modern, terutama pada abad ke-20 seiring dengan munculnya antropologi budaya dan kritik terhadap etnosentrisme Barat.

3.1.       Akar Relativisme Moral di Dunia Klasik

Dalam filsafat Yunani, relativisme awal dapat ditemukan pada pemikiran Protagoras (ca. 490–420 SM), seorang sofis yang terkenal dengan ungkapannya: “Man is the measure of all things” (manusia adalah ukuran segala sesuatu). Pernyataan ini mencerminkan pandangan bahwa kebenaran, termasuk kebenaran moral, bergantung pada pengalaman dan persepsi masing-masing individu1. Berbeda dengan Plato dan Aristoteles yang menekankan pada adanya prinsip moral objektif, para sofis umumnya lebih skeptis terhadap universalitas nilai moral.

3.2.       Perkembangan dalam Antropologi Budaya Modern

Relativisme moral mendapatkan dorongan kuat dari perkembangan antropologi budaya pada awal abad ke-20, terutama melalui karya Franz Boas, pelopor relativisme budaya. Boas menolak pendekatan evolusionisme sosial yang menggolongkan budaya dalam hirarki superior-inferior, dan menyatakan bahwa setiap budaya harus dipahami dalam konteksnya sendiri2. Murid-murid Boas seperti Ruth Benedict dan Melville J. Herskovits kemudian mengembangkan gagasan ini lebih jauh dan menyatakan bahwa sistem moral bervariasi antarbudaya, dan tidak ada acuan universal yang sah untuk menilai moralitas suatu masyarakat3.

Herskovits bahkan mengusulkan apa yang disebut sebagai prinsip relativisme budaya, yang menyatakan bahwa “it is scientifically untenable to judge the customs of any other culture by the standards of one’s own4. Gagasan ini memberi legitimasi akademis pada relativisme moral deskriptif dan membuka jalan bagi perdebatan filosofis lebih lanjut.

3.3.       Formulasi Filsafat Modern dan Meta-Etika

Dalam filsafat moral modern, relativisme berkembang dalam wilayah meta-etika, yakni analisis tentang status klaim moral itu sendiri. Gilbert Harman, misalnya, berpendapat bahwa prinsip-prinsip moral tidak dapat dipahami secara objektif karena mereka tidak memiliki status fakta seperti klaim ilmiah. Moralitas, menurut Harman, hanya dapat berlaku dalam sistem-sistem normatif yang disepakati bersama, dan oleh karena itu bersifat relatif terhadap budaya atau masyarakat tertentu5.

Demikian pula, Richard Rorty dalam pendekatannya yang pragmatis menyatakan bahwa tidak ada “pijakan arsitektural” bagi moralitas. Ia menolak gagasan tentang landasan epistemologis atau metafisik untuk nilai-nilai moral, dan sebaliknya memandang semua bentuk etika sebagai konstruksi budaya yang kontingen. Relativisme dalam versi Rorty bukanlah nihilisme, melainkan bentuk keengganan untuk mengklaim superioritas nilai tertentu atas nilai yang lain6.

3.4.       Konteks Globalisasi dan Multikulturalisme

Masuknya dunia ke dalam era globalisasi dan interkoneksi budaya telah memperkuat relevansi relativisme moral. Di tengah meningkatnya mobilitas manusia, percampuran budaya, dan pengaruh nilai-nilai lintas negara, relativisme menawarkan cara pandang yang lebih terbuka dan toleran dalam menanggapi perbedaan moral. Dalam masyarakat multikultural, penerimaan terhadap keragaman nilai dianggap sebagai fondasi harmoni sosial7.

Namun, perkembangan ini juga memunculkan tantangan baru, seperti bagaimana menyeimbangkan antara penghargaan terhadap keberagaman moral dan perlindungan terhadap nilai-nilai dasar, seperti hak asasi manusia. Perdebatan ini terus berlangsung, terutama dalam forum internasional, pengadilan hak asasi, dan diskusi akademik lintas budaya.


Footnotes

[1]                W. K. C. Guthrie, The Sophists (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 162.

[2]                Franz Boas, The Mind of Primitive Man (New York: Macmillan, 1911), 70–72.

[3]                Ruth Benedict, Patterns of Culture (Boston: Houghton Mifflin, 1934), 247; Melville J. Herskovits, Cultural Relativism: Perspectives in Cultural Pluralism (New York: Random House, 1972), 15–17.

[4]                Melville J. Herskovits, Man and His Works: The Science of Cultural Anthropology (New York: Knopf, 1948), 64.

[5]                Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity (Oxford: Blackwell, 1996), 4–6.

[6]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 44–47.

[7]                Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 83–85.


4.           Bentuk-Bentuk Relativisme Moral

Relativisme moral bukanlah konsep tunggal, melainkan suatu payung gagasan yang mencakup berbagai bentuk pandangan tentang bagaimana kebenaran moral ditentukan dan bagaimana ia berlaku dalam konteks tertentu. Untuk memahami kerangka filsafat relativisme secara lebih mendalam, penting untuk membedakan beberapa bentuk utama yang telah dikembangkan dalam kajian etika kontemporer, yaitu: relativisme deskriptif, relativisme meta-etika, relativisme normatif, relativisme budaya, dan relativisme individu.

4.1.       Relativisme Deskriptif

Relativisme deskriptif merujuk pada klaim empiris bahwa masyarakat dan budaya yang berbeda memang memiliki sistem moral yang berbeda-beda. Gagasan ini tidak memuat penilaian normatif, melainkan hanya mencatat adanya keberagaman moral dalam praktik dan keyakinan antar kelompok sosial. Misalnya, praktik poligami yang diterima secara sosial di beberapa komunitas tradisional, namun dianggap tidak bermoral di banyak masyarakat Barat, menunjukkan variasi nilai moral secara kultural1.

Pendekatan ini banyak digunakan dalam antropologi budaya dan sosiologi, terutama dalam upaya memahami nilai-nilai lokal tanpa menghakimi mereka berdasarkan standar luar. Ruth Benedict menyatakan bahwa moralitas adalah “suatu kebiasaan yang dipelajari dalam suatu budaya,” dan oleh karena itu, setiap masyarakat memiliki definisinya sendiri tentang baik dan buruk2.

4.2.       Relativisme Meta-Etika

Relativisme meta-etika mengklaim bahwa pernyataan moral seperti “membunuh itu salah” tidak dapat dinilai sebagai benar atau salah secara objektif, karena tidak ada fakta moral universal yang mendasarinya. Kebenaran moral, menurut pendekatan ini, bergantung pada sikap, preferensi, atau sistem kepercayaan dari individu atau budaya tertentu3.

Tokoh utama dalam aliran ini adalah Gilbert Harman, yang berargumen bahwa tidak ada "fakta moral objektif" seperti halnya fakta ilmiah, dan bahwa pernyataan moral bersifat relatif terhadap kerangka normatif tertentu4. Relativisme meta-etika berperan penting dalam menolak klaim objektivisme moral dan menekankan bahwa penilaian moral harus selalu dilihat dalam konteks sosial dan budaya tertentu.

4.3.       Relativisme Normatif

Relativisme normatif melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa seseorang seharusnya tidak menghakimi sistem moral lain dengan standar moralnya sendiri. Artinya, relativisme normatif mengandung unsur preskriptif: bukan hanya mengakui bahwa nilai moral berbeda-beda (seperti dalam relativisme deskriptif), tetapi juga menegaskan bahwa semua sistem moral memiliki kedudukan yang setara dan tidak ada yang secara intrinsik lebih unggul daripada yang lain5.

Relativisme normatif menekankan pada pentingnya toleransi dan penghormatan terhadap keberagaman nilai. Namun, bentuk ini sering kali dikritik karena berpotensi melemahkan kemampuan untuk mengecam praktik-praktik yang secara luas dianggap tidak etis, seperti penindasan atau kekerasan atas nama adat atau budaya6.

4.4.       Relativisme Budaya

Relativisme budaya adalah bentuk khusus dari relativisme normatif yang menyatakan bahwa standar moral harus dinilai dalam konteks budaya masing-masing. Setiap budaya memiliki sistem nilai yang membentuk tindakan moral warganya, dan karena itu, tidak adil untuk menggunakan standar moral dari satu budaya untuk menilai budaya lain7.

Dalam konteks ini, relativisme budaya sering dijadikan dasar argumentatif untuk menolak intervensi moral oleh negara-negara Barat terhadap praktik-praktik tradisional di negara-negara non-Barat. Namun, pendekatan ini juga menimbulkan dilema etis, terutama ketika budaya lokal melegitimasi praktik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia global8.

4.5.       Relativisme Individu (Subjectivisme Moral)

Relativisme individu, yang sering disebut juga sebagai subjectivisme moral, mengklaim bahwa benar dan salah bersifat relatif terhadap individu. Dalam pandangan ini, kebenaran moral bergantung sepenuhnya pada keyakinan atau preferensi moral masing-masing orang9. Misalnya, jika seseorang percaya bahwa berbohong itu sah dalam keadaan tertentu, maka bagi orang itu, tindakan tersebut benar, tanpa perlu dikaitkan dengan norma budaya yang lebih luas.

Subjectivisme moral banyak dikritik karena berujung pada nihilisme moral, yakni penolakan terhadap adanya standar moral sama sekali. Di sisi lain, subjectivisme juga membuka ruang diskusi tentang otonomi moral dan peran subjektivitas dalam pembentukan etika pribadi.


Footnotes

[1]                James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 8th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2014), 19–21.

[2]                Ruth Benedict, Patterns of Culture (Boston: Houghton Mifflin, 1934), 278.

[3]                Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 73–75.

[4]                Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity (Oxford: Blackwell, 1996), 3–5.

[5]                Michael Walzer, Interpretation and Social Criticism (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 11–13.

[6]                Steven Lukes, “Relativism: Cognitive and Moral,” in Relativism: Interpretation and Confrontation, ed. Michael Krausz (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1989), 290–92.

[7]                Melville J. Herskovits, Cultural Relativism: Perspectives in Cultural Pluralism (New York: Random House, 1972), 12–14.

[8]                Kwame Anthony Appiah, The Ethics of Identity (Princeton: Princeton University Press, 2005), 112–14.

[9]                Louis P. Pojman and James Fieser, Ethics: Discovering Right and Wrong, 8th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 22–25.


5.           Argumen Pendukung Relativisme Moral

Relativisme moral memperoleh daya tariknya dari sejumlah argumen filosofis dan empiris yang dianggap menggugurkan klaim-klaim objektivisme etis. Para pendukung relativisme berpendapat bahwa pluralitas nilai moral, peran konteks budaya, serta sifat konstruktif dari moralitas menjadi dasar yang kuat untuk mempertanyakan validitas standar moral yang universal. Beberapa argumen berikut ini sering dijadikan fondasi utama dalam pembelaan terhadap relativisme moral.

5.1.       Pluralitas Budaya dan Keanekaragaman Nilai Moral

Salah satu argumen paling kuat untuk mendukung relativisme moral adalah kenyataan empiris bahwa sistem moral sangat bervariasi antara satu masyarakat dan yang lainnya. Antropolog seperti Ruth Benedict dan Melville J. Herskovits menunjukkan bahwa tindakan yang dianggap bermoral di satu kebudayaan bisa jadi dianggap tidak bermoral di kebudayaan lain, tanpa bisa disimpulkan mana yang benar secara objektif1.

Contohnya, praktik-praktik seperti euthanasia, poligami, atau sanksi hukum tradisional sering kali menimbulkan konflik nilai antarbudaya. Dalam konteks ini, relativisme moral menawarkan solusi: bahwa setiap praktik etis hanya bisa dipahami dan dievaluasi dalam kerangka norma budaya masing-masing2.

5.2.       Penolakan terhadap Etnosentrisme

Relativisme moral juga berfungsi sebagai kritik terhadap etnosentrisme, yakni kecenderungan untuk menilai budaya lain berdasarkan standar moral budaya sendiri. Pendekatan ini menganggap bahwa upaya memaksakan nilai-nilai moral universal sering kali menjadi alat dominasi kultural, terutama dalam sejarah kolonialisme dan imperialisme moral Barat terhadap dunia non-Barat3.

Dengan demikian, relativisme moral dianggap lebih inklusif dan demokratis, karena menghormati keberagaman sistem nilai dan menolak penghakiman moral sepihak. Dalam pandangan ini, toleransi terhadap perbedaan moral adalah bentuk penghormatan terhadap otonomi budaya4.

5.3.       Moralitas sebagai Konstruksi Sosial

Relativisme moral juga didukung oleh pandangan bahwa moralitas bukan merupakan entitas objektif yang independen, melainkan konstruksi sosial yang dibentuk oleh pengalaman historis, struktur kekuasaan, dan kepentingan kolektif suatu komunitas. Gilbert Harman menegaskan bahwa tidak ada "fakta moral" yang berdiri sendiri; nilai-nilai moral selalu muncul dalam sistem sosial tertentu, dan tidak dapat dipisahkan dari konteksnya5.

Dengan demikian, upaya mencari prinsip moral yang berlaku untuk semua masyarakat dianggap sebagai bentuk abstraksi yang keliru dan tidak realistis. Moralitas, dalam pandangan ini, adalah produk dinamika sosial yang berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan dan norma masyarakat6.

5.4.       Toleransi sebagai Nilai Etis

Relativisme moral sering dikaitkan dengan toleransi, yakni sikap untuk tidak memaksakan satu sistem moral atas sistem lain. Para pendukung relativisme menekankan bahwa menerima keragaman moral adalah wujud kedewasaan etis dan penghormatan terhadap hak otonomi individu maupun budaya7.

Dalam konteks masyarakat multikultural dan global yang plural, relativisme moral menjadi landasan filosofis untuk membangun koeksistensi damai tanpa saling mendikte. Argumen ini relevan khususnya dalam persoalan etika global seperti hak perempuan, kebebasan berekspresi, dan norma keluarga yang berbeda-beda antarbudaya8.

5.5.       Kritik terhadap Objektivisme Moral

Argumen lain yang menguatkan relativisme moral adalah lemahnya fondasi objektivisme moral. Filsuf seperti Richard Rorty dan Paul Boghossian mempertanyakan apakah mungkin terdapat nilai moral yang valid secara independen dari bahasa, budaya, dan struktur pengetahuan manusia9. Jika kebenaran moral tidak dapat diverifikasi secara objektif seperti kebenaran ilmiah, maka relativisme menjadi posisi yang lebih jujur secara epistemologis dan konsisten dengan kompleksitas dunia nyata.


Footnotes

[1]                Ruth Benedict, Patterns of Culture (Boston: Houghton Mifflin, 1934), 278–279.

[2]                Melville J. Herskovits, Cultural Relativism: Perspectives in Cultural Pluralism (New York: Random House, 1972), 12–15.

[3]                Kwame Anthony Appiah, The Ethics of Identity (Princeton: Princeton University Press, 2005), 106–109.

[4]                Michael Walzer, Thick and Thin: Moral Argument at Home and Abroad (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 3–6.

[5]                Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity (Oxford: Blackwell, 1996), 6–9.

[6]                David B. Wong, Natural Moralities: A Defense of Pluralistic Relativism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 33–35.

[7]                James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 8th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2014), 23–24.

[8]                Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 47–50.

[9]                Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 78–80; Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 50–52.


6.           Kritik dan Tantangan terhadap Relativisme Moral

Meskipun relativisme moral menawarkan suatu pendekatan yang toleran dan adaptif dalam memahami keragaman nilai, aliran ini juga menuai berbagai kritik tajam, baik dari filsuf moral tradisional maupun dari pembela hak asasi manusia. Kritik terhadap relativisme moral terutama menyasar kelemahan epistemologis, implikasi etis yang meragukan, serta kontradiksi logis yang melekat dalam kerangka berpikirnya. Beberapa tantangan utama berikut ini menyoroti persoalan mendasar yang dihadapi oleh relativisme sebagai teori etika.

6.1.       Masalah dengan Kritisime Moral Lintas Budaya

Salah satu kritik paling mendasar terhadap relativisme moral adalah ketidakmampuannya memberikan dasar untuk mengecam praktik-praktik tidak manusiawi dalam masyarakat lain. Jika semua sistem moral setara, maka kita tidak dapat secara moral mengutuk praktik seperti genosida, perbudakan, mutilasi alat kelamin perempuan, atau penindasan terhadap kelompok minoritas—selama praktik tersebut dianggap sah oleh budaya lokal1.

James Rachels mengemukakan bahwa jika relativisme moral diterima sepenuhnya, maka perbedaan antara masyarakat yang menghargai kehidupan dan masyarakat yang melegalkan pembunuhan tidak dapat dinilai secara etis. Hal ini berpotensi menciptakan ketidakpedulian terhadap penderitaan yang terjadi di luar komunitas kita sendiri2.

6.2.       Kontradiksi dalam Relativisme Normatif

Relativisme moral dalam bentuk normatif sering kali jatuh dalam kontradiksi logis. Di satu sisi, ia menolak klaim moral universal, tetapi di sisi lain justru mempromosikan toleransi sebagai prinsip moral universal. Artinya, relativisme menyatakan bahwa "tidak ada kebenaran moral objektif," namun sekaligus menuntut agar semua orang menghormati keberagaman nilai—sebuah klaim normatif universal yang bertentangan dengan posisi relativistik itu sendiri3.

Paul Boghossian menyebut paradoks ini sebagai bentuk performative inconsistency, yakni ketika suatu teori menyangkal prinsip universal tetapi tetap mengandalkannya untuk membela posisinya sendiri4.

6.3.       Risiko Nihilisme Moral

Relativisme yang ekstrem dapat berujung pada nihilisme moral, yaitu keyakinan bahwa tidak ada nilai moral yang benar, dan karena itu tidak ada alasan rasional untuk memilih satu tindakan moral di atas tindakan lain. Dalam kerangka ini, semua pilihan menjadi setara, sehingga tindakan kejam dan tindakan mulia bisa diperlakukan secara moral setara, tergantung pada siapa yang menilai5.

Kondisi ini dapat melemahkan komitmen terhadap keadilan, kemanusiaan, dan integritas etis, serta membuat etika kehilangan daya normatifnya sebagai pedoman perilaku. Relativisme semacam ini tidak hanya membingungkan secara praktis, tetapi juga membahayakan secara sosial ketika digunakan untuk membenarkan tindakan amoral.

6.4.       Ketidakstabilan Moral dalam Masyarakat Plural

Dalam masyarakat yang pluralistik, relativisme moral dapat menimbulkan fragmentasi nilai yang membuat kohesi sosial sulit dipertahankan. Jika setiap kelompok atau individu merasa berhak memegang standar moralnya sendiri tanpa batas, maka ruang untuk dialog etis dan konsensus bersama menjadi lemah. Hal ini menciptakan risiko anarki moral, di mana tidak ada titik temu dalam penyelesaian konflik nilai6.

Sebaliknya, etika intersubjektif atau pendekatan pluralisme normatif menawarkan alternatif yang memungkinkan keberagaman nilai tanpa harus mengorbankan kerangka normatif bersama. Pendekatan ini mengakui pluralitas etis, namun tetap mencari landasan normatif minimal yang dapat diterima oleh berbagai pihak7.

6.5.       Tantangan terhadap Hak Asasi Manusia

Dalam forum internasional, relativisme moral juga dianggap sebagai ancaman terhadap rezim hak asasi manusia (HAM). Para kritikus menekankan bahwa jika relativisme moral diterima secara luas, maka negara atau kelompok tertentu dapat menolak prinsip-prinsip HAM dengan dalih budaya lokal atau norma adat, padahal prinsip-prinsip tersebut merupakan hasil konsensus global tentang perlindungan martabat manusia8.

Martha Nussbaum menolak relativisme sebagai pembenaran bagi praktik-praktik diskriminatif, khususnya terhadap perempuan dan kelompok rentan. Ia menekankan perlunya capabilities approach—kerangka normatif yang menghormati budaya lokal tetapi tetap menjamin keadilan universal dalam bentuk kebebasan dan otonomi manusia9.


Footnotes

[1]                Michael Walzer, Thick and Thin: Moral Argument at Home and Abroad (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 13–16.

[2]                James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 8th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2014), 24–27.

[3]                Steven Lukes, “Relativism: Cognitive and Moral,” in Relativism: Interpretation and Confrontation, ed. Michael Krausz (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1989), 290–92.

[4]                Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 89–90.

[5]                Louis P. Pojman and James Fieser, Ethics: Discovering Right and Wrong, 8th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 31–34.

[6]                Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 102–105.

[7]                David B. Wong, Natural Moralities: A Defense of Pluralistic Relativism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 49–53.

[8]                Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 89–92.

[9]                Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 43–46.


7.           Relativisme Moral dalam Konteks Kontemporer

Relativisme moral tidak hanya menjadi wacana dalam ranah teoritis filsafat, tetapi juga memainkan peran penting dalam merespons kompleksitas etika di dunia kontemporer. Globalisasi, migrasi internasional, multikulturalisme, serta kemajuan teknologi informasi telah membawa manusia ke dalam ruang interaksi moral yang semakin plural dan saling bertabrakan. Dalam situasi seperti ini, relativisme moral kerap muncul baik sebagai prinsip toleransi maupun sebagai titik perdebatan dalam menentukan batas etis lintas budaya.

7.1.       Multikulturalisme dan Etika Antarbudaya

Dalam masyarakat multikultural, relativisme moral sering dipandang sebagai landasan untuk menjembatani perbedaan nilai dan praktik etis yang berakar dari latar belakang budaya yang beragam. Pendekatan ini memberikan ruang untuk pengakuan terhadap identitas kultural yang berbeda, serta menolak pendekatan hegemonik yang memaksakan nilai-nilai dominan terhadap minoritas1.

Kwame Anthony Appiah mengemukakan bahwa dalam dunia yang semakin terhubung, prinsip cosmopolitanism—yang menggabungkan penghormatan terhadap perbedaan dengan komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan bersama—merupakan alternatif terhadap relativisme ekstrem maupun absolutisme etis2. Dalam kerangka ini, relativisme membantu membangun dialog etis antarbudaya, meskipun tetap memerlukan prinsip normatif minimum untuk menjaga martabat manusia secara universal.

7.2.       Relativisme dalam Isu-isu Sosial Global

Berbagai persoalan global kontemporer memperlihatkan ketegangan antara nilai-nilai universal dan klaim relativistik atas moralitas lokal. Misalnya, perdebatan tentang hak LGBTQ+, kebebasan beragama, aborsi, dan hukuman mati menampilkan bagaimana suatu tindakan dapat dinilai benar atau salah tergantung pada norma kultural atau religius masyarakat tertentu.

Di satu sisi, relativisme memungkinkan masyarakat untuk menolak intervensi asing atas dasar kedaulatan moral budaya. Di sisi lain, ia menimbulkan persoalan etis ketika digunakan untuk membenarkan diskriminasi atau pelanggaran hak asasi manusia3. Jack Donnelly mengingatkan bahwa relativisme tidak boleh menjadi alasan untuk menolak prinsip-prinsip dasar HAM yang telah dikukuhkan sebagai bagian dari kesepakatan moral global4.

7.3.       Relativisme dalam Etika Profesi dan Teknologi

Perkembangan teknologi dan globalisasi ekonomi menantang penerapan nilai moral tunggal dalam etika profesi, khususnya dalam bidang bisnis internasional, kedokteran, dan kecerdasan buatan. Dalam dunia korporasi multinasional, misalnya, relativisme moral tampak dalam kebijakan perusahaan yang menyesuaikan etika bisnisnya dengan budaya lokal. Apa yang dianggap praktik etis di satu negara belum tentu diterima di negara lain, seperti dalam kasus pemberian gift (yang bisa dilihat sebagai suap di negara tertentu)5.

Sementara itu, dalam dunia bioetika dan teknologi digital, relativisme muncul dalam dilema moral seputar privasi, rekayasa genetik, dan kecerdasan buatan. Setiap komunitas—terutama dengan latar belakang religius dan budaya yang berbeda—memiliki kerangka moralnya sendiri dalam menilai isu-isu tersebut6. Oleh karena itu, relativisme moral mengharuskan etika teknologi dirumuskan dalam dialog antar sistem nilai yang terbuka dan adaptif.

7.4.       Implikasi terhadap Pendidikan Moral

Dalam konteks pendidikan moral di era global, relativisme mendorong pendekatan pedagogis yang menekankan pada empati, refleksi kritis, dan pengakuan terhadap pluralitas nilai. Pendidikan tidak lagi bertumpu pada indoktrinasi norma tunggal, melainkan pada pemahaman lintas budaya dan pembentukan etika dialogis yang menghargai perbedaan7.

Namun demikian, tantangan terbesar dalam pendidikan adalah menjaga agar relativisme tidak bergeser menjadi sikap permisif atau relativisme total, yang justru mengaburkan batas antara benar dan salah secara praktis. Karena itu, banyak pendidik dan filsuf moral mengusulkan model pluralisme etis terbimbing—sebuah pendekatan yang mengakui pluralitas nilai, tetapi tetap menanamkan prinsip-prinsip dasar seperti keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab sosial8.

7.5.       Keseimbangan antara Relativisme dan Prinsip Universal

Dalam dunia kontemporer yang ditandai oleh krisis ekologi, konflik antaragama, dan ketimpangan global, relativisme moral perlu dipadukan dengan upaya mencari landasan etis bersama. David B. Wong menyarankan pendekatan pluralistic relativism, yaitu suatu bentuk relativisme yang mengakui keberagaman nilai, namun sekaligus menerima kemungkinan adanya titik temu dalam nilai-nilai mendasar yang disepakati secara lintas budaya9.

Dengan demikian, relativisme moral tetap relevan sebagai kerangka kerja filosofis dalam menyikapi pluralisme nilai, asalkan dipadukan dengan prinsip reflektif, dialogis, dan tanggung jawab global. Posisi ini memungkinkan moralitas berkembang secara kontekstual tanpa kehilangan komitmen terhadap kemanusiaan universal.


Footnotes

[1]                Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995), 75–78.

[2]                Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 151–154.

[3]                Richard A. Shweder, Thinking Through Cultures: Expeditions in Cultural Psychology (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 127–130.

[4]                Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 98–101.

[5]                Thomas Donaldson and Patricia H. Werhane, Ethical Issues in Business: A Philosophical Approach, 8th ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2007), 282–285.

[6]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 143–146.

[7]                Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2003), 181–183.

[8]                Larry Nucci, Education in the Moral Domain (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 155–157.

[9]                David B. Wong, Natural Moralities: A Defense of Pluralistic Relativism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 57–61.


8.           Relativisme Moral dan Perspektif Agama

Perspektif keagamaan secara umum berdiri dalam posisi yang kontras dengan relativisme moral. Agama-agama besar dunia, baik dalam tradisi teistik seperti Islam, Kristen, dan Yahudi, maupun dalam kerangka filosofis-religius seperti Hindu dan Buddhisme, cenderung memegang teguh prinsip absolutisme moral, yakni keyakinan bahwa nilai-nilai moral bersumber dari wahyu ilahi atau hukum kodrati yang bersifat tetap dan universal. Dalam konteks ini, relativisme moral dipandang sebagai tantangan serius terhadap fondasi etika keagamaan karena mengaburkan klaim kebenaran moral yang bersumber dari Tuhan atau prinsip-prinsip metafisis yang dianggap tak berubah.

8.1.       Islam dan Penolakan terhadap Relativisme Moral

Dalam Islam, sistem etika dibangun atas dasar wahyu (al-Qur’an) dan sunnah Nabi Muhammad, yang memberikan kerangka moral normatif dan mengikat. Nilai-nilai seperti keadilan (al-‘adl), kebaikan (al-khayr), dan tanggung jawab (amanah) diyakini bersifat objektif karena diturunkan oleh Allah sebagai sumber moral tertinggi. Oleh karena itu, pandangan bahwa moralitas hanya relatif terhadap budaya atau individu bertentangan dengan konsep syariah dan akhlak Islam1.

Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam kontemporer, menekankan pentingnya moral thrust dalam al-Qur’an sebagai pedoman etika yang transenden, meskipun dalam penerapannya tetap mempertimbangkan konteks historis dan sosial2. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mengenal fleksibilitas dalam aplikasi norma, tetapi tidak mengaburkan nilai moral fundamentalnya.

8.2.       Kekristenan dan Hukum Moral Ilahi

Dalam teologi Kristen, konsep moralitas juga bersumber dari Tuhan, terutama melalui Hukum Taurat, Injil, dan suara hati sebagai bagian dari natural law theology. Santo Thomas Aquinas menekankan bahwa hukum moral adalah bagian dari lex divina (hukum ilahi) yang berlaku universal bagi seluruh umat manusia karena berakar pada rasionalitas dan kehendak Tuhan3.

Relativisme moral, dalam perspektif Kristen konservatif, sering dikritik karena merelatifkan dosa dan menggantikan otoritas ilahi dengan subjektivitas manusia. Tokoh seperti Pope John Paul II dalam ensiklik Veritatis Splendor menegaskan pentingnya kebenaran moral objektif yang tidak tunduk pada perubahan opini sosial atau budaya4.

Namun demikian, beberapa teolog progresif mengakui perlunya dialog antara nilai-nilai universal Injili dan konteks sosial kontemporer. Pendekatan ini lebih mirip dengan pluralisme etis, bukan relativisme, karena tetap menjunjung nilai-nilai absolut sambil membuka ruang pemahaman lintas budaya.

8.3.       Hindu, Buddhisme, dan Etika Kontekstual

Dalam tradisi Hindu, etika diatur oleh konsep Dharma, yang bersifat kontekstual namun tetap berakar pada prinsip-prinsip moral kosmis yang dianggap suci. Meski Dharma dapat berbeda berdasarkan kasta, usia, dan situasi hidup, ia tidak sepenuhnya relativistik karena tetap memiliki landasan metafisis dalam Sanatana Dharma (hukum abadi)5.

Dalam Buddhisme, moralitas berakar pada ajaran Karma dan Noble Eightfold Path, yang lebih pragmatis daripada dogmatis. Meskipun Buddhisme mengajarkan toleransi dan non-dogmatisme, prinsip-prinsip seperti kasih sayang (karuṇā) dan tidak menyakiti (ahiṃsā) tetap diposisikan sebagai nilai-nilai moral universal6. Karenanya, meskipun tampak lebih lentur, etika Buddhis tetap menolak relativisme moral mutlak karena bertentangan dengan tujuan utama spiritual: mengurangi penderitaan dan mencapai pencerahan.

8.4.       Ketegangan antara Relativisme dan Klaim Kebenaran Agama

Salah satu persoalan mendasar dalam hubungan antara relativisme moral dan agama adalah klaim eksklusivitas kebenaran. Sebagian kalangan agama melihat relativisme sebagai bentuk relativisme agama (religious relativism) yang mengarah pada agnostisisme moral. Pandangan ini dianggap mengancam klaim bahwa wahyu tertentu adalah satu-satunya sumber kebenaran moral yang sah7.

Akan tetapi, terdapat pula pendekatan teologi pluralis yang berusaha menjembatani perbedaan, seperti yang dikembangkan oleh John Hick, yang menekankan bahwa agama-agama besar menawarkan jalan etis menuju transformasi manusia, meskipun menggunakan simbol dan bahasa yang berbeda8. Pandangan ini membuka kemungkinan adanya nilai-nilai moral universal yang dapat ditemukan melalui refleksi lintas iman.

Kesimpulan Relasional

Secara keseluruhan, meskipun relativisme moral bertentangan dengan banyak pandangan teologis yang menekankan objektivitas moral, terdapat titik temu dalam bentuk keterbukaan terhadap konteks sosial dalam penerapan norma. Tantangannya adalah menemukan keseimbangan antara prinsip moral transenden yang dipegang teguh oleh agama, dan pengakuan terhadap kompleksitas budaya dan historis dalam kehidupan manusia kontemporer. Pendekatan ini mengarah pada etika kontekstual-religius, yang tidak sepenuhnya absolutis, tetapi juga tidak terjerumus pada relativisme ekstrem.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 113–115.

[2]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 19–22.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, q. 91, art. 2.

[4]                Pope John Paul II, Veritatis Splendor, Encyclical Letter (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1993), §32–34.

[5]                Arvind Sharma, Classical Hindu Thought: An Introduction (New Delhi: Oxford University Press, 2000), 49–53.

[6]                Damien Keown, Buddhist Ethics: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 12–15.

[7]                R.C. Sproul, Defending Your Faith: An Introduction to Apologetics (Wheaton: Crossway Books, 2003), 104–106.

[8]                John Hick, God Has Many Names (Louisville: Westminster John Knox Press, 1982), 36–38.


9.           Sintesis dan Alternatif Pendekatan

Perdebatan antara relativisme moral dan universalisme etis telah lama menjadi kutub dialektika dalam filsafat moral. Di satu sisi, relativisme menekankan keberagaman norma dan konteks budaya yang tidak bisa direduksi ke dalam satu sistem moral tunggal. Di sisi lain, universalisme moral menekankan pada perlunya prinsip-prinsip etis yang berlaku lintas ruang dan waktu demi menjamin keadilan dan kemanusiaan universal. Dalam menghadapi polarisasi ini, sejumlah pemikir dan pendekatan filsafat etika kontemporer berupaya merumuskan jalan tengah yang bersifat reflektif, dialogis, dan pluralistik.

9.1.       Pluralisme Etis sebagai Alternatif Reflektif

Salah satu pendekatan yang muncul sebagai alternatif terhadap relativisme mutlak maupun universalisme dogmatis adalah pluralisme etis. Pendekatan ini mengakui bahwa terdapat berbagai sistem nilai yang sahih secara internal, namun tetap memungkinkan adanya kesamaan atau titik temu dalam prinsip-prinsip etis yang mendasar. Michael Walzer, misalnya, mengemukakan gagasan thick and thin moralities, yaitu bahwa setiap budaya memiliki moralitas yang "kental" (konkret dan kontekstual), tetapi juga terdapat nilai "tipis" (umum dan minimal) yang bisa menjadi dasar komunikasi moral antarbudaya1.

Pluralisme etis menolak penyederhanaan baik dalam bentuk absolutisme moral maupun relativisme ekstrem, dan lebih menekankan pada kemampuan manusia untuk berempati dan berdialog dalam perbedaan. Nilai-nilai seperti larangan atas penyiksaan, pentingnya kejujuran, dan penghormatan terhadap kehidupan sering kali ditemukan dalam berbagai tradisi, meskipun dalam formulasi yang berbeda2.

9.2.       Relativisme Moderat dan Kontekstualisme Moral

Alternatif lain yang diajukan adalah bentuk relativisme moderat, yang membedakan antara relativitas penerapan nilai dan relativitas prinsip moral itu sendiri. Pendekatan ini menyatakan bahwa meskipun cara penghayatan dan implementasi moral berbeda-beda antarbudaya, bukan berarti semua nilai bersifat sewenang-wenang. David B. Wong menyebut ini sebagai pluralistic relativism, yakni pandangan bahwa terdapat berbagai cara sah untuk hidup bermoral, namun masih dalam batasan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar3.

Dengan demikian, relativisme moderat tidak mengarah pada nihilisme, tetapi membuka ruang untuk kontekstualisme moral—yaitu pendekatan yang mempertimbangkan realitas sosial dan budaya dalam penilaian etis, tanpa kehilangan kerangka refleksi moral yang rasional dan bertanggung jawab4.

9.3.       Pendekatan Dialogis dan Interkultural Ethics

Dalam dunia global yang semakin terhubung, banyak filsuf menekankan pentingnya etika dialogis atau intercultural ethics, yang menempatkan dialog antarbudaya sebagai pusat pembentukan norma etis bersama. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip bahwa kebenaran moral tidak ditemukan dalam isolasi, tetapi dibentuk melalui proses negosiasi antara sistem nilai yang berbeda, dengan prinsip timbal balik, empati, dan keterbukaan5.

Jürgen Habermas, dalam teori diskursus etika, mengusulkan bahwa prinsip moral yang sah adalah hasil dari kesepakatan rasional di antara pihak-pihak yang setara dan bebas dari tekanan. Meskipun tidak menolak keberagaman budaya, ia menggarisbawahi bahwa legitimasi moral dapat dicapai melalui komunikasi terbuka yang bertujuan mencari pemahaman dan konsensus6.

9.4.       Prinsip Etika Global sebagai Landasan Minimal

Sejalan dengan pendekatan dialogis, sejumlah upaya internasional juga telah merumuskan kerangka etika global minimal yang berfungsi sebagai pijakan moral bersama. Misalnya, “Declaration Toward a Global Ethic” yang diadopsi oleh Parliament of the World’s Religions (1993) merumuskan prinsip-prinsip moral universal seperti larangan pembunuhan, kejujuran, keadilan, dan solidaritas sosial sebagai nilai-nilai dasar yang diakui lintas budaya dan agama7.

Kerangka ini bukan bentuk universalisme dogmatis, tetapi lebih sebagai hasil konsensus etis minimum yang dapat dijadikan dasar untuk kerja sama global dalam bidang HAM, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

9.5.       Keseimbangan antara Etika Universal dan Sensitivitas Budaya

Alternatif yang paling konstruktif tampaknya adalah pendekatan integratif, yakni usaha untuk menyeimbangkan antara penghargaan terhadap konteks budaya (sensitivitas moral) dengan prinsip-prinsip dasar yang dapat diterima secara lintas komunitas. Dalam kerangka ini, moralitas dipandang sebagai suatu proses dinamis yang terus dibentuk oleh interaksi antara nilai-nilai partikular dan aspirasi universal manusia untuk hidup bermartabat.

Pendekatan ini tidak hanya menolak klaim absolutisme moral yang kaku, tetapi juga mencegah relativisme menjadi dalih bagi ketidakadilan dan pelanggaran etis. Ia menempatkan moralitas dalam ranah refleksi kritis dan keterlibatan sosial yang terus-menerus.


Footnotes

[1]                Michael Walzer, Thick and Thin: Moral Argument at Home and Abroad (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 1–5.

[2]                Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 42–44.

[3]                David B. Wong, Natural Moralities: A Defense of Pluralistic Relativism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 60–63.

[4]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 511–514.

[5]                William Schweiker, Theological Ethics and Global Dynamics: In the Time of Many Worlds (Oxford: Blackwell Publishing, 2004), 78–81.

[6]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press, 1990), 116–119.

[7]                Hans Küng and Karl-Josef Kuschel, eds., A Global Ethic: The Declaration of the Parliament of the World's Religions (London: SCM Press, 1993), 18–22.


10.       Penutup

Relativisme moral merupakan salah satu aliran penting dalam filsafat etika yang menantang klaim-klaim objektivisme moral dengan menekankan bahwa nilai dan prinsip etis bersifat kontekstual dan ditentukan oleh kebudayaan, masyarakat, atau bahkan individu tertentu. Melalui pendekatan ini, relativisme berupaya menghargai pluralitas nilai dalam masyarakat global yang multikultural dan kompleks, sekaligus menolak dominasi moral universal yang kerap bersifat etnosentris atau hegemonik1.

Sepanjang pembahasan ini, terlihat bahwa relativisme moral bukanlah posisi yang tunggal, melainkan mencakup berbagai varian seperti relativisme deskriptif, meta-etika, normatif, budaya, dan individu. Setiap bentuk menawarkan cara pandang yang berbeda terhadap bagaimana moralitas dibentuk, diterapkan, dan dipahami dalam kehidupan sosial2. Di sisi lain, kritik-kritik yang diajukan terhadap relativisme juga menunjukkan bahwa pendekatan ini memiliki sejumlah kelemahan, antara lain sulitnya menetapkan batas kritik etis, potensi terjadinya nihilisme moral, dan inkonsistensi logis dalam relativisme normatif3.

Dalam konteks kontemporer, relativisme moral memberikan kontribusi penting dalam memahami tantangan-tantangan etika global, mulai dari isu-isu HAM, keberagaman agama, hingga problematika etika teknologi dan bisnis. Akan tetapi, tantangan globalisasi juga menuntut pendekatan yang melampaui dikotomi antara relativisme dan absolutisme. Oleh karena itu, banyak pemikir mengusulkan pendekatan alternatif seperti pluralisme etis, relativisme moderat, etika dialogis, dan kerangka etika global minimal yang mencoba menjembatani nilai-nilai partikular dengan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan4.

Secara normatif, artikel ini menyimpulkan bahwa relativisme moral dapat menjadi alat analisis yang kritis dan konstruktif sejauh ia tidak disalahgunakan sebagai pembenaran atas pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan. Ia perlu diposisikan sebagai pijakan untuk membangun kewaspadaan etis terhadap bahaya absolutisme moral sekaligus menjadi pemicu bagi dialog yang terbuka, reflektif, dan saling menghargai dalam ranah etika global5.

Dengan demikian, pemahaman terhadap relativisme moral yang mendalam dan kritis tidak hanya memperkaya wacana filsafat etika, tetapi juga relevan secara praktis dalam upaya mewujudkan keadaban bersama dalam masyarakat yang plural dan dinamis.


Footnotes

[1]                Ruth Benedict, Patterns of Culture (Boston: Houghton Mifflin, 1934), 278–279.

[2]                Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity (Oxford: Blackwell, 1996), 3–7.

[3]                Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 89–90.

[4]                David B. Wong, Natural Moralities: A Defense of Pluralistic Relativism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 57–61.

[5]                Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 151–154.


Daftar Pustaka

Appiah, K. A. (2005). The ethics of identity. Princeton University Press.

Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in a world of strangers. W. W. Norton.

Aquinas, T. (n.d.). Summa Theologiae. (I–II, q. 91, art. 2).

Benedict, R. (1934). Patterns of culture. Houghton Mifflin.

Boghossian, P. (2006). Fear of knowledge: Against relativism and constructivism. Clarendon Press.

Donnelly, J. (2013). Universal human rights in theory and practice (3rd ed.). Cornell University Press.

Donaldson, T., & Werhane, P. H. (2007). Ethical issues in business: A philosophical approach (8th ed.). Prentice Hall.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.

Harman, G. (1996). Moral relativism and moral objectivity. Blackwell.

Herskovits, M. J. (1948). Man and his works: The science of cultural anthropology. Knopf.

Herskovits, M. J. (1972). Cultural relativism: Perspectives in cultural pluralism. Random House.

Hick, J. (1982). God has many names. Westminster John Knox Press.

Keown, D. (2005). Buddhist ethics: A very short introduction. Oxford University Press.

Küng, H., & Kuschel, K.-J. (Eds.). (1993). A global ethic: The declaration of the Parliament of the World's Religions. SCM Press.

Kymlicka, W. (1995). Multicultural citizenship: A liberal theory of minority rights. Oxford University Press.

Nasr, S. H. (2002). The heart of Islam: Enduring values for humanity. HarperOne.

Noddings, N. (2003). Caring: A relational approach to ethics and moral education (2nd ed.). University of California Press.

Nussbaum, M. C. (2000). Women and human development: The capabilities approach. Cambridge University Press.

Pojman, L. P., & Fieser, J. (2017). Ethics: Discovering right and wrong (8th ed.). Cengage Learning.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Rachels, J. (2014). The elements of moral philosophy (8th ed.). McGraw-Hill Education.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University Press.

Schweiker, W. (2004). Theological ethics and global dynamics: In the time of many worlds. Blackwell Publishing.

Sharma, A. (2000). Classical Hindu thought: An introduction. Oxford University Press.

Shweder, R. A. (1991). Thinking through cultures: Expeditions in cultural psychology. Harvard University Press.

Sproul, R. C. (2003). Defending your faith: An introduction to apologetics. Crossway Books.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Walzer, M. (1987). Interpretation and social criticism. Harvard University Press.

Walzer, M. (1994). Thick and thin: Moral argument at home and abroad. University of Notre Dame Press.

Wong, D. B. (2006). Natural moralities: A defense of pluralistic relativism. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar