Relativisme Moral
Analisis Filsafat Etika terhadap Kebenaran Moral yang
Kontekstual dan Subjektif
Alihkan ke; Etika
dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep relativisme
moral sebagai salah satu pendekatan dalam filsafat etika yang menyatakan
bahwa kebenaran moral bersifat kontekstual dan bergantung pada latar budaya, sosial,
atau individu tertentu. Dengan mengkaji pengertian dasar, sejarah perkembangan,
bentuk-bentuk, serta argumen pendukung dan kritik terhadap relativisme moral,
artikel ini bertujuan memberikan pemahaman mendalam atas peran dan posisi
relativisme dalam diskursus etika kontemporer. Melalui analisis terhadap
implikasi relativisme dalam konteks global, multikulturalisme, agama, serta
etika profesi dan teknologi, artikel ini menyoroti ketegangan antara pengakuan
terhadap pluralitas nilai dengan kebutuhan akan prinsip-prinsip etika
universal. Sebagai sintesis, dikemukakan pendekatan alternatif seperti
pluralisme etis, relativisme moderat, dan etika dialogis sebagai bentuk respons
kritis terhadap tantangan relativisme ekstrem maupun absolutisme moral. Dengan demikian,
artikel ini menawarkan kerangka pemikiran yang reflektif, terbuka, dan
kontekstual untuk menghadapi dinamika etika dalam masyarakat global yang
plural.
Kata Kunci: Relativisme Moral, Etika, Filsafat Moral, Multikulturalisme,
Pluralisme Etis, Konteks Sosial, Nilai Moral, Universalisme, Agama, Etika
Global.
PEMBAHASAN
Relativisme Moral dalam Etika (Filsafat Moral)
1.
Pendahuluan
Etika sebagai cabang
filsafat telah lama menjadi arena diskursus fundamental tentang kebaikan,
kewajiban, dan keadilan. Di dalam ranah ini, berbagai aliran muncul untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif mengenai apa yang dianggap sebagai
tindakan benar dan salah. Salah satu pendekatan paling kontroversial dalam
etika adalah relativisme moral, yaitu
pandangan yang menyatakan bahwa standar moral bersifat kontekstual dan
tergantung pada latar budaya, sosial, atau pribadi tertentu, tanpa adanya
kebenaran moral universal yang berlaku mutlak untuk semua orang dalam segala
waktu dan tempat1.
Kemunculan
relativisme moral berakar dari kesadaran akan pluralitas nilai dan praktik etis
di berbagai masyarakat. Fenomena ini tidak hanya diamati dalam kerangka
antropologi budaya, tetapi juga menjadi sorotan utama dalam filsafat moral
modern, terutama ketika dunia semakin dihadapkan pada realitas globalisasi,
migrasi, dan interaksi lintas budaya yang kompleks2. Dalam konteks
ini, relativisme moral tampil sebagai upaya untuk memahami dan mengakomodasi
keberagaman nilai yang ada, sekaligus sebagai kritik terhadap universalisme
moral yang kerap dianggap bersifat hegemonik atau etnosentris3.
Relativisme moral
secara umum dapat dipahami sebagai penolakan terhadap klaim bahwa ada satu
standar moral yang benar secara objektif, terlepas dari kerangka budaya atau
subjektivitas individu. Dengan demikian, suatu tindakan yang dianggap salah di
satu masyarakat dapat dianggap benar atau sah di masyarakat lain, tanpa harus
tunduk pada penghakiman moral dari sudut pandang eksternal4. Argumen
ini telah menjadi sumber perdebatan intens di kalangan filsuf, terutama karena
relativisme moral sering dianggap melemahkan fondasi etika normatif dan
mengaburkan batas antara toleransi dan permisivitas5.
Namun demikian,
relativisme moral juga menawarkan kontribusi penting dalam wacana etika
kontemporer. Ia mengajak manusia untuk lebih berhati-hati dalam menggeneralisasi
nilai moral dan membuka ruang bagi dialog yang lebih adil dalam perjumpaan
antarbudaya. Dalam masyarakat pluralistik seperti saat ini, perdebatan mengenai
relativisme moral tidak dapat dihindari, melainkan harus dikaji secara mendalam
untuk menemukan keseimbangan antara penghargaan terhadap keberagaman nilai dan
perlindungan terhadap prinsip-prinsip etis yang fundamental6.
Artikel ini akan
membahas relativisme moral secara sistematis, mulai dari definisi dan fondasi
konseptualnya, perkembangan historis, bentuk-bentuk dan argumen pendukungnya,
hingga kritik dan implikasinya dalam konteks global dan keagamaan. Tujuannya
adalah untuk memberikan pemahaman filosofis yang kritis dan reflektif terhadap
salah satu isu paling menantang dalam etika modern.
Footnotes
[1]
James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 8th ed. (New
York: McGraw-Hill Education, 2014), 19–20.
[2]
Melville J. Herskovits, Cultural Relativism: Perspectives in
Cultural Pluralism (New York: Random House, 1972), 11–15.
[3]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 44–46.
[4]
Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity
(Oxford: Blackwell, 1996), 3–6.
[5]
Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and
Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 81–83.
[6]
David B. Wong, Natural Moralities: A Defense of Pluralistic
Relativism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 32–35.
2.
Pengertian dan Dasar Konseptual Relativisme
Moral
Relativisme
moral merupakan salah satu aliran dalam filsafat etika yang
menyatakan bahwa standar moral tidak bersifat universal, melainkan bergantung
pada konteks budaya, sosial, historis, atau bahkan individu. Dalam pandangan
ini, tidak ada kebenaran moral yang berlaku secara mutlak dan tetap untuk
seluruh umat manusia; sebaliknya, klaim-klaim moral dinilai benar atau salah
relatif terhadap kerangka acuan tertentu1.
Secara konseptual,
relativisme moral terbagi ke dalam dua bentuk utama: relativisme
deskriptif dan relativisme normatif. Relativisme
deskriptif adalah klaim empiris bahwa berbagai masyarakat atau kelompok
memiliki sistem moral yang berbeda-beda. Ia tidak membuat penilaian apakah
perbedaan tersebut benar atau salah, melainkan sekadar mengamati bahwa
moralitas memang bervariasi secara budaya2. Sementara itu, relativisme
normatif lebih jauh menyatakan bahwa tidak ada standar moral yang
lebih benar dari yang lain, dan bahwa kita tidak boleh menilai sistem moral
lain menggunakan standar moral kita sendiri3.
Dalam kerangka meta-etika,
relativisme moral sering diasosiasikan dengan penolakan terhadap objektivisme
moral. Objektivisme moral menyatakan bahwa pernyataan moral dapat benar atau
salah secara independen dari kepercayaan atau sikap manusia. Sebaliknya,
relativisme moral berpandangan bahwa kebenaran moral sepenuhnya bergantung pada
sikap dan keyakinan suatu masyarakat atau individu, sehingga tidak mungkin ada satu
prinsip moral yang dapat berlaku universal bagi semua konteks4.
Salah satu dasar
filosofis dari relativisme moral adalah pemahaman bahwa moralitas merupakan
produk konstruksi sosial. Para pendukung relativisme, seperti Gilbert Harman,
menekankan bahwa prinsip-prinsip moral bukanlah entitas metafisik yang
independen, melainkan hasil kesepakatan dalam masyarakat tertentu yang
mencerminkan nilai, pengalaman, dan kebutuhan historisnya5. Oleh
karena itu, upaya untuk menilai budaya lain dengan standar moral sendiri
dianggap sebagai bentuk etnosentrisme yang menyalahi asas keadilan lintas budaya6.
Di sisi lain,
relativisme juga berkaitan erat dengan pragmatisme dan pendekatan
kontekstual dalam filsafat bahasa dan pengetahuan. Richard Rorty, misalnya,
menolak adanya landasan epistemik atau moral yang final dan universal. Baginya,
seluruh sistem nilai hanya dapat dipahami dalam konteks kebudayaan dan wacana
tertentu. Maka, relativisme tidak berarti nihilisme, tetapi justru penegasan
akan pentingnya komunikasi antar-wacana dan sikap ironis terhadap klaim-klaim
kebenaran absolut7.
Meski demikian,
relativisme moral tidak berarti bahwa semua tindakan dapat dibenarkan hanya
karena sesuai dengan nilai-nilai lokal. Dalam bentuknya yang moderat,
relativisme mengakui adanya nilai-nilai dasar yang bersifat lintas budaya,
namun tetap membuka ruang bagi keberagaman dalam ekspresi moral dan norma etis
yang spesifik8.
Dengan demikian,
relativisme moral memberikan kerangka filosofis untuk memahami dan menghargai
pluralisme nilai dalam dunia yang multikultural, sekaligus mengingatkan akan
keterbatasan klaim-klaim moral universal yang tidak peka terhadap konteks
sosial dan budaya yang melatarbelakanginya.
Footnotes
[1]
James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 8th ed. (New
York: McGraw-Hill Education, 2014), 19–21.
[2]
Melville J. Herskovits, Cultural Relativism: Perspectives in
Cultural Pluralism (New York: Random House, 1972), 14.
[3]
Michael Walzer, Interpretation and Social Criticism
(Cambridge: Harvard University Press, 1987), 6–9.
[4]
Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and
Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 72–74.
[5]
Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity
(Oxford: Blackwell, 1996), 4–7.
[6]
Kwame Anthony Appiah, The Ethics of Identity (Princeton:
Princeton University Press, 2005), 97–99.
[7]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 44–47.
[8]
David B. Wong, Natural Moralities: A Defense of Pluralistic
Relativism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 49–51.
3.
Sejarah dan Perkembangan Gagasan Relativisme
Moral
Relativisme moral
sebagai gagasan filosofis tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan berkembang
melalui sejarah panjang interaksi antara pemikiran filsafat, antropologi, dan
pengalaman manusia dalam merespons keragaman nilai moral. Asal-usul relativisme
moral dapat ditelusuri sejak zaman Yunani Kuno, tetapi memperoleh bentuk
konseptual yang lebih sistematis dalam diskursus modern, terutama pada abad
ke-20 seiring dengan munculnya antropologi budaya dan kritik terhadap
etnosentrisme Barat.
3.1.
Akar Relativisme
Moral di Dunia Klasik
Dalam filsafat
Yunani, relativisme awal dapat ditemukan pada pemikiran Protagoras
(ca. 490–420 SM), seorang sofis yang terkenal dengan
ungkapannya: “Man is the measure of all things”
(manusia adalah ukuran segala sesuatu). Pernyataan ini mencerminkan pandangan
bahwa kebenaran, termasuk kebenaran moral, bergantung pada pengalaman dan
persepsi masing-masing individu1. Berbeda dengan Plato dan
Aristoteles yang menekankan pada adanya prinsip moral objektif, para sofis
umumnya lebih skeptis terhadap universalitas nilai moral.
3.2.
Perkembangan dalam
Antropologi Budaya Modern
Relativisme moral
mendapatkan dorongan kuat dari perkembangan antropologi budaya pada awal abad
ke-20, terutama melalui karya Franz Boas, pelopor relativisme
budaya. Boas menolak pendekatan evolusionisme sosial yang menggolongkan budaya
dalam hirarki superior-inferior, dan menyatakan bahwa setiap budaya harus
dipahami dalam konteksnya sendiri2. Murid-murid Boas seperti Ruth
Benedict dan Melville J. Herskovits kemudian
mengembangkan gagasan ini lebih jauh dan menyatakan bahwa sistem moral
bervariasi antarbudaya, dan tidak ada acuan universal yang sah untuk menilai
moralitas suatu masyarakat3.
Herskovits bahkan
mengusulkan apa yang disebut sebagai prinsip relativisme budaya, yang
menyatakan bahwa “it is scientifically untenable to judge the customs of any
other culture by the standards of one’s own”4. Gagasan ini
memberi legitimasi akademis pada relativisme moral deskriptif dan membuka jalan
bagi perdebatan filosofis lebih lanjut.
3.3.
Formulasi Filsafat
Modern dan Meta-Etika
Dalam filsafat moral
modern, relativisme berkembang dalam wilayah meta-etika, yakni analisis
tentang status klaim moral itu sendiri. Gilbert Harman, misalnya,
berpendapat bahwa prinsip-prinsip moral tidak dapat dipahami secara objektif
karena mereka tidak memiliki status fakta seperti klaim ilmiah. Moralitas,
menurut Harman, hanya dapat berlaku dalam sistem-sistem normatif yang
disepakati bersama, dan oleh karena itu bersifat relatif terhadap budaya atau
masyarakat tertentu5.
Demikian pula, Richard
Rorty dalam pendekatannya yang pragmatis menyatakan bahwa tidak
ada “pijakan arsitektural” bagi moralitas. Ia menolak gagasan tentang
landasan epistemologis atau metafisik untuk nilai-nilai moral, dan sebaliknya
memandang semua bentuk etika sebagai konstruksi budaya yang kontingen.
Relativisme dalam versi Rorty bukanlah nihilisme, melainkan bentuk keengganan
untuk mengklaim superioritas nilai tertentu atas nilai yang lain6.
3.4.
Konteks Globalisasi
dan Multikulturalisme
Masuknya dunia ke
dalam era globalisasi dan interkoneksi
budaya telah memperkuat relevansi relativisme moral. Di tengah meningkatnya
mobilitas manusia, percampuran budaya, dan pengaruh nilai-nilai lintas negara, relativisme
menawarkan cara pandang yang lebih terbuka dan toleran dalam menanggapi
perbedaan moral. Dalam masyarakat multikultural, penerimaan terhadap keragaman
nilai dianggap sebagai fondasi harmoni sosial7.
Namun, perkembangan
ini juga memunculkan tantangan baru, seperti bagaimana menyeimbangkan antara
penghargaan terhadap keberagaman moral dan perlindungan terhadap nilai-nilai
dasar, seperti hak asasi manusia. Perdebatan ini terus berlangsung, terutama
dalam forum internasional, pengadilan hak asasi, dan diskusi akademik lintas
budaya.
Footnotes
[1]
W. K. C. Guthrie, The Sophists (Cambridge: Cambridge
University Press, 1971), 162.
[2]
Franz Boas, The Mind of Primitive Man (New York: Macmillan,
1911), 70–72.
[3]
Ruth Benedict, Patterns of Culture (Boston: Houghton Mifflin,
1934), 247; Melville J. Herskovits, Cultural Relativism: Perspectives in
Cultural Pluralism (New York: Random House, 1972), 15–17.
[4]
Melville J. Herskovits, Man and His Works: The Science of Cultural
Anthropology (New York: Knopf, 1948), 64.
[5]
Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity
(Oxford: Blackwell, 1996), 4–6.
[6]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 44–47.
[7]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 83–85.
4.
Bentuk-Bentuk Relativisme Moral
Relativisme moral
bukanlah konsep tunggal, melainkan suatu payung gagasan yang mencakup berbagai
bentuk pandangan tentang bagaimana kebenaran moral ditentukan dan bagaimana ia
berlaku dalam konteks tertentu. Untuk memahami kerangka filsafat relativisme secara
lebih mendalam, penting untuk membedakan beberapa bentuk utama yang telah
dikembangkan dalam kajian etika kontemporer, yaitu: relativisme deskriptif,
relativisme meta-etika, relativisme normatif, relativisme budaya, dan
relativisme individu.
4.1.
Relativisme
Deskriptif
Relativisme
deskriptif merujuk pada klaim empiris bahwa masyarakat dan budaya yang berbeda
memang memiliki sistem moral yang berbeda-beda. Gagasan ini tidak memuat
penilaian normatif, melainkan hanya mencatat adanya keberagaman moral dalam
praktik dan keyakinan antar kelompok sosial. Misalnya, praktik poligami yang
diterima secara sosial di beberapa komunitas tradisional, namun dianggap tidak
bermoral di banyak masyarakat Barat, menunjukkan variasi nilai moral secara
kultural1.
Pendekatan ini
banyak digunakan dalam antropologi budaya dan sosiologi, terutama dalam upaya
memahami nilai-nilai lokal tanpa menghakimi mereka berdasarkan standar luar. Ruth
Benedict menyatakan bahwa moralitas adalah “suatu kebiasaan yang dipelajari
dalam suatu budaya,” dan oleh karena itu, setiap masyarakat memiliki
definisinya sendiri tentang baik dan buruk2.
4.2.
Relativisme
Meta-Etika
Relativisme
meta-etika mengklaim bahwa pernyataan moral seperti “membunuh itu salah”
tidak dapat dinilai sebagai benar atau salah secara objektif, karena tidak ada
fakta moral universal yang mendasarinya. Kebenaran moral, menurut pendekatan
ini, bergantung pada sikap, preferensi, atau sistem kepercayaan dari individu
atau budaya tertentu3.
Tokoh utama dalam
aliran ini adalah Gilbert Harman, yang berargumen bahwa tidak ada "fakta
moral objektif" seperti halnya fakta ilmiah, dan bahwa pernyataan
moral bersifat relatif terhadap kerangka normatif tertentu4.
Relativisme meta-etika berperan penting dalam menolak klaim objektivisme moral
dan menekankan bahwa penilaian moral harus selalu dilihat dalam konteks sosial
dan budaya tertentu.
4.3.
Relativisme Normatif
Relativisme normatif
melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa seseorang seharusnya tidak
menghakimi sistem moral lain dengan standar moralnya sendiri. Artinya,
relativisme normatif mengandung unsur preskriptif: bukan hanya mengakui bahwa
nilai moral berbeda-beda (seperti dalam relativisme deskriptif), tetapi juga
menegaskan bahwa semua sistem moral memiliki kedudukan yang setara dan tidak
ada yang secara intrinsik lebih unggul daripada yang lain5.
Relativisme normatif
menekankan pada pentingnya toleransi dan penghormatan terhadap keberagaman
nilai. Namun, bentuk ini sering kali dikritik karena berpotensi melemahkan
kemampuan untuk mengecam praktik-praktik yang secara luas dianggap tidak etis,
seperti penindasan atau kekerasan atas nama adat atau budaya6.
4.4.
Relativisme Budaya
Relativisme budaya
adalah bentuk khusus dari relativisme normatif yang menyatakan bahwa standar
moral harus dinilai dalam konteks budaya masing-masing. Setiap budaya memiliki
sistem nilai yang membentuk tindakan moral warganya, dan karena itu, tidak adil
untuk menggunakan standar moral dari satu budaya untuk menilai budaya lain7.
Dalam konteks ini,
relativisme budaya sering dijadikan dasar argumentatif untuk menolak intervensi
moral oleh negara-negara Barat terhadap praktik-praktik tradisional di
negara-negara non-Barat. Namun, pendekatan ini juga menimbulkan dilema etis,
terutama ketika budaya lokal melegitimasi praktik yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip hak asasi manusia global8.
4.5.
Relativisme Individu
(Subjectivisme Moral)
Relativisme
individu, yang sering disebut juga sebagai subjectivisme moral, mengklaim
bahwa benar dan salah bersifat relatif terhadap individu. Dalam pandangan ini,
kebenaran moral bergantung sepenuhnya pada keyakinan atau preferensi moral
masing-masing orang9. Misalnya, jika seseorang percaya bahwa
berbohong itu sah dalam keadaan tertentu, maka bagi orang itu, tindakan
tersebut benar, tanpa perlu dikaitkan dengan norma budaya yang lebih luas.
Subjectivisme moral
banyak dikritik karena berujung pada nihilisme moral, yakni
penolakan terhadap adanya standar moral sama sekali. Di sisi lain,
subjectivisme juga membuka ruang diskusi tentang otonomi moral dan peran
subjektivitas dalam pembentukan etika pribadi.
Footnotes
[1]
James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 8th ed. (New
York: McGraw-Hill Education, 2014), 19–21.
[2]
Ruth Benedict, Patterns of Culture (Boston: Houghton Mifflin,
1934), 278.
[3]
Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and
Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 73–75.
[4]
Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity
(Oxford: Blackwell, 1996), 3–5.
[5]
Michael Walzer, Interpretation and Social Criticism
(Cambridge: Harvard University Press, 1987), 11–13.
[6]
Steven Lukes, “Relativism: Cognitive and Moral,” in Relativism:
Interpretation and Confrontation, ed. Michael Krausz (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1989), 290–92.
[7]
Melville J. Herskovits, Cultural Relativism: Perspectives in
Cultural Pluralism (New York: Random House, 1972), 12–14.
[8]
Kwame Anthony Appiah, The Ethics of Identity (Princeton: Princeton
University Press, 2005), 112–14.
[9]
Louis P. Pojman and James Fieser, Ethics: Discovering Right and
Wrong, 8th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 22–25.
5.
Argumen Pendukung Relativisme Moral
Relativisme moral
memperoleh daya tariknya dari sejumlah argumen filosofis dan empiris yang
dianggap menggugurkan klaim-klaim objektivisme etis. Para pendukung relativisme
berpendapat bahwa pluralitas nilai moral, peran konteks budaya, serta sifat
konstruktif dari moralitas menjadi dasar yang kuat untuk mempertanyakan
validitas standar moral yang universal. Beberapa argumen berikut ini sering
dijadikan fondasi utama dalam pembelaan terhadap relativisme moral.
5.1.
Pluralitas Budaya
dan Keanekaragaman Nilai Moral
Salah satu argumen
paling kuat untuk mendukung relativisme moral adalah kenyataan empiris bahwa
sistem moral sangat bervariasi antara satu masyarakat dan yang lainnya.
Antropolog seperti Ruth Benedict dan Melville
J. Herskovits menunjukkan bahwa tindakan yang dianggap bermoral
di satu kebudayaan bisa jadi dianggap tidak bermoral di kebudayaan lain, tanpa
bisa disimpulkan mana yang benar secara objektif1.
Contohnya,
praktik-praktik seperti euthanasia, poligami, atau sanksi hukum tradisional
sering kali menimbulkan konflik nilai antarbudaya. Dalam konteks ini,
relativisme moral menawarkan solusi: bahwa setiap praktik etis hanya bisa
dipahami dan dievaluasi dalam kerangka norma budaya masing-masing2.
5.2.
Penolakan terhadap
Etnosentrisme
Relativisme moral
juga berfungsi sebagai kritik terhadap etnosentrisme, yakni kecenderungan
untuk menilai budaya lain berdasarkan standar moral budaya sendiri. Pendekatan
ini menganggap bahwa upaya memaksakan nilai-nilai moral universal sering kali
menjadi alat dominasi kultural, terutama dalam sejarah kolonialisme dan
imperialisme moral Barat terhadap dunia non-Barat3.
Dengan demikian,
relativisme moral dianggap lebih inklusif dan demokratis, karena menghormati
keberagaman sistem nilai dan menolak penghakiman moral sepihak. Dalam pandangan
ini, toleransi terhadap perbedaan moral adalah bentuk penghormatan terhadap
otonomi budaya4.
5.3.
Moralitas sebagai
Konstruksi Sosial
Relativisme moral
juga didukung oleh pandangan bahwa moralitas bukan merupakan entitas objektif
yang independen, melainkan konstruksi sosial yang dibentuk oleh pengalaman
historis, struktur kekuasaan, dan kepentingan kolektif suatu komunitas. Gilbert
Harman menegaskan bahwa tidak ada "fakta moral"
yang berdiri sendiri; nilai-nilai moral selalu muncul dalam sistem sosial
tertentu, dan tidak dapat dipisahkan dari konteksnya5.
Dengan demikian,
upaya mencari prinsip moral yang berlaku untuk semua masyarakat dianggap
sebagai bentuk abstraksi yang keliru dan tidak realistis. Moralitas, dalam
pandangan ini, adalah produk dinamika sosial yang berubah-ubah sesuai dengan
kebutuhan dan norma masyarakat6.
5.4.
Toleransi sebagai
Nilai Etis
Relativisme moral
sering dikaitkan dengan toleransi, yakni sikap untuk
tidak memaksakan satu sistem moral atas sistem lain. Para pendukung relativisme
menekankan bahwa menerima keragaman moral adalah wujud kedewasaan etis dan
penghormatan terhadap hak otonomi individu maupun budaya7.
Dalam konteks
masyarakat multikultural dan global yang plural, relativisme moral menjadi
landasan filosofis untuk membangun koeksistensi damai tanpa saling mendikte.
Argumen ini relevan khususnya dalam persoalan etika global seperti hak
perempuan, kebebasan berekspresi, dan norma keluarga yang berbeda-beda
antarbudaya8.
5.5.
Kritik terhadap
Objektivisme Moral
Argumen lain yang
menguatkan relativisme moral adalah lemahnya fondasi objektivisme moral. Filsuf
seperti Richard Rorty dan Paul
Boghossian mempertanyakan apakah mungkin terdapat nilai moral
yang valid secara independen dari bahasa, budaya, dan struktur pengetahuan
manusia9. Jika kebenaran moral tidak dapat diverifikasi secara
objektif seperti kebenaran ilmiah, maka relativisme menjadi posisi yang lebih
jujur secara epistemologis dan konsisten dengan kompleksitas dunia nyata.
Footnotes
[1]
Ruth Benedict, Patterns of Culture (Boston: Houghton Mifflin,
1934), 278–279.
[2]
Melville J. Herskovits, Cultural Relativism: Perspectives in
Cultural Pluralism (New York: Random House, 1972), 12–15.
[3]
Kwame Anthony Appiah, The Ethics of Identity (Princeton: Princeton
University Press, 2005), 106–109.
[4]
Michael Walzer, Thick and Thin: Moral Argument at Home and Abroad
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 3–6.
[5]
Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity
(Oxford: Blackwell, 1996), 6–9.
[6]
David B. Wong, Natural Moralities: A Defense of Pluralistic
Relativism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 33–35.
[7]
James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 8th ed. (New
York: McGraw-Hill Education, 2014), 23–24.
[8]
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities
Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 47–50.
[9]
Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and
Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 78–80; Richard Rorty, Contingency,
Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989),
50–52.
6.
Kritik dan Tantangan terhadap Relativisme Moral
Meskipun relativisme
moral menawarkan suatu pendekatan yang toleran dan adaptif dalam memahami
keragaman nilai, aliran ini juga menuai berbagai kritik tajam, baik dari filsuf
moral tradisional maupun dari pembela hak asasi manusia. Kritik terhadap
relativisme moral terutama menyasar kelemahan epistemologis, implikasi etis
yang meragukan, serta kontradiksi logis yang melekat dalam kerangka berpikirnya.
Beberapa tantangan utama berikut ini menyoroti persoalan mendasar yang dihadapi
oleh relativisme sebagai teori etika.
6.1.
Masalah dengan
Kritisime Moral Lintas Budaya
Salah satu kritik
paling mendasar terhadap relativisme moral adalah ketidakmampuannya memberikan
dasar untuk mengecam praktik-praktik tidak manusiawi dalam masyarakat lain.
Jika semua sistem moral setara, maka kita tidak dapat secara moral mengutuk
praktik seperti genosida, perbudakan, mutilasi alat kelamin perempuan, atau
penindasan terhadap kelompok minoritas—selama praktik tersebut dianggap sah
oleh budaya lokal1.
James
Rachels mengemukakan bahwa jika relativisme moral diterima
sepenuhnya, maka perbedaan antara masyarakat yang menghargai kehidupan dan
masyarakat yang melegalkan pembunuhan tidak dapat dinilai secara etis. Hal ini
berpotensi menciptakan ketidakpedulian terhadap penderitaan yang terjadi di
luar komunitas kita sendiri2.
6.2.
Kontradiksi dalam
Relativisme Normatif
Relativisme moral
dalam bentuk normatif sering kali jatuh dalam kontradiksi logis. Di satu sisi,
ia menolak klaim moral universal, tetapi di sisi lain justru mempromosikan
toleransi sebagai prinsip moral universal. Artinya, relativisme menyatakan
bahwa "tidak ada kebenaran moral objektif," namun sekaligus
menuntut agar semua orang menghormati keberagaman nilai—sebuah klaim normatif
universal yang bertentangan dengan posisi relativistik itu sendiri3.
Paul
Boghossian menyebut paradoks ini sebagai bentuk performative
inconsistency, yakni ketika suatu teori menyangkal prinsip
universal tetapi tetap mengandalkannya untuk membela posisinya sendiri4.
6.3.
Risiko Nihilisme
Moral
Relativisme yang
ekstrem dapat berujung pada nihilisme moral, yaitu
keyakinan bahwa tidak ada nilai moral yang benar, dan karena itu tidak ada
alasan rasional untuk memilih satu tindakan moral di atas tindakan lain. Dalam
kerangka ini, semua pilihan menjadi setara, sehingga tindakan kejam dan
tindakan mulia bisa diperlakukan secara moral setara, tergantung pada siapa
yang menilai5.
Kondisi ini dapat
melemahkan komitmen terhadap keadilan, kemanusiaan, dan integritas etis, serta
membuat etika kehilangan daya normatifnya sebagai pedoman perilaku. Relativisme
semacam ini tidak hanya membingungkan secara praktis, tetapi juga membahayakan
secara sosial ketika digunakan untuk membenarkan tindakan amoral.
6.4.
Ketidakstabilan
Moral dalam Masyarakat Plural
Dalam masyarakat
yang pluralistik, relativisme moral dapat menimbulkan fragmentasi nilai yang
membuat kohesi sosial sulit dipertahankan. Jika setiap kelompok atau individu
merasa berhak memegang standar moralnya sendiri tanpa batas, maka ruang untuk
dialog etis dan konsensus bersama menjadi lemah. Hal ini menciptakan risiko
anarki moral, di mana tidak ada titik temu dalam penyelesaian konflik nilai6.
Sebaliknya, etika
intersubjektif atau pendekatan pluralisme normatif menawarkan
alternatif yang memungkinkan keberagaman nilai tanpa harus mengorbankan
kerangka normatif bersama. Pendekatan ini mengakui pluralitas etis, namun tetap
mencari landasan normatif minimal yang dapat diterima oleh berbagai pihak7.
6.5.
Tantangan terhadap
Hak Asasi Manusia
Dalam forum
internasional, relativisme moral juga dianggap sebagai ancaman terhadap rezim
hak asasi manusia (HAM). Para kritikus menekankan bahwa jika
relativisme moral diterima secara luas, maka negara atau kelompok tertentu
dapat menolak prinsip-prinsip HAM dengan dalih budaya lokal atau norma adat,
padahal prinsip-prinsip tersebut merupakan hasil konsensus global tentang
perlindungan martabat manusia8.
Martha
Nussbaum menolak relativisme sebagai pembenaran bagi
praktik-praktik diskriminatif, khususnya terhadap perempuan dan kelompok
rentan. Ia menekankan perlunya capabilities approach—kerangka
normatif yang menghormati budaya lokal tetapi tetap menjamin keadilan universal
dalam bentuk kebebasan dan otonomi manusia9.
Footnotes
[1]
Michael Walzer, Thick and Thin: Moral Argument at Home and Abroad
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 13–16.
[2]
James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 8th ed. (New
York: McGraw-Hill Education, 2014), 24–27.
[3]
Steven Lukes, “Relativism: Cognitive and Moral,” in Relativism:
Interpretation and Confrontation, ed. Michael Krausz (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1989), 290–92.
[4]
Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and
Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 89–90.
[5]
Louis P. Pojman and James Fieser, Ethics: Discovering Right and
Wrong, 8th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 31–34.
[6]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 102–105.
[7]
David B. Wong, Natural Moralities: A Defense of Pluralistic
Relativism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 49–53.
[8]
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice,
3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 89–92.
[9]
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities
Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 43–46.
7.
Relativisme Moral dalam Konteks Kontemporer
Relativisme moral
tidak hanya menjadi wacana dalam ranah teoritis filsafat, tetapi juga memainkan
peran penting dalam merespons kompleksitas etika di dunia kontemporer.
Globalisasi, migrasi internasional, multikulturalisme, serta kemajuan teknologi
informasi telah membawa manusia ke dalam ruang interaksi moral yang semakin
plural dan saling bertabrakan. Dalam situasi seperti ini, relativisme moral
kerap muncul baik sebagai prinsip toleransi maupun sebagai titik perdebatan
dalam menentukan batas etis lintas budaya.
7.1.
Multikulturalisme
dan Etika Antarbudaya
Dalam masyarakat
multikultural, relativisme moral sering dipandang sebagai landasan untuk
menjembatani perbedaan nilai dan praktik etis yang berakar dari latar belakang
budaya yang beragam. Pendekatan ini memberikan ruang untuk pengakuan terhadap
identitas kultural yang berbeda, serta menolak pendekatan hegemonik yang
memaksakan nilai-nilai dominan terhadap minoritas1.
Kwame
Anthony Appiah mengemukakan bahwa dalam dunia yang semakin
terhubung, prinsip cosmopolitanism—yang menggabungkan
penghormatan terhadap perbedaan dengan komitmen terhadap nilai-nilai
kemanusiaan bersama—merupakan alternatif terhadap relativisme ekstrem maupun
absolutisme etis2. Dalam kerangka ini, relativisme membantu
membangun dialog etis antarbudaya, meskipun tetap memerlukan prinsip normatif
minimum untuk menjaga martabat manusia secara universal.
7.2.
Relativisme dalam
Isu-isu Sosial Global
Berbagai persoalan
global kontemporer memperlihatkan ketegangan antara nilai-nilai universal dan
klaim relativistik atas moralitas lokal. Misalnya, perdebatan tentang hak LGBTQ+,
kebebasan beragama, aborsi, dan hukuman mati menampilkan bagaimana suatu
tindakan dapat dinilai benar atau salah tergantung pada norma kultural atau
religius masyarakat tertentu.
Di satu sisi,
relativisme memungkinkan masyarakat untuk menolak intervensi asing atas dasar
kedaulatan moral budaya. Di sisi lain, ia menimbulkan persoalan etis ketika
digunakan untuk membenarkan diskriminasi atau pelanggaran hak asasi manusia3.
Jack
Donnelly mengingatkan bahwa relativisme tidak boleh menjadi
alasan untuk menolak prinsip-prinsip dasar HAM yang telah dikukuhkan sebagai
bagian dari kesepakatan moral global4.
7.3.
Relativisme dalam
Etika Profesi dan Teknologi
Perkembangan
teknologi dan globalisasi ekonomi menantang penerapan nilai moral tunggal dalam
etika profesi, khususnya dalam bidang bisnis internasional, kedokteran, dan
kecerdasan buatan. Dalam dunia korporasi multinasional, misalnya, relativisme
moral tampak dalam kebijakan perusahaan yang menyesuaikan etika bisnisnya
dengan budaya lokal. Apa yang dianggap praktik etis di satu negara belum tentu
diterima di negara lain, seperti dalam kasus pemberian gift
(yang bisa dilihat sebagai suap di negara tertentu)5.
Sementara itu, dalam
dunia bioetika dan teknologi digital, relativisme muncul dalam dilema moral
seputar privasi, rekayasa genetik, dan kecerdasan buatan. Setiap
komunitas—terutama dengan latar belakang religius dan budaya yang
berbeda—memiliki kerangka moralnya sendiri dalam menilai isu-isu tersebut6.
Oleh karena itu, relativisme moral mengharuskan etika teknologi dirumuskan
dalam dialog antar sistem nilai yang terbuka dan adaptif.
7.4.
Implikasi terhadap
Pendidikan Moral
Dalam konteks
pendidikan moral di era global, relativisme mendorong pendekatan pedagogis yang
menekankan pada empati, refleksi kritis, dan pengakuan terhadap pluralitas
nilai. Pendidikan tidak lagi bertumpu pada indoktrinasi norma tunggal,
melainkan pada pemahaman lintas budaya dan pembentukan etika dialogis yang
menghargai perbedaan7.
Namun demikian,
tantangan terbesar dalam pendidikan adalah menjaga agar relativisme tidak
bergeser menjadi sikap permisif atau relativisme total, yang justru mengaburkan
batas antara benar dan salah secara praktis. Karena itu, banyak pendidik dan
filsuf moral mengusulkan model pluralisme etis terbimbing—sebuah
pendekatan yang mengakui pluralitas nilai, tetapi tetap menanamkan
prinsip-prinsip dasar seperti keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab sosial8.
7.5.
Keseimbangan antara
Relativisme dan Prinsip Universal
Dalam dunia
kontemporer yang ditandai oleh krisis ekologi, konflik antaragama, dan
ketimpangan global, relativisme moral perlu dipadukan dengan upaya mencari
landasan etis bersama. David B. Wong menyarankan
pendekatan pluralistic
relativism, yaitu suatu bentuk relativisme yang mengakui
keberagaman nilai, namun sekaligus menerima kemungkinan adanya titik temu dalam
nilai-nilai mendasar yang disepakati secara lintas budaya9.
Dengan demikian,
relativisme moral tetap relevan sebagai kerangka kerja filosofis dalam
menyikapi pluralisme nilai, asalkan dipadukan dengan prinsip reflektif,
dialogis, dan tanggung jawab global. Posisi ini memungkinkan moralitas
berkembang secara kontekstual tanpa kehilangan komitmen terhadap kemanusiaan
universal.
Footnotes
[1]
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of
Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995), 75–78.
[2]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 151–154.
[3]
Richard A. Shweder, Thinking Through Cultures: Expeditions in
Cultural Psychology (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 127–130.
[4]
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice,
3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 98–101.
[5]
Thomas Donaldson and Patricia H. Werhane, Ethical Issues in
Business: A Philosophical Approach, 8th ed. (Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall, 2007), 282–285.
[6]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 143–146.
[7]
Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral
Education, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2003),
181–183.
[8]
Larry Nucci, Education in the Moral Domain (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 155–157.
[9]
David B. Wong, Natural Moralities: A Defense of Pluralistic Relativism
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 57–61.
8.
Relativisme Moral dan Perspektif Agama
Perspektif keagamaan
secara umum berdiri dalam posisi yang kontras dengan relativisme moral.
Agama-agama besar dunia, baik dalam tradisi teistik seperti Islam, Kristen, dan
Yahudi, maupun dalam kerangka filosofis-religius seperti Hindu dan Buddhisme,
cenderung memegang teguh prinsip absolutisme moral, yakni
keyakinan bahwa nilai-nilai moral bersumber dari wahyu ilahi atau hukum kodrati
yang bersifat tetap dan universal. Dalam konteks ini, relativisme moral
dipandang sebagai tantangan serius terhadap fondasi etika keagamaan karena
mengaburkan klaim kebenaran moral yang bersumber dari Tuhan atau
prinsip-prinsip metafisis yang dianggap tak berubah.
8.1.
Islam dan Penolakan
terhadap Relativisme Moral
Dalam Islam, sistem
etika dibangun atas dasar wahyu (al-Qur’an) dan sunnah Nabi Muhammad, yang
memberikan kerangka moral normatif dan mengikat. Nilai-nilai seperti keadilan (al-‘adl),
kebaikan (al-khayr),
dan tanggung jawab (amanah) diyakini bersifat objektif
karena diturunkan oleh Allah sebagai sumber moral tertinggi. Oleh karena itu,
pandangan bahwa moralitas hanya relatif terhadap budaya atau individu
bertentangan dengan konsep syariah dan akhlak Islam1.
Fazlur
Rahman, seorang pemikir Islam kontemporer, menekankan
pentingnya moral
thrust dalam al-Qur’an sebagai pedoman etika yang transenden,
meskipun dalam penerapannya tetap mempertimbangkan konteks historis dan sosial2.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam mengenal fleksibilitas dalam aplikasi norma,
tetapi tidak mengaburkan nilai moral fundamentalnya.
8.2.
Kekristenan dan
Hukum Moral Ilahi
Dalam teologi
Kristen, konsep moralitas juga bersumber dari Tuhan, terutama melalui Hukum
Taurat, Injil, dan suara hati sebagai bagian dari natural law theology. Santo Thomas
Aquinas menekankan bahwa hukum moral adalah bagian dari lex
divina (hukum ilahi) yang berlaku universal bagi seluruh umat
manusia karena berakar pada rasionalitas dan kehendak Tuhan3.
Relativisme moral,
dalam perspektif Kristen konservatif, sering dikritik karena merelatifkan dosa
dan menggantikan otoritas ilahi dengan subjektivitas manusia. Tokoh seperti Pope
John Paul II dalam ensiklik Veritatis Splendor menegaskan
pentingnya kebenaran moral objektif yang tidak tunduk pada perubahan opini
sosial atau budaya4.
Namun demikian,
beberapa teolog progresif mengakui perlunya dialog antara nilai-nilai universal
Injili dan konteks sosial kontemporer. Pendekatan ini lebih mirip dengan pluralisme
etis, bukan relativisme, karena tetap menjunjung nilai-nilai
absolut sambil membuka ruang pemahaman lintas budaya.
8.3.
Hindu, Buddhisme,
dan Etika Kontekstual
Dalam tradisi Hindu,
etika diatur oleh konsep Dharma, yang bersifat kontekstual
namun tetap berakar pada prinsip-prinsip moral kosmis yang dianggap suci. Meski
Dharma
dapat berbeda berdasarkan kasta, usia, dan situasi hidup, ia tidak sepenuhnya
relativistik karena tetap memiliki landasan metafisis dalam Sanatana
Dharma (hukum abadi)5.
Dalam Buddhisme,
moralitas berakar pada ajaran Karma dan Noble
Eightfold Path, yang lebih pragmatis daripada dogmatis. Meskipun
Buddhisme mengajarkan toleransi dan non-dogmatisme, prinsip-prinsip seperti
kasih sayang (karuṇā) dan tidak menyakiti (ahiṃsā)
tetap diposisikan sebagai nilai-nilai moral universal6. Karenanya,
meskipun tampak lebih lentur, etika Buddhis tetap menolak relativisme moral
mutlak karena bertentangan dengan tujuan utama spiritual: mengurangi
penderitaan dan mencapai pencerahan.
8.4.
Ketegangan antara
Relativisme dan Klaim Kebenaran Agama
Salah satu persoalan
mendasar dalam hubungan antara relativisme moral dan agama adalah klaim
eksklusivitas kebenaran. Sebagian kalangan agama melihat
relativisme sebagai bentuk relativisme agama (religious relativism) yang
mengarah pada agnostisisme moral. Pandangan ini dianggap mengancam klaim bahwa
wahyu tertentu adalah satu-satunya sumber kebenaran moral yang sah7.
Akan tetapi,
terdapat pula pendekatan teologi pluralis yang berusaha
menjembatani perbedaan, seperti yang dikembangkan oleh John
Hick, yang menekankan bahwa agama-agama besar menawarkan jalan
etis menuju transformasi manusia, meskipun menggunakan simbol dan bahasa yang
berbeda8. Pandangan ini membuka kemungkinan adanya nilai-nilai moral
universal yang dapat ditemukan melalui refleksi lintas iman.
Kesimpulan Relasional
Secara keseluruhan,
meskipun relativisme moral bertentangan dengan banyak pandangan teologis yang
menekankan objektivitas moral, terdapat titik temu dalam bentuk keterbukaan
terhadap konteks sosial dalam penerapan norma. Tantangannya adalah menemukan
keseimbangan antara prinsip moral transenden yang
dipegang teguh oleh agama, dan pengakuan terhadap kompleksitas budaya dan
historis dalam kehidupan manusia kontemporer. Pendekatan ini
mengarah pada etika kontekstual-religius,
yang tidak sepenuhnya absolutis, tetapi juga tidak terjerumus pada relativisme
ekstrem.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperOne, 2002), 113–115.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
19–22.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, q. 91, art. 2.
[4]
Pope John Paul II, Veritatis Splendor, Encyclical Letter
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1993), §32–34.
[5]
Arvind Sharma, Classical Hindu Thought: An Introduction (New
Delhi: Oxford University Press, 2000), 49–53.
[6]
Damien Keown, Buddhist Ethics: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 12–15.
[7]
R.C. Sproul, Defending Your Faith: An Introduction to Apologetics
(Wheaton: Crossway Books, 2003), 104–106.
[8]
John Hick, God Has Many Names (Louisville: Westminster John
Knox Press, 1982), 36–38.
9.
Sintesis dan Alternatif Pendekatan
Perdebatan antara
relativisme moral dan universalisme etis telah lama menjadi kutub dialektika
dalam filsafat moral. Di satu sisi, relativisme menekankan keberagaman norma
dan konteks budaya yang tidak bisa direduksi ke dalam satu sistem moral
tunggal. Di sisi lain, universalisme moral menekankan pada perlunya
prinsip-prinsip etis yang berlaku lintas ruang dan waktu demi menjamin keadilan
dan kemanusiaan universal. Dalam menghadapi polarisasi ini, sejumlah pemikir
dan pendekatan filsafat etika kontemporer berupaya merumuskan jalan
tengah yang bersifat reflektif, dialogis, dan pluralistik.
9.1.
Pluralisme Etis
sebagai Alternatif Reflektif
Salah satu
pendekatan yang muncul sebagai alternatif terhadap relativisme mutlak maupun
universalisme dogmatis adalah pluralisme etis. Pendekatan ini
mengakui bahwa terdapat berbagai sistem nilai yang sahih secara internal, namun
tetap memungkinkan adanya kesamaan atau titik temu dalam prinsip-prinsip etis
yang mendasar. Michael Walzer, misalnya,
mengemukakan gagasan thick and thin moralities, yaitu
bahwa setiap budaya memiliki moralitas yang "kental" (konkret
dan kontekstual), tetapi juga terdapat nilai "tipis" (umum dan
minimal) yang bisa menjadi dasar komunikasi moral antarbudaya1.
Pluralisme etis
menolak penyederhanaan baik dalam bentuk absolutisme moral maupun relativisme
ekstrem, dan lebih menekankan pada kemampuan manusia untuk berempati
dan berdialog dalam perbedaan. Nilai-nilai seperti larangan atas
penyiksaan, pentingnya kejujuran, dan penghormatan terhadap kehidupan sering
kali ditemukan dalam berbagai tradisi, meskipun dalam formulasi yang berbeda2.
9.2.
Relativisme Moderat
dan Kontekstualisme Moral
Alternatif lain yang
diajukan adalah bentuk relativisme moderat, yang
membedakan antara relativitas penerapan nilai dan relativitas prinsip moral itu
sendiri. Pendekatan ini menyatakan bahwa meskipun cara penghayatan dan
implementasi moral berbeda-beda antarbudaya, bukan berarti semua nilai bersifat
sewenang-wenang. David B. Wong menyebut ini
sebagai pluralistic
relativism, yakni pandangan bahwa terdapat berbagai cara sah untuk
hidup bermoral, namun masih dalam batasan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar3.
Dengan demikian,
relativisme moderat tidak mengarah pada nihilisme, tetapi membuka ruang untuk kontekstualisme
moral—yaitu pendekatan yang mempertimbangkan realitas sosial dan
budaya dalam penilaian etis, tanpa kehilangan kerangka refleksi moral yang
rasional dan bertanggung jawab4.
9.3.
Pendekatan Dialogis
dan Interkultural Ethics
Dalam dunia global
yang semakin terhubung, banyak filsuf menekankan pentingnya etika
dialogis atau intercultural ethics, yang
menempatkan dialog antarbudaya sebagai pusat pembentukan norma etis bersama.
Pendekatan ini didasarkan pada prinsip bahwa kebenaran moral tidak ditemukan
dalam isolasi, tetapi dibentuk melalui proses negosiasi antara sistem nilai
yang berbeda, dengan prinsip timbal balik, empati, dan keterbukaan5.
Jürgen
Habermas, dalam teori diskursus etika, mengusulkan bahwa
prinsip moral yang sah adalah hasil dari kesepakatan rasional di antara
pihak-pihak yang setara dan bebas dari tekanan. Meskipun tidak menolak
keberagaman budaya, ia menggarisbawahi bahwa legitimasi moral dapat dicapai
melalui komunikasi terbuka yang bertujuan mencari pemahaman dan konsensus6.
9.4.
Prinsip Etika Global
sebagai Landasan Minimal
Sejalan dengan
pendekatan dialogis, sejumlah upaya internasional juga telah merumuskan kerangka
etika global minimal yang berfungsi sebagai pijakan moral
bersama. Misalnya, “Declaration Toward a Global Ethic”
yang diadopsi oleh Parliament of the World’s Religions
(1993) merumuskan prinsip-prinsip moral universal seperti larangan pembunuhan,
kejujuran, keadilan, dan solidaritas sosial sebagai nilai-nilai dasar yang
diakui lintas budaya dan agama7.
Kerangka ini bukan
bentuk universalisme dogmatis, tetapi lebih sebagai hasil konsensus etis
minimum yang dapat dijadikan dasar untuk kerja sama global dalam bidang HAM,
keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
9.5.
Keseimbangan antara
Etika Universal dan Sensitivitas Budaya
Alternatif yang
paling konstruktif tampaknya adalah pendekatan integratif, yakni usaha untuk
menyeimbangkan antara penghargaan terhadap konteks budaya (sensitivitas moral)
dengan prinsip-prinsip dasar yang dapat diterima secara lintas komunitas. Dalam
kerangka ini, moralitas dipandang sebagai suatu proses dinamis yang terus
dibentuk oleh interaksi antara nilai-nilai partikular dan aspirasi universal
manusia untuk hidup bermartabat.
Pendekatan ini tidak
hanya menolak klaim absolutisme moral yang kaku, tetapi juga mencegah
relativisme menjadi dalih bagi ketidakadilan dan pelanggaran etis. Ia
menempatkan moralitas dalam ranah refleksi kritis dan keterlibatan sosial yang
terus-menerus.
Footnotes
[1]
Michael Walzer, Thick and Thin: Moral Argument at Home and Abroad
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 1–5.
[2]
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities
Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 42–44.
[3]
David B. Wong, Natural Moralities: A Defense of Pluralistic
Relativism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 60–63.
[4]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 511–514.
[5]
William Schweiker, Theological Ethics and Global Dynamics: In the
Time of Many Worlds (Oxford: Blackwell Publishing, 2004), 78–81.
[6]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press,
1990), 116–119.
[7]
Hans Küng and Karl-Josef Kuschel, eds., A Global Ethic: The
Declaration of the Parliament of the World's Religions (London: SCM Press,
1993), 18–22.
10.
Penutup
Relativisme moral
merupakan salah satu aliran penting dalam filsafat etika yang menantang
klaim-klaim objektivisme moral dengan menekankan bahwa nilai dan prinsip etis
bersifat kontekstual dan ditentukan oleh kebudayaan, masyarakat, atau bahkan
individu tertentu. Melalui pendekatan ini, relativisme berupaya menghargai
pluralitas nilai dalam masyarakat global yang multikultural dan kompleks,
sekaligus menolak dominasi moral universal yang kerap bersifat etnosentris atau
hegemonik1.
Sepanjang pembahasan
ini, terlihat bahwa relativisme moral bukanlah posisi yang tunggal, melainkan
mencakup berbagai varian seperti relativisme deskriptif, meta-etika, normatif,
budaya, dan individu. Setiap bentuk menawarkan cara pandang yang berbeda
terhadap bagaimana moralitas dibentuk, diterapkan, dan dipahami dalam kehidupan
sosial2. Di sisi lain, kritik-kritik yang diajukan terhadap
relativisme juga menunjukkan bahwa pendekatan ini memiliki sejumlah kelemahan,
antara lain sulitnya menetapkan batas kritik etis, potensi terjadinya nihilisme
moral, dan inkonsistensi logis dalam relativisme normatif3.
Dalam konteks
kontemporer, relativisme moral memberikan kontribusi penting dalam memahami
tantangan-tantangan etika global, mulai dari isu-isu HAM, keberagaman agama,
hingga problematika etika teknologi dan bisnis. Akan tetapi, tantangan
globalisasi juga menuntut pendekatan yang melampaui dikotomi antara relativisme
dan absolutisme. Oleh karena itu, banyak pemikir mengusulkan pendekatan
alternatif seperti pluralisme etis, relativisme moderat, etika dialogis, dan
kerangka etika global minimal yang mencoba menjembatani nilai-nilai partikular
dengan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan4.
Secara normatif,
artikel ini menyimpulkan bahwa relativisme moral dapat menjadi alat analisis
yang kritis dan konstruktif sejauh ia tidak disalahgunakan sebagai pembenaran
atas pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan. Ia perlu diposisikan sebagai pijakan
untuk membangun kewaspadaan etis terhadap bahaya
absolutisme moral sekaligus menjadi pemicu bagi dialog yang terbuka, reflektif,
dan saling menghargai dalam ranah etika global5.
Dengan demikian,
pemahaman terhadap relativisme moral yang mendalam dan kritis tidak hanya
memperkaya wacana filsafat etika, tetapi juga relevan secara praktis dalam
upaya mewujudkan keadaban bersama dalam masyarakat yang plural dan dinamis.
Footnotes
[1]
Ruth Benedict, Patterns of Culture (Boston: Houghton Mifflin,
1934), 278–279.
[2]
Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity
(Oxford: Blackwell, 1996), 3–7.
[3]
Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and
Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 89–90.
[4]
David B. Wong, Natural Moralities: A Defense of Pluralistic
Relativism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 57–61.
[5]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 151–154.
Daftar Pustaka
Appiah, K. A. (2005). The ethics of identity.
Princeton University Press.
Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in
a world of strangers. W. W. Norton.
Aquinas, T. (n.d.). Summa Theologiae. (I–II,
q. 91, art. 2).
Benedict, R. (1934). Patterns of culture.
Houghton Mifflin.
Boghossian, P. (2006). Fear of knowledge:
Against relativism and constructivism. Clarendon Press.
Donnelly, J. (2013). Universal human rights in
theory and practice (3rd ed.). Cornell University Press.
Donaldson, T., & Werhane, P. H. (2007). Ethical
issues in business: A philosophical approach (8th ed.). Prentice Hall.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and
communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT
Press.
Harman, G. (1996). Moral relativism and moral
objectivity. Blackwell.
Herskovits, M. J. (1948). Man and his works: The
science of cultural anthropology. Knopf.
Herskovits, M. J. (1972). Cultural relativism:
Perspectives in cultural pluralism. Random House.
Hick, J. (1982). God has many names.
Westminster John Knox Press.
Keown, D. (2005). Buddhist ethics: A very short
introduction. Oxford University Press.
Küng, H., & Kuschel, K.-J. (Eds.). (1993). A
global ethic: The declaration of the Parliament of the World's Religions.
SCM Press.
Kymlicka, W. (1995). Multicultural citizenship:
A liberal theory of minority rights. Oxford University Press.
Nasr, S. H. (2002). The heart of Islam: Enduring
values for humanity. HarperOne.
Noddings, N. (2003). Caring: A relational
approach to ethics and moral education (2nd ed.). University of California
Press.
Nussbaum, M. C. (2000). Women and human
development: The capabilities approach. Cambridge University Press.
Pojman, L. P., & Fieser, J. (2017). Ethics:
Discovering right and wrong (8th ed.). Cengage Learning.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation
of an intellectual tradition. University of Chicago Press.
Rachels, J. (2014). The elements of moral
philosophy (8th ed.). McGraw-Hill Education.
Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and
solidarity. Cambridge University Press.
Schweiker, W. (2004). Theological ethics and
global dynamics: In the time of many worlds. Blackwell Publishing.
Sharma, A. (2000). Classical Hindu thought: An
introduction. Oxford University Press.
Shweder, R. A. (1991). Thinking through
cultures: Expeditions in cultural psychology. Harvard University Press.
Sproul, R. C. (2003). Defending your faith: An
introduction to apologetics. Crossway Books.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Walzer, M. (1987). Interpretation and social
criticism. Harvard University Press.
Walzer, M. (1994). Thick and thin: Moral
argument at home and abroad. University of Notre Dame Press.
Wong, D. B. (2006). Natural moralities: A
defense of pluralistic relativism. Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar