Senin, 16 Juni 2025

Feodalisme: Evolusi Sistem Sosial-Politik dari Abad Pertengahan hingga Relevansi Kontemporer

Feodalisme

Evolusi Sistem Sosial-Politik dari Abad Pertengahan hingga Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Ilmu Pemerintahan.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif evolusi sistem feodalisme sebagai tatanan sosial-politik, ekonomi, dan kultural yang mendominasi Eropa pada Abad Pertengahan serta jejak keberlanjutannya dalam masyarakat kontemporer. Kajian ini dimulai dengan menelusuri asal-usul historis feodalisme pasca runtuhnya Kekaisaran Romawi, diikuti oleh pembahasan struktur sosial-politik hierarkis antara raja, bangsawan, vasal, dan petani. Artikel ini juga mengkaji dimensi filosofis dan ideologis feodalisme yang didasarkan pada konsep hierarki alamiah, legitimasi ilahiah, serta norma kesetiaan dan kehormatan. Aspek ekonomi dibahas dalam konteks sistem agraris tertutup yang bergantung pada kerja paksa dan relasi non-pasar. Di samping itu, artikel ini mengeksplorasi peran feodalisme dalam membentuk kebudayaan abad pertengahan, termasuk dalam seni, sastra, pendidikan, dan keagamaan. Selanjutnya, dibahas pula krisis multidimensional yang menyebabkan keruntuhan sistem ini dan transisinya menuju negara modern dan kapitalisme awal. Bagian akhir menyoroti relevansi feodalisme dalam bentuk baru seperti neo-feodalisme digital dan oligarki ekonomi, serta menyajikan kritik multidisipliner terhadap struktur ketimpangan yang diwariskan dari sistem tersebut. Melalui pendekatan historis dan teoritis, artikel ini menawarkan refleksi kritis terhadap relasi kuasa dan ketimpangan sosial dalam masyarakat modern.

Kata Kunci: Feodalisme, Abad Pertengahan, relasi kekuasaan, hierarki sosial, ekonomi agraris, neo-feodalisme, patronase, ketimpangan struktural, transisi politik, sejarah sosial.


PEMBAHASAN

Sistem Feodalisme sebagai Tatanan Sosial-Politik, Ekonomi, dan Kultural Eropa Abad Pertengahan


1.           Pendahuluan

Feodalisme merupakan suatu sistem sosial-politik dan ekonomi yang secara dominan berkembang di Eropa Barat selama Abad Pertengahan, kira-kira dari abad ke-9 hingga abad ke-15. Sistem ini ditandai oleh hubungan hierarkis antara raja, bangsawan, dan rakyat biasa, di mana kepemilikan tanah menjadi pusat kekuasaan dan struktur sosial. Melalui sistem ini, tanah diberikan sebagai imbalan atas kesetiaan dan jasa militer, membentuk jaringan patronase yang kompleks antara para penguasa dan bawahannya.¹

Istilah "feodalisme" sendiri berasal dari kata Latin feudum, yang berarti tanah feodal atau fief, dan mulai dipakai secara sistematis dalam kajian sejarah pada abad ke-17 dan ke-18 oleh para sejarawan Prancis dan Jerman untuk menggambarkan struktur sosial-politik yang berbasis pada hubungan tuan dan vasal.² Meski awalnya merupakan fenomena khas Eropa Barat, bentuk-bentuk analog dari feodalisme juga ditemukan dalam berbagai peradaban lain, seperti sistem shōen di Jepang dan praktik iqṭā’ dalam dunia Islam.³ Oleh karena itu, feodalisme tidak hanya penting dalam memahami dinamika kekuasaan di masa lampau, tetapi juga memberikan kerangka komparatif untuk menelaah hubungan sosial yang bersifat patron-klien dalam berbagai konteks budaya.

Peran sentral feodalisme dalam pembentukan identitas politik Eropa turut berkontribusi terhadap kemunculan negara-bangsa modern. Di satu sisi, sistem ini memungkinkan terciptanya stabilitas lokal dalam situasi anarki pasca runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat; namun di sisi lain, ia juga menciptakan ketimpangan sosial yang melembaga dan menghambat mobilitas sosial.⁴ Bahkan, setelah keruntuhannya secara formal akibat munculnya ekonomi pasar dan kekuasaan monarki absolut, prinsip-prinsip relasional feodalisme tetap membekas dalam berbagai bentuk dominasi kontemporer, seperti oligarki ekonomi dan sistem patronase dalam politik.⁵

Kajian tentang feodalisme tidak hanya penting bagi ilmu sejarah, tetapi juga relevan dalam telaah sosiologi politik, teori kekuasaan, dan ekonomi kritis. Dengan menelusuri akar-akar historis dan transformasi sistem ini, pembaca dapat memperoleh pemahaman yang lebih tajam tentang bagaimana struktur kekuasaan dan ketimpangan terbentuk, bertahan, dan berubah dalam lintasan sejarah manusia.


Footnotes

[1]                Marc Bloch, Feudal Society, trans. L.A. Manyon (Chicago: University of Chicago Press, 1961), 87–90.

[2]                Susan Reynolds, Fiefs and Vassals: The Medieval Evidence Reinterpreted (Oxford: Oxford University Press, 1994), 17–22.

[3]                Perry Anderson, Lineages of the Absolutist State (London: Verso, 1974), 386–389.

[4]                Chris Wickham, The Inheritance of Rome: A History of Europe from 400 to 1000 (New York: Viking, 2009), 332–340.

[5]                Joel Kotkin, The Coming of Neo-Feudalism: A Warning to the Global Middle Class (New York: Encounter Books, 2020), 14–19.


2.           Asal-Usul dan Perkembangan Historis Feodalisme

Feodalisme tidak muncul secara tiba-tiba sebagai sistem sosial yang mapan, melainkan merupakan hasil dari evolusi panjang struktur kekuasaan dan ekonomi yang berlangsung setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 Masehi. Kehancuran tatanan Romawi menyebabkan fragmentasi politik yang mendalam di Eropa, mengakibatkan kebutuhan akan bentuk baru pemerintahan dan perlindungan di tingkat lokal. Dalam konteks inilah muncul pola hubungan yang bersifat personal antara pemilik tanah (tuan tanah atau lord) dan para pengikutnya (vasal), yang lambat laun membentuk cikal bakal sistem feodal.¹

Awal mula struktur ini terlihat jelas dalam praktik beneficium, yakni pemberian hak guna atas tanah oleh seorang penguasa kepada bawahannya sebagai bentuk imbalan atas kesetiaan atau jasa militer. Seiring berjalannya waktu, praktik ini berkembang menjadi sistem yang lebih kompleks, dengan fief atau feodum (tanah feodal) menjadi simbol utama dari pertukaran kekuasaan dan loyalitas.² Proses ini terjadi secara bertahap selama abad ke-8 hingga ke-10, terutama di wilayah Franka di bawah pemerintahan Dinasti Karoling. Raja-raja seperti Charles Martel dan Charlemagne menggunakan pemberian tanah kepada bangsawan sebagai sarana untuk membangun jaringan kekuasaan dan mengamankan stabilitas politik dalam wilayah yang luas dan tidak terpusat.³

Puncak sistem feodalisme di Eropa Barat tercapai pada abad ke-11 hingga ke-13, ketika hubungan vasal-tuan menjadi norma utama dalam penyelenggaraan kekuasaan politik. Dalam struktur ini, raja menjadi pemilik tanah tertinggi, namun kekuasaannya sangat bergantung pada kesetiaan para bangsawan besar. Vasal-vasal ini kemudian memiliki vassal lain dalam tingkatan yang lebih rendah, membentuk hierarki berlapis yang menjangkau hingga ke petani penggarap (serf).⁴ Salah satu dokumen penting yang mencerminkan sistem ini adalah Domesday Book (1086) di Inggris, yang merekam hak kepemilikan tanah dan kewajiban feodal setelah penaklukan Norman oleh William the Conqueror.⁵

Meski demikian, bentuk-bentuk feodalisme juga berkembang di luar Eropa Barat. Di Jepang, sistem shōen pada abad ke-9 hingga ke-15 mencerminkan struktur yang serupa, dengan para daimyo dan samurai menjalankan kekuasaan lokal atas nama kaisar yang lemah secara politik.⁶ Dalam dunia Islam, praktik iqṭā’ yang melibatkan pemberian tanah kepada pejabat militer atau administratif juga menunjukkan kemiripan fungsional dengan sistem feodal, meskipun konteks sosial dan hukumnya berbeda.⁷

Menjelang akhir Abad Pertengahan, sistem feodalisme mulai mengalami kemunduran akibat berbagai faktor: meningkatnya perdagangan dan kehidupan urban, munculnya tentara bayaran yang mengurangi ketergantungan pada loyalitas personal, serta pertumbuhan kekuasaan monarki absolut yang menandai transisi menuju negara modern. Namun, meskipun secara formal sistem feodal melemah, banyak struktur dan nilai-nilainya tetap bertahan dalam bentuk-bentuk relasi kekuasaan yang lebih terselubung.⁸


Footnotes

[1]                Marc Bloch, Feudal Society, trans. L.A. Manyon (Chicago: University of Chicago Press, 1961), 58–65.

[2]                Susan Reynolds, Fiefs and Vassals: The Medieval Evidence Reinterpreted (Oxford: Oxford University Press, 1994), 25–31.

[3]                Chris Wickham, The Inheritance of Rome: A History of Europe from 400 to 1000 (New York: Viking, 2009), 423–429.

[4]                Joseph R. Strayer, On the Medieval Origins of the Modern State (Princeton: Princeton University Press, 1970), 45–48.

[5]                R. Allen Brown, The Normans and the Norman Conquest (Woodbridge: Boydell Press, 1985), 102–106.

[6]                William Wayne Farris, Heavenly Warriors: The Evolution of Japan's Military, 500–1300 (Cambridge: Harvard University Press, 1992), 191–196.

[7]                Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates (London: Routledge, 2015), 255–259.

[8]                Perry Anderson, Passages from Antiquity to Feudalism (London: Verso, 1974), 160–167.


3.           Struktur Sosial dan Politik dalam Sistem Feodal

Sistem feodalisme ditandai oleh struktur sosial-politik yang hirarkis, berlapis, dan sangat personalistik. Hubungan antara individu dalam masyarakat feodal tidak dibentuk oleh hukum abstrak atau lembaga negara modern, melainkan oleh kewajiban dan hak timbal balik berdasarkan kesetiaan personal dan penguasaan atas tanah. Dalam sistem ini, kekuasaan politik dan ekonomi tidak terpusat, tetapi tersebar di tangan para pemilik tanah yang berstatus bangsawan atau gerejawi, menciptakan jaringan patron-klien yang kompleks.¹

Pada puncak hierarki feodal terdapat raja, yang secara teoritis memegang kedaulatan tertinggi atas seluruh tanah di kerajaannya. Namun, dalam praktiknya, otoritas raja seringkali dibatasi oleh kekuasaan para bangsawan tinggi (great lords), yang memperoleh hak atas wilayah luas melalui proses pemberian fief atau warisan. Para bangsawan ini menjadi pemimpin lokal yang bertanggung jawab atas administrasi, pertahanan, dan pengadilan dalam wilayah kekuasaannya. Sebagai imbalan atas tanah dan hak istimewa tersebut, mereka diwajibkan memberikan kesetiaan dan bantuan militer kepada raja.²

Struktur sosial-politik feodal kemudian membentuk jenjang yang lebih rendah, yaitu para vasal, yang menerima tanah dari bangsawan tinggi dan mengabdi kepada mereka dalam bentuk pelayanan militer dan administrasi. Vasal dapat pula memiliki vassal lain dalam tingkatan lebih rendah, membentuk piramida kekuasaan yang semakin bercabang. Hubungan antara lord dan vasal dilembagakan melalui upacara “homage” dan “investiture”, yang bersifat simbolik dan religius, memperkuat legitimasi kekuasaan dalam kerangka spiritual.³

Sementara itu, di lapisan bawah struktur ini terdapat kaum petani (peasantry), yang terdiri dari kelompok serf (petani terikat) dan freemen (petani bebas). Serf terikat secara hereditas kepada tanah dan tidak memiliki hak berpindah tempat tanpa izin tuannya. Mereka berkewajiban untuk bekerja di tanah milik tuan feodal, memberikan bagian dari hasil panen, serta membayar berbagai jenis pajak atau iuran dalam bentuk natura maupun tenaga kerja.⁴ Dalam hal ini, feodalisme menggabungkan dominasi politik dengan eksploitasi ekonomi dalam satu sistem sosial yang menyeluruh.

Selain bangsawan dan petani, sistem feodal juga mencakup peran penting kaum rohaniawan dalam struktur sosial. Gereja memiliki kepemilikan tanah yang sangat luas dan memainkan peran utama dalam pendidikan, hukum, serta pembentukan norma moral masyarakat. Biara dan uskup bertindak sebagai pemilik fief, dan banyak klerus tinggi berasal dari keluarga bangsawan, yang semakin memperkuat simbiosis antara kekuasaan spiritual dan kekuasaan feodal.⁵

Ciri khas utama dari struktur sosial-politik feodal adalah ketergantungan pribadi (personal dependency) dan ketiadaan sentralisasi hukum dan administrasi. Tidak ada aparat negara modern; hukum ditegakkan oleh penguasa lokal menurut kebiasaan setempat. Kesetiaan personal menjadi pengikat utama, menggantikan loyalitas kepada negara.⁶ Dalam konteks ini, feodalisme membentuk “masyarakat statis” yang mempertahankan tatanan sosial melalui norma kehormatan, tradisi, dan kekuasaan herediter, sekaligus menghambat mobilitas sosial dan perubahan struktural.


Footnotes

[1]                Marc Bloch, Feudal Society, trans. L.A. Manyon (Chicago: University of Chicago Press, 1961), 129–135.

[2]                Joseph R. Strayer, Feudalism (Princeton: Van Nostrand, 1965), 42–47.

[3]                Susan Reynolds, Fiefs and Vassals: The Medieval Evidence Reinterpreted (Oxford: Oxford University Press, 1994), 97–104.

[4]                Chris Wickham, Medieval Europe (New Haven: Yale University Press, 2016), 140–145.

[5]                R. W. Southern, Western Society and the Church in the Middle Ages (Harmondsworth: Penguin, 1970), 111–115.

[6]                Perry Anderson, Passages from Antiquity to Feudalism (London: Verso, 1974), 148–153.


4.           Landasan Filosofis dan Ideologis Feodalisme

Sistem feodalisme tidak hanya merupakan konstruksi sosial dan ekonomi, tetapi juga berpijak pada fondasi filosofis dan ideologis yang kuat. Sistem ini mempertahankan legitimasi dan keberlanjutannya melalui serangkaian keyakinan, simbol, dan prinsip normatif yang mendukung tatanan hierarkis masyarakat. Landasan tersebut bersumber dari berbagai sumber, termasuk tradisi klasik, ajaran agama Kristen (di Eropa Barat), serta konsep kehormatan dan kesetiaan yang dilembagakan melalui adat istiadat.

Salah satu landasan filosofis utama dari sistem feodal adalah konsep hierarki alamiah yang mengasumsikan bahwa tatanan sosial telah ditentukan secara kodrati atau ilahiah. Dalam kerangka ini, posisi sosial seseorang dianggap sebagai bagian dari "rencana Tuhan", dan perubahan terhadapnya dipandang sebagai gangguan terhadap harmoni kosmik. Para pemikir seperti Thomas Aquinas menyatakan bahwa struktur sosial hierarkis mencerminkan keteraturan ilahi yang berlaku di alam semesta—sebagaimana malaikat memiliki tingkatan di langit, demikian pula manusia memiliki tingkatan dalam masyarakat.¹ Konsepsi ini memperkuat kepercayaan bahwa status sosial bersifat tetap dan ditentukan oleh kelahiran, bukan oleh pencapaian individual.

Legitimasi kekuasaan feodal juga didasarkan pada doktrin kekuasaan ilahiah raja (divine right of kings), yang menyatakan bahwa otoritas raja berasal langsung dari Tuhan dan tidak boleh digugat oleh rakyat.² Dalam pandangan ini, kesetiaan kepada raja dan bangsawan dianggap sebagai bentuk pengabdian religius. Gereja, sebagai institusi dominan dalam masyarakat feodal Eropa, turut memperkuat legitimasi ini dengan memberikan sakralitas pada upacara penobatan dan pengakuan resmi terhadap hak-hak feodal.³ Ikatan antara kekuasaan politik dan spiritual ini membentuk apa yang oleh Ernst Kantorowicz disebut sebagai “dua tubuh raja” — tubuh politis yang abadi dan tubuh biologis yang fana — untuk menjustifikasi keberlanjutan otoritas raja bahkan setelah kematian pribadi sang raja.⁴

Selain itu, kode etik kesetiaan dan kehormatan juga menjadi unsur ideologis yang memperkuat relasi sosial dalam sistem feodal. Kaum bangsawan diikat oleh norma chivalry, yaitu kode moral yang menekankan keberanian, kesetiaan kepada tuan, penghormatan terhadap wanita bangsawan, serta perlindungan terhadap yang lemah.⁵ Etos kesatria ini tidak hanya membentuk identitas sosial kelas atas, tetapi juga berfungsi sebagai pengendali moral dan norma perilaku dalam interaksi sosial di antara para elite feodal.

Di luar Eropa, sistem feodal juga dibenarkan oleh doktrin ideologis yang serupa. Dalam feodalisme Jepang, misalnya, para daimyo dan samurai terikat oleh kode bushidō, yang menekankan kesetiaan tanpa syarat kepada tuannya (shogun), pengabdian terhadap kehormatan, dan sikap hidup yang disiplin dan berani menghadapi kematian.⁶ Di dunia Islam, walaupun tidak ada sistem feodal dalam pengertian Eropa, praktik-praktik seperti iqṭā’ seringkali dibingkai oleh legitimasi keagamaan dan norma kepatuhan kepada otoritas politik sebagai bentuk pengamalan terhadap prinsip amr bi al-ma‘rūf (mengajak kepada kebaikan) dan ṭā‘at li al-wālī (ketaatan kepada pemimpin).⁷

Keseluruhan struktur ideologis ini menghasilkan sistem tatanan sosial-politik yang menekankan stabilitas, ketaatan, dan kontinuitas. Feodalisme tidak sekadar bertumpu pada kekuatan militer atau dominasi ekonomi, tetapi juga pada reproduksi nilai-nilai yang mengakar dalam kesadaran kolektif masyarakat. Hal ini menjelaskan mengapa sistem tersebut dapat bertahan selama berabad-abad sebelum akhirnya runtuh akibat perubahan ekonomi, budaya, dan politik yang mendalam pada era modern.


Footnotes

[1]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I–II, q. 91, a. 1.

[2]                John Neville Figgis, The Divine Right of Kings (Cambridge: Cambridge University Press, 1914), 4–9.

[3]                R. W. Southern, Western Society and the Church in the Middle Ages (Harmondsworth: Penguin, 1970), 92–95.

[4]                Ernst H. Kantorowicz, The King’s Two Bodies: A Study in Mediaeval Political Theology (Princeton: Princeton University Press, 1957), 3–8.

[5]                Maurice Keen, Chivalry (New Haven: Yale University Press, 1984), 16–20.

[6]                Nitobe Inazō, Bushidō: The Soul of Japan (Tokyo: Kodansha International, 2002), 28–32.

[7]                Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates (London: Routledge, 2015), 255–257.


5.           Dimensi Ekonomi Feodalisme

Dimensi ekonomi dalam sistem feodalisme memainkan peran sentral dalam menopang struktur sosial dan politik masyarakat Abad Pertengahan. Ekonomi feodal berlandaskan pada agraria subsisten, yaitu produksi pertanian untuk konsumsi lokal dengan mobilitas perdagangan yang sangat terbatas. Tanah menjadi sumber utama kekayaan dan kekuasaan, dan penguasaannya menentukan posisi sosial seseorang dalam hierarki feodal. Dalam konteks ini, relasi ekonomi tidak didasarkan pada mekanisme pasar bebas, tetapi pada ikatan personal antara tuan tanah dan penggarap, yang dilembagakan melalui sistem hak dan kewajiban feodal.¹

Sumber daya utama dalam sistem ini adalah tanah feodal (fief), yang diberikan oleh tuan (lord) kepada vassal sebagai imbalan atas kesetiaan politik dan jasa militer. Fief bukan milik pribadi sepenuhnya, melainkan hak guna yang diwariskan dan dilindungi oleh norma adat. Pemilik fief memiliki otoritas atas tanah dan para penggarapnya, termasuk hak memungut pajak, memaksakan kerja paksa, serta menetapkan denda dan hukuman atas pelanggaran hukum lokal.² Oleh karena itu, kekuasaan ekonomi dalam sistem feodal bersifat terdesentralisasi, berpindah ke tangan para bangsawan dan lembaga keagamaan yang memiliki tanah dalam skala besar.

Para petani, khususnya serf, memikul beban utama sistem ekonomi ini. Mereka tidak memiliki tanah sendiri, melainkan diberi sebidang kecil untuk digarap demi kebutuhan pribadi, sementara sebagian besar hasil kerja mereka diserahkan kepada tuan tanah dalam bentuk bajak tanah (demesne work), upeti (tribute), dan iuran (dues).³ Bentuk iuran bisa berupa hasil panen, tenaga kerja, atau pajak yang dibayarkan dalam bentuk natura. Serf juga dikenakan berbagai macam pungutan tambahan seperti heriot (pajak warisan), tallage (pajak darurat), dan merchet (pajak pernikahan).⁴ Kondisi ini membuat para serf terikat secara ekonomi dan sosial, tidak bebas berpindah tempat, dan berada dalam posisi subordinat yang melembaga.

Karakter ekonomi feodal bersifat statik dan lokalistik. Produksi pertanian cenderung terbatas pada kebutuhan lokal, dan surplus yang dihasilkan hanya dalam jumlah kecil, cukup untuk konsumsi tuan feodal dan rumah tangganya. Struktur ini menghambat pertumbuhan produktivitas karena tidak ada insentif untuk inovasi atau investasi dalam alat dan teknik pertanian yang lebih efisien.⁵ Selain itu, kurangnya akses terhadap pasar dan minimnya peredaran uang tunai membuat sistem barter tetap dominan, memperlambat perkembangan ekonomi uang dan perdagangan jangka panjang.

Walau demikian, pada abad ke-11 hingga ke-13 terjadi dinamika baru dalam ekonomi feodal. Kemunculan kota-kota dagang, perkembangan serikat pengrajin (guild), dan intensifikasi perdagangan lintas wilayah mulai melemahkan fondasi sistem agraris feodal.⁶ Faktor ini diperkuat oleh krisis demografi akibat Wabah Hitam (Black Death) pada abad ke-14, yang menurunkan jumlah tenaga kerja dan memaksa tuan tanah untuk memberikan lebih banyak hak dan kebebasan kepada petani demi mempertahankan produksi.⁷ Maka, meskipun ekonomi feodal tetap dominan dalam sebagian besar kawasan pedesaan, transformasi menuju ekonomi pasar dan kerja upahan mulai terbentuk sebagai antitesis dari sistem feodal.

Dalam kerangka makrohistoris, ekonomi feodal menunjukkan bagaimana sistem produksi dapat dibentuk oleh relasi kekuasaan dan struktur sosial yang tidak semata-mata digerakkan oleh prinsip keuntungan, melainkan oleh norma kesetiaan, hak istimewa, dan kewajiban adat.⁸ Pemahaman ini penting dalam menyoroti bagaimana ekonomi pra-modern bukan hanya masalah distribusi sumber daya, tetapi juga cerminan struktur ideologi dan kekuasaan yang kompleks.


Footnotes

[1]                Marc Bloch, Feudal Society, trans. L.A. Manyon (Chicago: University of Chicago Press, 1961), 223–227.

[2]                Susan Reynolds, Fiefs and Vassals: The Medieval Evidence Reinterpreted (Oxford: Oxford University Press, 1994), 72–78.

[3]                Chris Wickham, Medieval Europe (New Haven: Yale University Press, 2016), 157–160.

[4]                Rodney Hilton, Bond Men Made Free: Medieval Peasant Movements and the English Rising of 1381 (London: Routledge, 1973), 24–27.

[5]                Georges Duby, Rural Economy and Country Life in the Medieval West, trans. Cynthia Postan (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1998), 113–119.

[6]                Henri Pirenne, Medieval Cities: Their Origins and the Revival of Trade, trans. Frank D. Halsey (Princeton: Princeton University Press, 1925), 43–49.

[7]                Barbara Tuchman, A Distant Mirror: The Calamitous 14th Century (New York: Alfred A. Knopf, 1978), 112–117.

[8]                Perry Anderson, Passages from Antiquity to Feudalism (London: Verso, 1974), 148–153.


6.           Feodalisme dan Kebudayaan

Feodalisme bukan hanya suatu sistem ekonomi dan politik, tetapi juga kerangka kebudayaan yang menyeluruh, yang membentuk cara pandang, struktur nilai, dan praktik kehidupan masyarakat Abad Pertengahan. Dalam masyarakat feodal, kebudayaan sangat erat kaitannya dengan relasi sosial dan legitimasi kekuasaan, karena produksi budaya tidak berdiri netral melainkan berfungsi sebagai instrumen pemeliharaan tatanan hierarkis.¹ Kebudayaan dalam sistem ini dimediasi oleh agama, tradisi lisan, seni simbolik, serta lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan yang dikuasai oleh elite gerejawi dan bangsawan.

Salah satu institusi paling berpengaruh dalam kehidupan budaya feodal adalah Gereja Katolik, yang bukan hanya pemegang otoritas spiritual, tetapi juga agen utama dalam transmisi dan produksi pengetahuan. Gereja menguasai sistem pendidikan melalui sekolah katedral dan biara, memonopoli akses terhadap teks-teks klasik, serta menjadi penjaga bahasa Latin sebagai media intelektual.² Oleh karena itu, kebudayaan feodal sangat bersifat teosentris dan normatif, dengan doktrin agama menjadi fondasi moral dan epistemologis seluruh kehidupan sosial. Karya-karya teolog seperti Agustinus dan Thomas Aquinas tidak hanya berpengaruh dalam bidang agama, tetapi juga membentuk wacana etika, politik, dan estetika dalam masyarakat feodal.³

Dalam ranah seni dan arsitektur, budaya feodal menghasilkan bentuk-bentuk estetika yang monumental namun simbolik, seperti katedral gotik, biara Romanesque, serta kastil pertahanan yang menunjukkan gabungan antara fungsi militer dan status sosial. Bangunan ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah atau pertahanan, tetapi juga sebagai lambang kekuasaan dan kesalehan penguasa feodal.⁴ Seni visual didominasi oleh tema-tema religius yang menggambarkan nilai ketundukan, penderitaan, dan pengabdian, merefleksikan posisi manusia dalam tatanan ilahiah dan sosial yang hierarkis.

Sementara itu, budaya lisan dan sastra kesatria (chivalric literature) memainkan peran penting dalam mengonstruksi identitas kaum bangsawan. Kisah-kisah epik seperti Chanson de Roland di Prancis dan Beowulf di Inggris mengagungkan keberanian, kesetiaan, dan kehormatan — nilai-nilai inti dalam etos feodal.⁵ Narasi-narasi ini disebarkan melalui penyair keliling (troubadours atau skalds) yang menjadi bagian dari istana-istana bangsawan, menjadikan budaya sastra sebagai media legitimasi sosial-politik kelas penguasa. Sastra kesatria tidak hanya membentuk cita ideal bangsawan, tetapi juga mendefinisikan batas-batas moral dan sosial antara kaum elite dan rakyat biasa.⁶

Feodalisme juga melahirkan struktur budaya yang bersifat paternalistik, di mana rakyat jelata — khususnya petani — diasumsikan sebagai golongan yang tidak berbudaya dan tidak memiliki kapasitas rasional seperti kaum elite. Dalam banyak masyarakat feodal, budaya petani hanya terekam dalam bentuk folklor, ritual agraris, atau kepercayaan lokal yang seringkali dianggap takhayul oleh kalangan gerejawi.⁷ Pola ini memperlihatkan bagaimana kebudayaan dalam feodalisme bersifat stratifikatif, yaitu membedakan nilai dan ekspresi budaya berdasarkan kelas sosial.

Namun demikian, menjelang akhir Abad Pertengahan, mulai muncul dinamika budaya baru yang menandai pergeseran dari dominasi budaya feodal ke arah humanisme dan rasionalisme. Faktor-faktor seperti pertumbuhan kota, berkembangnya universitas, serta munculnya kelas menengah (burgher) menyebabkan perubahan dalam orientasi budaya.⁸ Kemunculan penulis seperti Dante, Chaucer, dan Boccaccio mencerminkan transisi dari narasi teosentris menuju humanisme awal, yang menantang dominasi nilai-nilai feodal dalam bidang etika dan politik.

Dengan demikian, budaya dalam masyarakat feodal merupakan ekspresi dan sarana reproduksi kekuasaan sosial-politik, sekaligus ladang resistensi laten yang pada akhirnya mendorong transformasi menuju tatanan baru. Pemahaman terhadap dimensi budaya ini penting untuk melihat bahwa feodalisme tidak hanya hidup dalam struktur kelembagaan, tetapi juga dalam kesadaran kolektif dan ekspresi simbolik masyarakatnya.


Footnotes

[1]                Perry Anderson, Passages from Antiquity to Feudalism (London: Verso, 1974), 148–150.

[2]                Jacques Le Goff, Intellectuals in the Middle Ages, trans. Teresa Lavender Fagan (Oxford: Blackwell, 1993), 22–29.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I–II, q. 91, a. 2.

[4]                Otto von Simson, The Gothic Cathedral: Origins of Gothic Architecture and the Medieval Concept of Order (Princeton: Princeton University Press, 1988), 40–45.

[5]                Douglas Kelly, The Art of Medieval French Romance (Madison: University of Wisconsin Press, 1992), 71–75.

[6]                C. Stephen Jaeger, The Origins of Courtliness: Civilizing Trends and the Formation of Courtly Ideals (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1985), 119–124.

[7]                Peter Burke, Popular Culture in Early Modern Europe (New York: Harper & Row, 1978), 18–21.

[8]                Johan Huizinga, The Waning of the Middle Ages, trans. F. Hopman (New York: St. Martin’s Press, 1996), 73–80.


7.           Krisis dan Keruntuhan Feodalisme

Keruntuhan feodalisme tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari serangkaian krisis struktural yang bersifat ekonomi, sosial, politik, dan demografis. Sejak akhir abad ke-13 hingga awal abad ke-16, berbagai faktor saling berinteraksi dan menggerogoti fondasi sistem feodal yang selama berabad-abad menopang struktur masyarakat Eropa. Proses ini kemudian menjadi titik balik menuju lahirnya masyarakat modern yang ditandai oleh sentralisasi negara, ekonomi pasar, dan pergeseran ideologis yang mendalam.

Salah satu faktor utama penyebab keruntuhan feodalisme adalah pertumbuhan kota dan perdagangan. Seiring dengan munculnya jalur perdagangan antarkota di Eropa dan Laut Tengah, sistem ekonomi lokal yang sebelumnya tertutup mulai digantikan oleh ekonomi pasar yang lebih dinamis. Perkembangan ini memunculkan kelas menengah baru seperti burgher dan pedagang kota, yang tidak bergantung pada tanah sebagai sumber kekuasaan dan menciptakan tatanan ekonomi di luar lingkaran patronase feodal.¹ Dengan demikian, kota menjadi pusat resistensi terhadap tatanan feodal yang agraris dan hierarkis.

Di sisi lain, Wabah Hitam (Black Death) yang melanda Eropa antara tahun 1347–1351 mengakibatkan kematian sekitar sepertiga hingga setengah populasi Eropa, dan menciptakan krisis demografis besar-besaran.² Dampaknya terhadap ekonomi feodal sangat signifikan: kekurangan tenaga kerja menyebabkan naiknya tuntutan upah, penurunan produksi agraris, serta melemahnya kekuasaan tuan tanah atas para serf.³ Banyak petani yang mulai menuntut hak-hak baru atau bahkan melarikan diri ke kota-kota, menciptakan tekanan sosial terhadap struktur lama. Dalam beberapa kasus, seperti dalam Pemberontakan Petani Inggris tahun 1381, krisis ini berubah menjadi pemberontakan terbuka terhadap elite feodal.⁴

Sementara itu, kekuatan monarki mulai mengonsolidasikan kekuasaan secara terpusat dan menciptakan sistem birokrasi yang lebih stabil dan efisien. Raja-raja seperti Louis XI di Prancis atau Henry VII di Inggris mengurangi ketergantungan mereka terhadap bangsawan feodal dan mulai membentuk tentara nasional serta lembaga perpajakan langsung, yang melemahkan otonomi lokal para lord.⁵ Ini menandai transisi menuju negara-bangsa modern, di mana hukum dan administrasi terpusat menggantikan hubungan patronase yang bersifat personalistik.

Krisis ideologis juga turut mempercepat keruntuhan feodalisme. Munculnya humanisme Renaisans dan pemikiran-pemikiran kritis terhadap otoritas Gereja dan aristokrasi mulai menggeser sistem nilai teosentris dan hierarkis yang menopang legitimasi feodal. Tokoh-tokoh seperti Marsilius dari Padua, William of Ockham, dan Niccolò Machiavelli memberikan kontribusi terhadap perubahan cara pandang terhadap kekuasaan, masyarakat, dan otoritas politik.⁶ Perubahan ideologis ini berpuncak pada reformasi Protestan dan pemisahan otoritas keagamaan dari kekuasaan politik feodal.

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah kemajuan teknologi militer, seperti penggunaan busur panjang (longbow), artileri, dan bubuk mesiu, yang membuat taktik perang feodal (yang bergantung pada pasukan kesatria) menjadi usang. Pertempuran seperti Agincourt (1415) membuktikan bahwa kekuatan kavaleri bangsawan tidak lagi dominan dalam medan perang modern.⁷ Hal ini semakin memperlemah fungsi sosial-politik bangsawan feodal sebagai pemimpin militer.

Dengan demikian, keruntuhan feodalisme adalah hasil dari disintegrasi multilevel, yang melibatkan transformasi ekonomi, revolusi demografi, konsolidasi politik, serta perubahan budaya dan ideologis. Meskipun unsur-unsur sistem feodal tetap bertahan dalam bentuk yang tersisa (seperti hak istimewa aristokrasi), namun fondasi dasarnya telah digantikan oleh tatanan sosial baru yang lebih sesuai dengan dinamika kapitalisme awal dan pembentukan negara modern.⁸


Footnotes

[1]                Henri Pirenne, Medieval Cities: Their Origins and the Revival of Trade, trans. Frank D. Halsey (Princeton: Princeton University Press, 1925), 56–62.

[2]                Barbara Tuchman, A Distant Mirror: The Calamitous 14th Century (New York: Alfred A. Knopf, 1978), 92–99.

[3]                Marc Bloch, Feudal Society, trans. L.A. Manyon (Chicago: University of Chicago Press, 1961), 271–275.

[4]                Rodney Hilton, Bond Men Made Free: Medieval Peasant Movements and the English Rising of 1381 (London: Routledge, 1973), 54–63.

[5]                Joseph R. Strayer, On the Medieval Origins of the Modern State (Princeton: Princeton University Press, 1970), 87–93.

[6]                Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought, Vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 105–112.

[7]                Clifford J. Rogers, War Cruel and Sharp: English Strategy under Edward III, 1327–1360 (Woodbridge: Boydell Press, 2000), 203–209.

[8]                Perry Anderson, Lineages of the Absolutist State (London: Verso, 1974), 24–32.


8.           Relevansi dan Jejak Feodalisme dalam Dunia Kontemporer

Meskipun secara historis sistem feodalisme telah mengalami keruntuhan sejak awal zaman modern, sejumlah elemen struktural, kultural, dan relasional dari feodalisme tetap bertahan dan bermetamorfosis dalam bentuk-bentuk baru dalam masyarakat kontemporer. Konsep seperti ketimpangan kekuasaan, relasi patron-klien, dan dominasi kelas elite atas sumber daya masih menjadi ciri dari banyak masyarakat modern, meskipun dikemas dalam struktur ekonomi-politik yang berbeda. Inilah yang melatarbelakangi berkembangnya istilah seperti “neo-feodalisme”, yaitu istilah yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip dasar feodalisme kembali muncul dalam konteks kapitalisme global, oligarki politik, dan konsentrasi kekayaan.¹

Salah satu contoh nyata dari jejak feodalisme dalam dunia kontemporer adalah oligarki ekonomi, di mana segelintir elite menguasai sumber daya strategis dan memiliki pengaruh besar dalam kebijakan publik tanpa melalui proses representasi demokratis yang sejati. Para pemilik modal besar—baik di sektor industri, teknologi, maupun keuangan—memiliki akses istimewa terhadap kekuasaan politik, serupa dengan peran bangsawan feodal dalam menyetir arah kebijakan kerajaan pada Abad Pertengahan.² Fenomena ini terlihat dalam hubungan erat antara korporasi besar dan lembaga negara di berbagai belahan dunia, yang menciptakan ketergantungan struktural dan mengikis prinsip-prinsip kedaulatan rakyat.

Selain itu, dalam banyak negara berkembang, relasi kekuasaan lokal masih ditentukan oleh sistem patronase dan klientelisme, di mana para elite politik atau tokoh adat menjadi figur penguasa atas sumber daya, informasi, dan akses terhadap birokrasi.³ Seperti dalam sistem feodal, loyalitas personal dan hubungan sosial lebih menentukan daripada meritokrasi atau institusi formal. Praktik ini tidak hanya menghambat demokratisasi, tetapi juga memperkokoh ketimpangan sosial dan ekonomi. Dalam konteks ini, masyarakat desa atau kelas bawah berperan mirip dengan kaum serf dalam sistem lama—terikat pada tuan yang memberi perlindungan namun menuntut loyalitas politik dan ekonomi.

Ketimpangan akses terhadap lahan dan sumber daya alam juga menunjukkan relevansi prinsip-prinsip feodalisme. Dalam beberapa kasus, seperti konsesi besar-besaran lahan kepada perusahaan swasta atau individu tertentu oleh negara, terjadi reproduksi model penguasaan tanah yang tidak jauh berbeda dengan model fief.⁴ Para pengusaha atau penguasa lokal bertindak sebagai “tuan tanah modern” dengan kekuasaan yang relatif otonom terhadap komunitas lokal, tanpa akuntabilitas vertikal yang kuat.

Dalam ranah budaya, nilai-nilai hierarkis, elitistis, dan paternalistik juga tetap eksis dalam praktik pendidikan, birokrasi, dan komunikasi politik. Sistem pendidikan di beberapa negara, misalnya, masih membudayakan pola otoritarianisme guru-murid atau dosen-mahasiswa yang meniru struktur vertikal ala feodal.⁵ Bahkan dalam dunia digital sekalipun, platform teknologi besar dapat dipandang sebagai “penguasa digital” yang mengontrol informasi, algoritma, dan ekonomi data dari miliaran pengguna di seluruh dunia.

Dalam kerangka teori sosial kritis, sejumlah pemikir kontemporer seperti Joel Kotkin dan Byung-Chul Han menyuarakan keprihatinan terhadap kembalinya tatanan neo-feodal, di mana kelas menengah semakin tergerus dan kekuasaan terpusat pada segelintir elite yang tak tersentuh. Kotkin, dalam bukunya The Coming of Neo-Feudalism, menyebut fenomena ini sebagai bentuk baru aristokrasi digital dan ekonomi, dengan ciri-ciri konsolidasi kekayaan, penurunan mobilitas sosial, dan subordinasi budaya.⁶

Dengan demikian, feodalisme sebagai sistem historis mungkin telah tiada, tetapi logika feodal—yang berbasis pada subordinasi, patronase, dan stratifikasi sosial—masih hidup dan berkembang dalam bentuk-bentuk baru. Memahami jejak-jejak ini penting bagi masyarakat modern untuk menganalisis ulang relasi kekuasaan, mendefinisikan ulang keadilan sosial, serta membangun sistem politik dan ekonomi yang lebih setara dan partisipatif.


Footnotes

[1]                Joel Kotkin, The Coming of Neo-Feudalism: A Warning to the Global Middle Class (New York: Encounter Books, 2020), 14–19.

[2]                Thomas Piketty, Capital and Ideology, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge: Harvard University Press, 2020), 521–532.

[3]                Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 2019), 25–31.

[4]                Tania Li, Land’s End: Capitalist Relations on an Indigenous Frontier (Durham: Duke University Press, 2014), 43–50.

[5]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–74.

[6]                Byung-Chul Han, Psychopolitics: Neoliberalism and the New Technologies of Power, trans. Erik Butler (London: Verso, 2017), 37–41.


9.           Kritik terhadap Feodalisme

Feodalisme sebagai sistem sosial-politik dan ekonomi telah menjadi sasaran kritik yang luas dari berbagai perspektif ideologis, filosofis, dan historis. Kritik-kritik ini tidak hanya berasal dari pemikir modern, tetapi juga berkembang seiring dengan transformasi masyarakat Eropa menuju tatanan kapitalistik dan negara-bangsa. Pada intinya, feodalisme dikritik karena melanggengkan ketimpangan struktural, ketergantungan sosial, dan pembatasan terhadap kebebasan individu, sekaligus menghambat kemajuan ekonomi dan kultural masyarakat secara keseluruhan.

Salah satu kritik mendasar datang dari Marxisme, yang melihat feodalisme sebagai tahap historis dalam perkembangan formasi sosial menuju kapitalisme. Karl Marx dan Friedrich Engels menganggap sistem feodal sebagai bentuk dominasi kelas, di mana pemilik tanah (bangsawan dan gereja) mengeksploitasi tenaga kerja petani melalui hubungan yang bersifat non-ekuivalen dan koersif.¹ Dalam kerangka materialisme historis, feodalisme dipandang sebagai sistem yang tidak efisien secara ekonomi karena surplus produksi diserap oleh elite tanpa reinvestasi produktif.² Marx menyatakan bahwa revolusi borjuis merupakan keniscayaan sejarah untuk menghancurkan struktur feodal dan membebaskan kekuatan-kekuatan produktif dari belenggu hubungan sosial yang stagnan.³

Dari sudut pandang liberalisme, kritik terhadap feodalisme lebih diarahkan pada ketidakadilan dalam distribusi hak dan kesempatan. Dalam sistem feodal, status sosial ditentukan oleh kelahiran, bukan oleh prestasi atau kontribusi individu. Hal ini melanggar prinsip-prinsip dasar liberal seperti egalitarianisme, kebebasan individu, dan mobilitas sosial.⁴ John Locke, misalnya, menentang konsep hak istimewa turun-temurun dan mendukung prinsip bahwa kekuasaan politik hanya sah jika diperoleh melalui persetujuan rakyat.⁵ Feodalisme dianggap sebagai sistem yang menghalangi partisipasi politik dan kebebasan ekonomi warga negara, serta memonopoli akses terhadap pendidikan, hukum, dan kepemilikan tanah.

Kritik juga muncul dari humanisme dan filsafat Renaisans, yang melihat feodalisme sebagai sistem yang mengekang potensi rasional dan kreatif manusia. Dalam masyarakat feodal, ekspresi intelektual dan budaya sangat dikontrol oleh institusi agama dan elite feodal.⁶ Tokoh seperti Erasmus dan Montaigne mempromosikan nilai-nilai kebebasan berpikir, pendidikan universal, dan kesetaraan moral, yang bertentangan dengan nilai-nilai hierarkis dan dogmatis dari sistem feodal.

Dari perspektif feminis, feodalisme dipandang sebagai sistem yang sangat patriarkal, di mana perempuan berada dalam subordinasi ganda: sebagai anggota kelas bawah dan sebagai subordinat laki-laki dalam keluarga maupun dalam sistem sosial yang lebih luas.⁷ Perempuan bangsawan diperlakukan sebagai alat diplomasi melalui pernikahan politik, sementara perempuan dari kelas bawah menghadapi keterbatasan dalam hak milik, pendidikan, dan partisipasi publik. Struktur feodal memperkuat ketimpangan gender yang dilembagakan oleh norma agama, hukum adat, dan praktik sosial sehari-hari.

Feodalisme juga dikritik karena sifatnya yang statik dan anti-inovatif. Dalam sistem ini, tidak terdapat insentif untuk menciptakan efisiensi atau inovasi teknologi dalam pertanian maupun industri, karena surplus ekonomi cenderung diserap oleh konsumsi elite dan tidak dikembangkan menjadi modal produktif.⁸ Hal ini berbeda dengan ekonomi pasar yang mengandalkan kompetisi, akumulasi modal, dan mobilitas sumber daya. Akibatnya, masyarakat feodal cenderung mengalami stagnasi ekonomi yang panjang, serta rentan terhadap krisis demografis dan ekologis.

Namun demikian, beberapa sejarawan seperti Marc Bloch dan Susan Reynolds mengingatkan agar kritik terhadap feodalisme tidak bersifat anahronistik atau menyederhanakan kompleksitasnya. Mereka berpendapat bahwa sistem feodal juga memiliki fungsi stabilisasi sosial dan menyediakan kerangka normatif dalam masa transisi pasca-kejatuhan Kekaisaran Romawi.⁹ Oleh karena itu, kritik terhadap feodalisme perlu mempertimbangkan konteks historisnya, tanpa mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap struktur sosial dan pembangunan manusia.


Footnotes

[1]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, ed. C.J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 73–76.

[2]                Perry Anderson, Passages from Antiquity to Feudalism (London: Verso, 1974), 132–137.

[3]                Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. N.I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr, 1904), 21–25.

[4]                Isaiah Berlin, Liberty, ed. Henry Hardy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 152–157.

[5]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–292.

[6]                Charles G. Nauert, Humanism and the Culture of Renaissance Europe (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 63–68.

[7]                Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 24–29.

[8]                Chris Wickham, Framing the Early Middle Ages: Europe and the Mediterranean, 400–800 (Oxford: Oxford University Press, 2005), 511–516.

[9]                Marc Bloch, Feudal Society, trans. L.A. Manyon (Chicago: University of Chicago Press, 1961), 40–45; Susan Reynolds, Fiefs and Vassals: The Medieval Evidence Reinterpreted (Oxford: Oxford University Press, 1994), 2–7.


10.       Kesimpulan

Feodalisme merupakan salah satu sistem sosial-politik dan ekonomi paling berpengaruh dalam sejarah peradaban manusia, khususnya di Eropa Abad Pertengahan. Ia hadir sebagai respons atas kehancuran struktur kekaisaran Romawi, menjelma menjadi tatanan yang menekankan hubungan personal antara pemilik kekuasaan dan rakyat biasa dalam bentuk hierarki berlapis. Dalam sistem ini, tanah menjadi basis utama kekuasaan, sementara loyalitas dan kesetiaan menjadi pengikat relasi sosial.¹

Seperti telah dibahas dalam bagian-bagian sebelumnya, feodalisme tidak semata-mata struktur ekonomi atau politik, tetapi juga merupakan konstruksi budaya dan ideologi yang kompleks. Sistem ini ditopang oleh doktrin religius, norma adat, dan nilai-nilai moral yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat. Keterkaitan antara kekuasaan spiritual (Gereja), militer (bangsawan), dan sosial (petani serta rohaniawan) menciptakan tatanan yang relatif stabil namun statis.² Stabilitas ini menjadi kekuatan sekaligus kelemahan feodalisme: ia mampu menjaga keteraturan dalam kondisi pasca-anarkis, namun gagal mendorong inovasi, mobilitas sosial, dan perkembangan ekonomi produktif.

Namun, sistem ini mulai mengalami disintegrasi seiring dengan munculnya kota-kota dagang, reformasi keagamaan, dan konsolidasi negara-bangsa. Perubahan-perubahan struktural ini melahirkan masyarakat kapitalistik awal dan mendorong pembentukan institusi modern seperti birokrasi, hukum positif, dan demokrasi parlementer.³ Proses keruntuhan ini tidak berarti bahwa warisan feodalisme sepenuhnya hilang. Sebaliknya, banyak elemen dari sistem tersebut tetap hadir dalam bentuk baru: oligarki ekonomi, sistem patronase politik, ketimpangan sosial, dan subordinasi struktural terhadap elite.

Dalam konteks kontemporer, konsep “neo-feodalisme” digunakan untuk mengkaji berbagai bentuk ketimpangan dan relasi kuasa yang menyerupai prinsip-prinsip dasar feodalisme, namun dalam kemasan baru seperti kapitalisme digital, kontrol algoritmik, dan dominasi korporasi transnasional.⁴ Kesadaran akan jejak-jejak ini penting agar masyarakat modern tidak terjebak dalam mitos kemajuan yang menutupi keberlanjutan struktur opresif di balik institusi demokratis dan ekonomi pasar.

Maka, studi tentang feodalisme tidak hanya berfungsi sebagai telaah historis, tetapi juga sebagai cermin reflektif bagi masyarakat masa kini dalam memahami dinamika kekuasaan, stratifikasi sosial, dan potensi perlawanan terhadap ketimpangan. Mengingat daya hidup ideologis dan struktural sistem ini, penting bagi para ilmuwan sosial, pendidik, dan pembuat kebijakan untuk mengkaji ulang warisan feodal dalam ranah ekonomi, budaya, dan politik modern demi membangun masyarakat yang lebih adil, setara, dan demokratis.


Footnotes

[1]                Marc Bloch, Feudal Society, trans. L.A. Manyon (Chicago: University of Chicago Press, 1961), 42–47.

[2]                R. W. Southern, Western Society and the Church in the Middle Ages (Harmondsworth: Penguin, 1970), 93–99.

[3]                Joseph R. Strayer, On the Medieval Origins of the Modern State (Princeton: Princeton University Press, 1970), 104–108.

[4]                Joel Kotkin, The Coming of Neo-Feudalism: A Warning to the Global Middle Class (New York: Encounter Books, 2020), 27–33.


Daftar Pustaka

Anderson, P. (1974). Lineages of the absolutist state. Verso.

Anderson, P. (1974). Passages from antiquity to feudalism. Verso.

Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Elections, clientelism, and the state in Indonesia. Cornell University Press.

Berlin, I. (2002). Liberty (H. Hardy, Ed.). Oxford University Press.

Bloch, M. (1961). Feudal society (L. A. Manyon, Trans.). University of Chicago Press. (Original work published 1939)

Burke, P. (1978). Popular culture in early modern Europe. Harper & Row.

Duby, G. (1998). Rural economy and country life in the medieval West (C. Postan, Trans.). University of Pennsylvania Press. (Original work published 1962)

Federici, S. (2004). Caliban and the witch: Women, the body and primitive accumulation. Autonomedia.

Figgis, J. N. (1914). The divine right of kings. Cambridge University Press.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Original work published 1968)

Han, B.-C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism and the new technologies of power (E. Butler, Trans.). Verso.

Hilton, R. (1973). Bond men made free: Medieval peasant movements and the English rising of 1381. Routledge.

Huizinga, J. (1996). The waning of the Middle Ages (F. Hopman, Trans.). St. Martin’s Press. (Original work published 1919)

Jaeger, C. S. (1985). The origins of courtliness: Civilizing trends and the formation of courtly ideals. University of Pennsylvania Press.

Kantorowicz, E. H. (1957). The king’s two bodies: A study in mediaeval political theology. Princeton University Press.

Kelly, D. (1992). The art of medieval French romance. University of Wisconsin Press.

Keen, M. (1984). Chivalry. Yale University Press.

Kotkin, J. (2020). The coming of neo-feudalism: A warning to the global middle class. Encounter Books.

Le Goff, J. (1993). Intellectuals in the Middle Ages (T. L. Fagan, Trans.). Blackwell.

Li, T. M. (2014). Land’s end: Capitalist relations on an indigenous frontier. Duke University Press.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)

Marx, K. (1904). A contribution to the critique of political economy (N. I. Stone, Trans.). Charles H. Kerr.

Marx, K., & Engels, F. (1970). The German ideology (C. J. Arthur, Ed.). International Publishers. (Original work published 1846)

Nauert, C. G. (2006). Humanism and the culture of Renaissance Europe. Cambridge University Press.

Nitobe, I. (2002). Bushidō: The soul of Japan. Kodansha International. (Original work published 1900)

Piketty, T. (2020). Capital and ideology (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.

Pirenne, H. (1925). Medieval cities: Their origins and the revival of trade (F. D. Halsey, Trans.). Princeton University Press.

Reynolds, S. (1994). Fiefs and vassals: The medieval evidence reinterpreted. Oxford University Press.

Rogers, C. J. (2000). War cruel and sharp: English strategy under Edward III, 1327–1360. Boydell Press.

Simson, O. von. (1988). The Gothic cathedral: Origins of Gothic architecture and the medieval concept of order. Princeton University Press.

Skinner, Q. (1978). The foundations of modern political thought (Vol. 1). Cambridge University Press.

Southern, R. W. (1970). Western society and the Church in the Middle Ages. Penguin.

Strayer, J. R. (1965). Feudalism. Van Nostrand.

Strayer, J. R. (1970). On the medieval origins of the modern state. Princeton University Press.

Tuchman, B. W. (1978). A distant mirror: The calamitous 14th century. Alfred A. Knopf.

Wickham, C. (2005). Framing the early Middle Ages: Europe and the Mediterranean, 400–800. Oxford University Press.

Wickham, C. (2009). The inheritance of Rome: A history of Europe from 400 to 1000. Viking.

Wickham, C. (2016). Medieval Europe. Yale University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar