Feodalisme
Evolusi Sistem Sosial-Politik dari Abad Pertengahan
hingga Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Ilmu Pemerintahan.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif evolusi
sistem feodalisme sebagai tatanan sosial-politik, ekonomi, dan kultural yang
mendominasi Eropa pada Abad Pertengahan serta jejak keberlanjutannya dalam
masyarakat kontemporer. Kajian ini dimulai dengan menelusuri asal-usul historis
feodalisme pasca runtuhnya Kekaisaran Romawi, diikuti oleh pembahasan struktur
sosial-politik hierarkis antara raja, bangsawan, vasal, dan petani. Artikel ini
juga mengkaji dimensi filosofis dan ideologis feodalisme yang didasarkan pada
konsep hierarki alamiah, legitimasi ilahiah, serta norma kesetiaan dan
kehormatan. Aspek ekonomi dibahas dalam konteks sistem agraris tertutup yang
bergantung pada kerja paksa dan relasi non-pasar. Di samping itu, artikel ini
mengeksplorasi peran feodalisme dalam membentuk kebudayaan abad pertengahan,
termasuk dalam seni, sastra, pendidikan, dan keagamaan. Selanjutnya, dibahas
pula krisis multidimensional yang menyebabkan keruntuhan sistem ini dan
transisinya menuju negara modern dan kapitalisme awal. Bagian akhir menyoroti
relevansi feodalisme dalam bentuk baru seperti neo-feodalisme digital dan
oligarki ekonomi, serta menyajikan kritik multidisipliner terhadap struktur
ketimpangan yang diwariskan dari sistem tersebut. Melalui pendekatan historis
dan teoritis, artikel ini menawarkan refleksi kritis terhadap relasi kuasa dan
ketimpangan sosial dalam masyarakat modern.
Kata Kunci: Feodalisme, Abad Pertengahan, relasi kekuasaan,
hierarki sosial, ekonomi agraris, neo-feodalisme, patronase, ketimpangan
struktural, transisi politik, sejarah sosial.
PEMBAHASAN
Sistem Feodalisme sebagai Tatanan Sosial-Politik,
Ekonomi, dan Kultural Eropa Abad Pertengahan
1.
Pendahuluan
Feodalisme merupakan suatu sistem sosial-politik
dan ekonomi yang secara dominan berkembang di Eropa Barat selama Abad
Pertengahan, kira-kira dari abad ke-9 hingga abad ke-15. Sistem ini ditandai
oleh hubungan hierarkis antara raja, bangsawan, dan rakyat biasa, di mana
kepemilikan tanah menjadi pusat kekuasaan dan struktur sosial. Melalui sistem
ini, tanah diberikan sebagai imbalan atas kesetiaan dan jasa militer, membentuk
jaringan patronase yang kompleks antara para penguasa dan bawahannya.¹
Istilah "feodalisme" sendiri
berasal dari kata Latin feudum, yang berarti tanah feodal atau fief, dan
mulai dipakai secara sistematis dalam kajian sejarah pada abad ke-17 dan ke-18
oleh para sejarawan Prancis dan Jerman untuk menggambarkan struktur
sosial-politik yang berbasis pada hubungan tuan dan vasal.² Meski awalnya
merupakan fenomena khas Eropa Barat, bentuk-bentuk analog dari feodalisme juga
ditemukan dalam berbagai peradaban lain, seperti sistem shōen di Jepang
dan praktik iqṭā’ dalam dunia Islam.³ Oleh karena itu, feodalisme tidak
hanya penting dalam memahami dinamika kekuasaan di masa lampau, tetapi juga
memberikan kerangka komparatif untuk menelaah hubungan sosial yang bersifat
patron-klien dalam berbagai konteks budaya.
Peran sentral feodalisme dalam pembentukan
identitas politik Eropa turut berkontribusi terhadap kemunculan negara-bangsa
modern. Di satu sisi, sistem ini memungkinkan terciptanya stabilitas lokal
dalam situasi anarki pasca runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat; namun di sisi
lain, ia juga menciptakan ketimpangan sosial yang melembaga dan menghambat
mobilitas sosial.⁴ Bahkan, setelah keruntuhannya secara formal akibat munculnya
ekonomi pasar dan kekuasaan monarki absolut, prinsip-prinsip relasional
feodalisme tetap membekas dalam berbagai bentuk dominasi kontemporer, seperti
oligarki ekonomi dan sistem patronase dalam politik.⁵
Kajian tentang feodalisme tidak hanya penting bagi
ilmu sejarah, tetapi juga relevan dalam telaah sosiologi politik, teori
kekuasaan, dan ekonomi kritis. Dengan menelusuri akar-akar historis dan
transformasi sistem ini, pembaca dapat memperoleh pemahaman yang lebih tajam
tentang bagaimana struktur kekuasaan dan ketimpangan terbentuk, bertahan, dan
berubah dalam lintasan sejarah manusia.
Footnotes
[1]
Marc Bloch, Feudal Society, trans. L.A.
Manyon (Chicago: University of Chicago Press, 1961), 87–90.
[2]
Susan Reynolds, Fiefs and Vassals: The Medieval
Evidence Reinterpreted (Oxford: Oxford University Press, 1994), 17–22.
[3]
Perry Anderson, Lineages of the Absolutist State
(London: Verso, 1974), 386–389.
[4]
Chris Wickham, The Inheritance of Rome: A
History of Europe from 400 to 1000 (New York: Viking, 2009), 332–340.
[5]
Joel Kotkin, The Coming of Neo-Feudalism: A
Warning to the Global Middle Class (New York: Encounter Books, 2020),
14–19.
2.
Asal-Usul
dan Perkembangan Historis Feodalisme
Feodalisme tidak muncul secara tiba-tiba sebagai
sistem sosial yang mapan, melainkan merupakan hasil dari evolusi panjang
struktur kekuasaan dan ekonomi yang berlangsung setelah runtuhnya Kekaisaran
Romawi Barat pada abad ke-5 Masehi. Kehancuran tatanan Romawi menyebabkan
fragmentasi politik yang mendalam di Eropa, mengakibatkan kebutuhan akan bentuk
baru pemerintahan dan perlindungan di tingkat lokal. Dalam konteks inilah
muncul pola hubungan yang bersifat personal antara pemilik tanah (tuan tanah
atau lord) dan para pengikutnya (vasal), yang lambat laun membentuk
cikal bakal sistem feodal.¹
Awal mula struktur ini terlihat jelas dalam praktik
beneficium, yakni pemberian hak guna atas tanah oleh seorang penguasa
kepada bawahannya sebagai bentuk imbalan atas kesetiaan atau jasa militer.
Seiring berjalannya waktu, praktik ini berkembang menjadi sistem yang lebih
kompleks, dengan fief atau feodum (tanah feodal) menjadi simbol
utama dari pertukaran kekuasaan dan loyalitas.² Proses ini terjadi secara
bertahap selama abad ke-8 hingga ke-10, terutama di wilayah Franka di bawah
pemerintahan Dinasti Karoling. Raja-raja seperti Charles Martel dan Charlemagne
menggunakan pemberian tanah kepada bangsawan sebagai sarana untuk membangun
jaringan kekuasaan dan mengamankan stabilitas politik dalam wilayah yang luas
dan tidak terpusat.³
Puncak sistem feodalisme di Eropa Barat tercapai
pada abad ke-11 hingga ke-13, ketika hubungan vasal-tuan menjadi norma utama
dalam penyelenggaraan kekuasaan politik. Dalam struktur ini, raja menjadi
pemilik tanah tertinggi, namun kekuasaannya sangat bergantung pada kesetiaan
para bangsawan besar. Vasal-vasal ini kemudian memiliki vassal lain dalam
tingkatan yang lebih rendah, membentuk hierarki berlapis yang menjangkau hingga
ke petani penggarap (serf).⁴ Salah satu dokumen penting yang mencerminkan
sistem ini adalah Domesday Book (1086) di Inggris, yang merekam hak
kepemilikan tanah dan kewajiban feodal setelah penaklukan Norman oleh William
the Conqueror.⁵
Meski demikian, bentuk-bentuk feodalisme juga
berkembang di luar Eropa Barat. Di Jepang, sistem shōen pada abad ke-9
hingga ke-15 mencerminkan struktur yang serupa, dengan para daimyo dan samurai
menjalankan kekuasaan lokal atas nama kaisar yang lemah secara politik.⁶ Dalam
dunia Islam, praktik iqṭā’ yang melibatkan pemberian tanah kepada
pejabat militer atau administratif juga menunjukkan kemiripan fungsional dengan
sistem feodal, meskipun konteks sosial dan hukumnya berbeda.⁷
Menjelang akhir Abad Pertengahan, sistem feodalisme
mulai mengalami kemunduran akibat berbagai faktor: meningkatnya perdagangan dan
kehidupan urban, munculnya tentara bayaran yang mengurangi ketergantungan pada
loyalitas personal, serta pertumbuhan kekuasaan monarki absolut yang menandai
transisi menuju negara modern. Namun, meskipun secara formal sistem feodal
melemah, banyak struktur dan nilai-nilainya tetap bertahan dalam bentuk-bentuk
relasi kekuasaan yang lebih terselubung.⁸
Footnotes
[1]
Marc Bloch, Feudal Society, trans. L.A.
Manyon (Chicago: University of Chicago Press, 1961), 58–65.
[2]
Susan Reynolds, Fiefs and Vassals: The Medieval
Evidence Reinterpreted (Oxford: Oxford University Press, 1994), 25–31.
[3]
Chris Wickham, The Inheritance of Rome: A
History of Europe from 400 to 1000 (New York: Viking, 2009), 423–429.
[4]
Joseph R. Strayer, On the Medieval Origins of
the Modern State (Princeton: Princeton University Press, 1970), 45–48.
[5]
R. Allen Brown, The Normans and the Norman
Conquest (Woodbridge: Boydell Press, 1985), 102–106.
[6]
William Wayne Farris, Heavenly Warriors: The
Evolution of Japan's Military, 500–1300 (Cambridge: Harvard University
Press, 1992), 191–196.
[7]
Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the
Caliphates (London: Routledge, 2015), 255–259.
[8]
Perry Anderson, Passages from Antiquity to
Feudalism (London: Verso, 1974), 160–167.
3.
Struktur
Sosial dan Politik dalam Sistem Feodal
Sistem feodalisme ditandai oleh struktur
sosial-politik yang hirarkis, berlapis, dan sangat personalistik. Hubungan
antara individu dalam masyarakat feodal tidak dibentuk oleh hukum abstrak atau
lembaga negara modern, melainkan oleh kewajiban dan hak timbal balik
berdasarkan kesetiaan personal dan penguasaan atas tanah. Dalam sistem ini,
kekuasaan politik dan ekonomi tidak terpusat, tetapi tersebar di tangan para
pemilik tanah yang berstatus bangsawan atau gerejawi, menciptakan jaringan
patron-klien yang kompleks.¹
Pada puncak hierarki feodal terdapat raja,
yang secara teoritis memegang kedaulatan tertinggi atas seluruh tanah di
kerajaannya. Namun, dalam praktiknya, otoritas raja seringkali dibatasi oleh
kekuasaan para bangsawan tinggi (great lords), yang memperoleh hak atas
wilayah luas melalui proses pemberian fief atau warisan. Para bangsawan
ini menjadi pemimpin lokal yang bertanggung jawab atas administrasi,
pertahanan, dan pengadilan dalam wilayah kekuasaannya. Sebagai imbalan atas
tanah dan hak istimewa tersebut, mereka diwajibkan memberikan kesetiaan dan
bantuan militer kepada raja.²
Struktur sosial-politik feodal kemudian membentuk
jenjang yang lebih rendah, yaitu para vasal, yang menerima tanah dari
bangsawan tinggi dan mengabdi kepada mereka dalam bentuk pelayanan militer dan
administrasi. Vasal dapat pula memiliki vassal lain dalam tingkatan lebih
rendah, membentuk piramida kekuasaan yang semakin bercabang. Hubungan antara
lord dan vasal dilembagakan melalui upacara “homage” dan “investiture”,
yang bersifat simbolik dan religius, memperkuat legitimasi kekuasaan dalam
kerangka spiritual.³
Sementara itu, di lapisan bawah struktur ini
terdapat kaum petani (peasantry), yang terdiri dari kelompok serf
(petani terikat) dan freemen (petani bebas). Serf terikat secara
hereditas kepada tanah dan tidak memiliki hak berpindah tempat tanpa izin
tuannya. Mereka berkewajiban untuk bekerja di tanah milik tuan feodal,
memberikan bagian dari hasil panen, serta membayar berbagai jenis pajak atau iuran
dalam bentuk natura maupun tenaga kerja.⁴ Dalam hal ini, feodalisme
menggabungkan dominasi politik dengan eksploitasi ekonomi dalam satu sistem
sosial yang menyeluruh.
Selain bangsawan dan petani, sistem feodal juga
mencakup peran penting kaum rohaniawan dalam struktur sosial. Gereja
memiliki kepemilikan tanah yang sangat luas dan memainkan peran utama dalam
pendidikan, hukum, serta pembentukan norma moral masyarakat. Biara dan uskup
bertindak sebagai pemilik fief, dan banyak klerus tinggi berasal dari
keluarga bangsawan, yang semakin memperkuat simbiosis antara kekuasaan
spiritual dan kekuasaan feodal.⁵
Ciri khas utama dari struktur sosial-politik feodal
adalah ketergantungan pribadi (personal dependency) dan ketiadaan
sentralisasi hukum dan administrasi. Tidak ada aparat negara modern; hukum
ditegakkan oleh penguasa lokal menurut kebiasaan setempat. Kesetiaan personal
menjadi pengikat utama, menggantikan loyalitas kepada negara.⁶ Dalam konteks
ini, feodalisme membentuk “masyarakat statis” yang mempertahankan
tatanan sosial melalui norma kehormatan, tradisi, dan kekuasaan herediter,
sekaligus menghambat mobilitas sosial dan perubahan struktural.
Footnotes
[1]
Marc Bloch, Feudal Society, trans. L.A.
Manyon (Chicago: University of Chicago Press, 1961), 129–135.
[2]
Joseph R. Strayer, Feudalism (Princeton: Van
Nostrand, 1965), 42–47.
[3]
Susan Reynolds, Fiefs and Vassals: The Medieval
Evidence Reinterpreted (Oxford: Oxford University Press, 1994), 97–104.
[4]
Chris Wickham, Medieval Europe (New Haven:
Yale University Press, 2016), 140–145.
[5]
R. W. Southern, Western Society and the Church
in the Middle Ages (Harmondsworth: Penguin, 1970), 111–115.
[6]
Perry Anderson, Passages from Antiquity to
Feudalism (London: Verso, 1974), 148–153.
4.
Landasan
Filosofis dan Ideologis Feodalisme
Sistem feodalisme tidak hanya merupakan konstruksi
sosial dan ekonomi, tetapi juga berpijak pada fondasi filosofis dan ideologis
yang kuat. Sistem ini mempertahankan legitimasi dan keberlanjutannya melalui
serangkaian keyakinan, simbol, dan prinsip normatif yang mendukung tatanan
hierarkis masyarakat. Landasan tersebut bersumber dari berbagai sumber,
termasuk tradisi klasik, ajaran agama Kristen (di Eropa Barat), serta konsep
kehormatan dan kesetiaan yang dilembagakan melalui adat istiadat.
Salah satu landasan filosofis utama dari sistem
feodal adalah konsep hierarki alamiah yang mengasumsikan bahwa tatanan
sosial telah ditentukan secara kodrati atau ilahiah. Dalam kerangka ini, posisi
sosial seseorang dianggap sebagai bagian dari "rencana Tuhan",
dan perubahan terhadapnya dipandang sebagai gangguan terhadap harmoni kosmik.
Para pemikir seperti Thomas Aquinas menyatakan bahwa struktur sosial hierarkis
mencerminkan keteraturan ilahi yang berlaku di alam semesta—sebagaimana
malaikat memiliki tingkatan di langit, demikian pula manusia memiliki tingkatan
dalam masyarakat.¹ Konsepsi ini memperkuat kepercayaan bahwa status sosial
bersifat tetap dan ditentukan oleh kelahiran, bukan oleh pencapaian individual.
Legitimasi kekuasaan feodal juga didasarkan pada doktrin
kekuasaan ilahiah raja (divine right of kings), yang menyatakan bahwa
otoritas raja berasal langsung dari Tuhan dan tidak boleh digugat oleh rakyat.²
Dalam pandangan ini, kesetiaan kepada raja dan bangsawan dianggap sebagai
bentuk pengabdian religius. Gereja, sebagai institusi dominan dalam masyarakat
feodal Eropa, turut memperkuat legitimasi ini dengan memberikan sakralitas pada
upacara penobatan dan pengakuan resmi terhadap hak-hak feodal.³ Ikatan antara
kekuasaan politik dan spiritual ini membentuk apa yang oleh Ernst Kantorowicz
disebut sebagai “dua tubuh raja” — tubuh politis yang abadi dan tubuh
biologis yang fana — untuk menjustifikasi keberlanjutan otoritas raja bahkan
setelah kematian pribadi sang raja.⁴
Selain itu, kode etik kesetiaan dan kehormatan
juga menjadi unsur ideologis yang memperkuat relasi sosial dalam sistem feodal.
Kaum bangsawan diikat oleh norma chivalry, yaitu kode moral yang
menekankan keberanian, kesetiaan kepada tuan, penghormatan terhadap wanita
bangsawan, serta perlindungan terhadap yang lemah.⁵ Etos kesatria ini tidak
hanya membentuk identitas sosial kelas atas, tetapi juga berfungsi sebagai
pengendali moral dan norma perilaku dalam interaksi sosial di antara para elite
feodal.
Di luar Eropa, sistem feodal juga dibenarkan oleh
doktrin ideologis yang serupa. Dalam feodalisme Jepang, misalnya, para daimyo
dan samurai terikat oleh kode bushidō, yang menekankan kesetiaan tanpa
syarat kepada tuannya (shogun), pengabdian terhadap kehormatan, dan sikap hidup
yang disiplin dan berani menghadapi kematian.⁶ Di dunia Islam, walaupun tidak
ada sistem feodal dalam pengertian Eropa, praktik-praktik seperti iqṭā’
seringkali dibingkai oleh legitimasi keagamaan dan norma kepatuhan kepada
otoritas politik sebagai bentuk pengamalan terhadap prinsip amr bi al-ma‘rūf
(mengajak kepada kebaikan) dan ṭā‘at li al-wālī (ketaatan kepada
pemimpin).⁷
Keseluruhan struktur ideologis ini menghasilkan
sistem tatanan sosial-politik yang menekankan stabilitas, ketaatan, dan
kontinuitas. Feodalisme tidak sekadar bertumpu pada kekuatan militer atau
dominasi ekonomi, tetapi juga pada reproduksi nilai-nilai yang mengakar dalam
kesadaran kolektif masyarakat. Hal ini menjelaskan mengapa sistem tersebut dapat
bertahan selama berabad-abad sebelum akhirnya runtuh akibat perubahan ekonomi,
budaya, dan politik yang mendalam pada era modern.
Footnotes
[1]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I–II, q. 91, a. 1.
[2]
John Neville Figgis, The Divine Right of Kings
(Cambridge: Cambridge University Press, 1914), 4–9.
[3]
R. W. Southern, Western Society and the Church
in the Middle Ages (Harmondsworth: Penguin, 1970), 92–95.
[4]
Ernst H. Kantorowicz, The King’s Two Bodies: A
Study in Mediaeval Political Theology (Princeton: Princeton University
Press, 1957), 3–8.
[5]
Maurice Keen, Chivalry (New Haven: Yale
University Press, 1984), 16–20.
[6]
Nitobe Inazō, Bushidō: The Soul of Japan
(Tokyo: Kodansha International, 2002), 28–32.
[7]
Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the
Caliphates (London: Routledge, 2015), 255–257.
5.
Dimensi
Ekonomi Feodalisme
Dimensi ekonomi dalam sistem feodalisme memainkan
peran sentral dalam menopang struktur sosial dan politik masyarakat Abad
Pertengahan. Ekonomi feodal berlandaskan pada agraria subsisten, yaitu
produksi pertanian untuk konsumsi lokal dengan mobilitas perdagangan yang
sangat terbatas. Tanah menjadi sumber utama kekayaan dan kekuasaan, dan
penguasaannya menentukan posisi sosial seseorang dalam hierarki feodal. Dalam
konteks ini, relasi ekonomi tidak didasarkan pada mekanisme pasar bebas, tetapi
pada ikatan personal antara tuan tanah dan penggarap, yang dilembagakan
melalui sistem hak dan kewajiban feodal.¹
Sumber daya utama dalam sistem ini adalah tanah
feodal (fief), yang diberikan oleh tuan (lord) kepada vassal sebagai
imbalan atas kesetiaan politik dan jasa militer. Fief bukan milik pribadi sepenuhnya,
melainkan hak guna yang diwariskan dan dilindungi oleh norma adat. Pemilik fief
memiliki otoritas atas tanah dan para penggarapnya, termasuk hak memungut
pajak, memaksakan kerja paksa, serta menetapkan denda dan hukuman atas
pelanggaran hukum lokal.² Oleh karena itu, kekuasaan ekonomi dalam sistem
feodal bersifat terdesentralisasi, berpindah ke tangan para bangsawan
dan lembaga keagamaan yang memiliki tanah dalam skala besar.
Para petani, khususnya serf, memikul beban
utama sistem ekonomi ini. Mereka tidak memiliki tanah sendiri, melainkan diberi
sebidang kecil untuk digarap demi kebutuhan pribadi, sementara sebagian besar
hasil kerja mereka diserahkan kepada tuan tanah dalam bentuk bajak tanah
(demesne work), upeti (tribute), dan iuran (dues).³ Bentuk
iuran bisa berupa hasil panen, tenaga kerja, atau pajak yang dibayarkan dalam
bentuk natura. Serf juga dikenakan berbagai macam pungutan tambahan seperti heriot
(pajak warisan), tallage (pajak darurat), dan merchet (pajak
pernikahan).⁴ Kondisi ini membuat para serf terikat secara ekonomi dan sosial,
tidak bebas berpindah tempat, dan berada dalam posisi subordinat yang
melembaga.
Karakter ekonomi feodal bersifat statik dan
lokalistik. Produksi pertanian cenderung terbatas pada kebutuhan lokal, dan
surplus yang dihasilkan hanya dalam jumlah kecil, cukup untuk konsumsi tuan
feodal dan rumah tangganya. Struktur ini menghambat pertumbuhan produktivitas
karena tidak ada insentif untuk inovasi atau investasi dalam alat dan teknik
pertanian yang lebih efisien.⁵ Selain itu, kurangnya akses terhadap pasar dan
minimnya peredaran uang tunai membuat sistem barter tetap dominan, memperlambat
perkembangan ekonomi uang dan perdagangan jangka panjang.
Walau demikian, pada abad ke-11 hingga ke-13
terjadi dinamika baru dalam ekonomi feodal. Kemunculan kota-kota dagang,
perkembangan serikat pengrajin (guild), dan intensifikasi perdagangan lintas
wilayah mulai melemahkan fondasi sistem agraris feodal.⁶ Faktor ini diperkuat
oleh krisis demografi akibat Wabah Hitam (Black Death) pada abad ke-14, yang
menurunkan jumlah tenaga kerja dan memaksa tuan tanah untuk memberikan lebih
banyak hak dan kebebasan kepada petani demi mempertahankan produksi.⁷ Maka,
meskipun ekonomi feodal tetap dominan dalam sebagian besar kawasan pedesaan, transformasi
menuju ekonomi pasar dan kerja upahan mulai terbentuk sebagai antitesis dari
sistem feodal.
Dalam kerangka makrohistoris, ekonomi feodal
menunjukkan bagaimana sistem produksi dapat dibentuk oleh relasi kekuasaan dan
struktur sosial yang tidak semata-mata digerakkan oleh prinsip keuntungan,
melainkan oleh norma kesetiaan, hak istimewa, dan kewajiban adat.⁸ Pemahaman
ini penting dalam menyoroti bagaimana ekonomi pra-modern bukan hanya masalah
distribusi sumber daya, tetapi juga cerminan struktur ideologi dan kekuasaan
yang kompleks.
Footnotes
[1]
Marc Bloch, Feudal Society, trans. L.A.
Manyon (Chicago: University of Chicago Press, 1961), 223–227.
[2]
Susan Reynolds, Fiefs and Vassals: The Medieval
Evidence Reinterpreted (Oxford: Oxford University Press, 1994), 72–78.
[3]
Chris Wickham, Medieval Europe (New Haven:
Yale University Press, 2016), 157–160.
[4]
Rodney Hilton, Bond Men Made Free: Medieval
Peasant Movements and the English Rising of 1381 (London: Routledge, 1973),
24–27.
[5]
Georges Duby, Rural Economy and Country Life in
the Medieval West, trans. Cynthia Postan (Philadelphia: University of
Pennsylvania Press, 1998), 113–119.
[6]
Henri Pirenne, Medieval Cities: Their Origins
and the Revival of Trade, trans. Frank D. Halsey (Princeton: Princeton
University Press, 1925), 43–49.
[7]
Barbara Tuchman, A Distant Mirror: The
Calamitous 14th Century (New York: Alfred A. Knopf, 1978), 112–117.
[8]
Perry Anderson, Passages from Antiquity to
Feudalism (London: Verso, 1974), 148–153.
6.
Feodalisme
dan Kebudayaan
Feodalisme bukan hanya suatu sistem ekonomi dan
politik, tetapi juga kerangka kebudayaan yang menyeluruh, yang membentuk cara
pandang, struktur nilai, dan praktik kehidupan masyarakat Abad Pertengahan.
Dalam masyarakat feodal, kebudayaan sangat erat kaitannya dengan relasi sosial
dan legitimasi kekuasaan, karena produksi budaya tidak berdiri netral melainkan
berfungsi sebagai instrumen pemeliharaan tatanan hierarkis.¹ Kebudayaan dalam
sistem ini dimediasi oleh agama, tradisi lisan, seni simbolik, serta
lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan yang dikuasai oleh elite gerejawi dan
bangsawan.
Salah satu institusi paling berpengaruh dalam
kehidupan budaya feodal adalah Gereja Katolik, yang bukan hanya pemegang
otoritas spiritual, tetapi juga agen utama dalam transmisi dan produksi
pengetahuan. Gereja menguasai sistem pendidikan melalui sekolah katedral dan
biara, memonopoli akses terhadap teks-teks klasik, serta menjadi penjaga bahasa
Latin sebagai media intelektual.² Oleh karena itu, kebudayaan feodal sangat
bersifat teosentris dan normatif, dengan doktrin agama menjadi fondasi moral
dan epistemologis seluruh kehidupan sosial. Karya-karya teolog seperti
Agustinus dan Thomas Aquinas tidak hanya berpengaruh dalam bidang agama, tetapi
juga membentuk wacana etika, politik, dan estetika dalam masyarakat feodal.³
Dalam ranah seni dan arsitektur, budaya
feodal menghasilkan bentuk-bentuk estetika yang monumental namun simbolik,
seperti katedral gotik, biara Romanesque, serta kastil
pertahanan yang menunjukkan gabungan antara fungsi militer dan status
sosial. Bangunan ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah atau
pertahanan, tetapi juga sebagai lambang kekuasaan dan kesalehan penguasa
feodal.⁴ Seni visual didominasi oleh tema-tema religius yang menggambarkan
nilai ketundukan, penderitaan, dan pengabdian, merefleksikan posisi manusia
dalam tatanan ilahiah dan sosial yang hierarkis.
Sementara itu, budaya lisan dan sastra kesatria
(chivalric literature) memainkan peran penting dalam mengonstruksi identitas
kaum bangsawan. Kisah-kisah epik seperti Chanson de Roland di Prancis
dan Beowulf di Inggris mengagungkan keberanian, kesetiaan, dan
kehormatan — nilai-nilai inti dalam etos feodal.⁵ Narasi-narasi ini disebarkan
melalui penyair keliling (troubadours atau skalds) yang menjadi
bagian dari istana-istana bangsawan, menjadikan budaya sastra sebagai media
legitimasi sosial-politik kelas penguasa. Sastra kesatria tidak hanya membentuk
cita ideal bangsawan, tetapi juga mendefinisikan batas-batas moral dan sosial
antara kaum elite dan rakyat biasa.⁶
Feodalisme juga melahirkan struktur budaya yang
bersifat paternalistik, di mana rakyat jelata — khususnya petani —
diasumsikan sebagai golongan yang tidak berbudaya dan tidak memiliki kapasitas
rasional seperti kaum elite. Dalam banyak masyarakat feodal, budaya petani
hanya terekam dalam bentuk folklor, ritual agraris, atau kepercayaan lokal yang
seringkali dianggap takhayul oleh kalangan gerejawi.⁷ Pola ini memperlihatkan
bagaimana kebudayaan dalam feodalisme bersifat stratifikatif, yaitu membedakan
nilai dan ekspresi budaya berdasarkan kelas sosial.
Namun demikian, menjelang akhir Abad Pertengahan,
mulai muncul dinamika budaya baru yang menandai pergeseran dari dominasi
budaya feodal ke arah humanisme dan rasionalisme. Faktor-faktor seperti
pertumbuhan kota, berkembangnya universitas, serta munculnya kelas menengah
(burgher) menyebabkan perubahan dalam orientasi budaya.⁸ Kemunculan penulis
seperti Dante, Chaucer, dan Boccaccio mencerminkan transisi dari narasi teosentris
menuju humanisme awal, yang menantang dominasi nilai-nilai feodal dalam bidang
etika dan politik.
Dengan demikian, budaya dalam masyarakat feodal
merupakan ekspresi dan sarana reproduksi kekuasaan sosial-politik, sekaligus
ladang resistensi laten yang pada akhirnya mendorong transformasi menuju
tatanan baru. Pemahaman terhadap dimensi budaya ini penting untuk melihat bahwa
feodalisme tidak hanya hidup dalam struktur kelembagaan, tetapi juga dalam
kesadaran kolektif dan ekspresi simbolik masyarakatnya.
Footnotes
[1]
Perry Anderson, Passages from Antiquity to
Feudalism (London: Verso, 1974), 148–150.
[2]
Jacques Le Goff, Intellectuals in the Middle
Ages, trans. Teresa Lavender Fagan (Oxford: Blackwell, 1993), 22–29.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I–II, q. 91, a. 2.
[4]
Otto von Simson, The Gothic Cathedral: Origins
of Gothic Architecture and the Medieval Concept of Order (Princeton:
Princeton University Press, 1988), 40–45.
[5]
Douglas Kelly, The Art of Medieval French
Romance (Madison: University of Wisconsin Press, 1992), 71–75.
[6]
C. Stephen Jaeger, The Origins of Courtliness:
Civilizing Trends and the Formation of Courtly Ideals (Philadelphia:
University of Pennsylvania Press, 1985), 119–124.
[7]
Peter Burke, Popular Culture in Early Modern
Europe (New York: Harper & Row, 1978), 18–21.
[8]
Johan Huizinga, The Waning of the Middle Ages,
trans. F. Hopman (New York: St. Martin’s Press, 1996), 73–80.
7.
Krisis
dan Keruntuhan Feodalisme
Keruntuhan feodalisme tidak terjadi secara
tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari serangkaian krisis struktural yang
bersifat ekonomi, sosial, politik, dan demografis. Sejak akhir abad ke-13
hingga awal abad ke-16, berbagai faktor saling berinteraksi dan menggerogoti
fondasi sistem feodal yang selama berabad-abad menopang struktur masyarakat
Eropa. Proses ini kemudian menjadi titik balik menuju lahirnya masyarakat
modern yang ditandai oleh sentralisasi negara, ekonomi pasar, dan pergeseran
ideologis yang mendalam.
Salah satu faktor utama penyebab keruntuhan
feodalisme adalah pertumbuhan kota dan perdagangan. Seiring dengan
munculnya jalur perdagangan antarkota di Eropa dan Laut Tengah, sistem ekonomi
lokal yang sebelumnya tertutup mulai digantikan oleh ekonomi pasar yang lebih
dinamis. Perkembangan ini memunculkan kelas menengah baru seperti burgher
dan pedagang kota, yang tidak bergantung pada tanah sebagai sumber
kekuasaan dan menciptakan tatanan ekonomi di luar lingkaran patronase feodal.¹
Dengan demikian, kota menjadi pusat resistensi terhadap tatanan feodal yang
agraris dan hierarkis.
Di sisi lain, Wabah Hitam (Black Death) yang
melanda Eropa antara tahun 1347–1351 mengakibatkan kematian sekitar sepertiga
hingga setengah populasi Eropa, dan menciptakan krisis demografis
besar-besaran.² Dampaknya terhadap ekonomi feodal sangat signifikan: kekurangan
tenaga kerja menyebabkan naiknya tuntutan upah, penurunan produksi agraris,
serta melemahnya kekuasaan tuan tanah atas para serf.³ Banyak petani yang mulai
menuntut hak-hak baru atau bahkan melarikan diri ke kota-kota, menciptakan
tekanan sosial terhadap struktur lama. Dalam beberapa kasus, seperti dalam Pemberontakan
Petani Inggris tahun 1381, krisis ini berubah menjadi pemberontakan terbuka
terhadap elite feodal.⁴
Sementara itu, kekuatan monarki mulai mengonsolidasikan
kekuasaan secara terpusat dan menciptakan sistem birokrasi yang lebih
stabil dan efisien. Raja-raja seperti Louis XI di Prancis atau Henry
VII di Inggris mengurangi ketergantungan mereka terhadap bangsawan feodal
dan mulai membentuk tentara nasional serta lembaga perpajakan langsung, yang
melemahkan otonomi lokal para lord.⁵ Ini menandai transisi menuju negara-bangsa
modern, di mana hukum dan administrasi terpusat menggantikan hubungan
patronase yang bersifat personalistik.
Krisis ideologis juga turut mempercepat keruntuhan
feodalisme. Munculnya humanisme Renaisans dan pemikiran-pemikiran kritis
terhadap otoritas Gereja dan aristokrasi mulai menggeser sistem nilai
teosentris dan hierarkis yang menopang legitimasi feodal. Tokoh-tokoh seperti Marsilius
dari Padua, William of Ockham, dan Niccolò Machiavelli
memberikan kontribusi terhadap perubahan cara pandang terhadap kekuasaan,
masyarakat, dan otoritas politik.⁶ Perubahan ideologis ini berpuncak pada
reformasi Protestan dan pemisahan otoritas keagamaan dari kekuasaan politik
feodal.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah kemajuan
teknologi militer, seperti penggunaan busur panjang (longbow),
artileri, dan bubuk mesiu, yang membuat taktik perang feodal (yang bergantung
pada pasukan kesatria) menjadi usang. Pertempuran seperti Agincourt (1415)
membuktikan bahwa kekuatan kavaleri bangsawan tidak lagi dominan dalam medan
perang modern.⁷ Hal ini semakin memperlemah fungsi sosial-politik bangsawan
feodal sebagai pemimpin militer.
Dengan demikian, keruntuhan feodalisme adalah hasil
dari disintegrasi multilevel, yang melibatkan transformasi ekonomi,
revolusi demografi, konsolidasi politik, serta perubahan budaya dan ideologis.
Meskipun unsur-unsur sistem feodal tetap bertahan dalam bentuk yang tersisa
(seperti hak istimewa aristokrasi), namun fondasi dasarnya telah digantikan
oleh tatanan sosial baru yang lebih sesuai dengan dinamika kapitalisme awal dan
pembentukan negara modern.⁸
Footnotes
[1]
Henri Pirenne, Medieval Cities: Their Origins
and the Revival of Trade, trans. Frank D. Halsey (Princeton: Princeton
University Press, 1925), 56–62.
[2]
Barbara Tuchman, A Distant Mirror: The
Calamitous 14th Century (New York: Alfred A. Knopf, 1978), 92–99.
[3]
Marc Bloch, Feudal Society, trans. L.A.
Manyon (Chicago: University of Chicago Press, 1961), 271–275.
[4]
Rodney Hilton, Bond Men Made Free: Medieval
Peasant Movements and the English Rising of 1381 (London: Routledge, 1973),
54–63.
[5]
Joseph R. Strayer, On the Medieval Origins of
the Modern State (Princeton: Princeton University Press, 1970), 87–93.
[6]
Quentin Skinner, The Foundations of Modern
Political Thought, Vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978),
105–112.
[7]
Clifford J. Rogers, War Cruel and Sharp: English
Strategy under Edward III, 1327–1360 (Woodbridge: Boydell Press, 2000),
203–209.
[8]
Perry Anderson, Lineages of the Absolutist State
(London: Verso, 1974), 24–32.
8.
Relevansi
dan Jejak Feodalisme dalam Dunia Kontemporer
Meskipun secara historis sistem feodalisme telah
mengalami keruntuhan sejak awal zaman modern, sejumlah elemen struktural,
kultural, dan relasional dari feodalisme tetap bertahan dan bermetamorfosis
dalam bentuk-bentuk baru dalam masyarakat kontemporer. Konsep seperti
ketimpangan kekuasaan, relasi patron-klien, dan dominasi kelas elite atas
sumber daya masih menjadi ciri dari banyak masyarakat modern, meskipun dikemas
dalam struktur ekonomi-politik yang berbeda. Inilah yang melatarbelakangi berkembangnya
istilah seperti “neo-feodalisme”, yaitu istilah yang digunakan untuk
menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip dasar feodalisme kembali muncul dalam
konteks kapitalisme global, oligarki politik, dan konsentrasi kekayaan.¹
Salah satu contoh nyata dari jejak feodalisme dalam
dunia kontemporer adalah oligarki ekonomi, di mana segelintir elite
menguasai sumber daya strategis dan memiliki pengaruh besar dalam kebijakan
publik tanpa melalui proses representasi demokratis yang sejati. Para pemilik
modal besar—baik di sektor industri, teknologi, maupun keuangan—memiliki akses
istimewa terhadap kekuasaan politik, serupa dengan peran bangsawan feodal dalam
menyetir arah kebijakan kerajaan pada Abad Pertengahan.² Fenomena ini terlihat
dalam hubungan erat antara korporasi besar dan lembaga negara di berbagai
belahan dunia, yang menciptakan ketergantungan struktural dan mengikis
prinsip-prinsip kedaulatan rakyat.
Selain itu, dalam banyak negara berkembang, relasi
kekuasaan lokal masih ditentukan oleh sistem patronase dan klientelisme,
di mana para elite politik atau tokoh adat menjadi figur penguasa atas sumber
daya, informasi, dan akses terhadap birokrasi.³ Seperti dalam sistem feodal,
loyalitas personal dan hubungan sosial lebih menentukan daripada meritokrasi atau
institusi formal. Praktik ini tidak hanya menghambat demokratisasi, tetapi juga
memperkokoh ketimpangan sosial dan ekonomi. Dalam konteks ini, masyarakat desa
atau kelas bawah berperan mirip dengan kaum serf dalam sistem lama—terikat pada
tuan yang memberi perlindungan namun menuntut loyalitas politik dan ekonomi.
Ketimpangan akses terhadap lahan dan sumber daya
alam juga menunjukkan relevansi
prinsip-prinsip feodalisme. Dalam beberapa kasus, seperti konsesi besar-besaran
lahan kepada perusahaan swasta atau individu tertentu oleh negara, terjadi
reproduksi model penguasaan tanah yang tidak jauh berbeda dengan model fief.⁴
Para pengusaha atau penguasa lokal bertindak sebagai “tuan tanah modern”
dengan kekuasaan yang relatif otonom terhadap komunitas lokal, tanpa
akuntabilitas vertikal yang kuat.
Dalam ranah budaya, nilai-nilai hierarkis,
elitistis, dan paternalistik juga tetap eksis dalam praktik pendidikan,
birokrasi, dan komunikasi politik. Sistem pendidikan di beberapa negara,
misalnya, masih membudayakan pola otoritarianisme guru-murid atau
dosen-mahasiswa yang meniru struktur vertikal ala feodal.⁵ Bahkan dalam dunia
digital sekalipun, platform teknologi besar dapat dipandang sebagai “penguasa
digital” yang mengontrol informasi, algoritma, dan ekonomi data dari miliaran
pengguna di seluruh dunia.
Dalam kerangka teori sosial kritis, sejumlah
pemikir kontemporer seperti Joel Kotkin dan Byung-Chul Han
menyuarakan keprihatinan terhadap kembalinya tatanan neo-feodal, di mana
kelas menengah semakin tergerus dan kekuasaan terpusat pada segelintir elite
yang tak tersentuh. Kotkin, dalam bukunya The Coming of Neo-Feudalism,
menyebut fenomena ini sebagai bentuk baru aristokrasi digital dan ekonomi,
dengan ciri-ciri konsolidasi kekayaan, penurunan mobilitas sosial, dan
subordinasi budaya.⁶
Dengan demikian, feodalisme sebagai sistem historis
mungkin telah tiada, tetapi logika feodal—yang berbasis pada subordinasi,
patronase, dan stratifikasi sosial—masih hidup dan berkembang dalam
bentuk-bentuk baru. Memahami jejak-jejak ini penting bagi masyarakat modern
untuk menganalisis ulang relasi kekuasaan, mendefinisikan ulang keadilan
sosial, serta membangun sistem politik dan ekonomi yang lebih setara dan
partisipatif.
Footnotes
[1]
Joel Kotkin, The Coming of Neo-Feudalism: A
Warning to the Global Middle Class (New York: Encounter Books, 2020),
14–19.
[2]
Thomas Piketty, Capital and Ideology, trans.
Arthur Goldhammer (Cambridge: Harvard University Press, 2020), 521–532.
[3]
Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy
for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca:
Cornell University Press, 2019), 25–31.
[4]
Tania Li, Land’s End: Capitalist Relations on an
Indigenous Frontier (Durham: Duke University Press, 2014), 43–50.
[5]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–74.
[6]
Byung-Chul Han, Psychopolitics: Neoliberalism
and the New Technologies of Power, trans. Erik Butler (London: Verso,
2017), 37–41.
9.
Kritik
terhadap Feodalisme
Feodalisme sebagai sistem sosial-politik dan
ekonomi telah menjadi sasaran kritik yang luas dari berbagai perspektif
ideologis, filosofis, dan historis. Kritik-kritik ini tidak hanya berasal dari
pemikir modern, tetapi juga berkembang seiring dengan transformasi masyarakat
Eropa menuju tatanan kapitalistik dan negara-bangsa. Pada intinya, feodalisme
dikritik karena melanggengkan ketimpangan struktural, ketergantungan
sosial, dan pembatasan terhadap kebebasan individu, sekaligus
menghambat kemajuan ekonomi dan kultural masyarakat secara keseluruhan.
Salah satu kritik mendasar datang dari Marxisme,
yang melihat feodalisme sebagai tahap historis dalam perkembangan formasi
sosial menuju kapitalisme. Karl Marx dan Friedrich Engels menganggap sistem
feodal sebagai bentuk dominasi kelas, di mana pemilik tanah (bangsawan dan
gereja) mengeksploitasi tenaga kerja petani melalui hubungan yang bersifat
non-ekuivalen dan koersif.¹ Dalam kerangka materialisme historis,
feodalisme dipandang sebagai sistem yang tidak efisien secara ekonomi karena
surplus produksi diserap oleh elite tanpa reinvestasi produktif.² Marx
menyatakan bahwa revolusi borjuis merupakan keniscayaan sejarah untuk
menghancurkan struktur feodal dan membebaskan kekuatan-kekuatan produktif dari
belenggu hubungan sosial yang stagnan.³
Dari sudut pandang liberalisme, kritik
terhadap feodalisme lebih diarahkan pada ketidakadilan dalam distribusi hak dan
kesempatan. Dalam sistem feodal, status sosial ditentukan oleh kelahiran, bukan
oleh prestasi atau kontribusi individu. Hal ini melanggar prinsip-prinsip dasar
liberal seperti egalitarianisme, kebebasan individu, dan mobilitas
sosial.⁴ John Locke, misalnya, menentang konsep hak istimewa turun-temurun
dan mendukung prinsip bahwa kekuasaan politik hanya sah jika diperoleh melalui
persetujuan rakyat.⁵ Feodalisme dianggap sebagai sistem yang menghalangi
partisipasi politik dan kebebasan ekonomi warga negara, serta memonopoli akses
terhadap pendidikan, hukum, dan kepemilikan tanah.
Kritik juga muncul dari humanisme dan filsafat
Renaisans, yang melihat feodalisme sebagai sistem yang mengekang potensi
rasional dan kreatif manusia. Dalam masyarakat feodal, ekspresi intelektual dan
budaya sangat dikontrol oleh institusi agama dan elite feodal.⁶ Tokoh seperti
Erasmus dan Montaigne mempromosikan nilai-nilai kebebasan berpikir, pendidikan
universal, dan kesetaraan moral, yang bertentangan dengan nilai-nilai hierarkis
dan dogmatis dari sistem feodal.
Dari perspektif feminis, feodalisme
dipandang sebagai sistem yang sangat patriarkal, di mana perempuan
berada dalam subordinasi ganda: sebagai anggota kelas bawah dan sebagai
subordinat laki-laki dalam keluarga maupun dalam sistem sosial yang lebih
luas.⁷ Perempuan bangsawan diperlakukan sebagai alat diplomasi melalui
pernikahan politik, sementara perempuan dari kelas bawah menghadapi
keterbatasan dalam hak milik, pendidikan, dan partisipasi publik. Struktur
feodal memperkuat ketimpangan gender yang dilembagakan oleh norma agama, hukum
adat, dan praktik sosial sehari-hari.
Feodalisme juga dikritik karena sifatnya yang statik
dan anti-inovatif. Dalam sistem ini, tidak terdapat insentif untuk
menciptakan efisiensi atau inovasi teknologi dalam pertanian maupun industri,
karena surplus ekonomi cenderung diserap oleh konsumsi elite dan tidak
dikembangkan menjadi modal produktif.⁸ Hal ini berbeda dengan ekonomi pasar
yang mengandalkan kompetisi, akumulasi modal, dan mobilitas sumber daya.
Akibatnya, masyarakat feodal cenderung mengalami stagnasi ekonomi yang panjang,
serta rentan terhadap krisis demografis dan ekologis.
Namun demikian, beberapa sejarawan seperti Marc
Bloch dan Susan Reynolds mengingatkan agar kritik terhadap
feodalisme tidak bersifat anahronistik atau menyederhanakan kompleksitasnya.
Mereka berpendapat bahwa sistem feodal juga memiliki fungsi stabilisasi sosial
dan menyediakan kerangka normatif dalam masa transisi pasca-kejatuhan
Kekaisaran Romawi.⁹ Oleh karena itu, kritik terhadap feodalisme perlu
mempertimbangkan konteks historisnya, tanpa mengabaikan dampak negatif yang
ditimbulkannya terhadap struktur sosial dan pembangunan manusia.
Footnotes
[1]
Karl Marx and Friedrich Engels, The German
Ideology, ed. C.J. Arthur (New York: International Publishers, 1970),
73–76.
[2]
Perry Anderson, Passages from Antiquity to
Feudalism (London: Verso, 1974), 132–137.
[3]
Karl Marx, A Contribution to the Critique of
Political Economy, trans. N.I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr, 1904),
21–25.
[4]
Isaiah Berlin, Liberty, ed. Henry Hardy
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 152–157.
[5]
John Locke, Two Treatises of Government, ed.
Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–292.
[6]
Charles G. Nauert, Humanism and the Culture of
Renaissance Europe (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 63–68.
[7]
Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women,
the Body and Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 24–29.
[8]
Chris Wickham, Framing the Early Middle Ages:
Europe and the Mediterranean, 400–800 (Oxford: Oxford University Press,
2005), 511–516.
[9]
Marc Bloch, Feudal Society, trans. L.A.
Manyon (Chicago: University of Chicago Press, 1961), 40–45; Susan Reynolds, Fiefs
and Vassals: The Medieval Evidence Reinterpreted (Oxford: Oxford University
Press, 1994), 2–7.
10. Kesimpulan
Feodalisme merupakan salah satu sistem
sosial-politik dan ekonomi paling berpengaruh dalam sejarah peradaban manusia,
khususnya di Eropa Abad Pertengahan. Ia hadir sebagai respons atas kehancuran
struktur kekaisaran Romawi, menjelma menjadi tatanan yang menekankan hubungan
personal antara pemilik kekuasaan dan rakyat biasa dalam bentuk hierarki
berlapis. Dalam sistem ini, tanah menjadi basis utama kekuasaan, sementara
loyalitas dan kesetiaan menjadi pengikat relasi sosial.¹
Seperti telah dibahas dalam bagian-bagian
sebelumnya, feodalisme tidak semata-mata struktur ekonomi atau politik, tetapi
juga merupakan konstruksi budaya dan ideologi yang kompleks. Sistem ini
ditopang oleh doktrin religius, norma adat, dan nilai-nilai moral yang mengatur
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Keterkaitan antara kekuasaan spiritual
(Gereja), militer (bangsawan), dan sosial (petani serta rohaniawan) menciptakan
tatanan yang relatif stabil namun statis.² Stabilitas ini menjadi kekuatan
sekaligus kelemahan feodalisme: ia mampu menjaga keteraturan dalam kondisi pasca-anarkis,
namun gagal mendorong inovasi, mobilitas sosial, dan perkembangan ekonomi
produktif.
Namun, sistem ini mulai mengalami disintegrasi
seiring dengan munculnya kota-kota dagang, reformasi keagamaan, dan konsolidasi
negara-bangsa. Perubahan-perubahan struktural ini melahirkan masyarakat
kapitalistik awal dan mendorong pembentukan institusi modern seperti birokrasi,
hukum positif, dan demokrasi parlementer.³ Proses keruntuhan ini tidak berarti
bahwa warisan feodalisme sepenuhnya hilang. Sebaliknya, banyak elemen dari
sistem tersebut tetap hadir dalam bentuk baru: oligarki ekonomi, sistem
patronase politik, ketimpangan sosial, dan subordinasi struktural terhadap
elite.
Dalam konteks kontemporer, konsep “neo-feodalisme”
digunakan untuk mengkaji berbagai bentuk ketimpangan dan relasi kuasa yang
menyerupai prinsip-prinsip dasar feodalisme, namun dalam kemasan baru seperti
kapitalisme digital, kontrol algoritmik, dan dominasi korporasi transnasional.⁴
Kesadaran akan jejak-jejak ini penting agar masyarakat modern tidak terjebak
dalam mitos kemajuan yang menutupi keberlanjutan struktur opresif di balik
institusi demokratis dan ekonomi pasar.
Maka, studi tentang feodalisme tidak hanya
berfungsi sebagai telaah historis, tetapi juga sebagai cermin reflektif
bagi masyarakat masa kini dalam memahami dinamika kekuasaan, stratifikasi
sosial, dan potensi perlawanan terhadap ketimpangan. Mengingat daya hidup
ideologis dan struktural sistem ini, penting bagi para ilmuwan sosial,
pendidik, dan pembuat kebijakan untuk mengkaji ulang warisan feodal dalam ranah
ekonomi, budaya, dan politik modern demi membangun masyarakat yang lebih adil,
setara, dan demokratis.
Footnotes
[1]
Marc Bloch, Feudal Society, trans. L.A.
Manyon (Chicago: University of Chicago Press, 1961), 42–47.
[2]
R. W. Southern, Western Society and the Church
in the Middle Ages (Harmondsworth: Penguin, 1970), 93–99.
[3]
Joseph R. Strayer, On the Medieval Origins of
the Modern State (Princeton: Princeton University Press, 1970), 104–108.
[4]
Joel Kotkin, The Coming of Neo-Feudalism: A
Warning to the Global Middle Class (New York: Encounter Books, 2020),
27–33.
Daftar Pustaka
Anderson, P. (1974). Lineages of the absolutist
state. Verso.
Anderson, P. (1974). Passages from antiquity to
feudalism. Verso.
Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy
for sale: Elections, clientelism, and the state in Indonesia. Cornell
University Press.
Berlin, I. (2002). Liberty (H. Hardy, Ed.).
Oxford University Press.
Bloch, M. (1961). Feudal society (L. A.
Manyon, Trans.). University of Chicago Press. (Original work published 1939)
Burke, P. (1978). Popular culture in early
modern Europe. Harper & Row.
Duby, G. (1998). Rural economy and country life
in the medieval West (C. Postan, Trans.). University of Pennsylvania Press.
(Original work published 1962)
Federici, S. (2004). Caliban and the witch:
Women, the body and primitive accumulation. Autonomedia.
Figgis, J. N. (1914). The divine right of kings.
Cambridge University Press.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Original work published 1968)
Han, B.-C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism
and the new technologies of power (E. Butler, Trans.). Verso.
Hilton, R. (1973). Bond men made free: Medieval
peasant movements and the English rising of 1381. Routledge.
Huizinga, J. (1996). The waning of the Middle
Ages (F. Hopman, Trans.). St. Martin’s Press. (Original work published
1919)
Jaeger, C. S. (1985). The origins of
courtliness: Civilizing trends and the formation of courtly ideals.
University of Pennsylvania Press.
Kantorowicz, E. H. (1957). The king’s two
bodies: A study in mediaeval political theology. Princeton University
Press.
Kelly, D. (1992). The art of medieval French
romance. University of Wisconsin Press.
Keen, M. (1984). Chivalry. Yale University
Press.
Kotkin, J. (2020). The coming of neo-feudalism:
A warning to the global middle class. Encounter Books.
Le Goff, J. (1993). Intellectuals in the Middle
Ages (T. L. Fagan, Trans.). Blackwell.
Li, T. M. (2014). Land’s end: Capitalist
relations on an indigenous frontier. Duke University Press.
Locke, J. (1988). Two treatises of government
(P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)
Marx, K. (1904). A contribution to the critique
of political economy (N. I. Stone, Trans.). Charles H. Kerr.
Marx, K., & Engels, F. (1970). The German
ideology (C. J. Arthur, Ed.). International Publishers. (Original work
published 1846)
Nauert, C. G. (2006). Humanism and the culture
of Renaissance Europe. Cambridge University Press.
Nitobe, I. (2002). Bushidō: The soul of Japan.
Kodansha International. (Original work published 1900)
Piketty, T. (2020). Capital and ideology (A.
Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.
Pirenne, H. (1925). Medieval cities: Their
origins and the revival of trade (F. D. Halsey, Trans.). Princeton
University Press.
Reynolds, S. (1994). Fiefs and vassals: The
medieval evidence reinterpreted. Oxford University Press.
Rogers, C. J. (2000). War cruel and sharp:
English strategy under Edward III, 1327–1360. Boydell Press.
Simson, O. von. (1988). The Gothic cathedral:
Origins of Gothic architecture and the medieval concept of order. Princeton
University Press.
Skinner, Q. (1978). The foundations of modern
political thought (Vol. 1). Cambridge University Press.
Southern, R. W. (1970). Western society and the
Church in the Middle Ages. Penguin.
Strayer, J. R. (1965). Feudalism. Van
Nostrand.
Strayer, J. R. (1970). On the medieval origins
of the modern state. Princeton University Press.
Tuchman, B. W. (1978). A distant mirror: The
calamitous 14th century. Alfred A. Knopf.
Wickham, C. (2005). Framing the early Middle
Ages: Europe and the Mediterranean, 400–800. Oxford University Press.
Wickham, C. (2009). The inheritance of Rome: A
history of Europe from 400 to 1000. Viking.
Wickham, C. (2016). Medieval Europe. Yale
University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar