Jumat, 06 Juni 2025

Sejarah IPS 11-1: Kajian Historis Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia dan Warisannya bagi Masa Kini

Bahan Ajar Sejarah

Kemegahan Maritim Nusantara

Kajian Historis Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia dan Warisannya bagi Masa Kini


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran Sejarah IPS.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif perkembangan dan kontribusi kerajaan-kerajaan maritim bercorak Hindu-Buddha di Nusantara, seperti Sriwijaya, Mataram Kuno, Kediri, Singhasari, dan Majapahit, dalam membentuk fondasi historis, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan historis-kultural dan merujuk pada sumber-sumber primer dan sekunder yang kredibel, tulisan ini mengulas aspek-aspek penting mulai dari konteks geografis dan jalur perdagangan, sistem pemerintahan dan politik, struktur sosial, kehidupan ekonomi, hingga warisan kebudayaan dan keagamaan. Artikel ini juga menyoroti pengaruh jangka panjang dari peradaban Hindu-Buddha terhadap nilai-nilai dan identitas bangsa Indonesia masa kini, termasuk kontribusinya terhadap semangat pluralisme, kesadaran maritim, serta etika kepemimpinan yang berbasis kearifan lokal. Kesimpulannya, pemahaman terhadap kejayaan maritim Nusantara masa lalu tidak hanya memperkaya wawasan sejarah, tetapi juga memperkuat dasar ideologis dan strategis pembangunan bangsa ke depan.

Kata Kunci: Kerajaan Maritim, Hindu-Buddha, Sriwijaya, Majapahit, Sejarah Indonesia, Kebudayaan Nusantara, Warisan Sejarah, Identitas Maritim, Toleransi, Politik Tradisional.


PEMBAHASAN

Kajian Historis Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia dan Warisannya bagi Masa Kini


1.           Pendahuluan

Kepulauan Indonesia yang membentang di jalur strategis antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik menjadikannya wilayah yang sejak lama dikenal sebagai kawasan maritim yang aktif. Keberadaan laut sebagai penghubung antarpulau dan antarbenua telah mendorong terbentuknya kerajaan-kerajaan besar yang mengembangkan kekuatan maritim, khususnya pada masa kejayaan pengaruh Hindu dan Buddha antara abad ke-5 hingga ke-15 Masehi. Dalam konteks ini, kerajaan-kerajaan seperti Sriwijaya, Mataram Kuno, Kediri, Singhasari, dan Majapahit memainkan peran signifikan sebagai pusat kekuasaan politik, perdagangan, dan kebudayaan yang berorientasi kelautan.

Peran strategis kerajaan-kerajaan maritim Nusantara bukan hanya ditentukan oleh kekuatan militernya, tetapi juga oleh kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan dengan dunia luar, termasuk India, Tiongkok, dan Timur Tengah. Sriwijaya, misalnya, telah dikenal luas sebagai pusat studi agama Buddha Mahayana dan sekaligus sebagai pelabuhan transit utama dalam jalur perdagangan maritim Asia Tenggara pada abad ke-7 hingga ke-13 Masehi. Fakta ini dikuatkan oleh catatan perjalanan I-Tsing, seorang biksu Tiongkok abad ke-7 yang tinggal di Sriwijaya selama beberapa tahun untuk mempelajari tata bahasa Sanskerta sebelum melanjutkan perjalanannya ke Nalanda di India.1

Pola pemerintahan yang terbentuk dalam kerajaan-kerajaan tersebut menunjukkan adanya adaptasi terhadap konsep-konsep kekuasaan dari India, seperti dewaraja (raja sebagai perwujudan dewa), namun tetap berpijak pada kearifan lokal yang berbasis komunitas maritim. Struktur sosial, sistem ekonomi, dan bentuk-bentuk budaya pun mengalami perkembangan pesat sebagai hasil dari interaksi antarbudaya dan pertumbuhan perdagangan lintas samudra. Hal ini tampak, misalnya, dalam kemajuan arsitektur monumental seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan, serta dalam warisan sastra kakawin berbahasa Jawa Kuno yang bernuansa Hindu-Buddha dan menggambarkan struktur masyarakat kerajaan secara simbolik dan filosofis.2

Kajian atas kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha tidak semata-mata menyajikan narasi kejayaan masa lalu, tetapi juga memberikan landasan penting dalam membentuk identitas kebangsaan Indonesia. Gagasan bahwa Indonesia adalah bangsa maritim—yang memiliki daya saing, keterbukaan terhadap dunia luar, serta warisan budaya yang kaya—mendapat legitimasi historis dari kejayaan kerajaan-kerajaan tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran sejarah kerajaan-kerajaan maritim ini perlu dikembangkan tidak hanya sebagai materi pengetahuan, tetapi juga sebagai instrumen pembentukan karakter dan wawasan kebangsaan generasi muda.

Melalui artikel ini, pembaca diajak untuk menelusuri kembali kejayaan kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Nusantara, mengkaji sistem pemerintahan, struktur sosial, kehidupan ekonomi, dan kebudayaan yang mereka kembangkan, serta menelaah bagaimana warisan historis tersebut masih memengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia di masa kini.


Footnotes

[1]                George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, trans. Susan Brown Cowing (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1968), 115–117.

[2]                Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1: Kebudayaan Material (Jakarta: Gramedia, 1996), 150–153.


2.           Konteks Historis Kerajaan Maritim Nusantara

Sejak masa prasejarah, wilayah kepulauan Indonesia telah dikenal sebagai jalur penting dalam jaringan pelayaran dan perdagangan laut internasional. Letaknya yang strategis di antara dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudra (Hindia dan Pasifik) menjadikan kawasan ini sebagai titik temu berbagai kebudayaan dan peradaban dunia. Aksesibilitas maritim tersebut mendorong terbentuknya komunitas-komunitas pesisir yang hidup dari aktivitas pelayaran, perdagangan, dan perikanan jauh sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan besar.1

Faktor geografis ini tidak hanya memungkinkan penduduk Nusantara mengembangkan keterampilan kelautan, tetapi juga membuka jalan bagi terjadinya interaksi budaya secara intensif dengan dunia luar. Salah satu dampak utama dari interaksi tersebut adalah masuknya pengaruh budaya India ke kepulauan Indonesia, yang berlangsung secara damai melalui perdagangan dan penyebaran agama Hindu dan Buddha. Proses ini oleh para sejarawan disebut sebagai "Indianisasi", yakni proses transformasi budaya lokal melalui adaptasi nilai-nilai India dalam bidang keagamaan, sosial, politik, dan seni.2

Indianisasi tidak terjadi melalui kolonisasi militer, melainkan melalui jejaring perdagangan dan hubungan religius. Para pedagang, pendeta, dan cendekiawan dari India memainkan peran penting dalam memperkenalkan sistem tulisan (aksara Pallawa), bahasa Sanskerta, ajaran Hindu dan Buddha, serta struktur pemerintahan berbasis kerajaan. Bukti awal Indianisasi dapat ditemukan dalam Prasasti Kutai dari abad ke-4 M di Kalimantan Timur yang menyebutkan raja Mulawarman sebagai pemeluk Hindu Siwais dan menggunakan bahasa Sanskerta dalam inskripsinya.3

Pada saat yang sama, jalur perdagangan laut internasional—yang kemudian dikenal sebagai maritime silk road—menghubungkan India, Tiongkok, dan Timur Tengah melalui Selat Malaka dan Laut Jawa. Dalam konteks ini, kerajaan-kerajaan di Nusantara bertransformasi menjadi kekuatan maritim yang mampu memanfaatkan arus perdagangan regional untuk memperkuat kekuasaan mereka. Sriwijaya, yang muncul sekitar abad ke-7 M, adalah contoh paling awal dari kerajaan maritim yang mampu menguasai lalu lintas perdagangan laut melalui pengendalian Selat Malaka dan jalur menuju Laut Tiongkok Selatan.4

Dengan berkembangnya pelayaran dan aktivitas perdagangan internasional, kerajaan-kerajaan maritim di Indonesia mulai memainkan peran ganda: sebagai pusat kekuasaan politik dan sebagai simpul utama dalam jaringan ekonomi transregional. Pengaruh India yang dibawa ke Nusantara tidak serta-merta diterima mentah-mentah, tetapi mengalami proses adaptasi dan lokalitas yang kompleks. Struktur pemerintahan, sistem kasta, ajaran keagamaan, dan bentuk-bentuk kesenian semuanya mengalami akulturasi dengan budaya asli Nusantara, menciptakan sebuah identitas maritim yang khas dan mandiri.

Konteks historis inilah yang menjadi landasan lahirnya peradaban maritim Hindu-Buddha di Indonesia—sebuah peradaban yang tidak hanya kuat secara militer dan politik, tetapi juga maju dalam hal intelektual, budaya, dan diplomasi. Pemahaman terhadap konteks ini menjadi penting untuk menafsirkan perkembangan kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara sebagai bagian dari dinamika besar sejarah dunia, sekaligus sebagai sumber inspirasi bagi pembangunan karakter bangsa yang berbasis pada warisan maritimnya.


Footnotes

[1]                Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680: Volume One: The Lands below the Winds (New Haven: Yale University Press, 1988), 7–10.

[2]                George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, trans. Susan Brown Cowing (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1968), 15–19.

[3]                Boechari, “Preliminary Report on the Discovery of Early Inscriptions from Kutai,” Indonesia, no. 6 (1968): 1–5.

[4]                Paul Michel Munoz, Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula (Singapore: Editions Didier Millet, 2006), 113–117.


3.           Kerajaan-Kerajaan Maritim Hindu-Buddha di Indonesia

Perkembangan kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Nusantara merupakan tonggak penting dalam sejarah peradaban Indonesia. Kerajaan-kerajaan ini tumbuh di wilayah strategis jalur pelayaran internasional dan memanfaatkan potensi geografisnya untuk mengembangkan kekuasaan, perdagangan, dan kebudayaan. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut, empat menonjol dalam catatan sejarah karena pengaruh dan kontribusinya yang signifikan: Sriwijaya, Mataram Kuno, Kediri dan Singhasari, serta Majapahit.

3.1.       Sriwijaya: Kerajaan Bahari yang Menciptakan Jalur Buddha

Sriwijaya, yang berpusat di wilayah Sumatra bagian selatan (diperkirakan di sekitar Palembang modern), berdiri pada abad ke-7 M dan berkembang menjadi kekuatan maritim dominan di Asia Tenggara. Keunggulan geografisnya di Selat Malaka memberikan keuntungan strategis dalam mengontrol jalur perdagangan antara India dan Tiongkok.1 Sebagai kerajaan bercorak Buddha Mahayana, Sriwijaya menjadi pusat pendidikan agama dan budaya yang penting, seperti yang dicatat oleh I-Tsing, biksu dari Tiongkok yang singgah dan belajar di sana pada tahun 671 M selama beberapa tahun sebelum melanjutkan ke India.2

Sriwijaya menjalin hubungan dagang dan diplomatik dengan Dinasti Tang di Tiongkok dan kerajaan-kerajaan India, serta membangun sistem pelabuhan dan bea cukai yang canggih. Kekayaan Sriwijaya berasal dari aktivitas perdagangan barang-barang mewah seperti kapur barus, emas, rempah-rempah, dan hasil hutan. Peninggalan sejarah seperti prasasti Kedukan Bukit dan prasasti Ligor menunjukkan keberadaan struktur pemerintahan yang terorganisasi dan kosmopolitan.3

3.2.       Mataram Kuno: Persinggungan Hindu dan Buddha di Tanah Jawa

Kerajaan Mataram Kuno, yang berkembang di Jawa Tengah pada abad ke-8 hingga ke-10 M, menunjukkan bentuk peradaban yang kuat di daratan namun tetap menjalin relasi maritim. Keunikan Mataram Kuno terletak pada koeksistensi dua dinasti besar: Sanjaya (Hindu-Siwa) dan Syailendra (Buddha Mahayana). Dinasti Syailendra dikenal sebagai pendukung pembangunan Candi Borobudur—monumen Buddha terbesar di dunia—yang merepresentasikan puncak arsitektur dan spiritualitas Asia Tenggara kuno.4

Walaupun tidak se-maritim Sriwijaya, Mataram Kuno memiliki keterkaitan dagang melalui pelabuhan di wilayah utara Jawa seperti Pekalongan dan Semarang, serta menjalin kontak dengan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan di Asia Selatan. Prasasti Kalasan (778 M) dan Prambanan (856 M) menjadi bukti adanya pluralitas agama dan dinamika politik di kerajaan ini.5

3.3.       Kediri dan Singhasari: Transisi Menuju Ekspansi Maritim

Kerajaan Kediri (abad ke-11 hingga awal abad ke-13) dan penerusnya Singhasari merupakan kelanjutan dari kerajaan Mataram di wilayah Jawa Timur. Kediri terkenal akan kekayaan agraris dan kemajuan sastranya, seperti Kakawin Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, yang mencerminkan budaya literasi tinggi di kalangan bangsawan.6

Pada masa Kertanegara (raja terakhir Singhasari), orientasi politik dan ekspansi kerajaan mulai beralih ke jalur maritim. Ekspedisi Pamalayu (1275 M) ke Sumatra bertujuan menundukkan wilayah-wilayah strategis demi menghadang ekspansi Mongol dari Asia Timur dan memperkuat posisi perdagangan Jawa di Selat Malaka.7 Inisiatif ini menunjukkan pemahaman geopolitik maritim yang matang di tengah dinamika kekuasaan Asia Tenggara kala itu.

3.4.       Majapahit: Puncak Peradaban Maritim Hindu-Buddha

Majapahit (1293–ca. 1527 M), yang berpusat di Trowulan, Jawa Timur, adalah kerajaan maritim terbesar dan paling berpengaruh dalam sejarah Nusantara. Di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit mencapai wilayah kekuasaan yang luas meliputi sebagian besar wilayah Asia Tenggara Maritim. Konsep “Nusantara” sebagai kesatuan politik dan budaya mulai diartikulasikan dalam Sumpah Palapa yang terkenal.8

Majapahit mengembangkan sistem pemerintahan mandala, di mana daerah-daerah taklukan diberi otonomi dengan tetap menyetor upeti dan loyalitas. Jalur perdagangan Majapahit membentang dari Malaka hingga Maluku, dan kerajaan ini menjadi pusat produksi barang dagangan seperti beras, garam, kain tenun, logam, dan rempah-rempah. Tradisi hukum, etika sosial, dan filosofi pemerintahan tercermin dalam karya Negarakertagama karya Mpu Prapanca (1365).9

Warisan budaya Majapahit masih terasa hingga kini, mulai dari struktur pemerintahan berbasis daerah hingga pemahaman kebangsaan. Sebagai puncak kejayaan maritim Hindu-Buddha di Indonesia, Majapahit merupakan simbol kekuatan, toleransi, dan integrasi sosial yang berakar dari masa lalu.


Footnotes

[1]                George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, trans. Susan Brown Cowing (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1968), 115–118.

[2]                I-Tsing, A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago (AD 671–695), trans. J. Takakusu (Oxford: Clarendon Press, 1896), 31–32.

[3]                Boechari, Prasasti-Indonesia: Inskripsi dari Masa Sriwijaya (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1985), 24–27.

[4]                R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 59–64.

[5]                Slamet Muljana, Sriwijaya (Yogyakarta: LKIS, 2006), 87–89.

[6]                P. J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Jakarta: Djambatan, 1974), 223–225.

[7]                Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1: Kebudayaan Material (Jakarta: Gramedia, 1996), 170–172.

[8]                Nugroho Notosusanto, Nusa dan Bangsa: Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), 129–131.

[9]                Slamet Muljana, Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya (Jakarta: Bhratara, 1979), 44–46.


4.           Sistem Pemerintahan dan Politik

Sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Indonesia menunjukkan tingkat organisasi kekuasaan yang kompleks dan terstruktur. Pengaruh kebudayaan India tampak dalam adopsi model pemerintahan monarki absolut yang berpusat pada raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, sekaligus simbol kekuatan spiritual dan politik. Konsep dewaraja atau "raja sebagai perwujudan dewa" menjadi fondasi legitimasi kekuasaan di berbagai kerajaan, seperti yang terlihat pada Kerajaan Mataram Kuno dan Majapahit.1

Raja tidak hanya dipandang sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai penjaga tatanan kosmis dan hukum. Dalam struktur pemerintahan Majapahit, misalnya, raja dibantu oleh sejumlah pejabat tinggi seperti patih (perdana menteri), rakryan, bhattara, dan pejabat daerah seperti bupati dan tumenggung, yang menjalankan urusan administrasi dan pengelolaan wilayah kekuasaan. Sumber utama seperti Negarakertagama karya Mpu Prapanca memberikan gambaran rinci mengenai sistem birokrasi yang kompleks dan tersentralisasi, namun tetap memberikan ruang otonomi kepada wilayah bawahan melalui sistem mandala.2

Sistem mandala merupakan model politik yang khas di Asia Tenggara, di mana kekuasaan kerajaan pusat bersifat hegemonik tetapi tidak absolut atas wilayah taklukannya. Wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan pusat tetap memiliki penguasa lokal dengan kekuasaan terbatas, selama mereka mengakui supremasi raja pusat dan memberikan upeti secara berkala. Model ini memungkinkan fleksibilitas kekuasaan dan memperkuat jaringan loyalitas dalam kerajaan maritim yang luas dan bercabang seperti Majapahit dan Sriwijaya.3

Sementara itu, di Kerajaan Sriwijaya, kekuasaan politik lebih bersifat sentralistis dan berfokus pada kendali atas jalur pelayaran dan pelabuhan strategis. Raja Sriwijaya menjalankan kekuasaan administratif dan militer dengan dukungan pejabat pelabuhan, armada laut, dan aparat bea cukai. Hal ini menunjukkan bahwa legitimasi kekuasaan tidak hanya berbasis pada unsur sakral, tetapi juga pada kontrol terhadap sumber daya ekonomi dan arus perdagangan regional.4

Prasasti-prasasti kuno menjadi bukti penting dari praktik administratif dan politik kerajaan-kerajaan ini. Prasasti Telaga Batu dari Sriwijaya, misalnya, mencantumkan kutukan terhadap pejabat yang berkhianat dan menyebutkan berbagai jabatan pemerintahan secara hierarkis, mulai dari panglima militer, pejabat bea cukai, hingga pengelola lumbung kerajaan.5 Di Jawa Timur, prasasti Wurare dan Pararaton mencatat peran penting Patih Gajah Mada dalam menyatukan Nusantara melalui diplomasi, perang, dan pengelolaan kekuasaan daerah secara efektif.6

Salah satu ciri khas sistem politik kerajaan maritim Nusantara adalah fleksibilitas dalam integrasi kekuasaan lokal. Dalam kondisi tertentu, kerajaan pusat dapat menunjuk penguasa daerah dari kalangan lokal atau bangsawan setempat yang bersedia tunduk pada kekuasaan pusat. Strategi ini memungkinkan kohesi politik dalam wilayah yang sangat luas dan beragam secara etnis serta geografis.

Namun demikian, sistem pemerintahan ini tetap menghadapi tantangan internal seperti konflik suksesi, rivalitas elite bangsawan, dan pemberontakan daerah. Ketika pusat kekuasaan melemah, wilayah-wilayah taklukan dengan cepat memisahkan diri atau beraliansi dengan kekuatan lain. Hal ini dapat dilihat dalam masa pasca-Hayam Wuruk di Majapahit, ketika perebutan kekuasaan internal mengakibatkan melemahnya kendali pusat atas daerah-daerah di Nusantara bagian timur dan barat.7

Secara umum, sistem pemerintahan dan politik dalam kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha menunjukkan integrasi yang canggih antara struktur kekuasaan, spiritualitas, dan kepentingan ekonomi. Model ini tidak hanya menjamin kelangsungan kekuasaan selama berabad-abad, tetapi juga membentuk fondasi bagi tradisi pemerintahan yang inklusif, berjenjang, dan berbasis konsensus, yang warisannya masih terasa dalam sistem pemerintahan Indonesia modern.


Footnotes

[1]                George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, trans. Susan Brown Cowing (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1968), 15–18.

[2]                Slamet Muljana, Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya (Jakarta: Bhratara, 1979), 46–49.

[3]                O. W. Wolters, History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives (Ithaca: Cornell University Southeast Asia Program, 1999), 27–29.

[4]                Paul Michel Munoz, Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula (Singapore: Editions Didier Millet, 2006), 122–125.

[5]                Boechari, Prasasti-Indonesia: Inskripsi dari Masa Sriwijaya (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1985), 42–44.

[6]                I Gusti Putu Phalgunadi, Indonesia: Pararaton (The Book of Kings of Java) (New Delhi: Abhinav Publications, 1996), 91–94.

[7]                Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1: Kebudayaan Material (Jakarta: Gramedia, 1996), 201–203.


5.           Struktur Sosial dan Kehidupan Ekonomi

Struktur sosial dan kehidupan ekonomi kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Nusantara menunjukkan organisasi masyarakat yang kompleks dan berlapis, sekaligus menampilkan dinamika ekonomi yang berkembang berdasarkan perdagangan, pertanian, dan pelayaran. Kehidupan sosial di dalam kerajaan-kerajaan seperti Sriwijaya, Mataram Kuno, Kediri, Singhasari, dan Majapahit dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan, adat lokal, serta sistem ekonomi yang berorientasi pada laut dan hasil bumi.

5.1.       Struktur Sosial: Hierarki dan Mobilitas

Pengaruh budaya India dalam sistem sosial kerajaan-kerajaan Nusantara terlihat dalam pembentukan masyarakat yang berlapis-lapis, menyerupai sistem varna (kelas sosial) dalam ajaran Hindu, meskipun tidak seketat sistem kasta di India. Di puncak struktur sosial terdapat raja yang dianggap sebagai dewa atau wakil dewa di bumi (dewaraja), kemudian diikuti oleh bangsawan atau kerabat kerajaan, pendeta (brahmana), pejabat pemerintahan, pedagang dan perajin, serta petani dan buruh.1

Salah satu ciri khas dari sistem sosial ini adalah peran penting para brahmana dan resi, yang berperan sebagai penjaga nilai-nilai keagamaan, penasihat spiritual raja, serta guru di pusat-pusat keilmuan seperti Sriwijaya. Selain itu, golongan pedagang dalam masyarakat maritim juga memiliki posisi strategis karena keterlibatan mereka dalam jaringan perdagangan internasional. Interaksi antara kelompok sosial ini membentuk masyarakat yang relatif terbuka terhadap mobilitas vertikal, terutama bagi mereka yang memiliki keterampilan atau jasa penting bagi kerajaan.2

Dalam kerajaan Majapahit, Negarakertagama mencatat adanya jabatan-jabatan administratif yang ditentukan berdasarkan kualifikasi dan kesetiaan, bukan semata-mata karena keturunan, menunjukkan bahwa mobilitas sosial dalam birokrasi memungkinkan meskipun tetap terbatas dalam kerangka hierarkis.3

5.2.       Kehidupan Ekonomi: Perdagangan, Agrikultur, dan Maritimisme

Perekonomian kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Indonesia ditopang oleh tiga pilar utama: perdagangan, agrikultur, dan kemaritiman. Sriwijaya, misalnya, berkembang pesat karena posisinya yang strategis di Selat Malaka—jalur perdagangan utama antara India dan Tiongkok. Pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya memungut bea cukai dari kapal asing yang berlabuh, dan menjadi pusat redistribusi barang seperti kapur barus, emas, gading, kain sutra, dan rempah-rempah.4

Sementara itu, kerajaan-kerajaan di Jawa seperti Kediri dan Majapahit mengembangkan ekonomi berbasis agraris-maritim. Wilayah pedalaman menjadi pusat pertanian yang menghasilkan beras, tebu, dan hasil bumi lainnya, sementara daerah pesisir berkembang sebagai pelabuhan dagang. Majapahit, dalam masa kejayaannya, mengelola pelabuhan besar seperti Tuban, Gresik, dan Canggu, yang menjadi simpul perdagangan internasional dengan Tiongkok, India, dan wilayah Nusantara lainnya.5

Produksi barang dagang seperti kain tenun, logam, garam, kerajinan gerabah, dan perhiasan menjadi andalan kegiatan ekonomi rakyat. Selain itu, hasil pertanian seperti padi dan rempah-rempah bukan hanya dikonsumsi secara lokal, tetapi juga dijadikan komoditas ekspor. Pembagian kerja sosial dalam masyarakat pun berkembang, dengan adanya kelompok perajin, saudagar, pelaut, dan petani yang memainkan peran spesifik dalam rantai ekonomi kerajaan.6

Dalam sumber seperti prasasti Canggu (1358 M), disebutkan bahwa raja memberikan pengakuan atas hak milik tanah dan pengelolaan sawah kepada rakyat, sekaligus menetapkan pajak dalam bentuk hasil panen. Hal ini menunjukkan adanya sistem redistribusi kekayaan dan pengelolaan ekonomi yang terorganisir secara administratif, serta adanya interaksi antara kekuasaan pusat dan kegiatan ekonomi rakyat.7

5.3.       Perdagangan Internasional dan Peran Pelabuhan

Salah satu kekuatan utama kerajaan-kerajaan maritim Nusantara adalah keterlibatannya dalam perdagangan internasional. Jaringan pelabuhan seperti di Palembang (Sriwijaya), Pamalayu (Singhasari), Tuban dan Gresik (Majapahit) menjadi titik pertemuan pedagang dari berbagai bangsa. Barang-barang dari Nusantara ditukar dengan keramik Tiongkok, tekstil India, dan logam dari Asia Barat. Interaksi dagang ini tidak hanya membawa keuntungan ekonomi, tetapi juga memperkaya budaya lokal dengan unsur-unsur asing yang diadopsi secara selektif dan kreatif.8

Dengan demikian, sistem sosial dan ekonomi kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Nusantara mencerminkan integrasi antara kekuasaan, produksi agraris, dan jaringan dagang maritim. Warisan struktur ini masih dapat dilihat dalam pola masyarakat pesisir Indonesia kontemporer, di mana hubungan sosial dan ekonomi tetap berakar pada nilai-nilai kolektif, jaringan dagang lokal-global, serta keberagaman budaya.


Footnotes

[1]                George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, trans. Susan Brown Cowing (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1968), 23–25.

[2]                Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1: Kebudayaan Material (Jakarta: Gramedia, 1996), 180–183.

[3]                Slamet Muljana, Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya (Jakarta: Bhratara, 1979), 52–55.

[4]                Paul Michel Munoz, Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula (Singapore: Editions Didier Millet, 2006), 114–117.

[5]                Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680: Volume One: The Lands below the Winds (New Haven: Yale University Press, 1988), 25–27.

[6]                P. J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Jakarta: Djambatan, 1974), 218–220.

[7]                Boechari, Prasasti-Indonesia: Inskripsi dari Masa Majapahit (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1986), 36–38.

[8]                M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (Stanford: Stanford University Press, 2008), 28–30.


6.           Kehidupan Kebudayaan dan Keagamaan

Kehidupan kebudayaan dan keagamaan dalam kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Nusantara menampilkan pencapaian yang tinggi dalam bidang seni, arsitektur, filsafat, dan pendidikan. Proses Indianisasi yang berlangsung sejak awal abad Masehi tidak hanya membawa agama Hindu dan Buddha ke wilayah kepulauan Indonesia, tetapi juga memicu transformasi budaya lokal melalui akulturasi yang produktif. Interaksi antara unsur asing dan tradisi lokal menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan yang khas dan menjadi fondasi penting dalam perkembangan peradaban Indonesia.

6.1.       Agama Hindu dan Buddha: Koeksistensi dan Pluralitas

Agama Hindu dan Buddha menjadi dua sistem kepercayaan dominan yang berkembang di berbagai kerajaan maritim Nusantara, sering kali hidup berdampingan secara harmonis. Di Kerajaan Sriwijaya, agama Buddha Mahayana menjadi ideologi utama, dengan Sriwijaya dijuluki sebagai “pusat studi Buddha” oleh para penulis Tiongkok seperti I-Tsing, yang tinggal di sana untuk memperdalam ilmu sebelum melanjutkan ke India.1 Sriwijaya juga menjalin hubungan dengan pusat-pusat keagamaan di India seperti Nalanda dan Vikramashila.

Di Pulau Jawa, terutama dalam Kerajaan Mataram Kuno, tampak dinamika religius yang unik. Dinasti Syailendra dikenal sebagai patron utama agama Buddha Mahayana, yang membangun Candi Borobudur sebagai simbol kosmologi Buddha, sementara Dinasti Sanjaya cenderung menganut ajaran Hindu-Siwa. Keduanya hidup berdampingan dalam struktur kekuasaan yang bersifat pluralistik, sebagaimana ditunjukkan dalam prasasti Kalasan dan Prambanan.2

Di masa Kerajaan Majapahit, sinkretisme antara Hindu dan Buddha semakin menonjol. Konsep Siwa-Buddha (pemujaan terhadap Siwa dan Buddha dalam satu sistem kepercayaan) menjadi dasar spiritualitas resmi kerajaan. Bahkan dalam karya sastra religius seperti Sutasoma karya Mpu Tantular, muncul semboyan toleransi keagamaan yang terkenal: “Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa” (berbeda-beda tetapi tetap satu jua), yang kemudian diadopsi sebagai semboyan negara Republik Indonesia.3

6.2.       Seni dan Arsitektur: Representasi Nilai-Nilai Sakral dan Kekuasaan

Salah satu warisan kebudayaan paling mencolok dari kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha adalah arsitektur candi dan seni ukir yang berkembang pesat di Jawa dan Sumatra. Candi-candi tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai manifestasi kosmologi keagamaan dan simbol legitimasi kekuasaan raja. Candi Borobudur (abad ke-8) merupakan representasi arsitektur Buddha Mahayana terbesar di dunia, yang menggambarkan perjalanan menuju pencerahan melalui ribuan relief naratif dan stupa.4

Sementara itu, Candi Prambanan (abad ke-9), yang dibangun oleh Dinasti Sanjaya, merupakan kompleks Hindu terbesar di Indonesia, didedikasikan untuk Trimurti: Brahma, Wisnu, dan Siwa. Candi ini memuat relief Ramayana dan Kresnayana, yang tidak hanya menunjukkan pengaruh India, tetapi juga gaya lokal dalam penyesuaian tema dan estetika.5 Seni ukir batu, arca perunggu, serta patung-patung Buddha dan Siwa menjadi bagian integral dari ekspresi budaya religius dan kerajaan.

6.3.       Sastra dan Bahasa: Warisan Intelektual Nusantara

Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara juga menunjukkan perkembangan pesat dalam bidang sastra, terutama dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno. Karya-karya sastra ini mengandung unsur keagamaan, moralitas, kepahlawanan, serta refleksi sosial-politik. Di masa Kediri, muncul karya-karya monumental seperti Kakawin Bharatayuddha, Arjunawiwaha, dan Smaradahana, yang menjadi puncak sastra Jawa Kuno dan digunakan sebagai instrumen penguatan ideologi kerajaan.6

Pada masa Majapahit, karya seperti Negarakertagama karya Mpu Prapanca dan Sutasoma karya Mpu Tantular menunjukkan kecanggihan pemikiran politik, etika, dan keberagaman spiritual. Naskah-naskah tersebut memperkuat wacana negara dan konsep persatuan Nusantara, serta memperlihatkan budaya literasi yang tinggi di kalangan bangsawan dan pendeta.

6.4.       Pendidikan dan Pusat Keilmuan

Dalam aspek pendidikan, beberapa kerajaan maritim dikenal sebagai pusat studi agama dan filsafat. Sriwijaya, sebagaimana dicatat oleh I-Tsing, memiliki semacam “universitas” Buddhis yang menarik murid-murid dari Asia Timur. Di sini diajarkan tata bahasa Sanskerta, logika, filsafat, dan ajaran Mahayana. Lembaga-lembaga keagamaan seperti vihara dan ashrama berperan sebagai pusat pengajaran dan penyebaran ilmu pengetahuan ke seluruh penjuru Nusantara dan Asia Tenggara.7

Perkembangan intelektual ini mencerminkan peran penting kebudayaan dan agama dalam membentuk struktur masyarakat, menyebarkan nilai-nilai luhur, serta mempererat kohesi sosial dalam kerajaan-kerajaan maritim. Keberadaan sistem pendidikan berbasis keagamaan menjadi fondasi awal bagi tradisi intelektual yang berlanjut hingga masa Islam dan modern.


Footnotes

[1]                I-Tsing, A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago (AD 671–695), trans. J. Takakusu (Oxford: Clarendon Press, 1896), 31–33.

[2]                R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 45–50.

[3]                Slamet Muljana, Sutasoma: Sebuah Epos Buddhis Jawa (Jakarta: Bhratara, 1976), 101–104.

[4]                John Miksic, Borobudur: Golden Tales of the Buddhas (Singapore: Periplus Editions, 1990), 10–15.

[5]                A.J. Bernet Kempers, Ancient Indonesian Art (Cambridge: Harvard University Press, 1959), 211–213.

[6]                P. J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Jakarta: Djambatan, 1974), 223–227.

[7]                George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, trans. Susan Brown Cowing (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1968), 117–120.


7.           Warisan dan Pengaruh bagi Kehidupan Masyarakat Indonesia Masa Kini

Jejak peradaban kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Nusantara tidak hanya tersimpan dalam artefak arkeologis dan catatan sejarah, tetapi juga mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia masa kini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Warisan tersebut mencakup identitas maritim bangsa, nilai-nilai sosial dan budaya, sistem pemerintahan, serta inspirasi kebangsaan yang terus relevan dalam konteks modern.

7.1.       Kesadaran Identitas Maritim

Salah satu warisan paling fundamental adalah kesadaran akan jati diri maritim bangsa Indonesia. Kejayaan kerajaan-kerajaan seperti Sriwijaya dan Majapahit, yang membangun kekuasaan melalui penguasaan jalur laut dan perdagangan antarpulau, memberikan bukti historis bahwa Indonesia sejak awal merupakan bangsa pelaut, pedagang, dan pembangun jaringan antarwilayah.1 Kesadaran ini penting dalam membangun kembali visi poros maritim dunia sebagaimana dicanangkan dalam kebijakan geopolitik Indonesia kontemporer.

Studi sejarah menunjukkan bahwa pelabuhan-pelabuhan besar seperti Palembang, Gresik, Tuban, dan Sunda Kelapa merupakan pusat interaksi global yang memperkuat posisi Indonesia dalam jaringan perdagangan dunia. Nilai strategis laut sebagai penghubung antarpulau dan antarbenua sejalan dengan visi geopolitik modern tentang pentingnya membangun infrastruktur kelautan dan integrasi wilayah kepulauan.2

7.2.       Warisan Budaya, Seni, dan Arsitektur

Dalam bidang budaya, peninggalan fisik seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Penataran, serta karya sastra klasik seperti Negarakertagama dan Sutasoma menjadi simbol peradaban tinggi yang diwariskan hingga kini. Warisan ini tidak hanya menjadi objek wisata sejarah dan budaya, tetapi juga menjadi bagian dari pembentukan identitas nasional dan inspirasi dalam pengembangan kebudayaan lokal.3

Nilai-nilai filosofis dan estetika dalam seni ukir, tata ruang, dan simbolisme keagamaan masih digunakan dalam berbagai ekspresi seni tradisional, arsitektur, dan ritual budaya masyarakat Jawa, Bali, dan Nusantara lainnya. Kearifan lokal dalam penataan candi dan relief misalnya, mengandung prinsip kosmologi dan keseimbangan alam yang sejalan dengan nilai-nilai keberlanjutan ekologis masa kini.4

7.3.       Sistem Sosial dan Pemerintahan

Beberapa konsep pemerintahan yang berkembang dalam masa Hindu-Buddha, seperti struktur berjenjang, administrasi wilayah, dan sistem pajak berbasis komoditas, masih dapat dilacak dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Meskipun telah mengalami transformasi besar, warisan sistem mandala yang menghargai otonomi lokal dalam kerangka kekuasaan pusat memberi preseden bagi hubungan pusat-daerah yang bersifat dinamis.5

Konsep pemimpin sebagai pelayan rakyat yang harus menjaga keseimbangan antara dunia sekuler dan spiritual—yang termanifestasi dalam figur raja sebagai dharmaraja—juga memberi inspirasi bagi etika kepemimpinan yang berbasis pada nilai moral dan tanggung jawab sosial, sesuatu yang masih relevan dalam pembangunan karakter pemimpin masa kini.

7.4.       Nilai-Nilai Sosial dan Falsafah Persatuan

Warisan paling signifikan dalam bidang sosial dan ideologi adalah nilai toleransi dan persatuan dalam keberagaman, yang secara eksplisit tergambar dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berasal dari naskah Sutasoma karya Mpu Tantular. Konsep ini menjadi dasar integrasi bangsa Indonesia yang multietnis dan multireligius, serta menjadi fondasi ideologis dalam membangun kehidupan berbangsa yang harmonis.6

Selain itu, filosofi kerja sama, gotong royong, dan tanggung jawab kolektif yang terbentuk dalam struktur sosial kerajaan juga terus hidup dalam praktik masyarakat Indonesia modern. Nilai-nilai ini tercermin dalam budaya komunitas, lembaga adat, dan praktik ekonomi berbasis kolektif seperti koperasi.

7.5.       Relevansi dalam Pendidikan dan Pembangunan Bangsa

Pemahaman terhadap warisan kerajaan maritim Hindu-Buddha juga penting dalam konteks pendidikan sejarah dan pembentukan karakter nasional. Pelajaran sejarah tentang kejayaan masa lalu bukan dimaksudkan untuk glorifikasi semata, melainkan untuk menumbuhkan rasa percaya diri nasional, memahami dinamika budaya, dan menghargai kearifan lokal. Nilai-nilai luhur dari masa lalu dapat menjadi sumber inspirasi dalam membangun bangsa yang unggul, terbuka, dan berakar pada identitasnya sendiri.

Oleh karena itu, integrasi warisan sejarah dalam sistem pendidikan, penguatan kebijakan kebudayaan, serta pemanfaatan cagar budaya sebagai media pembelajaran dan pembangunan ekonomi kreatif merupakan langkah penting dalam mewarisi sekaligus memperbarui nilai-nilai peradaban Hindu-Buddha dalam kehidupan Indonesia masa kini.


Footnotes

[1]                Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680: Volume One: The Lands below the Winds (New Haven: Yale University Press, 1988), 12–14.

[2]                Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1: Kebudayaan Material (Jakarta: Gramedia, 1996), 187–189.

[3]                John Miksic, Borobudur: Golden Tales of the Buddhas (Singapore: Periplus Editions, 1990), 35–37.

[4]                A.J. Bernet Kempers, Ancient Indonesian Art (Cambridge: Harvard University Press, 1959), 220–222.

[5]                O. W. Wolters, History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives (Ithaca: Cornell University Southeast Asia Program, 1999), 39–42.

[6]                Slamet Muljana, Sutasoma: Sebuah Epos Buddhis Jawa (Jakarta: Bhratara, 1976), 112–115.


8.           Penutup

Kajian terhadap kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Indonesia mengungkapkan betapa pentingnya peran masa lalu dalam membentuk identitas, kebudayaan, dan arah peradaban bangsa Indonesia. Kejayaan kerajaan seperti Sriwijaya, Mataram Kuno, Kediri, Singhasari, dan terutama Majapahit membuktikan bahwa wilayah Nusantara memiliki tradisi maritim yang kuat, sistem pemerintahan yang kompleks, dan budaya yang kosmopolitan serta adaptif terhadap pengaruh global.1

Kerajaan-kerajaan tersebut tidak hanya berperan sebagai pusat kekuasaan politik dan militer, tetapi juga sebagai pusat intelektual, spiritual, dan ekonomi. Keberhasilan mereka dalam mengintegrasikan nilai-nilai lokal dengan pengaruh luar seperti agama Hindu dan Buddha, serta kemampuan mereka mengelola jaringan perdagangan maritim, menunjukkan kapasitas tinggi dalam membangun peradaban yang tangguh dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara.2

Warisan dari masa tersebut tidak berhenti sebagai memori sejarah atau peninggalan arkeologis, tetapi telah menjadi landasan kebudayaan dan karakter bangsa Indonesia masa kini. Nilai-nilai seperti toleransi, pluralitas, harmoni sosial, etika kepemimpinan, dan kerja kolektif telah menjadi warisan intangible yang membentuk praktik sosial dan institusional di berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia modern.3

Dalam konteks pembangunan bangsa saat ini, pemahaman terhadap sejarah kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha bukan sekadar bagian dari studi akademis, melainkan instrumen penting dalam membentuk kesadaran historis dan nasionalisme yang konstruktif. Sebagaimana ditunjukkan dalam kebijakan nasional yang menekankan peran Indonesia sebagai poros maritim dunia, refleksi terhadap sejarah kelautan masa lampau menjadi semakin relevan untuk membangun masa depan yang berakar pada kekuatan sendiri dan terbuka terhadap dunia.4

Oleh karena itu, pembelajaran sejarah kerajaan-kerajaan maritim Nusantara perlu didorong secara lebih intensif dalam pendidikan, tidak hanya untuk menghidupkan kembali kebanggaan terhadap identitas bangsa, tetapi juga untuk menanamkan nilai-nilai luhur yang dapat menjadi fondasi moral dan strategis dalam menjawab tantangan zaman. Warisan masa lalu bukanlah sesuatu yang mati, tetapi modal budaya hidup yang dapat terus diperbarui dan dimaknai dalam berbagai aspek kehidupan modern—baik dalam tata pemerintahan, relasi sosial, ekonomi kreatif, maupun diplomasi kebudayaan.5

Dengan demikian, pemahaman yang komprehensif terhadap kemegahan kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha bukan hanya memperkaya wawasan sejarah, tetapi juga memperkuat kesadaran kolektif bahwa Indonesia telah lama menjadi bangsa besar yang mampu berdiri sejajar di panggung global melalui kekuatan budaya, spiritualitas, dan kearifan lokalnya.


Footnotes

[1]                George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, trans. Susan Brown Cowing (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1968), 15–21.

[2]                Paul Michel Munoz, Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula (Singapore: Editions Didier Millet, 2006), 125–130.

[3]                Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1: Kebudayaan Material (Jakarta: Gramedia, 1996), 190–193.

[4]                Anthony Reid, A History of Southeast Asia: Critical Crossroads (Chichester: Wiley Blackwell, 2015), 339–341.

[5]                M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (Stanford: Stanford University Press, 2008), 3–5.


Daftar Pustaka

Bernet Kempers, A. J. (1959). Ancient Indonesian art. Harvard University Press.

Boechari. (1985). Prasasti-Indonesia: Inskripsi dari Masa Sriwijaya. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Boechari. (1986). Prasasti-Indonesia: Inskripsi dari Masa Majapahit. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Coedès, G. (1968). The Indianized states of Southeast Asia (S. B. Cowing, Trans.). University of Hawai‘i Press.

I-Tsing. (1896). A record of the Buddhist religion as practised in India and the Malay Archipelago (A.D. 671–695) (J. Takakusu, Trans.). Clarendon Press.

Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Silang budaya. Jilid 1: Kebudayaan material. Gramedia.

Miksic, J. (1990). Borobudur: Golden tales of the Buddhas. Periplus Editions.

Munoz, P. M. (2006). Early kingdoms of the Indonesian archipelago and the Malay peninsula. Editions Didier Millet.

Notosusanto, N. (1983). Nusa dan bangsa: Sejarah nasional Indonesia. Balai Pustaka.

Phalgunadi, I. G. P. (1996). Indonesia: Pararaton (The book of kings of Java). Abhinav Publications.

Reid, A. (1988). Southeast Asia in the age of commerce, 1450–1680: Volume one: The lands below the winds. Yale University Press.

Reid, A. (2015). A history of Southeast Asia: Critical crossroads. Wiley Blackwell.

Ricklefs, M. C. (2008). A history of modern Indonesia since c. 1200 (4th ed.). Stanford University Press.

Soekmono, R. (1994). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Kanisius.

Slamet Muljana. (1976). Sutasoma: Sebuah epos Buddhis Jawa. Bhratara.

Slamet Muljana. (1979). Negarakertagama dan tafsir sejarahnya. Bhratara.

Slamet Muljana. (2006). Sriwijaya (Ed. rev.). LKIS.

Wolters, O. W. (1999). History, culture, and region in Southeast Asian perspectives (2nd ed.). Cornell University Southeast Asia Program.

Zoetmulder, P. J. (1974). Kalangwan: Sastra Jawa Kuno selayang pandang. Djambatan.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar