Bahan Ajar Sejarah
Kemegahan Maritim Nusantara
Kajian Historis Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha di
Indonesia dan Warisannya bagi Masa Kini
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran Sejarah IPS.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif perkembangan
dan kontribusi kerajaan-kerajaan maritim bercorak Hindu-Buddha di Nusantara,
seperti Sriwijaya, Mataram Kuno, Kediri, Singhasari, dan Majapahit, dalam
membentuk fondasi historis, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia. Dengan
menggunakan pendekatan historis-kultural dan merujuk pada sumber-sumber primer
dan sekunder yang kredibel, tulisan ini mengulas aspek-aspek penting mulai dari
konteks geografis dan jalur perdagangan, sistem pemerintahan dan politik,
struktur sosial, kehidupan ekonomi, hingga warisan kebudayaan dan keagamaan.
Artikel ini juga menyoroti pengaruh jangka panjang dari peradaban Hindu-Buddha
terhadap nilai-nilai dan identitas bangsa Indonesia masa kini, termasuk
kontribusinya terhadap semangat pluralisme, kesadaran maritim, serta etika
kepemimpinan yang berbasis kearifan lokal. Kesimpulannya, pemahaman terhadap
kejayaan maritim Nusantara masa lalu tidak hanya memperkaya wawasan sejarah,
tetapi juga memperkuat dasar ideologis dan strategis pembangunan bangsa ke
depan.
Kata Kunci: Kerajaan Maritim, Hindu-Buddha, Sriwijaya,
Majapahit, Sejarah Indonesia, Kebudayaan Nusantara, Warisan Sejarah, Identitas
Maritim, Toleransi, Politik Tradisional.
PEMBAHASAN
Kajian Historis Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha di
Indonesia dan Warisannya bagi Masa Kini
1.
Pendahuluan
Kepulauan Indonesia
yang membentang di jalur strategis antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik
menjadikannya wilayah yang sejak lama dikenal sebagai kawasan maritim yang
aktif. Keberadaan laut sebagai penghubung antarpulau dan antarbenua telah
mendorong terbentuknya kerajaan-kerajaan besar yang mengembangkan kekuatan
maritim, khususnya pada masa kejayaan pengaruh Hindu dan Buddha antara abad
ke-5 hingga ke-15 Masehi. Dalam konteks ini, kerajaan-kerajaan seperti Sriwijaya,
Mataram
Kuno, Kediri, Singhasari,
dan Majapahit
memainkan peran signifikan sebagai pusat kekuasaan politik, perdagangan, dan
kebudayaan yang berorientasi kelautan.
Peran strategis
kerajaan-kerajaan maritim Nusantara bukan hanya ditentukan oleh kekuatan
militernya, tetapi juga oleh kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik
dan perdagangan dengan dunia luar, termasuk India, Tiongkok, dan Timur Tengah. Sriwijaya,
misalnya, telah dikenal luas sebagai pusat studi agama Buddha Mahayana dan
sekaligus sebagai pelabuhan transit utama dalam jalur perdagangan maritim Asia
Tenggara pada abad ke-7 hingga ke-13 Masehi. Fakta ini dikuatkan oleh catatan
perjalanan I-Tsing, seorang biksu Tiongkok
abad ke-7 yang tinggal di Sriwijaya selama beberapa tahun untuk mempelajari
tata bahasa Sanskerta sebelum melanjutkan perjalanannya ke Nalanda di India.1
Pola pemerintahan
yang terbentuk dalam kerajaan-kerajaan tersebut menunjukkan adanya adaptasi
terhadap konsep-konsep kekuasaan dari India, seperti dewaraja
(raja sebagai perwujudan dewa), namun tetap berpijak pada kearifan lokal yang
berbasis komunitas maritim. Struktur sosial, sistem ekonomi, dan bentuk-bentuk
budaya pun mengalami perkembangan pesat sebagai hasil dari interaksi
antarbudaya dan pertumbuhan perdagangan lintas samudra. Hal ini tampak,
misalnya, dalam kemajuan arsitektur monumental seperti Candi
Borobudur dan Candi Prambanan, serta dalam
warisan sastra kakawin berbahasa Jawa Kuno yang bernuansa Hindu-Buddha dan
menggambarkan struktur masyarakat kerajaan secara simbolik dan filosofis.2
Kajian atas
kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha tidak semata-mata menyajikan narasi
kejayaan masa lalu, tetapi juga memberikan landasan penting dalam membentuk
identitas kebangsaan Indonesia. Gagasan bahwa Indonesia adalah bangsa
maritim—yang memiliki daya saing, keterbukaan terhadap dunia luar, serta
warisan budaya yang kaya—mendapat legitimasi historis dari kejayaan
kerajaan-kerajaan tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran sejarah
kerajaan-kerajaan maritim ini perlu dikembangkan tidak hanya sebagai materi
pengetahuan, tetapi juga sebagai instrumen pembentukan karakter dan wawasan
kebangsaan generasi muda.
Melalui artikel ini,
pembaca diajak untuk menelusuri kembali kejayaan kerajaan-kerajaan maritim
Hindu-Buddha di Nusantara, mengkaji sistem pemerintahan, struktur sosial,
kehidupan ekonomi, dan kebudayaan yang mereka kembangkan, serta menelaah
bagaimana warisan historis tersebut masih memengaruhi kehidupan masyarakat
Indonesia di masa kini.
Footnotes
[1]
George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, trans.
Susan Brown Cowing (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1968), 115–117.
[2]
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1: Kebudayaan
Material (Jakarta: Gramedia, 1996), 150–153.
2.
Konteks Historis
Kerajaan Maritim Nusantara
Sejak masa
prasejarah, wilayah kepulauan Indonesia telah dikenal sebagai jalur penting
dalam jaringan pelayaran dan perdagangan laut internasional. Letaknya yang
strategis di antara dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudra (Hindia
dan Pasifik) menjadikan kawasan ini sebagai titik temu berbagai kebudayaan dan
peradaban dunia. Aksesibilitas maritim tersebut mendorong terbentuknya
komunitas-komunitas pesisir yang hidup dari aktivitas pelayaran, perdagangan,
dan perikanan jauh sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan besar.1
Faktor geografis ini
tidak hanya memungkinkan penduduk Nusantara mengembangkan keterampilan
kelautan, tetapi juga membuka jalan bagi terjadinya interaksi budaya secara
intensif dengan dunia luar. Salah satu dampak utama dari interaksi tersebut
adalah masuknya pengaruh budaya India ke kepulauan Indonesia, yang berlangsung
secara damai melalui perdagangan dan penyebaran agama Hindu dan Buddha. Proses
ini oleh para sejarawan disebut sebagai "Indianisasi", yakni
proses transformasi budaya lokal melalui adaptasi nilai-nilai India dalam
bidang keagamaan, sosial, politik, dan seni.2
Indianisasi tidak
terjadi melalui kolonisasi militer, melainkan melalui jejaring perdagangan dan
hubungan religius. Para pedagang, pendeta, dan cendekiawan dari India memainkan
peran penting dalam memperkenalkan sistem tulisan (aksara Pallawa), bahasa
Sanskerta, ajaran Hindu dan Buddha, serta struktur pemerintahan berbasis
kerajaan. Bukti awal Indianisasi dapat ditemukan dalam Prasasti Kutai dari abad
ke-4 M di Kalimantan Timur yang menyebutkan raja Mulawarman sebagai pemeluk
Hindu Siwais dan menggunakan bahasa Sanskerta dalam inskripsinya.3
Pada saat yang sama,
jalur perdagangan laut internasional—yang kemudian dikenal sebagai maritime
silk road—menghubungkan India, Tiongkok, dan Timur Tengah melalui
Selat Malaka dan Laut Jawa. Dalam konteks ini, kerajaan-kerajaan di Nusantara
bertransformasi menjadi kekuatan maritim yang mampu memanfaatkan arus
perdagangan regional untuk memperkuat kekuasaan mereka. Sriwijaya,
yang muncul sekitar abad ke-7 M, adalah contoh paling awal dari kerajaan
maritim yang mampu menguasai lalu lintas perdagangan laut melalui pengendalian
Selat Malaka dan jalur menuju Laut Tiongkok Selatan.4
Dengan berkembangnya
pelayaran dan aktivitas perdagangan internasional, kerajaan-kerajaan maritim di
Indonesia mulai memainkan peran ganda: sebagai pusat kekuasaan politik dan
sebagai simpul utama dalam jaringan ekonomi transregional. Pengaruh India yang
dibawa ke Nusantara tidak serta-merta diterima mentah-mentah, tetapi mengalami
proses adaptasi dan lokalitas yang kompleks. Struktur pemerintahan, sistem
kasta, ajaran keagamaan, dan bentuk-bentuk kesenian semuanya mengalami
akulturasi dengan budaya asli Nusantara, menciptakan sebuah identitas maritim
yang khas dan mandiri.
Konteks historis
inilah yang menjadi landasan lahirnya peradaban maritim Hindu-Buddha di
Indonesia—sebuah peradaban yang tidak hanya kuat secara militer dan politik,
tetapi juga maju dalam hal intelektual, budaya, dan diplomasi. Pemahaman
terhadap konteks ini menjadi penting untuk menafsirkan perkembangan
kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara sebagai bagian dari dinamika besar
sejarah dunia, sekaligus sebagai sumber inspirasi bagi pembangunan karakter
bangsa yang berbasis pada warisan maritimnya.
Footnotes
[1]
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680:
Volume One: The Lands below the Winds (New Haven: Yale University Press,
1988), 7–10.
[2]
George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, trans.
Susan Brown Cowing (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1968), 15–19.
[3]
Boechari, “Preliminary Report on the Discovery of Early Inscriptions
from Kutai,” Indonesia, no. 6 (1968): 1–5.
[4]
Paul Michel Munoz, Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and
the Malay Peninsula (Singapore: Editions Didier Millet, 2006), 113–117.
3.
Kerajaan-Kerajaan
Maritim Hindu-Buddha di Indonesia
Perkembangan
kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Nusantara merupakan tonggak penting
dalam sejarah peradaban Indonesia. Kerajaan-kerajaan ini tumbuh di wilayah
strategis jalur pelayaran internasional dan memanfaatkan potensi geografisnya
untuk mengembangkan kekuasaan, perdagangan, dan kebudayaan. Di antara
kerajaan-kerajaan tersebut, empat menonjol dalam catatan sejarah karena
pengaruh dan kontribusinya yang signifikan: Sriwijaya, Mataram
Kuno, Kediri dan Singhasari, serta Majapahit.
3.1.
Sriwijaya: Kerajaan
Bahari yang Menciptakan Jalur Buddha
Sriwijaya,
yang berpusat di wilayah Sumatra bagian selatan (diperkirakan di sekitar
Palembang modern), berdiri pada abad ke-7 M dan berkembang menjadi kekuatan
maritim dominan di Asia Tenggara. Keunggulan geografisnya di Selat Malaka
memberikan keuntungan strategis dalam mengontrol jalur perdagangan antara India
dan Tiongkok.1 Sebagai kerajaan bercorak
Buddha Mahayana, Sriwijaya menjadi pusat pendidikan agama dan budaya yang
penting, seperti yang dicatat oleh I-Tsing, biksu dari Tiongkok
yang singgah dan belajar di sana pada tahun 671 M selama beberapa tahun sebelum
melanjutkan ke India.2
Sriwijaya menjalin
hubungan dagang dan diplomatik dengan Dinasti Tang di Tiongkok dan
kerajaan-kerajaan India, serta membangun sistem pelabuhan dan bea cukai yang
canggih. Kekayaan Sriwijaya berasal dari aktivitas perdagangan barang-barang
mewah seperti kapur barus, emas, rempah-rempah, dan hasil hutan. Peninggalan
sejarah seperti prasasti Kedukan Bukit dan prasasti
Ligor menunjukkan keberadaan struktur pemerintahan yang
terorganisasi dan kosmopolitan.3
3.2.
Mataram Kuno:
Persinggungan Hindu dan Buddha di Tanah Jawa
Kerajaan Mataram
Kuno, yang berkembang di Jawa Tengah pada abad ke-8 hingga
ke-10 M, menunjukkan bentuk peradaban yang kuat di daratan namun tetap menjalin
relasi maritim. Keunikan Mataram Kuno terletak pada koeksistensi dua dinasti
besar: Sanjaya
(Hindu-Siwa) dan Syailendra (Buddha Mahayana).
Dinasti Syailendra dikenal sebagai pendukung pembangunan Candi
Borobudur—monumen Buddha terbesar di dunia—yang merepresentasikan puncak
arsitektur dan spiritualitas Asia Tenggara kuno.4
Walaupun tidak
se-maritim Sriwijaya, Mataram Kuno memiliki keterkaitan dagang melalui
pelabuhan di wilayah utara Jawa seperti Pekalongan dan Semarang, serta
menjalin kontak dengan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan di Asia Selatan.
Prasasti Kalasan (778 M) dan Prambanan
(856 M) menjadi bukti adanya pluralitas agama dan dinamika politik di kerajaan
ini.5
3.3.
Kediri dan
Singhasari: Transisi Menuju Ekspansi Maritim
Kerajaan Kediri
(abad ke-11 hingga awal abad ke-13) dan penerusnya Singhasari
merupakan kelanjutan dari kerajaan Mataram di wilayah Jawa Timur. Kediri
terkenal akan kekayaan agraris dan kemajuan sastranya, seperti Kakawin
Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, yang mencerminkan
budaya literasi tinggi di kalangan bangsawan.6
Pada masa Kertanegara
(raja terakhir Singhasari), orientasi politik dan ekspansi kerajaan mulai
beralih ke jalur maritim. Ekspedisi Pamalayu (1275 M) ke Sumatra
bertujuan menundukkan wilayah-wilayah strategis demi menghadang ekspansi Mongol
dari Asia Timur dan memperkuat posisi perdagangan Jawa di Selat Malaka.7
Inisiatif ini menunjukkan pemahaman geopolitik maritim yang matang di tengah
dinamika kekuasaan Asia Tenggara kala itu.
3.4.
Majapahit: Puncak Peradaban
Maritim Hindu-Buddha
Majapahit
(1293–ca. 1527 M), yang berpusat di Trowulan, Jawa Timur, adalah kerajaan
maritim terbesar dan paling berpengaruh dalam sejarah Nusantara. Di bawah
kepemimpinan Hayam Wuruk dan Patih
Gajah Mada, Majapahit mencapai wilayah kekuasaan yang luas
meliputi sebagian besar wilayah Asia Tenggara Maritim. Konsep “Nusantara”
sebagai kesatuan politik dan budaya mulai diartikulasikan dalam Sumpah
Palapa yang terkenal.8
Majapahit
mengembangkan sistem pemerintahan mandala, di mana daerah-daerah taklukan
diberi otonomi dengan tetap menyetor upeti dan loyalitas. Jalur perdagangan
Majapahit membentang dari Malaka hingga Maluku, dan kerajaan ini menjadi pusat
produksi barang dagangan seperti beras, garam, kain tenun, logam, dan rempah-rempah.
Tradisi hukum, etika sosial, dan filosofi pemerintahan tercermin dalam karya Negarakertagama
karya Mpu
Prapanca (1365).9
Warisan budaya
Majapahit masih terasa hingga kini, mulai dari struktur pemerintahan berbasis
daerah hingga pemahaman kebangsaan. Sebagai puncak kejayaan maritim
Hindu-Buddha di Indonesia, Majapahit merupakan simbol kekuatan, toleransi, dan
integrasi sosial yang berakar dari masa lalu.
Footnotes
[1]
George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, trans.
Susan Brown Cowing (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1968), 115–118.
[2]
I-Tsing, A Record of the Buddhist Religion as Practised in India
and the Malay Archipelago (AD 671–695), trans. J. Takakusu (Oxford:
Clarendon Press, 1896), 31–32.
[3]
Boechari, Prasasti-Indonesia: Inskripsi dari Masa Sriwijaya (Jakarta:
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1985), 24–27.
[4]
R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), 59–64.
[5]
Slamet Muljana, Sriwijaya (Yogyakarta: LKIS, 2006), 87–89.
[6]
P. J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang
(Jakarta: Djambatan, 1974), 223–225.
[7]
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1: Kebudayaan
Material (Jakarta: Gramedia, 1996), 170–172.
[8]
Nugroho Notosusanto, Nusa dan Bangsa: Sejarah Nasional Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1983), 129–131.
[9]
Slamet Muljana, Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya
(Jakarta: Bhratara, 1979), 44–46.
4.
Sistem Pemerintahan
dan Politik
Sistem pemerintahan
kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Indonesia menunjukkan tingkat
organisasi kekuasaan yang kompleks dan terstruktur. Pengaruh kebudayaan India
tampak dalam adopsi model pemerintahan monarki absolut yang berpusat pada raja
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, sekaligus simbol kekuatan spiritual dan
politik. Konsep dewaraja atau "raja
sebagai perwujudan dewa" menjadi fondasi legitimasi kekuasaan di berbagai
kerajaan, seperti yang terlihat pada Kerajaan Mataram Kuno dan Majapahit.1
Raja tidak hanya
dipandang sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai penjaga tatanan kosmis
dan hukum. Dalam struktur pemerintahan Majapahit, misalnya, raja dibantu oleh
sejumlah pejabat tinggi seperti patih (perdana menteri), rakryan,
bhattara,
dan pejabat daerah seperti bupati dan tumenggung,
yang menjalankan urusan administrasi dan pengelolaan wilayah kekuasaan. Sumber
utama seperti Negarakertagama karya Mpu Prapanca
memberikan gambaran rinci mengenai sistem birokrasi yang kompleks dan
tersentralisasi, namun tetap memberikan ruang otonomi kepada wilayah bawahan
melalui sistem mandala.2
Sistem mandala
merupakan model politik yang khas di Asia Tenggara, di mana kekuasaan kerajaan
pusat bersifat hegemonik tetapi tidak absolut atas wilayah taklukannya.
Wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan pusat tetap memiliki penguasa
lokal dengan kekuasaan terbatas, selama mereka mengakui supremasi raja pusat
dan memberikan upeti secara berkala. Model ini memungkinkan fleksibilitas
kekuasaan dan memperkuat jaringan loyalitas dalam kerajaan maritim yang luas
dan bercabang seperti Majapahit dan Sriwijaya.3
Sementara itu, di
Kerajaan Sriwijaya, kekuasaan politik lebih bersifat sentralistis dan berfokus
pada kendali atas jalur pelayaran dan pelabuhan strategis. Raja Sriwijaya
menjalankan kekuasaan administratif dan militer dengan dukungan pejabat
pelabuhan, armada laut, dan aparat bea cukai. Hal ini menunjukkan bahwa legitimasi
kekuasaan tidak hanya berbasis pada unsur sakral, tetapi juga pada kontrol
terhadap sumber daya ekonomi dan arus perdagangan regional.4
Prasasti-prasasti
kuno menjadi bukti penting dari praktik administratif dan politik
kerajaan-kerajaan ini. Prasasti Telaga Batu dari Sriwijaya,
misalnya, mencantumkan kutukan terhadap pejabat yang berkhianat dan menyebutkan
berbagai jabatan pemerintahan secara hierarkis, mulai dari panglima militer,
pejabat bea cukai, hingga pengelola lumbung kerajaan.5 Di Jawa
Timur, prasasti Wurare dan Pararaton
mencatat peran penting Patih Gajah Mada dalam menyatukan Nusantara melalui
diplomasi, perang, dan pengelolaan kekuasaan daerah secara efektif.6
Salah satu ciri khas
sistem politik kerajaan maritim Nusantara adalah fleksibilitas dalam integrasi
kekuasaan lokal. Dalam kondisi tertentu, kerajaan pusat dapat menunjuk penguasa
daerah dari kalangan lokal atau bangsawan setempat yang bersedia tunduk pada
kekuasaan pusat. Strategi ini memungkinkan kohesi politik dalam wilayah yang
sangat luas dan beragam secara etnis serta geografis.
Namun demikian,
sistem pemerintahan ini tetap menghadapi tantangan internal seperti konflik
suksesi, rivalitas elite bangsawan, dan pemberontakan daerah. Ketika pusat
kekuasaan melemah, wilayah-wilayah taklukan dengan cepat memisahkan diri atau
beraliansi dengan kekuatan lain. Hal ini dapat dilihat dalam masa pasca-Hayam
Wuruk di Majapahit, ketika perebutan kekuasaan internal mengakibatkan
melemahnya kendali pusat atas daerah-daerah di Nusantara bagian timur dan
barat.7
Secara umum, sistem
pemerintahan dan politik dalam kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha
menunjukkan integrasi yang canggih antara struktur kekuasaan, spiritualitas,
dan kepentingan ekonomi. Model ini tidak hanya menjamin kelangsungan kekuasaan selama
berabad-abad, tetapi juga membentuk fondasi bagi tradisi pemerintahan yang
inklusif, berjenjang, dan berbasis konsensus, yang warisannya masih terasa
dalam sistem pemerintahan Indonesia modern.
Footnotes
[1]
George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, trans.
Susan Brown Cowing (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1968), 15–18.
[2]
Slamet Muljana, Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya (Jakarta:
Bhratara, 1979), 46–49.
[3]
O. W. Wolters, History, Culture, and Region in Southeast Asian
Perspectives (Ithaca: Cornell University Southeast Asia Program, 1999),
27–29.
[4]
Paul Michel Munoz, Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and
the Malay Peninsula (Singapore: Editions Didier Millet, 2006), 122–125.
[5]
Boechari, Prasasti-Indonesia: Inskripsi dari Masa Sriwijaya
(Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1985), 42–44.
[6]
I Gusti Putu Phalgunadi, Indonesia: Pararaton (The Book of Kings of
Java) (New Delhi: Abhinav Publications, 1996), 91–94.
[7]
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1: Kebudayaan
Material (Jakarta: Gramedia, 1996), 201–203.
5.
Struktur Sosial dan
Kehidupan Ekonomi
Struktur sosial dan
kehidupan ekonomi kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Nusantara
menunjukkan organisasi masyarakat yang kompleks dan berlapis, sekaligus
menampilkan dinamika ekonomi yang berkembang berdasarkan perdagangan,
pertanian, dan pelayaran. Kehidupan sosial di dalam kerajaan-kerajaan seperti
Sriwijaya, Mataram Kuno, Kediri, Singhasari, dan Majapahit dipengaruhi oleh
nilai-nilai keagamaan, adat lokal, serta sistem ekonomi yang berorientasi pada
laut dan hasil bumi.
5.1.
Struktur Sosial:
Hierarki dan Mobilitas
Pengaruh budaya
India dalam sistem sosial kerajaan-kerajaan Nusantara terlihat dalam
pembentukan masyarakat yang berlapis-lapis, menyerupai sistem varna
(kelas sosial) dalam ajaran Hindu, meskipun tidak seketat sistem kasta di
India. Di puncak struktur sosial terdapat raja yang dianggap sebagai dewa
atau wakil dewa di bumi (dewaraja), kemudian diikuti oleh bangsawan
atau kerabat
kerajaan, pendeta (brahmana), pejabat
pemerintahan, pedagang dan perajin, serta petani
dan buruh.1
Salah satu ciri khas
dari sistem sosial ini adalah peran penting para brahmana
dan resi,
yang berperan sebagai penjaga nilai-nilai keagamaan, penasihat spiritual raja,
serta guru di pusat-pusat keilmuan seperti Sriwijaya. Selain itu, golongan pedagang
dalam masyarakat maritim juga memiliki posisi strategis karena keterlibatan
mereka dalam jaringan perdagangan internasional. Interaksi antara kelompok
sosial ini membentuk masyarakat yang relatif terbuka terhadap mobilitas
vertikal, terutama bagi mereka yang memiliki keterampilan atau jasa penting
bagi kerajaan.2
Dalam kerajaan
Majapahit, Negarakertagama
mencatat adanya jabatan-jabatan administratif yang ditentukan berdasarkan
kualifikasi dan kesetiaan, bukan semata-mata karena keturunan, menunjukkan
bahwa mobilitas sosial dalam birokrasi memungkinkan meskipun tetap terbatas
dalam kerangka hierarkis.3
5.2.
Kehidupan Ekonomi:
Perdagangan, Agrikultur, dan Maritimisme
Perekonomian
kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Indonesia ditopang oleh tiga pilar
utama: perdagangan,
agrikultur,
dan kemaritiman.
Sriwijaya, misalnya, berkembang pesat karena posisinya yang strategis di Selat
Malaka—jalur perdagangan utama antara India dan Tiongkok. Pelabuhan-pelabuhan
Sriwijaya memungut bea cukai dari kapal asing yang
berlabuh, dan menjadi pusat redistribusi barang seperti kapur
barus, emas, gading, kain sutra, dan rempah-rempah.4
Sementara itu, kerajaan-kerajaan
di Jawa seperti Kediri dan Majapahit mengembangkan ekonomi berbasis agraris-maritim.
Wilayah pedalaman menjadi pusat pertanian yang menghasilkan beras, tebu, dan
hasil bumi lainnya, sementara daerah pesisir berkembang sebagai pelabuhan
dagang. Majapahit, dalam masa kejayaannya, mengelola pelabuhan besar seperti Tuban,
Gresik, dan Canggu, yang menjadi simpul perdagangan
internasional dengan Tiongkok, India, dan wilayah Nusantara lainnya.5
Produksi barang
dagang seperti kain tenun, logam, garam, kerajinan gerabah,
dan perhiasan menjadi andalan kegiatan ekonomi rakyat. Selain
itu, hasil pertanian seperti padi dan rempah-rempah bukan
hanya dikonsumsi secara lokal, tetapi juga dijadikan komoditas ekspor.
Pembagian kerja sosial dalam masyarakat pun berkembang, dengan adanya kelompok
perajin, saudagar, pelaut, dan petani yang memainkan peran
spesifik dalam rantai ekonomi kerajaan.6
Dalam sumber seperti
prasasti Canggu (1358 M), disebutkan
bahwa raja memberikan pengakuan atas hak milik tanah dan pengelolaan sawah
kepada rakyat, sekaligus menetapkan pajak dalam bentuk hasil panen. Hal ini
menunjukkan adanya sistem redistribusi kekayaan dan pengelolaan ekonomi
yang terorganisir secara administratif, serta adanya interaksi antara kekuasaan
pusat dan kegiatan ekonomi rakyat.7
5.3.
Perdagangan
Internasional dan Peran Pelabuhan
Salah satu kekuatan
utama kerajaan-kerajaan maritim Nusantara adalah keterlibatannya dalam
perdagangan internasional. Jaringan pelabuhan seperti di Palembang
(Sriwijaya), Pamalayu (Singhasari), Tuban dan Gresik (Majapahit)
menjadi titik pertemuan pedagang dari berbagai bangsa. Barang-barang dari
Nusantara ditukar dengan keramik Tiongkok, tekstil India, dan logam dari Asia
Barat. Interaksi dagang ini tidak hanya membawa keuntungan ekonomi, tetapi juga
memperkaya budaya lokal dengan unsur-unsur asing yang diadopsi secara selektif
dan kreatif.8
Dengan demikian,
sistem sosial dan ekonomi kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Nusantara
mencerminkan integrasi antara kekuasaan, produksi agraris, dan jaringan dagang
maritim. Warisan struktur ini masih dapat dilihat dalam pola masyarakat pesisir
Indonesia kontemporer, di mana hubungan sosial dan ekonomi tetap berakar pada
nilai-nilai kolektif, jaringan dagang lokal-global, serta keberagaman budaya.
Footnotes
[1]
George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, trans.
Susan Brown Cowing (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1968), 23–25.
[2]
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1: Kebudayaan
Material (Jakarta: Gramedia, 1996), 180–183.
[3]
Slamet Muljana, Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya
(Jakarta: Bhratara, 1979), 52–55.
[4]
Paul Michel Munoz, Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and
the Malay Peninsula (Singapore: Editions Didier Millet, 2006), 114–117.
[5]
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680:
Volume One: The Lands below the Winds (New Haven: Yale University Press,
1988), 25–27.
[6]
P. J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang
(Jakarta: Djambatan, 1974), 218–220.
[7]
Boechari, Prasasti-Indonesia: Inskripsi dari Masa Majapahit
(Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1986), 36–38.
[8]
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200
(Stanford: Stanford University Press, 2008), 28–30.
6.
Kehidupan Kebudayaan
dan Keagamaan
Kehidupan kebudayaan
dan keagamaan dalam kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Nusantara
menampilkan pencapaian yang tinggi dalam bidang seni, arsitektur, filsafat, dan
pendidikan. Proses Indianisasi yang berlangsung sejak
awal abad Masehi tidak hanya membawa agama Hindu dan Buddha ke wilayah
kepulauan Indonesia, tetapi juga memicu transformasi budaya lokal melalui
akulturasi yang produktif. Interaksi antara unsur asing dan tradisi lokal
menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan yang khas dan menjadi fondasi penting
dalam perkembangan peradaban Indonesia.
6.1.
Agama Hindu dan Buddha:
Koeksistensi dan Pluralitas
Agama Hindu dan
Buddha menjadi dua sistem kepercayaan dominan yang berkembang di berbagai
kerajaan maritim Nusantara, sering kali hidup berdampingan secara harmonis. Di
Kerajaan Sriwijaya, agama Buddha
Mahayana menjadi ideologi utama, dengan Sriwijaya dijuluki sebagai “pusat studi
Buddha” oleh para penulis Tiongkok seperti I-Tsing, yang tinggal di sana
untuk memperdalam ilmu sebelum melanjutkan ke India.1
Sriwijaya juga menjalin hubungan dengan pusat-pusat keagamaan di India seperti
Nalanda dan Vikramashila.
Di Pulau Jawa,
terutama dalam Kerajaan Mataram Kuno, tampak dinamika
religius yang unik. Dinasti Syailendra dikenal sebagai
patron utama agama Buddha Mahayana, yang membangun Candi
Borobudur sebagai simbol kosmologi Buddha, sementara Dinasti Sanjaya
cenderung menganut ajaran Hindu-Siwa. Keduanya hidup berdampingan dalam
struktur kekuasaan yang bersifat pluralistik, sebagaimana ditunjukkan dalam
prasasti Kalasan dan Prambanan.2
Di masa Kerajaan Majapahit,
sinkretisme antara Hindu dan Buddha semakin menonjol. Konsep Siwa-Buddha
(pemujaan terhadap Siwa dan Buddha dalam satu sistem kepercayaan) menjadi dasar
spiritualitas resmi kerajaan. Bahkan dalam karya sastra religius seperti Sutasoma
karya Mpu
Tantular, muncul semboyan toleransi keagamaan yang terkenal: “Bhinneka
Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa” (berbeda-beda tetapi
tetap satu jua), yang kemudian diadopsi sebagai semboyan negara Republik
Indonesia.3
6.2.
Seni dan Arsitektur:
Representasi Nilai-Nilai Sakral dan Kekuasaan
Salah satu warisan
kebudayaan paling mencolok dari kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha adalah arsitektur
candi dan seni ukir yang berkembang pesat di Jawa dan Sumatra.
Candi-candi tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai
manifestasi kosmologi keagamaan dan simbol legitimasi kekuasaan raja. Candi
Borobudur (abad ke-8) merupakan representasi arsitektur Buddha
Mahayana terbesar di dunia, yang menggambarkan perjalanan menuju pencerahan
melalui ribuan relief naratif dan stupa.4
Sementara itu, Candi
Prambanan (abad ke-9), yang dibangun oleh Dinasti Sanjaya,
merupakan kompleks Hindu terbesar di Indonesia, didedikasikan untuk Trimurti:
Brahma, Wisnu, dan Siwa. Candi ini memuat relief Ramayana dan Kresnayana,
yang tidak hanya menunjukkan pengaruh India, tetapi juga gaya lokal dalam
penyesuaian tema dan estetika.5 Seni ukir batu, arca
perunggu, serta patung-patung Buddha dan Siwa menjadi bagian integral dari
ekspresi budaya religius dan kerajaan.
6.3.
Sastra dan Bahasa:
Warisan Intelektual Nusantara
Kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha di Nusantara juga menunjukkan perkembangan pesat dalam bidang sastra,
terutama dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno. Karya-karya sastra ini
mengandung unsur keagamaan, moralitas, kepahlawanan, serta refleksi sosial-politik.
Di masa Kediri, muncul karya-karya
monumental seperti Kakawin Bharatayuddha, Arjunawiwaha,
dan Smaradahana,
yang menjadi puncak sastra Jawa Kuno dan digunakan sebagai instrumen penguatan
ideologi kerajaan.6
Pada masa Majapahit,
karya seperti Negarakertagama karya Mpu
Prapanca dan Sutasoma karya Mpu
Tantular menunjukkan kecanggihan pemikiran politik, etika, dan
keberagaman spiritual. Naskah-naskah tersebut memperkuat wacana negara dan
konsep persatuan Nusantara, serta memperlihatkan budaya literasi yang tinggi di
kalangan bangsawan dan pendeta.
6.4.
Pendidikan dan Pusat
Keilmuan
Dalam aspek
pendidikan, beberapa kerajaan maritim dikenal sebagai pusat studi agama dan
filsafat. Sriwijaya, sebagaimana dicatat
oleh I-Tsing, memiliki semacam “universitas” Buddhis yang menarik murid-murid
dari Asia Timur. Di sini diajarkan tata bahasa Sanskerta, logika, filsafat, dan
ajaran Mahayana. Lembaga-lembaga keagamaan seperti vihara
dan ashrama
berperan sebagai pusat pengajaran dan penyebaran ilmu pengetahuan ke seluruh
penjuru Nusantara dan Asia Tenggara.7
Perkembangan
intelektual ini mencerminkan peran penting kebudayaan dan agama dalam membentuk
struktur masyarakat, menyebarkan nilai-nilai luhur, serta mempererat kohesi
sosial dalam kerajaan-kerajaan maritim. Keberadaan sistem pendidikan berbasis
keagamaan menjadi fondasi awal bagi tradisi intelektual yang berlanjut hingga
masa Islam dan modern.
Footnotes
[1]
I-Tsing, A Record of the Buddhist Religion as Practised in India
and the Malay Archipelago (AD 671–695), trans. J. Takakusu (Oxford:
Clarendon Press, 1896), 31–33.
[2]
R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), 45–50.
[3]
Slamet Muljana, Sutasoma: Sebuah Epos Buddhis Jawa (Jakarta:
Bhratara, 1976), 101–104.
[4]
John Miksic, Borobudur: Golden Tales of the Buddhas
(Singapore: Periplus Editions, 1990), 10–15.
[5]
A.J. Bernet Kempers, Ancient Indonesian Art (Cambridge:
Harvard University Press, 1959), 211–213.
[6]
P. J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang
(Jakarta: Djambatan, 1974), 223–227.
[7]
George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, trans.
Susan Brown Cowing (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1968), 117–120.
7.
Warisan dan Pengaruh
bagi Kehidupan Masyarakat Indonesia Masa Kini
Jejak peradaban
kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Buddha di Nusantara tidak hanya tersimpan dalam
artefak arkeologis dan catatan sejarah, tetapi juga mewarnai berbagai aspek
kehidupan masyarakat Indonesia masa kini, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Warisan tersebut mencakup identitas maritim bangsa, nilai-nilai
sosial dan budaya, sistem pemerintahan, serta inspirasi kebangsaan yang terus
relevan dalam konteks modern.
7.1.
Kesadaran Identitas
Maritim
Salah satu warisan
paling fundamental adalah kesadaran akan jati diri maritim
bangsa Indonesia. Kejayaan kerajaan-kerajaan seperti Sriwijaya
dan Majapahit,
yang membangun kekuasaan melalui penguasaan jalur laut dan perdagangan
antarpulau, memberikan bukti historis bahwa Indonesia sejak awal merupakan
bangsa pelaut, pedagang, dan pembangun jaringan antarwilayah.1
Kesadaran ini penting dalam membangun kembali visi poros maritim dunia
sebagaimana dicanangkan dalam kebijakan geopolitik Indonesia kontemporer.
Studi sejarah
menunjukkan bahwa pelabuhan-pelabuhan besar seperti Palembang, Gresik, Tuban,
dan Sunda Kelapa merupakan pusat interaksi global yang memperkuat posisi
Indonesia dalam jaringan perdagangan dunia. Nilai strategis laut sebagai
penghubung antarpulau dan antarbenua sejalan dengan visi geopolitik modern
tentang pentingnya membangun infrastruktur kelautan dan integrasi wilayah
kepulauan.2
7.2.
Warisan Budaya, Seni,
dan Arsitektur
Dalam bidang budaya,
peninggalan fisik seperti Candi Borobudur, Candi
Prambanan, Candi Penataran, serta karya
sastra klasik seperti Negarakertagama dan Sutasoma
menjadi simbol peradaban tinggi yang diwariskan hingga kini. Warisan ini tidak
hanya menjadi objek wisata sejarah dan budaya, tetapi juga menjadi bagian dari
pembentukan identitas nasional dan inspirasi dalam pengembangan kebudayaan
lokal.3
Nilai-nilai
filosofis dan estetika dalam seni ukir, tata ruang, dan simbolisme keagamaan masih
digunakan dalam berbagai ekspresi seni tradisional, arsitektur, dan ritual
budaya masyarakat Jawa, Bali, dan Nusantara lainnya. Kearifan lokal dalam
penataan candi dan relief misalnya, mengandung prinsip kosmologi dan
keseimbangan alam yang sejalan dengan nilai-nilai keberlanjutan ekologis masa
kini.4
7.3.
Sistem Sosial dan
Pemerintahan
Beberapa konsep
pemerintahan yang berkembang dalam masa Hindu-Buddha, seperti struktur
berjenjang, administrasi wilayah, dan sistem
pajak berbasis komoditas, masih dapat dilacak dalam sistem
pemerintahan daerah di Indonesia. Meskipun telah mengalami transformasi besar,
warisan sistem mandala yang menghargai otonomi
lokal dalam kerangka kekuasaan pusat memberi preseden bagi hubungan
pusat-daerah yang bersifat dinamis.5
Konsep pemimpin
sebagai pelayan rakyat yang harus menjaga keseimbangan antara dunia sekuler dan
spiritual—yang termanifestasi dalam figur raja sebagai dharmaraja—juga
memberi inspirasi bagi etika kepemimpinan yang berbasis pada nilai moral dan tanggung
jawab sosial, sesuatu yang masih relevan dalam pembangunan karakter pemimpin
masa kini.
7.4.
Nilai-Nilai Sosial
dan Falsafah Persatuan
Warisan paling
signifikan dalam bidang sosial dan ideologi adalah nilai toleransi
dan persatuan dalam keberagaman, yang secara eksplisit
tergambar dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang
berasal dari naskah Sutasoma karya Mpu Tantular. Konsep
ini menjadi dasar integrasi bangsa Indonesia yang multietnis dan multireligius,
serta menjadi fondasi ideologis dalam membangun kehidupan berbangsa yang
harmonis.6
Selain itu, filosofi
kerja
sama, gotong royong, dan tanggung jawab kolektif yang terbentuk
dalam struktur sosial kerajaan juga terus hidup dalam praktik masyarakat
Indonesia modern. Nilai-nilai ini tercermin dalam budaya komunitas, lembaga
adat, dan praktik ekonomi berbasis kolektif seperti koperasi.
7.5.
Relevansi dalam
Pendidikan dan Pembangunan Bangsa
Pemahaman terhadap
warisan kerajaan maritim Hindu-Buddha juga penting dalam konteks pendidikan
sejarah dan pembentukan karakter nasional. Pelajaran sejarah
tentang kejayaan masa lalu bukan dimaksudkan untuk glorifikasi semata,
melainkan untuk menumbuhkan rasa percaya diri nasional,
memahami
dinamika budaya, dan menghargai kearifan lokal.
Nilai-nilai luhur dari masa lalu dapat menjadi sumber inspirasi dalam membangun
bangsa yang unggul, terbuka, dan berakar pada identitasnya sendiri.
Oleh karena itu,
integrasi warisan sejarah dalam sistem pendidikan, penguatan kebijakan
kebudayaan, serta pemanfaatan cagar budaya sebagai media pembelajaran dan
pembangunan ekonomi kreatif merupakan langkah penting dalam mewarisi sekaligus
memperbarui nilai-nilai peradaban Hindu-Buddha dalam kehidupan Indonesia masa
kini.
Footnotes
[1]
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680:
Volume One: The Lands below the Winds (New Haven: Yale University Press,
1988), 12–14.
[2]
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1: Kebudayaan
Material (Jakarta: Gramedia, 1996), 187–189.
[3]
John Miksic, Borobudur: Golden Tales of the Buddhas
(Singapore: Periplus Editions, 1990), 35–37.
[4]
A.J. Bernet Kempers, Ancient Indonesian Art (Cambridge:
Harvard University Press, 1959), 220–222.
[5]
O. W. Wolters, History, Culture, and Region in Southeast Asian
Perspectives (Ithaca: Cornell University Southeast Asia Program, 1999),
39–42.
[6]
Slamet Muljana, Sutasoma: Sebuah Epos Buddhis Jawa (Jakarta:
Bhratara, 1976), 112–115.
8.
Penutup
Kajian terhadap kerajaan-kerajaan
maritim Hindu-Buddha di Indonesia mengungkapkan betapa pentingnya peran masa
lalu dalam membentuk identitas, kebudayaan, dan arah peradaban bangsa
Indonesia. Kejayaan kerajaan seperti Sriwijaya, Mataram
Kuno, Kediri, Singhasari,
dan terutama Majapahit membuktikan bahwa
wilayah Nusantara memiliki tradisi maritim yang kuat, sistem pemerintahan yang
kompleks, dan budaya yang kosmopolitan serta adaptif terhadap pengaruh global.1
Kerajaan-kerajaan
tersebut tidak hanya berperan sebagai pusat kekuasaan politik dan militer,
tetapi juga sebagai pusat intelektual, spiritual, dan ekonomi.
Keberhasilan mereka dalam mengintegrasikan nilai-nilai lokal dengan pengaruh
luar seperti agama Hindu dan Buddha, serta kemampuan mereka mengelola jaringan
perdagangan maritim, menunjukkan kapasitas tinggi dalam membangun peradaban
yang tangguh dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara.2
Warisan dari masa
tersebut tidak berhenti sebagai memori sejarah atau peninggalan arkeologis,
tetapi telah menjadi landasan kebudayaan dan karakter bangsa
Indonesia masa kini. Nilai-nilai seperti toleransi, pluralitas,
harmoni sosial, etika kepemimpinan, dan kerja kolektif telah menjadi warisan
intangible yang membentuk praktik sosial dan institusional di berbagai bidang
kehidupan masyarakat Indonesia modern.3
Dalam konteks
pembangunan bangsa saat ini, pemahaman terhadap sejarah kerajaan-kerajaan
maritim Hindu-Buddha bukan sekadar bagian dari studi akademis, melainkan
instrumen penting dalam membentuk kesadaran historis dan nasionalisme yang
konstruktif. Sebagaimana ditunjukkan dalam kebijakan nasional
yang menekankan peran Indonesia sebagai poros maritim dunia, refleksi
terhadap sejarah kelautan masa lampau menjadi semakin relevan untuk membangun
masa depan yang berakar pada kekuatan sendiri dan terbuka terhadap dunia.4
Oleh karena itu,
pembelajaran sejarah kerajaan-kerajaan maritim Nusantara perlu didorong secara
lebih intensif dalam pendidikan, tidak hanya untuk menghidupkan kembali
kebanggaan terhadap identitas bangsa, tetapi juga untuk menanamkan nilai-nilai
luhur yang dapat menjadi fondasi moral dan strategis
dalam menjawab tantangan zaman. Warisan masa lalu bukanlah sesuatu yang mati,
tetapi modal
budaya hidup yang dapat terus diperbarui dan dimaknai dalam
berbagai aspek kehidupan modern—baik dalam tata pemerintahan, relasi sosial,
ekonomi kreatif, maupun diplomasi kebudayaan.5
Dengan demikian,
pemahaman yang komprehensif terhadap kemegahan kerajaan-kerajaan maritim
Hindu-Buddha bukan hanya memperkaya wawasan sejarah, tetapi juga memperkuat
kesadaran kolektif bahwa Indonesia telah lama menjadi bangsa besar yang mampu
berdiri sejajar di panggung global melalui kekuatan budaya, spiritualitas, dan
kearifan lokalnya.
Footnotes
[1]
George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, trans.
Susan Brown Cowing (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1968), 15–21.
[2]
Paul Michel Munoz, Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and
the Malay Peninsula (Singapore: Editions Didier Millet, 2006), 125–130.
[3]
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1: Kebudayaan
Material (Jakarta: Gramedia, 1996), 190–193.
[4]
Anthony Reid, A History of Southeast Asia: Critical Crossroads
(Chichester: Wiley Blackwell, 2015), 339–341.
[5]
M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200
(Stanford: Stanford University Press, 2008), 3–5.
Daftar Pustaka
Bernet Kempers, A. J. (1959). Ancient Indonesian
art. Harvard University Press.
Boechari. (1985). Prasasti-Indonesia: Inskripsi
dari Masa Sriwijaya. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Boechari. (1986). Prasasti-Indonesia: Inskripsi
dari Masa Majapahit. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Coedès, G. (1968). The Indianized states of
Southeast Asia (S. B. Cowing, Trans.). University of Hawai‘i Press.
I-Tsing. (1896). A record of the Buddhist
religion as practised in India and the Malay Archipelago (A.D. 671–695) (J.
Takakusu, Trans.). Clarendon Press.
Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Silang budaya.
Jilid 1: Kebudayaan material. Gramedia.
Miksic, J. (1990). Borobudur: Golden tales of
the Buddhas. Periplus Editions.
Munoz, P. M. (2006). Early kingdoms of the
Indonesian archipelago and the Malay peninsula. Editions Didier Millet.
Notosusanto, N. (1983). Nusa dan bangsa: Sejarah
nasional Indonesia. Balai Pustaka.
Phalgunadi, I. G. P. (1996). Indonesia:
Pararaton (The book of kings of Java). Abhinav Publications.
Reid, A. (1988). Southeast Asia in the age of
commerce, 1450–1680: Volume one: The lands below the winds. Yale University
Press.
Reid, A. (2015). A history of Southeast Asia:
Critical crossroads. Wiley Blackwell.
Ricklefs, M. C. (2008). A history of modern
Indonesia since c. 1200 (4th ed.). Stanford University Press.
Soekmono, R. (1994). Pengantar sejarah
kebudayaan Indonesia 2. Kanisius.
Slamet Muljana. (1976). Sutasoma: Sebuah epos
Buddhis Jawa. Bhratara.
Slamet Muljana. (1979). Negarakertagama dan
tafsir sejarahnya. Bhratara.
Slamet Muljana. (2006). Sriwijaya (Ed.
rev.). LKIS.
Wolters, O. W. (1999). History, culture, and
region in Southeast Asian perspectives (2nd ed.). Cornell University
Southeast Asia Program.
Zoetmulder, P. J. (1974). Kalangwan: Sastra Jawa
Kuno selayang pandang. Djambatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar