Jumat, 06 Juni 2025

Kekuasaan (Power): Kajian Historis, Konseptual, dan Kritis atas Hakikat dan Legitimasi Kekuasaan

Kekuasaan (Power)

Kajian Historis, Konseptual, dan Kritis atas Hakikat dan Legitimasi Kekuasaan


Alihkan ke: Konsep-Konsep Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep kekuasaan (power) dari perspektif filsafat secara menyeluruh, dengan menelusuri dimensi historis, konseptual, dan kritis atas hakikat serta legitimasi kekuasaan. Dimulai dari gagasan klasik Plato dan Aristoteles yang menekankan keadilan dan kebajikan sebagai dasar kekuasaan, pembahasan bergerak melalui pemikiran modern seperti kontrak sosial Hobbes dan Rousseau, hingga pada analisis struktural dan diskursif dalam pemikiran Marx, Weber, Gramsci, dan Foucault. Kajian ini juga membahas dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, dan teleologis dari kekuasaan, serta menelaah berbagai teori kekuasaan seperti teori legitimasi, teori kritis, dan teori post-strukturalis. Dalam konteks kekinian, artikel ini mengeksplorasi bagaimana kekuasaan bekerja melalui media digital, kapitalisme global, politik identitas, dan algoritma pengawasan, serta menunjukkan bahwa kekuasaan kini bersifat tersebar dan simbolik. Artikel ini menutup dengan refleksi etis dan kritis terhadap kekuasaan, menekankan pentingnya pengelolaan kekuasaan yang adil, partisipatif, dan membebaskan. Melalui pendekatan interdisipliner dan filosofis, artikel ini bertujuan untuk memperluas pemahaman mengenai dinamika kekuasaan dan mendorong kesadaran kritis dalam kehidupan sosial-politik kontemporer.

Kata Kunci: Filsafat kekuasaan; legitimasi; hegemoni; kapitalisme pengawasan; teori kritis; diskursus; etika politik; resistansi.


PEMBAHASAN

Kajian Filsafat tentang Konsep Kekuasaan


1.           Pendahuluan

Kekuasaan (power) merupakan salah satu konsep yang paling mendasar, kompleks, dan problematik dalam ranah filsafat, terutama dalam cabang filsafat politik. Sejak masa Yunani Kuno hingga era postmodern, para filsuf telah bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan ontologis, epistemologis, dan aksiologis mengenai kekuasaan: Apa hakikat kekuasaan? Dari mana ia berasal? Apa yang membuatnya sah atau tidak sah? Dan bagaimana ia digunakan—atau disalahgunakan—dalam kehidupan manusia?

Dalam kehidupan bernegara, kekuasaan sering kali menjadi poros utama penataan hukum, kebijakan publik, serta relasi antara penguasa dan rakyat. Tetapi, kekuasaan bukanlah semata-mata instrumen politik; ia adalah relasi sosial yang sarat makna filosofis dan etis, karena menyangkut kendali, dominasi, resistansi, bahkan pembebasan manusia. Michel Foucault, misalnya, menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya berada di puncak lembaga atau institusi, tetapi menyebar dalam jaringan relasi sosial yang paling mikro, seperti bahasa, pengetahuan, dan tubuh. Kekuasaan, dalam pandangannya, "bukanlah sesuatu yang dimiliki, melainkan sesuatu yang dijalankan."¹

Gagasan tentang kekuasaan telah mengalami transformasi seiring perkembangan zaman dan konteks historis. Dalam tradisi Yunani Kuno, filsuf seperti Plato dan Aristoteles memahami kekuasaan sebagai bagian dari pencarian terhadap kebaikan bersama (common good) dan keadilan. Plato, misalnya, menempatkan kekuasaan ideal di tangan filsuf-raja yang mampu memimpin berdasarkan kearifan dan keadilan, bukan kepentingan pribadi.² Sebaliknya, dalam era modern, Niccolò Machiavelli memandang kekuasaan secara lebih realistis sebagai sarana mempertahankan kendali politik, bahkan jika itu harus melalui kelicikan dan kekerasan.³

Kekuasaan juga menjadi medan tarik-menarik antara legitimasi dan dominasi. Max Weber membedakan tiga bentuk legitimasi kekuasaan: tradisional, kharismatik, dan legal-rasional, masing-masing menunjukkan basis keabsahan yang berbeda terhadap otoritas.⁴ Sementara itu, pemikir-pemikir kritis seperti Karl Marx memandang kekuasaan sebagai ekspresi dari relasi kelas dalam struktur ekonomi yang timpang, di mana negara menjadi alat dominasi kelas penguasa atas kelas proletar.⁵

Dalam konteks kontemporer, kekuasaan semakin terfragmentasi dan kompleks, terutama dengan munculnya aktor-aktor non-negara seperti korporasi global, media, dan kecerdasan buatan (AI). Kekuasaan kini tidak hanya bersifat vertikal—dari atas ke bawah—melainkan juga bersifat horizontal dan tersembunyi, memengaruhi cara manusia berpikir, bertindak, bahkan memahami identitas dirinya.⁶ Dengan demikian, kajian filosofis atas kekuasaan tidak hanya penting, tetapi mendesak, karena menyentuh persoalan moral, politik, dan ontologis yang mendalam dalam peradaban manusia.

Artikel ini bertujuan untuk menyajikan kajian filosofis yang sistematis dan mendalam mengenai konsep kekuasaan, baik dari sisi historis, konseptual, maupun kritis. Dengan memetakan berbagai pendekatan dan teori kekuasaan dari para pemikir besar sepanjang sejarah, tulisan ini diharapkan dapat memberikan wawasan komprehensif mengenai bagaimana kekuasaan dipahami, dijustifikasi, dan dikritisi dalam ranah filsafat. Kajian ini juga akan menunjukkan relevansi konsep kekuasaan dalam menghadapi tantangan-tantangan kontemporer seperti otoritarianisme, disinformasi digital, dan politik identitas, serta bagaimana manusia dapat menata kekuasaan secara etis dan berkeadaban.


Footnotes

[1]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 26.

[2]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book V.

[3]                Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 55–70.

[4]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 215–245.

[5]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (London: Penguin Books, 2002), 67–89.

[6]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 8–12.


2.           Konsep Dasar Kekuasaan

Konsep kekuasaan (power) adalah salah satu tema paling esensial dalam filsafat politik, sosiologi, dan ilmu sosial secara umum. Namun demikian, meskipun penting, kekuasaan tetap merupakan konsep yang sulit didefinisikan secara tunggal, karena sifatnya yang kompleks, multidimensi, dan kontekstual. Dalam filsafat, kekuasaan tidak hanya dipahami sebagai kemampuan untuk memerintah, melainkan sebagai relasi sosial, struktur simbolik, dan bahkan kekuatan diskursif yang memengaruhi tindakan dan pikiran manusia.

2.1.       Definisi Kekuasaan

Secara umum, kekuasaan dapat didefinisikan sebagai kemampuan seorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi, mengendalikan, atau menentukan perilaku orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bertrand Russell menyatakan bahwa "kekuasaan adalah pokok utama dalam ilmu sosial, sebagaimana energi adalah konsep utama dalam ilmu fisika."¹ Pernyataan ini menunjukkan bahwa kekuasaan bukan sekadar alat politik, tetapi merupakan fenomena mendasar dalam struktur sosial.

Robert A. Dahl, seorang ilmuwan politik terkemuka, mendefinisikan kekuasaan secara minimalis sebagai situasi di mana “A memiliki kekuasaan atas B sejauh A dapat membuat B melakukan sesuatu yang sebaliknya tidak akan dilakukan B.”² Definisi ini menekankan aspek hubungan antara dua pihak (relasi dua arah) serta adanya unsur kontrol atau dominasi.

Namun demikian, para filsuf seperti Michel Foucault menolak pengertian kekuasaan yang hanya dipahami dalam bentuk dominasi dari atas ke bawah. Bagi Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang dimiliki, tetapi merupakan relasi yang tersebar dan beroperasi dalam seluruh struktur sosial—termasuk dalam lembaga, bahasa, norma, dan pengetahuan.³ Kekuasaan tidak selalu represif, tetapi juga produktif: ia menciptakan identitas, membentuk wacana, dan mengatur perilaku.

2.2.       Kekuasaan, Otoritas, dan Kekuatan: Distingsi Konseptual

Dalam banyak literatur filsafat dan sosiologi, penting untuk membedakan antara kekuasaan (power), otoritas (authority), dan kekuatan (force). Max Weber merumuskan otoritas sebagai bentuk kekuasaan yang dianggap sah (legitimate), artinya diakui dan diterima oleh yang diperintah.⁴ Seseorang bisa saja memiliki kekuasaan, namun belum tentu memiliki otoritas jika kekuasaannya tidak diakui sebagai sah oleh masyarakat.

Sementara itu, kekuatan (force) merujuk pada bentuk koersi fisik atau tekanan langsung, seperti penggunaan kekerasan. Kekuasaan yang sejati tidak harus selalu menggunakan kekuatan, melainkan dapat bekerja melalui legitimasi, simbol, atau bahkan persetujuan yang terselubung.

Hannah Arendt, dalam karyanya On Violence, membedakan kekuasaan dari kekuatan secara tajam. Menurutnya, “kekuasaan sesuai dengan keberadaan bersama manusia; kekuatan, sebaliknya, berkaitan dengan kemampuan fisik individu.”⁵ Kekuasaan bersifat kolektif dan muncul dari kesepakatan sosial, sementara kekuatan bersifat koersif dan individual.

2.3.       Kekuasaan sebagai Relasi Sosial dan Struktur Simbolik

Pemahaman kekuasaan dalam pemikiran kontemporer cenderung mengarah pada pendekatan relasional. Kekuasaan tidak dipandang sebagai benda atau atribut personal, melainkan sebagai interaksi dinamis dalam jaringan sosial dan simbolik. Misalnya, Pierre Bourdieu mengembangkan gagasan tentang modal simbolik, yakni bentuk kekuasaan yang berasal dari pengakuan sosial, seperti gelar akademik, prestise, atau wacana keilmuan.⁶ Dalam perspektif ini, kekuasaan bekerja secara halus, melalui struktur sosial yang dibentuk oleh bahasa, pendidikan, dan budaya.

Foucault juga menekankan dimensi mikro-kekuasaan, yakni operasi kekuasaan pada level yang paling sehari-hari: ruang kelas, rumah sakit, penjara, bahkan keluarga.⁷ Oleh karena itu, memahami kekuasaan menuntut keterampilan filsafat kritis untuk mendeteksi pola-pola dominasi yang tersembunyi di balik struktur sosial yang tampaknya netral.

2.4.       Apakah Kekuasaan Itu Netral?

Pertanyaan normatif yang penting dalam filsafat kekuasaan adalah: apakah kekuasaan itu netral, jahat, atau baik? Para filsuf berbeda pandangan. Filsuf realis seperti Machiavelli melihat kekuasaan secara netral—ia adalah alat yang bisa digunakan untuk tujuan baik maupun buruk tergantung pada kecakapan dan kehendak penguasa.⁸ Sebaliknya, filsuf etis seperti Rousseau dan Kant lebih menekankan bahwa kekuasaan harus tunduk pada prinsip moral dan hukum universal.

Dengan demikian, konsep kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari konteks: ia dapat menjadi sarana pembebasan atau penindasan, tergantung pada bagaimana ia dilembagakan, dilaksanakan, dan dipertanggungjawabkan.


Footnotes

[1]                Bertrand Russell, Power: A New Social Analysis (London: George Allen & Unwin, 1938), 10.

[2]                Robert A. Dahl, “The Concept of Power,” Behavioral Science 2, no. 3 (1957): 202.

[3]                Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 92–95.

[4]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 212–215.

[5]                Hannah Arendt, On Violence (New York: Harcourt, 1970), 44.

[6]                Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, ed. John B. Thompson, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 163–165.

[7]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 25–28.

[8]                Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 58–60.


3.           Sejarah Gagasan Kekuasaan dalam Filsafat

Gagasan tentang kekuasaan tidak muncul dalam ruang hampa; ia merupakan hasil dari pergulatan panjang pemikiran manusia atas tatanan sosial, hukum, moralitas, dan pemerintahan. Dari era filsafat klasik hingga pemikiran kontemporer, konsep kekuasaan telah mengalami pergeseran paradigmatik yang mencerminkan perubahan zaman dan kepentingan historis-politik. Setiap fase sejarah filsafat menawarkan pendekatan yang khas dalam memahami hakikat, fungsi, dan legitimasi kekuasaan.

3.1.       Kekuasaan dalam Filsafat Klasik Yunani

Pemikiran Yunani Kuno menempatkan kekuasaan dalam kerangka etis dan kosmologis. Plato (427–347 SM) dalam The Republic mengembangkan gagasan tentang bentuk pemerintahan ideal, yaitu negara yang dipimpin oleh filsuf-raja, yakni sosok yang memiliki pengetahuan tentang kebaikan dan keadilan sejati.¹ Kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk menegakkan keadilan (dikaiosune) dan mengatur masyarakat secara harmonis berdasarkan struktur jiwa manusia.

Sementara itu, Aristoteles (384–322 SM) dalam Politics memandang manusia sebagai zoon politikon—makhluk yang secara kodrati hidup dalam polis.² Kekuasaan bagi Aristoteles bukanlah alat dominasi, melainkan ekspresi dari kodrat sosial manusia dalam mencapai eudaimonia (kebahagiaan) melalui kehidupan berpolitik. Ia membedakan bentuk-bentuk pemerintahan seperti monarki, aristokrasi, dan politeia, serta menjelaskan bentuk-bentuk degeneratifnya seperti tirani dan oligarki.³

3.2.       Kekuasaan dalam Pemikiran Abad Pertengahan

Pada masa Abad Pertengahan, pemikiran kekuasaan sangat dipengaruhi oleh teologi Kristen. Agustinus (354–430 M) dalam The City of God memandang kekuasaan duniawi sebagai konsekuensi dari kejatuhan manusia dan ketidaksempurnaan dunia.⁴ Ia membedakan antara Civitas Dei (kota Allah) dan Civitas Terrena (kota duniawi), dengan penekanan bahwa kekuasaan politik hanya sah jika tunduk pada hukum ilahi.

Pemikiran ini diteruskan dan disistematkan oleh Thomas Aquinas (1225–1274 M), yang berupaya mendamaikan filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen. Dalam Summa Theologiae, Aquinas menegaskan bahwa kekuasaan bersumber dari Tuhan, namun dijalankan oleh manusia melalui hukum alam dan hukum positif. Kekuasaan sah jika diarahkan kepada kebaikan umum (bonum commune) dan bersifat rasional serta adil.⁵

3.3.       Kekuasaan dalam Era Modern dan Pencerahan

Munculnya negara-negara modern, perang sipil, dan krisis otoritas gereja mendorong filsuf era modern mengembangkan teori kekuasaan yang lebih sekuler dan pragmatis.

Niccolò Machiavelli (1469–1527) dalam The Prince mengembangkan pendekatan realis terhadap kekuasaan, yang berfokus pada teknik memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.⁶ Kekuasaan tidak lagi dikaitkan secara langsung dengan moralitas; yang penting adalah efektivitas dan stabilitas pemerintahan. Dalam pandangannya yang sering dianggap sinis, penguasa harus siap bersikap licik, manipulatif, bahkan kejam, bila perlu.

Di sisi lain, muncul teori kontrak sosial yang berupaya menjelaskan asal-usul kekuasaan negara secara rasional. Thomas Hobbes (1588–1679) dalam Leviathan memandang kekuasaan negara sebagai solusi atas state of nature yang anarkis dan penuh konflik.⁷ Ia menekankan pentingnya kekuasaan absolut demi ketertiban. Berbeda dari Hobbes, John Locke (1632–1704) berargumen bahwa kekuasaan politik harus tunduk pada hukum dan hak-hak alamiah individu.⁸ Sementara itu, Jean-Jacques Rousseau (1712–1778) mengembangkan konsep volonté générale (kehendak umum), di mana kekuasaan negara sah jika merupakan ekspresi dari kehendak kolektif rakyat.⁹

3.4.       Pemikiran Kekuasaan dalam Tradisi Kritis dan Modern

Pada abad ke-19, Karl Marx (1818–1883) menawarkan kritik radikal terhadap kekuasaan sebagai instrumen dominasi kelas. Dalam The Communist Manifesto, kekuasaan negara dianggap sebagai alat kelas borjuis untuk mempertahankan hegemoni atas proletariat.¹⁰ Kekuasaan tidak netral, melainkan tercermin dari relasi produksi dan struktur ekonomi.

Friedrich Nietzsche (1844–1900) memberikan pendekatan yang lebih eksistensial, dengan menekankan konsep will to power (kehendak untuk berkuasa) sebagai dorongan dasar dalam kehidupan manusia.¹¹ Bagi Nietzsche, kekuasaan adalah ekspresi dari vitalitas, kreativitas, dan pembebasan dari nilai-nilai moral yang menindas.

Max Weber (1864–1920), sebagai tokoh sosiologi klasik, berkontribusi melalui tipologi otoritas: tradisional (berbasis adat), kharismatik (berbasis pesona personal), dan legal-rasional (berbasis hukum formal).¹² Ia juga menekankan pentingnya monopoli kekerasan yang sah sebagai ciri khas negara modern.

3.5.       Gagasan Kekuasaan dalam Pemikiran Kontemporer

Dalam abad ke-20 dan 21, kekuasaan tidak lagi dipahami hanya sebagai dominasi negara, tetapi juga sebagai jaringan simbolik dan struktural.

Michel Foucault (1926–1984) menolak pemahaman kekuasaan sebagai entitas tetap. Dalam Discipline and Punish, ia menunjukkan bagaimana kekuasaan bekerja melalui institusi-institusi seperti sekolah, rumah sakit, dan penjara, membentuk subjek melalui mekanisme disipliner.¹³ Foucault melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang produktif, bukan hanya represif—ia menciptakan norma, identitas, dan kebenaran.

Pemikir seperti Antonio Gramsci (1891–1937) memperluas pemikiran Marx dengan mengembangkan konsep hegemoni, yaitu bentuk kekuasaan ideologis yang diperoleh melalui persetujuan sosial, bukan hanya melalui kekerasan atau ekonomi.¹⁴

Dalam perkembangan mutakhir, kekuasaan bahkan menyentuh ranah digital dan algoritmik, seperti yang dianalisis oleh Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism, yang menggambarkan kekuasaan baru yang dijalankan melalui pengumpulan dan manipulasi data perilaku manusia.¹⁵


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book V.

[2]                Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), I.2 (1253a2).

[3]                Ibid., III.7 (1279a).

[4]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book XIX.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I-II, Q.90.

[6]                Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 5–8.

[7]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Ch. XIII–XVII.

[8]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), II.3–5.

[9]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 2004), Book I–II.

[10]             Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (London: Penguin Books, 2002), 67–89.

[11]             Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 2003), “On the Thousand and One Goals.”

[12]             Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 215–245.

[13]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 195–228.

[14]             Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 245–246.

[15]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 8–25.


4.           Dimensi-Dimensi Kekuasaan

Konsep kekuasaan dalam filsafat tidak hanya memerlukan pendekatan definisional, tetapi juga pemahaman multidimensional yang mencakup pertanyaan ontologis, epistemologis, aksiologis, dan teleologis. Setiap dimensi ini menyingkap aspek-aspek mendalam tentang bagaimana kekuasaan hadir, dipahami, dinilai, dan diarahkan dalam kehidupan sosial dan politik. Dengan menelaah kekuasaan dari keempat dimensi ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih utuh dan filosofis mengenai realitas kekuasaan.

4.1.       Ontologi Kekuasaan: Hakikat Kekuasaan

Ontologi berkaitan dengan apa yang ada, atau dalam konteks ini, apa sebenarnya kekuasaan itu secara eksistensial. Apakah kekuasaan merupakan entitas yang tetap dan dapat dimiliki, ataukah ia hanyalah relasi yang muncul dalam interaksi sosial?

Tradisi klasik sering melihat kekuasaan sebagai entitas atau sumber daya yang dapat dimiliki oleh individu atau institusi.¹ Namun, pandangan kontemporer menolak substansialisasi ini. Foucault, misalnya, menyatakan bahwa kekuasaan tidak berada di suatu tempat tertentu, tetapi justru mengalir dalam jaringan relasi sosial dan wacana. Kekuasaan bukan "benda" melainkan "strategi" yang beroperasi dalam struktur sosial dan institusi.²

Pierre Bourdieu juga menolak esensialisasi kekuasaan. Ia melihat kekuasaan sebagai modal simbolik yang bekerja dalam kerangka medan sosial (field) yang sarat kompetisi.³ Kekuasaan, dengan demikian, bukanlah hakikat tetap, tetapi konstruksi sosial yang lahir dalam relasi dan struktur historis.

4.2.       Epistemologi Kekuasaan: Bagaimana Kekuasaan Dipahami dan Dikonstitusikan

Dimensi epistemologis kekuasaan mengangkat pertanyaan: bagaimana kita mengetahui atau menyadari adanya kekuasaan? Siapa yang memiliki otoritas untuk menyatakan suatu bentuk kekuasaan sah atau tidak?

Foucault menjelaskan bahwa pengetahuan dan kekuasaan saling membentuk. Apa yang kita anggap sebagai “kebenaran” sering kali merupakan hasil dari konfigurasi kekuasaan yang dominan. Dalam istilahnya, “tidak ada pengetahuan yang bebas dari kekuasaan, sebagaimana tidak ada kekuasaan yang tidak melibatkan produksi pengetahuan.”⁴ Oleh karena itu, epistemologi kekuasaan bersifat reflektif dan kritis: kita harus terus-menerus menggugat sumber-sumber legitimasi yang diklaim sebagai netral.

Di sisi lain, Habermas menekankan pentingnya komunikasi bebas distorsi sebagai dasar epistemologi kekuasaan yang sah.⁵ Menurutnya, kekuasaan yang dibangun atas dasar dominasi, manipulasi, atau represi komunikasi adalah bentuk kekuasaan yang patologis, karena tidak memungkinkan tercapainya konsensus yang rasional dan etis.

4.3.       Aksiologi Kekuasaan: Nilai dan Etika Kekuasaan

Apakah kekuasaan itu baik, buruk, atau netral? Inilah pertanyaan utama dari dimensi aksiologis. Kekuasaan dalam dirinya sendiri bersifat ambivalen: ia bisa menjadi instrumen keadilan atau alat tirani, tergantung pada nilai dan tujuan yang melatarbelakanginya.

Machiavelli melihat kekuasaan sebagai netral secara moral—yang penting adalah efektivitasnya dalam mempertahankan negara.⁶ Sebaliknya, Kant berargumen bahwa kekuasaan harus tunduk pada hukum moral universal dan tidak boleh memperlakukan manusia sebagai alat semata.⁷

Filsuf politik kontemporer seperti Iris Marion Young juga menyoroti dimensi etis dari struktur kekuasaan, khususnya terkait dengan ketimpangan gender, ras, dan kelas sosial. Kekuasaan struktural yang tidak kasat mata dapat melanggengkan ketidakadilan tanpa kekerasan langsung.⁸ Oleh karena itu, evaluasi etis terhadap kekuasaan tidak cukup hanya memeriksa niat, tetapi juga dampak sosial dan strukturalnya.

4.4.       Teleologi Kekuasaan: Tujuan Kekuasaan

Dimensi teleologis bertanya: untuk apa kekuasaan digunakan? Apa tujuan idealnya? Dalam kerangka klasik, Aristoteles menempatkan kekuasaan dalam konteks polis yang bertujuan pada eudaimonia (kesejahteraan dan kebajikan kolektif).⁹ Kekuasaan adalah sarana untuk menata masyarakat demi kebaikan bersama.

Berbeda dari itu, dalam negara modern, kekuasaan seringkali diarahkan untuk stabilitas politik, efisiensi birokrasi, atau pertumbuhan ekonomi. Namun, teleologi kekuasaan semacam ini kerap mengorbankan aspek moral dan martabat manusia.

Pemikir seperti Paulo Freire melihat kekuasaan sebagai alat pembebasan, yakni memungkinkan individu sadar akan ketertindasan dan bertindak untuk transformasi sosial.¹⁰ Dalam kerangka ini, tujuan kekuasaan bukanlah dominasi, melainkan emansipasi.


Kesimpulan Sementara

Keempat dimensi ini menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah entitas tunggal atau netral, melainkan fenomena yang sarat makna ontologis, epistemologis, aksiologis, dan teleologis. Setiap dimensi menyoroti aspek berbeda dari kekuasaan, namun saling melengkapi untuk memahami kompleksitasnya. Dengan perspektif ini, kita dapat menilai kekuasaan tidak hanya berdasarkan struktur formalnya, tetapi juga berdasarkan dampak filosofis dan etis yang ditimbulkannya dalam kehidupan sosial.


Footnotes

[1]                Steven Lukes, Power: A Radical View, 2nd ed. (New York: Palgrave Macmillan, 2005), 12–13.

[2]                Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 92.

[3]                Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, ed. John B. Thompson, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 170–172.

[4]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 27.

[5]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), vol. 1, 287–290.

[6]                Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 52–55.

[7]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42.

[8]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 38–40.

[9]                Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), Book I.

[10]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 44–45.


5.           Teori-Teori Kekuasaan

Teori-teori kekuasaan merupakan upaya sistematis dari para pemikir untuk menjelaskan bagaimana kekuasaan muncul, dijalankan, dilegitimasi, dan dipertahankan dalam masyarakat. Kajian tentang kekuasaan tidak hanya menyangkut struktur politik, tetapi juga relasi sosial, institusi budaya, serta dinamika ideologis dan diskursif yang menyertainya. Dalam bagian ini, akan dibahas tiga kerangka besar teori kekuasaan: teori legitimasi kekuasaan, teori kekuasaan kritis, dan teori kekuasaan post-strukturalis.

5.1.       Teori Legitimasi Kekuasaan

Teori ini berfokus pada pertanyaan: apa yang membuat kekuasaan dianggap sah atau legitimate oleh masyarakat? Salah satu pelopor utama dalam pembahasan ini adalah Max Weber, yang mengidentifikasi tiga bentuk utama legitimasi kekuasaan:

1)                  Legitimasi tradisional, berdasarkan adat istiadat dan kebiasaan turun-temurun.

2)                  Legitimasi kharismatik, berasal dari daya tarik personal atau kepercayaan terhadap karakter luar biasa seorang pemimpin.

3)                  Legitimasi legal-rasional, berdasar pada sistem hukum dan aturan yang diakui secara formal.¹

Legitimasi legal-rasional menjadi dasar negara modern dan birokrasi kontemporer. Weber menekankan bahwa otoritas yang stabil membutuhkan kepercayaan terhadap legitimasi, bukan semata-mata kekuatan koersif.

Dalam perkembangan selanjutnya, John Rawls memperkenalkan gagasan legitimasi normatif melalui teori keadilan. Menurut Rawls, kekuasaan politik sah hanya jika ia dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip yang dapat diterima oleh warga negara yang bebas dan setara dalam kerangka ‘fair terms of cooperation’.² Legitimasi, dalam pengertian ini, bertumpu pada persetujuan rasional dalam kondisi ideal, bukan hanya pada keefektifan kekuasaan.

Demikian pula, Jürgen Habermas mengembangkan teori komunikasi sebagai basis legitimasi. Menurutnya, kekuasaan politik sah hanya jika terbentuk melalui diskursus rasional yang tidak terdistorsi, di mana warga negara dapat menyampaikan pendapat secara setara.³ Kekuasaan yang timbul dari dominasi atau manipulasi dianggap tidak memiliki legitimasi sejati.

5.2.       Teori Kekuasaan Kritis

Tradisi teori kritis, yang berkembang dari Mazhab Frankfurt, menyoroti aspek ideologis dan struktural dari kekuasaan, khususnya dalam masyarakat kapitalis modern. Herbert Marcuse, misalnya, dalam One-Dimensional Man, menyatakan bahwa kekuasaan modern telah menjadi alat penjinakan kesadaran, di mana kontrol tidak lagi bersifat represif secara kasar, tetapi berlangsung melalui integrasi ideologis dan konsumsi massal.⁴

Karl Marx merupakan pendahulu utama pendekatan ini, dengan mengemukakan bahwa kekuasaan negara tidak netral, melainkan merupakan alat kelas dominan untuk mempertahankan struktur ekonomi kapitalis.⁵ Dalam kerangka Marxian, kekuasaan tidak dipahami sebagai relasi normatif, melainkan sebagai ekspresi dari konflik kelas yang tidak terhindarkan.

Antonio Gramsci memperluas perspektif ini dengan memperkenalkan konsep hegemoni, yaitu bentuk kekuasaan yang beroperasi bukan melalui pemaksaan, melainkan melalui persetujuan dan internalisasi ideologi oleh masyarakat.⁶ Hegemoni bekerja melalui institusi-institusi seperti pendidikan, media, dan agama, yang membentuk kesadaran kolektif tanpa disadari oleh individu.

Dalam pengembangan mutakhir, Louis Althusser menyatakan bahwa negara mempertahankan kekuasaannya melalui dua aparatus: aparat represif negara (polisi, tentara, pengadilan) dan aparat ideologis negara (sekolah, keluarga, media).⁷ Dengan demikian, kekuasaan modern adalah jaringan kompleks yang mencakup dimensi simbolik dan material secara bersamaan.

5.3.       Teori Kekuasaan Post-Strukturalis dan Dekonstruktif

Berbeda dengan pendekatan kritis yang masih menyisakan struktur besar (seperti kelas atau negara), teori post-strukturalis, terutama yang dikembangkan oleh Michel Foucault, menekankan bahwa kekuasaan tidak berpusat dan tidak bisa direduksi menjadi satu struktur tunggal.

Dalam Discipline and Punish, Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan modern bekerja melalui mekanisme disipliner: pengawasan, normalisasi, dan klasifikasi.⁸ Kekuasaan tidak hanya menindas, tetapi membentuk subjek, mengatur tubuh, dan mengonstruksi pengetahuan. Foucault menyebutnya sebagai biopolitik—pengaturan kehidupan manusia oleh kekuasaan negara melalui statistik, demografi, dan kebijakan kesehatan.⁹

Selanjutnya, Foucault juga memperkenalkan konsep power/knowledge, yakni bahwa semua pengetahuan selalu berkaitan dengan struktur kekuasaan.¹⁰ Tidak ada wacana yang sepenuhnya netral atau bebas dari relasi kekuasaan, termasuk wacana ilmiah.

Pendekatan post-strukturalis menolak klaim universalisme dan stabilitas. Dalam kerangka ini, kekuasaan selalu terbuka untuk resistansi, dan diskursus-diskursus yang dominan harus selalu dikaji ulang melalui dekonstruksi.¹¹


Kesimpulan Sementara

Tiga teori utama kekuasaan—legitimasi, kritis, dan post-strukturalis—menunjukkan bahwa kekuasaan adalah fenomena kompleks yang tidak dapat dipahami dari satu sudut pandang saja. Teori legitimasi menjelaskan syarat-syarat keabsahan kekuasaan, teori kritis membongkar fungsi ideologis dan material kekuasaan, sementara teori post-strukturalis menelusuri operasi kekuasaan dalam wacana dan praktik sehari-hari. Dengan merujuk pada ketiganya, kita memperoleh alat analisis yang tajam untuk membaca realitas politik dan sosial kontemporer secara lebih mendalam dan reflektif.


Footnotes

[1]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 215–245.

[2]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 136–140.

[3]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 107–113.

[4]                Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press, 1964), 26–40.

[5]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (London: Penguin Books, 2002), 75–89.

[6]                Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 12–15.

[7]                Louis Althusser, “Ideology and Ideological State Apparatuses,” in Lenin and Philosophy and Other Essays, trans. Ben Brewster (New York: Monthly Review Press, 1971), 127–186.

[8]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 195–228.

[9]                Michel Foucault, The Birth of Biopolitics: Lectures at the Collège de France, 1978–1979, ed. Michel Senellart, trans. Graham Burchell (New York: Palgrave Macmillan, 2008), 3–5.

[10]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 51–52.

[11]             Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–293.


6.           Kekuasaan dan Etika

Kekuasaan, sebagai kapasitas untuk memengaruhi, mengarahkan, atau mengendalikan tindakan dan kehendak orang lain, senantiasa melibatkan pertanyaan etis. Hubungan antara kekuasaan dan etika menjadi sangat penting, karena kekuasaan dapat digunakan untuk mewujudkan keadilan, tetapi juga dapat beralih menjadi alat penindasan, manipulasi, dan kekerasan. Dalam sejarah filsafat, persoalan ini selalu menempati posisi sentral, karena menyangkut pertanggungjawaban moral terhadap tindakan politis dan sosial.

6.1.       Kekuasaan dan Dilema Etis

Salah satu dilema utama dalam pembahasan ini adalah apakah kekuasaan memiliki muatan etis inheren, atau apakah ia netral secara moral. Pandangan realis seperti yang diajukan oleh Niccolò Machiavelli dalam The Prince menekankan bahwa kekuasaan harus dilihat dari segi efektivitas, bukan moralitas.¹ Seorang penguasa yang baik bukanlah mereka yang selalu berbuat benar menurut norma etika universal, melainkan mereka yang berhasil menjaga stabilitas dan kekuasaan negara, bahkan jika harus melanggar prinsip-prinsip moral konvensional.

Namun pandangan ini ditentang keras oleh pemikir moral seperti Immanuel Kant, yang menegaskan bahwa tindakan moral harus tunduk pada imperatif kategoris, yakni prinsip bahwa manusia tidak boleh dijadikan sebagai sarana semata, melainkan selalu sebagai tujuan.² Dalam kerangka ini, kekuasaan yang menggunakan manusia sebagai alat untuk ambisi politik atau ekonomi bertentangan dengan hukum moral universal.

Kondisi modern dan kontemporer memperumit dilema etis ini, karena kekuasaan kini tidak hanya berwujud koersif (fisik), tetapi juga simbolik, struktural, dan bahkan algoritmik.³ Oleh karena itu, pertanyaan etis tidak hanya diarahkan kepada aktor politik individual, tetapi juga kepada sistem dan struktur kekuasaan yang lebih besar.

6.2.       Kekuasaan, Keadilan, dan Legitimasi Moral

Kekuasaan etis adalah kekuasaan yang dijalankan dalam kerangka keadilan substantif dan legitimasi moral. Dalam teori keadilan John Rawls, kekuasaan politik harus dijalankan atas dasar prinsip keadilan yang disepakati oleh warga negara dalam posisi yang setara dan adil (veil of ignorance).⁴ Kekuasaan yang tidak tunduk pada prinsip ini akan menghasilkan ketimpangan dan eksklusi sosial yang tidak dapat dibenarkan secara moral.

Hannah Arendt membedakan antara kekuasaan sejati (power) dan kekuatan koersif (violence).⁵ Menurutnya, kekuasaan yang sejati bersumber dari konsensus dan tindakan kolektif, bukan dari dominasi atau paksaan. Dengan kata lain, kekuasaan yang etis bersandar pada kemampuan bersama untuk bertindak secara deliberatif, bukan sekadar kapasitas untuk memerintah.

Sementara itu, Iris Marion Young menekankan pentingnya dimensi etika dalam struktur kekuasaan sosial, seperti gender, ras, dan kelas.⁶ Kekuasaan yang tampak “netral” sering kali menyembunyikan ketidakadilan struktural yang sistematis. Oleh karena itu, etika kekuasaan juga harus menyentuh keadilan distributif dan pengakuan terhadap keragaman identitas sosial.

6.3.       Kekuasaan dan Tanggung Jawab Moral

Etika kekuasaan bukan hanya soal niat, tetapi juga tanggung jawab terhadap akibat dari penggunaan kekuasaan. Dalam hal ini, Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility mengingatkan bahwa dalam era modern, kekuasaan manusia (terutama teknologi dan politik) telah mencapai skala yang sangat besar, sehingga membutuhkan etika tanggung jawab yang baru dan lebih jauh jangkauannya.⁷

Kekuasaan, menurut Jonas, harus mempertimbangkan dampaknya tidak hanya terhadap manusia saat ini, tetapi juga terhadap generasi yang akan datang. Perspektif ini penting dalam menghadapi kekuasaan global yang kini menyangkut persoalan lingkungan, ekonomi, dan teknologi.

6.4.       Kekuasaan sebagai Emansipasi atau Represi

Dimensi etis kekuasaan juga menyangkut pertanyaan: apakah kekuasaan memperkuat otonomi manusia, atau justru memperlemah kebebasannya? Dalam kerangka emansipatoris, Paulo Freire melihat kekuasaan bukan sebagai alat dominasi, tetapi sebagai sarana untuk membangkitkan kesadaran kritis dan membebaskan diri dari penindasan struktural.⁸ Kekuasaan yang etis adalah kekuasaan yang memampukan individu dan komunitas untuk menjadi subjek aktif perubahan sosial.

Sebaliknya, kekuasaan yang represif cenderung menegasikan kebebasan, memaksakan kehendak tunggal, dan menghilangkan ruang partisipasi. Dalam konteks ini, resistansi terhadap kekuasaan yang menindas menjadi kewajiban moral, sebagaimana digambarkan dalam pemikiran postkolonial dan feminis kontemporer.


Kesimpulan Sementara

Hubungan antara kekuasaan dan etika adalah medan yang kompleks dan seringkali penuh ketegangan. Di satu sisi, kekuasaan diperlukan untuk menegakkan hukum dan ketertiban; di sisi lain, ia dapat dengan mudah tergelincir menjadi instrumen ketidakadilan. Karena itu, kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari prinsip tanggung jawab, keadilan, dan martabat manusia. Setiap bentuk kekuasaan yang sah harus diuji tidak hanya dari efektivitasnya, tetapi juga dari dimensi etis dan moralnya, baik secara individual maupun struktural.


Footnotes

[1]                Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 55–65.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 36–38.

[3]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 8–10.

[4]                John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 11–15.

[5]                Hannah Arendt, On Violence (New York: Harcourt, 1970), 44–56.

[6]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 15–23.

[7]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas and David Herr (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 121–125.

[8]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 44–55.


7.           Kekuasaan dalam Konteks Kekinian

Kekuasaan dalam dunia kontemporer telah mengalami transformasi fundamental, baik dari segi bentuk, mekanisme, maupun aktor-aktornya. Jika pada masa klasik kekuasaan terutama diidentikkan dengan otoritas negara dan lembaga-lembaga formal, maka dalam era globalisasi, digitalisasi, dan neoliberalisme, kekuasaan menjadi lebih tersebar, tidak kasat mata, dan terkadang bersifat anonim. Filsafat kekuasaan dewasa ini tidak lagi cukup hanya membahas struktur politik formal, tetapi harus menyelami dinamika kekuasaan dalam media, teknologi, ekonomi global, dan identitas budaya. Dalam bagian ini akan dibahas beberapa wajah kontemporer kekuasaan yang menonjol: kekuasaan teknologi dan data, kekuasaan media dan opini publik, kekuasaan global dan kapitalisme, serta kekuasaan dalam masyarakat pascakolonial dan identitas.

7.1.       Kekuasaan Teknologi dan Pengawasan Digital

Perkembangan teknologi digital telah menciptakan bentuk kekuasaan baru yang bersifat algoritmik, prediktif, dan menyeluruh. Dalam karyanya yang monumental, The Age of Surveillance Capitalism, Shoshana Zuboff mengidentifikasi munculnya rezim kekuasaan baru yang disebutnya sebagai kapitalisme pengawasan—model ekonomi-politik di mana data perilaku manusia dikumpulkan, dianalisis, dan dimonetisasi oleh korporasi teknologi.¹

Berbeda dari model kekuasaan tradisional yang bersifat vertikal, kekuasaan digital bersifat tersembunyi dan otomatis, dioperasikan oleh sistem kecerdasan buatan yang tidak selalu dapat dipertanggungjawabkan secara etis.² Zuboff menyebutnya sebagai “kekuasaan instrumental” yang tidak lagi sekadar merespons kebutuhan pengguna, tetapi mengontrol masa depan mereka dengan mengarahkan pilihan dan tindakan

Dalam kerangka ini, kekuasaan tidak hanya berada pada negara, tetapi pada entitas non-negara seperti Google, Facebook, Amazon, dan platform digital lainnya yang memiliki kapasitas untuk membentuk realitas sosial, perilaku konsumsi, dan bahkan preferensi politik individu.

7.2.       Kekuasaan Media dan Konstruksi Opini Publik

Media massa dan media sosial berperan besar dalam mengkonstruksi dan menyebarkan wacana kekuasaan, dengan kekuatan membentuk persepsi, emosi kolektif, dan opini publik. Noam Chomsky dan Edward S. Herman dalam Manufacturing Consent mengungkap bagaimana media bekerja sebagai mekanisme hegemonik yang menyaring informasi dan menanamkan kepatuhan terhadap sistem kapitalis dan kekuasaan politik dominan.⁴

Media bukanlah saluran netral, melainkan arena perebutan makna dan legitimasi, tempat aktor-aktor politik dan korporasi memperebutkan kontrol terhadap narasi publik. Hal ini menciptakan bentuk kekuasaan simbolik yang sangat kuat, karena menyentuh kesadaran, emosi, dan identitas masyarakat.⁵

Era media sosial memperumit dinamika ini. Algoritma dan logika viralitas sering kali memprioritaskan konten sensasional, emosional, dan polaritatif, yang secara tidak langsung memperkuat kekuasaan populisme, disinformasi, dan kontrol psikologis massal.⁶ Dalam konteks ini, filsafat kekuasaan kontemporer perlu merespons fenomena manipulasi digital dan penggiringan opini yang terselubung dalam sistem informasi.

7.3.       Kekuasaan Global dan Kapitalisme Neoliberal

Globalisasi dan kapitalisme neoliberal telah melahirkan bentuk kekuasaan yang melampaui batas-batas negara, di mana kekuasaan dipegang oleh lembaga-lembaga ekonomi global seperti IMF, WTO, dan korporasi multinasional. Michael Hardt dan Antonio Negri dalam Empire menyebut fenomena ini sebagai lahirnya “Imperium”—suatu bentuk kekuasaan global yang tidak memiliki pusat tetap, tidak sepenuhnya negara, dan bekerja melalui jaringan hukum, pasar, dan teknologi.⁷

Dalam sistem ini, kekuasaan bersifat desentralistik tetapi sangat dominan, menanamkan nilai-nilai individualisme, kompetisi, dan komodifikasi dalam hampir semua aspek kehidupan. Kekuasaan neoliberal tidak bekerja secara represif, melainkan mendisiplinkan subjek melalui insentif ekonomi dan logika pasar.⁸

Hal ini menguatkan argumen bahwa kekuasaan kontemporer lebih bersifat biopolitik dan ekonomistik, mengatur tubuh, kesehatan, konsumsi, dan pilihan hidup individu melalui mekanisme halus yang tampaknya netral namun sangat ideologis.

7.4.       Kekuasaan dan Identitas dalam Masyarakat Pascakolonial

Kekuasaan dalam konteks kontemporer juga harus dilihat dalam kerangka identitas dan politik pengakuan, terutama di dunia pascakolonial. Edward Said dalam Orientalism menunjukkan bagaimana kekuasaan kolonial bekerja bukan hanya melalui senjata dan birokrasi, tetapi juga melalui penciptaan wacana tentang “Timur” sebagai liyan yang inferior.⁹

Kekuasaan pascakolonial tetap hidup dalam bentuk rasisme struktural, marginalisasi budaya, dan dominasi bahasa, yang menjadikan subjek-subjek non-Barat tetap berada dalam posisi subordinat, bahkan setelah kemerdekaan formal.¹⁰ Pemikiran Gayatri Chakravorty Spivak menyoroti bagaimana “subaltern” (kelompok paling terpinggirkan) tidak bisa berbicara dalam sistem wacana yang hegemonik, sehingga filsafat kekuasaan kontemporer harus memperhitungkan siapa yang berbicara, siapa yang dibungkam, dan siapa yang diberi hak definisi.¹¹

7.5.       Kekuasaan, Resistansi, dan Transformatifitas Sosial

Meskipun kekuasaan dalam konteks kekinian tampak masif dan menyeluruh, hal ini tidak berarti tidak ada ruang resistansi. Michel Foucault menyatakan bahwa “di mana ada kekuasaan, di situ ada resistansi.”¹² Filsafat kekuasaan dewasa ini berupaya untuk tidak hanya menganalisis struktur kekuasaan, tetapi juga menggali potensi resistansi, pembebasan, dan transformasi sosial.

Gerakan sosial baru seperti ekofeminisme, aktivisme digital, komunitas akar rumput, hingga gerakan dekolonisasi pendidikan, merupakan bentuk-bentuk resistansi kontemporer yang menantang kekuasaan yang hegemonik. Dalam konteks ini, kekuasaan tidak hanya dilawan secara frontal, tetapi juga diinterupsi, diganggu, dan digerogoti melalui praktik-praktik kultural dan diskursif.


Kesimpulan Sementara

Kekuasaan dalam konteks kekinian tidak lagi dapat dipahami dalam kategori klasik semata. Ia telah berubah menjadi entitas yang bersifat terdistribusi, tersembunyi, dan multidimensi, yang bekerja melalui teknologi, ekonomi, budaya, dan diskursus. Oleh karena itu, filsafat kekuasaan kontemporer dituntut untuk lebih interdisipliner dan reflektif, menelaah bentuk-bentuk kekuasaan baru sekaligus menggagas cara-cara etis dan transformatif untuk meresponsnya.


Footnotes

[1]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 8–25.

[2]                Ibid., 33–41.

[3]                Ibid., 72–75.

[4]                Edward S. Herman and Noam Chomsky, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 2–3.

[5]                Pierre Bourdieu, On Television, trans. Priscilla Parkhurst Ferguson (New York: The New Press, 2001), 21–22.

[6]                Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 110–115.

[7]                Michael Hardt and Antonio Negri, Empire (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), xi–xv.

[8]                Wendy Brown, Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution (New York: Zone Books, 2015), 29–33.

[9]                Edward W. Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1978), 1–4.

[10]             Ibid., 202–203.

[11]             Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.

[12]             Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 95–96.


8.           Kritik dan Problematika Kekuasaan

Kekuasaan, sebagai entitas sosial dan filosofis, tidak hanya dipelajari dalam kerangka teoritis dan normatif, tetapi juga menjadi subjek kritik yang intensif. Kritik terhadap kekuasaan mencerminkan kesadaran bahwa kekuasaan, meskipun sering dianggap sebagai syarat tertib sosial dan efektivitas politik, juga membawa potensi bahaya yang serius terhadap kebebasan, keadilan, dan martabat manusia. Dalam sejarah dan kontemporer, kekuasaan telah terbukti dapat berubah menjadi instrumen dominasi, dehumanisasi, bahkan kekerasan sistemik. Oleh karena itu, bagian ini mengulas beberapa titik kritik utama terhadap kekuasaan: absolutisme dan otoritarianisme, kekuasaan yang represif dan hegemonik, problem epistemik dalam kekuasaan, serta kritik etis dan transformatif.

8.1.       Kekuasaan Absolut dan Otoritarianisme

Salah satu kritik tertua dan paling mendasar terhadap kekuasaan adalah bahaya absolutisme, yaitu ketika kekuasaan tidak memiliki batas atau pengawasan institusional dan moral. Lord Acton terkenal menyatakan, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”¹

Kekuasaan yang tidak terbatas cenderung membangun struktur otoritarian, di mana kehendak satu individu atau kelompok kecil mendominasi keseluruhan masyarakat. Pemikiran klasik seperti Montesquieu dalam The Spirit of the Laws telah menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan sebagai antisipasi terhadap konsentrasi kekuasaan yang mengarah pada tirani.² Kritik ini relevan dalam menghadapi rezim kontemporer yang menggunakan legitimasi elektoral untuk mengukuhkan kekuasaan eksekutif tanpa akuntabilitas.

8.2.       Kekuasaan sebagai Represi dan Hegemoni

Kekuasaan kerap kali tidak tampak dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi dalam mekanisme represi simbolik dan hegemoni ideologis. Herbert Marcuse, dalam One-Dimensional Man, mengkritik masyarakat industri modern yang menciptakan bentuk kekuasaan represif melalui pemenuhan semu kebutuhan manusia, yang justru mematikan kapasitas kritis dan kesadaran emansipatoris.³ Kekuasaan dalam bentuk ini memanipulasi kesadaran individu agar merasa puas dalam keterkungkungan.

Demikian pula, Antonio Gramsci menunjukkan bahwa kekuasaan dalam masyarakat kapitalis modern bekerja lebih efektif melalui hegemoni kultural, bukan melalui pemaksaan langsung.⁴ Dalam hegemoni, ideologi dominan diinternalisasi sebagai “kebenaran umum,” dan dengan demikian mengaburkan relasi dominasi yang sebenarnya terjadi. Kritik ini menggarisbawahi bahwa kekuasaan dapat melanggengkan ketidakadilan dengan cara yang tidak terlihat.

8.3.       Problem Epistemik dalam Kekuasaan

Kekuasaan tidak hanya mengontrol tindakan, tetapi juga memengaruhi pengetahuan, bahasa, dan struktur berpikir. Michel Foucault mengemukakan bahwa setiap rezim kekuasaan menciptakan "rezim kebenaran" tertentu, yaitu mekanisme untuk menentukan mana yang dianggap benar atau salah dalam suatu masyarakat.⁵ Dalam konteks ini, pengetahuan bukan sesuatu yang netral, tetapi dibentuk dan dikelola oleh kekuasaan.

Kritik epistemik ini menjadi sangat penting dalam menghadapi manipulasi informasi, fabrikasi narasi sejarah, dan disinformasi dalam era digital. Kekuasaan menjadi problematis bukan karena paksaan fisik, tetapi karena kemampuannya mengontrol kesadaran melalui produksi wacana dan sistem pendidikan.

8.4.       Kekuasaan dan Kekerasan Struktural

Kritik kontemporer juga menyoroti kekuasaan dalam bentuk kekerasan struktural—yaitu bentuk dominasi sistemik yang menyebabkan penderitaan, eksploitasi, atau pengucilan sosial tanpa pelaku langsung. Johan Galtung mendefinisikan kekerasan struktural sebagai kondisi di mana potensi dasar manusia untuk berkembang dirintangi oleh struktur sosial yang tidak adil.⁶

Contohnya dapat ditemukan dalam sistem ekonomi neoliberal, ketimpangan akses pendidikan dan kesehatan, serta kebijakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Kekuasaan yang tersembunyi dalam struktur inilah yang paling sulit diidentifikasi dan dilawan, karena sering kali dianggap sebagai kondisi alamiah atau netral.

8.5.       Kritik Etis dan Jalan Transformatif

Kekuasaan yang tidak dikritisi dapat mengarah pada ketidakadilan sistemik dan dehumanisasi. Karena itu, kritik etis terhadap kekuasaan bertujuan bukan untuk meniadakan kekuasaan, tetapi untuk mentransformasikannya. Hannah Arendt menekankan bahwa kekuasaan sejati bersifat kolektif dan partisipatif, berbeda dari kekerasan yang bersifat unilateral.⁷

Kritik juga datang dari pendekatan feminis dan pascakolonial yang memperlihatkan bagaimana kekuasaan menindas melalui kategori gender, ras, dan etnisitas. bell hooks menunjukkan bahwa kekuasaan patriarkal tidak hanya mendominasi perempuan, tetapi juga membentuk struktur psikologis yang menindas bagi semua pihak.⁸ Maka, kekuasaan harus dikritisi dan direkonstruksi untuk membentuk relasi yang inklusif, dialogis, dan membebaskan.


Kesimpulan Sementara

Kritik terhadap kekuasaan tidak dimaksudkan untuk menyangkal perlunya kekuasaan dalam kehidupan sosial, tetapi untuk memastikan bahwa kekuasaan dijalankan secara etis, adil, dan manusiawi. Kekuasaan yang tidak dikritisi cenderung melahirkan dominasi dan eksklusi. Karena itu, filsafat kekuasaan harus senantiasa bersikap reflektif dan transformatif, tidak hanya mempelajari bagaimana kekuasaan bekerja, tetapi juga menggagas bagaimana kekuasaan dapat dikelola agar tidak melukai martabat manusia dan kemanusiaan itu sendiri.


Footnotes

[1]                John Emerich Edward Dalberg-Acton, Essays on Freedom and Power (Boston: Beacon Press, 1949), 364.

[2]                Charles de Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. and ed. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), Book XI, ch. 6.

[3]                Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964), 50–60.

[4]                Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 12–15.

[5]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–133.

[6]                Johan Galtung, “Violence, Peace, and Peace Research,” Journal of Peace Research 6, no. 3 (1969): 167–191.

[7]                Hannah Arendt, On Violence (New York: Harcourt, 1970), 44–56.

[8]                bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center, 2nd ed. (Cambridge, MA: South End Press, 2000), 18–20.


9.           Penutup

Kajian filosofis tentang kekuasaan memperlihatkan bahwa kekuasaan bukan sekadar fenomena politik atau hukum, tetapi merupakan realitas multidimensional yang menyentuh aspek ontologis, epistemologis, aksiologis, dan teleologis dari kehidupan manusia. Dari warisan pemikiran klasik seperti Plato dan Aristoteles yang menekankan keadilan dan kebajikan dalam penggunaan kekuasaan, hingga kritik postmodern dan postkolonial atas dominasi simbolik dan struktural, filsafat kekuasaan telah berkembang menjadi suatu bidang refleksi yang kompleks dan kritis.

Dalam kajian ini, telah dibahas bagaimana kekuasaan didefinisikan, dikonstruksikan, dilegitimasi, dan dikritisi dalam berbagai kerangka teoretis. Max Weber mengingatkan bahwa legitimasi kekuasaan adalah kunci stabilitas sosial, sementara John Rawls dan Jürgen Habermas menekankan bahwa kekuasaan politik harus tunduk pada prinsip keadilan dan rasionalitas diskursif.¹ Pemikir kritis seperti Karl Marx, Antonio Gramsci, dan Michel Foucault menggeser fokus kajian dari kekuasaan formal ke kekuasaan struktural dan ideologis yang bekerja secara tersembunyi dalam bahasa, wacana, dan institusi sosial.²

Konteks kontemporer menunjukkan bahwa kekuasaan tidak lagi terpusat pada negara atau institusi formal, tetapi tersebar melalui media digital, kapitalisme global, sistem pendidikan, teknologi algoritmik, dan wacana identitas.³ Hal ini memunculkan bentuk kekuasaan yang lebih terselubung namun lebih menyeluruh, sebagaimana digambarkan oleh Shoshana Zuboff dalam konsep “kapitalisme pengawasan” yang mengendalikan perilaku melalui data dan prediksi.⁴

Kritik terhadap kekuasaan menjadi penting bukan karena kekuasaan harus ditolak secara mutlak, tetapi karena kekuasaan yang tidak dikritisi cenderung mengalami absolutisasi, dehumanisasi, dan penindasan. Dalam hal ini, filsafat kekuasaan berperan sebagai alat refleksi normatif yang mempertanyakan bagaimana kekuasaan seharusnya dijalankan agar tidak melanggar prinsip moral, keadilan, dan kebebasan.

Sejumlah prinsip etis perlu ditegaskan dalam mengelola kekuasaan secara bertanggung jawab:

·                     Pertama, legitimasi kekuasaan harus dibangun di atas basis moral dan partisipatif, bukan sekadar kekuatan hukum formal.⁵

·                     Kedua, kekuasaan harus diarahkan untuk membebaskan dan memberdayakan, bukan untuk mendominasi dan mengeksploitasi.⁶

·                     Ketiga, kekuasaan harus terbuka terhadap kritik dan resistansi, sebagai bagian dari dinamika demokrasi dan upaya memperbaiki ketimpangan sosial yang ada.⁷

Dengan demikian, refleksi filsafat atas kekuasaan tidak hanya memperkaya pemahaman teoretis, tetapi juga menghadirkan kesadaran kritis terhadap struktur sosial, dinamika politik, dan praktik kehidupan sehari-hari. Filsafat kekuasaan bukanlah ajakan untuk menarik diri dari ranah politik, melainkan dorongan untuk terlibat secara etis, reflektif, dan transformatif dalam pergulatan kehidupan bersama.

Di tengah dunia yang terus berubah—dengan tantangan otoritarianisme digital, ketimpangan global, dan polarisasi sosial—filsafat kekuasaan tetap relevan sebagai medan perenungan etis dan politik. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan sejati bukanlah dominasi, melainkan kemampuan untuk mewujudkan kebebasan bersama dalam tatanan yang adil dan bermartabat.


Footnotes

[1]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 215–245; John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 137–143; Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 107–113.

[2]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (London: Penguin Books, 2002), 67–89; Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 12–25; Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 195–228.

[3]                Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 110–115; Wendy Brown, Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution (New York: Zone Books, 2015), 29–33.

[4]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 8–25.

[5]                Charles de Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. and ed. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), Book XI, ch. 6.

[6]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 44–55.

[7]                bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center, 2nd ed. (Cambridge, MA: South End Press, 2000), 18–30; Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 95–96.


Daftar Pustaka

Arendt, H. (1970). On violence. Harcourt.

Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power (J. B. Thompson, Ed.; G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Harvard University Press.

Bourdieu, P. (2001). On television (P. P. Ferguson, Trans.). The New Press.

Brown, W. (2015). Undoing the demos: Neoliberalism’s stealth revolution. Zone Books.

Chomsky, N., & Herman, E. S. (1988). Manufacturing consent: The political economy of the mass media. Pantheon Books.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1990). The history of sexuality, Vol. 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Foucault, M. (2008). The birth of biopolitics: Lectures at the Collège de France, 1978–1979 (M. Senellart, Ed.; G. Burchell, Trans.). Palgrave Macmillan.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Galtung, J. (1969). Violence, peace, and peace research. Journal of Peace Research, 6(3), 167–191. https://doi.org/10.1177/002234336900600301

Gramsci, A. (1971). Selections from the prison notebooks (Q. Hoare & G. Nowell Smith, Eds. & Trans.). International Publishers.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Hardt, M., & Negri, A. (2000). Empire. Harvard University Press.

hooks, b. (2000). Feminist theory: From margin to center (2nd ed.). South End Press.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age (H. Jonas & D. Herr, Trans.). University of Chicago Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Lukes, S. (2005). Power: A radical view (2nd ed.). Palgrave Macmillan.

Machavelli, N. (1998). The prince (H. C. Mansfield, Trans.). University of Chicago Press.

Marcuse, H. (1964). One-dimensional man: Studies in the ideology of advanced industrial society. Beacon Press.

Marx, K., & Engels, F. (2002). The communist manifesto (S. Moore, Trans.). Penguin Books.

Montesquieu, C. de. (1989). The spirit of the laws (A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Eds. & Trans.). Cambridge University Press.

Nietzsche, F. (2003). Thus spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books.

Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.

Rawls, J. (1993). Political liberalism. Columbia University Press.

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.

Russell, B. (1938). Power: A new social analysis. George Allen & Unwin.

Rousseau, J.-J. (2004). The social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin Books.

Said, E. W. (1978). Orientalism. Vintage Books.

Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.

Thomas Aquinas. (1947). Summa Theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Tufekci, Z. (2017). Twitter and tear gas: The power and fragility of networked protest. Yale University Press.

Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.). University of California Press.

Young, I. M. (1990). Justice and the politics of difference. Princeton University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar