Kekuasaan (Power)
Kajian Historis, Konseptual, dan Kritis atas Hakikat
dan Legitimasi Kekuasaan
Alihkan ke: Konsep-Konsep
Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji konsep kekuasaan (power) dari
perspektif filsafat secara menyeluruh, dengan menelusuri dimensi historis,
konseptual, dan kritis atas hakikat serta legitimasi kekuasaan. Dimulai dari
gagasan klasik Plato dan Aristoteles yang menekankan keadilan dan kebajikan
sebagai dasar kekuasaan, pembahasan bergerak melalui pemikiran modern seperti
kontrak sosial Hobbes dan Rousseau, hingga pada analisis struktural dan
diskursif dalam pemikiran Marx, Weber, Gramsci, dan Foucault. Kajian ini juga
membahas dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, dan teleologis dari
kekuasaan, serta menelaah berbagai teori kekuasaan seperti teori legitimasi,
teori kritis, dan teori post-strukturalis. Dalam konteks kekinian, artikel ini
mengeksplorasi bagaimana kekuasaan bekerja melalui media digital, kapitalisme
global, politik identitas, dan algoritma pengawasan, serta menunjukkan bahwa
kekuasaan kini bersifat tersebar dan simbolik. Artikel ini menutup dengan
refleksi etis dan kritis terhadap kekuasaan, menekankan pentingnya pengelolaan
kekuasaan yang adil, partisipatif, dan membebaskan. Melalui pendekatan
interdisipliner dan filosofis, artikel ini bertujuan untuk memperluas pemahaman
mengenai dinamika kekuasaan dan mendorong kesadaran kritis dalam kehidupan
sosial-politik kontemporer.
Kata Kunci: Filsafat kekuasaan; legitimasi; hegemoni;
kapitalisme pengawasan; teori kritis; diskursus; etika politik; resistansi.
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat tentang Konsep Kekuasaan
1.
Pendahuluan
Kekuasaan (power) merupakan
salah satu konsep yang paling mendasar, kompleks, dan problematik dalam ranah
filsafat, terutama dalam cabang filsafat politik. Sejak masa Yunani Kuno hingga
era postmodern, para filsuf telah bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis mengenai kekuasaan: Apa hakikat kekuasaan? Dari
mana ia berasal? Apa yang membuatnya sah atau tidak sah? Dan bagaimana ia
digunakan—atau disalahgunakan—dalam kehidupan manusia?
Dalam kehidupan
bernegara, kekuasaan sering kali menjadi poros utama penataan hukum, kebijakan
publik, serta relasi antara penguasa dan rakyat. Tetapi, kekuasaan bukanlah
semata-mata instrumen politik; ia adalah relasi sosial yang sarat makna filosofis dan
etis, karena menyangkut kendali, dominasi, resistansi, bahkan
pembebasan manusia. Michel Foucault, misalnya, menyatakan bahwa kekuasaan tidak
hanya berada di puncak lembaga atau institusi, tetapi menyebar dalam jaringan
relasi sosial yang paling mikro, seperti bahasa, pengetahuan, dan tubuh. Kekuasaan,
dalam pandangannya, "bukanlah sesuatu yang dimiliki, melainkan sesuatu
yang dijalankan."¹
Gagasan tentang
kekuasaan telah mengalami transformasi seiring perkembangan zaman dan konteks
historis. Dalam tradisi Yunani Kuno, filsuf seperti Plato dan Aristoteles
memahami kekuasaan sebagai bagian dari pencarian terhadap kebaikan bersama
(common good) dan keadilan. Plato, misalnya, menempatkan kekuasaan ideal di
tangan filsuf-raja
yang mampu memimpin berdasarkan kearifan dan keadilan, bukan kepentingan pribadi.²
Sebaliknya, dalam era modern, Niccolò Machiavelli memandang kekuasaan secara
lebih realistis sebagai sarana mempertahankan kendali politik,
bahkan jika itu harus melalui kelicikan dan kekerasan.³
Kekuasaan juga
menjadi medan tarik-menarik antara legitimasi dan dominasi. Max Weber
membedakan tiga bentuk legitimasi kekuasaan: tradisional, kharismatik, dan legal-rasional,
masing-masing menunjukkan basis keabsahan yang berbeda terhadap otoritas.⁴
Sementara itu, pemikir-pemikir kritis seperti Karl Marx memandang kekuasaan
sebagai ekspresi dari relasi kelas dalam struktur
ekonomi yang timpang, di mana negara menjadi alat dominasi kelas penguasa atas
kelas proletar.⁵
Dalam konteks
kontemporer, kekuasaan semakin terfragmentasi dan kompleks, terutama dengan munculnya
aktor-aktor non-negara seperti korporasi global, media, dan kecerdasan buatan
(AI). Kekuasaan kini tidak hanya bersifat vertikal—dari atas ke bawah—melainkan
juga bersifat horizontal dan tersembunyi, memengaruhi cara manusia berpikir,
bertindak, bahkan memahami identitas dirinya.⁶ Dengan demikian, kajian
filosofis atas kekuasaan tidak hanya penting, tetapi mendesak,
karena menyentuh persoalan moral, politik, dan ontologis yang mendalam dalam
peradaban manusia.
Artikel ini
bertujuan untuk menyajikan kajian filosofis yang sistematis dan mendalam
mengenai konsep kekuasaan, baik dari sisi historis, konseptual, maupun kritis.
Dengan memetakan berbagai pendekatan dan teori kekuasaan dari para pemikir
besar sepanjang sejarah, tulisan ini diharapkan dapat memberikan wawasan
komprehensif mengenai bagaimana kekuasaan dipahami, dijustifikasi, dan
dikritisi dalam ranah filsafat. Kajian ini juga akan menunjukkan relevansi
konsep kekuasaan dalam menghadapi tantangan-tantangan kontemporer seperti
otoritarianisme, disinformasi digital, dan politik identitas, serta bagaimana
manusia dapat menata kekuasaan secara etis dan berkeadaban.
Footnotes
[1]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 26.
[2]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D.
C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book V.
[3]
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield
(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 55–70.
[4]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of
California Press, 1978), 215–245.
[5]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto,
trans. Samuel Moore (London: Penguin Books, 2002), 67–89.
[6]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 8–12.
2.
Konsep Dasar Kekuasaan
Konsep kekuasaan (power) adalah salah satu tema paling esensial dalam filsafat politik, sosiologi, dan
ilmu sosial secara umum. Namun demikian, meskipun penting, kekuasaan tetap
merupakan konsep yang sulit didefinisikan secara tunggal,
karena sifatnya yang kompleks, multidimensi, dan kontekstual. Dalam filsafat,
kekuasaan tidak hanya dipahami sebagai kemampuan untuk memerintah, melainkan
sebagai relasi sosial, struktur simbolik, dan bahkan
kekuatan diskursif yang memengaruhi tindakan dan pikiran
manusia.
2.1.
Definisi Kekuasaan
Secara umum,
kekuasaan dapat didefinisikan sebagai kemampuan seorang atau sekelompok orang
untuk mempengaruhi,
mengendalikan, atau menentukan perilaku orang lain, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Bertrand Russell menyatakan bahwa "kekuasaan
adalah pokok utama dalam ilmu sosial, sebagaimana energi adalah konsep utama
dalam ilmu fisika."¹ Pernyataan ini menunjukkan bahwa kekuasaan bukan
sekadar alat politik, tetapi merupakan fenomena mendasar dalam struktur sosial.
Robert A. Dahl,
seorang ilmuwan politik terkemuka, mendefinisikan kekuasaan secara minimalis
sebagai situasi di mana “A memiliki
kekuasaan atas B sejauh A dapat membuat B melakukan sesuatu yang sebaliknya
tidak akan dilakukan B.”² Definisi ini menekankan aspek hubungan
antara dua pihak (relasi dua arah) serta adanya unsur kontrol atau dominasi.
Namun demikian, para
filsuf seperti Michel Foucault menolak pengertian kekuasaan yang hanya dipahami
dalam bentuk dominasi dari atas ke bawah. Bagi Foucault, kekuasaan bukanlah
sesuatu yang dimiliki, tetapi merupakan relasi
yang tersebar dan beroperasi dalam seluruh struktur sosial—termasuk
dalam lembaga, bahasa, norma, dan pengetahuan.³ Kekuasaan tidak selalu
represif, tetapi juga produktif: ia menciptakan identitas, membentuk wacana,
dan mengatur perilaku.
2.2.
Kekuasaan, Otoritas, dan Kekuatan: Distingsi
Konseptual
Dalam banyak
literatur filsafat dan sosiologi, penting untuk membedakan antara kekuasaan
(power), otoritas
(authority), dan kekuatan (force). Max Weber
merumuskan otoritas sebagai bentuk
kekuasaan yang dianggap sah (legitimate),
artinya diakui dan diterima oleh yang diperintah.⁴ Seseorang bisa saja memiliki
kekuasaan, namun belum tentu memiliki otoritas jika kekuasaannya tidak diakui
sebagai sah oleh masyarakat.
Sementara itu, kekuatan
(force) merujuk pada bentuk koersi fisik atau tekanan langsung,
seperti penggunaan kekerasan. Kekuasaan yang sejati tidak harus selalu
menggunakan kekuatan, melainkan dapat bekerja melalui legitimasi, simbol, atau
bahkan persetujuan yang terselubung.
Hannah Arendt, dalam
karyanya On
Violence, membedakan kekuasaan dari kekuatan secara tajam.
Menurutnya, “kekuasaan sesuai dengan keberadaan bersama manusia; kekuatan,
sebaliknya, berkaitan dengan kemampuan fisik individu.”⁵ Kekuasaan bersifat
kolektif dan muncul dari kesepakatan sosial, sementara kekuatan bersifat
koersif dan individual.
2.3.
Kekuasaan sebagai Relasi Sosial dan Struktur
Simbolik
Pemahaman kekuasaan
dalam pemikiran kontemporer cenderung mengarah pada pendekatan relasional.
Kekuasaan tidak dipandang sebagai benda atau atribut personal, melainkan
sebagai interaksi dinamis dalam jaringan sosial dan
simbolik. Misalnya, Pierre Bourdieu mengembangkan gagasan
tentang modal simbolik, yakni bentuk
kekuasaan yang berasal dari pengakuan sosial, seperti gelar akademik, prestise,
atau wacana keilmuan.⁶ Dalam perspektif ini, kekuasaan bekerja secara halus,
melalui struktur sosial yang dibentuk oleh bahasa, pendidikan, dan budaya.
Foucault juga
menekankan dimensi mikro-kekuasaan, yakni operasi kekuasaan
pada level yang paling sehari-hari: ruang kelas, rumah sakit, penjara, bahkan
keluarga.⁷ Oleh karena itu, memahami kekuasaan menuntut keterampilan filsafat
kritis untuk mendeteksi pola-pola dominasi yang tersembunyi di balik struktur
sosial yang tampaknya netral.
2.4.
Apakah Kekuasaan Itu Netral?
Pertanyaan normatif
yang penting dalam filsafat kekuasaan adalah: apakah kekuasaan itu netral,
jahat, atau baik? Para filsuf berbeda pandangan. Filsuf realis seperti
Machiavelli melihat kekuasaan secara netral—ia adalah alat yang bisa digunakan
untuk tujuan baik maupun buruk tergantung pada kecakapan dan kehendak
penguasa.⁸ Sebaliknya, filsuf etis seperti Rousseau dan Kant lebih menekankan
bahwa kekuasaan harus tunduk pada prinsip moral dan hukum universal.
Dengan demikian,
konsep kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari konteks: ia dapat
menjadi sarana pembebasan atau penindasan, tergantung pada bagaimana ia
dilembagakan, dilaksanakan, dan dipertanggungjawabkan.
Footnotes
[1]
Bertrand Russell, Power: A New Social Analysis (London: George
Allen & Unwin, 1938), 10.
[2]
Robert A. Dahl, “The Concept of Power,” Behavioral Science 2,
no. 3 (1957): 202.
[3]
Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction,
trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 92–95.
[4]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of
California Press, 1978), 212–215.
[5]
Hannah Arendt, On Violence (New York: Harcourt, 1970), 44.
[6]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, ed. John B.
Thompson, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1991), 163–165.
[7]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 25–28.
[8]
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield
(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 58–60.
3.
Sejarah Gagasan Kekuasaan dalam Filsafat
Gagasan tentang
kekuasaan tidak muncul dalam ruang hampa; ia merupakan hasil dari pergulatan
panjang pemikiran manusia atas tatanan sosial, hukum, moralitas, dan
pemerintahan. Dari era filsafat klasik hingga pemikiran kontemporer, konsep
kekuasaan telah mengalami pergeseran paradigmatik yang mencerminkan perubahan
zaman dan kepentingan historis-politik. Setiap fase sejarah filsafat menawarkan
pendekatan yang khas dalam memahami hakikat, fungsi, dan legitimasi kekuasaan.
3.1.
Kekuasaan dalam Filsafat Klasik Yunani
Pemikiran Yunani
Kuno menempatkan kekuasaan dalam kerangka etis dan kosmologis. Plato
(427–347 SM) dalam The Republic mengembangkan gagasan
tentang bentuk pemerintahan ideal, yaitu negara yang dipimpin oleh filsuf-raja,
yakni sosok yang memiliki pengetahuan tentang kebaikan dan keadilan sejati.¹
Kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk menegakkan keadilan (dikaiosune)
dan mengatur masyarakat secara harmonis berdasarkan struktur jiwa manusia.
Sementara itu, Aristoteles
(384–322 SM) dalam Politics memandang manusia sebagai zoon
politikon—makhluk yang secara kodrati hidup dalam polis.² Kekuasaan
bagi Aristoteles bukanlah alat dominasi, melainkan ekspresi dari kodrat sosial
manusia dalam mencapai eudaimonia (kebahagiaan) melalui
kehidupan berpolitik. Ia membedakan bentuk-bentuk pemerintahan seperti monarki,
aristokrasi, dan politeia, serta menjelaskan bentuk-bentuk degeneratifnya
seperti tirani dan oligarki.³
3.2.
Kekuasaan dalam Pemikiran Abad Pertengahan
Pada masa Abad
Pertengahan, pemikiran kekuasaan sangat dipengaruhi oleh teologi
Kristen. Agustinus (354–430 M) dalam The City
of God memandang kekuasaan duniawi sebagai konsekuensi dari
kejatuhan manusia dan ketidaksempurnaan dunia.⁴ Ia membedakan antara Civitas
Dei (kota Allah) dan Civitas Terrena (kota duniawi),
dengan penekanan bahwa kekuasaan politik hanya sah jika tunduk pada hukum
ilahi.
Pemikiran ini
diteruskan dan disistematkan oleh Thomas Aquinas (1225–1274 M),
yang berupaya mendamaikan filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen. Dalam Summa
Theologiae, Aquinas menegaskan bahwa kekuasaan bersumber dari
Tuhan, namun dijalankan oleh manusia melalui hukum alam dan hukum positif.
Kekuasaan sah jika diarahkan kepada kebaikan umum (bonum commune) dan bersifat
rasional serta adil.⁵
3.3.
Kekuasaan dalam Era Modern dan Pencerahan
Munculnya
negara-negara modern, perang sipil, dan krisis otoritas gereja mendorong filsuf
era modern mengembangkan teori kekuasaan yang lebih sekuler dan pragmatis.
Niccolò Machiavelli
(1469–1527) dalam The Prince mengembangkan pendekatan
realis terhadap kekuasaan, yang berfokus pada teknik memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan.⁶ Kekuasaan tidak lagi dikaitkan secara langsung
dengan moralitas; yang penting adalah efektivitas dan stabilitas pemerintahan.
Dalam pandangannya yang sering dianggap sinis, penguasa harus siap bersikap
licik, manipulatif, bahkan kejam, bila perlu.
Di sisi lain, muncul
teori kontrak
sosial yang berupaya menjelaskan asal-usul kekuasaan negara
secara rasional. Thomas Hobbes (1588–1679) dalam
Leviathan
memandang kekuasaan negara sebagai solusi atas state of nature yang anarkis dan
penuh konflik.⁷ Ia menekankan pentingnya kekuasaan absolut demi ketertiban.
Berbeda dari Hobbes, John Locke (1632–1704) berargumen
bahwa kekuasaan politik harus tunduk pada hukum dan hak-hak alamiah individu.⁸
Sementara itu, Jean-Jacques Rousseau
(1712–1778) mengembangkan konsep volonté générale (kehendak umum),
di mana kekuasaan negara sah jika merupakan ekspresi dari kehendak kolektif
rakyat.⁹
3.4.
Pemikiran Kekuasaan dalam Tradisi Kritis dan
Modern
Pada abad ke-19, Karl
Marx (1818–1883) menawarkan kritik radikal terhadap kekuasaan
sebagai instrumen dominasi kelas. Dalam The Communist Manifesto, kekuasaan
negara dianggap sebagai alat kelas borjuis untuk mempertahankan hegemoni atas
proletariat.¹⁰ Kekuasaan tidak netral, melainkan tercermin dari relasi produksi
dan struktur ekonomi.
Friedrich
Nietzsche (1844–1900) memberikan pendekatan yang lebih
eksistensial, dengan menekankan konsep will to power (kehendak untuk
berkuasa) sebagai dorongan dasar dalam kehidupan manusia.¹¹ Bagi Nietzsche,
kekuasaan adalah ekspresi dari vitalitas, kreativitas, dan pembebasan dari
nilai-nilai moral yang menindas.
Max
Weber (1864–1920), sebagai tokoh sosiologi klasik,
berkontribusi melalui tipologi otoritas: tradisional (berbasis adat), kharismatik
(berbasis pesona personal), dan legal-rasional (berbasis hukum
formal).¹² Ia juga menekankan pentingnya monopoli kekerasan yang sah sebagai
ciri khas negara modern.
3.5.
Gagasan Kekuasaan dalam Pemikiran Kontemporer
Dalam abad ke-20 dan
21, kekuasaan tidak lagi dipahami hanya sebagai dominasi negara, tetapi juga
sebagai jaringan simbolik dan struktural.
Michel
Foucault (1926–1984) menolak pemahaman kekuasaan sebagai
entitas tetap. Dalam Discipline and Punish, ia
menunjukkan bagaimana kekuasaan bekerja melalui institusi-institusi seperti
sekolah, rumah sakit, dan penjara, membentuk subjek melalui mekanisme
disipliner.¹³ Foucault melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang produktif, bukan
hanya represif—ia menciptakan norma, identitas, dan kebenaran.
Pemikir seperti Antonio
Gramsci (1891–1937) memperluas pemikiran Marx dengan
mengembangkan konsep hegemoni, yaitu bentuk kekuasaan
ideologis yang diperoleh melalui persetujuan sosial, bukan hanya melalui
kekerasan atau ekonomi.¹⁴
Dalam perkembangan
mutakhir, kekuasaan bahkan menyentuh ranah digital dan algoritmik, seperti yang
dianalisis oleh Shoshana Zuboff dalam The Age
of Surveillance Capitalism, yang menggambarkan kekuasaan baru yang
dijalankan melalui pengumpulan dan manipulasi data perilaku manusia.¹⁵
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C.
Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book V.
[2]
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1998), I.2 (1253a2).
[3]
Ibid., III.7 (1279a).
[4]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), Book XIX.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I-II, Q.90.
[6]
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield
(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 5–8.
[7]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), Ch. XIII–XVII.
[8]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), II.3–5.
[9]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 2004), Book I–II.
[10]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto,
trans. Samuel Moore (London: Penguin Books, 2002), 67–89.
[11]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J.
Hollingdale (London: Penguin Books, 2003), “On the Thousand and One Goals.”
[12]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of
California Press, 1978), 215–245.
[13]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 195–228.
[14]
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and
trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International
Publishers, 1971), 245–246.
[15]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 8–25.
4.
Dimensi-Dimensi Kekuasaan
Konsep kekuasaan
dalam filsafat tidak hanya memerlukan pendekatan definisional, tetapi juga
pemahaman multidimensional yang mencakup pertanyaan ontologis, epistemologis,
aksiologis, dan teleologis. Setiap dimensi ini menyingkap
aspek-aspek mendalam tentang bagaimana kekuasaan hadir, dipahami, dinilai, dan
diarahkan dalam kehidupan sosial dan politik. Dengan menelaah kekuasaan dari
keempat dimensi ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih utuh dan
filosofis mengenai realitas kekuasaan.
4.1.
Ontologi Kekuasaan: Hakikat Kekuasaan
Ontologi berkaitan
dengan apa yang
ada, atau dalam konteks ini, apa sebenarnya kekuasaan itu secara
eksistensial. Apakah kekuasaan merupakan entitas yang tetap dan
dapat dimiliki, ataukah ia hanyalah relasi yang muncul dalam interaksi sosial?
Tradisi klasik
sering melihat kekuasaan sebagai entitas atau sumber daya yang
dapat dimiliki oleh individu atau institusi.¹ Namun, pandangan kontemporer
menolak substansialisasi ini. Foucault, misalnya, menyatakan bahwa kekuasaan tidak
berada di suatu tempat tertentu, tetapi justru mengalir
dalam jaringan relasi sosial dan wacana. Kekuasaan bukan "benda"
melainkan "strategi" yang
beroperasi dalam struktur sosial dan institusi.²
Pierre Bourdieu juga
menolak esensialisasi kekuasaan. Ia melihat kekuasaan sebagai modal
simbolik yang bekerja dalam kerangka medan sosial (field)
yang sarat kompetisi.³ Kekuasaan, dengan demikian, bukanlah hakikat tetap,
tetapi konstruksi
sosial yang lahir dalam relasi dan struktur historis.
4.2.
Epistemologi Kekuasaan: Bagaimana Kekuasaan
Dipahami dan Dikonstitusikan
Dimensi
epistemologis kekuasaan mengangkat pertanyaan: bagaimana kita mengetahui atau menyadari adanya
kekuasaan? Siapa yang memiliki otoritas untuk menyatakan suatu
bentuk kekuasaan sah atau tidak?
Foucault menjelaskan
bahwa pengetahuan
dan kekuasaan saling membentuk. Apa yang kita anggap sebagai “kebenaran”
sering kali merupakan hasil dari konfigurasi kekuasaan yang dominan. Dalam
istilahnya, “tidak ada pengetahuan yang bebas dari kekuasaan, sebagaimana
tidak ada kekuasaan yang tidak melibatkan produksi pengetahuan.”⁴ Oleh
karena itu, epistemologi kekuasaan bersifat reflektif dan kritis: kita harus
terus-menerus menggugat sumber-sumber legitimasi yang diklaim sebagai netral.
Di sisi lain,
Habermas menekankan pentingnya komunikasi bebas distorsi
sebagai dasar epistemologi kekuasaan yang sah.⁵ Menurutnya, kekuasaan yang
dibangun atas dasar dominasi, manipulasi, atau represi komunikasi adalah bentuk
kekuasaan yang patologis, karena tidak memungkinkan tercapainya konsensus yang
rasional dan etis.
4.3.
Aksiologi Kekuasaan: Nilai dan Etika Kekuasaan
Apakah kekuasaan itu
baik, buruk, atau netral? Inilah pertanyaan utama dari dimensi aksiologis.
Kekuasaan dalam dirinya sendiri bersifat ambivalen: ia bisa menjadi
instrumen keadilan atau alat tirani, tergantung pada nilai dan tujuan yang
melatarbelakanginya.
Machiavelli melihat
kekuasaan sebagai netral secara moral—yang
penting adalah efektivitasnya dalam mempertahankan negara.⁶ Sebaliknya, Kant
berargumen bahwa kekuasaan harus tunduk pada hukum moral universal dan tidak
boleh memperlakukan manusia sebagai alat semata.⁷
Filsuf politik
kontemporer seperti Iris Marion Young juga menyoroti dimensi
etis dari struktur kekuasaan, khususnya terkait dengan ketimpangan
gender, ras, dan kelas sosial. Kekuasaan struktural yang tidak
kasat mata dapat melanggengkan ketidakadilan tanpa kekerasan langsung.⁸ Oleh
karena itu, evaluasi etis terhadap kekuasaan tidak cukup hanya memeriksa niat,
tetapi juga dampak sosial dan strukturalnya.
4.4.
Teleologi Kekuasaan: Tujuan Kekuasaan
Dimensi teleologis
bertanya: untuk apa kekuasaan digunakan? Apa tujuan
idealnya? Dalam kerangka klasik, Aristoteles menempatkan
kekuasaan dalam konteks polis yang bertujuan pada eudaimonia
(kesejahteraan dan kebajikan kolektif).⁹ Kekuasaan adalah sarana untuk menata
masyarakat demi kebaikan bersama.
Berbeda dari itu,
dalam negara modern, kekuasaan seringkali diarahkan untuk stabilitas
politik, efisiensi birokrasi, atau pertumbuhan ekonomi. Namun,
teleologi kekuasaan semacam ini kerap mengorbankan aspek moral dan martabat
manusia.
Pemikir seperti
Paulo Freire melihat kekuasaan sebagai alat pembebasan, yakni
memungkinkan individu sadar akan ketertindasan dan bertindak untuk transformasi
sosial.¹⁰ Dalam kerangka ini, tujuan kekuasaan bukanlah dominasi, melainkan emansipasi.
Kesimpulan Sementara
Keempat dimensi ini
menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah entitas tunggal atau netral, melainkan fenomena
yang sarat makna ontologis, epistemologis, aksiologis, dan teleologis.
Setiap dimensi menyoroti aspek berbeda dari kekuasaan, namun saling melengkapi
untuk memahami kompleksitasnya. Dengan perspektif ini, kita dapat menilai
kekuasaan tidak hanya berdasarkan struktur formalnya, tetapi juga berdasarkan
dampak filosofis dan etis yang ditimbulkannya dalam kehidupan sosial.
Footnotes
[1]
Steven Lukes, Power: A Radical View, 2nd ed. (New York:
Palgrave Macmillan, 2005), 12–13.
[2]
Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction,
trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 92.
[3]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, ed. John B.
Thompson, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1991), 170–172.
[4]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 27.
[5]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), vol. 1, 287–290.
[6]
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield
(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 52–55.
[7]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42.
[8]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 38–40.
[9]
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), Book I.
[10]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 44–45.
5.
Teori-Teori Kekuasaan
Teori-teori
kekuasaan merupakan upaya sistematis dari para pemikir untuk menjelaskan bagaimana
kekuasaan muncul, dijalankan, dilegitimasi, dan dipertahankan
dalam masyarakat. Kajian tentang kekuasaan tidak hanya menyangkut struktur
politik, tetapi juga relasi sosial, institusi budaya, serta dinamika
ideologis dan diskursif yang menyertainya. Dalam bagian ini,
akan dibahas tiga kerangka besar teori kekuasaan: teori
legitimasi kekuasaan, teori kekuasaan kritis, dan teori
kekuasaan post-strukturalis.
5.1.
Teori Legitimasi Kekuasaan
Teori ini berfokus
pada pertanyaan: apa yang membuat kekuasaan dianggap sah atau
legitimate oleh masyarakat? Salah satu pelopor utama dalam
pembahasan ini adalah Max Weber, yang
mengidentifikasi tiga bentuk utama legitimasi kekuasaan:
1)
Legitimasi tradisional,
berdasarkan adat istiadat dan kebiasaan turun-temurun.
2)
Legitimasi kharismatik,
berasal dari daya tarik personal atau kepercayaan terhadap karakter luar biasa
seorang pemimpin.
3)
Legitimasi legal-rasional,
berdasar pada sistem hukum dan aturan yang diakui secara formal.¹
Legitimasi
legal-rasional menjadi dasar negara modern dan birokrasi kontemporer. Weber
menekankan bahwa otoritas yang stabil membutuhkan kepercayaan
terhadap legitimasi, bukan semata-mata kekuatan koersif.
Dalam perkembangan
selanjutnya, John Rawls memperkenalkan
gagasan legitimasi normatif melalui
teori keadilan. Menurut Rawls, kekuasaan politik sah hanya jika ia dijalankan
sesuai dengan prinsip-prinsip yang dapat diterima oleh warga negara yang
bebas dan setara dalam kerangka ‘fair terms of cooperation’.² Legitimasi,
dalam pengertian ini, bertumpu pada persetujuan rasional dalam kondisi ideal,
bukan hanya pada keefektifan kekuasaan.
Demikian pula, Jürgen
Habermas mengembangkan teori komunikasi sebagai basis
legitimasi. Menurutnya, kekuasaan politik sah hanya jika terbentuk melalui diskursus
rasional yang tidak terdistorsi, di mana warga negara dapat
menyampaikan pendapat secara setara.³ Kekuasaan yang timbul dari dominasi atau
manipulasi dianggap tidak memiliki legitimasi sejati.
5.2.
Teori Kekuasaan Kritis
Tradisi teori
kritis, yang berkembang dari Mazhab Frankfurt, menyoroti aspek
ideologis dan struktural dari kekuasaan, khususnya dalam
masyarakat kapitalis modern. Herbert Marcuse, misalnya,
dalam One-Dimensional
Man, menyatakan bahwa kekuasaan modern telah menjadi alat
penjinakan kesadaran, di mana kontrol tidak lagi bersifat
represif secara kasar, tetapi berlangsung melalui integrasi ideologis dan
konsumsi massal.⁴
Karl
Marx merupakan pendahulu utama pendekatan ini, dengan
mengemukakan bahwa kekuasaan negara tidak netral, melainkan merupakan alat
kelas dominan untuk mempertahankan struktur ekonomi kapitalis.⁵
Dalam kerangka Marxian, kekuasaan tidak dipahami sebagai relasi normatif,
melainkan sebagai ekspresi dari konflik kelas yang tidak terhindarkan.
Antonio
Gramsci memperluas perspektif ini dengan memperkenalkan konsep hegemoni,
yaitu bentuk kekuasaan yang beroperasi bukan melalui pemaksaan, melainkan
melalui persetujuan dan internalisasi ideologi oleh
masyarakat.⁶ Hegemoni bekerja melalui institusi-institusi
seperti pendidikan, media, dan agama, yang membentuk kesadaran kolektif tanpa
disadari oleh individu.
Dalam pengembangan
mutakhir, Louis Althusser menyatakan
bahwa negara mempertahankan kekuasaannya melalui dua aparatus: aparat
represif negara (polisi, tentara, pengadilan) dan aparat
ideologis negara (sekolah, keluarga, media).⁷ Dengan demikian,
kekuasaan modern adalah jaringan kompleks yang mencakup dimensi simbolik dan
material secara bersamaan.
5.3.
Teori Kekuasaan Post-Strukturalis dan
Dekonstruktif
Berbeda dengan
pendekatan kritis yang masih menyisakan struktur besar (seperti kelas atau
negara), teori post-strukturalis,
terutama yang dikembangkan oleh Michel Foucault, menekankan
bahwa kekuasaan
tidak berpusat dan tidak bisa direduksi menjadi satu struktur tunggal.
Dalam Discipline
and Punish, Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan modern bekerja
melalui mekanisme disipliner:
pengawasan, normalisasi, dan klasifikasi.⁸ Kekuasaan tidak hanya menindas, tetapi
membentuk
subjek, mengatur tubuh, dan mengonstruksi pengetahuan. Foucault
menyebutnya sebagai biopolitik—pengaturan kehidupan
manusia oleh kekuasaan negara melalui statistik, demografi, dan kebijakan
kesehatan.⁹
Selanjutnya,
Foucault juga memperkenalkan konsep power/knowledge, yakni bahwa
semua pengetahuan selalu berkaitan dengan struktur kekuasaan.¹⁰ Tidak ada
wacana yang sepenuhnya netral atau bebas dari relasi kekuasaan, termasuk wacana
ilmiah.
Pendekatan
post-strukturalis menolak klaim universalisme dan stabilitas. Dalam kerangka
ini, kekuasaan selalu terbuka untuk resistansi, dan diskursus-diskursus
yang dominan harus selalu dikaji ulang melalui dekonstruksi.¹¹
Kesimpulan Sementara
Tiga teori utama
kekuasaan—legitimasi, kritis, dan post-strukturalis—menunjukkan bahwa kekuasaan
adalah fenomena kompleks yang tidak dapat dipahami dari satu sudut pandang saja.
Teori legitimasi menjelaskan syarat-syarat keabsahan kekuasaan,
teori kritis membongkar fungsi ideologis dan material kekuasaan,
sementara teori post-strukturalis menelusuri operasi kekuasaan dalam wacana dan praktik
sehari-hari. Dengan merujuk pada ketiganya, kita memperoleh
alat analisis yang tajam untuk membaca realitas politik dan sosial kontemporer
secara lebih mendalam dan reflektif.
Footnotes
[1]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of
California Press, 1978), 215–245.
[2]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), 136–140.
[3]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 107–113.
[4]
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press,
1964), 26–40.
[5]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto,
trans. Samuel Moore (London: Penguin Books, 2002), 75–89.
[6]
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and
trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International
Publishers, 1971), 12–15.
[7]
Louis Althusser, “Ideology and Ideological State Apparatuses,” in Lenin
and Philosophy and Other Essays, trans. Ben Brewster (New York: Monthly
Review Press, 1971), 127–186.
[8]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 195–228.
[9]
Michel Foucault, The Birth of Biopolitics: Lectures at the Collège
de France, 1978–1979, ed. Michel Senellart, trans. Graham Burchell (New
York: Palgrave Macmillan, 2008), 3–5.
[10]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
51–52.
[11]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–293.
6.
Kekuasaan dan Etika
Kekuasaan, sebagai
kapasitas untuk memengaruhi, mengarahkan, atau mengendalikan tindakan dan
kehendak orang lain, senantiasa melibatkan pertanyaan etis. Hubungan antara
kekuasaan dan etika menjadi sangat penting, karena kekuasaan dapat digunakan
untuk mewujudkan keadilan, tetapi juga dapat beralih menjadi alat penindasan,
manipulasi, dan kekerasan. Dalam sejarah filsafat, persoalan ini selalu
menempati posisi sentral, karena menyangkut pertanggungjawaban moral terhadap tindakan
politis dan sosial.
6.1.
Kekuasaan dan Dilema Etis
Salah satu dilema
utama dalam pembahasan ini adalah apakah kekuasaan memiliki muatan etis inheren,
atau apakah ia netral secara moral. Pandangan realis seperti yang diajukan oleh
Niccolò
Machiavelli dalam The Prince menekankan bahwa
kekuasaan harus dilihat dari segi efektivitas, bukan moralitas.¹ Seorang
penguasa yang baik bukanlah mereka yang selalu berbuat benar menurut norma
etika universal, melainkan mereka yang berhasil menjaga stabilitas dan
kekuasaan negara, bahkan jika harus melanggar prinsip-prinsip moral
konvensional.
Namun pandangan ini
ditentang keras oleh pemikir moral seperti Immanuel Kant, yang menegaskan
bahwa tindakan moral harus tunduk pada imperatif kategoris, yakni
prinsip bahwa manusia tidak boleh dijadikan sebagai sarana semata, melainkan
selalu sebagai tujuan.² Dalam kerangka ini, kekuasaan yang menggunakan manusia
sebagai alat untuk ambisi politik atau ekonomi bertentangan dengan hukum moral
universal.
Kondisi modern dan
kontemporer memperumit dilema etis ini, karena kekuasaan kini tidak hanya
berwujud koersif (fisik), tetapi juga simbolik, struktural, dan bahkan
algoritmik.³ Oleh karena itu, pertanyaan etis tidak hanya diarahkan kepada
aktor politik individual, tetapi juga kepada sistem dan struktur kekuasaan yang
lebih besar.
6.2.
Kekuasaan, Keadilan, dan Legitimasi Moral
Kekuasaan etis
adalah kekuasaan yang dijalankan dalam kerangka keadilan substantif dan legitimasi moral.
Dalam teori keadilan John Rawls, kekuasaan politik
harus dijalankan atas dasar prinsip keadilan yang disepakati oleh warga negara
dalam posisi yang setara dan adil (veil of ignorance).⁴ Kekuasaan yang tidak
tunduk pada prinsip ini akan menghasilkan ketimpangan dan eksklusi sosial yang
tidak dapat dibenarkan secara moral.
Hannah
Arendt membedakan antara kekuasaan sejati (power)
dan kekuatan koersif (violence).⁵ Menurutnya, kekuasaan
yang sejati bersumber dari konsensus dan tindakan kolektif, bukan dari dominasi
atau paksaan. Dengan kata lain, kekuasaan yang etis bersandar pada kemampuan
bersama untuk bertindak secara deliberatif, bukan sekadar
kapasitas untuk memerintah.
Sementara itu, Iris
Marion Young menekankan pentingnya dimensi etika dalam struktur
kekuasaan sosial, seperti gender, ras, dan kelas.⁶ Kekuasaan
yang tampak “netral” sering kali menyembunyikan ketidakadilan struktural
yang sistematis. Oleh karena itu, etika kekuasaan juga harus menyentuh keadilan
distributif dan pengakuan terhadap keragaman identitas sosial.
6.3.
Kekuasaan dan Tanggung Jawab Moral
Etika kekuasaan
bukan hanya soal niat, tetapi juga tanggung jawab terhadap akibat dari penggunaan
kekuasaan. Dalam hal ini, Hans Jonas dalam The
Imperative of Responsibility mengingatkan bahwa dalam era modern,
kekuasaan manusia (terutama teknologi dan politik) telah mencapai skala yang
sangat besar, sehingga membutuhkan etika tanggung jawab yang baru dan lebih
jauh jangkauannya.⁷
Kekuasaan, menurut
Jonas, harus mempertimbangkan dampaknya tidak hanya terhadap manusia saat ini,
tetapi juga terhadap generasi yang akan datang. Perspektif ini penting dalam
menghadapi kekuasaan global yang kini menyangkut persoalan lingkungan, ekonomi,
dan teknologi.
6.4.
Kekuasaan sebagai Emansipasi atau Represi
Dimensi etis
kekuasaan juga menyangkut pertanyaan: apakah kekuasaan memperkuat otonomi
manusia, atau justru memperlemah kebebasannya? Dalam kerangka emansipatoris, Paulo
Freire melihat kekuasaan bukan sebagai alat dominasi, tetapi
sebagai sarana untuk membangkitkan kesadaran kritis dan membebaskan
diri dari penindasan struktural.⁸ Kekuasaan yang etis adalah
kekuasaan yang memampukan individu dan komunitas untuk menjadi subjek aktif
perubahan sosial.
Sebaliknya,
kekuasaan yang represif cenderung menegasikan kebebasan, memaksakan kehendak
tunggal, dan menghilangkan ruang partisipasi. Dalam konteks ini, resistansi
terhadap kekuasaan yang menindas menjadi kewajiban moral, sebagaimana
digambarkan dalam pemikiran postkolonial dan feminis kontemporer.
Kesimpulan Sementara
Hubungan antara
kekuasaan dan etika adalah medan yang kompleks dan seringkali penuh ketegangan.
Di satu sisi, kekuasaan diperlukan untuk menegakkan hukum dan ketertiban; di
sisi lain, ia dapat dengan mudah tergelincir menjadi instrumen ketidakadilan.
Karena itu, kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari prinsip
tanggung jawab, keadilan, dan martabat manusia. Setiap bentuk
kekuasaan yang sah harus diuji tidak hanya dari efektivitasnya, tetapi juga
dari dimensi
etis dan moralnya, baik secara individual maupun struktural.
Footnotes
[1]
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield
(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 55–65.
[2]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 36–38.
[3]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 8–10.
[4]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 11–15.
[5]
Hannah Arendt, On Violence (New York: Harcourt, 1970), 44–56.
[6]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 15–23.
[7]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas and David Herr
(Chicago: University of Chicago Press, 1984), 121–125.
[8]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 44–55.
7.
Kekuasaan dalam Konteks Kekinian
Kekuasaan dalam
dunia kontemporer telah mengalami transformasi fundamental, baik dari segi
bentuk, mekanisme, maupun aktor-aktornya. Jika pada masa klasik kekuasaan
terutama diidentikkan dengan otoritas negara dan lembaga-lembaga formal, maka
dalam era globalisasi, digitalisasi, dan neoliberalisme, kekuasaan menjadi
lebih tersebar, tidak kasat mata, dan terkadang bersifat anonim. Filsafat
kekuasaan dewasa ini tidak lagi cukup hanya membahas struktur politik formal,
tetapi harus menyelami dinamika kekuasaan dalam media, teknologi, ekonomi global, dan identitas
budaya. Dalam bagian ini akan dibahas beberapa wajah
kontemporer kekuasaan yang menonjol: kekuasaan teknologi dan data, kekuasaan
media dan opini publik, kekuasaan global dan kapitalisme, serta kekuasaan dalam
masyarakat pascakolonial dan identitas.
7.1.
Kekuasaan Teknologi dan Pengawasan Digital
Perkembangan
teknologi digital telah menciptakan bentuk kekuasaan baru yang bersifat
algoritmik, prediktif, dan menyeluruh. Dalam karyanya yang monumental, The Age
of Surveillance Capitalism, Shoshana Zuboff mengidentifikasi
munculnya rezim kekuasaan baru yang disebutnya sebagai kapitalisme
pengawasan—model ekonomi-politik di mana data perilaku manusia
dikumpulkan, dianalisis, dan dimonetisasi oleh korporasi teknologi.¹
Berbeda dari model
kekuasaan tradisional yang bersifat vertikal, kekuasaan digital bersifat tersembunyi
dan otomatis, dioperasikan oleh sistem kecerdasan buatan yang
tidak selalu dapat dipertanggungjawabkan secara etis.² Zuboff menyebutnya
sebagai “kekuasaan instrumental” yang tidak lagi sekadar merespons
kebutuhan pengguna, tetapi mengontrol masa depan mereka dengan mengarahkan
pilihan dan tindakan.³
Dalam kerangka ini,
kekuasaan tidak hanya berada pada negara, tetapi pada entitas
non-negara seperti Google, Facebook, Amazon, dan platform digital
lainnya yang memiliki kapasitas untuk membentuk realitas sosial, perilaku
konsumsi, dan bahkan preferensi politik individu.
7.2.
Kekuasaan Media dan Konstruksi Opini Publik
Media massa dan
media sosial berperan besar dalam mengkonstruksi dan menyebarkan wacana kekuasaan,
dengan kekuatan membentuk persepsi, emosi kolektif, dan opini publik. Noam
Chomsky dan Edward S. Herman dalam Manufacturing
Consent mengungkap bagaimana media bekerja sebagai mekanisme
hegemonik yang menyaring informasi dan menanamkan kepatuhan
terhadap sistem kapitalis dan kekuasaan politik dominan.⁴
Media bukanlah
saluran netral, melainkan arena perebutan makna dan legitimasi,
tempat aktor-aktor politik dan korporasi memperebutkan kontrol terhadap narasi
publik. Hal ini menciptakan bentuk kekuasaan simbolik yang sangat kuat, karena
menyentuh kesadaran, emosi, dan identitas masyarakat.⁵
Era media sosial
memperumit dinamika ini. Algoritma dan logika viralitas sering kali
memprioritaskan konten sensasional, emosional, dan polaritatif, yang secara
tidak langsung memperkuat kekuasaan populisme, disinformasi, dan kontrol
psikologis massal.⁶ Dalam konteks ini, filsafat kekuasaan kontemporer perlu
merespons fenomena manipulasi digital dan
penggiringan opini yang terselubung dalam sistem informasi.
7.3.
Kekuasaan Global dan Kapitalisme Neoliberal
Globalisasi dan
kapitalisme neoliberal telah melahirkan bentuk kekuasaan yang melampaui
batas-batas negara, di mana kekuasaan dipegang oleh
lembaga-lembaga ekonomi global seperti IMF, WTO, dan korporasi multinasional. Michael
Hardt dan Antonio Negri dalam Empire
menyebut fenomena ini sebagai lahirnya “Imperium”—suatu bentuk kekuasaan
global yang tidak memiliki pusat tetap, tidak sepenuhnya
negara, dan bekerja melalui jaringan hukum, pasar, dan teknologi.⁷
Dalam sistem ini,
kekuasaan bersifat desentralistik tetapi sangat dominan, menanamkan nilai-nilai
individualisme, kompetisi, dan komodifikasi dalam hampir semua aspek kehidupan.
Kekuasaan neoliberal tidak bekerja secara represif, melainkan mendisiplinkan
subjek melalui insentif ekonomi dan logika pasar.⁸
Hal ini menguatkan
argumen bahwa kekuasaan kontemporer lebih bersifat biopolitik
dan ekonomistik, mengatur tubuh, kesehatan, konsumsi, dan
pilihan hidup individu melalui mekanisme halus yang tampaknya netral namun
sangat ideologis.
7.4.
Kekuasaan dan Identitas dalam Masyarakat
Pascakolonial
Kekuasaan dalam
konteks kontemporer juga harus dilihat dalam kerangka identitas
dan politik pengakuan, terutama di dunia pascakolonial. Edward
Said dalam Orientalism menunjukkan bagaimana
kekuasaan kolonial bekerja bukan hanya melalui senjata dan birokrasi, tetapi
juga melalui penciptaan wacana tentang “Timur” sebagai liyan
yang inferior.⁹
Kekuasaan
pascakolonial tetap hidup dalam bentuk rasisme struktural, marginalisasi budaya, dan
dominasi bahasa, yang menjadikan subjek-subjek non-Barat tetap
berada dalam posisi subordinat, bahkan setelah kemerdekaan formal.¹⁰ Pemikiran Gayatri
Chakravorty Spivak menyoroti bagaimana “subaltern”
(kelompok paling terpinggirkan) tidak bisa berbicara dalam sistem wacana yang
hegemonik, sehingga filsafat kekuasaan kontemporer harus
memperhitungkan siapa yang berbicara, siapa yang dibungkam, dan siapa yang
diberi hak definisi.¹¹
7.5.
Kekuasaan, Resistansi, dan Transformatifitas
Sosial
Meskipun kekuasaan
dalam konteks kekinian tampak masif dan menyeluruh, hal ini tidak berarti tidak
ada ruang resistansi. Michel Foucault menyatakan
bahwa “di mana ada kekuasaan, di situ ada resistansi.”¹² Filsafat
kekuasaan dewasa ini berupaya untuk tidak hanya menganalisis struktur
kekuasaan, tetapi juga menggali potensi resistansi, pembebasan, dan
transformasi sosial.
Gerakan sosial baru
seperti ekofeminisme, aktivisme digital, komunitas akar rumput, hingga gerakan
dekolonisasi pendidikan, merupakan bentuk-bentuk resistansi kontemporer yang
menantang kekuasaan yang hegemonik. Dalam konteks ini, kekuasaan tidak hanya
dilawan secara frontal, tetapi juga diinterupsi, diganggu, dan digerogoti melalui
praktik-praktik kultural dan diskursif.
Kesimpulan Sementara
Kekuasaan dalam
konteks kekinian tidak lagi dapat dipahami dalam kategori klasik semata. Ia
telah berubah menjadi entitas yang bersifat terdistribusi,
tersembunyi, dan multidimensi, yang bekerja melalui teknologi,
ekonomi, budaya, dan diskursus. Oleh karena itu, filsafat kekuasaan kontemporer
dituntut untuk lebih interdisipliner dan reflektif, menelaah bentuk-bentuk
kekuasaan baru sekaligus menggagas cara-cara etis dan transformatif untuk
meresponsnya.
Footnotes
[1]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 8–25.
[2]
Ibid., 33–41.
[3]
Ibid., 72–75.
[4]
Edward S. Herman and Noam Chomsky, Manufacturing Consent: The
Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 2–3.
[5]
Pierre Bourdieu, On Television, trans. Priscilla Parkhurst
Ferguson (New York: The New Press, 2001), 21–22.
[6]
Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of
Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 110–115.
[7]
Michael Hardt and Antonio Negri, Empire (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2000), xi–xv.
[8]
Wendy Brown, Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution
(New York: Zone Books, 2015), 29–33.
[9]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1978),
1–4.
[10]
Ibid., 202–203.
[11]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[12]
Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction,
trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 95–96.
8.
Kritik dan Problematika Kekuasaan
Kekuasaan, sebagai
entitas sosial dan filosofis, tidak hanya dipelajari dalam kerangka teoritis
dan normatif, tetapi juga menjadi subjek kritik yang intensif.
Kritik terhadap kekuasaan mencerminkan kesadaran bahwa kekuasaan, meskipun
sering dianggap sebagai syarat tertib sosial dan efektivitas politik, juga
membawa potensi bahaya yang serius terhadap kebebasan,
keadilan, dan martabat manusia. Dalam sejarah dan kontemporer,
kekuasaan telah terbukti dapat berubah menjadi instrumen dominasi, dehumanisasi, bahkan
kekerasan sistemik. Oleh karena itu, bagian ini mengulas
beberapa titik kritik utama terhadap kekuasaan: absolutisme dan
otoritarianisme, kekuasaan yang represif dan hegemonik, problem epistemik dalam
kekuasaan, serta kritik etis dan transformatif.
8.1.
Kekuasaan Absolut dan Otoritarianisme
Salah satu kritik
tertua dan paling mendasar terhadap kekuasaan adalah bahaya absolutisme,
yaitu ketika kekuasaan tidak memiliki batas atau pengawasan institusional dan
moral. Lord
Acton terkenal menyatakan, “Power tends to corrupt, and
absolute power corrupts absolutely.”¹
Kekuasaan yang tidak
terbatas cenderung membangun struktur otoritarian, di mana kehendak satu individu
atau kelompok kecil mendominasi keseluruhan masyarakat. Pemikiran klasik
seperti Montesquieu dalam The
Spirit of the Laws telah menekankan pentingnya pemisahan
kekuasaan sebagai antisipasi terhadap konsentrasi kekuasaan
yang mengarah pada tirani.² Kritik ini relevan dalam menghadapi rezim
kontemporer yang menggunakan legitimasi elektoral untuk mengukuhkan
kekuasaan eksekutif tanpa akuntabilitas.
8.2.
Kekuasaan sebagai Represi dan Hegemoni
Kekuasaan kerap kali
tidak tampak dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi dalam mekanisme represi
simbolik dan hegemoni ideologis. Herbert
Marcuse, dalam One-Dimensional Man, mengkritik
masyarakat industri modern yang menciptakan bentuk kekuasaan represif melalui pemenuhan
semu kebutuhan manusia, yang justru mematikan kapasitas kritis
dan kesadaran emansipatoris.³ Kekuasaan dalam bentuk ini memanipulasi kesadaran
individu agar merasa puas dalam keterkungkungan.
Demikian pula, Antonio
Gramsci menunjukkan bahwa kekuasaan dalam masyarakat kapitalis
modern bekerja lebih efektif melalui hegemoni kultural, bukan
melalui pemaksaan langsung.⁴ Dalam hegemoni, ideologi dominan diinternalisasi
sebagai “kebenaran umum,” dan dengan demikian mengaburkan
relasi dominasi yang sebenarnya terjadi. Kritik ini
menggarisbawahi bahwa kekuasaan dapat melanggengkan ketidakadilan dengan cara
yang tidak terlihat.
8.3.
Problem Epistemik dalam Kekuasaan
Kekuasaan tidak
hanya mengontrol tindakan, tetapi juga memengaruhi pengetahuan,
bahasa, dan struktur berpikir. Michel Foucault mengemukakan
bahwa setiap rezim kekuasaan menciptakan "rezim kebenaran"
tertentu, yaitu mekanisme untuk menentukan mana yang dianggap benar atau salah
dalam suatu masyarakat.⁵ Dalam konteks ini, pengetahuan bukan sesuatu yang
netral, tetapi dibentuk dan dikelola oleh kekuasaan.
Kritik epistemik ini
menjadi sangat penting dalam menghadapi manipulasi informasi, fabrikasi narasi sejarah,
dan disinformasi dalam era digital. Kekuasaan menjadi
problematis bukan karena paksaan fisik, tetapi karena kemampuannya mengontrol
kesadaran melalui produksi wacana dan sistem pendidikan.
8.4.
Kekuasaan dan Kekerasan Struktural
Kritik kontemporer
juga menyoroti kekuasaan dalam bentuk kekerasan struktural—yaitu
bentuk dominasi sistemik yang menyebabkan penderitaan, eksploitasi, atau
pengucilan sosial tanpa pelaku langsung. Johan Galtung mendefinisikan
kekerasan struktural sebagai kondisi di mana potensi dasar manusia untuk berkembang
dirintangi oleh struktur sosial yang tidak adil.⁶
Contohnya dapat
ditemukan dalam sistem ekonomi neoliberal, ketimpangan akses pendidikan dan
kesehatan, serta kebijakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Kekuasaan
yang tersembunyi dalam struktur inilah yang paling sulit diidentifikasi dan
dilawan, karena sering kali dianggap sebagai kondisi alamiah atau netral.
8.5.
Kritik Etis dan Jalan Transformatif
Kekuasaan yang tidak
dikritisi dapat mengarah pada ketidakadilan sistemik dan dehumanisasi. Karena
itu, kritik
etis terhadap kekuasaan bertujuan bukan untuk meniadakan kekuasaan, tetapi
untuk mentransformasikannya. Hannah Arendt menekankan bahwa
kekuasaan sejati bersifat kolektif dan partisipatif,
berbeda dari kekerasan yang bersifat unilateral.⁷
Kritik juga datang
dari pendekatan feminis dan pascakolonial yang
memperlihatkan bagaimana kekuasaan menindas melalui kategori
gender, ras, dan etnisitas. bell hooks menunjukkan bahwa
kekuasaan patriarkal tidak hanya mendominasi perempuan, tetapi juga membentuk
struktur psikologis yang menindas bagi semua pihak.⁸ Maka, kekuasaan harus
dikritisi dan direkonstruksi untuk membentuk relasi yang inklusif,
dialogis, dan membebaskan.
Kesimpulan Sementara
Kritik terhadap
kekuasaan tidak dimaksudkan untuk menyangkal perlunya kekuasaan dalam kehidupan
sosial, tetapi untuk memastikan bahwa kekuasaan dijalankan secara
etis, adil, dan manusiawi. Kekuasaan yang tidak dikritisi
cenderung melahirkan dominasi dan eksklusi. Karena itu, filsafat kekuasaan
harus senantiasa bersikap reflektif dan transformatif, tidak hanya mempelajari
bagaimana kekuasaan bekerja, tetapi juga menggagas bagaimana kekuasaan dapat dikelola
agar tidak melukai martabat manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Footnotes
[1]
John Emerich Edward Dalberg-Acton, Essays on Freedom and Power
(Boston: Beacon Press, 1949), 364.
[2]
Charles de Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. and ed.
Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), Book XI, ch. 6.
[3]
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of
Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964), 50–60.
[4]
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and
trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers,
1971), 12–15.
[5]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–133.
[6]
Johan Galtung, “Violence, Peace, and Peace Research,” Journal of
Peace Research 6, no. 3 (1969): 167–191.
[7]
Hannah Arendt, On Violence (New York: Harcourt, 1970), 44–56.
[8]
bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center, 2nd ed.
(Cambridge, MA: South End Press, 2000), 18–20.
9.
Penutup
Kajian filosofis
tentang kekuasaan memperlihatkan bahwa kekuasaan bukan sekadar fenomena politik
atau hukum, tetapi merupakan realitas multidimensional yang
menyentuh aspek ontologis, epistemologis, aksiologis, dan teleologis dari
kehidupan manusia. Dari warisan pemikiran klasik seperti Plato dan Aristoteles
yang menekankan keadilan dan kebajikan dalam penggunaan kekuasaan, hingga
kritik postmodern dan postkolonial atas dominasi simbolik dan struktural,
filsafat kekuasaan telah berkembang menjadi suatu bidang refleksi yang kompleks
dan kritis.
Dalam kajian ini,
telah dibahas bagaimana kekuasaan didefinisikan, dikonstruksikan, dilegitimasi,
dan dikritisi dalam berbagai kerangka teoretis. Max Weber mengingatkan bahwa
legitimasi kekuasaan adalah kunci stabilitas sosial, sementara John
Rawls dan Jürgen Habermas menekankan
bahwa kekuasaan politik harus tunduk pada prinsip keadilan dan rasionalitas
diskursif.¹ Pemikir kritis seperti Karl Marx, Antonio
Gramsci, dan Michel Foucault menggeser fokus kajian dari
kekuasaan formal ke kekuasaan struktural dan ideologis yang bekerja secara
tersembunyi dalam bahasa, wacana, dan institusi sosial.²
Konteks kontemporer
menunjukkan bahwa kekuasaan tidak lagi terpusat pada negara atau institusi
formal, tetapi tersebar melalui media digital, kapitalisme global, sistem
pendidikan, teknologi algoritmik, dan wacana identitas.³ Hal
ini memunculkan bentuk kekuasaan yang lebih terselubung namun lebih menyeluruh,
sebagaimana digambarkan oleh Shoshana Zuboff dalam konsep “kapitalisme
pengawasan” yang mengendalikan perilaku melalui data dan prediksi.⁴
Kritik terhadap
kekuasaan menjadi penting bukan karena kekuasaan harus ditolak secara mutlak,
tetapi karena kekuasaan yang tidak dikritisi cenderung mengalami absolutisasi,
dehumanisasi, dan penindasan. Dalam hal ini, filsafat kekuasaan
berperan sebagai alat refleksi normatif yang
mempertanyakan bagaimana kekuasaan seharusnya dijalankan agar tidak melanggar prinsip
moral, keadilan, dan kebebasan.
Sejumlah prinsip
etis perlu ditegaskan dalam mengelola kekuasaan secara bertanggung jawab:
·
Pertama, legitimasi
kekuasaan harus dibangun di atas basis moral dan partisipatif, bukan
sekadar kekuatan hukum formal.⁵
·
Kedua, kekuasaan
harus diarahkan untuk membebaskan dan memberdayakan, bukan untuk
mendominasi dan mengeksploitasi.⁶
·
Ketiga, kekuasaan
harus terbuka terhadap kritik dan resistansi, sebagai bagian dari
dinamika demokrasi dan upaya memperbaiki ketimpangan sosial yang ada.⁷
Dengan demikian,
refleksi filsafat atas kekuasaan tidak hanya memperkaya pemahaman teoretis,
tetapi juga menghadirkan kesadaran kritis
terhadap struktur sosial, dinamika politik, dan praktik kehidupan sehari-hari.
Filsafat kekuasaan bukanlah ajakan untuk menarik diri dari ranah politik,
melainkan dorongan untuk terlibat secara etis, reflektif,
dan transformatif dalam pergulatan kehidupan bersama.
Di tengah dunia yang
terus berubah—dengan tantangan otoritarianisme digital, ketimpangan global, dan
polarisasi sosial—filsafat kekuasaan tetap relevan sebagai medan
perenungan etis dan politik. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan
sejati bukanlah dominasi, melainkan kemampuan untuk mewujudkan
kebebasan bersama dalam tatanan yang adil dan bermartabat.
Footnotes
[1]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of
California Press, 1978), 215–245; John Rawls, Political Liberalism
(New York: Columbia University Press, 1993), 137–143; Jürgen Habermas, Between
Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy,
trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 107–113.
[2]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto,
trans. Samuel Moore (London: Penguin Books, 2002), 67–89; Antonio Gramsci, Selections
from the Prison Notebooks, ed. and trans. Quintin Hoare and Geoffrey
Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 12–25; Michel
Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan
Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 195–228.
[3]
Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of
Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 110–115; Wendy
Brown, Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution (New
York: Zone Books, 2015), 29–33.
[4]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 8–25.
[5]
Charles de Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. and ed.
Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), Book XI, ch. 6.
[6]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 44–55.
[7]
bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center, 2nd ed.
(Cambridge, MA: South End Press, 2000), 18–30; Michel Foucault, The History
of Sexuality, Vol. 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York:
Vintage Books, 1990), 95–96.
Daftar Pustaka
Arendt, H. (1970). On violence. Harcourt.
Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power
(J. B. Thompson, Ed.; G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Harvard University
Press.
Bourdieu, P. (2001). On television (P. P.
Ferguson, Trans.). The New Press.
Brown, W. (2015). Undoing the demos:
Neoliberalism’s stealth revolution. Zone Books.
Chomsky, N., & Herman, E. S. (1988). Manufacturing
consent: The political economy of the mass media. Pantheon Books.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1990). The history of sexuality,
Vol. 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Foucault, M. (2008). The birth of biopolitics:
Lectures at the Collège de France, 1978–1979 (M. Senellart, Ed.; G.
Burchell, Trans.). Palgrave Macmillan.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Galtung, J. (1969). Violence, peace, and peace
research. Journal of Peace Research, 6(3), 167–191. https://doi.org/10.1177/002234336900600301
Gramsci, A. (1971). Selections from the prison
notebooks (Q. Hoare & G. Nowell Smith, Eds. & Trans.).
International Publishers.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms:
Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.).
MIT Press.
Hardt, M., & Negri, A. (2000). Empire.
Harvard University Press.
hooks, b. (2000). Feminist theory: From margin
to center (2nd ed.). South End Press.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age (H. Jonas
& D. Herr, Trans.). University of Chicago Press.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Lukes, S. (2005). Power: A radical view (2nd
ed.). Palgrave Macmillan.
Machavelli, N. (1998). The prince (H. C.
Mansfield, Trans.). University of Chicago Press.
Marcuse, H. (1964). One-dimensional man: Studies
in the ideology of advanced industrial society. Beacon Press.
Marx, K., & Engels, F. (2002). The communist
manifesto (S. Moore, Trans.). Penguin Books.
Montesquieu, C. de. (1989). The spirit of the
laws (A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Eds. & Trans.).
Cambridge University Press.
Nietzsche, F. (2003). Thus spoke Zarathustra
(R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books.
Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube,
Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.
Rawls, J. (1993). Political liberalism.
Columbia University Press.
Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev.
ed.). Harvard University Press.
Russell, B. (1938). Power: A new social analysis.
George Allen & Unwin.
Rousseau, J.-J. (2004). The social contract
(M. Cranston, Trans.). Penguin Books.
Said, E. W. (1978). Orientalism. Vintage
Books.
Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? In
C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the interpretation of
culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.
Thomas Aquinas. (1947). Summa Theologiae
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
Tufekci, Z. (2017). Twitter and tear gas: The
power and fragility of networked protest. Yale University Press.
Weber, M. (1978). Economy and society: An
outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.).
University of California Press.
Young, I. M. (1990). Justice and the politics of
difference. Princeton University Press.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power.
PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar