Amoralisme
Kritik terhadap Moralitas Konvensional dalam Filsafat
Etika
Alihkan ke: Aliran Aksiologi.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif gagasan amoralisme
sebagai salah satu aliran pemikiran dalam cabang aksiologi, khususnya dalam
konteks filsafat etika. Amoralisme diposisikan sebagai kritik radikal terhadap
moralitas konvensional yang dianggap sarat dengan absolutisme nilai dan
dominasi normatif. Dengan menelusuri dasar ontologis, epistemologis, dan
fungsional dari amoralisme, artikel ini menunjukkan bagaimana aliran ini
mempertanyakan keberadaan nilai moral objektif, validitas klaim normatif, serta
otoritas institusi moral dalam kehidupan manusia. Selain meninjau sejarah
pemikiran amoralis dari masa Yunani Kuno hingga kontemporer—dengan menyoroti
tokoh-tokoh seperti Thrasymachus, Friedrich Nietzsche, Max Stirner, hingga
Richard Garner—artikel ini juga menguraikan implikasi praktis dari amoralisme
dalam ranah etika personal, relasi sosial, politik, teknologi, dan budaya
populer. Di sisi lain, artikel ini juga mengulas berbagai kritik terhadap
amoralisme dari perspektif deontologis, utilitarian, etika kebajikan,
komunitarian, hingga eksistensialis. Dengan pendekatan reflektif, artikel ini
mengajak pembaca untuk memahami amoralisme tidak semata sebagai bentuk
penyangkalan nilai, melainkan sebagai tantangan filosofis yang mendorong
dekonstruksi terhadap nilai-nilai moral mapan serta pembentukan etika yang
lebih adaptif, rasional, dan manusiawi dalam dunia yang kompleks dan plural.
Kata Kunci: Amoralisme, aksiologi, moralitas, etika filsafat,
nihilisme, kritik moral, kebebasan individu, nilai-nilai sosial, relativisme
etis, etika kontemporer.
PEMBAHASAN
Amoralisme dalam Perspektif Aksiologi
1.
Pendahuluan
Aksiologi sebagai
salah satu cabang utama dalam filsafat mencakup studi sistematis terhadap
nilai, termasuk nilai moral, estetika, dan spiritual. Dalam konteks ini,
etika—yang berfokus pada penilaian baik dan buruk, benar dan salah—merupakan
salah satu wilayah penting dari kajian aksiologis. Mayoritas tradisi filsafat
Barat dan Timur umumnya mendasarkan sistem etikanya pada asumsi bahwa nilai
moral memiliki dasar objektif atau setidaknya universal yang dapat diterima
secara rasional oleh masyarakat luas. Namun, tidak semua pemikiran filosofis
tunduk pada pandangan tersebut.
Salah satu aliran
yang secara radikal menolak keberlakuan atau eksistensi nilai moral universal
adalah amoralisme.
Dalam kerangka ini, amoralisme dipahami sebagai pandangan yang menyangkal
adanya keharusan moral dalam kehidupan manusia, atau setidaknya menganggap
bahwa moralitas bersifat relatif, arbitrer, atau bahkan ilusi belaka. Pandangan
ini berbeda dengan imoralitas, yang melibatkan
pelanggaran terhadap norma moral, karena amoralisme justru mempertanyakan
legitimasi normatif dari moral itu sendiri. Amoralisme seringkali bersifat
konseptual dan ontologis, dan tidak selalu menyiratkan tindakan destruktif,
melainkan lebih pada pembebasan individu dari konstruksi moral konvensional
yang dianggap represif atau artifisial1.
Kehadiran amoralisme
dalam sejarah pemikiran tidak dapat dipisahkan dari kritik-kritik mendasar
terhadap moralitas tradisional. Tokoh-tokoh seperti Friedrich Nietzsche
menegaskan bahwa moralitas konvensional yang dibangun atas dasar agama atau
norma sosial hanyalah refleksi dari kehendak untuk berkuasa dari
kelompok-kelompok tertentu, khususnya kaum lemah yang membentuk sistem moral
untuk menundukkan yang kuat2. Dalam pandangan Nietzsche, moralitas
semacam itu menciptakan apa yang ia sebut sebagai moralitas budak—suatu sistem nilai
yang mengagungkan kelemahan, kerendahan hati, dan kepatuhan atas nama kebaikan3.
Diskursus tentang
amoralisme menjadi semakin relevan dalam era modern dan postmodern, di mana
pluralitas nilai, relativisme budaya, dan skeptisisme terhadap narasi besar
(grand narratives) memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang legitimasi
moralitas konvensional. Di tengah perkembangan ini, penting untuk menelaah
amoralisme bukan hanya sebagai bentuk ekstrem dari kritik moral, tetapi juga
sebagai tantangan terhadap asumsi-asumsi dasar aksiologi itu sendiri.
Artikel ini
bertujuan untuk mengurai secara sistematis hakikat, akar pemikiran, argumentasi
filosofis, serta implikasi dari amoralisme dalam konteks filsafat nilai. Dengan
menggali sejarah, tokoh, dan argumen kritisnya, pembaca diharapkan dapat
memahami amoralisme tidak hanya sebagai penolakan terhadap moralitas, tetapi
juga sebagai upaya reflektif dalam mempertanyakan sumber dan legitimasi
nilai-nilai yang selama ini dianggap sakral.
Footnotes
[1]
Richard Garner, Beyond Morality (Philadelphia: Temple
University Press, 1994), 5–8.
[2]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans.
Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press,
2007), 25–31.
[3]
Ibid., 34–38.
2.
Aksiologi
dan Posisi Amoralisme dalam Filsafat
Dalam tradisi
filsafat, aksiologi merupakan cabang yang mengkaji nilai (value
theory) secara filosofis dan sistematis, termasuk nilai-nilai etis
(moral), estetis (keindahan), dan bahkan spiritualitas. Cabang ini menjawab
pertanyaan mendasar seperti: “Apa itu nilai?”, “Apa yang menjadikan
sesuatu bernilai?”, dan “Apakah nilai bersifat objektif atau subjektif?”1.
Aksiologi berupaya membongkar asumsi-asumsi metafisik dan epistemologis yang
menopang sistem nilai tertentu yang diakui oleh individu maupun masyarakat.
Di dalam lingkup
aksiologi, etika atau filsafat moral menempati posisi yang sangat sentral.
Etika membahas kriteria penilaian terhadap tindakan manusia, mengusulkan prinsip-prinsip
moral, dan mempertanyakan dasar-dasar dari baik dan buruk, benar dan salah.
Dalam sejarahnya, etika telah berkembang dalam berbagai paradigma, seperti deontologi
(Kant), utilitarianisme
(Bentham dan Mill), etika kebajikan (Aristoteles),
hingga etika diskursus (Habermas). Semua pendekatan ini, betapapun beragamnya,
berangkat dari satu asumsi mendasar: bahwa moralitas itu penting dan perlu
ditetapkan secara normatif2.
Namun, amoralisme
muncul sebagai kritik radikal terhadap premis dasar tersebut. Dalam kerangka
aksiologi, amoralisme dapat diposisikan sebagai sebuah “anti-etik” atau metaethical
stance yang menyangkal keharusan normatif atas nilai-nilai moral.
Amoralisme tidak hanya menolak sistem moral tertentu (seperti yang dilakukan
oleh pendekatan reformis dalam etika), tetapi menolak keabsahan moralitas itu
sendiri sebagai kategori aksiologis yang bermakna secara objektif atau
universal. Dalam istilah Richard Garner, amoralisme adalah pandangan bahwa “tidak
ada kewajiban moral yang benar secara objektif, dan bahwa istilah moral adalah
alat manipulatif yang digunakan untuk mengendalikan orang lain”3.
Secara aksiologis,
posisi amoralisme bersifat non-cognitivist dan nihilistik.
Non-kognitivisme menyatakan bahwa pernyataan moral tidak memiliki nilai
kebenaran karena tidak menggambarkan fakta objektif, melainkan sekadar ekspresi
emosional atau preferensi pribadi4. Sementara itu, nihilisme moral
menyatakan bahwa tidak ada kebenaran moral sama sekali—dunia ini amoral, dan
segala bentuk moralitas adalah konstruksi manusia yang tidak memiliki fondasi
objektif5. Dengan demikian, amoralisme dalam filsafat menempati
posisi yang menantang, bahkan mengganggu, konsensus etis yang telah lama
dibangun dalam tradisi filsafat Barat dan Timur.
Dalam peta besar
filsafat aksiologis, amoralisme menempati kutub ekstrem dari spektrum etik.
Jika objektivisme moral berada di satu ujung yang meyakini kebenaran moral
bersifat universal dan rasional, maka amoralisme berada di ujung lainnya,
dengan menolak eksistensi nilai moral secara esensial. Meskipun begitu,
eksistensinya penting karena memberikan tantangan intelektual terhadap asumsi
moral yang dianggap taken for granted dalam kehidupan sosial maupun dalam
konstruksi hukum dan politik. Sebagaimana ditunjukkan oleh Nietzsche, “moralitas
bukanlah fakta, melainkan interpretasi”—dan interpretasi itu sering kali
muncul dari kehendak untuk berkuasa6.
Dengan menempatkan
amoralisme secara kritis dalam kajian aksiologi, filsuf dapat menggali ulang
dasar-dasar etika yang selama ini diterima secara dogmatis, serta
mempertanyakan: apakah moralitas memang merupakan sesuatu yang inheren dalam
kodrat manusia, ataukah hanya produk historis dan sosial semata? Pertanyaan ini
bukan hanya teoritis, tetapi juga memiliki implikasi praktis dalam dunia modern
yang penuh pluralitas nilai dan krisis legitimasi etis.
Footnotes
[1]
Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 41–42.
[2]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy,
9th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2019), 1–3.
[3]
Richard Garner, Beyond Morality (Philadelphia: Temple
University Press, 1994), 6–9.
[4]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover
Publications, 1952), 102–103.
[5]
Michael Ruse, “Evolutionary Ethics: A Phoenix Arisen,” in The
Cambridge Companion to Ethics, ed. David Copp (Cambridge: Cambridge
University Press, 2006), 511–513.
[6]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), §108.
3.
Konsep
Dasar Amoralisme
Secara etimologis,
istilah amoralisme
berasal dari kata Latin a- yang berarti "tidak"
atau "tanpa", dan moralitas, yang merujuk pada
prinsip-prinsip yang membedakan antara tindakan benar dan salah. Dalam
pengertian filosofis, amoralisme mengacu pada pandangan yang menolak keberadaan
atau relevansi moralitas sebagai norma objektif atau sebagai sesuatu yang inheren
dalam kodrat manusia. Dengan kata lain, seorang amoralist tidak menganggap
bahwa ada kewajiban moral yang mengikat secara universal dan tidak memandang
tindakan sebagai baik atau buruk dalam pengertian etis yang konvensional1.
Penting untuk
membedakan antara amoralisme, imoralitas,
dan nihilisme
moral. Imoralitas mengacu pada tindakan atau pandangan yang
bertentangan dengan norma moral yang berlaku; pelaku imoral mengetahui norma
tersebut namun secara sadar melanggarnya. Sebaliknya, amoralisme menyiratkan
ketidakpedulian atau bahkan penolakan terhadap keberadaan norma tersebut.
Sementara nihilisme moral lebih jauh lagi dengan menyatakan bahwa semua nilai
moral tidak hanya tidak mengikat, tetapi sepenuhnya tidak memiliki realitas
objektif2. Amoralisme dapat berada di antara dua kutub tersebut—ia
bisa bersifat deskriptif (tidak memperhatikan
moralitas) atau normatif (menolak moralitas sebagai
konsep yang sah secara filosofis).
Secara konseptual,
amoralisme bisa diklasifikasikan menjadi beberapa jenis berdasarkan pendekatan
yang diambil terhadap nilai moral:
1)
Amoralisme Psikologis
Menggambarkan kondisi individu atau kelompok yang
tidak memiliki kapasitas psikologis untuk memahami atau merasakan dorongan
moral. Pandangan ini sering dikaitkan dengan kasus psikopatologi, tetapi tidak
selalu terkait dengan filsafat etika secara langsung3.
2)
Amoralisme
Epistemologis
Menyangkal kemungkinan pengetahuan moral. Menurut
pendekatan ini, manusia tidak memiliki cara yang sahih atau objektif untuk
mengetahui mana yang benar atau salah secara moral. Hal ini berkaitan erat
dengan non-cognitivism, yang menyatakan bahwa pernyataan moral
bukanlah ekspresi fakta, tetapi hanya ekspresi emosional atau perintah4.
3)
Amoralisme Ontologis
Berpijak pada klaim bahwa tidak ada fakta moral
dalam realitas. Dalam kerangka ini, dunia pada dasarnya adalah amoral; segala
nilai etis adalah hasil konstruksi manusia semata, dan tidak memiliki
eksistensi independen di luar pemikiran kita5.
Beberapa filsuf
modern secara eksplisit atau implisit mengusung konsep amoralisme. Friedrich
Nietzsche, misalnya, secara tajam mengkritik moralitas Kristen dan sistem etika
konvensional sebagai hasil dari “kebencian terhadap kehidupan” yang
memuliakan kelemahan dan kepatuhan6. Dalam pandangan Nietzsche,
nilai moral tidak memiliki dasar objektif, melainkan merupakan produk dari
dinamika kekuasaan dan interpretasi historis. Sementara itu, filsuf seperti
Richard Garner secara lebih sistematis membela amoralisme sebagai posisi
filsafat yang sah, dengan menyatakan bahwa konsep moral digunakan lebih sebagai
alat sosial untuk mengendalikan perilaku daripada sebagai prinsip universal
yang valid7.
Konsekuensi dari
pemikiran ini sangat besar. Jika tidak ada dasar moral yang obyektif, maka
seluruh sistem etika yang digunakan untuk menilai tindakan manusia harus
ditinjau kembali. Hal ini tidak serta-merta mendorong kepada anarki atau
kekacauan sosial, tetapi mengharuskan kita untuk membangun nilai-nilai
berdasarkan konsensus, kepentingan praktis, atau prinsip-prinsip non-moral
seperti efisiensi, kebebasan, atau kehendak individu. Dalam konteks ini,
amoralisme memosisikan dirinya bukan sebagai pembatal moralitas, tetapi sebagai
kritik radikal terhadap legitimasi moral konvensional dan fondasi metafisiknya.
Footnotes
[1]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy,
9th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2019), 10–12.
[2]
Richard Joyce, The Myth of Morality (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 2–3.
[3]
Thomas A. Widiger and Paul T. Costa Jr., “Personality and Personality
Disorders,” Journal of Abnormal Psychology 105, no. 1 (1996): 94–95.
[4]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover
Publications, 1952), 102–104.
[5]
J.L. Mackie, Ethics: Inventing Right and Wrong (Harmondsworth:
Penguin, 1977), 15–19.
[6]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans.
Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press,
2007), 17–21.
[7]
Richard Garner, Beyond Morality (Philadelphia: Temple
University Press, 1994), 1–5.
4.
Sejarah
dan Tokoh-Tokoh Pemikir Amoralis
Gagasan amoralisme
sebagai kritik terhadap nilai-nilai moral bukanlah fenomena modern sepenuhnya,
melainkan memiliki akar historis yang dalam dalam wacana filsafat, bahkan sejak
zaman klasik. Meskipun istilah "amoralisme" sendiri belum
digunakan secara eksplisit dalam karya-karya awal, pemikiran yang mencerminkan
semangat amoral dapat ditelusuri dalam berbagai era sejarah pemikiran.
4.1.
Zaman Yunani Kuno:
Thrasymachus dan Relativisme Moral Awal
Dalam dialog Republic
karya Plato, tokoh Thrasymachus digambarkan menyatakan bahwa keadilan hanyalah
“kepentingan pihak yang lebih kuat” (justice is nothing but the advantage of the
stronger)1. Pandangan ini mencerminkan sikap amoral
dalam pengertian awal: penolakan terhadap keadilan sebagai nilai moral objektif
dan penggantiannya dengan kekuasaan sebagai ukuran kebenaran. Sokrates
mengkritik pandangan ini secara tajam, namun posisi Thrasymachus tetap menjadi
referensi penting dalam sejarah ide-ide amoralistik.
4.2.
Abad Modern:
Friedrich Nietzsche dan Moralitas sebagai Ilusi
Salah satu tokoh
paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran amoralistik adalah Friedrich
Nietzsche (1844–1900). Dalam karyanya On the Genealogy of Morality dan Beyond
Good and Evil, Nietzsche menggugat fondasi moralitas konvensional,
khususnya yang berakar pada agama Kristen dan nilai-nilai Eropa Barat abad
ke-19. Ia membedakan antara moralitas tuan (yang berasal dari
kekuatan, keberanian, dan afirmasi hidup) dan moralitas budak (yang dibentuk oleh
kelemahan, penderitaan, dan kepatuhan terhadap otoritas moral eksternal)2.
Menurut Nietzsche, moralitas Kristen adalah bentuk kebencian terhadap kehidupan
yang menekan kehendak untuk berkuasa dan menciptakan nilai3.
Moralitas, dalam pandangannya, bukanlah realitas objektif, melainkan produk
historis dari kehendak interpretatif manusia.
Nietzsche tidak
sekadar mengusulkan nihilisme moral, tetapi juga mendorong lahirnya tipe
manusia baru—Übermensch—yang menciptakan
nilai-nilai baru di luar bingkai moral tradisional. Dalam konteks ini,
Nietzsche dapat dianggap sebagai pelopor amoralisme ontologis dan kreatif.
4.3.
Individualisme
Radikal: Max Stirner dan Egoisme sebagai Kritik Moral
Max Stirner
(1806–1856), dalam karyanya Der Einzige und sein Eigentum (The Ego
and Its Own), memandang moralitas sebagai konstruksi ideologis yang
mengekang kebebasan individu. Ia menganggap konsep moral, negara, dan agama
sebagai “hantu” yang menciptakan ilusi otoritas di luar diri manusia4.
Stirner menolak semua bentuk universalitas, termasuk moralitas, dan
menggantinya dengan prinsip egoisme radikal, di mana individu bertindak
berdasarkan kepentingannya sendiri tanpa tunduk pada norma eksternal.
Pemikirannya menjadi dasar bagi bentuk amoralisme yang bersifat anarkis dan
individualistik.
4.4.
Amoralisme
Kontemporer: Richard Garner dan Pembelaan Filosofis terhadap Posisi Amoral
Dalam lanskap
filsafat kontemporer, Richard Garner menjadi salah satu pembela sistematis
amoralisme. Dalam bukunya Beyond Morality, Garner mengajukan
argumen bahwa konsep moral sering kali digunakan sebagai alat untuk
mengendalikan perilaku dan menjustifikasi kekuasaan5. Ia menyatakan
bahwa kita tidak perlu moralitas untuk hidup secara etis, dan bahwa etika bisa
dibangun berdasarkan pertimbangan rasional, empati, dan konsensus tanpa perlu
mengacu pada nilai moral absolut. Garner mengusulkan pendekatan yang disebut “etika
pasca-moral” (post-moral ethics), yang
mengabaikan moralitas sebagai kategori normatif dan menggantinya dengan
pendekatan yang lebih pragmatis dan non-otoritarian6.
4.5.
Tokoh-Tokoh Tambahan
dan Pengaruh Turunan
Selain tokoh-tokoh
di atas, pemikiran amoralistik dapat ditemukan secara implisit dalam pemikiran
Michel Foucault, yang menyoroti relasi antara kekuasaan dan wacana moral, serta
dalam filsafat eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre, yang mengajukan
kebebasan radikal manusia dalam membentuk nilai tanpa rujukan ke prinsip moral
eksternal7.
Amoralisme juga
memengaruhi pemikiran dalam bidang sastra, seni, dan budaya populer, seperti
dalam karya-karya Albert Camus dan postmodernisme, yang mencurigai narasi besar
termasuk moralitas sebagai struktur ideologis.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube and C.D.C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book I, 338c.
[2]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans.
Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press,
2007), 25–39.
[3]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), §260.
[4]
Max Stirner, The Ego and Its Own, trans. Steven T. Byington
(New York: Dover Publications, 2005), 5–15.
[5]
Richard Garner, Beyond Morality (Philadelphia: Temple
University Press, 1994), 3–7.
[6]
Ibid., 8–10.
[7]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–25; Jean-Paul Sartre, Existentialism
Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press,
2007), 47–49.
5.
Argumen
dan Dasar Filosofis Amoralisme
Amoralisme sebagai
pandangan filosofis memiliki akar argumentatif yang dalam dan kompleks. Ia
tidak sekadar merupakan sikap apatis terhadap moralitas, tetapi berdiri di atas
sejumlah fondasi konseptual yang menantang asumsi dasar dalam filsafat moral
tradisional. Argumen-argumen utama yang membentuk basis amoralisme mencakup
tiga dimensi utama: ontologis, epistemologis,
dan praktis-fungsional.
5.1.
Argumen Ontologis:
Moralitas Tidak Memiliki Realitas Objektif
Argumen ontologis
menyatakan bahwa nilai-nilai moral tidak memiliki eksistensi objektif dalam
realitas. Pandangan ini berpijak pada gagasan bahwa tidak ada entitas metafisik
seperti "kebaikan" atau "kejahatan" yang
eksis secara independen di dunia. Dalam hal ini, J.L. Mackie mengajukan teori
yang disebut sebagai “error theory”, yakni bahwa
semua klaim moral bersifat keliru karena mengasumsikan eksistensi kualitas
moral objektif yang sebenarnya tidak ada1. Mackie menyatakan bahwa
jika memang nilai moral objektif ada, maka sifat-sifat tersebut akan sangat
aneh (queer)
karena tidak dapat dijelaskan secara naturalistik.
Pandangan ontologis
ini juga ditemukan dalam pemikiran Nietzsche, yang menyatakan bahwa nilai-nilai
moral merupakan konstruksi historis dan ekspresi kehendak untuk berkuasa, bukan
refleksi dari realitas moral objektif2. Oleh karena itu, moralitas tidak
bersifat transenden atau universal, tetapi merupakan hasil interpretasi,
manipulasi, dan reaksi terhadap dinamika kekuasaan.
5.2.
Argumen
Epistemologis: Moralitas Tidak Dapat Diketahui Secara Objektif
Argumen
epistemologis menyoroti persoalan bagaimana kita mengetahui
sesuatu itu baik atau buruk secara moral. Para amoralist berpendapat bahwa
tidak ada landasan epistemologis yang dapat dipercaya untuk menghasilkan
pengetahuan moral yang sahih. A.J. Ayer, seorang filsuf positivis logis,
menyatakan bahwa proposisi moral seperti “membunuh itu salah” tidak
bersifat faktual dan tidak dapat diverifikasi secara empiris atau logis. Oleh
karena itu, ia mengkategorikan pernyataan moral sebagai ekspresi emosional
belaka—bukan sebagai klaim kognitif yang dapat diuji benar atau salah3.
Dalam kerangka ini,
moralitas hanyalah ekspresi perasaan atau preferensi pribadi, mirip dengan
mengatakan “membunuh? Ugh!”. Dengan demikian, tidak ada alasan filosofis yang
kuat untuk menganggap bahwa norma moral memiliki validitas universal.
5.3.
Argumen Fungsional:
Moralitas Sebagai Alat Sosial dan Alat Kekuasaan
Argumen ketiga
melihat moralitas bukan sebagai kebenaran normatif, melainkan sebagai alat
sosial yang digunakan untuk mengatur perilaku dan memelihara
stabilitas kekuasaan. Pandangan ini ditemukan dalam karya Richard Garner yang
menyatakan bahwa konsep moral sering kali dimanfaatkan sebagai mekanisme
kontrol sosial, bukan karena nilai-nilai tersebut benar, tetapi
karena mereka efektif dalam menjaga ketertiban dan kepatuhan4.
Garner berargumen bahwa masyarakat bisa hidup secara etis tanpa moralitas;
etika dapat direformulasi atas dasar rasionalitas, empati, dan kesepakatan
bersama tanpa harus bergantung pada imperatif moral absolut.
Filsuf
post-strukturalis seperti Michel Foucault juga mengembangkan pendekatan serupa
melalui analisis genealogi wacana moral dan relasinya dengan kekuasaan.
Foucault menunjukkan bahwa konstruksi moral sering kali beroperasi sebagai
bentuk penataan tubuh dan jiwa individu dalam kerangka disiplin sosial5.
5.4.
Kritik terhadap
Otoritas Moral Tradisional
Amoralisme juga
mengandung elemen kritik terhadap otoritas moral yang mengklaim superioritas
universal—seperti agama, negara, atau sistem hukum—yang sering dianggap
mewakili kebenaran moral. Nietzsche, misalnya, mencela moralitas Kristen
sebagai moralitas budak yang menindas potensi individual6. Max
Stirner menolak semua otoritas moral sebagai bentuk "hantu"
yang membatasi kebebasan individu untuk hidup berdasarkan kehendaknya sendiri7.
Dengan menolak
otoritas moral sebagai prinsip mutlak, amoralisme menawarkan ruang untuk
kebebasan individu yang tidak dibatasi oleh norma eksternal. Ia membuka
kemungkinan untuk membangun sistem etika alternatif yang tidak bertumpu pada
ide moralitas, melainkan pada kebebasan, kepentingan rasional, atau kesepakatan
sosial.
Penutup Sementara
Argumen-argumen
tersebut menunjukkan bahwa amoralisme bukan sekadar bentuk sinisme terhadap
etika, melainkan sebuah posisi filosofis yang mencoba mendekonstruksi dan
mendefinisikan ulang bagaimana manusia memahami, menyusun, dan merespons
nilai-nilai. Dalam konteks ini, amoralisme berfungsi sebagai kritik terhadap
fondasi aksiologi normatif, sekaligus sebagai alternatif radikal terhadap
absolutisme etika.
Footnotes
[1]
J.L. Mackie, Ethics: Inventing Right and Wrong (Harmondsworth:
Penguin, 1977), 35–38.
[2]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans.
Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press,
2007), 26–29.
[3]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications,
1952), 107–109.
[4]
Richard Garner, Beyond Morality (Philadelphia: Temple
University Press, 1994), 3–8.
[5]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 25–30.
[6]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), §260.
[7]
Max Stirner, The Ego and Its Own, trans. Steven T. Byington
(New York: Dover Publications, 2005), 8–13.
6.
Implikasi
Amoralisme terhadap Kehidupan Praktis
Amoralisme tidak
hanya menjadi wacana abstrak dalam lingkup filsafat teoritis, tetapi juga
menimbulkan dampak yang signifikan terhadap cara individu dan masyarakat
memahami, memaknai, dan mengarahkan tindakan dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika prinsip-prinsip moral konvensional ditanggalkan atau ditolak, pertanyaan
utama yang muncul adalah: bagaimana manusia seharusnya bertindak tanpa
rujukan pada moralitas? Jawaban atas pertanyaan ini membuka
sejumlah implikasi dalam ranah etika pribadi, hubungan sosial, politik, dan
struktur institusional.
6.1.
Etika Personal:
Kebebasan Individu Tanpa Batas Moral Tradisional
Salah satu implikasi
utama dari amoralisme dalam kehidupan personal adalah meningkatnya otonomi
individu dalam merumuskan nilai dan makna hidup. Dalam ketiadaan norma moral
universal, setiap orang menjadi agen penuh atas kehidupannya sendiri. Max
Stirner, misalnya, menyatakan bahwa individu bebas bertindak berdasarkan
kehendak egoistiknya tanpa harus tunduk pada “hantu-hantu” ideologis
seperti Tuhan, Negara, atau Moralitas1. Stirner menekankan
pentingnya kesadaran diri sebagai satu-satunya dasar tindakan, sehingga etika
yang muncul bersifat personal dan kontekstual, bukan normatif dan universal.
Namun, kebebasan ini
bersifat ambivalen. Di satu sisi, ia memungkinkan kebangkitan kreativitas moral
dan eksistensi autentik. Di sisi lain, ia berisiko membawa pada relativisme
ekstrem, anomi, atau bahkan justifikasi terhadap tindakan destruktif. Friedrich
Nietzsche merespons hal ini dengan mengajukan ideal Übermensch, yaitu manusia unggul
yang tidak hanya bebas dari moralitas lama, tetapi juga mampu menciptakan
nilai-nilai baru sebagai afirmasi terhadap kehidupan2.
6.2.
Relasi Sosial: Etika
Alternatif Berbasis Kepentingan dan Konsensus
Dalam masyarakat
amoral, prinsip hidup berdampingan tidak lagi didasarkan pada keharusan moral
seperti “berbuat baik kepada sesama” atau “hormatilah sesama manusia”,
melainkan pada logika timbal balik, kontrak sosial, atau pertimbangan
pragmatis. Richard Garner menyatakan bahwa masyarakat tidak memerlukan
moralitas untuk hidup etis; justru dengan meninggalkan konsep moral yang
bersifat menghakimi, masyarakat dapat membangun bentuk etika yang lebih
fungsional dan jujur—berbasis pada empati, kepentingan bersama, dan
rasionalitas3.
Konsep ini paralel
dengan pendekatan etika pasca-moral (post-moral ethics), yang
menyarankan agar keputusan etis diambil bukan karena “itu benar secara moral”,
tetapi karena itu bermanfaat, tidak menyakiti, atau disepakati bersama dalam
suatu komunitas rasional. Dengan demikian, tanggung jawab moral digantikan oleh
tanggung jawab sosial dan eksistensial.
6.3.
Politik dan Hukum:
Kritik terhadap Moralitas Institusional
Amoralisme juga
mengundang refleksi kritis terhadap penggunaan moralitas oleh negara dan
institusi. Michel Foucault menunjukkan bahwa banyak sistem moral dalam
masyarakat modern—termasuk sistem hukum, pendidikan, dan kedokteran—bekerja
sebagai mekanisme kontrol yang membentuk subjek “taat” melalui
normalisasi perilaku4. Dalam kerangka amoral, tindakan tersebut
dapat dilihat bukan sebagai instrumen keadilan, melainkan sebagai manifestasi
kuasa yang dibungkus dalam wacana etis.
Dari sudut pandang
ini, hukum tidak lagi dianggap sebagai pengejawantahan nilai-nilai moral luhur,
melainkan sebagai produk politik yang harus diuji secara kritis atas dasar
efektivitas, kesepakatan, dan dampaknya terhadap kebebasan. Maka, warga negara
amoral dapat tetap patuh pada hukum bukan karena itu “benar secara moral”,
tetapi karena itu rasional, kontraktual, atau sekadar praktis untuk menjaga
keberlangsungan hidup bersama.
6.4.
Tantangan
Eksistensial: Krisis Makna dan Tanggung Jawab
Salah satu
konsekuensi paling dalam dari amoralisme adalah tantangan eksistensial yang
ditimbulkannya. Jika moralitas bukan lagi fondasi kehidupan, maka individu
dihadapkan pada kekosongan nilai yang dapat melahirkan nihilisme. Jean-Paul
Sartre menggambarkan kondisi ini sebagai “kutukan kebebasan”, di mana
manusia tidak memiliki acuan moral eksternal dan karena itu bertanggung jawab
penuh atas makna hidupnya sendiri5.
Dalam konteks ini,
amoralisme menuntut tingkat kesadaran dan tanggung jawab personal yang tinggi.
Seseorang tidak bisa lagi menyandarkan keputusan moralnya pada perintah Tuhan,
otoritas agama, atau norma masyarakat, tetapi harus merumuskannya sendiri
secara otentik dan reflektif. Paradoksnya, amoralisme dapat menjadi dasar
pembentukan etika personal yang lebih jujur dan mendalam, meskipun dengan harga
ontologis dan psikologis yang tidak ringan.
Kesimpulan Sementara
Implikasi amoralisme
terhadap kehidupan praktis tidak serta-merta bermakna anarki moral atau
kekacauan sosial. Justru, dalam banyak hal, amoralisme menawarkan kemungkinan
untuk merumuskan ulang etika yang lebih fungsional, bebas dari pretensi
absolutisme, dan berakar pada kesadaran otonom. Namun, ia juga membawa
tantangan besar dalam hal tanggung jawab, makna, dan legitimasi sosial, yang
menuntut refleksi mendalam dalam setiap pengambilan keputusan etis.
Footnotes
[1]
Max Stirner, The Ego and Its Own, trans. Steven T. Byington (New
York: Dover Publications, 2005), 8–15.
[2]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter
Kaufmann (New York: Modern Library, 1995), 126–129.
[3]
Richard Garner, Beyond Morality (Philadelphia: Temple
University Press, 1994), 6–11.
[4]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–25.
[5]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 32–34.
7.
Kritik
terhadap Amoralisme
Meskipun amoralisme
menawarkan perspektif yang radikal dan menggugah terhadap keberlakuan moralitas
konvensional, pandangan ini juga tidak lepas dari kritik tajam dari berbagai
aliran filsafat moral. Kritikus amoralisme berpendapat bahwa penghapusan nilai-nilai
moral sebagai acuan etis justru dapat membahayakan koherensi sosial,
mengaburkan dasar tanggung jawab manusia, dan menihilkan orientasi etis dalam
tindakan. Kritik-kritik ini dapat dikategorikan ke dalam beberapa pendekatan
filosofis utama: deontologis, utilitarian,
etika
kebajikan, dan komunitarianisme moral.
7.1.
Kritik Deontologis:
Moralitas Sebagai Rasionalitas Kategoris
Pandangan
deontologis, yang dipelopori oleh Immanuel Kant, menolak amoralisme atas dasar
bahwa moralitas adalah perintah rasional yang bersifat universal. Bagi Kant,
tindakan hanya dapat disebut bermoral apabila didasarkan pada imperatif
kategoris, yaitu prinsip moral yang harus diikuti oleh setiap
individu semata-mata karena prinsip itu sendiri, bukan karena akibat atau
dorongan emosional1. Dalam kerangka ini, menolak moralitas berarti
menolak rasionalitas praktis itu sendiri.
Amoralisme dianggap
gagal memahami bahwa manusia sebagai makhluk rasional memiliki dignity
yang menuntut pengakuan terhadap nilai moral universal. Tanpa prinsip moral
yang mengikat secara universal, tidak ada jaminan bahwa hak asasi dan martabat
manusia dapat dihormati.
7.2.
Kritik Utilitarian:
Absennya Ukuran Kebahagiaan dan Kesejahteraan
Dari perspektif
utilitarian, amoralisme dikritik karena mengabaikan konsekuensi tindakan
terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan umum. Jeremy Bentham dan John Stuart
Mill menekankan bahwa ukuran moralitas terletak pada “sebesar-besar manfaat
bagi sebanyak-banyaknya orang”2. Dalam konteks ini, pandangan
amoral dianggap membahayakan tatanan sosial karena tidak menawarkan standar
evaluasi untuk menentukan apakah suatu tindakan membawa manfaat atau justru
kerugian kolektif.
Utilitarianisme
menilai bahwa tanpa ukuran moral objektif, seperti prinsip utilitas, masyarakat
akan kesulitan membedakan antara tindakan yang layak didukung dan yang
seharusnya dicegah. Oleh sebab itu, amoralisme dianggap melemahkan struktur
evaluatif yang diperlukan untuk membentuk kebijakan publik yang adil dan
seimbang.
7.3.
Kritik Etika
Kebajikan: Kehampaan Teladan Moral
Etika kebajikan,
sebagaimana dikembangkan oleh Aristoteles, menilai moralitas bukan hanya dalam
kaitannya dengan tindakan atau akibat, tetapi dengan pembentukan karakter
manusia itu sendiri. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles
menekankan bahwa manusia mencapai eudaimonia (kebahagiaan atau
kebermaknaan hidup) melalui kebajikan yang dibentuk oleh kebiasaan dan nalar
praktis (phronesis)3.
Amoralisme, yang menolak kerangka moral, dinilai gagal memberikan dasar bagi
pembentukan karakter luhur yang diperlukan dalam kehidupan bersama.
Tanpa adanya teladan
kebajikan seperti kejujuran, keberanian, dan keadilan, manusia akan kehilangan
arah dalam membentuk diri sebagai subjek etis. Oleh karena itu, dalam pandangan
ini, amoralisme berisiko menciptakan manusia yang hanya berorientasi pada
dorongan spontan tanpa kompas nilai internal.
7.4.
Kritik Komunitarian:
Kehampaan Makna Sosial
Dari perspektif
komunitarian, seperti yang diusung oleh Alasdair MacIntyre, kritik terhadap
amoralisme muncul dari pandangan bahwa nilai moral tidak dapat dilepaskan dari
praktik sosial dan tradisi komunitas4. Dalam After
Virtue, MacIntyre menegaskan bahwa nilai moral inheren dalam
struktur kehidupan bersama dan praktik bermakna (seperti keadilan, kesetiaan,
dan tanggung jawab). Amoralisme, dengan tendensi individualistiknya,
mengabaikan dimensi sosial dari etika dan menihilkan peran komunitas dalam
membentuk moralitas.
Jika semua nilai
moral dianggap konstruksi arbitrer, maka tidak ada dasar yang kokoh untuk
membangun solidaritas, tanggung jawab sosial, atau komitmen antaranggota
komunitas. Dengan kata lain, amoralisme berisiko meruntuhkan fondasi simbolik
dan historis yang menyatukan masyarakat.
7.5.
Kritik Eksistensial
dan Psikologis: Krisis Makna dan Nihilisme
Kritik terakhir
datang dari dimensi eksistensial dan psikologis. Banyak filsuf, termasuk Viktor
Frankl, menyoroti bahwa penghapusan nilai moral dapat menyebabkan kekosongan
eksistensial atau nihilisme, yaitu perasaan bahwa
hidup tidak memiliki makna yang layak diperjuangkan5. Dalam
pandangan Frankl, manusia membutuhkan “makna” sebagai kekuatan
motivasional utama untuk bertahan dalam penderitaan dan menjalani kehidupan
yang bermakna.
Amoralisme, yang
menafikan nilai-nilai normatif, dipandang berpotensi melahirkan apati, sinisme,
dan bahkan destruksi moral dalam individu. Tanpa struktur nilai, manusia tidak
memiliki kerangka naratif untuk memahami penderitaan, tanggung jawab, dan
tujuan eksistensialnya.
Kesimpulan Sementara
Kritik terhadap
amoralisme menunjukkan bahwa meskipun ia memiliki daya gugah filosofis, ia
tidak bebas dari konsekuensi problematik dalam tataran praktis dan konseptual.
Moralitas, sebagaimana disoroti oleh para kritikus, bukan sekadar sistem
larangan, tetapi juga sarana pengembangan kepribadian, solidaritas sosial, dan
arah hidup yang bermakna. Oleh karena itu, tantangan bagi para penganut
amoralisme adalah merumuskan alternatif etika yang dapat menjawab kebutuhan
eksistensial dan sosial manusia tanpa jatuh pada kekacauan nilai atau relativisme
ekstrem.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30–36.
[2]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 7–9.
[3]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book II, 1103a–1106b.
[4]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 2007), 216–225.
[5]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch
(Boston: Beacon Press, 2006), 111–115.
8.
Relevansi
dan Kontroversi Amoralisme di Era Modern
Di tengah dinamika
abad ke-21 yang ditandai oleh pluralisme budaya, relativisme nilai, kemajuan
teknologi, serta krisis institusi moral tradisional, gagasan amoralisme
memperoleh kembali daya tarik dan urgensi filosofisnya. Dalam konteks inilah
amoralisme tidak hanya berfungsi sebagai kritik terhadap sistem nilai yang
telah mapan, melainkan juga sebagai lensa interpretatif yang relevan dalam
membaca perkembangan sosial dan etis kontemporer. Namun, bersamaan dengan itu,
ia menimbulkan kontroversi yang tajam dalam wacana publik, etika terapan, dan
filsafat moral modern.
8.1.
Pluralisme Nilai dan
Erosi Moralitas Universal
Globalisasi dan
interkoneksi budaya telah menghasilkan benturan serta pertukaran nilai yang
semakin kompleks. Nilai-nilai moral yang dulunya dianggap bersifat universal
kini dipertanyakan dalam konteks perbedaan etnis, agama, gender, dan orientasi
hidup. Charles Taylor menyebut gejala ini sebagai “age of authenticity”,
yakni era di mana individu semakin mendasarkan pilihan hidup pada keaslian
diri, bukan pada norma eksternal1.
Dalam lanskap
seperti ini, amoralisme muncul sebagai pendekatan yang mengakui bahwa tidak ada
fondasi moral tunggal yang dapat berlaku bagi semua orang di segala waktu.
Posisi ini mendukung kebebasan individu untuk menentukan nilai sendiri, namun
juga mengaburkan batas antara kebebasan dan ketidakterikatan terhadap tanggung
jawab sosial. Akibatnya, wacana moral kerap digantikan oleh bahasa preferensi,
selera, atau identitas.
8.2.
Amoralisme dalam
Budaya Populer dan Media
Gagasan amoral tidak
hanya berkembang dalam ruang akademik, tetapi juga terefleksi dalam budaya
populer, terutama melalui karakter-karakter dalam film, sastra, dan serial
televisi yang tidak tunduk pada nilai-nilai moral konvensional. Tokoh seperti Walter
White dalam Breaking Bad, Tom
Ripley dalam karya Patricia Highsmith, atau Joker
dalam berbagai adaptasinya, mencerminkan subjektivisme moral yang ekstrem di
mana tokoh utama bertindak di luar batas etika sosial demi kehendaknya sendiri2.
Fenomena ini memicu
perdebatan: apakah representasi amoral dalam media merupakan kritik terhadap
hipokrisi moral masyarakat, atau justru mengglorifikasi kekerasan dan
manipulasi sebagai bentuk kebebasan individu? Banyak pengamat budaya menilai
bahwa tren ini mencerminkan kejenuhan terhadap moralitas standar, sekaligus
kegelisahan akan kekosongan nilai di tengah masyarakat yang semakin atomistik.
8.3.
Teknologi,
Algoritma, dan Keputusan Amoral
Dalam era digital,
muncul pula tantangan baru bagi moralitas melalui peran algoritma dan
kecerdasan buatan. Sistem otomatis seperti machine learning dan big data
mengambil keputusan berdasarkan efisiensi, statistik, dan pola perilaku—bukan
prinsip moral. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa keputusan-keputusan
penting seperti alokasi sumber daya kesehatan, peringkat kredit, atau
rekomendasi media, tidak didasarkan pada nilai etis, melainkan logika teknis
yang amoral3.
Sebagaimana
diperingatkan oleh Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism,
logika ekonomi digital cenderung mengabaikan pertimbangan etis dan menggantinya
dengan tujuan komersial dan kontrol sosial, yang menunjukkan bentuk praktik
amoralisme dalam skala sistemik4. Oleh karena itu, amoralisme tidak
lagi hanya menjadi sikap individu, tetapi bisa menjadi prinsip operasional
dalam sistem teknologi modern.
8.4.
Kontroversi dalam
Etika Postmodern dan Filsafat Moral Baru
Di tingkat wacana
filsafat, amoralisme mendapatkan sambutan sekaligus penolakan dari para pemikir
postmodern. Michel Foucault, misalnya, tidak secara eksplisit membela
amoralisme, tetapi melalui genealoginya terhadap moralitas Barat, ia
menunjukkan bahwa nilai moral merupakan hasil konstruksi historis yang tidak
dapat dilepaskan dari relasi kuasa5. Jacques Derrida, dengan konsep deconstruction-nya,
menantang klaim finalitas atas kebenaran etis dan membuka kemungkinan untuk
membaca moralitas sebagai teks yang terbuka, ambigu, dan dapat ditafsir ulang6.
Namun, pendekatan
ini juga menuai kritik. Beberapa filsuf menilai bahwa relativisme radikal dan
pengaburan makna moral justru melemahkan komitmen terhadap keadilan dan
martabat manusia, terutama dalam konteks pelanggaran HAM, penindasan sistemik,
atau kejahatan global. Dalam hal ini, amoralisme dituduh memberikan celah bagi
nihilisme etis yang melumpuhkan keberanian moral untuk bertindak.
8.5.
Ruang Potensial
untuk Etika Baru
Kendati memicu
banyak kontroversi, amoralisme juga membuka ruang refleksi untuk merumuskan
ulang etika di era yang kompleks ini. Alih-alih tunduk pada sistem moral
absolut, muncul dorongan untuk mengembangkan etika situasional, etika
konsensual, atau etika tanggung jawab
sebagaimana diajukan oleh Hans Jonas dalam menghadapi teknologi yang melampaui
kapasitas moral tradisional7.
Dengan demikian,
amoralisme di era modern menjadi medan pertarungan antara ketegangan dan
kemungkinan. Ia menantang status quo moral, namun juga mendesak lahirnya bentuk
etika yang lebih adaptif, reflektif, dan sadar akan kompleksitas kondisi
manusia kontemporer.
Footnotes
[1]
Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1992), 25–35.
[2]
Christopher Grau, “Evil Genius: Walter White and the Ethics of Being
Bad,” in Breaking Bad and Philosophy: Badder Living through Chemistry,
ed. David R. Koepsell and Robert Arp (Chicago: Open Court, 2012), 45–59.
[3]
Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases
Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown Publishing, 2016),
9–14.
[4]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 376–392.
[5]
Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction,
trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 81–87.
[6]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–293.
[7]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics
for the Technological Age, trans. Hans Jonas and David Herr (Chicago:
University of Chicago Press, 1984), 9–12.
9.
Kesimpulan
dan Refleksi Filosofis
Amoralisme, sebagai
sebuah posisi dalam spektrum aksiologi, menempati tempat yang radikal namun
penting dalam diskursus filsafat etika. Ia hadir bukan sekadar sebagai
penolakan terhadap moralitas konvensional, tetapi sebagai tantangan filosofis
terhadap asumsi-asumsi dasar tentang objektivitas nilai, keharusan normatif,
dan validitas universal dari sistem etika. Dengan menanggalkan klaim bahwa
terdapat nilai moral yang absolut, amoralisme menempatkan kembali manusia
sebagai pusat penentu makna dan nilai berdasarkan kehendaknya sendiri—sebuah
gagasan yang mendapat penguatan dari pemikiran Nietzsche, Stirner, hingga
Richard Garner1.
Melalui pendekatan
ontologis, epistemologis, dan fungsional, amoralisme berhasil mengungkap
keretakan dalam landasan metafisik dan epistemik dari moralitas tradisional. Ia
menunjukkan bahwa moralitas tidak selalu berdiri di atas dasar yang kokoh,
melainkan seringkali dikonstruksi secara sosial dan digunakan sebagai alat
legitimasi kekuasaan2. Dalam banyak konteks, terutama ketika
nilai-nilai moral digunakan untuk membenarkan kekerasan, diskriminasi, atau
represi, sikap amoral justru menjadi bentuk kritik etis yang sah terhadap
hegemoni normatif.
Namun demikian,
refleksi terhadap amoralisme tidak dapat berhenti pada penyangkalan belaka.
Amoralisme, jika tidak diimbangi dengan tanggung jawab reflektif dan kesadaran
eksistensial, berisiko jatuh pada nihilisme etis yang menihilkan makna,
mereduksi hubungan antarmanusia, dan merusak struktur sosial yang memerlukan
kepercayaan, komitmen, dan kerja sama. Di sinilah letak tantangan filosofis:
bagaimana mengakui bahwa moralitas tidak bersifat absolut, namun tetap menjaga
ruang bagi etika yang rasional, terbuka, dan inklusif3.
Sebagaimana dicatat
oleh Hans Jonas, dalam dunia yang digerakkan oleh kekuatan teknologi dan
globalisasi, manusia dituntut untuk merumuskan bentuk tanggung jawab baru yang
tidak selalu bisa bersandar pada moralitas klasik, tetapi juga tidak bisa
dikosongkan dari nilai etis secara keseluruhan4. Dalam titik ini,
amoralisme harus berdialog dengan berbagai pendekatan filsafat moral untuk
menghasilkan bentuk etika yang adaptif namun tetap berakar pada penghormatan
terhadap kemanusiaan.
Dengan demikian,
artikel ini menegaskan bahwa amoralisme dapat berperan sebagai pisau analisis
yang tajam terhadap struktur moral yang mapan, tetapi tidak seharusnya
dijadikan sebagai doktrin tertutup. Justru dalam ketegangan antara afirmasi
kebebasan individu dan kebutuhan akan orientasi etis bersama, filsafat dapat
bekerja untuk membangun landasan moral baru yang lebih reflektif, plural, dan
manusiawi.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans.
Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press,
2007), 25–30; Max Stirner, The Ego and Its Own, trans. Steven T.
Byington (New York: Dover Publications, 2005), 8–15; Richard Garner, Beyond
Morality (Philadelphia: Temple University Press, 1994), 5–9.
[2]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–27.
[3]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 2007), 259–263.
[4]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas and David Herr
(Chicago: University of Chicago Press, 1984), 7–12.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work published ca. 350
BCE)
Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic.
Dover Publications.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press. (Original work published 1967)
Foucault, M. (1990). The history of sexuality,
Vol. 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work
published 1975)
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning
(I. Lasch, Trans.). Beacon Press. (Original work published 1946)
Garner, R. (1994). Beyond morality. Temple
University Press.
Grau, C. (2012). Evil genius: Walter White and the
ethics of being bad. In D. R. Koepsell & R. Arp (Eds.), Breaking bad and
philosophy: Badder living through chemistry (pp. 45–59). Open Court.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age (H. Jonas
& D. Herr, Trans.). University of Chicago Press.
Joyce, R. (2001). The myth of morality.
Cambridge University Press.
Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1785)
MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd
ed.). University of Notre Dame Press.
Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R.
Crisp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1863)
Mackie, J. L. (1977). Ethics: Inventing right
and wrong. Penguin Books.
Nietzsche, F. (1989). Beyond good and evil
(W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1886)
Nietzsche, F. (1995). Thus spoke Zarathustra
(W. Kaufmann, Trans.). Modern Library. (Original work published 1883–1891)
Nietzsche, F. (2007). On the genealogy of
morality (C. Diethe, Trans.; K. Ansell-Pearson, Ed.). Cambridge University
Press. (Original work published 1887)
O’Neil, C. (2016). Weapons of math destruction:
How big data increases inequality and threatens democracy. Crown
Publishing.
Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube
& C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work
published ca. 380 BCE)
Rachels, J., & Rachels, S. (2019). The
elements of moral philosophy (9th ed.). McGraw-Hill Education.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism
(C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work published 1946)
Stirner, M. (2005). The ego and its own (S.
T. Byington, Trans.). Dover Publications. (Original work published 1844)
Taylor, C. (1992). The ethics of authenticity.
Harvard University Press.
Widiger, T. A., & Costa, P. T., Jr. (1996).
Personality and personality disorders. Journal of Abnormal Psychology, 105(1),
94–95.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power.
PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar