Selasa, 10 Juni 2025

Amoralisme: Kritik terhadap Moralitas Konvensional dalam Filsafat Etika

Amoralisme

Kritik terhadap Moralitas Konvensional dalam Filsafat Etika


Alihkan ke: Aliran Aksiologi.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif gagasan amoralisme sebagai salah satu aliran pemikiran dalam cabang aksiologi, khususnya dalam konteks filsafat etika. Amoralisme diposisikan sebagai kritik radikal terhadap moralitas konvensional yang dianggap sarat dengan absolutisme nilai dan dominasi normatif. Dengan menelusuri dasar ontologis, epistemologis, dan fungsional dari amoralisme, artikel ini menunjukkan bagaimana aliran ini mempertanyakan keberadaan nilai moral objektif, validitas klaim normatif, serta otoritas institusi moral dalam kehidupan manusia. Selain meninjau sejarah pemikiran amoralis dari masa Yunani Kuno hingga kontemporer—dengan menyoroti tokoh-tokoh seperti Thrasymachus, Friedrich Nietzsche, Max Stirner, hingga Richard Garner—artikel ini juga menguraikan implikasi praktis dari amoralisme dalam ranah etika personal, relasi sosial, politik, teknologi, dan budaya populer. Di sisi lain, artikel ini juga mengulas berbagai kritik terhadap amoralisme dari perspektif deontologis, utilitarian, etika kebajikan, komunitarian, hingga eksistensialis. Dengan pendekatan reflektif, artikel ini mengajak pembaca untuk memahami amoralisme tidak semata sebagai bentuk penyangkalan nilai, melainkan sebagai tantangan filosofis yang mendorong dekonstruksi terhadap nilai-nilai moral mapan serta pembentukan etika yang lebih adaptif, rasional, dan manusiawi dalam dunia yang kompleks dan plural.

Kata Kunci: Amoralisme, aksiologi, moralitas, etika filsafat, nihilisme, kritik moral, kebebasan individu, nilai-nilai sosial, relativisme etis, etika kontemporer.


PEMBAHASAN

Amoralisme dalam Perspektif Aksiologi


1.           Pendahuluan

Aksiologi sebagai salah satu cabang utama dalam filsafat mencakup studi sistematis terhadap nilai, termasuk nilai moral, estetika, dan spiritual. Dalam konteks ini, etika—yang berfokus pada penilaian baik dan buruk, benar dan salah—merupakan salah satu wilayah penting dari kajian aksiologis. Mayoritas tradisi filsafat Barat dan Timur umumnya mendasarkan sistem etikanya pada asumsi bahwa nilai moral memiliki dasar objektif atau setidaknya universal yang dapat diterima secara rasional oleh masyarakat luas. Namun, tidak semua pemikiran filosofis tunduk pada pandangan tersebut.

Salah satu aliran yang secara radikal menolak keberlakuan atau eksistensi nilai moral universal adalah amoralisme. Dalam kerangka ini, amoralisme dipahami sebagai pandangan yang menyangkal adanya keharusan moral dalam kehidupan manusia, atau setidaknya menganggap bahwa moralitas bersifat relatif, arbitrer, atau bahkan ilusi belaka. Pandangan ini berbeda dengan imoralitas, yang melibatkan pelanggaran terhadap norma moral, karena amoralisme justru mempertanyakan legitimasi normatif dari moral itu sendiri. Amoralisme seringkali bersifat konseptual dan ontologis, dan tidak selalu menyiratkan tindakan destruktif, melainkan lebih pada pembebasan individu dari konstruksi moral konvensional yang dianggap represif atau artifisial1.

Kehadiran amoralisme dalam sejarah pemikiran tidak dapat dipisahkan dari kritik-kritik mendasar terhadap moralitas tradisional. Tokoh-tokoh seperti Friedrich Nietzsche menegaskan bahwa moralitas konvensional yang dibangun atas dasar agama atau norma sosial hanyalah refleksi dari kehendak untuk berkuasa dari kelompok-kelompok tertentu, khususnya kaum lemah yang membentuk sistem moral untuk menundukkan yang kuat2. Dalam pandangan Nietzsche, moralitas semacam itu menciptakan apa yang ia sebut sebagai moralitas budak—suatu sistem nilai yang mengagungkan kelemahan, kerendahan hati, dan kepatuhan atas nama kebaikan3.

Diskursus tentang amoralisme menjadi semakin relevan dalam era modern dan postmodern, di mana pluralitas nilai, relativisme budaya, dan skeptisisme terhadap narasi besar (grand narratives) memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang legitimasi moralitas konvensional. Di tengah perkembangan ini, penting untuk menelaah amoralisme bukan hanya sebagai bentuk ekstrem dari kritik moral, tetapi juga sebagai tantangan terhadap asumsi-asumsi dasar aksiologi itu sendiri.

Artikel ini bertujuan untuk mengurai secara sistematis hakikat, akar pemikiran, argumentasi filosofis, serta implikasi dari amoralisme dalam konteks filsafat nilai. Dengan menggali sejarah, tokoh, dan argumen kritisnya, pembaca diharapkan dapat memahami amoralisme tidak hanya sebagai penolakan terhadap moralitas, tetapi juga sebagai upaya reflektif dalam mempertanyakan sumber dan legitimasi nilai-nilai yang selama ini dianggap sakral.


Footnotes

[1]                Richard Garner, Beyond Morality (Philadelphia: Temple University Press, 1994), 5–8.

[2]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 25–31.

[3]                Ibid., 34–38.


2.           Aksiologi dan Posisi Amoralisme dalam Filsafat

Dalam tradisi filsafat, aksiologi merupakan cabang yang mengkaji nilai (value theory) secara filosofis dan sistematis, termasuk nilai-nilai etis (moral), estetis (keindahan), dan bahkan spiritualitas. Cabang ini menjawab pertanyaan mendasar seperti: “Apa itu nilai?”, “Apa yang menjadikan sesuatu bernilai?”, dan “Apakah nilai bersifat objektif atau subjektif?1. Aksiologi berupaya membongkar asumsi-asumsi metafisik dan epistemologis yang menopang sistem nilai tertentu yang diakui oleh individu maupun masyarakat.

Di dalam lingkup aksiologi, etika atau filsafat moral menempati posisi yang sangat sentral. Etika membahas kriteria penilaian terhadap tindakan manusia, mengusulkan prinsip-prinsip moral, dan mempertanyakan dasar-dasar dari baik dan buruk, benar dan salah. Dalam sejarahnya, etika telah berkembang dalam berbagai paradigma, seperti deontologi (Kant), utilitarianisme (Bentham dan Mill), etika kebajikan (Aristoteles), hingga etika diskursus (Habermas). Semua pendekatan ini, betapapun beragamnya, berangkat dari satu asumsi mendasar: bahwa moralitas itu penting dan perlu ditetapkan secara normatif2.

Namun, amoralisme muncul sebagai kritik radikal terhadap premis dasar tersebut. Dalam kerangka aksiologi, amoralisme dapat diposisikan sebagai sebuah “anti-etik” atau metaethical stance yang menyangkal keharusan normatif atas nilai-nilai moral. Amoralisme tidak hanya menolak sistem moral tertentu (seperti yang dilakukan oleh pendekatan reformis dalam etika), tetapi menolak keabsahan moralitas itu sendiri sebagai kategori aksiologis yang bermakna secara objektif atau universal. Dalam istilah Richard Garner, amoralisme adalah pandangan bahwa “tidak ada kewajiban moral yang benar secara objektif, dan bahwa istilah moral adalah alat manipulatif yang digunakan untuk mengendalikan orang lain3.

Secara aksiologis, posisi amoralisme bersifat non-cognitivist dan nihilistik. Non-kognitivisme menyatakan bahwa pernyataan moral tidak memiliki nilai kebenaran karena tidak menggambarkan fakta objektif, melainkan sekadar ekspresi emosional atau preferensi pribadi4. Sementara itu, nihilisme moral menyatakan bahwa tidak ada kebenaran moral sama sekali—dunia ini amoral, dan segala bentuk moralitas adalah konstruksi manusia yang tidak memiliki fondasi objektif5. Dengan demikian, amoralisme dalam filsafat menempati posisi yang menantang, bahkan mengganggu, konsensus etis yang telah lama dibangun dalam tradisi filsafat Barat dan Timur.

Dalam peta besar filsafat aksiologis, amoralisme menempati kutub ekstrem dari spektrum etik. Jika objektivisme moral berada di satu ujung yang meyakini kebenaran moral bersifat universal dan rasional, maka amoralisme berada di ujung lainnya, dengan menolak eksistensi nilai moral secara esensial. Meskipun begitu, eksistensinya penting karena memberikan tantangan intelektual terhadap asumsi moral yang dianggap taken for granted dalam kehidupan sosial maupun dalam konstruksi hukum dan politik. Sebagaimana ditunjukkan oleh Nietzsche, “moralitas bukanlah fakta, melainkan interpretasi”—dan interpretasi itu sering kali muncul dari kehendak untuk berkuasa6.

Dengan menempatkan amoralisme secara kritis dalam kajian aksiologi, filsuf dapat menggali ulang dasar-dasar etika yang selama ini diterima secara dogmatis, serta mempertanyakan: apakah moralitas memang merupakan sesuatu yang inheren dalam kodrat manusia, ataukah hanya produk historis dan sosial semata? Pertanyaan ini bukan hanya teoritis, tetapi juga memiliki implikasi praktis dalam dunia modern yang penuh pluralitas nilai dan krisis legitimasi etis.


Footnotes

[1]                Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 41–42.

[2]                James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2019), 1–3.

[3]                Richard Garner, Beyond Morality (Philadelphia: Temple University Press, 1994), 6–9.

[4]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 102–103.

[5]                Michael Ruse, “Evolutionary Ethics: A Phoenix Arisen,” in The Cambridge Companion to Ethics, ed. David Copp (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 511–513.

[6]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), §108.


3.           Konsep Dasar Amoralisme

Secara etimologis, istilah amoralisme berasal dari kata Latin a- yang berarti "tidak" atau "tanpa", dan moralitas, yang merujuk pada prinsip-prinsip yang membedakan antara tindakan benar dan salah. Dalam pengertian filosofis, amoralisme mengacu pada pandangan yang menolak keberadaan atau relevansi moralitas sebagai norma objektif atau sebagai sesuatu yang inheren dalam kodrat manusia. Dengan kata lain, seorang amoralist tidak menganggap bahwa ada kewajiban moral yang mengikat secara universal dan tidak memandang tindakan sebagai baik atau buruk dalam pengertian etis yang konvensional1.

Penting untuk membedakan antara amoralisme, imoralitas, dan nihilisme moral. Imoralitas mengacu pada tindakan atau pandangan yang bertentangan dengan norma moral yang berlaku; pelaku imoral mengetahui norma tersebut namun secara sadar melanggarnya. Sebaliknya, amoralisme menyiratkan ketidakpedulian atau bahkan penolakan terhadap keberadaan norma tersebut. Sementara nihilisme moral lebih jauh lagi dengan menyatakan bahwa semua nilai moral tidak hanya tidak mengikat, tetapi sepenuhnya tidak memiliki realitas objektif2. Amoralisme dapat berada di antara dua kutub tersebut—ia bisa bersifat deskriptif (tidak memperhatikan moralitas) atau normatif (menolak moralitas sebagai konsep yang sah secara filosofis).

Secara konseptual, amoralisme bisa diklasifikasikan menjadi beberapa jenis berdasarkan pendekatan yang diambil terhadap nilai moral:

1)                  Amoralisme Psikologis

Menggambarkan kondisi individu atau kelompok yang tidak memiliki kapasitas psikologis untuk memahami atau merasakan dorongan moral. Pandangan ini sering dikaitkan dengan kasus psikopatologi, tetapi tidak selalu terkait dengan filsafat etika secara langsung3.

2)                  Amoralisme Epistemologis

Menyangkal kemungkinan pengetahuan moral. Menurut pendekatan ini, manusia tidak memiliki cara yang sahih atau objektif untuk mengetahui mana yang benar atau salah secara moral. Hal ini berkaitan erat dengan non-cognitivism, yang menyatakan bahwa pernyataan moral bukanlah ekspresi fakta, tetapi hanya ekspresi emosional atau perintah4.

3)                  Amoralisme Ontologis

Berpijak pada klaim bahwa tidak ada fakta moral dalam realitas. Dalam kerangka ini, dunia pada dasarnya adalah amoral; segala nilai etis adalah hasil konstruksi manusia semata, dan tidak memiliki eksistensi independen di luar pemikiran kita5.

Beberapa filsuf modern secara eksplisit atau implisit mengusung konsep amoralisme. Friedrich Nietzsche, misalnya, secara tajam mengkritik moralitas Kristen dan sistem etika konvensional sebagai hasil dari “kebencian terhadap kehidupan” yang memuliakan kelemahan dan kepatuhan6. Dalam pandangan Nietzsche, nilai moral tidak memiliki dasar objektif, melainkan merupakan produk dari dinamika kekuasaan dan interpretasi historis. Sementara itu, filsuf seperti Richard Garner secara lebih sistematis membela amoralisme sebagai posisi filsafat yang sah, dengan menyatakan bahwa konsep moral digunakan lebih sebagai alat sosial untuk mengendalikan perilaku daripada sebagai prinsip universal yang valid7.

Konsekuensi dari pemikiran ini sangat besar. Jika tidak ada dasar moral yang obyektif, maka seluruh sistem etika yang digunakan untuk menilai tindakan manusia harus ditinjau kembali. Hal ini tidak serta-merta mendorong kepada anarki atau kekacauan sosial, tetapi mengharuskan kita untuk membangun nilai-nilai berdasarkan konsensus, kepentingan praktis, atau prinsip-prinsip non-moral seperti efisiensi, kebebasan, atau kehendak individu. Dalam konteks ini, amoralisme memosisikan dirinya bukan sebagai pembatal moralitas, tetapi sebagai kritik radikal terhadap legitimasi moral konvensional dan fondasi metafisiknya.


Footnotes

[1]                James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2019), 10–12.

[2]                Richard Joyce, The Myth of Morality (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 2–3.

[3]                Thomas A. Widiger and Paul T. Costa Jr., “Personality and Personality Disorders,” Journal of Abnormal Psychology 105, no. 1 (1996): 94–95.

[4]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 102–104.

[5]                J.L. Mackie, Ethics: Inventing Right and Wrong (Harmondsworth: Penguin, 1977), 15–19.

[6]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 17–21.

[7]                Richard Garner, Beyond Morality (Philadelphia: Temple University Press, 1994), 1–5.


4.           Sejarah dan Tokoh-Tokoh Pemikir Amoralis

Gagasan amoralisme sebagai kritik terhadap nilai-nilai moral bukanlah fenomena modern sepenuhnya, melainkan memiliki akar historis yang dalam dalam wacana filsafat, bahkan sejak zaman klasik. Meskipun istilah "amoralisme" sendiri belum digunakan secara eksplisit dalam karya-karya awal, pemikiran yang mencerminkan semangat amoral dapat ditelusuri dalam berbagai era sejarah pemikiran.

4.1.       Zaman Yunani Kuno: Thrasymachus dan Relativisme Moral Awal

Dalam dialog Republic karya Plato, tokoh Thrasymachus digambarkan menyatakan bahwa keadilan hanyalah “kepentingan pihak yang lebih kuat” (justice is nothing but the advantage of the stronger)1. Pandangan ini mencerminkan sikap amoral dalam pengertian awal: penolakan terhadap keadilan sebagai nilai moral objektif dan penggantiannya dengan kekuasaan sebagai ukuran kebenaran. Sokrates mengkritik pandangan ini secara tajam, namun posisi Thrasymachus tetap menjadi referensi penting dalam sejarah ide-ide amoralistik.

4.2.       Abad Modern: Friedrich Nietzsche dan Moralitas sebagai Ilusi

Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran amoralistik adalah Friedrich Nietzsche (1844–1900). Dalam karyanya On the Genealogy of Morality dan Beyond Good and Evil, Nietzsche menggugat fondasi moralitas konvensional, khususnya yang berakar pada agama Kristen dan nilai-nilai Eropa Barat abad ke-19. Ia membedakan antara moralitas tuan (yang berasal dari kekuatan, keberanian, dan afirmasi hidup) dan moralitas budak (yang dibentuk oleh kelemahan, penderitaan, dan kepatuhan terhadap otoritas moral eksternal)2. Menurut Nietzsche, moralitas Kristen adalah bentuk kebencian terhadap kehidupan yang menekan kehendak untuk berkuasa dan menciptakan nilai3. Moralitas, dalam pandangannya, bukanlah realitas objektif, melainkan produk historis dari kehendak interpretatif manusia.

Nietzsche tidak sekadar mengusulkan nihilisme moral, tetapi juga mendorong lahirnya tipe manusia baru—Übermensch—yang menciptakan nilai-nilai baru di luar bingkai moral tradisional. Dalam konteks ini, Nietzsche dapat dianggap sebagai pelopor amoralisme ontologis dan kreatif.

4.3.       Individualisme Radikal: Max Stirner dan Egoisme sebagai Kritik Moral

Max Stirner (1806–1856), dalam karyanya Der Einzige und sein Eigentum (The Ego and Its Own), memandang moralitas sebagai konstruksi ideologis yang mengekang kebebasan individu. Ia menganggap konsep moral, negara, dan agama sebagai “hantu” yang menciptakan ilusi otoritas di luar diri manusia4. Stirner menolak semua bentuk universalitas, termasuk moralitas, dan menggantinya dengan prinsip egoisme radikal, di mana individu bertindak berdasarkan kepentingannya sendiri tanpa tunduk pada norma eksternal. Pemikirannya menjadi dasar bagi bentuk amoralisme yang bersifat anarkis dan individualistik.

4.4.       Amoralisme Kontemporer: Richard Garner dan Pembelaan Filosofis terhadap Posisi Amoral

Dalam lanskap filsafat kontemporer, Richard Garner menjadi salah satu pembela sistematis amoralisme. Dalam bukunya Beyond Morality, Garner mengajukan argumen bahwa konsep moral sering kali digunakan sebagai alat untuk mengendalikan perilaku dan menjustifikasi kekuasaan5. Ia menyatakan bahwa kita tidak perlu moralitas untuk hidup secara etis, dan bahwa etika bisa dibangun berdasarkan pertimbangan rasional, empati, dan konsensus tanpa perlu mengacu pada nilai moral absolut. Garner mengusulkan pendekatan yang disebut “etika pasca-moral” (post-moral ethics), yang mengabaikan moralitas sebagai kategori normatif dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih pragmatis dan non-otoritarian6.

4.5.       Tokoh-Tokoh Tambahan dan Pengaruh Turunan

Selain tokoh-tokoh di atas, pemikiran amoralistik dapat ditemukan secara implisit dalam pemikiran Michel Foucault, yang menyoroti relasi antara kekuasaan dan wacana moral, serta dalam filsafat eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre, yang mengajukan kebebasan radikal manusia dalam membentuk nilai tanpa rujukan ke prinsip moral eksternal7.

Amoralisme juga memengaruhi pemikiran dalam bidang sastra, seni, dan budaya populer, seperti dalam karya-karya Albert Camus dan postmodernisme, yang mencurigai narasi besar termasuk moralitas sebagai struktur ideologis.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube and C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book I, 338c.

[2]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 25–39.

[3]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), §260.

[4]                Max Stirner, The Ego and Its Own, trans. Steven T. Byington (New York: Dover Publications, 2005), 5–15.

[5]                Richard Garner, Beyond Morality (Philadelphia: Temple University Press, 1994), 3–7.

[6]                Ibid., 8–10.

[7]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–25; Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 47–49.


5.           Argumen dan Dasar Filosofis Amoralisme

Amoralisme sebagai pandangan filosofis memiliki akar argumentatif yang dalam dan kompleks. Ia tidak sekadar merupakan sikap apatis terhadap moralitas, tetapi berdiri di atas sejumlah fondasi konseptual yang menantang asumsi dasar dalam filsafat moral tradisional. Argumen-argumen utama yang membentuk basis amoralisme mencakup tiga dimensi utama: ontologis, epistemologis, dan praktis-fungsional.

5.1.       Argumen Ontologis: Moralitas Tidak Memiliki Realitas Objektif

Argumen ontologis menyatakan bahwa nilai-nilai moral tidak memiliki eksistensi objektif dalam realitas. Pandangan ini berpijak pada gagasan bahwa tidak ada entitas metafisik seperti "kebaikan" atau "kejahatan" yang eksis secara independen di dunia. Dalam hal ini, J.L. Mackie mengajukan teori yang disebut sebagai “error theory”, yakni bahwa semua klaim moral bersifat keliru karena mengasumsikan eksistensi kualitas moral objektif yang sebenarnya tidak ada1. Mackie menyatakan bahwa jika memang nilai moral objektif ada, maka sifat-sifat tersebut akan sangat aneh (queer) karena tidak dapat dijelaskan secara naturalistik.

Pandangan ontologis ini juga ditemukan dalam pemikiran Nietzsche, yang menyatakan bahwa nilai-nilai moral merupakan konstruksi historis dan ekspresi kehendak untuk berkuasa, bukan refleksi dari realitas moral objektif2. Oleh karena itu, moralitas tidak bersifat transenden atau universal, tetapi merupakan hasil interpretasi, manipulasi, dan reaksi terhadap dinamika kekuasaan.

5.2.       Argumen Epistemologis: Moralitas Tidak Dapat Diketahui Secara Objektif

Argumen epistemologis menyoroti persoalan bagaimana kita mengetahui sesuatu itu baik atau buruk secara moral. Para amoralist berpendapat bahwa tidak ada landasan epistemologis yang dapat dipercaya untuk menghasilkan pengetahuan moral yang sahih. A.J. Ayer, seorang filsuf positivis logis, menyatakan bahwa proposisi moral seperti “membunuh itu salah” tidak bersifat faktual dan tidak dapat diverifikasi secara empiris atau logis. Oleh karena itu, ia mengkategorikan pernyataan moral sebagai ekspresi emosional belaka—bukan sebagai klaim kognitif yang dapat diuji benar atau salah3.

Dalam kerangka ini, moralitas hanyalah ekspresi perasaan atau preferensi pribadi, mirip dengan mengatakan “membunuh? Ugh!”. Dengan demikian, tidak ada alasan filosofis yang kuat untuk menganggap bahwa norma moral memiliki validitas universal.

5.3.       Argumen Fungsional: Moralitas Sebagai Alat Sosial dan Alat Kekuasaan

Argumen ketiga melihat moralitas bukan sebagai kebenaran normatif, melainkan sebagai alat sosial yang digunakan untuk mengatur perilaku dan memelihara stabilitas kekuasaan. Pandangan ini ditemukan dalam karya Richard Garner yang menyatakan bahwa konsep moral sering kali dimanfaatkan sebagai mekanisme kontrol sosial, bukan karena nilai-nilai tersebut benar, tetapi karena mereka efektif dalam menjaga ketertiban dan kepatuhan4. Garner berargumen bahwa masyarakat bisa hidup secara etis tanpa moralitas; etika dapat direformulasi atas dasar rasionalitas, empati, dan kesepakatan bersama tanpa harus bergantung pada imperatif moral absolut.

Filsuf post-strukturalis seperti Michel Foucault juga mengembangkan pendekatan serupa melalui analisis genealogi wacana moral dan relasinya dengan kekuasaan. Foucault menunjukkan bahwa konstruksi moral sering kali beroperasi sebagai bentuk penataan tubuh dan jiwa individu dalam kerangka disiplin sosial5.

5.4.       Kritik terhadap Otoritas Moral Tradisional

Amoralisme juga mengandung elemen kritik terhadap otoritas moral yang mengklaim superioritas universal—seperti agama, negara, atau sistem hukum—yang sering dianggap mewakili kebenaran moral. Nietzsche, misalnya, mencela moralitas Kristen sebagai moralitas budak yang menindas potensi individual6. Max Stirner menolak semua otoritas moral sebagai bentuk "hantu" yang membatasi kebebasan individu untuk hidup berdasarkan kehendaknya sendiri7.

Dengan menolak otoritas moral sebagai prinsip mutlak, amoralisme menawarkan ruang untuk kebebasan individu yang tidak dibatasi oleh norma eksternal. Ia membuka kemungkinan untuk membangun sistem etika alternatif yang tidak bertumpu pada ide moralitas, melainkan pada kebebasan, kepentingan rasional, atau kesepakatan sosial.


Penutup Sementara

Argumen-argumen tersebut menunjukkan bahwa amoralisme bukan sekadar bentuk sinisme terhadap etika, melainkan sebuah posisi filosofis yang mencoba mendekonstruksi dan mendefinisikan ulang bagaimana manusia memahami, menyusun, dan merespons nilai-nilai. Dalam konteks ini, amoralisme berfungsi sebagai kritik terhadap fondasi aksiologi normatif, sekaligus sebagai alternatif radikal terhadap absolutisme etika.


Footnotes

[1]                J.L. Mackie, Ethics: Inventing Right and Wrong (Harmondsworth: Penguin, 1977), 35–38.

[2]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 26–29.

[3]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 107–109.

[4]                Richard Garner, Beyond Morality (Philadelphia: Temple University Press, 1994), 3–8.

[5]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 25–30.

[6]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), §260.

[7]                Max Stirner, The Ego and Its Own, trans. Steven T. Byington (New York: Dover Publications, 2005), 8–13.


6.           Implikasi Amoralisme terhadap Kehidupan Praktis

Amoralisme tidak hanya menjadi wacana abstrak dalam lingkup filsafat teoritis, tetapi juga menimbulkan dampak yang signifikan terhadap cara individu dan masyarakat memahami, memaknai, dan mengarahkan tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika prinsip-prinsip moral konvensional ditanggalkan atau ditolak, pertanyaan utama yang muncul adalah: bagaimana manusia seharusnya bertindak tanpa rujukan pada moralitas? Jawaban atas pertanyaan ini membuka sejumlah implikasi dalam ranah etika pribadi, hubungan sosial, politik, dan struktur institusional.

6.1.       Etika Personal: Kebebasan Individu Tanpa Batas Moral Tradisional

Salah satu implikasi utama dari amoralisme dalam kehidupan personal adalah meningkatnya otonomi individu dalam merumuskan nilai dan makna hidup. Dalam ketiadaan norma moral universal, setiap orang menjadi agen penuh atas kehidupannya sendiri. Max Stirner, misalnya, menyatakan bahwa individu bebas bertindak berdasarkan kehendak egoistiknya tanpa harus tunduk pada “hantu-hantu” ideologis seperti Tuhan, Negara, atau Moralitas1. Stirner menekankan pentingnya kesadaran diri sebagai satu-satunya dasar tindakan, sehingga etika yang muncul bersifat personal dan kontekstual, bukan normatif dan universal.

Namun, kebebasan ini bersifat ambivalen. Di satu sisi, ia memungkinkan kebangkitan kreativitas moral dan eksistensi autentik. Di sisi lain, ia berisiko membawa pada relativisme ekstrem, anomi, atau bahkan justifikasi terhadap tindakan destruktif. Friedrich Nietzsche merespons hal ini dengan mengajukan ideal Übermensch, yaitu manusia unggul yang tidak hanya bebas dari moralitas lama, tetapi juga mampu menciptakan nilai-nilai baru sebagai afirmasi terhadap kehidupan2.

6.2.       Relasi Sosial: Etika Alternatif Berbasis Kepentingan dan Konsensus

Dalam masyarakat amoral, prinsip hidup berdampingan tidak lagi didasarkan pada keharusan moral seperti “berbuat baik kepada sesama” atau “hormatilah sesama manusia”, melainkan pada logika timbal balik, kontrak sosial, atau pertimbangan pragmatis. Richard Garner menyatakan bahwa masyarakat tidak memerlukan moralitas untuk hidup etis; justru dengan meninggalkan konsep moral yang bersifat menghakimi, masyarakat dapat membangun bentuk etika yang lebih fungsional dan jujur—berbasis pada empati, kepentingan bersama, dan rasionalitas3.

Konsep ini paralel dengan pendekatan etika pasca-moral (post-moral ethics), yang menyarankan agar keputusan etis diambil bukan karena “itu benar secara moral”, tetapi karena itu bermanfaat, tidak menyakiti, atau disepakati bersama dalam suatu komunitas rasional. Dengan demikian, tanggung jawab moral digantikan oleh tanggung jawab sosial dan eksistensial.

6.3.       Politik dan Hukum: Kritik terhadap Moralitas Institusional

Amoralisme juga mengundang refleksi kritis terhadap penggunaan moralitas oleh negara dan institusi. Michel Foucault menunjukkan bahwa banyak sistem moral dalam masyarakat modern—termasuk sistem hukum, pendidikan, dan kedokteran—bekerja sebagai mekanisme kontrol yang membentuk subjek “taat” melalui normalisasi perilaku4. Dalam kerangka amoral, tindakan tersebut dapat dilihat bukan sebagai instrumen keadilan, melainkan sebagai manifestasi kuasa yang dibungkus dalam wacana etis.

Dari sudut pandang ini, hukum tidak lagi dianggap sebagai pengejawantahan nilai-nilai moral luhur, melainkan sebagai produk politik yang harus diuji secara kritis atas dasar efektivitas, kesepakatan, dan dampaknya terhadap kebebasan. Maka, warga negara amoral dapat tetap patuh pada hukum bukan karena itu “benar secara moral”, tetapi karena itu rasional, kontraktual, atau sekadar praktis untuk menjaga keberlangsungan hidup bersama.

6.4.       Tantangan Eksistensial: Krisis Makna dan Tanggung Jawab

Salah satu konsekuensi paling dalam dari amoralisme adalah tantangan eksistensial yang ditimbulkannya. Jika moralitas bukan lagi fondasi kehidupan, maka individu dihadapkan pada kekosongan nilai yang dapat melahirkan nihilisme. Jean-Paul Sartre menggambarkan kondisi ini sebagai “kutukan kebebasan”, di mana manusia tidak memiliki acuan moral eksternal dan karena itu bertanggung jawab penuh atas makna hidupnya sendiri5.

Dalam konteks ini, amoralisme menuntut tingkat kesadaran dan tanggung jawab personal yang tinggi. Seseorang tidak bisa lagi menyandarkan keputusan moralnya pada perintah Tuhan, otoritas agama, atau norma masyarakat, tetapi harus merumuskannya sendiri secara otentik dan reflektif. Paradoksnya, amoralisme dapat menjadi dasar pembentukan etika personal yang lebih jujur dan mendalam, meskipun dengan harga ontologis dan psikologis yang tidak ringan.


Kesimpulan Sementara

Implikasi amoralisme terhadap kehidupan praktis tidak serta-merta bermakna anarki moral atau kekacauan sosial. Justru, dalam banyak hal, amoralisme menawarkan kemungkinan untuk merumuskan ulang etika yang lebih fungsional, bebas dari pretensi absolutisme, dan berakar pada kesadaran otonom. Namun, ia juga membawa tantangan besar dalam hal tanggung jawab, makna, dan legitimasi sosial, yang menuntut refleksi mendalam dalam setiap pengambilan keputusan etis.


Footnotes

[1]                Max Stirner, The Ego and Its Own, trans. Steven T. Byington (New York: Dover Publications, 2005), 8–15.

[2]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Modern Library, 1995), 126–129.

[3]                Richard Garner, Beyond Morality (Philadelphia: Temple University Press, 1994), 6–11.

[4]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–25.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 32–34.


7.           Kritik terhadap Amoralisme

Meskipun amoralisme menawarkan perspektif yang radikal dan menggugah terhadap keberlakuan moralitas konvensional, pandangan ini juga tidak lepas dari kritik tajam dari berbagai aliran filsafat moral. Kritikus amoralisme berpendapat bahwa penghapusan nilai-nilai moral sebagai acuan etis justru dapat membahayakan koherensi sosial, mengaburkan dasar tanggung jawab manusia, dan menihilkan orientasi etis dalam tindakan. Kritik-kritik ini dapat dikategorikan ke dalam beberapa pendekatan filosofis utama: deontologis, utilitarian, etika kebajikan, dan komunitarianisme moral.

7.1.       Kritik Deontologis: Moralitas Sebagai Rasionalitas Kategoris

Pandangan deontologis, yang dipelopori oleh Immanuel Kant, menolak amoralisme atas dasar bahwa moralitas adalah perintah rasional yang bersifat universal. Bagi Kant, tindakan hanya dapat disebut bermoral apabila didasarkan pada imperatif kategoris, yaitu prinsip moral yang harus diikuti oleh setiap individu semata-mata karena prinsip itu sendiri, bukan karena akibat atau dorongan emosional1. Dalam kerangka ini, menolak moralitas berarti menolak rasionalitas praktis itu sendiri.

Amoralisme dianggap gagal memahami bahwa manusia sebagai makhluk rasional memiliki dignity yang menuntut pengakuan terhadap nilai moral universal. Tanpa prinsip moral yang mengikat secara universal, tidak ada jaminan bahwa hak asasi dan martabat manusia dapat dihormati.

7.2.       Kritik Utilitarian: Absennya Ukuran Kebahagiaan dan Kesejahteraan

Dari perspektif utilitarian, amoralisme dikritik karena mengabaikan konsekuensi tindakan terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan umum. Jeremy Bentham dan John Stuart Mill menekankan bahwa ukuran moralitas terletak pada “sebesar-besar manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang2. Dalam konteks ini, pandangan amoral dianggap membahayakan tatanan sosial karena tidak menawarkan standar evaluasi untuk menentukan apakah suatu tindakan membawa manfaat atau justru kerugian kolektif.

Utilitarianisme menilai bahwa tanpa ukuran moral objektif, seperti prinsip utilitas, masyarakat akan kesulitan membedakan antara tindakan yang layak didukung dan yang seharusnya dicegah. Oleh sebab itu, amoralisme dianggap melemahkan struktur evaluatif yang diperlukan untuk membentuk kebijakan publik yang adil dan seimbang.

7.3.       Kritik Etika Kebajikan: Kehampaan Teladan Moral

Etika kebajikan, sebagaimana dikembangkan oleh Aristoteles, menilai moralitas bukan hanya dalam kaitannya dengan tindakan atau akibat, tetapi dengan pembentukan karakter manusia itu sendiri. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menekankan bahwa manusia mencapai eudaimonia (kebahagiaan atau kebermaknaan hidup) melalui kebajikan yang dibentuk oleh kebiasaan dan nalar praktis (phronesis)3. Amoralisme, yang menolak kerangka moral, dinilai gagal memberikan dasar bagi pembentukan karakter luhur yang diperlukan dalam kehidupan bersama.

Tanpa adanya teladan kebajikan seperti kejujuran, keberanian, dan keadilan, manusia akan kehilangan arah dalam membentuk diri sebagai subjek etis. Oleh karena itu, dalam pandangan ini, amoralisme berisiko menciptakan manusia yang hanya berorientasi pada dorongan spontan tanpa kompas nilai internal.

7.4.       Kritik Komunitarian: Kehampaan Makna Sosial

Dari perspektif komunitarian, seperti yang diusung oleh Alasdair MacIntyre, kritik terhadap amoralisme muncul dari pandangan bahwa nilai moral tidak dapat dilepaskan dari praktik sosial dan tradisi komunitas4. Dalam After Virtue, MacIntyre menegaskan bahwa nilai moral inheren dalam struktur kehidupan bersama dan praktik bermakna (seperti keadilan, kesetiaan, dan tanggung jawab). Amoralisme, dengan tendensi individualistiknya, mengabaikan dimensi sosial dari etika dan menihilkan peran komunitas dalam membentuk moralitas.

Jika semua nilai moral dianggap konstruksi arbitrer, maka tidak ada dasar yang kokoh untuk membangun solidaritas, tanggung jawab sosial, atau komitmen antaranggota komunitas. Dengan kata lain, amoralisme berisiko meruntuhkan fondasi simbolik dan historis yang menyatukan masyarakat.

7.5.       Kritik Eksistensial dan Psikologis: Krisis Makna dan Nihilisme

Kritik terakhir datang dari dimensi eksistensial dan psikologis. Banyak filsuf, termasuk Viktor Frankl, menyoroti bahwa penghapusan nilai moral dapat menyebabkan kekosongan eksistensial atau nihilisme, yaitu perasaan bahwa hidup tidak memiliki makna yang layak diperjuangkan5. Dalam pandangan Frankl, manusia membutuhkan “makna” sebagai kekuatan motivasional utama untuk bertahan dalam penderitaan dan menjalani kehidupan yang bermakna.

Amoralisme, yang menafikan nilai-nilai normatif, dipandang berpotensi melahirkan apati, sinisme, dan bahkan destruksi moral dalam individu. Tanpa struktur nilai, manusia tidak memiliki kerangka naratif untuk memahami penderitaan, tanggung jawab, dan tujuan eksistensialnya.


Kesimpulan Sementara

Kritik terhadap amoralisme menunjukkan bahwa meskipun ia memiliki daya gugah filosofis, ia tidak bebas dari konsekuensi problematik dalam tataran praktis dan konseptual. Moralitas, sebagaimana disoroti oleh para kritikus, bukan sekadar sistem larangan, tetapi juga sarana pengembangan kepribadian, solidaritas sosial, dan arah hidup yang bermakna. Oleh karena itu, tantangan bagi para penganut amoralisme adalah merumuskan alternatif etika yang dapat menjawab kebutuhan eksistensial dan sosial manusia tanpa jatuh pada kekacauan nilai atau relativisme ekstrem.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30–36.

[2]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), 7–9.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book II, 1103a–1106b.

[4]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 216–225.

[5]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 111–115.


8.           Relevansi dan Kontroversi Amoralisme di Era Modern

Di tengah dinamika abad ke-21 yang ditandai oleh pluralisme budaya, relativisme nilai, kemajuan teknologi, serta krisis institusi moral tradisional, gagasan amoralisme memperoleh kembali daya tarik dan urgensi filosofisnya. Dalam konteks inilah amoralisme tidak hanya berfungsi sebagai kritik terhadap sistem nilai yang telah mapan, melainkan juga sebagai lensa interpretatif yang relevan dalam membaca perkembangan sosial dan etis kontemporer. Namun, bersamaan dengan itu, ia menimbulkan kontroversi yang tajam dalam wacana publik, etika terapan, dan filsafat moral modern.

8.1.       Pluralisme Nilai dan Erosi Moralitas Universal

Globalisasi dan interkoneksi budaya telah menghasilkan benturan serta pertukaran nilai yang semakin kompleks. Nilai-nilai moral yang dulunya dianggap bersifat universal kini dipertanyakan dalam konteks perbedaan etnis, agama, gender, dan orientasi hidup. Charles Taylor menyebut gejala ini sebagai “age of authenticity”, yakni era di mana individu semakin mendasarkan pilihan hidup pada keaslian diri, bukan pada norma eksternal1.

Dalam lanskap seperti ini, amoralisme muncul sebagai pendekatan yang mengakui bahwa tidak ada fondasi moral tunggal yang dapat berlaku bagi semua orang di segala waktu. Posisi ini mendukung kebebasan individu untuk menentukan nilai sendiri, namun juga mengaburkan batas antara kebebasan dan ketidakterikatan terhadap tanggung jawab sosial. Akibatnya, wacana moral kerap digantikan oleh bahasa preferensi, selera, atau identitas.

8.2.       Amoralisme dalam Budaya Populer dan Media

Gagasan amoral tidak hanya berkembang dalam ruang akademik, tetapi juga terefleksi dalam budaya populer, terutama melalui karakter-karakter dalam film, sastra, dan serial televisi yang tidak tunduk pada nilai-nilai moral konvensional. Tokoh seperti Walter White dalam Breaking Bad, Tom Ripley dalam karya Patricia Highsmith, atau Joker dalam berbagai adaptasinya, mencerminkan subjektivisme moral yang ekstrem di mana tokoh utama bertindak di luar batas etika sosial demi kehendaknya sendiri2.

Fenomena ini memicu perdebatan: apakah representasi amoral dalam media merupakan kritik terhadap hipokrisi moral masyarakat, atau justru mengglorifikasi kekerasan dan manipulasi sebagai bentuk kebebasan individu? Banyak pengamat budaya menilai bahwa tren ini mencerminkan kejenuhan terhadap moralitas standar, sekaligus kegelisahan akan kekosongan nilai di tengah masyarakat yang semakin atomistik.

8.3.       Teknologi, Algoritma, dan Keputusan Amoral

Dalam era digital, muncul pula tantangan baru bagi moralitas melalui peran algoritma dan kecerdasan buatan. Sistem otomatis seperti machine learning dan big data mengambil keputusan berdasarkan efisiensi, statistik, dan pola perilaku—bukan prinsip moral. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa keputusan-keputusan penting seperti alokasi sumber daya kesehatan, peringkat kredit, atau rekomendasi media, tidak didasarkan pada nilai etis, melainkan logika teknis yang amoral3.

Sebagaimana diperingatkan oleh Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism, logika ekonomi digital cenderung mengabaikan pertimbangan etis dan menggantinya dengan tujuan komersial dan kontrol sosial, yang menunjukkan bentuk praktik amoralisme dalam skala sistemik4. Oleh karena itu, amoralisme tidak lagi hanya menjadi sikap individu, tetapi bisa menjadi prinsip operasional dalam sistem teknologi modern.

8.4.       Kontroversi dalam Etika Postmodern dan Filsafat Moral Baru

Di tingkat wacana filsafat, amoralisme mendapatkan sambutan sekaligus penolakan dari para pemikir postmodern. Michel Foucault, misalnya, tidak secara eksplisit membela amoralisme, tetapi melalui genealoginya terhadap moralitas Barat, ia menunjukkan bahwa nilai moral merupakan hasil konstruksi historis yang tidak dapat dilepaskan dari relasi kuasa5. Jacques Derrida, dengan konsep deconstruction-nya, menantang klaim finalitas atas kebenaran etis dan membuka kemungkinan untuk membaca moralitas sebagai teks yang terbuka, ambigu, dan dapat ditafsir ulang6.

Namun, pendekatan ini juga menuai kritik. Beberapa filsuf menilai bahwa relativisme radikal dan pengaburan makna moral justru melemahkan komitmen terhadap keadilan dan martabat manusia, terutama dalam konteks pelanggaran HAM, penindasan sistemik, atau kejahatan global. Dalam hal ini, amoralisme dituduh memberikan celah bagi nihilisme etis yang melumpuhkan keberanian moral untuk bertindak.

8.5.       Ruang Potensial untuk Etika Baru

Kendati memicu banyak kontroversi, amoralisme juga membuka ruang refleksi untuk merumuskan ulang etika di era yang kompleks ini. Alih-alih tunduk pada sistem moral absolut, muncul dorongan untuk mengembangkan etika situasional, etika konsensual, atau etika tanggung jawab sebagaimana diajukan oleh Hans Jonas dalam menghadapi teknologi yang melampaui kapasitas moral tradisional7.

Dengan demikian, amoralisme di era modern menjadi medan pertarungan antara ketegangan dan kemungkinan. Ia menantang status quo moral, namun juga mendesak lahirnya bentuk etika yang lebih adaptif, reflektif, dan sadar akan kompleksitas kondisi manusia kontemporer.


Footnotes

[1]                Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992), 25–35.

[2]                Christopher Grau, “Evil Genius: Walter White and the Ethics of Being Bad,” in Breaking Bad and Philosophy: Badder Living through Chemistry, ed. David R. Koepsell and Robert Arp (Chicago: Open Court, 2012), 45–59.

[3]                Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown Publishing, 2016), 9–14.

[4]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 376–392.

[5]                Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 81–87.

[6]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–293.

[7]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas and David Herr (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 9–12.


9.           Kesimpulan dan Refleksi Filosofis

Amoralisme, sebagai sebuah posisi dalam spektrum aksiologi, menempati tempat yang radikal namun penting dalam diskursus filsafat etika. Ia hadir bukan sekadar sebagai penolakan terhadap moralitas konvensional, tetapi sebagai tantangan filosofis terhadap asumsi-asumsi dasar tentang objektivitas nilai, keharusan normatif, dan validitas universal dari sistem etika. Dengan menanggalkan klaim bahwa terdapat nilai moral yang absolut, amoralisme menempatkan kembali manusia sebagai pusat penentu makna dan nilai berdasarkan kehendaknya sendiri—sebuah gagasan yang mendapat penguatan dari pemikiran Nietzsche, Stirner, hingga Richard Garner1.

Melalui pendekatan ontologis, epistemologis, dan fungsional, amoralisme berhasil mengungkap keretakan dalam landasan metafisik dan epistemik dari moralitas tradisional. Ia menunjukkan bahwa moralitas tidak selalu berdiri di atas dasar yang kokoh, melainkan seringkali dikonstruksi secara sosial dan digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan2. Dalam banyak konteks, terutama ketika nilai-nilai moral digunakan untuk membenarkan kekerasan, diskriminasi, atau represi, sikap amoral justru menjadi bentuk kritik etis yang sah terhadap hegemoni normatif.

Namun demikian, refleksi terhadap amoralisme tidak dapat berhenti pada penyangkalan belaka. Amoralisme, jika tidak diimbangi dengan tanggung jawab reflektif dan kesadaran eksistensial, berisiko jatuh pada nihilisme etis yang menihilkan makna, mereduksi hubungan antarmanusia, dan merusak struktur sosial yang memerlukan kepercayaan, komitmen, dan kerja sama. Di sinilah letak tantangan filosofis: bagaimana mengakui bahwa moralitas tidak bersifat absolut, namun tetap menjaga ruang bagi etika yang rasional, terbuka, dan inklusif3.

Sebagaimana dicatat oleh Hans Jonas, dalam dunia yang digerakkan oleh kekuatan teknologi dan globalisasi, manusia dituntut untuk merumuskan bentuk tanggung jawab baru yang tidak selalu bisa bersandar pada moralitas klasik, tetapi juga tidak bisa dikosongkan dari nilai etis secara keseluruhan4. Dalam titik ini, amoralisme harus berdialog dengan berbagai pendekatan filsafat moral untuk menghasilkan bentuk etika yang adaptif namun tetap berakar pada penghormatan terhadap kemanusiaan.

Dengan demikian, artikel ini menegaskan bahwa amoralisme dapat berperan sebagai pisau analisis yang tajam terhadap struktur moral yang mapan, tetapi tidak seharusnya dijadikan sebagai doktrin tertutup. Justru dalam ketegangan antara afirmasi kebebasan individu dan kebutuhan akan orientasi etis bersama, filsafat dapat bekerja untuk membangun landasan moral baru yang lebih reflektif, plural, dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 25–30; Max Stirner, The Ego and Its Own, trans. Steven T. Byington (New York: Dover Publications, 2005), 8–15; Richard Garner, Beyond Morality (Philadelphia: Temple University Press, 1994), 5–9.

[2]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–27.

[3]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 259–263.

[4]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas and David Herr (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 7–12.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work published ca. 350 BCE)

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic. Dover Publications.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press. (Original work published 1967)

Foucault, M. (1990). The history of sexuality, Vol. 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1975)

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning (I. Lasch, Trans.). Beacon Press. (Original work published 1946)

Garner, R. (1994). Beyond morality. Temple University Press.

Grau, C. (2012). Evil genius: Walter White and the ethics of being bad. In D. R. Koepsell & R. Arp (Eds.), Breaking bad and philosophy: Badder living through chemistry (pp. 45–59). Open Court.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age (H. Jonas & D. Herr, Trans.). University of Chicago Press.

Joyce, R. (2001). The myth of morality. Cambridge University Press.

Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R. Crisp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1863)

Mackie, J. L. (1977). Ethics: Inventing right and wrong. Penguin Books.

Nietzsche, F. (1989). Beyond good and evil (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1886)

Nietzsche, F. (1995). Thus spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Modern Library. (Original work published 1883–1891)

Nietzsche, F. (2007). On the genealogy of morality (C. Diethe, Trans.; K. Ansell-Pearson, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1887)

O’Neil, C. (2016). Weapons of math destruction: How big data increases inequality and threatens democracy. Crown Publishing.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube & C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work published ca. 380 BCE)

Rachels, J., & Rachels, S. (2019). The elements of moral philosophy (9th ed.). McGraw-Hill Education.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work published 1946)

Stirner, M. (2005). The ego and its own (S. T. Byington, Trans.). Dover Publications. (Original work published 1844)

Taylor, C. (1992). The ethics of authenticity. Harvard University Press.

Widiger, T. A., & Costa, P. T., Jr. (1996). Personality and personality disorders. Journal of Abnormal Psychology, 105(1), 94–95.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar