Relativisme dalam Epistemologi
Kebenaran Kontekstual, Tantangan Objektivitas, dan
Implikasinya terhadap Ilmu Pengetahuan
Alihkan ke: Aliran Epistemologi dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif posisi
relativisme dalam ranah epistemologi, khususnya terkait dengan pemahaman
tentang kebenaran, rasionalitas, dan objektivitas dalam konteks keilmuan dan
sosial budaya. Relativisme epistemologis menyatakan bahwa klaim kebenaran tidak
bersifat universal dan absolut, melainkan selalu terikat pada kerangka
konseptual, linguistik, dan budaya tertentu. Dengan menelusuri akar historisnya
sejak filsafat Yunani hingga pemikiran kontemporer seperti Thomas Kuhn, Paul
Feyerabend, dan Richard Rorty, artikel ini menyajikan ragam bentuk
relativisme—mulai dari kognitif, linguistik, budaya, hingga
paradigmatik—beserta argumen-argumen pendukungnya. Di samping itu, artikel ini
juga menyajikan berbagai kritik terhadap relativisme, termasuk tuduhan
kontradiksi internal, erosi rasionalitas ilmiah, dan tantangan terhadap
komunikasi antarbudaya. Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh pluralitas
informasi, krisis kepercayaan terhadap otoritas ilmiah, serta tuntutan akan
keadilan epistemik, relativisme menawarkan kerangka reflektif untuk memahami
dinamika produksi pengetahuan secara lebih kontekstual dan inklusif. Kesimpulan
dari artikel ini menekankan pentingnya pendekatan seimbang: relativisme
epistemologis perlu diakui sebagai kontribusi kritis terhadap universalisme
epistemik, namun juga harus dijaga dari ekstremitas yang dapat merelatifkan
semua klaim tanpa dasar rasional yang kuat.
Kata Kunci; Relativisme epistemologis, kebenaran kontekstual,
pluralisme pengetahuan, paradigma ilmiah, objektivitas, konstruktivisme sosial,
keadilan epistemik, post-truth.
PEMBAHASAN
Relativisme dalam Epistemologi
1.
Pendahuluan
Epistemologi sebagai cabang filsafat yang membahas
hakikat, sumber, dan batas pengetahuan, telah mengalami berbagai perdebatan
mendasar mengenai sifat kebenaran dan validitas klaim-klaim epistemik. Salah
satu pendekatan paling kontroversial dalam ranah ini adalah relativisme,
sebuah pandangan yang menolak universalitas kebenaran dan menegaskan bahwa
kebenaran selalu terikat pada konteks budaya, bahasa, atau sistem kepercayaan
tertentu. Dalam kerangka ini, tidak ada klaim pengetahuan yang benar secara
mutlak, melainkan hanya benar dalam suatu kerangka referensi tertentu. Hal ini
berbeda secara tajam dengan pendekatan objektivisme atau realisme
epistemik, yang berupaya menegaskan bahwa terdapat standar universal dan
independen dalam menentukan kebenaran suatu proposisi ilmiah atau filosofis.
Relativisme epistemologis bukanlah pemikiran baru
dalam sejarah filsafat. Akar-akar ide ini dapat ditelusuri kembali ke masa
Yunani kuno, khususnya pada sosok Protagoras yang terkenal dengan
pernyataannya: “Man is the measure of all things.” Pernyataan ini secara
implisit mengandung prinsip dasar relativisme, yakni bahwa persepsi individu
atau komunitaslah yang menentukan makna dan kebenaran suatu pengetahuan, bukan
realitas objektif itu sendiri.¹ Gagasan ini kemudian berkembang dan mendapatkan
bentuk-bentuk lebih kompleks pada era modern dan kontemporer, khususnya melalui
pemikiran para filsuf seperti Thomas Kuhn, Paul Feyerabend, dan Richard
Rorty, yang menantang fondasi absolutis dalam epistemologi Barat.²
Kemunculan relativisme sebagai pendekatan
epistemologis tidak dapat dilepaskan dari krisis kepercayaan terhadap proyek
Pencerahan dan dominasi sains modern, yang dianggap terlalu menekankan
objektivitas dan mengabaikan konteks historis maupun kultural dalam produksi
pengetahuan.³ Dalam pandangan relativistik, pengetahuan tidak pernah netral,
tetapi selalu dibentuk oleh relasi kekuasaan, bahasa, dan nilai-nilai
partikular. Hal ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang apakah
mungkin mencapai pengetahuan universal di tengah keberagaman paradigma, budaya,
dan sistem keyakinan, serta bagaimana sains dan filsafat seharusnya
memposisikan diri dalam masyarakat pluralistik dewasa ini.
Relativisme telah menjadi medan tarik-ulur antara
dua kutub besar epistemologi: antara pencarian akan kebenaran objektif dan
pengakuan terhadap pluralitas perspektif. Oleh karena itu, memahami relativisme
secara mendalam menjadi penting, tidak hanya sebagai salah satu teori dalam
epistemologi, tetapi juga sebagai respons kritis terhadap berbagai
kecenderungan dominan dalam filsafat, sains, dan kehidupan sosial. Artikel ini
akan membahas secara sistematis hakikat relativisme, bentuk-bentuknya, argumen
pendukung dan penolaknya, serta implikasinya dalam konteks ilmu pengetahuan
kontemporer.
Footnotes
[1]
Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev.
Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 152a.
[2]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970); Paul
Feyerabend, Against Method, 3rd ed. (London: Verso, 1993); Richard
Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton
University Press, 1979).
[3]
Stephen Toulmin, Cosmopolis: The Hidden Agenda
of Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 23–25.
2.
Pengertian dan Esensi Relativisme Epistemologis
Dalam konteks
epistemologi, relativisme epistemologis
merujuk pada pandangan bahwa kebenaran, justifikasi, atau validitas suatu pengetahuan
selalu bergantung pada kerangka referensial tertentu yang bersifat subyektif
atau kontekstual. Dengan kata lain, klaim pengetahuan tidak memiliki nilai
kebenaran universal dan absolut, tetapi valid hanya dalam sistem nilai, budaya,
bahasa, atau paradigma tertentu.¹ Relativisme ini menentang asumsi dasar
objektivisme epistemologis yang menyatakan bahwa kebenaran bersifat independen
dari perspektif manusia.
Menurut Paul O.
Klenk, relativisme epistemik adalah posisi yang menganggap
bahwa “apa yang dianggap benar atau dapat dibenarkan sebagai pengetahuan sah
tidak bisa ditentukan secara universal, tetapi harus ditinjau dari norma-norma
yang dianut dalam suatu kerangka kognitif tertentu.”² Dalam pengertian ini,
relativisme mengasumsikan adanya pluralitas epistemik—yakni bahwa terdapat
berbagai sistem pengetahuan yang mungkin tidak sejalan satu sama lain, tetapi
tetap sah secara internal dalam batas kerangka masing-masing.
Ciri utama
relativisme epistemologis terletak pada penolakan terhadap satu sistem pengetahuan yang
dianggap unggul secara mutlak. Misalnya, dalam pendekatan
relativistik, pengetahuan tradisional masyarakat adat tidak dapat begitu saja
dianggap inferior dibandingkan sains modern, karena keduanya berakar pada
struktur nilai dan praktik yang berbeda.³ Dengan demikian, relativisme
menekankan keberagaman epistemik
(epistemic diversity) dan mengkritisi superioritas pengetahuan ilmiah Barat
sebagai satu-satunya standar validasi kebenaran.
Dalam perkembangan
filsafat kontemporer, relativisme epistemologis juga dikaitkan dengan konsep incommensurability
(ketakterbandingan) yang diperkenalkan oleh Thomas Kuhn, yaitu gagasan
bahwa dua paradigma ilmiah yang berbeda tidak dapat dibandingkan secara netral
karena menggunakan istilah, logika, dan kriteria penilaian yang berbeda.⁴ Hal
ini mendukung pandangan bahwa bahkan dalam sains, kebenaran bersifat terikat
pada komunitas ilmiah tertentu dan tidak bisa diklaim sebagai absolut di luar
kerangka tersebut.
Namun, penting
dicatat bahwa relativisme epistemologis tidak berarti semua klaim pengetahuan
setara atau nihilisme epistemik. Relativisme tidak menyangkal adanya evaluasi
kritis antar sistem pengetahuan, tetapi menolak universalitas satu kriteria
tunggal sebagai penentu kebenaran. Dengan demikian, esensi relativisme
epistemologis adalah pengakuan terhadap keterikatan pengetahuan pada
perspektif dan konteks, serta keterbukaan terhadap keberagaman
cara mengetahui dunia.
Footnotes
[1]
Maria Baghramian, Relativism (London: Routledge, 2004), 91.
[2]
Paul O. Klenk, “Epistemic Relativism,” Internet Encyclopedia of
Philosophy, accessed May 31, 2025, https://iep.utm.edu/epistemic-relativism/.
[3]
Alison Wylie, “Why Standpoint Matters,” in Science and Other
Cultures: Issues in Philosophies of Science and Technology, ed. Robert
Figueroa and Sandra Harding (New York: Routledge, 2003), 28–30.
[4]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 148–150.
3.
Sejarah Perkembangan Relativisme dalam Filsafat
Relativisme sebagai
aliran pemikiran dalam epistemologi memiliki akar yang dalam dalam sejarah
filsafat, mulai dari masa Yunani Kuno hingga pemikiran filsafat kontemporer.
Pandangan relativistik mengenai kebenaran dan pengetahuan bukanlah fenomena
modern, tetapi telah menjadi bagian dari diskursus filosofis sejak para filsuf
awal mempertanyakan sifat realitas dan subjektivitas manusia.
3.1.
Awal Mula dalam Filsafat Yunani Kuno
Pemikiran
relativistik secara eksplisit muncul dalam ajaran Protagoras
(±490–420 SM), salah satu tokoh sofis yang terkenal dengan maksimnya, “Manusia
adalah ukuran segala sesuatu” (Anthrōpos metron pantōn chrēmatōn).¹
Dalam pandangan ini, apa yang benar atau nyata bagi seseorang belum tentu
demikian bagi orang lain, karena kebenaran ditentukan oleh persepsi individual.
Oleh karena itu, tidak ada ukuran objektif universal untuk menilai kebenaran
atau realitas yang bersifat absolut. Pandangan ini dikritik keras oleh Plato,
yang dalam dialog Theaetetus menyatakan bahwa
relativisme semacam itu akan menghancurkan fondasi rasionalitas dan perdebatan
logis.²
3.2.
Relativisme dalam Tradisi Skolastik dan Islam
Klasik
Meskipun relativisme
tidak berkembang secara dominan dalam era skolastik Kristen maupun filsafat
Islam klasik, beberapa perdebatan mengenai pluralitas kebenaran muncul,
misalnya dalam konteks ta’wil atau penafsiran makna
teks-teks suci yang menunjukkan bahwa pemahaman terhadap wahyu bisa berbeda
menurut latar belakang budaya, bahasa, dan kerangka penafsiran tertentu. Namun,
ini tidak serta-merta dikategorikan sebagai relativisme epistemologis,
melainkan lebih sebagai hermeneutika kontekstual yang
tetap berupaya mempertahankan norma-norma absolut dalam hal pokok agama.³
3.3.
Munculnya Relativisme Modern: Kritik terhadap
Objektivisme Ilmiah
Relativisme
memperoleh bentuk konseptual yang lebih matang dalam filsafat
modern, khususnya dalam kritik terhadap rasionalisme dan
empirisme yang mengklaim universalitas pengetahuan. Pada abad ke-19, Friedrich
Nietzsche mengembangkan pandangan tentang perspektivisme,
yaitu bahwa tidak ada kebenaran yang bebas dari perspektif subyektif; kebenaran
adalah konstruksi dari kehendak untuk berkuasa (will to power).⁴ Ini menandai
pergeseran penting dari pencarian kebenaran objektif menuju kesadaran akan
peran interpretasi manusia dalam membentuk realitas.
Pada abad ke-20,
pemikiran relativistik mendapatkan dorongan besar melalui karya Thomas
S. Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions
(1962), yang menunjukkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak berlangsung
secara kumulatif dan objektif, melainkan melalui pergeseran paradigma yang
saling tak terbandingkan (incommensurable).⁵ Kuhn menolak gagasan bahwa
ilmu berkembang secara linear menuju kebenaran objektif, dan menekankan bahwa
komunitas ilmiah menentukan sendiri norma dan nilai keilmuan dalam tiap
paradigma.
Selanjutnya, Paul
Feyerabend menegaskan relativisme metodologis melalui karyanya Against
Method (1975), di mana ia berargumen bahwa tidak ada metode ilmiah
tunggal yang dapat dijadikan standar mutlak. Ia mendukung pluralisme epistemik
dan menolak klaim eksklusivitas sains Barat atas pengetahuan.⁶ Dalam konteks
yang serupa, Richard Rorty, seorang
neopragmatis, menolak representasionalisme dan mengajukan pandangan bahwa
filsafat seharusnya meninggalkan klaim pencapaian kebenaran objektif dan
menggantinya dengan solidaritas diskursif dalam komunitas tertentu.⁷
3.4.
Relativisme dalam Diskursus Kontemporer
Pada dekade-dekade
terakhir abad ke-20 hingga kini, relativisme epistemologis berinteraksi erat
dengan wacana postmodernisme, postkolonialisme,
dan feminisme
epistemologis, yang semuanya menyoroti dominasi sistem pengetahuan
tertentu dan mengadvokasi pluralitas cara mengetahui dunia.⁸ Diskursus ini
memperluas relativisme ke ranah budaya, politik, dan ideologi, serta mendorong
kritik terhadap hegemoni epistemik dalam pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebijakan global.
Dengan demikian,
sejarah perkembangan relativisme menunjukkan transformasi dari pandangan
individualistik tentang persepsi (Protagoras), menuju kritik struktural
terhadap kebenaran ilmiah dan dominasi epistemik (Kuhn, Feyerabend, Rorty),
hingga menjadi fondasi teoritik dalam perjuangan keadilan epistemik dalam
konteks kontemporer.
Footnotes
[1]
Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 152a.
[2]
Ibid., 161d–162a.
[3]
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī 'Ulūm al-Qurʾān
(Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1990), 14–16.
[4]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans.
Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press,
2007), 88–90.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–123.
[6]
Paul Feyerabend, Against Method, 3rd ed. (London: Verso,
1993), 1–4.
[7]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 377–392.
[8]
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from
Women's Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 8–10; Walter
Mignolo, The Darker Side of Western Modernity (Durham: Duke University
Press, 2011), 63–66.
4.
Ragam dan Tipologi Relativisme Epistemologis
Relativisme
epistemologis tidaklah bersifat monolitik, melainkan mencakup beragam bentuk
yang mencerminkan dimensi dan bidang penerapan yang berbeda dalam pengetahuan
manusia. Pemahaman atas tipologi relativisme ini penting agar kita dapat
menilai dengan cermat ruang lingkup dan konsekuensi dari masing-masing varian.
Berikut ini adalah beberapa bentuk utama dari relativisme epistemologis yang
telah diidentifikasi dalam literatur filsafat kontemporer.
4.1.
Relativisme Kognitif
Relativisme kognitif
adalah bentuk relativisme yang menegaskan bahwa kebenaran dan rasionalitas suatu proposisi
bergantung pada kerangka konseptual tertentu yang digunakan
oleh suatu kelompok atau individu. Dalam pandangan ini, tidak ada "fakta
mentah" yang bebas nilai; setiap klaim kognitif selalu dibingkai oleh
struktur linguistik, konseptual, dan budaya.¹ Tokoh penting yang mendukung
bentuk relativisme ini adalah Nelson Goodman, yang menyatakan
bahwa dunia bukanlah satu entitas tunggal yang ditampilkan apa adanya, tetapi
"dibuat" melalui berbagai cara dunia-dunia dipahami (worldmaking).²
4.2.
Relativisme Linguistik
Relativisme
linguistik berakar pada hipotesis Sapir–Whorf, yang menyatakan
bahwa struktur
bahasa menentukan atau setidaknya memengaruhi cara berpikir dan memahami
realitas. Menurut teori ini, perbedaan linguistik antara satu
bahasa dan lainnya membawa konsekuensi epistemik yang signifikan, sehingga
makna dan pengetahuan yang tersedia bagi penutur satu bahasa belum tentu dapat
diakses dengan cara yang sama oleh penutur bahasa lain.³ Dengan demikian, tidak
ada sistem pengetahuan yang sepenuhnya netral secara linguistik. Walaupun versi
ekstrem dari hipotesis ini (determinisme linguistik) telah dikritik, versi
moderatnya tetap digunakan dalam kajian antropologi, filsafat bahasa, dan
epistemologi.⁴
4.3.
Relativisme Budaya
Relativisme budaya
menekankan bahwa standar kebenaran, validitas argumen, dan
metode pembenaran sangat bergantung pada sistem nilai budaya
tempat pengetahuan itu berkembang. Dalam pandangan ini, klaim epistemik tidak
dapat dilepaskan dari kerangka sosio-kultural masyarakatnya.⁵ Contohnya, sistem
pengetahuan tradisional (indigenous knowledge systems) seringkali didasarkan
pada pengalaman kolektif, narasi lisan, dan relasi spiritual dengan alam, yang
sulit dinilai menggunakan standar sains modern.⁶ Para pendukung relativisme
budaya mengajukan bahwa pluralitas sistem pengetahuan merupakan refleksi dari
keanekaragaman cara hidup, dan bahwa upaya penyeragaman epistemik dapat merusak
integritas budaya lokal.
4.4.
Relativisme Paradigmatik
Bentuk ini
dikembangkan secara eksplisit oleh Thomas Kuhn, yang dalam The
Structure of Scientific Revolutions memperkenalkan konsep paradigma—kerangka
teoritis dan metodologis yang digunakan oleh komunitas ilmiah dalam memahami
dunia. Menurut Kuhn, peralihan dari satu paradigma ke paradigma lain bukanlah
proses rasional dan objektif semata, melainkan perubahan cara melihat dunia yang tidak dapat
dibandingkan secara netral (incommensurable).⁷ Dengan
demikian, kebenaran ilmiah dalam suatu paradigma hanya sah dalam kerangka
paradigma tersebut, dan tidak ada cara absolut untuk menentukan paradigma mana
yang lebih "benar."⁸
4.5.
Relativisme Metaepistemologis
Jenis ini merupakan
pendekatan tingkat meta yang mempertanyakan validitas klaim-klaim epistemologi itu sendiri.
Relativisme metaepistemologis menyatakan bahwa bahkan prinsip-prinsip dasar
epistemologi (seperti justifikasi, rasionalitas, atau bukti) tidak dapat
ditentukan secara universal, melainkan bergantung pada asumsi filosofis yang
berlainan dari satu tradisi filsafat ke tradisi lainnya.⁹ Pandangan ini
seringkali diasosiasikan dengan pendekatan postmodern dan post-analitik, yang
melihat epistemologi bukan sebagai pencarian fondasi absolut, tetapi sebagai
arena negosiasi diskursif yang terus berkembang.
Kesimpulan Sementara
Keberagaman bentuk
relativisme epistemologis menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak dapat
direduksi menjadi satu prinsip tunggal. Masing-masing jenis menawarkan cara
pandang yang unik terhadap hubungan antara pengetahuan, konteks, dan norma
pembenaran. Namun, semuanya berbagi satu asumsi mendasar: bahwa klaim kebenaran
tidak pernah berdiri dalam kekosongan, melainkan selalu dibentuk oleh kondisi
historis, sosial, dan linguistik yang partikular.
Footnotes
[1]
Paul O. Klenk, “Epistemic Relativism,” Internet Encyclopedia of
Philosophy, accessed May 31, 2025, https://iep.utm.edu/epistemic-relativism/.
[2]
Nelson Goodman, Ways of Worldmaking (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1978), 2–5.
[3]
Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality: Selected
Writings of Benjamin Lee Whorf, ed. John B. Carroll (Cambridge: MIT Press,
1956), 212–214.
[4]
John A. Lucy, Language Diversity and Thought: A Reformulation of
the Linguistic Relativity Hypothesis (Cambridge: Cambridge University
Press, 1992), 32–36.
[5]
James Clifford and George E. Marcus, eds., Writing Culture: The
Poetics and Politics of Ethnography (Berkeley: University of California
Press, 1986), 6–10.
[6]
Fikret Berkes, Sacred Ecology: Traditional Ecological Knowledge and
Resource Management, 3rd ed. (New York: Routledge, 2012), 17–20.
[7]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–121.
[8]
Ibid., 148–150.
[9]
Richard Rorty, Objectivity, Relativism, and Truth: Philosophical
Papers, Volume 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 1–5.
5.
Argumen-Argumen Pendukung Relativisme
Pendukung
relativisme epistemologis menyodorkan berbagai argumen yang menggugat klaim
universalitas kebenaran dan objektivitas epistemik. Argumen-argumen ini tidak
hanya berakar pada analisis konseptual, tetapi juga pada observasi historis dan
sosiologis tentang bagaimana pengetahuan terbentuk, dibenarkan, dan
dipertahankan dalam berbagai konteks budaya, bahasa, dan paradigma. Berikut
adalah beberapa landasan utama yang menjadi pijakan bagi pembela relativisme.
5.1.
Pluralitas Sistem Pengetahuan
Salah satu argumen
paling fundamental bagi relativisme epistemologis adalah eksistensi
pluralitas sistem pengetahuan di seluruh dunia. Setiap
masyarakat mengembangkan sistem pengetahuan yang berbeda-beda berdasarkan
pengalaman historis, kondisi geografis, struktur sosial, dan keyakinan religius
mereka.¹ Misalnya, pengetahuan medis tradisional dalam komunitas pribumi tidak
dapat dipahami atau dievaluasi sepenuhnya dengan standar biomedis Barat, karena
berakar pada kosmologi dan praktik yang berbeda.² Fakta bahwa sistem-sistem ini
berfungsi secara efektif dalam konteksnya masing-masing menunjukkan bahwa kriteria
kebenaran tidak bisa diseragamkan secara global.
5.2.
Kontekstualitas Kebenaran
Pendukung relativisme
menolak gagasan bahwa kebenaran bersifat absolut dan transkultural. Sebaliknya,
mereka menyatakan bahwa kebenaran selalu terikat pada konteks
linguistik, budaya, dan epistemik tertentu.³ Pandangan ini
bersumber dari pemahaman bahwa tidak ada akses netral terhadap realitas; semua
persepsi dan interpretasi terjadi dalam kerangka tertentu. Dalam epistemologi
post-positivis, hal ini didukung oleh tesis bahwa bahkan pengamatan ilmiah
tidak bebas nilai, karena diinterpretasikan berdasarkan teori dan paradigma
yang berlaku.⁴
5.3.
Ketakterbandingan antar-Paradigma
Thomas Kuhn
mengajukan bahwa paradigma ilmiah yang berbeda tidak dapat
dibandingkan secara langsung karena memiliki standar
rasionalitas, terminologi, dan metode yang tidak sepadan (incommensurable).⁵
Hal ini menegaskan bahwa perpindahan dari satu paradigma ke paradigma
lain bukanlah hasil rasionalitas universal, melainkan hasil
perubahan sosial, psikologis, dan komunitas ilmiah tertentu. Kuhn menyimpulkan
bahwa ilmu pengetahuan tidak berjalan secara kumulatif menuju kebenaran
universal, tetapi melintasi jalur diskontinuitas historis yang bersifat relatif
terhadap komunitas ilmiah tertentu.
5.4.
Argumentasi dari Bahasa dan Relativisme
Semantik
Hipotesis
relativisme linguistik (Sapir–Whorf) menyatakan bahwa struktur
bahasa memengaruhi cara berpikir dan membingkai kenyataan.⁶ Ini
berarti bahwa dunia tidak dihadirkan secara "langsung" kepada
kesadaran, melainkan dimediasi oleh bahasa. Karena setiap bahasa memiliki
struktur semantik yang berbeda, maka pengetahuan yang dihasilkan juga tidak bisa
dilepaskan dari konteks linguistik tersebut. Dengan demikian,
kebenaran epistemik menjadi sesuatu yang relatif terhadap sistem bahasa yang
digunakan.
5.5.
Penolakan terhadap Fondasionalisme
Beberapa relativis
menolak fondasionalisme epistemologis,
yaitu gagasan bahwa semua pengetahuan yang sah harus didasarkan pada landasan
rasional atau empiris yang tidak dapat diragukan. Relativisme memandang bahwa tidak
ada dasar epistemik yang netral dan tak terbantahkan, karena
setiap bentuk pembenaran selalu membutuhkan otoritas atau sistem norma yang
ditentukan secara sosial atau kultural.⁷ Oleh karena itu, klaim absolut tentang
rasionalitas atau objektivitas tidak memiliki pijakan yang valid secara
universal.
5.6.
Perspektivisme dan Kehendak atas Pengetahuan
Friedrich
Nietzsche memformulasikan konsep perspektivisme,
yaitu bahwa setiap klaim kebenaran selalu berasal dari sudut pandang tertentu
dan tidak ada “pandangan dari luar” yang netral atau obyektif.⁸ Dalam konteks
ini, kebenaran adalah hasil dari interpretasi dan kehendak untuk berkuasa,
bukan representasi dari realitas objektif. Gagasan ini menekankan bahwa
pluralitas perspektif tidak dapat direduksi menjadi satu kebenaran tunggal, dan
bahwa relasi kekuasaan turut membentuk batas-batas epistemik suatu masyarakat.
Kesimpulan Sementara
Argumen-argumen
pendukung relativisme epistemologis mengandung pesan yang kuat: tidak
ada satu pun sistem epistemik yang dapat mengklaim keunggulan absolut atas yang
lain. Baik dalam wacana ilmiah, budaya, maupun linguistik,
klaim kebenaran selalu lahir dari konteks historis dan sosial tertentu.
Relativisme dengan demikian menawarkan kerangka yang memungkinkan penghargaan
terhadap pluralitas, sekaligus menjadi kritik mendalam terhadap pretensi
universalisme dalam filsafat dan sains modern.
Footnotes
[1]
Barry Barnes and David Bloor, “Relativism, Rationalism and the
Sociology of Knowledge,” in Relativism: Interpretation and Confrontation,
ed. Michael Krausz (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1989), 21–47.
[2]
Fikret Berkes, Sacred Ecology: Traditional Ecological Knowledge and
Resource Management, 3rd ed. (New York: Routledge, 2012), 15–18.
[3]
Maria Baghramian, Relativism (London: Routledge, 2004), 93–95.
[4]
Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), 123–126.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 148–150.
[6]
Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality: Selected
Writings of Benjamin Lee Whorf, ed. John B. Carroll (Cambridge: MIT Press,
1956), 213–215.
[7]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 318–321.
[8]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans.
Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press,
2007), 87–90.
6.
Kritik terhadap Relativisme
Meskipun relativisme
epistemologis menawarkan pendekatan yang inklusif terhadap pluralitas
perspektif dan sistem pengetahuan, ia juga menghadapi berbagai kritik tajam
dari para filsuf yang mempertahankan klaim atas objektivitas, koherensi logis,
dan universalitas dalam epistemologi. Kritik-kritik ini mencakup keberatan
logis, konsekuensi praktis, serta tantangan terhadap konsistensi internal
relativisme itu sendiri.
6.1.
Tuduhan Kontradiksi Diri (Self-Refutation
Argument)
Salah satu kritik
paling mendasar terhadap relativisme adalah bahwa ia secara
logis bertentangan dengan dirinya sendiri. Jika semua klaim
kebenaran adalah relatif, maka klaim bahwa "semua kebenaran bersifat
relatif" juga seharusnya relatif, bukan universal.
Artinya, relativisme epistemologis tidak dapat secara konsisten mempertahankan
posisinya sendiri tanpa menyatakan bahwa ia benar secara absolut—yang
bertentangan dengan premis utamanya.¹ Argumen ini dikenal sebagai “self-referential
incoherence” dan telah diajukan oleh banyak filsuf analitik, termasuk Hilary
Putnam yang menyatakan bahwa relativisme “tidak bisa dinyatakan
secara konsisten tanpa menegasikan dirinya sendiri.”²
6.2.
Erosi Rasionalitas dan Kemajuan Ilmu
Kritikus juga
menyatakan bahwa relativisme melemahkan landasan rasionalitas ilmiah,
karena jika semua sistem pengetahuan dianggap setara secara epistemik, maka
tidak ada dasar objektif untuk mengevaluasi atau membedakan antara pengetahuan
yang valid dan yang tidak.³ Dalam sains, hal ini dapat mengarah pada nihilisme
epistemik, di mana tidak ada tolok ukur yang dapat diandalkan
untuk menilai hipotesis, teori, atau data. Alan Sokal dan Jean
Bricmont, dalam kritik mereka terhadap relativisme postmodern,
memperingatkan bahwa pandangan semacam itu mengaburkan batas antara sains dan
pseudosains, serta membuka peluang bagi manipulasi ideologis.⁴
6.3.
Relativisme dan Masalah Komunikasi Lintas
Budaya
Relativisme budaya
yang ekstrem juga menghadapi persoalan dalam menjelaskan bagaimana komunikasi
atau evaluasi antarbudaya bisa terjadi. Jika setiap budaya
dianggap memiliki kerangka epistemik yang tak terbandingkan (incommensurable),
maka pertukaran
ide, negosiasi moral, dan dialog antarperadaban menjadi mustahil atau tidak
bermakna.⁵ Dalam konteks globalisasi, pendekatan semacam ini
dapat mengarah pada segregasi epistemik yang justru
bertentangan dengan tujuan awal relativisme: yaitu membuka ruang pengertian
lintas perspektif.
6.4.
Risiko Relativisme Moral dan Etis
Walaupun relativisme
epistemologis tidak identik dengan relativisme moral, keduanya sering dianggap
saling terkait. Jika tidak ada kebenaran epistemik yang dapat ditegakkan secara
universal, maka prinsip-prinsip moral dan etis juga berisiko menjadi relatif
sepenuhnya.⁶ Hal ini menimbulkan dilema etis dalam menghadapi praktik-praktik
yang secara luas dianggap melanggar hak asasi manusia (misalnya penyiksaan,
diskriminasi gender, dll.), karena dalam kerangka relativisme ekstrem, tidak
ada standar universal yang dapat digunakan untuk mengecam praktik tersebut
secara sah.⁷
6.5.
Kritik dari Perspektif Realisme Kritis
Realistis
kritis, seperti yang dikembangkan oleh Roy
Bhaskar, menolak relativisme dengan menyatakan bahwa walaupun
pengetahuan manusia bersifat terbatas dan dipengaruhi oleh konteks, realitas
eksis secara independen dari pikiran manusia.⁸ Oleh karena itu,
objektivitas bukanlah mitos, melainkan sesuatu yang dapat didekati secara
asimptotik melalui metode ilmiah yang reflektif dan transformatif. Dalam pandangan
ini, relativisme gagal membedakan antara epistemologi (cara kita mengetahui)
dan ontologi
(apa yang ada), dan oleh karena itu cenderung menyamakan
realitas dengan konstruksi perseptual semata.
6.6.
Kekeliruan dari Reduksi Ekstrem
Kritik lain menyasar
kecenderungan relativisme untuk mereduksi semua klaim pengetahuan ke dalam
faktor sosial, politik, atau budaya, tanpa mempertimbangkan
struktur logis dan kognitif dari pengetahuan itu sendiri.⁹ Hal ini mengabaikan
kemungkinan adanya prinsip-prinsip umum dalam penalaran manusia yang melampaui
perbedaan kontekstual. Bahkan dalam komunitas epistemik yang berbeda, sering
ditemukan kesamaan dalam bentuk inferensi, penggunaan bukti, dan mekanisme
koreksi kesalahan—yang menunjukkan adanya elemen universal dalam rasionalitas
manusia.
Kesimpulan Sementara
Kritik terhadap
relativisme epistemologis menunjukkan bahwa meskipun pandangan ini berguna
dalam menyoroti keberagaman dan keterbatasan perspektif manusia, ia
menghadapi dilema serius dalam mempertahankan konsistensinya sendiri,
serta dalam menjawab tuntutan objektivitas dan validasi dalam dunia yang
semakin saling terhubung. Relativisme tetap menjadi tantangan penting dalam
epistemologi kontemporer, tetapi harus diuji secara ketat untuk menghindari
implikasi yang melemahkan fondasi rasionalitas dan komunikasi antarilmu.
Footnotes
[1]
Harvey Siegel, Relativism Refuted: A Critique of Contemporary
Epistemological Relativism (Dordrecht: Reidel, 1987), 7–9.
[2]
Hilary Putnam, Realism and Reason: Philosophical Papers, Volume 3
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 138.
[3]
Michael Lynch, Truth as One and Many (Oxford: Oxford
University Press, 2009), 102–104.
[4]
Alan Sokal and Jean Bricmont, Fashionable Nonsense: Postmodern
Intellectuals' Abuse of Science (New York: Picador, 1998), 5–10.
[5]
Ernest Gellner, Relativism and the Social Sciences (Cambridge:
Cambridge University Press, 1985), 41–43.
[6]
Steven Lukes, “Can We Criticize Other Cultures?,” in Multiculturalism:
A Critical Reader, ed. David Theo Goldberg (Oxford: Blackwell, 1994),
25–41.
[7]
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities
Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 33–35.
[8]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso,
2008), 15–18.
[9]
Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate: Unfashionable
Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 48–50.
7.
Relativisme dan Ilmu Pengetahuan
Hubungan antara
relativisme dan ilmu pengetahuan merupakan tema yang kompleks dan kontroversial
dalam filsafat kontemporer. Di satu sisi, ilmu sering diposisikan sebagai
representasi dari kebenaran objektif, netral, dan universal. Di sisi lain,
relativisme epistemologis mempertanyakan asumsi-asumsi tersebut, dan menekankan
bahwa pengetahuan ilmiah, seperti bentuk pengetahuan lainnya, berakar
dalam kerangka konseptual, sosial, dan historis yang partikular.
Dengan demikian, pertanyaan mendasar yang diajukan oleh para pendukung
relativisme adalah: sejauh mana ilmu pengetahuan benar-benar bersifat objektif
dan universal?
7.1.
Paradigma Ilmiah sebagai Kerangka Relatif
Salah satu argumen
utama yang menghubungkan relativisme dengan ilmu pengetahuan berasal dari Thomas
S. Kuhn, yang dalam karyanya The Structure of Scientific Revolutions
menyatakan bahwa perkembangan ilmu tidak berlangsung secara
kumulatif dan progresif menuju kebenaran absolut, melainkan melalui
pergantian
paradigma yang saling tidak sebanding (incommensurable).¹
Paradigma-paradigma ini—seperti fisika Newtonian dan relativitas
Einstein—mengandung asumsi, metode, dan nilai-nilai yang berbeda, sehingga
tidak ada standar universal untuk menilai mana yang lebih “benar.” Kuhn
menyimpulkan bahwa objektivitas ilmiah bersifat relatif terhadap
komunitas ilmiah yang mendukung suatu paradigma tertentu.²
7.2.
Pluralitas Metodologi dan Penolakan terhadap
Metode Ilmiah Tunggal
Paul
Feyerabend, melalui karyanya Against Method, melanjutkan kritik
terhadap objektivitas ilmu dengan menyatakan bahwa tidak
ada satu pun metode ilmiah yang dapat dijadikan tolok ukur universal
bagi semua bentuk pengetahuan.³ Ia menolak rasionalitas metodologis yang monolitik,
dan mengusulkan prinsip "anything goes" dalam perkembangan
ilmu, yang mencerminkan kebutuhan akan pluralitas dan kebebasan kreatif dalam
praktik ilmiah. Feyerabend juga menekankan bahwa ilmu tidak boleh diklaim
sebagai satu-satunya sumber legitimasi epistemik, karena pengetahuan
tradisional dan lokal juga memiliki nilai epistemologis dalam
konteksnya masing-masing.⁴
7.3.
Konstruktivisme Sosial dan Produksi Pengetahuan
Ilmiah
Dari perspektif
sosiologi pengetahuan, relativisme juga mendapat dukungan melalui
pendekatan konstruktivisme sosial, yang melihat bahwa pengetahuan
ilmiah tidak hanya dipengaruhi oleh data dan rasio, tetapi juga oleh dinamika
sosial, politik, dan ekonomi dalam komunitas ilmiah.⁵ Bruno
Latour dan Steve Woolgar dalam Laboratory
Life menggambarkan bahwa fakta ilmiah dibentuk melalui proses
negosiasi, interpretasi, dan institusionalisasi, bukan sekadar hasil observasi
netral terhadap realitas.⁶ Dalam hal ini, kebenaran ilmiah adalah hasil proses
sosial yang kompleks, bukan refleksi langsung dari “kenyataan
objektif.”
7.4.
Kritik terhadap Klaim Universalitas Sains Barat
Relativisme
epistemologis juga digunakan untuk mengkritik hegemonisasi pengetahuan ilmiah Barat
yang sering diposisikan sebagai satu-satunya bentuk pengetahuan yang sah dan
rasional.⁷ Pendekatan ini menunjukkan bahwa dominasi epistemik tersebut telah mengabaikan
atau merendahkan sistem pengetahuan non-Barat, seperti
pengetahuan ekologis masyarakat adat, sistem pengobatan alternatif, atau
epistemologi feminis.⁸ Dalam kerangka ini, relativisme berfungsi sebagai alat
kritik terhadap kolonialisme epistemik, serta
mendorong pengakuan terhadap pluralitas epistemik di tingkat global.
7.5.
Relevansi dalam Era Post-Truth dan Disinformasi
Dalam konteks
kontemporer yang ditandai oleh krisis kepercayaan terhadap otoritas
ilmiah—seperti dalam pandemi, perubahan iklim, dan media digital—relativisme
sering dianggap membuka ruang bagi skeptisisme ekstrem dan
disinformasi.⁹ Meskipun relativisme menyoroti konteks dan
konstruksi sosial pengetahuan, ia juga berisiko disalahgunakan untuk menyamakan
semua pendapat tanpa membedakan antara yang didasarkan pada bukti dan yang
tidak. Oleh karena itu, sejumlah filsuf berupaya mengembangkan
versi moderat relativisme yang tetap mengakui keberagaman epistemik, namun
tetap mempertahankan kriteria penilaian berbasis argumentasi rasional dan bukti
empiris.¹⁰
Kesimpulan Sementara
Relativisme
epistemologis memainkan peran penting dalam menyoroti dimensi historis, sosial, dan budaya
dalam produksi ilmu pengetahuan. Ia menggugat asumsi netralitas
dan objektivitas absolut dalam sains, serta membuka ruang bagi pengakuan atas
bentuk-bentuk pengetahuan alternatif. Namun, relativisme juga menghadapi
tantangan serius, khususnya dalam membedakan antara kritik konstruktif terhadap
universalisme ilmiah dan pembenaran atas relativisme radikal yang berbahaya
bagi wacana publik dan kredibilitas sains. Oleh karena itu, relasi antara
relativisme dan ilmu pengetahuan harus dipahami dalam kerangka yang seimbang: sebagai
dialog kritis antara pluralitas dan objektivitas, bukan sebagai penghapusan
salah satunya.
Footnotes
[1]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–121.
[2]
Ibid., 148–150.
[3]
Paul Feyerabend, Against Method, 3rd ed. (London: Verso,
1993), xvii–xviii.
[4]
Ibid., 19–22.
[5]
Steve Fuller, Science (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1997), 64–66.
[6]
Bruno Latour and Steve Woolgar, Laboratory Life: The Construction
of Scientific Facts, 2nd ed. (Princeton: Princeton University Press,
1986), 43–47.
[7]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
against Epistemicide (London: Routledge, 2014), 1–3.
[8]
Sandra Harding, Is Science Multicultural? Postcolonialisms,
Feminisms, and Epistemologies (Bloomington: Indiana University Press,
1998), 112–115.
[9]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 6–8.
[10]
Maria Baghramian and Annalisa Coliva, Relativism: New Problems of
Philosophy (London: Routledge, 2019), 192–195.
8.
Relevansi Relativisme dalam Konteks Kontemporer
Di tengah perubahan
sosial, politik, dan teknologi global yang sangat cepat, relativisme
epistemologis mendapatkan ruang yang semakin signifikan dalam diskursus
kontemporer. Gagasan bahwa kebenaran bersifat kontekstual dan pengetahuan tidak
pernah sepenuhnya netral memainkan peran penting dalam memahami realitas
pascamodern yang kompleks. Relativisme menjadi lensa kritis untuk mengevaluasi
struktur dominan dalam ilmu pengetahuan, budaya, dan komunikasi, serta membuka
kemungkinan bagi pendekatan yang lebih inklusif dan pluralistik terhadap
kebenaran.
8.1.
Relativisme dan Tantangan Post-Truth Society
Salah satu tantangan
epistemik utama saat ini adalah munculnya era post-truth, yakni kondisi
di mana fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik
dibandingkan emosi atau keyakinan pribadi.¹ Dalam konteks ini, relativisme
epistemologis sering disalahpahami atau bahkan disalahgunakan untuk membenarkan
bahwa semua
pendapat setara, terlepas dari dasarnya yang rasional atau
empiris. Meskipun demikian, relativisme moderat justru dapat membantu memahami mengapa
persepsi terhadap fakta berbeda-beda dalam masyarakat, serta
mengajak pada pendekatan yang lebih reflektif dalam membedakan antara opini
subjektif dan argumen berbasis bukti.²
8.2.
Relevansi dalam Multikulturalisme dan
Pluralisme Epistemik
Relativisme juga
relevan dalam kerangka multikulturalisme, di mana
interaksi antara beragam budaya menuntut pengakuan atas keabsahan berbagai
sistem pengetahuan. Dalam ruang sosial yang heterogen, pemaksaan satu model
rasionalitas atau ilmu pengetahuan tertentu (biasanya Barat) seringkali
mengabaikan keberagaman cara memahami dunia.³ Relativisme epistemologis
berkontribusi pada dekolonisasi pengetahuan dengan
membuka ruang bagi dialog antar epistemologi lokal, spiritual, feminis, atau
ekologi tradisional, yang selama ini dimarginalisasi dalam arus utama wacana
akademik.⁴
8.3.
Peran dalam Pendidikan dan Kurikulum Global
Dalam bidang pendidikan,
relativisme epistemologis menantang kurikulum yang dibangun atas dasar asumsi
tunggal tentang apa yang disebut sebagai “pengetahuan sah.” Melalui
perspektif ini, muncul dorongan untuk menerapkan pedagogi yang lebih inklusif dan
kontekstual, yang mengakui pengalaman lokal, bahasa ibu, serta
nilai-nilai komunitas sebagai sumber pengetahuan yang sah.⁵ Pendekatan ini
mendorong peserta didik untuk memahami bahwa kebenaran tidak selalu datang
dalam bentuk tunggal, dan bahwa berpikir kritis memerlukan pemahaman terhadap
keragaman perspektif, bukan sekadar menghafal fakta yang dianggap universal.
8.4.
Relativisme dan Teknologi Informasi
Dalam lanskap
digital saat ini, pengguna internet dihadapkan pada arus
informasi yang sangat beragam dan sering kontradiktif. Platform
media sosial, algoritma mesin pencari, dan budaya online mendorong proliferasi
narasi yang tidak selalu tunduk pada verifikasi ilmiah atau jurnalistik.⁶ Dalam
situasi ini, relativisme epistemologis bisa menjadi alat reflektif untuk
menganalisis bagaimana otoritas pengetahuan dibentuk,
dipertanyakan, dan disebarkan di ruang publik. Namun, ini juga
menegaskan perlunya etika informasi dan pendidikan literasi digital agar
pluralitas pengetahuan tidak bergeser menjadi relativisme ekstrem yang
merelatifkan fakta.
8.5.
Implikasi terhadap Isu Etika dan Keadilan
Epistemik
Relativisme juga
menjadi penting dalam membahas keadilan epistemik, yaitu
pengakuan dan pemberdayaan terhadap kelompok-kelompok yang secara historis
terpinggirkan dalam produksi pengetahuan.⁷ Pendekatan ini mengkritik epistemic
injustice, seperti ketika kesaksian seseorang dianggap tidak
kredibel hanya karena identitas gender, ras, atau status sosialnya. Dengan
mengadopsi pandangan relativistik, epistemologi menjadi lebih sensitif terhadap
kondisi
sosial dan politik yang memengaruhi siapa yang dianggap berpengetahuan
dan siapa yang tidak.⁸
Kesimpulan Sementara
Dalam konteks
kontemporer yang ditandai oleh globalisasi, pluralisme budaya, krisis otoritas
ilmiah, serta ledakan informasi digital, relativisme epistemologis menawarkan
kerangka berpikir yang kritis dan inklusif. Ia membantu
mengungkap bias dalam klaim kebenaran yang mapan, mengakomodasi keberagaman
perspektif, serta memperkuat kesadaran terhadap dimensi sosial dari proses
mengetahui. Meskipun perlu diwaspadai agar tidak jatuh ke dalam relativisme
ekstrem yang destruktif, pendekatan ini tetap penting dalam membangun wacana
pengetahuan yang lebih adil, terbuka, dan kontekstual di era
modern.
Footnotes
[1]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 5–9.
[2]
Michael Patrick Lynch, The Internet of Us: Knowing More and
Understanding Less in the Age of Big Data (New York: Liveright, 2016),
116–120.
[3]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
against Epistemicide (London: Routledge, 2014), 3–5.
[4]
Walter Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 65–70.
[5]
Catherine Walsh, “Interculturality and Coloniality of Power: An
Actional Perspective,” in Postcolonial Studies, vol. 14, no. 3 (2011):
225–242.
[6]
Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward
an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg:
Council of Europe, 2017), 10–14.
[7]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–3.
[8]
José Medina, The Epistemology of Resistance: Gender and Racial
Oppression, Epistemic Injustice, and the Social Imagination (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 24–28.
9.
Kesimpulan
Relativisme dalam
epistemologi merupakan respons filosofis yang kompleks terhadap berbagai klaim
tentang kebenaran, objektivitas, dan universalisme dalam tradisi ilmu
pengetahuan dan filsafat Barat. Ia menyoroti bahwa pengetahuan
tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks sosial, budaya, linguistik,
dan historis yang membentuknya.¹ Dalam pandangan relativistik,
tidak ada standar absolut yang dapat dijadikan acuan tunggal dalam menilai
validitas suatu klaim pengetahuan. Sebaliknya, setiap klaim kebenaran harus dilihat dalam
kerangka epistemik tertentu, dan karena itu kebenaran bersifat
plural dan kontekstual.²
Selama berabad-abad,
relativisme telah menjadi posisi yang diperdebatkan dengan intens. Dari Protagoras
yang menyatakan bahwa “manusia adalah ukuran segala sesuatu,” hingga
kritik kontemporer terhadap objektivisme ilmiah oleh Thomas
Kuhn dan Paul Feyerabend, relativisme
telah memperlihatkan daya tahannya sebagai pendekatan yang menantang klaim
kebenaran yang bersifat hegemonik.³ Seiring dengan berkembangnya kesadaran akan
pluralitas budaya dan epistemik, relativisme memberikan sumbangsih
penting bagi dekolonisasi pengetahuan dan pemahaman yang lebih
demokratis terhadap keragaman sistem pemikiran.⁴
Namun demikian,
relativisme bukan tanpa tantangan. Ia menghadapi kritik
logis atas kontradiksi internalnya, serta tantangan
praktis terkait dengan komunikasi antarbudaya, etika universal,
dan kredibilitas ilmu pengetahuan dalam ruang publik.⁵ Tuduhan bahwa
relativisme dapat mengarah pada skeptisisme ekstrem atau nihilisme epistemik
merupakan peringatan penting akan perlunya kehati-hatian dalam menerapkannya
secara absolut. Sejumlah filsuf seperti Maria Baghramian dan Michael
Lynch telah mengembangkan versi relativisme moderat, yang tetap
mengakui pentingnya konteks namun tidak menolak kebutuhan akan evaluasi
rasional dan bukti sebagai komponen penting dalam praktik epistemik.⁶
Dalam konteks
kontemporer yang ditandai oleh post-truth politics, krisis kepercayaan
terhadap sains, serta tantangan globalisasi, relativisme
menawarkan kerangka reflektif untuk memahami bagaimana pengetahuan diproduksi,
disebarluaskan, dan diberi makna. Ia membantu kita untuk lebih waspada terhadap
klaim-klaim kebenaran yang bersifat absolut dan membuka ruang dialog antar
berbagai sistem pemikiran dan nilai.⁷ Relativisme bukanlah akhir dari pencarian
kebenaran, melainkan ajakan untuk menyadari keterbatasan kita dan
pentingnya keterbukaan epistemik dalam menghadapi kompleksitas
dunia modern.
Dengan demikian,
relativisme epistemologis perlu dipahami secara seimbang—bukan sebagai ancaman
terhadap rasionalitas, tetapi sebagai sarana untuk mengkritisi
dominasi epistemik, membela keadilan pengetahuan, dan mendorong pluralisme
dalam pencarian makna dan kebenaran.
Footnotes
[1]
Maria Baghramian, Relativism (London: Routledge, 2004), 88–90.
[2]
Paul O. Klenk, “Epistemic Relativism,” Internet Encyclopedia of
Philosophy, accessed May 31, 2025, https://iep.utm.edu/epistemic-relativism/.
[3]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–123; Paul Feyerabend, Against
Method, 3rd ed. (London: Verso, 1993), xvii–xxii.
[4]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
against Epistemicide (London: Routledge, 2014), 1–6.
[5]
Harvey Siegel, Relativism Refuted: A Critique of Contemporary
Epistemological Relativism (Dordrecht: Reidel, 1987), 7–12.
[6]
Maria Baghramian and Annalisa Coliva, Relativism: New Problems of
Philosophy (London: Routledge, 2019), 187–192; Michael Patrick Lynch, Truth
as One and Many (Oxford: Oxford University Press, 2009), 94–100.
[7]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 9–13.
Daftar Pustaka
Baghramian, M. (2004). Relativism.
Routledge.
Baghramian, M., &
Coliva, A. (2019). Relativism: New problems of philosophy. Routledge.
Barnes, B., & Bloor, D.
(1989). Relativism, rationalism and the sociology of knowledge. In M. Krausz
(Ed.), Relativism: Interpretation and confrontation (pp. 21–47).
University of Notre Dame Press.
Berkes, F. (2012). Sacred
ecology: Traditional ecological knowledge and resource management (3rd
ed.). Routledge.
Bhaskar, R. (2008). A
realist theory of science. Verso.
Clifford, J., & Marcus,
G. E. (Eds.). (1986). Writing culture: The poetics and politics of
ethnography. University of California Press.
Feyerabend, P. (1993). Against
method (3rd ed.). Verso.
Fricker, M. (2007). Epistemic
injustice: Power and the ethics of knowing. Oxford University Press.
Fuller, S. (1997). Science.
University of Minnesota Press.
Gellner, E. (1985). Relativism
and the social sciences. Cambridge University Press.
Goodman, N. (1978). Ways
of worldmaking. Hackett Publishing.
Haack, S. (1998). Manifesto
of a passionate moderate: Unfashionable essays. University of Chicago
Press.
Harding, S. (1998). Is
science multicultural? Postcolonialisms, feminisms, and epistemologies.
Indiana University Press.
Klenk, P. O. (n.d.).
Epistemic relativism. Internet Encyclopedia of Philosophy. https://iep.utm.edu/epistemic-relativism/
Kuhn, T. S. (1970). The
structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago
Press.
Latour, B., & Woolgar,
S. (1986). Laboratory life: The construction of scientific facts (2nd
ed.). Princeton University Press.
Lucy, J. A. (1992). Language
diversity and thought: A reformulation of the linguistic relativity hypothesis.
Cambridge University Press.
Lukes, S. (1994). Can we
criticize other cultures? In D. T. Goldberg (Ed.), Multiculturalism: A
critical reader (pp. 25–41). Blackwell.
Lynch, M. P. (2009). Truth
as one and many. Oxford University Press.
Lynch, M. P. (2016). The
internet of us: Knowing more and understanding less in the age of big data.
Liveright.
McIntyre, L. (2018). Post-truth.
MIT Press.
Medina, J. (2013). The
epistemology of resistance: Gender and racial oppression, epistemic injustice,
and the social imagination. Oxford University Press.
Mignolo, W. (2011). The
darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke
University Press.
Nietzsche, F. (2007). On
the genealogy of morality (C. Diethe, Trans.; K. Ansell-Pearson, Ed.).
Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (2000). Women
and human development: The capabilities approach. Cambridge University
Press.
Plato. (1992). Theaetetus
(M. J. Levett, Trans.; M. Burnyeat, Rev.). Hackett Publishing.
Putnam, H. (1981). Reason,
truth and history. Cambridge University Press.
Putnam, H. (1983). Realism
and reason: Philosophical papers, Volume 3. Cambridge University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy
and the mirror of nature. Princeton University Press.
Rorty, R. (1991). Objectivity,
relativism, and truth: Philosophical papers, Volume 1. Cambridge
University Press.
Santos, B. de S. (2014). Epistemologies
of the South: Justice against epistemicide. Routledge.
Siegel, H. (1987). Relativism
refuted: A critique of contemporary epistemological relativism. Reidel.
Sokal, A., & Bricmont,
J. (1998). Fashionable nonsense: Postmodern intellectuals' abuse of science.
Picador.
Walsh, C. (2011).
Interculturality and coloniality of power: An actional perspective. Postcolonial
Studies, 14(3), 225–242.
Wardle, C., &
Derakhshan, H. (2017). Information disorder: Toward an interdisciplinary
framework for research and policy making. Council of Europe.
Whorf, B. L. (1956). Language,
thought, and reality: Selected writings of Benjamin Lee Whorf (J. B.
Carroll, Ed.). MIT Press.
Wylie, A. (2003). Why
standpoint matters. In R. Figueroa & S. Harding (Eds.), Science and
other cultures: Issues in philosophies of science and technology (pp.
26–48). Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar