Selasa, 10 Juni 2025

Relativisme dalam Epistemologi: Kebenaran Kontekstual, Tantangan Objektivitas, dan Implikasinya terhadap Ilmu Pengetahuan

Relativisme dalam Epistemologi

Kebenaran Kontekstual, Tantangan Objektivitas, dan Implikasinya terhadap Ilmu Pengetahuan


Alihkan ke: Aliran Epistemologi dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif posisi relativisme dalam ranah epistemologi, khususnya terkait dengan pemahaman tentang kebenaran, rasionalitas, dan objektivitas dalam konteks keilmuan dan sosial budaya. Relativisme epistemologis menyatakan bahwa klaim kebenaran tidak bersifat universal dan absolut, melainkan selalu terikat pada kerangka konseptual, linguistik, dan budaya tertentu. Dengan menelusuri akar historisnya sejak filsafat Yunani hingga pemikiran kontemporer seperti Thomas Kuhn, Paul Feyerabend, dan Richard Rorty, artikel ini menyajikan ragam bentuk relativisme—mulai dari kognitif, linguistik, budaya, hingga paradigmatik—beserta argumen-argumen pendukungnya. Di samping itu, artikel ini juga menyajikan berbagai kritik terhadap relativisme, termasuk tuduhan kontradiksi internal, erosi rasionalitas ilmiah, dan tantangan terhadap komunikasi antarbudaya. Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh pluralitas informasi, krisis kepercayaan terhadap otoritas ilmiah, serta tuntutan akan keadilan epistemik, relativisme menawarkan kerangka reflektif untuk memahami dinamika produksi pengetahuan secara lebih kontekstual dan inklusif. Kesimpulan dari artikel ini menekankan pentingnya pendekatan seimbang: relativisme epistemologis perlu diakui sebagai kontribusi kritis terhadap universalisme epistemik, namun juga harus dijaga dari ekstremitas yang dapat merelatifkan semua klaim tanpa dasar rasional yang kuat.

Kata Kunci; Relativisme epistemologis, kebenaran kontekstual, pluralisme pengetahuan, paradigma ilmiah, objektivitas, konstruktivisme sosial, keadilan epistemik, post-truth.


PEMBAHASAN

Relativisme dalam Epistemologi


1.           Pendahuluan

Epistemologi sebagai cabang filsafat yang membahas hakikat, sumber, dan batas pengetahuan, telah mengalami berbagai perdebatan mendasar mengenai sifat kebenaran dan validitas klaim-klaim epistemik. Salah satu pendekatan paling kontroversial dalam ranah ini adalah relativisme, sebuah pandangan yang menolak universalitas kebenaran dan menegaskan bahwa kebenaran selalu terikat pada konteks budaya, bahasa, atau sistem kepercayaan tertentu. Dalam kerangka ini, tidak ada klaim pengetahuan yang benar secara mutlak, melainkan hanya benar dalam suatu kerangka referensi tertentu. Hal ini berbeda secara tajam dengan pendekatan objektivisme atau realisme epistemik, yang berupaya menegaskan bahwa terdapat standar universal dan independen dalam menentukan kebenaran suatu proposisi ilmiah atau filosofis.

Relativisme epistemologis bukanlah pemikiran baru dalam sejarah filsafat. Akar-akar ide ini dapat ditelusuri kembali ke masa Yunani kuno, khususnya pada sosok Protagoras yang terkenal dengan pernyataannya: “Man is the measure of all things.” Pernyataan ini secara implisit mengandung prinsip dasar relativisme, yakni bahwa persepsi individu atau komunitaslah yang menentukan makna dan kebenaran suatu pengetahuan, bukan realitas objektif itu sendiri.¹ Gagasan ini kemudian berkembang dan mendapatkan bentuk-bentuk lebih kompleks pada era modern dan kontemporer, khususnya melalui pemikiran para filsuf seperti Thomas Kuhn, Paul Feyerabend, dan Richard Rorty, yang menantang fondasi absolutis dalam epistemologi Barat.²

Kemunculan relativisme sebagai pendekatan epistemologis tidak dapat dilepaskan dari krisis kepercayaan terhadap proyek Pencerahan dan dominasi sains modern, yang dianggap terlalu menekankan objektivitas dan mengabaikan konteks historis maupun kultural dalam produksi pengetahuan.³ Dalam pandangan relativistik, pengetahuan tidak pernah netral, tetapi selalu dibentuk oleh relasi kekuasaan, bahasa, dan nilai-nilai partikular. Hal ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang apakah mungkin mencapai pengetahuan universal di tengah keberagaman paradigma, budaya, dan sistem keyakinan, serta bagaimana sains dan filsafat seharusnya memposisikan diri dalam masyarakat pluralistik dewasa ini.

Relativisme telah menjadi medan tarik-ulur antara dua kutub besar epistemologi: antara pencarian akan kebenaran objektif dan pengakuan terhadap pluralitas perspektif. Oleh karena itu, memahami relativisme secara mendalam menjadi penting, tidak hanya sebagai salah satu teori dalam epistemologi, tetapi juga sebagai respons kritis terhadap berbagai kecenderungan dominan dalam filsafat, sains, dan kehidupan sosial. Artikel ini akan membahas secara sistematis hakikat relativisme, bentuk-bentuknya, argumen pendukung dan penolaknya, serta implikasinya dalam konteks ilmu pengetahuan kontemporer.


Footnotes

[1]                Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 152a.

[2]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970); Paul Feyerabend, Against Method, 3rd ed. (London: Verso, 1993); Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979).

[3]                Stephen Toulmin, Cosmopolis: The Hidden Agenda of Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 23–25.


2.           Pengertian dan Esensi Relativisme Epistemologis

Dalam konteks epistemologi, relativisme epistemologis merujuk pada pandangan bahwa kebenaran, justifikasi, atau validitas suatu pengetahuan selalu bergantung pada kerangka referensial tertentu yang bersifat subyektif atau kontekstual. Dengan kata lain, klaim pengetahuan tidak memiliki nilai kebenaran universal dan absolut, tetapi valid hanya dalam sistem nilai, budaya, bahasa, atau paradigma tertentu.¹ Relativisme ini menentang asumsi dasar objektivisme epistemologis yang menyatakan bahwa kebenaran bersifat independen dari perspektif manusia.

Menurut Paul O. Klenk, relativisme epistemik adalah posisi yang menganggap bahwa “apa yang dianggap benar atau dapat dibenarkan sebagai pengetahuan sah tidak bisa ditentukan secara universal, tetapi harus ditinjau dari norma-norma yang dianut dalam suatu kerangka kognitif tertentu.”² Dalam pengertian ini, relativisme mengasumsikan adanya pluralitas epistemik—yakni bahwa terdapat berbagai sistem pengetahuan yang mungkin tidak sejalan satu sama lain, tetapi tetap sah secara internal dalam batas kerangka masing-masing.

Ciri utama relativisme epistemologis terletak pada penolakan terhadap satu sistem pengetahuan yang dianggap unggul secara mutlak. Misalnya, dalam pendekatan relativistik, pengetahuan tradisional masyarakat adat tidak dapat begitu saja dianggap inferior dibandingkan sains modern, karena keduanya berakar pada struktur nilai dan praktik yang berbeda.³ Dengan demikian, relativisme menekankan keberagaman epistemik (epistemic diversity) dan mengkritisi superioritas pengetahuan ilmiah Barat sebagai satu-satunya standar validasi kebenaran.

Dalam perkembangan filsafat kontemporer, relativisme epistemologis juga dikaitkan dengan konsep incommensurability (ketakterbandingan) yang diperkenalkan oleh Thomas Kuhn, yaitu gagasan bahwa dua paradigma ilmiah yang berbeda tidak dapat dibandingkan secara netral karena menggunakan istilah, logika, dan kriteria penilaian yang berbeda.⁴ Hal ini mendukung pandangan bahwa bahkan dalam sains, kebenaran bersifat terikat pada komunitas ilmiah tertentu dan tidak bisa diklaim sebagai absolut di luar kerangka tersebut.

Namun, penting dicatat bahwa relativisme epistemologis tidak berarti semua klaim pengetahuan setara atau nihilisme epistemik. Relativisme tidak menyangkal adanya evaluasi kritis antar sistem pengetahuan, tetapi menolak universalitas satu kriteria tunggal sebagai penentu kebenaran. Dengan demikian, esensi relativisme epistemologis adalah pengakuan terhadap keterikatan pengetahuan pada perspektif dan konteks, serta keterbukaan terhadap keberagaman cara mengetahui dunia.


Footnotes

[1]                Maria Baghramian, Relativism (London: Routledge, 2004), 91.

[2]                Paul O. Klenk, “Epistemic Relativism,” Internet Encyclopedia of Philosophy, accessed May 31, 2025, https://iep.utm.edu/epistemic-relativism/.

[3]                Alison Wylie, “Why Standpoint Matters,” in Science and Other Cultures: Issues in Philosophies of Science and Technology, ed. Robert Figueroa and Sandra Harding (New York: Routledge, 2003), 28–30.

[4]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 148–150.


3.           Sejarah Perkembangan Relativisme dalam Filsafat

Relativisme sebagai aliran pemikiran dalam epistemologi memiliki akar yang dalam dalam sejarah filsafat, mulai dari masa Yunani Kuno hingga pemikiran filsafat kontemporer. Pandangan relativistik mengenai kebenaran dan pengetahuan bukanlah fenomena modern, tetapi telah menjadi bagian dari diskursus filosofis sejak para filsuf awal mempertanyakan sifat realitas dan subjektivitas manusia.

3.1.       Awal Mula dalam Filsafat Yunani Kuno

Pemikiran relativistik secara eksplisit muncul dalam ajaran Protagoras (±490–420 SM), salah satu tokoh sofis yang terkenal dengan maksimnya, “Manusia adalah ukuran segala sesuatu” (Anthrōpos metron pantōn chrēmatōn).¹ Dalam pandangan ini, apa yang benar atau nyata bagi seseorang belum tentu demikian bagi orang lain, karena kebenaran ditentukan oleh persepsi individual. Oleh karena itu, tidak ada ukuran objektif universal untuk menilai kebenaran atau realitas yang bersifat absolut. Pandangan ini dikritik keras oleh Plato, yang dalam dialog Theaetetus menyatakan bahwa relativisme semacam itu akan menghancurkan fondasi rasionalitas dan perdebatan logis.²

3.2.       Relativisme dalam Tradisi Skolastik dan Islam Klasik

Meskipun relativisme tidak berkembang secara dominan dalam era skolastik Kristen maupun filsafat Islam klasik, beberapa perdebatan mengenai pluralitas kebenaran muncul, misalnya dalam konteks ta’wil atau penafsiran makna teks-teks suci yang menunjukkan bahwa pemahaman terhadap wahyu bisa berbeda menurut latar belakang budaya, bahasa, dan kerangka penafsiran tertentu. Namun, ini tidak serta-merta dikategorikan sebagai relativisme epistemologis, melainkan lebih sebagai hermeneutika kontekstual yang tetap berupaya mempertahankan norma-norma absolut dalam hal pokok agama.³

3.3.       Munculnya Relativisme Modern: Kritik terhadap Objektivisme Ilmiah

Relativisme memperoleh bentuk konseptual yang lebih matang dalam filsafat modern, khususnya dalam kritik terhadap rasionalisme dan empirisme yang mengklaim universalitas pengetahuan. Pada abad ke-19, Friedrich Nietzsche mengembangkan pandangan tentang perspektivisme, yaitu bahwa tidak ada kebenaran yang bebas dari perspektif subyektif; kebenaran adalah konstruksi dari kehendak untuk berkuasa (will to power).⁴ Ini menandai pergeseran penting dari pencarian kebenaran objektif menuju kesadaran akan peran interpretasi manusia dalam membentuk realitas.

Pada abad ke-20, pemikiran relativistik mendapatkan dorongan besar melalui karya Thomas S. Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962), yang menunjukkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak berlangsung secara kumulatif dan objektif, melainkan melalui pergeseran paradigma yang saling tak terbandingkan (incommensurable).⁵ Kuhn menolak gagasan bahwa ilmu berkembang secara linear menuju kebenaran objektif, dan menekankan bahwa komunitas ilmiah menentukan sendiri norma dan nilai keilmuan dalam tiap paradigma.

Selanjutnya, Paul Feyerabend menegaskan relativisme metodologis melalui karyanya Against Method (1975), di mana ia berargumen bahwa tidak ada metode ilmiah tunggal yang dapat dijadikan standar mutlak. Ia mendukung pluralisme epistemik dan menolak klaim eksklusivitas sains Barat atas pengetahuan.⁶ Dalam konteks yang serupa, Richard Rorty, seorang neopragmatis, menolak representasionalisme dan mengajukan pandangan bahwa filsafat seharusnya meninggalkan klaim pencapaian kebenaran objektif dan menggantinya dengan solidaritas diskursif dalam komunitas tertentu.⁷

3.4.       Relativisme dalam Diskursus Kontemporer

Pada dekade-dekade terakhir abad ke-20 hingga kini, relativisme epistemologis berinteraksi erat dengan wacana postmodernisme, postkolonialisme, dan feminisme epistemologis, yang semuanya menyoroti dominasi sistem pengetahuan tertentu dan mengadvokasi pluralitas cara mengetahui dunia.⁸ Diskursus ini memperluas relativisme ke ranah budaya, politik, dan ideologi, serta mendorong kritik terhadap hegemoni epistemik dalam pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebijakan global.

Dengan demikian, sejarah perkembangan relativisme menunjukkan transformasi dari pandangan individualistik tentang persepsi (Protagoras), menuju kritik struktural terhadap kebenaran ilmiah dan dominasi epistemik (Kuhn, Feyerabend, Rorty), hingga menjadi fondasi teoritik dalam perjuangan keadilan epistemik dalam konteks kontemporer.


Footnotes

[1]                Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 152a.

[2]                Ibid., 161d–162a.

[3]                Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī 'Ulūm al-Qurʾān (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1990), 14–16.

[4]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 88–90.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–123.

[6]                Paul Feyerabend, Against Method, 3rd ed. (London: Verso, 1993), 1–4.

[7]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 377–392.

[8]                Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women's Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 8–10; Walter Mignolo, The Darker Side of Western Modernity (Durham: Duke University Press, 2011), 63–66.


4.           Ragam dan Tipologi Relativisme Epistemologis

Relativisme epistemologis tidaklah bersifat monolitik, melainkan mencakup beragam bentuk yang mencerminkan dimensi dan bidang penerapan yang berbeda dalam pengetahuan manusia. Pemahaman atas tipologi relativisme ini penting agar kita dapat menilai dengan cermat ruang lingkup dan konsekuensi dari masing-masing varian. Berikut ini adalah beberapa bentuk utama dari relativisme epistemologis yang telah diidentifikasi dalam literatur filsafat kontemporer.

4.1.       Relativisme Kognitif

Relativisme kognitif adalah bentuk relativisme yang menegaskan bahwa kebenaran dan rasionalitas suatu proposisi bergantung pada kerangka konseptual tertentu yang digunakan oleh suatu kelompok atau individu. Dalam pandangan ini, tidak ada "fakta mentah" yang bebas nilai; setiap klaim kognitif selalu dibingkai oleh struktur linguistik, konseptual, dan budaya.¹ Tokoh penting yang mendukung bentuk relativisme ini adalah Nelson Goodman, yang menyatakan bahwa dunia bukanlah satu entitas tunggal yang ditampilkan apa adanya, tetapi "dibuat" melalui berbagai cara dunia-dunia dipahami (worldmaking).²

4.2.       Relativisme Linguistik

Relativisme linguistik berakar pada hipotesis Sapir–Whorf, yang menyatakan bahwa struktur bahasa menentukan atau setidaknya memengaruhi cara berpikir dan memahami realitas. Menurut teori ini, perbedaan linguistik antara satu bahasa dan lainnya membawa konsekuensi epistemik yang signifikan, sehingga makna dan pengetahuan yang tersedia bagi penutur satu bahasa belum tentu dapat diakses dengan cara yang sama oleh penutur bahasa lain.³ Dengan demikian, tidak ada sistem pengetahuan yang sepenuhnya netral secara linguistik. Walaupun versi ekstrem dari hipotesis ini (determinisme linguistik) telah dikritik, versi moderatnya tetap digunakan dalam kajian antropologi, filsafat bahasa, dan epistemologi.⁴

4.3.       Relativisme Budaya

Relativisme budaya menekankan bahwa standar kebenaran, validitas argumen, dan metode pembenaran sangat bergantung pada sistem nilai budaya tempat pengetahuan itu berkembang. Dalam pandangan ini, klaim epistemik tidak dapat dilepaskan dari kerangka sosio-kultural masyarakatnya.⁵ Contohnya, sistem pengetahuan tradisional (indigenous knowledge systems) seringkali didasarkan pada pengalaman kolektif, narasi lisan, dan relasi spiritual dengan alam, yang sulit dinilai menggunakan standar sains modern.⁶ Para pendukung relativisme budaya mengajukan bahwa pluralitas sistem pengetahuan merupakan refleksi dari keanekaragaman cara hidup, dan bahwa upaya penyeragaman epistemik dapat merusak integritas budaya lokal.

4.4.       Relativisme Paradigmatik

Bentuk ini dikembangkan secara eksplisit oleh Thomas Kuhn, yang dalam The Structure of Scientific Revolutions memperkenalkan konsep paradigma—kerangka teoritis dan metodologis yang digunakan oleh komunitas ilmiah dalam memahami dunia. Menurut Kuhn, peralihan dari satu paradigma ke paradigma lain bukanlah proses rasional dan objektif semata, melainkan perubahan cara melihat dunia yang tidak dapat dibandingkan secara netral (incommensurable).⁷ Dengan demikian, kebenaran ilmiah dalam suatu paradigma hanya sah dalam kerangka paradigma tersebut, dan tidak ada cara absolut untuk menentukan paradigma mana yang lebih "benar."⁸

4.5.       Relativisme Metaepistemologis

Jenis ini merupakan pendekatan tingkat meta yang mempertanyakan validitas klaim-klaim epistemologi itu sendiri. Relativisme metaepistemologis menyatakan bahwa bahkan prinsip-prinsip dasar epistemologi (seperti justifikasi, rasionalitas, atau bukti) tidak dapat ditentukan secara universal, melainkan bergantung pada asumsi filosofis yang berlainan dari satu tradisi filsafat ke tradisi lainnya.⁹ Pandangan ini seringkali diasosiasikan dengan pendekatan postmodern dan post-analitik, yang melihat epistemologi bukan sebagai pencarian fondasi absolut, tetapi sebagai arena negosiasi diskursif yang terus berkembang.


Kesimpulan Sementara

Keberagaman bentuk relativisme epistemologis menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak dapat direduksi menjadi satu prinsip tunggal. Masing-masing jenis menawarkan cara pandang yang unik terhadap hubungan antara pengetahuan, konteks, dan norma pembenaran. Namun, semuanya berbagi satu asumsi mendasar: bahwa klaim kebenaran tidak pernah berdiri dalam kekosongan, melainkan selalu dibentuk oleh kondisi historis, sosial, dan linguistik yang partikular.


Footnotes

[1]                Paul O. Klenk, “Epistemic Relativism,” Internet Encyclopedia of Philosophy, accessed May 31, 2025, https://iep.utm.edu/epistemic-relativism/.

[2]                Nelson Goodman, Ways of Worldmaking (Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 2–5.

[3]                Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, ed. John B. Carroll (Cambridge: MIT Press, 1956), 212–214.

[4]                John A. Lucy, Language Diversity and Thought: A Reformulation of the Linguistic Relativity Hypothesis (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 32–36.

[5]                James Clifford and George E. Marcus, eds., Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography (Berkeley: University of California Press, 1986), 6–10.

[6]                Fikret Berkes, Sacred Ecology: Traditional Ecological Knowledge and Resource Management, 3rd ed. (New York: Routledge, 2012), 17–20.

[7]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–121.

[8]                Ibid., 148–150.

[9]                Richard Rorty, Objectivity, Relativism, and Truth: Philosophical Papers, Volume 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 1–5.


5.           Argumen-Argumen Pendukung Relativisme

Pendukung relativisme epistemologis menyodorkan berbagai argumen yang menggugat klaim universalitas kebenaran dan objektivitas epistemik. Argumen-argumen ini tidak hanya berakar pada analisis konseptual, tetapi juga pada observasi historis dan sosiologis tentang bagaimana pengetahuan terbentuk, dibenarkan, dan dipertahankan dalam berbagai konteks budaya, bahasa, dan paradigma. Berikut adalah beberapa landasan utama yang menjadi pijakan bagi pembela relativisme.

5.1.       Pluralitas Sistem Pengetahuan

Salah satu argumen paling fundamental bagi relativisme epistemologis adalah eksistensi pluralitas sistem pengetahuan di seluruh dunia. Setiap masyarakat mengembangkan sistem pengetahuan yang berbeda-beda berdasarkan pengalaman historis, kondisi geografis, struktur sosial, dan keyakinan religius mereka.¹ Misalnya, pengetahuan medis tradisional dalam komunitas pribumi tidak dapat dipahami atau dievaluasi sepenuhnya dengan standar biomedis Barat, karena berakar pada kosmologi dan praktik yang berbeda.² Fakta bahwa sistem-sistem ini berfungsi secara efektif dalam konteksnya masing-masing menunjukkan bahwa kriteria kebenaran tidak bisa diseragamkan secara global.

5.2.       Kontekstualitas Kebenaran

Pendukung relativisme menolak gagasan bahwa kebenaran bersifat absolut dan transkultural. Sebaliknya, mereka menyatakan bahwa kebenaran selalu terikat pada konteks linguistik, budaya, dan epistemik tertentu.³ Pandangan ini bersumber dari pemahaman bahwa tidak ada akses netral terhadap realitas; semua persepsi dan interpretasi terjadi dalam kerangka tertentu. Dalam epistemologi post-positivis, hal ini didukung oleh tesis bahwa bahkan pengamatan ilmiah tidak bebas nilai, karena diinterpretasikan berdasarkan teori dan paradigma yang berlaku.⁴

5.3.       Ketakterbandingan antar-Paradigma

Thomas Kuhn mengajukan bahwa paradigma ilmiah yang berbeda tidak dapat dibandingkan secara langsung karena memiliki standar rasionalitas, terminologi, dan metode yang tidak sepadan (incommensurable).⁵ Hal ini menegaskan bahwa perpindahan dari satu paradigma ke paradigma lain bukanlah hasil rasionalitas universal, melainkan hasil perubahan sosial, psikologis, dan komunitas ilmiah tertentu. Kuhn menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan tidak berjalan secara kumulatif menuju kebenaran universal, tetapi melintasi jalur diskontinuitas historis yang bersifat relatif terhadap komunitas ilmiah tertentu.

5.4.       Argumentasi dari Bahasa dan Relativisme Semantik

Hipotesis relativisme linguistik (Sapir–Whorf) menyatakan bahwa struktur bahasa memengaruhi cara berpikir dan membingkai kenyataan.⁶ Ini berarti bahwa dunia tidak dihadirkan secara "langsung" kepada kesadaran, melainkan dimediasi oleh bahasa. Karena setiap bahasa memiliki struktur semantik yang berbeda, maka pengetahuan yang dihasilkan juga tidak bisa dilepaskan dari konteks linguistik tersebut. Dengan demikian, kebenaran epistemik menjadi sesuatu yang relatif terhadap sistem bahasa yang digunakan.

5.5.       Penolakan terhadap Fondasionalisme

Beberapa relativis menolak fondasionalisme epistemologis, yaitu gagasan bahwa semua pengetahuan yang sah harus didasarkan pada landasan rasional atau empiris yang tidak dapat diragukan. Relativisme memandang bahwa tidak ada dasar epistemik yang netral dan tak terbantahkan, karena setiap bentuk pembenaran selalu membutuhkan otoritas atau sistem norma yang ditentukan secara sosial atau kultural.⁷ Oleh karena itu, klaim absolut tentang rasionalitas atau objektivitas tidak memiliki pijakan yang valid secara universal.

5.6.       Perspektivisme dan Kehendak atas Pengetahuan

Friedrich Nietzsche memformulasikan konsep perspektivisme, yaitu bahwa setiap klaim kebenaran selalu berasal dari sudut pandang tertentu dan tidak ada “pandangan dari luar” yang netral atau obyektif.⁸ Dalam konteks ini, kebenaran adalah hasil dari interpretasi dan kehendak untuk berkuasa, bukan representasi dari realitas objektif. Gagasan ini menekankan bahwa pluralitas perspektif tidak dapat direduksi menjadi satu kebenaran tunggal, dan bahwa relasi kekuasaan turut membentuk batas-batas epistemik suatu masyarakat.


Kesimpulan Sementara

Argumen-argumen pendukung relativisme epistemologis mengandung pesan yang kuat: tidak ada satu pun sistem epistemik yang dapat mengklaim keunggulan absolut atas yang lain. Baik dalam wacana ilmiah, budaya, maupun linguistik, klaim kebenaran selalu lahir dari konteks historis dan sosial tertentu. Relativisme dengan demikian menawarkan kerangka yang memungkinkan penghargaan terhadap pluralitas, sekaligus menjadi kritik mendalam terhadap pretensi universalisme dalam filsafat dan sains modern.


Footnotes

[1]                Barry Barnes and David Bloor, “Relativism, Rationalism and the Sociology of Knowledge,” in Relativism: Interpretation and Confrontation, ed. Michael Krausz (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1989), 21–47.

[2]                Fikret Berkes, Sacred Ecology: Traditional Ecological Knowledge and Resource Management, 3rd ed. (New York: Routledge, 2012), 15–18.

[3]                Maria Baghramian, Relativism (London: Routledge, 2004), 93–95.

[4]                Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 123–126.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 148–150.

[6]                Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, ed. John B. Carroll (Cambridge: MIT Press, 1956), 213–215.

[7]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 318–321.

[8]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 87–90.


6.           Kritik terhadap Relativisme

Meskipun relativisme epistemologis menawarkan pendekatan yang inklusif terhadap pluralitas perspektif dan sistem pengetahuan, ia juga menghadapi berbagai kritik tajam dari para filsuf yang mempertahankan klaim atas objektivitas, koherensi logis, dan universalitas dalam epistemologi. Kritik-kritik ini mencakup keberatan logis, konsekuensi praktis, serta tantangan terhadap konsistensi internal relativisme itu sendiri.

6.1.       Tuduhan Kontradiksi Diri (Self-Refutation Argument)

Salah satu kritik paling mendasar terhadap relativisme adalah bahwa ia secara logis bertentangan dengan dirinya sendiri. Jika semua klaim kebenaran adalah relatif, maka klaim bahwa "semua kebenaran bersifat relatif" juga seharusnya relatif, bukan universal. Artinya, relativisme epistemologis tidak dapat secara konsisten mempertahankan posisinya sendiri tanpa menyatakan bahwa ia benar secara absolut—yang bertentangan dengan premis utamanya.¹ Argumen ini dikenal sebagai “self-referential incoherence” dan telah diajukan oleh banyak filsuf analitik, termasuk Hilary Putnam yang menyatakan bahwa relativisme “tidak bisa dinyatakan secara konsisten tanpa menegasikan dirinya sendiri.”²

6.2.       Erosi Rasionalitas dan Kemajuan Ilmu

Kritikus juga menyatakan bahwa relativisme melemahkan landasan rasionalitas ilmiah, karena jika semua sistem pengetahuan dianggap setara secara epistemik, maka tidak ada dasar objektif untuk mengevaluasi atau membedakan antara pengetahuan yang valid dan yang tidak.³ Dalam sains, hal ini dapat mengarah pada nihilisme epistemik, di mana tidak ada tolok ukur yang dapat diandalkan untuk menilai hipotesis, teori, atau data. Alan Sokal dan Jean Bricmont, dalam kritik mereka terhadap relativisme postmodern, memperingatkan bahwa pandangan semacam itu mengaburkan batas antara sains dan pseudosains, serta membuka peluang bagi manipulasi ideologis.⁴

6.3.       Relativisme dan Masalah Komunikasi Lintas Budaya

Relativisme budaya yang ekstrem juga menghadapi persoalan dalam menjelaskan bagaimana komunikasi atau evaluasi antarbudaya bisa terjadi. Jika setiap budaya dianggap memiliki kerangka epistemik yang tak terbandingkan (incommensurable), maka pertukaran ide, negosiasi moral, dan dialog antarperadaban menjadi mustahil atau tidak bermakna.⁵ Dalam konteks globalisasi, pendekatan semacam ini dapat mengarah pada segregasi epistemik yang justru bertentangan dengan tujuan awal relativisme: yaitu membuka ruang pengertian lintas perspektif.

6.4.       Risiko Relativisme Moral dan Etis

Walaupun relativisme epistemologis tidak identik dengan relativisme moral, keduanya sering dianggap saling terkait. Jika tidak ada kebenaran epistemik yang dapat ditegakkan secara universal, maka prinsip-prinsip moral dan etis juga berisiko menjadi relatif sepenuhnya.⁶ Hal ini menimbulkan dilema etis dalam menghadapi praktik-praktik yang secara luas dianggap melanggar hak asasi manusia (misalnya penyiksaan, diskriminasi gender, dll.), karena dalam kerangka relativisme ekstrem, tidak ada standar universal yang dapat digunakan untuk mengecam praktik tersebut secara sah.⁷

6.5.       Kritik dari Perspektif Realisme Kritis

Realistis kritis, seperti yang dikembangkan oleh Roy Bhaskar, menolak relativisme dengan menyatakan bahwa walaupun pengetahuan manusia bersifat terbatas dan dipengaruhi oleh konteks, realitas eksis secara independen dari pikiran manusia.⁸ Oleh karena itu, objektivitas bukanlah mitos, melainkan sesuatu yang dapat didekati secara asimptotik melalui metode ilmiah yang reflektif dan transformatif. Dalam pandangan ini, relativisme gagal membedakan antara epistemologi (cara kita mengetahui) dan ontologi (apa yang ada), dan oleh karena itu cenderung menyamakan realitas dengan konstruksi perseptual semata.

6.6.       Kekeliruan dari Reduksi Ekstrem

Kritik lain menyasar kecenderungan relativisme untuk mereduksi semua klaim pengetahuan ke dalam faktor sosial, politik, atau budaya, tanpa mempertimbangkan struktur logis dan kognitif dari pengetahuan itu sendiri.⁹ Hal ini mengabaikan kemungkinan adanya prinsip-prinsip umum dalam penalaran manusia yang melampaui perbedaan kontekstual. Bahkan dalam komunitas epistemik yang berbeda, sering ditemukan kesamaan dalam bentuk inferensi, penggunaan bukti, dan mekanisme koreksi kesalahan—yang menunjukkan adanya elemen universal dalam rasionalitas manusia.


Kesimpulan Sementara

Kritik terhadap relativisme epistemologis menunjukkan bahwa meskipun pandangan ini berguna dalam menyoroti keberagaman dan keterbatasan perspektif manusia, ia menghadapi dilema serius dalam mempertahankan konsistensinya sendiri, serta dalam menjawab tuntutan objektivitas dan validasi dalam dunia yang semakin saling terhubung. Relativisme tetap menjadi tantangan penting dalam epistemologi kontemporer, tetapi harus diuji secara ketat untuk menghindari implikasi yang melemahkan fondasi rasionalitas dan komunikasi antarilmu.


Footnotes

[1]                Harvey Siegel, Relativism Refuted: A Critique of Contemporary Epistemological Relativism (Dordrecht: Reidel, 1987), 7–9.

[2]                Hilary Putnam, Realism and Reason: Philosophical Papers, Volume 3 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 138.

[3]                Michael Lynch, Truth as One and Many (Oxford: Oxford University Press, 2009), 102–104.

[4]                Alan Sokal and Jean Bricmont, Fashionable Nonsense: Postmodern Intellectuals' Abuse of Science (New York: Picador, 1998), 5–10.

[5]                Ernest Gellner, Relativism and the Social Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 41–43.

[6]                Steven Lukes, “Can We Criticize Other Cultures?,” in Multiculturalism: A Critical Reader, ed. David Theo Goldberg (Oxford: Blackwell, 1994), 25–41.

[7]                Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 33–35.

[8]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso, 2008), 15–18.

[9]                Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate: Unfashionable Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 48–50.


7.           Relativisme dan Ilmu Pengetahuan

Hubungan antara relativisme dan ilmu pengetahuan merupakan tema yang kompleks dan kontroversial dalam filsafat kontemporer. Di satu sisi, ilmu sering diposisikan sebagai representasi dari kebenaran objektif, netral, dan universal. Di sisi lain, relativisme epistemologis mempertanyakan asumsi-asumsi tersebut, dan menekankan bahwa pengetahuan ilmiah, seperti bentuk pengetahuan lainnya, berakar dalam kerangka konseptual, sosial, dan historis yang partikular. Dengan demikian, pertanyaan mendasar yang diajukan oleh para pendukung relativisme adalah: sejauh mana ilmu pengetahuan benar-benar bersifat objektif dan universal?

7.1.       Paradigma Ilmiah sebagai Kerangka Relatif

Salah satu argumen utama yang menghubungkan relativisme dengan ilmu pengetahuan berasal dari Thomas S. Kuhn, yang dalam karyanya The Structure of Scientific Revolutions menyatakan bahwa perkembangan ilmu tidak berlangsung secara kumulatif dan progresif menuju kebenaran absolut, melainkan melalui pergantian paradigma yang saling tidak sebanding (incommensurable).¹ Paradigma-paradigma ini—seperti fisika Newtonian dan relativitas Einstein—mengandung asumsi, metode, dan nilai-nilai yang berbeda, sehingga tidak ada standar universal untuk menilai mana yang lebih “benar.” Kuhn menyimpulkan bahwa objektivitas ilmiah bersifat relatif terhadap komunitas ilmiah yang mendukung suatu paradigma tertentu

7.2.       Pluralitas Metodologi dan Penolakan terhadap Metode Ilmiah Tunggal

Paul Feyerabend, melalui karyanya Against Method, melanjutkan kritik terhadap objektivitas ilmu dengan menyatakan bahwa tidak ada satu pun metode ilmiah yang dapat dijadikan tolok ukur universal bagi semua bentuk pengetahuan.³ Ia menolak rasionalitas metodologis yang monolitik, dan mengusulkan prinsip "anything goes" dalam perkembangan ilmu, yang mencerminkan kebutuhan akan pluralitas dan kebebasan kreatif dalam praktik ilmiah. Feyerabend juga menekankan bahwa ilmu tidak boleh diklaim sebagai satu-satunya sumber legitimasi epistemik, karena pengetahuan tradisional dan lokal juga memiliki nilai epistemologis dalam konteksnya masing-masing.⁴

7.3.       Konstruktivisme Sosial dan Produksi Pengetahuan Ilmiah

Dari perspektif sosiologi pengetahuan, relativisme juga mendapat dukungan melalui pendekatan konstruktivisme sosial, yang melihat bahwa pengetahuan ilmiah tidak hanya dipengaruhi oleh data dan rasio, tetapi juga oleh dinamika sosial, politik, dan ekonomi dalam komunitas ilmiah.⁵ Bruno Latour dan Steve Woolgar dalam Laboratory Life menggambarkan bahwa fakta ilmiah dibentuk melalui proses negosiasi, interpretasi, dan institusionalisasi, bukan sekadar hasil observasi netral terhadap realitas.⁶ Dalam hal ini, kebenaran ilmiah adalah hasil proses sosial yang kompleks, bukan refleksi langsung dari “kenyataan objektif.”

7.4.       Kritik terhadap Klaim Universalitas Sains Barat

Relativisme epistemologis juga digunakan untuk mengkritik hegemonisasi pengetahuan ilmiah Barat yang sering diposisikan sebagai satu-satunya bentuk pengetahuan yang sah dan rasional.⁷ Pendekatan ini menunjukkan bahwa dominasi epistemik tersebut telah mengabaikan atau merendahkan sistem pengetahuan non-Barat, seperti pengetahuan ekologis masyarakat adat, sistem pengobatan alternatif, atau epistemologi feminis.⁸ Dalam kerangka ini, relativisme berfungsi sebagai alat kritik terhadap kolonialisme epistemik, serta mendorong pengakuan terhadap pluralitas epistemik di tingkat global.

7.5.       Relevansi dalam Era Post-Truth dan Disinformasi

Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh krisis kepercayaan terhadap otoritas ilmiah—seperti dalam pandemi, perubahan iklim, dan media digital—relativisme sering dianggap membuka ruang bagi skeptisisme ekstrem dan disinformasi.⁹ Meskipun relativisme menyoroti konteks dan konstruksi sosial pengetahuan, ia juga berisiko disalahgunakan untuk menyamakan semua pendapat tanpa membedakan antara yang didasarkan pada bukti dan yang tidak. Oleh karena itu, sejumlah filsuf berupaya mengembangkan versi moderat relativisme yang tetap mengakui keberagaman epistemik, namun tetap mempertahankan kriteria penilaian berbasis argumentasi rasional dan bukti empiris.¹⁰


Kesimpulan Sementara

Relativisme epistemologis memainkan peran penting dalam menyoroti dimensi historis, sosial, dan budaya dalam produksi ilmu pengetahuan. Ia menggugat asumsi netralitas dan objektivitas absolut dalam sains, serta membuka ruang bagi pengakuan atas bentuk-bentuk pengetahuan alternatif. Namun, relativisme juga menghadapi tantangan serius, khususnya dalam membedakan antara kritik konstruktif terhadap universalisme ilmiah dan pembenaran atas relativisme radikal yang berbahaya bagi wacana publik dan kredibilitas sains. Oleh karena itu, relasi antara relativisme dan ilmu pengetahuan harus dipahami dalam kerangka yang seimbang: sebagai dialog kritis antara pluralitas dan objektivitas, bukan sebagai penghapusan salah satunya.


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–121.

[2]                Ibid., 148–150.

[3]                Paul Feyerabend, Against Method, 3rd ed. (London: Verso, 1993), xvii–xviii.

[4]                Ibid., 19–22.

[5]                Steve Fuller, Science (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1997), 64–66.

[6]                Bruno Latour and Steve Woolgar, Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts, 2nd ed. (Princeton: Princeton University Press, 1986), 43–47.

[7]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice against Epistemicide (London: Routledge, 2014), 1–3.

[8]                Sandra Harding, Is Science Multicultural? Postcolonialisms, Feminisms, and Epistemologies (Bloomington: Indiana University Press, 1998), 112–115.

[9]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 6–8.

[10]             Maria Baghramian and Annalisa Coliva, Relativism: New Problems of Philosophy (London: Routledge, 2019), 192–195.


8.           Relevansi Relativisme dalam Konteks Kontemporer

Di tengah perubahan sosial, politik, dan teknologi global yang sangat cepat, relativisme epistemologis mendapatkan ruang yang semakin signifikan dalam diskursus kontemporer. Gagasan bahwa kebenaran bersifat kontekstual dan pengetahuan tidak pernah sepenuhnya netral memainkan peran penting dalam memahami realitas pascamodern yang kompleks. Relativisme menjadi lensa kritis untuk mengevaluasi struktur dominan dalam ilmu pengetahuan, budaya, dan komunikasi, serta membuka kemungkinan bagi pendekatan yang lebih inklusif dan pluralistik terhadap kebenaran.

8.1.       Relativisme dan Tantangan Post-Truth Society

Salah satu tantangan epistemik utama saat ini adalah munculnya era post-truth, yakni kondisi di mana fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan emosi atau keyakinan pribadi.¹ Dalam konteks ini, relativisme epistemologis sering disalahpahami atau bahkan disalahgunakan untuk membenarkan bahwa semua pendapat setara, terlepas dari dasarnya yang rasional atau empiris. Meskipun demikian, relativisme moderat justru dapat membantu memahami mengapa persepsi terhadap fakta berbeda-beda dalam masyarakat, serta mengajak pada pendekatan yang lebih reflektif dalam membedakan antara opini subjektif dan argumen berbasis bukti.²

8.2.       Relevansi dalam Multikulturalisme dan Pluralisme Epistemik

Relativisme juga relevan dalam kerangka multikulturalisme, di mana interaksi antara beragam budaya menuntut pengakuan atas keabsahan berbagai sistem pengetahuan. Dalam ruang sosial yang heterogen, pemaksaan satu model rasionalitas atau ilmu pengetahuan tertentu (biasanya Barat) seringkali mengabaikan keberagaman cara memahami dunia.³ Relativisme epistemologis berkontribusi pada dekolonisasi pengetahuan dengan membuka ruang bagi dialog antar epistemologi lokal, spiritual, feminis, atau ekologi tradisional, yang selama ini dimarginalisasi dalam arus utama wacana akademik.⁴

8.3.       Peran dalam Pendidikan dan Kurikulum Global

Dalam bidang pendidikan, relativisme epistemologis menantang kurikulum yang dibangun atas dasar asumsi tunggal tentang apa yang disebut sebagai “pengetahuan sah.” Melalui perspektif ini, muncul dorongan untuk menerapkan pedagogi yang lebih inklusif dan kontekstual, yang mengakui pengalaman lokal, bahasa ibu, serta nilai-nilai komunitas sebagai sumber pengetahuan yang sah.⁵ Pendekatan ini mendorong peserta didik untuk memahami bahwa kebenaran tidak selalu datang dalam bentuk tunggal, dan bahwa berpikir kritis memerlukan pemahaman terhadap keragaman perspektif, bukan sekadar menghafal fakta yang dianggap universal.

8.4.       Relativisme dan Teknologi Informasi

Dalam lanskap digital saat ini, pengguna internet dihadapkan pada arus informasi yang sangat beragam dan sering kontradiktif. Platform media sosial, algoritma mesin pencari, dan budaya online mendorong proliferasi narasi yang tidak selalu tunduk pada verifikasi ilmiah atau jurnalistik.⁶ Dalam situasi ini, relativisme epistemologis bisa menjadi alat reflektif untuk menganalisis bagaimana otoritas pengetahuan dibentuk, dipertanyakan, dan disebarkan di ruang publik. Namun, ini juga menegaskan perlunya etika informasi dan pendidikan literasi digital agar pluralitas pengetahuan tidak bergeser menjadi relativisme ekstrem yang merelatifkan fakta.

8.5.       Implikasi terhadap Isu Etika dan Keadilan Epistemik

Relativisme juga menjadi penting dalam membahas keadilan epistemik, yaitu pengakuan dan pemberdayaan terhadap kelompok-kelompok yang secara historis terpinggirkan dalam produksi pengetahuan.⁷ Pendekatan ini mengkritik epistemic injustice, seperti ketika kesaksian seseorang dianggap tidak kredibel hanya karena identitas gender, ras, atau status sosialnya. Dengan mengadopsi pandangan relativistik, epistemologi menjadi lebih sensitif terhadap kondisi sosial dan politik yang memengaruhi siapa yang dianggap berpengetahuan dan siapa yang tidak.⁸


Kesimpulan Sementara

Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh globalisasi, pluralisme budaya, krisis otoritas ilmiah, serta ledakan informasi digital, relativisme epistemologis menawarkan kerangka berpikir yang kritis dan inklusif. Ia membantu mengungkap bias dalam klaim kebenaran yang mapan, mengakomodasi keberagaman perspektif, serta memperkuat kesadaran terhadap dimensi sosial dari proses mengetahui. Meskipun perlu diwaspadai agar tidak jatuh ke dalam relativisme ekstrem yang destruktif, pendekatan ini tetap penting dalam membangun wacana pengetahuan yang lebih adil, terbuka, dan kontekstual di era modern.


Footnotes

[1]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 5–9.

[2]                Michael Patrick Lynch, The Internet of Us: Knowing More and Understanding Less in the Age of Big Data (New York: Liveright, 2016), 116–120.

[3]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice against Epistemicide (London: Routledge, 2014), 3–5.

[4]                Walter Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 65–70.

[5]                Catherine Walsh, “Interculturality and Coloniality of Power: An Actional Perspective,” in Postcolonial Studies, vol. 14, no. 3 (2011): 225–242.

[6]                Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 10–14.

[7]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–3.

[8]                José Medina, The Epistemology of Resistance: Gender and Racial Oppression, Epistemic Injustice, and the Social Imagination (Oxford: Oxford University Press, 2013), 24–28.


9.           Kesimpulan

Relativisme dalam epistemologi merupakan respons filosofis yang kompleks terhadap berbagai klaim tentang kebenaran, objektivitas, dan universalisme dalam tradisi ilmu pengetahuan dan filsafat Barat. Ia menyoroti bahwa pengetahuan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks sosial, budaya, linguistik, dan historis yang membentuknya.¹ Dalam pandangan relativistik, tidak ada standar absolut yang dapat dijadikan acuan tunggal dalam menilai validitas suatu klaim pengetahuan. Sebaliknya, setiap klaim kebenaran harus dilihat dalam kerangka epistemik tertentu, dan karena itu kebenaran bersifat plural dan kontekstual.²

Selama berabad-abad, relativisme telah menjadi posisi yang diperdebatkan dengan intens. Dari Protagoras yang menyatakan bahwa “manusia adalah ukuran segala sesuatu,” hingga kritik kontemporer terhadap objektivisme ilmiah oleh Thomas Kuhn dan Paul Feyerabend, relativisme telah memperlihatkan daya tahannya sebagai pendekatan yang menantang klaim kebenaran yang bersifat hegemonik.³ Seiring dengan berkembangnya kesadaran akan pluralitas budaya dan epistemik, relativisme memberikan sumbangsih penting bagi dekolonisasi pengetahuan dan pemahaman yang lebih demokratis terhadap keragaman sistem pemikiran.⁴

Namun demikian, relativisme bukan tanpa tantangan. Ia menghadapi kritik logis atas kontradiksi internalnya, serta tantangan praktis terkait dengan komunikasi antarbudaya, etika universal, dan kredibilitas ilmu pengetahuan dalam ruang publik.⁵ Tuduhan bahwa relativisme dapat mengarah pada skeptisisme ekstrem atau nihilisme epistemik merupakan peringatan penting akan perlunya kehati-hatian dalam menerapkannya secara absolut. Sejumlah filsuf seperti Maria Baghramian dan Michael Lynch telah mengembangkan versi relativisme moderat, yang tetap mengakui pentingnya konteks namun tidak menolak kebutuhan akan evaluasi rasional dan bukti sebagai komponen penting dalam praktik epistemik.⁶

Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh post-truth politics, krisis kepercayaan terhadap sains, serta tantangan globalisasi, relativisme menawarkan kerangka reflektif untuk memahami bagaimana pengetahuan diproduksi, disebarluaskan, dan diberi makna. Ia membantu kita untuk lebih waspada terhadap klaim-klaim kebenaran yang bersifat absolut dan membuka ruang dialog antar berbagai sistem pemikiran dan nilai.⁷ Relativisme bukanlah akhir dari pencarian kebenaran, melainkan ajakan untuk menyadari keterbatasan kita dan pentingnya keterbukaan epistemik dalam menghadapi kompleksitas dunia modern.

Dengan demikian, relativisme epistemologis perlu dipahami secara seimbang—bukan sebagai ancaman terhadap rasionalitas, tetapi sebagai sarana untuk mengkritisi dominasi epistemik, membela keadilan pengetahuan, dan mendorong pluralisme dalam pencarian makna dan kebenaran.


Footnotes

[1]                Maria Baghramian, Relativism (London: Routledge, 2004), 88–90.

[2]                Paul O. Klenk, “Epistemic Relativism,” Internet Encyclopedia of Philosophy, accessed May 31, 2025, https://iep.utm.edu/epistemic-relativism/.

[3]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–123; Paul Feyerabend, Against Method, 3rd ed. (London: Verso, 1993), xvii–xxii.

[4]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice against Epistemicide (London: Routledge, 2014), 1–6.

[5]                Harvey Siegel, Relativism Refuted: A Critique of Contemporary Epistemological Relativism (Dordrecht: Reidel, 1987), 7–12.

[6]                Maria Baghramian and Annalisa Coliva, Relativism: New Problems of Philosophy (London: Routledge, 2019), 187–192; Michael Patrick Lynch, Truth as One and Many (Oxford: Oxford University Press, 2009), 94–100.

[7]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 9–13.


Daftar Pustaka

Baghramian, M. (2004). Relativism. Routledge.

Baghramian, M., & Coliva, A. (2019). Relativism: New problems of philosophy. Routledge.

Barnes, B., & Bloor, D. (1989). Relativism, rationalism and the sociology of knowledge. In M. Krausz (Ed.), Relativism: Interpretation and confrontation (pp. 21–47). University of Notre Dame Press.

Berkes, F. (2012). Sacred ecology: Traditional ecological knowledge and resource management (3rd ed.). Routledge.

Bhaskar, R. (2008). A realist theory of science. Verso.

Clifford, J., & Marcus, G. E. (Eds.). (1986). Writing culture: The poetics and politics of ethnography. University of California Press.

Feyerabend, P. (1993). Against method (3rd ed.). Verso.

Fricker, M. (2007). Epistemic injustice: Power and the ethics of knowing. Oxford University Press.

Fuller, S. (1997). Science. University of Minnesota Press.

Gellner, E. (1985). Relativism and the social sciences. Cambridge University Press.

Goodman, N. (1978). Ways of worldmaking. Hackett Publishing.

Haack, S. (1998). Manifesto of a passionate moderate: Unfashionable essays. University of Chicago Press.

Harding, S. (1998). Is science multicultural? Postcolonialisms, feminisms, and epistemologies. Indiana University Press.

Klenk, P. O. (n.d.). Epistemic relativism. Internet Encyclopedia of Philosophy. https://iep.utm.edu/epistemic-relativism/

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Latour, B., & Woolgar, S. (1986). Laboratory life: The construction of scientific facts (2nd ed.). Princeton University Press.

Lucy, J. A. (1992). Language diversity and thought: A reformulation of the linguistic relativity hypothesis. Cambridge University Press.

Lukes, S. (1994). Can we criticize other cultures? In D. T. Goldberg (Ed.), Multiculturalism: A critical reader (pp. 25–41). Blackwell.

Lynch, M. P. (2009). Truth as one and many. Oxford University Press.

Lynch, M. P. (2016). The internet of us: Knowing more and understanding less in the age of big data. Liveright.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Medina, J. (2013). The epistemology of resistance: Gender and racial oppression, epistemic injustice, and the social imagination. Oxford University Press.

Mignolo, W. (2011). The darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke University Press.

Nietzsche, F. (2007). On the genealogy of morality (C. Diethe, Trans.; K. Ansell-Pearson, Ed.). Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2000). Women and human development: The capabilities approach. Cambridge University Press.

Plato. (1992). Theaetetus (M. J. Levett, Trans.; M. Burnyeat, Rev.). Hackett Publishing.

Putnam, H. (1981). Reason, truth and history. Cambridge University Press.

Putnam, H. (1983). Realism and reason: Philosophical papers, Volume 3. Cambridge University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Rorty, R. (1991). Objectivity, relativism, and truth: Philosophical papers, Volume 1. Cambridge University Press.

Santos, B. de S. (2014). Epistemologies of the South: Justice against epistemicide. Routledge.

Siegel, H. (1987). Relativism refuted: A critique of contemporary epistemological relativism. Reidel.

Sokal, A., & Bricmont, J. (1998). Fashionable nonsense: Postmodern intellectuals' abuse of science. Picador.

Walsh, C. (2011). Interculturality and coloniality of power: An actional perspective. Postcolonial Studies, 14(3), 225–242.

Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policy making. Council of Europe.

Whorf, B. L. (1956). Language, thought, and reality: Selected writings of Benjamin Lee Whorf (J. B. Carroll, Ed.). MIT Press.

Wylie, A. (2003). Why standpoint matters. In R. Figueroa & S. Harding (Eds.), Science and other cultures: Issues in philosophies of science and technology (pp. 26–48). Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar