Filosofi Bahasa Biasa
Telaah Kritis atas Bahasa, Makna, dan Praktik
Penggunaan Sehari-hari
Alihkan ke: Aliran Filsafat Linguistik dan Analitis.
Abstrak
Artikel ini menyajikan kajian komprehensif mengenai
Filsafat Bahasa Biasa sebagai pendekatan alternatif dalam memahami
bahasa, makna, dan praktik penggunaan sehari-hari. Berangkat dari kritik
terhadap pendekatan logis-formal dalam filsafat bahasa awal abad ke-20, artikel
ini mengulas kontribusi utama tokoh-tokoh seperti Ludwig Wittgenstein (fase akhir),
J.L. Austin, dan Gilbert Ryle yang menekankan pentingnya penggunaan aktual
bahasa dalam konteks sosial sebagai penentu makna. Pembahasan meliputi fondasi
konseptual, kritik terhadap mentalisme dan esensialisme makna, serta teori
tindak tutur dan permainan bahasa. Artikel ini juga menganalisis kontribusi
lanjutan dari tokoh seperti Peter Strawson, John Searle, dan Stanley Cavell,
serta mengevaluasi kritik terhadap filsafat bahasa biasa dari perspektif
metodologis, linguistik, dan dekonstruksionis. Lebih lanjut, ditunjukkan pula
bagaimana pendekatan ini tetap relevan dalam konteks kontemporer, termasuk
dalam linguistik pragmatik, filsafat pikiran, pendidikan, teknologi komunikasi,
dan analisis wacana. Artikel ini menegaskan bahwa filsafat bahasa biasa menawarkan
kerangka reflektif yang bernilai tinggi dalam memahami dimensi sosial, etis,
dan epistemologis dari praktik berbahasa manusia.
Kata Kunci: Filsafat Bahasa Biasa; Ludwig Wittgenstein; J.L.
Austin; Gilbert Ryle; Tindak Tutur; Permainan Bahasa; Makna; Pragmatik; Konteks
Sosial; Kritik Filsafat.
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat Bahasa Biasa dalam Studi Bahasa dan
Filsafat Kontemporer
1.
Pendahuluan
Filsafat bahasa biasa (ordinary
language philosophy) muncul sebagai respons kritis terhadap
dominasi pendekatan formal-logis dalam filsafat analitik awal abad ke-20.
Pendekatan ini berupaya memahami makna dan struktur bahasa melalui
bentuk-bentuk logika simbolik, sebagaimana tercermin dalam karya awal Ludwig
Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus.
Namun, seiring berjalannya waktu, muncul kesadaran bahwa bahasa sehari-hari
tidak selalu tunduk pada aturan formal logika, melainkan sarat dengan konteks,
kebiasaan sosial, dan praktik komunikatif yang bersifat dinamis dan ambigu.
Kegagalan pendekatan logis-formal dalam menjelaskan keragaman dan keluwesan
penggunaan bahasa inilah yang mendorong berkembangnya filsafat bahasa biasa
sebagai suatu aliran yang lebih memperhatikan “bagaimana bahasa digunakan
dalam praktik” ketimbang “bagaimana bahasa seharusnya direpresentasikan
secara logis”1.
Muncul di pertengahan abad
ke-20, filsafat bahasa biasa dikembangkan terutama oleh para filsuf dari
tradisi analitik Anglo-Amerika, seperti Ludwig Wittgenstein (fase akhir), J.L.
Austin, dan Gilbert Ryle. Mereka berpendapat bahwa banyak persoalan filosofis
timbul akibat penyimpangan atau kekeliruan dalam memahami cara kerja bahasa
biasa. Misalnya, Austin menunjukkan bahwa tidak semua kalimat memiliki fungsi
deskriptif sebagaimana diasumsikan oleh para logisian, melainkan bisa pula
bersifat performatif—yakni melakukan sesuatu dengan mengucapkannya2.
Filsafat bahasa biasa
menekankan bahwa makna kata atau kalimat tidak dapat dilepaskan dari konteks
penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Wittgenstein dalam Philosophical
Investigations menyatakan bahwa “makna adalah penggunaan dalam
bahasa” (meaning is use in the language)—sebuah tesis radikal
yang menggeser orientasi filsafat bahasa dari logika ke praktik3.
Oleh karena itu, studi filsafat tidak lagi diarahkan pada pembuatan sistem
konseptual yang ideal, melainkan pada analisis detail terhadap ujaran
sehari-hari dan praktik linguistik masyarakat.
Selain sebagai pembalikan
paradigma dalam filsafat bahasa, pendekatan ini juga menawarkan cara baru untuk
melihat permasalahan filosofis secara umum. Ia menolak upaya metafisik dan
spekulatif yang terputus dari cara manusia nyata berkomunikasi. Dalam kerangka
ini, filsafat menjadi upaya untuk mengklarifikasi penggunaan bahasa agar tidak
menimbulkan kebingungan yang bersifat pseudo-filosofis4. Dengan
demikian, filsafat bahasa biasa tidak hanya menjadi teori tentang bahasa,
tetapi juga metode filsafat itu sendiri.
Urgensi kajian terhadap
filsafat bahasa biasa semakin terasa dalam era kontemporer yang ditandai oleh
kompleksitas komunikasi, pluralitas makna, dan dinamika penggunaan bahasa dalam
media digital. Ketika makna tidak lagi tetap dan otoritatif, pemahaman atas
bagaimana bahasa biasa bekerja dapat menjadi alat kritis untuk mengurai
misinterpretasi, manipulasi wacana, dan bias linguistik dalam berbagai konteks
sosial. Oleh sebab itu, telaah ini tidak hanya penting bagi para filsuf, tetapi
juga relevan bagi linguis, pendidik, ahli komunikasi, dan peminat kajian
budaya.
Footnotes
[1]
Hans-Johann Glock, What is Analytic
Philosophy? (Cambridge: Cambridge
University Press, 2008), 98–101.
[2]
J.L. Austin, How to Do Things with
Words, ed. J.O. Urmson and Marina
Sbisà (Cambridge: Harvard University Press, 1962), 4–7.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G.E.M.
Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), §43.
[4]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), viii–x.
2.
Landasan Konseptual Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa sebagai
cabang filsafat yang memusatkan perhatian pada hubungan antara bahasa, pikiran,
dan dunia nyata telah menjadi titik temu utama dalam perdebatan epistemologis,
ontologis, dan semantik sejak abad ke-20. Ia bertanya bukan hanya apa
arti sebuah kata atau kalimat, tetapi juga bagaimana
bahasa merepresentasikan dunia, bagaimana ia digunakan
dalam komunikasi manusia, dan bagaimana ia membentuk
struktur berpikir kita. Oleh karena itu, landasan konseptual
filsafat bahasa menyentuh berbagai aspek mendasar: makna (meaning),
referensi (reference), penggunaan (use),
serta struktur logis dari ujaran linguistik1.
Dalam perkembangan
historisnya, terdapat dua pendekatan dominan yang mewarnai filsafat bahasa: (1)
filsafat bahasa formal yang berpijak pada logika
dan struktur sintaksis, dan (2) filsafat bahasa biasa
yang berfokus pada praktik penggunaan bahasa sehari-hari. Pendekatan pertama,
dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig
Wittgenstein awal, berasumsi bahwa bahasa dapat dijelaskan secara ketat melalui
analisis logis yang presisi, di mana makna diturunkan dari bentuk logika
simbolik yang merepresentasikan fakta-fakta dunia nyata secara objektif2.
Sebagai contoh, Frege
mengembangkan distingsi penting antara Sinn
(sense) dan Bedeutung (reference) dalam
menjelaskan bagaimana ungkapan linguistik merujuk pada objek di dunia.
Menurutnya, setiap ungkapan tidak hanya menunjuk pada objek tertentu (referen),
tetapi juga membawa semacam “cara penyajian” atau pemahaman konseptual
atas objek tersebut3. Pendekatan ini kemudian dilanjutkan oleh
Russell dalam teori deskripsi definitifnya (theory of definite
descriptions), yang bertujuan menjelaskan bagaimana kalimat yang
tampaknya bermakna tetap dapat dipahami bahkan jika referennya tidak ada
(misalnya: “Raja Prancis yang sekarang botak”)4.
Namun, pendekatan
logis-formal ini mulai dikritik karena kecenderungannya mengabaikan
kompleksitas dan keberagaman penggunaan bahasa dalam konteks sehari-hari. Di
sinilah filsafat bahasa biasa masuk sebagai koreksi terhadap anggapan bahwa
struktur bahasa ideal (ideal language) dapat menyelesaikan semua problem
filosofis. Filsuf-filsuf seperti Wittgenstein (fase akhir), Austin, dan Ryle
justru menegaskan bahwa banyak kekacauan filosofis berasal dari kesalahpahaman
terhadap fungsi dan penggunaan bahasa biasa, terutama karena terlalu terikat
pada asumsi logis-formal yang tidak mencerminkan realitas bahasa aktual5.
Dalam pendekatan filsafat
bahasa biasa, makna tidak lagi dianggap sebagai entitas abstrak atau hasil
korespondensi dengan dunia, melainkan sebagai hasil dari penggunaan bahasa
dalam praktik sosial yang terikat konteks. Ini sejalan dengan tesis utama
Wittgenstein dalam Philosophical Investigations
bahwa “makna suatu kata adalah penggunaannya dalam bahasa”6.
Artinya, pemahaman terhadap suatu ungkapan hanya mungkin jika kita memahami
cara dan konteks di mana ia digunakan oleh komunitas penutur. Bahasa tidak
berdiri sendiri, tetapi tertanam dalam “permainan bahasa” (language
games) dan bentuk kehidupan (forms of life)
yang memandu praktik berbahasa kita sehari-hari7.
Dengan demikian, landasan konseptual
filsafat bahasa biasa bersifat anti-esensialis: ia menolak pencarian definisi
tetap dan absolut atas makna, dan lebih memilih pendekatan deskriptif terhadap
fenomena linguistik sebagaimana terjadi dalam kehidupan nyata. Bahasa tidak
lagi dilihat sebagai cermin dari dunia eksternal, tetapi sebagai instrumen
sosial yang digunakan untuk berbagai tujuan: menjelaskan, menyuruh, berjanji,
meyakinkan, bertanya, dan sebagainya. Oleh karena itu, pemahaman filsafat
bahasa harus bertumpu pada analisis terhadap keragaman fungsi bahasa dalam
praktik intersubjektif manusia.
Footnotes
[1]
Michael Devitt and Kim Sterelny, Language
and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language, 2nd ed. (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 1–4.
[2]
Scott Soames, Philosophy of Language (Princeton: Princeton University Press, 2010), 7–10.
[3]
Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max Black (Oxford: Blackwell,
1980), 56–78.
[4]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.
[5]
Avrum Stroll, Wittgenstein and the
Philosophy of Language (New York:
Oxford University Press, 2002), 48–50.
[6]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G.E.M.
Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), §43.
[7]
Ibid., §§23, 241.
3.
Kelahiran Filsafat Bahasa Biasa: Konteks
Sejarah dan Intelektual
Filsafat bahasa biasa lahir
sebagai reaksi terhadap kegagalan pendekatan logika simbolik dalam menangani
kompleksitas bahasa alami. Gerakan ini tumbuh dalam konteks filsafat analitik
Inggris pasca-positivisme logis, terutama pada pertengahan abad ke-20, ketika
para filsuf mulai menyadari bahwa banyak problem filosofis justru bersumber
dari penyalahgunaan bahasa—terutama karena terjebak pada konstruksi buatan yang
terlalu abstrak dan menyimpang dari cara manusia sebenarnya berbicara dan
berpikir1.
Secara historis, filsafat
bahasa biasa berakar pada krisis metodologis yang dihadapi para pengikut logika
matematis, seperti dalam tradisi Tractatus Logico-Philosophicus
milik Ludwig Wittgenstein awal, serta proyek-proyek rasionalisasi bahasa oleh
Bertrand Russell dan Rudolf Carnap. Mereka berusaha menciptakan “bahasa ideal”
yang disucikan dari ambiguitas, melalui sistem logika simbolik yang ketat2.
Namun, dalam praktiknya, idealisasi semacam itu tidak cukup mampu menjelaskan
realitas penggunaan bahasa sehari-hari, yang justru sarat dengan ambiguitas,
konotasi emosional, dan ketergantungan pada konteks sosial.
Perubahan paradigma ini
secara signifikan ditandai oleh transformasi pemikiran Ludwig Wittgenstein
dalam Philosophical Investigations (1953). Ia meninggalkan
pendekatan logis-representasional yang mendominasi karyanya sebelumnya, dan
menggantikannya dengan pendekatan yang lebih deskriptif terhadap fungsi bahasa
dalam kehidupan nyata. Wittgenstein menyatakan bahwa “masalah-masalah
filsafat timbul ketika bahasa berlibur,” artinya ketika bahasa dipisahkan
dari penggunaan biasanya dalam praktik sosial3. Di sinilah letak
fondasi epistemologis filsafat bahasa biasa: bahwa untuk memahami makna dan
menyelesaikan problem filosofis, kita harus kembali kepada bagaimana bahasa
digunakan oleh manusia dalam konteks nyata, bukan bagaimana bahasa seharusnya
bekerja menurut sistem logika.
Selain Wittgenstein, tokoh
penting lainnya adalah J.L. Austin dari Universitas Oxford, yang dalam
kuliah-kuliahnya yang kemudian dibukukan sebagai How to Do Things with
Words (1962), mengembangkan teori tindak tutur (speech
act theory). Ia memperlihatkan bahwa bahasa tidak hanya digunakan
untuk menyatakan fakta, tetapi juga untuk melakukan tindakan—seperti
menjanjikan, memerintah, atau menikah. Hal ini menggugurkan anggapan bahwa
fungsi utama bahasa adalah deskriptif, sebagaimana diyakini oleh para pendukung
teori korespondensi makna4.
Kontribusi Gilbert Ryle juga
menonjol dalam konteks ini. Ia mengkritik Cartesian dualism
dan menjelaskan bagaimana banyak istilah psikologis dalam bahasa biasa
disalahpahami oleh filsuf karena diperlakukan secara metafisik. Dalam karyanya The
Concept of Mind (1949), Ryle memperkenalkan istilah category
mistake untuk menunjukkan kekeliruan dalam cara kita menggunakan
konsep yang sebenarnya hanya berfungsi dalam konteks tertentu5. Misalnya,
menyamakan “pikiran” dengan “benda tak kasat mata” adalah
kesalahan kategori, karena kata “pikiran” tidak mengacu pada entitas,
tetapi pada seperangkat perilaku dan kecenderungan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari segi institusional,
munculnya filsafat bahasa biasa sering dikaitkan dengan apa yang disebut
sebagai “Sekolah Oxford,” meskipun istilah ini lebih bersifat
retrospektif ketimbang sebagai gerakan formal. Tokoh-tokoh seperti Austin,
Ryle, dan Peter Strawson berkumpul dalam lingkungan intelektual yang menekankan
pembacaan teliti terhadap penggunaan bahasa dalam percakapan biasa, analisis
semantik naturalistik, dan penyelesaian problem filosofis melalui klarifikasi
linguistik, bukan spekulasi metafisik6.
Konteks sejarah ini juga
tidak dapat dilepaskan dari perubahan budaya akademik pasca-Perang Dunia II, di
mana terdapat keinginan kuat untuk menjauh dari kecenderungan metafisika
abstrak dan beralih kepada cara berpikir yang lebih empiris, anti-dogmatis, dan
relevan secara sosial. Filsafat bahasa biasa sejalan dengan semangat ini,
karena berupaya untuk membumikan filsafat melalui perhatian terhadap bahasa
yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari manusia biasa, bukan hanya dalam
wacana elit akademik.
Dengan demikian, kelahiran
filsafat bahasa biasa merupakan momen penting dalam sejarah filsafat modern
yang menandai pergeseran dari proyek besar pencarian kebenaran mutlak dan
sistem universal menuju pendekatan yang lebih terbuka, plural, dan kontekstual
terhadap makna, komunikasi, dan realitas.
Footnotes
[1]
Thomas Baldwin, “The Oxford School,” in The Oxford Handbook of the History of Analytic Philosophy, ed. Michael Beaney (Oxford: Oxford University Press,
2013), 421–440.
[2]
Scott Soames, Philosophy of Language (Princeton: Princeton University Press, 2010), 11–15.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G.E.M.
Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), §§38, 90.
[4]
J.L. Austin, How to Do Things with
Words, ed. J.O. Urmson and Marina
Sbisà (Cambridge: Harvard University Press, 1962), 6–8.
[5]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 11–13.
[6]
Avrum Stroll, Twentieth-Century
Analytic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2001), 157–160.
4.
Ludwig Wittgenstein dan Philosophical
Investigations
Ludwig Wittgenstein merupakan
figur sentral dalam sejarah filsafat abad ke-20, dan kontribusinya terhadap
filsafat bahasa mengalami transformasi radikal antara dua fase besar
pemikirannya: fase awal (early Wittgenstein) yang
termanifestasi dalam Tractatus Logico-Philosophicus
(1921), dan fase akhir (later Wittgenstein) yang
tertuang dalam karya monumental Philosophical Investigations
(1953). Dalam konteks filsafat bahasa biasa, fase akhir Wittgenstein memegang
peranan krusial karena secara fundamental menggeser pendekatan filosofis dari
analisis logis ke deskripsi penggunaan bahasa dalam praktik sosial manusia1.
Dalam Tractatus,
Wittgenstein mengembangkan teori picture theory of meaning—bahwa
bahasa bekerja seperti “gambar” yang mencerminkan realitas, dan kalimat
bermakna jika ia merepresentasikan keadaan fakta (state of affairs)
secara logis. Namun, Wittgenstein kemudian menyadari keterbatasan model ini,
terutama dalam menjelaskan kompleksitas bahasa alami dan ragam fungsinya di
luar sekadar representasi fakta. Hal ini mengantarkannya pada kritik mendalam
terhadap pendekatan filsafat sebelumnya dalam Philosophical
Investigations2.
Dalam karya ini, Wittgenstein
mengemukakan bahwa “makna suatu kata adalah penggunaannya
dalam bahasa” (the meaning of a word is its use in the
language)3. Pernyataan ini menjadi tesis utama dalam
filsafat bahasa biasa. Ia menggeser fokus analisis bahasa dari struktur logis
ke praktik linguistik konkret. Menurutnya, bahasa bukanlah sistem tertutup yang
tunduk pada aturan logika formal, melainkan bagian dari aktivitas manusia yang
beraneka ragam dan penuh konteks. Untuk menjelaskan ini, Wittgenstein
memperkenalkan konsep language-games (permainan
bahasa), yakni cara-cara khas dalam menggunakan bahasa yang berkaitan
erat dengan kegiatan sosial tertentu4.
Permainan bahasa mencakup
semua bentuk penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari—bertanya,
memerintah, berdoa, berjanji, menjelaskan, dan lain-lain—yang masing-masing
memiliki aturan, konvensi, dan tujuan tertentu. Tidak ada satu pun esensi makna
yang berlaku universal, karena makna ditentukan oleh konteks sosial penggunaan.
Hal ini berkaitan erat dengan konsep forms of life
(bentuk kehidupan), yang menekankan bahwa praktik bahasa tertanam dalam pola
hidup bersama yang membentuk makna sosial dan budaya5.
Lebih lanjut, Wittgenstein
menolak ide bahwa makna dapat didefinisikan secara tetap atau dikuasai oleh
teori yang sistematis. Ia menggambarkan makna sebagai sebuah “keluarga
kemiripan” (family resemblance) antara
berbagai penggunaan suatu kata, tanpa adanya satu ciri esensial yang mengikat
semuanya secara mutlak6. Dengan demikian, upaya filsafat bukanlah
untuk menemukan definisi universal, melainkan untuk “menunjukkan jalan
keluar dari jebakan bahasa” melalui analisis deskriptif terhadap
bagaimana istilah digunakan dalam konteks sebenarnya.
Implikasi dari pendekatan ini
sangat luas, baik secara epistemologis maupun metodologis. Ia mengubah fungsi
filsafat dari penciptaan teori-teori abstrak menjadi kegiatan terapi
linguistik—membantu kita keluar dari kebingungan konseptual akibat
penyalahgunaan atau misinterpretasi bahasa. Wittgenstein menyatakan bahwa “tugas
filsafat adalah untuk membebaskan pikiran dari belenggu bahasa”7.
Dalam kerangka filsafat
bahasa biasa, Philosophical Investigations
menjadi dasar penting untuk memahami makna sebagai peristiwa sosial yang
bersifat partisipatif dan intersubjektif. Dengan menolak reduksionisme logis
dan mendesak pentingnya analisis kontekstual, Wittgenstein membuka jalan bagi
pendekatan baru dalam memahami tidak hanya bahasa, tetapi juga bagaimana
manusia memahami dunia dan dirinya melalui bahasa yang mereka gunakan setiap
hari.
Footnotes
[1]
Ray Monk, Ludwig Wittgenstein:
The Duty of Genius (New York:
Penguin, 1990), 343–347.
[2]
Hans Sluga, Wittgenstein (Oxford: Wiley-Blackwell, 2011), 120–122.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G.E.M.
Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), §43.
[4]
Ibid., §§23, 65.
[5]
Ibid., §19.
[6]
Ibid., §§66–67.
[7]
Ludwig Wittgenstein, The
Blue and Brown Books (Oxford:
Blackwell, 1969), 27.
5.
J.L. Austin dan Teori Tindak Tutur (Speech Act
Theory)
John Langshaw Austin
(1911–1960) merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam pengembangan
filsafat bahasa biasa, terutama melalui kontribusinya dalam merumuskan teori
tindak tutur (speech act theory). Teori ini
dikembangkan dalam serangkaian kuliah di Universitas Harvard yang kemudian
dibukukan secara posthumous dengan judul How to Do Things with
Words (1962). Austin menentang asumsi dominan dalam tradisi logika
dan linguistik pada masanya yang memandang bahwa fungsi utama bahasa adalah
menyatakan fakta (deskriptif) yang dapat diklasifikasikan sebagai benar atau
salah. Menurutnya, banyak ujaran dalam kehidupan sehari-hari tidak bersifat
deskriptif, tetapi justru melakukan sesuatu—mereka adalah tindakan yang
diwujudkan melalui pengucapan1.
Austin membedakan antara dua
jenis ujaran: konstatif (constatives)
dan performatif (performatives).
Ujaran konstatif bertujuan menggambarkan dunia dan dapat dinilai benar atau
salah (misalnya: “Langit berwarna biru”). Sebaliknya, ujaran performatif
tidak menggambarkan dunia, melainkan melakukan
sesuatu (misalnya: “Saya menikahkan Anda” dalam konteks pernikahan yang sah).
Dengan demikian, kalimat performatif tidak dapat diklasifikasikan sebagai benar
atau salah, tetapi dapat dinilai berhasil atau gagal
tergantung pada apakah syarat-syarat tertentu terpenuhi2.
Dari sini, Austin memperluas
gagasannya dengan memperkenalkan tiga level tindak tutur
dalam setiap ujaran:
1)
Tindak lokusi
(locutionary act): tindakan mengucapkan sesuatu
dengan arti dan referensi tertentu.
2)
Tindak ilokusi
(illocutionary act): tindakan yang dilakukan saat
mengucapkan, seperti menyuruh, berjanji, memperingatkan, dll.
3)
Tindak perlokusi
(perlocutionary act): efek atau dampak dari ujaran
tersebut pada pendengar, seperti membujuk, menakut-nakuti, atau meyakinkan3.
Dengan struktur ini, Austin
menegaskan bahwa setiap ujaran memiliki dimensi pragmatis yang tak dapat dipisahkan
dari konteks sosial dan niat penutur. Hal ini merupakan titik kritis dalam
sejarah filsafat bahasa karena memindahkan fokus dari struktur linguistik
internal ke dimensi fungsional dan tindakan sosial dalam komunikasi verbal.
Teori Austin memperlihatkan
bahwa pemahaman terhadap bahasa tidak cukup hanya melalui analisis sintaksis
atau semantik, tetapi juga harus mencakup dimensi pragmatik—yakni bagaimana
ujaran digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dalam situasi sosial yang
spesifik. Dalam kerangka filsafat bahasa biasa, pendekatan ini sangat konsisten
dengan penekanan terhadap konteks dan penggunaan sebagai penentu utama makna4.
Austin juga memperkenalkan
konsep felicity conditions—yakni
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar tindak tutur performatif berhasil.
Misalnya, agar seorang imam sah mengucapkan “Saya menikahkan Anda,” ia
harus memiliki otoritas yang diakui, berada dalam konteks sosial yang tepat,
dan diucapkan dengan kesungguhan. Jika salah satu unsur ini gagal, tindak tutur
menjadi infelicitous atau gagal secara performatif5.
Pengaruh pemikiran Austin
sangat besar, tidak hanya dalam bidang filsafat bahasa, tetapi juga dalam
pragmatik linguistik, teori komunikasi, dan bahkan analisis wacana kritis.
Muridnya, John Searle, mengembangkan lebih lanjut teori ini dan memberikan
klasifikasi sistematis terhadap berbagai jenis tindak ilokusi.
Dengan demikian, J.L. Austin
melalui teori tindak tutur telah memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman
bahasa sebagai bentuk tindakan sosial yang kompleks. Ia membuka ruang baru
dalam studi bahasa yang tidak hanya memusatkan perhatian pada struktur, tetapi
juga pada penggunaan, niat, dan efek ujaran dalam kehidupan nyata.
Footnotes
[1]
J.L. Austin, How to Do Things with
Words, ed. J.O. Urmson and Marina
Sbisà (Cambridge: Harvard University Press, 1962), 1–5.
[4]
Marina Sbisà, “Speech Acts,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy,
ed. Edward N. Zalta (Fall 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/speech-acts/.
[5]
Austin, How to Do Things with
Words, 14–15.
6.
Gilbert Ryle dan Kritik terhadap Mentalisme
Gilbert Ryle (1900–1976)
merupakan tokoh sentral dalam filsafat bahasa biasa yang terkenal melalui
kritiknya terhadap dualisme Cartesian serta gagasannya mengenai penggunaan
istilah mental dalam bahasa sehari-hari. Dalam karya monumentalnya The
Concept of Mind (1949), Ryle mengecam apa yang ia sebut sebagai “dogma
dari dualisme”—pandangan bahwa pikiran dan tubuh adalah dua
substansi terpisah sebagaimana diasumsikan oleh René Descartes. Kritik ini
tidak hanya bersifat metafisik, tetapi juga linguistik, karena menurut Ryle,
dualisme ini merupakan hasil dari kesalahan dalam memahami cara bahasa biasa
bekerja1.
Ryle menyebut dualisme
Cartesian sebagai “kesalahan kategori” (category
mistake)—yakni bentuk kekeliruan logis yang terjadi ketika
seseorang salah mengklasifikasikan sesuatu ke dalam jenis yang tidak tepat.
Contoh klasik yang ia berikan adalah seseorang yang, setelah ditunjukkan semua
bangunan, dosen, dan fasilitas universitas, kemudian bertanya, “Tapi di mana
universitasnya?” Dalam kasus ini, “universitas” bukan entitas
tersendiri di samping gedung dan staf, tetapi sebuah sistem yang tersusun dari
semua elemen tersebut. Dengan analogi ini, Ryle menunjukkan bahwa menganggap “pikiran”
sebagai substansi non-fisik yang berdiri sendiri di luar tindakan tubuh adalah
bentuk kesalahan kategori yang serupa2.
Pendekatan Ryle sangat
dipengaruhi oleh metodologi filsafat bahasa biasa, yakni dengan menganalisis
cara-cara penggunaan istilah seperti “berpikir”,
“memahami”, “percaya”,
atau “berniat” dalam percakapan sehari-hari. Ia
berargumen bahwa istilah-istilah mental tidak menunjuk pada entitas tak kasat
mata dalam “ruang mental”, melainkan pada disposisi perilaku tertentu
yang dapat diamati dalam konteks sosial. Misalnya, mengatakan seseorang “mengerti”
bukan berarti mengakses entitas mental tersembunyi, tetapi menunjukkan bahwa
orang tersebut mampu menjawab pertanyaan, menjelaskan suatu konsep, atau
bertindak secara tepat dalam situasi tertentu3.
Dengan demikian, Ryle
menawarkan sebuah pendekatan anti-reduksionis yang menjauh
dari asumsi bahwa setiap istilah dalam bahasa harus memiliki padanan dalam
entitas objektif. Ia tidak menghilangkan istilah mental, tetapi menolak
interpretasi metafisis atas istilah tersebut. Baginya, istilah-istilah itu
mencerminkan kecenderungan perilaku dan peran sosial dalam praktik kehidupan,
bukan deskripsi tentang substansi batiniah4.
Konsekuensi dari pendekatan
ini adalah pergeseran dalam filsafat pikiran dari spekulasi ontologis menuju
analisis penggunaan bahasa dalam konteks sosial. Dengan menolak pemisahan tajam
antara dunia mental dan dunia fisik, Ryle turut mengubah arah filsafat pikiran
modern, sekaligus memperkuat dasar-dasar filsafat bahasa biasa yang menekankan
pentingnya deskripsi cermat atas praktik linguistik sehari-hari.
Ryle juga secara metodologis
menolak model inner theatre yang
mendominasi psikologi introspektif. Ia berpendapat bahwa mencari “bukti” akan
pikiran dengan mengakses pengalaman subjektif sama tidak masuk akalnya dengan
mencari universitas sebagai entitas fisik tambahan di samping semua bagian
institusinya. Oleh sebab itu, klarifikasi makna istilah mental harus dilakukan
melalui penyelidikan terhadap penggunaan kata-kata dalam praktik sosial, bukan
melalui pencarian struktur internal kesadaran5.
Dalam konteks filsafat bahasa
biasa, pemikiran Ryle membantu menunjukkan bahwa banyak problem filosofis
tentang “pikiran” bersumber dari kekeliruan dalam memahami tata bahasa
dan struktur konseptual bahasa kita. Dengan mendekonstruksi bahasa mentalistik,
ia mengarahkan filsafat kepada penelaahan terhadap kebiasaan berbahasa sebagai
cermin struktur kehidupan manusia itu sendiri.
Footnotes
[1]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 13–18.
[2]
Ibid., 16–18.
[3]
Anthony Kenny, The Legacy of
Wittgenstein (Oxford: Blackwell,
1984), 45–47.
[4]
A.C. Grayling, Philosophy 2: Further
through the Subject (Oxford: Oxford
University Press, 1998), 431–434.
[5]
Ryle, The Concept of Mind, 26–30.
7.
Kontribusi Lain dan Pengaruh Lanjutan
Filsafat bahasa biasa tidak
hanya didirikan oleh tokoh-tokoh seperti Ludwig Wittgenstein, J.L. Austin, dan
Gilbert Ryle, tetapi juga dilanjutkan, dikembangkan, dan dimodifikasi oleh
generasi berikutnya yang memperluas jangkauan konseptual dan aplikatif
pendekatan ini. Di antara tokoh paling menonjol dalam fase lanjutan ini adalah Peter
Strawson, John Searle, dan Stanley
Cavell, yang masing-masing memberikan kontribusi penting
terhadap pematangan serta diversifikasi pendekatan filsafat bahasa biasa dalam
konteks analisis semantik, filsafat pikiran, serta estetika dan budaya.
7.1. Peter Strawson dan
Klarifikasi Semantik
Peter F. Strawson, seorang
filsuf dari Universitas Oxford yang dekat dengan lingkaran Austin dan Ryle,
berperan penting dalam menjembatani filsafat bahasa biasa dengan logika formal
dan semantik filosofis. Dalam artikelnya yang terkenal, On
Referring (1950), Strawson mengkritik teori deskripsi definitif
Bertrand Russell dengan menunjukkan bahwa referensi bukan sekadar struktur
logis, tetapi praktik linguistik yang bergantung pada penggunaan kontekstual
dan niat komunikatif penutur1. Strawson menggarisbawahi
bahwa memahami makna suatu pernyataan tidak cukup dengan melihat struktur
kalimatnya, tetapi juga memerlukan pemahaman tentang cara penggunaannya dalam
praktik sosial.
Strawson juga dikenal karena
memperkenalkan konsep presupposition (prasyarat
pragmatik), yang kemudian menjadi topik penting dalam pragmatik linguistik dan
teori komunikasi. Ia menunjukkan bahwa suatu kalimat bisa gagal memiliki nilai
kebenaran jika prasyaratnya tidak terpenuhi, meskipun tidak berarti kalimat itu
secara logis salah. Kontribusi ini memperkuat gagasan utama filsafat bahasa
biasa bahwa makna sangat bergantung pada konteks dan kebiasaan penggunaan2.
7.2.
John Searle dan Sistematisasi Teori Tindak
Tutur
Sebagai murid langsung
Austin, John Searle mengembangkan
teori tindak tutur dalam kerangka yang lebih sistematis dan formal. Dalam Speech
Acts (1969), Searle menyusun klasifikasi lima jenis tindak ilokusi:
representatif, direktif, komisif, ekpresif, dan deklaratif—yang kemudian
menjadi dasar penting dalam pragmatik linguistik modern3.
Ia juga menekankan pentingnya rules of constitutive speech acts
yang tidak hanya mengatur tetapi menciptakan praktik
linguistik tertentu, sebagaimana dalam permainan dan hukum.
Searle juga memperkenalkan
konsep background dan intentionality
dalam tindak tutur, yang memperluas filsafat bahasa biasa ke dalam wilayah
filsafat pikiran dan kesadaran. Ia menyatakan bahwa kemampuan memahami tindak
tutur terletak bukan pada kode linguistik semata, tetapi pada latar belakang
budaya, sosial, dan kognitif yang dimiliki oleh para penutur4.
Dengan demikian, ia memperkaya tradisi filsafat bahasa biasa dengan pendekatan
multidisipliner yang menghubungkan bahasa dengan psikologi dan antropologi.
7.3.
Stanley Cavell dan Dimensi Estetik-Eksistensial
Kontribusi Stanley
Cavell, filsuf Amerika yang berakar pada filsafat bahasa biasa,
membawa pendekatan ini ke dalam wilayah humaniora, estetika, dan filsafat
eksistensial. Dalam The Claim of Reason (1979),
Cavell mengeksplorasi bagaimana konsep-konsep seperti “tahu,” “percaya,”
dan “meragukan” beroperasi dalam kehidupan sehari-hari, serta bagaimana
mereka mencerminkan kecemasan eksistensial dan pencarian pengakuan dalam
hubungan antarmanusia5. Ia juga banyak menulis
tentang film, drama Shakespeare, dan pengalaman estetika sebagai medan
permainan bahasa yang kaya akan ambiguitas makna dan ekspresi manusia.
Cavell memandang filsafat
bahasa biasa bukan sekadar metode analitis, tetapi sebagai cara untuk
menghadirkan kembali suara manusia biasa ke dalam
filsafat, yakni melalui pengakuan terhadap bahasa sebagai ekspresi kehidupan,
bukan sekadar sistem representasi. Dalam konteks ini, bahasa menjadi sarana
untuk memahami pengalaman manusia yang otentik, termasuk keraguan, kesendirian,
dan harapan6.
7.4.
Pengaruh Lintas Disiplin dan Relevansi
Kontemporer
Pengaruh filsafat bahasa
biasa juga melampaui batas disiplin filsafat. Dalam linguistik,
ia menginspirasi pengembangan pragmatik,
terutama dalam studi konteks, implikatur (implicature),
dan maksud komunikatif. Dalam teori komunikasi,
gagasan tentang niat, konteks, dan efek ujaran menjadi dasar dalam memahami
interaksi sosial. Dalam filsafat hukum,
pendekatan bahasa biasa digunakan untuk mengkaji makna normatif dari teks
undang-undang. Bahkan dalam ilmu komputer dan kecerdasan buatan,
aspek-aspek dari teori tindak tutur Searle menjadi dasar untuk merancang natural
language processing dan human-computer
interaction.
Dengan demikian, kontribusi
lanjutan filsafat bahasa biasa menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak pernah
statis atau semata-mata deskriptif. Ia berkembang menjadi kerangka teoritis
yang kuat untuk memahami bahasa sebagai praktik sosial, tindakan simbolik, dan
ekspresi kehidupan manusia yang kompleks. Keberlanjutan dan daya adaptasi
pendekatan ini menunjukkan bahwa filsafat bahasa biasa tetap relevan dalam
menjawab tantangan epistemologis, komunikasi, dan etika di era modern.
Footnotes
[1]
P.F. Strawson, “On Referring,” Mind 59, no. 235 (1950): 320–344.
[2]
Kent Bach, Linguistic
Communication and Speech Acts
(Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 32–35.
[3]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 23–33.
[4]
John R. Searle, Intentionality: An
Essay in the Philosophy of Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 141–144.
[5]
Stanley Cavell, The Claim of Reason:
Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Oxford: Oxford University Press, 1979), 34–38.
[6]
Sandra Laugier, Why We Need Ordinary
Language Philosophy (Chicago:
University of Chicago Press, 2013), 61–64.
8.
Kritik terhadap Filsafat Bahasa Biasa
Meskipun filsafat bahasa
biasa telah memberikan kontribusi besar dalam menjembatani antara makna dan
praktik linguistik sehari-hari, pendekatan ini juga tidak luput dari kritik
yang datang dari berbagai arah, baik dari filsuf analitik sendiri maupun dari
tradisi filsafat kontinental dan interdisipliner. Kritik terhadap filsafat
bahasa biasa mencakup beberapa aspek utama: kelemahan metodologis, keterbatasan
lingkup bahasa, ketidaksesuaian dengan dinamika bahasa modern, dan tuduhan
konservatisme filosofis.
8.1.
Kritik Metodologis: Deskripsi tanpa Teori
Salah satu kritik paling
menonjol terhadap filsafat bahasa biasa adalah sifatnya yang cenderung deskriptif
dan anti-teoritis. Para filsuf seperti Wittgenstein (fase
akhir), Austin, dan Ryle menolak pembuatan teori universal tentang makna dan
bahasa. Sebaliknya, mereka menekankan pentingnya “klarifikasi” melalui
observasi terhadap penggunaan aktual bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Namun,
sikap ini dianggap oleh sebagian filsuf sebagai kekurangan metodologis karena
tidak memberikan kerangka teoritis yang eksplisit untuk menjelaskan
generalisasi linguistik1.
Willard Van Orman Quine,
misalnya, mengkritik asumsi bahwa makna dapat “dijelaskan” hanya melalui
introspeksi terhadap praktik berbahasa. Dalam esainya Two
Dogmas of Empiricism (1951), ia menyatakan bahwa tidak ada garis
tegas antara analitik dan sintetik, sehingga pemahaman bahasa harus mencakup
dimensi empiris dan teoritis secara utuh, bukan sekadar klarifikasi deskriptif2.
Kritik ini menunjukkan bahwa filsafat bahasa biasa mungkin terlalu mempercayai
intuisi bahasa penutur tanpa mempertimbangkan sistematikitas bahasa dalam
konteks ilmiah.
8.2.
Ketergantungan terhadap Bahasa Inggris dan
Konteks Anglo-Sentris
Kritik lain yang cukup
signifikan adalah bahwa filsafat bahasa biasa sangat bergantung pada
bahasa Inggris dan konteks kebudayaan Anglo-Saxon. Sebagian
besar analisis—terutama oleh Austin dan Ryle—mengasumsikan bahwa tata bahasa
dan logika ujaran bahasa Inggris berlaku universal. Hal ini menjadi masalah
ketika pendekatan mereka diaplikasikan ke dalam bahasa lain yang memiliki
struktur sintaksis, semantik, dan pragmatik yang berbeda secara mendasar3.
Akibatnya, filsafat bahasa
biasa sering dianggap sebagai pendekatan yang bersifat etnosentris,
yang menyulitkan penerapannya dalam konteks multibahasa dan multikultural.
Dalam konteks global dan lintas budaya, pendekatan yang terlalu bergantung pada
penggunaan sehari-hari dalam satu bahasa tertentu berisiko mengabaikan dimensi
historis, sosiologis, dan politis dari penggunaan bahasa4.
8.3.
Kritik dari Filsafat Kontinental dan
Dekonstruksi
Dari perspektif filsafat
kontinental, terutama pascastrukturalisme dan dekonstruksi, filsafat bahasa
biasa dikritik karena mengasumsikan kestabilan makna dalam
praktik bahasa. Jacques Derrida, misalnya, menyatakan bahwa
makna tidak pernah tetap dan selalu mengalami pergeseran tak
terelakkan (différance). Dalam pandangan ini, bahasa adalah
jaringan tanda yang saling merujuk tanpa titik referensi tetap, sehingga makna
bukan hasil dari penggunaan stabil, melainkan akibat dari ketegangan,
penundaan, dan perbedaan5.
Derrida menilai bahwa
pendekatan filsafat bahasa biasa terlalu optimistik terhadap kemungkinan
mengklarifikasi makna melalui observasi terhadap praktik sehari-hari. Bagi
Derrida, penggunaan biasa bukanlah sumber kejelasan, melainkan sumber
ambiguitas yang tak terelakkan. Oleh karena itu, pendekatan Austin terhadap
tindak tutur, misalnya, dikritik karena mengabaikan fakta bahwa performatif
selalu terbuka terhadap kegagalan dan pembacaan ulang di
luar intensi pembicara6.
8.4.
Tuduhan Konservatisme Filosofis
Beberapa pengamat juga
menuduh filsafat bahasa biasa sebagai pendekatan konservatif
yang cenderung mempertahankan status quo kebahasaan. Karena terlalu fokus pada
“bahasa sebagaimana digunakan,” filsafat ini dianggap tidak cukup kritis
terhadap ideologi yang tersembunyi dalam praktik bahasa. Dalam hal ini, para
kritikus menyatakan bahwa observasi terhadap bahasa biasa bisa saja memperkuat
bentuk-bentuk ketidakadilan atau dominasi yang terstruktur dalam norma bahasa
yang diterima7.
Para filsuf feminis seperti
Judith Butler, misalnya, mengkritik bahwa tindak tutur tidak netral. Ia
menyoroti bahwa performatif bahasa seringkali terikat pada struktur kuasa dan
konvensi sosial yang tidak setara, sehingga tidak semua subjek memiliki
kapasitas yang sama untuk bertindak melalui ujaran. Kritik ini memperluas
perspektif dari filsafat bahasa biasa menjadi lebih sensitif terhadap dimensi
politik bahasa8.
8.5.
Keterbatasan dalam Menghadapi Bahasa Digital
dan Mediatik
Dalam era kontemporer yang
ditandai oleh perkembangan teknologi komunikasi,
media sosial, dan penggunaan bahasa digital yang sangat cepat berubah, filsafat
bahasa biasa juga menghadapi tantangan baru. Praktik bahasa dalam dunia maya
sering kali melibatkan bentuk ujaran yang tidak sesuai dengan norma percakapan
langsung: emoji, tagar, meme, atau algoritme
interpretatif. Ini menunjukkan bahwa “bahasa biasa” telah mengalami
transformasi, dan pendekatan klasik filsafat bahasa biasa perlu diperbarui
untuk memahami bentuk-bentuk komunikasi digital yang tidak lagi tunduk pada
struktur konvensional9.
Kesimpulan Sementara
Kritik-kritik di atas tidak
serta-merta meniadakan pentingnya filsafat bahasa biasa, tetapi justru
memperlihatkan batas-batas dan potensi pengembangannya. Respons terhadap
kritik-kritik ini juga mendorong munculnya berbagai pendekatan interdisipliner
yang memadukan filsafat bahasa biasa dengan teori kritis, linguistik modern,
studi budaya, dan bahkan kecerdasan buatan. Dengan demikian, pendekatan ini
tetap relevan asalkan terbuka terhadap refleksi dan modifikasi yang
berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Ernest Lepore and Barry C. Smith, The
Oxford Handbook of Philosophy of Language (Oxford: Oxford University Press, 2006), 12–14.
[2]
W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review
60, no. 1 (1951): 20–43.
[3]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of
Language (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1981), 4–6.
[4]
Talbot J. Taylor, Theorizing Language:
Analysis, Development, and Evolution
(New York: Pergamon, 1990), 87–90.
[5]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1997), 61–65.
[6]
Jacques Derrida, “Signature Event Context,” in Limited Inc, ed.
Gerald Graff (Evanston: Northwestern University Press, 1988), 1–23.
[7]
Nancy Fraser, Justice Interruptus:
Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 140–143.
[8]
Judith Butler, Excitable Speech: A
Politics of the Performative (New
York: Routledge, 1997), 11–15.
[9]
Naomi Baron, Always On: Language in
an Online and Mobile World (Oxford:
Oxford University Press, 2008), 136–139.
9.
Relevansi Kontemporer dan Aplikasinya
Filsafat bahasa biasa,
meskipun berakar pada tradisi pertengahan abad ke-20, tetap memiliki relevansi
yang kuat dalam menghadapi tantangan intelektual dan sosial kontemporer.
Prinsip dasarnya—yakni bahwa makna bersumber dari penggunaan aktual bahasa
dalam konteks sosial—menawarkan pendekatan kritis dan fleksibel terhadap
dinamika komunikasi manusia di era globalisasi, digitalisasi, dan keragaman
budaya. Pendekatan ini terus berpengaruh dalam sejumlah bidang, mulai dari
linguistik dan filsafat pikiran hingga pendidikan, hukum, etika, dan teknologi
komunikasi.
9.1.
Dalam Linguistik dan Pragmatik Modern
Pengaruh filsafat bahasa
biasa paling nyata terlihat dalam perkembangan pragmatik linguistik,
terutama dalam studi mengenai makna ujaran yang tidak tersurat secara literal.
Konsep-konsep seperti presupposition, implicature,
dan contextual meaning—yang dirintis oleh Peter Strawson
dan dikembangkan oleh H.P. Grice—berakar pada kesadaran bahwa pemaknaan tidak
bisa dipisahkan dari konteks dan niat komunikatif1.
Dalam hal ini, filsafat
bahasa biasa menjadi fondasi bagi pemahaman bahwa ujaran seperti “Bisakah
kamu menutup pintu?” bukanlah pertanyaan tentang kemampuan, melainkan
permintaan halus—sebuah tindak tutur yang hanya bisa dipahami dengan
memperhatikan norma sosial, konteks situasi, dan ekspektasi bersama2.
Prinsip-prinsip ini kini menjadi dasar dalam bidang seperti linguistik
forensik, analisis wacana, dan komunikasi
lintas budaya.
9.2.
Dalam Filsafat Pikiran dan Kesadaran
Dalam konteks filsafat
pikiran, pendekatan filsafat bahasa biasa memberikan alternatif
terhadap model-model reduksionis yang melihat pikiran sebagai entitas internal
yang tertutup. Melalui pemikiran Gilbert Ryle dan pengaruh Wittgenstein akhir,
muncul pendekatan anti-representasionalis yang
menekankan bahwa pemahaman terhadap aktivitas mental seperti “percaya”,
“mengerti”, atau “berniat” bukanlah pencarian ke dalam batin,
tetapi interpretasi atas pola perilaku dalam konteks sosial3.
Pendekatan ini semakin
relevan dalam diskusi kontemporer tentang intersubjektivitas,
embodied cognition, dan teori
pikiran (theory of mind), yang memandang bahwa pemahaman
terhadap orang lain bergantung pada partisipasi dalam praktik sosial dan bahasa
yang sama, bukan inferensi mental internal semata4.
9.3.
Dalam Etika dan Filsafat Hukum
Dalam filsafat
etika dan hukum, filsafat bahasa biasa menyediakan kerangka
untuk menganalisis makna normatif dari istilah-istilah seperti “tanggung
jawab”, “niat”, atau “kesalahan”. J.L. Austin, misalnya,
menunjukkan bagaimana kata-kata tidak hanya menyatakan, tetapi juga melakukan
sesuatu. Gagasan ini telah diadopsi dalam teori hukum modern, khususnya dalam interpretasi
hukum berdasarkan intensi legislatif dan dalam teori analisis
konseptual hukum seperti dikembangkan oleh H.L.A. Hart5.
Selain itu, teori tindak
tutur dan performativitas kini digunakan untuk menganalisis struktur
kekuasaan dalam bahasa hukum dan wacana politik. Perkataan
seorang hakim atau kepala negara, misalnya, bukan sekadar informasi tetapi
tindak ilokusi yang membawa konsekuensi sosial dan institusional.
9.4.
Dalam Pendidikan dan Literasi Kritis
Dalam bidang pendidikan,
filsafat bahasa biasa menginspirasi pendekatan pendidikan humanistik
dan dialogis, seperti yang dikembangkan oleh Paulo Freire.
Pendekatan ini mendorong penggunaan bahasa sebagai alat pemberdayaan, bukan
sekadar transmisi pengetahuan. Pemahaman terhadap makna kata dan narasi dalam
konteks kehidupan siswa menjadi lebih penting dibanding sekadar definisi kamus
atau struktur gramatikal formal6.
Filsafat bahasa biasa juga
memberi kontribusi besar dalam literasi kritis,
yakni kemampuan untuk memahami bagaimana makna dibentuk, disebarkan, dan
diterima dalam berbagai konteks sosial. Dengan analisis tindak tutur, siswa
diajak untuk menginterpretasi fungsi sosial dari berbagai bentuk wacana—baik
media, politik, maupun percakapan sehari-hari.
9.5.
Dalam Teknologi Bahasa dan Kecerdasan Buatan
Perkembangan teknologi
informasi dan kecerdasan buatan (AI)
telah membuka medan baru bagi penerapan filsafat bahasa biasa, khususnya dalam pemrosesan
bahasa alami (natural language processing).
Model interaksi seperti chatbots, asisten digital,
dan sistem komunikasi berbasis AI dirancang tidak hanya untuk memahami arti
literal kata, tetapi juga konteks penggunaan, niat, dan implikatur sosial dari
bahasa pengguna.
Pengaruh pemikiran John
Searle sangat terasa di sini, terutama melalui kritiknya terhadap AI
dalam Chinese Room Argument, di mana ia menekankan bahwa
pemahaman tidak dapat direduksi menjadi sekadar manipulasi simbol; bahasa
memerlukan konteks, intensi, dan background budaya7.
Oleh karena itu, filsafat bahasa biasa menjadi sumber refleksi kritis terhadap
ambisi teknologi yang mengklaim dapat meniru pemahaman manusia hanya dengan
logika formal.
9.6.
Dalam Kajian Sosial dan Politik Bahasa
Secara lebih luas, filsafat
bahasa biasa telah berkontribusi dalam analisis kritis wacana
(critical discourse analysis), terutama dalam melihat bagaimana
bahasa mereproduksi kekuasaan, ideologi, dan struktur sosial. Para pemikir
seperti Judith Butler, yang mengembangkan teori performativity,
memperluas teori tindak tutur Austin ke dalam studi tentang gender dan
identitas sosial. Dalam perspektif ini, bahasa tidak hanya merepresentasikan
kenyataan, tetapi membentuk kenyataan sosial
melalui praktik performatif yang diulang dan dilembagakan8.
Kesimpulan
Filsafat bahasa biasa, dengan
akar pragmatis dan deskriptifnya, terus hidup sebagai pendekatan yang dinamis
dan aplikatif dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam era post-truth, disinformasi,
dan teknologi yang mempercepat perubahan dalam praktik berbahasa, pendekatan
ini menyediakan alat analitis untuk memahami makna sebagai hasil interaksi
sosial, bukan semata representasi abstrak. Dengan demikian, ia tetap menjadi
alat intelektual yang kuat untuk membongkar kebingungan bahasa, memperjelas
nilai-nilai normatif, dan membuka jalan menuju pemahaman yang lebih kritis dan
inklusif terhadap komunikasi manusia.
Footnotes
[1]
Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic
Communication and Speech Acts
(Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 80–84.
[2]
H.P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975),
41–58.
[3]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 25–30.
[4]
Shaun Gallagher, How the Body Shapes the
Mind (Oxford: Oxford University
Press, 2005), 34–39.
[5]
H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1994),
87–93.
[6]
Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos
(New York: Continuum, 2005), 87–92.
[7]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[8]
Judith Butler, Gender Trouble:
Feminism and the Subversion of Identity
(New York: Routledge, 1990), 33–35.
10.
Kesimpulan dan Refleksi Kritis
Filsafat bahasa biasa telah
merevolusi cara filsuf memandang bahasa, makna, dan pemecahan problem
filosofis. Alih-alih membangun sistem logis yang ideal atau mencari definisi
universal, pendekatan ini menawarkan pemahaman bahwa makna
adalah hasil dari penggunaan aktual dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui karya-karya Ludwig Wittgenstein (fase akhir), J.L. Austin, dan Gilbert
Ryle, filsafat bahasa biasa memusatkan perhatian pada praktik linguistik
konkret, konteks sosial, serta fungsi-fungsi pragmatis dari ujaran manusia.
Kontribusi fundamental dari
pendekatan ini adalah dekonstruksi terhadap problem filosofis
semu yang muncul akibat kekeliruan dalam memahami bahasa.
Wittgenstein menekankan bahwa filsafat seharusnya tidak mengusulkan teori-teori
baru, tetapi bertugas menjernihkan kebingungan konseptual yang timbul dari
penggunaan bahasa yang keliru1. Austin, pada sisi lain, menunjukkan
bahwa bahasa bukan semata alat representasi fakta, tetapi juga instrumen
tindakan, sementara Ryle membongkar mitos dualisme dengan menganalisis cara
kerja istilah-istilah mental dalam bahasa biasa.2&3.
Secara metodologis, filsafat
bahasa biasa mengajarkan pentingnya keterbukaan terhadap ragam
penggunaan bahasa, menghindari reduksionisme, dan menolak pencarian
esensi tunggal dalam makna. Gagasan seperti language-games,
speech acts, dan category mistake
memberi fondasi epistemologis untuk memahami bahwa makna muncul dalam kegiatan
manusia yang bervariasi dan terbuka4. Dengan demikian,
pendekatan ini menjembatani antara analisis logis dan kepekaan terhadap
realitas linguistik dalam praktik sosial sehari-hari.
Namun demikian, refleksi
kritis atas pendekatan ini menunjukkan adanya keterbatasan yang
tidak bisa diabaikan. Ketergantungan terhadap intuisi penutur asli, bias
Anglo-sentris, serta kekurangmampuan menjelaskan dinamika bahasa dalam
masyarakat multikultural dan digital, telah menimbulkan berbagai kritik, baik
dari filsuf analitik modern seperti Quine, maupun dari pemikir post-strukturalis
seperti Derrida dan Butler.5&6 Penekanan yang terlalu besar pada
praktik bahasa konvensional juga dituduh melemahkan potensi emansipatoris dari
bahasa dalam membongkar struktur kuasa yang tersembunyi di balik ujaran
sehari-hari7.
Di sisi lain, kekuatan filsafat
bahasa biasa justru terletak pada kesadarannya yang tinggi terhadap keragaman
bentuk kehidupan manusia dan kompleksitas interaksi simbolik yang
tidak selalu dapat direduksi ke dalam teori universal. Dalam konteks komunikasi
digital, kecerdasan buatan, dan politik identitas hari ini, pendekatan ini
tetap relevan untuk menganalisis bagaimana makna dibentuk, diperdebatkan, dan
dinegosiasikan dalam ruang publik yang makin plural dan terfragmentasi8.
Sebagai penutup, filsafat
bahasa biasa adalah warisan intelektual yang kaya dan mendalam. Ia menantang
kita untuk melihat kembali filsafat bukan sebagai
pencarian kebenaran metafisis, tetapi sebagai upaya pemahaman terhadap dunia
sebagaimana kita hidupi melalui bahasa. Oleh karena itu, dalam
semangat Wittgensteinian, kita dapat mengatakan bahwa banyak persoalan besar
dapat diselesaikan bukan dengan menjawabnya, tetapi dengan melarutkannya
melalui klarifikasi terhadap cara kita berbicara dan berpikir9.
Footnotes
[1]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G.E.M.
Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), §§38, 109.
[2]
J.L. Austin, How to Do Things with
Words, ed. J.O. Urmson and Marina
Sbisà (Cambridge: Harvard University Press, 1962), 6–8.
[3]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 11–18.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §§23, 43, 66.
[5]
W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review
60, no. 1 (1951): 20–43.
[6]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1997), 61–65.
[7]
Judith Butler, Excitable Speech: A
Politics of the Performative (New
York: Routledge, 1997), 11–15.
[8]
Naomi Baron, Always On: Language in
an Online and Mobile World (Oxford:
Oxford University Press, 2008), 136–139.
[9]
Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §133.
Daftar Pustaka
Austin, J. L. (1962). How
to do things with words (J. O. Urmson & M. Sbisà, Eds.).
Harvard University Press.
Bach, K., & Harnish, R.
M. (1979). Linguistic communication and speech acts.
MIT Press.
Baron, N. S. (2008). Always
on: Language in an online and mobile world. Oxford University
Press.
Butler, J. (1990). Gender
trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.
Butler, J. (1997). Excitable
speech: A politics of the performative. Routledge.
Cavell, S. (1979). The
claim of reason: Wittgenstein, skepticism, morality, and tragedy.
Oxford University Press.
Derrida, J. (1988). Limited
inc (G. Graff, Ed.). Northwestern University Press.
Derrida, J. (1997). Of
grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University
Press. (Original work published 1967)
Dummett, M. (1981). Frege:
Philosophy of language. Harvard University Press.
Freire, P. (2005). Pedagogy
of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Original work
published 1970)
Gallagher, S. (2005). How
the body shapes the mind. Oxford University Press.
Grice, H. P. (1975). Logic
and conversation. In P. Cole & J. L. Morgan (Eds.), Syntax
and semantics: Vol. 3. Speech acts (pp. 41–58). Academic Press.
Hart, H. L. A. (1994). The
concept of law (2nd ed.). Oxford University Press.
Kenny, A. (1984). The
legacy of Wittgenstein. Blackwell.
Laugier, S. (2013). Why
we need ordinary language philosophy. University of Chicago Press.
Lepore, E., & Smith, B.
C. (Eds.). (2006). The Oxford handbook of philosophy of
language. Oxford University Press.
Monk, R. (1990). Ludwig
Wittgenstein: The duty of genius. Penguin.
Quine, W. V. O. (1951). Two
dogmas of empiricism. The Philosophical Review, 60(1),
20–43. https://doi.org/10.2307/2181906
Ryle, G. (1949). The
concept of mind. Hutchinson.
Sbisà, M. (2020). Speech
acts. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Fall 2020 ed.). Stanford University. https://plato.stanford.edu/entries/speech-acts/
Searle, J. R. (1969). Speech
acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge University
Press.
Searle, J. R. (1980).
Minds, brains, and programs. Behavioral and Brain Sciences, 3(3),
417–424. https://doi.org/10.1017/S0140525X00005756
Searle, J. R. (1983). Intentionality:
An essay in the philosophy of mind. Cambridge University Press.
Sluga, H. (2011). Wittgenstein.
Wiley-Blackwell.
Soames, S. (2010). Philosophy
of language. Princeton University Press.
Strawson, P. F. (1950). On
referring. Mind, 59(235), 320–344. https://doi.org/10.1093/mind/LIX.235.320
Stroll, A. (2001). Twentieth-century
analytic philosophy. Columbia University Press.
Taylor, T. J. (1990). Theorizing
language: Analysis, development, and evolution. Pergamon Press.
Wittgenstein, L. (1969). The
blue and brown books. Blackwell.
Wittgenstein, L. (2009). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Wiley-Blackwell.
(Original work published 1953)
Lampiran 1: Analisis Contoh Ujaran Sehari-hari
dalam Konteks Filosofis
Untuk mengilustrasikan
prinsip-prinsip filsafat bahasa biasa,
berikut ini disajikan satu contoh ujaran sehari-hari yang dianalisis secara
filosofis berdasarkan kerangka dari Ludwig Wittgenstein, J.L. Austin, dan
Gilbert Ryle.
Contoh Ujaran
“Besok saya pasti
datang ke rapat.”
1.
Analisis Berdasarkan Wittgenstein: Makna
sebagai Penggunaan
Menurut Ludwig Wittgenstein
(fase akhir), makna suatu kata atau kalimat tidak ditentukan oleh rujukannya
terhadap dunia luar, tetapi oleh cara penggunaannya
dalam bahasa. Dalam hal ini, kalimat “Besok saya pasti
datang ke rapat” memiliki makna sejauh kita memahami dalam konteks praktik
kehidupan bagaimana ujaran tersebut digunakan. Ucapan ini bisa:
·
Sebagai pernyataan komitmen
moral terhadap kehadiran.
·
Sebagai penegasan untuk
menenangkan lawan bicara.
·
Sebagai bentuk sopan santun
atau basa-basi, meskipun belum tentu diikuti oleh kehadiran nyata.
Dengan demikian, makna ujaran
tersebut hanya dapat dipahami jika kita mengetahui permainan
bahasa (language-game) yang sedang
dimainkan—apakah konteksnya janji formal, percakapan informal, atau negosiasi
sosial1.
2.
Analisis Berdasarkan Austin: Tindak Tutur
Menurut teori tindak tutur
J.L. Austin, ucapan di atas bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi melakukan
tindakan. Secara khusus, kalimat ini merupakan bentuk tindak
ilokusi (ilocutionary act), yang bertujuan meyakinkan atau
menjanjikan kepada lawan bicara bahwa pembicara akan hadir.
·
Tindak
Lokusi: Ucapan literal bahwa seseorang akan datang ke rapat.
·
Tindak
Ilokusi: Menyatakan niat dan memberikan jaminan kehadiran
(fungsi menjanjikan).
·
Tindak
Perlokusi: Memberikan rasa tenang atau harapan kepada pihak
lain, atau memperkuat kepercayaan interpersonal2.
Jika ucapan tersebut
disampaikan dalam rapat penting dan oleh orang yang posisinya menentukan, maka
tindak tutur ini juga berimplikasi sosial yang signifikan. Namun, jika syarat-syarat
konteks (misalnya: kesungguhan niat, kemampuan hadir) tidak terpenuhi, maka
tindak tutur ini bisa menjadi tidak berhasil
(infelicitous).
3.
Analisis Berdasarkan Ryle: Kritik terhadap
Mentalisme
Gilbert Ryle akan menolak
interpretasi bahwa kalimat di atas menunjukkan adanya entitas batiniah seperti
“niat internal” yang tidak dapat diverifikasi. Baginya, mengatakan “Besok
saya pasti datang ke rapat” adalah cara linguistik untuk menunjukkan
disposisi perilaku tertentu—yakni kecenderungan untuk hadir,
bersiap, dan menghargai kewajiban sosial3.
Artinya, makna ujaran ini
tidak bergantung pada akses terhadap niat mental tersembunyi, tetapi pada indikasi
perilaku yang dapat diamati: misalnya, apakah pembicara
bersiap, mengatur waktu, atau pernah menepati janji-janji sebelumnya. Dengan
demikian, pemaknaan menjadi sesuatu yang terikat pada praktik
sosial, bukan refleksi mental internal.
Kesimpulan Kontekstual
Contoh ujaran “Besok saya
pasti datang ke rapat” menunjukkan bahwa:
·
Maknanya bersifat kontekstual
dan bertingkat, tidak dapat dipahami hanya dari struktur
gramatikal.
·
Ia memiliki fungsi
performatif, yakni melakukan sesuatu melalui pengucapannya.
·
Ia mencerminkan interaksi
sosial dan norma komunikasi yang melekat dalam bentuk kehidupan
tertentu.
Analisis ini memperlihatkan
bahwa filsafat bahasa biasa bukan sekadar teori tentang kalimat, melainkan
metode reflektif untuk memahami struktur makna dalam
praktik manusia. Ia mengarahkan perhatian filsuf bukan pada
bentuk ideal bahasa, tetapi pada kehidupan nyata tempat bahasa itu digunakan.
Footnotes
[1]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G.E.M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 2009), §§23, 43.
[2]
J.L. Austin, How to Do Things with
Words, ed. J.O. Urmson and Marina
Sbisà (Cambridge: Harvard University Press, 1962), 94–108.
[3]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 27–32.
Lampiran 2: Studi Mikro terhadap Percakapan dan
Penalaran Biasa dalam Perspektif Filsafat Bahasa Biasa
Untuk mendemonstrasikan
relevansi praktis filsafat bahasa biasa dalam memahami dinamika makna dan
penalaran, berikut disajikan sebuah studi mikro
terhadap percakapan sehari-hari antara dua individu. Analisis dilakukan dengan
mengacu pada pendekatan dari Wittgenstein, Austin,
dan Strawson, serta dimaknai secara kontekstual
berdasarkan praktik berbahasa biasa.
1.
Transkrip Percakapan Singkat
Situasi:
Dua rekan kerja sedang berbincang di ruang istirahat kantor, sehari sebelum
rapat penting.
A: “Kamu
yakin besok bisa datang tepat waktu?”
B: “Iya,
kecuali kalau jalanan macet parah seperti minggu lalu.”
A: “Kamu
bilang hal yang sama minggu lalu, tapi tetap datang telat.”
B: “Iya
sih... tapi sekarang aku sudah berangkat lebih pagi.”
2.
Analisis Filsafat Bahasa Biasa
2.1.
Wittgensteinian
Insight: Permainan Bahasa dan Pengkondisian Kontekstual
Ucapan “Iya,
kecuali kalau jalanan macet parah...” dari pembicara B bukan
hanya menjawab secara literal, melainkan bermain dalam permainan bahasa
prediktif yang mengandung ketidakpastian yang diantisipasi.
Wittgenstein akan melihat ini sebagai bentuk “language-game”
yang dipakai untuk menyampaikan komitmen bersyarat,
bukan sekadar menyatakan fakta1.
Penggunaan frasa bersyarat
memperlihatkan bahwa makna “saya akan datang” dalam bahasa biasa tidak
bersifat mutlak, melainkan berkondisi pada konteks
faktual. Kalimat ini juga menunjukkan bagaimana bahasa digunakan
untuk menjaga hubungan sosial sambil tetap mempertahankan
ruang kemungkinan kegagalan.
2.2.
Austinian Analysis:
Struktur Tindak Tutur dan Efektivitas Ilokusi
Austin akan memecah ujaran B
menjadi:
·
Tindak
Lokusi: Pernyataan bersyarat tentang kehadiran.
·
Tindak
Ilokusi: Berusaha meyakinkan
atau menenangkan A bahwa ia berkomitmen.
·
Tindak
Perlokusi: Menciptakan harapan atau skeptisisme tergantung pada
interpretasi A terhadap riwayat perilaku B2.
Ujaran “Iya sih... tapi
sekarang aku sudah berangkat lebih pagi” berfungsi sebagai strategi
reparatif terhadap tindak tutur ilokusi yang gagal minggu
lalu. Dalam hal ini, B sedang membangun kembali
kredibilitasnya sebagai penutur yang dapat dipercaya—sebuah praktik
umum dalam percakapan biasa yang mengandung dimensi etis dan sosial.
2.3.
Strawsonian Insight:
Presuposisi, Referensi, dan Implikasi Sosial
Ketika A berkata, “Kamu
bilang hal yang sama minggu lalu, tapi tetap datang telat,” ia memanfaatkan
strategi presuposisi untuk menegaskan konsistensi
antara pernyataan dan tindakan. Dalam konteks ini, pernyataan A
menyiratkan:
·
B pernah membuat janji yang
sama.
·
Janji tersebut gagal
terpenuhi.
·
Ada implikasi
normatif bahwa ujaran B seharusnya diiringi oleh perilaku yang
sesuai.
Menurut Strawson,
kebermaknaan pernyataan tersebut tidak hanya dinilai
secara semantik, tetapi dari praktik komunikasi
sosial—yakni mengingatkan, menilai, dan menuntut
konsistensi moral dari penutur3.
3.
Penalaran Biasa dalam Konteks Sosial
Percakapan ini menggambarkan
bentuk penalaran praktis non-formal
yang umum terjadi dalam interaksi sehari-hari:
·
Penalaran
bersyarat: “Jika tidak macet → saya hadir tepat waktu.”
·
Penalaran
inferensial sosial: “Pernah berjanji tapi gagal → janji saat
ini patut diragukan.”
·
Penalaran
normatif: “Ucapan harus konsisten dengan tindakan.”
Ini menunjukkan bahwa penalaran
dalam kehidupan sehari-hari bersifat pragmatik, melibatkan
tidak hanya logika formal tetapi juga ekspektasi sosial, etika interpersonal,
dan pemahaman kontekstual.
Kesimpulan Reflektif
Studi mikro ini menunjukkan
bahwa ujaran sederhana dalam percakapan biasa:
·
Tidak dapat dipahami secara
terisolasi dari konteks sosial dan sejarah komunikasi.
·
Memiliki struktur logika sosial
yang kompleks dan penuh makna implisit.
·
Melibatkan penggunaan
bahasa sebagai alat tindak intersubjektif, bukan hanya pernyataan
proposisional.
Dengan demikian, filsafat
bahasa biasa memberi kerangka yang sangat bernilai untuk memahami
rasionalitas, tanggung jawab, dan makna dalam praktik komunikasi manusia.
Footnotes
[1]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G.E.M.
Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), §§23, 43.
[2]
J.L. Austin, How to Do Things with
Words, ed. J.O. Urmson & Marina
Sbisà (Cambridge: Harvard University Press, 1962), 94–108.
[3]
P.F. Strawson, “On Referring,” Mind, 59(235), 1950: 320–344.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar