Sabtu, 14 Juni 2025

Filosofi Bahasa Biasa: Telaah Kritis atas Bahasa, Makna, dan Praktik Penggunaan Sehari-hari

Filosofi Bahasa Biasa

Telaah Kritis atas Bahasa, Makna, dan Praktik Penggunaan Sehari-hari


Alihkan ke: Aliran Filsafat Linguistik dan Analitis.


Abstrak

Artikel ini menyajikan kajian komprehensif mengenai Filsafat Bahasa Biasa sebagai pendekatan alternatif dalam memahami bahasa, makna, dan praktik penggunaan sehari-hari. Berangkat dari kritik terhadap pendekatan logis-formal dalam filsafat bahasa awal abad ke-20, artikel ini mengulas kontribusi utama tokoh-tokoh seperti Ludwig Wittgenstein (fase akhir), J.L. Austin, dan Gilbert Ryle yang menekankan pentingnya penggunaan aktual bahasa dalam konteks sosial sebagai penentu makna. Pembahasan meliputi fondasi konseptual, kritik terhadap mentalisme dan esensialisme makna, serta teori tindak tutur dan permainan bahasa. Artikel ini juga menganalisis kontribusi lanjutan dari tokoh seperti Peter Strawson, John Searle, dan Stanley Cavell, serta mengevaluasi kritik terhadap filsafat bahasa biasa dari perspektif metodologis, linguistik, dan dekonstruksionis. Lebih lanjut, ditunjukkan pula bagaimana pendekatan ini tetap relevan dalam konteks kontemporer, termasuk dalam linguistik pragmatik, filsafat pikiran, pendidikan, teknologi komunikasi, dan analisis wacana. Artikel ini menegaskan bahwa filsafat bahasa biasa menawarkan kerangka reflektif yang bernilai tinggi dalam memahami dimensi sosial, etis, dan epistemologis dari praktik berbahasa manusia.

Kata Kunci: Filsafat Bahasa Biasa; Ludwig Wittgenstein; J.L. Austin; Gilbert Ryle; Tindak Tutur; Permainan Bahasa; Makna; Pragmatik; Konteks Sosial; Kritik Filsafat.


PEMBAHASAN

Kajian Filsafat Bahasa Biasa dalam Studi Bahasa dan Filsafat Kontemporer


1.           Pendahuluan

Filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) muncul sebagai respons kritis terhadap dominasi pendekatan formal-logis dalam filsafat analitik awal abad ke-20. Pendekatan ini berupaya memahami makna dan struktur bahasa melalui bentuk-bentuk logika simbolik, sebagaimana tercermin dalam karya awal Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul kesadaran bahwa bahasa sehari-hari tidak selalu tunduk pada aturan formal logika, melainkan sarat dengan konteks, kebiasaan sosial, dan praktik komunikatif yang bersifat dinamis dan ambigu. Kegagalan pendekatan logis-formal dalam menjelaskan keragaman dan keluwesan penggunaan bahasa inilah yang mendorong berkembangnya filsafat bahasa biasa sebagai suatu aliran yang lebih memperhatikan “bagaimana bahasa digunakan dalam praktik” ketimbang “bagaimana bahasa seharusnya direpresentasikan secara logis1.

Muncul di pertengahan abad ke-20, filsafat bahasa biasa dikembangkan terutama oleh para filsuf dari tradisi analitik Anglo-Amerika, seperti Ludwig Wittgenstein (fase akhir), J.L. Austin, dan Gilbert Ryle. Mereka berpendapat bahwa banyak persoalan filosofis timbul akibat penyimpangan atau kekeliruan dalam memahami cara kerja bahasa biasa. Misalnya, Austin menunjukkan bahwa tidak semua kalimat memiliki fungsi deskriptif sebagaimana diasumsikan oleh para logisian, melainkan bisa pula bersifat performatif—yakni melakukan sesuatu dengan mengucapkannya2.

Filsafat bahasa biasa menekankan bahwa makna kata atau kalimat tidak dapat dilepaskan dari konteks penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Wittgenstein dalam Philosophical Investigations menyatakan bahwa “makna adalah penggunaan dalam bahasa” (meaning is use in the language)—sebuah tesis radikal yang menggeser orientasi filsafat bahasa dari logika ke praktik3. Oleh karena itu, studi filsafat tidak lagi diarahkan pada pembuatan sistem konseptual yang ideal, melainkan pada analisis detail terhadap ujaran sehari-hari dan praktik linguistik masyarakat.

Selain sebagai pembalikan paradigma dalam filsafat bahasa, pendekatan ini juga menawarkan cara baru untuk melihat permasalahan filosofis secara umum. Ia menolak upaya metafisik dan spekulatif yang terputus dari cara manusia nyata berkomunikasi. Dalam kerangka ini, filsafat menjadi upaya untuk mengklarifikasi penggunaan bahasa agar tidak menimbulkan kebingungan yang bersifat pseudo-filosofis4. Dengan demikian, filsafat bahasa biasa tidak hanya menjadi teori tentang bahasa, tetapi juga metode filsafat itu sendiri.

Urgensi kajian terhadap filsafat bahasa biasa semakin terasa dalam era kontemporer yang ditandai oleh kompleksitas komunikasi, pluralitas makna, dan dinamika penggunaan bahasa dalam media digital. Ketika makna tidak lagi tetap dan otoritatif, pemahaman atas bagaimana bahasa biasa bekerja dapat menjadi alat kritis untuk mengurai misinterpretasi, manipulasi wacana, dan bias linguistik dalam berbagai konteks sosial. Oleh sebab itu, telaah ini tidak hanya penting bagi para filsuf, tetapi juga relevan bagi linguis, pendidik, ahli komunikasi, dan peminat kajian budaya.


Footnotes

[1]                Hans-Johann Glock, What is Analytic Philosophy? (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 98–101.

[2]                J.L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J.O. Urmson and Marina Sbisà (Cambridge: Harvard University Press, 1962), 4–7.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), §43.

[4]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), viii–x.


2.           Landasan Konseptual Filsafat Bahasa

Filsafat bahasa sebagai cabang filsafat yang memusatkan perhatian pada hubungan antara bahasa, pikiran, dan dunia nyata telah menjadi titik temu utama dalam perdebatan epistemologis, ontologis, dan semantik sejak abad ke-20. Ia bertanya bukan hanya apa arti sebuah kata atau kalimat, tetapi juga bagaimana bahasa merepresentasikan dunia, bagaimana ia digunakan dalam komunikasi manusia, dan bagaimana ia membentuk struktur berpikir kita. Oleh karena itu, landasan konseptual filsafat bahasa menyentuh berbagai aspek mendasar: makna (meaning), referensi (reference), penggunaan (use), serta struktur logis dari ujaran linguistik1.

Dalam perkembangan historisnya, terdapat dua pendekatan dominan yang mewarnai filsafat bahasa: (1) filsafat bahasa formal yang berpijak pada logika dan struktur sintaksis, dan (2) filsafat bahasa biasa yang berfokus pada praktik penggunaan bahasa sehari-hari. Pendekatan pertama, dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgenstein awal, berasumsi bahwa bahasa dapat dijelaskan secara ketat melalui analisis logis yang presisi, di mana makna diturunkan dari bentuk logika simbolik yang merepresentasikan fakta-fakta dunia nyata secara objektif2.

Sebagai contoh, Frege mengembangkan distingsi penting antara Sinn (sense) dan Bedeutung (reference) dalam menjelaskan bagaimana ungkapan linguistik merujuk pada objek di dunia. Menurutnya, setiap ungkapan tidak hanya menunjuk pada objek tertentu (referen), tetapi juga membawa semacam “cara penyajian” atau pemahaman konseptual atas objek tersebut3. Pendekatan ini kemudian dilanjutkan oleh Russell dalam teori deskripsi definitifnya (theory of definite descriptions), yang bertujuan menjelaskan bagaimana kalimat yang tampaknya bermakna tetap dapat dipahami bahkan jika referennya tidak ada (misalnya: “Raja Prancis yang sekarang botak”)4.

Namun, pendekatan logis-formal ini mulai dikritik karena kecenderungannya mengabaikan kompleksitas dan keberagaman penggunaan bahasa dalam konteks sehari-hari. Di sinilah filsafat bahasa biasa masuk sebagai koreksi terhadap anggapan bahwa struktur bahasa ideal (ideal language) dapat menyelesaikan semua problem filosofis. Filsuf-filsuf seperti Wittgenstein (fase akhir), Austin, dan Ryle justru menegaskan bahwa banyak kekacauan filosofis berasal dari kesalahpahaman terhadap fungsi dan penggunaan bahasa biasa, terutama karena terlalu terikat pada asumsi logis-formal yang tidak mencerminkan realitas bahasa aktual5.

Dalam pendekatan filsafat bahasa biasa, makna tidak lagi dianggap sebagai entitas abstrak atau hasil korespondensi dengan dunia, melainkan sebagai hasil dari penggunaan bahasa dalam praktik sosial yang terikat konteks. Ini sejalan dengan tesis utama Wittgenstein dalam Philosophical Investigations bahwa “makna suatu kata adalah penggunaannya dalam bahasa6. Artinya, pemahaman terhadap suatu ungkapan hanya mungkin jika kita memahami cara dan konteks di mana ia digunakan oleh komunitas penutur. Bahasa tidak berdiri sendiri, tetapi tertanam dalam “permainan bahasa” (language games) dan bentuk kehidupan (forms of life) yang memandu praktik berbahasa kita sehari-hari7.

Dengan demikian, landasan konseptual filsafat bahasa biasa bersifat anti-esensialis: ia menolak pencarian definisi tetap dan absolut atas makna, dan lebih memilih pendekatan deskriptif terhadap fenomena linguistik sebagaimana terjadi dalam kehidupan nyata. Bahasa tidak lagi dilihat sebagai cermin dari dunia eksternal, tetapi sebagai instrumen sosial yang digunakan untuk berbagai tujuan: menjelaskan, menyuruh, berjanji, meyakinkan, bertanya, dan sebagainya. Oleh karena itu, pemahaman filsafat bahasa harus bertumpu pada analisis terhadap keragaman fungsi bahasa dalam praktik intersubjektif manusia.


Footnotes

[1]                Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language, 2nd ed. (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 1–4.

[2]                Scott Soames, Philosophy of Language (Princeton: Princeton University Press, 2010), 7–10.

[3]                Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max Black (Oxford: Blackwell, 1980), 56–78.

[4]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[5]                Avrum Stroll, Wittgenstein and the Philosophy of Language (New York: Oxford University Press, 2002), 48–50.

[6]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), §43.

[7]                Ibid., §§23, 241.


3.           Kelahiran Filsafat Bahasa Biasa: Konteks Sejarah dan Intelektual

Filsafat bahasa biasa lahir sebagai reaksi terhadap kegagalan pendekatan logika simbolik dalam menangani kompleksitas bahasa alami. Gerakan ini tumbuh dalam konteks filsafat analitik Inggris pasca-positivisme logis, terutama pada pertengahan abad ke-20, ketika para filsuf mulai menyadari bahwa banyak problem filosofis justru bersumber dari penyalahgunaan bahasa—terutama karena terjebak pada konstruksi buatan yang terlalu abstrak dan menyimpang dari cara manusia sebenarnya berbicara dan berpikir1.

Secara historis, filsafat bahasa biasa berakar pada krisis metodologis yang dihadapi para pengikut logika matematis, seperti dalam tradisi Tractatus Logico-Philosophicus milik Ludwig Wittgenstein awal, serta proyek-proyek rasionalisasi bahasa oleh Bertrand Russell dan Rudolf Carnap. Mereka berusaha menciptakan “bahasa ideal” yang disucikan dari ambiguitas, melalui sistem logika simbolik yang ketat2. Namun, dalam praktiknya, idealisasi semacam itu tidak cukup mampu menjelaskan realitas penggunaan bahasa sehari-hari, yang justru sarat dengan ambiguitas, konotasi emosional, dan ketergantungan pada konteks sosial.

Perubahan paradigma ini secara signifikan ditandai oleh transformasi pemikiran Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations (1953). Ia meninggalkan pendekatan logis-representasional yang mendominasi karyanya sebelumnya, dan menggantikannya dengan pendekatan yang lebih deskriptif terhadap fungsi bahasa dalam kehidupan nyata. Wittgenstein menyatakan bahwa “masalah-masalah filsafat timbul ketika bahasa berlibur,” artinya ketika bahasa dipisahkan dari penggunaan biasanya dalam praktik sosial3. Di sinilah letak fondasi epistemologis filsafat bahasa biasa: bahwa untuk memahami makna dan menyelesaikan problem filosofis, kita harus kembali kepada bagaimana bahasa digunakan oleh manusia dalam konteks nyata, bukan bagaimana bahasa seharusnya bekerja menurut sistem logika.

Selain Wittgenstein, tokoh penting lainnya adalah J.L. Austin dari Universitas Oxford, yang dalam kuliah-kuliahnya yang kemudian dibukukan sebagai How to Do Things with Words (1962), mengembangkan teori tindak tutur (speech act theory). Ia memperlihatkan bahwa bahasa tidak hanya digunakan untuk menyatakan fakta, tetapi juga untuk melakukan tindakan—seperti menjanjikan, memerintah, atau menikah. Hal ini menggugurkan anggapan bahwa fungsi utama bahasa adalah deskriptif, sebagaimana diyakini oleh para pendukung teori korespondensi makna4.

Kontribusi Gilbert Ryle juga menonjol dalam konteks ini. Ia mengkritik Cartesian dualism dan menjelaskan bagaimana banyak istilah psikologis dalam bahasa biasa disalahpahami oleh filsuf karena diperlakukan secara metafisik. Dalam karyanya The Concept of Mind (1949), Ryle memperkenalkan istilah category mistake untuk menunjukkan kekeliruan dalam cara kita menggunakan konsep yang sebenarnya hanya berfungsi dalam konteks tertentu5. Misalnya, menyamakan “pikiran” dengan “benda tak kasat mata” adalah kesalahan kategori, karena kata “pikiran” tidak mengacu pada entitas, tetapi pada seperangkat perilaku dan kecenderungan dalam kehidupan sehari-hari.

Dari segi institusional, munculnya filsafat bahasa biasa sering dikaitkan dengan apa yang disebut sebagai “Sekolah Oxford,” meskipun istilah ini lebih bersifat retrospektif ketimbang sebagai gerakan formal. Tokoh-tokoh seperti Austin, Ryle, dan Peter Strawson berkumpul dalam lingkungan intelektual yang menekankan pembacaan teliti terhadap penggunaan bahasa dalam percakapan biasa, analisis semantik naturalistik, dan penyelesaian problem filosofis melalui klarifikasi linguistik, bukan spekulasi metafisik6.

Konteks sejarah ini juga tidak dapat dilepaskan dari perubahan budaya akademik pasca-Perang Dunia II, di mana terdapat keinginan kuat untuk menjauh dari kecenderungan metafisika abstrak dan beralih kepada cara berpikir yang lebih empiris, anti-dogmatis, dan relevan secara sosial. Filsafat bahasa biasa sejalan dengan semangat ini, karena berupaya untuk membumikan filsafat melalui perhatian terhadap bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari manusia biasa, bukan hanya dalam wacana elit akademik.

Dengan demikian, kelahiran filsafat bahasa biasa merupakan momen penting dalam sejarah filsafat modern yang menandai pergeseran dari proyek besar pencarian kebenaran mutlak dan sistem universal menuju pendekatan yang lebih terbuka, plural, dan kontekstual terhadap makna, komunikasi, dan realitas.


Footnotes

[1]                Thomas Baldwin, “The Oxford School,” in The Oxford Handbook of the History of Analytic Philosophy, ed. Michael Beaney (Oxford: Oxford University Press, 2013), 421–440.

[2]                Scott Soames, Philosophy of Language (Princeton: Princeton University Press, 2010), 11–15.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), §§38, 90.

[4]                J.L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J.O. Urmson and Marina Sbisà (Cambridge: Harvard University Press, 1962), 6–8.

[5]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 11–13.

[6]                Avrum Stroll, Twentieth-Century Analytic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2001), 157–160.


4.           Ludwig Wittgenstein dan Philosophical Investigations

Ludwig Wittgenstein merupakan figur sentral dalam sejarah filsafat abad ke-20, dan kontribusinya terhadap filsafat bahasa mengalami transformasi radikal antara dua fase besar pemikirannya: fase awal (early Wittgenstein) yang termanifestasi dalam Tractatus Logico-Philosophicus (1921), dan fase akhir (later Wittgenstein) yang tertuang dalam karya monumental Philosophical Investigations (1953). Dalam konteks filsafat bahasa biasa, fase akhir Wittgenstein memegang peranan krusial karena secara fundamental menggeser pendekatan filosofis dari analisis logis ke deskripsi penggunaan bahasa dalam praktik sosial manusia1.

Dalam Tractatus, Wittgenstein mengembangkan teori picture theory of meaning—bahwa bahasa bekerja seperti “gambar” yang mencerminkan realitas, dan kalimat bermakna jika ia merepresentasikan keadaan fakta (state of affairs) secara logis. Namun, Wittgenstein kemudian menyadari keterbatasan model ini, terutama dalam menjelaskan kompleksitas bahasa alami dan ragam fungsinya di luar sekadar representasi fakta. Hal ini mengantarkannya pada kritik mendalam terhadap pendekatan filsafat sebelumnya dalam Philosophical Investigations2.

Dalam karya ini, Wittgenstein mengemukakan bahwa “makna suatu kata adalah penggunaannya dalam bahasa” (the meaning of a word is its use in the language)3. Pernyataan ini menjadi tesis utama dalam filsafat bahasa biasa. Ia menggeser fokus analisis bahasa dari struktur logis ke praktik linguistik konkret. Menurutnya, bahasa bukanlah sistem tertutup yang tunduk pada aturan logika formal, melainkan bagian dari aktivitas manusia yang beraneka ragam dan penuh konteks. Untuk menjelaskan ini, Wittgenstein memperkenalkan konsep language-games (permainan bahasa), yakni cara-cara khas dalam menggunakan bahasa yang berkaitan erat dengan kegiatan sosial tertentu4.

Permainan bahasa mencakup semua bentuk penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari—bertanya, memerintah, berdoa, berjanji, menjelaskan, dan lain-lain—yang masing-masing memiliki aturan, konvensi, dan tujuan tertentu. Tidak ada satu pun esensi makna yang berlaku universal, karena makna ditentukan oleh konteks sosial penggunaan. Hal ini berkaitan erat dengan konsep forms of life (bentuk kehidupan), yang menekankan bahwa praktik bahasa tertanam dalam pola hidup bersama yang membentuk makna sosial dan budaya5.

Lebih lanjut, Wittgenstein menolak ide bahwa makna dapat didefinisikan secara tetap atau dikuasai oleh teori yang sistematis. Ia menggambarkan makna sebagai sebuah “keluarga kemiripan” (family resemblance) antara berbagai penggunaan suatu kata, tanpa adanya satu ciri esensial yang mengikat semuanya secara mutlak6. Dengan demikian, upaya filsafat bukanlah untuk menemukan definisi universal, melainkan untuk “menunjukkan jalan keluar dari jebakan bahasa” melalui analisis deskriptif terhadap bagaimana istilah digunakan dalam konteks sebenarnya.

Implikasi dari pendekatan ini sangat luas, baik secara epistemologis maupun metodologis. Ia mengubah fungsi filsafat dari penciptaan teori-teori abstrak menjadi kegiatan terapi linguistik—membantu kita keluar dari kebingungan konseptual akibat penyalahgunaan atau misinterpretasi bahasa. Wittgenstein menyatakan bahwa “tugas filsafat adalah untuk membebaskan pikiran dari belenggu bahasa”7.

Dalam kerangka filsafat bahasa biasa, Philosophical Investigations menjadi dasar penting untuk memahami makna sebagai peristiwa sosial yang bersifat partisipatif dan intersubjektif. Dengan menolak reduksionisme logis dan mendesak pentingnya analisis kontekstual, Wittgenstein membuka jalan bagi pendekatan baru dalam memahami tidak hanya bahasa, tetapi juga bagaimana manusia memahami dunia dan dirinya melalui bahasa yang mereka gunakan setiap hari.


Footnotes

[1]                Ray Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius (New York: Penguin, 1990), 343–347.

[2]                Hans Sluga, Wittgenstein (Oxford: Wiley-Blackwell, 2011), 120–122.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), §43.

[4]                Ibid., §§23, 65.

[5]                Ibid., §19.

[6]                Ibid., §§66–67.

[7]                Ludwig Wittgenstein, The Blue and Brown Books (Oxford: Blackwell, 1969), 27.


5.           J.L. Austin dan Teori Tindak Tutur (Speech Act Theory)

John Langshaw Austin (1911–1960) merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam pengembangan filsafat bahasa biasa, terutama melalui kontribusinya dalam merumuskan teori tindak tutur (speech act theory). Teori ini dikembangkan dalam serangkaian kuliah di Universitas Harvard yang kemudian dibukukan secara posthumous dengan judul How to Do Things with Words (1962). Austin menentang asumsi dominan dalam tradisi logika dan linguistik pada masanya yang memandang bahwa fungsi utama bahasa adalah menyatakan fakta (deskriptif) yang dapat diklasifikasikan sebagai benar atau salah. Menurutnya, banyak ujaran dalam kehidupan sehari-hari tidak bersifat deskriptif, tetapi justru melakukan sesuatu—mereka adalah tindakan yang diwujudkan melalui pengucapan1.

Austin membedakan antara dua jenis ujaran: konstatif (constatives) dan performatif (performatives). Ujaran konstatif bertujuan menggambarkan dunia dan dapat dinilai benar atau salah (misalnya: “Langit berwarna biru”). Sebaliknya, ujaran performatif tidak menggambarkan dunia, melainkan melakukan sesuatu (misalnya: “Saya menikahkan Anda” dalam konteks pernikahan yang sah). Dengan demikian, kalimat performatif tidak dapat diklasifikasikan sebagai benar atau salah, tetapi dapat dinilai berhasil atau gagal tergantung pada apakah syarat-syarat tertentu terpenuhi2.

Dari sini, Austin memperluas gagasannya dengan memperkenalkan tiga level tindak tutur dalam setiap ujaran:

1)                  Tindak lokusi (locutionary act): tindakan mengucapkan sesuatu dengan arti dan referensi tertentu.

2)                  Tindak ilokusi (illocutionary act): tindakan yang dilakukan saat mengucapkan, seperti menyuruh, berjanji, memperingatkan, dll.

3)                  Tindak perlokusi (perlocutionary act): efek atau dampak dari ujaran tersebut pada pendengar, seperti membujuk, menakut-nakuti, atau meyakinkan3.

Dengan struktur ini, Austin menegaskan bahwa setiap ujaran memiliki dimensi pragmatis yang tak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan niat penutur. Hal ini merupakan titik kritis dalam sejarah filsafat bahasa karena memindahkan fokus dari struktur linguistik internal ke dimensi fungsional dan tindakan sosial dalam komunikasi verbal.

Teori Austin memperlihatkan bahwa pemahaman terhadap bahasa tidak cukup hanya melalui analisis sintaksis atau semantik, tetapi juga harus mencakup dimensi pragmatik—yakni bagaimana ujaran digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dalam situasi sosial yang spesifik. Dalam kerangka filsafat bahasa biasa, pendekatan ini sangat konsisten dengan penekanan terhadap konteks dan penggunaan sebagai penentu utama makna4.

Austin juga memperkenalkan konsep felicity conditions—yakni syarat-syarat yang harus dipenuhi agar tindak tutur performatif berhasil. Misalnya, agar seorang imam sah mengucapkan “Saya menikahkan Anda,” ia harus memiliki otoritas yang diakui, berada dalam konteks sosial yang tepat, dan diucapkan dengan kesungguhan. Jika salah satu unsur ini gagal, tindak tutur menjadi infelicitous atau gagal secara performatif5.

Pengaruh pemikiran Austin sangat besar, tidak hanya dalam bidang filsafat bahasa, tetapi juga dalam pragmatik linguistik, teori komunikasi, dan bahkan analisis wacana kritis. Muridnya, John Searle, mengembangkan lebih lanjut teori ini dan memberikan klasifikasi sistematis terhadap berbagai jenis tindak ilokusi.

Dengan demikian, J.L. Austin melalui teori tindak tutur telah memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman bahasa sebagai bentuk tindakan sosial yang kompleks. Ia membuka ruang baru dalam studi bahasa yang tidak hanya memusatkan perhatian pada struktur, tetapi juga pada penggunaan, niat, dan efek ujaran dalam kehidupan nyata.


Footnotes

[1]                J.L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J.O. Urmson and Marina Sbisà (Cambridge: Harvard University Press, 1962), 1–5.

[2]                Ibid., 5–8.

[3]                Ibid., 94–108.

[4]                Marina Sbisà, “Speech Acts,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/speech-acts/.

[5]                Austin, How to Do Things with Words, 14–15.


6.           Gilbert Ryle dan Kritik terhadap Mentalisme

Gilbert Ryle (1900–1976) merupakan tokoh sentral dalam filsafat bahasa biasa yang terkenal melalui kritiknya terhadap dualisme Cartesian serta gagasannya mengenai penggunaan istilah mental dalam bahasa sehari-hari. Dalam karya monumentalnya The Concept of Mind (1949), Ryle mengecam apa yang ia sebut sebagai “dogma dari dualisme”—pandangan bahwa pikiran dan tubuh adalah dua substansi terpisah sebagaimana diasumsikan oleh René Descartes. Kritik ini tidak hanya bersifat metafisik, tetapi juga linguistik, karena menurut Ryle, dualisme ini merupakan hasil dari kesalahan dalam memahami cara bahasa biasa bekerja1.

Ryle menyebut dualisme Cartesian sebagai “kesalahan kategori” (category mistake)—yakni bentuk kekeliruan logis yang terjadi ketika seseorang salah mengklasifikasikan sesuatu ke dalam jenis yang tidak tepat. Contoh klasik yang ia berikan adalah seseorang yang, setelah ditunjukkan semua bangunan, dosen, dan fasilitas universitas, kemudian bertanya, “Tapi di mana universitasnya?” Dalam kasus ini, “universitas” bukan entitas tersendiri di samping gedung dan staf, tetapi sebuah sistem yang tersusun dari semua elemen tersebut. Dengan analogi ini, Ryle menunjukkan bahwa menganggap “pikiran” sebagai substansi non-fisik yang berdiri sendiri di luar tindakan tubuh adalah bentuk kesalahan kategori yang serupa2.

Pendekatan Ryle sangat dipengaruhi oleh metodologi filsafat bahasa biasa, yakni dengan menganalisis cara-cara penggunaan istilah seperti “berpikir”, “memahami”, “percaya”, atau “berniat” dalam percakapan sehari-hari. Ia berargumen bahwa istilah-istilah mental tidak menunjuk pada entitas tak kasat mata dalam “ruang mental”, melainkan pada disposisi perilaku tertentu yang dapat diamati dalam konteks sosial. Misalnya, mengatakan seseorang “mengerti” bukan berarti mengakses entitas mental tersembunyi, tetapi menunjukkan bahwa orang tersebut mampu menjawab pertanyaan, menjelaskan suatu konsep, atau bertindak secara tepat dalam situasi tertentu3.

Dengan demikian, Ryle menawarkan sebuah pendekatan anti-reduksionis yang menjauh dari asumsi bahwa setiap istilah dalam bahasa harus memiliki padanan dalam entitas objektif. Ia tidak menghilangkan istilah mental, tetapi menolak interpretasi metafisis atas istilah tersebut. Baginya, istilah-istilah itu mencerminkan kecenderungan perilaku dan peran sosial dalam praktik kehidupan, bukan deskripsi tentang substansi batiniah4.

Konsekuensi dari pendekatan ini adalah pergeseran dalam filsafat pikiran dari spekulasi ontologis menuju analisis penggunaan bahasa dalam konteks sosial. Dengan menolak pemisahan tajam antara dunia mental dan dunia fisik, Ryle turut mengubah arah filsafat pikiran modern, sekaligus memperkuat dasar-dasar filsafat bahasa biasa yang menekankan pentingnya deskripsi cermat atas praktik linguistik sehari-hari.

Ryle juga secara metodologis menolak model inner theatre yang mendominasi psikologi introspektif. Ia berpendapat bahwa mencari “bukti” akan pikiran dengan mengakses pengalaman subjektif sama tidak masuk akalnya dengan mencari universitas sebagai entitas fisik tambahan di samping semua bagian institusinya. Oleh sebab itu, klarifikasi makna istilah mental harus dilakukan melalui penyelidikan terhadap penggunaan kata-kata dalam praktik sosial, bukan melalui pencarian struktur internal kesadaran5.

Dalam konteks filsafat bahasa biasa, pemikiran Ryle membantu menunjukkan bahwa banyak problem filosofis tentang “pikiran” bersumber dari kekeliruan dalam memahami tata bahasa dan struktur konseptual bahasa kita. Dengan mendekonstruksi bahasa mentalistik, ia mengarahkan filsafat kepada penelaahan terhadap kebiasaan berbahasa sebagai cermin struktur kehidupan manusia itu sendiri.


Footnotes

[1]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 13–18.

[2]                Ibid., 16–18.

[3]                Anthony Kenny, The Legacy of Wittgenstein (Oxford: Blackwell, 1984), 45–47.

[4]                A.C. Grayling, Philosophy 2: Further through the Subject (Oxford: Oxford University Press, 1998), 431–434.

[5]                Ryle, The Concept of Mind, 26–30.


7.           Kontribusi Lain dan Pengaruh Lanjutan

Filsafat bahasa biasa tidak hanya didirikan oleh tokoh-tokoh seperti Ludwig Wittgenstein, J.L. Austin, dan Gilbert Ryle, tetapi juga dilanjutkan, dikembangkan, dan dimodifikasi oleh generasi berikutnya yang memperluas jangkauan konseptual dan aplikatif pendekatan ini. Di antara tokoh paling menonjol dalam fase lanjutan ini adalah Peter Strawson, John Searle, dan Stanley Cavell, yang masing-masing memberikan kontribusi penting terhadap pematangan serta diversifikasi pendekatan filsafat bahasa biasa dalam konteks analisis semantik, filsafat pikiran, serta estetika dan budaya.

7.1.       Peter Strawson dan Klarifikasi Semantik

Peter F. Strawson, seorang filsuf dari Universitas Oxford yang dekat dengan lingkaran Austin dan Ryle, berperan penting dalam menjembatani filsafat bahasa biasa dengan logika formal dan semantik filosofis. Dalam artikelnya yang terkenal, On Referring (1950), Strawson mengkritik teori deskripsi definitif Bertrand Russell dengan menunjukkan bahwa referensi bukan sekadar struktur logis, tetapi praktik linguistik yang bergantung pada penggunaan kontekstual dan niat komunikatif penutur1. Strawson menggarisbawahi bahwa memahami makna suatu pernyataan tidak cukup dengan melihat struktur kalimatnya, tetapi juga memerlukan pemahaman tentang cara penggunaannya dalam praktik sosial.

Strawson juga dikenal karena memperkenalkan konsep presupposition (prasyarat pragmatik), yang kemudian menjadi topik penting dalam pragmatik linguistik dan teori komunikasi. Ia menunjukkan bahwa suatu kalimat bisa gagal memiliki nilai kebenaran jika prasyaratnya tidak terpenuhi, meskipun tidak berarti kalimat itu secara logis salah. Kontribusi ini memperkuat gagasan utama filsafat bahasa biasa bahwa makna sangat bergantung pada konteks dan kebiasaan penggunaan2.

7.2.       John Searle dan Sistematisasi Teori Tindak Tutur

Sebagai murid langsung Austin, John Searle mengembangkan teori tindak tutur dalam kerangka yang lebih sistematis dan formal. Dalam Speech Acts (1969), Searle menyusun klasifikasi lima jenis tindak ilokusi: representatif, direktif, komisif, ekpresif, dan deklaratif—yang kemudian menjadi dasar penting dalam pragmatik linguistik modern3. Ia juga menekankan pentingnya rules of constitutive speech acts yang tidak hanya mengatur tetapi menciptakan praktik linguistik tertentu, sebagaimana dalam permainan dan hukum.

Searle juga memperkenalkan konsep background dan intentionality dalam tindak tutur, yang memperluas filsafat bahasa biasa ke dalam wilayah filsafat pikiran dan kesadaran. Ia menyatakan bahwa kemampuan memahami tindak tutur terletak bukan pada kode linguistik semata, tetapi pada latar belakang budaya, sosial, dan kognitif yang dimiliki oleh para penutur4. Dengan demikian, ia memperkaya tradisi filsafat bahasa biasa dengan pendekatan multidisipliner yang menghubungkan bahasa dengan psikologi dan antropologi.

7.3.       Stanley Cavell dan Dimensi Estetik-Eksistensial

Kontribusi Stanley Cavell, filsuf Amerika yang berakar pada filsafat bahasa biasa, membawa pendekatan ini ke dalam wilayah humaniora, estetika, dan filsafat eksistensial. Dalam The Claim of Reason (1979), Cavell mengeksplorasi bagaimana konsep-konsep seperti “tahu,” “percaya,” dan “meragukan” beroperasi dalam kehidupan sehari-hari, serta bagaimana mereka mencerminkan kecemasan eksistensial dan pencarian pengakuan dalam hubungan antarmanusia5. Ia juga banyak menulis tentang film, drama Shakespeare, dan pengalaman estetika sebagai medan permainan bahasa yang kaya akan ambiguitas makna dan ekspresi manusia.

Cavell memandang filsafat bahasa biasa bukan sekadar metode analitis, tetapi sebagai cara untuk menghadirkan kembali suara manusia biasa ke dalam filsafat, yakni melalui pengakuan terhadap bahasa sebagai ekspresi kehidupan, bukan sekadar sistem representasi. Dalam konteks ini, bahasa menjadi sarana untuk memahami pengalaman manusia yang otentik, termasuk keraguan, kesendirian, dan harapan6.

7.4.       Pengaruh Lintas Disiplin dan Relevansi Kontemporer

Pengaruh filsafat bahasa biasa juga melampaui batas disiplin filsafat. Dalam linguistik, ia menginspirasi pengembangan pragmatik, terutama dalam studi konteks, implikatur (implicature), dan maksud komunikatif. Dalam teori komunikasi, gagasan tentang niat, konteks, dan efek ujaran menjadi dasar dalam memahami interaksi sosial. Dalam filsafat hukum, pendekatan bahasa biasa digunakan untuk mengkaji makna normatif dari teks undang-undang. Bahkan dalam ilmu komputer dan kecerdasan buatan, aspek-aspek dari teori tindak tutur Searle menjadi dasar untuk merancang natural language processing dan human-computer interaction.

Dengan demikian, kontribusi lanjutan filsafat bahasa biasa menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak pernah statis atau semata-mata deskriptif. Ia berkembang menjadi kerangka teoritis yang kuat untuk memahami bahasa sebagai praktik sosial, tindakan simbolik, dan ekspresi kehidupan manusia yang kompleks. Keberlanjutan dan daya adaptasi pendekatan ini menunjukkan bahwa filsafat bahasa biasa tetap relevan dalam menjawab tantangan epistemologis, komunikasi, dan etika di era modern.


Footnotes

[1]                P.F. Strawson, “On Referring,” Mind 59, no. 235 (1950): 320–344.

[2]                Kent Bach, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 32–35.

[3]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 23–33.

[4]                John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 141–144.

[5]                Stanley Cavell, The Claim of Reason: Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Oxford: Oxford University Press, 1979), 34–38.

[6]                Sandra Laugier, Why We Need Ordinary Language Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 61–64.


8.           Kritik terhadap Filsafat Bahasa Biasa

Meskipun filsafat bahasa biasa telah memberikan kontribusi besar dalam menjembatani antara makna dan praktik linguistik sehari-hari, pendekatan ini juga tidak luput dari kritik yang datang dari berbagai arah, baik dari filsuf analitik sendiri maupun dari tradisi filsafat kontinental dan interdisipliner. Kritik terhadap filsafat bahasa biasa mencakup beberapa aspek utama: kelemahan metodologis, keterbatasan lingkup bahasa, ketidaksesuaian dengan dinamika bahasa modern, dan tuduhan konservatisme filosofis.

8.1.       Kritik Metodologis: Deskripsi tanpa Teori

Salah satu kritik paling menonjol terhadap filsafat bahasa biasa adalah sifatnya yang cenderung deskriptif dan anti-teoritis. Para filsuf seperti Wittgenstein (fase akhir), Austin, dan Ryle menolak pembuatan teori universal tentang makna dan bahasa. Sebaliknya, mereka menekankan pentingnya “klarifikasi” melalui observasi terhadap penggunaan aktual bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Namun, sikap ini dianggap oleh sebagian filsuf sebagai kekurangan metodologis karena tidak memberikan kerangka teoritis yang eksplisit untuk menjelaskan generalisasi linguistik1.

Willard Van Orman Quine, misalnya, mengkritik asumsi bahwa makna dapat “dijelaskan” hanya melalui introspeksi terhadap praktik berbahasa. Dalam esainya Two Dogmas of Empiricism (1951), ia menyatakan bahwa tidak ada garis tegas antara analitik dan sintetik, sehingga pemahaman bahasa harus mencakup dimensi empiris dan teoritis secara utuh, bukan sekadar klarifikasi deskriptif2. Kritik ini menunjukkan bahwa filsafat bahasa biasa mungkin terlalu mempercayai intuisi bahasa penutur tanpa mempertimbangkan sistematikitas bahasa dalam konteks ilmiah.

8.2.       Ketergantungan terhadap Bahasa Inggris dan Konteks Anglo-Sentris

Kritik lain yang cukup signifikan adalah bahwa filsafat bahasa biasa sangat bergantung pada bahasa Inggris dan konteks kebudayaan Anglo-Saxon. Sebagian besar analisis—terutama oleh Austin dan Ryle—mengasumsikan bahwa tata bahasa dan logika ujaran bahasa Inggris berlaku universal. Hal ini menjadi masalah ketika pendekatan mereka diaplikasikan ke dalam bahasa lain yang memiliki struktur sintaksis, semantik, dan pragmatik yang berbeda secara mendasar3.

Akibatnya, filsafat bahasa biasa sering dianggap sebagai pendekatan yang bersifat etnosentris, yang menyulitkan penerapannya dalam konteks multibahasa dan multikultural. Dalam konteks global dan lintas budaya, pendekatan yang terlalu bergantung pada penggunaan sehari-hari dalam satu bahasa tertentu berisiko mengabaikan dimensi historis, sosiologis, dan politis dari penggunaan bahasa4.

8.3.       Kritik dari Filsafat Kontinental dan Dekonstruksi

Dari perspektif filsafat kontinental, terutama pascastrukturalisme dan dekonstruksi, filsafat bahasa biasa dikritik karena mengasumsikan kestabilan makna dalam praktik bahasa. Jacques Derrida, misalnya, menyatakan bahwa makna tidak pernah tetap dan selalu mengalami pergeseran tak terelakkan (différance). Dalam pandangan ini, bahasa adalah jaringan tanda yang saling merujuk tanpa titik referensi tetap, sehingga makna bukan hasil dari penggunaan stabil, melainkan akibat dari ketegangan, penundaan, dan perbedaan5.

Derrida menilai bahwa pendekatan filsafat bahasa biasa terlalu optimistik terhadap kemungkinan mengklarifikasi makna melalui observasi terhadap praktik sehari-hari. Bagi Derrida, penggunaan biasa bukanlah sumber kejelasan, melainkan sumber ambiguitas yang tak terelakkan. Oleh karena itu, pendekatan Austin terhadap tindak tutur, misalnya, dikritik karena mengabaikan fakta bahwa performatif selalu terbuka terhadap kegagalan dan pembacaan ulang di luar intensi pembicara6.

8.4.       Tuduhan Konservatisme Filosofis

Beberapa pengamat juga menuduh filsafat bahasa biasa sebagai pendekatan konservatif yang cenderung mempertahankan status quo kebahasaan. Karena terlalu fokus pada “bahasa sebagaimana digunakan,” filsafat ini dianggap tidak cukup kritis terhadap ideologi yang tersembunyi dalam praktik bahasa. Dalam hal ini, para kritikus menyatakan bahwa observasi terhadap bahasa biasa bisa saja memperkuat bentuk-bentuk ketidakadilan atau dominasi yang terstruktur dalam norma bahasa yang diterima7.

Para filsuf feminis seperti Judith Butler, misalnya, mengkritik bahwa tindak tutur tidak netral. Ia menyoroti bahwa performatif bahasa seringkali terikat pada struktur kuasa dan konvensi sosial yang tidak setara, sehingga tidak semua subjek memiliki kapasitas yang sama untuk bertindak melalui ujaran. Kritik ini memperluas perspektif dari filsafat bahasa biasa menjadi lebih sensitif terhadap dimensi politik bahasa8.

8.5.       Keterbatasan dalam Menghadapi Bahasa Digital dan Mediatik

Dalam era kontemporer yang ditandai oleh perkembangan teknologi komunikasi, media sosial, dan penggunaan bahasa digital yang sangat cepat berubah, filsafat bahasa biasa juga menghadapi tantangan baru. Praktik bahasa dalam dunia maya sering kali melibatkan bentuk ujaran yang tidak sesuai dengan norma percakapan langsung: emoji, tagar, meme, atau algoritme interpretatif. Ini menunjukkan bahwa “bahasa biasa” telah mengalami transformasi, dan pendekatan klasik filsafat bahasa biasa perlu diperbarui untuk memahami bentuk-bentuk komunikasi digital yang tidak lagi tunduk pada struktur konvensional9.


Kesimpulan Sementara

Kritik-kritik di atas tidak serta-merta meniadakan pentingnya filsafat bahasa biasa, tetapi justru memperlihatkan batas-batas dan potensi pengembangannya. Respons terhadap kritik-kritik ini juga mendorong munculnya berbagai pendekatan interdisipliner yang memadukan filsafat bahasa biasa dengan teori kritis, linguistik modern, studi budaya, dan bahkan kecerdasan buatan. Dengan demikian, pendekatan ini tetap relevan asalkan terbuka terhadap refleksi dan modifikasi yang berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Ernest Lepore and Barry C. Smith, The Oxford Handbook of Philosophy of Language (Oxford: Oxford University Press, 2006), 12–14.

[2]                W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43.

[3]                Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981), 4–6.

[4]                Talbot J. Taylor, Theorizing Language: Analysis, Development, and Evolution (New York: Pergamon, 1990), 87–90.

[5]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 61–65.

[6]                Jacques Derrida, “Signature Event Context,” in Limited Inc, ed. Gerald Graff (Evanston: Northwestern University Press, 1988), 1–23.

[7]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 140–143.

[8]                Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of the Performative (New York: Routledge, 1997), 11–15.

[9]                Naomi Baron, Always On: Language in an Online and Mobile World (Oxford: Oxford University Press, 2008), 136–139.


9.           Relevansi Kontemporer dan Aplikasinya

Filsafat bahasa biasa, meskipun berakar pada tradisi pertengahan abad ke-20, tetap memiliki relevansi yang kuat dalam menghadapi tantangan intelektual dan sosial kontemporer. Prinsip dasarnya—yakni bahwa makna bersumber dari penggunaan aktual bahasa dalam konteks sosial—menawarkan pendekatan kritis dan fleksibel terhadap dinamika komunikasi manusia di era globalisasi, digitalisasi, dan keragaman budaya. Pendekatan ini terus berpengaruh dalam sejumlah bidang, mulai dari linguistik dan filsafat pikiran hingga pendidikan, hukum, etika, dan teknologi komunikasi.

9.1.       Dalam Linguistik dan Pragmatik Modern

Pengaruh filsafat bahasa biasa paling nyata terlihat dalam perkembangan pragmatik linguistik, terutama dalam studi mengenai makna ujaran yang tidak tersurat secara literal. Konsep-konsep seperti presupposition, implicature, dan contextual meaning—yang dirintis oleh Peter Strawson dan dikembangkan oleh H.P. Grice—berakar pada kesadaran bahwa pemaknaan tidak bisa dipisahkan dari konteks dan niat komunikatif1.

Dalam hal ini, filsafat bahasa biasa menjadi fondasi bagi pemahaman bahwa ujaran seperti “Bisakah kamu menutup pintu?” bukanlah pertanyaan tentang kemampuan, melainkan permintaan halus—sebuah tindak tutur yang hanya bisa dipahami dengan memperhatikan norma sosial, konteks situasi, dan ekspektasi bersama2. Prinsip-prinsip ini kini menjadi dasar dalam bidang seperti linguistik forensik, analisis wacana, dan komunikasi lintas budaya.

9.2.       Dalam Filsafat Pikiran dan Kesadaran

Dalam konteks filsafat pikiran, pendekatan filsafat bahasa biasa memberikan alternatif terhadap model-model reduksionis yang melihat pikiran sebagai entitas internal yang tertutup. Melalui pemikiran Gilbert Ryle dan pengaruh Wittgenstein akhir, muncul pendekatan anti-representasionalis yang menekankan bahwa pemahaman terhadap aktivitas mental seperti “percaya”, “mengerti”, atau “berniat” bukanlah pencarian ke dalam batin, tetapi interpretasi atas pola perilaku dalam konteks sosial3.

Pendekatan ini semakin relevan dalam diskusi kontemporer tentang intersubjektivitas, embodied cognition, dan teori pikiran (theory of mind), yang memandang bahwa pemahaman terhadap orang lain bergantung pada partisipasi dalam praktik sosial dan bahasa yang sama, bukan inferensi mental internal semata4.

9.3.       Dalam Etika dan Filsafat Hukum

Dalam filsafat etika dan hukum, filsafat bahasa biasa menyediakan kerangka untuk menganalisis makna normatif dari istilah-istilah seperti “tanggung jawab”, “niat”, atau “kesalahan”. J.L. Austin, misalnya, menunjukkan bagaimana kata-kata tidak hanya menyatakan, tetapi juga melakukan sesuatu. Gagasan ini telah diadopsi dalam teori hukum modern, khususnya dalam interpretasi hukum berdasarkan intensi legislatif dan dalam teori analisis konseptual hukum seperti dikembangkan oleh H.L.A. Hart5.

Selain itu, teori tindak tutur dan performativitas kini digunakan untuk menganalisis struktur kekuasaan dalam bahasa hukum dan wacana politik. Perkataan seorang hakim atau kepala negara, misalnya, bukan sekadar informasi tetapi tindak ilokusi yang membawa konsekuensi sosial dan institusional.

9.4.       Dalam Pendidikan dan Literasi Kritis

Dalam bidang pendidikan, filsafat bahasa biasa menginspirasi pendekatan pendidikan humanistik dan dialogis, seperti yang dikembangkan oleh Paulo Freire. Pendekatan ini mendorong penggunaan bahasa sebagai alat pemberdayaan, bukan sekadar transmisi pengetahuan. Pemahaman terhadap makna kata dan narasi dalam konteks kehidupan siswa menjadi lebih penting dibanding sekadar definisi kamus atau struktur gramatikal formal6.

Filsafat bahasa biasa juga memberi kontribusi besar dalam literasi kritis, yakni kemampuan untuk memahami bagaimana makna dibentuk, disebarkan, dan diterima dalam berbagai konteks sosial. Dengan analisis tindak tutur, siswa diajak untuk menginterpretasi fungsi sosial dari berbagai bentuk wacana—baik media, politik, maupun percakapan sehari-hari.

9.5.       Dalam Teknologi Bahasa dan Kecerdasan Buatan

Perkembangan teknologi informasi dan kecerdasan buatan (AI) telah membuka medan baru bagi penerapan filsafat bahasa biasa, khususnya dalam pemrosesan bahasa alami (natural language processing). Model interaksi seperti chatbots, asisten digital, dan sistem komunikasi berbasis AI dirancang tidak hanya untuk memahami arti literal kata, tetapi juga konteks penggunaan, niat, dan implikatur sosial dari bahasa pengguna.

Pengaruh pemikiran John Searle sangat terasa di sini, terutama melalui kritiknya terhadap AI dalam Chinese Room Argument, di mana ia menekankan bahwa pemahaman tidak dapat direduksi menjadi sekadar manipulasi simbol; bahasa memerlukan konteks, intensi, dan background budaya7. Oleh karena itu, filsafat bahasa biasa menjadi sumber refleksi kritis terhadap ambisi teknologi yang mengklaim dapat meniru pemahaman manusia hanya dengan logika formal.

9.6.       Dalam Kajian Sosial dan Politik Bahasa

Secara lebih luas, filsafat bahasa biasa telah berkontribusi dalam analisis kritis wacana (critical discourse analysis), terutama dalam melihat bagaimana bahasa mereproduksi kekuasaan, ideologi, dan struktur sosial. Para pemikir seperti Judith Butler, yang mengembangkan teori performativity, memperluas teori tindak tutur Austin ke dalam studi tentang gender dan identitas sosial. Dalam perspektif ini, bahasa tidak hanya merepresentasikan kenyataan, tetapi membentuk kenyataan sosial melalui praktik performatif yang diulang dan dilembagakan8.


Kesimpulan

Filsafat bahasa biasa, dengan akar pragmatis dan deskriptifnya, terus hidup sebagai pendekatan yang dinamis dan aplikatif dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam era post-truth, disinformasi, dan teknologi yang mempercepat perubahan dalam praktik berbahasa, pendekatan ini menyediakan alat analitis untuk memahami makna sebagai hasil interaksi sosial, bukan semata representasi abstrak. Dengan demikian, ia tetap menjadi alat intelektual yang kuat untuk membongkar kebingungan bahasa, memperjelas nilai-nilai normatif, dan membuka jalan menuju pemahaman yang lebih kritis dan inklusif terhadap komunikasi manusia.


Footnotes

[1]                Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 80–84.

[2]                H.P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 41–58.

[3]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 25–30.

[4]                Shaun Gallagher, How the Body Shapes the Mind (Oxford: Oxford University Press, 2005), 34–39.

[5]                H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1994), 87–93.

[6]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 87–92.

[7]                John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.

[8]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 33–35.


10.       Kesimpulan dan Refleksi Kritis

Filsafat bahasa biasa telah merevolusi cara filsuf memandang bahasa, makna, dan pemecahan problem filosofis. Alih-alih membangun sistem logis yang ideal atau mencari definisi universal, pendekatan ini menawarkan pemahaman bahwa makna adalah hasil dari penggunaan aktual dalam kehidupan sehari-hari. Melalui karya-karya Ludwig Wittgenstein (fase akhir), J.L. Austin, dan Gilbert Ryle, filsafat bahasa biasa memusatkan perhatian pada praktik linguistik konkret, konteks sosial, serta fungsi-fungsi pragmatis dari ujaran manusia.

Kontribusi fundamental dari pendekatan ini adalah dekonstruksi terhadap problem filosofis semu yang muncul akibat kekeliruan dalam memahami bahasa. Wittgenstein menekankan bahwa filsafat seharusnya tidak mengusulkan teori-teori baru, tetapi bertugas menjernihkan kebingungan konseptual yang timbul dari penggunaan bahasa yang keliru1. Austin, pada sisi lain, menunjukkan bahwa bahasa bukan semata alat representasi fakta, tetapi juga instrumen tindakan, sementara Ryle membongkar mitos dualisme dengan menganalisis cara kerja istilah-istilah mental dalam bahasa biasa.2&3.

Secara metodologis, filsafat bahasa biasa mengajarkan pentingnya keterbukaan terhadap ragam penggunaan bahasa, menghindari reduksionisme, dan menolak pencarian esensi tunggal dalam makna. Gagasan seperti language-games, speech acts, dan category mistake memberi fondasi epistemologis untuk memahami bahwa makna muncul dalam kegiatan manusia yang bervariasi dan terbuka4. Dengan demikian, pendekatan ini menjembatani antara analisis logis dan kepekaan terhadap realitas linguistik dalam praktik sosial sehari-hari.

Namun demikian, refleksi kritis atas pendekatan ini menunjukkan adanya keterbatasan yang tidak bisa diabaikan. Ketergantungan terhadap intuisi penutur asli, bias Anglo-sentris, serta kekurangmampuan menjelaskan dinamika bahasa dalam masyarakat multikultural dan digital, telah menimbulkan berbagai kritik, baik dari filsuf analitik modern seperti Quine, maupun dari pemikir post-strukturalis seperti Derrida dan Butler.5&6 Penekanan yang terlalu besar pada praktik bahasa konvensional juga dituduh melemahkan potensi emansipatoris dari bahasa dalam membongkar struktur kuasa yang tersembunyi di balik ujaran sehari-hari7.

Di sisi lain, kekuatan filsafat bahasa biasa justru terletak pada kesadarannya yang tinggi terhadap keragaman bentuk kehidupan manusia dan kompleksitas interaksi simbolik yang tidak selalu dapat direduksi ke dalam teori universal. Dalam konteks komunikasi digital, kecerdasan buatan, dan politik identitas hari ini, pendekatan ini tetap relevan untuk menganalisis bagaimana makna dibentuk, diperdebatkan, dan dinegosiasikan dalam ruang publik yang makin plural dan terfragmentasi8.

Sebagai penutup, filsafat bahasa biasa adalah warisan intelektual yang kaya dan mendalam. Ia menantang kita untuk melihat kembali filsafat bukan sebagai pencarian kebenaran metafisis, tetapi sebagai upaya pemahaman terhadap dunia sebagaimana kita hidupi melalui bahasa. Oleh karena itu, dalam semangat Wittgensteinian, kita dapat mengatakan bahwa banyak persoalan besar dapat diselesaikan bukan dengan menjawabnya, tetapi dengan melarutkannya melalui klarifikasi terhadap cara kita berbicara dan berpikir9.


Footnotes

[1]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), §§38, 109.

[2]                J.L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J.O. Urmson and Marina Sbisà (Cambridge: Harvard University Press, 1962), 6–8.

[3]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 11–18.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, §§23, 43, 66.

[5]                W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43.

[6]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 61–65.

[7]                Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of the Performative (New York: Routledge, 1997), 11–15.

[8]                Naomi Baron, Always On: Language in an Online and Mobile World (Oxford: Oxford University Press, 2008), 136–139.

[9]                Wittgenstein, Philosophical Investigations, §133.


Daftar Pustaka

Austin, J. L. (1962). How to do things with words (J. O. Urmson & M. Sbisà, Eds.). Harvard University Press.

Bach, K., & Harnish, R. M. (1979). Linguistic communication and speech acts. MIT Press.

Baron, N. S. (2008). Always on: Language in an online and mobile world. Oxford University Press.

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Butler, J. (1997). Excitable speech: A politics of the performative. Routledge.

Cavell, S. (1979). The claim of reason: Wittgenstein, skepticism, morality, and tragedy. Oxford University Press.

Derrida, J. (1988). Limited inc (G. Graff, Ed.). Northwestern University Press.

Derrida, J. (1997). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press. (Original work published 1967)

Dummett, M. (1981). Frege: Philosophy of language. Harvard University Press.

Freire, P. (2005). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Original work published 1970)

Gallagher, S. (2005). How the body shapes the mind. Oxford University Press.

Grice, H. P. (1975). Logic and conversation. In P. Cole & J. L. Morgan (Eds.), Syntax and semantics: Vol. 3. Speech acts (pp. 41–58). Academic Press.

Hart, H. L. A. (1994). The concept of law (2nd ed.). Oxford University Press.

Kenny, A. (1984). The legacy of Wittgenstein. Blackwell.

Laugier, S. (2013). Why we need ordinary language philosophy. University of Chicago Press.

Lepore, E., & Smith, B. C. (Eds.). (2006). The Oxford handbook of philosophy of language. Oxford University Press.

Monk, R. (1990). Ludwig Wittgenstein: The duty of genius. Penguin.

Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The Philosophical Review, 60(1), 20–43. https://doi.org/10.2307/2181906

Ryle, G. (1949). The concept of mind. Hutchinson.

Sbisà, M. (2020). Speech acts. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2020 ed.). Stanford University. https://plato.stanford.edu/entries/speech-acts/

Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1980). Minds, brains, and programs. Behavioral and Brain Sciences, 3(3), 417–424. https://doi.org/10.1017/S0140525X00005756

Searle, J. R. (1983). Intentionality: An essay in the philosophy of mind. Cambridge University Press.

Sluga, H. (2011). Wittgenstein. Wiley-Blackwell.

Soames, S. (2010). Philosophy of language. Princeton University Press.

Strawson, P. F. (1950). On referring. Mind, 59(235), 320–344. https://doi.org/10.1093/mind/LIX.235.320

Stroll, A. (2001). Twentieth-century analytic philosophy. Columbia University Press.

Taylor, T. J. (1990). Theorizing language: Analysis, development, and evolution. Pergamon Press.

Wittgenstein, L. (1969). The blue and brown books. Blackwell.

Wittgenstein, L. (2009). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Wiley-Blackwell. (Original work published 1953)


Lampiran 1: Analisis Contoh Ujaran Sehari-hari dalam Konteks Filosofis

Untuk mengilustrasikan prinsip-prinsip filsafat bahasa biasa, berikut ini disajikan satu contoh ujaran sehari-hari yang dianalisis secara filosofis berdasarkan kerangka dari Ludwig Wittgenstein, J.L. Austin, dan Gilbert Ryle.

Contoh Ujaran

“Besok saya pasti datang ke rapat.”

1.            Analisis Berdasarkan Wittgenstein: Makna sebagai Penggunaan

Menurut Ludwig Wittgenstein (fase akhir), makna suatu kata atau kalimat tidak ditentukan oleh rujukannya terhadap dunia luar, tetapi oleh cara penggunaannya dalam bahasa. Dalam hal ini, kalimat “Besok saya pasti datang ke rapat” memiliki makna sejauh kita memahami dalam konteks praktik kehidupan bagaimana ujaran tersebut digunakan. Ucapan ini bisa:

·                     Sebagai pernyataan komitmen moral terhadap kehadiran.

·                     Sebagai penegasan untuk menenangkan lawan bicara.

·                     Sebagai bentuk sopan santun atau basa-basi, meskipun belum tentu diikuti oleh kehadiran nyata.

Dengan demikian, makna ujaran tersebut hanya dapat dipahami jika kita mengetahui permainan bahasa (language-game) yang sedang dimainkan—apakah konteksnya janji formal, percakapan informal, atau negosiasi sosial1.

2.            Analisis Berdasarkan Austin: Tindak Tutur

Menurut teori tindak tutur J.L. Austin, ucapan di atas bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi melakukan tindakan. Secara khusus, kalimat ini merupakan bentuk tindak ilokusi (ilocutionary act), yang bertujuan meyakinkan atau menjanjikan kepada lawan bicara bahwa pembicara akan hadir.

·                     Tindak Lokusi: Ucapan literal bahwa seseorang akan datang ke rapat.

·                     Tindak Ilokusi: Menyatakan niat dan memberikan jaminan kehadiran (fungsi menjanjikan).

·                     Tindak Perlokusi: Memberikan rasa tenang atau harapan kepada pihak lain, atau memperkuat kepercayaan interpersonal2.

Jika ucapan tersebut disampaikan dalam rapat penting dan oleh orang yang posisinya menentukan, maka tindak tutur ini juga berimplikasi sosial yang signifikan. Namun, jika syarat-syarat konteks (misalnya: kesungguhan niat, kemampuan hadir) tidak terpenuhi, maka tindak tutur ini bisa menjadi tidak berhasil (infelicitous).

3.            Analisis Berdasarkan Ryle: Kritik terhadap Mentalisme

Gilbert Ryle akan menolak interpretasi bahwa kalimat di atas menunjukkan adanya entitas batiniah seperti “niat internal” yang tidak dapat diverifikasi. Baginya, mengatakan “Besok saya pasti datang ke rapat” adalah cara linguistik untuk menunjukkan disposisi perilaku tertentu—yakni kecenderungan untuk hadir, bersiap, dan menghargai kewajiban sosial3.

Artinya, makna ujaran ini tidak bergantung pada akses terhadap niat mental tersembunyi, tetapi pada indikasi perilaku yang dapat diamati: misalnya, apakah pembicara bersiap, mengatur waktu, atau pernah menepati janji-janji sebelumnya. Dengan demikian, pemaknaan menjadi sesuatu yang terikat pada praktik sosial, bukan refleksi mental internal.


Kesimpulan Kontekstual

Contoh ujaran “Besok saya pasti datang ke rapat” menunjukkan bahwa:

·                     Maknanya bersifat kontekstual dan bertingkat, tidak dapat dipahami hanya dari struktur gramatikal.

·                     Ia memiliki fungsi performatif, yakni melakukan sesuatu melalui pengucapannya.

·                     Ia mencerminkan interaksi sosial dan norma komunikasi yang melekat dalam bentuk kehidupan tertentu.

Analisis ini memperlihatkan bahwa filsafat bahasa biasa bukan sekadar teori tentang kalimat, melainkan metode reflektif untuk memahami struktur makna dalam praktik manusia. Ia mengarahkan perhatian filsuf bukan pada bentuk ideal bahasa, tetapi pada kehidupan nyata tempat bahasa itu digunakan.


Footnotes

[1]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 2009), §§23, 43.

[2]                J.L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J.O. Urmson and Marina Sbisà (Cambridge: Harvard University Press, 1962), 94–108.

[3]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 27–32.


Lampiran 2: Studi Mikro terhadap Percakapan dan Penalaran Biasa dalam Perspektif Filsafat Bahasa Biasa

Untuk mendemonstrasikan relevansi praktis filsafat bahasa biasa dalam memahami dinamika makna dan penalaran, berikut disajikan sebuah studi mikro terhadap percakapan sehari-hari antara dua individu. Analisis dilakukan dengan mengacu pada pendekatan dari Wittgenstein, Austin, dan Strawson, serta dimaknai secara kontekstual berdasarkan praktik berbahasa biasa.

1.            Transkrip Percakapan Singkat

Situasi: Dua rekan kerja sedang berbincang di ruang istirahat kantor, sehari sebelum rapat penting.

A: “Kamu yakin besok bisa datang tepat waktu?

B: “Iya, kecuali kalau jalanan macet parah seperti minggu lalu.”

A: “Kamu bilang hal yang sama minggu lalu, tapi tetap datang telat.

B: “Iya sih... tapi sekarang aku sudah berangkat lebih pagi.”

2.            Analisis Filsafat Bahasa Biasa

2.1.            Wittgensteinian Insight: Permainan Bahasa dan Pengkondisian Kontekstual

Ucapan “Iya, kecuali kalau jalanan macet parah...” dari pembicara B bukan hanya menjawab secara literal, melainkan bermain dalam permainan bahasa prediktif yang mengandung ketidakpastian yang diantisipasi. Wittgenstein akan melihat ini sebagai bentuk “language-game” yang dipakai untuk menyampaikan komitmen bersyarat, bukan sekadar menyatakan fakta1.

Penggunaan frasa bersyarat memperlihatkan bahwa makna “saya akan datang” dalam bahasa biasa tidak bersifat mutlak, melainkan berkondisi pada konteks faktual. Kalimat ini juga menunjukkan bagaimana bahasa digunakan untuk menjaga hubungan sosial sambil tetap mempertahankan ruang kemungkinan kegagalan.

2.2.            Austinian Analysis: Struktur Tindak Tutur dan Efektivitas Ilokusi

Austin akan memecah ujaran B menjadi:

·                     Tindak Lokusi: Pernyataan bersyarat tentang kehadiran.

·                     Tindak Ilokusi: Berusaha meyakinkan atau menenangkan A bahwa ia berkomitmen.

·                     Tindak Perlokusi: Menciptakan harapan atau skeptisisme tergantung pada interpretasi A terhadap riwayat perilaku B2.

Ujaran “Iya sih... tapi sekarang aku sudah berangkat lebih pagi” berfungsi sebagai strategi reparatif terhadap tindak tutur ilokusi yang gagal minggu lalu. Dalam hal ini, B sedang membangun kembali kredibilitasnya sebagai penutur yang dapat dipercaya—sebuah praktik umum dalam percakapan biasa yang mengandung dimensi etis dan sosial.

2.3.        Strawsonian Insight: Presuposisi, Referensi, dan Implikasi Sosial

Ketika A berkata, “Kamu bilang hal yang sama minggu lalu, tapi tetap datang telat,” ia memanfaatkan strategi presuposisi untuk menegaskan konsistensi antara pernyataan dan tindakan. Dalam konteks ini, pernyataan A menyiratkan:

·                     B pernah membuat janji yang sama.

·                     Janji tersebut gagal terpenuhi.

·                     Ada implikasi normatif bahwa ujaran B seharusnya diiringi oleh perilaku yang sesuai.

Menurut Strawson, kebermaknaan pernyataan tersebut tidak hanya dinilai secara semantik, tetapi dari praktik komunikasi sosial—yakni mengingatkan, menilai, dan menuntut konsistensi moral dari penutur3.

3.            Penalaran Biasa dalam Konteks Sosial

Percakapan ini menggambarkan bentuk penalaran praktis non-formal yang umum terjadi dalam interaksi sehari-hari:

·                     Penalaran bersyarat: “Jika tidak macet → saya hadir tepat waktu.

·                     Penalaran inferensial sosial: “Pernah berjanji tapi gagal → janji saat ini patut diragukan.”

·                     Penalaran normatif: “Ucapan harus konsisten dengan tindakan.”

Ini menunjukkan bahwa penalaran dalam kehidupan sehari-hari bersifat pragmatik, melibatkan tidak hanya logika formal tetapi juga ekspektasi sosial, etika interpersonal, dan pemahaman kontekstual.


Kesimpulan Reflektif

Studi mikro ini menunjukkan bahwa ujaran sederhana dalam percakapan biasa:

·                     Tidak dapat dipahami secara terisolasi dari konteks sosial dan sejarah komunikasi.

·                     Memiliki struktur logika sosial yang kompleks dan penuh makna implisit.

·                     Melibatkan penggunaan bahasa sebagai alat tindak intersubjektif, bukan hanya pernyataan proposisional.

Dengan demikian, filsafat bahasa biasa memberi kerangka yang sangat bernilai untuk memahami rasionalitas, tanggung jawab, dan makna dalam praktik komunikasi manusia.


Footnotes

[1]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), §§23, 43.

[2]                J.L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J.O. Urmson & Marina Sbisà (Cambridge: Harvard University Press, 1962), 94–108.

[3]                P.F. Strawson, “On Referring,” Mind, 59(235), 1950: 320–344.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar