Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Filsafat
Dasar Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis
Pendidikan
Alihkan ke: Ilmu Pendidikan I, Ilmu Pendidikan III.
Sistem Pemerintahan, Sistem Hukum, Sistem Ekonomi, Sistem Pendidikan.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif peran
filsafat sebagai fondasi utama dalam pengembangan ilmu pendidikan, khususnya
ditinjau dari tiga dimensi utama: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Filsafat membantu menjelaskan hakikat manusia sebagai subjek pendidikan,
merumuskan sumber dan validitas pengetahuan yang diajarkan, serta menentukan
nilai-nilai dan tujuan pendidikan yang bermakna. Dengan menelaah berbagai
aliran filsafat pendidikan—baik dari Barat seperti idealisme, realisme,
pragmatisme, eksistensialisme, maupun dari Timur dan Islam seperti
Konfusianisme dan pemikiran Al-Ghazali—artikel ini menunjukkan adanya kekayaan
pendekatan dalam memahami pendidikan. Kajian ini juga menyoroti tantangan
kontemporer yang dihadapi dunia pendidikan, seperti krisis makna,
komersialisasi, fragmentasi pengetahuan, hingga dehumanisasi akibat digitalisasi.
Melalui pendekatan filosofis, pendidikan diharapkan mampu kembali kepada peran
sejatinya sebagai proses pemanusiaan manusia dan pembentukan keadaban. Artikel
ini merekomendasikan pentingnya integrasi antara refleksi filosofis dan praktik
pendidikan agar mampu menjawab dinamika zaman secara arif dan bernilai.
Kata Kunci: Filsafat pendidikan, ontologi, epistemologi,
aksiologi, aliran filsafat, pendidikan kontemporer, nilai, pemanusiaan.
PEMBAHASAN
Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Filsafat
1.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan
aktivitas fundamental dalam kehidupan manusia. Ia bukan sekadar proses transfer
pengetahuan, melainkan juga sarana pembentukan kepribadian, nilai, dan
pemaknaan hidup manusia secara utuh. Oleh karena itu, memahami pendidikan
secara mendalam memerlukan pendekatan yang tidak hanya praktis dan teknis,
tetapi juga filosofis. Dalam konteks inilah filsafat memainkan peranan penting
sebagai fondasi normatif dan reflektif bagi ilmu pendidikan.
Filsafat sebagai
upaya berpikir kritis dan radikal tentang realitas, pengetahuan, dan
nilai-nilai, memungkinkan manusia untuk memahami esensi dan arah pendidikan
secara lebih komprehensif. Melalui filsafat, pendidikan dipahami bukan hanya
sebagai alat untuk mencapai tujuan pragmatis (seperti pekerjaan atau mobilitas
sosial), tetapi juga sebagai proses pemanusiaan manusia—humanizing
the human being. Hal ini sejalan dengan pandangan Paulo Freire
bahwa pendidikan sejatinya adalah praktik pembebasan yang membentuk kesadaran
kritis peserta didik terhadap realitas sosial mereka.¹
Lebih jauh,
keterkaitan antara filsafat dan pendidikan telah menjadi perhatian banyak
pemikir sejak masa klasik hingga kontemporer. Plato, misalnya, menyatakan bahwa
pendidikan merupakan sarana untuk membawa jiwa manusia keluar dari "gua
ketidaktahuan" menuju cahaya kebenaran.² Dalam pemikiran Islam
klasik, Al-Ghazali menekankan pentingnya pendidikan dalam membentuk akhlak dan
mendekatkan diri kepada Tuhan.³ Sementara itu, John Dewey, seorang filsuf
pragmatis Amerika, memandang pendidikan sebagai proses sosial yang
berkesinambungan, di mana pengalaman memainkan peran sentral dalam perkembangan
intelektual dan moral individu.⁴
Kedekatan antara
filsafat dan pendidikan tercermin dalam beberapa aspek utama: pertama, filsafat
memberikan dasar ontologis bagi pendidikan, yaitu tentang pemahaman hakikat
manusia dan realitas yang menjadi subjek dan objek pendidikan. Kedua, filsafat
berperan dalam membentuk dasar epistemologis pendidikan, yakni tentang
bagaimana pengetahuan diperoleh, divalidasi, dan ditransmisikan. Ketiga,
filsafat membekali pendidikan dengan dasar aksiologis yang menjelaskan
nilai-nilai yang mendasari tujuan dan praktik pendidikan.
Dalam dunia yang
terus berubah dan penuh tantangan etis, sosial, dan ekologis, pendekatan
filosofis dalam memahami pendidikan menjadi sangat penting. Ia membantu kita
untuk tidak terjebak dalam pendekatan teknokratik yang reduktif, tetapi
senantiasa berpikir kritis, reflektif, dan kontekstual. Maka dari itu, telaah
terhadap ilmu pendidikan dalam perspektif filsafat menjadi sangat relevan untuk
menyusun arah dan landasan pendidikan yang utuh, bermakna, dan berkeadaban.
Footnotes
[1]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 72.
[2]
Plato, The Republic, trans. Desmond Lee (London: Penguin
Classics, 2007), 240–250. (Lihat alegori gua dalam Buku VII).
[3]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr,
n.d.), 35–40.
[4]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 76–77.
2.
Hakikat Ilmu Pendidikan
Ilmu pendidikan
merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari secara sistematis dan ilmiah
tentang hakikat, tujuan, proses, metode, dan evaluasi pendidikan dalam konteks
kehidupan manusia. Dalam konteks ini, pendidikan dipahami sebagai proses sadar
yang diarahkan untuk mengembangkan potensi individu secara optimal, baik dalam
dimensi intelektual, moral, spiritual, maupun sosial.
Secara etimologis,
istilah “pendidikan” berasal dari bahasa Latin educare,
yang berarti “mengeluarkan” atau “membawa keluar”, yaitu suatu
proses yang mengarahkan individu untuk keluar dari ketidaktahuan menuju pada
pemahaman dan kesadaran.¹ Dalam pengertian filosofis, pendidikan bukan
semata-mata kegiatan transfer pengetahuan, melainkan merupakan proses
transformatif yang melibatkan pertumbuhan kepribadian secara menyeluruh dan
pembentukan watak yang utuh.
Menurut George F.
Kneller, pendidikan dapat dianggap sebagai aplikasi filsafat dalam kehidupan
manusia, karena ia menyangkut masalah nilai, tujuan, dan cara hidup yang baik.²
Ilmu pendidikan, dalam kerangka ini, berfungsi sebagai jembatan antara teori
dan praktik, antara ide dan realitas empiris. Ia mengkaji bagaimana pendidikan
berlangsung, bagaimana seharusnya berlangsung, dan bagaimana perbaikannya dapat
dilakukan secara berkelanjutan.
Dalam pandangan ahli
pendidikan Islam, Zakiah Daradjat menjelaskan bahwa pendidikan (tarbiyah) tidak
hanya bertujuan untuk mencerdaskan akal, tetapi juga untuk menyucikan jiwa dan
membina akhlak, sehingga menghasilkan manusia yang utuh dan bertakwa.³ Oleh
karena itu, ilmu pendidikan dalam tradisi Islam mencakup aspek spiritual yang
sangat kuat, tidak terbatas pada pendekatan kognitif dan teknis semata.
Secara ontologis,
ilmu pendidikan bertumpu pada pemahaman tentang manusia sebagai makhluk
multidimensional—yang memiliki aspek jasmani, rohani, sosial, dan spiritual.
Hal ini menegaskan bahwa pendidikan tidak bisa bersifat reduksionis; ia harus
memandang peserta didik sebagai subjek aktif yang memiliki martabat dan potensi
untuk berkembang.
Epistemologisnya,
ilmu pendidikan bersandar pada beragam pendekatan dan sumber pengetahuan—baik
rasional, empiris, intuitif, maupun wahyu. Ini menunjukkan bahwa pendidikan
sebagai ilmu bersifat interdisipliner dan terbuka terhadap dialog antar
pendekatan keilmuan.
Sedangkan secara
aksiologis, ilmu pendidikan bersifat normatif karena selalu berkaitan dengan
tujuan-tujuan yang bernilai. Ia tidak netral secara nilai, karena seluruh
proses pendidikan mengandung visi tentang manusia ideal yang ingin dibentuk
melalui suatu sistem tertentu.⁴
Dengan demikian,
hakikat ilmu pendidikan mencakup tiga dimensi utama: sebagai ilmu
teoritis, ia menjelaskan dan menganalisis gejala pendidikan secara
objektif; sebagai ilmu praktis, ia menawarkan
strategi dan metode pengajaran yang efektif; dan sebagai ilmu
normatif, ia memuat nilai-nilai yang menjadi dasar dari tujuan
pendidikan itu sendiri. Kelengkapan dimensi ini menunjukkan bahwa ilmu
pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kajian filsafat yang lebih dalam, sebab
ia menyangkut pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang apa, mengapa, dan
bagaimana manusia dididik.
Footnotes
[1]
D. J. O’Connor, An Introduction to the Philosophy of Education
(London: Routledge and Kegan Paul, 1957), 12.
[2]
George F. Kneller, Foundations of Education (New York: John
Wiley & Sons, 1971), 9.
[3]
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
2005), 23–25.
[4]
H. S. Broudy, Building a Philosophy of Education (Englewood
Cliffs: Prentice-Hall, 1972), 18–20.
3.
Filsafat sebagai Fondasi Ilmu Pendidikan
Filsafat dan
pendidikan memiliki relasi yang inheren dan tak terpisahkan. Filsafat
menyediakan landasan konseptual bagi ilmu pendidikan, karena ia membahas
pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai hakikat manusia, realitas, pengetahuan,
dan nilai-nilai. Tanpa kerangka filosofis, pendidikan akan kehilangan arah,
terjebak dalam rutinitas teknis tanpa pemahaman mendalam mengenai tujuannya.
Sebagaimana dinyatakan oleh Johan H. Bavinck, filsafat memberikan orientasi
terhadap segala aktivitas manusia, termasuk pendidikan, agar tidak berjalan
secara membabi buta.¹
Filsafat memberi
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam pendidikan: Apa tujuan akhir
pendidikan? Siapakah manusia yang dididik itu? Pengetahuan seperti apa yang
harus diajarkan? Nilai apa yang harus dijunjung dalam proses pendidikan? Dengan
demikian, filsafat berperan sebagai fondasi normatif dan reflektif
dari ilmu pendidikan, karena ia berfungsi menentukan arah, tujuan, dan
prinsip-prinsip dasar pendidikan.
Peranan filsafat
dalam pendidikan dapat ditelaah melalui tiga cabang utamanya: ontologi,
epistemologi,
dan aksiologi.
Ketiga cabang ini membantu pendidikan merumuskan dengan jelas objek, metode,
dan nilai-nilai yang menjadi dasarnya.
1)
Ontologi
Pendidikan
Secara ontologis,
filsafat membantu menjelaskan hakikat realitas yang menjadi
dasar dari proses pendidikan, khususnya hakikat manusia sebagai subjek dan
objek pendidikan. Manusia dalam pandangan filsafat bukanlah makhluk yang
statis, tetapi dinamis dan memiliki potensi untuk berkembang. Pandangan ini
sejalan dengan pemikiran filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre, yang
memandang manusia sebagai makhluk yang harus menciptakan dirinya melalui pilihan
dan tanggung jawab.² Dalam konteks pendidikan Islam, manusia dilihat sebagai
makhluk yang memiliki dimensi jasmani dan ruhani, serta fitrah sebagai hamba
dan khalifah Allah di muka bumi.³ Konsepsi ontologis ini menentukan pendekatan
pedagogis yang digunakan, karena pendidikan harus diarahkan pada pengembangan
keseluruhan potensi manusia.
2)
Epistemologi
Pendidikan
Epistemologi dalam
pendidikan menyangkut pertanyaan tentang sumber, validitas, dan cara memperoleh
pengetahuan. Ilmu pendidikan tidak dapat berkembang tanpa
kejelasan tentang bagaimana peserta didik memperoleh pengetahuan dan bagaimana
guru harus menyampaikannya. Pandangan epistemologis sangat memengaruhi metode
pembelajaran: misalnya, pendekatan empiris menekankan pengalaman inderawi;
pendekatan rasional mengutamakan logika dan nalar; pendekatan intuitif
memercayai wawasan batin; sementara pendekatan wahyu (khususnya dalam tradisi
Islam) menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama pengetahuan.⁴
Perbedaan pendekatan epistemologis ini melahirkan keragaman dalam strategi
pengajaran, kurikulum, dan evaluasi pendidikan.
3)
Aksiologi
Pendidikan
Aksiologi membahas
tentang nilai-nilai yang menjadi dasar, arah, dan
tujuan pendidikan. Pendidikan bukanlah kegiatan netral; ia
selalu mengandung muatan nilai, baik secara eksplisit maupun implisit.
Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, keadilan, dan kasih sayang
adalah bagian integral dari proses pendidikan. John Dewey menekankan bahwa pendidikan harus berorientasi pada
pengembangan karakter moral dan sosial peserta didik, bukan sekadar penguasaan
informasi.⁵ Dalam Islam, nilai-nilai pendidikan mencakup iman, takwa, adab, dan
akhlak mulia sebagai fondasi pembentukan manusia paripurna.⁶
Dengan memahami tiga
dasar filosofis tersebut, ilmu pendidikan memperoleh pijakan yang kokoh dan
menyeluruh. Tanpa filsafat, pendidikan akan kehilangan refleksi kritis terhadap
praktiknya sendiri dan mudah tergelincir ke dalam pendekatan yang bersifat pragmatis, mekanistik, atau
bahkan ideologis semata. Sebaliknya, dengan fondasi filsafat, pendidikan dapat
menjawab tantangan zaman dengan kesadaran dan kebijaksanaan, serta mampu
membentuk manusia yang berpikir, berperasaan, dan bertindak secara utuh.
Footnotes
[1]
Johan H. Bavinck, Filsafat dan Pendidikan (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2003), 15.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–24.
[3]
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, The Concept of Education in Islam:
A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1991), 7–10.
[4]
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014), 45–48.
[5]
John Dewey, Moral Principles in Education (Boston: Houghton
Mifflin, 1909), 13–15.
[6]
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
2005), 65–67.
4.
Aliran-aliran Filsafat Pendidikan
Dalam sejarah
pemikiran pendidikan, berbagai aliran filsafat telah
memberikan pengaruh besar terhadap cara pandang, tujuan, dan praktik
pendidikan. Setiap aliran membawa asumsi filosofis yang khas mengenai hakikat
manusia, sumber pengetahuan, dan nilai-nilai yang patut ditanamkan melalui
proses pendidikan. Dengan memahami
aliran-aliran ini, para pendidik dan pembuat kebijakan dapat menyusun
pendekatan pendidikan yang lebih bijak, kontekstual, dan berorientasi pada
pengembangan manusia seutuhnya.
4.1.
Idealism (Idealisme)
Idealisme adalah
aliran filsafat yang menekankan bahwa realitas tertinggi adalah ide atau bentuk
yang bersifat spiritual dan rasional. Dalam konteks pendidikan, idealisme
berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi
intelektual dan moral peserta didik melalui penanaman nilai-nilai universal dan
abadi seperti kebaikan, kebenaran, dan keindahan.⁽¹⁾
Tokoh utama dalam
idealisme adalah Plato, yang memandang
pendidikan sebagai proses “mengingat kembali” (anamnesis) bentuk-bentuk ideal yang
telah ada dalam jiwa manusia. Dalam The Republic, Plato menekankan
pentingnya pendidikan dalam
membimbing jiwa menuju pengetahuan sejati dan kehidupan yang adil.⁽²⁾ Guru
dalam pandangan ini berperan sebagai fasilitator dalam membawa siswa memahami
kebenaran yang bersifat ideal dan absolut.
4.2.
Realism (Realisme)
Realisme berpendapat
bahwa realitas bersifat objektif dan dapat dikenali melalui akal dan pengalaman
inderawi. Dalam pendidikan, realisme menekankan perlunya penguasaan ilmu
pengetahuan dan fakta-fakta objektif yang dapat diverifikasi secara empiris.⁽³⁾
Aristoteles
adalah tokoh utama dalam aliran ini, yang menganggap bahwa pendidikan harus
sesuai dengan kodrat dan tujuan akhir manusia (telos). Ia menekankan pentingnya
logika, pengamatan alam, dan pendidikan moral sebagai bagian integral dari
pembentukan manusia bijak.⁽⁴⁾ Pendidikan realis sering kali menekankan
kurikulum berbasis mata pelajaran dan sistematika ilmiah.
4.3.
Pragmatism (Pragmatisme)
Pragmatisme
merupakan aliran filsafat yang menekankan bahwa kebenaran bersifat relatif dan
ditentukan oleh manfaat praktis dalam pengalaman manusia. Pendidikan dalam
pandangan ini adalah proses yang dinamis, eksperimental, dan berpusat pada
peserta didik.⁽⁵⁾
John
Dewey, filsuf pragmatis terkemuka, menegaskan bahwa pendidikan
adalah rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus, dan sekolah harus menjadi
miniatur masyarakat demokratis.⁽⁶⁾ Metode pembelajaran aktif, berbasis proyek,
dan pemecahan masalah merupakan ciri khas dari pendidikan pragmatis. Guru
berperan sebagai pembimbing dalam proses belajar yang berpusat pada pengalaman
siswa.
4.4.
Existentialism (Eksistensialisme)
Eksistensialisme
menekankan kebebasan individu, tanggung jawab pribadi, dan pencarian makna
hidup. Pendidikan menurut aliran ini harus membebaskan siswa untuk menemukan
jati diri dan mengembangkan keunikan masing-masing.⁽⁷⁾
Tokoh seperti Jean-Paul
Sartre dan Paulo Freire mengkritik sistem
pendidikan yang menindas dan menyeragamkan manusia. Freire, dalam Pedagogy
of the Oppressed, menyebut pendidikan konvensional sebagai banking
system, di mana siswa diposisikan pasif. Ia menawarkan pendidikan
dialogis yang membebaskan dan membangkitkan kesadaran kritis.⁽⁸⁾
4.5.
Perennialism dan Essentialism
Dua aliran ini
muncul sebagai respons terhadap pragmatisme yang dianggap terlalu fleksibel.
·
Perennialism
menekankan pentingnya pendidikan klasik dan nilai-nilai abadi. Tokoh seperti Robert
Hutchins dan Mortimer Adler menekankan
kurikulum berbasis “Great Books” dan pelatihan akal melalui logika dan
dialektika.⁽⁹⁾
·
Essentialism,
sebagaimana dikembangkan oleh William C. Bagley,
menekankan penguasaan keterampilan dasar, kedisiplinan, dan tanggung jawab.
Pendidikan harus mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang terampil dan
produktif.¹⁰
4.6.
Rekonstruksionisme Sosial
Aliran ini melihat
pendidikan sebagai sarana untuk merekonstruksi masyarakat menuju keadilan
sosial. Tokoh utamanya adalah Theodore Brameld, yang
menekankan bahwa pendidikan harus menjadi kekuatan untuk mengubah tatanan
sosial dan mengatasi ketimpangan.¹¹ Pendidikan harus kritis terhadap status quo
dan berpihak pada kaum tertindas.
4.7.
Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan
Islam memandang pendidikan sebagai proses penyucian jiwa dan pembentukan insan
kamil. Pendidikan tidak hanya bertujuan duniawi, tetapi juga ukhrawi, dengan
orientasi tauhid. Tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali, Ibnu
Sina, dan Ibn Khaldun memberikan
kontribusi besar dalam pengembangan teori pendidikan yang menyatukan akal dan
wahyu.¹²
Dalam pandangan
Al-Ghazali, pendidikan adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
menyempurnakan akhlak. Sementara Ibnu Sina menekankan pentingnya tahapan
perkembangan anak dan metode pengajaran yang sesuai dengan tingkat usia dan
akal mereka.¹³
Footnotes
[1]
George F. Kneller, Foundations of Education (New York: John
Wiley & Sons, 1971), 26.
[2]
Plato, The Republic, trans. Desmond Lee (London: Penguin
Classics, 2007), 240–250.
[3]
William Frankena, Philosophy of Education (New York:
Macmillan, 1965), 51.
[4]
Aristoteles, Politics, trans. Ernest Barker (Oxford: Oxford
University Press, 1995), 1337a–1340b.
[5]
Kneller, Foundations of Education, 49–51.
[6]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 76.
[7]
Rollo May, The Courage to Create (New York: Norton, 1975),
45–47.
[8]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 58–72.
[9]
Robert M. Hutchins, The Higher Learning in America (New Haven:
Yale University Press, 1936), 87.
[10]
William C. Bagley, Education and Emergent Man (New York:
Thomas Y. Crowell, 1934), 19.
[11]
Theodore Brameld, Education as Power (New York: Holt, Rinehart
and Winston, 1965), 74–76.
[12]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 8–10.
[13]
Ibrahim Basyuni, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah atas Pemikiran
Pendidikan Ibnu Sina (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), 66–72.
5.
Perspektif Filsafat Timur dan Barat dalam Ilmu
Pendidikan
Filsafat pendidikan
tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan berkembang dalam konteks budaya dan
peradaban yang khas. Oleh karena itu, membandingkan filsafat
pendidikan Timur dan Barat menjadi penting untuk memahami
keragaman pendekatan, nilai, dan tujuan pendidikan yang berkembang di berbagai
belahan dunia. Meskipun keduanya memiliki titik temu dalam usaha memanusiakan
manusia, namun terdapat perbedaan mendasar dalam landasan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis yang memengaruhi praktik pendidikan mereka.
5.1.
Filsafat Pendidikan Barat
Filsafat pendidikan
Barat banyak dipengaruhi oleh tradisi filsafat Yunani, humanisme Renaisans,
rasionalisme-modernisme, hingga postmodernisme. Aliran-aliran seperti
idealisme, realisme, pragmatisme, eksistensialisme, dan rekonstruksionisme
telah dibahas sebelumnya dan menjadi fondasi dalam pemikiran pendidikan Barat.
Ciri utama filsafat
pendidikan Barat adalah penekanan pada rasionalitas, otonomi individu,
dan penguasaan terhadap dunia empiris. Sejak masa Pencerahan (Enlightenment),
pendidikan di Barat cenderung menekankan emansipasi manusia melalui akal dan
ilmu pengetahuan.⁽¹⁾
Tokoh seperti Jean-Jacques
Rousseau memandang pendidikan sebagai sarana pembebasan dan
pembentukan manusia alamiah yang bebas dari dominasi sosial yang menindas.
Dalam Émile,
Rousseau menekankan bahwa pendidikan harus mengikuti perkembangan alamiah anak,
bukan memaksakan nilai-nilai sosial yang kaku.⁽²⁾
Di era modern, John
Dewey memandang pendidikan sebagai proses demokratis yang
mengintegrasikan pengalaman dan refleksi. Ia percaya bahwa sekolah harus
menjadi laboratorium sosial tempat anak belajar hidup dalam masyarakat.⁽³⁾
Namun demikian,
pendekatan pendidikan Barat modern sering dikritik karena terlalu
menekankan aspek kognitif dan instrumental, sehingga
mengabaikan dimensi spiritual dan moral manusia. Kritik ini banyak datang dari
para pemikir Timur dan dari kalangan postmodernis sendiri yang menyoroti
kehilangan makna dalam sistem pendidikan modern.⁽⁴⁾
5.2.
Filsafat Pendidikan Timur
Sebaliknya, filsafat
pendidikan Timur (seperti dalam tradisi Islam, Konfusianisme, Hindu-Buddha, dan
Taoisme) lebih menekankan pada keseimbangan antara akal dan hati, harmoni
antara manusia dan alam, serta keterikatan pada nilai-nilai spiritual dan etika.
Pendidikan bukan hanya sarana mencapai pengetahuan, tetapi jalan menuju
pembentukan karakter dan kesempurnaan diri.
Dalam tradisi Islam,
pendidikan adalah proses tazkiyah (penyucian jiwa) dan ta'dib
(pembentukan adab) yang bertujuan membentuk insan kamil. Filsafat pendidikan
Islam memadukan wahyu dan akal sebagai sumber pengetahuan, dan menjadikan
tauhid sebagai asas ontologis dan aksiologisnya.⁽⁵⁾ Al-Ghazali
menekankan bahwa pendidikan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan
ilmu harus membawa kepada amal saleh dan akhlak mulia.⁽⁶⁾
Dalam Konfusianisme,
pendidikan dilihat sebagai sarana utama untuk membentuk kebajikan (ren)
dan harmoni sosial. Guru sangat dihormati, dan proses belajar melibatkan
disiplin moral yang tinggi. Pengetahuan dipandang sebagai alat untuk
memperbaiki diri dan masyarakat, bukan sekadar untuk kemajuan individu.⁽⁷⁾
Tradisi Hindu-Buddha
melihat pendidikan sebagai proses pencerahan diri dan pembebasan dari kebodohan
(avidya).
Tujuan akhir pendidikan adalah kesadaran spiritual tertinggi (moksha
atau nirvana),
dengan pendekatan kontemplatif, disiplin batin, dan praktik etika yang
ketat.⁽⁸⁾
5.3.
Titik Temu dan Perbedaan
Meskipun berasal
dari latar budaya dan historis yang berbeda, filsafat pendidikan Timur dan
Barat memiliki tujuan kemanusiaan yang serupa,
yakni pengembangan potensi manusia secara maksimal. Namun, pendekatannya
berbeda:
·
Filsafat
pendidikan Barat menekankan emansipasi individu,
kebebasan berpikir, dan metode ilmiah.
·
Filsafat
pendidikan Timur lebih menekankan pada keseimbangan
spiritual, keterhubungan sosial, dan pembentukan moralitas.
Dalam konteks global
saat ini, terjadi saling pengaruh antara keduanya. Pendidikan modern di Timur
mengadopsi banyak aspek teknis dan metodologis dari Barat, namun masih
mempertahankan nilai-nilai khas spiritual dan kultural. Sebaliknya, ada pula
gelombang pemikiran di Barat yang mulai mencari kembali makna pendidikan
melalui pendekatan spiritual dan etis dari Timur.
Melalui dialog
antara kedua tradisi ini, pendidikan masa depan diharapkan dapat menjadi lebih holistik,
inklusif, dan bermakna, tidak hanya memajukan ilmu dan
teknologi, tetapi juga membentuk manusia yang bijak, bertanggung jawab, dan
berakhlak.
Footnotes
[1]
Peter Gray, Free to Learn (New York: Basic Books, 2013),
34–36.
[2]
Jean-Jacques Rousseau, Émile, or On Education, trans. Allan
Bloom (New York: Basic Books, 1979), 13–17.
[3]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 82–85.
[4]
Ziauddin Sardar, Postmodernism and the Other: The New Imperialism
of Western Culture (London: Pluto Press, 1998), 102–104.
[5]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 1–15.
[6]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid I (Beirut: Dar al-Fikr,
n.d.), 36–40.
[7]
Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on Confucian
Religiousness (Albany: SUNY Press, 1989), 44–46.
[8]
Radhakrishnan, Sarvepalli, Indian Philosophy, Vol. 1 (London:
George Allen & Unwin, 1923), 89–91.
6.
Implikasi Filsafat terhadap Praktik Pendidikan
Filsafat tidak hanya
menjadi pijakan teoritis dalam merumuskan konsep pendidikan, tetapi juga
memberikan dampak nyata terhadap praktik pendidikan.
Ia berfungsi sebagai penentu arah kebijakan, pembentuk visi pendidikan, serta
penunjuk cara dalam pengelolaan kelas, relasi pendidik-peserta didik, perumusan
kurikulum, dan strategi evaluasi. Ketika pendidikan dijalankan tanpa kerangka
filsafat yang jelas, ia rentan menjadi sekadar aktivitas teknis tanpa orientasi
kemanusiaan dan nilai.
6.1.
Penentuan Tujuan Pendidikan
Filsafat
mendefinisikan tujuan akhir pendidikan
berdasarkan pandangan tertentu tentang manusia dan masyarakat. Misalnya, dalam
pandangan idealis, tujuan pendidikan
adalah membentuk karakter dan moralitas yang luhur.⁽¹⁾ Sebaliknya, pragmatisme
memandang tujuan pendidikan bersifat kontekstual dan berkembang seiring
perubahan masyarakat.⁽²⁾ Dalam Islam, pendidikan bertujuan membentuk insan
kamil yang berilmu, berakhlak, dan beriman.⁽³⁾
Oleh karena itu,
kebijakan pendidikan yang tidak mempertimbangkan filsafat sebagai landasan
normatif cenderung menargetkan keberhasilan kuantitatif (angka kelulusan,
indeks prestasi, sertifikasi), namun gagal dalam membentuk manusia yang utuh
dan beradab.
6.2.
Pengembangan Kurikulum
Implikasi lain yang
signifikan dari filsafat terlihat pada perumusan kurikulum. Kurikulum
yang idealis menekankan pada mata pelajaran klasik dan nilai-nilai moral abadi;
realisme mengutamakan sains dan fakta objektif; pragmatisme mendorong kurikulum
berbasis pengalaman dan pemecahan masalah; sedangkan eksistensialisme
memberikan ruang bagi pilihan personal siswa dalam menentukan jalur
pembelajarannya.⁽⁴⁾
Filsafat pendidikan
Islam, misalnya, menekankan integrasi antara ilmu dunia dan ilmu agama,
sehingga kurikulum tidak sekadar mengejar keahlian teknis, tetapi juga
memperhatikan pembinaan spiritual dan etika.⁽⁵⁾ Dengan demikian, kurikulum
menjadi alat untuk membentuk manusia seimbang secara intelektual dan spiritual.
6.3.
Peran dan Posisi Guru
Dalam kerangka
filosofis, guru bukan hanya penyampai materi,
melainkan pembimbing moral, inspirator, bahkan teladan hidup. Pandangan ini
ditemukan dalam hampir semua aliran filsafat pendidikan. Plato menganggap guru
sebagai pembebas jiwa dari kebodohan menuju kebenaran.⁽⁶⁾ Dewey melihat guru
sebagai fasilitator pembelajaran aktif.⁽⁷⁾ Dalam Islam, guru dipandang sebagai murabbi,
mu’allim,
dan mudzakkir—yakni
pendidik yang berperan membina secara menyeluruh, bukan hanya menyampaikan
informasi.⁽⁸⁾
Konsep ini menuntut
kualitas guru yang tidak hanya cerdas intelektual, tetapi juga kuat secara
spiritual dan etis. Filsafat membantu membentuk kesadaran pendidik akan
tanggung jawab moral dan sosial dalam tugas mendidik.
6.4.
Strategi dan Metode Pembelajaran
Pemilihan metode
pembelajaran juga sangat ditentukan oleh landasan filosofis.
Aliran behaviorisme cenderung menekankan pembelajaran stimulus-respons;
kognitivisme mengembangkan strategi berbasis pemrosesan informasi; sementara
humanisme dan eksistensialisme mendorong pendekatan partisipatif dan
dialogis.⁽⁹⁾
Pendekatan pragmatis
dan konstruktivis misalnya, mendorong pembelajaran aktif,
kooperatif, dan berbasis masalah (problem-based learning) karena
menekankan bahwa pengetahuan dibangun melalui interaksi dengan lingkungan.⁽¹⁰⁾
Sementara dalam pandangan Islam, metode pembelajaran mencakup hikmah
(kebijaksanaan), mau’izhah hasanah (nasihat yang
baik), dan mujadalah
(dialog), sebagaimana dicontohkan dalam Al-Qur’an (QS. An-Nahl: 125).⁽¹¹⁾
6.5.
Evaluasi Pendidikan
Filsafat juga
memengaruhi bagaimana evaluasi pembelajaran
dilakukan. Evaluasi dalam paradigma behavioristik bersifat kuantitatif dan
mengukur hasil akhir, sementara dalam paradigma humanistik atau eksistensialis,
evaluasi lebih menekankan proses, refleksi diri, dan perubahan sikap.⁽¹²⁾
Dengan pendekatan
filosofis yang tepat, evaluasi pendidikan dapat diarahkan untuk menilai
keberhasilan dalam pembentukan kepribadian, pengembangan akal, dan
penguatan nilai, bukan hanya penguasaan materi akademik.
Secara keseluruhan,
pemahaman yang kuat terhadap dasar-dasar filsafat sangat menentukan kualitas
praktik pendidikan. Ia menjadi penuntun dalam membuat keputusan pedagogis yang
bernilai, bijak, dan manusiawi. Pendidikan tanpa fondasi filosofis akan mudah
terombang-ambing oleh tren pragmatis, pasar, dan politik yang sering kali
mengabaikan esensi dari mendidik itu sendiri—yakni memanusiakan manusia.
Footnotes
[1]
George F. Kneller, Foundations of Education (New York: John
Wiley & Sons, 1971), 32–33.
[2]
John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan,
1938), 25–27.
[3]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 9–12.
[4]
William F. Pinar et al., Understanding Curriculum (New York:
Peter Lang, 1995), 76–79.
[5]
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
2009), 98–102.
[6]
Plato, The Republic, trans. Desmond Lee (London: Penguin
Classics, 2007), 240–250.
[7]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 76–77.
[8]
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
2005), 58–60.
[9]
Peter Jarvis, Adult Education and Lifelong Learning (London:
Routledge, 2004), 120.
[10]
David H. Jonassen, Learning to Solve Problems: An Instructional Design
Guide (San Francisco: Pfeiffer, 2004), 15–17.
[11]
Al-Qur'an, Surah An-Nahl (16): 125.
[12]
Elliot W. Eisner, The Educational Imagination: On the Design and
Evaluation of School Programs (New York: Macmillan, 1994), 183–185.
7.
Tantangan Kontemporer dalam Ilmu Pendidikan
Memasuki era
globalisasi, digitalisasi, dan disrupsi teknologi, pendidikan menghadapi
sejumlah tantangan baru yang kompleks dan multidimensional. Tantangan-tantangan
ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh dimensi filosofis—terutama
terkait dengan pertanyaan ontologis tentang manusia, epistemologis tentang
sumber dan bentuk pengetahuan, serta aksiologis mengenai nilai-nilai
pendidikan. Dalam konteks inilah, pemikiran filsafat menjadi sangat relevan
untuk memberikan orientasi dan kedalaman makna terhadap praktik pendidikan
kontemporer.
7.1.
Krisis Makna Pendidikan
Salah satu tantangan
terbesar adalah krisis makna pendidikan. Dalam
banyak sistem pendidikan modern, pendidikan cenderung direduksi menjadi alat
instrumental untuk mencapai tujuan ekonomi semata: pekerjaan, efisiensi, dan
daya saing global. Hal ini mengakibatkan terpinggirkannya aspek-aspek esensial
pendidikan seperti pembentukan karakter, nilai, dan kesadaran diri.⁽¹⁾
Ziauddin
Sardar menyebut bahwa modernitas Barat telah memisahkan ilmu
pengetahuan dari nilai dan moralitas, sehingga pendidikan kehilangan “jiwa” dan
maknanya.⁽²⁾ Fenomena ini juga dikritik oleh Ivan Illich, yang mengungkapkan
bahwa sistem sekolah formal justru sering kali menjauhkan manusia dari proses
pembelajaran yang sejati dan alamiah.⁽³⁾
7.2.
Komersialisasi dan Industrialisasi Pendidikan
Pendidikan dewasa
ini juga dihadapkan pada arus komersialisasi dan industrialisasi.
Lembaga pendidikan banyak yang beroperasi layaknya korporasi: mengejar
akreditasi, sertifikasi, dan peringkat internasional, sementara mengabaikan
proses pendidikan sebagai proses pembentukan manusia.⁽⁴⁾
Pendekatan ini
sering kali melahirkan budaya pendidikan yang transaksional, di mana siswa
menjadi "konsumen" dan guru menjadi "penyedia jasa."
Hal ini bertentangan dengan visi pendidikan filosofis yang menempatkan proses
pembelajaran sebagai interaksi yang bermakna antara jiwa dan nilai-nilai
kebenaran.⁽⁵⁾
7.3.
Fragmentasi Pengetahuan
Era digital
mempercepat arus informasi, tetapi juga menyebabkan fragmentasi
pengetahuan. Peserta didik dibanjiri informasi dari berbagai
sumber tanpa kerangka konseptual yang utuh. Tanpa panduan filosofis,
pengetahuan menjadi dangkal, utilitarian, dan tidak terintegrasi dengan nilai
atau makna kehidupan.⁽⁶⁾
Neil
Postman memperingatkan bahwa teknologi tanpa kebijaksanaan
dapat menyebabkan “amnesia budaya”, di mana masyarakat kehilangan
orientasi nilai dan akar historisnya.⁽⁷⁾ Oleh karena itu, pendidikan perlu
kembali pada pendekatan filosofis yang menekankan integrasi pengetahuan dengan
nilai dan tujuan hidup manusia.
7.4.
Dehumanisasi dalam Pendidikan Digital
Digitalisasi telah
mengubah wajah pendidikan secara drastis. Meski teknologi menawarkan akses luas
dan efisiensi, namun juga menimbulkan risiko dehumanisasi dalam
proses pembelajaran. Interaksi virtual yang minim empati, ketergantungan pada
mesin, dan hilangnya sentuhan personal antara guru dan murid menjadi tantangan
serius.⁽⁸⁾
Sherry
Turkle, dalam studinya tentang hubungan manusia dan teknologi,
menunjukkan bahwa penggunaan perangkat digital secara berlebihan dapat
melemahkan kemampuan berpikir mendalam, empati, dan keterhubungan sosial.⁽⁹⁾
Dalam konteks ini, pendekatan filsafat—terutama filsafat humanisme dan
eksistensialisme—menjadi penting untuk menjaga substansi kemanusiaan dalam
pendidikan digital.
7.5.
Krisis Etika dan Identitas Kultural
Globalisasi juga
menimbulkan krisis etika dan identitas,
terutama di kalangan generasi muda. Nilai-nilai lokal dan spiritual sering
tergantikan oleh budaya instan, konsumerisme, dan relativisme moral.⁽¹⁰⁾
Pendidikan sering gagal memberikan fondasi etis yang kokoh karena terlalu
berfokus pada keterampilan teknis.
Dalam menghadapi hal
ini, filsafat pendidikan Islam dan Timur menawarkan kontribusi penting dalam
membumikan kembali nilai-nilai kebajikan, etika profetik, dan keterhubungan
dengan spiritualitas. Pendidikan harus tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga
membijaksanakan.⁽¹¹⁾
Dalam menghadapi
tantangan-tantangan kontemporer ini, filsafat pendidikan berfungsi sebagai kompas
normatif dan reflektif. Ia membantu pendidik dan pembuat
kebijakan untuk tidak sekadar mengejar efisiensi, tetapi juga mempertimbangkan
makna, arah, dan nilai dari pendidikan itu sendiri. Tanpa refleksi filosofis,
pendidikan modern berisiko kehilangan misinya sebagai proses pemanusiaan
manusia. Sebaliknya, dengan filsafat sebagai fondasinya, pendidikan dapat
menjadi jalan menuju kebijaksanaan dan transformasi sosial yang lebih adil dan
beradab.
Footnotes
[1]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury,
2011), 33–35.
[2]
Ziauddin Sardar, Reclaiming Modernity: Beyond the Failed Dialogue
of Modernity (London: Hurst, 2003), 52.
[3]
Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row,
1971), 7–10.
[4]
Stephen J. Ball, Education plc: Understanding Private Sector
Participation in Public Sector Education (London: Routledge, 2007), 2–4.
[5]
Paulo Freire, Education for Critical Consciousness, trans.
Myra Bergman Ramos (London: Continuum, 2005), 39–40.
[6]
Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our
Brains (New York: W.W. Norton, 2010), 114–117.
[7]
Neil Postman, Technopoly: The Surrender of Culture to Technology
(New York: Vintage Books, 1993), 71–73.
[8]
Tony Bates, Teaching in a Digital Age (Vancouver: BCcampus,
2015), 83–86.
[9]
Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a
Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 23–26.
[10]
Bauman, Zygmunt, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press,
2000), 76–78.
[11]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 121–123.
8.
Penutup
Filsafat memberikan
landasan yang kokoh dan menyeluruh bagi pemahaman dan pengembangan ilmu
pendidikan. Melalui pendekatan ontologis, filsafat membantu
menjawab pertanyaan fundamental tentang hakikat manusia, subjek utama dalam
proses pendidikan. Secara epistemologis, filsafat
menuntun pada pemahaman yang lebih mendalam mengenai sumber dan validitas
pengetahuan yang harus diajarkan, serta metode bagaimana pengetahuan itu
diperoleh dan dikembangkan. Sedangkan dalam dimensi aksiologis, filsafat
menjadi dasar normatif dalam menentukan nilai-nilai, etika, dan arah tujuan
pendidikan.
Kajian terhadap
berbagai aliran filsafat pendidikan
seperti idealisme, realisme, pragmatisme, eksistensialisme, rekonstruksionisme,
hingga filsafat pendidikan Islam dan Timur menunjukkan bahwa tidak ada satu
pendekatan tunggal yang mampu mencakup seluruh kompleksitas pendidikan manusia.
Sebaliknya, dibutuhkan sikap reflektif dan terbuka untuk memadukan berbagai pendekatan
yang relevan dan kontekstual.
Dalam konteks tantangan
kontemporer, seperti krisis makna pendidikan, komersialisasi,
fragmentasi pengetahuan, dehumanisasi akibat digitalisasi, serta krisis nilai
dan identitas, filsafat hadir sebagai instrumen kritis dan transformatif.
Sebagaimana dinyatakan oleh Henry Giroux, pendidikan bukan sekadar institusi
untuk mentransmisikan pengetahuan, tetapi medan perjuangan budaya dan politik
yang harus dituntun oleh kesadaran etis dan keberpihakan pada kemanusiaan.¹
Oleh karena itu,
filsafat pendidikan tidak boleh dipandang sebagai teori elitis yang jauh dari
praktik, melainkan sebagai ruh yang menghidupkan proses pendidikan
dalam seluruh dimensinya—baik dalam perencanaan kebijakan, pengembangan
kurikulum, strategi pembelajaran, maupun dalam pembentukan karakter guru dan
peserta didik.
Sebagaimana
ditegaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, pendidikan pada hakikatnya
adalah proses internalisasi adab—yakni penempatan sesuatu pada tempat yang
tepat—melalui pengenalan terhadap kebenaran, keadilan, dan tanggung jawab.²
Dengan filsafat, pendidikan dapat kembali menemukan maknanya sebagai jalan
untuk membentuk manusia yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi juga arif,
bijak, dan bermartabat.
Singkatnya,
membangun pendidikan yang bermutu dan berkeadaban memerlukan kesadaran
filosofis yang kuat. Tanpa filsafat, pendidikan berisiko
kehilangan arah; sebaliknya, dengan filsafat sebagai fondasi, pendidikan akan
mampu menjawab tantangan zaman, menumbuhkan nilai-nilai luhur, dan menjadi
sarana transformasi manusia dan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Footnotes
[1]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury,
2011), 18.
[2]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 13–15.
Daftar Pustaka
Al-Attas, S. M. N. (1991). The
concept of education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of
education. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC).
Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam
and secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Ghazali. (n.d.). Ihya’
‘ulum al-din (Vol. 1). Beirut: Dar al-Fikr.
Arifin, M. (2009). Filsafat
pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Aristotle. (1995). Politics
(E. Barker, Trans.). Oxford: Oxford University Press. (Original work published
ca. 350 B.C.E.)
Bagley, W. C. (1934). Education
and emergent man. New York: Thomas Y. Crowell.
Ball, S. J. (2007). Education
plc: Understanding private sector participation in public sector education.
London: Routledge.
Basyuni, I. (2015). Filsafat
pendidikan Islam: Telaah atas pemikiran pendidikan Ibnu Sina. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Bates, T. (2015). Teaching
in a digital age. Vancouver: BCcampus.
Bavinck, J. H. (2003). Filsafat
dan pendidikan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Bauman, Z. (2000). Liquid
modernity. Cambridge: Polity Press.
Carr, N. (2010). The
shallows: What the Internet is doing to our brains. New York: W. W.
Norton.
Daradjat, Z. (2005). Ilmu
pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Dewey, J. (1909). Moral
principles in education. Boston: Houghton Mifflin.
Dewey, J. (1916). Democracy
and education: An introduction to the philosophy of education. New York:
Macmillan.
Dewey, J. (1938). Experience
and education. New York: Macmillan.
Eisner, E. W. (1994). The
educational imagination: On the design and evaluation of school programs
(3rd ed.). New York: Macmillan.
Freire, P. (2000). Pedagogy
of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). New York: Continuum. (Original
work published 1970)
Freire, P. (2005). Education
for critical consciousness (M. B. Ramos, Trans.). London: Continuum.
Giroux, H. A. (2011). On
critical pedagogy. New York: Bloomsbury.
Gray, P. (2013). Free
to learn. New York: Basic Books.
Hutchins, R. M. (1936). The
higher learning in America. New Haven: Yale University Press.
Illich, I. (1971). Deschooling
society. New York: Harper & Row.
Jarvis, P. (2004). Adult
education and lifelong learning (3rd ed.). London: Routledge.
Jonassen, D. H. (2004). Learning
to solve problems: An instructional design guide. San Francisco: Pfeiffer.
Kneller, G. F. (1971). Foundations
of education. New York: John Wiley & Sons.
May, R. (1975). The
courage to create. New York: W. W. Norton.
Pinar, W. F., Reynolds, W.
M., Slattery, P., & Taubman, P. M. (1995). Understanding curriculum: An
introduction to the study of historical and contemporary curriculum discourses.
New York: Peter Lang.
Plato. (2007). The
Republic (D. Lee, Trans.). London: Penguin Classics. (Original work
published ca. 380 B.C.E.)
Postman, N. (1993). Technopoly:
The surrender of culture to technology. New York: Vintage Books.
Radhakrishnan, S. (1923). Indian
philosophy (Vol. 1). London: George Allen & Unwin.
Rousseau, J.-J. (1979). Émile,
or on education (A. Bloom, Trans.). New York: Basic Books. (Original work
published 1762)
Sardar, Z. (1998). Postmodernism
and the other: The new imperialism of Western culture. London: Pluto
Press.
Sardar, Z. (2003). Reclaiming
modernity: Beyond the failed dialogue of modernity. London: Hurst.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism
is a humanism (C. Macomber, Trans.). New Haven: Yale University Press.
(Original work published 1946)
Tafsir, A. (2014). Filsafat
pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tu, W. (1989). Centrality
and commonality: An essay on Confucian religiousness. Albany: SUNY Press.
Turkle, S. (2015). Reclaiming
conversation: The power of talk in a digital age. New York: Penguin Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar