Rabu, 26 Maret 2025

Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Filsafat

Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Filsafat

Dasar Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis Pendidikan


Alihkan ke: Ilmu Pendidikan I, Ilmu Pendidikan III.

Sistem PemerintahanSistem HukumSistem EkonomiSistem Pendidikan.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif peran filsafat sebagai fondasi utama dalam pengembangan ilmu pendidikan, khususnya ditinjau dari tiga dimensi utama: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Filsafat membantu menjelaskan hakikat manusia sebagai subjek pendidikan, merumuskan sumber dan validitas pengetahuan yang diajarkan, serta menentukan nilai-nilai dan tujuan pendidikan yang bermakna. Dengan menelaah berbagai aliran filsafat pendidikan—baik dari Barat seperti idealisme, realisme, pragmatisme, eksistensialisme, maupun dari Timur dan Islam seperti Konfusianisme dan pemikiran Al-Ghazali—artikel ini menunjukkan adanya kekayaan pendekatan dalam memahami pendidikan. Kajian ini juga menyoroti tantangan kontemporer yang dihadapi dunia pendidikan, seperti krisis makna, komersialisasi, fragmentasi pengetahuan, hingga dehumanisasi akibat digitalisasi. Melalui pendekatan filosofis, pendidikan diharapkan mampu kembali kepada peran sejatinya sebagai proses pemanusiaan manusia dan pembentukan keadaban. Artikel ini merekomendasikan pentingnya integrasi antara refleksi filosofis dan praktik pendidikan agar mampu menjawab dinamika zaman secara arif dan bernilai.

Kata Kunci: Filsafat pendidikan, ontologi, epistemologi, aksiologi, aliran filsafat, pendidikan kontemporer, nilai, pemanusiaan.


PEMBAHASAN

Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Filsafat


1.           Pendahuluan

Pendidikan merupakan aktivitas fundamental dalam kehidupan manusia. Ia bukan sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan juga sarana pembentukan kepribadian, nilai, dan pemaknaan hidup manusia secara utuh. Oleh karena itu, memahami pendidikan secara mendalam memerlukan pendekatan yang tidak hanya praktis dan teknis, tetapi juga filosofis. Dalam konteks inilah filsafat memainkan peranan penting sebagai fondasi normatif dan reflektif bagi ilmu pendidikan.

Filsafat sebagai upaya berpikir kritis dan radikal tentang realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai, memungkinkan manusia untuk memahami esensi dan arah pendidikan secara lebih komprehensif. Melalui filsafat, pendidikan dipahami bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan pragmatis (seperti pekerjaan atau mobilitas sosial), tetapi juga sebagai proses pemanusiaan manusia—humanizing the human being. Hal ini sejalan dengan pandangan Paulo Freire bahwa pendidikan sejatinya adalah praktik pembebasan yang membentuk kesadaran kritis peserta didik terhadap realitas sosial mereka.¹

Lebih jauh, keterkaitan antara filsafat dan pendidikan telah menjadi perhatian banyak pemikir sejak masa klasik hingga kontemporer. Plato, misalnya, menyatakan bahwa pendidikan merupakan sarana untuk membawa jiwa manusia keluar dari "gua ketidaktahuan" menuju cahaya kebenaran.² Dalam pemikiran Islam klasik, Al-Ghazali menekankan pentingnya pendidikan dalam membentuk akhlak dan mendekatkan diri kepada Tuhan.³ Sementara itu, John Dewey, seorang filsuf pragmatis Amerika, memandang pendidikan sebagai proses sosial yang berkesinambungan, di mana pengalaman memainkan peran sentral dalam perkembangan intelektual dan moral individu.⁴

Kedekatan antara filsafat dan pendidikan tercermin dalam beberapa aspek utama: pertama, filsafat memberikan dasar ontologis bagi pendidikan, yaitu tentang pemahaman hakikat manusia dan realitas yang menjadi subjek dan objek pendidikan. Kedua, filsafat berperan dalam membentuk dasar epistemologis pendidikan, yakni tentang bagaimana pengetahuan diperoleh, divalidasi, dan ditransmisikan. Ketiga, filsafat membekali pendidikan dengan dasar aksiologis yang menjelaskan nilai-nilai yang mendasari tujuan dan praktik pendidikan.

Dalam dunia yang terus berubah dan penuh tantangan etis, sosial, dan ekologis, pendekatan filosofis dalam memahami pendidikan menjadi sangat penting. Ia membantu kita untuk tidak terjebak dalam pendekatan teknokratik yang reduktif, tetapi senantiasa berpikir kritis, reflektif, dan kontekstual. Maka dari itu, telaah terhadap ilmu pendidikan dalam perspektif filsafat menjadi sangat relevan untuk menyusun arah dan landasan pendidikan yang utuh, bermakna, dan berkeadaban.


Footnotes

[1]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72.

[2]                Plato, The Republic, trans. Desmond Lee (London: Penguin Classics, 2007), 240–250. (Lihat alegori gua dalam Buku VII).

[3]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.), 35–40.

[4]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 76–77.


2.           Hakikat Ilmu Pendidikan

Ilmu pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari secara sistematis dan ilmiah tentang hakikat, tujuan, proses, metode, dan evaluasi pendidikan dalam konteks kehidupan manusia. Dalam konteks ini, pendidikan dipahami sebagai proses sadar yang diarahkan untuk mengembangkan potensi individu secara optimal, baik dalam dimensi intelektual, moral, spiritual, maupun sosial.

Secara etimologis, istilah “pendidikan” berasal dari bahasa Latin educare, yang berarti “mengeluarkan” atau “membawa keluar”, yaitu suatu proses yang mengarahkan individu untuk keluar dari ketidaktahuan menuju pada pemahaman dan kesadaran.¹ Dalam pengertian filosofis, pendidikan bukan semata-mata kegiatan transfer pengetahuan, melainkan merupakan proses transformatif yang melibatkan pertumbuhan kepribadian secara menyeluruh dan pembentukan watak yang utuh.

Menurut George F. Kneller, pendidikan dapat dianggap sebagai aplikasi filsafat dalam kehidupan manusia, karena ia menyangkut masalah nilai, tujuan, dan cara hidup yang baik.² Ilmu pendidikan, dalam kerangka ini, berfungsi sebagai jembatan antara teori dan praktik, antara ide dan realitas empiris. Ia mengkaji bagaimana pendidikan berlangsung, bagaimana seharusnya berlangsung, dan bagaimana perbaikannya dapat dilakukan secara berkelanjutan.

Dalam pandangan ahli pendidikan Islam, Zakiah Daradjat menjelaskan bahwa pendidikan (tarbiyah) tidak hanya bertujuan untuk mencerdaskan akal, tetapi juga untuk menyucikan jiwa dan membina akhlak, sehingga menghasilkan manusia yang utuh dan bertakwa.³ Oleh karena itu, ilmu pendidikan dalam tradisi Islam mencakup aspek spiritual yang sangat kuat, tidak terbatas pada pendekatan kognitif dan teknis semata.

Secara ontologis, ilmu pendidikan bertumpu pada pemahaman tentang manusia sebagai makhluk multidimensional—yang memiliki aspek jasmani, rohani, sosial, dan spiritual. Hal ini menegaskan bahwa pendidikan tidak bisa bersifat reduksionis; ia harus memandang peserta didik sebagai subjek aktif yang memiliki martabat dan potensi untuk berkembang.

Epistemologisnya, ilmu pendidikan bersandar pada beragam pendekatan dan sumber pengetahuan—baik rasional, empiris, intuitif, maupun wahyu. Ini menunjukkan bahwa pendidikan sebagai ilmu bersifat interdisipliner dan terbuka terhadap dialog antar pendekatan keilmuan.

Sedangkan secara aksiologis, ilmu pendidikan bersifat normatif karena selalu berkaitan dengan tujuan-tujuan yang bernilai. Ia tidak netral secara nilai, karena seluruh proses pendidikan mengandung visi tentang manusia ideal yang ingin dibentuk melalui suatu sistem tertentu.⁴

Dengan demikian, hakikat ilmu pendidikan mencakup tiga dimensi utama: sebagai ilmu teoritis, ia menjelaskan dan menganalisis gejala pendidikan secara objektif; sebagai ilmu praktis, ia menawarkan strategi dan metode pengajaran yang efektif; dan sebagai ilmu normatif, ia memuat nilai-nilai yang menjadi dasar dari tujuan pendidikan itu sendiri. Kelengkapan dimensi ini menunjukkan bahwa ilmu pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kajian filsafat yang lebih dalam, sebab ia menyangkut pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang apa, mengapa, dan bagaimana manusia dididik.


Footnotes

[1]                D. J. O’Connor, An Introduction to the Philosophy of Education (London: Routledge and Kegan Paul, 1957), 12.

[2]                George F. Kneller, Foundations of Education (New York: John Wiley & Sons, 1971), 9.

[3]                Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), 23–25.

[4]                H. S. Broudy, Building a Philosophy of Education (Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1972), 18–20.


3.           Filsafat sebagai Fondasi Ilmu Pendidikan

Filsafat dan pendidikan memiliki relasi yang inheren dan tak terpisahkan. Filsafat menyediakan landasan konseptual bagi ilmu pendidikan, karena ia membahas pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai hakikat manusia, realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai. Tanpa kerangka filosofis, pendidikan akan kehilangan arah, terjebak dalam rutinitas teknis tanpa pemahaman mendalam mengenai tujuannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Johan H. Bavinck, filsafat memberikan orientasi terhadap segala aktivitas manusia, termasuk pendidikan, agar tidak berjalan secara membabi buta.¹

Filsafat memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam pendidikan: Apa tujuan akhir pendidikan? Siapakah manusia yang dididik itu? Pengetahuan seperti apa yang harus diajarkan? Nilai apa yang harus dijunjung dalam proses pendidikan? Dengan demikian, filsafat berperan sebagai fondasi normatif dan reflektif dari ilmu pendidikan, karena ia berfungsi menentukan arah, tujuan, dan prinsip-prinsip dasar pendidikan.

Peranan filsafat dalam pendidikan dapat ditelaah melalui tiga cabang utamanya: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga cabang ini membantu pendidikan merumuskan dengan jelas objek, metode, dan nilai-nilai yang menjadi dasarnya.

1)                  Ontologi Pendidikan

Secara ontologis, filsafat membantu menjelaskan hakikat realitas yang menjadi dasar dari proses pendidikan, khususnya hakikat manusia sebagai subjek dan objek pendidikan. Manusia dalam pandangan filsafat bukanlah makhluk yang statis, tetapi dinamis dan memiliki potensi untuk berkembang. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre, yang memandang manusia sebagai makhluk yang harus menciptakan dirinya melalui pilihan dan tanggung jawab.² Dalam konteks pendidikan Islam, manusia dilihat sebagai makhluk yang memiliki dimensi jasmani dan ruhani, serta fitrah sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.³ Konsepsi ontologis ini menentukan pendekatan pedagogis yang digunakan, karena pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keseluruhan potensi manusia.

2)                  Epistemologi Pendidikan

Epistemologi dalam pendidikan menyangkut pertanyaan tentang sumber, validitas, dan cara memperoleh pengetahuan. Ilmu pendidikan tidak dapat berkembang tanpa kejelasan tentang bagaimana peserta didik memperoleh pengetahuan dan bagaimana guru harus menyampaikannya. Pandangan epistemologis sangat memengaruhi metode pembelajaran: misalnya, pendekatan empiris menekankan pengalaman inderawi; pendekatan rasional mengutamakan logika dan nalar; pendekatan intuitif memercayai wawasan batin; sementara pendekatan wahyu (khususnya dalam tradisi Islam) menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama pengetahuan.⁴ Perbedaan pendekatan epistemologis ini melahirkan keragaman dalam strategi pengajaran, kurikulum, dan evaluasi pendidikan.

3)                  Aksiologi Pendidikan

Aksiologi membahas tentang nilai-nilai yang menjadi dasar, arah, dan tujuan pendidikan. Pendidikan bukanlah kegiatan netral; ia selalu mengandung muatan nilai, baik secara eksplisit maupun implisit. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, keadilan, dan kasih sayang adalah bagian integral dari proses pendidikan. John Dewey menekankan bahwa pendidikan harus berorientasi pada pengembangan karakter moral dan sosial peserta didik, bukan sekadar penguasaan informasi.⁵ Dalam Islam, nilai-nilai pendidikan mencakup iman, takwa, adab, dan akhlak mulia sebagai fondasi pembentukan manusia paripurna.⁶

Dengan memahami tiga dasar filosofis tersebut, ilmu pendidikan memperoleh pijakan yang kokoh dan menyeluruh. Tanpa filsafat, pendidikan akan kehilangan refleksi kritis terhadap praktiknya sendiri dan mudah tergelincir ke dalam pendekatan yang bersifat pragmatis, mekanistik, atau bahkan ideologis semata. Sebaliknya, dengan fondasi filsafat, pendidikan dapat menjawab tantangan zaman dengan kesadaran dan kebijaksanaan, serta mampu membentuk manusia yang berpikir, berperasaan, dan bertindak secara utuh.


Footnotes

[1]                Johan H. Bavinck, Filsafat dan Pendidikan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 15.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–24.

[3]                Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 7–10.

[4]                Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), 45–48.

[5]                John Dewey, Moral Principles in Education (Boston: Houghton Mifflin, 1909), 13–15.

[6]                Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), 65–67.


4.           Aliran-aliran Filsafat Pendidikan

Dalam sejarah pemikiran pendidikan, berbagai aliran filsafat telah memberikan pengaruh besar terhadap cara pandang, tujuan, dan praktik pendidikan. Setiap aliran membawa asumsi filosofis yang khas mengenai hakikat manusia, sumber pengetahuan, dan nilai-nilai yang patut ditanamkan melalui proses pendidikan. Dengan memahami aliran-aliran ini, para pendidik dan pembuat kebijakan dapat menyusun pendekatan pendidikan yang lebih bijak, kontekstual, dan berorientasi pada pengembangan manusia seutuhnya.

4.1.       Idealism (Idealisme)

Idealisme adalah aliran filsafat yang menekankan bahwa realitas tertinggi adalah ide atau bentuk yang bersifat spiritual dan rasional. Dalam konteks pendidikan, idealisme berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi intelektual dan moral peserta didik melalui penanaman nilai-nilai universal dan abadi seperti kebaikan, kebenaran, dan keindahan.⁽¹⁾

Tokoh utama dalam idealisme adalah Plato, yang memandang pendidikan sebagai proses “mengingat kembali” (anamnesis) bentuk-bentuk ideal yang telah ada dalam jiwa manusia. Dalam The Republic, Plato menekankan pentingnya pendidikan dalam membimbing jiwa menuju pengetahuan sejati dan kehidupan yang adil.⁽²⁾ Guru dalam pandangan ini berperan sebagai fasilitator dalam membawa siswa memahami kebenaran yang bersifat ideal dan absolut.

4.2.       Realism (Realisme)

Realisme berpendapat bahwa realitas bersifat objektif dan dapat dikenali melalui akal dan pengalaman inderawi. Dalam pendidikan, realisme menekankan perlunya penguasaan ilmu pengetahuan dan fakta-fakta objektif yang dapat diverifikasi secara empiris.⁽³⁾

Aristoteles adalah tokoh utama dalam aliran ini, yang menganggap bahwa pendidikan harus sesuai dengan kodrat dan tujuan akhir manusia (telos). Ia menekankan pentingnya logika, pengamatan alam, dan pendidikan moral sebagai bagian integral dari pembentukan manusia bijak.⁽⁴⁾ Pendidikan realis sering kali menekankan kurikulum berbasis mata pelajaran dan sistematika ilmiah.

4.3.       Pragmatism (Pragmatisme)

Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang menekankan bahwa kebenaran bersifat relatif dan ditentukan oleh manfaat praktis dalam pengalaman manusia. Pendidikan dalam pandangan ini adalah proses yang dinamis, eksperimental, dan berpusat pada peserta didik.⁽⁵⁾

John Dewey, filsuf pragmatis terkemuka, menegaskan bahwa pendidikan adalah rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus, dan sekolah harus menjadi miniatur masyarakat demokratis.⁽⁶⁾ Metode pembelajaran aktif, berbasis proyek, dan pemecahan masalah merupakan ciri khas dari pendidikan pragmatis. Guru berperan sebagai pembimbing dalam proses belajar yang berpusat pada pengalaman siswa.

4.4.       Existentialism (Eksistensialisme)

Eksistensialisme menekankan kebebasan individu, tanggung jawab pribadi, dan pencarian makna hidup. Pendidikan menurut aliran ini harus membebaskan siswa untuk menemukan jati diri dan mengembangkan keunikan masing-masing.⁽⁷⁾

Tokoh seperti Jean-Paul Sartre dan Paulo Freire mengkritik sistem pendidikan yang menindas dan menyeragamkan manusia. Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menyebut pendidikan konvensional sebagai banking system, di mana siswa diposisikan pasif. Ia menawarkan pendidikan dialogis yang membebaskan dan membangkitkan kesadaran kritis.⁽⁸⁾

4.5.       Perennialism dan Essentialism

Dua aliran ini muncul sebagai respons terhadap pragmatisme yang dianggap terlalu fleksibel.

·                     Perennialism menekankan pentingnya pendidikan klasik dan nilai-nilai abadi. Tokoh seperti Robert Hutchins dan Mortimer Adler menekankan kurikulum berbasis “Great Books” dan pelatihan akal melalui logika dan dialektika.⁽⁹⁾

·                     Essentialism, sebagaimana dikembangkan oleh William C. Bagley, menekankan penguasaan keterampilan dasar, kedisiplinan, dan tanggung jawab. Pendidikan harus mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang terampil dan produktif.¹⁰

4.6.       Rekonstruksionisme Sosial

Aliran ini melihat pendidikan sebagai sarana untuk merekonstruksi masyarakat menuju keadilan sosial. Tokoh utamanya adalah Theodore Brameld, yang menekankan bahwa pendidikan harus menjadi kekuatan untuk mengubah tatanan sosial dan mengatasi ketimpangan.¹¹ Pendidikan harus kritis terhadap status quo dan berpihak pada kaum tertindas.

4.7.       Filsafat Pendidikan Islam

Filsafat pendidikan Islam memandang pendidikan sebagai proses penyucian jiwa dan pembentukan insan kamil. Pendidikan tidak hanya bertujuan duniawi, tetapi juga ukhrawi, dengan orientasi tauhid. Tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, dan Ibn Khaldun memberikan kontribusi besar dalam pengembangan teori pendidikan yang menyatukan akal dan wahyu.¹²

Dalam pandangan Al-Ghazali, pendidikan adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menyempurnakan akhlak. Sementara Ibnu Sina menekankan pentingnya tahapan perkembangan anak dan metode pengajaran yang sesuai dengan tingkat usia dan akal mereka.¹³


Footnotes

[1]                George F. Kneller, Foundations of Education (New York: John Wiley & Sons, 1971), 26.

[2]                Plato, The Republic, trans. Desmond Lee (London: Penguin Classics, 2007), 240–250.

[3]                William Frankena, Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1965), 51.

[4]                Aristoteles, Politics, trans. Ernest Barker (Oxford: Oxford University Press, 1995), 1337a–1340b.

[5]                Kneller, Foundations of Education, 49–51.

[6]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 76.

[7]                Rollo May, The Courage to Create (New York: Norton, 1975), 45–47.

[8]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 58–72.

[9]                Robert M. Hutchins, The Higher Learning in America (New Haven: Yale University Press, 1936), 87.

[10]             William C. Bagley, Education and Emergent Man (New York: Thomas Y. Crowell, 1934), 19.

[11]             Theodore Brameld, Education as Power (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1965), 74–76.

[12]             Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 8–10.

[13]             Ibrahim Basyuni, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah atas Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), 66–72.


5.           Perspektif Filsafat Timur dan Barat dalam Ilmu Pendidikan

Filsafat pendidikan tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan berkembang dalam konteks budaya dan peradaban yang khas. Oleh karena itu, membandingkan filsafat pendidikan Timur dan Barat menjadi penting untuk memahami keragaman pendekatan, nilai, dan tujuan pendidikan yang berkembang di berbagai belahan dunia. Meskipun keduanya memiliki titik temu dalam usaha memanusiakan manusia, namun terdapat perbedaan mendasar dalam landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang memengaruhi praktik pendidikan mereka.

5.1.       Filsafat Pendidikan Barat

Filsafat pendidikan Barat banyak dipengaruhi oleh tradisi filsafat Yunani, humanisme Renaisans, rasionalisme-modernisme, hingga postmodernisme. Aliran-aliran seperti idealisme, realisme, pragmatisme, eksistensialisme, dan rekonstruksionisme telah dibahas sebelumnya dan menjadi fondasi dalam pemikiran pendidikan Barat.

Ciri utama filsafat pendidikan Barat adalah penekanan pada rasionalitas, otonomi individu, dan penguasaan terhadap dunia empiris. Sejak masa Pencerahan (Enlightenment), pendidikan di Barat cenderung menekankan emansipasi manusia melalui akal dan ilmu pengetahuan.⁽¹⁾

Tokoh seperti Jean-Jacques Rousseau memandang pendidikan sebagai sarana pembebasan dan pembentukan manusia alamiah yang bebas dari dominasi sosial yang menindas. Dalam Émile, Rousseau menekankan bahwa pendidikan harus mengikuti perkembangan alamiah anak, bukan memaksakan nilai-nilai sosial yang kaku.⁽²⁾

Di era modern, John Dewey memandang pendidikan sebagai proses demokratis yang mengintegrasikan pengalaman dan refleksi. Ia percaya bahwa sekolah harus menjadi laboratorium sosial tempat anak belajar hidup dalam masyarakat.⁽³⁾

Namun demikian, pendekatan pendidikan Barat modern sering dikritik karena terlalu menekankan aspek kognitif dan instrumental, sehingga mengabaikan dimensi spiritual dan moral manusia. Kritik ini banyak datang dari para pemikir Timur dan dari kalangan postmodernis sendiri yang menyoroti kehilangan makna dalam sistem pendidikan modern.⁽⁴⁾

5.2.       Filsafat Pendidikan Timur

Sebaliknya, filsafat pendidikan Timur (seperti dalam tradisi Islam, Konfusianisme, Hindu-Buddha, dan Taoisme) lebih menekankan pada keseimbangan antara akal dan hati, harmoni antara manusia dan alam, serta keterikatan pada nilai-nilai spiritual dan etika. Pendidikan bukan hanya sarana mencapai pengetahuan, tetapi jalan menuju pembentukan karakter dan kesempurnaan diri.

Dalam tradisi Islam, pendidikan adalah proses tazkiyah (penyucian jiwa) dan ta'dib (pembentukan adab) yang bertujuan membentuk insan kamil. Filsafat pendidikan Islam memadukan wahyu dan akal sebagai sumber pengetahuan, dan menjadikan tauhid sebagai asas ontologis dan aksiologisnya.⁽⁵⁾ Al-Ghazali menekankan bahwa pendidikan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan ilmu harus membawa kepada amal saleh dan akhlak mulia.⁽⁶⁾

Dalam Konfusianisme, pendidikan dilihat sebagai sarana utama untuk membentuk kebajikan (ren) dan harmoni sosial. Guru sangat dihormati, dan proses belajar melibatkan disiplin moral yang tinggi. Pengetahuan dipandang sebagai alat untuk memperbaiki diri dan masyarakat, bukan sekadar untuk kemajuan individu.⁽⁷⁾

Tradisi Hindu-Buddha melihat pendidikan sebagai proses pencerahan diri dan pembebasan dari kebodohan (avidya). Tujuan akhir pendidikan adalah kesadaran spiritual tertinggi (moksha atau nirvana), dengan pendekatan kontemplatif, disiplin batin, dan praktik etika yang ketat.⁽⁸⁾

5.3.       Titik Temu dan Perbedaan

Meskipun berasal dari latar budaya dan historis yang berbeda, filsafat pendidikan Timur dan Barat memiliki tujuan kemanusiaan yang serupa, yakni pengembangan potensi manusia secara maksimal. Namun, pendekatannya berbeda:

·                     Filsafat pendidikan Barat menekankan emansipasi individu, kebebasan berpikir, dan metode ilmiah.

·                     Filsafat pendidikan Timur lebih menekankan pada keseimbangan spiritual, keterhubungan sosial, dan pembentukan moralitas.

Dalam konteks global saat ini, terjadi saling pengaruh antara keduanya. Pendidikan modern di Timur mengadopsi banyak aspek teknis dan metodologis dari Barat, namun masih mempertahankan nilai-nilai khas spiritual dan kultural. Sebaliknya, ada pula gelombang pemikiran di Barat yang mulai mencari kembali makna pendidikan melalui pendekatan spiritual dan etis dari Timur.

Melalui dialog antara kedua tradisi ini, pendidikan masa depan diharapkan dapat menjadi lebih holistik, inklusif, dan bermakna, tidak hanya memajukan ilmu dan teknologi, tetapi juga membentuk manusia yang bijak, bertanggung jawab, dan berakhlak.


Footnotes

[1]                Peter Gray, Free to Learn (New York: Basic Books, 2013), 34–36.

[2]                Jean-Jacques Rousseau, Émile, or On Education, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1979), 13–17.

[3]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 82–85.

[4]                Ziauddin Sardar, Postmodernism and the Other: The New Imperialism of Western Culture (London: Pluto Press, 1998), 102–104.

[5]                Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 1–15.

[6]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid I (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.), 36–40.

[7]                Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on Confucian Religiousness (Albany: SUNY Press, 1989), 44–46.

[8]                Radhakrishnan, Sarvepalli, Indian Philosophy, Vol. 1 (London: George Allen & Unwin, 1923), 89–91.


6.           Implikasi Filsafat terhadap Praktik Pendidikan

Filsafat tidak hanya menjadi pijakan teoritis dalam merumuskan konsep pendidikan, tetapi juga memberikan dampak nyata terhadap praktik pendidikan. Ia berfungsi sebagai penentu arah kebijakan, pembentuk visi pendidikan, serta penunjuk cara dalam pengelolaan kelas, relasi pendidik-peserta didik, perumusan kurikulum, dan strategi evaluasi. Ketika pendidikan dijalankan tanpa kerangka filsafat yang jelas, ia rentan menjadi sekadar aktivitas teknis tanpa orientasi kemanusiaan dan nilai.

6.1.       Penentuan Tujuan Pendidikan

Filsafat mendefinisikan tujuan akhir pendidikan berdasarkan pandangan tertentu tentang manusia dan masyarakat. Misalnya, dalam pandangan idealis, tujuan pendidikan adalah membentuk karakter dan moralitas yang luhur.⁽¹⁾ Sebaliknya, pragmatisme memandang tujuan pendidikan bersifat kontekstual dan berkembang seiring perubahan masyarakat.⁽²⁾ Dalam Islam, pendidikan bertujuan membentuk insan kamil yang berilmu, berakhlak, dan beriman.⁽³⁾

Oleh karena itu, kebijakan pendidikan yang tidak mempertimbangkan filsafat sebagai landasan normatif cenderung menargetkan keberhasilan kuantitatif (angka kelulusan, indeks prestasi, sertifikasi), namun gagal dalam membentuk manusia yang utuh dan beradab.

6.2.       Pengembangan Kurikulum

Implikasi lain yang signifikan dari filsafat terlihat pada perumusan kurikulum. Kurikulum yang idealis menekankan pada mata pelajaran klasik dan nilai-nilai moral abadi; realisme mengutamakan sains dan fakta objektif; pragmatisme mendorong kurikulum berbasis pengalaman dan pemecahan masalah; sedangkan eksistensialisme memberikan ruang bagi pilihan personal siswa dalam menentukan jalur pembelajarannya.⁽⁴⁾

Filsafat pendidikan Islam, misalnya, menekankan integrasi antara ilmu dunia dan ilmu agama, sehingga kurikulum tidak sekadar mengejar keahlian teknis, tetapi juga memperhatikan pembinaan spiritual dan etika.⁽⁵⁾ Dengan demikian, kurikulum menjadi alat untuk membentuk manusia seimbang secara intelektual dan spiritual.

6.3.       Peran dan Posisi Guru

Dalam kerangka filosofis, guru bukan hanya penyampai materi, melainkan pembimbing moral, inspirator, bahkan teladan hidup. Pandangan ini ditemukan dalam hampir semua aliran filsafat pendidikan. Plato menganggap guru sebagai pembebas jiwa dari kebodohan menuju kebenaran.⁽⁶⁾ Dewey melihat guru sebagai fasilitator pembelajaran aktif.⁽⁷⁾ Dalam Islam, guru dipandang sebagai murabbi, mu’allim, dan mudzakkir—yakni pendidik yang berperan membina secara menyeluruh, bukan hanya menyampaikan informasi.⁽⁸⁾

Konsep ini menuntut kualitas guru yang tidak hanya cerdas intelektual, tetapi juga kuat secara spiritual dan etis. Filsafat membantu membentuk kesadaran pendidik akan tanggung jawab moral dan sosial dalam tugas mendidik.

6.4.       Strategi dan Metode Pembelajaran

Pemilihan metode pembelajaran juga sangat ditentukan oleh landasan filosofis. Aliran behaviorisme cenderung menekankan pembelajaran stimulus-respons; kognitivisme mengembangkan strategi berbasis pemrosesan informasi; sementara humanisme dan eksistensialisme mendorong pendekatan partisipatif dan dialogis.⁽⁹⁾

Pendekatan pragmatis dan konstruktivis misalnya, mendorong pembelajaran aktif, kooperatif, dan berbasis masalah (problem-based learning) karena menekankan bahwa pengetahuan dibangun melalui interaksi dengan lingkungan.⁽¹⁰⁾ Sementara dalam pandangan Islam, metode pembelajaran mencakup hikmah (kebijaksanaan), mau’izhah hasanah (nasihat yang baik), dan mujadalah (dialog), sebagaimana dicontohkan dalam Al-Qur’an (QS. An-Nahl: 125).⁽¹¹⁾

6.5.       Evaluasi Pendidikan

Filsafat juga memengaruhi bagaimana evaluasi pembelajaran dilakukan. Evaluasi dalam paradigma behavioristik bersifat kuantitatif dan mengukur hasil akhir, sementara dalam paradigma humanistik atau eksistensialis, evaluasi lebih menekankan proses, refleksi diri, dan perubahan sikap.⁽¹²⁾

Dengan pendekatan filosofis yang tepat, evaluasi pendidikan dapat diarahkan untuk menilai keberhasilan dalam pembentukan kepribadian, pengembangan akal, dan penguatan nilai, bukan hanya penguasaan materi akademik.


Secara keseluruhan, pemahaman yang kuat terhadap dasar-dasar filsafat sangat menentukan kualitas praktik pendidikan. Ia menjadi penuntun dalam membuat keputusan pedagogis yang bernilai, bijak, dan manusiawi. Pendidikan tanpa fondasi filosofis akan mudah terombang-ambing oleh tren pragmatis, pasar, dan politik yang sering kali mengabaikan esensi dari mendidik itu sendiri—yakni memanusiakan manusia.


Footnotes

[1]                George F. Kneller, Foundations of Education (New York: John Wiley & Sons, 1971), 32–33.

[2]                John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 25–27.

[3]                Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 9–12.

[4]                William F. Pinar et al., Understanding Curriculum (New York: Peter Lang, 1995), 76–79.

[5]                M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 98–102.

[6]                Plato, The Republic, trans. Desmond Lee (London: Penguin Classics, 2007), 240–250.

[7]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 76–77.

[8]                Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), 58–60.

[9]                Peter Jarvis, Adult Education and Lifelong Learning (London: Routledge, 2004), 120.

[10]             David H. Jonassen, Learning to Solve Problems: An Instructional Design Guide (San Francisco: Pfeiffer, 2004), 15–17.

[11]             Al-Qur'an, Surah An-Nahl (16): 125.

[12]             Elliot W. Eisner, The Educational Imagination: On the Design and Evaluation of School Programs (New York: Macmillan, 1994), 183–185.


7.           Tantangan Kontemporer dalam Ilmu Pendidikan

Memasuki era globalisasi, digitalisasi, dan disrupsi teknologi, pendidikan menghadapi sejumlah tantangan baru yang kompleks dan multidimensional. Tantangan-tantangan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh dimensi filosofis—terutama terkait dengan pertanyaan ontologis tentang manusia, epistemologis tentang sumber dan bentuk pengetahuan, serta aksiologis mengenai nilai-nilai pendidikan. Dalam konteks inilah, pemikiran filsafat menjadi sangat relevan untuk memberikan orientasi dan kedalaman makna terhadap praktik pendidikan kontemporer.

7.1.       Krisis Makna Pendidikan

Salah satu tantangan terbesar adalah krisis makna pendidikan. Dalam banyak sistem pendidikan modern, pendidikan cenderung direduksi menjadi alat instrumental untuk mencapai tujuan ekonomi semata: pekerjaan, efisiensi, dan daya saing global. Hal ini mengakibatkan terpinggirkannya aspek-aspek esensial pendidikan seperti pembentukan karakter, nilai, dan kesadaran diri.⁽¹⁾

Ziauddin Sardar menyebut bahwa modernitas Barat telah memisahkan ilmu pengetahuan dari nilai dan moralitas, sehingga pendidikan kehilangan “jiwa” dan maknanya.⁽²⁾ Fenomena ini juga dikritik oleh Ivan Illich, yang mengungkapkan bahwa sistem sekolah formal justru sering kali menjauhkan manusia dari proses pembelajaran yang sejati dan alamiah.⁽³⁾

7.2.       Komersialisasi dan Industrialisasi Pendidikan

Pendidikan dewasa ini juga dihadapkan pada arus komersialisasi dan industrialisasi. Lembaga pendidikan banyak yang beroperasi layaknya korporasi: mengejar akreditasi, sertifikasi, dan peringkat internasional, sementara mengabaikan proses pendidikan sebagai proses pembentukan manusia.⁽⁴⁾

Pendekatan ini sering kali melahirkan budaya pendidikan yang transaksional, di mana siswa menjadi "konsumen" dan guru menjadi "penyedia jasa." Hal ini bertentangan dengan visi pendidikan filosofis yang menempatkan proses pembelajaran sebagai interaksi yang bermakna antara jiwa dan nilai-nilai kebenaran.⁽⁵⁾

7.3.       Fragmentasi Pengetahuan

Era digital mempercepat arus informasi, tetapi juga menyebabkan fragmentasi pengetahuan. Peserta didik dibanjiri informasi dari berbagai sumber tanpa kerangka konseptual yang utuh. Tanpa panduan filosofis, pengetahuan menjadi dangkal, utilitarian, dan tidak terintegrasi dengan nilai atau makna kehidupan.⁽⁶⁾

Neil Postman memperingatkan bahwa teknologi tanpa kebijaksanaan dapat menyebabkan “amnesia budaya”, di mana masyarakat kehilangan orientasi nilai dan akar historisnya.⁽⁷⁾ Oleh karena itu, pendidikan perlu kembali pada pendekatan filosofis yang menekankan integrasi pengetahuan dengan nilai dan tujuan hidup manusia.

7.4.       Dehumanisasi dalam Pendidikan Digital

Digitalisasi telah mengubah wajah pendidikan secara drastis. Meski teknologi menawarkan akses luas dan efisiensi, namun juga menimbulkan risiko dehumanisasi dalam proses pembelajaran. Interaksi virtual yang minim empati, ketergantungan pada mesin, dan hilangnya sentuhan personal antara guru dan murid menjadi tantangan serius.⁽⁸⁾

Sherry Turkle, dalam studinya tentang hubungan manusia dan teknologi, menunjukkan bahwa penggunaan perangkat digital secara berlebihan dapat melemahkan kemampuan berpikir mendalam, empati, dan keterhubungan sosial.⁽⁹⁾ Dalam konteks ini, pendekatan filsafat—terutama filsafat humanisme dan eksistensialisme—menjadi penting untuk menjaga substansi kemanusiaan dalam pendidikan digital.

7.5.       Krisis Etika dan Identitas Kultural

Globalisasi juga menimbulkan krisis etika dan identitas, terutama di kalangan generasi muda. Nilai-nilai lokal dan spiritual sering tergantikan oleh budaya instan, konsumerisme, dan relativisme moral.⁽¹⁰⁾ Pendidikan sering gagal memberikan fondasi etis yang kokoh karena terlalu berfokus pada keterampilan teknis.

Dalam menghadapi hal ini, filsafat pendidikan Islam dan Timur menawarkan kontribusi penting dalam membumikan kembali nilai-nilai kebajikan, etika profetik, dan keterhubungan dengan spiritualitas. Pendidikan harus tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga membijaksanakan.⁽¹¹⁾


Dalam menghadapi tantangan-tantangan kontemporer ini, filsafat pendidikan berfungsi sebagai kompas normatif dan reflektif. Ia membantu pendidik dan pembuat kebijakan untuk tidak sekadar mengejar efisiensi, tetapi juga mempertimbangkan makna, arah, dan nilai dari pendidikan itu sendiri. Tanpa refleksi filosofis, pendidikan modern berisiko kehilangan misinya sebagai proses pemanusiaan manusia. Sebaliknya, dengan filsafat sebagai fondasinya, pendidikan dapat menjadi jalan menuju kebijaksanaan dan transformasi sosial yang lebih adil dan beradab.


Footnotes

[1]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury, 2011), 33–35.

[2]                Ziauddin Sardar, Reclaiming Modernity: Beyond the Failed Dialogue of Modernity (London: Hurst, 2003), 52.

[3]                Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row, 1971), 7–10.

[4]                Stephen J. Ball, Education plc: Understanding Private Sector Participation in Public Sector Education (London: Routledge, 2007), 2–4.

[5]                Paulo Freire, Education for Critical Consciousness, trans. Myra Bergman Ramos (London: Continuum, 2005), 39–40.

[6]                Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (New York: W.W. Norton, 2010), 114–117.

[7]                Neil Postman, Technopoly: The Surrender of Culture to Technology (New York: Vintage Books, 1993), 71–73.

[8]                Tony Bates, Teaching in a Digital Age (Vancouver: BCcampus, 2015), 83–86.

[9]                Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 23–26.

[10]             Bauman, Zygmunt, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 76–78.

[11]             Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 121–123.


8.           Penutup

Filsafat memberikan landasan yang kokoh dan menyeluruh bagi pemahaman dan pengembangan ilmu pendidikan. Melalui pendekatan ontologis, filsafat membantu menjawab pertanyaan fundamental tentang hakikat manusia, subjek utama dalam proses pendidikan. Secara epistemologis, filsafat menuntun pada pemahaman yang lebih mendalam mengenai sumber dan validitas pengetahuan yang harus diajarkan, serta metode bagaimana pengetahuan itu diperoleh dan dikembangkan. Sedangkan dalam dimensi aksiologis, filsafat menjadi dasar normatif dalam menentukan nilai-nilai, etika, dan arah tujuan pendidikan.

Kajian terhadap berbagai aliran filsafat pendidikan seperti idealisme, realisme, pragmatisme, eksistensialisme, rekonstruksionisme, hingga filsafat pendidikan Islam dan Timur menunjukkan bahwa tidak ada satu pendekatan tunggal yang mampu mencakup seluruh kompleksitas pendidikan manusia. Sebaliknya, dibutuhkan sikap reflektif dan terbuka untuk memadukan berbagai pendekatan yang relevan dan kontekstual.

Dalam konteks tantangan kontemporer, seperti krisis makna pendidikan, komersialisasi, fragmentasi pengetahuan, dehumanisasi akibat digitalisasi, serta krisis nilai dan identitas, filsafat hadir sebagai instrumen kritis dan transformatif. Sebagaimana dinyatakan oleh Henry Giroux, pendidikan bukan sekadar institusi untuk mentransmisikan pengetahuan, tetapi medan perjuangan budaya dan politik yang harus dituntun oleh kesadaran etis dan keberpihakan pada kemanusiaan.¹

Oleh karena itu, filsafat pendidikan tidak boleh dipandang sebagai teori elitis yang jauh dari praktik, melainkan sebagai ruh yang menghidupkan proses pendidikan dalam seluruh dimensinya—baik dalam perencanaan kebijakan, pengembangan kurikulum, strategi pembelajaran, maupun dalam pembentukan karakter guru dan peserta didik.

Sebagaimana ditegaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, pendidikan pada hakikatnya adalah proses internalisasi adab—yakni penempatan sesuatu pada tempat yang tepat—melalui pengenalan terhadap kebenaran, keadilan, dan tanggung jawab.² Dengan filsafat, pendidikan dapat kembali menemukan maknanya sebagai jalan untuk membentuk manusia yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi juga arif, bijak, dan bermartabat.

Singkatnya, membangun pendidikan yang bermutu dan berkeadaban memerlukan kesadaran filosofis yang kuat. Tanpa filsafat, pendidikan berisiko kehilangan arah; sebaliknya, dengan filsafat sebagai fondasi, pendidikan akan mampu menjawab tantangan zaman, menumbuhkan nilai-nilai luhur, dan menjadi sarana transformasi manusia dan masyarakat ke arah yang lebih baik.


Footnotes

[1]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury, 2011), 18.

[2]                Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 13–15.


Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1991). The concept of education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of education. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Ghazali. (n.d.). Ihya’ ‘ulum al-din (Vol. 1). Beirut: Dar al-Fikr.

Arifin, M. (2009). Filsafat pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Aristotle. (1995). Politics (E. Barker, Trans.). Oxford: Oxford University Press. (Original work published ca. 350 B.C.E.)

Bagley, W. C. (1934). Education and emergent man. New York: Thomas Y. Crowell.

Ball, S. J. (2007). Education plc: Understanding private sector participation in public sector education. London: Routledge.

Basyuni, I. (2015). Filsafat pendidikan Islam: Telaah atas pemikiran pendidikan Ibnu Sina. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Bates, T. (2015). Teaching in a digital age. Vancouver: BCcampus.

Bavinck, J. H. (2003). Filsafat dan pendidikan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Cambridge: Polity Press.

Carr, N. (2010). The shallows: What the Internet is doing to our brains. New York: W. W. Norton.

Daradjat, Z. (2005). Ilmu pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Dewey, J. (1909). Moral principles in education. Boston: Houghton Mifflin.

Dewey, J. (1916). Democracy and education: An introduction to the philosophy of education. New York: Macmillan.

Dewey, J. (1938). Experience and education. New York: Macmillan.

Eisner, E. W. (1994). The educational imagination: On the design and evaluation of school programs (3rd ed.). New York: Macmillan.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). New York: Continuum. (Original work published 1970)

Freire, P. (2005). Education for critical consciousness (M. B. Ramos, Trans.). London: Continuum.

Giroux, H. A. (2011). On critical pedagogy. New York: Bloomsbury.

Gray, P. (2013). Free to learn. New York: Basic Books.

Hutchins, R. M. (1936). The higher learning in America. New Haven: Yale University Press.

Illich, I. (1971). Deschooling society. New York: Harper & Row.

Jarvis, P. (2004). Adult education and lifelong learning (3rd ed.). London: Routledge.

Jonassen, D. H. (2004). Learning to solve problems: An instructional design guide. San Francisco: Pfeiffer.

Kneller, G. F. (1971). Foundations of education. New York: John Wiley & Sons.

May, R. (1975). The courage to create. New York: W. W. Norton.

Pinar, W. F., Reynolds, W. M., Slattery, P., & Taubman, P. M. (1995). Understanding curriculum: An introduction to the study of historical and contemporary curriculum discourses. New York: Peter Lang.

Plato. (2007). The Republic (D. Lee, Trans.). London: Penguin Classics. (Original work published ca. 380 B.C.E.)

Postman, N. (1993). Technopoly: The surrender of culture to technology. New York: Vintage Books.

Radhakrishnan, S. (1923). Indian philosophy (Vol. 1). London: George Allen & Unwin.

Rousseau, J.-J. (1979). Émile, or on education (A. Bloom, Trans.). New York: Basic Books. (Original work published 1762)

Sardar, Z. (1998). Postmodernism and the other: The new imperialism of Western culture. London: Pluto Press.

Sardar, Z. (2003). Reclaiming modernity: Beyond the failed dialogue of modernity. London: Hurst.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). New Haven: Yale University Press. (Original work published 1946)

Tafsir, A. (2014). Filsafat pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tu, W. (1989). Centrality and commonality: An essay on Confucian religiousness. Albany: SUNY Press.

Turkle, S. (2015). Reclaiming conversation: The power of talk in a digital age. New York: Penguin Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar