Kamis, 05 Juni 2025

Pemikiran Hannah Arendt: Kekuasaan, Totalitarianisme, dan Kelahiran Politik Baru

Pemikiran Hannah Arendt

Kekuasaan, Totalitarianisme, dan Kelahiran Politik Baru


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran politik Hannah Arendt, seorang filsuf dan teoretikus politik abad ke-20 yang memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman kekuasaan, totalitarianisme, kebebasan, dan ruang publik. Berangkat dari latar historis dan biografi intelektual Arendt sebagai penyintas Holocaust dan pengamat tajam dinamika kekuasaan modern, artikel ini mengeksplorasi struktur utama pemikirannya, mulai dari distingsi antara kerja, karya, dan tindakan dalam The Human Condition, hingga konsep “banalitas kejahatan” dalam Eichmann in Jerusalem. Artikel ini juga membahas kontribusi Arendt terhadap teori hak asasi manusia, terutama melalui gagasannya tentang “hak untuk memiliki hak”, serta kritiknya terhadap tradisi filsafat Barat yang dianggap gagal memahami esensi politik sebagai tindakan kolektif dalam pluralitas. Dalam bagian perbandingan, pemikiran Arendt diposisikan secara kritis terhadap gagasan Carl Schmitt, Jürgen Habermas, dan Michel Foucault. Selain menyoroti warisan intelektual dan relevansinya dalam konteks kontemporer—termasuk krisis demokrasi, populisme otoriter, dan politik digital—artikel ini juga menelaah berbagai kritik dan kontroversi yang muncul dari pembacaan terhadap karya-karyanya. Dengan pendekatan multidisipliner dan reflektif, artikel ini menegaskan bahwa Arendt menawarkan paradigma politik alternatif yang menekankan tanggung jawab, kebebasan, dan keberanian untuk bertindak dalam dunia bersama.

Kata Kunci: Hannah Arendt; totalitarianisme; ruang publik; kebebasan politik; banalitas kejahatan; hak asasi manusia; natalitas; tindakan; demokrasi; filsafat politik kontemporer.


PEMBAHASAN

Kajian Komprehensif atas Pemikiran Hannah Arendt


1.           Pendahuluan

Pemikiran Hannah Arendt (1906–1975) menempati posisi unik dan sentral dalam lanskap filsafat politik modern. Sebagai seorang filsuf kelahiran Jerman berdarah Yahudi yang mengalami langsung dampak tragis dari rezim totalitarianisme Nazi, Arendt tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga perumus analisis kritis atas fenomena kekuasaan politik dalam peradaban modern. Karya-karyanya menanggapi bukan sekadar problem teori, melainkan realitas konkret dari kehancuran politik, keruntuhan institusi, dan dehumanisasi sistematis yang terjadi pada abad ke-20.

Arendt dikenal luas melalui karya monumentalnya The Origins of Totalitarianism (1951), di mana ia membongkar akar-akar ideologis dan sosial dari sistem totaliter seperti Nazisme dan Stalinisme. Berbeda dengan pendekatan deterministik atau strukturalistik dalam ilmu politik, Arendt menawarkan suatu pendekatan historis-filosofis yang berangkat dari pemahaman akan “kondisi manusia” dan sifat eksistensial kebebasan politik. Ia membedakan secara tajam antara bentuk kekuasaan yang muncul dari tindakan bersama dalam ruang publik—yang disebutnya sebagai power—dan bentuk-bentuk dominasi koersif seperti violence, authority, dan force yang cenderung mengikis kapasitas manusia untuk bertindak secara bebas dan setara.¹

Selain itu, karya-karya seperti The Human Condition (1958) dan On Revolution (1963) menunjukkan kecenderungan Arendt untuk merehabilitasi makna asli politik sebagai ruang tindakan, wacana, dan pluralitas manusia. Ia menolak reduksi politik menjadi administrasi teknokratis atau ideologi tertutup, dan justru menekankan pentingnya kelahiran kembali ruang publik melalui partisipasi aktif warga negara. Dalam konteks inilah, Arendt mengembangkan pemikiran tentang “natalitas” (kebaruan manusia yang lahir ke dunia) sebagai fondasi politik, yang menjadikannya berbeda dari banyak filsuf politik lainnya seperti Hobbes, Rousseau, maupun Marx.²

Apa yang membuat pemikiran Arendt relevan hingga kini adalah keberaniannya untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dasar dalam filsafat politik Barat dan membangun suatu pandangan alternatif yang menempatkan kebebasan, tanggung jawab, dan pluralitas sebagai inti kehidupan politik. Ia bukanlah pemikir sistematik yang menghasilkan teori normatif tertutup, melainkan seorang penanya radikal yang menggunakan narasi, sejarah, dan fenomenologi untuk menjelaskan krisis dunia modern.³ Dalam era kontemporer yang kembali dibayangi oleh populisme otoriter, polarisasi politik, dan krisis representasi demokrasi, pemikiran Arendt menjadi semakin penting sebagai sumber refleksi dan kritik.

Artikel ini akan mengupas secara komprehensif pemikiran Hannah Arendt dengan menyoroti tiga poros utama dalam karyanya: konsep kekuasaan dan tindakan politik, analisis atas totalitarianisme dan banalitas kejahatan, serta gagasannya tentang ruang publik dan kelahiran politik baru. Pendekatan ini tidak hanya bertujuan untuk menguraikan sistem gagasannya, tetapi juga untuk menilai relevansinya dalam konteks tantangan demokrasi dan kemanusiaan masa kini.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 201–203.

[2]                Hannah Arendt, On Revolution (New York: Viking Press, 1963), 13–18; lihat juga Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 105–110.

[3]                Seyla Benhabib, The Reluctant Modernism of Hannah Arendt (Lanham: Rowman & Littlefield, 2003), 27–29.


2.           Biografi Intelektual dan Konteks Historis

Hannah Arendt lahir pada 14 Oktober 1906 di Linden, dekat Hannover, Jerman, dalam keluarga Yahudi sekuler. Ia dibesarkan di Königsberg—kota asal Kant—dalam tradisi pemikiran yang kental dengan rasionalitas dan etika filsafat Jerman. Sejak muda, Arendt menunjukkan ketertarikan pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan politik, yang kelak mewarnai arah hidup dan pemikirannya.¹

Pada tahun 1924, Arendt melanjutkan studi filsafat di Marburg di bawah bimbingan Martin Heidegger, yang bukan hanya menjadi guru spiritualnya, tetapi juga menjalin hubungan personal yang kompleks dengannya.² Meskipun kemudian ia mengkritik keras kolaborasi Heidegger dengan Nazi, pengaruh fenomenologi Heidegger tetap tertanam dalam gaya berpikir Arendt, terutama dalam penekanannya pada pengalaman langsung, bahasa tindakan, dan ontologi manusia sebagai makhluk yang “ada-di-dunia” (being-in-the-world).³ Setelah meninggalkan Marburg, ia melanjutkan studi dengan Karl Jaspers di Heidelberg, yang menjadi mentor intelektual penting dan memperkenalkan Arendt pada metode berpikir eksistensial dan etika tanggung jawab.⁴

Kehidupan Arendt mengalami pergeseran radikal setelah bangkitnya kekuasaan Nazi. Sebagai Yahudi, ia ditangkap pada tahun 1933 oleh Gestapo karena melakukan riset tentang propaganda antisemit, lalu melarikan diri ke Paris dan kemudian ke Amerika Serikat pada tahun 1941.⁵ Masa pelarian ini bukan hanya menjadi pengalaman eksistensial sebagai pengungsi dan orang “tanpa negara”, tetapi juga menjadi fondasi bagi refleksinya tentang apatrid, kehilangan kewarganegaraan, dan “hak untuk memiliki hak” (the right to have rights), yang kelak menjadi bagian penting dalam pemikirannya.⁶

Setelah menetap di New York, Arendt terlibat aktif dalam komunitas intelektual diaspora Eropa, bekerja sebagai editor, pengajar, dan penulis. Ia memperoleh kewarganegaraan Amerika Serikat pada tahun 1951—tahun yang sama dengan terbitnya The Origins of Totalitarianism. Pengalaman hidup dalam diaspora, keterasingan, dan ketegangan antara identitas Yahudi dan Barat sangat membentuk lensa kritis Arendt terhadap nasionalisme, ideologi, dan homogenisasi kekuasaan.⁷

Arendt bukanlah seorang akademisi dalam pengertian konvensional. Ia menolak kategorisasi sebagai “filsuf” dan lebih memilih menyebut dirinya sebagai “teoretikus politik,” karena menurutnya filsafat tradisional cenderung memisahkan diri dari dunia konkret dan pengalaman politik manusia.⁸ Meskipun demikian, ia tetap berkontribusi besar di dunia akademik, mengajar di institusi-institusi terkemuka seperti The New School for Social Research, Princeton University, dan University of Chicago.

Latar historis abad ke-20—terutama kemunculan totalitarianisme, kehancuran Eropa, Holocaust, dan Perang Dingin—membentuk tidak hanya konteks pemikiran Arendt, tetapi juga orientasi moral dan intelektualnya. Karya-karyanya tidak dapat dipisahkan dari semangat zaman yang mengguncang tatanan politik modern, menghapus kepastian, dan memunculkan kembali pertanyaan mendasar tentang kebebasan, kekuasaan, tanggung jawab, dan kemanusiaan.

Dengan demikian, biografi intelektual Hannah Arendt mencerminkan perpaduan antara pengalaman eksistensial sebagai penyintas dan pengungsi, dengan kapasitas reflektif seorang pemikir yang melihat krisis modern bukan semata sebagai kesalahan sistem, melainkan sebagai gejala hilangnya pemahaman atas hakikat politik dan eksistensi manusia sebagai makhluk yang bertindak, berbicara, dan hidup bersama dalam keberagaman.


Footnotes

[1]                Elisabeth Young-Bruehl, Hannah Arendt: For Love of the World (New Haven: Yale University Press, 1982), 3–10.

[2]                Richard Wolin, Heidegger’s Children: Hannah Arendt, Karl Löwith, Hans Jonas, and Herbert Marcuse (Princeton: Princeton University Press, 2001), 29–34.

[3]                Dana R. Villa, Arendt and Heidegger: The Fate of the Political (Princeton: Princeton University Press, 1995), 44–46.

[4]                Seyla Benhabib, The Reluctant Modernism of Hannah Arendt (Lanham: Rowman & Littlefield, 2003), 35–39.

[5]                Young-Bruehl, Hannah Arendt, 105–109.

[6]                Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, Brace, 1951), 296–297.

[7]                Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 15–18.

[8]                Arendt, Between Past and Future (New York: Viking Press, 1961), 4.


3.           Landasan Konseptual: Filsafat Politik Arendt

Filsafat politik Hannah Arendt berdiri pada fondasi yang unik dan berbeda dari aliran utama teori politik modern. Tidak seperti filsuf politik konvensional yang sering membangun sistem normatif atau teori institusional, Arendt mengembangkan pemikirannya berdasarkan pendekatan fenomenologis, historis, dan naratif, yang menempatkan pengalaman konkret manusia dalam dunia bersama sebagai pusat refleksi politik.¹ Inti dari pemikiran Arendt bukanlah soal negara, hukum, atau kekuasaan formal semata, tetapi tentang bagaimana manusia hidup secara bersama dalam ruang publik sebagai makhluk yang mampu bertindak (to act), berbicara (to speak), dan memulai sesuatu yang baru (to begin anew)

3.1.       Tiga Aktivitas Dasar dalam Kondisi Manusia: Labor, Work, dan Action

Dalam karya The Human Condition (1958), Arendt membedakan secara konseptual tiga aktivitas dasar manusia: labor, work, dan action (vita activa).³

·                     Labor adalah aktivitas biologis dasar yang berkaitan dengan kelangsungan hidup (makan, tidur, reproduksi), bersifat siklik, dan tidak menghasilkan dunia yang abadi.

·                     Work adalah proses produksi benda buatan manusia seperti alat, bangunan, dan institusi, yang memberi stabilitas dan keberlangsungan pada dunia buatan (the world of things).

·                     Action, menurut Arendt, adalah bentuk tertinggi dari kehidupan aktif, yaitu ketika manusia bertindak dan berbicara dalam kebersamaan dengan orang lain, menciptakan sesuatu yang baru dan tak terduga melalui interaksi bebas di ruang publik.⁴

Konsep ini menandai kritik Arendt terhadap reduksi politik menjadi soal administrasi atau kekuasaan represif. Bagi Arendt, politik sejati terjadi ketika manusia bebas bertindak dalam ruang pluralitas, bukan sekadar tunduk pada hukum atau menjadi objek regulasi negara.⁵

3.2.       Ruang Publik dan Pluralitas sebagai Inti Politik

Dua ide sentral yang membentuk teori politik Arendt adalah ruang publik (public realm) dan pluralitas (plurality). Pluralitas bukan sekadar fakta sosiologis bahwa manusia berbeda-beda, melainkan merupakan syarat eksistensial dari politik itu sendiri.⁶ Setiap tindakan politik bermakna karena dilakukan di hadapan orang lain, dalam ruang yang memungkinkan pengakuan, perdebatan, dan inisiasi.

Dalam pandangan Arendt, politik adalah aktivitas tanpa tujuan eksternal—ia merupakan nilai itu sendiri, karena memungkinkan kelahiran dan ekspresi identitas manusia yang unik dalam kebersamaan.⁷ Hal ini membedakannya dari tradisi filsafat politik klasik (Plato, Hobbes, Rousseau) yang cenderung melihat politik sebagai sarana untuk mencapai ketertiban, kebaikan umum, atau kontrak sosial.

3.3.       Kritik terhadap Tradisi Filosofis Barat

Salah satu kontribusi radikal Arendt adalah kritiknya terhadap tradisi filsafat Barat yang, menurutnya, cenderung memusuhi politik. Dimulai dari Plato yang mengidealkan bentuk tetap (eidos) dan mencurigai dinamika polis yang penuh ketidakpastian, Arendt menunjukkan bagaimana filsafat sering kali ingin menggantikan ruang tindakan politik dengan pemerintahan para “ahli”.⁸ Pandangan ini ia kritik dalam esainya What Is Authority? dan Truth and Politics, di mana ia menunjukkan bahaya ketika kebenaran absolut atau teknokrasi mencoba menggantikan diskursus publik yang plural dan terbuka.⁹

3.4.       Tindakan dan Natalitas: Politik sebagai Kelahiran Baru

Berbeda dari determinisme historis atau strukturalisme ideologis, Arendt memperkenalkan konsep “natalitas” (natality), yaitu kapasitas manusia untuk memulai yang baru. Konsep ini bukan hanya biologis, tetapi eksistensial dan politis: manusia adalah makhluk yang lahir untuk memulai sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.¹⁰ Dalam tindakan politik, potensi natalitas ini mewujud sebagai kebebasan untuk mencipta, memulai, dan membentuk dunia bersama. Dengan demikian, politik adalah ruang di mana kebaruan dan harapan muncul, bukan sekadar pelestarian tatanan yang sudah ada.


Kesimpulan Subbab

Filsafat politik Arendt adalah upaya untuk merehabilitasi politik sebagai ruang kebebasan, tindakan, dan keberagaman manusia. Dalam dunia modern yang cenderung mendesain politik sebagai dominasi teknokratis atau identitas homogen, Arendt menawarkan alternatif yang mengakar pada pengalaman eksistensial manusia sebagai makhluk yang berbicara dan bertindak dalam kebersamaan. Pendekatan ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga menyentuh inti dari tantangan politik kontemporer: bagaimana menciptakan ruang publik yang benar-benar memungkinkan pluralitas, partisipasi, dan kelahiran politik baru.


Footnotes

[1]                Seyla Benhabib, The Reluctant Modernism of Hannah Arendt (Lanham: Rowman & Littlefield, 2003), 41.

[2]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 7–11.

[3]                Ibid., 79–135.

[4]                Ibid., 176–180.

[5]                Dana R. Villa, Arendt and Modernity: Politics and the Public Realm (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 23–24.

[6]                Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 38–40.

[7]                Arendt, The Human Condition, 199.

[8]                Arendt, Between Past and Future (New York: Viking Press, 1961), 93–119.

[9]                Hannah Arendt, “Truth and Politics,” in Between Past and Future, 227–264.

[10]             Arendt, The Human Condition, 247–248.


4.           Totalitarianisme dan Analisis Kekuasaan

Salah satu kontribusi terbesar Hannah Arendt dalam filsafat politik adalah analisisnya yang mendalam mengenai totalitarianisme dan bentuk-bentuk kekuasaan modern yang melampaui logika kekuasaan tradisional. Karya klasiknya, The Origins of Totalitarianism (1951), ditulis tidak hanya sebagai tanggapan intelektual terhadap kebangkitan Nazisme dan Stalinisme, tetapi juga sebagai peringatan atas munculnya bentuk kekuasaan baru yang bersifat radikal, total, dan merusak substansi politik serta kemanusiaan

4.1.       Totalitarianisme: Bukan Diktatur Biasa

Arendt secara tegas membedakan totalitarianisme dari bentuk-bentuk kekuasaan otoriter atau diktator tradisional. Dalam pandangannya, sistem totalitarian bukan hanya menindas kebebasan politik, tetapi berupaya menghapuskan seluruh struktur sosial-politik yang otonom dan menggantikannya dengan kontrol ideologis total atas kehidupan manusia, dari ruang publik hingga kesadaran individu.²

Ciri khas totalitarianisme adalah:

·                     Dominasi ideologi tunggal yang mengklaim kebenaran absolut dan menghapus pluralitas pandangan.

·                     Penggunaan teror sebagai instrumen kekuasaan, bukan semata sebagai sarana represi politik, melainkan sebagai cara untuk menciptakan isolasi sosial dan penghancuran spontanitas manusia.

·                     Penghapusan batas antara ruang publik dan privat, sehingga tidak ada lagi tempat berlindung dari pengawasan dan pengontrolan kekuasaan.³

Dalam menganalisis dua rezim totalitarian utama abad ke-20—Nazi Jerman dan Uni Soviet di bawah Stalin—Arendt mengamati bagaimana kekuasaan tidak hanya dijalankan oleh aparat negara, tetapi juga dilembagakan melalui birokrasi yang impersonal, kamp-kamp konsentrasi, dan sistem propaganda masif yang membentuk kesadaran masyarakat secara sistematis.⁴

4.2.       Ideologi dan Atomisasi: Sumber Kekuasaan Total

Arendt menunjukkan bahwa totalitarianisme tumbuh subur di tengah keruntuhan tatanan sosial dan politik tradisional, terutama setelah Perang Dunia I. Masyarakat massa yang teratomisasi, kehilangan ikatan komunitas dan orientasi politik, menjadi ladang subur bagi ideologi total yang menawarkan “kebulatan kebenaran” dan kepastian sejarah.⁵

Dalam totalitarianisme, ideologi menjadi mesin logika internal yang “menghapus realitas” dan menggantinya dengan konstruksi dunia yang absolut, misalnya mitos ras Arya dalam Nazisme atau sejarah kelas dalam Stalinisme. Kebenaran bukan lagi hasil dari diskursus rasional atau pengalaman kolektif, melainkan hasil dari deduksi ideologis yang tidak dapat digugat.⁶

Arendt menggarisbawahi bahwa teror dan ideologi berjalan bersama: teror menghancurkan kapasitas individu untuk bertindak dan berpikir, sementara ideologi menggantikan realitas dengan narasi tunggal yang tertutup.

4.3.       Banalitas Kejahatan dan Kritik atas Moralitas Modern

Dalam Eichmann in Jerusalem (1963), Arendt memperkenalkan konsep kontroversial: “banalitas kejahatan” (banality of evil). Karya ini merupakan laporan reflektifnya terhadap persidangan Adolf Eichmann, seorang birokrat Nazi yang berperan besar dalam pelaksanaan Holocaust.⁷

Menurut Arendt, Eichmann bukanlah monster ideologis, melainkan seorang pegawai biasa yang tidak mampu berpikir secara moral, hanya menjalankan tugas administratif tanpa refleksi etis. Ia tidak digerakkan oleh kebencian mendalam, tetapi oleh kepatuhan, ambisi kecil, dan ketidakmampuan berpikir kritis atas konsekuensi tindakannya.

Gagasan ini mengguncang banyak pihak, karena menunjukkan bahwa kejahatan besar bisa dilakukan bukan oleh psikopat, melainkan oleh orang biasa yang kehilangan kapasitas berpikir dan bertanggung jawab.⁸ Dengan demikian, Arendt menggeser perdebatan dari kejahatan sebagai hasil niat jahat individual, menjadi kejahatan sebagai akibat dari sistem yang menumpulkan otonomi moral manusia.

4.4.       Arendt dan Distingsi Kekuasaan: Power vs. Violence

Arendt membedakan secara tegas antara kekuasaan (power) dan kekerasan (violence). Dalam On Violence (1970), ia menegaskan bahwa kekuasaan sejati berasal dari tindakan kolektif dan legitimasi yang timbul dari konsensus masyarakat, sedangkan kekerasan adalah instrumen yang digunakan ketika kekuasaan telah kehilangan legitimasi.⁹

Dalam rezim totalitarian, kekerasan dan teror menggantikan kekuasaan karena tidak lagi ada ruang bagi tindakan bersama. Totalitarianisme, menurut Arendt, justru menandai matinya politik—karena politik, dalam esensi Arendtian, adalah ruang pluralitas dan kebebasan.¹⁰


Kesimpulan Subbab

Analisis Arendt tentang totalitarianisme tidak hanya menyumbang kerangka teoretis untuk memahami horor politik abad ke-20, tetapi juga memperingatkan bahaya ketika masyarakat kehilangan pluralitas, ruang publik, dan kapasitas untuk berpikir serta bertindak secara moral. Kritiknya terhadap ideologi, birokrasi, dan kekerasan modern tetap relevan untuk membaca gejala-gejala kontemporer, termasuk munculnya otoritarianisme baru, dehumanisasi teknologi, dan krisis tanggung jawab politik dalam masyarakat global.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, Brace, 1951), xi–xii.

[2]                Ibid., 460–466.

[3]                Ibid., 324–327.

[4]                Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 22–26.

[5]                Arendt, Origins, 305–313.

[6]                Seyla Benhabib, The Reluctant Modernism of Hannah Arendt (Lanham: Rowman & Littlefield, 2003), 85–88.

[7]                Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963), 276–277.

[8]                Elisabeth Young-Bruehl, Hannah Arendt: For Love of the World (New Haven: Yale University Press, 1982), 362–364.

[9]                Hannah Arendt, On Violence (New York: Harcourt, Brace, 1970), 44–56.

[10]             Dana R. Villa, Arendt and Modernity (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 77–80.


5.           Pandangan Arendt tentang Politik, Kebebasan, dan Revolusi

Bagi Hannah Arendt, politik bukan sekadar ruang kekuasaan atau administrasi negara, tetapi pengalaman eksistensial manusia dalam kebersamaan, di mana individu tampil secara publik melalui tindakan dan wacana. Dalam pemikirannya, politik, kebebasan, dan revolusi adalah tiga gagasan yang saling terhubung erat, membentuk inti dari kemungkinan kehidupan bersama yang otentik dan bermartabat dalam dunia modern.

5.1.       Politik sebagai Ruang Aksi dan Kebersamaan

Arendt mendefinisikan politik secara substantif sebagai ruang di mana manusia bertindak dan berbicara di hadapan orang lain, dengan tujuan menciptakan dunia bersama yang plural dan terbuka.¹ Dalam The Human Condition, ia menekankan bahwa tindakan politik bukanlah sarana untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi merupakan ekspresi dari kebebasan yang inheren dalam kapasitas manusia untuk memulai sesuatu yang baru (natality).²

Politik sejati, menurut Arendt, hanya mungkin terwujud dalam kondisi pluralitas, yaitu pengakuan bahwa setiap manusia adalah unik, berbeda, dan setara dalam hak untuk berbicara dan bertindak. Oleh karena itu, politik menuntut kehadiran ruang publik yang memungkinkan interaksi bebas antar individu, bukan dominasi kekuasaan atau dogma ideologis.³

5.2.       Kebebasan: Bukan Sekadar Otonomi Pribadi

Konsep kebebasan dalam pemikiran Arendt sangat berbeda dari pengertian liberal klasik tentang kebebasan sebagai otonomi individu atau ketiadaan paksaan. Bagi Arendt, kebebasan adalah pengalaman aktif berada di tengah orang lain, di mana manusia dapat memulai sesuatu yang baru dan tak terduga melalui tindakan politik.⁴

Dalam Between Past and Future, Arendt menulis bahwa kebebasan hanya mungkin ada dalam suatu ruang yang menjamin pluralitas dan komunikasi, bukan dalam isolasi atau pelarian dari dunia.⁵ Dengan demikian, kebebasan dan politik tidak dapat dipisahkan: politik adalah ruang aktualisasi kebebasan, dan sebaliknya, kebebasan hanya memiliki makna sejati dalam konteks politik.

5.3.       Revolusi sebagai Momen Kelahiran Politik Baru

Dalam karya On Revolution (1963), Arendt mengkaji dua revolusi besar modern: Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika. Ia menilai bahwa Revolusi Amerika lebih berhasil mewujudkan kebebasan politik, karena tidak semata-mata diarahkan untuk memenuhi kebutuhan sosial (seperti kemiskinan atau ketidaksetaraan), tetapi menciptakan struktur kelembagaan yang memungkinkan kebebasan warga untuk terus berpartisipasi dalam urusan publik.⁶

Sebaliknya, Revolusi Prancis, menurut Arendt, gagal mempertahankan semangat politik karena terlalu dikuasai oleh tekanan sosial dan penderitaan rakyat, sehingga menjadikan kekuasaan sebagai alat pemenuhan kebutuhan biologis daripada ruang pembentukan dunia bersama.⁷ Kritik ini mencerminkan konsistensinya dalam membedakan antara “kehidupan politik” (vita activa) dengan “kehidupan biologis” (zoe)—suatu ketegangan yang relevan dalam membaca politik kontemporer yang sering kali tereduksi menjadi soal distribusi atau manajemen populasi.

Arendt memandang revolusi bukan sebagai akhir dari sejarah, tetapi sebagai permulaan dari kemungkinan dunia baru. Maka, aspek terpenting dari revolusi bukanlah kekerasannya, melainkan tindakan bersama yang melahirkan struktur kebebasan, seperti konstitusi, forum publik, dan asosiasi warga.⁸

5.4.       Partisipasi Politik dan Dewan Rakyat (Councils)

Arendt sangat tertarik pada bentuk-bentuk demokrasi partisipatif yang muncul spontan selama momen-momen revolusioner, seperti “dewan rakyat” (councils) dalam Revolusi Hongaria 1956 atau pada awal Revolusi Prancis. Ia melihat dalam bentuk ini semacam arsitek politik ideal, di mana rakyat secara langsung terlibat dalam pengambilan keputusan dan menciptakan ruang politik yang otonom.⁹

Meskipun model ini sering gagal bertahan, Arendt percaya bahwa semangat partisipatif dan pengorganisasian mandiri adalah esensi dari kebebasan politik yang sejati, lebih daripada representasi parlementer atau birokrasi negara.


Kesimpulan Subbab

Pemikiran Arendt tentang politik, kebebasan, dan revolusi menawarkan suatu paradigma politik yang menekankan tindakan kolektif, pluralitas, dan kebaruan, daripada ketaatan pada struktur atau ideologi. Dalam dunia yang terus menghadapi ancaman otoritarianisme, teknokrasi, dan apatisme warga, gagasan Arendt tetap relevan sebagai panggilan untuk menghidupkan kembali ruang publik sebagai tempat di mana kebebasan manusia mewujud bukan dalam kesendirian, tetapi dalam kebersamaan yang dinamis.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 176–180.

[2]                Ibid., 247–248.

[3]                Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 36–40.

[4]                Seyla Benhabib, The Reluctant Modernism of Hannah Arendt (Lanham: Rowman & Littlefield, 2003), 93–96.

[5]                Hannah Arendt, Between Past and Future (New York: Viking Press, 1961), 143–145.

[6]                Hannah Arendt, On Revolution (New York: Viking Press, 1963), 20–25.

[7]                Ibid., 53–57.

[8]                Arendt, On Revolution, 117–119.

[9]                Elisabeth Young-Bruehl, Hannah Arendt: For Love of the World (New Haven: Yale University Press, 1982), 368–372.


6.           Pemikiran Arendt tentang Hak Asasi Manusia dan Kewarganegaraan

Dalam diskursus filsafat politik kontemporer, kontribusi Hannah Arendt terhadap gagasan hak asasi manusia dan kewarganegaraan menempati posisi yang khas dan kritis. Tidak seperti pemikir liberal yang menekankan hak-hak individual sebagai kodrat universal manusia, Arendt menyoroti paradoks mendasar dari konsep hak asasi manusia dalam konteks politik modern, terutama melalui pengalamannya sebagai pengungsi dan apatrid (stateless person) setelah melarikan diri dari rezim Nazi.

6.1.       “Hak untuk Memiliki Hak” (the right to have rights)

Dalam The Origins of Totalitarianism, Arendt mengajukan kritik fundamental terhadap pemahaman konvensional tentang hak asasi manusia. Ia menyatakan bahwa ketika seseorang kehilangan keanggotaannya dalam suatu komunitas politik—ketika seseorang menjadi apatrid—maka seluruh hak-haknya, termasuk hak-hak yang dianggap “alami” atau “universal”, menjadi tidak berlaku secara efektif.¹ Oleh karena itu, baginya, satu-satunya hak yang benar-benar mendasar adalah “hak untuk memiliki hak”—yaitu hak untuk menjadi bagian dari suatu komunitas politik yang menjamin dan menegakkan hak-hak lainnya.²

Pernyataan ini mengandung implikasi mendalam: hak asasi manusia bukanlah entitas metafisik, melainkan bersifat politis, karena hanya bisa dijamin melalui keanggotaan dalam komunitas yang memiliki struktur hukum dan institusi pengakuan.³ Dalam hal ini, Arendt mendekonstruksi keyakinan modern yang menganggap hak asasi manusia sebagai hak universal yang berlaku secara independen dari status politik.

6.2.       Krisis Kemanusiaan dalam Dunia Modern

Arendt menyoroti bahwa abad ke-20 telah menyaksikan jutaan orang kehilangan kewarganegaraannya akibat perang, genosida, dan pengusiran massal. Dalam situasi seperti itu, manusia menjadi “tidak lebih dari manusia”, yakni entitas biologis tanpa hak-hak politis, tanpa pengakuan, dan tanpa tempat dalam dunia.⁴ Pengungsi, eksil, dan apatrid kehilangan bukan hanya tanah kelahiran, tetapi juga kemampuan untuk bertindak, berbicara, dan menjadi warga yang bermakna secara politik.

Kondisi ini, menurut Arendt, menunjukkan bahwa kemanusiaan tidak cukup sebagai dasar untuk menjamin perlindungan atau martabat, kecuali jika manusia juga adalah warga dalam komunitas yang mampu menjamin eksistensinya sebagai subjek politik.⁵

6.3.       Kewarganegaraan sebagai Ruang Aktualisasi Politik

Dari refleksi atas apatrid dan krisis pengungsi, Arendt menegaskan bahwa kewarganegaraan bukan hanya status hukum administratif, melainkan merupakan kondisi dasar untuk menjadi manusia politik.⁶ Dalam pandangannya, menjadi warga negara berarti memiliki tempat dalam dunia, yaitu tempat di mana seseorang dapat muncul ke hadapan orang lain, terlibat dalam diskursus, dan mengambil bagian dalam pembentukan masa depan bersama.

Karena itu, Arendt menekankan pentingnya struktur politik yang plural dan inklusif, yang memungkinkan manusia untuk menjadi bagian dari dunia bersama. Ia juga mendukung bentuk-bentuk federasi atau konfederasi yang memungkinkan identitas politik yang beragam berkembang secara bersamaan tanpa mengorbankan ruang bersama.

6.4.       Relevansi Kontemporer: Krisis Pengungsi dan Politik Global

Pemikiran Arendt tentang “hak untuk memiliki hak” dan kewarganegaraan semakin relevan dalam konteks global saat ini, di mana jumlah pengungsi dan orang tanpa kewarganegaraan terus meningkat akibat konflik bersenjata, perubahan iklim, dan represi politik. Banyak dari mereka terjebak dalam “zona abu-abu” hukum internasional, hidup tanpa pengakuan, dan tidak memiliki suara dalam proses politik.⁷

Di sinilah pentingnya kritik Arendt terhadap sistem negara-bangsa modern: sistem ini sering kali menyempitkan hak politik hanya bagi mereka yang diakui secara formal sebagai warga, sehingga menciptakan eksklusi terhadap kelompok rentan yang tidak memiliki afiliasi kenegaraan.


Kesimpulan Subbab

Hannah Arendt menggeser diskursus hak asasi manusia dari landasan abstrak menuju basis politik yang konkret. Dengan menyatakan bahwa “hak untuk memiliki hak” hanya mungkin melalui keanggotaan dalam suatu komunitas politik, ia mengajukan tantangan besar bagi tatanan internasional modern: bagaimana menciptakan struktur politik yang tidak hanya menjamin hak formal, tetapi juga ruang eksistensial bagi semua manusia untuk menjadi subjek politik. Pemikiran ini tetap mendesak, terutama dalam menghadapi krisis migrasi, populisme eksklusif, dan ketidakadilan global kontemporer.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, Brace, 1951), 290.

[2]                Ibid., 296.

[3]                Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 49–52.

[4]                Arendt, Origins, 300.

[5]                Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 97–100.

[6]                Arendt, Origins, 296–297.

[7]                Ayten Gündoğdu, Rightlessness in an Age of Rights: Hannah Arendt and the Contemporary Struggles of Migrants (New York: Oxford University Press, 2015), 13–19.


7.           Kritik terhadap Tradisi Filsafat Barat

Hannah Arendt menempati posisi yang unik dan kritis dalam sejarah filsafat politik. Ia bukan hanya menulis tentang politik, tetapi juga menggugat akar tradisi filosofis Barat yang, menurutnya, telah gagal memahami esensi politik sebagai ruang kebebasan, tindakan, dan pluralitas. Dalam esai-esai penting seperti What Is Authority?, Truth and Politics, dan karya utama seperti The Human Condition, Arendt menyusun kritik radikal terhadap warisan metafisika dan epistemologi Barat yang dianggapnya bertanggung jawab atas krisis politik modern.

7.1.       Warisan Plato dan Tradisi Anti-Politik

Menurut Arendt, sejak zaman Plato, filsafat Barat telah menunjukkan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap politik. Dalam Republic, Plato menggambarkan dunia politik sebagai dunia bayangan dan ketidaktetapan yang perlu dikendalikan oleh filsuf-raja—figur yang memiliki akses kepada “kebenaran ideal”.¹

Bagi Arendt, proyek Plato ini telah memisahkan filsafat dari pengalaman manusia konkret, dan pada saat yang sama menciptakan tradisi intelektual yang cenderung menolak kontingensi, pluralitas, dan perdebatan sebagai esensi politik.² Kritik Arendt terhadap Plato bukan sekadar soal teori politik, melainkan mencerminkan penolakannya terhadap kecenderungan metafisika Barat yang menundukkan realitas politik ke dalam ideal-ideal abstrak dan hierarkis.

Tradisi ini, menurut Arendt, berlanjut dalam berbagai bentuk pada pemikir besar seperti Thomas Hobbes, Immanuel Kant, bahkan Karl Marx—yang semuanya, meskipun berbeda satu sama lain, tetap mempertahankan semangat “mencari kepastian di luar ruang tindakan politik”.³

7.2.       Pengasingan Politik oleh Filsafat

Dalam Between Past and Future, Arendt menyatakan bahwa filsuf telah gagal dalam memahami makna sebenarnya dari tindakan politik karena terlalu sibuk mencari prinsip abadi atau hukum rasional universal.⁴ Ia menyebut bahwa pemikiran filsafat politik klasik lebih tertarik pada pencarian “kebenaran” dan “tatanan” daripada pada realitas tindakan bersama, debat, dan ketidakpastian yang melekat dalam ruang publik.

Sebagai konsekuensinya, politik direduksi menjadi teknik pemerintahan atau manajemen masyarakat, alih-alih dipahami sebagai arena penciptaan dunia bersama oleh individu-individu yang bebas dan setara.⁵

7.3.       Arendt dan Penolakan Terhadap Sistematisasi Filsafat Politik

Arendt secara eksplisit menolak pendekatan sistematik yang lazim dalam filsafat politik modern. Ia menolak disebut sebagai “filsuf” dan lebih memilih menyebut dirinya sebagai “teoretikus politik”, karena ia percaya bahwa filsafat telah menjauh dari realitas dunia.⁶

Pendekatan Arendt bersifat nondogmatis, deskriptif, dan historis, dan lebih mirip dengan laporan fenomenologis daripada teori politik normatif. Dalam The Human Condition, misalnya, ia tidak memberikan pedoman tentang bagaimana negara seharusnya dibentuk, tetapi mengkaji secara mendalam apa yang dilakukan manusia ketika mereka bekerja, membuat, dan bertindak dalam dunia bersama.⁷

7.4.       Kebenaran dan Politik: Kritik atas Rasionalisme dan Epistemologi Modern

Dalam esainya Truth and Politics, Arendt menyampaikan kritik tajam terhadap kecenderungan filsafat modern untuk menundukkan politik pada logika rasionalitas ilmiah atau moral absolut.⁸ Ia membedakan antara “kebenaran rasional” dan “kebenaran faktual”. Kebenaran rasional bersifat universal dan tidak tergantung pada opini publik, sementara kebenaran faktual muncul dari peristiwa nyata yang dapat diverifikasi bersama.

Namun, dalam dunia politik, kebenaran faktual sering kali dibelokkan, dikaburkan, atau dihancurkan oleh kekuatan ideologis, karena politik bukan semata tentang kebenaran, tetapi juga tentang kekuasaan, persepsi, dan representasi.⁹ Oleh karena itu, Arendt melihat bahwa usaha untuk membawa politik di bawah hegemoni kebenaran rasional adalah bentuk dominasi epistemik yang menghilangkan diskursus dan partisipasi.

7.5.       Politik dan Kelahiran (Natalitas): Alternatif terhadap Metafisika Tradisional

Sebagai respons terhadap tradisi metafisika Barat yang berpusat pada kematian dan kekekalan, Arendt menawarkan konsep “natalitas” (natality)—kapasitas manusia untuk memulai sesuatu yang baru—sebagai dasar ontologis politik.¹⁰

Dengan demikian, Arendt menggeser pusat filsafat politik dari kematian (seperti dalam pemikiran Heidegger) ke kelahiran dan tindakan, dari stabilitas abadi ke keberagaman dan ketidakpastian yang produktif. Kritik ini bukan hanya terhadap substansi tradisi filsafat Barat, tetapi juga terhadap cara filsafat mendekati eksistensi manusia dan kehidupannya di dunia.


Kesimpulan Subbab

Kritik Hannah Arendt terhadap tradisi filsafat Barat merupakan upaya radikal untuk merehabilitasi makna politik yang telah dimiskinkan oleh proyek-proyek metafisika dan rasionalisme sistematis. Dengan menempatkan tindakan, pluralitas, dan natalitas sebagai fondasi politik, Arendt menawarkan pendekatan baru yang relevan dalam konteks kontemporer—yakni politik sebagai ruang keterbukaan, bukan doktrin; sebagai tindakan bersama, bukan kebenaran tunggal; sebagai tempat kelahiran makna, bukan sekadar pelestarian tatanan.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 231–234.

[2]                Ibid., 2–5.

[3]                Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 20–25.

[4]                Hannah Arendt, Between Past and Future (New York: Viking Press, 1961), 13–16.

[5]                Dana R. Villa, Arendt and Modernity (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 55–57.

[6]                Seyla Benhabib, The Reluctant Modernism of Hannah Arendt (Lanham: Rowman & Littlefield, 2003), 41–42.

[7]                Arendt, The Human Condition, 9–10.

[8]                Hannah Arendt, “Truth and Politics,” in Between Past and Future, 227–264.

[9]                Ibid., 232–239.

[10]             Arendt, The Human Condition, 247–248.


8.           Warisan Intelektual dan Relevansi Kontemporer

Pemikiran Hannah Arendt tetap berpengaruh dan relevan jauh melampaui zamannya. Meskipun Arendt menolak disebut sebagai filsuf sistematik, kontribusinya terhadap filsafat politik, teori kritis, studi demokrasi, hak asasi manusia, dan wacana publik kontemporer sangat signifikan. Dalam era yang ditandai oleh kebangkitan populisme otoriter, krisis representasi, disinformasi digital, dan migrasi massal, ide-idenya tentang kebebasan, pluralitas, tanggung jawab moral, dan ruang publik menjadi semakin mendesak untuk dihidupkan kembali.

8.1.       Pengaruh Arendt dalam Filsafat Politik dan Humaniora

Warisan intelektual Arendt sangat terasa dalam perkembangan teori politik normatif dan fenomenologi politik kontemporer. Para pemikir seperti Seyla Benhabib, Margaret Canovan, Julia Kristeva, dan Judith Butler telah mengembangkan atau mengkritisi ide-ide Arendt untuk menjawab problematika baru.¹

Benhabib, misalnya, menyatakan bahwa kontribusi Arendt terletak pada penekanan atas diskursus politik sebagai arena tindakan manusiawi yang terbuka, plural, dan komunikatif, berbeda dari model rasional-instrumental dalam liberalisme atau teknokrasi.² Butler di sisi lain membaca Arendt dalam konteks resistensi tubuh-tubuh rentan dan pentingnya performativitas politik sebagai bentuk keberadaan publik.³

Selain itu, dalam ranah studi humaniora, Arendt dipandang sebagai perintis humanisme politik yang menekankan hubungan antara narasi, pengalaman, dan tanggung jawab historis—berbeda dari pendekatan strukturalis yang mengabaikan agensi individu dalam sejarah.⁴

8.2.       Relevansi terhadap Demokrasi dan Populisme Abad ke-21

Dalam konteks demokrasi kontemporer yang mengalami pelemahan institusi representatif dan polarisasi politik akut, Arendt memberikan kerangka konseptual yang penting: politik sebagai tindakan bersama, bukan sekadar pemilihan formal.⁵

Kekhawatiran Arendt terhadap “kebangkitan massa atomistik yang terlepas dari komunitas politik” dan ketundukan pada narasi ideologis total kini kembali relevan dalam melihat fenomena politik pasca-kebenaran (post-truth), propaganda digital, dan algoritma media sosial yang mendegradasi ruang publik.⁶

Arendt telah memperingatkan bahwa kehilangan ruang publik yang rasional dan dialogis akan membuka jalan bagi kekuasaan yang manipulatif, birokratis, atau totaliter, di mana warga negara kehilangan kemampuan untuk bertindak dan menilai secara kritis.⁷

8.3.       Krisis Kemanusiaan dan Hak-Hak Politik

Konsep “hak untuk memiliki hak” yang Arendt kembangkan menjadi sangat relevan dalam konteks krisis pengungsi global, statelessness, dan pelanggaran sistemik terhadap hak-hak asasi manusia.⁸ Di tengah realitas migrasi paksa dan orang-orang yang hidup tanpa kewarganegaraan, Arendt membantu mengarahkan perhatian pada kebutuhan akan bentuk-bentuk baru solidaritas politik yang tidak dibatasi oleh logika negara-bangsa modern.

Arendt menjadi inspirasi bagi banyak aktivis dan akademisi dalam memperjuangkan demokrasi kosmopolitan, hak warga transnasional, serta struktur politik yang lebih terbuka dan inklusif.⁹

8.4.       Etika dan Tanggung Jawab dalam Dunia Birokratis

Konsep “banalitas kejahatan” Arendt dalam Eichmann in Jerusalem menjadi semacam rambu etis penting dalam dunia modern yang semakin diatur oleh sistem birokrasi tanpa wajah. Arendt menunjukkan bahwa kejahatan terbesar tidak selalu dilakukan oleh monster moral, tetapi oleh individu biasa yang gagal berpikir dan bertanggung jawab.¹⁰

Dalam dunia yang dikuasai oleh kepatuhan administratif dan algoritma tanpa akuntabilitas, gagasan ini relevan untuk mendorong kesadaran moral individu di dalam sistem kolektif, baik dalam pemerintahan, bisnis, maupun teknologi digital.


Kesimpulan Subbab

Warisan Hannah Arendt tidak terletak pada satu teori tunggal, tetapi pada kemampuan reflektifnya untuk membongkar struktur kekuasaan, memulihkan makna politik sebagai tindakan, dan menyerukan tanggung jawab moral dalam dunia bersama. Dalam menghadapi tantangan demokrasi global, kehancuran ruang publik, dan krisis kemanusiaan, Arendt mengingatkan bahwa politik bukanlah seni mengelola, tetapi ruang untuk bersama-sama mencipta, menilai, dan bertindak dengan kebebasan dan keberanian.


Footnotes

[1]                Seyla Benhabib, The Reluctant Modernism of Hannah Arendt (Lanham: Rowman & Littlefield, 2003), 12–16.

[2]                Ibid., 71–73.

[3]                Judith Butler, Notes Toward a Performative Theory of Assembly (Cambridge: Harvard University Press, 2015), 15–20.

[4]                Julia Kristeva, Hannah Arendt: Life Is a Narrative (Toronto: University of Toronto Press, 2001), 25–31.

[5]                Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 202–208.

[6]                Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, Brace, 1951), 307–311.

[7]                Hannah Arendt, Between Past and Future (New York: Viking Press, 1961), 4–7.

[8]                Ayten Gündoğdu, Rightlessness in an Age of Rights: Hannah Arendt and the Contemporary Struggles of Migrants (New York: Oxford University Press, 2015), 27–30.

[9]                Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 75–78.

[10]             Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963), 288–289.


9.           Studi Perbandingan: Arendt dan Pemikir Lain

Pemikiran Hannah Arendt, meskipun bersifat orisinal dan di luar arus utama filsafat politik abad ke-20, membuka medan dialog yang luas dengan berbagai tokoh pemikir lainnya. Perbandingan gagasannya dengan pemikir kontemporer maupun klasik memperlihatkan ketegangan mendasar dalam pemikiran politik: antara kekuasaan dan hukum, tindakan dan struktur, pluralitas dan homogenitas, kebebasan dan rasionalitas. Studi ini mengulas secara selektif tiga perbandingan penting: dengan Carl Schmitt, Jürgen Habermas, dan Michel Foucault.

9.1.       Arendt dan Carl Schmitt: Kekuasaan vs. Kedaulatan

Carl Schmitt, filsuf dan ahli hukum politik Jerman yang terkenal dengan konsep “keputusan yang berdaulat” (Souverän ist, wer über den Ausnahmezustand entscheidet), memandang politik sebagai medan antagonisme eksistensial antara kawan dan lawan.¹ Bagi Schmitt, kedaulatan adalah kemampuan untuk memutuskan dalam keadaan darurat, bahkan di luar hukum positif.

Hannah Arendt menolak gagasan ini secara mendasar. Baginya, politik bukan soal keputusan final oleh seorang penguasa, melainkan ruang interaksi yang terbuka, dialogis, dan pluralistik.² Jika bagi Schmitt politik berakar pada konflik dan permusuhan, maka bagi Arendt politik justru berakar pada tindakan bersama dan pembentukan dunia bersama melalui komunikasi antar warga

Kritik Arendt terhadap logika kedaulatan Schmittian menyiratkan penolakannya terhadap bentuk kekuasaan yang bersifat hierarkis dan eksklusioner, yang menghapus potensi kebaruan dan inisiatif warga.

9.2.       Arendt dan Habermas: Ruang Publik dan Komunikasi Politik

Perbandingan antara Arendt dan Jürgen Habermas, meskipun mereka berasal dari tradisi yang berbeda, sering muncul dalam literatur tentang teori demokrasi deliberatif dan ruang publik. Habermas memandang rasionalitas komunikatif sebagai dasar normatif kehidupan politik: tindakan politik ideal adalah hasil dari diskursus argumentatif dalam situasi komunikasi yang bebas dari dominasi.⁴

Arendt tidak menyusun teori normatif rasionalitas seperti Habermas, tetapi ia juga mengakui pentingnya ruang publik sebagai arena diskursus. Bedanya, Arendt lebih menekankan pada tindakan spontan dan keberanian untuk tampil di hadapan publik (appear in public), ketimbang prosedur deliberatif yang rasional.⁵ Ia mengakui peran emosi, narasi, dan keberadaan tubuh dalam politik, aspek yang cenderung direduksi dalam teori diskursus Habermasian.

Meskipun demikian, keduanya sama-sama mengkritik penyempitan politik menjadi proses administratif dan menyuarakan pentingnya pembentukan opini publik yang reflektif dalam demokrasi.

9.3.       Arendt dan Foucault: Kekuasaan, Tubuh, dan Diskursus

Michel Foucault, dengan analisis genealogisnya tentang kekuasaan, menggambarkan bagaimana kekuasaan tidak hanya berada di lembaga negara, tetapi juga tersebar dalam jaringan diskursus, praktik sosial, dan relasi tubuh.⁶

Arendt tidak secara langsung menulis tentang tubuh atau disiplin, tetapi pendekatannya terhadap kekuasaan—terutama dalam On Violence—berbeda tajam dengan Foucault. Bagi Arendt, kekuasaan bukanlah sesuatu yang menindas dari atas ke bawah, melainkan hasil dari tindakan kolektif dalam kebersamaan.⁷ Foucault, sebaliknya, menggambarkan kekuasaan sebagai relasi produktif yang membentuk subjek melalui norma dan regulasi.⁸

Namun, ada titik temu penting: keduanya menolak pengertian kekuasaan sebagai kepemilikan statis dan berusaha memahami kekuasaan dalam konteks dinamis dan historis. Arendt memberi tekanan pada aspek normatif dan politik kebebasan, sedangkan Foucault mengangkat aspek mikro dan genealogis dari produksi subjek.


Kesimpulan Subbab

Melalui perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa Arendt berdiri sebagai pemikir politik yang menolak reduksi politik menjadi soal kedaulatan (Schmitt), rasionalitas prosedural (Habermas), atau relasi tubuh-diskursus (Foucault). Ia menawarkan alternatif yang berakar pada natalitas, tindakan, dan ruang publik pluralistik. Dialog kritis dengan pemikir lain memperjelas posisi Arendt yang unik: politik bukan semata soal mengatur atau mendisiplinkan, tetapi tempat manusia bersama-sama membentuk dunia melalui tindakan yang bermakna.


Footnotes

[1]                Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty, trans. George Schwab (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 5.

[2]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 199–203.

[3]                Dana R. Villa, Arendt and Modernity (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 89–91.

[4]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 287–290.

[5]                Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 203–206.

[6]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1995), 25–27.

[7]                Hannah Arendt, On Violence (New York: Harcourt, Brace, 1970), 44–56.

[8]                Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Pantheon, 1978), 92–95.


10.       Kritik dan Kontroversi terhadap Pemikiran Arendt

Meskipun Hannah Arendt diakui sebagai salah satu pemikir politik paling berpengaruh pada abad ke-20, karya-karyanya tidak luput dari kritik dan kontroversi tajam, baik dari kalangan akademisi, politisi, maupun komunitas yang menjadi objek refleksinya. Beberapa dari kritik ini bersifat metodologis, sebagian lainnya menyasar pandangan etis-politik yang ia ajukan. Arendt sendiri tidak menyusun sistem filsafat yang tertutup, dan hal ini membuka ruang interpretasi yang luas—sekaligus rentan terhadap kesalahpahaman dan penolakan ideologis.

10.1.    Kontroversi atas Eichmann in Jerusalem dan Gagasan “Banalitas Kejahatan”

Kontroversi paling mencolok dalam karier intelektual Arendt muncul setelah publikasi Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963). Dalam buku ini, Arendt menggambarkan Adolf Eichmann—arsitek logistik Holocaust—sebagai figur birokrat biasa yang tidak termotivasi oleh kebencian ideologis ekstrem, tetapi oleh ketidakmampuan berpikir secara moral dan banalitas kepatuhan terhadap sistem

Frasa “banality of evil” menjadi sumber polemik luas. Banyak yang menuduh Arendt meremehkan kekejaman Holocaust, atau bahkan membela Eichmann, padahal maksud Arendt adalah untuk menunjukkan bagaimana sistem totaliter mampu mengubah individu menjadi pelaku kejahatan besar melalui mekanisme birokratik dan ideologi formal.²

Komunitas Yahudi, terutama di Amerika dan Israel, mengecam Arendt karena kritiknya terhadap cara pengadilan Israel menangani kasus Eichmann dan dugaan kegagalan para pemimpin Yahudi dalam mengantisipasi deportasi massal.³ Arendt dituduh mengabaikan penderitaan korban dan berbicara dengan nada intelektual yang dingin terhadap tragedi genosida.

Namun, banyak akademisi justru memandang esai tersebut sebagai kontribusi penting terhadap etika politik dan pemahaman tentang kekuasaan administratif modern.⁴

10.2.    Kritik atas Elitisme dan Eksklusivisme Politik

Sebagian kritik terhadap Arendt berasal dari tuduhan bahwa ia mempromosikan konsep politik yang elitis dan eksklusif, terutama dalam The Human Condition. Arendt memuji polis Yunani dan tindakan politik yang dilakukan oleh warga lelaki bebas di ruang publik, tetapi nyaris tidak membahas peran perempuan, budak, atau kelas pekerja, yang tidak memiliki akses ke arena publik dalam masyarakat kuno.⁵

Feminist seperti Bonnie Honig dan Julia Kristeva mengkritik bahwa ideal Arendtian tentang kebebasan dan tindakan publik terlalu terikat pada figur otonom yang independen dari kerja dan kebutuhan biologis, sehingga cenderung mengabaikan politik perawatan, ketergantungan, dan kehidupan domestik.⁶

Dalam konteks ini, Arendt dinilai gagal menjembatani antara ranah privat dan publik, serta terlalu menekankan kebebasan ekspresif dan simbolik daripada distribusi keadilan atau solidaritas material.

10.3.    Ambiguitas terhadap Demokrasi dan Representasi Politik

Kritik lain menyoroti bahwa Arendt memiliki hubungan yang ambivalen terhadap demokrasi representatif modern. Ia lebih menyukai bentuk partisipasi langsung seperti dewan rakyat (councils), dan memandang sistem perwakilan sebagai bentuk abstraksi yang menjauhkan warga dari tindakan politik sejati.⁷

Sikap ini, menurut sebagian pengkritik, kurang realistis dalam konteks negara-bangsa modern, yang membutuhkan representasi dan lembaga untuk mengelola kompleksitas sosial-politik.⁸ Arendt dianggap terlalu idealistik dan utopis ketika menekankan partisipasi langsung tanpa memberikan model praktis yang dapat dijalankan secara luas dalam masyarakat kontemporer.

10.4.    Ketiadaan Teori Ekonomi dan Keadilan Sosial

Meskipun Arendt sangat tajam dalam menganalisis totalitarianisme dan kekuasaan, ia nyaris tidak memberikan teori ekonomi atau perhatian sistematik terhadap persoalan keadilan distributif.⁹ Ia memisahkan secara tegas antara labor (kerja biologis) dan action (tindakan politik), dan ini dianggap mengabaikan realitas politik material dari kelas pekerja dan struktur ekonomi.

Kritik ini datang terutama dari kalangan Marxian dan teoritikus keadilan sosial, yang menilai bahwa politik tidak bisa dilepaskan dari persoalan ketimpangan, penguasaan ekonomi, dan eksploitasi kelas—suatu dimensi yang justru dihindari Arendt.


Kesimpulan Subbab

Kritik dan kontroversi terhadap pemikiran Hannah Arendt menunjukkan kekayaan sekaligus batasan dari pendekatan politiknya. Meskipun dituduh elitis, apolitis terhadap ekonomi, dan terlalu idealistik dalam mengidealkan tindakan, pemikiran Arendt tetap memberikan provokasi intelektual yang penting. Justru karena pendekatannya yang non-dogmatis dan reflektif, Arendt membuka ruang bagi interpretasi dan pembaruan wacana politik yang menekankan tanggung jawab, pluralitas, dan keberanian untuk berpikir dalam dunia yang retak.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963), 276–279.

[2]                Elisabeth Young-Bruehl, Hannah Arendt: For Love of the World (New Haven: Yale University Press, 1982), 345–348.

[3]                Richard J. Bernstein, Hannah Arendt and the Jewish Question (Cambridge: Polity Press, 1996), 122–127.

[4]                Dana R. Villa, Arendt and Modernity (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 115–118.

[5]                Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 106–110.

[6]                Bonnie Honig, Political Theory and the Displacement of Politics (Ithaca: Cornell University Press, 1993), 125–129; Julia Kristeva, Hannah Arendt: Life Is a Narrative (Toronto: University of Toronto Press, 2001), 43–45.

[7]                Hannah Arendt, On Revolution (New York: Viking Press, 1963), 254–260.

[8]                Seyla Benhabib, The Reluctant Modernism of Hannah Arendt (Lanham: Rowman & Littlefield, 2003), 97–99.

[9]                Canovan, Hannah Arendt, 116–117.


11.       Penutup

Hannah Arendt telah meninggalkan warisan intelektual yang kompleks dan mendalam dalam pemikiran politik modern. Melalui analisisnya yang tajam tentang totalitarianisme, kekuasaan, tindakan, dan ruang publik, Arendt berhasil menempatkan kembali politik pada tempatnya yang sejati—bukan sebagai instrumen dominasi, tetapi sebagai arena kebebasan, pluralitas, dan kebersamaan. Dalam dunia yang semakin dikuasai oleh logika teknokratis, dominasi administratif, dan politik identitas yang eksklusif, pemikiran Arendt hadir sebagai suara kritis yang menggugah kesadaran akan pentingnya hidup bersama secara politik.

Di tengah kecenderungan untuk memandang politik sebagai urusan elite, urusan negara, atau sekadar pengelolaan teknis atas kehidupan kolektif, Arendt mengingatkan bahwa politik dimulai ketika manusia berbicara dan bertindak di hadapan orang lain dalam ruang bersama, dengan keberanian untuk memulai sesuatu yang baru.¹ Melalui gagasan natalitas, ia menegaskan kapasitas eksistensial manusia untuk melahirkan dunia baru, bahkan dari reruntuhan kekuasaan yang represif dan ideologi yang membatu.²

Kajian ini menunjukkan bahwa pemikiran Arendt tidak hanya relevan untuk memahami masa lalu—seperti kebangkitan Nazisme dan Stalinisme—tetapi juga untuk menganalisis ancaman kontemporer: bangkitnya populisme otoriter, runtuhnya kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi, krisis migrasi global, dan penyempitan ruang publik digital oleh algoritma dan polarisasi.³ Dalam konteks inilah, konsep-konsep seperti “hak untuk memiliki hak”, “banalitas kejahatan”, dan “ruang publik” memperoleh aktualitas baru sebagai sarana refleksi kritis atas tatanan dunia saat ini.

Meski demikian, pemikiran Arendt tidak luput dari kelemahan. Kecenderungan elitis, pengabaian atas dimensi ekonomi dan sosial, serta ketidaksediaannya membangun sistem filsafat politik normatif menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana ide-idenya dapat diterapkan dalam praksis politik kontemporer.⁴ Namun justru dalam keterbukaannya terhadap interpretasi, pemikiran Arendt mengundang pembaca untuk terlibat secara aktif dalam penilaian politik, bukan sekadar sebagai penerima warisan doktrin filsafat.

Sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai studi lanjut, pemikiran Arendt terus menginspirasi pembaruan teoritis dalam feminisme, teori demokrasi, filsafat eksistensial, dan studi migrasi, menjadikannya pemikir yang lintas disiplin dan lintas zaman.⁵ Ia bukan hanya teoretikus tentang kekuasaan dan kekejaman, tetapi juga seorang humanis politik yang percaya bahwa melalui tindakan bersama, manusia dapat membangun dunia yang layak dihuni—sebuah dunia yang memungkinkan pluralitas, tanggung jawab, dan kebebasan untuk muncul kembali di tengah kekacauan.

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa studi atas Hannah Arendt bukan hanya upaya memahami satu tokoh pemikir, tetapi juga suatu latihan reflektif untuk mempertanyakan makna politik dan kemanusiaan dalam dunia yang terus berubah. Arendt menawarkan semacam peta moral dan politis bagi generasi yang berusaha melawan dehumanisasi modern dan mencari kembali ruang tempat manusia bisa hidup dan bertindak sebagai makhluk yang bermakna.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 175–180.

[2]                Ibid., 247–248.

[3]                Seyla Benhabib, The Reluctant Modernism of Hannah Arendt (Lanham: Rowman & Littlefield, 2003), 107–110.

[4]                Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 98–101.

[5]                Julia Kristeva, Hannah Arendt: Life Is a Narrative (Toronto: University of Toronto Press, 2001), 55–58.


Daftar Pustaka

Arendt, H. (1951). The origins of totalitarianism. Harcourt, Brace.

Arendt, H. (1958). The human condition. University of Chicago Press.

Arendt, H. (1961). Between past and future: Eight exercises in political thought. Viking Press.

Arendt, H. (1963). Eichmann in Jerusalem: A report on the banality of evil. Viking Press.

Arendt, H. (1970). On violence. Harcourt, Brace.

Arendt, H. (1963). On revolution. Viking Press.

Benhabib, S. (2003). The reluctant modernism of Hannah Arendt (2nd ed.). Rowman & Littlefield.

Benhabib, S. (2004). The rights of others: Aliens, residents, and citizens. Cambridge University Press.

Bernstein, R. J. (1996). Hannah Arendt and the Jewish question. Polity Press.

Butler, J. (2015). Notes toward a performative theory of assembly. Harvard University Press.

Canovan, M. (1992). Hannah Arendt: A reinterpretation of her political thought. Cambridge University Press.

Foucault, M. (1978). The history of sexuality, Vol. 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1975)

Gündoğdu, A. (2015). Rightlessness in an age of rights: Hannah Arendt and the contemporary struggles of migrants. Oxford University Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Honig, B. (1993). Political theory and the displacement of politics. Cornell University Press.

Kristeva, J. (2001). Hannah Arendt: Life is a narrative (F. McAdam, Trans.). University of Toronto Press.

Schmitt, C. (2005). Political theology: Four chapters on the concept of sovereignty (G. Schwab, Trans.). University of Chicago Press. (Original work published 1922)

Villa, D. R. (1996). Arendt and modernity. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar