Rabu, 11 Juni 2025

Feminisme Sosial-Politik: Analisis Kritis terhadap Pergulatan Gender dalam Struktur Kekuasaan dan Keadilan Sosial

Feminisme Sosial-Politik

Analisis Kritis terhadap Pergulatan Gender dalam Struktur Kekuasaan dan Keadilan Sosial


Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji feminisme sosial-politik sebagai suatu paradigma kritis dalam merespons ketimpangan gender yang terstruktur dalam sistem kekuasaan sosial, ekonomi, dan politik. Dengan pendekatan historis, epistemologis, dan teoretis, artikel ini menelusuri perkembangan pemikiran feminisme dari berbagai gelombang perjuangan—mulai dari feminisme liberal hingga interseksional—serta menguraikan bagaimana feminisme sosial-politik menawarkan alternatif strategis dalam perjuangan keadilan sosial. Melalui pembacaan terhadap relasi kuasa patriarkis dalam institusi negara, hukum, budaya, dan ekonomi, feminisme sosial-politik menegaskan pentingnya pendekatan yang mengintegrasikan redistribusi ekonomi dan pengakuan identitas. Artikel ini juga menyoroti tantangan kontemporer yang dihadapi gerakan feminis, termasuk resurgensi konservatisme, neoliberalisasi feminisme, serta fragmentasi internal gerakan. Dengan menelaah dinamika global dan lokal—khususnya dalam konteks Indonesia—artikel ini menegaskan bahwa feminisme sosial-politik tetap relevan sebagai alat analisis sekaligus strategi transformatif dalam menciptakan masyarakat yang adil, setara, dan bebas dari penindasan struktural.

Kata Kunci: feminisme sosial-politik; patriarki; keadilan sosial; interseksionalitas; kekuasaan; gerakan perempuan; redistribusi; pengakuan; politik gender; Indonesia.


PEMBAHASAN

Feminisme Sosial-Politik sebagai Aliran Filsafat Sosial-Politik


1.           Pendahuluan

Ketimpangan gender merupakan salah satu bentuk ketidakadilan sosial yang paling sistemik dan berakar dalam sejarah peradaban manusia. Meskipun telah terjadi berbagai kemajuan dalam bidang hukum, pendidikan, dan partisipasi politik, perempuan dan kelompok gender minoritas masih mengalami diskriminasi struktural yang dilembagakan dalam sistem sosial dan politik kontemporer. Feminisme sebagai sebuah gerakan intelektual dan sosial hadir sebagai respons terhadap dominasi sistem patriarki yang mengabaikan, merendahkan, atau menghapus peran dan suara perempuan dalam ruang publik maupun privat. Dalam konteks ini, feminisme sosial-politik berkembang sebagai paradigma kritis yang tidak hanya menyoroti persoalan relasi gender, tetapi juga mengaitkannya dengan dinamika kekuasaan, ekonomi, dan keadilan sosial secara lebih luas.

Feminisme sosial-politik menyoroti cara kekuasaan terdistribusi secara tidak merata dalam masyarakat dan bagaimana relasi gender diproduksi dan direproduksi melalui institusi politik, ekonomi, hukum, dan budaya. Nancy Fraser, salah satu pemikir feminisme kontemporer terkemuka, menekankan pentingnya menggabungkan perjuangan atas "pengakuan" (recognition) dan "redistribusi" (redistribution) dalam membangun keadilan sosial berbasis gender yang menyeluruh, mengkritik pendekatan feminisme liberal yang dinilainya terlalu individualistik dan tidak cukup menyentuh akar ketimpangan ekonomi struktural yang dialami oleh perempuan kelas pekerja dan rasial minoritas.1 Perspektif semacam ini memperkuat posisi feminisme sosial-politik sebagai gerakan multidimensi yang melibatkan analisis kelas, ras, dan relasi global dalam perjuangan keadilan gender.

Kemunculan feminisme sosial-politik tidak dapat dipisahkan dari transformasi gerakan feminisme dari gelombang pertama hingga gelombang ketiga dan keempat, yang masing-masing membawa agenda, metode, dan bentuk perjuangan yang berbeda. Jika feminisme gelombang pertama lebih fokus pada hak-hak legal perempuan (seperti hak suara), maka feminisme gelombang kedua dan ketiga mulai menyentuh aspek-aspek struktural dan kultural dari subordinasi perempuan, serta memperluas cakupan analisis terhadap perbedaan ras, kelas, dan orientasi seksual.2 Gelombang ini menjadi pijakan bagi berkembangnya perspektif feminisme sosial-politik yang mengintegrasikan pemikiran kritis Marxis, sosialis, dan interseksional dalam melihat persoalan gender sebagai bagian dari sistem penindasan yang kompleks dan saling bertaut.

Urgensi pembahasan feminisme sosial-politik menjadi semakin relevan di tengah meningkatnya tantangan global seperti konservatisme politik, fundamentalisme agama, neoliberalisme ekonomi, serta krisis iklim dan kemiskinan global yang secara tidak proporsional berdampak pada perempuan dan kelompok rentan.3 Di banyak negara, termasuk Indonesia, meskipun perempuan telah menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan masyarakat sipil, ketimpangan dalam distribusi kekuasaan, sumber daya, dan representasi tetap menjadi persoalan akut. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menyajikan analisis kritis terhadap pergulatan gender dalam struktur kekuasaan dan upaya mewujudkan keadilan sosial melalui pendekatan feminisme sosial-politik sebagai salah satu aliran pemikiran yang paling transformatif dalam kajian gender dan politik kontemporer.


Footnotes

[1]                Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 164–165.

[2]                Estelle Freedman, No Turning Back: The History of Feminism and the Future of Women (New York: Ballantine Books, 2002), 3–10.

[3]                Sylvia Walby, Crisis (Cambridge: Polity Press, 2015), 120–125.


2.           Landasan Historis dan Genealogi Feminisme Sosial-Politik

Feminisme sebagai gerakan sosial dan pemikiran teoretis tidak muncul dalam ruang hampa. Ia berkembang dalam konteks sejarah panjang perjuangan perempuan melawan dominasi patriarki yang terlembaga dalam sistem politik, hukum, dan kebudayaan. Secara garis besar, perkembangan sejarah feminisme diklasifikasikan ke dalam beberapa “gelombang” (waves), masing-masing mencerminkan dinamika sosial-politik zamannya dan agenda perjuangan yang diusung oleh para feminis.

2.1.       Feminisme Gelombang Pertama: Emansipasi dan Hak Politik

Gelombang pertama feminisme muncul pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di dunia Barat, terutama di Inggris dan Amerika Serikat. Fokus utama gerakan ini adalah pada upaya memperoleh hak-hak sipil dan politik perempuan, khususnya hak untuk memilih dalam pemilu (suffrage). Tokoh-tokoh seperti Mary Wollstonecraft, Elizabeth Cady Stanton, dan Susan B. Anthony memperjuangkan emansipasi perempuan dalam kerangka hak-hak individu yang setara dengan laki-laki.1 Meskipun memiliki peran penting dalam membuka ruang partisipasi politik bagi perempuan, gelombang pertama sering dikritik karena cenderung merepresentasikan kepentingan perempuan kulit putih kelas menengah dan mengabaikan dimensi ras, kelas, serta kolonialisme.

2.2.       Feminisme Gelombang Kedua: Relasi Kuasa dan Ketimpangan Struktural

Feminisme gelombang kedua yang berkembang pada era 1960-an hingga 1980-an ditandai oleh perluasan isu perjuangan, dari hak-hak legal menuju pengakuan atas ketidakadilan struktural dan kultural. Feminis gelombang ini menekankan bahwa “yang personal adalah politis” (the personal is political), menunjukkan bahwa ketidaksetaraan dalam rumah tangga, relasi seksual, serta norma sosial merupakan cerminan dari relasi kuasa dalam masyarakat luas.2 Tokoh seperti Simone de Beauvoir melalui The Second Sex menyatakan bahwa perempuan tidak “dilahirkan”, tetapi “dibentuk” oleh konstruksi sosial yang mendefinisikan inferioritas mereka.3 Pada masa ini pula muncul feminisme Marxis dan sosialis yang mengaitkan penindasan perempuan dengan sistem kapitalisme dan pembagian kerja berbasis gender.

2.3.       Feminisme Gelombang Ketiga dan Interseksionalitas

Mulai akhir 1980-an hingga awal 2000-an, feminisme gelombang ketiga berkembang sebagai respons terhadap keterbatasan feminisme arus utama yang dianggap terlalu homogen. Pendekatan interseksionalitas yang diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw memperluas analisis feminisme dengan memperhatikan bagaimana identitas ganda—seperti ras, kelas, gender, dan orientasi seksual—membentuk pengalaman penindasan secara simultan.4 Feminisme sosial-politik sangat dipengaruhi oleh perspektif ini karena membuka ruang kritik terhadap universalitas perempuan sebagai kategori homogen dan memperjuangkan keadilan dengan mempertimbangkan kompleksitas pengalaman yang berbeda.

2.4.       Feminisme Gelombang Keempat dan Gerakan Global

Memasuki abad ke-21, feminisme gelombang keempat muncul dengan ciri digitalisasi gerakan, solidaritas transnasional, dan penekanan pada isu kekerasan seksual, eksploitasi tubuh, serta representasi dalam media.5 Kampanye seperti #MeToo menunjukkan bagaimana feminisme sosial-politik kini tidak hanya berkutat pada analisis teoretis, tetapi juga terwujud dalam bentuk gerakan global yang menuntut akuntabilitas institusional dan perubahan sosial konkret. Dalam konteks inilah feminisme sosial-politik menjadi lebih bersifat global, interseksi, dan terhubung erat dengan perjuangan keadilan ekonomi dan hak asasi manusia.

Dengan demikian, feminisme sosial-politik merupakan hasil historis dari berbagai gelombang perjuangan feminis yang berkembang secara dialektis. Ia tidak hanya berfokus pada isu kesetaraan gender secara sempit, tetapi juga mengejawantahkan pemikiran kritis terhadap sistem kekuasaan, ketimpangan ekonomi, serta ketidakadilan kultural yang menindas perempuan dan kelompok-kelompok marginal. Pemahaman atas genealogi ini penting sebagai fondasi teoretis dalam menganalisis peran feminisme sebagai kekuatan transformatif dalam masyarakat kontemporer.


Footnotes

[1]                Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman (London: J. Johnson, 1792); Elizabeth Cady Stanton et al., History of Woman Suffrage (New York: Fowler and Wells, 1881).

[2]                Betty Friedan, The Feminine Mystique (New York: W. W. Norton & Company, 1963), 15–20.

[3]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H. M. Parshley (New York: Vintage Books, 1989), 267.

[4]                Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity Politics, and Violence Against Women of Color,” Stanford Law Review 43, no. 6 (1991): 1241–1299.

[5]                Alison Phipps, Me, Not You: The Trouble with Mainstream Feminism (Manchester: Manchester University Press, 2020), 4–6.


3.           Dasar Epistemologis dan Teoretis

Epistemologi feminis lahir sebagai kritik terhadap dominasi pengetahuan maskulin dalam tradisi filsafat Barat yang selama berabad-abad mengabaikan pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan yang sah. Feminisme sosial-politik berakar dari pandangan bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang netral dan objektif secara universal, melainkan selalu dibentuk dalam konteks relasi kekuasaan yang timpang, termasuk relasi gender. Oleh karena itu, epistemologi feminis menekankan pentingnya situated knowledge—pengetahuan yang berangkat dari pengalaman tubuh, sejarah, dan posisi sosial tertentu—sebagai alternatif terhadap klaim kebenaran yang universalistik dan patriarkal.1

Donna Haraway, dalam konsepnya tentang situated knowledges, menolak ilusi objektivitas ilmiah yang diasosiasikan dengan “pandangan dari tempat tak bertubuh,” dan mendorong pengakuan terhadap perspektif yang terbentuk dari pengalaman konkret yang terinkarnasi.2 Hal ini menggeser orientasi epistemologis feminisme dari sekadar mengoreksi kekeliruan data tentang perempuan menuju upaya mendekonstruksi kerangka dasar produksi pengetahuan yang bias gender. Dengan demikian, epistemologi feminis tidak hanya bersifat korektif, melainkan juga transformatif.

Secara teoretis, feminisme sosial-politik tidak dapat dilepaskan dari pengaruh berbagai pendekatan dalam spektrum pemikiran feminis, seperti feminisme liberal, radikal, Marxis, sosialis, dan interseksional. Feminisme liberal mengadvokasi persamaan hak individu dalam ranah publik dan menekankan pentingnya reformasi hukum untuk menghapus diskriminasi gender.3 Namun, pendekatan ini sering dikritik karena tidak cukup menyentuh akar struktural dari ketimpangan sosial-ekonomi. Sebagai respons terhadap hal itu, feminisme radikal berupaya membongkar struktur patriarki secara menyeluruh dengan menyoroti dominasi laki-laki dalam seksualitas, keluarga, dan tubuh perempuan.4

Sementara itu, feminisme Marxis dan sosialis mengaitkan penindasan gender dengan logika kapitalisme. Dalam pandangan ini, perempuan diposisikan sebagai tenaga kerja domestik tidak dibayar yang menopang akumulasi kapital. Teoretisi seperti Silvia Federici dan Angela Davis menyoroti bagaimana eksploitasi tubuh perempuan, kerja reproduktif, dan rasisme terjalin dalam sistem kapitalisme global yang menindas perempuan kelas bawah dan perempuan kulit berwarna.5 Feminisme interseksional, yang dikembangkan oleh Kimberlé Crenshaw, menawarkan sintesis penting dengan menunjukkan bahwa pengalaman penindasan perempuan tidak bisa dipahami hanya dari satu dimensi (gender), tetapi harus dianalisis secara simultan melalui ras, kelas, orientasi seksual, disabilitas, dan kategori sosial lainnya.6

Pendekatan interseksional ini menjadi pilar penting dalam feminisme sosial-politik karena ia memberikan kerangka analisis yang lebih inklusif, kontekstual, dan relevan terhadap realitas global yang kompleks. Feminisme sosial-politik juga mengadopsi metode kritis untuk memahami bagaimana relasi kuasa terbentuk dan dilembagakan dalam sistem sosial-politik. Teori ini tidak berhenti pada tingkat analisis, tetapi juga mendorong praksis transformasional, yaitu keterlibatan aktif dalam perubahan sosial melalui gerakan politik, pendidikan kritis, dan aksi kolektif.

Dengan demikian, dasar epistemologis dan teoretis feminisme sosial-politik bertumpu pada pengakuan terhadap pluralitas pengalaman perempuan, penolakan terhadap klaim netralitas pengetahuan, dan penggunaan alat-alat analisis kritis terhadap struktur kekuasaan patriarkal dan kapitalistik. Pendekatan ini menjadikan feminisme bukan sekadar teori tentang perempuan, tetapi sebagai kerangka berpikir dan bertindak untuk menciptakan keadilan sosial yang menyeluruh dan berkeadaban.


Footnotes

[1]                Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women’s Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 2–5.

[2]                Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist Studies 14, no. 3 (1988): 575–599.

[3]                Martha Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 56–60.

[4]                Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 115–120.

[5]                Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 61–89; Angela Y. Davis, Women, Race, & Class (New York: Vintage Books, 1983), 112–128.

[6]                Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex: A Black Feminist Critique of Antidiscrimination Doctrine, Feminist Theory and Antiracist Politics,” University of Chicago Legal Forum 1 (1989): 139–167.


4.           Kritik terhadap Struktur Kekuasaan Patriarkis

Salah satu kontribusi utama feminisme sosial-politik adalah pembongkaran sistem kekuasaan patriarkis yang dianggap sebagai akar dari ketimpangan gender dalam masyarakat. Patriarki tidak sekadar dipahami sebagai dominasi laki-laki atas perempuan dalam ruang privat, tetapi sebagai suatu sistem sosial-politik yang tertanam dalam institusi negara, hukum, ekonomi, dan budaya yang secara sistemik mendiskriminasi dan mengeksklusi perempuan dari pusat-pusat kekuasaan. Feminisme sosial-politik mengkritisi struktur ini sebagai bentuk kekuasaan hegemonik yang bersifat eksploitatif dan eksklusif, menciptakan hierarki berdasarkan gender yang menyusup ke dalam setiap aspek kehidupan sosial.

4.1.       Negara dan Hukum sebagai Instrumen Patriarki

Feminisme sosial-politik menyoroti bagaimana negara dan hukum berperan sebagai agen reproduksi struktur patriarkis. Dalam perspektif feminis kritis, negara bukan entitas netral, melainkan terlibat aktif dalam melanggengkan dominasi gender melalui regulasi yang bias dan eksklusi perempuan dari proses pengambilan keputusan. Catharine MacKinnon, misalnya, berargumen bahwa hukum secara historis dirancang oleh dan untuk laki-laki, sehingga nilai-nilai maskulin dijadikan standar dalam penilaian etika, keadilan, dan hak.1 Hal ini terlihat dalam ketidakmampuan sistem hukum untuk menangani kekerasan berbasis gender secara adil, seperti kasus pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual, yang kerap disimplifikasi atau disangkal oleh norma legal yang patriarkis.

4.2.       Representasi Politik dan Eksklusi Perempuan

Dalam bidang politik, perempuan secara historis mengalami eksklusi baik secara formal maupun informal. Meskipun telah terjadi peningkatan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif di berbagai negara, keberadaan mereka sering kali bersifat simbolik dan belum menyentuh substansi kekuasaan.2 Feminisme sosial-politik mengkritik sistem demokrasi liberal yang secara formal menjamin partisipasi semua warga, namun dalam praktiknya diwarnai oleh mekanisme eksklusi struktural—seperti dominasi partai, modal politik, dan kultur maskulin dalam dunia politik—yang menyulitkan perempuan untuk mengakses dan mengubah kebijakan secara signifikan.3 Dengan demikian, keterwakilan perempuan di ranah politik harus dikaji secara kritis dalam relasinya dengan struktur kekuasaan dan wacana yang melingkupinya.

4.3.       Kekuasaan Simbolik dan Dominasi Kultural

Pierre Bourdieu, dalam Masculine Domination, menunjukkan bagaimana kekuasaan patriarki bekerja melalui apa yang ia sebut sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence), yaitu bentuk dominasi yang terselubung melalui habitus, bahasa, dan budaya sehari-hari yang melegitimasi inferioritas perempuan tanpa paksaan fisik langsung.4 Dominasi ini sangat kuat karena bekerja melalui internalisasi nilai-nilai gender yang diterima tanpa disadari oleh laki-laki maupun perempuan. Misalnya, anggapan bahwa kepemimpinan adalah sifat alami laki-laki atau bahwa perempuan lebih cocok di ranah domestik merupakan wujud dari hegemoni simbolik yang menyusup dalam sistem pendidikan, media, dan norma sosial.

4.4.       Institusi Sosial sebagai Agen Reproduksi Patriarki

Feminisme sosial-politik juga menyoroti bagaimana institusi sosial seperti keluarga, sekolah, dan tempat kerja menjadi arena reproduksi relasi kuasa patriarkis. Keluarga, misalnya, dipandang bukan sekadar institusi biologis, tetapi juga politis, tempat berlangsungnya reproduksi ketimpangan gender melalui pembagian kerja rumah tangga yang tidak setara, pendidikan anak yang bias gender, serta kontrol atas tubuh dan reproduksi perempuan.5 Begitu pula dalam dunia kerja, perempuan sering terjebak dalam pekerjaan bergaji rendah, tidak terlindungi, dan dianggap sebagai “pelengkap,” sementara kepemimpinan dan keputusan strategis didominasi oleh laki-laki.

Dengan demikian, feminisme sosial-politik tidak hanya mengungkap keberadaan patriarki, tetapi juga membongkar cara kerjanya yang kompleks dan melembaga dalam struktur sosial. Kritik terhadap struktur kekuasaan patriarkis tidak dimaksudkan semata-mata untuk memberi ruang bagi perempuan dalam sistem yang sudah ada, melainkan untuk merombak paradigma kekuasaan itu sendiri, sehingga lahir sistem sosial-politik yang lebih adil, egaliter, dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 237–242.

[2]                Anne Phillips, The Politics of Presence (Oxford: Oxford University Press, 1995), 57–75.

[3]                Mona Lena Krook and Sarah Childs, eds., Women, Gender, and Politics: A Reader (Oxford: Oxford University Press, 2010), 11–18.

[4]                Pierre Bourdieu, Masculine Domination, trans. Richard Nice (Stanford: Stanford University Press, 2001), 1–10.

[5]                Silvia Federici, Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction, and Feminist Struggle (Oakland: PM Press, 2012), 15–22.


5.           Feminisme dan Keadilan Sosial

Feminisme sosial-politik tidak dapat dilepaskan dari agenda besar keadilan sosial. Gerakan ini melampaui perjuangan legal-formal untuk kesetaraan gender, dan menekankan pentingnya perubahan struktural yang mencakup dimensi ekonomi, politik, dan kultural secara simultan. Keadilan sosial dalam konteks feminisme berarti menciptakan kondisi di mana semua individu, terutama perempuan dan kelompok rentan, memiliki akses yang setara terhadap sumber daya, kekuasaan, dan pengakuan sosial.

5.1.       Keadilan sebagai Redistribusi: Kritik terhadap Ketimpangan Ekonomi

Salah satu kontribusi utama feminisme sosial-politik terhadap diskursus keadilan sosial adalah kritiknya terhadap ketimpangan ekonomi yang bersumber dari sistem kapitalisme patriarkal. Dalam sistem ini, perempuan secara historis ditempatkan dalam posisi subordinat, baik sebagai tenaga kerja domestik tak dibayar maupun pekerja bergaji rendah dalam sektor informal dan layanan. Nancy Fraser dalam kerangka “dual justice” menekankan bahwa keadilan sosial hanya bisa dicapai melalui redistribusi sumber daya ekonomi yang selama ini terpusat pada kelompok dominan—khususnya laki-laki kulit putih kelas menengah ke atas di negara maju.1

Feminisme Marxis dan sosialis berperan penting dalam mengungkap bagaimana kapitalisme mengeksploitasi kerja reproduktif perempuan, yakni kerja yang tidak menghasilkan komoditas langsung, tetapi menopang keberlangsungan tenaga kerja dan kapital itu sendiri. Silvia Federici menyoroti bahwa kerja rumah tangga dan pengasuhan yang dilakukan perempuan adalah bentuk produksi sosial yang tidak diakui oleh sistem ekonomi kapitalis, meskipun esensial bagi keberlangsungan masyarakat.2 Tanpa pengakuan dan redistribusi nilai terhadap kerja tersebut, keadilan sosial bagi perempuan tetap ilusi.

5.2.       Keadilan sebagai Pengakuan: Identitas, Martabat, dan Representasi

Selain redistribusi, keadilan sosial dalam feminisme juga mencakup aspek pengakuan (recognition), yakni pengakuan atas identitas, martabat, dan eksistensi kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan oleh wacana dominan. Pengakuan ini mencakup pemahaman bahwa ketimpangan bukan hanya terjadi karena kekurangan materi, tetapi juga karena penghapusan simbolik terhadap pengalaman dan nilai-nilai perempuan dalam ruang publik. Dalam masyarakat patriarkis, suara perempuan seringkali tidak dianggap otoritatif atau “rasional,” sehingga dikesampingkan dalam proses pengambilan keputusan politik maupun ilmiah.3

Konsep pengakuan menjadi sangat penting dalam memperjuangkan representasi yang adil, terutama bagi perempuan dari kelompok minoritas ras, etnis, dan orientasi seksual. Feminisme interseksional menuntut keadilan tidak hanya berdasarkan kategori gender semata, tetapi juga dalam kaitannya dengan dimensi ras, kelas, dan lokasi geopolitik.4 Hal ini memperkuat posisi feminisme sosial-politik sebagai kerangka analisis dan aksi yang menolak universalisme dan mengedepankan keadilan berbasis perbedaan yang diakui secara setara.

5.3.       Kebijakan Publik dan Solidaritas Kelas-Gender

Feminisme sosial-politik juga menekankan pentingnya kebijakan publik yang berpihak pada perempuan dan kelompok rentan sebagai bagian dari agenda keadilan sosial. Hal ini mencakup kebijakan yang menjamin upah layak, cuti melahirkan, jaminan sosial, pendidikan yang setara, serta akses terhadap layanan kesehatan dan reproduksi yang berkualitas. Negara dalam hal ini harus diposisikan bukan sebagai institusi netral, tetapi sebagai alat intervensi politik untuk membongkar struktur ketimpangan dan menciptakan distribusi yang lebih adil.

Solidaritas antara perempuan dari berbagai latar belakang menjadi fondasi penting dalam membangun agenda feminisme yang inklusif. Hal ini menuntut sinergi antara perjuangan kelas dan perjuangan gender, bukan sebagai dikotomi, tetapi sebagai basis perlawanan terhadap sistem yang menindas secara multidimensi. Seperti disampaikan oleh Angela Davis, perjuangan untuk pembebasan perempuan tidak akan lengkap tanpa melibatkan perlawanan terhadap rasisme, kolonialisme, dan kapitalisme yang saling menopang struktur ketidakadilan global.5

Dengan demikian, feminisme sosial-politik memberikan kontribusi penting dalam merumuskan keadilan sosial sebagai proses multidimensi yang menyatukan redistribusi ekonomi, pengakuan identitas, dan partisipasi politik. Keadilan bagi perempuan tidak hanya berarti memperoleh hak yang sama, tetapi juga menghapus struktur dan logika dominasi yang selama ini menciptakan ketimpangan dalam berbagai lini kehidupan.


Footnotes

[1]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 13–25.

[2]                Silvia Federici, Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction, and Feminist Struggle (Oakland: PM Press, 2012), 15–30.

[3]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 40–44.

[4]                Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity Politics, and Violence Against Women of Color,” Stanford Law Review 43, no. 6 (1991): 1241–1299.

[5]                Angela Y. Davis, Freedom Is a Constant Struggle: Ferguson, Palestine, and the Foundations of a Movement (Chicago: Haymarket Books, 2016), 22–35.


6.           Interseksionalitas dan Kompleksitas Identitas

Feminisme sosial-politik mengalami transformasi penting ketika mulai mengadopsi pendekatan interseksionalitas, yaitu kerangka analisis yang memahami bahwa pengalaman perempuan tidak bisa dipisahkan dari persilangan antara berbagai identitas sosial, seperti ras, kelas, etnisitas, orientasi seksual, agama, disabilitas, dan status kewarganegaraan. Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh Kimberlé Crenshaw, seorang sarjana hukum dan aktivis feminis kulit hitam, dalam kritiknya terhadap pendekatan hukum yang gagal mengakomodasi pengalaman perempuan kulit hitam karena hanya menganalisis diskriminasi berdasarkan satu kategori identitas secara terpisah—baik gender atau ras, bukan keduanya sekaligus.1

Interseksionalitas menyadarkan kita bahwa perempuan bukanlah kategori homogen. Pengalaman ketidakadilan yang dialami oleh perempuan miskin kulit hitam di Amerika Serikat, misalnya, sangat berbeda dari perempuan kulit putih kelas menengah atau perempuan adat di negara-negara Global South. Oleh karena itu, feminisme yang hanya berbicara atas nama “perempuan” secara umum tanpa mengakui kompleksitas dan perbedaan internal justru berisiko mereproduksi bentuk dominasi baru dalam gerakan itu sendiri—sebuah kritik yang sering dilontarkan kepada feminisme liberal Barat.2

6.1.       Kritik terhadap Universalisme Feminisme Arus Utama

Pendekatan interseksional menolak universalisme dalam feminisme arus utama yang seringkali mengasumsikan bahwa pengalaman perempuan kulit putih, heteroseksual, dan berpendidikan tinggi mewakili seluruh perempuan. Hal ini telah dikritik secara tajam oleh feminis kulit berwarna, feminis postkolonial, dan feminis dunia ketiga. Misalnya, Chandra Talpade Mohanty mengkritik cara perempuan dunia ketiga seringkali direpresentasikan secara simplistik sebagai korban pasif dalam narasi feminis global, tanpa memperhitungkan agensi, sejarah lokal, dan resistensi mereka sendiri terhadap penindasan.3

Feminisme sosial-politik yang mengintegrasikan interseksionalitas tidak hanya mengakui keberagaman pengalaman perempuan, tetapi juga mengevaluasi bagaimana sistem penindasan saling beririsan: kapitalisme dengan rasisme, kolonialisme dengan patriarki, atau homofobia dengan nasionalisme. Dengan demikian, ia menuntut perubahan struktur secara menyeluruh dan menyusun strategi perjuangan yang tidak sektoral, melainkan kolektif dan terhubung lintas isu.

6.2.       Identitas, Kekuasaan, dan Representasi Politik

Pendekatan interseksional juga memberikan kontribusi penting dalam membaca dinamika representasi politik. Representasi perempuan dalam parlemen atau ruang publik bukan hanya soal jumlah (kuantitas), tetapi juga menyangkut siapa yang mewakili, bagaimana posisi sosial mereka, dan apakah mereka membawa kepentingan perempuan marjinal dalam wacana politik arus utama. Seorang perempuan elite yang memperoleh akses kekuasaan belum tentu merepresentasikan perempuan miskin, pekerja migran, atau minoritas seksual.4 Oleh karena itu, feminisme sosial-politik menuntut pemaknaan ulang terhadap representasi politik dengan menekankan pada representasi substantif, bukan hanya simbolik.

6.3.       Pengalaman Perempuan di Global South dan Feminisme Postkolonial

Interseksionalitas juga memperkuat kritik feminisme postkolonial terhadap warisan kolonialisme dalam sistem pengetahuan dan praktik feminisme global. Banyak feminis di negara-negara berkembang menolak dikonstruksi sebagai “terbelakang” atau “tak berdaya” oleh narasi feminis Barat yang paternalistik. Mereka menekankan bahwa bentuk-bentuk penindasan yang mereka alami tidak bisa dilepaskan dari sejarah kolonialisme, globalisasi ekonomi, dan intervensi budaya asing.5 Dalam konteks ini, feminisme sosial-politik bersifat plural dan menyesuaikan diri dengan konteks lokal, seraya tetap terhubung dengan perjuangan solidaritas transnasional.

Dengan mengintegrasikan pendekatan interseksionalitas, feminisme sosial-politik menawarkan kerangka yang lebih adil, inklusif, dan reflektif terhadap kompleksitas pengalaman perempuan. Hal ini tidak hanya memperluas cakupan perjuangan feminis, tetapi juga memperkuat kemampuannya untuk merumuskan agenda keadilan sosial yang menyentuh akar ketidaksetaraan secara lebih mendalam dan transformatif.


Footnotes

[1]                Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex: A Black Feminist Critique of Antidiscrimination Doctrine, Feminist Theory and Antiracist Politics,” University of Chicago Legal Forum 1, no. 8 (1989): 139–167.

[2]                bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center (Boston: South End Press, 1984), 1–15.

[3]                Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses,” Boundary 2 12, no. 3 (1984): 333–358.

[4]                Anne Phillips, The Politics of Presence (Oxford: Oxford University Press, 1995), 76–82.

[5]                Lila Abu-Lughod, “Do Muslim Women Really Need Saving? Anthropological Reflections on Cultural Relativism and Its Others,” American Anthropologist 104, no. 3 (2002): 783–790.


7.           Strategi Perjuangan Feminisme Sosial-Politik

Feminisme sosial-politik tidak hanya berhenti pada tataran kritik terhadap struktur patriarki dan ketimpangan sosial, tetapi juga berperan aktif dalam merumuskan strategi perjuangan transformatif yang menjembatani teori dan praksis. Strategi ini mencakup berbagai pendekatan yang bersifat teoritis, politis, dan aksi kolektif, serta menyesuaikan diri dengan konteks sosial-budaya dan kondisi historis tertentu. Tujuannya adalah mengintervensi secara langsung sistem kekuasaan dan menciptakan bentuk-bentuk relasi sosial yang lebih egaliter, inklusif, dan berkeadilan.

7.1.       Gerakan Akar Rumput dan Organisasi Basis

Salah satu kekuatan utama feminisme sosial-politik adalah keberpihakannya pada gerakan akar rumput yang tumbuh dari pengalaman langsung perempuan dalam komunitas. Organisasi perempuan lokal, koperasi, jaringan pekerja rumah tangga, kelompok tani perempuan, dan komunitas adat sering menjadi motor utama perubahan sosial di tingkat bawah. Dalam konteks Global South, organisasi semacam ini berfungsi tidak hanya sebagai ruang advokasi hak-hak perempuan, tetapi juga sebagai wahana untuk membangun kemandirian ekonomi dan solidaritas sosial.1

Gerakan ini menghindari pendekatan top-down dan cenderung mengedepankan metode partisipatif, di mana perempuan menjadi subjek aktif dalam merumuskan solusi atas persoalan mereka sendiri. Strategi ini selaras dengan pendekatan feminist participatory action research (FPAR) yang menempatkan pengalaman dan suara perempuan sebagai sumber utama pengetahuan dan arah gerakan.2

7.2.       Advokasi Kebijakan Publik dan Legislasi Progresif

Feminisme sosial-politik juga aktif dalam ranah institusional melalui advokasi terhadap kebijakan publik yang responsif gender. Hal ini mencakup tekanan terhadap pemerintah untuk mengesahkan undang-undang perlindungan perempuan, memperluas akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, memperkuat sistem pengaduan kekerasan berbasis gender, dan mengembangkan anggaran responsif gender dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah.3

Perjuangan ini menuntut kerja strategis lintas sektor, termasuk kemitraan dengan anggota legislatif, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan media massa. Keberhasilan pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di Indonesia, misalnya, merupakan hasil dari kerja panjang gerakan feminis yang menggabungkan aksi jalanan, riset akademik, diplomasi politik, dan kampanye publik secara simultan.4

7.3.       Pendidikan Kesadaran Kritis dan Transformatif

Feminisme sosial-politik memandang pendidikan sebagai alat utama pembebasan. Pendidikan tidak hanya sebatas transfer pengetahuan, tetapi sebagai proses pembentukan kesadaran kritis (conscientization) yang membongkar internalisasi nilai-nilai patriarkis dan membuka ruang kesadaran gender yang progresif. Inspirasi dari Paulo Freire dan bell hooks memperkuat bahwa pendidikan yang dialogis dan reflektif dapat menjadi ruang perjuangan politik yang radikal.5

Pendidikan feminis dijalankan melalui berbagai bentuk: sekolah komunitas, workshop, teater rakyat, pelatihan kader, hingga kurikulum sekolah dan perguruan tinggi yang mengintegrasikan perspektif gender. Tujuannya adalah menciptakan generasi yang mampu mengenali ketidakadilan gender dan memiliki kapasitas untuk melawan serta merekonstruksi tatanan sosial yang lebih adil.

7.4.       Aliansi Strategis dan Solidaritas Transnasional

Dalam dunia yang semakin saling terhubung, feminisme sosial-politik memperluas medan perjuangan ke tingkat global dengan membangun jaringan solidaritas lintas negara dan budaya. Jaringan ini muncul dalam berbagai bentuk, seperti World March of Women, AWID (Association for Women’s Rights in Development), hingga kampanye digital transnasional seperti #NiUnaMenos dan #MeToo. Gerakan ini menunjukkan bahwa penindasan terhadap perempuan tidak mengenal batas geografis, dan bahwa perjuangan lokal harus dikaitkan dengan perjuangan global dalam kerangka anti-kolonial, anti-rasis, dan anti-kapitalis.6

Aliansi strategis juga penting untuk menghindari sektarianisme dalam gerakan. Feminisme sosial-politik mendorong solidaritas dengan gerakan pekerja, lingkungan, anti-rasisme, hak-hak LGBTQ+, serta perjuangan kelompok adat dan minoritas agama. Strategi ini menekankan pentingnya membangun gerakan lintas isu dan memperjuangkan bentuk keadilan yang menyeluruh.

Dengan demikian, strategi perjuangan feminisme sosial-politik bersifat multidimensi: membangun dari bawah melalui organisasi komunitas, mendorong perubahan institusional melalui kebijakan publik, menciptakan kesadaran melalui pendidikan kritis, serta menggalang kekuatan global melalui solidaritas transnasional. Strategi-strategi ini menjadikan feminisme sosial-politik bukan hanya gerakan protes, melainkan proyek pembebasan yang visioner dan transformatif.


Footnotes

[1]                Srilatha Batliwala, Feminist Leadership for Social Transformation: Clearing the Conceptual Cloud (New Delhi: CREA, 2011), 12–18.

[2]                Sarah E. Wright, “Feminist Participatory Action Research: Methodological and Ethical Issues,” Feminist Research Practice: A Primer, ed. Sharlene Nagy Hesse-Biber (Thousand Oaks: SAGE, 2014), 135–158.

[3]                Gita Sen and Caren Grown, Development, Crises, and Alternative Visions: Third World Women's Perspectives (New York: Monthly Review Press, 1987), 75–86.

[4]                Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU TPKS, “Catatan Perjalanan UU TPKS: Jalan Panjang Gerakan Perempuan untuk Keadilan,” Jurnal Perempuan 107 (2022): 11–30.

[5]                bell hooks, Teaching to Transgress: Education as the Practice of Freedom (New York: Routledge, 1994), 13–22.

[6]                Sonia E. Alvarez, “Translating the Global: Effects of Transnational Organizing on Local Feminist Discourses and Practices in Latin America,” Meridians 1, no. 1 (2000): 29–67.


8.           Tantangan dan Kontroversi Kontemporer

Meskipun feminisme sosial-politik telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perjuangan keadilan gender dan sosial secara global, gerakan ini tetap menghadapi berbagai tantangan dan kontroversi dalam konteks kontemporer. Tantangan ini tidak hanya berasal dari luar—yakni dari resistensi sistem patriarki dan kekuatan konservatif—tetapi juga dari dalam tubuh gerakan itu sendiri, terkait dengan perdebatan strategi, diferensiasi ideologis, dan benturan perspektif antar kelompok feminis.

8.1.       Resurgensi Konservatisme dan Politik Reaksioner

Salah satu tantangan paling serius yang dihadapi feminisme sosial-politik saat ini adalah meningkatnya resurgensi politik konservatif, populis, dan fundamentalis di berbagai belahan dunia. Dalam konteks ini, isu gender dan feminisme sering kali dijadikan kambing hitam oleh kelompok kanan reaksioner yang mengklaim bahwa feminisme “mengancam nilai-nilai keluarga” atau merusak tatanan sosial yang “alamiah”.1 Retorika semacam ini digunakan oleh sejumlah pemerintahan otoriter dan konservatif untuk membatasi hak-hak perempuan, mengkriminalisasi aktivisme gender, dan menolak kebijakan kesetaraan gender atas nama moralitas atau budaya lokal.

Sebagai contoh, laporan Human Rights Watch menunjukkan bahwa di beberapa negara, pembela hak-hak perempuan mengalami pembungkaman politik, pelecehan hukum, hingga kekerasan negara karena dianggap menentang norma-norma keluarga tradisional atau menyebarkan "ideologi gender".2 Fenomena ini memperlihatkan bagaimana wacana feminisme kerap dipolitisasi sebagai simbol ancaman, yang pada gilirannya mempersempit ruang demokrasi dan kebebasan sipil.

8.2.       Komodifikasi dan Neoliberalisasi Feminisme

Tantangan lain datang dari dalam sistem ekonomi global itu sendiri, yakni bentuk komodifikasi dan neoliberalisasi feminisme. Dalam dunia kapitalis kontemporer, ide-ide feminisme sering kali diserap ke dalam logika pasar, diubah menjadi slogan konsumsi dan citra komersial yang kosong dari makna perjuangan. Konsep seperti “empowered women” atau “girl boss” dimanfaatkan oleh industri untuk memasarkan produk dengan kedok pemberdayaan, tetapi tanpa menyentuh akar ketimpangan struktural yang diperjuangkan oleh feminisme sosial-politik sejati.3

Menurut Catherine Rottenberg, feminisme neoliberal mengajarkan perempuan untuk "berdaya" dalam kerangka individualisme, meritokrasi, dan pencapaian personal, bukan dalam solidaritas kolektif dan perombakan sistemik.4 Akibatnya, feminisme kehilangan aspek kritis dan politisnya, serta tereduksi menjadi gaya hidup atau identitas modis yang dijual dalam iklan dan media sosial.

8.3.       Fragmentasi Gerakan dan Ketegangan Internal

Feminisme kontemporer juga menghadapi fragmentasi internal karena perbedaan latar belakang sosial, ras, kelas, orientasi seksual, hingga lokasi geopolitik antar kelompok feminis. Di satu sisi, keberagaman ini memperkaya gerakan dan membuatnya lebih inklusif. Namun, di sisi lain, ia juga melahirkan ketegangan mengenai prioritas perjuangan, bahasa politik, serta definisi atas apa yang disebut “feminisme progresif”.5

Misalnya, ketegangan antara feminisme radikal dan feminisme transinklusif menjadi perdebatan global yang memecah solidaritas. Sebagian feminis radikal menolak mengakui identitas perempuan trans dalam ruang perjuangan perempuan, sedangkan feminis interseksional menilai pandangan tersebut sebagai bentuk eksklusi dan transfobia. Kontroversi ini memperlihatkan bahwa perjuangan untuk keadilan gender juga harus memperhitungkan dinamika baru dalam pemahaman tentang tubuh, identitas, dan hak asasi manusia.6

8.4.       Keterbatasan Representasi dan Representasi Simbolik

Meskipun ada peningkatan keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga politik, feminisme sosial-politik mengingatkan bahwa representasi simbolik tanpa perubahan struktural sering kali berfungsi sebagai tokenisme. Kehadiran perempuan di parlemen atau pemerintahan tidak selalu diikuti dengan kebijakan yang berpihak pada kepentingan perempuan, terutama perempuan miskin, minoritas, atau kelompok rentan lainnya.7 Ini menunjukkan bahwa perjuangan feminis tidak cukup hanya dengan membuka akses formal terhadap ruang kekuasaan, tetapi harus diiringi dengan transformasi struktur kekuasaan itu sendiri.


Penutup Subbagian

Beragam tantangan ini tidak melemahkan urgensi feminisme sosial-politik, melainkan justru mempertegas perlunya strategi perjuangan yang lebih reflektif, transformatif, dan responsif terhadap dinamika zaman. Feminisme harus terus mengkritisi dirinya sendiri, melampaui jebakan politik identitas yang sempit, dan menegaskan kembali misinya sebagai proyek keadilan sosial yang radikal dan emansipatoris di tengah dunia yang penuh ketimpangan dan resistensi struktural.


Footnotes

[1]                Susan Faludi, Backlash: The Undeclared War Against American Women (New York: Crown Publishing, 1991), 15–22.

[2]                Human Rights Watch, “Global Backlash Against Women’s Rights,” World Report 2020, https://www.hrw.org/world-report/2020.

[3]                Andi Zeisler, We Were Feminists Once: From Riot Grrrl to CoverGirl®, the Buying and Selling of a Political Movement (New York: PublicAffairs, 2016), 5–8.

[4]                Catherine Rottenberg, “The Rise of Neoliberal Feminism,” Cultural Studies 28, no. 3 (2014): 418–437.

[5]                Nancy Fraser, “Feminism, Capitalism and the Cunning of History,” New Left Review 56 (2009): 97–117.

[6]                Sally Hines, The Feminist Frontier: On Trans and Feminism (London: Palgrave Macmillan, 2021), 40–55.

[7]                Anne Phillips, The Politics of Presence (Oxford: Oxford University Press, 1995), 85–92.


9.           Relevansi Feminisme Sosial-Politik dalam Konteks Global dan Indonesia

Feminisme sosial-politik memiliki relevansi yang semakin signifikan dalam menghadapi dinamika sosial, politik, dan ekonomi global kontemporer yang ditandai oleh meningkatnya ketimpangan, konservatisme politik, serta krisis multidimensi seperti pandemi, perubahan iklim, dan migrasi paksa. Dalam lanskap global yang sarat ketidakadilan struktural, feminisme sosial-politik menawarkan kerangka kritis yang mampu membongkar kompleksitas penindasan dan mengusulkan alternatif transformatif melalui pendekatan interseksional, anti-kapitalis, dan berkeadilan sosial.

9.1.       Relevansi Global: Perjuangan Lintas Negara dalam Dunia yang Terkoneksi

Secara global, feminisme sosial-politik telah berperan aktif dalam menyatukan gerakan perempuan dari berbagai belahan dunia untuk menuntut transformasi struktural. Jaringan seperti World March of Women, Global Women’s Strike, dan AWID (Association for Women's Rights in Development) menunjukkan bentuk solidaritas transnasional dalam memperjuangkan hak-hak perempuan miskin, buruh migran, perempuan adat, serta korban kekerasan berbasis gender dan konflik bersenjata.1

Krisis global seperti pandemi COVID-19 juga memperlihatkan bagaimana kerja perempuan, khususnya di sektor perawatan dan domestik, sangat vital namun paling tereksploitasi dan tak terlindungi secara struktural. Studi oleh UN Women mencatat bahwa pandemi memperparah ketimpangan gender, dengan lonjakan kekerasan dalam rumah tangga, beban kerja pengasuhan, dan kerentanan ekonomi yang semakin tinggi bagi perempuan di seluruh dunia.2 Dalam konteks ini, feminisme sosial-politik menawarkan perspektif kritis yang tidak hanya melihat perempuan sebagai korban, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial yang terorganisir.

Selain itu, perjuangan feminisme dalam konteks global juga mencakup advokasi terhadap climate justice, mengingat bahwa perempuan di negara-negara Global South adalah kelompok paling terdampak oleh krisis lingkungan. Gerakan ekofeminis yang berkembang di negara-negara seperti India, Filipina, dan Kenya menunjukkan keterkaitan antara eksploitasi lingkungan, kapitalisme global, dan penindasan terhadap perempuan lokal.3

9.2.       Relevansi di Indonesia: Ruang Advokasi dan Tantangan Struktural

Di Indonesia, feminisme sosial-politik memiliki sejarah panjang yang terhubung dengan perjuangan emansipasi, keadilan sosial, dan hak-hak perempuan dalam berbagai rezim kekuasaan. Tokoh seperti R.A. Kartini, meskipun seringkali direduksi dalam narasi emansipasi individual, sejatinya telah meletakkan fondasi penting dalam wacana kritik sosial terhadap patriarki dan kolonialisme.4 Selanjutnya, feminisme Indonesia mengalami dinamika yang kompleks, baik dalam konteks gerakan perempuan era Orde Baru yang terkooptasi negara, maupun dalam reformasi pasca-1998 yang membuka ruang baru bagi aktivisme perempuan.

Feminisme sosial-politik dalam konteks Indonesia hari ini hadir dalam berbagai bentuk: advokasi legislasi, gerakan buruh perempuan, kampanye antikekerasan seksual, serta pendidikan kesadaran gender. Pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada tahun 2022 merupakan bukti konkret keberhasilan strategi feminis progresif yang menyatukan gerakan akar rumput, akademisi, jurnalis, aktivis hukum, dan organisasi masyarakat sipil dalam perjuangan panjang selama lebih dari satu dekade.5

Namun demikian, feminisme di Indonesia juga menghadapi tantangan besar. Di antaranya adalah resistensi budaya yang menganggap feminisme sebagai produk “asing”, penguatan narasi konservatif berbasis agama, serta maraknya ujaran kebencian terhadap aktivis gender di ruang digital. Selain itu, keterwakilan perempuan dalam politik formal seringkali tidak diikuti oleh komitmen substansial terhadap agenda keadilan gender, sehingga banyak kebijakan bersifat simbolik atau terbatas pada representasi kuota.6

Relevansi feminisme sosial-politik di Indonesia juga terletak pada kapasitasnya untuk membaca realitas keragaman identitas: perempuan adat, perempuan difabel, buruh migran, hingga kelompok minoritas agama dan gender. Feminisme yang tidak sensitif terhadap interseksionalitas berisiko mereproduksi dominasi internal dalam gerakan itu sendiri. Oleh karena itu, pendekatan feminisme sosial-politik yang bersifat reflektif, kolektif, dan kontekstual sangat penting untuk membangun agenda perubahan yang lebih adil dan membumi.


Kesimpulan Subbagian

Dalam konteks global maupun lokal, feminisme sosial-politik tetap menjadi alat analisis dan praksis sosial yang sangat relevan. Ia tidak hanya menyoroti ketimpangan berbasis gender, tetapi juga mengintervensi secara aktif berbagai bentuk kekuasaan yang menindas melalui pendekatan yang inklusif, struktural, dan berbasis keadilan. Oleh karena itu, membangun masyarakat yang demokratis, setara, dan beradab sangat bergantung pada seberapa besar ruang diberikan bagi nilai-nilai feminisme sosial-politik untuk tumbuh, bersuara, dan memengaruhi arah perubahan sosial.


Footnotes

[1]                Sonia E. Alvarez, Advocating Feminism: The Latin American Feminist NGO “Boom” (Durham: Duke University Press, 1998), 43–56.

[2]                UN Women, The Impact of COVID-19 on Women (New York: United Nations, 2020), https://www.unwomen.org/en/digital-library/publications/2020/04/policy-brief-the-impact-of-covid-19-on-women.

[3]                Ariel Salleh, “Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the Postmodern,” Zed Books, 2017, 67–85.

[4]                R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang (Jakarta: Balai Pustaka, 2004), pengantar oleh Sitisoemandari Soeroto, ix–xxiv.

[5]                Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU TPKS, “Catatan Perjalanan UU TPKS,” Jurnal Perempuan 107 (2022): 15–34.

[6]                Lies Marcoes-Natsir, “Feminisme dan Politik di Indonesia: Dari Representasi ke Substansi,” Indonesian Feminist Journal 4, no. 2 (2016): 18–25.


10.       Penutup

Feminisme sosial-politik bukan sekadar wacana akademik atau gerakan politik sektoral, melainkan sebuah paradigma kritis yang merangkul kompleksitas realitas sosial kontemporer dan berupaya membongkar sistem penindasan yang berlapis—baik yang bersumber dari patriarki, kapitalisme, rasisme, kolonialisme, maupun konservatisme budaya. Ia memadukan analisis teoritis yang tajam dengan strategi praksis yang membumi, menjadikannya sebagai salah satu aliran feminisme yang paling relevan dan transformatif dalam menjawab tantangan keadilan sosial saat ini.

Sebagaimana telah dibahas dalam bagian-bagian sebelumnya, feminisme sosial-politik mengusung pendekatan yang interseksional dan struktural, mengakui bahwa ketimpangan gender tidak dapat dipahami secara terpisah dari ketidaksetaraan ekonomi, identitas rasial, kelas sosial, serta bentuk-bentuk diskriminasi lainnya. Pendekatan ini memungkinkan feminisme bergerak melampaui batas-batas identitas esensialis menuju perjuangan kolektif untuk transformasi sosial yang menyeluruh.1 Seperti ditegaskan oleh Nancy Fraser, feminisme yang hanya menuntut pengakuan tanpa redistribusi akan terjebak dalam simbolisme; sebaliknya, feminisme yang hanya menekankan redistribusi tanpa mengakui perbedaan identitas berisiko menegasikan suara kelompok marjinal.2

Feminisme sosial-politik juga telah terbukti efektif dalam mendorong perubahan konkret melalui berbagai strategi: mulai dari pendidikan kesadaran kritis, advokasi kebijakan, gerakan akar rumput, hingga solidaritas transnasional. Gerakan ini tidak hanya mengadvokasi hak-hak perempuan secara formal, tetapi juga berupaya merombak relasi kekuasaan yang menciptakan ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari. Pencapaian seperti pengesahan UU TPKS di Indonesia, gerakan buruh perempuan, dan perjuangan komunitas lokal perempuan di banyak belahan dunia adalah bukti bahwa feminisme sosial-politik mampu menjadi kekuatan kolektif yang berdaya dan berkelanjutan.3

Namun demikian, tantangan kontemporer tidaklah ringan. Resurgensi konservatisme, komodifikasi feminisme oleh kapitalisme neoliberal, serta ketegangan internal dalam tubuh gerakan feminis menuntut refleksi terus-menerus. Feminisme sosial-politik harus mampu menjaga akarnya dalam perjuangan keadilan, sambil terus beradaptasi dengan perubahan sosial dan membangun ruang-ruang perjuangan baru yang lebih inklusif dan partisipatif. Sebagaimana dicatat oleh bell hooks, feminisme sejati adalah “perjuangan untuk mengakhiri seksisme, eksploitasi seksis, dan penindasan”, yang berarti bahwa perjuangan ini bersifat menyeluruh dan lintas batas.4

Akhirnya, di tengah dunia yang dilanda krisis multidimensi—dari krisis iklim, krisis demokrasi, hingga krisis nilai kemanusiaan—feminisme sosial-politik hadir sebagai alternatif kritis dan etis yang menawarkan visi perubahan radikal menuju masyarakat yang lebih adil, setara, dan beradab. Ia tidak hanya menuntut kesetaraan hak, tetapi juga menegaskan bahwa tanpa transformasi dalam struktur kekuasaan dan logika sosial, keadilan sejati tidak akan pernah tercapai. Oleh karena itu, keberlanjutan gerakan feminisme sosial-politik menjadi tugas bersama: bukan hanya tugas perempuan, tetapi tugas seluruh masyarakat yang menghendaki dunia yang lebih manusiawi dan bebas dari penindasan.


Footnotes

[1]                Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity Politics, and Violence Against Women of Color,” Stanford Law Review 43, no. 6 (1991): 1241–1299.

[2]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–19.

[3]                Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU TPKS, “Catatan Perjalanan UU TPKS,” Jurnal Perempuan 107 (2022): 15–34.

[4]                bell hooks, Feminism is for Everybody: Passionate Politics (New York: South End Press, 2000), 1.


Daftar Pustaka

Abu-Lughod, L. (2002). Do Muslim women really need saving? Anthropological reflections on cultural relativism and its others. American Anthropologist, 104(3), 783–790. https://doi.org/10.1525/aa.2002.104.3.783

Alvarez, S. E. (1998). Advocating feminism: The Latin American feminist NGO “boom”. Durham, NC: Duke University Press.

Batliwala, S. (2011). Feminist leadership for social transformation: Clearing the conceptual cloud. New Delhi, India: CREA.

Beauvoir, S. de. (1989). The second sex (H. M. Parshley, Trans.). New York, NY: Vintage Books. (Original work published 1949)

Bourdieu, P. (2001). Masculine domination (R. Nice, Trans.). Stanford, CA: Stanford University Press.

Crenshaw, K. (1989). Demarginalizing the intersection of race and sex: A Black feminist critique of antidiscrimination doctrine, feminist theory and antiracist politics. University of Chicago Legal Forum, 1989(1), 139–167.

Crenshaw, K. (1991). Mapping the margins: Intersectionality, identity politics, and violence against women of color. Stanford Law Review, 43(6), 1241–1299. https://doi.org/10.2307/1229039

Davis, A. Y. (1983). Women, race, & class. New York, NY: Vintage Books.

Davis, A. Y. (2016). Freedom is a constant struggle: Ferguson, Palestine, and the foundations of a movement. Chicago, IL: Haymarket Books.

Faludi, S. (1991). Backlash: The undeclared war against American women. New York, NY: Crown Publishing.

Federici, S. (2004). Caliban and the witch: Women, the body and primitive accumulation. New York, NY: Autonomedia.

Federici, S. (2012). Revolution at point zero: Housework, reproduction, and feminist struggle. Oakland, CA: PM Press.

Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. New York, NY: Routledge.

Fraser, N. (2013). Fortunes of feminism: From state-managed capitalism to neoliberal crisis. London, UK: Verso.

Freedman, E. B. (2002). No turning back: The history of feminism and the future of women. New York, NY: Ballantine Books.

Harding, S. (1991). Whose science? Whose knowledge? Thinking from women’s lives. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Haraway, D. (1988). Situated knowledges: The science question in feminism and the privilege of partial perspective. Feminist Studies, 14(3), 575–599. https://doi.org/10.2307/3178066

Hines, S. (2021). The feminist frontier: On trans and feminism. London, UK: Palgrave Macmillan.

hooks, b. (1984). Feminist theory: From margin to center. Boston, MA: South End Press.

hooks, b. (1994). Teaching to transgress: Education as the practice of freedom. New York, NY: Routledge.

hooks, b. (2000). Feminism is for everybody: Passionate politics. New York, NY: South End Press.

Human Rights Watch. (2020). World report 2020: Global backlash against women’s rights. https://www.hrw.org/world-report/2020

Kartini, R. A. (2004). Habis gelap terbitlah terang (S. Soeroto, Ed.). Jakarta, Indonesia: Balai Pustaka.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU TPKS. (2022). Catatan perjalanan UU TPKS: Jalan panjang gerakan perempuan untuk keadilan. Jurnal Perempuan, 107, 15–34.

Krook, M. L., & Childs, S. (Eds.). (2010). Women, gender, and politics: A reader. Oxford, UK: Oxford University Press.

MacKinnon, C. A. (1989). Toward a feminist theory of the state. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Marcoes-Natsir, L. (2016). Feminisme dan politik di Indonesia: Dari representasi ke substansi. Indonesian Feminist Journal, 4(2), 18–25.

Mohanty, C. T. (1984). Under Western eyes: Feminist scholarship and colonial discourses. Boundary 2, 12(3), 333–358. https://doi.org/10.2307/302821

Nussbaum, M. C. (2000). Women and human development: The capabilities approach. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Phillips, A. (1995). The politics of presence. Oxford, UK: Oxford University Press.

Rottenberg, C. (2014). The rise of neoliberal feminism. Cultural Studies, 28(3), 418–437. https://doi.org/10.1080/09502386.2013.857361

Salleh, A. (2017). Ecofeminism as politics: Nature, Marx and the postmodern. London, UK: Zed Books.

Sen, G., & Grown, C. (1987). Development, crises, and alternative visions: Third world women's perspectives. New York, NY: Monthly Review Press.

Wollstonecraft, M. (1792). A vindication of the rights of woman. London, UK: J. Johnson.

Wright, S. E. (2014). Feminist participatory action research: Methodological and ethical issues. In S. N. Hesse-Biber (Ed.), Feminist research practice: A primer (pp. 135–158). Thousand Oaks, CA: SAGE.

Zeisler, A. (2016). We were feminists once: From riot grrrl to CoverGirl®, the buying and selling of a political movement. New York, NY: PublicAffairs.

Young, I. M. (1990). Justice and the politics of difference. Princeton, NJ: Princeton University Press.

UN Women. (2020). The impact of COVID-19 on women. https://www.unwomen.org/en/digital-library/publications/2020/04/policy-brief-the-impact-of-covid-19-on-women


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar