Feminisme Sosial-Politik
Analisis Kritis terhadap Pergulatan Gender dalam Struktur
Kekuasaan dan Keadilan Sosial
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji feminisme sosial-politik
sebagai suatu paradigma kritis dalam merespons ketimpangan gender yang
terstruktur dalam sistem kekuasaan sosial, ekonomi, dan politik. Dengan
pendekatan historis, epistemologis, dan teoretis, artikel ini menelusuri
perkembangan pemikiran feminisme dari berbagai gelombang perjuangan—mulai dari
feminisme liberal hingga interseksional—serta menguraikan bagaimana feminisme
sosial-politik menawarkan alternatif strategis dalam perjuangan keadilan
sosial. Melalui pembacaan terhadap relasi kuasa patriarkis dalam institusi
negara, hukum, budaya, dan ekonomi, feminisme sosial-politik menegaskan
pentingnya pendekatan yang mengintegrasikan redistribusi ekonomi dan pengakuan
identitas. Artikel ini juga menyoroti tantangan kontemporer yang dihadapi
gerakan feminis, termasuk resurgensi konservatisme, neoliberalisasi feminisme,
serta fragmentasi internal gerakan. Dengan menelaah dinamika global dan
lokal—khususnya dalam konteks Indonesia—artikel ini menegaskan bahwa feminisme
sosial-politik tetap relevan sebagai alat analisis sekaligus strategi
transformatif dalam menciptakan masyarakat yang adil, setara, dan bebas dari
penindasan struktural.
Kata Kunci: feminisme sosial-politik; patriarki; keadilan
sosial; interseksionalitas; kekuasaan; gerakan perempuan; redistribusi;
pengakuan; politik gender; Indonesia.
PEMBAHASAN
Feminisme Sosial-Politik sebagai Aliran Filsafat Sosial-Politik
1.
Pendahuluan
Ketimpangan gender
merupakan salah satu bentuk ketidakadilan sosial yang paling sistemik dan
berakar dalam sejarah peradaban manusia. Meskipun telah terjadi berbagai
kemajuan dalam bidang hukum, pendidikan, dan partisipasi politik, perempuan dan
kelompok gender minoritas masih mengalami diskriminasi struktural yang
dilembagakan dalam sistem sosial dan politik kontemporer. Feminisme sebagai
sebuah gerakan intelektual dan sosial hadir sebagai respons terhadap dominasi
sistem patriarki yang mengabaikan, merendahkan, atau menghapus peran dan suara
perempuan dalam ruang publik maupun privat. Dalam konteks ini, feminisme
sosial-politik berkembang sebagai paradigma kritis yang tidak hanya menyoroti
persoalan relasi gender, tetapi juga mengaitkannya dengan dinamika kekuasaan,
ekonomi, dan keadilan sosial secara lebih luas.
Feminisme
sosial-politik menyoroti cara kekuasaan terdistribusi secara tidak merata dalam
masyarakat dan bagaimana relasi gender diproduksi dan direproduksi melalui
institusi politik, ekonomi, hukum, dan budaya. Nancy Fraser, salah satu pemikir
feminisme kontemporer terkemuka, menekankan pentingnya menggabungkan perjuangan
atas "pengakuan"
(recognition) dan "redistribusi" (redistribution)
dalam membangun keadilan sosial berbasis gender yang menyeluruh, mengkritik
pendekatan feminisme liberal yang dinilainya terlalu individualistik dan tidak
cukup menyentuh akar ketimpangan ekonomi struktural yang dialami oleh perempuan
kelas pekerja dan rasial minoritas.1 Perspektif semacam ini
memperkuat posisi feminisme sosial-politik sebagai gerakan multidimensi yang
melibatkan analisis kelas, ras, dan relasi global dalam perjuangan keadilan
gender.
Kemunculan feminisme
sosial-politik tidak dapat dipisahkan dari transformasi gerakan feminisme dari
gelombang pertama hingga gelombang ketiga dan keempat, yang masing-masing membawa
agenda, metode, dan bentuk perjuangan yang berbeda. Jika feminisme gelombang
pertama lebih fokus pada hak-hak legal perempuan (seperti hak suara), maka
feminisme gelombang kedua dan ketiga mulai menyentuh aspek-aspek struktural dan
kultural dari subordinasi perempuan, serta memperluas cakupan analisis terhadap
perbedaan ras, kelas, dan orientasi seksual.2 Gelombang ini menjadi
pijakan bagi berkembangnya perspektif feminisme sosial-politik yang
mengintegrasikan pemikiran kritis Marxis, sosialis, dan interseksional dalam
melihat persoalan gender sebagai bagian dari sistem penindasan yang kompleks
dan saling bertaut.
Urgensi pembahasan
feminisme sosial-politik menjadi semakin relevan di tengah meningkatnya
tantangan global seperti konservatisme politik, fundamentalisme agama,
neoliberalisme ekonomi, serta krisis iklim dan kemiskinan global yang secara
tidak proporsional berdampak pada perempuan dan kelompok rentan.3 Di
banyak negara, termasuk Indonesia, meskipun perempuan telah menduduki
posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan masyarakat sipil, ketimpangan
dalam distribusi kekuasaan, sumber daya, dan representasi tetap menjadi
persoalan akut. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menyajikan analisis
kritis terhadap pergulatan gender dalam struktur kekuasaan dan upaya mewujudkan
keadilan sosial melalui pendekatan feminisme sosial-politik sebagai salah satu
aliran pemikiran yang paling transformatif dalam kajian gender dan politik
kontemporer.
Footnotes
[1]
Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism
to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 164–165.
[2]
Estelle Freedman, No Turning Back: The History of Feminism and the
Future of Women (New York: Ballantine Books, 2002), 3–10.
[3]
Sylvia Walby, Crisis (Cambridge: Polity Press, 2015), 120–125.
2.
Landasan Historis dan Genealogi Feminisme
Sosial-Politik
Feminisme sebagai
gerakan sosial dan pemikiran teoretis tidak muncul dalam ruang hampa. Ia
berkembang dalam konteks sejarah panjang perjuangan perempuan melawan dominasi
patriarki yang terlembaga dalam sistem politik, hukum, dan kebudayaan. Secara
garis besar, perkembangan sejarah feminisme diklasifikasikan ke dalam beberapa
“gelombang” (waves), masing-masing mencerminkan dinamika sosial-politik
zamannya dan agenda perjuangan yang diusung oleh para feminis.
2.1.
Feminisme Gelombang
Pertama: Emansipasi dan Hak Politik
Gelombang pertama
feminisme muncul pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di dunia Barat,
terutama di Inggris dan Amerika Serikat. Fokus utama gerakan ini adalah pada
upaya memperoleh hak-hak sipil dan politik perempuan, khususnya hak untuk
memilih dalam pemilu (suffrage). Tokoh-tokoh seperti Mary Wollstonecraft,
Elizabeth Cady Stanton, dan Susan B. Anthony memperjuangkan emansipasi
perempuan dalam kerangka hak-hak individu yang setara dengan laki-laki.1
Meskipun memiliki peran penting dalam membuka ruang partisipasi politik bagi
perempuan, gelombang pertama sering dikritik karena cenderung merepresentasikan
kepentingan perempuan kulit putih kelas menengah dan mengabaikan dimensi ras,
kelas, serta kolonialisme.
2.2.
Feminisme Gelombang Kedua:
Relasi Kuasa dan Ketimpangan Struktural
Feminisme gelombang
kedua yang berkembang pada era 1960-an hingga 1980-an ditandai oleh perluasan
isu perjuangan, dari hak-hak legal menuju pengakuan atas ketidakadilan
struktural dan kultural. Feminis gelombang ini menekankan bahwa “yang
personal adalah politis” (the personal is political),
menunjukkan bahwa ketidaksetaraan dalam rumah tangga, relasi seksual, serta
norma sosial merupakan cerminan dari relasi kuasa dalam masyarakat luas.2
Tokoh seperti Simone de Beauvoir melalui The Second Sex menyatakan bahwa
perempuan tidak “dilahirkan”, tetapi “dibentuk” oleh konstruksi
sosial yang mendefinisikan inferioritas mereka.3 Pada masa ini pula
muncul feminisme Marxis dan sosialis yang mengaitkan penindasan perempuan
dengan sistem kapitalisme dan pembagian kerja berbasis gender.
2.3.
Feminisme Gelombang Ketiga
dan Interseksionalitas
Mulai akhir 1980-an
hingga awal 2000-an, feminisme gelombang ketiga berkembang sebagai respons
terhadap keterbatasan feminisme arus utama yang dianggap terlalu homogen.
Pendekatan interseksionalitas yang diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw
memperluas analisis feminisme dengan memperhatikan bagaimana identitas
ganda—seperti ras, kelas, gender, dan orientasi seksual—membentuk pengalaman
penindasan secara simultan.4 Feminisme sosial-politik sangat
dipengaruhi oleh perspektif ini karena membuka ruang kritik terhadap
universalitas perempuan sebagai kategori homogen dan memperjuangkan keadilan
dengan mempertimbangkan kompleksitas pengalaman yang berbeda.
2.4.
Feminisme Gelombang Keempat
dan Gerakan Global
Memasuki abad ke-21,
feminisme gelombang keempat muncul dengan ciri digitalisasi gerakan,
solidaritas transnasional, dan penekanan pada isu kekerasan seksual,
eksploitasi tubuh, serta representasi dalam media.5 Kampanye seperti
#MeToo menunjukkan bagaimana feminisme sosial-politik kini tidak hanya berkutat
pada analisis teoretis, tetapi juga terwujud dalam bentuk gerakan global yang
menuntut akuntabilitas institusional dan perubahan sosial konkret. Dalam konteks
inilah feminisme sosial-politik menjadi lebih bersifat global, interseksi, dan
terhubung erat dengan perjuangan keadilan ekonomi dan hak asasi manusia.
Dengan demikian,
feminisme sosial-politik merupakan hasil historis dari berbagai gelombang
perjuangan feminis yang berkembang secara dialektis. Ia tidak hanya berfokus
pada isu kesetaraan gender secara sempit, tetapi juga mengejawantahkan
pemikiran kritis terhadap sistem kekuasaan, ketimpangan ekonomi, serta
ketidakadilan kultural yang menindas perempuan dan kelompok-kelompok marginal.
Pemahaman atas genealogi ini penting sebagai fondasi teoretis dalam
menganalisis peran feminisme sebagai kekuatan transformatif dalam masyarakat
kontemporer.
Footnotes
[1]
Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman
(London: J. Johnson, 1792); Elizabeth Cady Stanton et al., History of Woman
Suffrage (New York: Fowler and Wells, 1881).
[2]
Betty Friedan, The Feminine Mystique (New York: W. W. Norton
& Company, 1963), 15–20.
[3]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H. M. Parshley (New
York: Vintage Books, 1989), 267.
[4]
Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity
Politics, and Violence Against Women of Color,” Stanford Law Review
43, no. 6 (1991): 1241–1299.
[5]
Alison Phipps, Me, Not You: The Trouble with Mainstream Feminism
(Manchester: Manchester University Press, 2020), 4–6.
3.
Dasar Epistemologis dan Teoretis
Epistemologi feminis
lahir sebagai kritik terhadap dominasi pengetahuan maskulin dalam tradisi
filsafat Barat yang selama berabad-abad mengabaikan pengalaman perempuan
sebagai sumber pengetahuan yang sah. Feminisme sosial-politik berakar dari
pandangan bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang netral dan objektif secara
universal, melainkan selalu dibentuk dalam konteks relasi kekuasaan yang
timpang, termasuk relasi gender. Oleh karena itu, epistemologi feminis
menekankan pentingnya situated knowledge—pengetahuan yang
berangkat dari pengalaman tubuh, sejarah, dan posisi sosial tertentu—sebagai
alternatif terhadap klaim kebenaran yang universalistik dan patriarkal.1
Donna Haraway, dalam
konsepnya tentang situated knowledges, menolak ilusi
objektivitas ilmiah yang diasosiasikan dengan “pandangan dari tempat tak
bertubuh,” dan mendorong pengakuan terhadap perspektif yang terbentuk dari
pengalaman konkret yang terinkarnasi.2 Hal ini menggeser orientasi
epistemologis feminisme dari sekadar mengoreksi kekeliruan data tentang
perempuan menuju upaya mendekonstruksi kerangka dasar produksi pengetahuan yang
bias gender. Dengan demikian, epistemologi feminis tidak hanya bersifat
korektif, melainkan juga transformatif.
Secara teoretis,
feminisme sosial-politik tidak dapat dilepaskan dari pengaruh berbagai
pendekatan dalam spektrum pemikiran feminis, seperti feminisme liberal,
radikal, Marxis, sosialis, dan interseksional. Feminisme liberal
mengadvokasi persamaan hak individu dalam ranah publik dan menekankan
pentingnya reformasi hukum untuk menghapus diskriminasi gender.3
Namun, pendekatan ini sering dikritik karena tidak cukup menyentuh akar
struktural dari ketimpangan sosial-ekonomi. Sebagai respons terhadap hal itu,
feminisme radikal berupaya membongkar
struktur patriarki secara menyeluruh dengan menyoroti dominasi laki-laki dalam
seksualitas, keluarga, dan tubuh perempuan.4
Sementara itu,
feminisme Marxis dan sosialis
mengaitkan penindasan gender dengan logika kapitalisme. Dalam pandangan ini,
perempuan diposisikan sebagai tenaga kerja domestik tidak dibayar yang menopang
akumulasi kapital. Teoretisi seperti Silvia Federici dan Angela Davis menyoroti
bagaimana eksploitasi tubuh perempuan, kerja reproduktif, dan rasisme terjalin
dalam sistem kapitalisme global yang menindas perempuan kelas bawah dan
perempuan kulit berwarna.5 Feminisme interseksional, yang
dikembangkan oleh Kimberlé Crenshaw, menawarkan sintesis penting dengan
menunjukkan bahwa pengalaman penindasan perempuan tidak bisa dipahami hanya
dari satu dimensi (gender), tetapi harus dianalisis secara simultan melalui ras,
kelas, orientasi seksual, disabilitas, dan kategori sosial lainnya.6
Pendekatan
interseksional ini menjadi pilar penting dalam feminisme sosial-politik karena
ia memberikan kerangka analisis yang lebih inklusif, kontekstual, dan relevan
terhadap realitas global yang kompleks. Feminisme sosial-politik juga
mengadopsi metode kritis untuk memahami bagaimana relasi kuasa terbentuk dan
dilembagakan dalam sistem sosial-politik. Teori ini tidak berhenti pada tingkat
analisis, tetapi juga mendorong praksis transformasional, yaitu keterlibatan
aktif dalam perubahan sosial melalui gerakan politik, pendidikan kritis, dan
aksi kolektif.
Dengan demikian,
dasar epistemologis dan teoretis feminisme sosial-politik bertumpu pada
pengakuan terhadap pluralitas pengalaman perempuan, penolakan terhadap klaim
netralitas pengetahuan, dan penggunaan alat-alat analisis kritis terhadap
struktur kekuasaan patriarkal dan kapitalistik. Pendekatan ini menjadikan
feminisme bukan sekadar teori tentang perempuan, tetapi sebagai kerangka
berpikir dan bertindak untuk menciptakan keadilan sosial yang menyeluruh dan
berkeadaban.
Footnotes
[1]
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from
Women’s Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 2–5.
[2]
Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism
and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist Studies 14, no. 3
(1988): 575–599.
[3]
Martha Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities
Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 56–60.
[4]
Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State
(Cambridge: Harvard University Press, 1989), 115–120.
[5]
Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women, the Body and
Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 61–89; Angela Y.
Davis, Women, Race, & Class (New York: Vintage Books, 1983),
112–128.
[6]
Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex: A
Black Feminist Critique of Antidiscrimination Doctrine, Feminist Theory and
Antiracist Politics,” University of Chicago Legal Forum 1 (1989):
139–167.
4.
Kritik terhadap Struktur Kekuasaan Patriarkis
Salah satu
kontribusi utama feminisme sosial-politik adalah pembongkaran sistem kekuasaan
patriarkis yang dianggap sebagai akar dari ketimpangan gender dalam masyarakat.
Patriarki tidak sekadar dipahami sebagai dominasi laki-laki atas perempuan
dalam ruang privat, tetapi sebagai suatu sistem sosial-politik yang tertanam
dalam institusi negara, hukum, ekonomi, dan budaya yang secara sistemik
mendiskriminasi dan mengeksklusi perempuan dari pusat-pusat kekuasaan.
Feminisme sosial-politik mengkritisi struktur ini sebagai bentuk kekuasaan
hegemonik yang bersifat eksploitatif dan eksklusif, menciptakan hierarki
berdasarkan gender yang menyusup ke dalam setiap aspek kehidupan sosial.
4.1.
Negara dan Hukum sebagai
Instrumen Patriarki
Feminisme
sosial-politik menyoroti bagaimana negara dan hukum berperan sebagai agen
reproduksi struktur patriarkis. Dalam perspektif feminis kritis, negara bukan
entitas netral, melainkan terlibat aktif dalam melanggengkan dominasi gender
melalui regulasi yang bias dan eksklusi perempuan dari proses pengambilan
keputusan. Catharine MacKinnon, misalnya, berargumen bahwa hukum secara
historis dirancang oleh dan untuk laki-laki, sehingga nilai-nilai maskulin
dijadikan standar dalam penilaian etika, keadilan, dan hak.1 Hal ini
terlihat dalam ketidakmampuan sistem hukum untuk menangani kekerasan berbasis
gender secara adil, seperti kasus pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga,
dan pelecehan seksual, yang kerap disimplifikasi atau disangkal oleh norma
legal yang patriarkis.
4.2.
Representasi Politik dan
Eksklusi Perempuan
Dalam bidang
politik, perempuan secara historis mengalami eksklusi baik secara formal maupun
informal. Meskipun telah terjadi peningkatan keterwakilan perempuan dalam
lembaga legislatif di berbagai negara, keberadaan mereka sering kali bersifat
simbolik dan belum menyentuh substansi kekuasaan.2 Feminisme
sosial-politik mengkritik sistem demokrasi liberal yang secara formal menjamin
partisipasi semua warga, namun dalam praktiknya diwarnai oleh mekanisme
eksklusi struktural—seperti dominasi partai, modal politik, dan kultur maskulin
dalam dunia politik—yang menyulitkan perempuan untuk mengakses dan mengubah
kebijakan secara signifikan.3 Dengan demikian, keterwakilan
perempuan di ranah politik harus dikaji secara kritis dalam relasinya dengan
struktur kekuasaan dan wacana yang melingkupinya.
4.3.
Kekuasaan Simbolik dan
Dominasi Kultural
Pierre Bourdieu,
dalam Masculine
Domination, menunjukkan bagaimana kekuasaan patriarki bekerja
melalui apa yang ia sebut sebagai kekerasan simbolik (symbolic
violence), yaitu bentuk dominasi yang terselubung melalui habitus, bahasa, dan
budaya sehari-hari yang melegitimasi inferioritas perempuan tanpa paksaan fisik
langsung.4 Dominasi ini sangat kuat karena bekerja melalui
internalisasi nilai-nilai gender yang diterima tanpa disadari oleh laki-laki
maupun perempuan. Misalnya, anggapan bahwa kepemimpinan adalah sifat alami
laki-laki atau bahwa perempuan lebih cocok di ranah domestik merupakan wujud
dari hegemoni simbolik yang menyusup dalam sistem pendidikan, media, dan norma
sosial.
4.4.
Institusi Sosial sebagai
Agen Reproduksi Patriarki
Feminisme
sosial-politik juga menyoroti bagaimana institusi sosial seperti keluarga,
sekolah, dan tempat kerja menjadi arena reproduksi relasi kuasa patriarkis.
Keluarga, misalnya, dipandang bukan sekadar institusi biologis, tetapi juga
politis, tempat berlangsungnya reproduksi ketimpangan gender melalui pembagian
kerja rumah tangga yang tidak setara, pendidikan anak yang bias gender, serta
kontrol atas tubuh dan reproduksi perempuan.5 Begitu pula dalam
dunia kerja, perempuan sering terjebak dalam pekerjaan bergaji rendah, tidak
terlindungi, dan dianggap sebagai “pelengkap,” sementara kepemimpinan dan
keputusan strategis didominasi oleh laki-laki.
Dengan demikian,
feminisme sosial-politik tidak hanya mengungkap keberadaan patriarki, tetapi
juga membongkar cara kerjanya yang kompleks dan melembaga dalam struktur
sosial. Kritik terhadap struktur kekuasaan patriarkis tidak dimaksudkan
semata-mata untuk memberi ruang bagi perempuan dalam sistem yang sudah ada,
melainkan untuk merombak paradigma kekuasaan itu sendiri, sehingga lahir sistem
sosial-politik yang lebih adil, egaliter, dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State
(Cambridge: Harvard University Press, 1989), 237–242.
[2]
Anne Phillips, The Politics of Presence (Oxford: Oxford
University Press, 1995), 57–75.
[3]
Mona Lena Krook and Sarah Childs, eds., Women, Gender, and
Politics: A Reader (Oxford: Oxford University Press, 2010), 11–18.
[4]
Pierre Bourdieu, Masculine Domination, trans. Richard Nice
(Stanford: Stanford University Press, 2001), 1–10.
[5]
Silvia Federici, Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction,
and Feminist Struggle (Oakland: PM Press, 2012), 15–22.
5.
Feminisme dan Keadilan Sosial
Feminisme
sosial-politik tidak dapat dilepaskan dari agenda besar keadilan sosial.
Gerakan ini melampaui perjuangan legal-formal untuk kesetaraan gender, dan
menekankan pentingnya perubahan struktural yang mencakup dimensi ekonomi,
politik, dan kultural secara simultan. Keadilan sosial dalam konteks feminisme
berarti menciptakan kondisi di mana semua individu, terutama perempuan dan
kelompok rentan, memiliki akses yang setara terhadap sumber daya, kekuasaan,
dan pengakuan sosial.
5.1.
Keadilan sebagai
Redistribusi: Kritik terhadap Ketimpangan Ekonomi
Salah satu kontribusi
utama feminisme sosial-politik terhadap diskursus keadilan sosial adalah
kritiknya terhadap ketimpangan ekonomi yang bersumber dari sistem kapitalisme
patriarkal. Dalam sistem ini, perempuan secara historis ditempatkan dalam
posisi subordinat, baik sebagai tenaga kerja domestik tak dibayar maupun
pekerja bergaji rendah dalam sektor informal dan layanan. Nancy Fraser dalam
kerangka “dual justice” menekankan bahwa keadilan sosial hanya bisa
dicapai melalui redistribusi sumber daya ekonomi yang selama ini terpusat pada
kelompok dominan—khususnya laki-laki kulit putih kelas menengah ke atas di
negara maju.1
Feminisme Marxis dan
sosialis berperan penting dalam mengungkap bagaimana kapitalisme
mengeksploitasi kerja reproduktif perempuan, yakni kerja yang tidak
menghasilkan komoditas langsung, tetapi menopang keberlangsungan tenaga kerja
dan kapital itu sendiri. Silvia Federici menyoroti bahwa kerja rumah tangga dan
pengasuhan yang dilakukan perempuan adalah bentuk produksi sosial yang tidak
diakui oleh sistem ekonomi kapitalis, meskipun esensial bagi keberlangsungan
masyarakat.2 Tanpa pengakuan dan redistribusi nilai terhadap kerja
tersebut, keadilan sosial bagi perempuan tetap ilusi.
5.2.
Keadilan sebagai Pengakuan:
Identitas, Martabat, dan Representasi
Selain redistribusi,
keadilan sosial dalam feminisme juga mencakup aspek pengakuan
(recognition),
yakni pengakuan atas identitas, martabat, dan eksistensi kelompok-kelompok yang
selama ini terpinggirkan oleh wacana dominan. Pengakuan ini mencakup pemahaman
bahwa ketimpangan bukan hanya terjadi karena kekurangan materi, tetapi juga
karena penghapusan simbolik terhadap pengalaman dan nilai-nilai perempuan dalam
ruang publik. Dalam masyarakat patriarkis, suara perempuan seringkali tidak
dianggap otoritatif atau “rasional,” sehingga dikesampingkan dalam
proses pengambilan keputusan politik maupun ilmiah.3
Konsep pengakuan
menjadi sangat penting dalam memperjuangkan representasi yang adil, terutama
bagi perempuan dari kelompok minoritas ras, etnis, dan orientasi seksual.
Feminisme interseksional menuntut keadilan tidak hanya berdasarkan kategori
gender semata, tetapi juga dalam kaitannya dengan dimensi ras, kelas, dan
lokasi geopolitik.4 Hal ini memperkuat posisi feminisme
sosial-politik sebagai kerangka analisis dan aksi yang menolak universalisme
dan mengedepankan keadilan berbasis perbedaan yang diakui secara setara.
5.3.
Kebijakan Publik dan
Solidaritas Kelas-Gender
Feminisme
sosial-politik juga menekankan pentingnya kebijakan publik yang berpihak pada
perempuan dan kelompok rentan sebagai bagian dari agenda keadilan sosial. Hal
ini mencakup kebijakan yang menjamin upah layak, cuti melahirkan, jaminan
sosial, pendidikan yang setara, serta akses terhadap layanan kesehatan dan
reproduksi yang berkualitas. Negara dalam hal ini harus diposisikan bukan
sebagai institusi netral, tetapi sebagai alat intervensi politik untuk
membongkar struktur ketimpangan dan menciptakan distribusi yang lebih adil.
Solidaritas antara
perempuan dari berbagai latar belakang menjadi fondasi penting dalam membangun
agenda feminisme yang inklusif. Hal ini menuntut sinergi antara perjuangan
kelas dan perjuangan gender, bukan sebagai dikotomi, tetapi sebagai basis
perlawanan terhadap sistem yang menindas secara multidimensi. Seperti
disampaikan oleh Angela Davis, perjuangan untuk pembebasan perempuan tidak akan
lengkap tanpa melibatkan perlawanan terhadap rasisme, kolonialisme, dan
kapitalisme yang saling menopang struktur ketidakadilan global.5
Dengan demikian,
feminisme sosial-politik memberikan kontribusi penting dalam merumuskan
keadilan sosial sebagai proses multidimensi yang menyatukan redistribusi
ekonomi, pengakuan identitas, dan partisipasi politik. Keadilan bagi perempuan
tidak hanya berarti memperoleh hak yang sama, tetapi juga menghapus struktur
dan logika dominasi yang selama ini menciptakan ketimpangan dalam berbagai lini
kehidupan.
Footnotes
[1]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 13–25.
[2]
Silvia Federici, Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction,
and Feminist Struggle (Oakland: PM Press, 2012), 15–30.
[3]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 40–44.
[4]
Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity
Politics, and Violence Against Women of Color,” Stanford Law Review
43, no. 6 (1991): 1241–1299.
[5]
Angela Y. Davis, Freedom Is a Constant Struggle: Ferguson,
Palestine, and the Foundations of a Movement (Chicago: Haymarket Books,
2016), 22–35.
6.
Interseksionalitas dan Kompleksitas Identitas
Feminisme
sosial-politik mengalami transformasi penting ketika mulai mengadopsi
pendekatan interseksionalitas, yaitu
kerangka analisis yang memahami bahwa pengalaman perempuan tidak bisa
dipisahkan dari persilangan antara berbagai identitas sosial, seperti ras,
kelas, etnisitas, orientasi seksual, agama, disabilitas, dan status
kewarganegaraan. Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh Kimberlé
Crenshaw, seorang sarjana hukum dan aktivis feminis kulit
hitam, dalam kritiknya terhadap pendekatan hukum yang gagal mengakomodasi
pengalaman perempuan kulit hitam karena hanya menganalisis diskriminasi
berdasarkan satu kategori identitas secara terpisah—baik gender atau
ras, bukan keduanya sekaligus.1
Interseksionalitas
menyadarkan kita bahwa perempuan bukanlah kategori homogen. Pengalaman
ketidakadilan yang dialami oleh perempuan miskin kulit hitam di Amerika
Serikat, misalnya, sangat berbeda dari perempuan kulit putih kelas menengah
atau perempuan adat di negara-negara Global South. Oleh karena itu, feminisme
yang hanya berbicara atas nama “perempuan” secara umum tanpa mengakui
kompleksitas dan perbedaan internal justru berisiko mereproduksi bentuk
dominasi baru dalam gerakan itu sendiri—sebuah kritik yang sering dilontarkan
kepada feminisme liberal Barat.2
6.1.
Kritik terhadap
Universalisme Feminisme Arus Utama
Pendekatan
interseksional menolak universalisme dalam feminisme arus utama yang seringkali
mengasumsikan bahwa pengalaman perempuan kulit putih, heteroseksual, dan
berpendidikan tinggi mewakili seluruh perempuan. Hal ini telah dikritik secara
tajam oleh feminis kulit berwarna, feminis postkolonial, dan feminis dunia
ketiga. Misalnya, Chandra Talpade Mohanty
mengkritik cara perempuan dunia ketiga seringkali direpresentasikan secara
simplistik sebagai korban pasif dalam narasi feminis global, tanpa
memperhitungkan agensi, sejarah lokal, dan resistensi mereka sendiri terhadap
penindasan.3
Feminisme
sosial-politik yang mengintegrasikan interseksionalitas tidak hanya mengakui
keberagaman pengalaman perempuan, tetapi juga mengevaluasi bagaimana sistem
penindasan saling beririsan: kapitalisme dengan rasisme, kolonialisme dengan
patriarki, atau homofobia dengan nasionalisme. Dengan demikian, ia menuntut
perubahan struktur secara menyeluruh dan menyusun strategi perjuangan yang
tidak sektoral, melainkan kolektif dan terhubung lintas isu.
6.2.
Identitas, Kekuasaan, dan
Representasi Politik
Pendekatan
interseksional juga memberikan kontribusi penting dalam membaca dinamika
representasi politik. Representasi perempuan dalam parlemen atau ruang publik
bukan hanya soal jumlah (kuantitas), tetapi juga menyangkut siapa yang
mewakili, bagaimana posisi sosial mereka, dan apakah mereka membawa kepentingan
perempuan marjinal dalam wacana politik arus utama. Seorang perempuan elite
yang memperoleh akses kekuasaan belum tentu merepresentasikan perempuan miskin,
pekerja migran, atau minoritas seksual.4 Oleh karena itu, feminisme
sosial-politik menuntut pemaknaan ulang terhadap representasi politik dengan
menekankan pada representasi substantif, bukan
hanya simbolik.
6.3.
Pengalaman Perempuan di
Global South dan Feminisme Postkolonial
Interseksionalitas
juga memperkuat kritik feminisme postkolonial terhadap warisan kolonialisme
dalam sistem pengetahuan dan praktik feminisme global. Banyak feminis di
negara-negara berkembang menolak dikonstruksi sebagai “terbelakang” atau “tak berdaya”
oleh narasi feminis Barat yang paternalistik. Mereka menekankan bahwa
bentuk-bentuk penindasan yang mereka alami tidak bisa dilepaskan dari sejarah
kolonialisme, globalisasi ekonomi, dan intervensi budaya asing.5
Dalam konteks ini, feminisme sosial-politik bersifat plural dan menyesuaikan
diri dengan konteks lokal, seraya tetap terhubung dengan perjuangan solidaritas
transnasional.
Dengan
mengintegrasikan pendekatan interseksionalitas, feminisme sosial-politik
menawarkan kerangka yang lebih adil, inklusif, dan reflektif terhadap
kompleksitas pengalaman perempuan. Hal ini tidak hanya memperluas cakupan
perjuangan feminis, tetapi juga memperkuat kemampuannya untuk merumuskan agenda
keadilan sosial yang menyentuh akar ketidaksetaraan secara lebih mendalam dan
transformatif.
Footnotes
[1]
Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex: A
Black Feminist Critique of Antidiscrimination Doctrine, Feminist Theory and
Antiracist Politics,” University of Chicago Legal Forum 1, no. 8
(1989): 139–167.
[2]
bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center (Boston:
South End Press, 1984), 1–15.
[3]
Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and
Colonial Discourses,” Boundary 2 12, no. 3 (1984): 333–358.
[4]
Anne Phillips, The Politics of Presence (Oxford: Oxford
University Press, 1995), 76–82.
[5]
Lila Abu-Lughod, “Do Muslim Women Really Need Saving? Anthropological
Reflections on Cultural Relativism and Its Others,” American Anthropologist
104, no. 3 (2002): 783–790.
7.
Strategi Perjuangan Feminisme Sosial-Politik
Feminisme
sosial-politik tidak hanya berhenti pada tataran kritik terhadap struktur
patriarki dan ketimpangan sosial, tetapi juga berperan aktif dalam merumuskan
strategi perjuangan transformatif yang menjembatani teori dan praksis. Strategi
ini mencakup berbagai pendekatan yang bersifat teoritis, politis, dan aksi
kolektif, serta menyesuaikan diri dengan konteks sosial-budaya dan kondisi
historis tertentu. Tujuannya adalah mengintervensi secara langsung sistem
kekuasaan dan menciptakan bentuk-bentuk relasi sosial yang lebih egaliter,
inklusif, dan berkeadilan.
7.1.
Gerakan Akar Rumput dan
Organisasi Basis
Salah satu kekuatan
utama feminisme sosial-politik adalah keberpihakannya pada gerakan akar rumput
yang tumbuh dari pengalaman langsung perempuan dalam komunitas. Organisasi
perempuan lokal, koperasi, jaringan pekerja rumah tangga, kelompok tani
perempuan, dan komunitas adat sering menjadi motor utama perubahan sosial di
tingkat bawah. Dalam konteks Global South, organisasi semacam ini berfungsi
tidak hanya sebagai ruang advokasi hak-hak perempuan, tetapi juga sebagai
wahana untuk membangun kemandirian ekonomi dan solidaritas sosial.1
Gerakan ini
menghindari pendekatan top-down dan cenderung mengedepankan metode
partisipatif, di mana perempuan menjadi subjek aktif dalam merumuskan solusi
atas persoalan mereka sendiri. Strategi ini selaras dengan pendekatan feminist
participatory action research (FPAR) yang menempatkan pengalaman
dan suara perempuan sebagai sumber utama pengetahuan dan arah gerakan.2
7.2.
Advokasi Kebijakan Publik
dan Legislasi Progresif
Feminisme
sosial-politik juga aktif dalam ranah institusional melalui advokasi terhadap
kebijakan publik yang responsif gender. Hal ini mencakup tekanan terhadap
pemerintah untuk mengesahkan undang-undang perlindungan perempuan, memperluas
akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, memperkuat sistem pengaduan
kekerasan berbasis gender, dan mengembangkan anggaran responsif gender dalam
perencanaan pembangunan nasional dan daerah.3
Perjuangan ini
menuntut kerja strategis lintas sektor, termasuk kemitraan dengan anggota
legislatif, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan media massa.
Keberhasilan pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di
Indonesia, misalnya, merupakan hasil dari kerja panjang gerakan feminis yang
menggabungkan aksi jalanan, riset akademik, diplomasi politik, dan kampanye
publik secara simultan.4
7.3.
Pendidikan Kesadaran Kritis
dan Transformatif
Feminisme
sosial-politik memandang pendidikan sebagai alat utama pembebasan. Pendidikan
tidak hanya sebatas transfer pengetahuan, tetapi sebagai proses pembentukan
kesadaran kritis (conscientization) yang membongkar
internalisasi nilai-nilai patriarkis dan membuka ruang kesadaran gender yang
progresif. Inspirasi dari Paulo Freire dan bell hooks memperkuat bahwa
pendidikan yang dialogis dan reflektif dapat menjadi ruang perjuangan politik
yang radikal.5
Pendidikan feminis dijalankan
melalui berbagai bentuk: sekolah komunitas, workshop, teater rakyat, pelatihan
kader, hingga kurikulum sekolah dan perguruan tinggi yang mengintegrasikan
perspektif gender. Tujuannya adalah menciptakan generasi yang mampu mengenali
ketidakadilan gender dan memiliki kapasitas untuk melawan serta merekonstruksi
tatanan sosial yang lebih adil.
7.4.
Aliansi Strategis dan
Solidaritas Transnasional
Dalam dunia yang
semakin saling terhubung, feminisme sosial-politik memperluas medan perjuangan
ke tingkat global dengan membangun jaringan solidaritas lintas negara dan
budaya. Jaringan ini muncul dalam berbagai bentuk, seperti World
March of Women, AWID (Association for Women’s Rights in
Development), hingga kampanye digital transnasional seperti #NiUnaMenos
dan #MeToo.
Gerakan ini menunjukkan bahwa penindasan terhadap perempuan tidak mengenal
batas geografis, dan bahwa perjuangan lokal harus dikaitkan dengan perjuangan
global dalam kerangka anti-kolonial, anti-rasis, dan anti-kapitalis.6
Aliansi strategis
juga penting untuk menghindari sektarianisme dalam gerakan. Feminisme
sosial-politik mendorong solidaritas dengan gerakan pekerja, lingkungan,
anti-rasisme, hak-hak LGBTQ+, serta perjuangan kelompok adat dan minoritas
agama. Strategi ini menekankan pentingnya membangun gerakan lintas isu dan
memperjuangkan bentuk keadilan yang menyeluruh.
Dengan demikian,
strategi perjuangan feminisme sosial-politik bersifat multidimensi: membangun
dari bawah melalui organisasi komunitas, mendorong perubahan institusional
melalui kebijakan publik, menciptakan kesadaran melalui pendidikan kritis,
serta menggalang kekuatan global melalui solidaritas transnasional.
Strategi-strategi ini menjadikan feminisme sosial-politik bukan hanya gerakan
protes, melainkan proyek pembebasan yang visioner dan transformatif.
Footnotes
[1]
Srilatha Batliwala, Feminist Leadership for Social Transformation:
Clearing the Conceptual Cloud (New Delhi: CREA, 2011), 12–18.
[2]
Sarah E. Wright, “Feminist Participatory Action Research:
Methodological and Ethical Issues,” Feminist Research Practice: A Primer,
ed. Sharlene Nagy Hesse-Biber (Thousand Oaks: SAGE, 2014), 135–158.
[3]
Gita Sen and Caren Grown, Development, Crises, and Alternative
Visions: Third World Women's Perspectives (New York: Monthly Review Press,
1987), 75–86.
[4]
Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU TPKS, “Catatan Perjalanan UU TPKS:
Jalan Panjang Gerakan Perempuan untuk Keadilan,” Jurnal Perempuan 107
(2022): 11–30.
[5]
bell hooks, Teaching to Transgress: Education as the Practice of
Freedom (New York: Routledge, 1994), 13–22.
[6]
Sonia E. Alvarez, “Translating the Global: Effects of Transnational Organizing
on Local Feminist Discourses and Practices in Latin America,” Meridians
1, no. 1 (2000): 29–67.
8.
Tantangan dan Kontroversi Kontemporer
Meskipun feminisme
sosial-politik telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perjuangan
keadilan gender dan sosial secara global, gerakan ini tetap menghadapi berbagai
tantangan dan kontroversi dalam konteks kontemporer. Tantangan ini tidak hanya
berasal dari luar—yakni dari resistensi sistem patriarki dan kekuatan
konservatif—tetapi juga dari dalam tubuh gerakan itu sendiri, terkait dengan
perdebatan strategi, diferensiasi ideologis, dan benturan perspektif antar
kelompok feminis.
8.1.
Resurgensi Konservatisme
dan Politik Reaksioner
Salah satu tantangan
paling serius yang dihadapi feminisme sosial-politik saat ini adalah
meningkatnya resurgensi politik konservatif, populis, dan fundamentalis di
berbagai belahan dunia. Dalam konteks ini, isu gender dan feminisme sering kali
dijadikan kambing hitam oleh kelompok kanan reaksioner yang mengklaim bahwa
feminisme “mengancam nilai-nilai keluarga” atau merusak tatanan sosial
yang “alamiah”.1 Retorika semacam ini digunakan oleh sejumlah
pemerintahan otoriter dan konservatif untuk membatasi hak-hak perempuan,
mengkriminalisasi aktivisme gender, dan menolak kebijakan kesetaraan gender
atas nama moralitas atau budaya lokal.
Sebagai contoh,
laporan Human Rights Watch menunjukkan bahwa di beberapa negara, pembela
hak-hak perempuan mengalami pembungkaman politik, pelecehan hukum, hingga
kekerasan negara karena dianggap menentang norma-norma keluarga tradisional
atau menyebarkan "ideologi gender".2 Fenomena ini
memperlihatkan bagaimana wacana feminisme kerap dipolitisasi sebagai simbol
ancaman, yang pada gilirannya mempersempit ruang demokrasi dan kebebasan sipil.
8.2.
Komodifikasi dan
Neoliberalisasi Feminisme
Tantangan lain
datang dari dalam sistem ekonomi global itu sendiri, yakni bentuk komodifikasi
dan neoliberalisasi
feminisme. Dalam dunia kapitalis kontemporer, ide-ide feminisme
sering kali diserap ke dalam logika pasar, diubah menjadi slogan konsumsi dan
citra komersial yang kosong dari makna perjuangan. Konsep seperti “empowered
women” atau “girl boss” dimanfaatkan oleh
industri untuk memasarkan produk dengan kedok pemberdayaan, tetapi tanpa
menyentuh akar ketimpangan struktural yang diperjuangkan oleh feminisme
sosial-politik sejati.3
Menurut Catherine
Rottenberg, feminisme neoliberal mengajarkan perempuan untuk
"berdaya" dalam kerangka individualisme, meritokrasi, dan
pencapaian personal, bukan dalam solidaritas kolektif dan perombakan sistemik.4
Akibatnya, feminisme kehilangan aspek kritis dan politisnya, serta tereduksi
menjadi gaya hidup atau identitas modis yang dijual dalam iklan dan media
sosial.
8.3.
Fragmentasi Gerakan dan
Ketegangan Internal
Feminisme
kontemporer juga menghadapi fragmentasi internal karena
perbedaan latar belakang sosial, ras, kelas, orientasi seksual, hingga lokasi
geopolitik antar kelompok feminis. Di satu sisi, keberagaman ini memperkaya
gerakan dan membuatnya lebih inklusif. Namun, di sisi lain, ia juga melahirkan
ketegangan mengenai prioritas perjuangan, bahasa politik, serta definisi atas
apa yang disebut “feminisme progresif”.5
Misalnya, ketegangan
antara feminisme radikal dan feminisme transinklusif menjadi perdebatan global
yang memecah solidaritas. Sebagian feminis radikal menolak mengakui identitas
perempuan trans dalam ruang perjuangan perempuan, sedangkan feminis
interseksional menilai pandangan tersebut sebagai bentuk eksklusi dan
transfobia. Kontroversi ini memperlihatkan bahwa perjuangan untuk keadilan
gender juga harus memperhitungkan dinamika baru dalam pemahaman tentang tubuh,
identitas, dan hak asasi manusia.6
8.4.
Keterbatasan Representasi
dan Representasi Simbolik
Meskipun ada
peningkatan keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga politik, feminisme
sosial-politik mengingatkan bahwa representasi simbolik tanpa
perubahan struktural sering kali berfungsi sebagai tokenisme. Kehadiran perempuan di
parlemen atau pemerintahan tidak selalu diikuti dengan kebijakan yang berpihak
pada kepentingan perempuan, terutama perempuan miskin, minoritas, atau kelompok
rentan lainnya.7 Ini menunjukkan bahwa perjuangan feminis tidak
cukup hanya dengan membuka akses formal terhadap ruang kekuasaan, tetapi harus
diiringi dengan transformasi struktur kekuasaan itu sendiri.
Penutup Subbagian
Beragam tantangan
ini tidak melemahkan urgensi feminisme sosial-politik, melainkan justru
mempertegas perlunya strategi perjuangan yang lebih reflektif, transformatif,
dan responsif terhadap dinamika zaman. Feminisme harus terus mengkritisi
dirinya sendiri, melampaui jebakan politik identitas yang sempit, dan
menegaskan kembali misinya sebagai proyek keadilan sosial yang radikal dan
emansipatoris di tengah dunia yang penuh ketimpangan dan resistensi struktural.
Footnotes
[1]
Susan Faludi, Backlash: The Undeclared War Against American Women
(New York: Crown Publishing, 1991), 15–22.
[2]
Human Rights Watch, “Global Backlash Against Women’s Rights,” World
Report 2020, https://www.hrw.org/world-report/2020.
[3]
Andi Zeisler, We Were Feminists Once: From Riot Grrrl to
CoverGirl®, the Buying and Selling of a Political Movement (New York:
PublicAffairs, 2016), 5–8.
[4]
Catherine Rottenberg, “The Rise of Neoliberal Feminism,” Cultural
Studies 28, no. 3 (2014): 418–437.
[5]
Nancy Fraser, “Feminism, Capitalism and the Cunning of History,” New
Left Review 56 (2009): 97–117.
[6]
Sally Hines, The Feminist Frontier: On Trans and Feminism
(London: Palgrave Macmillan, 2021), 40–55.
[7]
Anne Phillips, The Politics of Presence (Oxford: Oxford
University Press, 1995), 85–92.
9.
Relevansi Feminisme Sosial-Politik dalam
Konteks Global dan Indonesia
Feminisme
sosial-politik memiliki relevansi yang semakin signifikan dalam menghadapi
dinamika sosial, politik, dan ekonomi global kontemporer yang ditandai oleh
meningkatnya ketimpangan, konservatisme politik, serta krisis multidimensi
seperti pandemi, perubahan iklim, dan migrasi paksa. Dalam lanskap global yang
sarat ketidakadilan struktural, feminisme sosial-politik menawarkan kerangka
kritis yang mampu membongkar kompleksitas penindasan dan mengusulkan alternatif
transformatif melalui pendekatan interseksional, anti-kapitalis, dan
berkeadilan sosial.
9.1.
Relevansi Global:
Perjuangan Lintas Negara dalam Dunia yang Terkoneksi
Secara global,
feminisme sosial-politik telah berperan aktif dalam menyatukan gerakan
perempuan dari berbagai belahan dunia untuk menuntut transformasi struktural.
Jaringan seperti World March of Women, Global
Women’s Strike, dan AWID (Association for Women's Rights in
Development) menunjukkan bentuk solidaritas transnasional dalam
memperjuangkan hak-hak perempuan miskin, buruh migran, perempuan adat, serta
korban kekerasan berbasis gender dan konflik bersenjata.1
Krisis global
seperti pandemi COVID-19 juga memperlihatkan bagaimana kerja perempuan,
khususnya di sektor perawatan dan domestik, sangat vital namun paling
tereksploitasi dan tak terlindungi secara struktural. Studi oleh UN Women
mencatat bahwa pandemi memperparah ketimpangan gender, dengan lonjakan
kekerasan dalam rumah tangga, beban kerja pengasuhan, dan kerentanan ekonomi
yang semakin tinggi bagi perempuan di seluruh dunia.2 Dalam konteks
ini, feminisme sosial-politik menawarkan perspektif kritis yang tidak hanya
melihat perempuan sebagai korban, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial
yang terorganisir.
Selain itu,
perjuangan feminisme dalam konteks global juga mencakup advokasi terhadap climate
justice, mengingat bahwa perempuan di negara-negara Global South
adalah kelompok paling terdampak oleh krisis lingkungan. Gerakan ekofeminis
yang berkembang di negara-negara seperti India, Filipina, dan Kenya menunjukkan
keterkaitan antara eksploitasi lingkungan, kapitalisme global, dan penindasan
terhadap perempuan lokal.3
9.2.
Relevansi di Indonesia:
Ruang Advokasi dan Tantangan Struktural
Di Indonesia,
feminisme sosial-politik memiliki sejarah panjang yang terhubung dengan
perjuangan emansipasi, keadilan sosial, dan hak-hak perempuan dalam berbagai
rezim kekuasaan. Tokoh seperti R.A. Kartini, meskipun
seringkali direduksi dalam narasi emansipasi individual, sejatinya telah
meletakkan fondasi penting dalam wacana kritik sosial terhadap patriarki dan
kolonialisme.4 Selanjutnya, feminisme Indonesia mengalami dinamika
yang kompleks, baik dalam konteks gerakan perempuan era Orde Baru yang
terkooptasi negara, maupun dalam reformasi pasca-1998 yang membuka ruang baru
bagi aktivisme perempuan.
Feminisme
sosial-politik dalam konteks Indonesia hari ini hadir dalam berbagai bentuk:
advokasi legislasi, gerakan buruh perempuan, kampanye antikekerasan seksual,
serta pendidikan kesadaran gender. Pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)
pada tahun 2022 merupakan bukti konkret keberhasilan strategi feminis progresif
yang menyatukan gerakan akar rumput, akademisi, jurnalis, aktivis hukum, dan
organisasi masyarakat sipil dalam perjuangan panjang selama lebih dari satu
dekade.5
Namun demikian,
feminisme di Indonesia juga menghadapi tantangan besar. Di antaranya adalah
resistensi budaya yang menganggap feminisme sebagai produk “asing”,
penguatan narasi konservatif berbasis agama, serta maraknya ujaran kebencian
terhadap aktivis gender di ruang digital. Selain itu, keterwakilan perempuan
dalam politik formal seringkali tidak diikuti oleh komitmen substansial
terhadap agenda keadilan gender, sehingga banyak kebijakan bersifat simbolik
atau terbatas pada representasi kuota.6
Relevansi feminisme
sosial-politik di Indonesia juga terletak pada kapasitasnya untuk membaca
realitas keragaman identitas: perempuan adat, perempuan difabel, buruh migran,
hingga kelompok minoritas agama dan gender. Feminisme yang tidak sensitif
terhadap interseksionalitas berisiko mereproduksi dominasi internal dalam
gerakan itu sendiri. Oleh karena itu, pendekatan feminisme sosial-politik yang
bersifat reflektif, kolektif, dan kontekstual sangat penting untuk membangun
agenda perubahan yang lebih adil dan membumi.
Kesimpulan Subbagian
Dalam konteks global
maupun lokal, feminisme sosial-politik tetap menjadi alat analisis dan praksis
sosial yang sangat relevan. Ia tidak hanya menyoroti ketimpangan berbasis
gender, tetapi juga mengintervensi secara aktif berbagai bentuk kekuasaan yang
menindas melalui pendekatan yang inklusif, struktural, dan berbasis keadilan.
Oleh karena itu, membangun masyarakat yang demokratis, setara, dan beradab
sangat bergantung pada seberapa besar ruang diberikan bagi nilai-nilai
feminisme sosial-politik untuk tumbuh, bersuara, dan memengaruhi arah perubahan
sosial.
Footnotes
[1]
Sonia E. Alvarez, Advocating Feminism: The Latin American Feminist
NGO “Boom” (Durham: Duke University Press, 1998), 43–56.
[2]
UN Women, The Impact of COVID-19 on Women (New York: United
Nations, 2020), https://www.unwomen.org/en/digital-library/publications/2020/04/policy-brief-the-impact-of-covid-19-on-women.
[3]
Ariel Salleh, “Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the
Postmodern,” Zed Books, 2017, 67–85.
[4]
R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang (Jakarta: Balai
Pustaka, 2004), pengantar oleh Sitisoemandari Soeroto, ix–xxiv.
[5]
Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU TPKS, “Catatan Perjalanan UU TPKS,” Jurnal
Perempuan 107 (2022): 15–34.
[6]
Lies Marcoes-Natsir, “Feminisme dan Politik di Indonesia: Dari
Representasi ke Substansi,” Indonesian Feminist Journal 4, no. 2
(2016): 18–25.
10.
Penutup
Feminisme
sosial-politik bukan sekadar wacana akademik atau gerakan politik sektoral,
melainkan sebuah paradigma kritis yang merangkul kompleksitas realitas sosial
kontemporer dan berupaya membongkar sistem penindasan yang berlapis—baik yang
bersumber dari patriarki, kapitalisme, rasisme, kolonialisme, maupun
konservatisme budaya. Ia memadukan analisis teoritis yang tajam dengan strategi
praksis yang membumi, menjadikannya sebagai salah satu aliran feminisme yang
paling relevan dan transformatif dalam menjawab tantangan keadilan sosial saat
ini.
Sebagaimana telah
dibahas dalam bagian-bagian sebelumnya, feminisme sosial-politik mengusung
pendekatan yang interseksional dan struktural, mengakui bahwa ketimpangan
gender tidak dapat dipahami secara terpisah dari ketidaksetaraan ekonomi,
identitas rasial, kelas sosial, serta bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.
Pendekatan ini memungkinkan feminisme bergerak melampaui batas-batas identitas
esensialis menuju perjuangan kolektif untuk transformasi sosial yang menyeluruh.1
Seperti ditegaskan oleh Nancy Fraser, feminisme yang hanya menuntut pengakuan
tanpa redistribusi akan terjebak dalam simbolisme; sebaliknya, feminisme yang
hanya menekankan redistribusi tanpa mengakui perbedaan identitas berisiko
menegasikan suara kelompok marjinal.2
Feminisme
sosial-politik juga telah terbukti efektif dalam mendorong perubahan konkret
melalui berbagai strategi: mulai dari pendidikan kesadaran kritis, advokasi
kebijakan, gerakan akar rumput, hingga solidaritas transnasional. Gerakan ini
tidak hanya mengadvokasi hak-hak perempuan secara formal, tetapi juga berupaya
merombak relasi kekuasaan yang menciptakan ketidakadilan dalam kehidupan
sehari-hari. Pencapaian seperti pengesahan UU TPKS di Indonesia, gerakan buruh
perempuan, dan perjuangan komunitas lokal perempuan di banyak belahan dunia
adalah bukti bahwa feminisme sosial-politik mampu menjadi kekuatan kolektif
yang berdaya dan berkelanjutan.3
Namun demikian,
tantangan kontemporer tidaklah ringan. Resurgensi konservatisme, komodifikasi
feminisme oleh kapitalisme neoliberal, serta ketegangan internal dalam tubuh
gerakan feminis menuntut refleksi terus-menerus. Feminisme sosial-politik harus
mampu menjaga akarnya dalam perjuangan keadilan, sambil terus beradaptasi
dengan perubahan sosial dan membangun ruang-ruang perjuangan baru yang lebih
inklusif dan partisipatif. Sebagaimana dicatat oleh bell hooks, feminisme
sejati adalah “perjuangan untuk mengakhiri seksisme, eksploitasi seksis, dan
penindasan”, yang berarti bahwa perjuangan ini bersifat menyeluruh dan lintas
batas.4
Akhirnya, di tengah
dunia yang dilanda krisis multidimensi—dari krisis iklim, krisis demokrasi,
hingga krisis nilai kemanusiaan—feminisme sosial-politik hadir sebagai
alternatif kritis dan etis yang menawarkan visi perubahan radikal menuju
masyarakat yang lebih adil, setara, dan beradab. Ia tidak hanya menuntut
kesetaraan hak, tetapi juga menegaskan bahwa tanpa transformasi dalam struktur
kekuasaan dan logika sosial, keadilan sejati tidak akan pernah tercapai. Oleh
karena itu, keberlanjutan gerakan feminisme sosial-politik menjadi tugas
bersama: bukan hanya tugas perempuan, tetapi tugas seluruh masyarakat yang
menghendaki dunia yang lebih manusiawi dan bebas dari penindasan.
Footnotes
[1]
Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity
Politics, and Violence Against Women of Color,” Stanford Law Review
43, no. 6 (1991): 1241–1299.
[2]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–19.
[3]
Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU TPKS, “Catatan Perjalanan UU TPKS,” Jurnal
Perempuan 107 (2022): 15–34.
[4]
bell hooks, Feminism is for Everybody: Passionate Politics
(New York: South End Press, 2000), 1.
Daftar Pustaka
Abu-Lughod, L. (2002). Do
Muslim women really need saving? Anthropological reflections on cultural
relativism and its others. American Anthropologist, 104(3), 783–790. https://doi.org/10.1525/aa.2002.104.3.783
Alvarez, S. E. (1998). Advocating
feminism: The Latin American feminist NGO “boom”. Durham, NC: Duke
University Press.
Batliwala, S. (2011). Feminist
leadership for social transformation: Clearing the conceptual cloud. New
Delhi, India: CREA.
Beauvoir, S. de. (1989). The
second sex (H. M. Parshley, Trans.). New York, NY: Vintage Books.
(Original work published 1949)
Bourdieu, P. (2001). Masculine
domination (R. Nice, Trans.). Stanford, CA: Stanford University Press.
Crenshaw, K. (1989).
Demarginalizing the intersection of race and sex: A Black feminist critique of
antidiscrimination doctrine, feminist theory and antiracist politics. University
of Chicago Legal Forum, 1989(1), 139–167.
Crenshaw, K. (1991).
Mapping the margins: Intersectionality, identity politics, and violence against
women of color. Stanford Law Review, 43(6), 1241–1299. https://doi.org/10.2307/1229039
Davis, A. Y. (1983). Women,
race, & class. New York, NY: Vintage Books.
Davis, A. Y. (2016). Freedom
is a constant struggle: Ferguson, Palestine, and the foundations of a movement.
Chicago, IL: Haymarket Books.
Faludi, S. (1991). Backlash:
The undeclared war against American women. New York, NY: Crown Publishing.
Federici, S. (2004). Caliban
and the witch: Women, the body and primitive accumulation. New York, NY:
Autonomedia.
Federici, S. (2012). Revolution
at point zero: Housework, reproduction, and feminist struggle. Oakland,
CA: PM Press.
Fraser, N. (1997). Justice
interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. New
York, NY: Routledge.
Fraser, N. (2013). Fortunes
of feminism: From state-managed capitalism to neoliberal crisis. London,
UK: Verso.
Freedman, E. B. (2002). No
turning back: The history of feminism and the future of women. New York,
NY: Ballantine Books.
Harding, S. (1991). Whose
science? Whose knowledge? Thinking from women’s lives. Ithaca, NY: Cornell
University Press.
Haraway, D. (1988). Situated
knowledges: The science question in feminism and the privilege of partial
perspective. Feminist Studies, 14(3), 575–599. https://doi.org/10.2307/3178066
Hines, S. (2021). The
feminist frontier: On trans and feminism. London, UK: Palgrave Macmillan.
hooks, b. (1984). Feminist
theory: From margin to center. Boston, MA: South End Press.
hooks, b. (1994). Teaching
to transgress: Education as the practice of freedom. New York, NY:
Routledge.
hooks, b. (2000). Feminism
is for everybody: Passionate politics. New York, NY: South End Press.
Human Rights Watch. (2020).
World report 2020: Global backlash against women’s rights. https://www.hrw.org/world-report/2020
Kartini, R. A. (2004). Habis
gelap terbitlah terang (S. Soeroto, Ed.). Jakarta, Indonesia: Balai
Pustaka.
Koalisi Masyarakat Sipil
untuk UU TPKS. (2022). Catatan perjalanan UU TPKS: Jalan panjang gerakan
perempuan untuk keadilan. Jurnal Perempuan, 107, 15–34.
Krook, M. L., & Childs,
S. (Eds.). (2010). Women, gender, and politics: A reader. Oxford, UK:
Oxford University Press.
MacKinnon, C. A. (1989). Toward
a feminist theory of the state. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Marcoes-Natsir, L. (2016).
Feminisme dan politik di Indonesia: Dari representasi ke substansi. Indonesian
Feminist Journal, 4(2), 18–25.
Mohanty, C. T. (1984).
Under Western eyes: Feminist scholarship and colonial discourses. Boundary
2, 12(3), 333–358. https://doi.org/10.2307/302821
Nussbaum, M. C. (2000). Women
and human development: The capabilities approach. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
Phillips, A. (1995). The
politics of presence. Oxford, UK: Oxford University Press.
Rottenberg, C. (2014). The
rise of neoliberal feminism. Cultural Studies, 28(3), 418–437. https://doi.org/10.1080/09502386.2013.857361
Salleh, A. (2017). Ecofeminism
as politics: Nature, Marx and the postmodern. London, UK: Zed Books.
Sen, G., & Grown, C.
(1987). Development, crises, and alternative visions: Third world women's
perspectives. New York, NY: Monthly Review Press.
Wollstonecraft, M. (1792). A
vindication of the rights of woman. London, UK: J. Johnson.
Wright, S. E. (2014).
Feminist participatory action research: Methodological and ethical issues. In
S. N. Hesse-Biber (Ed.), Feminist research practice: A primer (pp.
135–158). Thousand Oaks, CA: SAGE.
Zeisler, A. (2016). We
were feminists once: From riot grrrl to CoverGirl®, the buying and selling of a
political movement. New York, NY: PublicAffairs.
Young, I. M. (1990). Justice
and the politics of difference. Princeton, NJ: Princeton University Press.
UN Women. (2020). The
impact of COVID-19 on women. https://www.unwomen.org/en/digital-library/publications/2020/04/policy-brief-the-impact-of-covid-19-on-women
Tidak ada komentar:
Posting Komentar