Sabtu, 07 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 11-4: Peran Indonesia dalam Perdamaian Dunia

Bahan Ajar PPKn

Peran Indonesia dalam Perdamaian Dunia

Dinamika, Konstitusi, dan Implementasi dalam Tata Dunia Global


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif peran Indonesia dalam menciptakan dan menjaga perdamaian dunia dengan meninjau dimensi konstitusional, historis, strategis, serta partisipatif dalam konteks global kontemporer. Berlandaskan pada amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia menetapkan komitmen untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Melalui pendekatan politik luar negeri bebas aktif, Indonesia berpartisipasi dalam berbagai forum dan organisasi internasional seperti PBB, ASEAN, G20, dan OKI, serta terlibat dalam misi perdamaian di Lebanon, krisis Rohingya di Myanmar, konflik Palestina, dan mediasi di Filipina Selatan. Namun demikian, implementasi peran ini dihadapkan pada tantangan struktural dan geopolitik, termasuk keterbatasan sumber daya, dinamika politik domestik, serta perubahan global yang kompleks. Artikel ini juga menekankan pentingnya partisipasi aktif warga negara dalam mendukung perdamaian dunia melalui pendidikan, diplomasi warga, literasi digital, dan etika global. Simpulan dari kajian ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar sebagai kekuatan moral di tingkat internasional, sejauh peran negara dan warga negara dijalankan secara sinergis dan berkesinambungan.

Kata Kunci: Indonesia; Perdamaian Dunia; Politik Luar Negeri Bebas Aktif; Diplomasi; Konstitusi UUD 1945; PBB; ASEAN; Kewarganegaraan Global.


PEMBAHASAN

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompleks, isu perdamaian dan keamanan global tidak lagi menjadi tanggung jawab satu negara atau kawasan semata, melainkan menjadi kepentingan bersama seluruh umat manusia. Dalam konteks ini, Indonesia sebagai negara berdaulat yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menetapkan posisinya secara jelas dalam tatanan global, yakni dengan “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Amanat konstitusional ini mencerminkan komitmen Indonesia terhadap upaya kolektif dalam menciptakan dan menjaga perdamaian dunia melalui pendekatan diplomatik, kemanusiaan, dan multilateral.

Sejak masa awal kemerdekaan, Indonesia telah menunjukkan kiprahnya dalam kancah internasional, antara lain melalui penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung yang mempertemukan negara-negara Asia dan Afrika guna memperkuat solidaritas serta menentang kolonialisme dan perang dingin yang mengancam stabilitas global. Konferensi tersebut menjadi tonggak sejarah bagi diplomasi perdamaian Indonesia dan memperkuat posisinya sebagai negara pelopor Gerakan Non-Blok, yang menolak keterikatan terhadap kekuatan militer manapun di masa bipolar dunia pasca-Perang Dunia II.¹

Seiring berjalannya waktu, dinamika geopolitik internasional telah berubah secara signifikan. Tantangan terhadap perdamaian dunia tidak hanya datang dari konflik bersenjata antarnegara, tetapi juga dari terorisme, krisis kemanusiaan, pelanggaran hak asasi manusia, perubahan iklim, hingga ketimpangan ekonomi global. Dalam menghadapi berbagai tantangan ini, Indonesia terus mengedepankan politik luar negeri bebas aktif, yaitu kebijakan yang tidak berpihak pada kekuatan tertentu namun tetap aktif terlibat dalam menjaga perdamaian dan keadilan global.²

Keterlibatan Indonesia dalam berbagai misi perdamaian PBB, mediasi konflik internasional, serta kontribusinya dalam forum-forum global seperti ASEAN, G20, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mencerminkan implementasi konkret dari komitmen konstitusional tersebut.³ Selain itu, sebagai negara demokratis yang pluralistik dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, Indonesia berupaya menunjukkan bahwa prinsip-prinsip Pancasila dapat menjadi fondasi etis dalam mendorong perdamaian dunia yang berkelanjutan.

Pembahasan mengenai peran Indonesia dalam perdamaian dunia tidak hanya penting dalam kerangka politik luar negeri, tetapi juga relevan dalam pendidikan kewarganegaraan. Hal ini bertujuan membentuk kesadaran kolektif warga negara, khususnya generasi muda, tentang pentingnya keterlibatan aktif dalam menciptakan dunia yang damai, adil, dan beradab. Oleh karena itu, kajian ini akan membahas secara komprehensif landasan konstitusional, dinamika historis, implementasi kebijakan, serta tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjalankan perannya di tataran global.


Footnotes

  1. Richard Wright, The Color Curtain: A Report on the Bandung Conference (Cleveland: World Publishing Company, 1956), 21–24.
  2. Dewi Fortuna Anwar, “The Impact of Domestic and Asian Regional Changes on Indonesian Foreign Policy,” in Southeast Asian Affairs 2010, ed. Daljit Singh (Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2010), 126–128.
  3. Rizal Sukma, Indonesia's Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto (London: Routledge, 2003), 140–142.

2.           Landasan Konstitusional Peran Indonesia dalam Perdamaian Dunia

Peran Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia bukanlah sekadar sikap politik pragmatis, melainkan sebuah amanat konstitusional yang mengikat seluruh penyelenggara negara dan warga negara dalam arah kebijakan luar negeri dan keterlibatan global. Amanat tersebut secara eksplisit tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa salah satu tujuan kemerdekaan Indonesia adalah “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”¹

Frasa ini mengandung makna mendalam bahwa Indonesia tidak hanya bertanggung jawab terhadap kehidupan bangsanya sendiri, tetapi juga memiliki misi universal dalam membentuk tata dunia yang damai dan berkeadilan. Dalam perspektif hukum tata negara, ketentuan ini menjadi dasar moral dan hukum bagi seluruh kebijakan luar negeri Indonesia yang bersifat proaktif dalam menyelesaikan konflik, menentang penjajahan, dan memperjuangkan hak-hak bangsa lain untuk merdeka.² Dengan demikian, kontribusi Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia bukan sekadar pilihan, tetapi merupakan kewajiban konstitusional.

Lebih lanjut, semangat dalam Pembukaan UUD 1945 ini dijabarkan melalui prinsip politik luar negeri bebas aktif, yang pertama kali dirumuskan dalam masa awal kemerdekaan dan ditegaskan dalam berbagai dokumen negara, termasuk Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebelum era reformasi dan dalam kebijakan Kementerian Luar Negeri sesudahnya. Bebas aktif berarti Indonesia tidak berpihak kepada kekuatan manapun dalam konflik global, namun tetap aktif berpartisipasi dalam menjaga ketertiban dan perdamaian internasional.³ Politik luar negeri ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan ekspresi praktis dari amanat konstitusional yang mendasari relasi Indonesia dengan dunia.

Dalam sistem hukum nasional, keberadaan norma dalam Pembukaan UUD 1945 memiliki posisi yang sangat fundamental. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan sumber dari nilai-nilai konstitusionalitas yang mengikat seluruh isi batang tubuh UUD dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.⁴ Oleh sebab itu, prinsip “ikut melaksanakan ketertiban dunia” bukan hanya sekadar visi normatif, tetapi memiliki kekuatan mengikat dan wajib diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan luar negeri, hukum internasional, dan pelibatan diplomatik Indonesia di berbagai forum.

Dengan kata lain, landasan konstitusional ini menempatkan perdamaian bukan sekadar sebagai kebijakan politik, tetapi sebagai identitas dan arah eksistensial negara Indonesia dalam sistem internasional. Inilah yang membedakan posisi Indonesia dari negara lain yang mungkin bertindak berdasarkan kepentingan ekonomi atau strategi kekuasaan semata. Peran Indonesia dalam perdamaian dunia lahir dari kesadaran sejarah dan tanggung jawab konstitusional sebagai bangsa yang pernah merasakan penjajahan dan memahami pentingnya kemerdekaan serta keadilan dalam kehidupan umat manusia.


Footnotes

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan, alinea keempat.
  2. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 74–76.
  3. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep Politik Luar Negeri Republik Indonesia (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1982), 11–13.
  4. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 100/PUU-VI/2008, hlm. 102, diakses melalui https://www.mkri.id.

3.           Dinamika Historis Peran Indonesia dalam Isu Perdamaian Global

Sejak awal kemerdekaannya, Indonesia telah memainkan peran aktif dalam mendukung perdamaian dunia melalui jalur diplomatik, solidaritas antarkawasan, dan kerja sama internasional. Peran ini bukanlah sesuatu yang baru muncul dalam era modern, melainkan telah menjadi bagian integral dari identitas politik luar negeri Indonesia sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia mengambil posisi tegas terhadap kolonialisme, imperialisme, dan ketidakadilan global, sekaligus berperan sebagai jembatan antara negara-negara dunia ketiga dalam menghadapi dinamika Perang Dingin.

Salah satu kontribusi monumental Indonesia adalah penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada April 1955. Konferensi ini mempertemukan pemimpin dari 29 negara Asia dan Afrika yang mayoritas baru merdeka atau sedang berjuang untuk kemerdekaan. Tujuannya adalah mempererat solidaritas Selatan–Selatan, menolak dominasi blok kekuatan besar dunia, dan mempromosikan perdamaian melalui prinsip-prinsip penghormatan terhadap kedaulatan, non-intervensi, dan penyelesaian damai konflik.¹ KAA menjadi batu loncatan penting bagi terbentuknya Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement), di mana Indonesia menjadi salah satu pelopornya pada tahun 1961 bersama Yugoslavia, India, Mesir, dan Ghana.²

Di masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, pendekatan terhadap perdamaian dunia tetap dipertahankan, meskipun dengan pendekatan yang lebih pragmatis dan berbasis stabilitas regional. Indonesia berperan aktif dalam pembentukan dan penguatan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) sejak 1967 sebagai sarana diplomatik regional untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara yang damai, stabil, dan bebas dari pengaruh blok militer.³

Dalam era reformasi, posisi Indonesia dalam diplomasi perdamaian dunia semakin diperkuat dengan keterlibatan dalam berbagai forum internasional dan mediasi konflik. Misalnya, Indonesia menjadi mediator dalam penyelesaian konflik Moro di Filipina Selatan, dengan memfasilitasi dialog antara Pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF), melalui peran aktif dalam International Monitoring Team (IMT) dan forum perundingan damai.⁴

Indonesia juga menunjukkan perhatian yang konsisten terhadap isu Palestina, dengan menyuarakan dukungan terhadap hak rakyat Palestina untuk merdeka dan bebas dari penjajahan Israel di berbagai forum internasional, termasuk di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).⁵ Dalam konflik Myanmar–Rohingya, Indonesia mengambil inisiatif diplomatik dengan mengunjungi langsung kawasan konflik dan menawarkan bantuan kemanusiaan serta solusi damai melalui pendekatan ASEAN.⁶

Perjalanan historis ini menunjukkan bahwa posisi Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia tidak bersifat statis, melainkan mengalami dinamika yang seiring dengan perubahan zaman dan kepentingan nasional. Namun demikian, benang merahnya tetap konsisten: Indonesia berusaha menjalankan peran sebagai juru damai dan pelopor solidaritas global, berdasarkan prinsip-prinsip konstitusional dan etika Pancasila.


Footnotes

  1. Richard Wright, The Color Curtain: A Report on the Bandung Conference (Cleveland: World Publishing Company, 1956), 23–26.
  2. Peter Willetts, The Non-Aligned Movement: The Origins of a Third World Alliance (London: Pinter, 1978), 112–115.
  3. Rizal Sukma, Indonesia’s Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto (London: Routledge, 2003), 132–134.
  4. Carolina Hernandez, “The Role of Third Parties in Conflict Resolution: Indonesia and the Philippine Peace Process,” in Asian Survey 50, no. 6 (2010): 1098–1101.
  5. Ministry of Foreign Affairs Republic of Indonesia, Indonesia’s Consistent Support for Palestine, https://kemlu.go.id (diakses 7 Juni 2025).
  6. Dewi Fortuna Anwar, “Indonesia’s Foreign Policy and the Rohingya Crisis: Pragmatism and Regional Diplomacy,” in Contemporary Southeast Asia 40, no. 3 (2018): 406–410.

4.           Peran Strategis Indonesia dalam Organisasi Internasional

Keterlibatan aktif Indonesia dalam berbagai organisasi internasional merupakan salah satu wujud nyata dari amanat konstitusional untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia” sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Peran ini tidak hanya menegaskan posisi Indonesia sebagai aktor penting dalam percaturan global, tetapi juga mencerminkan komitmen terhadap perdamaian, keadilan sosial, dan kerja sama internasional yang berlandaskan prinsip politik luar negeri bebas aktif.

4.1.       Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Sejak menjadi anggota PBB pada tahun 1950, Indonesia telah berkontribusi dalam berbagai misi perdamaian di bawah payung United Nations Peacekeeping Operations. Salah satu peran paling signifikan adalah pengiriman Pasukan Garuda, yaitu satuan TNI yang ditugaskan dalam misi pemeliharaan perdamaian di berbagai wilayah konflik seperti Kongo, Lebanon, Sudan, dan Republik Afrika Tengah.¹ Pasukan Garuda tidak hanya bertindak sebagai penjaga perdamaian, tetapi juga sebagai representasi diplomasi militer Indonesia yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan stabilitas global. Per Maret 2024, Indonesia menjadi kontributor terbesar kedelapan pasukan perdamaian PBB dari negara-negara non-Eropa.²

Selain dalam aspek militer, Indonesia juga berperan aktif dalam sidang-sidang Majelis Umum PBB, Dewan HAM, dan berbagai badan PBB lainnya. Indonesia pernah terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (periode 2007–2008 dan 2019–2020), dan dalam perannya tersebut, Indonesia secara konsisten mengangkat isu-isu perdamaian, konflik Palestina, dan perlindungan terhadap minoritas.³

4.2.       Keterlibatan di ASEAN dan Diplomasi Kawasan

Sebagai salah satu negara pendiri Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), Indonesia memainkan peran sentral dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan regional Asia Tenggara. Salah satu kontribusi strategisnya adalah dalam pembentukan ASEAN Political-Security Community (APSC) yang bertujuan mendorong penyelesaian konflik secara damai, memperkuat kerja sama keamanan, dan membentuk norma regional berbasis hukum internasional.⁴

Indonesia juga aktif dalam proses ASEAN Regional Forum (ARF) yang mempertemukan negara-negara Asia dan kekuatan global seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok untuk membahas isu-isu keamanan kawasan. Dalam beberapa kesempatan, Indonesia memimpin pembicaraan damai terkait krisis Rohingya dan isu Laut Tiongkok Selatan, dengan mengedepankan pendekatan inklusif dan diplomatik.⁵

4.3.       Peran di G20 dan Forum Ekonomi Global

Sebagai satu-satunya negara ASEAN dalam Group of Twenty (G20), Indonesia memiliki posisi strategis dalam mendorong perdamaian global melalui pendekatan ekonomi inklusif dan pembangunan berkelanjutan. Dalam KTT G20 tahun 2022 di Bali, Indonesia mengangkat tema “Recover Together, Recover Stronger” yang mencerminkan komitmen terhadap solidaritas global pasca-pandemi serta upaya mengurangi kesenjangan antarnegara.⁶ Indonesia juga mendorong agenda pembangunan hijau, transformasi digital, dan ketahanan energi sebagai bagian dari stabilitas global yang berkelanjutan.

4.4.       Partisipasi dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki peran signifikan dalam Organization of Islamic Cooperation (OIC/OKI). Dalam forum ini, Indonesia secara konsisten menyuarakan perlindungan terhadap hak-hak warga Palestina, menolak penjajahan, dan mendorong solusi dua negara yang adil dan damai.⁷ Indonesia juga menjadi aktor penting dalam memediasi ketegangan internal negara-negara Muslim melalui pendekatan damai dan dialog antarkeyakinan.


Dengan posisi strategis di berbagai organisasi internasional, Indonesia tidak hanya menjalankan mandat konstitusional, tetapi juga membangun reputasi sebagai negara yang berkomitmen pada perdamaian, multilateralisme, dan keadilan global. Pendekatan diplomasi damai Indonesia yang tidak agresif, namun konsisten dan berkelanjutan, telah menjadikannya sebagai kekuatan moral dan politik dalam dunia internasional yang terus berubah.


Footnotes

1.      Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Kontribusi Indonesia dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB, https://kemlu.go.id (diakses 7 Juni 2025).

2.      United Nations Peacekeeping, Troop and Police Contributors, https://peacekeeping.un.org/en/troop-and-police-contributors (diakses 7 Juni 2025).

3.      Rizal Sukma, Indonesia and the United Nations: From Isolation to Leadership (Jakarta: CSIS, 2021), 89–92.

4.      ASEAN Secretariat, ASEAN Political-Security Community Blueprint 2025 (Jakarta: ASEAN, 2015), 3–5.

5.      Dewi Fortuna Anwar, “ASEAN and Regional Security: Indonesia’s Role,” in Contemporary Southeast Asia 36, no. 2 (2014): 125–128.

6.      G20 Indonesia 2022, Presidency Report, https://g20.org (diakses 7 Juni 2025).

7.      Kementerian Luar Negeri RI, Sikap Indonesia terhadap Isu Palestina dalam Forum OKI, https://kemlu.go.id (diakses 7 Juni 2025).


5.           Tantangan dan Realitas dalam Implementasi Peran Indonesia

Meskipun Indonesia memiliki komitmen konstitusional yang kuat dan rekam jejak diplomatik yang panjang dalam mendukung perdamaian dunia, implementasi nyata dari peran tersebut tidak terlepas dari berbagai tantangan struktural, geopolitik, dan domestik. Tantangan-tantangan ini tidak hanya memengaruhi efektivitas kebijakan luar negeri Indonesia, tetapi juga menguji konsistensi antara idealisme konstitusional dan realitas politik internasional.

5.1.       Keterbatasan Sumber Daya dan Kapasitas Diplomatik

Sebagai negara berkembang, Indonesia masih menghadapi keterbatasan sumber daya dalam menjangkau dan memengaruhi dinamika global secara signifikan. Baik dari segi anggaran diplomasi, jumlah diplomat, maupun penguatan kapasitas misi luar negeri, Indonesia kerap tertinggal dibandingkan negara-negara besar lainnya.¹ Meskipun telah mengirim Pasukan Garuda dalam misi perdamaian PBB, jumlah personel dan pengaruh Indonesia dalam pengambilan keputusan strategis masih relatif terbatas. Hal ini menjadi tantangan dalam meningkatkan daya tawar Indonesia dalam forum-forum global.

5.2.       Kompleksitas Politik Global dan Geopolitik Regional

Dalam era multipolar yang ditandai oleh rivalitas antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, dan Uni Eropa, Indonesia harus berhati-hati dalam menentukan posisi politik luar negerinya agar tetap netral namun berpengaruh. Politik luar negeri bebas aktif yang dijalankan Indonesia menuntut ketepatan diplomasi dan strategi komunikasi internasional agar tidak terjebak dalam tarik-menarik kepentingan geopolitik global.² Sebagai contoh, dalam isu Laut Tiongkok Selatan, Indonesia sering kali dihadapkan pada dilema antara menjaga stabilitas hubungan ekonomi dengan Tiongkok dan mempertahankan kedaulatan wilayah serta prinsip hukum internasional.³

5.3.       Ketegangan antara Ideal Konstitusional dan Realitas Politik Domestik

Tantangan lain berasal dari dalam negeri, di mana isu-isu seperti pelanggaran HAM, intoleransi, dan konflik horizontal dapat menjadi faktor penghambat kredibilitas diplomasi perdamaian Indonesia. Komitmen Indonesia dalam mendukung hak asasi manusia dan keadilan global seringkali dinilai tidak konsisten apabila situasi domestik menunjukkan kontradiksi dengan nilai-nilai tersebut. Misalnya, laporan internasional tentang kebebasan sipil, hak minoritas, dan kebebasan pers di Indonesia kerap dijadikan indikator oleh negara lain dalam menilai legitimasi moral Indonesia di forum global.⁴

5.4.       Fragmentasi Kepentingan dan Koordinasi Antar-Lembaga

Implementasi peran global Indonesia dalam perdamaian dunia memerlukan sinergi yang kuat antara kementerian luar negeri, kementerian pertahanan, aparat keamanan, dan lembaga legislatif. Namun, dalam praktiknya, sering terjadi fragmentasi kepentingan dan lemahnya koordinasi antar-lembaga negara, yang berakibat pada tidak optimalnya implementasi kebijakan luar negeri.⁵ Misalnya, diplomasi kemanusiaan seringkali tidak diikuti oleh dukungan operasional dan logistik yang memadai dari instansi terkait, sehingga pesan diplomatik tidak selalu terwujud dalam aksi konkret yang berdampak.

5.5.       Tantangan Perubahan Global: Pandemi, Iklim, dan Teknologi

Dinamika baru seperti pandemi global, krisis iklim, dan revolusi digital menambah kompleksitas dalam menjalankan peran Indonesia di kancah global. Pandemi COVID-19 memperlihatkan keterbatasan solidaritas global dan nasionalisme vaksin, sementara krisis iklim menuntut komitmen konkret dari negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk melakukan transisi energi tanpa mengorbankan pembangunan.⁶ Pada saat yang sama, perkembangan teknologi informasi dan arus disinformasi dapat memengaruhi persepsi internasional terhadap kebijakan luar negeri Indonesia, termasuk dalam isu-isu perdamaian dan keadilan global.


Dengan mempertimbangkan tantangan-tantangan tersebut, Indonesia dituntut untuk memperkuat kapasitas diplomasi, membenahi situasi domestik, serta memperluas jaringan kerja sama internasional untuk memastikan bahwa cita-cita perdamaian yang tertuang dalam konstitusi dapat diwujudkan secara lebih efektif dan berkelanjutan. Keselarasan antara nilai-nilai internal dan peran eksternal menjadi prasyarat penting agar diplomasi Indonesia tidak sekadar retoris, tetapi benar-benar menjadi kekuatan pemersatu dan penenteram dunia.


Footnotes

1.      Rizal Sukma, Indonesia's Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto (London: Routledge, 2003), 152–155.

2.      Dewi Fortuna Anwar, “Indonesia’s Strategic Culture and Regional Leadership in Southeast Asia,” in Journal of Southeast Asian Affairs 39, no. 2 (2016): 17–19.

3.      Evan A. Laksmana, “The Domestic Politics of Indonesia’s South China Sea Policy,” in Contemporary Southeast Asia 38, no. 2 (2016): 214–238.

4.      Human Rights Watch, World Report 2024: Indonesia, https://www.hrw.org/world-report/2024/country-chapters/indonesia (diakses 7 Juni 2025).

5.      Moch. Nurhasim dan Riza Noer Arfani, Diplomasi Indonesia: Konteks, Strategi, dan Tantangan Baru (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2020), 78–80.

6.      Ministry of Foreign Affairs of Indonesia, Indonesia’s Statement at COP26 Glasgow, https://kemlu.go.id (diakses 7 Juni 2025).


6.           Studi Kasus: Peran Indonesia dalam Misi Perdamaian Terkini

Untuk memahami bagaimana amanat konstitusional Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia diimplementasikan secara konkret, penting untuk mengkaji sejumlah studi kasus aktual yang merefleksikan komitmen Indonesia di medan global. Studi kasus ini menunjukkan bahwa peran Indonesia dalam diplomasi perdamaian tidak sekadar normatif, tetapi juga hadir dalam bentuk aksi langsung, baik dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun forum regional dan bilateral.

6.1.       Misi Pasukan Garuda di Lebanon (UNIFIL)

Salah satu kontribusi utama Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia adalah melalui partisipasi aktif dalam United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL). Sejak 2006, Indonesia telah mengirimkan kontingen militer—yang dikenal sebagai Pasukan Garuda—untuk membantu menjaga stabilitas di perbatasan antara Lebanon dan Israel pasca-konflik bersenjata. Kontingen Indonesia dalam UNIFIL tidak hanya menjalankan tugas keamanan dan patroli zona demiliterisasi, tetapi juga melakukan diplomasi kemanusiaan dengan masyarakat lokal, seperti pembangunan fasilitas umum dan layanan medis.¹

Per Maret 2024, Indonesia menjadi salah satu penyumbang terbesar pasukan untuk UNIFIL, dengan lebih dari 1.200 personel aktif.² Keterlibatan ini tidak hanya memperkuat kredibilitas Indonesia dalam PBB, tetapi juga menunjukkan konsistensi dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif dan berlandaskan pada perdamaian dan kemanusiaan.

6.2.       Mediasi Konflik di Myanmar: Krisis Rohingya

Sejak pecahnya krisis kemanusiaan Rohingya di Myanmar pada 2017, Indonesia mengambil langkah diplomatik yang cukup signifikan di antara negara-negara Asia Tenggara. Menteri Luar Negeri Indonesia secara langsung melakukan diplomasi shuttle diplomacy, mengunjungi Myanmar dan Bangladesh untuk mendorong penyelesaian damai atas krisis tersebut.³

Melalui forum ASEAN, Indonesia mengusulkan pembentukan mekanisme bantuan kemanusiaan yang independen dan mendorong diterapkannya konsensus lima poin ASEAN tentang penyelesaian krisis.⁴ Walau hasilnya belum sepenuhnya memuaskan, inisiatif Indonesia menegaskan perannya sebagai “bridge builder” dan pendukung kuat solusi diplomatik di kawasan.

6.3.       Dukungan Terhadap Palestina: Diplomasi Multilateral

Indonesia secara konsisten menyuarakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina sebagai bagian dari agenda perdamaian global. Dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), maupun Konferensi Asia-Afrika, Indonesia menegaskan pentingnya penyelesaian dua negara dan penghentian agresi Israel di wilayah pendudukan.⁵

Pada tahun 2023, Indonesia memperkuat komitmennya dengan membuka Kantor Konsulat Kehormatan di Ramallah serta mengirim bantuan kemanusiaan untuk rakyat Palestina melalui berbagai jalur, termasuk diplomasi bilateral dan NGO internasional.⁶ Tindakan ini menunjukkan bahwa peran Indonesia tidak berhenti pada retorika politik, tetapi juga diwujudkan dalam dukungan konkret dan simbolik terhadap perjuangan rakyat tertindas.

6.4.       Keterlibatan dalam Mediasi Konflik Filipina Selatan

Indonesia memainkan peran penting sebagai mediator dalam konflik antara Pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF). Sejak tahun 1996, Indonesia telah menjadi anggota International Monitoring Team (IMT) dan turut memfasilitasi negosiasi yang berujung pada penandatanganan Framework Agreement on the Bangsamoro tahun 2012.⁷

Dalam konteks ini, Indonesia menjalankan peran unik sebagai negara mayoritas Muslim yang demokratis dan moderat, yang diterima oleh semua pihak sebagai pihak ketiga yang netral dan dapat dipercaya. Kontribusi ini menjadi cermin dari efektivitas diplomasi damai Indonesia dalam konteks regional.


Dari berbagai studi kasus ini, dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidak hanya hadir dalam tataran normatif-konstitusional, tetapi juga bertransformasi menjadi aktor aktif dan berpengaruh dalam misi perdamaian dunia. Meskipun keterlibatan tersebut masih menghadapi berbagai tantangan, konsistensi dan kapasitas diplomatik yang terus diperkuat menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam menjadikan perdamaian sebagai bagian dari identitas dan kontribusi globalnya.


Footnotes

1.      United Nations Peacekeeping, Troop and Police Contributors, https://peacekeeping.un.org/en/troop-and-police-contributors (diakses 7 Juni 2025).

2.      Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Kontribusi Indonesia dalam Misi Perdamaian Dunia, https://kemlu.go.id (diakses 7 Juni 2025).

3.      Dewi Fortuna Anwar, “Indonesia’s Foreign Policy and the Rohingya Crisis: Pragmatism and Regional Diplomacy,” in Contemporary Southeast Asia 40, no. 3 (2018): 406–408.

4.      ASEAN Secretariat, Chairman’s Statement on the Situation in Myanmar, https://asean.org (diakses 7 Juni 2025).

5.      Ministry of Foreign Affairs, Indonesia’s Statement at UN General Assembly – Palestine Issue, https://kemlu.go.id (diakses 7 Juni 2025).

6.      Media Indonesia, “Indonesia Kirim Bantuan untuk Palestina,” Media Indonesia, 3 Oktober 2023, https://mediaindonesia.com.

7.      Carolina G. Hernandez, “The Role of Indonesia in the Peace Process in the Southern Philippines,” in Asian Survey 50, no. 6 (2010): 1095–1102.


7.           Peran Warga Negara dalam Mendukung Perdamaian Dunia

Perdamaian dunia tidak semata-mata menjadi urusan pemerintah atau elit diplomatik. Dalam negara demokratis seperti Indonesia, warga negara memiliki peran penting dan strategis dalam menjaga, membangun, dan menguatkan upaya perdamaian dunia. Peran ini tidak hanya bersifat simbolik, melainkan juga konkret dan multidimensi, meliputi ranah pendidikan, sosial, ekonomi, hingga partisipasi global.

7.1.       Pendidikan Perdamaian dan Kesadaran Kewarganegaraan Global

Salah satu fondasi utama peran warga negara adalah pendidikan perdamaian (peace education), yaitu pendekatan pembelajaran yang membentuk pemahaman kritis tentang konflik, toleransi, keadilan, dan kerja sama antarbangsa. Kurikulum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di Indonesia secara eksplisit memuat nilai-nilai tersebut, sehingga siswa dibekali dengan kesadaran akan tanggung jawabnya dalam membangun masyarakat global yang damai.¹

Melalui pendidikan ini, warga negara diajak untuk memahami keterkaitan antara dinamika lokal dan global, serta mendorong terbentuknya kewarganegaraan global (global citizenship)—konsep yang menekankan hak dan kewajiban individu tidak hanya terhadap negara, tetapi juga terhadap komunitas internasional.²

7.2.       Diplomasi Warga dan Partisipasi Masyarakat Sipil

Peran warga negara dalam diplomasi perdamaian dapat terwujud melalui diplomasi warga (citizen diplomacy), yaitu keterlibatan individu atau komunitas dalam membangun hubungan antarbangsa secara non-pemerintah. Misalnya, aktivis kemanusiaan, organisasi non-pemerintah (NGO), akademisi, dan pelajar internasional Indonesia yang aktif menyuarakan keadilan global, perdamaian, serta solidaritas lintas bangsa di berbagai forum.

Contoh nyata dari diplomasi warga adalah partisipasi masyarakat Indonesia dalam aksi solidaritas untuk Palestina, penggalangan dana kemanusiaan, serta keterlibatan dalam forum lingkungan hidup dan hak asasi manusia di tingkat regional dan global.³ Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat dapat memainkan peran sebagai “agen perdamaian” yang independen dari kepentingan negara, namun tetap sejalan dengan nilai-nilai konstitusional.

7.3.       Praktik Sosial: Toleransi, Antikekerasan, dan Keadilan Sosial

Warga negara juga dapat mendukung perdamaian dunia melalui praktik sosial di tingkat lokal yang mencerminkan nilai-nilai antikekerasan dan inklusi. Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, sikap toleran terhadap perbedaan agama, suku, dan budaya merupakan modal sosial yang besar dalam mencegah konflik dan memperkuat ketahanan perdamaian dari akar rumput.⁴

Selain itu, keterlibatan dalam kegiatan gotong royong, advokasi keadilan sosial, dan perlawanan terhadap ujaran kebencian di media sosial adalah bentuk konkret dari kontribusi warga terhadap stabilitas dan perdamaian.⁵ Ketika perdamaian dibangun dari bawah, maka stabilitas global menjadi lebih berkelanjutan dan berakar kuat pada partisipasi masyarakat.

7.4.       Literasi Digital dan Etika Global di Era Teknologi

Di era informasi digital, warga negara juga dituntut untuk memiliki literasi digital yang tinggi guna menyaring informasi, menghindari hoaks, dan tidak terjebak dalam propaganda yang dapat memecah belah bangsa maupun komunitas internasional.⁶ Warga negara yang bijak dalam bermedia dapat menjadi penjaga perdamaian di ruang siber, yang kini menjadi arena baru konflik dan disinformasi.

Literasi ini juga mencakup etika global, yakni kesadaran bahwa perilaku dan pilihan pribadi—seperti konsumsi produk, gaya hidup, dan partisipasi daring—memiliki dampak terhadap masyarakat dunia. Semangat ini sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang menjadi bagian dari komitmen Indonesia dalam pembangunan global berbasis perdamaian dan keadilan.⁷


Dengan demikian, peran warga negara Indonesia dalam mendukung perdamaian dunia adalah integral dan esensial. Konstitusi Indonesia tidak hanya memanggil negara, tetapi juga rakyatnya untuk menjadi subjek aktif dalam membangun tata dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam konteks global yang penuh tantangan, kolaborasi antara negara dan warga negara merupakan kekuatan kunci dalam menghadirkan perdamaian yang otentik dan berkelanjutan.


Footnotes

1.      Siti Zuhro, “Pendidikan Kewarganegaraan Global dalam Kurikulum Nasional Indonesia,” dalam Jurnal Civics 15, no. 1 (2018): 45–48.

2.      Audrey Osler dan Hugh Starkey, Education for Cosmopolitan Citizenship (London: Routledge, 2003), 57–60.

3.      Riza Noer Arfani, “Diplomasi Warga dan Aksi Transnasional: Studi Kasus Indonesia,” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 21, no. 3 (2018): 210–212.

4.      Wahid Institute, Indeks Kota Toleran Indonesia 2022, https://wahidinstitute.org (diakses 7 Juni 2025).

5.      Anita Lie, “Toleransi dalam Masyarakat Multikultural: Pendekatan Sosial-Edukasi,” dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 23, no. 2 (2017): 134–137.

6.      Henry Jenkins et al., Confronting the Challenges of Participatory Culture: Media Education for the 21st Century (Cambridge, MA: MIT Press, 2009), 25–28.

7.      United Nations Development Programme, Sustainable Development Goals Report 2023, https://unstats.un.org/sdgs/report/2023 (diakses 7 Juni 2025).


8.           Kesimpulan dan Refleksi Kewarganegaraan

Peran Indonesia dalam perdamaian dunia merupakan ekspresi nyata dari amanat konstitusional sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang menegaskan komitmen bangsa Indonesia untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”¹ Prinsip ini telah menjadi dasar etis dan normatif yang mendorong lahirnya kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, serta mendorong keterlibatan dalam berbagai forum dan misi perdamaian global.

Dari perspektif historis, Indonesia telah memainkan peran kunci dalam mendukung perdamaian melalui berbagai momentum penting, seperti Konferensi Asia-Afrika, keterlibatan dalam Gerakan Non-Blok, serta kontribusi aktif dalam misi perdamaian PBB.² Pada era kontemporer, peran strategis Indonesia terus berkembang melalui partisipasi dalam organisasi internasional seperti ASEAN, G20, dan OKI, serta dalam penyelesaian konflik regional dan global seperti Palestina, Filipina Selatan, dan krisis kemanusiaan Rohingya

Namun, di tengah prestasi dan kontribusi tersebut, Indonesia juga dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Keterbatasan sumber daya, kompleksitas geopolitik, serta ketidakkonsistenan antara nilai konstitusional dan kondisi domestik sering kali menjadi hambatan dalam memaksimalkan potensi diplomasi perdamaian Indonesia.⁴ Oleh karena itu, dibutuhkan pembenahan struktural, penguatan kapasitas diplomatik, serta konsolidasi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia di tingkat nasional untuk meningkatkan kepercayaan dan legitimasi Indonesia di mata dunia.⁵

Dalam konteks kewarganegaraan, peran dalam menciptakan perdamaian dunia tidak hanya menjadi tanggung jawab negara semata. Warga negara Indonesia, terutama generasi muda, dituntut untuk memahami dan menginternalisasi nilai-nilai perdamaian, toleransi, solidaritas, dan keadilan global. Pendidikan kewarganegaraan yang berorientasi global, literasi digital, serta keterlibatan dalam diplomasi warga dan aktivitas sosial transnasional menjadi modal penting dalam membangun masyarakat yang berperan aktif sebagai “warga dunia.”⁶

Refleksi ini menegaskan bahwa perdamaian bukan sekadar konsep politik luar negeri, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh komponen bangsa, dari pemerintah hingga rakyat, dari pemangku kebijakan hingga pelajar. Dengan memperkuat sinergi antara idealisme konstitusional dan tindakan nyata di semua level, Indonesia dapat terus memperkuat posisinya sebagai kekuatan moral dan kontributif dalam upaya global menciptakan tatanan dunia yang damai, adil, dan berkeadaban.


Footnotes

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan, alinea keempat.
  2. Peter Willetts, The Non-Aligned Movement: The Origins of a Third World Alliance (London: Pinter, 1978), 110–113.
  3. Rizal Sukma, Indonesia’s Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto (London: Routledge, 2003), 145–150.
  4. Dewi Fortuna Anwar, “Indonesia’s Foreign Policy in the 21st Century: A Shift Towards Middle Power Diplomacy,” in Southeast Asian Affairs 2020 (Singapore: ISEAS, 2020), 97–99.
  5. Human Rights Watch, World Report 2024: Indonesia, https://www.hrw.org/world-report/2024/country-chapters/indonesia (diakses 7 Juni 2025).
  6. Audrey Osler dan Hugh Starkey, Education for Cosmopolitan Citizenship (London: Routledge, 2003), 61–65.

Daftar Pustaka

Anwar, D. F. (2014). ASEAN and regional security: Indonesia’s role. Contemporary Southeast Asia, 36(2), 114–129.

Anwar, D. F. (2018). Indonesia’s foreign policy and the Rohingya crisis: Pragmatism and regional diplomacy. Contemporary Southeast Asia, 40(3), 400–414.

Anwar, D. F. (2020). Indonesia’s foreign policy in the 21st century: A shift towards middle power diplomacy. In Southeast Asian Affairs 2020 (pp. 91–104). Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute.

ASEAN Secretariat. (2015). ASEAN Political–Security Community Blueprint 2025. Jakarta: ASEAN.

ASEAN Secretariat. (2025). Chairman’s statement on the situation in Myanmar. Retrieved June 7, 2025, from https://asean.org

Arfani, R. N. (2018). Diplomasi warga dan aksi transnasional: Studi kasus Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 21(3), 209–214.

Hernandez, C. G. (2010). The role of Indonesia in the peace process in the southern Philippines. Asian Survey, 50(6), 1095–1102.

Human Rights Watch. (2024). World report 2024: Indonesia. Retrieved June 7, 2025, from https://www.hrw.org/world-report/2024/country-chapters/indonesia

Jenkins, H., Clinton, K., Purushotma, R., Robinson, A. J., & Weigel, M. (2009). Confronting the challenges of participatory culture: Media education for the 21st century. Cambridge, MA: MIT Press.

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2025). Kontribusi Indonesia dalam misi perdamaian dunia. Retrieved June 7, 2025, from https://kemlu.go.id

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2025). Sikap Indonesia terhadap isu Palestina dalam forum OKI. Retrieved June 7, 2025, from https://kemlu.go.id

Lie, A. (2017). Toleransi dalam masyarakat multikultural: Pendekatan sosial-edukasi. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 23(2), 130–140.

Media Indonesia. (2023, October 3). Indonesia kirim bantuan untuk Palestina. Media Indonesia. Retrieved from https://mediaindonesia.com

Ministry of Foreign Affairs of Indonesia. (2025). Indonesia’s statement at COP26 Glasgow. Retrieved June 7, 2025, from https://kemlu.go.id

Ministry of Foreign Affairs of Indonesia. (2025). Indonesia’s statement at UN General Assembly – Palestine issue. Retrieved June 7, 2025, from https://kemlu.go.id

Nurhasim, M., & Arfani, R. N. (2020). Diplomasi Indonesia: Konteks, strategi, dan tantangan baru. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Osler, A., & Starkey, H. (2003). Education for cosmopolitan citizenship. London: Routledge.

Sukma, R. (2003). Indonesia’s foreign policy and the dilemma of dependence: From Sukarno to Soeharto. London: Routledge.

Sukma, R. (2021). Indonesia and the United Nations: From isolation to leadership. Jakarta: CSIS.

United Nations Development Programme. (2023). The Sustainable Development Goals report 2023. Retrieved June 7, 2025, from https://unstats.un.org/sdgs/report/2023

United Nations Peacekeeping. (2025). Troop and police contributors. Retrieved June 7, 2025, from https://peacekeeping.un.org/en/troop-and-police-contributors

Wahid Institute. (2022). Indeks Kota Toleran Indonesia 2022. Retrieved June 7, 2025, from https://wahidinstitute.org

Willetts, P. (1978). The Non-Aligned Movement: The origins of a Third World alliance. London: Pinter.

Wright, R. (1956). The color curtain: A report on the Bandung Conference. Cleveland: World Publishing Company.

Zuhro, S. (2018). Pendidikan kewarganegaraan global dalam kurikulum nasional Indonesia. Jurnal Civics, 15(1), 40–52.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar