Bahan Ajar PPKn
Kemajuan IPTEK dan Tantangan Keutuhan Bangsa
Bingkai Bhinneka Tunggal Ika
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.
Abstrak
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
telah membawa dampak besar terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat
Indonesia, baik sebagai instrumen pembangunan maupun tantangan terhadap
keutuhan bangsa. Artikel ini mengkaji secara komprehensif bagaimana
perkembangan IPTEK berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
kerangka nilai Bhinneka Tunggal Ika. Dengan pendekatan
deskriptif-analitis, artikel ini membahas konsep dasar IPTEK, dampak positif
dan negatifnya terhadap integrasi nasional, serta strategi strategis yang dapat
diterapkan untuk menyikapi kemajuan IPTEK secara bijak. Studi kasus gerakan
digital seperti #IndonesiaBersatu dan penyebaran hoaks juga dianalisis sebagai
cerminan ambivalensi peran teknologi dalam kehidupan sosial-politik. Hasil
kajian menunjukkan bahwa IPTEK dapat memperkuat maupun melemahkan persatuan
nasional tergantung pada nilai yang mendasari penggunaannya. Oleh karena itu,
literasi digital yang berkarakter, pendidikan nilai yang kontekstual, kebijakan
publik yang responsif, serta partisipasi aktif generasi muda menjadi kunci
dalam menjaga keutuhan bangsa di tengah disrupsi digital. Artikel ini
merekomendasikan penguatan peran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn) sebagai medium strategis dalam membina warga negara digital yang
beretika dan berjiwa kebangsaan.
Kata Kunci: IPTEK, Bhinneka Tunggal Ika, Keutuhan Bangsa,
Literasi Digital, Pendidikan Kewarganegaraan, Disrupsi Sosial, Integrasi
Nasional.
PEMBAHASAN
Kemajuan IPTEK dan Tantangan Keutuhan Bangsa
1.
Pendahuluan
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) merupakan salah satu karakteristik utama dari
era kontemporer yang ditandai dengan percepatan inovasi di berbagai bidang
kehidupan. Transformasi digital, otomatisasi industri, perkembangan kecerdasan
buatan, dan perluasan konektivitas global telah menciptakan tatanan baru yang
tidak hanya mengubah pola hidup manusia, tetapi juga mempengaruhi struktur
sosial, politik, ekonomi, dan budaya suatu bangsa. Indonesia sebagai negara
berkembang yang majemuk menghadapi tantangan ganda: memanfaatkan IPTEK untuk
kemajuan nasional, sekaligus menjaga keutuhan sosial dalam bingkai Bhinneka
Tunggal Ika.
Dalam konteks negara
kesatuan Republik Indonesia yang pluralistik, keberagaman suku, agama, ras,
budaya, dan bahasa merupakan kekayaan sekaligus potensi konflik jika tidak
dikelola dengan bijak. Nilai-nilai persatuan yang tercermin dalam semboyan Bhinneka
Tunggal Ika menjadi fondasi integratif yang memungkinkan perbedaan
hidup berdampingan secara harmonis. Namun, kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) juga telah membuka ruang bagi disinformasi, ujaran kebencian,
polarisasi politik, dan radikalisme digital yang mengancam kohesi sosial dan
semangat kebangsaan¹.
Fenomena globalisasi
yang difasilitasi oleh IPTEK telah merelatifkan batas-batas negara, mempercepat
pertukaran ide dan budaya, serta menggeser otoritas negara dalam mengendalikan
arus informasi dan interaksi sosial warganya². Hal ini menimbulkan dilema
strategis: di satu sisi, IPTEK membuka peluang besar bagi kemajuan bangsa; di
sisi lain, tanpa kecakapan literasi digital dan penguatan nilai-nilai
kebangsaan, kemajuan ini justru dapat menjadi instrumen disintegrasi nasional.
Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk memahami pengaruh IPTEK
secara kritis, agar mampu berkontribusi dalam menjaga keutuhan bangsa dalam
dinamika era digital.
Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn) memiliki peran vital dalam membekali peserta didik
dengan pemahaman terhadap perkembangan IPTEK sekaligus kesadaran akan
pentingnya menjaga persatuan dalam keberagaman. Pembelajaran PPKn diharapkan
tidak hanya menyampaikan pengetahuan normatif, tetapi juga melatih kemampuan
reflektif dan partisipatif siswa dalam merespons tantangan zaman dengan
berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila dan semangat kebhinekaan³. Oleh sebab
itu, kajian tentang pengaruh IPTEK terhadap bangsa Indonesia dalam bingkai
Bhinneka Tunggal Ika menjadi sangat relevan dan strategis dalam pembelajaran
PPKn di tingkat SLTA.
Footnotes
[1]
Yulius Purwadi Heru, Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam
Perspektif Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2019), 42–45.
[2]
Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford:
Stanford University Press, 1990), 64–70.
[3]
Didi Suherdi, Pendidikan Kewarganegaraan di Era Globalisasi
(Bandung: UPI Press, 2020), 87–92.
2.
Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK)
Ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) merupakan dua entitas yang saling berkaitan dan memainkan
peran sentral dalam perkembangan peradaban manusia. Ilmu
pengetahuan (sains) pada hakikatnya adalah himpunan pengetahuan
sistematis yang diperoleh melalui proses berpikir logis dan pengamatan empiris
terhadap gejala-gejala alam dan sosial⁽¹⁾. Sementara itu, teknologi
adalah penerapan praktis dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia dan memecahkan berbagai persoalan praktis dalam kehidupan⁽²⁾. Keduanya
berkembang secara simultan dan membentuk dinamika baru dalam kehidupan
masyarakat.
Perkembangan IPTEK
telah mengalami transformasi signifikan sejak revolusi ilmiah pada abad ke-17,
yang ditandai oleh munculnya pendekatan rasional dan eksperimental dalam
memahami alam semesta. Tahap ini disusul oleh revolusi industri pada abad ke-18
hingga ke-19 yang mendorong pemanfaatan teknologi secara massal dalam proses
produksi dan kehidupan sehari-hari. Masuk ke abad ke-21, dunia memasuki Revolusi
Industri 4.0, yang ditandai oleh integrasi sistem siber-fisik,
kecerdasan buatan, Internet of Things (IoT), dan big data dalam berbagai sektor
kehidupan⁽³⁾. Kemudian berkembang pula konsep Society 5.0, sebuah visi yang
menempatkan manusia sebagai pusat perkembangan teknologi untuk menciptakan
masyarakat yang seimbang antara kemajuan digital dan nilai-nilai
kemanusiaan⁽⁴⁾.
Di Indonesia,
pengembangan IPTEK menjadi bagian penting dari pembangunan nasional.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi menyatakan bahwa IPTEK memiliki fungsi strategis dalam meningkatkan
daya saing dan kemandirian bangsa⁽⁵⁾. Pengembangan IPTEK nasional tidak hanya
diarahkan untuk mengejar kemajuan material, tetapi juga untuk memperkuat jati
diri bangsa, membangun peradaban, serta menjawab tantangan global dengan solusi
yang berbasis pada kearifan lokal.
Namun demikian,
IPTEK bukanlah entitas yang netral dan bebas nilai. Ia dapat menjadi kekuatan
konstruktif maupun destruktif tergantung pada cara manusia menggunakannya. Oleh
sebab itu, pemahaman terhadap IPTEK harus disertai dengan pengembangan etika,
moralitas, dan nilai-nilai kebangsaan. Pendidikan memiliki peran penting dalam
membentuk generasi yang mampu memanfaatkan IPTEK secara cerdas, kritis, dan
bertanggung jawab, tanpa kehilangan identitas budaya dan semangat kebangsaan.
Footnotes
[1]
Dedy Suhardiman, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Suatu Kajian Tematis
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 21–24.
[2]
Manuel Castells, The Rise of the Network Society, 2nd ed.
(Oxford: Blackwell Publishers, 2010), 56–58.
[3]
Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World
Economic Forum, 2016), 9–11.
[4]
Keidanren, Society 5.0: Co-Creating the Future (Tokyo: Japan
Business Federation, 2018), 3–5.
[5]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang
Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 91, Pasal 3.
3.
Dampak Kemajuan IPTEK terhadap Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah membawa dampak multidimensional bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam bentuk peluang positif maupun
tantangan serius yang perlu diantisipasi. Di satu sisi, IPTEK merupakan
pendorong utama kemajuan peradaban modern; namun di sisi lain, jika tidak
disertai dengan etika dan kesadaran kebangsaan, ia dapat menjadi kekuatan
disintegratif yang mengancam keutuhan sosial dan politik suatu negara.
3.1.
Dampak Positif Kemajuan IPTEK
1)
Percepatan Pembangunan
Nasional
Kemajuan teknologi telah mempercepat proses
pembangunan di berbagai sektor seperti infrastruktur, pertanian, energi,
kesehatan, dan industri kreatif. Pemanfaatan teknologi digital dalam
e-government juga meningkatkan efisiensi pelayanan publik, transparansi, dan
partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan⁽¹⁾.
2)
Demokratisasi Informasi
dan Pendidikan
Akses informasi menjadi lebih inklusif dan merata
melalui internet dan media digital. Hal ini membuka ruang pembelajaran tanpa
batas geografis, meningkatkan literasi, dan mendorong tumbuhnya kesadaran
kritis masyarakat terhadap isu-isu nasional dan global⁽²⁾.
3)
Penguatan Ekonomi
Digital dan Inovasi
Munculnya ekonomi digital telah melahirkan model
bisnis baru, memperluas peluang kerja, serta menciptakan ekosistem inovasi yang
mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Inovasi berbasis teknologi mendorong
daya saing bangsa di tingkat global⁽³⁾.
3.2.
Dampak Negatif Kemajuan IPTEK
1)
Disrupsi Sosial dan
Polarisasi Identitas
Teknologi informasi, khususnya media sosial,
meskipun memperluas ruang ekspresi, juga memicu fragmentasi sosial. Algoritma
platform digital cenderung menciptakan “echo chamber” yang memperkuat
polarisasi identitas, baik secara politik, agama, maupun etnis⁽⁴⁾. Situasi ini
dapat menggerus rasa kebersamaan dan mengancam integrasi nasional.
2)
Penyebaran Hoaks dan
Radikalisme Digital
Kemajuan teknologi membuka peluang bagi
penyebaran informasi yang tidak terverifikasi atau bersifat provokatif. Banyak
kasus penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda ekstremisme terjadi
melalui platform digital, yang berdampak pada munculnya sikap intoleran di
masyarakat⁽⁵⁾.
3)
Ancaman terhadap
Kearifan Lokal dan Identitas Budaya
Arus globalisasi informasi yang masif dapat menggeser
nilai-nilai budaya lokal. Gaya hidup instan, individualisme, dan konsumerisme
digital berpotensi mengikis kearifan lokal dan melemahkan semangat gotong
royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia⁽⁶⁾.
4)
Kerentanan Siber dan
Kedaulatan Digital
Negara-negara termasuk Indonesia menghadapi
tantangan keamanan digital yang semakin kompleks. Serangan siber, peretasan
data, dan manipulasi opini publik melalui teknologi digital dapat menjadi
bentuk ancaman non-tradisional terhadap kedaulatan negara⁽⁷⁾.
3.3.
Implikasi terhadap Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara
Dengan segala
potensinya, IPTEK menjadi kekuatan strategis dalam memperkuat posisi Indonesia
di tengah dinamika global. Namun, dampak negatifnya harus diantisipasi melalui
pendekatan yang integratif: mengembangkan literasi digital, membangun kesadaran
kebangsaan, serta memperkuat nilai-nilai Pancasila dan semangat Bhinneka
Tunggal Ika dalam seluruh dimensi kehidupan. Keberhasilan bangsa
dalam merespons dampak IPTEK sangat bergantung pada kebijakan publik yang
adaptif serta peran aktif masyarakat dalam menjaga harmoni sosial di tengah
perubahan zaman.
Footnotes
[1]
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Indonesia
Menuju Transformasi Digital Nasional (Jakarta: Kominfo Press, 2021),
13–15.
[2]
Sugeng Listyono, Literasi Digital dan Etika Bermedia Sosial
(Yogyakarta: Deepublish, 2020), 35–38.
[3]
World Bank, The Digital Economy for Indonesia: Policy Note
(Washington DC: World Bank Group, 2021), 4–7.
[4]
Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of
Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 104–108.
[5]
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kajian Radikalisme
Digital di Indonesia (Jakarta: BNPT Press, 2020), 23–26.
[6]
Ayu Fitrianingsih, “Dampak Globalisasi terhadap Budaya Lokal di
Indonesia,” Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora 10, no. 2 (2020):
150–152.
[7]
Budi Rahardjo, Keamanan Siber dan Tantangan Kedaulatan Digital
(Bandung: Informatika, 2019), 48–50.
4.
Bhinneka Tunggal Ika sebagai Bingkai Persatuan
dalam Era IPTEK
Semboyan Bhinneka
Tunggal Ika, yang secara harfiah berarti “berbeda-beda tetapi tetap
satu,” mencerminkan filosofi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Dikenalkan pertama kali dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular pada
abad ke-14, semboyan ini menjadi identitas kebangsaan yang merangkum
keberagaman suku, agama, budaya, dan bahasa yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia⁽¹⁾. Dalam perkembangan sejarah bangsa, semboyan ini tidak hanya
bersifat simbolik, tetapi menjadi fondasi etis dan politis dalam membangun
persatuan nasional.
Di era kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK), makna Bhinneka Tunggal Ika mengalami
tantangan sekaligus peluang baru. Di satu sisi, teknologi telah memperluas
ruang interaksi antarindividu lintas wilayah dan budaya. Media sosial, aplikasi
perpesanan, dan forum daring memungkinkan masyarakat dari latar belakang yang
beragam untuk terhubung dan berkolaborasi. Ini membuka ruang bagi penguatan
kohesi sosial berbasis kesadaran kolektif akan pluralitas dan kebersamaan⁽²⁾.
Namun di sisi lain,
era digital juga memperbesar potensi disintegrasi sosial akibat penyalahgunaan
teknologi informasi. Polarisasi identitas, disinformasi, intoleransi, dan
ujaran kebencian dapat tersebar dengan cepat melalui dunia maya. Hal ini dapat melemahkan
rasa persatuan dan mengancam nilai-nilai luhur kebhinekaan⁽³⁾. Teknologi, dalam
hal ini, menjadi “pedang bermata dua” yang bisa memperkuat atau melemahkan
integrasi bangsa, tergantung bagaimana penggunaannya.
Dalam konteks ini, Bhinneka
Tunggal Ika harus dipahami bukan hanya sebagai semboyan historis,
tetapi sebagai nilai hidup yang terus diperjuangkan. Integrasi antara semangat
kebhinekaan dengan kecakapan digital menjadi kebutuhan mendesak dalam membangun
masyarakat Indonesia yang modern, inklusif, dan berakar pada nilai-nilai
Pancasila. Sebagaimana ditegaskan oleh Pusat Studi Pancasila UGM, semangat Bhinneka
Tunggal Ika tidak boleh berhenti sebagai retorika, melainkan harus
diinternalisasi dalam kehidupan bermasyarakat di era informasi⁽⁴⁾.
Penguatan
nilai-nilai kebhinekaan di era IPTEK juga memerlukan pendekatan edukatif.
Pendidikan multikultural, literasi digital yang beretika, serta pembelajaran
berbasis nilai dapat menjadi instrumen strategis untuk membentuk generasi muda
yang toleran, kritis, dan cinta tanah air. Hal ini sejalan dengan arah
kebijakan pembangunan karakter bangsa yang tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN), yang menekankan pentingnya integrasi antara
kemajuan teknologi dengan penguatan jati diri bangsa⁽⁵⁾.
Dengan demikian, Bhinneka
Tunggal Ika bukanlah slogan yang statis, melainkan prinsip dinamis
yang relevan untuk menjawab tantangan zaman. Dalam era kemajuan IPTEK, prinsip
ini harus dijadikan bingkai nilai dan etika dalam setiap inovasi, komunikasi,
dan interaksi sosial yang terjadi. Persatuan bangsa hanya akan terjaga jika
teknologi digunakan untuk mempererat, bukan memecah, kehidupan bersama dalam
keragaman.
Footnotes
[1]
M. Yamin, Naskah Sumpah Pemuda dan Bhinneka Tunggal Ika
(Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 64–67.
[2]
Budi Hardiman, Ruang Publik Virtual: Media Baru dan Demokrasi
(Yogyakarta: Kanisius, 2010), 28–32.
[3]
Setiadi Setiawan, “Media Sosial dan Ancaman Terhadap Toleransi di Era
Digital,” Jurnal Komunikasi dan Budaya 12, no. 1 (2021): 45–47.
[4]
Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Pancasila dan
Tantangan Globalisasi (Yogyakarta: PSP UGM, 2019), 90–92.
[5]
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025–2045 (Jakarta: Bappenas, 2021),
134–136.
5.
Strategi Menyikapi Kemajuan IPTEK Secara Bijak
dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika
Kemajuan IPTEK
merupakan fenomena yang tidak dapat dielakkan dan membawa konsekuensi langsung
terhadap berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks kebangsaan, IPTEK dapat
menjadi instrumen strategis untuk memperkuat persatuan dalam keragaman. Namun,
hal tersebut hanya dapat terwujud apabila bangsa Indonesia mampu menyikapinya
secara bijak dan visioner. Oleh karena itu, diperlukan serangkaian strategi
yang integratif antara penguasaan teknologi dan penguatan nilai-nilai
kebhinekaan sebagai landasan etis dan moral.
5.1.
Literasi Digital yang Berkarakter
Strategi pertama
adalah membangun literasi digital yang tidak
hanya bersifat teknis, tetapi juga mencakup aspek etika, budaya, dan
kebangsaan. Dalam era banjir informasi, kemampuan untuk mengakses, memilah, dan
menyikapi informasi secara kritis menjadi kunci utama untuk menghindari
penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan radikalisme digital⁽¹⁾. UNESCO
menekankan pentingnya pendekatan media and information literacy (MIL)
sebagai upaya menyatukan kecakapan teknologi dengan tanggung jawab sosial dan
nilai kemanusiaan⁽²⁾.
Literasi digital
yang berkarakter juga mendorong pengguna untuk menjadikan ruang digital sebagai
arena dialog antarbudaya dan bukan sebagai ajang perpecahan. Hal ini menjadi
penting dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, di mana ruang digital
sangat mudah dipolitisasi dan dieksploitasi untuk memperuncing identitas.
5.2.
Penguatan Pendidikan Nilai dan Multikultural
Pendidikan memiliki
peran vital dalam membentuk generasi yang mampu bersikap inklusif, toleran, dan
berpikir kritis. Pembelajaran nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan
hak asasi manusia harus diintegrasikan secara kontekstual dengan fenomena-fenomena
global yang dihadapi peserta didik⁽³⁾. Kurikulum yang memuat pendidikan
multikultural dapat menjadi strategi jangka panjang dalam menanamkan kesadaran
kebangsaan di tengah perubahan sosial yang cepat akibat IPTEK⁽⁴⁾.
Guru sebagai agen
transformasi sosial juga dituntut untuk adaptif terhadap perkembangan teknologi
dan mampu menghubungkan konten pembelajaran dengan isu-isu aktual seperti etika
bermedia, keberagaman di ruang digital, serta partisipasi aktif dalam menjaga
integrasi nasional.
5.3.
Regulasi dan Kebijakan Publik yang Responsif
Negara memiliki
peran penting dalam menciptakan ekosistem digital yang sehat dan inklusif.
Regulasi yang berpihak pada hak digital warga negara, namun tetap menjaga
keamanan dan etika berteknologi, perlu diperkuat. Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) serta inisiatif literasi digital dari Kementerian
Komunikasi dan Informatika merupakan bentuk upaya negara dalam menjaga ruang
digital agar tetap kondusif dan tidak menjadi alat disintegrasi⁽⁵⁾.
Lebih lanjut,
kebijakan pembangunan teknologi juga harus sensitif terhadap keberagaman lokal.
Inovasi berbasis teknologi seyogianya tidak hanya meniru model luar negeri,
tetapi diselaraskan dengan konteks sosial-budaya Indonesia agar dapat
memperkuat jati diri bangsa⁽⁶⁾.
5.4.
Peran Keluarga dan Komunitas sebagai Basis
Ketahanan Sosial
Keluarga merupakan
lembaga sosial primer yang memiliki pengaruh kuat dalam membentuk karakter dan
sikap anak terhadap teknologi. Pengawasan, komunikasi terbuka, dan penanaman
nilai-nilai moral di lingkungan keluarga sangat penting untuk membentengi
generasi muda dari dampak negatif penggunaan teknologi⁽⁷⁾.
Di sisi lain,
komunitas lokal juga dapat berperan aktif dalam mengembangkan gerakan literasi
digital dan penguatan identitas budaya lokal. Kegiatan komunitas yang berbasis
nilai gotong royong, kearifan lokal, dan narasi kebangsaan di ruang digital
dapat memperkuat ketahanan sosial masyarakat dalam menghadapi disrupsi IPTEK.
5.5.
Keterlibatan Generasi Muda sebagai Agen
Perubahan
Generasi muda
merupakan pengguna terbesar teknologi digital dan sekaligus aktor utama dalam
membentuk opini publik di ruang maya. Oleh karena itu, mereka perlu didorong
untuk menjadi agen perubahan yang
memanfaatkan IPTEK untuk memperjuangkan nilai-nilai keadilan, persatuan, dan
perdamaian. Aktivisme digital yang positif, seperti kampanye kebhinekaan,
toleransi, dan literasi budaya, dapat menjadi sarana strategis untuk memperkuat
keutuhan bangsa⁽⁸⁾.
Pemuda harus
dibekali tidak hanya dengan kompetensi teknologi, tetapi juga dengan identitas
kebangsaan yang kokoh dan kepekaan terhadap problematika sosial. Dengan
demikian, IPTEK tidak menjadi ancaman, melainkan peluang untuk memperkokoh Bhinneka
Tunggal Ika dalam era global.
Footnotes
[1]
Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward
an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg:
Council of Europe, 2017), 12–14.
[2]
UNESCO, Media and Information Literacy: Policy and Strategy
Guidelines (Paris: UNESCO Publishing, 2013), 23–27.
[3]
Zuly Qodir, Pendidikan Nilai dalam Konteks Multikultural dan
Kebangsaan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2018), 58–61.
[4]
Mansyur M. Nasution, Multikulturalisme dan Pendidikan Karakter
Bangsa (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), 91–93.
[5]
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Siberkreasi:
Gerakan Nasional Literasi Digital (Jakarta: Kominfo Press, 2020), 5–8.
[6]
Anies Baswedan, “Teknologi dan Jati Diri Bangsa,” Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan 22, no. 3 (2016): 207–209.
[7]
Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga (Bogor:
Indonesia Heritage Foundation, 2014), 42–44.
[8]
Ismail Fahmi, Generasi Milenial dan Gerakan Sosial Digital
(Yogyakarta: Insist Press, 2021), 74–78.
6.
Studi Kasus dan Refleksi Kritis
Untuk memahami
secara lebih konkret bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam konteks Bhinneka
Tunggal Ika, diperlukan analisis terhadap studi kasus yang relevan.
Studi-studi ini menunjukkan bahwa teknologi dapat berfungsi sebagai alat
pemersatu atau justru menjadi pemicu disintegrasi, tergantung pada konteks
penggunaan dan nilai-nilai yang melandasinya. Melalui refleksi kritis atas
kasus-kasus ini, generasi muda diharapkan dapat mengambil pelajaran penting untuk
menjaga keutuhan bangsa.
6.1.
Studi Kasus Positif: Gerakan #IndonesiaBersatu
di Media Sosial
Pada tahun 2020,
ketika media sosial di Indonesia ramai oleh narasi polarisasi politik dan
ujaran kebencian berbasis SARA, muncul gerakan digital bertagar #IndonesiaBersatu
yang viral di berbagai platform, terutama Twitter dan Instagram. Gerakan ini
digagas oleh sejumlah tokoh publik, aktivis, dan warga biasa yang merasa
prihatin terhadap meningkatnya sentimen permusuhan antarkelompok. Mereka
memanfaatkan teknologi digital sebagai medium kampanye damai, menampilkan
keberagaman budaya, ekspresi toleransi, dan semangat kebangsaan⁽¹⁾.
Gerakan ini
menunjukkan bahwa ruang digital dapat dimanfaatkan sebagai arena memperkuat
persatuan. Dengan pendekatan yang kreatif dan inklusif, kampanye ini berhasil
menarik perhatian publik lintas generasi dan latar belakang, serta menjadi
bentuk perlawanan terhadap narasi kebencian. Studi ini memperlihatkan bahwa
ketika IPTEK digunakan secara bijak dan berbasis nilai-nilai kebangsaan, maka ia
menjadi alat rekonsiliasi dan edukasi sosial.
6.2.
Studi Kasus Negatif: Konflik SARA dalam Kasus
Hoaks Suriah (2018)
Pada sisi yang lain,
penyalahgunaan teknologi untuk menyebarkan hoaks telah terbukti memicu konflik
sosial. Salah satu contoh yang sempat menimbulkan keresahan adalah kasus
hoaks video pembantaian di Suriah yang disebarkan dengan narasi
provokatif seolah-olah terjadi di Indonesia, disertai tuduhan terhadap kelompok
etnis atau agama tertentu. Video tersebut menyebar luas di WhatsApp dan
Facebook pada tahun 2018, memicu kemarahan publik dan bahkan sempat menimbulkan
aksi kekerasan berbasis prasangka⁽²⁾.
Kepolisian kemudian
menyatakan bahwa video tersebut adalah informasi palsu dan telah diproduksi
oleh pihak asing dalam konteks konflik di Timur Tengah. Meski telah
diklarifikasi, kasus ini memperlihatkan betapa cepatnya disinformasi menyebar
dan betapa rentannya masyarakat terhadap manipulasi informasi jika tidak
dibekali dengan literasi digital dan kesadaran kebangsaan yang kuat⁽³⁾. Ini
menegaskan bahwa teknologi yang tidak dikendalikan oleh etika dan wawasan
kebangsaan bisa menjadi ancaman serius bagi keutuhan sosial.
6.3.
Refleksi Kritis: Tanggung Jawab Kolektif dalam
Era Digital
Dua kasus di atas
menyiratkan refleksi mendalam bagi seluruh elemen bangsa, khususnya generasi
muda yang menjadi aktor dominan di ruang digital. Pertama,
teknologi bukan entitas netral, melainkan produk budaya yang dipengaruhi oleh
nilai-nilai penggunanya. Kedua, ruang digital
mencerminkan struktur sosial yang lebih luas, sehingga konflik di dunia maya
dapat berdampak langsung pada relasi sosial di dunia nyata.
Dalam hal ini, nilai
Bhinneka
Tunggal Ika harus menjadi landasan moral dalam aktivitas digital.
Generasi muda harus memposisikan diri sebagai penjaga ruang digital yang sehat
dengan mengedepankan dialog, toleransi, dan verifikasi informasi. Kemampuan
kritis tidak cukup tanpa disertai tanggung jawab kebangsaan. Pendidikan,
komunitas, dan kebijakan negara perlu bersinergi untuk membentuk masyarakat
digital yang tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga berkarakter dan
bermartabat.
Sebagaimana
diingatkan oleh para pemikir etika teknologi, masyarakat digital modern
menghadapi paradoks: semakin terkoneksi secara teknis, tetapi sering kali
terputus secara sosial⁽⁴⁾. Maka, membangun integrasi nasional dalam era IPTEK
bukan hanya soal infrastruktur teknologi, melainkan juga tentang pembentukan
nilai dan karakter kebangsaan.
Footnotes
[1]
Yenny Wahid, “#IndonesiaBersatu dan Politik Harapan di Dunia Digital,” Kompas,
4 Juni 2020, 6.
[2]
Kominfo, Hoaks dan Disinformasi: Laporan Investigasi 2018
(Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2019),
23–25.
[3]
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Laporan Penanganan Kasus Siber
Nasional 2018 (Jakarta: Bareskrim Polri, 2019), 13–15.
[4]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology
and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 19–21.
7.
Penutup
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah menjadi kekuatan utama yang mengubah
cara hidup masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Transformasi
digital yang terjadi secara masif tidak hanya membawa kemudahan dalam kehidupan
sosial, ekonomi, dan pemerintahan, tetapi juga menghadirkan tantangan serius
bagi keutuhan bangsa, terutama dalam menjaga semangat persatuan dalam keragaman
yang tercermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Di tengah
derasnya arus globalisasi dan disrupsi digital, nilai-nilai kebangsaan tidak
boleh pudar; justru harus diaktualisasikan dalam setiap dimensi kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana telah
diuraikan, IPTEK memiliki dampak yang ambivalen. Di satu sisi, ia memperluas
akses informasi, memperkuat partisipasi masyarakat, serta membuka peluang
inovasi yang mendukung pembangunan nasional. Di sisi lain, tanpa kontrol nilai
dan karakter, IPTEK dapat memicu disintegrasi sosial melalui penyebaran hoaks,
polarisasi identitas, dan melemahnya solidaritas antarwarga⁽¹⁾. Oleh karena
itu, respons terhadap IPTEK harus bersifat holistik, mencakup dimensi
teknologi, etika, budaya, dan kebangsaan.
Dalam konteks ini, Bhinneka
Tunggal Ika harus menjadi prinsip moral yang membimbing masyarakat
dalam menggunakan teknologi secara bertanggung jawab. Semboyan ini tidak hanya
mengandung makna toleransi, tetapi juga menegaskan komitmen untuk membangun
harmoni sosial di tengah perbedaan. Pendidikan, kebijakan publik, peran
keluarga, serta inisiatif komunitas digital semuanya harus diarahkan untuk
membentuk warga negara yang tidak hanya cakap secara digital, tetapi juga
memiliki kesadaran historis dan tanggung jawab kebangsaan⁽²⁾.
Generasi muda
sebagai digital natives memiliki peran sentral dalam menentukan arah masa depan
bangsa. Mereka harus diposisikan bukan hanya sebagai pengguna teknologi, tetapi
sebagai subjek yang berdaulat atas
penggunaan teknologi untuk memperkuat integrasi bangsa. Dalam hal ini, literasi
digital yang berpadu dengan nilai-nilai Pancasila, semangat gotong royong, dan
apresiasi terhadap keragaman adalah kunci untuk menciptakan masyarakat
Indonesia yang tangguh dalam menghadapi tantangan era IPTEK.
Dengan demikian,
menjaga keutuhan bangsa di era IPTEK tidak cukup dengan kecanggihan teknologi,
tetapi memerlukan keberanian moral, keteguhan nilai, dan kecerdasan kolektif.
Di sinilah relevansi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn): membina
peserta didik agar mampu menjadi warga negara yang bertanggung jawab dalam
menggunakan teknologi demi persatuan dan kemajuan Indonesia dalam bingkai Bhinneka
Tunggal Ika.
Footnotes
[1]
Manuel Castells, Networks of Outrage and Hope: Social Movements in
the Internet Age, 2nd ed. (Cambridge: Polity Press, 2015), 88–91.
[2]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 304–307.
Daftar Pustaka
Anies Baswedan. (2016). Teknologi dan jati diri
bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 22(3), 207–209.
Ayu Fitrianingsih. (2020). Dampak globalisasi
terhadap budaya lokal di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 10(2),
150–152.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. (2020). Kajian
radikalisme digital di Indonesia. Jakarta: BNPT Press.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
(2021). Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025–2045. Jakarta:
Bappenas.
Budi Hardiman. (2010). Ruang publik virtual:
Media baru dan demokrasi. Yogyakarta: Kanisius.
Budi Rahardjo. (2019). Keamanan siber dan
tantangan kedaulatan digital. Bandung: Informatika.
Castells, M. (2010). The rise of the network
society (2nd ed.). Oxford: Blackwell Publishers.
Castells, M. (2015). Networks of outrage and
hope: Social movements in the internet age (2nd ed.). Cambridge: Polity
Press.
Giddens, A. (1990). The consequences of
modernity. Stanford, CA: Stanford University Press.
Ismail Fahmi. (2021). Generasi milenial dan
gerakan sosial digital. Yogyakarta: Insist Press.
Keidanren (Japan Business Federation). (2018). Society
5.0: Co-creating the future. Tokyo: Keidanren.
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
(2019). Hoaks dan disinformasi: Laporan investigasi 2018. Jakarta:
Kominfo.
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia. (2020). Siberkreasi: Gerakan nasional literasi digital.
Jakarta: Kominfo Press.
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia. (2021). Indonesia menuju transformasi digital nasional.
Jakarta: Kominfo Press.
Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2019). Laporan
penanganan kasus siber nasional 2018. Jakarta: Bareskrim Polri.
Latif, Y. (2011). Negara paripurna:
Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Listyono, S. (2020). Literasi digital dan etika
bermedia sosial. Yogyakarta: Deepublish.
Megawangi, R. (2014). Pendidikan karakter
berbasis keluarga. Bogor: Indonesia Heritage Foundation.
M. Yamin. (2008). Naskah Sumpah Pemuda dan
Bhinneka Tunggal Ika. Jakarta: Balai Pustaka.
Mansyur M. Nasution. (2017). Multikulturalisme
dan pendidikan karakter bangsa. Jakarta: Rajawali Pers.
Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada.
(2019). Pancasila dan tantangan globalisasi. Yogyakarta: PSP UGM.
Qodir, Z. (2018). Pendidikan nilai dalam konteks
multikultural dan kebangsaan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Schwab, K. (2016). The fourth industrial
revolution. Geneva: World Economic Forum.
Setiadi Setiawan. (2021). Media sosial dan ancaman
terhadap toleransi di era digital. Jurnal Komunikasi dan Budaya, 12(1),
45–47.
Suhardiman, D. (2013). Filsafat ilmu
pengetahuan: Suatu kajian tematis. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Suherdi, D. (2020). Pendidikan kewarganegaraan
di era globalisasi. Bandung: UPI Press.
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect
more from technology and less from each other. New York: Basic Books.
Tufekci, Z. (2017). Twitter and tear gas: The
power and fragility of networked protest. New Haven, CT: Yale University
Press.
UNESCO. (2013). Media and information literacy:
Policy and strategy guidelines. Paris: UNESCO Publishing.
Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information
disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policy making.
Strasbourg: Council of Europe.
World Bank. (2021). The digital economy for
Indonesia: Policy note. Washington, DC: World Bank Group.
Yenny Wahid. (2020, June 4). #IndonesiaBersatu dan
politik harapan di dunia digital. Kompas, p. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar