Jumat, 06 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 12-3: Kemajuan IPTEK dan Tantangan Keutuhan Bangsa

Bahan Ajar PPKn

Kemajuan IPTEK dan Tantangan Keutuhan Bangsa

Bingkai Bhinneka Tunggal Ika


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah membawa dampak besar terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia, baik sebagai instrumen pembangunan maupun tantangan terhadap keutuhan bangsa. Artikel ini mengkaji secara komprehensif bagaimana perkembangan IPTEK berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka nilai Bhinneka Tunggal Ika. Dengan pendekatan deskriptif-analitis, artikel ini membahas konsep dasar IPTEK, dampak positif dan negatifnya terhadap integrasi nasional, serta strategi strategis yang dapat diterapkan untuk menyikapi kemajuan IPTEK secara bijak. Studi kasus gerakan digital seperti #IndonesiaBersatu dan penyebaran hoaks juga dianalisis sebagai cerminan ambivalensi peran teknologi dalam kehidupan sosial-politik. Hasil kajian menunjukkan bahwa IPTEK dapat memperkuat maupun melemahkan persatuan nasional tergantung pada nilai yang mendasari penggunaannya. Oleh karena itu, literasi digital yang berkarakter, pendidikan nilai yang kontekstual, kebijakan publik yang responsif, serta partisipasi aktif generasi muda menjadi kunci dalam menjaga keutuhan bangsa di tengah disrupsi digital. Artikel ini merekomendasikan penguatan peran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) sebagai medium strategis dalam membina warga negara digital yang beretika dan berjiwa kebangsaan.

Kata Kunci: IPTEK, Bhinneka Tunggal Ika, Keutuhan Bangsa, Literasi Digital, Pendidikan Kewarganegaraan, Disrupsi Sosial, Integrasi Nasional.


PEMBAHASAN

Kemajuan IPTEK dan Tantangan Keutuhan Bangsa


1.           Pendahuluan

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) merupakan salah satu karakteristik utama dari era kontemporer yang ditandai dengan percepatan inovasi di berbagai bidang kehidupan. Transformasi digital, otomatisasi industri, perkembangan kecerdasan buatan, dan perluasan konektivitas global telah menciptakan tatanan baru yang tidak hanya mengubah pola hidup manusia, tetapi juga mempengaruhi struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya suatu bangsa. Indonesia sebagai negara berkembang yang majemuk menghadapi tantangan ganda: memanfaatkan IPTEK untuk kemajuan nasional, sekaligus menjaga keutuhan sosial dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia yang pluralistik, keberagaman suku, agama, ras, budaya, dan bahasa merupakan kekayaan sekaligus potensi konflik jika tidak dikelola dengan bijak. Nilai-nilai persatuan yang tercermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi fondasi integratif yang memungkinkan perbedaan hidup berdampingan secara harmonis. Namun, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) juga telah membuka ruang bagi disinformasi, ujaran kebencian, polarisasi politik, dan radikalisme digital yang mengancam kohesi sosial dan semangat kebangsaan¹.

Fenomena globalisasi yang difasilitasi oleh IPTEK telah merelatifkan batas-batas negara, mempercepat pertukaran ide dan budaya, serta menggeser otoritas negara dalam mengendalikan arus informasi dan interaksi sosial warganya². Hal ini menimbulkan dilema strategis: di satu sisi, IPTEK membuka peluang besar bagi kemajuan bangsa; di sisi lain, tanpa kecakapan literasi digital dan penguatan nilai-nilai kebangsaan, kemajuan ini justru dapat menjadi instrumen disintegrasi nasional. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk memahami pengaruh IPTEK secara kritis, agar mampu berkontribusi dalam menjaga keutuhan bangsa dalam dinamika era digital.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) memiliki peran vital dalam membekali peserta didik dengan pemahaman terhadap perkembangan IPTEK sekaligus kesadaran akan pentingnya menjaga persatuan dalam keberagaman. Pembelajaran PPKn diharapkan tidak hanya menyampaikan pengetahuan normatif, tetapi juga melatih kemampuan reflektif dan partisipatif siswa dalam merespons tantangan zaman dengan berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila dan semangat kebhinekaan³. Oleh sebab itu, kajian tentang pengaruh IPTEK terhadap bangsa Indonesia dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika menjadi sangat relevan dan strategis dalam pembelajaran PPKn di tingkat SLTA.


Footnotes

[1]                Yulius Purwadi Heru, Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Perspektif Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2019), 42–45.

[2]                Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford: Stanford University Press, 1990), 64–70.

[3]                Didi Suherdi, Pendidikan Kewarganegaraan di Era Globalisasi (Bandung: UPI Press, 2020), 87–92.


2.           Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) merupakan dua entitas yang saling berkaitan dan memainkan peran sentral dalam perkembangan peradaban manusia. Ilmu pengetahuan (sains) pada hakikatnya adalah himpunan pengetahuan sistematis yang diperoleh melalui proses berpikir logis dan pengamatan empiris terhadap gejala-gejala alam dan sosial⁽¹⁾. Sementara itu, teknologi adalah penerapan praktis dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan memecahkan berbagai persoalan praktis dalam kehidupan⁽²⁾. Keduanya berkembang secara simultan dan membentuk dinamika baru dalam kehidupan masyarakat.

Perkembangan IPTEK telah mengalami transformasi signifikan sejak revolusi ilmiah pada abad ke-17, yang ditandai oleh munculnya pendekatan rasional dan eksperimental dalam memahami alam semesta. Tahap ini disusul oleh revolusi industri pada abad ke-18 hingga ke-19 yang mendorong pemanfaatan teknologi secara massal dalam proses produksi dan kehidupan sehari-hari. Masuk ke abad ke-21, dunia memasuki Revolusi Industri 4.0, yang ditandai oleh integrasi sistem siber-fisik, kecerdasan buatan, Internet of Things (IoT), dan big data dalam berbagai sektor kehidupan⁽³⁾. Kemudian berkembang pula konsep Society 5.0, sebuah visi yang menempatkan manusia sebagai pusat perkembangan teknologi untuk menciptakan masyarakat yang seimbang antara kemajuan digital dan nilai-nilai kemanusiaan⁽⁴⁾.

Di Indonesia, pengembangan IPTEK menjadi bagian penting dari pembangunan nasional. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyatakan bahwa IPTEK memiliki fungsi strategis dalam meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa⁽⁵⁾. Pengembangan IPTEK nasional tidak hanya diarahkan untuk mengejar kemajuan material, tetapi juga untuk memperkuat jati diri bangsa, membangun peradaban, serta menjawab tantangan global dengan solusi yang berbasis pada kearifan lokal.

Namun demikian, IPTEK bukanlah entitas yang netral dan bebas nilai. Ia dapat menjadi kekuatan konstruktif maupun destruktif tergantung pada cara manusia menggunakannya. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap IPTEK harus disertai dengan pengembangan etika, moralitas, dan nilai-nilai kebangsaan. Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk generasi yang mampu memanfaatkan IPTEK secara cerdas, kritis, dan bertanggung jawab, tanpa kehilangan identitas budaya dan semangat kebangsaan.


Footnotes

[1]                Dedy Suhardiman, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Suatu Kajian Tematis (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 21–24.

[2]                Manuel Castells, The Rise of the Network Society, 2nd ed. (Oxford: Blackwell Publishers, 2010), 56–58.

[3]                Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum, 2016), 9–11.

[4]                Keidanren, Society 5.0: Co-Creating the Future (Tokyo: Japan Business Federation, 2018), 3–5.

[5]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 91, Pasal 3.


3.           Dampak Kemajuan IPTEK terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah membawa dampak multidimensional bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam bentuk peluang positif maupun tantangan serius yang perlu diantisipasi. Di satu sisi, IPTEK merupakan pendorong utama kemajuan peradaban modern; namun di sisi lain, jika tidak disertai dengan etika dan kesadaran kebangsaan, ia dapat menjadi kekuatan disintegratif yang mengancam keutuhan sosial dan politik suatu negara.

3.1.       Dampak Positif Kemajuan IPTEK

1)                  Percepatan Pembangunan Nasional

Kemajuan teknologi telah mempercepat proses pembangunan di berbagai sektor seperti infrastruktur, pertanian, energi, kesehatan, dan industri kreatif. Pemanfaatan teknologi digital dalam e-government juga meningkatkan efisiensi pelayanan publik, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan⁽¹⁾.

2)                  Demokratisasi Informasi dan Pendidikan

Akses informasi menjadi lebih inklusif dan merata melalui internet dan media digital. Hal ini membuka ruang pembelajaran tanpa batas geografis, meningkatkan literasi, dan mendorong tumbuhnya kesadaran kritis masyarakat terhadap isu-isu nasional dan global⁽²⁾.

3)                  Penguatan Ekonomi Digital dan Inovasi

Munculnya ekonomi digital telah melahirkan model bisnis baru, memperluas peluang kerja, serta menciptakan ekosistem inovasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Inovasi berbasis teknologi mendorong daya saing bangsa di tingkat global⁽³⁾.

3.2.       Dampak Negatif Kemajuan IPTEK

1)                  Disrupsi Sosial dan Polarisasi Identitas

Teknologi informasi, khususnya media sosial, meskipun memperluas ruang ekspresi, juga memicu fragmentasi sosial. Algoritma platform digital cenderung menciptakan “echo chamber” yang memperkuat polarisasi identitas, baik secara politik, agama, maupun etnis⁽⁴⁾. Situasi ini dapat menggerus rasa kebersamaan dan mengancam integrasi nasional.

2)                  Penyebaran Hoaks dan Radikalisme Digital

Kemajuan teknologi membuka peluang bagi penyebaran informasi yang tidak terverifikasi atau bersifat provokatif. Banyak kasus penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda ekstremisme terjadi melalui platform digital, yang berdampak pada munculnya sikap intoleran di masyarakat⁽⁵⁾.

3)                  Ancaman terhadap Kearifan Lokal dan Identitas Budaya

Arus globalisasi informasi yang masif dapat menggeser nilai-nilai budaya lokal. Gaya hidup instan, individualisme, dan konsumerisme digital berpotensi mengikis kearifan lokal dan melemahkan semangat gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia⁽⁶⁾.

4)                  Kerentanan Siber dan Kedaulatan Digital

Negara-negara termasuk Indonesia menghadapi tantangan keamanan digital yang semakin kompleks. Serangan siber, peretasan data, dan manipulasi opini publik melalui teknologi digital dapat menjadi bentuk ancaman non-tradisional terhadap kedaulatan negara⁽⁷⁾.

3.3.       Implikasi terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Dengan segala potensinya, IPTEK menjadi kekuatan strategis dalam memperkuat posisi Indonesia di tengah dinamika global. Namun, dampak negatifnya harus diantisipasi melalui pendekatan yang integratif: mengembangkan literasi digital, membangun kesadaran kebangsaan, serta memperkuat nilai-nilai Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika dalam seluruh dimensi kehidupan. Keberhasilan bangsa dalam merespons dampak IPTEK sangat bergantung pada kebijakan publik yang adaptif serta peran aktif masyarakat dalam menjaga harmoni sosial di tengah perubahan zaman.


Footnotes

[1]                Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Indonesia Menuju Transformasi Digital Nasional (Jakarta: Kominfo Press, 2021), 13–15.

[2]                Sugeng Listyono, Literasi Digital dan Etika Bermedia Sosial (Yogyakarta: Deepublish, 2020), 35–38.

[3]                World Bank, The Digital Economy for Indonesia: Policy Note (Washington DC: World Bank Group, 2021), 4–7.

[4]                Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 104–108.

[5]                Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kajian Radikalisme Digital di Indonesia (Jakarta: BNPT Press, 2020), 23–26.

[6]                Ayu Fitrianingsih, “Dampak Globalisasi terhadap Budaya Lokal di Indonesia,” Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora 10, no. 2 (2020): 150–152.

[7]                Budi Rahardjo, Keamanan Siber dan Tantangan Kedaulatan Digital (Bandung: Informatika, 2019), 48–50.


4.           Bhinneka Tunggal Ika sebagai Bingkai Persatuan dalam Era IPTEK

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang secara harfiah berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu,” mencerminkan filosofi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dikenalkan pertama kali dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular pada abad ke-14, semboyan ini menjadi identitas kebangsaan yang merangkum keberagaman suku, agama, budaya, dan bahasa yang dimiliki oleh bangsa Indonesia⁽¹⁾. Dalam perkembangan sejarah bangsa, semboyan ini tidak hanya bersifat simbolik, tetapi menjadi fondasi etis dan politis dalam membangun persatuan nasional.

Di era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), makna Bhinneka Tunggal Ika mengalami tantangan sekaligus peluang baru. Di satu sisi, teknologi telah memperluas ruang interaksi antarindividu lintas wilayah dan budaya. Media sosial, aplikasi perpesanan, dan forum daring memungkinkan masyarakat dari latar belakang yang beragam untuk terhubung dan berkolaborasi. Ini membuka ruang bagi penguatan kohesi sosial berbasis kesadaran kolektif akan pluralitas dan kebersamaan⁽²⁾.

Namun di sisi lain, era digital juga memperbesar potensi disintegrasi sosial akibat penyalahgunaan teknologi informasi. Polarisasi identitas, disinformasi, intoleransi, dan ujaran kebencian dapat tersebar dengan cepat melalui dunia maya. Hal ini dapat melemahkan rasa persatuan dan mengancam nilai-nilai luhur kebhinekaan⁽³⁾. Teknologi, dalam hal ini, menjadi “pedang bermata dua” yang bisa memperkuat atau melemahkan integrasi bangsa, tergantung bagaimana penggunaannya.

Dalam konteks ini, Bhinneka Tunggal Ika harus dipahami bukan hanya sebagai semboyan historis, tetapi sebagai nilai hidup yang terus diperjuangkan. Integrasi antara semangat kebhinekaan dengan kecakapan digital menjadi kebutuhan mendesak dalam membangun masyarakat Indonesia yang modern, inklusif, dan berakar pada nilai-nilai Pancasila. Sebagaimana ditegaskan oleh Pusat Studi Pancasila UGM, semangat Bhinneka Tunggal Ika tidak boleh berhenti sebagai retorika, melainkan harus diinternalisasi dalam kehidupan bermasyarakat di era informasi⁽⁴⁾.

Penguatan nilai-nilai kebhinekaan di era IPTEK juga memerlukan pendekatan edukatif. Pendidikan multikultural, literasi digital yang beretika, serta pembelajaran berbasis nilai dapat menjadi instrumen strategis untuk membentuk generasi muda yang toleran, kritis, dan cinta tanah air. Hal ini sejalan dengan arah kebijakan pembangunan karakter bangsa yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), yang menekankan pentingnya integrasi antara kemajuan teknologi dengan penguatan jati diri bangsa⁽⁵⁾.

Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika bukanlah slogan yang statis, melainkan prinsip dinamis yang relevan untuk menjawab tantangan zaman. Dalam era kemajuan IPTEK, prinsip ini harus dijadikan bingkai nilai dan etika dalam setiap inovasi, komunikasi, dan interaksi sosial yang terjadi. Persatuan bangsa hanya akan terjaga jika teknologi digunakan untuk mempererat, bukan memecah, kehidupan bersama dalam keragaman.


Footnotes

[1]                M. Yamin, Naskah Sumpah Pemuda dan Bhinneka Tunggal Ika (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 64–67.

[2]                Budi Hardiman, Ruang Publik Virtual: Media Baru dan Demokrasi (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 28–32.

[3]                Setiadi Setiawan, “Media Sosial dan Ancaman Terhadap Toleransi di Era Digital,” Jurnal Komunikasi dan Budaya 12, no. 1 (2021): 45–47.

[4]                Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Pancasila dan Tantangan Globalisasi (Yogyakarta: PSP UGM, 2019), 90–92.

[5]                Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025–2045 (Jakarta: Bappenas, 2021), 134–136.


5.           Strategi Menyikapi Kemajuan IPTEK Secara Bijak dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika

Kemajuan IPTEK merupakan fenomena yang tidak dapat dielakkan dan membawa konsekuensi langsung terhadap berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks kebangsaan, IPTEK dapat menjadi instrumen strategis untuk memperkuat persatuan dalam keragaman. Namun, hal tersebut hanya dapat terwujud apabila bangsa Indonesia mampu menyikapinya secara bijak dan visioner. Oleh karena itu, diperlukan serangkaian strategi yang integratif antara penguasaan teknologi dan penguatan nilai-nilai kebhinekaan sebagai landasan etis dan moral.

5.1.       Literasi Digital yang Berkarakter

Strategi pertama adalah membangun literasi digital yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga mencakup aspek etika, budaya, dan kebangsaan. Dalam era banjir informasi, kemampuan untuk mengakses, memilah, dan menyikapi informasi secara kritis menjadi kunci utama untuk menghindari penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan radikalisme digital⁽¹⁾. UNESCO menekankan pentingnya pendekatan media and information literacy (MIL) sebagai upaya menyatukan kecakapan teknologi dengan tanggung jawab sosial dan nilai kemanusiaan⁽²⁾.

Literasi digital yang berkarakter juga mendorong pengguna untuk menjadikan ruang digital sebagai arena dialog antarbudaya dan bukan sebagai ajang perpecahan. Hal ini menjadi penting dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, di mana ruang digital sangat mudah dipolitisasi dan dieksploitasi untuk memperuncing identitas.

5.2.       Penguatan Pendidikan Nilai dan Multikultural

Pendidikan memiliki peran vital dalam membentuk generasi yang mampu bersikap inklusif, toleran, dan berpikir kritis. Pembelajaran nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan hak asasi manusia harus diintegrasikan secara kontekstual dengan fenomena-fenomena global yang dihadapi peserta didik⁽³⁾. Kurikulum yang memuat pendidikan multikultural dapat menjadi strategi jangka panjang dalam menanamkan kesadaran kebangsaan di tengah perubahan sosial yang cepat akibat IPTEK⁽⁴⁾.

Guru sebagai agen transformasi sosial juga dituntut untuk adaptif terhadap perkembangan teknologi dan mampu menghubungkan konten pembelajaran dengan isu-isu aktual seperti etika bermedia, keberagaman di ruang digital, serta partisipasi aktif dalam menjaga integrasi nasional.

5.3.       Regulasi dan Kebijakan Publik yang Responsif

Negara memiliki peran penting dalam menciptakan ekosistem digital yang sehat dan inklusif. Regulasi yang berpihak pada hak digital warga negara, namun tetap menjaga keamanan dan etika berteknologi, perlu diperkuat. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta inisiatif literasi digital dari Kementerian Komunikasi dan Informatika merupakan bentuk upaya negara dalam menjaga ruang digital agar tetap kondusif dan tidak menjadi alat disintegrasi⁽⁵⁾.

Lebih lanjut, kebijakan pembangunan teknologi juga harus sensitif terhadap keberagaman lokal. Inovasi berbasis teknologi seyogianya tidak hanya meniru model luar negeri, tetapi diselaraskan dengan konteks sosial-budaya Indonesia agar dapat memperkuat jati diri bangsa⁽⁶⁾.

5.4.       Peran Keluarga dan Komunitas sebagai Basis Ketahanan Sosial

Keluarga merupakan lembaga sosial primer yang memiliki pengaruh kuat dalam membentuk karakter dan sikap anak terhadap teknologi. Pengawasan, komunikasi terbuka, dan penanaman nilai-nilai moral di lingkungan keluarga sangat penting untuk membentengi generasi muda dari dampak negatif penggunaan teknologi⁽⁷⁾.

Di sisi lain, komunitas lokal juga dapat berperan aktif dalam mengembangkan gerakan literasi digital dan penguatan identitas budaya lokal. Kegiatan komunitas yang berbasis nilai gotong royong, kearifan lokal, dan narasi kebangsaan di ruang digital dapat memperkuat ketahanan sosial masyarakat dalam menghadapi disrupsi IPTEK.

5.5.       Keterlibatan Generasi Muda sebagai Agen Perubahan

Generasi muda merupakan pengguna terbesar teknologi digital dan sekaligus aktor utama dalam membentuk opini publik di ruang maya. Oleh karena itu, mereka perlu didorong untuk menjadi agen perubahan yang memanfaatkan IPTEK untuk memperjuangkan nilai-nilai keadilan, persatuan, dan perdamaian. Aktivisme digital yang positif, seperti kampanye kebhinekaan, toleransi, dan literasi budaya, dapat menjadi sarana strategis untuk memperkuat keutuhan bangsa⁽⁸⁾.

Pemuda harus dibekali tidak hanya dengan kompetensi teknologi, tetapi juga dengan identitas kebangsaan yang kokoh dan kepekaan terhadap problematika sosial. Dengan demikian, IPTEK tidak menjadi ancaman, melainkan peluang untuk memperkokoh Bhinneka Tunggal Ika dalam era global.


Footnotes

[1]                Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 12–14.

[2]                UNESCO, Media and Information Literacy: Policy and Strategy Guidelines (Paris: UNESCO Publishing, 2013), 23–27.

[3]                Zuly Qodir, Pendidikan Nilai dalam Konteks Multikultural dan Kebangsaan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2018), 58–61.

[4]                Mansyur M. Nasution, Multikulturalisme dan Pendidikan Karakter Bangsa (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), 91–93.

[5]                Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Siberkreasi: Gerakan Nasional Literasi Digital (Jakarta: Kominfo Press, 2020), 5–8.

[6]                Anies Baswedan, “Teknologi dan Jati Diri Bangsa,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 22, no. 3 (2016): 207–209.

[7]                Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga (Bogor: Indonesia Heritage Foundation, 2014), 42–44.

[8]                Ismail Fahmi, Generasi Milenial dan Gerakan Sosial Digital (Yogyakarta: Insist Press, 2021), 74–78.


6.           Studi Kasus dan Refleksi Kritis

Untuk memahami secara lebih konkret bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika, diperlukan analisis terhadap studi kasus yang relevan. Studi-studi ini menunjukkan bahwa teknologi dapat berfungsi sebagai alat pemersatu atau justru menjadi pemicu disintegrasi, tergantung pada konteks penggunaan dan nilai-nilai yang melandasinya. Melalui refleksi kritis atas kasus-kasus ini, generasi muda diharapkan dapat mengambil pelajaran penting untuk menjaga keutuhan bangsa.

6.1.       Studi Kasus Positif: Gerakan #IndonesiaBersatu di Media Sosial

Pada tahun 2020, ketika media sosial di Indonesia ramai oleh narasi polarisasi politik dan ujaran kebencian berbasis SARA, muncul gerakan digital bertagar #IndonesiaBersatu yang viral di berbagai platform, terutama Twitter dan Instagram. Gerakan ini digagas oleh sejumlah tokoh publik, aktivis, dan warga biasa yang merasa prihatin terhadap meningkatnya sentimen permusuhan antarkelompok. Mereka memanfaatkan teknologi digital sebagai medium kampanye damai, menampilkan keberagaman budaya, ekspresi toleransi, dan semangat kebangsaan⁽¹⁾.

Gerakan ini menunjukkan bahwa ruang digital dapat dimanfaatkan sebagai arena memperkuat persatuan. Dengan pendekatan yang kreatif dan inklusif, kampanye ini berhasil menarik perhatian publik lintas generasi dan latar belakang, serta menjadi bentuk perlawanan terhadap narasi kebencian. Studi ini memperlihatkan bahwa ketika IPTEK digunakan secara bijak dan berbasis nilai-nilai kebangsaan, maka ia menjadi alat rekonsiliasi dan edukasi sosial.

6.2.       Studi Kasus Negatif: Konflik SARA dalam Kasus Hoaks Suriah (2018)

Pada sisi yang lain, penyalahgunaan teknologi untuk menyebarkan hoaks telah terbukti memicu konflik sosial. Salah satu contoh yang sempat menimbulkan keresahan adalah kasus hoaks video pembantaian di Suriah yang disebarkan dengan narasi provokatif seolah-olah terjadi di Indonesia, disertai tuduhan terhadap kelompok etnis atau agama tertentu. Video tersebut menyebar luas di WhatsApp dan Facebook pada tahun 2018, memicu kemarahan publik dan bahkan sempat menimbulkan aksi kekerasan berbasis prasangka⁽²⁾.

Kepolisian kemudian menyatakan bahwa video tersebut adalah informasi palsu dan telah diproduksi oleh pihak asing dalam konteks konflik di Timur Tengah. Meski telah diklarifikasi, kasus ini memperlihatkan betapa cepatnya disinformasi menyebar dan betapa rentannya masyarakat terhadap manipulasi informasi jika tidak dibekali dengan literasi digital dan kesadaran kebangsaan yang kuat⁽³⁾. Ini menegaskan bahwa teknologi yang tidak dikendalikan oleh etika dan wawasan kebangsaan bisa menjadi ancaman serius bagi keutuhan sosial.

6.3.       Refleksi Kritis: Tanggung Jawab Kolektif dalam Era Digital

Dua kasus di atas menyiratkan refleksi mendalam bagi seluruh elemen bangsa, khususnya generasi muda yang menjadi aktor dominan di ruang digital. Pertama, teknologi bukan entitas netral, melainkan produk budaya yang dipengaruhi oleh nilai-nilai penggunanya. Kedua, ruang digital mencerminkan struktur sosial yang lebih luas, sehingga konflik di dunia maya dapat berdampak langsung pada relasi sosial di dunia nyata.

Dalam hal ini, nilai Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi landasan moral dalam aktivitas digital. Generasi muda harus memposisikan diri sebagai penjaga ruang digital yang sehat dengan mengedepankan dialog, toleransi, dan verifikasi informasi. Kemampuan kritis tidak cukup tanpa disertai tanggung jawab kebangsaan. Pendidikan, komunitas, dan kebijakan negara perlu bersinergi untuk membentuk masyarakat digital yang tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga berkarakter dan bermartabat.

Sebagaimana diingatkan oleh para pemikir etika teknologi, masyarakat digital modern menghadapi paradoks: semakin terkoneksi secara teknis, tetapi sering kali terputus secara sosial⁽⁴⁾. Maka, membangun integrasi nasional dalam era IPTEK bukan hanya soal infrastruktur teknologi, melainkan juga tentang pembentukan nilai dan karakter kebangsaan.


Footnotes

[1]                Yenny Wahid, “#IndonesiaBersatu dan Politik Harapan di Dunia Digital,” Kompas, 4 Juni 2020, 6.

[2]                Kominfo, Hoaks dan Disinformasi: Laporan Investigasi 2018 (Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2019), 23–25.

[3]                Kepolisian Negara Republik Indonesia, Laporan Penanganan Kasus Siber Nasional 2018 (Jakarta: Bareskrim Polri, 2019), 13–15.

[4]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 19–21.


7.           Penutup

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah menjadi kekuatan utama yang mengubah cara hidup masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Transformasi digital yang terjadi secara masif tidak hanya membawa kemudahan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintahan, tetapi juga menghadirkan tantangan serius bagi keutuhan bangsa, terutama dalam menjaga semangat persatuan dalam keragaman yang tercermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Di tengah derasnya arus globalisasi dan disrupsi digital, nilai-nilai kebangsaan tidak boleh pudar; justru harus diaktualisasikan dalam setiap dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagaimana telah diuraikan, IPTEK memiliki dampak yang ambivalen. Di satu sisi, ia memperluas akses informasi, memperkuat partisipasi masyarakat, serta membuka peluang inovasi yang mendukung pembangunan nasional. Di sisi lain, tanpa kontrol nilai dan karakter, IPTEK dapat memicu disintegrasi sosial melalui penyebaran hoaks, polarisasi identitas, dan melemahnya solidaritas antarwarga⁽¹⁾. Oleh karena itu, respons terhadap IPTEK harus bersifat holistik, mencakup dimensi teknologi, etika, budaya, dan kebangsaan.

Dalam konteks ini, Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi prinsip moral yang membimbing masyarakat dalam menggunakan teknologi secara bertanggung jawab. Semboyan ini tidak hanya mengandung makna toleransi, tetapi juga menegaskan komitmen untuk membangun harmoni sosial di tengah perbedaan. Pendidikan, kebijakan publik, peran keluarga, serta inisiatif komunitas digital semuanya harus diarahkan untuk membentuk warga negara yang tidak hanya cakap secara digital, tetapi juga memiliki kesadaran historis dan tanggung jawab kebangsaan⁽²⁾.

Generasi muda sebagai digital natives memiliki peran sentral dalam menentukan arah masa depan bangsa. Mereka harus diposisikan bukan hanya sebagai pengguna teknologi, tetapi sebagai subjek yang berdaulat atas penggunaan teknologi untuk memperkuat integrasi bangsa. Dalam hal ini, literasi digital yang berpadu dengan nilai-nilai Pancasila, semangat gotong royong, dan apresiasi terhadap keragaman adalah kunci untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang tangguh dalam menghadapi tantangan era IPTEK.

Dengan demikian, menjaga keutuhan bangsa di era IPTEK tidak cukup dengan kecanggihan teknologi, tetapi memerlukan keberanian moral, keteguhan nilai, dan kecerdasan kolektif. Di sinilah relevansi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn): membina peserta didik agar mampu menjadi warga negara yang bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi demi persatuan dan kemajuan Indonesia dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.


Footnotes

[1]                Manuel Castells, Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age, 2nd ed. (Cambridge: Polity Press, 2015), 88–91.

[2]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 304–307.


Daftar Pustaka

Anies Baswedan. (2016). Teknologi dan jati diri bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 22(3), 207–209.

Ayu Fitrianingsih. (2020). Dampak globalisasi terhadap budaya lokal di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 10(2), 150–152.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. (2020). Kajian radikalisme digital di Indonesia. Jakarta: BNPT Press.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2021). Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025–2045. Jakarta: Bappenas.

Budi Hardiman. (2010). Ruang publik virtual: Media baru dan demokrasi. Yogyakarta: Kanisius.

Budi Rahardjo. (2019). Keamanan siber dan tantangan kedaulatan digital. Bandung: Informatika.

Castells, M. (2010). The rise of the network society (2nd ed.). Oxford: Blackwell Publishers.

Castells, M. (2015). Networks of outrage and hope: Social movements in the internet age (2nd ed.). Cambridge: Polity Press.

Giddens, A. (1990). The consequences of modernity. Stanford, CA: Stanford University Press.

Ismail Fahmi. (2021). Generasi milenial dan gerakan sosial digital. Yogyakarta: Insist Press.

Keidanren (Japan Business Federation). (2018). Society 5.0: Co-creating the future. Tokyo: Keidanren.

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2019). Hoaks dan disinformasi: Laporan investigasi 2018. Jakarta: Kominfo.

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2020). Siberkreasi: Gerakan nasional literasi digital. Jakarta: Kominfo Press.

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2021). Indonesia menuju transformasi digital nasional. Jakarta: Kominfo Press.

Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2019). Laporan penanganan kasus siber nasional 2018. Jakarta: Bareskrim Polri.

Latif, Y. (2011). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Listyono, S. (2020). Literasi digital dan etika bermedia sosial. Yogyakarta: Deepublish.

Megawangi, R. (2014). Pendidikan karakter berbasis keluarga. Bogor: Indonesia Heritage Foundation.

M. Yamin. (2008). Naskah Sumpah Pemuda dan Bhinneka Tunggal Ika. Jakarta: Balai Pustaka.

Mansyur M. Nasution. (2017). Multikulturalisme dan pendidikan karakter bangsa. Jakarta: Rajawali Pers.

Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada. (2019). Pancasila dan tantangan globalisasi. Yogyakarta: PSP UGM.

Qodir, Z. (2018). Pendidikan nilai dalam konteks multikultural dan kebangsaan. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Schwab, K. (2016). The fourth industrial revolution. Geneva: World Economic Forum.

Setiadi Setiawan. (2021). Media sosial dan ancaman terhadap toleransi di era digital. Jurnal Komunikasi dan Budaya, 12(1), 45–47.

Suhardiman, D. (2013). Filsafat ilmu pengetahuan: Suatu kajian tematis. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Suherdi, D. (2020). Pendidikan kewarganegaraan di era globalisasi. Bandung: UPI Press.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. New York: Basic Books.

Tufekci, Z. (2017). Twitter and tear gas: The power and fragility of networked protest. New Haven, CT: Yale University Press.

UNESCO. (2013). Media and information literacy: Policy and strategy guidelines. Paris: UNESCO Publishing.

Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policy making. Strasbourg: Council of Europe.

World Bank. (2021). The digital economy for Indonesia: Policy note. Washington, DC: World Bank Group.

Yenny Wahid. (2020, June 4). #IndonesiaBersatu dan politik harapan di dunia digital. Kompas, p. 6.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar