Kamis, 16 Oktober 2025

Ontologi dalam Filsafat Islam: Pendekatan filosofis-hermeneutik terhadap teks-teks klasik

Ontologi dalam Filsafat Islam

Pendekatan filosofis-hermeneutik terhadap teks-teks klasik


Alihkan ke: Filsafat Islam.


Abstrak

Kajian ini membahas secara komprehensif dimensi ontologis dalam filsafat Islam dengan menelusuri hakikat wujud (al-wujūd) sebagai inti metafisika Islam. Ontologi dalam tradisi Islam tidak hanya menelaah keberadaan secara rasional, tetapi juga menempatkannya dalam konteks teologis dan spiritual. Dengan menggunakan pendekatan filosofis-hermeneutik terhadap karya-karya klasik seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Suhrawardi, hingga Mulla Sadra, penelitian ini menyoroti dinamika historis dan prinsip-prinsip utama ontologi Islam, meliputi asālat al-wujūd (keprimordialan wujud), tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi), dan wahdat al-wujūd (kesatuan wujud).

Kajian ini menemukan bahwa filsafat Islam memandang realitas sebagai satu kesatuan eksistensial yang bertingkat, di mana Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd merupakan sumber dan tujuan seluruh keberadaan. Melalui konsep gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah), Mulla Sadra menyempurnakan sintesis antara rasionalitas Avicennian, iluminasi Suhrawardian, dan spiritualitas Ibn ‘Arabi, menghasilkan sistem metafisika yang integratif antara akal dan intuisi, ontologi dan teologi. Dalam konteks kontemporer, ontologi Islam menawarkan alternatif terhadap krisis metafisika modern yang cenderung reduksionistik dan sekular, serta menyediakan landasan bagi spiritualitas ilmiah, etika ekologis, dan kesadaran kosmologis yang holistik.

Dengan demikian, artikel ini menegaskan bahwa ontologi Islam bukan hanya warisan intelektual historis, melainkan paradigma filosofis yang hidup dan relevan dalam menjawab problem eksistensial manusia modern. Melalui kesatuan antara pengetahuan dan keberadaan, filsafat Islam menampilkan wajah metafisika yang rasional, etis, dan transendental, yang dapat berkontribusi terhadap rekonstruksi wacana metafisika global.

Kata Kunci: Ontologi Islam, Wujud, Mulla Sadra, Ibn Sina, Suhrawardi, Wahdat al-Wujūd, Asālat al-Wujūd, Metafisika Islam, Filsafat Ilahi, Epistemologi Eksistensial.


PEMBAHASAN

Hakikat Wujud dan Realitas dalam Filsafat Islam


1.           Pendahuluan

Kajian mengenai ontologi atau ilmu tentang wujud (‘ilm al-wujūd) menempati posisi sentral dalam keseluruhan sistem filsafat Islam. Dalam tradisi keilmuan Islam, persoalan tentang apa yang ada dan bagaimana sesuatu itu ada bukan hanya persoalan abstrak metafisika, tetapi juga merupakan dasar bagi teologi, kosmologi, dan epistemologi. Persoalan ontologis menjadi titik berangkat bagi para filsuf Muslim dalam memahami hakikat Tuhan, alam semesta, dan manusia secara komprehensif dan rasional. Oleh karena itu, pembahasan mengenai wujud (al-wujūd) tidak dapat dipisahkan dari hakikat ketuhanan (al-ilāhiyyāt) serta struktur keberadaan yang bertingkat, mulai dari Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada) hingga Mumkin al-Wujūd (yang Mungkin Ada).¹

Dalam sejarah pemikiran Islam, para filsuf seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Sadra memainkan peran fundamental dalam mengembangkan tradisi ontologis yang khas. Al-Kindi merupakan pionir yang memperkenalkan gagasan tentang “Yang Satu” sebagai sumber seluruh realitas, sedangkan Al-Farabi menegaskan tatanan hierarkis wujud melalui teori emanasi yang terinspirasi dari NeoplatonismeIbn Sina kemudian mengokohkan dasar ontologi Islam dengan membedakan secara tegas antara wujud (eksistensi) dan mahiyyah (hakikat/ esensi), yang menjadi kunci bagi seluruh pemikiran metafisika Islam selanjutnya.³

Sementara itu, Suhrawardi, melalui Filsafat Isyraqiyyah (Filsafat Iluminasi), menafsirkan wujud sebagai intensitas cahaya (nūr), di mana seluruh realitas merupakan manifestasi gradasional dari Cahaya Tertinggi.⁴ Adapun Mulla Sadra dalam Hikmah al-Muta‘āliyah (Filsafat Hikmah Transendental) memperkenalkan dua prinsip ontologis penting: ashālat al-wujūd (keprimordialan wujud) dan tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi), yang menyatukan pendekatan rasional dan intuitif dalam memahami realitas.⁵

Kajian tentang ontologi dalam filsafat Islam menjadi signifikan karena memberikan kerangka konseptual untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan dan ciptaan tanpa meniadakan aspek transendensi dan immanensi-Nya. Dengan menempatkan wujud sebagai realitas yang paling dasar dan hakiki, filsafat Islam menawarkan cara pandang yang berbeda dari ontologi Barat yang cenderung dualistik dan empiristik.⁶

Artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara sistematis konsep-konsep utama dalam ontologi Islam, menelusuri perkembangan historisnya, serta menganalisis relevansinya terhadap persoalan filsafat kontemporer. Metode yang digunakan bersifat filosofis-hermeneutik, yakni dengan menafsirkan teks-teks klasik para filsuf Islam dan mengkontekstualisasikannya dengan persoalan ontologi modern.⁷ Dengan pendekatan ini, diharapkan kajian ini dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman yang lebih mendalam mengenai hakikat wujud sebagai inti dari metafisika Islam, serta membuka ruang dialog antara filsafat Islam dan pemikiran filsafat global.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 57.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 38–45.

[3]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 68–72.

[4]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 15–21.

[5]                Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 33–40.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 12–18.

[7]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 29–31.


2.           Landasan Konseptual Ontologi dalam Filsafat Islam

Ontologi dalam filsafat Islam berangkat dari persoalan mendasar tentang “apa yang dimaksud dengan wujud” (al-wujūd) dan “apa hubungan antara wujud dan hakikat” (mahiyyah). Istilah ontologi sendiri berasal dari filsafat Yunani, dari kata ontos (ada) dan logos (ilmu), yang dalam konteks Islam diterjemahkan sebagai ‘ilm al-wujūd, yaitu ilmu yang mempelajari realitas keberadaan sebagai keberadaan itu sendiri (being qua being).¹ Namun, dalam tradisi Islam, pembahasan tentang wujud tidak berhenti pada level rasional, melainkan juga menyentuh dimensi teologis dan spiritual. Hal ini menjadikan ontologi Islam memiliki karakter khas yang memadukan rasionalitas filsafat Yunani dengan spiritualitas wahyu dan intuisi.²

Secara konseptual, istilah al-wujūd merujuk pada kenyataan aktual keberadaan, yakni segala sesuatu yang “ada” di luar atau di dalam kesadaran manusia. Para filsuf Islam menegaskan bahwa wujud memiliki dua pengertian utama: (1) wujud eksternal (wujūd khārijī), yaitu keberadaan yang nyata secara objektif di luar pikiran, dan (2) wujud mental (wujūd dhihnī), yaitu keberadaan sesuatu sebagai konsep dalam akal manusia.³ Pembedaan ini penting karena menegaskan bahwa eksistensi tidak hanya terbatas pada dunia fisik, melainkan juga mencakup realitas intelektual dan spiritual.

Selain itu, istilah mahiyyah (hakikat atau esensi) digunakan untuk menunjuk apa sesuatu itu (whatness), sementara wujūd menjelaskan bahwa sesuatu itu ada (thatness). Ibn Sina (Avicenna) adalah filsuf yang pertama kali memberikan distingsi tegas antara kedua konsep ini. Ia berpendapat bahwa “hakikat sesuatu tidak mesti mengandung eksistensinya,” artinya, hakikat manusia dapat dipahami tanpa harus mengandaikan bahwa manusia tersebut benar-benar ada.⁴ Dengan demikian, mahiyyah bersifat potensial sedangkan wujūd bersifat aktual. Perbedaan ini kemudian menjadi pondasi bagi seluruh sistem metafisika Islam setelahnya.

Dalam kerangka teologis, ontologi Islam menempatkan Tuhan (Allah) sebagai Wājib al-Wujūd — “Yang Niscaya Ada” — yaitu wujud yang keberadaannya mutlak dan tidak bergantung pada apa pun. Semua selain Tuhan disebut Mumkin al-Wujūd — “yang Mungkin Ada” — yang keberadaannya bergantung kepada sebab di luar dirinya.⁵ Hubungan antara keduanya tidak bersifat temporal, melainkan kausal dan eksistensial: Tuhan adalah sumber segala realitas, bukan melalui penciptaan temporal seperti dalam teologi kalam, melainkan melalui emanasi atau faydh, yaitu pancaran wujud dari Yang Niscaya ke tingkatan-tingkatan yang lebih rendah.⁶

Para filsuf seperti Al-Farabi dan Ibn Sina menafsirkan prinsip emanasi ini sebagai proses hierarkis, di mana dari Wājib al-Wujūd memancar akal pertama, kemudian akal-akal berikutnya hingga terbentuk alam semesta. Proses ini menjelaskan struktur ontologis realitas, yang terdiri atas tiga ranah besar: dunia intelek (‘ālam al-‘aql), dunia jiwa (‘ālam al-nafs), dan dunia materi (‘ālam al-māddah).⁷ Dalam pandangan ini, keberadaan bersifat bertingkat sesuai dengan kedekatan atau keterjauhan dari sumber wujud absolut.

Lebih jauh, tradisi filsafat Islam menekankan kesatuan antara ontologi dan teologi. Pembahasan tentang wujud tidak pernah netral secara religius, karena eksistensi tertinggi selalu dikaitkan dengan Tuhan sebagai sumber dan tujuan akhir segala realitas. Dalam hal ini, filsafat Islam berbeda dari ontologi Barat modern yang memisahkan metafisika dari dimensi teologis.⁸ Bagi para filsuf Muslim, memahami wujud berarti memahami relasi makhluk dengan Pencipta, dan dengan demikian, filsafat ontologis berfungsi sebagai jembatan antara akal dan iman.

Dengan demikian, landasan konseptual ontologi Islam mencakup tiga aspek utama:

1)                  Distingsi ontologis antara wujud dan mahiyyah, yang menjelaskan struktur dasar realitas.

2)                  Hierarki eksistensi, yang menempatkan Tuhan sebagai puncak wujud mutlak.

3)                  Keterpaduan antara ontologi dan teologi, yang memastikan bahwa seluruh pembahasan metafisika berakar pada prinsip ketuhanan.

Melalui landasan ini, ontologi dalam filsafat Islam bukan sekadar teori abstrak tentang keberadaan, melainkan kerangka rasional dan spiritual untuk memahami realitas secara utuh — dari Tuhan hingga materi, dari akal hingga indera, dari eksistensi mutlak hingga wujud partikular.⁹


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 60–62.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 45.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 72–75.

[4]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 69–71.

[5]                Parviz Morewedge, “Metaphysics,” dalam History of Islamic Philosophy, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (London: Routledge, 1996), 84–86.

[6]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 33–37.

[7]                Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt (Qum: Maktabat al-Mar‘ashī, 1985), 12–18.

[8]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 52–56.

[9]                Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 24–28.


3.           Perkembangan Historis Ontologi dalam Tradisi Filsafat Islam

Perkembangan ontologi dalam filsafat Islam tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang yang dipengaruhi oleh interaksi antara warisan filsafat Yunani klasik, ajaran wahyu Islam, serta pemikiran mistik dan teologis. Sejak abad ke-9 M, para pemikir Muslim berupaya mengintegrasikan konsep-konsep metafisika Aristotelian dan Neoplatonik dengan prinsip tauhid dalam Islam, sehingga melahirkan sebuah sistem filsafat yang orisinal dan bernuansa teosofis.¹

3.1.       Al-Kindi: Peletak Dasar Ontologi Islam

Al-Kindi (801–873 M), yang dikenal sebagai faylasūf al-‘Arab, merupakan tokoh pertama yang memperkenalkan gagasan filsafat Yunani ke dalam konteks Islam. Dalam karyanya Fī al-Falsafah al-Ūlā (Tentang Filsafat Pertama), ia menegaskan bahwa wujud tertinggi adalah Tuhan, yang Esa dan menjadi sebab bagi seluruh realitas.² Ia menolak pandangan emanasi murni Neoplatonis dan menekankan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu “dari tiada” (ex nihilo) berdasarkan kehendak-Nya yang mutlak.³ Dengan demikian, Al-Kindi memadukan prinsip keesaan Tuhan dalam teologi Islam dengan kerangka ontologis rasional, dan menegaskan bahwa wujud Tuhan bersifat mutlak dan tak tersusun (ghayr murakkab).⁴

3.2.       Al-Farabi: Ontologi Hierarkis dan Teori Emanasi

Al-Farabi (872–950 M) mengembangkan lebih jauh gagasan ontologi Al-Kindi dengan mengadopsi model emanasi (faydh) dari Neoplatonisme. Dalam Al-Madina al-Fadila, ia menguraikan struktur kosmos sebagai hierarki wujud yang memancar dari Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada) menuju tingkatan realitas yang lebih rendah: akal-akal, jiwa, dan materi.⁵ Setiap tingkat emanasi merupakan refleksi dari kesempurnaan Ilahi, tetapi semakin jauh dari sumbernya, wujud tersebut semakin lemah dan terbatas. Dengan sistem ini, Al-Farabi menegaskan adanya gradasi ontologis yang teratur dan rasional. Ia juga memperkenalkan konsep al-‘aql al-fa‘āl (akal aktif) sebagai penghubung antara dunia intelek dan dunia materi, yang berperan penting dalam epistemologi dan metafisika Islam.⁶

3.3.       Ibn Sina (Avicenna): Distingsi Wujud dan Mahiyyah

Ibn Sina (980–1037 M) membawa tradisi ontologi Islam pada puncak sistematisasinya. Ia memperkenalkan distingsi fundamental antara wujūd (eksistensi) dan mahiyyah (esensi), yang menjadi ciri khas metafisika Islam.⁷ Menurutnya, setiap entitas mungkin (mumkin al-wujūd) memiliki esensi yang tidak mengandaikan keberadaannya; eksistensinya diberikan oleh sebab eksternal, sedangkan hanya Tuhan yang keberadaannya niscaya dan tidak memerlukan sebab lain.⁸ Dengan demikian, Ibn Sina membedakan tiga kategori wujud: Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada), Mumkin al-Wujūd (Yang Mungkin Ada), dan Mumtani‘ al-Wujūd (Yang Mustahil Ada).⁹ Konsep-konsep ini menjadi fondasi ontologi rasional Islam yang berpengaruh besar terhadap pemikiran skolastik Barat, termasuk Thomas Aquinas.¹⁰

3.4.       Suhrawardi: Ontologi Cahaya dan Filsafat Isyraq

Suhrawardi (1154–1191 M) memperkenalkan Filsafat Isyraqiyyah (Filsafat Iluminasi), yang menafsirkan wujud sebagai cahaya (nūr). Dalam karyanya Hikmat al-Isyrāq, ia menyatakan bahwa seluruh realitas merupakan manifestasi dari Cahaya Mutlak (Nūr al-Anwār), dan bahwa intensitas wujud dapat diibaratkan sebagai tingkat kecerahan cahaya.¹¹ Dengan demikian, ontologi Suhrawardi bersifat gradual dan analogis, di mana eksistensi tidak hanya berupa kategori logis, tetapi juga pengalaman intuitif yang dapat disaksikan oleh akal dan jiwa yang disucikan.¹² Ontologi cahaya ini menjadi sintesis antara rasionalisme Avicennian dan mistisisme sufistik.¹³

3.5.       Mulla Sadra: Filsafat Hikmah al-Muta‘āliyah

Mulla Sadra (1571–1640 M) adalah puncak perkembangan ontologi Islam klasik. Ia mengkritik pandangan para pendahulunya dan memperkenalkan dua prinsip besar: ashālat al-wujūd (keprimordialan wujud) dan tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi).¹⁴ Menurutnya, wujud adalah realitas objektif dan hakiki, sementara mahiyyah hanyalah abstraksi mental.¹⁵ Ia juga menegaskan bahwa wujud bersifat satu, namun bergradasi — seperti cahaya yang memiliki intensitas berbeda tetapi tetap satu substansi.¹⁶ Mulla Sadra berhasil menyatukan logika peripatetik Ibn Sina, intuisi iluminatif Suhrawardi, dan spiritualitas sufistik Ibn ‘Arabi dalam satu sistem ontologis yang komprehensif.¹⁷


Sintesis Ontologis Islam

Dari Al-Kindi hingga Mulla Sadra, perkembangan ontologi Islam menunjukkan transformasi dari model teologis-rasional menuju teosofis-integratif. Evolusi ini memperlihatkan dinamika antara akal dan intuisi, serta antara filsafat dan wahyu. Ontologi Islam tidak berhenti pada penjelasan intelektual tentang wujud, tetapi juga mengandung dimensi eksistensial yang menuntun manusia menuju realisasi spiritual tertinggi — kesatuan dengan sumber wujud, yaitu Tuhan.¹⁸ Dengan demikian, tradisi ontologis Islam telah melahirkan paradigma metafisika yang unik: menyatukan logos Yunani dengan nūr wahyu, akal dengan intuisi, dan eksistensi dengan transendensi.¹⁹


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 41–43.

[2]                Al-Kindi, Fī al-Falsafah al-Ūlā, ed. R. Rashed (Beirut: Dar al-Fikr al-Lubnani, 1997), 22–25.

[3]                Peter Adamson, Al-Kindi (Oxford: Oxford University Press, 2007), 68–70.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 35–37.

[5]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 33–39.

[6]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 66–69.

[7]                Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt (Qum: Maktabat al-Mar‘ashī, 1985), 12–18.

[8]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 70–74.

[9]                Parviz Morewedge, Metaphysics and Philosophy of Being in Avicenna (New York: Columbia University Press, 1972), 45–50.

[10]             Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 92.

[11]             Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 20–23.

[12]             Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (Princeton: Princeton University Press, 1994), 89–91.

[13]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 53–55.

[14]             Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 30–36.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, and Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 112–115.

[16]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 47–49.

[17]             Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 295–300.

[18]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 55–57.

[19]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 83–85.


4.           Prinsip-Prinsip Pokok Ontologi Islam

Ontologi dalam filsafat Islam tidak hanya berbicara tentang “keberadaan” secara abstrak, tetapi juga tentang struktur realitas yang menyingkap hubungan antara Tuhan, alam, dan manusia. Dari berbagai mazhab dan aliran yang berkembang, muncul sejumlah prinsip ontologis yang menjadi dasar bagi keseluruhan bangunan metafisika Islam. Prinsip-prinsip ini tidak berdiri terpisah, tetapi saling melengkapi dalam menjelaskan hakikat wujud sebagai realitas yang bersumber dari Tuhan dan memancar ke seluruh tatanan kosmos. Empat prinsip utama yang menjadi fondasi ontologi Islam adalah: (1) Asālat al-Wujūd (Keprimordialan Wujud), (2) Tasykīk al-Wujūd (Gradasi Eksistensi), (3) Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud), dan (4) Relasi Wājib al-Wujūd dan Mumkin al-Wujūd

4.1.       Asālat al-Wujūd (Keprimordialan Wujud)

Prinsip ini, yang diperkenalkan secara sistematis oleh Mulla Sadra, menyatakan bahwa wujud adalah realitas yang paling dasar dan hakiki, sedangkan mahiyyah (esensi) hanyalah abstraksi mental yang dibuat oleh akal manusia.² Sebelumnya, para filsuf seperti Ibn Sina menganggap bahwa mahiyyah dapat memiliki eksistensi independen, tetapi Mulla Sadra membalik posisi ini dengan menegaskan bahwa segala sesuatu memperoleh maknanya karena “ada”, bukan sebaliknya.³ Dengan demikian, wujud adalah fondasi segala sesuatu, dan esensi hanya menjadi cara akal memahami keberadaan.

Prinsip asālat al-wujūd memiliki implikasi teologis yang dalam: hanya Tuhan yang memiliki wujud niscaya dan mutlak, sedangkan makhluk memperoleh wujudnya secara partisipatif dan kontingen.⁴ Hal ini menegaskan kebergantungan total segala sesuatu kepada Tuhan sebagai sumber realitas. Secara epistemologis, manusia hanya dapat mengenal sesuatu sejauh ia mengenal wujudnya — artinya, pengetahuan sejati selalu berakar pada kesadaran akan eksistensi.⁵

4.2.       Tasykīk al-Wujūd (Gradasi Eksistensi)

Prinsip kedua ini menjelaskan bahwa wujud bersifat satu tetapi memiliki tingkatan intensitas yang berbeda. Dalam istilah Mulla Sadra, eksistensi itu mutashakkik — yaitu bergradasi dari yang paling tinggi (Tuhan) hingga yang paling rendah (materi).⁶ Gradasi ini bukan perbedaan jenis, melainkan perbedaan derajat kesempurnaan wujud. Seperti cahaya yang memiliki intensitas beragam namun tetap satu hakikat, demikian pula eksistensi seluruh makhluk merupakan pantulan bertingkat dari Wujud Mutlak.⁷

Dengan konsep ini, filsafat Islam menghindari dualisme tajam antara Tuhan dan dunia. Segala sesuatu adalah manifestasi dari satu realitas yang sama, namun berbeda dalam kadar keberadaannya. Gradasi ini membentuk tatanan kosmos yang hierarkis, mulai dari realitas murni (akal), jiwa (nafs), hingga materi (māddah).⁸ Secara spiritual, konsep tasykīk al-wujūd juga membuka jalan bagi pemahaman tentang perjalanan eksistensial manusia menuju kesempurnaan, yakni naik dari wujud rendah menuju wujud yang lebih tinggi hingga mencapai kesatuan dengan sumbernya.⁹

4.3.       Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud)

Prinsip wahdat al-wujūd paling sering dikaitkan dengan Ibn ‘Arabi, yang menyatakan bahwa “tidak ada yang wujud kecuali Allah”.¹⁰ Dalam pandangan ini, wujud-wujud partikular di alam hanyalah bentuk manifestasi (tajallī) dari Wujud Mutlak, bukan entitas yang berdiri sendiri. Kesatuan wujud tidak berarti meniadakan keberagaman makhluk, melainkan memahami bahwa seluruh keberagaman itu hanyalah penampakan dari realitas tunggal yang sama.¹¹

Secara ontologis, wahdat al-wujūd melengkapi tasykīk al-wujūd: jika tasykīk menekankan perbedaan derajat wujud, maka wahdat menegaskan kesatuan substansialnya.¹² Prinsip ini memiliki dimensi mistik yang kuat, karena memandang eksistensi bukan sekadar fakta rasional tetapi juga pengalaman spiritual. Dalam konteks ini, filsafat Islam memadukan metafisika dengan sufisme — menempatkan wujud sebagai jalan menuju penyingkapan Tuhan melalui kesadaran akan keesaan eksistensi.¹³

4.4.       Hubungan Wājib al-Wujūd dan Mumkin al-Wujūd

Prinsip ini berasal dari sistem ontologis Ibn Sina dan menjadi dasar bagi teologi rasional Islam. Menurut Ibn Sina, setiap entitas di alam adalah mumkin al-wujūd — keberadaannya mungkin ada, tetapi tidak niscaya. Untuk menjelaskan mengapa sesuatu yang mungkin itu ada, harus ada satu sebab yang niscaya ada, yaitu Wājib al-Wujūd.¹⁴ Tuhan adalah realitas yang tidak mungkin tidak ada; keberadaan-Nya merupakan keharusan logis dan ontologis. Dari-Nya, segala wujud kontingen memperoleh eksistensi melalui hubungan kausal non-temporal.¹⁵

Hubungan ini menegaskan bahwa seluruh eksistensi bergantung pada Tuhan secara ontologis, bukan sekadar temporal. Setiap wujud kontingen adalah pantulan keberadaan Tuhan, sebagaimana sinar adalah pantulan dari matahari.¹⁶ Pandangan ini menggabungkan teologi dan metafisika, sehingga memberikan dasar bagi pemahaman tentang penciptaan, keteraturan kosmos, dan kebergantungan total makhluk kepada Sang Pencipta.


Keempat prinsip ini — asālat al-wujūd, tasykīk al-wujūd, wahdat al-wujūd, dan relasi Wājib al-WujūdMumkin al-Wujūd — merupakan pilar ontologis utama dalam filsafat Islam. Bersama-sama, prinsip-prinsip ini membentuk sistem metafisika yang memandang realitas sebagai kesatuan bertingkat yang bersumber dari Tuhan, dipahami oleh akal, dan disingkap melalui intuisi.¹⁷ Ontologi Islam dengan demikian bukan sekadar teori keberadaan, melainkan juga kerangka spiritual untuk memahami hubungan eksistensial antara manusia, alam, dan Tuhan.¹⁸


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 83–86.

[2]                Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Muhammad Rida al-Mudhaffar (Teheran: Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami, 1981), 1:45–47.

[3]                Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 31–33.

[4]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 40–42.

[5]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 74–77.

[6]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 293–295.

[7]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 54–57.

[8]                Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, and Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 110–112.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 122–124.

[10]             Ibn ‘Arabi, Al-Futūhāt al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya (Beirut: Dar Sadir, 1999), 2:65–68.

[11]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 79–81.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 88–90.

[13]             Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1969), 101–103.

[14]             Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 74–76.

[15]             Parviz Morewedge, Metaphysics and Philosophy of Being in Avicenna (New York: Columbia University Press, 1972), 61–63.

[16]             Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 87–90.

[17]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 90–92.

[18]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 59–61.


5.           Ontologi dan Kosmologi dalam Filsafat Islam

Dalam filsafat Islam, ontologi dan kosmologi memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Ontologi menjelaskan hakikat wujud itu sendiri, sementara kosmologi menggambarkan struktur serta tatanan realitas yang muncul dari prinsip-prinsip ontologis tersebut.¹ Dengan demikian, kosmologi Islam pada dasarnya merupakan penerapan konkret dari teori wujud dalam menjelaskan alam semesta, proses penciptaan, dan keteraturan kosmos yang berpangkal pada Tuhan sebagai sumber segala eksistensi.

5.1.       Penciptaan dan Prinsip Emanasi (Fayḍ)

Salah satu ciri khas kosmologi Islam adalah pandangannya tentang emanasi (fayḍ), yaitu proses pancaran wujud dari Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada) menuju tingkatan realitas yang lebih rendah.² Berbeda dengan konsep penciptaan ex nihilo dalam teologi kalam, para filsuf Islam seperti Al-Farabi dan Ibn Sina memahami emanasi bukan sebagai penciptaan dalam waktu, melainkan sebagai relasi kausal ontologis yang abadi antara Tuhan dan ciptaan-Nya.³

Menurut Al-Farabi, dari Wujud Niscaya memancar Akal Pertama (al-‘aql al-awwal), yang darinya muncul Akal Kedua, dan seterusnya hingga terbentuk sepuluh akal yang mengatur tatanan langit.⁴ Proses ini tidak bersifat material, tetapi intelektual dan spiritual. Setiap akal memiliki fungsi ganda: ia memandang Tuhan dan memancarkan akal berikutnya, sekaligus mengatur realitas langit tertentu.⁵

Sementara Ibn Sina memperdalam teori ini dengan menambahkan distingsi antara wujūd dan mahiyyah. Menurutnya, seluruh entitas selain Tuhan memiliki mahiyyah yang memperoleh wujūd-nya melalui emanasi dari sumber pertama.⁶ Dengan demikian, seluruh realitas merupakan jaringan wujud yang saling terkait secara hierarkis, di mana Tuhan menjadi puncak dan penyebab tertinggi, sedangkan dunia materi menjadi manifestasi terendah dari realitas tersebut.

5.2.       Struktur Hierarkis Realitas: Alam Akal, Jiwa, dan Materi

Kosmologi Islam menggambarkan alam semesta sebagai struktur bertingkat yang mencerminkan gradasi eksistensi (tasykīk al-wujūd). Secara umum, para filsuf Islam membagi realitas menjadi tiga tataran besar:

1)                  Alam Akal (‘Ālam al-‘Aql): ranah intelek murni, tempat para akal dan jiwa universal berada. Ia bersifat immaterial, abadi, dan paling dekat dengan Wujud Mutlak.⁷

2)                  Alam Jiwa (‘Ālam al-Nafs): ranah perantara antara intelek dan materi, di mana jiwa-jiwa langit dan manusia mengatur gerak kosmos.⁸

3)                  Alam Materi (‘Ālam al-Māddah): ranah paling rendah, bersifat temporal dan berubah-ubah, tempat bentuk-bentuk (ṣuwar) diwujudkan ke dalam substansi fisik.⁹

Konsepsi ini memperlihatkan pandangan kosmos sebagai sistem hierarkis dan harmonis, di mana setiap tingkat realitas memiliki kedudukan dan fungsi ontologis tertentu. Tidak ada dikotomi tajam antara dunia spiritual dan material, sebab keduanya merupakan dua tingkat dari satu realitas yang sama: wujud.¹⁰

5.3.       Peran Akal Aktif (al-‘Aql al-Fa‘āl)

Dalam sistem kosmologi Islam, terutama menurut Al-Farabi dan Ibn Sina, akal aktif memegang peranan sentral. Ia merupakan entitas intelektual terakhir dalam hierarki emanasi dan bertindak sebagai penghubung antara dunia akal dan dunia materi.¹¹ Melalui akal aktif, bentuk-bentuk intelektual ditransmisikan ke dalam jiwa manusia, sehingga pengetahuan dan kesadaran dapat muncul.¹²

Selain fungsi epistemologis, akal aktif juga memiliki makna ontologis. Ia merupakan “cahaya eksistensial” yang memungkinkan materi menerima bentuk, menjadikan kosmos sebagai struktur yang teratur dan rasional.¹³ Dengan demikian, manusia yang berusaha menyatukan akalnya dengan akal aktif sebenarnya sedang menapaki jalan kembali menuju sumber wujud — suatu perjalanan ontologis sekaligus spiritual.

5.4.       Kosmologi Cahaya dalam Filsafat Isyraq

Suhrawardi, dalam filsafat Isyraqiyyah (Iluminasi), menafsirkan struktur kosmos dengan metafora cahaya (nūr). Dalam pandangannya, seluruh realitas adalah gradasi cahaya yang memancar dari Nūr al-Anwār (Cahaya dari Segala Cahaya).¹⁴ Tuhan adalah Cahaya Mutlak, dan semua wujud lainnya merupakan intensitas cahaya yang lebih lemah. Dunia fisik adalah bayangan dari cahaya-cahaya tinggi, dan hubungan antarrealitas diatur oleh hukum “dominasi dan kasih sayang” (qahr wa maḥabbah), yaitu daya tarik eksistensial antar tingkat wujud.¹⁵

Kosmologi cahaya ini menegaskan dimensi intuitif dari ontologi Islam: pengetahuan sejati bukan hanya hasil penalaran rasional, melainkan juga iluminasi batin.¹⁶ Dengan demikian, Suhrawardi menyatukan epistemologi dan kosmologi dalam satu sistem yang menampilkan Tuhan sebagai sumber sekaligus tujuan akhir seluruh pancaran wujud.

5.5.       Pandangan Mulla Sadra: Gerak Substansial dan Kesatuan Kosmos

Mulla Sadra menyempurnakan teori ontologis dan kosmologis sebelumnya dengan memperkenalkan konsep gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah). Ia menolak pandangan bahwa substansi bersifat statis, dan menegaskan bahwa seluruh wujud sedang berada dalam proses aktualisasi menuju kesempurnaan.¹⁷ Alam semesta tidak diam, tetapi bergerak secara ontologis menuju realitas tertinggi, yakni Tuhan. Dengan demikian, kosmos dipahami sebagai proses dinamis kesempurnaan eksistensial, bukan entitas statis yang sudah selesai.¹⁸

Gerak substansial juga memberikan dasar metafisik bagi hubungan antara waktu dan eksistensi: waktu bukan hanya ukuran perubahan, melainkan aspek dari keberadaan itu sendiri.¹⁹ Oleh karena itu, menurut Mulla Sadra, seluruh ciptaan secara ontologis sedang “kembali” kepada sumber wujudnya (inna lillāhi wa inna ilayhi rāji‘ūn), menjadikan kosmologi Islam sebagai sistem spiritual yang berpusat pada kesatuan wujud dan gerak menuju Tuhan.²⁰


Dengan demikian, ontologi dan kosmologi Islam membentuk satu kesatuan yang utuh. Ontologi menjelaskan prinsip dasar keberadaan, sementara kosmologi menunjukkan bagaimana prinsip tersebut termanifestasi dalam struktur dan dinamika alam semesta. Sistem ini menggambarkan realitas sebagai jejaring eksistensi yang bersumber dari Tuhan, bergerak dalam keteraturan rasional, dan bermuara kembali kepada-Nya.²¹


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 3–6.

[2]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 40–43.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 78–81.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 58–61.

[5]                Parviz Morewedge, Metaphysics and Philosophy of Being in Avicenna (New York: Columbia University Press, 1972), 70–73.

[6]                Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt (Qum: Maktabat al-Mar‘ashī, 1985), 19–22.

[7]                Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 38–40.

[8]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 120–122.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 64–66.

[10]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 63–65.

[11]             Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 72–75.

[12]             Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 84–86.

[13]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 60–63.

[14]             Suhrawardi, Hikmat al-Isyrāq, ed. Henry Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien, 1976), 87–90.

[15]             Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 45–48.

[16]             Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, and Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 116–118.

[17]             Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Muhammad Rida al-Mudhaffar (Teheran: Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami, 1981), 2:10–14.

[18]             Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 49–52.

[19]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 77–80.

[20]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 95–98.

[21]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 304–307.


6.           Dimensi Teologis dan Epistemologis Ontologi Islam

Ontologi dalam filsafat Islam tidak hanya bersifat metafisis, tetapi juga memiliki dimensi teologis dan epistemologis yang mendalam. Kedua dimensi ini memperlihatkan bahwa pembahasan tentang wujud (al-wujūd) tidak hanya berfungsi untuk memahami realitas secara abstrak, tetapi juga untuk menegaskan hubungan antara Tuhan, manusia, dan pengetahuan. Dalam konteks ini, filsafat Islam memandang keberadaan sebagai dasar realitas ilahi sekaligus jalan menuju pengetahuan tentang Tuhan dan diri

6.1.       Dimensi Teologis: Tuhan sebagai Wujud Mutlak dan Sumber Segala Realitas

Dalam sistem ontologis Islam, Tuhan (Allah) merupakan Wājib al-Wujūd — “Yang Niscaya Ada” — yaitu wujud yang keberadaannya bersifat absolut, tidak bergantung pada apa pun, dan menjadi sebab dari segala yang ada.² Tuhan adalah realitas tertinggi yang mengatasi segala bentuk kemungkinan, sekaligus sumber ontologis bagi seluruh eksistensi. Para filsuf seperti Ibn Sina dan Al-Farabi menegaskan bahwa Tuhan bukan sekadar ens supremum (makhluk tertinggi), tetapi Wujud itu sendiri dalam keutuhannya (al-wujūd al-maḥḍ).³

Bagi Ibn Sina, keharusan keberadaan Tuhan bersifat niscaya dari diri-Nya sendiri (wājib bi dhātihi), sementara semua makhluk adalah niscaya karena yang lain (wājib bi ghayrihi).⁴ Relasi ini bersifat kausal, bukan temporal: keberadaan dunia bergantung secara ontologis pada Tuhan sebagai sumber yang terus-menerus memberikan eksistensi.⁵ Dengan demikian, penciptaan dalam filsafat Islam tidak dipahami sebagai peristiwa waktu tertentu, melainkan sebagai proses eksistensial abadi — suatu “emanasi terus-menerus” dari Wujud Mutlak ke segala tingkatan realitas.⁶

Selain itu, dimensi teologis ontologi Islam menegaskan kesempurnaan dan kesatuan Tuhan (tawḥīd). Dalam kerangka ini, pluralitas wujud di alam semesta tidak menafikan keesaan Tuhan, karena segala keberagaman hanyalah manifestasi bertingkat dari satu wujud yang sama.⁷ Dengan kata lain, ontologi Islam mendasarkan teologi pada prinsip kesatuan eksistensi: segala sesuatu “ada” sejauh ia berpartisipasi dalam wujud Tuhan.⁸

6.2.       Implikasi Teologis terhadap Konsep Manusia dan Jiwa

Sebagai bagian dari ciptaan, manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki posisi ontologis istimewa — berada di antara dunia materi dan dunia ruhani.⁹ Jiwa manusia (al-nafs al-insāniyyah) merupakan entitas immaterial yang berasal dari emanasi akal aktif (al-‘aql al-fa‘āl), dan karena itu ia memiliki potensi untuk memahami realitas spiritual.¹⁰ Tujuan keberadaan manusia adalah penyempurnaan wujud, yaitu gerak menuju kesatuan dengan sumbernya, yang dalam istilah Mulla Sadra disebut al-ḥarakah al-jawhariyyah (gerak substansial).¹¹

Proses ini memiliki dimensi teologis karena setiap tahap penyempurnaan eksistensial manusia adalah bentuk taqarrub ilā Allāh (pendekatan diri kepada Tuhan).¹² Dengan demikian, kehidupan manusia tidak hanya dipahami secara biologis atau moral, tetapi sebagai perjalanan ontologis untuk mewujudkan kembali kesatuan eksistensinya dengan realitas ilahi.

6.3.       Dimensi Epistemologis: Pengetahuan sebagai Partisipasi dalam Wujud

Dalam filsafat Islam, pengetahuan (‘ilm) bukan sekadar representasi rasional tentang objek luar, tetapi partisipasi intelektual dalam realitas wujud itu sendiri.¹³ Epistemologi Islam bersifat ontologis karena berakar pada prinsip bahwa segala bentuk pengetahuan merupakan tajallī (penyingkapan) dari realitas yang telah ada dalam tatanan eksistensi.¹⁴

Menurut Ibn Sina, proses pengetahuan terjadi ketika bentuk intelektual suatu objek (ṣūrah ma‘qūlah) teraktualisasi dalam akal manusia.¹⁵ Namun, bagi Suhrawardi dan Mulla Sadra, pengetahuan tidak hanya bersifat konseptual, melainkan juga hadiri (‘ilm ḥuḍūrī), yaitu kehadiran langsung wujud sesuatu di dalam kesadaran subjek.¹⁶ Dalam ‘ilm ḥuḍūrī, subjek dan objek tidak terpisah secara ontologis; keduanya bersatu dalam pengalaman eksistensial yang menyingkap hakikat realitas.¹⁷

Dengan demikian, epistemologi Islam menolak pemisahan tajam antara mengetahui dan menjadi. Pengetahuan sejati bukanlah sekadar hasil pemikiran, tetapi bentuk penyatuan eksistensial antara akal dan realitas.¹⁸ Dalam perspektif ini, semakin tinggi tingkat wujud seseorang (melalui penyucian jiwa dan kesempurnaan intelek), semakin luas pula cakupan pengetahuannya tentang Tuhan dan alam.

6.4.       Kesatuan Ontologis antara Mengetahui dan Keberadaan

Prinsip kesatuan antara pengetahuan dan wujud mencapai puncaknya dalam sistem Mulla Sadra, yang menyatakan bahwa “pengetahuan adalah bentuk keberadaan itu sendiri” (al-‘ilm ṣūrat al-wujūd).¹⁹ Dengan pandangan ini, epistemologi tidak berdiri terpisah dari ontologi, melainkan merupakan ekspresi dari realitas yang sama pada tingkat kesadaran. Pengetahuan tidak lain adalah intensifikasi wujud: semakin tinggi pengetahuan, semakin sempurna eksistensi.²⁰

Konsep ini juga memiliki dimensi teologis, sebab mengenal Tuhan berarti berpartisipasi dalam wujud-Nya secara intelektual dan spiritual.²¹ Dalam hal ini, filsafat Islam menawarkan integrasi yang indah antara teologi, ontologi, dan epistemologi: Tuhan adalah Wujud Mutlak yang menjadi sumber pengetahuan, sementara manusia mengenal-Nya dengan jalan penyatuan eksistensial melalui akal dan hati.

6.5.       Integrasi Ontologi, Teologi, dan Epistemologi

Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam filsafat Islam, ontologi, teologi, dan epistemologi merupakan tiga dimensi dari satu kesatuan metafisis yang sama. Ontologi menjelaskan struktur wujud; teologi menegaskan sumber dan tujuan wujud; sedangkan epistemologi menggambarkan cara manusia mengenal wujud itu sendiri.²² Dengan demikian, filsafat Islam bukan hanya sistem rasional, tetapi juga jalan spiritual menuju pengetahuan tertinggi — yaitu pengetahuan tentang Tuhan melalui pemahaman dan realisasi wujud.²³


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 97–100.

[2]                Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt (Qum: Maktabat al-Mar‘ashī, 1985), 12–15.

[3]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 88–91.

[4]                Parviz Morewedge, Metaphysics and Philosophy of Being in Avicenna (New York: Columbia University Press, 1972), 53–56.

[5]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 92–94.

[6]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 135–138.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, and Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 117–119.

[8]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 89–91.

[9]                Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 122–124.

[10]             Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 44–47.

[11]             Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Muhammad Rida al-Mudhaffar (Teheran: Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami, 1981), 3:25–27.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 103–106.

[13]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 65–68.

[14]             Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 40–44.

[15]             Goodman, Avicenna, 95–98.

[16]             Ziai, Knowledge and Illumination, 58–60.

[17]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 70–73.

[18]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 104–106.

[19]             Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, 4:10–12.

[20]             Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 54–56.

[21]             Corbin, History of Islamic Philosophy, 310–313.

[22]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 70–73.

[23]             Nasr, Three Muslim Sages, 121–123.


7.           Perbandingan Ontologi Islam dengan Tradisi Filsafat Barat

Perbandingan antara ontologi Islam dan ontologi Barat membuka ruang untuk memahami perbedaan mendasar dalam memandang realitas, Tuhan, dan keberadaan manusia. Walaupun keduanya berangkat dari persoalan yang sama — yaitu apa artinya ada — arah perkembangan dan landasan epistemologisnya berbeda secara signifikan. Ontologi Islam berakar pada integrasi antara akal, wahyu, dan intuisi spiritual, sedangkan ontologi Barat lebih cenderung menekankan rasionalitas murni dan analisis konseptual.¹ Perbandingan ini dapat ditinjau dalam tiga dimensi utama: (1) sumber pengetahuan dan orientasi metafisika, (2) struktur dan hierarki realitas, serta (3) pandangan tentang eksistensi dan makna keberadaan.

7.1.       Sumber Pengetahuan dan Orientasi Metafisika

Filsafat Barat klasik, terutama sejak Aristoteles, mendasarkan ontologi pada penyelidikan terhadap being qua being — keberadaan sejauh ia ada — melalui analisis logis dan empiris.² Aristoteles mengembangkan kategori-kategori wujud (substansi, kualitas, kuantitas, relasi, dan sebagainya) yang kemudian menjadi dasar bagi metafisika skolastik.³ Dalam konteks ini, Tuhan dipahami sebagai causa prima (sebab pertama), tetapi tetap berada dalam kerangka rasional naturalis.

Sebaliknya, filsafat Islam menganggap bahwa pengetahuan tentang wujud tidak dapat dicapai sepenuhnya melalui rasio, melainkan juga melalui intuisi intelektual dan iluminasi spiritual.⁴ Para filsuf seperti Suhrawardi dan Mulla Sadra menekankan bahwa realitas wujud hanya dapat dipahami secara utuh bila akal disinari oleh cahaya ilahi.⁵ Dengan demikian, ontologi Islam memiliki orientasi teosentris, sedangkan ontologi Barat sejak era modern (Descartes hingga Kant) berkembang menjadi antroposentris — menempatkan subjek manusia sebagai pusat pengetahuan dan realitas.⁶

Dalam Islam, wahyu berperan sebagai fondasi epistemologis yang melengkapi rasio. Tuhan bukan sekadar postulat metafisis, tetapi realitas tertinggi yang hadir dalam seluruh eksistensi.⁷ Sementara itu, di Barat modern, terutama setelah pencerahan (Aufklärung), Tuhan sering digeser menjadi hipotesis metafisis belaka, atau bahkan ditiadakan sama sekali dalam filsafat eksistensialis.⁸

7.2.       Struktur dan Hierarki Realitas

Ontologi Islam, sebagaimana dikembangkan oleh Al-Farabi, Ibn Sina, dan Mulla Sadra, menampilkan pandangan tentang realitas sebagai struktur hierarkis yang gradasional (tasykīk al-wujūd).⁹ Dalam sistem ini, keberadaan bersumber dari Tuhan (Wājib al-Wujūd) dan memancar ke berbagai tingkat wujud — mulai dari akal, jiwa, hingga materi.¹⁰ Pandangan ini mengandung dimensi spiritual: semakin tinggi tingkat wujud, semakin dekat ia dengan sumber ilahi.

Sebaliknya, dalam filsafat Barat, terutama sejak Aristoteles, realitas tidak dipandang sebagai gradasi spiritual, melainkan sebagai kategori substansial dan kausal.¹¹ Aristoteles membedakan antara materia prima (materi pertama) dan forma (bentuk), tetapi keduanya tetap berada dalam tataran fisik dan rasional.¹² Bahkan dalam sistem Neoplatonis yang mirip dengan teori emanasi Islam (seperti pada Plotinus), dimensi mistik tidak berkembang sejauh dalam tradisi Islam karena ketiadaan integrasi dengan wahyu profetik.¹³

Perbedaan semakin mencolok pada masa modern. Dalam sistem filsafat Descartes, dunia dibagi secara dualistik menjadi res cogitans (substansi berpikir) dan res extensa (substansi yang terbentang).¹⁴ Realitas menjadi terfragmentasi antara subjek dan objek, yang kemudian diperuncing dalam empirisme dan positivisme. Ontologi Islam justru menolak dualisme ini, sebab seluruh wujud dipandang sebagai manifestasi kesatuan eksistensi (wahdat al-wujūd).¹⁵

7.3.       Pandangan tentang Eksistensi dan Makna Keberadaan

Dalam filsafat Barat modern, terutama melalui eksistensialisme, makna wujud berpindah dari metafisika universal ke pengalaman manusia yang konkret. Martin Heidegger mengkritik metafisika tradisional karena gagal menanyakan makna “ada” (Sein) itu sendiri.¹⁶ Sementara Jean-Paul Sartre memandang eksistensi sebagai sesuatu yang mendahului esensi — “manusia pertama-tama ada, baru kemudian menentukan dirinya sendiri.”¹⁷ Pandangan ini mengandung dimensi kebebasan radikal, tetapi juga mengarah pada nihilisme, karena meniadakan sumber transenden bagi eksistensi.

Sebaliknya, dalam filsafat Islam, eksistensi tidak pernah lepas dari sumber ilahi. Wujud manusia selalu berakar pada Wujud Mutlak, dan kebebasan manusia bukanlah otonomi total, melainkan partisipasi dalam kehendak Tuhan.¹⁸ Mulla Sadra menegaskan bahwa eksistensi bukan sekadar fakta empiris, tetapi “realitas dinamis yang menuju kesempurnaan ilahi.”¹⁹ Dengan demikian, filsafat Islam memadukan aspek rasional dan eksistensial dengan orientasi spiritual, sedangkan eksistensialisme Barat menempatkan eksistensi dalam konteks sekular dan imanen.

7.4.       Integrasi Ontologi dan Etika

Aspek lain yang membedakan ontologi Islam dari Barat adalah keterpaduan antara metafisika dan etika. Dalam filsafat Islam, mengenal wujud berarti mengenal Tuhan, dan mengenal Tuhan berarti menempuh jalan kebaikan.²⁰ Pengetahuan tentang realitas memiliki konsekuensi moral, sebab manusia sebagai makhluk rasional sekaligus spiritual harus menyesuaikan wujudnya dengan prinsip ilahi.²¹

Sebaliknya, dalam tradisi Barat modern, terutama setelah Kant, ontologi dan etika menjadi dua ranah yang terpisah: metafisika membahas realitas, sedangkan etika membahas kewajiban moral.²² Dalam filsafat Islam, keduanya bersatu karena sumber kebaikan dan keberadaan adalah satu — Tuhan sebagai al-Ḥaqq, yang hakiki dan benar sekaligus baik.²³

7.5.       Menuju Dialog Ontologis Timur dan Barat

Meski berbeda orientasi, kedua tradisi ini tidak bersifat saling meniadakan. Filsafat Islam dapat menawarkan kerangka metafisis alternatif bagi filsafat Barat modern yang mengalami krisis makna akibat sekularisasi.²⁴ Prinsip-prinsip seperti wahdat al-wujūd dan tasykīk al-wujūd dapat memperkaya wacana ontologis kontemporer dengan menekankan kesatuan realitas dan keterkaitan antara manusia dan Tuhan. Di sisi lain, filsafat Barat, terutama fenomenologi dan eksistensialisme, dapat membantu memperdalam dimensi pengalaman konkret dalam pemahaman wujud Islam.²⁵

Dengan demikian, dialog antara ontologi Islam dan Barat berpotensi melahirkan metafisika universal yang seimbang — yang memadukan rasionalitas dan spiritualitas, akal dan intuisi, serta eksistensi dan transendensi.²⁶


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 108–110.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1003a–1005b.

[3]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 52–54.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 147–150.

[5]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 45–48.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 13–16.

[7]                Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, and Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 120–122.

[8]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1954), 125–128.

[9]                Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Muhammad Rida al-Mudhaffar (Teheran: Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami, 1981), 2:22–25.

[10]             Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt (Qum: Maktabat al-Mar‘ashī, 1985), 18–22.

[11]             Aristotle, Metaphysics, 1028b–1032a.

[12]             W. D. Ross, Aristotle’s Metaphysics: A Commentary (Oxford: Clarendon Press, 1953), 89–91.

[13]             Plotinus, The Enneads, trans. A. H. Armstrong (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1966), 5:1–3.

[14]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 25–28.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 145–147.

[16]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–34.

[17]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 1958), 15–18.

[18]             Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, 3:48–52.

[19]             Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 59–61.

[20]             Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 110–113.

[21]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 75–78.

[22]             Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42–44.

[23]             Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1969), 111–113.

[24]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 114–117.

[25]             Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence: According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington: World Wisdom, 2006), 90–93.

[26]             Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 98–101.


8.           Kritik dan Relevansi Kontemporer

Kajian tentang ontologi dalam filsafat Islam tidak berhenti pada ranah klasik, melainkan terus dikaji ulang dalam konteks modern dan kontemporer. Tradisi metafisika Islam menghadapi tantangan dari berbagai arah: dari teologi ortodoks, pemikiran modern sekular, hingga filsafat sains dan postmodernisme. Namun, di sisi lain, ontologi Islam juga menunjukkan relevansi yang signifikan dalam merespons krisis metafisika modern dan dalam memberikan dasar spiritual bagi ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia.¹

8.1.       Kritik terhadap Konsep Wahdat al-Wujūd

Salah satu kritik paling terkenal terhadap filsafat wujud Islam datang dari kalangan ulama kalam dan teolog ortodoks, terutama terhadap konsep wahdat al-wujūd (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi.² Para ulama seperti Ibn Taymiyyah dan Al-Suyuthi menilai bahwa doktrin tersebut berpotensi menimbulkan kekaburan antara Tuhan dan makhluk, sehingga mengarah pada panteisme.³ Mereka menegaskan bahwa Tuhan adalah realitas yang sepenuhnya transenden, sementara ciptaan adalah entitas yang diciptakan dan berbeda secara ontologis.

Kritik ini juga muncul dari sebagian filosof rasionalis Islam yang lebih menekankan prinsip perbedaan ontologis antara Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada) dan Mumkin al-Wujūd (Yang Mungkin Ada).⁴ Mulla Sadra, walaupun menerima wahdat al-wujūd, mencoba menghindari kesan panteistik dengan menegaskan bahwa kesatuan eksistensi tidak meniadakan perbedaan gradasional di antara makhluk.⁵ Dengan demikian, ia menafsirkan kesatuan wujud bukan sebagai identitas absolut antara Tuhan dan dunia, tetapi sebagai kesatuan hierarkis yang analogis (tasykīk al-wujūd).⁶

8.2.       Kritik Modern terhadap Ontologi Klasik

Dalam era modern, ontologi Islam menghadapi tantangan dari positivisme ilmiah dan rasionalisme sekular yang menolak nilai metafisika. Tokoh seperti Auguste Comte dan A. J. Ayer menolak semua pernyataan metafisis sebagai tidak bermakna secara empiris.⁷ Hal ini mengakibatkan reduksi realitas pada hal-hal yang dapat diukur, diamati, dan diuji secara ilmiah, sementara dimensi spiritual dan transendental dianggap subjektif atau ilusi.

Namun, para pemikir Muslim kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr, Osman Bakar, dan Ziauddin Sardar menilai bahwa pendekatan ini justru menyebabkan krisis spiritual dan ontologis dalam peradaban modern.⁸ Menurut Nasr, pandangan dunia modern yang mekanistik telah memutus hubungan manusia dengan sumber realitas ilahi, menjadikan alam semesta sekadar objek eksploitasi, bukan manifestasi dari Wujud Mutlak.⁹ Oleh karena itu, diperlukan rehabilitasi metafisika Islam untuk mengembalikan kesakralan wujud dan menyatukan kembali dimensi rasional dengan spiritual.¹⁰

Selain itu, sebagian filsuf modern menyoroti ketidaksesuaian terminologis antara konsep ontologi Islam dengan kategori filosofis Barat.¹¹ Misalnya, istilah wujūd sering kali diterjemahkan sebagai “being,” padahal dalam konteks Islam ia memiliki makna yang lebih kaya dan berhubungan langsung dengan Tuhan sebagai al-Ḥaqq (Yang Benar dan Nyata).¹² Karenanya, pemaknaan ulang terminologi ontologis menjadi penting agar konsep-konsep Islam tidak tereduksi oleh kerangka metafisika Barat.

8.3.       Relevansi Ontologi Islam terhadap Krisis Metafisika Modern

Ontologi Islam menawarkan alternatif metafisis terhadap krisis eksistensial dan nihilisme modern. Dalam pandangan Islam, keberadaan tidak pernah terlepas dari makna dan nilai, karena segala sesuatu berakar pada Wujud Ilahi.¹³ Pandangan ini dapat menjadi jawaban atas kerapuhan spiritual masyarakat modern yang kehilangan orientasi transenden akibat sekularisasi.

Selain itu, konsep gradasi wujud (tasykīk al-wujūd) relevan dalam menjelaskan keterkaitan ekologis dan spiritual antara manusia dan alam. Alam tidak dipandang sebagai benda mati, tetapi sebagai pancaran wujud Tuhan yang harus dihormati.¹⁴ Dengan demikian, ontologi Islam dapat menjadi dasar filosofis bagi etika ekologi dan spiritualitas lingkungan, yang semakin dibutuhkan dalam menghadapi krisis ekologis global.¹⁵

Dalam ranah epistemologi, prinsip ‘ilm ḥuḍūrī (pengetahuan dengan kehadiran) juga relevan dalam menjawab reduksionisme kognitif modern. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan sejati bukan sekadar akumulasi data, tetapi penyatuan eksistensial antara subjek dan realitas.¹⁶ Perspektif ini membuka ruang bagi pendekatan holistik dalam ilmu pengetahuan yang tidak hanya menilai realitas secara kuantitatif, tetapi juga kualitatif dan spiritual.¹⁷

8.4.       Ontologi Islam dan Dialog Filsafat Kontemporer

Dalam konteks filsafat global, banyak pemikir modern yang melihat kesesuaian antara konsep ontologi Islam dan beberapa arus pemikiran kontemporer, seperti fenomenologi, eksistensialisme religius, dan metafisika proses.¹⁸ Misalnya, gagasan Mulla Sadra tentang gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) memiliki kemiripan dengan konsep becoming dalam filsafat proses Alfred North Whitehead, yang memandang realitas sebagai dinamika eksistensial yang terus berkembang.¹⁹

Sementara itu, filsafat fenomenologis Heidegger tentang “ada sebagai penyingkapan” (aletheia) juga memiliki resonansi dengan pandangan Islam tentang tajallī (manifestasi wujud Tuhan dalam realitas).²⁰ Meskipun keduanya berbeda secara teologis, keduanya menekankan bahwa keberadaan tidak dapat direduksi pada konsep logis, melainkan harus dialami secara eksistensial.²¹

Dialog antara ontologi Islam dan filsafat kontemporer membuka kemungkinan bagi rekonstruksi metafisika global yang berakar pada kesatuan antara pengetahuan dan keberadaan.²² Ontologi Islam, dengan prinsip asālat al-wujūd (keprimordialan wujud), mampu menjembatani jurang antara metafisika rasional Barat dan dimensi spiritual Timur.²³


Kesimpulan Sementara: Reaktualisasi Ontologi Islam

Secara keseluruhan, kritik-kritik terhadap ontologi Islam — baik dari teologi ortodoks maupun modernisme Barat — menunjukkan pentingnya upaya reaktualisasi filsafat wujud Islam dalam konteks baru. Relevansi ontologi Islam bukan hanya terletak pada nilainya sebagai sistem metafisis klasik, tetapi juga sebagai paradigma alternatif bagi pemikiran kontemporer yang sedang mencari kembali makna transendensi, keseimbangan kosmis, dan kesatuan spiritual manusia dengan alam semesta.²⁴


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 120–123.

[2]                Ibn ‘Arabi, Al-Futūhāt al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya (Beirut: Dar Sadir, 1999), 2:70–72.

[3]                Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā (Riyadh: Dar al-Watan, 1995), 10:230–232.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 135–138.

[5]                Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Muhammad Rida al-Mudhaffar (Teheran: Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami, 1981), 2:40–43.

[6]                Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 63–65.

[7]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Victor Gollancz, 1936), 41–43.

[8]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 80–83.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 25–28.

[10]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 155–158.

[11]             Parviz Morewedge, “Metaphysics,” dalam History of Islamic Philosophy, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (London: Routledge, 1996), 89–91.

[12]             Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1969), 117–119.

[13]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 125–127.

[14]             William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: State University of New York Press, 1998), 141–144.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 89–92.

[16]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 71–74.

[17]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 85–87.

[18]             Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence: According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington: World Wisdom, 2006), 96–99.

[19]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Macmillan, 1929), 33–36.

[20]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 129–131.

[21]             Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 320–323.

[22]             Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 127–130.

[23]             Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 70–73.

[24]             Nasr, The Need for a Sacred Science, 101–104.


9.           Sintesis Filosofis

Filsafat Islam, terutama dalam bidang ontologi, mencapai puncak kedalaman dan kematangannya ketika berbagai tradisi pemikiran — rasional, intuitif, dan spiritual — dipadukan menjadi satu kesatuan yang harmonis. Proses sintesis ini tidak hanya terjadi dalam tataran konseptual, tetapi juga dalam tataran eksistensial dan metodologis. Ontologi Islam berhasil menyatukan logika rasionalisme Aristotelian, iluminasi Neoplatonik, dan pengalaman mistik sufistik dalam satu sistem metafisika yang dinamis.¹ Sintesis ini melahirkan bentuk filsafat yang khas: rasional secara intelektual, simbolik secara kosmologis, dan transendental secara spiritual.

9.1.       Integrasi antara Rasionalisme dan Iluminasi

Salah satu aspek paling penting dari sintesis filosofis Islam adalah penyatuan antara rasionalisme Avicennian dan iluminasi Suhrawardian. Ibn Sina menekankan analisis logis dan deduktif dalam memahami wujūd dan mahiyyah, sementara Suhrawardi menekankan penyingkapan langsung melalui cahaya pengetahuan (nūr al-‘ilm).² Mulla Sadra kemudian memadukan kedua pendekatan ini dengan prinsip asālat al-wujūd (keprimordialan wujud) dan tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi).³

Dalam sistem Sadrian, pengetahuan rasional tidak bertentangan dengan intuisi iluminatif; keduanya saling melengkapi. Akal berfungsi sebagai alat untuk memahami struktur wujud, sementara iluminasi (isyraq) menjadi jalan untuk menyaksikan realitas wujud secara langsung.⁴ Dengan demikian, ontologi Islam menolak dikotomi antara intelek dan intuisi, dan justru menegaskan bahwa kebenaran metafisis dapat dicapai melalui kesatuan keduanya.⁵

9.2.       Penyatuan Ontologi, Kosmologi, dan Teologi

Sintesis filosofis dalam filsafat Islam juga terlihat pada kesatuan antara ontologi, kosmologi, dan teologi. Dalam tradisi Barat modern, ketiga bidang ini sering dipisahkan: ontologi membahas “ada”, kosmologi membahas “alam”, dan teologi membahas “Tuhan”. Namun dalam filsafat Islam, ketiganya saling berkelindan dalam kerangka tawḥīd — kesatuan ilahi yang mencakup seluruh realitas.⁶

Bagi Mulla Sadra, seluruh wujud adalah manifestasi bertingkat dari realitas ilahi. Struktur kosmos bukan sekadar sistem kausalitas fisik, tetapi “lanskap eksistensial” yang mengandung nilai teologis dan spiritual.⁷ Dengan demikian, kosmologi Islam bukanlah ilmu tentang benda-benda di alam, melainkan ilmu tentang relasi antara ciptaan dan Pencipta. Ontologi menjadi jalan menuju teologi; mengenal wujud berarti mengenal Tuhan.⁸

9.3.       Sintesis antara Mistisisme dan Metafisika

Dimensi sufistik memainkan peran besar dalam menyempurnakan ontologi Islam. Tokoh seperti Ibn ‘Arabi dengan konsep wahdat al-wujūd memberikan fondasi mistik yang memperdalam makna metafisika rasional.⁹ Namun, pandangan Ibn ‘Arabi kemudian disistematiskan secara filosofis oleh Mulla Sadra, yang mengubah pengalaman mistik menjadi prinsip ontologis yang rasional.¹⁰

Dalam pandangan Sadra, tajallī (manifestasi ilahi) tidak sekadar pengalaman spiritual, tetapi juga struktur realitas itu sendiri.¹¹ Dengan demikian, kesadaran mistik tidak hanya bersifat subjektif, melainkan memiliki nilai ontologis universal. Sintesis ini menghapus batas antara filsafat dan tasawuf: filsafat menjadi bentuk intelektual dari tasawuf, dan tasawuf menjadi bentuk eksistensial dari filsafat.¹²

9.4.       Kesatuan antara Mengetahui dan Menjadi

Sintesis filosofis Islam juga menegaskan kesatuan antara epistemologi dan ontologi. Dalam tradisi Barat modern, “mengetahui” (knowing) dipisahkan dari “menjadi” (being). Namun dalam filsafat Islam, pengetahuan sejati merupakan intensifikasi dari wujud itu sendiri.¹³

Konsep ‘ilm ḥuḍūrī (pengetahuan dengan kehadiran) menggambarkan bahwa mengetahui berarti menghadirkan realitas ke dalam kesadaran, bukan sekadar memikirkannya secara abstrak.¹⁴ Oleh karena itu, epistemologi Islam bukan hanya teori kognisi, melainkan juga proses eksistensial di mana manusia berpartisipasi dalam realitas yang diketahui.¹⁵ Dalam hal ini, filsafat Islam mendekati pandangan fenomenologis Heidegger tentang “ada sebagai pengungkapan” (aletheia), tetapi tetap mempertahankan orientasi teologisnya: pengungkapan tertinggi adalah pengenalan akan Tuhan.¹⁶

9.5.       Filsafat Hikmah sebagai Sintesis Puncak

Seluruh upaya sintesis ontologis dalam filsafat Islam mencapai puncaknya dalam tradisi Hikmah al-Muta‘āliyah (Filsafat Hikmah Transendental) karya Mulla Sadra. Ia menyatukan tiga tradisi besar filsafat IslamPeripatetik (Aristotelian–Avicennian), Isyraqi (Iluminatif–Suhrawardian), dan Irfani (Mistis–Ibn ‘Arabian) — dalam satu kerangka metafisika yang integral.¹⁷

Dalam sistem ini, wujud adalah realitas tunggal yang bergradasi, pengetahuan adalah kehadiran eksistensial, dan alam semesta adalah manifestasi dinamis dari gerak substansial menuju Tuhan.¹⁸ Hikmah Sadrian menjadi simbol keberhasilan filsafat Islam dalam mengintegrasikan rasionalitas dan spiritualitas, dan menunjukkan bahwa pengetahuan sejati bukan hasil pemikiran semata, tetapi hasil penyatuan wujud manusia dengan sumber wujud itu sendiri.¹⁹


Signifikansi Sintesis bagi Filsafat Kontemporer

Sintesis filosofis dalam tradisi Islam memiliki relevansi besar bagi dunia filsafat modern yang cenderung terfragmentasi antara rasio, sains, dan spiritualitas. Filsafat Islam menunjukkan bahwa rasionalitas tidak perlu meniadakan transendensi, dan bahwa pengetahuan sejati bersifat sakral karena berakar pada wujud ilahi.²⁰ Dengan menggabungkan dimensi metafisik, etis, dan kosmologis, filsafat Islam menawarkan model alternatif bagi rekonstruksi ilmu pengetahuan yang utuh dan bermakna.²¹

Dengan demikian, sintesis filosofis Islam tidak hanya merupakan pencapaian historis, tetapi juga model epistemologis dan ontologis universal — suatu paradigma yang dapat menjembatani pemikiran filsafat Timur dan Barat, akal dan wahyu, manusia dan Tuhan.²²


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 132–134.

[2]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 101–104.

[3]                Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Muhammad Rida al-Mudhaffar (Teheran: Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami, 1981), 1:45–48.

[4]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 53–56.

[5]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 93–95.

[6]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 312–314.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 159–162.

[8]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 82–85.

[9]                Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. A. ‘Afifi (Cairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1946), 112–115.

[10]             Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 74–77.

[11]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 103–106.

[12]             Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1969), 120–122.

[13]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 75–77.

[14]             Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, and Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 131–134.

[15]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 96–99.

[16]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 133–135.

[17]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 136–138.

[18]             Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, 3:50–53.

[19]             Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 80–82.

[20]             Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 105–108.

[21]             Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence: According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington: World Wisdom, 2006), 102–105.

[22]             Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 135–138.


10.       Kesimpulan

Kajian ontologi dalam filsafat Islam memperlihatkan kedalaman konseptual dan spiritual yang luar biasa dalam memahami hakikat wujud (al-wujūd). Tidak seperti ontologi Barat yang cenderung memisahkan metafisika dari teologi, filsafat Islam menempatkan pembahasan tentang wujud sebagai fondasi seluruh sistem pengetahuan, sekaligus sebagai jalan menuju pengenalan terhadap Tuhan (ma‘rifat Allāh).¹ Dengan demikian, ontologi Islam tidak sekadar menjawab pertanyaan “apa itu ada,” tetapi juga “mengapa dan bagaimana segala sesuatu ada” — yakni karena bersumber dari Wujud Mutlak, Allah Swt, yang menjadi asal, tujuan, dan makna segala realitas.²

10.1.    Kesatuan Ontologis antara Tuhan, Alam, dan Manusia

Filsafat Islam memandang realitas sebagai kesatuan ontologis yang bertingkat. Tuhan adalah Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada), sedangkan seluruh ciptaan merupakan Mumkin al-Wujūd (Yang Mungkin Ada), yang memperoleh eksistensinya dari sumber pertama.³ Melalui konsep-konsep seperti emanasi (fayḍ), tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi), dan wahdat al-wujūd (kesatuan wujud), para filsuf Islam seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Sadra menegaskan bahwa keberadaan seluruh makhluk tidak independen, melainkan pancaran dari realitas ilahi.⁴

Dengan demikian, hubungan antara Tuhan, alam, dan manusia bersifat hierarkis sekaligus partisipatif: Tuhan sebagai sumber wujud, alam sebagai manifestasi wujud, dan manusia sebagai mikrokosmos yang mencerminkan struktur ontologis makrokosmos.⁵ Dalam hal ini, manusia memiliki posisi unik karena mampu mengenal realitas ilahi melalui penyempurnaan eksistensial dan intelektualnya.⁶

10.2.    Integrasi antara Rasionalitas dan Spiritualitas

Salah satu keunggulan utama ontologi Islam adalah integrasinya antara akal (‘aql) dan intuisi (kashf). Pengetahuan tentang wujud tidak hanya dicapai melalui deduksi rasional seperti dalam filsafat peripatetik, tetapi juga melalui iluminasi batin sebagaimana ditegaskan oleh Suhrawardi dan Mulla Sadra.⁷ Rasionalitas memberikan struktur argumentatif terhadap realitas, sementara intuisi menghadirkan pengalaman langsung terhadap hakikatnya.

Dalam pandangan Mulla Sadra, pengetahuan sejati adalah bentuk eksistensi itu sendiri (al-‘ilm ṣūrat al-wujūd).⁸ Dengan demikian, epistemologi Islam berpuncak pada kesadaran ontologis — di mana mengetahui berarti menjadi (to know is to be).⁹ Integrasi ini menunjukkan bahwa filsafat Islam tidak memisahkan intelektualitas dari spiritualitas, tetapi justru mempersatukannya dalam satu proses pencarian kebenaran yang rasional dan transendental sekaligus.¹⁰

10.3.    Dinamika dan Kesempurnaan Wujud

Berbeda dari pandangan statis dalam metafisika klasik, Mulla Sadra menegaskan bahwa wujud bersifat dinamis melalui konsep al-ḥarakah al-jawhariyyah (gerak substansial).¹¹ Seluruh realitas sedang berada dalam proses menuju kesempurnaan eksistensial — dari tingkat materi menuju spiritual, dari potensi menuju aktualitas, dan akhirnya kembali kepada Tuhan sebagai sumber wujud.¹² Dengan demikian, kosmos dipahami bukan sebagai sistem mekanistik, tetapi sebagai proses eksistensial menuju kesempurnaan ilahi.

Pandangan ini memberikan dasar teologis yang kuat bagi pemahaman tentang penciptaan, kehidupan, dan kebangkitan. Wujud manusia dan alam tidak berhenti pada eksistensi empiris, tetapi memiliki orientasi eskatologis: segala sesuatu bergerak menuju al-ḥaqq, yaitu realitas mutlak yang menjadi tujuan akhir segala gerak dan eksistensi.¹³

10.4.    Relevansi Ontologi Islam di Era Modern

Dalam konteks modern, ketika sains dan teknologi mendominasi pandangan manusia terhadap realitas, ontologi Islam menghadirkan koreksi metafisis terhadap reduksionisme materialistik. Filsafat wujud Islam mengingatkan bahwa realitas tidak dapat dipahami hanya dalam dimensi empiris, melainkan juga dalam dimensi spiritual dan transenden.¹⁴ Prinsip asālat al-wujūd (keprimordialan wujud) menegaskan bahwa keberadaan adalah dasar bagi segala pengetahuan, dan tanpa memahami hakikat wujud, ilmu pengetahuan kehilangan arah ontologisnya.¹⁵

Lebih jauh, konsep kesatuan eksistensi dapat menjadi landasan bagi etika ekologis dan spiritualitas kosmologis di tengah krisis lingkungan modern.¹⁶ Alam semesta, dalam pandangan Islam, bukanlah objek eksploitasi melainkan tanda (āyah) dari Tuhan yang mengandung makna dan nilai sakral. Dengan demikian, ontologi Islam memiliki potensi besar untuk menjadi paradigma alternatif bagi sains, filsafat, dan etika global kontemporer.¹⁷


Signifikansi Filosofis dan Universalitas Ontologi Islam

Secara keseluruhan, ontologi Islam menunjukkan bahwa metafisika bukanlah warisan kuno yang usang, tetapi kerangka rasional-spiritual yang abadi. Ia menjawab kebutuhan mendasar manusia akan makna, keteraturan, dan keterhubungan dengan sumber wujudnya.¹⁸ Melalui sintesis antara akal, intuisi, dan wahyu, filsafat Islam berhasil membangun sistem ontologis yang komprehensif, di mana Tuhan, alam, dan manusia dipahami sebagai bagian dari satu jaringan realitas yang menyatu dalam keberadaan.¹⁹

Oleh karena itu, ontologi Islam tidak hanya relevan bagi tradisi intelektual Muslim, tetapi juga menawarkan kontribusi universal bagi filsafat dunia. Prinsip-prinsip seperti tasykīk al-wujūd, wahdat al-wujūd, dan asālat al-wujūd dapat memperkaya dialog metafisika global yang tengah mencari keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas.²⁰ Dengan demikian, studi tentang ontologi Islam merupakan langkah penting dalam menghidupkan kembali tradisi filsafat yang menyatukan pengetahuan dan keberadaan, akal dan iman, manusia dan Tuhan dalam kesatuan wujud yang hakiki.²¹


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 141–144.

[2]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 324–326.

[3]                Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt (Qum: Maktabat al-Mar‘ashī, 1985), 14–16.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 142–145.

[5]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 40–43.

[6]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 89–91.

[7]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 62–64.

[8]                Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Muhammad Rida al-Mudhaffar (Teheran: Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami, 1981), 3:51–53.

[9]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 79–81.

[10]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 102–104.

[11]             Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 86–89.

[12]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 163–165.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 140–142.

[14]             Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 111–113.

[15]             Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1969), 124–126.

[16]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 93–96.

[17]             Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence: According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington: World Wisdom, 2006), 108–110.

[18]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 147–149.

[19]             Henry Corbin, Temple and Contemplation (London: Kegan Paul International, 1986), 211–213.

[20]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 2008), 77–80.

[21]             Nasr, The Need for a Sacred Science, 120–122.


Daftar Pustaka

Adamson, P. (2007). Al-Kindi. Oxford University Press.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. Victor Gollancz.

Bakar, O. (1998). Classification of knowledge in Islam. International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Bakar, O. (2008). Tawhid and science: Essays on the history and philosophy of Islamic science. Nurin Enterprise.

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford University Press.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. State University of New York Press.

Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s cosmology. State University of New York Press.

Comte, A. (1975). The essential Comte: Selected from Cours de philosophie positive (M. Pickering, Ed. & Trans.). Croom Helm.

Corbin, H. (1969). Creative imagination in the Sufism of Ibn Arabi. Princeton University Press.

Corbin, H. (1986). Temple and contemplation. Kegan Paul International.

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy. Kegan Paul International.

Descartes, R. (1993). Meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Farabi, Al-. (1968). Al-Madina al-fadila. Dar al-Mashriq.

Gilson, É. (1952). Being and some philosophers. Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Goodman, L. E. (1992). Avicenna. Routledge.

Ha’iri Yazdi, M. (1992). The principles of epistemology in Islamic philosophy: Knowledge by presence. State University of New York Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Ibn ‘Arabi, M. (1946). Fuṣūṣ al-ḥikam (A. ‘Afifi, Ed.). Dar al-Kitab al-‘Arabi.

Ibn ‘Arabi, M. (1999). Al-Futūḥāt al-Makkiyyah (O. Yahya, Ed.). Dar Sadir.

Ibn Sina, A. (1985). Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt. Maktabat al-Mar‘ashī.

Ibn Taymiyyah. (1995). Majmū‘ al-fatāwā (Vols. 1–37). Dar al-Watan.

Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic philosophy: Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition. Oxford University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Leaman, O. (2001). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Majid Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy. Columbia University Press.

Morewedge, P. (1972). Metaphysics and philosophy of being in Avicenna. Columbia University Press.

Morewedge, P. (1996). Metaphysics. In S. H. Nasr & O. Leaman (Eds.), History of Islamic philosophy (pp. 84–91). Routledge.

Mulla Sadra, S. (1981). Al-Asfār al-Arba‘ah (M. R. al-Mudhaffar, Ed.). Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardi, and Ibn Arabi. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1993). An introduction to Islamic cosmological doctrines. State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred science. State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of nature. Oxford University Press.

Nasr, S. H. (2006). Islamic philosophy from its origin to the present: Philosophy in the land of prophecy. State University of New York Press.

Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. HarperOne.

Plotinus. (1966). The Enneads (A. H. Armstrong, Trans.). Harvard University Press.

Rizvi, S. H. (2009). Mulla Sadra and metaphysics: Modulation of being. Routledge.

Ross, W. D. (1953). Aristotle’s metaphysics: A commentary. Clarendon Press.

Sartre, J.-P. (1958). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Routledge.

Shah-Kazemi, R. (2006). Paths to transcendence: According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart. World Wisdom.

Suhrawardi, S. (1976). Hikmat al-Isyrāq (H. Corbin, Ed.). Institut Franco-Iranien.

Whitehead, A. N. (1929). Process and reality. Macmillan.

Ziai, H. (1990). Knowledge and illumination: A study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq. Scholars Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar