Ontologi dalam Filsafat Islam
Pendekatan filosofis-hermeneutik terhadap teks-teks
klasik
Alihkan ke: Filsafat Islam.
Abstrak
Kajian ini membahas secara komprehensif dimensi
ontologis dalam filsafat Islam dengan menelusuri hakikat wujud (al-wujūd)
sebagai inti metafisika Islam. Ontologi dalam tradisi Islam tidak hanya
menelaah keberadaan secara rasional, tetapi juga menempatkannya dalam konteks
teologis dan spiritual. Dengan menggunakan pendekatan filosofis-hermeneutik
terhadap karya-karya klasik seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Suhrawardi, hingga Mulla Sadra, penelitian ini
menyoroti dinamika historis dan prinsip-prinsip utama ontologi Islam, meliputi asālat al-wujūd (keprimordialan wujud), tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi), dan wahdat al-wujūd (kesatuan wujud).
Kajian ini menemukan bahwa filsafat Islam memandang
realitas sebagai satu kesatuan eksistensial yang bertingkat, di mana Tuhan
sebagai Wājib al-Wujūd merupakan sumber dan tujuan seluruh keberadaan.
Melalui konsep gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah), Mulla Sadra menyempurnakan sintesis antara rasionalitas Avicennian, iluminasi Suhrawardian, dan spiritualitas Ibn ‘Arabi, menghasilkan sistem metafisika yang
integratif antara akal dan intuisi, ontologi dan teologi. Dalam konteks
kontemporer, ontologi Islam menawarkan alternatif terhadap krisis metafisika
modern yang cenderung reduksionistik dan sekular, serta menyediakan landasan
bagi spiritualitas ilmiah, etika ekologis, dan kesadaran kosmologis yang
holistik.
Dengan demikian, artikel ini menegaskan bahwa
ontologi Islam bukan hanya warisan intelektual historis, melainkan paradigma
filosofis yang hidup dan relevan dalam menjawab problem eksistensial manusia
modern. Melalui kesatuan antara pengetahuan dan keberadaan, filsafat Islam
menampilkan wajah metafisika yang rasional, etis, dan transendental, yang dapat
berkontribusi terhadap rekonstruksi wacana metafisika global.
Kata Kunci: Ontologi Islam, Wujud, Mulla Sadra, Ibn Sina,
Suhrawardi, Wahdat al-Wujūd, Asālat al-Wujūd, Metafisika Islam, Filsafat Ilahi,
Epistemologi Eksistensial.
PEMBAHASAN
Hakikat Wujud dan Realitas dalam Filsafat Islam
1.          
Pendahuluan
Kajian mengenai ontologi atau ilmu tentang
wujud (‘ilm al-wujūd) menempati posisi sentral dalam keseluruhan sistem
filsafat Islam. Dalam tradisi keilmuan Islam, persoalan tentang apa yang ada
dan bagaimana sesuatu itu ada bukan hanya persoalan abstrak metafisika,
tetapi juga merupakan dasar bagi teologi, kosmologi, dan epistemologi.
Persoalan ontologis menjadi titik berangkat bagi para filsuf Muslim dalam
memahami hakikat Tuhan, alam semesta, dan manusia secara komprehensif dan
rasional. Oleh karena itu, pembahasan mengenai wujud (al-wujūd) tidak
dapat dipisahkan dari hakikat ketuhanan (al-ilāhiyyāt) serta struktur
keberadaan yang bertingkat, mulai dari Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada) hingga
Mumkin al-Wujūd (yang Mungkin Ada).¹
Dalam sejarah pemikiran Islam, para filsuf seperti Al-Kindi,
Al-Farabi, Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Sadra
memainkan peran fundamental dalam mengembangkan tradisi ontologis yang khas. Al-Kindi
merupakan pionir yang memperkenalkan gagasan tentang “Yang Satu” sebagai
sumber seluruh realitas, sedangkan Al-Farabi menegaskan tatanan
hierarkis wujud melalui teori emanasi yang terinspirasi dari Neoplatonisme.² Ibn Sina kemudian mengokohkan dasar ontologi Islam dengan membedakan secara
tegas antara wujud (eksistensi) dan mahiyyah (hakikat/ esensi),
yang menjadi kunci bagi seluruh pemikiran metafisika Islam selanjutnya.³
Sementara itu, Suhrawardi, melalui Filsafat Isyraqiyyah (Filsafat Iluminasi), menafsirkan wujud sebagai intensitas
cahaya (nūr), di mana seluruh realitas merupakan manifestasi gradasional
dari Cahaya Tertinggi.⁴ Adapun Mulla Sadra dalam Hikmah al-Muta‘āliyah (Filsafat Hikmah Transendental) memperkenalkan dua prinsip
ontologis penting: ashālat al-wujūd (keprimordialan wujud) dan tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi), yang menyatukan pendekatan rasional dan
intuitif dalam memahami realitas.⁵
Kajian tentang ontologi dalam filsafat Islam
menjadi signifikan karena memberikan kerangka konseptual untuk menjelaskan
hubungan antara Tuhan dan ciptaan tanpa meniadakan aspek transendensi dan
immanensi-Nya. Dengan menempatkan wujud sebagai realitas yang paling dasar dan
hakiki, filsafat Islam menawarkan cara pandang yang berbeda dari ontologi Barat
yang cenderung dualistik dan empiristik.⁶
Artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara
sistematis konsep-konsep utama dalam ontologi Islam, menelusuri perkembangan
historisnya, serta menganalisis relevansinya terhadap persoalan filsafat kontemporer. Metode yang digunakan bersifat filosofis-hermeneutik, yakni
dengan menafsirkan teks-teks klasik para filsuf Islam dan
mengkontekstualisasikannya dengan persoalan ontologi modern.⁷ Dengan pendekatan
ini, diharapkan kajian ini dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman yang
lebih mendalam mengenai hakikat wujud sebagai inti dari metafisika Islam, serta
membuka ruang dialog antara filsafat Islam dan pemikiran filsafat global.
Footnotes
[1]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 57.
[2]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 38–45.
[3]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 1992), 68–72.
[4]               
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
15–21.
[5]               
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics:
Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 33–40.
[6]               
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993),
12–18.
[7]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy
(London: Kegan Paul International, 1993), 29–31.
2.          
Landasan
Konseptual Ontologi dalam Filsafat Islam
Ontologi dalam filsafat Islam berangkat dari
persoalan mendasar tentang “apa yang dimaksud dengan wujud” (al-wujūd)
dan “apa hubungan antara wujud dan hakikat” (mahiyyah). Istilah ontologi
sendiri berasal dari filsafat Yunani, dari kata ontos (ada) dan logos
(ilmu), yang dalam konteks Islam diterjemahkan sebagai ‘ilm al-wujūd,
yaitu ilmu yang mempelajari realitas keberadaan sebagai keberadaan itu sendiri
(being qua being).¹ Namun, dalam tradisi Islam, pembahasan tentang wujud
tidak berhenti pada level rasional, melainkan juga menyentuh dimensi teologis
dan spiritual. Hal ini menjadikan ontologi Islam memiliki karakter khas yang
memadukan rasionalitas filsafat Yunani dengan spiritualitas wahyu dan intuisi.²
Secara konseptual, istilah al-wujūd merujuk
pada kenyataan aktual keberadaan, yakni segala sesuatu yang “ada”
di luar atau di dalam kesadaran manusia. Para filsuf Islam menegaskan bahwa
wujud memiliki dua pengertian utama: (1) wujud eksternal (wujūd
khārijī), yaitu keberadaan yang nyata secara objektif di luar pikiran, dan
(2) wujud mental (wujūd dhihnī), yaitu keberadaan sesuatu sebagai
konsep dalam akal manusia.³ Pembedaan ini penting karena menegaskan bahwa
eksistensi tidak hanya terbatas pada dunia fisik, melainkan juga mencakup
realitas intelektual dan spiritual.
Selain itu, istilah mahiyyah (hakikat atau
esensi) digunakan untuk menunjuk apa sesuatu itu (whatness),
sementara wujūd menjelaskan bahwa sesuatu itu ada (thatness).
Ibn Sina (Avicenna) adalah filsuf yang pertama kali memberikan distingsi tegas
antara kedua konsep ini. Ia berpendapat bahwa “hakikat sesuatu tidak mesti
mengandung eksistensinya,” artinya, hakikat manusia dapat dipahami tanpa
harus mengandaikan bahwa manusia tersebut benar-benar ada.⁴ Dengan demikian, mahiyyah
bersifat potensial sedangkan wujūd bersifat aktual. Perbedaan ini
kemudian menjadi pondasi bagi seluruh sistem metafisika Islam setelahnya.
Dalam kerangka teologis, ontologi Islam menempatkan
Tuhan (Allah) sebagai Wājib al-Wujūd — “Yang Niscaya Ada”
— yaitu wujud yang keberadaannya mutlak dan tidak bergantung pada apa pun.
Semua selain Tuhan disebut Mumkin al-Wujūd — “yang Mungkin Ada” —
yang keberadaannya bergantung kepada sebab di luar dirinya.⁵ Hubungan antara
keduanya tidak bersifat temporal, melainkan kausal dan eksistensial: Tuhan
adalah sumber segala realitas, bukan melalui penciptaan temporal seperti dalam
teologi kalam, melainkan melalui emanasi atau faydh, yaitu
pancaran wujud dari Yang Niscaya ke tingkatan-tingkatan yang lebih rendah.⁶
Para filsuf seperti Al-Farabi dan Ibn Sina menafsirkan prinsip emanasi ini sebagai proses hierarkis, di mana dari
Wājib al-Wujūd memancar akal pertama, kemudian akal-akal berikutnya hingga
terbentuk alam semesta. Proses ini menjelaskan struktur ontologis realitas,
yang terdiri atas tiga ranah besar: dunia intelek (‘ālam al-‘aql), dunia
jiwa (‘ālam al-nafs), dan dunia materi (‘ālam al-māddah).⁷ Dalam
pandangan ini, keberadaan bersifat bertingkat sesuai dengan kedekatan atau
keterjauhan dari sumber wujud absolut.
Lebih jauh, tradisi filsafat Islam menekankan kesatuan
antara ontologi dan teologi. Pembahasan tentang wujud tidak pernah netral
secara religius, karena eksistensi tertinggi selalu dikaitkan dengan Tuhan
sebagai sumber dan tujuan akhir segala realitas. Dalam hal ini, filsafat Islam
berbeda dari ontologi Barat modern yang memisahkan metafisika dari dimensi
teologis.⁸ Bagi para filsuf Muslim, memahami wujud berarti memahami relasi
makhluk dengan Pencipta, dan dengan demikian, filsafat ontologis berfungsi
sebagai jembatan antara akal dan iman.
Dengan demikian, landasan konseptual ontologi Islam
mencakup tiga aspek utama:
1)                 
Distingsi ontologis antara wujud dan mahiyyah, yang menjelaskan struktur dasar realitas.
2)                 
Hierarki eksistensi, yang
menempatkan Tuhan sebagai puncak wujud mutlak.
3)                 
Keterpaduan antara ontologi dan teologi, yang memastikan bahwa seluruh pembahasan
metafisika berakar pada prinsip ketuhanan.
Melalui landasan ini, ontologi dalam filsafat Islam
bukan sekadar teori abstrak tentang keberadaan, melainkan kerangka rasional dan
spiritual untuk memahami realitas secara utuh — dari Tuhan hingga materi, dari
akal hingga indera, dari eksistensi mutlak hingga wujud partikular.⁹
Footnotes
[1]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 60–62.
[2]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 45.
[3]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 72–75.
[4]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 1992), 69–71.
[5]               
Parviz Morewedge, “Metaphysics,” dalam History
of Islamic Philosophy, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (London:
Routledge, 1996), 84–86.
[6]               
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1968), 33–37.
[7]               
Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt (Qum:
Maktabat al-Mar‘ashī, 1985), 12–18.
[8]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy
(London: Kegan Paul International, 1993), 52–56.
[9]               
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics:
Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 24–28.
3.          
Perkembangan
Historis Ontologi dalam Tradisi Filsafat Islam
Perkembangan ontologi dalam filsafat Islam tidak
muncul secara tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang yang dipengaruhi oleh
interaksi antara warisan filsafat Yunani klasik, ajaran wahyu Islam,
serta pemikiran mistik dan teologis. Sejak abad ke-9 M, para pemikir
Muslim berupaya mengintegrasikan konsep-konsep metafisika Aristotelian dan
Neoplatonik dengan prinsip tauhid dalam Islam, sehingga melahirkan sebuah
sistem filsafat yang orisinal dan bernuansa teosofis.¹
3.1.      
Al-Kindi: Peletak Dasar Ontologi
Islam
Al-Kindi (801–873 M), yang dikenal sebagai faylasūf
al-‘Arab, merupakan tokoh pertama yang memperkenalkan gagasan filsafat
Yunani ke dalam konteks Islam. Dalam karyanya Fī al-Falsafah al-Ūlā
(Tentang Filsafat Pertama), ia menegaskan bahwa wujud tertinggi adalah Tuhan,
yang Esa dan menjadi sebab bagi seluruh realitas.² Ia menolak pandangan emanasi
murni Neoplatonis dan menekankan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu “dari
tiada” (ex nihilo) berdasarkan kehendak-Nya yang mutlak.³ Dengan
demikian, Al-Kindi memadukan prinsip keesaan Tuhan dalam teologi Islam dengan
kerangka ontologis rasional, dan menegaskan bahwa wujud Tuhan bersifat mutlak
dan tak tersusun (ghayr murakkab).⁴
3.2.      
Al-Farabi: Ontologi Hierarkis dan
Teori Emanasi
Al-Farabi (872–950 M) mengembangkan lebih jauh
gagasan ontologi Al-Kindi dengan mengadopsi model emanasi (faydh) dari
Neoplatonisme. Dalam Al-Madina al-Fadila, ia menguraikan struktur kosmos
sebagai hierarki wujud yang memancar dari Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada) menuju tingkatan realitas yang lebih rendah: akal-akal, jiwa, dan materi.⁵
Setiap tingkat emanasi merupakan refleksi dari kesempurnaan Ilahi, tetapi
semakin jauh dari sumbernya, wujud tersebut semakin lemah dan terbatas. Dengan
sistem ini, Al-Farabi menegaskan adanya gradasi ontologis yang teratur
dan rasional. Ia juga memperkenalkan konsep al-‘aql al-fa‘āl (akal
aktif) sebagai penghubung antara dunia intelek dan dunia materi, yang berperan
penting dalam epistemologi dan metafisika Islam.⁶
3.3.      
Ibn Sina (Avicenna): Distingsi Wujud
dan Mahiyyah
Ibn Sina (980–1037 M) membawa tradisi ontologi
Islam pada puncak sistematisasinya. Ia memperkenalkan distingsi fundamental
antara wujūd (eksistensi) dan mahiyyah (esensi), yang menjadi
ciri khas metafisika Islam.⁷ Menurutnya, setiap entitas mungkin (mumkin al-wujūd) memiliki esensi yang tidak mengandaikan keberadaannya;
eksistensinya diberikan oleh sebab eksternal, sedangkan hanya Tuhan yang
keberadaannya niscaya dan tidak memerlukan sebab lain.⁸ Dengan demikian, Ibn Sina membedakan tiga kategori wujud: Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada), Mumkin al-Wujūd (Yang Mungkin Ada), dan Mumtani‘ al-Wujūd (Yang Mustahil Ada).⁹ Konsep-konsep ini menjadi fondasi ontologi rasional Islam yang
berpengaruh besar terhadap pemikiran skolastik Barat, termasuk Thomas Aquinas.¹⁰
3.4.      
Suhrawardi: Ontologi Cahaya dan Filsafat
Isyraq
Suhrawardi (1154–1191 M) memperkenalkan Filsafat Isyraqiyyah (Filsafat Iluminasi), yang menafsirkan wujud sebagai cahaya
(nūr). Dalam karyanya Hikmat al-Isyrāq, ia menyatakan bahwa seluruh
realitas merupakan manifestasi dari Cahaya Mutlak (Nūr al-Anwār), dan
bahwa intensitas wujud dapat diibaratkan sebagai tingkat kecerahan cahaya.¹¹
Dengan demikian, ontologi Suhrawardi bersifat gradual dan analogis, di
mana eksistensi tidak hanya berupa kategori logis, tetapi juga pengalaman
intuitif yang dapat disaksikan oleh akal dan jiwa yang disucikan.¹² Ontologi
cahaya ini menjadi sintesis antara rasionalisme Avicennian dan mistisisme
sufistik.¹³
3.5.      
Mulla Sadra: Filsafat Hikmah al-Muta‘āliyah
Mulla Sadra (1571–1640 M) adalah puncak
perkembangan ontologi Islam klasik. Ia mengkritik pandangan para pendahulunya
dan memperkenalkan dua prinsip besar: ashālat al-wujūd (keprimordialan wujud) dan tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi).¹⁴ Menurutnya, wujud
adalah realitas objektif dan hakiki, sementara mahiyyah hanyalah abstraksi
mental.¹⁵ Ia juga menegaskan bahwa wujud bersifat satu, namun bergradasi —
seperti cahaya yang memiliki intensitas berbeda tetapi tetap satu substansi.¹⁶
Mulla Sadra berhasil menyatukan logika peripatetik Ibn Sina, intuisi iluminatif
Suhrawardi, dan spiritualitas sufistik Ibn ‘Arabi dalam satu sistem ontologis
yang komprehensif.¹⁷
Sintesis
Ontologis Islam
Dari Al-Kindi hingga Mulla Sadra, perkembangan
ontologi Islam menunjukkan transformasi dari model teologis-rasional
menuju teosofis-integratif. Evolusi ini memperlihatkan dinamika antara
akal dan intuisi, serta antara filsafat dan wahyu. Ontologi Islam tidak
berhenti pada penjelasan intelektual tentang wujud, tetapi juga mengandung
dimensi eksistensial yang menuntun manusia menuju realisasi spiritual tertinggi
— kesatuan dengan sumber wujud, yaitu Tuhan.¹⁸ Dengan demikian, tradisi
ontologis Islam telah melahirkan paradigma metafisika yang unik: menyatukan
logos Yunani dengan nūr wahyu, akal dengan intuisi, dan eksistensi
dengan transendensi.¹⁹
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 41–43.
[2]               
Al-Kindi, Fī al-Falsafah al-Ūlā, ed. R.
Rashed (Beirut: Dar al-Fikr al-Lubnani, 1997), 22–25.
[3]               
Peter Adamson, Al-Kindi (Oxford: Oxford
University Press, 2007), 68–70.
[4]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 35–37.
[5]               
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1968), 33–39.
[6]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 66–69.
[7]               
Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt (Qum:
Maktabat al-Mar‘ashī, 1985), 12–18.
[8]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 1992), 70–74.
[9]               
Parviz Morewedge, Metaphysics and Philosophy of
Being in Avicenna (New York: Columbia University Press, 1972), 45–50.
[10]            
Etienne Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 92.
[11]            
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
20–23.
[12]            
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism
(Princeton: Princeton University Press, 1994), 89–91.
[13]            
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State
University of New York Press, 1992), 53–55.
[14]            
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics:
Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 30–36.
[15]            
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages:
Avicenna, Suhrawardi, and Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1964), 112–115.
[16]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy:
Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 47–49.
[17]            
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy
(London: Kegan Paul International, 1993), 295–300.
[18]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization, 1998), 55–57.
[19]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 83–85.
4.          
Prinsip-Prinsip
Pokok Ontologi Islam
Ontologi dalam filsafat Islam tidak hanya berbicara
tentang “keberadaan” secara abstrak, tetapi juga tentang struktur realitas yang menyingkap hubungan antara Tuhan, alam, dan manusia.
Dari berbagai mazhab dan aliran yang berkembang, muncul sejumlah prinsip
ontologis yang menjadi dasar bagi keseluruhan bangunan metafisika Islam.
Prinsip-prinsip ini tidak berdiri terpisah, tetapi saling melengkapi dalam
menjelaskan hakikat wujud sebagai realitas yang bersumber dari Tuhan dan
memancar ke seluruh tatanan kosmos. Empat prinsip utama yang menjadi fondasi
ontologi Islam adalah: (1) Asālat al-Wujūd (Keprimordialan Wujud), (2)
Tasykīk al-Wujūd (Gradasi Eksistensi), (3) Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud), dan (4) Relasi Wājib al-Wujūd dan Mumkin al-Wujūd.¹
4.1.      
Asālat al-Wujūd (Keprimordialan Wujud)
Prinsip ini, yang diperkenalkan secara sistematis
oleh Mulla Sadra, menyatakan bahwa wujud adalah realitas yang paling
dasar dan hakiki, sedangkan mahiyyah (esensi) hanyalah abstraksi
mental yang dibuat oleh akal manusia.² Sebelumnya, para filsuf seperti Ibn Sina
menganggap bahwa mahiyyah dapat memiliki eksistensi independen, tetapi
Mulla Sadra membalik posisi ini dengan menegaskan bahwa segala sesuatu
memperoleh maknanya karena “ada”, bukan sebaliknya.³ Dengan demikian,
wujud adalah fondasi segala sesuatu, dan esensi hanya menjadi cara akal
memahami keberadaan.
Prinsip asālat al-wujūd memiliki implikasi
teologis yang dalam: hanya Tuhan yang memiliki wujud niscaya dan mutlak,
sedangkan makhluk memperoleh wujudnya secara partisipatif dan kontingen.⁴ Hal
ini menegaskan kebergantungan total segala sesuatu kepada Tuhan sebagai sumber
realitas. Secara epistemologis, manusia hanya dapat mengenal sesuatu sejauh ia
mengenal wujudnya — artinya, pengetahuan sejati selalu berakar pada kesadaran
akan eksistensi.⁵
4.2.      
Tasykīk al-Wujūd (Gradasi Eksistensi)
Prinsip kedua ini menjelaskan bahwa wujud
bersifat satu tetapi memiliki tingkatan intensitas yang berbeda. Dalam
istilah Mulla Sadra, eksistensi itu mutashakkik — yaitu bergradasi dari
yang paling tinggi (Tuhan) hingga yang paling rendah (materi).⁶ Gradasi ini
bukan perbedaan jenis, melainkan perbedaan derajat kesempurnaan wujud.
Seperti cahaya yang memiliki intensitas beragam namun tetap satu hakikat,
demikian pula eksistensi seluruh makhluk merupakan pantulan bertingkat dari
Wujud Mutlak.⁷
Dengan konsep ini, filsafat Islam menghindari
dualisme tajam antara Tuhan dan dunia. Segala sesuatu adalah manifestasi dari
satu realitas yang sama, namun berbeda dalam kadar keberadaannya. Gradasi ini
membentuk tatanan kosmos yang hierarkis, mulai dari realitas murni (akal), jiwa
(nafs), hingga materi (māddah).⁸ Secara spiritual, konsep tasykīk al-wujūd
juga membuka jalan bagi pemahaman tentang perjalanan eksistensial manusia
menuju kesempurnaan, yakni naik dari wujud rendah menuju wujud yang lebih
tinggi hingga mencapai kesatuan dengan sumbernya.⁹
4.3.      
Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud)
Prinsip wahdat al-wujūd paling sering
dikaitkan dengan Ibn ‘Arabi, yang menyatakan bahwa “tidak ada yang
wujud kecuali Allah”.¹⁰ Dalam pandangan ini, wujud-wujud partikular di alam
hanyalah bentuk manifestasi (tajallī) dari Wujud Mutlak, bukan entitas yang
berdiri sendiri. Kesatuan wujud tidak berarti meniadakan keberagaman makhluk,
melainkan memahami bahwa seluruh keberagaman itu hanyalah penampakan dari
realitas tunggal yang sama.¹¹
Secara ontologis, wahdat al-wujūd melengkapi
tasykīk al-wujūd: jika tasykīk menekankan perbedaan derajat
wujud, maka wahdat menegaskan kesatuan substansialnya.¹² Prinsip ini
memiliki dimensi mistik yang kuat, karena memandang eksistensi bukan sekadar
fakta rasional tetapi juga pengalaman spiritual. Dalam konteks ini, filsafat Islam memadukan metafisika dengan sufisme — menempatkan wujud sebagai jalan
menuju penyingkapan Tuhan melalui kesadaran akan keesaan eksistensi.¹³
4.4.      
Hubungan Wājib al-Wujūd dan Mumkin
al-Wujūd
Prinsip ini berasal dari sistem ontologis Ibn Sina dan menjadi dasar bagi teologi rasional Islam. Menurut Ibn Sina,
setiap entitas di alam adalah mumkin al-wujūd — keberadaannya mungkin
ada, tetapi tidak niscaya. Untuk menjelaskan mengapa sesuatu yang mungkin itu
ada, harus ada satu sebab yang niscaya ada, yaitu Wājib al-Wujūd.¹⁴
Tuhan adalah realitas yang tidak mungkin tidak ada; keberadaan-Nya merupakan
keharusan logis dan ontologis. Dari-Nya, segala wujud kontingen memperoleh
eksistensi melalui hubungan kausal non-temporal.¹⁵
Hubungan ini menegaskan bahwa seluruh eksistensi
bergantung pada Tuhan secara ontologis, bukan sekadar temporal. Setiap
wujud kontingen adalah pantulan keberadaan Tuhan, sebagaimana sinar adalah pantulan
dari matahari.¹⁶ Pandangan ini menggabungkan teologi dan metafisika, sehingga
memberikan dasar bagi pemahaman tentang penciptaan, keteraturan kosmos, dan
kebergantungan total makhluk kepada Sang Pencipta.
Keempat prinsip ini — asālat al-wujūd, tasykīk al-wujūd, wahdat al-wujūd, dan relasi Wājib al-Wujūd – Mumkin al-Wujūd — merupakan pilar ontologis utama dalam filsafat Islam.
Bersama-sama, prinsip-prinsip ini membentuk sistem metafisika yang memandang
realitas sebagai kesatuan bertingkat yang bersumber dari Tuhan, dipahami oleh
akal, dan disingkap melalui intuisi.¹⁷ Ontologi Islam dengan demikian bukan
sekadar teori keberadaan, melainkan juga kerangka spiritual untuk memahami
hubungan eksistensial antara manusia, alam, dan Tuhan.¹⁸
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 83–86.
[2]               
Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed.
Muhammad Rida al-Mudhaffar (Teheran: Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami, 1981),
1:45–47.
[3]               
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics:
Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 31–33.
[4]               
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 40–42.
[5]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 74–77.
[6]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy
(London: Kegan Paul International, 1993), 293–295.
[7]               
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State
University of New York Press, 1992), 54–57.
[8]               
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi,
and Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 110–112.
[9]               
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993),
122–124.
[10]            
Ibn ‘Arabi, Al-Futūhāt al-Makkiyyah, ed.
Osman Yahya (Beirut: Dar Sadir, 1999), 2:65–68.
[11]            
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New
York Press, 1989), 79–81.
[12]            
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The
Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York:
HarperOne, 2007), 88–90.
[13]            
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism
of Ibn Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1969), 101–103.
[14]            
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 1992), 74–76.
[15]            
Parviz Morewedge, Metaphysics and Philosophy of
Being in Avicenna (New York: Columbia University Press, 1972), 61–63.
[16]            
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 87–90.
[17]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 90–92.
[18]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization, 1998), 59–61.
5.          
Ontologi
dan Kosmologi dalam Filsafat Islam
Dalam filsafat Islam, ontologi dan kosmologi
memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Ontologi
menjelaskan hakikat wujud itu sendiri, sementara kosmologi menggambarkan
struktur serta tatanan realitas yang muncul dari prinsip-prinsip
ontologis tersebut.¹ Dengan demikian, kosmologi Islam pada dasarnya merupakan penerapan
konkret dari teori wujud dalam menjelaskan alam semesta, proses penciptaan,
dan keteraturan kosmos yang berpangkal pada Tuhan sebagai sumber segala
eksistensi.
5.1.      
Penciptaan dan Prinsip Emanasi
(Fayḍ)
Salah satu ciri khas kosmologi Islam adalah
pandangannya tentang emanasi (fayḍ), yaitu proses pancaran wujud dari Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada) menuju tingkatan realitas yang lebih rendah.²
Berbeda dengan konsep penciptaan ex nihilo dalam teologi kalam, para
filsuf Islam seperti Al-Farabi dan Ibn Sina memahami emanasi
bukan sebagai penciptaan dalam waktu, melainkan sebagai relasi kausal ontologis
yang abadi antara Tuhan dan ciptaan-Nya.³
Menurut Al-Farabi, dari Wujud Niscaya
memancar Akal Pertama (al-‘aql al-awwal), yang darinya muncul Akal
Kedua, dan seterusnya hingga terbentuk sepuluh akal yang mengatur tatanan
langit.⁴ Proses ini tidak bersifat material, tetapi intelektual dan spiritual.
Setiap akal memiliki fungsi ganda: ia memandang Tuhan dan memancarkan akal
berikutnya, sekaligus mengatur realitas langit tertentu.⁵
Sementara Ibn Sina memperdalam teori ini
dengan menambahkan distingsi antara wujūd dan mahiyyah.
Menurutnya, seluruh entitas selain Tuhan memiliki mahiyyah yang
memperoleh wujūd-nya melalui emanasi dari sumber pertama.⁶ Dengan
demikian, seluruh realitas merupakan jaringan wujud yang saling terkait secara
hierarkis, di mana Tuhan menjadi puncak dan penyebab tertinggi, sedangkan dunia
materi menjadi manifestasi terendah dari realitas tersebut.
5.2.      
Struktur Hierarkis Realitas: Alam
Akal, Jiwa, dan Materi
Kosmologi Islam menggambarkan alam semesta sebagai struktur
bertingkat yang mencerminkan gradasi eksistensi (tasykīk al-wujūd).
Secara umum, para filsuf Islam membagi realitas menjadi tiga tataran besar:
1)                 
Alam Akal (‘Ālam al-‘Aql): ranah intelek murni, tempat para akal dan jiwa universal berada. Ia
bersifat immaterial, abadi, dan paling dekat dengan Wujud Mutlak.⁷
2)                 
Alam Jiwa (‘Ālam al-Nafs): ranah perantara antara intelek dan materi, di mana jiwa-jiwa langit dan
manusia mengatur gerak kosmos.⁸
3)                 
Alam Materi (‘Ālam al-Māddah): ranah paling rendah, bersifat temporal dan berubah-ubah, tempat
bentuk-bentuk (ṣuwar) diwujudkan ke dalam substansi fisik.⁹
Konsepsi ini memperlihatkan pandangan kosmos
sebagai sistem hierarkis dan harmonis, di mana setiap tingkat realitas
memiliki kedudukan dan fungsi ontologis tertentu. Tidak ada dikotomi tajam
antara dunia spiritual dan material, sebab keduanya merupakan dua tingkat dari
satu realitas yang sama: wujud.¹⁰
5.3.      
Peran Akal Aktif (al-‘Aql al-Fa‘āl)
Dalam sistem kosmologi Islam, terutama menurut Al-Farabi
dan Ibn Sina, akal aktif memegang peranan sentral. Ia merupakan
entitas intelektual terakhir dalam hierarki emanasi dan bertindak sebagai penghubung
antara dunia akal dan dunia materi.¹¹ Melalui akal aktif, bentuk-bentuk
intelektual ditransmisikan ke dalam jiwa manusia, sehingga pengetahuan dan
kesadaran dapat muncul.¹²
Selain fungsi epistemologis, akal aktif juga
memiliki makna ontologis. Ia merupakan “cahaya eksistensial” yang
memungkinkan materi menerima bentuk, menjadikan kosmos sebagai struktur yang
teratur dan rasional.¹³ Dengan demikian, manusia yang berusaha menyatukan
akalnya dengan akal aktif sebenarnya sedang menapaki jalan kembali menuju
sumber wujud — suatu perjalanan ontologis sekaligus spiritual.
5.4.      
Kosmologi Cahaya dalam Filsafat
Isyraq
Suhrawardi, dalam filsafat Isyraqiyyah (Iluminasi), menafsirkan struktur
kosmos dengan metafora cahaya (nūr). Dalam pandangannya, seluruh
realitas adalah gradasi cahaya yang memancar dari Nūr al-Anwār (Cahaya dari
Segala Cahaya).¹⁴ Tuhan adalah Cahaya Mutlak, dan semua wujud lainnya
merupakan intensitas cahaya yang lebih lemah. Dunia fisik adalah bayangan dari
cahaya-cahaya tinggi, dan hubungan antarrealitas diatur oleh hukum “dominasi
dan kasih sayang” (qahr wa maḥabbah), yaitu daya tarik eksistensial
antar tingkat wujud.¹⁵
Kosmologi cahaya ini menegaskan dimensi intuitif
dari ontologi Islam: pengetahuan sejati bukan hanya hasil penalaran rasional,
melainkan juga iluminasi batin.¹⁶ Dengan demikian, Suhrawardi menyatukan
epistemologi dan kosmologi dalam satu sistem yang menampilkan Tuhan sebagai
sumber sekaligus tujuan akhir seluruh pancaran wujud.
5.5.      
Pandangan Mulla Sadra: Gerak
Substansial dan Kesatuan Kosmos
Mulla Sadra menyempurnakan teori ontologis dan kosmologis sebelumnya dengan
memperkenalkan konsep gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah). Ia
menolak pandangan bahwa substansi bersifat statis, dan menegaskan bahwa seluruh
wujud sedang berada dalam proses aktualisasi menuju kesempurnaan.¹⁷ Alam
semesta tidak diam, tetapi bergerak secara ontologis menuju realitas tertinggi,
yakni Tuhan. Dengan demikian, kosmos dipahami sebagai proses dinamis
kesempurnaan eksistensial, bukan entitas statis yang sudah selesai.¹⁸
Gerak substansial juga memberikan dasar metafisik
bagi hubungan antara waktu dan eksistensi: waktu bukan hanya ukuran perubahan,
melainkan aspek dari keberadaan itu sendiri.¹⁹ Oleh karena itu, menurut Mulla Sadra, seluruh ciptaan secara ontologis sedang “kembali” kepada sumber
wujudnya (inna lillāhi wa inna ilayhi rāji‘ūn), menjadikan kosmologi
Islam sebagai sistem spiritual yang berpusat pada kesatuan wujud dan gerak
menuju Tuhan.²⁰
Dengan demikian, ontologi dan kosmologi Islam
membentuk satu kesatuan yang utuh. Ontologi menjelaskan prinsip dasar
keberadaan, sementara kosmologi menunjukkan bagaimana prinsip tersebut
termanifestasi dalam struktur dan dinamika alam semesta. Sistem ini
menggambarkan realitas sebagai jejaring eksistensi yang bersumber dari Tuhan,
bergerak dalam keteraturan rasional, dan bermuara kembali kepada-Nya.²¹
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993),
3–6.
[2]               
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1968), 40–43.
[3]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 78–81.
[4]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 58–61.
[5]               
Parviz Morewedge, Metaphysics and Philosophy of
Being in Avicenna (New York: Columbia University Press, 1972), 70–73.
[6]               
Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt (Qum:
Maktabat al-Mar‘ashī, 1985), 19–22.
[7]               
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 38–40.
[8]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy
(London: Kegan Paul International, 1993), 120–122.
[9]               
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 64–66.
[10]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization, 1998), 63–65.
[11]            
Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
72–75.
[12]            
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 1992), 84–86.
[13]            
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State
University of New York Press, 1992), 60–63.
[14]            
Suhrawardi, Hikmat al-Isyrāq, ed. Henry
Corbin (Teheran: Institut Franco-Iranien, 1976), 87–90.
[15]            
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
45–48.
[16]            
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi,
and Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 116–118.
[17]            
Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed.
Muhammad Rida al-Mudhaffar (Teheran: Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami, 1981),
2:10–14.
[18]            
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics:
Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 49–52.
[19]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 77–80.
[20]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of
New York Press, 2006), 95–98.
[21]            
Corbin, History of Islamic Philosophy,
304–307.
6.          
Dimensi
Teologis dan Epistemologis Ontologi Islam
Ontologi dalam filsafat Islam tidak hanya bersifat
metafisis, tetapi juga memiliki dimensi teologis dan epistemologis yang
mendalam. Kedua dimensi ini memperlihatkan bahwa pembahasan tentang wujud (al-wujūd)
tidak hanya berfungsi untuk memahami realitas secara abstrak, tetapi juga untuk
menegaskan hubungan antara Tuhan, manusia, dan pengetahuan. Dalam konteks ini,
filsafat Islam memandang keberadaan sebagai dasar realitas ilahi
sekaligus jalan menuju pengetahuan tentang Tuhan dan diri.¹
6.1.      
Dimensi Teologis: Tuhan sebagai
Wujud Mutlak dan Sumber Segala Realitas
Dalam sistem ontologis Islam, Tuhan (Allah)
merupakan Wājib al-Wujūd — “Yang Niscaya Ada” — yaitu wujud yang
keberadaannya bersifat absolut, tidak bergantung pada apa pun, dan menjadi
sebab dari segala yang ada.² Tuhan adalah realitas tertinggi yang mengatasi
segala bentuk kemungkinan, sekaligus sumber ontologis bagi seluruh eksistensi.
Para filsuf seperti Ibn Sina dan Al-Farabi menegaskan bahwa Tuhan
bukan sekadar ens supremum (makhluk tertinggi), tetapi Wujud itu
sendiri dalam keutuhannya (al-wujūd al-maḥḍ).³
Bagi Ibn Sina, keharusan keberadaan Tuhan bersifat niscaya
dari diri-Nya sendiri (wājib bi dhātihi), sementara semua makhluk adalah
niscaya karena yang lain (wājib bi ghayrihi).⁴ Relasi ini
bersifat kausal, bukan temporal: keberadaan dunia bergantung secara ontologis
pada Tuhan sebagai sumber yang terus-menerus memberikan eksistensi.⁵ Dengan
demikian, penciptaan dalam filsafat Islam tidak dipahami sebagai peristiwa
waktu tertentu, melainkan sebagai proses eksistensial abadi — suatu “emanasi
terus-menerus” dari Wujud Mutlak ke segala tingkatan realitas.⁶
Selain itu, dimensi teologis ontologi Islam
menegaskan kesempurnaan dan kesatuan Tuhan (tawḥīd). Dalam kerangka ini,
pluralitas wujud di alam semesta tidak menafikan keesaan Tuhan, karena segala
keberagaman hanyalah manifestasi bertingkat dari satu wujud yang sama.⁷
Dengan kata lain, ontologi Islam mendasarkan teologi pada prinsip kesatuan
eksistensi: segala sesuatu “ada” sejauh ia berpartisipasi dalam wujud
Tuhan.⁸
6.2.      
Implikasi Teologis terhadap Konsep
Manusia dan Jiwa
Sebagai bagian dari ciptaan, manusia
dipahami sebagai makhluk yang memiliki posisi ontologis istimewa — berada di
antara dunia materi dan dunia ruhani.⁹ Jiwa manusia (al-nafs al-insāniyyah)
merupakan entitas immaterial yang berasal dari emanasi akal aktif (al-‘aql
al-fa‘āl), dan karena itu ia memiliki potensi untuk memahami realitas
spiritual.¹⁰ Tujuan keberadaan manusia adalah penyempurnaan wujud, yaitu
gerak menuju kesatuan dengan sumbernya, yang dalam istilah Mulla Sadra disebut al-ḥarakah al-jawhariyyah (gerak substansial).¹¹
Proses ini memiliki dimensi teologis karena setiap
tahap penyempurnaan eksistensial manusia adalah bentuk taqarrub ilā Allāh
(pendekatan diri kepada Tuhan).¹² Dengan demikian, kehidupan manusia tidak
hanya dipahami secara biologis atau moral, tetapi sebagai perjalanan ontologis
untuk mewujudkan kembali kesatuan eksistensinya dengan realitas ilahi.
6.3.      
Dimensi Epistemologis: Pengetahuan
sebagai Partisipasi dalam Wujud
Dalam filsafat Islam, pengetahuan (‘ilm)
bukan sekadar representasi rasional tentang objek luar, tetapi partisipasi
intelektual dalam realitas wujud itu sendiri.¹³ Epistemologi Islam bersifat
ontologis karena berakar pada prinsip bahwa segala bentuk pengetahuan merupakan
tajallī (penyingkapan) dari realitas yang telah ada dalam tatanan
eksistensi.¹⁴
Menurut Ibn Sina, proses pengetahuan terjadi
ketika bentuk intelektual suatu objek (ṣūrah ma‘qūlah) teraktualisasi
dalam akal manusia.¹⁵ Namun, bagi Suhrawardi dan Mulla Sadra,
pengetahuan tidak hanya bersifat konseptual, melainkan juga hadiri (‘ilm
ḥuḍūrī), yaitu kehadiran langsung wujud sesuatu di dalam kesadaran
subjek.¹⁶ Dalam ‘ilm ḥuḍūrī, subjek dan objek tidak terpisah secara
ontologis; keduanya bersatu dalam pengalaman eksistensial yang menyingkap
hakikat realitas.¹⁷
Dengan demikian, epistemologi Islam menolak
pemisahan tajam antara mengetahui dan menjadi. Pengetahuan sejati bukanlah sekadar
hasil pemikiran, tetapi bentuk penyatuan eksistensial antara akal dan
realitas.¹⁸ Dalam perspektif ini, semakin tinggi tingkat wujud seseorang
(melalui penyucian jiwa dan kesempurnaan intelek), semakin luas pula cakupan
pengetahuannya tentang Tuhan dan alam.
6.4.      
Kesatuan Ontologis antara Mengetahui
dan Keberadaan
Prinsip kesatuan antara pengetahuan dan wujud
mencapai puncaknya dalam sistem Mulla Sadra, yang menyatakan bahwa “pengetahuan
adalah bentuk keberadaan itu sendiri” (al-‘ilm ṣūrat al-wujūd).¹⁹
Dengan pandangan ini, epistemologi tidak berdiri terpisah dari ontologi,
melainkan merupakan ekspresi dari realitas yang sama pada tingkat kesadaran.
Pengetahuan tidak lain adalah intensifikasi wujud: semakin tinggi pengetahuan,
semakin sempurna eksistensi.²⁰
Konsep ini juga memiliki dimensi teologis, sebab
mengenal Tuhan berarti berpartisipasi dalam wujud-Nya secara intelektual dan
spiritual.²¹ Dalam hal ini, filsafat Islam menawarkan integrasi yang indah
antara teologi, ontologi, dan epistemologi: Tuhan adalah Wujud Mutlak yang
menjadi sumber pengetahuan, sementara manusia mengenal-Nya dengan jalan
penyatuan eksistensial melalui akal dan hati.
6.5.      
Integrasi Ontologi, Teologi, dan
Epistemologi
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
dalam filsafat Islam, ontologi, teologi, dan epistemologi merupakan tiga
dimensi dari satu kesatuan metafisis yang sama. Ontologi menjelaskan
struktur wujud; teologi menegaskan sumber dan tujuan wujud; sedangkan
epistemologi menggambarkan cara manusia mengenal wujud itu sendiri.²² Dengan
demikian, filsafat Islam bukan hanya sistem rasional, tetapi juga jalan
spiritual menuju pengetahuan tertinggi — yaitu pengetahuan tentang Tuhan
melalui pemahaman dan realisasi wujud.²³
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 97–100.
[2]               
Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt (Qum:
Maktabat al-Mar‘ashī, 1985), 12–15.
[3]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 1992), 88–91.
[4]               
Parviz Morewedge, Metaphysics and Philosophy of
Being in Avicenna (New York: Columbia University Press, 1972), 53–56.
[5]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 92–94.
[6]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy
(London: Kegan Paul International, 1993), 135–138.
[7]               
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages:
Avicenna, Suhrawardi, and Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1964), 117–119.
[8]               
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New
York Press, 1989), 89–91.
[9]               
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 122–124.
[10]            
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1968), 44–47.
[11]            
Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed.
Muhammad Rida al-Mudhaffar (Teheran: Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami, 1981),
3:25–27.
[12]            
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The
Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York:
HarperOne, 2007), 103–106.
[13]            
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State
University of New York Press, 1992), 65–68.
[14]            
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
40–44.
[15]            
Goodman, Avicenna, 95–98.
[16]            
Ziai, Knowledge and Illumination, 58–60.
[17]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 70–73.
[18]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 104–106.
[19]            
Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, 4:10–12.
[20]            
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics:
Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 54–56.
[21]            
Corbin, History of Islamic Philosophy,
310–313.
[22]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization, 1998), 70–73.
[23]            
Nasr, Three Muslim Sages, 121–123.
7.          
Perbandingan
Ontologi Islam dengan Tradisi Filsafat Barat
Perbandingan antara ontologi Islam dan ontologi
Barat membuka ruang untuk memahami perbedaan mendasar dalam memandang
realitas, Tuhan, dan keberadaan manusia. Walaupun keduanya berangkat dari
persoalan yang sama — yaitu apa artinya ada — arah perkembangan dan
landasan epistemologisnya berbeda secara signifikan. Ontologi Islam berakar
pada integrasi antara akal, wahyu, dan intuisi spiritual, sedangkan ontologi
Barat lebih cenderung menekankan rasionalitas murni dan analisis konseptual.¹
Perbandingan ini dapat ditinjau dalam tiga dimensi utama: (1) sumber
pengetahuan dan orientasi metafisika, (2) struktur dan hierarki realitas, serta
(3) pandangan tentang eksistensi dan makna keberadaan.
7.1.      
Sumber Pengetahuan dan Orientasi
Metafisika
Filsafat Barat klasik, terutama sejak Aristoteles,
mendasarkan ontologi pada penyelidikan terhadap being qua being —
keberadaan sejauh ia ada — melalui analisis logis dan empiris.² Aristoteles
mengembangkan kategori-kategori wujud (substansi, kualitas, kuantitas, relasi,
dan sebagainya) yang kemudian menjadi dasar bagi metafisika skolastik.³ Dalam
konteks ini, Tuhan dipahami sebagai causa prima (sebab pertama), tetapi
tetap berada dalam kerangka rasional naturalis.
Sebaliknya, filsafat Islam menganggap bahwa
pengetahuan tentang wujud tidak dapat dicapai sepenuhnya melalui rasio,
melainkan juga melalui intuisi intelektual dan iluminasi spiritual.⁴
Para filsuf seperti Suhrawardi dan Mulla Sadra menekankan bahwa
realitas wujud hanya dapat dipahami secara utuh bila akal disinari oleh cahaya
ilahi.⁵ Dengan demikian, ontologi Islam memiliki orientasi teosentris,
sedangkan ontologi Barat sejak era modern (Descartes hingga Kant) berkembang
menjadi antroposentris — menempatkan subjek manusia sebagai pusat
pengetahuan dan realitas.⁶
Dalam Islam, wahyu berperan sebagai fondasi
epistemologis yang melengkapi rasio. Tuhan bukan sekadar postulat metafisis,
tetapi realitas tertinggi yang hadir dalam seluruh eksistensi.⁷ Sementara itu,
di Barat modern, terutama setelah pencerahan (Aufklärung), Tuhan sering
digeser menjadi hipotesis metafisis belaka, atau bahkan ditiadakan sama sekali
dalam filsafat eksistensialis.⁸
7.2.      
Struktur dan Hierarki Realitas
Ontologi Islam, sebagaimana dikembangkan oleh Al-Farabi,
Ibn Sina, dan Mulla Sadra, menampilkan pandangan tentang realitas
sebagai struktur hierarkis yang gradasional (tasykīk al-wujūd).⁹
Dalam sistem ini, keberadaan bersumber dari Tuhan (Wājib al-Wujūd) dan
memancar ke berbagai tingkat wujud — mulai dari akal, jiwa, hingga materi.¹⁰
Pandangan ini mengandung dimensi spiritual: semakin tinggi tingkat wujud,
semakin dekat ia dengan sumber ilahi.
Sebaliknya, dalam filsafat Barat, terutama sejak Aristoteles,
realitas tidak dipandang sebagai gradasi spiritual, melainkan sebagai kategori
substansial dan kausal.¹¹ Aristoteles membedakan antara materia prima
(materi pertama) dan forma (bentuk), tetapi keduanya tetap berada dalam
tataran fisik dan rasional.¹² Bahkan dalam sistem Neoplatonis yang mirip dengan
teori emanasi Islam (seperti pada Plotinus), dimensi mistik tidak berkembang
sejauh dalam tradisi Islam karena ketiadaan integrasi dengan wahyu profetik.¹³
Perbedaan semakin mencolok pada masa modern. Dalam
sistem filsafat Descartes, dunia dibagi secara dualistik menjadi res cogitans (substansi berpikir) dan res extensa (substansi yang terbentang).¹⁴ Realitas menjadi terfragmentasi antara subjek dan objek, yang
kemudian diperuncing dalam empirisme dan positivisme. Ontologi Islam justru menolak
dualisme ini, sebab seluruh wujud dipandang sebagai manifestasi kesatuan
eksistensi (wahdat al-wujūd).¹⁵
7.3.      
Pandangan tentang Eksistensi dan
Makna Keberadaan
Dalam filsafat Barat modern, terutama melalui eksistensialisme,
makna wujud berpindah dari metafisika universal ke pengalaman manusia yang
konkret. Martin Heidegger mengkritik metafisika tradisional karena gagal
menanyakan makna “ada” (Sein) itu sendiri.¹⁶ Sementara Jean-Paul Sartre memandang eksistensi sebagai sesuatu yang mendahului esensi — “manusia
pertama-tama ada, baru kemudian menentukan dirinya sendiri.”¹⁷ Pandangan
ini mengandung dimensi kebebasan radikal, tetapi juga mengarah pada nihilisme,
karena meniadakan sumber transenden bagi eksistensi.
Sebaliknya, dalam filsafat Islam, eksistensi tidak
pernah lepas dari sumber ilahi. Wujud manusia selalu berakar pada Wujud
Mutlak, dan kebebasan manusia bukanlah otonomi total, melainkan partisipasi
dalam kehendak Tuhan.¹⁸ Mulla Sadra menegaskan bahwa eksistensi bukan sekadar
fakta empiris, tetapi “realitas dinamis yang menuju kesempurnaan ilahi.”¹⁹
Dengan demikian, filsafat Islam memadukan aspek rasional dan eksistensial
dengan orientasi spiritual, sedangkan eksistensialisme Barat menempatkan
eksistensi dalam konteks sekular dan imanen.
7.4.      
Integrasi Ontologi dan Etika
Aspek lain yang membedakan ontologi Islam dari
Barat adalah keterpaduan antara metafisika dan etika. Dalam filsafat Islam, mengenal wujud berarti mengenal Tuhan, dan mengenal Tuhan berarti
menempuh jalan kebaikan.²⁰ Pengetahuan tentang realitas memiliki konsekuensi
moral, sebab manusia sebagai makhluk rasional sekaligus spiritual harus
menyesuaikan wujudnya dengan prinsip ilahi.²¹
Sebaliknya, dalam tradisi Barat modern, terutama
setelah Kant, ontologi dan etika menjadi dua ranah yang terpisah: metafisika
membahas realitas, sedangkan etika membahas kewajiban moral.²² Dalam filsafat Islam, keduanya bersatu karena sumber kebaikan dan keberadaan adalah satu —
Tuhan sebagai al-Ḥaqq, yang hakiki dan benar sekaligus baik.²³
7.5.      
Menuju Dialog Ontologis Timur dan
Barat
Meski berbeda orientasi, kedua tradisi ini tidak
bersifat saling meniadakan. Filsafat Islam dapat menawarkan kerangka
metafisis alternatif bagi filsafat Barat modern yang mengalami krisis makna
akibat sekularisasi.²⁴ Prinsip-prinsip seperti wahdat al-wujūd dan tasykīk al-wujūd dapat memperkaya wacana ontologis kontemporer dengan menekankan
kesatuan realitas dan keterkaitan antara manusia dan Tuhan. Di sisi lain,
filsafat Barat, terutama fenomenologi dan eksistensialisme, dapat membantu memperdalam
dimensi pengalaman konkret dalam pemahaman wujud Islam.²⁵
Dengan demikian, dialog antara ontologi Islam dan
Barat berpotensi melahirkan metafisika universal yang seimbang — yang
memadukan rasionalitas dan spiritualitas, akal dan intuisi, serta eksistensi
dan transendensi.²⁶
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 108–110.
[2]               
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 1003a–1005b.
[3]               
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 52–54.
[4]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy
(London: Kegan Paul International, 1993), 147–150.
[5]               
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
45–48.
[6]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
13–16.
[7]               
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi,
and Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 120–122.
[8]               
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1954), 125–128.
[9]               
Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed.
Muhammad Rida al-Mudhaffar (Teheran: Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami, 1981),
2:22–25.
[10]            
Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt (Qum:
Maktabat al-Mar‘ashī, 1985), 18–22.
[11]            
Aristotle, Metaphysics, 1028b–1032a.
[12]            
W. D. Ross, Aristotle’s Metaphysics: A
Commentary (Oxford: Clarendon Press, 1953), 89–91.
[13]            
Plotinus, The Enneads, trans. A. H.
Armstrong (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1966), 5:1–3.
[14]            
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 25–28.
[15]            
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993),
145–147.
[16]            
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–34.
[17]            
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 1958), 15–18.
[18]            
Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, 3:48–52.
[19]            
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics:
Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 59–61.
[20]            
Nasr, The Garden of Truth: The Vision and
Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007),
110–113.
[21]            
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization, 1998), 75–78.
[22]            
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
42–44.
[23]            
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism
of Ibn Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1969), 111–113.
[24]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 114–117.
[25]            
Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence:
According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington: World
Wisdom, 2006), 90–93.
[26]            
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred
Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 98–101.
8.          
Kritik
dan Relevansi Kontemporer
Kajian tentang ontologi dalam filsafat Islam tidak
berhenti pada ranah klasik, melainkan terus dikaji ulang dalam konteks modern
dan kontemporer. Tradisi metafisika Islam menghadapi tantangan dari berbagai
arah: dari teologi ortodoks, pemikiran modern sekular, hingga filsafat sains dan postmodernisme. Namun, di sisi lain, ontologi Islam juga
menunjukkan relevansi yang signifikan dalam merespons krisis metafisika modern
dan dalam memberikan dasar spiritual bagi ilmu pengetahuan dan kehidupan
manusia.¹
8.1.      
Kritik terhadap Konsep Wahdat
al-Wujūd
Salah satu kritik paling terkenal terhadap filsafat
wujud Islam datang dari kalangan ulama kalam dan teolog ortodoks,
terutama terhadap konsep wahdat al-wujūd (kesatuan wujud) yang dikembangkan
oleh Ibn ‘Arabi.² Para ulama seperti Ibn Taymiyyah dan Al-Suyuthi
menilai bahwa doktrin tersebut berpotensi menimbulkan kekaburan antara Tuhan
dan makhluk, sehingga mengarah pada panteisme.³ Mereka menegaskan bahwa Tuhan
adalah realitas yang sepenuhnya transenden, sementara ciptaan adalah entitas
yang diciptakan dan berbeda secara ontologis.
Kritik ini juga muncul dari sebagian filosof
rasionalis Islam yang lebih menekankan prinsip perbedaan ontologis antara Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada) dan Mumkin al-Wujūd (Yang Mungkin Ada).⁴
Mulla Sadra, walaupun menerima wahdat al-wujūd, mencoba
menghindari kesan panteistik dengan menegaskan bahwa kesatuan eksistensi tidak
meniadakan perbedaan gradasional di antara makhluk.⁵ Dengan demikian, ia
menafsirkan kesatuan wujud bukan sebagai identitas absolut antara Tuhan dan
dunia, tetapi sebagai kesatuan hierarkis yang analogis (tasykīk al-wujūd).⁶
8.2.      
Kritik Modern terhadap Ontologi
Klasik
Dalam era modern, ontologi Islam menghadapi
tantangan dari positivisme ilmiah dan rasionalisme sekular yang
menolak nilai metafisika. Tokoh seperti Auguste Comte dan A. J. Ayer
menolak semua pernyataan metafisis sebagai tidak bermakna secara empiris.⁷ Hal
ini mengakibatkan reduksi realitas pada hal-hal yang dapat diukur, diamati, dan
diuji secara ilmiah, sementara dimensi spiritual dan transendental dianggap
subjektif atau ilusi.
Namun, para pemikir Muslim kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr, Osman Bakar, dan Ziauddin Sardar menilai bahwa
pendekatan ini justru menyebabkan krisis spiritual dan ontologis dalam
peradaban modern.⁸ Menurut Nasr, pandangan dunia modern yang mekanistik telah
memutus hubungan manusia dengan sumber realitas ilahi, menjadikan alam semesta
sekadar objek eksploitasi, bukan manifestasi dari Wujud Mutlak.⁹ Oleh karena
itu, diperlukan rehabilitasi metafisika Islam untuk mengembalikan
kesakralan wujud dan menyatukan kembali dimensi rasional dengan spiritual.¹⁰
Selain itu, sebagian filsuf modern menyoroti ketidaksesuaian
terminologis antara konsep ontologi Islam dengan kategori filosofis
Barat.¹¹ Misalnya, istilah wujūd sering kali diterjemahkan sebagai “being,”
padahal dalam konteks Islam ia memiliki makna yang lebih kaya dan berhubungan
langsung dengan Tuhan sebagai al-Ḥaqq (Yang Benar dan Nyata).¹² Karenanya,
pemaknaan ulang terminologi ontologis menjadi penting agar konsep-konsep Islam
tidak tereduksi oleh kerangka metafisika Barat.
8.3.      
Relevansi Ontologi Islam terhadap
Krisis Metafisika Modern
Ontologi Islam menawarkan alternatif metafisis
terhadap krisis eksistensial dan nihilisme modern. Dalam pandangan Islam,
keberadaan tidak pernah terlepas dari makna dan nilai, karena segala sesuatu
berakar pada Wujud Ilahi.¹³ Pandangan ini dapat menjadi jawaban atas kerapuhan
spiritual masyarakat modern yang kehilangan orientasi transenden akibat
sekularisasi.
Selain itu, konsep gradasi wujud (tasykīk al-wujūd) relevan dalam menjelaskan keterkaitan ekologis dan spiritual
antara manusia dan alam. Alam tidak dipandang sebagai benda mati, tetapi
sebagai pancaran wujud Tuhan yang harus dihormati.¹⁴ Dengan demikian, ontologi
Islam dapat menjadi dasar filosofis bagi etika ekologi dan spiritualitas
lingkungan, yang semakin dibutuhkan dalam menghadapi krisis ekologis
global.¹⁵
Dalam ranah epistemologi, prinsip ‘ilm ḥuḍūrī
(pengetahuan dengan kehadiran) juga relevan dalam menjawab reduksionisme
kognitif modern. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan sejati bukan sekadar
akumulasi data, tetapi penyatuan eksistensial antara subjek dan realitas.¹⁶
Perspektif ini membuka ruang bagi pendekatan holistik dalam ilmu pengetahuan
yang tidak hanya menilai realitas secara kuantitatif, tetapi juga kualitatif
dan spiritual.¹⁷
8.4.      
Ontologi Islam dan Dialog Filsafat
Kontemporer
Dalam konteks filsafat global, banyak pemikir
modern yang melihat kesesuaian antara konsep ontologi Islam dan beberapa arus
pemikiran kontemporer, seperti fenomenologi, eksistensialisme
religius, dan metafisika proses.¹⁸ Misalnya, gagasan Mulla Sadra
tentang gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) memiliki kemiripan
dengan konsep becoming dalam filsafat proses Alfred North Whitehead,
yang memandang realitas sebagai dinamika eksistensial yang terus berkembang.¹⁹
Sementara itu, filsafat fenomenologis Heidegger
tentang “ada sebagai penyingkapan” (aletheia) juga memiliki
resonansi dengan pandangan Islam tentang tajallī (manifestasi wujud Tuhan dalam realitas).²⁰ Meskipun keduanya berbeda secara teologis, keduanya
menekankan bahwa keberadaan tidak dapat direduksi pada konsep logis, melainkan
harus dialami secara eksistensial.²¹
Dialog antara ontologi Islam dan filsafat kontemporer membuka kemungkinan bagi rekonstruksi metafisika global yang
berakar pada kesatuan antara pengetahuan dan keberadaan.²² Ontologi Islam,
dengan prinsip asālat al-wujūd (keprimordialan wujud), mampu
menjembatani jurang antara metafisika rasional Barat dan dimensi spiritual
Timur.²³
Kesimpulan
Sementara: Reaktualisasi Ontologi Islam
Secara keseluruhan, kritik-kritik terhadap ontologi
Islam — baik dari teologi ortodoks maupun modernisme Barat — menunjukkan
pentingnya upaya reaktualisasi filsafat wujud Islam dalam konteks baru.
Relevansi ontologi Islam bukan hanya terletak pada nilainya sebagai sistem
metafisis klasik, tetapi juga sebagai paradigma alternatif bagi pemikiran
kontemporer yang sedang mencari kembali makna transendensi, keseimbangan
kosmis, dan kesatuan spiritual manusia dengan alam semesta.²⁴
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 120–123.
[2]               
Ibn ‘Arabi, Al-Futūhāt al-Makkiyyah, ed.
Osman Yahya (Beirut: Dar Sadir, 1999), 2:70–72.
[3]               
Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā (Riyadh: Dar
al-Watan, 1995), 10:230–232.
[4]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 135–138.
[5]               
Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed.
Muhammad Rida al-Mudhaffar (Teheran: Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami, 1981),
2:40–43.
[6]               
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics:
Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 63–65.
[7]               
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Victor Gollancz, 1936), 41–43.
[8]               
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization, 1998), 80–83.
[9]               
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred
Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 25–28.
[10]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 155–158.
[11]            
Parviz Morewedge, “Metaphysics,” dalam History
of Islamic Philosophy, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (London:
Routledge, 1996), 89–91.
[12]            
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism
of Ibn Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1969), 117–119.
[13]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 125–127.
[14]            
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God:
Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: State University of New
York Press, 1998), 141–144.
[15]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of
Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 89–92.
[16]            
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State
University of New York Press, 1992), 71–74.
[17]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 85–87.
[18]            
Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence:
According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington: World
Wisdom, 2006), 96–99.
[19]            
Alfred North Whitehead, Process and Reality
(New York: Macmillan, 1929), 33–36.
[20]            
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
129–131.
[21]            
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy
(London: Kegan Paul International, 1993), 320–323.
[22]            
Nasr, The Garden of Truth: The Vision and
Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007),
127–130.
[23]            
Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 70–73.
[24]            
Nasr, The Need for a Sacred Science,
101–104.
9.          
Sintesis
Filosofis
Filsafat Islam, terutama dalam bidang ontologi,
mencapai puncak kedalaman dan kematangannya ketika berbagai tradisi pemikiran —
rasional, intuitif, dan spiritual — dipadukan menjadi satu kesatuan yang
harmonis. Proses sintesis ini tidak hanya terjadi dalam tataran konseptual,
tetapi juga dalam tataran eksistensial dan metodologis. Ontologi Islam berhasil
menyatukan logika rasionalisme Aristotelian, iluminasi Neoplatonik, dan
pengalaman mistik sufistik dalam satu sistem metafisika yang dinamis.¹ Sintesis
ini melahirkan bentuk filsafat yang khas: rasional secara intelektual, simbolik
secara kosmologis, dan transendental secara spiritual.
9.1.      
Integrasi antara Rasionalisme dan
Iluminasi
Salah satu aspek paling penting dari sintesis
filosofis Islam adalah penyatuan antara rasionalisme Avicennian dan
iluminasi Suhrawardian. Ibn Sina menekankan analisis logis dan deduktif
dalam memahami wujūd dan mahiyyah, sementara Suhrawardi
menekankan penyingkapan langsung melalui cahaya pengetahuan (nūr al-‘ilm).²
Mulla Sadra kemudian memadukan kedua pendekatan ini dengan prinsip asālat al-wujūd (keprimordialan wujud) dan tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi).³
Dalam sistem Sadrian, pengetahuan rasional tidak
bertentangan dengan intuisi iluminatif; keduanya saling melengkapi. Akal
berfungsi sebagai alat untuk memahami struktur wujud, sementara iluminasi (isyraq)
menjadi jalan untuk menyaksikan realitas wujud secara langsung.⁴ Dengan
demikian, ontologi Islam menolak dikotomi antara intelek dan intuisi, dan
justru menegaskan bahwa kebenaran metafisis dapat dicapai melalui kesatuan
keduanya.⁵
9.2.      
Penyatuan Ontologi, Kosmologi, dan
Teologi
Sintesis filosofis dalam filsafat Islam juga
terlihat pada kesatuan antara ontologi, kosmologi, dan teologi. Dalam tradisi
Barat modern, ketiga bidang ini sering dipisahkan: ontologi membahas “ada”,
kosmologi membahas “alam”, dan teologi membahas “Tuhan”. Namun
dalam filsafat Islam, ketiganya saling berkelindan dalam kerangka tawḥīd
— kesatuan ilahi yang mencakup seluruh realitas.⁶
Bagi Mulla Sadra, seluruh wujud adalah manifestasi
bertingkat dari realitas ilahi. Struktur kosmos bukan sekadar sistem kausalitas
fisik, tetapi “lanskap eksistensial” yang mengandung nilai teologis dan
spiritual.⁷ Dengan demikian, kosmologi Islam bukanlah ilmu tentang benda-benda
di alam, melainkan ilmu tentang relasi antara ciptaan dan Pencipta. Ontologi
menjadi jalan menuju teologi; mengenal wujud berarti mengenal Tuhan.⁸
9.3.      
Sintesis antara Mistisisme dan
Metafisika
Dimensi sufistik memainkan peran besar dalam
menyempurnakan ontologi Islam. Tokoh seperti Ibn ‘Arabi dengan konsep wahdat al-wujūd memberikan fondasi mistik yang memperdalam makna metafisika
rasional.⁹ Namun, pandangan Ibn ‘Arabi kemudian disistematiskan secara
filosofis oleh Mulla Sadra, yang mengubah pengalaman mistik menjadi prinsip
ontologis yang rasional.¹⁰
Dalam pandangan Sadra, tajallī (manifestasi ilahi) tidak sekadar pengalaman spiritual, tetapi juga struktur realitas itu
sendiri.¹¹ Dengan demikian, kesadaran mistik tidak hanya bersifat subjektif,
melainkan memiliki nilai ontologis universal. Sintesis ini menghapus batas
antara filsafat dan tasawuf: filsafat menjadi bentuk intelektual dari tasawuf,
dan tasawuf menjadi bentuk eksistensial dari filsafat.¹²
9.4.      
Kesatuan antara Mengetahui dan
Menjadi
Sintesis filosofis Islam juga menegaskan kesatuan
antara epistemologi dan ontologi. Dalam tradisi Barat modern, “mengetahui”
(knowing) dipisahkan dari “menjadi” (being). Namun dalam
filsafat Islam, pengetahuan sejati merupakan intensifikasi dari wujud itu
sendiri.¹³
Konsep ‘ilm ḥuḍūrī (pengetahuan dengan
kehadiran) menggambarkan bahwa mengetahui berarti menghadirkan realitas ke
dalam kesadaran, bukan sekadar memikirkannya secara abstrak.¹⁴ Oleh karena itu,
epistemologi Islam bukan hanya teori kognisi, melainkan juga proses
eksistensial di mana manusia berpartisipasi dalam realitas yang
diketahui.¹⁵ Dalam hal ini, filsafat Islam mendekati pandangan fenomenologis
Heidegger tentang “ada sebagai pengungkapan” (aletheia), tetapi tetap
mempertahankan orientasi teologisnya: pengungkapan tertinggi adalah pengenalan
akan Tuhan.¹⁶
9.5.      
Filsafat Hikmah sebagai Sintesis
Puncak
Seluruh upaya sintesis ontologis dalam filsafat Islam mencapai puncaknya dalam tradisi Hikmah al-Muta‘āliyah (Filsafat Hikmah Transendental) karya Mulla Sadra. Ia menyatukan tiga tradisi
besar filsafat Islam — Peripatetik (Aristotelian–Avicennian), Isyraqi
(Iluminatif–Suhrawardian), dan ‘Irfani (Mistis–Ibn ‘Arabian) — dalam
satu kerangka metafisika yang integral.¹⁷
Dalam sistem ini, wujud adalah realitas tunggal
yang bergradasi, pengetahuan adalah kehadiran eksistensial, dan alam
semesta adalah manifestasi dinamis dari gerak substansial menuju Tuhan.¹⁸
Hikmah Sadrian menjadi simbol keberhasilan filsafat Islam dalam
mengintegrasikan rasionalitas dan spiritualitas, dan menunjukkan bahwa
pengetahuan sejati bukan hasil pemikiran semata, tetapi hasil penyatuan wujud
manusia dengan sumber wujud itu sendiri.¹⁹
Signifikansi
Sintesis bagi Filsafat Kontemporer
Sintesis filosofis dalam tradisi Islam memiliki
relevansi besar bagi dunia filsafat modern yang cenderung terfragmentasi antara
rasio, sains, dan spiritualitas. Filsafat Islam menunjukkan bahwa rasionalitas
tidak perlu meniadakan transendensi, dan bahwa pengetahuan sejati
bersifat sakral karena berakar pada wujud ilahi.²⁰ Dengan menggabungkan
dimensi metafisik, etis, dan kosmologis, filsafat Islam menawarkan model
alternatif bagi rekonstruksi ilmu pengetahuan yang utuh dan bermakna.²¹
Dengan demikian, sintesis filosofis Islam tidak
hanya merupakan pencapaian historis, tetapi juga model epistemologis dan
ontologis universal — suatu paradigma yang dapat menjembatani pemikiran
filsafat Timur dan Barat, akal dan wahyu, manusia dan Tuhan.²²
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 132–134.
[2]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 1992), 101–104.
[3]               
Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed.
Muhammad Rida al-Mudhaffar (Teheran: Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami, 1981),
1:45–48.
[4]               
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
53–56.
[5]               
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 93–95.
[6]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy
(London: Kegan Paul International, 1993), 312–314.
[7]               
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993),
159–162.
[8]               
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization, 1998), 82–85.
[9]               
Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. A. ‘Afifi
(Cairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1946), 112–115.
[10]            
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics:
Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 74–77.
[11]            
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New
York Press, 1989), 103–106.
[12]            
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism
of Ibn Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1969), 120–122.
[13]            
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State
University of New York Press, 1992), 75–77.
[14]            
Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi,
and Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 131–134.
[15]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy,
96–99.
[16]            
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
133–135.
[17]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 136–138.
[18]            
Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, 3:50–53.
[19]            
Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 80–82.
[20]            
Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany:
State University of New York Press, 1993), 105–108.
[21]            
Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence:
According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington: World
Wisdom, 2006), 102–105.
[22]            
Nasr, The Garden of Truth: The Vision and
Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007),
135–138.
10.       Kesimpulan
Kajian ontologi dalam filsafat Islam memperlihatkan
kedalaman konseptual dan spiritual yang luar biasa dalam memahami hakikat
wujud (al-wujūd). Tidak seperti ontologi Barat yang cenderung memisahkan
metafisika dari teologi, filsafat Islam menempatkan pembahasan tentang wujud
sebagai fondasi seluruh sistem pengetahuan, sekaligus sebagai jalan
menuju pengenalan terhadap Tuhan (ma‘rifat Allāh).¹ Dengan demikian,
ontologi Islam tidak sekadar menjawab pertanyaan “apa itu ada,” tetapi
juga “mengapa dan bagaimana segala sesuatu ada” — yakni karena bersumber
dari Wujud Mutlak, Allah Swt, yang menjadi asal, tujuan, dan makna segala
realitas.²
10.1.   
Kesatuan Ontologis antara Tuhan,
Alam, dan Manusia
Filsafat Islam memandang realitas sebagai kesatuan
ontologis yang bertingkat. Tuhan adalah Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada), sedangkan seluruh ciptaan merupakan Mumkin al-Wujūd (Yang Mungkin Ada), yang memperoleh eksistensinya dari sumber pertama.³ Melalui konsep-konsep
seperti emanasi (fayḍ), tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi),
dan wahdat al-wujūd (kesatuan wujud), para filsuf Islam seperti Al-Farabi,
Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Sadra menegaskan bahwa keberadaan
seluruh makhluk tidak independen, melainkan pancaran dari realitas ilahi.⁴
Dengan demikian, hubungan antara Tuhan, alam, dan
manusia bersifat hierarkis sekaligus partisipatif: Tuhan sebagai sumber wujud,
alam sebagai manifestasi wujud, dan manusia sebagai mikrokosmos yang
mencerminkan struktur ontologis makrokosmos.⁵ Dalam hal ini, manusia memiliki
posisi unik karena mampu mengenal realitas ilahi melalui penyempurnaan
eksistensial dan intelektualnya.⁶
10.2.   
Integrasi antara Rasionalitas dan
Spiritualitas
Salah satu keunggulan utama ontologi Islam adalah integrasinya
antara akal (‘aql) dan intuisi (kashf). Pengetahuan tentang wujud
tidak hanya dicapai melalui deduksi rasional seperti dalam filsafat peripatetik, tetapi juga melalui iluminasi batin sebagaimana ditegaskan oleh
Suhrawardi dan Mulla Sadra.⁷ Rasionalitas memberikan struktur argumentatif
terhadap realitas, sementara intuisi menghadirkan pengalaman langsung terhadap
hakikatnya.
Dalam pandangan Mulla Sadra, pengetahuan
sejati adalah bentuk eksistensi itu sendiri (al-‘ilm ṣūrat al-wujūd).⁸
Dengan demikian, epistemologi Islam berpuncak pada kesadaran ontologis — di
mana mengetahui berarti menjadi (to know is to be).⁹ Integrasi ini
menunjukkan bahwa filsafat Islam tidak memisahkan intelektualitas dari
spiritualitas, tetapi justru mempersatukannya dalam satu proses pencarian
kebenaran yang rasional dan transendental sekaligus.¹⁰
10.3.   
Dinamika dan Kesempurnaan Wujud
Berbeda dari pandangan statis dalam metafisika
klasik, Mulla Sadra menegaskan bahwa wujud bersifat dinamis melalui
konsep al-ḥarakah al-jawhariyyah (gerak substansial).¹¹ Seluruh realitas
sedang berada dalam proses menuju kesempurnaan eksistensial — dari tingkat
materi menuju spiritual, dari potensi menuju aktualitas, dan akhirnya kembali
kepada Tuhan sebagai sumber wujud.¹² Dengan demikian, kosmos dipahami bukan
sebagai sistem mekanistik, tetapi sebagai proses eksistensial menuju
kesempurnaan ilahi.
Pandangan ini memberikan dasar teologis yang kuat
bagi pemahaman tentang penciptaan, kehidupan, dan kebangkitan. Wujud manusia
dan alam tidak berhenti pada eksistensi empiris, tetapi memiliki orientasi
eskatologis: segala sesuatu bergerak menuju al-ḥaqq, yaitu realitas
mutlak yang menjadi tujuan akhir segala gerak dan eksistensi.¹³
10.4.   
Relevansi Ontologi Islam di Era
Modern
Dalam konteks modern, ketika sains dan teknologi
mendominasi pandangan manusia terhadap realitas, ontologi Islam menghadirkan koreksi
metafisis terhadap reduksionisme materialistik. Filsafat wujud Islam
mengingatkan bahwa realitas tidak dapat dipahami hanya dalam dimensi empiris,
melainkan juga dalam dimensi spiritual dan transenden.¹⁴ Prinsip asālat al-wujūd (keprimordialan wujud) menegaskan bahwa keberadaan adalah dasar
bagi segala pengetahuan, dan tanpa memahami hakikat wujud, ilmu pengetahuan
kehilangan arah ontologisnya.¹⁵
Lebih jauh, konsep kesatuan eksistensi dapat
menjadi landasan bagi etika ekologis dan spiritualitas kosmologis di
tengah krisis lingkungan modern.¹⁶ Alam semesta, dalam pandangan Islam,
bukanlah objek eksploitasi melainkan tanda (āyah) dari Tuhan yang
mengandung makna dan nilai sakral. Dengan demikian, ontologi Islam memiliki
potensi besar untuk menjadi paradigma alternatif bagi sains, filsafat, dan
etika global kontemporer.¹⁷
Signifikansi
Filosofis dan Universalitas Ontologi Islam
Secara keseluruhan, ontologi Islam menunjukkan
bahwa metafisika bukanlah warisan kuno yang usang, tetapi kerangka
rasional-spiritual yang abadi. Ia menjawab kebutuhan mendasar manusia akan
makna, keteraturan, dan keterhubungan dengan sumber wujudnya.¹⁸ Melalui
sintesis antara akal, intuisi, dan wahyu, filsafat Islam berhasil membangun
sistem ontologis yang komprehensif, di mana Tuhan, alam, dan manusia dipahami
sebagai bagian dari satu jaringan realitas yang menyatu dalam keberadaan.¹⁹
Oleh karena itu, ontologi Islam tidak hanya relevan
bagi tradisi intelektual Muslim, tetapi juga menawarkan kontribusi universal
bagi filsafat dunia. Prinsip-prinsip seperti tasykīk al-wujūd, wahdat al-wujūd, dan asālat al-wujūd dapat memperkaya dialog metafisika
global yang tengah mencari keseimbangan antara rasionalitas dan
spiritualitas.²⁰ Dengan demikian, studi tentang ontologi Islam merupakan
langkah penting dalam menghidupkan kembali tradisi filsafat yang menyatukan
pengetahuan dan keberadaan, akal dan iman, manusia dan Tuhan dalam kesatuan
wujud yang hakiki.²¹
Footnotes
[1]               
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State
University of New York Press, 2006), 141–144.
[2]               
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy
(London: Kegan Paul International, 1993), 324–326.
[3]               
Ibn Sina, Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt (Qum:
Maktabat al-Mar‘ashī, 1985), 14–16.
[4]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 142–145.
[5]               
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1968), 40–43.
[6]               
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization, 1998), 89–91.
[7]               
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
62–64.
[8]               
Mulla Sadra, Al-Asfār al-Arba‘ah, ed.
Muhammad Rida al-Mudhaffar (Teheran: Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami, 1981),
3:51–53.
[9]               
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State
University of New York Press, 1992), 79–81.
[10]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 102–104.
[11]            
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics:
Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 86–89.
[12]            
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 163–165.
[13]            
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The
Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York:
HarperOne, 2007), 140–142.
[14]            
Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany:
State University of New York Press, 1993), 111–113.
[15]            
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism
of Ibn Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1969), 124–126.
[16]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of
Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 93–96.
[17]            
Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence:
According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington: World
Wisdom, 2006), 108–110.
[18]            
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 147–149.
[19]            
Henry Corbin, Temple and Contemplation (London:
Kegan Paul International, 1986), 211–213.
[20]            
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the
History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Nurin Enterprise,
2008), 77–80.
[21]            
Nasr, The Need for a Sacred Science,
120–122.
Daftar Pustaka 
Adamson, P. (2007). Al-Kindi. Oxford
University Press.
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Clarendon Press.
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic.
Victor Gollancz.
Bakar, O. (1998). Classification of knowledge in
Islam. International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
Bakar, O. (2008). Tawhid and science: Essays on
the history and philosophy of Islamic science. Nurin Enterprise.
Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short
introduction. Oxford University Press.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of
knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. State University of
New York Press.
Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of
God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s cosmology. State University of New York
Press.
Comte, A. (1975). The essential Comte: Selected
from Cours de philosophie positive (M. Pickering, Ed. & Trans.). Croom
Helm.
Corbin, H. (1969). Creative imagination in the
Sufism of Ibn Arabi. Princeton University Press.
Corbin, H. (1986). Temple and contemplation.
Kegan Paul International.
Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy.
Kegan Paul International.
Descartes, R. (1993). Meditations on first
philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Farabi, Al-. (1968). Al-Madina al-fadila.
Dar al-Mashriq.
Gilson, É. (1952). Being and some philosophers.
Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Goodman, L. E. (1992). Avicenna. Routledge.
Ha’iri Yazdi, M. (1992). The principles of
epistemology in Islamic philosophy: Knowledge by presence. State University
of New York Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Ibn ‘Arabi, M. (1946). Fuṣūṣ al-ḥikam (A.
‘Afifi, Ed.). Dar al-Kitab al-‘Arabi.
Ibn ‘Arabi, M. (1999). Al-Futūḥāt al-Makkiyyah
(O. Yahya, Ed.). Dar Sadir.
Ibn Sina, A. (1985). Al-Shifā’: Al-Ilāhiyyāt.
Maktabat al-Mar‘ashī.
Ibn Taymiyyah. (1995). Majmū‘ al-fatāwā
(Vols. 1–37). Dar al-Watan.
Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic
philosophy: Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition. Oxford
University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Leaman, O. (2001). An introduction to classical
Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.
Majid Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy. Columbia University Press.
Morewedge, P. (1972). Metaphysics and philosophy
of being in Avicenna. Columbia University Press.
Morewedge, P. (1996). Metaphysics. In S. H. Nasr
& O. Leaman (Eds.), History of Islamic philosophy (pp. 84–91).
Routledge.
Mulla Sadra, S. (1981). Al-Asfār al-Arba‘ah
(M. R. al-Mudhaffar, Ed.). Dar al-Ihya’ al-Turath al-Islami.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages:
Avicenna, Suhrawardi, and Ibn Arabi. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1993). An introduction to Islamic
cosmological doctrines. State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred
science. State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of
nature. Oxford University Press.
Nasr, S. H. (2006). Islamic philosophy from its
origin to the present: Philosophy in the land of prophecy. State University
of New York Press.
Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The
vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. HarperOne.
Plotinus. (1966). The Enneads (A. H.
Armstrong, Trans.). Harvard University Press.
Rizvi, S. H. (2009). Mulla Sadra and
metaphysics: Modulation of being. Routledge.
Ross, W. D. (1953). Aristotle’s metaphysics: A
commentary. Clarendon Press.
Sartre, J.-P. (1958). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Routledge.
Shah-Kazemi, R. (2006). Paths to transcendence:
According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart. World Wisdom.
Suhrawardi, S. (1976). Hikmat al-Isyrāq (H.
Corbin, Ed.). Institut Franco-Iranien.
Whitehead, A. N. (1929). Process and reality.
Macmillan.
Ziai, H. (1990). Knowledge and illumination: A
study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq. Scholars Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar