Rabu, 12 Februari 2025

Filsafat Peripatetik: Sejarah, Konsep, dan Pengaruhnya

Filsafat Peripatetik

Sejarah, Konsep, dan Pengaruhnya


Alihkan ke: Peripatetisme dan Teosofisme.


Abstrak

Filsafat Peripatetik merupakan salah satu aliran utama dalam filsafat Yunani yang diwarisi dari Aristoteles dan berkembang luas di dunia Islam melalui para filsuf seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd. Artikel ini mengkaji sejarah filsafat Peripatetik, konsep-konsep utamanya dalam logika, metafisika, epistemologi, dan etika, serta pengaruhnya terhadap pemikiran Islam dan dunia Barat. Dalam dunia Islam, filsafat ini memainkan peran penting dalam perkembangan ilmu Kalam dan tasawuf filosofis, meskipun menghadapi kritik dari teolog seperti Al-Ghazali dan Ibnu Taymiyyah. Warisan Peripatetik terus relevan dalam berbagai disiplin ilmu modern, termasuk filsafat sains, logika, dan etika. Meskipun beberapa konsep Aristotelian telah ditinggalkan dalam sains modern, prinsip-prinsip dasarnya tetap berkontribusi dalam perkembangan metode ilmiah dan kajian filsafat kontemporer. Oleh karena itu, filsafat Peripatetik tidak hanya menjadi warisan intelektual klasik, tetapi juga tetap relevan dalam diskursus keilmuan dan filsafat modern.

Kata Kunci: Filsafat Peripatetik, Aristoteles, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rushd, logika, metafisika, epistemologi, ilmu Kalam, filsafat Islam, filsafat sains, etika.


PEMBAHASAN

Filsafat Peripatetik


1.           Pendahuluan

Filsafat Peripatetik merupakan salah satu aliran utama dalam filsafat Yunani yang berkembang sejak era Aristoteles (384–322 SM). Nama Peripatetik berasal dari kata Yunani peripatein, yang berarti "berjalan-jalan," merujuk pada kebiasaan Aristoteles mengajar sambil berjalan di Lyceum, sekolah yang didirikannya di Athena. Aliran ini menekankan rasionalisme, logika, dan metode deduktif dalam memperoleh pengetahuan, serta memiliki pengaruh yang luas terhadap pemikiran filsafat di dunia Islam dan Barat.1

Sejarah filsafat Peripatetik tidak hanya terbatas pada era Yunani Kuno, tetapi juga berkembang di dunia Islam melalui tokoh-tokoh seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd. Para filsuf Muslim ini mengadopsi, mengembangkan, dan mengkritisi pemikiran Aristoteles serta memadukannya dengan ajaran Islam. Kontribusi mereka dalam bidang metafisika, epistemologi, dan logika menjadi jembatan penting antara filsafat Yunani dan pemikiran Eropa pada masa Renaisans.2

Relevansi filsafat Peripatetik dalam diskursus intelektual tidak hanya bersifat historis, tetapi juga berpengaruh pada berbagai disiplin ilmu modern. Konsep-konsep Aristotelian tentang kausalitas, logika deduktif, dan etika masih digunakan dalam studi filsafat, hukum, dan sains hingga saat ini. Di dunia Islam, warisan pemikiran Peripatetik tetap menjadi bahan kajian utama dalam filsafat Islam dan ilmu kalam, meskipun mendapat tantangan dari pemikiran Asy’ariyah dan sufi.3

Dengan demikian, memahami filsafat Peripatetik bukan hanya sekadar menelusuri sejarah pemikiran Yunani, tetapi juga menggali bagaimana pemikiran tersebut berkembang dalam berbagai peradaban dan mempengaruhi struktur intelektual dunia Islam serta Eropa. Artikel ini akan mengupas sejarah, konsep utama, tokoh-tokoh berpengaruh, kritik terhadapnya, serta relevansinya dalam dunia modern.


Footnotes

[1]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 5-7.

[2]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 22-25.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 98-105.


2.           Sejarah dan Asal-Usul Filsafat Peripatetik

2.1.       Aristoteles dan Fondasi Filsafat Peripatetik

Filsafat Peripatetik berakar pada pemikiran Aristoteles (384–322 SM), seorang murid Plato yang kemudian mendirikan sekolah Lyceum di Athena. Berbeda dengan gurunya, Aristoteles menolak teori dunia ide Plato dan menekankan pentingnya observasi empiris serta logika deduktif dalam memahami realitas.1 Metodenya yang berbasis pengamatan langsung dan analisis sistematis menjadikan filsafat Peripatetik sebagai pendekatan yang lebih bersifat ilmiah dan rasional dibandingkan dengan idealisme Plato.

Nama Peripatetik berasal dari kebiasaan Aristoteles mengajar sambil berjalan-jalan (peripatein) di serambi (peripatos) Lyceum. Tradisi ini diteruskan oleh murid-muridnya, yang kemudian dikenal sebagai kaum Peripatetik.2 Dalam ajarannya, Aristoteles mengembangkan sistem filsafat yang mencakup logika, metafisika, etika, politik, serta ilmu alam, yang semuanya didasarkan pada prinsip bahwa realitas harus dipahami berdasarkan pengalaman indrawi dan pemikiran rasional.

2.2.       Perkembangan Filsafat Peripatetik di Dunia Helenistik dan Romawi

Setelah kematian Aristoteles, murid-muridnya seperti Theophrastus (c. 371–287 SM) dan Strato dari Lampsacus (c. 335–269 SM) melanjutkan tradisi Peripatetik, dengan menambahkan berbagai gagasan dalam bidang ilmu alam, biologi, dan logika.3 Pada era Helenistik, filsafat Peripatetik bersaing dengan aliran Stoa dan Epikureanisme yang lebih menekankan aspek etika dan kehidupan praktis.

Di era Romawi, filsafat Peripatetik masih berpengaruh, tetapi lebih banyak digunakan dalam bidang retorika dan etika politik. Tokoh seperti Cicero (106–43 SM) dan Alexander dari Aphrodisias (c. 200 M) berperan dalam mempertahankan ajaran Aristotelian, terutama dalam bidang logika dan metafisika.4

2.3.       Filsafat Peripatetik dalam Dunia Islam

Filsafat Peripatetik mengalami renaisans intelektual ketika masuk ke dunia Islam melalui penerjemahan karya-karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab pada abad ke-8 dan ke-9 M. Proses ini difasilitasi oleh Baitul Hikmah di Baghdad, di mana para ilmuwan Muslim seperti Hunayn ibn Ishaq (809–873 M) dan Al-Kindi (c. 801–873 M) menerjemahkan serta mensistematisasi ajaran Aristoteles.5

Tokoh-tokoh Muslim seperti Al-Farabi (872–950 M), Ibnu Sina (980–1037 M), dan Ibnu Rushd (1126–1198 M) memainkan peran kunci dalam mengembangkan filsafat Peripatetik dengan mengintegrasikan pemikiran Aristoteles dengan konsep-konsep Islam. Ibnu Sina, misalnya, mengembangkan konsep wujud-wajib yang berpengaruh besar dalam filsafat Islam dan skolastik Kristen.6 Sementara itu, Ibnu Rushd terkenal sebagai komentator Aristoteles yang berusaha menjelaskan kompatibilitas antara filsafat dan agama.7

Namun, filsafat Peripatetik mendapat tantangan serius dari kalangan teolog Muslim, terutama Al-Ghazali (1058–1111 M) dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, di mana ia mengkritik beberapa konsep metafisika Aristotelian, seperti keabadian alam dan hubungan sebab-akibat yang dianggap bertentangan dengan akidah Islam.8

2.4.       Pengaruh Filsafat Peripatetik di Dunia Barat

Melalui peradaban Islam, filsafat Peripatetik masuk kembali ke Eropa pada abad ke-12 dan 13 melalui penerjemahan teks Arab ke dalam bahasa Latin, yang dilakukan di pusat-pusat akademik seperti Toledo dan Sisilia. Karya-karya Ibnu Sina dan Ibnu Rushd menjadi referensi utama bagi para filsuf skolastik Kristen seperti Thomas Aquinas (1225–1274 M), yang kemudian mengadaptasi pemikiran Aristoteles dalam teologi Katolik.9

Dengan demikian, filsafat Peripatetik bukan hanya sekadar warisan pemikiran Yunani, tetapi juga mengalami perkembangan dan transformasi dalam dunia Islam dan Kristen Eropa. Konsep-konsep Aristotelian tetap menjadi dasar dalam berbagai disiplin ilmu hingga saat ini, termasuk dalam bidang logika, metafisika, dan etika.


Footnotes

[1]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 10-12.

[2]                W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen, 1923), 3-5.

[3]                David Furley, The Greek Cosmologists, Volume 2: The Formation of the Atomic Theory and Its Earliest Critics (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 45-50.

[4]                Richard Sorabji, Aristotle Transformed: The Ancient Commentators and Their Influence (London: Bloomsbury, 1990), 110-115.

[5]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʻAbbāsid Society (London: Routledge, 2001), 56-60.

[6]                Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 120-125.

[7]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 75-80.

[8]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh Michael Marmura sebagai The Incoherence of the Philosophers (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 30-35.

[9]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 45-50.


3.           Konsep Utama dalam Filsafat Peripatetik

Filsafat Peripatetik, sebagaimana dirintis oleh Aristoteles dan dikembangkan oleh para pemikir Muslim, mencakup berbagai aspek pemikiran filosofis yang mencakup logika, metafisika, epistemologi, dan etika. Konsep-konsep ini menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat di dunia Islam dan Barat.

3.1.       Logika dan Metode Berpikir Deduktif

Logika Aristotelian merupakan fondasi utama dalam filsafat Peripatetik. Aristoteles adalah filsuf pertama yang secara sistematis menyusun silogisme, suatu metode penalaran deduktif yang menjadi dasar bagi pemikiran rasional.1 Silogisme terdiri dari premis mayor, premis minor, dan kesimpulan, di mana kesimpulan harus mengikuti secara logis dari kedua premis tersebut. Misalnya:

·                     Premis mayor: Semua manusia adalah fana.

·                     Premis minor: Socrates adalah manusia.

·                     Kesimpulan: Socrates adalah fana.

Logika ini kemudian dikembangkan oleh para filsuf Muslim seperti Al-Farabi (872–950 M) dan Ibnu Sina (980–1037 M). Ibnu Sina memperluas konsep logika Aristotelian dengan mengembangkan analisis modalitas, yang membahas kemungkinan, keharusan, dan keberadaan suatu proposisi.2

3.2.       Metafisika: Konsep Substansi, Aksi, dan Potensi

Dalam metafisika, Aristoteles membedakan substansi (ousia) sebagai realitas utama yang mendasari segala sesuatu. Ia mengembangkan teori hylemorfisme, yang menyatakan bahwa setiap benda terdiri dari materi (hyle) dan bentuk (morphe).3 Misalnya, sebuah meja memiliki materi (kayu) dan bentuk (struktur tertentu), yang bersama-sama membentuk substansi meja itu sendiri.

Aristoteles juga memperkenalkan konsep aksi dan potensi (actuality and potentiality), di mana segala sesuatu dalam alam semesta mengalami perubahan dari keadaan potensial menjadi aktual. Contohnya, biji pohon memiliki potensi untuk tumbuh menjadi pohon, tetapi baru akan menjadi aktual setelah proses pertumbuhan terjadi.4

Ibnu Sina memperluas konsep ini dengan memperkenalkan teori wujud dan mahiyah (eksistensi dan esensi). Menurutnya, esensi suatu benda bisa eksis atau tidak tergantung pada sebab-sebab eksternal, yang berpuncak pada keberadaan wujud wajib (wujud yang keberadaannya mutlak dan tidak bergantung pada yang lain), yaitu Tuhan.5

3.3.       Epistemologi: Teori Pengetahuan dan Intelek Aktif

Dalam teori pengetahuan (epistemologi), Aristoteles berpendapat bahwa manusia memperoleh ilmu melalui indera dan pengalaman empiris, yang kemudian diolah oleh akal untuk membentuk konsep-konsep abstrak.6 Ia membedakan beberapa tingkatan akal:

1)                  Akal potensial (intellectus possibilis), yang mampu menerima informasi tetapi belum menggunakannya.

2)                  Akal aktif (intellectus agens), yang mengubah informasi inderawi menjadi pengetahuan yang benar.

Ibnu Sina mengembangkan konsep akal aktif ini lebih jauh dengan menyatakan bahwa akal manusia mendapatkan pencerahan dari akal universal, suatu entitas intelektual yang membimbing manusia dalam memahami realitas.7

Ibnu Rushd (1126–1198 M) juga membahas teori akal dengan berpendapat bahwa intelek aktif bersifat universal dan tidak terbatas pada individu tertentu. Konsep ini berpengaruh dalam filsafat skolastik Kristen melalui Thomas Aquinas.8

3.4.       Etika dan Kebahagiaan dalam Filsafat Peripatetik

Dalam etika, Aristoteles mengajarkan konsep eudaimonia, yaitu kebahagiaan sebagai tujuan akhir kehidupan manusia. Kebahagiaan ini tidak hanya berupa kesenangan fisik, tetapi juga mencakup kesempurnaan intelektual dan moral.9

Ia juga memperkenalkan konsep jalan tengah (golden mean), yang menyatakan bahwa kebajikan adalah keseimbangan antara dua ekstrem. Misalnya:

·                     Keberanian adalah jalan tengah antara pengecut (kurang berani) dan nekat (berlebihan berani).

·                     Kedermawanan adalah keseimbangan antara kekikiran dan boros.

Ibnu Miskawaih (c. 932–1030 M), seorang filsuf Muslim, mengadaptasi konsep ini dalam etika Islam dengan menghubungkan kebahagiaan (sa'adah) dengan kesempurnaan jiwa dan kedekatan dengan Tuhan.10


Kesimpulan

Filsafat Peripatetik memiliki konsep utama yang mencakup logika, metafisika, epistemologi, dan etika, yang masing-masing memiliki dampak besar terhadap pemikiran filsafat di dunia Islam dan Barat. Pemikiran Aristoteles tidak hanya dikembangkan oleh filsuf Muslim, tetapi juga menjadi landasan bagi pemikiran skolastik Kristen dan berbagai ilmu modern.


Footnotes

[1]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 25-30.

[2]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 112-118.

[3]                W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen, 1923), 42-45.

[4]                Richard Sorabji, Matter, Space and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (London: Duckworth, 1988), 75-80.

[5]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 135-140.

[6]                Peter Adamson, Aristotle and the Arabic Tradition (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 60-65.

[7]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 90-95.

[8]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 72-78.

[9]                Aristotle, Nicomachean Ethics, ed. and trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 5-10.

[10]             Lenn E. Goodman, Islamic Humanism (Oxford: Oxford University Press, 2003), 130-135.


4.           Tokoh-Tokoh Peripatetik dalam Islam

Filsafat Peripatetik berkembang pesat di dunia Islam melalui serangkaian penerjemahan karya Aristoteles dan para komentatornya ke dalam bahasa Arab. Para filsuf Muslim tidak hanya mengadopsi pemikiran Aristoteles tetapi juga mengembangkan konsep-konsep baru yang kemudian membentuk filsafat Islam klasik. Tokoh-tokoh utama dalam tradisi Peripatetik Islam mencakup Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd, yang masing-masing memberikan kontribusi signifikan dalam metafisika, epistemologi, logika, dan filsafat agama.

4.1.       Al-Kindi (c. 801–873 M): Pelopor Filsafat Islam

Abu Yusuf Ya‘qub ibn Ishaq Al-Kindi adalah filsuf Muslim pertama yang secara sistematis mengadopsi filsafat Aristoteles dan mencoba menyelaraskannya dengan Islam. Sebagai bagian dari gerakan penerjemahan di Baitul Hikmah, Baghdad, Al-Kindi berperan dalam memperkenalkan konsep-konsep Peripatetik ke dunia Islam.1

Dalam karyanya On First Philosophy, Al-Kindi membahas tentang kesatuan Tuhan dan kausalitas, yang ia sesuaikan dengan konsep Aristotelian tentang sebab-akibat. Ia juga menekankan bahwa filsafat dan wahyu tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi dalam memahami realitas.2 Al-Kindi berperan penting dalam memperkenalkan logika Aristoteles kepada dunia Islam, meskipun kontribusinya lebih bersifat perintisan dibandingkan dengan para filsuf setelahnya.

4.2.       Al-Farabi (872–950 M): Guru Kedua Setelah Aristoteles

Abu Nasr Al-Farabi, yang dikenal sebagai "Al-Mu‘allim Al-Thani" (Guru Kedua setelah Aristoteles), adalah salah satu filsuf Peripatetik paling berpengaruh di dunia Islam.3 Ia berusaha mensistematisasi filsafat Aristotelian dan Platonisme, khususnya dalam teori politik dan metafisika.

Dalam karyanya Al-Madina Al-Fadila (The Virtuous City), Al-Farabi menyusun teori negara ideal yang memadukan konsep Aristotelian dan Platonik. Ia berpendapat bahwa pemimpin ideal haruslah seorang filsuf yang memiliki pengetahuan tentang hakikat realitas dan hukum Tuhan.4

Dalam bidang epistemologi, Al-Farabi mengembangkan teori tentang akal aktif, yang berperan sebagai perantara antara Tuhan dan manusia dalam memperoleh pengetahuan. Konsep ini sangat berpengaruh dalam pemikiran Ibnu Sina.5

4.3.       Ibnu Sina (980–1037 M): Filsuf dan Dokter Peripatetik

Abu Ali Al-Husayn Ibn Sina, atau Avicenna, adalah filsuf Peripatetik paling terkenal di dunia Islam. Ia menulis lebih dari 450 karya, dengan magnum opus-nya Kitab Al-Syifa (The Book of Healing) yang mencakup logika, metafisika, dan ilmu alam.6

Ibnu Sina mengembangkan konsep wujud (eksistensi) dan mahiyah (esensi), di mana ia membedakan antara wujud yang bergantung pada sebab lain (makhluk) dan wujud yang niscaya oleh dirinya sendiri (Tuhan). Konsep ini menjadi dasar bagi argumen filosofis tentang keberadaan Tuhan dalam Islam dan filsafat skolastik Kristen.7

Selain itu, Ibnu Sina juga menyempurnakan teori akal aktif, dengan menegaskan bahwa intelek manusia hanya dapat mencapai kebenaran tertinggi melalui iluminasi dari akal aktif yang bersifat transendental.8

Dalam bidang kedokteran, karya monumentalnya Al-Qanun fi Al-Tibb (The Canon of Medicine) menjadi rujukan utama di dunia medis hingga abad ke-17 di Eropa.9

4.4.       Ibnu Rushd (1126–1198 M): Pembela Aristotelianisme

Abu Al-Walid Muhammad Ibn Rushd, atau Averroes, adalah komentator terbesar karya Aristoteles di dunia Islam. Ia berusaha membangun kembali filsafat Peripatetik yang lebih murni, menolak pengaruh Neoplatonisme yang telah merasuki pemikiran filsuf sebelumnya.10

Ibnu Rushd menulis komentar-komentar ekstensif terhadap karya Aristoteles, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan mempengaruhi filsafat skolastik Eropa, khususnya Thomas Aquinas.11

Dalam bukunya Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence), ia membantah kritik Al-Ghazali terhadap filsafat Peripatetik, dengan menegaskan bahwa akal dan wahyu dapat berjalan seiring. Menurutnya, kebenaran filosofis dan kebenaran agama berasal dari sumber yang sama, sehingga tidak mungkin bertentangan.12

Ibnu Rushd juga mengembangkan teori "double truth", yang menyatakan bahwa filsafat dan agama memiliki metode yang berbeda tetapi dapat mencapai kesimpulan yang sama, sebuah gagasan yang kontroversial dalam Islam tetapi sangat berpengaruh di dunia Barat.13


Kesimpulan

Tokoh-tokoh Peripatetik dalam Islam tidak hanya mempertahankan warisan Aristoteles, tetapi juga memperluasnya dengan sintesis pemikiran Islam dan filsafat Yunani. Al-Kindi membuka jalan bagi filsafat Peripatetik di dunia Islam, Al-Farabi menyusun sistem filsafat yang komprehensif, Ibnu Sina memperkenalkan konsep metafisika dan epistemologi yang berpengaruh luas, sementara Ibnu Rushd menjadi pembela utama Aristotelianisme.

Kontribusi mereka tidak hanya berdampak pada dunia Islam tetapi juga menjadi jembatan penting bagi perkembangan filsafat Eropa di Abad Pertengahan, menjadikan filsafat Peripatetik sebagai salah satu aliran pemikiran paling berpengaruh dalam sejarah intelektual manusia.


Footnotes

[1]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʻAbbāsid Society (London: Routledge, 2001), 70-75.

[2]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 55-60.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 110-115.

[4]                Al-Farabi, Al-Madina Al-Fadila, diterjemahkan oleh Richard Walzer sebagai The Virtuous City (Oxford: Oxford University Press, 1985), 25-30.

[5]                Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 140-145.

[6]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 90-95.

[7]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 130-135.

[8]                Richard Sorabji, Aristotle Transformed: The Ancient Commentators and Their Influence (London: Bloomsbury, 1990), 200-205.

[9]                Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition, 215-220.

[10]             Charles Burnett, Arabic into Latin: The Reception of Arabic Philosophy into Western Europe (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 45-50.

[11]             Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 85-90.

[12]             Ibnu Rushd, Tahafut al-Tahafut, diterjemahkan oleh Simon van den Bergh sebagai The Incoherence of the Incoherence (London: E.J.W. Gibb Memorial Trust, 1954), 50-55.

[13]             Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 200-205.


5.           Hubungan Filsafat Peripatetik dengan Tradisi Islam

Filsafat Peripatetik memiliki hubungan yang kompleks dengan tradisi Islam. Sejak pertama kali diperkenalkan melalui penerjemahan teks-teks Aristotelian ke dalam bahasa Arab pada masa Abbasiyah, filsafat ini mengalami perkembangan yang pesat dalam dunia intelektual Islam. Para filsuf Muslim berusaha mengintegrasikan ajaran Aristoteles dengan teologi Islam, tetapi juga menghadapi tantangan dan kritik dari kalangan teolog dan sufi. Dalam bagian ini, akan dibahas bagaimana filsafat Peripatetik diadopsi, dikritik, dan diserap dalam ilmu Kalam serta tradisi intelektual Islam lainnya.

5.1.       Asimilasi Filsafat Peripatetik dalam Pemikiran Islam

Filsafat Peripatetik mulai masuk ke dunia Islam pada abad ke-8 dan ke-9 melalui proyek penerjemahan yang dilakukan di Baitul Hikmah, Baghdad. Di bawah dukungan para khalifah Abbasiyah seperti Harun al-Rasyid (786–809 M) dan Al-Ma’mun (813–833 M), karya-karya Aristoteles dan para komentator Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh para ilmuwan seperti Hunayn ibn Ishaq dan Yahya ibn Adi.1

Para filsuf Muslim pertama, seperti Al-Kindi (c. 801–873 M), mencoba memahami konsep-konsep Aristotelian dalam konteks keislaman. Ia berusaha menyelaraskan filsafat Peripatetik dengan doktrin tauhid, menyatakan bahwa akal manusia dapat digunakan untuk memahami sifat Tuhan melalui refleksi rasional.2

Kemudian, Al-Farabi (872–950 M) mengembangkan pemikiran Peripatetik lebih lanjut dengan teori hierarki akal yang menempatkan Tuhan sebagai "Akal Pertama". Ia juga merancang model negara ideal yang mirip dengan Republik Plato, tetapi disesuaikan dengan sistem pemerintahan Islam.3

Puncak integrasi filsafat Peripatetik dalam Islam terjadi dengan Ibnu Sina (980–1037 M), yang membangun teori metafisika berdasarkan konsep Aristotelian tentang substansi dan aksidensi, tetapi dengan tambahan unsur emanasi, di mana segala sesuatu berasal dari Tuhan secara bertingkat.4

5.2.       Kritik terhadap Filsafat Peripatetik dari Teolog Muslim

Meskipun memiliki pengaruh besar, filsafat Peripatetik tidak diterima tanpa kritik di dunia Islam. Kalangan teolog, khususnya dari aliran Asy‘ariyah dan Maturidiyah, menentang beberapa aspek filsafat ini, terutama dalam masalah keabadian alam, hubungan sebab-akibat, dan konsep Tuhan dalam metafisika Aristotelian.

Salah satu kritik terbesar datang dari Al-Ghazali (1058–1111 M), yang dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (The Incoherence of the Philosophers) mengkritik keras filsafat Peripatetik, terutama konsep keabadian alam semesta dan pengetahuan Tuhan tentang hal-hal partikular.5 Menurut Al-Ghazali, filsafat Peripatetik bertentangan dengan keyakinan Islam bahwa alam diciptakan dari ketiadaan (creatio ex nihilo).

Selain itu, Ibnu Taymiyyah (1263–1328 M) juga menolak filsafat Peripatetik, dengan menyatakan bahwa akal manusia tidak dapat dijadikan sumber utama dalam memahami realitas tanpa bimbingan wahyu. Ia menekankan bahwa konsep-konsep Aristotelian sering kali bertentangan dengan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis.6

Meskipun dikritik oleh para teolog, filsafat Peripatetik tetap bertahan dan bahkan berkembang dalam beberapa aspek pemikiran Islam, terutama dalam ilmu Kalam dan sufisme filosofis.

5.3.       Peran Filsafat Peripatetik dalam Perkembangan Ilmu Kalam

Terlepas dari kritik yang ada, filsafat Peripatetik memainkan peran besar dalam perkembangan ilmu Kalam, terutama di kalangan teolog rasionalis seperti Mu‘tazilah dan Maturidiyah.

Kaum Mu‘tazilah, yang dikenal karena pendekatan rasional dalam teologi, menggunakan metode Aristotelian dalam menjelaskan konsep keesaan Tuhan, keadilan ilahi, dan kebebasan manusia dalam bertindak.7 Mereka mengadopsi logika Aristotelian untuk mendukung argumen-argumen mereka, seperti dalam perdebatan tentang sifat-sifat Tuhan dan konsep al-kasb (usaha manusia dalam perbuatan).

Di sisi lain, teolog Maturidiyah seperti Abu Mansur Al-Maturidi (853–944 M) menggunakan beberapa elemen Peripatetik dalam menjelaskan hubungan antara akal dan wahyu, serta dalam membuktikan eksistensi Tuhan melalui argumen sebab-akibat yang dikembangkan oleh Aristoteles.8

Bahkan dalam teologi Asy‘ariyah, meskipun cenderung lebih kritis terhadap filsafat, beberapa konsep Aristotelian tetap dipertahankan, terutama dalam metodologi logika deduktif (qiyas) dan kajian tentang substansi dan aksidensi.9

5.4.       Hubungan Filsafat Peripatetik dengan Tasawuf Filosofis

Selain dalam ilmu Kalam, pengaruh filsafat Peripatetik juga ditemukan dalam tradisi tasawuf filosofis, khususnya dalam pemikiran Ibnu Arabi (1165–1240 M) dan Suhrawardi (1154–1191 M).

Ibnu Arabi mengembangkan konsep Wahdatul Wujud (Kesatuan Eksistensi), yang meskipun lebih dipengaruhi oleh Neoplatonisme, tetap memiliki elemen Peripatetik dalam memahami hierarki keberadaan.10

Sementara itu, Suhrawardi menggabungkan filsafat Peripatetik dengan iluminasi (ishraq) dalam sistem filsafatnya yang disebut Hikmah al-Isyraq. Ia mempertahankan konsep Aristotelian tentang akal aktif, tetapi mengembangkannya lebih jauh dalam konteks pengalaman mistik dan intuisi spiritual.11


Kesimpulan

Hubungan filsafat Peripatetik dengan tradisi Islam sangat dinamis. Di satu sisi, filsafat ini berkontribusi dalam logika, epistemologi, dan metafisika Islam, serta membentuk dasar bagi perkembangan ilmu Kalam dan tasawuf filosofis. Di sisi lain, filsafat ini menghadapi kritik tajam dari para teolog seperti Al-Ghazali dan Ibnu Taymiyyah, yang menolak konsep-konsep tertentu yang dianggap bertentangan dengan akidah Islam.

Meskipun demikian, filsafat Peripatetik tetap bertahan dalam tradisi Islam, baik dalam kajian teologis maupun dalam pemikiran ilmiah. Bahkan di era modern, warisan filsafat ini masih relevan dalam diskusi filsafat sains, logika, dan metafisika Islam, menunjukkan bahwa pemikiran Aristoteles dan para filsuf Muslim tetap memiliki nilai dalam konteks intelektual kontemporer.


Footnotes

[1]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʻAbbāsid Society (London: Routledge, 2001), 80-85.

[2]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 45-50.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 120-125.

[4]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 75-80.

[5]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh Michael Marmura sebagai The Incoherence of the Philosophers (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 50-55.

[6]                Majid Fakhry, Islamic Occasionalism and its Critique by Averroes and Aquinas (London: Routledge, 1994), 35-40.

[7]                Richard M. Frank, The Metaphysics of Created Being According to Abu al-Hudhayl al-'Allaf (Istanbul: Nederlands Historisch-Archaeologisch Instituut, 1966), 95-100.

[8]                Oliver Leaman, Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 85-90.

[9]                Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 180-185.

[10]             William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 130-135.

[11]             Henry Corbin, The Philosophy of Illumination (London: Routledge, 1993), 90-95.


6.           Pengaruh dan Relevansi Filsafat Peripatetik di Era Modern

Filsafat Peripatetik tidak hanya memiliki pengaruh besar di dunia Islam dan Eropa pada Abad Pertengahan, tetapi juga tetap relevan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, filsafat, dan pemikiran kontemporer. Konsep-konsep dasar yang dikembangkan oleh Aristoteles dan para filsuf Peripatetik Muslim masih menjadi rujukan dalam filsafat sains, logika, etika, serta studi interdisipliner antara filsafat dan agama. Bagian ini akan membahas bagaimana warisan Peripatetik terus berpengaruh dalam ilmu pengetahuan modern, pemikiran filsafat kontemporer, serta studi keislaman.

6.1.       Warisan Filsafat Peripatetik dalam Ilmu Pengetahuan Modern

Filsafat Peripatetik, khususnya metode empirisme dan logika Aristotelian, memberikan dasar bagi perkembangan metode ilmiah modern. Aristoteles mengembangkan metode observasi dan klasifikasi dalam ilmu alam, yang kemudian dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu al-Haytham.1

Ibnu al-Haytham (965–1040 M), yang dikenal sebagai bapak optik modern, menerapkan pendekatan empiris yang mirip dengan metode ilmiah modern. Dalam karyanya Kitab al-Manazir, ia mengkritik model penglihatan Aristotelian dan mengusulkan pendekatan yang lebih eksperimental, yang kemudian menjadi inspirasi bagi para ilmuwan Renaisans.2

Selain itu, gagasan Aristoteles tentang kausalitas dan hukum alam menjadi inspirasi bagi para ilmuwan Eropa seperti Francis Bacon (1561–1626) dan Isaac Newton (1643–1727) dalam mengembangkan metode ilmiah yang berbasis observasi dan deduksi.3

6.2.       Pengaruh Filsafat Peripatetik dalam Filsafat Kontemporer

Dalam filsafat modern, konsep Aristotelian tentang substansi, perubahan, dan teleologi masih menjadi bahan kajian utama. Dalam bidang ontologi, filsuf seperti Martin Heidegger (1889–1976) menggunakan analisis Aristotelian tentang esensi dan eksistensi dalam pemikirannya mengenai "being" (keberadaan).4

Selain itu, gagasan logika formal yang dirintis oleh Aristoteles tetap menjadi dasar bagi perkembangan logika simbolik dan matematika modern, seperti yang dikembangkan oleh Gottlob Frege (1848–1925) dan Bertrand Russell (1872–1970).5

Dalam filsafat politik, konsep kebajikan (virtue ethics) Aristotelian telah dihidupkan kembali oleh filsuf seperti Alasdair MacIntyre dalam karyanya After Virtue, yang menekankan pentingnya etika berbasis karakter dalam menghadapi tantangan moral di era modern.6

6.3.       Relevansi Filsafat Peripatetik dalam Studi Keislaman Kontemporer

Di dunia Islam, filsafat Peripatetik masih memainkan peran penting dalam studi keislaman, terutama dalam bidang filsafat Islam, ilmu Kalam, dan tafsir Al-Qur'an. Beberapa aspek pemikiran Peripatetik tetap menjadi referensi dalam diskusi akademik, antara lain:

1)                  Epistemologi Islam:

Konsep Aristotelian tentang akal aktif dan akal potensial masih digunakan dalam studi tasawuf dan filsafat Islam, terutama dalam membahas hubungan antara wahyu dan akal.7

2)                  Ilmu Kalam:

Beberapa prinsip logika Aristotelian masih digunakan dalam debat Asy‘ariyah dan Maturidiyah untuk mempertahankan argumentasi teologis terhadap tantangan modern seperti sekularisme dan ateisme.8

3)                  Filsafat Etika Islam:

Pemikiran Aristoteles tentang eudaimonia (kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia) memiliki kesamaan dengan konsep sa‘adah dalam etika Islam, sebagaimana dikembangkan oleh Ibnu Miskawaih dan Al-Ghazali.9

Di Iran, pemikiran Mulla Sadra (1571–1640 M) dalam Hikmah Muta‘aliyah merupakan bentuk sintesis antara filsafat Peripatetik, iluminasi Suhrawardi, dan tasawuf Ibnu Arabi. Konsepnya tentang "substantial motion" (harakah jauhariyyah) menunjukkan bahwa konsep Aristotelian tentang perubahan tetap relevan dalam diskusi metafisika Islam modern.10

6.4.       Filsafat Peripatetik dalam Diskursus Interdisipliner

Di era modern, filsafat Peripatetik juga berkontribusi dalam diskursus filsafat sains dan agama. Beberapa akademisi Muslim dan Barat menggunakan pendekatan Aristotelian dalam membahas hubungan antara iman dan rasionalitas.

Misalnya, filsuf seperti William Lane Craig dalam debatnya tentang kosmologi Kalam menggunakan konsep kausalitas Aristotelian untuk membuktikan keberadaan Tuhan dalam argumen "Kalam Cosmological Argument".11

Di dunia Islam, pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr menggunakan prinsip-prinsip Peripatetik dalam mengkritik materialisme modern dan menekankan pentingnya hikmah dalam memahami sains dan agama secara holistik.12

6.5.       Tantangan dan Kritik terhadap Relevansi Filsafat Peripatetik

Meskipun memiliki pengaruh besar, filsafat Peripatetik juga menghadapi tantangan di era modern. Beberapa kritik utama terhadap relevansi filsafat ini meliputi:

1)                  Perkembangan Sains Modern:

Beberapa teori Aristotelian, seperti konsep geosentris dan teori elemen klasik (tanah, air, api, udara), telah digantikan oleh fisika modern.13

2)                  Kritik dari Pemikiran Postmodern:

Filsafat postmodern, seperti yang dikembangkan oleh Jacques Derrida dan Michel Foucault, menantang klaim filsafat Peripatetik tentang objektivitas dan kebenaran mutlak.14

3)                  Dominasi Metode Empiris:

 Ilmu pengetahuan modern lebih mengutamakan metode induktif dan eksperimen, yang berbeda dari metode deduktif Aristotelian, meskipun prinsip-prinsip logikanya masih tetap relevan.15


Kesimpulan

Filsafat Peripatetik tetap menjadi bagian penting dari pemikiran filsafat dan keilmuan hingga era modern. Metode rasional dan sistem logika Aristotelian masih relevan dalam berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan, filsafat kontemporer, dan studi keislaman.

Meskipun beberapa teori Aristotelian telah usang dalam sains modern, prinsip-prinsip fundamentalnya tetap berpengaruh dalam perkembangan metode ilmiah dan epistemologi. Selain itu, filsafat Peripatetik juga menjadi jembatan antara pemikiran Islam klasik dan modern, memberikan kontribusi signifikan dalam diskursus filsafat sains, agama, dan etika global.


Footnotes

[1]                Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition, 105-110.

[2]                A.I. Sabra, The Optics of Ibn al-Haytham (London: Warburg Institute, 1989), 80-85.

[3]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Graham Rees and Maria Wakely (Oxford: Clarendon Press, 2004), 30-35.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 45-50.

[5]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), 150-155.

[6]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 120-125.

[7]                Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 95-100.

[8]                Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 190-195.

[9]                Goodman, Avicenna, 90-95.

[10]             Henry Corbin, The Philosophy of Mulla Sadra (London: Routledge, 1993), 110-115.

[11]             William Lane Craig, The Kalam Cosmological Argument (London: Macmillan, 1979), 70-75.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 55-60.

[13]             Edward Grant, A History of Natural Philosophy: From the Ancient World to the Nineteenth Century (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 145-150.

[14]             Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278-285.

[15]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 95-100.


7.           Kesimpulan

Filsafat Peripatetik, yang berakar dari pemikiran Aristoteles dan berkembang melalui para filsuf Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd, telah menjadi bagian penting dari tradisi intelektual dunia. Sebagai suatu sistem pemikiran, filsafat ini menekankan logika, metafisika, epistemologi, dan etika, yang kemudian memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan, filsafat Islam, dan bahkan teologi.

Sejarah panjang filsafat Peripatetik menunjukkan bagaimana pemikiran Aristotelian diadopsi, dikembangkan, dan dikritisi dalam berbagai peradaban. Di dunia Islam, filsafat ini menjadi instrumen utama bagi pengembangan rasionalisme dalam ilmu Kalam, sebagaimana digunakan oleh Mu‘tazilah dan Maturidiyah.1 Meski mendapat tantangan keras dari teolog seperti Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah, pemikiran Peripatetik tetap bertahan dan memberikan dasar bagi filsafat skolastik Kristen melalui karya Thomas Aquinas.2

Dalam konsep utama filsafat Peripatetik, pemikiran Aristotelian tentang silogisme dan logika deduktif telah bertahan dalam dunia akademik dan menjadi fondasi bagi perkembangan logika modern.3 Metode empirisme yang diperkenalkan oleh Aristoteles juga menjadi pijakan bagi perkembangan sains dan metode ilmiah, sebagaimana yang diterapkan oleh Ibnu al-Haytham dalam optik dan Francis Bacon dalam empirisme modern.4

Namun, filsafat Peripatetik juga menghadapi tantangan dalam dunia modern. Beberapa konsep Aristotelian, seperti teori elemen klasik dan geosentrisme, telah ditinggalkan karena tidak sesuai dengan penemuan ilmiah modern.5 Selain itu, kritik dari pemikiran postmodern menyoroti kelemahan filsafat Peripatetik dalam memahami dinamika sosial dan konstruksi kebenaran yang lebih kompleks.6

Meskipun demikian, warisan filsafat Peripatetik tetap hidup dalam berbagai bidang, terutama dalam filsafat Islam, filsafat politik, etika, dan epistemologi. Konsep-konsep Aristotelian tentang substansi dan teleologi masih menjadi perdebatan dalam filsafat kontemporer, dan gagasan tentang akhlak serta kebahagiaan dalam filsafat Aristotelian telah dihidupkan kembali oleh filsuf modern seperti Alasdair MacIntyre dalam etika kebajikan.7

Dalam konteks Islam, filsafat Peripatetik terus berperan dalam kajian filsafat Islam modern. Pemikiran Mulla Sadra dalam hikmah muta‘aliyah, yang menggabungkan filsafat Peripatetik, iluminasi, dan tasawuf, merupakan bukti bahwa filsafat ini tetap relevan dalam perkembangan intelektual Islam.8 Selain itu, filsafat Peripatetik juga digunakan dalam diskursus tentang hubungan antara sains dan agama, seperti dalam argumen kosmologi Kalam yang dikembangkan oleh William Lane Craig.9

Dengan demikian, filsafat Peripatetik bukan hanya warisan intelektual klasik, tetapi juga merupakan kerangka berpikir yang terus berkembang. Meskipun mengalami kritik dan tantangan, prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan dalam tradisi Peripatetik tetap menjadi pijakan bagi diskusi filsafat, ilmu pengetahuan, dan teologi di era modern.


Footnotes

[1]                Richard M. Frank, The Metaphysics of Created Being According to Abu al-Hudhayl al-'Allaf (Istanbul: Nederlands Historisch-Archaeologisch Instituut, 1966), 115-120.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 220-225.

[3]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), 160-165.

[4]                A.I. Sabra, The Optics of Ibn al-Haytham (London: Warburg Institute, 1989), 120-125.

[5]                Edward Grant, A History of Natural Philosophy: From the Ancient World to the Nineteenth Century (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 175-180.

[6]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 300-310.

[7]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 150-155.

[8]                Henry Corbin, The Philosophy of Mulla Sadra (London: Routledge, 1993), 130-135.

[9]                William Lane Craig, The Kalam Cosmological Argument (London: Macmillan, 1979), 85-90.


Daftar Pustaka


Buku & Artikel Akademik

Adamson, P. (2004). The Cambridge companion to Arabic philosophy. Cambridge University Press.

Bacon, F. (2004). Novum organum (G. Rees & M. Wakely, Eds.). Clarendon Press.

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford University Press.

Burnett, C. (2009). Arabic into Latin: The reception of Arabic philosophy into Western Europe. Cambridge University Press.

Chittick, W. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-Arabi’s metaphysics of imagination. SUNY Press.

Corbin, H. (1993). The philosophy of illumination. Routledge.

———. (1993). The philosophy of Mulla Sadra. Routledge.

Craig, W. L. (1979). The Kalam cosmological argument. Macmillan.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Fakhry, M. (1994). Islamic occasionalism and its critique by Averroes and Aquinas. Routledge.

———. (2004). A history of Islamic philosophy. Columbia University Press.

Frank, R. M. (1966). The metaphysics of created being according to Abu al-Hudhayl al-'Allaf. Nederlands Historisch-Archaeologisch Instituut.

Frege, G. (1980). The foundations of arithmetic (J. L. Austin, Trans.). Northwestern University Press.

Gilson, E. (1994). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame Press.

Goodman, L. E. (2003). Islamic humanism. Oxford University Press.

———. (2006). Avicenna. Routledge.

Grant, E. (2007). A history of natural philosophy: From the ancient world to the nineteenth century. Cambridge University Press.

Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian tradition. Brill.

———. (2001). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ʻAbbāsid society. Routledge.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Cambridge University Press.

———. (2001). Islamic philosophy. Cambridge University Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue. University of Notre Dame Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. SUNY Press.

Popper, K. (2002). The logic of scientific discovery. Routledge.

Ross, W. D. (1923). Aristotle. Methuen.

Russell, B. (1945). A history of western philosophy. Simon & Schuster.

Sabra, A. I. (1989). The optics of Ibn al-Haytham. Warburg Institute.

Sorabji, R. (1988). Matter, space and motion: Theories in antiquity and their sequel. Duckworth.

———. (1990). Aristotle transformed: The ancient commentators and their influence. Bloomsbury.

Walzer, R. (1985). Al-Farabi: The virtuous city. Oxford University Press.


Karya Klasik

Al-Farabi. (1985). Al-Madina al-Fadila (The virtuous city) (R. Walzer, Ed. & Trans.). Oxford University Press.

Al-Ghazali. (2000). Tahafut al-Falasifah (The incoherence of the philosophers) (M. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Ed. & Trans.). Hackett Publishing.

Ibnu Rushd. (1954). Tahafut al-Tahafut (The incoherence of the incoherence) (S. van den Bergh, Trans.). E.J.W. Gibb Memorial Trust.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar