Filsafat Peripatetik
Sejarah, Konsep, dan Pengaruhnya
Alihkan ke: Peripatetisme dan Teosofisme.
Abstrak
Filsafat Peripatetik merupakan salah satu aliran
utama dalam filsafat Yunani yang diwarisi dari Aristoteles dan berkembang luas
di dunia Islam melalui para filsuf seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan
Ibnu Rushd. Artikel ini mengkaji sejarah filsafat Peripatetik, konsep-konsep
utamanya dalam logika, metafisika, epistemologi, dan etika, serta pengaruhnya
terhadap pemikiran Islam dan dunia Barat. Dalam dunia Islam, filsafat ini memainkan
peran penting dalam perkembangan ilmu Kalam dan tasawuf filosofis, meskipun
menghadapi kritik dari teolog seperti Al-Ghazali dan Ibnu Taymiyyah. Warisan
Peripatetik terus relevan dalam berbagai disiplin ilmu modern, termasuk
filsafat sains, logika, dan etika. Meskipun beberapa konsep Aristotelian telah
ditinggalkan dalam sains modern, prinsip-prinsip dasarnya tetap berkontribusi
dalam perkembangan metode ilmiah dan kajian filsafat kontemporer. Oleh karena
itu, filsafat Peripatetik tidak hanya menjadi warisan intelektual klasik,
tetapi juga tetap relevan dalam diskursus keilmuan dan filsafat modern.
Kata Kunci: Filsafat Peripatetik, Aristoteles, Al-Farabi, Ibnu
Sina, Ibnu Rushd, logika, metafisika, epistemologi, ilmu Kalam, filsafat Islam,
filsafat sains, etika.
PEMBAHASAN
Filsafat Peripatetik
1.
Pendahuluan
Filsafat Peripatetik
merupakan salah satu aliran utama dalam filsafat Yunani yang berkembang sejak
era Aristoteles (384–322 SM). Nama Peripatetik berasal dari kata
Yunani peripatein,
yang berarti "berjalan-jalan," merujuk pada kebiasaan
Aristoteles mengajar sambil berjalan di Lyceum, sekolah yang didirikannya di
Athena. Aliran ini menekankan rasionalisme, logika, dan metode deduktif dalam memperoleh pengetahuan, serta memiliki pengaruh
yang luas terhadap pemikiran filsafat di dunia Islam dan Barat.1
Sejarah filsafat
Peripatetik tidak hanya terbatas pada era Yunani Kuno, tetapi juga berkembang
di dunia Islam melalui tokoh-tokoh seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan
Ibnu Rushd. Para filsuf Muslim ini mengadopsi, mengembangkan, dan mengkritisi
pemikiran Aristoteles serta memadukannya dengan ajaran Islam. Kontribusi mereka dalam bidang metafisika,
epistemologi, dan logika menjadi jembatan penting antara filsafat Yunani dan
pemikiran Eropa pada masa Renaisans.2
Relevansi filsafat
Peripatetik dalam diskursus intelektual tidak hanya bersifat historis, tetapi
juga berpengaruh pada berbagai disiplin ilmu modern. Konsep-konsep Aristotelian
tentang kausalitas, logika deduktif, dan etika masih digunakan dalam studi filsafat, hukum, dan sains hingga saat
ini. Di dunia Islam, warisan pemikiran Peripatetik tetap menjadi bahan kajian
utama dalam filsafat Islam dan ilmu kalam, meskipun mendapat tantangan dari
pemikiran Asy’ariyah dan sufi.3
Dengan demikian,
memahami filsafat Peripatetik bukan hanya sekadar menelusuri sejarah pemikiran
Yunani, tetapi juga menggali bagaimana pemikiran tersebut berkembang dalam
berbagai peradaban dan mempengaruhi struktur
intelektual dunia Islam serta Eropa. Artikel ini akan mengupas sejarah, konsep
utama, tokoh-tokoh berpengaruh, kritik terhadapnya, serta relevansinya dalam
dunia modern.
Footnotes
[1]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 5-7.
[2]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 22-25.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 98-105.
2.
Sejarah dan Asal-Usul Filsafat Peripatetik
2.1.
Aristoteles dan Fondasi Filsafat Peripatetik
Filsafat Peripatetik
berakar pada pemikiran Aristoteles (384–322 SM),
seorang murid Plato yang kemudian mendirikan sekolah Lyceum di Athena. Berbeda
dengan gurunya, Aristoteles menolak teori dunia ide Plato dan menekankan
pentingnya observasi empiris serta logika deduktif dalam memahami realitas.1 Metodenya
yang berbasis pengamatan langsung dan analisis sistematis menjadikan filsafat
Peripatetik sebagai pendekatan yang lebih bersifat ilmiah
dan rasional dibandingkan dengan idealisme Plato.
Nama Peripatetik
berasal dari kebiasaan Aristoteles mengajar sambil berjalan-jalan (peripatein)
di serambi (peripatos) Lyceum. Tradisi ini
diteruskan oleh murid-muridnya, yang kemudian dikenal sebagai kaum
Peripatetik.2 Dalam ajarannya, Aristoteles mengembangkan sistem filsafat yang
mencakup logika, metafisika, etika, politik, serta ilmu
alam, yang semuanya didasarkan pada prinsip bahwa realitas
harus dipahami berdasarkan pengalaman indrawi dan pemikiran rasional.
2.2.
Perkembangan Filsafat Peripatetik di Dunia
Helenistik dan Romawi
Setelah kematian
Aristoteles, murid-muridnya seperti Theophrastus (c. 371–287 SM)
dan Strato
dari Lampsacus (c. 335–269 SM) melanjutkan tradisi Peripatetik,
dengan menambahkan
berbagai gagasan dalam bidang ilmu alam, biologi, dan logika.3
Pada era Helenistik, filsafat Peripatetik bersaing dengan aliran Stoa dan
Epikureanisme yang lebih menekankan aspek etika dan kehidupan praktis.
Di era Romawi,
filsafat Peripatetik masih
berpengaruh, tetapi lebih banyak digunakan dalam bidang retorika
dan etika politik. Tokoh seperti Cicero (106–43 SM) dan
Alexander dari Aphrodisias (c. 200 M) berperan dalam mempertahankan ajaran Aristotelian, terutama dalam bidang
logika dan metafisika.4
2.3.
Filsafat Peripatetik dalam Dunia Islam
Filsafat Peripatetik
mengalami renaisans intelektual ketika
masuk ke dunia Islam melalui penerjemahan karya-karya Aristoteles ke dalam
bahasa Arab pada abad ke-8 dan ke-9 M. Proses ini difasilitasi oleh Baitul Hikmah di Baghdad, di
mana para ilmuwan Muslim seperti Hunayn ibn Ishaq (809–873 M)
dan Al-Kindi
(c. 801–873 M) menerjemahkan serta mensistematisasi ajaran
Aristoteles.5
Tokoh-tokoh Muslim
seperti Al-Farabi (872–950 M), Ibnu Sina (980–1037 M),
dan Ibnu Rushd (1126–1198 M) memainkan peran kunci dalam
mengembangkan filsafat Peripatetik dengan mengintegrasikan pemikiran
Aristoteles dengan konsep-konsep Islam. Ibnu Sina, misalnya, mengembangkan konsep wujud-wajib
yang berpengaruh besar dalam filsafat Islam dan skolastik Kristen.6
Sementara itu, Ibnu Rushd terkenal sebagai komentator Aristoteles yang berusaha
menjelaskan kompatibilitas antara filsafat dan agama.7
Namun, filsafat Peripatetik
mendapat tantangan serius dari kalangan teolog Muslim, terutama Al-Ghazali
(1058–1111 M) dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, di mana ia
mengkritik beberapa konsep metafisika Aristotelian, seperti keabadian alam dan
hubungan sebab-akibat yang dianggap bertentangan dengan akidah Islam.8
2.4.
Pengaruh Filsafat Peripatetik di Dunia Barat
Melalui peradaban
Islam, filsafat Peripatetik masuk kembali ke Eropa pada abad ke-12 dan 13
melalui penerjemahan teks Arab ke dalam bahasa Latin,
yang dilakukan di pusat-pusat akademik seperti Toledo dan Sisilia. Karya-karya
Ibnu Sina dan Ibnu Rushd menjadi referensi utama bagi para filsuf skolastik
Kristen seperti Thomas Aquinas (1225–1274 M),
yang kemudian mengadaptasi pemikiran Aristoteles dalam teologi Katolik.9
Dengan demikian,
filsafat Peripatetik bukan hanya sekadar warisan pemikiran Yunani, tetapi juga
mengalami perkembangan dan transformasi dalam dunia Islam dan Kristen Eropa. Konsep-konsep Aristotelian tetap menjadi
dasar dalam berbagai disiplin ilmu hingga saat ini, termasuk dalam bidang
logika, metafisika, dan etika.
Footnotes
[1]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 10-12.
[2]
W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen, 1923), 3-5.
[3]
David Furley, The Greek Cosmologists, Volume 2: The Formation of
the Atomic Theory and Its Earliest Critics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1987), 45-50.
[4]
Richard Sorabji, Aristotle Transformed: The Ancient Commentators
and Their Influence (London: Bloomsbury, 1990), 110-115.
[5]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ʻAbbāsid Society (London:
Routledge, 2001), 56-60.
[6]
Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 120-125.
[7]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 75-80.
[8]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh Michael
Marmura sebagai The Incoherence of the Philosophers (Provo: Brigham
Young University Press, 2000), 30-35.
[9]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 45-50.
3.
Konsep Utama dalam Filsafat Peripatetik
Filsafat
Peripatetik, sebagaimana dirintis oleh Aristoteles dan dikembangkan oleh para
pemikir Muslim, mencakup berbagai aspek pemikiran filosofis yang mencakup logika, metafisika, epistemologi, dan etika.
Konsep-konsep ini menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat
di dunia Islam dan Barat.
3.1.
Logika dan Metode Berpikir Deduktif
Logika Aristotelian
merupakan fondasi utama dalam filsafat Peripatetik. Aristoteles adalah filsuf
pertama yang secara sistematis menyusun silogisme, suatu metode penalaran deduktif yang menjadi dasar bagi pemikiran rasional.1
Silogisme terdiri dari premis mayor, premis minor, dan kesimpulan,
di mana kesimpulan harus mengikuti secara logis dari kedua premis tersebut.
Misalnya:
·
Premis mayor: Semua
manusia adalah fana.
·
Premis minor: Socrates
adalah manusia.
·
Kesimpulan: Socrates
adalah fana.
Logika ini kemudian
dikembangkan oleh para filsuf Muslim seperti Al-Farabi (872–950 M) dan Ibnu Sina (980–1037
M). Ibnu Sina memperluas konsep logika Aristotelian dengan
mengembangkan analisis modalitas, yang membahas kemungkinan, keharusan, dan
keberadaan suatu proposisi.2
3.2.
Metafisika: Konsep Substansi, Aksi, dan Potensi
Dalam metafisika,
Aristoteles membedakan substansi (ousia)
sebagai realitas utama yang mendasari segala sesuatu. Ia mengembangkan teori hylemorfisme, yang menyatakan
bahwa setiap benda terdiri dari materi (hyle) dan
bentuk (morphe).3
Misalnya, sebuah meja memiliki materi (kayu) dan bentuk (struktur tertentu),
yang bersama-sama membentuk
substansi meja itu sendiri.
Aristoteles juga
memperkenalkan konsep aksi dan potensi (actuality
and potentiality), di mana segala sesuatu dalam alam semesta
mengalami perubahan dari keadaan potensial menjadi aktual.
Contohnya, biji pohon memiliki
potensi untuk tumbuh menjadi pohon, tetapi baru akan menjadi aktual setelah proses pertumbuhan terjadi.4
Ibnu Sina memperluas
konsep ini dengan memperkenalkan teori wujud dan mahiyah (eksistensi dan esensi). Menurutnya, esensi
suatu benda bisa eksis atau tidak tergantung pada sebab-sebab
eksternal, yang berpuncak pada keberadaan wujud wajib (wujud yang keberadaannya mutlak dan tidak bergantung pada yang lain),
yaitu Tuhan.5
3.3.
Epistemologi: Teori Pengetahuan dan Intelek
Aktif
Dalam teori
pengetahuan (epistemologi), Aristoteles
berpendapat bahwa manusia memperoleh
ilmu melalui indera dan pengalaman empiris,
yang kemudian diolah oleh akal untuk membentuk
konsep-konsep abstrak.6 Ia membedakan beberapa tingkatan akal:
1)
Akal
potensial (intellectus possibilis), yang mampu
menerima informasi tetapi belum menggunakannya.
2)
Akal
aktif (intellectus agens), yang mengubah
informasi inderawi menjadi pengetahuan yang benar.
Ibnu Sina
mengembangkan konsep akal aktif ini lebih jauh
dengan menyatakan bahwa akal manusia mendapatkan pencerahan dari akal
universal, suatu entitas intelektual yang membimbing manusia
dalam memahami realitas.7
Ibnu Rushd
(1126–1198 M) juga membahas teori akal dengan berpendapat bahwa intelek aktif bersifat universal dan
tidak terbatas pada individu tertentu. Konsep ini berpengaruh dalam filsafat
skolastik Kristen melalui Thomas Aquinas.8
3.4.
Etika dan Kebahagiaan dalam Filsafat
Peripatetik
Dalam etika,
Aristoteles mengajarkan konsep eudaimonia, yaitu kebahagiaan
sebagai tujuan akhir kehidupan manusia. Kebahagiaan ini tidak hanya berupa
kesenangan fisik, tetapi juga mencakup kesempurnaan intelektual dan moral.9
Ia juga memperkenalkan
konsep jalan
tengah (golden mean),
yang menyatakan bahwa kebajikan
adalah keseimbangan antara dua ekstrem. Misalnya:
·
Keberanian
adalah jalan tengah antara pengecut (kurang berani) dan nekat
(berlebihan berani).
·
Kedermawanan
adalah keseimbangan antara kekikiran dan boros.
Ibnu Miskawaih (c.
932–1030 M), seorang filsuf Muslim, mengadaptasi konsep ini dalam etika Islam
dengan menghubungkan kebahagiaan (sa'adah) dengan kesempurnaan jiwa
dan kedekatan dengan Tuhan.10
Kesimpulan
Filsafat Peripatetik
memiliki konsep utama yang mencakup logika, metafisika, epistemologi, dan etika,
yang masing-masing memiliki dampak besar terhadap pemikiran filsafat di dunia
Islam dan Barat. Pemikiran Aristoteles tidak hanya dikembangkan oleh filsuf Muslim, tetapi juga menjadi landasan
bagi pemikiran skolastik Kristen dan berbagai ilmu modern.
Footnotes
[1]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 25-30.
[2]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2001), 112-118.
[3]
W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen, 1923), 42-45.
[4]
Richard Sorabji, Matter, Space and Motion: Theories in Antiquity
and Their Sequel (London: Duckworth, 1988), 75-80.
[5]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 135-140.
[6]
Peter Adamson, Aristotle and the Arabic Tradition (Cambridge:
Cambridge University Press, 2016), 60-65.
[7]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 90-95.
[8]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 72-78.
[9]
Aristotle, Nicomachean Ethics, ed. and trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), 5-10.
[10]
Lenn E. Goodman, Islamic Humanism (Oxford: Oxford University
Press, 2003), 130-135.
4.
Tokoh-Tokoh Peripatetik dalam Islam
Filsafat Peripatetik
berkembang pesat di dunia Islam melalui serangkaian penerjemahan karya
Aristoteles dan para komentatornya ke dalam bahasa Arab. Para filsuf Muslim
tidak hanya mengadopsi pemikiran Aristoteles tetapi juga mengembangkan konsep-konsep baru yang kemudian membentuk
filsafat Islam klasik. Tokoh-tokoh utama dalam tradisi Peripatetik Islam
mencakup Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd,
yang masing-masing memberikan kontribusi signifikan dalam metafisika,
epistemologi, logika, dan filsafat agama.
4.1.
Al-Kindi (c. 801–873 M): Pelopor Filsafat Islam
Abu
Yusuf Ya‘qub ibn Ishaq Al-Kindi adalah filsuf Muslim pertama
yang secara sistematis mengadopsi filsafat Aristoteles dan mencoba menyelaraskannya dengan Islam. Sebagai
bagian dari gerakan penerjemahan di Baitul Hikmah, Baghdad,
Al-Kindi berperan dalam memperkenalkan konsep-konsep Peripatetik ke dunia Islam.1
Dalam karyanya On First
Philosophy, Al-Kindi membahas tentang kesatuan
Tuhan dan kausalitas, yang ia sesuaikan dengan konsep
Aristotelian tentang sebab-akibat. Ia juga menekankan bahwa filsafat dan wahyu
tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi
dalam memahami realitas.2 Al-Kindi berperan penting dalam
memperkenalkan logika Aristoteles kepada dunia Islam, meskipun kontribusinya
lebih bersifat perintisan dibandingkan dengan para filsuf setelahnya.
4.2.
Al-Farabi (872–950 M): Guru Kedua Setelah
Aristoteles
Abu Nasr
Al-Farabi, yang dikenal sebagai "Al-Mu‘allim Al-Thani" (Guru Kedua
setelah Aristoteles), adalah salah satu filsuf Peripatetik paling berpengaruh
di dunia Islam.3 Ia berusaha
mensistematisasi
filsafat Aristotelian dan Platonisme, khususnya dalam teori
politik dan metafisika.
Dalam karyanya Al-Madina
Al-Fadila (The Virtuous City), Al-Farabi
menyusun teori negara ideal yang memadukan konsep Aristotelian dan Platonik. Ia
berpendapat bahwa pemimpin ideal haruslah seorang filsuf yang memiliki pengetahuan
tentang hakikat realitas dan hukum Tuhan.4
Dalam bidang
epistemologi, Al-Farabi mengembangkan teori tentang akal
aktif, yang berperan sebagai perantara antara Tuhan dan manusia
dalam memperoleh pengetahuan. Konsep ini sangat berpengaruh dalam pemikiran
Ibnu Sina.5
4.3.
Ibnu Sina (980–1037 M): Filsuf dan Dokter
Peripatetik
Abu Ali
Al-Husayn Ibn Sina, atau Avicenna, adalah filsuf Peripatetik
paling terkenal di dunia Islam. Ia menulis lebih dari 450 karya, dengan magnum
opus-nya Kitab
Al-Syifa (The Book of Healing) yang mencakup logika,
metafisika, dan ilmu alam.6
Ibnu Sina
mengembangkan konsep wujud (eksistensi) dan mahiyah (esensi),
di mana ia membedakan antara wujud yang bergantung pada sebab lain
(makhluk) dan wujud yang niscaya oleh dirinya sendiri
(Tuhan). Konsep ini menjadi dasar bagi argumen filosofis tentang keberadaan
Tuhan dalam Islam dan filsafat skolastik Kristen.7
Selain itu, Ibnu
Sina juga menyempurnakan teori akal aktif, dengan menegaskan
bahwa intelek manusia hanya dapat mencapai kebenaran tertinggi melalui
iluminasi dari akal aktif yang bersifat transendental.8
Dalam bidang
kedokteran, karya monumentalnya Al-Qanun fi Al-Tibb (The
Canon of Medicine) menjadi rujukan utama di dunia medis hingga abad
ke-17 di Eropa.9
4.4.
Ibnu Rushd (1126–1198 M): Pembela
Aristotelianisme
Abu
Al-Walid Muhammad Ibn Rushd, atau Averroes, adalah komentator
terbesar karya Aristoteles di dunia Islam. Ia berusaha membangun kembali filsafat
Peripatetik yang lebih murni, menolak pengaruh Neoplatonisme
yang telah merasuki pemikiran filsuf sebelumnya.10
Ibnu Rushd menulis
komentar-komentar ekstensif terhadap karya Aristoteles, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan mempengaruhi filsafat skolastik Eropa,
khususnya Thomas Aquinas.11
Dalam bukunya Tahafut
al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence),
ia membantah kritik Al-Ghazali terhadap filsafat Peripatetik, dengan menegaskan
bahwa akal dan
wahyu dapat berjalan seiring. Menurutnya, kebenaran filosofis dan
kebenaran agama berasal dari sumber yang sama, sehingga tidak mungkin
bertentangan.12
Ibnu Rushd juga
mengembangkan teori "double truth",
yang menyatakan bahwa filsafat dan agama memiliki metode yang berbeda tetapi
dapat mencapai kesimpulan yang sama, sebuah gagasan yang kontroversial dalam
Islam tetapi sangat berpengaruh di dunia Barat.13
Kesimpulan
Tokoh-tokoh
Peripatetik dalam Islam tidak hanya mempertahankan warisan Aristoteles, tetapi
juga memperluasnya dengan sintesis pemikiran Islam dan filsafat Yunani. Al-Kindi
membuka jalan bagi filsafat Peripatetik di dunia Islam, Al-Farabi
menyusun sistem filsafat yang komprehensif, Ibnu Sina memperkenalkan konsep
metafisika dan epistemologi yang berpengaruh luas, sementara Ibnu
Rushd menjadi pembela utama Aristotelianisme.
Kontribusi mereka
tidak hanya berdampak pada dunia Islam tetapi juga menjadi jembatan penting
bagi perkembangan
filsafat Eropa di Abad Pertengahan, menjadikan filsafat
Peripatetik sebagai salah satu aliran pemikiran paling berpengaruh dalam
sejarah intelektual manusia.
Footnotes
[1]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ʻAbbāsid Society (London:
Routledge, 2001), 70-75.
[2]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 55-60.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 110-115.
[4]
Al-Farabi, Al-Madina Al-Fadila, diterjemahkan oleh Richard
Walzer sebagai The Virtuous City (Oxford: Oxford University Press,
1985), 25-30.
[5]
Peter Adamson, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 140-145.
[6]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 90-95.
[7]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2001), 130-135.
[8]
Richard Sorabji, Aristotle Transformed: The Ancient Commentators
and Their Influence (London: Bloomsbury, 1990), 200-205.
[9]
Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition, 215-220.
[10]
Charles Burnett, Arabic into Latin: The Reception of Arabic
Philosophy into Western Europe (Cambridge: Cambridge University Press,
2009), 45-50.
[11]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 85-90.
[12]
Ibnu Rushd, Tahafut al-Tahafut, diterjemahkan oleh Simon van
den Bergh sebagai The Incoherence of the Incoherence (London: E.J.W.
Gibb Memorial Trust, 1954), 50-55.
[13]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 200-205.
5.
Hubungan Filsafat Peripatetik dengan Tradisi
Islam
Filsafat Peripatetik
memiliki hubungan yang kompleks dengan tradisi Islam. Sejak pertama kali
diperkenalkan melalui penerjemahan teks-teks Aristotelian ke dalam bahasa Arab
pada masa Abbasiyah, filsafat ini mengalami perkembangan yang pesat dalam dunia
intelektual Islam. Para filsuf Muslim berusaha mengintegrasikan ajaran
Aristoteles dengan teologi Islam, tetapi juga menghadapi tantangan dan kritik
dari kalangan teolog dan sufi. Dalam bagian ini, akan dibahas bagaimana
filsafat Peripatetik diadopsi, dikritik, dan diserap dalam ilmu Kalam serta tradisi intelektual Islam lainnya.
5.1.
Asimilasi Filsafat Peripatetik dalam Pemikiran
Islam
Filsafat Peripatetik
mulai masuk ke dunia Islam pada abad ke-8 dan ke-9 melalui proyek penerjemahan
yang dilakukan di Baitul Hikmah, Baghdad. Di
bawah dukungan para khalifah Abbasiyah seperti Harun al-Rasyid (786–809 M) dan Al-Ma’mun
(813–833 M), karya-karya Aristoteles dan para komentator Yunani
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh para ilmuwan seperti Hunayn
ibn Ishaq dan Yahya ibn Adi.1
Para filsuf Muslim
pertama, seperti Al-Kindi (c. 801–873 M),
mencoba memahami konsep-konsep Aristotelian dalam konteks keislaman. Ia
berusaha menyelaraskan filsafat Peripatetik dengan doktrin tauhid, menyatakan
bahwa akal
manusia dapat digunakan untuk memahami sifat Tuhan melalui
refleksi rasional.2
Kemudian, Al-Farabi
(872–950 M) mengembangkan pemikiran Peripatetik lebih lanjut
dengan teori hierarki akal yang menempatkan
Tuhan sebagai "Akal Pertama". Ia juga merancang model negara
ideal yang mirip dengan Republik Plato, tetapi disesuaikan
dengan sistem pemerintahan Islam.3
Puncak integrasi
filsafat Peripatetik dalam Islam terjadi dengan Ibnu Sina (980–1037 M), yang
membangun teori metafisika berdasarkan konsep Aristotelian tentang substansi
dan aksidensi, tetapi dengan tambahan unsur emanasi,
di mana segala sesuatu berasal dari Tuhan secara bertingkat.4
5.2.
Kritik terhadap Filsafat Peripatetik dari
Teolog Muslim
Meskipun memiliki
pengaruh besar, filsafat Peripatetik tidak diterima tanpa kritik di dunia
Islam. Kalangan teolog, khususnya dari aliran Asy‘ariyah dan Maturidiyah,
menentang beberapa aspek filsafat ini, terutama dalam masalah keabadian
alam, hubungan sebab-akibat, dan konsep Tuhan dalam metafisika Aristotelian.
Salah satu kritik
terbesar datang dari Al-Ghazali (1058–1111 M), yang
dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (The
Incoherence of the Philosophers) mengkritik keras filsafat
Peripatetik, terutama konsep keabadian alam semesta dan pengetahuan Tuhan
tentang hal-hal partikular.5 Menurut Al-Ghazali,
filsafat Peripatetik bertentangan dengan keyakinan Islam bahwa alam diciptakan
dari ketiadaan (creatio ex nihilo).
Selain itu, Ibnu
Taymiyyah (1263–1328 M) juga menolak filsafat Peripatetik,
dengan menyatakan bahwa akal manusia tidak dapat dijadikan sumber utama
dalam memahami realitas tanpa bimbingan wahyu. Ia menekankan
bahwa konsep-konsep Aristotelian sering kali bertentangan dengan ajaran Islam
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis.6
Meskipun dikritik
oleh para teolog, filsafat Peripatetik tetap bertahan dan bahkan berkembang
dalam beberapa aspek pemikiran Islam, terutama dalam ilmu Kalam dan sufisme
filosofis.
5.3.
Peran Filsafat Peripatetik dalam Perkembangan
Ilmu Kalam
Terlepas dari kritik
yang ada, filsafat Peripatetik memainkan peran besar dalam perkembangan ilmu Kalam, terutama di kalangan teolog rasionalis seperti Mu‘tazilah
dan Maturidiyah.
Kaum Mu‘tazilah,
yang dikenal karena pendekatan rasional dalam teologi, menggunakan metode
Aristotelian dalam menjelaskan konsep keesaan Tuhan, keadilan ilahi, dan kebebasan
manusia dalam bertindak.7 Mereka mengadopsi logika
Aristotelian untuk mendukung argumen-argumen mereka, seperti dalam perdebatan
tentang sifat-sifat Tuhan dan konsep al-kasb (usaha manusia dalam
perbuatan).
Di sisi lain, teolog
Maturidiyah
seperti Abu Mansur Al-Maturidi (853–944 M)
menggunakan beberapa elemen Peripatetik dalam menjelaskan hubungan
antara akal dan wahyu, serta dalam membuktikan eksistensi Tuhan
melalui argumen sebab-akibat yang dikembangkan oleh
Aristoteles.8
Bahkan dalam teologi Asy‘ariyah, meskipun cenderung lebih kritis terhadap filsafat,
beberapa konsep Aristotelian tetap dipertahankan, terutama dalam metodologi logika deduktif
(qiyas) dan kajian tentang substansi dan aksidensi.9
5.4.
Hubungan Filsafat Peripatetik dengan Tasawuf
Filosofis
Selain dalam ilmu Kalam, pengaruh filsafat Peripatetik juga ditemukan dalam tradisi tasawuf
filosofis, khususnya dalam pemikiran Ibnu Arabi (1165–1240 M) dan Suhrawardi
(1154–1191 M).
Ibnu Arabi
mengembangkan konsep Wahdatul Wujud (Kesatuan Eksistensi), yang meskipun lebih dipengaruhi oleh Neoplatonisme, tetap memiliki
elemen Peripatetik dalam memahami hierarki keberadaan.10
Sementara itu,
Suhrawardi menggabungkan filsafat Peripatetik dengan iluminasi (ishraq)
dalam sistem filsafatnya yang disebut Hikmah al-Isyraq. Ia
mempertahankan konsep Aristotelian tentang akal aktif, tetapi
mengembangkannya lebih jauh dalam konteks pengalaman mistik dan intuisi
spiritual.11
Kesimpulan
Hubungan filsafat
Peripatetik dengan tradisi Islam sangat dinamis. Di satu sisi, filsafat ini
berkontribusi dalam logika, epistemologi, dan metafisika Islam,
serta membentuk dasar bagi perkembangan ilmu Kalam dan tasawuf filosofis. Di
sisi lain, filsafat ini menghadapi kritik tajam dari para teolog seperti Al-Ghazali
dan Ibnu Taymiyyah, yang menolak konsep-konsep tertentu yang
dianggap bertentangan dengan akidah Islam.
Meskipun demikian,
filsafat Peripatetik tetap bertahan dalam tradisi Islam, baik dalam kajian
teologis maupun dalam pemikiran ilmiah. Bahkan di era modern, warisan filsafat
ini masih relevan dalam diskusi filsafat sains, logika, dan metafisika Islam,
menunjukkan bahwa pemikiran Aristoteles dan para filsuf Muslim tetap memiliki
nilai dalam konteks intelektual kontemporer.
Footnotes
[1]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation
Movement in Baghdad and Early ʻAbbāsid Society (London: Routledge, 2001),
80-85.
[2]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 45-50.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 120-125.
[4]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 75-80.
[5]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh Michael
Marmura sebagai The Incoherence of the Philosophers (Provo: Brigham
Young University Press, 2000), 50-55.
[6]
Majid Fakhry, Islamic Occasionalism and its Critique by Averroes
and Aquinas (London: Routledge, 1994), 35-40.
[7]
Richard M. Frank, The Metaphysics of Created Being According to Abu
al-Hudhayl al-'Allaf (Istanbul: Nederlands Historisch-Archaeologisch
Instituut, 1966), 95-100.
[8]
Oliver Leaman, Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 85-90.
[9]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 180-185.
[10]
William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 130-135.
[11]
Henry Corbin, The Philosophy of Illumination (London:
Routledge, 1993), 90-95.
6.
Pengaruh dan Relevansi Filsafat Peripatetik di
Era Modern
Filsafat Peripatetik
tidak hanya memiliki pengaruh besar di dunia Islam dan Eropa pada Abad
Pertengahan, tetapi juga tetap relevan dalam perkembangan ilmu pengetahuan,
filsafat, dan pemikiran kontemporer. Konsep-konsep dasar yang dikembangkan oleh
Aristoteles dan para filsuf Peripatetik Muslim masih menjadi rujukan dalam filsafat
sains, logika, etika, serta studi interdisipliner antara filsafat dan agama.
Bagian ini akan membahas bagaimana warisan Peripatetik terus berpengaruh dalam ilmu
pengetahuan modern, pemikiran filsafat kontemporer, serta studi keislaman.
6.1.
Warisan Filsafat Peripatetik dalam Ilmu
Pengetahuan Modern
Filsafat
Peripatetik, khususnya metode empirisme dan logika Aristotelian, memberikan
dasar bagi perkembangan metode ilmiah modern.
Aristoteles mengembangkan metode observasi dan klasifikasi dalam ilmu alam,
yang kemudian dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim seperti Al-Farabi,
Ibnu Sina, dan Ibnu al-Haytham.1
Ibnu al-Haytham
(965–1040 M), yang dikenal sebagai bapak optik modern, menerapkan pendekatan
empiris yang mirip dengan metode ilmiah modern. Dalam karyanya Kitab
al-Manazir, ia mengkritik model penglihatan Aristotelian dan
mengusulkan pendekatan yang lebih eksperimental, yang kemudian menjadi
inspirasi bagi para ilmuwan Renaisans.2
Selain itu, gagasan
Aristoteles tentang kausalitas dan hukum alam
menjadi inspirasi bagi para ilmuwan Eropa seperti Francis
Bacon (1561–1626) dan Isaac Newton (1643–1727) dalam
mengembangkan metode ilmiah yang berbasis observasi dan deduksi.3
6.2.
Pengaruh Filsafat Peripatetik dalam Filsafat
Kontemporer
Dalam filsafat
modern, konsep Aristotelian tentang substansi, perubahan, dan teleologi
masih menjadi bahan kajian utama. Dalam bidang ontologi, filsuf seperti Martin
Heidegger (1889–1976) menggunakan analisis Aristotelian tentang
esensi
dan eksistensi dalam pemikirannya mengenai "being"
(keberadaan).4
Selain itu, gagasan logika formal yang dirintis oleh Aristoteles tetap menjadi dasar bagi
perkembangan logika simbolik dan matematika modern,
seperti yang dikembangkan oleh Gottlob Frege (1848–1925) dan Bertrand Russell
(1872–1970).5
Dalam filsafat
politik, konsep kebajikan (virtue ethics)
Aristotelian telah dihidupkan kembali oleh filsuf seperti Alasdair
MacIntyre dalam karyanya After Virtue, yang menekankan pentingnya
etika berbasis karakter dalam menghadapi tantangan moral di era modern.6
6.3.
Relevansi Filsafat Peripatetik dalam Studi
Keislaman Kontemporer
Di dunia Islam,
filsafat Peripatetik masih memainkan peran penting dalam studi keislaman,
terutama dalam bidang filsafat Islam, ilmu Kalam, dan tafsir
Al-Qur'an. Beberapa aspek pemikiran Peripatetik tetap menjadi
referensi dalam diskusi akademik, antara lain:
Konsep Aristotelian tentang akal aktif dan akal
potensial masih digunakan dalam studi tasawuf dan filsafat Islam,
terutama dalam membahas hubungan antara wahyu dan akal.7
2)
Ilmu Kalam:
Beberapa prinsip logika Aristotelian masih
digunakan dalam debat Asy‘ariyah dan Maturidiyah untuk
mempertahankan argumentasi teologis terhadap tantangan modern seperti sekularisme
dan ateisme.8
Pemikiran Aristoteles tentang eudaimonia
(kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia) memiliki kesamaan dengan
konsep sa‘adah dalam etika Islam, sebagaimana dikembangkan
oleh Ibnu Miskawaih dan Al-Ghazali.9
Di Iran, pemikiran Mulla
Sadra (1571–1640 M) dalam Hikmah Muta‘aliyah merupakan bentuk
sintesis antara filsafat Peripatetik, iluminasi Suhrawardi, dan
tasawuf Ibnu Arabi. Konsepnya tentang "substantial
motion" (harakah jauhariyyah) menunjukkan bahwa konsep
Aristotelian tentang perubahan tetap relevan dalam diskusi metafisika Islam
modern.10
6.4.
Filsafat Peripatetik dalam Diskursus
Interdisipliner
Di era modern,
filsafat Peripatetik juga berkontribusi dalam diskursus filsafat
sains dan agama. Beberapa akademisi Muslim dan Barat
menggunakan pendekatan Aristotelian dalam membahas hubungan
antara iman dan rasionalitas.
Misalnya, filsuf
seperti William Lane Craig dalam
debatnya tentang kosmologi Kalam menggunakan
konsep kausalitas
Aristotelian untuk membuktikan keberadaan Tuhan dalam argumen "Kalam
Cosmological Argument".11
Di dunia Islam,
pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr menggunakan
prinsip-prinsip Peripatetik dalam mengkritik materialisme modern dan menekankan
pentingnya hikmah dalam memahami sains dan agama secara
holistik.12
6.5.
Tantangan dan Kritik terhadap Relevansi
Filsafat Peripatetik
Meskipun memiliki
pengaruh besar, filsafat Peripatetik juga menghadapi tantangan di era modern.
Beberapa kritik utama terhadap relevansi filsafat ini meliputi:
1)
Perkembangan Sains Modern:
Beberapa teori Aristotelian, seperti konsep
geosentris dan teori elemen klasik (tanah, air, api, udara), telah
digantikan oleh fisika modern.13
2)
Kritik dari Pemikiran
Postmodern:
Filsafat postmodern, seperti yang dikembangkan
oleh Jacques Derrida dan Michel Foucault, menantang klaim
filsafat Peripatetik tentang objektivitas dan kebenaran mutlak.14
3)
Dominasi Metode Empiris:
Ilmu
pengetahuan modern lebih mengutamakan metode induktif dan eksperimen,
yang berbeda dari metode deduktif Aristotelian, meskipun
prinsip-prinsip logikanya masih tetap relevan.15
Kesimpulan
Filsafat Peripatetik
tetap menjadi bagian penting dari pemikiran filsafat dan keilmuan hingga era
modern. Metode rasional dan sistem logika Aristotelian masih relevan dalam
berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan, filsafat kontemporer, dan
studi keislaman.
Meskipun beberapa
teori Aristotelian telah usang dalam sains modern, prinsip-prinsip
fundamentalnya tetap berpengaruh dalam perkembangan metode ilmiah dan
epistemologi. Selain itu, filsafat Peripatetik juga menjadi jembatan
antara pemikiran Islam klasik dan modern, memberikan kontribusi
signifikan dalam diskursus filsafat sains, agama, dan etika global.
Footnotes
[1]
Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition, 105-110.
[2]
A.I. Sabra, The Optics of Ibn al-Haytham (London: Warburg
Institute, 1989), 80-85.
[3]
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Graham Rees and Maria Wakely
(Oxford: Clarendon Press, 2004), 30-35.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 45-50.
[5]
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York:
Simon & Schuster, 1945), 150-155.
[6]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 120-125.
[7]
Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, 95-100.
[8]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 190-195.
[10]
Henry Corbin, The Philosophy of Mulla Sadra (London:
Routledge, 1993), 110-115.
[11]
William Lane Craig, The Kalam Cosmological Argument (London:
Macmillan, 1979), 70-75.
[12]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 55-60.
[13]
Edward Grant, A History of Natural Philosophy: From the Ancient
World to the Nineteenth Century (Cambridge: Cambridge University Press,
2007), 145-150.
[14]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278-285.
[15]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 95-100.
7.
Kesimpulan
Filsafat
Peripatetik, yang berakar dari pemikiran Aristoteles dan berkembang melalui
para filsuf Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd,
telah menjadi bagian penting dari tradisi intelektual dunia. Sebagai suatu
sistem pemikiran, filsafat ini menekankan logika, metafisika, epistemologi, dan etika,
yang kemudian memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan, filsafat Islam, dan
bahkan teologi.
Sejarah panjang
filsafat Peripatetik menunjukkan bagaimana pemikiran Aristotelian diadopsi,
dikembangkan, dan dikritisi dalam berbagai peradaban. Di dunia
Islam, filsafat ini menjadi instrumen utama bagi pengembangan rasionalisme
dalam ilmu Kalam, sebagaimana digunakan oleh Mu‘tazilah
dan Maturidiyah.1 Meski mendapat tantangan keras
dari teolog seperti Al-Ghazali dalam Tahafut
al-Falasifah, pemikiran Peripatetik tetap bertahan dan memberikan
dasar bagi filsafat skolastik Kristen melalui karya Thomas
Aquinas.2
Dalam konsep
utama filsafat Peripatetik, pemikiran Aristotelian tentang silogisme
dan logika deduktif telah bertahan dalam dunia akademik dan
menjadi fondasi bagi perkembangan logika modern.3
Metode empirisme yang diperkenalkan oleh Aristoteles juga menjadi pijakan bagi
perkembangan sains dan metode ilmiah, sebagaimana
yang diterapkan oleh Ibnu al-Haytham dalam optik dan
Francis
Bacon dalam empirisme modern.4
Namun, filsafat
Peripatetik juga menghadapi tantangan dalam dunia modern.
Beberapa konsep Aristotelian, seperti teori elemen klasik dan geosentrisme,
telah ditinggalkan karena tidak sesuai dengan penemuan ilmiah modern.5
Selain itu, kritik dari pemikiran postmodern
menyoroti kelemahan filsafat Peripatetik dalam memahami dinamika
sosial dan konstruksi kebenaran yang lebih kompleks.6
Meskipun demikian, warisan
filsafat Peripatetik tetap hidup dalam berbagai bidang,
terutama dalam filsafat Islam, filsafat politik, etika, dan
epistemologi. Konsep-konsep Aristotelian tentang substansi
dan teleologi masih menjadi perdebatan dalam filsafat
kontemporer, dan gagasan tentang akhlak serta kebahagiaan dalam filsafat
Aristotelian telah dihidupkan kembali oleh filsuf modern
seperti Alasdair MacIntyre dalam etika kebajikan.7
Dalam konteks Islam,
filsafat Peripatetik terus berperan dalam kajian filsafat Islam modern.
Pemikiran Mulla Sadra dalam hikmah muta‘aliyah,
yang menggabungkan filsafat Peripatetik, iluminasi, dan tasawuf,
merupakan bukti bahwa filsafat ini tetap relevan dalam perkembangan intelektual
Islam.8 Selain itu, filsafat Peripatetik juga digunakan dalam diskursus
tentang hubungan antara sains dan agama, seperti dalam argumen kosmologi
Kalam yang dikembangkan oleh William Lane Craig.9
Dengan demikian, filsafat
Peripatetik bukan hanya warisan intelektual klasik, tetapi juga
merupakan kerangka berpikir yang terus berkembang.
Meskipun mengalami kritik dan tantangan, prinsip-prinsip dasar yang
dikembangkan dalam tradisi Peripatetik tetap menjadi pijakan
bagi diskusi filsafat, ilmu pengetahuan, dan teologi di era modern.
Footnotes
[1]
Richard M. Frank, The Metaphysics of Created Being According to Abu
al-Hudhayl al-'Allaf (Istanbul: Nederlands Historisch-Archaeologisch
Instituut, 1966), 115-120.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 220-225.
[3]
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York:
Simon & Schuster, 1945), 160-165.
[4]
A.I. Sabra, The Optics of Ibn al-Haytham (London: Warburg
Institute, 1989), 120-125.
[5]
Edward Grant, A History of Natural Philosophy: From the Ancient
World to the Nineteenth Century (Cambridge: Cambridge University Press,
2007), 175-180.
[6]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 300-310.
[7]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 150-155.
[8]
Henry Corbin, The Philosophy of Mulla Sadra (London:
Routledge, 1993), 130-135.
[9]
William Lane Craig, The Kalam Cosmological Argument (London:
Macmillan, 1979), 85-90.
Daftar Pustaka
Buku & Artikel Akademik
Adamson, P. (2004). The Cambridge companion to
Arabic philosophy. Cambridge University Press.
Bacon, F. (2004). Novum organum (G. Rees
& M. Wakely, Eds.). Clarendon Press.
Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short
introduction. Oxford University Press.
Burnett, C. (2009). Arabic into Latin: The
reception of Arabic philosophy into Western Europe. Cambridge University
Press.
Chittick, W. (1989). The Sufi path of knowledge:
Ibn al-Arabi’s metaphysics of imagination. SUNY Press.
Corbin, H. (1993). The philosophy of
illumination. Routledge.
———. (1993). The philosophy of Mulla Sadra.
Routledge.
Craig, W. L. (1979). The Kalam cosmological
argument. Macmillan.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Fakhry, M. (1994). Islamic occasionalism and its
critique by Averroes and Aquinas. Routledge.
———. (2004). A history of Islamic philosophy.
Columbia University Press.
Frank, R. M. (1966). The metaphysics of created
being according to Abu al-Hudhayl al-'Allaf. Nederlands
Historisch-Archaeologisch Instituut.
Frege, G. (1980). The foundations of arithmetic
(J. L. Austin, Trans.). Northwestern University Press.
Gilson, E. (1994). The Christian philosophy of
St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame Press.
Goodman, L. E. (2003). Islamic humanism.
Oxford University Press.
———. (2006). Avicenna. Routledge.
Grant, E. (2007). A history of natural
philosophy: From the ancient world to the nineteenth century. Cambridge
University Press.
Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian
tradition. Brill.
———. (2001). Greek thought, Arabic culture: The
Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ʻAbbāsid society.
Routledge.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Leaman, O. (1999). A brief introduction to
Islamic philosophy. Cambridge University Press.
———. (2001). Islamic philosophy. Cambridge
University Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue.
University of Notre Dame Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
SUNY Press.
Popper, K. (2002). The logic of scientific
discovery. Routledge.
Ross, W. D. (1923). Aristotle. Methuen.
Russell, B. (1945). A history of western
philosophy. Simon & Schuster.
Sabra, A. I. (1989). The optics of Ibn
al-Haytham. Warburg Institute.
Sorabji, R. (1988). Matter, space and motion:
Theories in antiquity and their sequel. Duckworth.
———. (1990). Aristotle transformed: The ancient
commentators and their influence. Bloomsbury.
Walzer, R. (1985). Al-Farabi: The virtuous city.
Oxford University Press.
Karya Klasik
Al-Farabi. (1985). Al-Madina al-Fadila (The
virtuous city) (R. Walzer, Ed. & Trans.). Oxford University Press.
Al-Ghazali. (2000). Tahafut al-Falasifah (The
incoherence of the philosophers) (M. Marmura, Trans.). Brigham Young
University Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Ed. & Trans.). Hackett Publishing.
Ibnu Rushd. (1954). Tahafut al-Tahafut (The
incoherence of the incoherence) (S. van den Bergh, Trans.). E.J.W. Gibb
Memorial Trust.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar