Ketabahan (Resilience)
Fondasi Rasional, Sejarah, dan
Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.
Abstrak
Artikel ini mengkaji konsep ketabahan (resilience)
dalam Stoikisme, sebuah aliran filsafat yang berkembang sejak abad ke-3 SM dan
berfokus pada etika hidup sesuai dengan alam serta pengendalian diri. Kajian
dimulai dengan penelusuran konseptual mengenai ketabahan sebagai manifestasi
rasionalitas, kemudian dilanjutkan dengan telaah historis dari Stoa Awal, Stoa
Pertengahan, hingga Stoa Akhir. Analisis terhadap tokoh-tokoh utama seperti
Zeno, Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius menunjukkan bahwa ketabahan
dipahami bukan sekadar sebagai daya tahan pasif, melainkan sebagai sikap aktif
yang berakar pada kebajikan, kebebasan batin, dan penerimaan terhadap tatanan
kosmik (logos).
Artikel ini juga mengemukakan kritik internal maupun
eksternal terhadap konsep ketabahan Stoik, termasuk keterbatasannya dalam
menghadapi kompleksitas emosi manusia dan konteks sosial. Namun demikian,
Stoikisme tetap relevan ketika diintegrasikan dengan psikologi modern,
khususnya dalam kajian tentang resilience, pendidikan karakter, kepemimpinan,
serta manajemen krisis global. Sintesis filosofis menunjukkan bahwa ketabahan
Stoik dapat menjadi jembatan antara filsafat, psikologi, dan spiritualitas,
serta menjadi fondasi moral bagi manusia modern untuk menghadapi penderitaan
dan ketidakpastian hidup dengan martabat.
Kata Kunci: Stoikisme; Ketabahan; Resilience; Kebajikan; Filsafat Etika; Psikologi
Modern; Kepemimpinan; Pendidikan Karakter.
PEMBAHASAN
Fondasi Rasional, Sejarah, dan
Relevansi Ketabahan dalam Stoikisme
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang
Dalam sejarah
filsafat, Stoikisme menempati posisi penting sebagai aliran etika yang
menekankan pada ketenangan jiwa, rasionalitas, dan kemandirian batin. Salah
satu konsep utama dalam ajaran Stoikisme adalah ketabahan (resilience),
yaitu kemampuan manusia untuk tetap teguh, tenang, dan rasional menghadapi
penderitaan, kesulitan, maupun perubahan nasib. Dalam konteks dunia modern,
konsep ini semakin relevan mengingat manusia kini berhadapan dengan berbagai
krisis global, mulai dari pandemi, perang, perubahan iklim, hingga tekanan
psikologis akibat perkembangan teknologi dan sosial yang serba cepat.¹
Ketabahan dalam
perspektif Stoikisme tidak semata-mata diartikan sebagai daya tahan pasif,
melainkan sebagai sikap aktif untuk menyelaraskan diri dengan hukum alam (logos), menerima hal-hal yang
berada di luar kendali, dan mengarahkan energi batin pada hal-hal yang dapat
dikuasai.² Dengan demikian, resilience dalam Stoikisme berakar pada
rasionalitas dan kebajikan, yang menjadi inti dari kehidupan baik (eudaimonia).
1.2.      
Rumusan Masalah
Dari latar belakang
tersebut, maka
dapat dirumuskan beberapa pertanyaan pokok:
1)                 
Bagaimana Stoikisme mendefinisikan
dan memaknai konsep ketabahan (resilience)?
2)                 
Bagaimana perkembangan pemikiran
tentang ketabahan dalam sejarah Stoikisme dari Stoa Awal hingga Stoa Akhir?
3)                 
Apa relevansi ketabahan Stoik
dalam konteks kehidupan manusia modern?
1.3.      
Tujuan Penelitian
Artikel ini
bertujuan untuk:
1)                 
Mengkaji secara konseptual
pemahaman Stoikisme mengenai ketabahan.
2)                 
Menelusuri sejarah perkembangan
gagasan ketabahan dalam lintasan filsafat Stoik.
3)                 
Merefleksikan relevansi dan
penerapan konsep ketabahan Stoik dalam menghadapi tantangan kontemporer, baik
dalam ranah individu maupun sosial.
1.4.      
Manfaat Penelitian
Secara teoretis,
penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur filsafat mengenai
Stoikisme, khususnya dalam ranah etika. Secara praktis, penelitian ini dapat
memberikan kontribusi bagi pendidikan karakter, psikologi modern, serta
pembentukan mentalitas tangguh dalam menghadapi krisis dan penderitaan. Dengan demikian, kajian
tentang ketabahan Stoik dapat menjadi jembatan antara tradisi filsafat klasik
dan kebutuhan eksistensial manusia modern.³
Footnotes
[1]               
Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius
(Cambridge: Harvard University Press, 1998), 83–85.
[2]               
Epictetus, The Enchiridion, trans. Nicholas P. White
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 12–14.
[3]               
Donald Robertson, How to Think Like a Roman Emperor: The Stoic
Philosophy of Marcus Aurelius (New York: St. Martin’s Press, 2019), 45–50.
2.          
Konsep Dasar
Ketabahan (Resilience) dalam Stoikisme
2.1.      
Definisi Etimologis
dan Terminologis
Istilah resilience
berasal dari bahasa Latin resilire, yang berarti “melompat
kembali” atau “bangkit kembali.”¹ Secara terminologis dalam
psikologi modern, resilience dipahami sebagai kemampuan individu untuk
bertahan, beradaptasi, dan bangkit dari situasi sulit atau traumatis.² Dalam konteks Stoikisme, meskipun
istilah resilience
bukan istilah asli yang dipakai para filsuf Stoa, gagasannya erat kaitannya
dengan ajaran apatheia (kebebasan dari gejolak
emosi yang merusak) dan ataraxia (ketenangan jiwa).³
Bagi kaum Stoik, ketabahan bukanlah sekadar
kemampuan untuk menahan penderitaan, melainkan kemampuan untuk tetap berpikir
rasional, seimbang, dan berpegang pada kebajikan ketika berhadapan dengan
hal-hal yang tidak dapat dikendalikan. Dengan demikian, resilience dalam
Stoikisme memiliki fondasi etis yang mendalam, berbeda dari pemahaman sekuler
yang cenderung menekankan aspek psikologis semata.
2.2.      
Posisi Resilience
dalam Kerangka Etika Stoikisme
Etika Stoik berpusat
pada empat kebajikan utama: kebijaksanaan (sophia), keberanian (andreia),
keadilan (dikaiosyne),
dan pengendalian diri (sophrosyne).⁴ Resilience dapat
dipandang sebagai buah dari kombinasi keempat kebajikan tersebut. Kebijaksanaan
memberikan arah rasional dalam menghadapi penderitaan; keberanian memungkinkan
seseorang menghadapi tantangan
dengan teguh; keadilan menjaga keseimbangan hubungan dengan orang lain; dan
pengendalian diri memampukan individu untuk tidak dikuasai oleh hawa nafsu atau
emosi negatif.
Dengan kata lain,
ketabahan bukanlah
kebajikan tambahan di luar kerangka etika Stoik, melainkan manifestasi konkret
dari kebajikan yang telah terintegrasi. Ia menjadi cara manusia Stoik menjalani
hidup sesuai dengan kodrat alam (kata physis zen).⁵
2.3.      
Hubungan Resilience
dengan Konsep Apatheia, Logos, dan Virtue
Dalam Stoikisme, apatheia
adalah kondisi batin yang bebas dari dominasi emosi destruktif, bukan berarti
tanpa emosi sama sekali.⁶ Ketabahan muncul ketika individu mampu menjaga apatheia
dalam menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Dalam kerangka kosmologis
Stoik, semua peristiwa
dianggap sebagai bagian dari logos—rasionalitas kosmik yang
mengatur alam semesta. Dengan menerima takdir sebagai ekspresi logos,
individu menemukan kekuatan batin untuk tetap tegar meski menghadapi tragedi.⁷
Selain itu,
resilience sangat terkait dengan konsep virtue (arete) dalam Stoikisme.
Virtue, bagi kaum Stoik, adalah satu-satunya kebaikan sejati dan sumber
kebahagiaan.⁸ Ketabahan adalah
ekspresi langsung dari hidup dalam kebajikan, sebab hanya orang yang berpegang
teguh pada virtue yang mampu tetap tabah di tengah ketidakpastian hidup.
Footnotes
[1]               
John W. Berry, Handbook of Cross-Cultural Psychology (Boston:
Allyn and Bacon, 1997), 23.
[2]               
Ann S. Masten, “Ordinary Magic: Resilience Processes in Development,” American
Psychologist 56, no. 3 (2001): 227–238.
[3]               
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, trans. Michael
Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 83–85.
[4]               
A. A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics
(London: Duckworth, 1986), 195–198.
[5]               
Anthony Arthur Long and David N. Sedley, The Hellenistic
Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987),
345–350.
[6]               
Margaret R. Graver, Stoicism and Emotion (Chicago: University
of Chicago Press, 2007), 30–33.
[7]               
Epictetus, Discourses, trans. Robert Dobbin (London: Penguin
Classics, 2008), 24–27.
[8]               
Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (London:
Penguin Books, 2004), 52–53.
3.          
Sejarah dan
Perkembangan Gagasan Ketabahan dalam Stoikisme
3.1.      
Stoa Awal: Fondasi
Rasionalitas dan Kemandirian Batin
Stoikisme lahir pada
abad ke-3 SM melalui Zeno dari Citium, yang mengajarkan filsafatnya di beranda Stoa
Poikile di Athena.¹ Pada fase awal ini, ketabahan dipahami sebagai sikap konsisten
manusia dalam hidup sesuai dengan alam (kata physis zen), yang menuntut
keselarasan dengan hukum kosmos. Zeno, Cleanthes, dan Chrysippus menekankan
pentingnya akal (logos) sebagai pedoman utama dalam
menghadapi kesulitan.²
Bagi Zeno, ketabahan
merupakan konsekuensi dari hidup dalam kebajikan, sebab segala sesuatu yang
berada di luar kebajikan dianggap sebagai adiaphora (indiferens).³ Cleanthes
menambahkan unsur religius melalui Hymn to Zeus, di mana ketabahan
ditafsirkan sebagai kepatuhan pada tatanan ilahi. Chrysippus kemudian memperkuat kerangka logis Stoik dengan
sistematisasi etika yang menegaskan bahwa ketabahan adalah kemampuan untuk
membedakan hal-hal yang dapat dan tidak dapat dikendalikan.⁴
3.2.      
Stoa Pertengahan:
Penekanan Praktis dan Adaptasi Sosial
Pada masa Stoa
Pertengahan (abad ke-2 SM), ketabahan mendapat dimensi baru. Panaetius
memperhalus ajaran Stoik agar lebih relevan bagi kalangan elite Romawi.⁵ Ia
menekankan aspek praktis resilience sebagai dasar moralitas dalam kehidupan publik dan politik,
bukan hanya sebagai disiplin batin individual. Posidonius kemudian memperluas
gagasan ini dengan memasukkan unsur psikologis dan kosmologis.⁶ Menurutnya,
ketabahan tidak hanya terkait dengan pengendalian emosi, tetapi juga melibatkan
pemahaman kosmos sebagai kesatuan rasional yang mengajarkan manusia untuk
menerima penderitaan sebagai bagian dari tatanan universal.
Dengan demikian,
pada fase ini ketabahan Stoik berkembang dari prinsip asketis individual menuju
etika sosial yang dapat diterapkan dalam hubungan interpersonal, politik, dan budaya.
3.3.      
Stoa Akhir: Ketabahan
dalam Konteks Kehidupan Praktis dan Kepemimpinan
Masa Stoa Akhir
(abad ke-1 M – abad ke-2 M) memperlihatkan puncak aktualisasi gagasan
ketabahan. Seneca, dalam Epistulae Morales ad Lucilium,
menekankan pentingnya ketabahan sebagai kekuatan moral untuk menghadapi
penderitaan, kematian, dan ketidakpastian hidup.⁷ Baginya, resilience berarti menafsirkan penderitaan bukan
sebagai beban, melainkan sebagai kesempatan untuk melatih kebajikan.
Epictetus, seorang
mantan budak, mengajarkan bahwa kebebasan sejati terletak pada kemampuan untuk
mengendalikan kehendak (prohairesis).⁸ Ia menegaskan bahwa
ketabahan lahir ketika seseorang menerima segala sesuatu di luar dirinya
sebagai takdir (heimarmenē), sementara mengarahkan
energi batin hanya pada hal-hal yang berada dalam kendali.
Marcus Aurelius,
sebagai kaisar-filsuf, menampilkan ketabahan sebagai etika kepemimpinan. Dalam Meditations,
ia menulis refleksi diri tentang bagaimana seorang pemimpin harus menghadapi
ujian hidup, serangan musuh, dan pengkhianatan dengan ketenangan, rasionalitas,
serta kesadaran kosmik.⁹ Resilience baginya adalah sikap batin yang menuntun seorang pemimpin untuk
tetap teguh dalam menjalankan tanggung jawab publik.
3.4.      
Evolusi Konsep
Resilience dalam Lintasan Stoikisme
Dari Stoa Awal
hingga Stoa Akhir, konsep
ketabahan mengalami perkembangan signifikan:
1)                 
Pada Stoa Awal,
resilience berakar pada rasionalitas kosmik dan keselarasan dengan alam.
2)                 
Pada Stoa Pertengahan,
konsep ini diperhalus menjadi lebih praktis dan relevan secara sosial.
3)                 
Pada Stoa Akhir,
ketabahan menjadi pedoman moral pribadi sekaligus etika kepemimpinan,
menekankan penerimaan takdir dan pengendalian batin.
Dengan demikian,
gagasan ketabahan dalam Stoikisme tidak pernah statis, melainkan senantiasa berkembang sesuai dengan
konteks historis, sosial, dan politik yang melingkupinya.
Footnotes
[1]               
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D.
Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 7.
[2]               
A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California
Press, 1996), 13–15.
[3]               
Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism
(Oxford: Clarendon Press, 1985), 88–90.
[4]               
Anthony A. Long and David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers,
vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 352–355.
[5]               
Cicero, On Duties, trans. Walter Miller (Cambridge: Harvard
University Press, 1913), 27–29.
[6]               
John Dillon and A. A. Long, The Question of Eclecticism: Studies in
Later Greek Philosophy (Berkeley: University of California Press, 1988),
120–123.
[7]               
Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (London:
Penguin Books, 2004), 55–57.
[8]               
Epictetus, Discourses, trans. Robert Dobbin (London: Penguin
Classics, 2008), 32–34.
[9]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2002), 45–47.
4.          
Tokoh-Tokoh Stoik
dan Pandangan tentang Ketabahan
4.1.      
Zeno dari Citium:
Fondasi Ketabahan sebagai Keselarasan dengan Alam
Sebagai pendiri
Stoikisme, Zeno dari Citium (334–262 SM) menekankan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang
selaras dengan alam (kata physis zen).¹ Dalam kerangka
ini, ketabahan merupakan konsekuensi logis dari penerimaan terhadap keteraturan
kosmos yang diatur oleh logos. Bagi Zeno, penderitaan, kehilangan,
maupun perubahan nasib bukanlah hal yang jahat, melainkan sekadar indifferent (adiaphora).²
Oleh sebab itu, ketabahan lahir dari kemampuan untuk tetap teguh dalam
kebajikan tanpa tergoyahkan oleh hal-hal eksternal.
4.2.      
Epictetus: Ketabahan
dan Kebebasan Batin
Epictetus (50–135
M), seorang filsuf
Stoik yang pernah hidup sebagai budak, mengajarkan bahwa ketabahan berakar pada
penguasaan diri terhadap kehendak (prohairesis).³ Menurutnya, manusia
tidak dapat mengendalikan peristiwa eksternal, tetapi ia dapat mengendalikan
cara ia meresponsnya. Dalam Enchiridion, Epictetus menulis
bahwa penderitaan bukan berasal dari peristiwa itu sendiri, melainkan dari
penilaian manusia terhadap peristiwa tersebut.⁴ Dari perspektif ini, ketabahan
adalah kemampuan untuk menerima takdir (amor fati) dengan sikap batin yang
rasional dan teguh, sehingga penderitaan justru menjadi sarana latihan
kebajikan.
4.3.      
Seneca: Ketabahan
sebagai Latihan Menghadapi Penderitaan
Seneca (4 SM–65 M),
seorang negarawan sekaligus filsuf Stoik, memandang ketabahan sebagai daya
tahan moral menghadapi penderitaan, kemiskinan, maupun kematian. Dalam Epistulae
Morales ad Lucilium, ia berulang kali menekankan bahwa penderitaan
harus dilihat sebagai kesempatan untuk menguji kekuatan batin.⁵ Baginya,
resilience tidak berarti menolak penderitaan, tetapi mengubahnya menjadi sarana
pembentukan karakter.
Dalam kerangka ini, ketabahan adalah latihan terus-menerus (askesis)
untuk membebaskan diri dari ketakutan dan keserakahan.⁶
4.4.      
Marcus Aurelius:
Ketabahan sebagai Etika Kepemimpinan
Marcus Aurelius
(121–180 M), kaisar Romawi sekaligus filsuf Stoik, mempraktikkan ketabahan
dalam konteks kepemimpinan. Dalam Meditations, ia sering merenungkan
bagaimana seorang pemimpin harus menghadapi serangan, pengkhianatan, dan
penyakit dengan ketenangan dan rasionalitas.⁷ Baginya, ketabahan adalah sikap
untuk tetap menjalankan kewajiban publik sesuai kebajikan, sekalipun berada di
bawah tekanan berat. Ia mengajarkan
bahwa seorang pemimpin harus melihat segala peristiwa dalam perspektif kosmik:
kecilnya penderitaan manusia di hadapan keabadian alam semesta.⁸ Dengan
demikian, resilience bagi Marcus Aurelius adalah prinsip moral sekaligus
strategi praktis dalam memimpin.
4.5.      
Sintesis Pemikiran
Tokoh-Tokoh Stoik
Dari keempat tokoh
utama Stoik
tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketabahan dipahami sebagai:
1)                 
Zeno: keselarasan
dengan alam dan keteguhan pada kebajikan.
2)                 
Epictetus:
kebebasan batin melalui pengendalian kehendak.
3)                 
Seneca: latihan
moral untuk menghadapi penderitaan.
4)                 
Marcus Aurelius:
etika kepemimpinan yang tabah dalam menghadapi tekanan publik.
Meskipun berbeda
dalam konteks historis dan pengalaman hidup, mereka memiliki kesamaan fundamental: ketabahan adalah
buah dari kehidupan dalam kebajikan (virtue) dan keselarasan dengan
rasionalitas kosmik (logos).
Footnotes
[1]               
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D.
Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 195.
[2]               
Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism
(Oxford: Clarendon Press, 1985), 93–96.
[3]               
A. A. Long, Epictetus: A Stoic and Socratic Guide to Life
(Oxford: Clarendon Press, 2002), 104–107.
[4]               
Epictetus, The Enchiridion, trans. Nicholas P. White
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 6–8.
[5]               
Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (London:
Penguin Books, 2004), 52–55.
[6]               
James Ker, The Deaths of Seneca (Oxford: Oxford University
Press, 2009), 41–43.
[7]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2002), 56–58.
[8]               
Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius
(Cambridge: Harvard University Press, 1998), 122–125.
5.          
Dimensi Filosofis
Ketabahan
5.1.      
Resilience sebagai
Manifestasi Rasionalitas
Dalam kerangka
Stoikisme, rasionalitas (logos) adalah inti dari eksistensi
manusia sekaligus prinsip kosmik yang menata alam semesta.¹ Ketabahan lahir
ketika individu mampu menyesuaikan pikirannya dengan rasionalitas universal
ini. Dengan berpikir rasional, manusia menyadari batas kekuasaannya: bahwa ia
tidak dapat mengendalikan dunia luar, tetapi dapat menguasai sikap batinnya.² Oleh sebab itu, resilience
bukanlah reaksi emosional spontan, melainkan sikap sadar yang dibangun atas
dasar refleksi dan kebijaksanaan.
Rasionalitas inilah
yang membedakan ketabahan Stoik dari bentuk ketabahan lain yang sekadar bersifat
instingtif atau survival. Dalam Stoikisme, resilience adalah keputusan intelektual untuk hidup selaras
dengan alam, sehingga penderitaan sekalipun dapat diterima dengan tenang.³
5.2.      
Relasi Resilience
dengan Kebebasan Batin
Salah satu aspek
penting dari ketabahan adalah kebebasan batin. Menurut Epictetus, manusia tidak
bebas dari kondisi eksternal, tetapi bebas dalam menilai dan meresponsnya.⁴ Ketabahan berarti menjaga
kebebasan batin ini dari dominasi emosi negatif seperti ketakutan, kemarahan,
dan kesedihan berlebihan. Dengan demikian, resilience menjadi sarana
pembebasan: seseorang tetap merdeka meskipun terikat oleh keadaan sosial,
politik, atau fisik.
Kebebasan batin yang
dimaksud bukanlah nihilisme, melainkan otonomi moral yang berakar pada kebajikan.⁵
Dengan tabah, individu membuktikan bahwa martabat manusia terletak pada integritas batin, bukan
pada status atau kekayaan lahiriah.
5.3.      
Resilience dalam
Kaitannya dengan Penderitaan dan Kematian
Filsuf-filsuf Stoik
menempatkan penderitaan dan kematian sebagai ujian utama bagi ketabahan. Seneca
menekankan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, karena ia
merupakan bagian alami dari kehidupan.⁶ Ketabahan menghadapi kematian menandakan keberanian moral
sekaligus kesadaran metafisik bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari kosmos.
Epictetus
menambahkan bahwa penderitaan adalah ladang latihan (askesis)
bagi kebajikan.⁷ Sementara Marcus Aurelius, dalam Meditations, menyarankan untuk memandang penderitaan dari
perspektif kosmik: segala kesulitan bersifat sementara dan kecil jika
dibandingkan dengan luasnya alam semesta.⁸ Dengan demikian, resilience adalah
sikap filsafati yang mengubah penderitaan menjadi kesempatan untuk mencapai
kebijaksanaan.
5.4.      
Perbandingan dengan
Konsep Ketabahan dalam Tradisi Filosofis Lain
Ketabahan Stoik
memiliki kesamaan dan perbedaan dengan tradisi filsafat lain. Aristoteles,
misalnya, menekankan kebajikan keberanian (andreia) sebagai jalan tengah
antara ketakutan dan keberanian membabi buta.⁹ Meskipun dekat dengan resilience, Aristoteles lebih menekankan
keseimbangan etis daripada penerimaan takdir.
Dalam Buddhisme,
terdapat konsep upekkha (keseimbangan batin) yang
mirip dengan apatheia Stoik.¹⁰ Namun, Buddhisme
menekankan pembebasan dari siklus penderitaan (dukkha) melalui pencerahan,
sedangkan Stoikisme menekankan kehidupan rasional sesuai alam.
Dengan demikian,
ketabahan Stoik menempati posisi unik: ia memadukan rasionalitas, etika, dan
kosmologi, serta membentuk suatu kerangka filosofis yang menuntun manusia untuk menghadapi penderitaan
dengan martabat.
Footnotes
[1]               
A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California
Press, 1996), 45–47.
[2]               
Epictetus, Discourses, trans. Robert Dobbin (London: Penguin
Classics, 2008), 22–25.
[3]               
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, trans. Michael
Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 84–86.
[4]               
Epictetus, The Enchiridion, trans. Nicholas P. White
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 12–14.
[5]               
A. A. Long, Epictetus: A Stoic and Socratic Guide to Life
(Oxford: Clarendon Press, 2002), 111–113.
[6]               
Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (London:
Penguin Books, 2004), 77–79.
[7]               
James Ker, The Deaths of Seneca (Oxford: Oxford University
Press, 2009), 39–41.
[8]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2002), 60–62.
[9]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1115b–1117a.
[10]            
Damien Keown, Buddhism: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 45–47.
6.          
Kritik terhadap
Konsep Ketabahan Stoik
6.1.      
Kritik Internal:
Batas-Batas Stoikisme dalam Menghadapi Realitas Emosional
Meskipun Stoikisme
memberikan kerangka etika yang kuat untuk menghadapi penderitaan, sejumlah
pemikir menilai bahwa ajaran ketabahan Stoik terlalu menekankan pengendalian rasional dan
mengabaikan peran emosi sebagai bagian alami dari kehidupan manusia.¹ Apatheia
sering disalahpahami sebagai ketiadaan emosi sama sekali, padahal secara
praktis, menahan gejolak batin secara total dapat berisiko menimbulkan represi
emosional.² Kritik internal ini muncul karena tidak semua emosi bersifat
destruktif; sebagian emosi, seperti kasih sayang dan empati, justru berfungsi
positif dalam memperkuat ikatan sosial.³
6.2.      
Kritik Eksternal:
Perspektif Modern terhadap Resilience Stoik
Dalam kajian psikologi
modern, resilience dipahami bukan hanya sebagai ketahanan individu, melainkan
juga sebagai hasil interaksi dengan faktor eksternal seperti dukungan sosial,
lingkungan keluarga, dan komunitas.⁴ Pandangan ini berbeda dengan Stoikisme
yang lebih menekankan otonomi individu. Kritik eksternal ini menilai bahwa
konsep Stoik terlalu individualistis dan cenderung mengabaikan dimensi sosial
resilience.
Selain itu, para
filsuf eksistensialis seperti Friedrich Nietzsche menilai ketabahan Stoik
sebagai bentuk “kepasrahan
pasif” terhadap takdir, yang pada akhirnya melemahkan kehendak kreatif
manusia.⁵ Nietzsche menekankan amor fati dalam arti afirmatif,
yaitu mencintai kehidupan apa adanya dengan seluruh penderitaan dan
keindahannya, sementara Stoikisme lebih menekankan pada disiplin rasional yang
menahan gejolak emosional.
6.3.      
Perbandingan antara
Ketabahan Stoik dan Resilience Modern
Perbedaan lain
terletak pada sifat resilience itu sendiri. Resilience dalam psikologi modern
bersifat dinamis, melibatkan proses adaptasi yang berulang dalam menghadapi
krisis.⁶ Sementara dalam Stoikisme, ketabahan dipandang lebih statis, sebagai
kondisi batin yang telah dicapai melalui latihan filsafat. Di satu sisi,
pendekatan Stoik memiliki keunggulan karena menekankan pembentukan karakter jangka panjang; namun di
sisi lain, ia kurang fleksibel dalam menghadapi kompleksitas psikologis manusia
kontemporer.
Dengan demikian,
meskipun Stoikisme memberikan fondasi filosofis yang kokoh tentang ketabahan,
kritik internal dan eksternal menunjukkan bahwa ajaran ini perlu dipahami
secara kontekstual dan dilengkapi dengan wawasan modern. Hal ini memungkinkan adanya
reinterpretasi agar ketabahan Stoik dapat relevan dengan tantangan psikologis
dan sosial masa kini.
Footnotes
[1]               
Margaret R. Graver, Stoicism and Emotion (Chicago: University
of Chicago Press, 2007), 27–30.
[2]               
Christopher Gill, The Structured Self in Hellenistic and Roman
Thought (Oxford: Oxford University Press, 2006), 181–183.
[3]               
John M. Cooper, Pursuits of Wisdom: Six Ways of Life in Ancient
Philosophy from Socrates to Plotinus (Princeton: Princeton University
Press, 2012), 170–172.
[4]               
Ann S. Masten, “Ordinary Magic: Resilience Processes in Development,” American
Psychologist 56, no. 3 (2001): 227–238.
[5]               
Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, trans. Duncan
Large (Oxford: Oxford University Press, 1998), 35–36.
[6]               
Michael Rutter, “Resilience Reconsidered: Conceptual Considerations,
Empirical Findings, and Policy Implications,” in Handbook of Early
Childhood Intervention, ed. Jack P. Shonkoff and Samuel J. Meisels
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 651–682.
7.          
Relevansi Ketabahan
Stoikisme dalam Dunia Kontemporer
7.1.      
Ketabahan dan
Psikologi Modern
Konsep resilience
dalam Stoikisme menemukan resonansinya dalam psikologi modern. Psikolog Ann
Masten menyebut resilience sebagai “ordinary magic,” yakni kapasitas
alami manusia untuk bangkit kembali dari kesulitan melalui mekanisme adaptasi.¹
Pemikiran ini memiliki kesamaan mendasar dengan ajaran Epictetus yang
menekankan pengendalian diri terhadap apa yang berada dalam kekuasaan kita.²
Dengan demikian, ketabahan Stoik
dapat dipandang sebagai akar filosofis bagi teori-teori psikologi kontemporer
tentang coping strategies, regulasi emosi, dan pengembangan karakter tangguh.³
7.2.      
Penerapan dalam
Pendidikan Karakter dan Kepemimpinan
Dalam dunia
pendidikan, Stoikisme menawarkan kerangka etika yang dapat digunakan untuk
membentuk karakter peserta didik. Nilai-nilai seperti disiplin diri,
rasionalitas, dan penerimaan terhadap kegagalan relevan untuk membangun
generasi yang resilien.⁴ Di bidang kepemimpinan, ketabahan Stoik memberikan
inspirasi bagi pemimpin untuk tetap tenang dalam menghadapi krisis, sebagaimana
Marcus Aurelius mencontohkan dalam refleksi kepemimpinannya.⁵ Hal ini menjadi
penting dalam era globalisasi yang ditandai oleh ketidakpastian, perubahan
cepat, dan tantangan multidimensional.
7.3.      
Resilience Stoik dalam
Konteks Krisis Global
Krisis global
seperti pandemi COVID-19, konflik geopolitik, serta ancaman perubahan iklim
telah menguji daya tahan umat manusia.⁶ Stoikisme, dengan ajarannya tentang
penerimaan rasional dan fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan, memberikan
pedoman praktis untuk menghadapi situasi tersebut. Misalnya, prinsip Stoik
untuk membedakan antara “yang dalam kendali” dan “yang di luar
kendali” dapat membantu masyarakat mengurangi kecemasan kolektif.⁷ Dengan
demikian, resilience Stoik bukan hanya bermanfaat secara individual, tetapi
juga dapat menjadi paradigma etis untuk solidaritas sosial dalam menghadapi
bencana global.
7.4.      
Relevansi untuk
Kehidupan Sehari-Hari
Dalam kehidupan
sehari-hari, Stoikisme mengajarkan ketabahan sebagai praktik reflektif yang
sederhana namun mendalam: menuliskan pikiran, merenungkan kematian (memento
mori), serta mengingatkan diri untuk hidup sesuai kebajikan.⁸
Praktik ini membantu individu modern menghadapi stres pekerjaan, tekanan
sosial, dan tuntutan teknologi digital yang sering kali menimbulkan kelelahan
mental (burnout).⁹
Dengan menjadikan resilience
sebagai habitus filosofis, manusia modern dapat menemukan ketenangan batin
sekaligus meningkatkan daya tahan psikologis dalam menghadapi kompleksitas
hidup.
Footnotes
[1]               
Ann S. Masten, “Ordinary Magic: Resilience Processes in Development,” American
Psychologist 56, no. 3 (2001): 227–238.
[2]               
Epictetus, The Enchiridion, trans. Nicholas P. White
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 12–14.
[3]               
Donald Robertson, How to Think Like a Roman Emperor: The Stoic
Philosophy of Marcus Aurelius (New York: St. Martin’s Press, 2019), 45–50.
[4]               
Christopher Gill, Learning to Live Naturally: Stoic Ethics and Its
Modern Significance (Oxford: Oxford University Press, 2022), 166–168.
[5]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2002), 88–90.
[6]               
Jonathan Lear, Radical Hope: Ethics in the Face of Cultural
Devastation (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 9–12.
[7]               
Ryan Holiday, The Obstacle Is the Way: The Timeless Art of Turning
Trials into Triumph (New York: Portfolio, 2014), 33–36.
[8]               
Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius
(Cambridge: Harvard University Press, 1998), 223–226.
[9]               
Oliver Burkeman, The Antidote: Happiness for People Who Can’t Stand
Positive Thinking (New York: Faber and Faber, 2012), 74–77.
8.          
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
8.1.      
Integrasi antara
Stoikisme Klasik dan Pemikiran Modern
Konsep ketabahan (resilience)
dalam Stoikisme berakar pada rasionalitas kosmik (logos) dan kehidupan sesuai alam (kata
physis zen).¹ Sementara itu, psikologi modern menekankan aspek
adaptasi individu dan dukungan sosial sebagai penopang resilience.² Jika
keduanya dipadukan, dapat disimpulkan bahwa ketabahan Stoik memberikan fondasi
filosofis yang kuat, sedangkan kajian kontemporer memperkaya dimensi empiris
dan aplikatifnya. Integrasi ini menunjukkan bahwa ketabahan bukan hanya sikap
etis individual, melainkan juga proses dinamis yang melibatkan faktor sosial
dan psikologis.³
8.2.      
Ketabahan sebagai
Jembatan antara Filsafat, Psikologi, dan Spiritualitas
Resilience Stoik
dapat dipandang sebagai titik temu antara filsafat, psikologi, dan
spiritualitas. Filsafat memberikan kerangka rasional melalui ajaran tentang
kebajikan, psikologi modern memberikan analisis empiris tentang mekanisme
adaptasi, dan spiritualitas memberikan makna transendental dalam menghadapi
penderitaan.⁴ Dalam refleksi ini, ketabahan menjadi sebuah habitus eksistensial yang memungkinkan manusia
menjalani hidup dengan kesadaran penuh, kesabaran, dan keberanian moral.
Ketabahan Stoik
bukanlah bentuk penyangkalan terhadap penderitaan, melainkan cara mengolah
penderitaan menjadi kesempatan untuk tumbuh. Dalam kerangka ini, resilience
menjadi seni hidup (ars vitae) yang mengajarkan
keseimbangan antara menerima nasib dan menggunakan kehendak bebas secara
bijak.⁵
8.3.      
Refleksi Filosofis:
Ketabahan sebagai Fondasi Manusia Bijak
Ketabahan dalam
Stoikisme memperlihatkan bahwa martabat manusia tidak ditentukan oleh kekayaan,
status, atau kondisi eksternal, melainkan oleh integritas batinnya.⁶ Dalam
dunia modern yang penuh dengan ketidakpastian, prinsip ini tetap relevan: manusia bijak adalah ia
yang mampu menjaga
keteguhan batin di tengah krisis.
Refleksi ini membawa kita pada kesimpulan
filosofis bahwa resilience bukan hanya instrumen bertahan hidup, tetapi juga
jalan menuju eudaimonia (hidup baik).⁷
Ketabahan, dalam arti Stoik, menuntut keberanian untuk menerima nasib sekaligus
komitmen untuk hidup sesuai kebajikan. Dengan demikian, manusia tabah adalah
manusia yang mampu menyatukan dimensi rasional, etis, dan spiritual dalam satu kesatuan hidup
yang utuh.
Footnotes
[1]               
A. A. Long and David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers,
vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 345–350.
[2]               
Ann S. Masten, “Ordinary Magic: Resilience Processes in Development,” American
Psychologist 56, no. 3 (2001): 227–238.
[3]               
Donald Robertson, How to Think Like a Roman Emperor: The Stoic
Philosophy of Marcus Aurelius (New York: St. Martin’s Press, 2019), 61–63.
[4]               
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, trans. Michael
Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 91–94.
[5]               
Ryan Holiday, The Obstacle Is the Way: The Timeless Art of Turning
Trials into Triumph (New York: Portfolio, 2014), 48–52.
[6]               
Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (London:
Penguin Books, 2004), 101–103.
[7]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2002), 71–73.
9.          
Penutup
9.1.      
Kesimpulan
Kajian tentang
ketabahan (resilience)
dalam Stoikisme menunjukkan bahwa konsep ini memiliki akar yang kuat dalam
tradisi filsafat kuno sekaligus relevansi yang luas dalam dunia modern. Zeno
dari Citium meletakkan dasar bagi pemahaman bahwa hidup selaras dengan alam
adalah fondasi dari ketabahan.¹ Epictetus menekankan kebebasan batin melalui
pengendalian kehendak,
Seneca menafsirkan penderitaan sebagai sarana latihan kebajikan, dan Marcus
Aurelius mengembangkan resilience sebagai prinsip kepemimpinan yang
berlandaskan rasionalitas kosmik.²
Secara filosofis,
ketabahan dalam Stoikisme dipahami sebagai integrasi antara rasionalitas,
kebajikan, dan kebebasan batin.³ Berbeda dari resilience dalam pengertian
psikologi modern yang menekankan faktor eksternal, resilience Stoik lebih
menekankan dimensi etis dan batiniah. Kritik terhadap Stoikisme, baik internal maupun
eksternal, menunjukkan adanya keterbatasan dalam menghadapi realitas emosional
manusia dan konteks sosial, namun hal ini justru membuka peluang reinterpretasi
yang memperkaya makna resilience dalam konteks kontemporer.⁴
9.2.      
Implikasi Teoritis dan
Praktis
Secara teoritis,
gagasan ketabahan Stoik memberikan kontribusi penting bagi filsafat moral dan
etika praktis. Ia menunjukkan bahwa kebajikan, bukan kondisi eksternal, adalah kunci bagi kehidupan
yang baik (eudaimonia).⁵
Secara praktis, resilience Stoik dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang:
1)                 
Psikologi modern,
sebagai kerangka filosofis dalam mengembangkan strategi coping dan terapi
kognitif.⁶
2)                 
Pendidikan karakter,
untuk menanamkan disiplin diri, rasionalitas, dan keberanian moral kepada generasi
muda.⁷
3)                 
Kepemimpinan dan politik,
sebagai panduan bagi para pemimpin dalam menghadapi krisis dengan integritas
dan ketenangan.⁸
9.3.      
Rekomendasi
Untuk masa depan,
diperlukan kajian interdisipliner yang lebih mendalam antara Stoikisme,
psikologi, dan ilmu sosial, agar konsep ketabahan dapat dikembangkan secara
lebih komprehensif. Selain itu, perlu dikaji relevansi ketabahan Stoik dalam
menghadapi isu-isu global seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan sosial, dan
disrupsi teknologi. Dengan cara ini, Stoikisme tidak hanya dipandang sebagai
warisan klasik, tetapi juga sebagai sumber inspirasi yang hidup bagi umat
manusia.
9.4.      
Penutup Reflektif
Ketabahan Stoik
bukanlah penyangkalan terhadap penderitaan, melainkan keberanian untuk
menerimanya sebagai bagian dari tatanan alam.⁹ Dalam dunia yang semakin
kompleks, ajaran ini mengingatkan kita bahwa manusia bijak adalah ia yang mampu
menjaga integritas batin, tetap berpikir rasional, dan hidup sesuai kebajikan
meski berada di tengah badai kehidupan. Dengan demikian, resilience Stoik tetap
menjadi salah satu warisan filosofis yang paling relevan untuk membimbing
manusia dalam perjalanan menuju kehidupan yang bermakna.
Footnotes
[1]               
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D.
Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 195.
[2]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2002), 88–90; Seneca, Letters from a Stoic, trans.
Robin Campbell (London: Penguin Books, 2004), 52–55; Epictetus, The
Enchiridion, trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett Publishing,
1983), 12–14.
[3]               
A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California
Press, 1996), 45–47.
[4]               
Margaret R. Graver, Stoicism and Emotion (Chicago: University
of Chicago Press, 2007), 27–30.
[5]               
Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism
(Oxford: Clarendon Press, 1985), 93–96.
[6]               
Donald Robertson, How to Think Like a Roman Emperor: The Stoic
Philosophy of Marcus Aurelius (New York: St. Martin’s Press, 2019), 61–63.
[7]               
Christopher Gill, Learning to Live Naturally: Stoic Ethics and Its
Modern Significance (Oxford: Oxford University Press, 2022), 166–168.
[8]               
Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius
(Cambridge: Harvard University Press, 1998), 223–226.
[9]               
Ryan Holiday, The Obstacle Is the Way: The Timeless Art of Turning
Trials into Triumph (New York: Portfolio, 2014), 48–52.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Burkeman, O. (2012). The
antidote: Happiness for people who can’t stand positive thinking. Faber
and Faber.
Cicero. (1913). On
duties (W. Miller, Trans.). Harvard University Press.
Cooper, J. M. (2012). Pursuits
of wisdom: Six ways of life in ancient philosophy from Socrates to Plotinus.
Princeton University Press.
Diogenes Laertius. (1925). Lives
of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.
Dillon, J., & Long, A.
A. (Eds.). (1988). The question of eclecticism: Studies in later Greek
philosophy. University of California Press.
Epictetus. (1983). The
Enchiridion (N. P. White, Trans.). Hackett Publishing.
Epictetus. (2008). Discourses
(R. Dobbin, Trans.). Penguin Classics.
Gill, C. (2006). The
structured self in Hellenistic and Roman thought. Oxford University Press.
Gill, C. (2022). Learning
to live naturally: Stoic ethics and its modern significance. Oxford
University Press.
Graver, M. R. (2007). Stoicism
and emotion. University of Chicago Press.
Hadot, P. (1995). Philosophy
as a way of life (M. Chase, Trans.). Blackwell.
Hadot, P. (1998). The
inner citadel: The meditations of Marcus Aurelius. Harvard University
Press.
Holiday, R. (2014). The
obstacle is the way: The timeless art of turning trials into triumph.
Portfolio.
Inwood, B. (1985). Ethics
and human action in early Stoicism. Clarendon Press.
Ker, J. (2009). The
deaths of Seneca. Oxford University Press.
Lear, J. (2006). Radical
hope: Ethics in the face of cultural devastation. Harvard University
Press.
Long, A. A. (1996). Stoic
studies. University of California Press.
Long, A. A. (2002). Epictetus:
A Stoic and Socratic guide to life. Clarendon Press.
Long, A. A., & Sedley,
D. N. (1987). The Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge
University Press.
Marcus Aurelius. (2002). Meditations
(G. Hays, Trans.). Modern Library.
Masten, A. S. (2001).
Ordinary magic: Resilience processes in development. American Psychologist,
56(3), 227–238. doi.org
Nietzsche, F. (1998). Twilight
of the idols (D. Large, Trans.). Oxford University Press.
Robertson, D. (2019). How
to think like a Roman emperor: The Stoic philosophy of Marcus Aurelius.
St. Martin’s Press.
Rutter, M. (2000).
Resilience reconsidered: Conceptual considerations, empirical findings, and
policy implications. In J. P. Shonkoff & S. J. Meisels (Eds.), Handbook
of early childhood intervention (pp. 651–682). Cambridge University Press.
Seneca. (2004). Letters
from a Stoic (R. Campbell, Trans.). Penguin Books.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar