Kamis, 09 Oktober 2025

Ketabahan (Resilience): Fondasi Rasional, Sejarah, dan Relevansi Kontemporer

Ketabahan (Resilience)

Fondasi Rasional, Sejarah, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep ketabahan (resilience) dalam Stoikisme, sebuah aliran filsafat yang berkembang sejak abad ke-3 SM dan berfokus pada etika hidup sesuai dengan alam serta pengendalian diri. Kajian dimulai dengan penelusuran konseptual mengenai ketabahan sebagai manifestasi rasionalitas, kemudian dilanjutkan dengan telaah historis dari Stoa Awal, Stoa Pertengahan, hingga Stoa Akhir. Analisis terhadap tokoh-tokoh utama seperti Zeno, Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius menunjukkan bahwa ketabahan dipahami bukan sekadar sebagai daya tahan pasif, melainkan sebagai sikap aktif yang berakar pada kebajikan, kebebasan batin, dan penerimaan terhadap tatanan kosmik (logos).

Artikel ini juga mengemukakan kritik internal maupun eksternal terhadap konsep ketabahan Stoik, termasuk keterbatasannya dalam menghadapi kompleksitas emosi manusia dan konteks sosial. Namun demikian, Stoikisme tetap relevan ketika diintegrasikan dengan psikologi modern, khususnya dalam kajian tentang resilience, pendidikan karakter, kepemimpinan, serta manajemen krisis global. Sintesis filosofis menunjukkan bahwa ketabahan Stoik dapat menjadi jembatan antara filsafat, psikologi, dan spiritualitas, serta menjadi fondasi moral bagi manusia modern untuk menghadapi penderitaan dan ketidakpastian hidup dengan martabat.

Kata Kunci: Stoikisme; Ketabahan; Resilience; Kebajikan; Filsafat Etika; Psikologi Modern; Kepemimpinan; Pendidikan Karakter.


PEMBAHASAN

Fondasi Rasional, Sejarah, dan Relevansi Ketabahan dalam Stoikisme


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Dalam sejarah filsafat, Stoikisme menempati posisi penting sebagai aliran etika yang menekankan pada ketenangan jiwa, rasionalitas, dan kemandirian batin. Salah satu konsep utama dalam ajaran Stoikisme adalah ketabahan (resilience), yaitu kemampuan manusia untuk tetap teguh, tenang, dan rasional menghadapi penderitaan, kesulitan, maupun perubahan nasib. Dalam konteks dunia modern, konsep ini semakin relevan mengingat manusia kini berhadapan dengan berbagai krisis global, mulai dari pandemi, perang, perubahan iklim, hingga tekanan psikologis akibat perkembangan teknologi dan sosial yang serba cepat.¹

Ketabahan dalam perspektif Stoikisme tidak semata-mata diartikan sebagai daya tahan pasif, melainkan sebagai sikap aktif untuk menyelaraskan diri dengan hukum alam (logos), menerima hal-hal yang berada di luar kendali, dan mengarahkan energi batin pada hal-hal yang dapat dikuasai.² Dengan demikian, resilience dalam Stoikisme berakar pada rasionalitas dan kebajikan, yang menjadi inti dari kehidupan baik (eudaimonia).

1.2.       Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan pokok:

1)                  Bagaimana Stoikisme mendefinisikan dan memaknai konsep ketabahan (resilience)?

2)                  Bagaimana perkembangan pemikiran tentang ketabahan dalam sejarah Stoikisme dari Stoa Awal hingga Stoa Akhir?

3)                  Apa relevansi ketabahan Stoik dalam konteks kehidupan manusia modern?

1.3.       Tujuan Penelitian

Artikel ini bertujuan untuk:

1)                  Mengkaji secara konseptual pemahaman Stoikisme mengenai ketabahan.

2)                  Menelusuri sejarah perkembangan gagasan ketabahan dalam lintasan filsafat Stoik.

3)                  Merefleksikan relevansi dan penerapan konsep ketabahan Stoik dalam menghadapi tantangan kontemporer, baik dalam ranah individu maupun sosial.

1.4.       Manfaat Penelitian

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur filsafat mengenai Stoikisme, khususnya dalam ranah etika. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pendidikan karakter, psikologi modern, serta pembentukan mentalitas tangguh dalam menghadapi krisis dan penderitaan. Dengan demikian, kajian tentang ketabahan Stoik dapat menjadi jembatan antara tradisi filsafat klasik dan kebutuhan eksistensial manusia modern.³


Footnotes

[1]                Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius (Cambridge: Harvard University Press, 1998), 83–85.

[2]                Epictetus, The Enchiridion, trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 12–14.

[3]                Donald Robertson, How to Think Like a Roman Emperor: The Stoic Philosophy of Marcus Aurelius (New York: St. Martin’s Press, 2019), 45–50.


2.           Konsep Dasar Ketabahan (Resilience) dalam Stoikisme

2.1.       Definisi Etimologis dan Terminologis

Istilah resilience berasal dari bahasa Latin resilire, yang berarti “melompat kembali” atau “bangkit kembali.”¹ Secara terminologis dalam psikologi modern, resilience dipahami sebagai kemampuan individu untuk bertahan, beradaptasi, dan bangkit dari situasi sulit atau traumatis.² Dalam konteks Stoikisme, meskipun istilah resilience bukan istilah asli yang dipakai para filsuf Stoa, gagasannya erat kaitannya dengan ajaran apatheia (kebebasan dari gejolak emosi yang merusak) dan ataraxia (ketenangan jiwa).³

Bagi kaum Stoik, ketabahan bukanlah sekadar kemampuan untuk menahan penderitaan, melainkan kemampuan untuk tetap berpikir rasional, seimbang, dan berpegang pada kebajikan ketika berhadapan dengan hal-hal yang tidak dapat dikendalikan. Dengan demikian, resilience dalam Stoikisme memiliki fondasi etis yang mendalam, berbeda dari pemahaman sekuler yang cenderung menekankan aspek psikologis semata.

2.2.       Posisi Resilience dalam Kerangka Etika Stoikisme

Etika Stoik berpusat pada empat kebajikan utama: kebijaksanaan (sophia), keberanian (andreia), keadilan (dikaiosyne), dan pengendalian diri (sophrosyne).⁴ Resilience dapat dipandang sebagai buah dari kombinasi keempat kebajikan tersebut. Kebijaksanaan memberikan arah rasional dalam menghadapi penderitaan; keberanian memungkinkan seseorang menghadapi tantangan dengan teguh; keadilan menjaga keseimbangan hubungan dengan orang lain; dan pengendalian diri memampukan individu untuk tidak dikuasai oleh hawa nafsu atau emosi negatif.

Dengan kata lain, ketabahan bukanlah kebajikan tambahan di luar kerangka etika Stoik, melainkan manifestasi konkret dari kebajikan yang telah terintegrasi. Ia menjadi cara manusia Stoik menjalani hidup sesuai dengan kodrat alam (kata physis zen).⁵

2.3.       Hubungan Resilience dengan Konsep Apatheia, Logos, dan Virtue

Dalam Stoikisme, apatheia adalah kondisi batin yang bebas dari dominasi emosi destruktif, bukan berarti tanpa emosi sama sekali.⁶ Ketabahan muncul ketika individu mampu menjaga apatheia dalam menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Dalam kerangka kosmologis Stoik, semua peristiwa dianggap sebagai bagian dari logos—rasionalitas kosmik yang mengatur alam semesta. Dengan menerima takdir sebagai ekspresi logos, individu menemukan kekuatan batin untuk tetap tegar meski menghadapi tragedi.⁷

Selain itu, resilience sangat terkait dengan konsep virtue (arete) dalam Stoikisme. Virtue, bagi kaum Stoik, adalah satu-satunya kebaikan sejati dan sumber kebahagiaan.⁸ Ketabahan adalah ekspresi langsung dari hidup dalam kebajikan, sebab hanya orang yang berpegang teguh pada virtue yang mampu tetap tabah di tengah ketidakpastian hidup.


Footnotes

[1]                John W. Berry, Handbook of Cross-Cultural Psychology (Boston: Allyn and Bacon, 1997), 23.

[2]                Ann S. Masten, “Ordinary Magic: Resilience Processes in Development,” American Psychologist 56, no. 3 (2001): 227–238.

[3]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 83–85.

[4]                A. A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (London: Duckworth, 1986), 195–198.

[5]                Anthony Arthur Long and David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 345–350.

[6]                Margaret R. Graver, Stoicism and Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 30–33.

[7]                Epictetus, Discourses, trans. Robert Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 24–27.

[8]                Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (London: Penguin Books, 2004), 52–53.


3.           Sejarah dan Perkembangan Gagasan Ketabahan dalam Stoikisme

3.1.       Stoa Awal: Fondasi Rasionalitas dan Kemandirian Batin

Stoikisme lahir pada abad ke-3 SM melalui Zeno dari Citium, yang mengajarkan filsafatnya di beranda Stoa Poikile di Athena.¹ Pada fase awal ini, ketabahan dipahami sebagai sikap konsisten manusia dalam hidup sesuai dengan alam (kata physis zen), yang menuntut keselarasan dengan hukum kosmos. Zeno, Cleanthes, dan Chrysippus menekankan pentingnya akal (logos) sebagai pedoman utama dalam menghadapi kesulitan.²

Bagi Zeno, ketabahan merupakan konsekuensi dari hidup dalam kebajikan, sebab segala sesuatu yang berada di luar kebajikan dianggap sebagai adiaphora (indiferens).³ Cleanthes menambahkan unsur religius melalui Hymn to Zeus, di mana ketabahan ditafsirkan sebagai kepatuhan pada tatanan ilahi. Chrysippus kemudian memperkuat kerangka logis Stoik dengan sistematisasi etika yang menegaskan bahwa ketabahan adalah kemampuan untuk membedakan hal-hal yang dapat dan tidak dapat dikendalikan.⁴

3.2.       Stoa Pertengahan: Penekanan Praktis dan Adaptasi Sosial

Pada masa Stoa Pertengahan (abad ke-2 SM), ketabahan mendapat dimensi baru. Panaetius memperhalus ajaran Stoik agar lebih relevan bagi kalangan elite Romawi.⁵ Ia menekankan aspek praktis resilience sebagai dasar moralitas dalam kehidupan publik dan politik, bukan hanya sebagai disiplin batin individual. Posidonius kemudian memperluas gagasan ini dengan memasukkan unsur psikologis dan kosmologis.⁶ Menurutnya, ketabahan tidak hanya terkait dengan pengendalian emosi, tetapi juga melibatkan pemahaman kosmos sebagai kesatuan rasional yang mengajarkan manusia untuk menerima penderitaan sebagai bagian dari tatanan universal.

Dengan demikian, pada fase ini ketabahan Stoik berkembang dari prinsip asketis individual menuju etika sosial yang dapat diterapkan dalam hubungan interpersonal, politik, dan budaya.

3.3.       Stoa Akhir: Ketabahan dalam Konteks Kehidupan Praktis dan Kepemimpinan

Masa Stoa Akhir (abad ke-1 M – abad ke-2 M) memperlihatkan puncak aktualisasi gagasan ketabahan. Seneca, dalam Epistulae Morales ad Lucilium, menekankan pentingnya ketabahan sebagai kekuatan moral untuk menghadapi penderitaan, kematian, dan ketidakpastian hidup.⁷ Baginya, resilience berarti menafsirkan penderitaan bukan sebagai beban, melainkan sebagai kesempatan untuk melatih kebajikan.

Epictetus, seorang mantan budak, mengajarkan bahwa kebebasan sejati terletak pada kemampuan untuk mengendalikan kehendak (prohairesis).⁸ Ia menegaskan bahwa ketabahan lahir ketika seseorang menerima segala sesuatu di luar dirinya sebagai takdir (heimarmenē), sementara mengarahkan energi batin hanya pada hal-hal yang berada dalam kendali.

Marcus Aurelius, sebagai kaisar-filsuf, menampilkan ketabahan sebagai etika kepemimpinan. Dalam Meditations, ia menulis refleksi diri tentang bagaimana seorang pemimpin harus menghadapi ujian hidup, serangan musuh, dan pengkhianatan dengan ketenangan, rasionalitas, serta kesadaran kosmik.⁹ Resilience baginya adalah sikap batin yang menuntun seorang pemimpin untuk tetap teguh dalam menjalankan tanggung jawab publik.

3.4.       Evolusi Konsep Resilience dalam Lintasan Stoikisme

Dari Stoa Awal hingga Stoa Akhir, konsep ketabahan mengalami perkembangan signifikan:

1)                  Pada Stoa Awal, resilience berakar pada rasionalitas kosmik dan keselarasan dengan alam.

2)                  Pada Stoa Pertengahan, konsep ini diperhalus menjadi lebih praktis dan relevan secara sosial.

3)                  Pada Stoa Akhir, ketabahan menjadi pedoman moral pribadi sekaligus etika kepemimpinan, menekankan penerimaan takdir dan pengendalian batin.

Dengan demikian, gagasan ketabahan dalam Stoikisme tidak pernah statis, melainkan senantiasa berkembang sesuai dengan konteks historis, sosial, dan politik yang melingkupinya.


Footnotes

[1]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 7.

[2]                A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California Press, 1996), 13–15.

[3]                Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism (Oxford: Clarendon Press, 1985), 88–90.

[4]                Anthony A. Long and David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 352–355.

[5]                Cicero, On Duties, trans. Walter Miller (Cambridge: Harvard University Press, 1913), 27–29.

[6]                John Dillon and A. A. Long, The Question of Eclecticism: Studies in Later Greek Philosophy (Berkeley: University of California Press, 1988), 120–123.

[7]                Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (London: Penguin Books, 2004), 55–57.

[8]                Epictetus, Discourses, trans. Robert Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 32–34.

[9]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 45–47.


4.           Tokoh-Tokoh Stoik dan Pandangan tentang Ketabahan

4.1.       Zeno dari Citium: Fondasi Ketabahan sebagai Keselarasan dengan Alam

Sebagai pendiri Stoikisme, Zeno dari Citium (334–262 SM) menekankan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang selaras dengan alam (kata physis zen).¹ Dalam kerangka ini, ketabahan merupakan konsekuensi logis dari penerimaan terhadap keteraturan kosmos yang diatur oleh logos. Bagi Zeno, penderitaan, kehilangan, maupun perubahan nasib bukanlah hal yang jahat, melainkan sekadar indifferent (adiaphora).² Oleh sebab itu, ketabahan lahir dari kemampuan untuk tetap teguh dalam kebajikan tanpa tergoyahkan oleh hal-hal eksternal.

4.2.       Epictetus: Ketabahan dan Kebebasan Batin

Epictetus (50–135 M), seorang filsuf Stoik yang pernah hidup sebagai budak, mengajarkan bahwa ketabahan berakar pada penguasaan diri terhadap kehendak (prohairesis).³ Menurutnya, manusia tidak dapat mengendalikan peristiwa eksternal, tetapi ia dapat mengendalikan cara ia meresponsnya. Dalam Enchiridion, Epictetus menulis bahwa penderitaan bukan berasal dari peristiwa itu sendiri, melainkan dari penilaian manusia terhadap peristiwa tersebut.⁴ Dari perspektif ini, ketabahan adalah kemampuan untuk menerima takdir (amor fati) dengan sikap batin yang rasional dan teguh, sehingga penderitaan justru menjadi sarana latihan kebajikan.

4.3.       Seneca: Ketabahan sebagai Latihan Menghadapi Penderitaan

Seneca (4 SM–65 M), seorang negarawan sekaligus filsuf Stoik, memandang ketabahan sebagai daya tahan moral menghadapi penderitaan, kemiskinan, maupun kematian. Dalam Epistulae Morales ad Lucilium, ia berulang kali menekankan bahwa penderitaan harus dilihat sebagai kesempatan untuk menguji kekuatan batin.⁵ Baginya, resilience tidak berarti menolak penderitaan, tetapi mengubahnya menjadi sarana pembentukan karakter. Dalam kerangka ini, ketabahan adalah latihan terus-menerus (askesis) untuk membebaskan diri dari ketakutan dan keserakahan.⁶

4.4.       Marcus Aurelius: Ketabahan sebagai Etika Kepemimpinan

Marcus Aurelius (121–180 M), kaisar Romawi sekaligus filsuf Stoik, mempraktikkan ketabahan dalam konteks kepemimpinan. Dalam Meditations, ia sering merenungkan bagaimana seorang pemimpin harus menghadapi serangan, pengkhianatan, dan penyakit dengan ketenangan dan rasionalitas.⁷ Baginya, ketabahan adalah sikap untuk tetap menjalankan kewajiban publik sesuai kebajikan, sekalipun berada di bawah tekanan berat. Ia mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus melihat segala peristiwa dalam perspektif kosmik: kecilnya penderitaan manusia di hadapan keabadian alam semesta.⁸ Dengan demikian, resilience bagi Marcus Aurelius adalah prinsip moral sekaligus strategi praktis dalam memimpin.

4.5.       Sintesis Pemikiran Tokoh-Tokoh Stoik

Dari keempat tokoh utama Stoik tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketabahan dipahami sebagai:

1)                  Zeno: keselarasan dengan alam dan keteguhan pada kebajikan.

2)                  Epictetus: kebebasan batin melalui pengendalian kehendak.

3)                  Seneca: latihan moral untuk menghadapi penderitaan.

4)                  Marcus Aurelius: etika kepemimpinan yang tabah dalam menghadapi tekanan publik.

Meskipun berbeda dalam konteks historis dan pengalaman hidup, mereka memiliki kesamaan fundamental: ketabahan adalah buah dari kehidupan dalam kebajikan (virtue) dan keselarasan dengan rasionalitas kosmik (logos).


Footnotes

[1]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 195.

[2]                Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism (Oxford: Clarendon Press, 1985), 93–96.

[3]                A. A. Long, Epictetus: A Stoic and Socratic Guide to Life (Oxford: Clarendon Press, 2002), 104–107.

[4]                Epictetus, The Enchiridion, trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 6–8.

[5]                Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (London: Penguin Books, 2004), 52–55.

[6]                James Ker, The Deaths of Seneca (Oxford: Oxford University Press, 2009), 41–43.

[7]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 56–58.

[8]                Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius (Cambridge: Harvard University Press, 1998), 122–125.


5.           Dimensi Filosofis Ketabahan

5.1.       Resilience sebagai Manifestasi Rasionalitas

Dalam kerangka Stoikisme, rasionalitas (logos) adalah inti dari eksistensi manusia sekaligus prinsip kosmik yang menata alam semesta.¹ Ketabahan lahir ketika individu mampu menyesuaikan pikirannya dengan rasionalitas universal ini. Dengan berpikir rasional, manusia menyadari batas kekuasaannya: bahwa ia tidak dapat mengendalikan dunia luar, tetapi dapat menguasai sikap batinnya.² Oleh sebab itu, resilience bukanlah reaksi emosional spontan, melainkan sikap sadar yang dibangun atas dasar refleksi dan kebijaksanaan.

Rasionalitas inilah yang membedakan ketabahan Stoik dari bentuk ketabahan lain yang sekadar bersifat instingtif atau survival. Dalam Stoikisme, resilience adalah keputusan intelektual untuk hidup selaras dengan alam, sehingga penderitaan sekalipun dapat diterima dengan tenang.³

5.2.       Relasi Resilience dengan Kebebasan Batin

Salah satu aspek penting dari ketabahan adalah kebebasan batin. Menurut Epictetus, manusia tidak bebas dari kondisi eksternal, tetapi bebas dalam menilai dan meresponsnya.⁴ Ketabahan berarti menjaga kebebasan batin ini dari dominasi emosi negatif seperti ketakutan, kemarahan, dan kesedihan berlebihan. Dengan demikian, resilience menjadi sarana pembebasan: seseorang tetap merdeka meskipun terikat oleh keadaan sosial, politik, atau fisik.

Kebebasan batin yang dimaksud bukanlah nihilisme, melainkan otonomi moral yang berakar pada kebajikan.⁵ Dengan tabah, individu membuktikan bahwa martabat manusia terletak pada integritas batin, bukan pada status atau kekayaan lahiriah.

5.3.       Resilience dalam Kaitannya dengan Penderitaan dan Kematian

Filsuf-filsuf Stoik menempatkan penderitaan dan kematian sebagai ujian utama bagi ketabahan. Seneca menekankan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, karena ia merupakan bagian alami dari kehidupan.⁶ Ketabahan menghadapi kematian menandakan keberanian moral sekaligus kesadaran metafisik bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari kosmos.

Epictetus menambahkan bahwa penderitaan adalah ladang latihan (askesis) bagi kebajikan.⁷ Sementara Marcus Aurelius, dalam Meditations, menyarankan untuk memandang penderitaan dari perspektif kosmik: segala kesulitan bersifat sementara dan kecil jika dibandingkan dengan luasnya alam semesta.⁸ Dengan demikian, resilience adalah sikap filsafati yang mengubah penderitaan menjadi kesempatan untuk mencapai kebijaksanaan.

5.4.       Perbandingan dengan Konsep Ketabahan dalam Tradisi Filosofis Lain

Ketabahan Stoik memiliki kesamaan dan perbedaan dengan tradisi filsafat lain. Aristoteles, misalnya, menekankan kebajikan keberanian (andreia) sebagai jalan tengah antara ketakutan dan keberanian membabi buta.⁹ Meskipun dekat dengan resilience, Aristoteles lebih menekankan keseimbangan etis daripada penerimaan takdir.

Dalam Buddhisme, terdapat konsep upekkha (keseimbangan batin) yang mirip dengan apatheia Stoik.¹⁰ Namun, Buddhisme menekankan pembebasan dari siklus penderitaan (dukkha) melalui pencerahan, sedangkan Stoikisme menekankan kehidupan rasional sesuai alam.

Dengan demikian, ketabahan Stoik menempati posisi unik: ia memadukan rasionalitas, etika, dan kosmologi, serta membentuk suatu kerangka filosofis yang menuntun manusia untuk menghadapi penderitaan dengan martabat.


Footnotes

[1]                A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California Press, 1996), 45–47.

[2]                Epictetus, Discourses, trans. Robert Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 22–25.

[3]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 84–86.

[4]                Epictetus, The Enchiridion, trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 12–14.

[5]                A. A. Long, Epictetus: A Stoic and Socratic Guide to Life (Oxford: Clarendon Press, 2002), 111–113.

[6]                Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (London: Penguin Books, 2004), 77–79.

[7]                James Ker, The Deaths of Seneca (Oxford: Oxford University Press, 2009), 39–41.

[8]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 60–62.

[9]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1115b–1117a.

[10]             Damien Keown, Buddhism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2013), 45–47.


6.           Kritik terhadap Konsep Ketabahan Stoik

6.1.       Kritik Internal: Batas-Batas Stoikisme dalam Menghadapi Realitas Emosional

Meskipun Stoikisme memberikan kerangka etika yang kuat untuk menghadapi penderitaan, sejumlah pemikir menilai bahwa ajaran ketabahan Stoik terlalu menekankan pengendalian rasional dan mengabaikan peran emosi sebagai bagian alami dari kehidupan manusia.¹ Apatheia sering disalahpahami sebagai ketiadaan emosi sama sekali, padahal secara praktis, menahan gejolak batin secara total dapat berisiko menimbulkan represi emosional.² Kritik internal ini muncul karena tidak semua emosi bersifat destruktif; sebagian emosi, seperti kasih sayang dan empati, justru berfungsi positif dalam memperkuat ikatan sosial.³

6.2.       Kritik Eksternal: Perspektif Modern terhadap Resilience Stoik

Dalam kajian psikologi modern, resilience dipahami bukan hanya sebagai ketahanan individu, melainkan juga sebagai hasil interaksi dengan faktor eksternal seperti dukungan sosial, lingkungan keluarga, dan komunitas.⁴ Pandangan ini berbeda dengan Stoikisme yang lebih menekankan otonomi individu. Kritik eksternal ini menilai bahwa konsep Stoik terlalu individualistis dan cenderung mengabaikan dimensi sosial resilience.

Selain itu, para filsuf eksistensialis seperti Friedrich Nietzsche menilai ketabahan Stoik sebagai bentuk “kepasrahan pasif” terhadap takdir, yang pada akhirnya melemahkan kehendak kreatif manusia.⁵ Nietzsche menekankan amor fati dalam arti afirmatif, yaitu mencintai kehidupan apa adanya dengan seluruh penderitaan dan keindahannya, sementara Stoikisme lebih menekankan pada disiplin rasional yang menahan gejolak emosional.

6.3.       Perbandingan antara Ketabahan Stoik dan Resilience Modern

Perbedaan lain terletak pada sifat resilience itu sendiri. Resilience dalam psikologi modern bersifat dinamis, melibatkan proses adaptasi yang berulang dalam menghadapi krisis.⁶ Sementara dalam Stoikisme, ketabahan dipandang lebih statis, sebagai kondisi batin yang telah dicapai melalui latihan filsafat. Di satu sisi, pendekatan Stoik memiliki keunggulan karena menekankan pembentukan karakter jangka panjang; namun di sisi lain, ia kurang fleksibel dalam menghadapi kompleksitas psikologis manusia kontemporer.

Dengan demikian, meskipun Stoikisme memberikan fondasi filosofis yang kokoh tentang ketabahan, kritik internal dan eksternal menunjukkan bahwa ajaran ini perlu dipahami secara kontekstual dan dilengkapi dengan wawasan modern. Hal ini memungkinkan adanya reinterpretasi agar ketabahan Stoik dapat relevan dengan tantangan psikologis dan sosial masa kini.


Footnotes

[1]                Margaret R. Graver, Stoicism and Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 27–30.

[2]                Christopher Gill, The Structured Self in Hellenistic and Roman Thought (Oxford: Oxford University Press, 2006), 181–183.

[3]                John M. Cooper, Pursuits of Wisdom: Six Ways of Life in Ancient Philosophy from Socrates to Plotinus (Princeton: Princeton University Press, 2012), 170–172.

[4]                Ann S. Masten, “Ordinary Magic: Resilience Processes in Development,” American Psychologist 56, no. 3 (2001): 227–238.

[5]                Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, trans. Duncan Large (Oxford: Oxford University Press, 1998), 35–36.

[6]                Michael Rutter, “Resilience Reconsidered: Conceptual Considerations, Empirical Findings, and Policy Implications,” in Handbook of Early Childhood Intervention, ed. Jack P. Shonkoff and Samuel J. Meisels (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 651–682.


7.           Relevansi Ketabahan Stoikisme dalam Dunia Kontemporer

7.1.       Ketabahan dan Psikologi Modern

Konsep resilience dalam Stoikisme menemukan resonansinya dalam psikologi modern. Psikolog Ann Masten menyebut resilience sebagai “ordinary magic,” yakni kapasitas alami manusia untuk bangkit kembali dari kesulitan melalui mekanisme adaptasi.¹ Pemikiran ini memiliki kesamaan mendasar dengan ajaran Epictetus yang menekankan pengendalian diri terhadap apa yang berada dalam kekuasaan kita.² Dengan demikian, ketabahan Stoik dapat dipandang sebagai akar filosofis bagi teori-teori psikologi kontemporer tentang coping strategies, regulasi emosi, dan pengembangan karakter tangguh.³

7.2.       Penerapan dalam Pendidikan Karakter dan Kepemimpinan

Dalam dunia pendidikan, Stoikisme menawarkan kerangka etika yang dapat digunakan untuk membentuk karakter peserta didik. Nilai-nilai seperti disiplin diri, rasionalitas, dan penerimaan terhadap kegagalan relevan untuk membangun generasi yang resilien.⁴ Di bidang kepemimpinan, ketabahan Stoik memberikan inspirasi bagi pemimpin untuk tetap tenang dalam menghadapi krisis, sebagaimana Marcus Aurelius mencontohkan dalam refleksi kepemimpinannya.⁵ Hal ini menjadi penting dalam era globalisasi yang ditandai oleh ketidakpastian, perubahan cepat, dan tantangan multidimensional.

7.3.       Resilience Stoik dalam Konteks Krisis Global

Krisis global seperti pandemi COVID-19, konflik geopolitik, serta ancaman perubahan iklim telah menguji daya tahan umat manusia.⁶ Stoikisme, dengan ajarannya tentang penerimaan rasional dan fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan, memberikan pedoman praktis untuk menghadapi situasi tersebut. Misalnya, prinsip Stoik untuk membedakan antara “yang dalam kendali” dan “yang di luar kendali” dapat membantu masyarakat mengurangi kecemasan kolektif.⁷ Dengan demikian, resilience Stoik bukan hanya bermanfaat secara individual, tetapi juga dapat menjadi paradigma etis untuk solidaritas sosial dalam menghadapi bencana global.

7.4.       Relevansi untuk Kehidupan Sehari-Hari

Dalam kehidupan sehari-hari, Stoikisme mengajarkan ketabahan sebagai praktik reflektif yang sederhana namun mendalam: menuliskan pikiran, merenungkan kematian (memento mori), serta mengingatkan diri untuk hidup sesuai kebajikan.⁸ Praktik ini membantu individu modern menghadapi stres pekerjaan, tekanan sosial, dan tuntutan teknologi digital yang sering kali menimbulkan kelelahan mental (burnout).⁹ Dengan menjadikan resilience sebagai habitus filosofis, manusia modern dapat menemukan ketenangan batin sekaligus meningkatkan daya tahan psikologis dalam menghadapi kompleksitas hidup.


Footnotes

[1]                Ann S. Masten, “Ordinary Magic: Resilience Processes in Development,” American Psychologist 56, no. 3 (2001): 227–238.

[2]                Epictetus, The Enchiridion, trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 12–14.

[3]                Donald Robertson, How to Think Like a Roman Emperor: The Stoic Philosophy of Marcus Aurelius (New York: St. Martin’s Press, 2019), 45–50.

[4]                Christopher Gill, Learning to Live Naturally: Stoic Ethics and Its Modern Significance (Oxford: Oxford University Press, 2022), 166–168.

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 88–90.

[6]                Jonathan Lear, Radical Hope: Ethics in the Face of Cultural Devastation (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 9–12.

[7]                Ryan Holiday, The Obstacle Is the Way: The Timeless Art of Turning Trials into Triumph (New York: Portfolio, 2014), 33–36.

[8]                Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius (Cambridge: Harvard University Press, 1998), 223–226.

[9]                Oliver Burkeman, The Antidote: Happiness for People Who Can’t Stand Positive Thinking (New York: Faber and Faber, 2012), 74–77.


8.           Sintesis dan Refleksi Filosofis

8.1.       Integrasi antara Stoikisme Klasik dan Pemikiran Modern

Konsep ketabahan (resilience) dalam Stoikisme berakar pada rasionalitas kosmik (logos) dan kehidupan sesuai alam (kata physis zen).¹ Sementara itu, psikologi modern menekankan aspek adaptasi individu dan dukungan sosial sebagai penopang resilience.² Jika keduanya dipadukan, dapat disimpulkan bahwa ketabahan Stoik memberikan fondasi filosofis yang kuat, sedangkan kajian kontemporer memperkaya dimensi empiris dan aplikatifnya. Integrasi ini menunjukkan bahwa ketabahan bukan hanya sikap etis individual, melainkan juga proses dinamis yang melibatkan faktor sosial dan psikologis.³

8.2.       Ketabahan sebagai Jembatan antara Filsafat, Psikologi, dan Spiritualitas

Resilience Stoik dapat dipandang sebagai titik temu antara filsafat, psikologi, dan spiritualitas. Filsafat memberikan kerangka rasional melalui ajaran tentang kebajikan, psikologi modern memberikan analisis empiris tentang mekanisme adaptasi, dan spiritualitas memberikan makna transendental dalam menghadapi penderitaan.⁴ Dalam refleksi ini, ketabahan menjadi sebuah habitus eksistensial yang memungkinkan manusia menjalani hidup dengan kesadaran penuh, kesabaran, dan keberanian moral.

Ketabahan Stoik bukanlah bentuk penyangkalan terhadap penderitaan, melainkan cara mengolah penderitaan menjadi kesempatan untuk tumbuh. Dalam kerangka ini, resilience menjadi seni hidup (ars vitae) yang mengajarkan keseimbangan antara menerima nasib dan menggunakan kehendak bebas secara bijak.⁵

8.3.       Refleksi Filosofis: Ketabahan sebagai Fondasi Manusia Bijak

Ketabahan dalam Stoikisme memperlihatkan bahwa martabat manusia tidak ditentukan oleh kekayaan, status, atau kondisi eksternal, melainkan oleh integritas batinnya.⁶ Dalam dunia modern yang penuh dengan ketidakpastian, prinsip ini tetap relevan: manusia bijak adalah ia yang mampu menjaga keteguhan batin di tengah krisis.

Refleksi ini membawa kita pada kesimpulan filosofis bahwa resilience bukan hanya instrumen bertahan hidup, tetapi juga jalan menuju eudaimonia (hidup baik).⁷ Ketabahan, dalam arti Stoik, menuntut keberanian untuk menerima nasib sekaligus komitmen untuk hidup sesuai kebajikan. Dengan demikian, manusia tabah adalah manusia yang mampu menyatukan dimensi rasional, etis, dan spiritual dalam satu kesatuan hidup yang utuh.


Footnotes

[1]                A. A. Long and David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 345–350.

[2]                Ann S. Masten, “Ordinary Magic: Resilience Processes in Development,” American Psychologist 56, no. 3 (2001): 227–238.

[3]                Donald Robertson, How to Think Like a Roman Emperor: The Stoic Philosophy of Marcus Aurelius (New York: St. Martin’s Press, 2019), 61–63.

[4]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 91–94.

[5]                Ryan Holiday, The Obstacle Is the Way: The Timeless Art of Turning Trials into Triumph (New York: Portfolio, 2014), 48–52.

[6]                Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (London: Penguin Books, 2004), 101–103.

[7]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 71–73.


9.           Penutup

9.1.       Kesimpulan

Kajian tentang ketabahan (resilience) dalam Stoikisme menunjukkan bahwa konsep ini memiliki akar yang kuat dalam tradisi filsafat kuno sekaligus relevansi yang luas dalam dunia modern. Zeno dari Citium meletakkan dasar bagi pemahaman bahwa hidup selaras dengan alam adalah fondasi dari ketabahan.¹ Epictetus menekankan kebebasan batin melalui pengendalian kehendak, Seneca menafsirkan penderitaan sebagai sarana latihan kebajikan, dan Marcus Aurelius mengembangkan resilience sebagai prinsip kepemimpinan yang berlandaskan rasionalitas kosmik.²

Secara filosofis, ketabahan dalam Stoikisme dipahami sebagai integrasi antara rasionalitas, kebajikan, dan kebebasan batin.³ Berbeda dari resilience dalam pengertian psikologi modern yang menekankan faktor eksternal, resilience Stoik lebih menekankan dimensi etis dan batiniah. Kritik terhadap Stoikisme, baik internal maupun eksternal, menunjukkan adanya keterbatasan dalam menghadapi realitas emosional manusia dan konteks sosial, namun hal ini justru membuka peluang reinterpretasi yang memperkaya makna resilience dalam konteks kontemporer.⁴

9.2.       Implikasi Teoritis dan Praktis

Secara teoritis, gagasan ketabahan Stoik memberikan kontribusi penting bagi filsafat moral dan etika praktis. Ia menunjukkan bahwa kebajikan, bukan kondisi eksternal, adalah kunci bagi kehidupan yang baik (eudaimonia).⁵ Secara praktis, resilience Stoik dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang:

1)                  Psikologi modern, sebagai kerangka filosofis dalam mengembangkan strategi coping dan terapi kognitif.⁶

2)                  Pendidikan karakter, untuk menanamkan disiplin diri, rasionalitas, dan keberanian moral kepada generasi muda.⁷

3)                  Kepemimpinan dan politik, sebagai panduan bagi para pemimpin dalam menghadapi krisis dengan integritas dan ketenangan.⁸

9.3.       Rekomendasi

Untuk masa depan, diperlukan kajian interdisipliner yang lebih mendalam antara Stoikisme, psikologi, dan ilmu sosial, agar konsep ketabahan dapat dikembangkan secara lebih komprehensif. Selain itu, perlu dikaji relevansi ketabahan Stoik dalam menghadapi isu-isu global seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan sosial, dan disrupsi teknologi. Dengan cara ini, Stoikisme tidak hanya dipandang sebagai warisan klasik, tetapi juga sebagai sumber inspirasi yang hidup bagi umat manusia.

9.4.       Penutup Reflektif

Ketabahan Stoik bukanlah penyangkalan terhadap penderitaan, melainkan keberanian untuk menerimanya sebagai bagian dari tatanan alam.⁹ Dalam dunia yang semakin kompleks, ajaran ini mengingatkan kita bahwa manusia bijak adalah ia yang mampu menjaga integritas batin, tetap berpikir rasional, dan hidup sesuai kebajikan meski berada di tengah badai kehidupan. Dengan demikian, resilience Stoik tetap menjadi salah satu warisan filosofis yang paling relevan untuk membimbing manusia dalam perjalanan menuju kehidupan yang bermakna.


Footnotes

[1]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 195.

[2]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 88–90; Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (London: Penguin Books, 2004), 52–55; Epictetus, The Enchiridion, trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 12–14.

[3]                A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California Press, 1996), 45–47.

[4]                Margaret R. Graver, Stoicism and Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 27–30.

[5]                Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism (Oxford: Clarendon Press, 1985), 93–96.

[6]                Donald Robertson, How to Think Like a Roman Emperor: The Stoic Philosophy of Marcus Aurelius (New York: St. Martin’s Press, 2019), 61–63.

[7]                Christopher Gill, Learning to Live Naturally: Stoic Ethics and Its Modern Significance (Oxford: Oxford University Press, 2022), 166–168.

[8]                Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius (Cambridge: Harvard University Press, 1998), 223–226.

[9]                Ryan Holiday, The Obstacle Is the Way: The Timeless Art of Turning Trials into Triumph (New York: Portfolio, 2014), 48–52.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Burkeman, O. (2012). The antidote: Happiness for people who can’t stand positive thinking. Faber and Faber.

Cicero. (1913). On duties (W. Miller, Trans.). Harvard University Press.

Cooper, J. M. (2012). Pursuits of wisdom: Six ways of life in ancient philosophy from Socrates to Plotinus. Princeton University Press.

Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.

Dillon, J., & Long, A. A. (Eds.). (1988). The question of eclecticism: Studies in later Greek philosophy. University of California Press.

Epictetus. (1983). The Enchiridion (N. P. White, Trans.). Hackett Publishing.

Epictetus. (2008). Discourses (R. Dobbin, Trans.). Penguin Classics.

Gill, C. (2006). The structured self in Hellenistic and Roman thought. Oxford University Press.

Gill, C. (2022). Learning to live naturally: Stoic ethics and its modern significance. Oxford University Press.

Graver, M. R. (2007). Stoicism and emotion. University of Chicago Press.

Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life (M. Chase, Trans.). Blackwell.

Hadot, P. (1998). The inner citadel: The meditations of Marcus Aurelius. Harvard University Press.

Holiday, R. (2014). The obstacle is the way: The timeless art of turning trials into triumph. Portfolio.

Inwood, B. (1985). Ethics and human action in early Stoicism. Clarendon Press.

Ker, J. (2009). The deaths of Seneca. Oxford University Press.

Lear, J. (2006). Radical hope: Ethics in the face of cultural devastation. Harvard University Press.

Long, A. A. (1996). Stoic studies. University of California Press.

Long, A. A. (2002). Epictetus: A Stoic and Socratic guide to life. Clarendon Press.

Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge University Press.

Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays, Trans.). Modern Library.

Masten, A. S. (2001). Ordinary magic: Resilience processes in development. American Psychologist, 56(3), 227–238. doi.org

Nietzsche, F. (1998). Twilight of the idols (D. Large, Trans.). Oxford University Press.

Robertson, D. (2019). How to think like a Roman emperor: The Stoic philosophy of Marcus Aurelius. St. Martin’s Press.

Rutter, M. (2000). Resilience reconsidered: Conceptual considerations, empirical findings, and policy implications. In J. P. Shonkoff & S. J. Meisels (Eds.), Handbook of early childhood intervention (pp. 651–682). Cambridge University Press.

Seneca. (2004). Letters from a Stoic (R. Campbell, Trans.). Penguin Books.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar