Sabtu, 05 April 2025

Tajallī (Penampakan Ilahi): Penampakan Ilahi dalam Pandangan Tasawuf Ibn ‘Arabi dan Para Sufi

Tajallī (Penampakan Ilahi)

Penampakan Ilahi dalam Pandangan Tasawuf Ibn ‘Arabi dan Para Sufi


Alihkan ke: Pemikiran Ibnu Arabi.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep tajallī (penampakan Ilahi) dalam perspektif tasawuf, dengan fokus utama pada pemikiran Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabī dan kontribusi para sufi besar lainnya. Tajallī dipahami sebagai proses teofanik di mana Tuhan menampakkan nama dan sifat-Nya dalam berbagai bentuk ciptaan, menjadi jembatan antara yang transenden dan yang imanen. Artikel ini menelusuri landasan konseptual tajallī dalam Al-Qur’an dan hadis, serta mengulasnya dari sudut ontologis, kosmologis, spiritual, dan estetika. Selain itu, dibahas pula implementasi konsep ini dalam seni dan budaya Islam, serta kontroversi teologis yang melingkupinya, terutama kritik dari kalangan ulama kalam dan fiqh. Melalui pendekatan tekstual, historis, dan filosofis, artikel ini menunjukkan bahwa tajallī bukan hanya bagian dari kosmologi sufi, tetapi juga instrumen epistemologis dan transformasional yang memperdalam relasi manusia dengan Tuhan dan semesta. Pemahaman terhadap tajallī membuka cakrawala baru dalam studi tasawuf dan menawarkan pendekatan integratif terhadap iman, ilmu, dan seni.

Kata Kunci: Tajallī, Ibn ‘Arabī, tasawuf, penampakan Ilahi, Wahdat al-Wujūd, sufisme, kosmologi Islam, estetika Islam, spiritualitas, teofani.


PEMBAHASAN

Kajian Konsep Tajallī Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Konsep tajallī atau penampakan Ilahi merupakan salah satu tema paling sentral dan mendalam dalam diskursus tasawuf filsafati, terutama dalam karya-karya tokoh besar seperti Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabī (w. 1240 M). Dalam tradisi Islam, pemahaman terhadap hubungan antara Tuhan dan makhluk tidak hanya terbatas pada konsep penciptaan (khalq) dan perintah (amr), tetapi juga pada dinamika keberadaan Tuhan dalam semesta melalui manifestasi nama dan sifat-Nya. Di sinilah konsep tajallī berperan sebagai jembatan spiritual dan ontologis antara yang Mutlak dan yang nisbi, antara Yang Gaib dan yang nyata.

Ibn ‘Arabī menjadikan tajallī sebagai landasan utama dalam menjelaskan bagaimana Tuhan—yang Maha Gaib dan Maha Tak Terbatas—dapat “dikenali” melalui ciptaan-Nya tanpa menyalahi prinsip ketauhidan dan transendensi Ilahi (tanzīh) yang dijaga ketat dalam akidah Islam. Dalam al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ia menegaskan bahwa seluruh keberadaan adalah tajallī dari al-Ḥaqq (Yang Maha Benar), dan tidak ada sesuatu pun di luar jangkauan manifestasi Ilahi tersebut.¹

Kesadaran akan tajallī membuka ruang spiritual yang sangat luas dalam pengalaman religius seorang salik. Bagi para sufi, tajallī bukan semata konsep metafisik, melainkan pengalaman langsung yang menjadi inti dari perjalanan ruhani menuju Tuhan (sulūk ilā Allāh).² Dengan mengenali bahwa setiap aspek ciptaan merupakan cermin dari nama dan sifat Tuhan, seorang sufi didorong untuk melihat dunia secara lebih dalam dan transenden, bukan sekadar sebagai objek materi, tetapi sebagai wahana perjumpaan Ilahi.³

Namun, kompleksitas konsep ini juga telah memunculkan beragam interpretasi dan bahkan kontroversi. Beberapa kalangan menganggap ajaran tentang tajallī—terutama yang dikaitkan dengan doktrin Wahdat al-Wujūd Ibn ‘Arabī—terlalu dekat dengan paham panteisme atau menyamakan makhluk dengan Tuhan.⁴ Oleh karena itu, perlu kajian mendalam dan kontekstual terhadap pengertian tajallī, baik dari sisi tekstual (Al-Qur’an dan Hadis), pemikiran para sufi, maupun dari perspektif falsafi dan spiritual.

Artikel ini bertujuan untuk mengurai secara sistematis konsep tajallī sebagaimana dipahami dalam pemikiran Ibn ‘Arabī dan tradisi tasawuf lainnya. Dengan mengacu pada karya-karya primer dan kajian ilmiah modern, tulisan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana Tuhan “menampakkan Diri-Nya” dalam ciptaan tanpa kehilangan kemahasucian dan kemahatransendensian-Nya.


Footnotes

[1]                Ibn al-‘Arabī, Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. ‘Utsmān Yaḥyā (Beirut: Dār Ṣādir, 1994), jil. 2, hlm. 6–10.

[2]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 119–121.

[3]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 100–105.

[4]                Alexander Knysh, Ibn ‘Arabi in the Later Islamic Tradition: The Making of a Polemical Image in Medieval Islam (Albany: State University of New York Press, 1999), 22–26.


2.           Pengertian Tajallī dalam Bahasa dan Istilah

Secara etimologis, kata tajallī berasal dari akar kata Arab ج ل و (j-l-w), yang memiliki makna dasar “menjadi jelas”, “terungkap”, atau “menampakkan diri”.¹ Dalam bentuk verba tajallā (تجلّى), kata ini berarti “menyatakan diri”, “menampakkan wujud”, atau “menjadi terang secara nyata”.² Dalam penggunaan bahasa Arab klasik, kata ini sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang sebelumnya tersembunyi lalu menjadi nyata, baik secara fisik maupun metaforis.

Dalam konteks teologis dan sufistik, tajallī bermakna penampakan atau pernyataan Tuhan dalam bentuk ciptaan atau peristiwa, sebagai manifestasi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya.³ Artinya, Tuhan—yang pada Dzat-Nya tidak dapat diketahui secara langsung oleh makhluk karena transendensi-Nya (tanzīh)—mengizinkan Diri-Nya “dikenali” melalui manifestasi (tajallī) sifat dan nama-Nya (asmā’ wa ṣifāt) dalam berbagai bentuk realitas ciptaan (makhlūqāt).⁴

Al-Qur’an sendiri menggunakan istilah ini dalam konteks pengalaman spiritual Nabi Musa ketika memohon untuk melihat Allah. Dalam QS. Al-A‘rāf [07] ayat 143, disebutkan bahwa Allah “menampakkan diri-Nya (tajallā rabbuhu) kepada gunung”, yang kemudian hancur berkeping dan Musa jatuh pingsan karena kedahsyatannya.⁵ Ayat ini menjadi dasar konseptual bagi para sufi dalam menjelaskan bahwa Dzat Ilahi yang absolut hanya dapat dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk tertentu yang mungkin bagi makhluk, dan bukan secara langsung.

Para sufi membedakan tajallī dari konsep-konsep lain seperti tasybīh (penyerupaan Tuhan dengan makhluk) dan tanzīh (penyucian Tuhan dari keserupaan dengan makhluk). Jika tanzīh menekankan ketakterjangkauan dan kemaha-transendensian Tuhan, maka tajallī merupakan bentuk relasional Tuhan yang memungkinkan-Nya “dikenali” tanpa melanggar prinsip tanzīh.⁶ Oleh karena itu, tajallī adalah momen ketika transendensi dan immanensi Ilahi berinteraksi dalam kerangka spiritual dan ontologis.

Menurut William Chittick, tajallī dalam kerangka Ibn ‘Arabī tidak hanya menunjuk pada fenomena metafisika semata, tetapi juga melibatkan dimensi psikologis dan spiritual seorang manusia, di mana kesadaran batin membuka diri terhadap “penampakan” Ilahi dalam berbagai bentuk pengalaman.⁷ Ibn ‘Arabī sendiri mengembangkan konsep ini secara sistematis dengan membaginya menjadi beberapa tingkatan: tajallī al-dhātī (penampakan Dzat), tajallī al-ṣifātī (penampakan sifat), dan tajallī al-af‘ālī (penampakan perbuatan).⁸ Ketiga tingkatan ini menunjukkan hirarki pengalaman spiritual seorang sufi dalam mengenali Tuhan melalui aspek-aspek ciptaan yang berbeda.

Dengan demikian, tajallī bukan hanya istilah teknis dalam kosmologi sufi, tetapi juga menjadi fondasi epistemologi spiritual yang menjelaskan bagaimana manusia dapat mengenal Tuhan melalui pengalaman, penghayatan, dan kontemplasi terhadap alam semesta dan dirinya sendiri.


Footnotes

[1]                Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J. Milton Cowan (Urbana: Spoken Language Services, 1994), 138.

[2]                Lane, Edward William. An Arabic-English Lexicon, Part 1 (Cambridge: Islamic Texts Society, 1984), 426.

[3]                Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur'an: Semantics of the Qur'anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 132–133.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 196.

[5]                QS. Al-A‘rāf [7] ayat  143.

[6]                Abu Hamid al-Ghazali, Al-Maqṣad al-Asnā fī Sharḥ Ma‘ānī Asmā’ Allāh al-Ḥusnā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 24–26.

[7]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 94–97.

[8]                Ibn al-‘Arabī, Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. ‘Utsmān Yaḥyā (Beirut: Dār Ṣādir, 1994), jil. 3, hlm. 132–138.


3.           Landasan Qur’ani dan Hadis tentang Tajallī

Konsep tajallī (penampakan Ilahi) dalam tasawuf bukanlah rekaan filsafat semata, melainkan berpijak kuat pada teks-teks normatif dalam Islam, yakni Al-Qur’an dan hadis. Para sufi klasik, termasuk Ibn ‘Arabī, senantiasa merujuk pada wahyu sebagai fondasi doktrinal dalam menjelaskan fenomena spiritual seperti tajallī. Melalui pendekatan simbolik dan esoterik, ayat-ayat dan hadis-hadis tertentu ditafsirkan sebagai bukti dari kemungkinan manifestasi Tuhan kepada makhluk-Nya dalam bentuk-bentuk yang mungkin dipahami atau dialami secara spiritual.

3.1.       Al-Qur’an dan Tajallī: Perspektif Teofanik

Ayat paling sering dikutip dalam diskursus tentang tajallī adalah QS. al-A‘rāf [07] ayat 143:

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ

"Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhannya berbicara langsung kepadanya, Musa berkata: 'Ya Tuhanku, tampakkanlah (Diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.' Tuhan berfirman: 'Engkau tidak akan sanggup melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap pada tempatnya, maka kamu akan dapat melihat-Ku.' Tatkala Tuhannya menampakkan diri (tajallā) kepada gunung itu, Dia menjadikannya hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan."_¹

Ayat ini menjadi teks kunci dalam pembahasan teofani dalam Islam. Penampakan Tuhan kepada gunung (dan bukan langsung kepada Musa) mengisyaratkan keterbatasan eksistensial makhluk dalam menerima tajallī Dzat Ilahi secara langsung. Menurut tafsir Ibn Kathīr, tajallī ini adalah bentuk cahaya Ilahi yang sangat kecil namun cukup untuk menghancurkan gunung, menandakan betapa agung dan tak terjangkau-Nya Tuhan.²

Ibn ‘Arabī menafsirkan ayat ini sebagai bukti bahwa tajallī adalah realitas yang memungkinkan secara ontologis, tetapi hanya terjadi dalam bentuk yang proporsional terhadap kesiapan penerima (qābil). Dalam pandangannya, Musa tidak ditolak dalam pencarian, tetapi dituntun untuk menyadari bahwa pengenalan terhadap Tuhan mesti melalui perantara atau cermin-cermin wujud, bukan langsung kepada Dzat-Nya.³

Selain itu, ayat lain yang sering dikaitkan dengan tajallī adalah QS. an-Nūr [24] ayat 35:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ

“Allāh adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita…”

Ayat ini, menurut para sufi seperti al-Ghazālī dan Ibn ‘Arabī, merupakan alegori dari tajallī nūrānī (penampakan dalam bentuk cahaya) yang menunjukkan bagaimana Tuhan hadir secara halus dan metaforis dalam wujud segala sesuatu.⁴ Tuhan tidak dilihat secara fisik, tetapi "terlihat" dalam struktur dan harmoni eksistensi.

3.2.       Hadis dan Indikasi Teofani

Dalam hadis, meskipun tidak ada istilah tajallī secara eksplisit, terdapat narasi-narasi yang memberi ruang interpretasi terhadap fenomena penampakan Ilahi. Salah satunya adalah hadis tentang ihsān:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”_⁵

Hadis ini dijadikan oleh para sufi sebagai dasar spiritual dari tajallī, yakni dalam pengalaman ruhani seorang hamba yang mencapai maqām ihsān, Allah "terlihat" dalam segala sesuatu karena kesempurnaan penghayatan kehadiran-Nya.⁶

Ada juga hadis qudsi yang berbunyi:

كُنتُ كَنزًا مَخفِيًّا، فَأحبَبتُ أن أُعرَفَ، فَخَلَقتُ الخَلقَ لِكَي أُعرَفَ.

Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk, agar mereka mengenal-Ku.”_⁷

Meskipun status sanad hadis ini diperdebatkan dalam ilmu hadis, para sufi sejak masa awal menggunakan teks ini secara simbolik untuk mendukung doktrin tajallī: bahwa penciptaan adalah hasil dari kehendak Ilahi untuk menampakkan (menajallā) Diri-Nya melalui bentuk-bentuk duniawi agar makhluk dapat mengenal-Nya.

3.3.       Relevansi dalam Tafsir Sufi

Dalam tradisi tafsir sufi seperti Tafsīr al-Tustarī dan Kashf al-Asrār karya Rūzbihān Baqlī, ayat-ayat tentang tajallī diartikan sebagai perjalanan spiritual menuju pemahaman hakikat Ilahi. Para mufassir sufi menekankan bahwa tajallī tidak menghapuskan transendensi Tuhan, melainkan menegaskan bahwa manifestasi-Nya dalam makhluk tidak berarti perubahan Dzat-Nya, tetapi hanya keterziharan-Nya dalam bentuk yang dipahami makhluk.⁸

Dengan demikian, landasan Qur’ani dan hadis tentang tajallī menunjukkan bahwa konsep ini memiliki dasar wahyu yang kuat, sekaligus memberikan ruang kontemplatif untuk mendalami aspek immanensi Tuhan dalam ciptaan. Para sufi seperti Ibn ‘Arabī mengembangkan tafsir atas teks-teks ini untuk membangun epistemologi mistik yang bertujuan mengenalkan Tuhan bukan hanya melalui logika, tetapi melalui pengalaman spiritual yang mendalam.


Footnotes

[1]                QS. al-A‘rāf [7] ayat 143.

[2]                Ismā‘īl ibn ‘Umar Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, ed. Sāmī ibn Muḥammad al-Salāmah (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), 3:417.

[3]                Ibn al-‘Arabī, Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. ‘Utsmān Yaḥyā (Beirut: Dār Ṣādir, 1994), 2:215–220.

[4]                Abu Hāmid al-Ghazālī, Mishkāt al-Anwār, ed. Abū al-‘Alā Afghānī (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1964), 12–17.

[5]                Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Īmān, Bāb su’āl Jibrīl.

[6]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 115–117.

[7]                Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 68.

[8]                Rūzbihān al-Baqlī, Kashf al-Asrār, ed. Gerhard Böwering (Beirut: Dār al-Mashriq, 1978), 145–150.


4.           Tajallī Menurut Ibn ‘Arabī

Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabī (w. 638 H/1240 M) merupakan salah satu tokoh sentral dalam pemikiran tasawuf filsafati yang paling mendalam dan kompleks dalam sejarah Islam. Salah satu kontribusi paling menonjol dari pemikirannya adalah penjelasan sistematis mengenai konsep tajallī (penampakan Ilahi), yang berhubungan erat dengan doktrin metafisika Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud).¹ Dalam kerangka ini, seluruh eksistensi dipahami sebagai manifestasi atau penampakan dari wujud tunggal, yakni Allah, yang menampakkan diri-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya dalam realitas kosmis.

4.1.       Kosmologi dan Ontologi Tajallī

Menurut Ibn ‘Arabī, tajallī merupakan cara Allah "menghadirkan diri" dalam bentuk-bentuk keberadaan tanpa menanggalkan sifat transendensi-Nya. Tuhan tetap tidak berubah, tetapi ciptaan hadir sebagai refleksi dari nama dan sifat-Nya.² Dalam karya monumentalnya, Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabī menyebut bahwa tajallī adalah "perbuatan Ilahi yang paling nyata", karena melalui tajallī-lah, alam semesta memperoleh wujud dan makna.³

Setiap makhluk merupakan cermin dari nama Ilahi tertentu, sehingga realitas dapat dipahami sebagai jaringan dinamis dari manifestasi Ilahi. Misalnya, keindahan dalam alam adalah manifestasi dari al-Jamīl, keadilan mencerminkan al-‘Adl, dan kekuatan adalah perwujudan dari al-Qawwiyy. Namun, karena nama-nama tersebut bersifat multidimensional, maka satu makhluk bisa menjadi tempat tajallī dari lebih dari satu nama Ilahi secara simultan.⁴

Ibn ‘Arabī juga menegaskan bahwa tajallī bukan hanya terjadi pada awal penciptaan, melainkan merupakan proses yang terus-menerus (tajaddud al-khalq), artinya penciptaan bukanlah peristiwa sekali jadi, tetapi keberlanjutan tajallī yang tak berujung.⁵

4.2.       Hirarki Tajallī: Tiga Tingkatan

Ibn ‘Arabī menjelaskan bahwa tajallī terjadi dalam tiga tingkatan utama, yaitu:

1)                  Tajallī al-Dhātī (Penampakan Dzat):

Penampakan ini tidak bisa diakses oleh makhluk secara langsung karena absolutnya Dzat Tuhan. Bahkan para nabi dan wali pun tidak mampu mencerapnya secara penuh. Dalam pengalaman Nabi Musa (QS. al-A‘rāf [07] ayat 143), gunung hancur bukan karena melihat Dzat Allah, tetapi karena tajallī dzātī yang sangat dahsyat.⁶

2)                  Tajallī al-Ṣifātī (Penampakan Sifat):

Merupakan manifestasi sifat-sifat Ilahi (seperti rahmat, keadilan, ilmu), yang dapat dikenali melalui ciptaan dan peristiwa kehidupan. Ini adalah tingkatan tajallī yang paling sering dijumpai oleh salik dalam perjalanan spiritualnya.⁷

3)                  Tajallī al-Af‘ālī (Penampakan Perbuatan):

Ini adalah manifestasi Tuhan melalui tindakan-Nya di alam raya, seperti penciptaan, pengaturan, dan penghapusan. Segala perubahan dan dinamika di alam merupakan bentuk af‘āl Ilahiyyah yang menunjukkan keberadaan-Nya.⁸

Ketiga tingkatan ini menunjukkan kedalaman pengalaman ruhani dalam mengenali Tuhan, dari yang paling luar (perbuatan), ke yang lebih dalam (sifat), hingga yang paling dalam dan misterius (Dzat).

4.3.       Tajallī sebagai Proses Spiritual dan Epistemologis

Bagi Ibn ‘Arabī, tajallī bukan hanya fenomena kosmologis, melainkan juga proses epistemologis: cara manusia mengenal Tuhan. Ia menyebut bahwa pengetahuan sejati (ma‘rifah) hanya bisa dicapai melalui pengalaman tajallī, bukan sekadar nalar atau hafalan teks.⁹ Dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam, Ibn ‘Arabī menegaskan bahwa realitas wahyu adalah bentuk tajallī, dan para nabi memperoleh ilmu dari “penampakan Ilahi” yang khas sesuai dengan maqām mereka masing-masing.¹⁰

Oleh karena itu, jalan spiritual seorang sufi adalah perjalanan menuju kesiapan diri untuk menerima tajallī sesuai dengan kapasitas (qābiliyyah) batinnya. Proses penyucian diri (tazkiyah) bukan bertujuan untuk “melihat” Tuhan secara literal, tetapi untuk membiarkan hati menjadi cermin bening yang mampu menangkap pantulan cahaya-Nya.

4.4.       Kesadaran Tajallī dan Etika Spiritual

Salah satu implikasi penting dari pemahaman tajallī adalah perubahan paradigma etika. Jika segala sesuatu adalah tempat manifestasi nama dan sifat Allah, maka penghormatan terhadap makhluk, tanggung jawab terhadap lingkungan, dan kasih sayang terhadap sesama menjadi bagian integral dari akhlak spiritual. Inilah akar dari spiritualitas kosmik Ibn ‘Arabī: bahwa mengenali Tuhan tidak terpisah dari mencintai ciptaan-Nya.¹¹


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 81–84.

[2]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 107–108.

[3]                Ibn al-‘Arabī, Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. ‘Uthmān Yaḥyā (Beirut: Dār Ṣādir, 1994), 2:212.

[4]                Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn ‘Arabi, the Book, and the Law (Albany: State University of New York Press, 1993), 50.

[5]                William C. Chittick, Ibn ‘Arabi: Heir to the Prophets (Oxford: Oneworld, 2005), 32–34.

[6]                Ibn al-‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 68–70.

[7]                Reza Shah-Kazemi, “The Notion of Tajallī in Islamic Mysticism,” Sacred Web 12 (2003): 85–89.

[8]                Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 128–129.

[9]                Sufi Path of Knowledge, 165–167.

[10]             Ibn al-‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, 23.

[11]             James Winston Morris, The Reflective Heart: Discovering Spiritual Intelligence in Ibn ‘Arabi’s Meccan Illuminations (Louisville: Fons Vitae, 2005), 45–48.


5.           Tajallī dalam Tradisi Sufi Lainnya

Meskipun Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabī merupakan tokoh yang memformulasikan doktrin tajallī secara sistematik dan filosofis, ide mengenai penampakan Ilahi sejatinya telah menjadi bagian penting dalam pengalaman dan refleksi spiritual para sufi sejak masa-masa awal tasawuf. Pemahaman dan pengalaman tentang tajallī dalam tradisi sufi lainnya berkembang dalam kerangka estetika, etika, dan mistik yang menekankan hubungan cinta dan penyaksian antara hamba dan Tuhan.

5.1.       Al-Ḥallāj dan Tajallī Sebagai Kehadiran Mutlak

Manṣūr al-Ḥallāj (w. 309 H/922 M), sufi martir yang kontroversial, dikenal luas dengan ungkapan “Anā al-Ḥaqq” (Akulah Yang Maha Benar). Pernyataan ini sering disalahpahami sebagai klaim keilahian, padahal dalam kerangka mistik sufi, ungkapan tersebut mencerminkan pengalaman ekstatis yang sangat dalam akan tajallī dzātī, di mana kesadaran individu sang sufi larut sepenuhnya dalam kehadiran Ilahi.¹

Al-Ḥallāj bukan sedang menyetarakan dirinya dengan Tuhan, tetapi mengungkapkan bahwa dalam maqām fana’, segala identitas pribadi lenyap dan hanya al-Ḥaqq (kebenaran Ilahi) yang hadir.² Dalam konteks ini, tajallī dipahami sebagai pengalaman langsung dan mendalam atas kehadiran Tuhan dalam diri seorang sufi yang telah mencapai penghilangan ego (fanā’ al-nafs).

5.2.       Al-Qusyairī dan Etika Tajallī

Abū al-Qāsim al-Qusyairī (w. 465 H/1072 M), dalam karyanya Al-Risālah al-Qusyairiyyah, memberikan pendasaran spiritual terhadap konsep tajallī sebagai bagian dari tahapan sulūk seorang salik. Menurutnya, tajallī adalah pemberian (mawhibah) dari Allah kepada hamba yang telah membersihkan batinnya melalui mujahadah dan riyāḍah.³

Ia membedakan antara tajallī inderawi (yang dapat membingungkan orang awam) dan tajallī batiniah yang halus, yang hanya bisa ditangkap oleh qalb yang tercerahkan. Al-Qusyairī juga menekankan bahwa setiap tajallī mengandung tanggung jawab spiritual: semakin tinggi maqām seorang sufi, semakin berat amanahnya dalam menjaga adab dan ketundukan kepada kehendak Tuhan.⁴

5.3.       Al-Ghazālī dan Simbolisme Cahaya dalam Tajallī

Imam al-Ghazālī (w. 505 H/1111 M), meski dikenal sebagai teolog dan filsuf, dalam karya mistiknya Mishkāt al-Anwār (Relung-relung Cahaya) menjelaskan tajallī dalam bentuk metafor cahaya. Ia menafsirkan QS. an-Nūr [24] ayat 35 sebagai penjelasan tentang tingkatan pencahayaan ilahiah dalam jiwa manusia.⁵

Bagi al-Ghazālī, tajallī adalah pencerahan batiniah di mana cahaya Ilahi menyingkap realitas sejati di balik hijab duniawi. Ia membagi tajallī dalam tiga tingkatan cahaya: cahaya indera, cahaya akal, dan cahaya Ilahi—yang terakhir hanya dapat dicapai oleh para nabi dan wali melalui penyucian jiwa dan pencapaian ma‘rifah.⁶ Pendekatan ini menempatkan tajallī sebagai pengalaman epistemik dan spiritual yang menyatukan logika, cinta, dan intuisi dalam perjalanan menuju Tuhan.

5.4.       Tradisi Sufi Asia Selatan: Chishtiyyah dan Tajallī

Dalam tradisi sufi Chishtiyyah yang berkembang di Asia Selatan, tajallī banyak dikaitkan dengan sama‘ (mendengar musik sufi) sebagai media untuk mengalami kehadiran Ilahi secara batiniah. Tokoh seperti Khwāja Mu‘īn al-Dīn Chishtī (w. 1236 M) dan murid-muridnya menekankan pentingnya hati yang lembut dan cinta sebagai sarana utama menerima tajallī.⁷

Menurut Annemarie Schimmel, pengalaman tajallī dalam tarekat ini sering kali muncul dalam bentuk ekstasi ruhani saat mendengar syair dan musik, di mana hati menjadi "dilunakkan" oleh keindahan Ilahi yang terpancar melalui suara dan irama.⁸ Di sini, tajallī hadir bukan hanya sebagai wacana metafisik, tetapi sebagai realitas yang dapat dialami secara indrawi dan emosional dalam kerangka spiritual yang kolektif.


Kesimpulan Sementara

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tajallī dalam tradisi sufi memiliki ragam pendekatan dan ekspresi. Meski istilah dan kerangka filsafatnya dirumuskan secara teknis oleh Ibn ‘Arabī, para sufi sebelumnya dan sesudahnya telah mengalami dan menafsirkan tajallī dalam bentuk yang sesuai dengan maqām spiritual dan tradisi intelektual masing-masing. Apakah itu dalam bentuk ekstasi mistik, pencerahan batin, atau keheningan etis, semua memperlihatkan bahwa tajallī merupakan jantung dari dinamika hubungan hamba dengan Tuhan dalam spiritualitas Islam.


Footnotes

[1]                Louis Massignon, The Passion of al-Hallaj: Mystic and Martyr of Islam, trans. Herbert Mason (Princeton: Princeton University Press, 1982), 117–119.

[2]                Carl W. Ernst, Words of Ecstasy in Sufism (Albany: State University of New York Press, 1985), 63–64.

[3]                Abū al-Qāsim al-Qusyairī, Al-Risālah al-Qusyairiyyah, ed. Maḥmūd bin al-Ṣādiq (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 145–146.

[4]                Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden: Brill, 2000), 84.

[5]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mishkāt al-Anwār, ed. Abū al-‘Alā Afghānī (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1964), 8–11.

[6]                Richard Frank, Creation and the Cosmic System: Al-Ghazali and Avicenna in Essays on Islamic Philosophy and Science, ed. George F. Hourani (Albany: SUNY Press, 1975), 43–45.

[7]                Bruce B. Lawrence, Notes from a Distant Flute: The Extant Literature of the Chishti Order (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 62–63.

[8]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 181–183.


6.           Tajallī dan Implikasi Spiritual

Konsep tajallī dalam tasawuf tidak hanya menyentuh ranah metafisika atau kosmologi, tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan spiritual seorang sufi. Sebagai suatu bentuk “kehadiran” atau penampakan Tuhan dalam wujud dan peristiwa, tajallī membawa implikasi mendalam terhadap maqāmāt (tingkatan spiritual), ḥāl (kondisi ruhani), serta cara seorang hamba berinteraksi dengan realitas di sekitarnya. Dalam tradisi Ibn ‘Arabī dan para sufi lainnya, tajallī merupakan proses transformatif yang mengubah persepsi, pemahaman, dan sikap seorang salik terhadap Tuhan, dirinya sendiri, dan semesta.

6.1.       Tajallī dan Peningkatan Maqām Ruhani

Dalam kerangka tasawuf, perjalanan spiritual seorang salik terdiri dari berbagai maqām (stasiun spiritual) yang harus dilalui dengan usaha (mujāhadah) dan pembinaan diri (riyāḍah). Tajallī dianggap sebagai bentuk karunia Ilahi (mawhibah) yang diperoleh oleh mereka yang telah membersihkan jiwa dan menempuh jalan menuju Tuhan.¹

Menurut Ibn ‘Arabī, setiap maqām spiritual disertai dengan bentuk tajallī tertentu yang sesuai dengan kesiapan batin salik.² Misalnya, pada maqām khauf (takut), Tuhan menampakkan Diri-Nya dalam bentuk keagungan dan kekuasaan (jalāl), sementara pada maqām mahabbah (cinta), tajallī muncul dalam bentuk kelembutan dan kasih sayang (jamāl).³ Oleh karena itu, tajallī bukan hanya sebagai fenomena kosmik, tetapi sebagai dinamika ruhani yang menyertai proses penyucian diri.

6.2.       Tajallī sebagai Sarana Ma‘rifah

Salah satu implikasi terpenting dari tajallī adalah tercapainya ma‘rifah (pengetahuan langsung tentang Tuhan), yang menjadi puncak tujuan dalam tasawuf. Tidak seperti pengetahuan rasional, ma‘rifah diperoleh bukan melalui argumen atau deduksi logis, melainkan melalui penyaksian (mushāhadah) dan kehadiran Ilahi yang menyinari hati.⁴

Ibn ‘Arabī menyatakan bahwa “Allah tidak dapat dikenali kecuali melalui tajallī-Nya,” karena hanya melalui manifestasi itulah manusia mampu memahami sesuatu tentang Yang Maha Gaib.⁵ Oleh sebab itu, tajallī menjadi media epistemologis dalam tasawuf—sebuah jendela di mana Tuhan “menyingkap” tabir antara diri-Nya dan hamba-Nya, meski tetap dalam keterbatasan makhluk.

6.3.       Implikasi Etika: Melihat Tuhan dalam Segala Sesuatu

Kesadaran bahwa seluruh realitas adalah tempat tajallī Tuhan melahirkan cara pandang etis yang sangat dalam. Dalam kerangka Ibn ‘Arabī, setiap makhluk—sekecil dan serendah apa pun—adalah cermin dari salah satu nama Ilahi, dan oleh karena itu, layak untuk dihormati dan diperlakukan dengan welas asih.⁶

Pemahaman ini melahirkan apa yang disebut sebagai spiritualitas kosmik, yaitu kesadaran bahwa interaksi dengan alam, sesama manusia, dan diri sendiri adalah bentuk komunikasi dengan Tuhan dalam berbagai bentuk-Nya.⁷ Maka, tajallī mendorong terciptanya etika welas asih, keadilan, dan tanggung jawab ekologis yang bersumber dari kontemplasi teologis yang mendalam.

6.4.       Tajallī dan Dinamika Antara Khauf dan Mahabbah

Para sufi memahami bahwa tajallī dapat hadir dalam bentuk yang menggugah rasa takut (jalāl) maupun bentuk yang membangkitkan cinta (jamāl). Keseimbangan antara keduanya merupakan dinamika spiritual yang menjaga keseimbangan jiwa salik antara kesadaran akan keagungan Tuhan dan kerinduan akan kedekatan-Nya.⁸

Al-Ghazālī menyatakan bahwa “cinta yang murni hanya tumbuh setelah seseorang mengenali keagungan dan keindahan Tuhan melalui penyaksian terhadap tajallī-Nya.”_⁹ Dalam hal ini, tajallī tidak hanya memperkuat iman, tetapi juga memperhalus rasa dan memperdalam rasa cinta yang dilandasi dengan penghayatan terhadap rahmat dan keagungan Ilahi.

6.5.       Tajallī sebagai Transformasi Diri

Implikasi paling nyata dari tajallī adalah transformasi eksistensial dalam diri seorang sufi. Melalui tajallī, hati menjadi bersih, akhlak menjadi mulia, dan orientasi hidup bergeser dari duniawi menuju ukhrawi. Para sufi menyebut keadaan ini sebagai baqā’ ba‘da fanā’—tetap eksis dalam Tuhan setelah melewati kehampaan ego.¹⁰

Dengan demikian, tajallī tidak hanya memengaruhi cara berpikir, tetapi juga membentuk cara hidup. Ia menghidupkan kesadaran spiritual yang konkret dalam tindakan, menjadikan kehidupan sehari-hari sebagai ladang pengenalan dan penyaksian terhadap Tuhan yang Maha Hadir.


Footnotes

[1]                Abū al-Qāsim al-Qusyairī, Al-Risālah al-Qusyairiyyah, ed. Maḥmūd bin al-Ṣādiq (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 153.

[2]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 136–137.

[3]                Reza Shah-Kazemi, “The Notion of Tajallī in Islamic Mysticism,” Sacred Web 12 (2003): 93.

[4]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 120–121.

[5]                Ibn al-‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. A. Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 43.

[6]                James Winston Morris, The Reflective Heart: Discovering Spiritual Intelligence in Ibn ‘Arabi’s Meccan Illuminations (Louisville: Fons Vitae, 2005), 67–69.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 212–213.

[8]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 151–152.

[9]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. ‘Izzat al-Ḥusaynī (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 4:239.

[10]             Ibn ‘Arabī, Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. ‘Uthmān Yaḥyā (Beirut: Dār Ṣādir, 1994), 3:191–194.


7.           Tajallī dalam Dimensi Falsafi dan Kosmologis

Selain dipahami sebagai pengalaman spiritual dan fenomena ruhani, konsep tajallī juga memiliki landasan kuat dalam kerangka filsafat dan kosmologi Islam, terutama dalam pemikiran Ibn ‘Arabī dan para pengikutnya. Dalam dimensi ini, tajallī dijelaskan sebagai prinsip dasar dari proses penciptaan dan struktur keberadaan, yang menghubungkan antara Tuhan Yang Mutlak dan makhluk yang terbatas. Oleh karena itu, tajallī tidak hanya berfungsi sebagai penampakan spiritual, tetapi juga sebagai model ontologis yang menjelaskan bagaimana wujud muncul dari Yang Tak Terbatas.

7.1.       Tajallī dan Ontologi Eksistensial

Dalam filsafat wujud (ontologi), Ibn ‘Arabī memandang bahwa hanya Allah yang memiliki wujūd haqīqī (eksistensi sejati), sementara segala sesuatu selain-Nya memiliki eksistensi majāzī (pinjaman), yakni eksistensi yang diterima melalui tajallī.¹ Dalam kerangka ini, tajallī adalah proses di mana Wujud Mutlak "menampakkan diri" dalam bentuk-bentuk partikular, tanpa menyatu dengan atau menjadi salah satu dari bentuk-bentuk itu.²

Konsep ini paralel dengan doktrin Wahdat al-Wujūd, di mana eksistensi bukanlah banyak dan terpisah, tetapi satu yang menampakkan diri dalam banyak rupa. Oleh sebab itu, tajallī menjadi dasar dari al-khalq (ciptaan) sebagai ekspresi dari keinginan Ilahi untuk dikenal (ḥubb al-ta‘arruf).³ Maka, kosmos bukanlah entitas independen, melainkan refleksi bertingkat dari Dzat Tuhan.

7.2.       Tajallī dan Kosmologi Tiga Alam

Dalam kosmologi sufi-falsafi, semesta dipahami sebagai terbagi dalam tiga tingkatan utama:⁴

1)                  ‘Ālam al-Lāhūt (ranah keilahian): tempat Dzat Allah yang murni, tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Tajallī di tingkat ini bersifat potensial dan tidak terakses.

2)                  ‘Ālam al-Malakūt (alam ruhani): wilayah perwujudan sifat-sifat dan nama-nama Ilahi. Inilah tingkat di mana tajallī ṣifātī banyak terjadi dan menjadi penghubung antara yang Absolut dan yang kasatmata.

3)                  ‘Ālam al-Mulk (alam fisik): dunia material tempat manusia hidup. Di sinilah tajallī af‘ālī termanifestasi dalam bentuk tindakan Tuhan di alam semesta.

Tiap alam memantulkan realitas Ilahi dengan tingkatan kesiapan (qābiliyyah) yang berbeda. Melalui kontemplasi terhadap dunia fisik dan gerak kehidupan, seorang salik dapat menapaki kembali jejak-jejak tajallī menuju sumber asalnya, yaitu Tuhan.

7.3.       Tajallī, Al-‘Aql al-Awwal, dan Alam Mitsāl

Dalam banyak sistem filsafat Islam, termasuk dalam pengaruh Neoplatonis pada falsafah Muslim (seperti pada al-Fārābī dan Ibn Sīnā), Tuhan menciptakan realitas melalui perantara al-‘aql al-awwal (akal pertama). Ibn ‘Arabī menafsirkan entitas seperti akal pertama, nafs al-kulliyyah (jiwa universal), dan alam mitsāl (alam imajinasi) sebagai manifestasi tajallī berjenjang.⁵

Ia menyebut alam mitsāl sebagai tempat tajallī berlangsung secara imajinatif—yakni alam perantara di mana bentuk-bentuk spiritual muncul dalam rupa-rupa visual dan simbolik yang bisa dialami dalam mimpi, ilham, atau pengalaman mistik.⁶ Alam ini sangat penting dalam metafisika Ibn ‘Arabī karena menjadi wilayah interaksi antara yang ruhani dan jasmani, antara ghaib dan nyata.

7.4.       Tajallī dan Dinamika Penciptaan Berulang (Tajaddud al-Khalq)

Ibn ‘Arabī mengembangkan ide bahwa penciptaan bukanlah peristiwa statis, tetapi terus berlangsung secara dinamis melalui tajallī yang berkesinambungan. Konsep ini dikenal sebagai tajaddud al-khalq (penciptaan yang terus-menerus), di mana setiap momen dalam waktu adalah wujud baru dari pancaran Ilahi.⁷

Dengan kata lain, Tuhan tidak menciptakan dunia lalu berjarak dari ciptaan-Nya, melainkan terus hadir dan memperbaharui eksistensi melalui tajallī yang tiada henti. Inilah yang menjadikan waktu dan perubahan sebagai realitas teofanik: setiap detik adalah tempat munculnya manifestasi Tuhan.

7.5.       Implikasi Kosmologis: Kesatuan dalam Keberagaman

Konsep tajallī dalam dimensi kosmologis juga menegaskan bahwa di balik keberagaman fenomena alam semesta, terdapat satu sumber wujud yang tunggal. Keragaman bentuk, warna, dan sifat hanyalah variasi tajallī dari nama-nama dan sifat-sifat Tuhan.⁸

Hal ini menjadi fondasi bagi pandangan inklusif dan holistik dalam tasawuf: mengenali bahwa setiap bagian dari ciptaan adalah manifestasi Ilahi, sehingga tidak ada tempat untuk sikap dualistik atau diskriminatif terhadap realitas. Dalam pandangan ini, ilmu, cinta, dan keindahan semuanya berpulang kepada proses tajallī yang bersumber dari Yang Esa.


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 77–79.

[2]                Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur'an: Semantics of the Qur'anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 192–194.

[3]                Ibn al-‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. A. Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 68.

[4]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 115–117.

[5]                Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 172–175.

[6]                Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 113–116.

[7]                Ibn al-‘Arabī, Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. ‘Uthmān Yaḥyā (Beirut: Dār Ṣādir, 1994), 2:221.

[8]                Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn ‘Arabi, the Book, and the Law (Albany: SUNY Press, 1993), 63–65.


8.           Tajallī dalam Budaya dan Seni Islam

Konsep tajallī (penampakan Ilahi) tidak hanya berdampak dalam ranah metafisika dan spiritualitas pribadi, tetapi juga membentuk ekspresi budaya dan estetika dalam peradaban Islam. Dalam seni Islam, tajallī menjadi fondasi filosofis bagi berkembangnya bentuk-bentuk artistik yang tidak sekadar bersifat dekoratif, melainkan sarat makna spiritual. Estetika Islam, sebagaimana dipahami oleh para seniman dan sufi, bukan dimaksudkan untuk mewakili realitas fisik secara langsung, tetapi untuk mengungkap kehadiran Ilahi dalam simbol, harmoni, dan keindahan

8.1.       Kaligrafi: Keindahan Huruf sebagai Wajah Tuhan

Salah satu bentuk seni Islam yang paling menonjol dalam mengekspresikan konsep tajallī adalah kaligrafi. Dalam tradisi Islam, khususnya di dunia sufi, kaligrafi dipandang sebagai media yang menghadirkan dimensi ruhani melalui bentuk huruf, karena huruf-huruf Arab merupakan wasīlah (perantara) yang membawa firman Tuhan dalam Al-Qur’an.²

Menurut Titus Burckhardt, kaligrafi Qur’ani merupakan manifestasi simbolis dari tajallī kalāmī—penampakan Tuhan dalam bentuk kata-kata wahyu.³ Bentuk dan ritme dalam kaligrafi mengekspresikan ketertiban kosmos Ilahi, sementara keindahannya memantulkan jamāl (aspek keindahan) Tuhan. Oleh karena itu, aktivitas menulis kaligrafi bukan hanya seni visual, melainkan juga bentuk dzikr dan kontemplasi.

8.2.       Arsitektur: Ruang sebagai Cermin Keabadian

Arsitektur Islam, terutama dalam bentuk masjid, madrasah, dan mausoleum, sering dirancang untuk mencerminkan struktur harmoni Ilahi yang menjadi bagian dari tajallī. Struktur simetris, repetisi geometris, dan penggunaan cahaya dalam ruang arsitektur merupakan wujud dari prinsip tanzīm (ketertiban) dan tajallī dalam dunia material.⁴

Masjid-masjid seperti Masjid Süleymaniye di Istanbul atau Masjid Shah di Isfahan, misalnya, bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga ruang kontemplatif di mana geometri spiritual dan permainan cahaya menciptakan pengalaman kehadiran Tuhan secara batiniah.⁵ Cahaya yang menembus jendela kaca patri atau memantul dari kubah dianalogikan sebagai nūr al-tajallī (cahaya penampakan Ilahi), yang menembus kesadaran hamba.

8.3.       Puisi Sufi: Simbolisme dan Ekstasi Tajallī

Dalam khazanah sastra Islam, terutama puisi sufistik dari tokoh seperti Jalāl al-Dīn Rūmī, Ḥāfiẓ, dan Ibn al-Fāriḍ, konsep tajallī hadir dalam simbolisme cinta, anggur, keindahan kekasih, dan kerinduan mistik.⁶ Rūmī, misalnya, menggambarkan tajallī sebagai momen penyatuan antara yang fana dan Yang Abadi, di mana jiwa menari dalam ekstasi kehadiran Ilahi.⁷

Puisi menjadi medium untuk menggambarkan pengalaman tajallī secara emosional dan simbolik, di mana kata-kata tidak lagi sekadar alat komunikasi, tetapi juga jalan pengungkapan batin terdalam. Simbol seperti cermin, mawar, bulan, dan kekasih kerap digunakan untuk mewakili aspek tertentu dari penampakan Ilahi yang tidak terungkapkan secara langsung oleh bahasa literal.

8.4.       Musik dan Tari Sufi: Irama Tajallī

Dalam beberapa tradisi tasawuf, khususnya tarekat Mawlawiyyah dan Chishtiyyah, musik dan tari (seperti samā‘ dan whirling) dijadikan sebagai medium spiritual untuk mengalami tajallī.⁸ Gerakan tubuh yang berputar atau irama musik bukanlah hiburan, melainkan sarana untuk meleburkan ego dan menyaksikan kehadiran Tuhan dalam denyut ritme dan keheningan batin.

Menurut Annemarie Schimmel, samā‘ dipandang sebagai “telinga hati” yang menangkap getaran Ilahi dalam bentuk bunyi, dan dengan itu, menuntun jiwa menuju pengenalan terhadap Tuhan.⁹ Musik dalam kerangka ini adalah tajallī yang menggugah jiwa—mengangkatnya dari keterikatan material menuju ekstasi spiritual.

8.5.       Estetika Islam sebagai Tajallī

Estetika Islam secara keseluruhan dibangun atas asas keimanan kepada tauhid dan keindahan Tuhan. Dalam hal ini, keindahan bukanlah nilai sekunder, melainkan manifestasi dari sifat Tuhan sendiri: Inna Allāha Jamīl wa yuḥibbu al-jamāl—“Sesungguhnya Allah itu Indah dan mencintai keindahan.”_¹⁰ Seni dalam Islam tidak bersifat mimesis (meniru realitas duniawi), tetapi transendental—mengarahkan pandangan dari makhluk kepada al-Khāliq, dari bentuk kepada makna, dari citra kepada tajallī.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Art and Spirituality (Albany: State University of New York Press, 1987), 3–4.

[2]                Sheila S. Blair and Jonathan M. Bloom, The Art and Architecture of Islam: 1250–1800 (New Haven: Yale University Press, 1994), 45.

[3]                Titus Burckhardt, Art of Islam: Language and Meaning, trans. J. Peter Hobson (Bloomington: World Wisdom, 2009), 112.

[4]                Oleg Grabar, The Mediation of Ornament (Princeton: Princeton University Press, 1992), 67–68.

[5]                Keith Critchlow, Islamic Patterns: An Analytical and Cosmological Approach (London: Thames and Hudson, 1976), 98–100.

[6]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 349–353.

[7]                Jalāl al-Dīn Rūmī, The Mathnawī of Jalāl al-Dīn Rūmī, trans. Reynold A. Nicholson (London: E.J.W. Gibb Memorial, 1925), I: 64–65.

[8]                Regula Qureshi, “Sufi Music of India and Pakistan: Sound, Context and Meaning in Qawwali” (Chicago: University of Chicago Press, 1986), 110–113.

[9]                Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, 184.

[10]             Hadis riwayat Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb al-Īmān, no. 91.


9.           Kritik dan Kontroversi

Konsep tajallī (penampakan Ilahi) yang dikembangkan secara mendalam dalam tradisi tasawuf, terutama oleh Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabī, tidak lepas dari kritik dan kontroversi sepanjang sejarah pemikiran Islam. Meskipun ide ini memiliki akar dalam teks-teks wahyu dan telah menginspirasi jutaan Muslim dalam aspek spiritual dan artistik, sebagian kalangan memandangnya sebagai pemikiran yang problematik dari segi teologis, epistemologis, dan bahkan politis.

9.1.       Tuduhan Panteisme dan Kesatuan Wujud

Salah satu kritik utama terhadap tajallī adalah anggapan bahwa konsep ini terlalu dekat dengan panteisme, yaitu doktrin bahwa Tuhan adalah segala sesuatu atau segala sesuatu adalah Tuhan.¹ Pandangan ini muncul akibat kesalahpahaman terhadap ajaran Wahdat al-Wujūd Ibn ‘Arabī, yang sering disalahartikan sebagai identifikasi langsung antara Tuhan dan ciptaan.

Tokoh seperti Ibn Taymiyyah (w. 728 H/1328 M) secara keras menentang pandangan Ibn ‘Arabī dan para sufi filsafat yang mengajarkan Wahdat al-Wujūd, karena menurutnya doktrin ini dapat menghapus batas transendental antara Khalik dan makhluk.² Ia menyatakan bahwa pemahaman semacam itu bertentangan dengan tauhid yang murni sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Namun, para pembela Ibn ‘Arabī menekankan bahwa tajallī tidak berarti Tuhan menjadi makhluk atau makhluk adalah Tuhan, melainkan bahwa segala sesuatu adalah manifestasi dari nama dan sifat-Nya, bukan Dzat-Nya yang mutlak.³ Ini menunjukkan bahwa perdebatan tersebut sering kali lebih berkaitan dengan tafsir terminologi metafisika daripada penolakan mutlak terhadap realitas spiritual.

9.2.       Kontroversi dalam Ilmu Kalam dan Teologi Sunni

Dalam kerangka ilmu kalam Ahlus Sunnah, terutama dalam mazhab Ash‘ariyah dan Maturidiyah, konsep tajallī diterima secara terbatas. Meskipun ayat-ayat seperti QS. al-A‘rāf [07] ayat 143 diakui sebagai bukti kemungkinan tajallī, para teolog membatasi maknanya dalam pengertian metaforis atau hanya sebagai karāmah dan bukan hakikat Dzat Ilahi.⁴

Al-Sanūsī, misalnya, dalam Umm al-Barāhīn, memperingatkan bahwa memaknai tajallī secara literal terhadap Dzat dapat menjerumuskan pada tasybīh (penyerupaan Tuhan dengan makhluk), yang ditolak secara tegas dalam tauhid.⁵ Oleh karena itu, para teolog Sunni cenderung menerima tajallī dalam batas makna “pengaruh nama dan sifat-Nya”, bukan penampakan esensial.

9.3.       Kecurigaan terhadap Bahasa Simbolik Sufi

Banyak kritik terhadap tajallī juga muncul dari kesulitan memahami bahasa simbolik dan paradoksal yang digunakan oleh para sufi. Ungkapan seperti Anā al-Ḥaqq (Al-Ḥallāj) atau "Tidak ada di dalam jubahku selain Allah" (al-Bisṭāmī) sering dituduh sebagai bentuk klaim ketuhanan, padahal sebenarnya itu merupakan ungkapan fana' (lebur dalam kehadiran Tuhan) dalam kerangka tajallī.⁶

Namun karena banyak ungkapan tersebut tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang maqāmāt, istilah teknis sufi, dan kerangka epistemologi tasawuf, banyak ulama fiqih dan kalam menilainya sebagai zindiq atau bahkan sesat.⁷ Beberapa sufi seperti al-Ḥallāj bahkan dihukum mati karena tuduhan-tuduhan tersebut.

9.4.       Reaksi dalam Tradisi Sufi Sendiri

Menariknya, tidak semua sufi menerima atau mengikuti pendekatan Ibn ‘Arabī dalam menjelaskan tajallī. Tokoh seperti Ahmad Sirhindī (w. 1034 H/1624 M), seorang reformis Naqsyabandiyah dari India, mengajukan kritik terhadap Wahdat al-Wujūd dan menggantinya dengan konsep Wahdat al-Shuhūd (kesatuan dalam penyaksian).⁸ Ia menilai bahwa apa yang dipahami sebagai kesatuan wujud sejatinya hanya kesatuan dalam kesadaran batin salik, bukan realitas objektif.

Meskipun demikian, perbedaan ini tidak serta-merta menolak tajallī sebagai konsep, melainkan mengusulkan pendekatan yang lebih hati-hati agar tidak jatuh dalam pemahaman yang ekstrem atau menyimpang.

9.5.       Respons Kontemporer dan Rehabilitasi Ibn ‘Arabī

Dalam diskursus modern, para cendekiawan seperti William Chittick, Michel Chodkiewicz, dan Reza Shah-Kazemi telah menunjukkan bahwa kritik terhadap Ibn ‘Arabī sering kali berangkat dari pemahaman yang keliru atau literal terhadap bahasa simbolik dan kiasan tasawuf.⁹ Mereka menegaskan bahwa tajallī bukanlah penolakan terhadap transendensi Tuhan, melainkan cara untuk menjelaskan bagaimana Tuhan yang Maha Gaib dapat dikenali melalui ciptaan tanpa mereduksi ke-Maha-an-Nya.

Dengan demikian, pemahaman tajallī justru memperkuat relasi antara tanzīh (penyucian) dan tasybīh (pendekatan), yang keduanya merupakan bagian dari keseimbangan tauhid yang utuh.¹⁰


Footnotes

[1]                Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden: Brill, 2000), 99–101.

[2]                Ibn Taymiyyah, Bayān Talbīs al-Jahmiyyah, ed. Muhammad al-Qaḥṭānī (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 2005), 1:87–90.

[3]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 124.

[4]                Aḥmad ibn Muḥammad al-Sanūsī, Umm al-Barāhīn (Cairo: al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, n.d.), 8–10.

[5]                Al-Sanūsī, Umm al-Barāhīn, 14.

[6]                Carl W. Ernst, Words of Ecstasy in Sufism (Albany: State University of New York Press, 1985), 75–78.

[7]                Louis Massignon, The Passion of al-Hallaj: Mystic and Martyr of Islam, trans. Herbert Mason (Princeton: Princeton University Press, 1982), 98–99.

[8]                Yohanan Friedmann, Shaykh Ahmad Sirhindi: An Outline of His Thought and a Study of His Image in the Eyes of Posterity (Montreal: McGill University Press, 1971), 54–56.

[9]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 32–34.

[10]             Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn ‘Arabi, the Book, and the Law (Albany: SUNY Press, 1993), 55–58.


10.       Penutup

Konsep tajallī atau penampakan Ilahi merupakan salah satu elemen kunci dalam pemikiran tasawuf, terutama dalam tradisi Ibn ‘Arabī dan para sufi metafisik lainnya. Sebagai kerangka spiritual, ontologis, dan kosmologis, tajallī menjelaskan bagaimana Tuhan yang Mahagaib dan transenden dapat “dikenal” oleh makhluk melalui manifestasi nama-nama dan sifat-sifat-Nya dalam ciptaan.¹ Dalam pandangan Ibn ‘Arabī, realitas semesta tidak lain adalah cermin-cermin yang memantulkan cahaya Ilahi, dan perjalanan spiritual seorang sufi adalah proses penyaksian terhadap tajallī tersebut sesuai dengan tingkat kesiapan batin dan maqām-nya.²

Pembahasan dalam artikel ini menunjukkan bahwa tajallī bukanlah konsep spekulatif belaka, tetapi berdasar kuat pada sumber-sumber utama Islam, seperti Al-Qur’an (misalnya QS. al-A‘rāf [07] ayat 143, QS. an-Nūr [24] ayat 35) dan hadis-hadis spiritual seperti hadis tentang ihsān.³ Melalui pendekatan sufistik, ayat dan hadis tersebut ditafsirkan secara simbolik dan eksistensial, sehingga menghadirkan pengalaman religius yang lebih mendalam dan personal.

Dalam praktik spiritual, tajallī memiliki peran transformasional: ia mengarahkan salik dari sekadar mengetahui Tuhan secara kognitif menuju mengenal-Nya secara eksistensial melalui ma‘rifah.⁴ Kesadaran akan tajallī membentuk pola etika yang berakar pada cinta, kasih sayang, penghormatan terhadap ciptaan, dan tanggung jawab kosmik.⁵ Lebih dari itu, tajallī juga menjiwai ekspresi budaya Islam—dari kaligrafi, arsitektur, musik, hingga puisi—sebagai sarana menghadirkan keindahan Tuhan dalam dunia yang tampak.⁶

Meski demikian, tajallī bukan tanpa kritik. Sebagian kalangan menilai pemahaman Ibn ‘Arabī dan para pengikutnya tentang tajallī dapat membawa kepada penafsiran yang ambigu terhadap hubungan Tuhan dan makhluk, bahkan mendekati panteisme jika tidak diletakkan dalam kerangka tauhid yang proporsional.⁷ Namun kajian akademik kontemporer menunjukkan bahwa banyak kesalahpahaman terhadap bahasa simbolik sufi dapat dijernihkan melalui pendekatan kontekstual dan pemahaman terhadap epistemologi spiritual mereka.⁸

Secara keseluruhan, tajallī merupakan konsep integral yang membuka horizon baru dalam memahami kehadiran Tuhan dalam kehidupan. Ia memperkaya khazanah keislaman dengan nuansa batiniah yang lembut, dalam, dan penuh makna, yang relevan bagi pembentukan spiritualitas individual dan kolektif di zaman modern. Di tengah dunia yang semakin materialistik dan terfragmentasi, konsep tajallī dapat menjadi jembatan untuk kembali melihat semesta sebagai ayat-ayat Tuhan yang hidup dan terus menyingkapkan kehadiran-Nya yang penuh cinta dan hikmah.


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 84–87.

[2]                Michel Chodkiewicz, Seal of the Saints: Prophethood and Sainthood in the Doctrine of Ibn ‘Arabi, trans. Liadain Sherrard (Cambridge: Islamic Texts Society, 1993), 59.

[3]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 152–153.

[4]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 100–103.

[5]                James Winston Morris, The Reflective Heart: Discovering Spiritual Intelligence in Ibn ‘Arabi’s Meccan Illuminations (Louisville: Fons Vitae, 2005), 43–45.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Art and Spirituality (Albany: SUNY Press, 1987), 6–9.

[7]                Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden: Brill, 2000), 106–109.

[8]                Reza Shah-Kazemi, “The Notion of Tajallī in Islamic Mysticism,” Sacred Web 12 (2003): 77–78.


Daftar Pustaka

Blair, S. S., & Bloom, J. M. (1994). The art and architecture of Islam: 1250–1800. Yale University Press.

Burckhardt, T. (2009). Art of Islam: Language and meaning (J. P. Hobson, Trans.). World Wisdom.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. State University of New York Press.

Chittick, W. C. (2005). Ibn ‘Arabi: Heir to the prophets. Oneworld Publications.

Chodkiewicz, M. (1993). Seal of the saints: Prophethood and sainthood in the doctrine of Ibn ‘Arabi (L. Sherrard, Trans.). Islamic Texts Society.

Chodkiewicz, M. (1993). An ocean without shore: Ibn ‘Arabi, the book, and the law. State University of New York Press.

Corbin, H. (1969). Creative imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi (R. Manheim, Trans.). Princeton University Press.

Critchlow, K. (1976). Islamic patterns: An analytical and cosmological approach. Thames and Hudson.

Ernst, C. W. (1985). Words of ecstasy in Sufism. State University of New York Press.

Friedmann, Y. (1971). Shaykh Ahmad Sirhindi: An outline of his thought and a study of his image in the eyes of posterity. McGill University Press.

Grabar, O. (1992). The mediation of ornament. Princeton University Press.

Ibn al-‘Arabī. (1994). Al-Futūḥāt al-Makkiyyah (ʻU. Yaḥyá, Ed.). Dār Ṣādir.

Ibn al-‘Arabī. (1946). Fuṣūṣ al-Ḥikam (ʻA. Afīfī, Ed.). Dār al-Kitāb al-‘Arabī.

Ibn Kathīr. (1999). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm (S. M. al-Salāmah, Ed.). Dār Ṭayyibah.

Ibn Taymiyyah. (2005). Bayān talbīs al-Jahmiyyah (M. al-Qaḥṭānī, Ed.). Maktabah al-Rushd.

Izutsu, T. (1983). Sufism and Taoism: A comparative study of key philosophical concepts. University of California Press.

Izutsu, T. (2002). God and man in the Qur'an: Semantics of the Qur'anic Weltanschauung. Islamic Book Trust.

Lawrence, B. B. (1978). Notes from a distant flute: The extant literature of the Chishti order. Imperial Iranian Academy of Philosophy.

Massignon, L. (1982). The passion of al-Hallaj: Mystic and martyr of Islam (H. Mason, Trans.). Princeton University Press.

Morris, J. W. (2005). The reflective heart: Discovering spiritual intelligence in Ibn ‘Arabi’s Meccan illuminations. Fons Vitae.

Nasr, S. H. (1987). Islamic art and spirituality. State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Qureshi, R. (1986). Sufi music of India and Pakistan: Sound, context and meaning in Qawwali. University of Chicago Press.

Sanūsī, A. ibn M. (n.d.). Umm al-Barāhīn. Al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā.

Schimmel, A. (1975). Mystical dimensions of Islam. University of North Carolina Press.

Shah-Kazemi, R. (2003). The notion of tajallī in Islamic mysticism. Sacred Web, 12, 77–94.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar