Tajallī (Penampakan Ilahi)
Penampakan Ilahi dalam Pandangan Tasawuf Ibn ‘Arabi dan
Para Sufi
Alihkan ke: Pemikiran
Ibnu Arabi.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep tajallī
(penampakan Ilahi) dalam perspektif tasawuf, dengan fokus utama pada pemikiran
Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabī dan kontribusi para sufi besar lainnya. Tajallī
dipahami sebagai proses teofanik di mana Tuhan menampakkan nama dan sifat-Nya
dalam berbagai bentuk ciptaan, menjadi jembatan antara yang transenden dan yang
imanen. Artikel ini menelusuri landasan konseptual tajallī dalam
Al-Qur’an dan hadis, serta mengulasnya dari sudut ontologis, kosmologis,
spiritual, dan estetika. Selain itu, dibahas pula implementasi konsep ini dalam
seni dan budaya Islam, serta kontroversi teologis yang melingkupinya, terutama
kritik dari kalangan ulama kalam dan fiqh. Melalui pendekatan tekstual,
historis, dan filosofis, artikel ini menunjukkan bahwa tajallī bukan
hanya bagian dari kosmologi sufi, tetapi juga instrumen epistemologis dan
transformasional yang memperdalam relasi manusia dengan Tuhan dan semesta.
Pemahaman terhadap tajallī membuka cakrawala baru dalam studi tasawuf
dan menawarkan pendekatan integratif terhadap iman, ilmu, dan seni.
Kata Kunci: Tajallī, Ibn ‘Arabī, tasawuf, penampakan Ilahi, Wahdat al-Wujūd, sufisme,
kosmologi Islam, estetika Islam, spiritualitas, teofani.
PEMBAHASAN
Kajian Konsep Tajallī Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Konsep tajallī
atau penampakan Ilahi merupakan salah satu tema paling sentral dan mendalam
dalam diskursus tasawuf filsafati, terutama dalam karya-karya tokoh besar
seperti Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabī (w. 1240 M). Dalam tradisi Islam, pemahaman
terhadap hubungan antara Tuhan dan makhluk tidak hanya terbatas pada konsep
penciptaan (khalq) dan perintah (amr),
tetapi juga pada dinamika keberadaan Tuhan dalam semesta melalui manifestasi
nama dan sifat-Nya. Di sinilah konsep tajallī berperan sebagai jembatan
spiritual dan ontologis antara yang Mutlak dan yang nisbi, antara Yang Gaib dan
yang nyata.
Ibn ‘Arabī
menjadikan tajallī
sebagai landasan utama dalam menjelaskan bagaimana Tuhan—yang Maha Gaib dan
Maha Tak Terbatas—dapat “dikenali” melalui ciptaan-Nya tanpa menyalahi
prinsip ketauhidan dan transendensi Ilahi (tanzīh) yang dijaga ketat dalam
akidah Islam. Dalam al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ia
menegaskan bahwa seluruh keberadaan adalah tajallī dari al-Ḥaqq (Yang Maha
Benar), dan tidak ada sesuatu pun di luar jangkauan manifestasi Ilahi
tersebut.¹
Kesadaran akan tajallī
membuka ruang spiritual yang sangat luas dalam pengalaman religius seorang
salik. Bagi para sufi, tajallī bukan semata konsep
metafisik, melainkan pengalaman langsung yang menjadi inti dari perjalanan
ruhani menuju Tuhan (sulūk ilā Allāh).² Dengan mengenali
bahwa setiap aspek ciptaan merupakan cermin dari nama dan sifat Tuhan, seorang
sufi didorong untuk melihat dunia secara lebih dalam dan transenden, bukan
sekadar sebagai objek materi, tetapi sebagai wahana perjumpaan Ilahi.³
Namun, kompleksitas
konsep ini juga telah memunculkan beragam interpretasi dan bahkan kontroversi.
Beberapa kalangan menganggap ajaran tentang tajallī—terutama yang dikaitkan
dengan doktrin Wahdat al-Wujūd Ibn ‘Arabī—terlalu
dekat dengan paham panteisme atau menyamakan makhluk dengan Tuhan.⁴ Oleh karena
itu, perlu kajian mendalam dan kontekstual terhadap pengertian tajallī,
baik dari sisi tekstual (Al-Qur’an dan Hadis), pemikiran para sufi, maupun dari
perspektif falsafi dan spiritual.
Artikel ini
bertujuan untuk mengurai secara sistematis konsep tajallī sebagaimana dipahami dalam
pemikiran Ibn ‘Arabī dan tradisi tasawuf lainnya. Dengan mengacu pada
karya-karya primer dan kajian ilmiah modern, tulisan ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana Tuhan “menampakkan
Diri-Nya” dalam ciptaan tanpa kehilangan kemahasucian dan
kemahatransendensian-Nya.
Footnotes
[1]
Ibn al-‘Arabī, Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. ‘Utsmān Yaḥyā
(Beirut: Dār Ṣādir, 1994), jil. 2, hlm. 6–10.
[2]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 119–121.
[3]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
100–105.
[4]
Alexander Knysh, Ibn ‘Arabi in the Later Islamic Tradition: The
Making of a Polemical Image in Medieval Islam (Albany: State University of
New York Press, 1999), 22–26.
2.
Pengertian
Tajallī dalam Bahasa dan Istilah
Secara etimologis,
kata tajallī
berasal dari akar kata Arab ج ل و (j-l-w),
yang memiliki makna dasar “menjadi jelas”, “terungkap”, atau “menampakkan
diri”.¹ Dalam bentuk verba tajallā (تجلّى),
kata ini berarti “menyatakan diri”, “menampakkan wujud”, atau “menjadi
terang secara nyata”.² Dalam penggunaan bahasa Arab klasik, kata ini
sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang sebelumnya tersembunyi lalu
menjadi nyata, baik secara fisik maupun metaforis.
Dalam konteks
teologis dan sufistik, tajallī bermakna penampakan
atau pernyataan Tuhan dalam bentuk ciptaan atau peristiwa,
sebagai manifestasi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya.³ Artinya, Tuhan—yang
pada Dzat-Nya tidak dapat diketahui secara langsung oleh makhluk karena
transendensi-Nya (tanzīh)—mengizinkan Diri-Nya “dikenali”
melalui manifestasi (tajallī) sifat dan nama-Nya (asmā’ wa
ṣifāt) dalam berbagai bentuk realitas ciptaan (makhlūqāt).⁴
Al-Qur’an sendiri
menggunakan istilah ini dalam konteks pengalaman spiritual Nabi Musa ketika
memohon untuk melihat Allah. Dalam QS. Al-A‘rāf [07] ayat 143, disebutkan bahwa
Allah “menampakkan diri-Nya (tajallā rabbuhu)
kepada gunung”, yang kemudian hancur berkeping dan Musa jatuh pingsan
karena kedahsyatannya.⁵ Ayat ini menjadi dasar konseptual bagi para sufi dalam
menjelaskan bahwa Dzat Ilahi yang absolut hanya dapat dimanifestasikan dalam
bentuk-bentuk tertentu yang mungkin bagi makhluk, dan bukan secara langsung.
Para sufi membedakan
tajallī
dari konsep-konsep lain seperti tasybīh (penyerupaan Tuhan dengan
makhluk) dan tanzīh (penyucian Tuhan dari
keserupaan dengan makhluk). Jika tanzīh menekankan ketakterjangkauan
dan kemaha-transendensian Tuhan, maka tajallī merupakan bentuk relasional
Tuhan yang memungkinkan-Nya “dikenali” tanpa melanggar prinsip tanzīh.⁶
Oleh karena itu, tajallī adalah momen ketika
transendensi dan immanensi Ilahi berinteraksi dalam kerangka spiritual dan
ontologis.
Menurut William
Chittick, tajallī
dalam kerangka Ibn ‘Arabī tidak hanya menunjuk pada fenomena metafisika semata,
tetapi juga melibatkan dimensi psikologis dan spiritual seorang manusia, di
mana kesadaran batin membuka diri terhadap “penampakan” Ilahi dalam
berbagai bentuk pengalaman.⁷ Ibn ‘Arabī sendiri mengembangkan konsep ini secara
sistematis dengan membaginya menjadi beberapa tingkatan: tajallī
al-dhātī (penampakan Dzat), tajallī al-ṣifātī (penampakan
sifat), dan tajallī al-af‘ālī (penampakan
perbuatan).⁸ Ketiga tingkatan ini menunjukkan hirarki pengalaman spiritual
seorang sufi dalam mengenali Tuhan melalui aspek-aspek ciptaan yang berbeda.
Dengan demikian, tajallī
bukan hanya istilah teknis dalam kosmologi sufi, tetapi juga menjadi fondasi
epistemologi spiritual yang menjelaskan bagaimana manusia dapat mengenal Tuhan
melalui pengalaman, penghayatan, dan kontemplasi terhadap alam semesta dan
dirinya sendiri.
Footnotes
[1]
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J.
Milton Cowan (Urbana: Spoken Language Services, 1994), 138.
[2]
Lane, Edward William. An Arabic-English Lexicon, Part 1
(Cambridge: Islamic Texts Society, 1984), 426.
[3]
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur'an: Semantics of the
Qur'anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 132–133.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 196.
[5]
QS. Al-A‘rāf [7] ayat 143.
[6]
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Maqṣad al-Asnā fī Sharḥ Ma‘ānī Asmā’ Allāh
al-Ḥusnā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 24–26.
[7]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 94–97.
[8]
Ibn al-‘Arabī, Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. ‘Utsmān Yaḥyā
(Beirut: Dār Ṣādir, 1994), jil. 3, hlm. 132–138.
3.
Landasan
Qur’ani dan Hadis tentang Tajallī
Konsep tajallī
(penampakan Ilahi) dalam tasawuf bukanlah rekaan filsafat semata, melainkan
berpijak kuat pada teks-teks normatif dalam Islam, yakni Al-Qur’an dan hadis.
Para sufi klasik, termasuk Ibn ‘Arabī, senantiasa merujuk pada wahyu sebagai
fondasi doktrinal dalam menjelaskan fenomena spiritual seperti tajallī.
Melalui pendekatan simbolik dan esoterik, ayat-ayat dan hadis-hadis tertentu
ditafsirkan sebagai bukti dari kemungkinan manifestasi Tuhan kepada makhluk-Nya
dalam bentuk-bentuk yang mungkin dipahami atau dialami secara spiritual.
3.1.
Al-Qur’an dan Tajallī: Perspektif
Teofanik
Ayat paling sering
dikutip dalam diskursus tentang tajallī adalah QS. al-A‘rāf [07]
ayat 143:
وَلَمَّا جَاءَ
مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ
ۚ قَالَ لَنْ
تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ
تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ
دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ
"Dan tatkala Musa datang untuk
(munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhannya
berbicara langsung kepadanya, Musa berkata: 'Ya Tuhanku, tampakkanlah
(Diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.' Tuhan berfirman: 'Engkau
tidak akan sanggup melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap pada
tempatnya, maka kamu akan dapat melihat-Ku.' Tatkala Tuhannya menampakkan diri
(tajallā) kepada
gunung itu, Dia menjadikannya hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan."_¹
Ayat ini menjadi
teks kunci dalam pembahasan teofani dalam Islam. Penampakan Tuhan kepada gunung
(dan bukan langsung kepada Musa) mengisyaratkan keterbatasan eksistensial
makhluk dalam menerima tajallī Dzat Ilahi secara langsung.
Menurut tafsir Ibn Kathīr, tajallī ini adalah bentuk cahaya
Ilahi yang sangat kecil namun cukup untuk menghancurkan gunung, menandakan
betapa agung dan tak terjangkau-Nya Tuhan.²
Ibn ‘Arabī
menafsirkan ayat ini sebagai bukti bahwa tajallī adalah realitas yang
memungkinkan secara ontologis, tetapi hanya terjadi dalam bentuk yang
proporsional terhadap kesiapan penerima (qābil). Dalam pandangannya, Musa
tidak ditolak dalam pencarian, tetapi dituntun untuk menyadari bahwa pengenalan
terhadap Tuhan mesti melalui perantara atau cermin-cermin wujud, bukan langsung
kepada Dzat-Nya.³
Selain itu, ayat
lain yang sering dikaitkan dengan tajallī adalah QS. an-Nūr [24] ayat
35:
اللَّهُ نُورُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ
فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ
“Allāh adalah cahaya langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di
dalamnya ada pelita…”
Ayat ini, menurut
para sufi seperti al-Ghazālī dan Ibn ‘Arabī, merupakan alegori dari tajallī
nūrānī (penampakan dalam bentuk cahaya) yang menunjukkan bagaimana
Tuhan hadir secara halus dan metaforis dalam wujud segala sesuatu.⁴ Tuhan tidak
dilihat secara fisik, tetapi "terlihat" dalam struktur dan
harmoni eksistensi.
3.2.
Hadis dan Indikasi Teofani
Dalam hadis,
meskipun tidak ada istilah tajallī secara eksplisit, terdapat
narasi-narasi yang memberi ruang interpretasi terhadap fenomena penampakan
Ilahi. Salah satunya adalah hadis tentang ihsān:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ
كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya; jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”_⁵
Hadis ini dijadikan
oleh para sufi sebagai dasar spiritual dari tajallī, yakni dalam pengalaman
ruhani seorang hamba yang mencapai maqām ihsān, Allah "terlihat" dalam segala sesuatu
karena kesempurnaan penghayatan kehadiran-Nya.⁶
Ada juga hadis qudsi
yang berbunyi:
كُنتُ كَنزًا
مَخفِيًّا، فَأحبَبتُ أن أُعرَفَ، فَخَلَقتُ الخَلقَ لِكَي أُعرَفَ.
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi.
Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk, agar mereka mengenal-Ku.”_⁷
Meskipun status
sanad hadis ini diperdebatkan dalam ilmu hadis, para sufi sejak masa awal
menggunakan teks ini secara simbolik untuk mendukung doktrin tajallī:
bahwa penciptaan adalah hasil dari kehendak Ilahi untuk menampakkan (menajallā)
Diri-Nya melalui bentuk-bentuk duniawi agar makhluk dapat mengenal-Nya.
3.3.
Relevansi dalam Tafsir Sufi
Dalam tradisi tafsir
sufi seperti Tafsīr al-Tustarī dan Kashf
al-Asrār karya Rūzbihān Baqlī, ayat-ayat tentang tajallī
diartikan sebagai perjalanan spiritual menuju pemahaman hakikat Ilahi. Para
mufassir sufi menekankan bahwa tajallī tidak menghapuskan
transendensi Tuhan, melainkan menegaskan bahwa manifestasi-Nya dalam makhluk
tidak berarti perubahan Dzat-Nya, tetapi hanya keterziharan-Nya dalam bentuk
yang dipahami makhluk.⁸
Dengan demikian,
landasan Qur’ani dan hadis tentang tajallī menunjukkan bahwa konsep
ini memiliki dasar wahyu yang kuat, sekaligus memberikan ruang kontemplatif
untuk mendalami aspek immanensi Tuhan dalam ciptaan. Para sufi seperti Ibn
‘Arabī mengembangkan tafsir atas teks-teks ini untuk membangun epistemologi
mistik yang bertujuan mengenalkan Tuhan bukan hanya melalui logika, tetapi
melalui pengalaman spiritual yang mendalam.
Footnotes
[1]
QS. al-A‘rāf [7] ayat 143.
[2]
Ismā‘īl ibn ‘Umar Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, ed.
Sāmī ibn Muḥammad al-Salāmah (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), 3:417.
[3]
Ibn al-‘Arabī, Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. ‘Utsmān Yaḥyā
(Beirut: Dār Ṣādir, 1994), 2:215–220.
[4]
Abu Hāmid al-Ghazālī, Mishkāt al-Anwār, ed. Abū al-‘Alā
Afghānī (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1964), 12–17.
[5]
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Īmān, Bāb su’āl Jibrīl.
[6]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 115–117.
[7]
Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb
al-‘Arabī, 1946), 68.
[8]
Rūzbihān al-Baqlī, Kashf al-Asrār, ed. Gerhard Böwering
(Beirut: Dār al-Mashriq, 1978), 145–150.
4.
Tajallī
Menurut Ibn ‘Arabī
Muḥyī al-Dīn Ibn
‘Arabī (w. 638 H/1240 M) merupakan salah satu tokoh sentral dalam pemikiran
tasawuf filsafati yang paling mendalam dan kompleks dalam sejarah Islam. Salah
satu kontribusi paling menonjol dari pemikirannya adalah penjelasan sistematis
mengenai konsep tajallī (penampakan Ilahi), yang
berhubungan erat dengan doktrin metafisika Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud).¹
Dalam kerangka ini, seluruh eksistensi dipahami sebagai manifestasi atau
penampakan dari wujud tunggal, yakni Allah, yang menampakkan diri-Nya melalui
nama-nama dan sifat-sifat-Nya dalam realitas kosmis.
4.1.
Kosmologi dan Ontologi Tajallī
Menurut Ibn ‘Arabī, tajallī
merupakan cara Allah "menghadirkan diri" dalam bentuk-bentuk
keberadaan tanpa menanggalkan sifat transendensi-Nya. Tuhan tetap tidak
berubah, tetapi ciptaan hadir sebagai refleksi dari nama dan sifat-Nya.² Dalam
karya monumentalnya, Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabī
menyebut bahwa tajallī adalah "perbuatan
Ilahi yang paling nyata", karena melalui tajallī-lah, alam semesta
memperoleh wujud dan makna.³
Setiap makhluk
merupakan cermin dari nama Ilahi tertentu, sehingga realitas dapat dipahami
sebagai jaringan dinamis dari manifestasi Ilahi. Misalnya, keindahan dalam alam
adalah manifestasi dari al-Jamīl, keadilan mencerminkan al-‘Adl,
dan kekuatan adalah perwujudan dari al-Qawwiyy. Namun, karena nama-nama
tersebut bersifat multidimensional, maka satu makhluk bisa menjadi tempat tajallī
dari lebih dari satu nama Ilahi secara simultan.⁴
Ibn ‘Arabī juga
menegaskan bahwa tajallī bukan hanya terjadi pada
awal penciptaan, melainkan merupakan proses yang terus-menerus (tajaddud
al-khalq), artinya penciptaan bukanlah peristiwa sekali jadi,
tetapi keberlanjutan tajallī yang tak berujung.⁵
4.2.
Hirarki Tajallī: Tiga Tingkatan
Ibn ‘Arabī menjelaskan
bahwa tajallī
terjadi dalam tiga tingkatan utama, yaitu:
1)
Tajallī al-Dhātī
(Penampakan Dzat):
Penampakan ini tidak bisa diakses oleh makhluk
secara langsung karena absolutnya Dzat Tuhan. Bahkan para nabi dan wali pun
tidak mampu mencerapnya secara penuh. Dalam pengalaman Nabi Musa (QS. al-A‘rāf
[07] ayat 143), gunung hancur bukan karena melihat Dzat Allah, tetapi karena tajallī
dzātī yang sangat dahsyat.⁶
2)
Tajallī al-Ṣifātī
(Penampakan Sifat):
Merupakan manifestasi sifat-sifat Ilahi (seperti
rahmat, keadilan, ilmu), yang dapat dikenali melalui ciptaan dan peristiwa
kehidupan. Ini adalah tingkatan tajallī yang paling sering dijumpai
oleh salik dalam perjalanan spiritualnya.⁷
3)
Tajallī al-Af‘ālī
(Penampakan Perbuatan):
Ini adalah manifestasi Tuhan melalui tindakan-Nya
di alam raya, seperti penciptaan, pengaturan, dan penghapusan. Segala perubahan
dan dinamika di alam merupakan bentuk af‘āl Ilahiyyah yang menunjukkan
keberadaan-Nya.⁸
Ketiga tingkatan ini
menunjukkan kedalaman pengalaman ruhani dalam mengenali Tuhan, dari yang paling
luar (perbuatan), ke yang lebih dalam (sifat), hingga yang paling dalam dan
misterius (Dzat).
4.3.
Tajallī sebagai Proses Spiritual dan
Epistemologis
Bagi Ibn ‘Arabī, tajallī
bukan hanya fenomena kosmologis, melainkan juga proses epistemologis: cara
manusia mengenal Tuhan. Ia menyebut bahwa pengetahuan sejati (ma‘rifah)
hanya bisa dicapai melalui pengalaman tajallī, bukan sekadar nalar atau
hafalan teks.⁹ Dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam, Ibn ‘Arabī
menegaskan bahwa realitas wahyu adalah bentuk tajallī, dan para nabi memperoleh
ilmu dari “penampakan Ilahi” yang khas sesuai dengan maqām mereka
masing-masing.¹⁰
Oleh karena itu,
jalan spiritual seorang sufi adalah perjalanan menuju kesiapan diri untuk
menerima tajallī
sesuai dengan kapasitas (qābiliyyah) batinnya. Proses
penyucian diri (tazkiyah) bukan bertujuan untuk “melihat”
Tuhan secara literal, tetapi untuk membiarkan hati menjadi cermin bening yang
mampu menangkap pantulan cahaya-Nya.
4.4.
Kesadaran Tajallī dan Etika Spiritual
Salah satu implikasi
penting dari pemahaman tajallī adalah perubahan paradigma
etika. Jika segala sesuatu adalah tempat manifestasi nama dan sifat Allah, maka
penghormatan terhadap makhluk, tanggung jawab terhadap lingkungan, dan kasih
sayang terhadap sesama menjadi bagian integral dari akhlak spiritual. Inilah
akar dari spiritualitas kosmik Ibn ‘Arabī: bahwa mengenali Tuhan tidak terpisah
dari mencintai ciptaan-Nya.¹¹
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 81–84.
[2]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
107–108.
[3]
Ibn al-‘Arabī, Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. ‘Uthmān Yaḥyā
(Beirut: Dār Ṣādir, 1994), 2:212.
[4]
Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn ‘Arabi, the Book,
and the Law (Albany: State University of New York Press, 1993), 50.
[5]
William C. Chittick, Ibn ‘Arabi: Heir to the Prophets (Oxford:
Oneworld, 2005), 32–34.
[6]
Ibn al-‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb
al-‘Arabī, 1946), 68–70.
[7]
Reza Shah-Kazemi, “The Notion of Tajallī in Islamic
Mysticism,” Sacred Web 12 (2003): 85–89.
[8]
Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 128–129.
[9]
Sufi Path of Knowledge, 165–167.
[10]
Ibn al-‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, 23.
[11]
James Winston Morris, The Reflective Heart: Discovering Spiritual
Intelligence in Ibn ‘Arabi’s Meccan Illuminations (Louisville: Fons Vitae,
2005), 45–48.
5.
Tajallī
dalam Tradisi Sufi Lainnya
Meskipun Muḥyī
al-Dīn Ibn ‘Arabī merupakan tokoh yang memformulasikan doktrin tajallī
secara sistematik dan filosofis, ide mengenai penampakan Ilahi sejatinya telah
menjadi bagian penting dalam pengalaman dan refleksi spiritual para sufi sejak
masa-masa awal tasawuf. Pemahaman dan pengalaman tentang tajallī
dalam tradisi sufi lainnya berkembang dalam kerangka estetika, etika, dan
mistik yang menekankan hubungan cinta dan penyaksian antara hamba dan Tuhan.
5.1.
Al-Ḥallāj dan Tajallī Sebagai Kehadiran
Mutlak
Manṣūr al-Ḥallāj (w.
309 H/922 M), sufi martir yang kontroversial, dikenal luas dengan ungkapan “Anā al-Ḥaqq”
(Akulah Yang Maha Benar). Pernyataan ini sering disalahpahami sebagai klaim
keilahian, padahal dalam kerangka mistik sufi, ungkapan tersebut mencerminkan
pengalaman ekstatis yang sangat dalam akan tajallī dzātī, di mana kesadaran
individu sang sufi larut sepenuhnya dalam kehadiran Ilahi.¹
Al-Ḥallāj bukan
sedang menyetarakan dirinya dengan Tuhan, tetapi mengungkapkan bahwa dalam
maqām fana’, segala identitas pribadi lenyap dan hanya al-Ḥaqq
(kebenaran Ilahi) yang hadir.² Dalam konteks ini, tajallī dipahami sebagai pengalaman
langsung dan mendalam atas kehadiran Tuhan dalam diri seorang sufi yang telah
mencapai penghilangan ego (fanā’ al-nafs).
5.2.
Al-Qusyairī dan Etika Tajallī
Abū al-Qāsim
al-Qusyairī (w. 465 H/1072 M), dalam karyanya Al-Risālah al-Qusyairiyyah,
memberikan pendasaran spiritual terhadap konsep tajallī sebagai bagian dari tahapan
sulūk seorang salik. Menurutnya, tajallī adalah pemberian (mawhibah)
dari Allah kepada hamba yang telah membersihkan batinnya melalui mujahadah dan
riyāḍah.³
Ia membedakan antara
tajallī
inderawi (yang dapat membingungkan orang awam) dan tajallī batiniah yang halus, yang
hanya bisa ditangkap oleh qalb yang tercerahkan. Al-Qusyairī juga menekankan
bahwa setiap tajallī mengandung tanggung jawab
spiritual: semakin tinggi maqām seorang sufi, semakin berat amanahnya dalam
menjaga adab dan ketundukan kepada kehendak Tuhan.⁴
5.3.
Al-Ghazālī dan Simbolisme Cahaya dalam Tajallī
Imam al-Ghazālī (w.
505 H/1111 M), meski dikenal sebagai teolog dan filsuf, dalam karya mistiknya Mishkāt
al-Anwār (Relung-relung Cahaya) menjelaskan tajallī
dalam bentuk metafor cahaya. Ia menafsirkan QS. an-Nūr [24] ayat 35 sebagai
penjelasan tentang tingkatan pencahayaan ilahiah dalam jiwa manusia.⁵
Bagi al-Ghazālī, tajallī
adalah pencerahan batiniah di mana cahaya Ilahi menyingkap realitas sejati di
balik hijab duniawi. Ia membagi tajallī dalam tiga tingkatan
cahaya: cahaya indera, cahaya akal, dan cahaya Ilahi—yang terakhir hanya dapat
dicapai oleh para nabi dan wali melalui penyucian jiwa dan pencapaian ma‘rifah.⁶
Pendekatan ini menempatkan tajallī sebagai pengalaman
epistemik dan spiritual yang menyatukan logika, cinta, dan intuisi dalam
perjalanan menuju Tuhan.
5.4.
Tradisi Sufi Asia Selatan: Chishtiyyah dan Tajallī
Dalam tradisi sufi
Chishtiyyah yang berkembang di Asia Selatan, tajallī banyak dikaitkan dengan sama‘
(mendengar musik sufi) sebagai media untuk mengalami kehadiran Ilahi secara
batiniah. Tokoh seperti Khwāja Mu‘īn al-Dīn Chishtī (w. 1236 M) dan
murid-muridnya menekankan pentingnya hati yang lembut dan cinta sebagai sarana
utama menerima tajallī.⁷
Menurut Annemarie
Schimmel, pengalaman tajallī dalam tarekat ini sering
kali muncul dalam bentuk ekstasi ruhani saat mendengar syair dan musik, di mana
hati menjadi "dilunakkan" oleh keindahan Ilahi yang terpancar
melalui suara dan irama.⁸ Di sini, tajallī hadir bukan hanya sebagai
wacana metafisik, tetapi sebagai realitas yang dapat dialami secara indrawi dan
emosional dalam kerangka spiritual yang kolektif.
Kesimpulan Sementara
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa tajallī dalam tradisi sufi memiliki
ragam pendekatan dan ekspresi. Meski istilah dan kerangka filsafatnya
dirumuskan secara teknis oleh Ibn ‘Arabī, para sufi sebelumnya dan sesudahnya
telah mengalami dan menafsirkan tajallī dalam bentuk yang sesuai
dengan maqām spiritual dan tradisi intelektual masing-masing. Apakah itu dalam
bentuk ekstasi mistik, pencerahan batin, atau keheningan etis, semua
memperlihatkan bahwa tajallī merupakan jantung dari
dinamika hubungan hamba dengan Tuhan dalam spiritualitas Islam.
Footnotes
[1]
Louis Massignon, The Passion of al-Hallaj: Mystic and Martyr of
Islam, trans. Herbert Mason (Princeton: Princeton University Press, 1982),
117–119.
[2]
Carl W. Ernst, Words of Ecstasy in Sufism (Albany: State
University of New York Press, 1985), 63–64.
[3]
Abū al-Qāsim al-Qusyairī, Al-Risālah al-Qusyairiyyah, ed.
Maḥmūd bin al-Ṣādiq (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 145–146.
[4]
Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden:
Brill, 2000), 84.
[5]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mishkāt al-Anwār, ed. Abū al-‘Alā
Afghānī (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1964), 8–11.
[6]
Richard Frank, Creation and the Cosmic System: Al-Ghazali and
Avicenna in Essays on Islamic Philosophy and Science, ed. George
F. Hourani (Albany: SUNY Press, 1975), 43–45.
[7]
Bruce B. Lawrence, Notes from a Distant Flute: The Extant
Literature of the Chishti Order (Tehran: Imperial Iranian Academy of
Philosophy, 1978), 62–63.
[8]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 181–183.
6.
Tajallī
dan Implikasi Spiritual
Konsep tajallī
dalam tasawuf tidak hanya menyentuh ranah metafisika atau kosmologi, tetapi
juga berdampak langsung pada kehidupan spiritual seorang sufi. Sebagai suatu
bentuk “kehadiran” atau penampakan Tuhan dalam wujud dan peristiwa, tajallī
membawa implikasi mendalam terhadap maqāmāt (tingkatan spiritual), ḥāl (kondisi
ruhani), serta cara seorang hamba berinteraksi dengan realitas di sekitarnya.
Dalam tradisi Ibn ‘Arabī dan para sufi lainnya, tajallī merupakan proses transformatif
yang mengubah persepsi, pemahaman, dan sikap seorang salik terhadap Tuhan,
dirinya sendiri, dan semesta.
6.1.
Tajallī dan Peningkatan Maqām Ruhani
Dalam kerangka
tasawuf, perjalanan spiritual seorang salik terdiri dari berbagai maqām
(stasiun spiritual) yang harus dilalui dengan usaha (mujāhadah)
dan pembinaan diri (riyāḍah). Tajallī
dianggap sebagai bentuk karunia Ilahi (mawhibah) yang diperoleh oleh
mereka yang telah membersihkan jiwa dan menempuh jalan menuju Tuhan.¹
Menurut Ibn ‘Arabī,
setiap maqām spiritual disertai dengan bentuk tajallī tertentu yang sesuai dengan
kesiapan batin salik.² Misalnya, pada maqām khauf (takut), Tuhan menampakkan
Diri-Nya dalam bentuk keagungan dan kekuasaan (jalāl), sementara pada maqām mahabbah
(cinta), tajallī
muncul dalam bentuk kelembutan dan kasih sayang (jamāl).³ Oleh karena itu, tajallī
bukan hanya sebagai fenomena kosmik, tetapi sebagai dinamika ruhani yang
menyertai proses penyucian diri.
6.2.
Tajallī sebagai Sarana Ma‘rifah
Salah satu implikasi
terpenting dari tajallī adalah tercapainya ma‘rifah
(pengetahuan langsung tentang Tuhan), yang menjadi puncak tujuan dalam tasawuf.
Tidak seperti pengetahuan rasional, ma‘rifah diperoleh bukan melalui
argumen atau deduksi logis, melainkan melalui penyaksian (mushāhadah)
dan kehadiran Ilahi yang menyinari hati.⁴
Ibn ‘Arabī
menyatakan bahwa “Allah tidak dapat dikenali kecuali melalui tajallī-Nya,” karena hanya melalui
manifestasi itulah manusia mampu memahami sesuatu tentang Yang Maha Gaib.⁵ Oleh
sebab itu, tajallī
menjadi media epistemologis dalam tasawuf—sebuah jendela di mana Tuhan “menyingkap”
tabir antara diri-Nya dan hamba-Nya, meski tetap dalam keterbatasan makhluk.
6.3.
Implikasi Etika: Melihat Tuhan dalam Segala
Sesuatu
Kesadaran bahwa
seluruh realitas adalah tempat tajallī Tuhan melahirkan cara
pandang etis yang sangat dalam. Dalam kerangka Ibn ‘Arabī, setiap
makhluk—sekecil dan serendah apa pun—adalah cermin dari salah satu nama Ilahi,
dan oleh karena itu, layak untuk dihormati dan diperlakukan dengan welas asih.⁶
Pemahaman ini
melahirkan apa yang disebut sebagai spiritualitas kosmik, yaitu
kesadaran bahwa interaksi dengan alam, sesama manusia, dan diri sendiri adalah
bentuk komunikasi dengan Tuhan dalam berbagai bentuk-Nya.⁷ Maka, tajallī
mendorong terciptanya etika welas asih, keadilan, dan tanggung jawab ekologis
yang bersumber dari kontemplasi teologis yang mendalam.
6.4.
Tajallī dan Dinamika Antara Khauf dan Mahabbah
Para sufi memahami
bahwa tajallī
dapat hadir dalam bentuk yang menggugah rasa takut (jalāl) maupun bentuk yang
membangkitkan cinta (jamāl). Keseimbangan antara
keduanya merupakan dinamika spiritual yang menjaga keseimbangan jiwa salik
antara kesadaran akan keagungan Tuhan dan kerinduan akan kedekatan-Nya.⁸
Al-Ghazālī
menyatakan bahwa “cinta yang murni hanya tumbuh setelah seseorang mengenali
keagungan dan keindahan Tuhan melalui penyaksian terhadap tajallī-Nya.”_⁹ Dalam hal ini, tajallī
tidak hanya memperkuat iman, tetapi juga memperhalus rasa dan memperdalam rasa
cinta yang dilandasi dengan penghayatan terhadap rahmat dan keagungan Ilahi.
6.5.
Tajallī sebagai Transformasi Diri
Implikasi paling
nyata dari tajallī
adalah transformasi eksistensial dalam diri seorang sufi. Melalui tajallī,
hati menjadi bersih, akhlak menjadi mulia, dan orientasi hidup bergeser dari
duniawi menuju ukhrawi. Para sufi menyebut keadaan ini sebagai baqā’
ba‘da fanā’—tetap eksis dalam Tuhan setelah melewati kehampaan
ego.¹⁰
Dengan demikian, tajallī
tidak hanya memengaruhi cara berpikir, tetapi juga membentuk cara hidup. Ia
menghidupkan kesadaran spiritual yang konkret dalam tindakan, menjadikan
kehidupan sehari-hari sebagai ladang pengenalan dan penyaksian terhadap Tuhan
yang Maha Hadir.
Footnotes
[1]
Abū al-Qāsim al-Qusyairī, Al-Risālah al-Qusyairiyyah, ed.
Maḥmūd bin al-Ṣādiq (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 153.
[2]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 136–137.
[3]
Reza Shah-Kazemi, “The Notion of Tajallī in Islamic
Mysticism,” Sacred Web 12 (2003): 93.
[4]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
120–121.
[5]
Ibn al-‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. A. Afīfī (Cairo: Dār
al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 43.
[6]
James Winston Morris, The Reflective Heart: Discovering Spiritual
Intelligence in Ibn ‘Arabi’s Meccan Illuminations (Louisville: Fons Vitae,
2005), 67–69.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 212–213.
[8]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 151–152.
[9]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. ‘Izzat
al-Ḥusaynī (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 4:239.
[10]
Ibn ‘Arabī, Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. ‘Uthmān Yaḥyā
(Beirut: Dār Ṣādir, 1994), 3:191–194.
7.
Tajallī
dalam Dimensi Falsafi dan Kosmologis
Selain dipahami
sebagai pengalaman spiritual dan fenomena ruhani, konsep tajallī
juga memiliki landasan kuat dalam kerangka filsafat dan kosmologi Islam,
terutama dalam pemikiran Ibn ‘Arabī dan para pengikutnya. Dalam dimensi ini, tajallī
dijelaskan sebagai prinsip dasar dari proses penciptaan dan struktur
keberadaan, yang menghubungkan antara Tuhan Yang Mutlak dan
makhluk yang terbatas. Oleh karena itu, tajallī tidak hanya berfungsi
sebagai penampakan spiritual, tetapi juga sebagai model
ontologis yang menjelaskan bagaimana wujud muncul dari Yang Tak
Terbatas.
7.1.
Tajallī dan Ontologi Eksistensial
Dalam filsafat wujud
(ontologi), Ibn ‘Arabī memandang bahwa hanya Allah yang memiliki wujūd
haqīqī (eksistensi sejati), sementara segala sesuatu selain-Nya
memiliki eksistensi majāzī (pinjaman), yakni eksistensi
yang diterima melalui tajallī.¹ Dalam kerangka ini, tajallī
adalah proses di mana Wujud Mutlak "menampakkan diri" dalam
bentuk-bentuk partikular, tanpa menyatu dengan atau menjadi salah satu dari
bentuk-bentuk itu.²
Konsep ini paralel
dengan doktrin Wahdat al-Wujūd, di mana eksistensi
bukanlah banyak dan terpisah, tetapi satu yang menampakkan diri dalam banyak
rupa. Oleh sebab itu, tajallī menjadi dasar dari al-khalq
(ciptaan) sebagai ekspresi dari keinginan Ilahi untuk dikenal (ḥubb
al-ta‘arruf).³ Maka, kosmos bukanlah entitas independen, melainkan
refleksi bertingkat dari Dzat Tuhan.
7.2.
Tajallī dan Kosmologi Tiga Alam
Dalam kosmologi
sufi-falsafi, semesta dipahami sebagai terbagi dalam tiga tingkatan utama:⁴
1)
‘Ālam al-Lāhūt
(ranah keilahian): tempat Dzat Allah yang murni, tidak dapat dijangkau oleh
makhluk. Tajallī di tingkat ini bersifat potensial dan tidak terakses.
2)
‘Ālam al-Malakūt
(alam ruhani): wilayah perwujudan sifat-sifat dan nama-nama Ilahi. Inilah
tingkat di mana tajallī ṣifātī banyak terjadi dan menjadi penghubung
antara yang Absolut dan yang kasatmata.
3)
‘Ālam al-Mulk
(alam fisik): dunia material tempat manusia hidup. Di sinilah tajallī
af‘ālī termanifestasi dalam bentuk tindakan Tuhan di alam semesta.
Tiap alam
memantulkan realitas Ilahi dengan tingkatan kesiapan (qābiliyyah)
yang berbeda. Melalui kontemplasi terhadap dunia fisik dan gerak kehidupan,
seorang salik dapat menapaki kembali jejak-jejak tajallī menuju sumber asalnya,
yaitu Tuhan.
7.3.
Tajallī, Al-‘Aql al-Awwal, dan Alam Mitsāl
Dalam banyak sistem
filsafat Islam, termasuk dalam pengaruh Neoplatonis pada falsafah Muslim
(seperti pada al-Fārābī dan Ibn Sīnā), Tuhan menciptakan realitas melalui
perantara al-‘aql
al-awwal (akal pertama). Ibn ‘Arabī menafsirkan entitas seperti akal
pertama, nafs al-kulliyyah (jiwa universal),
dan alam
mitsāl (alam imajinasi) sebagai manifestasi tajallī
berjenjang.⁵
Ia menyebut alam
mitsāl sebagai tempat tajallī berlangsung secara
imajinatif—yakni alam perantara di mana bentuk-bentuk spiritual muncul dalam
rupa-rupa visual dan simbolik yang bisa dialami dalam mimpi, ilham, atau
pengalaman mistik.⁶ Alam ini sangat penting dalam metafisika Ibn ‘Arabī karena
menjadi wilayah interaksi antara yang ruhani dan jasmani, antara ghaib dan
nyata.
7.4.
Tajallī dan Dinamika Penciptaan Berulang (Tajaddud
al-Khalq)
Ibn ‘Arabī
mengembangkan ide bahwa penciptaan bukanlah peristiwa statis, tetapi terus
berlangsung secara dinamis melalui tajallī yang berkesinambungan.
Konsep ini dikenal sebagai tajaddud al-khalq (penciptaan yang
terus-menerus), di mana setiap momen dalam waktu adalah wujud
baru dari pancaran Ilahi.⁷
Dengan kata lain,
Tuhan tidak menciptakan dunia lalu berjarak dari ciptaan-Nya, melainkan terus
hadir dan memperbaharui eksistensi melalui tajallī yang tiada henti. Inilah
yang menjadikan waktu dan perubahan sebagai realitas teofanik: setiap detik
adalah tempat munculnya manifestasi Tuhan.
7.5.
Implikasi Kosmologis: Kesatuan dalam
Keberagaman
Konsep tajallī
dalam dimensi kosmologis juga menegaskan bahwa di balik keberagaman fenomena
alam semesta, terdapat satu sumber wujud yang tunggal. Keragaman bentuk, warna,
dan sifat hanyalah variasi tajallī dari nama-nama dan
sifat-sifat Tuhan.⁸
Hal ini menjadi
fondasi bagi pandangan inklusif dan holistik dalam tasawuf: mengenali bahwa
setiap bagian dari ciptaan adalah manifestasi Ilahi, sehingga tidak ada tempat
untuk sikap dualistik atau diskriminatif terhadap realitas. Dalam pandangan
ini, ilmu, cinta, dan keindahan semuanya berpulang kepada proses tajallī
yang bersumber dari Yang Esa.
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 77–79.
[2]
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur'an: Semantics of the
Qur'anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 192–194.
[3]
Ibn al-‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. A. Afīfī (Cairo: Dār
al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 68.
[4]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1998), 115–117.
[5]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi,
trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 172–175.
[6]
Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 113–116.
[7]
Ibn al-‘Arabī, Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. ‘Uthmān Yaḥyā
(Beirut: Dār Ṣādir, 1994), 2:221.
[8]
Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn ‘Arabi, the Book,
and the Law (Albany: SUNY Press, 1993), 63–65.
8.
Tajallī
dalam Budaya dan Seni Islam
Konsep tajallī
(penampakan Ilahi) tidak hanya berdampak dalam ranah metafisika dan
spiritualitas pribadi, tetapi juga membentuk ekspresi budaya dan estetika dalam
peradaban Islam. Dalam seni Islam, tajallī menjadi fondasi filosofis
bagi berkembangnya bentuk-bentuk artistik yang tidak sekadar bersifat
dekoratif, melainkan sarat makna spiritual. Estetika Islam, sebagaimana
dipahami oleh para seniman dan sufi, bukan dimaksudkan untuk mewakili realitas
fisik secara langsung, tetapi untuk mengungkap kehadiran Ilahi dalam simbol,
harmoni, dan keindahan.¹
8.1.
Kaligrafi: Keindahan Huruf sebagai Wajah Tuhan
Salah satu bentuk
seni Islam yang paling menonjol dalam mengekspresikan konsep tajallī
adalah kaligrafi. Dalam tradisi Islam, khususnya di dunia sufi, kaligrafi
dipandang sebagai media yang menghadirkan dimensi ruhani melalui bentuk huruf,
karena huruf-huruf Arab merupakan wasīlah (perantara) yang membawa
firman Tuhan dalam Al-Qur’an.²
Menurut Titus
Burckhardt, kaligrafi Qur’ani merupakan manifestasi simbolis dari tajallī
kalāmī—penampakan Tuhan dalam bentuk kata-kata wahyu.³ Bentuk dan
ritme dalam kaligrafi mengekspresikan ketertiban kosmos Ilahi, sementara
keindahannya memantulkan jamāl (aspek keindahan) Tuhan. Oleh
karena itu, aktivitas menulis kaligrafi bukan hanya seni visual, melainkan juga
bentuk dzikr
dan kontemplasi.
8.2.
Arsitektur: Ruang sebagai Cermin Keabadian
Arsitektur Islam,
terutama dalam bentuk masjid, madrasah, dan mausoleum, sering dirancang untuk
mencerminkan struktur harmoni Ilahi yang menjadi bagian dari tajallī.
Struktur simetris, repetisi geometris, dan penggunaan cahaya dalam ruang
arsitektur merupakan wujud dari prinsip tanzīm (ketertiban) dan tajallī
dalam dunia material.⁴
Masjid-masjid
seperti Masjid Süleymaniye di Istanbul atau Masjid Shah di Isfahan, misalnya,
bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga ruang kontemplatif di mana geometri
spiritual dan permainan cahaya menciptakan pengalaman kehadiran Tuhan secara
batiniah.⁵ Cahaya yang menembus jendela kaca patri atau memantul dari kubah
dianalogikan sebagai nūr al-tajallī (cahaya penampakan
Ilahi), yang menembus kesadaran hamba.
8.3.
Puisi Sufi: Simbolisme dan Ekstasi Tajallī
Dalam khazanah
sastra Islam, terutama puisi sufistik dari tokoh seperti Jalāl al-Dīn Rūmī, Ḥāfiẓ,
dan Ibn al-Fāriḍ, konsep tajallī hadir dalam simbolisme
cinta, anggur, keindahan kekasih, dan kerinduan mistik.⁶ Rūmī, misalnya,
menggambarkan tajallī sebagai momen penyatuan
antara yang fana dan Yang Abadi, di mana jiwa menari dalam ekstasi kehadiran
Ilahi.⁷
Puisi menjadi medium
untuk menggambarkan pengalaman tajallī secara emosional dan
simbolik, di mana kata-kata tidak lagi sekadar alat komunikasi, tetapi juga
jalan pengungkapan batin terdalam. Simbol seperti cermin, mawar, bulan, dan
kekasih kerap digunakan untuk mewakili aspek tertentu dari penampakan Ilahi
yang tidak terungkapkan secara langsung oleh bahasa literal.
8.4.
Musik dan Tari Sufi: Irama Tajallī
Dalam beberapa
tradisi tasawuf, khususnya tarekat Mawlawiyyah dan Chishtiyyah, musik dan tari
(seperti samā‘
dan whirling)
dijadikan sebagai medium spiritual untuk mengalami tajallī.⁸ Gerakan tubuh yang
berputar atau irama musik bukanlah hiburan, melainkan sarana untuk meleburkan
ego dan menyaksikan kehadiran Tuhan dalam denyut ritme dan keheningan batin.
Menurut Annemarie
Schimmel, samā‘
dipandang sebagai “telinga hati” yang menangkap getaran Ilahi dalam
bentuk bunyi, dan dengan itu, menuntun jiwa menuju pengenalan terhadap Tuhan.⁹
Musik dalam kerangka ini adalah tajallī yang menggugah
jiwa—mengangkatnya dari keterikatan material menuju ekstasi spiritual.
8.5.
Estetika Islam sebagai Tajallī
Estetika Islam
secara keseluruhan dibangun atas asas keimanan kepada tauhid dan keindahan
Tuhan. Dalam hal ini, keindahan bukanlah nilai sekunder, melainkan manifestasi
dari sifat Tuhan sendiri: Inna Allāha Jamīl wa yuḥibbu
al-jamāl—“Sesungguhnya Allah itu Indah dan mencintai
keindahan.”_¹⁰ Seni dalam Islam tidak bersifat mimesis (meniru realitas
duniawi), tetapi transendental—mengarahkan pandangan dari makhluk kepada
al-Khāliq, dari bentuk kepada makna, dari citra kepada tajallī.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Art and Spirituality (Albany:
State University of New York Press, 1987), 3–4.
[2]
Sheila S. Blair and Jonathan M. Bloom, The Art and Architecture of
Islam: 1250–1800 (New Haven: Yale University Press, 1994), 45.
[3]
Titus Burckhardt, Art of Islam: Language and Meaning, trans.
J. Peter Hobson (Bloomington: World Wisdom, 2009), 112.
[4]
Oleg Grabar, The Mediation of Ornament (Princeton: Princeton
University Press, 1992), 67–68.
[5]
Keith Critchlow, Islamic Patterns: An Analytical and Cosmological
Approach (London: Thames and Hudson, 1976), 98–100.
[6]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 349–353.
[7]
Jalāl al-Dīn Rūmī, The Mathnawī of Jalāl al-Dīn Rūmī, trans.
Reynold A. Nicholson (London: E.J.W. Gibb Memorial, 1925), I: 64–65.
[8]
Regula Qureshi, “Sufi Music of India and Pakistan: Sound, Context and
Meaning in Qawwali” (Chicago: University of Chicago Press, 1986), 110–113.
[9]
Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, 184.
[10]
Hadis riwayat Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb al-Īmān, no. 91.
9.
Kritik
dan Kontroversi
Konsep tajallī
(penampakan Ilahi) yang dikembangkan secara mendalam dalam tradisi tasawuf,
terutama oleh Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabī, tidak lepas dari kritik dan kontroversi
sepanjang sejarah pemikiran Islam. Meskipun ide ini memiliki akar dalam
teks-teks wahyu dan telah menginspirasi jutaan Muslim dalam aspek spiritual dan
artistik, sebagian kalangan memandangnya sebagai pemikiran yang problematik
dari segi teologis, epistemologis, dan bahkan politis.
9.1.
Tuduhan Panteisme dan Kesatuan Wujud
Salah satu kritik
utama terhadap tajallī adalah anggapan bahwa
konsep ini terlalu dekat dengan panteisme, yaitu doktrin bahwa
Tuhan adalah segala sesuatu atau segala sesuatu adalah Tuhan.¹ Pandangan ini
muncul akibat kesalahpahaman terhadap ajaran Wahdat al-Wujūd Ibn ‘Arabī, yang
sering disalahartikan sebagai identifikasi langsung antara Tuhan dan ciptaan.
Tokoh seperti Ibn
Taymiyyah (w. 728 H/1328 M) secara keras menentang pandangan
Ibn ‘Arabī dan para sufi filsafat yang mengajarkan Wahdat al-Wujūd, karena menurutnya
doktrin ini dapat menghapus batas transendental antara Khalik dan makhluk.² Ia
menyatakan bahwa pemahaman semacam itu bertentangan dengan tauhid yang murni
sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Namun, para pembela
Ibn ‘Arabī menekankan bahwa tajallī tidak berarti Tuhan menjadi
makhluk atau makhluk adalah Tuhan, melainkan bahwa segala sesuatu adalah
manifestasi dari nama dan sifat-Nya, bukan Dzat-Nya yang mutlak.³ Ini
menunjukkan bahwa perdebatan tersebut sering kali lebih berkaitan dengan tafsir
terminologi metafisika daripada penolakan mutlak terhadap realitas spiritual.
9.2.
Kontroversi dalam Ilmu Kalam dan Teologi Sunni
Dalam kerangka ilmu
kalam Ahlus Sunnah, terutama dalam mazhab Ash‘ariyah dan Maturidiyah, konsep tajallī
diterima secara terbatas. Meskipun ayat-ayat seperti QS. al-A‘rāf [07] ayat 143
diakui sebagai bukti kemungkinan tajallī, para teolog membatasi
maknanya dalam pengertian metaforis atau hanya sebagai karāmah
dan bukan hakikat Dzat Ilahi.⁴
Al-Sanūsī, misalnya,
dalam Umm
al-Barāhīn, memperingatkan bahwa memaknai tajallī secara literal
terhadap Dzat dapat menjerumuskan pada tasybīh (penyerupaan Tuhan dengan
makhluk), yang ditolak secara tegas dalam tauhid.⁵ Oleh karena itu, para teolog
Sunni cenderung menerima tajallī dalam batas makna “pengaruh
nama dan sifat-Nya”, bukan penampakan esensial.
9.3.
Kecurigaan terhadap Bahasa Simbolik Sufi
Banyak kritik
terhadap tajallī
juga muncul dari kesulitan memahami bahasa simbolik dan paradoksal yang
digunakan oleh para sufi. Ungkapan seperti Anā al-Ḥaqq (Al-Ḥallāj) atau
"Tidak ada di dalam jubahku selain Allah" (al-Bisṭāmī) sering dituduh
sebagai bentuk klaim ketuhanan, padahal sebenarnya itu merupakan ungkapan fana'
(lebur dalam kehadiran Tuhan) dalam kerangka tajallī.⁶
Namun karena banyak
ungkapan tersebut tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang maqāmāt,
istilah teknis sufi, dan kerangka epistemologi tasawuf, banyak ulama fiqih dan
kalam menilainya sebagai zindiq atau bahkan sesat.⁷ Beberapa
sufi seperti al-Ḥallāj bahkan dihukum mati karena tuduhan-tuduhan tersebut.
9.4.
Reaksi dalam Tradisi Sufi Sendiri
Menariknya, tidak
semua sufi menerima atau mengikuti pendekatan Ibn ‘Arabī dalam menjelaskan tajallī.
Tokoh seperti Ahmad Sirhindī (w. 1034 H/1624 M), seorang reformis
Naqsyabandiyah dari India, mengajukan kritik terhadap Wahdat
al-Wujūd dan menggantinya dengan konsep Wahdat al-Shuhūd (kesatuan dalam
penyaksian).⁸ Ia menilai bahwa apa yang dipahami sebagai kesatuan wujud
sejatinya hanya kesatuan dalam kesadaran batin salik, bukan realitas objektif.
Meskipun demikian,
perbedaan ini tidak serta-merta menolak tajallī sebagai konsep, melainkan
mengusulkan pendekatan yang lebih hati-hati agar tidak jatuh dalam pemahaman
yang ekstrem atau menyimpang.
9.5.
Respons Kontemporer dan Rehabilitasi Ibn ‘Arabī
Dalam diskursus
modern, para cendekiawan seperti William Chittick, Michel
Chodkiewicz, dan Reza Shah-Kazemi telah
menunjukkan bahwa kritik terhadap Ibn ‘Arabī sering kali berangkat dari
pemahaman yang keliru atau literal terhadap bahasa simbolik dan kiasan
tasawuf.⁹ Mereka menegaskan bahwa tajallī bukanlah penolakan terhadap
transendensi Tuhan, melainkan cara untuk menjelaskan bagaimana Tuhan yang Maha
Gaib dapat dikenali melalui ciptaan tanpa mereduksi ke-Maha-an-Nya.
Dengan demikian,
pemahaman tajallī
justru memperkuat relasi antara tanzīh (penyucian) dan tasybīh (pendekatan),
yang keduanya merupakan bagian dari keseimbangan tauhid yang utuh.¹⁰
Footnotes
[1]
Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden:
Brill, 2000), 99–101.
[2]
Ibn Taymiyyah, Bayān Talbīs al-Jahmiyyah, ed. Muhammad
al-Qaḥṭānī (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 2005), 1:87–90.
[3]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
124.
[4]
Aḥmad ibn Muḥammad al-Sanūsī, Umm al-Barāhīn (Cairo:
al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, n.d.), 8–10.
[5]
Al-Sanūsī, Umm al-Barāhīn, 14.
[6]
Carl W. Ernst, Words of Ecstasy in Sufism (Albany: State
University of New York Press, 1985), 75–78.
[7]
Louis Massignon, The Passion of al-Hallaj: Mystic and Martyr of Islam,
trans. Herbert Mason (Princeton: Princeton University Press, 1982), 98–99.
[8]
Yohanan Friedmann, Shaykh Ahmad Sirhindi: An Outline of His Thought
and a Study of His Image in the Eyes of Posterity (Montreal: McGill
University Press, 1971), 54–56.
[9]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 32–34.
[10]
Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn ‘Arabi, the Book,
and the Law (Albany: SUNY Press, 1993), 55–58.
10. Penutup
Konsep tajallī
atau penampakan Ilahi merupakan salah satu elemen kunci dalam pemikiran
tasawuf, terutama dalam tradisi Ibn ‘Arabī dan para sufi metafisik lainnya.
Sebagai kerangka spiritual, ontologis, dan kosmologis, tajallī
menjelaskan bagaimana Tuhan yang Mahagaib dan transenden dapat “dikenal”
oleh makhluk melalui manifestasi nama-nama dan sifat-sifat-Nya dalam ciptaan.¹
Dalam pandangan Ibn ‘Arabī, realitas semesta tidak lain adalah cermin-cermin
yang memantulkan cahaya Ilahi, dan perjalanan spiritual seorang sufi adalah
proses penyaksian terhadap tajallī tersebut sesuai dengan
tingkat kesiapan batin dan maqām-nya.²
Pembahasan dalam
artikel ini menunjukkan bahwa tajallī bukanlah konsep spekulatif
belaka, tetapi berdasar kuat pada sumber-sumber utama Islam, seperti Al-Qur’an
(misalnya QS. al-A‘rāf [07] ayat 143, QS. an-Nūr [24] ayat 35) dan hadis-hadis
spiritual seperti hadis tentang ihsān.³ Melalui pendekatan sufistik, ayat dan
hadis tersebut ditafsirkan secara simbolik dan eksistensial, sehingga
menghadirkan pengalaman religius yang lebih mendalam dan personal.
Dalam praktik
spiritual, tajallī
memiliki peran transformasional: ia mengarahkan salik dari sekadar mengetahui
Tuhan secara kognitif menuju mengenal-Nya secara eksistensial melalui ma‘rifah.⁴
Kesadaran akan tajallī membentuk pola etika yang
berakar pada cinta, kasih sayang, penghormatan terhadap ciptaan, dan tanggung
jawab kosmik.⁵ Lebih dari itu, tajallī juga menjiwai ekspresi
budaya Islam—dari kaligrafi, arsitektur, musik, hingga puisi—sebagai sarana menghadirkan
keindahan Tuhan dalam dunia yang tampak.⁶
Meski demikian, tajallī
bukan tanpa kritik. Sebagian kalangan menilai pemahaman Ibn ‘Arabī dan para
pengikutnya tentang tajallī dapat membawa kepada
penafsiran yang ambigu terhadap hubungan Tuhan dan makhluk, bahkan mendekati
panteisme jika tidak diletakkan dalam kerangka tauhid yang proporsional.⁷ Namun
kajian akademik kontemporer menunjukkan bahwa banyak kesalahpahaman terhadap
bahasa simbolik sufi dapat dijernihkan melalui pendekatan kontekstual dan pemahaman
terhadap epistemologi spiritual mereka.⁸
Secara keseluruhan, tajallī
merupakan konsep integral yang membuka horizon baru dalam memahami kehadiran
Tuhan dalam kehidupan. Ia memperkaya khazanah keislaman dengan nuansa batiniah
yang lembut, dalam, dan penuh makna, yang relevan bagi pembentukan
spiritualitas individual dan kolektif di zaman modern. Di tengah dunia yang
semakin materialistik dan terfragmentasi, konsep tajallī dapat menjadi jembatan
untuk kembali melihat semesta sebagai ayat-ayat Tuhan yang hidup dan terus
menyingkapkan kehadiran-Nya yang penuh cinta dan hikmah.
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 84–87.
[2]
Michel Chodkiewicz, Seal of the Saints: Prophethood and Sainthood
in the Doctrine of Ibn ‘Arabi, trans. Liadain Sherrard (Cambridge: Islamic
Texts Society, 1993), 59.
[3]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 152–153.
[4]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
100–103.
[5]
James Winston Morris, The Reflective Heart: Discovering Spiritual
Intelligence in Ibn ‘Arabi’s Meccan Illuminations (Louisville: Fons Vitae,
2005), 43–45.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Art and Spirituality (Albany:
SUNY Press, 1987), 6–9.
[7]
Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden:
Brill, 2000), 106–109.
[8]
Reza Shah-Kazemi, “The Notion of Tajallī in Islamic
Mysticism,” Sacred Web 12 (2003): 77–78.
Daftar Pustaka
Blair, S. S., & Bloom, J. M. (1994). The art
and architecture of Islam: 1250–1800. Yale University Press.
Burckhardt, T. (2009). Art of Islam: Language
and meaning (J. P. Hobson, Trans.). World Wisdom.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of
knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. State University of
New York Press.
Chittick, W. C. (2005). Ibn ‘Arabi: Heir to the
prophets. Oneworld Publications.
Chodkiewicz, M. (1993). Seal of the saints:
Prophethood and sainthood in the doctrine of Ibn ‘Arabi (L. Sherrard,
Trans.). Islamic Texts Society.
Chodkiewicz, M. (1993). An ocean without shore:
Ibn ‘Arabi, the book, and the law. State University of New York Press.
Corbin, H. (1969). Creative imagination in the
Sufism of Ibn ‘Arabi (R. Manheim, Trans.). Princeton University Press.
Critchlow, K. (1976). Islamic patterns: An
analytical and cosmological approach. Thames and Hudson.
Ernst, C. W. (1985). Words of ecstasy in Sufism.
State University of New York Press.
Friedmann, Y. (1971). Shaykh Ahmad Sirhindi: An
outline of his thought and a study of his image in the eyes of posterity.
McGill University Press.
Grabar, O. (1992). The mediation of ornament.
Princeton University Press.
Ibn al-‘Arabī. (1994). Al-Futūḥāt al-Makkiyyah
(ʻU. Yaḥyá, Ed.). Dār Ṣādir.
Ibn al-‘Arabī. (1946). Fuṣūṣ al-Ḥikam (ʻA.
Afīfī, Ed.). Dār al-Kitāb al-‘Arabī.
Ibn Kathīr. (1999). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm
(S. M. al-Salāmah, Ed.). Dār Ṭayyibah.
Ibn Taymiyyah. (2005). Bayān talbīs al-Jahmiyyah
(M. al-Qaḥṭānī, Ed.). Maktabah al-Rushd.
Izutsu, T. (1983). Sufism and Taoism: A
comparative study of key philosophical concepts. University of California
Press.
Izutsu, T. (2002). God and man in the Qur'an:
Semantics of the Qur'anic Weltanschauung. Islamic Book Trust.
Lawrence, B. B. (1978). Notes from a distant
flute: The extant literature of the Chishti order. Imperial Iranian Academy
of Philosophy.
Massignon, L. (1982). The passion of al-Hallaj:
Mystic and martyr of Islam (H. Mason, Trans.). Princeton University Press.
Morris, J. W. (2005). The reflective heart:
Discovering spiritual intelligence in Ibn ‘Arabi’s Meccan illuminations.
Fons Vitae.
Nasr, S. H. (1987). Islamic art and spirituality.
State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
State University of New York Press.
Qureshi, R. (1986). Sufi music of India and
Pakistan: Sound, context and meaning in Qawwali. University of Chicago
Press.
Sanūsī, A. ibn M. (n.d.). Umm al-Barāhīn.
Al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā.
Schimmel, A. (1975). Mystical dimensions of
Islam. University of North Carolina Press.
Shah-Kazemi, R. (2003). The notion of tajallī
in Islamic mysticism. Sacred Web, 12, 77–94.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar