Selasa, 28 Oktober 2025

Etika Kedokteran: Fondasi Filosofis, Prinsip Normatif, dan Tantangan Kontemporer dalam Praktik Kesehatan Modern

Etika Kedokteran

Fondasi Filosofis, Prinsip Normatif, dan Tantangan Kontemporer dalam Praktik Kesehatan Modern


Alihkan ke: Ilmu Medis.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif fondasi filosofis, prinsip normatif, dan relevansi kontemporer dari etika kedokteran sebagai cabang etika terapan yang mengatur tindakan moral dalam praktik medis. Kajian ini berangkat dari asumsi bahwa kedokteran bukan sekadar disiplin ilmiah, melainkan juga praksis moral yang menuntut tanggung jawab etis terhadap kehidupan manusia. Secara metodologis, artikel ini menggunakan pendekatan filosofis reflektif, mencakup tiga dimensi utama: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Dalam dimensi ontologis, manusia dipahami sebagai kesatuan tubuh, jiwa, dan relasi sosial, sehingga hubungan dokter–pasien bersifat eksistensial dan etis, bukan transaksional. Secara epistemologis, pengetahuan kedokteran tidak bersifat netral nilai, melainkan diarahkan pada kebaikan pasien melalui kebijaksanaan praktis (phronesis) dan refleksi moral. Dalam aksiologinya, prinsip-prinsip universal seperti beneficence, non-maleficence, autonomy, dan justice menjadi dasar normatif yang perlu ditafsirkan ulang dalam konteks sosial, politik, dan teknologi modern.

Artikel ini juga menelaah dimensi sosial, politik, dan hukum etika kedokteran, menyoroti ketimpangan akses kesehatan, kapitalisasi medis, dan peran hukum dalam menjaga integritas profesi. Kritik dari perspektif humanistik, feminis, Marxis, dan postmodern diuraikan sebagai bentuk koreksi terhadap bias teknokratis dan paternalistik etika medis klasik. Dalam konteks kontemporer, pembahasan mencakup isu-isu global seperti pandemi, euthanasia, bioteknologi, digitalisasi medis, serta krisis ekologis, yang semuanya menuntut paradigma baru etika medis berbasis solidaritas dan tanggung jawab global.

Sebagai sintesis filosofis, artikel ini mengajukan model “Kedokteran Humanistik-Integral”, yaitu paradigma kedokteran yang mengintegrasikan sains dan humaniora, teknologi dan belas kasih, hukum dan nurani. Paradigma ini menegaskan bahwa tujuan akhir kedokteran bukan sekadar menyembuhkan tubuh, tetapi juga memulihkan makna kemanusiaan yang terluka. Dengan demikian, etika kedokteran menjadi kompas moral peradaban modern untuk menjaga martabat manusia di tengah kemajuan teknologi.

Kata Kunci: Etika Kedokteran; Bioetika; Filsafat Moral; Humanisme; Kedokteran Humanistik; Kebajikan; Keadilan Sosial; Bioteknologi; Filsafat Kedokteran; Martabat Manusia.


PEMBAHASAN

Implikasi Etika Kedokteran terhadap Masa Depan Profesi dan Masyarakat


1.           Pendahuluan

Etika kedokteran merupakan salah satu cabang etika terapan yang paling tua dan paling kompleks dalam tradisi filsafat moral. Sejak zaman Yunani Kuno, etika medis telah menjadi refleksi tentang bagaimana seorang tabib harus berperilaku terhadap pasiennya, bukan hanya sebagai objek perawatan biologis, tetapi sebagai pribadi yang memiliki martabat dan hak yang melekat. Dalam tradisi Hippokratik, moralitas kedokteran berakar pada prinsip “primum non nocere” — pertama-tama jangan mencelakakan — yang menandai tanggung jawab moral utama seorang dokter terhadap kehidupan dan kesejahteraan pasiennya.¹

Etika kedokteran tidak semata-mata berbicara tentang standar profesional atau hukum positif, tetapi juga tentang dimensi filosofis yang mendasarinya. Dalam konteks ini, refleksi etis berfungsi sebagai dasar normatif bagi tindakan medis yang tidak dapat direduksi hanya pada pertimbangan teknis atau efisiensi klinis.² Dengan demikian, etika kedokteran menuntut perpaduan antara keahlian ilmiah dan kebijaksanaan moral (phronesis) dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan manusia.³

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran pada abad ke-20 dan 21 menimbulkan dilema etis baru yang semakin kompleks. Inovasi dalam bioteknologi, genetika, kecerdasan buatan, serta praktik telemedicine menantang paradigma klasik tentang kehidupan, kematian, dan tanggung jawab moral.⁴ Dalam konteks globalisasi, persoalan seperti distribusi sumber daya medis, akses kesehatan yang tidak merata, dan komersialisasi layanan medis mengubah hubungan antara dokter dan pasien dari ikatan moral menjadi transaksi ekonomi.⁵

Etika kedokteran juga harus dibaca dalam konteks sosial dan budaya. Di Indonesia, misalnya, etika medis tidak hanya bersandar pada prinsip universal seperti autonomy atau justice, tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai lokal seperti gotong royong, keselarasan sosial, dan penghormatan terhadap martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.⁶ Integrasi antara prinsip-prinsip global bioetika dengan nilai-nilai Pancasila dan budaya Indonesia menjadi tantangan tersendiri dalam membangun praksis kedokteran yang humanistik dan berkeadilan.⁷

Dengan demikian, urgensi kajian etika kedokteran bukan hanya untuk merumuskan seperangkat aturan normatif, tetapi juga untuk membangun paradigma baru tentang kemanusiaan di tengah krisis moral dan teknologis yang melanda dunia medis kontemporer. Artikel ini bertujuan menelusuri fondasi filosofis, prinsip normatif, serta relevansi kontemporer etika kedokteran melalui pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis, sehingga dapat memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang dimensi moral profesi kedokteran dalam konteks modern.


Footnotes

[1]                Hippocrates, The Oath and Other Medical Writings, trans. by J. Chadwick and W.N. Mann (London: Penguin Classics, 1950), 67.

[2]                Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 15–18.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. by Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1140b20–25.

[4]                Peter Singer and Helga Kuhse, Bioethics: An Anthology, 4th ed. (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2016), 3–7.

[5]                Ivan Illich, Medical Nemesis: The Expropriation of Health (New York: Pantheon Books, 1976), 45–49.

[6]                Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), Pedoman Etika Profesi Dokter Indonesia (Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia, 2012), 8–10.

[7]                H. Koesoemadinata, Etika Profesi Kedokteran dan Kemanusiaan dalam Perspektif Pancasila (Yogyakarta: Deepublish, 2019), 34–38.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Etika Kedokteran

Etika kedokteran memiliki akar panjang dalam sejarah peradaban manusia, dan perkembangannya merefleksikan evolusi pemahaman manusia tentang kehidupan, penderitaan, dan tanggung jawab moral terhadap sesama. Dalam setiap fase sejarah, pemikiran etis tentang praktik pengobatan selalu dipengaruhi oleh pandangan filosofis, religius, dan sosial pada zamannya.

2.1.       Etika Hippokratik dan Tradisi Klasik

Etika kedokteran secara historis bermula dari tradisi Yunani Kuno, terutama melalui ajaran Hippokrates (460–370 SM), yang sering disebut sebagai “Bapak Kedokteran”. Dalam Corpus Hippocraticum dan Oath of Hippocrates, etika profesi dirumuskan sebagai komitmen moral seorang tabib untuk berbuat baik kepada pasien dan menghindari tindakan yang dapat mencelakakan.¹ Prinsip beneficence (berbuat baik) dan non-maleficence (tidak merugikan) menjadi fondasi moral yang terus dipertahankan hingga kini. Dalam konteks ini, praktik kedokteran bukan hanya keterampilan teknis, melainkan juga kegiatan etis yang memerlukan keutamaan (virtue), seperti kebijaksanaan (sophrosyne), keadilan (dikaiosyne), dan belas kasih (philanthrōpia).²

Pemikiran Aristoteles turut memperkaya dimensi filosofis etika kedokteran dengan menekankan peran phronesis (kebijaksanaan praktis) sebagai kemampuan moral untuk menimbang keputusan yang baik dalam situasi konkret.³ Etika kedokteran dalam kerangka Aristotelian menempatkan dokter sebagai agen moral yang harus menyeimbangkan antara pengetahuan ilmiah (epistēmē) dan kebajikan moral (aretē).

2.2.       Etika Kedokteran Abad Pertengahan: Integrasi dengan Tradisi Religius

Pada masa Abad Pertengahan, etika kedokteran berkembang melalui integrasi antara ilmu medis dan teologi moral. Dalam tradisi Kristen Barat, Thomas Aquinas menafsirkan tindakan medis sebagai bagian dari caritas (kasih ilahi), yang menegaskan kewajiban moral untuk menolong sesama sebagai wujud cinta kepada Tuhan.⁴ Sementara itu, dalam peradaban Islam, muncul tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina (Avicenna) dan Ar-Razi (Rhazes), yang menulis karya monumental seperti Al-Qanun fi al-Tibb dan Al-Hawi, di mana etika kedokteran diletakkan dalam kerangka tanggung jawab ilahiah dan kemaslahatan umat.⁵

Etika medis Islam menekankan keseimbangan antara niat (intensi moral) dan amal (tindakan nyata), serta prinsip rahmah (kasih sayang) terhadap pasien.⁶ Dalam konteks ini, pengobatan bukan semata tindakan ilmiah, tetapi juga ibadah dan bentuk penghormatan terhadap kehidupan sebagai amanah Tuhan.⁷

2.3.       Era Modern: Sekularisasi dan Otonomi Profesional

Memasuki era modern, terutama setelah Pencerahan (Enlightenment), etika kedokteran mengalami pergeseran dari paradigma teosentris menuju paradigma antroposentris dan rasional. Tokoh-tokoh seperti Immanuel Kant mengembangkan prinsip moral berbasis otonomi dan rasionalitas manusia, yang kemudian memengaruhi konsep autonomy dalam bioetika modern.⁸ Etika kedokteran menjadi lebih normatif dan berbasis hak individu, di mana pasien dilihat sebagai subjek moral dengan kapasitas untuk membuat keputusan atas tubuh dan kehidupannya sendiri.⁹

Pada abad ke-20, muncul perkembangan sistematis dalam bentuk bioetika modern yang dipelopori oleh Beauchamp dan Childress melalui karya Principles of Biomedical Ethics.¹⁰ Mereka merumuskan empat prinsip dasar — autonomy, beneficence, non-maleficence, dan justice — yang hingga kini menjadi standar etika kedokteran di seluruh dunia. Bioetika modern menekankan keseimbangan antara kebebasan pasien dan tanggung jawab profesional dokter dalam konteks pluralisme nilai dan kemajuan teknologi medis.¹¹

2.4.       Perkembangan Etika Kedokteran di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, sejarah etika kedokteran berkembang melalui perpaduan antara warisan etika Barat dan nilai-nilai moral Pancasila. Sejak masa kolonial hingga masa kemerdekaan, profesi kedokteran bertransformasi dari praktik elit kolonial menjadi pelayanan sosial yang berlandaskan kemanusiaan.¹² Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang disahkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan manifestasi normatif dari nilai-nilai universal etika medis yang disesuaikan dengan konteks sosial budaya bangsa.¹³

Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial dalam Pancasila memberikan landasan moral bagi dokter Indonesia untuk menjalankan profesinya tidak hanya dengan profesionalitas ilmiah, tetapi juga dengan tanggung jawab sosial dan empati terhadap penderitaan masyarakat.¹⁴ Dalam semangat ini, etika kedokteran Indonesia memandang profesi medis sebagai panggilan kemanusiaan (human calling), bukan semata profesi teknokratis.¹⁵


Footnotes

[1]                Hippocrates, The Oath and Other Medical Writings, trans. by J. Chadwick and W.N. Mann (London: Penguin Classics, 1950), 67.

[2]                Martha Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 94–96.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. by Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1140b20–25.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. by Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), II-II, q.30, a.4.

[5]                Avicenna, The Canon of Medicine (Al-Qanun fi al-Tibb), trans. by Laleh Bakhtiar (Chicago: Great Books of the Islamic World, 1999), 12–14.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 124–126.

[7]                M. Iqbal and S. Rahman, “Islamic Medical Ethics: A Conceptual Framework,” Journal of Islamic Studies 15, no. 2 (2004): 107–112.

[8]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. by Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 39–42.

[9]                Daniel Callahan, Setting Limits: Medical Goals in an Aging Society (New York: Simon & Schuster, 1987), 21–23.

[10]             Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 13–15.

[11]             H. Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of Bioethics, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1996), 5–8.

[12]             S. Djauhar, Sejarah Kedokteran di Indonesia: Dari Masa Kolonial hingga Reformasi (Jakarta: UI Press, 2010), 145–147.

[13]             Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), Pedoman Etika Profesi Dokter Indonesia (Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia, 2012), 9–12.

[14]             Soedjatmoko, Etika dan Pembangunan: Refleksi atas Pancasila dan Kemanusiaan (Jakarta: LP3ES, 1985), 66–68.

[15]             H. Koesoemadinata, Etika Profesi Kedokteran dan Kemanusiaan dalam Perspektif Pancasila (Yogyakarta: Deepublish, 2019), 41–44.


3.           Ontologi Etika Kedokteran

Ontologi etika kedokteran menelaah hakikat keberadaan manusia, dokter, dan praktik pengobatan itu sendiri sebagai entitas moral yang memiliki makna lebih dari sekadar aktivitas biologis atau profesional. Pertanyaan ontologis dalam etika kedokteran bukan hanya “apa yang dilakukan dokter”, tetapi juga “apa arti menjadi manusia yang merawat manusia lain”. Dalam konteks ini, kedokteran bukan sekadar sains empiris, melainkan juga praksis kemanusiaan yang menyentuh inti eksistensi manusia.

3.1.       Hakikat Manusia sebagai Subjek dan Objek Tindakan Medis

Dalam etika kedokteran, manusia memiliki dua dimensi ontologis yang saling terkait: sebagai subjek moral (yang memiliki martabat dan kebebasan) dan sebagai objek tindakan medis (yang tubuhnya menjadi locus intervensi ilmiah).¹ Pandangan ini mengandaikan bahwa pasien bukan sekadar “kasus” atau “organisme biologis”, melainkan pribadi yang utuh, memiliki nilai intrinsik dan eksistensi yang tidak dapat direduksi menjadi aspek material semata.²

Pandangan ini berakar pada pemikiran Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa manusia harus selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri (end in itself), bukan sekadar alat bagi kepentingan lain.³ Dengan demikian, relasi dokter-pasien merupakan perjumpaan eksistensial antara dua subjek moral yang terikat oleh rasa hormat dan tanggung jawab etis.⁴

3.2.       Tubuh dan Jiwa: Integrasi Biologis, Psikologis, dan Spiritual

Secara ontologis, tubuh manusia dalam etika kedokteran tidak dapat dipahami hanya sebagai entitas fisik. Tubuh adalah ekspresi eksistensi, media bagi subjek untuk mengalami dunia. Maurice Merleau-Ponty menyebut tubuh sebagai “le corps propre” — tubuh yang sadar, yang tidak bisa dipisahkan dari kesadaran dan makna hidupnya.⁵ Oleh karena itu, penyakit bukan hanya gangguan biologis, melainkan juga krisis eksistensial yang mengubah cara seseorang mengalami diri dan dunianya.⁶

Dimensi spiritual juga memiliki peran penting dalam struktur ontologis manusia. Dalam tradisi kedokteran Timur dan Islam, kesehatan dipahami sebagai keselarasan antara tubuh (jasad), jiwa (nafs), dan roh (ruh).⁷ Etika kedokteran yang berorientasi pada keutuhan manusia menghindari reduksionisme mekanistik dan menempatkan penyembuhan sebagai proses pemulihan makna dan keseimbangan hidup.⁸

3.3.       Dokter sebagai Agen Moral dan Makhluk Relasional

Dokter tidak hanya berperan sebagai teknisi medis, melainkan sebagai agen moral yang memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan dan martabat manusia lain. Edmund Pellegrino menyebut bahwa profesi medis memiliki “telos moral”, yakni panggilan etis untuk berbuat baik (the good of the patient) yang melampaui kepentingan pribadi atau ekonomi.⁹ Tanggung jawab ini bersifat relasional: muncul dalam perjumpaan antara penderitaan dan empati, antara pengetahuan dan kasih sayang.

Relasi dokter-pasien merupakan relasi asimetris namun etis — dokter memiliki pengetahuan dan kekuasaan, sementara pasien memiliki ketergantungan dan kerentanan.¹⁰ Kesadaran ontologis terhadap asimetri ini menuntut dokter untuk mengubah relasi kekuasaan menjadi relasi pelayanan, sebagaimana dikatakan Emmanuel Levinas, bahwa etika bermula dari wajah “yang lain” yang menuntut tanggung jawab tanpa syarat.¹¹ Dengan demikian, dalam etika kedokteran, eksistensi moral dokter hanya memperoleh maknanya sejauh ia bertanggung jawab terhadap keberadaan orang lain.

3.4.       Ontologi Penderitaan dan Kesembuhan

Penderitaan adalah aspek fundamental dari eksistensi manusia yang menjadi pusat perhatian etika kedokteran. Menurut Viktor E. Frankl, penderitaan memiliki makna eksistensial karena memungkinkan manusia menemukan nilai kehidupan melalui pengalaman batasnya.¹² Dalam konteks medis, penderitaan bukan sekadar gejala klinis yang harus dihapus, tetapi juga panggilan etis yang mengundang empati, pengertian, dan solidaritas.¹³

Kesembuhan dalam pengertian ontologis bukan hanya ketiadaan penyakit (absence of disease), tetapi pemulihan makna hidup dan integritas eksistensial seseorang.¹⁴ Dalam pandangan ini, tindakan medis bukan sekadar upaya memperpanjang hidup, melainkan juga memulihkan makna keberadaan manusia sebagai makhluk yang berdaya, berharapan, dan bermartabat.¹⁵


Kesimpulan Sementara: Ontologi Humanistik Kedokteran

Ontologi etika kedokteran, dengan demikian, menempatkan manusia sebagai pusat dari seluruh praktik medis — bukan sebagai objek pasif, tetapi sebagai pribadi yang memiliki nilai intrinsik. Tubuh, jiwa, dan relasi sosial pasien merupakan kesatuan ontologis yang harus dihormati. Dokter, dalam perannya sebagai agen moral, tidak hanya menjalankan keilmuan, tetapi juga menghayati profesinya sebagai panggilan etis untuk memulihkan kemanusiaan dalam segala bentuk penderitaan.


Footnotes

[1]                Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine Reborn: A Pellegrino Reader, ed. H. Tristram Engelhardt Jr. and Fabrice Jotterand (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2008), 23–25.

[2]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 98–102.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. by Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 38–39.

[4]                Paul Ramsey, The Patient as Person: Explorations in Medical Ethics (New Haven: Yale University Press, 1970), 17–19.

[5]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. by Colin Smith (London: Routledge, 1962), 75–78.

[6]                Drew Leder, The Absent Body (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 3–5.

[7]                M. Iqbal and S. Rahman, “Islamic Perspectives on Health and Healing,” Islamic Studies Journal 21, no. 3 (2007): 115–120.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen and Unwin, 1968), 89–91.

[9]                Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 4–6.

[10]             Daniel Callahan, What Kind of Life: The Limits of Medical Progress (New York: Simon & Schuster, 1990), 25–27.

[11]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. by Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–201.

[12]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), 67–69.

[13]             Eric J. Cassell, The Nature of Suffering and the Goals of Medicine (New York: Oxford University Press, 1991), 32–34.

[14]             Arthur W. Frank, The Wounded Storyteller: Body, Illness, and Ethics (Chicago: University of Chicago Press, 1995), 56–59.

[15]             Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of Bioethics, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1996), 42–45.


4.           Epistemologi Etika Kedokteran

Epistemologi etika kedokteran berupaya menjawab pertanyaan mendasar tentang bagaimana pengetahuan moral dalam praktik medis diperoleh, divalidasi, dan diterapkan. Jika ontologi etika kedokteran membahas apa hakikat moralitas dalam profesi medis, maka epistemologinya menelaah bagaimana pengetahuan etis itu dibangun dan digunakan dalam konteks klinis serta sosial yang konkret.

4.1.       Dasar Pengetahuan Moral dalam Kedokteran: Antara Sains dan Nilai

Ilmu kedokteran berakar pada sains empiris, namun setiap tindakan medis selalu melibatkan dimensi nilai.¹ Pengetahuan medis bersifat faktual, tetapi keputusan klinis mengandaikan penilaian normatif tentang apa yang baik bagi pasien.² Dalam hal ini, terdapat dua bentuk rasionalitas yang harus diintegrasikan: rasionalitas ilmiah (scientific rationality) dan rasionalitas moral (ethical rationality).³

Menurut Edmund Pellegrino, kedokteran merupakan “ilmu moral yang bersifat praktis” (a moral practice grounded in the good of the patient), di mana pengetahuan medis harus selalu diarahkan pada tujuan etis, bukan semata kebenaran teoretis.⁴ Maka, epistemologi kedokteran tidak netral nilai; ia adalah pengetahuan yang berorientasi pada kebaikan manusia.⁵

4.2.       Metode Penalaran Etis dalam Pengambilan Keputusan Medis

Dalam praktik klinis, pengambilan keputusan etis tidak dapat semata-mata bersandar pada kalkulasi logis, melainkan memerlukan penalaran reflektif yang mempertimbangkan nilai-nilai, konteks, dan konsekuensi. Metode penalaran yang digunakan dalam etika kedokteran umumnya melibatkan tiga pendekatan: kasuistik, konsensual, dan deliberatif.

·                     Pendekatan kasuistik menekankan analogi antara kasus konkret dengan preseden moral atau yurisprudensi etis.⁶ Metode ini menelusuri kebijaksanaan dari kasus-kasus terdahulu untuk menilai kasus baru secara proporsional.

·                     Pendekatan konsensual digunakan dalam komite etik medis, di mana keputusan etis dihasilkan melalui dialog antarprofesional berdasarkan prinsip dan konteks.⁷

·                     Pendekatan deliberatif, sebagaimana dikembangkan oleh Jürgen Habermas, memandang bahwa keputusan etis yang sah harus dihasilkan melalui proses komunikasi rasional yang melibatkan semua pihak terkait.⁸

Ketiga metode tersebut menggambarkan bahwa pengetahuan moral kedokteran bersifat intersubjektif — lahir dari proses diskursif antara ilmuwan, dokter, pasien, dan masyarakat.

4.3.       Hubungan antara Etika Normatif dan Bioetika Klinis

Etika normatif menyediakan prinsip-prinsip universal seperti autonomy, beneficence, non-maleficence, dan justice, sementara bioetika klinis berfungsi sebagai penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam konteks empiris.⁹ Hubungan antara keduanya bersifat dialektis: prinsip memberikan arah normatif, sedangkan praktik klinis memperkaya prinsip melalui pengalaman konkret.¹⁰

Beauchamp dan Childress menyebut hubungan ini sebagai “reflective equilibrium”, yakni keseimbangan reflektif antara teori moral dan intuisi praktis.¹¹ Proses ini memungkinkan dokter untuk menafsirkan prinsip etika sesuai kompleksitas kasus nyata tanpa kehilangan dasar normatifnya.

4.4.       Empati, Intuisi, dan Kebijaksanaan Praktis (Phronesis) dalam Diagnosis Moral

Selain rasionalitas, epistemologi etika kedokteran juga menuntut peran emosional intelligence seperti empati dan intuisi moral.¹² Pengetahuan moral tidak selalu deduktif; sering kali ia diperoleh melalui penghayatan langsung terhadap penderitaan pasien. Aristoteles menyebut kemampuan ini sebagai phronesis — kebijaksanaan praktis untuk menilai kebaikan dalam situasi unik.¹³

Dalam praktik medis, phronesis memungkinkan dokter menafsirkan nilai-nilai universal ke dalam konteks individual pasien, tanpa kehilangan kepekaan terhadap dimensi manusiawi.¹⁴ Dengan demikian, pengetahuan etis dalam kedokteran bukan hanya hasil logika formal, tetapi juga hasil perjumpaan empatik antara knowing subject (dokter) dan suffering subject (pasien).¹⁵


Sintesis Epistemologis: Menuju Pengetahuan Etis yang Reflektif dan Dialogis

Epistemologi etika kedokteran akhirnya menegaskan bahwa pengetahuan etis adalah pengetahuan reflektif (karena melibatkan pertimbangan moral) dan pengetahuan dialogis (karena bersumber dari interaksi antar-subjek).¹⁶ Ia beroperasi dalam ruang liminal antara ilmu dan nilai, antara objektivitas dan empati. Pengetahuan moral dokter tidak hanya diukur dari ketepatan diagnosis, tetapi dari sejauh mana ia memahami makna penderitaan manusia dan bertindak sesuai dengan kebijaksanaan etis.¹⁷


Footnotes

[1]                Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of Bioethics, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1996), 5–6.

[2]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 112–114.

[3]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. by Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 170–172.

[4]                Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 15–18.

[5]                Eric J. Cassell, The Nature of Suffering and the Goals of Medicine (New York: Oxford University Press, 1991), 12–14.

[6]                Albert R. Jonsen and Stephen Toulmin, The Abuse of Casuistry: A History of Moral Reasoning (Berkeley: University of California Press, 1988), 26–30.

[7]                Ruth R. Faden and Tom L. Beauchamp, A History and Theory of Informed Consent (New York: Oxford University Press, 1986), 59–61.

[8]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. by Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 86–89.

[9]                Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 13–15.

[10]             H. Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of Christian Bioethics (Lisse: Swets & Zeitlinger, 2000), 27–29.

[11]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 48–51.

[12]             Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 302–305.

[13]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. by Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1140b20–25.

[14]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 154–157.

[15]             Paul Ramsey, The Patient as Person: Explorations in Medical Ethics (New Haven: Yale University Press, 1970), 34–36.

[16]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. by William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 110–112.

[17]             Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine Reborn: A Pellegrino Reader, ed. H. Tristram Engelhardt Jr. and Fabrice Jotterand (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2008), 73–75.


5.           Aksiologi Etika Kedokteran

Aksiologi etika kedokteran menelaah nilai-nilai yang mendasari dan mengarahkan tindakan moral dalam praktik medis. Jika epistemologi menjelaskan bagaimana pengetahuan etis diperoleh, maka aksiologi menjelaskan untuk apa dan mengapa tindakan medis memiliki nilai moral. Dalam konteks ini, kedokteran dipahami bukan sekadar sebagai profesi teknis, melainkan sebagai praktik moral yang bertujuan mencapai kebaikan manusia seutuhnya.¹

5.1.       Prinsip-Prinsip Moral Utama dalam Etika Kedokteran

Empat prinsip utama yang menjadi fondasi aksiologi etika kedokteran modern — sebagaimana dirumuskan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress — adalah beneficence, non-maleficence, autonomy, dan justice.² Prinsip-prinsip ini berfungsi sebagai norma moral universal yang menuntun dokter dalam menghadapi kompleksitas moral kehidupan medis.

5.1.1.    Beneficence (Berbuat Baik)

Prinsip beneficence mengarahkan dokter untuk selalu bertindak demi kebaikan pasien, bukan sekadar menyembuhkan penyakit tetapi juga memulihkan martabat dan kesejahteraannya.³ Kebaikan dalam konteks medis bersifat multidimensional — meliputi aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.⁴ Tindakan medis yang baik bukan hanya yang berhasil secara klinis, tetapi juga yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan pasien.

5.1.2.    Non-Maleficence (Tidak Merugikan)

Prinsip non-maleficence menegaskan komitmen moral tertua dalam etika kedokteran: “primum non nocere” — pertama-tama jangan mencelakakan.⁵ Prinsip ini mengingatkan bahwa kekuasaan medis atas tubuh manusia harus dibatasi oleh tanggung jawab etis untuk menghindari bahaya, penderitaan, atau kerusakan yang tidak perlu. Dalam konteks modern, prinsip ini juga mencakup kehati-hatian terhadap risiko teknologi biomedis seperti rekayasa genetik atau eksperimen manusia.⁶

5.1.3.    Autonomy (Menghormati Kebebasan Pasien)

Prinsip autonomy menekankan hak moral setiap individu untuk menentukan nasib tubuh dan hidupnya sendiri.⁷ Dalam hubungan dokter-pasien, prinsip ini mengharuskan penghormatan terhadap keputusan pasien yang dibuat berdasarkan informasi yang memadai (informed consent).⁸ Namun, penghormatan terhadap otonomi tidak berarti relativisme mutlak; dokter tetap memiliki tanggung jawab moral untuk membimbing pasien dengan kebijaksanaan profesional dan empati manusiawi.⁹

5.1.4.    Justice (Keadilan dalam Pelayanan Kesehatan)

Prinsip justice mengandung makna distributif — yakni pembagian sumber daya medis secara adil dan proporsional berdasarkan kebutuhan, bukan kekayaan atau status sosial.¹⁰ Dalam skala global, prinsip ini menuntut keadilan kesehatan lintas negara, terutama terkait akses terhadap obat-obatan esensial, vaksin, dan layanan kesehatan bagi kelompok rentan.¹¹

5.2.        Nilai-Nilai Intrinsik Profesi Medis

Selain keempat prinsip utama, etika kedokteran juga berakar pada nilai-nilai intrinsik profesi, yang bersifat kebajikan (virtues) daripada sekadar aturan. Edmund Pellegrino menyebut bahwa kebajikan seperti compassion (belas kasih), integrity (kejujuran moral), fidelity (kesetiaan terhadap pasien), dan prudence (kebijaksanaan praktis) merupakan inti moral profesi kedokteran.¹²

Dokter yang beretika bukan hanya yang mematuhi prosedur, melainkan yang memiliki moral character yang terbentuk melalui refleksi dan pengalaman.¹³ Dengan demikian, profesi medis bersifat vocational — suatu panggilan untuk melayani kehidupan, bukan sekadar pekerjaan untuk memperoleh penghidupan.¹⁴

5.3.       Konflik Nilai dan Dilema Moral dalam Praktik Medis

Dalam kenyataannya, tindakan medis sering menghadirkan konflik antara prinsip-prinsip moral, misalnya antara beneficence dan autonomy ketika pasien menolak terapi yang secara klinis menguntungkan.¹⁵ Dilema juga muncul antara justice dan non-maleficence dalam kondisi keterbatasan sumber daya kesehatan.¹⁶

Pemecahan konflik nilai memerlukan pendekatan balance of principles dan contextual ethics, yakni mempertimbangkan situasi konkret tanpa mengorbankan dasar moral.¹⁷ Dengan cara ini, etika kedokteran tidak jatuh pada absolutisme, melainkan berorientasi pada keseimbangan reflektif yang dinamis antara norma dan realitas.¹⁸

5.4.       Etika Kebajikan (Virtue Ethics) dan Karakter Moral Dokter

Etika kebajikan menempati posisi penting dalam aksiologi kedokteran karena menekankan pembentukan karakter moral dokter. Aristoteles mengajarkan bahwa kebajikan bukanlah tindakan spontan, melainkan hasil habituasi dan refleksi rasional yang mengarahkan pada eudaimonia — kehidupan yang baik dan bermakna.¹⁹

Dalam konteks medis, virtue ethics menegaskan bahwa dokter yang baik bukan hanya yang mematuhi aturan, tetapi yang memiliki disposisi moral yang benar dalam menghadapi penderitaan pasien.²⁰ Karakter moral seperti empati, kesabaran, dan kerendahan hati memungkinkan dokter bertindak bijaksana meskipun prinsip etika tampak bertentangan.²¹

5.5.       Kemanusiaan sebagai Nilai Tertinggi

Akhirnya, seluruh sistem nilai dalam etika kedokteran berpuncak pada penghormatan terhadap martabat manusia (human dignity).²² Nilai ini bersifat transenden dan menjadi fondasi dari semua prinsip moral lain. Kedokteran yang kehilangan orientasi pada martabat manusia akan terjatuh ke dalam teknokrasi yang tidak bermoral.²³ Karena itu, aksiologi etika kedokteran menuntut integrasi antara ilmu pengetahuan, kebajikan, dan nilai-nilai kemanusiaan sebagai satu kesatuan praksis moral.²⁴


Footnotes

[1]                Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine Reborn: A Pellegrino Reader, ed. H. Tristram Engelhardt Jr. and Fabrice Jotterand (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2008), 17–19.

[2]                Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 13–15.

[3]                Paul Ramsey, The Patient as Person: Explorations in Medical Ethics (New Haven: Yale University Press, 1970), 30–33.

[4]                Eric J. Cassell, The Nature of Suffering and the Goals of Medicine (New York: Oxford University Press, 1991), 22–24.

[5]                Hippocrates, The Oath and Other Medical Writings, trans. by J. Chadwick and W. N. Mann (London: Penguin Classics, 1950), 67.

[6]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 101–103.

[7]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. by Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 41–42.

[8]                Ruth R. Faden and Tom L. Beauchamp, A History and Theory of Informed Consent (New York: Oxford University Press, 1986), 78–81.

[9]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 175–177.

[10]             Norman Daniels, Just Health Care (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 33–36.

[11]             Paul Farmer, Pathologies of Power: Health, Human Rights, and the New War on the Poor (Berkeley: University of California Press, 2003), 21–23.

[12]             Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 4–6.

[13]             Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 94–96.

[14]             Daniel Callahan, What Kind of Life: The Limits of Medical Progress (New York: Simon & Schuster, 1990), 27–29.

[15]             Albert R. Jonsen, “Casuistry and Clinical Ethics,” Theoretical Medicine 12, no. 4 (1991): 295–301.

[16]             H. Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of Bioethics, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1996), 52–54.

[17]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 50–52.

[18]             Beauchamp and Childress, Principles of Biomedical Ethics, 20–21.

[19]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. by Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1103a15–20.

[20]             Pellegrino and Thomasma, The Virtues in Medical Practice, 7–9.

[21]             Edmund D. Pellegrino, “Character Formation in Medicine: Reflections on Virtue Theory,” Theoretical Medicine and Bioethics 17, no. 1 (1996): 33–35.

[22]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Continuum, 1993), 82–84.

[23]             Ivan Illich, Medical Nemesis: The Expropriation of Health (New York: Pantheon Books, 1976), 45–47.

[24]             Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of Christian Bioethics (Lisse: Swets & Zeitlinger, 2000), 43–46.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Hukum Etika Kedokteran

Etika kedokteran tidak dapat dipahami secara terisolasi dari struktur sosial, sistem politik, dan kerangka hukum yang mengaturnya. Sebagai profesi yang berinteraksi langsung dengan kehidupan manusia, kedokteran beroperasi dalam ruang sosial yang sarat dengan relasi kekuasaan, kepentingan ekonomi, dan kebijakan publik. Dimensi sosial, politik, dan hukum dalam etika kedokteran berfungsi untuk memastikan bahwa praktik medis tidak hanya mengikuti kode moral pribadi, tetapi juga memenuhi tanggung jawab sosial dan keadilan publik.¹

6.1.       Etika Profesi dalam Sistem Sosial dan Kesehatan Publik

Dalam tataran sosial, profesi kedokteran merupakan bagian dari sistem pelayanan publik yang lebih luas. Oleh karena itu, tindakan medis tidak hanya memiliki implikasi individual, tetapi juga sosial dan struktural.² Seorang dokter tidak hanya berurusan dengan tubuh pasien, tetapi juga dengan struktur masyarakat yang menentukan siapa yang mendapatkan perawatan dan siapa yang tidak.³

Persoalan seperti kemiskinan, ketimpangan akses terhadap layanan kesehatan, dan diskriminasi gender atau etnis menjadi masalah etika sosial dalam kedokteran.⁴ Etika kedokteran yang humanistik menuntut kesadaran sosial terhadap kondisi ini: bahwa tanggung jawab moral dokter tidak berakhir di ruang praktik, tetapi meluas hingga ke perjuangan untuk sistem kesehatan yang lebih adil.⁵

Dalam konteks ini, teori keadilan sosial John Rawls relevan untuk menjelaskan prinsip justice as fairness — bahwa kebijakan kesehatan harus diatur sedemikian rupa agar memberi manfaat terbesar bagi mereka yang paling kurang beruntung.⁶ Etika kedokteran dengan demikian mengandung dimensi advokatif, yaitu peran dokter sebagai agen perubahan sosial yang memperjuangkan akses kesehatan universal.⁷

6.2.       Politik Kesehatan dan Etika Kekuasaan Medis

Dimensi politik etika kedokteran mencakup hubungan antara profesi medis, negara, dan institusi ekonomi. Michel Foucault mengungkapkan bahwa praktik medis modern tidak lepas dari dinamika kekuasaan (biopower) yang mengatur tubuh manusia dan populasi.⁸ Melalui regulasi, statistik, dan kebijakan kesehatan publik, negara mengontrol kehidupan warga dalam kerangka “politik biologis” (biopolitics).

Dalam konteks ini, etika kedokteran harus waspada terhadap kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan medis — ketika otoritas ilmiah digunakan untuk membenarkan praktik diskriminatif, eugenik, atau kepentingan komersial.⁹ Kapitalisasi industri farmasi dan privatisasi rumah sakit, misalnya, sering menimbulkan konflik antara nilai moral pelayanan dan logika pasar.¹⁰

Seorang dokter yang beretika harus mampu menjaga integritas profesional di tengah tekanan politik dan ekonomi.¹¹ Etika profesional bukan hanya ketaatan terhadap kode etik, tetapi juga bentuk resistensi moral terhadap sistem yang mereduksi kesehatan menjadi komoditas.¹²

6.3.       Dimensi Hukum: Kode Etik, Hak Pasien, dan Keadilan Medis

Dimensi hukum dalam etika kedokteran berfungsi untuk menjembatani prinsip moral dengan norma positif yang mengatur hubungan antara dokter, pasien, dan masyarakat.¹³ Di Indonesia, kerangka hukum ini diatur melalui Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, serta berbagai regulasi terkait hak pasien dan tanggung jawab tenaga medis.¹⁴

Prinsip dasar yang diatur hukum adalah non-maleficence dan autonomy: setiap tindakan medis harus berdasarkan persetujuan pasien (informed consent) yang diberikan secara bebas dan sadar.¹⁵ Pelanggaran terhadap prinsip ini tidak hanya merupakan kesalahan moral, tetapi juga delik hukum. Selain itu, hukum juga menjamin hak pasien atas kerahasiaan medis, keselamatan pelayanan, dan perlakuan tanpa diskriminasi.¹⁶

Namun, hukum medis tidak dapat menggantikan etika. Hukum bersifat minimalis — ia mengatur batas-batas perilaku, sedangkan etika menuntut kebaikan yang lebih tinggi.¹⁷ Oleh karena itu, dalam praktik kedokteran yang ideal, hukum dan etika harus bersinergi: hukum sebagai kerangka eksternal, etika sebagai hati nurani internal profesi.¹⁸

6.4.       Etika Distribusi dan Keadilan Sumber Daya Kesehatan

Isu distribusi sumber daya medis, seperti ketersediaan obat, alat kesehatan, atau pelayanan rumah sakit, menimbulkan persoalan etika yang bersifat sosial dan politik. Dalam situasi krisis — misalnya pandemi COVID-19 — muncul dilema etis tentang prioritas: siapa yang lebih layak mendapatkan ventilator atau vaksin lebih dahulu.¹⁹

Prinsip justice menuntut agar keputusan semacam itu didasarkan pada pertimbangan moral yang objektif dan transparan, bukan pada status sosial, ekonomi, atau kekuasaan.²⁰ Etika kedokteran di sini menjadi bagian dari keadilan distributif (distributive justice) sebagaimana dirumuskan Aristoteles, yaitu memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya berdasarkan proporsionalitas dan kebutuhan.²¹

Dalam skala global, masalah ini berlanjut pada kesenjangan antara negara kaya dan miskin dalam akses kesehatan.²² Etika kedokteran kontemporer menuntut solidaritas lintas batas sebagai wujud tanggung jawab kemanusiaan universal terhadap penderitaan global.²³

6.5.       Integrasi Etika, Politik, dan Hukum Menuju Kedokteran yang Berkeadilan

Akhirnya, dimensi sosial, politik, dan hukum etika kedokteran harus dipandang sebagai satu kesatuan sistem moral yang terintegrasi. Etika tanpa hukum berisiko menjadi idealisme tanpa daya, sedangkan hukum tanpa etika mudah menjadi instrumen kekuasaan yang kaku.²⁴ Politik tanpa moral akan melahirkan kebijakan yang tidak manusiawi, sementara moral tanpa struktur politik yang adil akan kehilangan efektivitas sosialnya.²⁵

Kedokteran yang berkeadilan menuntut keseimbangan di antara ketiganya: etika sebagai jiwa, hukum sebagai tubuh, dan politik sebagai sarana sosial.²⁶ Dengan cara inilah profesi medis dapat berfungsi sebagai penjaga martabat manusia di tengah sistem sosial yang kompleks.


Footnotes

[1]                Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine Reborn: A Pellegrino Reader, ed. H. Tristram Engelhardt Jr. and Fabrice Jotterand (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2008), 77–79.

[2]                Ivan Illich, Medical Nemesis: The Expropriation of Health (New York: Pantheon Books, 1976), 3–6.

[3]                Paul Farmer, Pathologies of Power: Health, Human Rights, and the New War on the Poor (Berkeley: University of California Press, 2003), 27–30.

[4]                Margaret Whitehead, “The Concepts and Principles of Equity and Health,” World Health Organization Discussion Paper (Geneva: WHO, 1991), 2–4.

[5]                Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 13–15.

[6]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 65–68.

[7]                Norman Daniels, Just Health Care (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 47–49.

[8]                Michel Foucault, The Birth of Biopolitics: Lectures at the Collège de France, 1978–1979, trans. by Graham Burchell (New York: Palgrave Macmillan, 2008), 19–22.

[9]                Paul Rabinow and Nikolas Rose, “Biopower Today,” BioSocieties 1, no. 2 (2006): 195–217.

[10]             H. Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of Bioethics, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1996), 51–53.

[11]             Daniel Callahan, What Kind of Life: The Limits of Medical Progress (New York: Simon & Schuster, 1990), 45–47.

[12]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 110–112.

[13]             E.G. Chazan, “Legal Dimensions of Medical Ethics,” Journal of Law, Medicine & Ethics 31, no. 4 (2003): 524–528.

[14]             Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), Pedoman Etika Profesi Dokter Indonesia (Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia, 2012), 8–10.

[15]             Ruth R. Faden and Tom L. Beauchamp, A History and Theory of Informed Consent (New York: Oxford University Press, 1986), 92–95.

[16]             Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Bab III, Pasal 29.

[17]             H. Koesoemadinata, Etika Profesi Kedokteran dan Kemanusiaan dalam Perspektif Pancasila (Yogyakarta: Deepublish, 2019), 61–63.

[18]             Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 25–27.

[19]             Julian Savulescu et al., “Fair Allocation of Scarce Medical Resources in the Time of COVID-19,” The Lancet 395, no. 10231 (2020): 1253–1255.

[20]             Norman Daniels, “Justice and Health Care,” The American Journal of Bioethics 1, no. 2 (2001): 2–16.

[21]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. by Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1131a20–25.

[22]             World Health Organization, Global Report on Health Equity (Geneva: WHO, 2019), 4–6.

[23]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Continuum, 1993), 82–84.

[24]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen and Unwin, 1968), 95–97.

[25]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 32–35.

[26]             Edmund D. Pellegrino, “The Moral Center of Medicine: The Doctor as Moral Agent,” Kennedy Institute of Ethics Journal 3, no. 1 (1993): 3–6.


7.           Kritik terhadap Etika Kedokteran

Etika kedokteran, meskipun berakar pada idealisme moral untuk melindungi kehidupan manusia, tidak luput dari kritik. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, globalisasi, dan dinamika sosial, banyak pemikir menilai bahwa etika kedokteran konvensional masih bersifat paternalistik, euro-sentris, dan kurang sensitif terhadap konteks sosial, politik, serta ekonomi.¹ Kritik-kritik ini muncul dari berbagai aliran pemikiran — humanistik, feminis, Marxis, postmodern, hingga ekokritik — yang berupaya mengoreksi reduksionisme moral dalam tradisi medis modern.

7.1.       Kritik Humanistik: Reduksi Pasien menjadi Objek Biologis

Kritik humanistik berangkat dari pandangan bahwa kedokteran modern terlalu menekankan dimensi biologis dan teknis, sehingga cenderung mereduksi manusia menjadi “objek pengobatan.”² Dalam paradigma biomedis positivistik, pasien sering diperlakukan sebagai “kasus klinis” yang harus disembuhkan, bukan sebagai pribadi dengan nilai-nilai eksistensial dan spiritual.³

Ivan Illich dalam Medical Nemesis menyoroti bahwa sistem medis modern telah menciptakan “iatrogenesis sosial” — penderitaan yang disebabkan oleh intervensi medis itu sendiri.⁴ Bagi Illich, kedokteran modern telah kehilangan makna moralnya karena menggantikan peran solidaritas manusia dengan birokrasi teknologi kesehatan.⁵

Kritik ini menegaskan pentingnya mengembalikan dimensi kemanusiaan dalam praktik medis: melihat pasien bukan hanya sebagai tubuh yang sakit, tetapi sebagai manusia yang menderita, berharap, dan mencari makna.⁶

7.2.       Kritik Feminis: Bias Gender dalam Struktur Etika dan Praktik Medis

Etika kedokteran tradisional juga dikritik oleh kalangan feminis karena dinilai mereproduksi bias patriarkal dalam teori dan praktiknya.⁷ Susan Sherwin berargumen bahwa struktur relasi antara dokter dan pasien sering mencerminkan relasi kuasa maskulin yang menempatkan pasien — terutama perempuan — sebagai subjek pasif yang harus tunduk pada otoritas medis.⁸

Selain itu, penelitian medis sering mengabaikan perbedaan biologis dan sosial antara laki-laki dan perempuan, sehingga menghasilkan standar kesehatan yang tidak inklusif.⁹ Dalam konteks ini, etika kedokteran yang berkeadilan gender menuntut reinterpretasi prinsip autonomy bukan sebagai individualisme rasional, tetapi sebagai otonomi yang relasional — berbasis empati, konteks, dan jaringan sosial.¹⁰

Dengan demikian, etika kedokteran harus bergerak dari paradigma hierarkis menuju paradigma partisipatif yang menghargai pengalaman perempuan, perawatan (care), dan hubungan timbal balik.¹¹

7.3.       Kritik Marxis: Komodifikasi Kesehatan dan Kapitalisasi Tubuh

Dari perspektif Marxian, etika kedokteran modern tidak bisa dilepaskan dari logika kapitalisme yang mengubah kesehatan menjadi komoditas dan tubuh manusia menjadi objek ekonomi.¹² Sistem industri farmasi, rumah sakit swasta, dan asuransi kesehatan global sering kali menempatkan keuntungan finansial di atas nilai kemanusiaan.¹³

David Harvey menilai bahwa kedokteran modern adalah bagian dari “biopolitik kapitalis” yang memproduksi ketergantungan konsumtif terhadap sistem medis.¹⁴ Dalam situasi ini, etika kedokteran tradisional yang menekankan moralitas individual dokter menjadi tidak memadai untuk mengatasi ketidakadilan struktural yang dihasilkan oleh sistem ekonomi.¹⁵

Kritik ini mengajak refleksi bahwa moralitas kedokteran tidak boleh berhenti pada hubungan interpersonal, tetapi juga harus mencakup kritik sosial terhadap sistem ekonomi yang memengaruhi praktik medis.¹⁶

7.4.       Kritik Postmodern: Relativisme Nilai dan Krisis Legitimasi Etika

Dalam konteks postmodern, etika kedokteran dikritik karena masih berpijak pada klaim universalitas moral yang bersifat hegemonik.¹⁷ Jean-François Lyotard menyebut bahwa “narasi besar” tentang kemanusiaan dan kebaikan sering kali digunakan untuk menjustifikasi struktur kekuasaan dalam sains dan profesi.¹⁸

Etika kedokteran modern, dengan prinsip-prinsip universalnya, dianggap mengabaikan pluralitas nilai-nilai budaya dan spiritual.¹⁹ Dalam praktik global, penerapan prinsip autonomy atau justice tidak selalu kompatibel dengan norma masyarakat non-Barat yang lebih menekankan kolektivitas dan harmoni sosial.²⁰

Oleh karena itu, etika kedokteran kontemporer harus mengakui pluralitas epistemik dan membuka ruang bagi dialog lintas budaya (intercultural bioethics) agar tidak terjebak pada etnosentrisme moral.²¹

7.5.       Kritik Teknologis: Krisis Moral dalam Era Bioteknologi dan AI

Kemajuan bioteknologi dan kecerdasan buatan (AI) menimbulkan dilema moral baru yang menantang paradigma etika kedokteran klasik.²² Isu seperti rekayasa genetik, cloning, euthanasia, hingga penggunaan algoritma dalam diagnosis medis memperumit batas antara manusia dan mesin, kehidupan dan desain.²³

Hans Jonas mengingatkan bahwa teknologi medis modern menciptakan “tanggung jawab baru” (new imperative of responsibility), di mana manusia harus berhati-hati agar kekuasaannya terhadap kehidupan tidak melampaui batas moral.²⁴ Jika etika kedokteran tidak beradaptasi dengan perubahan ini, maka ia akan kehilangan relevansi dalam menghadapi persoalan moral di era pascamanusia (post-human condition).²⁵


Kesimpulan Kritik: Kebutuhan akan Paradigma Etika Kedokteran Humanistik-Kontekstual

Kritik-kritik tersebut menunjukkan bahwa etika kedokteran harus bergerak dari paradigma normatif universal menuju paradigma kontekstual dan humanistik.²⁶ Etika medis masa depan perlu memperhatikan konteks sosial, relasi kekuasaan, dan pluralitas nilai budaya tanpa kehilangan komitmen terhadap martabat manusia.²⁷ Dengan demikian, kritik bukanlah penolakan terhadap etika kedokteran, melainkan upaya untuk memperdalam dan memanusiakannya kembali.²⁸


Footnotes

[1]                Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of Bioethics, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1996), 13–16.

[2]                Eric J. Cassell, The Nature of Suffering and the Goals of Medicine (New York: Oxford University Press, 1991), 5–7.

[3]                Drew Leder, The Absent Body (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 8–10.

[4]                Ivan Illich, Medical Nemesis: The Expropriation of Health (New York: Pantheon Books, 1976), 17–20.

[5]                Illich, Medical Nemesis, 45–47.

[6]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), 66–68.

[7]                Susan Sherwin, No Longer Patient: Feminist Ethics and Health Care (Philadelphia: Temple University Press, 1992), 12–15.

[8]                Sherwin, No Longer Patient, 35–38.

[9]                Anne Donchin, “Autonomy and Interdependence: Quandaries in Genetic Decision-Making,” Women’s Studies Quarterly 29, no. 1/2 (2001): 143–157.

[10]             Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 72–75.

[11]             Joan Tronto, Moral Boundaries: A Political Argument for an Ethic of Care (New York: Routledge, 1993), 126–129.

[12]             Howard Waitzkin, The Second Sickness: Contradictions of Capitalist Health Care (New York: Free Press, 1983), 22–25.

[13]             Paul Farmer, Pathologies of Power: Health, Human Rights, and the New War on the Poor (Berkeley: University of California Press, 2003), 40–43.

[14]             David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 76–79.

[15]             Norman Daniels, Just Health Care (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 101–103.

[16]             Engelhardt Jr., The Foundations of Bioethics, 50–52.

[17]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. by Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 35–37.

[18]             Lyotard, The Postmodern Condition, 41–42.

[19]             H. Tristram Engelhardt Jr., Bioethics and Secular Humanism: The Search for a Common Morality (Philadelphia: Trinity Press, 1991), 22–24.

[20]             Darryl R.J. Macer, Bioethics Is Love of Life: An Alternative Textbook (Christchurch: Eubios Ethics Institute, 1998), 59–61.

[21]             Joseph Tham, Alberto García Gómez, and Ricardo Casadesús, Intercultural and Interreligious Dialogue on Bioethics (New York: Springer, 2017), 14–17.

[22]             Nick Bostrom, “Ethical Issues in Advanced Artificial Intelligence,” in Cognitive, Emotive and Ethical Aspects of Decision Making in Humans and in Artificial Intelligence, ed. I. Smit et al. (Vol. 2, Windsor: International Institute of Advanced Studies in Systems Research and Cybernetics, 2003), 12–15.

[23]             Julian Savulescu, “The Ethics of Cloning,” Reproductive Health Matters 10, no. 20 (2002): 102–107.

[24]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 123–126.

[25]             Donna Haraway, Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature (New York: Routledge, 1991), 152–155.

[26]             Edmund D. Pellegrino, “Toward a Richer Bioethics: A Conclusion,” The Journal of Medicine and Philosophy 32, no. 6 (2007): 655–657.

[27]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Continuum, 1993), 92–94.

[28]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. by Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 172–175.


8.           Relevansi Kontemporer Etika Kedokteran

Etika kedokteran kontemporer menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibandingkan masa klasik. Perkembangan teknologi medis, globalisasi kesehatan, perubahan nilai sosial, serta munculnya krisis kemanusiaan — dari pandemi hingga ketimpangan akses — menuntut pembacaan ulang terhadap prinsip-prinsip moral dasar kedokteran.¹ Dalam konteks ini, etika kedokteran bukan hanya refleksi normatif, tetapi juga instrumen praksis untuk menavigasi dunia medis yang berubah cepat dan sering kali ambivalen secara moral.

8.1.       Etika Kedokteran dalam Krisis Global dan Pandemi

Pandemi COVID-19 menyingkap ketegangan antara tanggung jawab moral individu dan kewajiban sosial dalam pelayanan kesehatan.² Dokter dihadapkan pada dilema antara menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa dan menjaga keselamatan diri, sementara negara harus menyeimbangkan kebijakan publik antara kebebasan individu dan keamanan kolektif.³

Situasi ini menegaskan pentingnya public health ethics — cabang etika kedokteran yang menekankan keseimbangan antara hak individu dan kebaikan bersama (common good).⁴ Prinsip solidaritas dan tanggung jawab sosial menjadi nilai kunci yang menuntun praktik kedokteran di tengah bencana global.⁵ Seperti dikatakan Paul Farmer, “tidak ada etika medis yang benar-benar bermoral tanpa keadilan sosial.”⁶

8.2.       Isu Euthanasia, Aborsi, dan Hak untuk Mati

Perdebatan seputar euthanasia, aborsi, dan hak untuk mati mencerminkan ketegangan antara nilai kehidupan (sanctity of life) dan otonomi pribadi (autonomy of choice).⁷ Etika kedokteran modern ditantang untuk menafsirkan kembali makna “kehidupan yang bermartabat” — apakah itu berarti mempertahankan kehidupan biologis apa pun caranya, atau menghormati keputusan individu untuk mengakhiri penderitaan.⁸

Peter Singer, dalam kerangka utilitarianisme, berpendapat bahwa tindakan medis yang meniadakan penderitaan berat dapat dibenarkan secara moral bila memaksimalkan kesejahteraan dan mengurangi rasa sakit.⁹ Namun, Edmund Pellegrino menolak pendekatan ini karena mengabaikan martabat intrinsik manusia sebagai makhluk bermoral, bukan sekadar entitas yang dapat diukur manfaatnya.¹⁰

Perdebatan ini menunjukkan bahwa etika kedokteran tidak dapat disederhanakan dalam kalkulasi utilitas; ia menuntut pertimbangan filosofis mendalam tentang makna kehidupan, kebebasan, dan penderitaan.¹¹

8.3.       Etika Digital dan Kerahasiaan Data Pasien

Kemajuan teknologi informasi dan telemedicine membawa tantangan baru bagi etika kedokteran.¹² Digitalisasi catatan medis, penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam diagnosis, serta penyimpanan data pasien dalam sistem daring menimbulkan risiko terhadap privasi dan keamanan informasi.¹³

Prinsip kerahasiaan (confidentiality) kini menghadapi dimensi digital yang menuntut pembaruan etis dan hukum.¹⁴ Menurut Luciano Floridi, dunia digital menciptakan infosphere — ruang moral baru tempat manusia, mesin, dan data saling berinteraksi.¹⁵ Dalam konteks ini, dokter harus memahami bahwa melindungi data pasien sama pentingnya dengan melindungi tubuh pasien.¹⁶

Selain itu, penggunaan AI dalam pengambilan keputusan medis menimbulkan pertanyaan epistemologis dan aksiologis: siapa yang bertanggung jawab secara moral jika keputusan algoritmik merugikan pasien?¹⁷ Maka, integrasi teknologi dalam kedokteran menuntut ethics of responsibility sebagaimana dirumuskan oleh Hans Jonas — bahwa kekuasaan baru harus disertai tanggung jawab baru terhadap manusia dan masa depannya.¹⁸

8.4.       Keadilan Kesehatan Global dan Solidaritas Kemanusiaan

Etika kedokteran kontemporer tidak lagi terbatas pada interaksi antara dokter dan pasien, tetapi juga meluas ke dimensi global: ketimpangan akses terhadap obat, vaksin, tenaga medis, dan teknologi kesehatan antara negara kaya dan miskin.¹⁹

Laporan WHO menunjukkan bahwa 80% sumber daya medis dunia digunakan oleh hanya 20% populasi global.²⁰ Ketimpangan ini bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga persoalan etika — karena kesehatan merupakan hak asasi manusia, bukan privilese sosial.²¹

Etika kedokteran global (global health ethics) menuntut solidaritas lintas batas dan tanggung jawab kolektif untuk memperjuangkan keadilan kesehatan.²² Hans Küng menyebut hal ini sebagai bagian dari “etika global” (global responsibility) — bahwa tanggung jawab moral manusia tidak mengenal batas geografis atau rasial.²³

8.5.       Bioetika Lingkungan dan Tanggung Jawab Ekologis Kedokteran

Krisis iklim dan degradasi lingkungan menambah lapisan baru dalam refleksi etika kedokteran.²⁴ Peningkatan polusi, penyakit akibat lingkungan, dan migrasi iklim menuntut kesadaran bahwa kesehatan manusia tidak dapat dipisahkan dari kesehatan planet (One Health).²⁵

Etika kedokteran kini dihadapkan pada kewajiban ekologis: bahwa praktik medis harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan, dari limbah farmasi hingga emisi karbon rumah sakit.²⁶ Etika ekologis menegaskan bahwa “menyembuhkan manusia” tidak boleh dilakukan dengan “melukai bumi.”²⁷

Dengan demikian, integrasi antara bioetika dan ekologi menjadi bagian penting dari kedokteran masa depan — suatu bentuk “etika kedokteran planetaris” yang menempatkan manusia dalam jaringan kehidupan yang saling bergantung.²⁸

8.6.       Pendidikan dan Transformasi Etika Profesional di Era Baru

Relevansi etika kedokteran juga tampak dalam bidang pendidikan profesi medis.²⁹ Dalam era digital dan pasar bebas, risiko dehumanisasi profesi semakin besar, karena efisiensi sering kali menggantikan empati.³⁰ Oleh karena itu, pendidikan kedokteran perlu mengintegrasikan kurikulum etika yang tidak hanya normatif, tetapi juga dialogis, reflektif, dan kontekstual.³¹

Tujuannya bukan hanya mencetak dokter yang kompeten, tetapi juga practitioners of virtue — manusia yang sadar akan makna moral pekerjaannya.³² Seperti ditegaskan Pellegrino, “kedokteran adalah profesi yang tidak akan pernah netral; ia harus berpihak pada kehidupan.”³³


Sintesis: Etika Kedokteran sebagai Kompas Moral Peradaban Teknologis

Dalam dunia yang semakin terotomatisasi dan terfragmentasi secara moral, etika kedokteran berfungsi sebagai kompas moral peradaban.³⁴ Ia mengingatkan bahwa kemajuan teknologi tanpa kebijaksanaan moral akan mengarah pada krisis kemanusiaan.³⁵ Relevansi kontemporernya tidak hanya terletak pada penerapan prinsip, tetapi juga pada kemampuannya menjaga martabat manusia di tengah perubahan dunia.³⁶


Footnotes

[1]                Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine Reborn: A Pellegrino Reader, ed. H. Tristram Engelhardt Jr. and Fabrice Jotterand (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2008), 91–93.

[2]                Julian Savulescu et al., “Fair Allocation of Scarce Medical Resources in the Time of COVID-19,” The Lancet 395, no. 10231 (2020): 1253–1255.

[3]                Daniel Callahan, What Kind of Life: The Limits of Medical Progress (New York: Simon & Schuster, 1990), 53–55.

[4]                Angus Dawson and Marcel Verweij, Ethics, Prevention, and Public Health (Oxford: Oxford University Press, 2007), 14–17.

[5]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 123–126.

[6]                Paul Farmer, Pathologies of Power: Health, Human Rights, and the New War on the Poor (Berkeley: University of California Press, 2003), 38–40.

[7]                James Rachels, The End of Life: Euthanasia and Morality (Oxford: Oxford University Press, 1986), 1–3.

[8]                Leon R. Kass, “Neither for Love nor Money: Why Doctors Must Not Kill,” The Public Interest 74 (1984): 25–46.

[9]                Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 94–97.

[10]             Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 22–24.

[11]             Paul Ramsey, The Patient as Person: Explorations in Medical Ethics (New Haven: Yale University Press, 1970), 31–33.

[12]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 56–59.

[13]             Brent Mittelstadt et al., “The Ethics of Algorithms: Mapping the Debate,” Big Data & Society 3, no. 2 (2016): 1–21.

[14]             Ruth R. Faden and Tom L. Beauchamp, A History and Theory of Informed Consent (New York: Oxford University Press, 1986), 103–105.

[15]             Floridi, The Ethics of Information, 63–65.

[16]             Beauchamp and Childress, Principles of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 25–27.

[17]             Virginia Dignum, Responsible Artificial Intelligence: How to Develop and Use AI in a Responsible Way (Cham: Springer, 2019), 42–44.

[18]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 127–130.

[19]             Norman Daniels, Just Health Care (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 99–101.

[20]             World Health Organization, Global Report on Health Equity (Geneva: WHO, 2019), 4–6.

[21]             Paul Hunt, “The Human Right to the Highest Attainable Standard of Health,” Health and Human Rights 12, no. 1 (2010): 13–14.

[22]             Angus Dawson, “Global Health and Justice: The Need for a Global Bioethics,” Public Health Ethics 8, no. 1 (2015): 1–2.

[23]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Continuum, 1993), 92–94.

[24]             Kristin Shrader-Frechette, Environmental Justice: Creating Equality, Reclaiming Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 51–54.

[25]             Samuel S. Myers and Howard Frumkin, Planetary Health: Protecting Nature to Protect Ourselves (Washington, DC: Island Press, 2020), 13–15.

[26]             Andy Haines and Kristie L. Ebi, “The Imperative for Climate Action to Protect Health,” New England Journal of Medicine 380, no. 3 (2019): 263–273.

[27]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen and Unwin, 1968), 98–101.

[28]             Edmund D. Pellegrino, “Toward a Planetary Bioethics,” The Journal of Medicine and Philosophy 32, no. 6 (2007): 657–659.

[29]             David C. Thomasma, “Moral Education in Medical Schools: Reflections on the Hidden Curriculum,” Journal of Medical Ethics 15, no. 2 (1989): 69–71.

[30]             Ivan Illich, Medical Nemesis: The Expropriation of Health (New York: Pantheon Books, 1976), 45–47.

[31]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 175–177.

[32]             Pellegrino and Thomasma, The Virtues in Medical Practice, 7–9.

[33]             Edmund D. Pellegrino, “The Moral Center of Medicine: The Doctor as Moral Agent,” Kennedy Institute of Ethics Journal 3, no. 1 (1993): 5–6.

[34]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 134–137.

[35]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 91–94.

[36]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. by Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 173–175.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Kedokteran Humanistik

Kedokteran, pada hakikatnya, adalah seni dan ilmu untuk melayani kehidupan manusia. Namun dalam arus modernitas yang ditandai oleh rasionalisasi, industrialisasi, dan teknologi, makna humanistik profesi medis sering tergerus oleh logika efisiensi dan komersialisasi.¹ Karena itu, diperlukan sintesis filosofis yang mampu mengembalikan kedokteran ke akar moral dan eksistensialnya: cura personalis — merawat manusia secara utuh sebagai makhluk jasmani, rohani, sosial, dan spiritual.²

9.1.       Integrasi antara Sains dan Humaniora dalam Kedokteran

Sintesis pertama menuju kedokteran humanistik adalah rekonsiliasi antara ilmu pengetahuan (sains) dan hikmat kemanusiaan (humaniora).³ Kedokteran modern cenderung menekankan aspek empiris dan objektif, sementara dimensi kemanusiaan — seperti penderitaan, makna, dan relasi — sering kali terpinggirkan.

Edmund Pellegrino menyebut kedokteran sebagai “a moral enterprise grounded in the good of the patient”, yaitu suatu ilmu yang berakar pada kebaikan manusia, bukan sekadar pengetahuan tentang tubuh.⁴ Dengan demikian, sains medis membutuhkan sentuhan hermeneutik — kemampuan menafsirkan pengalaman manusia yang sakit dan menderita.⁵

Maurice Merleau-Ponty mengingatkan bahwa tubuh bukanlah mesin biologis, melainkan cara manusia “mengada di dunia.”⁶ Maka, diagnosis sejati tidak hanya mengidentifikasi penyakit, tetapi juga memahami makna eksistensial di baliknya. Integrasi ini menuntut agar pendidikan kedokteran menggabungkan disiplin etika, filsafat, seni, dan psikologi kemanusiaan dalam pembentukan dokter.⁷

9.2.       Hubungan Dokter–Pasien sebagai Relasi Eksistensial

Hubungan antara dokter dan pasien bukan sekadar interaksi profesional, melainkan perjumpaan antara dua eksistensi yang saling terikat oleh kepercayaan dan empati.⁸ Dalam perjumpaan itu, dokter tidak sekadar “menyembuhkan tubuh,” tetapi juga “menyertai penderitaan.” Emmanuel Levinas menyebut pertemuan dengan wajah “yang lain” sebagai panggilan etis yang tidak dapat dihindari — wajah pasien yang menderita memanggil tanggung jawab moral tanpa syarat.⁹

Relasi ini memulihkan makna spiritual profesi medis. Penderitaan pasien menyingkapkan kedalaman kemanusiaan yang menuntut bukan hanya technical competence, tetapi juga moral presence — kehadiran dokter sebagai sesama manusia.¹⁰ Dengan demikian, relasi dokter-pasien yang humanistik menegaskan bahwa penyembuhan adalah tindakan dialogis, bukan transaksional.¹¹

9.3.       Kedokteran sebagai Praktik Etika Kebajikan (Virtue Ethics)

Kedokteran humanistik menuntut kembalinya etika kebajikan (virtue ethics) sebagai inti moral profesi medis.¹² Aristoteles memahami kebajikan (aretē) sebagai disposisi moral yang terbentuk melalui latihan dan refleksi rasional untuk mencapai kehidupan yang baik (eudaimonia).¹³ Dalam konteks kedokteran, kebajikan seperti compassion, prudence, honesty, dan justice menjadi fondasi moral yang mengarahkan tindakan profesional.¹⁴

Edmund Pellegrino menegaskan bahwa virtue ethics dalam kedokteran bukan sekadar etika perilaku, tetapi etika karakter.¹⁵ Seorang dokter yang berintegritas bukan hanya mematuhi hukum, tetapi bertindak benar karena ia menghayati nilai-nilai moral itu secara batiniah.¹⁶ Etika kebajikan mengatasi keterbatasan etika prinsip karena menumbuhkan kesadaran reflektif yang hidup dalam hati nurani, bukan sekadar teks hukum.¹⁷

9.4.       Kedokteran sebagai Panggilan Moral dan Pelayanan Kemanusiaan

Kedokteran humanistik melihat profesi dokter bukan hanya sebagai pekerjaan (occupation), melainkan sebagai panggilan moral (vocation).¹⁸ Di sini, to heal berarti to serve — merawat kehidupan dengan penuh kasih dan kerendahan hati. Seorang dokter sejati bukan hanya agen pengetahuan, tetapi pelayan martabat manusia.¹⁹

Dalam pandangan religius dan spiritual, penyembuhan adalah bentuk partisipasi dalam tugas penciptaan dan pemulihan kehidupan.²⁰ Nilai-nilai seperti empati, pengorbanan, dan cinta kasih menjadi inti dari praksis medis yang humanistik.²¹ Sebagaimana dinyatakan Viktor Frankl, “yang dibutuhkan manusia bukan kehidupan tanpa penderitaan, tetapi makna dalam penderitaan itu.”²²

Maka, kedokteran bukan hanya ilmu untuk memperpanjang hidup, tetapi juga seni untuk memulihkan makna hidup — cura animarum, penyembuhan jiwa.²³

9.5.       Paradigma Kedokteran Humanistik di Era Teknologis

Dalam dunia yang semakin didominasi oleh kecerdasan buatan, robotika, dan algoritma medis, tantangan terbesar etika kedokteran adalah menjaga “wajah manusia” dalam pelayanan kesehatan.²⁴ Teknologi dapat mempercepat diagnosis, tetapi tidak dapat menggantikan empati dan kehadiran manusia.²⁵

Kedokteran humanistik menuntut agar teknologi menjadi alat bagi kemanusiaan, bukan sebaliknya.²⁶ Prinsip “teknologi dengan belas kasih” (compassionate technology) harus menjadi pedoman etis baru: teknologi digunakan sejauh ia meningkatkan kualitas hidup, bukan menginstrumentalisasi manusia.²⁷

Dalam konteks ini, Hans Jonas mengajukan imperatif tanggung jawab — bahwa dalam era kekuasaan teknologi, manusia harus bertindak seolah masa depan kehidupan bergantung pada keputusan moralnya hari ini.²⁸ Paradigma kedokteran humanistik dengan demikian menjadi kompas moral untuk mengarahkan inovasi medis agar tetap berpihak pada martabat manusia.²⁹

9.6.       Menuju Etika Kedokteran Humanistik-Integral

Sintesis akhir dari seluruh refleksi ini mengarah pada Etika Kedokteran Humanistik-Integral, yang menekankan tiga integrasi utama:

·                     Ontologis: manusia dipahami sebagai kesatuan tubuh, jiwa, dan relasi sosial.

·                     Epistemologis: pengetahuan medis harus reflektif dan empatik.

·                     Aksiologis: nilai tertinggi kedokteran adalah martabat dan makna kehidupan.³⁰

Paradigma ini menuntun dunia medis keluar dari krisis teknokrasi menuju kebijaksanaan praksis yang berpihak pada kehidupan.³¹ Kedokteran humanistik bukanlah nostalgia romantik, melainkan kebutuhan etis masa depan: menjaga kemanusiaan di tengah kemajuan ilmu dan teknologi.³²


Footnotes

[1]                Ivan Illich, Medical Nemesis: The Expropriation of Health (New York: Pantheon Books, 1976), 3–5.

[2]                Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine Reborn: A Pellegrino Reader, ed. H. Tristram Engelhardt Jr. and Fabrice Jotterand (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2008), 15–17.

[3]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. by Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 170–172.

[4]                Pellegrino and David C. Thomasma, The Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 5–7.

[5]                Eric J. Cassell, The Nature of Suffering and the Goals of Medicine (New York: Oxford University Press, 1991), 28–30.

[6]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. by Colin Smith (London: Routledge, 1962), 75–78.

[7]                David C. Thomasma, “Moral Education in Medical Schools: Reflections on the Hidden Curriculum,” Journal of Medical Ethics 15, no. 2 (1989): 69–71.

[8]                Paul Ramsey, The Patient as Person: Explorations in Medical Ethics (New Haven: Yale University Press, 1970), 12–14.

[9]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. by Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 197–201.

[10]             Pellegrino, The Philosophy of Medicine Reborn, 32–35.

[11]             Edmund D. Pellegrino, “The Moral Center of Medicine: The Doctor as Moral Agent,” Kennedy Institute of Ethics Journal 3, no. 1 (1993): 3–6.

[12]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 175–177.

[13]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. by Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1103a15–20.

[14]             Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 94–96.

[15]             Pellegrino and Thomasma, The Virtues in Medical Practice, 8–9.

[16]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 119–121.

[17]             Edmund D. Pellegrino, “Character Formation in Medicine: Reflections on Virtue Theory,” Theoretical Medicine and Bioethics 17, no. 1 (1996): 33–35.

[18]             Paul T. Schotsmans, “Medicine as a Vocation: A Humanistic Perspective,” Medicine, Health Care and Philosophy 4, no. 3 (2001): 247–251.

[19]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), 70–72.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen and Unwin, 1968), 100–103.

[21]             Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, Helping and Healing: Religious Commitment in Health Care (Washington, DC: Georgetown University Press, 1997), 24–26.

[22]             Frankl, Man’s Search for Meaning, 104–106.

[23]             Thomasma, Moral Education in Medical Schools, 73–75.

[24]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 56–59.

[25]             Virginia Dignum, Responsible Artificial Intelligence: How to Develop and Use AI in a Responsible Way (Cham: Springer, 2019), 42–44.

[26]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 123–126.

[27]             Edmund D. Pellegrino, “Toward a Planetary Bioethics,” The Journal of Medicine and Philosophy 32, no. 6 (2007): 657–659.

[28]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 128–130.

[29]             Paul Ricoeur, Reflections on the Just, trans. by David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 91–93.

[30]             H. Koesoemadinata, Etika Profesi Kedokteran dan Kemanusiaan dalam Perspektif Pancasila (Yogyakarta: Deepublish, 2019), 75–77.

[31]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 92–94.

[32]             Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine Reborn, 93–95.


10.       Kesimpulan

Etika kedokteran merupakan salah satu fondasi moral paling penting dalam peradaban manusia, karena ia berurusan langsung dengan makna kehidupan, penderitaan, dan kematian.¹ Sepanjang sejarahnya — dari sumpah Hippokratik di Yunani kuno, etika religius pada Abad Pertengahan, hingga bioetika modern — etika kedokteran selalu menjadi upaya manusia untuk menata relasi moral antara pengetahuan, kekuasaan, dan kemanusiaan.² Dalam konteks filosofis, etika kedokteran adalah refleksi eksistensial tentang bagaimana manusia merawat sesamanya dengan kebenaran dan kasih

Secara ontologis, etika kedokteran menegaskan bahwa manusia bukan sekadar tubuh biologis, tetapi makhluk multidimensional yang mengandung nilai intrinsik dan martabat yang tidak dapat direduksi.⁴ Relasi antara dokter dan pasien bukan hubungan fungsional, melainkan perjumpaan eksistensial antara dua subjek moral yang saling terikat oleh kepercayaan dan tanggung jawab.⁵ Dalam hal ini, kedokteran menjadi ruang etis di mana penderitaan manusia dihadapi dengan empati dan kebijaksanaan praktis (phronesis).⁶

Secara epistemologis, pengetahuan medis bukanlah pengetahuan yang netral, melainkan pengetahuan yang berorientasi pada kebaikan.⁷ Ia menuntut sintesis antara rasionalitas ilmiah dan kebijaksanaan moral.⁸ Pengambilan keputusan medis yang baik tidak cukup dengan data klinis, tetapi memerlukan refleksi etis, dialog, dan kepekaan terhadap konteks sosial serta nilai-nilai kemanusiaan pasien.⁹

Secara aksiologis, etika kedokteran berakar pada empat prinsip moral universal — beneficence, non-maleficence, autonomy, dan justice — namun maknanya harus terus ditafsir ulang sesuai dinamika zaman.¹⁰ Prinsip-prinsip ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling menyeimbangkan dalam praksis medis yang konkret.¹¹ Nilai-nilai kebajikan seperti belas kasih, kejujuran, dan integritas tetap menjadi inti moral profesi medis yang sejati.¹²

Dalam konteks sosial, politik, dan hukum, etika kedokteran berperan sebagai penjaga moralitas publik di tengah sistem kesehatan yang sering kali dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan kekuasaan.¹³ Tanggung jawab dokter melampaui ruang klinik, mencakup advokasi terhadap keadilan sosial dan hak asasi kesehatan bagi semua manusia.¹⁴ Dengan demikian, etika kedokteran bukan hanya norma profesional, melainkan juga praksis politik kemanusiaan.¹⁵

Di era kontemporer, relevansi etika kedokteran semakin kuat. Tantangan seperti pandemi global, bioteknologi, kecerdasan buatan, dan krisis ekologis menuntut reinterpretasi moral yang lebih reflektif dan universal.¹⁶ Etika kedokteran harus berevolusi menjadi paradigma interdisipliner yang memadukan ilmu, teknologi, dan nilai kemanusiaan — bukan dalam antagonisme, melainkan dalam harmoni tanggung jawab.¹⁷

Sintesis filosofis menuju kedokteran humanistik menandai arah masa depan profesi ini.¹⁸ Paradigma ini menolak reduksionisme teknokratis dan mengembalikan kedokteran pada tujuan aslinya: merawat manusia sebagai makhluk bermartabat yang mencari makna dalam hidup dan penderitaannya.¹⁹ Seperti ditegaskan oleh Edmund Pellegrino, “kedokteran adalah cabang etika yang dipraktikkan setiap hari.”²⁰

Dengan demikian, kesimpulan utama dari seluruh kajian ini adalah bahwa kedokteran tidak dapat dipisahkan dari moralitas, dan moralitas tidak dapat direduksi menjadi prosedur. Etika kedokteran yang sejati menuntut keberanian intelektual, empati emosional, dan kebijaksanaan spiritual untuk menyeimbangkan antara ilmu dan cinta, antara kebenaran dan kebaikan, antara kehidupan dan makna.²¹


Footnotes

[1]                Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine Reborn: A Pellegrino Reader, ed. H. Tristram Engelhardt Jr. and Fabrice Jotterand (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2008), 15–17.

[2]                Hippocrates, The Oath and Other Medical Writings, trans. by J. Chadwick and W.N. Mann (London: Penguin Classics, 1950), 67.

[3]                Paul Ramsey, The Patient as Person: Explorations in Medical Ethics (New Haven: Yale University Press, 1970), 12–14.

[4]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. by Colin Smith (London: Routledge, 1962), 75–78.

[5]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. by Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–200.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. by Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1140b20–25.

[7]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 119–121.

[8]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. by Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 170–172.

[9]                Eric J. Cassell, The Nature of Suffering and the Goals of Medicine (New York: Oxford University Press, 1991), 22–25.

[10]             Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 13–15.

[11]             Albert R. Jonsen and Stephen Toulmin, The Abuse of Casuistry: A History of Moral Reasoning (Berkeley: University of California Press, 1988), 26–28.

[12]             Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 5–7.

[13]             Paul Farmer, Pathologies of Power: Health, Human Rights, and the New War on the Poor (Berkeley: University of California Press, 2003), 38–40.

[14]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 66–68.

[15]             Ivan Illich, Medical Nemesis: The Expropriation of Health (New York: Pantheon Books, 1976), 45–47.

[16]             Julian Savulescu et al., “Fair Allocation of Scarce Medical Resources in the Time of COVID-19,” The Lancet 395, no. 10231 (2020): 1253–1255.

[17]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 63–65.

[18]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 175–177.

[19]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), 70–72.

[20]             Edmund D. Pellegrino, “The Moral Center of Medicine: The Doctor as Moral Agent,” Kennedy Institute of Ethics Journal 3, no. 1 (1993): 3–6.

[21]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Continuum, 1993), 92–94.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1985). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2019). Principles of biomedical ethics (8th ed.). Oxford University Press.

Bostrom, N. (2003). Ethical issues in advanced artificial intelligence. In I. Smit, W. Wallach, & P. A. Rico (Eds.), Cognitive, emotive and ethical aspects of decision making in humans and in artificial intelligence (Vol. 2, pp. 12–15). International Institute of Advanced Studies in Systems Research and Cybernetics.

Callahan, D. (1990). What kind of life: The limits of medical progress. Simon & Schuster.

Cassell, E. J. (1991). The nature of suffering and the goals of medicine. Oxford University Press.

Chazan, E. G. (2003). Legal dimensions of medical ethics. Journal of Law, Medicine & Ethics, 31(4), 524–528.

Daniels, N. (1985). Just health care. Cambridge University Press.

Daniels, N. (2001). Justice and health care. The American Journal of Bioethics, 1(2), 2–16.

Dawson, A. (2015). Global health and justice: The need for a global bioethics. Public Health Ethics, 8(1), 1–2.

Dawson, A., & Verweij, M. (2007). Ethics, prevention, and public health. Oxford University Press.

Dignum, V. (2019). Responsible artificial intelligence: How to develop and use AI in a responsible way. Springer.

Donchin, A. (2001). Autonomy and interdependence: Quandaries in genetic decision-making. Women’s Studies Quarterly, 29(1–2), 143–157.

Engelhardt, H. T. Jr. (1996). The foundations of bioethics (2nd ed.). Oxford University Press.

Engelhardt, H. T. Jr. (1991). Bioethics and secular humanism: The search for a common morality. Trinity Press.

Engelhardt, H. T. Jr., & Jotterand, F. (Eds.). (2008). The philosophy of medicine reborn: A Pellegrino reader. University of Notre Dame Press.

Farmer, P. (2003). Pathologies of power: Health, human rights, and the new war on the poor. University of California Press.

Faden, R. R., & Beauchamp, T. L. (1986). A history and theory of informed consent. Oxford University Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Foucault, M. (2008). The birth of biopolitics: Lectures at the Collège de France, 1978–1979 (G. Burchell, Trans.). Palgrave Macmillan.

Frank, A. W. (1995). The wounded storyteller: Body, illness, and ethics. University of Chicago Press.

Frankl, V. E. (1959). Man’s search for meaning. Beacon Press.

Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and women’s development. Harvard University Press.

Haines, A., & Ebi, K. L. (2019). The imperative for climate action to protect health. New England Journal of Medicine, 380(3), 263–273.

Haraway, D. (1991). Simians, cyborgs, and women: The reinvention of nature. Routledge.

Harvey, D. (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford University Press.

Hippocrates. (1950). The oath and other medical writings (J. Chadwick & W. N. Mann, Trans.). Penguin Classics.

Illich, I. (1976). Medical nemesis: The expropriation of health. Pantheon Books.

Iqbal, M., & Rahman, S. (2004). Islamic medical ethics: A conceptual framework. Journal of Islamic Studies, 15(2), 107–112.

Iqbal, M., & Rahman, S. (2007). Islamic perspectives on health and healing. Islamic Studies Journal, 21(3), 115–120.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Jonsen, A. R. (1991). Casuistry and clinical ethics. Theoretical Medicine, 12(4), 295–301.

Jonsen, A. R., & Toulmin, S. (1988). The abuse of casuistry: A history of moral reasoning. University of California Press.

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kass, L. R. (1984). Neither for love nor money: Why doctors must not kill. The Public Interest, 74, 25–46.

KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia). (2012). Pedoman etika profesi dokter Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia.

Koesoemadinata, H. (2019). Etika profesi kedokteran dan kemanusiaan dalam perspektif Pancasila. Deepublish.

Küng, H. (1993). Global responsibility: In search of a new world ethic. Continuum.

Leder, D. (1990). The absent body. University of Chicago Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Macer, D. R. J. (1998). Bioethics is love of life: An alternative textbook. Eubios Ethics Institute.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Mittelstadt, B. D., Allo, P., Taddeo, M., Wachter, S., & Floridi, L. (2016). The ethics of algorithms: Mapping the debate. Big Data & Society, 3(2), 1–21.

Myers, S. S., & Frumkin, H. (2020). Planetary health: Protecting nature to protect ourselves. Island Press.

Nasr, S. H. (1968). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. Allen & Unwin.

Nussbaum, M. C. (1986). The fragility of goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought: The intelligence of emotions. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Pellegrino, E. D. (1993). The moral center of medicine: The doctor as moral agent. Kennedy Institute of Ethics Journal, 3(1), 3–6.

Pellegrino, E. D. (1996). Character formation in medicine: Reflections on virtue theory. Theoretical Medicine and Bioethics, 17(1), 33–35.

Pellegrino, E. D. (2007). Toward a planetary bioethics. The Journal of Medicine and Philosophy, 32(6), 657–659.

Pellegrino, E. D., & Thomasma, D. C. (1993). The virtues in medical practice. Oxford University Press.

Pellegrino, E. D., & Thomasma, D. C. (1997). Helping and healing: Religious commitment in health care. Georgetown University Press.

Ramsey, P. (1970). The patient as person: Explorations in medical ethics. Yale University Press.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rabinow, P., & Rose, N. (2006). Biopower today. BioSocieties, 1(2), 195–217.

Rachels, J. (1986). The end of life: Euthanasia and morality. Oxford University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (2007). Reflections on the just (D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.

Savulescu, J. (2002). The ethics of cloning. Reproductive Health Matters, 10(20), 102–107.

Savulescu, J., Persson, I., & Wilkinson, D. (2020). Fair allocation of scarce medical resources in the time of COVID-19. The Lancet, 395(10231), 1253–1255.

Schotsmans, P. T. (2001). Medicine as a vocation: A humanistic perspective. Medicine, Health Care and Philosophy, 4(3), 247–251.

Sherwin, S. (1992). No longer patient: Feminist ethics and health care. Temple University Press.

Shrader-Frechette, K. (2002). Environmental justice: Creating equality, reclaiming democracy. Oxford University Press.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Singer, P., & Kuhse, H. (Eds.). (2016). Bioethics: An anthology (4th ed.). Wiley-Blackwell.

Soedjatmoko. (1985). Etika dan pembangunan: Refleksi atas Pancasila dan kemanusiaan. LP3ES.

Tham, J., García Gómez, A., & Casadesús, R. (2017). Intercultural and interreligious dialogue on bioethics. Springer.

Thomas Aquinas. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Thomasma, D. C. (1989). Moral education in medical schools: Reflections on the hidden curriculum. Journal of Medical Ethics, 15(2), 69–71.

Tronto, J. (1993). Moral boundaries: A political argument for an ethic of care. Routledge.

Waitzkin, H. (1983). The second sickness: Contradictions of capitalist health care. Free Press.

Whitehead, M. (1991). The concepts and principles of equity and health. World Health Organization.

World Health Organization. (2019). Global report on health equity. WHO Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar