Etika Kedokteran
Fondasi Filosofis, Prinsip Normatif, dan Tantangan
Kontemporer dalam Praktik Kesehatan Modern
Alihkan ke: Ilmu Medis. 
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif fondasi
filosofis, prinsip normatif, dan relevansi kontemporer dari etika kedokteran
sebagai cabang etika terapan yang mengatur tindakan moral dalam praktik medis.
Kajian ini berangkat dari asumsi bahwa kedokteran bukan sekadar disiplin
ilmiah, melainkan juga praksis moral yang menuntut tanggung jawab etis terhadap
kehidupan manusia. Secara metodologis, artikel ini menggunakan pendekatan filosofis
reflektif, mencakup tiga dimensi utama: ontologi, epistemologi,
dan aksiologi.
Dalam dimensi ontologis, manusia dipahami
sebagai kesatuan tubuh, jiwa, dan relasi sosial, sehingga hubungan dokter–pasien
bersifat eksistensial dan etis, bukan transaksional. Secara epistemologis,
pengetahuan kedokteran tidak bersifat netral nilai, melainkan diarahkan pada
kebaikan pasien melalui kebijaksanaan praktis (phronesis) dan refleksi
moral. Dalam aksiologinya, prinsip-prinsip universal seperti beneficence,
non-maleficence, autonomy, dan justice menjadi dasar
normatif yang perlu ditafsirkan ulang dalam konteks sosial, politik, dan
teknologi modern.
Artikel ini juga menelaah dimensi sosial,
politik, dan hukum etika kedokteran, menyoroti ketimpangan akses kesehatan,
kapitalisasi medis, dan peran hukum dalam menjaga integritas profesi. Kritik
dari perspektif humanistik, feminis, Marxis, dan postmodern diuraikan
sebagai bentuk koreksi terhadap bias teknokratis dan paternalistik etika medis
klasik. Dalam konteks kontemporer, pembahasan mencakup isu-isu global
seperti pandemi, euthanasia, bioteknologi, digitalisasi medis, serta krisis
ekologis, yang semuanya menuntut paradigma baru etika medis berbasis
solidaritas dan tanggung jawab global.
Sebagai sintesis filosofis, artikel ini mengajukan
model “Kedokteran Humanistik-Integral”, yaitu paradigma kedokteran yang
mengintegrasikan sains dan humaniora, teknologi dan belas kasih, hukum dan
nurani. Paradigma ini menegaskan bahwa tujuan akhir kedokteran bukan sekadar
menyembuhkan tubuh, tetapi juga memulihkan makna kemanusiaan yang terluka.
Dengan demikian, etika kedokteran menjadi kompas moral peradaban modern untuk
menjaga martabat manusia di tengah kemajuan teknologi.
Kata Kunci: Etika Kedokteran; Bioetika; Filsafat Moral;
Humanisme; Kedokteran Humanistik; Kebajikan; Keadilan Sosial; Bioteknologi;
Filsafat Kedokteran; Martabat Manusia.
PEMBAHASAN
Implikasi Etika Kedokteran terhadap Masa Depan Profesi
dan Masyarakat
1.          
Pendahuluan
Etika kedokteran merupakan salah satu cabang etika
terapan yang paling tua dan paling kompleks dalam tradisi filsafat moral. Sejak
zaman Yunani Kuno, etika medis telah menjadi refleksi tentang bagaimana seorang
tabib harus berperilaku terhadap pasiennya, bukan hanya sebagai objek perawatan
biologis, tetapi sebagai pribadi yang memiliki martabat dan hak yang melekat.
Dalam tradisi Hippokratik, moralitas kedokteran berakar pada prinsip “primum
non nocere” — pertama-tama jangan mencelakakan — yang menandai tanggung
jawab moral utama seorang dokter terhadap kehidupan dan kesejahteraan
pasiennya.¹
Etika kedokteran tidak semata-mata berbicara
tentang standar profesional atau hukum positif, tetapi juga tentang dimensi
filosofis yang mendasarinya. Dalam konteks ini, refleksi etis berfungsi sebagai
dasar normatif bagi tindakan medis yang tidak dapat direduksi hanya pada
pertimbangan teknis atau efisiensi klinis.² Dengan demikian, etika kedokteran
menuntut perpaduan antara keahlian ilmiah dan kebijaksanaan moral (phronesis)
dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan manusia.³
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran pada abad ke-20 dan 21 menimbulkan dilema etis baru yang semakin
kompleks. Inovasi dalam bioteknologi, genetika, kecerdasan buatan, serta
praktik telemedicine menantang paradigma klasik tentang kehidupan, kematian,
dan tanggung jawab moral.⁴ Dalam konteks globalisasi, persoalan seperti
distribusi sumber daya medis, akses kesehatan yang tidak merata, dan
komersialisasi layanan medis mengubah hubungan antara dokter dan pasien dari
ikatan moral menjadi transaksi ekonomi.⁵
Etika kedokteran juga harus dibaca dalam konteks
sosial dan budaya. Di Indonesia, misalnya, etika medis tidak hanya bersandar
pada prinsip universal seperti autonomy atau justice, tetapi juga
harus memperhatikan nilai-nilai lokal seperti gotong royong, keselarasan
sosial, dan penghormatan terhadap martabat manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan.⁶ Integrasi antara prinsip-prinsip global bioetika dengan nilai-nilai
Pancasila dan budaya Indonesia menjadi tantangan tersendiri dalam membangun
praksis kedokteran yang humanistik dan berkeadilan.⁷
Dengan demikian, urgensi kajian etika kedokteran
bukan hanya untuk merumuskan seperangkat aturan normatif, tetapi juga untuk
membangun paradigma baru tentang kemanusiaan di tengah krisis moral dan
teknologis yang melanda dunia medis kontemporer. Artikel ini bertujuan
menelusuri fondasi filosofis, prinsip normatif, serta relevansi kontemporer etika
kedokteran melalui pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis,
sehingga dapat memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang dimensi moral
profesi kedokteran dalam konteks modern.
Footnotes
[1]               
Hippocrates, The Oath and Other Medical Writings,
trans. by J. Chadwick and W.N. Mann (London: Penguin Classics, 1950), 67.
[2]               
Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The
Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993),
15–18.
[3]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. by
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1140b20–25.
[4]               
Peter Singer and Helga Kuhse, Bioethics: An
Anthology, 4th ed. (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2016), 3–7.
[5]               
Ivan Illich, Medical Nemesis: The Expropriation
of Health (New York: Pantheon Books, 1976), 45–49.
[6]               
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), Pedoman
Etika Profesi Dokter Indonesia (Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia, 2012),
8–10.
[7]               
H. Koesoemadinata, Etika Profesi Kedokteran dan
Kemanusiaan dalam Perspektif Pancasila (Yogyakarta: Deepublish, 2019),
34–38.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis Etika Kedokteran
Etika kedokteran memiliki akar panjang dalam
sejarah peradaban manusia, dan perkembangannya merefleksikan evolusi pemahaman
manusia tentang kehidupan, penderitaan, dan tanggung jawab moral terhadap
sesama. Dalam setiap fase sejarah, pemikiran etis tentang praktik pengobatan
selalu dipengaruhi oleh pandangan filosofis, religius, dan sosial pada
zamannya.
2.1.      
Etika Hippokratik dan Tradisi Klasik
Etika kedokteran secara historis bermula dari
tradisi Yunani Kuno, terutama melalui ajaran Hippokrates (460–370 SM), yang
sering disebut sebagai “Bapak Kedokteran”. Dalam Corpus Hippocraticum
dan Oath of Hippocrates, etika profesi dirumuskan sebagai komitmen moral
seorang tabib untuk berbuat baik kepada pasien dan menghindari tindakan yang
dapat mencelakakan.¹ Prinsip beneficence (berbuat baik) dan non-maleficence
(tidak merugikan) menjadi fondasi moral yang terus dipertahankan hingga kini.
Dalam konteks ini, praktik kedokteran bukan hanya keterampilan teknis,
melainkan juga kegiatan etis yang memerlukan keutamaan (virtue), seperti
kebijaksanaan (sophrosyne), keadilan (dikaiosyne), dan belas
kasih (philanthrōpia).²
Pemikiran Aristoteles turut memperkaya dimensi
filosofis etika kedokteran dengan menekankan peran phronesis
(kebijaksanaan praktis) sebagai kemampuan moral untuk menimbang keputusan yang
baik dalam situasi konkret.³ Etika kedokteran dalam kerangka Aristotelian
menempatkan dokter sebagai agen moral yang harus menyeimbangkan antara pengetahuan
ilmiah (epistēmē) dan kebajikan moral (aretē).
2.2.      
Etika Kedokteran Abad Pertengahan:
Integrasi dengan Tradisi Religius
Pada masa Abad Pertengahan, etika kedokteran
berkembang melalui integrasi antara ilmu medis dan teologi moral. Dalam tradisi
Kristen Barat, Thomas Aquinas menafsirkan tindakan medis sebagai bagian dari caritas
(kasih ilahi), yang menegaskan kewajiban moral untuk menolong sesama sebagai
wujud cinta kepada Tuhan.⁴ Sementara itu, dalam peradaban Islam, muncul
tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina (Avicenna) dan Ar-Razi (Rhazes), yang menulis
karya monumental seperti Al-Qanun fi al-Tibb dan Al-Hawi, di mana
etika kedokteran diletakkan dalam kerangka tanggung jawab ilahiah dan
kemaslahatan umat.⁵
Etika medis Islam menekankan keseimbangan antara niat
(intensi moral) dan amal (tindakan nyata), serta prinsip rahmah
(kasih sayang) terhadap pasien.⁶ Dalam konteks ini, pengobatan bukan semata
tindakan ilmiah, tetapi juga ibadah dan bentuk penghormatan terhadap kehidupan
sebagai amanah Tuhan.⁷
2.3.      
Era Modern: Sekularisasi dan Otonomi
Profesional
Memasuki era modern, terutama setelah Pencerahan
(Enlightenment), etika kedokteran mengalami pergeseran dari paradigma
teosentris menuju paradigma antroposentris dan rasional. Tokoh-tokoh seperti
Immanuel Kant mengembangkan prinsip moral berbasis otonomi dan rasionalitas
manusia, yang kemudian memengaruhi konsep autonomy dalam bioetika
modern.⁸ Etika kedokteran menjadi lebih normatif dan berbasis hak individu, di
mana pasien dilihat sebagai subjek moral dengan kapasitas untuk membuat
keputusan atas tubuh dan kehidupannya sendiri.⁹
Pada abad ke-20, muncul perkembangan sistematis
dalam bentuk bioetika modern yang dipelopori oleh Beauchamp dan Childress
melalui karya Principles of Biomedical Ethics.¹⁰ Mereka merumuskan empat
prinsip dasar — autonomy, beneficence, non-maleficence,
dan justice — yang hingga kini menjadi standar etika kedokteran di
seluruh dunia. Bioetika modern menekankan keseimbangan antara kebebasan pasien
dan tanggung jawab profesional dokter dalam konteks pluralisme nilai dan
kemajuan teknologi medis.¹¹
2.4.      
Perkembangan Etika Kedokteran di
Indonesia
Dalam konteks Indonesia, sejarah etika kedokteran
berkembang melalui perpaduan antara warisan etika Barat dan nilai-nilai moral
Pancasila. Sejak masa kolonial hingga masa kemerdekaan, profesi kedokteran
bertransformasi dari praktik elit kolonial menjadi pelayanan sosial yang
berlandaskan kemanusiaan.¹² Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang
disahkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan manifestasi normatif dari
nilai-nilai universal etika medis yang disesuaikan dengan konteks sosial budaya
bangsa.¹³
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab
serta keadilan sosial dalam Pancasila memberikan landasan moral bagi
dokter Indonesia untuk menjalankan profesinya tidak hanya dengan
profesionalitas ilmiah, tetapi juga dengan tanggung jawab sosial dan empati
terhadap penderitaan masyarakat.¹⁴ Dalam semangat ini, etika kedokteran
Indonesia memandang profesi medis sebagai panggilan kemanusiaan (human
calling), bukan semata profesi teknokratis.¹⁵
Footnotes
[1]               
Hippocrates, The Oath and Other Medical Writings,
trans. by J. Chadwick and W.N. Mann (London: Penguin Classics, 1950), 67.
[2]               
Martha Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck
and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University
Press, 1986), 94–96.
[3]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. by
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1140b20–25.
[4]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. by
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
II-II, q.30, a.4.
[5]               
Avicenna, The Canon of Medicine (Al-Qanun fi
al-Tibb), trans. by Laleh Bakhtiar (Chicago: Great Books of the Islamic
World, 1999), 12–14.
[6]               
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 124–126.
[7]               
M. Iqbal and S. Rahman, “Islamic Medical Ethics: A
Conceptual Framework,” Journal of Islamic Studies 15, no. 2 (2004):
107–112.
[8]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. by Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 39–42.
[9]               
Daniel Callahan, Setting Limits: Medical Goals
in an Aging Society (New York: Simon & Schuster, 1987), 21–23.
[10]            
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019),
13–15.
[11]            
H. Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of
Bioethics, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1996), 5–8.
[12]            
S. Djauhar, Sejarah Kedokteran di Indonesia:
Dari Masa Kolonial hingga Reformasi (Jakarta: UI Press, 2010), 145–147.
[13]            
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), Pedoman
Etika Profesi Dokter Indonesia (Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia, 2012),
9–12.
[14]            
Soedjatmoko, Etika dan Pembangunan: Refleksi
atas Pancasila dan Kemanusiaan (Jakarta: LP3ES, 1985), 66–68.
[15]            
H. Koesoemadinata, Etika Profesi Kedokteran dan
Kemanusiaan dalam Perspektif Pancasila (Yogyakarta: Deepublish, 2019),
41–44.
3.          
Ontologi
Etika Kedokteran
Ontologi etika kedokteran menelaah hakikat
keberadaan manusia, dokter, dan praktik pengobatan itu sendiri sebagai entitas
moral yang memiliki makna lebih dari sekadar aktivitas biologis atau
profesional. Pertanyaan ontologis dalam etika kedokteran bukan hanya “apa
yang dilakukan dokter”, tetapi juga “apa arti menjadi manusia yang
merawat manusia lain”. Dalam konteks ini, kedokteran bukan sekadar sains
empiris, melainkan juga praksis kemanusiaan yang menyentuh inti eksistensi
manusia.
3.1.      
Hakikat Manusia sebagai Subjek dan
Objek Tindakan Medis
Dalam etika kedokteran, manusia memiliki dua dimensi
ontologis yang saling terkait: sebagai subjek moral (yang memiliki martabat dan
kebebasan) dan sebagai objek tindakan medis (yang tubuhnya menjadi locus
intervensi ilmiah).¹ Pandangan ini mengandaikan bahwa pasien bukan sekadar “kasus”
atau “organisme biologis”, melainkan pribadi yang utuh, memiliki nilai
intrinsik dan eksistensi yang tidak dapat direduksi menjadi aspek material
semata.²
Pandangan ini berakar pada pemikiran Immanuel Kant,
yang menyatakan bahwa manusia harus selalu diperlakukan sebagai tujuan pada
dirinya sendiri (end in itself), bukan sekadar alat bagi kepentingan
lain.³ Dengan demikian, relasi dokter-pasien merupakan perjumpaan eksistensial
antara dua subjek moral yang terikat oleh rasa hormat dan tanggung jawab etis.⁴
3.2.      
Tubuh dan Jiwa: Integrasi Biologis,
Psikologis, dan Spiritual
Secara ontologis, tubuh manusia dalam etika
kedokteran tidak dapat dipahami hanya sebagai entitas fisik. Tubuh adalah
ekspresi eksistensi, media bagi subjek untuk mengalami dunia. Maurice
Merleau-Ponty menyebut tubuh sebagai “le corps propre” — tubuh yang
sadar, yang tidak bisa dipisahkan dari kesadaran dan makna hidupnya.⁵ Oleh
karena itu, penyakit bukan hanya gangguan biologis, melainkan juga krisis
eksistensial yang mengubah cara seseorang mengalami diri dan dunianya.⁶
Dimensi spiritual juga memiliki peran penting dalam
struktur ontologis manusia. Dalam tradisi kedokteran Timur dan Islam, kesehatan
dipahami sebagai keselarasan antara tubuh (jasad), jiwa (nafs),
dan roh (ruh).⁷ Etika kedokteran yang berorientasi pada keutuhan manusia
menghindari reduksionisme mekanistik dan menempatkan penyembuhan sebagai proses
pemulihan makna dan keseimbangan hidup.⁸
3.3.      
Dokter sebagai Agen Moral dan
Makhluk Relasional
Dokter tidak hanya berperan sebagai teknisi medis, melainkan
sebagai agen moral yang memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan dan martabat
manusia lain. Edmund Pellegrino menyebut bahwa profesi medis memiliki “telos
moral”, yakni panggilan etis untuk berbuat baik (the good of the patient)
yang melampaui kepentingan pribadi atau ekonomi.⁹ Tanggung jawab ini bersifat
relasional: muncul dalam perjumpaan antara penderitaan dan empati, antara
pengetahuan dan kasih sayang.
Relasi dokter-pasien merupakan relasi asimetris
namun etis — dokter memiliki pengetahuan dan kekuasaan, sementara pasien
memiliki ketergantungan dan kerentanan.¹⁰ Kesadaran ontologis terhadap asimetri
ini menuntut dokter untuk mengubah relasi kekuasaan menjadi relasi pelayanan,
sebagaimana dikatakan Emmanuel Levinas, bahwa etika bermula dari wajah “yang
lain” yang menuntut tanggung jawab tanpa syarat.¹¹ Dengan demikian, dalam
etika kedokteran, eksistensi moral dokter hanya memperoleh maknanya sejauh ia
bertanggung jawab terhadap keberadaan orang lain.
3.4.      
Ontologi Penderitaan dan Kesembuhan
Penderitaan adalah aspek fundamental dari
eksistensi manusia yang menjadi pusat perhatian etika kedokteran. Menurut
Viktor E. Frankl, penderitaan memiliki makna eksistensial karena memungkinkan
manusia menemukan nilai kehidupan melalui pengalaman batasnya.¹² Dalam konteks
medis, penderitaan bukan sekadar gejala klinis yang harus dihapus, tetapi juga
panggilan etis yang mengundang empati, pengertian, dan solidaritas.¹³
Kesembuhan dalam pengertian ontologis bukan hanya
ketiadaan penyakit (absence of disease), tetapi pemulihan makna hidup
dan integritas eksistensial seseorang.¹⁴ Dalam pandangan ini, tindakan medis
bukan sekadar upaya memperpanjang hidup, melainkan juga memulihkan makna
keberadaan manusia sebagai makhluk yang berdaya, berharapan, dan bermartabat.¹⁵
Kesimpulan
Sementara: Ontologi Humanistik Kedokteran
Ontologi etika kedokteran, dengan demikian,
menempatkan manusia sebagai pusat dari seluruh praktik medis — bukan sebagai
objek pasif, tetapi sebagai pribadi yang memiliki nilai intrinsik. Tubuh, jiwa,
dan relasi sosial pasien merupakan kesatuan ontologis yang harus dihormati.
Dokter, dalam perannya sebagai agen moral, tidak hanya menjalankan keilmuan,
tetapi juga menghayati profesinya sebagai panggilan etis untuk memulihkan
kemanusiaan dalam segala bentuk penderitaan.
Footnotes
[1]               
Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine
Reborn: A Pellegrino Reader, ed. H. Tristram Engelhardt Jr. and Fabrice
Jotterand (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2008), 23–25.
[2]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 98–102.
[3]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. by Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 38–39.
[4]               
Paul Ramsey, The Patient as Person: Explorations
in Medical Ethics (New Haven: Yale University Press, 1970), 17–19.
[5]               
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception,
trans. by Colin Smith (London: Routledge, 1962), 75–78.
[6]               
Drew Leder, The Absent Body (Chicago:
University of Chicago Press, 1990), 3–5.
[7]               
M. Iqbal and S. Rahman, “Islamic Perspectives on
Health and Healing,” Islamic Studies Journal 21, no. 3 (2007): 115–120.
[8]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen and Unwin, 1968), 89–91.
[9]               
Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The
Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 4–6.
[10]            
Daniel Callahan, What Kind of Life: The Limits
of Medical Progress (New York: Simon & Schuster, 1990), 25–27.
[11]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. by Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 198–201.
[12]            
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 1959), 67–69.
[13]            
Eric J. Cassell, The Nature of Suffering and the
Goals of Medicine (New York: Oxford University Press, 1991), 32–34.
[14]            
Arthur W. Frank, The Wounded Storyteller: Body,
Illness, and Ethics (Chicago: University of Chicago Press, 1995), 56–59.
[15]            
Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of
Bioethics, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1996), 42–45.
4.          
Epistemologi
Etika Kedokteran
Epistemologi etika kedokteran berupaya menjawab pertanyaan
mendasar tentang bagaimana pengetahuan moral dalam praktik medis diperoleh,
divalidasi, dan diterapkan. Jika ontologi etika kedokteran membahas apa
hakikat moralitas dalam profesi medis, maka epistemologinya menelaah bagaimana
pengetahuan etis itu dibangun dan digunakan dalam konteks klinis serta sosial
yang konkret.
4.1.      
Dasar Pengetahuan Moral dalam
Kedokteran: Antara Sains dan Nilai
Ilmu kedokteran berakar pada sains empiris, namun
setiap tindakan medis selalu melibatkan dimensi nilai.¹ Pengetahuan medis
bersifat faktual, tetapi keputusan klinis mengandaikan penilaian normatif
tentang apa yang baik bagi pasien.² Dalam hal ini, terdapat dua bentuk
rasionalitas yang harus diintegrasikan: rasionalitas ilmiah (scientific
rationality) dan rasionalitas moral (ethical rationality).³
Menurut Edmund Pellegrino, kedokteran merupakan “ilmu
moral yang bersifat praktis” (a moral practice grounded in the good of
the patient), di mana pengetahuan medis harus selalu diarahkan pada tujuan
etis, bukan semata kebenaran teoretis.⁴ Maka, epistemologi kedokteran tidak
netral nilai; ia adalah pengetahuan yang berorientasi pada kebaikan manusia.⁵
4.2.      
Metode Penalaran Etis dalam
Pengambilan Keputusan Medis
Dalam praktik klinis, pengambilan keputusan etis
tidak dapat semata-mata bersandar pada kalkulasi logis, melainkan memerlukan
penalaran reflektif yang mempertimbangkan nilai-nilai, konteks, dan
konsekuensi. Metode penalaran yang digunakan dalam etika kedokteran umumnya
melibatkan tiga pendekatan: kasuistik, konsensual, dan deliberatif.
·                    
Pendekatan kasuistik menekankan
analogi antara kasus konkret dengan preseden moral atau yurisprudensi etis.⁶
Metode ini menelusuri kebijaksanaan dari kasus-kasus terdahulu untuk menilai
kasus baru secara proporsional.
·                    
Pendekatan konsensual digunakan
dalam komite etik medis, di mana keputusan etis dihasilkan melalui dialog
antarprofesional berdasarkan prinsip dan konteks.⁷
·                    
Pendekatan deliberatif, sebagaimana dikembangkan oleh Jürgen Habermas, memandang bahwa
keputusan etis yang sah harus dihasilkan melalui proses komunikasi rasional
yang melibatkan semua pihak terkait.⁸
Ketiga metode tersebut menggambarkan bahwa
pengetahuan moral kedokteran bersifat intersubjektif — lahir dari proses
diskursif antara ilmuwan, dokter, pasien, dan masyarakat.
4.3.      
Hubungan antara Etika Normatif dan
Bioetika Klinis
Etika normatif menyediakan prinsip-prinsip
universal seperti autonomy, beneficence, non-maleficence,
dan justice, sementara bioetika klinis berfungsi sebagai penerapan
prinsip-prinsip tersebut dalam konteks empiris.⁹ Hubungan antara keduanya
bersifat dialektis: prinsip memberikan arah normatif, sedangkan praktik klinis
memperkaya prinsip melalui pengalaman konkret.¹⁰
Beauchamp dan Childress menyebut hubungan ini
sebagai “reflective equilibrium”, yakni keseimbangan reflektif antara
teori moral dan intuisi praktis.¹¹ Proses ini memungkinkan dokter untuk
menafsirkan prinsip etika sesuai kompleksitas kasus nyata tanpa kehilangan
dasar normatifnya.
4.4.      
Empati, Intuisi, dan Kebijaksanaan
Praktis (Phronesis) dalam Diagnosis Moral
Selain rasionalitas, epistemologi etika kedokteran
juga menuntut peran emosional intelligence seperti empati dan intuisi
moral.¹² Pengetahuan moral tidak selalu deduktif; sering kali ia diperoleh
melalui penghayatan langsung terhadap penderitaan pasien. Aristoteles menyebut
kemampuan ini sebagai phronesis — kebijaksanaan praktis untuk menilai
kebaikan dalam situasi unik.¹³
Dalam praktik medis, phronesis memungkinkan
dokter menafsirkan nilai-nilai universal ke dalam konteks individual pasien,
tanpa kehilangan kepekaan terhadap dimensi manusiawi.¹⁴ Dengan demikian,
pengetahuan etis dalam kedokteran bukan hanya hasil logika formal, tetapi juga
hasil perjumpaan empatik antara knowing subject (dokter) dan suffering
subject (pasien).¹⁵
Sintesis
Epistemologis: Menuju Pengetahuan Etis yang Reflektif dan Dialogis
Epistemologi etika kedokteran akhirnya menegaskan
bahwa pengetahuan etis adalah pengetahuan reflektif (karena melibatkan
pertimbangan moral) dan pengetahuan dialogis (karena bersumber dari
interaksi antar-subjek).¹⁶ Ia beroperasi dalam ruang liminal antara ilmu dan
nilai, antara objektivitas dan empati. Pengetahuan moral dokter tidak hanya
diukur dari ketepatan diagnosis, tetapi dari sejauh mana ia memahami makna
penderitaan manusia dan bertindak sesuai dengan kebijaksanaan etis.¹⁷
Footnotes
[1]               
Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of
Bioethics, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1996), 5–6.
[2]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 112–114.
[3]               
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. by
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 170–172.
[4]               
Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The
Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993),
15–18.
[5]               
Eric J. Cassell, The Nature of Suffering and the
Goals of Medicine (New York: Oxford University Press, 1991), 12–14.
[6]               
Albert R. Jonsen and Stephen Toulmin, The Abuse
of Casuistry: A History of Moral Reasoning (Berkeley: University of
California Press, 1988), 26–30.
[7]               
Ruth R. Faden and Tom L. Beauchamp, A History
and Theory of Informed Consent (New York: Oxford University Press, 1986),
59–61.
[8]               
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. by Christian Lenhardt and Shierry Weber
Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 86–89.
[9]               
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019),
13–15.
[10]            
H. Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of
Christian Bioethics (Lisse: Swets & Zeitlinger, 2000), 27–29.
[11]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 48–51.
[12]            
Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The
Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001),
302–305.
[13]            
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. by
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1140b20–25.
[14]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2007), 154–157.
[15]            
Paul Ramsey, The Patient as Person: Explorations
in Medical Ethics (New Haven: Yale University Press, 1970), 34–36.
[16]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. by William
Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 110–112.
[17]            
Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine
Reborn: A Pellegrino Reader, ed. H. Tristram Engelhardt Jr. and Fabrice
Jotterand (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2008), 73–75.
5.          
Aksiologi
Etika Kedokteran
Aksiologi etika
kedokteran menelaah nilai-nilai yang mendasari dan mengarahkan
tindakan moral dalam praktik medis. Jika epistemologi
menjelaskan bagaimana pengetahuan etis
diperoleh, maka aksiologi menjelaskan untuk apa dan mengapa
tindakan medis memiliki nilai moral. Dalam konteks ini, kedokteran dipahami
bukan sekadar sebagai profesi teknis, melainkan sebagai praktik moral yang
bertujuan mencapai kebaikan manusia seutuhnya.¹
5.1.      
Prinsip-Prinsip Moral Utama dalam
Etika Kedokteran
Empat prinsip utama
yang menjadi fondasi aksiologi etika kedokteran modern — sebagaimana dirumuskan
oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress — adalah beneficence,
non-maleficence,
autonomy,
dan justice.² Prinsip-prinsip ini berfungsi sebagai norma moral
universal yang menuntun dokter dalam menghadapi kompleksitas moral kehidupan
medis.
5.1.1.   
Beneficence (Berbuat
Baik)
Prinsip beneficence
mengarahkan dokter untuk selalu bertindak demi kebaikan pasien, bukan sekadar
menyembuhkan penyakit tetapi juga memulihkan martabat dan kesejahteraannya.³
Kebaikan dalam konteks medis bersifat multidimensional — meliputi aspek
biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.⁴ Tindakan medis yang baik bukan
hanya yang berhasil secara klinis, tetapi juga yang menghormati nilai-nilai
kemanusiaan pasien.
5.1.2.   
Non-Maleficence (Tidak
Merugikan)
Prinsip non-maleficence
menegaskan komitmen moral tertua dalam etika kedokteran: “primum
non nocere” — pertama-tama jangan mencelakakan.⁵ Prinsip ini
mengingatkan bahwa kekuasaan medis atas tubuh manusia harus dibatasi oleh
tanggung jawab etis untuk menghindari bahaya, penderitaan, atau kerusakan yang
tidak perlu. Dalam konteks modern, prinsip ini juga mencakup kehati-hatian
terhadap risiko teknologi biomedis seperti rekayasa genetik atau eksperimen
manusia.⁶
5.1.3.   
Autonomy (Menghormati
Kebebasan Pasien)
Prinsip autonomy
menekankan hak moral setiap individu untuk menentukan nasib tubuh dan hidupnya
sendiri.⁷ Dalam hubungan dokter-pasien, prinsip ini mengharuskan penghormatan
terhadap keputusan pasien yang dibuat berdasarkan informasi yang memadai (informed
consent).⁸ Namun, penghormatan terhadap otonomi tidak berarti
relativisme mutlak; dokter tetap memiliki tanggung jawab moral untuk membimbing
pasien dengan kebijaksanaan profesional dan empati manusiawi.⁹
5.1.4.   
Justice (Keadilan
dalam Pelayanan Kesehatan)
Prinsip justice
mengandung makna distributif — yakni pembagian sumber daya medis secara adil
dan proporsional berdasarkan kebutuhan, bukan kekayaan atau status sosial.¹⁰
Dalam skala global, prinsip ini menuntut keadilan kesehatan lintas negara,
terutama terkait akses terhadap obat-obatan esensial, vaksin, dan layanan
kesehatan bagi kelompok rentan.¹¹
5.2.      
 Nilai-Nilai Intrinsik Profesi Medis
Selain keempat
prinsip utama, etika kedokteran juga berakar pada nilai-nilai
intrinsik profesi, yang bersifat kebajikan (virtues)
daripada sekadar aturan. Edmund Pellegrino menyebut bahwa kebajikan seperti compassion
(belas kasih), integrity (kejujuran moral), fidelity
(kesetiaan terhadap pasien), dan prudence (kebijaksanaan praktis)
merupakan inti moral profesi kedokteran.¹²
Dokter yang beretika
bukan hanya yang mematuhi prosedur, melainkan yang memiliki moral
character yang terbentuk melalui refleksi dan pengalaman.¹³ Dengan
demikian, profesi medis bersifat vocational — suatu panggilan untuk
melayani kehidupan, bukan sekadar pekerjaan untuk memperoleh penghidupan.¹⁴
5.3.      
Konflik Nilai dan Dilema Moral dalam
Praktik Medis
Dalam kenyataannya,
tindakan medis sering menghadirkan konflik antara prinsip-prinsip moral,
misalnya antara beneficence dan autonomy
ketika pasien menolak terapi yang secara klinis menguntungkan.¹⁵ Dilema juga
muncul antara justice dan non-maleficence
dalam kondisi keterbatasan sumber daya kesehatan.¹⁶
Pemecahan konflik
nilai memerlukan pendekatan balance of principles dan contextual
ethics, yakni mempertimbangkan situasi konkret tanpa mengorbankan
dasar moral.¹⁷ Dengan cara ini, etika kedokteran tidak jatuh pada absolutisme,
melainkan berorientasi pada keseimbangan reflektif yang dinamis antara norma
dan realitas.¹⁸
5.4.      
Etika Kebajikan (Virtue Ethics) dan
Karakter Moral Dokter
Etika kebajikan
menempati posisi penting dalam aksiologi kedokteran karena menekankan
pembentukan karakter moral dokter. Aristoteles mengajarkan bahwa kebajikan
bukanlah tindakan spontan, melainkan hasil habituasi dan refleksi rasional yang
mengarahkan pada eudaimonia — kehidupan yang baik
dan bermakna.¹⁹
Dalam konteks medis,
virtue
ethics menegaskan bahwa dokter yang baik bukan hanya yang mematuhi
aturan, tetapi yang memiliki disposisi moral yang benar dalam menghadapi
penderitaan pasien.²⁰ Karakter moral seperti empati, kesabaran, dan kerendahan
hati memungkinkan dokter bertindak bijaksana meskipun prinsip etika tampak
bertentangan.²¹
5.5.      
Kemanusiaan sebagai Nilai Tertinggi
Akhirnya, seluruh
sistem nilai dalam etika kedokteran berpuncak pada penghormatan terhadap
martabat manusia (human dignity).²² Nilai ini
bersifat transenden dan menjadi fondasi dari semua prinsip moral lain.
Kedokteran yang kehilangan orientasi pada martabat manusia akan terjatuh ke
dalam teknokrasi yang tidak bermoral.²³ Karena itu, aksiologi etika kedokteran
menuntut integrasi antara ilmu pengetahuan, kebajikan, dan nilai-nilai
kemanusiaan sebagai satu kesatuan praksis moral.²⁴
Footnotes
[1]               
Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine Reborn: A
Pellegrino Reader, ed. H. Tristram Engelhardt Jr. and Fabrice Jotterand
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2008), 17–19.
[2]               
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 13–15.
[3]               
Paul Ramsey, The Patient as Person: Explorations in Medical Ethics
(New Haven: Yale University Press, 1970), 30–33.
[4]               
Eric J. Cassell, The Nature of Suffering and the Goals of Medicine
(New York: Oxford University Press, 1991), 22–24.
[5]               
Hippocrates, The Oath and Other Medical Writings, trans. by J.
Chadwick and W. N. Mann (London: Penguin Classics, 1950), 67.
[6]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 101–103.
[7]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. by Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 41–42.
[8]               
Ruth R. Faden and Tom L. Beauchamp, A History and Theory of
Informed Consent (New York: Oxford University Press, 1986), 78–81.
[9]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 175–177.
[10]            
Norman Daniels, Just Health Care (Cambridge: Cambridge
University Press, 1985), 33–36.
[11]            
Paul Farmer, Pathologies of Power: Health, Human Rights, and the
New War on the Poor (Berkeley: University of California Press, 2003),
21–23.
[12]            
Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Virtues in Medical
Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 4–6.
[13]            
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in
Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press,
1986), 94–96.
[14]            
Daniel Callahan, What Kind of Life: The Limits of Medical Progress
(New York: Simon & Schuster, 1990), 27–29.
[15]            
Albert R. Jonsen, “Casuistry and Clinical Ethics,” Theoretical
Medicine 12, no. 4 (1991): 295–301.
[16]            
H. Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of Bioethics, 2nd
ed. (New York: Oxford University Press, 1996), 52–54.
[17]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 50–52.
[18]            
Beauchamp and Childress, Principles of Biomedical Ethics,
20–21.
[19]            
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. by Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1103a15–20.
[20]            
Pellegrino and Thomasma, The Virtues in Medical Practice, 7–9.
[21]            
Edmund D. Pellegrino, “Character Formation in Medicine: Reflections on
Virtue Theory,” Theoretical Medicine and Bioethics 17, no. 1 (1996):
33–35.
[22]            
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic
(New York: Continuum, 1993), 82–84.
[23]            
Ivan Illich, Medical Nemesis: The Expropriation of Health (New
York: Pantheon Books, 1976), 45–47.
[24]            
Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of Christian Bioethics
(Lisse: Swets & Zeitlinger, 2000), 43–46.
6.          
Dimensi
Sosial, Politik, dan Hukum Etika Kedokteran
Etika kedokteran tidak dapat dipahami secara terisolasi
dari struktur sosial, sistem politik, dan kerangka hukum yang mengaturnya.
Sebagai profesi yang berinteraksi langsung dengan kehidupan manusia, kedokteran
beroperasi dalam ruang sosial yang sarat dengan relasi kekuasaan, kepentingan
ekonomi, dan kebijakan publik. Dimensi sosial, politik, dan hukum dalam etika
kedokteran berfungsi untuk memastikan bahwa praktik medis tidak hanya mengikuti
kode moral pribadi, tetapi juga memenuhi tanggung jawab sosial dan keadilan
publik.¹
6.1.      
Etika Profesi dalam Sistem Sosial
dan Kesehatan Publik
Dalam tataran sosial, profesi kedokteran merupakan
bagian dari sistem pelayanan publik yang lebih luas. Oleh karena itu, tindakan
medis tidak hanya memiliki implikasi individual, tetapi juga sosial dan
struktural.² Seorang dokter tidak hanya berurusan dengan tubuh pasien, tetapi
juga dengan struktur masyarakat yang menentukan siapa yang mendapatkan
perawatan dan siapa yang tidak.³
Persoalan seperti kemiskinan, ketimpangan akses
terhadap layanan kesehatan, dan diskriminasi gender atau etnis menjadi masalah
etika sosial dalam kedokteran.⁴ Etika kedokteran yang humanistik menuntut
kesadaran sosial terhadap kondisi ini: bahwa tanggung jawab moral dokter tidak
berakhir di ruang praktik, tetapi meluas hingga ke perjuangan untuk sistem
kesehatan yang lebih adil.⁵
Dalam konteks ini, teori keadilan sosial John Rawls
relevan untuk menjelaskan prinsip justice as fairness — bahwa kebijakan
kesehatan harus diatur sedemikian rupa agar memberi manfaat terbesar bagi
mereka yang paling kurang beruntung.⁶ Etika kedokteran dengan demikian
mengandung dimensi advokatif, yaitu peran dokter sebagai agen perubahan sosial
yang memperjuangkan akses kesehatan universal.⁷
6.2.      
Politik Kesehatan dan Etika
Kekuasaan Medis
Dimensi politik etika kedokteran mencakup hubungan
antara profesi medis, negara, dan institusi ekonomi. Michel Foucault
mengungkapkan bahwa praktik medis modern tidak lepas dari dinamika kekuasaan (biopower)
yang mengatur tubuh manusia dan populasi.⁸ Melalui regulasi, statistik, dan
kebijakan kesehatan publik, negara mengontrol kehidupan warga dalam kerangka “politik
biologis” (biopolitics).
Dalam konteks ini, etika kedokteran harus waspada
terhadap kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan medis — ketika otoritas ilmiah
digunakan untuk membenarkan praktik diskriminatif, eugenik, atau kepentingan
komersial.⁹ Kapitalisasi industri farmasi dan privatisasi rumah sakit,
misalnya, sering menimbulkan konflik antara nilai moral pelayanan dan logika
pasar.¹⁰
Seorang dokter yang beretika harus mampu menjaga integritas
profesional di tengah tekanan politik dan ekonomi.¹¹ Etika profesional
bukan hanya ketaatan terhadap kode etik, tetapi juga bentuk resistensi moral
terhadap sistem yang mereduksi kesehatan menjadi komoditas.¹²
6.3.      
Dimensi Hukum: Kode Etik, Hak Pasien,
dan Keadilan Medis
Dimensi hukum dalam etika kedokteran berfungsi
untuk menjembatani prinsip moral dengan norma positif yang mengatur
hubungan antara dokter, pasien, dan masyarakat.¹³ Di Indonesia, kerangka hukum
ini diatur melalui Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI),
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, serta berbagai
regulasi terkait hak pasien dan tanggung jawab tenaga medis.¹⁴
Prinsip dasar yang diatur hukum adalah non-maleficence
dan autonomy: setiap tindakan medis harus berdasarkan persetujuan pasien
(informed consent) yang diberikan secara bebas dan sadar.¹⁵ Pelanggaran
terhadap prinsip ini tidak hanya merupakan kesalahan moral, tetapi juga delik
hukum. Selain itu, hukum juga menjamin hak pasien atas kerahasiaan medis,
keselamatan pelayanan, dan perlakuan tanpa diskriminasi.¹⁶
Namun, hukum medis tidak dapat menggantikan etika.
Hukum bersifat minimalis — ia mengatur batas-batas perilaku, sedangkan etika
menuntut kebaikan yang lebih tinggi.¹⁷ Oleh karena itu, dalam praktik
kedokteran yang ideal, hukum dan etika harus bersinergi: hukum sebagai kerangka
eksternal, etika sebagai hati nurani internal profesi.¹⁸
6.4.      
Etika Distribusi dan Keadilan Sumber
Daya Kesehatan
Isu distribusi sumber daya medis, seperti
ketersediaan obat, alat kesehatan, atau pelayanan rumah sakit, menimbulkan
persoalan etika yang bersifat sosial dan politik. Dalam situasi krisis —
misalnya pandemi COVID-19 — muncul dilema etis tentang prioritas: siapa yang
lebih layak mendapatkan ventilator atau vaksin lebih dahulu.¹⁹
Prinsip justice menuntut agar keputusan
semacam itu didasarkan pada pertimbangan moral yang objektif dan transparan,
bukan pada status sosial, ekonomi, atau kekuasaan.²⁰ Etika kedokteran di sini
menjadi bagian dari keadilan distributif (distributive justice) sebagaimana
dirumuskan Aristoteles, yaitu memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
haknya berdasarkan proporsionalitas dan kebutuhan.²¹
Dalam skala global, masalah ini berlanjut pada
kesenjangan antara negara kaya dan miskin dalam akses kesehatan.²² Etika
kedokteran kontemporer menuntut solidaritas lintas batas sebagai wujud tanggung
jawab kemanusiaan universal terhadap penderitaan global.²³
6.5.      
Integrasi Etika, Politik, dan Hukum
Menuju Kedokteran yang Berkeadilan
Akhirnya, dimensi sosial, politik, dan hukum etika
kedokteran harus dipandang sebagai satu kesatuan sistem moral yang
terintegrasi. Etika tanpa hukum berisiko menjadi idealisme tanpa daya,
sedangkan hukum tanpa etika mudah menjadi instrumen kekuasaan yang kaku.²⁴
Politik tanpa moral akan melahirkan kebijakan yang tidak manusiawi, sementara
moral tanpa struktur politik yang adil akan kehilangan efektivitas sosialnya.²⁵
Kedokteran yang berkeadilan menuntut keseimbangan
di antara ketiganya: etika sebagai jiwa, hukum sebagai tubuh, dan politik
sebagai sarana sosial.²⁶ Dengan cara inilah profesi medis dapat berfungsi
sebagai penjaga martabat manusia di tengah sistem sosial yang kompleks.
Footnotes
[1]               
Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine
Reborn: A Pellegrino Reader, ed. H. Tristram Engelhardt Jr. and Fabrice
Jotterand (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2008), 77–79.
[2]               
Ivan Illich, Medical Nemesis: The Expropriation
of Health (New York: Pantheon Books, 1976), 3–6.
[3]               
Paul Farmer, Pathologies of Power: Health, Human
Rights, and the New War on the Poor (Berkeley: University of California
Press, 2003), 27–30.
[4]               
Margaret Whitehead, “The Concepts and Principles of
Equity and Health,” World Health Organization Discussion Paper (Geneva:
WHO, 1991), 2–4.
[5]               
Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The
Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993),
13–15.
[6]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 65–68.
[7]               
Norman Daniels, Just Health Care (Cambridge:
Cambridge University Press, 1985), 47–49.
[8]               
Michel Foucault, The Birth of Biopolitics:
Lectures at the Collège de France, 1978–1979, trans. by Graham Burchell
(New York: Palgrave Macmillan, 2008), 19–22.
[9]               
Paul Rabinow and Nikolas Rose, “Biopower Today,” BioSocieties
1, no. 2 (2006): 195–217.
[10]            
H. Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of
Bioethics, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1996), 51–53.
[11]            
Daniel Callahan, What Kind of Life: The Limits
of Medical Progress (New York: Simon & Schuster, 1990), 45–47.
[12]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 110–112.
[13]            
E.G. Chazan, “Legal Dimensions of Medical Ethics,” Journal
of Law, Medicine & Ethics 31, no. 4 (2003): 524–528.
[14]            
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), Pedoman
Etika Profesi Dokter Indonesia (Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia, 2012),
8–10.
[15]            
Ruth R. Faden and Tom L. Beauchamp, A History
and Theory of Informed Consent (New York: Oxford University Press, 1986),
92–95.
[16]            
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit, Bab III, Pasal 29.
[17]            
H. Koesoemadinata, Etika Profesi Kedokteran dan
Kemanusiaan dalam Perspektif Pancasila (Yogyakarta: Deepublish, 2019),
61–63.
[18]            
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019),
25–27.
[19]            
Julian Savulescu et al., “Fair Allocation of Scarce
Medical Resources in the Time of COVID-19,” The Lancet 395, no. 10231
(2020): 1253–1255.
[20]            
Norman Daniels, “Justice and Health Care,” The
American Journal of Bioethics 1, no. 2 (2001): 2–16.
[21]            
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. by
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1131a20–25.
[22]            
World Health Organization, Global Report on
Health Equity (Geneva: WHO, 2019), 4–6.
[23]            
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a
New World Ethic (New York: Continuum, 1993), 82–84.
[24]            
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen and Unwin, 1968), 95–97.
[25]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
32–35.
[26]            
Edmund D. Pellegrino, “The Moral Center of
Medicine: The Doctor as Moral Agent,” Kennedy Institute of Ethics Journal
3, no. 1 (1993): 3–6.
7.          
Kritik
terhadap Etika Kedokteran
Etika kedokteran, meskipun berakar pada idealisme
moral untuk melindungi kehidupan manusia, tidak luput dari kritik. Seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan, globalisasi, dan dinamika sosial, banyak
pemikir menilai bahwa etika kedokteran konvensional masih bersifat
paternalistik, euro-sentris, dan kurang sensitif terhadap konteks sosial,
politik, serta ekonomi.¹ Kritik-kritik ini muncul dari berbagai aliran
pemikiran — humanistik, feminis, Marxis, postmodern, hingga ekokritik — yang
berupaya mengoreksi reduksionisme moral dalam tradisi medis modern.
7.1.      
Kritik Humanistik: Reduksi Pasien
menjadi Objek Biologis
Kritik humanistik berangkat dari pandangan bahwa
kedokteran modern terlalu menekankan dimensi biologis dan teknis, sehingga
cenderung mereduksi manusia menjadi “objek pengobatan.”² Dalam paradigma
biomedis positivistik, pasien sering diperlakukan sebagai “kasus klinis”
yang harus disembuhkan, bukan sebagai pribadi dengan nilai-nilai eksistensial
dan spiritual.³
Ivan Illich dalam Medical Nemesis menyoroti
bahwa sistem medis modern telah menciptakan “iatrogenesis sosial” —
penderitaan yang disebabkan oleh intervensi medis itu sendiri.⁴ Bagi Illich,
kedokteran modern telah kehilangan makna moralnya karena menggantikan peran
solidaritas manusia dengan birokrasi teknologi kesehatan.⁵
Kritik ini menegaskan pentingnya mengembalikan
dimensi kemanusiaan dalam praktik medis: melihat pasien bukan hanya sebagai
tubuh yang sakit, tetapi sebagai manusia yang menderita, berharap, dan mencari
makna.⁶
7.2.      
Kritik Feminis: Bias Gender dalam
Struktur Etika dan Praktik Medis
Etika kedokteran tradisional juga dikritik oleh
kalangan feminis karena dinilai mereproduksi bias patriarkal dalam teori dan
praktiknya.⁷ Susan Sherwin berargumen bahwa struktur relasi antara dokter dan
pasien sering mencerminkan relasi kuasa maskulin yang menempatkan pasien —
terutama perempuan — sebagai subjek pasif yang harus tunduk pada otoritas
medis.⁸
Selain itu, penelitian medis sering mengabaikan
perbedaan biologis dan sosial antara laki-laki dan perempuan, sehingga
menghasilkan standar kesehatan yang tidak inklusif.⁹ Dalam konteks ini, etika
kedokteran yang berkeadilan gender menuntut reinterpretasi prinsip autonomy
bukan sebagai individualisme rasional, tetapi sebagai otonomi yang relasional —
berbasis empati, konteks, dan jaringan sosial.¹⁰
Dengan demikian, etika kedokteran harus bergerak
dari paradigma hierarkis menuju paradigma partisipatif yang menghargai
pengalaman perempuan, perawatan (care), dan hubungan timbal balik.¹¹
7.3.      
Kritik Marxis: Komodifikasi
Kesehatan dan Kapitalisasi Tubuh
Dari perspektif Marxian, etika kedokteran modern
tidak bisa dilepaskan dari logika kapitalisme yang mengubah kesehatan menjadi
komoditas dan tubuh manusia menjadi objek ekonomi.¹² Sistem industri farmasi,
rumah sakit swasta, dan asuransi kesehatan global sering kali menempatkan
keuntungan finansial di atas nilai kemanusiaan.¹³
David Harvey menilai bahwa kedokteran modern adalah
bagian dari “biopolitik kapitalis” yang memproduksi ketergantungan konsumtif
terhadap sistem medis.¹⁴ Dalam situasi ini, etika kedokteran tradisional yang
menekankan moralitas individual dokter menjadi tidak memadai untuk mengatasi
ketidakadilan struktural yang dihasilkan oleh sistem ekonomi.¹⁵
Kritik ini mengajak refleksi bahwa moralitas
kedokteran tidak boleh berhenti pada hubungan interpersonal, tetapi juga harus
mencakup kritik sosial terhadap sistem ekonomi yang memengaruhi praktik
medis.¹⁶
7.4.      
Kritik Postmodern: Relativisme Nilai
dan Krisis Legitimasi Etika
Dalam konteks postmodern, etika kedokteran dikritik
karena masih berpijak pada klaim universalitas moral yang bersifat hegemonik.¹⁷
Jean-François Lyotard menyebut bahwa “narasi besar” tentang kemanusiaan
dan kebaikan sering kali digunakan untuk menjustifikasi struktur kekuasaan
dalam sains dan profesi.¹⁸
Etika kedokteran modern, dengan prinsip-prinsip
universalnya, dianggap mengabaikan pluralitas nilai-nilai budaya dan
spiritual.¹⁹ Dalam praktik global, penerapan prinsip autonomy atau justice
tidak selalu kompatibel dengan norma masyarakat non-Barat yang lebih menekankan
kolektivitas dan harmoni sosial.²⁰
Oleh karena itu, etika kedokteran kontemporer harus
mengakui pluralitas epistemik dan membuka ruang bagi dialog lintas budaya
(intercultural bioethics) agar tidak terjebak pada etnosentrisme moral.²¹
7.5.      
Kritik Teknologis: Krisis Moral
dalam Era Bioteknologi dan AI
Kemajuan bioteknologi dan kecerdasan buatan (AI)
menimbulkan dilema moral baru yang menantang paradigma etika kedokteran
klasik.²² Isu seperti rekayasa genetik, cloning, euthanasia, hingga
penggunaan algoritma dalam diagnosis medis memperumit batas antara manusia dan
mesin, kehidupan dan desain.²³
Hans Jonas mengingatkan bahwa teknologi medis
modern menciptakan “tanggung jawab baru” (new imperative of
responsibility), di mana manusia harus berhati-hati agar kekuasaannya
terhadap kehidupan tidak melampaui batas moral.²⁴ Jika etika kedokteran tidak
beradaptasi dengan perubahan ini, maka ia akan kehilangan relevansi dalam
menghadapi persoalan moral di era pascamanusia (post-human condition).²⁵
Kesimpulan
Kritik: Kebutuhan akan Paradigma Etika Kedokteran Humanistik-Kontekstual
Kritik-kritik tersebut menunjukkan bahwa etika
kedokteran harus bergerak dari paradigma normatif universal menuju paradigma
kontekstual dan humanistik.²⁶ Etika medis masa depan perlu memperhatikan
konteks sosial, relasi kekuasaan, dan pluralitas nilai budaya tanpa kehilangan
komitmen terhadap martabat manusia.²⁷ Dengan demikian, kritik bukanlah
penolakan terhadap etika kedokteran, melainkan upaya untuk memperdalam dan
memanusiakannya kembali.²⁸
Footnotes
[1]               
Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of Bioethics,
2nd ed. (New York: Oxford University Press, 1996), 13–16.
[2]               
Eric J. Cassell, The Nature of Suffering and the
Goals of Medicine (New York: Oxford University Press, 1991), 5–7.
[3]               
Drew Leder, The Absent Body (Chicago:
University of Chicago Press, 1990), 8–10.
[4]               
Ivan Illich, Medical Nemesis: The Expropriation
of Health (New York: Pantheon Books, 1976), 17–20.
[5]               
Illich, Medical Nemesis, 45–47.
[6]               
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 1959), 66–68.
[7]               
Susan Sherwin, No Longer Patient: Feminist
Ethics and Health Care (Philadelphia: Temple University Press, 1992),
12–15.
[8]               
Sherwin, No Longer Patient, 35–38.
[9]               
Anne Donchin, “Autonomy and Interdependence:
Quandaries in Genetic Decision-Making,” Women’s Studies Quarterly 29,
no. 1/2 (2001): 143–157.
[10]            
Carol Gilligan, In a Different Voice:
Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1982), 72–75.
[11]            
Joan Tronto, Moral Boundaries: A Political
Argument for an Ethic of Care (New York: Routledge, 1993), 126–129.
[12]            
Howard Waitzkin, The Second Sickness:
Contradictions of Capitalist Health Care (New York: Free Press, 1983),
22–25.
[13]            
Paul Farmer, Pathologies of Power: Health, Human
Rights, and the New War on the Poor (Berkeley: University of California
Press, 2003), 40–43.
[14]            
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 76–79.
[15]            
Norman Daniels, Just Health Care (Cambridge:
Cambridge University Press, 1985), 101–103.
[16]            
Engelhardt Jr., The Foundations of Bioethics,
50–52.
[17]            
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition:
A Report on Knowledge, trans. by Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 35–37.
[18]            
Lyotard, The Postmodern Condition, 41–42.
[19]            
H. Tristram Engelhardt Jr., Bioethics and Secular
Humanism: The Search for a Common Morality (Philadelphia: Trinity Press,
1991), 22–24.
[20]            
Darryl R.J. Macer, Bioethics Is Love of Life: An
Alternative Textbook (Christchurch: Eubios Ethics Institute, 1998), 59–61.
[21]            
Joseph Tham, Alberto García Gómez, and Ricardo
Casadesús, Intercultural and Interreligious Dialogue on Bioethics (New
York: Springer, 2017), 14–17.
[22]            
Nick Bostrom, “Ethical Issues in Advanced
Artificial Intelligence,” in Cognitive, Emotive and Ethical Aspects of
Decision Making in Humans and in Artificial Intelligence, ed. I. Smit et
al. (Vol. 2, Windsor: International Institute of Advanced Studies in Systems
Research and Cybernetics, 2003), 12–15.
[23]            
Julian Savulescu, “The Ethics of Cloning,” Reproductive
Health Matters 10, no. 20 (2002): 102–107.
[24]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 123–126.
[25]            
Donna Haraway, Simians, Cyborgs, and Women: The
Reinvention of Nature (New York: Routledge, 1991), 152–155.
[26]            
Edmund D. Pellegrino, “Toward a Richer Bioethics: A
Conclusion,” The Journal of Medicine and Philosophy 32, no. 6 (2007):
655–657.
[27]            
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a
New World Ethic (New York: Continuum, 1993), 92–94.
[28]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. by
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 172–175.
8.          
Relevansi
Kontemporer Etika Kedokteran
Etika kedokteran kontemporer menghadapi tantangan
yang jauh lebih kompleks dibandingkan masa klasik. Perkembangan teknologi
medis, globalisasi kesehatan, perubahan nilai sosial, serta munculnya krisis
kemanusiaan — dari pandemi hingga ketimpangan akses — menuntut pembacaan ulang
terhadap prinsip-prinsip moral dasar kedokteran.¹ Dalam konteks ini, etika
kedokteran bukan hanya refleksi normatif, tetapi juga instrumen praksis untuk
menavigasi dunia medis yang berubah cepat dan sering kali ambivalen secara
moral.
8.1.      
Etika Kedokteran dalam Krisis Global
dan Pandemi
Pandemi COVID-19 menyingkap ketegangan antara
tanggung jawab moral individu dan kewajiban sosial dalam pelayanan kesehatan.²
Dokter dihadapkan pada dilema antara menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa dan
menjaga keselamatan diri, sementara negara harus menyeimbangkan kebijakan publik
antara kebebasan individu dan keamanan kolektif.³
Situasi ini menegaskan pentingnya public health
ethics — cabang etika kedokteran yang menekankan keseimbangan antara hak
individu dan kebaikan bersama (common good).⁴ Prinsip solidaritas dan
tanggung jawab sosial menjadi nilai kunci yang menuntun praktik kedokteran di
tengah bencana global.⁵ Seperti dikatakan Paul Farmer, “tidak ada etika
medis yang benar-benar bermoral tanpa keadilan sosial.”⁶
8.2.      
Isu Euthanasia, Aborsi, dan Hak
untuk Mati
Perdebatan seputar euthanasia, aborsi, dan hak
untuk mati mencerminkan ketegangan antara nilai kehidupan (sanctity of life)
dan otonomi pribadi (autonomy of choice).⁷ Etika kedokteran modern
ditantang untuk menafsirkan kembali makna “kehidupan yang bermartabat” —
apakah itu berarti mempertahankan kehidupan biologis apa pun caranya, atau
menghormati keputusan individu untuk mengakhiri penderitaan.⁸
Peter Singer, dalam kerangka utilitarianisme,
berpendapat bahwa tindakan medis yang meniadakan penderitaan berat dapat
dibenarkan secara moral bila memaksimalkan kesejahteraan dan mengurangi rasa
sakit.⁹ Namun, Edmund Pellegrino menolak pendekatan ini karena mengabaikan
martabat intrinsik manusia sebagai makhluk bermoral, bukan sekadar entitas yang
dapat diukur manfaatnya.¹⁰
Perdebatan ini menunjukkan bahwa etika kedokteran
tidak dapat disederhanakan dalam kalkulasi utilitas; ia menuntut pertimbangan
filosofis mendalam tentang makna kehidupan, kebebasan, dan penderitaan.¹¹
8.3.      
Etika Digital dan Kerahasiaan Data
Pasien
Kemajuan teknologi informasi dan telemedicine
membawa tantangan baru bagi etika kedokteran.¹² Digitalisasi catatan medis,
penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam diagnosis, serta penyimpanan data
pasien dalam sistem daring menimbulkan risiko terhadap privasi dan keamanan
informasi.¹³
Prinsip kerahasiaan (confidentiality) kini
menghadapi dimensi digital yang menuntut pembaruan etis dan hukum.¹⁴ Menurut
Luciano Floridi, dunia digital menciptakan infosphere — ruang moral baru
tempat manusia, mesin, dan data saling berinteraksi.¹⁵ Dalam konteks ini,
dokter harus memahami bahwa melindungi data pasien sama pentingnya dengan
melindungi tubuh pasien.¹⁶
Selain itu, penggunaan AI dalam pengambilan
keputusan medis menimbulkan pertanyaan epistemologis dan aksiologis: siapa yang
bertanggung jawab secara moral jika keputusan algoritmik merugikan pasien?¹⁷
Maka, integrasi teknologi dalam kedokteran menuntut ethics of responsibility
sebagaimana dirumuskan oleh Hans Jonas — bahwa kekuasaan baru harus disertai
tanggung jawab baru terhadap manusia dan masa depannya.¹⁸
8.4.      
Keadilan Kesehatan Global dan
Solidaritas Kemanusiaan
Etika kedokteran kontemporer tidak lagi terbatas
pada interaksi antara dokter dan pasien, tetapi juga meluas ke dimensi
global: ketimpangan akses terhadap obat, vaksin, tenaga medis, dan
teknologi kesehatan antara negara kaya dan miskin.¹⁹
Laporan WHO menunjukkan bahwa 80% sumber daya medis
dunia digunakan oleh hanya 20% populasi global.²⁰ Ketimpangan ini bukan sekadar
masalah ekonomi, tetapi juga persoalan etika — karena kesehatan merupakan hak
asasi manusia, bukan privilese sosial.²¹
Etika kedokteran global (global health ethics)
menuntut solidaritas lintas batas dan tanggung jawab kolektif untuk
memperjuangkan keadilan kesehatan.²² Hans Küng menyebut hal ini sebagai bagian
dari “etika global” (global responsibility) — bahwa tanggung jawab moral
manusia tidak mengenal batas geografis atau rasial.²³
8.5.      
Bioetika Lingkungan dan Tanggung
Jawab Ekologis Kedokteran
Krisis iklim dan degradasi lingkungan menambah
lapisan baru dalam refleksi etika kedokteran.²⁴ Peningkatan polusi, penyakit
akibat lingkungan, dan migrasi iklim menuntut kesadaran bahwa kesehatan manusia
tidak dapat dipisahkan dari kesehatan planet (One Health).²⁵
Etika kedokteran kini dihadapkan pada kewajiban ekologis:
bahwa praktik medis harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan, dari
limbah farmasi hingga emisi karbon rumah sakit.²⁶ Etika ekologis menegaskan
bahwa “menyembuhkan manusia” tidak boleh dilakukan dengan “melukai
bumi.”²⁷
Dengan demikian, integrasi antara bioetika dan
ekologi menjadi bagian penting dari kedokteran masa depan — suatu bentuk “etika
kedokteran planetaris” yang menempatkan manusia dalam jaringan kehidupan
yang saling bergantung.²⁸
8.6.      
Pendidikan dan Transformasi Etika
Profesional di Era Baru
Relevansi etika kedokteran juga tampak dalam bidang
pendidikan profesi medis.²⁹ Dalam era digital dan pasar bebas, risiko
dehumanisasi profesi semakin besar, karena efisiensi sering kali menggantikan
empati.³⁰ Oleh karena itu, pendidikan kedokteran perlu mengintegrasikan
kurikulum etika yang tidak hanya normatif, tetapi juga dialogis, reflektif, dan
kontekstual.³¹
Tujuannya bukan hanya mencetak dokter yang
kompeten, tetapi juga practitioners of virtue — manusia yang sadar akan
makna moral pekerjaannya.³² Seperti ditegaskan Pellegrino, “kedokteran
adalah profesi yang tidak akan pernah netral; ia harus berpihak pada kehidupan.”³³
Sintesis:
Etika Kedokteran sebagai Kompas Moral Peradaban Teknologis
Dalam dunia yang semakin terotomatisasi dan terfragmentasi
secara moral, etika kedokteran berfungsi sebagai kompas moral peradaban.³⁴
Ia mengingatkan bahwa kemajuan teknologi tanpa kebijaksanaan moral akan
mengarah pada krisis kemanusiaan.³⁵ Relevansi kontemporernya tidak hanya
terletak pada penerapan prinsip, tetapi juga pada kemampuannya menjaga martabat
manusia di tengah perubahan dunia.³⁶
Footnotes
[1]               
Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine
Reborn: A Pellegrino Reader, ed. H. Tristram Engelhardt Jr. and Fabrice
Jotterand (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2008), 91–93.
[2]               
Julian Savulescu et al., “Fair Allocation of Scarce
Medical Resources in the Time of COVID-19,” The Lancet 395, no. 10231
(2020): 1253–1255.
[3]               
Daniel Callahan, What Kind of Life: The Limits
of Medical Progress (New York: Simon & Schuster, 1990), 53–55.
[4]               
Angus Dawson and Marcel Verweij, Ethics,
Prevention, and Public Health (Oxford: Oxford University Press, 2007),
14–17.
[5]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 123–126.
[6]               
Paul Farmer, Pathologies of Power: Health, Human
Rights, and the New War on the Poor (Berkeley: University of California
Press, 2003), 38–40.
[7]               
James Rachels, The End of Life: Euthanasia and
Morality (Oxford: Oxford University Press, 1986), 1–3.
[8]               
Leon R. Kass, “Neither for Love nor Money: Why
Doctors Must Not Kill,” The Public Interest 74 (1984): 25–46.
[9]               
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 94–97.
[10]            
Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The
Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993),
22–24.
[11]            
Paul Ramsey, The Patient as Person: Explorations
in Medical Ethics (New Haven: Yale University Press, 1970), 31–33.
[12]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 56–59.
[13]            
Brent Mittelstadt et al., “The Ethics of
Algorithms: Mapping the Debate,” Big Data & Society 3, no. 2 (2016):
1–21.
[14]            
Ruth R. Faden and Tom L. Beauchamp, A History
and Theory of Informed Consent (New York: Oxford University Press, 1986),
103–105.
[15]            
Floridi, The Ethics of Information, 63–65.
[16]            
Beauchamp and Childress, Principles of
Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019),
25–27.
[17]            
Virginia Dignum, Responsible Artificial
Intelligence: How to Develop and Use AI in a Responsible Way (Cham:
Springer, 2019), 42–44.
[18]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility,
127–130.
[19]            
Norman Daniels, Just Health Care (Cambridge:
Cambridge University Press, 1985), 99–101.
[20]            
World Health Organization, Global Report on
Health Equity (Geneva: WHO, 2019), 4–6.
[21]            
Paul Hunt, “The Human Right to the Highest
Attainable Standard of Health,” Health and Human Rights 12, no. 1
(2010): 13–14.
[22]            
Angus Dawson, “Global Health and Justice: The Need
for a Global Bioethics,” Public Health Ethics 8, no. 1 (2015): 1–2.
[23]            
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a
New World Ethic (New York: Continuum, 1993), 92–94.
[24]            
Kristin Shrader-Frechette, Environmental
Justice: Creating Equality, Reclaiming Democracy (Oxford: Oxford University
Press, 2002), 51–54.
[25]            
Samuel S. Myers and Howard Frumkin, Planetary
Health: Protecting Nature to Protect Ourselves (Washington, DC: Island Press,
2020), 13–15.
[26]            
Andy Haines and Kristie L. Ebi, “The Imperative for
Climate Action to Protect Health,” New England Journal of Medicine 380,
no. 3 (2019): 263–273.
[27]            
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen and Unwin, 1968), 98–101.
[28]            
Edmund D. Pellegrino, “Toward a Planetary
Bioethics,” The Journal of Medicine and Philosophy 32, no. 6 (2007):
657–659.
[29]            
David C. Thomasma, “Moral Education in Medical
Schools: Reflections on the Hidden Curriculum,” Journal of Medical Ethics
15, no. 2 (1989): 69–71.
[30]            
Ivan Illich, Medical Nemesis: The Expropriation
of Health (New York: Pantheon Books, 1976), 45–47.
[31]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2007), 175–177.
[32]            
Pellegrino and Thomasma, The Virtues in Medical
Practice, 7–9.
[33]            
Edmund D. Pellegrino, “The Moral Center of
Medicine: The Doctor as Moral Agent,” Kennedy Institute of Ethics Journal
3, no. 1 (1993): 5–6.
[34]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility,
134–137.
[35]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
91–94.
[36]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. by
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 173–175.
9.          
Sintesis
Filosofis: Menuju Kedokteran Humanistik
Kedokteran, pada hakikatnya, adalah seni dan ilmu
untuk melayani kehidupan manusia. Namun dalam arus modernitas yang ditandai
oleh rasionalisasi, industrialisasi, dan teknologi, makna humanistik profesi
medis sering tergerus oleh logika efisiensi dan komersialisasi.¹ Karena itu,
diperlukan sintesis filosofis yang mampu mengembalikan kedokteran ke
akar moral dan eksistensialnya: cura personalis — merawat manusia secara
utuh sebagai makhluk jasmani, rohani, sosial, dan spiritual.²
9.1.      
Integrasi antara Sains dan Humaniora
dalam Kedokteran
Sintesis pertama menuju kedokteran humanistik
adalah rekonsiliasi antara ilmu pengetahuan (sains) dan hikmat
kemanusiaan (humaniora).³ Kedokteran modern cenderung menekankan aspek
empiris dan objektif, sementara dimensi kemanusiaan — seperti penderitaan,
makna, dan relasi — sering kali terpinggirkan.
Edmund Pellegrino menyebut kedokteran sebagai “a
moral enterprise grounded in the good of the patient”, yaitu suatu ilmu
yang berakar pada kebaikan manusia, bukan sekadar pengetahuan tentang tubuh.⁴
Dengan demikian, sains medis membutuhkan sentuhan hermeneutik — kemampuan
menafsirkan pengalaman manusia yang sakit dan menderita.⁵
Maurice Merleau-Ponty mengingatkan bahwa tubuh
bukanlah mesin biologis, melainkan cara manusia “mengada di dunia.”⁶
Maka, diagnosis sejati tidak hanya mengidentifikasi penyakit, tetapi juga
memahami makna eksistensial di baliknya. Integrasi ini menuntut agar pendidikan
kedokteran menggabungkan disiplin etika, filsafat, seni, dan psikologi
kemanusiaan dalam pembentukan dokter.⁷
9.2.      
Hubungan Dokter–Pasien sebagai
Relasi Eksistensial
Hubungan antara dokter dan pasien bukan sekadar
interaksi profesional, melainkan perjumpaan antara dua eksistensi yang saling
terikat oleh kepercayaan dan empati.⁸ Dalam perjumpaan itu, dokter tidak
sekadar “menyembuhkan tubuh,” tetapi juga “menyertai penderitaan.”
Emmanuel Levinas menyebut pertemuan dengan wajah “yang lain” sebagai
panggilan etis yang tidak dapat dihindari — wajah pasien yang menderita
memanggil tanggung jawab moral tanpa syarat.⁹
Relasi ini memulihkan makna spiritual profesi
medis. Penderitaan pasien menyingkapkan kedalaman kemanusiaan yang menuntut
bukan hanya technical competence, tetapi juga moral presence —
kehadiran dokter sebagai sesama manusia.¹⁰ Dengan demikian, relasi
dokter-pasien yang humanistik menegaskan bahwa penyembuhan adalah tindakan
dialogis, bukan transaksional.¹¹
9.3.      
Kedokteran sebagai Praktik Etika
Kebajikan (Virtue Ethics)
Kedokteran humanistik menuntut kembalinya etika
kebajikan (virtue ethics) sebagai inti moral profesi medis.¹²
Aristoteles memahami kebajikan (aretē) sebagai disposisi moral yang
terbentuk melalui latihan dan refleksi rasional untuk mencapai kehidupan yang
baik (eudaimonia).¹³ Dalam konteks kedokteran, kebajikan seperti compassion,
prudence, honesty, dan justice menjadi fondasi moral yang
mengarahkan tindakan profesional.¹⁴
Edmund Pellegrino menegaskan bahwa virtue ethics
dalam kedokteran bukan sekadar etika perilaku, tetapi etika karakter.¹⁵ Seorang
dokter yang berintegritas bukan hanya mematuhi hukum, tetapi bertindak benar
karena ia menghayati nilai-nilai moral itu secara batiniah.¹⁶ Etika kebajikan
mengatasi keterbatasan etika prinsip karena menumbuhkan kesadaran reflektif
yang hidup dalam hati nurani, bukan sekadar teks hukum.¹⁷
9.4.      
Kedokteran sebagai Panggilan Moral
dan Pelayanan Kemanusiaan
Kedokteran humanistik melihat profesi dokter bukan
hanya sebagai pekerjaan (occupation), melainkan sebagai panggilan moral
(vocation).¹⁸ Di sini, to heal berarti to serve — merawat
kehidupan dengan penuh kasih dan kerendahan hati. Seorang dokter sejati bukan
hanya agen pengetahuan, tetapi pelayan martabat manusia.¹⁹
Dalam pandangan religius dan spiritual, penyembuhan
adalah bentuk partisipasi dalam tugas penciptaan dan pemulihan kehidupan.²⁰
Nilai-nilai seperti empati, pengorbanan, dan cinta kasih menjadi inti dari
praksis medis yang humanistik.²¹ Sebagaimana dinyatakan Viktor Frankl, “yang
dibutuhkan manusia bukan kehidupan tanpa penderitaan, tetapi makna dalam
penderitaan itu.”²²
Maka, kedokteran bukan hanya ilmu untuk
memperpanjang hidup, tetapi juga seni untuk memulihkan makna hidup — cura
animarum, penyembuhan jiwa.²³
9.5.      
Paradigma Kedokteran Humanistik di
Era Teknologis
Dalam dunia yang semakin didominasi oleh kecerdasan
buatan, robotika, dan algoritma medis, tantangan terbesar etika kedokteran
adalah menjaga “wajah manusia” dalam pelayanan kesehatan.²⁴ Teknologi
dapat mempercepat diagnosis, tetapi tidak dapat menggantikan empati dan
kehadiran manusia.²⁵
Kedokteran humanistik menuntut agar teknologi
menjadi alat bagi kemanusiaan, bukan sebaliknya.²⁶ Prinsip “teknologi dengan
belas kasih” (compassionate technology) harus menjadi pedoman etis
baru: teknologi digunakan sejauh ia meningkatkan kualitas hidup, bukan
menginstrumentalisasi manusia.²⁷
Dalam konteks ini, Hans Jonas mengajukan imperatif
tanggung jawab — bahwa dalam era kekuasaan teknologi, manusia harus
bertindak seolah masa depan kehidupan bergantung pada keputusan moralnya hari
ini.²⁸ Paradigma kedokteran humanistik dengan demikian menjadi kompas moral
untuk mengarahkan inovasi medis agar tetap berpihak pada martabat manusia.²⁹
9.6.      
Menuju Etika Kedokteran
Humanistik-Integral
Sintesis akhir dari seluruh refleksi ini mengarah pada
Etika Kedokteran Humanistik-Integral, yang menekankan tiga integrasi
utama:
·                    
Ontologis: manusia
dipahami sebagai kesatuan tubuh, jiwa, dan relasi sosial.
·                    
Epistemologis: pengetahuan
medis harus reflektif dan empatik.
·                    
Aksiologis: nilai
tertinggi kedokteran adalah martabat dan makna kehidupan.³⁰
Paradigma ini menuntun dunia medis keluar dari
krisis teknokrasi menuju kebijaksanaan praksis yang berpihak pada kehidupan.³¹
Kedokteran humanistik bukanlah nostalgia romantik, melainkan kebutuhan etis
masa depan: menjaga kemanusiaan di tengah kemajuan ilmu dan teknologi.³²
Footnotes
[1]               
Ivan Illich, Medical Nemesis: The Expropriation
of Health (New York: Pantheon Books, 1976), 3–5.
[2]               
Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine
Reborn: A Pellegrino Reader, ed. H. Tristram Engelhardt Jr. and Fabrice
Jotterand (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2008), 15–17.
[3]               
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. by
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 170–172.
[4]               
Pellegrino and David C. Thomasma, The Virtues in
Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 5–7.
[5]               
Eric J. Cassell, The Nature of Suffering and the
Goals of Medicine (New York: Oxford University Press, 1991), 28–30.
[6]               
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. by Colin Smith (London: Routledge, 1962), 75–78.
[7]               
David C. Thomasma, “Moral Education in Medical
Schools: Reflections on the Hidden Curriculum,” Journal of Medical Ethics
15, no. 2 (1989): 69–71.
[8]               
Paul Ramsey, The Patient as Person: Explorations
in Medical Ethics (New Haven: Yale University Press, 1970), 12–14.
[9]               
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. by Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 197–201.
[10]            
Pellegrino, The Philosophy of Medicine Reborn,
32–35.
[11]            
Edmund D. Pellegrino, “The Moral Center of
Medicine: The Doctor as Moral Agent,” Kennedy Institute of Ethics Journal
3, no. 1 (1993): 3–6.
[12]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2007), 175–177.
[13]            
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. by
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1103a15–20.
[14]            
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness:
Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1986), 94–96.
[15]            
Pellegrino and Thomasma, The Virtues in Medical
Practice, 8–9.
[16]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 119–121.
[17]            
Edmund D. Pellegrino, “Character Formation in
Medicine: Reflections on Virtue Theory,” Theoretical Medicine and Bioethics
17, no. 1 (1996): 33–35.
[18]            
Paul T. Schotsmans, “Medicine as a Vocation: A
Humanistic Perspective,” Medicine, Health Care and Philosophy 4, no. 3
(2001): 247–251.
[19]            
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 1959), 70–72.
[20]            
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen and Unwin, 1968), 100–103.
[21]            
Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, Helping
and Healing: Religious Commitment in Health Care (Washington, DC:
Georgetown University Press, 1997), 24–26.
[22]            
Frankl, Man’s Search for Meaning, 104–106.
[23]            
Thomasma, Moral Education in Medical Schools,
73–75.
[24]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 56–59.
[25]            
Virginia Dignum, Responsible Artificial
Intelligence: How to Develop and Use AI in a Responsible Way (Cham:
Springer, 2019), 42–44.
[26]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility,
123–126.
[27]            
Edmund D. Pellegrino, “Toward a Planetary
Bioethics,” The Journal of Medicine and Philosophy 32, no. 6 (2007):
657–659.
[28]            
Jonas, The Imperative of Responsibility,
128–130.
[29]            
Paul Ricoeur, Reflections on the Just,
trans. by David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 91–93.
[30]            
H. Koesoemadinata, Etika Profesi Kedokteran dan
Kemanusiaan dalam Perspektif Pancasila (Yogyakarta: Deepublish, 2019),
75–77.
[31]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
92–94.
[32]            
Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine
Reborn, 93–95.
10.       Kesimpulan
Etika kedokteran merupakan salah satu fondasi moral
paling penting dalam peradaban manusia, karena ia berurusan langsung dengan
makna kehidupan, penderitaan, dan kematian.¹ Sepanjang sejarahnya — dari sumpah
Hippokratik di Yunani kuno, etika religius pada Abad Pertengahan, hingga
bioetika modern — etika kedokteran selalu menjadi upaya manusia untuk menata
relasi moral antara pengetahuan, kekuasaan, dan kemanusiaan.² Dalam konteks
filosofis, etika kedokteran adalah refleksi eksistensial tentang bagaimana
manusia merawat sesamanya dengan kebenaran dan kasih.³
Secara ontologis, etika kedokteran menegaskan bahwa
manusia bukan sekadar tubuh biologis, tetapi makhluk multidimensional yang
mengandung nilai intrinsik dan martabat yang tidak dapat direduksi.⁴ Relasi
antara dokter dan pasien bukan hubungan fungsional, melainkan perjumpaan eksistensial
antara dua subjek moral yang saling terikat oleh kepercayaan dan tanggung
jawab.⁵ Dalam hal ini, kedokteran menjadi ruang etis di mana penderitaan
manusia dihadapi dengan empati dan kebijaksanaan praktis (phronesis).⁶
Secara epistemologis, pengetahuan medis bukanlah
pengetahuan yang netral, melainkan pengetahuan yang berorientasi pada
kebaikan.⁷ Ia menuntut sintesis antara rasionalitas ilmiah dan kebijaksanaan
moral.⁸ Pengambilan keputusan medis yang baik tidak cukup dengan data klinis,
tetapi memerlukan refleksi etis, dialog, dan kepekaan terhadap konteks sosial
serta nilai-nilai kemanusiaan pasien.⁹
Secara aksiologis, etika kedokteran berakar pada
empat prinsip moral universal — beneficence, non-maleficence, autonomy,
dan justice — namun maknanya harus terus ditafsir ulang sesuai dinamika
zaman.¹⁰ Prinsip-prinsip ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling
menyeimbangkan dalam praksis medis yang konkret.¹¹ Nilai-nilai kebajikan
seperti belas kasih, kejujuran, dan integritas tetap menjadi inti moral profesi
medis yang sejati.¹²
Dalam konteks sosial, politik, dan hukum, etika
kedokteran berperan sebagai penjaga moralitas publik di tengah sistem kesehatan
yang sering kali dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan kekuasaan.¹³ Tanggung
jawab dokter melampaui ruang klinik, mencakup advokasi terhadap keadilan sosial
dan hak asasi kesehatan bagi semua manusia.¹⁴ Dengan demikian, etika kedokteran
bukan hanya norma profesional, melainkan juga praksis politik kemanusiaan.¹⁵
Di era kontemporer, relevansi etika kedokteran
semakin kuat. Tantangan seperti pandemi global, bioteknologi, kecerdasan
buatan, dan krisis ekologis menuntut reinterpretasi moral yang lebih reflektif
dan universal.¹⁶ Etika kedokteran harus berevolusi menjadi paradigma
interdisipliner yang memadukan ilmu, teknologi, dan nilai kemanusiaan — bukan
dalam antagonisme, melainkan dalam harmoni tanggung jawab.¹⁷
Sintesis filosofis menuju kedokteran humanistik
menandai arah masa depan profesi ini.¹⁸ Paradigma ini menolak reduksionisme
teknokratis dan mengembalikan kedokteran pada tujuan aslinya: merawat manusia
sebagai makhluk bermartabat yang mencari makna dalam hidup dan
penderitaannya.¹⁹ Seperti ditegaskan oleh Edmund Pellegrino, “kedokteran
adalah cabang etika yang dipraktikkan setiap hari.”²⁰
Dengan demikian, kesimpulan utama dari seluruh
kajian ini adalah bahwa kedokteran tidak dapat dipisahkan dari moralitas,
dan moralitas tidak dapat direduksi menjadi prosedur. Etika kedokteran yang
sejati menuntut keberanian intelektual, empati emosional, dan kebijaksanaan
spiritual untuk menyeimbangkan antara ilmu dan cinta, antara kebenaran dan
kebaikan, antara kehidupan dan makna.²¹
Footnotes
[1]               
Edmund D. Pellegrino, The Philosophy of Medicine
Reborn: A Pellegrino Reader, ed. H. Tristram Engelhardt Jr. and Fabrice
Jotterand (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2008), 15–17.
[2]               
Hippocrates, The Oath and Other Medical Writings,
trans. by J. Chadwick and W.N. Mann (London: Penguin Classics, 1950), 67.
[3]               
Paul Ramsey, The Patient as Person: Explorations
in Medical Ethics (New Haven: Yale University Press, 1970), 12–14.
[4]               
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. by Colin Smith (London: Routledge, 1962), 75–78.
[5]               
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. by Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 198–200.
[6]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. by
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1140b20–25.
[7]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 119–121.
[8]               
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. by
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 170–172.
[9]               
Eric J. Cassell, The Nature of Suffering and the
Goals of Medicine (New York: Oxford University Press, 1991), 22–25.
[10]            
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019),
13–15.
[11]            
Albert R. Jonsen and Stephen Toulmin, The Abuse
of Casuistry: A History of Moral Reasoning (Berkeley: University of
California Press, 1988), 26–28.
[12]            
Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The
Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 5–7.
[13]            
Paul Farmer, Pathologies of Power: Health, Human
Rights, and the New War on the Poor (Berkeley: University of California
Press, 2003), 38–40.
[14]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 66–68.
[15]            
Ivan Illich, Medical Nemesis: The Expropriation of
Health (New York: Pantheon Books, 1976), 45–47.
[16]            
Julian Savulescu et al., “Fair Allocation of Scarce
Medical Resources in the Time of COVID-19,” The Lancet 395, no. 10231
(2020): 1253–1255.
[17]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 63–65.
[18]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2007), 175–177.
[19]            
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 1959), 70–72.
[20]            
Edmund D. Pellegrino, “The Moral Center of
Medicine: The Doctor as Moral Agent,” Kennedy Institute of Ethics Journal
3, no. 1 (1993): 3–6.
[21]            
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a
New World Ethic (New York: Continuum, 1993), 92–94.
Daftar Pustaka 
Aristotle. (1985). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2019). Principles
of biomedical ethics (8th ed.). Oxford University Press.
Bostrom, N. (2003). Ethical issues in advanced
artificial intelligence. In I. Smit, W. Wallach, & P. A. Rico (Eds.), Cognitive,
emotive and ethical aspects of decision making in humans and in artificial
intelligence (Vol. 2, pp. 12–15). International Institute of Advanced
Studies in Systems Research and Cybernetics.
Callahan, D. (1990). What kind of life: The
limits of medical progress. Simon & Schuster.
Cassell, E. J. (1991). The nature of suffering
and the goals of medicine. Oxford University Press.
Chazan, E. G. (2003). Legal dimensions of medical
ethics. Journal of Law, Medicine & Ethics, 31(4), 524–528.
Daniels, N. (1985). Just health care.
Cambridge University Press.
Daniels, N. (2001). Justice and health care. The
American Journal of Bioethics, 1(2), 2–16.
Dawson, A. (2015). Global health and justice: The
need for a global bioethics. Public Health Ethics, 8(1), 1–2.
Dawson, A., & Verweij, M. (2007). Ethics,
prevention, and public health. Oxford University Press.
Dignum, V. (2019). Responsible artificial
intelligence: How to develop and use AI in a responsible way. Springer.
Donchin, A. (2001). Autonomy and interdependence:
Quandaries in genetic decision-making. Women’s Studies Quarterly, 29(1–2),
143–157.
Engelhardt, H. T. Jr. (1996). The foundations of
bioethics (2nd ed.). Oxford University Press.
Engelhardt, H. T. Jr. (1991). Bioethics and
secular humanism: The search for a common morality. Trinity Press.
Engelhardt, H. T. Jr., & Jotterand, F. (Eds.).
(2008). The philosophy of medicine reborn: A Pellegrino reader.
University of Notre Dame Press.
Farmer, P. (2003). Pathologies of power: Health,
human rights, and the new war on the poor. University of California Press.
Faden, R. R., & Beauchamp, T. L. (1986). A
history and theory of informed consent. Oxford University Press.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Foucault, M. (2008). The birth of biopolitics:
Lectures at the Collège de France, 1978–1979 (G. Burchell, Trans.).
Palgrave Macmillan.
Frank, A. W. (1995). The wounded storyteller:
Body, illness, and ethics. University of Chicago Press.
Frankl, V. E. (1959). Man’s search for meaning.
Beacon Press.
Gilligan, C. (1982). In a different voice:
Psychological theory and women’s development. Harvard University Press.
Haines, A., & Ebi, K. L. (2019). The imperative
for climate action to protect health. New England Journal of Medicine, 380(3),
263–273.
Haraway, D. (1991). Simians, cyborgs, and women:
The reinvention of nature. Routledge.
Harvey, D. (2005). A brief history of
neoliberalism. Oxford University Press.
Hippocrates. (1950). The oath and other medical
writings (J. Chadwick & W. N. Mann, Trans.). Penguin Classics.
Illich, I. (1976). Medical nemesis: The
expropriation of health. Pantheon Books.
Iqbal, M., & Rahman, S. (2004). Islamic medical
ethics: A conceptual framework. Journal of Islamic Studies, 15(2),
107–112.
Iqbal, M., & Rahman, S. (2007). Islamic
perspectives on health and healing. Islamic Studies Journal, 21(3),
115–120.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Jonsen, A. R. (1991). Casuistry and clinical
ethics. Theoretical Medicine, 12(4), 295–301.
Jonsen, A. R., & Toulmin, S. (1988). The
abuse of casuistry: A history of moral reasoning. University of California
Press.
Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kass, L. R. (1984). Neither for love nor money: Why
doctors must not kill. The Public Interest, 74, 25–46.
KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia). (2012). Pedoman
etika profesi dokter Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia.
Koesoemadinata, H. (2019). Etika profesi
kedokteran dan kemanusiaan dalam perspektif Pancasila. Deepublish.
Küng, H. (1993). Global responsibility: In
search of a new world ethic. Continuum.
Leder, D. (1990). The absent body.
University of Chicago Press.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press.
MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in
moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
Macer, D. R. J. (1998). Bioethics is love of
life: An alternative textbook. Eubios Ethics Institute.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge.
Mittelstadt, B. D., Allo, P., Taddeo, M., Wachter,
S., & Floridi, L. (2016). The ethics of algorithms: Mapping the debate. Big
Data & Society, 3(2), 1–21.
Myers, S. S., & Frumkin, H. (2020). Planetary
health: Protecting nature to protect ourselves. Island Press.
Nasr, S. H. (1968). Man and nature: The
spiritual crisis of modern man. Allen & Unwin.
Nussbaum, M. C. (1986). The fragility of
goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge
University Press.
Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought:
The intelligence of emotions. Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Harvard University Press.
Pellegrino, E. D. (1993). The moral center of
medicine: The doctor as moral agent. Kennedy Institute of Ethics Journal, 3(1),
3–6.
Pellegrino, E. D. (1996). Character formation in
medicine: Reflections on virtue theory. Theoretical Medicine and Bioethics,
17(1), 33–35.
Pellegrino, E. D. (2007). Toward a planetary
bioethics. The Journal of Medicine and Philosophy, 32(6), 657–659.
Pellegrino, E. D., & Thomasma, D. C. (1993). The
virtues in medical practice. Oxford University Press.
Pellegrino, E. D., & Thomasma, D. C. (1997). Helping
and healing: Religious commitment in health care. Georgetown University
Press.
Ramsey, P. (1970). The patient as person:
Explorations in medical ethics. Yale University Press.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Rabinow, P., & Rose, N. (2006). Biopower today.
BioSocieties, 1(2), 195–217.
Rachels, J. (1986). The end of life: Euthanasia
and morality. Oxford University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (2007). Reflections on the just
(D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.
Savulescu, J. (2002). The ethics of cloning. Reproductive
Health Matters, 10(20), 102–107.
Savulescu, J., Persson, I., & Wilkinson, D.
(2020). Fair allocation of scarce medical resources in the time of COVID-19. The
Lancet, 395(10231), 1253–1255.
Schotsmans, P. T. (2001). Medicine as a vocation: A
humanistic perspective. Medicine, Health Care and Philosophy, 4(3),
247–251.
Sherwin, S. (1992). No longer patient: Feminist
ethics and health care. Temple University Press.
Shrader-Frechette, K. (2002). Environmental
justice: Creating equality, reclaiming democracy. Oxford University Press.
Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd
ed.). Cambridge University Press.
Singer, P., & Kuhse, H. (Eds.). (2016). Bioethics:
An anthology (4th ed.). Wiley-Blackwell.
Soedjatmoko. (1985). Etika dan pembangunan:
Refleksi atas Pancasila dan kemanusiaan. LP3ES.
Tham, J., García Gómez, A., & Casadesús, R.
(2017). Intercultural and interreligious dialogue on bioethics.
Springer.
Thomas Aquinas. (1947). Summa theologica
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
Thomasma, D. C. (1989). Moral education in medical
schools: Reflections on the hidden curriculum. Journal of Medical Ethics, 15(2),
69–71.
Tronto, J. (1993). Moral boundaries: A political
argument for an ethic of care. Routledge.
Waitzkin, H. (1983). The second sickness:
Contradictions of capitalist health care. Free Press.
Whitehead, M. (1991). The concepts and
principles of equity and health. World Health Organization.
World Health Organization. (2019). Global report
on health equity. WHO Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar