Selasa, 28 Oktober 2025

Etika Konservasi: Fondasi Moral bagi Pelestarian Alam dan Keberlanjutan Hidup

Etika Konservasi

Fondasi Moral bagi Pelestarian Alam dan Keberlanjutan Hidup


Alihkan ke: Etika Lingungan.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif fondasi filosofis dan etis dari konservasi alam sebagai respons terhadap krisis ekologis global. Melalui pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis, tulisan ini berupaya menegaskan bahwa konservasi bukan sekadar tindakan teknis atau kebijakan lingkungan, melainkan panggilan moral dan eksistensial manusia untuk menjaga keberlanjutan kehidupan di bumi. Secara historis, gagasan konservasi berakar pada spiritualitas kuno, berkembang dalam tradisi ilmiah modern, dan menemukan refleksi etisnya dalam pemikiran kontemporer seperti Land Ethic (Aldo Leopold), Deep Ecology (Arne Naess), dan Social Ecology (Murray Bookchin).

Secara ontologis, artikel ini menolak dualisme manusia–alam dan menegaskan nilai intrinsik seluruh makhluk hidup. Epistemologinya menyoroti pentingnya integrasi antara ilmu ekologi, kearifan lokal, dan kesadaran moral sebagai dasar pengetahuan ekologis yang beretika. Dari segi aksiologi, etika konservasi berlandaskan nilai tanggung jawab, keadilan ekologis, empati, dan kepedulian lintas generasi. Dimensi sosial, politik, dan hukum konservasi dikaji sebagai kerangka praksis untuk mewujudkan keadilan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta untuk mengarahkan korporasi dan kebijakan publik menuju tata kelola ekologis yang berkelanjutan.

Sintesis filosofisnya menghasilkan gagasan konservasi humanistik dan integral, yaitu paradigma moral baru yang menempatkan manusia sebagai penjaga (steward) kehidupan, bukan penguasa alam. Dengan menggabungkan etika kewajiban, kebajikan, dan tanggung jawab planetaris, artikel ini menegaskan bahwa keberlanjutan ekologis merupakan fondasi moral peradaban masa depan. Melalui kesadaran ekologis reflektif, manusia diundang untuk menghayati kembali eksistensinya sebagai bagian dari komunitas kehidupan yang lebih luas—sebuah ethos of care bagi bumi sebagai rumah bersama seluruh ciptaan.

Kata Kunci: Etika konservasi; ekologi integral; tanggung jawab moral; keadilan ekologis; humanisme ekologis; keberlanjutan; etika lingkungan; stewardship.


PEMBAHASAN

Konseptual dan Filosofis Etika Konservasi


1.           Pendahuluan

Krisis ekologis global pada abad ke-21 menjadi salah satu persoalan moral terbesar dalam sejarah manusia. Perubahan iklim, deforestasi masif, kehilangan biodiversitas, serta degradasi tanah dan air menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan alam telah mengalami disorientasi mendasar. Dalam paradigma modern yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai (anthropocentric worldview), alam direduksi menjadi sekadar instrumen bagi kepentingan ekonomi dan teknologi.¹ Akibatnya, eksploitasi sumber daya alam dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekologis maupun tanggung jawab etis terhadap generasi mendatang.²

Dalam konteks ini, muncul kebutuhan mendesak untuk membangun kerangka etika konservasi, yaitu suatu sistem nilai dan prinsip moral yang menegaskan kewajiban manusia untuk melindungi, merawat, dan memulihkan alam.³ Etika konservasi tidak hanya berfokus pada aspek instrumental atau pragmatis dari pelestarian lingkungan, tetapi juga menyoroti nilai intrinsik alam sebagai entitas yang memiliki hak untuk eksis dan berkembang.⁴ Gagasan ini bertumpu pada pandangan bahwa keberlanjutan ekologis merupakan bagian tak terpisahkan dari keberlanjutan moral umat manusia.

Dari sudut pandang filosofis, etika konservasi lahir dari ketegangan antara dua paradigma besar: antroposentrisme dan ekosentrisme.⁵ Paradigma antroposentris melihat nilai alam hanya sejauh ia berguna bagi manusia, sedangkan ekosentrisme menegaskan bahwa nilai moral tidak terbatas pada manusia, tetapi juga mencakup seluruh makhluk hidup dan sistem ekologis secara utuh.⁶ Dalam hal ini, etika konservasi berupaya menemukan jalan tengah yang lebih reflektif: suatu humanisme ekologis, yang memandang manusia bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai penjaga (steward) dari komunitas biotik yang lebih luas.⁷

Urgensi etika konservasi semakin kuat seiring dengan meningkatnya kesadaran global terhadap sustainability. Laporan-laporan ilmiah dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), misalnya, menunjukkan bahwa tindakan manusia terhadap ekosistem memiliki dampak langsung pada stabilitas planet.⁸ Oleh karena itu, persoalan konservasi tidak bisa lagi dipandang sebagai isu teknis semata, melainkan harus ditempatkan dalam kerangka moral yang menyentuh aspek tanggung jawab, keadilan, dan kebajikan ekologis.⁹ Etika konservasi hadir sebagai refleksi filosofis yang menjembatani pengetahuan ekologis dengan kesadaran moral, serta mengajak manusia untuk memikirkan kembali hakikat eksistensinya di tengah komunitas kehidupan.¹⁰

Kajian ini bertujuan untuk menelusuri fondasi filosofis etika konservasi melalui tiga dimensi utama: ontologis (hakikat keberadaan alam dan relasi manusia-alam), epistemologis (cara manusia mengetahui dan menilai alam secara moral), dan aksiologis (nilai-nilai yang mendasari tindakan konservatif). Selain itu, tulisan ini juga akan menyoroti dimensi sosial, politik, dan hukum dari konservasi, kritik terhadap paradigma dominan, serta relevansi etika konservasi dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti perubahan iklim dan krisis keanekaragaman hayati. Dengan demikian, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan landasan moral dan konseptual bagi pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan ekologis.¹¹


Footnotes

[1]                Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–1207.

[2]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 5–7.

[3]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 201.

[4]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 112.

[5]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 56.

[6]                Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.

[7]                Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books, 1982), 67.

[8]                IPCC, Climate Change 2021: The Physical Science Basis (Cambridge: Cambridge University Press, 2021), 10–13.

[9]                Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 42.

[10]             Mary Midgley, Science and Poetry (London: Routledge, 2001), 134.

[11]             Bryan G. Norton and Ben A. Minteer, Toward Sustainable Communities: Transition and Transformations in Environmental Policy (Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 25–28.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

2.1.       Asal-Usul Gagasan Konservasi dalam Sejarah Manusia

Gagasan tentang konservasi tidak lahir dari kekosongan sejarah; ia merupakan hasil dari evolusi panjang kesadaran manusia terhadap alam. Dalam masyarakat pra-modern, relasi manusia dengan lingkungan bersifat organik dan sakral. Alam dianggap memiliki jiwa (anima mundi), dan setiap unsur kehidupan—air, tanah, tumbuhan, dan hewan—memiliki peran spiritual yang harus dihormati.¹ Konsep ini dapat ditemukan dalam berbagai kebudayaan kuno, seperti tradisi agraris Mesir dan Mesopotamia yang menekankan keselarasan antara aktivitas manusia dan siklus alam.² Dalam konteks ini, konservasi bukanlah tindakan ilmiah, melainkan bagian dari kehidupan religius dan moral.

Perubahan besar terjadi pada masa modern ketika revolusi ilmiah dan rasionalisme Cartesian memperkenalkan dualisme tajam antara subjek dan objek. Alam direduksi menjadi res extensa—sesuatu yang dapat diukur, dimanipulasi, dan dieksploitasi.³ Paradigma mekanistik ini melahirkan hubungan instrumental antara manusia dan alam, yang pada akhirnya memicu eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam selama era industri.⁴ Dalam situasi tersebut, kesadaran ekologis mulai memudar, digantikan oleh logika produksi dan efisiensi yang menempatkan alam sebagai bahan mentah bagi kemajuan ekonomi.⁵

2.2.       Konservasi dalam Perspektif Agama dan Kebudayaan Tradisional

Meskipun modernitas membawa krisis ekologis, berbagai tradisi keagamaan dan kearifan lokal tetap memelihara prinsip-prinsip konservatif terhadap alam. Dalam Islam, misalnya, alam dipandang sebagai amanah (titipan) yang harus dijaga oleh manusia sebagai khalifah (penjaga bumi).⁶ Al-Qur’an menegaskan bahwa kerusakan di muka bumi disebabkan oleh tangan manusia yang melampaui batas keseimbangan.⁷ Dalam konteks Hindu, ajaran ahimsa (tanpa kekerasan) dan konsep rita (tatanan kosmis) mengajarkan harmoni antara makhluk hidup dan alam semesta.⁸ Demikian pula dalam tradisi Jawa, dikenal prinsip memayu hayuning bawana—memelihara keindahan dan keseimbangan dunia sebagai tanggung jawab moral manusia.⁹

Kearifan lokal semacam ini membentuk dimensi etis dari konservasi yang berbasis spiritualitas dan keberlanjutan. Sebelum munculnya terminologi “konservasi” secara ilmiah, masyarakat adat telah mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya berbasis nilai, seperti sasi di Maluku, hutan larangan di Sumatra, dan subak di Bali.¹⁰ Dengan demikian, konservasi tradisional merupakan refleksi moral dari pengalaman ekologis manusia dalam mempertahankan keseimbangan hidup, bukan sekadar kebijakan ekologis yang teknokratik.

2.3.       Perkembangan Konsep Konservasi Ilmiah di Era Modern dan Pasca-Industrial

Pada abad ke-19, muncul gerakan konservasi modern di Barat sebagai reaksi terhadap eksploitasi alam akibat industrialisasi. Tokoh seperti George Perkins Marsh melalui karyanya Man and Nature (1864) menegaskan bahwa manusia telah menjadi kekuatan geologis yang merusak bumi.¹¹ Di Amerika Serikat, John Muir mempromosikan konsep preservationism—gagasan bahwa alam harus dilindungi karena nilai estetik dan spiritualnya, bukan semata karena manfaat ekonominya.¹² Sebaliknya, Gifford Pinchot memperkenalkan conservationism, yaitu pengelolaan sumber daya alam secara rasional untuk kepentingan manusia dan generasi mendatang.¹³

Kedua arus pemikiran ini membentuk fondasi awal etika konservasi modern. Namun pada paruh kedua abad ke-20, dengan munculnya gerakan lingkungan global seperti Earth Day (1970) dan laporan Limits to Growth oleh Club of Rome (1972), wacana konservasi berkembang menjadi refleksi etis yang lebih mendalam.¹⁴ Muncul kesadaran bahwa konservasi tidak dapat hanya didekati dari sudut teknis atau ekonomi, tetapi harus mencakup pertimbangan moral tentang nilai intrinsik alam.¹⁵

2.4.       Transisi dari Konservasi Instrumental ke Konservasi Etis

Perubahan paradigma konservasi menuju dimensi etis dipengaruhi oleh sejumlah pemikir kunci abad ke-20. Aldo Leopold dengan konsep Land Ethic-nya menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari “komunitas biotik” dan memiliki kewajiban moral untuk memelihara integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas tersebut.¹⁶ Gagasan ini merupakan salah satu tonggak dalam transformasi konservasi menjadi persoalan etis.

Selanjutnya, Rachel Carson melalui bukunya Silent Spring (1962) membuka kesadaran publik tentang dampak destruktif aktivitas manusia terhadap ekosistem melalui penggunaan pestisida.¹⁷ Sementara itu, Arne Naess memperkenalkan Deep Ecology pada 1970-an, yang menekankan nilai intrinsik semua bentuk kehidupan dan menyerukan perubahan paradigma dari shallow ecology (ekologi dangkal yang berorientasi pada manusia) ke deep ecology (ekologi mendalam yang berorientasi pada keseluruhan biosfer).¹⁸

Di sisi lain, Murray Bookchin memperkenalkan Social Ecology, yang menyoroti bahwa krisis lingkungan tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial yang hierarkis dan eksploitatif.¹⁹ Dengan demikian, sejarah etika konservasi tidak hanya merupakan kronologi pemikiran, tetapi juga genealoginya: suatu perkembangan reflektif yang berangkat dari spiritualitas kuno, melalui krisis modernitas, menuju kesadaran ekologis yang integral dan reflektif secara moral.²⁰


Footnotes

[1]                Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion (New York: Harcourt, 1959), 91–93.

[2]                Clarence J. Glacken, Traces on the Rhodian Shore: Nature and Culture in Western Thought from Ancient Times to the End of the Eighteenth Century (Berkeley: University of California Press, 1967), 22–25.

[3]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 28.

[4]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 32–35.

[5]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (London: Routledge, 2001), 97.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 37.

[7]                Al-Qur’an, Surah Ar-Rum (30): 41.

[8]                Klaus K. Klostermaier, A Survey of Hinduism, 3rd ed. (Albany: SUNY Press, 2007), 111.

[9]                Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 1984), 78.

[10]             Eka Darmaputera, The Challenge of Ecology to Theology in Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 1988), 14.

[11]             George Perkins Marsh, Man and Nature: Or, Physical Geography as Modified by Human Action (New York: Scribner, 1864), 5.

[12]             John Muir, Our National Parks (Boston: Houghton Mifflin, 1901), 12–13.

[13]             Gifford Pinchot, The Fight for Conservation (New York: Doubleday, 1910), 48.

[14]             Donella H. Meadows et al., The Limits to Growth (New York: Universe Books, 1972), 9–10.

[15]             Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 44.

[16]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224.

[17]             Rachel Carson, Silent Spring (Boston: Houghton Mifflin, 1962), 23.

[18]             Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.

[19]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books, 1982), 77–79.

[20]             Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990), 18–21.


3.           Ontologi Konservasi

3.1.       Hakikat Alam sebagai Entitas Moral

Pertanyaan ontologis dalam etika konservasi berkaitan dengan hakikat alam: apakah alam sekadar objek bagi manusia, ataukah ia memiliki keberadaan yang bernilai pada dirinya sendiri (intrinsic being)? Dalam pandangan klasik Barat, alam sering dipahami secara dualistik—sebagai sesuatu yang berada “di luar” manusia dan tunduk pada kontrol rasionalnya.¹ Namun, filsafat kontemporer menolak dikotomi ini dengan menegaskan bahwa manusia dan alam merupakan satu kesatuan ontologis dalam jaringan kehidupan yang saling bergantung.²

Etika konservasi memandang bahwa alam bukanlah entitas pasif, melainkan memiliki dignity of being—martabat ontologis yang patut dihormati.³ Dengan demikian, tindakan merusak alam bukan hanya pelanggaran ekologis, tetapi juga pelanggaran terhadap keberadaan itu sendiri. Pandangan ini menggemakan gagasan Hans Jonas, yang menyatakan bahwa tanggung jawab moral muncul dari pengakuan atas keberadaan makhluk lain sebagai sesuatu yang “memiliki hak untuk ada.”⁴

3.2.       Relasi Ontologis antara Manusia dan Alam: Antroposentrisme vs Ekosentrisme

Dalam kerangka ontologi konservasi, hubungan manusia dan alam menjadi pusat perdebatan antara dua paradigma: antroposentrisme dan ekosentrisme. Paradigma antroposentris, yang mendominasi tradisi filsafat Barat sejak Descartes dan Bacon, menempatkan manusia sebagai pusat realitas dan ukuran nilai moral.⁵ Dalam pandangan ini, alam hanya bernilai sejauh ia bermanfaat bagi kesejahteraan manusia.

Sebaliknya, ekosentrisme menolak pandangan hierarkis tersebut dengan menegaskan bahwa seluruh entitas dalam biosfer memiliki nilai moral yang sama pentingnya.⁶ Arne Naess, pendiri gerakan Deep Ecology, menyatakan bahwa semua makhluk hidup, baik manusia maupun non-manusia, merupakan ekspresi dari “diri ekologis” (ecological self) yang saling terkait.⁷ Dengan demikian, konservasi bukan hanya kewajiban moral manusia terhadap sesuatu yang eksternal, tetapi merupakan upaya menjaga kesinambungan eksistensi dirinya sendiri di dalam jaringan kehidupan.

Beberapa filsuf seperti Aldo Leopold dan Holmes Rolston III menambahkan bahwa nilai ekologis tidak dapat dipahami hanya secara instrumental, karena setiap spesies dan ekosistem memiliki fungsi ontologis yang membentuk keutuhan komunitas biotik.⁸ Maka, keberlanjutan hidup bukanlah sekadar strategi adaptasi, tetapi merupakan ekspresi dari being-with—keberadaan bersama antara manusia dan alam.⁹

3.3.       Konsep Keberlanjutan sebagai Modus Eksistensi Ekologis

Ontologi konservasi menegaskan bahwa keberlanjutan (sustainability) bukan hanya konsep ekonomi atau kebijakan, melainkan modus eksistensi—cara berada manusia di dunia yang menghormati batas-batas ekologis.¹⁰ Dalam pengertian ini, keberlanjutan adalah ethos ontologis yang menuntut manusia untuk hidup dalam keselarasan dengan sistem kehidupan yang lebih luas.¹¹

Prinsip ini memiliki kesamaan dengan konsep physis dalam filsafat Yunani kuno, di mana alam dipahami sebagai entitas yang hidup dan terus memperbarui diri.¹² Melalui pemahaman ini, konservasi menjadi bentuk partisipasi manusia dalam self-renewal alam, bukan dominasi atasnya. Dalam pandangan Heideggerian, tindakan merawat alam (Sorge) merupakan ekspresi dari keberadaan otentik manusia sebagai makhluk yang dwell—menetap dan membiarkan segala yang ada menyingkapkan dirinya secara alami.¹³

Oleh karena itu, konservasi ontologis menolak paradigma eksploitatif dan menggantikannya dengan paradigma koeksistensi: manusia sebagai bagian dari alam yang bertanggung jawab, bukan sebagai subjek yang memisahkan diri dari totalitas kehidupan.¹⁴

3.4.       Prinsip Keseimbangan, Harmoni, dan Keterhubungan Ekologis

Ontologi konservasi berpijak pada prinsip bahwa realitas ekologis bersifat relasional dan holistik. Semua unsur alam saling terhubung dalam jaringan kehidupan yang kompleks—sebuah gagasan yang sejalan dengan teori sistem dalam ekologi modern.¹⁵ Filsafat Timur, terutama Taoisme dan Buddhisme, telah lama menegaskan bahwa keseimbangan (yin-yang) dan harmoni adalah hukum kosmis yang menopang eksistensi.¹⁶

Etika konservasi, dalam kerangka ontologis ini, memandang harmoni ekologis sebagai kondisi eksistensial yang harus dijaga. Keseimbangan antara manusia dan alam tidak hanya berarti pembatasan eksploitasi, tetapi juga pemulihan relasi spiritual dan simbolik dengan dunia non-manusia.¹⁷ Dengan demikian, konservasi bukanlah tindakan eksternal yang bersifat utilitarian, melainkan manifestasi dari kesadaran akan keterhubungan ontologis seluruh makhluk—suatu metaphysics of interconnectedness.¹⁸


Footnotes

[1]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 35.

[2]                Gregory Bateson, Steps to an Ecology of Mind (Chicago: University of Chicago Press, 1972), 454.

[3]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 110.

[4]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 128.

[5]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 47.

[6]                Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 99–100.

[7]                Arne Naess, “Self-Realization: An Ecological Approach to Being in the World,” in Thinking Like a Mountain: Toward a Council of All Beings, ed. John Seed et al. (Philadelphia: New Society Publishers, 1988), 36–38.

[8]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224.

[9]                Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 57.

[10]             Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 112.

[11]             Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 65.

[12]             Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1:315.

[13]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 157.

[14]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books, 1982), 97.

[15]             Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29.

[16]             Lao Tzu, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau (London: Penguin, 1963), 14.

[17]             Joanna Macy, Mutual Causality in Buddhism and General Systems Theory (Albany: SUNY Press, 1991), 73.

[18]             Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990), 20.


4.           Epistemologi Etika Konservasi

4.1.       Bagaimana Manusia Mengetahui Nilai-Nilai Konservasi

Epistemologi etika konservasi berupaya menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana manusia mengetahui bahwa alam memiliki nilai moral yang perlu dilestarikan? Dalam tradisi modern, pengetahuan tentang alam sering dihasilkan melalui metode ilmiah yang objektif, reduksionis, dan empiris.¹ Namun, metode ini cenderung mengabaikan dimensi normatif dan afektif dari relasi manusia dengan alam.² Etika konservasi menolak reduksi semacam itu dengan menegaskan bahwa pengetahuan ekologis sejati tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga transformatif—yakni melibatkan kesadaran moral, pengalaman estetis, dan empati ekologis.³

Sebagaimana dinyatakan oleh Aldo Leopold, seseorang tidak benar-benar “tahu” tanah sampai ia belajar mencintainya dan merasakan penderitaannya.⁴ Dengan demikian, epistemologi konservasi menekankan pentingnya knowing through caring—suatu bentuk pengetahuan yang diperoleh melalui keterlibatan etis dan pengalaman hidup bersama alam.⁵

4.2.       Ilmu Ekologi dan Pengetahuan Moral: Hubungan Empiris dan Normatif

Ilmu ekologi memberikan basis empiris bagi pemahaman tentang keterkaitan sistem kehidupan, tetapi tidak serta-merta menjawab pertanyaan normatif tentang apa yang seharusnya dilakukan.⁶ Menurut Bryan Norton, terdapat jurang antara is (deskripsi ilmiah) dan ought (tuntutan moral) yang perlu dijembatani melalui refleksi etis.⁷ Dalam konteks konservasi, ilmu ekologi hanya menunjukkan keterhubungan faktual antarspesies dan ekosistem; sementara etika konservasi menambahkan dimensi nilai—bahwa keterhubungan tersebut mengandung tanggung jawab moral.

Interaksi antara ekologi dan etika menciptakan epistemologi yang bersifat integratif: ilmu pengetahuan menjadi dasar bagi tindakan moral, sementara moralitas memberikan arah bagi penerapan ilmu.⁸ Holmes Rolston III menegaskan bahwa “fakta ekologis mengandung potensi normatif,” sebab memahami sistem kehidupan berarti juga memahami nilai inheren yang terkandung di dalamnya.⁹ Dalam hal ini, konservasi merupakan hasil dari pertemuan antara kebenaran ilmiah dan kebajikan moral.¹⁰

4.3.       Epistemologi Kearifan Lokal dan Ekologi Tradisional

Selain sains modern, sumber pengetahuan etika konservasi juga berasal dari kearifan ekologis tradisional yang hidup dalam budaya-budaya lokal. Masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan yang menekankan keseimbangan kosmik dan keberlanjutan ekologis, yang diperoleh bukan melalui laboratorium, melainkan melalui pengalaman eksistensial, ritual, dan simbolik.¹¹

Pengetahuan semacam ini bersifat partisipatoris, karena manusia tidak memosisikan diri sebagai pengamat netral, tetapi sebagai bagian dari alam itu sendiri.¹² Sebagaimana dikemukakan oleh Gregory Cajete, epistemologi masyarakat pribumi bersifat relational dan ceremonial: mengetahui berarti berhubungan secara hormat dan timbal balik dengan dunia non-manusia.¹³ Dalam konteks ini, konservasi bukan hasil perintah eksternal, tetapi konsekuensi logis dari cara mengetahui yang mengandaikan saling keterikatan ontologis.¹⁴

4.4.       Peran Teknologi dan Sains dalam Memahami Konservasi secara Etis

Epistemologi etika konservasi juga harus berhadapan dengan perkembangan teknologi modern. Sains dan teknologi dapat menjadi alat penting untuk memahami dan melindungi alam, tetapi juga berpotensi memperdalam krisis ekologis jika dilepaskan dari kendali moral.¹⁵ Hans Jonas mengingatkan bahwa kekuatan teknologi menuntut bentuk baru tanggung jawab, sebab manusia kini memiliki kapasitas untuk mengubah tatanan biosfer secara radikal.¹⁶

Dalam kerangka ini, etika konservasi memerlukan epistemologi reflektif yang mampu menilai implikasi moral dari setiap pengetahuan teknologis. Andrew Light menekankan perlunya pragmatic ecology, di mana pengetahuan ilmiah dipadukan dengan kebijakan moral yang kontekstual dan berkeadilan sosial.¹⁷ Dengan demikian, epistemologi konservasi bukan sekadar akumulasi informasi tentang alam, tetapi proses pengetahuan yang diarahkan pada kebijaksanaan ekologis (ecological wisdom).¹⁸

Pengetahuan konservatif sejati, dengan demikian, adalah pengetahuan yang membebaskan—membuka kesadaran manusia terhadap ketergantungannya pada alam, sekaligus menuntut tanggung jawab terhadap keberlangsungan kehidupan.¹⁹ Ia tidak hanya menjawab pertanyaan “bagaimana kita tahu?”, tetapi juga “bagaimana kita harus hidup?” di tengah dunia yang rapuh dan saling terhubung.²⁰


Footnotes

[1]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 47.

[2]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 56.

[3]                David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in a More-Than-Human World (New York: Vintage Books, 1996), 67.

[4]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224.

[5]                Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 52.

[6]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 98.

[7]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 24.

[8]                J. Baird Callicott, In Defense of the Land Ethic: Essays in Environmental Philosophy (Albany: SUNY Press, 1989), 36.

[9]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 97.

[10]             Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 88.

[11]             Fikret Berkes, Sacred Ecology: Traditional Ecological Knowledge and Resource Management (Philadelphia: Taylor & Francis, 1999), 3–4.

[12]             Gregory Bateson, Steps to an Ecology of Mind (Chicago: University of Chicago Press, 1972), 441.

[13]             Gregory Cajete, Native Science: Natural Laws of Interdependence (Santa Fe: Clear Light Publishers, 2000), 78.

[14]             Darrell A. Posey, “Traditional Ecological Knowledge: The Key to Sustainable Development,” in Traditional Ecological Knowledge: Wisdom for Sustainable Development, ed. Julian T. Inglis (Ottawa: IDRC, 1993), 12.

[15]             Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 421.

[16]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 126.

[17]             Andrew Light, Moral and Political Reasoning in Environmental Practice (Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 41.

[18]             Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990), 26.

[19]             Joanna Macy, World as Lover, World as Self (Berkeley: Parallax Press, 1991), 15.

[20]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books, 1982), 103.


5.           Aksiologi Etika Konservasi

5.1.       Nilai-Nilai Intrinsik Alam: Dari Utilitas Menuju Keberhargaan Eksistensial

Aksiologi etika konservasi berfokus pada pertanyaan tentang nilai: apakah alam memiliki nilai karena manfaatnya bagi manusia, atau karena keberadaannya sendiri? Dalam paradigma modern, nilai alam cenderung dipahami secara instrumental, yakni sejauh alam berguna bagi kepentingan ekonomi dan teknologis manusia.¹ Namun, perkembangan etika lingkungan menantang pandangan ini dengan memperkenalkan konsep nilai intrinsik alam, yaitu nilai yang melekat pada keberadaan makhluk hidup dan ekosistem tanpa harus dikaitkan dengan utilitas manusia.²

Holmes Rolston III menegaskan bahwa nilai tidak hanya ditentukan oleh subjek yang menilai, tetapi juga muncul dari struktur dan fungsi kehidupan itu sendiri.³ Setiap organisme, dalam mempertahankan kehidupannya, menampilkan arah dan tujuan (teleologi biologis) yang merupakan sumber nilai intrinsik.⁴ Dengan demikian, tindakan konservasi bukan sekadar kewajiban moral terhadap manusia lain, tetapi juga penghormatan terhadap martabat eksistensial seluruh makhluk hidup.⁵

5.2.       Prinsip Tanggung Jawab Moral terhadap Makhluk Hidup dan Ekosistem

Etika konservasi mengandaikan prinsip tanggung jawab yang meluas melampaui batas spesies manusia. Hans Jonas dalam karyanya The Imperative of Responsibility menekankan bahwa dalam era teknologi modern, manusia memiliki kemampuan yang begitu besar hingga harus memikul tanggung jawab moral atas seluruh keberlanjutan kehidupan di bumi.⁶ Ia memperkenalkan imperatif etis baru: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat tindakanmu sepadan dengan kelangsungan kehidupan manusia di bumi.”⁷

Prinsip tanggung jawab ini bersifat prospektif (berorientasi ke masa depan), bukan sekadar reaktif terhadap kerusakan yang telah terjadi.⁸ Dalam konteks konservasi, hal ini berarti bahwa setiap keputusan politik, ekonomi, atau ilmiah harus memperhitungkan implikasi ekologisnya terhadap generasi mendatang.⁹ Pandangan ini memperluas cakrawala etika tradisional dari hubungan antarindividu menuju tanggung jawab planetaris—moralitas yang berakar pada kesadaran akan keterkaitan universal antara manusia dan biosfer.¹⁰

5.3.       Keadilan Ekologis dan Distribusi Sumber Daya Lintas Generasi

Keadilan ekologis (ecological justice) merupakan salah satu pilar aksiologis dalam etika konservasi. Ia menuntut agar manfaat dan beban dari penggunaan sumber daya alam didistribusikan secara adil, baik antarindividu, antarkelompok sosial, maupun antargenerasi.¹¹ Brian Baxter berargumen bahwa keadilan ekologis tidak hanya berbicara tentang manusia, tetapi juga tentang hak-hak moral entitas non-manusia yang terlibat dalam sistem ekologis.¹²

Konsep ini berkembang dari teori intergenerational justice, yang menyatakan bahwa generasi sekarang memiliki kewajiban moral terhadap generasi yang akan datang.¹³ Pandangan ini diperkuat oleh John Rawls dalam A Theory of Justice, yang menegaskan bahwa prinsip keadilan harus berlaku universal dan melampaui batas waktu.¹⁴ Dalam konteks konservasi, ini berarti menjaga agar ekosistem dan sumber daya alam tetap dapat menopang kehidupan generasi mendatang tanpa menurunkan kapasitas ekologis bumi.¹⁵

Selain dimensi temporal, keadilan ekologis juga memiliki aspek sosial: masyarakat miskin dan adat sering kali menjadi korban pertama dari kerusakan lingkungan, meskipun mereka paling sedikit berkontribusi terhadapnya.¹⁶ Oleh karena itu, etika konservasi menuntut solidaritas ekologis—kesadaran bahwa keadilan sosial dan keadilan ekologis tidak dapat dipisahkan.¹⁷

5.4.       Etika Kepedulian (Ethics of Care) dan Empati Ekologis

Aksiologi konservasi juga berakar pada paradigma etika kepedulian (ethics of care), yang menekankan empati, perhatian, dan tanggung jawab relasional terhadap makhluk lain.¹⁸ Pendekatan ini menolak pandangan etika modern yang terlalu menekankan rasionalitas dan aturan universal, dan menggantinya dengan relasi moral yang berbasis pada kasih sayang, kedekatan, dan pengalaman konkret.¹⁹

Dalam konteks ekologis, etika kepedulian berarti mengembangkan ecological empathy—kemampuan untuk merasakan penderitaan dan keterancaman yang dialami makhluk lain.²⁰ Carol Gilligan dan Nel Noddings menegaskan bahwa kepedulian bukan sekadar emosi, melainkan bentuk pengetahuan moral yang memungkinkan manusia mengenali kebutuhan makhluk lain secara mendalam.²¹ Ketika diterapkan dalam konservasi, etika kepedulian mengubah orientasi moral manusia dari dominasi menuju pemeliharaan dan pengasuhan (nurturing relationship) terhadap alam.²²

Dengan demikian, aksiologi etika konservasi bukan sekadar wacana nilai yang abstrak, melainkan ajakan untuk menginternalisasi kebajikan ekologis: tanggung jawab, keadilan, kepedulian, dan rasa hormat terhadap kehidupan.²³ Nilai-nilai ini membentuk fondasi moral bagi transformasi menuju peradaban yang berkelanjutan dan humanistik.²⁴


Footnotes

[1]                Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1205.

[2]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 97.

[3]                Ibid., 111.

[4]                J. Baird Callicott, In Defense of the Land Ethic: Essays in Environmental Philosophy (Albany: SUNY Press, 1989), 63.

[5]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224.

[6]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 121.

[7]                Ibid., 123.

[8]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 44.

[9]                Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 417.

[10]             Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 54.

[11]             Brian Baxter, A Theory of Ecological Justice (London: Routledge, 2005), 12–14.

[12]             Ibid., 33.

[13]             Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University, 1989), 8.

[14]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 285.

[15]             Henry Shue, “Subsistence Emissions and Luxury Emissions,” Law & Policy 15, no. 1 (1993): 39–59.

[16]             Joan Martinez-Alier, The Environmentalism of the Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation (Cheltenham: Edward Elgar, 2002), 28.

[17]             Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1988), 47.

[18]             Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 69.

[19]             Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 79.

[20]             Joanna Macy, World as Lover, World as Self (Berkeley: Parallax Press, 1991), 15.

[21]             Gilligan, In a Different Voice, 73.

[22]             Noddings, Caring, 81.

[23]             Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990), 36.

[24]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books, 1982), 104.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Hukum Konservasi

6.1.       Kebijakan Publik dan Etika Konservasi

Etika konservasi tidak dapat dilepaskan dari dimensi sosial-politik karena konservasi selalu berlangsung dalam konteks relasi kekuasaan dan kebijakan publik.¹ Secara historis, kebijakan konservasi sering diwarnai oleh kepentingan politik dan ekonomi, bukan semata oleh pertimbangan etis atau ekologis.² Namun, perkembangan kesadaran ekologis global telah mendorong munculnya paradigma baru dalam tata kelola lingkungan yang menekankan prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab moral negara terhadap alam

Etika konservasi menuntut agar kebijakan publik tidak hanya berorientasi pada efisiensi ekonomi, tetapi juga pada keadilan ekologis—yakni distribusi yang adil atas sumber daya alam dan dampak lingkungan.⁴ Dalam perspektif Murray Bookchin, krisis lingkungan bukan sekadar akibat perilaku individu, tetapi merupakan manifestasi dari struktur sosial yang hierarkis dan eksploitatif.⁵ Oleh karena itu, kebijakan konservasi yang efektif harus disertai dengan transformasi politik menuju bentuk ekologi sosial, di mana demokrasi ekologis menjadi dasar bagi pengelolaan sumber daya bersama (commons).⁶

Lembaga-lembaga internasional seperti United Nations Environment Programme (UNEP) dan Convention on Biological Diversity (CBD) telah menegaskan pentingnya pendekatan holistik yang mengintegrasikan dimensi etis, sosial, dan politik dalam konservasi.⁷ Namun, implementasinya seringkali menghadapi resistensi dari kepentingan ekonomi jangka pendek dan politik populis.⁸ Di sinilah etika konservasi berperan sebagai kerangka normatif yang menuntut konsistensi moral di dalam kebijakan publik terhadap lingkungan.⁹

6.2.       Hak Masyarakat Adat dan Keadilan Lingkungan

Dimensi sosial dari etika konservasi menyoroti peran dan hak-hak masyarakat adat yang seringkali menjadi penjaga ekosistem alami. Dalam banyak kasus, program konservasi negara justru meminggirkan komunitas lokal melalui kebijakan eksklusi kawasan hutan atau taman nasional.¹⁰ Paradoks ini menimbulkan kritik terhadap model konservasi yang sentralistis dan kolonialistik, yang mengabaikan epistemologi dan praktik ekologis masyarakat adat.¹¹

Masyarakat adat mempraktikkan bentuk konservasi berbasis nilai spiritual dan relasional.¹² Fikret Berkes menyebut sistem pengetahuan tradisional ini sebagai Traditional Ecological Knowledge (TEK), yaitu sistem nilai dan praktik pengelolaan sumber daya yang diwariskan lintas generasi.¹³ Dengan demikian, pengakuan terhadap hak masyarakat adat bukan hanya isu politik, tetapi juga pengakuan epistemologis dan moral terhadap keberagaman cara mengetahui dan menjaga alam.¹⁴

Prinsip keadilan lingkungan (environmental justice) juga berkaitan erat dengan isu ini. Gerakan keadilan lingkungan yang berkembang di Amerika Latin dan Asia menegaskan bahwa beban ekologis tidak boleh ditimpakan kepada kelompok miskin dan marjinal yang paling sedikit berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.¹⁵ Dalam kerangka etika konservasi, keadilan lingkungan menuntut redistribusi tanggung jawab ekologis secara global dan pengakuan terhadap hak kolektif komunitas lokal atas tanah, air, dan keanekaragaman hayati.¹⁶

6.3.       Etika dalam Hukum Konservasi dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan

Dimensi hukum konservasi berkembang sebagai instrumen untuk mengatur hubungan antara manusia dan alam dalam kerangka normatif yang mengikat.¹⁷ Namun, hukum lingkungan yang hanya bersifat positivistik tidak cukup untuk menjamin kelestarian alam jika tidak didasari oleh etika ekologis.¹⁸ Etika konservasi menuntut agar hukum tidak sekadar menjadi mekanisme sanksi, tetapi juga sarana pembentukan kesadaran moral ekologis.¹⁹

Konsep ecological jurisprudence atau hukum ekologis yang diperkenalkan oleh Catherine Iorns Magallanes menegaskan bahwa sistem hukum modern harus mengakui hak-hak entitas non-manusia—seperti sungai, hutan, atau gunung—sebagai subjek hukum.²⁰ Pendekatan ini tercermin dalam kasus Whanganui River di Selandia Baru (2017), ketika sungai tersebut diberikan status hukum sebagai entitas hidup yang memiliki hak untuk dilindungi.²¹

Selain itu, kerangka pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagaimana ditegaskan dalam Brundtland Report (1987) berupaya mengintegrasikan dimensi etis dalam kebijakan hukum internasional.²² Prinsip “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs” menjadi dasar moral bagi setiap peraturan yang berkaitan dengan konservasi.²³ Dalam hal ini, etika konservasi berfungsi sebagai fondasi aksiologis dari hukum lingkungan internasional yang berorientasi pada tanggung jawab lintas generasi.²⁴

6.4.       Tanggung Jawab Korporasi dan Etika Lingkungan Global

Dimensi politik-hukum konservasi juga mencakup peran sektor privat dan korporasi global yang memiliki dampak besar terhadap keberlanjutan ekosistem.²⁵ Dalam sistem kapitalisme global, korporasi sering menjadi aktor utama dalam eksploitasi sumber daya alam, baik melalui pertambangan, agribisnis, maupun energi fosil.²⁶ Oleh karena itu, muncul konsep Corporate Environmental Responsibility (CER) sebagai perluasan dari tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility).²⁷

CER menegaskan bahwa perusahaan tidak hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham, tetapi juga kepada seluruh pemangku kepentingan ekologis (environmental stakeholders), termasuk komunitas lokal dan alam itu sendiri.²⁸ John Elkington memperkenalkan kerangka Triple Bottom Line (People, Planet, Profit) untuk menegaskan bahwa kinerja etis perusahaan harus diukur berdasarkan keseimbangan antara keuntungan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan keberlanjutan ekologis.²⁹

Namun, dalam praktiknya, banyak kebijakan korporasi yang masih bersifat simbolik atau “greenwashing”—yakni upaya pencitraan hijau tanpa perubahan substansial dalam model produksi.³⁰ Etika konservasi menuntut kejujuran dan tanggung jawab moral dalam praktik bisnis, dengan menempatkan keberlanjutan ekologis sebagai prinsip moral utama dalam pengambilan keputusan ekonomi global.³¹ Dengan demikian, konservasi bukan sekadar domain kebijakan publik, tetapi juga imperatif etis global yang melibatkan seluruh sistem sosial, politik, dan ekonomi umat manusia.³²


Footnotes

[1]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 92.

[2]                Robert Goodland, “The Concept of Environmental Sustainability,” Annual Review of Ecology and Systematics 26 (1995): 4.

[3]                United Nations Environment Programme (UNEP), Global Environment Outlook 6 (Nairobi: UNEP, 2019), 18.

[4]                Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 49.

[5]                Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books, 1982), 97.

[6]                Ibid., 103.

[7]                Convention on Biological Diversity (CBD), Global Biodiversity Outlook 5 (Montreal: CBD Secretariat, 2020), 12–13.

[8]                Clive L. Spash, The Economics of Climate Change: Stern Review and Its Critics (London: Routledge, 2010), 22.

[9]                Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 411.

[10]             Peter Brosius, “Conservation, Indigenous Peoples, and Protected Areas: The Paradox of Power,” Conservation and Society 2, no. 2 (2004): 247.

[11]             Arun Agrawal and Kent Redford, “Conservation and Displacement: An Overview,” Conservation and Society 7, no. 1 (2009): 5.

[12]             Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1988), 56.

[13]             Fikret Berkes, Sacred Ecology: Traditional Ecological Knowledge and Resource Management (Philadelphia: Taylor & Francis, 1999), 12.

[14]             Darrell A. Posey, ed., Cultural and Spiritual Values of Biodiversity (Nairobi: UNEP, 1999), 9.

[15]             Joan Martinez-Alier, The Environmentalism of the Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation (Cheltenham: Edward Elgar, 2002), 37.

[16]             Brian Baxter, A Theory of Ecological Justice (London: Routledge, 2005), 45.

[17]             Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 11.

[18]             Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University, 1989), 9.

[19]             Catherine Iorns Magallanes, “Nature as an Ancestor: Two Examples of Legal Personality for Nature in New Zealand,” VertigO 18, no. 3 (2018): 3.

[20]             Ibid., 4.

[21]             New Zealand Government, Te Awa Tupua (Whanganui River Claims Settlement) Act 2017, §14.

[22]             World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common Future (Oxford: Oxford University Press, 1987), 43.

[23]             Ibid., 8.

[24]             Klaus Bosselmann, Earth Governance: Trusteeship of the Global Commons (Cheltenham: Edward Elgar, 2015), 29.

[25]             Clive L. Spash, Green Growth: Ideology, Political Economy and the Alternatives (London: Routledge, 2017), 51.

[26]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 38.

[27]             John Elkington, Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business (Oxford: Capstone, 1997), 72.

[28]             Ibid., 76.

[29]             Andrew Crane and Dirk Matten, Business Ethics: Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization (Oxford: Oxford University Press, 2016), 118.

[30]             Melissa Aronczyk and Maria Espinoza, “Greenwashing and the Misrepresentation of Environmental Responsibility,” Communication, Culture & Critique 12, no. 4 (2019): 545.

[31]             Peter Singer, One World: The Ethics of Globalization (New Haven: Yale University Press, 2002), 102.

[32]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 128.


7.           Kritik terhadap Etika Konservasi

7.1.       Kritik terhadap Antroposentrisme dalam Konservasi

Salah satu kritik utama terhadap praktik konservasi modern adalah bahwa ia masih beroperasi dalam kerangka antroposentrisme terselubung, yaitu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai dan tujuan dari seluruh tindakan ekologis.¹ Meskipun banyak kebijakan konservasi mengklaim bersifat “ramah lingkungan,” fokus utamanya sering kali adalah pada kepentingan manusia jangka panjang, seperti keberlanjutan ekonomi atau kesehatan publik, bukan pada nilai intrinsik alam itu sendiri.²

Kritik ini dikemukakan secara tajam oleh Arne Naess, pendiri Deep Ecology, yang menilai bahwa konservasi yang didorong oleh kepentingan manusia hanyalah bentuk “ekologi dangkal.”³ Menurutnya, pendekatan tersebut gagal memahami bahwa seluruh makhluk hidup memiliki nilai dan hak eksistensial yang setara dalam tatanan ekologis.⁴ Dalam kerangka ini, etika konservasi yang terlalu pragmatis dianggap masih terjebak dalam logika utilitarianisme modern, yang menilai alam berdasarkan fungsinya bagi kesejahteraan manusia.⁵

Namun, sejumlah pemikir seperti Bryan Norton berusaha menanggapi kritik ini dengan pendekatan convergence hypothesis—yakni bahwa kepentingan manusia dan kelestarian ekologis tidak selalu bertentangan, dan justru dapat saling memperkuat.⁶ Meski demikian, ketegangan antara kepentingan manusia dan hak alam tetap menjadi problem filosofis yang belum terselesaikan sepenuhnya dalam wacana konservasi.⁷

7.2.       Kritik Marxis dan Ekologi Politik terhadap Konservasi

Dari perspektif ekologi politik dan Marxisme ekologis, etika konservasi dikritik karena sering mengabaikan dimensi struktural dari krisis lingkungan. John Bellamy Foster menegaskan bahwa akar kerusakan ekologis bukan terletak pada kegagalan moral individu, melainkan pada modus produksi kapitalistik yang menuntut akumulasi tanpa batas.⁸ Dalam sistem ini, alam direduksi menjadi komoditas, sementara konservasi sering dijadikan instrumen ideologis untuk mempertahankan dominasi ekonomi global.⁹

Kritik ini juga diarahkan terhadap ekonomi hijau dan pendekatan sustainable development yang dianggap telah direbut oleh kepentingan pasar.¹⁰ David Harvey menyebut fenomena ini sebagai bentuk “environmental fix”—yakni strategi kapitalisme untuk mengatasi kontradiksi ekologis melalui eksploitasi baru dalam bentuk kebijakan hijau yang semu.¹¹ Akibatnya, konservasi berisiko menjadi alat legitimasi neoliberalisme, bukan solusi moral terhadap krisis ekologi.¹²

Dalam konteks ini, etika konservasi dianggap perlu memperluas basis aksinya dari moralitas individual menuju etika struktural, yang menuntut transformasi sistem ekonomi dan politik global agar sejalan dengan prinsip keadilan ekologis.¹³ Dengan kata lain, tanpa perubahan dalam relasi produksi dan distribusi kekuasaan, konservasi cenderung menjadi proyek etis yang tidak menyentuh akar masalah ekologis.¹⁴

7.3.       Kritik terhadap Romantisisme dan Naturalisme Naif

Selain kritik ideologis, etika konservasi juga menghadapi tantangan epistemologis dari kalangan filsuf realis dan konstruktivis sosial. Sebagian dari mereka menilai bahwa banyak wacana konservasi modern terjebak dalam romantisisme ekologis, yaitu pandangan yang mengidealisasi “alam liar” (wilderness) sebagai sesuatu yang murni dan terpisah dari budaya manusia.¹⁵

William Cronon dalam esainya yang terkenal The Trouble with Wilderness (1995) menegaskan bahwa gagasan tentang alam liar merupakan konstruksi kultural hasil modernitas Barat, bukan realitas objektif.¹⁶ Dengan demikian, idealisasi terhadap alam liar justru dapat mengabaikan sejarah interaksi manusia dengan alam, terutama masyarakat tradisional yang hidup harmonis dengan lingkungannya.¹⁷ Kritik ini menunjukkan bahwa konservasi perlu disertai kesadaran hermeneutik, yaitu pemahaman bahwa setiap tindakan ekologis selalu berakar pada konstruksi sosial, sejarah, dan budaya tertentu.¹⁸

7.4.       Tantangan Posthumanisme dan Bioetika Global

Kritik terbaru terhadap etika konservasi muncul dari perspektif posthumanisme dan bioetika global, yang mempertanyakan asumsi dasar tentang “subjek moral.”¹⁹ Posthumanisme menolak pandangan klasik yang menempatkan manusia sebagai satu-satunya agen moral dan mengusulkan konsep agensi multispesies—bahwa hewan, tumbuhan, dan bahkan entitas non-biologis (seperti sungai atau teknologi) juga memiliki kapasitas etis dalam jejaring kehidupan.²⁰

Menurut Donna Haraway, dalam Staying with the Trouble (2016), manusia tidak dapat lagi memandang dirinya sebagai pusat tanggung jawab moral, melainkan sebagai bagian dari sympoietic network—jaringan bersama yang menciptakan dan mempertahankan kehidupan.²¹ Dengan demikian, konservasi harus dipahami bukan sebagai aktivitas manusia terhadap alam, tetapi sebagai ko-produksi moral antara berbagai entitas dalam ekosistem.²²

Pendekatan ini menantang fondasi antroposentris maupun humanistik dalam etika konservasi, karena menuntut redefinisi tentang apa yang dimaksud dengan “tanggung jawab,” “moralitas,” dan “keberlanjutan.”²³ Meski menimbulkan kontroversi, kritik posthumanistik ini membuka ruang refleksi baru untuk mengembangkan etika konservasi yang lebih inklusif dan adaptif terhadap kompleksitas biosfer kontemporer.²⁴


Footnotes

[1]                Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990), 22.

[2]                Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 45.

[3]                Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.

[4]                Ibid., 98.

[5]                Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 54.

[6]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 110.

[7]                J. Baird Callicott, In Defense of the Land Ethic: Essays in Environmental Philosophy (Albany: SUNY Press, 1989), 62.

[8]                John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 23.

[9]                Ibid., 41.

[10]             Clive L. Spash, Green Growth: Ideology, Political Economy and the Alternatives (London: Routledge, 2017), 52.

[11]             David Harvey, Seventeen Contradictions and the End of Capitalism (London: Profile Books, 2014), 128.

[12]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 29.

[13]             Alf Hornborg, Global Magic: Technologies of Appropriation from Ancient Rome to Wall Street (New York: Palgrave Macmillan, 2016), 91.

[14]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books, 1982), 117.

[15]             William Cronon, “The Trouble with Wilderness; or, Getting Back to the Wrong Nature,” in Uncommon Ground: Rethinking the Human Place in Nature, ed. William Cronon (New York: W. W. Norton, 1995), 69.

[16]             Ibid., 72.

[17]             Carolyn Merchant, Reinventing Eden: The Fate of Nature in Western Culture (New York: Routledge, 2003), 103.

[18]             Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 112.

[19]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 56.

[20]             Cary Wolfe, What Is Posthumanism? (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2010), 38.

[21]             Donna J. Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene (Durham, NC: Duke University Press, 2016), 12.

[22]             Ibid., 20.

[23]             Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 90.

[24]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 143.


8.           Relevansi Kontemporer Etika Konservasi

8.1.       Krisis Iklim dan Pergeseran Paradigma Etika Ekologis Global

Pada abad ke-21, relevansi etika konservasi semakin mendesak seiring dengan meningkatnya krisis iklim global dan kerusakan ekologis yang meluas. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2023 menegaskan bahwa suhu rata-rata bumi telah meningkat lebih dari 1,2°C dibandingkan era pra-industri, dengan dampak signifikan terhadap biodiversitas, pangan, dan keberlangsungan hidup manusia.¹ Fakta ini menunjukkan bahwa krisis ekologis bukan lagi isu sektoral, melainkan krisis moral peradaban, sebagaimana diungkapkan oleh Hans Jonas, yang menilai bahwa tanggung jawab ekologis merupakan imperatif etis baru bagi keberlangsungan spesies manusia.²

Dalam konteks ini, etika konservasi berperan sebagai orientasi moral global yang melampaui batas negara dan ideologi.³ Ia menegaskan bahwa tanggung jawab terhadap bumi adalah tanggung jawab universal, bukan semata urusan politik domestik.⁴ Etika konservasi menggeser paradigma dari environmental management (pengelolaan lingkungan) menuju ecological stewardship (penjagaan ekologis) yang mengakui keterhubungan dan ketergantungan antarsemua bentuk kehidupan.⁵

Lebih dari sekadar prinsip moral, etika konservasi kini menjadi dasar bagi kebijakan internasional, seperti Paris Agreement (2015) dan Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (2022), yang menuntut integrasi nilai-nilai keberlanjutan dan keadilan ekologis dalam pembangunan global.⁶

8.2.       Etika Konservasi dan Agenda ESG (Environmental, Social, and Governance)

Dalam ranah ekonomi global, etika konservasi memperoleh relevansi baru melalui kerangka ESG (Environmental, Social, and Governance) yang menilai kinerja perusahaan tidak hanya berdasarkan keuntungan finansial, tetapi juga pada tanggung jawab sosial dan dampak ekologis.⁷ Pendekatan ini sejalan dengan prinsip aksiologis etika konservasi, yaitu bahwa nilai moral tidak dapat dipisahkan dari struktur ekonomi dan tata kelola sosial.

Namun, para pemikir kritis seperti Clive Spash memperingatkan bahwa banyak praktik ESG masih beroperasi dalam paradigma kapitalistik yang sama, menjadikan konservasi sebagai komoditas reputasional tanpa perubahan mendasar dalam model produksi.⁸ Dalam konteks ini, etika konservasi berfungsi sebagai kritik normatif terhadap kecenderungan greenwashing—penggunaan narasi hijau untuk menutupi praktik eksploitatif.⁹

Sebaliknya, pendekatan yang etis menuntut agar ESG dijalankan berdasarkan prinsip moral substantif, yakni penghargaan terhadap nilai intrinsik alam, keadilan lintas generasi, dan transparansi ekologis.¹⁰ Dengan demikian, etika konservasi dapat memperkuat ESG bukan sebagai alat branding, tetapi sebagai kerangka moral perusahaan berkelanjutan yang selaras dengan keseimbangan planet.¹¹

8.3.       Konservasi Digital dan Teknologi Hijau

Etika konservasi juga menemukan relevansi baru di tengah revolusi teknologi digital. Inovasi seperti Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), dan big data kini digunakan untuk memantau perubahan lingkungan, melacak deforestasi, dan mengoptimalkan penggunaan energi.¹² Teknologi semacam ini membuka peluang besar bagi konservasi ilmiah yang lebih efisien dan adaptif.

Namun, sebagaimana diingatkan oleh Andrew Light, teknologi bukanlah entitas netral; ia memerlukan kerangka moral untuk memastikan penggunaannya selaras dengan nilai-nilai ekologis.¹³ Tanpa refleksi etis, teknologi justru dapat mempercepat degradasi ekologis melalui konsumsi energi tinggi, limbah elektronik, dan peningkatan ketimpangan akses.¹⁴ Oleh karena itu, green technology harus dipahami bukan hanya sebagai inovasi teknis, tetapi sebagai praktik moral ekologis, di mana manusia menggunakan pengetahuan ilmiah untuk memulihkan, bukan menguasai alam.¹⁵

Etika konservasi dalam era digital juga mendorong terbentuknya kesadaran ekologis virtual—suatu bentuk pembelajaran ekologis berbasis data dan empati digital, yang memungkinkan masyarakat global memahami dampak ekologis secara lebih konkret melalui simulasi dan narasi interaktif.¹⁶ Dengan demikian, teknologi dapat menjadi medium baru bagi pendidikan moral ekologis, asalkan diiringi oleh orientasi etika yang reflektif dan kritis.¹⁷

8.4.       Konservasi dalam Pendidikan dan Budaya Ekologi Generasi Muda

Relevansi etika konservasi juga terletak pada peran pendidikan sebagai medium pembentukan kesadaran ekologis. Pendidikan konservasi tidak hanya mengajarkan pengetahuan ilmiah tentang alam, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral, empati, dan tanggung jawab ekologis.¹⁸ David Orr menekankan bahwa pendidikan lingkungan seharusnya tidak sekadar mengajarkan “tentang alam,” tetapi “dalam dan untuk alam.”¹⁹

Melalui pendidikan, generasi muda dapat dikembangkan menjadi subjek etis ekologis, bukan sekadar pengguna sumber daya.²⁰ Kurikulum ekologis yang menekankan refleksi filosofis, aksi lapangan, dan integrasi seni dapat membentuk ecological imagination—kemampuan membayangkan masa depan berkelanjutan dan relasi harmonis dengan dunia non-manusia.²¹

Selain itu, budaya populer, seni, dan media juga memiliki peran dalam membentuk kesadaran ekologis kontemporer.²² Film, musik, dan literatur ekologis dapat menjadi sarana efektif untuk membangkitkan empati dan tanggung jawab moral terhadap lingkungan.²³ Dengan demikian, etika konservasi bukan sekadar disiplin akademis, tetapi gerakan kultural yang menanamkan nilai keberlanjutan ke dalam struktur kesadaran kolektif manusia.²⁴


Footnotes

[1]                Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate Change 2023: Synthesis Report (Cambridge: Cambridge University Press, 2023), 7–9.

[2]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 123.

[3]                Peter Singer, One World: The Ethics of Globalization (New Haven: Yale University Press, 2002), 88.

[4]                Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 51.

[5]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224.

[6]                United Nations, Paris Agreement (New York: United Nations, 2015), art. 2; Convention on Biological Diversity (CBD), Global Biodiversity Framework (Montreal: CBD Secretariat, 2022), 12.

[7]                John Elkington, Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business (Oxford: Capstone, 1997), 69.

[8]                Clive L. Spash, Green Growth: Ideology, Political Economy and the Alternatives (London: Routledge, 2017), 48.

[9]                Melissa Aronczyk and Maria Espinoza, “Greenwashing and the Misrepresentation of Environmental Responsibility,” Communication, Culture & Critique 12, no. 4 (2019): 545.

[10]             Andrew Crane and Dirk Matten, Business Ethics: Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization (Oxford: Oxford University Press, 2016), 118.

[11]             Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990), 35.

[12]             Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 212.

[13]             Andrew Light, Moral and Political Reasoning in Environmental Practice (Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 42.

[14]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 71.

[15]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 128.

[16]             David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in a More-Than-Human World (New York: Vintage Books, 1996), 72.

[17]             Joanna Macy, World as Lover, World as Self (Berkeley: Parallax Press, 1991), 28.

[18]             David W. Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and the Human Prospect (Washington, DC: Island Press, 1994), 15.

[19]             Ibid., 18.

[20]             Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1988), 63.

[21]             Stephen Sterling, Sustainable Education: Re-Visioning Learning and Change (Dartington: Green Books, 2001), 45.

[22]             Ursula K. Heise, Sense of Place and Sense of Planet: The Environmental Imagination of the Global (Oxford: Oxford University Press, 2008), 39.

[23]             Lawrence Buell, The Future of Environmental Criticism: Environmental Crisis and Literary Imagination (Malden, MA: Blackwell, 2005), 54.

[24]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 149.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Konservasi Humanistik dan Integral

9.1.       Integrasi antara Etika Deontologis, Teleologis, dan Etika Kebajikan dalam Konservasi

Sintesis filosofis etika konservasi menuntut pendekatan yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga integratif—menggabungkan prinsip kewajiban (deontologis), tujuan moral (teleologis), dan kebajikan karakter (virtue ethics).¹ Etika deontologis, sebagaimana dikembangkan oleh Immanuel Kant, menekankan kewajiban moral universal, yang dalam konteks ekologis diterjemahkan sebagai kewajiban manusia untuk tidak merusak sistem kehidupan yang menopang eksistensinya.² Sementara itu, etika teleologis, yang berakar pada Aristoteles, menyoroti telos atau tujuan tertinggi kehidupan, yaitu eudaimonia (kebahagiaan sejati) yang tidak dapat dicapai tanpa keharmonisan dengan alam.³

Dalam sintesis ini, etika kebajikan memainkan peran penghubung: manusia dituntut tidak hanya menaati aturan moral atau mengejar hasil akhir yang baik, tetapi juga mengembangkan karakter ekologis—seperti kesederhanaan, rasa syukur, empati, dan kepedulian.⁴ Sebagaimana ditegaskan oleh Alasdair MacIntyre, kebajikan adalah kebiasaan moral yang terwujud melalui praktik sosial yang bermakna.⁵ Dalam konteks konservasi, kebajikan ekologis membentuk manusia sebagai steward (penjaga) yang bijaksana dan penuh tanggung jawab terhadap kehidupan bersama.⁶

Dengan demikian, etika konservasi integral bukanlah dogma tunggal, melainkan ruang dialog antara rasionalitas moral, orientasi tujuan, dan pembentukan karakter, yang bersama-sama membangun fondasi moral untuk keberlanjutan planet.⁷

9.2.       Ekologi Integral” sebagai Landasan Etika Konservasi

Gagasan “ekologi integral” menjadi salah satu kerangka konseptual paling penting dalam membangun etika konservasi yang holistik.⁸ Konsep ini, yang dipopulerkan oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ (2015), menegaskan bahwa krisis lingkungan dan krisis sosial memiliki akar yang sama: paradigma antroposentris dan individualistik yang memisahkan manusia dari komunitas kehidupan.⁹ Dalam pandangan ini, pelestarian alam tidak dapat dipisahkan dari keadilan sosial, etika ekonomi, dan tanggung jawab spiritual.¹⁰

Ekologi integral mengusulkan pendekatan moral yang menyatukan dimensi ekologis, sosial, ekonomi, dan spiritual, dengan menempatkan manusia sebagai bagian dari jaringan kosmis, bukan penguasa tunggalnya.¹¹ Pendekatan ini memiliki kesamaan dengan pandangan Murray Bookchin tentang Social Ecology, yang melihat ekologi sebagai persoalan sosial dan politik yang menuntut demokrasi ekologis.¹² Demikian pula, Arne Naess melalui Deep Ecology menyerukan perubahan paradigma dari eksploitasi menuju partisipasi etis dalam keseluruhan kehidupan.¹³

Sintesis antara Social Ecology, Deep Ecology, dan Ekologi Integral membuka jalan menuju etika konservasi yang tidak hanya menyelamatkan alam, tetapi juga merekonstruksi moralitas manusia agar selaras dengan prinsip keberlanjutan, kesetaraan, dan kasih ekologis.¹⁴

9.3.       Humanisme Ekologis: Manusia sebagai Penjaga, Bukan Penguasa Alam

Humanisme dalam tradisi klasik sering diidentikkan dengan supremasi rasionalitas manusia atas alam.¹⁵ Namun, humanisme ekologis menawarkan reinterpretasi yang lebih reflektif—manusia dipandang bukan sebagai pusat, melainkan penjaga keberlangsungan kehidupan.¹⁶ Dalam kerangka ini, manusia tidak meniadakan otonomi alam, melainkan bertanggung jawab secara moral untuk menjamin kelangsungan seluruh sistem ekologis.

Hans Jonas menyebut posisi ini sebagai heuristics of fear: kesadaran moral yang muncul dari pengakuan terhadap potensi destruktif manusia terhadap bumi.¹⁷ Dari ketakutan inilah lahir tanggung jawab eksistensial—suatu ethos of care terhadap dunia yang rapuh.¹⁸ Humanisme ekologis bukanlah anti-humanisme, tetapi humanisme relasional, di mana martabat manusia terwujud justru melalui kemampuannya menjaga dan merawat kehidupan non-manusia.¹⁹

Konsep ini juga sejalan dengan pemikiran Pierre Teilhard de Chardin, yang melihat evolusi kosmos sebagai proses spiritual menuju kesatuan kesadaran global (noosphere).²⁰ Dengan demikian, konservasi bukan hanya aktivitas biologis atau sosial, tetapi juga tindakan spiritual, yaitu partisipasi manusia dalam karya penciptaan yang berkelanjutan.²¹

9.4.       Formulasi Etika Konservasi sebagai Paradigma Moral Baru

Etika konservasi integral dapat dirumuskan sebagai paradigma moral baru bagi peradaban, yang menggantikan logika antroposentrisme dengan prinsip koeksistensi dan tanggung jawab ekologis universal.²² Paradigma ini berangkat dari kesadaran bahwa setiap tindakan manusia memiliki konsekuensi ekologis global, sehingga moralitas tidak lagi terbatas pada hubungan interpersonal, tetapi meluas ke seluruh biosfer.²³

Dalam kerangka filosofis, etika konservasi integral mengandung tiga pilar utama:

1)                  Ontologis – pengakuan terhadap nilai intrinsik dan martabat eksistensial seluruh makhluk hidup.

2)                  Epistemologis – pemahaman ekologis yang bersumber dari pengalaman relasional dan pengetahuan ilmiah yang beretika.

3)                  Aksiologis – penerapan nilai tanggung jawab, keadilan, dan kepedulian dalam tindakan nyata.²⁴

Paradigma moral baru ini juga menuntut revolusi kesadaran (ecological consciousness), sebagaimana diungkapkan oleh Joanna Macy, yakni pergeseran dari kesadaran ego-sentris menuju eco-sentris, dari dominasi menuju partisipasi.²⁵ Dalam pengertian ini, konservasi bukan hanya upaya mempertahankan sumber daya, melainkan pembentukan moralitas ekologis yang menjadi dasar bagi keberlangsungan kehidupan di bumi.²⁶


Footnotes

[1]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 189.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Allen W. Wood (New Haven: Yale University Press, 2002), 45.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1:109.

[4]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 133.

[5]                MacIntyre, After Virtue, 191.

[6]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 114.

[7]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 58.

[8]                Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §137–§139.

[9]                Ibid., §119.

[10]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 31.

[11]             Pope Francis, Laudato Si’, §141.

[12]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books, 1982), 101.

[13]             Arne Naess, “Self-Realization: An Ecological Approach to Being in the World,” in Thinking Like a Mountain: Toward a Council of All Beings, ed. John Seed et al. (Philadelphia: New Society Publishers, 1988), 37.

[14]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 62.

[15]             René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 34.

[16]             Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990), 44.

[17]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 129.

[18]             Ibid., 132.

[19]             Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 73.

[20]             Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man, trans. Bernard Wall (New York: Harper & Row, 1959), 220.

[21]             Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 54.

[22]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 156.

[23]             Peter Singer, One World: The Ethics of Globalization (New Haven: Yale University Press, 2002), 99.

[24]             Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 66.

[25]             Joanna Macy, World as Lover, World as Self (Berkeley: Parallax Press, 1991), 32.

[26]             Fritjof Capra, The Hidden Connections: Integrating the Biological, Cognitive, and Social Dimensions of Life (New York: Anchor Books, 2002), 78.


10.       Kesimpulan

Etika konservasi muncul sebagai refleksi filosofis dan moral terhadap krisis ekologis yang melanda peradaban modern. Ia bukan sekadar wacana normatif, melainkan paradigma moral baru yang menegaskan keterpaduan antara manusia dan alam sebagai satu komunitas kehidupan (biotic community).¹ Dalam konteks ini, konservasi tidak dapat dipahami hanya sebagai tindakan teknis untuk mempertahankan sumber daya, melainkan sebagai praktik moral yang berakar pada kesadaran eksistensial tentang martabat semua makhluk hidup.²

Secara ontologis, etika konservasi menolak dualisme manusia-alam dan menegaskan bahwa eksistensi manusia tidak mungkin dipisahkan dari jaringan ekologis yang menopangnya.³ Alam bukan objek, melainkan subjek keberadaan yang memiliki nilai intrinsik dan layak dihormati.⁴ Secara epistemologis, pengetahuan konservatif menuntut integrasi antara ilmu ekologi, kearifan lokal, dan refleksi moral, yang menjembatani fakta empiris dengan kesadaran etis.⁵ Sedangkan secara aksiologis, etika konservasi membangun fondasi nilai berupa tanggung jawab, keadilan ekologis, empati, dan kepedulian, yang menjadi dasar bagi tatanan dunia yang berkelanjutan.⁶

Pada tataran sosial dan politik, etika konservasi menegaskan perlunya transformasi struktural dalam sistem ekonomi dan hukum agar keberlanjutan ekologis menjadi orientasi kebijakan publik dan tanggung jawab global.⁷ Ini mencakup pengakuan terhadap hak masyarakat adat, regulasi terhadap eksploitasi korporasi, serta pembentukan hukum ekologis yang mengakui hak-hak entitas non-manusia.⁸ Dengan demikian, konservasi bukan lagi domain teknokratis, melainkan imperatif moral universal yang menyatukan seluruh umat manusia dalam solidaritas planetaris.⁹

Secara filosofis, etika konservasi mencapai puncaknya dalam gagasan konservasi humanistik dan integral—suatu pendekatan yang menggabungkan dimensi rasional, spiritual, dan sosial dari eksistensi manusia.¹⁰ Konservasi humanistik menempatkan manusia bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai penjaga (steward) kehidupan.¹¹ Sementara konservasi integral menegaskan kesatuan ekologis antara keberlanjutan alam, keadilan sosial, dan pembentukan kesadaran moral global.¹²

Akhirnya, etika konservasi menyerukan pembentukan “kesadaran ekologis reflektif”, yakni kesadaran yang mengakui bahwa setiap tindakan manusia memiliki konsekuensi terhadap keberlanjutan planet ini.¹³ Seperti yang dinyatakan Aldo Leopold, etika ekologis yang sejati dimulai ketika manusia memperluas batas komunitas moralnya hingga mencakup tanah, air, hewan, dan seluruh kehidupan.¹⁴ Dari kesadaran itulah lahir peradaban ekologis—sebuah masyarakat yang tidak lagi memandang alam sebagai sumber daya untuk dimiliki, tetapi sebagai rumah bersama yang harus dijaga, dirawat, dan diwariskan dengan cinta kepada generasi mendatang.¹⁵


Footnotes

[1]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224.

[2]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 121.

[3]                Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 99.

[4]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 115.

[5]                Fikret Berkes, Sacred Ecology: Traditional Ecological Knowledge and Resource Management (Philadelphia: Taylor & Francis, 1999), 3–4.

[6]                Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 64.

[7]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 102.

[8]                Catherine Iorns Magallanes, “Nature as an Ancestor: Two Examples of Legal Personality for Nature in New Zealand,” VertigO 18, no. 3 (2018): 3–4.

[9]                Peter Singer, One World: The Ethics of Globalization (New Haven: Yale University Press, 2002), 98.

[10]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §139.

[11]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 128.

[12]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 30.

[13]             Joanna Macy, World as Lover, World as Self (Berkeley: Parallax Press, 1991), 28.

[14]             Leopold, A Sand County Almanac, 225.

[15]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 65.


Daftar Pustaka

Abram, D. (1996). The spell of the sensuous: Perception and language in a more-than-human world. Vintage Books.

Agrawal, A., & Redford, K. (2009). Conservation and displacement: An overview. Conservation and Society, 7(1), 1–10.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Aronczyk, M., & Espinoza, M. (2019). Greenwashing and the misrepresentation of environmental responsibility. Communication, Culture & Critique, 12(4), 541–559.

Attfield, R. (2014). Environmental ethics: An overview for the twenty-first century. Polity Press.

Bacon, F. (2000). Novum organum (L. Jardine & M. Silverthorne, Eds.). Cambridge University Press.

Bateson, G. (1972). Steps to an ecology of mind. University of Chicago Press.

Baxter, B. (2005). A theory of ecological justice. Routledge.

Berry, T. (1999). The great work: Our way into the future. Bell Tower.

Berkes, F. (1999). Sacred ecology: Traditional ecological knowledge and resource management. Taylor & Francis.

Boff, L. (1997). Cry of the earth, cry of the poor. Orbis Books.

Bookchin, M. (1982). The ecology of freedom: The emergence and dissolution of hierarchy. Cheshire Books.

Bosselmann, K. (2008). The principle of sustainability: Transforming law and governance. Ashgate.

Bosselmann, K. (2015). Earth governance: Trusteeship of the global commons. Edward Elgar.

Braidotti, R. (2013). The posthuman. Polity Press.

Brosius, P. (2004). Conservation, indigenous peoples, and protected areas: The paradox of power. Conservation and Society, 2(2), 246–269.

Buell, L. (2005). The future of environmental criticism: Environmental crisis and literary imagination. Blackwell.

Callicott, J. B. (1989). In defense of the land ethic: Essays in environmental philosophy. SUNY Press.

Cajete, G. (2000). Native science: Natural laws of interdependence. Clear Light Publishers.

Capra, F. (1996). The web of life: A new scientific understanding of living systems. Anchor Books.

Capra, F. (2002). The hidden connections: Integrating the biological, cognitive, and social dimensions of life. Anchor Books.

Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The systems view of life: A unifying vision. Cambridge University Press.

Carson, R. (1962). Silent spring. Houghton Mifflin.

Cronon, W. (1995). The trouble with wilderness; or, getting back to the wrong nature. In W. Cronon (Ed.), Uncommon ground: Rethinking the human place in nature (pp. 69–90). W. W. Norton.

Crane, A., & Matten, D. (2016). Business ethics: Managing corporate citizenship and sustainability in the age of globalization. Oxford University Press.

Darmaputera, E. (1988). The challenge of ecology to theology in Indonesia. LIPI Press.

Descartes, R. (1993). Meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.

Descartes, R. (1998). Discourse on method (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.

Eliade, M. (1959). The sacred and the profane: The nature of religion. Harcourt.

Elkington, J. (1997). Cannibals with forks: The triple bottom line of 21st century business. Capstone.

Fikret, B. (1999). Sacred ecology: Traditional ecological knowledge and resource management. Taylor & Francis.

Foster, J. B. (2000). Marx’s ecology: Materialism and nature. Monthly Review Press.

Fox, W. (1990). Toward a transpersonal ecology: Developing new foundations for environmentalism. Shambhala.

Francis, P. (2015). Laudato si’: On care for our common home. Libreria Editrice Vaticana.

Glacken, C. J. (1967). Traces on the Rhodian shore: Nature and culture in Western thought from ancient times to the end of the eighteenth century. University of California Press.

Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and women’s development. Harvard University Press.

Goodland, R. (1995). The concept of environmental sustainability. Annual Review of Ecology and Systematics, 26, 1–24.

Haraway, D. J. (2016). Staying with the trouble: Making kin in the Chthulucene. Duke University Press.

Harvey, D. (2014). Seventeen contradictions and the end of capitalism. Profile Books.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Heise, U. K. (2008). Sense of place and sense of planet: The environmental imagination of the global. Oxford University Press.

Hornborg, A. (2016). Global magic: Technologies of appropriation from ancient Rome to Wall Street. Palgrave Macmillan.

Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics. Oxford University Press.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). (2023). Climate change 2023: Synthesis report. Cambridge University Press.

Iorns Magallanes, C. (2018). Nature as an ancestor: Two examples of legal personality for nature in New Zealand. VertigO, 18(3), 1–10.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kant, I. (2002). Groundwork for the metaphysics of morals (A. W. Wood, Trans.). Yale University Press.

Klein, N. (2014). This changes everything: Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.

Klostermaier, K. K. (2007). A survey of Hinduism (3rd ed.). SUNY Press.

Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures on the new climatic regime. Polity Press.

Leopold, A. (1949). A sand county almanac and sketches here and there. Oxford University Press.

Light, A. (2003). Moral and political reasoning in environmental practice. MIT Press.

Light, A., & Rolston, H. III (Eds.). (2003). Environmental ethics: An anthology. Blackwell.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Macy, J. (1991). World as lover, world as self. Parallax Press.

Macy, J. (1991). Mutual causality in Buddhism and general systems theory. SUNY Press.

Magnis-Suseno, F. (1984). Etika Jawa: Sebuah analisa filsafat tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Gramedia.

Marsh, G. P. (1864). Man and nature: Or, physical geography as modified by human action. Scribner.

Martinez-Alier, J. (2002). The environmentalism of the poor: A study of ecological conflicts and valuation. Edward Elgar.

Macallanes, C. I. (2018). Nature as an ancestor: Two examples of legal personality for nature in New Zealand. VertigO, 18(3), 1–10.

Merchant, C. (1980). The death of nature: Women, ecology, and the scientific revolution. Harper & Row.

Merchant, C. (2003). Reinventing Eden: The fate of nature in Western culture. Routledge.

Muir, J. (1901). Our national parks. Houghton Mifflin.

Naess, A. (1973). The shallow and the deep, long-range ecology movement. Inquiry, 16(1–4), 95–100.

Naess, A. (1988). Self-realization: An ecological approach to being in the world. In J. Seed, J. Macy, P. Fleming, & A. Naess (Eds.), Thinking like a mountain: Toward a council of all beings (pp. 35–40). New Society Publishers.

Noddings, N. (1984). Caring: A relational approach to ethics and moral education. University of California Press.

Norton, B. G. (1991). Toward unity among environmentalists. Oxford University Press.

Norton, B. G. (2005). Sustainability: A philosophy of adaptive ecosystem management. University of Chicago Press.

Orr, D. W. (1994). Earth in mind: On education, environment, and the human prospect. Island Press.

Pinchot, G. (1910). The fight for conservation. Doubleday.

Pope Francis. (2015). Laudato si’: On care for our common home. Libreria Editrice Vaticana.

Posey, D. A. (Ed.). (1999). Cultural and spiritual values of biodiversity. UNEP.

Posey, D. A. (1993). Traditional ecological knowledge: The key to sustainable development. In J. T. Inglis (Ed.), Traditional ecological knowledge: Wisdom for sustainable development (pp. 11–20). IDRC.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rolston, H. III. (1986). Philosophy gone wild: Essays in environmental ethics. Prometheus Books.

Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural world. Temple University Press.

Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology, and development. Zed Books.

Shue, H. (1993). Subsistence emissions and luxury emissions. Law & Policy, 15(1), 39–59.

Singer, P. (2002). One world: The ethics of globalization. Yale University Press.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Spash, C. L. (2010). The economics of climate change: Stern review and its critics. Routledge.

Spash, C. L. (2017). Green growth: Ideology, political economy and the alternatives. Routledge.

Sterling, S. (2001). Sustainable education: Re-visioning learning and change. Green Books.

Taylor, P. W. (1986). Respect for nature: A theory of environmental ethics. Princeton University Press.

Teilhard de Chardin, P. (1959). The phenomenon of man (B. Wall, Trans.). Harper & Row.

Tucker, M. E., & Grim, J. (2014). Ecology and religion. Island Press.

United Nations. (2015). Paris agreement. United Nations.

United Nations Environment Programme (UNEP). (2019). Global environment outlook 6. UNEP.

Vandana, S. (1988). Staying alive: Women, ecology, and development. Zed Books.

Warwick, F. (1990). Toward a transpersonal ecology: Developing new foundations for environmentalism. Shambhala.

Weber, M. (2001). The Protestant ethic and the spirit of capitalism. Routledge.

Weiss, E. B. (1989). In fairness to future generations: International law, common patrimony, and intergenerational equity. United Nations University.

White, L. Jr. (1967). The historical roots of our ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.

Wolfe, C. (2010). What is posthumanism? University of Minnesota Press.

World Commission on Environment and Development (WCED). (1987). Our common future. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar