Etika Konservasi
Fondasi Moral bagi Pelestarian Alam
dan Keberlanjutan Hidup
Alihkan ke: Etika Lingungan.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif fondasi
filosofis dan etis dari konservasi alam sebagai respons terhadap krisis ekologis
global. Melalui pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis, tulisan
ini berupaya menegaskan bahwa konservasi bukan sekadar tindakan teknis atau
kebijakan lingkungan, melainkan panggilan moral dan eksistensial manusia untuk
menjaga keberlanjutan kehidupan di bumi. Secara historis, gagasan konservasi
berakar pada spiritualitas kuno, berkembang dalam tradisi ilmiah modern, dan
menemukan refleksi etisnya dalam pemikiran kontemporer seperti Land Ethic
(Aldo Leopold), Deep Ecology (Arne Naess), dan Social Ecology
(Murray Bookchin).
Secara ontologis, artikel ini menolak dualisme
manusia–alam dan menegaskan nilai intrinsik seluruh makhluk hidup.
Epistemologinya menyoroti pentingnya integrasi antara ilmu ekologi, kearifan
lokal, dan kesadaran moral sebagai dasar pengetahuan ekologis yang beretika.
Dari segi aksiologi, etika konservasi berlandaskan nilai tanggung jawab,
keadilan ekologis, empati, dan kepedulian lintas generasi. Dimensi sosial,
politik, dan hukum konservasi dikaji sebagai kerangka praksis untuk mewujudkan
keadilan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta untuk mengarahkan
korporasi dan kebijakan publik menuju tata kelola ekologis yang berkelanjutan.
Sintesis filosofisnya menghasilkan gagasan konservasi
humanistik dan integral, yaitu paradigma moral baru yang menempatkan
manusia sebagai penjaga (steward) kehidupan, bukan penguasa alam. Dengan
menggabungkan etika kewajiban, kebajikan, dan tanggung jawab planetaris,
artikel ini menegaskan bahwa keberlanjutan ekologis merupakan fondasi moral
peradaban masa depan. Melalui kesadaran ekologis reflektif, manusia diundang
untuk menghayati kembali eksistensinya sebagai bagian dari komunitas kehidupan
yang lebih luas—sebuah ethos of care bagi bumi sebagai rumah bersama
seluruh ciptaan.
Kata Kunci: Etika konservasi; ekologi integral; tanggung jawab
moral; keadilan ekologis; humanisme ekologis; keberlanjutan; etika lingkungan;
stewardship.
PEMBAHASAN
Konseptual dan Filosofis Etika Konservasi
1.          
Pendahuluan
Krisis ekologis global pada abad ke-21 menjadi
salah satu persoalan moral terbesar dalam sejarah manusia. Perubahan iklim,
deforestasi masif, kehilangan biodiversitas, serta degradasi tanah dan air
menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan alam telah mengalami disorientasi
mendasar. Dalam paradigma modern yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai (anthropocentric
worldview), alam direduksi menjadi sekadar instrumen bagi kepentingan
ekonomi dan teknologi.¹ Akibatnya, eksploitasi sumber daya alam dilakukan tanpa
mempertimbangkan keberlanjutan ekologis maupun tanggung jawab etis terhadap
generasi mendatang.²
Dalam konteks ini, muncul kebutuhan mendesak untuk
membangun kerangka etika konservasi, yaitu suatu sistem nilai dan
prinsip moral yang menegaskan kewajiban manusia untuk melindungi, merawat, dan
memulihkan alam.³ Etika konservasi tidak hanya berfokus pada aspek instrumental
atau pragmatis dari pelestarian lingkungan, tetapi juga menyoroti nilai
intrinsik alam sebagai entitas yang memiliki hak untuk eksis dan berkembang.⁴
Gagasan ini bertumpu pada pandangan bahwa keberlanjutan ekologis merupakan
bagian tak terpisahkan dari keberlanjutan moral umat manusia.
Dari sudut pandang filosofis, etika konservasi
lahir dari ketegangan antara dua paradigma besar: antroposentrisme dan ekosentrisme.⁵
Paradigma antroposentris melihat nilai alam hanya sejauh ia berguna bagi
manusia, sedangkan ekosentrisme menegaskan bahwa nilai moral tidak terbatas
pada manusia, tetapi juga mencakup seluruh makhluk hidup dan sistem ekologis
secara utuh.⁶ Dalam hal ini, etika konservasi berupaya menemukan jalan tengah
yang lebih reflektif: suatu humanisme ekologis, yang memandang manusia
bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai penjaga (steward) dari
komunitas biotik yang lebih luas.⁷
Urgensi etika konservasi semakin kuat seiring
dengan meningkatnya kesadaran global terhadap sustainability.
Laporan-laporan ilmiah dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC),
misalnya, menunjukkan bahwa tindakan manusia terhadap ekosistem memiliki dampak
langsung pada stabilitas planet.⁸ Oleh karena itu, persoalan konservasi tidak
bisa lagi dipandang sebagai isu teknis semata, melainkan harus ditempatkan
dalam kerangka moral yang menyentuh aspek tanggung jawab, keadilan, dan
kebajikan ekologis.⁹ Etika konservasi hadir sebagai refleksi filosofis yang
menjembatani pengetahuan ekologis dengan kesadaran moral, serta mengajak
manusia untuk memikirkan kembali hakikat eksistensinya di tengah komunitas
kehidupan.¹⁰
Kajian ini bertujuan untuk menelusuri fondasi
filosofis etika konservasi melalui tiga dimensi utama: ontologis (hakikat
keberadaan alam dan relasi manusia-alam), epistemologis (cara manusia
mengetahui dan menilai alam secara moral), dan aksiologis (nilai-nilai yang
mendasari tindakan konservatif). Selain itu, tulisan ini juga akan menyoroti
dimensi sosial, politik, dan hukum dari konservasi, kritik terhadap paradigma
dominan, serta relevansi etika konservasi dalam menghadapi tantangan
kontemporer seperti perubahan iklim dan krisis keanekaragaman hayati. Dengan
demikian, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan landasan moral dan
konseptual bagi pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan ekologis.¹¹
Footnotes
[1]               
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our
Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–1207.
[2]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 5–7.
[3]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches
Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 201.
[4]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties
to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 112.
[5]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among
Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 56.
[6]               
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range
Ecology Movement,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.
[7]               
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books,
1982), 67.
[8]               
IPCC, Climate Change 2021: The Physical Science
Basis (Cambridge: Cambridge University Press, 2021), 10–13.
[9]               
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 42.
[10]            
Mary Midgley, Science and Poetry (London:
Routledge, 2001), 134.
[11]            
Bryan G. Norton and Ben A. Minteer, Toward
Sustainable Communities: Transition and Transformations in Environmental Policy
(Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 25–28.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis
2.1.      
Asal-Usul Gagasan Konservasi dalam
Sejarah Manusia
Gagasan tentang konservasi tidak lahir dari
kekosongan sejarah; ia merupakan hasil dari evolusi panjang kesadaran manusia
terhadap alam. Dalam masyarakat pra-modern, relasi manusia dengan lingkungan
bersifat organik dan sakral. Alam dianggap memiliki jiwa (anima mundi),
dan setiap unsur kehidupan—air, tanah, tumbuhan, dan hewan—memiliki peran
spiritual yang harus dihormati.¹ Konsep ini dapat ditemukan dalam berbagai
kebudayaan kuno, seperti tradisi agraris Mesir dan Mesopotamia yang menekankan
keselarasan antara aktivitas manusia dan siklus alam.² Dalam konteks ini,
konservasi bukanlah tindakan ilmiah, melainkan bagian dari kehidupan religius
dan moral.
Perubahan besar terjadi pada masa modern ketika
revolusi ilmiah dan rasionalisme Cartesian memperkenalkan dualisme tajam antara
subjek dan objek. Alam direduksi menjadi res extensa—sesuatu yang dapat
diukur, dimanipulasi, dan dieksploitasi.³ Paradigma mekanistik ini melahirkan
hubungan instrumental antara manusia dan alam, yang pada akhirnya memicu
eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam selama era industri.⁴ Dalam
situasi tersebut, kesadaran ekologis mulai memudar, digantikan oleh logika
produksi dan efisiensi yang menempatkan alam sebagai bahan mentah bagi kemajuan
ekonomi.⁵
2.2.      
Konservasi dalam Perspektif Agama
dan Kebudayaan Tradisional
Meskipun modernitas membawa krisis ekologis,
berbagai tradisi keagamaan dan kearifan lokal tetap memelihara prinsip-prinsip
konservatif terhadap alam. Dalam Islam, misalnya, alam dipandang sebagai amanah
(titipan) yang harus dijaga oleh manusia sebagai khalifah (penjaga
bumi).⁶ Al-Qur’an menegaskan bahwa kerusakan di muka bumi disebabkan oleh
tangan manusia yang melampaui batas keseimbangan.⁷ Dalam konteks Hindu, ajaran ahimsa
(tanpa kekerasan) dan konsep rita (tatanan kosmis) mengajarkan harmoni
antara makhluk hidup dan alam semesta.⁸ Demikian pula dalam tradisi Jawa,
dikenal prinsip memayu hayuning bawana—memelihara keindahan dan
keseimbangan dunia sebagai tanggung jawab moral manusia.⁹
Kearifan lokal semacam ini membentuk dimensi etis
dari konservasi yang berbasis spiritualitas dan keberlanjutan. Sebelum
munculnya terminologi “konservasi” secara ilmiah, masyarakat adat telah
mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya berbasis nilai, seperti sasi
di Maluku, hutan larangan di Sumatra, dan subak di Bali.¹⁰ Dengan
demikian, konservasi tradisional merupakan refleksi moral dari pengalaman
ekologis manusia dalam mempertahankan keseimbangan hidup, bukan sekadar
kebijakan ekologis yang teknokratik.
2.3.      
Perkembangan Konsep Konservasi
Ilmiah di Era Modern dan Pasca-Industrial
Pada abad ke-19, muncul gerakan konservasi modern
di Barat sebagai reaksi terhadap eksploitasi alam akibat industrialisasi. Tokoh
seperti George Perkins Marsh melalui karyanya Man and Nature
(1864) menegaskan bahwa manusia telah menjadi kekuatan geologis yang merusak
bumi.¹¹ Di Amerika Serikat, John Muir mempromosikan konsep preservationism—gagasan
bahwa alam harus dilindungi karena nilai estetik dan spiritualnya, bukan semata
karena manfaat ekonominya.¹² Sebaliknya, Gifford Pinchot memperkenalkan conservationism,
yaitu pengelolaan sumber daya alam secara rasional untuk kepentingan manusia
dan generasi mendatang.¹³
Kedua arus pemikiran ini membentuk fondasi awal
etika konservasi modern. Namun pada paruh kedua abad ke-20, dengan munculnya
gerakan lingkungan global seperti Earth Day (1970) dan laporan Limits
to Growth oleh Club of Rome (1972), wacana konservasi berkembang menjadi
refleksi etis yang lebih mendalam.¹⁴ Muncul kesadaran bahwa konservasi tidak
dapat hanya didekati dari sudut teknis atau ekonomi, tetapi harus mencakup
pertimbangan moral tentang nilai intrinsik alam.¹⁵
2.4.      
Transisi dari Konservasi
Instrumental ke Konservasi Etis
Perubahan paradigma konservasi menuju dimensi etis
dipengaruhi oleh sejumlah pemikir kunci abad ke-20. Aldo Leopold dengan
konsep Land Ethic-nya menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari “komunitas
biotik” dan memiliki kewajiban moral untuk memelihara integritas, stabilitas,
dan keindahan komunitas tersebut.¹⁶ Gagasan ini merupakan salah satu tonggak
dalam transformasi konservasi menjadi persoalan etis.
Selanjutnya, Rachel Carson melalui bukunya Silent
Spring (1962) membuka kesadaran publik tentang dampak destruktif aktivitas
manusia terhadap ekosistem melalui penggunaan pestisida.¹⁷ Sementara itu, Arne
Naess memperkenalkan Deep Ecology pada 1970-an, yang menekankan
nilai intrinsik semua bentuk kehidupan dan menyerukan perubahan paradigma dari shallow
ecology (ekologi dangkal yang berorientasi pada manusia) ke deep ecology
(ekologi mendalam yang berorientasi pada keseluruhan biosfer).¹⁸
Di sisi lain, Murray Bookchin memperkenalkan
Social Ecology, yang menyoroti bahwa krisis lingkungan tidak dapat
dipisahkan dari struktur sosial yang hierarkis dan eksploitatif.¹⁹ Dengan
demikian, sejarah etika konservasi tidak hanya merupakan kronologi pemikiran,
tetapi juga genealoginya: suatu perkembangan reflektif yang berangkat dari
spiritualitas kuno, melalui krisis modernitas, menuju kesadaran ekologis yang
integral dan reflektif secara moral.²⁰
Footnotes
[1]               
Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The
Nature of Religion (New York: Harcourt, 1959), 91–93.
[2]               
Clarence J. Glacken, Traces on the Rhodian
Shore: Nature and Culture in Western Thought from Ancient Times to the End of
the Eighteenth Century (Berkeley: University of California Press, 1967),
22–25.
[3]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 28.
[4]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row,
1980), 32–35.
[5]               
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism (London: Routledge, 2001), 97.
[6]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual
Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 37.
[7]               
Al-Qur’an, Surah Ar-Rum (30): 41.
[8]               
Klaus K. Klostermaier, A Survey of Hinduism,
3rd ed. (Albany: SUNY Press, 2007), 111.
[9]               
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa
Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 1984), 78.
[10]            
Eka Darmaputera, The Challenge of Ecology to
Theology in Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 1988), 14.
[11]            
George Perkins Marsh, Man and Nature: Or,
Physical Geography as Modified by Human Action (New York: Scribner, 1864),
5.
[12]            
John Muir, Our National Parks (Boston:
Houghton Mifflin, 1901), 12–13.
[13]            
Gifford Pinchot, The Fight for Conservation
(New York: Doubleday, 1910), 48.
[14]            
Donella H. Meadows et al., The Limits to Growth
(New York: Universe Books, 1972), 9–10.
[15]            
Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays
in Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 44.
[16]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches
Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224.
[17]            
Rachel Carson, Silent Spring (Boston: Houghton
Mifflin, 1962), 23.
[18]            
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range
Ecology Movement,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.
[19]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books,
1982), 77–79.
[20]            
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology:
Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990),
18–21.
3.          
Ontologi
Konservasi
3.1.      
Hakikat Alam sebagai Entitas Moral
Pertanyaan ontologis dalam etika konservasi
berkaitan dengan hakikat alam: apakah alam sekadar objek bagi manusia, ataukah
ia memiliki keberadaan yang bernilai pada dirinya sendiri (intrinsic being)?
Dalam pandangan klasik Barat, alam sering dipahami secara dualistik—sebagai
sesuatu yang berada “di luar” manusia dan tunduk pada kontrol
rasionalnya.¹ Namun, filsafat kontemporer menolak dikotomi ini dengan
menegaskan bahwa manusia dan alam merupakan satu kesatuan ontologis dalam
jaringan kehidupan yang saling bergantung.²
Etika konservasi memandang bahwa alam bukanlah entitas
pasif, melainkan memiliki dignity of being—martabat ontologis yang patut
dihormati.³ Dengan demikian, tindakan merusak alam bukan hanya pelanggaran
ekologis, tetapi juga pelanggaran terhadap keberadaan itu sendiri. Pandangan
ini menggemakan gagasan Hans Jonas, yang menyatakan bahwa tanggung jawab
moral muncul dari pengakuan atas keberadaan makhluk lain sebagai sesuatu yang “memiliki
hak untuk ada.”⁴
3.2.      
Relasi Ontologis antara Manusia dan
Alam: Antroposentrisme vs Ekosentrisme
Dalam kerangka ontologi konservasi, hubungan
manusia dan alam menjadi pusat perdebatan antara dua paradigma: antroposentrisme
dan ekosentrisme. Paradigma antroposentris, yang mendominasi tradisi
filsafat Barat sejak Descartes dan Bacon, menempatkan manusia sebagai pusat realitas
dan ukuran nilai moral.⁵ Dalam pandangan ini, alam hanya bernilai sejauh ia
bermanfaat bagi kesejahteraan manusia.
Sebaliknya, ekosentrisme menolak pandangan
hierarkis tersebut dengan menegaskan bahwa seluruh entitas dalam biosfer
memiliki nilai moral yang sama pentingnya.⁶ Arne Naess, pendiri gerakan Deep
Ecology, menyatakan bahwa semua makhluk hidup, baik manusia maupun
non-manusia, merupakan ekspresi dari “diri ekologis” (ecological self)
yang saling terkait.⁷ Dengan demikian, konservasi bukan hanya kewajiban moral
manusia terhadap sesuatu yang eksternal, tetapi merupakan upaya menjaga
kesinambungan eksistensi dirinya sendiri di dalam jaringan kehidupan.
Beberapa filsuf seperti Aldo Leopold dan Holmes
Rolston III menambahkan bahwa nilai ekologis tidak dapat dipahami hanya
secara instrumental, karena setiap spesies dan ekosistem memiliki fungsi
ontologis yang membentuk keutuhan komunitas biotik.⁸ Maka, keberlanjutan hidup
bukanlah sekadar strategi adaptasi, tetapi merupakan ekspresi dari being-with—keberadaan
bersama antara manusia dan alam.⁹
3.3.      
Konsep Keberlanjutan sebagai Modus
Eksistensi Ekologis
Ontologi konservasi menegaskan bahwa keberlanjutan
(sustainability) bukan hanya konsep ekonomi atau kebijakan, melainkan modus
eksistensi—cara berada manusia di dunia yang menghormati batas-batas
ekologis.¹⁰ Dalam pengertian ini, keberlanjutan adalah ethos ontologis
yang menuntut manusia untuk hidup dalam keselarasan dengan sistem kehidupan
yang lebih luas.¹¹
Prinsip ini memiliki kesamaan dengan konsep physis
dalam filsafat Yunani kuno, di mana alam dipahami sebagai entitas yang hidup
dan terus memperbarui diri.¹² Melalui pemahaman ini, konservasi menjadi bentuk
partisipasi manusia dalam self-renewal alam, bukan dominasi atasnya.
Dalam pandangan Heideggerian, tindakan merawat alam (Sorge) merupakan
ekspresi dari keberadaan otentik manusia sebagai makhluk yang dwell—menetap
dan membiarkan segala yang ada menyingkapkan dirinya secara alami.¹³
Oleh karena itu, konservasi ontologis menolak
paradigma eksploitatif dan menggantikannya dengan paradigma koeksistensi:
manusia sebagai bagian dari alam yang bertanggung jawab, bukan sebagai subjek
yang memisahkan diri dari totalitas kehidupan.¹⁴
3.4.      
Prinsip Keseimbangan, Harmoni, dan
Keterhubungan Ekologis
Ontologi konservasi berpijak pada prinsip bahwa
realitas ekologis bersifat relasional dan holistik. Semua unsur alam saling
terhubung dalam jaringan kehidupan yang kompleks—sebuah gagasan yang sejalan
dengan teori sistem dalam ekologi modern.¹⁵ Filsafat Timur, terutama Taoisme
dan Buddhisme, telah lama menegaskan bahwa keseimbangan (yin-yang) dan
harmoni adalah hukum kosmis yang menopang eksistensi.¹⁶
Etika konservasi, dalam kerangka ontologis ini,
memandang harmoni ekologis sebagai kondisi eksistensial yang harus dijaga.
Keseimbangan antara manusia dan alam tidak hanya berarti pembatasan
eksploitasi, tetapi juga pemulihan relasi spiritual dan simbolik dengan dunia
non-manusia.¹⁷ Dengan demikian, konservasi bukanlah tindakan eksternal yang
bersifat utilitarian, melainkan manifestasi dari kesadaran akan keterhubungan
ontologis seluruh makhluk—suatu metaphysics of interconnectedness.¹⁸
Footnotes
[1]               
René Descartes, Discourse on Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 35.
[2]               
Gregory Bateson, Steps to an Ecology of Mind
(Chicago: University of Chicago Press, 1972), 454.
[3]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties
to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 110.
[4]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 128.
[5]               
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa
Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
47.
[6]               
Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of
Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 99–100.
[7]               
Arne Naess, “Self-Realization: An Ecological
Approach to Being in the World,” in Thinking Like a Mountain: Toward a
Council of All Beings, ed. John Seed et al. (Philadelphia: New Society
Publishers, 1988), 36–38.
[8]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches
Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224.
[9]               
Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays
in Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 57.
[10]            
Bryan G. Norton, Toward Unity among
Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 112.
[11]            
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 65.
[12]            
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and
R. K. Gaye, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes
(Princeton: Princeton University Press, 1984), 1:315.
[13]            
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 157.
[14]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books,
1982), 97.
[15]            
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific
Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29.
[16]            
Lao Tzu, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau
(London: Penguin, 1963), 14.
[17]            
Joanna Macy, Mutual Causality in Buddhism and
General Systems Theory (Albany: SUNY Press, 1991), 73.
[18]            
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology:
Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990),
20.
4.          
Epistemologi
Etika Konservasi
4.1.      
Bagaimana Manusia Mengetahui
Nilai-Nilai Konservasi
Epistemologi etika konservasi berupaya menjawab
pertanyaan mendasar: bagaimana manusia mengetahui bahwa alam memiliki nilai
moral yang perlu dilestarikan? Dalam tradisi modern, pengetahuan tentang
alam sering dihasilkan melalui metode ilmiah yang objektif, reduksionis, dan
empiris.¹ Namun, metode ini cenderung mengabaikan dimensi normatif dan afektif
dari relasi manusia dengan alam.² Etika konservasi menolak reduksi semacam itu
dengan menegaskan bahwa pengetahuan ekologis sejati tidak hanya bersifat
kognitif, tetapi juga transformatif—yakni melibatkan kesadaran moral,
pengalaman estetis, dan empati ekologis.³
Sebagaimana dinyatakan oleh Aldo Leopold,
seseorang tidak benar-benar “tahu” tanah sampai ia belajar mencintainya
dan merasakan penderitaannya.⁴ Dengan demikian, epistemologi konservasi
menekankan pentingnya knowing through caring—suatu bentuk pengetahuan
yang diperoleh melalui keterlibatan etis dan pengalaman hidup bersama alam.⁵
4.2.      
Ilmu Ekologi dan Pengetahuan Moral:
Hubungan Empiris dan Normatif
Ilmu ekologi memberikan basis empiris bagi
pemahaman tentang keterkaitan sistem kehidupan, tetapi tidak serta-merta
menjawab pertanyaan normatif tentang apa yang seharusnya dilakukan.⁶
Menurut Bryan Norton, terdapat jurang antara is (deskripsi
ilmiah) dan ought (tuntutan moral) yang perlu dijembatani melalui
refleksi etis.⁷ Dalam konteks konservasi, ilmu ekologi hanya menunjukkan
keterhubungan faktual antarspesies dan ekosistem; sementara etika konservasi
menambahkan dimensi nilai—bahwa keterhubungan tersebut mengandung tanggung
jawab moral.
Interaksi antara ekologi dan etika menciptakan
epistemologi yang bersifat integratif: ilmu pengetahuan menjadi dasar
bagi tindakan moral, sementara moralitas memberikan arah bagi penerapan ilmu.⁸ Holmes
Rolston III menegaskan bahwa “fakta ekologis mengandung potensi normatif,”
sebab memahami sistem kehidupan berarti juga memahami nilai inheren yang
terkandung di dalamnya.⁹ Dalam hal ini, konservasi merupakan hasil dari
pertemuan antara kebenaran ilmiah dan kebajikan moral.¹⁰
4.3.      
Epistemologi Kearifan Lokal dan
Ekologi Tradisional
Selain sains modern, sumber pengetahuan etika
konservasi juga berasal dari kearifan ekologis tradisional yang hidup
dalam budaya-budaya lokal. Masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan yang
menekankan keseimbangan kosmik dan keberlanjutan ekologis, yang diperoleh bukan
melalui laboratorium, melainkan melalui pengalaman eksistensial, ritual, dan
simbolik.¹¹
Pengetahuan semacam ini bersifat partisipatoris,
karena manusia tidak memosisikan diri sebagai pengamat netral, tetapi sebagai
bagian dari alam itu sendiri.¹² Sebagaimana dikemukakan oleh Gregory Cajete,
epistemologi masyarakat pribumi bersifat relational dan ceremonial:
mengetahui berarti berhubungan secara hormat dan timbal balik dengan dunia
non-manusia.¹³ Dalam konteks ini, konservasi bukan hasil perintah eksternal,
tetapi konsekuensi logis dari cara mengetahui yang mengandaikan saling
keterikatan ontologis.¹⁴
4.4.      
Peran Teknologi dan Sains dalam
Memahami Konservasi secara Etis
Epistemologi etika konservasi juga harus berhadapan
dengan perkembangan teknologi modern. Sains dan teknologi dapat menjadi alat
penting untuk memahami dan melindungi alam, tetapi juga berpotensi memperdalam
krisis ekologis jika dilepaskan dari kendali moral.¹⁵ Hans Jonas
mengingatkan bahwa kekuatan teknologi menuntut bentuk baru tanggung jawab,
sebab manusia kini memiliki kapasitas untuk mengubah tatanan biosfer secara
radikal.¹⁶
Dalam kerangka ini, etika konservasi memerlukan
epistemologi reflektif yang mampu menilai implikasi moral dari setiap
pengetahuan teknologis. Andrew Light menekankan perlunya pragmatic
ecology, di mana pengetahuan ilmiah dipadukan dengan kebijakan moral yang
kontekstual dan berkeadilan sosial.¹⁷ Dengan demikian, epistemologi konservasi
bukan sekadar akumulasi informasi tentang alam, tetapi proses pengetahuan yang
diarahkan pada kebijaksanaan ekologis (ecological wisdom).¹⁸
Pengetahuan konservatif sejati, dengan demikian,
adalah pengetahuan yang membebaskan—membuka kesadaran manusia terhadap
ketergantungannya pada alam, sekaligus menuntut tanggung jawab terhadap
keberlangsungan kehidupan.¹⁹ Ia tidak hanya menjawab pertanyaan “bagaimana
kita tahu?”, tetapi juga “bagaimana kita harus hidup?” di tengah
dunia yang rapuh dan saling terhubung.²⁰
Footnotes
[1]               
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa
Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
47.
[2]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row,
1980), 56.
[3]               
David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception
and Language in a More-Than-Human World (New York: Vintage Books, 1996),
67.
[4]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches
Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224.
[5]               
Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays
in Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 52.
[6]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among
Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 98.
[7]               
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
24.
[8]               
J. Baird Callicott, In Defense of the Land
Ethic: Essays in Environmental Philosophy (Albany: SUNY Press, 1989), 36.
[9]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties
to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 97.
[10]            
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 88.
[11]            
Fikret Berkes, Sacred Ecology: Traditional
Ecological Knowledge and Resource Management (Philadelphia: Taylor &
Francis, 1999), 3–4.
[12]            
Gregory Bateson, Steps to an Ecology of Mind
(Chicago: University of Chicago Press, 1972), 441.
[13]            
Gregory Cajete, Native Science: Natural Laws of
Interdependence (Santa Fe: Clear Light Publishers, 2000), 78.
[14]            
Darrell A. Posey, “Traditional Ecological
Knowledge: The Key to Sustainable Development,” in Traditional Ecological
Knowledge: Wisdom for Sustainable Development, ed. Julian T. Inglis
(Ottawa: IDRC, 1993), 12.
[15]            
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental
Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 421.
[16]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 126.
[17]            
Andrew Light, Moral and Political Reasoning in
Environmental Practice (Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 41.
[18]            
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology:
Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990),
26.
[19]            
Joanna Macy, World as Lover, World as Self
(Berkeley: Parallax Press, 1991), 15.
[20]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books,
1982), 103.
5.          
Aksiologi
Etika Konservasi
5.1.      
Nilai-Nilai Intrinsik Alam: Dari
Utilitas Menuju Keberhargaan Eksistensial
Aksiologi etika konservasi berfokus pada pertanyaan
tentang nilai: apakah alam memiliki nilai karena manfaatnya bagi manusia,
atau karena keberadaannya sendiri? Dalam paradigma modern, nilai alam
cenderung dipahami secara instrumental, yakni sejauh alam berguna bagi kepentingan
ekonomi dan teknologis manusia.¹ Namun, perkembangan etika lingkungan menantang
pandangan ini dengan memperkenalkan konsep nilai intrinsik alam, yaitu
nilai yang melekat pada keberadaan makhluk hidup dan ekosistem tanpa harus
dikaitkan dengan utilitas manusia.²
Holmes Rolston III menegaskan bahwa nilai tidak hanya ditentukan oleh
subjek yang menilai, tetapi juga muncul dari struktur dan fungsi kehidupan itu
sendiri.³ Setiap organisme, dalam mempertahankan kehidupannya, menampilkan arah
dan tujuan (teleologi biologis) yang merupakan sumber nilai intrinsik.⁴
Dengan demikian, tindakan konservasi bukan sekadar kewajiban moral terhadap
manusia lain, tetapi juga penghormatan terhadap martabat eksistensial seluruh
makhluk hidup.⁵
5.2.      
Prinsip Tanggung Jawab Moral
terhadap Makhluk Hidup dan Ekosistem
Etika konservasi mengandaikan prinsip tanggung
jawab yang meluas melampaui batas spesies manusia. Hans Jonas dalam
karyanya The Imperative of Responsibility menekankan bahwa dalam era
teknologi modern, manusia memiliki kemampuan yang begitu besar hingga harus
memikul tanggung jawab moral atas seluruh keberlanjutan kehidupan di bumi.⁶ Ia
memperkenalkan imperatif etis baru: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga
akibat tindakanmu sepadan dengan kelangsungan kehidupan manusia di bumi.”⁷
Prinsip tanggung jawab ini bersifat prospektif
(berorientasi ke masa depan), bukan sekadar reaktif terhadap kerusakan yang
telah terjadi.⁸ Dalam konteks konservasi, hal ini berarti bahwa setiap
keputusan politik, ekonomi, atau ilmiah harus memperhitungkan implikasi
ekologisnya terhadap generasi mendatang.⁹ Pandangan ini memperluas cakrawala
etika tradisional dari hubungan antarindividu menuju tanggung jawab
planetaris—moralitas yang berakar pada kesadaran akan keterkaitan universal
antara manusia dan biosfer.¹⁰
5.3.      
Keadilan Ekologis dan Distribusi
Sumber Daya Lintas Generasi
Keadilan ekologis (ecological justice)
merupakan salah satu pilar aksiologis dalam etika konservasi. Ia menuntut agar
manfaat dan beban dari penggunaan sumber daya alam didistribusikan secara adil,
baik antarindividu, antarkelompok sosial, maupun antargenerasi.¹¹ Brian
Baxter berargumen bahwa keadilan ekologis tidak hanya berbicara tentang
manusia, tetapi juga tentang hak-hak moral entitas non-manusia yang terlibat
dalam sistem ekologis.¹²
Konsep ini berkembang dari teori intergenerational
justice, yang menyatakan bahwa generasi sekarang memiliki kewajiban moral
terhadap generasi yang akan datang.¹³ Pandangan ini diperkuat oleh John
Rawls dalam A Theory of Justice, yang menegaskan bahwa prinsip
keadilan harus berlaku universal dan melampaui batas waktu.¹⁴ Dalam konteks
konservasi, ini berarti menjaga agar ekosistem dan sumber daya alam tetap dapat
menopang kehidupan generasi mendatang tanpa menurunkan kapasitas ekologis bumi.¹⁵
Selain dimensi temporal, keadilan ekologis juga
memiliki aspek sosial: masyarakat miskin dan adat sering kali menjadi korban
pertama dari kerusakan lingkungan, meskipun mereka paling sedikit berkontribusi
terhadapnya.¹⁶ Oleh karena itu, etika konservasi menuntut solidaritas
ekologis—kesadaran bahwa keadilan sosial dan keadilan ekologis tidak dapat
dipisahkan.¹⁷
5.4.      
Etika Kepedulian (Ethics of Care)
dan Empati Ekologis
Aksiologi konservasi juga berakar pada paradigma etika
kepedulian (ethics of care), yang menekankan empati, perhatian, dan
tanggung jawab relasional terhadap makhluk lain.¹⁸ Pendekatan ini menolak
pandangan etika modern yang terlalu menekankan rasionalitas dan aturan
universal, dan menggantinya dengan relasi moral yang berbasis pada kasih sayang,
kedekatan, dan pengalaman konkret.¹⁹
Dalam konteks ekologis, etika kepedulian berarti
mengembangkan ecological empathy—kemampuan untuk merasakan penderitaan
dan keterancaman yang dialami makhluk lain.²⁰ Carol Gilligan dan Nel
Noddings menegaskan bahwa kepedulian bukan sekadar emosi, melainkan bentuk
pengetahuan moral yang memungkinkan manusia mengenali kebutuhan makhluk lain
secara mendalam.²¹ Ketika diterapkan dalam konservasi, etika kepedulian
mengubah orientasi moral manusia dari dominasi menuju pemeliharaan dan
pengasuhan (nurturing relationship) terhadap alam.²²
Dengan demikian, aksiologi etika konservasi bukan
sekadar wacana nilai yang abstrak, melainkan ajakan untuk menginternalisasi
kebajikan ekologis: tanggung jawab, keadilan, kepedulian, dan rasa hormat
terhadap kehidupan.²³ Nilai-nilai ini membentuk fondasi moral bagi transformasi
menuju peradaban yang berkelanjutan dan humanistik.²⁴
Footnotes
[1]               
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our
Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1205.
[2]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties
to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 97.
[3]               
Ibid., 111.
[4]               
J. Baird Callicott, In Defense of the Land
Ethic: Essays in Environmental Philosophy (Albany: SUNY Press, 1989), 63.
[5]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches
Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224.
[6]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 121.
[7]               
Ibid., 123.
[8]               
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
44.
[9]               
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental
Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 417.
[10]            
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 54.
[11]            
Brian Baxter, A Theory of Ecological Justice
(London: Routledge, 2005), 12–14.
[12]            
Ibid., 33.
[13]            
Edith Brown Weiss, In Fairness to Future
Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity
(Tokyo: United Nations University, 1989), 8.
[14]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 285.
[15]            
Henry Shue, “Subsistence Emissions and Luxury
Emissions,” Law & Policy 15, no. 1 (1993): 39–59.
[16]            
Joan Martinez-Alier, The Environmentalism of the
Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation (Cheltenham: Edward
Elgar, 2002), 28.
[17]            
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology,
and Development (London: Zed Books, 1988), 47.
[18]            
Carol Gilligan, In a Different Voice:
Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1982), 69.
[19]            
Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to
Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press,
1984), 79.
[20]            
Joanna Macy, World as Lover, World as Self
(Berkeley: Parallax Press, 1991), 15.
[21]            
Gilligan, In a Different Voice, 73.
[22]            
Noddings, Caring, 81.
[23]            
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology:
Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990),
36.
[24]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books,
1982), 104.
6.          
Dimensi
Sosial, Politik, dan Hukum Konservasi
6.1.      
Kebijakan Publik dan Etika
Konservasi
Etika konservasi tidak dapat dilepaskan dari
dimensi sosial-politik karena konservasi selalu berlangsung dalam konteks
relasi kekuasaan dan kebijakan publik.¹ Secara historis, kebijakan konservasi
sering diwarnai oleh kepentingan politik dan ekonomi, bukan semata oleh
pertimbangan etis atau ekologis.² Namun, perkembangan kesadaran ekologis global
telah mendorong munculnya paradigma baru dalam tata kelola lingkungan yang
menekankan prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab moral negara terhadap
alam.³
Etika konservasi menuntut agar kebijakan publik
tidak hanya berorientasi pada efisiensi ekonomi, tetapi juga pada keadilan
ekologis—yakni distribusi yang adil atas sumber daya alam dan dampak
lingkungan.⁴ Dalam perspektif Murray Bookchin, krisis lingkungan bukan
sekadar akibat perilaku individu, tetapi merupakan manifestasi dari struktur
sosial yang hierarkis dan eksploitatif.⁵ Oleh karena itu, kebijakan konservasi
yang efektif harus disertai dengan transformasi politik menuju bentuk ekologi
sosial, di mana demokrasi ekologis menjadi dasar bagi pengelolaan sumber
daya bersama (commons).⁶
Lembaga-lembaga internasional seperti United
Nations Environment Programme (UNEP) dan Convention on Biological
Diversity (CBD) telah menegaskan pentingnya pendekatan holistik yang
mengintegrasikan dimensi etis, sosial, dan politik dalam konservasi.⁷ Namun,
implementasinya seringkali menghadapi resistensi dari kepentingan ekonomi
jangka pendek dan politik populis.⁸ Di sinilah etika konservasi berperan
sebagai kerangka normatif yang menuntut konsistensi moral di dalam
kebijakan publik terhadap lingkungan.⁹
6.2.      
Hak Masyarakat Adat dan Keadilan
Lingkungan
Dimensi sosial dari etika konservasi menyoroti
peran dan hak-hak masyarakat adat yang seringkali menjadi penjaga ekosistem
alami. Dalam banyak kasus, program konservasi negara justru meminggirkan
komunitas lokal melalui kebijakan eksklusi kawasan hutan atau taman nasional.¹⁰
Paradoks ini menimbulkan kritik terhadap model konservasi yang sentralistis dan
kolonialistik, yang mengabaikan epistemologi dan praktik ekologis masyarakat
adat.¹¹
Masyarakat adat mempraktikkan bentuk konservasi
berbasis nilai spiritual dan relasional.¹² Fikret Berkes menyebut sistem
pengetahuan tradisional ini sebagai Traditional Ecological Knowledge (TEK),
yaitu sistem nilai dan praktik pengelolaan sumber daya yang diwariskan lintas
generasi.¹³ Dengan demikian, pengakuan terhadap hak masyarakat adat bukan hanya
isu politik, tetapi juga pengakuan epistemologis dan moral terhadap keberagaman
cara mengetahui dan menjaga alam.¹⁴
Prinsip keadilan lingkungan (environmental
justice) juga berkaitan erat dengan isu ini. Gerakan keadilan lingkungan
yang berkembang di Amerika Latin dan Asia menegaskan bahwa beban ekologis tidak
boleh ditimpakan kepada kelompok miskin dan marjinal yang paling sedikit
berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.¹⁵ Dalam kerangka etika konservasi,
keadilan lingkungan menuntut redistribusi tanggung jawab ekologis secara global
dan pengakuan terhadap hak kolektif komunitas lokal atas tanah, air, dan
keanekaragaman hayati.¹⁶
6.3.      
Etika dalam Hukum Konservasi dan
Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan
Dimensi hukum konservasi berkembang sebagai
instrumen untuk mengatur hubungan antara manusia dan alam dalam kerangka
normatif yang mengikat.¹⁷ Namun, hukum lingkungan yang hanya bersifat
positivistik tidak cukup untuk menjamin kelestarian alam jika tidak didasari
oleh etika ekologis.¹⁸ Etika konservasi menuntut agar hukum tidak sekadar
menjadi mekanisme sanksi, tetapi juga sarana pembentukan kesadaran moral
ekologis.¹⁹
Konsep ecological jurisprudence atau hukum
ekologis yang diperkenalkan oleh Catherine Iorns Magallanes
menegaskan bahwa sistem hukum modern harus mengakui hak-hak entitas
non-manusia—seperti sungai, hutan, atau gunung—sebagai subjek hukum.²⁰
Pendekatan ini tercermin dalam kasus Whanganui River di Selandia Baru
(2017), ketika sungai tersebut diberikan status hukum sebagai entitas hidup
yang memiliki hak untuk dilindungi.²¹
Selain itu, kerangka pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) sebagaimana ditegaskan dalam Brundtland
Report (1987) berupaya mengintegrasikan dimensi etis dalam kebijakan hukum
internasional.²² Prinsip “development that meets the needs of the present
without compromising the ability of future generations to meet their own needs”
menjadi dasar moral bagi setiap peraturan yang berkaitan dengan konservasi.²³
Dalam hal ini, etika konservasi berfungsi sebagai fondasi aksiologis dari hukum
lingkungan internasional yang berorientasi pada tanggung jawab lintas
generasi.²⁴
6.4.      
Tanggung Jawab Korporasi dan Etika
Lingkungan Global
Dimensi politik-hukum konservasi juga mencakup
peran sektor privat dan korporasi global yang memiliki dampak besar terhadap
keberlanjutan ekosistem.²⁵ Dalam sistem kapitalisme global, korporasi sering
menjadi aktor utama dalam eksploitasi sumber daya alam, baik melalui
pertambangan, agribisnis, maupun energi fosil.²⁶ Oleh karena itu, muncul konsep
Corporate Environmental Responsibility (CER) sebagai perluasan dari
tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility).²⁷
CER menegaskan bahwa perusahaan tidak hanya
bertanggung jawab kepada pemegang saham, tetapi juga kepada seluruh pemangku
kepentingan ekologis (environmental stakeholders), termasuk komunitas
lokal dan alam itu sendiri.²⁸ John Elkington memperkenalkan kerangka Triple
Bottom Line (People, Planet, Profit) untuk menegaskan bahwa kinerja etis
perusahaan harus diukur berdasarkan keseimbangan antara keuntungan ekonomi,
kesejahteraan sosial, dan keberlanjutan ekologis.²⁹
Namun, dalam praktiknya, banyak kebijakan korporasi
yang masih bersifat simbolik atau “greenwashing”—yakni upaya pencitraan
hijau tanpa perubahan substansial dalam model produksi.³⁰ Etika konservasi
menuntut kejujuran dan tanggung jawab moral dalam praktik bisnis, dengan
menempatkan keberlanjutan ekologis sebagai prinsip moral utama dalam
pengambilan keputusan ekonomi global.³¹ Dengan demikian, konservasi bukan
sekadar domain kebijakan publik, tetapi juga imperatif etis global yang
melibatkan seluruh sistem sosial, politik, dan ekonomi umat manusia.³²
Footnotes
[1]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among
Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 92.
[2]               
Robert Goodland, “The Concept of Environmental
Sustainability,” Annual Review of Ecology and Systematics 26 (1995): 4.
[3]               
United Nations Environment Programme (UNEP), Global
Environment Outlook 6 (Nairobi: UNEP, 2019), 18.
[4]               
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 49.
[5]               
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books,
1982), 97.
[6]               
Ibid., 103.
[7]               
Convention on Biological Diversity (CBD), Global
Biodiversity Outlook 5 (Montreal: CBD Secretariat, 2020), 12–13.
[8]               
Clive L. Spash, The Economics of Climate Change:
Stern Review and Its Critics (London: Routledge, 2010), 22.
[9]               
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental
Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 411.
[10]            
Peter Brosius, “Conservation, Indigenous Peoples,
and Protected Areas: The Paradox of Power,” Conservation and Society 2,
no. 2 (2004): 247.
[11]            
Arun Agrawal and Kent Redford, “Conservation and
Displacement: An Overview,” Conservation and Society 7, no. 1 (2009): 5.
[12]            
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology,
and Development (London: Zed Books, 1988), 56.
[13]            
Fikret Berkes, Sacred Ecology: Traditional
Ecological Knowledge and Resource Management (Philadelphia: Taylor &
Francis, 1999), 12.
[14]            
Darrell A. Posey, ed., Cultural and Spiritual
Values of Biodiversity (Nairobi: UNEP, 1999), 9.
[15]            
Joan Martinez-Alier, The Environmentalism of the
Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation (Cheltenham: Edward
Elgar, 2002), 37.
[16]            
Brian Baxter, A Theory of Ecological Justice
(London: Routledge, 2005), 45.
[17]            
Klaus Bosselmann, The Principle of
Sustainability: Transforming Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008),
11.
[18]            
Edith Brown Weiss, In Fairness to Future
Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity
(Tokyo: United Nations University, 1989), 9.
[19]            
Catherine Iorns Magallanes, “Nature as an Ancestor:
Two Examples of Legal Personality for Nature in New Zealand,” VertigO
18, no. 3 (2018): 3.
[20]            
Ibid., 4.
[21]            
New Zealand Government, Te Awa Tupua (Whanganui
River Claims Settlement) Act 2017, §14.
[22]            
World Commission on Environment and Development
(WCED), Our Common Future (Oxford: Oxford University Press, 1987), 43.
[23]            
Ibid., 8.
[24]            
Klaus Bosselmann, Earth Governance: Trusteeship
of the Global Commons (Cheltenham: Edward Elgar, 2015), 29.
[25]            
Clive L. Spash, Green Growth: Ideology,
Political Economy and the Alternatives (London: Routledge, 2017), 51.
[26]            
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 38.
[27]            
John Elkington, Cannibals with Forks: The Triple
Bottom Line of 21st Century Business (Oxford: Capstone, 1997), 72.
[28]            
Ibid., 76.
[29]            
Andrew Crane and Dirk Matten, Business Ethics:
Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization
(Oxford: Oxford University Press, 2016), 118.
[30]            
Melissa Aronczyk and Maria Espinoza, “Greenwashing
and the Misrepresentation of Environmental Responsibility,” Communication,
Culture & Critique 12, no. 4 (2019): 545.
[31]            
Peter Singer, One World: The Ethics of
Globalization (New Haven: Yale University Press, 2002), 102.
[32]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 128.
7.          
Kritik
terhadap Etika Konservasi
7.1.      
Kritik terhadap Antroposentrisme
dalam Konservasi
Salah satu kritik utama terhadap praktik konservasi
modern adalah bahwa ia masih beroperasi dalam kerangka antroposentrisme
terselubung, yaitu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai
dan tujuan dari seluruh tindakan ekologis.¹ Meskipun banyak kebijakan
konservasi mengklaim bersifat “ramah lingkungan,” fokus utamanya sering
kali adalah pada kepentingan manusia jangka panjang, seperti
keberlanjutan ekonomi atau kesehatan publik, bukan pada nilai intrinsik alam
itu sendiri.²
Kritik ini dikemukakan secara tajam oleh Arne
Naess, pendiri Deep Ecology, yang menilai bahwa konservasi yang
didorong oleh kepentingan manusia hanyalah bentuk “ekologi dangkal.”³
Menurutnya, pendekatan tersebut gagal memahami bahwa seluruh makhluk hidup
memiliki nilai dan hak eksistensial yang setara dalam tatanan ekologis.⁴ Dalam
kerangka ini, etika konservasi yang terlalu pragmatis dianggap masih terjebak
dalam logika utilitarianisme modern, yang menilai alam berdasarkan fungsinya
bagi kesejahteraan manusia.⁵
Namun, sejumlah pemikir seperti Bryan Norton
berusaha menanggapi kritik ini dengan pendekatan convergence hypothesis—yakni
bahwa kepentingan manusia dan kelestarian ekologis tidak selalu bertentangan,
dan justru dapat saling memperkuat.⁶ Meski demikian, ketegangan antara
kepentingan manusia dan hak alam tetap menjadi problem filosofis yang belum
terselesaikan sepenuhnya dalam wacana konservasi.⁷
7.2.      
Kritik Marxis dan Ekologi Politik
terhadap Konservasi
Dari perspektif ekologi politik dan Marxisme
ekologis, etika konservasi dikritik karena sering mengabaikan dimensi
struktural dari krisis lingkungan. John Bellamy Foster menegaskan bahwa
akar kerusakan ekologis bukan terletak pada kegagalan moral individu, melainkan
pada modus produksi kapitalistik yang menuntut akumulasi tanpa batas.⁸
Dalam sistem ini, alam direduksi menjadi komoditas, sementara konservasi sering
dijadikan instrumen ideologis untuk mempertahankan dominasi ekonomi global.⁹
Kritik ini juga diarahkan terhadap ekonomi hijau
dan pendekatan sustainable development yang dianggap telah direbut oleh
kepentingan pasar.¹⁰ David Harvey menyebut fenomena ini sebagai bentuk “environmental
fix”—yakni strategi kapitalisme untuk mengatasi kontradiksi ekologis
melalui eksploitasi baru dalam bentuk kebijakan hijau yang semu.¹¹ Akibatnya,
konservasi berisiko menjadi alat legitimasi neoliberalisme, bukan solusi moral
terhadap krisis ekologi.¹²
Dalam konteks ini, etika konservasi dianggap perlu
memperluas basis aksinya dari moralitas individual menuju etika struktural,
yang menuntut transformasi sistem ekonomi dan politik global agar sejalan
dengan prinsip keadilan ekologis.¹³ Dengan kata lain, tanpa perubahan dalam
relasi produksi dan distribusi kekuasaan, konservasi cenderung menjadi proyek
etis yang tidak menyentuh akar masalah ekologis.¹⁴
7.3.      
Kritik terhadap Romantisisme dan
Naturalisme Naif
Selain kritik ideologis, etika konservasi juga
menghadapi tantangan epistemologis dari kalangan filsuf realis dan
konstruktivis sosial. Sebagian dari mereka menilai bahwa banyak wacana
konservasi modern terjebak dalam romantisisme ekologis, yaitu pandangan
yang mengidealisasi “alam liar” (wilderness) sebagai sesuatu yang
murni dan terpisah dari budaya manusia.¹⁵
William Cronon dalam esainya yang terkenal The Trouble with Wilderness (1995)
menegaskan bahwa gagasan tentang alam liar merupakan konstruksi kultural hasil
modernitas Barat, bukan realitas objektif.¹⁶ Dengan demikian, idealisasi
terhadap alam liar justru dapat mengabaikan sejarah interaksi manusia dengan
alam, terutama masyarakat tradisional yang hidup harmonis dengan
lingkungannya.¹⁷ Kritik ini menunjukkan bahwa konservasi perlu disertai kesadaran
hermeneutik, yaitu pemahaman bahwa setiap tindakan ekologis selalu berakar
pada konstruksi sosial, sejarah, dan budaya tertentu.¹⁸
7.4.      
Tantangan Posthumanisme dan Bioetika
Global
Kritik terbaru terhadap etika konservasi muncul
dari perspektif posthumanisme dan bioetika global, yang
mempertanyakan asumsi dasar tentang “subjek moral.”¹⁹ Posthumanisme
menolak pandangan klasik yang menempatkan manusia sebagai satu-satunya agen moral
dan mengusulkan konsep agensi multispesies—bahwa hewan, tumbuhan, dan
bahkan entitas non-biologis (seperti sungai atau teknologi) juga memiliki
kapasitas etis dalam jejaring kehidupan.²⁰
Menurut Donna Haraway, dalam Staying with
the Trouble (2016), manusia tidak dapat lagi memandang dirinya sebagai
pusat tanggung jawab moral, melainkan sebagai bagian dari sympoietic network—jaringan
bersama yang menciptakan dan mempertahankan kehidupan.²¹ Dengan demikian,
konservasi harus dipahami bukan sebagai aktivitas manusia terhadap alam, tetapi
sebagai ko-produksi moral antara berbagai entitas dalam ekosistem.²²
Pendekatan ini menantang fondasi antroposentris
maupun humanistik dalam etika konservasi, karena menuntut redefinisi tentang
apa yang dimaksud dengan “tanggung jawab,” “moralitas,” dan “keberlanjutan.”²³
Meski menimbulkan kontroversi, kritik posthumanistik ini membuka ruang refleksi
baru untuk mengembangkan etika konservasi yang lebih inklusif dan adaptif
terhadap kompleksitas biosfer kontemporer.²⁴
Footnotes
[1]               
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology:
Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990),
22.
[2]               
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 45.
[3]               
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range
Ecology Movement,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.
[4]               
Ibid., 98.
[5]               
Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays
in Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 54.
[6]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists
(New York: Oxford University Press, 1991), 110.
[7]               
J. Baird Callicott, In Defense of the Land
Ethic: Essays in Environmental Philosophy (Albany: SUNY Press, 1989), 62.
[8]               
John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism
and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 23.
[9]               
Ibid., 41.
[10]            
Clive L. Spash, Green Growth: Ideology,
Political Economy and the Alternatives (London: Routledge, 2017), 52.
[11]            
David Harvey, Seventeen Contradictions and the
End of Capitalism (London: Profile Books, 2014), 128.
[12]            
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 29.
[13]            
Alf Hornborg, Global Magic: Technologies of
Appropriation from Ancient Rome to Wall Street (New York: Palgrave Macmillan,
2016), 91.
[14]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books,
1982), 117.
[15]            
William Cronon, “The Trouble with Wilderness; or,
Getting Back to the Wrong Nature,” in Uncommon Ground: Rethinking the Human
Place in Nature, ed. William Cronon (New York: W. W. Norton, 1995), 69.
[16]            
Ibid., 72.
[17]            
Carolyn Merchant, Reinventing Eden: The Fate of
Nature in Western Culture (New York: Routledge, 2003), 103.
[18]            
Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental
Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 112.
[19]            
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 56.
[20]            
Cary Wolfe, What Is Posthumanism?
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 2010), 38.
[21]            
Donna J. Haraway, Staying with the Trouble:
Making Kin in the Chthulucene (Durham, NC: Duke University Press, 2016),
12.
[22]            
Ibid., 20.
[23]            
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 90.
[24]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the
New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 143.
8.          
Relevansi
Kontemporer Etika Konservasi
8.1.      
Krisis Iklim dan Pergeseran
Paradigma Etika Ekologis Global
Pada abad ke-21, relevansi etika konservasi semakin
mendesak seiring dengan meningkatnya krisis iklim global dan kerusakan
ekologis yang meluas. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) tahun 2023 menegaskan bahwa suhu rata-rata bumi telah meningkat
lebih dari 1,2°C dibandingkan era pra-industri, dengan dampak signifikan
terhadap biodiversitas, pangan, dan keberlangsungan hidup manusia.¹ Fakta ini
menunjukkan bahwa krisis ekologis bukan lagi isu sektoral, melainkan krisis
moral peradaban, sebagaimana diungkapkan oleh Hans Jonas, yang
menilai bahwa tanggung jawab ekologis merupakan imperatif etis baru bagi
keberlangsungan spesies manusia.²
Dalam konteks ini, etika konservasi berperan
sebagai orientasi moral global yang melampaui batas negara dan
ideologi.³ Ia menegaskan bahwa tanggung jawab terhadap bumi adalah tanggung
jawab universal, bukan semata urusan politik domestik.⁴ Etika konservasi
menggeser paradigma dari environmental management (pengelolaan
lingkungan) menuju ecological stewardship (penjagaan ekologis) yang
mengakui keterhubungan dan ketergantungan antarsemua bentuk kehidupan.⁵
Lebih dari sekadar prinsip moral, etika konservasi
kini menjadi dasar bagi kebijakan internasional, seperti Paris
Agreement (2015) dan Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework
(2022), yang menuntut integrasi nilai-nilai keberlanjutan dan keadilan ekologis
dalam pembangunan global.⁶
8.2.      
Etika Konservasi dan Agenda ESG
(Environmental, Social, and Governance)
Dalam ranah ekonomi global, etika konservasi
memperoleh relevansi baru melalui kerangka ESG (Environmental, Social, and
Governance) yang menilai kinerja perusahaan tidak hanya berdasarkan
keuntungan finansial, tetapi juga pada tanggung jawab sosial dan dampak
ekologis.⁷ Pendekatan ini sejalan dengan prinsip aksiologis etika konservasi,
yaitu bahwa nilai moral tidak dapat dipisahkan dari struktur ekonomi dan tata
kelola sosial.
Namun, para pemikir kritis seperti Clive Spash
memperingatkan bahwa banyak praktik ESG masih beroperasi dalam paradigma
kapitalistik yang sama, menjadikan konservasi sebagai komoditas reputasional
tanpa perubahan mendasar dalam model produksi.⁸ Dalam konteks ini, etika
konservasi berfungsi sebagai kritik normatif terhadap kecenderungan greenwashing—penggunaan
narasi hijau untuk menutupi praktik eksploitatif.⁹
Sebaliknya, pendekatan yang etis menuntut agar ESG
dijalankan berdasarkan prinsip moral substantif, yakni penghargaan
terhadap nilai intrinsik alam, keadilan lintas generasi, dan transparansi
ekologis.¹⁰ Dengan demikian, etika konservasi dapat memperkuat ESG bukan
sebagai alat branding, tetapi sebagai kerangka moral perusahaan berkelanjutan
yang selaras dengan keseimbangan planet.¹¹
8.3.      
Konservasi Digital dan Teknologi
Hijau
Etika konservasi juga menemukan relevansi baru di
tengah revolusi teknologi digital. Inovasi seperti Artificial Intelligence
(AI), Internet of Things (IoT), dan big data kini digunakan
untuk memantau perubahan lingkungan, melacak deforestasi, dan mengoptimalkan
penggunaan energi.¹² Teknologi semacam ini membuka peluang besar bagi
konservasi ilmiah yang lebih efisien dan adaptif.
Namun, sebagaimana diingatkan oleh Andrew Light,
teknologi bukanlah entitas netral; ia memerlukan kerangka moral untuk
memastikan penggunaannya selaras dengan nilai-nilai ekologis.¹³ Tanpa refleksi
etis, teknologi justru dapat mempercepat degradasi ekologis melalui konsumsi
energi tinggi, limbah elektronik, dan peningkatan ketimpangan akses.¹⁴ Oleh
karena itu, green technology harus dipahami bukan hanya sebagai inovasi
teknis, tetapi sebagai praktik moral ekologis, di mana manusia
menggunakan pengetahuan ilmiah untuk memulihkan, bukan menguasai alam.¹⁵
Etika konservasi dalam era digital juga mendorong
terbentuknya kesadaran ekologis virtual—suatu bentuk pembelajaran
ekologis berbasis data dan empati digital, yang memungkinkan masyarakat global
memahami dampak ekologis secara lebih konkret melalui simulasi dan narasi
interaktif.¹⁶ Dengan demikian, teknologi dapat menjadi medium baru bagi
pendidikan moral ekologis, asalkan diiringi oleh orientasi etika yang reflektif
dan kritis.¹⁷
8.4.      
Konservasi dalam Pendidikan dan
Budaya Ekologi Generasi Muda
Relevansi etika konservasi juga terletak pada peran
pendidikan sebagai medium pembentukan kesadaran ekologis. Pendidikan
konservasi tidak hanya mengajarkan pengetahuan ilmiah tentang alam, tetapi juga
menanamkan nilai-nilai moral, empati, dan tanggung jawab ekologis.¹⁸ David
Orr menekankan bahwa pendidikan lingkungan seharusnya tidak sekadar
mengajarkan “tentang alam,” tetapi “dalam dan untuk alam.”¹⁹
Melalui pendidikan, generasi muda dapat
dikembangkan menjadi subjek etis ekologis, bukan sekadar pengguna sumber
daya.²⁰ Kurikulum ekologis yang menekankan refleksi filosofis, aksi lapangan,
dan integrasi seni dapat membentuk ecological imagination—kemampuan
membayangkan masa depan berkelanjutan dan relasi harmonis dengan dunia
non-manusia.²¹
Selain itu, budaya populer, seni, dan media juga
memiliki peran dalam membentuk kesadaran ekologis kontemporer.²² Film, musik,
dan literatur ekologis dapat menjadi sarana efektif untuk membangkitkan empati
dan tanggung jawab moral terhadap lingkungan.²³ Dengan demikian, etika konservasi
bukan sekadar disiplin akademis, tetapi gerakan kultural yang menanamkan nilai
keberlanjutan ke dalam struktur kesadaran kolektif manusia.²⁴
Footnotes
[1]               
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate
Change 2023: Synthesis Report (Cambridge: Cambridge University Press,
2023), 7–9.
[2]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 123.
[3]               
Peter Singer, One World: The Ethics of
Globalization (New Haven: Yale University Press, 2002), 88.
[4]               
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 51.
[5]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches
Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224.
[6]               
United Nations, Paris Agreement (New York:
United Nations, 2015), art. 2; Convention on Biological Diversity (CBD), Global
Biodiversity Framework (Montreal: CBD Secretariat, 2022), 12.
[7]               
John Elkington, Cannibals with Forks: The Triple
Bottom Line of 21st Century Business (Oxford: Capstone, 1997), 69.
[8]               
Clive L. Spash, Green Growth: Ideology,
Political Economy and the Alternatives (London: Routledge, 2017), 48.
[9]               
Melissa Aronczyk and Maria Espinoza, “Greenwashing
and the Misrepresentation of Environmental Responsibility,” Communication,
Culture & Critique 12, no. 4 (2019): 545.
[10]            
Andrew Crane and Dirk Matten, Business Ethics:
Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization
(Oxford: Oxford University Press, 2016), 118.
[11]            
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology:
Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990),
35.
[12]            
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems
View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press,
2014), 212.
[13]            
Andrew Light, Moral and Political Reasoning in
Environmental Practice (Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 42.
[14]            
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 71.
[15]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility,
128.
[16]            
David Abram, The Spell of the Sensuous:
Perception and Language in a More-Than-Human World (New York: Vintage
Books, 1996), 72.
[17]            
Joanna Macy, World as Lover, World as Self
(Berkeley: Parallax Press, 1991), 28.
[18]            
David W. Orr, Earth in Mind: On Education,
Environment, and the Human Prospect (Washington, DC: Island Press, 1994),
15.
[19]            
Ibid., 18.
[20]            
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and
Development (London: Zed Books, 1988), 63.
[21]            
Stephen Sterling, Sustainable Education:
Re-Visioning Learning and Change (Dartington: Green Books, 2001), 45.
[22]            
Ursula K. Heise, Sense of Place and Sense of
Planet: The Environmental Imagination of the Global (Oxford: Oxford
University Press, 2008), 39.
[23]            
Lawrence Buell, The Future of Environmental
Criticism: Environmental Crisis and Literary Imagination (Malden, MA:
Blackwell, 2005), 54.
[24]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the
New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 149.
9.          
Sintesis
Filosofis: Menuju Konservasi Humanistik dan Integral
9.1.      
Integrasi antara Etika Deontologis,
Teleologis, dan Etika Kebajikan dalam Konservasi
Sintesis filosofis etika konservasi menuntut
pendekatan yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga integratif—menggabungkan
prinsip kewajiban (deontologis), tujuan moral (teleologis), dan kebajikan
karakter (virtue ethics).¹ Etika deontologis, sebagaimana dikembangkan oleh Immanuel
Kant, menekankan kewajiban moral universal, yang dalam konteks ekologis
diterjemahkan sebagai kewajiban manusia untuk tidak merusak sistem kehidupan
yang menopang eksistensinya.² Sementara itu, etika teleologis, yang berakar
pada Aristoteles, menyoroti telos atau tujuan tertinggi kehidupan, yaitu
eudaimonia (kebahagiaan sejati) yang tidak dapat dicapai tanpa
keharmonisan dengan alam.³
Dalam sintesis ini, etika kebajikan memainkan peran
penghubung: manusia dituntut tidak hanya menaati aturan moral atau mengejar
hasil akhir yang baik, tetapi juga mengembangkan karakter ekologis—seperti
kesederhanaan, rasa syukur, empati, dan kepedulian.⁴ Sebagaimana ditegaskan
oleh Alasdair MacIntyre, kebajikan adalah kebiasaan moral yang terwujud
melalui praktik sosial yang bermakna.⁵ Dalam konteks konservasi, kebajikan
ekologis membentuk manusia sebagai steward (penjaga) yang bijaksana dan
penuh tanggung jawab terhadap kehidupan bersama.⁶
Dengan demikian, etika konservasi integral bukanlah
dogma tunggal, melainkan ruang dialog antara rasionalitas moral, orientasi tujuan,
dan pembentukan karakter, yang bersama-sama membangun fondasi moral untuk
keberlanjutan planet.⁷
9.2.      
“Ekologi Integral” sebagai
Landasan Etika Konservasi
Gagasan “ekologi integral” menjadi salah
satu kerangka konseptual paling penting dalam membangun etika konservasi yang
holistik.⁸ Konsep ini, yang dipopulerkan oleh Paus Fransiskus dalam
ensiklik Laudato Si’ (2015), menegaskan bahwa krisis lingkungan dan
krisis sosial memiliki akar yang sama: paradigma antroposentris dan
individualistik yang memisahkan manusia dari komunitas kehidupan.⁹ Dalam
pandangan ini, pelestarian alam tidak dapat dipisahkan dari keadilan sosial,
etika ekonomi, dan tanggung jawab spiritual.¹⁰
Ekologi integral mengusulkan pendekatan moral yang
menyatukan dimensi ekologis, sosial, ekonomi, dan spiritual, dengan
menempatkan manusia sebagai bagian dari jaringan kosmis, bukan penguasa
tunggalnya.¹¹ Pendekatan ini memiliki kesamaan dengan pandangan Murray
Bookchin tentang Social Ecology, yang melihat ekologi sebagai
persoalan sosial dan politik yang menuntut demokrasi ekologis.¹² Demikian pula,
Arne Naess melalui Deep Ecology menyerukan perubahan paradigma
dari eksploitasi menuju partisipasi etis dalam keseluruhan kehidupan.¹³
Sintesis antara Social Ecology, Deep
Ecology, dan Ekologi Integral membuka jalan menuju etika konservasi
yang tidak hanya menyelamatkan alam, tetapi juga merekonstruksi moralitas
manusia agar selaras dengan prinsip keberlanjutan, kesetaraan, dan kasih
ekologis.¹⁴
9.3.      
Humanisme Ekologis: Manusia sebagai
Penjaga, Bukan Penguasa Alam
Humanisme dalam tradisi klasik sering diidentikkan
dengan supremasi rasionalitas manusia atas alam.¹⁵ Namun, humanisme ekologis
menawarkan reinterpretasi yang lebih reflektif—manusia dipandang bukan sebagai
pusat, melainkan penjaga keberlangsungan kehidupan.¹⁶ Dalam kerangka
ini, manusia tidak meniadakan otonomi alam, melainkan bertanggung jawab secara
moral untuk menjamin kelangsungan seluruh sistem ekologis.
Hans Jonas menyebut posisi ini sebagai heuristics of fear: kesadaran moral
yang muncul dari pengakuan terhadap potensi destruktif manusia terhadap bumi.¹⁷
Dari ketakutan inilah lahir tanggung jawab eksistensial—suatu ethos of care
terhadap dunia yang rapuh.¹⁸ Humanisme ekologis bukanlah anti-humanisme, tetapi
humanisme relasional, di mana martabat manusia terwujud justru melalui
kemampuannya menjaga dan merawat kehidupan non-manusia.¹⁹
Konsep ini juga sejalan dengan pemikiran Pierre
Teilhard de Chardin, yang melihat evolusi kosmos sebagai proses spiritual
menuju kesatuan kesadaran global (noosphere).²⁰ Dengan demikian,
konservasi bukan hanya aktivitas biologis atau sosial, tetapi juga tindakan
spiritual, yaitu partisipasi manusia dalam karya penciptaan yang
berkelanjutan.²¹
9.4.      
Formulasi Etika Konservasi sebagai
Paradigma Moral Baru
Etika konservasi integral dapat dirumuskan sebagai paradigma
moral baru bagi peradaban, yang menggantikan logika antroposentrisme dengan
prinsip koeksistensi dan tanggung jawab ekologis universal.²² Paradigma
ini berangkat dari kesadaran bahwa setiap tindakan manusia memiliki konsekuensi
ekologis global, sehingga moralitas tidak lagi terbatas pada hubungan
interpersonal, tetapi meluas ke seluruh biosfer.²³
Dalam kerangka filosofis, etika konservasi integral
mengandung tiga pilar utama:
1)                 
Ontologis – pengakuan
terhadap nilai intrinsik dan martabat eksistensial seluruh makhluk hidup.
2)                 
Epistemologis – pemahaman
ekologis yang bersumber dari pengalaman relasional dan pengetahuan ilmiah yang
beretika.
3)                 
Aksiologis – penerapan
nilai tanggung jawab, keadilan, dan kepedulian dalam tindakan nyata.²⁴
Paradigma moral baru ini juga menuntut revolusi
kesadaran (ecological consciousness), sebagaimana diungkapkan oleh Joanna
Macy, yakni pergeseran dari kesadaran ego-sentris menuju eco-sentris,
dari dominasi menuju partisipasi.²⁵ Dalam pengertian ini, konservasi bukan
hanya upaya mempertahankan sumber daya, melainkan pembentukan moralitas
ekologis yang menjadi dasar bagi keberlangsungan kehidupan di bumi.²⁶
Footnotes
[1]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2007), 189.
[2]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Allen W. Wood (New Haven: Yale University Press, 2002), 45.
[3]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1:109.
[4]               
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 133.
[5]               
MacIntyre, After Virtue, 191.
[6]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties
to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 114.
[7]               
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
58.
[8]               
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our
Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §137–§139.
[9]               
Ibid., §119.
[10]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 31.
[11]            
Pope Francis, Laudato Si’, §141.
[12]            
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The
Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto, CA: Cheshire Books,
1982), 101.
[13]            
Arne Naess, “Self-Realization: An Ecological
Approach to Being in the World,” in Thinking Like a Mountain: Toward a
Council of All Beings, ed. John Seed et al. (Philadelphia: New Society
Publishers, 1988), 37.
[14]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the
Future (New York: Bell Tower, 1999), 62.
[15]            
René Descartes, Discourse on Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 34.
[16]            
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology:
Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990),
44.
[17]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 129.
[18]            
Ibid., 132.
[19]            
Carol Gilligan, In a Different Voice:
Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1982), 73.
[20]            
Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of
Man, trans. Bernard Wall (New York: Harper & Row, 1959), 220.
[21]            
Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and
Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 54.
[22]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the
New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 156.
[23]            
Peter Singer, One World: The Ethics of Globalization
(New Haven: Yale University Press, 2002), 99.
[24]            
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 66.
[25]            
Joanna Macy, World as Lover, World as Self
(Berkeley: Parallax Press, 1991), 32.
[26]            
Fritjof Capra, The Hidden Connections:
Integrating the Biological, Cognitive, and Social Dimensions of Life (New
York: Anchor Books, 2002), 78.
10.       Kesimpulan
Etika konservasi muncul sebagai refleksi filosofis
dan moral terhadap krisis ekologis yang melanda peradaban modern. Ia bukan
sekadar wacana normatif, melainkan paradigma moral baru yang menegaskan
keterpaduan antara manusia dan alam sebagai satu komunitas kehidupan (biotic
community).¹ Dalam konteks ini, konservasi tidak dapat dipahami hanya sebagai
tindakan teknis untuk mempertahankan sumber daya, melainkan sebagai praktik
moral yang berakar pada kesadaran eksistensial tentang martabat semua
makhluk hidup.²
Secara ontologis, etika konservasi menolak dualisme
manusia-alam dan menegaskan bahwa eksistensi manusia tidak mungkin dipisahkan
dari jaringan ekologis yang menopangnya.³ Alam bukan objek, melainkan subjek
keberadaan yang memiliki nilai intrinsik dan layak dihormati.⁴ Secara
epistemologis, pengetahuan konservatif menuntut integrasi antara ilmu ekologi,
kearifan lokal, dan refleksi moral, yang menjembatani fakta empiris dengan
kesadaran etis.⁵ Sedangkan secara aksiologis, etika konservasi membangun
fondasi nilai berupa tanggung jawab, keadilan ekologis, empati, dan
kepedulian, yang menjadi dasar bagi tatanan dunia yang berkelanjutan.⁶
Pada tataran sosial dan politik, etika konservasi
menegaskan perlunya transformasi struktural dalam sistem ekonomi dan
hukum agar keberlanjutan ekologis menjadi orientasi kebijakan publik dan
tanggung jawab global.⁷ Ini mencakup pengakuan terhadap hak masyarakat adat,
regulasi terhadap eksploitasi korporasi, serta pembentukan hukum ekologis yang
mengakui hak-hak entitas non-manusia.⁸ Dengan demikian, konservasi bukan lagi
domain teknokratis, melainkan imperatif moral universal yang menyatukan
seluruh umat manusia dalam solidaritas planetaris.⁹
Secara filosofis, etika konservasi mencapai
puncaknya dalam gagasan konservasi humanistik dan integral—suatu
pendekatan yang menggabungkan dimensi rasional, spiritual, dan sosial dari
eksistensi manusia.¹⁰ Konservasi humanistik menempatkan manusia bukan sebagai
penguasa, tetapi sebagai penjaga (steward) kehidupan.¹¹ Sementara
konservasi integral menegaskan kesatuan ekologis antara keberlanjutan alam,
keadilan sosial, dan pembentukan kesadaran moral global.¹²
Akhirnya, etika konservasi menyerukan pembentukan “kesadaran
ekologis reflektif”, yakni kesadaran yang mengakui bahwa setiap tindakan
manusia memiliki konsekuensi terhadap keberlanjutan planet ini.¹³ Seperti yang
dinyatakan Aldo Leopold, etika ekologis yang sejati dimulai ketika
manusia memperluas batas komunitas moralnya hingga mencakup tanah, air, hewan,
dan seluruh kehidupan.¹⁴ Dari kesadaran itulah lahir peradaban ekologis—sebuah
masyarakat yang tidak lagi memandang alam sebagai sumber daya untuk dimiliki,
tetapi sebagai rumah bersama yang harus dijaga, dirawat, dan diwariskan
dengan cinta kepada generasi mendatang.¹⁵
Footnotes
[1]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac and Sketches
Here and There (New York: Oxford University Press, 1949), 224.
[2]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 121.
[3]               
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range
Ecology Movement,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 99.
[4]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties
to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 115.
[5]               
Fikret Berkes, Sacred Ecology: Traditional
Ecological Knowledge and Resource Management (Philadelphia: Taylor &
Francis, 1999), 3–4.
[6]               
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 64.
[7]               
Bryan G. Norton, Toward Unity among
Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 102.
[8]               
Catherine Iorns Magallanes, “Nature as an Ancestor:
Two Examples of Legal Personality for Nature in New Zealand,” VertigO
18, no. 3 (2018): 3–4.
[9]               
Peter Singer, One World: The Ethics of
Globalization (New Haven: Yale University Press, 2002), 98.
[10]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our
Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §139.
[11]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility,
128.
[12]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 30.
[13]            
Joanna Macy, World as Lover, World as Self
(Berkeley: Parallax Press, 1991), 28.
[14]            
Leopold, A Sand County Almanac, 225.
[15]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the
Future (New York: Bell Tower, 1999), 65.
Daftar Pustaka 
Abram, D. (1996). The spell of the sensuous:
Perception and language in a more-than-human world. Vintage Books.
Agrawal, A., & Redford, K. (2009). Conservation
and displacement: An overview. Conservation and Society, 7(1), 1–10.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Aronczyk, M., & Espinoza, M. (2019).
Greenwashing and the misrepresentation of environmental responsibility. Communication,
Culture & Critique, 12(4), 541–559.
Attfield, R. (2014). Environmental ethics: An
overview for the twenty-first century. Polity Press.
Bacon, F. (2000). Novum organum (L. Jardine
& M. Silverthorne, Eds.). Cambridge University Press.
Bateson, G. (1972). Steps to an ecology of mind.
University of Chicago Press.
Baxter, B. (2005). A theory of ecological
justice. Routledge.
Berry, T. (1999). The great work: Our way into
the future. Bell Tower.
Berkes, F. (1999). Sacred ecology: Traditional
ecological knowledge and resource management. Taylor & Francis.
Boff, L. (1997). Cry of the earth, cry of the
poor. Orbis Books.
Bookchin, M. (1982). The ecology of freedom: The
emergence and dissolution of hierarchy. Cheshire Books.
Bosselmann, K. (2008). The principle of
sustainability: Transforming law and governance. Ashgate.
Bosselmann, K. (2015). Earth governance:
Trusteeship of the global commons. Edward Elgar.
Braidotti, R. (2013). The posthuman. Polity
Press.
Brosius, P. (2004). Conservation, indigenous
peoples, and protected areas: The paradox of power. Conservation and
Society, 2(2), 246–269.
Buell, L. (2005). The future of environmental
criticism: Environmental crisis and literary imagination. Blackwell.
Callicott, J. B. (1989). In defense of the land
ethic: Essays in environmental philosophy. SUNY Press.
Cajete, G. (2000). Native science: Natural laws
of interdependence. Clear Light Publishers.
Capra, F. (1996). The web of life: A new
scientific understanding of living systems. Anchor Books.
Capra, F. (2002). The hidden connections:
Integrating the biological, cognitive, and social dimensions of life.
Anchor Books.
Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The
systems view of life: A unifying vision. Cambridge University Press.
Carson, R. (1962). Silent spring. Houghton
Mifflin.
Cronon, W. (1995). The trouble with wilderness; or,
getting back to the wrong nature. In W. Cronon (Ed.), Uncommon ground:
Rethinking the human place in nature (pp. 69–90). W. W. Norton.
Crane, A., & Matten, D. (2016). Business
ethics: Managing corporate citizenship and sustainability in the age of
globalization. Oxford University Press.
Darmaputera, E. (1988). The challenge of ecology
to theology in Indonesia. LIPI Press.
Descartes, R. (1993). Meditations on first
philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.
Descartes, R. (1998). Discourse on method
(D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.
Eliade, M. (1959). The sacred and the profane:
The nature of religion. Harcourt.
Elkington, J. (1997). Cannibals with forks: The
triple bottom line of 21st century business. Capstone.
Fikret, B. (1999). Sacred ecology: Traditional
ecological knowledge and resource management. Taylor & Francis.
Foster, J. B. (2000). Marx’s ecology:
Materialism and nature. Monthly Review Press.
Fox, W. (1990). Toward a transpersonal ecology:
Developing new foundations for environmentalism. Shambhala.
Francis, P. (2015). Laudato si’: On care for our
common home. Libreria Editrice Vaticana.
Glacken, C. J. (1967). Traces on the Rhodian
shore: Nature and culture in Western thought from ancient times to the end of
the eighteenth century. University of California Press.
Gilligan, C. (1982). In a different voice:
Psychological theory and women’s development. Harvard University Press.
Goodland, R. (1995). The concept of environmental
sustainability. Annual Review of Ecology and Systematics, 26, 1–24.
Haraway, D. J. (2016). Staying with the trouble:
Making kin in the Chthulucene. Duke University Press.
Harvey, D. (2014). Seventeen contradictions and
the end of capitalism. Profile Books.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Heise, U. K. (2008). Sense of place and sense of
planet: The environmental imagination of the global. Oxford University
Press.
Hornborg, A. (2016). Global magic: Technologies
of appropriation from ancient Rome to Wall Street. Palgrave Macmillan.
Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics.
Oxford University Press.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
(2023). Climate change 2023: Synthesis report. Cambridge University
Press.
Iorns Magallanes, C. (2018). Nature as an ancestor:
Two examples of legal personality for nature in New Zealand. VertigO, 18(3),
1–10.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kant, I. (2002). Groundwork for the metaphysics
of morals (A. W. Wood, Trans.). Yale University Press.
Klein, N. (2014). This changes everything:
Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.
Klostermaier, K. K. (2007). A survey of Hinduism
(3rd ed.). SUNY Press.
Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures
on the new climatic regime. Polity Press.
Leopold, A. (1949). A sand county almanac and
sketches here and there. Oxford University Press.
Light, A. (2003). Moral and political reasoning
in environmental practice. MIT Press.
Light, A., & Rolston, H. III (Eds.). (2003). Environmental
ethics: An anthology. Blackwell.
MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in
moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
Macy, J. (1991). World as lover, world as self.
Parallax Press.
Macy, J. (1991). Mutual causality in Buddhism
and general systems theory. SUNY Press.
Magnis-Suseno, F. (1984). Etika Jawa: Sebuah
analisa filsafat tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Gramedia.
Marsh, G. P. (1864). Man and nature: Or,
physical geography as modified by human action. Scribner.
Martinez-Alier, J. (2002). The environmentalism
of the poor: A study of ecological conflicts and valuation. Edward Elgar.
Macallanes, C. I. (2018). Nature as an ancestor:
Two examples of legal personality for nature in New Zealand. VertigO, 18(3),
1–10.
Merchant, C. (1980). The death of nature: Women,
ecology, and the scientific revolution. Harper & Row.
Merchant, C. (2003). Reinventing Eden: The fate
of nature in Western culture. Routledge.
Muir, J. (1901). Our national parks.
Houghton Mifflin.
Naess, A. (1973). The shallow and the deep,
long-range ecology movement. Inquiry, 16(1–4), 95–100.
Naess, A. (1988). Self-realization: An ecological
approach to being in the world. In J. Seed, J. Macy, P. Fleming, & A. Naess
(Eds.), Thinking like a mountain: Toward a council of all beings (pp.
35–40). New Society Publishers.
Noddings, N. (1984). Caring: A relational
approach to ethics and moral education. University of California Press.
Norton, B. G. (1991). Toward unity among
environmentalists. Oxford University Press.
Norton, B. G. (2005). Sustainability: A philosophy
of adaptive ecosystem management. University of Chicago Press.
Orr, D. W. (1994). Earth in mind: On education,
environment, and the human prospect. Island Press.
Pinchot, G. (1910). The fight for conservation.
Doubleday.
Pope Francis. (2015). Laudato si’: On care for
our common home. Libreria Editrice Vaticana.
Posey, D. A. (Ed.). (1999). Cultural and
spiritual values of biodiversity. UNEP.
Posey, D. A. (1993). Traditional ecological
knowledge: The key to sustainable development. In J. T. Inglis (Ed.), Traditional
ecological knowledge: Wisdom for sustainable development (pp. 11–20). IDRC.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Rolston, H. III. (1986). Philosophy gone wild:
Essays in environmental ethics. Prometheus Books.
Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics:
Duties to and values in the natural world. Temple University Press.
Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology,
and development. Zed Books.
Shue, H. (1993). Subsistence emissions and luxury
emissions. Law & Policy, 15(1), 39–59.
Singer, P. (2002). One world: The ethics of
globalization. Yale University Press.
Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd
ed.). Cambridge University Press.
Spash, C. L. (2010). The economics of climate
change: Stern review and its critics. Routledge.
Spash, C. L. (2017). Green growth: Ideology,
political economy and the alternatives. Routledge.
Sterling, S. (2001). Sustainable education:
Re-visioning learning and change. Green Books.
Taylor, P. W. (1986). Respect for nature: A
theory of environmental ethics. Princeton University Press.
Teilhard de Chardin, P. (1959). The phenomenon
of man (B. Wall, Trans.). Harper & Row.
Tucker, M. E., & Grim, J. (2014). Ecology
and religion. Island Press.
United Nations. (2015). Paris agreement.
United Nations.
United Nations Environment Programme (UNEP).
(2019). Global environment outlook 6. UNEP.
Vandana, S. (1988). Staying alive: Women,
ecology, and development. Zed Books.
Warwick, F. (1990). Toward a transpersonal
ecology: Developing new foundations for environmentalism. Shambhala.
Weber, M. (2001). The Protestant ethic and the
spirit of capitalism. Routledge.
Weiss, E. B. (1989). In fairness to future
generations: International law, common patrimony, and intergenerational equity.
United Nations University.
White, L. Jr. (1967). The historical roots of our
ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.
Wolfe, C. (2010). What is posthumanism?
University of Minnesota Press.
World Commission on Environment and Development
(WCED). (1987). Our common future. Oxford University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar