Selasa, 14 Oktober 2025

Etika Hak dan Teori Keadilan: Kajian Filsafat Moral dan Implikasi Sosial Kontemporer

Etika Hak dan Teori Keadilan

Etika Hak dan Teori Keadilan: Kajian Filsafat Moral dan Implikasi Sosial Kontemporer


Alihkan ke: Filsafat Moral.

Etika Hak (Ethics of Rights), Teori Keadilan (Justice Theory).


Abstrak

Artikel ini membahas keterkaitan mendalam antara etika hak (ethics of rights) dan teori keadilan (justice theory) sebagai dua pilar utama dalam filsafat moral dan politik modern. Kajian ini menelusuri akar historis dan konseptual kedua gagasan sejak masa Yunani Kuno hingga pemikiran kontemporer, terutama dalam karya Immanuel Kant, John Rawls, dan Amartya Sen. Etika hak berfokus pada martabat dan otonomi individu sebagai dasar moral universal, sedangkan teori keadilan berupaya mengatur struktur sosial agar hak tersebut dapat terwujud secara nyata melalui prinsip kesetaraan, kebebasan, dan distribusi yang adil.

Melalui pendekatan analitis dan reflektif, artikel ini menguraikan hubungan normatif, ketegangan konseptual, serta upaya sintesis antara hak dan keadilan, baik dalam konteks liberal, komunitarian, maupun feminis. Pembahasan diperluas pada relevansi kontemporer, termasuk penerapan etika hak dalam hak asasi manusia, kebijakan publik, keadilan ekologis, dan etika digital. Kritik terhadap individualisme liberal serta wacana keadilan Rawlsian menunjukkan perlunya pendekatan etika yang lebih relasional, transformatif, dan kontekstual.

Kesimpulan utama dari kajian ini menegaskan bahwa hak dan keadilan bukanlah entitas yang berlawanan, melainkan saling melengkapi dalam menciptakan tatanan sosial yang berlandaskan martabat manusia, solidaritas moral, dan tanggung jawab global. Dalam dunia yang ditandai oleh krisis sosial, ekologis, dan teknologi, sintesis antara etika hak dan teori keadilan menjadi landasan bagi pembentukan etika global humanistik yang terbuka, reflektif, dan berorientasi pada kemanusiaan universal.

Kata Kunci: Etika hak; teori keadilan; martabat manusia; John Rawls; Immanuel Kant; Amartya Sen; solidaritas; hak asasi manusia; keadilan global; etika humanistik.


PEMBAHASAN

Etika Hak dan Keadilan sebagai Dasar Moral Global


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah pemikiran filsafat moral, isu tentang hak (rights) dan keadilan (justice) selalu menjadi dua tema sentral yang saling berkelindan. Sejak zaman Yunani Kuno, para filsuf seperti Plato dan Aristoteles telah menempatkan keadilan sebagai prinsip dasar kehidupan sosial yang ideal, di mana keteraturan dan keseimbangan menjadi kunci tatanan moral masyarakat yang baik.¹ Sementara itu, gagasan tentang hak individu sebagai prinsip moral baru memperoleh bentuk sistematis pada masa modern, terutama setelah munculnya filsafat politik liberal yang menekankan kebebasan dan martabat manusia sebagai dasar legitimasi moral dan hukum.²

Perkembangan gagasan hak mengalami transformasi besar ketika John Locke memperkenalkan konsep natural rights, yakni hak-hak kodrati yang melekat pada diri manusia sejak lahir dan tidak dapat dicabut oleh negara.³ Konsep ini kemudian menjadi fondasi bagi perumusan Deklarasi Hak Asasi Manusia pada abad ke-18 dan terus berpengaruh hingga dalam wacana etika dan hukum internasional kontemporer. Di sisi lain, gagasan keadilan mengalami pembaruan teoretis melalui karya John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), yang menempatkan keadilan sebagai fairness, yakni prinsip moral yang menyeimbangkan kebebasan individu dengan kesetaraan sosial.⁴

Dalam konteks dunia modern yang kompleks—diwarnai oleh ketimpangan ekonomi, diskriminasi rasial, krisis lingkungan, dan revolusi teknologi digital—pertanyaan tentang hubungan antara hak dan keadilan menjadi semakin mendesak. Apakah hak-hak individu dapat dipertahankan tanpa mengorbankan keadilan sosial? Ataukah keadilan menuntut pembatasan atas kebebasan individu demi kesejahteraan bersama? Pertanyaan-pertanyaan ini menegaskan perlunya sebuah kerangka etis yang tidak hanya normatif, tetapi juga responsif terhadap realitas sosial kontemporer.⁵

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, kajian ini akan berfokus pada beberapa persoalan pokok:

1)                  Bagaimana ethics of rights menjelaskan dasar moral dari hak individu?

2)                  Bagaimana teori keadilan menata hubungan antara kebebasan dan kesetaraan?

3)                  Bagaimana hubungan konseptual antara hak dan keadilan dapat dijelaskan secara koheren dalam kerangka etika sosial kontemporer?

1.3.       Tujuan dan Manfaat Kajian

Kajian ini bertujuan untuk:

·                     Menelusuri landasan konseptual dan historis dari ethics of rights dan justice theory.

·                     Menyusun analisis filosofis yang menjelaskan hubungan timbal balik antara hak dan keadilan.

·                     Menggali relevansi kedua konsep tersebut bagi praksis sosial dan politik modern, khususnya dalam konteks keadilan sosial dan hak asasi manusia.

Secara akademik, kajian ini diharapkan memberikan kontribusi pada pengembangan wacana etika normatif dan filsafat politik kontemporer, dengan menegaskan bahwa hak dan keadilan bukanlah prinsip yang saling bertentangan, melainkan dua dimensi moral yang saling melengkapi dalam upaya mencapai kehidupan manusia yang bermartabat dan berkeadilan.⁶


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 331c–335e.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 40–45.

[3]                John Locke, Two Treatises of Government (London: Awnsham Churchill, 1689), 287–289.

[4]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 11–17.

[5]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 19–22.

[6]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 25–28.


2.           Landasan Konseptual dan Historis

2.1.       Asal-Usul Etika Hak (Ethics of Rights)

Gagasan tentang hak sebagai konsep moral dan politik tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan berkembang melalui proses historis yang panjang. Dalam filsafat Yunani Kuno, wacana tentang hak belum diformulasikan secara eksplisit; yang lebih menonjol adalah gagasan tentang keadilan dan kewajiban moral terhadap polis.¹ Konsep hak mulai memperoleh bentuk konseptual yang lebih jelas dalam tradisi hukum alam (natural law) Romawi, yang diwakili oleh Cicero, yang menyatakan bahwa ada hukum moral universal yang bersumber dari rasio dan mengikat semua manusia.²

Perkembangan signifikan terjadi pada masa filsafat skolastik, terutama melalui pemikiran Thomas Aquinas, yang menafsirkan hukum alam sebagai partisipasi akal budi manusia dalam hukum ilahi.³ Dalam kerangka ini, hak (ius) dipahami sebagai sesuatu yang adil bagi setiap individu sesuai kodratnya. Namun, pengertian “hak subjektif” sebagai klaim moral baru muncul pada masa modern, terutama melalui Hugo Grotius dan John Locke, yang memisahkan hak dari teologi dan menempatkannya dalam ranah moral-rasional manusia.⁴ Grotius menegaskan bahwa bahkan jika Tuhan tidak ada, hukum alam dan hak-hak moral manusia tetap memiliki dasar rasional, karena berakar pada kodrat manusia itu sendiri.⁵

Dalam konteks modernitas, Immanuel Kant mengangkat konsep hak ke dalam dimensi moral yang lebih universal. Bagi Kant, hak merupakan derivasi dari prinsip otonomi rasional manusia — yakni kebebasan untuk bertindak menurut hukum moral yang diakui sendiri melalui akal.⁶ Pandangan ini melahirkan dasar bagi apa yang disebut etika hak (ethics of rights), yaitu etika yang berpusat pada martabat manusia sebagai makhluk rasional dan bebas. Dalam paradigma ini, hak bukan sekadar perlindungan legal, melainkan ekspresi moral dari kebebasan dan tanggung jawab.⁷

2.2.       Perkembangan Teori Keadilan (Justice Theory)

Konsep keadilan (justice) telah menjadi pusat perhatian filsafat moral sejak zaman klasik. Plato dalam The Republic memandang keadilan sebagai keharmonisan antara bagian-bagian jiwa dan tatanan sosial; setiap individu harus menjalankan perannya sesuai dengan kodratnya agar tercipta keseimbangan.⁸ Aristoteles kemudian mengembangkan pendekatan yang lebih praktis melalui pembedaan antara keadilan distributif (distributive justice) dan keadilan korektif (corrective justice).⁹ Keadilan distributif berkaitan dengan pembagian sumber daya secara proporsional, sedangkan keadilan korektif menitikberatkan pada pemulihan keseimbangan akibat pelanggaran atau ketidakadilan.

Pada masa modern, teori keadilan memasuki babak baru melalui pemikiran John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), yang mengusulkan prinsip keadilan sebagai fairness.¹⁰ Rawls mengembangkan konsep original position dan veil of ignorance, di mana individu-hipotetis merancang prinsip keadilan tanpa mengetahui posisi sosial mereka, sehingga menghasilkan dua prinsip utama: (1) kebebasan yang sama bagi semua, dan (2) ketimpangan sosial hanya dapat dibenarkan jika menguntungkan pihak yang paling lemah (difference principle).¹¹

Sementara itu, Robert Nozick melalui Anarchy, State, and Utopia (1974) menolak pendekatan distributif Rawls dengan menekankan keadilan sebagai hak kepemilikan (entitlement theory).¹² Bagi Nozick, keadilan bukanlah soal hasil distribusi yang merata, tetapi tentang apakah hak individu terhadap properti diperoleh dan dipindahkan secara sah.¹³ Pandangan ini mempertegas arah libertarian dalam teori keadilan dan menegaskan kembali hubungan erat antara keadilan dan hak individual.

Selain Rawls dan Nozick, berkembang pula teori keadilan yang lebih kontekstual seperti keadilan komunitarian (communitarian justice) yang dikemukakan oleh Michael Sandel dan Alasdair MacIntyre, serta pendekatan feminist dan global justice oleh Martha Nussbaum dan Amartya Sen, yang menekankan keadilan sebagai pemenuhan capabilities manusia.¹⁴

2.3.       Keterkaitan Historis antara Hak dan Keadilan

Secara historis, hubungan antara hak dan keadilan menunjukkan dinamika dialektis antara kebebasan individu dan keteraturan sosial. Pada masa klasik, keadilan dipahami sebagai keharmonisan sosial, sedangkan hak belum diperlakukan sebagai klaim moral individu.¹⁵ Seiring perkembangan modernitas, paradigma bergeser: hak menjadi titik awal dari keadilan, bukan sebaliknya. Tradisi liberal modern menganggap keadilan hanya dapat ditegakkan bila hak-hak individu dijamin.¹⁶

Namun, dalam perkembangan kontemporer, muncul kesadaran bahwa hak tanpa keadilan dapat menimbulkan ketimpangan baru. Sebaliknya, keadilan tanpa pengakuan terhadap hak individu berpotensi menjadi tirani mayoritas. Oleh karena itu, berbagai filsuf modern seperti Amartya Sen dan Nancy Fraser berusaha mensintesiskan keduanya melalui gagasan keadilan reflektif dan distributif yang berbasis pengakuan (recognition) dan kemampuan (capability).¹⁷ Dengan demikian, hubungan antara etika hak dan teori keadilan bukanlah relasi oposisi, melainkan relasi komplementer yang terus berkembang seiring kompleksitas moral dan sosial manusia.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 331c–335e.

[2]                Marcus Tullius Cicero, De Legibus, trans. Clinton W. Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), II.10–13.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, Q.94, Art.2 (New York: Benziger Brothers, 1947).

[4]                Hugo Grotius, The Rights of War and Peace, trans. Richard Tuck (Indianapolis: Liberty Fund, 2005), Prolegomena, §8.

[5]                Ibid., §11.

[6]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 38–42.

[7]                Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 77–81.

[8]                Plato, The Republic, 433a–434c.

[9]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), V.3–5.

[10]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 11–17.

[11]             Ibid., 60–65.

[12]             Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 150–155.

[13]             Ibid., 160–164.

[14]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 32–37.

[15]             Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), III.12.

[16]             John Locke, Two Treatises of Government (London: Awnsham Churchill, 1689), 285–289.

[17]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 18–22; Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 12–15.


3.           Fondasi Filosofis Etika Hak

3.1.       Hak sebagai Prinsip Moral Dasar

Dalam filsafat moral, hak (right) dipahami sebagai klaim normatif yang melekat pada individu karena statusnya sebagai makhluk rasional dan bermartabat. Hak bukan sekadar produk hukum positif, melainkan ekspresi moral dari nilai kemanusiaan itu sendiri.¹ Konsep ini menegaskan bahwa setiap individu memiliki martabat yang tidak dapat direduksi atau ditukar dengan kepentingan sosial semata. Dalam tradisi filsafat liberal, terutama yang dikembangkan oleh John Locke, hak-hak kodrati (natural rights) seperti hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan merupakan dasar legitimasi bagi setiap sistem politik yang adil.² Locke menegaskan bahwa hak-hak ini tidak diberikan oleh negara, melainkan telah ada sebelum terbentuknya masyarakat politik — negara hanya berfungsi menjamin dan melindunginya.³

Di sisi lain, para filsuf modern kontemporer seperti Ronald Dworkin menekankan bahwa hak berfungsi sebagai “trump cards” terhadap utilitarianisme sosial, yaitu batas moral yang tidak dapat dilanggar bahkan demi kepentingan mayoritas.⁴ Dengan demikian, etika hak menolak prinsip pengorbanan individu demi keuntungan kolektif apabila hal itu melanggar martabat manusia. Dalam kerangka ini, hak berfungsi sebagai fondasi moral dari seluruh tindakan sosial dan politik yang sah.⁵

Selain bersifat individual, hak juga mengandung dimensi sosial yang tak terpisahkan. Amartya Sen mengingatkan bahwa pengakuan terhadap hak individu harus disertai dengan kemampuan nyata untuk mewujudkan hak tersebut (capabilities approach).⁶ Artinya, hak bukan hanya status moral, melainkan juga tanggung jawab sosial untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan manusia hidup secara bermartabat.

3.2.       Pendekatan Deontologis terhadap Hak

Pendekatan deontologis menempatkan hak dalam kerangka kewajiban moral yang bersumber dari rasio praktis, bukan dari konsekuensi tindakan.⁷ Dalam hal ini, Immanuel Kant menjadi tokoh utama. Ia menyatakan bahwa manusia memiliki martabat (Würde) karena kemampuannya bertindak menurut prinsip universal yang diakui sendiri melalui akal budi.⁸ Menurut Kant, manusia harus selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri (end in itself), bukan sebagai alat untuk tujuan lain.⁹ Dari prinsip ini lahir gagasan bahwa setiap individu memiliki hak yang tak dapat dilanggar (inviolable rights), karena pelanggaran terhadap hak berarti memperlakukan manusia hanya sebagai sarana bagi kepentingan lain.¹⁰

Etika deontologis Kantian memberikan dasar universal bagi moralitas hak. Hak menjadi derivasi logis dari kewajiban moral untuk menghormati otonomi manusia.¹¹ Dalam kerangka ini, tindakan etis bukan ditentukan oleh hasil (teleologi), tetapi oleh niat moral yang tunduk pada hukum universal (categorical imperative).¹² Pandangan ini menegaskan bahwa pengakuan terhadap hak bukanlah soal pilihan politik atau kebijakan sosial, melainkan konsekuensi rasional dari moralitas manusia sebagai makhluk bebas dan otonom.¹³

Kekuatan etika deontologis terletak pada universalitasnya: hak berlaku bagi setiap manusia tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau budaya. Namun, pendekatan ini sering dikritik karena cenderung abstrak dan formalistis, sehingga kurang memperhatikan konteks sosial dan kondisi material yang mempengaruhi kemampuan individu dalam menjalankan haknya.¹⁴

3.3.       Pendekatan Teleologis dan Utilitarian terhadap Hak

Berbeda dengan pendekatan deontologis, pendekatan teleologis dan utilitarian menilai tindakan moral berdasarkan akibatnya terhadap kebahagiaan atau kesejahteraan umum (the greatest happiness principle).¹⁵ Dalam tradisi ini, hak bukanlah sesuatu yang bersifat absolut, melainkan instrumen untuk mencapai manfaat sosial terbesar. Jeremy Bentham, misalnya, secara keras menolak konsep hak kodrati dengan menyebutnya sebagai “nonsense upon stilts” — omong kosong yang dilebih-lebihkan.¹⁶ Menurut Bentham, hak hanya sah sejauh ditetapkan oleh hukum positif untuk memaksimalkan kebahagiaan masyarakat.¹⁷

Namun, utilitarianisme juga mengalami reformulasi melalui John Stuart Mill, yang berusaha menggabungkan kebebasan individu dengan prinsip utilitas. Dalam On Liberty, Mill menegaskan bahwa kebebasan dan hak-hak individu merupakan elemen penting dari kebahagiaan umum karena memungkinkan perkembangan intelektual dan moral manusia.¹⁸ Pandangan ini membawa dimensi baru: hak tidak hanya alat menuju kebahagiaan, tetapi juga syarat bagi kemajuan moral umat manusia.

Meskipun pendekatan teleologis memperluas wawasan tentang fungsi sosial hak, pendekatan ini menghadapi kritik mendasar dari Ronald Dworkin dan Robert Nozick, yang menilai bahwa mengorbankan hak individu demi kesejahteraan umum dapat mengarah pada tirani mayoritas.¹⁹ Dworkin menekankan bahwa hak harus berfungsi sebagai batas moral terhadap kalkulasi utilitarian, sedangkan Nozick menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak moral yang tidak dapat diganggu, bahkan oleh negara, karena pelanggaran terhadap hak individu adalah bentuk ketidakadilan.²⁰

Dari dua pendekatan ini — deontologis dan teleologis — muncul ketegangan filosofis antara martabat moral individu dan manfaat sosial kolektif. Ketegangan ini, dalam etika hak kontemporer, cenderung diarahkan pada sintesis yang menekankan bahwa hak individu harus dipahami bukan sebagai penghalang solidaritas sosial, tetapi sebagai fondasi moral bagi tatanan sosial yang adil dan manusiawi.²¹


Footnotes

[1]                Joel Feinberg, Social Philosophy (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1973), 58–60.

[2]                John Locke, Two Treatises of Government (London: Awnsham Churchill, 1689), 285–287.

[3]                Ibid., 289–292.

[4]                Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), xi–xii.

[5]                Ibid., 191–193.

[6]                Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), 36–38.

[7]                Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 44–47.

[8]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 39–43.

[9]                Ibid., 429–430.

[10]             Ibid., 46–48.

[11]             Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 105–110.

[12]             Ibid., 112–114.

[13]             Onora O’Neill, Constructions of Reason: Explorations of Kant’s Practical Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 132–134.

[14]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press, 2006), 26–29.

[15]             John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), 7–10.

[16]             Jeremy Bentham, Anarchical Fallacies (London: T. Payne, 1796), 501.

[17]             Ibid., 502–504.

[18]             John Stuart Mill, On Liberty (London: John W. Parker and Son, 1859), 14–16.

[19]             Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, 197–201.

[20]             Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 28–33.

[21]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 18–22.


4.           Teori Keadilan: Kerangka dan Prinsip

4.1.       John Rawls dan Prinsip Keadilan sebagai Fairness

Pemikiran modern tentang keadilan mengalami lompatan paradigmatik melalui karya monumental John Rawls, A Theory of Justice (1971), yang menandai kebangkitan kembali etika normatif dalam filsafat politik abad ke-20. Rawls mengusulkan konsep keadilan sebagai fairness, yakni keadilan yang bersumber dari kesepakatan rasional di bawah kondisi imparsialitas moral.¹ Gagasan utamanya terletak pada model hipotetis yang disebut original position, di mana para individu rasional memilih prinsip-prinsip keadilan di balik veil of ignorance — tirai ketidaktahuan yang meniadakan pengetahuan tentang status sosial, ekonomi, atau bakat alami mereka.²

Dari model tersebut, Rawls menurunkan dua prinsip utama keadilan:

1)                  Prinsip Kebebasan yang Sama (Equal Liberty Principle) — setiap individu memiliki hak atas kebebasan dasar yang setara dan tidak dapat dikorbankan demi keuntungan sosial atau ekonomi.

2)                  Prinsip Perbedaan (Difference Principle) — ketimpangan sosial dan ekonomi hanya dapat dibenarkan jika menguntungkan pihak yang paling tidak beruntung dalam masyarakat.³

Kedua prinsip ini diatur oleh prinsip prioritas moral: kebebasan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada efisiensi atau kesejahteraan sosial.⁴ Rawls menolak utilitarianisme klasik yang cenderung mengorbankan hak individu demi kebahagiaan kolektif, dan menggantinya dengan keadilan yang berbasis pada kesetaraan moral.⁵

Meskipun demikian, teori Rawls mendapat kritik dari berbagai arah. Robert Nozick menilai bahwa prinsip redistribusi Rawls melanggar hak kepemilikan individu, sedangkan Michael Sandel menilai bahwa Rawls terlalu abstrak dan mengabaikan konteks komunitas moral yang membentuk identitas individu.⁶ Namun, sumbangan Rawls tetap fundamental karena berhasil menggabungkan kebebasan liberal dengan solidaritas sosial dalam kerangka etika rasional yang sistematis.⁷

4.2.       Robert Nozick dan Teori Hak Kepemilikan (Entitlement Theory)

Sebagai respon terhadap Rawls, Robert Nozick mengembangkan pendekatan libertarian dalam Anarchy, State, and Utopia (1974). Nozick mendasarkan teori keadilannya pada prinsip entitlement, yakni hak individu untuk memiliki dan menguasai properti sejauh diperoleh secara sah.⁸ Menurut Nozick, keadilan tidak berkaitan dengan hasil distribusi (patterned distribution), tetapi dengan proses perolehan dan transfer hak milik yang sah.⁹

Nozick merumuskan tiga prinsip dasar keadilan:

1)                  Prinsip Perolehan Sah (Justice in Acquisition) – seseorang berhak atas sesuatu jika memperolehnya tanpa melanggar hak orang lain.

2)                  Prinsip Transfer Sah (Justice in Transfer) – kepemilikan yang sah dapat ditransfer secara sukarela tanpa paksaan.

3)                  Prinsip Koreksi (Rectification of Injustice) – jika terjadi pelanggaran terhadap dua prinsip sebelumnya, keadilan menuntut pemulihan hak kepada pihak yang dirugikan.¹⁰

Nozick menolak semua bentuk redistribusi kekayaan oleh negara karena dianggap sebagai pelanggaran atas kebebasan individu — “pajak yang berlebihan adalah bentuk kerja paksa.”¹¹ Dengan demikian, fungsi negara harus dibatasi pada perlindungan terhadap hak-hak dasar individu: keamanan, kontrak, dan kebebasan.¹²

Pandangan Nozick memperkuat tradisi etika hak (rights-based ethics) dalam konteks ekonomi dan politik. Ia menegaskan bahwa keadilan sejati hanya dapat tercapai jika setiap individu memiliki hak untuk menentukan hidupnya sendiri tanpa intervensi kolektif.¹³ Namun, kritik utama terhadap Nozick datang dari filsuf Amartya Sen dan Martha Nussbaum, yang menilai bahwa keadilan tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial yang memungkinkan individu benar-benar menggunakan haknya secara substantif (capability approach).¹⁴

4.3.       Pendekatan Alternatif dan Kritik

Selain dua kutub liberal dan libertarian, muncul pula pendekatan-pendekatan alternatif terhadap teori keadilan yang berusaha memperluas dimensi moralnya.

a.                  Keadilan Komunitarian

Pemikir seperti Michael Sandel dan Alasdair MacIntyre mengkritik individualisme moral Rawls dan Nozick. Mereka berpendapat bahwa keadilan tidak dapat dipahami terlepas dari konteks komunitas, nilai, dan tradisi yang membentuk identitas moral individu.¹⁵ Menurut Sandel, manusia bukanlah subjek moral yang netral dan terlepas dari masyarakat, melainkan makhluk sosial yang nilai-nilainya dibentuk oleh solidaritas dan tanggung jawab kolektif.¹⁶ Dengan demikian, keadilan harus mempertimbangkan common good yang hidup dalam komunitas, bukan sekadar kontrak antara individu rasional.¹⁷

b.                  Keadilan Feminis dan Relasional

Filsuf feminis seperti Iris Marion Young dan Nancy Fraser menambahkan dimensi baru pada teori keadilan dengan menyoroti persoalan ketidaksetaraan struktural dan representasi sosial. Young menekankan keadilan sebagai penghapusan dominasi dan penindasan, bukan sekadar distribusi sumber daya.¹⁸ Sementara itu, Fraser memperkenalkan konsep recognition and redistribution, yakni keseimbangan antara keadilan ekonomi dan pengakuan identitas kultural.¹⁹ Perspektif ini memperluas cakupan keadilan hingga ranah relasional, politik, dan simbolik.

c.                   Keadilan Global dan Ekologis

Dalam era globalisasi dan krisis lingkungan, teori keadilan berkembang ke arah yang lebih inklusif. Amartya Sen mengajukan model comparative justice, yang tidak mencari sistem ideal, melainkan menilai situasi nyata dan memperbaiki ketidakadilan faktual.²⁰ Sementara Martha Nussbaum memperluas prinsip keadilan ke ranah non-manusia dengan menegaskan pentingnya capabilities ekologis bagi semua makhluk hidup.²¹ Dengan demikian, keadilan tidak hanya bersifat sosial dan ekonomi, tetapi juga ekologis dan planetaris.

4.4.       Kerangka Sintesis dan Implikasi Filosofis

Melalui dinamika antara teori liberal, libertarian, komunitarian, dan feminis, dapat disimpulkan bahwa keadilan merupakan konsep multidimensional yang tidak dapat direduksi pada satu paradigma tunggal. Teori keadilan kontemporer bergerak menuju pendekatan dialogis, di mana hak individu dan tanggung jawab sosial saling melengkapi.²² Keadilan tidak lagi sekadar soal distribusi atau kontrak, tetapi juga tentang pengakuan, partisipasi, dan solidaritas.²³

Etika hak dan teori keadilan pada akhirnya bertemu dalam satu tujuan moral: menciptakan tatanan sosial yang menghormati martabat setiap individu sekaligus menjamin kesejahteraan kolektif. Prinsip-prinsip moral seperti kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas menjadi pilar utama yang menghubungkan hak individu dengan struktur sosial yang adil.²⁴


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 11–17.

[2]                Ibid., 118–122.

[3]                Ibid., 60–65.

[4]                Ibid., 250–251.

[5]                Ibid., 27–28.

[6]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 183–189; Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 21–25.

[7]                Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge, 2007), 56–59.

[8]                Nozick, Anarchy, State, and Utopia, 150–155.

[9]                Ibid., 160–162.

[10]             Ibid., 163–164.

[11]             Ibid., 169.

[12]             Ibid., 175–177.

[13]             Ibid., 230–231.

[14]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 18–22; Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 32–37.

[15]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 204–210.

[16]             Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 27–30.

[17]             Ibid., 31–33.

[18]             Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 39–42.

[19]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 12–15.

[20]             Sen, The Idea of Justice, 45–48.

[21]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press, 2006), 347–351.

[22]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 92–96.

[23]             Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A Political-Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 68–73.

[24]             Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), 283–286.


5.           Hubungan Etika Hak dan Teori Keadilan

5.1.       Perspektif Normatif: Hak sebagai Dasar Keadilan

Dalam kerangka filsafat moral dan politik, hubungan antara etika hak dan teori keadilan bersifat normatif dan saling melandasi. Etika hak berangkat dari pengakuan terhadap martabat manusia sebagai dasar legitimasi moral, sedangkan teori keadilan berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk mewujudkan pengakuan tersebut secara kolektif.¹ Dengan kata lain, hak individu merupakan prinsip moral universal, sedangkan keadilan merupakan institusionalisasi sosial dari prinsip itu dalam bentuk sistem hukum, ekonomi, dan politik yang adil.²

Dalam tradisi liberalisme moral, seperti yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, hak muncul dari kewajiban moral untuk memperlakukan setiap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri (end in itself).³ Prinsip ini menjadi dasar bagi pemahaman bahwa keadilan harus berangkat dari penghormatan terhadap hak individu yang tidak dapat dilanggar (inviolable rights).⁴ John Rawls kemudian mengembangkan gagasan ini dengan menghubungkan kebebasan dan kesetaraan: hak-hak dasar menjadi unsur tak terpisahkan dari principle of equal liberty yang dijamin bagi semua warga.⁵

Dengan demikian, hak tidak hanya mendahului keadilan secara moral, tetapi juga menjadi ukuran etis bagi legitimasi kebijakan publik.⁶ Setiap sistem keadilan yang sah harus menjamin pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia; tanpa itu, keadilan akan kehilangan fondasi moralnya.⁷

5.2.       Ketegangan dan Integrasi Konseptual

Meskipun hak dan keadilan tampak saling berkaitan, keduanya sering menimbulkan ketegangan konseptual. Hak menekankan kebebasan individu, sedangkan keadilan menuntut keteraturan sosial dan kesetaraan.⁸ Dalam konteks ini, muncul persoalan etis klasik: sejauh mana hak individu dapat dibatasi demi kepentingan umum?

John Stuart Mill menegaskan bahwa kebebasan individu hanya dapat dibatasi ketika tindakan seseorang menimbulkan bahaya bagi orang lain (harm principle).⁹ Prinsip ini menjadi jembatan antara hak dan keadilan: kebebasan pribadi tetap dijaga, namun tidak absolut. Di sisi lain, Robert Nozick menolak setiap bentuk pembatasan atas hak individu, karena baginya keadilan adalah penghormatan terhadap hak milik dan kebebasan pribadi.¹⁰ Pandangan Nozick menegaskan supremasi hak atas keadilan, tetapi mengabaikan dimensi solidaritas sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan kolektif.

Sebaliknya, John Rawls berusaha mengintegrasikan keduanya dengan prinsip difference dan equal liberty. Ia mengakui pentingnya hak-hak dasar individu, namun juga menekankan perlunya ketimpangan sosial yang justru menguntungkan kelompok yang paling lemah.¹¹ Pandangan ini menciptakan sintesis antara kebebasan moral individu dan keadilan distributif sosial.

Dalam perspektif komunitarian, hubungan hak dan keadilan tidak dapat dipisahkan dari konteks moral komunitas. Michael Sandel mengkritik model kontraktual Rawls yang terlalu abstrak karena mengabaikan nilai-nilai bersama (shared goods) yang membentuk identitas moral manusia.¹² Keadilan, menurutnya, harus memperhatikan ikatan sosial yang memberi makna pada hak individu.¹³ Kritik ini membuka ruang bagi integrasi baru: hak individu tidak bertentangan dengan keadilan sosial, melainkan menemukan maknanya di dalam jaringan hubungan antar-manusia yang etis.¹⁴

5.3.       Model Sintesis Teoretis: Etika Relasional Hak dan Keadilan

Dalam teori moral kontemporer, muncul upaya sintesis teoretis yang berusaha mengatasi dikotomi antara hak dan keadilan dengan mengembangkan apa yang disebut etika relasional.¹⁵ Etika ini memandang bahwa hak tidak dapat dipahami secara atomistik atau individualistis, melainkan selalu eksis dalam relasi sosial yang konkret.

Amartya Sen dan Martha Nussbaum, melalui pendekatan capabilities, menegaskan bahwa hak dan keadilan harus dipahami dalam konteks kemampuan manusia untuk benar-benar merealisasikan potensi moral dan sosialnya.¹⁶ Dengan demikian, keadilan bukan hanya distribusi sumber daya, melainkan penciptaan kondisi yang memungkinkan setiap individu menjalankan hak-haknya secara nyata.¹⁷

Sementara itu, Nancy Fraser dan Axel Honneth mengembangkan paradigma keadilan pengakuan (justice of recognition), yang menekankan bahwa keadilan tidak cukup dengan redistribusi ekonomi, tetapi juga harus menjamin pengakuan sosial terhadap identitas, martabat, dan partisipasi individu.¹⁸ Dalam kerangka ini, hak bukan hanya jaminan hukum, tetapi juga sarana moral untuk memastikan partisipasi manusia dalam kehidupan bersama yang setara dan bermakna.

Pendekatan relasional ini menawarkan kesatuan antara dimensi moral (hak) dan dimensi sosial (keadilan). Hak menjadi dasar etis keadilan, sementara keadilan memberikan bentuk konkret bagi hak.¹⁹ Dengan demikian, kedua konsep ini tidak berdiri sebagai oposisi, melainkan sebagai dua aspek yang saling menguatkan dalam proyek moral kemanusiaan universal.²⁰

5.4.       Sintesis Filosofis: Hak, Keadilan, dan Martabat Manusia

Secara filosofis, dapat disimpulkan bahwa etika hak dan teori keadilan bertemu dalam prinsip yang sama: martabat manusia (human dignity).²¹ Hak menegaskan dimensi intrinsik martabat sebagai sesuatu yang harus dihormati, sementara keadilan mengatur struktur sosial agar penghormatan itu dapat diwujudkan secara nyata.²² Dengan demikian, hak tanpa keadilan akan kehilangan relevansinya, dan keadilan tanpa hak akan kehilangan legitimasi moralnya.²³

Paradigma etika hak dan keadilan humanistik ini menggeser fokus dari formalisme hukum ke arah praksis sosial yang etis, di mana penghormatan terhadap individu berjalan beriringan dengan tanggung jawab terhadap masyarakat.²⁴ Dalam pandangan ini, keadilan bukan hanya soal “memberikan kepada tiap orang apa yang menjadi haknya,” tetapi juga menciptakan kondisi di mana setiap orang mampu menikmati haknya secara utuh.²⁵

Oleh karena itu, hubungan antara etika hak dan teori keadilan bukanlah hubungan linear, melainkan relasi dialektis yang terus berkembang sesuai konteks sosial, budaya, dan teknologi manusia. Dalam dunia yang semakin kompleks — dengan munculnya isu hak digital, keadilan ekologis, dan kesetaraan global — integrasi antara hak dan keadilan menjadi semakin mendesak sebagai fondasi moral bagi kehidupan bersama yang beradab.²⁶


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 38–42.

[2]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 3–5.

[3]                Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, 429–430.

[4]                Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 73–75.

[5]                Rawls, A Theory of Justice, 60–65.

[6]                Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 112–115.

[7]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 18–20.

[8]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 150–153.

[9]                John Stuart Mill, On Liberty (London: John W. Parker and Son, 1859), 14–15.

[10]             Nozick, Anarchy, State, and Utopia, 169–171.

[11]             Rawls, A Theory of Justice, 83–85.

[12]             Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 23–27.

[13]             Ibid., 32–34.

[14]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 213–216.

[15]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 90–94.

[16]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 17–22.

[17]             Sen, The Idea of Justice, 45–47.

[18]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 12–16.

[19]             Fraser and Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A Political-Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 70–72.

[20]             Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), 283–286.

[21]             Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, 436–438.

[22]             Rawls, Justice as Fairness: A Restatement (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 18–20.

[23]             Sen, The Idea of Justice, 90–94.

[24]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press, 2006), 18–23.

[25]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), V.3–5.

[26]             Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 35–39.


6.           Aplikasi dan Implikasi Sosial Kontemporer

6.1.       Etika Hak dalam Isu Global dan Hak Asasi Manusia

Dalam konteks global kontemporer, etika hak (ethics of rights) menjadi landasan normatif utama bagi pembentukan sistem nilai dan hukum internasional. Sejak diadopsinya Universal Declaration of Human Rights (1948), gagasan bahwa setiap manusia memiliki hak yang melekat (inherent rights) karena martabatnya telah menjadi prinsip moral universal yang mengatur tatanan dunia.¹ Konsep ini menegaskan bahwa hak tidak bergantung pada status politik atau kebangsaan, melainkan pada kemanusiaan itu sendiri.²

Namun, dalam praktiknya, penerapan etika hak menghadapi tantangan serius. Krisis pengungsi, ketimpangan ekonomi global, dan diskriminasi rasial menunjukkan adanya kesenjangan antara deklarasi moral dan realitas sosial.³ Di era digital, muncul pula persoalan baru mengenai hak privasi, kebebasan berekspresi, dan keamanan data pribadi, yang menuntut reinterpretasi atas prinsip klasik hak asasi manusia.⁴

Dalam konteks ini, Martha Nussbaum menekankan perlunya pendekatan capability yang menilai sejauh mana individu benar-benar mampu menjalankan haknya secara substansial.⁵ Misalnya, hak atas pendidikan atau kesehatan tidak hanya diakui secara hukum, tetapi juga harus dijamin melalui kebijakan sosial yang memungkinkan realisasi aktualnya.⁶ Oleh karena itu, etika hak dalam dunia modern tidak cukup berhenti pada pengakuan formal, tetapi harus diperluas menjadi tanggung jawab kolektif untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan manusia hidup secara bermartabat.⁷

6.2.       Teori Keadilan dalam Kebijakan Publik dan Pembangunan Sosial

Teori keadilan menawarkan kerangka moral untuk menilai dan membentuk kebijakan publik. Dalam pemikiran John Rawls, prinsip keadilan sebagai fairness dapat diterapkan untuk memastikan bahwa kebijakan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan tidak hanya efisien tetapi juga adil.⁸ Kebijakan redistributif, misalnya, dibenarkan jika dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok masyarakat yang paling lemah tanpa mengorbankan kebebasan dasar individu.⁹

Pendekatan ini memiliki implikasi langsung dalam bidang pembangunan sosial dan pemerintahan. Amartya Sen mengusulkan paradigma development as freedom, di mana pembangunan diukur bukan hanya dari pertumbuhan ekonomi, melainkan dari peningkatan kebebasan substantif manusia.¹⁰ Artinya, pembangunan harus memperluas kemampuan individu untuk memilih dan bertindak sesuai nilai-nilai yang mereka anggap penting.¹¹

Selain itu, teori keadilan juga memainkan peran penting dalam isu keadilan distributif dan keadilan sosial. Dalam konteks kebijakan fiskal, misalnya, penentuan pajak progresif dan jaminan sosial dapat dipandang sebagai implementasi dari difference principle Rawls, yakni memperbaiki posisi kelompok yang kurang beruntung.¹² Sedangkan dalam konteks politik, teori keadilan menuntut pembentukan lembaga yang transparan, partisipatif, dan akuntabel agar distribusi hak dan kekuasaan dapat berlangsung secara adil.¹³

Kritik komunitarian terhadap pendekatan liberal menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai sosial dan budaya lokal.¹⁴ Oleh karena itu, penerapan teori keadilan dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia memerlukan pendekatan kontekstual yang menghormati pluralitas nilai tanpa mengorbankan prinsip moral universal.¹⁵

6.3.       Keadilan Intergenerasional dan Etika Ekologis

Salah satu perluasan penting dari teori keadilan kontemporer adalah munculnya konsep keadilan intergenerasional dan keadilan ekologis. Pemikiran ini berangkat dari kesadaran bahwa hak dan keadilan tidak hanya berlaku bagi manusia masa kini, tetapi juga bagi generasi mendatang dan makhluk hidup lainnya.¹⁶

Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility, menegaskan bahwa tanggung jawab etis manusia terhadap masa depan merupakan bentuk baru dari moralitas yang menuntut kesadaran ekologis dan keberlanjutan.¹⁷ Prinsip “bertindak sedemikian rupa agar akibatnya sejalan dengan keberlangsungan kehidupan di bumi” menjadi dasar bagi etika lingkungan dan kebijakan pembangunan berkelanjutan.¹⁸

Dalam konteks ini, keadilan ekologis berupaya mengintegrasikan hak-hak manusia dengan hak-hak lingkungan. Martha Nussbaum bahkan mengembangkan gagasan capabilities of non-human animals, yang menekankan bahwa makhluk hidup lain juga memiliki nilai moral dan kepentingan yang layak dihormati.¹⁹ Hal ini memperluas cakupan etika hak dari antropo-sentrisme menuju eko-sentrisme, di mana kesejahteraan ekologis menjadi bagian dari keadilan sosial global.²⁰

Dengan demikian, keadilan intergenerasional dan ekologis menegaskan bahwa tanggung jawab moral manusia tidak berhenti pada relasi sosial antarmanusia, tetapi juga meliputi kelangsungan moral kehidupan secara universal.²¹

6.4.       Konteks Indonesia dan Global Selatan

Dalam konteks Global Selatan, termasuk Indonesia, tantangan penerapan etika hak dan teori keadilan memiliki dimensi yang khas. Ketimpangan struktural, kemiskinan, korupsi, dan marginalisasi sosial menimbulkan kesenjangan antara ideal moral dan praktik sosial.²²

Dalam sistem hukum dan kebijakan nasional, prinsip-prinsip hak asasi manusia telah diakui secara formal melalui konstitusi dan berbagai undang-undang. Namun, problem utama terletak pada implementasi yang seringkali terhambat oleh ketidakadilan struktural dan budaya politik patronistik.²³ Oleh karena itu, pendekatan etika keadilan kontekstual diperlukan — yaitu upaya untuk menerjemahkan nilai-nilai universal seperti kebebasan dan kesetaraan ke dalam kerangka sosial dan budaya lokal.²⁴

Selain itu, isu keadilan sosial di Indonesia juga mencakup persoalan gender, keadilan ekonomi, dan keadilan lingkungan. Gerakan sosial dan masyarakat sipil memainkan peran penting dalam memperjuangkan hak-hak kelompok terpinggirkan, seperti perempuan, masyarakat adat, dan pekerja informal.²⁵

Integrasi antara etika hak dan teori keadilan dalam konteks Indonesia harus diarahkan pada pemberdayaan moral dan struktural, yaitu menciptakan kondisi sosial di mana setiap individu dapat hidup bermartabat, bebas dari penindasan, dan memiliki kesempatan yang adil untuk berkembang.²⁶

6.5.       Tantangan Era Digital dan Teknologi

Perkembangan teknologi digital menghadirkan dimensi baru bagi perdebatan hak dan keadilan. Isu-isu seperti privasi digital, akses terhadap teknologi informasi, dan keadilan algoritmik menjadi tantangan etis yang mendesak.²⁷

Menurut Luciano Floridi, era digital menciptakan bentuk baru dari kehidupan moral (infosphere), di mana hak individu atas privasi, identitas, dan kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan tanggung jawab etis dalam penggunaan data dan kecerdasan buatan.²⁸ Dalam konteks ini, teori keadilan menuntut regulasi sosial dan politik yang menjamin distribusi akses dan perlindungan digital yang setara bagi semua orang.²⁹

Etika hak digital juga menekankan bahwa hak asasi manusia harus berevolusi untuk menanggapi bentuk-bentuk baru dari dominasi dan ketidakadilan — seperti diskriminasi algoritmik, pengawasan massal, dan monopoli informasi oleh korporasi besar.³⁰ Oleh karena itu, diperlukan paradigma keadilan digital, yang mengintegrasikan prinsip kebebasan, transparansi, dan tanggung jawab dalam tata kelola teknologi global.³¹


Footnotes

[1]                United Nations, Universal Declaration of Human Rights (New York: United Nations, 1948), Preamble.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 38–42.

[3]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 21–25.

[4]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 109–111.

[5]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 25–28.

[6]                Ibid., 35–36.

[7]                Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), 3–5.

[8]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 83–85.

[9]                Ibid., 250–252.

[10]             Sen, Development as Freedom, 10–12.

[11]             Ibid., 14–16.

[12]             Rawls, Justice as Fairness: A Restatement (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 42–45.

[13]             Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge, 2007), 56–59.

[14]             Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 23–27.

[15]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 213–215.

[16]             Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity: A Legal Framework for Global Environmental Change,” Environmental Change and International Law (Tokyo: United Nations University Press, 1992), 21–24.

[17]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–15.

[18]             Ibid., 28–31.

[19]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press, 2006), 347–350.

[20]             Ibid., 352–355.

[21]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 36–39.

[22]             Amartya Sen, Inequality Reexamined (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992), 45–48.

[23]             Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 110–112.

[24]             Franz Magnis-Suseno, Etika Sosial: Dasar dan Prinsip Hidup Bersama (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 87–90.

[25]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 17–20.

[26]             Sen, The Idea of Justice, 122–125.

[27]             Floridi, The Ethics of Information, 125–128.

[28]             Ibid., 130–133.

[29]             Virginia Eubanks, Automating Inequality: How High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St. Martin’s Press, 2018), 18–22.

[30]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 91–95.

[31]             Floridi, The Ethics of Information, 140–144.


7.           Kritik dan Perdebatan Filosofis

7.1.       Kritik terhadap Etika Hak

Meskipun etika hak (ethics of rights) telah menjadi pilar utama dalam filsafat moral modern, pendekatan ini tidak lepas dari kritik yang tajam, terutama terkait dengan individualisme moral dan universalisme normatif yang dikandungnya. Kritik paling mendasar datang dari aliran komunitarian, yang menilai bahwa paradigma hak cenderung memisahkan individu dari konteks sosial dan kulturalnya.¹

Michael Sandel, dalam Liberalism and the Limits of Justice, berpendapat bahwa teori hak liberal seperti yang dikembangkan oleh John Rawls mengandaikan manusia sebagai subjek moral yang netral dan otonom tanpa mempertimbangkan peran komunitas dalam pembentukan identitas moral.² Menurut Sandel, pandangan ini mengabaikan kenyataan bahwa manusia selalu tertanam dalam jaringan nilai dan hubungan sosial yang membentuk pemahaman mereka tentang kebaikan.³

Kritik serupa diajukan oleh Alasdair MacIntyre, yang menuduh paradigma liberal tentang hak sebagai warisan dari pencerahan yang gagal membangun tatanan moral bersama.⁴ Dalam After Virtue, ia menulis bahwa hak-hak individu bersifat “fiktif” karena tidak berakar pada tradisi moral dan praktik komunitas yang konkret.⁵ Menurut MacIntyre, moralitas yang hanya berfokus pada klaim hak tanpa menekankan kewajiban dan kebajikan bersama akan melahirkan masyarakat yang terfragmentasi dan kehilangan arah moral.⁶

Selain kritik komunitarian, pemikiran feminis juga menyoroti keterbatasan etika hak yang dianggap bersifat androcentrik — berorientasi pada pengalaman laki-laki dan mengabaikan nilai-nilai relasional seperti empati, perawatan, dan ketergantungan.⁷ Carol Gilligan, dalam In a Different Voice, menunjukkan bahwa moralitas berbasis hak sering gagal menangkap etika relasi dan tanggung jawab yang menjadi ciri khas pengalaman moral perempuan.⁸ Oleh karena itu, bagi teori feminis, paradigma moral yang menekankan rights perlu dilengkapi dengan paradigma care ethics agar keadilan sosial mencakup aspek hubungan dan kasih sayang.⁹

7.2.       Kritik terhadap Teori Keadilan Rawlsian

Sementara itu, teori keadilan Rawlsian juga menjadi sasaran kritik luas dari berbagai aliran filsafat politik, baik dari kiri maupun kanan.

Dari sisi libertarian, Robert Nozick menolak prinsip redistribusi Rawls karena dianggap melanggar hak milik sah individu.¹⁰ Dalam pandangan Nozick, kebijakan redistributif, sekalipun dimaksudkan untuk membantu yang lemah, tetap merupakan bentuk perampasan terhadap kebebasan individu.¹¹ Ia menegaskan bahwa “pajak atas pendapatan kerja adalah bentuk kerja paksa,” karena mengabaikan hak moral seseorang atas hasil kerjanya sendiri.¹²

Sebaliknya, dari sisi egalitarian radikal, Amartya Sen dan Martha Nussbaum mengkritik teori Rawls karena terlalu menekankan keadilan institusional dan mengabaikan realitas faktual mengenai kemampuan nyata individu.¹³ Menurut Sen, keadilan tidak bisa diukur hanya berdasarkan distribusi sumber daya, melainkan harus mempertimbangkan capabilities — kemampuan seseorang untuk benar-benar menjalankan fungsi dan memilih kehidupan yang bernilai bagi dirinya.¹⁴ Nussbaum menambahkan bahwa keadilan sejati harus memperhitungkan kebutuhan khusus kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, perempuan, dan warga global yang terpinggirkan.¹⁵

Kritik lain datang dari perspektif postmodern dan dekolonial. Michel Foucault, misalnya, memandang teori keadilan liberal sebagai bentuk “teknologi kekuasaan” yang menyamarkan relasi dominasi di balik klaim universalitas moral.¹⁶ Dalam pandangan Foucault, konsep hak dan keadilan modern sering kali digunakan untuk melegitimasi sistem hukum dan ekonomi yang justru memperkuat kontrol terhadap individu.¹⁷ Sedangkan Boaventura de Sousa Santos berpendapat bahwa teori keadilan Barat gagal memahami keadilan dalam konteks epistemologi Global Selatan yang menekankan kolektivitas, spiritualitas, dan solidaritas.¹⁸

Dengan demikian, teori Rawlsian menghadapi dua arah kritik sekaligus: dari kanan (libertarian) yang menilai terlalu kolektivis, dan dari kiri (egalitarian, feminis, dan dekolonial) yang menilai masih terlalu abstrak dan elitis.¹⁹

7.3.       Pendekatan Integratif dan Transformatif

Sebagai respons terhadap berbagai kritik tersebut, muncul upaya untuk membangun pendekatan etika hak dan keadilan yang integratif dan transformatif, yang lebih peka terhadap konteks sosial, budaya, dan relasional.

Salah satu pendekatan tersebut adalah “justice of recognition” yang dikembangkan oleh Nancy Fraser dan Axel Honneth. Mereka berargumen bahwa keadilan sejati harus mencakup tiga dimensi: redistribusi ekonomi, pengakuan sosial, dan partisipasi politik.²⁰ Dalam kerangka ini, hak individu tidak dipahami semata sebagai hak legal, tetapi juga sebagai bentuk pengakuan atas identitas dan martabat sosial seseorang.²¹

Selain itu, etika keadilan dialogis yang diajukan oleh Jürgen Habermas menekankan pentingnya komunikasi rasional dan partisipatif dalam proses pengambilan keputusan moral.²² Habermas menyatakan bahwa legitimasi moral tidak dapat ditentukan oleh prinsip abstrak, melainkan harus muncul melalui diskursus di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk menyatakan pandangannya.²³ Dengan demikian, keadilan dipahami sebagai hasil dari dialog etis yang terbuka dan inklusif.²⁴

Dalam ranah etika global, muncul pula gagasan “cosmopolitan justice” yang berusaha mengatasi batas-batas negara bangsa. Thomas Pogge menegaskan bahwa ketidakadilan global, seperti kemiskinan dan eksploitasi ekonomi, merupakan pelanggaran langsung terhadap hak asasi manusia universal.²⁵ Oleh karena itu, tanggung jawab moral terhadap keadilan tidak lagi berhenti pada tingkat nasional, tetapi meluas secara transnasional dan ekologis.²⁶

Dengan pendekatan-pendekatan tersebut, arah baru teori keadilan kontemporer bergerak menuju transformasi etika: dari keadilan formal menuju keadilan substantif, dari hak individual menuju tanggung jawab kolektif, dan dari moralitas tertutup menuju etika dialogis yang terbuka terhadap koreksi dan perkembangan.²⁷


Footnotes

[1]                Charles Taylor, “Atomism,” in Philosophy and the Human Sciences: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 187–210.

[2]                Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 23–27.

[3]                Ibid., 32–33.

[4]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 6–8.

[5]                Ibid., 69–70.

[6]                Ibid., 204–210.

[7]                Alison Jaggar, Feminist Politics and Human Nature (Totowa, NJ: Rowman & Allanheld, 1983), 45–47.

[8]                Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 19–21.

[9]                Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 54–56.

[10]             Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 150–155.

[11]             Ibid., 169–171.

[12]             Ibid., 172.

[13]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 18–22.

[14]             Ibid., 25–28.

[15]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press, 2006), 87–90.

[16]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1979), 195–198.

[17]             Ibid., 222–225.

[18]             Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 14–17.

[19]             Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 35–39.

[20]             Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A Political-Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 12–15.

[21]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 92–94.

[22]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 66–69.

[23]             Ibid., 91–93.

[24]             Ibid., 115–118.

[25]             Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 45–49.

[26]             Ibid., 83–86.

[27]             Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), 282–285.


8.           Sintesis Filosofis dan Relevansi Kontemporer

8.1.       Integrasi Etika Hak dan Keadilan: Mencari Kesatuan Moral

Dalam perkembangan pemikiran filsafat moral, etika hak (ethics of rights) dan teori keadilan (justice theory) sering kali diposisikan sebagai dua paradigma yang berdiri sendiri. Namun, sintesis filosofis mutakhir menunjukkan bahwa keduanya dapat dipahami sebagai dua aspek dari prinsip moral yang sama, yakni martabat manusia (human dignity)

Etika hak menekankan pengakuan terhadap nilai intrinsik manusia sebagai subjek moral yang otonom, sedangkan teori keadilan berupaya menata struktur sosial agar pengakuan tersebut diwujudkan secara konkret.² Dengan demikian, hak berfungsi sebagai dasar normatif bagi keadilan, sementara keadilan menjadi bentuk institusional dari pelaksanaan hak.³

Dalam perspektif Kantian, relasi ini dapat dijelaskan melalui prinsip categorical imperative — bahwa setiap tindakan moral harus menghormati manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sarana bagi kepentingan lain.⁴ Prinsip tersebut menegaskan fondasi moral bagi seluruh tatanan sosial yang adil: keadilan sejati hanya dapat eksis bila hak-hak individu dijaga tanpa mengorbankan solidaritas sosial.⁵

Model sintesis ini kemudian diperkuat oleh John Rawls, yang menghubungkan kebebasan individu dengan struktur sosial melalui dua prinsip utama: equal liberty dan difference principle.⁶ Di sini, hak dan keadilan tidak lagi dilihat sebagai kutub yang berlawanan, melainkan sebagai komponen yang saling melengkapi dalam membentuk masyarakat yang well-ordered, yakni masyarakat yang diatur oleh prinsip moral yang diterima secara rasional dan adil.⁷

8.2.       Etika Hak dan Keadilan sebagai Dasar Etika Global

Dalam konteks globalisasi dan pluralisme nilai, etika hak dan keadilan memperoleh relevansi baru sebagai kerangka moral global. Menurut Amartya Sen, tantangan utama etika kontemporer bukan lagi merancang teori ideal tentang keadilan, tetapi memperbaiki ketidakadilan nyata di dunia.⁸ Pendekatan comparative justice yang diajukannya menggeser fokus dari teori normatif ke praksis sosial: keadilan dipahami sebagai upaya progresif untuk mengurangi penderitaan dan memperluas kebebasan manusia di tingkat global.⁹

Dalam paradigma ini, hak asasi manusia menjadi bahasa moral universal yang menghubungkan berbagai tradisi budaya dan sistem politik.¹⁰ Martha Nussbaum memperluas hal ini melalui pendekatan capabilities, yang menekankan bahwa keadilan global harus menjamin setiap individu memiliki kemampuan riil untuk menjalankan kehidupan bermartabat.¹¹ Artinya, keadilan bukan sekadar kesetaraan formal, tetapi juga kesetaraan substantif yang diwujudkan melalui kebijakan sosial, ekonomi, dan ekologis yang inklusif.¹²

Lebih jauh, Thomas Pogge mengkritik ketidakadilan global yang lahir dari sistem ekonomi internasional yang timpang. Ia menegaskan bahwa hak asasi manusia menuntut tanggung jawab lintas batas terhadap kemiskinan struktural dan eksploitasi ekonomi.¹³ Dalam konteks ini, hak dan keadilan tidak dapat lagi dibatasi oleh wilayah negara-bangsa; keduanya menjadi dasar bagi etika kosmopolitan yang mengakui tanggung jawab moral bersama atas kondisi umat manusia.¹⁴

8.3.       Relevansi terhadap Isu Sosial, Teknologi, dan Ekologi

Sintesis antara etika hak dan keadilan menjadi semakin relevan dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti ketimpangan digital, krisis lingkungan, dan dehumanisasi teknologi.

Dalam ranah teknologi, Luciano Floridi memperkenalkan konsep “etika informasi” (information ethics) yang menuntut penghormatan terhadap hak individu dalam ruang digital.¹⁵ Ia menegaskan bahwa keadilan di era digital harus memperhitungkan distribusi akses terhadap data, privasi, dan kontrol informasi sebagai bentuk baru dari hak moral.¹⁶ Prinsip ini menegaskan pergeseran paradigma etika hak menuju keadilan digital (digital justice), di mana teknologi tidak boleh digunakan untuk memperluas dominasi, melainkan untuk memperkuat otonomi manusia.¹⁷

Sementara itu, dalam isu keadilan ekologis, pemikiran Hans Jonas tentang the imperative of responsibility menjadi acuan penting.¹⁸ Jonas menekankan bahwa tanggung jawab moral manusia kini harus diperluas kepada generasi mendatang dan seluruh ekosistem.¹⁹ Dalam konteks ini, hak tidak hanya dimiliki oleh manusia, tetapi juga oleh alam sebagai bagian integral dari tatanan moral.²⁰

Pemikiran ini juga beresonansi dengan gagasan keadilan intergenerasional, yang menuntut keseimbangan antara hak generasi sekarang untuk hidup sejahtera dan hak generasi mendatang untuk mewarisi bumi yang layak huni.²¹ Dengan demikian, sintesis etika hak dan keadilan mengarah pada paradigma etika ekologis humanistik — sebuah upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan manusia, tanggung jawab sosial, dan kelestarian alam.²²

8.4.       Menuju Etika Global Humanistik

Dalam konteks dunia yang semakin plural dan saling terhubung, etika hak dan keadilan global menawarkan fondasi bagi tata moral yang inklusif dan terbuka terhadap perbedaan. Paradigma ini berupaya menyatukan rasionalitas moral universal dengan pengakuan terhadap keragaman nilai lokal, sehingga menciptakan ruang dialog antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial.²³

Jürgen Habermas menyebutnya sebagai “rasionalitas komunikatif,” yaitu etika yang dibangun melalui dialog dan partisipasi publik.²⁴ Melalui komunikasi rasional, manusia dapat menemukan kesepakatan moral tanpa dominasi dan mempraktikkan keadilan yang berakar pada otonomi bersama.²⁵ Prinsip ini menegaskan bahwa keadilan sejati hanya dapat terwujud melalui proses deliberatif yang menghormati hak berbicara dan didengar secara setara.²⁶

Secara filosofis, sintesis ini menunjukkan bahwa hak dan keadilan bukan sekadar teori moral, tetapi juga proyek peradaban — upaya terus-menerus untuk mengembangkan tata dunia yang menghormati kehidupan, kebebasan, dan martabat manusia di tengah kompleksitas modernitas.²⁷ Etika hak memberi dasar normatif, sementara teori keadilan memberi arah praksis; keduanya berpadu dalam visi etika global yang humanistik, kritis, dan reflektif.²⁸


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 38–42.

[2]                Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 70–73.

[3]                Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 112–115.

[4]                Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, 429–430.

[5]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 60–65.

[6]                Ibid., 83–85.

[7]                Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge, 2007), 56–59.

[8]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 18–22.

[9]                Ibid., 45–48.

[10]             United Nations, Universal Declaration of Human Rights (New York: United Nations, 1948), Preamble.

[11]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 17–22.

[12]             Ibid., 33–36.

[13]             Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 45–49.

[14]             Ibid., 83–85.

[15]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 125–128.

[16]             Ibid., 130–133.

[17]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 91–95.

[18]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–15.

[19]             Ibid., 36–39.

[20]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press, 2006), 347–351.

[21]             Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity: A Legal Framework for Global Environmental Change,” Environmental Change and International Law (Tokyo: United Nations University Press, 1992), 21–24.

[22]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 52–55.

[23]             Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), 283–286.

[24]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 66–69.

[25]             Ibid., 115–118.

[26]             Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 35–39.

[27]             Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 391–395.

[28]             Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014), 55–59.


9.           Kesimpulan

Kajian mengenai etika hak (ethics of rights) dan teori keadilan (justice theory) menunjukkan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan dalam kerangka filsafat moral kontemporer. Secara konseptual, hak dan keadilan merupakan dua sisi dari satu prinsip moral universal, yaitu penghormatan terhadap martabat manusia (human dignity).¹ Hak menegaskan nilai moral intrinsik setiap individu, sedangkan keadilan memastikan agar nilai tersebut diwujudkan dalam struktur sosial yang menjamin kebebasan, kesetaraan, dan kesejahteraan bersama.²

Etika hak berfungsi sebagai fondasi normatif bagi keadilan, karena memberikan dasar moral atas pengakuan terhadap kebebasan dan otonomi individu.³ Namun, hak tidak dapat dipahami secara atomistik. Ia memperoleh makna sosialnya melalui penerapan keadilan yang mengatur distribusi hak, sumber daya, dan tanggung jawab dalam masyarakat.⁴ Dengan kata lain, keadilan adalah praktik sosial dari etika hak, dan etika hak adalah dimensi moral dari keadilan.⁵

Pemikiran Immanuel Kant memberi dasar moral bagi etika hak melalui prinsip categorical imperative, yang menegaskan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri.⁶ Sementara itu, John Rawls memberikan kerangka institusional melalui A Theory of Justice, yang menggabungkan kebebasan individu dengan kesetaraan sosial dalam prinsip keadilan sebagai fairness.⁷ Melalui sintesis keduanya, dapat disimpulkan bahwa hak dan keadilan bukanlah kategori yang saling bertentangan, melainkan saling memperkuat dalam upaya membangun tatanan moral yang rasional dan manusiawi.⁸

Di sisi lain, berbagai kritik dari perspektif komunitarian, feminis, dan dekolonial menunjukkan bahwa teori hak dan keadilan klasik sering kali bersifat abstrak dan tidak peka terhadap konteks sosial, budaya, dan historis.⁹ Karena itu, diperlukan pendekatan transformatif dan relasional, sebagaimana dikembangkan oleh Nancy Fraser, Amartya Sen, dan Martha Nussbaum, yang menekankan pentingnya pengakuan, partisipasi, serta kemampuan riil manusia dalam mewujudkan kehidupan yang bermartabat.¹⁰

Dalam konteks global kontemporer, etika hak dan teori keadilan menjadi semakin relevan dalam menghadapi tantangan baru seperti ketimpangan ekonomi, krisis ekologi, diskriminasi digital, dan erosi solidaritas sosial.¹¹ Etika hak menyediakan dasar moral bagi perlindungan individu, sementara teori keadilan menawarkan orientasi sosial untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih inklusif dan berkeadilan.¹²

Secara filosofis, kesimpulan dari sintesis ini dapat dirumuskan dalam tiga poin utama:

1)                  Hak dan keadilan saling berkelindan — hak tanpa keadilan kehilangan aktualitas sosialnya, sedangkan keadilan tanpa hak kehilangan legitimasi moralnya.¹³

2)                  Etika hak dan teori keadilan harus bersifat kontekstual, yakni mampu menyesuaikan diri dengan dinamika sosial, teknologi, dan budaya tanpa mengabaikan prinsip universal martabat manusia.¹⁴

3)                  Keadilan global humanistik menjadi arah perkembangan baru: sebuah paradigma moral yang mengintegrasikan kebebasan individu, solidaritas sosial, dan tanggung jawab ekologis dalam satu tatanan nilai yang reflektif dan terbuka.¹⁵

Dengan demikian, etika hak dan teori keadilan bukan hanya perangkat analisis normatif, melainkan juga proyek moral peradaban — upaya berkelanjutan umat manusia untuk menegakkan keadilan, menghormati hak, dan menjaga kelangsungan kehidupan di tengah kompleksitas dunia modern.¹⁶


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 38–42.

[2]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 60–65.

[3]                Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), xi–xii.

[4]                Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 72–75.

[5]                Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 112–115.

[6]                Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, 429–430.

[7]                Rawls, A Theory of Justice, 83–85.

[8]                Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge, 2007), 56–59.

[9]                Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 23–27.

[10]             Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A Political-Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 12–15; Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 45–48; Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 25–28.

[11]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–15.

[12]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 125–128.

[13]             Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2008), 35–39.

[14]             Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), 283–286.

[15]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press, 2006), 347–351.

[16]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 115–118.


Daftar Pustaka

Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae. New York, NY: Benziger Brothers.

Aristotle. (1985). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Aristotle. (1885). Politics (B. Jowett, Trans.). Oxford, UK: Clarendon Press.

Asshiddiqie, J. (2010). Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika.

Bentham, J. (1796). Anarchical fallacies. London, UK: T. Payne.

Brown Weiss, E. (1992). Intergenerational equity: A legal framework for global environmental change. In E. Brown Weiss (Ed.), Environmental change and international law (pp. 21–24). Tokyo, Japan: United Nations University Press.

Cicero, M. T. (1928). De legibus (C. W. Keyes, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Dworkin, R. (1977). Taking rights seriously. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Eubanks, V. (2018). Automating inequality: How high-tech tools profile, police, and punish the poor. New York, NY: St. Martin’s Press.

Feinberg, J. (1973). Social philosophy. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford, UK: Oxford University Press.

Foucault, M. (1979). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). New York, NY: Vintage Books.

Freeman, S. (2007). Rawls. London, UK: Routledge.

Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. New York, NY: Routledge.

Fraser, N. (2008). Scales of justice: Reimagining political space in a globalizing world. New York, NY: Columbia University Press.

Fraser, N., & Honneth, A. (2003). Redistribution or recognition? A political-philosophical exchange. London, UK: Verso.

Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and women’s development. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Grotius, H. (2005). The rights of war and peace (R. Tuck, Trans.). Indianapolis, IN: Liberty Fund.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). Cambridge, MA: MIT Press.

Honneth, A. (1995). The struggle for recognition: The moral grammar of social conflicts. Cambridge, MA: MIT Press.

Honneth, A. (2014). Freedom’s right: The social foundations of democratic life. New York, NY: Columbia University Press.

Jaggar, A. (1983). Feminist politics and human nature. Totowa, NJ: Rowman & Allanheld.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Korsgaard, C. (1996). Creating the kingdom of ends. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Locke, J. (1689). Two treatises of government. London, UK: Awnsham Churchill.

MacIntyre, A. (1981). After virtue. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Magnis-Suseno, F. (1999). Etika sosial: Dasar dan prinsip hidup bersama. Yogyakarta, Indonesia: Kanisius.

Mill, J. S. (1859). On liberty. London, UK: John W. Parker and Son.

Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R. Crisp, Ed.). Oxford, UK: Oxford University Press.

Noddings, N. (1984). Caring: A feminine approach to ethics and moral education. Berkeley, CA: University of California Press.

Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia. New York, NY: Basic Books.

Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought: The intelligence of emotions. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Cambridge, MA: Belknap Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Cambridge, MA: Harvard University Press.

O’Neill, O. (1989). Constructions of reason: Explorations of Kant’s practical philosophy. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Pogge, T. (2002). World poverty and human rights. Cambridge, UK: Polity Press.

Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Rawls, J. (2001). Justice as fairness: A restatement. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Sandel, M. (1982). Liberalism and the limits of justice. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Sen, A. (1992). Inequality reexamined. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Oxford, UK: Oxford University Press.

Sen, A. (2009). The idea of justice. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press.

Santos, B. de S. (2014). Epistemologies of the South: Justice against epistemicide. Boulder, CO: Paradigm Publishers.

Taylor, C. (1985). Atomism. In C. Taylor, Philosophy and the human sciences: Philosophical papers, Vol. 2 (pp. 187–210). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

United Nations. (1948). Universal declaration of human rights. New York, NY: United Nations.

Wood, A. W. (2008). Kantian ethics. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Young, I. M. (1990). Justice and the politics of difference. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. New York, NY: PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar