Etika Hak dan Teori Keadilan
Etika Hak dan Teori Keadilan: Kajian Filsafat Moral dan
Implikasi Sosial Kontemporer
Alihkan ke: Filsafat Moral.
Etika Hak (Ethics of Rights), Teori Keadilan (Justice Theory).
Abstrak
Artikel ini membahas keterkaitan mendalam antara etika
hak (ethics of rights) dan teori keadilan (justice theory) sebagai
dua pilar utama dalam filsafat moral dan politik modern. Kajian ini menelusuri
akar historis dan konseptual kedua gagasan sejak masa Yunani Kuno hingga
pemikiran kontemporer, terutama dalam karya Immanuel Kant, John Rawls,
dan Amartya Sen. Etika hak berfokus pada martabat dan otonomi individu
sebagai dasar moral universal, sedangkan teori keadilan berupaya mengatur
struktur sosial agar hak tersebut dapat terwujud secara nyata melalui prinsip
kesetaraan, kebebasan, dan distribusi yang adil.
Melalui pendekatan analitis dan reflektif, artikel
ini menguraikan hubungan normatif, ketegangan konseptual, serta upaya sintesis
antara hak dan keadilan, baik dalam konteks liberal, komunitarian, maupun feminis.
Pembahasan diperluas pada relevansi kontemporer, termasuk penerapan etika hak
dalam hak asasi manusia, kebijakan publik, keadilan ekologis, dan etika
digital. Kritik terhadap individualisme liberal serta wacana keadilan Rawlsian
menunjukkan perlunya pendekatan etika yang lebih relasional, transformatif,
dan kontekstual.
Kesimpulan utama dari kajian ini menegaskan bahwa
hak dan keadilan bukanlah entitas yang berlawanan, melainkan saling melengkapi
dalam menciptakan tatanan sosial yang berlandaskan martabat manusia,
solidaritas moral, dan tanggung jawab global. Dalam dunia yang ditandai
oleh krisis sosial, ekologis, dan teknologi, sintesis antara etika hak dan
teori keadilan menjadi landasan bagi pembentukan etika global humanistik
yang terbuka, reflektif, dan berorientasi pada kemanusiaan universal.
Kata Kunci: Etika hak; teori keadilan; martabat manusia; John
Rawls; Immanuel Kant; Amartya Sen; solidaritas; hak asasi manusia; keadilan
global; etika humanistik.
PEMBAHASAN
Etika Hak dan Keadilan sebagai Dasar Moral Global
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah pemikiran filsafat moral, isu tentang
hak (rights) dan keadilan (justice) selalu menjadi dua tema
sentral yang saling berkelindan. Sejak zaman Yunani Kuno, para filsuf seperti Plato
dan Aristoteles telah menempatkan keadilan sebagai prinsip dasar
kehidupan sosial yang ideal, di mana keteraturan dan keseimbangan menjadi kunci
tatanan moral masyarakat yang baik.¹ Sementara itu, gagasan tentang hak
individu sebagai prinsip moral baru memperoleh bentuk sistematis pada masa
modern, terutama setelah munculnya filsafat politik liberal yang
menekankan kebebasan dan martabat manusia sebagai dasar legitimasi moral dan
hukum.²
Perkembangan gagasan hak mengalami transformasi
besar ketika John Locke memperkenalkan konsep natural rights,
yakni hak-hak kodrati yang melekat pada diri manusia sejak lahir dan tidak
dapat dicabut oleh negara.³ Konsep ini kemudian menjadi fondasi bagi perumusan Deklarasi
Hak Asasi Manusia pada abad ke-18 dan terus berpengaruh hingga dalam wacana
etika dan hukum internasional kontemporer. Di sisi lain, gagasan keadilan
mengalami pembaruan teoretis melalui karya John Rawls dalam A Theory
of Justice (1971), yang menempatkan keadilan sebagai fairness, yakni
prinsip moral yang menyeimbangkan kebebasan individu dengan kesetaraan sosial.⁴
Dalam konteks dunia modern yang kompleks—diwarnai
oleh ketimpangan ekonomi, diskriminasi rasial, krisis lingkungan, dan revolusi teknologi
digital—pertanyaan tentang hubungan antara hak dan keadilan menjadi semakin
mendesak. Apakah hak-hak individu dapat dipertahankan tanpa mengorbankan
keadilan sosial? Ataukah keadilan menuntut pembatasan atas kebebasan individu
demi kesejahteraan bersama? Pertanyaan-pertanyaan ini menegaskan perlunya
sebuah kerangka etis yang tidak hanya normatif, tetapi juga responsif terhadap
realitas sosial kontemporer.⁵
1.2.      
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, kajian ini akan
berfokus pada beberapa persoalan pokok:
1)                 
Bagaimana ethics of rights menjelaskan dasar moral dari hak
individu?
2)                 
Bagaimana teori keadilan menata hubungan antara kebebasan dan
kesetaraan?
3)                 
Bagaimana hubungan konseptual antara hak dan keadilan dapat dijelaskan
secara koheren dalam kerangka etika sosial kontemporer?
1.3.      
Tujuan dan Manfaat Kajian
Kajian ini bertujuan untuk:
·                    
Menelusuri landasan konseptual dan historis dari ethics of rights
dan justice theory.
·                    
Menyusun analisis filosofis yang menjelaskan hubungan timbal balik
antara hak dan keadilan.
·                    
Menggali relevansi kedua konsep tersebut bagi praksis sosial dan politik
modern, khususnya dalam konteks keadilan sosial dan hak asasi manusia.
Secara akademik, kajian ini diharapkan memberikan
kontribusi pada pengembangan wacana etika normatif dan filsafat
politik kontemporer, dengan menegaskan bahwa hak dan keadilan bukanlah
prinsip yang saling bertentangan, melainkan dua dimensi moral yang saling
melengkapi dalam upaya mencapai kehidupan manusia yang bermartabat dan
berkeadilan.⁶
Footnotes
[1]               
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 331c–335e.
[2]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
40–45.
[3]               
John Locke, Two Treatises of Government
(London: Awnsham Churchill, 1689), 287–289.
[4]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 11–17.
[5]               
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
19–22.
[6]               
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge,
MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 25–28.
2.          
Landasan
Konseptual dan Historis
2.1.      
Asal-Usul Etika Hak (Ethics of
Rights)
Gagasan tentang hak sebagai konsep moral dan
politik tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan berkembang melalui proses
historis yang panjang. Dalam filsafat Yunani Kuno, wacana tentang hak belum
diformulasikan secara eksplisit; yang lebih menonjol adalah gagasan tentang keadilan
dan kewajiban moral terhadap polis.¹ Konsep hak mulai memperoleh bentuk
konseptual yang lebih jelas dalam tradisi hukum alam (natural law)
Romawi, yang diwakili oleh Cicero, yang menyatakan bahwa ada hukum moral
universal yang bersumber dari rasio dan mengikat semua manusia.²
Perkembangan signifikan terjadi pada masa filsafat
skolastik, terutama melalui pemikiran Thomas Aquinas, yang
menafsirkan hukum alam sebagai partisipasi akal budi manusia dalam hukum
ilahi.³ Dalam kerangka ini, hak (ius) dipahami sebagai sesuatu yang adil bagi
setiap individu sesuai kodratnya. Namun, pengertian “hak subjektif” sebagai
klaim moral baru muncul pada masa modern, terutama melalui Hugo Grotius
dan John Locke, yang memisahkan hak dari teologi dan menempatkannya
dalam ranah moral-rasional manusia.⁴ Grotius menegaskan bahwa bahkan jika Tuhan
tidak ada, hukum alam dan hak-hak moral manusia tetap memiliki dasar rasional,
karena berakar pada kodrat manusia itu sendiri.⁵
Dalam konteks modernitas, Immanuel Kant
mengangkat konsep hak ke dalam dimensi moral yang lebih universal. Bagi Kant,
hak merupakan derivasi dari prinsip otonomi rasional manusia — yakni kebebasan
untuk bertindak menurut hukum moral yang diakui sendiri melalui akal.⁶
Pandangan ini melahirkan dasar bagi apa yang disebut etika hak (ethics of
rights), yaitu etika yang berpusat pada martabat manusia sebagai makhluk
rasional dan bebas. Dalam paradigma ini, hak bukan sekadar perlindungan legal,
melainkan ekspresi moral dari kebebasan dan tanggung jawab.⁷
2.2.      
Perkembangan Teori Keadilan (Justice
Theory)
Konsep keadilan (justice) telah menjadi
pusat perhatian filsafat moral sejak zaman klasik. Plato dalam The
Republic memandang keadilan sebagai keharmonisan antara bagian-bagian jiwa
dan tatanan sosial; setiap individu harus menjalankan perannya sesuai dengan
kodratnya agar tercipta keseimbangan.⁸ Aristoteles kemudian
mengembangkan pendekatan yang lebih praktis melalui pembedaan antara keadilan
distributif (distributive justice) dan keadilan korektif (corrective
justice).⁹ Keadilan distributif berkaitan dengan pembagian sumber daya secara
proporsional, sedangkan keadilan korektif menitikberatkan pada pemulihan
keseimbangan akibat pelanggaran atau ketidakadilan.
Pada masa modern, teori keadilan memasuki babak
baru melalui pemikiran John Rawls dalam A Theory of Justice
(1971), yang mengusulkan prinsip keadilan sebagai fairness.¹⁰ Rawls
mengembangkan konsep original position dan veil of ignorance, di
mana individu-hipotetis merancang prinsip keadilan tanpa mengetahui posisi
sosial mereka, sehingga menghasilkan dua prinsip utama: (1) kebebasan yang sama
bagi semua, dan (2) ketimpangan sosial hanya dapat dibenarkan jika
menguntungkan pihak yang paling lemah (difference principle).¹¹
Sementara itu, Robert Nozick melalui Anarchy,
State, and Utopia (1974) menolak pendekatan distributif Rawls dengan
menekankan keadilan sebagai hak kepemilikan (entitlement theory).¹² Bagi
Nozick, keadilan bukanlah soal hasil distribusi yang merata, tetapi tentang
apakah hak individu terhadap properti diperoleh dan dipindahkan secara sah.¹³
Pandangan ini mempertegas arah libertarian dalam teori keadilan dan menegaskan
kembali hubungan erat antara keadilan dan hak individual.
Selain Rawls dan Nozick, berkembang pula teori
keadilan yang lebih kontekstual seperti keadilan komunitarian (communitarian
justice) yang dikemukakan oleh Michael Sandel dan Alasdair MacIntyre, serta
pendekatan feminist dan global justice oleh Martha Nussbaum dan Amartya
Sen, yang menekankan keadilan sebagai pemenuhan capabilities manusia.¹⁴
2.3.      
Keterkaitan Historis antara Hak dan
Keadilan
Secara historis, hubungan antara hak dan keadilan
menunjukkan dinamika dialektis antara kebebasan individu dan keteraturan
sosial. Pada masa klasik, keadilan dipahami sebagai keharmonisan sosial,
sedangkan hak belum diperlakukan sebagai klaim moral individu.¹⁵ Seiring
perkembangan modernitas, paradigma bergeser: hak menjadi titik awal dari
keadilan, bukan sebaliknya. Tradisi liberal modern menganggap keadilan hanya
dapat ditegakkan bila hak-hak individu dijamin.¹⁶
Namun, dalam perkembangan kontemporer, muncul
kesadaran bahwa hak tanpa keadilan dapat menimbulkan ketimpangan baru.
Sebaliknya, keadilan tanpa pengakuan terhadap hak individu berpotensi menjadi
tirani mayoritas. Oleh karena itu, berbagai filsuf modern seperti Amartya
Sen dan Nancy Fraser berusaha mensintesiskan keduanya melalui
gagasan keadilan reflektif dan distributif yang berbasis pengakuan (recognition)
dan kemampuan (capability).¹⁷ Dengan demikian, hubungan antara etika hak
dan teori keadilan bukanlah relasi oposisi, melainkan relasi komplementer yang
terus berkembang seiring kompleksitas moral dan sosial manusia.
Footnotes
[1]               
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 331c–335e.
[2]               
Marcus Tullius Cicero, De Legibus, trans.
Clinton W. Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), II.10–13.
[3]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II,
Q.94, Art.2 (New York: Benziger Brothers, 1947).
[4]               
Hugo Grotius, The Rights of War and Peace,
trans. Richard Tuck (Indianapolis: Liberty Fund, 2005), Prolegomena, §8.
[5]               
Ibid., §11.
[6]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
38–42.
[7]               
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 77–81.
[8]               
Plato, The Republic, 433a–434c.
[9]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), V.3–5.
[10]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 11–17.
[11]            
Ibid., 60–65.
[12]            
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia
(New York: Basic Books, 1974), 150–155.
[13]            
Ibid., 160–164.
[14]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
32–37.
[15]            
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett
(Oxford: Clarendon Press, 1885), III.12.
[16]            
John Locke, Two Treatises of Government
(London: Awnsham Churchill, 1689), 285–289.
[17]            
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge,
MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 18–22; Nancy Fraser, Justice
Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New
York: Routledge, 1997), 12–15.
3.          
Fondasi
Filosofis Etika Hak
3.1.      
Hak sebagai Prinsip Moral Dasar
Dalam filsafat moral, hak (right) dipahami
sebagai klaim normatif yang melekat pada individu karena statusnya sebagai
makhluk rasional dan bermartabat. Hak bukan sekadar produk hukum positif,
melainkan ekspresi moral dari nilai kemanusiaan itu sendiri.¹ Konsep ini
menegaskan bahwa setiap individu memiliki martabat yang tidak dapat direduksi
atau ditukar dengan kepentingan sosial semata. Dalam tradisi filsafat
liberal, terutama yang dikembangkan oleh John Locke, hak-hak kodrati
(natural rights) seperti hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan merupakan dasar
legitimasi bagi setiap sistem politik yang adil.² Locke menegaskan bahwa
hak-hak ini tidak diberikan oleh negara, melainkan telah ada sebelum
terbentuknya masyarakat politik — negara hanya berfungsi menjamin dan
melindunginya.³
Di sisi lain, para filsuf modern kontemporer
seperti Ronald Dworkin menekankan bahwa hak berfungsi sebagai “trump
cards” terhadap utilitarianisme sosial, yaitu batas moral yang tidak dapat
dilanggar bahkan demi kepentingan mayoritas.⁴ Dengan demikian, etika hak
menolak prinsip pengorbanan individu demi keuntungan kolektif apabila hal itu
melanggar martabat manusia. Dalam kerangka ini, hak berfungsi sebagai fondasi
moral dari seluruh tindakan sosial dan politik yang sah.⁵
Selain bersifat individual, hak juga mengandung
dimensi sosial yang tak terpisahkan. Amartya Sen mengingatkan bahwa
pengakuan terhadap hak individu harus disertai dengan kemampuan nyata untuk
mewujudkan hak tersebut (capabilities approach).⁶ Artinya, hak bukan
hanya status moral, melainkan juga tanggung jawab sosial untuk menciptakan
kondisi yang memungkinkan manusia hidup secara bermartabat.
3.2.      
Pendekatan Deontologis terhadap Hak
Pendekatan deontologis menempatkan hak dalam
kerangka kewajiban moral yang bersumber dari rasio praktis, bukan dari
konsekuensi tindakan.⁷ Dalam hal ini, Immanuel Kant menjadi tokoh utama.
Ia menyatakan bahwa manusia memiliki martabat (Würde) karena
kemampuannya bertindak menurut prinsip universal yang diakui sendiri melalui
akal budi.⁸ Menurut Kant, manusia harus selalu diperlakukan sebagai tujuan pada
dirinya sendiri (end in itself), bukan sebagai alat untuk tujuan lain.⁹
Dari prinsip ini lahir gagasan bahwa setiap individu memiliki hak yang tak
dapat dilanggar (inviolable rights), karena pelanggaran terhadap hak
berarti memperlakukan manusia hanya sebagai sarana bagi kepentingan lain.¹⁰
Etika deontologis Kantian memberikan dasar
universal bagi moralitas hak. Hak menjadi derivasi logis dari kewajiban moral
untuk menghormati otonomi manusia.¹¹ Dalam kerangka ini, tindakan etis bukan
ditentukan oleh hasil (teleologi), tetapi oleh niat moral yang tunduk pada
hukum universal (categorical imperative).¹² Pandangan ini menegaskan
bahwa pengakuan terhadap hak bukanlah soal pilihan politik atau kebijakan
sosial, melainkan konsekuensi rasional dari moralitas manusia sebagai makhluk
bebas dan otonom.¹³
Kekuatan etika deontologis terletak pada
universalitasnya: hak berlaku bagi setiap manusia tanpa memandang status
sosial, ekonomi, atau budaya. Namun, pendekatan ini sering dikritik karena
cenderung abstrak dan formalistis, sehingga kurang memperhatikan konteks
sosial dan kondisi material yang mempengaruhi kemampuan individu dalam
menjalankan haknya.¹⁴
3.3.      
Pendekatan Teleologis dan
Utilitarian terhadap Hak
Berbeda dengan pendekatan deontologis, pendekatan teleologis
dan utilitarian menilai tindakan moral berdasarkan akibatnya terhadap
kebahagiaan atau kesejahteraan umum (the greatest happiness principle).¹⁵
Dalam tradisi ini, hak bukanlah sesuatu yang bersifat absolut, melainkan
instrumen untuk mencapai manfaat sosial terbesar. Jeremy Bentham,
misalnya, secara keras menolak konsep hak kodrati dengan menyebutnya sebagai “nonsense
upon stilts” — omong kosong yang dilebih-lebihkan.¹⁶ Menurut Bentham, hak
hanya sah sejauh ditetapkan oleh hukum positif untuk memaksimalkan kebahagiaan
masyarakat.¹⁷
Namun, utilitarianisme juga mengalami reformulasi
melalui John Stuart Mill, yang berusaha menggabungkan kebebasan individu
dengan prinsip utilitas. Dalam On Liberty, Mill menegaskan bahwa
kebebasan dan hak-hak individu merupakan elemen penting dari kebahagiaan umum
karena memungkinkan perkembangan intelektual dan moral manusia.¹⁸ Pandangan ini
membawa dimensi baru: hak tidak hanya alat menuju kebahagiaan, tetapi juga
syarat bagi kemajuan moral umat manusia.
Meskipun pendekatan teleologis memperluas wawasan
tentang fungsi sosial hak, pendekatan ini menghadapi kritik mendasar dari Ronald
Dworkin dan Robert Nozick, yang menilai bahwa mengorbankan hak
individu demi kesejahteraan umum dapat mengarah pada tirani mayoritas.¹⁹
Dworkin menekankan bahwa hak harus berfungsi sebagai batas moral terhadap
kalkulasi utilitarian, sedangkan Nozick menegaskan bahwa setiap individu
memiliki hak moral yang tidak dapat diganggu, bahkan oleh negara, karena
pelanggaran terhadap hak individu adalah bentuk ketidakadilan.²⁰
Dari dua pendekatan ini — deontologis dan
teleologis — muncul ketegangan filosofis antara martabat moral individu
dan manfaat sosial kolektif. Ketegangan ini, dalam etika hak
kontemporer, cenderung diarahkan pada sintesis yang menekankan bahwa hak
individu harus dipahami bukan sebagai penghalang solidaritas sosial, tetapi
sebagai fondasi moral bagi tatanan sosial yang adil dan manusiawi.²¹
Footnotes
[1]               
Joel Feinberg, Social Philosophy (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1973), 58–60.
[2]               
John Locke, Two Treatises of Government
(London: Awnsham Churchill, 1689), 285–287.
[3]               
Ibid., 289–292.
[4]               
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), xi–xii.
[5]               
Ibid., 191–193.
[6]               
Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford:
Oxford University Press, 1999), 36–38.
[7]               
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 44–47.
[8]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
39–43.
[9]               
Ibid., 429–430.
[10]            
Ibid., 46–48.
[11]            
Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of
Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 105–110.
[12]            
Ibid., 112–114.
[13]            
Onora O’Neill, Constructions of Reason:
Explorations of Kant’s Practical Philosophy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 132–134.
[14]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability,
Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press, 2006),
26–29.
[15]            
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger
Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), 7–10.
[16]            
Jeremy Bentham, Anarchical Fallacies
(London: T. Payne, 1796), 501.
[17]            
Ibid., 502–504.
[18]            
John Stuart Mill, On Liberty (London: John
W. Parker and Son, 1859), 14–16.
[19]            
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously,
197–201.
[20]            
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia
(New York: Basic Books, 1974), 28–33.
[21]            
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge,
MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 18–22.
4.          
Teori
Keadilan: Kerangka dan Prinsip
4.1.      
John Rawls dan Prinsip Keadilan
sebagai Fairness
Pemikiran modern tentang keadilan mengalami
lompatan paradigmatik melalui karya monumental John Rawls, A Theory
of Justice (1971), yang menandai kebangkitan kembali etika normatif dalam
filsafat politik abad ke-20. Rawls mengusulkan konsep keadilan sebagai
fairness, yakni keadilan yang bersumber dari kesepakatan rasional di bawah
kondisi imparsialitas moral.¹ Gagasan utamanya terletak pada model hipotetis
yang disebut original position, di mana para individu rasional memilih
prinsip-prinsip keadilan di balik veil of ignorance — tirai
ketidaktahuan yang meniadakan pengetahuan tentang status sosial, ekonomi, atau
bakat alami mereka.²
Dari model tersebut, Rawls menurunkan dua prinsip
utama keadilan:
1)                 
Prinsip Kebebasan yang Sama (Equal Liberty Principle) — setiap individu memiliki hak atas
kebebasan dasar yang setara dan tidak dapat dikorbankan demi keuntungan sosial
atau ekonomi.
2)                 
Prinsip Perbedaan (Difference
Principle) — ketimpangan sosial dan ekonomi hanya dapat dibenarkan jika
menguntungkan pihak yang paling tidak beruntung dalam masyarakat.³
Kedua prinsip ini diatur oleh prinsip prioritas
moral: kebebasan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada efisiensi atau
kesejahteraan sosial.⁴ Rawls menolak utilitarianisme klasik yang cenderung
mengorbankan hak individu demi kebahagiaan kolektif, dan menggantinya dengan
keadilan yang berbasis pada kesetaraan moral.⁵
Meskipun demikian, teori Rawls mendapat kritik dari
berbagai arah. Robert Nozick menilai bahwa prinsip redistribusi Rawls
melanggar hak kepemilikan individu, sedangkan Michael Sandel menilai
bahwa Rawls terlalu abstrak dan mengabaikan konteks komunitas moral yang
membentuk identitas individu.⁶ Namun, sumbangan Rawls tetap fundamental karena
berhasil menggabungkan kebebasan liberal dengan solidaritas sosial dalam
kerangka etika rasional yang sistematis.⁷
4.2.      
Robert Nozick dan Teori Hak Kepemilikan
(Entitlement Theory)
Sebagai respon terhadap Rawls, Robert Nozick
mengembangkan pendekatan libertarian dalam Anarchy, State, and Utopia
(1974). Nozick mendasarkan teori keadilannya pada prinsip entitlement,
yakni hak individu untuk memiliki dan menguasai properti sejauh diperoleh
secara sah.⁸ Menurut Nozick, keadilan tidak berkaitan dengan hasil distribusi (patterned
distribution), tetapi dengan proses perolehan dan transfer hak milik
yang sah.⁹
Nozick merumuskan tiga prinsip dasar keadilan:
1)                 
Prinsip Perolehan Sah (Justice in Acquisition) – seseorang berhak atas sesuatu jika memperolehnya
tanpa melanggar hak orang lain.
2)                 
Prinsip Transfer Sah (Justice in Transfer) – kepemilikan yang sah dapat ditransfer secara
sukarela tanpa paksaan.
3)                 
Prinsip Koreksi (Rectification of Injustice) – jika terjadi pelanggaran terhadap dua prinsip
sebelumnya, keadilan menuntut pemulihan hak kepada pihak yang dirugikan.¹⁰
Nozick menolak semua bentuk redistribusi
kekayaan oleh negara karena dianggap sebagai pelanggaran atas kebebasan
individu — “pajak yang berlebihan adalah bentuk kerja paksa.”¹¹ Dengan
demikian, fungsi negara harus dibatasi pada perlindungan terhadap hak-hak dasar
individu: keamanan, kontrak, dan kebebasan.¹²
Pandangan Nozick memperkuat tradisi etika hak
(rights-based ethics) dalam konteks ekonomi dan politik. Ia menegaskan
bahwa keadilan sejati hanya dapat tercapai jika setiap individu memiliki hak
untuk menentukan hidupnya sendiri tanpa intervensi kolektif.¹³ Namun, kritik
utama terhadap Nozick datang dari filsuf Amartya Sen dan Martha
Nussbaum, yang menilai bahwa keadilan tidak dapat dilepaskan dari kondisi
sosial yang memungkinkan individu benar-benar menggunakan haknya secara
substantif (capability approach).¹⁴
4.3.      
Pendekatan Alternatif dan Kritik
Selain dua kutub liberal dan libertarian, muncul
pula pendekatan-pendekatan alternatif terhadap teori keadilan yang berusaha
memperluas dimensi moralnya.
a.                 
Keadilan Komunitarian
Pemikir seperti Michael Sandel dan Alasdair
MacIntyre mengkritik individualisme moral Rawls dan Nozick. Mereka
berpendapat bahwa keadilan tidak dapat dipahami terlepas dari konteks
komunitas, nilai, dan tradisi yang membentuk identitas moral individu.¹⁵
Menurut Sandel, manusia bukanlah subjek moral yang netral dan terlepas dari
masyarakat, melainkan makhluk sosial yang nilai-nilainya dibentuk oleh
solidaritas dan tanggung jawab kolektif.¹⁶ Dengan demikian, keadilan harus
mempertimbangkan common good yang hidup dalam komunitas, bukan sekadar
kontrak antara individu rasional.¹⁷
b.                 
Keadilan Feminis dan Relasional
Filsuf feminis seperti Iris Marion Young dan
Nancy Fraser menambahkan dimensi baru pada teori keadilan dengan
menyoroti persoalan ketidaksetaraan struktural dan representasi sosial. Young
menekankan keadilan sebagai penghapusan dominasi dan penindasan, bukan
sekadar distribusi sumber daya.¹⁸ Sementara itu, Fraser memperkenalkan konsep recognition
and redistribution, yakni keseimbangan antara keadilan ekonomi dan
pengakuan identitas kultural.¹⁹ Perspektif ini memperluas cakupan keadilan
hingga ranah relasional, politik, dan simbolik.
c.                  
Keadilan Global dan Ekologis
Dalam era globalisasi dan krisis lingkungan, teori
keadilan berkembang ke arah yang lebih inklusif. Amartya Sen mengajukan
model comparative justice, yang tidak mencari sistem ideal, melainkan
menilai situasi nyata dan memperbaiki ketidakadilan faktual.²⁰ Sementara Martha
Nussbaum memperluas prinsip keadilan ke ranah non-manusia dengan menegaskan
pentingnya capabilities ekologis bagi semua makhluk hidup.²¹ Dengan
demikian, keadilan tidak hanya bersifat sosial dan ekonomi, tetapi juga
ekologis dan planetaris.
4.4.      
Kerangka Sintesis dan Implikasi
Filosofis
Melalui dinamika antara teori liberal, libertarian,
komunitarian, dan feminis, dapat disimpulkan bahwa keadilan merupakan konsep
multidimensional yang tidak dapat direduksi pada satu paradigma tunggal.
Teori keadilan kontemporer bergerak menuju pendekatan dialogis, di mana
hak individu dan tanggung jawab sosial saling melengkapi.²² Keadilan tidak lagi
sekadar soal distribusi atau kontrak, tetapi juga tentang pengakuan,
partisipasi, dan solidaritas.²³
Etika hak dan teori keadilan pada akhirnya bertemu
dalam satu tujuan moral: menciptakan tatanan sosial yang menghormati martabat
setiap individu sekaligus menjamin kesejahteraan kolektif. Prinsip-prinsip
moral seperti kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas menjadi pilar utama yang
menghubungkan hak individu dengan struktur sosial yang adil.²⁴
Footnotes
[1]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 11–17.
[2]               
Ibid., 118–122.
[3]               
Ibid., 60–65.
[4]               
Ibid., 250–251.
[5]               
Ibid., 27–28.
[6]               
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia
(New York: Basic Books, 1974), 183–189; Michael Sandel, Liberalism and the
Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 21–25.
[7]               
Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge,
2007), 56–59.
[8]               
Nozick, Anarchy, State, and Utopia, 150–155.
[9]               
Ibid., 160–162.
[10]            
Ibid., 163–164.
[11]            
Ibid., 169.
[12]            
Ibid., 175–177.
[13]            
Ibid., 230–231.
[14]            
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge,
MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 18–22; Martha C.
Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2011), 32–37.
[15]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 204–210.
[16]            
Michael Sandel, Liberalism and the Limits of
Justice, 27–30.
[17]            
Ibid., 31–33.
[18]            
Iris Marion Young, Justice and the Politics of
Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 39–42.
[19]            
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997),
12–15.
[20]            
Sen, The Idea of Justice, 45–48.
[21]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press,
2006), 347–351.
[22]            
Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The
Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 92–96.
[23]            
Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or
Recognition? A Political-Philosophical Exchange (London: Verso, 2003),
68–73.
[24]            
Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford:
Oxford University Press, 1999), 283–286.
5.          
Hubungan
Etika Hak dan Teori Keadilan
5.1.      
Perspektif Normatif: Hak sebagai
Dasar Keadilan
Dalam kerangka filsafat moral dan politik, hubungan
antara etika hak dan teori keadilan bersifat normatif dan saling
melandasi. Etika hak berangkat dari pengakuan terhadap martabat manusia
sebagai dasar legitimasi moral, sedangkan teori keadilan berfungsi sebagai
mekanisme sosial untuk mewujudkan pengakuan tersebut secara kolektif.¹ Dengan
kata lain, hak individu merupakan prinsip moral universal, sedangkan
keadilan merupakan institusionalisasi sosial dari prinsip itu dalam
bentuk sistem hukum, ekonomi, dan politik yang adil.²
Dalam tradisi liberalisme moral, seperti
yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, hak muncul dari kewajiban moral
untuk memperlakukan setiap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri (end
in itself).³ Prinsip ini menjadi dasar bagi pemahaman bahwa keadilan harus
berangkat dari penghormatan terhadap hak individu yang tidak dapat dilanggar (inviolable
rights).⁴ John Rawls kemudian mengembangkan gagasan ini dengan
menghubungkan kebebasan dan kesetaraan: hak-hak dasar menjadi unsur tak
terpisahkan dari principle of equal liberty yang dijamin bagi semua
warga.⁵
Dengan demikian, hak tidak hanya mendahului
keadilan secara moral, tetapi juga menjadi ukuran etis bagi legitimasi
kebijakan publik.⁶ Setiap sistem keadilan yang sah harus menjamin pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia; tanpa itu, keadilan akan
kehilangan fondasi moralnya.⁷
5.2.      
Ketegangan dan Integrasi Konseptual
Meskipun hak dan keadilan tampak saling berkaitan,
keduanya sering menimbulkan ketegangan konseptual. Hak menekankan
kebebasan individu, sedangkan keadilan menuntut keteraturan sosial dan
kesetaraan.⁸ Dalam konteks ini, muncul persoalan etis klasik: sejauh mana hak
individu dapat dibatasi demi kepentingan umum?
John Stuart Mill menegaskan bahwa kebebasan individu hanya dapat dibatasi ketika
tindakan seseorang menimbulkan bahaya bagi orang lain (harm principle).⁹
Prinsip ini menjadi jembatan antara hak dan keadilan: kebebasan pribadi tetap
dijaga, namun tidak absolut. Di sisi lain, Robert Nozick menolak setiap
bentuk pembatasan atas hak individu, karena baginya keadilan adalah
penghormatan terhadap hak milik dan kebebasan pribadi.¹⁰ Pandangan Nozick
menegaskan supremasi hak atas keadilan, tetapi mengabaikan dimensi solidaritas
sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan kolektif.
Sebaliknya, John Rawls berusaha
mengintegrasikan keduanya dengan prinsip difference dan equal liberty.
Ia mengakui pentingnya hak-hak dasar individu, namun juga menekankan perlunya
ketimpangan sosial yang justru menguntungkan kelompok yang paling lemah.¹¹
Pandangan ini menciptakan sintesis antara kebebasan moral individu dan keadilan
distributif sosial.
Dalam perspektif komunitarian, hubungan hak
dan keadilan tidak dapat dipisahkan dari konteks moral komunitas. Michael
Sandel mengkritik model kontraktual Rawls yang terlalu abstrak karena
mengabaikan nilai-nilai bersama (shared goods) yang membentuk identitas
moral manusia.¹² Keadilan, menurutnya, harus memperhatikan ikatan sosial yang
memberi makna pada hak individu.¹³ Kritik ini membuka ruang bagi integrasi
baru: hak individu tidak bertentangan dengan keadilan sosial, melainkan
menemukan maknanya di dalam jaringan hubungan antar-manusia yang etis.¹⁴
5.3.      
Model Sintesis Teoretis: Etika
Relasional Hak dan Keadilan
Dalam teori moral kontemporer, muncul upaya sintesis
teoretis yang berusaha mengatasi dikotomi antara hak dan keadilan dengan
mengembangkan apa yang disebut etika relasional.¹⁵ Etika ini memandang
bahwa hak tidak dapat dipahami secara atomistik atau individualistis, melainkan
selalu eksis dalam relasi sosial yang konkret.
Amartya Sen dan Martha Nussbaum, melalui pendekatan capabilities,
menegaskan bahwa hak dan keadilan harus dipahami dalam konteks kemampuan
manusia untuk benar-benar merealisasikan potensi moral dan sosialnya.¹⁶ Dengan
demikian, keadilan bukan hanya distribusi sumber daya, melainkan penciptaan
kondisi yang memungkinkan setiap individu menjalankan hak-haknya secara
nyata.¹⁷
Sementara itu, Nancy Fraser dan Axel
Honneth mengembangkan paradigma keadilan pengakuan (justice of
recognition), yang menekankan bahwa keadilan tidak cukup dengan
redistribusi ekonomi, tetapi juga harus menjamin pengakuan sosial terhadap
identitas, martabat, dan partisipasi individu.¹⁸ Dalam kerangka ini, hak bukan
hanya jaminan hukum, tetapi juga sarana moral untuk memastikan partisipasi
manusia dalam kehidupan bersama yang setara dan bermakna.
Pendekatan relasional ini menawarkan kesatuan
antara dimensi moral (hak) dan dimensi sosial (keadilan). Hak
menjadi dasar etis keadilan, sementara keadilan memberikan bentuk konkret bagi
hak.¹⁹ Dengan demikian, kedua konsep ini tidak berdiri sebagai oposisi,
melainkan sebagai dua aspek yang saling menguatkan dalam proyek moral
kemanusiaan universal.²⁰
5.4.      
Sintesis Filosofis: Hak, Keadilan,
dan Martabat Manusia
Secara filosofis, dapat disimpulkan bahwa etika hak
dan teori keadilan bertemu dalam prinsip yang sama: martabat manusia (human
dignity).²¹ Hak menegaskan dimensi intrinsik martabat sebagai sesuatu yang
harus dihormati, sementara keadilan mengatur struktur sosial agar penghormatan
itu dapat diwujudkan secara nyata.²² Dengan demikian, hak tanpa keadilan akan
kehilangan relevansinya, dan keadilan tanpa hak akan kehilangan legitimasi
moralnya.²³
Paradigma etika hak dan keadilan humanistik
ini menggeser fokus dari formalisme hukum ke arah praksis sosial yang etis, di
mana penghormatan terhadap individu berjalan beriringan dengan tanggung jawab
terhadap masyarakat.²⁴ Dalam pandangan ini, keadilan bukan hanya soal “memberikan
kepada tiap orang apa yang menjadi haknya,” tetapi juga menciptakan kondisi di
mana setiap orang mampu menikmati haknya secara utuh.²⁵
Oleh karena itu, hubungan antara etika hak dan
teori keadilan bukanlah hubungan linear, melainkan relasi dialektis yang
terus berkembang sesuai konteks sosial, budaya, dan teknologi manusia. Dalam
dunia yang semakin kompleks — dengan munculnya isu hak digital, keadilan
ekologis, dan kesetaraan global — integrasi antara hak dan keadilan menjadi
semakin mendesak sebagai fondasi moral bagi kehidupan bersama yang beradab.²⁶
Footnotes
[1]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
38–42.
[2]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 3–5.
[3]               
Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
429–430.
[4]               
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 73–75.
[5]               
Rawls, A Theory of Justice, 60–65.
[6]               
Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of
Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 112–115.
[7]               
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge,
MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 18–20.
[8]               
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia
(New York: Basic Books, 1974), 150–153.
[9]               
John Stuart Mill, On Liberty (London: John
W. Parker and Son, 1859), 14–15.
[10]            
Nozick, Anarchy, State, and Utopia, 169–171.
[11]            
Rawls, A Theory of Justice, 83–85.
[12]            
Michael Sandel, Liberalism and the Limits of
Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 23–27.
[13]            
Ibid., 32–34.
[14]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 213–216.
[15]            
Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The
Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 90–94.
[16]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
17–22.
[17]            
Sen, The Idea of Justice, 45–47.
[18]            
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997),
12–16.
[19]            
Fraser and Axel Honneth, Redistribution or
Recognition? A Political-Philosophical Exchange (London: Verso, 2003),
70–72.
[20]            
Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford:
Oxford University Press, 1999), 283–286.
[21]            
Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
436–438.
[22]            
Rawls, Justice as Fairness: A Restatement
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 18–20.
[23]            
Sen, The Idea of Justice, 90–94.
[24]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press,
2006), 18–23.
[25]            
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), V.3–5.
[26]            
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining
Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University
Press, 2008), 35–39.
6.          
Aplikasi
dan Implikasi Sosial Kontemporer
6.1.      
Etika Hak dalam Isu Global dan Hak
Asasi Manusia
Dalam konteks global kontemporer, etika hak
(ethics of rights) menjadi landasan normatif utama bagi pembentukan sistem
nilai dan hukum internasional. Sejak diadopsinya Universal Declaration of
Human Rights (1948), gagasan bahwa setiap manusia memiliki hak yang melekat
(inherent rights) karena martabatnya telah menjadi prinsip moral
universal yang mengatur tatanan dunia.¹ Konsep ini menegaskan bahwa hak tidak
bergantung pada status politik atau kebangsaan, melainkan pada kemanusiaan itu
sendiri.²
Namun, dalam praktiknya, penerapan etika hak
menghadapi tantangan serius. Krisis pengungsi, ketimpangan ekonomi global, dan
diskriminasi rasial menunjukkan adanya kesenjangan antara deklarasi moral
dan realitas sosial.³ Di era digital, muncul pula persoalan baru mengenai hak
privasi, kebebasan berekspresi, dan keamanan data pribadi, yang menuntut
reinterpretasi atas prinsip klasik hak asasi manusia.⁴
Dalam konteks ini, Martha Nussbaum
menekankan perlunya pendekatan capability yang menilai sejauh mana
individu benar-benar mampu menjalankan haknya secara substansial.⁵ Misalnya,
hak atas pendidikan atau kesehatan tidak hanya diakui secara hukum, tetapi juga
harus dijamin melalui kebijakan sosial yang memungkinkan realisasi aktualnya.⁶
Oleh karena itu, etika hak dalam dunia modern tidak cukup berhenti pada pengakuan
formal, tetapi harus diperluas menjadi tanggung jawab kolektif untuk
menciptakan kondisi yang memungkinkan manusia hidup secara bermartabat.⁷
6.2.      
Teori Keadilan dalam Kebijakan
Publik dan Pembangunan Sosial
Teori keadilan menawarkan kerangka moral untuk menilai dan membentuk kebijakan publik.
Dalam pemikiran John Rawls, prinsip keadilan sebagai fairness
dapat diterapkan untuk memastikan bahwa kebijakan ekonomi, pendidikan, dan
kesehatan tidak hanya efisien tetapi juga adil.⁸ Kebijakan redistributif,
misalnya, dibenarkan jika dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok masyarakat
yang paling lemah tanpa mengorbankan kebebasan dasar individu.⁹
Pendekatan ini memiliki implikasi langsung dalam
bidang pembangunan sosial dan pemerintahan. Amartya Sen mengusulkan
paradigma development as freedom, di mana pembangunan diukur bukan hanya
dari pertumbuhan ekonomi, melainkan dari peningkatan kebebasan substantif
manusia.¹⁰ Artinya, pembangunan harus memperluas kemampuan individu untuk
memilih dan bertindak sesuai nilai-nilai yang mereka anggap penting.¹¹
Selain itu, teori keadilan juga memainkan peran
penting dalam isu keadilan distributif dan keadilan sosial. Dalam
konteks kebijakan fiskal, misalnya, penentuan pajak progresif dan jaminan
sosial dapat dipandang sebagai implementasi dari difference principle
Rawls, yakni memperbaiki posisi kelompok yang kurang beruntung.¹² Sedangkan
dalam konteks politik, teori keadilan menuntut pembentukan lembaga yang
transparan, partisipatif, dan akuntabel agar distribusi hak dan kekuasaan dapat
berlangsung secara adil.¹³
Kritik komunitarian terhadap pendekatan liberal
menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai
sosial dan budaya lokal.¹⁴ Oleh karena itu, penerapan teori keadilan dalam
masyarakat multikultural seperti Indonesia memerlukan pendekatan kontekstual
yang menghormati pluralitas nilai tanpa mengorbankan prinsip moral universal.¹⁵
6.3.      
Keadilan Intergenerasional dan Etika
Ekologis
Salah satu perluasan penting dari teori keadilan
kontemporer adalah munculnya konsep keadilan intergenerasional dan keadilan
ekologis. Pemikiran ini berangkat dari kesadaran bahwa hak dan keadilan
tidak hanya berlaku bagi manusia masa kini, tetapi juga bagi generasi mendatang
dan makhluk hidup lainnya.¹⁶
Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility, menegaskan bahwa
tanggung jawab etis manusia terhadap masa depan merupakan bentuk baru dari
moralitas yang menuntut kesadaran ekologis dan keberlanjutan.¹⁷ Prinsip
“bertindak sedemikian rupa agar akibatnya sejalan dengan keberlangsungan
kehidupan di bumi” menjadi dasar bagi etika lingkungan dan kebijakan
pembangunan berkelanjutan.¹⁸
Dalam konteks ini, keadilan ekologis berupaya
mengintegrasikan hak-hak manusia dengan hak-hak lingkungan. Martha Nussbaum
bahkan mengembangkan gagasan capabilities of non-human animals, yang
menekankan bahwa makhluk hidup lain juga memiliki nilai moral dan kepentingan
yang layak dihormati.¹⁹ Hal ini memperluas cakupan etika hak dari
antropo-sentrisme menuju eko-sentrisme, di mana kesejahteraan ekologis
menjadi bagian dari keadilan sosial global.²⁰
Dengan demikian, keadilan intergenerasional dan
ekologis menegaskan bahwa tanggung jawab moral manusia tidak berhenti pada
relasi sosial antarmanusia, tetapi juga meliputi kelangsungan moral
kehidupan secara universal.²¹
6.4.      
Konteks Indonesia dan Global Selatan
Dalam konteks Global Selatan, termasuk
Indonesia, tantangan penerapan etika hak dan teori keadilan memiliki dimensi
yang khas. Ketimpangan struktural, kemiskinan, korupsi, dan marginalisasi
sosial menimbulkan kesenjangan antara ideal moral dan praktik sosial.²²
Dalam sistem hukum dan kebijakan nasional,
prinsip-prinsip hak asasi manusia telah diakui secara formal melalui konstitusi
dan berbagai undang-undang. Namun, problem utama terletak pada implementasi yang
seringkali terhambat oleh ketidakadilan struktural dan budaya politik
patronistik.²³ Oleh karena itu, pendekatan etika keadilan kontekstual
diperlukan — yaitu upaya untuk menerjemahkan nilai-nilai universal seperti
kebebasan dan kesetaraan ke dalam kerangka sosial dan budaya lokal.²⁴
Selain itu, isu keadilan sosial di Indonesia juga
mencakup persoalan gender, keadilan ekonomi, dan keadilan lingkungan. Gerakan
sosial dan masyarakat sipil memainkan peran penting dalam memperjuangkan
hak-hak kelompok terpinggirkan, seperti perempuan, masyarakat adat, dan pekerja
informal.²⁵
Integrasi antara etika hak dan teori keadilan dalam
konteks Indonesia harus diarahkan pada pemberdayaan moral dan struktural,
yaitu menciptakan kondisi sosial di mana setiap individu dapat hidup
bermartabat, bebas dari penindasan, dan memiliki kesempatan yang adil untuk
berkembang.²⁶
6.5.      
Tantangan Era Digital dan Teknologi
Perkembangan teknologi digital menghadirkan dimensi
baru bagi perdebatan hak dan keadilan. Isu-isu seperti privasi digital, akses
terhadap teknologi informasi, dan keadilan algoritmik menjadi
tantangan etis yang mendesak.²⁷
Menurut Luciano Floridi, era digital
menciptakan bentuk baru dari kehidupan moral (infosphere), di mana hak
individu atas privasi, identitas, dan kebebasan berekspresi harus diimbangi
dengan tanggung jawab etis dalam penggunaan data dan kecerdasan buatan.²⁸ Dalam
konteks ini, teori keadilan menuntut regulasi sosial dan politik yang menjamin
distribusi akses dan perlindungan digital yang setara bagi semua orang.²⁹
Etika hak digital juga menekankan bahwa hak asasi
manusia harus berevolusi untuk menanggapi bentuk-bentuk baru dari dominasi dan
ketidakadilan — seperti diskriminasi algoritmik, pengawasan massal, dan
monopoli informasi oleh korporasi besar.³⁰ Oleh karena itu, diperlukan
paradigma keadilan digital, yang mengintegrasikan prinsip kebebasan,
transparansi, dan tanggung jawab dalam tata kelola teknologi global.³¹
Footnotes
[1]               
United Nations, Universal Declaration of Human
Rights (New York: United Nations, 1948), Preamble.
[2]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
38–42.
[3]               
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge,
MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 21–25.
[4]               
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 109–111.
[5]               
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
25–28.
[6]               
Ibid., 35–36.
[7]               
Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 3–5.
[8]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 83–85.
[9]               
Ibid., 250–252.
[10]            
Sen, Development as Freedom, 10–12.
[11]            
Ibid., 14–16.
[12]            
Rawls, Justice as Fairness: A Restatement
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 42–45.
[13]            
Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge,
2007), 56–59.
[14]            
Michael Sandel, Liberalism and the Limits of
Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 23–27.
[15]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 213–215.
[16]            
Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity: A
Legal Framework for Global Environmental Change,” Environmental Change and
International Law (Tokyo: United Nations University Press, 1992), 21–24.
[17]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 11–15.
[18]            
Ibid., 28–31.
[19]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press,
2006), 347–350.
[20]            
Ibid., 352–355.
[21]            
Jonas, The Imperative of Responsibility,
36–39.
[22]            
Amartya Sen, Inequality Reexamined
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992), 45–48.
[23]            
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 110–112.
[24]            
Franz Magnis-Suseno, Etika Sosial: Dasar dan
Prinsip Hidup Bersama (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 87–90.
[25]            
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997),
17–20.
[26]            
Sen, The Idea of Justice, 122–125.
[27]            
Floridi, The Ethics of Information, 125–128.
[28]            
Ibid., 130–133.
[29]            
Virginia Eubanks, Automating Inequality: How
High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St.
Martin’s Press, 2018), 18–22.
[30]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 91–95.
[31]            
Floridi, The Ethics of Information, 140–144.
7.          
Kritik
dan Perdebatan Filosofis
7.1.      
Kritik terhadap Etika Hak
Meskipun etika hak (ethics of rights) telah
menjadi pilar utama dalam filsafat moral modern, pendekatan ini tidak lepas
dari kritik yang tajam, terutama terkait dengan individualisme moral dan
universalisme normatif yang dikandungnya. Kritik paling mendasar datang
dari aliran komunitarian, yang menilai bahwa paradigma hak cenderung
memisahkan individu dari konteks sosial dan kulturalnya.¹
Michael Sandel, dalam Liberalism and the Limits of Justice, berpendapat bahwa
teori hak liberal seperti yang dikembangkan oleh John Rawls mengandaikan
manusia sebagai subjek moral yang netral dan otonom tanpa mempertimbangkan
peran komunitas dalam pembentukan identitas moral.² Menurut Sandel, pandangan
ini mengabaikan kenyataan bahwa manusia selalu tertanam dalam jaringan nilai
dan hubungan sosial yang membentuk pemahaman mereka tentang kebaikan.³
Kritik serupa diajukan oleh Alasdair MacIntyre,
yang menuduh paradigma liberal tentang hak sebagai warisan dari pencerahan yang
gagal membangun tatanan moral bersama.⁴ Dalam After Virtue, ia menulis
bahwa hak-hak individu bersifat “fiktif” karena tidak berakar pada
tradisi moral dan praktik komunitas yang konkret.⁵ Menurut MacIntyre, moralitas
yang hanya berfokus pada klaim hak tanpa menekankan kewajiban dan kebajikan
bersama akan melahirkan masyarakat yang terfragmentasi dan kehilangan arah
moral.⁶
Selain kritik komunitarian, pemikiran feminis
juga menyoroti keterbatasan etika hak yang dianggap bersifat androcentrik — berorientasi
pada pengalaman laki-laki dan mengabaikan nilai-nilai relasional seperti
empati, perawatan, dan ketergantungan.⁷ Carol Gilligan, dalam In a
Different Voice, menunjukkan bahwa moralitas berbasis hak sering gagal
menangkap etika relasi dan tanggung jawab yang menjadi ciri khas pengalaman
moral perempuan.⁸ Oleh karena itu, bagi teori feminis, paradigma moral yang
menekankan rights perlu dilengkapi dengan paradigma care ethics
agar keadilan sosial mencakup aspek hubungan dan kasih sayang.⁹
7.2.      
Kritik terhadap Teori Keadilan
Rawlsian
Sementara itu, teori keadilan Rawlsian juga
menjadi sasaran kritik luas dari berbagai aliran filsafat politik, baik dari
kiri maupun kanan.
Dari sisi libertarian, Robert Nozick
menolak prinsip redistribusi Rawls karena dianggap melanggar hak milik sah
individu.¹⁰ Dalam pandangan Nozick, kebijakan redistributif, sekalipun
dimaksudkan untuk membantu yang lemah, tetap merupakan bentuk perampasan
terhadap kebebasan individu.¹¹ Ia menegaskan bahwa “pajak atas pendapatan
kerja adalah bentuk kerja paksa,” karena mengabaikan hak moral seseorang
atas hasil kerjanya sendiri.¹²
Sebaliknya, dari sisi egalitarian radikal, Amartya
Sen dan Martha Nussbaum mengkritik teori Rawls karena terlalu
menekankan keadilan institusional dan mengabaikan realitas faktual mengenai
kemampuan nyata individu.¹³ Menurut Sen, keadilan tidak bisa diukur hanya
berdasarkan distribusi sumber daya, melainkan harus mempertimbangkan capabilities
— kemampuan seseorang untuk benar-benar menjalankan fungsi dan memilih kehidupan
yang bernilai bagi dirinya.¹⁴ Nussbaum menambahkan bahwa keadilan sejati harus
memperhitungkan kebutuhan khusus kelompok rentan seperti penyandang
disabilitas, perempuan, dan warga global yang terpinggirkan.¹⁵
Kritik lain datang dari perspektif postmodern
dan dekolonial. Michel Foucault, misalnya, memandang teori keadilan
liberal sebagai bentuk “teknologi kekuasaan” yang menyamarkan relasi dominasi
di balik klaim universalitas moral.¹⁶ Dalam pandangan Foucault, konsep hak dan
keadilan modern sering kali digunakan untuk melegitimasi sistem hukum dan
ekonomi yang justru memperkuat kontrol terhadap individu.¹⁷ Sedangkan Boaventura
de Sousa Santos berpendapat bahwa teori keadilan Barat gagal memahami
keadilan dalam konteks epistemologi Global Selatan yang menekankan
kolektivitas, spiritualitas, dan solidaritas.¹⁸
Dengan demikian, teori Rawlsian menghadapi dua arah
kritik sekaligus: dari kanan (libertarian) yang menilai terlalu kolektivis, dan
dari kiri (egalitarian, feminis, dan dekolonial) yang menilai masih terlalu
abstrak dan elitis.¹⁹
7.3.      
Pendekatan Integratif dan
Transformatif
Sebagai respons terhadap berbagai kritik tersebut,
muncul upaya untuk membangun pendekatan etika hak dan keadilan yang
integratif dan transformatif, yang lebih peka terhadap konteks sosial,
budaya, dan relasional.
Salah satu pendekatan tersebut adalah “justice
of recognition” yang dikembangkan oleh Nancy Fraser dan Axel
Honneth. Mereka berargumen bahwa keadilan sejati harus mencakup tiga
dimensi: redistribusi ekonomi, pengakuan sosial, dan partisipasi
politik.²⁰ Dalam kerangka ini, hak individu tidak dipahami semata sebagai
hak legal, tetapi juga sebagai bentuk pengakuan atas identitas dan martabat
sosial seseorang.²¹
Selain itu, etika keadilan dialogis yang
diajukan oleh Jürgen Habermas menekankan pentingnya komunikasi rasional
dan partisipatif dalam proses pengambilan keputusan moral.²² Habermas
menyatakan bahwa legitimasi moral tidak dapat ditentukan oleh prinsip abstrak,
melainkan harus muncul melalui diskursus di mana setiap individu memiliki
kesempatan yang sama untuk menyatakan pandangannya.²³ Dengan demikian, keadilan
dipahami sebagai hasil dari dialog etis yang terbuka dan inklusif.²⁴
Dalam ranah etika global, muncul pula gagasan “cosmopolitan
justice” yang berusaha mengatasi batas-batas negara bangsa. Thomas Pogge
menegaskan bahwa ketidakadilan global, seperti kemiskinan dan eksploitasi
ekonomi, merupakan pelanggaran langsung terhadap hak asasi manusia universal.²⁵
Oleh karena itu, tanggung jawab moral terhadap keadilan tidak lagi berhenti
pada tingkat nasional, tetapi meluas secara transnasional dan ekologis.²⁶
Dengan pendekatan-pendekatan tersebut, arah baru
teori keadilan kontemporer bergerak menuju transformasi etika: dari
keadilan formal menuju keadilan substantif, dari hak individual menuju tanggung
jawab kolektif, dan dari moralitas tertutup menuju etika dialogis yang terbuka
terhadap koreksi dan perkembangan.²⁷
Footnotes
[1]               
Charles Taylor, “Atomism,” in Philosophy and the
Human Sciences: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge
University Press, 1985), 187–210.
[2]               
Michael Sandel, Liberalism and the Limits of
Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 23–27.
[3]               
Ibid., 32–33.
[4]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 6–8.
[5]               
Ibid., 69–70.
[6]               
Ibid., 204–210.
[7]               
Alison Jaggar, Feminist Politics and Human
Nature (Totowa, NJ: Rowman & Allanheld, 1983), 45–47.
[8]               
Carol Gilligan, In a Different Voice:
Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1982), 19–21.
[9]               
Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to
Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press,
1984), 54–56.
[10]            
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia
(New York: Basic Books, 1974), 150–155.
[11]            
Ibid., 169–171.
[12]            
Ibid., 172.
[13]            
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge,
MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 18–22.
[14]            
Ibid., 25–28.
[15]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press,
2006), 87–90.
[16]            
Michel Foucault, Discipline and Punish: The
Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1979),
195–198.
[17]            
Ibid., 222–225.
[18]            
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of
the South: Justice against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers,
2014), 14–17.
[19]            
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining
Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University
Press, 2008), 35–39.
[20]            
Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or
Recognition? A Political-Philosophical Exchange (London: Verso, 2003),
12–15.
[21]            
Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The
Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 92–94.
[22]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 66–69.
[23]            
Ibid., 91–93.
[24]            
Ibid., 115–118.
[25]            
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights
(Cambridge: Polity Press, 2002), 45–49.
[26]            
Ibid., 83–86.
[27]            
Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford:
Oxford University Press, 1999), 282–285.
8.          
Sintesis
Filosofis dan Relevansi Kontemporer
8.1.      
Integrasi Etika Hak dan Keadilan:
Mencari Kesatuan Moral
Dalam perkembangan pemikiran filsafat moral, etika
hak (ethics of rights) dan teori keadilan (justice theory) sering
kali diposisikan sebagai dua paradigma yang berdiri sendiri. Namun, sintesis
filosofis mutakhir menunjukkan bahwa keduanya dapat dipahami sebagai dua aspek
dari prinsip moral yang sama, yakni martabat manusia (human dignity).¹
Etika hak menekankan pengakuan terhadap nilai
intrinsik manusia sebagai subjek moral yang otonom, sedangkan teori keadilan
berupaya menata struktur sosial agar pengakuan tersebut diwujudkan secara
konkret.² Dengan demikian, hak berfungsi sebagai dasar normatif bagi keadilan,
sementara keadilan menjadi bentuk institusional dari pelaksanaan hak.³
Dalam perspektif Kantian, relasi ini dapat
dijelaskan melalui prinsip categorical imperative — bahwa setiap
tindakan moral harus menghormati manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri,
bukan sarana bagi kepentingan lain.⁴ Prinsip tersebut menegaskan fondasi moral
bagi seluruh tatanan sosial yang adil: keadilan sejati hanya dapat eksis bila
hak-hak individu dijaga tanpa mengorbankan solidaritas sosial.⁵
Model sintesis ini kemudian diperkuat oleh John
Rawls, yang menghubungkan kebebasan individu dengan struktur sosial melalui
dua prinsip utama: equal liberty dan difference principle.⁶ Di
sini, hak dan keadilan tidak lagi dilihat sebagai kutub yang berlawanan,
melainkan sebagai komponen yang saling melengkapi dalam membentuk masyarakat
yang well-ordered, yakni masyarakat yang diatur oleh prinsip moral yang
diterima secara rasional dan adil.⁷
8.2.      
Etika Hak dan Keadilan sebagai Dasar
Etika Global
Dalam konteks globalisasi dan pluralisme nilai,
etika hak dan keadilan memperoleh relevansi baru sebagai kerangka moral
global. Menurut Amartya Sen, tantangan utama etika kontemporer bukan
lagi merancang teori ideal tentang keadilan, tetapi memperbaiki ketidakadilan
nyata di dunia.⁸ Pendekatan comparative justice yang diajukannya
menggeser fokus dari teori normatif ke praksis sosial: keadilan dipahami
sebagai upaya progresif untuk mengurangi penderitaan dan memperluas kebebasan
manusia di tingkat global.⁹
Dalam paradigma ini, hak asasi manusia menjadi bahasa
moral universal yang menghubungkan berbagai tradisi budaya dan sistem
politik.¹⁰ Martha Nussbaum memperluas hal ini melalui pendekatan capabilities,
yang menekankan bahwa keadilan global harus menjamin setiap individu memiliki
kemampuan riil untuk menjalankan kehidupan bermartabat.¹¹ Artinya, keadilan
bukan sekadar kesetaraan formal, tetapi juga kesetaraan substantif yang
diwujudkan melalui kebijakan sosial, ekonomi, dan ekologis yang inklusif.¹²
Lebih jauh, Thomas Pogge mengkritik
ketidakadilan global yang lahir dari sistem ekonomi internasional yang timpang.
Ia menegaskan bahwa hak asasi manusia menuntut tanggung jawab lintas batas
terhadap kemiskinan struktural dan eksploitasi ekonomi.¹³ Dalam konteks ini,
hak dan keadilan tidak dapat lagi dibatasi oleh wilayah negara-bangsa; keduanya
menjadi dasar bagi etika kosmopolitan yang mengakui tanggung jawab moral
bersama atas kondisi umat manusia.¹⁴
8.3.      
Relevansi terhadap Isu Sosial,
Teknologi, dan Ekologi
Sintesis antara etika hak dan keadilan menjadi semakin
relevan dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti ketimpangan
digital, krisis lingkungan, dan dehumanisasi teknologi.
Dalam ranah teknologi, Luciano Floridi
memperkenalkan konsep “etika informasi” (information ethics) yang
menuntut penghormatan terhadap hak individu dalam ruang digital.¹⁵ Ia
menegaskan bahwa keadilan di era digital harus memperhitungkan distribusi akses
terhadap data, privasi, dan kontrol informasi sebagai bentuk baru dari hak
moral.¹⁶ Prinsip ini menegaskan pergeseran paradigma etika hak menuju keadilan
digital (digital justice), di mana teknologi tidak boleh digunakan untuk
memperluas dominasi, melainkan untuk memperkuat otonomi manusia.¹⁷
Sementara itu, dalam isu keadilan ekologis,
pemikiran Hans Jonas tentang the imperative of responsibility
menjadi acuan penting.¹⁸ Jonas menekankan bahwa tanggung jawab moral manusia
kini harus diperluas kepada generasi mendatang dan seluruh ekosistem.¹⁹ Dalam
konteks ini, hak tidak hanya dimiliki oleh manusia, tetapi juga oleh alam
sebagai bagian integral dari tatanan moral.²⁰
Pemikiran ini juga beresonansi dengan gagasan keadilan
intergenerasional, yang menuntut keseimbangan antara hak generasi sekarang
untuk hidup sejahtera dan hak generasi mendatang untuk mewarisi bumi yang layak
huni.²¹ Dengan demikian, sintesis etika hak dan keadilan mengarah pada
paradigma etika ekologis humanistik — sebuah upaya untuk menjaga
keseimbangan antara kebebasan manusia, tanggung jawab sosial, dan kelestarian
alam.²²
8.4.      
Menuju Etika Global Humanistik
Dalam konteks dunia yang semakin plural dan saling
terhubung, etika hak dan keadilan global menawarkan fondasi bagi tata
moral yang inklusif dan terbuka terhadap perbedaan. Paradigma ini berupaya
menyatukan rasionalitas moral universal dengan pengakuan terhadap
keragaman nilai lokal, sehingga menciptakan ruang dialog antara kebebasan
individu dan tanggung jawab sosial.²³
Jürgen Habermas menyebutnya sebagai “rasionalitas komunikatif,” yaitu etika yang
dibangun melalui dialog dan partisipasi publik.²⁴ Melalui komunikasi rasional,
manusia dapat menemukan kesepakatan moral tanpa dominasi dan mempraktikkan
keadilan yang berakar pada otonomi bersama.²⁵ Prinsip ini menegaskan bahwa
keadilan sejati hanya dapat terwujud melalui proses deliberatif yang
menghormati hak berbicara dan didengar secara setara.²⁶
Secara filosofis, sintesis ini menunjukkan bahwa
hak dan keadilan bukan sekadar teori moral, tetapi juga proyek peradaban
— upaya terus-menerus untuk mengembangkan tata dunia yang menghormati
kehidupan, kebebasan, dan martabat manusia di tengah kompleksitas modernitas.²⁷
Etika hak memberi dasar normatif, sementara teori keadilan memberi arah
praksis; keduanya berpadu dalam visi etika global yang humanistik, kritis, dan
reflektif.²⁸
Footnotes
[1]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
38–42.
[2]               
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 70–73.
[3]               
Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of
Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 112–115.
[4]               
Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
429–430.
[5]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 60–65.
[6]               
Ibid., 83–85.
[7]               
Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge,
2007), 56–59.
[8]               
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge,
MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 18–22.
[9]               
Ibid., 45–48.
[10]            
United Nations, Universal Declaration of Human
Rights (New York: United Nations, 1948), Preamble.
[11]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
17–22.
[12]            
Ibid., 33–36.
[13]            
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights
(Cambridge: Polity Press, 2002), 45–49.
[14]            
Ibid., 83–85.
[15]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 125–128.
[16]            
Ibid., 130–133.
[17]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 91–95.
[18]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 11–15.
[19]            
Ibid., 36–39.
[20]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press,
2006), 347–351.
[21]            
Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity: A
Legal Framework for Global Environmental Change,” Environmental Change and
International Law (Tokyo: United Nations University Press, 1992), 21–24.
[22]            
Jonas, The Imperative of Responsibility,
52–55.
[23]            
Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford:
Oxford University Press, 1999), 283–286.
[24]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 66–69.
[25]            
Ibid., 115–118.
[26]            
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining
Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University
Press, 2008), 35–39.
[27]            
Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The
Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001),
391–395.
[28]            
Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social
Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014),
55–59.
9.          
Kesimpulan
Kajian mengenai etika hak (ethics of rights)
dan teori keadilan (justice theory) menunjukkan bahwa keduanya tidak
dapat dipisahkan dalam kerangka filsafat moral kontemporer. Secara konseptual,
hak dan keadilan merupakan dua sisi dari satu prinsip moral universal, yaitu penghormatan
terhadap martabat manusia (human dignity).¹ Hak menegaskan nilai moral
intrinsik setiap individu, sedangkan keadilan memastikan agar nilai tersebut
diwujudkan dalam struktur sosial yang menjamin kebebasan, kesetaraan, dan
kesejahteraan bersama.²
Etika hak berfungsi sebagai fondasi normatif
bagi keadilan, karena memberikan dasar moral atas pengakuan terhadap kebebasan
dan otonomi individu.³ Namun, hak tidak dapat dipahami secara atomistik. Ia
memperoleh makna sosialnya melalui penerapan keadilan yang mengatur distribusi
hak, sumber daya, dan tanggung jawab dalam masyarakat.⁴ Dengan kata lain,
keadilan adalah praktik sosial dari etika hak, dan etika hak adalah dimensi
moral dari keadilan.⁵
Pemikiran Immanuel Kant memberi dasar moral
bagi etika hak melalui prinsip categorical imperative, yang menegaskan
bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri.⁶
Sementara itu, John Rawls memberikan kerangka institusional melalui A
Theory of Justice, yang menggabungkan kebebasan individu dengan kesetaraan
sosial dalam prinsip keadilan sebagai fairness.⁷ Melalui sintesis
keduanya, dapat disimpulkan bahwa hak dan keadilan bukanlah kategori yang
saling bertentangan, melainkan saling memperkuat dalam upaya membangun tatanan
moral yang rasional dan manusiawi.⁸
Di sisi lain, berbagai kritik dari perspektif komunitarian,
feminis, dan dekolonial menunjukkan bahwa teori hak dan keadilan klasik
sering kali bersifat abstrak dan tidak peka terhadap konteks sosial, budaya,
dan historis.⁹ Karena itu, diperlukan pendekatan transformatif dan
relasional, sebagaimana dikembangkan oleh Nancy Fraser, Amartya
Sen, dan Martha Nussbaum, yang menekankan pentingnya pengakuan,
partisipasi, serta kemampuan riil manusia dalam mewujudkan kehidupan yang
bermartabat.¹⁰
Dalam konteks global kontemporer, etika hak
dan teori keadilan menjadi semakin relevan dalam menghadapi tantangan baru
seperti ketimpangan ekonomi, krisis ekologi, diskriminasi digital, dan erosi
solidaritas sosial.¹¹ Etika hak menyediakan dasar moral bagi perlindungan
individu, sementara teori keadilan menawarkan orientasi sosial untuk
menciptakan tatanan dunia yang lebih inklusif dan berkeadilan.¹²
Secara filosofis, kesimpulan dari sintesis ini
dapat dirumuskan dalam tiga poin utama:
1)                 
Hak dan keadilan saling berkelindan — hak tanpa keadilan kehilangan aktualitas sosialnya, sedangkan
keadilan tanpa hak kehilangan legitimasi moralnya.¹³
2)                 
Etika hak dan teori keadilan harus bersifat kontekstual, yakni mampu menyesuaikan diri dengan dinamika
sosial, teknologi, dan budaya tanpa mengabaikan prinsip universal martabat
manusia.¹⁴
3)                 
Keadilan global humanistik menjadi arah perkembangan baru: sebuah paradigma moral yang
mengintegrasikan kebebasan individu, solidaritas sosial, dan tanggung jawab
ekologis dalam satu tatanan nilai yang reflektif dan terbuka.¹⁵
Dengan demikian, etika hak dan teori keadilan bukan
hanya perangkat analisis normatif, melainkan juga proyek moral peradaban
— upaya berkelanjutan umat manusia untuk menegakkan keadilan, menghormati hak,
dan menjaga kelangsungan kehidupan di tengah kompleksitas dunia modern.¹⁶
Footnotes
[1]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
38–42.
[2]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 60–65.
[3]               
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), xi–xii.
[4]               
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 72–75.
[5]               
Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of
Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 112–115.
[6]               
Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
429–430.
[7]               
Rawls, A Theory of Justice, 83–85.
[8]               
Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge,
2007), 56–59.
[9]               
Michael Sandel, Liberalism and the Limits of
Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 23–27.
[10]            
Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or
Recognition? A Political-Philosophical Exchange (London: Verso, 2003),
12–15; Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Belknap Press of
Harvard University Press, 2009), 45–48; Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2011), 25–28.
[11]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 11–15.
[12]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 125–128.
[13]            
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining
Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University
Press, 2008), 35–39.
[14]            
Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford:
Oxford University Press, 1999), 283–286.
[15]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability,
Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press, 2006),
347–351.
[16]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 115–118.
Daftar Pustaka 
Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae. New
York, NY: Benziger Brothers.
Aristotle. (1985). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Aristotle. (1885). Politics (B. Jowett,
Trans.). Oxford, UK: Clarendon Press.
Asshiddiqie, J. (2010). Konstitusi dan
konstitusionalisme Indonesia. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika.
Bentham, J. (1796). Anarchical fallacies.
London, UK: T. Payne.
Brown Weiss, E. (1992). Intergenerational equity: A
legal framework for global environmental change. In E. Brown Weiss (Ed.), Environmental
change and international law (pp. 21–24). Tokyo, Japan: United Nations
University Press.
Cicero, M. T. (1928). De legibus (C. W.
Keyes, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Dworkin, R. (1977). Taking rights seriously.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Eubanks, V. (2018). Automating inequality: How
high-tech tools profile, police, and punish the poor. New York, NY: St.
Martin’s Press.
Feinberg, J. (1973). Social philosophy.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford, UK: Oxford University Press.
Foucault, M. (1979). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). New York, NY: Vintage Books.
Freeman, S. (2007). Rawls. London, UK:
Routledge.
Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical
reflections on the “postsocialist” condition. New York, NY: Routledge.
Fraser, N. (2008). Scales of justice:
Reimagining political space in a globalizing world. New York, NY: Columbia
University Press.
Fraser, N., & Honneth, A. (2003). Redistribution
or recognition? A political-philosophical exchange. London, UK: Verso.
Gilligan, C. (1982). In a different voice:
Psychological theory and women’s development. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Grotius, H. (2005). The rights of war and peace
(R. Tuck, Trans.). Indianapolis, IN: Liberty Fund.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and
communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.).
Cambridge, MA: MIT Press.
Honneth, A. (1995). The struggle for
recognition: The moral grammar of social conflicts. Cambridge, MA: MIT
Press.
Honneth, A. (2014). Freedom’s right: The social
foundations of democratic life. New York, NY: Columbia University Press.
Jaggar, A. (1983). Feminist politics and human
nature. Totowa, NJ: Rowman & Allanheld.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age. Chicago, IL:
University of Chicago Press.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Korsgaard, C. (1996). Creating the kingdom of
ends. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Locke, J. (1689). Two treatises of government.
London, UK: Awnsham Churchill.
MacIntyre, A. (1981). After virtue. Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Magnis-Suseno, F. (1999). Etika sosial: Dasar
dan prinsip hidup bersama. Yogyakarta, Indonesia: Kanisius.
Mill, J. S. (1859). On liberty. London, UK:
John W. Parker and Son.
Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R.
Crisp, Ed.). Oxford, UK: Oxford University Press.
Noddings, N. (1984). Caring: A feminine approach
to ethics and moral education. Berkeley, CA: University of California
Press.
Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia.
New York, NY: Basic Books.
Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought:
The intelligence of emotions. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice:
Disability, nationality, species membership. Cambridge, MA: Belknap Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Cambridge, MA: Harvard University Press.
O’Neill, O. (1989). Constructions of reason:
Explorations of Kant’s practical philosophy. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
Pogge, T. (2002). World poverty and human rights.
Cambridge, UK: Polity Press.
Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube,
Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Rawls, J. (2001). Justice as fairness: A
restatement. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Sandel, M. (1982). Liberalism and the limits of
justice. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Sen, A. (1992). Inequality reexamined.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Oxford, UK: Oxford University Press.
Sen, A. (2009). The idea of justice.
Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press.
Santos, B. de S. (2014). Epistemologies of the
South: Justice against epistemicide. Boulder, CO: Paradigm Publishers.
Taylor, C. (1985). Atomism. In C. Taylor, Philosophy
and the human sciences: Philosophical papers, Vol. 2 (pp. 187–210).
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
United Nations. (1948). Universal declaration of
human rights. New York, NY: United Nations.
Wood, A. W. (2008). Kantian ethics. Cambridge,
UK: Cambridge University Press.
Young, I. M. (1990). Justice and the politics of
difference. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism. New York, NY: PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar