Subjek Hukum
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Kepribadian dalam
Tatanan Hukum Modern
Alihkan ke: Ilmu
Hukum.
Sistem
Hukum, Etika
Hukum, Ethics
of Rights, Ethics
of Justice, Ethics
of Care.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep Subjek
Hukum dalam perspektif filsafat hukum, dengan menelusuri dimensi ontologis,
epistemologis, aksiologis, sosial-politik, dan interdisipliner yang
membentuknya. Kajian ini berangkat dari pertanyaan fundamental: siapakah
yang dapat disebut sebagai subjek hukum, dan atas dasar apa pengakuan itu
diberikan? Melalui pendekatan historis dan genealogis, artikel ini
menunjukkan bahwa konsep klasik tentang subjek hukum yang berakar pada
rasionalitas individual dan otonomi manusia bersumber dari warisan modernitas
Barat yang menempatkan manusia sebagai pusat hukum (anthroposentrisme).
Paradigma tersebut, meskipun berperan penting dalam pembentukan sistem hukum
modern, terbukti tidak mampu menjawab kompleksitas realitas kontemporer yang
mencakup keberagaman sosial, globalisasi, perkembangan teknologi, serta krisis
ekologis.
Dalam bagian ontologi, artikel ini menegaskan bahwa
subjek hukum tidak semata entitas individual yang memiliki hak dan
kewajiban, tetapi makhluk relasional yang eksistensinya dibentuk oleh jejaring
sosial, ekologis, dan moral. Epistemologi hukum kemudian dipahami sebagai
proses dialogis dan komunikatif yang memungkinkan lahirnya pengetahuan hukum
melalui interaksi antar-subjek yang saling mengakui martabatnya. Pada tataran
aksiologis, nilai-nilai martabat (dignity), keadilan (justice),
dan tanggung jawab (responsibility) menjadi dasar legitimasi hukum yang
menghubungkan hak dan kewajiban dalam tatanan etis yang manusiawi.
Artikel ini juga memperluas pembahasan ke ranah
sosial dan politik, menunjukkan bahwa pengakuan terhadap subjek hukum selalu
bersifat politis—mencerminkan relasi kekuasaan dan struktur sosial yang
menentukan siapa yang diakui dan siapa yang dikecualikan. Melalui pendekatan
interdisipliner, konsep subjek hukum dihubungkan dengan sosiologi, antropologi,
psikologi, ekonomi, serta filsafat teknologi, menunjukkan bahwa hukum modern
harus terbuka terhadap perubahan sosial dan kemajuan sains. Kritik terhadap
paradigma klasik—baik dari feminisme, teori kritis, ekologi, maupun
post-humanisme—mengarah pada dekonstruksi pandangan antroposentris dan
atomistik, serta membuka jalan menuju konsep kepribadian hukum yang lebih
inklusif dan integral.
Akhirnya, artikel ini menawarkan sintesis filosofis
melalui paradigma Ontologi Relasional Subjek Hukum, yang memandang hukum
sebagai medan etis di mana manusia, alam, dan teknologi saling berelasi dalam
tanggung jawab bersama. Hukum tidak lagi dilihat hanya sebagai sistem normatif,
tetapi sebagai ruang moral hidup yang mencerminkan kesalingan, dialog,
dan solidaritas universal. Paradigma ini menandai pergeseran dari hukum yang
mekanistik menuju hukum yang humanistik, komunikatif, dan ekologis—sebuah
tatanan hukum integral yang tidak hanya menjamin keadilan formal, tetapi juga
memperkuat harmoni kehidupan secara keseluruhan.
Kata Kunci: Subjek
Hukum, Ontologi Relasional, Filsafat Hukum, Aksiologi Hukum, Epistemologi
Hukum, Kepribadian Hukum Integral, Keadilan, Etika, Humanisme, Ekologi Hukum.
PEMBAHASAN
Konsep “Subjek Hukum” dalam Sejarah Hukum dan Filsafat
Hukum
1.          
Pendahuluan
Konsep subjek hukum merupakan salah satu
fondasi utama dalam struktur berpikir ilmu hukum dan filsafat hukum. Ia menjadi
titik tolak dalam menjelaskan siapa yang memiliki hak dan kewajiban dalam
sistem hukum, serta bagaimana entitas tertentu memperoleh pengakuan sebagai “pemilik
kehendak hukum.” Dalam pengertian klasik, subjek hukum (subjectum iuris)
adalah setiap pihak yang dapat menjadi pembawa hak dan kewajiban hukum, baik
dalam bentuk individu maupun badan hukum kolektif. Namun, dalam konteks modern,
batas antara keduanya semakin kabur karena munculnya entitas baru yang
menantang definisi tradisional, seperti kecerdasan buatan (artificial
intelligence), organisasi lintas negara, hingga hak-hak hukum bagi alam dan
lingkungan hidup. Dengan demikian, pembahasan tentang subjek hukum tidak hanya
bersifat yuridis, tetapi juga menyentuh wilayah ontologis, epistemologis, dan
aksiologis yang saling terkait.¹
Historisnya, konsep subjek hukum berakar dari hukum
Romawi yang menekankan persona sebagai dasar kepribadian hukum. Dalam
tradisi ini, tidak semua manusia diakui sebagai persona, sebab status
sosial dan politik menentukan kelayakan seseorang untuk menjadi subjek hukum.²
Perkembangan selanjutnya di era modern, terutama melalui filsafat moral
Immanuel Kant, menempatkan manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki
martabat dan otonomi moral—fondasi dari konsep modern tentang “kepribadian
hukum.”³ Namun, positivisme hukum abad ke-19 (seperti yang diajukan oleh
John Austin dan Hans Kelsen) berusaha mensterilkan konsep ini dari dimensi
moral dan menggantinya dengan konstruksi formal mengenai kapasitas hukum tanpa
menyinggung persoalan etika.⁴ Akibatnya, subjek hukum dipahami semata-mata
sebagai entitas yang memenuhi syarat legal formal, bukan entitas bermoral yang
memiliki tanggung jawab etis terhadap tatanan sosial.
Di sisi lain, perkembangan filsafat sosial dan
hukum kontemporer menunjukkan adanya pergeseran paradigma. Pemikir seperti
H.L.A. Hart dan Ronald Dworkin mengkritik pandangan legal-positivistik yang
kaku dan menekankan pentingnya prinsip moral dalam sistem hukum.⁵ Sementara
itu, dalam wacana postmodern dan ekofeminisme, muncul gagasan perluasan cakupan
subjek hukum melampaui manusia, mencakup komunitas ekologis dan makhluk
non-manusia sebagai bagian integral dari keadilan ekologis.⁶ Hal ini menandai
munculnya krisis epistemologis: apakah hukum masih dapat membatasi subjeknya
hanya pada entitas yang rasional dan berkehendak bebas, sementara teknologi dan
alam menunjukkan kapasitas agensi yang kompleks?
Di era digital, problematika tersebut semakin
menonjol. Entitas digital seperti autonomous agents dan sistem AI mampu
melakukan transaksi hukum dan mengambil keputusan yang berdampak pada manusia
tanpa keterlibatan langsung dari penciptanya.⁷ Fenomena ini menimbulkan
pertanyaan baru: apakah AI dapat dianggap sebagai subjek hukum dengan hak dan
kewajiban tertentu? Bagaimana pula status hukum dari data pribadi, avatar
digital, dan korporasi yang bertindak secara algoritmik? Pertanyaan-pertanyaan
ini mengharuskan kita untuk mengembangkan konsepsi baru tentang subjek hukum
yang bersifat relasional, integral, dan adaptif terhadap realitas sosial serta
teknologi mutakhir.
Oleh karena itu, kajian ini berupaya menelusuri
konsep subjek hukum secara komprehensif dengan pendekatan multidimensi: ontologis,
untuk memahami hakikat eksistensinya; epistemologis, untuk menelaah cara
pengetahuan hukum membentuk dan mengenali subjeknya; serta aksiologis,
untuk menimbang nilai-nilai yang melandasi pengakuan dan perlakuan terhadap
subjek hukum. Analisis ini tidak hanya bertujuan menjelaskan konstruksi
teoretis, tetapi juga merefleksikan urgensi pembaruan paradigma hukum agar
lebih inklusif, humanistik, dan ekologis. Dengan demikian, pembahasan tentang
subjek hukum menjadi sarana reflektif untuk memahami kembali hakikat manusia,
teknologi, dan alam dalam jejaring keadilan yang lebih luas.⁸
Footnotes
[1]               
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000), 15.
[2]               
Alan Watson, The Spirit of Roman Law
(Athens: University of Georgia Press, 1995), 34–36.
[3]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, ed. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42.
[4]               
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max
Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 94.
[5]               
H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed.
(Oxford: Clarendon Press, 1994); Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977).
[6]               
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 52–58.
[7]               
Mireille Hildebrandt, Law for Computer
Scientists and Other Folk (Oxford: Oxford University Press, 2020), 201–205.
[8]               
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2006), 29–33.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis
Konsep subjek
hukum memiliki akar historis yang panjang dan berkembang melalui
berbagai tradisi hukum serta pemikiran filsafat tentang manusia, hak, dan
tanggung jawab. Secara genealogis, gagasan ini dapat ditelusuri dari hukum
Romawi, filsafat klasik Yunani, pemikiran skolastik abad pertengahan, hingga
konstruksi rasional modern dan positivisme hukum abad ke-19. Setiap periode
memberikan nuansa ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang berbeda
terhadap makna persona sebagai subjek hukum, yang
pada gilirannya memengaruhi struktur hukum modern dan konsep keadilan
kontemporer.¹
2.1.       Akar dalam Hukum Romawi: Persona, Status, dan
Kapasitas
Dalam hukum Romawi (ius
civile), istilah persona menjadi titik awal
konseptual bagi pengertian subjek hukum. Persona berarti topeng atau peran
sosial yang dimainkan seseorang di hadapan hukum; dengan kata lain, bukan semua
manusia otomatis diakui sebagai persona.² Hanya mereka yang
memenuhi syarat status sosial tertentu—seperti cives Romani (warga negara
Romawi)—yang dapat memiliki hak dan kewajiban hukum.³ Sementara itu, budak (servi)
dianggap sebagai benda (res), bukan subjek, dan karenanya
tidak memiliki kepribadian hukum.⁴ Prinsip ini menunjukkan bahwa kepribadian
hukum tidak selalu identik dengan eksistensi biologis, melainkan hasil dari
konstruksi sosial-politik yang menentukan siapa yang “layak” menjadi pembawa
hak dan kewajiban.
Selain itu, hukum
Romawi memperkenalkan gagasan persona ficta, yaitu entitas hukum
buatan seperti negara, gereja, atau korporasi yang diakui sebagai pembawa hak
dan kewajiban secara fiktif.⁵ Konsep ini menjadi cikal bakal pengakuan terhadap
badan hukum (legal person) dalam sistem hukum
modern. Pembedaan antara personae physicae (manusia alamiah)
dan personae
iuridicae (entitas hukum buatan) memperluas horizon hukum dari yang
semula berpusat pada individu menjadi sistem yang mencakup entitas kolektif.
2.2.       Tradisi Filsafat Klasik dan Skolastik: Dari
Aristoteles hingga Aquinas
Dalam filsafat
Yunani, terutama melalui Aristoteles, manusia dipahami sebagai zoon
politikon—makhluk politik yang menemukan dirinya dalam polis dan
hukum.⁶ Hukum bagi Aristoteles bukan hanya alat pengendali eksternal, tetapi
ekspresi rasional dari tatanan moral dan teleologis masyarakat. Karena itu,
manusia menjadi subjek hukum sejauh ia adalah makhluk rasional dan moral.⁷
Pemikiran ini diolah
kembali oleh filsafat skolastik, terutama Thomas Aquinas, yang menyatukan hukum
alam (lex
naturalis) dengan hukum ilahi (lex divina) dan hukum positif (lex
humana).⁸ Aquinas menekankan bahwa setiap manusia, karena memiliki
rasio dan kehendak bebas, adalah subjek hukum di hadapan Tuhan dan negara.
Namun, status sosial tetap berpengaruh terhadap derajat aktualisasi kepribadian
hukum seseorang, menunjukkan bahwa tradisi skolastik masih mempertahankan
hierarki moral dan sosial dalam konsep hukum.⁹
2.3.       Rasionalisme Modern dan Lahirnya Individu Otonom
Abad Pencerahan
membawa revolusi dalam pemikiran tentang subjek hukum. Descartes menegaskan cogito
ergo sum sebagai dasar ontologis subjek yang berpikir dan sadar
akan eksistensinya, sedangkan Kant memformulasikan manusia sebagai makhluk
rasional yang otonom dan berkehendak bebas (homo noumenon), yang karenanya
wajib dihormati sebagai tujuan pada dirinya sendiri.¹⁰ Pandangan ini memberikan
legitimasi moral bagi konsep hak asasi manusia dan kepribadian hukum universal,
menggantikan struktur status yang hierarkis.¹¹
Dalam kerangka
hukum, gagasan ini diterjemahkan ke dalam doktrin “equality before the law”
yang menandai modernitas hukum. Namun, rasionalisme juga melahirkan konsekuensi
eksklusif: hanya entitas yang dianggap rasional dan berkehendak bebas yang
dapat menjadi subjek hukum, sehingga menyingkirkan anak-anak, orang dengan
disabilitas mental, serta entitas non-manusia dari ruang pengakuan hukum.¹²
2.4.       Positivisme Hukum dan Formalisasi Subjek
Memasuki abad ke-19,
positivisme hukum—terutama melalui John Austin dan Hans Kelsen—membentuk
paradigma baru yang memisahkan hukum dari moralitas.¹³ Subjek hukum kini
dipahami bukan lagi berdasarkan martabat moral, melainkan sebagai posisi formal
dalam sistem norma. Bagi Austin, hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat
kepada mereka yang tunduk kepadanya; maka subjek hukum hanyalah entitas yang
berada dalam ruang yurisdiksi kekuasaan.¹⁴ Kelsen, dalam Pure
Theory of Law, memurnikan konsep ini lebih jauh dengan menegaskan
bahwa subjek hukum tidak lain adalah “titik imputasi” dari norma hukum,
bukan makhluk konkret yang memiliki kesadaran atau kehendak.¹⁵
Formalisasi ini
memungkinkan hukum menjadi sistem yang netral dan terstruktur, tetapi sekaligus
mengaburkan dimensi humanistik dan etis dari subjek hukum. Di bawah paradigma
ini, manusia direduksi menjadi sekadar carrier of legal norms—pengemban
kewajiban dan hak tanpa mempertimbangkan aspek moral dan eksistensialnya.
2.5.       Pergeseran Genealogis di Era Modern dan Kontemporer
Perkembangan abad
ke-20 menunjukkan kebangkitan refleksi kritis terhadap reduksionisme
positivistik. Filsafat eksistensial, hermeneutika hukum, dan teori kritis
(misalnya melalui Jürgen Habermas dan Ronald Dworkin) mengembalikan dimensi komunikatif,
moral, dan rasional dialogis dalam memahami subjek hukum.¹⁶ Habermas menekankan
bahwa legitimasi hukum bersumber dari diskursus intersubjektif yang rasional,
bukan dari otoritas eksternal, sehingga subjek hukum adalah peserta aktif dalam
pembentukan makna hukum.¹⁷
Selain itu,
pemikiran pascamodern dan ekofeminisme memperluas horizon genealogis subjek
hukum dengan menantang antroposentrisme. Donna Haraway, Bruno Latour, dan Val
Plumwood memperkenalkan konsep “subjek hibrid” atau “aktant” yang
menegaskan keterhubungan antara manusia, teknologi, dan alam dalam tatanan
hukum dan sosial.¹⁸ Genealogi ini menandai transisi dari paradigma
individualistik menuju paradigma relasional, di mana hukum tidak lagi hanya
mengatur manusia, tetapi mengatur jaringan kehidupan dan agensi non-manusia
yang turut membentuk realitas sosial.
Dengan demikian,
sejarah konsep subjek hukum memperlihatkan dinamika yang terus bergerak dari
eksklusivitas menuju inklusivitas, dari hierarki menuju kesetaraan, dan dari
legalitas menuju moralitas reflektif. Evolusi ini bukan sekadar kronologi,
melainkan perubahan ontologis dan aksiologis dalam cara manusia memahami
dirinya dan “yang lain” di dalam hukum.¹⁹
Footnotes
[1]               
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), 18–20.
[2]               
Alan Watson, The Spirit of Roman Law (Athens: University of
Georgia Press, 1995), 33.
[3]               
Paul J. du Plessis, Borkowski’s Textbook on Roman Law, 5th ed.
(Oxford: Oxford University Press, 2015), 45.
[4]               
Barry Nicholas, An Introduction to Roman Law (Oxford:
Clarendon Press, 1962), 87.
[5]               
John Dewey, “The Historic Background of Corporate Legal Personality,” Yale
Law Journal 35, no. 6 (1926): 655–673.
[6]               
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon
Press, 1943), 12–15.
[7]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W.D. Ross (Oxford:
Oxford University Press, 1999), 89–92.
[8]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I-II, q. 91–94.
[9]               
John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 43–48.
[10]            
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, ed.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 47–50.
[11]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms, trans. William Rehg
(Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 107.
[12]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 45.
[13]            
John Austin, The Province of Jurisprudence Determined (London:
J. Murray, 1832), 12–14.
[14]            
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley:
University of California Press, 1967), 95–100.
[15]            
H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed. (Oxford: Clarendon
Press, 1994), 131–135.
[16]            
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1977), 150–152.
[17]            
Jürgen Habermas, Theory of Communicative Action, vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 86.
[18]            
Donna J. Haraway, When Species Meet (Minneapolis: University
of Minnesota Press, 2008), 20–23; Bruno Latour, We Have Never Been Modern
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 54–57; Val Plumwood, Feminism
and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 70.
[19]            
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History,
Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 111–114.
3.          
Ontologi:
Hakikat dan Eksistensi Subjek Hukum
Kajian ontologis
terhadap subjek
hukum menyingkap pertanyaan mendasar: apa hakikat keberadaan subjek hukum, dan
bagaimana eksistensinya dimungkinkan dalam tatanan normatif?
Ontologi hukum berusaha menjelaskan dasar keberadaan (being)
dari entitas yang disebut sebagai subjek hukum, bukan hanya dalam arti formal
yuridis, tetapi juga dalam arti metafisis dan moral.¹ Dengan kata lain,
pembahasan ontologis menyoroti relasi antara “ada” (eksistensi manusia
atau entitas) dan “seharusnya” (norma hukum yang mengaturnya).
3.1.       Subjek Hukum sebagai Entitas Normatif dan
Eksistensial
Secara ontologis,
subjek hukum adalah entitas yang menjadi titik temu antara eksistensi faktual
dan pengakuan normatif. Ia bukan hanya “ada” secara empiris, tetapi juga
“diakui” sebagai pembawa hak dan kewajiban oleh sistem hukum.² Dengan
demikian, keberadaan subjek hukum bersifat dua dimensi: pertama, keberadaan
ontologis yang berkaitan dengan eksistensi aktual (manusia, organisasi, alam,
atau bahkan mesin); kedua, keberadaan normatif yang ditetapkan oleh hukum
positif melalui atribusi kepribadian hukum.³
Dalam pandangan Hans
Kelsen, subjek hukum tidak memiliki eksistensi metafisis, melainkan sekadar “titik
imputasi norma,” yakni posisi di mana kewajiban atau hak dilekatkan.⁴
Pandangan ini menegaskan bahwa keberadaan subjek hukum bukanlah realitas
ontologis melainkan konstruksi sistem hukum. Namun, pendekatan ini menuai
kritik karena mengabaikan aspek moral dan kesadaran diri manusia yang justru
menjadi sumber legitimasi hukum.⁵ Ronald Dworkin kemudian menegaskan bahwa hak
dan tanggung jawab tidak mungkin dilepaskan dari nilai-nilai moral dan
integritas manusia sebagai makhluk yang sadar akan keadilan.⁶
Sebaliknya, dalam
pendekatan eksistensialis dan fenomenologis, seperti yang dikembangkan oleh
Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre, subjek hukum dipahami sebagai ada-di-dunia
(being-in-the-world)—makhluk
yang eksistensinya selalu berada dalam relasi dengan orang lain dan struktur
sosialnya.⁷ Maka, subjek hukum bukanlah entitas terisolasi, melainkan
eksistensi yang terbentuk melalui hubungan intersubjektif dan pengakuan sosial.
Hegel sebelumnya sudah menegaskan bahwa “kepribadian hukum” (Rechtsperson)
lahir dari proses dialektika pengakuan (Anerkennung) antara kesadaran diri
individu dan kesadaran orang lain dalam tatanan sosial.⁸
3.2.       Relasi antara Hukum dan Keberadaan: Dari
Naturalisme ke Konstruktivisme
Dalam tradisi hukum
alam (natural
law), keberadaan subjek hukum bersumber dari kodrat manusia itu
sendiri. Setiap manusia, karena memiliki akal budi dan kehendak bebas, adalah
subjek hukum secara ontologis, bahkan sebelum pengakuan formal oleh hukum
positif.⁹ Thomas Aquinas menegaskan bahwa hukum alam merefleksikan rasio ilahi
dalam diri manusia, sehingga pengakuan terhadap martabat manusia sebagai subjek
hukum adalah perintah moral universal.¹⁰
Namun,
konstruktivisme hukum modern—yang berakar pada positivisme dan sosiologi
hukum—menganggap bahwa keberadaan subjek hukum tidak inheren dalam diri
manusia, melainkan dibentuk oleh struktur sosial dan institusional.¹¹ Pierre
Bourdieu dan Niklas Luhmann menegaskan bahwa hukum membentuk realitas sosial
melalui proses institusionalisasi dan komunikasi normatif.¹² Dengan demikian,
subjek hukum adalah hasil konstruksi sosial yang diciptakan dan diatur oleh
sistem hukum itu sendiri, bukan entitas yang sudah “ada” sebelumnya.
Dari perspektif
ontologi kritis (critical realism), kedua pandangan
ini dapat dipertemukan. Hukum diakui sebagai struktur yang memiliki daya real,
tetapi subjek hukum tetap memiliki kapasitas agensi yang dapat menegosiasikan,
menafsirkan, dan mengubah struktur tersebut.¹³ Maka, ontologi subjek hukum
bersifat relasional:
ia ada sejauh berelasi dengan norma, lembaga, dan sesama subjek hukum.
3.3.       Ontologi Kepribadian: Rasionalitas, Kesadaran, dan
Tanggung Jawab
Dimensi ontologis
subjek hukum juga terkait erat dengan kapasitas rasionalitas dan kesadaran
moral. Sejak Kant, manusia dipandang sebagai makhluk otonom yang mampu menilai
dirinya sebagai tujuan, bukan sekadar alat bagi sistem.¹⁴ Dalam kerangka ini,
subjek hukum memiliki eksistensi yang bermartabat karena ia mampu bertindak
atas dasar hukum moral (moral law within).¹⁵ Pandangan ini
menegaskan bahwa subjek hukum tidak sekadar “diakui,” tetapi juga “menyadari”
tanggung jawabnya terhadap hukum.
Namun, perkembangan
teknologi dan ekologi memunculkan pertanyaan baru: apakah entitas non-manusia
seperti kecerdasan buatan, hewan, atau ekosistem dapat memiliki eksistensi
hukum yang setara dengan manusia? Beberapa sistem hukum modern telah mulai
memperluas konsep kepribadian hukum kepada alam—seperti pengakuan sungai
Whanganui di Selandia Baru sebagai subjek hukum.¹⁶ Kasus ini menunjukkan
pergeseran ontologis dari paradigma antroposentris menuju ekosentris dan
relasional, di mana subjek hukum tidak lagi ditentukan oleh rasionalitas
semata, melainkan oleh partisipasi dalam jaringan kehidupan yang lebih luas.¹⁷
3.4.       Ontologi Relasional: Subjek sebagai Bagian dari
Jejaring Hukum dan Sosial
Pendekatan
kontemporer dalam filsafat hukum semakin menekankan aspek relasional dalam
ontologi subjek hukum. Emmanuel Levinas mengajukan bahwa etika terhadap “yang
lain” mendahului hukum; dengan demikian, subjek hukum pertama-tama lahir
dari tanggung jawab terhadap sesama, bukan dari pengakuan negara.¹⁸ Jürgen
Habermas juga mengusulkan model ontologi komunikatif di mana subjek hukum tidak
dapat dipahami secara individualistik, melainkan sebagai peserta dalam tindakan
komunikatif yang membentuk legitimasi hukum melalui diskursus rasional.¹⁹
Dengan demikian,
ontologi subjek hukum tidak bersifat substansialistik (berpusat pada individu
yang tertutup), tetapi relasional, komunikatif, dan dinamis. Keberadaan subjek
hukum terus-menerus dikonstruksi dan dinegosiasikan melalui interaksi sosial,
bahasa, dan institusi hukum. Paradigma ini membuka jalan bagi konsepsi kepribadian
hukum integral—yaitu pandangan bahwa hukum, manusia, dan dunia
saling terhubung dalam tatanan ontologis yang koheren dan saling
mengandaikan.²⁰
Footnotes
[1]               
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), 21.
[2]               
Alf Ross, On Law and Justice (London: Stevens & Sons,
1958), 110.
[3]               
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley:
University of California Press, 1967), 94–96.
[4]               
Ibid., 98.
[5]               
Gustav Radbruch, “Legal Philosophy,” in The Legal Philosophies of
Lask, Radbruch, and Dabin, ed. Kurt Wilk (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1950), 71–74.
[6]               
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1986), 102–106.
[7]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 79–81.
[8]               
G.W.F. Hegel, Elements of the Philosophy of Right, trans. H.B.
Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), §34–36.
[9]               
John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 34–38.
[10]            
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I-II, q. 94.
[11]            
Pierre Bourdieu, The Force of Law: Toward a Sociology of the
Juridical Field, trans. Richard Terdiman (Hastings Law Journal 38, no. 5,
1987), 814–816.
[12]            
Niklas Luhmann, Law as a Social System, trans. Klaus Ziegert
(Oxford: Oxford University Press, 2004), 70–72.
[13]            
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso,
1978), 122–126.
[14]            
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, ed.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 54–57.
[15]            
Ibid., 60.
[16]            
Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming Law
and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 132.
[17]            
Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights
for Natural Objects,” Southern California Law Review 45, no. 2 (1972):
450–451.
[18]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 178–180.
[19]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 118–120.
[20]            
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History,
Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 103–107.
4.          
Epistemologi:
Pengetahuan tentang Subjek Hukum
Epistemologi subjek
hukum berfokus pada bagaimana hukum “mengetahui” dan “mengonstitusi”
subjeknya. Ia berupaya menjawab pertanyaan: bagaimana kita memahami dan
mengenali subjek hukum, melalui perangkat konseptual, bahasa, serta institusi
hukum yang menstrukturkan pengalaman hukum itu sendiri.¹ Dengan demikian,
pembahasan epistemologis tidak hanya berkaitan dengan apa
yang diketahui tentang subjek hukum, tetapi juga bagaimana cara pengetahuan hukum
dibentuk, diproduksi, dan dibenarkan dalam konteks sosial, politik, dan
filosofis tertentu.
4.1.       Pengetahuan Hukum sebagai Konstruksi Konseptual
Dalam epistemologi
hukum, subjek hukum bukanlah entitas yang “ditemukan” oleh hukum,
melainkan entitas yang diciptakan melalui proses
konseptualisasi.² Hukum mengenali subjeknya melalui bahasa normatif yang
menetapkan siapa yang berhak memiliki kapasitas hukum dan siapa yang tidak.³
Dalam hal ini, hukum berperan seperti cermin yang membentuk realitas sosial
sesuai dengan kategori-kategori epistemik yang digunakannya. Michel Foucault
menggambarkan fenomena ini sebagai “produksi pengetahuan-kuasa” (power-knowledge),
di mana sistem hukum tidak netral, tetapi menjadi instrumen pembentukan subjek
melalui disiplin dan regulasi sosial.⁴
Misalnya, istilah
seperti person,
natural
person, dan legal person adalah konstruksi
linguistik yang memiliki efek ontologis: entitas yang tidak disebut dalam
bahasa hukum tidak memiliki eksistensi legal.⁵ Oleh karena itu, epistemologi
subjek hukum selalu terkait dengan politik representasi—siapa yang dapat
berbicara dan diakui dalam wacana hukum. Seperti yang diungkapkan Pierre
Bourdieu, “hukum bukan hanya mencerminkan dunia sosial, tetapi turut
memproduksi realitas sosial melalui kata-kata yang sah.”⁶
4.2.       Paradigma Positivistik dan Keterbatasan Pengetahuan
Formal
Epistemologi hukum
klasik, terutama dalam tradisi positivisme hukum, memandang hukum sebagai
sistem tertutup yang berdiri di atas logika formal dan deduktif. Hans Kelsen
dalam Pure
Theory of Law menolak setiap bentuk pengetahuan hukum yang
didasarkan pada moralitas, agama, atau politik.⁷ Dalam kerangka ini, subjek
hukum dipahami semata-mata sebagai “titik imputasi norma,” tanpa
mempertimbangkan kesadaran, niat, atau kondisi sosialnya.⁸
Namun, pendekatan
ini menimbulkan problem epistemologis: dengan mensterilkan dimensi moral dan
sosial, hukum kehilangan kemampuan untuk memahami kompleksitas manusia sebagai
subjek.⁹ Akibatnya, subjek hukum diperlakukan sebagai objek normatif—bukan
sebagai entitas yang memiliki pengalaman, interpretasi, dan makna. Filsuf hukum
seperti Lon L. Fuller dan H.L.A. Hart menolak reduksionisme ini, menegaskan
bahwa pengetahuan hukum tidak dapat dilepaskan dari “internal point of view,”
yakni perspektif subjek yang hidup dan berpartisipasi dalam sistem hukum.¹⁰
4.3.       Hermeneutika Hukum dan Penafsiran terhadap Subjek
Epistemologi hukum
modern mengalami pembaruan melalui pendekatan hermeneutika yang dikembangkan
oleh Hans-Georg Gadamer dan dikontekstualisasikan dalam hukum oleh Emilio Betti
dan Ronald Dworkin.¹¹ Menurut Gadamer, memahami hukum adalah tindakan
menafsirkan makna dalam konteks historis dan linguistik; karena itu, subjek
hukum juga merupakan hasil penafsiran sosial yang selalu berubah.¹²
Ronald Dworkin
kemudian memperluas gagasan ini dengan menekankan bahwa hukum adalah praktik
interpretatif yang berlandaskan pada prinsip moral dan integritas.¹³ Bagi
Dworkin, pengetahuan hukum bukan sekadar pengetahuan tentang aturan (rules),
tetapi tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang membentuk sistem hukum.
Maka, subjek hukum tidak hanya “dikenal” melalui peraturan, melainkan “dimaknai”
melalui interpretasi atas prinsip keadilan yang melekat dalam sistem hukum itu
sendiri.¹⁴
Hermeneutika hukum
juga membuka ruang bagi pengakuan terhadap pluralitas subjek hukum. Misalnya,
hukum adat, hukum agama, dan hukum positif negara memiliki cara pengetahuan
yang berbeda tentang siapa yang dianggap subjek hukum.¹⁵ Oleh karena itu,
epistemologi hukum harus bersifat dialogis dan interkultural agar tidak
mendominasi cara-cara lain dalam mengenali eksistensi hukum subjek.
4.4.       Epistemologi Kritis dan Relasionalitas Pengetahuan
Hukum
Epistemologi hukum
kontemporer banyak dipengaruhi oleh teori kritis dan pendekatan
post-struktural. Jürgen Habermas, dalam Theory of Communicative Action,
menegaskan bahwa rasionalitas hukum tidak dapat dipahami semata sebagai
rasionalitas instrumental, tetapi harus bersandar pada rasionalitas komunikatif
yang berorientasi pada pemahaman bersama.¹⁶ Dalam kerangka ini, subjek hukum
bukan sekadar penerima norma, melainkan peserta dalam diskursus publik yang
membentuk legitimasi hukum melalui argumentasi rasional.
Sementara itu,
pemikir feminis seperti Martha Fineman dan Catherine MacKinnon mengungkapkan
bahwa pengetahuan hukum sering kali dibentuk oleh struktur patriarkal yang
mengabaikan pengalaman perempuan.¹⁷ Mereka berargumen bahwa epistemologi hukum
yang netral adalah ilusi, karena pengetahuan hukum selalu memuat bias sosial
dan politik tertentu. Oleh karena itu, pemahaman tentang subjek hukum perlu
diperluas untuk mencakup pengalaman yang selama ini termarginalkan.
Pendekatan kritis
juga membuka wacana baru tentang subjek hukum dalam era digital. Dengan
munculnya kecerdasan buatan dan algoritma otonom, pengetahuan hukum harus
menghadapi entitas yang tidak memiliki kesadaran, tetapi berperilaku seperti
subjek hukum.¹⁸ Hal ini menimbulkan pertanyaan epistemologis baru: bagaimana
hukum dapat “mengetahui” dan mengatur entitas yang tidak dapat
menafsirkan dirinya sendiri? Tantangan ini menandai pergeseran epistemologi
hukum dari paradigma manusia-sentris menuju paradigma relasional dan
teknologi-sentris.
4.5.       Pengetahuan Hukum sebagai Tindakan Reflektif dan
Transformatif
Pada akhirnya,
epistemologi subjek hukum harus dilihat sebagai tindakan reflektif—suatu proses
terus-menerus di mana hukum menafsirkan ulang dirinya dan subjeknya.¹⁹
Pengetahuan hukum bukanlah sistem tertutup, melainkan medan diskursif yang
selalu terbuka terhadap koreksi dan transformasi. Dalam konteks ini, filsafat
hukum berperan sebagai kesadaran kritis yang menjaga agar hukum tidak
kehilangan orientasi moralnya terhadap martabat manusia dan makhluk hidup
lainnya.
Oleh karena itu,
pengetahuan tentang subjek hukum bukan hanya soal definisi legal, tetapi juga
soal pengakuan
epistemik—pengakuan bahwa setiap subjek memiliki kapasitas untuk
dikenal dan diakui dalam horizon hukum.²⁰ Dengan demikian, epistemologi hukum
yang humanistik dan inklusif menjadi syarat bagi terbentuknya sistem hukum yang
benar-benar adil dan reflektif terhadap kompleksitas dunia modern.
Footnotes
[1]               
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), 25–26.
[2]               
Alf Ross, On Law and Justice (London: Stevens & Sons,
1958), 112.
[3]               
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley:
University of California Press, 1967), 96–99.
[4]               
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 26–27.
[5]               
John Dewey, “The Historic Background of Corporate Legal Personality,” Yale
Law Journal 35, no. 6 (1926): 655–673.
[6]               
Pierre Bourdieu, The Force of Law: Toward a Sociology of the
Juridical Field, trans. Richard Terdiman, Hastings Law Journal 38
(1987): 814–816.
[7]               
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, trans. Anders
Wedberg (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1945), 5.
[8]               
Ibid., 6.
[9]               
Gustav Radbruch, “Five Minutes of Legal Philosophy,” Oxford Journal
of Legal Studies 26, no. 1 (2006): 13.
[10]            
Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University
Press, 1969), 8–9; H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed. (Oxford:
Clarendon Press, 1994), 89.
[11]            
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York:
Continuum, 1994), 273–276.
[12]            
Ibid., 278–280.
[13]            
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1986), 90–94.
[14]            
Ibid., 96.
[15]            
Werner Menski, Comparative Law in a Global Context: The Legal
Systems of Asia and Africa (Cambridge: Cambridge University Press, 2006),
121–123.
[16]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.
[17]            
Martha Fineman, The Autonomy Myth: A Theory of Dependency (New
York: New Press, 2004), 34–36; Catherine A. MacKinnon, Toward a Feminist
Theory of the State (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989),
112–115.
[18]            
Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists and Other Folk
(Oxford: Oxford University Press, 2020), 201–205.
[19]            
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History,
Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 115–118.
[20]            
Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 143–145.
5.          
Aksiologi:
Nilai, Hak, dan Keadilan bagi Subjek Hukum
Aksiologi hukum
menelaah dimensi nilai yang menjadi dasar legitimasi dan tujuan keberadaan
hukum. Dalam konteks subjek hukum, pertanyaan aksiologis berpusat pada mengapa
suatu entitas layak diakui sebagai subjek hukum dan nilai apa yang mendasari pengakuan
tersebut.¹ Dengan kata lain, aksiologi hukum menghubungkan hukum dengan etika,
martabat manusia, dan prinsip keadilan, sehingga hukum tidak hanya dipahami sebagai
sistem normatif, tetapi juga sebagai sarana pemenuhan nilai-nilai kemanusiaan
yang fundamental.
5.1.       Nilai sebagai Dasar Pengakuan terhadap Subjek Hukum
Dalam tradisi
filsafat hukum klasik, nilai merupakan sumber legitimasi hukum. Hukum yang sah
bukan hanya yang berlaku secara formal, tetapi yang berakar pada nilai-nilai
moral dan rasionalitas universal.² Aristoteles menempatkan keadilan sebagai virtue
tertinggi yang menjadi tujuan hukum; hukum ada untuk menjaga keseimbangan dan
harmoni sosial.³ Dalam kerangka ini, subjek hukum bukan sekadar penerima hak
dan kewajiban, melainkan pelaku moral yang memiliki kesadaran etis terhadap
keadilan.
Pemikiran ini diperkuat
oleh Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa hukum yang adil harus mencerminkan
hukum alam (lex naturalis)—yakni rasio moral
yang tertanam dalam diri manusia sebagai ciptaan Tuhan.⁴ Dengan demikian,
pengakuan terhadap manusia sebagai subjek hukum bukan hanya hasil keputusan
negara, melainkan pengakuan terhadap martabatnya sebagai makhluk rasional dan
moral. Hal ini menjadi dasar bagi konsep hak asasi manusia modern yang
menempatkan martabat manusia (human dignity) sebagai nilai
tertinggi dalam hukum.⁵
5.2.       Hak sebagai Ekspresi Nilai Martabat dan Kebebasan
Hak merupakan
manifestasi konkret dari nilai moral dan eksistensial yang melekat pada subjek
hukum. John Locke menegaskan bahwa hak-hak alamiah (natural rights)—seperti hak hidup,
kebebasan, dan kepemilikan—adalah sesuatu yang melekat pada manusia sebelum
terbentuknya negara.⁶ Negara hanya berfungsi untuk melindungi dan menjamin
pelaksanaannya. Dalam pandangan ini, subjek hukum adalah entitas yang otonom
dan memiliki hak kodrati yang tidak dapat dicabut.
Namun, konsep hak
tidak hanya mencerminkan kebebasan individual, tetapi juga tanggung jawab
sosial. Emmanuel Levinas menolak pandangan liberal tentang subjek yang
terisolasi, dan menegaskan bahwa tanggung jawab terhadap “yang lain”
mendahului hak individu.⁷ Dengan demikian, keadilan hukum tidak dapat dipahami
hanya sebagai perlindungan terhadap hak individu, tetapi juga sebagai hubungan
etis yang menuntut pengakuan dan kepedulian terhadap keberadaan orang lain.
Di sisi lain, Ronald
Dworkin memandang hak sebagai “trump card” terhadap utilitarianisme—hak
individu tidak boleh dikorbankan demi kepentingan mayoritas semata.⁸ Pendekatan
ini mengembalikan nilai moral ke dalam praktik hukum, memastikan bahwa hukum
berfungsi sebagai penjaga integritas moral masyarakat, bukan sekadar instrumen
pengendalian sosial.
5.3.       Keadilan sebagai Prinsip Normatif bagi Subjek Hukum
Keadilan merupakan
puncak refleksi aksiologis dalam hukum. Ia bukan sekadar hasil dari penerapan
aturan, tetapi prinsip normatif yang memberi arah pada seluruh sistem hukum.
Plato menafsirkan keadilan sebagai keselarasan antara bagian-bagian jiwa dan
masyarakat, sedangkan Aristoteles membaginya menjadi keadilan
distributif (pembagian hak secara proporsional) dan keadilan
retributif (pemberian hukuman secara seimbang dengan kesalahan).⁹
Dalam tradisi
modern, John Rawls memformulasikan keadilan sebagai fairness, yakni kesetaraan dalam
distribusi hak dan kesempatan.¹⁰ Subjek hukum, dalam teori Rawls, tidak hanya
individu yang bebas, tetapi juga rasional dan berada dalam posisi setara di
bawah “veil of
ignorance.”¹¹ Konsep ini mengandung nilai moral bahwa hukum harus
memperlakukan setiap subjek tanpa diskriminasi, dengan memperhatikan kondisi
sosial yang timpang.
Namun, dalam konteks
global dan ekologis, konsep keadilan berkembang menjadi keadilan
relasional dan keadilan ekologis.¹² Keadilan tidak
hanya menyangkut relasi antar manusia, tetapi juga antara manusia dan alam.
Pengakuan terhadap entitas non-manusia (seperti sungai, hutan, dan ekosistem)
sebagai subjek hukum merupakan perwujudan nilai-nilai ekologis yang mengakui
hak kehidupan bagi seluruh makhluk.¹³ Aksiologi hukum di sini bergeser dari
antroposentrisme menuju ekosentrisme yang lebih luas.
5.4.       Etika, Tanggung Jawab, dan Solidaritas Sosial
Nilai hukum tidak
hanya terkait dengan keadilan formal, tetapi juga dengan etika tanggung jawab (responsibility
ethics). Hans Jonas mengingatkan bahwa dalam era teknologi,
tanggung jawab manusia terhadap generasi masa depan dan terhadap bumi menjadi
dimensi etis baru hukum.¹⁴ Dalam kerangka ini, subjek hukum tidak hanya
memiliki hak, tetapi juga tanggung jawab moral terhadap keberlangsungan
kehidupan.
Prinsip tanggung
jawab juga ditemukan dalam pemikiran Paul Ricoeur yang memandang keadilan
sebagai proses dialogis yang melibatkan pengakuan terhadap penderitaan dan
kerentanan orang lain.¹⁵ Ricoeur menegaskan bahwa hukum harus mengandung
dimensi empati dan solidaritas sosial agar tidak kehilangan sisi
kemanusiaannya.
Aksiologi hukum yang
berorientasi pada nilai kemanusiaan dan solidaritas sosial juga tercermin dalam
konsep humanistic
legal ethics, yang menolak reduksi hukum menjadi sekadar mekanisme
rasional tanpa moralitas.¹⁶ Dalam pandangan ini, subjek hukum adalah makhluk
etis yang keberadaannya selalu terkait dengan kesejahteraan bersama (common
good).
5.5.       Aksiologi Hukum di Era Digital dan Ekologis
Dalam era digital,
nilai-nilai aksiologis hukum menghadapi tantangan baru. Entitas buatan seperti artificial
intelligence menimbulkan perdebatan mengenai hak, tanggung jawab,
dan keadilan terhadap entitas non-manusia yang berperan dalam sistem hukum.¹⁷
Apakah AI yang bertindak otonom dapat dianggap memiliki tanggung jawab hukum?
Pertanyaan ini menunjukkan bahwa dasar aksiologis hukum harus diperluas untuk
mencakup dimensi etika teknologi dan tanggung jawab algoritmik.
Sementara itu, dalam
bidang ekologi, aksiologi hukum menuntut pengakuan terhadap nilai intrinsik
alam. Christopher Stone, dalam esainya yang terkenal “Should Trees Have
Standing?”, berargumen bahwa keadilan sejati tidak dapat dicapai tanpa
mengakui hak hukum bagi entitas non-manusia.¹⁸ Dengan demikian, aksiologi hukum
masa kini bergerak menuju paradigma integral yang menempatkan manusia, alam,
dan teknologi dalam relasi etis yang saling bertanggung jawab.
5.6.       Menuju Aksiologi Humanistik dan Integral
Dari berbagai
dimensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa aksiologi hukum bertumpu pada tiga
nilai utama: martabat (dignity), keadilan
(justice), dan tanggung jawab (responsibility).
Ketiganya saling melengkapi dalam membentuk dasar pengakuan terhadap subjek
hukum.¹⁹ Nilai martabat menegaskan hak eksistensial subjek; nilai keadilan
mengatur relasi antar subjek secara setara; dan nilai tanggung jawab menjaga
keseimbangan antara kebebasan individu dan kebaikan bersama.
Aksiologi hukum yang
humanistik menuntut agar hukum tidak hanya menjadi sistem pengaturan, tetapi
juga cermin nilai kemanusiaan yang hidup.²⁰ Dalam pandangan ini, hukum
berfungsi sebagai ruang etis di mana manusia menemukan makna keberadaannya
melalui dialog antara kebebasan dan tanggung jawab. Dengan demikian, pengakuan
terhadap subjek hukum tidak hanya bersifat formal, tetapi juga moral dan
eksistensial—mengarahkan hukum menuju tatanan yang lebih adil, inklusif, dan
berkelanjutan.
Footnotes
[1]               
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), 28.
[2]               
Gustav Radbruch, Einführung in die Rechtswissenschaft
(Heidelberg: Müller Verlag, 1952), 67.
[3]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W.D. Ross (Oxford:
Oxford University Press, 1999), 89–91.
[4]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I-II, q. 95.
[5]               
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 32–34.
[6]               
John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge
University Press, 1988), 118–119.
[7]               
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 180–183.
[8]               
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1977), 198–202.
[9]               
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis:
Hackett, 1992), 331–336; Aristotle, Nicomachean Ethics, 112–114.
[10]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 11–13.
[11]            
Ibid., 118–122.
[12]            
David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories,
Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 14–15.
[13]            
Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming Law
and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 130–132.
[14]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas (Chicago: University
of Chicago Press, 1984), 89–91.
[15]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 33–36.
[16]            
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History,
Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 120–123.
[17]            
Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists and Other Folk
(Oxford: Oxford University Press, 2020), 204–206.
[18]            
Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights
for Natural Objects,” Southern California Law Review 45, no. 2 (1972):
450–451.
[19]            
John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 111–114.
[20]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 302–305.
6.          
Dimensi
Sosial dan Politik dari Subjek Hukum
Dimensi sosial dan
politik dari subjek hukum membahas bagaimana
eksistensi hukum dan subjeknya tidak pernah berdiri netral atau terlepas dari
struktur kekuasaan, ideologi, dan dinamika masyarakat. Subjek hukum bukan hanya
hasil dari konstruksi normatif yang formal, tetapi juga produk dari relasi
sosial yang kompleks antara individu, negara, dan institusi.¹ Dalam kerangka
ini, hukum berfungsi bukan sekadar sebagai perangkat peraturan, tetapi juga
sebagai mekanisme pembentukan dan legitimasi kekuasaan sosial.
6.1.       Subjek Hukum dalam Relasi Kekuasaan dan Ideologi
Filsafat politik
hukum menegaskan bahwa pengakuan terhadap seseorang atau kelompok sebagai
subjek hukum selalu bersifat politis. Michel Foucault menunjukkan bahwa hukum
merupakan bagian dari dispositif kekuasaan yang membentuk
subjek melalui mekanisme disiplin, normalisasi, dan kontrol sosial.² Dalam
pandangan ini, hukum tidak hanya mengatur perilaku, tetapi juga menciptakan
identitas: ia menentukan siapa yang diakui sebagai warga negara, siapa yang sah
sebagai pelaku ekonomi, dan siapa yang dikeluarkan dari lingkaran pengakuan
hukum.³
Negara modern,
melalui konsep citizenship, memberikan status
hukum kepada individu sebagai legal person yang memiliki hak dan
kewajiban. Namun, pengakuan ini bersifat eksklusif karena selalu ada kelompok
yang terpinggirkan—mereka yang tidak memenuhi kriteria formal kewarganegaraan
atau rasionalitas hukum.⁴ Giorgio Agamben menyebut kondisi ini sebagai homo
sacer, yakni subjek yang secara biologis hidup tetapi secara
politik “tidak diakui,” karena dikeluarkan dari tatanan hukum yang
seharusnya menjamin perlindungan.⁵ Fenomena ini menggambarkan paradoks hukum
modern: hukum sekaligus menciptakan dan meniadakan subjeknya.
6.2.       Subjek Hukum dan Struktur Sosial: Ketimpangan dan
Eksklusi
Dalam perspektif
sosiologi hukum, subjek hukum tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial dan
ekonomi. Pierre Bourdieu menegaskan bahwa hukum merupakan bentuk kekuasaan
simbolik yang mereproduksi ketimpangan sosial dengan cara yang tampak netral.⁶
Melalui kategori hukum seperti “pemilik,” “pekerja,” atau “korporasi,”
hukum menetapkan struktur dominasi yang menguntungkan kelompok tertentu.
Subjek hukum juga
dipengaruhi oleh posisi sosialnya: akses terhadap keadilan sering kali
bergantung pada modal ekonomi, pendidikan, dan status sosial.⁷ Teori keadilan
sosial dari Nancy Fraser memperluas kritik ini dengan menekankan bahwa
pengakuan hukum tanpa redistribusi ekonomi tidak cukup untuk mencapai keadilan
sejati.⁸ Maka, pengakuan terhadap subjek hukum harus diiringi dengan pembenahan
struktur sosial yang memungkinkan semua orang untuk benar-benar mengekspresikan
hak-haknya secara setara.
6.3.       Politik Pengakuan dan Subjek Hukum Minoritas
Dalam teori politik
kontemporer, terutama melalui karya Charles Taylor dan Axel Honneth, muncul gagasan
tentang politics
of recognition—politik pengakuan yang menegaskan bahwa keadilan
tidak hanya menyangkut distribusi materi, tetapi juga penghargaan terhadap
identitas dan martabat subjek.⁹ Pengakuan terhadap kelompok minoritas (etnis,
gender, agama, atau disabilitas) menjadi aspek penting dalam pengembangan
konsep inklusif tentang subjek hukum.
Subjek hukum dalam
konteks ini bukan entitas abstrak yang universal, melainkan subjek konkret
dengan identitas dan pengalaman yang unik. Feminisme hukum, misalnya,
mengkritik bias patriarkal dalam sistem hukum yang mengklaim universalitas
tetapi sebenarnya beroperasi berdasarkan pengalaman laki-laki.¹⁰ Oleh karena
itu, epistemologi dan aksiologi hukum harus membuka ruang bagi subjektivitas
plural—pengakuan terhadap keragaman pengalaman manusia sebagai
bagian sah dari dunia hukum.
6.4.       Globalisasi, Korporasi, dan Subjek Hukum
Transnasional
Dalam era
globalisasi, muncul subjek hukum baru yang melampaui batas negara-bangsa:
korporasi multinasional, organisasi internasional, dan lembaga keuangan
global.¹¹ Entitas-entitas ini sering kali memiliki kekuasaan ekonomi yang
melebihi negara, tetapi tidak selalu tunduk pada tanggung jawab hukum yang
sebanding. Akibatnya, terjadi asimetri antara individu (yang diatur secara
ketat oleh hukum nasional) dan entitas korporasi global yang beroperasi lintas
yurisdiksi.¹²
Kritikus seperti
Saskia Sassen dan David Held berpendapat bahwa globalisasi mengubah hubungan
antara hukum dan kedaulatan, di mana negara kehilangan monopoli dalam
menentukan siapa yang menjadi subjek hukum.¹³ Dalam konteks ini, hukum
internasional dan transnasional menjadi arena politik baru, tempat perdebatan tentang
hak, kewajiban, dan tanggung jawab global berlangsung. Hal ini menuntut
reformulasi konsep subjek hukum agar lebih responsif terhadap realitas global
yang kompleks dan tidak hierarkis.
6.5.       Subjek Hukum dalam Era Digital dan Politik Data
Perkembangan
teknologi digital membawa dimensi politik baru terhadap konsep subjek hukum.
Identitas manusia kini tidak hanya melekat pada tubuh fisik, tetapi juga pada
data yang merepresentasikan dirinya di ruang siber.¹⁴ Fenomena ini melahirkan
apa yang disebut data subject—subjek hukum yang
eksistensinya ditentukan oleh pengelolaan dan perlindungan data pribadi.¹⁵
Shoshana Zuboff
menyebut era ini sebagai surveillance capitalism, di mana
individu direduksi menjadi sumber data untuk kepentingan ekonomi korporasi
digital.¹⁶ Dalam konteks ini, hukum menghadapi tantangan besar: bagaimana
menjamin otonomi dan martabat subjek dalam dunia yang dikuasai oleh algoritma
dan kecerdasan buatan? Pengakuan terhadap hak digital menjadi bentuk baru
dari politik pengakuan, memperluas cakupan hukum ke dalam dimensi virtual dan
non-manusia.
6.6.       Arah Etis dan Politik Menuju Kepribadian Hukum
Relasional
Dalam menghadapi
kompleksitas sosial dan politik tersebut, perlu dibangun paradigma hukum yang
berorientasi pada keadilan relasional—suatu
pendekatan yang menempatkan subjek hukum dalam jaringan sosial yang saling
bergantung.¹⁷ Jürgen Habermas melalui teori tindakan komunikatif menekankan
pentingnya ruang publik deliberatif di mana subjek hukum dapat berpartisipasi
setara dalam pembentukan norma hukum.¹⁸ Hukum yang adil harus lahir dari dialog
rasional antara subjek yang bebas dan setara, bukan dari otoritas sepihak.
Pendekatan
relasional ini juga mengandung dimensi etis: pengakuan terhadap subjek hukum
tidak cukup hanya dalam tataran formal, tetapi harus diwujudkan dalam
partisipasi nyata dalam proses politik dan sosial.¹⁹ Dengan demikian, subjek
hukum tidak lagi dipahami sebagai individu yang terisolasi, melainkan sebagai
bagian dari komunitas moral dan politik yang saling menegaskan eksistensinya
melalui interaksi yang adil dan reflektif.
Footnotes
[1]               
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), 30–32.
[2]               
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 222–223.
[3]               
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
98–99.
[4]               
Étienne Balibar, Citizenship (Cambridge: Polity Press, 2015),
43–44.
[5]               
Giorgio Agamben, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life,
trans. Daniel Heller-Roazen (Stanford, CA: Stanford University Press, 1998),
3–5.
[6]               
Pierre Bourdieu, The Force of Law: Toward a Sociology of the
Juridical Field, trans. Richard Terdiman, Hastings Law Journal 38
(1987): 817–820.
[7]               
Laura Nader, The Life of the Law: Anthropological Projects
(Berkeley: University of California Press, 2002), 55–58.
[8]               
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 12–15.
[9]               
Charles Taylor, Multiculturalism and “The Politics of Recognition”
(Princeton: Princeton University Press, 1994), 25–27; Axel Honneth, The
Struggle for Recognition (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 132–135.
[10]            
Catherine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 113–115.
[11]            
Saskia Sassen, Losing Control? Sovereignty in an Age of
Globalization (New York: Columbia University Press, 1996), 31–33.
[12]            
David Held and Anthony McGrew, Globalization/Anti-Globalization:
Beyond the Great Divide (Cambridge: Polity Press, 2007), 22–24.
[13]            
Saskia Sassen, Territory, Authority, Rights: From Medieval to
Global Assemblages (Princeton: Princeton University Press, 2006), 79–81.
[14]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 85–86.
[15]            
Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists and Other Folk
(Oxford: Oxford University Press, 2020), 208–210.
[16]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 9–12.
[17]            
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History,
Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 129–131.
[18]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 301–304.
[19]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 75–77.
7.          
Dimensi
Ilmiah dan Interdisipliner
Dimensi ilmiah dan
interdisipliner dalam kajian subjek hukum menyoroti bahwa hukum
tidak berdiri sendiri sebagai sistem normatif yang tertutup, tetapi merupakan
hasil interaksi dinamis antara berbagai disiplin ilmu.¹ Subjek hukum, sebagai
entitas sosial dan moral, tidak hanya dipahami melalui kacamata dogmatik
yuridis, tetapi juga melalui perspektif sosiologi, psikologi, ekonomi,
antropologi, ilmu politik, hingga teknologi informasi. Interdisiplinaritas
memungkinkan hukum untuk menyesuaikan diri dengan kompleksitas kehidupan modern
dan menafsirkan kembali eksistensi subjek hukum dalam konteks yang lebih
luas—manusia, masyarakat, dan lingkungan.
7.1.       Sosiologi Hukum: Subjek dalam Struktur Sosial
Sosiologi hukum
berperan penting dalam memahami subjek hukum sebagai bagian dari sistem sosial.
Émile Durkheim memandang hukum sebagai refleksi dari solidaritas sosial, di
mana norma hukum berfungsi menjaga kohesi antarindividu dalam masyarakat.²
Hukum pidana, misalnya, mencerminkan solidaritas mekanik pada masyarakat
tradisional, sedangkan hukum perdata menandai solidaritas organik dalam
masyarakat modern yang kompleks.³
Pierre Bourdieu
menambahkan bahwa hukum merupakan medan sosial (social field) yang diisi oleh
pertarungan simbolik antaragen dengan modal sosial, ekonomi, dan budaya yang
berbeda.⁴ Subjek hukum, dalam kerangka ini, tidak netral—ia adalah produk dari
kekuasaan sosial yang membentuk posisi dan kapasitas hukum seseorang. Dengan
demikian, sosiologi hukum mengungkap dimensi sosial tersembunyi di balik konsep
formal “kesetaraan di hadapan hukum,” yang dalam praktik sering kali
ditentukan oleh relasi kelas, gender, atau etnis.⁵
7.2.       Psikologi Hukum: Kesadaran, Tanggung Jawab, dan
Kapasitas Subjektif
Psikologi hukum
memusatkan perhatian pada aspek kesadaran, niat, dan tanggung jawab individu
sebagai subjek hukum.⁶ Pemahaman mengenai mens rea (niat jahat) dalam hukum
pidana merupakan contoh paling jelas bahwa dimensi psikologis menjadi dasar
penilaian terhadap tanggung jawab hukum seseorang. Sigmund Freud bahkan
berpendapat bahwa hukum berfungsi menekan dorongan instingtif manusia demi
keteraturan sosial, menjadikan superego sebagai “hakim internal” yang
membentuk kepatuhan hukum.⁷
Kajian modern dalam
psikologi kognitif memperluas pemahaman ini melalui studi tentang bounded
rationality (rasionalitas terbatas) dan pengambilan keputusan
hukum.⁸ Daniel Kahneman menunjukkan bahwa manusia sering kali tidak bertindak
rasional secara sempurna, melainkan dipengaruhi oleh bias dan emosi.⁹ Konsep
ini penting bagi epistemologi hukum karena menantang asumsi klasik tentang
subjek hukum yang selalu rasional, otonom, dan sadar penuh terhadap konsekuensi
hukumnya.
7.3.       Ekonomi Hukum: Rasionalitas dan Pilihan dalam
Kerangka Hukum
Pendekatan ekonomi
hukum (law and
economics) berangkat dari asumsi bahwa subjek hukum adalah aktor
rasional yang bertindak untuk memaksimalkan utilitasnya.¹⁰ Richard Posner dan
Gary Becker mengembangkan teori bahwa hukum seharusnya dirancang untuk mencapai
efisiensi ekonomi dengan meminimalkan biaya sosial dari pelanggaran hukum.¹¹
Dalam kerangka ini, keadilan diukur bukan dari nilai moral, tetapi dari
keseimbangan insentif dan disinsentif yang diciptakan oleh sistem hukum.
Namun, pendekatan
ini mendapat kritik karena mengabaikan dimensi moral dan sosial dari tindakan
hukum. Amartya Sen dan Martha Nussbaum berargumen bahwa rasionalitas ekonomi
tidak dapat menggantikan nilai-nilai keadilan substantif dan martabat
manusia.¹² Oleh karena itu, analisis ekonomi terhadap subjek hukum perlu
diimbangi dengan perspektif etika dan hak asasi manusia agar hukum tidak jatuh
dalam reduksionisme utilitarian.¹³
7.4.       Antropologi Hukum: Subjek dalam Konteks Budaya
Antropologi hukum
menekankan bahwa hukum dan subjeknya selalu tertanam dalam kebudayaan.¹⁴ Sally
Falk Moore memperkenalkan konsep semi-autonomous social fields, di
mana masyarakat memiliki sistem hukum sendiri yang berinteraksi dengan hukum
negara.¹⁵ Dalam masyarakat adat Indonesia, misalnya, pengakuan terhadap subjek
hukum tidak hanya didasarkan pada individu, tetapi juga pada komunitas dan
leluhur sebagai entitas normatif yang hidup.¹⁶
Hal ini menunjukkan
bahwa konsep subjek hukum bersifat kontekstual—tergantung pada struktur nilai,
kepercayaan, dan sistem sosial masyarakat. Antropologi hukum dengan demikian
memperluas horizon filsafat hukum dari paradigma individualistik ke paradigma
kolektif, memperlihatkan bahwa pengakuan terhadap subjek hukum juga berarti pengakuan
terhadap kebudayaan dan identitasnya.¹⁷
7.5.       Ilmu Politik dan Hukum: Subjek dalam Arena
Kekuasaan
Ilmu politik
membantu memahami bagaimana hukum berfungsi sebagai instrumen pembentukan dan
pelestarian kekuasaan. Carl Schmitt menegaskan bahwa hukum selalu beroperasi
dalam konteks decisionism, yaitu keputusan
politik yang mendahului norma.¹⁸ Dalam kenyataan politik modern, hukum menjadi
alat bagi negara untuk mengorganisasi masyarakat, menentukan status
kewarganegaraan, dan mengontrol perilaku sosial.
Namun, Jürgen
Habermas menolak reduksi hukum menjadi alat kekuasaan semata. Dalam kerangka
teori tindakan komunikatif, ia menempatkan hukum sebagai medium rasionalitas
intersubjektif yang menghubungkan moralitas dan politik melalui diskursus
publik yang terbuka.¹⁹ Maka, subjek hukum bukan sekadar warga yang diatur oleh
negara, melainkan peserta aktif dalam pembentukan legitimasi hukum melalui
dialog dan partisipasi politik.²⁰
7.6.       Teknologi, AI, dan Sains Informasi: Subjek Hukum di
Era Digital
Kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi telah mengubah cara hukum memahami subjek. Dalam era digital,
muncul entitas baru seperti artificial intelligence, robot
otonom, dan avatar digital yang menantang batas tradisional antara manusia dan
non-manusia.²¹ Ilmu komputer, etika teknologi, dan filsafat informasi (seperti
dikembangkan oleh Luciano Floridi) memperluas horizon hukum dengan
mempertanyakan apakah entitas non-biologis dapat memiliki kepribadian hukum.²²
Dalam konteks ini,
hukum harus berkolaborasi dengan sains informasi untuk merumuskan konsep baru
tentang tanggung jawab, data protection, dan hak digital.²³ Interdisiplinaritas
antara hukum dan ilmu komputer juga melahirkan bidang baru seperti legal
informatics dan computational law, yang tidak hanya
mengotomatisasi hukum tetapi juga memodelkan logika normatif dalam sistem
algoritmik.²⁴
7.7.       Ekologi dan Etika Lingkungan: Subjek Hukum di Alam
Semesta
Perkembangan ilmu
lingkungan dan ekologi memperluas horizon interdisipliner hukum dengan
memasukkan entitas ekologis sebagai subjek hukum potensial.²⁵ Dalam pendekatan ecological
jurisprudence, seperti yang dikemukakan oleh Klaus Bosselmann dan
Christopher Stone, hukum dipandang sebagai sistem yang harus melindungi
keberlanjutan kehidupan seluruh makhluk, bukan hanya manusia.²⁶ Pendekatan ini
bersifat integratif karena menggabungkan ilmu hukum, biologi, etika, dan
filsafat lingkungan dalam satu kerangka normatif.
Pengakuan hukum
terhadap sungai, hutan, dan gunung sebagai subjek hukum—seperti yang terjadi di
Selandia Baru dan Kolombia—menjadi contoh konkret dari keberhasilan pendekatan
interdisipliner dalam praktik hukum modern.²⁷ Hal ini menandai transformasi
epistemologis dan aksiologis hukum dari sistem antroposentris menuju sistem ecocentric
justice, di mana seluruh entitas alam diakui sebagai bagian dari
komunitas moral.²⁸
7.8.       Interdisiplinaritas sebagai Landasan Paradigma
Integral
Dari perspektif
ilmiah, subjek hukum dapat dipahami sebagai simpul epistemologis di mana
berbagai disiplin ilmu bertemu untuk membentuk pemahaman yang utuh tentang
manusia dan keberadaannya dalam hukum.²⁹ Interdisiplinaritas memungkinkan hukum
untuk mengintegrasikan pengetahuan empiris, rasional, dan etis, sehingga hukum
tidak terperangkap dalam dogma normatif semata.³⁰
Dengan demikian,
dimensi ilmiah dan interdisipliner membuka jalan menuju paradigma hukum
integral: hukum yang memandang subjek bukan sekadar entitas rasional dan
formal, tetapi makhluk sosial, moral, ekologis, dan teknologi yang hidup dalam
jaringan kehidupan.³¹ Paradigma ini mengembalikan fungsi ilmu hukum sebagai sistem
reflektif, yang tidak hanya menjelaskan dunia, tetapi juga
mengarahkan dunia menuju tatanan yang lebih adil, manusiawi, dan
berkelanjutan.³²
Footnotes
[1]               
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), 35–36.
[2]               
Émile Durkheim, The Division of Labor in Society, trans. W.D.
Halls (New York: Free Press, 1984), 57–60.
[3]               
Ibid., 65–66.
[4]               
Pierre Bourdieu, The Force of Law: Toward a Sociology of the
Juridical Field, trans. Richard Terdiman, Hastings Law Journal 38
(1987): 820–824.
[5]               
Laura Nader, The Life of the Law: Anthropological Projects
(Berkeley: University of California Press, 2002), 47.
[6]               
Bruce Sales and Lawrence Solan, The Science of Legal Psychology
(New York: Oxford University Press, 2012), 12–14.
[7]               
Sigmund Freud, Civilization and Its Discontents, trans. James
Strachey (New York: Norton, 1961), 48–50.
[8]               
Herbert A. Simon, Administrative Behavior (New York: Free
Press, 1976), 88–90.
[9]               
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 109–111.
[10]            
Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, 8th ed. (New
York: Wolters Kluwer, 2011), 3–5.
[11]            
Gary S. Becker, The Economic Approach to Human Behavior
(Chicago: University of Chicago Press, 1976), 12–13.
[12]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 71–73.
[13]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 33–35.
[14]            
Leopold Pospíšil, Anthropology of Law: A Comparative Theory
(New York: Harper & Row, 1971), 15–17.
[15]            
Sally Falk Moore, “Law and Social Change: The Semi-Autonomous Social
Field as an Appropriate Subject of Study,” Law & Society Review 7,
no. 4 (1973): 719–746.
[16]            
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan
(Jakarta: Gramedia, 1984), 122–123.
[17]            
Werner Menski, Comparative Law in a Global Context (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 145–147.
[18]            
Carl Schmitt, Political Theology, trans. George Schwab
(Chicago: University of Chicago Press, 2005), 5–7.
[19]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2
(Boston: Beacon Press, 1987), 356–359.
[20]            
Ibid., 362–364.
[21]            
Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists and Other Folk
(Oxford: Oxford University Press, 2020), 205–209.
[22]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 85–87.
[23]            
Roger Brownsword, Law, Technology and Society: Reimagining the
Regulatory Environment (London: Routledge, 2019), 45–47.
[24]            
Lawrence Lessig, Code: Version 2.0 (New York: Basic Books,
2006), 121–122.
[25]            
Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability (Aldershot:
Ashgate, 2008), 132–134.
[26]            
Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights
for Natural Objects,” Southern California Law Review 45, no. 2 (1972):
456–457.
[27]            
Erin O’Donnell and Julia Talbot-Jones, “Creating Legal Rights for
Rivers: Lessons from Australia, New Zealand, and India,” Ecology and
Society 23, no. 1 (2018): 7–9.
[28]            
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History,
Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 133–136.
[29]            
Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence of Law and Society
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 12–15.
[30]            
Jeremy Waldron, The Dignity of Legislation (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999), 18–20.
[31]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms (Cambridge, MA: MIT
Press, 1996), 311–314.
[32]            
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 137–140.
8.          
Kritik
terhadap Konsep Subjek Hukum Klasik
Konsep klasik
tentang subjek
hukum lahir dari paradigma modern yang berpusat pada manusia
rasional, otonom, dan individual.¹ Dalam kerangka tersebut, hukum dianggap
sebagai sistem universal yang berlaku bagi semua orang secara setara, dengan
manusia sebagai pusat pengaturan moral dan rasionalitas. Namun, seiring
perkembangan filsafat, ilmu sosial, dan teknologi, konsep ini banyak dikritik
karena bersifat eksklusif, reduksionis, dan tidak responsif terhadap realitas
sosial yang plural serta perubahan ontologis di dunia modern.² Kritik terhadap
konsep klasik subjek hukum muncul dari berbagai arah: feminisme, ekologi,
post-humanisme, teori kritis, dan filsafat teknologi.
8.1.       Kritik terhadap Antroposentrisme dan Individualisme
Konsep klasik
tentang subjek hukum berakar pada pandangan antroposentris: hanya manusia yang
dianggap mampu berpikir, berkehendak, dan bertanggung jawab, sehingga hanya
manusia yang layak menjadi subjek hukum.³ Pandangan ini menyingkirkan makhluk
lain dan entitas non-manusia dari ruang moral dan hukum. Kritik terhadap
antroposentrisme muncul dari gerakan ekologi dan filsafat lingkungan, yang
menegaskan bahwa nilai dan hak tidak dapat dibatasi hanya pada manusia.⁴
Christopher Stone
dalam esainya yang terkenal Should Trees Have Standing? menolak
eksklusivitas manusia sebagai satu-satunya subjek hukum dan mengajukan
kemungkinan pengakuan terhadap sungai, hutan, dan hewan sebagai entitas yang
memiliki hak hukum.⁵ Demikian pula, Bruno Latour berpendapat bahwa dunia sosial
tidak hanya terdiri atas manusia, melainkan jaringan hibrid antara manusia dan
non-manusia yang saling menentukan.⁶ Paradigma antroposentris klasik dianggap
gagal memahami keterhubungan ekologis dan interdependensi antara semua bentuk
kehidupan.
Selain
antroposentrisme, individualisme dalam teori hukum modern juga mendapat kritik
tajam. Subjek hukum klasik digambarkan sebagai entitas yang otonom dan bebas
dari relasi sosial, sebagaimana dalam filsafat liberal John Locke dan Immanuel
Kant.⁷ Namun, dalam kenyataan sosial, identitas dan hak individu selalu
dibentuk melalui relasi sosial, budaya, dan politik. Carol Gilligan dan Martha
Nussbaum menolak pandangan atomistik ini dengan menekankan ethics
of care dan konsep capabilities approach—bahwa manusia
menjadi subjek hukum bukan karena rasionalitasnya, melainkan karena keterikatannya
dengan orang lain dan kapasitasnya untuk berkembang.⁸
8.2.       Kritik Feminisme terhadap Subjek Hukum Universal
Teori feminis
menyoroti bahwa konsep “subjek hukum universal” sesungguhnya adalah konstruksi
patriarkal yang merepresentasikan pengalaman laki-laki sebagai ukuran manusia
universal.⁹ Catherine MacKinnon mengungkap bahwa netralitas hukum hanyalah
ilusi yang menyembunyikan bias gender dalam struktur hukum.¹⁰ Subjek hukum
dalam sistem klasik dianggap netral, padahal dalam praktiknya dibangun di atas
asumsi maskulin—rasional, otonom, dan independen—yang mengabaikan pengalaman
perempuan dan kelompok marjinal.¹¹
Iris Marion Young
menambahkan bahwa keadilan substantif tidak dapat dicapai hanya melalui
kesetaraan formal, karena kesetaraan formal justru mempertahankan struktur
ketidakadilan yang sudah ada.¹² Oleh sebab itu, feminisme hukum menyerukan
transformasi epistemologis: dari subjek netral ke subjek relasional, dari
keadilan prosedural ke keadilan pengakuan dan perawatan (recognition
and care).¹³
8.3.       Kritik Post-Struktural dan Teori Kritis terhadap
Subjek Rasional
Dari perspektif
post-struktural, konsep subjek hukum rasional dikritik karena mengasumsikan
keberadaan kesadaran yang stabil dan konsisten. Michel Foucault menunjukkan
bahwa subjek bukan entitas otonom, melainkan hasil dari operasi kekuasaan dan
diskursus.¹⁴ Hukum, dalam kerangka ini, bukan sekadar alat pengendalian
eksternal, tetapi juga mekanisme yang membentuk subjek melalui disiplin,
regulasi tubuh, dan produksi pengetahuan.¹⁵
Louis Althusser,
melalui konsep interpellation, menjelaskan bahwa
subjek hukum terbentuk ketika individu “dipanggil” oleh ideologi untuk
mengenali dirinya dalam sistem hukum yang berlaku.¹⁶ Artinya, subjek hukum
tidak mendahului hukum, melainkan dihasilkan oleh hukum itu sendiri. Hal ini
menggeser pemahaman klasik bahwa subjek adalah sumber hukum menuju gagasan
bahwa subjek adalah produk hukum.
Sementara itu,
Jürgen Habermas mengkritik reduksi hukum menjadi instrumen kekuasaan dalam
pemikiran Foucault dengan menawarkan alternatif berupa rationality
of communication.¹⁷ Ia berpendapat bahwa subjek hukum harus
dipahami sebagai agen komunikatif yang berpartisipasi dalam pembentukan norma
melalui diskursus rasional, bukan sekadar objek kekuasaan. Dengan demikian,
kritik post-struktural membuka kesadaran bahwa hukum selalu beroperasi dalam
jaringan kekuasaan, tetapi teori kritis menambahkan bahwa ada potensi
emansipatif di dalamnya.
8.4.       Kritik Ekosentris dan Post-Humanis: Melampaui
Manusia sebagai Pusat
Gerakan
post-humanisme menawarkan kritik radikal terhadap pandangan bahwa hanya manusia
yang memiliki kesadaran hukum. Donna Haraway dalam When Species Meet menegaskan bahwa
manusia tidak dapat dipahami tanpa hubungannya dengan makhluk lain dan
teknologi.¹⁸ Subjek hukum di era post-human tidak lagi terbatas pada manusia
biologis, tetapi mencakup entitas teknologi seperti artificial intelligence dan sistem
algoritmik yang kini turut berperan dalam ruang hukum dan ekonomi.¹⁹
Kasus pengakuan
sungai Whanganui di Selandia Baru dan Gunung Taranaki sebagai subjek hukum
menunjukkan bahwa konsep kepribadian hukum telah bergeser dari yang bersifat
individualistik menuju kolektif dan ekologis.²⁰ Dalam paradigma ini, subjek
hukum dipahami secara relasional: eksistensi hukum tidak ditentukan oleh
kesadaran atau kehendak bebas, melainkan oleh keterlibatan dalam jaringan
kehidupan dan tanggung jawab etis terhadap keberlanjutan dunia.²¹
8.5.       Kritik Teknologis: Subjek Hukum dalam Era Digital
dan Kecerdasan Buatan
Revolusi digital
menantang konsep klasik tentang subjek hukum yang terbatas pada entitas manusia
atau lembaga formal. Dengan munculnya artificial intelligence (AI) dan
sistem otonom, terjadi pergeseran epistemologis mengenai siapa atau apa yang
dapat dianggap sebagai subjek hukum.²² Mireille Hildebrandt menyoroti bahwa
algoritma kini tidak hanya mengeksekusi hukum, tetapi juga “menciptakan”
keputusan hukum melalui analitik data dan prediksi perilaku.²³
Pertanyaannya
menjadi: apakah AI dapat dianggap sebagai subjek hukum dengan tanggung jawab
sendiri, ataukah ia tetap sekadar instrumen manusia?²⁴ Paradigma klasik
hukum—yang bergantung pada kehendak bebas, kesadaran moral, dan niat—tidak
mampu menjawab tantangan ini karena AI beroperasi tanpa kesadaran namun
memiliki otonomi fungsional.²⁵ Dengan demikian, muncul kebutuhan untuk
membangun epistemologi hukum baru yang mampu menampung bentuk-bentuk
kepribadian hukum non-manusia, baik buatan maupun ekologis.
8.6.       Menuju Kritik Humanistik-Relasional
Keseluruhan kritik
terhadap konsep klasik menunjukkan bahwa subjek hukum tidak dapat lagi
didefinisikan secara sempit.²⁶ Ia harus dipahami sebagai entitas relasional
yang eksistensinya dibentuk oleh interaksi sosial, teknologi, dan ekologis.
Kritik feminis mengingatkan tentang pentingnya empati dan perawatan; kritik
post-struktural mengingatkan tentang kekuasaan yang membentuk subjek; kritik
ekologis menegaskan keterhubungan dengan alam; dan kritik teknologi memperluas
horizon tentang agensi non-manusia.
Dengan
mengintegrasikan berbagai kritik tersebut, filsafat hukum kontemporer diarahkan
pada paradigma humanisme relasional—yakni
pemahaman bahwa kepribadian hukum tidak berhenti pada individu, tetapi meluas
ke seluruh sistem kehidupan.²⁷ Paradigma ini tidak meniadakan manusia sebagai
pusat, tetapi menempatkannya dalam jaringan tanggung jawab bersama, di mana
hukum berfungsi bukan hanya melindungi hak, melainkan juga merawat kehidupan.²⁸
Footnotes
[1]               
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley:
University of California Press, 1967), 95–96.
[2]               
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History,
Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 141.
[3]               
John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 43–44.
[4]               
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London:
Routledge, 1993), 22–23.
[5]               
Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights
for Natural Objects,” Southern California Law Review 45, no. 2 (1972):
450–451.
[6]               
Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine
Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 60–62.
[7]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, ed.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42–44.
[8]               
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 33–34.
[9]               
Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 112–115.
[10]            
Ibid., 118.
[11]            
Carol Gilligan, In a Different Voice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1982), 24–25.
[12]            
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 15–17.
[13]            
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 18–19.
[14]            
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 222–223.
[15]            
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
99–101.
[16]            
Louis Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays, trans.
Ben Brewster (New York: Monthly Review Press, 1971), 174–175.
[17]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 303–305.
[18]            
Donna J. Haraway, When Species Meet (Minneapolis: University
of Minnesota Press, 2008), 20–23.
[19]            
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013),
39–42.
[20]            
Erin O’Donnell and Julia Talbot-Jones, “Creating Legal Rights for
Rivers: Lessons from Australia, New Zealand, and India,” Ecology and
Society 23, no. 1 (2018): 7–8.
[21]            
Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability (Aldershot:
Ashgate, 2008), 135–136.
[22]            
Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists and Other Folk
(Oxford: Oxford University Press, 2020), 205–207.
[23]            
Roger Brownsword, Law, Technology and Society (London:
Routledge, 2019), 46–47.
[24]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 90–92.
[25]            
Matthew Scherer, “Regulating Artificial Intelligence Systems: Risks,
Challenges, Competencies, and Strategies,” Harvard Journal of Law &
Technology 29, no. 2 (2016): 354–355.
[26]            
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 145–148.
[27]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 180–182.
[28]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 80–82.
9.          
Relevansi
Kontemporer: Menuju Kepribadian Hukum Integral
Dalam konteks abad
ke-21, pembahasan mengenai subjek hukum memasuki wilayah baru
yang sangat kompleks. Dunia yang ditandai oleh globalisasi, digitalisasi, dan
krisis ekologis menuntut pemahaman yang lebih luas dan integral tentang
kepribadian hukum.¹ Paradigma klasik yang membatasi subjek hukum pada manusia
dan badan hukum formal kini tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan sosial,
teknologi, dan ekologis kontemporer. Perubahan-perubahan ini mengharuskan
adanya rekonseptualisasi terhadap hakikat, kapasitas, dan tanggung jawab subjek
hukum dalam sistem yang lebih terbuka, interdependen, dan berorientasi pada
keberlanjutan kehidupan bersama.
9.1.       Era Digital dan Tantangan Kepribadian Hukum Baru
Revolusi digital
mengubah secara radikal cara hukum memahami identitas dan tanggung jawab.
Subjek hukum kini tidak hanya berbentuk individu atau lembaga, tetapi juga
meliputi entitas virtual seperti artificial intelligence, algoritma,
dan sistem otonom.² Di beberapa yurisdiksi, telah muncul perdebatan serius
tentang kemungkinan pengakuan AI sebagai electronic person, terutama ketika
sistem tersebut mampu mengambil keputusan secara mandiri dalam konteks kontrak,
perdagangan, atau tanggung jawab perdata.³
Mireille Hildebrandt
menyebut fenomena ini sebagai algorithmic governance, yaitu
situasi di mana algoritma berperan bukan hanya sebagai alat pelaksana hukum,
melainkan sebagai “pembuat keputusan normatif.”⁴ Hal ini menimbulkan
pertanyaan etis dan ontologis: apakah entitas tanpa kesadaran moral dapat
menjadi subjek hukum yang sah? Dalam konteks ini, paradigma hukum integral
menekankan perlunya keseimbangan antara inovasi teknologi dan prinsip
humanistik, agar otonomi digital tidak meniadakan tanggung jawab moral manusia
di balik sistem tersebut.⁵
9.2.       Globalisasi, Hukum Transnasional, dan Subjek Hukum
Global
Dalam dunia yang
semakin saling terhubung, muncul bentuk-bentuk subjek hukum baru yang bersifat
transnasional, seperti korporasi multinasional, organisasi internasional, dan
lembaga keuangan global.⁶ Entitas ini sering kali memiliki kekuatan politik dan
ekonomi yang melampaui negara-bangsa, namun tidak selalu memiliki akuntabilitas
hukum yang setara. Saskia Sassen menyoroti bahwa globalisasi telah “mendematerialisasi”
yurisdiksi hukum tradisional, menciptakan ruang hukum hibrid di mana tanggung
jawab menjadi kabur.⁷
Di sisi lain,
berkembang pula subjek hukum global yang berfokus pada perlindungan hak asasi
manusia universal dan tanggung jawab kolektif. Contohnya adalah Mahkamah Pidana
Internasional (ICC) yang mengakui individu sebagai subjek hukum internasional
yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan kemanusiaan.⁸ Dengan
demikian, konsep subjek hukum bergeser dari kerangka nasionalistik ke arah
etika universal yang berlandaskan kemanusiaan dan solidaritas lintas batas.
9.3.       Ekologi dan Pengakuan Hukum terhadap Alam sebagai
Subjek
Krisis lingkungan
dan perubahan iklim memunculkan revolusi paradigmatik dalam hukum: pengakuan
terhadap alam sebagai subjek hukum.⁹ Pengakuan ini tidak sekadar simbolik,
melainkan menandai transformasi ontologis—dari hukum yang antroposentris menuju
hukum yang ekosentris.¹⁰ Negara seperti Selandia Baru (sungai Whanganui),
Ekuador (konstitusi hak-hak alam), dan Kolombia (pengakuan Amazon sebagai
subjek hukum) menjadi contoh nyata dari perubahan ini.¹¹
Menurut Klaus
Bosselmann, paradigma Earth Jurisprudence atau ecological
law mengandaikan bahwa kepribadian hukum harus dipahami dalam
konteks keberlanjutan planet, bukan semata-mata keberlangsungan manusia.¹²
Dalam paradigma ini, subjek hukum integral mencakup manusia, komunitas
ekologis, dan entitas non-manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang
saling bergantung.¹³ Keberadaan hukum yang adil tidak lagi diukur hanya
berdasarkan kesejahteraan manusia, melainkan keseimbangan ekologis dan tanggung
jawab antargenerasi.¹⁴
9.4.       Kepribadian Hukum dan Keadilan Sosial di Dunia
Global
Perkembangan ekonomi
neoliberal telah menimbulkan ketimpangan sosial dan hukum yang tajam. Konsep
subjek hukum yang formal sering kali gagal mengakomodasi kelompok rentan
seperti pekerja migran, pengungsi, penyandang disabilitas, dan komunitas
adat.¹⁵ Nancy Fraser menegaskan bahwa keadilan modern tidak cukup hanya melalui
redistribusi ekonomi, tetapi juga memerlukan pengakuan hukum dan representasi
politik yang setara.¹⁶
Dalam konteks ini,
paradigma kepribadian hukum integral berupaya menggabungkan dimensi sosial,
ekonomi, dan politik dari subjek hukum. Subjek hukum tidak lagi dipandang
sebagai individu terisolasi, melainkan sebagai person-in-relation—entitas yang
keberadaannya bergantung pada struktur sosial dan pengakuan publik.¹⁷ Dengan
demikian, hukum menjadi alat emansipasi yang mengakui keberagaman, memulihkan
ketimpangan, dan memperluas akses terhadap keadilan substantif.¹⁸
9.5.       Etika Digital dan Moralitas Hukum di Era Informasi
Selain persoalan
teknologi dan ekologi, era digital juga membawa tantangan aksiologis terkait
etika hukum. Perlindungan data pribadi, hak privasi, dan algoritma prediktif
menimbulkan persoalan baru dalam relasi antara individu dan negara.¹⁹ Shoshana
Zuboff menyebut fenomena ini sebagai surveillance capitalism, yaitu
bentuk baru kapitalisme yang mengeksploitasi data pribadi manusia sebagai
komoditas hukum dan ekonomi.²⁰
Untuk menjawab
tantangan ini, kepribadian hukum integral harus mengintegrasikan nilai etika
digital: otonomi, transparansi, dan tanggung jawab moral dalam penggunaan
teknologi.²¹ Dengan demikian, subjek hukum masa kini tidak hanya harus dipahami
dalam konteks manusia biologis, tetapi juga manusia digital—yang eksistensinya
berada di antara dunia material dan virtual, serta memiliki hak-hak dasar atas
informasi dan perlindungan identitasnya.²²
9.6.       Menuju Paradigma Kepribadian Hukum Integral
Semua perkembangan
di atas mengarah pada kebutuhan akan paradigma baru yang bersifat integral
dan humanistik. Kepribadian hukum integral memadukan tiga
dimensi utama:
1)                 
Dimensi ontologis,
yang memandang subjek hukum sebagai entitas relasional dalam jaringan sosial,
ekologis, dan digital.
2)                 
Dimensi epistemologis,
yang menegaskan bahwa pengetahuan hukum bersifat dialogis dan interdisipliner.
3)                 
Dimensi aksiologis,
yang mengarahkan hukum pada nilai-nilai keadilan, tanggung jawab, dan
keberlanjutan.²³
Paradigma integral
menolak dikotomi antara manusia dan non-manusia, hukum dan moralitas, fakta dan
nilai.²⁴ Ia mengusulkan suatu tatanan hukum yang reflektif, di mana kepribadian
hukum tidak hanya berarti “siapa yang memiliki hak,” tetapi juga “siapa
yang bertanggung jawab” terhadap kehidupan bersama.²⁵ Dengan demikian,
hukum masa depan tidak lagi sekadar melindungi individu, tetapi juga
menumbuhkan kesadaran moral kolektif untuk menjaga harmoni antara manusia,
teknologi, dan alam.²⁶
Footnotes
[1]               
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History,
Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 151–153.
[2]               
Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists and Other Folk
(Oxford: Oxford University Press, 2020), 205–207.
[3]               
Matthew Scherer, “Regulating Artificial Intelligence Systems: Risks,
Challenges, Competencies, and Strategies,” Harvard Journal of Law &
Technology 29, no. 2 (2016): 354–355.
[4]               
Mireille Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law
(Cheltenham: Edward Elgar, 2015), 92–94.
[5]               
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 88–90.
[6]               
David Held and Anthony McGrew, Globalization/Anti-Globalization:
Beyond the Great Divide (Cambridge: Polity Press, 2007), 22–24.
[7]               
Saskia Sassen, Losing Control? Sovereignty in an Age of
Globalization (New York: Columbia University Press, 1996), 31–33.
[8]               
Antonio Cassese, International Criminal Law (Oxford: Oxford
University Press, 2008), 17–18.
[9]               
Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming Law
and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 130–132.
[10]            
Val Plumwood, Environmental Culture: The Ecological Crisis of
Reason (London: Routledge, 2002), 54–55.
[11]            
Erin O’Donnell and Julia Talbot-Jones, “Creating Legal Rights for
Rivers: Lessons from Australia, New Zealand, and India,” Ecology and
Society 23, no. 1 (2018): 7–9.
[12]            
Klaus Bosselmann, The Earth Charter and Global Ethics (London:
Routledge, 2016), 62–63.
[13]            
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 154–156.
[14]            
Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights
for Natural Objects,” Southern California Law Review 45, no. 2 (1972):
450–452.
[15]            
Boaventura de Sousa Santos, Toward a New Common Sense: Law, Science
and Politics in the Paradigmatic Transition (New York: Routledge, 1995),
79–81.
[16]            
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 18–19.
[17]            
Iris Marion Young, Responsibility for Justice (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 36–38.
[18]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 39–40.
[19]            
Luciano Floridi, The Onlife Manifesto: Being Human in a
Hyperconnected Era (Cham: Springer, 2015), 15–17.
[20]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 9–11.
[21]            
Roger Brownsword, Law, Technology and Society: Reimagining the
Regulatory Environment (London: Routledge, 2019), 43–45.
[22]            
Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists, 208–210.
[23]            
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 159–161.
[24]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 305–307.
[25]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 83–85.
[26]            
Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 148–150.
10.       Sintesis Filosofis: Menuju Ontologi Relasional
Subjek Hukum
Sintesis filosofis
mengenai subjek
hukum menuntut suatu pendekatan yang melampaui dikotomi klasik
antara hukum sebagai norma formal dan manusia sebagai entitas rasional yang
otonom.¹ Melalui perjalanan panjang historis, epistemologis, dan aksiologis,
terlihat bahwa konsep subjek hukum tidak dapat dipahami secara statis. Ia
merupakan hasil dari interaksi dinamis antara manusia, masyarakat, alam, dan
teknologi. Maka, pembaruan paradigma menuju ontologi relasional menjadi
keharusan untuk memahami hakikat subjek hukum dalam dunia kontemporer yang
kompleks dan saling terhubung.
10.1.    Rekonsiliasi antara Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi Hukum
Pendekatan
relasional berangkat dari kesadaran bahwa hukum bukan sekadar sistem rasional
yang tertutup, melainkan medan interaksi nilai, makna, dan eksistensi.² Secara
ontologis, hukum tidak hanya “ada” sebagai struktur norma, tetapi juga “menjadi”
melalui tindakan sosial dan komunikasi antar-subjek.³ Secara epistemologis,
pengetahuan hukum terbentuk dalam dialog antara subjek, bukan dalam isolasi.⁴
Dan secara aksiologis, nilai hukum menemukan maknanya dalam relasi etis yang
hidup, bukan dalam prinsip formal semata.
Dengan demikian,
sintesis ini mengusulkan bahwa subjek hukum tidak lagi dipahami sebagai
individu yang berdiri sendiri (substantive being), tetapi sebagai
entitas yang eksistensinya terjalin dalam jejaring hubungan sosial, ekologis,
dan moral.⁵ Ontologi relasional menolak konsep atomistik tentang subjek dan
menggantinya dengan pemahaman bahwa keberadaan manusia dan hukum selalu
bersifat interdependen dan ko-evolutif.⁶
10.2.    Subjek Hukum sebagai Entitas Relasional: Dari Ego
ke Inter-Being
Filsafat relasional
berakar pada pemikiran Martin Buber, yang membedakan relasi I–It
(aku–itu) dan I–Thou (aku–engkau).⁷ Dalam konteks
hukum, paradigma I–It mencerminkan hukum
positivistik yang memperlakukan individu sebagai objek regulasi, sedangkan
paradigma I–Thou
menggambarkan hubungan hukum yang didasarkan pada pengakuan timbal balik dan
tanggung jawab etis.⁸ Emmanuel Levinas kemudian memperluas gagasan ini dengan
menyatakan bahwa hubungan etis terhadap “yang lain” adalah fondasi
segala hukum yang bermakna.⁹
Dengan perspektif
ini, subjek hukum bukanlah entitas yang sudah selesai, melainkan sesuatu yang
selalu “terjadi” melalui relasi dengan yang lain.¹⁰ Hukum yang
relasional menuntut agar setiap subjek diakui bukan karena status formalnya,
tetapi karena partisipasinya dalam komunitas moral.¹¹ Inilah yang membedakan ontologi
relasional dari ontologi substansial: yang pertama
menekankan relasi, keterlibatan, dan dialog; yang kedua menekankan esensi tetap
dan tertutup.
10.3.    Keberadaan dalam Jaringan Sosial dan Ekologis
Ontologi relasional
memperluas cakupan eksistensi hukum hingga ke wilayah sosial dan ekologis.
Bruno Latour, dalam kerangka actor-network theory, mengungkap
bahwa setiap entitas—baik manusia, lembaga, maupun benda—berperan sebagai aktant
dalam jaringan hukum dan sosial.¹² Artinya, subjek hukum tidak dapat dipisahkan
dari materialitas, teknologi, dan lingkungan yang membentuknya. Kepribadian
hukum menjadi hasil dari keterlibatan banyak faktor yang saling memengaruhi.¹³
Dalam perspektif
ekologis, François Ost menegaskan bahwa hukum modern harus merekonsiliasi
hubungan manusia dengan alam melalui paradigma ecological personhood.¹⁴ Paradigma
ini menegaskan bahwa subjek hukum integral tidak hanya bertanggung jawab atas
dirinya sendiri, tetapi juga terhadap komunitas kehidupan yang lebih luas.¹⁵
Hukum dengan demikian bukan sekadar instrumen keadilan sosial, tetapi juga
wahana bagi keberlanjutan ekologis.
10.4.    Relasionalitas sebagai Dasar Keadilan dan Etika
Komunikatif
Ontologi relasional
berakar pada pandangan bahwa keadilan hanya dapat terwujud melalui komunikasi
yang setara antar-subjek. Jürgen Habermas melalui teori tindakan komunikatif
menegaskan bahwa legitimasi hukum lahir bukan dari kekuasaan, tetapi dari
proses diskursif yang memungkinkan semua pihak berpartisipasi dalam pembentukan
norma.¹⁶ Dengan demikian, subjek hukum bukan lagi “penerima hukum,”
tetapi “pencipta makna hukum” bersama yang lain.¹⁷
Paul Ricoeur
menambahkan dimensi hermeneutis pada teori ini dengan menekankan bahwa hukum
sejati lahir dari rekonsiliasi naratif—yakni upaya
memahami orang lain dalam konteks sejarah dan pengalaman hidupnya.¹⁸ Maka,
keadilan yang relasional bukan sekadar kesetaraan formal, melainkan
keterlibatan etis dan dialogis yang terus-menerus dalam membangun makna
keadilan.
10.5.    Implikasi Humanistik dan Integral: Manusia sebagai
Subjek dalam Jaringan Kehidupan
Paradigma ontologi
relasional membuka jalan bagi pemahaman baru tentang humanisme
hukum. Jika humanisme klasik menempatkan manusia sebagai pusat
hukum (anthropos
sebagai subjek dominan), maka humanisme relasional menempatkan manusia dalam
jaringan kehidupan yang saling menopang.¹⁹ Subjek hukum integral adalah manusia
yang sadar bahwa kebebasan pribadinya hanya bermakna dalam konteks tanggung
jawab sosial dan ekologis.²⁰
Filsafat kepribadian
integral ini dapat dilihat dalam gagasan Hans Jonas tentang ethics
of responsibility, di mana manusia dipanggil untuk bertanggung
jawab atas kehidupan yang lebih luas daripada dirinya sendiri.²¹ Dengan
demikian, hukum yang relasional dan integral tidak hanya mengatur perilaku,
tetapi juga membentuk kesadaran moral kolektif.²² Ia menuntut sinergi antara
ilmu hukum, etika, dan ekologi dalam menata masa depan yang berkelanjutan.
10.6.    Menuju Ontologi Relasional Subjek Hukum
Sintesis filosofis
menuju ontologi
relasional subjek hukum mengandaikan transformasi mendasar dalam
cara hukum memahami keberadaan manusia dan dunia. Ontologi ini menolak
pandangan reduksionis yang memisahkan fakta dari nilai, manusia dari alam, dan
hukum dari moralitas.²³ Sebaliknya, ia menegaskan bahwa hukum adalah ekspresi
hidup dari relasi timbal balik antara makhluk-makhluk yang berbeda tetapi
saling terhubung.²⁴
Subjek hukum yang
relasional adalah subjek yang sadar akan keterbatasannya sekaligus
keterikatannya pada yang lain. Ia menjadi subjek bukan karena memiliki kehendak
bebas secara absolut, tetapi karena mampu berpartisipasi dalam tatanan moral
dan ekologis bersama.²⁵ Dengan demikian, ontologi relasional menghadirkan
hukum sebagai ruang etis di mana manusia, alam, dan teknologi berjumpa dalam
kesalingan, tanggung jawab, dan solidaritas.²⁶
Paradigma ini
menandai pergeseran menuju hukum yang lebih humanistik, integral, dan komunikatif,
di mana pengakuan terhadap subjek hukum tidak berhenti pada batas antropologis,
tetapi menjangkau seluruh dimensi kehidupan.²⁷ Inilah arah baru bagi filsafat
hukum abad ke-21—sebuah hukum yang hidup karena ia tumbuh bersama kehidupan itu
sendiri.²⁸
Footnotes
[1]               
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), 41–42.
[2]               
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History,
Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 159–160.
[3]               
Niklas Luhmann, Law as a Social System, trans. Klaus Ziegert
(Oxford: Oxford University Press, 2004), 70–72.
[4]               
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York:
Continuum, 1994), 276–278.
[5]               
Bruno Latour, Reassembling the Social: An Introduction to
Actor-Network Theory (Oxford: Oxford University Press, 2005), 54–55.
[6]               
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso,
1978), 121–123.
[7]               
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York:
Charles Scribner’s Sons, 1970), 56–57.
[8]               
Ibid., 60.
[9]               
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 180–182.
[10]            
Ibid., 184.
[11]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 81–83.
[12]            
Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine
Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 60–62.
[13]            
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 162–164.
[14]            
Ibid., 166–168.
[15]            
Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming Law
and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 130–132.
[16]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 301–304.
[17]            
Ibid., 306.
[18]            
Paul Ricoeur, The Just, 85–87.
[19]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 37–38.
[20]            
Iris Marion Young, Responsibility for Justice (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 40–42.
[21]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 89–91.
[22]            
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 170–172.
[23]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2
(Boston: Beacon Press, 1987), 356–358.
[24]            
Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 148–150.
[25]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 172–174.
[26]            
Donna J. Haraway, When Species Meet (Minneapolis: University
of Minnesota Press, 2008), 22–24.
[27]            
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 175–178.
[28]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, 185–186.
11.       Kesimpulan
Konsep subjek hukum merupakan inti dari
refleksi filosofis tentang hakikat manusia, hukum, dan keadilan. Sepanjang
sejarah pemikiran hukum, konsep ini mengalami transformasi fundamental—dari
pengertian klasik yang menekankan rasionalitas dan otonomi individu, menuju
paradigma kontemporer yang bersifat relasional, integral, dan humanistik.¹
Evolusi ini menunjukkan bahwa hukum bukanlah sistem tertutup yang hanya
mengatur perilaku, melainkan suatu tatanan makna yang hidup dalam interaksi
antara manusia, masyarakat, dan dunia di sekitarnya.²
Secara ontologis, subjek hukum tidak lagi
dapat dipahami sebagai entitas yang berdiri sendiri. Ia merupakan being-in-relation—suatu
eksistensi yang hanya bermakna dalam jejaring sosial, ekologis, dan teknologi
yang melingkupinya.³ Konsep ini mengoreksi pandangan modern yang memisahkan
individu dari lingkungannya, menggantinya dengan kesadaran bahwa keberadaan
hukum dan manusia saling membentuk dalam proses yang dinamis dan
interdependen.⁴ Oleh karena itu, keberadaan hukum tidak hanya diukur dari
kepastian normatif, tetapi dari kemampuannya untuk menumbuhkan relasi keadilan
yang hidup dan berkelanjutan.⁵
Secara epistemologis, pengetahuan tentang subjek
hukum menuntut pendekatan yang hermeneutik dan intersubjektif.⁶ Artinya,
memahami hukum bukan sekadar menghafal norma, tetapi menafsirkan maknanya
melalui dialog sosial dan sejarah kehidupan manusia.⁷ Kebenaran hukum tidak
bersumber dari otoritas tunggal, melainkan lahir dari komunikasi antar-subjek
yang saling mengakui martabatnya.⁸ Dalam konteks ini, teori tindakan
komunikatif Jürgen Habermas memberikan fondasi bagi model hukum yang demokratis
dan partisipatif, di mana legitimasi hukum diperoleh melalui kesepakatan
rasional dan etis, bukan melalui kekuasaan koersif.⁹
Secara aksiologis, konsep subjek hukum integral
berakar pada nilai-nilai martabat (dignity), tanggung jawab (responsibility),
dan solidaritas (solidarity).¹⁰ Nilai-nilai ini memastikan bahwa hukum
tidak menjadi instrumen kekuasaan, melainkan sarana perlindungan bagi kehidupan
manusia dan alam.¹¹ Hukum yang hanya menegakkan kepastian tanpa
mempertimbangkan keadilan akan kehilangan makna moralnya, sebagaimana
diingatkan Gustav Radbruch melalui prinsip übergesetzliches Recht (hukum
di atas undang-undang).¹²
Dalam konteks sosial dan politik, pengakuan
terhadap subjek hukum menuntut inklusivitas dan keberpihakan terhadap
kelompok yang selama ini terpinggirkan—perempuan, masyarakat adat, penyandang
disabilitas, dan entitas ekologis.¹³ Hal ini sejalan dengan gagasan Nancy
Fraser tentang justice as recognition, bahwa keadilan sejati tidak hanya
mengandalkan redistribusi ekonomi, tetapi juga pengakuan identitas dan martabat
manusia secara utuh.¹⁴ Subjek hukum dalam arti modern tidak lagi terbatas pada
individu rasional, tetapi meluas ke berbagai bentuk eksistensi yang turut
menopang kehidupan bersama, termasuk alam dan teknologi.¹⁵
Ke depan, filsafat hukum perlu membangun paradigma kepribadian
hukum integral dan relasional, yang menggabungkan dimensi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis dalam satu kesatuan yang koheren.¹⁶ Paradigma ini
berupaya mengharmonikan antara kebebasan dan tanggung jawab, antara hak
individu dan kesejahteraan kolektif, antara manusia dan ekosistemnya.¹⁷ Dengan
cara ini, hukum dapat menjadi sarana rekonsiliasi antara manusia dengan dirinya
sendiri, dengan sesamanya, dan dengan dunia yang menjadi rumah bersama.¹⁸
Paradigma ontologi relasional subjek hukum
menawarkan arah baru bagi peradaban hukum masa depan: hukum yang tidak lagi
mengisolasi manusia dari jaringan kehidupan, melainkan memulihkannya ke dalam
relasi etis yang menyatukan.¹⁹ Dalam pandangan ini, hukum bukan hanya sistem
aturan, tetapi ekspresi dari ethos hidup bersama yang berpijak pada
cinta kasih, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap keberadaan segala
sesuatu.²⁰ Hukum yang demikianlah—hukum yang integral, humanistik, dan
ekologis—yang mampu menjaga keseimbangan antara keadilan dan kehidupan, antara
martabat dan keberlanjutan, serta antara kebebasan dan solidaritas.²¹
Footnotes
[1]               
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature:
History, Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019),
179–180.
[2]               
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000), 45.
[3]               
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 184–186.
[4]               
Bruno Latour, Reassembling the Social: An
Introduction to Actor-Network Theory (Oxford: Oxford University Press,
2005), 56–58.
[5]               
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science
(London: Verso, 1978), 123–125.
[6]               
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
rev. ed. (New York: Continuum, 1994), 276–278.
[7]               
Paul Ricoeur, The Just, trans. David
Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 86–87.
[8]               
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William
Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 301–303.
[9]               
Ibid., 304–306.
[10]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
38–40.
[11]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 89–91.
[12]            
Gustav Radbruch, “Gesetzliches Unrecht und
Übergesetzliches Recht,” Süddeutsche Juristen-Zeitung 1 (1946): 105–108.
[13]            
Iris Marion Young, Responsibility for Justice
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 37–38.
[14]            
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997),
18–20.
[15]            
Klaus Bosselmann, The Principle of
Sustainability: Transforming Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008),
132–134.
[16]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 356–358.
[17]            
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature,
182–184.
[18]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 172–174.
[19]            
Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond
Essence, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press,
1998), 148–150.
[20]            
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter
Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 56–57.
[21]            
François Ost, The Spirit of the Laws of Nature,
185–187.
Daftar Pustaka 
Agamben, G. (1998). Homo Sacer: Sovereign Power
and Bare Life (D. Heller-Roazen, Trans.). Stanford University Press.
Aquinas, T. (1947). Summa Theologica
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
Aristotle. (1943). Politics (B. Jowett,
Trans.). Clarendon Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean Ethics (W. D.
Ross, Trans.). Oxford University Press.
Austin, J. (1832). The Province of Jurisprudence
Determined. J. Murray.
Balibar, É. (2015). Citizenship. Polity
Press.
Becker, G. S. (1976). The Economic Approach to
Human Behavior. University of Chicago Press.
Bhaskar, R. (1978). A Realist Theory of Science.
Verso.
Bosselmann, K. (2008). The Principle of
Sustainability: Transforming Law and Governance. Ashgate.
Bosselmann, K. (2016). The Earth Charter and
Global Ethics. Routledge.
Bourdieu, P. (1987). The force of law: Toward a
sociology of the juridical field (R. Terdiman, Trans.). Hastings Law
Journal, 38, 805–853.
Braidotti, R. (2013). The Posthuman. Polity
Press.
Brownsword, R. (2019). Law, Technology and
Society: Reimagining the Regulatory Environment. Routledge.
Buber, M. (1970). I and Thou (W. Kaufmann,
Trans.). Charles Scribner’s Sons.
Cassese, A. (2008). International Criminal Law.
Oxford University Press.
Dewey, J. (1926). The historic background of
corporate legal personality. Yale Law Journal, 35(6), 655–673.
Durkheim, É. (1984). The Division of Labor in
Society (W. D. Halls, Trans.). Free Press.
Dworkin, R. (1977). Taking Rights Seriously.
Harvard University Press.
Dworkin, R. (1986). Law’s Empire. Harvard
University Press.
Finnis, J. (1980). Natural Law and Natural
Rights. Clarendon Press.
Floridi, L. (2013). The Ethics of Information.
Oxford University Press.
Floridi, L. (2015). The Onlife Manifesto: Being
Human in a Hyperconnected Era. Springer.
Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1995). Discipline and Punish: The
Birth of the Prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Fraser, N. (1997). Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition. Routledge.
Freud, S. (1961). Civilization and Its
Discontents (J. Strachey, Trans.). Norton.
Fuller, L. L. (1969). The Morality of Law.
Yale University Press.
Gadamer, H.-G. (1994). Truth and Method (2nd
rev. ed.). Continuum.
Gilligan, C. (1982). In a Different Voice.
Harvard University Press.
Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative
Action: Vol. 1 (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1987). The Theory of Communicative
Action: Vol. 2. Beacon Press.
Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (W. Rehg, Trans.).
MIT Press.
Haraway, D. J. (2008). When Species Meet.
University of Minnesota Press.
Hart, H. L. A. (1994). The Concept of Law
(2nd ed.). Clarendon Press.
Hegel, G. W. F. (1991). Elements of the
Philosophy of Right (H. B. Nisbet, Trans.). Cambridge University Press.
Held, D., & McGrew, A. (2007). Globalization/Anti-Globalization:
Beyond the Great Divide. Polity Press.
Hildebrandt, M. (2015). Smart Technologies and
the End(s) of Law. Edward Elgar.
Hildebrandt, M. (2020). Law for Computer
Scientists and Other Folk. Oxford University Press.
Honneth, A. (1995). The Struggle for Recognition.
MIT Press.
Jonas, H. (1984). The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age.
University of Chicago Press.
Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow.
Farrar, Straus and Giroux.
Kant, I. (1998). Groundwork of the Metaphysics
of Morals (M. Gregor, Ed.). Cambridge University Press.
Kelsen, H. (1945). General Theory of Law and
State (A. Wedberg, Trans.). Harvard University Press.
Kelsen, H. (1967). Pure Theory of Law (M.
Knight, Trans.). University of California Press.
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan,
Mentalitas, dan Pembangunan. Gramedia.
Latour, B. (1993). We Have Never Been Modern
(C. Porter, Trans.). Harvard University Press.
Latour, B. (2005). Reassembling the Social: An
Introduction to Actor-Network Theory. Oxford University Press.
Levinas, E. (1969). Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Levinas, E. (1998). Otherwise than Being or
Beyond Essence (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Locke, J. (1988). Two Treatises of Government.
Cambridge University Press.
Luhmann, N. (2004). Law as a Social System
(K. Ziegert, Trans.). Oxford University Press.
MacKinnon, C. A. (1989). Toward a Feminist
Theory of the State. Harvard University Press.
Menski, W. (2006). Comparative Law in a Global
Context: The Legal Systems of Asia and Africa. Cambridge University Press.
Moore, S. F. (1973). Law and social change: The
semi-autonomous social field as an appropriate subject of study. Law &
Society Review, 7(4), 719–746.
Nader, L. (2002). The Life of the Law:
Anthropological Projects. University of California Press.
Nicholas, B. (1962). An Introduction to Roman
Law. Clarendon Press.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership. Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating Capabilities:
The Human Development Approach. Harvard University Press.
O’Donnell, E., & Talbot-Jones, J. (2018).
Creating legal rights for rivers: Lessons from Australia, New Zealand, and
India. Ecology and Society, 23(1), 1–9.
Ost, F. (2019). The Spirit of the Laws of
Nature: History, Philosophy, and Legal Ecology. Hart Publishing.
Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube,
Trans.). Hackett.
Plumwood, V. (1993). Feminism and the Mastery of
Nature. Routledge.
Plumwood, V. (2002). Environmental Culture: The
Ecological Crisis of Reason. Routledge.
Posner, R. A. (2011). Economic Analysis of Law
(8th ed.). Wolters Kluwer.
Pospíšil, L. (1971). Anthropology of Law: A
Comparative Theory. Harper & Row.
Radbruch, G. (1946). Gesetzliches Unrecht und
übergesetzliches Recht. Süddeutsche Juristen-Zeitung, 1, 105–108.
Rahardjo, S. (2000). Ilmu Hukum. Citra
Aditya Bakti.
Rawls, J. (1971). A Theory of Justice.
Harvard University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as Another (K.
Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (2000). The Just (D. Pellauer,
Trans.). University of Chicago Press.
Ross, A. (1958). On Law and Justice. Stevens
& Sons.
Sassen, S. (1996). Losing Control? Sovereignty
in an Age of Globalization. Columbia University Press.
Sassen, S. (2006). Territory, Authority, Rights:
From Medieval to Global Assemblages. Princeton University Press.
Sales, B., & Solan, L. (2012). The Science
of Legal Psychology. Oxford University Press.
Scherer, M. (2016). Regulating artificial
intelligence systems: Risks, challenges, competencies, and strategies. Harvard
Journal of Law & Technology, 29(2), 353–400.
Schlosberg, D. (2007). Defining Environmental
Justice: Theories, Movements, and Nature. Oxford University Press.
Schmitt, C. (2005). Political Theology (G.
Schwab, Trans.). University of Chicago Press.
Sen, A. (1999). Development as Freedom.
Alfred A. Knopf.
Simon, H. A. (1976). Administrative Behavior.
Free Press.
Stone, C. D. (1972). Should trees have standing?
Toward legal rights for natural objects. Southern California Law Review, 45(2),
450–501.
Taylor, C. (1994). Multiculturalism and “The
Politics of Recognition”. Princeton University Press.
Tamanaha, B. Z. (2001). A General Jurisprudence
of Law and Society. Oxford University Press.
Watson, A. (1995). The Spirit of Roman Law.
University of Georgia Press.
Waldron, J. (1999). The Dignity of Legislation.
Cambridge University Press.
Young, I. M. (1990). Justice and the Politics of
Difference. Princeton University Press.
Young, I. M. (2011). Responsibility for Justice.
Oxford University Press.
Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance
Capitalism. PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar