Jumat, 31 Oktober 2025

Subjek Hukum: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Kepribadian dalam Tatanan Hukum Modern

Subjek Hukum

Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Kepribadian dalam Tatanan Hukum Modern


Alihkan ke: Ilmu Hukum.

Sistem Hukum, Etika Hukum, Ethics of Rights, Ethics of Justice, Ethics of Care.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep Subjek Hukum dalam perspektif filsafat hukum, dengan menelusuri dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial-politik, dan interdisipliner yang membentuknya. Kajian ini berangkat dari pertanyaan fundamental: siapakah yang dapat disebut sebagai subjek hukum, dan atas dasar apa pengakuan itu diberikan? Melalui pendekatan historis dan genealogis, artikel ini menunjukkan bahwa konsep klasik tentang subjek hukum yang berakar pada rasionalitas individual dan otonomi manusia bersumber dari warisan modernitas Barat yang menempatkan manusia sebagai pusat hukum (anthroposentrisme). Paradigma tersebut, meskipun berperan penting dalam pembentukan sistem hukum modern, terbukti tidak mampu menjawab kompleksitas realitas kontemporer yang mencakup keberagaman sosial, globalisasi, perkembangan teknologi, serta krisis ekologis.

Dalam bagian ontologi, artikel ini menegaskan bahwa subjek hukum tidak semata entitas individual yang memiliki hak dan kewajiban, tetapi makhluk relasional yang eksistensinya dibentuk oleh jejaring sosial, ekologis, dan moral. Epistemologi hukum kemudian dipahami sebagai proses dialogis dan komunikatif yang memungkinkan lahirnya pengetahuan hukum melalui interaksi antar-subjek yang saling mengakui martabatnya. Pada tataran aksiologis, nilai-nilai martabat (dignity), keadilan (justice), dan tanggung jawab (responsibility) menjadi dasar legitimasi hukum yang menghubungkan hak dan kewajiban dalam tatanan etis yang manusiawi.

Artikel ini juga memperluas pembahasan ke ranah sosial dan politik, menunjukkan bahwa pengakuan terhadap subjek hukum selalu bersifat politis—mencerminkan relasi kekuasaan dan struktur sosial yang menentukan siapa yang diakui dan siapa yang dikecualikan. Melalui pendekatan interdisipliner, konsep subjek hukum dihubungkan dengan sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, serta filsafat teknologi, menunjukkan bahwa hukum modern harus terbuka terhadap perubahan sosial dan kemajuan sains. Kritik terhadap paradigma klasik—baik dari feminisme, teori kritis, ekologi, maupun post-humanisme—mengarah pada dekonstruksi pandangan antroposentris dan atomistik, serta membuka jalan menuju konsep kepribadian hukum yang lebih inklusif dan integral.

Akhirnya, artikel ini menawarkan sintesis filosofis melalui paradigma Ontologi Relasional Subjek Hukum, yang memandang hukum sebagai medan etis di mana manusia, alam, dan teknologi saling berelasi dalam tanggung jawab bersama. Hukum tidak lagi dilihat hanya sebagai sistem normatif, tetapi sebagai ruang moral hidup yang mencerminkan kesalingan, dialog, dan solidaritas universal. Paradigma ini menandai pergeseran dari hukum yang mekanistik menuju hukum yang humanistik, komunikatif, dan ekologis—sebuah tatanan hukum integral yang tidak hanya menjamin keadilan formal, tetapi juga memperkuat harmoni kehidupan secara keseluruhan.

Kata Kunci: Subjek Hukum, Ontologi Relasional, Filsafat Hukum, Aksiologi Hukum, Epistemologi Hukum, Kepribadian Hukum Integral, Keadilan, Etika, Humanisme, Ekologi Hukum.


PEMBAHASAN

Konsep “Subjek Hukum” dalam Sejarah Hukum dan Filsafat Hukum


1.           Pendahuluan

Konsep subjek hukum merupakan salah satu fondasi utama dalam struktur berpikir ilmu hukum dan filsafat hukum. Ia menjadi titik tolak dalam menjelaskan siapa yang memiliki hak dan kewajiban dalam sistem hukum, serta bagaimana entitas tertentu memperoleh pengakuan sebagai “pemilik kehendak hukum.” Dalam pengertian klasik, subjek hukum (subjectum iuris) adalah setiap pihak yang dapat menjadi pembawa hak dan kewajiban hukum, baik dalam bentuk individu maupun badan hukum kolektif. Namun, dalam konteks modern, batas antara keduanya semakin kabur karena munculnya entitas baru yang menantang definisi tradisional, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence), organisasi lintas negara, hingga hak-hak hukum bagi alam dan lingkungan hidup. Dengan demikian, pembahasan tentang subjek hukum tidak hanya bersifat yuridis, tetapi juga menyentuh wilayah ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang saling terkait.¹

Historisnya, konsep subjek hukum berakar dari hukum Romawi yang menekankan persona sebagai dasar kepribadian hukum. Dalam tradisi ini, tidak semua manusia diakui sebagai persona, sebab status sosial dan politik menentukan kelayakan seseorang untuk menjadi subjek hukum.² Perkembangan selanjutnya di era modern, terutama melalui filsafat moral Immanuel Kant, menempatkan manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki martabat dan otonomi moral—fondasi dari konsep modern tentang “kepribadian hukum.”³ Namun, positivisme hukum abad ke-19 (seperti yang diajukan oleh John Austin dan Hans Kelsen) berusaha mensterilkan konsep ini dari dimensi moral dan menggantinya dengan konstruksi formal mengenai kapasitas hukum tanpa menyinggung persoalan etika.⁴ Akibatnya, subjek hukum dipahami semata-mata sebagai entitas yang memenuhi syarat legal formal, bukan entitas bermoral yang memiliki tanggung jawab etis terhadap tatanan sosial.

Di sisi lain, perkembangan filsafat sosial dan hukum kontemporer menunjukkan adanya pergeseran paradigma. Pemikir seperti H.L.A. Hart dan Ronald Dworkin mengkritik pandangan legal-positivistik yang kaku dan menekankan pentingnya prinsip moral dalam sistem hukum.⁵ Sementara itu, dalam wacana postmodern dan ekofeminisme, muncul gagasan perluasan cakupan subjek hukum melampaui manusia, mencakup komunitas ekologis dan makhluk non-manusia sebagai bagian integral dari keadilan ekologis.⁶ Hal ini menandai munculnya krisis epistemologis: apakah hukum masih dapat membatasi subjeknya hanya pada entitas yang rasional dan berkehendak bebas, sementara teknologi dan alam menunjukkan kapasitas agensi yang kompleks?

Di era digital, problematika tersebut semakin menonjol. Entitas digital seperti autonomous agents dan sistem AI mampu melakukan transaksi hukum dan mengambil keputusan yang berdampak pada manusia tanpa keterlibatan langsung dari penciptanya.⁷ Fenomena ini menimbulkan pertanyaan baru: apakah AI dapat dianggap sebagai subjek hukum dengan hak dan kewajiban tertentu? Bagaimana pula status hukum dari data pribadi, avatar digital, dan korporasi yang bertindak secara algoritmik? Pertanyaan-pertanyaan ini mengharuskan kita untuk mengembangkan konsepsi baru tentang subjek hukum yang bersifat relasional, integral, dan adaptif terhadap realitas sosial serta teknologi mutakhir.

Oleh karena itu, kajian ini berupaya menelusuri konsep subjek hukum secara komprehensif dengan pendekatan multidimensi: ontologis, untuk memahami hakikat eksistensinya; epistemologis, untuk menelaah cara pengetahuan hukum membentuk dan mengenali subjeknya; serta aksiologis, untuk menimbang nilai-nilai yang melandasi pengakuan dan perlakuan terhadap subjek hukum. Analisis ini tidak hanya bertujuan menjelaskan konstruksi teoretis, tetapi juga merefleksikan urgensi pembaruan paradigma hukum agar lebih inklusif, humanistik, dan ekologis. Dengan demikian, pembahasan tentang subjek hukum menjadi sarana reflektif untuk memahami kembali hakikat manusia, teknologi, dan alam dalam jejaring keadilan yang lebih luas.⁸


Footnotes

[1]                Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 15.

[2]                Alan Watson, The Spirit of Roman Law (Athens: University of Georgia Press, 1995), 34–36.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, ed. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42.

[4]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 94.

[5]                H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 1994); Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977).

[6]                Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 52–58.

[7]                Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists and Other Folk (Oxford: Oxford University Press, 2020), 201–205.

[8]                Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 29–33.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Konsep subjek hukum memiliki akar historis yang panjang dan berkembang melalui berbagai tradisi hukum serta pemikiran filsafat tentang manusia, hak, dan tanggung jawab. Secara genealogis, gagasan ini dapat ditelusuri dari hukum Romawi, filsafat klasik Yunani, pemikiran skolastik abad pertengahan, hingga konstruksi rasional modern dan positivisme hukum abad ke-19. Setiap periode memberikan nuansa ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang berbeda terhadap makna persona sebagai subjek hukum, yang pada gilirannya memengaruhi struktur hukum modern dan konsep keadilan kontemporer.¹

2.1.       Akar dalam Hukum Romawi: Persona, Status, dan Kapasitas

Dalam hukum Romawi (ius civile), istilah persona menjadi titik awal konseptual bagi pengertian subjek hukum. Persona berarti topeng atau peran sosial yang dimainkan seseorang di hadapan hukum; dengan kata lain, bukan semua manusia otomatis diakui sebagai persona.² Hanya mereka yang memenuhi syarat status sosial tertentu—seperti cives Romani (warga negara Romawi)—yang dapat memiliki hak dan kewajiban hukum.³ Sementara itu, budak (servi) dianggap sebagai benda (res), bukan subjek, dan karenanya tidak memiliki kepribadian hukum.⁴ Prinsip ini menunjukkan bahwa kepribadian hukum tidak selalu identik dengan eksistensi biologis, melainkan hasil dari konstruksi sosial-politik yang menentukan siapa yang “layak” menjadi pembawa hak dan kewajiban.

Selain itu, hukum Romawi memperkenalkan gagasan persona ficta, yaitu entitas hukum buatan seperti negara, gereja, atau korporasi yang diakui sebagai pembawa hak dan kewajiban secara fiktif.⁵ Konsep ini menjadi cikal bakal pengakuan terhadap badan hukum (legal person) dalam sistem hukum modern. Pembedaan antara personae physicae (manusia alamiah) dan personae iuridicae (entitas hukum buatan) memperluas horizon hukum dari yang semula berpusat pada individu menjadi sistem yang mencakup entitas kolektif.

2.2.       Tradisi Filsafat Klasik dan Skolastik: Dari Aristoteles hingga Aquinas

Dalam filsafat Yunani, terutama melalui Aristoteles, manusia dipahami sebagai zoon politikon—makhluk politik yang menemukan dirinya dalam polis dan hukum.⁶ Hukum bagi Aristoteles bukan hanya alat pengendali eksternal, tetapi ekspresi rasional dari tatanan moral dan teleologis masyarakat. Karena itu, manusia menjadi subjek hukum sejauh ia adalah makhluk rasional dan moral.⁷

Pemikiran ini diolah kembali oleh filsafat skolastik, terutama Thomas Aquinas, yang menyatukan hukum alam (lex naturalis) dengan hukum ilahi (lex divina) dan hukum positif (lex humana).⁸ Aquinas menekankan bahwa setiap manusia, karena memiliki rasio dan kehendak bebas, adalah subjek hukum di hadapan Tuhan dan negara. Namun, status sosial tetap berpengaruh terhadap derajat aktualisasi kepribadian hukum seseorang, menunjukkan bahwa tradisi skolastik masih mempertahankan hierarki moral dan sosial dalam konsep hukum.⁹

2.3.       Rasionalisme Modern dan Lahirnya Individu Otonom

Abad Pencerahan membawa revolusi dalam pemikiran tentang subjek hukum. Descartes menegaskan cogito ergo sum sebagai dasar ontologis subjek yang berpikir dan sadar akan eksistensinya, sedangkan Kant memformulasikan manusia sebagai makhluk rasional yang otonom dan berkehendak bebas (homo noumenon), yang karenanya wajib dihormati sebagai tujuan pada dirinya sendiri.¹⁰ Pandangan ini memberikan legitimasi moral bagi konsep hak asasi manusia dan kepribadian hukum universal, menggantikan struktur status yang hierarkis.¹¹

Dalam kerangka hukum, gagasan ini diterjemahkan ke dalam doktrin “equality before the law” yang menandai modernitas hukum. Namun, rasionalisme juga melahirkan konsekuensi eksklusif: hanya entitas yang dianggap rasional dan berkehendak bebas yang dapat menjadi subjek hukum, sehingga menyingkirkan anak-anak, orang dengan disabilitas mental, serta entitas non-manusia dari ruang pengakuan hukum.¹²

2.4.       Positivisme Hukum dan Formalisasi Subjek

Memasuki abad ke-19, positivisme hukum—terutama melalui John Austin dan Hans Kelsen—membentuk paradigma baru yang memisahkan hukum dari moralitas.¹³ Subjek hukum kini dipahami bukan lagi berdasarkan martabat moral, melainkan sebagai posisi formal dalam sistem norma. Bagi Austin, hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat kepada mereka yang tunduk kepadanya; maka subjek hukum hanyalah entitas yang berada dalam ruang yurisdiksi kekuasaan.¹⁴ Kelsen, dalam Pure Theory of Law, memurnikan konsep ini lebih jauh dengan menegaskan bahwa subjek hukum tidak lain adalah “titik imputasi” dari norma hukum, bukan makhluk konkret yang memiliki kesadaran atau kehendak.¹⁵

Formalisasi ini memungkinkan hukum menjadi sistem yang netral dan terstruktur, tetapi sekaligus mengaburkan dimensi humanistik dan etis dari subjek hukum. Di bawah paradigma ini, manusia direduksi menjadi sekadar carrier of legal norms—pengemban kewajiban dan hak tanpa mempertimbangkan aspek moral dan eksistensialnya.

2.5.       Pergeseran Genealogis di Era Modern dan Kontemporer

Perkembangan abad ke-20 menunjukkan kebangkitan refleksi kritis terhadap reduksionisme positivistik. Filsafat eksistensial, hermeneutika hukum, dan teori kritis (misalnya melalui Jürgen Habermas dan Ronald Dworkin) mengembalikan dimensi komunikatif, moral, dan rasional dialogis dalam memahami subjek hukum.¹⁶ Habermas menekankan bahwa legitimasi hukum bersumber dari diskursus intersubjektif yang rasional, bukan dari otoritas eksternal, sehingga subjek hukum adalah peserta aktif dalam pembentukan makna hukum.¹⁷

Selain itu, pemikiran pascamodern dan ekofeminisme memperluas horizon genealogis subjek hukum dengan menantang antroposentrisme. Donna Haraway, Bruno Latour, dan Val Plumwood memperkenalkan konsep “subjek hibrid” atau “aktant” yang menegaskan keterhubungan antara manusia, teknologi, dan alam dalam tatanan hukum dan sosial.¹⁸ Genealogi ini menandai transisi dari paradigma individualistik menuju paradigma relasional, di mana hukum tidak lagi hanya mengatur manusia, tetapi mengatur jaringan kehidupan dan agensi non-manusia yang turut membentuk realitas sosial.

Dengan demikian, sejarah konsep subjek hukum memperlihatkan dinamika yang terus bergerak dari eksklusivitas menuju inklusivitas, dari hierarki menuju kesetaraan, dan dari legalitas menuju moralitas reflektif. Evolusi ini bukan sekadar kronologi, melainkan perubahan ontologis dan aksiologis dalam cara manusia memahami dirinya dan “yang lain” di dalam hukum.¹⁹


Footnotes

[1]                Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 18–20.

[2]                Alan Watson, The Spirit of Roman Law (Athens: University of Georgia Press, 1995), 33.

[3]                Paul J. du Plessis, Borkowski’s Textbook on Roman Law, 5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2015), 45.

[4]                Barry Nicholas, An Introduction to Roman Law (Oxford: Clarendon Press, 1962), 87.

[5]                John Dewey, “The Historic Background of Corporate Legal Personality,” Yale Law Journal 35, no. 6 (1926): 655–673.

[6]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1943), 12–15.

[7]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford University Press, 1999), 89–92.

[8]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I-II, q. 91–94.

[9]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 43–48.

[10]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, ed. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 47–50.

[11]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 107.

[12]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 45.

[13]             John Austin, The Province of Jurisprudence Determined (London: J. Murray, 1832), 12–14.

[14]             Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 95–100.

[15]             H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 1994), 131–135.

[16]             Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), 150–152.

[17]             Jürgen Habermas, Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.

[18]             Donna J. Haraway, When Species Meet (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2008), 20–23; Bruno Latour, We Have Never Been Modern (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 54–57; Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 70.

[19]             François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History, Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 111–114.


3.           Ontologi: Hakikat dan Eksistensi Subjek Hukum

Kajian ontologis terhadap subjek hukum menyingkap pertanyaan mendasar: apa hakikat keberadaan subjek hukum, dan bagaimana eksistensinya dimungkinkan dalam tatanan normatif? Ontologi hukum berusaha menjelaskan dasar keberadaan (being) dari entitas yang disebut sebagai subjek hukum, bukan hanya dalam arti formal yuridis, tetapi juga dalam arti metafisis dan moral.¹ Dengan kata lain, pembahasan ontologis menyoroti relasi antara “ada” (eksistensi manusia atau entitas) dan “seharusnya” (norma hukum yang mengaturnya).

3.1.       Subjek Hukum sebagai Entitas Normatif dan Eksistensial

Secara ontologis, subjek hukum adalah entitas yang menjadi titik temu antara eksistensi faktual dan pengakuan normatif. Ia bukan hanya “ada” secara empiris, tetapi juga “diakui” sebagai pembawa hak dan kewajiban oleh sistem hukum.² Dengan demikian, keberadaan subjek hukum bersifat dua dimensi: pertama, keberadaan ontologis yang berkaitan dengan eksistensi aktual (manusia, organisasi, alam, atau bahkan mesin); kedua, keberadaan normatif yang ditetapkan oleh hukum positif melalui atribusi kepribadian hukum.³

Dalam pandangan Hans Kelsen, subjek hukum tidak memiliki eksistensi metafisis, melainkan sekadar “titik imputasi norma,” yakni posisi di mana kewajiban atau hak dilekatkan.⁴ Pandangan ini menegaskan bahwa keberadaan subjek hukum bukanlah realitas ontologis melainkan konstruksi sistem hukum. Namun, pendekatan ini menuai kritik karena mengabaikan aspek moral dan kesadaran diri manusia yang justru menjadi sumber legitimasi hukum.⁵ Ronald Dworkin kemudian menegaskan bahwa hak dan tanggung jawab tidak mungkin dilepaskan dari nilai-nilai moral dan integritas manusia sebagai makhluk yang sadar akan keadilan.⁶

Sebaliknya, dalam pendekatan eksistensialis dan fenomenologis, seperti yang dikembangkan oleh Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre, subjek hukum dipahami sebagai ada-di-dunia (being-in-the-world)—makhluk yang eksistensinya selalu berada dalam relasi dengan orang lain dan struktur sosialnya.⁷ Maka, subjek hukum bukanlah entitas terisolasi, melainkan eksistensi yang terbentuk melalui hubungan intersubjektif dan pengakuan sosial. Hegel sebelumnya sudah menegaskan bahwa “kepribadian hukum” (Rechtsperson) lahir dari proses dialektika pengakuan (Anerkennung) antara kesadaran diri individu dan kesadaran orang lain dalam tatanan sosial.⁸

3.2.       Relasi antara Hukum dan Keberadaan: Dari Naturalisme ke Konstruktivisme

Dalam tradisi hukum alam (natural law), keberadaan subjek hukum bersumber dari kodrat manusia itu sendiri. Setiap manusia, karena memiliki akal budi dan kehendak bebas, adalah subjek hukum secara ontologis, bahkan sebelum pengakuan formal oleh hukum positif.⁹ Thomas Aquinas menegaskan bahwa hukum alam merefleksikan rasio ilahi dalam diri manusia, sehingga pengakuan terhadap martabat manusia sebagai subjek hukum adalah perintah moral universal.¹⁰

Namun, konstruktivisme hukum modern—yang berakar pada positivisme dan sosiologi hukum—menganggap bahwa keberadaan subjek hukum tidak inheren dalam diri manusia, melainkan dibentuk oleh struktur sosial dan institusional.¹¹ Pierre Bourdieu dan Niklas Luhmann menegaskan bahwa hukum membentuk realitas sosial melalui proses institusionalisasi dan komunikasi normatif.¹² Dengan demikian, subjek hukum adalah hasil konstruksi sosial yang diciptakan dan diatur oleh sistem hukum itu sendiri, bukan entitas yang sudah “ada” sebelumnya.

Dari perspektif ontologi kritis (critical realism), kedua pandangan ini dapat dipertemukan. Hukum diakui sebagai struktur yang memiliki daya real, tetapi subjek hukum tetap memiliki kapasitas agensi yang dapat menegosiasikan, menafsirkan, dan mengubah struktur tersebut.¹³ Maka, ontologi subjek hukum bersifat relasional: ia ada sejauh berelasi dengan norma, lembaga, dan sesama subjek hukum.

3.3.       Ontologi Kepribadian: Rasionalitas, Kesadaran, dan Tanggung Jawab

Dimensi ontologis subjek hukum juga terkait erat dengan kapasitas rasionalitas dan kesadaran moral. Sejak Kant, manusia dipandang sebagai makhluk otonom yang mampu menilai dirinya sebagai tujuan, bukan sekadar alat bagi sistem.¹⁴ Dalam kerangka ini, subjek hukum memiliki eksistensi yang bermartabat karena ia mampu bertindak atas dasar hukum moral (moral law within).¹⁵ Pandangan ini menegaskan bahwa subjek hukum tidak sekadar “diakui,” tetapi juga “menyadari” tanggung jawabnya terhadap hukum.

Namun, perkembangan teknologi dan ekologi memunculkan pertanyaan baru: apakah entitas non-manusia seperti kecerdasan buatan, hewan, atau ekosistem dapat memiliki eksistensi hukum yang setara dengan manusia? Beberapa sistem hukum modern telah mulai memperluas konsep kepribadian hukum kepada alam—seperti pengakuan sungai Whanganui di Selandia Baru sebagai subjek hukum.¹⁶ Kasus ini menunjukkan pergeseran ontologis dari paradigma antroposentris menuju ekosentris dan relasional, di mana subjek hukum tidak lagi ditentukan oleh rasionalitas semata, melainkan oleh partisipasi dalam jaringan kehidupan yang lebih luas.¹⁷

3.4.       Ontologi Relasional: Subjek sebagai Bagian dari Jejaring Hukum dan Sosial

Pendekatan kontemporer dalam filsafat hukum semakin menekankan aspek relasional dalam ontologi subjek hukum. Emmanuel Levinas mengajukan bahwa etika terhadap “yang lain” mendahului hukum; dengan demikian, subjek hukum pertama-tama lahir dari tanggung jawab terhadap sesama, bukan dari pengakuan negara.¹⁸ Jürgen Habermas juga mengusulkan model ontologi komunikatif di mana subjek hukum tidak dapat dipahami secara individualistik, melainkan sebagai peserta dalam tindakan komunikatif yang membentuk legitimasi hukum melalui diskursus rasional.¹⁹

Dengan demikian, ontologi subjek hukum tidak bersifat substansialistik (berpusat pada individu yang tertutup), tetapi relasional, komunikatif, dan dinamis. Keberadaan subjek hukum terus-menerus dikonstruksi dan dinegosiasikan melalui interaksi sosial, bahasa, dan institusi hukum. Paradigma ini membuka jalan bagi konsepsi kepribadian hukum integral—yaitu pandangan bahwa hukum, manusia, dan dunia saling terhubung dalam tatanan ontologis yang koheren dan saling mengandaikan.²⁰


Footnotes

[1]                Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 21.

[2]                Alf Ross, On Law and Justice (London: Stevens & Sons, 1958), 110.

[3]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 94–96.

[4]                Ibid., 98.

[5]                Gustav Radbruch, “Legal Philosophy,” in The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, ed. Kurt Wilk (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1950), 71–74.

[6]                Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 102–106.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 79–81.

[8]                G.W.F. Hegel, Elements of the Philosophy of Right, trans. H.B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), §34–36.

[9]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 34–38.

[10]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I-II, q. 94.

[11]             Pierre Bourdieu, The Force of Law: Toward a Sociology of the Juridical Field, trans. Richard Terdiman (Hastings Law Journal 38, no. 5, 1987), 814–816.

[12]             Niklas Luhmann, Law as a Social System, trans. Klaus Ziegert (Oxford: Oxford University Press, 2004), 70–72.

[13]             Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso, 1978), 122–126.

[14]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, ed. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 54–57.

[15]             Ibid., 60.

[16]             Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 132.

[17]             Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45, no. 2 (1972): 450–451.

[18]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 178–180.

[19]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 118–120.

[20]             François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History, Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 103–107.


4.           Epistemologi: Pengetahuan tentang Subjek Hukum

Epistemologi subjek hukum berfokus pada bagaimana hukum “mengetahui” dan “mengonstitusi” subjeknya. Ia berupaya menjawab pertanyaan: bagaimana kita memahami dan mengenali subjek hukum, melalui perangkat konseptual, bahasa, serta institusi hukum yang menstrukturkan pengalaman hukum itu sendiri.¹ Dengan demikian, pembahasan epistemologis tidak hanya berkaitan dengan apa yang diketahui tentang subjek hukum, tetapi juga bagaimana cara pengetahuan hukum dibentuk, diproduksi, dan dibenarkan dalam konteks sosial, politik, dan filosofis tertentu.

4.1.       Pengetahuan Hukum sebagai Konstruksi Konseptual

Dalam epistemologi hukum, subjek hukum bukanlah entitas yang “ditemukan” oleh hukum, melainkan entitas yang diciptakan melalui proses konseptualisasi.² Hukum mengenali subjeknya melalui bahasa normatif yang menetapkan siapa yang berhak memiliki kapasitas hukum dan siapa yang tidak.³ Dalam hal ini, hukum berperan seperti cermin yang membentuk realitas sosial sesuai dengan kategori-kategori epistemik yang digunakannya. Michel Foucault menggambarkan fenomena ini sebagai “produksi pengetahuan-kuasa” (power-knowledge), di mana sistem hukum tidak netral, tetapi menjadi instrumen pembentukan subjek melalui disiplin dan regulasi sosial.⁴

Misalnya, istilah seperti person, natural person, dan legal person adalah konstruksi linguistik yang memiliki efek ontologis: entitas yang tidak disebut dalam bahasa hukum tidak memiliki eksistensi legal.⁵ Oleh karena itu, epistemologi subjek hukum selalu terkait dengan politik representasi—siapa yang dapat berbicara dan diakui dalam wacana hukum. Seperti yang diungkapkan Pierre Bourdieu, “hukum bukan hanya mencerminkan dunia sosial, tetapi turut memproduksi realitas sosial melalui kata-kata yang sah.”⁶

4.2.       Paradigma Positivistik dan Keterbatasan Pengetahuan Formal

Epistemologi hukum klasik, terutama dalam tradisi positivisme hukum, memandang hukum sebagai sistem tertutup yang berdiri di atas logika formal dan deduktif. Hans Kelsen dalam Pure Theory of Law menolak setiap bentuk pengetahuan hukum yang didasarkan pada moralitas, agama, atau politik.⁷ Dalam kerangka ini, subjek hukum dipahami semata-mata sebagai “titik imputasi norma,” tanpa mempertimbangkan kesadaran, niat, atau kondisi sosialnya.⁸

Namun, pendekatan ini menimbulkan problem epistemologis: dengan mensterilkan dimensi moral dan sosial, hukum kehilangan kemampuan untuk memahami kompleksitas manusia sebagai subjek.⁹ Akibatnya, subjek hukum diperlakukan sebagai objek normatif—bukan sebagai entitas yang memiliki pengalaman, interpretasi, dan makna. Filsuf hukum seperti Lon L. Fuller dan H.L.A. Hart menolak reduksionisme ini, menegaskan bahwa pengetahuan hukum tidak dapat dilepaskan dari “internal point of view,” yakni perspektif subjek yang hidup dan berpartisipasi dalam sistem hukum.¹⁰

4.3.       Hermeneutika Hukum dan Penafsiran terhadap Subjek

Epistemologi hukum modern mengalami pembaruan melalui pendekatan hermeneutika yang dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer dan dikontekstualisasikan dalam hukum oleh Emilio Betti dan Ronald Dworkin.¹¹ Menurut Gadamer, memahami hukum adalah tindakan menafsirkan makna dalam konteks historis dan linguistik; karena itu, subjek hukum juga merupakan hasil penafsiran sosial yang selalu berubah.¹²

Ronald Dworkin kemudian memperluas gagasan ini dengan menekankan bahwa hukum adalah praktik interpretatif yang berlandaskan pada prinsip moral dan integritas.¹³ Bagi Dworkin, pengetahuan hukum bukan sekadar pengetahuan tentang aturan (rules), tetapi tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang membentuk sistem hukum. Maka, subjek hukum tidak hanya “dikenal” melalui peraturan, melainkan “dimaknai” melalui interpretasi atas prinsip keadilan yang melekat dalam sistem hukum itu sendiri.¹⁴

Hermeneutika hukum juga membuka ruang bagi pengakuan terhadap pluralitas subjek hukum. Misalnya, hukum adat, hukum agama, dan hukum positif negara memiliki cara pengetahuan yang berbeda tentang siapa yang dianggap subjek hukum.¹⁵ Oleh karena itu, epistemologi hukum harus bersifat dialogis dan interkultural agar tidak mendominasi cara-cara lain dalam mengenali eksistensi hukum subjek.

4.4.       Epistemologi Kritis dan Relasionalitas Pengetahuan Hukum

Epistemologi hukum kontemporer banyak dipengaruhi oleh teori kritis dan pendekatan post-struktural. Jürgen Habermas, dalam Theory of Communicative Action, menegaskan bahwa rasionalitas hukum tidak dapat dipahami semata sebagai rasionalitas instrumental, tetapi harus bersandar pada rasionalitas komunikatif yang berorientasi pada pemahaman bersama.¹⁶ Dalam kerangka ini, subjek hukum bukan sekadar penerima norma, melainkan peserta dalam diskursus publik yang membentuk legitimasi hukum melalui argumentasi rasional.

Sementara itu, pemikir feminis seperti Martha Fineman dan Catherine MacKinnon mengungkapkan bahwa pengetahuan hukum sering kali dibentuk oleh struktur patriarkal yang mengabaikan pengalaman perempuan.¹⁷ Mereka berargumen bahwa epistemologi hukum yang netral adalah ilusi, karena pengetahuan hukum selalu memuat bias sosial dan politik tertentu. Oleh karena itu, pemahaman tentang subjek hukum perlu diperluas untuk mencakup pengalaman yang selama ini termarginalkan.

Pendekatan kritis juga membuka wacana baru tentang subjek hukum dalam era digital. Dengan munculnya kecerdasan buatan dan algoritma otonom, pengetahuan hukum harus menghadapi entitas yang tidak memiliki kesadaran, tetapi berperilaku seperti subjek hukum.¹⁸ Hal ini menimbulkan pertanyaan epistemologis baru: bagaimana hukum dapat “mengetahui” dan mengatur entitas yang tidak dapat menafsirkan dirinya sendiri? Tantangan ini menandai pergeseran epistemologi hukum dari paradigma manusia-sentris menuju paradigma relasional dan teknologi-sentris.

4.5.       Pengetahuan Hukum sebagai Tindakan Reflektif dan Transformatif

Pada akhirnya, epistemologi subjek hukum harus dilihat sebagai tindakan reflektif—suatu proses terus-menerus di mana hukum menafsirkan ulang dirinya dan subjeknya.¹⁹ Pengetahuan hukum bukanlah sistem tertutup, melainkan medan diskursif yang selalu terbuka terhadap koreksi dan transformasi. Dalam konteks ini, filsafat hukum berperan sebagai kesadaran kritis yang menjaga agar hukum tidak kehilangan orientasi moralnya terhadap martabat manusia dan makhluk hidup lainnya.

Oleh karena itu, pengetahuan tentang subjek hukum bukan hanya soal definisi legal, tetapi juga soal pengakuan epistemik—pengakuan bahwa setiap subjek memiliki kapasitas untuk dikenal dan diakui dalam horizon hukum.²⁰ Dengan demikian, epistemologi hukum yang humanistik dan inklusif menjadi syarat bagi terbentuknya sistem hukum yang benar-benar adil dan reflektif terhadap kompleksitas dunia modern.


Footnotes

[1]                Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 25–26.

[2]                Alf Ross, On Law and Justice (London: Stevens & Sons, 1958), 112.

[3]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 96–99.

[4]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 26–27.

[5]                John Dewey, “The Historic Background of Corporate Legal Personality,” Yale Law Journal 35, no. 6 (1926): 655–673.

[6]                Pierre Bourdieu, The Force of Law: Toward a Sociology of the Juridical Field, trans. Richard Terdiman, Hastings Law Journal 38 (1987): 814–816.

[7]                Hans Kelsen, General Theory of Law and State, trans. Anders Wedberg (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1945), 5.

[8]                Ibid., 6.

[9]                Gustav Radbruch, “Five Minutes of Legal Philosophy,” Oxford Journal of Legal Studies 26, no. 1 (2006): 13.

[10]             Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 8–9; H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 1994), 89.

[11]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 1994), 273–276.

[12]             Ibid., 278–280.

[13]             Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 90–94.

[14]             Ibid., 96.

[15]             Werner Menski, Comparative Law in a Global Context: The Legal Systems of Asia and Africa (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 121–123.

[16]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.

[17]             Martha Fineman, The Autonomy Myth: A Theory of Dependency (New York: New Press, 2004), 34–36; Catherine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 112–115.

[18]             Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists and Other Folk (Oxford: Oxford University Press, 2020), 201–205.

[19]             François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History, Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 115–118.

[20]             Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 143–145.


5.           Aksiologi: Nilai, Hak, dan Keadilan bagi Subjek Hukum

Aksiologi hukum menelaah dimensi nilai yang menjadi dasar legitimasi dan tujuan keberadaan hukum. Dalam konteks subjek hukum, pertanyaan aksiologis berpusat pada mengapa suatu entitas layak diakui sebagai subjek hukum dan nilai apa yang mendasari pengakuan tersebut.¹ Dengan kata lain, aksiologi hukum menghubungkan hukum dengan etika, martabat manusia, dan prinsip keadilan, sehingga hukum tidak hanya dipahami sebagai sistem normatif, tetapi juga sebagai sarana pemenuhan nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental.

5.1.       Nilai sebagai Dasar Pengakuan terhadap Subjek Hukum

Dalam tradisi filsafat hukum klasik, nilai merupakan sumber legitimasi hukum. Hukum yang sah bukan hanya yang berlaku secara formal, tetapi yang berakar pada nilai-nilai moral dan rasionalitas universal.² Aristoteles menempatkan keadilan sebagai virtue tertinggi yang menjadi tujuan hukum; hukum ada untuk menjaga keseimbangan dan harmoni sosial.³ Dalam kerangka ini, subjek hukum bukan sekadar penerima hak dan kewajiban, melainkan pelaku moral yang memiliki kesadaran etis terhadap keadilan.

Pemikiran ini diperkuat oleh Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa hukum yang adil harus mencerminkan hukum alam (lex naturalis)—yakni rasio moral yang tertanam dalam diri manusia sebagai ciptaan Tuhan.⁴ Dengan demikian, pengakuan terhadap manusia sebagai subjek hukum bukan hanya hasil keputusan negara, melainkan pengakuan terhadap martabatnya sebagai makhluk rasional dan moral. Hal ini menjadi dasar bagi konsep hak asasi manusia modern yang menempatkan martabat manusia (human dignity) sebagai nilai tertinggi dalam hukum.⁵

5.2.       Hak sebagai Ekspresi Nilai Martabat dan Kebebasan

Hak merupakan manifestasi konkret dari nilai moral dan eksistensial yang melekat pada subjek hukum. John Locke menegaskan bahwa hak-hak alamiah (natural rights)—seperti hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan—adalah sesuatu yang melekat pada manusia sebelum terbentuknya negara.⁶ Negara hanya berfungsi untuk melindungi dan menjamin pelaksanaannya. Dalam pandangan ini, subjek hukum adalah entitas yang otonom dan memiliki hak kodrati yang tidak dapat dicabut.

Namun, konsep hak tidak hanya mencerminkan kebebasan individual, tetapi juga tanggung jawab sosial. Emmanuel Levinas menolak pandangan liberal tentang subjek yang terisolasi, dan menegaskan bahwa tanggung jawab terhadap “yang lain” mendahului hak individu.⁷ Dengan demikian, keadilan hukum tidak dapat dipahami hanya sebagai perlindungan terhadap hak individu, tetapi juga sebagai hubungan etis yang menuntut pengakuan dan kepedulian terhadap keberadaan orang lain.

Di sisi lain, Ronald Dworkin memandang hak sebagai “trump card” terhadap utilitarianisme—hak individu tidak boleh dikorbankan demi kepentingan mayoritas semata.⁸ Pendekatan ini mengembalikan nilai moral ke dalam praktik hukum, memastikan bahwa hukum berfungsi sebagai penjaga integritas moral masyarakat, bukan sekadar instrumen pengendalian sosial.

5.3.       Keadilan sebagai Prinsip Normatif bagi Subjek Hukum

Keadilan merupakan puncak refleksi aksiologis dalam hukum. Ia bukan sekadar hasil dari penerapan aturan, tetapi prinsip normatif yang memberi arah pada seluruh sistem hukum. Plato menafsirkan keadilan sebagai keselarasan antara bagian-bagian jiwa dan masyarakat, sedangkan Aristoteles membaginya menjadi keadilan distributif (pembagian hak secara proporsional) dan keadilan retributif (pemberian hukuman secara seimbang dengan kesalahan).⁹

Dalam tradisi modern, John Rawls memformulasikan keadilan sebagai fairness, yakni kesetaraan dalam distribusi hak dan kesempatan.¹⁰ Subjek hukum, dalam teori Rawls, tidak hanya individu yang bebas, tetapi juga rasional dan berada dalam posisi setara di bawah “veil of ignorance.”¹¹ Konsep ini mengandung nilai moral bahwa hukum harus memperlakukan setiap subjek tanpa diskriminasi, dengan memperhatikan kondisi sosial yang timpang.

Namun, dalam konteks global dan ekologis, konsep keadilan berkembang menjadi keadilan relasional dan keadilan ekologis.¹² Keadilan tidak hanya menyangkut relasi antar manusia, tetapi juga antara manusia dan alam. Pengakuan terhadap entitas non-manusia (seperti sungai, hutan, dan ekosistem) sebagai subjek hukum merupakan perwujudan nilai-nilai ekologis yang mengakui hak kehidupan bagi seluruh makhluk.¹³ Aksiologi hukum di sini bergeser dari antroposentrisme menuju ekosentrisme yang lebih luas.

5.4.       Etika, Tanggung Jawab, dan Solidaritas Sosial

Nilai hukum tidak hanya terkait dengan keadilan formal, tetapi juga dengan etika tanggung jawab (responsibility ethics). Hans Jonas mengingatkan bahwa dalam era teknologi, tanggung jawab manusia terhadap generasi masa depan dan terhadap bumi menjadi dimensi etis baru hukum.¹⁴ Dalam kerangka ini, subjek hukum tidak hanya memiliki hak, tetapi juga tanggung jawab moral terhadap keberlangsungan kehidupan.

Prinsip tanggung jawab juga ditemukan dalam pemikiran Paul Ricoeur yang memandang keadilan sebagai proses dialogis yang melibatkan pengakuan terhadap penderitaan dan kerentanan orang lain.¹⁵ Ricoeur menegaskan bahwa hukum harus mengandung dimensi empati dan solidaritas sosial agar tidak kehilangan sisi kemanusiaannya.

Aksiologi hukum yang berorientasi pada nilai kemanusiaan dan solidaritas sosial juga tercermin dalam konsep humanistic legal ethics, yang menolak reduksi hukum menjadi sekadar mekanisme rasional tanpa moralitas.¹⁶ Dalam pandangan ini, subjek hukum adalah makhluk etis yang keberadaannya selalu terkait dengan kesejahteraan bersama (common good).

5.5.       Aksiologi Hukum di Era Digital dan Ekologis

Dalam era digital, nilai-nilai aksiologis hukum menghadapi tantangan baru. Entitas buatan seperti artificial intelligence menimbulkan perdebatan mengenai hak, tanggung jawab, dan keadilan terhadap entitas non-manusia yang berperan dalam sistem hukum.¹⁷ Apakah AI yang bertindak otonom dapat dianggap memiliki tanggung jawab hukum? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa dasar aksiologis hukum harus diperluas untuk mencakup dimensi etika teknologi dan tanggung jawab algoritmik.

Sementara itu, dalam bidang ekologi, aksiologi hukum menuntut pengakuan terhadap nilai intrinsik alam. Christopher Stone, dalam esainya yang terkenal “Should Trees Have Standing?”, berargumen bahwa keadilan sejati tidak dapat dicapai tanpa mengakui hak hukum bagi entitas non-manusia.¹⁸ Dengan demikian, aksiologi hukum masa kini bergerak menuju paradigma integral yang menempatkan manusia, alam, dan teknologi dalam relasi etis yang saling bertanggung jawab.

5.6.       Menuju Aksiologi Humanistik dan Integral

Dari berbagai dimensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa aksiologi hukum bertumpu pada tiga nilai utama: martabat (dignity), keadilan (justice), dan tanggung jawab (responsibility). Ketiganya saling melengkapi dalam membentuk dasar pengakuan terhadap subjek hukum.¹⁹ Nilai martabat menegaskan hak eksistensial subjek; nilai keadilan mengatur relasi antar subjek secara setara; dan nilai tanggung jawab menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan kebaikan bersama.

Aksiologi hukum yang humanistik menuntut agar hukum tidak hanya menjadi sistem pengaturan, tetapi juga cermin nilai kemanusiaan yang hidup.²⁰ Dalam pandangan ini, hukum berfungsi sebagai ruang etis di mana manusia menemukan makna keberadaannya melalui dialog antara kebebasan dan tanggung jawab. Dengan demikian, pengakuan terhadap subjek hukum tidak hanya bersifat formal, tetapi juga moral dan eksistensial—mengarahkan hukum menuju tatanan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 28.

[2]                Gustav Radbruch, Einführung in die Rechtswissenschaft (Heidelberg: Müller Verlag, 1952), 67.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford University Press, 1999), 89–91.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I-II, q. 95.

[5]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 32–34.

[6]                John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 118–119.

[7]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 180–183.

[8]                Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), 198–202.

[9]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 331–336; Aristotle, Nicomachean Ethics, 112–114.

[10]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 11–13.

[11]             Ibid., 118–122.

[12]             David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 14–15.

[13]             Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 130–132.

[14]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 89–91.

[15]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 33–36.

[16]             François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History, Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 120–123.

[17]             Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists and Other Folk (Oxford: Oxford University Press, 2020), 204–206.

[18]             Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45, no. 2 (1972): 450–451.

[19]             John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 111–114.

[20]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 302–305.


6.           Dimensi Sosial dan Politik dari Subjek Hukum

Dimensi sosial dan politik dari subjek hukum membahas bagaimana eksistensi hukum dan subjeknya tidak pernah berdiri netral atau terlepas dari struktur kekuasaan, ideologi, dan dinamika masyarakat. Subjek hukum bukan hanya hasil dari konstruksi normatif yang formal, tetapi juga produk dari relasi sosial yang kompleks antara individu, negara, dan institusi.¹ Dalam kerangka ini, hukum berfungsi bukan sekadar sebagai perangkat peraturan, tetapi juga sebagai mekanisme pembentukan dan legitimasi kekuasaan sosial.

6.1.       Subjek Hukum dalam Relasi Kekuasaan dan Ideologi

Filsafat politik hukum menegaskan bahwa pengakuan terhadap seseorang atau kelompok sebagai subjek hukum selalu bersifat politis. Michel Foucault menunjukkan bahwa hukum merupakan bagian dari dispositif kekuasaan yang membentuk subjek melalui mekanisme disiplin, normalisasi, dan kontrol sosial.² Dalam pandangan ini, hukum tidak hanya mengatur perilaku, tetapi juga menciptakan identitas: ia menentukan siapa yang diakui sebagai warga negara, siapa yang sah sebagai pelaku ekonomi, dan siapa yang dikeluarkan dari lingkaran pengakuan hukum.³

Negara modern, melalui konsep citizenship, memberikan status hukum kepada individu sebagai legal person yang memiliki hak dan kewajiban. Namun, pengakuan ini bersifat eksklusif karena selalu ada kelompok yang terpinggirkan—mereka yang tidak memenuhi kriteria formal kewarganegaraan atau rasionalitas hukum.⁴ Giorgio Agamben menyebut kondisi ini sebagai homo sacer, yakni subjek yang secara biologis hidup tetapi secara politik “tidak diakui,” karena dikeluarkan dari tatanan hukum yang seharusnya menjamin perlindungan.⁵ Fenomena ini menggambarkan paradoks hukum modern: hukum sekaligus menciptakan dan meniadakan subjeknya.

6.2.       Subjek Hukum dan Struktur Sosial: Ketimpangan dan Eksklusi

Dalam perspektif sosiologi hukum, subjek hukum tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial dan ekonomi. Pierre Bourdieu menegaskan bahwa hukum merupakan bentuk kekuasaan simbolik yang mereproduksi ketimpangan sosial dengan cara yang tampak netral.⁶ Melalui kategori hukum seperti “pemilik,” “pekerja,” atau “korporasi,” hukum menetapkan struktur dominasi yang menguntungkan kelompok tertentu.

Subjek hukum juga dipengaruhi oleh posisi sosialnya: akses terhadap keadilan sering kali bergantung pada modal ekonomi, pendidikan, dan status sosial.⁷ Teori keadilan sosial dari Nancy Fraser memperluas kritik ini dengan menekankan bahwa pengakuan hukum tanpa redistribusi ekonomi tidak cukup untuk mencapai keadilan sejati.⁸ Maka, pengakuan terhadap subjek hukum harus diiringi dengan pembenahan struktur sosial yang memungkinkan semua orang untuk benar-benar mengekspresikan hak-haknya secara setara.

6.3.       Politik Pengakuan dan Subjek Hukum Minoritas

Dalam teori politik kontemporer, terutama melalui karya Charles Taylor dan Axel Honneth, muncul gagasan tentang politics of recognition—politik pengakuan yang menegaskan bahwa keadilan tidak hanya menyangkut distribusi materi, tetapi juga penghargaan terhadap identitas dan martabat subjek.⁹ Pengakuan terhadap kelompok minoritas (etnis, gender, agama, atau disabilitas) menjadi aspek penting dalam pengembangan konsep inklusif tentang subjek hukum.

Subjek hukum dalam konteks ini bukan entitas abstrak yang universal, melainkan subjek konkret dengan identitas dan pengalaman yang unik. Feminisme hukum, misalnya, mengkritik bias patriarkal dalam sistem hukum yang mengklaim universalitas tetapi sebenarnya beroperasi berdasarkan pengalaman laki-laki.¹⁰ Oleh karena itu, epistemologi dan aksiologi hukum harus membuka ruang bagi subjektivitas plural—pengakuan terhadap keragaman pengalaman manusia sebagai bagian sah dari dunia hukum.

6.4.       Globalisasi, Korporasi, dan Subjek Hukum Transnasional

Dalam era globalisasi, muncul subjek hukum baru yang melampaui batas negara-bangsa: korporasi multinasional, organisasi internasional, dan lembaga keuangan global.¹¹ Entitas-entitas ini sering kali memiliki kekuasaan ekonomi yang melebihi negara, tetapi tidak selalu tunduk pada tanggung jawab hukum yang sebanding. Akibatnya, terjadi asimetri antara individu (yang diatur secara ketat oleh hukum nasional) dan entitas korporasi global yang beroperasi lintas yurisdiksi.¹²

Kritikus seperti Saskia Sassen dan David Held berpendapat bahwa globalisasi mengubah hubungan antara hukum dan kedaulatan, di mana negara kehilangan monopoli dalam menentukan siapa yang menjadi subjek hukum.¹³ Dalam konteks ini, hukum internasional dan transnasional menjadi arena politik baru, tempat perdebatan tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab global berlangsung. Hal ini menuntut reformulasi konsep subjek hukum agar lebih responsif terhadap realitas global yang kompleks dan tidak hierarkis.

6.5.       Subjek Hukum dalam Era Digital dan Politik Data

Perkembangan teknologi digital membawa dimensi politik baru terhadap konsep subjek hukum. Identitas manusia kini tidak hanya melekat pada tubuh fisik, tetapi juga pada data yang merepresentasikan dirinya di ruang siber.¹⁴ Fenomena ini melahirkan apa yang disebut data subject—subjek hukum yang eksistensinya ditentukan oleh pengelolaan dan perlindungan data pribadi.¹⁵

Shoshana Zuboff menyebut era ini sebagai surveillance capitalism, di mana individu direduksi menjadi sumber data untuk kepentingan ekonomi korporasi digital.¹⁶ Dalam konteks ini, hukum menghadapi tantangan besar: bagaimana menjamin otonomi dan martabat subjek dalam dunia yang dikuasai oleh algoritma dan kecerdasan buatan? Pengakuan terhadap hak digital menjadi bentuk baru dari politik pengakuan, memperluas cakupan hukum ke dalam dimensi virtual dan non-manusia.

6.6.       Arah Etis dan Politik Menuju Kepribadian Hukum Relasional

Dalam menghadapi kompleksitas sosial dan politik tersebut, perlu dibangun paradigma hukum yang berorientasi pada keadilan relasional—suatu pendekatan yang menempatkan subjek hukum dalam jaringan sosial yang saling bergantung.¹⁷ Jürgen Habermas melalui teori tindakan komunikatif menekankan pentingnya ruang publik deliberatif di mana subjek hukum dapat berpartisipasi setara dalam pembentukan norma hukum.¹⁸ Hukum yang adil harus lahir dari dialog rasional antara subjek yang bebas dan setara, bukan dari otoritas sepihak.

Pendekatan relasional ini juga mengandung dimensi etis: pengakuan terhadap subjek hukum tidak cukup hanya dalam tataran formal, tetapi harus diwujudkan dalam partisipasi nyata dalam proses politik dan sosial.¹⁹ Dengan demikian, subjek hukum tidak lagi dipahami sebagai individu yang terisolasi, melainkan sebagai bagian dari komunitas moral dan politik yang saling menegaskan eksistensinya melalui interaksi yang adil dan reflektif.


Footnotes

[1]                Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 30–32.

[2]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 222–223.

[3]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 98–99.

[4]                Étienne Balibar, Citizenship (Cambridge: Polity Press, 2015), 43–44.

[5]                Giorgio Agamben, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, trans. Daniel Heller-Roazen (Stanford, CA: Stanford University Press, 1998), 3–5.

[6]                Pierre Bourdieu, The Force of Law: Toward a Sociology of the Juridical Field, trans. Richard Terdiman, Hastings Law Journal 38 (1987): 817–820.

[7]                Laura Nader, The Life of the Law: Anthropological Projects (Berkeley: University of California Press, 2002), 55–58.

[8]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 12–15.

[9]                Charles Taylor, Multiculturalism and “The Politics of Recognition” (Princeton: Princeton University Press, 1994), 25–27; Axel Honneth, The Struggle for Recognition (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 132–135.

[10]             Catherine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 113–115.

[11]             Saskia Sassen, Losing Control? Sovereignty in an Age of Globalization (New York: Columbia University Press, 1996), 31–33.

[12]             David Held and Anthony McGrew, Globalization/Anti-Globalization: Beyond the Great Divide (Cambridge: Polity Press, 2007), 22–24.

[13]             Saskia Sassen, Territory, Authority, Rights: From Medieval to Global Assemblages (Princeton: Princeton University Press, 2006), 79–81.

[14]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 85–86.

[15]             Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists and Other Folk (Oxford: Oxford University Press, 2020), 208–210.

[16]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 9–12.

[17]             François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History, Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 129–131.

[18]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 301–304.

[19]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 75–77.


7.           Dimensi Ilmiah dan Interdisipliner

Dimensi ilmiah dan interdisipliner dalam kajian subjek hukum menyoroti bahwa hukum tidak berdiri sendiri sebagai sistem normatif yang tertutup, tetapi merupakan hasil interaksi dinamis antara berbagai disiplin ilmu.¹ Subjek hukum, sebagai entitas sosial dan moral, tidak hanya dipahami melalui kacamata dogmatik yuridis, tetapi juga melalui perspektif sosiologi, psikologi, ekonomi, antropologi, ilmu politik, hingga teknologi informasi. Interdisiplinaritas memungkinkan hukum untuk menyesuaikan diri dengan kompleksitas kehidupan modern dan menafsirkan kembali eksistensi subjek hukum dalam konteks yang lebih luas—manusia, masyarakat, dan lingkungan.

7.1.       Sosiologi Hukum: Subjek dalam Struktur Sosial

Sosiologi hukum berperan penting dalam memahami subjek hukum sebagai bagian dari sistem sosial. Émile Durkheim memandang hukum sebagai refleksi dari solidaritas sosial, di mana norma hukum berfungsi menjaga kohesi antarindividu dalam masyarakat.² Hukum pidana, misalnya, mencerminkan solidaritas mekanik pada masyarakat tradisional, sedangkan hukum perdata menandai solidaritas organik dalam masyarakat modern yang kompleks.³

Pierre Bourdieu menambahkan bahwa hukum merupakan medan sosial (social field) yang diisi oleh pertarungan simbolik antaragen dengan modal sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda.⁴ Subjek hukum, dalam kerangka ini, tidak netral—ia adalah produk dari kekuasaan sosial yang membentuk posisi dan kapasitas hukum seseorang. Dengan demikian, sosiologi hukum mengungkap dimensi sosial tersembunyi di balik konsep formal “kesetaraan di hadapan hukum,” yang dalam praktik sering kali ditentukan oleh relasi kelas, gender, atau etnis.⁵

7.2.       Psikologi Hukum: Kesadaran, Tanggung Jawab, dan Kapasitas Subjektif

Psikologi hukum memusatkan perhatian pada aspek kesadaran, niat, dan tanggung jawab individu sebagai subjek hukum.⁶ Pemahaman mengenai mens rea (niat jahat) dalam hukum pidana merupakan contoh paling jelas bahwa dimensi psikologis menjadi dasar penilaian terhadap tanggung jawab hukum seseorang. Sigmund Freud bahkan berpendapat bahwa hukum berfungsi menekan dorongan instingtif manusia demi keteraturan sosial, menjadikan superego sebagai “hakim internal” yang membentuk kepatuhan hukum.⁷

Kajian modern dalam psikologi kognitif memperluas pemahaman ini melalui studi tentang bounded rationality (rasionalitas terbatas) dan pengambilan keputusan hukum.⁸ Daniel Kahneman menunjukkan bahwa manusia sering kali tidak bertindak rasional secara sempurna, melainkan dipengaruhi oleh bias dan emosi.⁹ Konsep ini penting bagi epistemologi hukum karena menantang asumsi klasik tentang subjek hukum yang selalu rasional, otonom, dan sadar penuh terhadap konsekuensi hukumnya.

7.3.       Ekonomi Hukum: Rasionalitas dan Pilihan dalam Kerangka Hukum

Pendekatan ekonomi hukum (law and economics) berangkat dari asumsi bahwa subjek hukum adalah aktor rasional yang bertindak untuk memaksimalkan utilitasnya.¹⁰ Richard Posner dan Gary Becker mengembangkan teori bahwa hukum seharusnya dirancang untuk mencapai efisiensi ekonomi dengan meminimalkan biaya sosial dari pelanggaran hukum.¹¹ Dalam kerangka ini, keadilan diukur bukan dari nilai moral, tetapi dari keseimbangan insentif dan disinsentif yang diciptakan oleh sistem hukum.

Namun, pendekatan ini mendapat kritik karena mengabaikan dimensi moral dan sosial dari tindakan hukum. Amartya Sen dan Martha Nussbaum berargumen bahwa rasionalitas ekonomi tidak dapat menggantikan nilai-nilai keadilan substantif dan martabat manusia.¹² Oleh karena itu, analisis ekonomi terhadap subjek hukum perlu diimbangi dengan perspektif etika dan hak asasi manusia agar hukum tidak jatuh dalam reduksionisme utilitarian.¹³

7.4.       Antropologi Hukum: Subjek dalam Konteks Budaya

Antropologi hukum menekankan bahwa hukum dan subjeknya selalu tertanam dalam kebudayaan.¹⁴ Sally Falk Moore memperkenalkan konsep semi-autonomous social fields, di mana masyarakat memiliki sistem hukum sendiri yang berinteraksi dengan hukum negara.¹⁵ Dalam masyarakat adat Indonesia, misalnya, pengakuan terhadap subjek hukum tidak hanya didasarkan pada individu, tetapi juga pada komunitas dan leluhur sebagai entitas normatif yang hidup.¹⁶

Hal ini menunjukkan bahwa konsep subjek hukum bersifat kontekstual—tergantung pada struktur nilai, kepercayaan, dan sistem sosial masyarakat. Antropologi hukum dengan demikian memperluas horizon filsafat hukum dari paradigma individualistik ke paradigma kolektif, memperlihatkan bahwa pengakuan terhadap subjek hukum juga berarti pengakuan terhadap kebudayaan dan identitasnya.¹⁷

7.5.       Ilmu Politik dan Hukum: Subjek dalam Arena Kekuasaan

Ilmu politik membantu memahami bagaimana hukum berfungsi sebagai instrumen pembentukan dan pelestarian kekuasaan. Carl Schmitt menegaskan bahwa hukum selalu beroperasi dalam konteks decisionism, yaitu keputusan politik yang mendahului norma.¹⁸ Dalam kenyataan politik modern, hukum menjadi alat bagi negara untuk mengorganisasi masyarakat, menentukan status kewarganegaraan, dan mengontrol perilaku sosial.

Namun, Jürgen Habermas menolak reduksi hukum menjadi alat kekuasaan semata. Dalam kerangka teori tindakan komunikatif, ia menempatkan hukum sebagai medium rasionalitas intersubjektif yang menghubungkan moralitas dan politik melalui diskursus publik yang terbuka.¹⁹ Maka, subjek hukum bukan sekadar warga yang diatur oleh negara, melainkan peserta aktif dalam pembentukan legitimasi hukum melalui dialog dan partisipasi politik.²⁰

7.6.       Teknologi, AI, dan Sains Informasi: Subjek Hukum di Era Digital

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah cara hukum memahami subjek. Dalam era digital, muncul entitas baru seperti artificial intelligence, robot otonom, dan avatar digital yang menantang batas tradisional antara manusia dan non-manusia.²¹ Ilmu komputer, etika teknologi, dan filsafat informasi (seperti dikembangkan oleh Luciano Floridi) memperluas horizon hukum dengan mempertanyakan apakah entitas non-biologis dapat memiliki kepribadian hukum.²²

Dalam konteks ini, hukum harus berkolaborasi dengan sains informasi untuk merumuskan konsep baru tentang tanggung jawab, data protection, dan hak digital.²³ Interdisiplinaritas antara hukum dan ilmu komputer juga melahirkan bidang baru seperti legal informatics dan computational law, yang tidak hanya mengotomatisasi hukum tetapi juga memodelkan logika normatif dalam sistem algoritmik.²⁴

7.7.       Ekologi dan Etika Lingkungan: Subjek Hukum di Alam Semesta

Perkembangan ilmu lingkungan dan ekologi memperluas horizon interdisipliner hukum dengan memasukkan entitas ekologis sebagai subjek hukum potensial.²⁵ Dalam pendekatan ecological jurisprudence, seperti yang dikemukakan oleh Klaus Bosselmann dan Christopher Stone, hukum dipandang sebagai sistem yang harus melindungi keberlanjutan kehidupan seluruh makhluk, bukan hanya manusia.²⁶ Pendekatan ini bersifat integratif karena menggabungkan ilmu hukum, biologi, etika, dan filsafat lingkungan dalam satu kerangka normatif.

Pengakuan hukum terhadap sungai, hutan, dan gunung sebagai subjek hukum—seperti yang terjadi di Selandia Baru dan Kolombia—menjadi contoh konkret dari keberhasilan pendekatan interdisipliner dalam praktik hukum modern.²⁷ Hal ini menandai transformasi epistemologis dan aksiologis hukum dari sistem antroposentris menuju sistem ecocentric justice, di mana seluruh entitas alam diakui sebagai bagian dari komunitas moral.²⁸

7.8.       Interdisiplinaritas sebagai Landasan Paradigma Integral

Dari perspektif ilmiah, subjek hukum dapat dipahami sebagai simpul epistemologis di mana berbagai disiplin ilmu bertemu untuk membentuk pemahaman yang utuh tentang manusia dan keberadaannya dalam hukum.²⁹ Interdisiplinaritas memungkinkan hukum untuk mengintegrasikan pengetahuan empiris, rasional, dan etis, sehingga hukum tidak terperangkap dalam dogma normatif semata.³⁰

Dengan demikian, dimensi ilmiah dan interdisipliner membuka jalan menuju paradigma hukum integral: hukum yang memandang subjek bukan sekadar entitas rasional dan formal, tetapi makhluk sosial, moral, ekologis, dan teknologi yang hidup dalam jaringan kehidupan.³¹ Paradigma ini mengembalikan fungsi ilmu hukum sebagai sistem reflektif, yang tidak hanya menjelaskan dunia, tetapi juga mengarahkan dunia menuju tatanan yang lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan.³²


Footnotes

[1]                Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 35–36.

[2]                Émile Durkheim, The Division of Labor in Society, trans. W.D. Halls (New York: Free Press, 1984), 57–60.

[3]                Ibid., 65–66.

[4]                Pierre Bourdieu, The Force of Law: Toward a Sociology of the Juridical Field, trans. Richard Terdiman, Hastings Law Journal 38 (1987): 820–824.

[5]                Laura Nader, The Life of the Law: Anthropological Projects (Berkeley: University of California Press, 2002), 47.

[6]                Bruce Sales and Lawrence Solan, The Science of Legal Psychology (New York: Oxford University Press, 2012), 12–14.

[7]                Sigmund Freud, Civilization and Its Discontents, trans. James Strachey (New York: Norton, 1961), 48–50.

[8]                Herbert A. Simon, Administrative Behavior (New York: Free Press, 1976), 88–90.

[9]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 109–111.

[10]             Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, 8th ed. (New York: Wolters Kluwer, 2011), 3–5.

[11]             Gary S. Becker, The Economic Approach to Human Behavior (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 12–13.

[12]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 71–73.

[13]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 33–35.

[14]             Leopold Pospíšil, Anthropology of Law: A Comparative Theory (New York: Harper & Row, 1971), 15–17.

[15]             Sally Falk Moore, “Law and Social Change: The Semi-Autonomous Social Field as an Appropriate Subject of Study,” Law & Society Review 7, no. 4 (1973): 719–746.

[16]             Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1984), 122–123.

[17]             Werner Menski, Comparative Law in a Global Context (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 145–147.

[18]             Carl Schmitt, Political Theology, trans. George Schwab (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 5–7.

[19]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 356–359.

[20]             Ibid., 362–364.

[21]             Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists and Other Folk (Oxford: Oxford University Press, 2020), 205–209.

[22]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 85–87.

[23]             Roger Brownsword, Law, Technology and Society: Reimagining the Regulatory Environment (London: Routledge, 2019), 45–47.

[24]             Lawrence Lessig, Code: Version 2.0 (New York: Basic Books, 2006), 121–122.

[25]             Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability (Aldershot: Ashgate, 2008), 132–134.

[26]             Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45, no. 2 (1972): 456–457.

[27]             Erin O’Donnell and Julia Talbot-Jones, “Creating Legal Rights for Rivers: Lessons from Australia, New Zealand, and India,” Ecology and Society 23, no. 1 (2018): 7–9.

[28]             François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History, Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 133–136.

[29]             Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence of Law and Society (Oxford: Oxford University Press, 2001), 12–15.

[30]             Jeremy Waldron, The Dignity of Legislation (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 18–20.

[31]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 311–314.

[32]             François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 137–140.


8.           Kritik terhadap Konsep Subjek Hukum Klasik

Konsep klasik tentang subjek hukum lahir dari paradigma modern yang berpusat pada manusia rasional, otonom, dan individual.¹ Dalam kerangka tersebut, hukum dianggap sebagai sistem universal yang berlaku bagi semua orang secara setara, dengan manusia sebagai pusat pengaturan moral dan rasionalitas. Namun, seiring perkembangan filsafat, ilmu sosial, dan teknologi, konsep ini banyak dikritik karena bersifat eksklusif, reduksionis, dan tidak responsif terhadap realitas sosial yang plural serta perubahan ontologis di dunia modern.² Kritik terhadap konsep klasik subjek hukum muncul dari berbagai arah: feminisme, ekologi, post-humanisme, teori kritis, dan filsafat teknologi.

8.1.       Kritik terhadap Antroposentrisme dan Individualisme

Konsep klasik tentang subjek hukum berakar pada pandangan antroposentris: hanya manusia yang dianggap mampu berpikir, berkehendak, dan bertanggung jawab, sehingga hanya manusia yang layak menjadi subjek hukum.³ Pandangan ini menyingkirkan makhluk lain dan entitas non-manusia dari ruang moral dan hukum. Kritik terhadap antroposentrisme muncul dari gerakan ekologi dan filsafat lingkungan, yang menegaskan bahwa nilai dan hak tidak dapat dibatasi hanya pada manusia.⁴

Christopher Stone dalam esainya yang terkenal Should Trees Have Standing? menolak eksklusivitas manusia sebagai satu-satunya subjek hukum dan mengajukan kemungkinan pengakuan terhadap sungai, hutan, dan hewan sebagai entitas yang memiliki hak hukum.⁵ Demikian pula, Bruno Latour berpendapat bahwa dunia sosial tidak hanya terdiri atas manusia, melainkan jaringan hibrid antara manusia dan non-manusia yang saling menentukan.⁶ Paradigma antroposentris klasik dianggap gagal memahami keterhubungan ekologis dan interdependensi antara semua bentuk kehidupan.

Selain antroposentrisme, individualisme dalam teori hukum modern juga mendapat kritik tajam. Subjek hukum klasik digambarkan sebagai entitas yang otonom dan bebas dari relasi sosial, sebagaimana dalam filsafat liberal John Locke dan Immanuel Kant.⁷ Namun, dalam kenyataan sosial, identitas dan hak individu selalu dibentuk melalui relasi sosial, budaya, dan politik. Carol Gilligan dan Martha Nussbaum menolak pandangan atomistik ini dengan menekankan ethics of care dan konsep capabilities approach—bahwa manusia menjadi subjek hukum bukan karena rasionalitasnya, melainkan karena keterikatannya dengan orang lain dan kapasitasnya untuk berkembang.⁸

8.2.       Kritik Feminisme terhadap Subjek Hukum Universal

Teori feminis menyoroti bahwa konsep “subjek hukum universal” sesungguhnya adalah konstruksi patriarkal yang merepresentasikan pengalaman laki-laki sebagai ukuran manusia universal.⁹ Catherine MacKinnon mengungkap bahwa netralitas hukum hanyalah ilusi yang menyembunyikan bias gender dalam struktur hukum.¹⁰ Subjek hukum dalam sistem klasik dianggap netral, padahal dalam praktiknya dibangun di atas asumsi maskulin—rasional, otonom, dan independen—yang mengabaikan pengalaman perempuan dan kelompok marjinal.¹¹

Iris Marion Young menambahkan bahwa keadilan substantif tidak dapat dicapai hanya melalui kesetaraan formal, karena kesetaraan formal justru mempertahankan struktur ketidakadilan yang sudah ada.¹² Oleh sebab itu, feminisme hukum menyerukan transformasi epistemologis: dari subjek netral ke subjek relasional, dari keadilan prosedural ke keadilan pengakuan dan perawatan (recognition and care).¹³

8.3.       Kritik Post-Struktural dan Teori Kritis terhadap Subjek Rasional

Dari perspektif post-struktural, konsep subjek hukum rasional dikritik karena mengasumsikan keberadaan kesadaran yang stabil dan konsisten. Michel Foucault menunjukkan bahwa subjek bukan entitas otonom, melainkan hasil dari operasi kekuasaan dan diskursus.¹⁴ Hukum, dalam kerangka ini, bukan sekadar alat pengendalian eksternal, tetapi juga mekanisme yang membentuk subjek melalui disiplin, regulasi tubuh, dan produksi pengetahuan.¹⁵

Louis Althusser, melalui konsep interpellation, menjelaskan bahwa subjek hukum terbentuk ketika individu “dipanggil” oleh ideologi untuk mengenali dirinya dalam sistem hukum yang berlaku.¹⁶ Artinya, subjek hukum tidak mendahului hukum, melainkan dihasilkan oleh hukum itu sendiri. Hal ini menggeser pemahaman klasik bahwa subjek adalah sumber hukum menuju gagasan bahwa subjek adalah produk hukum.

Sementara itu, Jürgen Habermas mengkritik reduksi hukum menjadi instrumen kekuasaan dalam pemikiran Foucault dengan menawarkan alternatif berupa rationality of communication.¹⁷ Ia berpendapat bahwa subjek hukum harus dipahami sebagai agen komunikatif yang berpartisipasi dalam pembentukan norma melalui diskursus rasional, bukan sekadar objek kekuasaan. Dengan demikian, kritik post-struktural membuka kesadaran bahwa hukum selalu beroperasi dalam jaringan kekuasaan, tetapi teori kritis menambahkan bahwa ada potensi emansipatif di dalamnya.

8.4.       Kritik Ekosentris dan Post-Humanis: Melampaui Manusia sebagai Pusat

Gerakan post-humanisme menawarkan kritik radikal terhadap pandangan bahwa hanya manusia yang memiliki kesadaran hukum. Donna Haraway dalam When Species Meet menegaskan bahwa manusia tidak dapat dipahami tanpa hubungannya dengan makhluk lain dan teknologi.¹⁸ Subjek hukum di era post-human tidak lagi terbatas pada manusia biologis, tetapi mencakup entitas teknologi seperti artificial intelligence dan sistem algoritmik yang kini turut berperan dalam ruang hukum dan ekonomi.¹⁹

Kasus pengakuan sungai Whanganui di Selandia Baru dan Gunung Taranaki sebagai subjek hukum menunjukkan bahwa konsep kepribadian hukum telah bergeser dari yang bersifat individualistik menuju kolektif dan ekologis.²⁰ Dalam paradigma ini, subjek hukum dipahami secara relasional: eksistensi hukum tidak ditentukan oleh kesadaran atau kehendak bebas, melainkan oleh keterlibatan dalam jaringan kehidupan dan tanggung jawab etis terhadap keberlanjutan dunia.²¹

8.5.       Kritik Teknologis: Subjek Hukum dalam Era Digital dan Kecerdasan Buatan

Revolusi digital menantang konsep klasik tentang subjek hukum yang terbatas pada entitas manusia atau lembaga formal. Dengan munculnya artificial intelligence (AI) dan sistem otonom, terjadi pergeseran epistemologis mengenai siapa atau apa yang dapat dianggap sebagai subjek hukum.²² Mireille Hildebrandt menyoroti bahwa algoritma kini tidak hanya mengeksekusi hukum, tetapi juga “menciptakan” keputusan hukum melalui analitik data dan prediksi perilaku.²³

Pertanyaannya menjadi: apakah AI dapat dianggap sebagai subjek hukum dengan tanggung jawab sendiri, ataukah ia tetap sekadar instrumen manusia?²⁴ Paradigma klasik hukum—yang bergantung pada kehendak bebas, kesadaran moral, dan niat—tidak mampu menjawab tantangan ini karena AI beroperasi tanpa kesadaran namun memiliki otonomi fungsional.²⁵ Dengan demikian, muncul kebutuhan untuk membangun epistemologi hukum baru yang mampu menampung bentuk-bentuk kepribadian hukum non-manusia, baik buatan maupun ekologis.

8.6.       Menuju Kritik Humanistik-Relasional

Keseluruhan kritik terhadap konsep klasik menunjukkan bahwa subjek hukum tidak dapat lagi didefinisikan secara sempit.²⁶ Ia harus dipahami sebagai entitas relasional yang eksistensinya dibentuk oleh interaksi sosial, teknologi, dan ekologis. Kritik feminis mengingatkan tentang pentingnya empati dan perawatan; kritik post-struktural mengingatkan tentang kekuasaan yang membentuk subjek; kritik ekologis menegaskan keterhubungan dengan alam; dan kritik teknologi memperluas horizon tentang agensi non-manusia.

Dengan mengintegrasikan berbagai kritik tersebut, filsafat hukum kontemporer diarahkan pada paradigma humanisme relasional—yakni pemahaman bahwa kepribadian hukum tidak berhenti pada individu, tetapi meluas ke seluruh sistem kehidupan.²⁷ Paradigma ini tidak meniadakan manusia sebagai pusat, tetapi menempatkannya dalam jaringan tanggung jawab bersama, di mana hukum berfungsi bukan hanya melindungi hak, melainkan juga merawat kehidupan.²⁸


Footnotes

[1]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 95–96.

[2]                François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History, Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 141.

[3]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 43–44.

[4]                Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 22–23.

[5]                Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45, no. 2 (1972): 450–451.

[6]                Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 60–62.

[7]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, ed. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42–44.

[8]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 33–34.

[9]                Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 112–115.

[10]             Ibid., 118.

[11]             Carol Gilligan, In a Different Voice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 24–25.

[12]             Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 15–17.

[13]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 18–19.

[14]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 222–223.

[15]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 99–101.

[16]             Louis Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays, trans. Ben Brewster (New York: Monthly Review Press, 1971), 174–175.

[17]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 303–305.

[18]             Donna J. Haraway, When Species Meet (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2008), 20–23.

[19]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 39–42.

[20]             Erin O’Donnell and Julia Talbot-Jones, “Creating Legal Rights for Rivers: Lessons from Australia, New Zealand, and India,” Ecology and Society 23, no. 1 (2018): 7–8.

[21]             Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability (Aldershot: Ashgate, 2008), 135–136.

[22]             Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists and Other Folk (Oxford: Oxford University Press, 2020), 205–207.

[23]             Roger Brownsword, Law, Technology and Society (London: Routledge, 2019), 46–47.

[24]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 90–92.

[25]             Matthew Scherer, “Regulating Artificial Intelligence Systems: Risks, Challenges, Competencies, and Strategies,” Harvard Journal of Law & Technology 29, no. 2 (2016): 354–355.

[26]             François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 145–148.

[27]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 180–182.

[28]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 80–82.


9.           Relevansi Kontemporer: Menuju Kepribadian Hukum Integral

Dalam konteks abad ke-21, pembahasan mengenai subjek hukum memasuki wilayah baru yang sangat kompleks. Dunia yang ditandai oleh globalisasi, digitalisasi, dan krisis ekologis menuntut pemahaman yang lebih luas dan integral tentang kepribadian hukum.¹ Paradigma klasik yang membatasi subjek hukum pada manusia dan badan hukum formal kini tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan sosial, teknologi, dan ekologis kontemporer. Perubahan-perubahan ini mengharuskan adanya rekonseptualisasi terhadap hakikat, kapasitas, dan tanggung jawab subjek hukum dalam sistem yang lebih terbuka, interdependen, dan berorientasi pada keberlanjutan kehidupan bersama.

9.1.       Era Digital dan Tantangan Kepribadian Hukum Baru

Revolusi digital mengubah secara radikal cara hukum memahami identitas dan tanggung jawab. Subjek hukum kini tidak hanya berbentuk individu atau lembaga, tetapi juga meliputi entitas virtual seperti artificial intelligence, algoritma, dan sistem otonom.² Di beberapa yurisdiksi, telah muncul perdebatan serius tentang kemungkinan pengakuan AI sebagai electronic person, terutama ketika sistem tersebut mampu mengambil keputusan secara mandiri dalam konteks kontrak, perdagangan, atau tanggung jawab perdata.³

Mireille Hildebrandt menyebut fenomena ini sebagai algorithmic governance, yaitu situasi di mana algoritma berperan bukan hanya sebagai alat pelaksana hukum, melainkan sebagai “pembuat keputusan normatif.”⁴ Hal ini menimbulkan pertanyaan etis dan ontologis: apakah entitas tanpa kesadaran moral dapat menjadi subjek hukum yang sah? Dalam konteks ini, paradigma hukum integral menekankan perlunya keseimbangan antara inovasi teknologi dan prinsip humanistik, agar otonomi digital tidak meniadakan tanggung jawab moral manusia di balik sistem tersebut.⁵

9.2.       Globalisasi, Hukum Transnasional, dan Subjek Hukum Global

Dalam dunia yang semakin saling terhubung, muncul bentuk-bentuk subjek hukum baru yang bersifat transnasional, seperti korporasi multinasional, organisasi internasional, dan lembaga keuangan global.⁶ Entitas ini sering kali memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang melampaui negara-bangsa, namun tidak selalu memiliki akuntabilitas hukum yang setara. Saskia Sassen menyoroti bahwa globalisasi telah “mendematerialisasi” yurisdiksi hukum tradisional, menciptakan ruang hukum hibrid di mana tanggung jawab menjadi kabur.⁷

Di sisi lain, berkembang pula subjek hukum global yang berfokus pada perlindungan hak asasi manusia universal dan tanggung jawab kolektif. Contohnya adalah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang mengakui individu sebagai subjek hukum internasional yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan kemanusiaan.⁸ Dengan demikian, konsep subjek hukum bergeser dari kerangka nasionalistik ke arah etika universal yang berlandaskan kemanusiaan dan solidaritas lintas batas.

9.3.       Ekologi dan Pengakuan Hukum terhadap Alam sebagai Subjek

Krisis lingkungan dan perubahan iklim memunculkan revolusi paradigmatik dalam hukum: pengakuan terhadap alam sebagai subjek hukum.⁹ Pengakuan ini tidak sekadar simbolik, melainkan menandai transformasi ontologis—dari hukum yang antroposentris menuju hukum yang ekosentris.¹⁰ Negara seperti Selandia Baru (sungai Whanganui), Ekuador (konstitusi hak-hak alam), dan Kolombia (pengakuan Amazon sebagai subjek hukum) menjadi contoh nyata dari perubahan ini.¹¹

Menurut Klaus Bosselmann, paradigma Earth Jurisprudence atau ecological law mengandaikan bahwa kepribadian hukum harus dipahami dalam konteks keberlanjutan planet, bukan semata-mata keberlangsungan manusia.¹² Dalam paradigma ini, subjek hukum integral mencakup manusia, komunitas ekologis, dan entitas non-manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang saling bergantung.¹³ Keberadaan hukum yang adil tidak lagi diukur hanya berdasarkan kesejahteraan manusia, melainkan keseimbangan ekologis dan tanggung jawab antargenerasi.¹⁴

9.4.       Kepribadian Hukum dan Keadilan Sosial di Dunia Global

Perkembangan ekonomi neoliberal telah menimbulkan ketimpangan sosial dan hukum yang tajam. Konsep subjek hukum yang formal sering kali gagal mengakomodasi kelompok rentan seperti pekerja migran, pengungsi, penyandang disabilitas, dan komunitas adat.¹⁵ Nancy Fraser menegaskan bahwa keadilan modern tidak cukup hanya melalui redistribusi ekonomi, tetapi juga memerlukan pengakuan hukum dan representasi politik yang setara.¹⁶

Dalam konteks ini, paradigma kepribadian hukum integral berupaya menggabungkan dimensi sosial, ekonomi, dan politik dari subjek hukum. Subjek hukum tidak lagi dipandang sebagai individu terisolasi, melainkan sebagai person-in-relation—entitas yang keberadaannya bergantung pada struktur sosial dan pengakuan publik.¹⁷ Dengan demikian, hukum menjadi alat emansipasi yang mengakui keberagaman, memulihkan ketimpangan, dan memperluas akses terhadap keadilan substantif.¹⁸

9.5.       Etika Digital dan Moralitas Hukum di Era Informasi

Selain persoalan teknologi dan ekologi, era digital juga membawa tantangan aksiologis terkait etika hukum. Perlindungan data pribadi, hak privasi, dan algoritma prediktif menimbulkan persoalan baru dalam relasi antara individu dan negara.¹⁹ Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai surveillance capitalism, yaitu bentuk baru kapitalisme yang mengeksploitasi data pribadi manusia sebagai komoditas hukum dan ekonomi.²⁰

Untuk menjawab tantangan ini, kepribadian hukum integral harus mengintegrasikan nilai etika digital: otonomi, transparansi, dan tanggung jawab moral dalam penggunaan teknologi.²¹ Dengan demikian, subjek hukum masa kini tidak hanya harus dipahami dalam konteks manusia biologis, tetapi juga manusia digital—yang eksistensinya berada di antara dunia material dan virtual, serta memiliki hak-hak dasar atas informasi dan perlindungan identitasnya.²²

9.6.       Menuju Paradigma Kepribadian Hukum Integral

Semua perkembangan di atas mengarah pada kebutuhan akan paradigma baru yang bersifat integral dan humanistik. Kepribadian hukum integral memadukan tiga dimensi utama:

1)                  Dimensi ontologis, yang memandang subjek hukum sebagai entitas relasional dalam jaringan sosial, ekologis, dan digital.

2)                  Dimensi epistemologis, yang menegaskan bahwa pengetahuan hukum bersifat dialogis dan interdisipliner.

3)                  Dimensi aksiologis, yang mengarahkan hukum pada nilai-nilai keadilan, tanggung jawab, dan keberlanjutan.²³

Paradigma integral menolak dikotomi antara manusia dan non-manusia, hukum dan moralitas, fakta dan nilai.²⁴ Ia mengusulkan suatu tatanan hukum yang reflektif, di mana kepribadian hukum tidak hanya berarti “siapa yang memiliki hak,” tetapi juga “siapa yang bertanggung jawab” terhadap kehidupan bersama.²⁵ Dengan demikian, hukum masa depan tidak lagi sekadar melindungi individu, tetapi juga menumbuhkan kesadaran moral kolektif untuk menjaga harmoni antara manusia, teknologi, dan alam.²⁶


Footnotes

[1]                François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History, Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 151–153.

[2]                Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists and Other Folk (Oxford: Oxford University Press, 2020), 205–207.

[3]                Matthew Scherer, “Regulating Artificial Intelligence Systems: Risks, Challenges, Competencies, and Strategies,” Harvard Journal of Law & Technology 29, no. 2 (2016): 354–355.

[4]                Mireille Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law (Cheltenham: Edward Elgar, 2015), 92–94.

[5]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 88–90.

[6]                David Held and Anthony McGrew, Globalization/Anti-Globalization: Beyond the Great Divide (Cambridge: Polity Press, 2007), 22–24.

[7]                Saskia Sassen, Losing Control? Sovereignty in an Age of Globalization (New York: Columbia University Press, 1996), 31–33.

[8]                Antonio Cassese, International Criminal Law (Oxford: Oxford University Press, 2008), 17–18.

[9]                Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 130–132.

[10]             Val Plumwood, Environmental Culture: The Ecological Crisis of Reason (London: Routledge, 2002), 54–55.

[11]             Erin O’Donnell and Julia Talbot-Jones, “Creating Legal Rights for Rivers: Lessons from Australia, New Zealand, and India,” Ecology and Society 23, no. 1 (2018): 7–9.

[12]             Klaus Bosselmann, The Earth Charter and Global Ethics (London: Routledge, 2016), 62–63.

[13]             François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 154–156.

[14]             Christopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects,” Southern California Law Review 45, no. 2 (1972): 450–452.

[15]             Boaventura de Sousa Santos, Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in the Paradigmatic Transition (New York: Routledge, 1995), 79–81.

[16]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 18–19.

[17]             Iris Marion Young, Responsibility for Justice (Oxford: Oxford University Press, 2011), 36–38.

[18]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 39–40.

[19]             Luciano Floridi, The Onlife Manifesto: Being Human in a Hyperconnected Era (Cham: Springer, 2015), 15–17.

[20]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 9–11.

[21]             Roger Brownsword, Law, Technology and Society: Reimagining the Regulatory Environment (London: Routledge, 2019), 43–45.

[22]             Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists, 208–210.

[23]             François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 159–161.

[24]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 305–307.

[25]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 83–85.

[26]             Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 148–150.


10.       Sintesis Filosofis: Menuju Ontologi Relasional Subjek Hukum

Sintesis filosofis mengenai subjek hukum menuntut suatu pendekatan yang melampaui dikotomi klasik antara hukum sebagai norma formal dan manusia sebagai entitas rasional yang otonom.¹ Melalui perjalanan panjang historis, epistemologis, dan aksiologis, terlihat bahwa konsep subjek hukum tidak dapat dipahami secara statis. Ia merupakan hasil dari interaksi dinamis antara manusia, masyarakat, alam, dan teknologi. Maka, pembaruan paradigma menuju ontologi relasional menjadi keharusan untuk memahami hakikat subjek hukum dalam dunia kontemporer yang kompleks dan saling terhubung.

10.1.    Rekonsiliasi antara Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Hukum

Pendekatan relasional berangkat dari kesadaran bahwa hukum bukan sekadar sistem rasional yang tertutup, melainkan medan interaksi nilai, makna, dan eksistensi.² Secara ontologis, hukum tidak hanya “ada” sebagai struktur norma, tetapi juga “menjadi” melalui tindakan sosial dan komunikasi antar-subjek.³ Secara epistemologis, pengetahuan hukum terbentuk dalam dialog antara subjek, bukan dalam isolasi.⁴ Dan secara aksiologis, nilai hukum menemukan maknanya dalam relasi etis yang hidup, bukan dalam prinsip formal semata.

Dengan demikian, sintesis ini mengusulkan bahwa subjek hukum tidak lagi dipahami sebagai individu yang berdiri sendiri (substantive being), tetapi sebagai entitas yang eksistensinya terjalin dalam jejaring hubungan sosial, ekologis, dan moral.⁵ Ontologi relasional menolak konsep atomistik tentang subjek dan menggantinya dengan pemahaman bahwa keberadaan manusia dan hukum selalu bersifat interdependen dan ko-evolutif.⁶

10.2.    Subjek Hukum sebagai Entitas Relasional: Dari Ego ke Inter-Being

Filsafat relasional berakar pada pemikiran Martin Buber, yang membedakan relasi I–It (aku–itu) dan I–Thou (aku–engkau).⁷ Dalam konteks hukum, paradigma I–It mencerminkan hukum positivistik yang memperlakukan individu sebagai objek regulasi, sedangkan paradigma I–Thou menggambarkan hubungan hukum yang didasarkan pada pengakuan timbal balik dan tanggung jawab etis.⁸ Emmanuel Levinas kemudian memperluas gagasan ini dengan menyatakan bahwa hubungan etis terhadap “yang lain” adalah fondasi segala hukum yang bermakna.⁹

Dengan perspektif ini, subjek hukum bukanlah entitas yang sudah selesai, melainkan sesuatu yang selalu “terjadi” melalui relasi dengan yang lain.¹⁰ Hukum yang relasional menuntut agar setiap subjek diakui bukan karena status formalnya, tetapi karena partisipasinya dalam komunitas moral.¹¹ Inilah yang membedakan ontologi relasional dari ontologi substansial: yang pertama menekankan relasi, keterlibatan, dan dialog; yang kedua menekankan esensi tetap dan tertutup.

10.3.    Keberadaan dalam Jaringan Sosial dan Ekologis

Ontologi relasional memperluas cakupan eksistensi hukum hingga ke wilayah sosial dan ekologis. Bruno Latour, dalam kerangka actor-network theory, mengungkap bahwa setiap entitas—baik manusia, lembaga, maupun benda—berperan sebagai aktant dalam jaringan hukum dan sosial.¹² Artinya, subjek hukum tidak dapat dipisahkan dari materialitas, teknologi, dan lingkungan yang membentuknya. Kepribadian hukum menjadi hasil dari keterlibatan banyak faktor yang saling memengaruhi.¹³

Dalam perspektif ekologis, François Ost menegaskan bahwa hukum modern harus merekonsiliasi hubungan manusia dengan alam melalui paradigma ecological personhood.¹⁴ Paradigma ini menegaskan bahwa subjek hukum integral tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga terhadap komunitas kehidupan yang lebih luas.¹⁵ Hukum dengan demikian bukan sekadar instrumen keadilan sosial, tetapi juga wahana bagi keberlanjutan ekologis.

10.4.    Relasionalitas sebagai Dasar Keadilan dan Etika Komunikatif

Ontologi relasional berakar pada pandangan bahwa keadilan hanya dapat terwujud melalui komunikasi yang setara antar-subjek. Jürgen Habermas melalui teori tindakan komunikatif menegaskan bahwa legitimasi hukum lahir bukan dari kekuasaan, tetapi dari proses diskursif yang memungkinkan semua pihak berpartisipasi dalam pembentukan norma.¹⁶ Dengan demikian, subjek hukum bukan lagi “penerima hukum,” tetapi “pencipta makna hukum” bersama yang lain.¹⁷

Paul Ricoeur menambahkan dimensi hermeneutis pada teori ini dengan menekankan bahwa hukum sejati lahir dari rekonsiliasi naratif—yakni upaya memahami orang lain dalam konteks sejarah dan pengalaman hidupnya.¹⁸ Maka, keadilan yang relasional bukan sekadar kesetaraan formal, melainkan keterlibatan etis dan dialogis yang terus-menerus dalam membangun makna keadilan.

10.5.    Implikasi Humanistik dan Integral: Manusia sebagai Subjek dalam Jaringan Kehidupan

Paradigma ontologi relasional membuka jalan bagi pemahaman baru tentang humanisme hukum. Jika humanisme klasik menempatkan manusia sebagai pusat hukum (anthropos sebagai subjek dominan), maka humanisme relasional menempatkan manusia dalam jaringan kehidupan yang saling menopang.¹⁹ Subjek hukum integral adalah manusia yang sadar bahwa kebebasan pribadinya hanya bermakna dalam konteks tanggung jawab sosial dan ekologis.²⁰

Filsafat kepribadian integral ini dapat dilihat dalam gagasan Hans Jonas tentang ethics of responsibility, di mana manusia dipanggil untuk bertanggung jawab atas kehidupan yang lebih luas daripada dirinya sendiri.²¹ Dengan demikian, hukum yang relasional dan integral tidak hanya mengatur perilaku, tetapi juga membentuk kesadaran moral kolektif.²² Ia menuntut sinergi antara ilmu hukum, etika, dan ekologi dalam menata masa depan yang berkelanjutan.

10.6.    Menuju Ontologi Relasional Subjek Hukum

Sintesis filosofis menuju ontologi relasional subjek hukum mengandaikan transformasi mendasar dalam cara hukum memahami keberadaan manusia dan dunia. Ontologi ini menolak pandangan reduksionis yang memisahkan fakta dari nilai, manusia dari alam, dan hukum dari moralitas.²³ Sebaliknya, ia menegaskan bahwa hukum adalah ekspresi hidup dari relasi timbal balik antara makhluk-makhluk yang berbeda tetapi saling terhubung.²⁴

Subjek hukum yang relasional adalah subjek yang sadar akan keterbatasannya sekaligus keterikatannya pada yang lain. Ia menjadi subjek bukan karena memiliki kehendak bebas secara absolut, tetapi karena mampu berpartisipasi dalam tatanan moral dan ekologis bersama.²⁵ Dengan demikian, ontologi relasional menghadirkan hukum sebagai ruang etis di mana manusia, alam, dan teknologi berjumpa dalam kesalingan, tanggung jawab, dan solidaritas.²⁶

Paradigma ini menandai pergeseran menuju hukum yang lebih humanistik, integral, dan komunikatif, di mana pengakuan terhadap subjek hukum tidak berhenti pada batas antropologis, tetapi menjangkau seluruh dimensi kehidupan.²⁷ Inilah arah baru bagi filsafat hukum abad ke-21—sebuah hukum yang hidup karena ia tumbuh bersama kehidupan itu sendiri.²⁸


Footnotes

[1]                Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 41–42.

[2]                François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History, Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 159–160.

[3]                Niklas Luhmann, Law as a Social System, trans. Klaus Ziegert (Oxford: Oxford University Press, 2004), 70–72.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 1994), 276–278.

[5]                Bruno Latour, Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network Theory (Oxford: Oxford University Press, 2005), 54–55.

[6]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso, 1978), 121–123.

[7]                Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 56–57.

[8]                Ibid., 60.

[9]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 180–182.

[10]             Ibid., 184.

[11]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 81–83.

[12]             Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 60–62.

[13]             François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 162–164.

[14]             Ibid., 166–168.

[15]             Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 130–132.

[16]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 301–304.

[17]             Ibid., 306.

[18]             Paul Ricoeur, The Just, 85–87.

[19]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 37–38.

[20]             Iris Marion Young, Responsibility for Justice (Oxford: Oxford University Press, 2011), 40–42.

[21]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 89–91.

[22]             François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 170–172.

[23]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 356–358.

[24]             Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 148–150.

[25]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 172–174.

[26]             Donna J. Haraway, When Species Meet (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2008), 22–24.

[27]             François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 175–178.

[28]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, 185–186.


11.       Kesimpulan

Konsep subjek hukum merupakan inti dari refleksi filosofis tentang hakikat manusia, hukum, dan keadilan. Sepanjang sejarah pemikiran hukum, konsep ini mengalami transformasi fundamental—dari pengertian klasik yang menekankan rasionalitas dan otonomi individu, menuju paradigma kontemporer yang bersifat relasional, integral, dan humanistik.¹ Evolusi ini menunjukkan bahwa hukum bukanlah sistem tertutup yang hanya mengatur perilaku, melainkan suatu tatanan makna yang hidup dalam interaksi antara manusia, masyarakat, dan dunia di sekitarnya.²

Secara ontologis, subjek hukum tidak lagi dapat dipahami sebagai entitas yang berdiri sendiri. Ia merupakan being-in-relation—suatu eksistensi yang hanya bermakna dalam jejaring sosial, ekologis, dan teknologi yang melingkupinya.³ Konsep ini mengoreksi pandangan modern yang memisahkan individu dari lingkungannya, menggantinya dengan kesadaran bahwa keberadaan hukum dan manusia saling membentuk dalam proses yang dinamis dan interdependen.⁴ Oleh karena itu, keberadaan hukum tidak hanya diukur dari kepastian normatif, tetapi dari kemampuannya untuk menumbuhkan relasi keadilan yang hidup dan berkelanjutan.⁵

Secara epistemologis, pengetahuan tentang subjek hukum menuntut pendekatan yang hermeneutik dan intersubjektif.⁶ Artinya, memahami hukum bukan sekadar menghafal norma, tetapi menafsirkan maknanya melalui dialog sosial dan sejarah kehidupan manusia.⁷ Kebenaran hukum tidak bersumber dari otoritas tunggal, melainkan lahir dari komunikasi antar-subjek yang saling mengakui martabatnya.⁸ Dalam konteks ini, teori tindakan komunikatif Jürgen Habermas memberikan fondasi bagi model hukum yang demokratis dan partisipatif, di mana legitimasi hukum diperoleh melalui kesepakatan rasional dan etis, bukan melalui kekuasaan koersif.⁹

Secara aksiologis, konsep subjek hukum integral berakar pada nilai-nilai martabat (dignity), tanggung jawab (responsibility), dan solidaritas (solidarity).¹⁰ Nilai-nilai ini memastikan bahwa hukum tidak menjadi instrumen kekuasaan, melainkan sarana perlindungan bagi kehidupan manusia dan alam.¹¹ Hukum yang hanya menegakkan kepastian tanpa mempertimbangkan keadilan akan kehilangan makna moralnya, sebagaimana diingatkan Gustav Radbruch melalui prinsip übergesetzliches Recht (hukum di atas undang-undang).¹²

Dalam konteks sosial dan politik, pengakuan terhadap subjek hukum menuntut inklusivitas dan keberpihakan terhadap kelompok yang selama ini terpinggirkan—perempuan, masyarakat adat, penyandang disabilitas, dan entitas ekologis.¹³ Hal ini sejalan dengan gagasan Nancy Fraser tentang justice as recognition, bahwa keadilan sejati tidak hanya mengandalkan redistribusi ekonomi, tetapi juga pengakuan identitas dan martabat manusia secara utuh.¹⁴ Subjek hukum dalam arti modern tidak lagi terbatas pada individu rasional, tetapi meluas ke berbagai bentuk eksistensi yang turut menopang kehidupan bersama, termasuk alam dan teknologi.¹⁵

Ke depan, filsafat hukum perlu membangun paradigma kepribadian hukum integral dan relasional, yang menggabungkan dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dalam satu kesatuan yang koheren.¹⁶ Paradigma ini berupaya mengharmonikan antara kebebasan dan tanggung jawab, antara hak individu dan kesejahteraan kolektif, antara manusia dan ekosistemnya.¹⁷ Dengan cara ini, hukum dapat menjadi sarana rekonsiliasi antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesamanya, dan dengan dunia yang menjadi rumah bersama.¹⁸

Paradigma ontologi relasional subjek hukum menawarkan arah baru bagi peradaban hukum masa depan: hukum yang tidak lagi mengisolasi manusia dari jaringan kehidupan, melainkan memulihkannya ke dalam relasi etis yang menyatukan.¹⁹ Dalam pandangan ini, hukum bukan hanya sistem aturan, tetapi ekspresi dari ethos hidup bersama yang berpijak pada cinta kasih, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap keberadaan segala sesuatu.²⁰ Hukum yang demikianlah—hukum yang integral, humanistik, dan ekologis—yang mampu menjaga keseimbangan antara keadilan dan kehidupan, antara martabat dan keberlanjutan, serta antara kebebasan dan solidaritas.²¹


Footnotes

[1]                François Ost, The Spirit of the Laws of Nature: History, Philosophy, and Legal Ecology (Oxford: Hart Publishing, 2019), 179–180.

[2]                Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 45.

[3]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 184–186.

[4]                Bruno Latour, Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network Theory (Oxford: Oxford University Press, 2005), 56–58.

[5]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso, 1978), 123–125.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 1994), 276–278.

[7]                Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 86–87.

[8]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 301–303.

[9]                Ibid., 304–306.

[10]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 38–40.

[11]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 89–91.

[12]             Gustav Radbruch, “Gesetzliches Unrecht und Übergesetzliches Recht,” Süddeutsche Juristen-Zeitung 1 (1946): 105–108.

[13]             Iris Marion Young, Responsibility for Justice (Oxford: Oxford University Press, 2011), 37–38.

[14]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 18–20.

[15]             Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming Law and Governance (Aldershot: Ashgate, 2008), 132–134.

[16]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 356–358.

[17]             François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 182–184.

[18]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 172–174.

[19]             Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 148–150.

[20]             Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 56–57.

[21]             François Ost, The Spirit of the Laws of Nature, 185–187.


Daftar Pustaka

Agamben, G. (1998). Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life (D. Heller-Roazen, Trans.). Stanford University Press.

Aquinas, T. (1947). Summa Theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Aristotle. (1943). Politics (B. Jowett, Trans.). Clarendon Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean Ethics (W. D. Ross, Trans.). Oxford University Press.

Austin, J. (1832). The Province of Jurisprudence Determined. J. Murray.

Balibar, É. (2015). Citizenship. Polity Press.

Becker, G. S. (1976). The Economic Approach to Human Behavior. University of Chicago Press.

Bhaskar, R. (1978). A Realist Theory of Science. Verso.

Bosselmann, K. (2008). The Principle of Sustainability: Transforming Law and Governance. Ashgate.

Bosselmann, K. (2016). The Earth Charter and Global Ethics. Routledge.

Bourdieu, P. (1987). The force of law: Toward a sociology of the juridical field (R. Terdiman, Trans.). Hastings Law Journal, 38, 805–853.

Braidotti, R. (2013). The Posthuman. Polity Press.

Brownsword, R. (2019). Law, Technology and Society: Reimagining the Regulatory Environment. Routledge.

Buber, M. (1970). I and Thou (W. Kaufmann, Trans.). Charles Scribner’s Sons.

Cassese, A. (2008). International Criminal Law. Oxford University Press.

Dewey, J. (1926). The historic background of corporate legal personality. Yale Law Journal, 35(6), 655–673.

Durkheim, É. (1984). The Division of Labor in Society (W. D. Halls, Trans.). Free Press.

Dworkin, R. (1977). Taking Rights Seriously. Harvard University Press.

Dworkin, R. (1986). Law’s Empire. Harvard University Press.

Finnis, J. (1980). Natural Law and Natural Rights. Clarendon Press.

Floridi, L. (2013). The Ethics of Information. Oxford University Press.

Floridi, L. (2015). The Onlife Manifesto: Being Human in a Hyperconnected Era. Springer.

Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and Punish: The Birth of the Prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Fraser, N. (1997). Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition. Routledge.

Freud, S. (1961). Civilization and Its Discontents (J. Strachey, Trans.). Norton.

Fuller, L. L. (1969). The Morality of Law. Yale University Press.

Gadamer, H.-G. (1994). Truth and Method (2nd rev. ed.). Continuum.

Gilligan, C. (1982). In a Different Voice. Harvard University Press.

Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action: Vol. 1 (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1987). The Theory of Communicative Action: Vol. 2. Beacon Press.

Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Haraway, D. J. (2008). When Species Meet. University of Minnesota Press.

Hart, H. L. A. (1994). The Concept of Law (2nd ed.). Clarendon Press.

Hegel, G. W. F. (1991). Elements of the Philosophy of Right (H. B. Nisbet, Trans.). Cambridge University Press.

Held, D., & McGrew, A. (2007). Globalization/Anti-Globalization: Beyond the Great Divide. Polity Press.

Hildebrandt, M. (2015). Smart Technologies and the End(s) of Law. Edward Elgar.

Hildebrandt, M. (2020). Law for Computer Scientists and Other Folk. Oxford University Press.

Honneth, A. (1995). The Struggle for Recognition. MIT Press.

Jonas, H. (1984). The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age. University of Chicago Press.

Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. Farrar, Straus and Giroux.

Kant, I. (1998). Groundwork of the Metaphysics of Morals (M. Gregor, Ed.). Cambridge University Press.

Kelsen, H. (1945). General Theory of Law and State (A. Wedberg, Trans.). Harvard University Press.

Kelsen, H. (1967). Pure Theory of Law (M. Knight, Trans.). University of California Press.

Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Gramedia.

Latour, B. (1993). We Have Never Been Modern (C. Porter, Trans.). Harvard University Press.

Latour, B. (2005). Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network Theory. Oxford University Press.

Levinas, E. (1969). Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Levinas, E. (1998). Otherwise than Being or Beyond Essence (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Locke, J. (1988). Two Treatises of Government. Cambridge University Press.

Luhmann, N. (2004). Law as a Social System (K. Ziegert, Trans.). Oxford University Press.

MacKinnon, C. A. (1989). Toward a Feminist Theory of the State. Harvard University Press.

Menski, W. (2006). Comparative Law in a Global Context: The Legal Systems of Asia and Africa. Cambridge University Press.

Moore, S. F. (1973). Law and social change: The semi-autonomous social field as an appropriate subject of study. Law & Society Review, 7(4), 719–746.

Nader, L. (2002). The Life of the Law: Anthropological Projects. University of California Press.

Nicholas, B. (1962). An Introduction to Roman Law. Clarendon Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating Capabilities: The Human Development Approach. Harvard University Press.

O’Donnell, E., & Talbot-Jones, J. (2018). Creating legal rights for rivers: Lessons from Australia, New Zealand, and India. Ecology and Society, 23(1), 1–9.

Ost, F. (2019). The Spirit of the Laws of Nature: History, Philosophy, and Legal Ecology. Hart Publishing.

Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett.

Plumwood, V. (1993). Feminism and the Mastery of Nature. Routledge.

Plumwood, V. (2002). Environmental Culture: The Ecological Crisis of Reason. Routledge.

Posner, R. A. (2011). Economic Analysis of Law (8th ed.). Wolters Kluwer.

Pospíšil, L. (1971). Anthropology of Law: A Comparative Theory. Harper & Row.

Radbruch, G. (1946). Gesetzliches Unrecht und übergesetzliches Recht. Süddeutsche Juristen-Zeitung, 1, 105–108.

Rahardjo, S. (2000). Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti.

Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as Another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (2000). The Just (D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.

Ross, A. (1958). On Law and Justice. Stevens & Sons.

Sassen, S. (1996). Losing Control? Sovereignty in an Age of Globalization. Columbia University Press.

Sassen, S. (2006). Territory, Authority, Rights: From Medieval to Global Assemblages. Princeton University Press.

Sales, B., & Solan, L. (2012). The Science of Legal Psychology. Oxford University Press.

Scherer, M. (2016). Regulating artificial intelligence systems: Risks, challenges, competencies, and strategies. Harvard Journal of Law & Technology, 29(2), 353–400.

Schlosberg, D. (2007). Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature. Oxford University Press.

Schmitt, C. (2005). Political Theology (G. Schwab, Trans.). University of Chicago Press.

Sen, A. (1999). Development as Freedom. Alfred A. Knopf.

Simon, H. A. (1976). Administrative Behavior. Free Press.

Stone, C. D. (1972). Should trees have standing? Toward legal rights for natural objects. Southern California Law Review, 45(2), 450–501.

Taylor, C. (1994). Multiculturalism and “The Politics of Recognition”. Princeton University Press.

Tamanaha, B. Z. (2001). A General Jurisprudence of Law and Society. Oxford University Press.

Watson, A. (1995). The Spirit of Roman Law. University of Georgia Press.

Waldron, J. (1999). The Dignity of Legislation. Cambridge University Press.

Young, I. M. (1990). Justice and the Politics of Difference. Princeton University Press.

Young, I. M. (2011). Responsibility for Justice. Oxford University Press.

Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar