Eksperimen Kucing Schrödinger
Antara Paradoks Kuantum dan Filsafat Realitas
Alihkan ke: Fisika.
Abstrak
Eksperimen pikiran Kucing Schrödinger, yang
diperkenalkan oleh Erwin Schrödinger pada tahun 1935, merupakan salah satu
ilustrasi paling berpengaruh dalam sejarah mekanika kuantum dan filsafat ilmu.
Eksperimen ini menggambarkan paradoks superposisi, di mana seekor kucing
diasumsikan berada dalam keadaan hidup dan mati sekaligus hingga dilakukan
pengamatan. Melalui skenario ini, Schrödinger berusaha menyoroti ketegangan
konseptual dalam interpretasi Kopenhagen, khususnya mengenai problem
pengukuran dan peran pengamat dalam menentukan realitas kuantum.
Artikel ini membahas secara komprehensif landasan
teoretis mekanika kuantum, prinsip superposisi, serta implikasi epistemologis
dan ontologis dari eksperimen tersebut. Pembahasan mencakup berbagai interpretasi
alternatif—seperti Many-Worlds Interpretation, teori Pilot-Wave
Bohmian, dan pendekatan Decoherence—yang berupaya menjelaskan transisi
antara dunia kuantum dan dunia klasik tanpa menimbulkan kontradiksi logis.
Selain itu, kajian ini menyoroti dimensi filsafat dan etika ilmu,
termasuk peran kesadaran, tanggung jawab epistemik ilmuwan, serta keterbatasan
manusia dalam menafsirkan realitas ilmiah.
Hasil analisis menunjukkan bahwa eksperimen Kucing
Schrödinger bukan sekadar paradoks fisika, melainkan juga refleksi
epistemologis yang mengubah pemahaman manusia tentang realitas,
pengetahuan, dan sains itu sendiri. Paradoks ini menegaskan bahwa ilmu
pengetahuan bersifat terbuka, relatif, dan selalu dapat dikoreksi melalui
dialog antara teori, empirisme, dan refleksi filosofis. Dengan demikian,
eksperimen ini tetap relevan sebagai simbol hubungan dinamis antara rasionalitas
ilmiah dan kesadaran manusia, serta sebagai pengingat akan perlunya etika
dan kerendahan hati dalam memahami alam semesta.
Kata Kunci: Mekanika Kuantum; Kucing Schrödinger; Superposisi;
Filsafat Ilmu; Problem Pengukuran; Realisme dan Instrumentalisme; Epistemologi;
Etika Ilmu.
PEMBAHASAN
Eksperimen Kucing Schrödinger sebagai Paradigma Lintas
Ilmu antara Fisika Teoretis dan Filsafat Pengetahuan
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang Masalah
Mekanika kuantum muncul pada awal abad ke-20
sebagai respons terhadap keterbatasan fisika klasik dalam menjelaskan fenomena
pada skala atomik dan subatomik. Paradigma baru ini membawa pandangan yang
radikal: partikel tidak lagi dipahami sebagai benda yang memiliki posisi dan
kecepatan pasti, melainkan sebagai entitas yang digambarkan oleh fungsi
gelombang dengan probabilitas tertentu untuk ditemukan dalam keadaan tertentu.¹
Pandangan tersebut, meskipun sukses dalam menjelaskan fenomena mikrofisika
seperti efek fotoelektrik dan radiasi benda hitam, memunculkan persoalan
filosofis yang mendalam tentang hakikat realitas dan hubungan antara pengamat serta
objek yang diamati.²
Salah satu pemikir yang secara kritis menanggapi
implikasi filosofis mekanika kuantum adalah Erwin Schrödinger. Pada tahun 1935,
Schrödinger mengusulkan sebuah eksperimen pikiran yang kemudian dikenal sebagai
“Kucing Schrödinger” untuk menunjukkan absurditas logika yang muncul
dari interpretasi ortodoks atau interpretasi Kopenhagen terhadap
mekanika kuantum.³ Dalam eksperimen imajiner ini, seekor kucing ditempatkan
dalam kotak tertutup bersama dengan mekanisme yang bergantung pada peluruhan
atom radioaktif. Menurut prinsip superposisi kuantum, sebelum pengamat membuka
kotak, kucing tersebut berada dalam keadaan superposisi: hidup sekaligus
mati secara bersamaan.⁴
Paradoks ini dimaksudkan oleh Schrödinger bukan
untuk mendukung teori superposisi, melainkan untuk mengkritik penerapan
prinsip-prinsip mekanika kuantum pada dunia makroskopik. Ia ingin menegaskan
bahwa teori kuantum, sebagaimana diformulasikan saat itu, belum memberikan
penjelasan yang koheren tentang hubungan antara fenomena mikroskopik dan
realitas makroskopik.⁵ Dengan demikian, eksperimen ini menjadi simbol dari
ketegangan antara formalisme matematis fisika kuantum dan pemahaman
filosofis tentang realitas fisik.
1.2.      
Rumusan Masalah
Eksperimen Kucing Schrödinger tidak hanya
menimbulkan kebingungan ilmiah, tetapi juga membuka ruang bagi perdebatan
filosofis yang terus berlangsung hingga kini. Oleh karena itu, tulisan ini
berupaya menjawab beberapa pertanyaan mendasar:
1)                 
Apa makna eksperimen Kucing Schrödinger dalam konteks ilmiah dan
filosofis?
2)                 
Bagaimana eksperimen tersebut menggambarkan problem pengukuran
(measurement problem) dalam mekanika kuantum?
3)                 
Sejauh mana eksperimen ini mempengaruhi perkembangan interpretasi dan
pemahaman kita terhadap realitas fisik?
1.3.      
Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan secara
komprehensif makna ilmiah dan filosofis dari eksperimen Kucing Schrödinger
sebagai upaya untuk memahami batas antara dunia kuantum dan dunia klasik.
Pembahasan dilakukan dengan pendekatan rasional, logis, dan empiris, sekaligus
membuka ruang untuk refleksi filsafat ilmu tentang keterbatasan pengetahuan
manusia dalam menafsirkan realitas.⁶
Dengan demikian, eksperimen Kucing Schrödinger
bukan hanya sekadar paradoks fisika, tetapi juga metafora epistemologis tentang
ketidakpastian, kesadaran, dan konstruksi realitas ilmiah.
Footnotes
[1]               
Werner Heisenberg, The Physical Principles of
the Quantum Theory (Chicago: University of Chicago Press, 1930), 12–15.
[2]               
Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge
(New York: John Wiley & Sons, 1958), 20–25.
[3]               
Erwin Schrödinger, “Die gegenwärtige Situation in
der Quantenmechanik,” Naturwissenschaften 23, no. 48 (1935): 807–812.
[4]               
John D. Trimmer, “The Present Situation in Quantum
Mechanics: A Translation of Schrödinger’s ‘Cat Paradox’ Paper,” Proceedings
of the American Philosophical Society 124, no. 5 (1980): 323–338.
[5]               
Don Howard, “Einstein on Locality and
Separability,” Studies in History and Philosophy of Science Part A 16,
no. 3 (1985): 171–201.
[6]               
Bas C. van Fraassen, Quantum Mechanics: An
Empiricist View (Oxford: Clarendon Press, 1991), 5–8.
2.          
Landasan
Teoretis: Mekanika Kuantum dan Prinsip Superposisi
2.1.      
Konsep Dasar Mekanika
Kuantum
Mekanika kuantum lahir dari usaha para ilmuwan
untuk memahami fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh fisika klasik, seperti
radiasi benda hitam dan efek fotoelektrik.¹ Fisika klasik, yang berlandaskan
determinisme Newtonian, gagal menjelaskan perilaku partikel pada skala atom dan
subatom, di mana hukum sebab-akibat tampak kehilangan kejelasan. Max Planck,
pada tahun 1900, memperkenalkan gagasan bahwa energi tidak bersifat kontinu
melainkan terdiri dari paket-paket diskret yang disebut kuanta.² Gagasan
ini kemudian dikembangkan oleh Albert Einstein pada tahun 1905 dalam
menjelaskan efek fotoelektrik, yang menegaskan bahwa cahaya memiliki sifat
partikel, atau disebut foton.³
Konsep dualitas gelombang-partikel kemudian
dikokohkan oleh Louis de Broglie, yang menyatakan bahwa setiap partikel materi
memiliki sifat gelombang dengan panjang gelombang tertentu.⁴ Prinsip ini
menandai pergeseran paradigma besar dalam fisika modern, di mana batas antara
materi dan energi menjadi kabur. Perkembangan selanjutnya datang dari Erwin
Schrödinger, yang pada tahun 1926 memperkenalkan persamaan gelombang yang kini
menjadi dasar formal dari mekanika kuantum. Persamaan Schrödinger memungkinkan
perhitungan probabilitas suatu partikel berada dalam keadaan tertentu melalui
fungsi gelombang (ψ).⁵
Fungsi gelombang ini tidak menggambarkan lintasan
partikel secara pasti, melainkan probabilitas potensial keberadaannya. Artinya,
dunia mikrofisik tunduk pada prinsip ketidakpastian, sebagaimana ditegaskan
oleh Werner Heisenberg, yang menyatakan bahwa tidak mungkin menentukan secara
bersamaan posisi dan momentum partikel dengan presisi mutlak.⁶ Prinsip
ketidakpastian ini bukanlah keterbatasan alat pengukuran, tetapi merupakan
sifat dasar dari realitas kuantum itu sendiri.
2.2.      
Prinsip Superposisi Kuantum
Salah satu pilar utama mekanika kuantum adalah prinsip
superposisi, yang menyatakan bahwa sebuah sistem kuantum dapat berada dalam
dua atau lebih keadaan sekaligus hingga dilakukan pengukuran.⁷ Secara
matematis, jika sebuah sistem dapat berada dalam keadaan |A⟩ dan |B⟩, maka
keadaan keseluruhannya adalah kombinasi linier dari keduanya:
ψ = c₁|A⟩ + c₂|B⟩,
dengan c₁ dan c₂ sebagai koefisien kompleks yang
menentukan probabilitas relatif masing-masing keadaan.⁸
Fenomena superposisi dapat diamati melalui eksperimen
dua celah (double-slit experiment), di mana partikel seperti
elektron atau foton dapat melewati dua celah secara bersamaan dan membentuk
pola interferensi khas gelombang.⁹ Ketika dilakukan pengamatan untuk menentukan
celah mana yang dilalui, pola interferensi tersebut menghilang, menunjukkan
bahwa tindakan pengamatan memengaruhi hasil eksperimen. Ini menegaskan bahwa
realitas kuantum tidak bersifat objektif dalam pengertian klasik, melainkan
tergantung pada interaksi dengan pengamat.¹⁰
Superposisi tidak hanya bersifat fenomenologis,
tetapi juga memiliki konsekuensi ontologis: dunia kuantum tidak tunduk pada
logika biner “ada atau tiada,” melainkan pada logika probabilistik yang
memungkinkan keberadaan simultan dari keadaan yang berlawanan.¹¹ Dengan kata
lain, sistem kuantum tidak berada dalam satu keadaan tertentu hingga terjadi
interaksi yang “memaksa” sistem tersebut untuk memilih salah satu
keadaan—fenomena yang dikenal sebagai kolaps fungsi gelombang.
2.3.      
Masalah Pengukuran
(Measurement Problem)
Masalah utama dalam mekanika kuantum adalah
bagaimana dan kapan superposisi berubah menjadi satu keadaan teramati.¹² Dalam
interpretasi Kopenhagen yang dikembangkan oleh Niels Bohr dan Werner
Heisenberg, kolaps fungsi gelombang terjadi saat dilakukan pengukuran, dan
hasil yang diperoleh tidak dapat diprediksi secara deterministik, melainkan
hanya probabilistik.¹³ Artinya, mekanika kuantum hanya memberikan peluang bagi
suatu hasil, bukan kepastian.
Namun, posisi ini menimbulkan pertanyaan filosofis
yang dalam: apakah fungsi gelombang benar-benar menggambarkan realitas fisik,
atau hanya representasi pengetahuan manusia tentang sistem tersebut?¹⁴ Inilah
yang kemudian menjadi dasar bagi eksperimen pikiran Kucing Schrödinger,
yang menguji batas penerapan prinsip superposisi terhadap sistem makroskopik.
Jika prinsip tersebut benar-benar universal, maka seekor kucing bisa saja
berada dalam keadaan hidup dan mati sekaligus sampai seseorang mengamati
hasilnya—sebuah kesimpulan yang menantang intuisi dan rasionalitas klasik.¹⁵
Dengan demikian, landasan teoretis mekanika kuantum
dan prinsip superposisi tidak hanya merevolusi sains, tetapi juga mengguncang
dasar metafisika dan epistemologi, memaksa manusia untuk meninjau kembali
hubungan antara pengetahuan, pengamatan, dan realitas.
Footnotes
[1]               
Abraham Pais, Subtle Is the Lord: The Science
and the Life of Albert Einstein (Oxford: Oxford University Press, 1982),
34–37.
[2]               
Max Planck, “Über das Gesetz der Energieverteilung im
Normalspektrum,” Annalen der Physik 4, no. 553 (1901): 553–563.
[3]               
Albert Einstein, “Über einen die Erzeugung und
Verwandlung des Lichtes betreffenden heuristischen Gesichtspunkt,” Annalen
der Physik 17 (1905): 132–148.
[4]               
Louis de Broglie, “Recherches sur la théorie des
quanta,” Annales de Physique 3 (1925): 22–128.
[5]               
Erwin Schrödinger, “An Undulatory Theory of the
Mechanics of Atoms and Molecules,” Physical Review 28, no. 6 (1926):
1049–1070.
[6]               
Werner Heisenberg, Über den anschaulichen Inhalt
der quantentheoretischen Kinematik und Mechanik, Zeitschrift für Physik
43, no. 3–4 (1927): 172–198.
[7]               
David J. Griffiths, Introduction to Quantum
Mechanics, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall, 2005),
27–29.
[8]               
Richard P. Feynman, Robert B. Leighton, and Matthew
Sands, The Feynman Lectures on Physics, Vol. III: Quantum Mechanics
(Reading, MA: Addison-Wesley, 1965), 1–3.
[9]               
Claus Jönsson, “Elektroneninterferenzen an mehreren
künstlich hergestellten Feinspalten,” Zeitschrift für Physik 161, no. 4
(1961): 454–474.
[10]            
John Archibald Wheeler and Wojciech H. Zurek, Quantum
Theory and Measurement (Princeton: Princeton University Press, 1983),
15–19.
[11]            
Roland Omnès, The Interpretation of Quantum
Mechanics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 44–46.
[12]            
Jeffrey Bub, Interpreting the Quantum World
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 78–81.
[13]            
Niels Bohr, Discussion with Einstein on
Epistemological Problems in Atomic Physics, dalam Albert Einstein:
Philosopher–Scientist, ed. Paul A. Schilpp (Evanston, IL: Library of Living
Philosophers, 1949), 200–241.
[14]            
Bas C. van Fraassen, Quantum Mechanics: An
Empiricist View (Oxford: Clarendon Press, 1991), 112–115.
[15]            
Erwin Schrödinger, “Die gegenwärtige Situation in
der Quantenmechanik,” Naturwissenschaften 23, no. 48 (1935): 807–812.
3.          
Eksperimen
Pikiran Kucing Schrödinger
3.1.      
Deskripsi Eksperimen
Eksperimen pikiran (thought experiment)
Kucing Schrödinger pertama kali diperkenalkan oleh Erwin Schrödinger
pada tahun 1935 dalam artikelnya berjudul “Die gegenwärtige Situation
in der Quantenmechanik” (“Situasi Terkini dalam Mekanika Kuantum”).¹
Eksperimen ini dimaksudkan sebagai ilustrasi kritis terhadap interpretasi
Kopenhagen dari mekanika kuantum, yang menyatakan bahwa sistem kuantum
berada dalam superposisi keadaan hingga dilakukan pengukuran.
Dalam skenario yang diajukan Schrödinger, seekor
kucing ditempatkan di dalam sebuah kotak tertutup yang berisi perangkat
eksperimental sederhana: sebutir atom radioaktif, detektor Geiger, palu
mekanik, dan sebotol racun (hidrosianida). Jika atom radioaktif tersebut
meluruh dalam jangka waktu satu jam, detektor Geiger akan mengaktifkan palu
yang memecahkan botol racun, sehingga kucing akan mati. Jika atom tidak
meluruh, kucing tetap hidup.²
Menurut hukum kuantum, sebelum diamati, atom
radioaktif berada dalam keadaan superposisi — baik meluruh maupun tidak
meluruh. Oleh karena itu, sistem keseluruhan (atom + detektor + kucing) juga
berada dalam keadaan superposisi, yang secara konseptual berarti kucing berada dalam
keadaan hidup dan mati secara bersamaan.³ Baru ketika kotak dibuka dan
pengamat melihat isi di dalamnya, sistem “memilih” salah satu dari dua
keadaan: hidup atau mati. Fenomena ini disebut kolaps fungsi
gelombang (wavefunction collapse).⁴
3.2.      
Logika dan Tujuan
Schrödinger
Tujuan utama Schrödinger bukanlah membuktikan bahwa
kucing dapat benar-benar hidup dan mati sekaligus, tetapi untuk menunjukkan
absurditas logis yang muncul jika prinsip mekanika kuantum diterapkan secara
literal pada dunia makroskopik.⁵ Ia bermaksud menyoroti keterbatasan
interpretasi Kopenhagen yang dikemukakan oleh Niels Bohr dan Werner Heisenberg,
yang menyatakan bahwa hasil pengukuran baru menjadi “nyata” setelah
diamati.⁶
Bagi Schrödinger, pandangan ini menimbulkan masalah
epistemologis dan ontologis: apakah realitas bergantung pada tindakan
pengamatan manusia? Dalam kerangka klasik, sesuatu dianggap “ada” secara
independen dari kesadaran pengamat. Namun, mekanika kuantum, sebagaimana
diinterpretasikan Bohr, mengaburkan batas tersebut dengan menempatkan pengamat
sebagai bagian integral dari sistem.⁷
Eksperimen Kucing Schrödinger, dengan demikian,
berfungsi sebagai kritik filosofis terhadap pendekatan instrumentalis,
yang menganggap teori kuantum hanya sebagai alat prediksi probabilistik tanpa
komitmen terhadap realitas ontologis.⁸ Schrödinger berpendapat bahwa jika
interpretasi tersebut diikuti secara konsisten, maka kita harus menerima bahwa
entitas makroskopik seperti kucing bisa eksis dalam keadaan kontradiktif —
suatu gagasan yang bertentangan dengan intuisi dan pengalaman empiris.⁹
3.3.      
Ilustrasi Matematis
Secara formal, keadaan sistem gabungan (atom dan
kucing) dapat ditulis dalam bentuk fungsi gelombang superposisi:
Ψ = (1/√2) (|meluruh⟩|mati⟩ + |tidak meluruh⟩|hidup⟩).
Persamaan ini menunjukkan bahwa sebelum pengamatan,
sistem tidak berada pada salah satu keadaan tertentu, tetapi merupakan
kombinasi dari keduanya.¹⁰ Setelah dilakukan pengukuran — yaitu ketika kotak
dibuka — fungsi gelombang mengalami reduksi (collapse) menjadi salah
satu komponen:
·                    
|meluruh⟩|mati⟩ (kucing mati), atau
·                    
|tidak meluruh⟩|hidup⟩ (kucing hidup).
Persoalan mendasarnya adalah: Apa yang
menyebabkan kolaps ini terjadi? Apakah kolaps merupakan fenomena fisik
obyektif, atau sekadar pembaruan informasi subjektif oleh pengamat?¹¹
Pertanyaan ini menjadi inti dari problem pengukuran kuantum (measurement
problem), yang hingga kini masih menjadi perdebatan filosofis dan ilmiah.¹²
Selain itu, eksperimen ini juga membuka ruang bagi
pengembangan interpretasi alternatif, seperti many-worlds interpretation
(Everett, 1957), yang menyatakan bahwa tidak terjadi kolaps; sebaliknya,
kedua hasil eksis secara simultan di alam semesta paralel yang berbeda.¹³
Dengan demikian, eksperimen Kucing Schrödinger tidak hanya menantang fondasi
epistemologis fisika, tetapi juga memicu perluasan metafisika mengenai
pluralitas realitas.
Footnotes
[1]               
Erwin Schrödinger, “Die gegenwärtige Situation in
der Quantenmechanik,” Naturwissenschaften 23, no. 48 (1935): 807–812.
[2]               
John D. Trimmer, “The Present Situation in Quantum
Mechanics: A Translation of Schrödinger’s ‘Cat Paradox’ Paper,” Proceedings
of the American Philosophical Society 124, no. 5 (1980): 323–338.
[3]               
Paul A. M. Dirac, The Principles of Quantum
Mechanics, 4th ed. (Oxford: Clarendon Press, 1958), 12–14.
[4]               
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The
Revolution in Modern Science (New York: Harper & Brothers, 1958),
42–45.
[5]               
Erwin Schrödinger, What Is Life? The Physical
Aspect of the Living Cell (Cambridge: Cambridge University Press, 1944),
55.
[6]               
Niels Bohr, “Discussion with Einstein on
Epistemological Problems in Atomic Physics,” dalam Albert Einstein:
Philosopher–Scientist, ed. Paul A. Schilpp (Evanston, IL: Library of Living
Philosophers, 1949), 201–204.
[7]               
Don Howard, “Einstein on Locality and
Separability,” Studies in History and Philosophy of Science Part A 16,
no. 3 (1985): 171–201.
[8]               
Bas C. van Fraassen, Quantum Mechanics: An
Empiricist View (Oxford: Clarendon Press, 1991), 19–23.
[9]               
Bernard d’Espagnat, Conceptual Foundations of
Quantum Mechanics, 2nd ed. (Reading, MA: Benjamin, 1976), 54–58.
[10]            
David J. Griffiths, Introduction to Quantum
Mechanics, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall, 2005),
83–85.
[11]            
John Archibald Wheeler and Wojciech H. Zurek, Quantum
Theory and Measurement (Princeton: Princeton University Press, 1983),
22–24.
[12]            
Jeffrey Bub, Interpreting the Quantum World
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 87–91.
[13]            
Hugh Everett III, “‘Relative State’ Formulation of
Quantum Mechanics,” Reviews of Modern Physics 29, no. 3 (1957): 454–462.
4.          
Interpretasi
dan Implikasi Filsafat Ilmu
4.1.      
Realisme vs.
Instrumentalisme
Eksperimen Kucing Schrödinger memunculkan
perdebatan mendalam antara dua aliran filsafat ilmu utama: realisme ilmiah
dan instrumentalisme. Realisme ilmiah berpendapat bahwa teori-teori
ilmiah menggambarkan realitas sebagaimana adanya — bahkan pada level entitas
yang tidak dapat diamati seperti elektron atau fungsi gelombang.¹ Sebaliknya,
instrumentalisme memandang teori ilmiah hanya sebagai alat (instrument)
untuk memprediksi hasil observasi, tanpa klaim ontologis tentang kebenaran
metafisiknya.²
Dalam konteks mekanika kuantum, para penganut
interpretasi Kopenhagen seperti Niels Bohr dan Werner Heisenberg cenderung
menganut posisi instrumentalistis: fungsi gelombang (ψ) tidak merepresentasikan
keadaan realitas fisik, melainkan sekadar alat prediktif untuk
menentukan probabilitas hasil pengukuran.³ Schrödinger, di sisi lain, memandang
bahwa fungsi gelombang memiliki realitas ontologis dan mencerminkan keadaan
fisik yang sebenarnya, bukan hanya informasi statistik tentang sistem.⁴
Perdebatan ini menyentuh pertanyaan mendasar
tentang status ontologis realitas kuantum: apakah realitas fisik eksis
secara independen dari pengamatan, ataukah ia bergantung pada proses
pengukuran?⁵ Eksperimen Kucing Schrödinger menunjukkan bahwa kedua pandangan
tersebut sulit dipertahankan secara absolut — karena baik pendekatan realistik
maupun instrumentalistik menghadapi kesulitan dalam menjelaskan transisi dari
superposisi kuantum menuju realitas makroskopik yang tunggal.
4.2.      
Peran Pengamat dan
Kesadaran
Salah satu aspek paling filosofis dari eksperimen
Kucing Schrödinger adalah persoalan pengamat dan kesadaran. Dalam
interpretasi Kopenhagen, tindakan pengamatan menyebabkan kolaps fungsi
gelombang — yakni perubahan sistem dari keadaan superposisi menjadi salah satu
keadaan tertentu.⁶ Namun, hal ini memunculkan pertanyaan: apakah yang dimaksud
dengan “pengamatan”? Apakah harus melibatkan kesadaran manusia, atau
cukup dengan interaksi fisik antara sistem dan alat ukur?⁷
Eugene Wigner memperluas persoalan ini dengan
mengusulkan “hipotesis kesadaran”, yang menyatakan bahwa kesadaran
manusia berperan aktif dalam menentukan realitas kuantum.⁸ Menurut Wigner,
kolaps fungsi gelombang baru terjadi ketika hasil pengukuran disadari oleh
pengamat yang sadar, bukan hanya ketika terjadi interaksi fisik. Pandangan ini
menimbulkan konsekuensi ontologis radikal: alam semesta tidak memiliki
eksistensi obyektif penuh tanpa partisipasi kesadaran.⁹
Namun, pendekatan ini banyak dikritik karena
mengaburkan batas antara fisika dan metafisika. Wolfgang Pauli dan John von
Neumann, meskipun mengakui peran pengamat, berusaha menempatkan kesadaran
sebagai bagian dari sistem formal tanpa menjadikannya entitas non-fisik.¹⁰
Dalam konteks filsafat ilmu, hal ini menimbulkan refleksi epistemologis
mendalam mengenai hubungan antara subjek dan objek pengetahuan — bahwa proses
ilmiah tidak sepenuhnya netral, tetapi selalu melibatkan struktur kognitif
pengamat.¹¹
4.3.      
Ontologi Kuantum dan
Keberadaan Realitas
Eksperimen Kucing Schrödinger menantang pandangan
klasik tentang ontologi — khususnya mengenai keberadaan (being)
dan realitas objektif. Dalam filsafat realisme klasik, keberadaan
dianggap independen dari pengamatan: sesuatu “ada” karena eksis di luar
kesadaran manusia. Mekanika kuantum, sebaliknya, menunjukkan bahwa realitas
mungkin bersifat relasional, tergantung pada interaksi sistem dan
pengamat.¹²
Dalam konteks ini, teori kuantum mengubah
pertanyaan metafisik tradisional dari “apa yang ada?” menjadi “bagaimana
sesuatu menjadi ada?” Realitas bukanlah entitas statis, melainkan proses
dinamis yang muncul melalui interaksi dan pengukuran.¹³ Pandangan ini selaras
dengan filsafat proses Alfred North Whitehead, yang menekankan bahwa
keberadaan adalah peristiwa (event) yang terus-menerus diperbarui.¹⁴
Implikasi ontologis ini menuntun pada gagasan bahwa
realitas kuantum bersifat plural dan non-deterministik. Tidak ada satu
realitas tunggal yang absolut, melainkan banyak kemungkinan yang tumpang tindih
hingga salah satunya terealisasi melalui pengamatan.¹⁵ Dengan demikian,
eksperimen Kucing Schrödinger menjadi metafora epistemologis yang menantang
klaim kepastian dan objektivitas dalam sains — menegaskan bahwa ilmu
pengetahuan modern, meskipun berbasis empiris, tetap berakar pada interpretasi
filosofis mengenai makna “realitas.”
Footnotes
[1]               
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science
Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 12–15.
[2]               
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 2–5.
[3]               
Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge
(New York: John Wiley & Sons, 1958), 25–28.
[4]               
Erwin Schrödinger, Science and the Human
Temperament (New York: W.W. Norton, 1935), 90–93.
[5]               
Bernard d’Espagnat, Reality and the Physicist:
Knowledge, Duration and the Quantum World (Cambridge: Cambridge University
Press, 1989), 41–45.
[6]               
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The
Revolution in Modern Science (New York: Harper & Brothers, 1958),
37–40.
[7]               
John Archibald Wheeler and Wojciech H. Zurek, Quantum
Theory and Measurement (Princeton: Princeton University Press, 1983),
24–26.
[8]               
Eugene P. Wigner, “Remarks on the Mind-Body
Question,” dalam The Scientist Speculates: An Anthology of Partly-Baked
Ideas, ed. I. J. Good (New York: Basic Books, 1962), 284–302.
[9]               
Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum
Mechanics (Berlin: Springer, 1993), 17–19.
[10]            
John von Neumann, Mathematical Foundations of
Quantum Mechanics (Princeton: Princeton University Press, 1955), 418–421.
[11]            
Michael Bitbol, Schrödinger’s Philosophy of
Quantum Mechanics (Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1996), 67–70.
[12]            
Michel Bitbol and Jean Bricmont, Quantum
Mechanics and Ontology (New York: Springer, 2019), 54–59.
[13]            
Jeffrey Bub, Interpreting the Quantum World
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 95–99.
[14]            
Alfred North Whitehead, Process and Reality: An
Essay in Cosmology (New York: Macmillan, 1929), 34–38.
[15]            
Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the
Quantum Revolution (New York: Riverhead Books, 2021), 104–108.
5.          
Perkembangan
Teori dan Interpretasi Alternatif
5.1.      
Interpretasi Many-Worlds
(Hugh Everett III)
Salah satu perkembangan paling radikal dalam
sejarah interpretasi mekanika kuantum adalah Interpretasi Banyak Dunia
(Many-Worlds Interpretation, MWI) yang diperkenalkan oleh Hugh Everett
III pada tahun 1957.¹ Everett menolak gagasan kolaps fungsi gelombang yang
menjadi inti dari interpretasi Kopenhagen. Menurutnya, kolaps tidak pernah
terjadi; yang ada hanyalah evolusi deterministik dari fungsi gelombang menurut
persamaan Schrödinger.²
Dalam pandangan Everett, setiap kali terjadi
pengukuran, alam semesta “bercabang” ke dalam sejumlah realitas paralel,
masing-masing mewakili hasil yang mungkin dari proses kuantum tersebut.³
Misalnya, dalam konteks eksperimen Kucing Schrödinger, ada satu cabang alam
semesta di mana kucing hidup dan cabang lain di mana kucing mati. Kedua keadaan
itu sama-sama “nyata” dalam domain semestanya masing-masing.⁴
Interpretasi ini menghilangkan kebutuhan akan
konsep kolaps fungsi gelombang, tetapi dengan konsekuensi metafisik yang besar:
eksistensi jumlah tak terbatas dari alam semesta paralel.⁵ Meskipun secara
matematis konsisten, banyak filsuf dan fisikawan menilai interpretasi ini sulit
diterima secara empiris karena tidak dapat diverifikasi secara langsung.⁶ Namun
demikian, MWI memberikan landasan konseptual penting bagi perkembangan komputasi
kuantum dan teori dekoherensi, karena memperlakukan superposisi
sebagai realitas fisik yang objektif.⁷
5.2.      
Interpretasi Bohmian
(Pilot-Wave Theory)
Alternatif lain yang signifikan adalah Interpretasi
Bohmian, atau Teori Gelombang Pilot, yang dikembangkan oleh David
Bohm pada tahun 1952.⁸ Teori ini berupaya mengembalikan determinisme ke
dalam mekanika kuantum dengan menambahkan variabel tersembunyi yang mengatur
perilaku partikel. Menurut Bohm, setiap partikel memiliki posisi yang pasti
pada setiap saat, dan gerakannya ditentukan oleh “gelombang pilot”
(pilot wave) yang diatur oleh fungsi gelombang ψ.⁹
Dengan demikian, ketidakpastian dalam mekanika
kuantum bukan berasal dari realitas yang acak, melainkan dari ketidaktahuan
manusia terhadap variabel tersembunyi tersebut.¹⁰ Teori Bohmian mempertahankan
realisme ontologis — bahwa dunia memiliki keadaan fisik tertentu yang
independen dari pengamatan.¹¹
Meskipun teori ini secara empiris menghasilkan
prediksi yang identik dengan mekanika kuantum konvensional, ia menimbulkan
perdebatan karena bersifat non-lokal, artinya keadaan suatu partikel
dapat dipengaruhi oleh keadaan partikel lain yang berjauhan secara instan.¹²
Prinsip non-lokalitas ini bertentangan dengan relativitas khusus Einstein,
tetapi diperkuat oleh temuan eksperimen Bell’s theorem (1964), yang
menunjukkan bahwa korelasi kuantum memang tidak dapat dijelaskan oleh teori
lokal-realistik.¹³
5.3.      
Interpretasi Decoherence
(Zurek dan Zeh)
Pada akhir abad ke-20, muncul pendekatan baru yang
mencoba menjelaskan transisi dari dunia kuantum ke dunia klasik tanpa
melibatkan kolaps fungsi gelombang, yakni teori dekoherensi (decoherence
theory).¹⁴ Gagasan ini pertama kali diperkenalkan oleh Heinz-Dieter Zeh
pada tahun 1970-an dan dikembangkan lebih lanjut oleh Wojciech Zurek.¹⁵
Decoherence menjelaskan bahwa interaksi sistem
kuantum dengan lingkungannya menyebabkan hilangnya koherensi antara
komponen-komponen superposisi, sehingga sistem tampak “memilih” salah satu
keadaan tertentu.¹⁶ Dalam konteks Kucing Schrödinger, dekoherensi menjelaskan
mengapa kita tidak pernah mengamati kucing hidup dan mati sekaligus — karena
interaksi dengan lingkungan menyebabkan superposisi runtuh secara efektif,
meskipun tanpa kolaps yang sesungguhnya.¹⁷
Pendekatan ini dianggap sebagai solusi realistis
terhadap problem pengukuran, karena menjelaskan bagaimana dunia klasik muncul
secara alami dari hukum-hukum kuantum tanpa perlu melibatkan pengamat.¹⁸ Namun
demikian, teori ini tidak sepenuhnya menjawab mengapa satu hasil
tertentu teramati, melainkan hanya bagaimana superposisi kehilangan
interferensinya.¹⁹ Dengan demikian, dekoherensi memberikan jembatan penting
antara teori kuantum dan pengalaman empiris manusia.
5.4.      
Pendekatan Eksperimen
Modern dan Implikasi Teknologis
Perkembangan teknologi pada akhir abad ke-20 dan
awal abad ke-21 memungkinkan pengujian langsung terhadap prinsip superposisi
pada sistem makroskopik. Eksperimen dengan ion terperangkap, foton, dan
molekul besar telah berhasil menunjukkan efek interferensi kuantum dalam
skala yang semakin besar.²⁰
Misalnya, eksperimen Anton Zeilinger dan timnya di
Universitas Wina berhasil memperlihatkan superposisi foton dalam jarak puluhan kilometer
menggunakan sistem teleportasi kuantum.²¹ Eksperimen-eksperimen ini tidak hanya
mengonfirmasi keabsahan prinsip superposisi, tetapi juga membuka peluang baru
dalam bidang komputasi kuantum, kriptografi kuantum, dan komunikasi
aman berbasis entanglement.²²
Dalam konteks filosofis, pencapaian eksperimental
ini memperdalam paradoks Schrödinger: semakin kita membuktikan validitas hukum
kuantum pada skala makroskopik, semakin kabur batas antara realitas klasik dan
kuantum.²³ Dengan demikian, eksperimen-eksperimen modern menunjukkan bahwa apa
yang dahulu hanya dianggap “eksperimen pikiran” kini telah memasuki
wilayah empiris yang nyata.²⁴
Footnotes
[1]               
Hugh Everett III, “‘Relative State’ Formulation of
Quantum Mechanics,” Reviews of Modern Physics 29, no. 3 (1957): 454–462.
[2]               
Bryce S. DeWitt and Neill Graham, eds., The
Many-Worlds Interpretation of Quantum Mechanics (Princeton: Princeton
University Press, 1973), 3–6.
[3]               
Max Tegmark, “Many Worlds in Context,” dalam Many
Worlds? Everett, Quantum Theory, and Reality, ed. Simon Saunders et al.
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 553–581.
[4]               
Simon Saunders and David Wallace, “Branching and
Uncertainty,” British Journal for the Philosophy of Science 59, no. 3
(2008): 293–305.
[5]               
David Wallace, The Emergent Multiverse: Quantum
Theory According to the Everett Interpretation (Oxford: Oxford University
Press, 2012), 98–102.
[6]               
Adrian Kent, “Against Many-Worlds Interpretations,”
International Journal of Modern Physics A 5, no. 9 (1990): 1745–1762.
[7]               
Wojciech H. Zurek, “Decoherence and the Transition
from Quantum to Classical,” Physics Today 44, no. 10 (1991): 36–44.
[8]               
David Bohm, “A Suggested Interpretation of the
Quantum Theory in Terms of ‘Hidden Variables,’” Physical Review 85, no.
2 (1952): 166–179.
[9]               
Peter R. Holland, The Quantum Theory of Motion:
An Account of the de Broglie–Bohm Causal Interpretation of Quantum Mechanics
(Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 12–17.
[10]            
Albert Einstein, Boris Podolsky, and Nathan Rosen,
“Can Quantum-Mechanical Description of Physical Reality Be Considered
Complete?” Physical Review 47, no. 10 (1935): 777–780.
[11]            
Bernard d’Espagnat, Conceptual Foundations of
Quantum Mechanics, 2nd ed. (Reading, MA: Benjamin, 1976), 102–106.
[12]            
David Bohm and Basil J. Hiley, The Undivided
Universe: An Ontological Interpretation of Quantum Theory (London:
Routledge, 1993), 120–125.
[13]            
John S. Bell, “On the Einstein Podolsky Rosen
Paradox,” Physics 1, no. 3 (1964): 195–200.
[14]            
Heinz-Dieter Zeh, “On the Interpretation of
Measurement in Quantum Theory,” Foundations of Physics 1, no. 1 (1970):
69–76.
[15]            
Wojciech H. Zurek, “Environment-Induced
Superselection Rules,” Physical Review D 26, no. 8 (1982): 1862–1880.
[16]            
Maximilian Schlosshauer, Decoherence and the
Quantum-to-Classical Transition (Berlin: Springer, 2007), 33–39.
[17]            
H. Dieter Zeh, “Roots and Fruits of Decoherence,” Studies
in History and Philosophy of Modern Physics 32, no. 2 (2001): 203–213.
[18]            
Wojciech H. Zurek, “Pointer Basis of Quantum
Apparatus: Into What Mixture Does the Wave Packet Collapse?” Physical Review
D 24, no. 6 (1981): 1516–1525.
[19]            
Jeffrey Bub, Interpreting the Quantum World
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 123–126.
[20]            
Markus Arndt et al., “Wave–Particle Duality of C60
Molecules,” Nature 401, no. 6754 (1999): 680–682.
[21]            
Rupert Ursin et al., “Entanglement-Based Quantum
Communication over 144 km,” Nature Physics 3, no. 7 (2007): 481–486.
[22]            
Anton Zeilinger, Dance of the Photons: From
Einstein to Quantum Teleportation (New York: Farrar, Straus and Giroux,
2010), 55–59.
[23]            
Jim Baggott, The Meaning of Quantum Theory: A
Guide for Students of Chemistry and Physics (Oxford: Oxford University
Press, 1992), 134–137.
[24]            
Sean Carroll, Something Deeply Hidden: Quantum
Worlds and the Emergence of Spacetime (New York: Dutton, 2019), 215–220.
6.          
Analisis
Epistemologis dan Metodologis
6.1.      
Kedudukan Eksperimen
Pikiran dalam Ilmu
Eksperimen Kucing Schrödinger merupakan salah satu
bentuk eksperimen pikiran (thought experiment) yang memiliki
kedudukan unik dalam metodologi sains. Eksperimen pikiran bukanlah percobaan
empiris yang dapat dilakukan secara fisik, melainkan perangkat konseptual yang
digunakan untuk menguji konsistensi logis suatu teori dan menyoroti implikasi
filosofisnya.¹ Dalam konteks mekanika kuantum, eksperimen seperti ini membantu
ilmuwan memahami batas-batas teoritis dari sistem yang tak dapat diamati secara
langsung.²
Dalam filsafat sains, eksperimen pikiran dianggap
sebagai sarana reflektif yang menghubungkan teori dengan intuisi.³ Schrödinger
menggunakan eksperimen kucingnya untuk menantang interpretasi Kopenhagen,
dengan menunjukkan bahwa jika prinsip superposisi diterapkan secara universal,
maka absurditas ontologis akan muncul pada skala makroskopik.⁴ Dengan demikian,
eksperimen pikiran berfungsi ganda: pertama, sebagai alat kritik terhadap
fondasi konseptual suatu teori; dan kedua, sebagai jembatan antara analisis
matematis dan refleksi filosofis.⁵
Namun, eksperimen pikiran juga memiliki
keterbatasan metodologis: karena tidak dapat diuji secara empiris, nilainya
lebih bersifat heuristik daripada verifikatif.⁶ Ia memperluas ruang imajinasi
ilmiah, tetapi tidak menggantikan kebutuhan akan observasi dan eksperimen
aktual sebagai dasar validitas ilmiah. Dalam pengertian ini, eksperimen Kucing
Schrödinger memperlihatkan hubungan dialektis antara teori, model konseptual,
dan verifikasi empiris dalam perkembangan ilmu pengetahuan.⁷
6.2.      
Hubungan antara Teori,
Eksperimen, dan Observasi
Mekanika kuantum menantang pandangan klasik tentang
hubungan antara teori dan observasi. Dalam paradigma Newtonian, teori dianggap
menjelaskan realitas yang objektif dan dapat diverifikasi melalui observasi
langsung.⁸ Akan tetapi, dalam ranah kuantum, observasi tidak lagi netral — ia
justru berperan aktif dalam menentukan keadaan sistem yang diukur.⁹ Hal ini
menimbulkan konsekuensi epistemologis bahwa pengamatan dan teori tidak dapat
sepenuhnya dipisahkan, karena tindakan mengamati memengaruhi objek yang
diamati.¹⁰
Pandangan ini sejalan dengan konsep kontruksi
ilmiah (scientific constructivism), yang menegaskan bahwa
pengetahuan ilmiah tidak hanya “ditemukan” tetapi juga “dibentuk”
oleh kerangka teoritis yang digunakan ilmuwan.¹¹ Oleh karena itu, realitas
ilmiah selalu bersifat relasional — tergantung pada model, alat ukur, dan
bahasa konseptual yang digunakan untuk memahaminya.¹² Dalam konteks eksperimen
Kucing Schrödinger, hal ini berarti bahwa status “hidup” atau “mati”
bukanlah sifat intrinsik kucing, melainkan hasil dari sistem pengukuran yang
melibatkan interaksi pengamat dan alat eksperimen.¹³
Thomas Kuhn menyebut perubahan semacam ini sebagai pergeseran
paradigma, di mana struktur konseptual dan norma ilmiah mengalami
transformasi ketika muncul anomali yang tidak dapat dijelaskan oleh paradigma
lama.¹⁴ Eksperimen Kucing Schrödinger menjadi simbol transisi dari paradigma
deterministik klasik menuju paradigma probabilistik-kuantum, yang menuntut
pemahaman baru tentang hubungan antara teori, observasi, dan kenyataan.¹⁵
6.3.      
Keterbukaan terhadap
Paradigma Baru
Salah satu pelajaran penting dari eksperimen Kucing
Schrödinger adalah pentingnya keterbukaan metodologis terhadap paradigma
baru dalam sains. Karl Popper menekankan bahwa sains berkembang melalui proses falsifikasi,
bukan verifikasi.¹⁶ Suatu teori dianggap ilmiah bukan karena dapat dibuktikan
benar, melainkan karena terbuka terhadap kemungkinan dibuktikan salah. Dalam
konteks ini, eksperimen Schrödinger berfungsi sebagai bentuk falsifikasi
konseptual terhadap interpretasi ortodoks mekanika kuantum — sebuah upaya untuk
menyingkap inkonsistensi internal dalam penjelasan Bohr dan Heisenberg.¹⁷
Selain falsifikasi, pendekatan ilmiah juga
memerlukan skeptisisme epistemologis: sikap kritis yang tidak menerima
otoritas teori tanpa pengujian rasional dan empiris.¹⁸ Sikap ini memungkinkan
ilmu berkembang secara dinamis, karena teori yang mapan sekalipun harus selalu
terbuka terhadap revisi. Sebagaimana dijelaskan oleh Imre Lakatos, kemajuan
ilmiah bukan sekadar penolakan teori lama, tetapi juga pengembangan program
riset yang progresif, di mana teori baru memperluas dan memperdalam
penjelasan terhadap fenomena yang ada.¹⁹
Eksperimen Kucing Schrödinger, dalam kerangka ini,
merepresentasikan semangat epistemologis sains yang terbuka: ia tidak menolak
mekanika kuantum, tetapi menantang komunitas ilmiah untuk meninjau kembali
interpretasinya agar lebih koheren dan realistis.²⁰ Dengan demikian, nilai
epistemologis eksperimen ini bukan hanya pada paradoksnya, tetapi juga pada
kemampuannya menggerakkan refleksi kritis terhadap cara manusia memahami dan
membangun pengetahuan ilmiah.
Footnotes
[1]               
James Robert Brown, The Laboratory of the Mind:
Thought Experiments in the Natural Sciences (London: Routledge, 1991), 3–6.
[2]               
Roy A. Sorensen, Thought Experiments
(Oxford: Oxford University Press, 1992), 15–17.
[3]               
Tamar Szabó Gendler, “Thought Experiments
Rethought—and Reperceived,” Philosophy of Science 71, no. 5 (2004):
1152–1163.
[4]               
Erwin Schrödinger, “Die gegenwärtige Situation in
der Quantenmechanik,” Naturwissenschaften 23, no. 48 (1935): 807–812.
[5]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 88–90.
[6]               
Nancy Nersessian, “How Do Thought Experiments
Work?” Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science
Association 2 (1992): 291–301.
[7]               
Ian Hacking, Representing and Intervening:
Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), 147–150.
[8]               
Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia
Mathematica (London: Royal Society, 1687), 4–5.
[9]               
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The
Revolution in Modern Science (New York: Harper & Brothers, 1958),
37–39.
[10]            
Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge
(New York: John Wiley & Sons, 1958), 15–18.
[11]            
Paul Feyerabend, Against Method (London:
Verso, 1975), 20–22.
[12]            
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 35–37.
[13]            
Michel Bitbol, Schrödinger’s Philosophy of
Quantum Mechanics (Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1996), 81–83.
[14]            
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 92–95.
[15]            
Helge Kragh, Quantum Generations: A History of
Physics in the Twentieth Century (Princeton: Princeton University Press,
1999), 205–208.
[16]            
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Hutchinson, 1959), 40–44.
[17]            
David Miller, Critical Rationalism: A
Restatement and Defence (Chicago: Open Court, 1994), 28–32.
[18]            
Robert Nola and Howard Sankey, Theories of
Scientific Method: An Introduction (Montreal: McGill-Queen’s University
Press, 2007), 110–113.
[19]            
Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of
Scientific Research Programmes,” dalam Criticism and the Growth of Knowledge,
ed. Imre Lakatos and Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press,
1970), 91–195.
[20]            
Don Howard, “Einstein on Locality and
Separability,” Studies in History and Philosophy of Science Part A 16,
no. 3 (1985): 171–201.
7.          
Refleksi
Filsafat dan Etika Ilmu
7.1.      
Implikasi terhadap
Pemahaman Realitas
Eksperimen Kucing Schrödinger tidak hanya
mengguncang fondasi fisika teoretis, tetapi juga menimbulkan refleksi mendalam
tentang hakikat realitas dalam filsafat ilmu. Paradoks kucing yang “hidup
sekaligus mati” mengisyaratkan bahwa realitas mungkin tidak bersifat
tunggal dan absolut sebagaimana diasumsikan oleh paradigma klasik.¹ Ia
menyingkap bahwa “kenyataan” adalah hasil interaksi kompleks antara
sistem fisik, pengamat, dan konteks pengukuran.²
Dalam kerangka filsafat ilmu, hal ini menantang
pandangan realisme naif, yaitu keyakinan bahwa dunia dapat dipahami
sebagaimana adanya tanpa distorsi persepsi manusia.³ Mekanika kuantum justru
memperlihatkan bahwa pemahaman manusia tentang dunia dibentuk oleh alat
konseptual, bahasa teoritis, dan struktur epistemik yang digunakan untuk
menafsirkan fenomena.⁴ Sejalan dengan itu, Bohr menegaskan bahwa ilmu tidak
menggambarkan “apa yang ada,” melainkan “apa yang dapat dikatakan
tentang alam.”⁵
Dengan demikian, eksperimen Kucing Schrödinger
memunculkan pemahaman baru bahwa realitas bersifat relasional dan
kontekstual. Ia tidak dapat direduksi menjadi entitas yang berdiri sendiri,
melainkan terbentuk dalam proses pengamatan.⁶ Refleksi ini memperluas horizon
filsafat ilmu: dari pandangan dunia deterministik dan objektivistik menuju
paradigma yang mengakui pluralitas, probabilitas, dan keterbatasan pengetahuan
manusia.
7.2.      
Kesadaran dan Observasi
Dimensi lain yang tak kalah penting dari eksperimen
Schrödinger adalah refleksi tentang peran kesadaran dalam ilmu pengetahuan.
Sejumlah interpretasi kuantum, seperti yang dikemukakan Eugene Wigner dan John
von Neumann, menempatkan kesadaran sebagai faktor kunci dalam proses
pengukuran.⁷ Menurut Wigner, hasil pengamatan tidak menjadi “nyata”
sampai disadari oleh subjek yang memiliki kesadaran.⁸
Pandangan ini mengundang pertanyaan etis dan
epistemologis: apakah manusia sekadar pengamat pasif terhadap alam, atau bagian
aktif dari struktur realitas?⁹ Jika kesadaran berperan dalam “mewujudkan”
realitas, maka batas antara subjek dan objek menjadi kabur — dan sains tidak
lagi dapat mengklaim posisi netral sepenuhnya.¹⁰
Dari perspektif fenomenologi Husserlian, kesadaran
merupakan “wadah makna” di mana dunia tampil.¹¹ Ilmu pengetahuan, dengan
demikian, adalah hasil korelasi antara subjek yang mengetahui dan dunia yang
diketahui. Dalam konteks Kucing Schrödinger, kesadaran tidak hanya menjadi alat
pengamatan, tetapi juga bagian dari jaringan ontologis yang menentukan
bagaimana realitas dimaknai.¹²
Refleksi ini menunjukkan bahwa epistemologi modern
perlu mempertimbangkan dimensi kesadaran — bukan dalam arti mistis, tetapi
sebagai aspek konstitutif dari pengetahuan ilmiah. Kesadaran, dengan
kemampuan reflektif dan kritisnya, memungkinkan manusia memahami keterbatasan
sekaligus potensi rasionalitas ilmiah.¹³
7.3.      
Etika dalam Penafsiran
Ilmiah
Selain persoalan ontologis dan epistemologis,
eksperimen Kucing Schrödinger juga mengandung dimensi etika ilmu pengetahuan.
Dalam konteks ini, “etika ilmu” tidak sekadar menyangkut penggunaan
teknologi atau dampak sosial sains, melainkan menyentuh tanggung jawab
epistemik ilmuwan terhadap makna pengetahuan yang dihasilkannya.¹⁴
Mekanika kuantum, dengan segala keanehannya,
menuntut sikap rendah hati epistemologis: pengakuan bahwa ilmu
pengetahuan tidak selalu mampu memberikan jawaban final tentang realitas.¹⁵
Sikap ini sejalan dengan semangat scientific honesty yang ditekankan
oleh Albert Einstein — bahwa ilmuwan harus jujur terhadap batas kemampuan
teorinya, tanpa tergoda untuk menyamakan model dengan kenyataan itu sendiri.¹⁶
Etika ilmu juga menuntut keterbukaan terhadap
dialog lintas disiplin, termasuk filsafat, teologi, dan humaniora.¹⁷ Sebab,
ketika ilmu berhenti merefleksikan maknanya sendiri, ia berisiko menjadi dogma
baru yang justru kehilangan sifat kritis dan kreatif. Dalam hal ini, eksperimen
Kucing Schrödinger menjadi simbol perlunya integrasi rasionalitas ilmiah dan
refleksi etis, agar kemajuan pengetahuan tidak mengaburkan tanggung jawab
manusia terhadap makna eksistensial dan moral dari penemuan ilmiah.¹⁸
Footnotes
[1]               
Erwin Schrödinger, “Die gegenwärtige Situation in
der Quantenmechanik,” Naturwissenschaften 23, no. 48 (1935): 807–812.
[2]               
John D. Barrow, The World within the World
(Oxford: Oxford University Press, 1988), 97–99.
[3]               
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science
Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 4–6.
[4]               
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 35–37.
[5]               
Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge
(New York: John Wiley & Sons, 1958), 17–20.
[6]               
Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the
Quantum Revolution (New York: Riverhead Books, 2021), 112–114.
[7]               
John von Neumann, Mathematical Foundations of
Quantum Mechanics (Princeton: Princeton University Press, 1955), 420–423.
[8]               
Eugene P. Wigner, “Remarks on the Mind-Body
Question,” dalam The Scientist Speculates: An Anthology of Partly-Baked
Ideas, ed. I. J. Good (New York: Basic Books, 1962), 284–302.
[9]               
Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum
Mechanics (Berlin: Springer, 1993), 21–23.
[10]            
Don Howard, “Einstein on Locality and
Separability,” Studies in History and Philosophy of Science Part A 16,
no. 3 (1985): 171–201.
[11]            
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences
and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston, IL:
Northwestern University Press, 1970), 104–107.
[12]            
Michel Bitbol, Schrödinger’s Philosophy of
Quantum Mechanics (Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1996), 77–81.
[13]            
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 71–74.
[14]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 3–6.
[15]            
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The
Revolution in Modern Science (New York: Harper & Brothers, 1958),
45–47.
[16]            
Albert Einstein, “Science and Religion,” Nature
146, no. 3706 (1940): 605–607.
[17]            
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 312–316.
[18]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 343–347.
8.          
Kesimpulan
Eksperimen pikiran Kucing Schrödinger telah
menjadi simbol intelektual yang melampaui batas disiplin fisika, menjelma
menjadi medan dialog antara sains, filsafat, dan epistemologi modern.
Schrödinger tidak bermaksud membuktikan secara empiris bahwa seekor kucing
dapat berada dalam keadaan “hidup dan mati sekaligus,” melainkan untuk
mengungkap ketegangan logis dalam interpretasi mekanika kuantum yang
berlaku pada zamannya — khususnya interpretasi Kopenhagen.¹ Paradoks ini
menunjukkan bahwa di jantung sains modern terdapat persoalan yang tidak hanya
bersifat matematis, tetapi juga metafisik dan epistemologis, berkaitan
dengan bagaimana manusia memahami realitas, pengamatan, dan pengetahuan itu
sendiri.²
Dari sisi ilmiah, eksperimen tersebut menyoroti masalah
pengukuran (measurement problem) dan prinsip superposisi kuantum,
yang mengaburkan batas antara determinisme dan probabilitas.³ Prinsip ini
memaksa sains untuk meninggalkan pandangan Newtonian tentang realitas yang
pasti dan menggantinya dengan pemahaman yang relatif, kontekstual, dan
probabilistik.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa mekanika kuantum tidak sekadar
teori fisika, melainkan juga revolusi epistemologis yang menantang
asumsi klasik tentang objektivitas dan kepastian ilmiah.
Dari sisi filsafat ilmu, eksperimen Schrödinger
memperlihatkan bahwa pengetahuan ilmiah selalu dibentuk oleh kerangka
konseptual dan peran pengamat.⁵ Realitas kuantum tidak dapat dipisahkan
dari cara manusia memandang dan mengukurnya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan
tidak lagi dapat dianggap sebagai cermin pasif realitas, tetapi sebagai proses
konstruktif yang melibatkan interaksi antara subjek dan objek.⁶ Dalam hal
ini, sains bersifat terbuka dan dinamis — selalu dapat dikoreksi dan
dikembangkan melalui refleksi rasional dan empiris.⁷
Secara metodologis, eksperimen Kucing Schrödinger
menunjukkan bahwa eksperimen pikiran memiliki peran penting dalam
perkembangan ilmu. Ia bukan sekadar imajinasi metaforis, melainkan alat
epistemik yang menguji koherensi dan batas-batas teori ilmiah.⁸ Melalui
pendekatan ini, Schrödinger membuka ruang bagi refleksi filosofis dalam sains,
sekaligus menegaskan bahwa kemajuan pengetahuan tidak hanya lahir dari
eksperimen empiris, tetapi juga dari perenungan kritis terhadap makna dan
asumsi teoritis yang mendasarinya.
Akhirnya, secara etis dan filosofis, paradoks
Kucing Schrödinger mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan modern, betapapun maju
secara teknologis, tetap berakar pada keterbatasan manusia sebagai makhluk
penafsir realitas.⁹ Dengan menerima ketidakpastian dan keterbatasan ini,
ilmuwan dapat mengembangkan sikap yang lebih reflektif, skeptis, dan jujur,
sebagaimana diidealkan oleh Karl Popper dan Werner Heisenberg.¹⁰ Sains yang
sejati, dengan demikian, bukanlah sistem dogmatis yang menuntut kepastian
mutlak, melainkan upaya terbuka dan terus-menerus untuk memahami dunia
dengan kesadaran akan keterbatasannya sendiri.¹¹
Melalui eksperimen Kucing Schrödinger, manusia
diajak untuk melihat bahwa realitas bukanlah sesuatu yang diberikan secara
mutlak, tetapi sesuatu yang harus dipahami, ditafsirkan, dan disadari secara
reflektif.¹² Di situlah letak kekuatan sekaligus kerendahan hati
epistemologis sains — bahwa pengetahuan ilmiah adalah hasil dari perpaduan antara
rasionalitas dan kesadaran, antara logika dan imajinasi, serta antara teori dan
refleksi etis yang menyertainya.
Footnotes
[1]               
Erwin Schrödinger, “Die gegenwärtige Situation in
der Quantenmechanik,” Naturwissenschaften 23, no. 48 (1935): 807–812.
[2]               
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The
Revolution in Modern Science (New York: Harper & Brothers, 1958),
28–30.
[3]               
David J. Griffiths, Introduction to Quantum
Mechanics, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall, 2005),
84–86.
[4]               
John D. Barrow, The World within the World
(Oxford: Oxford University Press, 1988), 93–95.
[5]               
Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge
(New York: John Wiley & Sons, 1958), 19–21.
[6]               
Michel Bitbol, Schrödinger’s Philosophy of
Quantum Mechanics (Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1996), 82–84.
[7]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 92–94.
[8]               
James Robert Brown, The Laboratory of the Mind:
Thought Experiments in the Natural Sciences (London: Routledge, 1991),
11–13.
[9]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 8–10.
[10]            
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Hutchinson, 1959), 45–48; Werner Heisenberg, Physics
and Philosophy, 44–47.
[11]            
Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of
Scientific Research Programmes,” dalam Criticism and the Growth of Knowledge,
ed. Imre Lakatos and Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press,
1970), 91–195.
[12]            
Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the
Quantum Revolution (New York: Riverhead Books, 2021), 120–123.
Daftar Pustaka
Arndt, M., Nairz, O., Vos-Andreae, J., Keller, C.,
van der Zouw, G., & Zeilinger, A. (1999). Wave–particle duality of C60
molecules. Nature, 401(6754), 680–682. doi.org
Baggott, J. (1992). The meaning of quantum
theory: A guide for students of chemistry and physics. Oxford University
Press.
Barrow, J. D. (1988). The world within the world.
Oxford University Press.
Bell, J. S. (1964). On the Einstein Podolsky Rosen
paradox. Physics, 1(3), 195–200.
Bitbol, M. (1996). Schrödinger’s philosophy of
quantum mechanics. Kluwer Academic Publishers.
Bitbol, M., & Bricmont, J. (2019). Quantum
mechanics and ontology. Springer.
Bohm, D. (1952). A suggested interpretation of the
quantum theory in terms of “hidden variables.” Physical Review, 85(2),
166–179. doi.org
Bohm, D., & Hiley, B. J. (1993). The
undivided universe: An ontological interpretation of quantum theory.
Routledge.
Bohr, N. (1935). Can quantum-mechanical description
of physical reality be considered complete? Physical Review, 48(8),
696–702. PhysRev.48.696
Bohr, N. (1949). Discussion with Einstein on
epistemological problems in atomic physics. In P. A. Schilpp (Ed.), Albert
Einstein: Philosopher–scientist (pp. 200–241). Library of Living
Philosophers.
Bohr, N. (1958). Atomic physics and human
knowledge. John Wiley & Sons.
Brown, J. R. (1991). The laboratory of the mind:
Thought experiments in the natural sciences. Routledge.
Bub, J. (1997). Interpreting the quantum world.
Cambridge University Press.
Carroll, S. (2019). Something deeply hidden:
Quantum worlds and the emergence of spacetime. Dutton.
De Broglie, L. (1925). Recherches sur la théorie
des quanta. Annales de Physique, 3, 22–128.
DeWitt, B. S., & Graham, N. (Eds.). (1973). The
many-worlds interpretation of quantum mechanics. Princeton University Press.
D’Espagnat, B. (1976). Conceptual foundations of
quantum mechanics (2nd ed.). Benjamin.
D’Espagnat, B. (1989). Reality and the
physicist: Knowledge, duration and the quantum world. Cambridge University
Press.
Dirac, P. A. M. (1958). The principles of
quantum mechanics (4th ed.). Clarendon Press.
Einstein, A. (1905). Über einen die Erzeugung und
Verwandlung des Lichtes betreffenden heuristischen Gesichtspunkt. Annalen
der Physik, 17, 132–148.
Einstein, A. (1940). Science and religion. Nature,
146(3706), 605–607.
Einstein, A., Podolsky, B., & Rosen, N. (1935).
Can quantum-mechanical description of physical reality be considered complete? Physical
Review, 47(10), 777–780. PhysRev.47.777
Everett, H. III. (1957). “Relative state”
formulation of quantum mechanics. Reviews of Modern Physics, 29(3),
454–462. RevModPhys.29.454
Feyerabend, P. (1975). Against method.
Verso.
Feynman, R. P., Leighton, R. B., & Sands, M.
(1965). The Feynman lectures on physics, Vol. III: Quantum mechanics.
Addison-Wesley.
Fraassen, B. C. van. (1980). The scientific
image. Clarendon Press.
Fraassen, B. C. van. (1991). Quantum mechanics:
An empiricist view. Clarendon Press.
Gendler, T. S. (2004). Thought experiments
rethought—and reperceived. Philosophy of Science, 71(5), 1152–1163.
Griffiths, D. J. (2005). Introduction to quantum
mechanics (2nd ed.). Pearson Prentice Hall.
Habermas, J. (1971). Knowledge and human
interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Hacking, I. (1983). Representing and
intervening: Introductory topics in the philosophy of natural science.
Cambridge University Press.
Heisenberg, W. (1927). Über den anschaulichen
Inhalt der quantentheoretischen Kinematik und Mechanik. Zeitschrift für
Physik, 43(3–4), 172–198.
Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy:
The revolution in modern science. Harper & Brothers.
Holland, P. R. (1993). The quantum theory of
motion: An account of the de Broglie–Bohm causal interpretation of quantum
mechanics. Cambridge University Press.
Howard, D. (1985). Einstein on locality and
separability. Studies in History and Philosophy of Science Part A, 16(3),
171–201.
Husserl, E. (1970). The crisis of European
sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern
University Press.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Jönsson, C. (1961). Elektroneninterferenzen an
mehreren künstlich hergestellten Feinspalten. Zeitschrift für Physik, 161(4),
454–474.
Jonsson, H.-D. Z. (1970). On the interpretation of
measurement in quantum theory. Foundations of Physics, 1(1), 69–76.
Kragh, H. (1999). Quantum generations: A history
of physics in the twentieth century. Princeton University Press.
Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific
revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.
Lakatos, I. (1970). Falsification and the
methodology of scientific research programmes. In I. Lakatos & A. Musgrave
(Eds.), Criticism and the growth of knowledge (pp. 91–195). Cambridge
University Press.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge.
Miller, D. (1994). Critical rationalism: A
restatement and defence. Open Court.
Nersessian, N. (1992). How do thought experiments
work? Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science
Association, 2, 291–301.
Newton, I. (1687). Philosophiae naturalis
principia mathematica. Royal Society.
Nola, R., & Sankey, H. (2007). Theories of
scientific method: An introduction. McGill-Queen’s University Press.
Omnès, R. (1994). The interpretation of quantum
mechanics. Princeton University Press.
Pais, A. (1982). Subtle is the Lord: The science
and the life of Albert Einstein. Oxford University Press.
Planck, M. (1901). Über das Gesetz der
Energieverteilung im Normalspektrum. Annalen der Physik, 4(553),
553–563.
Popper, K. R. (1959). The logic of scientific
discovery. Hutchinson.
Psillos, S. (1999). Scientific realism: How
science tracks truth. Routledge.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Rovelli, C. (2021). Helgoland: Making sense of
the quantum revolution. Riverhead Books.
Saunders, S., & Wallace, D. (2008). Branching
and uncertainty. British Journal for the Philosophy of Science, 59(3), 293–305.
Schlosshauer, M. (2007). Decoherence and the
quantum-to-classical transition. Springer.
Schrödinger, E. (1935). Die gegenwärtige Situation
in der Quantenmechanik. Naturwissenschaften, 23(48), 807–812.
Schrödinger, E. (1944). What is life? The physical
aspect of the living cell. Cambridge University Press.
Schrödinger, E. (1935). Science and the human
temperament. W.W. Norton.
Sorensen, R. A. (1992). Thought experiments.
Oxford University Press.
Stapp, H. P. (1993). Mind, matter, and quantum
mechanics. Springer.
Szabó Gendler, T. (2004). Thought experiments
rethought—and reperceived. Philosophy of Science, 71(5), 1152–1163.
Tegmark, M. (2010). Many worlds in context. In S.
Saunders et al. (Eds.), Many worlds? Everett, quantum theory, and reality
(pp. 553–581). Oxford University Press.
Ursin, R., et al. (2007). Entanglement-based
quantum communication over 144 km. Nature Physics, 3(7), 481–486.
Von Neumann, J. (1955). Mathematical foundations
of quantum mechanics. Princeton University Press.
Wallace, D. (2012). The emergent multiverse:
Quantum theory according to the Everett interpretation. Oxford University
Press.
Whitehead, A. N. (1929). Process and reality: An
essay in cosmology. Macmillan.
Wheeler, J. A., & Zurek, W. H. (Eds.). (1983). Quantum
theory and measurement. Princeton University Press.
Wigner, E. P. (1962). Remarks on the mind-body
question. In I. J. Good (Ed.), The scientist speculates: An anthology of
partly-baked ideas (pp. 284–302). Basic Books.
Zeh, H.-D. (2001). Roots and fruits of decoherence.
Studies in History and Philosophy of Modern Physics, 32(2), 203–213.
Zeilinger, A. (2010). Dance of the photons: From
Einstein to quantum teleportation. Farrar, Straus and Giroux.
Zurek, W. H. (1981). Pointer basis of quantum
apparatus: Into what mixture does the wave packet collapse? Physical Review
D, 24(6), 1516–1525.
Zurek, W. H. (1982). Environment-induced
superselection rules. Physical Review D, 26(8), 1862–1880.
Zurek, W. H. (1991). Decoherence and the transition
from quantum to classical. Physics Today, 44(10), 36–44.
Zurek, W. H. (2003). Decoherence, einselection, and
the quantum origins of the classical. Reviews of Modern Physics, 75(3),
715–775.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar