Selasa, 14 Oktober 2025

Eksperimen Kucing Schrödinger: Antara Paradoks Kuantum dan Filsafat Realitas

Eksperimen Kucing Schrödinger

Antara Paradoks Kuantum dan Filsafat Realitas


Alihkan ke: Fisika.


Abstrak

Eksperimen pikiran Kucing Schrödinger, yang diperkenalkan oleh Erwin Schrödinger pada tahun 1935, merupakan salah satu ilustrasi paling berpengaruh dalam sejarah mekanika kuantum dan filsafat ilmu. Eksperimen ini menggambarkan paradoks superposisi, di mana seekor kucing diasumsikan berada dalam keadaan hidup dan mati sekaligus hingga dilakukan pengamatan. Melalui skenario ini, Schrödinger berusaha menyoroti ketegangan konseptual dalam interpretasi Kopenhagen, khususnya mengenai problem pengukuran dan peran pengamat dalam menentukan realitas kuantum.

Artikel ini membahas secara komprehensif landasan teoretis mekanika kuantum, prinsip superposisi, serta implikasi epistemologis dan ontologis dari eksperimen tersebut. Pembahasan mencakup berbagai interpretasi alternatif—seperti Many-Worlds Interpretation, teori Pilot-Wave Bohmian, dan pendekatan Decoherence—yang berupaya menjelaskan transisi antara dunia kuantum dan dunia klasik tanpa menimbulkan kontradiksi logis. Selain itu, kajian ini menyoroti dimensi filsafat dan etika ilmu, termasuk peran kesadaran, tanggung jawab epistemik ilmuwan, serta keterbatasan manusia dalam menafsirkan realitas ilmiah.

Hasil analisis menunjukkan bahwa eksperimen Kucing Schrödinger bukan sekadar paradoks fisika, melainkan juga refleksi epistemologis yang mengubah pemahaman manusia tentang realitas, pengetahuan, dan sains itu sendiri. Paradoks ini menegaskan bahwa ilmu pengetahuan bersifat terbuka, relatif, dan selalu dapat dikoreksi melalui dialog antara teori, empirisme, dan refleksi filosofis. Dengan demikian, eksperimen ini tetap relevan sebagai simbol hubungan dinamis antara rasionalitas ilmiah dan kesadaran manusia, serta sebagai pengingat akan perlunya etika dan kerendahan hati dalam memahami alam semesta.

Kata Kunci: Mekanika Kuantum; Kucing Schrödinger; Superposisi; Filsafat Ilmu; Problem Pengukuran; Realisme dan Instrumentalisme; Epistemologi; Etika Ilmu.


PEMBAHASAN

Eksperimen Kucing Schrödinger sebagai Paradigma Lintas Ilmu antara Fisika Teoretis dan Filsafat Pengetahuan


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Masalah

Mekanika kuantum muncul pada awal abad ke-20 sebagai respons terhadap keterbatasan fisika klasik dalam menjelaskan fenomena pada skala atomik dan subatomik. Paradigma baru ini membawa pandangan yang radikal: partikel tidak lagi dipahami sebagai benda yang memiliki posisi dan kecepatan pasti, melainkan sebagai entitas yang digambarkan oleh fungsi gelombang dengan probabilitas tertentu untuk ditemukan dalam keadaan tertentu.¹ Pandangan tersebut, meskipun sukses dalam menjelaskan fenomena mikrofisika seperti efek fotoelektrik dan radiasi benda hitam, memunculkan persoalan filosofis yang mendalam tentang hakikat realitas dan hubungan antara pengamat serta objek yang diamati.²

Salah satu pemikir yang secara kritis menanggapi implikasi filosofis mekanika kuantum adalah Erwin Schrödinger. Pada tahun 1935, Schrödinger mengusulkan sebuah eksperimen pikiran yang kemudian dikenal sebagai “Kucing Schrödinger” untuk menunjukkan absurditas logika yang muncul dari interpretasi ortodoks atau interpretasi Kopenhagen terhadap mekanika kuantum.³ Dalam eksperimen imajiner ini, seekor kucing ditempatkan dalam kotak tertutup bersama dengan mekanisme yang bergantung pada peluruhan atom radioaktif. Menurut prinsip superposisi kuantum, sebelum pengamat membuka kotak, kucing tersebut berada dalam keadaan superposisi: hidup sekaligus mati secara bersamaan.⁴

Paradoks ini dimaksudkan oleh Schrödinger bukan untuk mendukung teori superposisi, melainkan untuk mengkritik penerapan prinsip-prinsip mekanika kuantum pada dunia makroskopik. Ia ingin menegaskan bahwa teori kuantum, sebagaimana diformulasikan saat itu, belum memberikan penjelasan yang koheren tentang hubungan antara fenomena mikroskopik dan realitas makroskopik.⁵ Dengan demikian, eksperimen ini menjadi simbol dari ketegangan antara formalisme matematis fisika kuantum dan pemahaman filosofis tentang realitas fisik.

1.2.       Rumusan Masalah

Eksperimen Kucing Schrödinger tidak hanya menimbulkan kebingungan ilmiah, tetapi juga membuka ruang bagi perdebatan filosofis yang terus berlangsung hingga kini. Oleh karena itu, tulisan ini berupaya menjawab beberapa pertanyaan mendasar:

1)                  Apa makna eksperimen Kucing Schrödinger dalam konteks ilmiah dan filosofis?

2)                  Bagaimana eksperimen tersebut menggambarkan problem pengukuran (measurement problem) dalam mekanika kuantum?

3)                  Sejauh mana eksperimen ini mempengaruhi perkembangan interpretasi dan pemahaman kita terhadap realitas fisik?

1.3.       Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan secara komprehensif makna ilmiah dan filosofis dari eksperimen Kucing Schrödinger sebagai upaya untuk memahami batas antara dunia kuantum dan dunia klasik. Pembahasan dilakukan dengan pendekatan rasional, logis, dan empiris, sekaligus membuka ruang untuk refleksi filsafat ilmu tentang keterbatasan pengetahuan manusia dalam menafsirkan realitas.⁶

Dengan demikian, eksperimen Kucing Schrödinger bukan hanya sekadar paradoks fisika, tetapi juga metafora epistemologis tentang ketidakpastian, kesadaran, dan konstruksi realitas ilmiah.


Footnotes

[1]                Werner Heisenberg, The Physical Principles of the Quantum Theory (Chicago: University of Chicago Press, 1930), 12–15.

[2]                Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York: John Wiley & Sons, 1958), 20–25.

[3]                Erwin Schrödinger, “Die gegenwärtige Situation in der Quantenmechanik,” Naturwissenschaften 23, no. 48 (1935): 807–812.

[4]                John D. Trimmer, “The Present Situation in Quantum Mechanics: A Translation of Schrödinger’s ‘Cat Paradox’ Paper,” Proceedings of the American Philosophical Society 124, no. 5 (1980): 323–338.

[5]                Don Howard, “Einstein on Locality and Separability,” Studies in History and Philosophy of Science Part A 16, no. 3 (1985): 171–201.

[6]                Bas C. van Fraassen, Quantum Mechanics: An Empiricist View (Oxford: Clarendon Press, 1991), 5–8.


2.           Landasan Teoretis: Mekanika Kuantum dan Prinsip Superposisi

2.1.       Konsep Dasar Mekanika Kuantum

Mekanika kuantum lahir dari usaha para ilmuwan untuk memahami fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh fisika klasik, seperti radiasi benda hitam dan efek fotoelektrik.¹ Fisika klasik, yang berlandaskan determinisme Newtonian, gagal menjelaskan perilaku partikel pada skala atom dan subatom, di mana hukum sebab-akibat tampak kehilangan kejelasan. Max Planck, pada tahun 1900, memperkenalkan gagasan bahwa energi tidak bersifat kontinu melainkan terdiri dari paket-paket diskret yang disebut kuanta.² Gagasan ini kemudian dikembangkan oleh Albert Einstein pada tahun 1905 dalam menjelaskan efek fotoelektrik, yang menegaskan bahwa cahaya memiliki sifat partikel, atau disebut foton

Konsep dualitas gelombang-partikel kemudian dikokohkan oleh Louis de Broglie, yang menyatakan bahwa setiap partikel materi memiliki sifat gelombang dengan panjang gelombang tertentu.⁴ Prinsip ini menandai pergeseran paradigma besar dalam fisika modern, di mana batas antara materi dan energi menjadi kabur. Perkembangan selanjutnya datang dari Erwin Schrödinger, yang pada tahun 1926 memperkenalkan persamaan gelombang yang kini menjadi dasar formal dari mekanika kuantum. Persamaan Schrödinger memungkinkan perhitungan probabilitas suatu partikel berada dalam keadaan tertentu melalui fungsi gelombang (ψ).⁵

Fungsi gelombang ini tidak menggambarkan lintasan partikel secara pasti, melainkan probabilitas potensial keberadaannya. Artinya, dunia mikrofisik tunduk pada prinsip ketidakpastian, sebagaimana ditegaskan oleh Werner Heisenberg, yang menyatakan bahwa tidak mungkin menentukan secara bersamaan posisi dan momentum partikel dengan presisi mutlak.⁶ Prinsip ketidakpastian ini bukanlah keterbatasan alat pengukuran, tetapi merupakan sifat dasar dari realitas kuantum itu sendiri.

2.2.       Prinsip Superposisi Kuantum

Salah satu pilar utama mekanika kuantum adalah prinsip superposisi, yang menyatakan bahwa sebuah sistem kuantum dapat berada dalam dua atau lebih keadaan sekaligus hingga dilakukan pengukuran.⁷ Secara matematis, jika sebuah sistem dapat berada dalam keadaan |A dan |B, maka keadaan keseluruhannya adalah kombinasi linier dari keduanya:

ψ = c₁|A + c₂|B,

dengan c₁ dan c₂ sebagai koefisien kompleks yang menentukan probabilitas relatif masing-masing keadaan.⁸

Fenomena superposisi dapat diamati melalui eksperimen dua celah (double-slit experiment), di mana partikel seperti elektron atau foton dapat melewati dua celah secara bersamaan dan membentuk pola interferensi khas gelombang.⁹ Ketika dilakukan pengamatan untuk menentukan celah mana yang dilalui, pola interferensi tersebut menghilang, menunjukkan bahwa tindakan pengamatan memengaruhi hasil eksperimen. Ini menegaskan bahwa realitas kuantum tidak bersifat objektif dalam pengertian klasik, melainkan tergantung pada interaksi dengan pengamat.¹⁰

Superposisi tidak hanya bersifat fenomenologis, tetapi juga memiliki konsekuensi ontologis: dunia kuantum tidak tunduk pada logika biner “ada atau tiada,” melainkan pada logika probabilistik yang memungkinkan keberadaan simultan dari keadaan yang berlawanan.¹¹ Dengan kata lain, sistem kuantum tidak berada dalam satu keadaan tertentu hingga terjadi interaksi yang “memaksa” sistem tersebut untuk memilih salah satu keadaan—fenomena yang dikenal sebagai kolaps fungsi gelombang.

2.3.       Masalah Pengukuran (Measurement Problem)

Masalah utama dalam mekanika kuantum adalah bagaimana dan kapan superposisi berubah menjadi satu keadaan teramati.¹² Dalam interpretasi Kopenhagen yang dikembangkan oleh Niels Bohr dan Werner Heisenberg, kolaps fungsi gelombang terjadi saat dilakukan pengukuran, dan hasil yang diperoleh tidak dapat diprediksi secara deterministik, melainkan hanya probabilistik.¹³ Artinya, mekanika kuantum hanya memberikan peluang bagi suatu hasil, bukan kepastian.

Namun, posisi ini menimbulkan pertanyaan filosofis yang dalam: apakah fungsi gelombang benar-benar menggambarkan realitas fisik, atau hanya representasi pengetahuan manusia tentang sistem tersebut?¹⁴ Inilah yang kemudian menjadi dasar bagi eksperimen pikiran Kucing Schrödinger, yang menguji batas penerapan prinsip superposisi terhadap sistem makroskopik. Jika prinsip tersebut benar-benar universal, maka seekor kucing bisa saja berada dalam keadaan hidup dan mati sekaligus sampai seseorang mengamati hasilnya—sebuah kesimpulan yang menantang intuisi dan rasionalitas klasik.¹⁵

Dengan demikian, landasan teoretis mekanika kuantum dan prinsip superposisi tidak hanya merevolusi sains, tetapi juga mengguncang dasar metafisika dan epistemologi, memaksa manusia untuk meninjau kembali hubungan antara pengetahuan, pengamatan, dan realitas.


Footnotes

[1]                Abraham Pais, Subtle Is the Lord: The Science and the Life of Albert Einstein (Oxford: Oxford University Press, 1982), 34–37.

[2]                Max Planck, “Über das Gesetz der Energieverteilung im Normalspektrum,” Annalen der Physik 4, no. 553 (1901): 553–563.

[3]                Albert Einstein, “Über einen die Erzeugung und Verwandlung des Lichtes betreffenden heuristischen Gesichtspunkt,” Annalen der Physik 17 (1905): 132–148.

[4]                Louis de Broglie, “Recherches sur la théorie des quanta,” Annales de Physique 3 (1925): 22–128.

[5]                Erwin Schrödinger, “An Undulatory Theory of the Mechanics of Atoms and Molecules,” Physical Review 28, no. 6 (1926): 1049–1070.

[6]                Werner Heisenberg, Über den anschaulichen Inhalt der quantentheoretischen Kinematik und Mechanik, Zeitschrift für Physik 43, no. 3–4 (1927): 172–198.

[7]                David J. Griffiths, Introduction to Quantum Mechanics, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall, 2005), 27–29.

[8]                Richard P. Feynman, Robert B. Leighton, and Matthew Sands, The Feynman Lectures on Physics, Vol. III: Quantum Mechanics (Reading, MA: Addison-Wesley, 1965), 1–3.

[9]                Claus Jönsson, “Elektroneninterferenzen an mehreren künstlich hergestellten Feinspalten,” Zeitschrift für Physik 161, no. 4 (1961): 454–474.

[10]             John Archibald Wheeler and Wojciech H. Zurek, Quantum Theory and Measurement (Princeton: Princeton University Press, 1983), 15–19.

[11]             Roland Omnès, The Interpretation of Quantum Mechanics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 44–46.

[12]             Jeffrey Bub, Interpreting the Quantum World (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 78–81.

[13]             Niels Bohr, Discussion with Einstein on Epistemological Problems in Atomic Physics, dalam Albert Einstein: Philosopher–Scientist, ed. Paul A. Schilpp (Evanston, IL: Library of Living Philosophers, 1949), 200–241.

[14]             Bas C. van Fraassen, Quantum Mechanics: An Empiricist View (Oxford: Clarendon Press, 1991), 112–115.

[15]             Erwin Schrödinger, “Die gegenwärtige Situation in der Quantenmechanik,” Naturwissenschaften 23, no. 48 (1935): 807–812.


3.           Eksperimen Pikiran Kucing Schrödinger

3.1.       Deskripsi Eksperimen

Eksperimen pikiran (thought experiment) Kucing Schrödinger pertama kali diperkenalkan oleh Erwin Schrödinger pada tahun 1935 dalam artikelnya berjudul Die gegenwärtige Situation in der Quantenmechanik (“Situasi Terkini dalam Mekanika Kuantum”).¹ Eksperimen ini dimaksudkan sebagai ilustrasi kritis terhadap interpretasi Kopenhagen dari mekanika kuantum, yang menyatakan bahwa sistem kuantum berada dalam superposisi keadaan hingga dilakukan pengukuran.

Dalam skenario yang diajukan Schrödinger, seekor kucing ditempatkan di dalam sebuah kotak tertutup yang berisi perangkat eksperimental sederhana: sebutir atom radioaktif, detektor Geiger, palu mekanik, dan sebotol racun (hidrosianida). Jika atom radioaktif tersebut meluruh dalam jangka waktu satu jam, detektor Geiger akan mengaktifkan palu yang memecahkan botol racun, sehingga kucing akan mati. Jika atom tidak meluruh, kucing tetap hidup.²

Menurut hukum kuantum, sebelum diamati, atom radioaktif berada dalam keadaan superposisi — baik meluruh maupun tidak meluruh. Oleh karena itu, sistem keseluruhan (atom + detektor + kucing) juga berada dalam keadaan superposisi, yang secara konseptual berarti kucing berada dalam keadaan hidup dan mati secara bersamaan.³ Baru ketika kotak dibuka dan pengamat melihat isi di dalamnya, sistem “memilih” salah satu dari dua keadaan: hidup atau mati. Fenomena ini disebut kolaps fungsi gelombang (wavefunction collapse).⁴

3.2.       Logika dan Tujuan Schrödinger

Tujuan utama Schrödinger bukanlah membuktikan bahwa kucing dapat benar-benar hidup dan mati sekaligus, tetapi untuk menunjukkan absurditas logis yang muncul jika prinsip mekanika kuantum diterapkan secara literal pada dunia makroskopik.⁵ Ia bermaksud menyoroti keterbatasan interpretasi Kopenhagen yang dikemukakan oleh Niels Bohr dan Werner Heisenberg, yang menyatakan bahwa hasil pengukuran baru menjadi “nyata” setelah diamati.⁶

Bagi Schrödinger, pandangan ini menimbulkan masalah epistemologis dan ontologis: apakah realitas bergantung pada tindakan pengamatan manusia? Dalam kerangka klasik, sesuatu dianggap “ada” secara independen dari kesadaran pengamat. Namun, mekanika kuantum, sebagaimana diinterpretasikan Bohr, mengaburkan batas tersebut dengan menempatkan pengamat sebagai bagian integral dari sistem.⁷

Eksperimen Kucing Schrödinger, dengan demikian, berfungsi sebagai kritik filosofis terhadap pendekatan instrumentalis, yang menganggap teori kuantum hanya sebagai alat prediksi probabilistik tanpa komitmen terhadap realitas ontologis.⁸ Schrödinger berpendapat bahwa jika interpretasi tersebut diikuti secara konsisten, maka kita harus menerima bahwa entitas makroskopik seperti kucing bisa eksis dalam keadaan kontradiktif — suatu gagasan yang bertentangan dengan intuisi dan pengalaman empiris.⁹

3.3.       Ilustrasi Matematis

Secara formal, keadaan sistem gabungan (atom dan kucing) dapat ditulis dalam bentuk fungsi gelombang superposisi:

Ψ = (1/√2) (|meluruh|mati + |tidak meluruh|hidup).

Persamaan ini menunjukkan bahwa sebelum pengamatan, sistem tidak berada pada salah satu keadaan tertentu, tetapi merupakan kombinasi dari keduanya.¹⁰ Setelah dilakukan pengukuran — yaitu ketika kotak dibuka — fungsi gelombang mengalami reduksi (collapse) menjadi salah satu komponen:

·                     |meluruh|mati (kucing mati), atau

·                     |tidak meluruh|hidup (kucing hidup).

Persoalan mendasarnya adalah: Apa yang menyebabkan kolaps ini terjadi? Apakah kolaps merupakan fenomena fisik obyektif, atau sekadar pembaruan informasi subjektif oleh pengamat?¹¹ Pertanyaan ini menjadi inti dari problem pengukuran kuantum (measurement problem), yang hingga kini masih menjadi perdebatan filosofis dan ilmiah.¹²

Selain itu, eksperimen ini juga membuka ruang bagi pengembangan interpretasi alternatif, seperti many-worlds interpretation (Everett, 1957), yang menyatakan bahwa tidak terjadi kolaps; sebaliknya, kedua hasil eksis secara simultan di alam semesta paralel yang berbeda.¹³ Dengan demikian, eksperimen Kucing Schrödinger tidak hanya menantang fondasi epistemologis fisika, tetapi juga memicu perluasan metafisika mengenai pluralitas realitas.


Footnotes

[1]                Erwin Schrödinger, “Die gegenwärtige Situation in der Quantenmechanik,” Naturwissenschaften 23, no. 48 (1935): 807–812.

[2]                John D. Trimmer, “The Present Situation in Quantum Mechanics: A Translation of Schrödinger’s ‘Cat Paradox’ Paper,” Proceedings of the American Philosophical Society 124, no. 5 (1980): 323–338.

[3]                Paul A. M. Dirac, The Principles of Quantum Mechanics, 4th ed. (Oxford: Clarendon Press, 1958), 12–14.

[4]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Brothers, 1958), 42–45.

[5]                Erwin Schrödinger, What Is Life? The Physical Aspect of the Living Cell (Cambridge: Cambridge University Press, 1944), 55.

[6]                Niels Bohr, “Discussion with Einstein on Epistemological Problems in Atomic Physics,” dalam Albert Einstein: Philosopher–Scientist, ed. Paul A. Schilpp (Evanston, IL: Library of Living Philosophers, 1949), 201–204.

[7]                Don Howard, “Einstein on Locality and Separability,” Studies in History and Philosophy of Science Part A 16, no. 3 (1985): 171–201.

[8]                Bas C. van Fraassen, Quantum Mechanics: An Empiricist View (Oxford: Clarendon Press, 1991), 19–23.

[9]                Bernard d’Espagnat, Conceptual Foundations of Quantum Mechanics, 2nd ed. (Reading, MA: Benjamin, 1976), 54–58.

[10]             David J. Griffiths, Introduction to Quantum Mechanics, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall, 2005), 83–85.

[11]             John Archibald Wheeler and Wojciech H. Zurek, Quantum Theory and Measurement (Princeton: Princeton University Press, 1983), 22–24.

[12]             Jeffrey Bub, Interpreting the Quantum World (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 87–91.

[13]             Hugh Everett III, “‘Relative State’ Formulation of Quantum Mechanics,” Reviews of Modern Physics 29, no. 3 (1957): 454–462.


4.           Interpretasi dan Implikasi Filsafat Ilmu

4.1.       Realisme vs. Instrumentalisme

Eksperimen Kucing Schrödinger memunculkan perdebatan mendalam antara dua aliran filsafat ilmu utama: realisme ilmiah dan instrumentalisme. Realisme ilmiah berpendapat bahwa teori-teori ilmiah menggambarkan realitas sebagaimana adanya — bahkan pada level entitas yang tidak dapat diamati seperti elektron atau fungsi gelombang.¹ Sebaliknya, instrumentalisme memandang teori ilmiah hanya sebagai alat (instrument) untuk memprediksi hasil observasi, tanpa klaim ontologis tentang kebenaran metafisiknya.²

Dalam konteks mekanika kuantum, para penganut interpretasi Kopenhagen seperti Niels Bohr dan Werner Heisenberg cenderung menganut posisi instrumentalistis: fungsi gelombang (ψ) tidak merepresentasikan keadaan realitas fisik, melainkan sekadar alat prediktif untuk menentukan probabilitas hasil pengukuran.³ Schrödinger, di sisi lain, memandang bahwa fungsi gelombang memiliki realitas ontologis dan mencerminkan keadaan fisik yang sebenarnya, bukan hanya informasi statistik tentang sistem.⁴

Perdebatan ini menyentuh pertanyaan mendasar tentang status ontologis realitas kuantum: apakah realitas fisik eksis secara independen dari pengamatan, ataukah ia bergantung pada proses pengukuran?⁵ Eksperimen Kucing Schrödinger menunjukkan bahwa kedua pandangan tersebut sulit dipertahankan secara absolut — karena baik pendekatan realistik maupun instrumentalistik menghadapi kesulitan dalam menjelaskan transisi dari superposisi kuantum menuju realitas makroskopik yang tunggal.

4.2.       Peran Pengamat dan Kesadaran

Salah satu aspek paling filosofis dari eksperimen Kucing Schrödinger adalah persoalan pengamat dan kesadaran. Dalam interpretasi Kopenhagen, tindakan pengamatan menyebabkan kolaps fungsi gelombang — yakni perubahan sistem dari keadaan superposisi menjadi salah satu keadaan tertentu.⁶ Namun, hal ini memunculkan pertanyaan: apakah yang dimaksud dengan “pengamatan”? Apakah harus melibatkan kesadaran manusia, atau cukup dengan interaksi fisik antara sistem dan alat ukur?⁷

Eugene Wigner memperluas persoalan ini dengan mengusulkan “hipotesis kesadaran”, yang menyatakan bahwa kesadaran manusia berperan aktif dalam menentukan realitas kuantum.⁸ Menurut Wigner, kolaps fungsi gelombang baru terjadi ketika hasil pengukuran disadari oleh pengamat yang sadar, bukan hanya ketika terjadi interaksi fisik. Pandangan ini menimbulkan konsekuensi ontologis radikal: alam semesta tidak memiliki eksistensi obyektif penuh tanpa partisipasi kesadaran.⁹

Namun, pendekatan ini banyak dikritik karena mengaburkan batas antara fisika dan metafisika. Wolfgang Pauli dan John von Neumann, meskipun mengakui peran pengamat, berusaha menempatkan kesadaran sebagai bagian dari sistem formal tanpa menjadikannya entitas non-fisik.¹⁰ Dalam konteks filsafat ilmu, hal ini menimbulkan refleksi epistemologis mendalam mengenai hubungan antara subjek dan objek pengetahuan — bahwa proses ilmiah tidak sepenuhnya netral, tetapi selalu melibatkan struktur kognitif pengamat.¹¹

4.3.       Ontologi Kuantum dan Keberadaan Realitas

Eksperimen Kucing Schrödinger menantang pandangan klasik tentang ontologi — khususnya mengenai keberadaan (being) dan realitas objektif. Dalam filsafat realisme klasik, keberadaan dianggap independen dari pengamatan: sesuatu “ada” karena eksis di luar kesadaran manusia. Mekanika kuantum, sebaliknya, menunjukkan bahwa realitas mungkin bersifat relasional, tergantung pada interaksi sistem dan pengamat.¹²

Dalam konteks ini, teori kuantum mengubah pertanyaan metafisik tradisional dari “apa yang ada?” menjadi “bagaimana sesuatu menjadi ada?” Realitas bukanlah entitas statis, melainkan proses dinamis yang muncul melalui interaksi dan pengukuran.¹³ Pandangan ini selaras dengan filsafat proses Alfred North Whitehead, yang menekankan bahwa keberadaan adalah peristiwa (event) yang terus-menerus diperbarui.¹⁴

Implikasi ontologis ini menuntun pada gagasan bahwa realitas kuantum bersifat plural dan non-deterministik. Tidak ada satu realitas tunggal yang absolut, melainkan banyak kemungkinan yang tumpang tindih hingga salah satunya terealisasi melalui pengamatan.¹⁵ Dengan demikian, eksperimen Kucing Schrödinger menjadi metafora epistemologis yang menantang klaim kepastian dan objektivitas dalam sains — menegaskan bahwa ilmu pengetahuan modern, meskipun berbasis empiris, tetap berakar pada interpretasi filosofis mengenai makna “realitas.”


Footnotes

[1]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 12–15.

[2]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 2–5.

[3]                Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York: John Wiley & Sons, 1958), 25–28.

[4]                Erwin Schrödinger, Science and the Human Temperament (New York: W.W. Norton, 1935), 90–93.

[5]                Bernard d’Espagnat, Reality and the Physicist: Knowledge, Duration and the Quantum World (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 41–45.

[6]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Brothers, 1958), 37–40.

[7]                John Archibald Wheeler and Wojciech H. Zurek, Quantum Theory and Measurement (Princeton: Princeton University Press, 1983), 24–26.

[8]                Eugene P. Wigner, “Remarks on the Mind-Body Question,” dalam The Scientist Speculates: An Anthology of Partly-Baked Ideas, ed. I. J. Good (New York: Basic Books, 1962), 284–302.

[9]                Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin: Springer, 1993), 17–19.

[10]             John von Neumann, Mathematical Foundations of Quantum Mechanics (Princeton: Princeton University Press, 1955), 418–421.

[11]             Michael Bitbol, Schrödinger’s Philosophy of Quantum Mechanics (Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1996), 67–70.

[12]             Michel Bitbol and Jean Bricmont, Quantum Mechanics and Ontology (New York: Springer, 2019), 54–59.

[13]             Jeffrey Bub, Interpreting the Quantum World (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 95–99.

[14]             Alfred North Whitehead, Process and Reality: An Essay in Cosmology (New York: Macmillan, 1929), 34–38.

[15]             Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the Quantum Revolution (New York: Riverhead Books, 2021), 104–108.


5.           Perkembangan Teori dan Interpretasi Alternatif

5.1.       Interpretasi Many-Worlds (Hugh Everett III)

Salah satu perkembangan paling radikal dalam sejarah interpretasi mekanika kuantum adalah Interpretasi Banyak Dunia (Many-Worlds Interpretation, MWI) yang diperkenalkan oleh Hugh Everett III pada tahun 1957.¹ Everett menolak gagasan kolaps fungsi gelombang yang menjadi inti dari interpretasi Kopenhagen. Menurutnya, kolaps tidak pernah terjadi; yang ada hanyalah evolusi deterministik dari fungsi gelombang menurut persamaan Schrödinger.²

Dalam pandangan Everett, setiap kali terjadi pengukuran, alam semesta “bercabang” ke dalam sejumlah realitas paralel, masing-masing mewakili hasil yang mungkin dari proses kuantum tersebut.³ Misalnya, dalam konteks eksperimen Kucing Schrödinger, ada satu cabang alam semesta di mana kucing hidup dan cabang lain di mana kucing mati. Kedua keadaan itu sama-sama “nyata” dalam domain semestanya masing-masing.⁴

Interpretasi ini menghilangkan kebutuhan akan konsep kolaps fungsi gelombang, tetapi dengan konsekuensi metafisik yang besar: eksistensi jumlah tak terbatas dari alam semesta paralel.⁵ Meskipun secara matematis konsisten, banyak filsuf dan fisikawan menilai interpretasi ini sulit diterima secara empiris karena tidak dapat diverifikasi secara langsung.⁶ Namun demikian, MWI memberikan landasan konseptual penting bagi perkembangan komputasi kuantum dan teori dekoherensi, karena memperlakukan superposisi sebagai realitas fisik yang objektif.⁷

5.2.       Interpretasi Bohmian (Pilot-Wave Theory)

Alternatif lain yang signifikan adalah Interpretasi Bohmian, atau Teori Gelombang Pilot, yang dikembangkan oleh David Bohm pada tahun 1952.⁸ Teori ini berupaya mengembalikan determinisme ke dalam mekanika kuantum dengan menambahkan variabel tersembunyi yang mengatur perilaku partikel. Menurut Bohm, setiap partikel memiliki posisi yang pasti pada setiap saat, dan gerakannya ditentukan oleh “gelombang pilot” (pilot wave) yang diatur oleh fungsi gelombang ψ.⁹

Dengan demikian, ketidakpastian dalam mekanika kuantum bukan berasal dari realitas yang acak, melainkan dari ketidaktahuan manusia terhadap variabel tersembunyi tersebut.¹⁰ Teori Bohmian mempertahankan realisme ontologis — bahwa dunia memiliki keadaan fisik tertentu yang independen dari pengamatan.¹¹

Meskipun teori ini secara empiris menghasilkan prediksi yang identik dengan mekanika kuantum konvensional, ia menimbulkan perdebatan karena bersifat non-lokal, artinya keadaan suatu partikel dapat dipengaruhi oleh keadaan partikel lain yang berjauhan secara instan.¹² Prinsip non-lokalitas ini bertentangan dengan relativitas khusus Einstein, tetapi diperkuat oleh temuan eksperimen Bell’s theorem (1964), yang menunjukkan bahwa korelasi kuantum memang tidak dapat dijelaskan oleh teori lokal-realistik.¹³

5.3.       Interpretasi Decoherence (Zurek dan Zeh)

Pada akhir abad ke-20, muncul pendekatan baru yang mencoba menjelaskan transisi dari dunia kuantum ke dunia klasik tanpa melibatkan kolaps fungsi gelombang, yakni teori dekoherensi (decoherence theory).¹⁴ Gagasan ini pertama kali diperkenalkan oleh Heinz-Dieter Zeh pada tahun 1970-an dan dikembangkan lebih lanjut oleh Wojciech Zurek.¹⁵

Decoherence menjelaskan bahwa interaksi sistem kuantum dengan lingkungannya menyebabkan hilangnya koherensi antara komponen-komponen superposisi, sehingga sistem tampak “memilih” salah satu keadaan tertentu.¹⁶ Dalam konteks Kucing Schrödinger, dekoherensi menjelaskan mengapa kita tidak pernah mengamati kucing hidup dan mati sekaligus — karena interaksi dengan lingkungan menyebabkan superposisi runtuh secara efektif, meskipun tanpa kolaps yang sesungguhnya.¹⁷

Pendekatan ini dianggap sebagai solusi realistis terhadap problem pengukuran, karena menjelaskan bagaimana dunia klasik muncul secara alami dari hukum-hukum kuantum tanpa perlu melibatkan pengamat.¹⁸ Namun demikian, teori ini tidak sepenuhnya menjawab mengapa satu hasil tertentu teramati, melainkan hanya bagaimana superposisi kehilangan interferensinya.¹⁹ Dengan demikian, dekoherensi memberikan jembatan penting antara teori kuantum dan pengalaman empiris manusia.

5.4.       Pendekatan Eksperimen Modern dan Implikasi Teknologis

Perkembangan teknologi pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 memungkinkan pengujian langsung terhadap prinsip superposisi pada sistem makroskopik. Eksperimen dengan ion terperangkap, foton, dan molekul besar telah berhasil menunjukkan efek interferensi kuantum dalam skala yang semakin besar.²⁰

Misalnya, eksperimen Anton Zeilinger dan timnya di Universitas Wina berhasil memperlihatkan superposisi foton dalam jarak puluhan kilometer menggunakan sistem teleportasi kuantum.²¹ Eksperimen-eksperimen ini tidak hanya mengonfirmasi keabsahan prinsip superposisi, tetapi juga membuka peluang baru dalam bidang komputasi kuantum, kriptografi kuantum, dan komunikasi aman berbasis entanglement.²²

Dalam konteks filosofis, pencapaian eksperimental ini memperdalam paradoks Schrödinger: semakin kita membuktikan validitas hukum kuantum pada skala makroskopik, semakin kabur batas antara realitas klasik dan kuantum.²³ Dengan demikian, eksperimen-eksperimen modern menunjukkan bahwa apa yang dahulu hanya dianggap “eksperimen pikiran” kini telah memasuki wilayah empiris yang nyata.²⁴


Footnotes

[1]                Hugh Everett III, “‘Relative State’ Formulation of Quantum Mechanics,” Reviews of Modern Physics 29, no. 3 (1957): 454–462.

[2]                Bryce S. DeWitt and Neill Graham, eds., The Many-Worlds Interpretation of Quantum Mechanics (Princeton: Princeton University Press, 1973), 3–6.

[3]                Max Tegmark, “Many Worlds in Context,” dalam Many Worlds? Everett, Quantum Theory, and Reality, ed. Simon Saunders et al. (Oxford: Oxford University Press, 2010), 553–581.

[4]                Simon Saunders and David Wallace, “Branching and Uncertainty,” British Journal for the Philosophy of Science 59, no. 3 (2008): 293–305.

[5]                David Wallace, The Emergent Multiverse: Quantum Theory According to the Everett Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 2012), 98–102.

[6]                Adrian Kent, “Against Many-Worlds Interpretations,” International Journal of Modern Physics A 5, no. 9 (1990): 1745–1762.

[7]                Wojciech H. Zurek, “Decoherence and the Transition from Quantum to Classical,” Physics Today 44, no. 10 (1991): 36–44.

[8]                David Bohm, “A Suggested Interpretation of the Quantum Theory in Terms of ‘Hidden Variables,’” Physical Review 85, no. 2 (1952): 166–179.

[9]                Peter R. Holland, The Quantum Theory of Motion: An Account of the de Broglie–Bohm Causal Interpretation of Quantum Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 12–17.

[10]             Albert Einstein, Boris Podolsky, and Nathan Rosen, “Can Quantum-Mechanical Description of Physical Reality Be Considered Complete?” Physical Review 47, no. 10 (1935): 777–780.

[11]             Bernard d’Espagnat, Conceptual Foundations of Quantum Mechanics, 2nd ed. (Reading, MA: Benjamin, 1976), 102–106.

[12]             David Bohm and Basil J. Hiley, The Undivided Universe: An Ontological Interpretation of Quantum Theory (London: Routledge, 1993), 120–125.

[13]             John S. Bell, “On the Einstein Podolsky Rosen Paradox,” Physics 1, no. 3 (1964): 195–200.

[14]             Heinz-Dieter Zeh, “On the Interpretation of Measurement in Quantum Theory,” Foundations of Physics 1, no. 1 (1970): 69–76.

[15]             Wojciech H. Zurek, “Environment-Induced Superselection Rules,” Physical Review D 26, no. 8 (1982): 1862–1880.

[16]             Maximilian Schlosshauer, Decoherence and the Quantum-to-Classical Transition (Berlin: Springer, 2007), 33–39.

[17]             H. Dieter Zeh, “Roots and Fruits of Decoherence,” Studies in History and Philosophy of Modern Physics 32, no. 2 (2001): 203–213.

[18]             Wojciech H. Zurek, “Pointer Basis of Quantum Apparatus: Into What Mixture Does the Wave Packet Collapse?” Physical Review D 24, no. 6 (1981): 1516–1525.

[19]             Jeffrey Bub, Interpreting the Quantum World (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 123–126.

[20]             Markus Arndt et al., “Wave–Particle Duality of C60 Molecules,” Nature 401, no. 6754 (1999): 680–682.

[21]             Rupert Ursin et al., “Entanglement-Based Quantum Communication over 144 km,” Nature Physics 3, no. 7 (2007): 481–486.

[22]             Anton Zeilinger, Dance of the Photons: From Einstein to Quantum Teleportation (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2010), 55–59.

[23]             Jim Baggott, The Meaning of Quantum Theory: A Guide for Students of Chemistry and Physics (Oxford: Oxford University Press, 1992), 134–137.

[24]             Sean Carroll, Something Deeply Hidden: Quantum Worlds and the Emergence of Spacetime (New York: Dutton, 2019), 215–220.


6.           Analisis Epistemologis dan Metodologis

6.1.       Kedudukan Eksperimen Pikiran dalam Ilmu

Eksperimen Kucing Schrödinger merupakan salah satu bentuk eksperimen pikiran (thought experiment) yang memiliki kedudukan unik dalam metodologi sains. Eksperimen pikiran bukanlah percobaan empiris yang dapat dilakukan secara fisik, melainkan perangkat konseptual yang digunakan untuk menguji konsistensi logis suatu teori dan menyoroti implikasi filosofisnya.¹ Dalam konteks mekanika kuantum, eksperimen seperti ini membantu ilmuwan memahami batas-batas teoritis dari sistem yang tak dapat diamati secara langsung.²

Dalam filsafat sains, eksperimen pikiran dianggap sebagai sarana reflektif yang menghubungkan teori dengan intuisi.³ Schrödinger menggunakan eksperimen kucingnya untuk menantang interpretasi Kopenhagen, dengan menunjukkan bahwa jika prinsip superposisi diterapkan secara universal, maka absurditas ontologis akan muncul pada skala makroskopik.⁴ Dengan demikian, eksperimen pikiran berfungsi ganda: pertama, sebagai alat kritik terhadap fondasi konseptual suatu teori; dan kedua, sebagai jembatan antara analisis matematis dan refleksi filosofis.⁵

Namun, eksperimen pikiran juga memiliki keterbatasan metodologis: karena tidak dapat diuji secara empiris, nilainya lebih bersifat heuristik daripada verifikatif.⁶ Ia memperluas ruang imajinasi ilmiah, tetapi tidak menggantikan kebutuhan akan observasi dan eksperimen aktual sebagai dasar validitas ilmiah. Dalam pengertian ini, eksperimen Kucing Schrödinger memperlihatkan hubungan dialektis antara teori, model konseptual, dan verifikasi empiris dalam perkembangan ilmu pengetahuan.⁷

6.2.       Hubungan antara Teori, Eksperimen, dan Observasi

Mekanika kuantum menantang pandangan klasik tentang hubungan antara teori dan observasi. Dalam paradigma Newtonian, teori dianggap menjelaskan realitas yang objektif dan dapat diverifikasi melalui observasi langsung.⁸ Akan tetapi, dalam ranah kuantum, observasi tidak lagi netral — ia justru berperan aktif dalam menentukan keadaan sistem yang diukur.⁹ Hal ini menimbulkan konsekuensi epistemologis bahwa pengamatan dan teori tidak dapat sepenuhnya dipisahkan, karena tindakan mengamati memengaruhi objek yang diamati.¹⁰

Pandangan ini sejalan dengan konsep kontruksi ilmiah (scientific constructivism), yang menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah tidak hanya “ditemukan” tetapi juga “dibentuk” oleh kerangka teoritis yang digunakan ilmuwan.¹¹ Oleh karena itu, realitas ilmiah selalu bersifat relasional — tergantung pada model, alat ukur, dan bahasa konseptual yang digunakan untuk memahaminya.¹² Dalam konteks eksperimen Kucing Schrödinger, hal ini berarti bahwa status “hidup” atau “mati” bukanlah sifat intrinsik kucing, melainkan hasil dari sistem pengukuran yang melibatkan interaksi pengamat dan alat eksperimen.¹³

Thomas Kuhn menyebut perubahan semacam ini sebagai pergeseran paradigma, di mana struktur konseptual dan norma ilmiah mengalami transformasi ketika muncul anomali yang tidak dapat dijelaskan oleh paradigma lama.¹⁴ Eksperimen Kucing Schrödinger menjadi simbol transisi dari paradigma deterministik klasik menuju paradigma probabilistik-kuantum, yang menuntut pemahaman baru tentang hubungan antara teori, observasi, dan kenyataan.¹⁵

6.3.       Keterbukaan terhadap Paradigma Baru

Salah satu pelajaran penting dari eksperimen Kucing Schrödinger adalah pentingnya keterbukaan metodologis terhadap paradigma baru dalam sains. Karl Popper menekankan bahwa sains berkembang melalui proses falsifikasi, bukan verifikasi.¹⁶ Suatu teori dianggap ilmiah bukan karena dapat dibuktikan benar, melainkan karena terbuka terhadap kemungkinan dibuktikan salah. Dalam konteks ini, eksperimen Schrödinger berfungsi sebagai bentuk falsifikasi konseptual terhadap interpretasi ortodoks mekanika kuantum — sebuah upaya untuk menyingkap inkonsistensi internal dalam penjelasan Bohr dan Heisenberg.¹⁷

Selain falsifikasi, pendekatan ilmiah juga memerlukan skeptisisme epistemologis: sikap kritis yang tidak menerima otoritas teori tanpa pengujian rasional dan empiris.¹⁸ Sikap ini memungkinkan ilmu berkembang secara dinamis, karena teori yang mapan sekalipun harus selalu terbuka terhadap revisi. Sebagaimana dijelaskan oleh Imre Lakatos, kemajuan ilmiah bukan sekadar penolakan teori lama, tetapi juga pengembangan program riset yang progresif, di mana teori baru memperluas dan memperdalam penjelasan terhadap fenomena yang ada.¹⁹

Eksperimen Kucing Schrödinger, dalam kerangka ini, merepresentasikan semangat epistemologis sains yang terbuka: ia tidak menolak mekanika kuantum, tetapi menantang komunitas ilmiah untuk meninjau kembali interpretasinya agar lebih koheren dan realistis.²⁰ Dengan demikian, nilai epistemologis eksperimen ini bukan hanya pada paradoksnya, tetapi juga pada kemampuannya menggerakkan refleksi kritis terhadap cara manusia memahami dan membangun pengetahuan ilmiah.


Footnotes

[1]                James Robert Brown, The Laboratory of the Mind: Thought Experiments in the Natural Sciences (London: Routledge, 1991), 3–6.

[2]                Roy A. Sorensen, Thought Experiments (Oxford: Oxford University Press, 1992), 15–17.

[3]                Tamar Szabó Gendler, “Thought Experiments Rethought—and Reperceived,” Philosophy of Science 71, no. 5 (2004): 1152–1163.

[4]                Erwin Schrödinger, “Die gegenwärtige Situation in der Quantenmechanik,” Naturwissenschaften 23, no. 48 (1935): 807–812.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 88–90.

[6]                Nancy Nersessian, “How Do Thought Experiments Work?” Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science Association 2 (1992): 291–301.

[7]                Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 147–150.

[8]                Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (London: Royal Society, 1687), 4–5.

[9]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Brothers, 1958), 37–39.

[10]             Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York: John Wiley & Sons, 1958), 15–18.

[11]             Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 20–22.

[12]             Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 35–37.

[13]             Michel Bitbol, Schrödinger’s Philosophy of Quantum Mechanics (Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1996), 81–83.

[14]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 92–95.

[15]             Helge Kragh, Quantum Generations: A History of Physics in the Twentieth Century (Princeton: Princeton University Press, 1999), 205–208.

[16]             Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 40–44.

[17]             David Miller, Critical Rationalism: A Restatement and Defence (Chicago: Open Court, 1994), 28–32.

[18]             Robert Nola and Howard Sankey, Theories of Scientific Method: An Introduction (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2007), 110–113.

[19]             Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes,” dalam Criticism and the Growth of Knowledge, ed. Imre Lakatos and Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 91–195.

[20]             Don Howard, “Einstein on Locality and Separability,” Studies in History and Philosophy of Science Part A 16, no. 3 (1985): 171–201.


7.           Refleksi Filsafat dan Etika Ilmu

7.1.       Implikasi terhadap Pemahaman Realitas

Eksperimen Kucing Schrödinger tidak hanya mengguncang fondasi fisika teoretis, tetapi juga menimbulkan refleksi mendalam tentang hakikat realitas dalam filsafat ilmu. Paradoks kucing yang “hidup sekaligus mati” mengisyaratkan bahwa realitas mungkin tidak bersifat tunggal dan absolut sebagaimana diasumsikan oleh paradigma klasik.¹ Ia menyingkap bahwa “kenyataan” adalah hasil interaksi kompleks antara sistem fisik, pengamat, dan konteks pengukuran.²

Dalam kerangka filsafat ilmu, hal ini menantang pandangan realisme naif, yaitu keyakinan bahwa dunia dapat dipahami sebagaimana adanya tanpa distorsi persepsi manusia.³ Mekanika kuantum justru memperlihatkan bahwa pemahaman manusia tentang dunia dibentuk oleh alat konseptual, bahasa teoritis, dan struktur epistemik yang digunakan untuk menafsirkan fenomena.⁴ Sejalan dengan itu, Bohr menegaskan bahwa ilmu tidak menggambarkan “apa yang ada,” melainkan “apa yang dapat dikatakan tentang alam.”⁵

Dengan demikian, eksperimen Kucing Schrödinger memunculkan pemahaman baru bahwa realitas bersifat relasional dan kontekstual. Ia tidak dapat direduksi menjadi entitas yang berdiri sendiri, melainkan terbentuk dalam proses pengamatan.⁶ Refleksi ini memperluas horizon filsafat ilmu: dari pandangan dunia deterministik dan objektivistik menuju paradigma yang mengakui pluralitas, probabilitas, dan keterbatasan pengetahuan manusia.

7.2.       Kesadaran dan Observasi

Dimensi lain yang tak kalah penting dari eksperimen Schrödinger adalah refleksi tentang peran kesadaran dalam ilmu pengetahuan. Sejumlah interpretasi kuantum, seperti yang dikemukakan Eugene Wigner dan John von Neumann, menempatkan kesadaran sebagai faktor kunci dalam proses pengukuran.⁷ Menurut Wigner, hasil pengamatan tidak menjadi “nyata” sampai disadari oleh subjek yang memiliki kesadaran.⁸

Pandangan ini mengundang pertanyaan etis dan epistemologis: apakah manusia sekadar pengamat pasif terhadap alam, atau bagian aktif dari struktur realitas?⁹ Jika kesadaran berperan dalam “mewujudkan” realitas, maka batas antara subjek dan objek menjadi kabur — dan sains tidak lagi dapat mengklaim posisi netral sepenuhnya.¹⁰

Dari perspektif fenomenologi Husserlian, kesadaran merupakan “wadah makna” di mana dunia tampil.¹¹ Ilmu pengetahuan, dengan demikian, adalah hasil korelasi antara subjek yang mengetahui dan dunia yang diketahui. Dalam konteks Kucing Schrödinger, kesadaran tidak hanya menjadi alat pengamatan, tetapi juga bagian dari jaringan ontologis yang menentukan bagaimana realitas dimaknai.¹²

Refleksi ini menunjukkan bahwa epistemologi modern perlu mempertimbangkan dimensi kesadaran — bukan dalam arti mistis, tetapi sebagai aspek konstitutif dari pengetahuan ilmiah. Kesadaran, dengan kemampuan reflektif dan kritisnya, memungkinkan manusia memahami keterbatasan sekaligus potensi rasionalitas ilmiah.¹³

7.3.       Etika dalam Penafsiran Ilmiah

Selain persoalan ontologis dan epistemologis, eksperimen Kucing Schrödinger juga mengandung dimensi etika ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, “etika ilmu” tidak sekadar menyangkut penggunaan teknologi atau dampak sosial sains, melainkan menyentuh tanggung jawab epistemik ilmuwan terhadap makna pengetahuan yang dihasilkannya.¹⁴

Mekanika kuantum, dengan segala keanehannya, menuntut sikap rendah hati epistemologis: pengakuan bahwa ilmu pengetahuan tidak selalu mampu memberikan jawaban final tentang realitas.¹⁵ Sikap ini sejalan dengan semangat scientific honesty yang ditekankan oleh Albert Einstein — bahwa ilmuwan harus jujur terhadap batas kemampuan teorinya, tanpa tergoda untuk menyamakan model dengan kenyataan itu sendiri.¹⁶

Etika ilmu juga menuntut keterbukaan terhadap dialog lintas disiplin, termasuk filsafat, teologi, dan humaniora.¹⁷ Sebab, ketika ilmu berhenti merefleksikan maknanya sendiri, ia berisiko menjadi dogma baru yang justru kehilangan sifat kritis dan kreatif. Dalam hal ini, eksperimen Kucing Schrödinger menjadi simbol perlunya integrasi rasionalitas ilmiah dan refleksi etis, agar kemajuan pengetahuan tidak mengaburkan tanggung jawab manusia terhadap makna eksistensial dan moral dari penemuan ilmiah.¹⁸


Footnotes

[1]                Erwin Schrödinger, “Die gegenwärtige Situation in der Quantenmechanik,” Naturwissenschaften 23, no. 48 (1935): 807–812.

[2]                John D. Barrow, The World within the World (Oxford: Oxford University Press, 1988), 97–99.

[3]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 4–6.

[4]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 35–37.

[5]                Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York: John Wiley & Sons, 1958), 17–20.

[6]                Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the Quantum Revolution (New York: Riverhead Books, 2021), 112–114.

[7]                John von Neumann, Mathematical Foundations of Quantum Mechanics (Princeton: Princeton University Press, 1955), 420–423.

[8]                Eugene P. Wigner, “Remarks on the Mind-Body Question,” dalam The Scientist Speculates: An Anthology of Partly-Baked Ideas, ed. I. J. Good (New York: Basic Books, 1962), 284–302.

[9]                Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin: Springer, 1993), 21–23.

[10]             Don Howard, “Einstein on Locality and Separability,” Studies in History and Philosophy of Science Part A 16, no. 3 (1985): 171–201.

[11]             Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1970), 104–107.

[12]             Michel Bitbol, Schrödinger’s Philosophy of Quantum Mechanics (Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1996), 77–81.

[13]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 71–74.

[14]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 3–6.

[15]             Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Brothers, 1958), 45–47.

[16]             Albert Einstein, “Science and Religion,” Nature 146, no. 3706 (1940): 605–607.

[17]             Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 312–316.

[18]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 343–347.


8.           Kesimpulan

Eksperimen pikiran Kucing Schrödinger telah menjadi simbol intelektual yang melampaui batas disiplin fisika, menjelma menjadi medan dialog antara sains, filsafat, dan epistemologi modern. Schrödinger tidak bermaksud membuktikan secara empiris bahwa seekor kucing dapat berada dalam keadaan “hidup dan mati sekaligus,” melainkan untuk mengungkap ketegangan logis dalam interpretasi mekanika kuantum yang berlaku pada zamannya — khususnya interpretasi Kopenhagen.¹ Paradoks ini menunjukkan bahwa di jantung sains modern terdapat persoalan yang tidak hanya bersifat matematis, tetapi juga metafisik dan epistemologis, berkaitan dengan bagaimana manusia memahami realitas, pengamatan, dan pengetahuan itu sendiri.²

Dari sisi ilmiah, eksperimen tersebut menyoroti masalah pengukuran (measurement problem) dan prinsip superposisi kuantum, yang mengaburkan batas antara determinisme dan probabilitas.³ Prinsip ini memaksa sains untuk meninggalkan pandangan Newtonian tentang realitas yang pasti dan menggantinya dengan pemahaman yang relatif, kontekstual, dan probabilistik.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa mekanika kuantum tidak sekadar teori fisika, melainkan juga revolusi epistemologis yang menantang asumsi klasik tentang objektivitas dan kepastian ilmiah.

Dari sisi filsafat ilmu, eksperimen Schrödinger memperlihatkan bahwa pengetahuan ilmiah selalu dibentuk oleh kerangka konseptual dan peran pengamat.⁵ Realitas kuantum tidak dapat dipisahkan dari cara manusia memandang dan mengukurnya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan tidak lagi dapat dianggap sebagai cermin pasif realitas, tetapi sebagai proses konstruktif yang melibatkan interaksi antara subjek dan objek.⁶ Dalam hal ini, sains bersifat terbuka dan dinamis — selalu dapat dikoreksi dan dikembangkan melalui refleksi rasional dan empiris.⁷

Secara metodologis, eksperimen Kucing Schrödinger menunjukkan bahwa eksperimen pikiran memiliki peran penting dalam perkembangan ilmu. Ia bukan sekadar imajinasi metaforis, melainkan alat epistemik yang menguji koherensi dan batas-batas teori ilmiah.⁸ Melalui pendekatan ini, Schrödinger membuka ruang bagi refleksi filosofis dalam sains, sekaligus menegaskan bahwa kemajuan pengetahuan tidak hanya lahir dari eksperimen empiris, tetapi juga dari perenungan kritis terhadap makna dan asumsi teoritis yang mendasarinya.

Akhirnya, secara etis dan filosofis, paradoks Kucing Schrödinger mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan modern, betapapun maju secara teknologis, tetap berakar pada keterbatasan manusia sebagai makhluk penafsir realitas.⁹ Dengan menerima ketidakpastian dan keterbatasan ini, ilmuwan dapat mengembangkan sikap yang lebih reflektif, skeptis, dan jujur, sebagaimana diidealkan oleh Karl Popper dan Werner Heisenberg.¹⁰ Sains yang sejati, dengan demikian, bukanlah sistem dogmatis yang menuntut kepastian mutlak, melainkan upaya terbuka dan terus-menerus untuk memahami dunia dengan kesadaran akan keterbatasannya sendiri.¹¹

Melalui eksperimen Kucing Schrödinger, manusia diajak untuk melihat bahwa realitas bukanlah sesuatu yang diberikan secara mutlak, tetapi sesuatu yang harus dipahami, ditafsirkan, dan disadari secara reflektif.¹² Di situlah letak kekuatan sekaligus kerendahan hati epistemologis sains — bahwa pengetahuan ilmiah adalah hasil dari perpaduan antara rasionalitas dan kesadaran, antara logika dan imajinasi, serta antara teori dan refleksi etis yang menyertainya.


Footnotes

[1]                Erwin Schrödinger, “Die gegenwärtige Situation in der Quantenmechanik,” Naturwissenschaften 23, no. 48 (1935): 807–812.

[2]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Brothers, 1958), 28–30.

[3]                David J. Griffiths, Introduction to Quantum Mechanics, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall, 2005), 84–86.

[4]                John D. Barrow, The World within the World (Oxford: Oxford University Press, 1988), 93–95.

[5]                Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York: John Wiley & Sons, 1958), 19–21.

[6]                Michel Bitbol, Schrödinger’s Philosophy of Quantum Mechanics (Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1996), 82–84.

[7]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 92–94.

[8]                James Robert Brown, The Laboratory of the Mind: Thought Experiments in the Natural Sciences (London: Routledge, 1991), 11–13.

[9]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 8–10.

[10]             Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 45–48; Werner Heisenberg, Physics and Philosophy, 44–47.

[11]             Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes,” dalam Criticism and the Growth of Knowledge, ed. Imre Lakatos and Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 91–195.

[12]             Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the Quantum Revolution (New York: Riverhead Books, 2021), 120–123.


Daftar Pustaka

Arndt, M., Nairz, O., Vos-Andreae, J., Keller, C., van der Zouw, G., & Zeilinger, A. (1999). Wave–particle duality of C60 molecules. Nature, 401(6754), 680–682. doi.org

Baggott, J. (1992). The meaning of quantum theory: A guide for students of chemistry and physics. Oxford University Press.

Barrow, J. D. (1988). The world within the world. Oxford University Press.

Bell, J. S. (1964). On the Einstein Podolsky Rosen paradox. Physics, 1(3), 195–200.

Bitbol, M. (1996). Schrödinger’s philosophy of quantum mechanics. Kluwer Academic Publishers.

Bitbol, M., & Bricmont, J. (2019). Quantum mechanics and ontology. Springer.

Bohm, D. (1952). A suggested interpretation of the quantum theory in terms of “hidden variables.” Physical Review, 85(2), 166–179. doi.org

Bohm, D., & Hiley, B. J. (1993). The undivided universe: An ontological interpretation of quantum theory. Routledge.

Bohr, N. (1935). Can quantum-mechanical description of physical reality be considered complete? Physical Review, 48(8), 696–702. PhysRev.48.696

Bohr, N. (1949). Discussion with Einstein on epistemological problems in atomic physics. In P. A. Schilpp (Ed.), Albert Einstein: Philosopher–scientist (pp. 200–241). Library of Living Philosophers.

Bohr, N. (1958). Atomic physics and human knowledge. John Wiley & Sons.

Brown, J. R. (1991). The laboratory of the mind: Thought experiments in the natural sciences. Routledge.

Bub, J. (1997). Interpreting the quantum world. Cambridge University Press.

Carroll, S. (2019). Something deeply hidden: Quantum worlds and the emergence of spacetime. Dutton.

De Broglie, L. (1925). Recherches sur la théorie des quanta. Annales de Physique, 3, 22–128.

DeWitt, B. S., & Graham, N. (Eds.). (1973). The many-worlds interpretation of quantum mechanics. Princeton University Press.

D’Espagnat, B. (1976). Conceptual foundations of quantum mechanics (2nd ed.). Benjamin.

D’Espagnat, B. (1989). Reality and the physicist: Knowledge, duration and the quantum world. Cambridge University Press.

Dirac, P. A. M. (1958). The principles of quantum mechanics (4th ed.). Clarendon Press.

Einstein, A. (1905). Über einen die Erzeugung und Verwandlung des Lichtes betreffenden heuristischen Gesichtspunkt. Annalen der Physik, 17, 132–148.

Einstein, A. (1940). Science and religion. Nature, 146(3706), 605–607.

Einstein, A., Podolsky, B., & Rosen, N. (1935). Can quantum-mechanical description of physical reality be considered complete? Physical Review, 47(10), 777–780. PhysRev.47.777

Everett, H. III. (1957). “Relative state” formulation of quantum mechanics. Reviews of Modern Physics, 29(3), 454–462. RevModPhys.29.454

Feyerabend, P. (1975). Against method. Verso.

Feynman, R. P., Leighton, R. B., & Sands, M. (1965). The Feynman lectures on physics, Vol. III: Quantum mechanics. Addison-Wesley.

Fraassen, B. C. van. (1980). The scientific image. Clarendon Press.

Fraassen, B. C. van. (1991). Quantum mechanics: An empiricist view. Clarendon Press.

Gendler, T. S. (2004). Thought experiments rethought—and reperceived. Philosophy of Science, 71(5), 1152–1163.

Griffiths, D. J. (2005). Introduction to quantum mechanics (2nd ed.). Pearson Prentice Hall.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Hacking, I. (1983). Representing and intervening: Introductory topics in the philosophy of natural science. Cambridge University Press.

Heisenberg, W. (1927). Über den anschaulichen Inhalt der quantentheoretischen Kinematik und Mechanik. Zeitschrift für Physik, 43(3–4), 172–198.

Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy: The revolution in modern science. Harper & Brothers.

Holland, P. R. (1993). The quantum theory of motion: An account of the de Broglie–Bohm causal interpretation of quantum mechanics. Cambridge University Press.

Howard, D. (1985). Einstein on locality and separability. Studies in History and Philosophy of Science Part A, 16(3), 171–201.

Husserl, E. (1970). The crisis of European sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern University Press.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Jönsson, C. (1961). Elektroneninterferenzen an mehreren künstlich hergestellten Feinspalten. Zeitschrift für Physik, 161(4), 454–474.

Jonsson, H.-D. Z. (1970). On the interpretation of measurement in quantum theory. Foundations of Physics, 1(1), 69–76.

Kragh, H. (1999). Quantum generations: A history of physics in the twentieth century. Princeton University Press.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Lakatos, I. (1970). Falsification and the methodology of scientific research programmes. In I. Lakatos & A. Musgrave (Eds.), Criticism and the growth of knowledge (pp. 91–195). Cambridge University Press.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Miller, D. (1994). Critical rationalism: A restatement and defence. Open Court.

Nersessian, N. (1992). How do thought experiments work? Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science Association, 2, 291–301.

Newton, I. (1687). Philosophiae naturalis principia mathematica. Royal Society.

Nola, R., & Sankey, H. (2007). Theories of scientific method: An introduction. McGill-Queen’s University Press.

Omnès, R. (1994). The interpretation of quantum mechanics. Princeton University Press.

Pais, A. (1982). Subtle is the Lord: The science and the life of Albert Einstein. Oxford University Press.

Planck, M. (1901). Über das Gesetz der Energieverteilung im Normalspektrum. Annalen der Physik, 4(553), 553–563.

Popper, K. R. (1959). The logic of scientific discovery. Hutchinson.

Psillos, S. (1999). Scientific realism: How science tracks truth. Routledge.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Rovelli, C. (2021). Helgoland: Making sense of the quantum revolution. Riverhead Books.

Saunders, S., & Wallace, D. (2008). Branching and uncertainty. British Journal for the Philosophy of Science, 59(3), 293–305.

Schlosshauer, M. (2007). Decoherence and the quantum-to-classical transition. Springer.

Schrödinger, E. (1935). Die gegenwärtige Situation in der Quantenmechanik. Naturwissenschaften, 23(48), 807–812.

Schrödinger, E. (1944). What is life? The physical aspect of the living cell. Cambridge University Press.

Schrödinger, E. (1935). Science and the human temperament. W.W. Norton.

Sorensen, R. A. (1992). Thought experiments. Oxford University Press.

Stapp, H. P. (1993). Mind, matter, and quantum mechanics. Springer.

Szabó Gendler, T. (2004). Thought experiments rethought—and reperceived. Philosophy of Science, 71(5), 1152–1163.

Tegmark, M. (2010). Many worlds in context. In S. Saunders et al. (Eds.), Many worlds? Everett, quantum theory, and reality (pp. 553–581). Oxford University Press.

Ursin, R., et al. (2007). Entanglement-based quantum communication over 144 km. Nature Physics, 3(7), 481–486.

Von Neumann, J. (1955). Mathematical foundations of quantum mechanics. Princeton University Press.

Wallace, D. (2012). The emergent multiverse: Quantum theory according to the Everett interpretation. Oxford University Press.

Whitehead, A. N. (1929). Process and reality: An essay in cosmology. Macmillan.

Wheeler, J. A., & Zurek, W. H. (Eds.). (1983). Quantum theory and measurement. Princeton University Press.

Wigner, E. P. (1962). Remarks on the mind-body question. In I. J. Good (Ed.), The scientist speculates: An anthology of partly-baked ideas (pp. 284–302). Basic Books.

Zeh, H.-D. (2001). Roots and fruits of decoherence. Studies in History and Philosophy of Modern Physics, 32(2), 203–213.

Zeilinger, A. (2010). Dance of the photons: From Einstein to quantum teleportation. Farrar, Straus and Giroux.

Zurek, W. H. (1981). Pointer basis of quantum apparatus: Into what mixture does the wave packet collapse? Physical Review D, 24(6), 1516–1525.

Zurek, W. H. (1982). Environment-induced superselection rules. Physical Review D, 26(8), 1862–1880.

Zurek, W. H. (1991). Decoherence and the transition from quantum to classical. Physics Today, 44(10), 36–44.

Zurek, W. H. (2003). Decoherence, einselection, and the quantum origins of the classical. Reviews of Modern Physics, 75(3), 715–775.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar