Teori Implikatur
Dasar Konseptual, Dimensi Epistemologis, dan Aplikasi
Komunikatif dalam Bahasa
Alihkan ke: Filsafat Bahasa.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif Teori
Implikatur yang dikembangkan oleh H. P. Grice sebagai salah satu fondasi
utama dalam pragmatik dan filsafat bahasa kontemporer. Berawal dari kritik
terhadap pendekatan semantik yang bersifat formal dan literal, teori ini
menawarkan paradigma baru yang menekankan peran konteks, inferensi, dan niat
komunikatif dalam pembentukan makna. Pembahasan dimulai dengan penelusuran
historis lahirnya teori ini dalam konteks filsafat analitik abad ke-20,
kemudian dilanjutkan dengan elaborasi atas prinsip kooperatif dan empat
maksim Gricean (kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara), yang menjadi
dasar bagi pemahaman komunikasi sebagai aktivitas rasional.
Selanjutnya, artikel ini menguraikan klasifikasi
implikatur (konvensional dan percakapan) beserta variannya (umum dan
khusus), serta menyoroti aspek epistemologis dan mekanisme inferensial
yang memungkinkan pendengar menafsirkan makna tersirat dari ujaran. Dalam
bagian aplikatif, teori ini ditinjau dalam berbagai bidang seperti analisis
wacana, sastra, komunikasi digital, dan pragmatik lintas budaya,
menunjukkan relevansinya dalam menjelaskan dinamika komunikasi modern.
Bagian kritik menampilkan berbagai keberatan
terhadap teori Grice, baik dari perspektif psikologis, sosial, maupun
kultural, seperti yang diajukan oleh Sperber dan Wilson melalui Relevance
Theory serta oleh Mey dan Kasper melalui pragmatik sosial. Meskipun
demikian, teori ini tetap dianggap sebagai kerangka konseptual yang hidup,
yang terus berkembang seiring dengan kemajuan studi kognitif dan teknologi
bahasa.
Dalam sintesis filosofisnya, artikel ini menegaskan
bahwa implikatur bukan sekadar fenomena linguistik, tetapi juga jembatan
antara bahasa, pikiran, dan realitas. Melalui prinsip kooperatif dan
inferensi rasional, teori ini menunjukkan bagaimana manusia membangun pemahaman
bersama dan membentuk dunia sosial melalui bahasa. Dengan demikian, Teori
Implikatur bukan hanya menjelaskan bagaimana manusia berbicara, tetapi
juga mengapa komunikasi merupakan ekspresi mendasar dari rasionalitas,
moralitas, dan eksistensi manusia sebagai makhluk berbahasa.
Kata Kunci: Teori Implikatur, H.P. Grice, Prinsip Kooperatif,
Pragmatik, Inferensi, Relevance Theory, Rasionalitas Komunikatif, Filsafat
Bahasa, Hermeneutika, Komunikasi Digital.
PEMBAHASAN
Teori Implikatur dalam Pragmatik
1.          
Pendahuluan
Bahasa bukan hanya
sarana untuk menyampaikan informasi, tetapi juga wahana kompleks bagi manusia
untuk mengekspresikan maksud, sikap, dan nilai-nilai yang tersirat dalam
tindakan komunikatif. Dalam konteks inilah, Teori Implikatur (Implicature
Theory) yang diperkenalkan oleh H. Paul Grice menjadi tonggak penting dalam
memahami dimensi pragmatik bahasa, yaitu dimensi yang berfokus pada makna yang
dihasilkan melalui konteks dan niat komunikatif, bukan hanya dari struktur
kalimat itu sendiri.¹ Grice menolak pandangan semantik formal yang menganggap
makna sebagai entitas statis dan proposisional, dan sebaliknya menekankan bahwa
komunikasi adalah proses dinamis yang mengandalkan kerja sama rasional antara
penutur dan pendengar.²
1.1.       Latar Belakang Masalah
Sebelum munculnya
teori pragmatik modern, kajian bahasa didominasi oleh pendekatan semantik-logis
yang berupaya memetakan makna berdasarkan struktur kalimat dan kondisi
kebenaran proposisi.³ Namun, pendekatan ini tidak cukup menjelaskan bagaimana
manusia sering memahami lebih dari apa yang dikatakan secara literal. Ketika
seseorang berkata, “Udara di ruangan ini panas sekali,”
pendengar mungkin menafsirkan maksud sebenarnya bukan sekadar deskripsi kondisi
fisik, tetapi permintaan implisit untuk membuka jendela. Fenomena seperti
inilah yang menjadi perhatian utama Teori Implikatur.⁴
Implikatur
mempelajari bagaimana makna tersirat (implied meaning) muncul dari
pelanggaran atau penyimpangan yang disengaja terhadap prinsip
kooperatif dalam percakapan.⁵ Dengan demikian, teori ini bukan
hanya menjelaskan struktur komunikasi, tetapi juga mengungkap dasar
rasionalitas dan etika yang mendasari tindakan berbahasa. Grice menegaskan
bahwa dalam percakapan, partisipan diasumsikan berupaya bekerja sama untuk
mencapai tujuan komunikasi bersama, dan pelanggaran terhadap prinsip ini sering
kali bersifat strategis untuk menghasilkan makna tambahan seperti ironi,
sindiran, atau humor.⁶
1.2.      
Rumusan Masalah
Dari latar belakang
tersebut, beberapa pertanyaan mendasar dapat dirumuskan:
1)                 
Bagaimana Teori Implikatur
menjelaskan mekanisme pembentukan makna tersirat dalam komunikasi?
2)                 
Apa perbedaan ontologis dan
epistemologis antara makna yang dinyatakan secara eksplisit dan implikatur?
3)                 
Bagaimana penerapan teori ini
dalam analisis wacana, komunikasi digital, dan konteks sosial-budaya yang
berbeda?
1.3.      
Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan
untuk:
1)                 
Menjelaskan dasar konseptual dan
genealogis dari Teori Implikatur Grice.
2)                 
Menganalisis prinsip kooperatif
dan maksim-maksim yang menjadi inti teori ini.
3)                 
Menilai relevansi epistemologis
serta aplikasi praktis teori implikatur dalam konteks linguistik kontemporer,
baik pada tataran percakapan, sastra, maupun komunikasi digital.
1.4.      
Metode Kajian
Metode penelitian
yang digunakan bersifat kualitatif-filosofis, dengan
pendekatan analisis konseptual terhadap karya Grice dan pengembangannya oleh
para pemikir pasca-Gricean seperti Stephen Levinson, Laurence Horn, dan Dan
Sperber.⁷ Pendekatan hermeneutis juga digunakan untuk memahami relasi antara
struktur bahasa, konteks sosial, dan niat komunikatif penutur. Selain itu,
penelitian ini akan mengacu pada data empiris dari contoh wacana sehari-hari
dan media digital untuk menegaskan relevansi teoritisnya dalam praktik
komunikasi modern.
Footnotes
[1]               
H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1989), 22–23.
[2]               
Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and
Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 14–15.
[3]               
Gottlob Frege, On Sense and Reference, trans. Peter Geach
(Oxford: Blackwell, 1952), 56–57.
[4]               
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 97–99.
[5]               
H. Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics,
Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 45–47.
[6]               
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and
Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 60–63.
[7]               
Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago:
University of Chicago Press, 1989), 11–12.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis
2.1.      
Konteks Kelahiran Teori Implikatur
Teori Implikatur
tidak lahir dalam ruang hampa; ia merupakan hasil dari pergulatan panjang dalam
tradisi filsafat bahasa analitik abad ke-20. Sejak awal abad tersebut, para
filsuf bahasa seperti Gottlob Frege, Bertrand
Russell, dan Ludwig Wittgenstein telah
meletakkan dasar bagi analisis makna berdasarkan struktur logis kalimat.¹
Mereka berupaya menemukan hubungan sistematis antara bahasa dan realitas
melalui logika simbolik, dengan tujuan menjadikan bahasa sebagai alat
representasi yang presisi terhadap dunia. Dalam kerangka inilah, semantik
dipandang sebagai cabang utama linguistik yang berfokus pada hubungan antara
kata dan referensinya, serta pada kondisi kebenaran proposisional.²
Namun, seiring
berkembangnya filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy),
terutama di Universitas Oxford melalui tokoh seperti J. L.
Austin dan Gilbert Ryle, muncul kesadaran
bahwa makna tidak dapat sepenuhnya dipahami hanya melalui struktur logis.³
Bahasa dalam penggunaannya sehari-hari sering kali beroperasi secara
kontekstual, ambigu, bahkan ironi. Austin dalam karya monumentalnya How to
Do Things with Words (1962) menunjukkan bahwa berbicara bukan
sekadar menyatakan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu (doing
things with words).⁴ Peralihan fokus dari makna proposisional ke
makna performatif inilah yang membuka jalan bagi pemikiran H. Paul
Grice, yang mengembangkan analisis makna berdasarkan maksud
komunikatif penutur, bukan sekadar struktur kalimat.⁵
2.2.      
H. P. Grice dan Revolusi Pragmatik
Grice, yang berkarya
di lingkungan akademik Oxford pada pertengahan abad ke-20, memberikan fondasi
baru bagi studi pragmatik modern melalui esainya yang berpengaruh, Logic
and Conversation (1975).⁶ Ia menolak pandangan bahwa komunikasi
linguistik hanyalah proses transmisi informasi secara literal. Sebaliknya, ia
berargumen bahwa komunikasi adalah bentuk kerja sama rasional yang melibatkan
inferensi, asumsi bersama (common ground), dan maksud implisit
yang dibangun di antara penutur dan pendengar.⁷
Grice memperkenalkan
Prinsip
Kooperatif (Cooperative Principle), yaitu
asumsi bahwa setiap partisipan dalam percakapan berusaha berkontribusi sesuai
dengan tujuan komunikasi bersama.⁸ Dari prinsip ini ia menurunkan empat maksim
percakapan (kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara), yang
menjadi dasar bagi pemunculan makna tersirat atau implikatur.⁹ Ketika seseorang
secara sengaja melanggar salah satu maksim—misalnya dengan berkata sesuatu yang
tampaknya tidak relevan—pendengar akan berasumsi bahwa pelanggaran tersebut
memiliki maksud tertentu.¹⁰ Dengan demikian, makna tersirat bukanlah
penyimpangan dari norma komunikasi, melainkan ekspresi rasional yang
memungkinkan manusia berkomunikasi secara lebih halus, ironis, atau sopan.
Revolusi yang
dilakukan Grice tidak hanya mengubah paradigma dalam linguistik dan filsafat
bahasa, tetapi juga memperluas wilayah penelitian ke arah yang lebih empiris.
Teori ini menjembatani antara filsafat analitik yang rasional dengan kajian
linguistik yang bersifat observasional, menghasilkan dasar bagi studi pragmatik
sebagai disiplin tersendiri.¹¹ Melalui Grice, bahasa tidak lagi dianggap
sekadar sistem tanda, tetapi juga tindakan sosial yang melibatkan kesadaran,
maksud, dan pengetahuan bersama.
2.3.      
Perkembangan Pasca-Grice dan Transformasi Teoretis
Setelah kemunculan
karya Grice, berbagai teori post-Gricean bermunculan untuk menyempurnakan,
mengkritik, atau memperluas ruang lingkup Teori Implikatur. Dua tokoh penting
dalam tradisi Neo-Gricean Pragmatics adalah Laurence
Horn dan Stephen Levinson.¹² Horn
menekankan pentingnya prinsip ekonomi komunikasi—yakni
bahwa pembicara cenderung memilih bentuk ujaran yang paling efisien untuk
menyampaikan makna, sementara pendengar menggunakan prinsip inferensi untuk
menafsirkan maksudnya.¹³ Levinson, di sisi lain, mengembangkan model Generalized
Conversational Implicature (GCI) yang menjelaskan bahwa sebagian
implikatur bersifat umum dan dapat diprediksi tanpa konteks yang sangat
spesifik.¹⁴
Selain itu, Dan
Sperber dan Deirdre Wilson menawarkan
pendekatan alternatif melalui Teori Relevansi (Relevance
Theory, 1986), yang menggantikan prinsip kooperatif Grice dengan
prinsip tunggal relevansi kognitif.¹⁵ Mereka berpendapat bahwa komunikasi
didorong oleh dorongan alami manusia untuk mencari makna yang paling relevan
dengan upaya mental minimal, dan bahwa inferensi pragmatik bekerja melalui
mekanisme kognitif universal, bukan aturan sosial.¹⁶
Pada dekade-dekade
berikutnya, perkembangan pragmatik juga dipengaruhi oleh linguistik kognitif
dan psikolinguistik. Kajian ini menghubungkan teori implikatur dengan proses
mental yang terlibat dalam pemahaman makna tersirat, termasuk bagaimana otak
mengenali ironi, metafora, dan maksud tidak langsung.¹⁷ Dalam konteks
kontemporer, teori implikatur bahkan diaplikasikan dalam komunikasi
digital—seperti analisis meme, sarkasme daring, dan interaksi
manusia-komputer—yang memperlihatkan fleksibilitas konsep Grice dalam memahami
dinamika komunikasi lintas media dan budaya.¹⁸
Dengan demikian,
genealoginya memperlihatkan perjalanan intelektual dari logika bahasa menuju
paradigma pragmatik yang lebih manusiawi dan empiris. Teori Implikatur tidak
hanya mereformasi cara kita memahami bahasa, tetapi juga mengubah pandangan
tentang manusia sebagai makhluk rasional yang berkomunikasi tidak hanya dengan
kata-kata, tetapi juga dengan makna yang tersembunyi di balik kata-kata.
Footnotes
[1]               
Gottlob Frege, On Sense and Reference, trans. Peter Geach
(Oxford: Blackwell, 1952), 56–57.
[2]               
Bertrand Russell, Introduction to Mathematical Philosophy
(London: George Allen & Unwin, 1919), 40–42.
[3]               
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949),
23–24.
[4]               
J. L. Austin, How to Do Things with Words, 2nd ed. (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1975), 94–95.
[5]               
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 30–32.
[6]               
H. Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics,
Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 41–58.
[7]               
H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1989), 24–25.
[8]               
Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and
Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 12–13.
[9]               
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 102–103.
[10]            
Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago:
University of Chicago Press, 1989), 20–21.
[11]            
Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction (Oxford: Blackwell,
2001), 77–78.
[12]            
Laurence R. Horn and Gregory Ward, eds., The Handbook of Pragmatics
(Oxford: Blackwell, 2004), 14–15.
[13]            
Horn, A Natural History of Negation, 45–47.
[14]            
Levinson, Pragmatics, 112–115.
[15]            
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and
Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 60–65.
[16]            
Deirdre Wilson and Dan Sperber, “Relevance Theory,” in The Handbook
of Pragmatics, ed. Horn and Ward (Oxford: Blackwell, 2004), 607–632.
[17]            
Raymond W. Gibbs Jr., Intentions in the Experience of Meaning
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 89–91.
[18]            
Crispin Thurlow and Kristine Mroczek, eds., Digital Discourse:
Language in the New Media (Oxford: Oxford University Press, 2011),
130–133.
3.          
Ontologi
Makna dalam Teori Implikatur
3.1.      
Hakikat Makna: Eksplisit dan Implisit
Dalam kerangka Teori
Implikatur, makna tidak dipandang sebagai
entitas yang inheren pada struktur bahasa, melainkan sebagai hasil interaksi
antara ujaran, konteks, dan maksud komunikatif penutur.¹ Ontologi makna dalam
pandangan ini menolak reduksionisme semantik—yakni anggapan bahwa makna dapat
direduksi menjadi hubungan antara tanda dan referensi sebagaimana diasumsikan
oleh tradisi logika Fregean.² Grice berpendapat bahwa apa yang disebut meaning
dalam komunikasi tidak dapat dijelaskan hanya melalui analisis sintaksis atau
semantik, karena bahasa manusia selalu beroperasi dalam ranah tindakan sosial
yang penuh asumsi dan tujuan.³
Dengan demikian,
teori implikatur mengajukan dua dimensi makna yang saling berhubungan namun
ontologisnya berbeda: (a) makna literal atau eksplisit (what is
said), yaitu makna yang terikat pada struktur linguistik dan
konvensi gramatikal; serta (b) makna implisit atau tersirat (what is
meant), yaitu makna yang bergantung pada inferensi, konteks, dan
niat komunikatif.⁴ Perbedaan ini menjadi kunci untuk memahami bahwa makna
bukanlah sekadar objek linguistik, tetapi juga fenomena rasional yang muncul
dari proses komunikasi manusia yang kompleks.⁵
Sebagai contoh,
ketika seseorang berkata, “Benzinmu hampir habis,” dalam
situasi tertentu makna literalnya hanyalah informasi faktual. Namun secara
implikatur, ujaran tersebut mungkin bermakna peringatan atau saran untuk
mengisi bahan bakar.⁶ Di sini, ontologi makna implikatur berakar pada relasi
antara ujaran dan intensi penutur, bukan pada proposisi itu sendiri. Dengan
kata lain, makna implikatur bersifat relasional dan intersubjektif—ia
eksis sejauh ada kesalingpahaman rasional antara penutur dan pendengar.⁷
3.2.      
Konteks, Intensi, dan Pengetahuan Bersama
Dalam kerangka
ontologis Teori Implikatur, konteks memainkan peran sentral
dalam memunculkan makna. Makna tidak dapat dipisahkan dari situasi ujaran dan
latar epistemik para partisipan.⁸ Grice menegaskan bahwa makna yang dimaksudkan
(speaker
meaning) adalah makna yang hanya dapat dipahami jika pendengar
mengenali niat penutur di balik ujarannya.⁹ Hal ini menempatkan makna sebagai
hasil dari intersubjective
intentionality, yakni kesadaran bersama bahwa setiap tindakan
komunikatif memiliki tujuan rasional.¹⁰
Untuk menjelaskan
mekanisme ini, Grice memperkenalkan konsep asumsi bersama (common
ground) dan inferensi rasional.¹¹ Ketika
penutur melanggar salah satu maksim percakapan (misalnya relevansi), pendengar
tidak menganggap komunikasi gagal; sebaliknya, ia akan melakukan inferensi
untuk menemukan maksud tersirat yang tetap koheren dengan prinsip kooperatif.¹²
Di sinilah muncul entitas ontologis baru: makna yang tidak hadir secara
eksplisit dalam ujaran, tetapi eksis secara fungsional dalam proses penalaran
komunikasi.¹³
Perspektif ini
berbeda dari ontologi semantik tradisional yang bersifat representasional,
karena di sini makna tidak dianggap sebagai entity of reference (sebuah objek
di dunia), melainkan sebagai proses interpretatif yang
terjadi dalam interaksi komunikatif.¹⁴ Dengan demikian, teori implikatur
mengubah cara pandang terhadap bahasa: dari sistem tanda menjadi sistem
tindakan.¹⁵
3.3.      
Ontologi Tindak Tutur dan Relasi antara Bahasa
dan Realitas
Dalam kerangka yang
lebih luas, teori implikatur Grice bersinggungan dengan teori
tindak tutur (speech act theory) yang
dikembangkan oleh Austin dan Searle.¹⁶ Menurut mereka, setiap ujaran memiliki
dimensi ilokusi (tindakan yang
dilakukan melalui ujaran) dan perlokusi (efek yang
ditimbulkan pada pendengar).¹⁷ Implikatur muncul pada tataran ilokusi yang
tidak dinyatakan secara langsung, tetapi disimpulkan melalui prinsip rasional
komunikasi.
Ontologinya bersifat
praktis
dan dinamis—makna bukan entitas tetap yang melekat pada
kalimat, melainkan aktualisasi potensi tindakan dalam situasi komunikasi
tertentu.¹⁸ Dalam konteks ini, realitas linguistik dipahami sebagai realitas
tindakan sosial yang bermakna karena diatur oleh norma kooperatif dan tujuan
rasional.¹⁹ Maka, ketika penutur melanggar maksim dengan sengaja (misalnya,
menggunakan ironi), ia tidak sedang menyalahi aturan komunikasi, melainkan
sedang memproduksi makna tingkat kedua yang hanya dapat dipahami melalui
inferensi.²⁰
Dengan demikian,
dari sudut pandang ontologis, makna dalam Teori Implikatur bukan sekadar
hubungan antara tanda dan referen, melainkan peristiwa interpretatif yang
berlangsung dalam ranah kesadaran sosial. Ia adalah entitas yang emergent,
muncul dari dinamika interaksi antara intensi, konteks, dan prinsip kooperatif
yang mengikat komunikasi manusia.²¹
Footnotes
[1]               
H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1989), 25–27.
[2]               
Gottlob Frege, On Sense and Reference, trans. Peter Geach
(Oxford: Blackwell, 1952), 59–60.
[3]               
Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech
Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 18–19.
[4]               
H. Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics,
Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 45–46.
[5]               
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 99–101.
[6]               
Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman,
1983), 30–31.
[7]               
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and
Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 63–65.
[8]               
Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford:
Blackwell, 2001), 79–81.
[9]               
Grice, Studies in the Way of Words, 28.
[10]            
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 32–33.
[11]            
Stephen C. Levinson, Pragmatics, 102–104.
[12]            
Grice, “Logic and Conversation,” 50–51.
[13]            
Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago:
University of Chicago Press, 1989), 17–18.
[14]            
Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce,
Vol. 2, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1931), 228–229.
[15]            
Mey, Pragmatics: An Introduction, 84.
[16]            
J. L. Austin, How to Do Things with Words, 2nd ed. (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1975), 101–102.
[17]            
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 24–26.
[18]            
Dan Vanderveken, Meaning and Speech Acts, Vol. 1 (Cambridge:
Cambridge University Press, 1990), 43–45.
[19]            
Habermas, Jürgen, The Theory of Communicative Action, Vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.
[20]            
Horn, A Natural History of Negation, 22–23.
[21]            
Sperber and Wilson, Relevance: Communication and Cognition,
70–72.
4.          
Prinsip
Kooperatif dan Maksim Grice
4.1.      
Prinsip Kooperatif sebagai Fondasi Komunikasi
Dalam kerangka Teori
Implikatur, Prinsip Kooperatif (Cooperative
Principle) yang dirumuskan oleh H. Paul Grice menjadi dasar
ontologis dan epistemologis bagi seluruh dinamika komunikasi manusia.¹ Prinsip
ini berangkat dari asumsi fundamental bahwa percakapan bukanlah rangkaian
ujaran yang acak, melainkan kegiatan rasional dan sosial di mana para
partisipan berupaya bekerja sama untuk mencapai tujuan komunikasi bersama.²
Grice menegaskan bahwa komunikasi hanya mungkin terjadi apabila penutur dan
pendengar berbagi komitmen terhadap norma rasional ini: “Make your
conversational contribution such as is required, at the stage at which it
occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you
are engaged.”³
Dengan kata lain,
Prinsip Kooperatif menyiratkan bahwa setiap tindak komunikasi mengandung
dimensi normatif: bahwa pembicara diharapkan menyampaikan sesuatu yang relevan,
cukup informatif, benar, dan jelas, sementara pendengar mengasumsikan bahwa
penutur berupaya memenuhi kaidah-kaidah tersebut.⁴ Dalam konteks ini, makna
tersirat (implikatur) muncul justru ketika penutur tampak melanggar prinsip ini
secara sengaja—dan pendengar kemudian menggunakan rasionalitasnya untuk
menafsirkan maksud di balik pelanggaran tersebut.⁵
4.2.      
Empat Maksim Gricean
Untuk menjelaskan
cara kerja prinsip ini secara operasional, Grice memformulasikan empat
maksim percakapan, yaitu Kuantitas, Kualitas,
Relevansi,
dan Cara
(Manner).⁶ Keempatnya bukanlah aturan linguistik kaku,
melainkan prinsip heuristik yang membantu menjelaskan inferensi pragmatis yang
terjadi dalam percakapan.⁷
·                    
Maksim
Kuantitas (Quantity):
“Berikan informasi sebanyak yang dibutuhkan,
dan tidak lebih dari yang dibutuhkan.”⁸ Maksim ini menekankan keseimbangan
antara kejelasan dan efisiensi komunikasi. Pelanggaran terhadap maksim ini
dapat menghasilkan implikatur, seperti ketika seseorang berkata terlalu sedikit
(menimbulkan rasa ingin tahu) atau terlalu banyak (mengisyaratkan sesuatu di
luar isi literal).⁹
·                    
Maksim
Kualitas (Quality):
“Jangan katakan sesuatu yang kamu yakini salah
atau tanpa bukti yang memadai.”¹⁰ Prinsip ini menjamin integritas epistemik
komunikasi. Namun dalam praktiknya, pelanggaran yang disengaja terhadap maksim
ini sering menghasilkan makna implikatur seperti ironi atau sarkasme.¹¹
Misalnya, ketika seseorang melihat hujan deras dan berkata, “Hari ini
benar-benar cuaca yang indah,” pendengar memahami makna implisit yang
berlawanan dengan literalnya.¹²
·                    
Maksim
Relevansi (Relation):
“Katakan sesuatu yang relevan.”¹³
Relevansi adalah inti komunikasi, karena ia menghubungkan ujaran dengan konteks
percakapan.¹⁴ Pelanggaran terhadap maksim ini sering menjadi sumber utama
implikatur percakapan; misalnya, jika seseorang menanyakan “Apakah kamu
menyukai film itu?” dan dijawab “Sinematografinya menarik,”
pendengar menyimpulkan bahwa penutur sebenarnya tidak menyukai film tersebut.¹⁵
·                    
Maksim
Cara (Manner):
“Bersikaplah jelas, hindari ambiguitas,
hindari kerumitan yang tidak perlu, dan aturlah ujaranmu secara teratur.”¹⁶
Maksim ini berhubungan dengan dimensi bentuk atau gaya penyampaian pesan.
Pelanggaran terhadap maksim cara sering menimbulkan efek implikatur yang
terkait dengan kesopanan, eufemisme, atau strategi menghindari konfrontasi
langsung.¹⁷
Grice menegaskan
bahwa keempat maksim ini bersifat rasional dan universal, meskipun penerapannya
dapat bervariasi secara budaya.¹⁸ Prinsip ini bukanlah preskripsi moral, tetapi
model inferensial untuk menjelaskan bagaimana manusia dapat memahami makna
tersirat tanpa instruksi eksplisit.¹⁹
4.3.      
Pelanggaran Maksim dan Munculnya Implikatur
Salah satu inovasi
teoretis Grice yang paling berpengaruh adalah gagasannya bahwa pelanggaran
terhadap maksim justru sering menjadi sumber munculnya makna
baru yang lebih kaya dan kontekstual.²⁰ Dalam banyak kasus, penutur sengaja
“melanggar” maksim bukan untuk menyesatkan pendengar, tetapi untuk
mengundangnya melakukan inferensi tertentu.²¹
Misalnya, dalam
situasi formal, seseorang yang mengatakan, “Dia sangat rajin datang ke kantor—setiap kali
bos hadir,” tampak melanggar maksim kuantitas dan kualitas. Namun
bagi pendengar yang cermat, pelanggaran tersebut menghasilkan implikatur
ironis: bahwa orang yang dimaksud sebenarnya tidak rajin.²²
Grice membedakan
antara pelanggaran
yang disengaja (flouting) dan pelanggaran yang tidak disengaja (violating).²³
Pelanggaran yang disengaja bersifat komunikatif karena bertujuan memunculkan
implikatur, sementara pelanggaran yang tidak disengaja menandakan kegagalan
komunikasi.²⁴ Dengan demikian, kemampuan memahami implikatur merupakan
indikator rasionalitas pragmatik manusia—yakni kemampuan untuk menafsirkan niat
di balik penyimpangan formal.²⁵
4.4.      
Kritik dan Pengembangan Prinsip Kooperatif
Meskipun teori Grice
berpengaruh besar, sejumlah pemikir pasca-Gricean menganggap bahwa prinsip
kooperatif terlalu normatif dan kurang memperhitungkan variasi sosial dan
budaya dalam komunikasi.²⁶ Geoffrey Leech (1983),
misalnya, mengembangkan Prinsip Kesantunan (Politeness
Principle) untuk menjelaskan bahwa pelanggaran maksim sering kali
dimotivasi oleh upaya menjaga hubungan sosial, bukan sekadar strategi
inferensial.²⁷ Sementara itu, Dan Sperber dan Deirdre
Wilson (1986) melalui Relevance Theory menolak gagasan
empat maksim, dan menggantinya dengan satu prinsip tunggal: bahwa komunikasi
selalu diarahkan untuk mencapai keseimbangan optimal antara relevansi
dan beban
kognitif.²⁸
Meskipun demikian,
Prinsip Kooperatif Grice tetap menjadi kerangka teoritis fundamental yang
memungkinkan studi pragmatik berkembang menjadi disiplin yang mandiri dan
sistematis.²⁹ Ia membuka pemahaman baru bahwa makna bukan hanya fungsi dari
struktur linguistik, tetapi juga hasil kolaborasi rasional antara pikiran
manusia dalam konteks sosial.³⁰
Footnotes
[1]               
H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1989), 26–27.
[2]               
Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and
Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 14–15.
[3]               
H. Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics,
Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 45.
[4]               
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 99–101.
[5]               
Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago:
University of Chicago Press, 1989), 21–22.
[6]               
Grice, “Logic and Conversation,” 46–47.
[7]               
Levinson, Pragmatics, 102.
[8]               
Grice, “Logic and Conversation,” 47.
[9]               
Horn, A Natural History of Negation, 23.
[10]            
Grice, “Logic and Conversation,” 48.
[11]            
Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman,
1983), 60–62.
[12]            
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and
Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 61.
[13]            
Grice, “Logic and Conversation,” 49.
[14]            
Levinson, Pragmatics, 103.
[15]            
Horn, A Natural History of Negation, 25.
[16]            
Grice, “Logic and Conversation,” 50.
[17]            
Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford:
Blackwell, 2001), 80.
[18]            
Levinson, Pragmatics, 104.
[19]            
Grice, Studies in the Way of Words, 30.
[20]            
Horn, A Natural History of Negation, 27.
[21]            
Bach and Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts,
18–19.
[22]            
Leech, Principles of Pragmatics, 64.
[23]            
Grice, Studies in the Way of Words, 31.
[24]            
Levinson, Pragmatics, 107.
[25]            
Mey, Pragmatics: An Introduction, 83.
[26]            
Horn and Gregory Ward, eds., The Handbook of Pragmatics
(Oxford: Blackwell, 2004), 14–15.
[27]            
Leech, Principles of Pragmatics, 81–83.
[28]            
Sperber and Wilson, Relevance: Communication and Cognition,
63–64.
[29]            
Mey, Pragmatics: An Introduction, 86.
[30]            
Grice, Studies in the Way of Words, 33–34.
5.          
Klasifikasi
dan Tipologi Implikatur
5.1.      
Dasar Konseptual Klasifikasi Implikatur
Teori Implikatur
yang dikembangkan oleh H. Paul Grice tidak hanya memperkenalkan prinsip
kooperatif dan maksim percakapan, tetapi juga mengajukan kerangka
klasifikasi yang sistematis untuk memahami berbagai jenis makna
tersirat yang muncul dalam komunikasi.¹ Klasifikasi ini penting karena
memungkinkan para peneliti membedakan antara jenis-jenis implikatur berdasarkan
mekanisme, ketergantungan konteks, dan derajat konvensionalitasnya.²
Grice sendiri
mengidentifikasi dua bentuk utama implikatur, yaitu implikatur
konvensional (conventional implicature) dan implikatur
percakapan (conversational implicature).³ Pembagian ini menjadi
fondasi bagi seluruh tradisi pragmatik modern, karena menjelaskan perbedaan
antara makna yang muncul akibat aturan bahasa dan makna yang dihasilkan melalui
interaksi sosial dalam konteks komunikasi.⁴
5.2.      
Implikatur Konvensional (Conventional
Implicature)
Implikatur
konvensional adalah jenis implikatur yang melekat secara konvensional pada makna leksikal
atau struktur sintaktik tertentu, sehingga maknanya tidak
bergantung pada konteks atau niat penutur.⁵ Dengan kata lain, makna tersirat
muncul karena aturan bahasa itu sendiri, bukan karena inferensi pragmatis
pendengar.
Sebagai contoh,
dalam kalimat: “Ia miskin tetapi bahagia,” kata “tetapi”
(but)
tidak hanya berfungsi menghubungkan dua proposisi, tetapi juga menimbulkan
implikatur bahwa ada kontras atau pertentangan
antara kemiskinan dan kebahagiaan.⁶ Makna “kontras” tersebut tidak dapat
dihapus tanpa mengubah makna keseluruhan kalimat, sehingga bersifat
konvensional.⁷
Implikatur jenis ini
telah dibahas secara mendalam oleh para linguis pasca-Grice, seperti Stephen
Levinson dan Laurence Horn, yang menekankan bahwa makna konvensional sering
kali berperan dalam pembentukan nuansa semantis
yang bersifat tetap dalam sistem bahasa.⁸ Levinson menyebutnya sebagai semantically
encoded implicature, yang berfungsi sebagai “lapisan makna”
tambahan pada proposisi literal.⁹
Dengan demikian,
implikatur konvensional bersifat non-kontekstual, stabil, dan melekat pada
ekspresi linguistik tertentu, menjadikannya entitas
semantik-pragmatik yang berada di perbatasan antara makna literal dan
implisit.¹⁰
5.3.      
Implikatur Percakapan (Conversational
Implicature)
Berbeda dengan jenis
sebelumnya, implikatur percakapan merupakan
makna yang muncul dari konteks komunikasi
dan hasil inferensi berdasarkan prinsip kooperatif.¹¹ Grice menjelaskan bahwa
implikatur percakapan terbentuk ketika penutur secara sadar melanggar
salah satu maksim percakapan, sehingga pendengar dituntut melakukan inferensi
untuk menemukan makna tersirat di balik pelanggaran itu.¹²
Contohnya, ketika
seseorang berkata, “Beberapa mahasiswa hadir dalam seminar,”
pendengar dapat mengimplikasikan bahwa tidak semua mahasiswa hadir,
meskipun kalimat itu tidak menyatakan hal tersebut secara eksplisit.¹³
Pelanggaran terhadap maksim kuantitas (tidak memberikan informasi selengkapnya)
menimbulkan inferensi semacam itu.
Implikatur
percakapan memiliki tiga ciri utama:
1)                 
Dapat dibatalkan (cancellable)
– penutur dapat menambahkan keterangan yang meniadakan implikatur tanpa
menimbulkan kontradiksi, misalnya, *“Beberapa mahasiswa hadir, bahkan semua
hadir.”*¹⁴
2)                 
Dapat digeneralisasi
(non-detachable) – makna tersirat tidak tergantung pada bentuk
kata tertentu, tetapi pada konteks dan inferensi.¹⁵
3)                 
Bersifat inferensial
dan kontekstual – maknanya tergantung pada kemampuan penutur
dan pendengar dalam berbagi pengetahuan dan asumsi rasional.¹⁶
5.4.      
Implikatur Umum dan Implikatur Khusus
Dalam perkembangan selanjutnya,
Grice dan para penerusnya membedakan implikatur percakapan umum (generalized
conversational implicature) dan implikatur percakapan khusus (particularized
conversational implicature).¹⁷
·                    
Implikatur
Umum (Generalized Conversational Implicature, GCI)
Adalah implikatur yang muncul
tanpa memerlukan konteks khusus karena dihasilkan oleh pola
kebiasaan dalam komunikasi.¹⁸ Misalnya, ungkapan “John ate some of the
cookies” secara umum mengimplikasikan bahwa John tidak memakan semua kue,
meskipun tanpa konteks tambahan.¹⁹ Horn menyebut fenomena ini sebagai scalar
implicature—yaitu inferensi yang muncul karena adanya skala semantik
(beberapa → sebagian → semua).²⁰
·                    
Implikatur
Khusus (Particularized Conversational Implicature, PCI)
Adalah implikatur yang hanya
dapat dipahami dalam konteks tertentu, karena maknanya
bergantung pada situasi, hubungan sosial, atau latar pembicaraan.²¹ Misalnya,
dalam percakapan:
A: “Apakah kamu akan ke rapat nanti?”
B: “Aku harus mengantar ibu ke rumah sakit.”
Implikatur dari jawaban B bukanlah sekadar
pernyataan faktual, tetapi maksud tersirat bahwa ia tidak
dapat hadir dalam rapat.²²
Kedua jenis
implikatur ini menunjukkan gradasi antara makna yang bersifat kebiasaan
linguistik (umum) dan makna yang bersifat situasional (khusus), memperlihatkan
fleksibilitas teori Grice dalam menangkap dinamika komunikasi nyata.²³
5.5.      
Implikatur dan Presuposisi: Batas Ontologis
Meskipun sering kali
disamakan, implikatur berbeda secara
ontologis dari presuposisi.²⁴ Presuposisi
adalah makna yang diasumsikan benar agar ujaran bermakna (misalnya, kalimat “Raja
Prancis botak” mempresuposisikan bahwa ada raja Prancis), sementara
implikatur adalah makna tambahan yang disimpulkan dari konteks.²⁵ Perbedaan ini
penting karena menjelaskan dua jenis “ketidaklangsungan” dalam bahasa:
yang satu bersifat semantik-struktural, dan yang lain bersifat
pragmatik-inferensial.²⁶
Footnotes
[1]               
H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1989), 30–32.
[2]               
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 100–101.
[3]               
H. Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics,
Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 44–45.
[4]               
Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and
Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 19–20.
[5]               
Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago:
University of Chicago Press, 1989), 21–22.
[6]               
Grice, Studies in the Way of Words, 33.
[7]               
Levinson, Pragmatics, 103.
[8]               
Horn, A Natural History of Negation, 25–26.
[9]               
Stephen C. Levinson, “Conversational Implicature,” in The Handbook
of Pragmatics, ed. Laurence R. Horn and Gregory Ward (Oxford: Blackwell,
2004), 19–21.
[10]            
Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford:
Blackwell, 2001), 78.
[11]            
Grice, “Logic and Conversation,” 46.
[12]            
Grice, Studies in the Way of Words, 35.
[13]            
Levinson, Pragmatics, 106.
[14]            
Horn, A Natural History of Negation, 29.
[15]            
Bach and Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts,
23.
[16]            
Mey, Pragmatics: An Introduction, 81–82.
[17]            
Laurence R. Horn and Gregory Ward, eds., The Handbook of Pragmatics
(Oxford: Blackwell, 2004), 25–27.
[18]            
Levinson, Pragmatics, 108.
[19]            
Horn, A Natural History of Negation, 33–34.
[20]            
Laurence R. Horn, “Toward a New Taxonomy for Pragmatic Inference: Q-
and R-Based Implicature,” in Meaning, Form, and Use in Context: Linguistic
Applications, ed. Deborah Schiffrin (Washington, DC: Georgetown University
Press, 1984), 11–13.
[21]            
Levinson, Pragmatics, 110.
[22]            
Mey, Pragmatics: An Introduction, 83.
[23]            
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and
Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 67–69.
[24]            
Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman,
1983), 78.
[25]            
Stephen C. Levinson, Presupposition and Conversational Implicature
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 15–16.
[26]            
Horn, A Natural History of Negation, 38–39.
6.          
Epistemologi
dan Mekanisme Inferensial
6.1.      
Epistemologi dalam Teori Implikatur:
Rasionalitas sebagai Dasar Pengetahuan Pragmatik
Dalam Teori
Implikatur, epistemologi memainkan peran sentral karena seluruh proses
pemaknaan bergantung pada rasionalitas inferensial antara
penutur dan pendengar.¹ Berbeda dengan epistemologi semantik yang memandang
makna sebagai hasil hubungan langsung antara tanda dan referensi, epistemologi
pragmatik berfokus pada bagaimana pengetahuan digunakan, diasumsikan,
dan disimpulkan dalam konteks komunikasi.² Grice menegaskan
bahwa komunikasi yang efektif hanya mungkin terjadi jika para partisipan
memiliki shared
background knowledge—yakni seperangkat keyakinan, asumsi, dan
informasi yang diyakini bersama.³
Dalam kerangka ini,
memahami makna tersirat bukan sekadar proses linguistik, tetapi juga proses epistemik.
Pendengar tidak hanya mendekode kalimat, melainkan melakukan penalaran terhadap
niat penutur berdasarkan bukti kontekstual.⁴ Oleh karena itu, Grice menempatkan
komunikasi sebagai bentuk rasionalitas praktis, di mana
setiap tindakan ujaran mengandaikan pengetahuan bersama (common
ground) dan prinsip kerja sama logis.⁵
Rasionalitas ini
bukan rasionalitas formal seperti dalam logika deduktif, melainkan rasionalitas
inferensial—suatu bentuk pengetahuan yang bersifat context-dependent dan
probabilistik.⁶ Dengan demikian, epistemologi Teori Implikatur menolak
pandangan deterministik terhadap makna dan menggantikannya dengan model
pengetahuan yang dinamis, kooperatif, dan terbuka terhadap interpretasi.⁷
6.2.      
Proses Inferensi Pragmatik: Dari Ujaran ke
Makna
Teori Implikatur
menggambarkan komunikasi sebagai proses inferensial—yakni penarikan
kesimpulan makna berdasarkan tanda-tanda linguistik, konteks, dan prinsip
rasional.⁸ Ketika penutur menyampaikan ujaran, pendengar tidak hanya menerima
proposisi literal, tetapi juga melakukan proses deduksi pragmatik untuk
menafsirkan apa yang sebenarnya dimaksud.⁹
Menurut Grice,
mekanisme inferensi ini bekerja melalui tiga tahap utama:
1)                 
Pengenalan Pelanggaran
Maksim
Pendengar menyadari bahwa ujaran penutur tampak
melanggar salah satu maksim percakapan (misalnya, maksim relevansi atau
kuantitas).¹⁰
2)                 
Asumsi tentang
Rasionalitas Penutur
Pendengar berasumsi bahwa penutur tetap rasional
dan kooperatif, sehingga pelanggaran tersebut pasti memiliki maksud
tersembunyi.¹¹
3)                 
Inferensi Makna Tersirat
Berdasarkan konteks dan pengetahuan bersama,
pendengar menarik kesimpulan mengenai maksud sebenarnya penutur.¹²
Sebagai contoh, jika
seseorang berkata, “Kopi di sini sangat kuat,” setelah
meminumnya dengan ekspresi terkejut, pendengar dapat menyimpulkan bahwa
maknanya bukan sekadar deskripsi literal, tetapi mungkin kritik
halus terhadap rasa kopi yang terlalu pahit atau pekat.¹³
Mekanisme seperti ini menunjukkan bahwa komunikasi manusia bekerja melalui inferensi
abduktif, bukan sekadar deduksi logis.¹⁴
6.3.      
Inferensi dan Teori Relevansi: Dari Kooperasi
ke Kognisi
Dalam perkembangan
teori pasca-Gricean, Dan Sperber dan Deirdre
Wilson mengembangkan Relevance Theory (1986) yang
menekankan dimensi kognitif dan epistemik dari
inferensi pragmatik.¹⁵ Mereka mengusulkan bahwa manusia secara alami terdorong
untuk mencari makna yang paling relevan dengan biaya pemrosesan mental yang
minimal.¹⁶ Prinsip relevansi ini memperluas epistemologi implikatur dari domain
sosial menjadi domain psikologis, dengan menyatakan bahwa komunikasi adalah
proses inferensial yang dituntun oleh mekanisme kognitif universal.¹⁷
Dalam teori ini,
inferensi dipahami sebagai ostensive-inferential communication,
yaitu komunikasi yang didasarkan pada dua hal: penutur memberi isyarat (ostension)
dan pendengar melakukan inferensi untuk menafsirkan maksud isyarat tersebut.¹⁸
Pendengar, dengan asumsi bahwa penutur bertujuan untuk berkomunikasi secara
relevan, menggunakan konteks pengetahuan yang tersedia untuk menafsirkan makna
tersirat.¹⁹
Dengan demikian,
epistemologi implikatur mengalami transformasi: dari model normatif yang
menekankan kerja sama linguistik menuju model kognitif-probabilistik yang
menekankan pemrosesan informasi dan relevansi mental.²⁰
6.4.      
Pengetahuan Bersama dan Rasionalitas
Komunikatif
Kunci dari
epistemologi Teori Implikatur terletak pada konsep pengetahuan
bersama (common ground) yang menjadi basis bagi inferensi
makna.²¹ Konsep ini dijelaskan oleh Herbert Clark sebagai struktur
pengetahuan yang dibentuk dan dipelihara selama interaksi komunikatif.²² Baik
penutur maupun pendengar harus memiliki asumsi bersama agar inferensi dapat
dilakukan secara tepat.²³
Dari perspektif
filsafat komunikasi, konsep ini memiliki kesamaan dengan gagasan Jürgen
Habermas tentang rasionalitas komunikatif, di mana
komunikasi yang efektif selalu bertumpu pada klaim kebenaran, ketepatan, dan
kejujuran yang dapat diuji secara intersubjektif.²⁴ Dengan demikian, inferensi
dalam komunikasi bukan hanya aktivitas mental individual, tetapi juga bentuk
penalaran sosial yang melibatkan komitmen terhadap norma kejujuran dan
transparansi makna.²⁵
6.5.      
Implikasi Epistemologis: Makna sebagai
Inferensi Rasional
Dari keseluruhan
uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam Teori Implikatur, makna
adalah hasil dari inferensi epistemik yang kooperatif dan rasional.²⁶
Ia tidak hadir secara langsung dalam ujaran, melainkan dibangun melalui proses
pemaknaan yang melibatkan logika sosial, asumsi bersama, dan pengetahuan
kontekstual.²⁷
Dengan demikian,
epistemologi implikatur menegaskan bahwa komunikasi manusia adalah bentuk
pengetahuan praktis (practical knowledge), di mana
rasionalitas tidak dipahami sebagai kalkulasi formal, tetapi sebagai kemampuan
untuk memahami maksud orang lain melalui konteks sosial dan moral komunikasi.²⁸
Implikatur bukan hanya mekanisme linguistik, tetapi ekspresi dari struktur
epistemik manusia sebagai makhluk yang berpikir, menafsir, dan bekerja sama
melalui bahasa.²⁹
Footnotes
[1]               
H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1989), 26–28.
[2]               
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 102–103.
[3]               
Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3:
Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press,
1975), 45.
[4]               
Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and
Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 19–21.
[5]               
Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago:
University of Chicago Press, 1989), 25.
[6]               
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and
Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 63–65.
[7]               
Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford:
Blackwell, 2001), 81–82.
[8]               
Grice, Studies in the Way of Words, 29–30.
[9]               
Levinson, Pragmatics, 105.
[10]            
Grice, “Logic and Conversation,” 46–47.
[11]            
Horn, A Natural History of Negation, 28–29.
[12]            
Levinson, Pragmatics, 107–108.
[13]            
Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman,
1983), 65.
[14]            
Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce,
Vol. 5, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1931), 171–172.
[15]            
Sperber and Wilson, Relevance: Communication and Cognition,
60–62.
[16]            
Deirdre Wilson and Dan Sperber, “Relevance Theory,” in The Handbook
of Pragmatics, ed. Laurence R. Horn and Gregory Ward (Oxford: Blackwell,
2004), 607–609.
[17]            
Sperber and Wilson, Relevance: Communication and Cognition,
70–71.
[18]            
Wilson and Sperber, “Relevance Theory,” 615.
[19]            
Mey, Pragmatics: An Introduction, 85.
[20]            
Horn and Gregory Ward, eds., The Handbook of Pragmatics
(Oxford: Blackwell, 2004), 19–20.
[21]            
Herbert H. Clark, Using Language (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 92–93.
[22]            
Clark, Using Language, 95–96.
[23]            
Levinson, Pragmatics, 109.
[24]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–87.
[25]            
Habermas, The Theory of Communicative Action, 88.
[26]            
Grice, Studies in the Way of Words, 32–33.
[27]            
Horn, A Natural History of Negation, 35.
[28]            
Mey, Pragmatics: An Introduction, 87–88.
[29]            
Levinson, Pragmatics, 111.
7.          
Aplikasi
Teori Implikatur dalam Linguistik dan Komunikasi
7.1.      
Implikatur dalam Analisis Wacana dan Percakapan
Sehari-hari
Teori Implikatur
memainkan peran penting dalam studi analisis wacana karena
menyediakan kerangka konseptual untuk memahami bagaimana makna tersirat
terbentuk dalam interaksi bahasa alami.¹ Dalam percakapan sehari-hari, makna
tidak selalu dinyatakan secara eksplisit; penutur sering kali mengandalkan shared
context dan mutual knowledge agar pendengar
dapat menafsirkan maksud sebenarnya.²
Sebagai contoh,
dalam percakapan berikut:
A: “Apakah kamu sudah menyelesaikan laporan
itu?”
B: “Saya baru saja menyiapkan kopi.”
Meskipun jawaban B
tampak tidak relevan secara literal, pendengar dapat menafsirkan implikatur
bahwa laporan tersebut belum selesai, dan B sedang
bersiap untuk memulainya.³
Fenomena semacam ini
memperlihatkan bahwa pemahaman bahasa manusia tidak hanya melibatkan dekode
semantik, tetapi juga proses inferensi pragmatik yang kompleks.⁴ Dalam konteks
ini, teori Grice membantu menjelaskan mekanisme makna implisit yang bekerja di
balik tindak tutur sehari-hari—bagaimana pelanggaran terhadap maksim kooperatif
justru menghasilkan komunikasi yang lebih kaya dan ekspresif.⁵
Dalam penelitian
analisis wacana modern, pendekatan Gricean telah diterapkan untuk meneliti
berbagai genre komunikasi, seperti wawancara, percakapan daring, atau
komunikasi antarbudaya.⁶ Melalui teori implikatur, para linguis dapat
mengidentifikasi hubungan antara what is said, what is
implicated, dan what is understood dalam situasi
komunikatif yang berbeda.⁷
7.2.      
Aplikasi dalam Kajian Sastra dan Stilistika
Dalam dunia sastra
dan stilistika, Teori Implikatur berfungsi sebagai alat untuk
menyingkap lapisan makna estetis dan ideologis
yang tersembunyi di balik teks.⁸ Bahasa sastra sering kali beroperasi dengan
cara “melanggar” maksim Gricean untuk menciptakan efek simbolik, ironi,
ambiguitas, atau ketegangan makna.⁹
Sebagai contoh,
dalam karya-karya Franz Kafka atau Albert Camus, pelanggaran terhadap maksim
relevansi atau kualitas bukanlah kesalahan komunikasi, melainkan strategi untuk
mengundang pembaca melakukan interpretasi eksistensial.¹⁰
Demikian pula dalam puisi modern, penggunaan implikatur menjadi sarana untuk
mengekspresikan makna transendental melalui keheningan atau kesengajaan
ambiguitas.¹¹
Dalam konteks ini,
pembaca berperan sebagai “pendengar ideal” yang menafsirkan makna tersirat
berdasarkan konteks naratif dan konvensi estetika.¹² Teori Implikatur
memungkinkan analisis sastra bergerak dari deskripsi linguistik menuju
pemahaman hermeneutis—bagaimana teks “berbicara” lebih dari apa yang tertulis
secara literal.¹³
7.3.      
Implikatur dalam Komunikasi Digital dan Media
Sosial
Era digital telah
memperluas ruang penerapan Teori Implikatur ke dalam studi komunikasi
daring dan media sosial, di mana bentuk ujaran sering kali
singkat, multimodal, dan implisit.¹⁴ Dalam interaksi digital seperti Twitter,
WhatsApp, atau meme internet, pengguna kerap mengandalkan simbol, emoji, atau
sarkasme yang hanya dapat dimaknai melalui inferensi pragmatik.¹⁵
Sebagai contoh,
sebuah unggahan Twitter berbunyi, “Hebat, sinyal internet cepat sekali hari ini 🙄”,
mengandung implikatur yang jelas berlawanan dengan makna literalnya: keluhan
tentang lambatnya koneksi.¹⁶ Dalam kasus lain, penggunaan emoji 😂
setelah pernyataan ironis berfungsi sebagai pragmatic marker yang membantu
pendengar atau pembaca memahami maksud tersirat.¹⁷
Kajian kontemporer
dalam digital
pragmatics menunjukkan bahwa pelanggaran maksim dalam
komunikasi daring sering kali memiliki fungsi sosial, seperti menciptakan
humor, mengelola identitas, atau memperkuat solidaritas kelompok.¹⁸ Dengan
demikian, teori implikatur tetap relevan dalam menjelaskan dinamika komunikasi
di ruang virtual, karena ia beradaptasi dengan fenomena multimodal dan konteks
budaya digital.¹⁹
7.4.      
Implikatur dalam Komunikasi Interkultural
Dalam konteks komunikasi
antarbudaya, teori implikatur menjadi alat penting untuk
memahami kesalahpahaman yang timbul akibat perbedaan norma pragmatik antar
masyarakat.²⁰ Misalnya, dalam budaya Barat, komunikasi langsung sering dianggap
sebagai bentuk kejujuran, sementara dalam budaya Timur, indirectness
justru dianggap sebagai tanda kesopanan dan penghormatan.²¹
Sebagai contoh,
respon “mungkin nanti” dari seorang penutur Jepang terhadap ajakan bisa
mengimplikasikan penolakan halus, sedangkan bagi pendengar dari budaya Barat
dapat disalahpahami sebagai persetujuan tentatif.²² Dalam konteks ini, makna
implikatur sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial dan sistem etika
komunikasi suatu budaya.²³
Pendekatan pragmatik
lintas budaya seperti yang dikembangkan oleh Gabriele Kasper dan Shoshana
Blum-Kulka menegaskan bahwa pelanggaran maksim tidak selalu
berarti ketidakkooperatifan, melainkan mencerminkan strategi budaya tertentu
dalam menjaga harmoni sosial.²⁴ Oleh karena itu, pemahaman terhadap implikatur
lintas budaya menjadi krusial bagi diplomasi, penerjemahan, dan komunikasi
antarbangsa.²⁵
7.5.      
Relevansi dalam Linguistik Terapan dan
Pembelajaran Bahasa
Dalam bidang linguistik
terapan, terutama dalam pengajaran bahasa kedua (L2), teori
implikatur digunakan untuk mengajarkan kompetensi pragmatik—yakni kemampuan
memahami dan menggunakan makna tersirat secara tepat.²⁶ Banyak penutur asing
mengalami kesulitan dalam menafsirkan implikatur, karena makna tidak selalu
dapat diterjemahkan secara literal antarbahasa.²⁷
Sebagai contoh,
pembelajar bahasa Inggris mungkin gagal memahami ironi dalam ujaran seperti “Nice
weather, isn’t it?” ketika diucapkan saat badai, karena mereka
mengandalkan makna literal, bukan inferensi pragmatik.²⁸ Oleh sebab itu,
pengajaran bahasa modern menekankan pentingnya contextualized learning dan
analisis implikatur agar siswa dapat mengembangkan kemampuan komunikasi yang
lebih alami.²⁹
Selain itu,
penelitian dalam pragmatic competence
menunjukkan bahwa keberhasilan komunikasi antarbahasa tidak hanya tergantung
pada tata bahasa, tetapi juga pada kemampuan mengenali maksud tersirat.³⁰
Dengan demikian, teori implikatur berfungsi sebagai jembatan antara teori
linguistik murni dan praktik komunikasi antarbudaya.³¹
Footnotes
[1]               
H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1989), 28–29.
[2]               
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 97–99.
[3]               
Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and
Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 23–24.
[4]               
Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago:
University of Chicago Press, 1989), 21–22.
[5]               
Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3:
Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press,
1975), 46–47.
[6]               
Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford:
Blackwell, 2001), 88.
[7]               
Levinson, Pragmatics, 102–103.
[8]               
Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman,
1983), 79.
[9]               
H. Paul Grice, Studies in the Way of Words, 33.
[10]            
John Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of
Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 55–57.
[11]            
Roland Barthes, The Pleasure of the Text, trans. Richard
Miller (New York: Hill and Wang, 1975), 42.
[12]            
Umberto Eco, The Role of the Reader: Explorations in the Semiotics
of Texts (Bloomington: Indiana University Press, 1979), 58–60.
[13]            
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans. Joel
Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 113–115.
[14]            
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and
Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 68–70.
[15]            
Crispin Thurlow and Kristine Mroczek, eds., Digital Discourse:
Language in the New Media (Oxford: Oxford University Press, 2011), 130.
[16]            
ibid., 132.
[17]            
Zappavigna, Michele, Discourse of Twitter and Social Media
(London: Bloomsbury, 2012), 75–76.
[18]            
Mey, Pragmatics: An Introduction, 91–92.
[19]            
Thurlow and Mroczek, Digital Discourse, 135–137.
[20]            
Shoshana Blum-Kulka, Juliane House, and Gabriele Kasper, eds., Cross-Cultural
Pragmatics: Requests and Apologies (Norwood, NJ: Ablex, 1989), 2–3.
[21]            
Edward T. Hall, Beyond Culture (New York: Anchor Books, 1976),
94–95.
[22]            
Blum-Kulka et al., Cross-Cultural Pragmatics, 6.
[23]            
Gabriele Kasper and Shoshana Blum-Kulka, Interlanguage Pragmatics
(Oxford: Oxford University Press, 1993), 49–50.
[24]            
ibid., 52.
[25]            
Anna Wierzbicka, Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of Human
Interaction (Berlin: Mouton de Gruyter, 1991), 110–111.
[26]            
Kasper and Blum-Kulka, Interlanguage Pragmatics, 55–57.
[27]            
Levinson, Pragmatics, 108.
[28]            
Geoffrey N. Leech and Michael Short, Style in Fiction: A Linguistic
Introduction to English Fictional Prose (London: Longman, 1981), 125.
[29]            
Mey, Pragmatics: An Introduction, 95–96.
[30]            
Kasper and Blum-Kulka, Interlanguage Pragmatics, 59.
[31]            
Horn and Gregory Ward, eds., The Handbook of Pragmatics
(Oxford: Blackwell, 2004), 22–23.
8.          
Kritik
terhadap Teori Implikatur
8.1.      
Keterbatasan Prinsip Kooperatif dan Asumsi
Rasionalitas
Meskipun Teori
Implikatur H. P. Grice memiliki pengaruh yang luas dalam pragmatik modern,
berbagai kritik muncul terhadap asumsi rasionalitas universal
yang menjadi fondasi teori ini.¹ Grice beranggapan bahwa semua partisipan dalam
percakapan beroperasi di bawah Prinsip Kooperatif (Cooperative Principle)—yakni
asumsi bahwa setiap penutur berupaya untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan
komunikasi bersama.² Namun, asumsi ini dianggap terlalu normatif dan tidak
selalu sesuai dengan kenyataan sosial komunikasi, yang sering kali bersifat
konflik, manipulatif, atau strategis.³
Sebagai contoh,
dalam wacana politik, propaganda, atau debat publik, pelanggaran terhadap
prinsip kooperatif bukanlah penyimpangan, melainkan strategi retorik untuk
membingkai makna.⁴ Dalam konteks ini, teori Grice sulit menjelaskan komunikasi
yang tidak bertujuan untuk berbagi informasi, melainkan untuk mempengaruhi
atau mendominasi pendengar.⁵ Jacob Mey menilai bahwa teori
Grice terlalu “naif secara sosial” karena mengabaikan dimensi kekuasaan dan
ideologi dalam komunikasi.⁶
Selain itu, konsep
rasionalitas dalam teori Grice dianggap terlalu kognitif dan individualistik,
sehingga tidak memperhitungkan variasi budaya atau faktor afektif yang
membentuk makna komunikasi.⁷ Dengan demikian, prinsip kooperatif lebih cocok
diterapkan dalam konteks percakapan ideal—bukan pada wacana sosial yang
kompleks dan penuh asimetri kekuasaan.⁸
8.2.      
Kritik dari Perspektif Teori Relevansi
Kritik paling
berpengaruh terhadap Teori Implikatur datang dari Dan
Sperber dan Deirdre Wilson, yang
mengembangkan Teori Relevansi (Relevance Theory)
pada 1986.⁹ Mereka menolak empat maksim Gricean sebagai perangkat inferensi
universal dan mengusulkan bahwa seluruh komunikasi dapat dijelaskan hanya
dengan satu prinsip tunggal: prinsip relevansi.¹⁰ Menurut
mereka, manusia secara alami mencari makna yang paling relevan dengan effort
of processing (upaya kognitif) terendah dan contextual
effect (hasil interpretatif) tertinggi.¹¹
Dalam kerangka ini,
inferensi pragmatik bukanlah hasil penerapan aturan sosial seperti maksim,
tetapi hasil dari mekanisme kognitif universal
yang mengatur perhatian dan pemrosesan informasi.¹² Dengan demikian, Relevance
Theory menolak pendekatan normatif dan menggantinya dengan pendekatan
psikologis.¹³
Kritik ini menyoroti
kelemahan epistemologis teori Grice yang terlalu bergantung pada “aturan
percakapan,” padahal dalam praktiknya manusia jarang secara sadar mengikuti
aturan-aturan tersebut.¹⁴ Sperber dan Wilson menegaskan bahwa komunikasi tidak
memerlukan kesepakatan eksplisit atas maksim, tetapi cukup dengan kesadaran
bersama akan relevansi konteks.¹⁵ Dengan kata lain, relevansi menggantikan kooperasi
sebagai prinsip dasar komunikasi manusia.¹⁶
8.3.      
Kritik dari Perspektif Sosial dan Budaya
Selain kritik
kognitif, teori Grice juga dikritik karena bias budaya Barat yang melekat
pada konsep kooperatif dan kejelasan ekspresifnya.¹⁷ Dalam banyak budaya Timur,
misalnya Jepang, Cina, dan Indonesia, komunikasi tidak selalu diarahkan pada
efisiensi informatif, melainkan pada kesopanan, keharmonisan sosial, dan penghindaran
konfrontasi.¹⁸
Gabriele Kasper dan
Shoshana Blum-Kulka menunjukkan bahwa dalam budaya dengan orientasi
kolektivistik, pelanggaran terhadap maksim Grice sering kali dilakukan untuk
menjaga wajah (face-saving) atau menghormati
hierarki sosial.¹⁹ Dalam konteks ini, pelanggaran bukan tanda
ketidakkooperatifan, melainkan strategi kesopanan.²⁰ Oleh karena itu, penerapan
teori Grice secara universal dianggap problematis karena tidak memperhitungkan
variasi pragmatik lintas budaya.²¹
Edward T. Hall dan
Anna Wierzbicka menambahkan bahwa budaya ber-konteks tinggi (high-context
culture) mengandalkan makna implisit lebih daripada budaya
ber-konteks rendah (low-context culture).²² Hal ini
berarti prinsip kooperatif Grice yang menuntut eksplisitasi informasi tidak selalu
sesuai dengan sistem komunikasi non-Barat.²³ Dengan demikian, teori Grice perlu
dilengkapi dengan pendekatan etnografi komunikasi yang memperhatikan konteks
sosial dan budaya.²⁴
8.4.      
Kritik dari Perspektif Linguistik Kognitif dan
Neuropragmatik
Perkembangan linguistik
kognitif dan neuropragmatik juga memberikan
tantangan baru terhadap Teori Implikatur.²⁵ Teori Grice bersandar pada model
rasional dan reflektif dari penutur, seolah-olah setiap makna tersirat selalu
dihasilkan secara sadar dan logis.²⁶ Namun, penelitian neurolinguistik modern
menunjukkan bahwa pemrosesan implikatur dalam otak terjadi secara otomatis
dan cepat, bukan melalui penalaran logis yang eksplisit.²⁷
Penelitian oleh
Raymond W. Gibbs dan Deirdre Wilson menunjukkan bahwa otak manusia menggunakan heuristik
pragmatik—yakni mekanisme kognitif intuitif untuk mengenali
maksud penutur tanpa perlu mengaktifkan seluruh aturan inferensial.²⁸ Oleh
karena itu, teori Grice dianggap terlalu formal dan tidak selaras dengan bukti
empiris tentang pemrosesan makna tersirat.²⁹
Selain itu, teori
ini tidak menjelaskan bagaimana anak-anak atau pembelajar bahasa kedua (L2)
mengembangkan kemampuan memahami implikatur.³⁰ Studi psikolinguistik
menunjukkan bahwa kemampuan ini muncul secara bertahap melalui pengalaman
sosial, bukan karena pengetahuan eksplisit terhadap maksim.³¹ Hal ini
memperkuat argumen bahwa teori Grice lebih bersifat idealistik daripada
deskriptif.³²
8.5.      
Kritik Konseptual: Ambiguitas antara Semantik
dan Pragmatik
Kritik terakhir
berhubungan dengan batas konseptual antara
semantik dan pragmatik dalam teori Grice.³³ Sejumlah linguis, termasuk François
Recanati dan Kent Bach, berpendapat bahwa garis pemisah antara what is
said dan what is meant dalam teori Grice
tidak selalu jelas.³⁴ Dalam praktik komunikasi, banyak ujaran yang mengandung
makna campuran—sebagian literal, sebagian implisit—yang tidak mudah
dikategorikan secara tegas.³⁵
Sebagai contoh,
kalimat “Saya
sudah makan” bisa berarti penolakan halus terhadap tawaran makanan,
yang sulit diklasifikasikan apakah termasuk makna literal atau implikatur.³⁶
Fenomena semacam ini menunjukkan bahwa teori Grice membutuhkan revisi agar
lebih mampu menjelaskan gradient meaning yang bersifat
dinamis dan kontekstual.³⁷
Dengan demikian,
kritik ini menyoroti kebutuhan untuk memahami makna bukan sebagai entitas dua
lapis (eksplisit dan implisit), melainkan sebagai kontinuum
interpretatif yang terbentuk melalui interaksi antara struktur
linguistik, niat, dan konteks.³⁸
Footnotes
[1]               
H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1989), 30–32.
[2]               
H. Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics,
Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 45.
[3]               
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 102–104.
[4]               
Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford:
Blackwell, 2001), 84–85.
[5]               
Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman,
1983), 75.
[6]               
Mey, Pragmatics: An Introduction, 86.
[7]               
Levinson, Pragmatics, 107.
[8]               
Mey, Pragmatics: An Introduction, 89.
[9]               
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and
Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 60–61.
[10]            
Deirdre Wilson and Dan Sperber, “Relevance Theory,” in The Handbook
of Pragmatics, ed. Laurence R. Horn and Gregory Ward (Oxford: Blackwell,
2004), 607–609.
[11]            
Sperber and Wilson, Relevance: Communication and Cognition,
63–65.
[12]            
ibid., 67.
[13]            
Wilson and Sperber, “Relevance Theory,” 611–613.
[14]            
Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago:
University of Chicago Press, 1989), 31–32.
[15]            
Sperber and Wilson, Relevance: Communication and Cognition,
70–71.
[16]            
ibid., 75.
[17]            
Edward T. Hall, Beyond Culture (New York: Anchor Books, 1976),
93–95.
[18]            
Anna Wierzbicka, Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of Human
Interaction (Berlin: Mouton de Gruyter, 1991), 108–110.
[19]            
Shoshana Blum-Kulka, Juliane House, and Gabriele Kasper, eds., Cross-Cultural
Pragmatics: Requests and Apologies (Norwood, NJ: Ablex, 1989), 6–8.
[20]            
ibid., 10.
[21]            
Gabriele Kasper and Shoshana Blum-Kulka, Interlanguage Pragmatics
(Oxford: Oxford University Press, 1993), 48–49.
[22]            
Hall, Beyond Culture, 98–99.
[23]            
Wierzbicka, Cross-Cultural Pragmatics, 112.
[24]            
Mey, Pragmatics: An Introduction, 91–92.
[25]            
Raymond W. Gibbs Jr., Intentions in the Experience of Meaning
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 55–57.
[26]            
ibid., 63.
[27]            
Deirdre Wilson and Tim Wharton, “Relevance and Prosody,” in The
Handbook of Pragmatics, ed. Horn and Ward (Oxford: Blackwell, 2004),
411–412.
[28]            
Gibbs, Intentions in the Experience of Meaning, 78–79.
[29]            
ibid., 82.
[30]            
Kasper and Blum-Kulka, Interlanguage Pragmatics, 53–54.
[31]            
Blum-Kulka et al., Cross-Cultural Pragmatics, 12.
[32]            
Horn, A Natural History of Negation, 37.
[33]            
Kent Bach, Conversational Impliciture (Cambridge: Cambridge
University Press, 1994), 6–7.
[34]            
François Recanati, Literal Meaning (Cambridge: Cambridge
University Press, 2004), 21–22.
[35]            
Bach, Conversational Impliciture, 10.
[36]            
Levinson, Pragmatics, 111.
[37]            
Recanati, Literal Meaning, 30.
[38]            
Bach, Conversational Impliciture, 12–13.
9.          
Relevansi
dan Pengembangan Kontemporer
9.1.      
Relevansi Teori Implikatur dalam Linguistik dan
Filsafat Bahasa Modern
Sejak diperkenalkan
oleh H. P. Grice pada tahun 1975, Teori Implikatur tetap menjadi
salah satu pilar utama dalam studi pragmatik dan filsafat bahasa modern.¹
Relevansinya bertahan karena teori ini tidak hanya menjelaskan cara manusia
menggunakan bahasa untuk menyampaikan informasi, tetapi juga bagaimana bahasa
berfungsi sebagai alat rasional untuk membangun relasi sosial dan epistemik.²
Grice membuka jalan bagi pemahaman baru bahwa komunikasi manusia tidak bisa
dipahami secara semata semantik, melainkan harus melalui interaksi
antara makna, konteks, dan niat komunikatif.³
Dalam linguistik
kontemporer, teori ini terus menjadi dasar bagi analisis wacana,
semantik-pragmatik, serta kajian makna implisit dalam berbagai bentuk
komunikasi.⁴ Para linguis seperti Stephen C. Levinson dan Laurence Horn
memperluas teori Grice dengan memperkenalkan pendekatan Neo-Gricean
Pragmatics, yang berfokus pada prinsip ekonomi komunikasi dan scalar
implicature.⁵ Pendekatan ini menjelaskan bahwa makna tersirat
sering muncul karena penutur memilih bentuk ekspresi yang “ekonomis”
namun tetap dapat dipahami secara inferensial oleh pendengar.⁶
Selain itu, teori
implikatur juga menjadi landasan bagi kajian pragmatik lintas bahasa, membantu
menjelaskan bagaimana berbagai komunitas linguistik mengelola prinsip
kooperatif secara berbeda.⁷ Dengan demikian, teori Grice tidak hanya memiliki
nilai historis, tetapi juga menjadi kerangka konseptual yang terus digunakan
untuk memahami dinamika komunikasi manusia di era global.⁸
9.2.      
Pengaruh dalam Kajian Kognitif dan Relevansi
Kognitif
Salah satu
pengembangan paling signifikan dari teori Grice muncul melalui Teori
Relevansi (Relevance Theory) yang dikembangkan oleh Dan
Sperber dan Deirdre Wilson.⁹ Mereka
mengadaptasi ide dasar Grice tentang inferensi pragmatik dan menggantikan empat
maksim dengan satu prinsip tunggal—the Principle of Relevance.¹⁰
Menurut mereka, setiap tindakan komunikasi mengasumsikan bahwa pesan yang
dikirim penutur adalah relevan, yaitu menghasilkan efek kognitif yang berarti
bagi pendengar dengan biaya pemrosesan mental minimal.¹¹
Teori Relevansi
menandai pergeseran epistemologis dari pragmatik sosial ke pragmatik
kognitif, di mana komunikasi dipahami sebagai bentuk inferensi
mental yang didorong oleh mekanisme kognitif universal.¹² Dalam
kerangka ini, makna tidak hanya dihasilkan oleh kerja sama sosial, tetapi juga
oleh kemampuan otak manusia untuk memilih dan menafsirkan informasi yang paling
relevan dalam konteks tertentu.¹³
Relevansi teori ini
tampak jelas dalam kajian neuropragmatik dan psikolinguistik,
di mana proses inferensi pragmatik dikaitkan dengan aktivitas otak, khususnya
area prefrontal cortex yang berperan dalam pemrosesan makna nonliteral.¹⁴
Penelitian oleh Raymond Gibbs dan Sperber menunjukkan bahwa manusia mampu
mengenali maksud implisit dengan sangat cepat—mendukung gagasan bahwa inferensi
bukan proses deduktif yang lambat, tetapi respons neurologis yang
terotomatisasi.¹⁵
9.3.      
Aplikasi dalam Kajian Media dan Komunikasi
Digital
Perkembangan
teknologi komunikasi membawa teori implikatur ke ranah baru, yaitu komunikasi
digital dan media sosial.¹⁶ Dalam komunikasi daring, makna
sering kali disampaikan melalui bentuk ujaran yang singkat, multimodal, dan
penuh implikatur. Meme, emoji, dan sarkasme di platform seperti Twitter,
TikTok, dan WhatsApp merupakan contoh bagaimana teori Grice terus beradaptasi
dengan medium komunikasi baru.¹⁷
Misalnya, penggunaan
emoji 🙃 setelah kalimat “Terima kasih atas keterlambatannya”
mengandung implikatur ironi yang hanya dapat dipahami melalui konteks pragmatik
digital.¹⁸ Dalam penelitian digital pragmatics, teori
implikatur digunakan untuk menjelaskan bagaimana pengguna internet secara sadar
melanggar maksim Gricean (misalnya maksim relevansi dan kualitas) untuk
menciptakan humor, kritik sosial, atau solidaritas komunitas daring.¹⁹
Selain itu, dalam komunikasi
politik digital, pelanggaran terhadap maksim juga dimanfaatkan
untuk melakukan framing dan spin
communication—yakni mengonstruksi makna tersirat yang menguntungkan
pihak tertentu tanpa harus menyatakannya secara eksplisit.²⁰ Dengan demikian,
teori implikatur tetap menjadi alat analisis yang efektif dalam memahami
dinamika makna di era media baru.²¹
9.4.      
Pengaruh Interdisipliner: Linguistik, Etika,
dan Filsafat Sosial
Pengaruh teori Grice
melampaui bidang linguistik dan menjangkau wilayah etika
komunikasi dan filsafat sosial.²² Dalam
kerangka Habermasian, prinsip kooperatif Grice dapat dibaca sebagai bentuk
dasar dari rasionalitas komunikatif—yakni
keyakinan bahwa komunikasi manusia selalu mengandung klaim kebenaran,
kejujuran, dan relevansi yang dapat diuji secara intersubjektif.²³
Dalam konteks etika
diskursus, teori implikatur membantu menjelaskan dimensi moral komunikasi,
karena pelanggaran terhadap maksim bukan sekadar tindakan linguistik, melainkan
bentuk manipulasi terhadap kepercayaan epistemik pendengar.²⁴ Oleh karena itu,
teori ini juga digunakan untuk menelaah komunikasi politik, iklan, dan retorika media
dalam konteks post-truth society, di mana makna sering kali dibangun melalui
implikatur yang menyesatkan atau ambigu.²⁵
Selain itu, dalam filsafat
bahasa kontemporer, teori implikatur menjadi dasar bagi
perdebatan antara semantik formal dan pragmatik
kontekstual mengenai batas antara makna literal dan makna
tersirat.²⁶ Tokoh seperti François Recanati dan Kent Bach memperluas teori
Grice ke arah konsep pragmatic enrichment dan conversational
impliciture, yang menyoroti sifat gradual dan dinamis dari makna
linguistik.²⁷
9.5.      
Arah Pengembangan Masa Depan
Pengembangan
kontemporer teori implikatur bergerak ke arah integrasi interdisipliner
antara linguistik, filsafat, ilmu kognitif, dan kecerdasan buatan.²⁸ Dalam
bidang Natural
Language Processing (NLP), misalnya, penelitian terkini
berupaya menerapkan prinsip inferensial Gricean untuk mengembangkan model
bahasa yang mampu memahami makna tersirat dalam interaksi manusia-mesin.²⁹
Chatbots dan sistem
AI modern, seperti asisten digital, dirancang agar mampu menafsirkan implikatur
percakapan—misalnya mengenali sarkasme, ironi, atau maksud tersirat pengguna.³⁰
Pendekatan ini mencerminkan pengakuan bahwa komunikasi manusia tidak dapat direduksi
menjadi logika literal, melainkan harus melibatkan konteks, niat, dan inferensi
pragmatik.³¹
Dengan demikian,
relevansi teori implikatur tidak hanya bertahan dalam ranah akademik, tetapi
juga berkembang sebagai model konseptual bagi teknologi komunikasi
cerdas.³² Teori ini membuktikan bahwa meskipun lahir dari
filsafat bahasa analitik abad ke-20, ia tetap menjadi landasan metodologis yang
subur untuk memahami komunikasi manusia dalam abad ke-21 yang semakin digital,
kompleks, dan kontekstual.³³
Footnotes
[1]               
H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1989), 29–30.
[2]               
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 101–103.
[3]               
Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3:
Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press,
1975), 46.
[4]               
Laurence R. Horn and Gregory Ward, eds., The Handbook of Pragmatics
(Oxford: Blackwell, 2004), 15–17.
[5]               
Horn, A Natural History of Negation (Chicago: University of
Chicago Press, 1989), 20–22.
[6]               
Levinson, Pragmatics, 108.
[7]               
Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford:
Blackwell, 2001), 89.
[8]               
Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman,
1983), 83.
[9]               
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and
Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 63–65.
[10]            
Deirdre Wilson and Dan Sperber, “Relevance Theory,” in The Handbook
of Pragmatics, ed. Horn and Ward (Oxford: Blackwell, 2004), 607–609.
[11]            
Sperber and Wilson, Relevance: Communication and Cognition,
67.
[12]            
ibid., 71–73.
[13]            
Wilson and Sperber, “Relevance Theory,” 615.
[14]            
Raymond W. Gibbs Jr., Intentions in the Experience of Meaning
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 77–79.
[15]            
ibid., 84.
[16]            
Crispin Thurlow and Kristine Mroczek, eds., Digital Discourse:
Language in the New Media (Oxford: Oxford University Press, 2011),
130–132.
[17]            
Zappavigna, Michele, Discourse of Twitter and Social Media
(London: Bloomsbury, 2012), 75–77.
[18]            
Thurlow and Mroczek, Digital Discourse, 134–135.
[19]            
Mey, Pragmatics: An Introduction, 94–95.
[20]            
Horn and Ward, The Handbook of Pragmatics, 22–23.
[21]            
Levinson, Pragmatics, 110.
[22]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 85–87.
[23]            
ibid., 88–89.
[24]            
Habermas, The Theory of Communicative Action, 92.
[25]            
Umberto Eco, Semiotics and the Philosophy of Language
(Bloomington: Indiana University Press, 1984), 102–103.
[26]            
François Recanati, Literal Meaning (Cambridge: Cambridge
University Press, 2004), 21–22.
[27]            
Kent Bach, Conversational Impliciture (Cambridge: Cambridge
University Press, 1994), 9–11.
[28]            
Horn and Ward, The Handbook of Pragmatics, 26–27.
[29]            
Jacob Eisenstein, Introduction to Natural Language Processing
(Cambridge, MA: MIT Press, 2019), 312–314.
[30]            
Emily M. Bender and Alexander Koller, “Climbing towards NLU: On
Meaning, Form, and Understanding in the Age of Data,” in Proceedings of ACL
2020 (Seattle: Association for Computational Linguistics, 2020),
5186–5188.
[31]            
Mey, Pragmatics: An Introduction, 97–98.
[32]            
Eisenstein, Introduction to Natural Language Processing, 317.
[33]            
Horn and Ward, The Handbook of Pragmatics, 28.
10.       Sintesis Filosofis: Implikatur sebagai Jembatan
antara Bahasa, Pikiran, dan Realitas
10.1.   
Bahasa sebagai Medium Rasionalitas dan
Intersubjektivitas
Teori Implikatur H.
P. Grice membuka dimensi baru dalam filsafat bahasa dengan menempatkan bahasa
sebagai tindakan rasional yang berakar pada kerja sama
epistemik antara manusia.¹ Dalam kerangka ini, bahasa tidak hanya berfungsi
sebagai sistem tanda (langue) yang statis, sebagaimana
dipahami dalam strukturalisme Saussurean, tetapi sebagai aktivitas dinamis yang
menghubungkan pikiran individu dengan dunia dan orang lain.²
Implikatur
memperlihatkan bahwa makna tidak sepenuhnya berada “di dalam” ujaran, melainkan
lahir
dari proses inferensi dan negosiasi makna antara subjek-subjek rasional.³
Dengan demikian, teori ini menggabungkan dua dimensi utama: dimensi kognitif
(bagaimana makna diolah oleh pikiran) dan dimensi sosial (bagaimana makna
dinegosiasikan dalam interaksi).⁴
Dari sudut pandang
filsafat komunikasi, Grice menunjukkan bahwa setiap tindakan berbicara adalah
bentuk rasionalitas
praktis: manusia bertutur bukan hanya untuk menginformasikan,
tetapi untuk berpartisipasi dalam lifeworld—dunia kehidupan bersama
yang penuh makna.⁵ Dalam konteks ini, prinsip kooperatif Grice sejalan dengan
gagasan Jürgen Habermas tentang rasionalitas
komunikatif, di mana bahasa menjadi medium utama bagi pemahaman
intersubjektif dan pembentukan kebenaran sosial.⁶
10.2.   
Pikiran dan Inferensi: Rasionalitas sebagai
Mekanisme Makna
Dari sisi
epistemologi, implikatur memperlihatkan bahwa komunikasi manusia didasarkan
pada rasionalitas
inferensial, bukan hanya pada reproduksi proposisi literal.⁷
Ketika seseorang menafsirkan ujaran yang tampaknya melanggar maksim percakapan,
ia melakukan bentuk reasoning yang kompleks,
menghubungkan antara ujaran, konteks, dan niat penutur.⁸
Proses ini
menunjukkan bahwa makna merupakan hasil interaksi antara pikiran dan situasi:
manusia memahami dunia bukan melalui refleksi pasif, tetapi melalui interpretative
reasoning yang bersifat aktif dan kreatif.⁹ Dengan kata lain, makna
bersifat intensional (ditentukan oleh
niat) dan situasional (bergantung pada
konteks).¹⁰
Dalam perspektif
filsafat pikiran (philosophy of mind), teori
implikatur berkontribusi terhadap perdebatan antara representasionalisme dan
pragmatisme.¹¹ Ia menegaskan bahwa pikiran tidak hanya merepresentasikan
realitas, tetapi juga berpartisipasi dalam konstruksi realitas
linguistik.¹² Hal ini sesuai dengan pemikiran John
Searle tentang tindak tutur, bahwa intensi komunikatif adalah
bentuk dasar dari tindakan mental yang menciptakan realitas sosial.¹³
Maka, dalam kerangka
Gricean, pikiran dan bahasa bukan entitas terpisah,
melainkan dua sisi dari aktivitas rasional yang sama—yakni proses membangun
makna dalam dunia intersubjektif.¹⁴
10.3.   
Realitas sebagai Hasil Negosiasi Makna
Teori Implikatur
juga memiliki dimensi ontologis: ia memperlihatkan bahwa realitas
linguistik bukanlah cerminan pasif dunia, tetapi hasil dari
negosiasi makna dalam komunikasi.¹⁵ Ketika penutur dan pendengar berinteraksi,
mereka tidak hanya menukar informasi, tetapi menciptakan struktur makna baru
yang memperkaya dunia sosial.¹⁶
Dalam konteks ini,
realitas komunikasi bersifat ko-konstitutif—yakni terbentuk
dari interaksi antara subjek dan bahasa.¹⁷ Implikatur menegaskan bahwa dunia
sosial dan moral dibangun melalui inferensi yang saling dipahami. Misalnya,
tindakan mengucapkan “Saya berjanji” tidak hanya mendeskripsikan keadaan,
tetapi juga menciptakan realitas baru: adanya kewajiban moral.¹⁸
Pandangan ini
sejalan dengan filsafat bahasa performatif dari J. L. Austin dan John
Searle, yang menekankan bahwa ujaran adalah tindakan yang
menciptakan fakta sosial.¹⁹ Dalam perspektif yang lebih kontemporer, teori
implikatur dapat dibaca sebagai bentuk linguistic constructivism—yakni
pandangan bahwa makna dan realitas dibangun melalui partisipasi komunikatif,
bukan melalui refleksi representasional semata.²⁰
Dengan demikian,
Grice tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia berbicara, tetapi juga
bagaimana melalui percakapan manusia membangun dunia simbolik yang
memungkinkan eksistensi sosial dan moral.²¹
10.4.   
Implikatur sebagai Ruang Etika dan Hermeneutika
Dari dimensi etika,
implikatur memperlihatkan bahwa komunikasi selalu mengandung dimensi
moral dan tanggung jawab epistemik.²² Ketika seseorang
berbicara secara implisit, ia mengandaikan kepercayaan pendengar untuk
menafsirkan maksudnya dengan itikad baik.²³ Pelanggaran terhadap prinsip
kooperatif bukan sekadar pelanggaran pragmatik, melainkan juga pelanggaran
terhadap kejujuran dialogis.²⁴
Pandangan ini
memiliki resonansi dengan hermeneutika filosofis Hans-Georg
Gadamer, yang melihat bahasa sebagai medium pemahaman yang
bersifat dialogis.²⁵ Dalam konteks ini, implikatur menjadi bentuk fusion
of horizons—pertemuan antara dunia penutur dan dunia pendengar
dalam proses interpretasi.²⁶ Melalui inferensi dan dialog, manusia menyeberangi
batas subjektivitas dan membangun pemahaman bersama.²⁷
Implikatur juga
menegaskan pentingnya trust dan responsibility
dalam percakapan: penutur mengandaikan bahwa pendengar akan menafsirkan dengan
rasional, sementara pendengar mempercayai bahwa penutur berbicara dengan niat
kooperatif.²⁸ Dengan demikian, teori ini tidak hanya mengandung epistemologi
rasional, tetapi juga etika komunikatif yang menuntun
manusia menuju kesalingpahaman.²⁹
10.5.   
Integrasi Akhir: Bahasa, Pikiran, dan Realitas
dalam Sintesis Gricean
Dari keseluruhan
pembahasan, dapat disimpulkan bahwa Teori Implikatur Grice memberikan kerangka
filosofis integratif yang menghubungkan tiga ranah fundamental:
bahasa
sebagai alat komunikasi, pikiran sebagai sumber rasionalitas, dan realitas
sebagai hasil interaksi makna.³⁰
Bahasa menjadi
jembatan epistemologis yang memungkinkan pikiran menafsirkan dunia, sedangkan
inferensi pragmatik menjadi mekanisme ontologis yang menciptakan makna baru di
dalam dunia tersebut.³¹ Grice menunjukkan bahwa kebenaran linguistik tidak
bersifat absolut, tetapi muncul melalui kooperasi, konteks, dan niat
baik antar manusia.³²
Sintesis ini
menempatkan teori implikatur bukan sekadar dalam wilayah linguistik, tetapi
juga dalam ranah metafilsafat komunikasi—sebuah
upaya memahami manusia sebagai makhluk yang berpikir, berbicara, dan hidup
dalam realitas yang dibangun oleh makna.³³ Dalam arti ini, implikatur adalah
jembatan konseptual yang menghubungkan logos (akal), ethos (moralitas), dan
kosmos (dunia kehidupan).³⁴
Footnotes
[1]               
H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1989), 25–27.
[2]               
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans.
Roy Harris (Chicago: Open Court, 1986), 66–68.
[3]               
Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3:
Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press,
1975), 45–47.
[4]               
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 99–101.
[5]               
Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford:
Blackwell, 2001), 88.
[6]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 85–87.
[7]               
Grice, Studies in the Way of Words, 30–32.
[8]               
Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and
Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 19–20.
[9]               
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and
Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 63–65.
[10]            
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 45–47.
[11]            
Raymond W. Gibbs Jr., Intentions in the Experience of Meaning
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 71–73.
[12]            
Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 23–24.
[13]            
ibid., 32.
[14]            
Grice, Studies in the Way of Words, 34.
[15]            
Umberto Eco, Semiotics and the Philosophy of Language
(Bloomington: Indiana University Press, 1984), 99–101.
[16]            
J. L. Austin, How to Do Things with Words, 2nd ed. (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1975), 101–103.
[17]            
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans. Joel
Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 112–114.
[18]            
Austin, How to Do Things with Words, 105–106.
[19]            
John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of
Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 59–60.
[20]            
Eco, Semiotics and the Philosophy of Language, 105.
[21]            
Habermas, The Theory of Communicative Action, 89–90.
[22]            
Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman,
1983), 81–82.
[23]            
Grice, Studies in the Way of Words, 38.
[24]            
Mey, Pragmatics: An Introduction, 92.
[25]            
Gadamer, Truth and Method, 120–121.
[26]            
ibid., 123.
[27]            
Gadamer, Truth and Method, 126–127.
[28]            
Habermas, The Theory of Communicative Action, 92–93.
[29]            
Leech, Principles of Pragmatics, 85.
[30]            
Levinson, Pragmatics, 110.
[31]            
Grice, “Logic and Conversation,” 49–50.
[32]            
Habermas, The Theory of Communicative Action, 94–95.
[33]            
Mey, Pragmatics: An Introduction, 97.
[34]            
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 128.
11.       Kesimpulan
Teori Implikatur H. P. Grice merupakan salah satu
tonggak paling berpengaruh dalam perkembangan pragmatik dan filsafat bahasa
abad ke-20.¹ Melalui gagasan dasar tentang Prinsip Kooperatif dan makna
tersirat (implicature), Grice berhasil menjembatani dua ranah yang
sebelumnya terpisah: semantik yang bersifat formal dan pragmatik yang bersifat
kontekstual.² Ia menunjukkan bahwa komunikasi manusia bukan sekadar proses
penyampaian informasi secara literal, melainkan tindakan rasional yang
berakar pada inferensi, niat, dan kerja sama epistemik.³
Secara historis, teori ini menandai pergeseran dari
paradigma truth-conditional semantics menuju paradigma use-based
pragmatics, yang menekankan peran konteks dan pengetahuan bersama (common
ground) dalam menentukan makna.⁴ Dalam pandangan Grice, setiap tindak tutur
mengandung lapisan makna ganda: what is said (makna eksplisit) dan what
is meant (makna implisit).⁵ Perbedaan ini mengajarkan bahwa bahasa tidak
hanya merepresentasikan dunia, tetapi juga menciptakan realitas sosial dan
epistemik melalui proses interpretasi yang kooperatif.⁶
Implikatur memperlihatkan bahwa komunikasi
manusia bersifat inferensial dan intersubjektif.⁷ Makna muncul bukan karena
bentuk linguistik semata, tetapi karena adanya rasionalitas dan kepercayaan bersama
antara penutur dan pendengar.⁸ Pendengar menggunakan logika pragmatik untuk
menafsirkan maksud penutur, sedangkan penutur mengandalkan inferensi pendengar
untuk menyampaikan pesan yang efisien dan kontekstual.⁹ Oleh karena itu, makna
tidak bersifat absolut, melainkan hasil dari dialog rasional yang berakar pada
konteks sosial dan kognitif.¹⁰
Dari perspektif epistemologis, teori implikatur
memandang bahasa sebagai alat penalaran sosial.¹¹ Ia memperlihatkan
bahwa manusia tidak hanya menggunakan bahasa untuk menyatakan kebenaran
proposisional, tetapi juga untuk menegosiasikan nilai, tujuan, dan makna dalam
interaksi.¹² Secara ontologis, teori ini menegaskan bahwa realitas linguistik
tidak bersifat tetap, melainkan terbentuk dari proses komunikasi yang berlangsung
terus-menerus antara subjek-subjek rasional.¹³
Teori implikatur juga memiliki dimensi etika dan
hermeneutika: komunikasi yang baik menuntut kejujuran, kesalingpahaman, dan
tanggung jawab interpretatif antara penutur dan pendengar.¹⁴ Dalam konteks ini,
teori Grice beresonansi dengan pemikiran Jürgen Habermas tentang rasionalitas
komunikatif dan Hans-Georg Gadamer tentang dialog hermeneutis,
yang sama-sama melihat bahasa sebagai medium pemahaman manusia terhadap dunia
dan sesamanya.¹⁵
Dalam konteks kontemporer, teori ini terus relevan
dan bahkan mengalami perluasan. Sperber dan Wilson melalui Relevance
Theory mengubahnya menjadi model kognitif tentang bagaimana manusia memilih
dan memproses informasi yang bermakna.¹⁶ Di sisi lain, linguistik terapan dan
teknologi bahasa (seperti Natural Language Processing dan kecerdasan
buatan) menjadikan prinsip inferensi Gricean sebagai dasar untuk merancang
sistem komunikasi yang mampu mengenali makna tersirat.¹⁷
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa Teori
Implikatur berfungsi sebagai jembatan filosofis antara bahasa, pikiran, dan
realitas. Ia mengungkapkan bahwa komunikasi manusia bukanlah sekadar
pertukaran tanda, melainkan bentuk rasionalitas intersubjektif yang
memungkinkan penciptaan makna dan dunia bersama.¹⁸ Melalui teori ini, Grice
menunjukkan bahwa di balik kesederhanaan percakapan sehari-hari tersembunyi
mekanisme epistemik yang dalam—mekanisme yang menjadikan manusia bukan hanya animal
rationale, tetapi juga animal symbolicum: makhluk yang berpikir,
berbahasa, dan membangun realitas melalui makna.¹⁹
Footnotes
[1]               
H. Paul Grice, Studies in the Way of Words
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 24–26.
[2]               
Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and
Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New
York: Academic Press, 1975), 44–46.
[3]               
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), 100–101.
[4]               
Laurence R. Horn and Gregory Ward, eds., The
Handbook of Pragmatics (Oxford: Blackwell, 2004), 14–15.
[5]               
Grice, Studies in the Way of Words, 28–29.
[6]               
John R. Searle, Expression and Meaning: Studies
in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979),
56–57.
[7]               
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance:
Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 63–65.
[8]               
Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic
Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 19–20.
[9]               
Laurence R. Horn, A Natural History of Negation
(Chicago: University of Chicago Press, 1989), 21–22.
[10]            
Levinson, Pragmatics, 107–108.
[11]            
Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Blackwell, 2001), 81–83.
[12]            
Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics
(London: Longman, 1983), 79–80.
[13]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 85–87.
[14]            
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum,
2004), 120–122.
[15]            
Habermas, The Theory of Communicative Action,
90–91.
[16]            
Sperber and Wilson, Relevance: Communication and
Cognition, 68–70.
[17]            
Jacob Eisenstein, Introduction to Natural
Language Processing (Cambridge, MA: MIT Press, 2019), 312–314.
[18]            
Grice, Studies in the Way of Words, 33–34.
[19]            
Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction
to a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944),
28–29.
Daftar Pustaka 
Austin, J. L. (1975). How to do things with
words (2nd ed.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Bach, K. (1994). Conversational impliciture.
Cambridge: Cambridge University Press.
Bach, K., & Harnish, R. M. (1979). Linguistic
communication and speech acts. Cambridge, MA: MIT Press.
Barthes, R. (1975). The pleasure of the text
(R. Miller, Trans.). New York, NY: Hill and Wang.
Bender, E. M., & Koller, A. (2020). Climbing
towards NLU: On meaning, form, and understanding in the age of data. In Proceedings
of ACL 2020 (pp. 5185–5198). Seattle, WA: Association for Computational
Linguistics.
Blum-Kulka, S., House, J., & Kasper, G. (Eds.).
(1989). Cross-cultural pragmatics: Requests and apologies. Norwood, NJ:
Ablex.
Cassirer, E. (1944). An essay on man: An
introduction to a philosophy of human culture. New Haven, CT: Yale
University Press.
Clark, H. H. (1996). Using language.
Cambridge: Cambridge University Press.
Eco, U. (1984). Semiotics and the philosophy of
language. Bloomington, IN: Indiana University Press.
Eisenstein, J. (2019). Introduction to natural
language processing. Cambridge, MA: MIT Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd
ed.; J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York, NY: Continuum.
Gibbs, R. W., Jr. (1999). Intentions in the
experience of meaning. Cambridge: Cambridge University Press.
Grice, H. P. (1975). Logic and conversation. In P.
Cole & J. L. Morgan (Eds.), Syntax and semantics: Vol. 3. Speech acts
(pp. 41–58). New York, NY: Academic Press.
Grice, H. P. (1989). Studies in the way of words.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vol. 1; T. McCarthy, Trans.). Boston, MA: Beacon Press.
Hall, E. T. (1976). Beyond culture. New
York, NY: Anchor Books.
Horn, L. R. (1984). Toward a new taxonomy for
pragmatic inference: Q- and R-based implicature. In D. Schiffrin (Ed.), Meaning,
form, and use in context: Linguistic applications (pp. 11–42). Washington,
DC: Georgetown University Press.
Horn, L. R. (1989). A natural history of
negation. Chicago, IL: University of Chicago Press.
Horn, L. R., & Ward, G. (Eds.). (2004). The
handbook of pragmatics. Oxford: Blackwell.
Kasper, G., & Blum-Kulka, S. (1993). Interlanguage
pragmatics. Oxford: Oxford University Press.
Leech, G. N. (1983). Principles of pragmatics.
London: Longman.
Leech, G. N., & Short, M. (1981). Style in
fiction: A linguistic introduction to English fictional prose. London:
Longman.
Levinson, S. C. (1983). Pragmatics.
Cambridge: Cambridge University Press.
Levinson, S. C. (2004). Conversational implicature.
In L. R. Horn & G. Ward (Eds.), The handbook of pragmatics (pp.
18–38). Oxford: Blackwell.
Mey, J. L. (2001). Pragmatics: An introduction
(2nd ed.). Oxford: Blackwell.
Peirce, C. S. (1931). Collected papers of
Charles Sanders Peirce (Vol. 5; C. Hartshorne & P. Weiss, Eds.).
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Recanati, F. (2004). Literal meaning.
Cambridge: Cambridge University Press.
Saussure, F. de. (1986). Course in general
linguistics (R. Harris, Trans.). Chicago, IL: Open Court.
Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in
the philosophy of language. Cambridge: Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1979). Expression and meaning:
Studies in the theory of speech acts. Cambridge: Cambridge University
Press.
Searle, J. R. (1983). Intentionality: An essay
in the philosophy of mind. Cambridge: Cambridge University Press.
Sperber, D., & Wilson, D. (1986). Relevance:
Communication and cognition. Oxford: Blackwell.
Thurlow, C., & Mroczek, K. (Eds.). (2011). Digital
discourse: Language in the new media. Oxford: Oxford University Press.
Wilson, D., & Sperber, D. (2004). Relevance
theory. In L. R. Horn & G. Ward (Eds.), The handbook of pragmatics
(pp. 607–632). Oxford: Blackwell.
Wierzbicka, A. (1991). Cross-cultural
pragmatics: The semantics of human interaction. Berlin: Mouton de Gruyter.
Zappavigna, M. (2012). Discourse of Twitter and
social media. London: Bloomsbury.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar