Selasa, 21 Oktober 2025

Teori Implikatur: Dasar Konseptual, Dimensi Epistemologis, dan Aplikasi Komunikatif dalam Bahasa

Teori Implikatur

Dasar Konseptual, Dimensi Epistemologis, dan Aplikasi Komunikatif dalam Bahasa


Alihkan ke: Filsafat Bahasa.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif Teori Implikatur yang dikembangkan oleh H. P. Grice sebagai salah satu fondasi utama dalam pragmatik dan filsafat bahasa kontemporer. Berawal dari kritik terhadap pendekatan semantik yang bersifat formal dan literal, teori ini menawarkan paradigma baru yang menekankan peran konteks, inferensi, dan niat komunikatif dalam pembentukan makna. Pembahasan dimulai dengan penelusuran historis lahirnya teori ini dalam konteks filsafat analitik abad ke-20, kemudian dilanjutkan dengan elaborasi atas prinsip kooperatif dan empat maksim Gricean (kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara), yang menjadi dasar bagi pemahaman komunikasi sebagai aktivitas rasional.

Selanjutnya, artikel ini menguraikan klasifikasi implikatur (konvensional dan percakapan) beserta variannya (umum dan khusus), serta menyoroti aspek epistemologis dan mekanisme inferensial yang memungkinkan pendengar menafsirkan makna tersirat dari ujaran. Dalam bagian aplikatif, teori ini ditinjau dalam berbagai bidang seperti analisis wacana, sastra, komunikasi digital, dan pragmatik lintas budaya, menunjukkan relevansinya dalam menjelaskan dinamika komunikasi modern.

Bagian kritik menampilkan berbagai keberatan terhadap teori Grice, baik dari perspektif psikologis, sosial, maupun kultural, seperti yang diajukan oleh Sperber dan Wilson melalui Relevance Theory serta oleh Mey dan Kasper melalui pragmatik sosial. Meskipun demikian, teori ini tetap dianggap sebagai kerangka konseptual yang hidup, yang terus berkembang seiring dengan kemajuan studi kognitif dan teknologi bahasa.

Dalam sintesis filosofisnya, artikel ini menegaskan bahwa implikatur bukan sekadar fenomena linguistik, tetapi juga jembatan antara bahasa, pikiran, dan realitas. Melalui prinsip kooperatif dan inferensi rasional, teori ini menunjukkan bagaimana manusia membangun pemahaman bersama dan membentuk dunia sosial melalui bahasa. Dengan demikian, Teori Implikatur bukan hanya menjelaskan bagaimana manusia berbicara, tetapi juga mengapa komunikasi merupakan ekspresi mendasar dari rasionalitas, moralitas, dan eksistensi manusia sebagai makhluk berbahasa.

Kata Kunci: Teori Implikatur, H.P. Grice, Prinsip Kooperatif, Pragmatik, Inferensi, Relevance Theory, Rasionalitas Komunikatif, Filsafat Bahasa, Hermeneutika, Komunikasi Digital.


PEMBAHASAN

Teori Implikatur dalam Pragmatik


1.           Pendahuluan

Bahasa bukan hanya sarana untuk menyampaikan informasi, tetapi juga wahana kompleks bagi manusia untuk mengekspresikan maksud, sikap, dan nilai-nilai yang tersirat dalam tindakan komunikatif. Dalam konteks inilah, Teori Implikatur (Implicature Theory) yang diperkenalkan oleh H. Paul Grice menjadi tonggak penting dalam memahami dimensi pragmatik bahasa, yaitu dimensi yang berfokus pada makna yang dihasilkan melalui konteks dan niat komunikatif, bukan hanya dari struktur kalimat itu sendiri.¹ Grice menolak pandangan semantik formal yang menganggap makna sebagai entitas statis dan proposisional, dan sebaliknya menekankan bahwa komunikasi adalah proses dinamis yang mengandalkan kerja sama rasional antara penutur dan pendengar.²

1.1.       Latar Belakang Masalah

Sebelum munculnya teori pragmatik modern, kajian bahasa didominasi oleh pendekatan semantik-logis yang berupaya memetakan makna berdasarkan struktur kalimat dan kondisi kebenaran proposisi.³ Namun, pendekatan ini tidak cukup menjelaskan bagaimana manusia sering memahami lebih dari apa yang dikatakan secara literal. Ketika seseorang berkata, “Udara di ruangan ini panas sekali,” pendengar mungkin menafsirkan maksud sebenarnya bukan sekadar deskripsi kondisi fisik, tetapi permintaan implisit untuk membuka jendela. Fenomena seperti inilah yang menjadi perhatian utama Teori Implikatur.⁴

Implikatur mempelajari bagaimana makna tersirat (implied meaning) muncul dari pelanggaran atau penyimpangan yang disengaja terhadap prinsip kooperatif dalam percakapan.⁵ Dengan demikian, teori ini bukan hanya menjelaskan struktur komunikasi, tetapi juga mengungkap dasar rasionalitas dan etika yang mendasari tindakan berbahasa. Grice menegaskan bahwa dalam percakapan, partisipan diasumsikan berupaya bekerja sama untuk mencapai tujuan komunikasi bersama, dan pelanggaran terhadap prinsip ini sering kali bersifat strategis untuk menghasilkan makna tambahan seperti ironi, sindiran, atau humor.⁶

1.2.       Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, beberapa pertanyaan mendasar dapat dirumuskan:

1)                  Bagaimana Teori Implikatur menjelaskan mekanisme pembentukan makna tersirat dalam komunikasi?

2)                  Apa perbedaan ontologis dan epistemologis antara makna yang dinyatakan secara eksplisit dan implikatur?

3)                  Bagaimana penerapan teori ini dalam analisis wacana, komunikasi digital, dan konteks sosial-budaya yang berbeda?

1.3.       Tujuan Kajian

Kajian ini bertujuan untuk:

1)                  Menjelaskan dasar konseptual dan genealogis dari Teori Implikatur Grice.

2)                  Menganalisis prinsip kooperatif dan maksim-maksim yang menjadi inti teori ini.

3)                  Menilai relevansi epistemologis serta aplikasi praktis teori implikatur dalam konteks linguistik kontemporer, baik pada tataran percakapan, sastra, maupun komunikasi digital.

1.4.       Metode Kajian

Metode penelitian yang digunakan bersifat kualitatif-filosofis, dengan pendekatan analisis konseptual terhadap karya Grice dan pengembangannya oleh para pemikir pasca-Gricean seperti Stephen Levinson, Laurence Horn, dan Dan Sperber.⁷ Pendekatan hermeneutis juga digunakan untuk memahami relasi antara struktur bahasa, konteks sosial, dan niat komunikatif penutur. Selain itu, penelitian ini akan mengacu pada data empiris dari contoh wacana sehari-hari dan media digital untuk menegaskan relevansi teoritisnya dalam praktik komunikasi modern.


Footnotes

[1]                H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 22–23.

[2]                Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 14–15.

[3]                Gottlob Frege, On Sense and Reference, trans. Peter Geach (Oxford: Blackwell, 1952), 56–57.

[4]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 97–99.

[5]                H. Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 45–47.

[6]                Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 60–63.

[7]                Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 11–12.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

2.1.       Konteks Kelahiran Teori Implikatur

Teori Implikatur tidak lahir dalam ruang hampa; ia merupakan hasil dari pergulatan panjang dalam tradisi filsafat bahasa analitik abad ke-20. Sejak awal abad tersebut, para filsuf bahasa seperti Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgenstein telah meletakkan dasar bagi analisis makna berdasarkan struktur logis kalimat.¹ Mereka berupaya menemukan hubungan sistematis antara bahasa dan realitas melalui logika simbolik, dengan tujuan menjadikan bahasa sebagai alat representasi yang presisi terhadap dunia. Dalam kerangka inilah, semantik dipandang sebagai cabang utama linguistik yang berfokus pada hubungan antara kata dan referensinya, serta pada kondisi kebenaran proposisional.²

Namun, seiring berkembangnya filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy), terutama di Universitas Oxford melalui tokoh seperti J. L. Austin dan Gilbert Ryle, muncul kesadaran bahwa makna tidak dapat sepenuhnya dipahami hanya melalui struktur logis.³ Bahasa dalam penggunaannya sehari-hari sering kali beroperasi secara kontekstual, ambigu, bahkan ironi. Austin dalam karya monumentalnya How to Do Things with Words (1962) menunjukkan bahwa berbicara bukan sekadar menyatakan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu (doing things with words).⁴ Peralihan fokus dari makna proposisional ke makna performatif inilah yang membuka jalan bagi pemikiran H. Paul Grice, yang mengembangkan analisis makna berdasarkan maksud komunikatif penutur, bukan sekadar struktur kalimat.⁵

2.2.       H. P. Grice dan Revolusi Pragmatik

Grice, yang berkarya di lingkungan akademik Oxford pada pertengahan abad ke-20, memberikan fondasi baru bagi studi pragmatik modern melalui esainya yang berpengaruh, Logic and Conversation (1975).⁶ Ia menolak pandangan bahwa komunikasi linguistik hanyalah proses transmisi informasi secara literal. Sebaliknya, ia berargumen bahwa komunikasi adalah bentuk kerja sama rasional yang melibatkan inferensi, asumsi bersama (common ground), dan maksud implisit yang dibangun di antara penutur dan pendengar.⁷

Grice memperkenalkan Prinsip Kooperatif (Cooperative Principle), yaitu asumsi bahwa setiap partisipan dalam percakapan berusaha berkontribusi sesuai dengan tujuan komunikasi bersama.⁸ Dari prinsip ini ia menurunkan empat maksim percakapan (kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara), yang menjadi dasar bagi pemunculan makna tersirat atau implikatur.⁹ Ketika seseorang secara sengaja melanggar salah satu maksim—misalnya dengan berkata sesuatu yang tampaknya tidak relevan—pendengar akan berasumsi bahwa pelanggaran tersebut memiliki maksud tertentu.¹⁰ Dengan demikian, makna tersirat bukanlah penyimpangan dari norma komunikasi, melainkan ekspresi rasional yang memungkinkan manusia berkomunikasi secara lebih halus, ironis, atau sopan.

Revolusi yang dilakukan Grice tidak hanya mengubah paradigma dalam linguistik dan filsafat bahasa, tetapi juga memperluas wilayah penelitian ke arah yang lebih empiris. Teori ini menjembatani antara filsafat analitik yang rasional dengan kajian linguistik yang bersifat observasional, menghasilkan dasar bagi studi pragmatik sebagai disiplin tersendiri.¹¹ Melalui Grice, bahasa tidak lagi dianggap sekadar sistem tanda, tetapi juga tindakan sosial yang melibatkan kesadaran, maksud, dan pengetahuan bersama.

2.3.       Perkembangan Pasca-Grice dan Transformasi Teoretis

Setelah kemunculan karya Grice, berbagai teori post-Gricean bermunculan untuk menyempurnakan, mengkritik, atau memperluas ruang lingkup Teori Implikatur. Dua tokoh penting dalam tradisi Neo-Gricean Pragmatics adalah Laurence Horn dan Stephen Levinson.¹² Horn menekankan pentingnya prinsip ekonomi komunikasi—yakni bahwa pembicara cenderung memilih bentuk ujaran yang paling efisien untuk menyampaikan makna, sementara pendengar menggunakan prinsip inferensi untuk menafsirkan maksudnya.¹³ Levinson, di sisi lain, mengembangkan model Generalized Conversational Implicature (GCI) yang menjelaskan bahwa sebagian implikatur bersifat umum dan dapat diprediksi tanpa konteks yang sangat spesifik.¹⁴

Selain itu, Dan Sperber dan Deirdre Wilson menawarkan pendekatan alternatif melalui Teori Relevansi (Relevance Theory, 1986), yang menggantikan prinsip kooperatif Grice dengan prinsip tunggal relevansi kognitif.¹⁵ Mereka berpendapat bahwa komunikasi didorong oleh dorongan alami manusia untuk mencari makna yang paling relevan dengan upaya mental minimal, dan bahwa inferensi pragmatik bekerja melalui mekanisme kognitif universal, bukan aturan sosial.¹⁶

Pada dekade-dekade berikutnya, perkembangan pragmatik juga dipengaruhi oleh linguistik kognitif dan psikolinguistik. Kajian ini menghubungkan teori implikatur dengan proses mental yang terlibat dalam pemahaman makna tersirat, termasuk bagaimana otak mengenali ironi, metafora, dan maksud tidak langsung.¹⁷ Dalam konteks kontemporer, teori implikatur bahkan diaplikasikan dalam komunikasi digital—seperti analisis meme, sarkasme daring, dan interaksi manusia-komputer—yang memperlihatkan fleksibilitas konsep Grice dalam memahami dinamika komunikasi lintas media dan budaya.¹⁸

Dengan demikian, genealoginya memperlihatkan perjalanan intelektual dari logika bahasa menuju paradigma pragmatik yang lebih manusiawi dan empiris. Teori Implikatur tidak hanya mereformasi cara kita memahami bahasa, tetapi juga mengubah pandangan tentang manusia sebagai makhluk rasional yang berkomunikasi tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan makna yang tersembunyi di balik kata-kata.


Footnotes

[1]                Gottlob Frege, On Sense and Reference, trans. Peter Geach (Oxford: Blackwell, 1952), 56–57.

[2]                Bertrand Russell, Introduction to Mathematical Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1919), 40–42.

[3]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 23–24.

[4]                J. L. Austin, How to Do Things with Words, 2nd ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 94–95.

[5]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 30–32.

[6]                H. Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 41–58.

[7]                H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 24–25.

[8]                Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 12–13.

[9]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 102–103.

[10]             Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 20–21.

[11]             Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction (Oxford: Blackwell, 2001), 77–78.

[12]             Laurence R. Horn and Gregory Ward, eds., The Handbook of Pragmatics (Oxford: Blackwell, 2004), 14–15.

[13]             Horn, A Natural History of Negation, 45–47.

[14]             Levinson, Pragmatics, 112–115.

[15]             Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 60–65.

[16]             Deirdre Wilson and Dan Sperber, “Relevance Theory,” in The Handbook of Pragmatics, ed. Horn and Ward (Oxford: Blackwell, 2004), 607–632.

[17]             Raymond W. Gibbs Jr., Intentions in the Experience of Meaning (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 89–91.

[18]             Crispin Thurlow and Kristine Mroczek, eds., Digital Discourse: Language in the New Media (Oxford: Oxford University Press, 2011), 130–133.


3.           Ontologi Makna dalam Teori Implikatur

3.1.       Hakikat Makna: Eksplisit dan Implisit

Dalam kerangka Teori Implikatur, makna tidak dipandang sebagai entitas yang inheren pada struktur bahasa, melainkan sebagai hasil interaksi antara ujaran, konteks, dan maksud komunikatif penutur.¹ Ontologi makna dalam pandangan ini menolak reduksionisme semantik—yakni anggapan bahwa makna dapat direduksi menjadi hubungan antara tanda dan referensi sebagaimana diasumsikan oleh tradisi logika Fregean.² Grice berpendapat bahwa apa yang disebut meaning dalam komunikasi tidak dapat dijelaskan hanya melalui analisis sintaksis atau semantik, karena bahasa manusia selalu beroperasi dalam ranah tindakan sosial yang penuh asumsi dan tujuan.³

Dengan demikian, teori implikatur mengajukan dua dimensi makna yang saling berhubungan namun ontologisnya berbeda: (a) makna literal atau eksplisit (what is said), yaitu makna yang terikat pada struktur linguistik dan konvensi gramatikal; serta (b) makna implisit atau tersirat (what is meant), yaitu makna yang bergantung pada inferensi, konteks, dan niat komunikatif.⁴ Perbedaan ini menjadi kunci untuk memahami bahwa makna bukanlah sekadar objek linguistik, tetapi juga fenomena rasional yang muncul dari proses komunikasi manusia yang kompleks.⁵

Sebagai contoh, ketika seseorang berkata, “Benzinmu hampir habis,” dalam situasi tertentu makna literalnya hanyalah informasi faktual. Namun secara implikatur, ujaran tersebut mungkin bermakna peringatan atau saran untuk mengisi bahan bakar.⁶ Di sini, ontologi makna implikatur berakar pada relasi antara ujaran dan intensi penutur, bukan pada proposisi itu sendiri. Dengan kata lain, makna implikatur bersifat relasional dan intersubjektif—ia eksis sejauh ada kesalingpahaman rasional antara penutur dan pendengar.⁷

3.2.       Konteks, Intensi, dan Pengetahuan Bersama

Dalam kerangka ontologis Teori Implikatur, konteks memainkan peran sentral dalam memunculkan makna. Makna tidak dapat dipisahkan dari situasi ujaran dan latar epistemik para partisipan.⁸ Grice menegaskan bahwa makna yang dimaksudkan (speaker meaning) adalah makna yang hanya dapat dipahami jika pendengar mengenali niat penutur di balik ujarannya.⁹ Hal ini menempatkan makna sebagai hasil dari intersubjective intentionality, yakni kesadaran bersama bahwa setiap tindakan komunikatif memiliki tujuan rasional.¹⁰

Untuk menjelaskan mekanisme ini, Grice memperkenalkan konsep asumsi bersama (common ground) dan inferensi rasional.¹¹ Ketika penutur melanggar salah satu maksim percakapan (misalnya relevansi), pendengar tidak menganggap komunikasi gagal; sebaliknya, ia akan melakukan inferensi untuk menemukan maksud tersirat yang tetap koheren dengan prinsip kooperatif.¹² Di sinilah muncul entitas ontologis baru: makna yang tidak hadir secara eksplisit dalam ujaran, tetapi eksis secara fungsional dalam proses penalaran komunikasi.¹³

Perspektif ini berbeda dari ontologi semantik tradisional yang bersifat representasional, karena di sini makna tidak dianggap sebagai entity of reference (sebuah objek di dunia), melainkan sebagai proses interpretatif yang terjadi dalam interaksi komunikatif.¹⁴ Dengan demikian, teori implikatur mengubah cara pandang terhadap bahasa: dari sistem tanda menjadi sistem tindakan.¹⁵

3.3.       Ontologi Tindak Tutur dan Relasi antara Bahasa dan Realitas

Dalam kerangka yang lebih luas, teori implikatur Grice bersinggungan dengan teori tindak tutur (speech act theory) yang dikembangkan oleh Austin dan Searle.¹⁶ Menurut mereka, setiap ujaran memiliki dimensi ilokusi (tindakan yang dilakukan melalui ujaran) dan perlokusi (efek yang ditimbulkan pada pendengar).¹⁷ Implikatur muncul pada tataran ilokusi yang tidak dinyatakan secara langsung, tetapi disimpulkan melalui prinsip rasional komunikasi.

Ontologinya bersifat praktis dan dinamis—makna bukan entitas tetap yang melekat pada kalimat, melainkan aktualisasi potensi tindakan dalam situasi komunikasi tertentu.¹⁸ Dalam konteks ini, realitas linguistik dipahami sebagai realitas tindakan sosial yang bermakna karena diatur oleh norma kooperatif dan tujuan rasional.¹⁹ Maka, ketika penutur melanggar maksim dengan sengaja (misalnya, menggunakan ironi), ia tidak sedang menyalahi aturan komunikasi, melainkan sedang memproduksi makna tingkat kedua yang hanya dapat dipahami melalui inferensi.²⁰

Dengan demikian, dari sudut pandang ontologis, makna dalam Teori Implikatur bukan sekadar hubungan antara tanda dan referen, melainkan peristiwa interpretatif yang berlangsung dalam ranah kesadaran sosial. Ia adalah entitas yang emergent, muncul dari dinamika interaksi antara intensi, konteks, dan prinsip kooperatif yang mengikat komunikasi manusia.²¹


Footnotes

[1]                H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 25–27.

[2]                Gottlob Frege, On Sense and Reference, trans. Peter Geach (Oxford: Blackwell, 1952), 59–60.

[3]                Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 18–19.

[4]                H. Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 45–46.

[5]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 99–101.

[6]                Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman, 1983), 30–31.

[7]                Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 63–65.

[8]                Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 2001), 79–81.

[9]                Grice, Studies in the Way of Words, 28.

[10]             John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 32–33.

[11]             Stephen C. Levinson, Pragmatics, 102–104.

[12]             Grice, “Logic and Conversation,” 50–51.

[13]             Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 17–18.

[14]             Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, Vol. 2, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1931), 228–229.

[15]             Mey, Pragmatics: An Introduction, 84.

[16]             J. L. Austin, How to Do Things with Words, 2nd ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 101–102.

[17]             John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 24–26.

[18]             Dan Vanderveken, Meaning and Speech Acts, Vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 43–45.

[19]             Habermas, Jürgen, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.

[20]             Horn, A Natural History of Negation, 22–23.

[21]             Sperber and Wilson, Relevance: Communication and Cognition, 70–72.


4.           Prinsip Kooperatif dan Maksim Grice

4.1.       Prinsip Kooperatif sebagai Fondasi Komunikasi

Dalam kerangka Teori Implikatur, Prinsip Kooperatif (Cooperative Principle) yang dirumuskan oleh H. Paul Grice menjadi dasar ontologis dan epistemologis bagi seluruh dinamika komunikasi manusia.¹ Prinsip ini berangkat dari asumsi fundamental bahwa percakapan bukanlah rangkaian ujaran yang acak, melainkan kegiatan rasional dan sosial di mana para partisipan berupaya bekerja sama untuk mencapai tujuan komunikasi bersama.² Grice menegaskan bahwa komunikasi hanya mungkin terjadi apabila penutur dan pendengar berbagi komitmen terhadap norma rasional ini: “Make your conversational contribution such as is required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged.”³

Dengan kata lain, Prinsip Kooperatif menyiratkan bahwa setiap tindak komunikasi mengandung dimensi normatif: bahwa pembicara diharapkan menyampaikan sesuatu yang relevan, cukup informatif, benar, dan jelas, sementara pendengar mengasumsikan bahwa penutur berupaya memenuhi kaidah-kaidah tersebut.⁴ Dalam konteks ini, makna tersirat (implikatur) muncul justru ketika penutur tampak melanggar prinsip ini secara sengaja—dan pendengar kemudian menggunakan rasionalitasnya untuk menafsirkan maksud di balik pelanggaran tersebut.⁵

4.2.       Empat Maksim Gricean

Untuk menjelaskan cara kerja prinsip ini secara operasional, Grice memformulasikan empat maksim percakapan, yaitu Kuantitas, Kualitas, Relevansi, dan Cara (Manner).⁶ Keempatnya bukanlah aturan linguistik kaku, melainkan prinsip heuristik yang membantu menjelaskan inferensi pragmatis yang terjadi dalam percakapan.⁷

·                     Maksim Kuantitas (Quantity):

Berikan informasi sebanyak yang dibutuhkan, dan tidak lebih dari yang dibutuhkan.”⁸ Maksim ini menekankan keseimbangan antara kejelasan dan efisiensi komunikasi. Pelanggaran terhadap maksim ini dapat menghasilkan implikatur, seperti ketika seseorang berkata terlalu sedikit (menimbulkan rasa ingin tahu) atau terlalu banyak (mengisyaratkan sesuatu di luar isi literal).⁹

·                     Maksim Kualitas (Quality):

Jangan katakan sesuatu yang kamu yakini salah atau tanpa bukti yang memadai.”¹⁰ Prinsip ini menjamin integritas epistemik komunikasi. Namun dalam praktiknya, pelanggaran yang disengaja terhadap maksim ini sering menghasilkan makna implikatur seperti ironi atau sarkasme.¹¹ Misalnya, ketika seseorang melihat hujan deras dan berkata, “Hari ini benar-benar cuaca yang indah,” pendengar memahami makna implisit yang berlawanan dengan literalnya.¹²

·                     Maksim Relevansi (Relation):

Katakan sesuatu yang relevan.”¹³ Relevansi adalah inti komunikasi, karena ia menghubungkan ujaran dengan konteks percakapan.¹⁴ Pelanggaran terhadap maksim ini sering menjadi sumber utama implikatur percakapan; misalnya, jika seseorang menanyakan “Apakah kamu menyukai film itu?” dan dijawab “Sinematografinya menarik,” pendengar menyimpulkan bahwa penutur sebenarnya tidak menyukai film tersebut.¹⁵

·                     Maksim Cara (Manner):

Bersikaplah jelas, hindari ambiguitas, hindari kerumitan yang tidak perlu, dan aturlah ujaranmu secara teratur.”¹⁶ Maksim ini berhubungan dengan dimensi bentuk atau gaya penyampaian pesan. Pelanggaran terhadap maksim cara sering menimbulkan efek implikatur yang terkait dengan kesopanan, eufemisme, atau strategi menghindari konfrontasi langsung.¹⁷

Grice menegaskan bahwa keempat maksim ini bersifat rasional dan universal, meskipun penerapannya dapat bervariasi secara budaya.¹⁸ Prinsip ini bukanlah preskripsi moral, tetapi model inferensial untuk menjelaskan bagaimana manusia dapat memahami makna tersirat tanpa instruksi eksplisit.¹⁹

4.3.       Pelanggaran Maksim dan Munculnya Implikatur

Salah satu inovasi teoretis Grice yang paling berpengaruh adalah gagasannya bahwa pelanggaran terhadap maksim justru sering menjadi sumber munculnya makna baru yang lebih kaya dan kontekstual.²⁰ Dalam banyak kasus, penutur sengaja “melanggar” maksim bukan untuk menyesatkan pendengar, tetapi untuk mengundangnya melakukan inferensi tertentu.²¹

Misalnya, dalam situasi formal, seseorang yang mengatakan, “Dia sangat rajin datang ke kantor—setiap kali bos hadir,” tampak melanggar maksim kuantitas dan kualitas. Namun bagi pendengar yang cermat, pelanggaran tersebut menghasilkan implikatur ironis: bahwa orang yang dimaksud sebenarnya tidak rajin.²²

Grice membedakan antara pelanggaran yang disengaja (flouting) dan pelanggaran yang tidak disengaja (violating).²³ Pelanggaran yang disengaja bersifat komunikatif karena bertujuan memunculkan implikatur, sementara pelanggaran yang tidak disengaja menandakan kegagalan komunikasi.²⁴ Dengan demikian, kemampuan memahami implikatur merupakan indikator rasionalitas pragmatik manusia—yakni kemampuan untuk menafsirkan niat di balik penyimpangan formal.²⁵

4.4.       Kritik dan Pengembangan Prinsip Kooperatif

Meskipun teori Grice berpengaruh besar, sejumlah pemikir pasca-Gricean menganggap bahwa prinsip kooperatif terlalu normatif dan kurang memperhitungkan variasi sosial dan budaya dalam komunikasi.²⁶ Geoffrey Leech (1983), misalnya, mengembangkan Prinsip Kesantunan (Politeness Principle) untuk menjelaskan bahwa pelanggaran maksim sering kali dimotivasi oleh upaya menjaga hubungan sosial, bukan sekadar strategi inferensial.²⁷ Sementara itu, Dan Sperber dan Deirdre Wilson (1986) melalui Relevance Theory menolak gagasan empat maksim, dan menggantinya dengan satu prinsip tunggal: bahwa komunikasi selalu diarahkan untuk mencapai keseimbangan optimal antara relevansi dan beban kognitif.²⁸

Meskipun demikian, Prinsip Kooperatif Grice tetap menjadi kerangka teoritis fundamental yang memungkinkan studi pragmatik berkembang menjadi disiplin yang mandiri dan sistematis.²⁹ Ia membuka pemahaman baru bahwa makna bukan hanya fungsi dari struktur linguistik, tetapi juga hasil kolaborasi rasional antara pikiran manusia dalam konteks sosial.³⁰


Footnotes

[1]                H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 26–27.

[2]                Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 14–15.

[3]                H. Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 45.

[4]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 99–101.

[5]                Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 21–22.

[6]                Grice, “Logic and Conversation,” 46–47.

[7]                Levinson, Pragmatics, 102.

[8]                Grice, “Logic and Conversation,” 47.

[9]                Horn, A Natural History of Negation, 23.

[10]             Grice, “Logic and Conversation,” 48.

[11]             Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman, 1983), 60–62.

[12]             Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 61.

[13]             Grice, “Logic and Conversation,” 49.

[14]             Levinson, Pragmatics, 103.

[15]             Horn, A Natural History of Negation, 25.

[16]             Grice, “Logic and Conversation,” 50.

[17]             Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 2001), 80.

[18]             Levinson, Pragmatics, 104.

[19]             Grice, Studies in the Way of Words, 30.

[20]             Horn, A Natural History of Negation, 27.

[21]             Bach and Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts, 18–19.

[22]             Leech, Principles of Pragmatics, 64.

[23]             Grice, Studies in the Way of Words, 31.

[24]             Levinson, Pragmatics, 107.

[25]             Mey, Pragmatics: An Introduction, 83.

[26]             Horn and Gregory Ward, eds., The Handbook of Pragmatics (Oxford: Blackwell, 2004), 14–15.

[27]             Leech, Principles of Pragmatics, 81–83.

[28]             Sperber and Wilson, Relevance: Communication and Cognition, 63–64.

[29]             Mey, Pragmatics: An Introduction, 86.

[30]             Grice, Studies in the Way of Words, 33–34.


5.           Klasifikasi dan Tipologi Implikatur

5.1.       Dasar Konseptual Klasifikasi Implikatur

Teori Implikatur yang dikembangkan oleh H. Paul Grice tidak hanya memperkenalkan prinsip kooperatif dan maksim percakapan, tetapi juga mengajukan kerangka klasifikasi yang sistematis untuk memahami berbagai jenis makna tersirat yang muncul dalam komunikasi.¹ Klasifikasi ini penting karena memungkinkan para peneliti membedakan antara jenis-jenis implikatur berdasarkan mekanisme, ketergantungan konteks, dan derajat konvensionalitasnya.²

Grice sendiri mengidentifikasi dua bentuk utama implikatur, yaitu implikatur konvensional (conventional implicature) dan implikatur percakapan (conversational implicature).³ Pembagian ini menjadi fondasi bagi seluruh tradisi pragmatik modern, karena menjelaskan perbedaan antara makna yang muncul akibat aturan bahasa dan makna yang dihasilkan melalui interaksi sosial dalam konteks komunikasi.⁴

5.2.       Implikatur Konvensional (Conventional Implicature)

Implikatur konvensional adalah jenis implikatur yang melekat secara konvensional pada makna leksikal atau struktur sintaktik tertentu, sehingga maknanya tidak bergantung pada konteks atau niat penutur.⁵ Dengan kata lain, makna tersirat muncul karena aturan bahasa itu sendiri, bukan karena inferensi pragmatis pendengar.

Sebagai contoh, dalam kalimat: “Ia miskin tetapi bahagia,” kata “tetapi” (but) tidak hanya berfungsi menghubungkan dua proposisi, tetapi juga menimbulkan implikatur bahwa ada kontras atau pertentangan antara kemiskinan dan kebahagiaan.⁶ Makna “kontras” tersebut tidak dapat dihapus tanpa mengubah makna keseluruhan kalimat, sehingga bersifat konvensional.⁷

Implikatur jenis ini telah dibahas secara mendalam oleh para linguis pasca-Grice, seperti Stephen Levinson dan Laurence Horn, yang menekankan bahwa makna konvensional sering kali berperan dalam pembentukan nuansa semantis yang bersifat tetap dalam sistem bahasa.⁸ Levinson menyebutnya sebagai semantically encoded implicature, yang berfungsi sebagai “lapisan makna” tambahan pada proposisi literal.⁹

Dengan demikian, implikatur konvensional bersifat non-kontekstual, stabil, dan melekat pada ekspresi linguistik tertentu, menjadikannya entitas semantik-pragmatik yang berada di perbatasan antara makna literal dan implisit.¹⁰

5.3.       Implikatur Percakapan (Conversational Implicature)

Berbeda dengan jenis sebelumnya, implikatur percakapan merupakan makna yang muncul dari konteks komunikasi dan hasil inferensi berdasarkan prinsip kooperatif.¹¹ Grice menjelaskan bahwa implikatur percakapan terbentuk ketika penutur secara sadar melanggar salah satu maksim percakapan, sehingga pendengar dituntut melakukan inferensi untuk menemukan makna tersirat di balik pelanggaran itu.¹²

Contohnya, ketika seseorang berkata, “Beberapa mahasiswa hadir dalam seminar,” pendengar dapat mengimplikasikan bahwa tidak semua mahasiswa hadir, meskipun kalimat itu tidak menyatakan hal tersebut secara eksplisit.¹³ Pelanggaran terhadap maksim kuantitas (tidak memberikan informasi selengkapnya) menimbulkan inferensi semacam itu.

Implikatur percakapan memiliki tiga ciri utama:

1)                  Dapat dibatalkan (cancellable) – penutur dapat menambahkan keterangan yang meniadakan implikatur tanpa menimbulkan kontradiksi, misalnya, *“Beberapa mahasiswa hadir, bahkan semua hadir.”*¹⁴

2)                  Dapat digeneralisasi (non-detachable) – makna tersirat tidak tergantung pada bentuk kata tertentu, tetapi pada konteks dan inferensi.¹⁵

3)                  Bersifat inferensial dan kontekstual – maknanya tergantung pada kemampuan penutur dan pendengar dalam berbagi pengetahuan dan asumsi rasional.¹⁶

5.4.       Implikatur Umum dan Implikatur Khusus

Dalam perkembangan selanjutnya, Grice dan para penerusnya membedakan implikatur percakapan umum (generalized conversational implicature) dan implikatur percakapan khusus (particularized conversational implicature).¹⁷

·                     Implikatur Umum (Generalized Conversational Implicature, GCI)

Adalah implikatur yang muncul tanpa memerlukan konteks khusus karena dihasilkan oleh pola kebiasaan dalam komunikasi.¹⁸ Misalnya, ungkapan “John ate some of the cookies” secara umum mengimplikasikan bahwa John tidak memakan semua kue, meskipun tanpa konteks tambahan.¹⁹ Horn menyebut fenomena ini sebagai scalar implicature—yaitu inferensi yang muncul karena adanya skala semantik (beberapa → sebagian → semua).²⁰

·                     Implikatur Khusus (Particularized Conversational Implicature, PCI)

Adalah implikatur yang hanya dapat dipahami dalam konteks tertentu, karena maknanya bergantung pada situasi, hubungan sosial, atau latar pembicaraan.²¹ Misalnya, dalam percakapan:

A: “Apakah kamu akan ke rapat nanti?”

B: “Aku harus mengantar ibu ke rumah sakit.”

Implikatur dari jawaban B bukanlah sekadar pernyataan faktual, tetapi maksud tersirat bahwa ia tidak dapat hadir dalam rapat.²²

Kedua jenis implikatur ini menunjukkan gradasi antara makna yang bersifat kebiasaan linguistik (umum) dan makna yang bersifat situasional (khusus), memperlihatkan fleksibilitas teori Grice dalam menangkap dinamika komunikasi nyata.²³

5.5.       Implikatur dan Presuposisi: Batas Ontologis

Meskipun sering kali disamakan, implikatur berbeda secara ontologis dari presuposisi.²⁴ Presuposisi adalah makna yang diasumsikan benar agar ujaran bermakna (misalnya, kalimat “Raja Prancis botak” mempresuposisikan bahwa ada raja Prancis), sementara implikatur adalah makna tambahan yang disimpulkan dari konteks.²⁵ Perbedaan ini penting karena menjelaskan dua jenis “ketidaklangsungan” dalam bahasa: yang satu bersifat semantik-struktural, dan yang lain bersifat pragmatik-inferensial.²⁶


Footnotes

[1]                H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 30–32.

[2]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 100–101.

[3]                H. Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 44–45.

[4]                Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 19–20.

[5]                Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 21–22.

[6]                Grice, Studies in the Way of Words, 33.

[7]                Levinson, Pragmatics, 103.

[8]                Horn, A Natural History of Negation, 25–26.

[9]                Stephen C. Levinson, “Conversational Implicature,” in The Handbook of Pragmatics, ed. Laurence R. Horn and Gregory Ward (Oxford: Blackwell, 2004), 19–21.

[10]             Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 2001), 78.

[11]             Grice, “Logic and Conversation,” 46.

[12]             Grice, Studies in the Way of Words, 35.

[13]             Levinson, Pragmatics, 106.

[14]             Horn, A Natural History of Negation, 29.

[15]             Bach and Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts, 23.

[16]             Mey, Pragmatics: An Introduction, 81–82.

[17]             Laurence R. Horn and Gregory Ward, eds., The Handbook of Pragmatics (Oxford: Blackwell, 2004), 25–27.

[18]             Levinson, Pragmatics, 108.

[19]             Horn, A Natural History of Negation, 33–34.

[20]             Laurence R. Horn, “Toward a New Taxonomy for Pragmatic Inference: Q- and R-Based Implicature,” in Meaning, Form, and Use in Context: Linguistic Applications, ed. Deborah Schiffrin (Washington, DC: Georgetown University Press, 1984), 11–13.

[21]             Levinson, Pragmatics, 110.

[22]             Mey, Pragmatics: An Introduction, 83.

[23]             Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 67–69.

[24]             Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman, 1983), 78.

[25]             Stephen C. Levinson, Presupposition and Conversational Implicature (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 15–16.

[26]             Horn, A Natural History of Negation, 38–39.


6.           Epistemologi dan Mekanisme Inferensial

6.1.       Epistemologi dalam Teori Implikatur: Rasionalitas sebagai Dasar Pengetahuan Pragmatik

Dalam Teori Implikatur, epistemologi memainkan peran sentral karena seluruh proses pemaknaan bergantung pada rasionalitas inferensial antara penutur dan pendengar.¹ Berbeda dengan epistemologi semantik yang memandang makna sebagai hasil hubungan langsung antara tanda dan referensi, epistemologi pragmatik berfokus pada bagaimana pengetahuan digunakan, diasumsikan, dan disimpulkan dalam konteks komunikasi.² Grice menegaskan bahwa komunikasi yang efektif hanya mungkin terjadi jika para partisipan memiliki shared background knowledge—yakni seperangkat keyakinan, asumsi, dan informasi yang diyakini bersama.³

Dalam kerangka ini, memahami makna tersirat bukan sekadar proses linguistik, tetapi juga proses epistemik. Pendengar tidak hanya mendekode kalimat, melainkan melakukan penalaran terhadap niat penutur berdasarkan bukti kontekstual.⁴ Oleh karena itu, Grice menempatkan komunikasi sebagai bentuk rasionalitas praktis, di mana setiap tindakan ujaran mengandaikan pengetahuan bersama (common ground) dan prinsip kerja sama logis.⁵

Rasionalitas ini bukan rasionalitas formal seperti dalam logika deduktif, melainkan rasionalitas inferensial—suatu bentuk pengetahuan yang bersifat context-dependent dan probabilistik.⁶ Dengan demikian, epistemologi Teori Implikatur menolak pandangan deterministik terhadap makna dan menggantikannya dengan model pengetahuan yang dinamis, kooperatif, dan terbuka terhadap interpretasi.⁷

6.2.       Proses Inferensi Pragmatik: Dari Ujaran ke Makna

Teori Implikatur menggambarkan komunikasi sebagai proses inferensial—yakni penarikan kesimpulan makna berdasarkan tanda-tanda linguistik, konteks, dan prinsip rasional.⁸ Ketika penutur menyampaikan ujaran, pendengar tidak hanya menerima proposisi literal, tetapi juga melakukan proses deduksi pragmatik untuk menafsirkan apa yang sebenarnya dimaksud.⁹

Menurut Grice, mekanisme inferensi ini bekerja melalui tiga tahap utama:

1)                  Pengenalan Pelanggaran Maksim

Pendengar menyadari bahwa ujaran penutur tampak melanggar salah satu maksim percakapan (misalnya, maksim relevansi atau kuantitas).¹⁰

2)                  Asumsi tentang Rasionalitas Penutur

Pendengar berasumsi bahwa penutur tetap rasional dan kooperatif, sehingga pelanggaran tersebut pasti memiliki maksud tersembunyi.¹¹

3)                  Inferensi Makna Tersirat

Berdasarkan konteks dan pengetahuan bersama, pendengar menarik kesimpulan mengenai maksud sebenarnya penutur.¹²

Sebagai contoh, jika seseorang berkata, “Kopi di sini sangat kuat,” setelah meminumnya dengan ekspresi terkejut, pendengar dapat menyimpulkan bahwa maknanya bukan sekadar deskripsi literal, tetapi mungkin kritik halus terhadap rasa kopi yang terlalu pahit atau pekat.¹³ Mekanisme seperti ini menunjukkan bahwa komunikasi manusia bekerja melalui inferensi abduktif, bukan sekadar deduksi logis.¹⁴

6.3.       Inferensi dan Teori Relevansi: Dari Kooperasi ke Kognisi

Dalam perkembangan teori pasca-Gricean, Dan Sperber dan Deirdre Wilson mengembangkan Relevance Theory (1986) yang menekankan dimensi kognitif dan epistemik dari inferensi pragmatik.¹⁵ Mereka mengusulkan bahwa manusia secara alami terdorong untuk mencari makna yang paling relevan dengan biaya pemrosesan mental yang minimal.¹⁶ Prinsip relevansi ini memperluas epistemologi implikatur dari domain sosial menjadi domain psikologis, dengan menyatakan bahwa komunikasi adalah proses inferensial yang dituntun oleh mekanisme kognitif universal.¹⁷

Dalam teori ini, inferensi dipahami sebagai ostensive-inferential communication, yaitu komunikasi yang didasarkan pada dua hal: penutur memberi isyarat (ostension) dan pendengar melakukan inferensi untuk menafsirkan maksud isyarat tersebut.¹⁸ Pendengar, dengan asumsi bahwa penutur bertujuan untuk berkomunikasi secara relevan, menggunakan konteks pengetahuan yang tersedia untuk menafsirkan makna tersirat.¹⁹

Dengan demikian, epistemologi implikatur mengalami transformasi: dari model normatif yang menekankan kerja sama linguistik menuju model kognitif-probabilistik yang menekankan pemrosesan informasi dan relevansi mental.²⁰

6.4.       Pengetahuan Bersama dan Rasionalitas Komunikatif

Kunci dari epistemologi Teori Implikatur terletak pada konsep pengetahuan bersama (common ground) yang menjadi basis bagi inferensi makna.²¹ Konsep ini dijelaskan oleh Herbert Clark sebagai struktur pengetahuan yang dibentuk dan dipelihara selama interaksi komunikatif.²² Baik penutur maupun pendengar harus memiliki asumsi bersama agar inferensi dapat dilakukan secara tepat.²³

Dari perspektif filsafat komunikasi, konsep ini memiliki kesamaan dengan gagasan Jürgen Habermas tentang rasionalitas komunikatif, di mana komunikasi yang efektif selalu bertumpu pada klaim kebenaran, ketepatan, dan kejujuran yang dapat diuji secara intersubjektif.²⁴ Dengan demikian, inferensi dalam komunikasi bukan hanya aktivitas mental individual, tetapi juga bentuk penalaran sosial yang melibatkan komitmen terhadap norma kejujuran dan transparansi makna.²⁵

6.5.       Implikasi Epistemologis: Makna sebagai Inferensi Rasional

Dari keseluruhan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam Teori Implikatur, makna adalah hasil dari inferensi epistemik yang kooperatif dan rasional.²⁶ Ia tidak hadir secara langsung dalam ujaran, melainkan dibangun melalui proses pemaknaan yang melibatkan logika sosial, asumsi bersama, dan pengetahuan kontekstual.²⁷

Dengan demikian, epistemologi implikatur menegaskan bahwa komunikasi manusia adalah bentuk pengetahuan praktis (practical knowledge), di mana rasionalitas tidak dipahami sebagai kalkulasi formal, tetapi sebagai kemampuan untuk memahami maksud orang lain melalui konteks sosial dan moral komunikasi.²⁸ Implikatur bukan hanya mekanisme linguistik, tetapi ekspresi dari struktur epistemik manusia sebagai makhluk yang berpikir, menafsir, dan bekerja sama melalui bahasa.²⁹


Footnotes

[1]                H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 26–28.

[2]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 102–103.

[3]                Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 45.

[4]                Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 19–21.

[5]                Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 25.

[6]                Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 63–65.

[7]                Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 2001), 81–82.

[8]                Grice, Studies in the Way of Words, 29–30.

[9]                Levinson, Pragmatics, 105.

[10]             Grice, “Logic and Conversation,” 46–47.

[11]             Horn, A Natural History of Negation, 28–29.

[12]             Levinson, Pragmatics, 107–108.

[13]             Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman, 1983), 65.

[14]             Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, Vol. 5, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1931), 171–172.

[15]             Sperber and Wilson, Relevance: Communication and Cognition, 60–62.

[16]             Deirdre Wilson and Dan Sperber, “Relevance Theory,” in The Handbook of Pragmatics, ed. Laurence R. Horn and Gregory Ward (Oxford: Blackwell, 2004), 607–609.

[17]             Sperber and Wilson, Relevance: Communication and Cognition, 70–71.

[18]             Wilson and Sperber, “Relevance Theory,” 615.

[19]             Mey, Pragmatics: An Introduction, 85.

[20]             Horn and Gregory Ward, eds., The Handbook of Pragmatics (Oxford: Blackwell, 2004), 19–20.

[21]             Herbert H. Clark, Using Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 92–93.

[22]             Clark, Using Language, 95–96.

[23]             Levinson, Pragmatics, 109.

[24]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–87.

[25]             Habermas, The Theory of Communicative Action, 88.

[26]             Grice, Studies in the Way of Words, 32–33.

[27]             Horn, A Natural History of Negation, 35.

[28]             Mey, Pragmatics: An Introduction, 87–88.

[29]             Levinson, Pragmatics, 111.


7.           Aplikasi Teori Implikatur dalam Linguistik dan Komunikasi

7.1.       Implikatur dalam Analisis Wacana dan Percakapan Sehari-hari

Teori Implikatur memainkan peran penting dalam studi analisis wacana karena menyediakan kerangka konseptual untuk memahami bagaimana makna tersirat terbentuk dalam interaksi bahasa alami.¹ Dalam percakapan sehari-hari, makna tidak selalu dinyatakan secara eksplisit; penutur sering kali mengandalkan shared context dan mutual knowledge agar pendengar dapat menafsirkan maksud sebenarnya.²

Sebagai contoh, dalam percakapan berikut:

A: “Apakah kamu sudah menyelesaikan laporan itu?”

B: “Saya baru saja menyiapkan kopi.”

Meskipun jawaban B tampak tidak relevan secara literal, pendengar dapat menafsirkan implikatur bahwa laporan tersebut belum selesai, dan B sedang bersiap untuk memulainya

Fenomena semacam ini memperlihatkan bahwa pemahaman bahasa manusia tidak hanya melibatkan dekode semantik, tetapi juga proses inferensi pragmatik yang kompleks.⁴ Dalam konteks ini, teori Grice membantu menjelaskan mekanisme makna implisit yang bekerja di balik tindak tutur sehari-hari—bagaimana pelanggaran terhadap maksim kooperatif justru menghasilkan komunikasi yang lebih kaya dan ekspresif.⁵

Dalam penelitian analisis wacana modern, pendekatan Gricean telah diterapkan untuk meneliti berbagai genre komunikasi, seperti wawancara, percakapan daring, atau komunikasi antarbudaya.⁶ Melalui teori implikatur, para linguis dapat mengidentifikasi hubungan antara what is said, what is implicated, dan what is understood dalam situasi komunikatif yang berbeda.⁷

7.2.       Aplikasi dalam Kajian Sastra dan Stilistika

Dalam dunia sastra dan stilistika, Teori Implikatur berfungsi sebagai alat untuk menyingkap lapisan makna estetis dan ideologis yang tersembunyi di balik teks.⁸ Bahasa sastra sering kali beroperasi dengan cara “melanggar” maksim Gricean untuk menciptakan efek simbolik, ironi, ambiguitas, atau ketegangan makna.⁹

Sebagai contoh, dalam karya-karya Franz Kafka atau Albert Camus, pelanggaran terhadap maksim relevansi atau kualitas bukanlah kesalahan komunikasi, melainkan strategi untuk mengundang pembaca melakukan interpretasi eksistensial.¹⁰ Demikian pula dalam puisi modern, penggunaan implikatur menjadi sarana untuk mengekspresikan makna transendental melalui keheningan atau kesengajaan ambiguitas.¹¹

Dalam konteks ini, pembaca berperan sebagai “pendengar ideal” yang menafsirkan makna tersirat berdasarkan konteks naratif dan konvensi estetika.¹² Teori Implikatur memungkinkan analisis sastra bergerak dari deskripsi linguistik menuju pemahaman hermeneutis—bagaimana teks “berbicara” lebih dari apa yang tertulis secara literal.¹³

7.3.       Implikatur dalam Komunikasi Digital dan Media Sosial

Era digital telah memperluas ruang penerapan Teori Implikatur ke dalam studi komunikasi daring dan media sosial, di mana bentuk ujaran sering kali singkat, multimodal, dan implisit.¹⁴ Dalam interaksi digital seperti Twitter, WhatsApp, atau meme internet, pengguna kerap mengandalkan simbol, emoji, atau sarkasme yang hanya dapat dimaknai melalui inferensi pragmatik.¹⁵

Sebagai contoh, sebuah unggahan Twitter berbunyi, “Hebat, sinyal internet cepat sekali hari ini 🙄, mengandung implikatur yang jelas berlawanan dengan makna literalnya: keluhan tentang lambatnya koneksi.¹⁶ Dalam kasus lain, penggunaan emoji 😂 setelah pernyataan ironis berfungsi sebagai pragmatic marker yang membantu pendengar atau pembaca memahami maksud tersirat.¹⁷

Kajian kontemporer dalam digital pragmatics menunjukkan bahwa pelanggaran maksim dalam komunikasi daring sering kali memiliki fungsi sosial, seperti menciptakan humor, mengelola identitas, atau memperkuat solidaritas kelompok.¹⁸ Dengan demikian, teori implikatur tetap relevan dalam menjelaskan dinamika komunikasi di ruang virtual, karena ia beradaptasi dengan fenomena multimodal dan konteks budaya digital.¹⁹

7.4.       Implikatur dalam Komunikasi Interkultural

Dalam konteks komunikasi antarbudaya, teori implikatur menjadi alat penting untuk memahami kesalahpahaman yang timbul akibat perbedaan norma pragmatik antar masyarakat.²⁰ Misalnya, dalam budaya Barat, komunikasi langsung sering dianggap sebagai bentuk kejujuran, sementara dalam budaya Timur, indirectness justru dianggap sebagai tanda kesopanan dan penghormatan.²¹

Sebagai contoh, respon “mungkin nanti” dari seorang penutur Jepang terhadap ajakan bisa mengimplikasikan penolakan halus, sedangkan bagi pendengar dari budaya Barat dapat disalahpahami sebagai persetujuan tentatif.²² Dalam konteks ini, makna implikatur sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial dan sistem etika komunikasi suatu budaya.²³

Pendekatan pragmatik lintas budaya seperti yang dikembangkan oleh Gabriele Kasper dan Shoshana Blum-Kulka menegaskan bahwa pelanggaran maksim tidak selalu berarti ketidakkooperatifan, melainkan mencerminkan strategi budaya tertentu dalam menjaga harmoni sosial.²⁴ Oleh karena itu, pemahaman terhadap implikatur lintas budaya menjadi krusial bagi diplomasi, penerjemahan, dan komunikasi antarbangsa.²⁵

7.5.       Relevansi dalam Linguistik Terapan dan Pembelajaran Bahasa

Dalam bidang linguistik terapan, terutama dalam pengajaran bahasa kedua (L2), teori implikatur digunakan untuk mengajarkan kompetensi pragmatik—yakni kemampuan memahami dan menggunakan makna tersirat secara tepat.²⁶ Banyak penutur asing mengalami kesulitan dalam menafsirkan implikatur, karena makna tidak selalu dapat diterjemahkan secara literal antarbahasa.²⁷

Sebagai contoh, pembelajar bahasa Inggris mungkin gagal memahami ironi dalam ujaran seperti “Nice weather, isn’t it?” ketika diucapkan saat badai, karena mereka mengandalkan makna literal, bukan inferensi pragmatik.²⁸ Oleh sebab itu, pengajaran bahasa modern menekankan pentingnya contextualized learning dan analisis implikatur agar siswa dapat mengembangkan kemampuan komunikasi yang lebih alami.²⁹

Selain itu, penelitian dalam pragmatic competence menunjukkan bahwa keberhasilan komunikasi antarbahasa tidak hanya tergantung pada tata bahasa, tetapi juga pada kemampuan mengenali maksud tersirat.³⁰ Dengan demikian, teori implikatur berfungsi sebagai jembatan antara teori linguistik murni dan praktik komunikasi antarbudaya.³¹


Footnotes

[1]                H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 28–29.

[2]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 97–99.

[3]                Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 23–24.

[4]                Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 21–22.

[5]                Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 46–47.

[6]                Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 2001), 88.

[7]                Levinson, Pragmatics, 102–103.

[8]                Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman, 1983), 79.

[9]                H. Paul Grice, Studies in the Way of Words, 33.

[10]             John Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 55–57.

[11]             Roland Barthes, The Pleasure of the Text, trans. Richard Miller (New York: Hill and Wang, 1975), 42.

[12]             Umberto Eco, The Role of the Reader: Explorations in the Semiotics of Texts (Bloomington: Indiana University Press, 1979), 58–60.

[13]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 113–115.

[14]             Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 68–70.

[15]             Crispin Thurlow and Kristine Mroczek, eds., Digital Discourse: Language in the New Media (Oxford: Oxford University Press, 2011), 130.

[16]             ibid., 132.

[17]             Zappavigna, Michele, Discourse of Twitter and Social Media (London: Bloomsbury, 2012), 75–76.

[18]             Mey, Pragmatics: An Introduction, 91–92.

[19]             Thurlow and Mroczek, Digital Discourse, 135–137.

[20]             Shoshana Blum-Kulka, Juliane House, and Gabriele Kasper, eds., Cross-Cultural Pragmatics: Requests and Apologies (Norwood, NJ: Ablex, 1989), 2–3.

[21]             Edward T. Hall, Beyond Culture (New York: Anchor Books, 1976), 94–95.

[22]             Blum-Kulka et al., Cross-Cultural Pragmatics, 6.

[23]             Gabriele Kasper and Shoshana Blum-Kulka, Interlanguage Pragmatics (Oxford: Oxford University Press, 1993), 49–50.

[24]             ibid., 52.

[25]             Anna Wierzbicka, Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of Human Interaction (Berlin: Mouton de Gruyter, 1991), 110–111.

[26]             Kasper and Blum-Kulka, Interlanguage Pragmatics, 55–57.

[27]             Levinson, Pragmatics, 108.

[28]             Geoffrey N. Leech and Michael Short, Style in Fiction: A Linguistic Introduction to English Fictional Prose (London: Longman, 1981), 125.

[29]             Mey, Pragmatics: An Introduction, 95–96.

[30]             Kasper and Blum-Kulka, Interlanguage Pragmatics, 59.

[31]             Horn and Gregory Ward, eds., The Handbook of Pragmatics (Oxford: Blackwell, 2004), 22–23.


8.           Kritik terhadap Teori Implikatur

8.1.       Keterbatasan Prinsip Kooperatif dan Asumsi Rasionalitas

Meskipun Teori Implikatur H. P. Grice memiliki pengaruh yang luas dalam pragmatik modern, berbagai kritik muncul terhadap asumsi rasionalitas universal yang menjadi fondasi teori ini.¹ Grice beranggapan bahwa semua partisipan dalam percakapan beroperasi di bawah Prinsip Kooperatif (Cooperative Principle)—yakni asumsi bahwa setiap penutur berupaya untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan komunikasi bersama.² Namun, asumsi ini dianggap terlalu normatif dan tidak selalu sesuai dengan kenyataan sosial komunikasi, yang sering kali bersifat konflik, manipulatif, atau strategis.³

Sebagai contoh, dalam wacana politik, propaganda, atau debat publik, pelanggaran terhadap prinsip kooperatif bukanlah penyimpangan, melainkan strategi retorik untuk membingkai makna.⁴ Dalam konteks ini, teori Grice sulit menjelaskan komunikasi yang tidak bertujuan untuk berbagi informasi, melainkan untuk mempengaruhi atau mendominasi pendengar.⁵ Jacob Mey menilai bahwa teori Grice terlalu “naif secara sosial” karena mengabaikan dimensi kekuasaan dan ideologi dalam komunikasi.⁶

Selain itu, konsep rasionalitas dalam teori Grice dianggap terlalu kognitif dan individualistik, sehingga tidak memperhitungkan variasi budaya atau faktor afektif yang membentuk makna komunikasi.⁷ Dengan demikian, prinsip kooperatif lebih cocok diterapkan dalam konteks percakapan ideal—bukan pada wacana sosial yang kompleks dan penuh asimetri kekuasaan.⁸

8.2.       Kritik dari Perspektif Teori Relevansi

Kritik paling berpengaruh terhadap Teori Implikatur datang dari Dan Sperber dan Deirdre Wilson, yang mengembangkan Teori Relevansi (Relevance Theory) pada 1986.⁹ Mereka menolak empat maksim Gricean sebagai perangkat inferensi universal dan mengusulkan bahwa seluruh komunikasi dapat dijelaskan hanya dengan satu prinsip tunggal: prinsip relevansi.¹⁰ Menurut mereka, manusia secara alami mencari makna yang paling relevan dengan effort of processing (upaya kognitif) terendah dan contextual effect (hasil interpretatif) tertinggi.¹¹

Dalam kerangka ini, inferensi pragmatik bukanlah hasil penerapan aturan sosial seperti maksim, tetapi hasil dari mekanisme kognitif universal yang mengatur perhatian dan pemrosesan informasi.¹² Dengan demikian, Relevance Theory menolak pendekatan normatif dan menggantinya dengan pendekatan psikologis.¹³

Kritik ini menyoroti kelemahan epistemologis teori Grice yang terlalu bergantung pada “aturan percakapan,” padahal dalam praktiknya manusia jarang secara sadar mengikuti aturan-aturan tersebut.¹⁴ Sperber dan Wilson menegaskan bahwa komunikasi tidak memerlukan kesepakatan eksplisit atas maksim, tetapi cukup dengan kesadaran bersama akan relevansi konteks.¹⁵ Dengan kata lain, relevansi menggantikan kooperasi sebagai prinsip dasar komunikasi manusia.¹⁶

8.3.       Kritik dari Perspektif Sosial dan Budaya

Selain kritik kognitif, teori Grice juga dikritik karena bias budaya Barat yang melekat pada konsep kooperatif dan kejelasan ekspresifnya.¹⁷ Dalam banyak budaya Timur, misalnya Jepang, Cina, dan Indonesia, komunikasi tidak selalu diarahkan pada efisiensi informatif, melainkan pada kesopanan, keharmonisan sosial, dan penghindaran konfrontasi.¹⁸

Gabriele Kasper dan Shoshana Blum-Kulka menunjukkan bahwa dalam budaya dengan orientasi kolektivistik, pelanggaran terhadap maksim Grice sering kali dilakukan untuk menjaga wajah (face-saving) atau menghormati hierarki sosial.¹⁹ Dalam konteks ini, pelanggaran bukan tanda ketidakkooperatifan, melainkan strategi kesopanan.²⁰ Oleh karena itu, penerapan teori Grice secara universal dianggap problematis karena tidak memperhitungkan variasi pragmatik lintas budaya.²¹

Edward T. Hall dan Anna Wierzbicka menambahkan bahwa budaya ber-konteks tinggi (high-context culture) mengandalkan makna implisit lebih daripada budaya ber-konteks rendah (low-context culture).²² Hal ini berarti prinsip kooperatif Grice yang menuntut eksplisitasi informasi tidak selalu sesuai dengan sistem komunikasi non-Barat.²³ Dengan demikian, teori Grice perlu dilengkapi dengan pendekatan etnografi komunikasi yang memperhatikan konteks sosial dan budaya.²⁴

8.4.       Kritik dari Perspektif Linguistik Kognitif dan Neuropragmatik

Perkembangan linguistik kognitif dan neuropragmatik juga memberikan tantangan baru terhadap Teori Implikatur.²⁵ Teori Grice bersandar pada model rasional dan reflektif dari penutur, seolah-olah setiap makna tersirat selalu dihasilkan secara sadar dan logis.²⁶ Namun, penelitian neurolinguistik modern menunjukkan bahwa pemrosesan implikatur dalam otak terjadi secara otomatis dan cepat, bukan melalui penalaran logis yang eksplisit.²⁷

Penelitian oleh Raymond W. Gibbs dan Deirdre Wilson menunjukkan bahwa otak manusia menggunakan heuristik pragmatik—yakni mekanisme kognitif intuitif untuk mengenali maksud penutur tanpa perlu mengaktifkan seluruh aturan inferensial.²⁸ Oleh karena itu, teori Grice dianggap terlalu formal dan tidak selaras dengan bukti empiris tentang pemrosesan makna tersirat.²⁹

Selain itu, teori ini tidak menjelaskan bagaimana anak-anak atau pembelajar bahasa kedua (L2) mengembangkan kemampuan memahami implikatur.³⁰ Studi psikolinguistik menunjukkan bahwa kemampuan ini muncul secara bertahap melalui pengalaman sosial, bukan karena pengetahuan eksplisit terhadap maksim.³¹ Hal ini memperkuat argumen bahwa teori Grice lebih bersifat idealistik daripada deskriptif.³²

8.5.       Kritik Konseptual: Ambiguitas antara Semantik dan Pragmatik

Kritik terakhir berhubungan dengan batas konseptual antara semantik dan pragmatik dalam teori Grice.³³ Sejumlah linguis, termasuk François Recanati dan Kent Bach, berpendapat bahwa garis pemisah antara what is said dan what is meant dalam teori Grice tidak selalu jelas.³⁴ Dalam praktik komunikasi, banyak ujaran yang mengandung makna campuran—sebagian literal, sebagian implisit—yang tidak mudah dikategorikan secara tegas.³⁵

Sebagai contoh, kalimat “Saya sudah makan” bisa berarti penolakan halus terhadap tawaran makanan, yang sulit diklasifikasikan apakah termasuk makna literal atau implikatur.³⁶ Fenomena semacam ini menunjukkan bahwa teori Grice membutuhkan revisi agar lebih mampu menjelaskan gradient meaning yang bersifat dinamis dan kontekstual.³⁷

Dengan demikian, kritik ini menyoroti kebutuhan untuk memahami makna bukan sebagai entitas dua lapis (eksplisit dan implisit), melainkan sebagai kontinuum interpretatif yang terbentuk melalui interaksi antara struktur linguistik, niat, dan konteks.³⁸


Footnotes

[1]                H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 30–32.

[2]                H. Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 45.

[3]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 102–104.

[4]                Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 2001), 84–85.

[5]                Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman, 1983), 75.

[6]                Mey, Pragmatics: An Introduction, 86.

[7]                Levinson, Pragmatics, 107.

[8]                Mey, Pragmatics: An Introduction, 89.

[9]                Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 60–61.

[10]             Deirdre Wilson and Dan Sperber, “Relevance Theory,” in The Handbook of Pragmatics, ed. Laurence R. Horn and Gregory Ward (Oxford: Blackwell, 2004), 607–609.

[11]             Sperber and Wilson, Relevance: Communication and Cognition, 63–65.

[12]             ibid., 67.

[13]             Wilson and Sperber, “Relevance Theory,” 611–613.

[14]             Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 31–32.

[15]             Sperber and Wilson, Relevance: Communication and Cognition, 70–71.

[16]             ibid., 75.

[17]             Edward T. Hall, Beyond Culture (New York: Anchor Books, 1976), 93–95.

[18]             Anna Wierzbicka, Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of Human Interaction (Berlin: Mouton de Gruyter, 1991), 108–110.

[19]             Shoshana Blum-Kulka, Juliane House, and Gabriele Kasper, eds., Cross-Cultural Pragmatics: Requests and Apologies (Norwood, NJ: Ablex, 1989), 6–8.

[20]             ibid., 10.

[21]             Gabriele Kasper and Shoshana Blum-Kulka, Interlanguage Pragmatics (Oxford: Oxford University Press, 1993), 48–49.

[22]             Hall, Beyond Culture, 98–99.

[23]             Wierzbicka, Cross-Cultural Pragmatics, 112.

[24]             Mey, Pragmatics: An Introduction, 91–92.

[25]             Raymond W. Gibbs Jr., Intentions in the Experience of Meaning (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 55–57.

[26]             ibid., 63.

[27]             Deirdre Wilson and Tim Wharton, “Relevance and Prosody,” in The Handbook of Pragmatics, ed. Horn and Ward (Oxford: Blackwell, 2004), 411–412.

[28]             Gibbs, Intentions in the Experience of Meaning, 78–79.

[29]             ibid., 82.

[30]             Kasper and Blum-Kulka, Interlanguage Pragmatics, 53–54.

[31]             Blum-Kulka et al., Cross-Cultural Pragmatics, 12.

[32]             Horn, A Natural History of Negation, 37.

[33]             Kent Bach, Conversational Impliciture (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 6–7.

[34]             François Recanati, Literal Meaning (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 21–22.

[35]             Bach, Conversational Impliciture, 10.

[36]             Levinson, Pragmatics, 111.

[37]             Recanati, Literal Meaning, 30.

[38]             Bach, Conversational Impliciture, 12–13.


9.           Relevansi dan Pengembangan Kontemporer

9.1.       Relevansi Teori Implikatur dalam Linguistik dan Filsafat Bahasa Modern

Sejak diperkenalkan oleh H. P. Grice pada tahun 1975, Teori Implikatur tetap menjadi salah satu pilar utama dalam studi pragmatik dan filsafat bahasa modern.¹ Relevansinya bertahan karena teori ini tidak hanya menjelaskan cara manusia menggunakan bahasa untuk menyampaikan informasi, tetapi juga bagaimana bahasa berfungsi sebagai alat rasional untuk membangun relasi sosial dan epistemik.² Grice membuka jalan bagi pemahaman baru bahwa komunikasi manusia tidak bisa dipahami secara semata semantik, melainkan harus melalui interaksi antara makna, konteks, dan niat komunikatif

Dalam linguistik kontemporer, teori ini terus menjadi dasar bagi analisis wacana, semantik-pragmatik, serta kajian makna implisit dalam berbagai bentuk komunikasi.⁴ Para linguis seperti Stephen C. Levinson dan Laurence Horn memperluas teori Grice dengan memperkenalkan pendekatan Neo-Gricean Pragmatics, yang berfokus pada prinsip ekonomi komunikasi dan scalar implicature.⁵ Pendekatan ini menjelaskan bahwa makna tersirat sering muncul karena penutur memilih bentuk ekspresi yang “ekonomis” namun tetap dapat dipahami secara inferensial oleh pendengar.⁶

Selain itu, teori implikatur juga menjadi landasan bagi kajian pragmatik lintas bahasa, membantu menjelaskan bagaimana berbagai komunitas linguistik mengelola prinsip kooperatif secara berbeda.⁷ Dengan demikian, teori Grice tidak hanya memiliki nilai historis, tetapi juga menjadi kerangka konseptual yang terus digunakan untuk memahami dinamika komunikasi manusia di era global.⁸

9.2.       Pengaruh dalam Kajian Kognitif dan Relevansi Kognitif

Salah satu pengembangan paling signifikan dari teori Grice muncul melalui Teori Relevansi (Relevance Theory) yang dikembangkan oleh Dan Sperber dan Deirdre Wilson.⁹ Mereka mengadaptasi ide dasar Grice tentang inferensi pragmatik dan menggantikan empat maksim dengan satu prinsip tunggal—the Principle of Relevance.¹⁰ Menurut mereka, setiap tindakan komunikasi mengasumsikan bahwa pesan yang dikirim penutur adalah relevan, yaitu menghasilkan efek kognitif yang berarti bagi pendengar dengan biaya pemrosesan mental minimal.¹¹

Teori Relevansi menandai pergeseran epistemologis dari pragmatik sosial ke pragmatik kognitif, di mana komunikasi dipahami sebagai bentuk inferensi mental yang didorong oleh mekanisme kognitif universal.¹² Dalam kerangka ini, makna tidak hanya dihasilkan oleh kerja sama sosial, tetapi juga oleh kemampuan otak manusia untuk memilih dan menafsirkan informasi yang paling relevan dalam konteks tertentu.¹³

Relevansi teori ini tampak jelas dalam kajian neuropragmatik dan psikolinguistik, di mana proses inferensi pragmatik dikaitkan dengan aktivitas otak, khususnya area prefrontal cortex yang berperan dalam pemrosesan makna nonliteral.¹⁴ Penelitian oleh Raymond Gibbs dan Sperber menunjukkan bahwa manusia mampu mengenali maksud implisit dengan sangat cepat—mendukung gagasan bahwa inferensi bukan proses deduktif yang lambat, tetapi respons neurologis yang terotomatisasi.¹⁵

9.3.       Aplikasi dalam Kajian Media dan Komunikasi Digital

Perkembangan teknologi komunikasi membawa teori implikatur ke ranah baru, yaitu komunikasi digital dan media sosial.¹⁶ Dalam komunikasi daring, makna sering kali disampaikan melalui bentuk ujaran yang singkat, multimodal, dan penuh implikatur. Meme, emoji, dan sarkasme di platform seperti Twitter, TikTok, dan WhatsApp merupakan contoh bagaimana teori Grice terus beradaptasi dengan medium komunikasi baru.¹⁷

Misalnya, penggunaan emoji 🙃 setelah kalimat “Terima kasih atas keterlambatannya” mengandung implikatur ironi yang hanya dapat dipahami melalui konteks pragmatik digital.¹⁸ Dalam penelitian digital pragmatics, teori implikatur digunakan untuk menjelaskan bagaimana pengguna internet secara sadar melanggar maksim Gricean (misalnya maksim relevansi dan kualitas) untuk menciptakan humor, kritik sosial, atau solidaritas komunitas daring.¹⁹

Selain itu, dalam komunikasi politik digital, pelanggaran terhadap maksim juga dimanfaatkan untuk melakukan framing dan spin communication—yakni mengonstruksi makna tersirat yang menguntungkan pihak tertentu tanpa harus menyatakannya secara eksplisit.²⁰ Dengan demikian, teori implikatur tetap menjadi alat analisis yang efektif dalam memahami dinamika makna di era media baru.²¹

9.4.       Pengaruh Interdisipliner: Linguistik, Etika, dan Filsafat Sosial

Pengaruh teori Grice melampaui bidang linguistik dan menjangkau wilayah etika komunikasi dan filsafat sosial.²² Dalam kerangka Habermasian, prinsip kooperatif Grice dapat dibaca sebagai bentuk dasar dari rasionalitas komunikatif—yakni keyakinan bahwa komunikasi manusia selalu mengandung klaim kebenaran, kejujuran, dan relevansi yang dapat diuji secara intersubjektif.²³

Dalam konteks etika diskursus, teori implikatur membantu menjelaskan dimensi moral komunikasi, karena pelanggaran terhadap maksim bukan sekadar tindakan linguistik, melainkan bentuk manipulasi terhadap kepercayaan epistemik pendengar.²⁴ Oleh karena itu, teori ini juga digunakan untuk menelaah komunikasi politik, iklan, dan retorika media dalam konteks post-truth society, di mana makna sering kali dibangun melalui implikatur yang menyesatkan atau ambigu.²⁵

Selain itu, dalam filsafat bahasa kontemporer, teori implikatur menjadi dasar bagi perdebatan antara semantik formal dan pragmatik kontekstual mengenai batas antara makna literal dan makna tersirat.²⁶ Tokoh seperti François Recanati dan Kent Bach memperluas teori Grice ke arah konsep pragmatic enrichment dan conversational impliciture, yang menyoroti sifat gradual dan dinamis dari makna linguistik.²⁷

9.5.       Arah Pengembangan Masa Depan

Pengembangan kontemporer teori implikatur bergerak ke arah integrasi interdisipliner antara linguistik, filsafat, ilmu kognitif, dan kecerdasan buatan.²⁸ Dalam bidang Natural Language Processing (NLP), misalnya, penelitian terkini berupaya menerapkan prinsip inferensial Gricean untuk mengembangkan model bahasa yang mampu memahami makna tersirat dalam interaksi manusia-mesin.²⁹

Chatbots dan sistem AI modern, seperti asisten digital, dirancang agar mampu menafsirkan implikatur percakapan—misalnya mengenali sarkasme, ironi, atau maksud tersirat pengguna.³⁰ Pendekatan ini mencerminkan pengakuan bahwa komunikasi manusia tidak dapat direduksi menjadi logika literal, melainkan harus melibatkan konteks, niat, dan inferensi pragmatik.³¹

Dengan demikian, relevansi teori implikatur tidak hanya bertahan dalam ranah akademik, tetapi juga berkembang sebagai model konseptual bagi teknologi komunikasi cerdas.³² Teori ini membuktikan bahwa meskipun lahir dari filsafat bahasa analitik abad ke-20, ia tetap menjadi landasan metodologis yang subur untuk memahami komunikasi manusia dalam abad ke-21 yang semakin digital, kompleks, dan kontekstual.³³


Footnotes

[1]                H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 29–30.

[2]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 101–103.

[3]                Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 46.

[4]                Laurence R. Horn and Gregory Ward, eds., The Handbook of Pragmatics (Oxford: Blackwell, 2004), 15–17.

[5]                Horn, A Natural History of Negation (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 20–22.

[6]                Levinson, Pragmatics, 108.

[7]                Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 2001), 89.

[8]                Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman, 1983), 83.

[9]                Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 63–65.

[10]             Deirdre Wilson and Dan Sperber, “Relevance Theory,” in The Handbook of Pragmatics, ed. Horn and Ward (Oxford: Blackwell, 2004), 607–609.

[11]             Sperber and Wilson, Relevance: Communication and Cognition, 67.

[12]             ibid., 71–73.

[13]             Wilson and Sperber, “Relevance Theory,” 615.

[14]             Raymond W. Gibbs Jr., Intentions in the Experience of Meaning (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 77–79.

[15]             ibid., 84.

[16]             Crispin Thurlow and Kristine Mroczek, eds., Digital Discourse: Language in the New Media (Oxford: Oxford University Press, 2011), 130–132.

[17]             Zappavigna, Michele, Discourse of Twitter and Social Media (London: Bloomsbury, 2012), 75–77.

[18]             Thurlow and Mroczek, Digital Discourse, 134–135.

[19]             Mey, Pragmatics: An Introduction, 94–95.

[20]             Horn and Ward, The Handbook of Pragmatics, 22–23.

[21]             Levinson, Pragmatics, 110.

[22]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 85–87.

[23]             ibid., 88–89.

[24]             Habermas, The Theory of Communicative Action, 92.

[25]             Umberto Eco, Semiotics and the Philosophy of Language (Bloomington: Indiana University Press, 1984), 102–103.

[26]             François Recanati, Literal Meaning (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 21–22.

[27]             Kent Bach, Conversational Impliciture (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 9–11.

[28]             Horn and Ward, The Handbook of Pragmatics, 26–27.

[29]             Jacob Eisenstein, Introduction to Natural Language Processing (Cambridge, MA: MIT Press, 2019), 312–314.

[30]             Emily M. Bender and Alexander Koller, “Climbing towards NLU: On Meaning, Form, and Understanding in the Age of Data,” in Proceedings of ACL 2020 (Seattle: Association for Computational Linguistics, 2020), 5186–5188.

[31]             Mey, Pragmatics: An Introduction, 97–98.

[32]             Eisenstein, Introduction to Natural Language Processing, 317.

[33]             Horn and Ward, The Handbook of Pragmatics, 28.


10.       Sintesis Filosofis: Implikatur sebagai Jembatan antara Bahasa, Pikiran, dan Realitas

10.1.    Bahasa sebagai Medium Rasionalitas dan Intersubjektivitas

Teori Implikatur H. P. Grice membuka dimensi baru dalam filsafat bahasa dengan menempatkan bahasa sebagai tindakan rasional yang berakar pada kerja sama epistemik antara manusia.¹ Dalam kerangka ini, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai sistem tanda (langue) yang statis, sebagaimana dipahami dalam strukturalisme Saussurean, tetapi sebagai aktivitas dinamis yang menghubungkan pikiran individu dengan dunia dan orang lain.²

Implikatur memperlihatkan bahwa makna tidak sepenuhnya berada “di dalam” ujaran, melainkan lahir dari proses inferensi dan negosiasi makna antara subjek-subjek rasional.³ Dengan demikian, teori ini menggabungkan dua dimensi utama: dimensi kognitif (bagaimana makna diolah oleh pikiran) dan dimensi sosial (bagaimana makna dinegosiasikan dalam interaksi).⁴

Dari sudut pandang filsafat komunikasi, Grice menunjukkan bahwa setiap tindakan berbicara adalah bentuk rasionalitas praktis: manusia bertutur bukan hanya untuk menginformasikan, tetapi untuk berpartisipasi dalam lifeworld—dunia kehidupan bersama yang penuh makna.⁵ Dalam konteks ini, prinsip kooperatif Grice sejalan dengan gagasan Jürgen Habermas tentang rasionalitas komunikatif, di mana bahasa menjadi medium utama bagi pemahaman intersubjektif dan pembentukan kebenaran sosial.⁶

10.2.    Pikiran dan Inferensi: Rasionalitas sebagai Mekanisme Makna

Dari sisi epistemologi, implikatur memperlihatkan bahwa komunikasi manusia didasarkan pada rasionalitas inferensial, bukan hanya pada reproduksi proposisi literal.⁷ Ketika seseorang menafsirkan ujaran yang tampaknya melanggar maksim percakapan, ia melakukan bentuk reasoning yang kompleks, menghubungkan antara ujaran, konteks, dan niat penutur.⁸

Proses ini menunjukkan bahwa makna merupakan hasil interaksi antara pikiran dan situasi: manusia memahami dunia bukan melalui refleksi pasif, tetapi melalui interpretative reasoning yang bersifat aktif dan kreatif.⁹ Dengan kata lain, makna bersifat intensional (ditentukan oleh niat) dan situasional (bergantung pada konteks).¹⁰

Dalam perspektif filsafat pikiran (philosophy of mind), teori implikatur berkontribusi terhadap perdebatan antara representasionalisme dan pragmatisme.¹¹ Ia menegaskan bahwa pikiran tidak hanya merepresentasikan realitas, tetapi juga berpartisipasi dalam konstruksi realitas linguistik.¹² Hal ini sesuai dengan pemikiran John Searle tentang tindak tutur, bahwa intensi komunikatif adalah bentuk dasar dari tindakan mental yang menciptakan realitas sosial.¹³

Maka, dalam kerangka Gricean, pikiran dan bahasa bukan entitas terpisah, melainkan dua sisi dari aktivitas rasional yang sama—yakni proses membangun makna dalam dunia intersubjektif.¹⁴

10.3.    Realitas sebagai Hasil Negosiasi Makna

Teori Implikatur juga memiliki dimensi ontologis: ia memperlihatkan bahwa realitas linguistik bukanlah cerminan pasif dunia, tetapi hasil dari negosiasi makna dalam komunikasi.¹⁵ Ketika penutur dan pendengar berinteraksi, mereka tidak hanya menukar informasi, tetapi menciptakan struktur makna baru yang memperkaya dunia sosial.¹⁶

Dalam konteks ini, realitas komunikasi bersifat ko-konstitutif—yakni terbentuk dari interaksi antara subjek dan bahasa.¹⁷ Implikatur menegaskan bahwa dunia sosial dan moral dibangun melalui inferensi yang saling dipahami. Misalnya, tindakan mengucapkan “Saya berjanji” tidak hanya mendeskripsikan keadaan, tetapi juga menciptakan realitas baru: adanya kewajiban moral.¹⁸

Pandangan ini sejalan dengan filsafat bahasa performatif dari J. L. Austin dan John Searle, yang menekankan bahwa ujaran adalah tindakan yang menciptakan fakta sosial.¹⁹ Dalam perspektif yang lebih kontemporer, teori implikatur dapat dibaca sebagai bentuk linguistic constructivism—yakni pandangan bahwa makna dan realitas dibangun melalui partisipasi komunikatif, bukan melalui refleksi representasional semata.²⁰

Dengan demikian, Grice tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia berbicara, tetapi juga bagaimana melalui percakapan manusia membangun dunia simbolik yang memungkinkan eksistensi sosial dan moral.²¹

10.4.    Implikatur sebagai Ruang Etika dan Hermeneutika

Dari dimensi etika, implikatur memperlihatkan bahwa komunikasi selalu mengandung dimensi moral dan tanggung jawab epistemik.²² Ketika seseorang berbicara secara implisit, ia mengandaikan kepercayaan pendengar untuk menafsirkan maksudnya dengan itikad baik.²³ Pelanggaran terhadap prinsip kooperatif bukan sekadar pelanggaran pragmatik, melainkan juga pelanggaran terhadap kejujuran dialogis.²⁴

Pandangan ini memiliki resonansi dengan hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer, yang melihat bahasa sebagai medium pemahaman yang bersifat dialogis.²⁵ Dalam konteks ini, implikatur menjadi bentuk fusion of horizons—pertemuan antara dunia penutur dan dunia pendengar dalam proses interpretasi.²⁶ Melalui inferensi dan dialog, manusia menyeberangi batas subjektivitas dan membangun pemahaman bersama.²⁷

Implikatur juga menegaskan pentingnya trust dan responsibility dalam percakapan: penutur mengandaikan bahwa pendengar akan menafsirkan dengan rasional, sementara pendengar mempercayai bahwa penutur berbicara dengan niat kooperatif.²⁸ Dengan demikian, teori ini tidak hanya mengandung epistemologi rasional, tetapi juga etika komunikatif yang menuntun manusia menuju kesalingpahaman.²⁹

10.5.    Integrasi Akhir: Bahasa, Pikiran, dan Realitas dalam Sintesis Gricean

Dari keseluruhan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa Teori Implikatur Grice memberikan kerangka filosofis integratif yang menghubungkan tiga ranah fundamental: bahasa sebagai alat komunikasi, pikiran sebagai sumber rasionalitas, dan realitas sebagai hasil interaksi makna.³⁰

Bahasa menjadi jembatan epistemologis yang memungkinkan pikiran menafsirkan dunia, sedangkan inferensi pragmatik menjadi mekanisme ontologis yang menciptakan makna baru di dalam dunia tersebut.³¹ Grice menunjukkan bahwa kebenaran linguistik tidak bersifat absolut, tetapi muncul melalui kooperasi, konteks, dan niat baik antar manusia.³²

Sintesis ini menempatkan teori implikatur bukan sekadar dalam wilayah linguistik, tetapi juga dalam ranah metafilsafat komunikasi—sebuah upaya memahami manusia sebagai makhluk yang berpikir, berbicara, dan hidup dalam realitas yang dibangun oleh makna.³³ Dalam arti ini, implikatur adalah jembatan konseptual yang menghubungkan logos (akal), ethos (moralitas), dan kosmos (dunia kehidupan).³⁴


Footnotes

[1]                H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 25–27.

[2]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans. Roy Harris (Chicago: Open Court, 1986), 66–68.

[3]                Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 45–47.

[4]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 99–101.

[5]                Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 2001), 88.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 85–87.

[7]                Grice, Studies in the Way of Words, 30–32.

[8]                Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 19–20.

[9]                Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 63–65.

[10]             John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 45–47.

[11]             Raymond W. Gibbs Jr., Intentions in the Experience of Meaning (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 71–73.

[12]             Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 23–24.

[13]             ibid., 32.

[14]             Grice, Studies in the Way of Words, 34.

[15]             Umberto Eco, Semiotics and the Philosophy of Language (Bloomington: Indiana University Press, 1984), 99–101.

[16]             J. L. Austin, How to Do Things with Words, 2nd ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 101–103.

[17]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 112–114.

[18]             Austin, How to Do Things with Words, 105–106.

[19]             John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 59–60.

[20]             Eco, Semiotics and the Philosophy of Language, 105.

[21]             Habermas, The Theory of Communicative Action, 89–90.

[22]             Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman, 1983), 81–82.

[23]             Grice, Studies in the Way of Words, 38.

[24]             Mey, Pragmatics: An Introduction, 92.

[25]             Gadamer, Truth and Method, 120–121.

[26]             ibid., 123.

[27]             Gadamer, Truth and Method, 126–127.

[28]             Habermas, The Theory of Communicative Action, 92–93.

[29]             Leech, Principles of Pragmatics, 85.

[30]             Levinson, Pragmatics, 110.

[31]             Grice, “Logic and Conversation,” 49–50.

[32]             Habermas, The Theory of Communicative Action, 94–95.

[33]             Mey, Pragmatics: An Introduction, 97.

[34]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 128.


11.       Kesimpulan

Teori Implikatur H. P. Grice merupakan salah satu tonggak paling berpengaruh dalam perkembangan pragmatik dan filsafat bahasa abad ke-20.¹ Melalui gagasan dasar tentang Prinsip Kooperatif dan makna tersirat (implicature), Grice berhasil menjembatani dua ranah yang sebelumnya terpisah: semantik yang bersifat formal dan pragmatik yang bersifat kontekstual.² Ia menunjukkan bahwa komunikasi manusia bukan sekadar proses penyampaian informasi secara literal, melainkan tindakan rasional yang berakar pada inferensi, niat, dan kerja sama epistemik.³

Secara historis, teori ini menandai pergeseran dari paradigma truth-conditional semantics menuju paradigma use-based pragmatics, yang menekankan peran konteks dan pengetahuan bersama (common ground) dalam menentukan makna.⁴ Dalam pandangan Grice, setiap tindak tutur mengandung lapisan makna ganda: what is said (makna eksplisit) dan what is meant (makna implisit).⁵ Perbedaan ini mengajarkan bahwa bahasa tidak hanya merepresentasikan dunia, tetapi juga menciptakan realitas sosial dan epistemik melalui proses interpretasi yang kooperatif.⁶

Implikatur memperlihatkan bahwa komunikasi manusia bersifat inferensial dan intersubjektif.⁷ Makna muncul bukan karena bentuk linguistik semata, tetapi karena adanya rasionalitas dan kepercayaan bersama antara penutur dan pendengar.⁸ Pendengar menggunakan logika pragmatik untuk menafsirkan maksud penutur, sedangkan penutur mengandalkan inferensi pendengar untuk menyampaikan pesan yang efisien dan kontekstual.⁹ Oleh karena itu, makna tidak bersifat absolut, melainkan hasil dari dialog rasional yang berakar pada konteks sosial dan kognitif.¹⁰

Dari perspektif epistemologis, teori implikatur memandang bahasa sebagai alat penalaran sosial.¹¹ Ia memperlihatkan bahwa manusia tidak hanya menggunakan bahasa untuk menyatakan kebenaran proposisional, tetapi juga untuk menegosiasikan nilai, tujuan, dan makna dalam interaksi.¹² Secara ontologis, teori ini menegaskan bahwa realitas linguistik tidak bersifat tetap, melainkan terbentuk dari proses komunikasi yang berlangsung terus-menerus antara subjek-subjek rasional.¹³

Teori implikatur juga memiliki dimensi etika dan hermeneutika: komunikasi yang baik menuntut kejujuran, kesalingpahaman, dan tanggung jawab interpretatif antara penutur dan pendengar.¹⁴ Dalam konteks ini, teori Grice beresonansi dengan pemikiran Jürgen Habermas tentang rasionalitas komunikatif dan Hans-Georg Gadamer tentang dialog hermeneutis, yang sama-sama melihat bahasa sebagai medium pemahaman manusia terhadap dunia dan sesamanya.¹⁵

Dalam konteks kontemporer, teori ini terus relevan dan bahkan mengalami perluasan. Sperber dan Wilson melalui Relevance Theory mengubahnya menjadi model kognitif tentang bagaimana manusia memilih dan memproses informasi yang bermakna.¹⁶ Di sisi lain, linguistik terapan dan teknologi bahasa (seperti Natural Language Processing dan kecerdasan buatan) menjadikan prinsip inferensi Gricean sebagai dasar untuk merancang sistem komunikasi yang mampu mengenali makna tersirat.¹⁷

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa Teori Implikatur berfungsi sebagai jembatan filosofis antara bahasa, pikiran, dan realitas. Ia mengungkapkan bahwa komunikasi manusia bukanlah sekadar pertukaran tanda, melainkan bentuk rasionalitas intersubjektif yang memungkinkan penciptaan makna dan dunia bersama.¹⁸ Melalui teori ini, Grice menunjukkan bahwa di balik kesederhanaan percakapan sehari-hari tersembunyi mekanisme epistemik yang dalam—mekanisme yang menjadikan manusia bukan hanya animal rationale, tetapi juga animal symbolicum: makhluk yang berpikir, berbahasa, dan membangun realitas melalui makna.¹⁹


Footnotes

[1]                H. Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 24–26.

[2]                Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 44–46.

[3]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 100–101.

[4]                Laurence R. Horn and Gregory Ward, eds., The Handbook of Pragmatics (Oxford: Blackwell, 2004), 14–15.

[5]                Grice, Studies in the Way of Words, 28–29.

[6]                John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 56–57.

[7]                Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 63–65.

[8]                Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 19–20.

[9]                Laurence R. Horn, A Natural History of Negation (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 21–22.

[10]             Levinson, Pragmatics, 107–108.

[11]             Jacob L. Mey, Pragmatics: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 2001), 81–83.

[12]             Geoffrey N. Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman, 1983), 79–80.

[13]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 85–87.

[14]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 120–122.

[15]             Habermas, The Theory of Communicative Action, 90–91.

[16]             Sperber and Wilson, Relevance: Communication and Cognition, 68–70.

[17]             Jacob Eisenstein, Introduction to Natural Language Processing (Cambridge, MA: MIT Press, 2019), 312–314.

[18]             Grice, Studies in the Way of Words, 33–34.

[19]             Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944), 28–29.


Daftar Pustaka

Austin, J. L. (1975). How to do things with words (2nd ed.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Bach, K. (1994). Conversational impliciture. Cambridge: Cambridge University Press.

Bach, K., & Harnish, R. M. (1979). Linguistic communication and speech acts. Cambridge, MA: MIT Press.

Barthes, R. (1975). The pleasure of the text (R. Miller, Trans.). New York, NY: Hill and Wang.

Bender, E. M., & Koller, A. (2020). Climbing towards NLU: On meaning, form, and understanding in the age of data. In Proceedings of ACL 2020 (pp. 5185–5198). Seattle, WA: Association for Computational Linguistics.

Blum-Kulka, S., House, J., & Kasper, G. (Eds.). (1989). Cross-cultural pragmatics: Requests and apologies. Norwood, NJ: Ablex.

Cassirer, E. (1944). An essay on man: An introduction to a philosophy of human culture. New Haven, CT: Yale University Press.

Clark, H. H. (1996). Using language. Cambridge: Cambridge University Press.

Eco, U. (1984). Semiotics and the philosophy of language. Bloomington, IN: Indiana University Press.

Eisenstein, J. (2019). Introduction to natural language processing. Cambridge, MA: MIT Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd ed.; J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York, NY: Continuum.

Gibbs, R. W., Jr. (1999). Intentions in the experience of meaning. Cambridge: Cambridge University Press.

Grice, H. P. (1975). Logic and conversation. In P. Cole & J. L. Morgan (Eds.), Syntax and semantics: Vol. 3. Speech acts (pp. 41–58). New York, NY: Academic Press.

Grice, H. P. (1989). Studies in the way of words. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1; T. McCarthy, Trans.). Boston, MA: Beacon Press.

Hall, E. T. (1976). Beyond culture. New York, NY: Anchor Books.

Horn, L. R. (1984). Toward a new taxonomy for pragmatic inference: Q- and R-based implicature. In D. Schiffrin (Ed.), Meaning, form, and use in context: Linguistic applications (pp. 11–42). Washington, DC: Georgetown University Press.

Horn, L. R. (1989). A natural history of negation. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Horn, L. R., & Ward, G. (Eds.). (2004). The handbook of pragmatics. Oxford: Blackwell.

Kasper, G., & Blum-Kulka, S. (1993). Interlanguage pragmatics. Oxford: Oxford University Press.

Leech, G. N. (1983). Principles of pragmatics. London: Longman.

Leech, G. N., & Short, M. (1981). Style in fiction: A linguistic introduction to English fictional prose. London: Longman.

Levinson, S. C. (1983). Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.

Levinson, S. C. (2004). Conversational implicature. In L. R. Horn & G. Ward (Eds.), The handbook of pragmatics (pp. 18–38). Oxford: Blackwell.

Mey, J. L. (2001). Pragmatics: An introduction (2nd ed.). Oxford: Blackwell.

Peirce, C. S. (1931). Collected papers of Charles Sanders Peirce (Vol. 5; C. Hartshorne & P. Weiss, Eds.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Recanati, F. (2004). Literal meaning. Cambridge: Cambridge University Press.

Saussure, F. de. (1986). Course in general linguistics (R. Harris, Trans.). Chicago, IL: Open Court.

Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge: Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1979). Expression and meaning: Studies in the theory of speech acts. Cambridge: Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1983). Intentionality: An essay in the philosophy of mind. Cambridge: Cambridge University Press.

Sperber, D., & Wilson, D. (1986). Relevance: Communication and cognition. Oxford: Blackwell.

Thurlow, C., & Mroczek, K. (Eds.). (2011). Digital discourse: Language in the new media. Oxford: Oxford University Press.

Wilson, D., & Sperber, D. (2004). Relevance theory. In L. R. Horn & G. Ward (Eds.), The handbook of pragmatics (pp. 607–632). Oxford: Blackwell.

Wierzbicka, A. (1991). Cross-cultural pragmatics: The semantics of human interaction. Berlin: Mouton de Gruyter.

Zappavigna, M. (2012). Discourse of Twitter and social media. London: Bloomsbury.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar