Sabtu, 18 Oktober 2025

Eksistensialisme Religius: Antara Kebebasan, Keberadaan, dan Transendensi

Eksistensialisme Religius

Antara Kebebasan, Keberadaan, dan Transendensi


Alihkan ke: Filsafat Eksistensialisme.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif cabang filsafat eksistensialisme yang berorientasi religius, yang dikenal sebagai eksistensialisme religius. Kajian ini menelusuri akar historisnya sejak pemikiran Søren Kierkegaard sebagai “bapak eksistensialisme religius,” kemudian dikembangkan oleh pemikir-pemikir seperti Gabriel Marcel, Martin Buber, Paul Tillich, Rudolf Bultmann, dan Karl Rahner. Eksistensialisme religius berupaya mengintegrasikan pengalaman eksistensial manusia dengan kesadaran akan transendensi ilahi, dengan menempatkan iman bukan sekadar sebagai dogma rasional, melainkan sebagai pengalaman eksistensial yang hidup dan personal.

Artikel ini menguraikan landasan ontologis, epistemologis, antropologis, dan etis dari eksistensialisme religius, serta mengeksplorasi dimensi estetika dan spiritualitasnya. Melalui pendekatan komparatif dan hermeneutis, eksistensialisme religius ditafsirkan sebagai upaya sintesis antara kebebasan manusia dan kehadiran Tuhan, antara subjektivitas dan transendensi. Di sisi lain, berbagai kritik filosofis dan teologis—baik dari eksistensialisme ateistik, positivisme logis, maupun hermeneutika pasca-modern—dibahas secara kritis untuk menunjukkan keterbatasan sekaligus potensi kreatif pendekatan ini.

Dalam bagian akhir, artikel ini menegaskan relevansi eksistensialisme religius terhadap konteks kontemporer: sebagai respon terhadap krisis makna, pluralisme agama, dehumanisasi teknologi, dan krisis spiritual global. Eksistensialisme religius menghadirkan paradigma iman yang dialogis, partisipatif, dan otentik—suatu bentuk teologi eksistensial yang menegaskan bahwa manusia hanya dapat menemukan makna terdalam keberadaannya dalam relasi yang hidup dengan dasar keberadaannya sendiri: Tuhan.

Kata Kunci: Eksistensialisme Religius; Søren Kierkegaard; Gabriel Marcel; Martin Buber; Paul Tillich; Karl Rahner; Iman; Transendensi; Ontologi Eksistensial; Teologi Eksistensial; Spiritualitas; Kebebasan; Makna Hidup; Hermeneutika; Humanisme Religius.


PEMBAHASAN

Eksistensialisme Religius dalam Pencarian Makna dan Tanggung Jawab Manusia


1.           Pendahuluan

Eksistensialisme religius lahir sebagai respons filosofis terhadap krisis makna yang menandai modernitas, terutama setelah dominasi rasionalisme dan sekularisasi menyingkirkan dimensi transendental dari kehidupan manusia. Filsafat modern, yang sejak Descartes menempatkan subjek sebagai pusat epistemologi, pada akhirnya menghasilkan paradoks: manusia menjadi pusat segala makna, tetapi justru kehilangan makna dirinya sendiri. Krisis ini memuncak dalam abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ketika nihilisme Nietzsche, absurditas Camus, dan ateisme Sartre mengguncang dasar-dasar tradisi metafisika dan religius Barat. Dalam konteks inilah, eksistensialisme religius muncul sebagai upaya rekonsiliasi antara iman dan kebebasan, antara eksistensi manusia yang terbatas dengan kehadiran transendensi ilahi yang tak terjangkau.¹

Eksistensialisme religius berbeda dari bentuk ateistiknya karena menolak memisahkan Tuhan dari pengalaman eksistensial manusia. Jika Sartre menegaskan bahwa “eksistensi mendahului esensi” dalam ketiadaan Tuhan,² maka Kierkegaard justru melihat keberadaan manusia sebagai “ada di hadapan Tuhan” (existence before God).³ Bagi Kierkegaard, iman bukanlah penerimaan rasional atas dogma, melainkan lompatan eksistensial—a leap of faith—yang melibatkan subjektivitas terdalam manusia di hadapan paradoks ilahi.⁴ Eksistensi manusia dipahami bukan sekadar fakta ontologis, melainkan panggilan personal yang menuntut keterlibatan, penderitaan, dan pilihan bebas yang otentik.⁵

Dalam perkembangan selanjutnya, eksistensialisme religius dikembangkan oleh pemikir seperti Gabriel Marcel, Martin Buber, dan Paul Tillich yang masing-masing menekankan aspek dialogis, relasional, dan ontologis dari keberadaan religius. Marcel, misalnya, menolak pandangan objektifikasi manusia modern dan mengusulkan konsep “partisipasi dalam misteri keberadaan,”⁶ sedangkan Buber menegaskan hubungan Aku–Engkau sebagai dasar realitas personal dan religius.⁷ Tillich, di sisi lain, mengajukan konsep “Tuhan sebagai dasar keberadaan” (the Ground of Being) yang mengatasi dikotomi antara iman dan rasionalitas.⁸

Dengan demikian, eksistensialisme religius tidak hanya berfungsi sebagai kritik terhadap sekularisasi modern, tetapi juga sebagai tawaran filosofis yang menempatkan kembali eksistensi manusia dalam horizon transendensi. Dalam tradisi ini, iman dipahami bukan sebagai bentuk pelarian dari kebebasan, melainkan sebagai pengakuan akan kedalaman dan keterbatasan eksistensi yang membuka diri terhadap yang Ilahi.⁹ Eksistensialisme religius mengajak manusia untuk menafsirkan kembali makna penderitaan, keputusasaan, dan cinta dalam terang relasi dengan Tuhan yang hidup, bukan Tuhan yang semata-mata konsep metafisik.

Secara metodologis, kajian ini berupaya memadukan pendekatan historis, ontologis, dan fenomenologis guna menyingkap dinamika antara eksistensi manusia dan transendensi ilahi. Penelitian terhadap eksistensialisme religius bukan sekadar menggali kembali warisan pemikiran Kierkegaard atau Tillich, melainkan juga mengkaji relevansinya bagi manusia modern yang bergulat dengan alienasi spiritual, nihilisme, dan krisis makna. Melalui pendekatan ini, eksistensialisme religius diharapkan mampu menghadirkan suatu pemahaman yang lebih integral tentang kebebasan manusia sebagai panggilan eksistensial yang berakar pada pengalaman iman.


Footnotes

[1]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 19–25.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[3]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 62.

[4]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992), 203.

[5]                John Macquarrie, Existentialism (London: Penguin Books, 1972), 105–110.

[6]                Gabriel Marcel, Being and Having, trans. Katherine Farrer (London: Dacre Press, 1949), 56–60.

[7]                Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 66–70.

[8]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 172–175.

[9]                Rudolf Otto, The Idea of the Holy, trans. John W. Harvey (Oxford: Oxford University Press, 1958), 24–27.


2.           Landasan Historis dan Genealogi Pemikiran

Eksistensialisme religius memiliki akar yang panjang dalam sejarah pemikiran Barat, jauh sebelum istilah eksistensialisme itu sendiri muncul pada abad ke-19. Secara genealogis, gagasan tentang eksistensi manusia yang berhubungan langsung dengan Tuhan telah muncul dalam pemikiran teologis dan filsafat moral sejak Agustinus dari Hippo. Dalam Confessiones, Agustinus menulis bahwa hati manusia tidak akan pernah tenang sebelum “beristirahat dalam Engkau,” menandai intuisi mendalam bahwa eksistensi manusia bersifat theocentric dan hanya menemukan makna dalam keterarahan kepada Yang Ilahi.¹ Perspektif ini menjadi dasar bagi seluruh tradisi eksistensial religius berikutnya: manusia dipahami sebagai makhluk yang mencari makna dalam relasi dengan Tuhan, bukan sebagai entitas otonom yang tertutup pada dirinya sendiri.

Memasuki abad ke-17, Blaise Pascal melanjutkan intuisi Agustinian itu dalam konteks baru modernitas. Dalam Pensées, ia menggambarkan manusia sebagai makhluk paradoksal—di satu sisi hina karena keterbatasannya, di sisi lain agung karena kesadarannya akan keterbatasan tersebut.² Pascal menolak rasionalisme Cartesian yang memisahkan iman dan akal, dengan menegaskan bahwa “hati memiliki alasan-alasannya sendiri yang tidak dikenal oleh akal.”³ Dengan demikian, Pascal dapat dipandang sebagai figur peralihan antara teologi klasik dan eksistensialisme religius: ia mengungkapkan bahwa pengalaman iman bukanlah hasil argumen rasional, melainkan pergulatan eksistensial yang lahir dari kesadaran akan keterlemparan dan kebutuhan akan kasih karunia.

Namun, eksistensialisme religius dalam bentuk yang matang baru menemukan ekspresinya melalui Søren Kierkegaard pada abad ke-19. Ia menolak sistem rasional Hegelian yang berusaha menyatukan seluruh realitas dalam totalitas logis, dan sebaliknya menegaskan eksistensi individu yang unik di hadapan Tuhan.⁴ Kierkegaard memperkenalkan tiga tahap eksistensial manusia—estetis, etis, dan religius—yang berpuncak pada tahap religius, yaitu ketika individu berani “melompat dalam iman” (leap of faith) melampaui rasionalitas universal.⁵ Dalam pandangan Kierkegaard, iman bersifat paradoksal karena menuntut ketaatan mutlak kepada Tuhan yang sekaligus tampak irasional bagi etika umum, seperti yang tergambar dalam kisah Abraham di Fear and Trembling.⁶

Pandangan Kierkegaard ini memberi dasar bagi seluruh arah eksistensialisme religius modern: iman tidak lagi dipahami sebagai sistem dogmatis, melainkan sebagai eksistensi yang terlibat, penuh risiko, dan menuntut keputusan personal.⁷ Ia menegaskan bahwa kebenaran sejati adalah kebenaran yang dialami secara subjektif (subjective truth), yakni keterlibatan total manusia terhadap yang Ilahi.⁸ Dengan demikian, ia menempatkan iman sebagai pusat dari eksistensi manusia yang otentik.

Pada awal abad ke-20, gagasan Kierkegaard dihidupkan kembali oleh para teolog dan filsuf yang berupaya menggabungkan analisis eksistensial dengan teologi. Paul Tillich menafsirkan eksistensi manusia sebagai “keberadaan yang senantiasa berada di bawah ancaman ketiadaan” (being-threatened-by-nonbeing), dan Tuhan sebagai “dasar keberadaan” yang memberi makna dan keberanian untuk ada.⁹ Gabriel Marcel, filsuf Prancis yang semula berorientasi idealisme, kemudian beralih pada “filosofi konkret tentang keberadaan,” menolak reduksi manusia menjadi objek, dan mengusulkan partisipasi eksistensial dalam misteri keberadaan.¹⁰ Sementara itu, Martin Buber menekankan relasionalitas manusia dengan Tuhan melalui konsep dialogis Aku–Engkau, di mana keberadaan religius tidak muncul dari refleksi rasional melainkan dari perjumpaan personal yang hidup.¹¹

Dari perspektif historis, eksistensialisme religius dapat dipandang sebagai reaksi terhadap dua kutub ekstrem dalam filsafat modern: di satu sisi, rasionalisme sistematik yang menghapus dimensi personal iman (misalnya dalam Hegelianisme), dan di sisi lain, eksistensialisme ateistik yang mengabaikan transendensi.¹² Eksistensialisme religius berupaya mempertahankan kebebasan manusia tanpa menolak dimensi ilahi yang memberi makna pada eksistensi. Dalam hal ini, ia bukan sekadar varian teologis dari eksistensialisme, melainkan suatu sintesis filosofis yang mendalam antara iman dan eksistensi—antara being dan believing.¹³

Dengan demikian, secara genealogis, eksistensialisme religius menelusuri jejak panjang dari Agustinus hingga Tillich, dari intuisi tentang kegelisahan spiritual hingga formulasi teologis tentang keberadaan dan transendensi. Arah perkembangannya menunjukkan bahwa manusia selalu mencari makna di tengah keterbatasannya—dan pencarian itu menemukan puncaknya dalam iman eksistensial, yaitu pengakuan akan Tuhan yang hadir di tengah keberadaan yang rapuh namun penuh harapan.


Footnotes

[1]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), 1.1.

[2]                Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J. Krailsheimer (London: Penguin Classics, 1995), §131.

[3]                Ibid., §277.

[4]                Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 13–15.

[5]                Søren Kierkegaard, Stages on Life’s Way, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1988), 177–180.

[6]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 56–58.

[7]                John Macquarrie, Existentialism (London: Penguin Books, 1972), 114–120.

[8]                Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992), 199.

[9]                Paul Tillich, Systematic Theology, Volume 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–240.

[10]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 1: Reflection and Mystery, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 43–49.

[11]             Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 75–80.

[12]             Karl Jaspers, Philosophy of Existence, trans. Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 41–43.

[13]             Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (Chicago: Regnery Gateway, 1965), 9–11.


3.           Ontologi Eksistensi dan Transendensi

Ontologi eksistensialisme religius berangkat dari pertanyaan fundamental: apa artinya ada sebagai manusia di hadapan Tuhan? Pertanyaan ini tidak semata bersifat metafisik dalam arti klasik—yakni mencari esensi universal dari keberadaan—melainkan eksistensial, karena berhubungan dengan pengalaman konkret manusia yang sadar akan keterbatasan, kebebasan, dan ketergantungannya pada sesuatu yang melampaui dirinya.¹ Dalam pandangan eksistensial religius, eksistensi manusia selalu bersifat relasional: manusia tidak hanya “ada,” tetapi “ada-di-hadapan” (being-before) dan “ada-bersama” (being-with), yang mencapai puncaknya dalam relasi dengan Yang Transenden.²

Søren Kierkegaard menjadi pelopor ontologi eksistensial yang bersifat religius. Bagi Kierkegaard, eksistensi manusia tidak dapat dipahami tanpa mengacu pada Tuhan sebagai “Yang Mutlak.”³ Ia menolak pandangan metafisika sistematik Hegel yang meniadakan perbedaan antara manusia dan Absolut. Sebaliknya, Kierkegaard menegaskan bahwa kesadaran eksistensial lahir dari jarak tak terjembatani antara manusia yang fana dan Tuhan yang transenden.⁴ Dalam ketegangan itu, manusia mengalami “keputusasaan” (fortvivlelse), yang bukan sekadar kondisi psikologis, melainkan kesadaran ontologis akan keterputusan antara eksistensi dan esensi ilahi.⁵ Namun justru melalui keputusasaan ini, manusia dipanggil untuk melampaui dirinya melalui iman yang menjadi jembatan eksistensial menuju Tuhan.⁶

Martin Heidegger, meskipun tidak berbicara dalam kerangka religius, memberikan pengaruh penting terhadap pemahaman eksistensialisme religius melalui analisis ontologisnya tentang Dasein sebagai “ada-yang-mengetahui-akan-keberadaannya.”⁷ Heidegger menegaskan bahwa keberadaan manusia ditandai oleh Befindlichkeit (terlempar), Sorge (kecemasan), dan Sein-zum-Tode (ada-menuju-kematian).⁸ Pemikiran ini kemudian diinterpretasikan secara teologis oleh Paul Tillich dan Rudolf Bultmann. Bagi Tillich, “keberanian untuk ada” (the courage to be) muncul dari kesadaran bahwa keberadaan manusia senantiasa terancam oleh ketiadaan, dan hanya dengan berakar pada “dasar keberadaan” (the Ground of Being)—yakni Tuhan—manusia dapat mempertahankan eksistensinya secara otentik.⁹ Dengan demikian, Tuhan dalam kerangka Tillich bukanlah entitas di luar dunia, melainkan dimensi ontologis terdalam dari segala yang ada, sumber yang memungkinkan keberadaan itu sendiri.¹⁰

Gabriel Marcel mengembangkan dimensi ontologis ini dalam bentuk refleksi metafisik yang lebih personal dan relasional. Dalam The Mystery of Being, Marcel menolak reduksi manusia menjadi objek yang dapat didefinisikan, dan menggantikannya dengan konsep “misteri keberadaan.”¹¹ Bagi Marcel, keberadaan tidak dapat “diketahui” secara objektif, melainkan harus “dihayati” dalam keterlibatan eksistensial. Misteri ini bersifat transenden, namun sekaligus imanen dalam pengalaman cinta, kesetiaan, dan harapan.¹² Dalam cinta, misalnya, manusia mengalami kehadiran transendensi dalam bentuk paling konkret: kehadiran “yang lain” yang tidak dapat direduksi menjadi benda atau konsep.¹³ Relasi ini membuka ruang ontologis bagi pengalaman religius, di mana manusia berpartisipasi dalam realitas yang melampaui dirinya namun tetap hadir dalam kehidupannya.

Sementara itu, Martin Buber menghadirkan dimensi ontologis eksistensial melalui kategorisasi relasional Aku–Engkau (Ich–Du).¹⁴ Dalam relasi Aku–Engkau, keberadaan manusia tidak ditentukan oleh refleksi terhadap dunia (seperti dalam hubungan Aku–Itu), melainkan oleh perjumpaan langsung dengan realitas personal yang hidup.¹⁵ Dalam puncaknya, relasi Aku–Engkau mengarah pada perjumpaan dengan Tuhan, “Engkau yang kekal” (Ewiges Du), yang menjadi dasar segala relasi personal.¹⁶ Ontologi relasional Buber menunjukkan bahwa eksistensi sejati tidak ditemukan dalam kesendirian metafisik, melainkan dalam dialog yang bersifat transendental.

Ontologi eksistensialisme religius, dengan demikian, menolak dualisme antara imanen dan transenden. Transendensi tidak dipahami sebagai “yang jauh di luar,” tetapi sebagai kedalaman eksistensi itu sendiri—the depth of being dalam istilah Tillich—yang menyentuh manusia pada titik paling pribadi.¹⁷ Dalam horizon ini, iman bukanlah pelarian dari dunia, melainkan pengakuan ontologis bahwa keberadaan manusia memperoleh maknanya hanya dalam keterbukaan terhadap sumber transendensi.¹⁸

Kesimpulannya, ontologi eksistensialisme religius berupaya mengatasi reduksionisme metafisika klasik dan nihilisme modern sekaligus. Ia memandang manusia bukan sebagai substansi statis, melainkan sebagai eksistensi dinamis yang berakar pada misteri ilahi. Dalam relasi antara eksistensi dan transendensi, manusia menemukan dirinya sebagai makhluk yang terbatas namun terbuka terhadap yang tak terbatas—suatu keberadaan yang menegaskan makna terdalamnya hanya dalam terang Sang Ada yang Mutlak.


Footnotes

[1]                John Macquarrie, Principles of Christian Theology (New York: Scribner, 1966), 71–75.

[2]                Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 1: Reflection and Mystery, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 48.

[3]                Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1989), 38–40.

[4]                Ibid., 52–55.

[5]                Ibid., 59–60.

[6]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 88–92.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–80.

[8]                Ibid., 172–180.

[9]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 152–156.

[10]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–240.

[11]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2: Faith and Reality, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 15–18.

[12]             Ibid., 31–34.

[13]             Gabriel Marcel, Creative Fidelity, trans. Robert Rosthal (New York: Fordham University Press, 1964), 67–70.

[14]             Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 11–13.

[15]             Ibid., 54–56.

[16]             Ibid., 104–106.

[17]             Paul Tillich, The Shaking of the Foundations (New York: Scribner, 1948), 60–63.

[18]             Karl Rahner, Spirit in the World, trans. William Dych (New York: Herder and Herder, 1968), 212–215.


4.           Epistemologi Iman dan Pengalaman Religius

Dalam eksistensialisme religius, pengetahuan tentang Tuhan dan realitas transenden tidak diperoleh melalui proses intelektual atau pembuktian rasional semata, melainkan melalui keterlibatan eksistensial manusia dalam iman. Iman bukanlah pengetahuan tentang Tuhan, melainkan pengalaman akan Tuhan yang dialami secara personal, subjektif, dan eksistensial.¹ Dengan demikian, epistemologi eksistensialisme religius tidak bersifat proposisional, tetapi performatif: mengetahui berarti “mengada” dalam iman.²

Søren Kierkegaard menolak segala bentuk epistemologi objektif yang berusaha menjadikan Tuhan sebagai objek pengetahuan rasional. Baginya, iman merupakan bentuk subjective truth, yakni kebenaran yang dialami dalam keputusan eksistensial individu di hadapan Tuhan.³ Dalam Concluding Unscientific Postscript, ia menegaskan bahwa kebenaran objektif hanya dapat menjelaskan fakta, tetapi tidak mampu menangkap relasi personal antara manusia dan Tuhan yang bersifat paradoksal.⁴ Iman justru muncul dalam ketegangan antara rasionalitas dan absurditas, di mana individu memilih untuk “melompat” ke dalam paradoks iman yang tidak dapat dijelaskan oleh logika.⁵ Oleh karena itu, iman bukan sekadar bentuk keyakinan teologis, melainkan tindakan eksistensial yang mengubah cara manusia berada di dunia.

Epistemologi eksistensial ini berakar pada pemahaman bahwa manusia tidak dapat mendekati Tuhan sebagai subjek yang mengetahui objek, melainkan sebagai pribadi yang dihadapkan pada Misteri. Gabriel Marcel menyebut hal ini sebagai knowledge through participation—suatu bentuk pengetahuan yang diperoleh bukan melalui pengamatan, tetapi melalui partisipasi ontologis dalam misteri keberadaan.⁶ Ia membedakan antara “masalah” (problem) yang dapat diselesaikan dengan analisis rasional dan “misteri” (mystery) yang hanya dapat dihayati melalui keterlibatan pribadi.⁷ Dalam konteks religius, Tuhan bukanlah objek pengetahuan ilmiah, melainkan Misteri yang dihadapi dengan iman, kesetiaan, dan cinta.⁸ Dengan demikian, pengalaman religius bagi Marcel adalah bentuk keterbukaan total terhadap transendensi yang hadir dalam eksistensi manusia, bukan sesuatu yang dapat direduksi menjadi konsep atau argumen.

Rudolf Otto, dalam karya klasiknya The Idea of the Holy, memperluas pemahaman epistemologis ini dengan menunjukkan bahwa pengalaman religius bersifat numinous—yaitu kesadaran akan “yang kudus” (das Heilige) yang menimbulkan perasaan mysterium tremendum et fascinans (misteri yang menakutkan sekaligus mempesona).⁹ Otto menekankan bahwa dimensi ini tidak dapat dijelaskan secara kognitif, melainkan hanya dapat “disadari” (realized) melalui intuisi dan pengalaman emosional yang melampaui kategori rasional.¹⁰ Dengan demikian, pengalaman religius bukan sekadar bentuk kesadaran intelektual, tetapi respons eksistensial terhadap kehadiran ilahi yang mempengaruhi seluruh dimensi keberadaan manusia.

Paul Tillich memberikan kontribusi penting dengan memperkenalkan konsep “iman sebagai perhatian ultimat” (faith as ultimate concern).¹¹ Menurut Tillich, iman bukanlah kepercayaan terhadap proposisi tertentu, tetapi orientasi eksistensial yang menyentuh pusat kehidupan manusia. Dalam iman, manusia melibatkan seluruh keberadaannya terhadap sesuatu yang dianggap paling bermakna dan absolut.¹² Pengetahuan iman, dalam konteks ini, bukanlah hasil observasi eksternal, tetapi hasil transformasi eksistensial yang terjadi ketika manusia mengarahkan dirinya kepada “dasar keberadaan” (the Ground of Being).¹³

Epistemologi iman dalam eksistensialisme religius dengan demikian menegaskan bahwa kebenaran religius bersifat personal, partisipatif, dan transformatif. Iman adalah cara manusia mengetahui melalui keterlibatan diri yang total dalam realitas yang transenden.¹⁴ Di dalamnya, subjek dan objek tidak lagi terpisah secara dualistik, sebab manusia mengenal Tuhan bukan dengan jarak epistemologis, melainkan melalui kehadiran dan dialog eksistensial.¹⁵

Fenomenologi religius memperkaya dimensi epistemologis ini dengan menyoroti pengalaman iman sebagai pengalaman kesadaran yang intens dan reflektif. Max Scheler, misalnya, memandang bahwa pengetahuan religius bersumber dari “ordo amoris,” yaitu tatanan cinta yang memungkinkan manusia mengenali nilai-nilai spiritual melalui perasaan yang terarah kepada yang Ilahi.¹⁶ Demikian pula, dalam pandangan Martin Buber, pengetahuan sejati tentang Tuhan hanya mungkin terjadi dalam relasi Aku–Engkau yang hidup, di mana “Engkau yang kekal” tidak dapat dijelaskan, melainkan hanya dapat dihadapi.¹⁷

Dengan demikian, epistemologi eksistensialisme religius menolak rasionalisme dogmatis sekaligus skeptisisme empiris. Ia mengajukan paradigma pengetahuan yang berpijak pada eksistensi dan relasi: mengetahui berarti mengalami, dan mengalami berarti berpartisipasi.¹⁸ Iman tidak dapat dipisahkan dari pengalaman religius karena keduanya merupakan dua sisi dari satu gerak ontologis—gerak menuju transendensi yang memberi makna pada eksistensi manusia yang terbatas namun terbuka pada Yang Tak Terbatas.


Footnotes

[1]                Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 9–12.

[2]                John Macquarrie, Existentialism (London: Penguin Books, 1972), 121–123.

[3]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992), 203–205.

[4]                Ibid., 214–217.

[5]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 56–59.

[6]                Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 1: Reflection and Mystery, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 45–48.

[7]                Ibid., 50–51.

[8]                Gabriel Marcel, Creative Fidelity, trans. Robert Rosthal (New York: Fordham University Press, 1964), 22–26.

[9]                Rudolf Otto, The Idea of the Holy, trans. John W. Harvey (Oxford: Oxford University Press, 1958), 12–16.

[10]             Ibid., 29–33.

[11]             Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 1–2.

[12]             Ibid., 27–30.

[13]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–237.

[14]             John Macquarrie, Principles of Christian Theology (New York: Scribner, 1966), 88–90.

[15]             Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 66–70.

[16]             Max Scheler, On the Eternal in Man, trans. Bernard Noble (London: SCM Press, 1960), 112–115.

[17]             Buber, I and Thou, 102–104.

[18]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith, trans. William Dych (New York: Crossroad, 1982), 45–47.


5.           Antropologi Eksistensial: Diri, Kebebasan, dan Kesalahan

Antropologi dalam eksistensialisme religius menempatkan manusia sebagai makhluk yang berada di antara dua kutub ontologis: keterbatasan dan transendensi. Manusia bukanlah substansi tetap, melainkan ada-yang-menjadi (being-in-becoming), yang selalu berada dalam proses meneguhkan dirinya di hadapan Tuhan.¹ Dengan demikian, hakikat manusia tidak dapat dijelaskan semata melalui esensi biologis atau rasionalnya, tetapi melalui dinamika eksistensialnya: kesadaran diri, kebebasan, tanggung jawab, dan kesalahan.²

5.1.       Diri sebagai Subjek Eksistensial

Bagi Søren Kierkegaard, diri (self) bukanlah entitas psikologis yang berdiri sendiri, melainkan relasi yang berhubungan dengan dirinya sendiri dan berakar pada Tuhan. Dalam The Sickness Unto Death, ia menulis: “Manusia adalah sintesis dari yang tak terbatas dan yang terbatas, dari yang fana dan yang kekal.”³ Diri bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan sesuatu yang harus “menjadi” melalui proses eksistensial, yakni melalui hubungan reflektif antara kesadaran diri dan sumber keberadaannya.⁴ Ketika manusia memutus hubungan dengan sumber transendennya, ia jatuh ke dalam keputusasaan (despair), yang bagi Kierkegaard merupakan penyakit spiritual terdalam manusia.⁵

Dengan demikian, keutuhan diri hanya dapat dicapai ketika manusia “berada di hadapan Tuhan” (to be before God)—yakni ketika ia mengakui keterbatasannya dan menyerahkan eksistensinya kepada sumber mutlak.⁶ Dalam relasi ini, manusia menemukan keotentikan dirinya: bukan sebagai makhluk otonom yang menegaskan kehendak sendiri, melainkan sebagai pribadi yang terbuka terhadap panggilan ilahi.⁷ Maka, eksistensialisme religius menolak pandangan Cartesian tentang ego cogito yang berdiri independen, dan menggantikannya dengan pandangan relasional: manusia mengetahui dan menjadi dirinya melalui hubungan dengan Tuhan.⁸

5.2.       Kebebasan sebagai Panggilan dan Risiko

Kebebasan merupakan inti dari eksistensi manusia, tetapi dalam eksistensialisme religius, kebebasan tidak dimaknai sebagai otonomi mutlak, melainkan sebagai tanggung jawab di hadapan Tuhan.⁹ Kebebasan bukan sekadar kemampuan memilih, melainkan kemampuan untuk menanggapi panggilan yang datang dari transendensi.¹⁰ Bagi Kierkegaard, kebebasan adalah paradoks: di satu sisi merupakan anugerah, di sisi lain merupakan beban, karena manusia harus menentukan dirinya tanpa kepastian rasional.¹¹ Ia bebas untuk memilih iman atau menolak Tuhan, dan dalam kebebasan itu ia menanggung kecemasan eksistensial (angst) sebagai akibat dari kemungkinan yang tak terbatas.¹²

Gabriel Marcel memperdalam dimensi etis kebebasan ini dengan menegaskan bahwa kebebasan sejati bukanlah kebebasan dari sesuatu, melainkan kebebasan untuk berpartisipasi dalam kebaikan dan kesetiaan.¹³ Kebebasan eksistensial adalah keterbukaan terhadap misteri, bukan kemandirian dari segala bentuk keterikatan.¹⁴ Dalam konteks ini, manusia bebas justru ketika ia berani mengikatkan dirinya pada yang transenden melalui cinta dan pengorbanan.¹⁵ Dengan demikian, kebebasan bukanlah jalan menuju isolasi, melainkan jalan menuju relasi—sebuah pergerakan dari “aku yang menuntut” menuju “aku yang menyerahkan diri.”¹⁶

Paul Tillich menafsirkan kebebasan ini secara ontologis sebagai “keberanian untuk ada” (the courage to be) di tengah ancaman ketiadaan.¹⁷ Kebebasan adalah ekspresi dari kemampuan manusia untuk menerima keberadaannya meskipun dihadapkan pada absurditas dan keterbatasan. Namun, Tillich menekankan bahwa kebebasan manusia tidak bersifat mutlak; ia bergantung pada partisipasi dalam dasar keberadaan, yaitu Tuhan yang memungkinkan kebebasan itu sendiri.¹⁸

5.3.       Kesalahan, Dosa, dan Alienasi

Eksistensialisme religius juga memberikan dimensi baru terhadap pemahaman tentang dosa. Dosa tidak semata dipahami sebagai pelanggaran moral, tetapi sebagai bentuk alienasi eksistensial—yakni keterputusan manusia dari sumber keberadaannya.¹⁹ Bagi Kierkegaard, dosa adalah “ketidakinginan untuk menjadi diri sendiri di hadapan Tuhan.”²⁰ Dalam dosa, manusia menolak panggilan ilahi dan memilih menjadi pusat bagi dirinya sendiri. Inilah bentuk tertinggi dari keputusasaan eksistensial.²¹

Paul Tillich menggambarkan kondisi ini sebagai “keterasingan ontologis” (ontological estrangement), yaitu keterpisahan manusia dari Tuhan, dari sesamanya, dan dari dirinya sendiri.²² Dalam kondisi ini, manusia kehilangan akar eksistensinya dan hidup dalam ketakutan akan ketiadaan.²³ Namun, Tillich juga menegaskan bahwa kesadaran akan keterasingan ini justru membuka kemungkinan rekonsiliasi melalui “penerimaan oleh yang tak terbatas” (acceptance by the Ground of Being).²⁴

Bagi Gabriel Marcel, kesalahan bukan hanya fakta moral, tetapi kegagalan relasional.²⁵ Manusia berdosa ketika ia memperlakukan orang lain sebagai objek dan kehilangan kemampuan untuk mengasihi.²⁶ Dalam hal ini, pengampunan bukanlah tindakan legalistis, melainkan pemulihan relasi eksistensial antara “aku” dan “engkau,” yang mencerminkan relasi manusia dengan Tuhan.²⁷


Kesimpulan Subbagian

Antropologi eksistensialisme religius menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang hidup dalam tegangan antara kebebasan dan ketergantungan, antara dosa dan rahmat, antara diri dan Tuhan. Keberadaan manusia mencapai keotentikan ketika ia menerima kebebasannya sebagai tanggung jawab, bukan sebagai kedaulatan; dan ketika ia memahami kesalahannya bukan sebagai akhir, tetapi sebagai kesempatan untuk rekonsiliasi dengan dasar keberadaan. Dalam horizon inilah manusia dipahami bukan sekadar homo sapiens, melainkan homo viator—makhluk peziarah yang bergerak menuju transendensi.


Footnotes

[1]                John Macquarrie, Principles of Christian Theology (New York: Scribner, 1966), 95–98.

[2]                Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (Chicago: Regnery Gateway, 1965), 10–14.

[3]                Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1989), 43.

[4]                Ibid., 47–49.

[5]                Ibid., 56–58.

[6]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 81–83.

[7]                John Macquarrie, Existentialism (London: Penguin Books, 1972), 112–115.

[8]                Gabriel Marcel, Being and Having, trans. Katherine Farrer (London: Dacre Press, 1949), 61–63.

[9]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 135–138.

[10]             Ibid., 152–154.

[11]             Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 29–31.

[12]             Ibid., 34–36.

[13]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2: Faith and Reality, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 54–58.

[14]             Ibid., 60–63.

[15]             Gabriel Marcel, Creative Fidelity, trans. Robert Rosthal (New York: Fordham University Press, 1964), 71–74.

[16]             Ibid., 89–92.

[17]             Paul Tillich, The Courage to Be, 160–163.

[18]             Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 238–241.

[19]             Rudolf Bultmann, Existence and Faith, trans. Schubert M. Ogden (New York: Meridian Books, 1960), 32–34.

[20]             Kierkegaard, The Sickness Unto Death, 61.

[21]             Ibid., 65–67.

[22]             Tillich, Systematic Theology, Vol. 2 (Chicago: University of Chicago Press, 1957), 40–43.

[23]             Ibid., 46–47.

[24]             Tillich, The Shaking of the Foundations (New York: Scribner, 1948), 122–124.

[25]             Marcel, The Mystery of Being, Vol. 1, 102–104.

[26]             Ibid., 106–108.

[27]             Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 110–112.


6.           Etika Eksistensial Religius

Etika dalam eksistensialisme religius berakar pada pengalaman eksistensial manusia di hadapan Tuhan, bukan pada sistem rasional atau hukum moral universal.¹ Ia menolak etika formalistik yang berusaha menentukan baik dan buruk berdasarkan prinsip eksternal, serta menolak pula etika relativistik yang meniadakan makna moral transendental. Dalam pandangan ini, moralitas sejati lahir dari kebebasan yang berakar pada iman, dari keputusan personal yang bertanggung jawab di hadapan yang Ilahi.² Dengan demikian, etika eksistensial religius tidak berpusat pada aturan, melainkan pada relasi: antara manusia dan Tuhan, antara manusia dan sesama, serta antara manusia dan dirinya sendiri.

6.1.       Etika sebagai Relasi Personal dengan Tuhan

Søren Kierkegaard, tokoh utama eksistensialisme religius, meletakkan dasar etika ini dalam paradoks iman. Dalam Fear and Trembling, ia menggambarkan kisah Abraham yang diperintahkan untuk mengorbankan Ishak sebagai contoh “penangguhan teleologis atas yang etis” (teleological suspension of the ethical).³ Bagi Kierkegaard, tindakan Abraham tidak dapat dipahami melalui kategori moral umum; ia bertindak melampaui etika, karena ketaatannya bersumber langsung dari relasinya dengan Tuhan.⁴ Artinya, iman mengandung dimensi etis yang lebih tinggi dari hukum moral universal, karena ia menempatkan individu dalam hubungan yang mutlak dengan Yang Mutlak.⁵

Namun, tindakan semacam ini bukan berarti penolakan terhadap etika, melainkan penegasan bahwa sumber moralitas sejati tidak terletak pada hukum manusia, tetapi pada ketaatan eksistensial terhadap Tuhan.⁶ Dalam kerangka ini, tanggung jawab moral bersifat personal, bukan impersonal. Manusia bertindak bukan karena “itu benar” dalam sistem rasional, melainkan karena “ia dipanggil” untuk melakukannya oleh Tuhan.⁷ Dengan demikian, etika religius Kierkegaard menegaskan primasi subjektivitas eksistensial tanpa terjerumus dalam relativisme moral.

6.2.       Etika Partisipatif dan Misteri Kesetiaan

Gabriel Marcel memperluas gagasan ini dengan menolak pemisahan antara moralitas dan spiritualitas. Ia menegaskan bahwa tindakan moral sejati lahir dari partisipasi eksistensial dalam misteri keberadaan, bukan dari ketaatan terhadap norma eksternal.⁸ Dalam Creative Fidelity, Marcel memperkenalkan konsep kesetiaan kreatif (creative fidelity), yakni komitmen personal yang tumbuh dari cinta, harapan, dan kepercayaan.⁹ Bagi Marcel, kesetiaan bukan sekadar kepatuhan formal, melainkan keterlibatan aktif dalam relasi yang bermakna.¹⁰

Etika dalam pandangan Marcel bersifat partisipatif dan dialogis: manusia tidak dapat menjadi etis tanpa mengakui keberadaan orang lain sebagai subjek.¹¹ Kejahatan moral, bagi Marcel, berawal dari kecenderungan manusia untuk mengobjektifikasi sesamanya—menjadikan yang lain sebagai alat, bukan sebagai pribadi.¹² Sebaliknya, tindakan etis lahir dari kesadaran bahwa manusia adalah “mitra dalam keberadaan” (co-being) yang saling meneguhkan dalam misteri yang sama.¹³ Dalam hal ini, moralitas adalah wujud konkret dari iman yang diwujudkan dalam cinta yang setia dan dialog yang tulus.

6.3.       Etika sebagai Dialog dan Pertemuan

Martin Buber menegaskan dimensi etis eksistensial melalui filsafat dialogisnya. Dalam I and Thou, ia membedakan dua bentuk relasi dasar: Aku–Itu (I–It) dan Aku–Engkau (I–Thou).¹⁴ Relasi Aku–Itu adalah hubungan objektif, instrumental, dan terpisah; sementara Aku–Engkau adalah hubungan eksistensial, personal, dan langsung.¹⁵ Etika sejati, menurut Buber, hanya mungkin muncul dalam relasi Aku–Engkau, karena di dalamnya manusia mengalami kehadiran Tuhan sebagai “Engkau yang Kekal” (Eternal Thou).¹⁶

Dalam setiap tindakan etis, manusia dipanggil untuk melihat sesamanya bukan sebagai objek moral, tetapi sebagai “Engkau” yang mencerminkan Tuhan.¹⁷ Dengan demikian, etika bukan sekadar persoalan kewajiban, melainkan perjumpaan yang membuka ruang bagi transendensi. Moralitas yang sejati terjadi ketika manusia membiarkan yang Ilahi hadir dalam relasi antarmanusia.¹⁸ Di sinilah terlihat kesinambungan antara dimensi teologis dan antropologis eksistensialisme religius: tindakan etis merupakan partisipasi manusia dalam cinta ilahi yang menghubungkan semua eksistensi.

6.4.       Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Keputusan Moral

Paul Tillich memberikan fondasi ontologis bagi dimensi etis ini dengan mengaitkan kebebasan moral dengan partisipasi dalam dasar keberadaan.¹⁹ Dalam pandangan Tillich, manusia tidak mungkin bertindak secara etis tanpa mengakar pada Tuhan sebagai sumber nilai dan keberadaan.²⁰ Kebebasan moral sejati bukanlah kebebasan untuk bertindak sekehendak hati, tetapi kebebasan untuk merealisasikan makna terdalam keberadaan melalui keputusan yang berani dan otentik.²¹

Setiap keputusan moral melibatkan risiko eksistensial: manusia harus memilih tanpa jaminan kepastian, namun tetap bertanggung jawab atas pilihannya di hadapan Tuhan.²² Dalam hal ini, etika eksistensial religius menolak baik determinisme moral maupun legalisme rasional. Ia berpijak pada keyakinan bahwa moralitas lahir dari kebebasan yang diilhami oleh iman.²³ Dengan demikian, tindakan etis bukan hasil penalaran logis, tetapi ekspresi dari keberanian iman yang mengakui keterbatasan manusia sekaligus keterlibatan Tuhan dalam sejarah eksistensialnya.²⁴

6.5.       Cinta sebagai Fondasi Etika Eksistensial Religius

Pada akhirnya, fondasi terdalam etika eksistensial religius adalah cinta (agape). Cinta merupakan bentuk tertinggi dari relasi etis karena di dalamnya manusia mengafirmasi eksistensi yang lain tanpa syarat.²⁵ Gabriel Marcel menyebut cinta sebagai “tindakan ontologis” yang mengubah cara manusia berada di dunia.²⁶ Paul Tillich menyebut cinta sebagai “kekuatan pemersatu” yang mengatasi keterpisahan eksistensial.²⁷ Sedangkan Buber menegaskan bahwa cinta adalah bentuk tertinggi dari dialog, di mana manusia dan Tuhan saling hadir dalam keintiman eksistensial.²⁸

Etika religius dengan demikian bukan sistem norma, melainkan praksis kasih: sebuah etos yang berakar pada pengakuan akan kehadiran Ilahi dalam diri yang lain.²⁹ Di dalam cinta, kebebasan dan ketaatan, iman dan tanggung jawab, keunikan individu dan universalitas moral bertemu dalam satu kesatuan yang hidup.³⁰


Footnotes

[1]                John Macquarrie, Principles of Christian Theology (New York: Scribner, 1966), 150–153.

[2]                Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (Chicago: Regnery Gateway, 1965), 20–22.

[3]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 54–57.

[4]                Ibid., 60–62.

[5]                Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992), 220–223.

[6]                John Macquarrie, Existentialism (London: Penguin Books, 1972), 118–120.

[7]                Ibid., 122–123.

[8]                Gabriel Marcel, Being and Having, trans. Katherine Farrer (London: Dacre Press, 1949), 93–95.

[9]                Gabriel Marcel, Creative Fidelity, trans. Robert Rosthal (New York: Fordham University Press, 1964), 16–18.

[10]             Ibid., 45–48.

[11]             Marcel, The Mystery of Being, Vol. 1: Reflection and Mystery, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 80–83.

[12]             Ibid., 92–95.

[13]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2: Faith and Reality, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 64–66.

[14]             Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 11–14.

[15]             Ibid., 55–57.

[16]             Ibid., 107–109.

[17]             Ibid., 112–114.

[18]             Maurice Friedman, Martin Buber: The Life of Dialogue (New York: Harper & Row, 1960), 179–182.

[19]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 248–251.

[20]             Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 165–168.

[21]             Ibid., 173–175.

[22]             Paul Tillich, Love, Power, and Justice (New York: Oxford University Press, 1954), 25–28.

[23]             Ibid., 34–36.

[24]             Tillich, Systematic Theology, Vol. 2 (Chicago: University of Chicago Press, 1957), 52–54.

[25]             Gabriel Marcel, Creative Fidelity, 101–104.

[26]             Ibid., 109–111.

[27]             Tillich, Love, Power, and Justice, 77–80.

[28]             Buber, I and Thou, 118–120.

[29]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 352–355.

[30]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 199–201.


7.           Dimensi Estetika dan Spiritualitas Eksistensi

Dalam eksistensialisme religius, dimensi estetika dan spiritualitas bukanlah dua domain yang terpisah, tetapi dua ekspresi yang saling menyingkapkan kedalaman pengalaman manusia terhadap keberadaan. Estetika, dalam konteks ini, bukan sekadar persoalan keindahan formal, melainkan cara manusia menyingkapkan misteri keberadaannya; sementara spiritualitas adalah kesadaran reflektif akan kehadiran transendensi di dalam pengalaman tersebut.¹ Dengan demikian, estetika dan spiritualitas eksistensial saling terkait: yang pertama mengekspresikan, dan yang kedua memaknai pengalaman manusia yang terbuka pada Yang Ilahi.

7.1.       Estetika sebagai Pengalaman Keberadaan

Søren Kierkegaard dalam Either/Or membedakan tiga tahap eksistensial manusia—estetis, etis, dan religius.² Tahap estetis menggambarkan kehidupan yang mencari makna dalam kesenangan, kebaruan, dan ekspresi diri, namun tanpa arah transendental.³ Bagi Kierkegaard, tahap estetis memiliki nilai ontologis tertentu: ia merupakan kesadaran awal akan kebebasan dan potensi kreatif manusia.⁴ Namun, apabila estetika berhenti pada kenikmatan tanpa komitmen, maka ia menjadi bentuk pelarian dari keotentikan.⁵ Dalam konteks religius, estetika baru menemukan maknanya yang sejati ketika ia diorientasikan kepada Tuhan—ketika keindahan menjadi jalan menuju yang kudus, bukan pengganti dari yang kudus.⁶

Estetika religius dengan demikian bukanlah estetika sekuler yang otonom, tetapi suatu cara mengungkapkan pengalaman transendental melalui simbol, ritme, dan bentuk yang mengandung makna spiritual. Paul Tillich menyebut hal ini sebagai theology of culture, yaitu pandangan bahwa ekspresi estetis manusia adalah bentuk simbolis dari kerinduan terhadap yang Ilahi.⁷ Seni, dalam pandangan Tillich, adalah “pembukaan makna terdalam realitas melalui bentuk yang terbatas.”⁸ Oleh karena itu, seni tidak hanya berfungsi sebagai representasi keindahan, tetapi sebagai sarana pewahyuan eksistensial—medium yang menghubungkan manusia dengan “dasar keberadaan” (the Ground of Being).⁹

7.2.       Spiritualitas sebagai Keberadaan yang Terbuka terhadap Misteri

Spiritualitas eksistensial tidak berakar pada sistem kepercayaan formal, melainkan pada pengalaman langsung terhadap misteri keberadaan. Gabriel Marcel menegaskan bahwa spiritualitas sejati lahir dari kehadiran (presence)—yakni keterbukaan diri terhadap realitas yang lebih besar dari diri sendiri.¹⁰ Dalam The Mystery of Being, ia membedakan antara “memiliki” dan “menjadi”: manusia modern terperangkap dalam mode “memiliki,” sedangkan spiritualitas menuntut mode “menjadi,” yaitu partisipasi dalam misteri kehidupan.¹¹

Bagi Marcel, doa dan keheningan bukanlah tindakan religius yang terpisah dari dunia, melainkan bentuk keterlibatan eksistensial yang paling mendalam.¹² Doa adalah partisipasi dalam misteri keberadaan; melalui doa, manusia tidak memanipulasi Tuhan, tetapi membuka dirinya bagi kehadiran yang tak terhingga.¹³ Spiritualitas eksistensial dengan demikian bersifat dialogis, bukan monologis: ia terjadi dalam relasi antara manusia dan Tuhan, antara “aku” yang terbatas dan “Engkau” yang transenden.¹⁴

Martin Buber menegaskan hal serupa melalui konsep relasi Aku–Engkau. Dalam relasi religius, manusia tidak hanya berpikir tentang Tuhan, tetapi berbicara kepada-Nya.¹⁵ Pengalaman spiritual sejati tidak muncul dari refleksi metafisik, tetapi dari dialog eksistensial yang hidup dan langsung.¹⁶ Dalam setiap pertemuan yang autentik dengan sesama, manusia juga mengalami percikan kehadiran Ilahi, sebab setiap Engkau yang sejati adalah jalan menuju “Engkau yang Kekal” (Eternal Thou).¹⁷ Dengan demikian, spiritualitas eksistensial bersifat imanen sekaligus transenden: Tuhan hadir di dalam relasi, bukan di luar kehidupan.

7.3.       Estetika Spiritualitas: Keindahan sebagai Jalan Menuju Transendensi

Estetika dan spiritualitas berjumpa dalam apa yang dapat disebut sebagai “pengalaman estetika religius.” Rudolf Otto menjelaskan pengalaman religius sebagai kesadaran akan mysterium tremendum et fascinans—suatu perasaan kagum yang bercampur gentar di hadapan Yang Kudus.¹⁸ Pengalaman estetika yang sejati memiliki struktur yang serupa: keindahan sejati bukan sekadar mempesona, tetapi juga mengguncang; ia membangkitkan kesadaran akan keterbatasan manusia dan misteri yang melampauinya.¹⁹

Dalam tradisi eksistensialis religius, keindahan tidak dilihat sebagai ornamen kehidupan, melainkan sebagai tanda dari kehadiran transendensi di dalam dunia yang fana.²⁰ Paul Tillich menegaskan bahwa “setiap bentuk keindahan yang sejati adalah simbol dari kedalaman keberadaan.”²¹ Seni dan keindahan menjadi ruang perjumpaan antara yang imanen dan yang transenden, antara waktu dan kekekalan.²² Dalam arti ini, estetika religius tidak hanya menghibur, tetapi menguduskan: ia mengubah pengalaman manusia akan dunia menjadi pengalaman akan misteri ilahi.

Gabriel Marcel menulis bahwa keindahan sejati selalu membawa kita pada “keheningan metafisik,” di mana jiwa manusia terbuka untuk menerima kehadiran yang lebih besar dari dirinya.²³ Demikian pula, bagi Karl Rahner, pengalaman keindahan merupakan bentuk “wahyu anonim,” yaitu perjumpaan dengan rahmat Tuhan yang tersembunyi dalam dunia ciptaan.²⁴ Maka, estetika dan spiritualitas dalam eksistensialisme religius tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari, tetapi hadir di dalamnya sebagai cara untuk “melihat dengan mata iman”—yakni melihat dunia sebagai tempat kehadiran Tuhan.²⁵

7.4.       Penderitaan, Tragedi, dan Sublimitas Eksistensial

Dimensi estetika dan spiritual juga menyentuh pengalaman penderitaan manusia. Eksistensialisme religius tidak menolak tragedi, melainkan menafsirkannya sebagai bagian dari keindahan eksistensi yang utuh.²⁶ Dalam penderitaan, manusia dihadapkan pada keterbatasannya, namun juga menemukan kedalaman spiritual yang tak terjangkau melalui kenikmatan.²⁷ Kierkegaard menegaskan bahwa penderitaan adalah “pendidikan bagi jiwa,” sebab hanya melalui penderitaan manusia belajar mengandalkan Tuhan.²⁸

Paul Tillich menyebut pengalaman tragis ini sebagai “revelasi dalam kontradiksi”: justru di dalam luka dan kegelisahan, manusia menemukan makna terdalam keberadaannya.²⁹ Dalam seni religius maupun spiritualitas eksistensial, tragedi bukanlah kegagalan, melainkan wahana pembentukan keberanian untuk menjadi.³⁰ Dengan demikian, pengalaman estetika dan spiritualitas eksistensial menegaskan bahwa keindahan sejati tidak menolak penderitaan, tetapi menebusnya melalui makna dan cinta.


Footnotes

[1]                John Macquarrie, Principles of Christian Theology (New York: Scribner, 1966), 220–223.

[2]                Søren Kierkegaard, Either/Or, Vol. I, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1992), 39–42.

[3]                Ibid., 61–63.

[4]                Ibid., 70–73.

[5]                Søren Kierkegaard, Either/Or, Vol. II, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1992), 135–138.

[6]                Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 90–92.

[7]                Paul Tillich, Theology of Culture (New York: Oxford University Press, 1959), 32–35.

[8]                Ibid., 38–40.

[9]                Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–238.

[10]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 1: Reflection and Mystery, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 44–46.

[11]             Ibid., 51–53.

[12]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2: Faith and Reality, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 14–16.

[13]             Ibid., 28–30.

[14]             Marcel, Creative Fidelity, trans. Robert Rosthal (New York: Fordham University Press, 1964), 77–79.

[15]             Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 6–9.

[16]             Ibid., 62–64.

[17]             Ibid., 111–113.

[18]             Rudolf Otto, The Idea of the Holy, trans. John W. Harvey (Oxford: Oxford University Press, 1958), 12–14.

[19]             Ibid., 31–34.

[20]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 190–192.

[21]             Tillich, Theology of Culture, 48–50.

[22]             Ibid., 57–59.

[23]             Gabriel Marcel, Being and Having, trans. Katherine Farrer (London: Dacre Press, 1949), 100–102.

[24]             Karl Rahner, Theological Investigations, Vol. 7, trans. David Bourke (New York: Herder and Herder, 1971), 34–36.

[25]             Rahner, Foundations of Christian Faith, trans. William Dych (New York: Crossroad, 1982), 108–110.

[26]             Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan (Boston: Beacon Press, 1967), 334–336.

[27]             Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2, 71–73.

[28]             Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 87–89.

[29]             Tillich, The Shaking of the Foundations (New York: Scribner, 1948), 118–120.

[30]             Gabriel Marcel, Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope, trans. Emma Craufurd (Chicago: Henry Regnery, 1962), 95–97.


8.           Kritik terhadap Eksistensialisme Religius

Meskipun eksistensialisme religius memiliki pengaruh besar dalam membangun jembatan antara filsafat dan teologi, aliran ini tidak luput dari berbagai kritik, baik dari kalangan eksistensialis ateistik, teolog rasional, maupun filsafat analitik. Kritik-kritik tersebut berpusat pada tiga aspek utama: (1) persoalan subjektivitas iman dan rasionalitas, (2) problem bahasa religius dan makna transendensi, serta (3) ketegangan antara kebebasan manusia dan ketergantungan teologis. Kritik ini memperlihatkan dinamika pemikiran yang memperkaya sekaligus menantang relevansi eksistensialisme religius dalam konteks modern.

8.1.       Kritik dari Eksistensialisme Ateistik: Kebebasan dan Ketergantungan

Jean-Paul Sartre menjadi pengkritik paling tajam terhadap eksistensialisme religius. Dalam L’Être et le Néant (1943), Sartre menolak gagasan bahwa eksistensi manusia dapat bergantung pada entitas ilahi, karena ketergantungan tersebut dianggap meniadakan kebebasan radikal manusia.¹ Menurutnya, jika Tuhan ada, maka kebebasan manusia hanya ilusi, sebab nilai dan makna sudah ditentukan oleh kehendak Ilahi.² Oleh karena itu, Sartre menyimpulkan bahwa “Tuhan harus tiada” agar manusia benar-benar bebas untuk menciptakan dirinya sendiri.³ Dalam pandangan ini, eksistensialisme religius dianggap kontradiktif karena berusaha mempertahankan kebebasan manusia di bawah kehadiran Absolut yang transenden.

Albert Camus mengajukan kritik serupa melalui gagasan absurditas dalam Le Mythe de Sisyphe (1942).⁴ Ia menilai bahwa setiap upaya untuk mengaitkan eksistensi manusia dengan makna transenden merupakan bentuk “bunuh diri filosofis,” sebab hal itu mengabaikan absurditas dunia dan menolak keterbatasan rasionalitas manusia.⁵ Dalam perspektif Camus, iman Kierkegaardian—yakni leap of faith—adalah bentuk pelarian dari ketegangan eksistensial yang justru harus dihadapi tanpa ilusi religius.⁶ Kritik ini menantang fondasi eksistensialisme religius yang memandang iman sebagai jalan menuju otentisitas.

Namun demikian, para teolog eksistensialis seperti Paul Tillich dan Gabriel Marcel menanggapi kritik ini dengan menegaskan bahwa iman tidak meniadakan kebebasan, melainkan mengaktualkannya.⁷ Kebebasan sejati, bagi Tillich, bukan kebebasan dari Tuhan, tetapi kebebasan untuk berpartisipasi dalam dasar keberadaan yang memberi makna pada eksistensi.⁸ Dalam hal ini, eksistensialisme religius justru menolak determinisme teistik dan menegaskan ko-eksistensi antara kebebasan dan transendensi.

8.2.       Kritik dari Teologi Rasional dan Neo-Ortodoksi

Kritik berikutnya datang dari kalangan teologi rasional dan neo-ortodoksi, terutama terhadap subjektivisme iman Kierkegaardian. Karl Barth, misalnya, dalam Church Dogmatics (1932–1967), menganggap eksistensialisme religius terlalu menekankan pengalaman individu dan kurang menegaskan wahyu objektif Allah.⁹ Bagi Barth, iman bukanlah hasil refleksi eksistensial manusia, melainkan respons terhadap pewahyuan Allah yang mutlak dan independen dari kesadaran manusia.¹⁰ Dengan demikian, eksistensialisme religius dinilai berisiko menjadikan iman sebagai fenomena psikologis, bukan tindakan ilahi yang mentransformasi manusia dari luar dirinya.

Demikian pula, teolog Katolik seperti Karl Rahner menilai eksistensialisme religius terlalu bergantung pada kategori fenomenologis yang mengaburkan perbedaan antara iman dan pengalaman eksistensial.¹¹ Dalam Foundations of Christian Faith (1976), Rahner berpendapat bahwa pengalaman manusia tentang transendensi harus dibedakan dari pewahyuan Kristiani, karena iman sejati tidak dapat direduksi menjadi kesadaran eksistensial belaka.¹² Kritik Rahner menyoroti bahaya “iman tanpa dogma” dalam eksistensialisme religius, yang dapat mengarah pada relativisme teologis.¹³

Namun, para pemikir eksistensialis religius seperti Tillich dan Bultmann berargumen bahwa pendekatan eksistensial justru membuka kembali relevansi wahyu di dunia modern.¹⁴ Dengan menafsirkan Kitab Suci secara eksistensial, Bultmann berusaha menunjukkan bahwa pesan Alkitab bukanlah narasi historis belaka, melainkan panggilan eksistensial bagi manusia untuk mengaktualisasikan imannya dalam kebebasan dan tanggung jawab.¹⁵

8.3.       Kritik dari Filsafat Analitik dan Linguistik

Filsafat analitik abad ke-20 juga memberikan kritik terhadap eksistensialisme religius, terutama dalam hal kejelasan bahasa dan klaim kognitif. A. J. Ayer dan Antony Flew, misalnya, dalam tradisi positivisme logis, menolak validitas pernyataan teologis karena tidak dapat diverifikasi secara empiris.¹⁶ Dalam pandangan ini, ungkapan seperti “Tuhan mencintai manusia” dianggap tidak bermakna (meaningless statement) karena tidak dapat diuji secara observasional.¹⁷ Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus (1921) juga menegaskan bahwa “tentang apa yang tidak dapat dikatakan, kita harus berdiam diri.”¹⁸

Kritik ini menyoroti persoalan epistemologis dalam eksistensialisme religius: bagaimana mungkin iman dikatakan sebagai bentuk pengetahuan bila ia tidak tunduk pada kriteria rasional atau empiris? Gabriel Marcel dan Paul Tillich menolak keberatan ini dengan menunjukkan bahwa iman bersifat simbolis dan partisipatif, bukan deskriptif.¹⁹ Bagi Marcel, bahasa iman bukanlah bahasa ilmiah, tetapi bahasa misteri, yang hanya dapat dipahami melalui partisipasi eksistensial, bukan observasi eksternal.²⁰ Dengan demikian, makna iman terletak bukan pada proposisinya, melainkan pada transformasi eksistensial yang dihasilkannya.

8.4.       Kritik Hermeneutis dan Relevansi Kontemporer

Dari perspektif hermeneutika kontemporer, beberapa filsuf seperti Paul Ricoeur dan Emmanuel Levinas mengajukan kritik yang lebih reflektif terhadap eksistensialisme religius. Ricoeur menilai bahwa eksistensialisme religius masih terlalu individualistik dan kurang menyoroti dimensi simbolik dan naratif iman.²¹ Dalam The Symbolism of Evil (1967), ia menegaskan bahwa iman tidak hanya dialami, tetapi juga ditafsirkan; dengan demikian, pendekatan eksistensial perlu dikombinasikan dengan hermeneutika simbol untuk memahami makna religius secara utuh.²²

Levinas, di sisi lain, menolak eksistensialisme religius karena menurutnya masih berpusat pada subjek manusia.²³ Ia berpendapat bahwa pengalaman religius sejati tidak dimulai dari kesadaran diri di hadapan Tuhan, tetapi dari tanggung jawab etis terhadap yang Lain (the Other).²⁴ Dengan demikian, bagi Levinas, eksistensi religius sejati bukanlah pengalaman iman yang soliter, melainkan relasi etis yang membuka diri terhadap alteritas tanpa reduksi.²⁵ Kritik ini memperluas cakrawala eksistensialisme religius dari dimensi individual ke sosial dan etis.


Evaluasi Kritis

Meskipun berbagai kritik tersebut menyoroti kelemahan metodologis dan konseptual, eksistensialisme religius tetap memainkan peran penting dalam mengembalikan dimensi eksistensial iman ke dalam wacana filsafat modern.²⁶ Ia menolak reduksi iman menjadi sistem dogmatik maupun rasionalitas dingin, serta menghadirkan kembali wajah manusia sebagai makhluk yang mencari makna di tengah keterbatasan.²⁷ Kritik yang diarahkan kepadanya lebih tepat dipahami bukan sebagai penolakan mutlak, tetapi sebagai ajakan untuk memperluas horizon eksistensialisme religius menuju pemahaman iman yang lebih dialogis, intersubjektif, dan historis.²⁸

Dengan demikian, eksistensialisme religius tetap relevan sebagai paradigma filosofis yang menegaskan bahwa kebenaran iman tidak terletak dalam proposisi metafisik, tetapi dalam keberanian untuk hidup secara otentik di hadapan Tuhan dan sesama manusia.²⁹


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 567–570.

[2]                Ibid., 582–584.

[3]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–30.

[4]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 3–4.

[5]                Ibid., 41–43.

[6]                Ibid., 48–50.

[7]                Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–238.

[8]                Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 163–165.

[9]                Karl Barth, Church Dogmatics, Vol. I/1, trans. G. W. Bromiley (Edinburgh: T&T Clark, 1936), 40–42.

[10]             Ibid., 58–60.

[11]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith, trans. William Dych (New York: Crossroad, 1982), 45–48.

[12]             Ibid., 56–59.

[13]             Ibid., 61–62.

[14]             Rudolf Bultmann, New Testament and Mythology, trans. Schubert M. Ogden (Philadelphia: Fortress Press, 1984), 18–21.

[15]             Ibid., 28–30.

[16]             A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Victor Gollancz, 1936), 115–117.

[17]             Antony Flew, “Theology and Falsification,” in New Essays in Philosophical Theology, ed. Antony Flew and Alasdair MacIntyre (London: SCM Press, 1955), 96–99.

[18]             Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), §7.

[19]             Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 14–16.

[20]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2: Faith and Reality, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 52–54.

[21]             Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan (Boston: Beacon Press, 1967), 328–331.

[22]             Ibid., 334–336.

[23]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 43–45.

[24]             Ibid., 78–80.

[25]             Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence, trans. Alphonso Lingis (The Hague: Martinus Nijhoff, 1974), 114–116.

[26]             John Macquarrie, Existentialism (London: Penguin Books, 1972), 145–148.

[27]             Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (Chicago: Regnery Gateway, 1965), 201–204.

[28]             Maurice Friedman, Martin Buber: The Life of Dialogue (New York: Harper & Row, 1960), 210–212.

[29]             Gabriel Marcel, Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope, trans. Emma Craufurd (Chicago: Henry Regnery, 1962), 102–104.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Teologi Eksistensial

Eksistensialisme religius mencapai bentuk konseptualnya yang paling matang ketika ia bergerak melampaui batas filsafat eksistensial menuju suatu sintesis yang disebut “teologi eksistensial.” Sintesis ini tidak hanya berupaya menjembatani iman dan rasio, tetapi juga menghadirkan kembali pengalaman eksistensial manusia dalam horizon teologis yang dinamis.¹ Melalui tokoh-tokoh seperti Paul Tillich, Gabriel Marcel, Martin Buber, Rudolf Bultmann, dan Karl Rahner, teologi eksistensial memformulasikan kembali hubungan antara eksistensi manusia dan transendensi ilahi dengan pendekatan fenomenologis, dialogis, dan ontologis.

9.1.       Dari Eksistensi Menuju Transendensi: Dasar Ontologis Teologi Eksistensial

Paul Tillich merupakan arsitek utama dari teologi eksistensial modern. Ia berusaha mengintegrasikan analisis eksistensial Heideggerian dengan teologi Kristen melalui konsep “Tuhan sebagai dasar keberadaan” (God as the Ground of Being).² Dalam pandangan Tillich, manusia adalah makhluk yang hidup dalam ketegangan antara “ada” dan “tidak-ada” (being and non-being), dan keberanian untuk tetap ada di tengah ancaman ketiadaan merupakan pengalaman teologis yang mendalam.³ Dengan demikian, iman bukanlah kepercayaan terhadap proposisi teologis, melainkan partisipasi eksistensial dalam dasar realitas yang ilahi.⁴

Tillich menghindari antropomorfisme dalam teologi dengan menolak gambaran Tuhan sebagai “seorang pribadi supranatural.” Ia menyatakan bahwa “Tuhan tidak ada seperti benda-benda ada, tetapi Tuhan adalah ada itu sendiri.”⁵ Dengan ini, ia menempatkan eksistensialisme religius dalam kerangka ontologis yang mengatasi dualisme antara teisme klasik dan ateisme modern.⁶ Tuhan bukanlah entitas yang berhadapan dengan manusia, melainkan fondasi yang memungkinkan manusia untuk “menjadi.”⁷

9.2.       Marcel dan Ontologi Partisipatif: Misteri sebagai Mediasi antara Filsafat dan Iman

Sementara Tillich menekankan dimensi ontologis abstrak, Gabriel Marcel memberikan corak yang lebih eksistensial dan personal. Dalam The Mystery of Being, Marcel menggantikan konsep “masalah” (problem) dengan “misteri” (mystery) sebagai pusat refleksi filosofis.⁸ Misteri tidak dapat diselesaikan melalui analisis, tetapi hanya dapat dihidupi melalui partisipasi.⁹ Di sini tampak dasar teologis eksistensialisme religius Marcel: Tuhan bukan objek yang dapat dibuktikan, melainkan Thou yang dihayati dalam kehadiran dan cinta.¹⁰

Marcel menolak reduksi Tuhan ke dalam kategori metafisika dan menegaskan bahwa pengetahuan iman adalah pengakuan akan kehadiran.¹¹ Dalam keheningan doa, kesetiaan, dan cinta, manusia berpartisipasi dalam keberadaan yang melampaui dirinya tanpa kehilangan subjektivitasnya.¹² Inilah bentuk “ontologi partisipatif” yang menjadi jembatan antara filsafat eksistensial dan teologi: manusia tidak lagi menjadi penonton dari realitas ilahi, tetapi peserta aktif dalam misteri keberadaan.¹³

9.3.       Buber dan Teologi Dialogis: Relasi sebagai Ruang Ilahi

Martin Buber melengkapi dimensi sintesis ini dengan menempatkan relasi personal sebagai locus teologi eksistensial. Dalam I and Thou, Buber menunjukkan bahwa pengalaman religius bukanlah pengalaman tentang Tuhan, melainkan perjumpaan dengan Tuhan.¹⁴ Ia menyebut Tuhan sebagai “Engkau yang Kekal” (Eternal Thou), yang hadir dalam setiap relasi Aku–Engkau yang sejati.¹⁵ Dengan demikian, Buber memformulasikan teologi yang bersifat dialogis—di mana iman bukan hasil pemikiran metafisik, tetapi keterbukaan eksistensial terhadap yang lain, baik manusia maupun Tuhan.¹⁶

Relasi dialogis ini memiliki dimensi etis dan spiritual yang mendalam: manusia dipanggil untuk mengasihi bukan karena perintah moral eksternal, tetapi karena setiap “Engkau” mengandung jejak kehadiran Ilahi.¹⁷ Dalam arti ini, Buber berhasil menyatukan teologi, etika, dan antropologi eksistensial menjadi satu kesatuan yang dinamis.¹⁸

9.4.       Bultmann dan Hermeneutika Eksistensial: Iman sebagai Penafsiran Diri

Rudolf Bultmann memperluas teologi eksistensial ke bidang hermeneutika dengan gagasan Entmythologisierung (demitologisasi).¹⁹ Ia berpendapat bahwa pesan alkitabiah harus dibaca bukan sebagai laporan historis, tetapi sebagai ekspresi eksistensial tentang kondisi manusia.²⁰ Melalui tafsir eksistensial, kisah tentang Kristus bukan lagi sekadar peristiwa masa lalu, tetapi panggilan eksistensial bagi setiap individu untuk membuat keputusan iman.²¹

Dalam kerangka ini, iman bukan penerimaan dogma, tetapi kesediaan untuk “memahami diri di hadapan Allah.”²² Dengan demikian, teologi eksistensial Bultmann berfungsi sebagai interpretasi eksistensial atas wahyu, yang memungkinkan iman berbicara dalam bahasa manusia modern tanpa kehilangan maknanya yang transendental.²³

9.5.       Rahner dan Transendentalitas Eksistensi: Dimensi Katolik dari Teologi Eksistensial

Karl Rahner membawa tradisi teologi eksistensial ke dalam ranah Katolik dengan sintesis antara Thomas Aquinas dan Heidegger.²⁴ Dalam Foundations of Christian Faith, Rahner menyebut manusia sebagai homo transcendentalis—makhluk yang secara kodrati diarahkan kepada Allah sebagai horizon tak terbatas keberadaannya.²⁵ Menurut Rahner, setiap tindakan pengetahuan dan kebebasan manusia sudah mengandaikan keterbukaan terhadap yang Ilahi.²⁶

Rahner menyebut pengalaman ini sebagai “pengetahuan implisit tentang Tuhan” (unthematic knowledge of God), yakni kesadaran eksistensial akan transendensi yang selalu hadir namun tidak terobjektifikasi.²⁷ Dengan demikian, iman bukanlah penambahan terhadap eksistensi, tetapi penggenapan dari arah eksistensial manusia yang terdalam.²⁸


Sintesis Akhir: Teologi sebagai Pengalaman Eksistensial

Sintesis antara eksistensi dan teologi yang dirumuskan oleh Tillich, Marcel, Buber, Bultmann, dan Rahner mengarahkan teologi modern pada pemahaman baru tentang iman sebagai pengalaman eksistensial yang terbuka terhadap misteri transendensi. Dalam teologi eksistensial, iman bukan sekadar doctrina, tetapi eventus—peristiwa yang terjadi dalam keberadaan manusia.²⁹

Teologi eksistensial menolak dikotomi antara iman dan akal, antara subjektivitas dan objektivitas. Ia melihat iman sebagai tindakan integral dari seluruh eksistensi manusia, di mana rasio, emosi, dan pengalaman bersatu dalam relasi dengan Tuhan yang hidup.³⁰ Melalui sintesis ini, eksistensialisme religius tidak lagi sekadar sistem filsafat, tetapi menjadi paradigma spiritual dan teologis yang menegaskan bahwa manusia menemukan dirinya sepenuhnya hanya ketika ia berpartisipasi dalam misteri Ilahi.³¹


Footnotes

[1]                John Macquarrie, Principles of Christian Theology (New York: Scribner, 1966), 270–273.

[2]                Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–238.

[3]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 171–174.

[4]                Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 1–4.

[5]                Tillich, Systematic Theology, Vol. 1, 240.

[6]                Ibid., 245–247.

[7]                Ibid., 249–251.

[8]                Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 1: Reflection and Mystery, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 37–39.

[9]                Ibid., 46–48.

[10]             Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2: Faith and Reality, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 15–18.

[11]             Gabriel Marcel, Creative Fidelity, trans. Robert Rosthal (New York: Fordham University Press, 1964), 81–83.

[12]             Ibid., 102–105.

[13]             Marcel, Being and Having, trans. Katherine Farrer (London: Dacre Press, 1949), 92–94.

[14]             Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 6–9.

[15]             Ibid., 105–107.

[16]             Maurice Friedman, Martin Buber: The Life of Dialogue (New York: Harper & Row, 1960), 188–191.

[17]             Buber, I and Thou, 115–117.

[18]             Ibid., 120–122.

[19]             Rudolf Bultmann, New Testament and Mythology, trans. Schubert M. Ogden (Philadelphia: Fortress Press, 1984), 19–22.

[20]             Ibid., 26–28.

[21]             Rudolf Bultmann, Jesus and the Word, trans. Louise Pettibone Smith and Erminie Huntress Lantero (New York: Scribner, 1958), 120–123.

[22]             Ibid., 127–129.

[23]             Bultmann, Existence and Faith, trans. Schubert M. Ogden (New York: Meridian Books, 1960), 45–47.

[24]             Karl Rahner, Spirit in the World, trans. William Dych (New York: Herder and Herder, 1968), 210–214.

[25]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith, trans. William Dych (New York: Crossroad, 1982), 98–101.

[26]             Ibid., 110–113.

[27]             Ibid., 122–125.

[28]             Rahner, Theological Investigations, Vol. 7, trans. David Bourke (New York: Herder and Herder, 1971), 37–39.

[29]             Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (Chicago: Regnery Gateway, 1965), 205–208.

[30]             Paul Tillich, The Shaking of the Foundations (New York: Scribner, 1948), 115–118.

[31]             Gabriel Marcel, Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope, trans. Emma Craufurd (Chicago: Henry Regnery, 1962), 101–104.


10.       Relevansi Kontemporer

Eksistensialisme religius, meskipun berakar pada konteks intelektual Eropa abad ke-19 dan ke-20, tetap memiliki relevansi yang signifikan dalam menjawab krisis makna, spiritualitas, dan identitas manusia modern. Dalam dunia yang ditandai oleh sekularisasi, teknologi, relativisme moral, dan kehilangan makna hidup, filsafat ini menawarkan kerangka reflektif yang mampu meneguhkan kembali dimensi eksistensial dan spiritual manusia.¹ Melalui pandangan tentang kebebasan, iman, dan partisipasi dalam transendensi, eksistensialisme religius membuka jalan bagi reinterpretasi pengalaman religius di tengah dunia yang semakin terfragmentasi dan terobjektifikasi.

10.1.    Relevansi terhadap Krisis Makna dan Nihilisme Modern

Salah satu kontribusi paling penting dari eksistensialisme religius adalah kemampuannya dalam merespons nihilisme yang menguasai kesadaran modern. Friedrich Nietzsche menyatakan “Tuhan telah mati” sebagai simbol hilangnya pusat makna dalam budaya Barat.² Dalam konteks ini, Kierkegaard dan Tillich menghadirkan alternatif: Tuhan tidak mati, melainkan disalahpahami oleh sistem rasional modern yang meniadakan dimensi eksistensial iman.³ Kierkegaard menawarkan leap of faith sebagai jawaban terhadap kehampaan eksistensial—bukan untuk melarikan diri dari absurditas, tetapi untuk mengubah absurditas menjadi kemungkinan iman.⁴

Paul Tillich menyebut nihilisme modern sebagai “ketiadaan makna yang diinstitusionalisasi.”⁵ Ia menegaskan bahwa manusia modern membutuhkan “keberanian untuk menjadi” (the courage to be) di tengah ancaman ketiadaan.⁶ Dalam konteks global yang diwarnai oleh alienasi, depresi eksistensial, dan krisis spiritual, eksistensialisme religius menjadi kerangka terapeutik sekaligus teologis: ia membantu manusia menemukan makna melalui relasi personal dengan dasar keberadaannya.⁷

Viktor Frankl, meskipun tidak secara eksplisit eksistensialis religius, menerjemahkan prinsip ini ke dalam ranah psikoterapi melalui logoterapi—sebuah pendekatan yang menempatkan pencarian makna hidup sebagai kebutuhan spiritual terdalam manusia.⁸ Frankl mengafirmasi pandangan Kierkegaard bahwa manusia dapat bertahan hidup “selama ia memiliki alasan untuk hidup,” bahkan di tengah penderitaan.⁹ Dengan demikian, eksistensialisme religius memperluas relevansinya dari refleksi metafisik ke dimensi eksistensial-praktis: sebagai terapi bagi kehampaan spiritual modern.

10.2.    Relevansi terhadap Pluralisme Agama dan Dialog Antariman

Dalam dunia global yang pluralistik, eksistensialisme religius menyediakan bahasa filosofis yang dapat menjembatani perbedaan iman tanpa meniadakan kedalaman religiusitas masing-masing. Martin Buber, melalui konsep Aku–Engkau, menegaskan bahwa relasi dengan Tuhan dan sesama tidak dapat dimediasi oleh dogma, melainkan harus dialami secara langsung dan otentik.¹⁰ Dalam konteks ini, dialog antaragama bukanlah perdebatan teologis, tetapi perjumpaan eksistensial antara pribadi-pribadi yang terbuka terhadap transendensi.¹¹

Paul Tillich memperluas ide ini dengan mengembangkan teologi budaya yang bersifat inklusif. Ia menulis bahwa setiap agama mengandung “simbol keberadaan tertinggi” yang mengungkapkan pengalaman iman yang universal.¹² Teologi eksistensial dengan demikian membuka ruang bagi pluralitas iman tanpa meniadakan keunikan teologis masing-masing tradisi.¹³ Hal ini sangat relevan dalam dunia yang terpecah oleh fundamentalisme di satu sisi dan sekularisme ekstrem di sisi lain.

Gabriel Marcel, di sisi lain, menekankan spiritualitas universal dari cinta, harapan, dan kesetiaan.¹⁴ Ia mengajak manusia untuk “bertemu di dalam misteri,” bukan di dalam konsep-konsep yang memisahkan.¹⁵ Spiritualitas eksistensial semacam ini menjadi dasar bagi teologi dialogis lintas agama yang menekankan pengalaman bersama tentang kehadiran Ilahi dalam kehidupan manusia.

10.3.    Relevansi terhadap Teknologi dan Krisis Kemanusiaan

Perkembangan teknologi dan digitalisasi global telah menciptakan bentuk baru dari alienasi eksistensial. Manusia modern hidup dalam jaringan komunikasi yang luas, tetapi sering kali kehilangan kedalaman relasi personal.¹⁶ Dalam konteks ini, eksistensialisme religius mengingatkan akan pentingnya “kehadiran” (presence) sebagai inti kemanusiaan.¹⁷ Gabriel Marcel menyebut krisis ini sebagai “degradasi ontologis,” di mana manusia berubah menjadi fungsi dan informasi, bukan pribadi yang hidup.¹⁸

Etika dialogis Buber dan spiritualitas kesetiaan Marcel menawarkan koreksi terhadap reduksi teknologi: manusia dipanggil untuk kembali menjadi subjek yang hadir, bukan sekadar operator sistem.¹⁹ Dengan demikian, eksistensialisme religius menegaskan dimensi ontologis spiritualitas di era digital—mengajarkan bahwa keberadaan sejati tidak ditemukan dalam kecepatan dan efisiensi, tetapi dalam relasi dan refleksi.²⁰

10.4.    Relevansi terhadap Etika Global dan Krisis Ekologis

Eksistensialisme religius juga memiliki implikasi etis terhadap krisis ekologis dan sosial kontemporer. Jika eksistensi manusia adalah partisipasi dalam keberadaan, maka tanggung jawab terhadap dunia adalah bagian dari iman itu sendiri.²¹ Tillich menyebut bahwa dosa manusia bukan hanya keterpisahan dari Tuhan, tetapi juga keterasingan dari alam dan sesama.²² Dalam konteks ini, etika eksistensial religius dapat dikembangkan menjadi eco-theology—pandangan yang menekankan kesatuan ontologis antara manusia, alam, dan Tuhan.²³

Gabriel Marcel menambahkan bahwa “cinta terhadap keberadaan” mencakup kesetiaan terhadap dunia sebagai rumah bersama umat manusia.²⁴ Dengan demikian, spiritualitas eksistensial dapat menjadi dasar bagi etika ekologis yang menolak eksploitasi dan mengafirmasi keberlanjutan kehidupan.²⁵ Dalam hal ini, eksistensialisme religius berkontribusi pada pembentukan etika global yang mengintegrasikan iman, tanggung jawab, dan solidaritas universal.

10.5.    Relevansi terhadap Pendidikan dan Spiritualitas Modern

Dalam ranah pendidikan dan formasi spiritual, eksistensialisme religius menegaskan perlunya pembentukan kesadaran reflektif dan tanggung jawab pribadi.²⁶ Iman tidak dapat diwariskan secara dogmatis, tetapi harus dialami secara eksistensial.²⁷ Pendidikan yang berlandaskan pada paradigma eksistensial religius menumbuhkan kebebasan, kejujuran, dan keberanian untuk mencari makna hidup.²⁸ Dalam dunia yang diwarnai oleh pragmatisme dan konsumtivisme, pendekatan ini memulihkan dimensi spiritualitas sebagai inti kemanusiaan.²⁹


Sintesis Relevansi: Iman, Makna, dan Keberadaan di Zaman Global

Eksistensialisme religius tetap menjadi sumber inspirasi filosofis dan teologis yang penting bagi dunia kontemporer karena ia tidak menawarkan sistem, tetapi jalan hidup: suatu ajakan untuk hidup otentik dalam keterbatasan, untuk mencintai dalam penderitaan, dan untuk beriman dalam keheningan misteri.³⁰ Di tengah dunia yang terfragmentasi oleh rasionalitas instrumental dan sekularisasi ekstrem, eksistensialisme religius mengingatkan manusia bahwa makna tertinggi keberadaan tidak ditemukan di luar dirinya, tetapi di dalam relasi yang intim dengan dasar keberadaan itu sendiri—Tuhan yang hadir di dalam eksistensi.³¹


Footnotes

[1]                John Macquarrie, Existentialism (London: Penguin Books, 1972), 147–149.

[2]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.

[3]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992), 210–213.

[4]                Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 92–94.

[5]                Paul Tillich, The Shaking of the Foundations (New York: Scribner, 1948), 102–104.

[6]                Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 175–177.

[7]                Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 239–241.

[8]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 99–101.

[9]                Ibid., 104–106.

[10]             Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 121–124.

[11]             Maurice Friedman, Martin Buber: The Life of Dialogue (New York: Harper & Row, 1960), 208–210.

[12]             Paul Tillich, Theology of Culture (New York: Oxford University Press, 1959), 35–37.

[13]             Ibid., 40–42.

[14]             Gabriel Marcel, Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope, trans. Emma Craufurd (Chicago: Henry Regnery, 1962), 91–94.

[15]             Ibid., 95–97.

[16]             Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 22–25.

[17]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 1: Reflection and Mystery, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 56–58.

[18]             Ibid., 61–63.

[19]             Marcel, Being and Having, trans. Katherine Farrer (London: Dacre Press, 1949), 102–104.

[20]             Paul Tillich, Love, Power, and Justice (New York: Oxford University Press, 1954), 72–75.

[21]             John Macquarrie, Principles of Christian Theology (New York: Scribner, 1966), 302–305.

[22]             Tillich, Systematic Theology, Vol. 2 (Chicago: University of Chicago Press, 1957), 88–90.

[23]             Anne Clifford, Ecotheology: An Introduction (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2001), 44–46.

[24]             Marcel, Creative Fidelity, trans. Robert Rosthal (New York: Fordham University Press, 1964), 114–116.

[25]             Ibid., 118–120.

[26]             Paulo Freire, Pedagogy of the Heart, trans. Donaldo Macedo (New York: Continuum, 1997), 17–19.

[27]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith, trans. William Dych (New York: Crossroad, 1982), 133–136.

[28]             Viktor E. Frankl, The Will to Meaning: Foundations and Applications of Logotherapy (New York: Plume, 1988), 45–47.

[29]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2: Faith and Reality, 69–71.

[30]             Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (Chicago: Regnery Gateway, 1965), 210–212.

[31]             Paul Tillich, The Shaking of the Foundations, 120–122.


11.       Kesimpulan

Eksistensialisme religius merupakan salah satu sintesis paling penting dalam sejarah filsafat modern karena ia berupaya mengintegrasikan pengalaman eksistensial manusia dengan pengakuan akan realitas transendental Tuhan. Ia tidak berhenti pada krisis eksistensial yang ditandai oleh absurditas dan nihilisme, melainkan melampauinya melalui iman, partisipasi, dan dialog dengan Yang Ilahi.¹ Dalam hal ini, eksistensialisme religius berfungsi sebagai “teologi pengalaman,” yang menggabungkan analisis filosofis tentang keberadaan dengan refleksi teologis tentang makna, kebebasan, dan harapan manusia.²

11.1.    Rekapitulasi Inti Pemikiran

Dari akar-akar historisnya dalam pemikiran Agustinus dan Pascal hingga perumusan sistematik oleh Kierkegaard, Marcel, Buber, Tillich, dan Rahner, eksistensialisme religius menegaskan bahwa iman bukanlah dogma statis, melainkan keputusan eksistensial.³ Iman adalah leap of faith (Kierkegaard), creative fidelity (Marcel), dialogue of being (Buber), dan participation in the Ground of Being (Tillich).⁴ Setiap konsep tersebut menegaskan bahwa Tuhan bukan sekadar objek metafisis yang dipahami, tetapi realitas yang dihayati secara personal dan eksistensial.⁵

Eksistensialisme religius juga mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang “berada di hadapan Tuhan”—homo viator, peziarah yang hidup dalam ketegangan antara iman dan keraguan, antara kebebasan dan keterbatasan.⁶ Dalam ketegangan inilah manusia menemukan dirinya sebagai pribadi yang otentik, sebab ia sadar akan finitude-nya sekaligus keterarahannya pada infinitude Ilahi.⁷ Dengan demikian, inti dari eksistensialisme religius bukanlah metafisika tentang Tuhan, tetapi eksistensi manusia yang selalu terarah kepada-Nya.

11.2.    Signifikansi Teologis dan Filosofis

Secara teologis, eksistensialisme religius memperbarui cara kita memahami hubungan antara iman dan rasio. Ia menolak baik rasionalisme dogmatis yang mengobjektifikasi Tuhan, maupun fideisme sempit yang menolak refleksi intelektual.⁸ Dalam pandangan Tillich, iman adalah “perhatian yang ultimat” (ultimate concern) yang melibatkan seluruh keberadaan manusia.⁹ Dengan kata lain, iman bukan sekadar kepercayaan terhadap proposisi teologis, tetapi orientasi eksistensial yang meneguhkan makna hidup.

Secara filosofis, eksistensialisme religius menawarkan kritik terhadap sekularisme modern yang menyingkirkan transendensi dari horizon kehidupan manusia. Gabriel Marcel menegaskan bahwa manusia modern terancam menjadi “makhluk yang memiliki tanpa menjadi” (having without being).¹⁰ Eksistensialisme religius mengembalikan manusia kepada kedalaman ontologisnya, kepada dimensi spiritual yang melampaui logika produktivitas dan efisiensi.¹¹ Dengan demikian, ia menjadi fondasi bagi humanisme baru yang bersifat spiritual dan relasional—humanisme yang tidak meniadakan Tuhan, tetapi justru menemukan kemanusiaan sejati dalam relasi dengan Tuhan.¹²

11.3.    Sintesis Akhir: Eksistensi, Iman, dan Transendensi

Dalam sintesis akhirnya, eksistensialisme religius menegaskan bahwa eksistensi manusia tidak pernah netral, melainkan selalu berada dalam relasi dengan sumber keberadaannya.¹³ Keberanian untuk hidup secara otentik berarti keberanian untuk mengakui keterbatasan diri dan membuka diri terhadap transendensi. Iman, dalam pengertian ini, bukan bentuk pelarian dari realitas, melainkan bentuk partisipasi terdalam di dalamnya.¹⁴

Melalui pendekatan eksistensial, iman tidak lagi dipahami sebagai “pengetahuan tentang Tuhan,” melainkan sebagai perjumpaan dengan Tuhan dalam diri dan sejarah.¹⁵ Maka, eksistensialisme religius bukan sekadar mazhab filosofis, tetapi juga praksis hidup: suatu cara berada yang penuh keheningan, kesetiaan, dan keterlibatan.¹⁶ Ia memulihkan kembali dimensi spiritual dalam eksistensi manusia modern yang tercerabut dari akar maknanya.


Relevansi Akhir: Iman sebagai Panggilan untuk Menjadi

Dalam dunia yang diwarnai oleh kehilangan makna, dehumanisasi teknologi, dan relativisme moral, eksistensialisme religius menampilkan iman sebagai panggilan untuk menjadi manusia sepenuhnya.¹⁷ Iman berarti keberanian untuk hidup dengan kesadaran akan misteri, untuk mencintai dalam keterbatasan, dan untuk berharap meski di tengah absurditas.¹⁸ Ia mempersatukan yang imanen dan transenden, yang etis dan estetis, yang manusiawi dan ilahi, ke dalam satu kesatuan eksistensial yang hidup.

Sebagaimana ditegaskan oleh Marcel, “keberadaan bukanlah sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita hayati bersama.”¹⁹ Pernyataan ini menutup lingkaran eksistensialisme religius: dari kesadaran diri menuju keterlibatan, dari keterbatasan menuju misteri, dan akhirnya dari keberadaan menuju transendensi.


Footnotes

[1]                John Macquarrie, Principles of Christian Theology (New York: Scribner, 1966), 320–323.

[2]                Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 239–242.

[3]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 53–56.

[4]                Gabriel Marcel, Creative Fidelity, trans. Robert Rosthal (New York: Fordham University Press, 1964), 85–88.

[5]                Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 111–114.

[6]                Gabriel Marcel, Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope, trans. Emma Craufurd (Chicago: Henry Regnery, 1962), 91–93.

[7]                Kierkegaard, The Sickness Unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1989), 43–45.

[8]                Karl Rahner, Foundations of Christian Faith, trans. William Dych (New York: Crossroad, 1982), 126–129.

[9]                Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 1–3.

[10]             Gabriel Marcel, Being and Having, trans. Katherine Farrer (London: Dacre Press, 1949), 62–65.

[11]             Ibid., 98–100.

[12]             Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (Chicago: Regnery Gateway, 1965), 212–215.

[13]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 171–174.

[14]             Tillich, The Shaking of the Foundations (New York: Scribner, 1948), 119–121.

[15]             Rudolf Bultmann, New Testament and Mythology, trans. Schubert M. Ogden (Philadelphia: Fortress Press, 1984), 19–21.

[16]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2: Faith and Reality, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 70–73.

[17]             Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan (Boston: Beacon Press, 1967), 338–341.

[18]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 101–104.

[19]             Marcel, The Mystery of Being, Vol. 1: Reflection and Mystery, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 55.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. London: Victor Gollancz.

Barth, K. (1936). Church dogmatics, Vol. I/1 (G. W. Bromiley, Trans.). Edinburgh: T&T Clark.

Buber, M. (1958). I and thou (R. G. Smith, Trans.). New York: Scribner.

Bultmann, R. (1960). Existence and faith (S. M. Ogden, Trans.). New York: Meridian Books.

Bultmann, R. (1958). Jesus and the word (L. P. Smith & E. H. Lantero, Trans.). New York: Scribner.

Bultmann, R. (1984). New Testament and mythology (S. M. Ogden, Trans.). Philadelphia: Fortress Press.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). New York: Vintage International.

Clifford, A. (2001). Ecotheology: An introduction. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Flew, A. (1955). Theology and falsification. In A. Flew & A. MacIntyre (Eds.), New essays in philosophical theology (pp. 96–99). London: SCM Press.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning (I. Lasch, Trans.). Boston: Beacon Press.

Frankl, V. E. (1988). The will to meaning: Foundations and applications of logotherapy. New York: Plume.

Friedman, M. (1960). Martin Buber: The life of dialogue. New York: Harper & Row.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.

Kierkegaard, S. (1980). The concept of anxiety (R. Thomte, Trans.). Princeton: Princeton University Press.

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). London: Penguin Classics.

Kierkegaard, S. (1989). The sickness unto death (A. Hannay, Trans.). London: Penguin Classics.

Kierkegaard, S. (1992). Either/Or, Vols. I–II (A. Hannay, Trans.). London: Penguin Classics.

Kierkegaard, S. (1992). Concluding unscientific postscript to philosophical fragments (H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton: Princeton University Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh: Duquesne University Press.

Levinas, E. (1974). Otherwise than being or beyond essence (A. Lingis, Trans.). The Hague: Martinus Nijhoff.

Macquarrie, J. (1972). Existentialism. London: Penguin Books.

Macquarrie, J. (1966). Principles of Christian theology. New York: Scribner.

Marcel, G. (1949). Being and having (K. Farrer, Trans.). London: Dacre Press.

Marcel, G. (1964). Creative fidelity (R. Rosthal, Trans.). New York: Fordham University Press.

Marcel, G. (1962). Homo viator: Introduction to a metaphysic of hope (E. Craufurd, Trans.). Chicago: Henry Regnery.

Marcel, G. (2001). The mystery of being, Vol. 1: Reflection and mystery (G. S. Fraser, Trans.). South Bend: St. Augustine’s Press.

Marcel, G. (2001). The mystery of being, Vol. 2: Faith and reality (G. S. Fraser, Trans.). South Bend: St. Augustine’s Press.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). New York: Vintage Books.

Otto, R. (1958). The idea of the holy (J. W. Harvey, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Pascal, B. (1995). Pensées (A. J. Krailsheimer, Trans.). London: Penguin Classics.

Rahner, K. (1968). Spirit in the world (W. Dych, Trans.). New York: Herder and Herder.

Rahner, K. (1971). Theological investigations, Vol. 7 (D. Bourke, Trans.). New York: Herder and Herder.

Rahner, K. (1982). Foundations of Christian faith (W. Dych, Trans.). New York: Crossroad.

Ricoeur, P. (1965). Fallible man (C. Kelbley, Trans.). Chicago: Regnery Gateway.

Ricoeur, P. (1967). The symbolism of evil (E. Buchanan, Trans.). Boston: Beacon Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). New York: Washington Square Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). New Haven: Yale University Press.

Scheler, M. (1960). On the eternal in man (B. Noble, Trans.). London: SCM Press.

Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Tillich, P. (1948). The shaking of the foundations. New York: Scribner.

Tillich, P. (1951). Systematic theology, Vol. 1. Chicago: University of Chicago Press.

Tillich, P. (1952). The courage to be. New Haven: Yale University Press.

Tillich, P. (1954). Love, power, and justice. New York: Oxford University Press.

Tillich, P. (1957). Dynamics of faith. New York: Harper & Row.

Tillich, P. (1957). Systematic theology, Vol. 2. Chicago: University of Chicago Press.

Tillich, P. (1959). Theology of culture. New York: Oxford University Press.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. New York: Basic Books.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). London: Routledge & Kegan Paul.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar