Eksistensialisme Religius
Antara Kebebasan, Keberadaan, dan Transendensi
Alihkan ke: Filsafat Eksistensialisme.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif cabang
filsafat eksistensialisme yang berorientasi religius, yang dikenal sebagai eksistensialisme
religius. Kajian ini menelusuri akar historisnya sejak pemikiran Søren
Kierkegaard sebagai “bapak eksistensialisme religius,” kemudian
dikembangkan oleh pemikir-pemikir seperti Gabriel Marcel, Martin Buber, Paul
Tillich, Rudolf Bultmann, dan Karl Rahner. Eksistensialisme religius
berupaya mengintegrasikan pengalaman eksistensial manusia dengan kesadaran akan
transendensi ilahi, dengan menempatkan iman bukan sekadar sebagai dogma
rasional, melainkan sebagai pengalaman eksistensial yang hidup dan personal.
Artikel ini menguraikan landasan ontologis,
epistemologis, antropologis, dan etis dari eksistensialisme religius, serta
mengeksplorasi dimensi estetika dan spiritualitasnya. Melalui pendekatan
komparatif dan hermeneutis, eksistensialisme religius ditafsirkan sebagai upaya
sintesis antara kebebasan manusia dan kehadiran Tuhan, antara subjektivitas dan
transendensi. Di sisi lain, berbagai kritik filosofis dan teologis—baik
dari eksistensialisme ateistik, positivisme logis, maupun hermeneutika
pasca-modern—dibahas secara kritis untuk menunjukkan keterbatasan sekaligus
potensi kreatif pendekatan ini.
Dalam bagian akhir, artikel ini menegaskan relevansi
eksistensialisme religius terhadap konteks kontemporer: sebagai respon
terhadap krisis makna, pluralisme agama, dehumanisasi teknologi, dan krisis
spiritual global. Eksistensialisme religius menghadirkan paradigma iman yang
dialogis, partisipatif, dan otentik—suatu bentuk teologi eksistensial
yang menegaskan bahwa manusia hanya dapat menemukan makna terdalam
keberadaannya dalam relasi yang hidup dengan dasar keberadaannya sendiri: Tuhan.
Kata Kunci: Eksistensialisme Religius; Søren Kierkegaard;
Gabriel Marcel; Martin Buber; Paul Tillich; Karl Rahner; Iman; Transendensi;
Ontologi Eksistensial; Teologi Eksistensial; Spiritualitas; Kebebasan; Makna
Hidup; Hermeneutika; Humanisme Religius.
PEMBAHASAN
Eksistensialisme Religius dalam Pencarian Makna dan
Tanggung Jawab Manusia
1.          
Pendahuluan
Eksistensialisme religius lahir sebagai respons filosofis
terhadap krisis makna yang menandai modernitas, terutama setelah dominasi
rasionalisme dan sekularisasi menyingkirkan dimensi transendental dari
kehidupan manusia. Filsafat modern, yang sejak Descartes menempatkan subjek
sebagai pusat epistemologi, pada akhirnya menghasilkan paradoks: manusia
menjadi pusat segala makna, tetapi justru kehilangan makna dirinya sendiri.
Krisis ini memuncak dalam abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ketika nihilisme
Nietzsche, absurditas Camus, dan ateisme Sartre mengguncang dasar-dasar tradisi
metafisika dan religius Barat. Dalam konteks inilah, eksistensialisme religius
muncul sebagai upaya rekonsiliasi antara iman dan kebebasan, antara eksistensi
manusia yang terbatas dengan kehadiran transendensi ilahi yang tak terjangkau.¹
Eksistensialisme religius berbeda dari bentuk
ateistiknya karena menolak memisahkan Tuhan dari pengalaman eksistensial
manusia. Jika Sartre menegaskan bahwa “eksistensi mendahului esensi” dalam
ketiadaan Tuhan,² maka Kierkegaard justru melihat keberadaan manusia sebagai “ada
di hadapan Tuhan” (existence before God).³ Bagi Kierkegaard, iman
bukanlah penerimaan rasional atas dogma, melainkan lompatan eksistensial—a
leap of faith—yang melibatkan subjektivitas terdalam manusia di hadapan paradoks
ilahi.⁴ Eksistensi manusia dipahami bukan sekadar fakta ontologis, melainkan
panggilan personal yang menuntut keterlibatan, penderitaan, dan pilihan bebas
yang otentik.⁵
Dalam perkembangan selanjutnya, eksistensialisme
religius dikembangkan oleh pemikir seperti Gabriel Marcel, Martin Buber, dan
Paul Tillich yang masing-masing menekankan aspek dialogis, relasional, dan
ontologis dari keberadaan religius. Marcel, misalnya, menolak pandangan
objektifikasi manusia modern dan mengusulkan konsep “partisipasi dalam
misteri keberadaan,”⁶ sedangkan Buber menegaskan hubungan Aku–Engkau
sebagai dasar realitas personal dan religius.⁷ Tillich, di sisi lain,
mengajukan konsep “Tuhan sebagai dasar keberadaan” (the Ground of
Being) yang mengatasi dikotomi antara iman dan rasionalitas.⁸
Dengan demikian, eksistensialisme religius tidak
hanya berfungsi sebagai kritik terhadap sekularisasi modern, tetapi juga
sebagai tawaran filosofis yang menempatkan kembali eksistensi manusia dalam
horizon transendensi. Dalam tradisi ini, iman dipahami bukan sebagai bentuk
pelarian dari kebebasan, melainkan sebagai pengakuan akan kedalaman dan
keterbatasan eksistensi yang membuka diri terhadap yang Ilahi.⁹
Eksistensialisme religius mengajak manusia untuk menafsirkan kembali makna penderitaan,
keputusasaan, dan cinta dalam terang relasi dengan Tuhan yang hidup, bukan
Tuhan yang semata-mata konsep metafisik.
Secara metodologis, kajian ini berupaya memadukan
pendekatan historis, ontologis, dan fenomenologis guna menyingkap dinamika
antara eksistensi manusia dan transendensi ilahi. Penelitian terhadap
eksistensialisme religius bukan sekadar menggali kembali warisan pemikiran
Kierkegaard atau Tillich, melainkan juga mengkaji relevansinya bagi manusia
modern yang bergulat dengan alienasi spiritual, nihilisme, dan krisis makna.
Melalui pendekatan ini, eksistensialisme religius diharapkan mampu menghadirkan
suatu pemahaman yang lebih integral tentang kebebasan manusia sebagai panggilan
eksistensial yang berakar pada pengalaman iman.
Footnotes
[1]               
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2007), 19–25.
[2]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[3]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 62.
[4]               
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H.
Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992), 203.
[5]               
John Macquarrie, Existentialism (London:
Penguin Books, 1972), 105–110.
[6]               
Gabriel Marcel, Being and Having, trans.
Katherine Farrer (London: Dacre Press, 1949), 56–60.
[7]               
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald
Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 66–70.
[8]               
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven:
Yale University Press, 1952), 172–175.
[9]               
Rudolf Otto, The Idea of the Holy, trans.
John W. Harvey (Oxford: Oxford University Press, 1958), 24–27.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogi Pemikiran
Eksistensialisme religius memiliki akar yang
panjang dalam sejarah pemikiran Barat, jauh sebelum istilah eksistensialisme
itu sendiri muncul pada abad ke-19. Secara genealogis, gagasan tentang
eksistensi manusia yang berhubungan langsung dengan Tuhan telah muncul dalam
pemikiran teologis dan filsafat moral sejak Agustinus dari Hippo. Dalam Confessiones,
Agustinus menulis bahwa hati manusia tidak akan pernah tenang sebelum “beristirahat
dalam Engkau,” menandai intuisi mendalam bahwa eksistensi manusia bersifat theocentric
dan hanya menemukan makna dalam keterarahan kepada Yang Ilahi.¹ Perspektif ini
menjadi dasar bagi seluruh tradisi eksistensial religius berikutnya: manusia
dipahami sebagai makhluk yang mencari makna dalam relasi dengan Tuhan, bukan
sebagai entitas otonom yang tertutup pada dirinya sendiri.
Memasuki abad ke-17, Blaise Pascal melanjutkan
intuisi Agustinian itu dalam konteks baru modernitas. Dalam Pensées, ia
menggambarkan manusia sebagai makhluk paradoksal—di satu sisi hina karena
keterbatasannya, di sisi lain agung karena kesadarannya akan keterbatasan
tersebut.² Pascal menolak rasionalisme Cartesian yang memisahkan iman dan akal,
dengan menegaskan bahwa “hati memiliki alasan-alasannya sendiri yang tidak
dikenal oleh akal.”³ Dengan demikian, Pascal dapat dipandang sebagai figur
peralihan antara teologi klasik dan eksistensialisme religius: ia mengungkapkan
bahwa pengalaman iman bukanlah hasil argumen rasional, melainkan pergulatan
eksistensial yang lahir dari kesadaran akan keterlemparan dan kebutuhan akan
kasih karunia.
Namun, eksistensialisme religius dalam bentuk yang
matang baru menemukan ekspresinya melalui Søren Kierkegaard pada abad ke-19. Ia
menolak sistem rasional Hegelian yang berusaha menyatukan seluruh realitas
dalam totalitas logis, dan sebaliknya menegaskan eksistensi individu yang unik
di hadapan Tuhan.⁴ Kierkegaard memperkenalkan tiga tahap eksistensial
manusia—estetis, etis, dan religius—yang berpuncak pada tahap religius, yaitu
ketika individu berani “melompat dalam iman” (leap of faith)
melampaui rasionalitas universal.⁵ Dalam pandangan Kierkegaard, iman bersifat
paradoksal karena menuntut ketaatan mutlak kepada Tuhan yang sekaligus tampak
irasional bagi etika umum, seperti yang tergambar dalam kisah Abraham di Fear
and Trembling.⁶
Pandangan Kierkegaard ini memberi dasar bagi
seluruh arah eksistensialisme religius modern: iman tidak lagi dipahami sebagai
sistem dogmatis, melainkan sebagai eksistensi yang terlibat, penuh risiko, dan
menuntut keputusan personal.⁷ Ia menegaskan bahwa kebenaran sejati adalah
kebenaran yang dialami secara subjektif (subjective truth), yakni
keterlibatan total manusia terhadap yang Ilahi.⁸ Dengan demikian, ia
menempatkan iman sebagai pusat dari eksistensi manusia yang otentik.
Pada awal abad ke-20, gagasan Kierkegaard dihidupkan
kembali oleh para teolog dan filsuf yang berupaya menggabungkan analisis
eksistensial dengan teologi. Paul Tillich menafsirkan eksistensi manusia
sebagai “keberadaan yang senantiasa berada di bawah ancaman ketiadaan” (being-threatened-by-nonbeing),
dan Tuhan sebagai “dasar keberadaan” yang memberi makna dan keberanian
untuk ada.⁹ Gabriel Marcel, filsuf Prancis yang semula berorientasi idealisme,
kemudian beralih pada “filosofi konkret tentang keberadaan,” menolak
reduksi manusia menjadi objek, dan mengusulkan partisipasi eksistensial dalam
misteri keberadaan.¹⁰ Sementara itu, Martin Buber menekankan relasionalitas
manusia dengan Tuhan melalui konsep dialogis Aku–Engkau, di mana
keberadaan religius tidak muncul dari refleksi rasional melainkan dari perjumpaan
personal yang hidup.¹¹
Dari perspektif historis, eksistensialisme religius
dapat dipandang sebagai reaksi terhadap dua kutub ekstrem dalam filsafat
modern: di satu sisi, rasionalisme sistematik yang menghapus dimensi personal
iman (misalnya dalam Hegelianisme), dan di sisi lain, eksistensialisme ateistik
yang mengabaikan transendensi.¹² Eksistensialisme religius berupaya
mempertahankan kebebasan manusia tanpa menolak dimensi ilahi yang memberi makna
pada eksistensi. Dalam hal ini, ia bukan sekadar varian teologis dari
eksistensialisme, melainkan suatu sintesis filosofis yang mendalam antara iman
dan eksistensi—antara being dan believing.¹³
Dengan demikian, secara genealogis,
eksistensialisme religius menelusuri jejak panjang dari Agustinus hingga
Tillich, dari intuisi tentang kegelisahan spiritual hingga formulasi teologis
tentang keberadaan dan transendensi. Arah perkembangannya menunjukkan bahwa
manusia selalu mencari makna di tengah keterbatasannya—dan pencarian itu
menemukan puncaknya dalam iman eksistensial, yaitu pengakuan akan Tuhan yang
hadir di tengah keberadaan yang rapuh namun penuh harapan.
Footnotes
[1]               
Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), 1.1.
[2]               
Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J. Krailsheimer
(London: Penguin Classics, 1995), §131.
[3]               
Ibid., §277.
[4]               
Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety,
trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 13–15.
[5]               
Søren Kierkegaard, Stages on Life’s Way,
trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press,
1988), 177–180.
[6]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 56–58.
[7]               
John Macquarrie, Existentialism (London:
Penguin Books, 1972), 114–120.
[8]               
Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript
to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong
(Princeton: Princeton University Press, 1992), 199.
[9]               
Paul Tillich, Systematic Theology, Volume 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–240.
[10]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 1:
Reflection and Mystery, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s
Press, 2001), 43–49.
[11]            
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald
Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 75–80.
[12]            
Karl Jaspers, Philosophy of Existence,
trans. Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
1971), 41–43.
[13]            
Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles
Kelbley (Chicago: Regnery Gateway, 1965), 9–11.
3.          
Ontologi
Eksistensi dan Transendensi
Ontologi eksistensialisme religius berangkat dari
pertanyaan fundamental: apa artinya ada sebagai manusia di hadapan Tuhan?
Pertanyaan ini tidak semata bersifat metafisik dalam arti klasik—yakni mencari
esensi universal dari keberadaan—melainkan eksistensial, karena berhubungan
dengan pengalaman konkret manusia yang sadar akan keterbatasan, kebebasan, dan
ketergantungannya pada sesuatu yang melampaui dirinya.¹ Dalam pandangan
eksistensial religius, eksistensi manusia selalu bersifat relasional: manusia
tidak hanya “ada,” tetapi “ada-di-hadapan” (being-before)
dan “ada-bersama” (being-with), yang mencapai puncaknya dalam
relasi dengan Yang Transenden.²
Søren Kierkegaard menjadi pelopor ontologi
eksistensial yang bersifat religius. Bagi Kierkegaard, eksistensi manusia tidak
dapat dipahami tanpa mengacu pada Tuhan sebagai “Yang Mutlak.”³ Ia
menolak pandangan metafisika sistematik Hegel yang meniadakan perbedaan antara
manusia dan Absolut. Sebaliknya, Kierkegaard menegaskan bahwa kesadaran
eksistensial lahir dari jarak tak terjembatani antara manusia yang fana dan
Tuhan yang transenden.⁴ Dalam ketegangan itu, manusia mengalami “keputusasaan”
(fortvivlelse), yang bukan sekadar kondisi psikologis, melainkan
kesadaran ontologis akan keterputusan antara eksistensi dan esensi ilahi.⁵
Namun justru melalui keputusasaan ini, manusia dipanggil untuk melampaui
dirinya melalui iman yang menjadi jembatan eksistensial menuju Tuhan.⁶
Martin Heidegger, meskipun tidak berbicara dalam
kerangka religius, memberikan pengaruh penting terhadap pemahaman
eksistensialisme religius melalui analisis ontologisnya tentang Dasein
sebagai “ada-yang-mengetahui-akan-keberadaannya.”⁷ Heidegger menegaskan
bahwa keberadaan manusia ditandai oleh Befindlichkeit (terlempar), Sorge
(kecemasan), dan Sein-zum-Tode (ada-menuju-kematian).⁸ Pemikiran ini
kemudian diinterpretasikan secara teologis oleh Paul Tillich dan Rudolf
Bultmann. Bagi Tillich, “keberanian untuk ada” (the courage to be)
muncul dari kesadaran bahwa keberadaan manusia senantiasa terancam oleh ketiadaan,
dan hanya dengan berakar pada “dasar keberadaan” (the Ground of Being)—yakni
Tuhan—manusia dapat mempertahankan eksistensinya secara otentik.⁹ Dengan
demikian, Tuhan dalam kerangka Tillich bukanlah entitas di luar dunia,
melainkan dimensi ontologis terdalam dari segala yang ada, sumber yang
memungkinkan keberadaan itu sendiri.¹⁰
Gabriel Marcel mengembangkan dimensi ontologis ini
dalam bentuk refleksi metafisik yang lebih personal dan relasional. Dalam The
Mystery of Being, Marcel menolak reduksi manusia menjadi objek yang dapat
didefinisikan, dan menggantikannya dengan konsep “misteri keberadaan.”¹¹
Bagi Marcel, keberadaan tidak dapat “diketahui” secara objektif,
melainkan harus “dihayati” dalam keterlibatan eksistensial. Misteri ini
bersifat transenden, namun sekaligus imanen dalam pengalaman cinta, kesetiaan,
dan harapan.¹² Dalam cinta, misalnya, manusia mengalami kehadiran transendensi
dalam bentuk paling konkret: kehadiran “yang lain” yang tidak dapat
direduksi menjadi benda atau konsep.¹³ Relasi ini membuka ruang ontologis bagi
pengalaman religius, di mana manusia berpartisipasi dalam realitas yang
melampaui dirinya namun tetap hadir dalam kehidupannya.
Sementara itu, Martin Buber menghadirkan dimensi
ontologis eksistensial melalui kategorisasi relasional Aku–Engkau (Ich–Du).¹⁴
Dalam relasi Aku–Engkau, keberadaan manusia tidak ditentukan oleh
refleksi terhadap dunia (seperti dalam hubungan Aku–Itu), melainkan oleh
perjumpaan langsung dengan realitas personal yang hidup.¹⁵ Dalam puncaknya,
relasi Aku–Engkau mengarah pada perjumpaan dengan Tuhan, “Engkau yang
kekal” (Ewiges Du), yang menjadi dasar segala relasi personal.¹⁶
Ontologi relasional Buber menunjukkan bahwa eksistensi sejati tidak ditemukan
dalam kesendirian metafisik, melainkan dalam dialog yang bersifat
transendental.
Ontologi eksistensialisme religius, dengan
demikian, menolak dualisme antara imanen dan transenden. Transendensi tidak
dipahami sebagai “yang jauh di luar,” tetapi sebagai kedalaman
eksistensi itu sendiri—the depth of being dalam istilah Tillich—yang
menyentuh manusia pada titik paling pribadi.¹⁷ Dalam horizon ini, iman bukanlah
pelarian dari dunia, melainkan pengakuan ontologis bahwa keberadaan manusia
memperoleh maknanya hanya dalam keterbukaan terhadap sumber transendensi.¹⁸
Kesimpulannya, ontologi eksistensialisme religius
berupaya mengatasi reduksionisme metafisika klasik dan nihilisme modern
sekaligus. Ia memandang manusia bukan sebagai substansi statis, melainkan
sebagai eksistensi dinamis yang berakar pada misteri ilahi. Dalam relasi antara
eksistensi dan transendensi, manusia menemukan dirinya sebagai makhluk yang
terbatas namun terbuka terhadap yang tak terbatas—suatu keberadaan yang
menegaskan makna terdalamnya hanya dalam terang Sang Ada yang Mutlak.
Footnotes
[1]               
John Macquarrie, Principles of Christian
Theology (New York: Scribner, 1966), 71–75.
[2]               
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 1:
Reflection and Mystery, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s
Press, 2001), 48.
[3]               
Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1989), 38–40.
[4]               
Ibid., 52–55.
[5]               
Ibid., 59–60.
[6]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 88–92.
[7]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–80.
[8]               
Ibid., 172–180.
[9]               
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven:
Yale University Press, 1952), 152–156.
[10]            
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–240.
[11]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2:
Faith and Reality, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press,
2001), 15–18.
[12]            
Ibid., 31–34.
[13]            
Gabriel Marcel, Creative Fidelity, trans.
Robert Rosthal (New York: Fordham University Press, 1964), 67–70.
[14]            
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald
Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 11–13.
[15]            
Ibid., 54–56.
[16]            
Ibid., 104–106.
[17]            
Paul Tillich, The Shaking of the Foundations
(New York: Scribner, 1948), 60–63.
[18]            
Karl Rahner, Spirit in the World, trans.
William Dych (New York: Herder and Herder, 1968), 212–215.
4.          
Epistemologi
Iman dan Pengalaman Religius
Dalam eksistensialisme religius, pengetahuan
tentang Tuhan dan realitas transenden tidak diperoleh melalui proses
intelektual atau pembuktian rasional semata, melainkan melalui keterlibatan
eksistensial manusia dalam iman. Iman bukanlah pengetahuan tentang
Tuhan, melainkan pengalaman akan Tuhan yang dialami secara personal,
subjektif, dan eksistensial.¹ Dengan demikian, epistemologi eksistensialisme
religius tidak bersifat proposisional, tetapi performatif: mengetahui berarti “mengada”
dalam iman.²
Søren Kierkegaard menolak segala bentuk
epistemologi objektif yang berusaha menjadikan Tuhan sebagai objek pengetahuan
rasional. Baginya, iman merupakan bentuk subjective truth, yakni
kebenaran yang dialami dalam keputusan eksistensial individu di hadapan Tuhan.³
Dalam Concluding Unscientific Postscript, ia menegaskan bahwa kebenaran
objektif hanya dapat menjelaskan fakta, tetapi tidak mampu menangkap relasi
personal antara manusia dan Tuhan yang bersifat paradoksal.⁴ Iman justru muncul
dalam ketegangan antara rasionalitas dan absurditas, di mana individu memilih untuk
“melompat” ke dalam paradoks iman yang tidak dapat dijelaskan oleh
logika.⁵ Oleh karena itu, iman bukan sekadar bentuk keyakinan teologis,
melainkan tindakan eksistensial yang mengubah cara manusia berada di dunia.
Epistemologi eksistensial ini berakar pada
pemahaman bahwa manusia tidak dapat mendekati Tuhan sebagai subjek yang
mengetahui objek, melainkan sebagai pribadi yang dihadapkan pada Misteri.
Gabriel Marcel menyebut hal ini sebagai knowledge through participation—suatu
bentuk pengetahuan yang diperoleh bukan melalui pengamatan, tetapi melalui
partisipasi ontologis dalam misteri keberadaan.⁶ Ia membedakan antara “masalah”
(problem) yang dapat diselesaikan dengan analisis rasional dan “misteri”
(mystery) yang hanya dapat dihayati melalui keterlibatan pribadi.⁷ Dalam
konteks religius, Tuhan bukanlah objek pengetahuan ilmiah, melainkan Misteri
yang dihadapi dengan iman, kesetiaan, dan cinta.⁸ Dengan demikian, pengalaman
religius bagi Marcel adalah bentuk keterbukaan total terhadap transendensi yang
hadir dalam eksistensi manusia, bukan sesuatu yang dapat direduksi menjadi
konsep atau argumen.
Rudolf Otto, dalam karya klasiknya The Idea of
the Holy, memperluas pemahaman epistemologis ini dengan menunjukkan bahwa
pengalaman religius bersifat numinous—yaitu kesadaran akan “yang
kudus” (das Heilige) yang menimbulkan perasaan mysterium
tremendum et fascinans (misteri yang menakutkan sekaligus mempesona).⁹ Otto
menekankan bahwa dimensi ini tidak dapat dijelaskan secara kognitif, melainkan
hanya dapat “disadari” (realized) melalui intuisi dan pengalaman
emosional yang melampaui kategori rasional.¹⁰ Dengan demikian, pengalaman
religius bukan sekadar bentuk kesadaran intelektual, tetapi respons
eksistensial terhadap kehadiran ilahi yang mempengaruhi seluruh dimensi
keberadaan manusia.
Paul Tillich memberikan kontribusi penting dengan
memperkenalkan konsep “iman sebagai perhatian ultimat” (faith as
ultimate concern).¹¹ Menurut Tillich, iman bukanlah kepercayaan terhadap
proposisi tertentu, tetapi orientasi eksistensial yang menyentuh pusat
kehidupan manusia. Dalam iman, manusia melibatkan seluruh keberadaannya
terhadap sesuatu yang dianggap paling bermakna dan absolut.¹² Pengetahuan iman,
dalam konteks ini, bukanlah hasil observasi eksternal, tetapi hasil
transformasi eksistensial yang terjadi ketika manusia mengarahkan dirinya
kepada “dasar keberadaan” (the Ground of Being).¹³
Epistemologi iman dalam eksistensialisme religius
dengan demikian menegaskan bahwa kebenaran religius bersifat personal, partisipatif,
dan transformatif. Iman adalah cara manusia mengetahui melalui keterlibatan
diri yang total dalam realitas yang transenden.¹⁴ Di dalamnya, subjek dan objek
tidak lagi terpisah secara dualistik, sebab manusia mengenal Tuhan bukan dengan
jarak epistemologis, melainkan melalui kehadiran dan dialog eksistensial.¹⁵
Fenomenologi religius memperkaya dimensi
epistemologis ini dengan menyoroti pengalaman iman sebagai pengalaman kesadaran
yang intens dan reflektif. Max Scheler, misalnya, memandang bahwa pengetahuan
religius bersumber dari “ordo amoris,” yaitu tatanan cinta yang
memungkinkan manusia mengenali nilai-nilai spiritual melalui perasaan yang
terarah kepada yang Ilahi.¹⁶ Demikian pula, dalam pandangan Martin Buber,
pengetahuan sejati tentang Tuhan hanya mungkin terjadi dalam relasi Aku–Engkau
yang hidup, di mana “Engkau yang kekal” tidak dapat dijelaskan,
melainkan hanya dapat dihadapi.¹⁷
Dengan demikian, epistemologi eksistensialisme
religius menolak rasionalisme dogmatis sekaligus skeptisisme empiris. Ia
mengajukan paradigma pengetahuan yang berpijak pada eksistensi dan relasi:
mengetahui berarti mengalami, dan mengalami berarti berpartisipasi.¹⁸ Iman
tidak dapat dipisahkan dari pengalaman religius karena keduanya merupakan dua
sisi dari satu gerak ontologis—gerak menuju transendensi yang memberi makna
pada eksistensi manusia yang terbatas namun terbuka pada Yang Tak Terbatas.
Footnotes
[1]               
Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York:
Harper & Row, 1957), 9–12.
[2]               
John Macquarrie, Existentialism (London:
Penguin Books, 1972), 121–123.
[3]               
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H.
Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992), 203–205.
[4]               
Ibid., 214–217.
[5]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1985), 56–59.
[6]               
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 1:
Reflection and Mystery, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s
Press, 2001), 45–48.
[7]               
Ibid., 50–51.
[8]               
Gabriel Marcel, Creative Fidelity, trans.
Robert Rosthal (New York: Fordham University Press, 1964), 22–26.
[9]               
Rudolf Otto, The Idea of the Holy, trans.
John W. Harvey (Oxford: Oxford University Press, 1958), 12–16.
[10]            
Ibid., 29–33.
[11]            
Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York:
Harper & Row, 1957), 1–2.
[12]            
Ibid., 27–30.
[13]            
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–237.
[14]            
John Macquarrie, Principles of Christian
Theology (New York: Scribner, 1966), 88–90.
[15]            
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald
Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 66–70.
[16]            
Max Scheler, On the Eternal in Man, trans.
Bernard Noble (London: SCM Press, 1960), 112–115.
[17]            
Buber, I and Thou, 102–104.
[18]            
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith,
trans. William Dych (New York: Crossroad, 1982), 45–47.
5.          
Antropologi
Eksistensial: Diri, Kebebasan, dan Kesalahan
Antropologi dalam
eksistensialisme religius menempatkan manusia sebagai makhluk yang berada di
antara dua kutub ontologis: keterbatasan dan transendensi. Manusia bukanlah
substansi tetap, melainkan ada-yang-menjadi (being-in-becoming),
yang selalu berada dalam proses meneguhkan dirinya di hadapan Tuhan.¹ Dengan
demikian, hakikat manusia tidak dapat dijelaskan semata melalui esensi biologis
atau rasionalnya, tetapi melalui dinamika eksistensialnya: kesadaran diri,
kebebasan, tanggung jawab, dan kesalahan.²
5.1.      
Diri sebagai Subjek Eksistensial
Bagi Søren
Kierkegaard, diri (self) bukanlah entitas psikologis
yang berdiri sendiri, melainkan relasi yang berhubungan dengan dirinya sendiri
dan berakar pada Tuhan. Dalam The Sickness Unto Death, ia
menulis: “Manusia adalah sintesis dari yang tak terbatas dan yang terbatas,
dari yang fana dan yang kekal.”³ Diri bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan
sesuatu yang harus “menjadi” melalui proses eksistensial, yakni melalui
hubungan reflektif antara kesadaran diri dan sumber keberadaannya.⁴ Ketika
manusia memutus hubungan dengan sumber transendennya, ia jatuh ke dalam keputusasaan
(despair),
yang bagi Kierkegaard merupakan penyakit spiritual terdalam manusia.⁵
Dengan demikian,
keutuhan diri hanya dapat dicapai ketika manusia “berada di hadapan Tuhan”
(to be
before God)—yakni ketika ia mengakui keterbatasannya dan
menyerahkan eksistensinya kepada sumber mutlak.⁶ Dalam relasi ini, manusia
menemukan keotentikan dirinya: bukan sebagai makhluk otonom yang menegaskan
kehendak sendiri, melainkan sebagai pribadi yang terbuka terhadap panggilan
ilahi.⁷ Maka, eksistensialisme religius menolak pandangan Cartesian tentang ego
cogito yang berdiri independen, dan menggantikannya dengan
pandangan relasional: manusia mengetahui dan menjadi dirinya melalui hubungan
dengan Tuhan.⁸
5.2.      
Kebebasan sebagai Panggilan dan Risiko
Kebebasan merupakan
inti dari eksistensi manusia, tetapi dalam eksistensialisme religius, kebebasan
tidak dimaknai sebagai otonomi mutlak, melainkan sebagai tanggung jawab di
hadapan Tuhan.⁹ Kebebasan bukan sekadar kemampuan memilih, melainkan kemampuan
untuk menanggapi panggilan yang datang dari transendensi.¹⁰ Bagi Kierkegaard,
kebebasan adalah paradoks: di satu sisi merupakan anugerah, di sisi lain
merupakan beban, karena manusia harus menentukan dirinya tanpa kepastian
rasional.¹¹ Ia bebas untuk memilih iman atau menolak Tuhan, dan dalam kebebasan
itu ia menanggung kecemasan eksistensial (angst) sebagai akibat dari
kemungkinan yang tak terbatas.¹²
Gabriel Marcel
memperdalam dimensi etis kebebasan ini dengan menegaskan bahwa kebebasan sejati
bukanlah kebebasan dari sesuatu, melainkan kebebasan untuk berpartisipasi dalam
kebaikan dan kesetiaan.¹³ Kebebasan eksistensial adalah keterbukaan terhadap
misteri, bukan kemandirian dari segala bentuk keterikatan.¹⁴ Dalam konteks ini,
manusia bebas justru ketika ia berani mengikatkan dirinya pada yang transenden
melalui cinta dan pengorbanan.¹⁵ Dengan demikian, kebebasan bukanlah jalan
menuju isolasi, melainkan jalan menuju relasi—sebuah pergerakan dari “aku
yang menuntut” menuju “aku yang menyerahkan diri.”¹⁶
Paul Tillich
menafsirkan kebebasan ini secara ontologis sebagai “keberanian untuk ada”
(the
courage to be) di tengah ancaman ketiadaan.¹⁷ Kebebasan adalah
ekspresi dari kemampuan manusia untuk menerima keberadaannya meskipun
dihadapkan pada absurditas dan keterbatasan. Namun, Tillich menekankan bahwa
kebebasan manusia tidak bersifat mutlak; ia bergantung pada partisipasi dalam
dasar keberadaan, yaitu Tuhan yang memungkinkan kebebasan itu sendiri.¹⁸
5.3.      
Kesalahan, Dosa, dan Alienasi
Eksistensialisme
religius juga memberikan dimensi baru terhadap pemahaman tentang dosa. Dosa
tidak semata dipahami sebagai pelanggaran moral, tetapi sebagai bentuk alienasi
eksistensial—yakni keterputusan manusia dari sumber keberadaannya.¹⁹ Bagi
Kierkegaard, dosa adalah “ketidakinginan untuk menjadi diri sendiri di
hadapan Tuhan.”²⁰ Dalam dosa, manusia menolak panggilan ilahi dan memilih
menjadi pusat bagi dirinya sendiri. Inilah bentuk tertinggi dari keputusasaan
eksistensial.²¹
Paul Tillich
menggambarkan kondisi ini sebagai “keterasingan ontologis” (ontological
estrangement), yaitu keterpisahan manusia dari Tuhan, dari
sesamanya, dan dari dirinya sendiri.²² Dalam kondisi ini, manusia kehilangan
akar eksistensinya dan hidup dalam ketakutan akan ketiadaan.²³ Namun, Tillich
juga menegaskan bahwa kesadaran akan keterasingan ini justru membuka kemungkinan
rekonsiliasi melalui “penerimaan oleh yang tak terbatas” (acceptance
by the Ground of Being).²⁴
Bagi Gabriel Marcel,
kesalahan bukan hanya fakta moral, tetapi kegagalan relasional.²⁵ Manusia
berdosa ketika ia memperlakukan orang lain sebagai objek dan kehilangan
kemampuan untuk mengasihi.²⁶ Dalam hal ini, pengampunan bukanlah tindakan
legalistis, melainkan pemulihan relasi eksistensial antara “aku” dan “engkau,”
yang mencerminkan relasi manusia dengan Tuhan.²⁷
Kesimpulan Subbagian
Antropologi
eksistensialisme religius menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang hidup
dalam tegangan antara kebebasan dan ketergantungan, antara dosa dan rahmat,
antara diri dan Tuhan. Keberadaan manusia mencapai keotentikan ketika ia
menerima kebebasannya sebagai tanggung jawab, bukan sebagai kedaulatan; dan
ketika ia memahami kesalahannya bukan sebagai akhir, tetapi sebagai kesempatan
untuk rekonsiliasi dengan dasar keberadaan. Dalam horizon inilah manusia
dipahami bukan sekadar homo sapiens, melainkan homo
viator—makhluk peziarah yang bergerak menuju transendensi.
Footnotes
[1]               
John Macquarrie, Principles of Christian
Theology (New York: Scribner, 1966),
95–98.
[2]               
Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (Chicago: Regnery Gateway,
1965), 10–14.
[3]               
Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics,
1989), 43.
[4]               
Ibid., 47–49.
[5]               
Ibid., 56–58.
[6]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics,
1985), 81–83.
[7]               
John Macquarrie, Existentialism (London: Penguin Books, 1972), 112–115.
[8]               
Gabriel Marcel, Being and Having, trans. Katherine Farrer (London: Dacre Press, 1949),
61–63.
[9]               
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 135–138.
[10]            
Ibid., 152–154.
[11]            
Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton
University Press, 1980), 29–31.
[12]            
Ibid., 34–36.
[13]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being,
Vol. 2: Faith and Reality, trans. G.
S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 54–58.
[14]            
Ibid., 60–63.
[15]            
Gabriel Marcel, Creative Fidelity, trans. Robert Rosthal (New York: Fordham University
Press, 1964), 71–74.
[16]            
Ibid., 89–92.
[17]            
Paul Tillich, The Courage to Be, 160–163.
[18]            
Tillich, Systematic Theology,
Vol. 1 (Chicago: University of
Chicago Press, 1951), 238–241.
[19]            
Rudolf Bultmann, Existence and Faith, trans. Schubert M. Ogden (New York: Meridian Books,
1960), 32–34.
[20]            
Kierkegaard, The Sickness Unto Death, 61.
[21]            
Ibid., 65–67.
[22]            
Tillich, Systematic Theology,
Vol. 2 (Chicago: University of
Chicago Press, 1957), 40–43.
[23]            
Ibid., 46–47.
[24]            
Tillich, The Shaking of the
Foundations (New York: Scribner,
1948), 122–124.
[25]            
Marcel, The Mystery of Being,
Vol. 1, 102–104.
[26]            
Ibid., 106–108.
[27]            
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner,
1958), 110–112.
6.          
Etika
Eksistensial Religius
Etika dalam
eksistensialisme religius berakar pada pengalaman eksistensial manusia di
hadapan Tuhan, bukan pada sistem rasional atau hukum moral universal.¹ Ia
menolak etika formalistik yang berusaha menentukan baik dan buruk berdasarkan
prinsip eksternal, serta menolak pula etika relativistik yang meniadakan makna
moral transendental. Dalam pandangan ini, moralitas sejati lahir dari kebebasan
yang berakar pada iman, dari keputusan personal yang bertanggung jawab di
hadapan yang Ilahi.² Dengan demikian, etika eksistensial religius tidak
berpusat pada aturan, melainkan pada relasi: antara manusia dan Tuhan, antara
manusia dan sesama, serta antara manusia dan dirinya sendiri.
6.1.      
Etika sebagai Relasi Personal dengan Tuhan
Søren Kierkegaard,
tokoh utama eksistensialisme religius, meletakkan dasar etika ini dalam
paradoks iman. Dalam Fear and Trembling, ia
menggambarkan kisah Abraham yang diperintahkan untuk mengorbankan Ishak sebagai
contoh “penangguhan teleologis atas yang etis” (teleological
suspension of the ethical).³ Bagi Kierkegaard, tindakan Abraham
tidak dapat dipahami melalui kategori moral umum; ia bertindak melampaui etika,
karena ketaatannya bersumber langsung dari relasinya dengan Tuhan.⁴ Artinya,
iman mengandung dimensi etis yang lebih tinggi dari hukum moral universal,
karena ia menempatkan individu dalam hubungan yang mutlak dengan Yang Mutlak.⁵
Namun, tindakan
semacam ini bukan berarti penolakan terhadap etika, melainkan penegasan bahwa
sumber moralitas sejati tidak terletak pada hukum manusia, tetapi pada ketaatan
eksistensial terhadap Tuhan.⁶ Dalam kerangka ini, tanggung jawab moral bersifat
personal, bukan impersonal. Manusia bertindak bukan karena “itu benar”
dalam sistem rasional, melainkan karena “ia dipanggil” untuk
melakukannya oleh Tuhan.⁷ Dengan demikian, etika religius Kierkegaard
menegaskan primasi subjektivitas eksistensial tanpa terjerumus dalam
relativisme moral.
6.2.      
Etika Partisipatif dan Misteri Kesetiaan
Gabriel Marcel
memperluas gagasan ini dengan menolak pemisahan antara moralitas dan
spiritualitas. Ia menegaskan bahwa tindakan moral sejati lahir dari partisipasi
eksistensial dalam misteri keberadaan, bukan dari ketaatan terhadap norma
eksternal.⁸ Dalam Creative Fidelity, Marcel
memperkenalkan konsep kesetiaan kreatif (creative
fidelity), yakni komitmen personal yang tumbuh dari cinta, harapan,
dan kepercayaan.⁹ Bagi Marcel, kesetiaan bukan sekadar kepatuhan formal,
melainkan keterlibatan aktif dalam relasi yang bermakna.¹⁰
Etika dalam
pandangan Marcel bersifat partisipatif dan dialogis: manusia tidak dapat
menjadi etis tanpa mengakui keberadaan orang lain sebagai subjek.¹¹ Kejahatan
moral, bagi Marcel, berawal dari kecenderungan manusia untuk mengobjektifikasi
sesamanya—menjadikan yang lain sebagai alat, bukan sebagai pribadi.¹²
Sebaliknya, tindakan etis lahir dari kesadaran bahwa manusia adalah “mitra
dalam keberadaan” (co-being) yang saling meneguhkan
dalam misteri yang sama.¹³ Dalam hal ini, moralitas adalah wujud konkret dari
iman yang diwujudkan dalam cinta yang setia dan dialog yang tulus.
6.3.      
Etika sebagai Dialog dan Pertemuan
Martin Buber
menegaskan dimensi etis eksistensial melalui filsafat dialogisnya. Dalam I and
Thou, ia membedakan dua bentuk relasi dasar: Aku–Itu
(I–It)
dan Aku–Engkau
(I–Thou).¹⁴
Relasi Aku–Itu
adalah hubungan objektif, instrumental, dan terpisah; sementara Aku–Engkau
adalah hubungan eksistensial, personal, dan langsung.¹⁵ Etika sejati, menurut
Buber, hanya mungkin muncul dalam relasi Aku–Engkau, karena di dalamnya
manusia mengalami kehadiran Tuhan sebagai “Engkau yang Kekal” (Eternal
Thou).¹⁶
Dalam setiap
tindakan etis, manusia dipanggil untuk melihat sesamanya bukan sebagai objek
moral, tetapi sebagai “Engkau” yang mencerminkan Tuhan.¹⁷ Dengan
demikian, etika bukan sekadar persoalan kewajiban, melainkan perjumpaan yang
membuka ruang bagi transendensi. Moralitas yang sejati terjadi ketika manusia
membiarkan yang Ilahi hadir dalam relasi antarmanusia.¹⁸ Di sinilah terlihat
kesinambungan antara dimensi teologis dan antropologis eksistensialisme
religius: tindakan etis merupakan partisipasi manusia dalam cinta ilahi yang
menghubungkan semua eksistensi.
6.4.      
Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Keputusan Moral
Paul Tillich
memberikan fondasi ontologis bagi dimensi etis ini dengan mengaitkan kebebasan
moral dengan partisipasi dalam dasar keberadaan.¹⁹ Dalam pandangan Tillich,
manusia tidak mungkin bertindak secara etis tanpa mengakar pada Tuhan sebagai
sumber nilai dan keberadaan.²⁰ Kebebasan moral sejati bukanlah kebebasan untuk
bertindak sekehendak hati, tetapi kebebasan untuk merealisasikan makna terdalam
keberadaan melalui keputusan yang berani dan otentik.²¹
Setiap keputusan
moral melibatkan risiko eksistensial: manusia harus memilih tanpa jaminan
kepastian, namun tetap bertanggung jawab atas pilihannya di hadapan Tuhan.²²
Dalam hal ini, etika eksistensial religius menolak baik determinisme moral
maupun legalisme rasional. Ia berpijak pada keyakinan bahwa moralitas lahir
dari kebebasan yang diilhami oleh iman.²³ Dengan demikian, tindakan etis bukan
hasil penalaran logis, tetapi ekspresi dari keberanian iman yang mengakui
keterbatasan manusia sekaligus keterlibatan Tuhan dalam sejarah
eksistensialnya.²⁴
6.5.      
Cinta sebagai Fondasi Etika Eksistensial
Religius
Pada akhirnya,
fondasi terdalam etika eksistensial religius adalah cinta (agape).
Cinta merupakan bentuk tertinggi dari relasi etis karena di dalamnya manusia
mengafirmasi eksistensi yang lain tanpa syarat.²⁵ Gabriel Marcel menyebut cinta
sebagai “tindakan ontologis” yang mengubah cara manusia berada di
dunia.²⁶ Paul Tillich menyebut cinta sebagai “kekuatan pemersatu” yang
mengatasi keterpisahan eksistensial.²⁷ Sedangkan Buber menegaskan bahwa cinta
adalah bentuk tertinggi dari dialog, di mana manusia dan Tuhan saling hadir
dalam keintiman eksistensial.²⁸
Etika religius
dengan demikian bukan sistem norma, melainkan praksis kasih: sebuah etos yang
berakar pada pengakuan akan kehadiran Ilahi dalam diri yang lain.²⁹ Di dalam
cinta, kebebasan dan ketaatan, iman dan tanggung jawab, keunikan individu dan
universalitas moral bertemu dalam satu kesatuan yang hidup.³⁰
Footnotes
[1]               
John Macquarrie, Principles of Christian
Theology (New York: Scribner, 1966),
150–153.
[2]               
Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (Chicago: Regnery Gateway,
1965), 20–22.
[3]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics,
1985), 54–57.
[4]               
Ibid., 60–62.
[5]               
Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript to Philosophical Fragments,
trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press,
1992), 220–223.
[6]               
John Macquarrie, Existentialism (London: Penguin Books, 1972), 118–120.
[7]               
Ibid., 122–123.
[8]               
Gabriel Marcel, Being and Having, trans. Katherine Farrer (London: Dacre Press, 1949),
93–95.
[9]               
Gabriel Marcel, Creative Fidelity, trans. Robert Rosthal (New York: Fordham University
Press, 1964), 16–18.
[10]            
Ibid., 45–48.
[11]            
Marcel, The Mystery of Being,
Vol. 1: Reflection and Mystery,
trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 80–83.
[12]            
Ibid., 92–95.
[13]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being,
Vol. 2: Faith and Reality, trans. G.
S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 64–66.
[14]            
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner,
1958), 11–14.
[15]            
Ibid., 55–57.
[16]            
Ibid., 107–109.
[17]            
Ibid., 112–114.
[18]            
Maurice Friedman, Martin Buber: The Life
of Dialogue (New York: Harper &
Row, 1960), 179–182.
[19]            
Paul Tillich, Systematic Theology,
Vol. 1 (Chicago: University of
Chicago Press, 1951), 248–251.
[20]            
Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 165–168.
[21]            
Ibid., 173–175.
[22]            
Paul Tillich, Love, Power, and
Justice (New York: Oxford University
Press, 1954), 25–28.
[23]            
Ibid., 34–36.
[24]            
Tillich, Systematic Theology,
Vol. 2 (Chicago: University of
Chicago Press, 1957), 52–54.
[25]            
Gabriel Marcel, Creative Fidelity, 101–104.
[26]            
Ibid., 109–111.
[27]            
Tillich, Love, Power, and
Justice, 77–80.
[28]            
Buber, I and Thou, 118–120.
[29]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 352–355.
[30]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 199–201.
7.          
Dimensi
Estetika dan Spiritualitas Eksistensi
Dalam
eksistensialisme religius, dimensi estetika dan spiritualitas bukanlah dua
domain yang terpisah, tetapi dua ekspresi yang saling menyingkapkan kedalaman
pengalaman manusia terhadap keberadaan. Estetika, dalam konteks ini, bukan
sekadar persoalan keindahan formal, melainkan cara manusia menyingkapkan
misteri keberadaannya; sementara spiritualitas adalah kesadaran reflektif akan
kehadiran transendensi di dalam pengalaman tersebut.¹ Dengan demikian, estetika
dan spiritualitas eksistensial saling terkait: yang pertama mengekspresikan,
dan yang kedua memaknai pengalaman manusia yang terbuka pada Yang Ilahi.
7.1.      
Estetika sebagai Pengalaman Keberadaan
Søren Kierkegaard
dalam Either/Or
membedakan tiga tahap eksistensial manusia—estetis, etis, dan religius.² Tahap
estetis menggambarkan kehidupan yang mencari makna dalam kesenangan, kebaruan,
dan ekspresi diri, namun tanpa arah transendental.³ Bagi Kierkegaard, tahap
estetis memiliki nilai ontologis tertentu: ia merupakan kesadaran awal akan
kebebasan dan potensi kreatif manusia.⁴ Namun, apabila estetika berhenti pada
kenikmatan tanpa komitmen, maka ia menjadi bentuk pelarian dari keotentikan.⁵
Dalam konteks religius, estetika baru menemukan maknanya yang sejati ketika ia
diorientasikan kepada Tuhan—ketika keindahan menjadi jalan menuju yang kudus,
bukan pengganti dari yang kudus.⁶
Estetika religius
dengan demikian bukanlah estetika sekuler yang otonom, tetapi suatu cara
mengungkapkan pengalaman transendental melalui simbol, ritme, dan bentuk yang
mengandung makna spiritual. Paul Tillich menyebut hal ini sebagai theology
of culture, yaitu pandangan bahwa ekspresi estetis manusia adalah
bentuk simbolis dari kerinduan terhadap yang Ilahi.⁷ Seni, dalam pandangan
Tillich, adalah “pembukaan makna terdalam realitas melalui bentuk yang
terbatas.”⁸ Oleh karena itu, seni tidak hanya berfungsi sebagai representasi
keindahan, tetapi sebagai sarana pewahyuan eksistensial—medium yang
menghubungkan manusia dengan “dasar keberadaan” (the
Ground of Being).⁹
7.2.      
Spiritualitas sebagai Keberadaan yang Terbuka
terhadap Misteri
Spiritualitas
eksistensial tidak berakar pada sistem kepercayaan formal, melainkan pada
pengalaman langsung terhadap misteri keberadaan. Gabriel Marcel menegaskan
bahwa spiritualitas sejati lahir dari kehadiran (presence)—yakni
keterbukaan diri terhadap realitas yang lebih besar dari diri sendiri.¹⁰ Dalam The
Mystery of Being, ia membedakan antara “memiliki” dan “menjadi”:
manusia modern terperangkap dalam mode “memiliki,” sedangkan
spiritualitas menuntut mode “menjadi,” yaitu partisipasi dalam misteri
kehidupan.¹¹
Bagi Marcel, doa dan
keheningan bukanlah tindakan religius yang terpisah dari dunia, melainkan
bentuk keterlibatan eksistensial yang paling mendalam.¹² Doa adalah partisipasi
dalam misteri keberadaan; melalui doa, manusia tidak memanipulasi Tuhan, tetapi
membuka dirinya bagi kehadiran yang tak terhingga.¹³ Spiritualitas eksistensial
dengan demikian bersifat dialogis, bukan monologis: ia terjadi dalam relasi
antara manusia dan Tuhan, antara “aku” yang terbatas dan “Engkau”
yang transenden.¹⁴
Martin Buber
menegaskan hal serupa melalui konsep relasi Aku–Engkau. Dalam relasi religius,
manusia tidak hanya berpikir tentang Tuhan, tetapi berbicara kepada-Nya.¹⁵
Pengalaman spiritual sejati tidak muncul dari refleksi metafisik, tetapi dari
dialog eksistensial yang hidup dan langsung.¹⁶ Dalam setiap pertemuan yang
autentik dengan sesama, manusia juga mengalami percikan kehadiran Ilahi, sebab
setiap Engkau
yang sejati adalah jalan menuju “Engkau yang Kekal” (Eternal
Thou).¹⁷ Dengan demikian, spiritualitas eksistensial bersifat
imanen sekaligus transenden: Tuhan hadir di dalam relasi, bukan di luar
kehidupan.
7.3.      
Estetika Spiritualitas: Keindahan sebagai Jalan
Menuju Transendensi
Estetika dan
spiritualitas berjumpa dalam apa yang dapat disebut sebagai “pengalaman
estetika religius.” Rudolf Otto menjelaskan pengalaman religius sebagai
kesadaran akan mysterium tremendum et fascinans—suatu
perasaan kagum yang bercampur gentar di hadapan Yang Kudus.¹⁸ Pengalaman
estetika yang sejati memiliki struktur yang serupa: keindahan sejati bukan
sekadar mempesona, tetapi juga mengguncang; ia membangkitkan kesadaran akan
keterbatasan manusia dan misteri yang melampauinya.¹⁹
Dalam tradisi
eksistensialis religius, keindahan tidak dilihat sebagai ornamen kehidupan,
melainkan sebagai tanda dari kehadiran transendensi di dalam dunia yang fana.²⁰
Paul Tillich menegaskan bahwa “setiap bentuk keindahan yang sejati adalah
simbol dari kedalaman keberadaan.”²¹ Seni dan keindahan menjadi ruang
perjumpaan antara yang imanen dan yang transenden, antara waktu dan
kekekalan.²² Dalam arti ini, estetika religius tidak hanya menghibur, tetapi
menguduskan: ia mengubah pengalaman manusia akan dunia menjadi pengalaman akan
misteri ilahi.
Gabriel Marcel
menulis bahwa keindahan sejati selalu membawa kita pada “keheningan
metafisik,” di mana jiwa manusia terbuka untuk menerima kehadiran yang
lebih besar dari dirinya.²³ Demikian pula, bagi Karl Rahner, pengalaman
keindahan merupakan bentuk “wahyu anonim,” yaitu perjumpaan dengan
rahmat Tuhan yang tersembunyi dalam dunia ciptaan.²⁴ Maka, estetika dan spiritualitas
dalam eksistensialisme religius tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari,
tetapi hadir di dalamnya sebagai cara untuk “melihat dengan mata iman”—yakni
melihat dunia sebagai tempat kehadiran Tuhan.²⁵
7.4.      
Penderitaan, Tragedi, dan Sublimitas Eksistensial
Dimensi estetika dan
spiritual juga menyentuh pengalaman penderitaan manusia. Eksistensialisme
religius tidak menolak tragedi, melainkan menafsirkannya sebagai bagian dari
keindahan eksistensi yang utuh.²⁶ Dalam penderitaan, manusia dihadapkan pada
keterbatasannya, namun juga menemukan kedalaman spiritual yang tak terjangkau
melalui kenikmatan.²⁷ Kierkegaard menegaskan bahwa penderitaan adalah “pendidikan
bagi jiwa,” sebab hanya melalui penderitaan manusia belajar mengandalkan
Tuhan.²⁸
Paul Tillich
menyebut pengalaman tragis ini sebagai “revelasi dalam kontradiksi”:
justru di dalam luka dan kegelisahan, manusia menemukan makna terdalam
keberadaannya.²⁹ Dalam seni religius maupun spiritualitas eksistensial, tragedi
bukanlah kegagalan, melainkan wahana pembentukan keberanian untuk menjadi.³⁰
Dengan demikian, pengalaman estetika dan spiritualitas eksistensial menegaskan
bahwa keindahan sejati tidak menolak penderitaan, tetapi menebusnya melalui
makna dan cinta.
Footnotes
[1]               
John Macquarrie, Principles of Christian
Theology (New York: Scribner, 1966),
220–223.
[2]               
Søren Kierkegaard, Either/Or, Vol. I, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics,
1992), 39–42.
[3]               
Ibid., 61–63.
[4]               
Ibid., 70–73.
[5]               
Søren Kierkegaard, Either/Or, Vol. II, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics,
1992), 135–138.
[6]               
Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics,
1985), 90–92.
[7]               
Paul Tillich, Theology of Culture (New York: Oxford University Press, 1959), 32–35.
[8]               
Ibid., 38–40.
[9]               
Tillich, Systematic Theology,
Vol. 1 (Chicago: University of
Chicago Press, 1951), 235–238.
[10]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being,
Vol. 1: Reflection and Mystery,
trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 44–46.
[11]            
Ibid., 51–53.
[12]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being,
Vol. 2: Faith and Reality, trans. G.
S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 14–16.
[13]            
Ibid., 28–30.
[14]            
Marcel, Creative Fidelity, trans. Robert Rosthal (New York: Fordham University
Press, 1964), 77–79.
[15]            
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner,
1958), 6–9.
[16]            
Ibid., 62–64.
[17]            
Ibid., 111–113.
[18]            
Rudolf Otto, The Idea of the Holy, trans. John W. Harvey (Oxford: Oxford University
Press, 1958), 12–14.
[19]            
Ibid., 31–34.
[20]            
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 190–192.
[21]            
Tillich, Theology of Culture, 48–50.
[22]            
Ibid., 57–59.
[23]            
Gabriel Marcel, Being and Having, trans. Katherine Farrer (London: Dacre Press, 1949),
100–102.
[24]            
Karl Rahner, Theological
Investigations, Vol. 7, trans. David
Bourke (New York: Herder and Herder, 1971), 34–36.
[25]            
Rahner, Foundations of
Christian Faith, trans. William Dych
(New York: Crossroad, 1982), 108–110.
[26]            
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan (Boston: Beacon Press,
1967), 334–336.
[27]            
Marcel, The Mystery of Being,
Vol. 2, 71–73.
[28]            
Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton
University Press, 1980), 87–89.
[29]            
Tillich, The Shaking of the
Foundations (New York: Scribner,
1948), 118–120.
[30]            
Gabriel Marcel, Homo Viator:
Introduction to a Metaphysic of Hope,
trans. Emma Craufurd (Chicago: Henry Regnery, 1962), 95–97.
8.          
Kritik
terhadap Eksistensialisme Religius
Meskipun
eksistensialisme religius memiliki pengaruh besar dalam membangun jembatan
antara filsafat dan teologi, aliran ini tidak luput dari berbagai kritik, baik
dari kalangan eksistensialis ateistik, teolog rasional, maupun filsafat
analitik. Kritik-kritik tersebut berpusat pada tiga aspek utama: (1)
persoalan subjektivitas iman dan rasionalitas, (2) problem bahasa religius dan
makna transendensi, serta (3) ketegangan antara kebebasan
manusia dan ketergantungan teologis. Kritik ini memperlihatkan dinamika
pemikiran yang memperkaya sekaligus menantang relevansi eksistensialisme
religius dalam konteks modern.
8.1.      
Kritik dari Eksistensialisme Ateistik:
Kebebasan dan Ketergantungan
Jean-Paul Sartre
menjadi pengkritik paling tajam terhadap eksistensialisme religius. Dalam L’Être
et le Néant (1943), Sartre menolak gagasan bahwa eksistensi manusia
dapat bergantung pada entitas ilahi, karena ketergantungan tersebut dianggap
meniadakan kebebasan radikal manusia.¹ Menurutnya, jika Tuhan ada, maka
kebebasan manusia hanya ilusi, sebab nilai dan makna sudah ditentukan oleh
kehendak Ilahi.² Oleh karena itu, Sartre menyimpulkan bahwa “Tuhan harus
tiada” agar manusia benar-benar bebas untuk menciptakan dirinya sendiri.³
Dalam pandangan ini, eksistensialisme religius dianggap kontradiktif karena
berusaha mempertahankan kebebasan manusia di bawah kehadiran Absolut yang
transenden.
Albert Camus
mengajukan kritik serupa melalui gagasan absurditas dalam Le Mythe
de Sisyphe (1942).⁴ Ia menilai bahwa setiap upaya untuk mengaitkan
eksistensi manusia dengan makna transenden merupakan bentuk “bunuh diri
filosofis,” sebab hal itu mengabaikan absurditas dunia dan menolak
keterbatasan rasionalitas manusia.⁵ Dalam perspektif Camus, iman
Kierkegaardian—yakni leap of faith—adalah bentuk
pelarian dari ketegangan eksistensial yang justru harus dihadapi tanpa ilusi
religius.⁶ Kritik ini menantang fondasi eksistensialisme religius yang
memandang iman sebagai jalan menuju otentisitas.
Namun demikian, para
teolog eksistensialis seperti Paul Tillich dan Gabriel Marcel menanggapi kritik
ini dengan menegaskan bahwa iman tidak meniadakan kebebasan, melainkan
mengaktualkannya.⁷ Kebebasan sejati, bagi Tillich, bukan kebebasan dari Tuhan,
tetapi kebebasan untuk berpartisipasi dalam dasar keberadaan yang memberi makna
pada eksistensi.⁸ Dalam hal ini, eksistensialisme religius justru menolak
determinisme teistik dan menegaskan ko-eksistensi antara kebebasan dan
transendensi.
8.2.      
Kritik dari Teologi Rasional dan Neo-Ortodoksi
Kritik berikutnya
datang dari kalangan teologi rasional dan neo-ortodoksi, terutama terhadap
subjektivisme iman Kierkegaardian. Karl Barth, misalnya, dalam Church
Dogmatics (1932–1967), menganggap eksistensialisme religius terlalu
menekankan pengalaman individu dan kurang menegaskan wahyu objektif Allah.⁹
Bagi Barth, iman bukanlah hasil refleksi eksistensial manusia, melainkan
respons terhadap pewahyuan Allah yang mutlak dan independen dari kesadaran
manusia.¹⁰ Dengan demikian, eksistensialisme religius dinilai berisiko
menjadikan iman sebagai fenomena psikologis, bukan tindakan ilahi yang
mentransformasi manusia dari luar dirinya.
Demikian pula,
teolog Katolik seperti Karl Rahner menilai eksistensialisme religius terlalu
bergantung pada kategori fenomenologis yang mengaburkan perbedaan antara iman
dan pengalaman eksistensial.¹¹ Dalam Foundations of Christian Faith
(1976), Rahner berpendapat bahwa pengalaman manusia tentang transendensi harus
dibedakan dari pewahyuan Kristiani, karena iman sejati tidak dapat direduksi
menjadi kesadaran eksistensial belaka.¹² Kritik Rahner menyoroti bahaya “iman
tanpa dogma” dalam eksistensialisme religius, yang dapat mengarah pada
relativisme teologis.¹³
Namun, para pemikir
eksistensialis religius seperti Tillich dan Bultmann berargumen bahwa
pendekatan eksistensial justru membuka kembali relevansi wahyu di dunia
modern.¹⁴ Dengan menafsirkan Kitab Suci secara eksistensial, Bultmann berusaha
menunjukkan bahwa pesan Alkitab bukanlah narasi historis belaka, melainkan
panggilan eksistensial bagi manusia untuk mengaktualisasikan imannya dalam
kebebasan dan tanggung jawab.¹⁵
8.3.      
Kritik dari Filsafat Analitik dan Linguistik
Filsafat analitik
abad ke-20 juga memberikan kritik terhadap eksistensialisme religius, terutama
dalam hal kejelasan bahasa dan klaim kognitif. A. J. Ayer dan Antony Flew,
misalnya, dalam tradisi positivisme logis, menolak validitas pernyataan
teologis karena tidak dapat diverifikasi secara empiris.¹⁶ Dalam pandangan ini,
ungkapan seperti “Tuhan mencintai manusia” dianggap tidak bermakna (meaningless
statement) karena tidak dapat diuji secara observasional.¹⁷ Ludwig
Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus
(1921) juga menegaskan bahwa “tentang apa yang tidak dapat dikatakan, kita
harus berdiam diri.”¹⁸
Kritik ini menyoroti
persoalan epistemologis dalam eksistensialisme religius: bagaimana mungkin iman
dikatakan sebagai bentuk pengetahuan bila ia tidak tunduk pada kriteria
rasional atau empiris? Gabriel Marcel dan Paul Tillich menolak keberatan ini
dengan menunjukkan bahwa iman bersifat simbolis dan partisipatif, bukan
deskriptif.¹⁹ Bagi Marcel, bahasa iman bukanlah bahasa ilmiah, tetapi bahasa misteri,
yang hanya dapat dipahami melalui partisipasi eksistensial, bukan observasi
eksternal.²⁰ Dengan demikian, makna iman terletak bukan pada proposisinya,
melainkan pada transformasi eksistensial yang dihasilkannya.
8.4.      
Kritik Hermeneutis dan Relevansi Kontemporer
Dari perspektif
hermeneutika kontemporer, beberapa filsuf seperti Paul Ricoeur dan Emmanuel
Levinas mengajukan kritik yang lebih reflektif terhadap eksistensialisme
religius. Ricoeur menilai bahwa eksistensialisme religius masih terlalu
individualistik dan kurang menyoroti dimensi simbolik dan naratif iman.²¹ Dalam
The
Symbolism of Evil (1967), ia menegaskan bahwa iman tidak hanya
dialami, tetapi juga ditafsirkan; dengan demikian, pendekatan eksistensial
perlu dikombinasikan dengan hermeneutika simbol untuk memahami makna religius
secara utuh.²²
Levinas, di sisi
lain, menolak eksistensialisme religius karena menurutnya masih berpusat pada
subjek manusia.²³ Ia berpendapat bahwa pengalaman religius sejati tidak dimulai
dari kesadaran diri di hadapan Tuhan, tetapi dari tanggung jawab etis terhadap
yang Lain (the
Other).²⁴ Dengan demikian, bagi Levinas, eksistensi religius sejati
bukanlah pengalaman iman yang soliter, melainkan relasi etis yang membuka diri
terhadap alteritas tanpa reduksi.²⁵ Kritik ini memperluas cakrawala
eksistensialisme religius dari dimensi individual ke sosial dan etis.
Evaluasi Kritis
Meskipun berbagai
kritik tersebut menyoroti kelemahan metodologis dan konseptual,
eksistensialisme religius tetap memainkan peran penting dalam mengembalikan
dimensi eksistensial iman ke dalam wacana filsafat modern.²⁶ Ia menolak reduksi
iman menjadi sistem dogmatik maupun rasionalitas dingin, serta menghadirkan
kembali wajah manusia sebagai makhluk yang mencari makna di tengah
keterbatasan.²⁷ Kritik yang diarahkan kepadanya lebih tepat dipahami bukan
sebagai penolakan mutlak, tetapi sebagai ajakan untuk memperluas horizon
eksistensialisme religius menuju pemahaman iman yang lebih dialogis,
intersubjektif, dan historis.²⁸
Dengan demikian, eksistensialisme
religius tetap relevan sebagai paradigma filosofis yang menegaskan bahwa
kebenaran iman tidak terletak dalam proposisi metafisik, tetapi dalam
keberanian untuk hidup secara otentik di hadapan Tuhan dan sesama manusia.²⁹
Footnotes
[1]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square
Press, 1956), 567–570.
[2]               
Ibid., 582–584.
[3]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a
Humanism, trans. Carol Macomber (New
Haven: Yale University Press, 2007), 28–30.
[4]               
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage
International, 1991), 3–4.
[5]               
Ibid., 41–43.
[6]               
Ibid., 48–50.
[7]               
Paul Tillich, Systematic Theology,
Vol. 1 (Chicago: University of
Chicago Press, 1951), 235–238.
[8]               
Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 163–165.
[9]               
Karl Barth, Church Dogmatics, Vol.
I/1, trans. G. W. Bromiley
(Edinburgh: T&T Clark, 1936), 40–42.
[10]            
Ibid., 58–60.
[11]            
Karl Rahner, Foundations of
Christian Faith, trans. William Dych
(New York: Crossroad, 1982), 45–48.
[12]            
Ibid., 56–59.
[13]            
Ibid., 61–62.
[14]            
Rudolf Bultmann, New Testament and
Mythology, trans. Schubert M. Ogden
(Philadelphia: Fortress Press, 1984), 18–21.
[15]            
Ibid., 28–30.
[16]            
A. J. Ayer, Language, Truth and
Logic (London: Victor Gollancz,
1936), 115–117.
[17]            
Antony Flew, “Theology and Falsification,” in New Essays in Philosophical Theology, ed. Antony Flew and Alasdair MacIntyre (London: SCM
Press, 1955), 96–99.
[18]            
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. C. K.
Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), §7.
[19]            
Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 14–16.
[20]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being,
Vol. 2: Faith and Reality, trans. G.
S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 52–54.
[21]            
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan (Boston: Beacon Press,
1967), 328–331.
[22]            
Ibid., 334–336.
[23]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 43–45.
[24]            
Ibid., 78–80.
[25]            
Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or
Beyond Essence, trans. Alphonso
Lingis (The Hague: Martinus Nijhoff, 1974), 114–116.
[26]            
John Macquarrie, Existentialism (London: Penguin Books, 1972), 145–148.
[27]            
Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (Chicago: Regnery Gateway,
1965), 201–204.
[28]            
Maurice Friedman, Martin Buber: The Life
of Dialogue (New York: Harper &
Row, 1960), 210–212.
[29]            
Gabriel Marcel, Homo Viator:
Introduction to a Metaphysic of Hope,
trans. Emma Craufurd (Chicago: Henry Regnery, 1962), 102–104.
9.          
Sintesis
Filosofis: Menuju Teologi Eksistensial
Eksistensialisme
religius mencapai bentuk konseptualnya yang paling matang ketika ia bergerak
melampaui batas filsafat eksistensial menuju suatu sintesis yang disebut “teologi
eksistensial.” Sintesis ini tidak hanya berupaya menjembatani
iman dan rasio, tetapi juga menghadirkan kembali pengalaman eksistensial
manusia dalam horizon teologis yang dinamis.¹ Melalui tokoh-tokoh seperti Paul
Tillich, Gabriel Marcel, Martin Buber, Rudolf Bultmann, dan Karl
Rahner, teologi eksistensial memformulasikan kembali hubungan
antara eksistensi manusia dan transendensi ilahi dengan pendekatan
fenomenologis, dialogis, dan ontologis.
9.1.      
Dari Eksistensi Menuju Transendensi: Dasar
Ontologis Teologi Eksistensial
Paul Tillich
merupakan arsitek utama dari teologi eksistensial modern. Ia berusaha
mengintegrasikan analisis eksistensial Heideggerian dengan teologi Kristen
melalui konsep “Tuhan sebagai dasar keberadaan” (God as
the Ground of Being).² Dalam pandangan Tillich, manusia adalah
makhluk yang hidup dalam ketegangan antara “ada” dan “tidak-ada”
(being
and non-being), dan keberanian untuk tetap ada di tengah ancaman
ketiadaan merupakan pengalaman teologis yang mendalam.³ Dengan demikian, iman
bukanlah kepercayaan terhadap proposisi teologis, melainkan partisipasi
eksistensial dalam dasar realitas yang ilahi.⁴
Tillich menghindari
antropomorfisme dalam teologi dengan menolak gambaran Tuhan sebagai “seorang
pribadi supranatural.” Ia menyatakan bahwa “Tuhan tidak ada
seperti benda-benda ada, tetapi Tuhan adalah ada itu sendiri.”⁵ Dengan ini, ia
menempatkan eksistensialisme religius dalam kerangka ontologis yang mengatasi
dualisme antara teisme klasik dan ateisme modern.⁶ Tuhan bukanlah entitas yang
berhadapan dengan manusia, melainkan fondasi yang memungkinkan manusia untuk “menjadi.”⁷
9.2.      
Marcel dan Ontologi Partisipatif: Misteri
sebagai Mediasi antara Filsafat dan Iman
Sementara Tillich
menekankan dimensi ontologis abstrak, Gabriel Marcel memberikan corak
yang lebih eksistensial dan personal. Dalam The Mystery of Being, Marcel menggantikan
konsep “masalah” (problem) dengan “misteri” (mystery)
sebagai pusat refleksi filosofis.⁸ Misteri tidak dapat diselesaikan melalui
analisis, tetapi hanya dapat dihidupi melalui partisipasi.⁹ Di sini tampak
dasar teologis eksistensialisme religius Marcel: Tuhan bukan objek yang dapat
dibuktikan, melainkan Thou yang dihayati dalam kehadiran
dan cinta.¹⁰
Marcel menolak
reduksi Tuhan ke dalam kategori metafisika dan menegaskan bahwa pengetahuan
iman adalah pengakuan akan kehadiran.¹¹ Dalam
keheningan doa, kesetiaan, dan cinta, manusia berpartisipasi dalam keberadaan
yang melampaui dirinya tanpa kehilangan subjektivitasnya.¹² Inilah bentuk “ontologi
partisipatif” yang menjadi jembatan antara filsafat eksistensial dan
teologi: manusia tidak lagi menjadi penonton dari realitas ilahi, tetapi
peserta aktif dalam misteri keberadaan.¹³
9.3.      
Buber dan Teologi Dialogis: Relasi sebagai
Ruang Ilahi
Martin Buber
melengkapi dimensi sintesis ini dengan menempatkan relasi personal sebagai
locus teologi eksistensial. Dalam I and Thou, Buber menunjukkan bahwa
pengalaman religius bukanlah pengalaman tentang Tuhan, melainkan perjumpaan
dengan
Tuhan.¹⁴ Ia menyebut Tuhan sebagai “Engkau yang Kekal” (Eternal
Thou), yang hadir dalam setiap relasi Aku–Engkau yang sejati.¹⁵ Dengan
demikian, Buber memformulasikan teologi yang bersifat dialogis—di mana iman
bukan hasil pemikiran metafisik, tetapi keterbukaan eksistensial terhadap yang
lain, baik manusia maupun Tuhan.¹⁶
Relasi dialogis ini
memiliki dimensi etis dan spiritual yang mendalam: manusia dipanggil untuk
mengasihi bukan karena perintah moral eksternal, tetapi karena setiap “Engkau”
mengandung jejak kehadiran Ilahi.¹⁷ Dalam arti ini, Buber berhasil menyatukan
teologi, etika, dan antropologi eksistensial menjadi satu kesatuan yang
dinamis.¹⁸
9.4.      
Bultmann dan Hermeneutika Eksistensial: Iman
sebagai Penafsiran Diri
Rudolf Bultmann
memperluas teologi eksistensial ke bidang hermeneutika dengan gagasan Entmythologisierung
(demitologisasi).¹⁹ Ia berpendapat bahwa pesan alkitabiah harus dibaca bukan
sebagai laporan historis, tetapi sebagai ekspresi eksistensial tentang kondisi
manusia.²⁰ Melalui tafsir eksistensial, kisah tentang Kristus bukan lagi
sekadar peristiwa masa lalu, tetapi panggilan eksistensial bagi setiap individu
untuk membuat keputusan iman.²¹
Dalam kerangka ini,
iman bukan penerimaan dogma, tetapi kesediaan untuk “memahami diri di
hadapan Allah.”²² Dengan demikian, teologi eksistensial Bultmann berfungsi
sebagai interpretasi eksistensial atas wahyu, yang memungkinkan iman berbicara
dalam bahasa manusia modern tanpa kehilangan maknanya yang transendental.²³
9.5.      
Rahner dan Transendentalitas Eksistensi:
Dimensi Katolik dari Teologi Eksistensial
Karl Rahner membawa
tradisi teologi eksistensial ke dalam ranah Katolik dengan sintesis antara
Thomas Aquinas dan Heidegger.²⁴ Dalam Foundations of Christian Faith,
Rahner menyebut manusia sebagai homo transcendentalis—makhluk yang
secara kodrati diarahkan kepada Allah sebagai horizon tak terbatas
keberadaannya.²⁵ Menurut Rahner, setiap tindakan pengetahuan dan kebebasan
manusia sudah mengandaikan keterbukaan terhadap yang Ilahi.²⁶
Rahner menyebut
pengalaman ini sebagai “pengetahuan implisit tentang Tuhan” (unthematic
knowledge of God), yakni kesadaran eksistensial akan transendensi
yang selalu hadir namun tidak terobjektifikasi.²⁷ Dengan demikian, iman
bukanlah penambahan terhadap eksistensi, tetapi penggenapan dari arah
eksistensial manusia yang terdalam.²⁸
Sintesis Akhir: Teologi sebagai Pengalaman
Eksistensial
Sintesis antara
eksistensi dan teologi yang dirumuskan oleh Tillich, Marcel, Buber, Bultmann,
dan Rahner mengarahkan teologi modern pada pemahaman baru tentang iman sebagai pengalaman
eksistensial yang terbuka terhadap misteri transendensi. Dalam
teologi eksistensial, iman bukan sekadar doctrina, tetapi eventus—peristiwa
yang terjadi dalam keberadaan manusia.²⁹
Teologi eksistensial
menolak dikotomi antara iman dan akal, antara subjektivitas dan objektivitas.
Ia melihat iman sebagai tindakan integral dari seluruh eksistensi manusia, di
mana rasio, emosi, dan pengalaman bersatu dalam relasi dengan Tuhan yang
hidup.³⁰ Melalui sintesis ini, eksistensialisme religius tidak lagi sekadar
sistem filsafat, tetapi menjadi paradigma spiritual dan teologis yang
menegaskan bahwa manusia menemukan dirinya sepenuhnya hanya ketika ia
berpartisipasi dalam misteri Ilahi.³¹
Footnotes
[1]               
John Macquarrie, Principles of Christian
Theology (New York: Scribner, 1966),
270–273.
[2]               
Paul Tillich, Systematic Theology,
Vol. 1 (Chicago: University of
Chicago Press, 1951), 235–238.
[3]               
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 171–174.
[4]               
Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 1–4.
[5]               
Tillich, Systematic Theology,
Vol. 1, 240.
[6]               
Ibid., 245–247.
[7]               
Ibid., 249–251.
[8]               
Gabriel Marcel, The Mystery of Being,
Vol. 1: Reflection and Mystery,
trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 37–39.
[9]               
Ibid., 46–48.
[10]            
Marcel, The Mystery of Being,
Vol. 2: Faith and Reality, trans. G.
S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 15–18.
[11]            
Gabriel Marcel, Creative Fidelity, trans. Robert Rosthal (New York: Fordham University
Press, 1964), 81–83.
[12]            
Ibid., 102–105.
[13]            
Marcel, Being and Having, trans. Katherine Farrer (London: Dacre Press, 1949),
92–94.
[14]            
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner,
1958), 6–9.
[15]            
Ibid., 105–107.
[16]            
Maurice Friedman, Martin Buber: The Life
of Dialogue (New York: Harper &
Row, 1960), 188–191.
[17]            
Buber, I and Thou, 115–117.
[18]            
Ibid., 120–122.
[19]            
Rudolf Bultmann, New Testament and
Mythology, trans. Schubert M. Ogden
(Philadelphia: Fortress Press, 1984), 19–22.
[20]            
Ibid., 26–28.
[21]            
Rudolf Bultmann, Jesus and the Word, trans. Louise Pettibone Smith and Erminie Huntress
Lantero (New York: Scribner, 1958), 120–123.
[22]            
Ibid., 127–129.
[23]            
Bultmann, Existence and Faith, trans. Schubert M. Ogden (New York: Meridian Books,
1960), 45–47.
[24]            
Karl Rahner, Spirit in the World, trans. William Dych (New York: Herder and Herder,
1968), 210–214.
[25]            
Karl Rahner, Foundations of
Christian Faith, trans. William Dych
(New York: Crossroad, 1982), 98–101.
[26]            
Ibid., 110–113.
[27]            
Ibid., 122–125.
[28]            
Rahner, Theological
Investigations, Vol. 7, trans. David
Bourke (New York: Herder and Herder, 1971), 37–39.
[29]            
Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (Chicago: Regnery Gateway,
1965), 205–208.
[30]            
Paul Tillich, The Shaking of the
Foundations (New York: Scribner,
1948), 115–118.
[31]            
Gabriel Marcel, Homo Viator:
Introduction to a Metaphysic of Hope,
trans. Emma Craufurd (Chicago: Henry Regnery, 1962), 101–104.
10.       Relevansi Kontemporer
Eksistensialisme
religius, meskipun berakar pada konteks intelektual Eropa abad ke-19 dan ke-20,
tetap memiliki relevansi yang signifikan dalam menjawab krisis makna,
spiritualitas, dan identitas manusia modern. Dalam dunia yang ditandai oleh sekularisasi,
teknologi, relativisme moral, dan kehilangan makna hidup,
filsafat ini menawarkan kerangka reflektif yang mampu meneguhkan kembali
dimensi eksistensial dan spiritual manusia.¹ Melalui pandangan tentang
kebebasan, iman, dan partisipasi dalam transendensi, eksistensialisme religius
membuka jalan bagi reinterpretasi pengalaman religius di tengah dunia yang
semakin terfragmentasi dan terobjektifikasi.
10.1.   
Relevansi terhadap Krisis Makna dan Nihilisme
Modern
Salah satu
kontribusi paling penting dari eksistensialisme religius adalah kemampuannya
dalam merespons nihilisme yang menguasai kesadaran modern. Friedrich Nietzsche
menyatakan “Tuhan telah mati” sebagai simbol hilangnya pusat makna dalam
budaya Barat.² Dalam konteks ini, Kierkegaard dan Tillich menghadirkan
alternatif: Tuhan tidak mati, melainkan disalahpahami oleh sistem rasional
modern yang meniadakan dimensi eksistensial iman.³ Kierkegaard menawarkan leap of
faith sebagai jawaban terhadap kehampaan eksistensial—bukan untuk
melarikan diri dari absurditas, tetapi untuk mengubah absurditas menjadi
kemungkinan iman.⁴
Paul Tillich
menyebut nihilisme modern sebagai “ketiadaan makna yang diinstitusionalisasi.”⁵
Ia menegaskan bahwa manusia modern membutuhkan “keberanian untuk menjadi”
(the courage
to be) di tengah ancaman ketiadaan.⁶ Dalam konteks global yang
diwarnai oleh alienasi, depresi eksistensial, dan krisis spiritual,
eksistensialisme religius menjadi kerangka terapeutik sekaligus teologis: ia
membantu manusia menemukan makna melalui relasi personal dengan dasar
keberadaannya.⁷
Viktor Frankl,
meskipun tidak secara eksplisit eksistensialis religius, menerjemahkan prinsip
ini ke dalam ranah psikoterapi melalui logoterapi—sebuah pendekatan yang
menempatkan pencarian makna hidup sebagai kebutuhan spiritual terdalam
manusia.⁸ Frankl mengafirmasi pandangan Kierkegaard bahwa manusia dapat
bertahan hidup “selama ia memiliki alasan untuk hidup,” bahkan di tengah
penderitaan.⁹ Dengan demikian, eksistensialisme religius memperluas
relevansinya dari refleksi metafisik ke dimensi eksistensial-praktis: sebagai
terapi bagi kehampaan spiritual modern.
10.2.   
Relevansi terhadap Pluralisme Agama dan Dialog
Antariman
Dalam dunia global
yang pluralistik, eksistensialisme religius menyediakan bahasa filosofis yang
dapat menjembatani perbedaan iman tanpa meniadakan kedalaman religiusitas
masing-masing. Martin Buber, melalui konsep Aku–Engkau, menegaskan bahwa relasi
dengan Tuhan dan sesama tidak dapat dimediasi oleh dogma, melainkan harus
dialami secara langsung dan otentik.¹⁰ Dalam konteks ini, dialog antaragama
bukanlah perdebatan teologis, tetapi perjumpaan eksistensial antara
pribadi-pribadi yang terbuka terhadap transendensi.¹¹
Paul Tillich
memperluas ide ini dengan mengembangkan teologi budaya yang bersifat inklusif.
Ia menulis bahwa setiap agama mengandung “simbol keberadaan tertinggi”
yang mengungkapkan pengalaman iman yang universal.¹² Teologi eksistensial
dengan demikian membuka ruang bagi pluralitas iman tanpa meniadakan keunikan
teologis masing-masing tradisi.¹³ Hal ini sangat relevan dalam dunia yang
terpecah oleh fundamentalisme di satu sisi dan sekularisme ekstrem di sisi
lain.
Gabriel Marcel, di
sisi lain, menekankan spiritualitas universal dari cinta, harapan, dan
kesetiaan.¹⁴ Ia mengajak manusia untuk “bertemu di dalam misteri,” bukan
di dalam konsep-konsep yang memisahkan.¹⁵ Spiritualitas eksistensial semacam
ini menjadi dasar bagi teologi dialogis lintas agama yang menekankan pengalaman
bersama tentang kehadiran Ilahi dalam kehidupan manusia.
10.3.   
Relevansi terhadap Teknologi dan Krisis
Kemanusiaan
Perkembangan
teknologi dan digitalisasi global telah menciptakan bentuk baru dari alienasi
eksistensial. Manusia modern hidup dalam jaringan komunikasi yang luas, tetapi
sering kali kehilangan kedalaman relasi personal.¹⁶ Dalam konteks ini,
eksistensialisme religius mengingatkan akan pentingnya “kehadiran” (presence)
sebagai inti kemanusiaan.¹⁷ Gabriel Marcel menyebut krisis ini sebagai “degradasi
ontologis,” di mana manusia berubah menjadi fungsi dan informasi, bukan
pribadi yang hidup.¹⁸
Etika dialogis Buber
dan spiritualitas kesetiaan Marcel menawarkan koreksi terhadap reduksi
teknologi: manusia dipanggil untuk kembali menjadi subjek yang hadir, bukan
sekadar operator sistem.¹⁹ Dengan demikian, eksistensialisme religius
menegaskan dimensi ontologis spiritualitas di era digital—mengajarkan bahwa
keberadaan sejati tidak ditemukan dalam kecepatan dan efisiensi, tetapi dalam
relasi dan refleksi.²⁰
10.4.   
Relevansi terhadap Etika Global dan Krisis
Ekologis
Eksistensialisme religius
juga memiliki implikasi etis terhadap krisis ekologis dan sosial kontemporer.
Jika eksistensi manusia adalah partisipasi dalam keberadaan, maka tanggung
jawab terhadap dunia adalah bagian dari iman itu sendiri.²¹ Tillich menyebut
bahwa dosa manusia bukan hanya keterpisahan dari Tuhan, tetapi juga
keterasingan dari alam dan sesama.²² Dalam konteks ini, etika eksistensial
religius dapat dikembangkan menjadi eco-theology—pandangan yang
menekankan kesatuan ontologis antara manusia, alam, dan Tuhan.²³
Gabriel Marcel
menambahkan bahwa “cinta terhadap keberadaan” mencakup kesetiaan
terhadap dunia sebagai rumah bersama umat manusia.²⁴ Dengan demikian,
spiritualitas eksistensial dapat menjadi dasar bagi etika ekologis yang menolak
eksploitasi dan mengafirmasi keberlanjutan kehidupan.²⁵ Dalam hal ini,
eksistensialisme religius berkontribusi pada pembentukan etika global yang
mengintegrasikan iman, tanggung jawab, dan solidaritas universal.
10.5.   
Relevansi terhadap Pendidikan dan Spiritualitas
Modern
Dalam ranah pendidikan
dan formasi spiritual, eksistensialisme religius menegaskan perlunya
pembentukan kesadaran reflektif dan tanggung jawab pribadi.²⁶ Iman tidak dapat
diwariskan secara dogmatis, tetapi harus dialami secara eksistensial.²⁷
Pendidikan yang berlandaskan pada paradigma eksistensial religius menumbuhkan
kebebasan, kejujuran, dan keberanian untuk mencari makna hidup.²⁸ Dalam dunia
yang diwarnai oleh pragmatisme dan konsumtivisme, pendekatan ini memulihkan
dimensi spiritualitas sebagai inti kemanusiaan.²⁹
Sintesis Relevansi: Iman, Makna, dan Keberadaan
di Zaman Global
Eksistensialisme
religius tetap menjadi sumber inspirasi filosofis dan teologis yang penting
bagi dunia kontemporer karena ia tidak menawarkan sistem, tetapi
jalan
hidup: suatu ajakan untuk hidup otentik dalam keterbatasan,
untuk mencintai dalam penderitaan, dan untuk beriman dalam keheningan
misteri.³⁰ Di tengah dunia yang terfragmentasi oleh rasionalitas instrumental
dan sekularisasi ekstrem, eksistensialisme religius mengingatkan manusia bahwa
makna tertinggi keberadaan tidak ditemukan di luar dirinya, tetapi di dalam
relasi yang intim dengan dasar keberadaan itu sendiri—Tuhan yang hadir di dalam
eksistensi.³¹
Footnotes
[1]               
John Macquarrie, Existentialism (London: Penguin Books, 1972), 147–149.
[2]               
Friedrich Nietzsche, The
Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §125.
[3]               
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript to Philosophical Fragments,
trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press,
1992), 210–213.
[4]               
Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics,
1985), 92–94.
[5]               
Paul Tillich, The Shaking of the
Foundations (New York: Scribner,
1948), 102–104.
[6]               
Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 175–177.
[7]               
Tillich, Systematic Theology,
Vol. 1 (Chicago: University of
Chicago Press, 1951), 239–241.
[8]               
Viktor E. Frankl, Man’s Search for
Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston:
Beacon Press, 2006), 99–101.
[9]               
Ibid., 104–106.
[10]            
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner,
1958), 121–124.
[11]            
Maurice Friedman, Martin Buber: The Life
of Dialogue (New York: Harper &
Row, 1960), 208–210.
[12]            
Paul Tillich, Theology of Culture (New York: Oxford University Press, 1959), 35–37.
[13]            
Ibid., 40–42.
[14]            
Gabriel Marcel, Homo Viator:
Introduction to a Metaphysic of Hope,
trans. Emma Craufurd (Chicago: Henry Regnery, 1962), 91–94.
[15]            
Ibid., 95–97.
[16]            
Sherry Turkle, Alone Together: Why We
Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 22–25.
[17]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being,
Vol. 1: Reflection and Mystery,
trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 56–58.
[18]            
Ibid., 61–63.
[19]            
Marcel, Being and Having, trans. Katherine Farrer (London: Dacre Press, 1949),
102–104.
[20]            
Paul Tillich, Love, Power, and
Justice (New York: Oxford University
Press, 1954), 72–75.
[21]            
John Macquarrie, Principles of Christian
Theology (New York: Scribner, 1966),
302–305.
[22]            
Tillich, Systematic Theology,
Vol. 2 (Chicago: University of
Chicago Press, 1957), 88–90.
[23]            
Anne Clifford, Ecotheology: An
Introduction (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 2001), 44–46.
[24]            
Marcel, Creative Fidelity, trans. Robert Rosthal (New York: Fordham University
Press, 1964), 114–116.
[25]            
Ibid., 118–120.
[26]            
Paulo Freire, Pedagogy of the Heart, trans. Donaldo Macedo (New York: Continuum, 1997),
17–19.
[27]            
Karl Rahner, Foundations of
Christian Faith, trans. William Dych
(New York: Crossroad, 1982), 133–136.
[28]            
Viktor E. Frankl, The Will to Meaning:
Foundations and Applications of Logotherapy (New York: Plume, 1988), 45–47.
[29]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being,
Vol. 2: Faith and Reality, 69–71.
[30]            
Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (Chicago: Regnery Gateway,
1965), 210–212.
[31]            
Paul Tillich, The Shaking of the
Foundations, 120–122.
11.       Kesimpulan
Eksistensialisme
religius merupakan salah satu sintesis paling penting dalam sejarah filsafat
modern karena ia berupaya mengintegrasikan pengalaman eksistensial manusia
dengan pengakuan
akan realitas transendental Tuhan. Ia tidak berhenti pada
krisis eksistensial yang ditandai oleh absurditas dan nihilisme, melainkan
melampauinya melalui iman, partisipasi, dan dialog dengan Yang Ilahi.¹ Dalam
hal ini, eksistensialisme religius berfungsi sebagai “teologi
pengalaman,” yang menggabungkan analisis filosofis tentang
keberadaan dengan refleksi teologis tentang makna, kebebasan, dan harapan
manusia.²
11.1.   
Rekapitulasi Inti Pemikiran
Dari akar-akar
historisnya dalam pemikiran Agustinus dan Pascal hingga perumusan sistematik
oleh Kierkegaard, Marcel, Buber, Tillich, dan Rahner, eksistensialisme religius
menegaskan bahwa iman bukanlah dogma statis, melainkan keputusan
eksistensial.³ Iman adalah leap of faith (Kierkegaard), creative
fidelity (Marcel), dialogue of being (Buber), dan participation
in the Ground of Being (Tillich).⁴ Setiap konsep tersebut
menegaskan bahwa Tuhan bukan sekadar objek metafisis yang dipahami, tetapi
realitas yang dihayati secara personal dan eksistensial.⁵
Eksistensialisme
religius juga mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang “berada di
hadapan Tuhan”—homo viator, peziarah yang hidup
dalam ketegangan antara iman dan keraguan, antara kebebasan dan keterbatasan.⁶
Dalam ketegangan inilah manusia menemukan dirinya sebagai pribadi yang otentik,
sebab ia sadar akan finitude-nya sekaligus keterarahannya pada infinitude
Ilahi.⁷ Dengan demikian, inti dari eksistensialisme religius bukanlah
metafisika tentang Tuhan, tetapi eksistensi manusia yang selalu terarah
kepada-Nya.
11.2.   
Signifikansi Teologis dan Filosofis
Secara teologis,
eksistensialisme religius memperbarui cara kita memahami hubungan antara iman
dan rasio. Ia menolak baik rasionalisme dogmatis yang mengobjektifikasi Tuhan,
maupun fideisme sempit yang menolak refleksi intelektual.⁸ Dalam pandangan
Tillich, iman adalah “perhatian yang ultimat” (ultimate
concern) yang melibatkan seluruh keberadaan manusia.⁹ Dengan kata
lain, iman bukan sekadar kepercayaan terhadap proposisi teologis, tetapi
orientasi eksistensial yang meneguhkan makna hidup.
Secara filosofis, eksistensialisme
religius menawarkan kritik terhadap sekularisme modern yang menyingkirkan
transendensi dari horizon kehidupan manusia. Gabriel Marcel menegaskan bahwa
manusia modern terancam menjadi “makhluk yang memiliki tanpa menjadi” (having without
being).¹⁰ Eksistensialisme religius mengembalikan manusia kepada
kedalaman ontologisnya, kepada dimensi spiritual yang melampaui logika
produktivitas dan efisiensi.¹¹ Dengan demikian, ia menjadi fondasi bagi
humanisme baru yang bersifat spiritual dan relasional—humanisme yang tidak
meniadakan Tuhan, tetapi justru menemukan kemanusiaan sejati dalam relasi
dengan Tuhan.¹²
11.3.   
Sintesis Akhir: Eksistensi, Iman, dan
Transendensi
Dalam sintesis
akhirnya, eksistensialisme religius menegaskan bahwa eksistensi
manusia tidak pernah netral, melainkan selalu berada dalam
relasi dengan sumber keberadaannya.¹³ Keberanian untuk hidup secara otentik
berarti keberanian untuk mengakui keterbatasan diri dan membuka diri terhadap
transendensi. Iman, dalam pengertian ini, bukan bentuk pelarian dari realitas,
melainkan bentuk partisipasi terdalam di dalamnya.¹⁴
Melalui pendekatan
eksistensial, iman tidak lagi dipahami sebagai “pengetahuan tentang Tuhan,”
melainkan sebagai perjumpaan
dengan Tuhan dalam diri dan sejarah.¹⁵ Maka, eksistensialisme
religius bukan sekadar mazhab filosofis, tetapi juga praksis hidup: suatu cara
berada yang penuh keheningan, kesetiaan, dan keterlibatan.¹⁶ Ia memulihkan
kembali dimensi spiritual dalam eksistensi manusia modern yang tercerabut dari
akar maknanya.
Relevansi Akhir: Iman sebagai Panggilan untuk
Menjadi
Dalam dunia yang
diwarnai oleh kehilangan makna, dehumanisasi teknologi, dan relativisme moral,
eksistensialisme religius menampilkan iman sebagai panggilan untuk menjadi
manusia sepenuhnya.¹⁷ Iman berarti keberanian untuk hidup dengan kesadaran
akan misteri, untuk mencintai dalam keterbatasan, dan untuk berharap meski di
tengah absurditas.¹⁸ Ia mempersatukan yang imanen dan transenden, yang etis dan
estetis, yang manusiawi dan ilahi, ke dalam satu kesatuan eksistensial yang
hidup.
Sebagaimana
ditegaskan oleh Marcel, “keberadaan bukanlah sesuatu yang kita miliki,
melainkan sesuatu yang kita hayati bersama.”¹⁹ Pernyataan ini menutup
lingkaran eksistensialisme religius: dari kesadaran diri menuju keterlibatan,
dari keterbatasan menuju misteri, dan akhirnya dari keberadaan menuju
transendensi.
Footnotes
[1]               
John Macquarrie, Principles of Christian
Theology (New York: Scribner, 1966),
320–323.
[2]               
Paul Tillich, Systematic Theology,
Vol. 1 (Chicago: University of
Chicago Press, 1951), 239–242.
[3]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics,
1985), 53–56.
[4]               
Gabriel Marcel, Creative Fidelity, trans. Robert Rosthal (New York: Fordham University
Press, 1964), 85–88.
[5]               
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner,
1958), 111–114.
[6]               
Gabriel Marcel, Homo Viator:
Introduction to a Metaphysic of Hope,
trans. Emma Craufurd (Chicago: Henry Regnery, 1962), 91–93.
[7]               
Kierkegaard, The Sickness Unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics,
1989), 43–45.
[8]               
Karl Rahner, Foundations of
Christian Faith, trans. William Dych
(New York: Crossroad, 1982), 126–129.
[9]               
Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 1–3.
[10]            
Gabriel Marcel, Being and Having, trans. Katherine Farrer (London: Dacre Press, 1949),
62–65.
[11]            
Ibid., 98–100.
[12]            
Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (Chicago: Regnery Gateway,
1965), 212–215.
[13]            
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 171–174.
[14]            
Tillich, The Shaking of the
Foundations (New York: Scribner,
1948), 119–121.
[15]            
Rudolf Bultmann, New Testament and
Mythology, trans. Schubert M. Ogden
(Philadelphia: Fortress Press, 1984), 19–21.
[16]            
Gabriel Marcel, The Mystery of Being,
Vol. 2: Faith and Reality, trans. G.
S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 70–73.
[17]            
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan (Boston: Beacon Press,
1967), 338–341.
[18]            
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 2006),
101–104.
[19]            
Marcel, The Mystery of Being,
Vol. 1: Reflection and Mystery,
trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 55.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. London: Victor Gollancz.
Barth, K. (1936). Church dogmatics, Vol. I/1 (G. W. Bromiley, Trans.).
Edinburgh: T&T Clark.
Buber, M. (1958). I and thou (R. G. Smith, Trans.). New York: Scribner.
Bultmann, R. (1960). Existence and faith (S. M. Ogden, Trans.). New York:
Meridian Books.
Bultmann, R. (1958). Jesus and the word (L. P. Smith & E. H. Lantero,
Trans.). New York: Scribner.
Bultmann, R. (1984). New Testament and mythology (S. M. Ogden, Trans.).
Philadelphia: Fortress Press.
Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). New York:
Vintage International.
Clifford, A. (2001). Ecotheology: An introduction. Maryknoll, NY: Orbis
Books.
Flew, A. (1955). Theology and falsification. In A. Flew & A. MacIntyre
(Eds.), New essays in philosophical theology (pp. 96–99). London: SCM
Press.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning (I. Lasch, Trans.). Boston:
Beacon Press.
Frankl, V. E. (1988). The will to meaning: Foundations and applications of
logotherapy. New York: Plume.
Friedman, M. (1960). Martin Buber: The life of dialogue. New York: Harper
& Row.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson,
Trans.). New York: Harper & Row.
Kierkegaard, S. (1980). The concept of anxiety (R. Thomte, Trans.). Princeton:
Princeton University Press.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). London: Penguin
Classics.
Kierkegaard, S. (1989). The sickness unto death (A. Hannay, Trans.). London:
Penguin Classics.
Kierkegaard, S. (1992). Either/Or, Vols. I–II (A. Hannay, Trans.). London:
Penguin Classics.
Kierkegaard, S. (1992). Concluding unscientific postscript to philosophical fragments
(H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton: Princeton University Press.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh:
Duquesne University Press.
Levinas, E. (1974). Otherwise than being or beyond essence (A. Lingis,
Trans.). The Hague: Martinus Nijhoff.
Macquarrie, J. (1972). Existentialism. London: Penguin Books.
Macquarrie, J. (1966). Principles of Christian theology. New York: Scribner.
Marcel, G. (1949). Being and having (K. Farrer, Trans.). London: Dacre
Press.
Marcel, G. (1964). Creative fidelity (R. Rosthal, Trans.). New York:
Fordham University Press.
Marcel, G. (1962). Homo viator: Introduction to a metaphysic of hope (E.
Craufurd, Trans.). Chicago: Henry Regnery.
Marcel, G. (2001). The mystery of being, Vol. 1: Reflection and mystery (G.
S. Fraser, Trans.). South Bend: St. Augustine’s Press.
Marcel, G. (2001). The mystery of being, Vol. 2: Faith and reality (G. S.
Fraser, Trans.). South Bend: St. Augustine’s Press.
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). New York: Vintage
Books.
Otto, R. (1958). The idea of the holy (J. W. Harvey, Trans.). Oxford:
Oxford University Press.
Pascal, B. (1995). Pensées (A. J. Krailsheimer, Trans.). London: Penguin
Classics.
Rahner, K. (1968). Spirit in the world (W. Dych, Trans.). New York: Herder
and Herder.
Rahner, K. (1971). Theological investigations, Vol. 7 (D. Bourke, Trans.).
New York: Herder and Herder.
Rahner, K. (1982). Foundations of Christian faith (W. Dych, Trans.). New
York: Crossroad.
Ricoeur, P. (1965). Fallible man (C. Kelbley, Trans.). Chicago: Regnery
Gateway.
Ricoeur, P. (1967). The symbolism of evil (E. Buchanan, Trans.). Boston:
Beacon Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). Chicago:
University of Chicago Press.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). New York:
Washington Square Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). New
Haven: Yale University Press.
Scheler, M. (1960). On the eternal in man (B. Noble, Trans.). London: SCM
Press.
Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Tillich, P. (1948). The shaking of the foundations. New York: Scribner.
Tillich, P. (1951). Systematic theology, Vol. 1. Chicago: University of
Chicago Press.
Tillich, P. (1952). The courage to be. New Haven: Yale University Press.
Tillich, P. (1954). Love, power, and justice. New York: Oxford University Press.
Tillich, P. (1957). Dynamics of faith. New York: Harper & Row.
Tillich, P. (1957). Systematic theology, Vol. 2. Chicago: University of
Chicago Press.
Tillich, P. (1959). Theology of culture. New York: Oxford University Press.
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less
from each other. New York: Basic Books.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.).
London: Routledge & Kegan Paul.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar