Kamis, 16 Oktober 2025

Aliran Religius Konservatif: Sintesis antara Syariat, Akal, dan Spiritualitas dalam Pemikiran al-Ghazali

Aliran Religius Konservatif

Sintesis antara Syariat, Akal, dan Spiritualitas dalam Pemikiran al-Ghazali


Alihkan ke: Aliran-Aliran Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Religius Konservatif dalam filsafat Islam yang mencapai bentuk paradigmatiknya dalam pemikiran Abu Ḥāmid al-Ghazali (1058–1111 M). Melalui pendekatan historis-filosofis, tulisan ini menguraikan bagaimana al-Ghazali membangun sintesis epistemologis dan ontologis antara syariat, akal, dan spiritualitas untuk menjawab krisis rasionalisme dan sekularisasi intelektual pada masa klasik Islam. Dengan menganalisis karya-karya utama seperti Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, al-Munqidh min al-Ḍalāl, dan Tahāfut al-Falāsifah, artikel ini menegaskan bahwa al-Ghazali tidak menolak filsafat secara total, melainkan menundukkannya dalam kerangka teologi dan etika Islam.

Melalui kajian atas dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis pemikirannya, ditemukan bahwa al-Ghazali membangun model konservatisme dinamis, yaitu upaya menjaga otentisitas iman sambil mengakomodasi rasionalitas sebagai sarana menuju pengetahuan ilahi. Epistemologi religius konservatif yang dirumuskannya menempatkan wahyu sebagai sumber kebenaran tertinggi, akal sebagai alat interpretasi, dan pengalaman sufistik sebagai realisasi eksistensial terhadap kebenaran. Dalam konteks kontemporer, paradigma al-Ghazali relevan sebagai alternatif atas krisis moral modernitas dan sekularisme, karena menegaskan pentingnya integrasi antara ilmu, etika, dan spiritualitas.

Dengan demikian, aliran religius konservatif bukanlah bentuk stagnasi pemikiran, melainkan proyek peradaban spiritual yang menempatkan Tuhan sebagai pusat segala pengetahuan dan tindakan. Pemikiran al-Ghazali memberikan kontribusi signifikan bagi rekonstruksi filsafat Islam sebagai sistem nilai yang rasional, etis, dan teosentris.

Kata Kunci: al-Ghazali; religius konservatif; filsafat Islam; tasawuf; epistemologi Islam; syariat dan akal; spiritualitas rasional; etika religius; konservatisme dinamis.


PEMBAHASAN

Aliran Religius Konservatif dalam Filsafat Islam


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam, sejak masa keemasannya pada abad pertengahan, merupakan arena dialektika antara rasionalitas dan spiritualitas, antara filsafat dan teologi, antara kebebasan berpikir dan otoritas wahyu. Dalam ketegangan inilah muncul berbagai aliran pemikiran yang mencoba menyeimbangkan posisi akal (‘aql) dan wahyu (naql). Salah satu arus penting dalam perkembangan filsafat Islam adalah aliran religius konservatif, yang menegaskan bahwa kebenaran sejati tidak hanya ditemukan melalui argumentasi rasional, tetapi melalui pemahaman agama yang mendalam dan komitmen terhadap praktik keagamaan yang ketat. Aliran ini mencapai puncak artikulasinya dalam pemikiran Abu Ḥāmid al-Ghazālī (1058–1111 M), seorang teolog, sufi, dan filsuf yang berupaya mengharmonisasikan akal dan wahyu dalam kerangka spiritual yang integral.

Kemunculan aliran religius konservatif tidak dapat dilepaskan dari dinamika intelektual Islam abad ke-11, di mana tradisi filsafat yang diwarisi dari Yunani—terutama dari Aristoteles dan Plotinus melalui penerjemahan karya-karya mereka ke dalam bahasa Arab—telah membentuk arus rasionalisme kuat yang diwakili oleh para filsuf seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā (Avicenna). Rasionalisme filosofis ini mengundang reaksi keras dari kalangan teolog Asy‘ariyah yang menilai bahwa penggunaan akal secara mutlak dapat mengancam otoritas wahyu dan kemurnian akidah Islam. Dalam konteks inilah, al-Ghazali tampil sebagai figur penengah: ia tidak menolak filsafat secara total, tetapi menempatkannya dalam posisi subordinatif terhadap wahyu dan spiritualitas religius. Ia berpendapat bahwa akal memiliki fungsi instrumental untuk memahami syariat, bukan untuk menggantikannya.¹

Sebagai pemikir yang mengalami krisis spiritual mendalam, al-Ghazali menilai bahwa kebenaran hakiki tidak dapat dicapai hanya melalui rasio atau metode deduktif-logis sebagaimana dipraktikkan para filosof. Dalam karyanya al-Munqidh min al-Ḍalāl (Penyelamat dari Kesesatan), ia menggambarkan pengalaman eksistensialnya dalam mencari kepastian epistemologis—dari ilmu kalam, filsafat, hingga akhirnya tasawuf—dan menemukan bahwa kepastian sejati (yaqīn) hanya mungkin diraih melalui penyucian jiwa dan pencerahan batin (kashf).² Pendekatan inilah yang menjadi dasar bagi corak religius konservatif dalam filsafat Islam: suatu sintesis antara ortodoksi teologis dan praksis spiritual.

Selain itu, aliran religius konservatif menekankan pentingnya taḥqīq al-‘ilm—pembenaran ilmu melalui pengalaman rohaniah. Bagi al-Ghazali, ilmu yang tidak menuntun pada amal saleh dan transformasi moral adalah ilmu yang tidak bermanfaat (‘ilm ghayr nāfi‘).³ Maka, tujuan akhir dari pengetahuan bukanlah sekadar intelektual, melainkan etis dan spiritual. Hal ini menunjukkan bahwa konservatisme religius dalam Islam bukanlah penolakan terhadap rasionalitas, tetapi pengendalian rasionalitas dalam kerangka moral dan ketundukan kepada Tuhan. Dengan demikian, filsafat dalam pandangan al-Ghazali menjadi bagian dari jalan menuju ma‘rifat Allāh, bukan sekadar spekulasi metafisik.

Pendahuluan ini bertujuan untuk menempatkan aliran religius konservatif sebagai paradigma filsafat Islam yang menegaskan supremasi spiritualitas tanpa meniadakan peran akal. Melalui pendekatan ini, artikel akan menelusuri landasan historis, struktur ontologis, dan epistemologis pemikiran al-Ghazali, serta menunjukkan relevansinya terhadap krisis intelektual dan moral dunia modern. Dengan demikian, kajian ini tidak hanya bersifat retrospektif, tetapi juga prospektif—menawarkan inspirasi filosofis bagi pembaruan pemikiran Islam yang tetap berpijak pada kedalaman religius.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah (Kairo: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1927), 7–10.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Ḍalāl, ed. J. Saliba dan K. Ayyad (Beirut: al-Maktabah al-Sya‘biyyah, 1959), 43–49.

[3]                Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 1 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1967), 21.

[4]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 114–120.

[5]                W. Montgomery Watt, The Faith and Practice of al-Ghazali (London: George Allen and Unwin, 1953), 25–28.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

2.1.       Konteks Sosial-Intelektual Dunia Islam Abad ke-11

Abad ke-11 M merupakan salah satu fase paling dinamis dalam sejarah intelektual Islam. Pada periode ini, dunia Islam berada dalam masa transisi: secara politik, kekuasaan Abbasiyah mulai mengalami fragmentasi; secara intelektual, perdebatan antara filsafat, kalam, dan tasawuf mencapai puncaknya. Baghdad, Nishapur, dan Kairo menjadi pusat-pusat pembelajaran yang mempertemukan berbagai aliran pemikiran—dari rasionalisme filsafat Yunani, teologi skolastik (kalam), hingga mistisisme sufistik.¹ Dalam konteks ini, ketegangan epistemologis antara akal dan wahyu menjadi masalah sentral: apakah kebenaran dapat dicapai semata-mata melalui nalar manusia, ataukah wahyu harus tetap menjadi otoritas tertinggi?

Aliran rasionalistik yang dikembangkan oleh al-Fārābī (w. 950 M) dan Ibn Sīnā (w. 1037 M) menggabungkan metafisika Aristotelian dengan teologi Islam, menghasilkan sistem pemikiran yang menekankan deduksi logis dan prinsip kausalitas universal.² Namun, pandangan ini menimbulkan reaksi keras dari para teolog ortodoks, terutama dari mazhab Asy‘ariyah, yang menilai bahwa prinsip kausalitas bertentangan dengan doktrin kekuasaan absolut Tuhan (qudrah ilāhiyyah).³ Dalam situasi inilah, muncul kebutuhan akan suatu sintesis yang mampu menjembatani nalar filosofis dengan iman religius tanpa menegasikan keduanya.

2.2.       Reaksi terhadap Rasionalisme dan Posisi al-Ghazali

Reaksi terhadap rasionalisme filosofis bukan hanya bentuk perlawanan terhadap pengaruh Yunani, tetapi juga usaha untuk mempertahankan integritas akidah Islam. Kalangan mutakallimūn berupaya menjelaskan keimanan melalui argumentasi rasional yang tetap berpijak pada teks wahyu. Al-Ghazali, sebagai murid Imam al-Juwayni—tokoh penting dalam teologi Asy‘ariyah—mengalami secara langsung ketegangan antara teologi normatif dan rasionalisme filosofis. Ia menerima rasionalitas sebagai alat bantu, namun menolak ketika akal digunakan untuk menafsirkan realitas di luar batas wahyu.⁴

Melalui karya monumentalnya Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filosof), al-Ghazali menyusun kritik sistematis terhadap para filsuf Islam yang dianggap menyimpang dari prinsip keimanan. Ia menuduh mereka terjerumus dalam tiga kekeliruan besar (kufr): keyakinan bahwa dunia qadim (tidak bermula), penolakan terhadap kebangkitan jasmani, dan pengingkaran terhadap pengetahuan Tuhan tentang partikularitas.⁵ Kritik ini bukanlah antiintelektualisme, tetapi upaya menegakkan batas epistemologis antara ilmu rasional dan kebenaran wahyu. Dalam kerangka inilah, muncul corak religi konservatif yang berusaha menegaskan supremasi syariat sekaligus mengakui peran akal secara fungsional.

2.3.       Genealogi Aliran Religius Konservatif

Secara genealogis, aliran religius konservatif berakar pada sintesis antara teologi Asy‘ariyah dan tasawuf Sunni. Dari sisi teologi, ia mewarisi doktrin kasb (perolehan tindakan manusia di bawah kehendak Tuhan), konsep jauhar wa ‘araḍ (substansi dan aksiden), serta penolakan terhadap nalar murni sebagai sumber kebenaran absolut.⁶ Dari sisi tasawuf, ia dipengaruhi oleh tradisi al-Junaid al-Baghdadi yang menekankan keseimbangan antara syariat lahiriah dan pengalaman batiniah (ḥaqīqah). Melalui perpaduan ini, al-Ghazali membentuk paradigma epistemologis yang khas: pengetahuan sejati adalah harmoni antara teks, rasio, dan intuisi spiritual.

Al-Ghazali bukanlah pendiri aliran religius konservatif dalam arti sempit, melainkan penyempurna kecenderungan intelektual yang telah ada. Sebelum dirinya, teolog seperti al-Ash‘ari telah mengembangkan sistem yang menolak rasionalisme ekstrem Mu‘tazilah, namun belum berhasil membangun jembatan menuju spiritualitas sufistik.⁷ Al-Ghazali melengkapi aspek tersebut dengan menegaskan bahwa ortodoksi teologis tanpa dimensi ruhani akan melahirkan kekeringan moral, sedangkan sufisme tanpa dasar teologis akan jatuh pada penyimpangan mistik. Dengan demikian, religius konservatif adalah sintesis dinamis: bukan stagnasi dogmatis, melainkan harmonisasi iman dan kesadaran spiritual.

2.4.       Posisi Historis al-Ghazali di Antara Dua Kutub

Dalam panorama sejarah filsafat Islam, al-Ghazali menempati posisi strategis di antara dua kutub ekstrem: rasionalisme filosofis yang diwakili oleh Ibn Sīnā, dan legalisme dogmatis yang dipegang oleh para fuqaha tradisional. Ia mengkritik keduanya dengan argumen bahwa kebenaran tidak dapat dipahami secara parsial. Rasionalisme tanpa spiritualitas kehilangan arah moral, sedangkan legalisme tanpa refleksi intelektual menjadi kaku dan eksklusif.⁸ Karena itu, pemikiran al-Ghazali tidak dapat sekadar dikategorikan sebagai anti-filsafat; justru ia menata ulang hubungan antara filsafat dan agama sehingga melahirkan paradigma epistemologis baru yang memulihkan keseimbangan antara wahyu dan nalar.

Al-Ghazali menegaskan bahwa peran filsafat adalah sekunder terhadap agama: ia bagaikan obor yang menerangi jalan, tetapi bukan sumber cahaya utama. Kebenaran tertinggi hanya dapat dicapai melalui penyucian jiwa dan kedekatan dengan Tuhan.⁹ Dari sinilah lahir paradigma religius konservatif yang menjadikan spiritualitas sebagai pusat pengetahuan dan etika. Dalam sejarah Islam, paradigma ini memiliki dampak besar terhadap pembentukan pendidikan tradisional (madrasah), struktur moral masyarakat, dan pola berpikir teologis hingga era modern.


Footnotes

[1]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 325–330.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 131–135.

[3]                Richard M. Frank, Creation and the Cosmic System: Al-Ghazali and Avicenna (Heidelberg: Carl Winter, 1992), 42–46.

[4]                W. Montgomery Watt, Muslim Intellectual: A Study of al-Ghazali (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1963), 54–60.

[5]                Abu Hamid al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah (Kairo: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1927), 5–8.

[6]                Harry A. Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 410–417.

[7]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 93–98.

[8]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 152–156.

[9]                Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 4 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1967), 15.


3.           Biografi Intelektual al-Ghazali

3.1.       Latar Pendidikan dan Perjalanan Intelektual

Abu Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī al-Ṭūsī lahir di kota Ṭūs, Khurasan (Iran modern) pada tahun 450 H/1058 M.¹ Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang religius dan sederhana; ayahnya dikenal sebagai seorang sufi yang sangat mencintai ilmu. Setelah wafatnya sang ayah, al-Ghazali dan saudaranya, Aḥmad, diasuh oleh seorang sufi yang membimbing mereka untuk menempuh pendidikan agama.² Sejak kecil, al-Ghazali menunjukkan kecerdasan luar biasa dan ketekunan yang mendalam dalam menuntut ilmu.

Ia menempuh pendidikan awalnya di Ṭūs, kemudian melanjutkan studi ke Jurjan dan Nishapur, tempat ia belajar di bawah bimbingan Imam al-Ḥaramayn al-Juwaynī (w. 1085 M)—salah satu teolog Asy‘ariyah paling berpengaruh.³ Di bawah al-Juwayni, al-Ghazali menguasai disiplin ilmu kalam, logika, usul fikih, dan filsafat, serta menunjukkan kecemerlangan intelektual yang membuatnya dikenal di kalangan ulama muda. Setelah wafatnya al-Juwayni, al-Ghazali bergabung dengan istana Nizam al-Mulk, wazir besar Dinasti Saljuk, dan diangkat sebagai guru besar di Madrasah Nizamiyah Baghdad sekitar tahun 1091 M.⁴ Posisi ini menempatkannya di puncak karier intelektual, namun juga menjadi awal dari krisis spiritual yang kelak mengubah seluruh orientasi hidupnya.

3.2.       Krisis Spiritual dan Transformasi Epistemologis

Meski mencapai prestasi ilmiah yang luar biasa, al-Ghazali mengalami krisis eksistensial yang mendalam. Dalam al-Munqidh min al-Ḍalāl (Penyelamat dari Kesesatan), ia menggambarkan keraguannya terhadap kemampuan akal untuk mencapai kebenaran mutlak. Ia menulis, “Aku meneliti setiap golongan pencari kebenaran, baik para teolog, filsuf, maupun kaum sufi, hingga aku menemukan bahwa keyakinan tidak dapat diperoleh kecuali melalui cahaya yang ditanamkan Allah ke dalam hati.”⁵ Krisis ini menyebabkan al-Ghazali meninggalkan kedudukannya di Baghdad pada tahun 1095 M, meninggalkan popularitas, kekayaan, dan jabatan demi mencari kebenaran spiritual sejati.

Selama masa pengembaraan rohaniah yang berlangsung sekitar sepuluh tahun, ia berkelana ke Damaskus, Yerusalem, Mekkah, dan Madinah. Dalam periode ini, al-Ghazali memusatkan hidupnya pada praktik sufistik: dzikir, khalwat, dan penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs). Pengalaman mistik ini mengubah cara pandangnya terhadap epistemologi. Ia menyimpulkan bahwa pengetahuan sejati (al-‘ilm al-ḥaqīqī) tidak dicapai melalui diskursus logis semata, tetapi melalui kashf (penyingkapan batiniah) yang hanya diberikan kepada hati yang disucikan.⁶ Dengan demikian, akal tetap penting, tetapi harus tunduk pada bimbingan wahyu dan intuisi ilahiah.

3.3.       Karya-karya Utama dan Sintesis Pemikiran

Setelah mengakhiri masa pengasingan spiritualnya, al-Ghazali kembali ke Ṭūs dan mendirikan zawiyah (pondok sufi) untuk mengajar dan menulis. Dari masa inilah lahir karya-karya besar yang menunjukkan kedewasaan intelektual dan spiritualnya. Karya paling monumental adalah Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn (Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama), sebuah ensiklopedia etika dan spiritualitas Islam yang mengintegrasikan hukum, teologi, dan tasawuf.⁷ Dalam karya ini, al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu agama sejati tidak berhenti pada aspek hukum, tetapi harus berujung pada transformasi moral dan kedekatan dengan Tuhan.

Selain Iḥyāʾ, dua karya lain yang sangat penting dalam konteks filsafat adalah Maqāṣid al-Falāsifah dan Tahāfut al-Falāsifah. Maqāṣid berfungsi sebagai ringkasan objektif terhadap sistem filsafat peripatetik (Avicennian), sedangkan Tahāfut merupakan kritik mendalam terhadap klaim metafisik para filosof.⁸ Kombinasi kedua karya ini menunjukkan pendekatan metodologis al-Ghazali yang seimbang: ia memahami filsafat secara mendalam sebelum mengkritiknya dari dalam kerangka epistemologinya sendiri. Melalui cara ini, ia bukan hanya membantah, tetapi juga mengasimilasi unsur-unsur rasionalisme ke dalam teologi Islam.

3.4.       Pengaruh dan Signifikansi Intelektual

Pemikiran al-Ghazali menandai titik balik dalam sejarah filsafat Islam. Ia berhasil memulihkan legitimasi spiritualitas dalam wacana intelektual yang sebelumnya didominasi oleh rasionalisme filosofis. Menurut Frank Griffel, proyek intelektual al-Ghazali bukanlah anti-filsafat, melainkan theologization of philosophy—yakni upaya untuk menundukkan filsafat di bawah kerangka teologi Islam.⁹ W. Montgomery Watt bahkan menyebutnya sebagai “pembaru besar Islam” karena kemampuannya mengintegrasikan ortodoksi, rasionalitas, dan spiritualitas dalam satu sistem yang utuh.¹⁰

Dampak pemikiran al-Ghazali melampaui batas dunia Islam; karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 dan memengaruhi pemikir Kristen skolastik seperti Thomas Aquinas dan Bonaventure.¹¹ Dalam dunia Islam sendiri, ia menjadi figur sentral dalam tradisi intelektual Sunni dan sumber legitimasi bagi sistem pendidikan madrasah. Dengan demikian, biografi intelektual al-Ghazali bukan sekadar perjalanan pribadi menuju kebenaran, tetapi juga transformasi epistemologis umat Islam dari rasionalisme ke spiritualisme integratif—landasan utama bagi lahirnya aliran religius konservatif.


Footnotes

[1]                W. Montgomery Watt, Muslim Intellectual: A Study of al-Ghazali (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1963), 12–15.

[2]                Zainab al-Khuzai, Al-Ghazali: Hayatuhu wa Falsafatuhu (Baghdad: Dar al-Rashid, 1981), 21.

[3]                Richard M. Frank, Al-Ghazali and the Ash‘arite School (Durham: Duke University Press, 1994), 44–47.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 164.

[5]                Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Ḍalāl, ed. J. Saliba dan K. Ayyad (Beirut: al-Maktabah al-Sya‘biyyah, 1959), 28.

[6]                Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 3 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1967), 67.

[7]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 158.

[8]                Al-Ghazali, Maqāṣid al-Falāsifah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 3–6.

[9]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 87.

[10]             W. Montgomery Watt, The Faith and Practice of al-Ghazali (London: George Allen and Unwin, 1953), 43.

[11]             T. J. de Boer, The History of Philosophy in Islam (London: Luzac & Co., 1903), 146–149.


4.           Ontologi Religius Konservatif

4.1.       Tuhan sebagai Realitas Mutlak dan Sumber Segala Wujud

Dalam pandangan al-Ghazali, seluruh realitas berpusat pada Tuhan (Allāh) sebagai Wujud Mutlak (al-Wujūd al-Ḥaqq), yang eksistensinya bersifat niscaya (wājib al-wujūd) dan menjadi sumber bagi seluruh keberadaan lainnya.¹ Ontologi religius konservatif yang ia bangun bertolak dari prinsip tauhid: bahwa tiada wujud hakiki selain Tuhan, dan segala sesuatu selain-Nya hanyalah manifestasi dari kehendak dan ciptaan-Nya.² Bagi al-Ghazali, Tuhan tidak hanya Pencipta dalam arti awal mula, tetapi juga Pemelihara dan Pengatur terus-menerus atas eksistensi makhluk—sebuah konsep yang disebutnya sebagai tajdīd al-khalq fī kulli waqt (penciptaan berkelanjutan setiap saat).³

Berbeda dari pandangan para filosof peripatetik seperti Ibn Sina yang memandang hubungan Tuhan dan dunia dalam kerangka emanasi rasional (fayḍ), al-Ghazali menolak segala bentuk keterpaksaan kosmologis. Penciptaan menurutnya bukan akibat niscaya dari esensi Tuhan, melainkan hasil kehendak bebas Ilahi (irādah ilāhiyyah).⁴ Dengan demikian, realitas kosmos bukanlah perpanjangan dari Zat Tuhan, tetapi eksistensi kontingen yang sepenuhnya bergantung pada keputusan dan kuasa-Nya. Ontologi semacam ini menegaskan sifat transendensi mutlak Tuhan serta perbedaan ontologis antara Khalik dan makhluk.

4.2.       Konsep Penciptaan dan Keteraturan Kosmos

Al-Ghazali memahami penciptaan bukan hanya sebagai peristiwa awal (creatio ex nihilo), melainkan sebagai proses yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Dalam Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, ia menulis bahwa setiap momen keberadaan makhluk bergantung sepenuhnya pada kehendak Tuhan; bila kehendak itu dicabut sekejap saja, segala sesuatu akan sirna.⁵ Dengan demikian, dunia adalah tanda (āyah) yang menyingkap kehadiran Tuhan, bukan entitas otonom yang berdiri sendiri. Pandangan ini menggambarkan kosmos sebagai “teofani dinamis”—yakni arena di mana sifat-sifat Ilahi (ṣifāt Allāh) memanifestasikan diri-Nya dalam bentuk keteraturan dan hukum alam.

Namun, keteraturan dunia (niẓām al-‘ālam) dalam kerangka al-Ghazali tidak bersumber dari kausalitas mekanistik sebagaimana dalam filsafat Aristotelian, melainkan dari kebiasaan ilahi (‘ādah Allāh).⁶ Artinya, hubungan sebab-akibat di dunia hanyalah pola yang diciptakan Tuhan secara konsisten untuk memudahkan manusia mengenali hukum-hukum-Nya. Hal ini dikenal dengan teori occasionalism (kaum kasbiyyah Asy‘ariyah), yang menyatakan bahwa tidak ada daya kausal dalam makhluk; setiap peristiwa terjadi karena intervensi langsung Tuhan.⁷ Dengan teori ini, al-Ghazali memulihkan dimensi spiritual dalam hukum alam: segala sesuatu, dari gerak atom hingga perjalanan bintang, adalah ekspresi kehendak Tuhan yang terus bekerja.

4.3.       Posisi Manusia dalam Kosmos: Khalifah dan Hamba

Dalam sistem ontologinya, manusia menempati posisi istimewa sebagai makhluk yang diciptakan “dalam citra Ilahi” (‘alā ṣūrat Allāh), yakni memiliki kesadaran dan kebebasan terbatas yang mencerminkan sebagian kecil dari sifat-sifat Tuhan.⁸ Akan tetapi, kebebasan manusia bukanlah otonomi metafisik, melainkan partisipasi dalam kehendak Ilahi. Di sinilah konsep kasb (perolehan tindakan) memainkan peran penting. Menurut al-Ghazali, manusia “memperoleh” tindakan melalui kehendaknya, tetapi daya realisasinya tetap milik Tuhan.⁹ Pandangan ini menolak determinisme murni sekaligus libertarianisme ekstrem, dengan menempatkan kebebasan manusia dalam kerangka ketaatan ontologis.

Sebagai khalīfat Allāh fī al-arḍ (wakil Tuhan di bumi), manusia memiliki tanggung jawab moral dan spiritual untuk menjaga keteraturan ciptaan.¹⁰ Ontologi religius konservatif menempatkan manusia bukan sebagai penguasa alam, tetapi sebagai penjaga amanah Ilahi. Melalui amal saleh dan pengetahuan yang bermanfaat, manusia mengaktualisasikan potensi spiritualnya dan mendekati kesempurnaan yang bersumber dari Tuhan. Dengan demikian, etika dan ontologi berjalin erat: pengetahuan tentang hakikat wujud menuntun manusia kepada penghambaan yang tulus dan kesadaran kosmik akan kehadiran Ilahi.

4.4.       Kritik terhadap Determinisme Filosofis dan Konfirmasi Kehendak Ilahi

Salah satu aspek penting dari ontologi religius konservatif al-Ghazali adalah kritiknya terhadap determinisme filosofis yang melemahkan konsep kehendak bebas Tuhan. Dalam Tahāfut al-Falāsifah, ia menolak pandangan bahwa alam semesta berjalan secara niscaya berdasarkan hukum kausal yang tetap dan independen dari kehendak Tuhan.¹¹ Ia menegaskan bahwa Tuhan tidak terikat oleh hukum alam; bahkan hukum itu sendiri bergantung pada kehendak-Nya. Ini bukanlah bentuk anti-rasionalisme, melainkan pembalikan perspektif ontologis: sebab-sebab alamiah bukan penyebab sejati (fā‘il ḥaqīqī), melainkan instrumen dari tindakan Tuhan.

Al-Ghazali menolak pandangan bahwa keteraturan kosmos menunjukkan keterpaksaan logis dalam tindakan Tuhan. Sebaliknya, keteraturan tersebut justru mencerminkan kebijaksanaan dan kemahakuasaan-Nya.¹² Tuhan bertindak dengan hikmah, bukan dengan keharusan metafisis. Ontologi semacam ini menempatkan hubungan antara Tuhan dan alam dalam kerangka etis dan spiritual, bukan sekadar logis. Dengan demikian, sistem ontologi religius konservatif tidak sekadar menjawab persoalan metafisika, tetapi juga mengembalikan makna religius dalam struktur realitas—bahwa seluruh wujud hanyalah cerminan dari Kehendak Ilahi yang Mahasadar dan Mahabijaksana.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtiṣād fī al-I‘tiqād (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), 33–36.

[2]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 120–125.

[3]                Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 1 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1967), 58.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 176–180.

[5]                Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 4, 12.

[6]                Harry A. Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 410–415.

[7]                Michael E. Marmura, “Ghazali and Demonstrative Science,” Philosophy and the Arts in the Medieval Islamic World, ed. U. R. Langermann (Leiden: Brill, 1990), 85–90.

[8]                Al-Ghazali, Mishkāt al-Anwār (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 27.

[9]                Richard M. Frank, Creation and the Cosmic System: Al-Ghazali and Avicenna (Heidelberg: Carl Winter, 1992), 67–70.

[10]             W. Montgomery Watt, The Faith and Practice of al-Ghazali (London: George Allen and Unwin, 1953), 64.

[11]             Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah (Kairo: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1927), 12–16.

[12]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 170–173.


5.           Epistemologi: Antara Akal dan Wahyu

5.1.       Hierarki Sumber Pengetahuan: Wahyu, Akal, dan Pengalaman Mistis

Dalam sistem epistemologinya, al-Ghazali menempatkan wahyu sebagai sumber pengetahuan tertinggi dan paling otoritatif, diikuti oleh akal sebagai alat bantu untuk memahami dan menafsirkan wahyu, serta pengalaman mistik (kashf) sebagai puncak pemahaman intuitif yang menyingkap hakikat realitas.¹ Pandangan ini tidak menafikan peran rasionalitas, tetapi menundukkannya dalam kerangka spiritual yang diatur oleh wahyu. Bagi al-Ghazali, akal manusia memiliki kemampuan untuk menalar dan membedakan yang benar dari yang salah dalam wilayah empiris dan logis, namun ia tidak mampu menembus dimensi metafisik tanpa bimbingan ilahi.²

Dalam al-Munqidh min al-Ḍalāl, al-Ghazali menuturkan bahwa akal dapat mencapai kebenaran sejauh berkaitan dengan fenomena duniawi, tetapi hanya wahyu dan intuisi rohaniah yang mampu menyingkap kebenaran hakiki (al-ḥaqq al-muta‘ālī).³ Akal ibarat mata yang tajam, tetapi tidak dapat melihat tanpa cahaya; wahyu adalah cahaya itu sendiri. Epistemologi semacam ini menciptakan struktur pengetahuan yang hierarkis: wahyu menjadi pusat, akal berfungsi sebagai sarana interpretatif, dan intuisi sufistik sebagai sarana penyaksian langsung terhadap kebenaran.

5.2.       Kritik al-Ghazali terhadap Epistemologi Rasionalistik

Kritik al-Ghazali terhadap para filsuf seperti Ibn Sīnā dan al-Fārābī berakar pada perbedaan pandangan tentang batas akal. Ia menuduh para filosof telah melampaui batas epistemologis manusia dengan mengklaim bahwa akal dapat menjangkau hakikat Tuhan dan alam tanpa bantuan wahyu.⁴ Dalam Tahāfut al-Falāsifah, ia mengidentifikasi 20 kesalahan epistemologis yang dilakukan para filsuf, terutama dalam persoalan kosmologi dan teologi.⁵ Menurut al-Ghazali, pendekatan rasionalistik tersebut telah menimbulkan “kesombongan intelektual” yang mengabaikan dimensi spiritual dari pengetahuan.

Bagi al-Ghazali, rasionalitas semata tidak mampu memberikan kepastian metafisik karena ia hanya beroperasi dalam ranah deduktif dan konseptual. Kebenaran yang dihasilkan akal bersifat nisbi dan terikat oleh asumsi logis, sedangkan wahyu menghadirkan kebenaran absolut yang bersumber langsung dari Tuhan.⁶ Oleh sebab itu, ia menolak klaim otonomi epistemik akal yang dikembangkan oleh para filsuf Islam klasik dan menggantinya dengan paradigma teosentris, di mana akal berfungsi sebagai instrumen pemahaman, bukan sumber independen dari kebenaran.

5.3.       Konsep Yaqīn dan Dzauq: Jalan Menuju Kebenaran Hakiki

Epistemologi religius konservatif al-Ghazali mencapai kedalaman filosofisnya dalam konsep yaqīn (keyakinan pasti) dan dzauq (rasa spiritual). Dalam Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, ia menjelaskan bahwa yaqīn bukan sekadar pengetahuan rasional, tetapi pengalaman eksistensial yang menyentuh hati dan jiwa.⁷ Yaqīn lahir dari proses penyucian batin melalui ibadah, dzikir, dan muhasabah yang menyingkap hakikat ketuhanan. Dalam tahap ini, dzauq—yakni rasa batin yang dirasakan secara langsung—menjadi bentuk tertinggi dari pengetahuan karena melampaui batas argumentasi.

Epistemologi dzauqī ini tidak dapat direduksi ke dalam kerangka logika formal. Ia merupakan pengalaman intuitif yang bersumber dari cahaya ilahi (nūr ilāhī) yang menerangi hati.⁸ Namun, al-Ghazali tidak menganggap dzauq sebagai pengganti wahyu, melainkan sebagai bentuk realisasi dari kebenaran wahyu di dalam diri manusia. Dengan demikian, antara wahyu, akal, dan pengalaman spiritual tidak terjadi kontradiksi, melainkan saling melengkapi dalam satu sistem pengetahuan yang integratif dan hirarkis.

5.4.       Integrasi antara Ilmu Lahiriah dan Ilmu Batiniah

Salah satu keunggulan epistemologi al-Ghazali adalah upayanya untuk mengintegrasikan ilmu lahiriah (‘ilm al-ẓāhir)—seperti fikih, logika, dan teologi—dengan ilmu batiniah (‘ilm al-bāṭin)—yakni pengetahuan sufistik dan spiritual.⁹ Dalam pandangannya, ilmu lahiriah diperlukan untuk menata perilaku dan hukum sosial, sementara ilmu batiniah menata hati dan moralitas individu. Kedua bentuk pengetahuan ini tidak boleh dipisahkan, karena pemisahan akan melahirkan ekstremisme intelektual maupun spiritual.

Dalam Mishkāt al-Anwār (Nisbah Cahaya-Cahaya), al-Ghazali menggunakan metafora cahaya untuk menggambarkan hubungan epistemologis antara Tuhan dan manusia.¹⁰ Ia menyebut bahwa pengetahuan sejati bagaikan cahaya yang memancar dari Tuhan menuju hati manusia; setiap tingkat pengetahuan merupakan refleksi dari tingkat cahaya tersebut. Karena itu, pencarian kebenaran sejati tidak cukup hanya dengan membaca teks (wahyu) atau berpikir logis (akal), melainkan dengan menyucikan batin agar pantas menerima pancaran cahaya ilahi.

Integrasi ini menunjukkan bahwa al-Ghazali tidak menolak ilmu rasional, melainkan menempatkannya dalam kerangka spiritual yang lebih luas. Dalam tradisi religius konservatif yang ia bangun, ilmu menjadi sarana penyempurnaan moral dan kedekatan dengan Tuhan—suatu bentuk epistemologi yang bersifat teleologis dan transformatif, bukan sekadar teoretis.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtiṣād fī al-I‘tiqād (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), 27–31.

[2]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 132–136.

[3]                Al-Ghazali, al-Munqidh min al-Ḍalāl, ed. J. Saliba dan K. Ayyad (Beirut: al-Maktabah al-Sya‘biyyah, 1959), 45–49.

[4]                Richard M. Frank, Creation and the Cosmic System: Al-Ghazali and Avicenna (Heidelberg: Carl Winter, 1992), 52–56.

[5]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah (Kairo: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1927), 6–9.

[6]                Michael E. Marmura, “Ghazali’s Attitude to the Secular Sciences and Logic,” Islamic Quarterly 9, no. 2 (1965): 93–97.

[7]                Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 3 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1967), 62–65.

[8]                Abu Hamid al-Ghazali, Mishkāt al-Anwār (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 18–22.

[9]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 174–178.

[10]             W. Montgomery Watt, The Faith and Practice of al-Ghazali (London: George Allen and Unwin, 1953), 67–70.


6.           Etika dan Aksiologi Keagamaan

6.1.       Moralitas sebagai Refleksi Spiritual: Pembersihan Jiwa (Tazkiyah al-Nafs)

Dalam pandangan al-Ghazali, etika tidak dapat dipisahkan dari spiritualitas. Ia mendefinisikan moralitas (akhlāq) sebagai kondisi batin yang menetap dalam jiwa dan darinya lahir tindakan-tindakan yang spontan tanpa paksaan.¹ Moralitas sejati, dengan demikian, bukanlah perilaku eksternal yang bersifat formal, melainkan ekspresi dari jiwa yang telah disucikan melalui proses tazkiyah al-nafs (penyucian diri). Etika, dalam kerangka religius konservatif, menjadi dimensi praktis dari ontologi dan epistemologi religius: pengetahuan tentang Tuhan harus berbuah pada transformasi moral yang konkret.

Dalam Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, al-Ghazali menegaskan bahwa akar segala keburukan adalah cinta dunia dan dorongan nafsu, sedangkan puncak kebaikan adalah kemurnian hati (ṣafāʾ al-qalb) yang dipenuhi cinta kepada Tuhan.² Oleh karena itu, tujuan etika bukan sekadar pembentukan perilaku sosial, tetapi pengendalian nafsu melalui kesadaran spiritual. Moralitas berfungsi sebagai jalan menuju sa‘ādah (kebahagiaan hakiki), yang hanya dapat dicapai jika manusia menundukkan hasrat pribadinya dan mengarahkan seluruh tindakannya demi keridaan Ilahi.³

6.2.       Etika Religius dalam Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn: Keseimbangan antara Ibadah dan Muamalah

Karya Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn merupakan manifestasi paling utuh dari etika religius al-Ghazali. Di dalamnya, ia menyusun kerangka etika Islam yang mencakup dimensi ritual (‘ibādah) dan sosial (mu‘āmalah), sehingga menjembatani antara moralitas individu dan tanggung jawab sosial.⁴ Menurutnya, ibadah yang benar adalah ibadah yang disertai kesadaran batin, bukan sekadar rutinitas formal. Sebaliknya, muamalah yang sahih adalah perilaku sosial yang berakar pada niat tulus (ikhlāṣ) dan rasa tanggung jawab spiritual terhadap sesama makhluk.

Al-Ghazali mengklasifikasikan amal manusia dalam empat kategori: (1) hubungan dengan Allah (ibadah), (2) hubungan dengan diri sendiri (pengendalian hawa nafsu), (3) hubungan dengan sesama manusia (akhlak sosial), dan (4) hubungan dengan dunia (pemanfaatan harta dan ilmu).⁵ Keempatnya harus disatukan dalam orientasi kepada Tuhan. Dengan demikian, moralitas dalam pandangan al-Ghazali bersifat teosentris: kebaikan dinilai bukan berdasarkan utilitas sosial semata, tetapi berdasarkan sejauh mana tindakan itu mendekatkan diri kepada Tuhan.

6.3.       Konsep Kebahagiaan (Sa‘ādah) dan Tujuan Hidup Manusia

Dalam etika religius konservatif, kebahagiaan sejati (sa‘ādah) bukanlah kesenangan jasmani atau keberhasilan duniawi, melainkan pencapaian kedekatan dengan Tuhan melalui pembersihan jiwa dan pengetahuan ilahiah.⁶ Menurut al-Ghazali, kebahagiaan tidak dapat diperoleh melalui kekuasaan, harta, atau ilmu yang tidak membawa kepada kebenaran; ia hanya dapat diraih melalui kesesuaian antara pengetahuan dan amal saleh.⁷ Dalam kerangka aksiologi, nilai tertinggi bukanlah kenikmatan material, tetapi ma‘rifat Allāh—pengetahuan intuitif dan cinta yang mendalam kepada Tuhan.

Etika al-Ghazali bersifat teleologis dan kontemplatif: setiap tindakan memiliki nilai sejauh ia mengarah kepada tujuan akhir eksistensi manusia, yaitu perjumpaan dengan Tuhan (liqāʾ Allāh).⁸ Maka, tindakan moral tidak berdiri sendiri, tetapi memperoleh maknanya dari orientasi eskatologis. Inilah inti aksiologi religius konservatif—bahwa nilai dan kebaikan tidak memiliki otonomi di luar kehendak Ilahi, tetapi berakar pada hubungan eksistensial antara manusia dan Tuhan.

6.4.       Nilai Konservatisme Religius dalam Praktik Sosial dan Pendidikan

Konservatisme religius dalam etika al-Ghazali tampak dalam penekanannya pada disiplin moral, keseimbangan spiritual, dan ketaatan terhadap syariat. Ia menolak pandangan ekstrem: baik rasionalisme etis yang menilai moralitas berdasarkan akal manusia semata, maupun sufisme bebas yang menafikan peran hukum agama.⁹ Menurutnya, syariat adalah jalan keselamatan bagi seluruh manusia, sementara hakikat spiritual hanya dapat dicapai oleh mereka yang mengamalkan syariat dengan penuh kesadaran.¹⁰ Oleh sebab itu, etika tidak boleh dilepaskan dari kerangka hukum dan ibadah.

Pandangan ini memiliki implikasi luas dalam bidang pendidikan Islam. Bagi al-Ghazali, tujuan pendidikan bukan hanya transfer ilmu, tetapi pembentukan karakter spiritual.¹¹ Ilmu harus diiringi dengan amal, dan amal harus dilandasi dengan niat yang benar. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi pembimbing ruhani yang menanamkan kesadaran etis dan keikhlasan.¹² Dalam hal ini, sistem etika al-Ghazali membentuk paradigma pendidikan Islam klasik yang menekankan kesatuan antara pengetahuan, moralitas, dan spiritualitas—suatu model aksiologi yang menempatkan nilai Ilahi sebagai poros utama seluruh kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Mīzān al-‘Amal (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1964), 12.

[2]                Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 3 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1967), 25–29.

[3]                Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 4, 45–48.

[4]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 152–156.

[5]                W. Montgomery Watt, The Faith and Practice of al-Ghazali (London: George Allen and Unwin, 1953), 73–75.

[6]                Al-Ghazali, Maqṣad al-Asnā fī Sharḥ Ma‘ānī Asmāʾ Allāh al-Ḥusnā (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 61–63.

[7]                Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden: Brill, 1991), 88–92.

[8]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 180–183.

[9]                Al-Ghazali, al-Iqtiṣād fī al-I‘tiqād (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), 39.

[10]             Michael E. Marmura, “Ghazali and the Ethics of Action,” Journal of Religious Ethics 14, no. 2 (1986): 281–285.

[11]             Zainab al-Khuzai, Al-Ghazali: Hayatuhu wa Falsafatuhu (Baghdad: Dar al-Rashid, 1981), 115.

[12]             A. L. Tibawi, “Al-Ghazali’s Place in Muslim Education,” The Muslim World 48, no. 3 (1958): 187–191.


7.           Metodologi dan Epistemologi Tasawuf

7.1.       Jalan Sufistik sebagai Metode Pengetahuan Hakiki

Dalam pandangan al-Ghazali, tasawuf bukan sekadar dimensi emosional atau ritual dalam Islam, melainkan sebuah metodologi pengetahuan (manhaj al-ma‘rifah) yang memiliki struktur epistemologis tersendiri. Ia berangkat dari keyakinan bahwa kebenaran hakiki (al-ḥaqq al-muta‘ālī) tidak dapat dicapai melalui perdebatan intelektual semata, tetapi melalui tajrubah dhawqiyyah (pengalaman spiritual langsung).¹ Pengetahuan sufistik lahir bukan dari argumen rasional, melainkan dari penyucian hati yang membuat manusia mampu menerima pancaran cahaya ilahi (nūr ilāhī).²

Bagi al-Ghazali, tasawuf adalah jalan sistematis yang membawa seseorang menuju pengetahuan intuitif tentang Tuhan. Ia menyebut bahwa “barang siapa ingin mengetahui air, tidak cukup dengan definisi; ia harus meminumnya.”³ Dengan perumpamaan itu, al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu hakiki hanya dapat diperoleh melalui pengalaman eksistensial, bukan sekadar analisis konseptual. Maka, metode sufistik menempati posisi tertinggi dalam hierarki epistemologi religius konservatif: ia menggabungkan dimensi teoritis, moral, dan praksis dalam satu kesatuan perjalanan ruhani.

7.2.       Tahapan-tahapan Spiritual: Syari‘ah, Ṭarīqah, dan Ḥaqīqah

Al-Ghazali mengadopsi struktur klasik perjalanan spiritual dalam tiga tahap: syari‘ah, ṭarīqah, dan ḥaqīqah.⁴

·                     Syari‘ah merupakan aspek lahiriah agama: hukum, ibadah, dan moralitas dasar.

·                     Ṭarīqah adalah jalan disiplin rohani yang mengarahkan jiwa untuk mengosongkan diri dari hawa nafsu dan kesenangan duniawi.

·                     Ḥaqīqah adalah penyaksian langsung terhadap realitas Ilahi (kashf al-ḥaqīqah), yang menjadi tujuan akhir dari seluruh perjalanan spiritual.

Dalam sistem ini, syari‘ah menjadi fondasi, ṭarīqah menjadi proses, dan ḥaqīqah menjadi hasil. Tidak ada ḥaqīqah tanpa syari‘ah, sebagaimana tidak ada buah tanpa akar.⁵ Al-Ghazali menentang keras pandangan mistik ekstrem yang memisahkan pengalaman spiritual dari kewajiban syariat. Ia menulis bahwa para sufi sejati adalah mereka yang “menyucikan batin tanpa meninggalkan kewajiban lahir.”⁶ Dengan demikian, metodologi sufistik al-Ghazali bersifat integratif, menggabungkan disiplin syariat dan kontemplasi batiniah dalam satu kerangka kesatuan epistemologis.

7.3.       Relasi antara Teologi, Filsafat, dan Tasawuf

Epistemologi tasawuf al-Ghazali tidak berdiri terpisah dari teologi dan filsafat, melainkan berfungsi sebagai puncak sintesis di antara keduanya. Teologi memberikan dasar keimanan rasional; filsafat menawarkan struktur logis dan metodologis; sedangkan tasawuf menghadirkan pengalaman eksistensial yang menghidupkan iman.⁷ Dalam Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, ia menjelaskan bahwa filsafat hanya menyentuh kulit pengetahuan, sedangkan tasawuf menembus inti makna dengan penyaksian batin (mushāhadah).⁸

Dengan posisi ini, tasawuf menjadi dimensi epistemologis tertinggi dalam sistem religius konservatif. Al-Ghazali menganggap bahwa akal, wahyu, dan kashf bukanlah tiga jalan yang saling bertentangan, tetapi tiga tingkat pengetahuan yang saling melengkapi:

1)                  Akal memberikan pemahaman konseptual tentang kebenaran.

2)                  Wahyu memberikan validasi normatif dan otoritas teologis.

3)                  Kashf memberikan realisasi eksistensial terhadap apa yang diyakini oleh akal dan wahyu.⁹

Struktur ini membentuk sistem pengetahuan yang hierarkis, di mana tasawuf menjadi puncak dari seluruh proses epistemik dan moral manusia.

7.4.       Relevansi Metodologi Sufistik bagi Filsafat Islam Kontemporer

Relevansi metodologi tasawuf al-Ghazali tidak berhenti pada tataran sejarah. Dalam konteks modern, pemikirannya menawarkan model epistemologi integratif yang mampu menjawab krisis rasionalisme sekular dan spiritualisme ekstrem.¹⁰ Dengan menempatkan hati (qalb) sebagai pusat kesadaran dan pengetahuan, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia bukan sekadar makhluk berpikir (homo sapiens), tetapi juga makhluk yang berzikir (homo spiritualis).¹¹

Epistemologi sufistiknya mengajarkan bahwa ilmu tanpa etika adalah kesombongan, sedangkan ibadah tanpa pengetahuan adalah kebutaan.¹² Oleh karena itu, metodologi tasawuf relevan untuk mengembalikan keseimbangan antara ilmu dan iman dalam pendidikan, sains, dan kehidupan sosial umat Islam. Dalam pandangan ini, religius konservatif tidak berarti menolak modernitas, tetapi mengembalikan pengetahuan modern ke orientasi ilahiah dan etika spiritual yang mendalam.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Ḍalāl, ed. J. Saliba dan K. Ayyad (Beirut: al-Maktabah al-Sya‘biyyah, 1959), 52–53.

[2]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 174–176.

[3]                Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 3 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1967), 60.

[4]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 103–107.

[5]                Al-Ghazali, Mishkāt al-Anwār (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 34–36.

[6]                W. Montgomery Watt, The Faith and Practice of al-Ghazali (London: George Allen and Unwin, 1953), 80.

[7]                Richard M. Frank, Al-Ghazali and the Ash‘arite School (Durham: Duke University Press, 1994), 127–130.

[8]                Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 4, 15–16.

[9]                Michael E. Marmura, “Al-Ghazali’s Attitude toward Philosophy,” Islamic Studies 2, no. 3 (1963): 212–216.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 148–151.

[11]             Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 191–193.

[12]             Al-Ghazali, Mīzān al-‘Amal (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1964), 28–30.


8.           Kritik dan Kontroversi

8.1.       Kritik terhadap Para Filsuf: Rasionalisme dan Krisis Metafisika

Salah satu kontribusi intelektual paling monumental sekaligus paling kontroversial dari al-Ghazali adalah kritiknya terhadap para filsuf Islam klasik seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā. Dalam karyanya Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filosof), al-Ghazali menuduh bahwa para filsuf telah melakukan kekeliruan serius dalam tiga hal utama: keyakinan bahwa alam semesta qadim (tidak bermula), penolakan terhadap kebangkitan jasmani, dan pengingkaran terhadap pengetahuan Tuhan tentang partikularitas.¹ Bagi al-Ghazali, ketiga pandangan tersebut tidak hanya salah secara logis, tetapi juga bertentangan dengan prinsip dasar tauhid.

Kritiknya terhadap sistem filsafat Avicennian menandai pergeseran besar dalam sejarah pemikiran Islam: ia menegaskan bahwa rasionalisme tanpa bimbingan wahyu akan membawa manusia pada kesesatan epistemologis.² Dalam Tahāfut, al-Ghazali tidak menolak filsafat sebagai metode berpikir, tetapi mengkritik penggunaannya yang berlebihan untuk menafsirkan hakikat ketuhanan. Menurutnya, akal dapat memahami hukum alam, tetapi tidak dapat menembus realitas ilahi yang bersifat transenden.³ Oleh karena itu, Tahāfut menjadi representasi dari upaya al-Ghazali mengembalikan batas epistemologis antara metafisika dan teologi dalam kerangka religius konservatif.

8.2.       Respons Balik dari Kaum Filsuf: Ibn Rushd dan Pembelaan Rasionalisme

Karya al-Ghazali segera memicu reaksi intelektual tajam dari kalangan filsuf, terutama Ibn Rushd (Averroes, w. 1198 M), yang menulis karya Tahāfut al-Tahāfut (Kerancuan terhadap Kerancuan) sebagai pembelaan terhadap filsafat.⁴ Ibn Rushd menuduh al-Ghazali telah mengacaukan batas antara metode logis dan teologis, serta melakukan kesalahan epistemologis dalam memahami konsep kausalitas dan emanasi.⁵ Ia berargumen bahwa hukum sebab-akibat merupakan ekspresi kebijaksanaan Tuhan yang tetap dan dapat dipahami melalui nalar, bukan bentuk pembatasan terhadap kehendak Ilahi. Dengan demikian, bagi Ibn Rushd, rasionalitas justru menjadi cara untuk mengenali kesempurnaan tatanan Tuhan di alam semesta.

Perdebatan antara al-Ghazali dan Ibn Rushd melampaui sekadar polemik teoretis; ia menandai dua paradigma besar dalam filsafat Islam: paradigma religius-konservatif dan paradigma rasionalis-humanistik.⁶ Meskipun Ibn Rushd mengkritik keras Tahāfut al-Falāsifah, ia tetap mengakui bahwa al-Ghazali adalah teolog besar yang memiliki ketajaman analisis logis. Ironisnya, baik al-Ghazali maupun Ibn Rushd sama-sama berupaya mempertahankan iman dan rasionalitas—hanya berbeda dalam metodologi dan titik tekan epistemologis.⁷

8.3.       Kritik Modern terhadap Konservatisme Religius al-Ghazali

Dalam wacana modern, sebagian sarjana menilai al-Ghazali sebagai penyebab “kemunduran intelektual” dunia Islam karena diduga menutup pintu bagi rasionalisme dan sains. Tokoh seperti Ernest Renan dan Nicholson berpendapat bahwa kritik al-Ghazali terhadap filsafat mengakibatkan terhambatnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam.⁸ Namun, pandangan ini kemudian dikoreksi oleh para peneliti kontemporer seperti Frank Griffel dan Seyyed Hossein Nasr, yang menunjukkan bahwa al-Ghazali tidak anti-rasional, melainkan berusaha menempatkan akal pada posisi etis dan teologis yang benar.⁹

Griffel, misalnya, menafsirkan pemikiran al-Ghazali sebagai “reformulasi filsafat dalam kerangka teologi Islam,” bukan penolakannya.¹⁰ Sedangkan Nasr menekankan bahwa al-Ghazali sebenarnya menyelamatkan epistemologi Islam dari sekularisasi dan nihilisme intelektual.¹¹ Dengan demikian, al-Ghazali dapat dipahami sebagai pelopor integrasi antara nalar dan spiritualitas, bukan sebagai penghambat perkembangan rasionalitas. Kritik modern terhadapnya lebih mencerminkan ketegangan antara paradigma sains modern dan paradigma spiritual tradisional daripada kesalahan epistemologis al-Ghazali sendiri.

8.4.       Dilema antara Ortodoksi dan Pembaruan

Kritik lain yang sering diarahkan kepada al-Ghazali berasal dari kalangan reformis Islam modern seperti Muhammad ‘Abduh dan Rashid Rida, yang menilai bahwa konservatisme religiusnya menumbuhkan sikap fatalistik dalam masyarakat Muslim.¹² Mereka menilai orientasi sufistik al-Ghazali menggeser perhatian umat dari etos kerja dan rasionalitas menuju sikap pasif dan kontemplatif. Namun, tuduhan ini bersifat simplifikatif, karena al-Ghazali sendiri menegaskan pentingnya keseimbangan antara dunia dan akhirat, serta menyerukan etika tanggung jawab sosial.¹³

Dalam pandangan yang lebih moderat, pemikiran al-Ghazali dapat dipahami sebagai konservatisme dinamis—yakni upaya menjaga kemurnian iman sambil menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman.¹⁴ Ia tidak menolak perubahan, tetapi menegaskan bahwa setiap pembaruan harus berpijak pada landasan spiritual dan etika wahyu. Dengan demikian, perdebatan antara ortodoksi dan pembaruan yang melibatkan al-Ghazali tetap relevan hingga kini, terutama dalam diskursus filsafat Islam kontemporer yang mencari keseimbangan antara rasionalitas, moralitas, dan religiusitas.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah (Kairo: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1927), 4–8.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 178–181.

[3]                Michael E. Marmura, “Ghazali’s Critique of Avicenna’s Philosophy,” Proceedings of the American Philosophical Society 107, no. 4 (1963): 310–315.

[4]                Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut (Cairo: al-Maktabah al-Mishriyyah, 1930), 12–16.

[5]                Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1988), 62–66.

[6]                W. Montgomery Watt, The Faith and Practice of al-Ghazali (London: George Allen and Unwin, 1953), 89.

[7]                Richard M. Frank, Al-Ghazali and the Ash‘arite School (Durham: Duke University Press, 1994), 151–153.

[8]                Ernest Renan, Averroès et l’Averroïsme (Paris: Calmann Lévy, 1866), 120–123.

[9]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 194–199.

[10]             Ibid., 201–203.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: State University of New York Press, 1981), 102–106.

[12]             Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Press, 1933), 158–160.

[13]             Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 2 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1967), 47–50.

[14]             T. J. Winter, “Al-Ghazali’s Balance: Conservatism and Renewal in the Sunni Tradition,” The Muslim World 93, no. 3–4 (2003): 425–429.


9.           Sintesis Filosofis

9.1.       Integrasi Wahyu, Rasio, dan Intuisi

Sintesis filosofis al-Ghazali merupakan puncak dari proyek intelektualnya dalam merekonsiliasi tiga sumber pengetahuan utama: wahyu, rasio, dan intuisi spiritual (kashf). Ia menolak dikotomi antara iman dan akal, antara teologi dan filsafat, dengan membangun epistemologi hierarkis di mana masing-masing unsur memiliki fungsi dan wilayahnya sendiri.¹ Akal berperan sebagai instrumen logis untuk memahami hukum alam dan teks wahyu; wahyu menyediakan kebenaran absolut dan arah moral; sedangkan intuisi mistik menjadi cara tertinggi untuk menyaksikan kebenaran yang diwahyukan secara batiniah.²

Dalam al-Munqidh min al-Ḍalāl, al-Ghazali menegaskan bahwa pencarian kebenaran sejati harus melibatkan seluruh potensi manusia—rasional, etis, dan spiritual—karena akal tanpa hati hanya menghasilkan pengetahuan dingin tanpa cahaya.³ Maka, pengetahuan tertinggi (ma‘rifah) bukan sekadar hasil berpikir, tetapi buah dari pencerahan batin yang dibimbing oleh wahyu.⁴ Dengan model ini, al-Ghazali memulihkan kesatuan antara ilmu (‘ilm) dan iman (īmān) yang sempat terpecah dalam perdebatan antara filosof dan teolog.

9.2.       Rekonsiliasi antara Hukum Syariat dan Filsafat Etis

Salah satu aspek penting dari sintesis al-Ghazali adalah upaya menghubungkan dimensi normatif syariat dengan dimensi rasional dalam etika. Dalam Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, ia menjelaskan bahwa hukum-hukum agama bukanlah pembatas kebebasan manusia, melainkan sarana pendidikan moral untuk mencapai kebahagiaan sejati (sa‘ādah).⁵ Syariat menata perilaku lahiriah manusia, sementara filsafat etis menata rasionalitas moral dan kesadaran batin. Dengan demikian, keduanya bukan bertentangan, melainkan saling menyempurnakan.

Al-Ghazali menolak pandangan bahwa hukum agama bersifat statis. Ia menegaskan bahwa tujuan syariat adalah maṣlaḥah (kebaikan universal), yang dapat dipahami secara rasional oleh manusia.⁶ Dengan menempatkan akal sebagai sarana memahami tujuan moral hukum, al-Ghazali menunjukkan bahwa ketaatan kepada syariat tidak identik dengan ketaatan buta, tetapi dengan penghayatan intelektual yang sadar. Pandangan ini menjadi bentuk etika integratif, di mana dimensi spiritual dan rasional berinteraksi dalam struktur aksiologis yang koheren.

9.3.       Konservatisme Dinamis: Menjaga Tradisi, Menghidupkan Nalar

Al-Ghazali mempraktikkan apa yang dapat disebut sebagai konservatisme dinamis, yakni mempertahankan otoritas tradisi Islam sambil memulihkan rasionalitas dalam kerangka moral dan teologis.⁷ Dalam konteks ini, ia bukanlah “penutup gerbang filsafat,” melainkan “penyaring rasionalisme” yang berupaya menundukkan logika di bawah etika dan iman. Ia mengakui bahwa filsafat memiliki nilai instruktif bagi penalaran ilmiah, namun harus dikendalikan oleh prinsip keagamaan agar tidak kehilangan arah eksistensialnya.⁸

Dalam kerangka konservatifnya, al-Ghazali tidak menolak perubahan intelektual, tetapi menegaskan bahwa setiap inovasi harus berpijak pada ortodoksi spiritual. Ia menulis dalam al-Iqtiṣād fī al-I‘tiqād bahwa “jalan tengah” (wasathiyyah) adalah prinsip utama dalam agama: antara ekstrem rasionalisme dan ekstrem literalism.⁹ Dengan demikian, sintesis filsafat dan agama dalam pemikirannya bukanlah kompromi pragmatis, melainkan rekonstruksi ontologis yang menghidupkan kembali kesatuan iman, akal, dan amal dalam sistem berpikir Islam.

9.4.       Posisi Aliran Religius Konservatif dalam Spektrum Filsafat Islam

Dalam sejarah intelektual Islam, aliran religius konservatif yang diwakili al-Ghazali menempati posisi strategis antara dua kutub ekstrem: rasionalisme filosofis (Avicennian) dan legalisme ortodoks (Hanbalian).¹⁰ Ia memperkenalkan paradigma baru yang menolak reduksi realitas hanya pada logika, sekaligus menolak formalisme keagamaan yang kering dari dimensi spiritual. Paradigma ini menjadi jembatan yang menghubungkan dunia metafisika dan praksis etika, serta menjadi dasar bagi pembentukan teologi dan etika Sunni klasik.

Dampak sintesis al-Ghazali meluas hingga ke dunia Barat Latin melalui terjemahan karya-karyanya ke dalam bahasa Latin, yang kemudian memengaruhi skolastisisme Kristen, terutama pemikiran Thomas Aquinas.¹¹ Dalam dunia Islam sendiri, pengaruhnya terasa dalam sistem pendidikan madrasah, literatur tasawuf, dan tradisi intelektual Asy‘ariyah. Dengan demikian, aliran religius konservatif bukan sekadar reaksi terhadap rasionalisme Yunani, tetapi juga merupakan proyek rekonstruksi peradaban spiritual Islam yang menegaskan bahwa filsafat sejati adalah jalan menuju Tuhan, bukan sekadar permainan logika.


Footnotes

[1]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 211–215.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtiṣād fī al-I‘tiqād (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), 45–47.

[3]                Al-Ghazali, al-Munqidh min al-Ḍalāl, ed. J. Saliba dan K. Ayyad (Beirut: al-Maktabah al-Sya‘biyyah, 1959), 53–54.

[4]                Michael E. Marmura, “Ghazali and Demonstrative Science,” Philosophy and the Arts in the Medieval Islamic World, ed. U. R. Langermann (Leiden: Brill, 1990), 87–90.

[5]                Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 4 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1967), 15–18.

[6]                Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden: Brill, 1991), 94–96.

[7]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 188–190.

[8]                W. Montgomery Watt, The Faith and Practice of al-Ghazali (London: George Allen and Unwin, 1953), 93–95.

[9]                Al-Ghazali, al-Iqtiṣād fī al-I‘tiqād, 51.

[10]             Richard M. Frank, Al-Ghazali and the Ash‘arite School (Durham: Duke University Press, 1994), 157–160.

[11]             T. J. de Boer, The History of Philosophy in Islam (London: Luzac & Co., 1903), 150–153.


10.       Relevansi Kontemporer

10.1.    Pengaruh al-Ghazali terhadap Pendidikan Islam Modern

Pemikiran al-Ghazali memiliki pengaruh yang mendalam terhadap sistem pendidikan Islam hingga masa kini. Dalam Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, ia merumuskan bahwa tujuan utama pendidikan bukan sekadar transmisi pengetahuan, melainkan pembentukan karakter spiritual dan moral.¹ Ia menolak pemisahan antara ilmu dunia dan ilmu agama, karena seluruh pengetahuan sejatinya merupakan sarana menuju kedekatan dengan Tuhan.² Dalam konteks pendidikan modern, gagasan ini relevan untuk mengatasi krisis instrumental dalam pendidikan yang sering kali menitikberatkan aspek kognitif tetapi mengabaikan dimensi etis dan spiritual.

Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu yang tidak menghasilkan amal adalah beban, sedangkan amal tanpa ilmu adalah kesesatan.³ Prinsip ini menginspirasi paradigma pendidikan Islam integratif yang menyeimbangkan rasionalitas ilmiah dan pembinaan moral. Dalam sistem madrasah dan pesantren, nilai-nilai ini telah diinternalisasi melalui tradisi ta’dīb (pendidikan etis) dan tazkiyah (penyucian diri).⁴ Relevansi aliran religius konservatif al-Ghazali terletak pada kemampuannya mengembalikan pendidikan sebagai proses spiritualisasi ilmu—bukan sekadar produksi pengetahuan, melainkan pembentukan manusia yang beradab.

10.2.    Etika Religius sebagai Jawaban atas Krisis Moral Modernitas

Dunia modern yang ditandai oleh rasionalisme teknologis dan individualisme ekstrem telah menimbulkan krisis moral dan spiritual yang serius. Dalam konteks ini, etika religius al-Ghazali menawarkan alternatif konseptual melalui penekanan pada keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara kebebasan dan tanggung jawab moral.⁵ Ia menolak pandangan hedonistik yang menjadikan kesenangan sebagai tujuan akhir hidup, serta menegaskan bahwa kebahagiaan sejati (sa‘ādah) hanya dapat dicapai melalui keterikatan manusia dengan nilai-nilai ilahi.⁶

Etika al-Ghazali bersifat teleologis, di mana setiap tindakan dinilai berdasarkan tujuannya untuk mencapai keridaan Tuhan.⁷ Dengan demikian, ia menawarkan paradigma etika yang tidak bergantung pada relativisme budaya, tetapi berakar pada transendensi moral. Dalam konteks globalisasi nilai dan sekularisasi, kerangka etika religius konservatif ini berfungsi sebagai koreksi terhadap nihilisme moral yang lahir dari peradaban modern.⁸ Ia menegaskan kembali urgensi spiritualitas sebagai fondasi etika universal yang mampu menuntun manusia keluar dari disorientasi moral modernitas.

10.3.    Spiritualitas Islam sebagai Alternatif terhadap Sekularisme dan Krisis Makna

Pemikiran sufistik al-Ghazali juga relevan dalam menjawab krisis eksistensial manusia modern. Ia menekankan bahwa hati (qalb) adalah pusat kesadaran manusia yang hanya dapat berfungsi apabila disucikan dari hawa nafsu dan cinta dunia.⁹ Dalam kerangka ini, modernitas yang terlalu menekankan rasionalitas instrumental telah mengabaikan dimensi terdalam dari manusia: kebutuhan akan makna dan kedekatan spiritual dengan Tuhan. Al-Ghazali menunjukkan bahwa pengalaman spiritual bukan pelarian dari dunia, tetapi justru cara untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang sejati.¹⁰

Seyyed Hossein Nasr menyebut gagasan al-Ghazali sebagai bentuk “metafisika kehadiran Tuhan dalam kesadaran manusia,” yang menegaskan bahwa ilmu tanpa spiritualitas akan kehilangan orientasi moral.¹¹ Pemikiran ini menempatkan sufisme al-Ghazali sebagai jembatan antara iman dan modernitas—suatu spiritualitas rasional yang menolak baik materialisme sekular maupun mistisisme irasional. Dengan demikian, al-Ghazali menawarkan jalan tengah yang menegaskan pentingnya dimensi batin dalam sains, politik, dan budaya kontemporer.

10.4.    Aktualisasi Nilai Konservatif dalam Dialog Agama dan Sains

Dalam era interdisipliner saat ini, pandangan al-Ghazali tentang harmoni antara wahyu dan akal membuka peluang besar bagi dialog antara agama dan sains.¹² Ia tidak melihat keduanya sebagai entitas yang saling meniadakan, melainkan sebagai dua cara berbeda untuk memahami kebenaran. Wahyu memberikan arah moral dan tujuan, sedangkan sains memberikan sarana untuk mencapai kemaslahatan. Dengan prinsip wasathiyyah (moderasi), al-Ghazali mendorong integrasi antara pengetahuan ilmiah dan etika spiritual agar sains tidak kehilangan maknanya sebagai jalan menuju ma‘rifat Allāh.¹³

Dalam konteks kontemporer, gagasan ini dapat diterapkan untuk merumuskan paradigma ilmu yang beretika dan berorientasi spiritual, sebagaimana digagas oleh gerakan Islamization of knowledge.¹⁴ Epistemologi religius konservatif al-Ghazali, yang menempatkan Tuhan sebagai pusat pengetahuan dan nilai, menjadi relevan dalam menghadapi tantangan transhumanisme, relativisme moral, dan teknologi tanpa arah etis. Dengan menghidupkan kembali semangatnya, peradaban Islam kontemporer dapat menyeimbangkan kemajuan material dengan kedalaman spiritual.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 1 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1967), 12–15.

[2]                Al-Ghazali, Mīzān al-‘Amal (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1964), 23–26.

[3]                Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 3, 47–48.

[4]                A. L. Tibawi, “Al-Ghazali’s Place in Muslim Education,” The Muslim World 48, no. 3 (1958): 185–188.

[5]                Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden: Brill, 1991), 97–101.

[6]                Al-Ghazali, Maqṣad al-Asnā fī Sharḥ Ma‘ānī Asmāʾ Allāh al-Ḥusnā (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 59–61.

[7]                W. Montgomery Watt, The Faith and Practice of al-Ghazali (London: George Allen and Unwin, 1953), 110–113.

[8]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 501–505.

[9]                Al-Ghazali, Mishkāt al-Anwār (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 28–30.

[10]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 195–198.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 155–158.

[12]             Zainab al-Khuzai, Al-Ghazali: Hayatuhu wa Falsafatuhu (Baghdad: Dar al-Rashid, 1981), 118–120.

[13]             Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 222–226.

[14]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 90–93.


11.       Kesimpulan

Pemikiran Abu Ḥāmid al-Ghazali menandai tonggak penting dalam sejarah filsafat Islam karena keberhasilannya membangun sintesis religius konservatif yang menyatukan wahyu, rasio, dan spiritualitas dalam satu sistem yang koheren. Ia bukan sekadar seorang teolog ortodoks, tetapi juga seorang filsuf dan sufi yang berupaya mengembalikan keseimbangan antara dimensi intelektual dan moral kehidupan manusia. Melalui karyanya, terutama Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn dan Tahāfut al-Falāsifah, al-Ghazali menegaskan bahwa kebenaran sejati hanya dapat dicapai apabila pengetahuan diarahkan kepada Tuhan, bukan sekadar kepada dunia fenomenal.¹

Dalam keseluruhan struktur pemikirannya, al-Ghazali berhasil memulihkan kesatuan antara ontologi teistik, epistemologi integratif, dan aksiologi spiritual. Ontologinya menegaskan bahwa Tuhan adalah realitas mutlak dan sumber segala wujud, sedangkan alam hanyalah ciptaan yang bergantung sepenuhnya pada kehendak-Nya.² Epistemologinya menempatkan akal sebagai sarana penting, tetapi bukan satu-satunya jalan menuju kebenaran—wahyu dan intuisi spiritual berperan sebagai penuntun yang melampaui batas rasionalitas murni.³ Aksiologinya kemudian menjadikan moralitas dan kesalehan sebagai puncak nilai manusia, di mana pengetahuan tanpa amal dianggap tidak bermakna secara metafisis maupun etis.⁴

Sebagai tokoh utama dalam aliran religi konservatif, al-Ghazali tidak menolak rasionalitas, tetapi menundukkannya pada bimbingan moral dan spiritual. Ia mengajarkan bahwa akal tanpa wahyu akan tersesat dalam spekulasi, sementara wahyu tanpa akal akan kehilangan daya tafsir dan kebijaksanaan.⁵ Pendekatan ini menghasilkan paradigma tawāzun al-‘aql wa al-naql (keseimbangan antara rasio dan teks), yang menjadi ciri khas teologi Islam Sunni dan terus memengaruhi tradisi pendidikan Islam hingga hari ini.⁶ Dengan demikian, al-Ghazali mewariskan suatu model berpikir yang tidak hanya konservatif dalam menjaga otentisitas iman, tetapi juga dinamis dalam merespons tantangan intelektual.

Lebih jauh, gagasan al-Ghazali memiliki relevansi lintas zaman. Dalam menghadapi krisis moral, spiritual, dan epistemologis modern, pemikirannya menawarkan jalan tengah antara sekularisme rasional dan fundamentalisme religius. Ia menolak dua ekstrem tersebut dengan menegaskan pentingnya spiritual intelligence—yakni kemampuan menalar dalam kerangka nilai-nilai ilahiah.⁷ Etika, dalam pandangan al-Ghazali, bukan sekadar norma sosial, tetapi cerminan kehadiran Tuhan dalam diri manusia. Maka, pembaruan Islam yang sejati menurut al-Ghazali bukanlah revolusi pemikiran tanpa akar, tetapi rekontekstualisasi nilai-nilai ilahi agar tetap hidup di setiap zaman.⁸

Dengan demikian, aliran religius konservatif yang dirumuskan al-Ghazali bukanlah bentuk stagnasi intelektual, melainkan proyek peradaban spiritual yang bertujuan mengharmoniskan iman, nalar, dan amal. Melalui kerangka tersebut, filsafat Islam memperoleh kembali orientasi teosentrisnya: bahwa seluruh ilmu, tindakan, dan pengetahuan manusia bermuara pada pengenalan terhadap Tuhan sebagai sumber dan tujuan akhir segala wujud.⁹ Dalam konteks dunia modern yang sarat fragmentasi moral dan epistemologis, warisan pemikiran al-Ghazali tetap berdiri sebagai peta jalan untuk membangun kembali kesatuan antara pengetahuan, kebijaksanaan, dan ketuhanan.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 1 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1967), 8–12.

[2]                Al-Ghazali, al-Iqtiṣād fī al-I‘tiqād (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), 33–35.

[3]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 211–213.

[4]                W. Montgomery Watt, The Faith and Practice of al-Ghazali (London: George Allen and Unwin, 1953), 72–74.

[5]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah (Kairo: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1927), 10–11.

[6]                Richard M. Frank, Al-Ghazali and the Ash‘arite School (Durham: Duke University Press, 1994), 162–165.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 149–151.

[8]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 199–201.

[9]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 195–198.


Daftar Pustaka

Adams, C. C. (1933). Islam and modernism in Egypt. London: Oxford University Press.

al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

al-Ghazali, A. H. (1927). Tahāfut al-falāsifah [The incoherence of the philosophers]. Cairo: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra.

al-Ghazali, A. H. (1959). al-Munqidh min al-ḍalāl [Deliverance from error] (J. Saliba & K. Ayyad, Eds.). Beirut: al-Maktabah al-Sya‘biyyah.

al-Ghazali, A. H. (1964). Mīzān al-‘amal [The balance of action]. Cairo: Dar al-Ma‘arif.

al-Ghazali, A. H. (1967). Iḥyāʾ ʿulūm al-dīn [The revival of religious sciences] (Vols. 1–4). Cairo: Dar al-Ma‘arif.

al-Ghazali, A. H. (1986). al-Iqtiṣād fī al-i‘tiqād [Moderation in belief]. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

al-Ghazali, A. H. (1992). Maqṣad al-asnā fī sharḥ ma‘ānī asmāʾ Allāh al-ḥusnā [The best meanings of the beautiful names of God]. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

al-Ghazali, A. H. (1997). Maqāṣid al-falāsifah [The aims of the philosophers]. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

al-Ghazali, A. H. (1998). Mishkāt al-anwār [The niche of lights]. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

al-Khuzai, Z. (1981). Al-Ghazali: Ḥayātuhu wa falsafatuhu [Al-Ghazali: His life and philosophy]. Baghdad: Dar al-Rashid.

Boer, T. J. de. (1903). The history of philosophy in Islam. London: Luzac & Co.

Fakhry, M. (1991). Ethical theories in Islam. Leiden: Brill.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). New York: Columbia University Press.

Frank, R. M. (1992). Creation and the cosmic system: Al-Ghazali and Avicenna. Heidelberg: Carl Winter.

Frank, R. M. (1994). Al-Ghazali and the Ash‘arite school. Durham: Duke University Press.

Griffel, F. (2009). Al-Ghazali’s philosophical theology. Oxford: Oxford University Press.

Hodgson, M. G. S. (1974). The venture of Islam: Conscience and history in a world civilization (Vol. 1). Chicago: University of Chicago Press.

Leaman, O. (1988). Averroes and his philosophy. Oxford: Oxford University Press.

Leaman, O. (2002). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Marmura, M. E. (1963). Ghazali’s critique of Avicenna’s philosophy. Proceedings of the American Philosophical Society, 107(4), 307–317.

Marmura, M. E. (1965). Ghazali’s attitude to the secular sciences and logic. Islamic Quarterly, 9(2), 93–97.

Marmura, M. E. (1990). Ghazali and demonstrative science. In U. R. Langermann (Ed.), Philosophy and the arts in the medieval Islamic world (pp. 85–90). Leiden: Brill.

Marmura, M. E. (1986). Ghazali and the ethics of action. Journal of Religious Ethics, 14(2), 281–285.

Nasr, S. H. (1981). Islamic life and thought. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. Albany: State University of New York Press.

Renan, E. (1866). Averroès et l’Averroïsme. Paris: Calmann Lévy.

Schimmel, A. (1975). Mystical dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Tibawi, A. L. (1958). Al-Ghazali’s place in Muslim education. The Muslim World, 48(3), 185–191.

Watt, W. M. (1953). The faith and practice of al-Ghazali. London: George Allen and Unwin.

Watt, W. M. (1963). Muslim intellectual: A study of al-Ghazali. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Winter, T. J. (2003). Al-Ghazali’s balance: Conservatism and renewal in the Sunni tradition. The Muslim World, 93(3–4), 425–429.

Wolfson, H. A. (1976). The philosophy of the kalam. Cambridge, MA: Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar