Etika Jurnalistik
Kebenaran, Tanggung Jawab, dan Integritas dalam Ruang
Publik Modern
Alihkan ke: Ilmu Profesi. 
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif fondasi
konseptual, genealogis, dan praksis dari Etika Jurnalistik sebagai
disiplin normatif yang menuntun perilaku moral profesi media dalam konteks
sosial, politik, dan teknologi modern. Kajian ini menelusuri dimensi historis
kemunculan etika jurnalistik sejak era Pencerahan hingga formasinya dalam teori
tanggung jawab sosial pers abad ke-20, serta memperluas pembahasan pada konteks
globalisasi dan era digital. Secara ontologis, jurnalisme dipahami
sebagai tindakan eksistensial yang menyingkap kebenaran dan memelihara martabat
manusia. Epistemologinya berakar pada prinsip verifikasi, keterbukaan,
dan kesadaran terhadap konstruksi sosial kebenaran, sedangkan aksiologinya
menegaskan nilai-nilai kebenaran, keadilan, empati, dan tanggung jawab sosial
sebagai inti moral profesi media.
Selanjutnya, artikel ini membahas dimensi sosial,
politik, dan hukum etika jurnalistik yang menempatkan media sebagai pilar moral
demokrasi, sekaligus sebagai arena diskursif yang memediasi relasi antara
kebebasan dan tanggung jawab publik. Di tengah tantangan kontemporer seperti post-truth,
disinformasi, algoritma media sosial, dan komodifikasi informasi, etika
jurnalistik dituntut untuk bertransformasi dari paradigma normatif klasik
menuju etika reflektif dan humanistik. Kritik-kritik terhadap etika
jurnalistik — baik dari perspektif postmodern, feminis, ekonomi politik, maupun
postkolonial — menegaskan perlunya paradigma baru yang lebih inklusif,
dialogis, dan emansipatoris.
Melalui sintesis filosofis, artikel ini menawarkan
konsep “Jurnalisme Humanistik” sebagai paradigma etik yang memadukan
rasionalitas, empati, dan tanggung jawab moral dalam menghadapi kompleksitas
dunia digital dan global. Paradigma ini menempatkan jurnalis bukan sekadar
sebagai penyampai berita, tetapi sebagai agen moral dan komunikator publik yang
memelihara nalar, keadilan, dan kemanusiaan dalam ruang publik. Dengan
demikian, etika jurnalistik dipahami bukan hanya sebagai aturan profesi,
melainkan sebagai filsafat moral komunikasi yang menegakkan martabat manusia
melalui kebenaran yang reflektif, adil, dan penuh kasih.
Kata Kunci: Etika
Jurnalistik, Kebenaran, Keadilan, Empati, Tanggung Jawab Sosial, Post-Truth,
Jurnalisme Humanistik, Etika Komunikatif, Humanisme Digital, Tanggung Jawab
Moral.
PEMBAHASAN
Etika Jurnalistik dalam Era Digital dan Demokrasi
Informasi
1.          
Pendahuluan
Etika jurnalistik menempati posisi sentral dalam
perdebatan moral dan profesional di era informasi yang semakin kompleks. Dalam
konteks masyarakat modern yang ditandai oleh arus komunikasi global dan
dominasi teknologi digital, praktik jurnalistik bukan sekadar kegiatan
penyampaian berita, melainkan juga tindakan sosial yang sarat dengan implikasi
moral, politik, dan epistemologis. Etika jurnalistik berfungsi sebagai kompas
normatif bagi wartawan dan lembaga media untuk menjaga keseimbangan antara
kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial terhadap publik. Ia tidak hanya
menyangkut “apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan,” tetapi juga “bagaimana”
dan “mengapa” sebuah informasi disebarluaskan, serta dampak yang
ditimbulkannya terhadap tatanan sosial dan moral masyarakat.¹
Dalam lintasan sejarah, jurnalisme lahir dari
idealisme pencerahan yang menjunjung tinggi rasionalitas, kebebasan berpikir,
dan hak publik untuk mengetahui (the right to know).² Nilai-nilai ini
menempatkan media sebagai pilar keempat demokrasi yang berfungsi sebagai
pengawas kekuasaan (watchdog of power) dan penjaga kebenaran publik.
Namun, dalam praktiknya, idealisme ini sering kali berbenturan dengan realitas
ekonomi dan politik media: kepemilikan korporasi besar, tekanan iklan, sensor
politik, serta dinamika pasar yang menuntut sensasionalisme demi rating dan
klik.³ Pertentangan antara idealisme etis dan kepentingan praktis inilah yang
menjadi sumber utama problematika etika jurnalistik kontemporer.
Secara konseptual, etika jurnalistik berkaitan erat
dengan tiga poros utama: kebenaran, tanggung jawab, dan integritas.
Kebenaran (truth) menuntut akurasi dan kejujuran dalam penyampaian informasi;
tanggung jawab (responsibility) menekankan kesadaran atas akibat sosial dari
setiap publikasi; sedangkan integritas (integrity) mengacu pada konsistensi
moral individu jurnalis dan lembaga media.⁴ Ketiganya saling berkelindan dan
membentuk dasar moral bagi kepercayaan publik terhadap media. Tanpa komitmen
terhadap kebenaran dan integritas, media akan terjerumus ke dalam infotainment,
propaganda, atau bahkan disinformasi sistemik.
Dalam konteks Indonesia, persoalan etika
jurnalistik memiliki dimensi yang khas. Reformasi 1998 membuka ruang kebebasan
pers yang luas, namun kebebasan tersebut tidak selalu diiringi dengan
peningkatan kualitas etika dan tanggung jawab sosial.⁵ Fenomena hoaks,
ujaran kebencian, pelanggaran privasi, dan framing yang bias memperlihatkan
bahwa profesionalisme jurnalistik masih menghadapi tantangan serius. Lahirnya Dewan
Pers dan Kode Etik Jurnalistik merupakan upaya untuk membangun
mekanisme pengawasan etik, tetapi efektivitasnya masih bergantung pada
kesadaran moral komunitas pers itu sendiri serta dukungan publik yang melek
media.⁶
Di sisi lain, revolusi digital telah mengubah
lanskap epistemologis jurnalisme. Kehadiran media sosial, algoritma, dan
kecerdasan buatan (AI) mengaburkan batas antara jurnalis profesional dan warga
biasa.⁷ Dalam ruang yang serba cepat dan terfragmentasi, prinsip-prinsip etika
tradisional seperti verifikasi, independensi, dan objektivitas mengalami
tantangan mendasar. Publik kini menjadi produsen sekaligus konsumen berita (prosumer),
sementara arus informasi yang berlebihan menciptakan paradoks: semakin banyak
informasi yang beredar, semakin sulit menemukan kebenaran.⁸
Oleh karena itu, kajian etika jurnalistik menjadi
sangat penting untuk memahami bagaimana nilai-nilai moral dapat bertahan dan
beradaptasi di tengah perubahan sosial dan teknologi yang cepat. Kajian ini
tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga reflektif dan kritis, dengan tujuan
untuk membangun kesadaran etis yang lebih mendalam—baik di kalangan praktisi
media maupun masyarakat luas. Dengan menelusuri akar historis, dimensi
ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya, artikel ini berupaya menjawab
pertanyaan fundamental: Bagaimana jurnalisme dapat tetap etis di tengah
tekanan kapitalisme informasi dan krisis kepercayaan publik?
Footnotes
[1]               
¹ Clifford G. Christians, Ethics and Journalism:
Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 5.
[2]               
² John Keane, The Media and Democracy
(Cambridge: Polity Press, 1991), 42.
[3]               
³ Robert McChesney, Rich Media, Poor Democracy:
Communication Politics in Dubious Times (New York: The New Press, 2000),
67–69.
[4]               
⁴ Stephen J. A. Ward, The Invention of
Journalism Ethics: The Path to Objectivity and Beyond (Montreal:
McGill-Queen’s University Press, 2004), 15.
[5]               
⁵ Nugroho Y. Nugraha, Kebebasan Pers dan Etika
Jurnalistik di Indonesia (Jakarta: Dewan Pers, 2015), 22–24.
[6]               
⁶ Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik
(Jakarta: Dewan Pers, 2008).
[7]               
⁷ Charlie Beckett, SuperMedia: Saving Journalism
So It Can Save the World (Oxford: Wiley-Blackwell, 2008), 91–93.
[8]               
⁸ Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The
Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press,
2017), 135–137.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis Etika Jurnalistik
Etika jurnalistik tidak lahir secara tiba-tiba; ia
merupakan hasil dari evolusi panjang yang berakar pada dinamika sejarah sosial,
politik, dan intelektual dunia modern. Sejarah etika jurnalistik berkelindan
dengan perkembangan konsep kebenaran, kebebasan, dan tanggung jawab publik yang
muncul sejak masa Pencerahan (the Enlightenment) di Eropa. Pada abad
ke-17 dan ke-18, gagasan rasionalitas dan kebebasan berpikir yang dikembangkan
oleh para filsuf seperti John Locke dan Immanuel Kant menumbuhkan kesadaran
bahwa informasi publik merupakan hak dasar manusia.¹ Pers—yang sebelumnya
berfungsi sebagai alat propaganda kerajaan atau gereja—mulai dilihat sebagai
sarana untuk mengedukasi masyarakat dan mengawasi kekuasaan.² Dengan demikian,
akar etika jurnalistik terletak pada idealisme pencerahan: kebenaran harus
dicari melalui rasio dan disebarluaskan demi kepentingan publik.
Memasuki abad ke-19, jurnalisme profesional mulai
terbentuk sebagai lembaga sosial yang terpisah dari kekuasaan politik dan
ekonomi. Revolusi industri serta kemunculan teknologi cetak massal memungkinkan
penyebaran berita secara luas dan cepat.³ Namun, perkembangan ini juga
menimbulkan masalah baru: komersialisasi media. Persaingan antar surat kabar
melahirkan yellow journalism, yang menonjolkan sensasionalisme,
manipulasi fakta, dan pelanggaran privasi demi keuntungan ekonomi.⁴ Kondisi
inilah yang memunculkan kesadaran akan perlunya prinsip-prinsip etika untuk
menjaga integritas profesi. Pada periode inilah, di Amerika Serikat dan Eropa
Barat, muncul kode etik awal yang menekankan akurasi, kejujuran, dan
independensi berita.
Dalam konteks intelektual, pengaruh filsafat moral
sangat besar terhadap pembentukan etika jurnalistik. Tradisi deontologi
Kantian menekankan kewajiban moral jurnalis untuk mengatakan kebenaran apa
pun risikonya, karena kejujuran merupakan perintah kategoris (categorical
imperative).⁵ Sementara itu, utilitarianisme—seperti yang diajukan
oleh John Stuart Mill—memberi dasar bagi orientasi sosial etika jurnalistik:
tindakan jurnalis harus menghasilkan manfaat terbesar bagi masyarakat luas (the
greatest happiness for the greatest number).⁶ Di sisi lain, etika
kebajikan Aristotelian menekankan pembentukan karakter jurnalis yang bijak,
adil, dan berintegritas sebagai fondasi moral dari profesinya.⁷ Ketiga
paradigma ini membentuk matriks konseptual yang terus memengaruhi wacana etika
jurnalistik hingga kini.
Dalam sejarah modern, munculnya lembaga-lembaga
pers profesional memperkuat institusionalisasi etika jurnalistik. Pada tahun
1923, Canons of Journalism yang diterbitkan oleh American Society of
Newspaper Editors (ASNE) menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah
kode etik pers dunia.⁸ Dokumen ini menegaskan prinsip utama seperti tanggung
jawab, kebebasan, independensi, kebenaran, dan kesopanan. Seiring waktu,
standar ini menjadi rujukan bagi banyak negara dalam menyusun kode etik
nasional. Di Inggris, Press Complaints Commission dibentuk untuk
menegakkan etika pemberitaan, sedangkan UNESCO pada tahun 1983 mengeluarkan Declaration
of Principles on the Conduct of Journalists yang memperkuat standar global
etika media.⁹
Dalam konteks Indonesia, genealoginya dapat
ditelusuri sejak masa kolonial, ketika pers pribumi muncul sebagai alat
perlawanan terhadap kolonialisme dan sensor pemerintah Hindia Belanda.¹⁰
Tokoh-tokoh seperti Tirto Adhi Soerjo melalui surat kabar Medan Prijaji
(1907) memprakarsai semangat jurnalisme moral yang berpihak pada rakyat dan
keadilan sosial.¹¹ Setelah kemerdekaan, etika jurnalistik berkembang seiring
dengan dinamika politik nasional: dari kontrol ketat pada masa Orde Lama,
pembungkaman pada Orde Baru, hingga kebebasan yang relatif luas pasca-Reformasi
1998.¹² Lahirnya Kode Etik Jurnalistik Indonesia yang disahkan oleh
Dewan Pers menjadi penanda institusional dari kesadaran profesionalisme pers
Indonesia dalam menjaga integritas publik.¹³
Namun, genealoginya tidak hanya historis, melainkan
juga filosofis. Etika jurnalistik merupakan hasil dialektika antara idealisme
moral dan realitas sosial. Di satu sisi, ia berakar pada cita-cita moral
universal seperti kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan; di sisi lain, ia terus
dibentuk oleh konteks budaya dan politik di mana jurnalisme beroperasi.¹⁴
Misalnya, etika media di negara-negara liberal demokratis lebih menekankan
kebebasan individu, sedangkan di negara berkembang sering kali diorientasikan
pada tanggung jawab sosial dan stabilitas nasional.¹⁵ Dengan demikian,
genealoginya tidak bersifat linier, tetapi plural dan kontekstual —
merefleksikan keragaman tradisi moral yang membentuk praktik jurnalistik
global.
Dalam konteks kontemporer, memahami landasan
historis dan genealogis etika jurnalistik menjadi penting karena memungkinkan
kita membaca krisis etika media masa kini sebagai bagian dari proses panjang
pembentukan nilai. Setiap pelanggaran etika, seperti penyebaran hoaks, bias
politik, atau eksploitasi korban, tidak dapat dilepaskan dari ketegangan
historis antara idealisme moral dan kepentingan ekonomi-politik media.¹⁶ Oleh
sebab itu, kajian genealogis tidak hanya bersifat retrospektif, tetapi juga
normatif — membuka ruang bagi refleksi etis baru untuk merumuskan jurnalisme
yang lebih adil, humanistik, dan bertanggung jawab.
Footnotes
[1]               
¹ John Locke, A Letter Concerning Toleration
(London: Awnsham Churchill, 1689), 32–34.
[2]               
² Jürgen Habermas, The Structural Transformation
of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society
(Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 57.
[3]               
³ Asa Briggs and Peter Burke, A Social History
of the Media: From Gutenberg to the Internet (Cambridge: Polity Press,
2009), 103–104.
[4]               
⁴ W. Joseph Campbell, Yellow Journalism:
Puncturing the Myths, Defining the Legacies (Westport, CT: Praeger, 2001),
21–25.
[5]               
⁵ Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics
of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 47.
[6]               
⁶ John Stuart Mill, Utilitarianism (London:
Parker, Son, and Bourn, 1863), 15–16.
[7]               
⁷ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1106b–1107a.
[8]               
⁸ American Society of Newspaper Editors, Canons
of Journalism (Washington, DC: ASNE, 1923).
[9]               
⁹ UNESCO, Declaration of Principles on the
Conduct of Journalists (Paris: UNESCO, 1983).
[10]            
¹⁰ Ahmat Adam, The Vernacular Press and the
Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1855–1913) (Ithaca: Cornell
University Press, 1995), 88–90.
[11]            
¹¹ Tirto Adhi Soerjo, Medan Prijaji
(Bandung: Tjaja Timoer, 1907).
[12]            
¹² Stanley Adi Prasetyo, Pers dan Kekuasaan di
Indonesia (Jakarta: Kompas, 2008), 54–56.
[13]            
¹³ Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik
(Jakarta: Dewan Pers, 2008).
[14]            
¹⁴ Clifford G. Christians, Media Ethics: Cases
and Moral Reasoning (New York: Routledge, 2020), 19–20.
[15]            
¹⁵ Kaarle Nordenstreng, “Beyond the Four Theories
of the Press,” Journal of Communication 27, no. 4 (1977): 14–15.
[16]            
¹⁶ Robert W. McChesney, Communication
Revolution: Critical Junctures and the Future of Media (New York: The New
Press, 2007), 33–34.
3.          
Ontologi
Etika Jurnalistik
Ontologi etika
jurnalistik membahas hakikat eksistensial dari praktik jurnalistik sebagai
aktivitas moral, epistemik, dan sosial. Pada tataran paling dasar, jurnalisme
bukan sekadar proses teknis dalam mengumpulkan dan menyebarkan informasi,
melainkan tindakan etis yang berakar pada relasi manusia dengan kebenaran,
realitas, dan tanggung jawab sosial.¹ Dalam konteks ini, pertanyaan ontologis
yang mendasar bukan hanya apa itu jurnalisme, tetapi apa
makna menjadi jurnalis dalam dunia yang diliputi oleh informasi,
kekuasaan, dan interpretasi. Dengan kata lain, ontologi etika jurnalistik
menyelidiki "ada"-nya jurnalis sebagai subjek moral yang
menghadirkan kebenaran di ruang publik.²
3.1.      
Hakikat Jurnalisme
sebagai Pencarian Kebenaran
Secara ontologis,
jurnalisme berakar pada dorongan eksistensial manusia untuk memahami kenyataan
dan menyingkap kebenaran (aletheia).³ Dalam tradisi Yunani
kuno, aletheia
berarti “penyingkapan” atau “pembukaan” terhadap sesuatu yang
tersembunyi — suatu tindakan yang menyingkap realitas sebagaimana adanya.⁴
Jurnalis, dalam hal ini, berfungsi sebagai mediator antara realitas dan
kesadaran publik: ia membuka tabir fakta, menyingkap yang tersembunyi, dan
menyajikan representasi dunia dalam bentuk narasi. Tugas ini menempatkan
jurnalis dalam posisi ontologis yang mirip dengan filsuf atau saksi sejarah —
yakni sosok yang bertanggung jawab atas keterbukaan kebenaran di tengah
kontestasi makna dan kepentingan.⁵
Kebenaran
jurnalistik tidak bersifat metafisik atau absolut, melainkan bersifat situated
truth — kebenaran yang terikat pada konteks sosial, sumber data,
dan metode verifikasi.⁶ Dalam hal ini, kebenaran bukan hasil dari intuisi
individual, tetapi hasil dari proses sosial yang melibatkan observasi,
konfirmasi, dan verifikasi.⁷ Namun, keterbatasan tersebut tidak meniadakan
nilai ontologis jurnalisme; justru di dalam keterbatasan itulah tanggung jawab
moralnya lahir. Keberanian jurnalis untuk terus mencari kebenaran meskipun
sadar akan relativitasnya adalah inti dari etos profesional yang etis.⁸
3.2.      
Realitas,
Representasi, dan Konstruksi Makna
Ontologi etika
jurnalistik juga menyentuh relasi antara realitas dan representasi.
Dalam pandangan konstruktivis, jurnalisme tidak hanya mencerminkan kenyataan,
tetapi juga berpartisipasi dalam membentuknya.⁹ Media adalah arena di mana
realitas sosial dikonstruksi melalui bahasa, gambar, dan narasi.¹⁰ Dengan
demikian, setiap teks jurnalistik merupakan hasil dari proses seleksi,
interpretasi, dan framing — bukan sekadar refleksi pasif dari dunia faktual.¹¹
Hal ini menimbulkan
pertanyaan ontologis yang mendalam: jika jurnalisme adalah konstruksi, apakah
ia masih dapat dikatakan “mengungkap kebenaran”? Dalam konteks etika,
jawaban atas pertanyaan ini terletak pada intensionalitas moral dari tindakan
jurnalistik itu sendiri.¹² Seorang jurnalis yang berkomitmen terhadap kejujuran
dan keterbukaan tetap memiliki niat ontologis untuk menghadirkan
realitas secara adil dan proporsional, meskipun prosesnya melalui konstruksi
naratif.¹³ Dengan demikian, jurnalisme yang etis bukanlah jurnalisme yang
netral dalam arti nihil nilai, melainkan jurnalisme yang sadar akan posisinya
sebagai mediator yang bertanggung jawab terhadap representasi realitas
sosial.¹⁴
3.3.      
Jurnalis sebagai
Subjek Moral dan Sosial
Ontologi etika
jurnalistik tidak dapat dilepaskan dari pemahaman tentang siapa
jurnalis itu secara eksistensial. Jurnalis bukan mesin pencatat fakta, tetapi
subjek moral yang memiliki kesadaran, nilai, dan tanggung jawab.¹⁵ Sebagai
subjek moral, ia tidak hanya bertindak berdasarkan norma eksternal seperti kode
etik, tetapi juga berdasarkan kesadaran internal tentang kebenaran dan
kemanusiaan.¹⁶ Dalam tradisi eksistensialisme, tindakan etis yang autentik
menuntut keberanian untuk bertanggung jawab atas konsekuensi moral dari setiap
keputusan.¹⁷ Hal ini menegaskan bahwa keberadaan jurnalis sebagai manusia bebas
selalu diikuti oleh kewajiban moral untuk tidak menyalahgunakan kebebasan
tersebut demi kepentingan pribadi, politik, atau korporasi.¹⁸
Selain sebagai
subjek moral, jurnalis juga merupakan subjek sosial yang eksistensinya terikat
pada jaringan kekuasaan dan struktur ekonomi-politik media.¹⁹ Oleh karena itu,
etika jurnalistik tidak hanya berbicara tentang moralitas individu, tetapi juga
tentang sistem sosial yang memungkinkan atau menghambat tindakan etis.²⁰ Dalam
sistem media yang dikontrol oleh kepentingan modal atau politik, keberadaan
jurnalis sering kali teralienasi dari panggilan moralnya.²¹ Maka, refleksi
ontologis terhadap jurnalisme harus mencakup pula kritik terhadap struktur sosial
yang menindas otonomi moral jurnalis.²²
3.4.      
Antara Kebebasan dan
Tanggung Jawab
Secara ontologis,
etika jurnalistik berdiri di antara dua kutub: kebebasan dan tanggung jawab.
Kebebasan merupakan syarat eksistensial bagi jurnalisme — tanpa kebebasan, jurnalisme
tidak dapat menjalankan fungsi kebenarannya. Namun kebebasan yang dilepaskan
dari tanggung jawab akan menjelma menjadi anarki informasi, di mana kebenaran
dikorbankan demi opini, sensasi, atau keuntungan ekonomi.²³ Oleh karena itu,
dalam dimensi ontologisnya, etika jurnalistik adalah usaha untuk menyeimbangkan
kedua prinsip tersebut: mempertahankan kebebasan individu dan institusional
media, sambil memastikan bahwa kebebasan itu digunakan untuk tujuan sosial dan
kemanusiaan.²⁴
Keseimbangan ini
menjadikan etika jurnalistik sebagai sistem nilai yang hidup dan dinamis —
bukan seperangkat aturan kaku, melainkan proses refleksi moral yang terus
menerus dalam menghadapi kompleksitas realitas sosial.²⁵ Ontologi etika
jurnalistik dengan demikian menunjukkan bahwa keberadaan jurnalis bukanlah
semata profesi, tetapi juga panggilan moral (moral vocation) untuk menjadi saksi
kebenaran dan penjaga nurani publik di tengah arus informasi global yang kian
kabur batasnya antara fakta dan fiksi.²⁶
Footnotes
[1]               
¹ Clifford G. Christians, Ethics
and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 12–13.
[2]               
² Stephen J. A. Ward, The
Invention of Journalism Ethics: The Path to Objectivity and Beyond (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2004), 8.
[3]               
³ Martin Heidegger, Being
and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 262–264.
[4]               
⁴ Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of
Greek Culture (Oxford: Oxford
University Press, 1945), 93.
[5]               
⁵ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 57–59.
[6]               
⁶ Jay Rosen, What Are Journalists
For? (New Haven: Yale University
Press, 1999), 22–24.
[7]               
⁷ Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The
Elements of Journalism (New York:
Three Rivers Press, 2001), 43–45.
[8]               
⁸ Thomas Hanitzsch, “Deconstructing Journalism Culture,” Communication Theory
17, no. 4 (2007): 376–382.
[9]               
⁹ Stuart Hall, Representation:
Cultural Representations and Signifying Practices (London: Sage, 1997), 15–18.
[10]            
¹⁰ John Fiske, Understanding Popular
Culture (London: Routledge, 2010),
42–43.
[11]            
¹¹ Gaye Tuchman, Making News: A Study in
the Construction of Reality (New
York: Free Press, 1978), 109.
[12]            
¹² Jürgen Habermas, Moral
Consciousness and Communicative Action
(Cambridge: MIT Press, 1990), 67.
[13]            
¹³ Nick Couldry, Media, Society, World:
Social Theory and Digital Media Practice (Cambridge: Polity Press, 2012), 33–35.
[14]            
¹⁴ Clifford G. Christians et al., Media
Ethics: Cases and Moral Reasoning
(New York: Routledge, 2020), 17.
[15]            
¹⁵ Søren Kierkegaard, The
Concept of Anxiety (Princeton:
Princeton University Press, 1980), 120–121.
[16]            
¹⁶ Alasdair MacIntyre, After
Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 210–213.
[17]            
¹⁷ Jean-Paul Sartre, Existentialism
Is a Humanism (New Haven: Yale
University Press, 2007), 28–30.
[18]            
¹⁸ Hannah Arendt, Responsibility and
Judgment (New York: Schocken Books,
2003), 22–24.
[19]            
¹⁹ Pierre Bourdieu, On
Television (New York: The New Press,
1998), 35–38.
[20]            
²⁰ Robert W. McChesney, Rich
Media, Poor Democracy (New York: The
New Press, 2000), 72–74.
[21]            
²¹ Edward S. Herman and Noam Chomsky, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 25–28.
[22]            
²² David Harvey, A Brief History of
Neoliberalism (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 3–5.
[23]            
²³ Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Clarendon Press, 1969), 128–129.
[24]            
²⁴ John Stuart Mill, On
Liberty (London: Parker and Son,
1859), 63–65.
[25]            
²⁵ Clifford Christians, “Ethical Foundations of Journalism,” in Handbook of Journalism Studies, ed. Karin Wahl-Jorgensen and Thomas Hanitzsch (New
York: Routledge, 2009), 35–38.
[26]            
²⁶ Stephen Ward, Global Journalism
Ethics (Montreal: McGill-Queen’s
University Press, 2010), 49–50.
4.          
Epistemologi
Etika Jurnalistik
Epistemologi etika
jurnalistik membahas bagaimana pengetahuan jurnalistik diperoleh, diverifikasi,
dan disebarluaskan secara etis. Dengan kata lain, ia menyelidiki dasar
kebenaran, metode pencarian fakta, dan tanggung jawab epistemik jurnalis dalam
menghadirkan realitas kepada publik.¹ Etika jurnalistik pada ranah
epistemologis tidak hanya mempertanyakan apa yang benar, tetapi juga bagaimana
kita mengetahui bahwa sesuatu itu benar dalam konteks sosial yang
penuh bias, tekanan ideologis, dan dominasi teknologi komunikasi. Dalam hal
ini, epistemologi jurnalisme tidak dapat dipisahkan dari persoalan moral,
karena cara memperoleh pengetahuan menentukan kadar tanggung jawab dan
integritas profesional seorang jurnalis.²
4.1.      
Sumber Pengetahuan
dan Proses Verifikasi
Dalam tradisi
klasik, jurnalisme dibangun di atas prinsip empirisme dan rasionalisme.
Empirisme menegaskan bahwa kebenaran harus bersumber dari pengamatan dan bukti
faktual, sedangkan rasionalisme menekankan pentingnya logika, analisis, dan
deduksi dalam menafsirkan data.³ Etika jurnalistik menuntut keseimbangan antara
kedua pendekatan tersebut: berita harus didasarkan pada fakta empiris yang
dapat diverifikasi, tetapi juga disusun melalui penalaran rasional yang jujur
dan adil.⁴
Verifikasi merupakan
inti epistemologi jurnalistik. Kovach dan Rosenstiel menyebutnya sebagai “disiplin
verifikasi,” yaitu komitmen metodologis untuk membedakan fakta dari opini
dan rumor.⁵ Prinsip ini membedakan jurnalisme profesional dari propaganda atau
desas-desus. Proses verifikasi melibatkan konfirmasi dari berbagai sumber,
pemeriksaan konteks, dan keberanian untuk menunda publikasi hingga informasi
benar-benar sahih. Dalam etika epistemik, keputusan untuk tidak memberitakan sesuatu
yang belum terverifikasi merupakan tindakan moral, bukan kelemahan
profesional.⁶
Namun, dalam
praktiknya, tekanan kecepatan dan kompetisi di era digital sering kali
menggerus proses verifikasi. Fenomena clickbait journalism dan breaking
news syndrome menunjukkan bagaimana logika algoritmik dan ekonomi
perhatian mendorong jurnalis untuk mendahulukan kecepatan daripada akurasi.⁷ Di
sinilah pentingnya kesadaran epistemologis: jurnalis harus memahami bahwa
kebenaran bukan hanya produk informasi, tetapi hasil dari proses moral yang
menuntut kehati-hatian, skeptisisme, dan tanggung jawab.⁸
4.2.      
Objektivitas, Bias,
dan Konstruksi Realitas
Epistemologi etika
jurnalistik juga berurusan dengan persoalan objektivitas. Dalam paradigma
positivistik abad ke-19, jurnalis dianggap sebagai pengamat netral yang
melaporkan fakta sebagaimana adanya.⁹ Namun, sejak pertengahan abad ke-20,
teori komunikasi kritis menolak pandangan ini dengan menunjukkan bahwa semua
berita merupakan hasil konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh nilai, ideologi,
dan kekuasaan.¹⁰
Objektivitas, dalam
kerangka etika modern, bukan berarti bebas nilai (value-free), melainkan keterbukaan
terhadap koreksi dan kesediaan untuk mengakui posisi epistemik sendiri.¹¹ Ward
menyebutnya sebagai pragmatic objectivity: kejujuran
dalam proses mencari kebenaran, bukan ilusi netralitas absolut.¹² Dengan
demikian, jurnalis yang etis bukanlah mereka yang menghapus semua nilai,
melainkan yang menyadari dan mengelola biasnya dengan transparan.¹³
Selain itu, media
juga berperan dalam membentuk realitas publik. Melalui praktik framing
dan agenda-setting,
media menentukan apa yang dianggap penting dan bagaimana masyarakat
memahaminya.¹⁴ Oleh karena itu, setiap keputusan editorial memiliki dimensi
epistemik dan etis: apa yang tidak diberitakan sama pentingnya dengan apa yang
diberitakan.¹⁵ Dalam konteks ini, etika jurnalistik menjadi bentuk epistemic
justice — upaya untuk memastikan bahwa representasi sosial tidak
menindas kelompok minoritas atau suara yang termarginalkan.¹⁶
4.3.      
Tantangan
Epistemologis di Era Digital dan Post-Truth
Transformasi digital
membawa perubahan radikal terhadap cara pengetahuan jurnalistik diproduksi dan
disebarkan. Internet dan media sosial menciptakan kondisi information
overload di mana batas antara fakta dan opini menjadi kabur.¹⁷
Dalam masyarakat post-truth, kebenaran bukan lagi
ditentukan oleh bukti empiris, melainkan oleh resonansi emosional dan
popularitas di ruang digital.¹⁸ Fenomena ini menimbulkan krisis epistemik yang
mendalam: publik semakin sulit membedakan antara informasi yang sahih dan
disinformasi, sementara jurnalis kehilangan otoritas epistemiknya.¹⁹
Dalam konteks ini,
etika jurnalistik harus beradaptasi dengan epistemologi baru yang menuntut transparansi
metodologis dan keterbukaan kolaboratif.²⁰ Jurnalis
tidak lagi dapat berdiri sebagai otoritas tunggal pengetahuan, tetapi harus
bekerja dalam dialog dengan publik melalui partisipasi, fact-checking,
dan literasi media.²¹ Prinsip open journalism yang menekankan kolaborasi
antara media dan masyarakat menjadi bentuk epistemologi etis baru — di mana
kebenaran bukan hanya hasil kerja jurnalis, tetapi produk komunikasi yang
partisipatif dan reflektif.²²
Selain itu,
kemunculan kecerdasan buatan (AI) dalam produksi berita menimbulkan pertanyaan
epistemologis baru: dapatkah algoritma memiliki tanggung jawab etis terhadap
kebenaran?²³ Jika berita dihasilkan oleh mesin, maka transparansi algoritmik
menjadi syarat moral utama.²⁴ Etika jurnalistik di era digital harus memastikan
bahwa proses otomatisasi tidak menghapus dimensi manusiawi dalam pencarian
kebenaran — karena kebenaran tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga
normatif dan relasional.²⁵
4.4.      
Tanggung Jawab
Epistemik terhadap Publik
Epistemologi etika jurnalistik
pada akhirnya bermuara pada tanggung jawab epistemik terhadap publik. Jurnalis
bukan sekadar penyampai informasi, melainkan pengelola pengetahuan publik (custodian
of public knowledge).²⁶ Dalam tradisi demokrasi deliberatif,
seperti yang dikemukakan oleh Habermas, komunikasi publik yang etis harus
didasarkan pada klaim kebenaran (truth), ketepatan (rightness),
dan kejujuran (truthfulness).²⁷ Setiap berita,
dengan demikian, merupakan pernyataan moral yang mengandaikan kepercayaan
publik terhadap jurnalis.²⁸
Kepercayaan tersebut
tidak dapat diperoleh melalui otoritas formal, melainkan melalui konsistensi
epistemik — yakni kemampuan media untuk menunjukkan integritas dalam proses
memperoleh dan menyebarkan pengetahuan.²⁹ Oleh karena itu, pendidikan etika
jurnalistik harus mencakup pelatihan epistemologis: mengajarkan jurnalis untuk
berpikir kritis, memeriksa sumber, memahami bias kognitif, dan berkomunikasi
dengan transparan.³⁰ Dengan cara ini, epistemologi etika jurnalistik menjadi
fondasi bagi pembentukan ruang publik yang rasional, inklusif, dan berkeadilan
informasi.³¹
Footnotes
[1]               
¹ Clifford G. Christians, Ethics
and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 33.
[2]               
² Stephen J. A. Ward, The
Invention of Journalism Ethics: The Path to Objectivity and Beyond (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2004),
11–12.
[3]               
³ John Locke, An Essay Concerning
Human Understanding (London: Thomas
Basset, 1690), 58–60.
[4]               
⁴ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), 145–146.
[5]               
⁵ Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The
Elements of Journalism (New York:
Three Rivers Press, 2001), 73–74.
[6]               
⁶ Jay Rosen, What Are Journalists
For? (New Haven: Yale University
Press, 1999), 19.
[7]               
⁷ Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas:
The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 141–143.
[8]               
⁸ Clifford G. Christians et al., Media
Ethics: Cases and Moral Reasoning
(New York: Routledge, 2020), 25.
[9]               
⁹ Michael Schudson, Discovering
the News: A Social History of American Newspapers (New York: Basic Books, 1978), 6.
[10]            
¹⁰ Stuart Hall, Representation:
Cultural Representations and Signifying Practices (London: Sage, 1997), 31–32.
[11]            
¹¹ Thomas Hanitzsch, “Deconstructing Journalism Culture,” Communication Theory
17, no. 4 (2007): 376.
[12]            
¹² Stephen Ward, Global Journalism
Ethics (Montreal: McGill-Queen’s
University Press, 2010), 51.
[13]            
¹³ Clifford Christians, “Ethical Foundations of Journalism,” in Handbook of Journalism Studies, ed. Karin Wahl-Jorgensen and Thomas Hanitzsch (New
York: Routledge, 2009), 36–38.
[14]            
¹⁴ Maxwell McCombs and Donald Shaw, “The Agenda-Setting Function of
Mass Media,” Public Opinion
Quarterly 36, no. 2 (1972): 176–187.
[15]            
¹⁵ James Carey, Communication as
Culture: Essays on Media and Society
(Boston: Unwin Hyman, 1989), 22.
[16]            
¹⁶ Miranda Fricker, Epistemic
Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–3.
[17]            
¹⁷ Manuel Castells, The
Rise of the Network Society (Oxford:
Blackwell, 1996), 165–168.
[18]            
¹⁸ Ralph Keyes, The Post-Truth Era:
Dishonesty and Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 17–18.
[19]            
¹⁹ Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 43–45.
[20]            
²⁰ David Weinberger, Too
Big to Know: Rethinking Knowledge Now That the Facts Aren’t the Facts (New York: Basic Books, 2012), 67–69.
[21]            
²¹ Charlie Beckett, SuperMedia:
Saving Journalism So It Can Save the World (Oxford: Wiley-Blackwell, 2008), 82.
[22]            
²² Jeff Jarvis, Geeks Bearing Gifts:
Imagining New Futures for News (New
York: CUNY Journalism Press, 2014), 52–53.
[23]            
²³ Luciano Floridi, The
Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 103–104.
[24]            
²⁴ Safiya Umoja Noble, Algorithms
of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 25–26.
[25]            
²⁵ Kate Crawford, Atlas of AI: Power,
Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021), 49–50.
[26]            
²⁶ Stephen J. A. Ward, “The Epistemology of Global Journalism Ethics,” Journal of Mass Media Ethics 20, no. 1 (2005): 4–5.
[27]            
²⁷ Jürgen Habermas, Moral
Consciousness and Communicative Action
(Cambridge: MIT Press, 1990), 86–88.
[28]            
²⁸ Hannah Arendt, Between Past and Future (New York: Viking Press, 1961), 237.
[29]            
²⁹ Robert McChesney, Communication
Revolution: Critical Junctures and the Future of Media (New York: The New Press, 2007), 44.
[30]            
³⁰ Clifford G. Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 92–93.
[31]            
³¹ Stephen Ward, Radical Media Ethics: A
Global Approach (Malden:
Wiley-Blackwell, 2015), 118–120.
5.          
Aksiologi
Etika Jurnalistik
Aksiologi etika
jurnalistik berfokus pada nilai-nilai moral yang mendasari dan mengarahkan
praktik jurnalisme, terutama yang berkaitan dengan pertanyaan fundamental: untuk
apa jurnalisme dijalankan dan nilai-nilai apa yang ingin diwujudkannya dalam
kehidupan publik.¹ Dimensi ini menempatkan jurnalisme bukan sekadar
sebagai aktivitas teknis atau ekonomi, tetapi sebagai kegiatan bernilai moral
yang berorientasi pada kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran. Aksiologi dengan
demikian menjadi fondasi normatif bagi seluruh prinsip etika jurnalistik — dari
kejujuran dan tanggung jawab hingga empati terhadap penderitaan manusia.²
5.1.      
Nilai-Nilai Moral
Utama: Kebenaran, Keadilan, dan Kemanusiaan
Dalam kerangka
aksiologis, kebenaran (truthfulness)
merupakan nilai tertinggi yang menjadi raison d’être dari profesi jurnalistik.³
Kebenaran di sini tidak hanya dipahami secara faktual (korespondensi antara
berita dan realitas), tetapi juga secara moral, yaitu kejujuran dalam niat,
proses, dan penyampaian.⁴ Jurnalis tidak hanya berkewajiban menyampaikan apa
yang benar, tetapi juga melakukannya dengan integritas dan tanpa manipulasi.
Clifford Christians menegaskan bahwa “truth-telling” adalah kewajiban
moral utama yang melandasi kepercayaan publik; tanpa kejujuran, media kehilangan
legitimasi etisnya.⁵
Selain kebenaran, keadilan
(justice)
menjadi prinsip aksiologis yang menuntun jurnalis dalam menentukan fokus dan
proporsi liputan. Keadilan di sini bermakna memberikan ruang yang setara bagi
semua pihak, terutama bagi kelompok yang terpinggirkan.⁶ Dalam konteks ini,
jurnalisme berfungsi sebagai alat pembebasan dan pencerahan sosial, bukan
sekadar sarana hiburan atau propaganda.⁷ Sedangkan nilai kemanusiaan
(humanity)
mengandung dimensi empatik: jurnalis harus melihat subjek liputan bukan sebagai
objek sensasi, melainkan sebagai manusia yang memiliki martabat.⁸ Etika
kemanusiaan ini menolak praktik eksploitasi terhadap korban bencana, anak-anak,
atau kelompok rentan, dan menuntut penghormatan terhadap hak privasi serta
perasaan manusiawi narasumber.⁹
5.2.      
Dilema Moral dalam
Praktik Jurnalistik
Dalam praktik
sehari-hari, nilai-nilai aksiologis tersebut sering kali berbenturan dengan
kepentingan ekonomi, politik, dan teknologi media. Salah satu dilema utama
adalah antara
kepentingan publik dan privasi individu.¹⁰ Jurnalis dituntut
untuk mengungkap fakta yang relevan bagi kepentingan umum, namun batas antara
informasi publik dan kehidupan pribadi sering kali kabur.¹¹ Peliputan yang
terlalu invasif terhadap kehidupan tokoh publik, misalnya, dapat melanggar
prinsip penghormatan terhadap martabat manusia, meskipun secara formal berita
tersebut “benar.”¹²
Dilema lain muncul
dalam praktik sensasionalisme. Dalam upaya
menarik perhatian audiens, banyak media mengedepankan unsur dramatik dan emosional
yang mengorbankan keseimbangan informasi.¹³ Etika aksiologis menolak pendekatan
semacam ini karena mengaburkan fungsi moral jurnalisme sebagai penyampai
kebenaran yang mendidik publik.¹⁴ Selain itu, konflik kepentingan antara
jurnalis dan pemilik media juga merupakan problem aksiologis mendalam, sebab
ketika kepentingan ekonomi korporasi mengalahkan kepentingan publik, nilai
kebenaran dan keadilan kehilangan kekuatannya.¹⁵
Dalam konteks
kontemporer, dilema moral semakin kompleks dengan munculnya teknologi digital.
Fenomena seperti clickbait, fake
news, dan algoritma media sosial menciptakan tekanan baru yang
menggoda jurnalis untuk mengutamakan engagement daripada akurasi dan
kedalaman berita.¹⁶ Secara aksiologis, praktik semacam ini menggeser orientasi
jurnalisme dari pelayanan publik menjadi komodifikasi informasi.¹⁷
5.3.      
Tanggung Jawab
Sosial dan Etika Publik
Etika jurnalistik
memiliki dimensi aksiologis yang melekat pada tanggung jawab sosial terhadap
publik. Model social responsibility theory yang
dikemukakan oleh Siebert, Peterson, dan Schramm menegaskan bahwa kebebasan pers
bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang disertai kewajiban
moral untuk melayani kepentingan masyarakat.¹⁸ Prinsip ini menempatkan
jurnalisme dalam kerangka etika publik — di mana setiap keputusan redaksional
harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan sosial, demokrasi, dan
harmoni masyarakat.¹⁹
Dalam masyarakat
demokratis, tanggung jawab sosial juga mencakup keberpihakan terhadap kebenaran
dan keadilan sosial.²⁰ Jurnalis etis tidak netral terhadap ketidakadilan; ia
berpihak pada fakta dan pada kemanusiaan.²¹ Dalam konteks Indonesia, hal ini
tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945 yang menempatkan kemanusiaan dan
keadilan sosial sebagai nilai dasar kehidupan berbangsa.²² Oleh karena itu,
aksiologi etika jurnalistik Indonesia perlu dipahami dalam kerangka etika
Pancasila — di mana kebebasan pers dijalankan untuk memperkuat kemanusiaan,
persatuan, dan keadilan.²³
5.4.      
Etika terhadap
Sumber Berita dan Korban
Aksiologi etika
jurnalistik juga mengatur relasi moral antara jurnalis dan sumber berita.²⁴
Prinsip-prinsip seperti informed consent, perlindungan
terhadap identitas korban, dan penghormatan terhadap hak narasumber merupakan
ekspresi konkret dari nilai kemanusiaan.²⁵ Jurnalis dituntut untuk tidak
memanipulasi atau menipu narasumber demi mendapatkan informasi, karena tindakan
semacam itu melanggar prinsip otonomi moral individu.²⁶
Liputan terhadap
peristiwa bencana, kekerasan seksual, dan konflik bersenjata menjadi ujian
nyata bagi komitmen aksiologis jurnalis.²⁷ Dalam konteks ini, empati menjadi
nilai kunci: jurnalis harus mampu menyeimbangkan antara kepentingan publik
untuk mengetahui dan hak korban untuk dilindungi dari trauma sekunder akibat
publikasi.²⁸ Seperti dikemukakan oleh Susan Moeller, “to tell the truth is
not enough; one must tell it with compassion.”²⁹
5.5.      
Keadilan Informasi
dan Demokrasi Pengetahuan
Dalam masyarakat
informasi, distribusi pengetahuan menjadi isu aksiologis baru. Akses terhadap
informasi yang adil merupakan hak moral publik dan syarat bagi demokrasi yang
sehat.³⁰ Etika jurnalistik, oleh karena itu, harus memastikan adanya equitable
access to information — tidak hanya bagi kelompok elit atau
mayoritas, tetapi juga bagi kelompok marginal yang suaranya sering
terpinggirkan oleh logika pasar media.³¹
Konsep ini dikenal
sebagai keadilan informasi (informational
justice), yaitu gagasan bahwa pemerataan akses terhadap pengetahuan
adalah bentuk konkret dari keadilan sosial.³² Dalam kerangka aksiologis ini,
jurnalis berperan sebagai mediator keadilan, yang tidak hanya melaporkan fakta,
tetapi juga memperjuangkan agar fakta itu dapat diakses secara setara dan
digunakan untuk memperkuat posisi sosial kelompok lemah.³³ Dengan demikian,
jurnalisme etis bukan hanya “menyampaikan berita,” melainkan juga “mendistribusikan
keadilan.”³⁴
Orientasi Humanistik Jurnalisme
Aksiologi etika
jurnalistik pada akhirnya berakar pada visi humanistik: menjadikan jurnalisme
sebagai sarana penguatan martabat manusia.³⁵ Dalam paradigma humanisme
komunikatif, seperti yang dikembangkan oleh Habermas, komunikasi publik harus
berlandaskan pada kesetaraan partisipatif, kejujuran, dan saling pengertian.³⁶
Jurnalis, sebagai agen komunikasi publik, memikul tanggung jawab untuk
menciptakan ruang wacana yang rasional dan beradab — ruang di mana setiap suara
dapat didengar tanpa kekerasan simbolik.³⁷
Etika humanistik
juga menolak dehumanisasi dalam bentuk komodifikasi penderitaan atau
eksploitasi tragedi.³⁸ Jurnalisme yang etis harus menumbuhkan empati dan
solidaritas sosial, bukan rasa takut atau kebencian.³⁹ Dengan demikian, nilai
tertinggi dalam aksiologi etika jurnalistik bukan sekadar kebenaran atau
objektivitas, tetapi kemanusiaan yang sadar akan kebenaran.⁴⁰
Footnotes
[1]               
¹ Clifford G. Christians, Ethics
and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 45.
[2]               
² Stephen J. A. Ward, Global
Journalism Ethics (Montreal:
McGill-Queen’s University Press, 2010), 72–73.
[3]               
³ Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The
Elements of Journalism (New York:
Three Rivers Press, 2001), 58–59.
[4]               
⁴ Hannah Arendt, Truth and Politics, in Between
Past and Future (New York: Viking
Press, 1961), 227–264.
[5]               
⁵ Clifford G. Christians et al., Media
Ethics: Cases and Moral Reasoning
(New York: Routledge, 2020), 37.
[6]               
⁶ John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 3–5.
[7]               
⁷ Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed (New York: Continuum,
1970), 54–56.
[8]               
⁸ Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 22.
[9]               
⁹ Susan D. Moeller, Compassion
Fatigue: How the Media Sell Disease, Famine, War, and Death (New York: Routledge, 1999), 67–69.
[10]            
¹⁰ Jay Black, Doing Ethics in Media:
Theories and Practical Applications
(New York: Routledge, 2011), 82.
[11]            
¹¹ Julian Petley, “Privacy, the Public and the Press,” Journalism Studies 4,
no. 4 (2003): 509–518.
[12]            
¹² Louis Hodges, “Defining Press Responsibility: A Functional
Approach,” Journal of Mass Media
Ethics 2, no. 1 (1987): 13–22.
[13]            
¹³ W. Joseph Campbell, Yellow
Journalism: Puncturing the Myths, Defining the Legacies (Westport, CT: Praeger, 2001), 89–90.
[14]            
¹⁴ Clifford Christians, “Ethical Foundations of Journalism,” in Handbook of Journalism Studies, ed. Karin Wahl-Jorgensen and Thomas Hanitzsch (New
York: Routledge, 2009), 42–44.
[15]            
¹⁵ Robert W. McChesney, Rich
Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times (New York: The New Press, 2000), 71–74.
[16]            
¹⁶ Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas:
The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 133–136.
[17]            
¹⁷ David Croteau and William Hoynes, The
Business of Media: Corporate Media and the Public Interest (Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press, 2006), 96.
[18]            
¹⁸ Fred S. Siebert, Theodore Peterson, and Wilbur Schramm, Four Theories of the Press (Urbana: University of Illinois Press, 1956), 102.
[19]            
¹⁹ Denis McQuail, Media Performance: Mass
Communication and the Public Interest
(London: Sage, 1992), 67–69.
[20]            
²⁰ Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), 152–154.
[21]            
²¹ Stephen J. A. Ward, Radical
Media Ethics: A Global Approach
(Malden: Wiley-Blackwell, 2015), 115.
[22]            
²² Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 48.
[23]            
²³ Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 2001), 92–93.
[24]            
²⁴ Clifford Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 104.
[25]            
²⁵ Jay Black and Frederick C. Steele, Introduction to Media Communication Ethics (New York: Routledge, 2011), 98–100.
[26]            
²⁶ Sissela Bok, Lying: Moral Choice in
Public and Private Life (New York:
Vintage Books, 1999), 81–82.
[27]            
²⁷ Susan D. Moeller, Compassion
Fatigue, 72.
[28]            
²⁸ Simon Cottle, “Reporting Disasters: Factual, Moral and Emotional
Discourses,” Journalism Studies 9, no. 5 (2008): 605–626.
[29]            
²⁹ Moeller, Compassion Fatigue, 68.
[30]            
³⁰ Manuel Castells, The
Information Age: Economy, Society, and Culture (Oxford: Blackwell, 2000), 17–19.
[31]            
³¹ Nick Couldry, Why Voice Matters:
Culture and Politics after Neoliberalism (London: Sage, 2010), 45–47.
[32]            
³² Luciano Floridi, Information:
A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 86.
[33]            
³³ Clifford G. Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age, 119.
[34]            
³⁴ Martha Nussbaum, Political
Emotions: Why Love Matters for Justice
(Cambridge: Harvard University Press, 2013), 25–27.
[35]            
³⁵ Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action, vol.
1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–286.
[36]            
³⁶ Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action (Cambridge: MIT
Press, 1990), 88–90.
[37]            
³⁷ Axel Honneth, The Struggle for
Recognition (Cambridge: Polity
Press, 1995), 112–114.
[38]            
³⁸ Naomi Klein, The Shock Doctrine: The
Rise of Disaster Capitalism (New
York: Metropolitan Books, 2007), 437.
[39]            
³⁹ Clifford Christians, Ethics
and Journalism, 48.
[40]            
⁴⁰ Stephen J. A. Ward, Global
Journalism Ethics, 118.
6.          
Dimensi
Sosial, Politik, dan Hukum Etika Jurnalistik
Etika jurnalistik
tidak dapat dipahami hanya sebagai seperangkat prinsip moral individual,
melainkan sebagai fenomena sosial yang beroperasi di dalam jejaring kekuasaan
politik, struktur ekonomi, dan sistem hukum.¹ Dimensi sosial, politik, dan
hukum menjadi medan di mana nilai-nilai etis jurnalisme diuji, dinegosiasikan,
dan dilembagakan. Pada level sosial, etika jurnalistik berfungsi menjaga
kepercayaan publik; pada level politik, ia menjadi fondasi legitimasi
demokrasi; dan pada level hukum, ia berperan sebagai batas normatif antara
kebebasan dan tanggung jawab.² Dengan demikian, etika jurnalistik merupakan
konstruksi normatif yang berakar pada relasi timbal balik antara media,
masyarakat, dan negara.³
6.1.      
Media dan
Masyarakat: Fungsi Sosial Etika Jurnalistik
Dalam konteks
sosial, jurnalisme memiliki peran fundamental sebagai penghubung antara warga
negara dan realitas publik. Habermas menempatkan media sebagai bagian integral
dari public
sphere — ruang diskursif tempat warga berdialog dan membentuk opini
rasional.⁴ Etika jurnalistik, dalam pengertian ini, bukan hanya aturan
profesional, tetapi mekanisme moral untuk menjaga kualitas komunikasi publik.⁵
Media yang etis
memungkinkan masyarakat membangun trust (kepercayaan sosial), yang
merupakan prasyarat bagi stabilitas sosial dan demokrasi deliberatif.⁶ Tanpa
etika, media kehilangan kredibilitas dan fungsi komunikatifnya, berubah menjadi
instrumen manipulasi dan polarisasi sosial.⁷ Fenomena infotainment,
disinformasi, dan polarisasi ideologis di media sosial menunjukkan bahwa krisis
etika media berdampak langsung terhadap fragmentasi sosial.⁸ Oleh karena itu,
dimensi sosial etika jurnalistik tidak hanya berkaitan dengan perilaku individu
jurnalis, tetapi juga dengan struktur kepercayaan masyarakat terhadap institusi
media itu sendiri.⁹
Lebih jauh, etika
sosial dalam jurnalisme juga terkait dengan isu representasi.¹⁰ Siapa yang
diberi suara dan siapa yang dibungkam mencerminkan dimensi keadilan sosial
dalam etika media.¹¹ Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, tanggung jawab
jurnalis mencakup kewajiban untuk menampilkan keberagaman pandangan tanpa
diskriminasi atas dasar agama, etnis, gender, atau kelas sosial.¹² Hal ini
memperluas makna etika jurnalistik dari sekadar kejujuran faktual menjadi
bentuk solidaritas sosial dan penghormatan terhadap pluralitas manusia.¹³
6.2.      
Etika Jurnalistik
dalam Konteks Politik dan Demokrasi
Secara politik,
etika jurnalistik memainkan peran sentral dalam menjaga fungsi media sebagai
pilar keempat demokrasi (the fourth estate).¹⁴ Media
berperan sebagai pengawas kekuasaan (watchdog of power), yang memastikan
transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.¹⁵ Etika menjadi panduan normatif
agar kekuasaan media tidak berubah menjadi tirani informasi.¹⁶
Dalam negara
demokratis, kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak asasi manusia.¹⁷
Namun, kebebasan ini selalu dihadapkan pada dilema antara kebebasan berekspresi
dan tanggung jawab sosial.¹⁸ Jurnalis harus mampu menavigasi batas ini dengan
mengedepankan kebenaran dan kepentingan publik, bukan kepentingan ideologis
atau partisan.¹⁹ Dalam konteks Indonesia, prinsip ini tercermin dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kebebasan pers
sekaligus menegaskan kewajiban untuk menaati kode etik jurnalistik.²⁰
Selain itu, etika
politik media juga berkaitan dengan agenda-setting dan distribusi
wacana.²¹ Media tidak hanya melaporkan realitas politik, tetapi juga
membentuknya melalui pemilihan isu dan narasi.²² Karena itu, jurnalisme etis
menuntut transparansi editorial, keberimbangan liputan, dan independensi
terhadap kekuasaan politik maupun ekonomi.²³ Ketika media kehilangan
independensi, ruang publik terdistorsi, dan demokrasi berubah menjadi sekadar
formalitas tanpa substansi.²⁴
Etika jurnalistik
juga berperan dalam membangun kesadaran politik warga.²⁵ Melalui pemberitaan
yang mendidik, media dapat memperkuat literasi politik masyarakat dan mendorong
partisipasi aktif dalam proses demokrasi.²⁶ Sebaliknya, jurnalisme yang
manipulatif atau sensasional dapat melemahkan rasionalitas publik dan
memperkuat politik identitas yang destruktif.²⁷ Dengan demikian, tanggung jawab
politik jurnalis bukan hanya mengawasi kekuasaan, tetapi juga mencerdaskan
rakyat agar mampu menjadi warga yang otonom dan kritis.²⁸
6.3.      
Dimensi Hukum Etika
Jurnalistik
Etika jurnalistik
memiliki hubungan yang kompleks dengan hukum. Secara ideal, etika dan hukum
sama-sama berfungsi menjaga keteraturan sosial, tetapi dengan cara yang
berbeda.²⁹ Hukum bersifat koersif dan mengatur perilaku secara formal,
sedangkan etika bersifat reflektif dan menuntut kesadaran moral.³⁰ Dalam
praktik jurnalistik, kedua dimensi ini saling melengkapi: hukum menyediakan kerangka
normatif yang mengikat, sementara etika memberikan makna moral di balik
kepatuhan terhadap hukum.³¹
Kerangka hukum di
Indonesia memberikan dasar kuat bagi praktik etis jurnalisme. Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kemerdekaan pers, namun juga
menegaskan tanggung jawab moral terhadap masyarakat.³² Dewan Pers berfungsi
sebagai lembaga independen yang menegakkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yang
memuat prinsip-prinsip seperti akurasi, imparsialitas, dan penghormatan
terhadap privasi.³³ Mekanisme self-regulation ini dimaksudkan
agar etika jurnalistik ditegakkan bukan melalui sanksi negara, melainkan
melalui kesadaran profesional dan kontrol sosial.³⁴
Dalam ranah
internasional, standar hukum yang mengatur etika jurnalistik juga berkembang
melalui instrumen seperti UNESCO Declaration of Principles on the Conduct
of Journalists (1983), European Convention on Human Rights
(Pasal 10 tentang kebebasan berekspresi), dan International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR).³⁵ Semua instrumen ini menekankan keseimbangan
antara hak kebebasan pers dan tanggung jawab sosial terhadap publik.³⁶
Namun demikian,
relasi antara hukum dan etika sering kali bersifat tegang.³⁷ Ketika hukum
terlalu represif, kebebasan pers terancam; sebaliknya, ketika etika diabaikan,
kebebasan pers disalahgunakan untuk kepentingan politik atau ekonomi.³⁸ Karena
itu, idealnya, etika jurnalistik berfungsi sebagai higher law — hukum moral yang
menuntun jurnalis untuk bertindak lebih dari sekadar patuh terhadap regulasi
formal.³⁹
6.4.      
Tantangan
Sosio-Politik dan Hukum di Era Digital
Era digital
menghadirkan tantangan baru bagi dimensi sosial, politik, dan hukum etika
jurnalistik. Media sosial mengaburkan batas antara jurnalis profesional dan
warga biasa, antara berita dan opini, antara fakta dan fiksi.⁴⁰ Dalam situasi
ini, otoritas epistemik jurnalis menjadi rapuh, sementara penyebaran
disinformasi menimbulkan efek sosial yang luas.⁴¹
Dari segi hukum,
muncul pula pertanyaan tentang bagaimana regulasi dapat mengimbangi dinamika
media digital tanpa mengekang kebebasan berekspresi.⁴² Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia, misalnya, sering diperdebatkan
karena penggunaannya yang ambigu antara perlindungan publik dan pembatasan kritik.⁴³
Secara etis, hal ini menuntut keseimbangan antara freedom of speech dan freedom
from harm — kebebasan untuk berbicara tanpa merugikan atau menindas
pihak lain.⁴⁴
Pada sisi
sosial-politik, munculnya algorithmic bias dan echo
chambers memperparah polarisasi masyarakat.⁴⁵ Dalam konteks ini,
etika jurnalistik perlu memperluas diri menjadi etika ekosistem informasi yang
menuntut transparansi algoritma, tanggung jawab platform digital, dan
kolaborasi lintas sektor dalam menjaga integritas ruang publik.⁴⁶
Integrasi Etika, Politik, dan Hukum dalam Kehidupan Publik
Etika jurnalistik
yang sehat memerlukan integrasi antara kesadaran moral individu, struktur
sosial yang adil, dan sistem hukum yang demokratis.⁴⁷ Ketiganya membentuk ekologi
moral yang saling menopang.⁴⁸ Dalam ekologi ini, jurnalis berperan
sebagai mediator moral antara warga dan negara — menjaga agar komunikasi publik
berlangsung dalam semangat kejujuran, transparansi, dan penghormatan terhadap
martabat manusia.⁴⁹
Etika sosial
memastikan jurnalisme berpihak pada kebenaran dan kemanusiaan; etika politik
menjamin independensi dan tanggung jawab terhadap demokrasi; sedangkan etika
hukum memastikan perlindungan hak asasi serta akuntabilitas publik.⁵⁰ Dalam
harmoni ketiganya, jurnalisme dapat berfungsi sebagai kekuatan moral yang
membentuk peradaban informasi yang adil, bebas, dan manusiawi.⁵¹
Footnotes
[1]               
¹ Clifford G. Christians, Ethics
and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 72.
[2]               
² Stephen J. A. Ward, Global
Journalism Ethics (Montreal:
McGill-Queen’s University Press, 2010), 84.
[3]               
³ Clifford G. Christians et al., Media
Ethics: Cases and Moral Reasoning
(New York: Routledge, 2020), 52.
[4]               
⁴ Jürgen Habermas, The Structural
Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois
Society (Cambridge, MA: MIT Press,
1989), 57–60.
[5]               
⁵ James Carey, Communication as
Culture: Essays on Media and Society
(Boston: Unwin Hyman, 1989), 21.
[6]               
⁶ Robert Putnam, Bowling Alone: The
Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 136–138.
[7]               
⁷ Manuel Castells, The Network Society (Oxford: Blackwell, 2000), 95–97.
[8]               
⁸ Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas:
The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 142–144.
[9]               
⁹ Thomas Hanitzsch, “Deconstructing Journalism Culture,” Communication Theory
17, no. 4 (2007): 378.
[10]            
¹⁰ Stuart Hall, Representation:
Cultural Representations and Signifying Practices (London: Sage, 1997), 15–16.
[11]            
¹¹ Nick Couldry, Why Voice Matters:
Culture and Politics after Neoliberalism (London: Sage, 2010), 39–40.
[12]            
¹² Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 2001), 112.
[13]            
¹³ Clifford Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 98.
[14]            
¹⁴ Denis McQuail, Mass Communication
Theory (London: Sage, 2010), 162.
[15]            
¹⁵ Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The
Elements of Journalism (New York:
Three Rivers Press, 2001), 73.
[16]            
¹⁶ Stephen Ward, Radical Media Ethics: A
Global Approach (Malden:
Wiley-Blackwell, 2015), 91.
[17]            
¹⁷ Article 19, Universal Declaration
of Human Rights (Paris: United
Nations, 1948).
[18]            
¹⁸ Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Clarendon Press, 1969), 121–122.
[19]            
¹⁹ Jay Black, Doing Ethics in Media:
Theories and Practical Applications
(New York: Routledge, 2011), 95.
[20]            
²⁰ Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166.
[21]            
²¹ Maxwell McCombs and Donald Shaw, “The Agenda-Setting Function of
Mass Media,” Public Opinion
Quarterly 36, no. 2 (1972): 176.
[22]            
²² Edward S. Herman and Noam Chomsky, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 22–24.
[23]            
²³ Robert W. McChesney, Rich
Media, Poor Democracy (New York: The
New Press, 2000), 72.
[24]            
²⁴ Jürgen Habermas, Moral
Consciousness and Communicative Action
(Cambridge: MIT Press, 1990), 87.
[25]            
²⁵ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), 68.
[26]            
²⁶ Stephen J. A. Ward, “The Epistemology of Global Journalism Ethics,” Journal of Mass Media Ethics 20, no. 1 (2005): 3–5.
[27]            
²⁷ Hannah Arendt, Between Past and Future (New York: Viking Press, 1961), 237–238.
[28]            
²⁸ Clifford Christians, “Ethical Foundations of Journalism,” in Handbook of Journalism Studies, ed. Karin Wahl-Jorgensen and Thomas Hanitzsch (New
York: Routledge, 2009), 39.
[29]            
²⁹ Alasdair MacIntyre, After
Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 189.
[30]            
³⁰ Sissela Bok, Lying: Moral Choice in
Public and Private Life (New York:
Vintage Books, 1999), 81.
[31]            
³¹ Jay Black and Frederick C. Steele, Introduction to Media Communication Ethics (New York: Routledge, 2011), 97.
[32]            
³² Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
[33]            
³³ Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik (Jakarta: Dewan Pers, 2008).
[34]            
³⁴ Clifford G. Christians, Media
Ethics: Cases and Moral Reasoning,
59.
[35]            
³⁵ UNESCO, Declaration of
Principles on the Conduct of Journalists (Paris: UNESCO, 1983).
[36]            
³⁶ Council of Europe, European
Convention on Human Rights, Article
10 (Rome: Council of Europe, 1950).
[37]            
³⁷ Stephen Ward, Global Journalism
Ethics, 117.
[38]            
³⁸ David Croteau and William Hoynes, The
Business of Media (Thousand Oaks,
CA: Pine Forge Press, 2006), 95–96.
[39]            
³⁹ Clifford Christians, Ethics
and Journalism, 86.
[40]            
⁴⁰ Manuel Castells, Communication
Power (Oxford: Oxford University
Press, 2009), 112–115.
[41]            
⁴¹ Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 37.
[42]            
⁴² Luciano Floridi, The
Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 102–103.
[43]            
⁴³ Wahyudi Djafar, “UU ITE dan Kebebasan Berekspresi di Indonesia,” Jurnal HAM 12, no. 2
(2021): 211–224.
[44]            
⁴⁴ Martha Nussbaum, Creating
Capabilities (Cambridge: Harvard
University Press, 2011), 24.
[45]            
⁴⁵ Safiya Umoja Noble, Algorithms
of Oppression (New York: NYU Press,
2018), 28–29.
[46]            
⁴⁶ Kate Crawford, Atlas of AI (New Haven: Yale University Press, 2021), 50.
[47]            
⁴⁷ Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action, vol.
1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285.
[48]            
⁴⁸ Clifford Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age, 115.
[49]            
⁴⁹ Stephen Ward, Radical Media Ethics, 119.
[50]            
⁵⁰ Denis McQuail, Media Performance, 102.
[51]            
⁵¹ Clifford Christians, Ethics
and Journalism, 90.
7.          
Kritik
terhadap Etika Jurnalistik
Etika jurnalistik,
meskipun berfungsi sebagai fondasi moral bagi profesi media, tidak luput dari
kritik teoretis dan praktis. Kritik terhadap etika jurnalistik mencakup dimensi
filosofis, sosiologis, ekonomi-politik, dan kultural, yang mempertanyakan baik
universalisme norma-norma etika maupun relevansinya dalam konteks global dan
digital.¹ Sebagian pemikir menilai bahwa standar etika jurnalistik tradisional
terlalu idealistik, bias Barat, dan tidak peka terhadap dinamika kekuasaan,
pluralitas budaya, serta realitas ekonomi media kontemporer.² Oleh karena itu,
kritik terhadap etika jurnalistik bukan bertujuan untuk meniadakannya,
melainkan untuk memperdalam refleksi etis dan menyesuaikannya dengan kondisi
sosial yang terus berubah.³
7.1.      
Kritik Postmodern:
Relativitas Kebenaran dan Dekonstruksi Objektivitas
Salah satu kritik
paling berpengaruh terhadap etika jurnalistik datang dari pemikiran postmodernisme,
yang menolak klaim universal atas kebenaran dan objektivitas.⁴ Tokoh-tokoh
seperti Jean-François Lyotard dan Michel Foucault menunjukkan bahwa kebenaran
selalu dikonstruksi dalam relasi kekuasaan, bukan sesuatu yang netral atau
bebas nilai.⁵ Dalam konteks ini, etika jurnalistik yang menekankan objektivitas
dan imparsialitas dianggap ilusi yang menyembunyikan bias ideologis di balik
klaim netralitas.⁶
Lyotard, dalam The
Postmodern Condition, menyebut bahwa masyarakat modern hidup dalam
kondisi “pluralitas narasi,” di mana tidak ada satu pun “metanarasi”
yang sah untuk melegitimasi kebenaran.⁷ Oleh karena itu, standar etika
jurnalistik yang mengklaim universalitas dianggap menindas bentuk-bentuk
pengetahuan lokal dan alternatif.⁸ Demikian pula, Foucault menegaskan bahwa
produksi wacana media selalu beroperasi dalam regime of truth — suatu sistem di
mana kebenaran dibentuk dan dikontrol oleh kekuasaan.⁹ Dengan demikian,
objektivitas bukanlah netralitas, tetapi strategi hegemonik yang berpotensi
menutupi struktur dominasi.¹⁰
Dari perspektif postmodern,
etika jurnalistik perlu digantikan dengan etika refleksif, yaitu
kesadaran bahwa setiap tindakan jurnalistik adalah tindakan interpretatif yang
selalu terbuka terhadap koreksi dan perbedaan.¹¹ Kebenaran, dalam kerangka ini,
menjadi dialogis dan plural, bukan dogmatis.¹²
7.2.      
Kritik Ekonomi
Politik: Komodifikasi Informasi dan Kapitalisme Media
Kritik lain datang
dari pendekatan ekonomi politik media, yang
menyoroti bagaimana struktur kepemilikan dan orientasi kapitalistik mengikis
makna moral etika jurnalistik.¹³ Menurut Noam Chomsky dan Edward S. Herman,
media massa di bawah kapitalisme berfungsi sebagai “industri ideologis”
yang memproduksi kesadaran sesuai kepentingan kelas dominan.¹⁴ Melalui model propaganda,
mereka menunjukkan bahwa berita tidak bebas, melainkan disaring oleh
kepentingan ekonomi, iklan, dan kepemilikan korporasi.¹⁵
Robert McChesney
melanjutkan kritik ini dengan menyatakan bahwa etika jurnalistik sering
berfungsi sebagai legitimasi moral bagi sistem media komersial.¹⁶
Prinsip-prinsip seperti “kebebasan pers” atau “objektivitas”
sering kali digunakan untuk menutupi realitas bahwa jurnalisme tunduk pada
logika pasar — klik, rating, dan sponsor.¹⁷ Dalam situasi seperti ini,
nilai-nilai moral seperti keadilan, empati, dan kebenaran dikorbankan demi
keuntungan finansial.¹⁸
Kritik ekonomi
politik ini menuntut redefinisi etika jurnalistik dalam kerangka keadilan
struktural.¹⁹ Etika tidak lagi cukup dipahami sebagai tanggung
jawab individu, tetapi harus diperluas menjadi tanggung jawab institusional dan
sistemik yang mencakup distribusi kekuasaan, kontrol kepemilikan media, dan hak
publik atas informasi.²⁰
7.3.      
Kritik Feminist:
Bias Patriarkal dan Eksklusi Representasi
Kritik feminis
terhadap etika jurnalistik menyoroti bias gender dalam praktik dan teori
media.²¹ Nilai-nilai yang dianggap universal seperti objektivitas,
rasionalitas, dan jarak emosional sering kali merupakan refleksi dari paradigma
maskulin yang mengabaikan pengalaman dan nilai-nilai perempuan seperti empati,
relasionalitas, dan perawatan (care ethics).²²
Carol Gilligan dan
Nel Noddings menekankan bahwa etika berbasis relasi dan empati lebih sesuai
untuk memahami praktik jurnalisme yang berhadapan dengan manusia nyata, bukan
sekadar objek informasi.²³ Dalam konteks peliputan kekerasan terhadap
perempuan, anak-anak, atau kelompok marginal, pendekatan care
ethics menawarkan alternatif etika yang lebih humanistik daripada
paradigma objektivitas dingin.²⁴
Selain itu, kritik
feminis juga menyoroti ketimpangan representasi gender dalam media.²⁵ Perempuan
sering kali digambarkan secara stereotipikal — sebagai korban pasif, simbol
moralitas, atau objek visual.²⁶ Kondisi ini menunjukkan bahwa etika jurnalistik
tidak dapat dilepaskan dari kritik terhadap struktur patriarki yang melekat
pada budaya media.²⁷ Maka, etika jurnalistik yang sejati harus berupaya
mewujudkan keadilan representasional —
memastikan semua suara, termasuk yang feminis dan minoritas, memiliki ruang
dalam wacana publik.²⁸
7.4.      
Kritik Kultural dan
Postkolonial: Bias Barat dan Homogenisasi Nilai
Etika jurnalistik
global sering dikritik karena berakar pada paradigma Barat yang menonjolkan
nilai-nilai liberal seperti kebebasan individu dan netralitas politik.²⁹ Dalam
konteks non-Barat, terutama di masyarakat Asia dan Afrika, nilai-nilai tersebut
kadang bertentangan dengan etika kolektivistik dan solidaritas sosial.³⁰ James
Curran dan Myung-Jin Park menunjukkan bahwa model jurnalisme liberal sering
gagal memahami konteks budaya di mana media beroperasi, seperti konsep harmoni
sosial di Asia Timur atau gotong royong di Indonesia.³¹
Kritik postkolonial
menyoroti bahwa etika jurnalistik universal sering berfungsi sebagai bentuk epistemic
imperialism — dominasi nilai Barat atas praktik media lokal.³²
Misalnya, ketika media di negara berkembang diukur dengan standar “independensi”
dan “objektivitas” versi Barat, padahal realitas sosial mereka menuntut
jurnalisme yang partisipatif dan advokatif.³³ Dengan demikian, dibutuhkan
pendekatan etika pluralistik yang
menghormati keragaman epistemik dan moral dari berbagai tradisi budaya.³⁴
Etika pluralistik
ini sejalan dengan gagasan Clifford Christians tentang communitarian
ethics, yakni etika berbasis komunitas yang menempatkan kebaikan
bersama (common
good) di atas kepentingan individual.³⁵ Dalam konteks globalisasi,
pendekatan ini memungkinkan dialog antarbudaya dalam membangun jurnalisme yang
etis tanpa hegemonik.³⁶
7.5.      
Kritik Digital dan
Teknologis: Krisis Etika di Era Algoritmik
Kritik terbaru
terhadap etika jurnalistik datang dari era digital, ketika kecerdasan buatan,
algoritma, dan media sosial mengubah lanskap epistemik dan moral komunikasi
publik.³⁷ Di era algorithmic governance, banyak
keputusan redaksional tidak lagi diambil oleh manusia, tetapi oleh sistem
otomatis yang didorong oleh logika data dan kapitalisme perhatian (attention
economy).³⁸
Luciano Floridi
mengingatkan bahwa krisis etika di era digital bukan hanya persoalan
disinformasi, tetapi juga infomoral damage — kerusakan moral
akibat manipulasi data, pelanggaran privasi, dan hilangnya otonomi manusia
dalam produksi pengetahuan.³⁹ Dalam konteks ini, standar etika jurnalistik
tradisional menjadi tidak memadai karena tidak mampu mengatasi kompleksitas
algoritmik dan ketidaktransparanan teknologi.⁴⁰
Kritik digital
menuntut pengembangan etika algoritmik yang
melibatkan akuntabilitas sistem otomatis, transparansi data, dan keadilan
distribusi informasi.⁴¹ Dengan demikian, etika jurnalistik masa depan tidak
hanya berbicara tentang perilaku manusia, tetapi juga tanggung jawab moral dari
teknologi yang memediasi hubungan manusia dengan kebenaran.⁴²
Menuju Etika Jurnalistik Kritis dan Emansipatoris
Kritik-kritik
tersebut menunjukkan bahwa etika jurnalistik harus terus dikaji ulang agar
tidak terjebak dalam dogmatisme moral.⁴³ Etika jurnalistik yang kaku dan
formalistik justru berisiko menjadi alat legitimasi bagi status quo.⁴⁴ Oleh
karena itu, perlu dikembangkan paradigma etika jurnalistik kritis, yang
bersifat reflektif, dialogis, dan emansipatoris.⁴⁵
Etika jurnalistik
kritis berpijak pada kesadaran bahwa media adalah medan perjuangan sosial,
bukan ruang netral.⁴⁶ Ia menolak relativisme total sekaligus menentang
absolutisme moral.⁴⁷ Tujuannya bukan sekadar menjaga “kesopanan profesional,”
tetapi membebaskan ruang publik dari distorsi kekuasaan dan ketidakadilan.⁴⁸
Dengan demikian, kritik terhadap etika jurnalistik bukanlah bentuk penolakan
terhadap moralitas media, melainkan langkah menuju praksis jurnalisme yang
lebih reflektif, partisipatif, dan manusiawi.⁴⁹
Footnotes
[1]               
¹ Clifford G. Christians, Ethics
and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 102.
[2]               
² Stephen J. A. Ward, Global
Journalism Ethics (Montreal:
McGill-Queen’s University Press, 2010), 94.
[3]               
³ Clifford G. Christians et al., Media
Ethics: Cases and Moral Reasoning
(New York: Routledge, 2020), 68.
[4]               
⁴ Jean-François Lyotard, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1984), 23.
[5]               
⁵ Michel Foucault, Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings 1972–1977 (New York: Pantheon Books, 1980), 131.
[6]               
⁶ Douglas Kellner, Media Culture: Cultural
Studies, Identity, and Politics Between the Modern and the Postmodern (London: Routledge, 1995), 98.
[7]               
⁷ Lyotard, The Postmodern
Condition, 37.
[8]               
⁸ Stuart Hall, Representation:
Cultural Representations and Signifying Practices (London: Sage, 1997), 19.
[9]               
⁹ Foucault, Power/Knowledge, 131–133.
[10]            
¹⁰ John Durham Peters, Speaking
into the Air: A History of the Idea of Communication (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 87.
[11]            
¹¹ Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993), 14–15.
[12]            
¹² Stephen Ward, Radical Media Ethics: A
Global Approach (Malden:
Wiley-Blackwell, 2015), 112.
[13]            
¹³ Robert W. McChesney, Rich
Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times (New York: The New Press, 2000), 54.
[14]            
¹⁴ Edward S. Herman and Noam Chomsky, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 2–4.
[15]            
¹⁵ Ibid., 20–21.
[16]            
¹⁶ McChesney, Rich Media, Poor
Democracy, 72.
[17]            
¹⁷ David Croteau and William Hoynes, The
Business of Media: Corporate Media and the Public Interest (Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press, 2006), 95–96.
[18]            
¹⁸ Christian Fuchs, Social
Media: A Critical Introduction
(London: Sage, 2014), 124.
[19]            
¹⁹ Herman and Chomsky, Manufacturing
Consent, 35.
[20]            
²⁰ Stephen Ward, Global Journalism
Ethics, 99–100.
[21]            
²¹ Liesbet van Zoonen, Feminist
Media Studies (London: Sage, 1994),
65–66.
[22]            
²² Sandra Harding, The Science Question in
Feminism (Ithaca: Cornell University
Press, 1986), 113.
[23]            
²³ Carol Gilligan, In a Different Voice:
Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge: Harvard University Press, 1982), 19.
[24]            
²⁴ Nel Noddings, Caring: A Relational
Approach to Ethics and Moral Education
(Berkeley: University of California Press, 1984), 67.
[25]            
²⁵ Liesbet van Zoonen, Feminist
Media Studies, 73–74.
[26]            
²⁶ Gaye Tuchman, Making News: A Study in
the Construction of Reality (New
York: Free Press, 1978), 215.
[27]            
²⁷ Rosalind Gill, Gender and the Media (Cambridge: Polity Press, 2007), 12–14.
[28]            
²⁸ Nancy Fraser, Justice Interruptus:
Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 36.
[29]            
²⁹ James Curran and Myung-Jin Park, eds., De-Westernizing Media Studies (London: Routledge, 2000), 3.
[30]            
³⁰ Kaarle Nordenstreng, “Beyond the Four Theories of the Press,” Journal of Communication
27, no. 4 (1977): 14–15.
[31]            
³¹ Curran and Park, De-Westernizing
Media Studies, 12–14.
[32]            
³² Gayatri Chakravorty Spivak, Can
the Subaltern Speak? (New York:
Columbia University Press, 1988), 283.
[33]            
³³ Clifford Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 103.
[34]            
³⁴ Stephen Ward, Global Journalism
Ethics, 108.
[35]            
³⁵ Clifford Christians, “Ethical Foundations of Journalism,” in Handbook of Journalism Studies, ed. Karin Wahl-Jorgensen and Thomas Hanitzsch (New
York: Routledge, 2009), 42–43.
[36]            
³⁶ Christians, Media Ethics and Global
Justice in the Digital Age, 111–112.
[37]            
³⁷ Luciano Floridi, The
Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 93.
[38]            
³⁸ Shoshana Zuboff, The
Age of Surveillance Capitalism (New
York: PublicAffairs, 2019), 112.
[39]            
³⁹ Floridi, The Ethics of
Information, 101.
[40]            
⁴⁰ Kate Crawford, Atlas of AI: Power,
Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021), 55.
[41]            
⁴¹ Safiya Umoja Noble, Algorithms
of Oppression (New York: NYU Press,
2018), 26–28.
[42]            
⁴² Ward, Radical Media Ethics, 118–119.
[43]            
⁴³ Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics, 21.
[44]            
⁴⁴ Alasdair MacIntyre, After
Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 189.
[45]            
⁴⁵ Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action (Cambridge: MIT
Press, 1990), 87.
[46]            
⁴⁶ Nancy Fraser, Justice Interruptus, 39.
[47]            
⁴⁷ Stephen Ward, Global Journalism
Ethics, 115.
[48]            
⁴⁸ Clifford Christians, Ethics
and Journalism, 106.
[49]            
⁴⁹ Ward, Radical Media Ethics, 121.
8.          
Relevansi
Kontemporer Etika Jurnalistik
Etika jurnalistik
dewasa ini menghadapi tantangan yang semakin kompleks di tengah transformasi
sosial, politik, dan teknologi global. Dalam era digital dan post-truth,
batas antara jurnalisme profesional dan produksi informasi publik semakin
kabur, sementara tekanan ekonomi, ideologis, dan algoritmik mengubah paradigma
lama tentang kebenaran, tanggung jawab, dan integritas.¹ Relevansi etika jurnalistik
tidak lagi dapat dipahami sekadar sebagai regulasi moral profesi media, tetapi
sebagai kebutuhan mendasar untuk menjaga keutuhan ruang publik, mencegah
disinformasi, dan membangun kembali kepercayaan sosial terhadap media.²
8.1.      
Etika Jurnalisme
Digital dan Media Sosial
Era digital membawa
disrupsi epistemologis yang besar terhadap cara kerja jurnalisme.³ Munculnya
media sosial, platform berbasis algoritma, dan jurnalisme warga (citizen
journalism) telah menggeser monopoli produksi berita dari institusi
profesional ke ruang publik yang lebih luas.⁴ Dalam konteks ini,
prinsip-prinsip tradisional seperti verifikasi, objektivitas, dan akurasi
menjadi semakin sulit diterapkan karena kecepatan informasi lebih diutamakan
daripada kedalaman dan ketepatan.⁵
Etika jurnalistik
digital menuntut redefinisi atas konsep “profesionalisme.” Seorang
jurnalis kini bukan hanya penulis berita, tetapi juga kurator informasi,
pengelola data, dan komunikator publik yang aktif dalam ruang digital
interaktif.⁶ Clifford Christians menekankan bahwa dalam konteks ini, etika
harus bergerak dari paradigma control ethics menuju responsibility
ethics, yakni dari sekadar mematuhi aturan menuju tanggung jawab
aktif untuk mencegah misinformasi dan manipulasi digital.⁷
Media sosial juga
menimbulkan dilema moral baru: bagaimana membedakan antara kebebasan
berekspresi dan penyebaran kebencian, antara transparency dan pelanggaran
privasi.⁸ Etika jurnalistik kontemporer harus mampu menavigasi ambiguitas ini
dengan prinsip accountability — bahwa setiap
penyebaran informasi harus dapat dipertanggungjawabkan secara sosial,
epistemik, dan moral.⁹
8.2.      
Disinformasi,
Post-Truth, dan Krisis Kepercayaan Publik
Salah satu fenomena
paling signifikan dalam konteks kontemporer adalah munculnya era post-truth,
di mana opini subjektif dan emosi lebih berpengaruh daripada fakta empiris.¹⁰
Krisis kepercayaan publik terhadap media bukan hanya disebabkan oleh kesalahan
informasi, tetapi juga oleh persepsi bahwa media telah berpihak secara
ideologis atau ekonomis.¹¹
Zeynep Tufekci
menyebut bahwa dalam sistem media digital, kebenaran bersaing bukan berdasarkan
validitasnya, melainkan daya sebar (shareability).¹² Berita palsu atau
provokatif sering kali lebih viral karena memicu emosi kolektif.¹³ Dalam kondisi
seperti ini, etika jurnalistik tidak hanya berperan untuk mengatur perilaku
jurnalis, tetapi juga sebagai sarana pendidikan publik agar mampu membedakan
fakta dari propaganda.¹⁴
Jurnalis etis, dalam
kerangka epistemic
virtue, harus berperan sebagai “penjaga epistemik” (epistemic
gatekeeper) yang memelihara standar kebenaran dan mendorong
literasi informasi.¹⁵ Upaya fact-checking, kolaborasi lintas
media, dan transparansi metodologis merupakan wujud nyata dari etika baru yang
responsif terhadap krisis epistemik global.¹⁶ Dalam hal ini, kebenaran tidak
lagi cukup dianggap sebagai hasil liputan, tetapi sebagai proses sosial yang
melibatkan partisipasi publik dan refleksi kolektif.¹⁷
8.3.      
Jurnalisme Data,
Privasi, dan Transparansi
Perkembangan
jurnalisme data dan analitik digital menghadirkan tantangan aksiologis baru.¹⁸
Di satu sisi, penggunaan data besar (big data) meningkatkan akurasi
liputan dan memperkaya konteks berita; di sisi lain, ia menimbulkan dilema etis
terkait privasi individu dan potensi penyalahgunaan informasi.¹⁹
Etika jurnalistik
kontemporer menuntut keseimbangan antara hak publik untuk tahu dan hak
individu untuk dilindungi.²⁰ Prinsip ini menjadi semakin
relevan di tengah praktik data scraping, surveillance
journalism, dan open-source investigation.²¹ Ward
menekankan pentingnya ethical transparency — keterbukaan
tentang bagaimana data diperoleh, diproses, dan digunakan dalam peliputan.²²
Di sisi lain, muncul
kebutuhan akan “etika algoritmik” dalam jurnalisme data.²³ Ketika
pengambilan keputusan redaksional dipengaruhi oleh algoritma (misalnya dalam
sistem rekomendasi berita atau automated journalism), tanggung
jawab moral tidak boleh hilang di balik teknologi.²⁴ Etika di sini berfungsi
untuk memastikan bahwa teknologi tetap tunduk pada nilai-nilai kemanusiaan dan
keadilan informasi.²⁵
8.4.      
Etika Jurnalisme
dalam Konteks Krisis dan Konflik
Dalam konteks krisis
kemanusiaan, perang, atau bencana alam, etika jurnalistik berhadapan langsung
dengan pertanyaan moral tentang penderitaan dan representasi manusia.²⁶ Susan
Moeller menyebut bahwa media sering kali jatuh ke dalam “compassion
fatigue” — kelelahan empati akibat eksposur berlebihan terhadap
tragedi.²⁷ Jurnalis etis harus mampu menampilkan kenyataan pahit tanpa
mengeksploitasi penderitaan korban.²⁸
Liputan konflik atau
kekerasan memerlukan prinsip moral yang sensitif terhadap konteks.²⁹ Etika
kemanusiaan dalam jurnalisme menuntut keseimbangan antara hak publik untuk tahu
dan hak korban untuk diperlakukan dengan hormat.³⁰ Dalam kondisi perang atau
represi politik, jurnalis sering kali dihadapkan pada dilema antara keselamatan
diri dan tanggung jawab moral untuk mengungkap kebenaran.³¹
Relevansi etika
jurnalistik di sini tampak dalam kemampuan untuk mempertahankan komitmen pada
nilai-nilai kemanusiaan meskipun dalam situasi ekstrem.³² Sebagaimana
ditegaskan oleh Hannah Arendt, keberanian untuk mengatakan kebenaran di tengah
kekerasan adalah tindakan politik tertinggi dari nurani manusia.³³
8.5.      
Pendidikan Etika
Media dan Literasi Digital
Salah satu aspek
paling penting dalam menjaga relevansi etika jurnalistik adalah pendidikan
etika dan literasi media.³⁴ Etika tidak dapat berfungsi hanya sebagai dokumen
kode profesional, tetapi harus menjadi kesadaran moral yang ditanamkan melalui
pendidikan dan partisipasi publik.³⁵
Program media
literacy memungkinkan masyarakat untuk memahami bagaimana berita
diproduksi, bagaimana bias bekerja, dan bagaimana mengenali manipulasi
informasi.³⁶ Clifford Christians menekankan bahwa masyarakat yang etis tidak
dapat terwujud tanpa warga yang melek etika media (media ethical literacy).³⁷ Dengan
demikian, etika jurnalistik modern harus bersifat partisipatif — bukan hanya
mengatur jurnalis, tetapi juga memberdayakan audiens sebagai bagian dari
komunitas moral dalam ekosistem informasi.³⁸
8.6.      
Etika Jurnalistik
dan Demokrasi Digital
Etika jurnalistik
memiliki relevansi mendalam terhadap kelangsungan demokrasi di era digital.³⁹
Dalam sistem komunikasi yang semakin terfragmentasi, peran media sebagai public
watchdog bergeser menuju peran fasilitatif — menciptakan ruang
deliberatif tempat warga dapat berdebat secara rasional dan beradab.⁴⁰
Habermas menegaskan
bahwa keberlanjutan demokrasi deliberatif bergantung pada integritas komunikasi
publik.⁴¹ Dengan demikian, jurnalisme etis menjadi penjaga moral dari proses
demokrasi itu sendiri.⁴² Dalam konteks Indonesia, relevansi ini semakin penting
di tengah maraknya polarisasi politik, ujaran kebencian, dan penyebaran hoaks
yang mengancam kohesi sosial.⁴³
Jurnalisme etis
harus menegakkan nilai-nilai truthfulness, fairness, inclusivity,
dan civic
responsibility.⁴⁴ Lebih dari sekadar menyampaikan informasi,
tugasnya adalah memperkuat rasionalitas publik dan menghidupkan kembali budaya
dialog.⁴⁵ Etika jurnalistik dengan demikian menjadi pilar normatif bagi
terciptanya ruang publik digital yang berkeadilan, terbuka, dan manusiawi.⁴⁶
Relevansi Global: Menuju Etika Jurnalistik Humanistik
Dalam dunia yang
semakin saling terhubung, etika jurnalistik harus melampaui batas geografis dan
ideologis untuk membentuk etika global jurnalisme.⁴⁷
Clifford Christians dan Stephen Ward menyebut bahwa era globalisasi menuntut
paradigma cosmopolitan
ethics, yakni etika yang menegaskan tanggung jawab jurnalis tidak
hanya kepada negara atau korporasi, tetapi kepada kemanusiaan universal.⁴⁸
Etika humanistik ini
menempatkan jurnalis sebagai penjaga nurani global — seorang komunikator moral
yang mengedepankan empati lintas budaya, solidaritas terhadap yang tertindas,
dan keberanian untuk berbicara melawan ketidakadilan.⁴⁹ Dalam kerangka ini,
jurnalisme tidak sekadar profesi, tetapi tindakan etis yang menegakkan martabat
manusia di tengah arus informasi yang sering kali dehumanistik.⁵⁰
Dengan demikian,
relevansi kontemporer etika jurnalistik tidak berhenti pada adaptasi terhadap
teknologi baru, tetapi pada revitalisasi nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi
inti dari jurnalisme itu sendiri.⁵¹
Footnotes
[1]               
¹ Stephen J. A. Ward, Global
Journalism Ethics (Montreal:
McGill-Queen’s University Press, 2010), 132.
[2]               
² Clifford G. Christians, Ethics
and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 115.
[3]               
³ Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 103.
[4]               
⁴ Charlie Beckett, SuperMedia: Saving
Journalism So It Can Save the World
(Oxford: Wiley-Blackwell, 2008), 12.
[5]               
⁵ Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The
Elements of Journalism (New York:
Three Rivers Press, 2001), 74.
[6]               
⁶ Jay Rosen, What Are Journalists
For? (New Haven: Yale University
Press, 1999), 26.
[7]               
⁷ Clifford G. Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 91–92.
[8]               
⁸ Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 108.
[9]               
⁹ Stephen Ward, Radical Media Ethics: A
Global Approach (Malden:
Wiley-Blackwell, 2015), 124.
[10]            
¹⁰ Ralph Keyes, The Post-Truth Era:
Dishonesty and Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 19–20.
[11]            
¹¹ Robert McChesney, Communication
Revolution: Critical Junctures and the Future of Media (New York: The New Press, 2007), 46.
[12]            
¹² Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas:
The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 136.
[13]            
¹³ Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 43.
[14]            
¹⁴ Clifford Christians, Ethics
and Journalism, 122.
[15]            
¹⁵ Stephen Ward, “The Epistemology of Global Journalism Ethics,” Journal of Mass Media Ethics 20, no. 1 (2005): 3–5.
[16]            
¹⁶ Bill Adair and Angie Holan, “The Rise of Fact-Checking Journalism,” American Press Institute
(2015): 2–4.
[17]            
¹⁷ Hannah Arendt, Truth and Politics, in Between
Past and Future (New York: Viking
Press, 1961), 241.
[18]            
¹⁸ David Weinberger, Too
Big to Know (New York: Basic Books,
2012), 67.
[19]            
¹⁹ Safiya Umoja Noble, Algorithms
of Oppression (New York: NYU Press,
2018), 25–26.
[20]            
²⁰ Jay Black, Doing Ethics in Media:
Theories and Practical Applications
(New York: Routledge, 2011), 92.
[21]            
²¹ Paul Bradshaw, Data Journalism
Handbook (Sebastopol, CA: O’Reilly
Media, 2012), 17.
[22]            
²² Stephen Ward, Global Journalism
Ethics, 140.
[23]            
²³ Luciano Floridi, The
Logic of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2019), 101–103.
[24]            
²⁴ Kate Crawford, Atlas of AI (New Haven: Yale University Press, 2021), 54.
[25]            
²⁵ Floridi, The Ethics of
Information, 115.
[26]            
²⁶ Susan D. Moeller, Compassion
Fatigue: How the Media Sell Disease, Famine, War, and Death (New York: Routledge, 1999), 72.
[27]            
²⁷ Ibid., 67.
[28]            
²⁸ Simon Cottle, “Reporting Disasters: Factual, Moral and Emotional
Discourses,” Journalism Studies 9, no. 5 (2008): 606.
[29]            
²⁹ Clifford G. Christians et al., Media
Ethics: Cases and Moral Reasoning
(New York: Routledge, 2020), 130.
[30]            
³⁰ Jay Black and Frederick C. Steele, Introduction to Media Communication Ethics (New York: Routledge, 2011), 97.
[31]            
³¹ Susan Moeller, Compassion Fatigue, 83.
[32]            
³² Hannah Arendt, Responsibility and
Judgment (New York: Schocken Books,
2003), 18.
[33]            
³³ Arendt, Truth and Politics, 246.
[34]            
³⁴ Clifford G. Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age, 123.
[35]            
³⁵ Denis McQuail, Media Performance: Mass
Communication and the Public Interest
(London: Sage, 1992), 84.
[36]            
³⁶ Renee Hobbs, Digital and Media
Literacy: Connecting Culture and Classroom (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2011), 18.
[37]            
³⁷ Christians, Ethics and Journalism, 118.
[38]            
³⁸ Stephen Ward, Radical Media Ethics, 126.
[39]            
³⁹ Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action, vol.
1 (Boston: Beacon Press, 1984), 287.
[40]            
⁴⁰ James Carey, Communication as
Culture: Essays on Media and Society
(Boston: Unwin Hyman, 1989), 28.
[41]            
⁴¹ Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action (Cambridge: MIT
Press, 1990), 87.
[42]            
⁴² Clifford Christians, Ethics
and Journalism, 121.
[43]            
⁴³ Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 48.
[44]            
⁴⁴ Stephen Ward, Global Journalism
Ethics, 149.
[45]            
⁴⁵ Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed (New York: Continuum,
1970), 72.
[46]            
⁴⁶ Clifford G. Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age, 132.
[47]            
⁴⁷ Ward, Radical Media Ethics, 130.
[48]            
⁴⁸ Clifford Christians and Stephen Ward, Media Ethics: Cases and Moral Reasoning, 135.
[49]            
⁴⁹ Martha C. Nussbaum, Political
Emotions: Why Love Matters for Justice
(Cambridge: Harvard University Press, 2013), 25.
[50]            
⁵⁰ Jürgen Habermas, Between
Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge: MIT Press, 1996), 389.
[51]            
⁵¹ Clifford Christians, Ethics
and Journalism, 124.
9.          
Sintesis
Filosofis: Menuju Jurnalisme Humanistik
Sintesis filosofis
etika jurnalistik berupaya merumuskan suatu pandangan integral tentang
jurnalisme sebagai praktik moral, epistemik, dan sosial yang berorientasi pada
kemanusiaan.¹ Seluruh dimensi historis, ontologis, epistemologis, aksiologis,
sosial, dan politik yang telah dibahas sebelumnya berpuncak pada upaya
merekonstruksi jurnalisme sebagai praktik humanistik — yaitu
kegiatan yang tidak hanya bertujuan menyampaikan informasi, tetapi juga
memanusiakan manusia melalui komunikasi yang jujur, empatik, dan adil.² Dalam
konteks dunia yang terfragmentasi oleh polarisasi, disinformasi, dan logika
algoritmik, jurnalisme humanistik muncul sebagai paradigma baru yang menegaskan
kembali nilai-nilai dasar kemanusiaan, solidaritas, dan tanggung jawab moral di
tengah arus teknologi dan pasar global.³
9.1.      
Integrasi Nilai
Humanisme, Kebenaran, dan Keadilan
Paradigma jurnalisme
humanistik berakar pada tradisi filsafat humanisme yang menempatkan manusia
sebagai pusat nilai moral dan tujuan etika sosial.⁴ Dalam kerangka ini,
jurnalisme tidak lagi dilihat semata-mata sebagai profesi, melainkan sebagai praxis
moral yang mengabdi pada martabat manusia (human
dignity).⁵ Seperti ditegaskan oleh Martha C. Nussbaum, kemanusiaan
harus dipahami sebagai kemampuan untuk “melihat yang lain sebagai manusia
penuh,” bukan sekadar objek pemberitaan.⁶
Nilai kebenaran
tetap menjadi inti moral jurnalisme, tetapi di sini kebenaran dipahami secara dialogis
dan relasional,
bukan absolut.⁷ Kebenaran jurnalistik adalah hasil komunikasi yang terbuka dan
reflektif, di mana jurnalis, narasumber, dan publik bersama-sama menyingkap
realitas.⁸ Sementara itu, keadilan berfungsi sebagai
prinsip distributif: memastikan bahwa setiap suara — termasuk yang marginal dan
tertindas — mendapatkan ruang yang layak dalam wacana publik.⁹ Dengan demikian,
jurnalisme humanistik berupaya melampaui objektivitas teknis menuju keadilan
epistemik (epistemic justice), yakni keadilan
dalam distribusi dan representasi pengetahuan.¹⁰
9.2.      
Jurnalisme sebagai
Praktik Etika Empatik
Empati merupakan
landasan ontologis sekaligus aksiologis dari jurnalisme humanistik.¹¹ Dalam
paradigma ini, jurnalis bukan sekadar pengamat netral, melainkan peserta moral
dalam kehidupan sosial yang ia liput.¹² Seorang jurnalis yang empatik memahami
bahwa setiap narasi berita menyentuh kehidupan manusia nyata yang memiliki
perasaan, trauma, dan harga diri.¹³
Empati tidak
bertentangan dengan profesionalisme, justru memperkuatnya.⁴ Clifford G.
Christians menyebut empati sebagai bentuk tertinggi dari keadilan komunikatif,
karena hanya dengan memahami penderitaan orang lain, jurnalis dapat
menyampaikan kebenaran dengan kemanusiaan.¹⁵ Dalam konteks ini, jurnalisme
humanistik menggabungkan cognitive responsibility (tanggung
jawab pengetahuan) dengan moral sensitivity (kepekaan
moral).¹⁶
Model empatik ini
juga menolak paradigma “view from nowhere” yang selama ini
menjadi mitos dalam jurnalisme modern.¹⁷ Sebaliknya, ia menegaskan “view
from compassion,” yakni sudut pandang yang berakar pada kesadaran
moral bahwa setiap berita adalah kisah manusia.¹⁸ Dengan demikian, empati bukan
bentuk sentimentalitas, melainkan kebajikan epistemik yang memungkinkan
jurnalis memahami konteks, kompleksitas, dan makna manusiawi dari peristiwa.¹⁹
9.3.      
Etika Komunikatif
dan Dialog Humanis
Jurnalisme
humanistik mengakar kuat dalam teori etika komunikatif Jürgen
Habermas, yang memandang komunikasi sebagai tindakan moral yang berorientasi
pada pengertian bersama (mutual understanding).²⁰ Dalam
kerangka ini, jurnalisme bukan sekadar sarana penyebaran informasi, tetapi
arena dialog rasional di mana berbagai klaim kebenaran diuji melalui
argumentasi terbuka.²¹
Etika komunikatif
menuntut tiga prasyarat moral utama: kejujuran (truthfulness), ketepatan normatif (rightness),
dan ketulusan (sincerity).²² Seorang jurnalis yang
etis harus mampu menjaga ketiganya dalam setiap tahap kerja jurnalistik — mulai
dari riset, penulisan, hingga penyajian.²³ Dengan demikian, praktik jurnalistik
menjadi bentuk tindakan komunikatif yang memediasi antara fakta dan nilai, antara
publik dan kekuasaan, antara individu dan masyarakat.²⁴
Melalui pendekatan
ini, jurnalisme humanistik dapat menjadi penopang bagi demokrasi deliberatif.²⁵
Ia menciptakan ruang publik yang sehat, di mana warga dapat berdialog tanpa
kekerasan simbolik dan tanpa distorsi informasi.²⁶ Etika komunikatif dengan
demikian menjadi dasar filosofis bagi transformasi jurnalisme dari industri
informasi menjadi etika wacana publik.²⁷
9.4.      
Jurnalisme sebagai
Tindakan Emansipatoris
Filsafat jurnalisme
humanistik tidak berhenti pada empati, tetapi juga menuntut tindakan
emansipatoris.²⁸ Dalam tradisi teori kritis, komunikasi tidak
hanya dimaksudkan untuk menyampaikan pengetahuan, tetapi juga untuk membebaskan
manusia dari dominasi dan ketidakadilan.²⁹ Dengan demikian, jurnalis etis tidak
netral terhadap ketidakadilan sosial; ia berpihak pada kebenaran yang
membebaskan.³⁰
Paulo Freire
menekankan pentingnya kesadaran kritis (conscientização) sebagai dasar
etika komunikasi pembebasan.³¹ Jurnalis yang humanistik bertugas membantu masyarakat
membaca realitas secara kritis dan bertindak berdasarkan kesadaran moral.³²
Dalam konteks ini, jurnalisme berfungsi bukan sekadar sebagai refleksi dunia,
tetapi sebagai intervensi etis untuk memperbaiki dunia.³³
Etika emansipatoris
ini menuntut jurnalis untuk menolak hegemoni narasi dominan yang menindas,
serta memberi ruang bagi suara-suara alternatif dan subaltern.³⁴ Sejalan dengan
pemikiran Nancy Fraser, jurnalisme yang etis harus memperluas ruang publik agar
inklusif bagi kelompok-kelompok yang selama ini tersingkir dari wacana
mainstream.³⁵
9.5.      
Humanisme Digital
dan Etika Teknologi
Di era digital,
jurnalisme humanistik harus berhadapan dengan tantangan baru berupa teknologi
otomatisasi, kecerdasan buatan (AI), dan algoritma media sosial.³⁶ Jika dibiarkan
tanpa kendali etis, teknologi dapat menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan dari
praktik jurnalistik.³⁷ Oleh karena itu, humanisme digital menjadi komponen
penting dalam sintesis etika jurnalistik masa kini.³⁸
Luciano Floridi
menegaskan bahwa informasi memiliki dimensi moral, dan setiap interaksi digital
adalah tindakan etis yang berdampak pada manusia lain.³⁹ Dalam konteks ini,
jurnalis harus memastikan bahwa penggunaan teknologi tidak mengorbankan prinsip
keadilan, kejujuran, dan privasi.⁴⁰ Etika algoritmik, transparansi data, dan
akuntabilitas digital menjadi bagian integral dari paradigma jurnalisme
humanistik.⁴¹
Lebih jauh,
jurnalisme humanistik digital tidak hanya mengadaptasi teknologi, tetapi juga
menafsirkan kembali makna kemanusiaan di tengah era otomatisasi.⁴² Dengan
demikian, teknologi tidak menjadi pengganti moralitas, melainkan sarana untuk
memperluas ruang empati dan solidaritas.⁴³
9.6.      
Menuju Paradigma
Jurnalisme Humanistik Global
Sintesis filosofis
etika jurnalistik akhirnya bermuara pada visi jurnalisme humanistik global —
paradigma yang mengintegrasikan etika universal dengan sensitivitas kultural
dan solidaritas lintas bangsa.⁴⁴ Stephen Ward menyebutnya sebagai cosmopolitan
journalism ethics, yaitu etika yang berlandaskan tanggung jawab
moral terhadap umat manusia sebagai satu komunitas global.⁴⁵
Dalam paradigma ini,
jurnalis dipahami sebagai citizen of the world — pelaku moral
yang bekerja tidak hanya demi bangsa atau lembaganya, tetapi demi kemanusiaan
universal.⁴⁶ Prinsip utamanya meliputi truthfulness (kejujuran universal),
justice
(keadilan lintas budaya), dan solidarity (empati global).⁴⁷
Jurnalisme humanistik global juga mengedepankan prinsip nonviolence
communication, yaitu praktik komunikasi yang menghindari bahasa
kebencian dan kekerasan simbolik.⁴⁸
Paradigma ini
mengembalikan jurnalisme kepada esensinya sebagai tindakan
moral untuk memahami, bukan mendominasi; untuk membangun dialog, bukan memecah
belah.⁴⁹ Dalam dunia yang terpecah oleh polarisasi ideologis
dan konflik identitas, jurnalisme humanistik menjadi bentuk praksis etika yang
meneguhkan kembali peran media sebagai penjaga nurani kemanusiaan.⁵⁰
Sintesis: Dari Etika Profesi Menuju Etika Kemanusiaan
Sintesis akhir dari
seluruh dimensi etika jurnalistik mengarah pada transformasi paradigma: dari
etika profesi menuju etika kemanusiaan.⁵¹ Dalam
kerangka ini, tugas jurnalis bukan lagi sekadar memenuhi standar profesional,
melainkan mewujudkan tanggung jawab moral terhadap kehidupan bersama.⁵²
Dengan menggabungkan
prinsip kebenaran, keadilan, empati, dan dialog, jurnalisme humanistik menjadi
wujud praksis filsafat komunikasi yang mempersatukan logos (rasionalitas),
ethos (moralitas), dan pathos (kemanusiaan).⁵³ Sebagaimana diungkapkan oleh
Clifford Christians, “the ultimate goal of journalism is not information,
but understanding.”⁵⁴ Pemahaman inilah — yang bersumber dari kebenaran dan
diwarnai oleh kasih — yang menjadikan jurnalisme bukan hanya profesi, tetapi
panggilan moral untuk menghidupkan kembali makna manusia di tengah dunia yang
kehilangan arah.⁵⁵
Footnotes
[1]               
¹ Clifford G. Christians, Ethics
and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 132.
[2]               
² Stephen J. A. Ward, Global
Journalism Ethics (Montreal:
McGill-Queen’s University Press, 2010), 141.
[3]               
³ Clifford G. Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 120.
[4]               
⁴ Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 56.
[5]               
⁵ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 53.
[6]               
⁶ Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 22.
[7]               
⁷ Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action (Cambridge: MIT
Press, 1990), 87–89.
[8]               
⁸ John Durham Peters, Speaking
into the Air: A History of the Idea of Communication (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 88.
[9]               
⁹ John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 12.
[10]            
¹⁰ Miranda Fricker, Epistemic
Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 3.
[11]            
¹¹ Emmanuel Levinas, Totality
and Infinity (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 215.
[12]            
¹² Clifford Christians, “Ethical Foundations of Journalism,” in Handbook of Journalism Studies, ed. Karin Wahl-Jorgensen and Thomas Hanitzsch (New
York: Routledge, 2009), 42.
[13]            
¹³ Nel Noddings, Caring: A Relational
Approach to Ethics and Moral Education
(Berkeley: University of California Press, 1984), 67.
[14]            
¹⁴ Stephen Ward, Radical Media Ethics: A
Global Approach (Malden:
Wiley-Blackwell, 2015), 128.
[15]            
¹⁵ Christians, Media Ethics and Global
Justice in the Digital Age, 112.
[16]            
¹⁶ Clifford G. Christians et al., Media
Ethics: Cases and Moral Reasoning
(New York: Routledge, 2020), 143.
[17]            
¹⁷ Thomas Nagel, The View from Nowhere (New York: Oxford University Press, 1986), 5.
[18]            
¹⁸ Martha Nussbaum, Political
Emotions: Why Love Matters for Justice
(Cambridge: Harvard University Press, 2013), 24.
[19]            
¹⁹ Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993), 112.
[20]            
²⁰ Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action, vol.
1 (Boston: Beacon Press, 1984), 286.
[21]            
²¹ Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge: MIT Press, 1996), 325.
[22]            
²² Ibid., 327.
[23]            
²³ Clifford Christians, Ethics
and Journalism, 121.
[24]            
²⁴ James Carey, Communication as
Culture: Essays on Media and Society
(Boston: Unwin Hyman, 1989), 24.
[25]            
²⁵ Stephen Ward, Global Journalism
Ethics, 144.
[26]            
²⁶ Manuel Castells, Communication
Power (Oxford: Oxford University
Press, 2009), 212.
[27]            
²⁷ Clifford Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age, 134.
[28]            
²⁸ Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed (New York: Continuum,
1970), 52.
[29]            
²⁹ Max Horkheimer, Critical Theory:
Selected Essays (New York:
Continuum, 1982), 228.
[30]            
³⁰ Nancy Fraser, Justice Interruptus:
Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 37.
[31]            
³¹ Freire, Pedagogy of the
Oppressed, 68.
[32]            
³² Ibid., 72.
[33]            
³³ Herbert Marcuse, One-Dimensional
Man (Boston: Beacon Press, 1964),
238.
[34]            
³⁴ Gayatri Chakravorty Spivak, Can
the Subaltern Speak? (New York:
Columbia University Press, 1988), 284.
[35]            
³⁵ Fraser, Justice Interruptus, 39.
[36]            
³⁶ Luciano Floridi, The
Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 95.
[37]            
³⁷ Shoshana Zuboff, The
Age of Surveillance Capitalism (New
York: PublicAffairs, 2019), 145.
[38]            
³⁸ Floridi, The Logic of
Information (Oxford: Oxford University
Press, 2019), 102.
[39]            
³⁹ Ibid., 108.
[40]            
⁴⁰ Kate Crawford, Atlas of AI: Power,
Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021), 58.
[41]            
⁴¹ Clifford Christians, Ethics
and Journalism, 125.
[42]            
⁴² Stephen Ward, Radical Media Ethics, 131.
[43]            
⁴³ Christians, Media Ethics and Global
Justice in the Digital Age, 140.
[44]            
⁴⁴ Ward, Global Journalism
Ethics, 146.
[45]            
⁴⁵ Stephen Ward, “The Cosmopolitan Promise of Global Journalism
Ethics,” Journal of Mass Media Ethics 22, no. 2 (2007): 110.
[46]            
⁴⁶ Clifford Christians and Ward, Media
Ethics: Cases and Moral Reasoning,
147.
[47]            
⁴⁷ Martha Nussbaum, Creating
Capabilities, 29.
[48]            
⁴⁸ Marshall Rosenberg, Nonviolent
Communication: A Language of Life
(Encinitas, CA: PuddleDancer Press, 2003), 112.
[49]            
⁴⁹ Hannah Arendt, Responsibility and
Judgment, 24.
[50]            
⁵⁰ Clifford Christians, Ethics
and Journalism, 128.
[51]            
⁵¹ Alasdair MacIntyre, After
Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 217.
[52]            
⁵² Clifford Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age, 142.
[53]            
⁵³ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999),
1106b–1107a.
[54]            
⁵⁴ Christians, Ethics and Journalism, 130.
[55]            
⁵⁵ Stephen Ward, Radical Media Ethics, 135.
10.       Kesimpulan
Etika jurnalistik,
sebagaimana ditelusuri dalam seluruh pembahasan sebelumnya, merupakan fondasi
normatif yang memastikan bahwa praktik jurnalisme tidak hanya berorientasi pada
penyebaran informasi, tetapi juga pada pemeliharaan nilai-nilai kebenaran, keadilan,
dan kemanusiaan.¹ Sebagai disiplin moral, etika jurnalistik berfungsi untuk
menuntun jurnalis agar bertindak dengan kesadaran reflektif — tidak sekadar
mematuhi aturan profesional, tetapi memahami makna moral di balik setiap
tindakan komunikatif.² Dalam dunia yang ditandai oleh kompleksitas teknologi,
politik, dan ekonomi informasi, etika menjadi penentu apakah jurnalisme dapat
tetap berfungsi sebagai kekuatan moral yang memelihara nalar publik dan
martabat manusia.³
10.1.   
Rekapitulasi Prinsip
dan Dimensi Etika Jurnalistik
Secara historis,
etika jurnalistik lahir dari perjuangan panjang antara kebebasan dan tanggung
jawab.⁴ Dari akar Pencerahan yang menegakkan rasionalitas dan hak publik untuk
tahu, hingga munculnya teori tanggung jawab sosial dan etika global,
prinsip-prinsip dasar seperti akurasi, kejujuran, independensi, dan empati
telah menjadi landasan universal bagi profesi media.⁵ Namun, seiring
perkembangan zaman, nilai-nilai ini memerlukan reinterpretasi agar tetap
relevan dalam menghadapi perubahan sosial dan teknologi.
Dari sisi ontologis,
jurnalisme dipahami sebagai tindakan eksistensial yang menyingkap kebenaran —
bukan hanya merekam fakta, tetapi menyingkap makna di baliknya.⁶ Dari segi
epistemologis, etika jurnalistik menuntut verifikasi, keterbukaan terhadap
koreksi, dan kesadaran terhadap bias dalam proses konstruksi realitas.⁷
Sedangkan secara aksiologis, jurnalisme yang etis harus berorientasi pada
nilai-nilai moral tertinggi: kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan tanggung
jawab sosial.⁸
Pada dimensi sosial
dan politik, etika jurnalistik menjadi mekanisme moral bagi ruang publik
demokratis, menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung
jawab terhadap harmoni sosial.⁹ Sementara itu, dalam kerangka hukum, etika
berfungsi sebagai prinsip moral yang melampaui aturan positif: ia bukan alat
represi, melainkan panduan otonomi moral bagi jurnalis dan lembaga media.¹⁰
10.2.   
Tantangan dan Krisis
Etika di Era Kontemporer
Di tengah revolusi
digital, etika jurnalistik menghadapi tantangan baru yang bersifat
multidimensional.¹¹ Fenomena post-truth, disinformasi, clickbait
journalism, dan algoritma media sosial telah mengubah lanskap
epistemik jurnalisme.¹² Kebenaran kini bersaing dalam ruang digital yang
dikendalikan oleh logika virality dan kapitalisme
perhatian.¹³ Dalam konteks ini, krisis kepercayaan publik terhadap media
menjadi gejala etika yang paling serius, karena tanpa kepercayaan, jurnalisme
kehilangan otoritas moral dan sosialnya.¹⁴
Selain itu,
munculnya teknologi kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi berita menimbulkan
pertanyaan mendasar tentang tanggung jawab moral dalam jurnalisme algoritmik.¹⁵
Siapa yang bertanggung jawab atas kesalahan informasi ketika prosesnya
dijalankan oleh mesin? Bagaimana prinsip etika dapat diterapkan ketika
keputusan redaksional dipengaruhi oleh sistem otomatis? Pertanyaan-pertanyaan
ini menuntut pendekatan etika baru yang mampu menjembatani antara teknologi dan
kemanusiaan.¹⁶
Etika jurnalistik
modern harus bergerak melampaui paradigma normatif klasik menuju pendekatan
reflektif dan partisipatif — di mana publik, akademisi, dan profesional media
bersama-sama membangun kesadaran etis kolektif.¹⁷ Dengan demikian, jurnalisme
tidak lagi dipahami sebagai kegiatan terisolasi, tetapi sebagai ekosistem moral
yang melibatkan seluruh warga dalam pencarian kebenaran bersama.¹⁸
10.3.   
Sintesis Menuju
Paradigma Jurnalisme Humanistik
Sintesis dari
seluruh dimensi etika jurnalistik mengarah pada lahirnya paradigma jurnalisme
humanistik — jurnalisme yang berakar pada empati, rasionalitas,
dan tanggung jawab moral terhadap manusia sebagai subjek komunikasi.¹⁹
Paradigma ini menolak reduksi jurnalisme menjadi sekadar instrumen ekonomi atau
ideologis, dan menegaskan kembali peran media sebagai “ruang moral publik”
(moral
public sphere).²⁰
Dalam jurnalisme
humanistik, nilai-nilai dasar seperti kebenaran dan keadilan tidak berdiri
sendiri, tetapi selalu terkait dengan penghormatan terhadap martabat manusia.²¹
Kejujuran, keberimbangan, dan keterbukaan bukan hanya teknik profesional,
tetapi ekspresi dari integritas moral.²² Etika, dalam arti terdalamnya,
bukanlah kode tertulis, melainkan sikap batin — kesediaan untuk menanggung
konsekuensi moral dari setiap tindakan jurnalistik.²³
Sebagaimana
dinyatakan oleh Clifford G. Christians, tujuan tertinggi jurnalisme bukanlah information,
tetapi understanding
— pemahaman yang mempertemukan manusia dengan realitas secara autentik.²⁴
Jurnalisme yang demikian bukan hanya mencatat dunia, tetapi berpartisipasi
dalam memanusiakan dunia.²⁵
10.4.   
Relevansi Etika
Jurnalistik bagi Demokrasi dan Kemanusiaan
Etika jurnalistik
pada akhirnya memiliki implikasi yang luas bagi keberlanjutan demokrasi dan
kehidupan sosial.²⁶ Dalam masyarakat yang sarat konflik dan polarisasi, media
etis berfungsi sebagai penengah moral yang mempertemukan berbagai pandangan
tanpa mengorbankan kebenaran.²⁷ Demokrasi deliberatif, sebagaimana dirumuskan
oleh Habermas, hanya dapat berjalan jika komunikasi publik berlangsung secara
rasional dan jujur — dan jurnalisme etis adalah penjaga utama kondisi
tersebut.²⁸
Lebih jauh, etika
jurnalistik berperan dalam memperkuat solidaritas kemanusiaan global.²⁹ Dalam
dunia yang saling terhubung, penderitaan di satu wilayah kini menjadi tanggung
jawab moral bagi yang lain.³⁰ Dengan demikian, jurnalisme humanistik global
mengemban misi universal: menegakkan kebenaran tanpa kekerasan, menyalurkan
empati lintas budaya, dan memulihkan kepercayaan manusia terhadap manusia.³¹
Penutup: Etika sebagai Jalan Menuju Keutuhan Makna
Akhirnya, etika
jurnalistik bukan sekadar sistem norma, tetapi cara hidup bagi mereka yang
berkomitmen pada kebenaran.³² Ia adalah perjuangan terus-menerus untuk menjaga
keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, antara teknologi dan
kemanusiaan, antara fakta dan makna.³³ Dalam dunia yang terancam oleh
relativisme moral dan kekosongan makna, etika jurnalistik menjadi cahaya yang
menuntun jurnalis untuk tetap berpihak pada yang benar dan manusiawi.³⁴
Jurnalisme yang etis
bukanlah jurnalisme yang sempurna, tetapi jurnalisme yang selalu bersedia
dikoreksi — terbuka terhadap kritik, reflektif terhadap dirinya sendiri, dan
berorientasi pada kebaikan bersama.³⁵ Dalam pengertian inilah, etika
jurnalistik merupakan inti dari peradaban komunikasi modern: suatu panggilan
moral untuk menyuarakan kebenaran dengan cinta, menyebarkan pengetahuan dengan
tanggung jawab, dan menghadirkan keadilan melalui kata yang bermakna.³⁶
Footnotes
[1]               
¹ Clifford G. Christians, Ethics
and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 133.
[2]               
² Stephen J. A. Ward, Global
Journalism Ethics (Montreal:
McGill-Queen’s University Press, 2010), 152.
[3]               
³ Clifford G. Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 140.
[4]               
⁴ Asa Briggs and Peter Burke, A
Social History of the Media: From Gutenberg to the Internet (Cambridge: Polity Press, 2009), 87.
[5]               
⁵ Fred S. Siebert, Theodore Peterson, and Wilbur Schramm, Four Theories of the Press (Urbana: University of Illinois Press, 1956), 99–102.
[6]               
⁶ Martin Heidegger, Being
and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 263.
[7]               
⁷ Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The
Elements of Journalism (New York:
Three Rivers Press, 2001), 43.
[8]               
⁸ Clifford Christians et al., Media
Ethics: Cases and Moral Reasoning
(New York: Routledge, 2020), 127.
[9]               
⁹ Jürgen Habermas, The Structural
Transformation of the Public Sphere
(Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 58.
[10]            
¹⁰ Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik (Jakarta: Dewan Pers, 2008).
[11]            
¹¹ Manuel Castells, Communication
Power (Oxford: Oxford University
Press, 2009), 107.
[12]            
¹² Ralph Keyes, The Post-Truth Era:
Dishonesty and Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 17.
[13]            
¹³ Shoshana Zuboff, The
Age of Surveillance Capitalism (New
York: PublicAffairs, 2019), 131.
[14]            
¹⁴ Robert W. McChesney, Rich
Media, Poor Democracy (New York: The
New Press, 2000), 64.
[15]            
¹⁵ Luciano Floridi, The
Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 105.
[16]            
¹⁶ Kate Crawford, Atlas of AI (New Haven: Yale University Press, 2021), 49.
[17]            
¹⁷ Jay Rosen, What Are Journalists
For? (New Haven: Yale University
Press, 1999), 22.
[18]            
¹⁸ Clifford Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age, 128.
[19]            
¹⁹ Stephen Ward, Radical Media Ethics: A
Global Approach (Malden:
Wiley-Blackwell, 2015), 134.
[20]            
²⁰ James Carey, Communication as
Culture: Essays on Media and Society
(Boston: Unwin Hyman, 1989), 24.
[21]            
²¹ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 57.
[22]            
²² Alasdair MacIntyre, After
Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 212.
[23]            
²³ Clifford Christians, Ethics
and Journalism, 120.
[24]            
²⁴ Ibid., 130.
[25]            
²⁵ Stephen Ward, Global Journalism
Ethics, 157.
[26]            
²⁶ Jürgen Habermas, Moral
Consciousness and Communicative Action
(Cambridge: MIT Press, 1990), 88.
[27]            
²⁷ Denis McQuail, Media Performance: Mass
Communication and the Public Interest
(London: Sage, 1992), 72.
[28]            
²⁸ Habermas, Between Facts and Norms (Cambridge: MIT Press, 1996), 328.
[29]            
²⁹ Clifford G. Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age, 142.
[30]            
³⁰ Martha C. Nussbaum, Political
Emotions: Why Love Matters for Justice
(Cambridge: Harvard University Press, 2013), 27.
[31]            
³¹ Stephen Ward, “The Cosmopolitan Promise of Global Journalism
Ethics,” Journal of Mass Media Ethics 22, no. 2 (2007): 113.
[32]            
³² Emmanuel Levinas, Totality
and Infinity (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 215.
[33]            
³³ Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed (New York: Continuum,
1970), 72.
[34]            
³⁴ Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993), 19.
[35]            
³⁵ Clifford Christians, “Ethical Foundations of Journalism,” in Handbook of Journalism Studies, ed. Karin Wahl-Jorgensen and Thomas Hanitzsch (New
York: Routledge, 2009), 43.
[36]            
³⁶ Stephen Ward, Radical Media Ethics, 135.
Daftar Pustaka
Adair, B., & Holan, A. (2015). The rise of
fact-checking journalism. American Press Institute.
Arendt, H. (1958). The human condition. University
of Chicago Press.
Arendt, H. (1961). Between past and future.
Viking Press.
Arendt, H. (2003). Responsibility and judgment.
Schocken Books.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett.
Bauman, Z. (1993). Postmodern ethics. Blackwell.
Beckett, C. (2008). SuperMedia: Saving
journalism so it can save the world. Wiley-Blackwell.
Berlin, I. (1969). Two concepts of liberty.
Clarendon Press.
Black, J. (2011). Doing ethics in media:
Theories and practical applications. Routledge.
Black, J., & Steele, F. C. (2011). Introduction
to media communication ethics. Routledge.
Bok, S. (1999). Lying: Moral choice in public
and private life. Vintage Books.
Bradshaw, P. (2012). Data journalism handbook.
O’Reilly Media.
Briggs, A., & Burke, P. (2009). A social
history of the media: From Gutenberg to the Internet. Polity Press.
Campbell, W. J. (2001). Yellow journalism:
Puncturing the myths, defining the legacies. Praeger.
Carey, J. (1989). Communication as culture:
Essays on media and society. Unwin Hyman.
Castells, M. (2000). The network society.
Blackwell.
Castells, M. (2009). Communication power.
Oxford University Press.
Christians, C. G. (2009). Ethical foundations of
journalism. In K. Wahl-Jorgensen & T. Hanitzsch (Eds.), Handbook of
journalism studies (pp. 39–44). Routledge.
Christians, C. G. (2019). Media ethics and
global justice in the digital age. Cambridge University Press.
Christians, C. G. (2020). Ethics and journalism:
Principles for the 21st century. Routledge.
Christians, C. G., Fackler, M., Richardson, K. B.,
Kreshel, P. J., & Woods, R. H. (2020). Media ethics: Cases and moral
reasoning. Routledge.
Christians, C. G., & Ward, S. J. A. (Eds.).
(2020). Media ethics: Cases and moral reasoning. Routledge.
Couldry, N. (2010). Why voice matters: Culture
and politics after neoliberalism. Sage.
Council of Europe. (1950). European convention
on human rights, Article 10.
Cottle, S. (2008). Reporting disasters: Factual,
moral and emotional discourses. Journalism Studies, 9(5), 605–626.
Croteau, D., & Hoynes, W. (2006). The
business of media: Corporate media and the public interest. Pine Forge
Press.
Curran, J., & Park, M.-J. (Eds.). (2000). De-Westernizing
media studies. Routledge.
Dewan Pers. (2008). Kode etik jurnalistik.
Dewan Pers.
Djafar, W. (2021). UU ITE dan kebebasan berekspresi
di Indonesia. Jurnal HAM, 12(2), 211–224.
Floridi, L. (2010). Information: A very short
introduction. Oxford University Press.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Floridi, L. (2019). The logic of information.
Oxford University Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings 1972–1977. Pantheon Books.
Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical
reflections on the “postsocialist” condition. Routledge.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed.
Continuum.
Fuchs, C. (2014). Social media: A critical
introduction. Sage.
Gill, R. (2007). Gender and the media.
Polity Press.
Gilligan, C. (1982). In a different voice:
Psychological theory and women’s development. Harvard University Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vol. 1). Beacon Press.
Habermas, J. (1989). The structural
transformation of the public sphere. MIT Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and
communicative action. MIT Press.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms:
Contributions to a discourse theory of law and democracy. MIT Press.
Hall, S. (1997). Representation: Cultural
representations and signifying practices. Sage.
Hanitzsch, T. (2007). Deconstructing journalism
culture. Communication Theory, 17(4), 367–385.
Harding, S. (1986). The science question in
feminism. Cornell University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Herman, E. S., & Chomsky, N. (1988). Manufacturing
consent: The political economy of the mass media. Pantheon Books.
Hobbs, R. (2011). Digital and media literacy:
Connecting culture and classroom. Corwin Press.
Hodges, L. (1987). Defining press responsibility: A
functional approach. Journal of Mass Media Ethics, 2(1), 13–22.
Honneth, A. (1995). The struggle for recognition.
Polity Press.
Horkheimer, M. (1982). Critical theory: Selected
essays. Continuum.
Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila.
Paradigma.
Kellner, D. (1995). Media culture: Cultural
studies, identity, and politics between the modern and the postmodern.
Routledge.
Keyes, R. (2004). The post-truth era: Dishonesty
and deception in contemporary life. St. Martin’s Press.
Klein, N. (2007). The shock doctrine: The rise
of disaster capitalism. Metropolitan Books.
Kovach, B., & Rosenstiel, T. (2001). The
elements of journalism. Three Rivers Press.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity.
Duquesne University Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in
moral theory. University of Notre Dame Press.
Marcuse, H. (1964). One-dimensional man.
Beacon Press.
McChesney, R. W. (2000). Rich media, poor
democracy: Communication politics in dubious times. The New Press.
McChesney, R. W. (2007). Communication
revolution: Critical junctures and the future of media. The New Press.
McCombs, M., & Shaw, D. (1972). The
agenda-setting function of mass media. Public Opinion Quarterly, 36(2),
176–187.
McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.
McQuail, D. (1992). Media performance: Mass
communication and the public interest. Sage.
McQuail, D. (2010). Mass communication theory.
Sage.
Moeller, S. D. (1999). Compassion fatigue: How
the media sell disease, famine, war, and death. Routledge.
Nagel, T. (1986). The view from nowhere.
Oxford University Press.
Noble, S. U. (2018). Algorithms of oppression.
NYU Press.
Noddings, N. (1984). Caring: A relational
approach to ethics and moral education. University of California Press.
Nordenstreng, K. (1977). Beyond the four theories
of the press. Journal of Communication, 27(4), 14–25.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (2013). Political emotions: Why
love matters for justice. Harvard University Press.
Peters, J. D. (1999). Speaking into the air: A
history of the idea of communication. University of Chicago Press.
Petley, J. (2003). Privacy, the public and the
press. Journalism Studies, 4(4), 509–518.
Putnam, R. (2000). Bowling alone: The collapse
and revival of American community. Simon & Schuster.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Republik Indonesia. (1999). Undang-undang nomor
40 tahun 1999 tentang pers. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 166.
Rosen, J. (1999). What are journalists for?
Yale University Press.
Rosenberg, M. (2003). Nonviolent communication:
A language of life. PuddleDancer Press.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Oxford University Press.
Siebert, F. S., Peterson, T., & Schramm, W.
(1956). Four theories of the press. University of Illinois Press.
Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak?
Columbia University Press.
Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale
University Press.
Tuchman, G. (1978). Making news: A study in the
construction of reality. Free Press.
Tufekci, Z. (2017). Twitter and tear gas: The
power and fragility of networked protest. Yale University Press.
UNESCO. (1983). Declaration of principles on the
conduct of journalists. UNESCO.
Van Zoonen, L. (1994). Feminist media studies.
Sage.
Ward, S. J. A. (2005). The epistemology of global
journalism ethics. Journal of Mass Media Ethics, 20(1), 3–5.
Ward, S. J. A. (2007). The cosmopolitan promise of
global journalism ethics. Journal of Mass Media Ethics, 22(2), 110–113.
Ward, S. J. A. (2010). Global journalism ethics.
McGill-Queen’s University Press.
Ward, S. J. A. (2015). Radical media ethics: A
global approach. Wiley-Blackwell.
Weinberger, D. (2012). Too big to know.
Basic Books.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism. PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar