Senin, 27 Oktober 2025

Etika Jurnalistik: Kebenaran, Tanggung Jawab, dan Integritas dalam Ruang Publik Modern

Etika Jurnalistik

Kebenaran, Tanggung Jawab, dan Integritas dalam Ruang Publik Modern


Alihkan ke: Ilmu Profesi.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif fondasi konseptual, genealogis, dan praksis dari Etika Jurnalistik sebagai disiplin normatif yang menuntun perilaku moral profesi media dalam konteks sosial, politik, dan teknologi modern. Kajian ini menelusuri dimensi historis kemunculan etika jurnalistik sejak era Pencerahan hingga formasinya dalam teori tanggung jawab sosial pers abad ke-20, serta memperluas pembahasan pada konteks globalisasi dan era digital. Secara ontologis, jurnalisme dipahami sebagai tindakan eksistensial yang menyingkap kebenaran dan memelihara martabat manusia. Epistemologinya berakar pada prinsip verifikasi, keterbukaan, dan kesadaran terhadap konstruksi sosial kebenaran, sedangkan aksiologinya menegaskan nilai-nilai kebenaran, keadilan, empati, dan tanggung jawab sosial sebagai inti moral profesi media.

Selanjutnya, artikel ini membahas dimensi sosial, politik, dan hukum etika jurnalistik yang menempatkan media sebagai pilar moral demokrasi, sekaligus sebagai arena diskursif yang memediasi relasi antara kebebasan dan tanggung jawab publik. Di tengah tantangan kontemporer seperti post-truth, disinformasi, algoritma media sosial, dan komodifikasi informasi, etika jurnalistik dituntut untuk bertransformasi dari paradigma normatif klasik menuju etika reflektif dan humanistik. Kritik-kritik terhadap etika jurnalistik — baik dari perspektif postmodern, feminis, ekonomi politik, maupun postkolonial — menegaskan perlunya paradigma baru yang lebih inklusif, dialogis, dan emansipatoris.

Melalui sintesis filosofis, artikel ini menawarkan konsep “Jurnalisme Humanistik” sebagai paradigma etik yang memadukan rasionalitas, empati, dan tanggung jawab moral dalam menghadapi kompleksitas dunia digital dan global. Paradigma ini menempatkan jurnalis bukan sekadar sebagai penyampai berita, tetapi sebagai agen moral dan komunikator publik yang memelihara nalar, keadilan, dan kemanusiaan dalam ruang publik. Dengan demikian, etika jurnalistik dipahami bukan hanya sebagai aturan profesi, melainkan sebagai filsafat moral komunikasi yang menegakkan martabat manusia melalui kebenaran yang reflektif, adil, dan penuh kasih.

Kata Kunci: Etika Jurnalistik, Kebenaran, Keadilan, Empati, Tanggung Jawab Sosial, Post-Truth, Jurnalisme Humanistik, Etika Komunikatif, Humanisme Digital, Tanggung Jawab Moral.


PEMBAHASAN

Etika Jurnalistik dalam Era Digital dan Demokrasi Informasi


1.           Pendahuluan

Etika jurnalistik menempati posisi sentral dalam perdebatan moral dan profesional di era informasi yang semakin kompleks. Dalam konteks masyarakat modern yang ditandai oleh arus komunikasi global dan dominasi teknologi digital, praktik jurnalistik bukan sekadar kegiatan penyampaian berita, melainkan juga tindakan sosial yang sarat dengan implikasi moral, politik, dan epistemologis. Etika jurnalistik berfungsi sebagai kompas normatif bagi wartawan dan lembaga media untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial terhadap publik. Ia tidak hanya menyangkut “apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan,” tetapi juga “bagaimana” dan “mengapa” sebuah informasi disebarluaskan, serta dampak yang ditimbulkannya terhadap tatanan sosial dan moral masyarakat.¹

Dalam lintasan sejarah, jurnalisme lahir dari idealisme pencerahan yang menjunjung tinggi rasionalitas, kebebasan berpikir, dan hak publik untuk mengetahui (the right to know).² Nilai-nilai ini menempatkan media sebagai pilar keempat demokrasi yang berfungsi sebagai pengawas kekuasaan (watchdog of power) dan penjaga kebenaran publik. Namun, dalam praktiknya, idealisme ini sering kali berbenturan dengan realitas ekonomi dan politik media: kepemilikan korporasi besar, tekanan iklan, sensor politik, serta dinamika pasar yang menuntut sensasionalisme demi rating dan klik.³ Pertentangan antara idealisme etis dan kepentingan praktis inilah yang menjadi sumber utama problematika etika jurnalistik kontemporer.

Secara konseptual, etika jurnalistik berkaitan erat dengan tiga poros utama: kebenaran, tanggung jawab, dan integritas. Kebenaran (truth) menuntut akurasi dan kejujuran dalam penyampaian informasi; tanggung jawab (responsibility) menekankan kesadaran atas akibat sosial dari setiap publikasi; sedangkan integritas (integrity) mengacu pada konsistensi moral individu jurnalis dan lembaga media.⁴ Ketiganya saling berkelindan dan membentuk dasar moral bagi kepercayaan publik terhadap media. Tanpa komitmen terhadap kebenaran dan integritas, media akan terjerumus ke dalam infotainment, propaganda, atau bahkan disinformasi sistemik.

Dalam konteks Indonesia, persoalan etika jurnalistik memiliki dimensi yang khas. Reformasi 1998 membuka ruang kebebasan pers yang luas, namun kebebasan tersebut tidak selalu diiringi dengan peningkatan kualitas etika dan tanggung jawab sosial.⁵ Fenomena hoaks, ujaran kebencian, pelanggaran privasi, dan framing yang bias memperlihatkan bahwa profesionalisme jurnalistik masih menghadapi tantangan serius. Lahirnya Dewan Pers dan Kode Etik Jurnalistik merupakan upaya untuk membangun mekanisme pengawasan etik, tetapi efektivitasnya masih bergantung pada kesadaran moral komunitas pers itu sendiri serta dukungan publik yang melek media.⁶

Di sisi lain, revolusi digital telah mengubah lanskap epistemologis jurnalisme. Kehadiran media sosial, algoritma, dan kecerdasan buatan (AI) mengaburkan batas antara jurnalis profesional dan warga biasa.⁷ Dalam ruang yang serba cepat dan terfragmentasi, prinsip-prinsip etika tradisional seperti verifikasi, independensi, dan objektivitas mengalami tantangan mendasar. Publik kini menjadi produsen sekaligus konsumen berita (prosumer), sementara arus informasi yang berlebihan menciptakan paradoks: semakin banyak informasi yang beredar, semakin sulit menemukan kebenaran.⁸

Oleh karena itu, kajian etika jurnalistik menjadi sangat penting untuk memahami bagaimana nilai-nilai moral dapat bertahan dan beradaptasi di tengah perubahan sosial dan teknologi yang cepat. Kajian ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga reflektif dan kritis, dengan tujuan untuk membangun kesadaran etis yang lebih mendalam—baik di kalangan praktisi media maupun masyarakat luas. Dengan menelusuri akar historis, dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya, artikel ini berupaya menjawab pertanyaan fundamental: Bagaimana jurnalisme dapat tetap etis di tengah tekanan kapitalisme informasi dan krisis kepercayaan publik?


Footnotes

[1]                ¹ Clifford G. Christians, Ethics and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 5.

[2]                ² John Keane, The Media and Democracy (Cambridge: Polity Press, 1991), 42.

[3]                ³ Robert McChesney, Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times (New York: The New Press, 2000), 67–69.

[4]                ⁴ Stephen J. A. Ward, The Invention of Journalism Ethics: The Path to Objectivity and Beyond (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2004), 15.

[5]                ⁵ Nugroho Y. Nugraha, Kebebasan Pers dan Etika Jurnalistik di Indonesia (Jakarta: Dewan Pers, 2015), 22–24.

[6]                ⁶ Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik (Jakarta: Dewan Pers, 2008).

[7]                ⁷ Charlie Beckett, SuperMedia: Saving Journalism So It Can Save the World (Oxford: Wiley-Blackwell, 2008), 91–93.

[8]                ⁸ Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 135–137.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Etika Jurnalistik

Etika jurnalistik tidak lahir secara tiba-tiba; ia merupakan hasil dari evolusi panjang yang berakar pada dinamika sejarah sosial, politik, dan intelektual dunia modern. Sejarah etika jurnalistik berkelindan dengan perkembangan konsep kebenaran, kebebasan, dan tanggung jawab publik yang muncul sejak masa Pencerahan (the Enlightenment) di Eropa. Pada abad ke-17 dan ke-18, gagasan rasionalitas dan kebebasan berpikir yang dikembangkan oleh para filsuf seperti John Locke dan Immanuel Kant menumbuhkan kesadaran bahwa informasi publik merupakan hak dasar manusia.¹ Pers—yang sebelumnya berfungsi sebagai alat propaganda kerajaan atau gereja—mulai dilihat sebagai sarana untuk mengedukasi masyarakat dan mengawasi kekuasaan.² Dengan demikian, akar etika jurnalistik terletak pada idealisme pencerahan: kebenaran harus dicari melalui rasio dan disebarluaskan demi kepentingan publik.

Memasuki abad ke-19, jurnalisme profesional mulai terbentuk sebagai lembaga sosial yang terpisah dari kekuasaan politik dan ekonomi. Revolusi industri serta kemunculan teknologi cetak massal memungkinkan penyebaran berita secara luas dan cepat.³ Namun, perkembangan ini juga menimbulkan masalah baru: komersialisasi media. Persaingan antar surat kabar melahirkan yellow journalism, yang menonjolkan sensasionalisme, manipulasi fakta, dan pelanggaran privasi demi keuntungan ekonomi.⁴ Kondisi inilah yang memunculkan kesadaran akan perlunya prinsip-prinsip etika untuk menjaga integritas profesi. Pada periode inilah, di Amerika Serikat dan Eropa Barat, muncul kode etik awal yang menekankan akurasi, kejujuran, dan independensi berita.

Dalam konteks intelektual, pengaruh filsafat moral sangat besar terhadap pembentukan etika jurnalistik. Tradisi deontologi Kantian menekankan kewajiban moral jurnalis untuk mengatakan kebenaran apa pun risikonya, karena kejujuran merupakan perintah kategoris (categorical imperative).⁵ Sementara itu, utilitarianisme—seperti yang diajukan oleh John Stuart Mill—memberi dasar bagi orientasi sosial etika jurnalistik: tindakan jurnalis harus menghasilkan manfaat terbesar bagi masyarakat luas (the greatest happiness for the greatest number).⁶ Di sisi lain, etika kebajikan Aristotelian menekankan pembentukan karakter jurnalis yang bijak, adil, dan berintegritas sebagai fondasi moral dari profesinya.⁷ Ketiga paradigma ini membentuk matriks konseptual yang terus memengaruhi wacana etika jurnalistik hingga kini.

Dalam sejarah modern, munculnya lembaga-lembaga pers profesional memperkuat institusionalisasi etika jurnalistik. Pada tahun 1923, Canons of Journalism yang diterbitkan oleh American Society of Newspaper Editors (ASNE) menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah kode etik pers dunia.⁸ Dokumen ini menegaskan prinsip utama seperti tanggung jawab, kebebasan, independensi, kebenaran, dan kesopanan. Seiring waktu, standar ini menjadi rujukan bagi banyak negara dalam menyusun kode etik nasional. Di Inggris, Press Complaints Commission dibentuk untuk menegakkan etika pemberitaan, sedangkan UNESCO pada tahun 1983 mengeluarkan Declaration of Principles on the Conduct of Journalists yang memperkuat standar global etika media.⁹

Dalam konteks Indonesia, genealoginya dapat ditelusuri sejak masa kolonial, ketika pers pribumi muncul sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme dan sensor pemerintah Hindia Belanda.¹⁰ Tokoh-tokoh seperti Tirto Adhi Soerjo melalui surat kabar Medan Prijaji (1907) memprakarsai semangat jurnalisme moral yang berpihak pada rakyat dan keadilan sosial.¹¹ Setelah kemerdekaan, etika jurnalistik berkembang seiring dengan dinamika politik nasional: dari kontrol ketat pada masa Orde Lama, pembungkaman pada Orde Baru, hingga kebebasan yang relatif luas pasca-Reformasi 1998.¹² Lahirnya Kode Etik Jurnalistik Indonesia yang disahkan oleh Dewan Pers menjadi penanda institusional dari kesadaran profesionalisme pers Indonesia dalam menjaga integritas publik.¹³

Namun, genealoginya tidak hanya historis, melainkan juga filosofis. Etika jurnalistik merupakan hasil dialektika antara idealisme moral dan realitas sosial. Di satu sisi, ia berakar pada cita-cita moral universal seperti kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan; di sisi lain, ia terus dibentuk oleh konteks budaya dan politik di mana jurnalisme beroperasi.¹⁴ Misalnya, etika media di negara-negara liberal demokratis lebih menekankan kebebasan individu, sedangkan di negara berkembang sering kali diorientasikan pada tanggung jawab sosial dan stabilitas nasional.¹⁵ Dengan demikian, genealoginya tidak bersifat linier, tetapi plural dan kontekstual — merefleksikan keragaman tradisi moral yang membentuk praktik jurnalistik global.

Dalam konteks kontemporer, memahami landasan historis dan genealogis etika jurnalistik menjadi penting karena memungkinkan kita membaca krisis etika media masa kini sebagai bagian dari proses panjang pembentukan nilai. Setiap pelanggaran etika, seperti penyebaran hoaks, bias politik, atau eksploitasi korban, tidak dapat dilepaskan dari ketegangan historis antara idealisme moral dan kepentingan ekonomi-politik media.¹⁶ Oleh sebab itu, kajian genealogis tidak hanya bersifat retrospektif, tetapi juga normatif — membuka ruang bagi refleksi etis baru untuk merumuskan jurnalisme yang lebih adil, humanistik, dan bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                ¹ John Locke, A Letter Concerning Toleration (London: Awnsham Churchill, 1689), 32–34.

[2]                ² Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 57.

[3]                ³ Asa Briggs and Peter Burke, A Social History of the Media: From Gutenberg to the Internet (Cambridge: Polity Press, 2009), 103–104.

[4]                ⁴ W. Joseph Campbell, Yellow Journalism: Puncturing the Myths, Defining the Legacies (Westport, CT: Praeger, 2001), 21–25.

[5]                ⁵ Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 47.

[6]                ⁶ John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1863), 15–16.

[7]                ⁷ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1106b–1107a.

[8]                ⁸ American Society of Newspaper Editors, Canons of Journalism (Washington, DC: ASNE, 1923).

[9]                ⁹ UNESCO, Declaration of Principles on the Conduct of Journalists (Paris: UNESCO, 1983).

[10]             ¹⁰ Ahmat Adam, The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1855–1913) (Ithaca: Cornell University Press, 1995), 88–90.

[11]             ¹¹ Tirto Adhi Soerjo, Medan Prijaji (Bandung: Tjaja Timoer, 1907).

[12]             ¹² Stanley Adi Prasetyo, Pers dan Kekuasaan di Indonesia (Jakarta: Kompas, 2008), 54–56.

[13]             ¹³ Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik (Jakarta: Dewan Pers, 2008).

[14]             ¹⁴ Clifford G. Christians, Media Ethics: Cases and Moral Reasoning (New York: Routledge, 2020), 19–20.

[15]             ¹⁵ Kaarle Nordenstreng, “Beyond the Four Theories of the Press,” Journal of Communication 27, no. 4 (1977): 14–15.

[16]             ¹⁶ Robert W. McChesney, Communication Revolution: Critical Junctures and the Future of Media (New York: The New Press, 2007), 33–34.


3.           Ontologi Etika Jurnalistik

Ontologi etika jurnalistik membahas hakikat eksistensial dari praktik jurnalistik sebagai aktivitas moral, epistemik, dan sosial. Pada tataran paling dasar, jurnalisme bukan sekadar proses teknis dalam mengumpulkan dan menyebarkan informasi, melainkan tindakan etis yang berakar pada relasi manusia dengan kebenaran, realitas, dan tanggung jawab sosial.¹ Dalam konteks ini, pertanyaan ontologis yang mendasar bukan hanya apa itu jurnalisme, tetapi apa makna menjadi jurnalis dalam dunia yang diliputi oleh informasi, kekuasaan, dan interpretasi. Dengan kata lain, ontologi etika jurnalistik menyelidiki "ada"-nya jurnalis sebagai subjek moral yang menghadirkan kebenaran di ruang publik.²

3.1.       Hakikat Jurnalisme sebagai Pencarian Kebenaran

Secara ontologis, jurnalisme berakar pada dorongan eksistensial manusia untuk memahami kenyataan dan menyingkap kebenaran (aletheia).³ Dalam tradisi Yunani kuno, aletheia berarti “penyingkapan” atau “pembukaan” terhadap sesuatu yang tersembunyi — suatu tindakan yang menyingkap realitas sebagaimana adanya.⁴ Jurnalis, dalam hal ini, berfungsi sebagai mediator antara realitas dan kesadaran publik: ia membuka tabir fakta, menyingkap yang tersembunyi, dan menyajikan representasi dunia dalam bentuk narasi. Tugas ini menempatkan jurnalis dalam posisi ontologis yang mirip dengan filsuf atau saksi sejarah — yakni sosok yang bertanggung jawab atas keterbukaan kebenaran di tengah kontestasi makna dan kepentingan.⁵

Kebenaran jurnalistik tidak bersifat metafisik atau absolut, melainkan bersifat situated truth — kebenaran yang terikat pada konteks sosial, sumber data, dan metode verifikasi.⁶ Dalam hal ini, kebenaran bukan hasil dari intuisi individual, tetapi hasil dari proses sosial yang melibatkan observasi, konfirmasi, dan verifikasi.⁷ Namun, keterbatasan tersebut tidak meniadakan nilai ontologis jurnalisme; justru di dalam keterbatasan itulah tanggung jawab moralnya lahir. Keberanian jurnalis untuk terus mencari kebenaran meskipun sadar akan relativitasnya adalah inti dari etos profesional yang etis.⁸

3.2.       Realitas, Representasi, dan Konstruksi Makna

Ontologi etika jurnalistik juga menyentuh relasi antara realitas dan representasi. Dalam pandangan konstruktivis, jurnalisme tidak hanya mencerminkan kenyataan, tetapi juga berpartisipasi dalam membentuknya.⁹ Media adalah arena di mana realitas sosial dikonstruksi melalui bahasa, gambar, dan narasi.¹⁰ Dengan demikian, setiap teks jurnalistik merupakan hasil dari proses seleksi, interpretasi, dan framing — bukan sekadar refleksi pasif dari dunia faktual.¹¹

Hal ini menimbulkan pertanyaan ontologis yang mendalam: jika jurnalisme adalah konstruksi, apakah ia masih dapat dikatakan “mengungkap kebenaran”? Dalam konteks etika, jawaban atas pertanyaan ini terletak pada intensionalitas moral dari tindakan jurnalistik itu sendiri.¹² Seorang jurnalis yang berkomitmen terhadap kejujuran dan keterbukaan tetap memiliki niat ontologis untuk menghadirkan realitas secara adil dan proporsional, meskipun prosesnya melalui konstruksi naratif.¹³ Dengan demikian, jurnalisme yang etis bukanlah jurnalisme yang netral dalam arti nihil nilai, melainkan jurnalisme yang sadar akan posisinya sebagai mediator yang bertanggung jawab terhadap representasi realitas sosial.¹⁴

3.3.       Jurnalis sebagai Subjek Moral dan Sosial

Ontologi etika jurnalistik tidak dapat dilepaskan dari pemahaman tentang siapa jurnalis itu secara eksistensial. Jurnalis bukan mesin pencatat fakta, tetapi subjek moral yang memiliki kesadaran, nilai, dan tanggung jawab.¹⁵ Sebagai subjek moral, ia tidak hanya bertindak berdasarkan norma eksternal seperti kode etik, tetapi juga berdasarkan kesadaran internal tentang kebenaran dan kemanusiaan.¹⁶ Dalam tradisi eksistensialisme, tindakan etis yang autentik menuntut keberanian untuk bertanggung jawab atas konsekuensi moral dari setiap keputusan.¹⁷ Hal ini menegaskan bahwa keberadaan jurnalis sebagai manusia bebas selalu diikuti oleh kewajiban moral untuk tidak menyalahgunakan kebebasan tersebut demi kepentingan pribadi, politik, atau korporasi.¹⁸

Selain sebagai subjek moral, jurnalis juga merupakan subjek sosial yang eksistensinya terikat pada jaringan kekuasaan dan struktur ekonomi-politik media.¹⁹ Oleh karena itu, etika jurnalistik tidak hanya berbicara tentang moralitas individu, tetapi juga tentang sistem sosial yang memungkinkan atau menghambat tindakan etis.²⁰ Dalam sistem media yang dikontrol oleh kepentingan modal atau politik, keberadaan jurnalis sering kali teralienasi dari panggilan moralnya.²¹ Maka, refleksi ontologis terhadap jurnalisme harus mencakup pula kritik terhadap struktur sosial yang menindas otonomi moral jurnalis.²²

3.4.       Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab

Secara ontologis, etika jurnalistik berdiri di antara dua kutub: kebebasan dan tanggung jawab. Kebebasan merupakan syarat eksistensial bagi jurnalisme — tanpa kebebasan, jurnalisme tidak dapat menjalankan fungsi kebenarannya. Namun kebebasan yang dilepaskan dari tanggung jawab akan menjelma menjadi anarki informasi, di mana kebenaran dikorbankan demi opini, sensasi, atau keuntungan ekonomi.²³ Oleh karena itu, dalam dimensi ontologisnya, etika jurnalistik adalah usaha untuk menyeimbangkan kedua prinsip tersebut: mempertahankan kebebasan individu dan institusional media, sambil memastikan bahwa kebebasan itu digunakan untuk tujuan sosial dan kemanusiaan.²⁴

Keseimbangan ini menjadikan etika jurnalistik sebagai sistem nilai yang hidup dan dinamis — bukan seperangkat aturan kaku, melainkan proses refleksi moral yang terus menerus dalam menghadapi kompleksitas realitas sosial.²⁵ Ontologi etika jurnalistik dengan demikian menunjukkan bahwa keberadaan jurnalis bukanlah semata profesi, tetapi juga panggilan moral (moral vocation) untuk menjadi saksi kebenaran dan penjaga nurani publik di tengah arus informasi global yang kian kabur batasnya antara fakta dan fiksi.²⁶


Footnotes

[1]                ¹ Clifford G. Christians, Ethics and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 12–13.

[2]                ² Stephen J. A. Ward, The Invention of Journalism Ethics: The Path to Objectivity and Beyond (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2004), 8.

[3]                ³ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 262–264.

[4]                ⁴ Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture (Oxford: Oxford University Press, 1945), 93.

[5]                ⁵ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 57–59.

[6]                ⁶ Jay Rosen, What Are Journalists For? (New Haven: Yale University Press, 1999), 22–24.

[7]                ⁷ Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism (New York: Three Rivers Press, 2001), 43–45.

[8]                ⁸ Thomas Hanitzsch, “Deconstructing Journalism Culture,” Communication Theory 17, no. 4 (2007): 376–382.

[9]                ⁹ Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (London: Sage, 1997), 15–18.

[10]             ¹⁰ John Fiske, Understanding Popular Culture (London: Routledge, 2010), 42–43.

[11]             ¹¹ Gaye Tuchman, Making News: A Study in the Construction of Reality (New York: Free Press, 1978), 109.

[12]             ¹² Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge: MIT Press, 1990), 67.

[13]             ¹³ Nick Couldry, Media, Society, World: Social Theory and Digital Media Practice (Cambridge: Polity Press, 2012), 33–35.

[14]             ¹⁴ Clifford G. Christians et al., Media Ethics: Cases and Moral Reasoning (New York: Routledge, 2020), 17.

[15]             ¹⁵ Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety (Princeton: Princeton University Press, 1980), 120–121.

[16]             ¹⁶ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 210–213.

[17]             ¹⁷ Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–30.

[18]             ¹⁸ Hannah Arendt, Responsibility and Judgment (New York: Schocken Books, 2003), 22–24.

[19]             ¹⁹ Pierre Bourdieu, On Television (New York: The New Press, 1998), 35–38.

[20]             ²⁰ Robert W. McChesney, Rich Media, Poor Democracy (New York: The New Press, 2000), 72–74.

[21]             ²¹ Edward S. Herman and Noam Chomsky, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 25–28.

[22]             ²² David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 3–5.

[23]             ²³ Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Clarendon Press, 1969), 128–129.

[24]             ²⁴ John Stuart Mill, On Liberty (London: Parker and Son, 1859), 63–65.

[25]             ²⁵ Clifford Christians, “Ethical Foundations of Journalism,” in Handbook of Journalism Studies, ed. Karin Wahl-Jorgensen and Thomas Hanitzsch (New York: Routledge, 2009), 35–38.

[26]             ²⁶ Stephen Ward, Global Journalism Ethics (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2010), 49–50.


4.           Epistemologi Etika Jurnalistik

Epistemologi etika jurnalistik membahas bagaimana pengetahuan jurnalistik diperoleh, diverifikasi, dan disebarluaskan secara etis. Dengan kata lain, ia menyelidiki dasar kebenaran, metode pencarian fakta, dan tanggung jawab epistemik jurnalis dalam menghadirkan realitas kepada publik.¹ Etika jurnalistik pada ranah epistemologis tidak hanya mempertanyakan apa yang benar, tetapi juga bagaimana kita mengetahui bahwa sesuatu itu benar dalam konteks sosial yang penuh bias, tekanan ideologis, dan dominasi teknologi komunikasi. Dalam hal ini, epistemologi jurnalisme tidak dapat dipisahkan dari persoalan moral, karena cara memperoleh pengetahuan menentukan kadar tanggung jawab dan integritas profesional seorang jurnalis.²

4.1.       Sumber Pengetahuan dan Proses Verifikasi

Dalam tradisi klasik, jurnalisme dibangun di atas prinsip empirisme dan rasionalisme. Empirisme menegaskan bahwa kebenaran harus bersumber dari pengamatan dan bukti faktual, sedangkan rasionalisme menekankan pentingnya logika, analisis, dan deduksi dalam menafsirkan data.³ Etika jurnalistik menuntut keseimbangan antara kedua pendekatan tersebut: berita harus didasarkan pada fakta empiris yang dapat diverifikasi, tetapi juga disusun melalui penalaran rasional yang jujur dan adil.⁴

Verifikasi merupakan inti epistemologi jurnalistik. Kovach dan Rosenstiel menyebutnya sebagai “disiplin verifikasi,” yaitu komitmen metodologis untuk membedakan fakta dari opini dan rumor.⁵ Prinsip ini membedakan jurnalisme profesional dari propaganda atau desas-desus. Proses verifikasi melibatkan konfirmasi dari berbagai sumber, pemeriksaan konteks, dan keberanian untuk menunda publikasi hingga informasi benar-benar sahih. Dalam etika epistemik, keputusan untuk tidak memberitakan sesuatu yang belum terverifikasi merupakan tindakan moral, bukan kelemahan profesional.⁶

Namun, dalam praktiknya, tekanan kecepatan dan kompetisi di era digital sering kali menggerus proses verifikasi. Fenomena clickbait journalism dan breaking news syndrome menunjukkan bagaimana logika algoritmik dan ekonomi perhatian mendorong jurnalis untuk mendahulukan kecepatan daripada akurasi.⁷ Di sinilah pentingnya kesadaran epistemologis: jurnalis harus memahami bahwa kebenaran bukan hanya produk informasi, tetapi hasil dari proses moral yang menuntut kehati-hatian, skeptisisme, dan tanggung jawab.⁸

4.2.       Objektivitas, Bias, dan Konstruksi Realitas

Epistemologi etika jurnalistik juga berurusan dengan persoalan objektivitas. Dalam paradigma positivistik abad ke-19, jurnalis dianggap sebagai pengamat netral yang melaporkan fakta sebagaimana adanya.⁹ Namun, sejak pertengahan abad ke-20, teori komunikasi kritis menolak pandangan ini dengan menunjukkan bahwa semua berita merupakan hasil konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh nilai, ideologi, dan kekuasaan.¹⁰

Objektivitas, dalam kerangka etika modern, bukan berarti bebas nilai (value-free), melainkan keterbukaan terhadap koreksi dan kesediaan untuk mengakui posisi epistemik sendiri.¹¹ Ward menyebutnya sebagai pragmatic objectivity: kejujuran dalam proses mencari kebenaran, bukan ilusi netralitas absolut.¹² Dengan demikian, jurnalis yang etis bukanlah mereka yang menghapus semua nilai, melainkan yang menyadari dan mengelola biasnya dengan transparan.¹³

Selain itu, media juga berperan dalam membentuk realitas publik. Melalui praktik framing dan agenda-setting, media menentukan apa yang dianggap penting dan bagaimana masyarakat memahaminya.¹⁴ Oleh karena itu, setiap keputusan editorial memiliki dimensi epistemik dan etis: apa yang tidak diberitakan sama pentingnya dengan apa yang diberitakan.¹⁵ Dalam konteks ini, etika jurnalistik menjadi bentuk epistemic justice — upaya untuk memastikan bahwa representasi sosial tidak menindas kelompok minoritas atau suara yang termarginalkan.¹⁶

4.3.       Tantangan Epistemologis di Era Digital dan Post-Truth

Transformasi digital membawa perubahan radikal terhadap cara pengetahuan jurnalistik diproduksi dan disebarkan. Internet dan media sosial menciptakan kondisi information overload di mana batas antara fakta dan opini menjadi kabur.¹⁷ Dalam masyarakat post-truth, kebenaran bukan lagi ditentukan oleh bukti empiris, melainkan oleh resonansi emosional dan popularitas di ruang digital.¹⁸ Fenomena ini menimbulkan krisis epistemik yang mendalam: publik semakin sulit membedakan antara informasi yang sahih dan disinformasi, sementara jurnalis kehilangan otoritas epistemiknya.¹⁹

Dalam konteks ini, etika jurnalistik harus beradaptasi dengan epistemologi baru yang menuntut transparansi metodologis dan keterbukaan kolaboratif.²⁰ Jurnalis tidak lagi dapat berdiri sebagai otoritas tunggal pengetahuan, tetapi harus bekerja dalam dialog dengan publik melalui partisipasi, fact-checking, dan literasi media.²¹ Prinsip open journalism yang menekankan kolaborasi antara media dan masyarakat menjadi bentuk epistemologi etis baru — di mana kebenaran bukan hanya hasil kerja jurnalis, tetapi produk komunikasi yang partisipatif dan reflektif.²²

Selain itu, kemunculan kecerdasan buatan (AI) dalam produksi berita menimbulkan pertanyaan epistemologis baru: dapatkah algoritma memiliki tanggung jawab etis terhadap kebenaran?²³ Jika berita dihasilkan oleh mesin, maka transparansi algoritmik menjadi syarat moral utama.²⁴ Etika jurnalistik di era digital harus memastikan bahwa proses otomatisasi tidak menghapus dimensi manusiawi dalam pencarian kebenaran — karena kebenaran tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga normatif dan relasional.²⁵

4.4.       Tanggung Jawab Epistemik terhadap Publik

Epistemologi etika jurnalistik pada akhirnya bermuara pada tanggung jawab epistemik terhadap publik. Jurnalis bukan sekadar penyampai informasi, melainkan pengelola pengetahuan publik (custodian of public knowledge).²⁶ Dalam tradisi demokrasi deliberatif, seperti yang dikemukakan oleh Habermas, komunikasi publik yang etis harus didasarkan pada klaim kebenaran (truth), ketepatan (rightness), dan kejujuran (truthfulness).²⁷ Setiap berita, dengan demikian, merupakan pernyataan moral yang mengandaikan kepercayaan publik terhadap jurnalis.²⁸

Kepercayaan tersebut tidak dapat diperoleh melalui otoritas formal, melainkan melalui konsistensi epistemik — yakni kemampuan media untuk menunjukkan integritas dalam proses memperoleh dan menyebarkan pengetahuan.²⁹ Oleh karena itu, pendidikan etika jurnalistik harus mencakup pelatihan epistemologis: mengajarkan jurnalis untuk berpikir kritis, memeriksa sumber, memahami bias kognitif, dan berkomunikasi dengan transparan.³⁰ Dengan cara ini, epistemologi etika jurnalistik menjadi fondasi bagi pembentukan ruang publik yang rasional, inklusif, dan berkeadilan informasi.³¹


Footnotes

[1]                ¹ Clifford G. Christians, Ethics and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 33.

[2]                ² Stephen J. A. Ward, The Invention of Journalism Ethics: The Path to Objectivity and Beyond (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2004), 11–12.

[3]                ³ John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), 58–60.

[4]                ⁴ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 145–146.

[5]                ⁵ Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism (New York: Three Rivers Press, 2001), 73–74.

[6]                ⁶ Jay Rosen, What Are Journalists For? (New Haven: Yale University Press, 1999), 19.

[7]                ⁷ Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 141–143.

[8]                ⁸ Clifford G. Christians et al., Media Ethics: Cases and Moral Reasoning (New York: Routledge, 2020), 25.

[9]                ⁹ Michael Schudson, Discovering the News: A Social History of American Newspapers (New York: Basic Books, 1978), 6.

[10]             ¹⁰ Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (London: Sage, 1997), 31–32.

[11]             ¹¹ Thomas Hanitzsch, “Deconstructing Journalism Culture,” Communication Theory 17, no. 4 (2007): 376.

[12]             ¹² Stephen Ward, Global Journalism Ethics (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2010), 51.

[13]             ¹³ Clifford Christians, “Ethical Foundations of Journalism,” in Handbook of Journalism Studies, ed. Karin Wahl-Jorgensen and Thomas Hanitzsch (New York: Routledge, 2009), 36–38.

[14]             ¹⁴ Maxwell McCombs and Donald Shaw, “The Agenda-Setting Function of Mass Media,” Public Opinion Quarterly 36, no. 2 (1972): 176–187.

[15]             ¹⁵ James Carey, Communication as Culture: Essays on Media and Society (Boston: Unwin Hyman, 1989), 22.

[16]             ¹⁶ Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–3.

[17]             ¹⁷ Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 165–168.

[18]             ¹⁸ Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 17–18.

[19]             ¹⁹ Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 43–45.

[20]             ²⁰ David Weinberger, Too Big to Know: Rethinking Knowledge Now That the Facts Aren’t the Facts (New York: Basic Books, 2012), 67–69.

[21]             ²¹ Charlie Beckett, SuperMedia: Saving Journalism So It Can Save the World (Oxford: Wiley-Blackwell, 2008), 82.

[22]             ²² Jeff Jarvis, Geeks Bearing Gifts: Imagining New Futures for News (New York: CUNY Journalism Press, 2014), 52–53.

[23]             ²³ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 103–104.

[24]             ²⁴ Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 25–26.

[25]             ²⁵ Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021), 49–50.

[26]             ²⁶ Stephen J. A. Ward, “The Epistemology of Global Journalism Ethics,” Journal of Mass Media Ethics 20, no. 1 (2005): 4–5.

[27]             ²⁷ Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge: MIT Press, 1990), 86–88.

[28]             ²⁸ Hannah Arendt, Between Past and Future (New York: Viking Press, 1961), 237.

[29]             ²⁹ Robert McChesney, Communication Revolution: Critical Junctures and the Future of Media (New York: The New Press, 2007), 44.

[30]             ³⁰ Clifford G. Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 92–93.

[31]             ³¹ Stephen Ward, Radical Media Ethics: A Global Approach (Malden: Wiley-Blackwell, 2015), 118–120.


5.           Aksiologi Etika Jurnalistik

Aksiologi etika jurnalistik berfokus pada nilai-nilai moral yang mendasari dan mengarahkan praktik jurnalisme, terutama yang berkaitan dengan pertanyaan fundamental: untuk apa jurnalisme dijalankan dan nilai-nilai apa yang ingin diwujudkannya dalam kehidupan publik.¹ Dimensi ini menempatkan jurnalisme bukan sekadar sebagai aktivitas teknis atau ekonomi, tetapi sebagai kegiatan bernilai moral yang berorientasi pada kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran. Aksiologi dengan demikian menjadi fondasi normatif bagi seluruh prinsip etika jurnalistik — dari kejujuran dan tanggung jawab hingga empati terhadap penderitaan manusia.²

5.1.       Nilai-Nilai Moral Utama: Kebenaran, Keadilan, dan Kemanusiaan

Dalam kerangka aksiologis, kebenaran (truthfulness) merupakan nilai tertinggi yang menjadi raison d’être dari profesi jurnalistik.³ Kebenaran di sini tidak hanya dipahami secara faktual (korespondensi antara berita dan realitas), tetapi juga secara moral, yaitu kejujuran dalam niat, proses, dan penyampaian.⁴ Jurnalis tidak hanya berkewajiban menyampaikan apa yang benar, tetapi juga melakukannya dengan integritas dan tanpa manipulasi. Clifford Christians menegaskan bahwa “truth-telling” adalah kewajiban moral utama yang melandasi kepercayaan publik; tanpa kejujuran, media kehilangan legitimasi etisnya.⁵

Selain kebenaran, keadilan (justice) menjadi prinsip aksiologis yang menuntun jurnalis dalam menentukan fokus dan proporsi liputan. Keadilan di sini bermakna memberikan ruang yang setara bagi semua pihak, terutama bagi kelompok yang terpinggirkan.⁶ Dalam konteks ini, jurnalisme berfungsi sebagai alat pembebasan dan pencerahan sosial, bukan sekadar sarana hiburan atau propaganda.⁷ Sedangkan nilai kemanusiaan (humanity) mengandung dimensi empatik: jurnalis harus melihat subjek liputan bukan sebagai objek sensasi, melainkan sebagai manusia yang memiliki martabat.⁸ Etika kemanusiaan ini menolak praktik eksploitasi terhadap korban bencana, anak-anak, atau kelompok rentan, dan menuntut penghormatan terhadap hak privasi serta perasaan manusiawi narasumber.⁹

5.2.       Dilema Moral dalam Praktik Jurnalistik

Dalam praktik sehari-hari, nilai-nilai aksiologis tersebut sering kali berbenturan dengan kepentingan ekonomi, politik, dan teknologi media. Salah satu dilema utama adalah antara kepentingan publik dan privasi individu.¹⁰ Jurnalis dituntut untuk mengungkap fakta yang relevan bagi kepentingan umum, namun batas antara informasi publik dan kehidupan pribadi sering kali kabur.¹¹ Peliputan yang terlalu invasif terhadap kehidupan tokoh publik, misalnya, dapat melanggar prinsip penghormatan terhadap martabat manusia, meskipun secara formal berita tersebut “benar.”¹²

Dilema lain muncul dalam praktik sensasionalisme. Dalam upaya menarik perhatian audiens, banyak media mengedepankan unsur dramatik dan emosional yang mengorbankan keseimbangan informasi.¹³ Etika aksiologis menolak pendekatan semacam ini karena mengaburkan fungsi moral jurnalisme sebagai penyampai kebenaran yang mendidik publik.¹⁴ Selain itu, konflik kepentingan antara jurnalis dan pemilik media juga merupakan problem aksiologis mendalam, sebab ketika kepentingan ekonomi korporasi mengalahkan kepentingan publik, nilai kebenaran dan keadilan kehilangan kekuatannya.¹⁵

Dalam konteks kontemporer, dilema moral semakin kompleks dengan munculnya teknologi digital. Fenomena seperti clickbait, fake news, dan algoritma media sosial menciptakan tekanan baru yang menggoda jurnalis untuk mengutamakan engagement daripada akurasi dan kedalaman berita.¹⁶ Secara aksiologis, praktik semacam ini menggeser orientasi jurnalisme dari pelayanan publik menjadi komodifikasi informasi.¹⁷

5.3.       Tanggung Jawab Sosial dan Etika Publik

Etika jurnalistik memiliki dimensi aksiologis yang melekat pada tanggung jawab sosial terhadap publik. Model social responsibility theory yang dikemukakan oleh Siebert, Peterson, dan Schramm menegaskan bahwa kebebasan pers bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang disertai kewajiban moral untuk melayani kepentingan masyarakat.¹⁸ Prinsip ini menempatkan jurnalisme dalam kerangka etika publik — di mana setiap keputusan redaksional harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan sosial, demokrasi, dan harmoni masyarakat.¹⁹

Dalam masyarakat demokratis, tanggung jawab sosial juga mencakup keberpihakan terhadap kebenaran dan keadilan sosial.²⁰ Jurnalis etis tidak netral terhadap ketidakadilan; ia berpihak pada fakta dan pada kemanusiaan.²¹ Dalam konteks Indonesia, hal ini tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945 yang menempatkan kemanusiaan dan keadilan sosial sebagai nilai dasar kehidupan berbangsa.²² Oleh karena itu, aksiologi etika jurnalistik Indonesia perlu dipahami dalam kerangka etika Pancasila — di mana kebebasan pers dijalankan untuk memperkuat kemanusiaan, persatuan, dan keadilan.²³

5.4.       Etika terhadap Sumber Berita dan Korban

Aksiologi etika jurnalistik juga mengatur relasi moral antara jurnalis dan sumber berita.²⁴ Prinsip-prinsip seperti informed consent, perlindungan terhadap identitas korban, dan penghormatan terhadap hak narasumber merupakan ekspresi konkret dari nilai kemanusiaan.²⁵ Jurnalis dituntut untuk tidak memanipulasi atau menipu narasumber demi mendapatkan informasi, karena tindakan semacam itu melanggar prinsip otonomi moral individu.²⁶

Liputan terhadap peristiwa bencana, kekerasan seksual, dan konflik bersenjata menjadi ujian nyata bagi komitmen aksiologis jurnalis.²⁷ Dalam konteks ini, empati menjadi nilai kunci: jurnalis harus mampu menyeimbangkan antara kepentingan publik untuk mengetahui dan hak korban untuk dilindungi dari trauma sekunder akibat publikasi.²⁸ Seperti dikemukakan oleh Susan Moeller, “to tell the truth is not enough; one must tell it with compassion.”²⁹

5.5.       Keadilan Informasi dan Demokrasi Pengetahuan

Dalam masyarakat informasi, distribusi pengetahuan menjadi isu aksiologis baru. Akses terhadap informasi yang adil merupakan hak moral publik dan syarat bagi demokrasi yang sehat.³⁰ Etika jurnalistik, oleh karena itu, harus memastikan adanya equitable access to information — tidak hanya bagi kelompok elit atau mayoritas, tetapi juga bagi kelompok marginal yang suaranya sering terpinggirkan oleh logika pasar media.³¹

Konsep ini dikenal sebagai keadilan informasi (informational justice), yaitu gagasan bahwa pemerataan akses terhadap pengetahuan adalah bentuk konkret dari keadilan sosial.³² Dalam kerangka aksiologis ini, jurnalis berperan sebagai mediator keadilan, yang tidak hanya melaporkan fakta, tetapi juga memperjuangkan agar fakta itu dapat diakses secara setara dan digunakan untuk memperkuat posisi sosial kelompok lemah.³³ Dengan demikian, jurnalisme etis bukan hanya “menyampaikan berita,” melainkan juga “mendistribusikan keadilan.”³⁴


Orientasi Humanistik Jurnalisme

Aksiologi etika jurnalistik pada akhirnya berakar pada visi humanistik: menjadikan jurnalisme sebagai sarana penguatan martabat manusia.³⁵ Dalam paradigma humanisme komunikatif, seperti yang dikembangkan oleh Habermas, komunikasi publik harus berlandaskan pada kesetaraan partisipatif, kejujuran, dan saling pengertian.³⁶ Jurnalis, sebagai agen komunikasi publik, memikul tanggung jawab untuk menciptakan ruang wacana yang rasional dan beradab — ruang di mana setiap suara dapat didengar tanpa kekerasan simbolik.³⁷

Etika humanistik juga menolak dehumanisasi dalam bentuk komodifikasi penderitaan atau eksploitasi tragedi.³⁸ Jurnalisme yang etis harus menumbuhkan empati dan solidaritas sosial, bukan rasa takut atau kebencian.³⁹ Dengan demikian, nilai tertinggi dalam aksiologi etika jurnalistik bukan sekadar kebenaran atau objektivitas, tetapi kemanusiaan yang sadar akan kebenaran.⁴⁰


Footnotes

[1]                ¹ Clifford G. Christians, Ethics and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 45.

[2]                ² Stephen J. A. Ward, Global Journalism Ethics (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2010), 72–73.

[3]                ³ Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism (New York: Three Rivers Press, 2001), 58–59.

[4]                ⁴ Hannah Arendt, Truth and Politics, in Between Past and Future (New York: Viking Press, 1961), 227–264.

[5]                ⁵ Clifford G. Christians et al., Media Ethics: Cases and Moral Reasoning (New York: Routledge, 2020), 37.

[6]                ⁶ John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 3–5.

[7]                ⁷ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), 54–56.

[8]                ⁸ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 22.

[9]                ⁹ Susan D. Moeller, Compassion Fatigue: How the Media Sell Disease, Famine, War, and Death (New York: Routledge, 1999), 67–69.

[10]             ¹⁰ Jay Black, Doing Ethics in Media: Theories and Practical Applications (New York: Routledge, 2011), 82.

[11]             ¹¹ Julian Petley, “Privacy, the Public and the Press,” Journalism Studies 4, no. 4 (2003): 509–518.

[12]             ¹² Louis Hodges, “Defining Press Responsibility: A Functional Approach,” Journal of Mass Media Ethics 2, no. 1 (1987): 13–22.

[13]             ¹³ W. Joseph Campbell, Yellow Journalism: Puncturing the Myths, Defining the Legacies (Westport, CT: Praeger, 2001), 89–90.

[14]             ¹⁴ Clifford Christians, “Ethical Foundations of Journalism,” in Handbook of Journalism Studies, ed. Karin Wahl-Jorgensen and Thomas Hanitzsch (New York: Routledge, 2009), 42–44.

[15]             ¹⁵ Robert W. McChesney, Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times (New York: The New Press, 2000), 71–74.

[16]             ¹⁶ Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 133–136.

[17]             ¹⁷ David Croteau and William Hoynes, The Business of Media: Corporate Media and the Public Interest (Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press, 2006), 96.

[18]             ¹⁸ Fred S. Siebert, Theodore Peterson, and Wilbur Schramm, Four Theories of the Press (Urbana: University of Illinois Press, 1956), 102.

[19]             ¹⁹ Denis McQuail, Media Performance: Mass Communication and the Public Interest (London: Sage, 1992), 67–69.

[20]             ²⁰ Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), 152–154.

[21]             ²¹ Stephen J. A. Ward, Radical Media Ethics: A Global Approach (Malden: Wiley-Blackwell, 2015), 115.

[22]             ²² Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 48.

[23]             ²³ Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 2001), 92–93.

[24]             ²⁴ Clifford Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 104.

[25]             ²⁵ Jay Black and Frederick C. Steele, Introduction to Media Communication Ethics (New York: Routledge, 2011), 98–100.

[26]             ²⁶ Sissela Bok, Lying: Moral Choice in Public and Private Life (New York: Vintage Books, 1999), 81–82.

[27]             ²⁷ Susan D. Moeller, Compassion Fatigue, 72.

[28]             ²⁸ Simon Cottle, “Reporting Disasters: Factual, Moral and Emotional Discourses,” Journalism Studies 9, no. 5 (2008): 605–626.

[29]             ²⁹ Moeller, Compassion Fatigue, 68.

[30]             ³⁰ Manuel Castells, The Information Age: Economy, Society, and Culture (Oxford: Blackwell, 2000), 17–19.

[31]             ³¹ Nick Couldry, Why Voice Matters: Culture and Politics after Neoliberalism (London: Sage, 2010), 45–47.

[32]             ³² Luciano Floridi, Information: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2010), 86.

[33]             ³³ Clifford G. Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age, 119.

[34]             ³⁴ Martha Nussbaum, Political Emotions: Why Love Matters for Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 25–27.

[35]             ³⁵ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–286.

[36]             ³⁶ Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge: MIT Press, 1990), 88–90.

[37]             ³⁷ Axel Honneth, The Struggle for Recognition (Cambridge: Polity Press, 1995), 112–114.

[38]             ³⁸ Naomi Klein, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (New York: Metropolitan Books, 2007), 437.

[39]             ³⁹ Clifford Christians, Ethics and Journalism, 48.

[40]             ⁴⁰ Stephen J. A. Ward, Global Journalism Ethics, 118.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Hukum Etika Jurnalistik

Etika jurnalistik tidak dapat dipahami hanya sebagai seperangkat prinsip moral individual, melainkan sebagai fenomena sosial yang beroperasi di dalam jejaring kekuasaan politik, struktur ekonomi, dan sistem hukum.¹ Dimensi sosial, politik, dan hukum menjadi medan di mana nilai-nilai etis jurnalisme diuji, dinegosiasikan, dan dilembagakan. Pada level sosial, etika jurnalistik berfungsi menjaga kepercayaan publik; pada level politik, ia menjadi fondasi legitimasi demokrasi; dan pada level hukum, ia berperan sebagai batas normatif antara kebebasan dan tanggung jawab.² Dengan demikian, etika jurnalistik merupakan konstruksi normatif yang berakar pada relasi timbal balik antara media, masyarakat, dan negara.³

6.1.       Media dan Masyarakat: Fungsi Sosial Etika Jurnalistik

Dalam konteks sosial, jurnalisme memiliki peran fundamental sebagai penghubung antara warga negara dan realitas publik. Habermas menempatkan media sebagai bagian integral dari public sphere — ruang diskursif tempat warga berdialog dan membentuk opini rasional.⁴ Etika jurnalistik, dalam pengertian ini, bukan hanya aturan profesional, tetapi mekanisme moral untuk menjaga kualitas komunikasi publik.⁵

Media yang etis memungkinkan masyarakat membangun trust (kepercayaan sosial), yang merupakan prasyarat bagi stabilitas sosial dan demokrasi deliberatif.⁶ Tanpa etika, media kehilangan kredibilitas dan fungsi komunikatifnya, berubah menjadi instrumen manipulasi dan polarisasi sosial.⁷ Fenomena infotainment, disinformasi, dan polarisasi ideologis di media sosial menunjukkan bahwa krisis etika media berdampak langsung terhadap fragmentasi sosial.⁸ Oleh karena itu, dimensi sosial etika jurnalistik tidak hanya berkaitan dengan perilaku individu jurnalis, tetapi juga dengan struktur kepercayaan masyarakat terhadap institusi media itu sendiri.⁹

Lebih jauh, etika sosial dalam jurnalisme juga terkait dengan isu representasi.¹⁰ Siapa yang diberi suara dan siapa yang dibungkam mencerminkan dimensi keadilan sosial dalam etika media.¹¹ Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, tanggung jawab jurnalis mencakup kewajiban untuk menampilkan keberagaman pandangan tanpa diskriminasi atas dasar agama, etnis, gender, atau kelas sosial.¹² Hal ini memperluas makna etika jurnalistik dari sekadar kejujuran faktual menjadi bentuk solidaritas sosial dan penghormatan terhadap pluralitas manusia.¹³

6.2.       Etika Jurnalistik dalam Konteks Politik dan Demokrasi

Secara politik, etika jurnalistik memainkan peran sentral dalam menjaga fungsi media sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate).¹⁴ Media berperan sebagai pengawas kekuasaan (watchdog of power), yang memastikan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.¹⁵ Etika menjadi panduan normatif agar kekuasaan media tidak berubah menjadi tirani informasi.¹⁶

Dalam negara demokratis, kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak asasi manusia.¹⁷ Namun, kebebasan ini selalu dihadapkan pada dilema antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial.¹⁸ Jurnalis harus mampu menavigasi batas ini dengan mengedepankan kebenaran dan kepentingan publik, bukan kepentingan ideologis atau partisan.¹⁹ Dalam konteks Indonesia, prinsip ini tercermin dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kebebasan pers sekaligus menegaskan kewajiban untuk menaati kode etik jurnalistik.²⁰

Selain itu, etika politik media juga berkaitan dengan agenda-setting dan distribusi wacana.²¹ Media tidak hanya melaporkan realitas politik, tetapi juga membentuknya melalui pemilihan isu dan narasi.²² Karena itu, jurnalisme etis menuntut transparansi editorial, keberimbangan liputan, dan independensi terhadap kekuasaan politik maupun ekonomi.²³ Ketika media kehilangan independensi, ruang publik terdistorsi, dan demokrasi berubah menjadi sekadar formalitas tanpa substansi.²⁴

Etika jurnalistik juga berperan dalam membangun kesadaran politik warga.²⁵ Melalui pemberitaan yang mendidik, media dapat memperkuat literasi politik masyarakat dan mendorong partisipasi aktif dalam proses demokrasi.²⁶ Sebaliknya, jurnalisme yang manipulatif atau sensasional dapat melemahkan rasionalitas publik dan memperkuat politik identitas yang destruktif.²⁷ Dengan demikian, tanggung jawab politik jurnalis bukan hanya mengawasi kekuasaan, tetapi juga mencerdaskan rakyat agar mampu menjadi warga yang otonom dan kritis.²⁸

6.3.       Dimensi Hukum Etika Jurnalistik

Etika jurnalistik memiliki hubungan yang kompleks dengan hukum. Secara ideal, etika dan hukum sama-sama berfungsi menjaga keteraturan sosial, tetapi dengan cara yang berbeda.²⁹ Hukum bersifat koersif dan mengatur perilaku secara formal, sedangkan etika bersifat reflektif dan menuntut kesadaran moral.³⁰ Dalam praktik jurnalistik, kedua dimensi ini saling melengkapi: hukum menyediakan kerangka normatif yang mengikat, sementara etika memberikan makna moral di balik kepatuhan terhadap hukum.³¹

Kerangka hukum di Indonesia memberikan dasar kuat bagi praktik etis jurnalisme. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kemerdekaan pers, namun juga menegaskan tanggung jawab moral terhadap masyarakat.³² Dewan Pers berfungsi sebagai lembaga independen yang menegakkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yang memuat prinsip-prinsip seperti akurasi, imparsialitas, dan penghormatan terhadap privasi.³³ Mekanisme self-regulation ini dimaksudkan agar etika jurnalistik ditegakkan bukan melalui sanksi negara, melainkan melalui kesadaran profesional dan kontrol sosial.³⁴

Dalam ranah internasional, standar hukum yang mengatur etika jurnalistik juga berkembang melalui instrumen seperti UNESCO Declaration of Principles on the Conduct of Journalists (1983), European Convention on Human Rights (Pasal 10 tentang kebebasan berekspresi), dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).³⁵ Semua instrumen ini menekankan keseimbangan antara hak kebebasan pers dan tanggung jawab sosial terhadap publik.³⁶

Namun demikian, relasi antara hukum dan etika sering kali bersifat tegang.³⁷ Ketika hukum terlalu represif, kebebasan pers terancam; sebaliknya, ketika etika diabaikan, kebebasan pers disalahgunakan untuk kepentingan politik atau ekonomi.³⁸ Karena itu, idealnya, etika jurnalistik berfungsi sebagai higher law — hukum moral yang menuntun jurnalis untuk bertindak lebih dari sekadar patuh terhadap regulasi formal.³⁹

6.4.       Tantangan Sosio-Politik dan Hukum di Era Digital

Era digital menghadirkan tantangan baru bagi dimensi sosial, politik, dan hukum etika jurnalistik. Media sosial mengaburkan batas antara jurnalis profesional dan warga biasa, antara berita dan opini, antara fakta dan fiksi.⁴⁰ Dalam situasi ini, otoritas epistemik jurnalis menjadi rapuh, sementara penyebaran disinformasi menimbulkan efek sosial yang luas.⁴¹

Dari segi hukum, muncul pula pertanyaan tentang bagaimana regulasi dapat mengimbangi dinamika media digital tanpa mengekang kebebasan berekspresi.⁴² Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia, misalnya, sering diperdebatkan karena penggunaannya yang ambigu antara perlindungan publik dan pembatasan kritik.⁴³ Secara etis, hal ini menuntut keseimbangan antara freedom of speech dan freedom from harm — kebebasan untuk berbicara tanpa merugikan atau menindas pihak lain.⁴⁴

Pada sisi sosial-politik, munculnya algorithmic bias dan echo chambers memperparah polarisasi masyarakat.⁴⁵ Dalam konteks ini, etika jurnalistik perlu memperluas diri menjadi etika ekosistem informasi yang menuntut transparansi algoritma, tanggung jawab platform digital, dan kolaborasi lintas sektor dalam menjaga integritas ruang publik.⁴⁶


Integrasi Etika, Politik, dan Hukum dalam Kehidupan Publik

Etika jurnalistik yang sehat memerlukan integrasi antara kesadaran moral individu, struktur sosial yang adil, dan sistem hukum yang demokratis.⁴⁷ Ketiganya membentuk ekologi moral yang saling menopang.⁴⁸ Dalam ekologi ini, jurnalis berperan sebagai mediator moral antara warga dan negara — menjaga agar komunikasi publik berlangsung dalam semangat kejujuran, transparansi, dan penghormatan terhadap martabat manusia.⁴⁹

Etika sosial memastikan jurnalisme berpihak pada kebenaran dan kemanusiaan; etika politik menjamin independensi dan tanggung jawab terhadap demokrasi; sedangkan etika hukum memastikan perlindungan hak asasi serta akuntabilitas publik.⁵⁰ Dalam harmoni ketiganya, jurnalisme dapat berfungsi sebagai kekuatan moral yang membentuk peradaban informasi yang adil, bebas, dan manusiawi.⁵¹


Footnotes

[1]                ¹ Clifford G. Christians, Ethics and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 72.

[2]                ² Stephen J. A. Ward, Global Journalism Ethics (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2010), 84.

[3]                ³ Clifford G. Christians et al., Media Ethics: Cases and Moral Reasoning (New York: Routledge, 2020), 52.

[4]                ⁴ Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 57–60.

[5]                ⁵ James Carey, Communication as Culture: Essays on Media and Society (Boston: Unwin Hyman, 1989), 21.

[6]                ⁶ Robert Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 136–138.

[7]                ⁷ Manuel Castells, The Network Society (Oxford: Blackwell, 2000), 95–97.

[8]                ⁸ Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 142–144.

[9]                ⁹ Thomas Hanitzsch, “Deconstructing Journalism Culture,” Communication Theory 17, no. 4 (2007): 378.

[10]             ¹⁰ Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (London: Sage, 1997), 15–16.

[11]             ¹¹ Nick Couldry, Why Voice Matters: Culture and Politics after Neoliberalism (London: Sage, 2010), 39–40.

[12]             ¹² Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 2001), 112.

[13]             ¹³ Clifford Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 98.

[14]             ¹⁴ Denis McQuail, Mass Communication Theory (London: Sage, 2010), 162.

[15]             ¹⁵ Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism (New York: Three Rivers Press, 2001), 73.

[16]             ¹⁶ Stephen Ward, Radical Media Ethics: A Global Approach (Malden: Wiley-Blackwell, 2015), 91.

[17]             ¹⁷ Article 19, Universal Declaration of Human Rights (Paris: United Nations, 1948).

[18]             ¹⁸ Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Clarendon Press, 1969), 121–122.

[19]             ¹⁹ Jay Black, Doing Ethics in Media: Theories and Practical Applications (New York: Routledge, 2011), 95.

[20]             ²⁰ Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166.

[21]             ²¹ Maxwell McCombs and Donald Shaw, “The Agenda-Setting Function of Mass Media,” Public Opinion Quarterly 36, no. 2 (1972): 176.

[22]             ²² Edward S. Herman and Noam Chomsky, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 22–24.

[23]             ²³ Robert W. McChesney, Rich Media, Poor Democracy (New York: The New Press, 2000), 72.

[24]             ²⁴ Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge: MIT Press, 1990), 87.

[25]             ²⁵ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), 68.

[26]             ²⁶ Stephen J. A. Ward, “The Epistemology of Global Journalism Ethics,” Journal of Mass Media Ethics 20, no. 1 (2005): 3–5.

[27]             ²⁷ Hannah Arendt, Between Past and Future (New York: Viking Press, 1961), 237–238.

[28]             ²⁸ Clifford Christians, “Ethical Foundations of Journalism,” in Handbook of Journalism Studies, ed. Karin Wahl-Jorgensen and Thomas Hanitzsch (New York: Routledge, 2009), 39.

[29]             ²⁹ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 189.

[30]             ³⁰ Sissela Bok, Lying: Moral Choice in Public and Private Life (New York: Vintage Books, 1999), 81.

[31]             ³¹ Jay Black and Frederick C. Steele, Introduction to Media Communication Ethics (New York: Routledge, 2011), 97.

[32]             ³² Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

[33]             ³³ Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik (Jakarta: Dewan Pers, 2008).

[34]             ³⁴ Clifford G. Christians, Media Ethics: Cases and Moral Reasoning, 59.

[35]             ³⁵ UNESCO, Declaration of Principles on the Conduct of Journalists (Paris: UNESCO, 1983).

[36]             ³⁶ Council of Europe, European Convention on Human Rights, Article 10 (Rome: Council of Europe, 1950).

[37]             ³⁷ Stephen Ward, Global Journalism Ethics, 117.

[38]             ³⁸ David Croteau and William Hoynes, The Business of Media (Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press, 2006), 95–96.

[39]             ³⁹ Clifford Christians, Ethics and Journalism, 86.

[40]             ⁴⁰ Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 112–115.

[41]             ⁴¹ Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 37.

[42]             ⁴² Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 102–103.

[43]             ⁴³ Wahyudi Djafar, “UU ITE dan Kebebasan Berekspresi di Indonesia,” Jurnal HAM 12, no. 2 (2021): 211–224.

[44]             ⁴⁴ Martha Nussbaum, Creating Capabilities (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 24.

[45]             ⁴⁵ Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression (New York: NYU Press, 2018), 28–29.

[46]             ⁴⁶ Kate Crawford, Atlas of AI (New Haven: Yale University Press, 2021), 50.

[47]             ⁴⁷ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285.

[48]             ⁴⁸ Clifford Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age, 115.

[49]             ⁴⁹ Stephen Ward, Radical Media Ethics, 119.

[50]             ⁵⁰ Denis McQuail, Media Performance, 102.

[51]             ⁵¹ Clifford Christians, Ethics and Journalism, 90.


7.           Kritik terhadap Etika Jurnalistik

Etika jurnalistik, meskipun berfungsi sebagai fondasi moral bagi profesi media, tidak luput dari kritik teoretis dan praktis. Kritik terhadap etika jurnalistik mencakup dimensi filosofis, sosiologis, ekonomi-politik, dan kultural, yang mempertanyakan baik universalisme norma-norma etika maupun relevansinya dalam konteks global dan digital.¹ Sebagian pemikir menilai bahwa standar etika jurnalistik tradisional terlalu idealistik, bias Barat, dan tidak peka terhadap dinamika kekuasaan, pluralitas budaya, serta realitas ekonomi media kontemporer.² Oleh karena itu, kritik terhadap etika jurnalistik bukan bertujuan untuk meniadakannya, melainkan untuk memperdalam refleksi etis dan menyesuaikannya dengan kondisi sosial yang terus berubah.³

7.1.       Kritik Postmodern: Relativitas Kebenaran dan Dekonstruksi Objektivitas

Salah satu kritik paling berpengaruh terhadap etika jurnalistik datang dari pemikiran postmodernisme, yang menolak klaim universal atas kebenaran dan objektivitas.⁴ Tokoh-tokoh seperti Jean-François Lyotard dan Michel Foucault menunjukkan bahwa kebenaran selalu dikonstruksi dalam relasi kekuasaan, bukan sesuatu yang netral atau bebas nilai.⁵ Dalam konteks ini, etika jurnalistik yang menekankan objektivitas dan imparsialitas dianggap ilusi yang menyembunyikan bias ideologis di balik klaim netralitas.⁶

Lyotard, dalam The Postmodern Condition, menyebut bahwa masyarakat modern hidup dalam kondisi “pluralitas narasi,” di mana tidak ada satu pun “metanarasi” yang sah untuk melegitimasi kebenaran.⁷ Oleh karena itu, standar etika jurnalistik yang mengklaim universalitas dianggap menindas bentuk-bentuk pengetahuan lokal dan alternatif.⁸ Demikian pula, Foucault menegaskan bahwa produksi wacana media selalu beroperasi dalam regime of truth — suatu sistem di mana kebenaran dibentuk dan dikontrol oleh kekuasaan.⁹ Dengan demikian, objektivitas bukanlah netralitas, tetapi strategi hegemonik yang berpotensi menutupi struktur dominasi.¹⁰

Dari perspektif postmodern, etika jurnalistik perlu digantikan dengan etika refleksif, yaitu kesadaran bahwa setiap tindakan jurnalistik adalah tindakan interpretatif yang selalu terbuka terhadap koreksi dan perbedaan.¹¹ Kebenaran, dalam kerangka ini, menjadi dialogis dan plural, bukan dogmatis.¹²

7.2.       Kritik Ekonomi Politik: Komodifikasi Informasi dan Kapitalisme Media

Kritik lain datang dari pendekatan ekonomi politik media, yang menyoroti bagaimana struktur kepemilikan dan orientasi kapitalistik mengikis makna moral etika jurnalistik.¹³ Menurut Noam Chomsky dan Edward S. Herman, media massa di bawah kapitalisme berfungsi sebagai “industri ideologis” yang memproduksi kesadaran sesuai kepentingan kelas dominan.¹⁴ Melalui model propaganda, mereka menunjukkan bahwa berita tidak bebas, melainkan disaring oleh kepentingan ekonomi, iklan, dan kepemilikan korporasi.¹⁵

Robert McChesney melanjutkan kritik ini dengan menyatakan bahwa etika jurnalistik sering berfungsi sebagai legitimasi moral bagi sistem media komersial.¹⁶ Prinsip-prinsip seperti “kebebasan pers” atau “objektivitas” sering kali digunakan untuk menutupi realitas bahwa jurnalisme tunduk pada logika pasar — klik, rating, dan sponsor.¹⁷ Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai moral seperti keadilan, empati, dan kebenaran dikorbankan demi keuntungan finansial.¹⁸

Kritik ekonomi politik ini menuntut redefinisi etika jurnalistik dalam kerangka keadilan struktural.¹⁹ Etika tidak lagi cukup dipahami sebagai tanggung jawab individu, tetapi harus diperluas menjadi tanggung jawab institusional dan sistemik yang mencakup distribusi kekuasaan, kontrol kepemilikan media, dan hak publik atas informasi.²⁰

7.3.       Kritik Feminist: Bias Patriarkal dan Eksklusi Representasi

Kritik feminis terhadap etika jurnalistik menyoroti bias gender dalam praktik dan teori media.²¹ Nilai-nilai yang dianggap universal seperti objektivitas, rasionalitas, dan jarak emosional sering kali merupakan refleksi dari paradigma maskulin yang mengabaikan pengalaman dan nilai-nilai perempuan seperti empati, relasionalitas, dan perawatan (care ethics).²²

Carol Gilligan dan Nel Noddings menekankan bahwa etika berbasis relasi dan empati lebih sesuai untuk memahami praktik jurnalisme yang berhadapan dengan manusia nyata, bukan sekadar objek informasi.²³ Dalam konteks peliputan kekerasan terhadap perempuan, anak-anak, atau kelompok marginal, pendekatan care ethics menawarkan alternatif etika yang lebih humanistik daripada paradigma objektivitas dingin.²⁴

Selain itu, kritik feminis juga menyoroti ketimpangan representasi gender dalam media.²⁵ Perempuan sering kali digambarkan secara stereotipikal — sebagai korban pasif, simbol moralitas, atau objek visual.²⁶ Kondisi ini menunjukkan bahwa etika jurnalistik tidak dapat dilepaskan dari kritik terhadap struktur patriarki yang melekat pada budaya media.²⁷ Maka, etika jurnalistik yang sejati harus berupaya mewujudkan keadilan representasional — memastikan semua suara, termasuk yang feminis dan minoritas, memiliki ruang dalam wacana publik.²⁸

7.4.       Kritik Kultural dan Postkolonial: Bias Barat dan Homogenisasi Nilai

Etika jurnalistik global sering dikritik karena berakar pada paradigma Barat yang menonjolkan nilai-nilai liberal seperti kebebasan individu dan netralitas politik.²⁹ Dalam konteks non-Barat, terutama di masyarakat Asia dan Afrika, nilai-nilai tersebut kadang bertentangan dengan etika kolektivistik dan solidaritas sosial.³⁰ James Curran dan Myung-Jin Park menunjukkan bahwa model jurnalisme liberal sering gagal memahami konteks budaya di mana media beroperasi, seperti konsep harmoni sosial di Asia Timur atau gotong royong di Indonesia.³¹

Kritik postkolonial menyoroti bahwa etika jurnalistik universal sering berfungsi sebagai bentuk epistemic imperialism — dominasi nilai Barat atas praktik media lokal.³² Misalnya, ketika media di negara berkembang diukur dengan standar “independensi” dan “objektivitas” versi Barat, padahal realitas sosial mereka menuntut jurnalisme yang partisipatif dan advokatif.³³ Dengan demikian, dibutuhkan pendekatan etika pluralistik yang menghormati keragaman epistemik dan moral dari berbagai tradisi budaya.³⁴

Etika pluralistik ini sejalan dengan gagasan Clifford Christians tentang communitarian ethics, yakni etika berbasis komunitas yang menempatkan kebaikan bersama (common good) di atas kepentingan individual.³⁵ Dalam konteks globalisasi, pendekatan ini memungkinkan dialog antarbudaya dalam membangun jurnalisme yang etis tanpa hegemonik.³⁶

7.5.       Kritik Digital dan Teknologis: Krisis Etika di Era Algoritmik

Kritik terbaru terhadap etika jurnalistik datang dari era digital, ketika kecerdasan buatan, algoritma, dan media sosial mengubah lanskap epistemik dan moral komunikasi publik.³⁷ Di era algorithmic governance, banyak keputusan redaksional tidak lagi diambil oleh manusia, tetapi oleh sistem otomatis yang didorong oleh logika data dan kapitalisme perhatian (attention economy).³⁸

Luciano Floridi mengingatkan bahwa krisis etika di era digital bukan hanya persoalan disinformasi, tetapi juga infomoral damage — kerusakan moral akibat manipulasi data, pelanggaran privasi, dan hilangnya otonomi manusia dalam produksi pengetahuan.³⁹ Dalam konteks ini, standar etika jurnalistik tradisional menjadi tidak memadai karena tidak mampu mengatasi kompleksitas algoritmik dan ketidaktransparanan teknologi.⁴⁰

Kritik digital menuntut pengembangan etika algoritmik yang melibatkan akuntabilitas sistem otomatis, transparansi data, dan keadilan distribusi informasi.⁴¹ Dengan demikian, etika jurnalistik masa depan tidak hanya berbicara tentang perilaku manusia, tetapi juga tanggung jawab moral dari teknologi yang memediasi hubungan manusia dengan kebenaran.⁴²


Menuju Etika Jurnalistik Kritis dan Emansipatoris

Kritik-kritik tersebut menunjukkan bahwa etika jurnalistik harus terus dikaji ulang agar tidak terjebak dalam dogmatisme moral.⁴³ Etika jurnalistik yang kaku dan formalistik justru berisiko menjadi alat legitimasi bagi status quo.⁴⁴ Oleh karena itu, perlu dikembangkan paradigma etika jurnalistik kritis, yang bersifat reflektif, dialogis, dan emansipatoris.⁴⁵

Etika jurnalistik kritis berpijak pada kesadaran bahwa media adalah medan perjuangan sosial, bukan ruang netral.⁴⁶ Ia menolak relativisme total sekaligus menentang absolutisme moral.⁴⁷ Tujuannya bukan sekadar menjaga “kesopanan profesional,” tetapi membebaskan ruang publik dari distorsi kekuasaan dan ketidakadilan.⁴⁸ Dengan demikian, kritik terhadap etika jurnalistik bukanlah bentuk penolakan terhadap moralitas media, melainkan langkah menuju praksis jurnalisme yang lebih reflektif, partisipatif, dan manusiawi.⁴⁹


Footnotes

[1]                ¹ Clifford G. Christians, Ethics and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 102.

[2]                ² Stephen J. A. Ward, Global Journalism Ethics (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2010), 94.

[3]                ³ Clifford G. Christians et al., Media Ethics: Cases and Moral Reasoning (New York: Routledge, 2020), 68.

[4]                ⁴ Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 23.

[5]                ⁵ Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977 (New York: Pantheon Books, 1980), 131.

[6]                ⁶ Douglas Kellner, Media Culture: Cultural Studies, Identity, and Politics Between the Modern and the Postmodern (London: Routledge, 1995), 98.

[7]                ⁷ Lyotard, The Postmodern Condition, 37.

[8]                ⁸ Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (London: Sage, 1997), 19.

[9]                ⁹ Foucault, Power/Knowledge, 131–133.

[10]             ¹⁰ John Durham Peters, Speaking into the Air: A History of the Idea of Communication (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 87.

[11]             ¹¹ Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993), 14–15.

[12]             ¹² Stephen Ward, Radical Media Ethics: A Global Approach (Malden: Wiley-Blackwell, 2015), 112.

[13]             ¹³ Robert W. McChesney, Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times (New York: The New Press, 2000), 54.

[14]             ¹⁴ Edward S. Herman and Noam Chomsky, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 2–4.

[15]             ¹⁵ Ibid., 20–21.

[16]             ¹⁶ McChesney, Rich Media, Poor Democracy, 72.

[17]             ¹⁷ David Croteau and William Hoynes, The Business of Media: Corporate Media and the Public Interest (Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press, 2006), 95–96.

[18]             ¹⁸ Christian Fuchs, Social Media: A Critical Introduction (London: Sage, 2014), 124.

[19]             ¹⁹ Herman and Chomsky, Manufacturing Consent, 35.

[20]             ²⁰ Stephen Ward, Global Journalism Ethics, 99–100.

[21]             ²¹ Liesbet van Zoonen, Feminist Media Studies (London: Sage, 1994), 65–66.

[22]             ²² Sandra Harding, The Science Question in Feminism (Ithaca: Cornell University Press, 1986), 113.

[23]             ²³ Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge: Harvard University Press, 1982), 19.

[24]             ²⁴ Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 67.

[25]             ²⁵ Liesbet van Zoonen, Feminist Media Studies, 73–74.

[26]             ²⁶ Gaye Tuchman, Making News: A Study in the Construction of Reality (New York: Free Press, 1978), 215.

[27]             ²⁷ Rosalind Gill, Gender and the Media (Cambridge: Polity Press, 2007), 12–14.

[28]             ²⁸ Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 36.

[29]             ²⁹ James Curran and Myung-Jin Park, eds., De-Westernizing Media Studies (London: Routledge, 2000), 3.

[30]             ³⁰ Kaarle Nordenstreng, “Beyond the Four Theories of the Press,” Journal of Communication 27, no. 4 (1977): 14–15.

[31]             ³¹ Curran and Park, De-Westernizing Media Studies, 12–14.

[32]             ³² Gayatri Chakravorty Spivak, Can the Subaltern Speak? (New York: Columbia University Press, 1988), 283.

[33]             ³³ Clifford Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 103.

[34]             ³⁴ Stephen Ward, Global Journalism Ethics, 108.

[35]             ³⁵ Clifford Christians, “Ethical Foundations of Journalism,” in Handbook of Journalism Studies, ed. Karin Wahl-Jorgensen and Thomas Hanitzsch (New York: Routledge, 2009), 42–43.

[36]             ³⁶ Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age, 111–112.

[37]             ³⁷ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 93.

[38]             ³⁸ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 112.

[39]             ³⁹ Floridi, The Ethics of Information, 101.

[40]             ⁴⁰ Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021), 55.

[41]             ⁴¹ Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression (New York: NYU Press, 2018), 26–28.

[42]             ⁴² Ward, Radical Media Ethics, 118–119.

[43]             ⁴³ Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics, 21.

[44]             ⁴⁴ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 189.

[45]             ⁴⁵ Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge: MIT Press, 1990), 87.

[46]             ⁴⁶ Nancy Fraser, Justice Interruptus, 39.

[47]             ⁴⁷ Stephen Ward, Global Journalism Ethics, 115.

[48]             ⁴⁸ Clifford Christians, Ethics and Journalism, 106.

[49]             ⁴⁹ Ward, Radical Media Ethics, 121.


8.           Relevansi Kontemporer Etika Jurnalistik

Etika jurnalistik dewasa ini menghadapi tantangan yang semakin kompleks di tengah transformasi sosial, politik, dan teknologi global. Dalam era digital dan post-truth, batas antara jurnalisme profesional dan produksi informasi publik semakin kabur, sementara tekanan ekonomi, ideologis, dan algoritmik mengubah paradigma lama tentang kebenaran, tanggung jawab, dan integritas.¹ Relevansi etika jurnalistik tidak lagi dapat dipahami sekadar sebagai regulasi moral profesi media, tetapi sebagai kebutuhan mendasar untuk menjaga keutuhan ruang publik, mencegah disinformasi, dan membangun kembali kepercayaan sosial terhadap media.²

8.1.       Etika Jurnalisme Digital dan Media Sosial

Era digital membawa disrupsi epistemologis yang besar terhadap cara kerja jurnalisme.³ Munculnya media sosial, platform berbasis algoritma, dan jurnalisme warga (citizen journalism) telah menggeser monopoli produksi berita dari institusi profesional ke ruang publik yang lebih luas.⁴ Dalam konteks ini, prinsip-prinsip tradisional seperti verifikasi, objektivitas, dan akurasi menjadi semakin sulit diterapkan karena kecepatan informasi lebih diutamakan daripada kedalaman dan ketepatan.⁵

Etika jurnalistik digital menuntut redefinisi atas konsep “profesionalisme.” Seorang jurnalis kini bukan hanya penulis berita, tetapi juga kurator informasi, pengelola data, dan komunikator publik yang aktif dalam ruang digital interaktif.⁶ Clifford Christians menekankan bahwa dalam konteks ini, etika harus bergerak dari paradigma control ethics menuju responsibility ethics, yakni dari sekadar mematuhi aturan menuju tanggung jawab aktif untuk mencegah misinformasi dan manipulasi digital.⁷

Media sosial juga menimbulkan dilema moral baru: bagaimana membedakan antara kebebasan berekspresi dan penyebaran kebencian, antara transparency dan pelanggaran privasi.⁸ Etika jurnalistik kontemporer harus mampu menavigasi ambiguitas ini dengan prinsip accountability — bahwa setiap penyebaran informasi harus dapat dipertanggungjawabkan secara sosial, epistemik, dan moral.⁹

8.2.       Disinformasi, Post-Truth, dan Krisis Kepercayaan Publik

Salah satu fenomena paling signifikan dalam konteks kontemporer adalah munculnya era post-truth, di mana opini subjektif dan emosi lebih berpengaruh daripada fakta empiris.¹⁰ Krisis kepercayaan publik terhadap media bukan hanya disebabkan oleh kesalahan informasi, tetapi juga oleh persepsi bahwa media telah berpihak secara ideologis atau ekonomis.¹¹

Zeynep Tufekci menyebut bahwa dalam sistem media digital, kebenaran bersaing bukan berdasarkan validitasnya, melainkan daya sebar (shareability).¹² Berita palsu atau provokatif sering kali lebih viral karena memicu emosi kolektif.¹³ Dalam kondisi seperti ini, etika jurnalistik tidak hanya berperan untuk mengatur perilaku jurnalis, tetapi juga sebagai sarana pendidikan publik agar mampu membedakan fakta dari propaganda.¹⁴

Jurnalis etis, dalam kerangka epistemic virtue, harus berperan sebagai “penjaga epistemik” (epistemic gatekeeper) yang memelihara standar kebenaran dan mendorong literasi informasi.¹⁵ Upaya fact-checking, kolaborasi lintas media, dan transparansi metodologis merupakan wujud nyata dari etika baru yang responsif terhadap krisis epistemik global.¹⁶ Dalam hal ini, kebenaran tidak lagi cukup dianggap sebagai hasil liputan, tetapi sebagai proses sosial yang melibatkan partisipasi publik dan refleksi kolektif.¹⁷

8.3.       Jurnalisme Data, Privasi, dan Transparansi

Perkembangan jurnalisme data dan analitik digital menghadirkan tantangan aksiologis baru.¹⁸ Di satu sisi, penggunaan data besar (big data) meningkatkan akurasi liputan dan memperkaya konteks berita; di sisi lain, ia menimbulkan dilema etis terkait privasi individu dan potensi penyalahgunaan informasi.¹⁹

Etika jurnalistik kontemporer menuntut keseimbangan antara hak publik untuk tahu dan hak individu untuk dilindungi.²⁰ Prinsip ini menjadi semakin relevan di tengah praktik data scraping, surveillance journalism, dan open-source investigation.²¹ Ward menekankan pentingnya ethical transparency — keterbukaan tentang bagaimana data diperoleh, diproses, dan digunakan dalam peliputan.²²

Di sisi lain, muncul kebutuhan akan “etika algoritmik” dalam jurnalisme data.²³ Ketika pengambilan keputusan redaksional dipengaruhi oleh algoritma (misalnya dalam sistem rekomendasi berita atau automated journalism), tanggung jawab moral tidak boleh hilang di balik teknologi.²⁴ Etika di sini berfungsi untuk memastikan bahwa teknologi tetap tunduk pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan informasi.²⁵

8.4.       Etika Jurnalisme dalam Konteks Krisis dan Konflik

Dalam konteks krisis kemanusiaan, perang, atau bencana alam, etika jurnalistik berhadapan langsung dengan pertanyaan moral tentang penderitaan dan representasi manusia.²⁶ Susan Moeller menyebut bahwa media sering kali jatuh ke dalam “compassion fatigue” — kelelahan empati akibat eksposur berlebihan terhadap tragedi.²⁷ Jurnalis etis harus mampu menampilkan kenyataan pahit tanpa mengeksploitasi penderitaan korban.²⁸

Liputan konflik atau kekerasan memerlukan prinsip moral yang sensitif terhadap konteks.²⁹ Etika kemanusiaan dalam jurnalisme menuntut keseimbangan antara hak publik untuk tahu dan hak korban untuk diperlakukan dengan hormat.³⁰ Dalam kondisi perang atau represi politik, jurnalis sering kali dihadapkan pada dilema antara keselamatan diri dan tanggung jawab moral untuk mengungkap kebenaran.³¹

Relevansi etika jurnalistik di sini tampak dalam kemampuan untuk mempertahankan komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan meskipun dalam situasi ekstrem.³² Sebagaimana ditegaskan oleh Hannah Arendt, keberanian untuk mengatakan kebenaran di tengah kekerasan adalah tindakan politik tertinggi dari nurani manusia.³³

8.5.       Pendidikan Etika Media dan Literasi Digital

Salah satu aspek paling penting dalam menjaga relevansi etika jurnalistik adalah pendidikan etika dan literasi media.³⁴ Etika tidak dapat berfungsi hanya sebagai dokumen kode profesional, tetapi harus menjadi kesadaran moral yang ditanamkan melalui pendidikan dan partisipasi publik.³⁵

Program media literacy memungkinkan masyarakat untuk memahami bagaimana berita diproduksi, bagaimana bias bekerja, dan bagaimana mengenali manipulasi informasi.³⁶ Clifford Christians menekankan bahwa masyarakat yang etis tidak dapat terwujud tanpa warga yang melek etika media (media ethical literacy).³⁷ Dengan demikian, etika jurnalistik modern harus bersifat partisipatif — bukan hanya mengatur jurnalis, tetapi juga memberdayakan audiens sebagai bagian dari komunitas moral dalam ekosistem informasi.³⁸

8.6.       Etika Jurnalistik dan Demokrasi Digital

Etika jurnalistik memiliki relevansi mendalam terhadap kelangsungan demokrasi di era digital.³⁹ Dalam sistem komunikasi yang semakin terfragmentasi, peran media sebagai public watchdog bergeser menuju peran fasilitatif — menciptakan ruang deliberatif tempat warga dapat berdebat secara rasional dan beradab.⁴⁰

Habermas menegaskan bahwa keberlanjutan demokrasi deliberatif bergantung pada integritas komunikasi publik.⁴¹ Dengan demikian, jurnalisme etis menjadi penjaga moral dari proses demokrasi itu sendiri.⁴² Dalam konteks Indonesia, relevansi ini semakin penting di tengah maraknya polarisasi politik, ujaran kebencian, dan penyebaran hoaks yang mengancam kohesi sosial.⁴³

Jurnalisme etis harus menegakkan nilai-nilai truthfulness, fairness, inclusivity, dan civic responsibility.⁴⁴ Lebih dari sekadar menyampaikan informasi, tugasnya adalah memperkuat rasionalitas publik dan menghidupkan kembali budaya dialog.⁴⁵ Etika jurnalistik dengan demikian menjadi pilar normatif bagi terciptanya ruang publik digital yang berkeadilan, terbuka, dan manusiawi.⁴⁶


Relevansi Global: Menuju Etika Jurnalistik Humanistik

Dalam dunia yang semakin saling terhubung, etika jurnalistik harus melampaui batas geografis dan ideologis untuk membentuk etika global jurnalisme.⁴⁷ Clifford Christians dan Stephen Ward menyebut bahwa era globalisasi menuntut paradigma cosmopolitan ethics, yakni etika yang menegaskan tanggung jawab jurnalis tidak hanya kepada negara atau korporasi, tetapi kepada kemanusiaan universal.⁴⁸

Etika humanistik ini menempatkan jurnalis sebagai penjaga nurani global — seorang komunikator moral yang mengedepankan empati lintas budaya, solidaritas terhadap yang tertindas, dan keberanian untuk berbicara melawan ketidakadilan.⁴⁹ Dalam kerangka ini, jurnalisme tidak sekadar profesi, tetapi tindakan etis yang menegakkan martabat manusia di tengah arus informasi yang sering kali dehumanistik.⁵⁰

Dengan demikian, relevansi kontemporer etika jurnalistik tidak berhenti pada adaptasi terhadap teknologi baru, tetapi pada revitalisasi nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi inti dari jurnalisme itu sendiri.⁵¹


Footnotes

[1]                ¹ Stephen J. A. Ward, Global Journalism Ethics (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2010), 132.

[2]                ² Clifford G. Christians, Ethics and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 115.

[3]                ³ Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 103.

[4]                ⁴ Charlie Beckett, SuperMedia: Saving Journalism So It Can Save the World (Oxford: Wiley-Blackwell, 2008), 12.

[5]                ⁵ Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism (New York: Three Rivers Press, 2001), 74.

[6]                ⁶ Jay Rosen, What Are Journalists For? (New Haven: Yale University Press, 1999), 26.

[7]                ⁷ Clifford G. Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 91–92.

[8]                ⁸ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 108.

[9]                ⁹ Stephen Ward, Radical Media Ethics: A Global Approach (Malden: Wiley-Blackwell, 2015), 124.

[10]             ¹⁰ Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 19–20.

[11]             ¹¹ Robert McChesney, Communication Revolution: Critical Junctures and the Future of Media (New York: The New Press, 2007), 46.

[12]             ¹² Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 136.

[13]             ¹³ Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 43.

[14]             ¹⁴ Clifford Christians, Ethics and Journalism, 122.

[15]             ¹⁵ Stephen Ward, “The Epistemology of Global Journalism Ethics,” Journal of Mass Media Ethics 20, no. 1 (2005): 3–5.

[16]             ¹⁶ Bill Adair and Angie Holan, “The Rise of Fact-Checking Journalism,” American Press Institute (2015): 2–4.

[17]             ¹⁷ Hannah Arendt, Truth and Politics, in Between Past and Future (New York: Viking Press, 1961), 241.

[18]             ¹⁸ David Weinberger, Too Big to Know (New York: Basic Books, 2012), 67.

[19]             ¹⁹ Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression (New York: NYU Press, 2018), 25–26.

[20]             ²⁰ Jay Black, Doing Ethics in Media: Theories and Practical Applications (New York: Routledge, 2011), 92.

[21]             ²¹ Paul Bradshaw, Data Journalism Handbook (Sebastopol, CA: O’Reilly Media, 2012), 17.

[22]             ²² Stephen Ward, Global Journalism Ethics, 140.

[23]             ²³ Luciano Floridi, The Logic of Information (Oxford: Oxford University Press, 2019), 101–103.

[24]             ²⁴ Kate Crawford, Atlas of AI (New Haven: Yale University Press, 2021), 54.

[25]             ²⁵ Floridi, The Ethics of Information, 115.

[26]             ²⁶ Susan D. Moeller, Compassion Fatigue: How the Media Sell Disease, Famine, War, and Death (New York: Routledge, 1999), 72.

[27]             ²⁷ Ibid., 67.

[28]             ²⁸ Simon Cottle, “Reporting Disasters: Factual, Moral and Emotional Discourses,” Journalism Studies 9, no. 5 (2008): 606.

[29]             ²⁹ Clifford G. Christians et al., Media Ethics: Cases and Moral Reasoning (New York: Routledge, 2020), 130.

[30]             ³⁰ Jay Black and Frederick C. Steele, Introduction to Media Communication Ethics (New York: Routledge, 2011), 97.

[31]             ³¹ Susan Moeller, Compassion Fatigue, 83.

[32]             ³² Hannah Arendt, Responsibility and Judgment (New York: Schocken Books, 2003), 18.

[33]             ³³ Arendt, Truth and Politics, 246.

[34]             ³⁴ Clifford G. Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age, 123.

[35]             ³⁵ Denis McQuail, Media Performance: Mass Communication and the Public Interest (London: Sage, 1992), 84.

[36]             ³⁶ Renee Hobbs, Digital and Media Literacy: Connecting Culture and Classroom (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2011), 18.

[37]             ³⁷ Christians, Ethics and Journalism, 118.

[38]             ³⁸ Stephen Ward, Radical Media Ethics, 126.

[39]             ³⁹ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 287.

[40]             ⁴⁰ James Carey, Communication as Culture: Essays on Media and Society (Boston: Unwin Hyman, 1989), 28.

[41]             ⁴¹ Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge: MIT Press, 1990), 87.

[42]             ⁴² Clifford Christians, Ethics and Journalism, 121.

[43]             ⁴³ Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 48.

[44]             ⁴⁴ Stephen Ward, Global Journalism Ethics, 149.

[45]             ⁴⁵ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), 72.

[46]             ⁴⁶ Clifford G. Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age, 132.

[47]             ⁴⁷ Ward, Radical Media Ethics, 130.

[48]             ⁴⁸ Clifford Christians and Stephen Ward, Media Ethics: Cases and Moral Reasoning, 135.

[49]             ⁴⁹ Martha C. Nussbaum, Political Emotions: Why Love Matters for Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 25.

[50]             ⁵⁰ Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge: MIT Press, 1996), 389.

[51]             ⁵¹ Clifford Christians, Ethics and Journalism, 124.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Jurnalisme Humanistik

Sintesis filosofis etika jurnalistik berupaya merumuskan suatu pandangan integral tentang jurnalisme sebagai praktik moral, epistemik, dan sosial yang berorientasi pada kemanusiaan.¹ Seluruh dimensi historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, dan politik yang telah dibahas sebelumnya berpuncak pada upaya merekonstruksi jurnalisme sebagai praktik humanistik — yaitu kegiatan yang tidak hanya bertujuan menyampaikan informasi, tetapi juga memanusiakan manusia melalui komunikasi yang jujur, empatik, dan adil.² Dalam konteks dunia yang terfragmentasi oleh polarisasi, disinformasi, dan logika algoritmik, jurnalisme humanistik muncul sebagai paradigma baru yang menegaskan kembali nilai-nilai dasar kemanusiaan, solidaritas, dan tanggung jawab moral di tengah arus teknologi dan pasar global.³

9.1.       Integrasi Nilai Humanisme, Kebenaran, dan Keadilan

Paradigma jurnalisme humanistik berakar pada tradisi filsafat humanisme yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai moral dan tujuan etika sosial.⁴ Dalam kerangka ini, jurnalisme tidak lagi dilihat semata-mata sebagai profesi, melainkan sebagai praxis moral yang mengabdi pada martabat manusia (human dignity).⁵ Seperti ditegaskan oleh Martha C. Nussbaum, kemanusiaan harus dipahami sebagai kemampuan untuk “melihat yang lain sebagai manusia penuh,” bukan sekadar objek pemberitaan.⁶

Nilai kebenaran tetap menjadi inti moral jurnalisme, tetapi di sini kebenaran dipahami secara dialogis dan relasional, bukan absolut.⁷ Kebenaran jurnalistik adalah hasil komunikasi yang terbuka dan reflektif, di mana jurnalis, narasumber, dan publik bersama-sama menyingkap realitas.⁸ Sementara itu, keadilan berfungsi sebagai prinsip distributif: memastikan bahwa setiap suara — termasuk yang marginal dan tertindas — mendapatkan ruang yang layak dalam wacana publik.⁹ Dengan demikian, jurnalisme humanistik berupaya melampaui objektivitas teknis menuju keadilan epistemik (epistemic justice), yakni keadilan dalam distribusi dan representasi pengetahuan.¹⁰

9.2.       Jurnalisme sebagai Praktik Etika Empatik

Empati merupakan landasan ontologis sekaligus aksiologis dari jurnalisme humanistik.¹¹ Dalam paradigma ini, jurnalis bukan sekadar pengamat netral, melainkan peserta moral dalam kehidupan sosial yang ia liput.¹² Seorang jurnalis yang empatik memahami bahwa setiap narasi berita menyentuh kehidupan manusia nyata yang memiliki perasaan, trauma, dan harga diri.¹³

Empati tidak bertentangan dengan profesionalisme, justru memperkuatnya.⁴ Clifford G. Christians menyebut empati sebagai bentuk tertinggi dari keadilan komunikatif, karena hanya dengan memahami penderitaan orang lain, jurnalis dapat menyampaikan kebenaran dengan kemanusiaan.¹⁵ Dalam konteks ini, jurnalisme humanistik menggabungkan cognitive responsibility (tanggung jawab pengetahuan) dengan moral sensitivity (kepekaan moral).¹⁶

Model empatik ini juga menolak paradigma “view from nowhere” yang selama ini menjadi mitos dalam jurnalisme modern.¹⁷ Sebaliknya, ia menegaskan “view from compassion,” yakni sudut pandang yang berakar pada kesadaran moral bahwa setiap berita adalah kisah manusia.¹⁸ Dengan demikian, empati bukan bentuk sentimentalitas, melainkan kebajikan epistemik yang memungkinkan jurnalis memahami konteks, kompleksitas, dan makna manusiawi dari peristiwa.¹⁹

9.3.       Etika Komunikatif dan Dialog Humanis

Jurnalisme humanistik mengakar kuat dalam teori etika komunikatif Jürgen Habermas, yang memandang komunikasi sebagai tindakan moral yang berorientasi pada pengertian bersama (mutual understanding).²⁰ Dalam kerangka ini, jurnalisme bukan sekadar sarana penyebaran informasi, tetapi arena dialog rasional di mana berbagai klaim kebenaran diuji melalui argumentasi terbuka.²¹

Etika komunikatif menuntut tiga prasyarat moral utama: kejujuran (truthfulness), ketepatan normatif (rightness), dan ketulusan (sincerity).²² Seorang jurnalis yang etis harus mampu menjaga ketiganya dalam setiap tahap kerja jurnalistik — mulai dari riset, penulisan, hingga penyajian.²³ Dengan demikian, praktik jurnalistik menjadi bentuk tindakan komunikatif yang memediasi antara fakta dan nilai, antara publik dan kekuasaan, antara individu dan masyarakat.²⁴

Melalui pendekatan ini, jurnalisme humanistik dapat menjadi penopang bagi demokrasi deliberatif.²⁵ Ia menciptakan ruang publik yang sehat, di mana warga dapat berdialog tanpa kekerasan simbolik dan tanpa distorsi informasi.²⁶ Etika komunikatif dengan demikian menjadi dasar filosofis bagi transformasi jurnalisme dari industri informasi menjadi etika wacana publik.²⁷

9.4.       Jurnalisme sebagai Tindakan Emansipatoris

Filsafat jurnalisme humanistik tidak berhenti pada empati, tetapi juga menuntut tindakan emansipatoris.²⁸ Dalam tradisi teori kritis, komunikasi tidak hanya dimaksudkan untuk menyampaikan pengetahuan, tetapi juga untuk membebaskan manusia dari dominasi dan ketidakadilan.²⁹ Dengan demikian, jurnalis etis tidak netral terhadap ketidakadilan sosial; ia berpihak pada kebenaran yang membebaskan.³⁰

Paulo Freire menekankan pentingnya kesadaran kritis (conscientização) sebagai dasar etika komunikasi pembebasan.³¹ Jurnalis yang humanistik bertugas membantu masyarakat membaca realitas secara kritis dan bertindak berdasarkan kesadaran moral.³² Dalam konteks ini, jurnalisme berfungsi bukan sekadar sebagai refleksi dunia, tetapi sebagai intervensi etis untuk memperbaiki dunia.³³

Etika emansipatoris ini menuntut jurnalis untuk menolak hegemoni narasi dominan yang menindas, serta memberi ruang bagi suara-suara alternatif dan subaltern.³⁴ Sejalan dengan pemikiran Nancy Fraser, jurnalisme yang etis harus memperluas ruang publik agar inklusif bagi kelompok-kelompok yang selama ini tersingkir dari wacana mainstream.³⁵

9.5.       Humanisme Digital dan Etika Teknologi

Di era digital, jurnalisme humanistik harus berhadapan dengan tantangan baru berupa teknologi otomatisasi, kecerdasan buatan (AI), dan algoritma media sosial.³⁶ Jika dibiarkan tanpa kendali etis, teknologi dapat menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan dari praktik jurnalistik.³⁷ Oleh karena itu, humanisme digital menjadi komponen penting dalam sintesis etika jurnalistik masa kini.³⁸

Luciano Floridi menegaskan bahwa informasi memiliki dimensi moral, dan setiap interaksi digital adalah tindakan etis yang berdampak pada manusia lain.³⁹ Dalam konteks ini, jurnalis harus memastikan bahwa penggunaan teknologi tidak mengorbankan prinsip keadilan, kejujuran, dan privasi.⁴⁰ Etika algoritmik, transparansi data, dan akuntabilitas digital menjadi bagian integral dari paradigma jurnalisme humanistik.⁴¹

Lebih jauh, jurnalisme humanistik digital tidak hanya mengadaptasi teknologi, tetapi juga menafsirkan kembali makna kemanusiaan di tengah era otomatisasi.⁴² Dengan demikian, teknologi tidak menjadi pengganti moralitas, melainkan sarana untuk memperluas ruang empati dan solidaritas.⁴³

9.6.       Menuju Paradigma Jurnalisme Humanistik Global

Sintesis filosofis etika jurnalistik akhirnya bermuara pada visi jurnalisme humanistik global — paradigma yang mengintegrasikan etika universal dengan sensitivitas kultural dan solidaritas lintas bangsa.⁴⁴ Stephen Ward menyebutnya sebagai cosmopolitan journalism ethics, yaitu etika yang berlandaskan tanggung jawab moral terhadap umat manusia sebagai satu komunitas global.⁴⁵

Dalam paradigma ini, jurnalis dipahami sebagai citizen of the world — pelaku moral yang bekerja tidak hanya demi bangsa atau lembaganya, tetapi demi kemanusiaan universal.⁴⁶ Prinsip utamanya meliputi truthfulness (kejujuran universal), justice (keadilan lintas budaya), dan solidarity (empati global).⁴⁷ Jurnalisme humanistik global juga mengedepankan prinsip nonviolence communication, yaitu praktik komunikasi yang menghindari bahasa kebencian dan kekerasan simbolik.⁴⁸

Paradigma ini mengembalikan jurnalisme kepada esensinya sebagai tindakan moral untuk memahami, bukan mendominasi; untuk membangun dialog, bukan memecah belah.⁴⁹ Dalam dunia yang terpecah oleh polarisasi ideologis dan konflik identitas, jurnalisme humanistik menjadi bentuk praksis etika yang meneguhkan kembali peran media sebagai penjaga nurani kemanusiaan.⁵⁰


Sintesis: Dari Etika Profesi Menuju Etika Kemanusiaan

Sintesis akhir dari seluruh dimensi etika jurnalistik mengarah pada transformasi paradigma: dari etika profesi menuju etika kemanusiaan.⁵¹ Dalam kerangka ini, tugas jurnalis bukan lagi sekadar memenuhi standar profesional, melainkan mewujudkan tanggung jawab moral terhadap kehidupan bersama.⁵²

Dengan menggabungkan prinsip kebenaran, keadilan, empati, dan dialog, jurnalisme humanistik menjadi wujud praksis filsafat komunikasi yang mempersatukan logos (rasionalitas), ethos (moralitas), dan pathos (kemanusiaan).⁵³ Sebagaimana diungkapkan oleh Clifford Christians, “the ultimate goal of journalism is not information, but understanding.”⁵⁴ Pemahaman inilah — yang bersumber dari kebenaran dan diwarnai oleh kasih — yang menjadikan jurnalisme bukan hanya profesi, tetapi panggilan moral untuk menghidupkan kembali makna manusia di tengah dunia yang kehilangan arah.⁵⁵


Footnotes

[1]                ¹ Clifford G. Christians, Ethics and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 132.

[2]                ² Stephen J. A. Ward, Global Journalism Ethics (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2010), 141.

[3]                ³ Clifford G. Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 120.

[4]                ⁴ Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 56.

[5]                ⁵ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 53.

[6]                ⁶ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 22.

[7]                ⁷ Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge: MIT Press, 1990), 87–89.

[8]                ⁸ John Durham Peters, Speaking into the Air: A History of the Idea of Communication (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 88.

[9]                ⁹ John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 12.

[10]             ¹⁰ Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 3.

[11]             ¹¹ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 215.

[12]             ¹² Clifford Christians, “Ethical Foundations of Journalism,” in Handbook of Journalism Studies, ed. Karin Wahl-Jorgensen and Thomas Hanitzsch (New York: Routledge, 2009), 42.

[13]             ¹³ Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 67.

[14]             ¹⁴ Stephen Ward, Radical Media Ethics: A Global Approach (Malden: Wiley-Blackwell, 2015), 128.

[15]             ¹⁵ Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age, 112.

[16]             ¹⁶ Clifford G. Christians et al., Media Ethics: Cases and Moral Reasoning (New York: Routledge, 2020), 143.

[17]             ¹⁷ Thomas Nagel, The View from Nowhere (New York: Oxford University Press, 1986), 5.

[18]             ¹⁸ Martha Nussbaum, Political Emotions: Why Love Matters for Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 24.

[19]             ¹⁹ Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993), 112.

[20]             ²⁰ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 286.

[21]             ²¹ Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge: MIT Press, 1996), 325.

[22]             ²² Ibid., 327.

[23]             ²³ Clifford Christians, Ethics and Journalism, 121.

[24]             ²⁴ James Carey, Communication as Culture: Essays on Media and Society (Boston: Unwin Hyman, 1989), 24.

[25]             ²⁵ Stephen Ward, Global Journalism Ethics, 144.

[26]             ²⁶ Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 212.

[27]             ²⁷ Clifford Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age, 134.

[28]             ²⁸ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), 52.

[29]             ²⁹ Max Horkheimer, Critical Theory: Selected Essays (New York: Continuum, 1982), 228.

[30]             ³⁰ Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 37.

[31]             ³¹ Freire, Pedagogy of the Oppressed, 68.

[32]             ³² Ibid., 72.

[33]             ³³ Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press, 1964), 238.

[34]             ³⁴ Gayatri Chakravorty Spivak, Can the Subaltern Speak? (New York: Columbia University Press, 1988), 284.

[35]             ³⁵ Fraser, Justice Interruptus, 39.

[36]             ³⁶ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 95.

[37]             ³⁷ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 145.

[38]             ³⁸ Floridi, The Logic of Information (Oxford: Oxford University Press, 2019), 102.

[39]             ³⁹ Ibid., 108.

[40]             ⁴⁰ Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021), 58.

[41]             ⁴¹ Clifford Christians, Ethics and Journalism, 125.

[42]             ⁴² Stephen Ward, Radical Media Ethics, 131.

[43]             ⁴³ Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age, 140.

[44]             ⁴⁴ Ward, Global Journalism Ethics, 146.

[45]             ⁴⁵ Stephen Ward, “The Cosmopolitan Promise of Global Journalism Ethics,” Journal of Mass Media Ethics 22, no. 2 (2007): 110.

[46]             ⁴⁶ Clifford Christians and Ward, Media Ethics: Cases and Moral Reasoning, 147.

[47]             ⁴⁷ Martha Nussbaum, Creating Capabilities, 29.

[48]             ⁴⁸ Marshall Rosenberg, Nonviolent Communication: A Language of Life (Encinitas, CA: PuddleDancer Press, 2003), 112.

[49]             ⁴⁹ Hannah Arendt, Responsibility and Judgment, 24.

[50]             ⁵⁰ Clifford Christians, Ethics and Journalism, 128.

[51]             ⁵¹ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 217.

[52]             ⁵² Clifford Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age, 142.

[53]             ⁵³ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1106b–1107a.

[54]             ⁵⁴ Christians, Ethics and Journalism, 130.

[55]             ⁵⁵ Stephen Ward, Radical Media Ethics, 135.


10.       Kesimpulan

Etika jurnalistik, sebagaimana ditelusuri dalam seluruh pembahasan sebelumnya, merupakan fondasi normatif yang memastikan bahwa praktik jurnalisme tidak hanya berorientasi pada penyebaran informasi, tetapi juga pada pemeliharaan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.¹ Sebagai disiplin moral, etika jurnalistik berfungsi untuk menuntun jurnalis agar bertindak dengan kesadaran reflektif — tidak sekadar mematuhi aturan profesional, tetapi memahami makna moral di balik setiap tindakan komunikatif.² Dalam dunia yang ditandai oleh kompleksitas teknologi, politik, dan ekonomi informasi, etika menjadi penentu apakah jurnalisme dapat tetap berfungsi sebagai kekuatan moral yang memelihara nalar publik dan martabat manusia.³

10.1.    Rekapitulasi Prinsip dan Dimensi Etika Jurnalistik

Secara historis, etika jurnalistik lahir dari perjuangan panjang antara kebebasan dan tanggung jawab.⁴ Dari akar Pencerahan yang menegakkan rasionalitas dan hak publik untuk tahu, hingga munculnya teori tanggung jawab sosial dan etika global, prinsip-prinsip dasar seperti akurasi, kejujuran, independensi, dan empati telah menjadi landasan universal bagi profesi media.⁵ Namun, seiring perkembangan zaman, nilai-nilai ini memerlukan reinterpretasi agar tetap relevan dalam menghadapi perubahan sosial dan teknologi.

Dari sisi ontologis, jurnalisme dipahami sebagai tindakan eksistensial yang menyingkap kebenaran — bukan hanya merekam fakta, tetapi menyingkap makna di baliknya.⁶ Dari segi epistemologis, etika jurnalistik menuntut verifikasi, keterbukaan terhadap koreksi, dan kesadaran terhadap bias dalam proses konstruksi realitas.⁷ Sedangkan secara aksiologis, jurnalisme yang etis harus berorientasi pada nilai-nilai moral tertinggi: kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan tanggung jawab sosial.⁸

Pada dimensi sosial dan politik, etika jurnalistik menjadi mekanisme moral bagi ruang publik demokratis, menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab terhadap harmoni sosial.⁹ Sementara itu, dalam kerangka hukum, etika berfungsi sebagai prinsip moral yang melampaui aturan positif: ia bukan alat represi, melainkan panduan otonomi moral bagi jurnalis dan lembaga media.¹⁰

10.2.    Tantangan dan Krisis Etika di Era Kontemporer

Di tengah revolusi digital, etika jurnalistik menghadapi tantangan baru yang bersifat multidimensional.¹¹ Fenomena post-truth, disinformasi, clickbait journalism, dan algoritma media sosial telah mengubah lanskap epistemik jurnalisme.¹² Kebenaran kini bersaing dalam ruang digital yang dikendalikan oleh logika virality dan kapitalisme perhatian.¹³ Dalam konteks ini, krisis kepercayaan publik terhadap media menjadi gejala etika yang paling serius, karena tanpa kepercayaan, jurnalisme kehilangan otoritas moral dan sosialnya.¹⁴

Selain itu, munculnya teknologi kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi berita menimbulkan pertanyaan mendasar tentang tanggung jawab moral dalam jurnalisme algoritmik.¹⁵ Siapa yang bertanggung jawab atas kesalahan informasi ketika prosesnya dijalankan oleh mesin? Bagaimana prinsip etika dapat diterapkan ketika keputusan redaksional dipengaruhi oleh sistem otomatis? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut pendekatan etika baru yang mampu menjembatani antara teknologi dan kemanusiaan.¹⁶

Etika jurnalistik modern harus bergerak melampaui paradigma normatif klasik menuju pendekatan reflektif dan partisipatif — di mana publik, akademisi, dan profesional media bersama-sama membangun kesadaran etis kolektif.¹⁷ Dengan demikian, jurnalisme tidak lagi dipahami sebagai kegiatan terisolasi, tetapi sebagai ekosistem moral yang melibatkan seluruh warga dalam pencarian kebenaran bersama.¹⁸

10.3.    Sintesis Menuju Paradigma Jurnalisme Humanistik

Sintesis dari seluruh dimensi etika jurnalistik mengarah pada lahirnya paradigma jurnalisme humanistik — jurnalisme yang berakar pada empati, rasionalitas, dan tanggung jawab moral terhadap manusia sebagai subjek komunikasi.¹⁹ Paradigma ini menolak reduksi jurnalisme menjadi sekadar instrumen ekonomi atau ideologis, dan menegaskan kembali peran media sebagai “ruang moral publik” (moral public sphere).²⁰

Dalam jurnalisme humanistik, nilai-nilai dasar seperti kebenaran dan keadilan tidak berdiri sendiri, tetapi selalu terkait dengan penghormatan terhadap martabat manusia.²¹ Kejujuran, keberimbangan, dan keterbukaan bukan hanya teknik profesional, tetapi ekspresi dari integritas moral.²² Etika, dalam arti terdalamnya, bukanlah kode tertulis, melainkan sikap batin — kesediaan untuk menanggung konsekuensi moral dari setiap tindakan jurnalistik.²³

Sebagaimana dinyatakan oleh Clifford G. Christians, tujuan tertinggi jurnalisme bukanlah information, tetapi understanding — pemahaman yang mempertemukan manusia dengan realitas secara autentik.²⁴ Jurnalisme yang demikian bukan hanya mencatat dunia, tetapi berpartisipasi dalam memanusiakan dunia.²⁵

10.4.    Relevansi Etika Jurnalistik bagi Demokrasi dan Kemanusiaan

Etika jurnalistik pada akhirnya memiliki implikasi yang luas bagi keberlanjutan demokrasi dan kehidupan sosial.²⁶ Dalam masyarakat yang sarat konflik dan polarisasi, media etis berfungsi sebagai penengah moral yang mempertemukan berbagai pandangan tanpa mengorbankan kebenaran.²⁷ Demokrasi deliberatif, sebagaimana dirumuskan oleh Habermas, hanya dapat berjalan jika komunikasi publik berlangsung secara rasional dan jujur — dan jurnalisme etis adalah penjaga utama kondisi tersebut.²⁸

Lebih jauh, etika jurnalistik berperan dalam memperkuat solidaritas kemanusiaan global.²⁹ Dalam dunia yang saling terhubung, penderitaan di satu wilayah kini menjadi tanggung jawab moral bagi yang lain.³⁰ Dengan demikian, jurnalisme humanistik global mengemban misi universal: menegakkan kebenaran tanpa kekerasan, menyalurkan empati lintas budaya, dan memulihkan kepercayaan manusia terhadap manusia.³¹


Penutup: Etika sebagai Jalan Menuju Keutuhan Makna

Akhirnya, etika jurnalistik bukan sekadar sistem norma, tetapi cara hidup bagi mereka yang berkomitmen pada kebenaran.³² Ia adalah perjuangan terus-menerus untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, antara teknologi dan kemanusiaan, antara fakta dan makna.³³ Dalam dunia yang terancam oleh relativisme moral dan kekosongan makna, etika jurnalistik menjadi cahaya yang menuntun jurnalis untuk tetap berpihak pada yang benar dan manusiawi.³⁴

Jurnalisme yang etis bukanlah jurnalisme yang sempurna, tetapi jurnalisme yang selalu bersedia dikoreksi — terbuka terhadap kritik, reflektif terhadap dirinya sendiri, dan berorientasi pada kebaikan bersama.³⁵ Dalam pengertian inilah, etika jurnalistik merupakan inti dari peradaban komunikasi modern: suatu panggilan moral untuk menyuarakan kebenaran dengan cinta, menyebarkan pengetahuan dengan tanggung jawab, dan menghadirkan keadilan melalui kata yang bermakna.³⁶


Footnotes

[1]                ¹ Clifford G. Christians, Ethics and Journalism: Principles for the 21st Century (New York: Routledge, 2020), 133.

[2]                ² Stephen J. A. Ward, Global Journalism Ethics (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2010), 152.

[3]                ³ Clifford G. Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 140.

[4]                ⁴ Asa Briggs and Peter Burke, A Social History of the Media: From Gutenberg to the Internet (Cambridge: Polity Press, 2009), 87.

[5]                ⁵ Fred S. Siebert, Theodore Peterson, and Wilbur Schramm, Four Theories of the Press (Urbana: University of Illinois Press, 1956), 99–102.

[6]                ⁶ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 263.

[7]                ⁷ Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism (New York: Three Rivers Press, 2001), 43.

[8]                ⁸ Clifford Christians et al., Media Ethics: Cases and Moral Reasoning (New York: Routledge, 2020), 127.

[9]                ⁹ Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 58.

[10]             ¹⁰ Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik (Jakarta: Dewan Pers, 2008).

[11]             ¹¹ Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 107.

[12]             ¹² Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 17.

[13]             ¹³ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 131.

[14]             ¹⁴ Robert W. McChesney, Rich Media, Poor Democracy (New York: The New Press, 2000), 64.

[15]             ¹⁵ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 105.

[16]             ¹⁶ Kate Crawford, Atlas of AI (New Haven: Yale University Press, 2021), 49.

[17]             ¹⁷ Jay Rosen, What Are Journalists For? (New Haven: Yale University Press, 1999), 22.

[18]             ¹⁸ Clifford Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age, 128.

[19]             ¹⁹ Stephen Ward, Radical Media Ethics: A Global Approach (Malden: Wiley-Blackwell, 2015), 134.

[20]             ²⁰ James Carey, Communication as Culture: Essays on Media and Society (Boston: Unwin Hyman, 1989), 24.

[21]             ²¹ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 57.

[22]             ²² Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 212.

[23]             ²³ Clifford Christians, Ethics and Journalism, 120.

[24]             ²⁴ Ibid., 130.

[25]             ²⁵ Stephen Ward, Global Journalism Ethics, 157.

[26]             ²⁶ Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge: MIT Press, 1990), 88.

[27]             ²⁷ Denis McQuail, Media Performance: Mass Communication and the Public Interest (London: Sage, 1992), 72.

[28]             ²⁸ Habermas, Between Facts and Norms (Cambridge: MIT Press, 1996), 328.

[29]             ²⁹ Clifford G. Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age, 142.

[30]             ³⁰ Martha C. Nussbaum, Political Emotions: Why Love Matters for Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 27.

[31]             ³¹ Stephen Ward, “The Cosmopolitan Promise of Global Journalism Ethics,” Journal of Mass Media Ethics 22, no. 2 (2007): 113.

[32]             ³² Emmanuel Levinas, Totality and Infinity (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 215.

[33]             ³³ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), 72.

[34]             ³⁴ Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993), 19.

[35]             ³⁵ Clifford Christians, “Ethical Foundations of Journalism,” in Handbook of Journalism Studies, ed. Karin Wahl-Jorgensen and Thomas Hanitzsch (New York: Routledge, 2009), 43.

[36]             ³⁶ Stephen Ward, Radical Media Ethics, 135.


Daftar Pustaka

Adair, B., & Holan, A. (2015). The rise of fact-checking journalism. American Press Institute.

Arendt, H. (1958). The human condition. University of Chicago Press.

Arendt, H. (1961). Between past and future. Viking Press.

Arendt, H. (2003). Responsibility and judgment. Schocken Books.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett.

Bauman, Z. (1993). Postmodern ethics. Blackwell.

Beckett, C. (2008). SuperMedia: Saving journalism so it can save the world. Wiley-Blackwell.

Berlin, I. (1969). Two concepts of liberty. Clarendon Press.

Black, J. (2011). Doing ethics in media: Theories and practical applications. Routledge.

Black, J., & Steele, F. C. (2011). Introduction to media communication ethics. Routledge.

Bok, S. (1999). Lying: Moral choice in public and private life. Vintage Books.

Bradshaw, P. (2012). Data journalism handbook. O’Reilly Media.

Briggs, A., & Burke, P. (2009). A social history of the media: From Gutenberg to the Internet. Polity Press.

Campbell, W. J. (2001). Yellow journalism: Puncturing the myths, defining the legacies. Praeger.

Carey, J. (1989). Communication as culture: Essays on media and society. Unwin Hyman.

Castells, M. (2000). The network society. Blackwell.

Castells, M. (2009). Communication power. Oxford University Press.

Christians, C. G. (2009). Ethical foundations of journalism. In K. Wahl-Jorgensen & T. Hanitzsch (Eds.), Handbook of journalism studies (pp. 39–44). Routledge.

Christians, C. G. (2019). Media ethics and global justice in the digital age. Cambridge University Press.

Christians, C. G. (2020). Ethics and journalism: Principles for the 21st century. Routledge.

Christians, C. G., Fackler, M., Richardson, K. B., Kreshel, P. J., & Woods, R. H. (2020). Media ethics: Cases and moral reasoning. Routledge.

Christians, C. G., & Ward, S. J. A. (Eds.). (2020). Media ethics: Cases and moral reasoning. Routledge.

Couldry, N. (2010). Why voice matters: Culture and politics after neoliberalism. Sage.

Council of Europe. (1950). European convention on human rights, Article 10.

Cottle, S. (2008). Reporting disasters: Factual, moral and emotional discourses. Journalism Studies, 9(5), 605–626.

Croteau, D., & Hoynes, W. (2006). The business of media: Corporate media and the public interest. Pine Forge Press.

Curran, J., & Park, M.-J. (Eds.). (2000). De-Westernizing media studies. Routledge.

Dewan Pers. (2008). Kode etik jurnalistik. Dewan Pers.

Djafar, W. (2021). UU ITE dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Jurnal HAM, 12(2), 211–224.

Floridi, L. (2010). Information: A very short introduction. Oxford University Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Floridi, L. (2019). The logic of information. Oxford University Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings 1972–1977. Pantheon Books.

Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. Routledge.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. Continuum.

Fuchs, C. (2014). Social media: A critical introduction. Sage.

Gill, R. (2007). Gender and the media. Polity Press.

Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and women’s development. Harvard University Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Beacon Press.

Habermas, J. (1989). The structural transformation of the public sphere. MIT Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action. MIT Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy. MIT Press.

Hall, S. (1997). Representation: Cultural representations and signifying practices. Sage.

Hanitzsch, T. (2007). Deconstructing journalism culture. Communication Theory, 17(4), 367–385.

Harding, S. (1986). The science question in feminism. Cornell University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Herman, E. S., & Chomsky, N. (1988). Manufacturing consent: The political economy of the mass media. Pantheon Books.

Hobbs, R. (2011). Digital and media literacy: Connecting culture and classroom. Corwin Press.

Hodges, L. (1987). Defining press responsibility: A functional approach. Journal of Mass Media Ethics, 2(1), 13–22.

Honneth, A. (1995). The struggle for recognition. Polity Press.

Horkheimer, M. (1982). Critical theory: Selected essays. Continuum.

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Paradigma.

Kellner, D. (1995). Media culture: Cultural studies, identity, and politics between the modern and the postmodern. Routledge.

Keyes, R. (2004). The post-truth era: Dishonesty and deception in contemporary life. St. Martin’s Press.

Klein, N. (2007). The shock doctrine: The rise of disaster capitalism. Metropolitan Books.

Kovach, B., & Rosenstiel, T. (2001). The elements of journalism. Three Rivers Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity. Duquesne University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. University of Notre Dame Press.

Marcuse, H. (1964). One-dimensional man. Beacon Press.

McChesney, R. W. (2000). Rich media, poor democracy: Communication politics in dubious times. The New Press.

McChesney, R. W. (2007). Communication revolution: Critical junctures and the future of media. The New Press.

McCombs, M., & Shaw, D. (1972). The agenda-setting function of mass media. Public Opinion Quarterly, 36(2), 176–187.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

McQuail, D. (1992). Media performance: Mass communication and the public interest. Sage.

McQuail, D. (2010). Mass communication theory. Sage.

Moeller, S. D. (1999). Compassion fatigue: How the media sell disease, famine, war, and death. Routledge.

Nagel, T. (1986). The view from nowhere. Oxford University Press.

Noble, S. U. (2018). Algorithms of oppression. NYU Press.

Noddings, N. (1984). Caring: A relational approach to ethics and moral education. University of California Press.

Nordenstreng, K. (1977). Beyond the four theories of the press. Journal of Communication, 27(4), 14–25.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2013). Political emotions: Why love matters for justice. Harvard University Press.

Peters, J. D. (1999). Speaking into the air: A history of the idea of communication. University of Chicago Press.

Petley, J. (2003). Privacy, the public and the press. Journalism Studies, 4(4), 509–518.

Putnam, R. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of American community. Simon & Schuster.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Republik Indonesia. (1999). Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166.

Rosen, J. (1999). What are journalists for? Yale University Press.

Rosenberg, M. (2003). Nonviolent communication: A language of life. PuddleDancer Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Oxford University Press.

Siebert, F. S., Peterson, T., & Schramm, W. (1956). Four theories of the press. University of Illinois Press.

Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? Columbia University Press.

Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.

Tuchman, G. (1978). Making news: A study in the construction of reality. Free Press.

Tufekci, Z. (2017). Twitter and tear gas: The power and fragility of networked protest. Yale University Press.

UNESCO. (1983). Declaration of principles on the conduct of journalists. UNESCO.

Van Zoonen, L. (1994). Feminist media studies. Sage.

Ward, S. J. A. (2005). The epistemology of global journalism ethics. Journal of Mass Media Ethics, 20(1), 3–5.

Ward, S. J. A. (2007). The cosmopolitan promise of global journalism ethics. Journal of Mass Media Ethics, 22(2), 110–113.

Ward, S. J. A. (2010). Global journalism ethics. McGill-Queen’s University Press.

Ward, S. J. A. (2015). Radical media ethics: A global approach. Wiley-Blackwell.

Weinberger, D. (2012). Too big to know. Basic Books.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar