Teori Semantik
Landasan Konseptual, Perkembangan Historis, Kritik, dan
Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Kebenaran.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif teori semantik tentang
kebenaran sebagai salah satu aliran utama dalam filsafat bahasa dan logika
modern. Dimulai dari latar belakang filosofisnya dalam definisi klasik
Aristoteles, artikel ini menelusuri formulasi formal Alfred Tarski yang
menekankan Convention T dan pembedaan bahasa-objek dengan meta-bahasa
sebagai solusi terhadap paradoks semantik. Selanjutnya dipaparkan kontribusi
Donald Davidson dengan semantik kondisi-kebenaran serta inovasi Saul Kripke
dalam mengatasi paradoks bahasa alami melalui teori fixed point.
Analisis berlanjut pada prinsip-prinsip utama teori semantik—termasuk
skema T, komposisionalitas, ekstensionalitas, dan peran normatifnya dalam teori
makna. Artikel ini juga mengulas kritik-kritik penting yang dialamatkan pada
teori semantik, baik dari perspektif keterbatasannya dalam menangani bahasa
alami, problem paradoks, maupun dari teori deflasi dan pluralisme kebenaran.
Meskipun demikian, teori semantik tetap relevan dalam konteks kontemporer,
dengan kontribusi besar pada semantik formal, linguistik generatif, filsafat
analitik, serta penerapan praktisnya dalam ilmu komputer, kecerdasan buatan,
dan teknologi semantic web.
Kesimpulannya, teori semantik bukanlah jawaban tunggal atas seluruh
problem kebenaran, melainkan kerangka analitis yang menyediakan fondasi formal,
sistematis, dan aplikatif untuk memahami relasi antara bahasa, makna, dan
realitas. Keunggulan metodologisnya menjadikannya tetap signifikan di era
digital dan lintas disiplin ilmu.
Kata Kunci: Teori
Semantik; Kebenaran; Alfred Tarski; Skema T; Bahasa-Objek dan Meta-Bahasa;
Semantik Kondisi-Kebenaran; Filsafat Bahasa; Linguistik Formal; Kecerdasan
Buatan.
PEMBAHASAN
Teori Semantik tentang Kebenaran
1.          
Pendahuluan
Pertanyaan “apa itu kebenaran?”
telah menjadi tema sentral dalam filsafat sejak Yunani Kuno dan terus
memengaruhi hampir seluruh cabang filsafat kontemporer—dari metafisika,
epistemologi, hingga filsafat bahasa dan logika.¹ Dalam peta besar teori-teori
kebenaran (korespondensi, koherensi, pragmatis, deflasi, dan pluralisme), teori
semantik menempati posisi khas karena menjelaskan kebenaran melalui
perangkat bahasa dan logika formal, bukan terutama melalui entitas metafisis
atau kondisi epistemik. Dengan menempatkan bahasa sebagai medium analisis
utama, pendekatan semantik bertujuan memberikan kriteria yang presisi dan bebas
paradoks untuk menyatakan kapan sebuah kalimat adalah benar.²
Tonggak historis pendekatan ini adalah
karya Alfred Tarski pada 1930-an–1940-an, yang merumuskan apa yang ia sebut semantic
conception of truth. Tarski terkenal dengan Convention T (sering
diformalkan sebagai skema T): “Kalimat ‘p’ benar jika dan hanya jika p.”
Rumusan ini dimaksudkan sebagai syarat kecukupan material bagi setiap definisi
kebenaran dalam bahasa formal.³ Selain itu, Tarski menekankan perlunya
membedakan bahasa-objek (objek analisis) dari meta-bahasa (bahasa
yang dipakai untuk mendefinisikan kebenaran), agar terhindar dari paradoks
semantik seperti liar paradox.⁴ Upaya Tarski ini menyajikan kebenaran
sebagai relasi semantik yang dapat dideskripsikan secara ketat dalam kerangka
logika modern.⁵
Dampak Tarski terasa luas dalam
filsafat analitik dan logika—bukan semata karena ia “mendefinisikan”
kebenaran, melainkan karena ia menunjukkan bagaimana syarat-syarat semantik
kebenaran dapat dipenuhi bagi kelas bahasa formal tertentu.⁶ Dengan demikian,
teori semantik menawarkan jembatan antara intuisi korespondensial (“benar
berarti sesuai dengan fakta”) dan kebutuhan akan ketepatan metateoretis
(definisi yang tidak memicu kontradiksi internal).⁷ Tolok ukur yang ia tetapkan
memengaruhi pengembangan semantik formal, teori model, dan studi tentang
konsekuensi logis.⁸
Sesudah Tarski, dua arah penting
memperluas cakrawala semantik tentang kebenaran. Pertama, truth-conditional
semantics (khususnya pada Donald Davidson) memanfaatkan teori kebenaran
bergaya Tarskian untuk menjelaskan makna: memahami makna kalimat berarti
mengetahui kondisi-kondisi kebenaran kalimat itu.⁹ Ini menggeser fokus dari
daftar makna leksikal ke struktur komposisional yang menghasilkan kondisi
kebenaran.¹⁰ Kedua, Saul Kripke mengusulkan kerangka partial truth
berbasis groundedness untuk menangani kalimat liar dalam bahasa
alami—membuktikan bahwa semantik kebenaran dapat diperluas melampaui bahasa
formal yang “disinfeksi,” tanpa menyerah pada kontradiksi.¹¹
Di sisi lain, pendekatan semantik tidak
kebal dari kritik. Sejumlah filsuf menilai bahwa model Tarskian—karena berfokus
pada bahasa formal—kurang menangkap kekayaan praktik berbahasa sehari-hari,
konteks pragmatis, dan dinamika penggunaan makna. Kritik lain datang dari kubu
deflasi/ redundansi yang berpendapat bahwa skema T cukup untuk menangkap “peran”
kebenaran tanpa mempostulatkan sifat metafisis khusus.¹² Dalam lanskap lebih
mutakhir, teori pluralis berargumen bahwa kebenaran mungkin bersifat
jamak—misalnya bersifat korespondensial di sains alam, tetapi bersifat
koherensial atau inferensial di matematika dan etika—sehingga satu definisi
semantik yang seragam mungkin tidak memadai bagi semua diskursus.¹³
Terlepas dari perdebatan tersebut,
pengaruh teori semantik pada praktik ilmiah dan interdisipliner sukar
diabaikan. Di linguistik dan ilmu komputer, semantik formal serta logika model
memanfaatkan ide-ide Tarskian untuk memformalkan interpretasi, penalaran, dan
inferensi; di filsafat bahasa, kerangka kebenaran-kondisional tetap menjadi
arus utama untuk memformalkan makna kalimat; dan di logika filosofis,
pembahasan tentang paradoks, hierarki bahasa, serta ekstensionalitas masih
bertolak dari tesis-tetan Tarski.¹⁴ Pendahuluan ini menempatkan pembaca pada
peta persoalan: (i) landasan konseptual teori semantik; (ii) perkembangan
historis dari Tarski ke Davidson dan Kripke; (iii) kritik utama dari perspektif
linguistik, pragmatis, dan deflasionis; serta (iv) relevansi kontemporer dalam
semantik formal, filsafat analitik, dan komputasi simbolik.¹⁵
Footnotes
[1]               
Stanford Encyclopedia of Philosophy, “Truth,” ed. by M. Glanzberg,
substantive revision June 27, 2025. truth. (Encyclopedia of Philosophy)
[2]               
Ibid.; lihat juga pembukaannya tentang cakupan
lintasbidang teori kebenaran. (Encyclopedia of Philosophy)
[3]               
Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth and
the Foundations of Semantics,” Philosophy and Phenomenological Research
4, no. 3 (1944): 341–376. Akses versi PDF arsip. (inters.org)
[4]               
Wilfrid Hodges, “Tarski’s Truth Definitions,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Spring 2023 Edition). tarski-truth. (Encyclopedia of Philosophy)
[5]               
Tarski, “Semantic Conception of Truth,” 341–376. (inters.org)
[6]               
Hodges, “Tarski’s Truth Definitions.” (Encyclopedia of Philosophy)
[7]               
SEP, “Truth,” bagian yang memetakan korespondensi dan semantik.
(Encyclopedia of Philosophy)
[8]               
Mario Gómez-Torrente, “Alfred Tarski,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2006). tarski. (Encyclopedia of Philosophy)
[9]               
Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese
17, no. 3 (1967): 304–323. Akses versi PDF arsip. (uh.edu)
[10]            
Donald Davidson, Inquiries into Truth and
Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1984), esai-esai awal. Akses PDF
kursus. (dl1.cuni.cz)
[11]            
Saul A. Kripke, “Outline of a Theory of Truth,” The
Journal of Philosophy 72, no. 19 (1975): 690–716. Lihat juga versi
pra-cetak/arsip PDF. (pdcnet.org, impan.pl)
[12]            
SEP, “Truth,” bagian tentang teori deflasi. (Encyclopedia of Philosophy)
[13]            
Stanford Encyclopedia of Philosophy, “Pluralist Theories of Truth,” ed.
by N. Pedersen (2017). truth-pluralist. (Encyclopedia of Philosophy)
[14]            
Hodges, “Tarski’s Truth Definitions”; Gómez-Torrente,
“Alfred Tarski.” (Encyclopedia of Philosophy)
[15]            
Rujukan peta isi merangkum cakupan yang akan diulas
pada bab-bab selanjutnya dengan bertolak dari sumber-sumber di atas. (Encyclopedia of Philosophy)
2.          
Konsep Dasar Teori
Semantik
2.1.      
Definisi dan Ruang
Lingkup Semantik dalam Filsafat Bahasa
Secara etimologis, istilah semantik
berasal dari bahasa Yunani sēmainō yang berarti “menandai” atau “memberi
makna.” Dalam filsafat bahasa, semantik dipahami sebagai cabang kajian yang
berfokus pada hubungan antara ekspresi linguistik (kata, frasa, kalimat) dengan
makna serta kondisi kebenarannya.¹ Dengan demikian, semantik berbeda dari
pragmatik yang menekankan konteks penggunaan bahasa, maupun dari sintaksis yang
menelaah struktur formal bahasa.² Dalam diskursus teori kebenaran, semantik
berperan untuk menunjukkan bagaimana kalimat dapat dinilai benar atau salah
berdasarkan kondisi yang berlaku di dunia atau dalam model formal tertentu.³
2.2.      
Teori Semantik dan
Definisi Kebenaran
Teori semantik tentang kebenaran
menekankan bahwa status benar atau salah suatu kalimat tergantung pada hubungan
semantik antara ekspresi linguistik dan realitas atau model formalnya.
Alfred Tarski mendefinisikan kebenaran melalui apa yang dikenal sebagai Convention
T atau T-schema:
“Kalimat ‘p’ benar jika dan hanya jika p.”⁴
Skema ini menjadi syarat minimal bahwa
setiap teori kebenaran harus konsisten dengan intuisi dasar tentang
korespondensi.⁵ Perbedaan utamanya dengan teori korespondensi klasik adalah
bahwa Tarski memformulasikannya secara formal dalam kerangka logika dan
semantik, sehingga menghindari ambiguitas metafisis.⁶
2.3.      
Bahasa-Objek dan
Meta-Bahasa
Salah satu prinsip kunci teori semantik
adalah pembedaan antara bahasa-objek (object language) dan meta-bahasa
(metalanguage). Bahasa-objek adalah sistem bahasa yang dianalisis,
sementara meta-bahasa adalah bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan
kebenaran dari ekspresi dalam bahasa-objek.⁷ Distingsi ini diperlukan untuk
mencegah paradoks semantik, seperti liar paradox (“Kalimat ini salah”),
yang muncul bila sebuah bahasa berusaha mendefinisikan kebenaran bagi dirinya
sendiri.⁸ Dengan demikian, teori semantik menekankan pentingnya hierarki bahasa
untuk menjaga konsistensi logis.⁹
2.4.      
Ekstensionalitas dan
Kejelasan Definisi
Teori semantik bersifat ekstensif
dalam arti bahwa kebenaran suatu kalimat dapat dijelaskan melalui komponen
penyusunnya. Misalnya, kebenaran kalimat majemuk diturunkan dari kebenaran
bagian-bagiannya, sebagaimana prinsip komposisionalitas dalam logika formal.¹⁰
Pendekatan ini menghasilkan definisi kebenaran yang ekstensional dan
ketat, sehingga memudahkan aplikasi dalam matematika, logika, maupun linguistik
formal.¹¹
2.5.      
Posisi Teori
Semantik dalam Lanskap Teori Kebenaran
Jika dibandingkan dengan teori-teori
kebenaran lain, teori semantik memiliki keunggulan metodologis. Ia berbagi intuisi
dengan teori korespondensi—bahwa kebenaran berkaitan dengan kesesuaian dengan
realitas—namun membingkai kesesuaian itu secara presisi dalam kerangka
formal.¹² Berbeda dari teori pragmatis yang menekankan kegunaan praktis, atau
teori koherensi yang menekankan konsistensi internal, teori semantik
menyediakan perangkat analitis yang memungkinkan definisi kebenaran secara
objektif dalam bahasa formal.¹³ Karena itu, teori semantik sering dipandang
sebagai basis penting bagi semantik formal modern, teori model, dan linguistik
teoretis.¹⁴
Footnotes
[1]               
John I. Saeed, Semantics, 4th ed. (Chichester:
Wiley-Blackwell, 2016), 3.
[2]               
Stephen Davis, ed., Pragmatics: A Reader
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 4.
[3]               
Michael Glanzberg, “Truth,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Summer 2023 Edition), ed. Edward N. Zalta. truth.
[4]               
Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth and
the Foundations of Semantics,” Philosophy and Phenomenological Research
4, no. 3 (1944): 341–376.
[5]               
Wilfrid Hodges, “Tarski’s Truth Definitions,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2023 Edition). tarski-truth.
[6]               
Mario Gómez-Torrente, “Alfred Tarski,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2006 Edition). tarski.
[7]               
Tarski, “Semantic Conception of Truth,” 345–347.
[8]               
Saul A. Kripke, “Outline of a Theory of Truth,” The
Journal of Philosophy 72, no. 19 (1975): 690–716.
[9]               
Hodges, “Tarski’s Truth Definitions.”
[10]            
Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese
17, no. 3 (1967): 304–323.
[11]            
Davidson, Inquiries into Truth and Interpretation
(Oxford: Clarendon Press, 1984), 36–38.
[12]            
Glanzberg, “Truth,” Stanford Encyclopedia of
Philosophy.
[13]            
Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford
University Press, 1998), 7–9.
[14]            
Kirk Ludwig, “Donald Davidson,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Winter 2021 Edition). davidson.
3.          
Perkembangan
Historis Teori Semantik
3.1.      
Akar Historis: Dari
Filsafat Kuno hingga Logika Modern
Gagasan bahwa kebenaran berkaitan
dengan hubungan antara bahasa dan dunia sudah muncul sejak filsafat Yunani
Kuno. Aristoteles dalam Metaphysics mendefinisikan kebenaran sebagai “mengatakan
apa yang ada bahwa ia ada, dan mengatakan apa yang tidak ada bahwa ia tidak
ada.”¹ Definisi ini menjadi fondasi awal bagi teori korespondensi yang
kemudian mengilhami perkembangan teori semantik modern. Namun, filsafat klasik
tidak memiliki perangkat formal untuk menjabarkan definisi kebenaran secara
presisi.² Perkembangan logika abad ke-19, terutama melalui Gottlob Frege,
membawa perhatian baru pada hubungan antara ekspresi linguistik, makna (Sinn),
dan referensi (Bedeutung).³
3.2.      
Alfred Tarski dan
Formulasi Konsep Semantik Kebenaran
Lompatan besar terjadi pada awal abad
ke-20 melalui karya Alfred Tarski. Dalam esai klasiknya The Semantic
Conception of Truth and the Foundations of Semantics (1944), Tarski
memperkenalkan Convention T sebagai syarat formal bagi setiap teori
kebenaran:
“Kalimat ‘p’ benar jika dan hanya jika p.”⁴
Tarski menekankan bahwa definisi
kebenaran harus disusun dalam meta-bahasa yang berbeda dari bahasa-objek, untuk
menghindari paradoks semantik seperti liar paradox.⁵ Pendekatan ini
tidak hanya menyelamatkan teori kebenaran dari kontradiksi internal, tetapi
juga memberikan kerangka kerja yang dapat diterapkan pada bahasa formal,
termasuk logika matematika.⁶ Karena itu, Tarski dianggap sebagai tokoh yang
meletakkan dasar teori semantik modern, di mana kebenaran dipandang sebagai
relasi formal yang dapat didefinisikan secara ekstensional dan bebas paradoks.⁷
3.3.      
Pengaruh Donald
Davidson dan Semantik Kondisi-Kebenaran
Pada dekade 1960-an, Donald Davidson
memanfaatkan teori semantik Tarskian untuk mengembangkan truth-conditional
semantics. Dalam esainya “Truth and Meaning” (1967), Davidson
berargumen bahwa memahami makna kalimat berarti mengetahui kondisi di mana
kalimat tersebut benar.⁸ Dengan kata lain, teori kebenaran dapat dijadikan
sebagai teori makna.⁹ Semantik kondisi-kebenaran Davidson memindahkan teori
Tarski dari ranah logika formal ke filsafat bahasa, dan menjadi dasar bagi
semantik formal modern dalam linguistik.¹⁰
3.4.      
Saul Kripke dan
Paradoks Kebenaran
Meskipun definisi Tarskian kuat untuk
bahasa formal, ia tetap menghadapi tantangan dalam menangani bahasa alami. Pada
1975, Saul Kripke memperkenalkan model semantik yang dikenal sebagai theory
of truth via fixed points, yang memungkinkan definisi kebenaran parsial
untuk bahasa alami.¹¹ Dengan menggunakan teori groundedness, Kripke
menunjukkan bahwa paradoks seperti liar paradox dapat ditangani tanpa
menimbulkan kontradiksi, melalui sistem hierarki evaluasi kebenaran.¹²
Kontribusi Kripke menegaskan bahwa teori semantik tidak terbatas pada bahasa
formal, tetapi dapat diperluas ke bahasa sehari-hari.¹³
3.5.      
Pengembangan
Lanjutan dan Pengaruh Kontemporer
Setelah Tarski, Davidson, dan Kripke,
teori semantik terus berkembang. Dalam linguistik teoretis, semantik formal
berbasis kondisi-kebenaran menjadi standar dominan untuk menjelaskan makna
kalimat.¹⁴ Di bidang filsafat, teori semantik berkontribusi pada diskusi
tentang pluralisme kebenaran, deflasi, serta hubungan antara kebenaran dan
makna.¹⁵ Selain itu, dalam ilmu komputer dan kecerdasan buatan, teori semantik
Tarskian digunakan sebagai landasan dalam pemodelan logika, bahasa pemrograman,
dan representasi pengetahuan.¹⁶
Dengan demikian, perkembangan historis
teori semantik menunjukkan evolusi dari definisi korespondensial Aristoteles,
menuju formulasi formal Tarski, kemudian diperluas oleh Davidson dalam semantik
makna, serta diperdalam oleh Kripke dalam menghadapi paradoks bahasa alami.
Lintasan ini memperlihatkan bahwa teori semantik bukan hanya warisan filsafat
klasik, tetapi juga bagian integral dari filsafat kontemporer, linguistik
formal, dan ilmu kognitif modern.
Footnotes
[1]               
Aristotle, Metaphysics, Book IV, 1011b25.
[2]               
Michael Glanzberg, “Truth,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Summer 2023 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth.
[3]               
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung” (1892), dalam
Translations from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter
Geach dan Max Black (Oxford: Blackwell, 1980), 56–78.
[4]               
Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth and
the Foundations of Semantics,” Philosophy and Phenomenological Research
4, no. 3 (1944): 341–376.
[5]               
Wilfrid Hodges, “Tarski’s Truth Definitions,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2023 Edition), tarski-truth.
[6]               
Mario Gómez-Torrente, “Alfred Tarski,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2006 Edition), tarski.
[7]               
John Etchemendy, The Concept of Logical Consequence
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 45–47.
[8]               
Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese
17, no. 3 (1967): 304–323.
[9]               
Donald Davidson, Inquiries into Truth and
Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1984), 36–38.
[10]            
Kirk Ludwig, “Donald Davidson,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Winter 2021 Edition), davidson.
[11]            
Saul A. Kripke, “Outline of a Theory of Truth,” The
Journal of Philosophy 72, no. 19 (1975): 690–716.
[12]            
Anil Gupta dan Nuel Belnap, The Revision Theory of
Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 1993), 12–18.
[13]            
Gupta dan Belnap, Revision Theory, 19–20.
[14]            
Irene Heim dan Angelika Kratzer, Semantics in
Generative Grammar (Oxford: Blackwell, 1998), 2–4.
[15]            
Nikolaj Jang Lee Linding Pedersen, “Pluralist Theories
of Truth,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2017
Edition), truth-pluralist.
[16]            
Patrick Blackburn, Johan van Benthem, dan Frank
Wolter, eds., Handbook of Modal Logic (Amsterdam: Elsevier, 2007), xv–xviii.
4.          
Prinsip-Prinsip
Utama Teori Semantik
4.1.      
Skema T (T-Schema)
Prinsip mendasar teori semantik tentang
kebenaran adalah apa yang oleh Alfred Tarski disebut Convention T. Skema
ini dirumuskan secara umum:
“Kalimat ‘p’ benar jika dan hanya jika p.”¹
Rumus ini menunjukkan bahwa pernyataan
“Salju putih” benar jika dan hanya jika salju memang putih. Dengan cara
ini, Tarski menegaskan bahwa kebenaran adalah relasi antara bahasa dan dunia,
tetapi diformulasikan secara formal untuk menghindari ambiguitas metafisis.²
Skema T bukan hanya sebuah definisi, tetapi juga kriteria kecukupan: setiap
teori kebenaran harus mengizinkan derivasi semua instansiasi skema T.³
4.2.      
Distingsi
Bahasa-Objek dan Meta-Bahasa
Prinsip kedua adalah pemisahan antara object
language (bahasa yang dianalisis) dan metalanguage (bahasa yang
digunakan untuk mendefinisikan kebenaran). Tarski menekankan bahwa kebenaran
tidak dapat didefinisikan secara konsisten dalam bahasa itu sendiri, karena
akan menimbulkan paradoks semantik seperti liar paradox.⁴ Dengan
membangun definisi kebenaran dalam meta-bahasa yang lebih kuat, teori semantik
menghindari kontradiksi dan menjaga konsistensi logis.⁵
4.3.      
Prinsip
Komposisionalitas
Teori semantik mengasumsikan bahwa
kebenaran kalimat kompleks ditentukan oleh kebenaran bagian-bagiannya serta
aturan komposisi sintaktis.⁶ Misalnya, jika kalimat A benar dan kalimat B
benar, maka konjungsi “A dan B” juga benar.⁷ Prinsip ini sejalan dengan
asas komposisionalitas dalam semantik formal: makna kalimat adalah fungsi dari
makna konstituennya dan cara penyusunannya.⁸ Dengan demikian, teori semantik
memungkinkan definisi kebenaran yang bersifat sistematis dan dapat diterapkan
pada seluruh bahasa formal.
4.4.      
Ekstensionalitas dan
Ketepatan Formal
Kebenaran dalam kerangka semantik
bersifat ekstensif: ia ditentukan oleh kondisi referensial eksternal,
bukan oleh faktor pragmatis atau intensional.⁹ Misalnya, pernyataan “Kucing
berada di atas tikar” benar jika dan hanya jika terdapat objek di dunia
(atau model) yang sesuai dengan struktur kalimat tersebut.¹⁰ Fokus pada
ekstensionalitas ini memberikan ketepatan formal dan membuat teori semantik
sangat berguna dalam logika matematika, teori model, dan linguistik
generatif.¹¹
4.5.      
Fungsi Normatif
dalam Teori Makna
Prinsip terakhir adalah peran normatif
teori semantik sebagai dasar bagi teori makna. Donald Davidson mengembangkan
gagasan bahwa teori kebenaran dapat dipakai sebagai teori makna: memahami
sebuah kalimat berarti mengetahui kondisi kebenaran kalimat itu.¹² Dengan
demikian, teori semantik tidak hanya menjelaskan kebenaran, tetapi juga
menyediakan kerangka untuk memahami struktur makna dalam bahasa alami maupun
formal.¹³
Footnotes
[1]               
Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth and
the Foundations of Semantics,” Philosophy and Phenomenological Research
4, no. 3 (1944): 341–376.
[2]               
Michael Glanzberg, “Truth,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Summer 2023 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth.
[3]               
Wilfrid Hodges, “Tarski’s Truth Definitions,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2023 Edition), tarski-truth.
[4]               
Saul A. Kripke, “Outline of a Theory of Truth,” The
Journal of Philosophy 72, no. 19 (1975): 690–716.
[5]               
Mario Gómez-Torrente, “Alfred Tarski,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2006 Edition), tarski.
[6]               
Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese
17, no. 3 (1967): 304–323.
[7]               
John Etchemendy, The Concept of Logical Consequence
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 55–58.
[8]               
Irene Heim and Angelika Kratzer, Semantics in
Generative Grammar (Oxford: Blackwell, 1998), 2–4.
[9]               
Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford
University Press, 1998), 7–10.
[10]            
Tarski, “Semantic Conception of Truth,” 350.
[11]            
Patrick Blackburn, Johan van Benthem, and Frank
Wolter, eds., Handbook of Modal Logic (Amsterdam: Elsevier, 2007),
xv–xviii.
[12]            
Davidson, Inquiries into Truth and Interpretation
(Oxford: Clarendon Press, 1984), 36–38.
[13]            
Kirk Ludwig, “Donald Davidson,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Winter 2021 Edition), davidson.
5.          
Kritik terhadap
Teori Semantik
5.1.      
Keterbatasan dalam
Menangani Bahasa Alami
Salah satu kritik utama terhadap teori
semantik adalah keterbatasannya dalam menangani bahasa alami. Definisi Tarskian
bekerja sangat baik untuk bahasa formal yang terstruktur ketat, tetapi gagal
mengatasi kompleksitas bahasa sehari-hari yang penuh dengan ambiguitas,
metafora, dan konteks pragmatis.¹ Misalnya, ekspresi idiomatik atau kalimat
yang maknanya sangat bergantung pada situasi percakapan tidak dapat dijelaskan
secara memadai dengan pendekatan semantik murni.² Kritik ini banyak dikemukakan
oleh filsuf bahasa yang menekankan peran konteks dan penggunaan dalam
menentukan makna, seperti Ludwig Wittgenstein dengan pandangan meaning is
use.³
5.2.      
Paradoks Semantik
dan Masalah Konsistensi
Meskipun Tarski berhasil menghindari
paradoks semantik dengan membedakan object language dan metalanguage,
kritik tetap muncul terkait efektivitas strategi ini.⁴ Saul Kripke, misalnya,
menunjukkan bahwa bahasa alami sulit untuk sepenuhnya dipisahkan dari hierarki
meta-bahasa.⁵ Beberapa kalimat tetap menimbulkan masalah, seperti variasi dari liar
paradox, sehingga solusi Tarskian dianggap hanya sebagian.⁶ Selain itu,
teori revisi kebenaran yang dikembangkan Anil Gupta dan Nuel Belnap
memperlihatkan bahwa pendekatan semantik Tarski perlu dilengkapi dengan
mekanisme dinamis untuk menangani kalimat “liar.”⁷
5.3.      
Kritik dari
Perspektif Teori Deflasi
Kaum deflasi seperti Frank Ramsey dan
Paul Horwich berargumen bahwa teori semantik tidak lebih dari elaborasi formal
dari intuisi yang sebenarnya sederhana: mengatakan “p” benar sama dengan
mengatakan “p.”⁸ Dengan kata lain, teori semantik dianggap berlebihan
karena tidak menambah wawasan substantif tentang sifat kebenaran itu sendiri,
hanya menyediakan perangkat formal untuk mengartikulasikan skema T.⁹ Horwich,
melalui teori minimalis, menilai bahwa seluruh peran filosofis kebenaran sudah
tercakup dalam pengakuan skema T, sehingga proyek semantik Tarski tidak
diperlukan untuk memahami konsep kebenaran.¹⁰
5.4.      
Tantangan dari
Pluralisme Kebenaran
Kritik lain datang dari teori pluralis
yang berpendapat bahwa tidak ada satu konsep kebenaran yang memadai untuk semua
wacana.¹¹ Misalnya, dalam ilmu alam, kebenaran bisa dipahami secara
korespondensial; dalam matematika, lebih dekat dengan koherensi atau inferensi;
dan dalam etika, bisa terkait dengan praktik diskursif.¹² Dengan demikian,
teori semantik yang berpretensi universal dipandang terlalu sempit. Nikolaj
Pedersen dan Crispin Wright mengusulkan bahwa kebenaran mungkin bersifat jamak,
tergantung pada ranah diskursif, dan teori semantik hanya salah satu cara di
antara banyak kerangka yang relevan.¹³
5.5.      
Kritik atas
Reduksionisme Formal
Teori semantik juga sering dikritik
karena cenderung mereduksi kebenaran menjadi persoalan teknis dalam logika
formal.¹⁴ Kritik ini muncul dari filsuf hermeneutik dan pragmatis, yang menilai
bahwa kebenaran memiliki dimensi historis, sosial, dan praktis yang tidak dapat
direduksi pada struktur semantik semata.¹⁵ Misalnya, Richard Rorty menolak
usaha mencari “definisi” kebenaran yang absolut, karena menurutnya
kebenaran adalah hasil dari praktik diskursif komunitas, bukan sesuatu yang
dapat diformalisasi.¹⁶
Evaluasi Umum
Kritik-kritik tersebut menunjukkan
bahwa meskipun teori semantik memberi kontribusi besar dalam menjelaskan
kebenaran secara formal dan teknis, ia tidak kebal dari keterbatasan. Pertama,
fokus yang terlalu besar pada bahasa formal membuatnya kurang fleksibel dalam
menangani kompleksitas bahasa alami. Kedua, meskipun efektif dalam menghindari
paradoks, definisi Tarskian tetap tidak menyelesaikan semua persoalan semantik.
Ketiga, perspektif deflasi dan pluralisme menantang klaim universalisme teori
semantik. Kritik-kritik ini penting bukan untuk menolak teori semantik,
melainkan untuk menunjukkan bahwa ia harus dilengkapi oleh pendekatan lain agar
tetap relevan dalam kajian filsafat kebenaran kontemporer.
Footnotes
[1]               
Michael Glanzberg, “Truth,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Summer 2023 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth.
[2]               
John I. Saeed, Semantics, 4th ed. (Chichester:
Wiley-Blackwell, 2016), 21–23.
[3]               
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[4]               
Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth and
the Foundations of Semantics,” Philosophy and Phenomenological Research
4, no. 3 (1944): 341–376.
[5]               
Saul A. Kripke, “Outline of a Theory of Truth,” The
Journal of Philosophy 72, no. 19 (1975): 690–716.
[6]               
Anil Gupta, “A Critique of Deflationism,” Philosophical
Topics 21, no. 2 (1993): 57–81.
[7]               
Anil Gupta and Nuel Belnap, The Revision Theory of
Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 1993), 12–18.
[8]               
Frank P. Ramsey, “Facts and Propositions” (1927),
dalam The Foundations of Mathematics and Other Logical Essays, ed. R. B.
Braithwaite (London: Routledge & Kegan Paul, 1931), 138–155.
[9]               
Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford
University Press, 1998), 7–9.
[10]            
Ibid., 11–13.
[11]            
Nikolaj Jang Lee Linding Pedersen, “Pluralist Theories
of Truth,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2017
Edition), truth-pluralist.
[12]            
Crispin Wright, Truth and Objectivity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992), 143–146.
[13]            
Pedersen, “Pluralist Theories of Truth.”
[14]            
Wilfrid Hodges, “Tarski’s Truth Definitions,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2023 Edition).
[15]            
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed.,
trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004),
269–272.
[16]            
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 136–138.
6.          
Relevansi
Kontemporer Teori Semantik
6.1.      
Peran dalam Semantik
Formal dan Linguistik Modern
Teori semantik tetap menjadi fondasi
utama dalam kajian linguistik formal. Semantik berbasis kondisi-kebenaran (truth-conditional
semantics) yang dikembangkan Donald Davidson dan dilanjutkan oleh linguis generatif
seperti Irene Heim dan Angelika Kratzer, menjadikan teori Tarskian sebagai
kerangka baku untuk menjelaskan makna kalimat.¹ Melalui pendekatan ini, setiap
kalimat dipahami dengan merujuk pada kondisi di mana kalimat itu benar,
sehingga memungkinkan integrasi erat antara sintaksis dan semantik.² Pendekatan
ini kini menjadi standar dalam teori semantik generatif, yang diaplikasikan
dalam linguistik teoretis maupun pemrosesan bahasa alami.³
6.2.      
Aplikasi dalam Ilmu
Komputer dan Kecerdasan Buatan
Relevansi teori semantik juga sangat
signifikan dalam perkembangan ilmu komputer. Logika formal berbasis Tarskian
digunakan sebagai landasan dalam teori basis data, representasi pengetahuan, semantic
web, serta sistem inferensi otomatis.⁴ Dengan kerangka ini, komputer dapat
“memahami” informasi melalui definisi formal tentang kebenaran dalam
model tertentu. Misalnya, RDF (Resource Description Framework) dan OWL (Web
Ontology Language) yang digunakan dalam semantic web bergantung pada
prinsip semantik formal untuk mendefinisikan relasi kebenaran antar-entitas
digital.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa gagasan Tarski, yang awalnya dikembangkan
dalam filsafat logika, kini berperan penting dalam ekosistem teknologi digital
modern.
6.3.      
Hubungan dengan
Filsafat Analitik Kontemporer
Dalam filsafat analitik, teori semantik
terus digunakan sebagai titik acuan dalam perdebatan tentang sifat kebenaran.
Sebagian filsuf deflasi menilai bahwa teori semantik hanya mengelaborasi skema
T, sementara pluralis menilai semantik hanyalah salah satu dari banyak konsep
kebenaran.⁶ Namun, bahkan para kritikus mengakui bahwa teori semantik
menyediakan bahasa formal yang berguna untuk menguji konsistensi teori lain.⁷
Dengan demikian, posisi teori semantik tetap penting dalam filsafat
kontemporer—sebagai benchmark konseptual bagi teori-teori kebenaran
alternatif.
6.4.      
Relevansi
Interdisipliner: Filsafat, Logika, dan Kognisi
Teori semantik juga memiliki relevansi
interdisipliner. Dalam logika filosofis, ia menjadi dasar bagi teori model,
studi konsekuensi logis, dan analisis paradoks.⁸ Dalam filsafat kognisi dan
ilmu bahasa, kerangka semantik Tarskian dipakai untuk memahami bagaimana
manusia menghubungkan bahasa dengan representasi mental dan dunia eksternal.⁹
Bahkan, dalam ilmu sosial kontemporer, teori semantik memberikan kontribusi
metodologis untuk mengklarifikasi konsep-konsep yang sering ambigu, seperti “kebenaran,”
“makna,” dan “realitas.”¹⁰
Evaluasi Akhir: Teori Semantik di Era Digital dan Global
Era digital menuntut definisi kebenaran
yang ketat, terutama ketika berhadapan dengan big data, kecerdasan buatan, dan
komunikasi global lintas bahasa. Dalam konteks ini, teori semantik menawarkan
kerangka yang stabil untuk menjaga konsistensi logika informasi.¹¹ Meskipun
terdapat kritik tentang keterbatasannya dalam menangani bahasa alami secara
penuh, teori semantik terbukti relevan dalam memfasilitasi perkembangan
teknologi modern, memperkaya linguistik teoretis, serta menyediakan alat
analitis dalam filsafat kontemporer.¹² Dengan demikian, alih-alih dianggap usang,
teori semantik semakin menunjukkan signifikansinya sebagai salah satu landasan
konseptual dalam memahami kebenaran di era modern.
Footnotes
[1]               
Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese
17, no. 3 (1967): 304–323.
[2]               
Irene Heim and Angelika Kratzer, Semantics in
Generative Grammar (Oxford: Blackwell, 1998), 2–6.
[3]               
Kirk Ludwig, “Donald Davidson,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Winter 2021 Edition), davidson.
[4]               
Patrick Blackburn, Johan van Benthem, and Frank
Wolter, eds., Handbook of Modal Logic (Amsterdam: Elsevier, 2007),
xv–xviii.
[5]               
Tim Berners-Lee, James Hendler, and Ora Lassila, “The
Semantic Web,” Scientific American 284, no. 5 (2001): 34–43.
[6]               
Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford
University Press, 1998), 7–13.
[7]               
Michael Glanzberg, “Truth,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Summer 2023 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth.
[8]               
Wilfrid Hodges, “Tarski’s Truth Definitions,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2023 Edition).
[9]               
Jerry Fodor, The Language of Thought
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 88–91.
[10]            
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–272.
[11]            
Berners-Lee, Hendler, and Lassila, “The Semantic Web.”
[12]            
Glanzberg, “Truth.”
7.          
Penutup
Teori semantik tentang kebenaran
menempati posisi sentral dalam filsafat bahasa dan logika modern. Berangkat
dari intuisi Aristoteles bahwa kebenaran berkaitan dengan “mengatakan apa
yang ada bahwa ia ada,” teori ini mencapai bentuk formalnya melalui karya
Alfred Tarski pada abad ke-20.¹ Tarski merumuskan Convention T sebagai
syarat kecukupan material bagi setiap teori kebenaran, sekaligus menegaskan
pembedaan bahasa-objek dan meta-bahasa untuk menghindari paradoks semantik.²
Prinsip-prinsip ini membentuk fondasi bagi pengembangan semantik formal, teori
model, dan kajian linguistik generatif.³
Perjalanan historis teori semantik
menunjukkan perkembangan yang dinamis: dari formulasi Tarski, kemudian
diperluas oleh Donald Davidson dalam kerangka semantik kondisi-kebenaran,
hingga revisi Saul Kripke terhadap paradoks liar dalam bahasa alami.⁴ Evolusi
ini membuktikan bahwa teori semantik bukanlah sistem statis, melainkan sebuah
kerangka konseptual yang mampu beradaptasi dengan berbagai tantangan filosofis
dan linguistik.
Meski demikian, teori semantik tidak
luput dari kritik. Para filsuf pragmatis dan hermeneutik menyoroti
keterbatasannya dalam menangkap dimensi praktis dan historis bahasa; para
deflasi menilai teori ini tidak menawarkan pemahaman substantif baru selain
skema T; sementara para pluralis berargumen bahwa kebenaran bersifat jamak dan
tidak dapat direduksi pada satu definisi universal.⁵ Kritik-kritik ini
memperlihatkan bahwa teori semantik tidak cukup untuk menjawab seluruh problem
filsafat kebenaran, tetapi tetap relevan sebagai kerangka analitis yang kuat
dan sistematis.
Dalam konteks kontemporer, teori
semantik terbukti memiliki daya guna yang luas. Dalam linguistik, ia menjadi
basis utama semantik formal; dalam ilmu komputer, ia menopang teknologi semantic
web dan representasi pengetahuan; sementara dalam filsafat, ia tetap
menjadi tolok ukur konseptual bagi perdebatan seputar deflasi, pluralisme,
maupun teori kognisi.⁶ Relevansi ini menunjukkan bahwa teori semantik bukan
hanya penting secara historis, tetapi juga memiliki fungsi praktis di era
digital, di mana definisi kebenaran yang ketat semakin dibutuhkan dalam sistem
informasi dan kecerdasan buatan.⁷
Dengan demikian, teori semantik dapat
dinilai sebagai salah satu teori kebenaran yang paling berpengaruh di abad
ke-20 dan tetap relevan hingga kini. Ia bukanlah jawaban final bagi seluruh
persoalan tentang kebenaran, melainkan instrumen konseptual yang memungkinkan
analisis yang lebih tajam, formal, dan aplikatif. Masa depan filsafat kebenaran
kemungkinan besar akan tetap melibatkan teori semantik—baik dalam bentuk asli
Tarskian maupun melalui sintesis dengan pendekatan lain—untuk menjawab
kompleksitas epistemik, linguistik, dan teknologi yang terus berkembang.⁸
Footnotes
[1]               
Aristotle, Metaphysics, Book IV, 1011b25.
[2]               
Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth and
the Foundations of Semantics,” Philosophy and Phenomenological Research
4, no. 3 (1944): 341–376.
[3]               
Wilfrid Hodges, “Tarski’s Truth Definitions,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2023 Edition), tarski-truth.
[4]               
Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese
17, no. 3 (1967): 304–323; Saul A. Kripke, “Outline of a Theory of Truth,” The
Journal of Philosophy 72, no. 19 (1975): 690–716.
[5]               
Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Oxford
University Press, 1998), 7–13; Nikolaj Jang Lee Linding Pedersen, “Pluralist
Theories of Truth,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall
2017 Edition), truth-pluralist.
[6]               
Irene Heim and Angelika Kratzer, Semantics in
Generative Grammar (Oxford: Blackwell, 1998), 2–6; Tim Berners-Lee, James
Hendler, and Ora Lassila, “The Semantic Web,” Scientific American 284,
no. 5 (2001): 34–43.
[7]               
Patrick Blackburn, Johan van Benthem, and Frank
Wolter, eds., Handbook of Modal Logic (Amsterdam: Elsevier, 2007),
xv–xviii.
[8]               
Michael Glanzberg, “Truth,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Summer 2023 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth.
Daftar Pustaka 
Aristotle. (n.d.). Metaphysics
(Book IV, 1011b25). In J. Barnes (Ed.), The complete works of Aristotle
(Vol. 2). Princeton University Press.
Berners-Lee, T., Hendler, J., &
Lassila, O. (2001). The semantic web. Scientific American, 284(5),
34–43. scientificamerican
Blackburn, P., van Benthem, J., &
Wolter, F. (Eds.). (2007). Handbook of modal logic. Elsevier.
Davidson, D. (1967). Truth and
meaning. Synthese, 17(3), 304–323.
Davidson, D. (1984). Inquiries
into truth and interpretation. Oxford: Clarendon Press.
Etchemendy, J. (1990). The concept
of logical consequence. Harvard University Press.
Fodor, J. A. (1975). The language
of thought. Harvard University Press.
Frege, G. (1980). On sense and
reference (P. Geach & M. Black, Trans.). In Translations from the
philosophical writings of Gottlob Frege (pp. 56–78). Blackwell. (Original
work published 1892)
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and
method (2nd rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.).
Continuum.
Glanzberg, M. (2023). Truth. In E. N.
Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Summer 2023
Edition). Stanford University. truth
Gómez-Torrente, M. (2006). Alfred
Tarski. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Fall 2006 Edition). Stanford University. tarski
Gupta, A. (1993). A critique of
deflationism. Philosophical Topics, 21(2), 57–81.
Gupta, A., & Belnap, N. (1993). The
revision theory of truth. MIT Press.
Heim, I., & Kratzer, A. (1998). Semantics
in generative grammar. Blackwell.
Hodges, W. (2023). Tarski’s truth
definitions. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Spring 2023 Edition). Stanford University. tarski-truth
Horwich, P. (1998). Truth (2nd
ed.). Oxford University Press.
Kripke, S. A. (1975). Outline of a
theory of truth. The Journal of Philosophy, 72(19), 690–716.
Ludwig, K. (2021). Donald Davidson.
In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Winter
2021 Edition). Stanford University. davidson
Pedersen, N. J. L. L. (2017).
Pluralist theories of truth. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia
of philosophy (Fall 2017 Edition). Stanford University. truth-pluralist
Ramsey, F. P. (1931). Facts and
propositions. In R. B. Braithwaite (Ed.), The foundations of mathematics and
other logical essays (pp. 138–155). Routledge & Kegan Paul. (Original
work published 1927)
Rorty, R. (1979). Philosophy and
the mirror of nature. Princeton University Press.
Saeed, J. I. (2016). Semantics
(4th ed.). Wiley-Blackwell.
Tarski, A. (1944). The semantic
conception of truth and the foundations of semantics. Philosophy and
Phenomenological Research, 4(3), 341–376.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Wright, C. (1992). Truth and
objectivity. Harvard University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar