Etika Tanggung Jawab
Fondasi Moral bagi Dunia Modern antara Kebebasan,
Risiko, dan Kemanusiaan
Alihkan ke: Filsafat
Moral.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif etika
tanggung jawab (Ethics of Responsibility) sebagaimana dirumuskan oleh Hans
Jonas sebagai salah satu paradigma moral terpenting dalam filsafat
kontemporer. Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan
aksiologis, tulisan ini menunjukkan bahwa etika tanggung jawab lahir dari
kesadaran akan krisis modernitas—yakni ketidakseimbangan antara kekuasaan
teknologi manusia dan kapasitas moral untuk mengendalikannya. Jonas menawarkan
“imperatif baru” yang berbunyi: bertindaklah sedemikian rupa agar
akibat dari tindakanmu sejalan dengan keberlangsungan kehidupan manusia di bumi.
Prinsip ini menandai pergeseran radikal dari etika tradisional yang
berorientasi pada tindakan individual di masa kini menuju etika futuristik yang
memperhitungkan akibat jangka panjang terhadap generasi mendatang dan alam
semesta.
Kajian ini menegaskan bahwa ontologi tanggung
jawab menempatkan manusia sebagai makhluk yang secara eksistensial terikat
pada kewajiban menjaga kehidupan, sementara epistemologi etisnya berakar
pada rasionalitas reflektif, intuisi moral, dan imajinasi etis yang
memperhitungkan dampak masa depan. Dari sisi aksiologi, nilai tertinggi
dalam etika ini adalah kelangsungan kehidupan, yang diwujudkan melalui prinsip
kehati-hatian, keadilan antar generasi, dan solidaritas ekologis. Artikel ini
juga memaparkan kritik terhadap aspek utopis dan universalistik etika Jonas,
seraya menegaskan relevansinya bagi isu-isu kontemporer seperti krisis iklim,
kecerdasan buatan, bioteknologi, dan etika global.
Secara filosofis, etika
tanggung jawab menyatukan kembali kebebasan dan kewajiban dalam struktur
ontologis kehidupan: kebebasan manusia memperoleh makna sejati hanya ketika
disertai kesadaran tanggung jawab terhadap keberlanjutan eksistensi. Dengan
demikian, etika tanggung jawab bukan sekadar teori moral, melainkan visi
metafisik tentang penjagaan kehidupan (custodianship of life) yang menjadi
fondasi bagi moralitas masa depan. Dalam dunia yang dihadapkan pada ancaman
ekologis dan disrupsi teknologi, gagasan Jonas menghadirkan arah baru bagi
filsafat moral: dari ethics of autonomy menuju ethics of
responsibility—dari etika tindakan kini menuju etika masa depan yang
berkelanjutan.
Kata Kunci: Etika
Tanggung Jawab, Hans Jonas, Tanggung Jawab Moral, Etika Futuristik, Etika
Lingkungan, Bioetika, Ontologi Moral, Aksiologi, Etika Global, Filsafat
Kontemporer.
PEMBAHASAN
Etika Tanggung Jawab (Ethics of Responsibility)
1.          
Pendahuluan
Dalam sejarah perkembangan
filsafat moral, konsep tanggung jawab merupakan salah satu pilar yang
menentukan bagaimana manusia memahami dirinya sebagai makhluk etis. Etika
tanggung jawab (Ethics of Responsibility) muncul sebagai reaksi terhadap
krisis moral modern yang ditandai oleh kemajuan teknologi, globalisasi, dan
degradasi lingkungan. Sejak abad ke-20, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
tidak hanya memperluas kekuasaan manusia atas alam, tetapi juga menghadirkan
konsekuensi moral baru yang belum pernah dihadapi dalam sejarah etika klasik
maupun modern. Dalam konteks inilah Hans Jonas mengemukakan seruannya untuk
merumuskan “imperatif baru,” yakni tanggung jawab manusia terhadap
kelangsungan kehidupan di masa depan.¹
Etika tanggung jawab berupaya
menjembatani kesenjangan antara tindakan manusia dan akibatnya yang melampaui
batas temporal maupun spasial. Jika etika tradisional—seperti etika
Kantian—berfokus pada relasi antarindividu di masa kini, maka etika tanggung
jawab memperluas cakrawala moral hingga mencakup generasi mendatang dan alam
sebagai entitas moral.² Dengan demikian, etika ini menuntut suatu kesadaran
baru bahwa tindakan manusia modern memiliki daya destruktif yang dapat
mengancam eksistensi umat manusia sendiri.³
Krisis ekologi global,
seperti pemanasan global dan hilangnya keanekaragaman hayati, serta problem
etis seputar bioteknologi dan kecerdasan buatan, menegaskan pentingnya tanggung
jawab moral yang melampaui egoisme antroposentris.⁴ Etika tanggung jawab tidak
hanya mengajarkan apa yang baik untuk dilakukan, tetapi juga apa yang
tidak boleh dilakukan demi menjaga keberlanjutan kehidupan. Hal ini
menunjukkan pergeseran dari etika tindakan individual menuju etika kewajiban
ontologis—tanggung jawab untuk memelihara eksistensi kehidupan itu sendiri.⁵
Pendahuluan kajian ini
bertujuan menyoroti relevansi etika tanggung jawab sebagai paradigma etis
alternatif di tengah krisis modernitas. Dengan menggunakan pendekatan filsafat
normatif, fenomenologis, dan hermeneutik, tulisan ini berupaya menggali makna
tanggung jawab sebagai prinsip dasar moralitas kontemporer.⁶ Fokus utama
artikel ini adalah menjelaskan akar historis, struktur ontologis, dimensi
epistemologis, serta implikasi aksiologis dari etika tanggung jawab, diikuti
dengan analisis kritis dan refleksi filosofis terhadap relevansinya di era
global yang penuh ketidakpastian.
Footnotes
[1]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 4–6.
[2]               
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969),
112–115.
[3]               
Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago:
University of Chicago Press, 1992), 172–175.
[4]               
Robin Attfield, Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014),
28–31.
[5]               
H. Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of
Bioethics (New York: Oxford University Press, 1996), 22–25.
[6]               
Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor:
Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language (Toronto:
University of Toronto Press, 1977), 341–343.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis Etika Tanggung Jawab
Konsep etika
tanggung jawab tidak muncul dalam ruang hampa. Ia berakar pada
pergulatan panjang sejarah filsafat moral Barat yang terus berusaha memahami
hubungan antara kebebasan, tindakan, dan kewajiban. Secara historis, gagasan
tentang tanggung jawab telah termanifestasi sejak masa etika
klasik Yunani, berkembang dalam etika modern rasionalis,
dan mengalami transfigurasi mendalam dalam etika kontemporer,
khususnya melalui karya Hans Jonas yang menekankan dimensi ontologis dan
futuristik dari tanggung jawab manusia terhadap kehidupan.¹
2.1.      
Akar Etika Klasik: Dari Arete ke Tanggung Jawab
Dalam tradisi Yunani kuno,
tanggung jawab (responsibility) belum dimaknai secara eksplisit
sebagai konsep moral seperti pada masa modern. Namun, nilai-nilai yang mendasarinya
telah terwujud dalam gagasan aretē (keutamaan) dan phronesis
(kebijaksanaan praktis) sebagaimana diajarkan oleh Aristoteles.² Bagi
Aristoteles, manusia bertanggung jawab sejauh ia bertindak secara sadar dan
berdasarkan kehendak bebas (prohairesis), karena tindakan etis selalu
terkait dengan telos, yakni tujuan akhir menuju kebahagiaan (eudaimonia).³
Dengan demikian, tanggung jawab merupakan konsekuensi dari kebebasan rasional
yang diarahkan pada kebaikan.
Sementara itu, aliran Stoa
menekankan dimensi kosmologis dari tanggung jawab. Dalam pandangan Stoisisme,
manusia merupakan bagian dari logos alam semesta, sehingga setiap
tindakan yang selaras dengan tatanan kosmos merupakan bentuk pemenuhan tanggung
jawab moral terhadap keteraturan universal.⁴ Etika Stoa ini memperkenalkan
kesadaran etis yang melampaui individualitas, suatu benih awal bagi gagasan
tanggung jawab terhadap totalitas keberadaan.
2.2.      
Etika Modern: Rasionalitas, Otonomi, dan
Kewajiban Moral
Peralihan menuju zaman modern
membawa perubahan paradigma etika yang signifikan. Immanuel Kant, melalui Grundlegung
zur Metaphysik der Sitten (1785), merumuskan moralitas sebagai kewajiban
otonom yang bersumber dari rasio praktis.⁵ Dalam kerangka Kantian, tanggung
jawab moral terletak pada kemampuan subjek rasional untuk bertindak menurut
hukum moral universal—yakni imperatif kategoris—yang mengharuskan
manusia memperlakukan sesama bukan sebagai alat, melainkan tujuan pada dirinya
sendiri.⁶
Namun, dalam sistem Kant,
tanggung jawab terbatas pada tindakan yang dapat dikontrol oleh kehendak
individual di masa kini. Ia belum memperhitungkan dampak jangka panjang
terhadap masa depan atau alam.⁷ Inilah celah yang kelak akan dikritik oleh
filsuf-filsuf abad ke-20, yang melihat bahwa rasionalitas moral Kantian tidak
cukup untuk menjawab persoalan etis di era teknologi dan globalisasi.
Setelah Kant, filsafat moral
Hegel memperkenalkan dimensi sosial dari tanggung jawab melalui konsep Sittlichkeit,
yakni kehidupan etis yang terwujud dalam lembaga-lembaga sosial seperti
keluarga, masyarakat, dan negara.⁸ Dengan ini, tanggung jawab tidak lagi
bersifat individualistik, tetapi merupakan hasil dialektika antara kebebasan
subjektif dan struktur objektif kehidupan bersama.
2.3.      
Krisis Modernitas dan Lahirnya Etika Eksistensialis
Abad ke-20 ditandai oleh
krisis besar akibat perang dunia, industrialisasi, dan dehumanisasi teknologi.
Dalam konteks ini, etika eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre menekankan
tanggung jawab radikal manusia atas keberadaannya sendiri. Menurut Sartre, “manusia
dikutuk untuk bebas,” dan karenanya ia bertanggung jawab atas setiap
tindakannya, bahkan terhadap seluruh umat manusia.⁹ Namun, etika Sartrean
bersifat antropocentris, karena hanya mengakui tanggung jawab terhadap manusia,
bukan terhadap dunia non-manusia.
Di sisi lain, Emmanuel
Levinas memperluas cakrawala etis melalui konsep face of the Other, di
mana tanggung jawab muncul sebagai panggilan tanpa syarat dari wajah orang lain
yang menuntut pengakuan dan tindakan etis.¹⁰ Dalam konteks ini, etika
mendahului ontologi; tanggung jawab bukan hasil keputusan rasional, tetapi
pengalaman eksistensial yang mendahului kebebasan.¹¹
2.4.      
Hans Jonas dan Etika Tanggung Jawab Modern
Hans Jonas (1903–1993)
melanjutkan semangat eksistensialis dan fenomenologis itu, tetapi mengarahkan
etika ke arah yang lebih ontologis dan kosmologis. Dalam karya monumentalnya Das
Prinzip Verantwortung (1979), Jonas mengajukan sebuah imperatif baru:
“Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat dari tindakanmu sejalan dengan
kelangsungan kehidupan manusia di bumi.”¹² Etika Jonas lahir dari kesadaran
bahwa kekuatan teknologi modern telah menciptakan konsekuensi moral yang
melampaui kendali manusia dan generasi kini.
Menurut Jonas, tanggung jawab
bukan hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap seluruh keberadaan
hidup (bios).¹³ Ia menolak etika tradisional yang antroposentris dan
menggagas etika futuristik yang berorientasi pada keberlanjutan eksistensi.¹⁴
Dalam hal ini, etika tanggung jawab Jonas menjadi titik puncak evolusi moral
manusia dari etika tindakan langsung menuju etika prediktif, dari ethos of
autonomy menuju ethos of responsibility.
Footnotes
[1]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 1–5.
[2]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1103a–1106a.
[3]               
Ibid., 1113b–1115a.
[4]               
Diogenes Laërtius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D.
Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), VII.88–92.
[5]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:393–4:405.
[6]               
Ibid., 4:428.
[7]               
Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 109–112.
[8]               
G. W. F. Hegel, Philosophy of Right, trans. T. M. Knox
(Oxford: Oxford University Press, 1967), §142–§157.
[9]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 29–31.
[10]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority
(Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–201.
[11]            
Ibid., 213–216.
[12]            
Hans Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die
technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 36.
[13]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 7–9.
[14]            
Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London:
Routledge, 2016), 54–57.
3.          
Ontologi
Tanggung Jawab
Pembahasan mengenai ontologi
tanggung jawab merupakan inti dari pemahaman filosofis terhadap
etika tanggung jawab. Dalam konteks ini, “ontologi” tidak sekadar
menjelaskan apa itu tanggung jawab, tetapi lebih mendalam: bagaimana
tanggung jawab ada dalam struktur eksistensi manusia dan dunia. Etika
tanggung jawab menuntut pemahaman bahwa tanggung jawab bukan hanya kategori
moral atau normatif, melainkan juga kategori ontologis yang berkaitan dengan
keberadaan manusia sebagai makhluk yang sadar, bebas, dan berelasi.¹
3.1.      
Hakikat Ontologis Tanggung Jawab: Dari Ada ke
Kewajiban
Ontologi tanggung jawab
bertumpu pada gagasan bahwa keberadaan manusia selalu mengandaikan keterarahan
pada yang lain (being-for-the-other).² Manusia bukanlah entitas yang
berdiri sendiri secara atomistik, melainkan makhluk yang keberadaannya
ditentukan oleh relasi, baik terhadap sesama, alam, maupun masa depan. Dalam
kerangka ini, tanggung jawab tidak muncul dari pilihan eksternal, tetapi
melekat pada hakikat manusia itu sendiri sebagai ens ethicus—makhluk
moral.³
Hans Jonas menekankan bahwa
tanggung jawab tidak dapat dipahami hanya sebagai akibat dari kebebasan,
melainkan sebagai ekspresi dari being yang memiliki kesadaran akan
kehidupan lain.⁴ Artinya, ontologi tanggung jawab bersifat relasional: “ada”
manusia senantiasa mengandung kewajiban terhadap kelangsungan “ada” yang
lain.⁵ Dengan demikian, eksistensi dan moralitas tidak lagi dipisahkan, karena
tindakan moral menjadi bentuk aktualisasi dari keberadaan itu sendiri.
3.2.      
Subjek dan Objek Tanggung Jawab
Secara klasik, filsafat moral
menempatkan manusia sebagai subjek moral tunggal yang bertanggung jawab
terhadap sesama manusia. Namun, dalam kerangka etika tanggung jawab, baik
subjek maupun objek tanggung jawab mengalami perluasan. Subjek tanggung jawab
tidak hanya individu rasional, tetapi juga entitas kolektif seperti lembaga,
negara, dan umat manusia secara keseluruhan.⁶ Hal ini mencerminkan dimensi
intersubjektif dan struktural dari moralitas kontemporer.
Adapun objek tanggung jawab
meluas melampaui manusia. Jonas mengajukan tesis bahwa entitas
non-manusia—seperti alam, ekosistem, dan generasi mendatang—juga menjadi
penerima tanggung jawab moral.⁷ Ia menulis bahwa kehidupan di luar diri manusia
memiliki nilai intrinsik yang menuntut perlindungan.⁸ Dengan demikian, tanggung
jawab tidak lagi berorientasi pada hubungan timbal balik (seperti dalam kontrak
sosial), melainkan bersifat asimetric duty—kewajiban tanpa jaminan
balasan.⁹
Ontologi ini memperlihatkan
bahwa tanggung jawab bukan relasi hukum, melainkan relasi eksistensial: manusia
bertanggung jawab bukan karena ia dipaksa untuk bertanggung jawab,
melainkan karena ia tidak dapat tidak bertanggung jawab terhadap
kehidupan yang lain.¹⁰
3.3.      
Dimensi Temporal: Tanggung Jawab terhadap Masa
Depan
Salah satu dimensi ontologis
paling penting dalam etika tanggung jawab adalah waktu. Etika tradisional
sering kali menekankan tanggung jawab atas tindakan di masa kini
terhadap sesama yang ada saat ini. Jonas menolak batasan temporal
semacam itu dengan menegaskan bahwa teknologi modern telah memperluas jangkauan
tindakan manusia hingga ke masa depan yang jauh.¹¹ Oleh karena itu, tanggung
jawab juga harus melampaui horizon temporal sekarang menuju masa depan.
Dalam The Imperative of
Responsibility, Jonas menegaskan bahwa tanggung jawab moral manusia
meliputi generasi yang belum lahir.¹² Tindakan hari ini membawa akibat yang
menentukan eksistensi kehidupan esok hari. Dimensi temporal ini bersifat
eksistensial: tanggung jawab menjadi bentuk perpanjangan “ada manusia”
ke dalam “ada yang akan datang.”¹³ Dengan demikian, masa depan bukan
sekadar waktu yang belum terjadi, tetapi bagian dari eksistensi moral yang
menuntut penjagaan.
3.4.      
Kebebasan dan Tanggung Jawab: Relasi Ontologis
yang Tak Terpisahkan
Kebebasan sering dipahami
sebagai kondisi yang memungkinkan manusia memilih secara otonom. Namun, dalam
perspektif ontologis, kebebasan tanpa tanggung jawab adalah absurditas moral.
Sartre memang menegaskan bahwa kebebasan mendahului esensi, tetapi Jonas
menambahkan bahwa kebebasan sejati hanya memiliki makna ketika terarah pada
pemeliharaan kehidupan.¹⁴ Dengan kata lain, tanggung jawab bukan pembatas
kebebasan, melainkan penggenapnya.
Dalam pandangan
eksistensial-ontologis ini, kebebasan adalah kondisi being capable of
responsibility.¹⁵ Manusia bertanggung jawab karena ia bebas, dan
kebebasannya bermakna karena di dalamnya terdapat kemungkinan untuk bertanggung
jawab. Relasi ini menciptakan kesatuan antara etika dan ontologi: manusia
adalah makhluk yang bertanggung jawab karena ia ada.
3.5.      
Tanggung Jawab sebagai Struktur Dasar
Keberadaan
Emmanuel Levinas melangkah
lebih jauh dengan menyatakan bahwa tanggung jawab bukan sekadar tindakan sadar,
melainkan struktur keberadaan manusia itu sendiri.¹⁶ Ia menulis bahwa manusia “selalu
sudah bertanggung jawab” bahkan sebelum menyadari tanggung jawab itu. Dalam
relasi dengan the Other, manusia dipanggil secara etis tanpa syarat,
dan panggilan ini mendefinisikan eksistensinya.¹⁷ Dengan demikian, tanggung
jawab mendahului kebebasan, bahkan mendahului eksistensi itu sendiri.
Dalam kerangka ini, ontologi
tanggung jawab menjadi sebuah ethos of being: eksistensi yang bermoral
bukan karena mengikuti norma eksternal, tetapi karena keberadaan itu sendiri
merupakan tanggapan terhadap yang lain.¹⁸ Etika tanggung jawab, dengan demikian,
bukan sekadar doktrin moral, melainkan ekspresi ontologis dari kemanusiaan.
Footnotes
[1]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 10–12.
[2]               
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York:
Charles Scribner’s Sons, 1970), 54–57.
[3]               
Gabriel Marcel, Being and Having (London: Dacre Press, 1949),
98–100.
[4]               
Jonas, The Imperative of Responsibility, 18–20.
[5]               
Ibid., 23–24.
[6]               
Peter Kemp, “Ethics and Responsibility in the Age of Technology,” Ethical
Perspectives 8, no. 1 (2001): 32–34.
[7]               
Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die
technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 42–45.
[8]               
Ibid., 53.
[9]               
Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London:
Routledge, 2016), 61–63.
[10]            
Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 114–116.
[11]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 27–29.
[12]            
Ibid., 34.
[13]            
David Kaplan, “Responsibility and the Future: Ethics of Temporality,” Philosophy
Today 46, no. 3 (2002): 256–259.
[14]            
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes
(New York: Philosophical Library, 1956), 553–555.
[15]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 39–40.
[16]            
Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority
(Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 199–201.
[17]            
Ibid., 213–216.
[18]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of Chicago
Press, 1992), 337–340.
4.          
Epistemologi
Etika Tanggung Jawab
Epistemologi etika tanggung
jawab berusaha menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana manusia mengetahui
bahwa ia bertanggung jawab, dan atas dasar apa pengetahuan etis itu sahih?
Dalam konteks ini, etika tanggung jawab tidak hanya menyoroti aspek normatif
dari moralitas, tetapi juga cara manusia memahami, menilai, dan memproyeksikan
akibat dari tindakannya terhadap dunia.¹ Dengan demikian, epistemologi etika
tanggung jawab menggabungkan rasionalitas etis, kesadaran fenomenologis, dan
imajinasi moral dalam memahami kewajiban manusia terhadap masa kini dan masa
depan.
4.1.      
Rasionalitas Etis dan Kesadaran Moral
Rasionalitas dalam etika
tanggung jawab tidak identik dengan rasionalitas kalkulatif yang digunakan
dalam ilmu pengetahuan modern. Menurut Hans Jonas, jenis rasionalitas yang
diperlukan untuk memahami tanggung jawab adalah rationality of care—rasionalitas
yang berpadu dengan kepekaan moral terhadap kehidupan.² Rasionalitas semacam
ini menuntut manusia untuk menilai tindakan bukan semata-mata dari efisiensi
atau hasil langsung, tetapi dari dampak jangka panjang terhadap keberlangsungan
hidup.
Dalam kerangka epistemologis
ini, pengetahuan moral muncul dari kesadaran reflektif atas keterhubungan
eksistensial.³ Manusia mengetahui bahwa ia bertanggung jawab bukan karena
aturan eksternal yang memaksanya, tetapi karena ia menyadari keberadaannya
sebagai bagian dari jaringan kehidupan. Kesadaran moral, dalam pengertian ini,
bersifat fenomenologis—yakni muncul dari pengalaman langsung menghadapi
kerentanan makhluk lain dan dari rasa kewajiban yang lahir secara spontan.⁴
4.2.      
Intuisi Etis dan Fenomenologi Kehidupan
Hans Jonas menolak pandangan
positivistik yang menganggap moralitas hanya dapat diturunkan dari proposisi
logis atau empiris.⁵ Bagi Jonas, sumber pengetahuan etis justru terletak pada pengalaman
vitalitas—pengalaman akan nilai kehidupan itu sendiri. Ia menulis bahwa
“the self-awareness of life entails a sense of obligation to preserve life.”⁶
Dengan demikian, intuisi etis tidak bersumber dari hukum formal, melainkan dari
kesadaran akan nilai intrinsik kehidupan yang dihadirkan oleh pengalaman
eksistensial.
Pendekatan ini sejalan dengan
filsafat fenomenologi yang dikembangkan oleh Max Scheler dan Emmanuel Levinas.
Scheler menekankan bahwa nilai moral diketahui melalui ordo amoris
(tatanan kasih), yaitu kapasitas afektif untuk mengenali hierarki nilai.⁷
Levinas melanjutkan hal ini dengan mengemukakan bahwa tanggung jawab diketahui
bukan melalui deduksi rasional, tetapi melalui wajah orang lain—pengalaman
etis yang langsung menyingkap kewajiban tanpa perantara konsep.⁸ Dengan
demikian, epistemologi etika tanggung jawab bersifat prareflektif: manusia mengetahui
kewajibannya sebelum ia memutuskan untuk bertanggung jawab.
4.3.      
Imaginasi Moral dan Foresight Etis
Salah satu aspek
epistemologis terpenting dalam etika tanggung jawab adalah imaginasi moral
(moral imagination), yaitu kemampuan untuk mengantisipasi akibat dari tindakan
sebelum konsekuensinya terjadi.⁹ Jonas menyebut hal ini sebagai heuristics
of fear—suatu kemampuan moral untuk membayangkan kemungkinan buruk dari
kekuatan teknologi manusia.¹⁰ Dengan membayangkan akibat destruktif, manusia
dapat memperoleh pengetahuan moral yang bersifat preventif, bukan hanya
reaktif.
Epistemologi ini berbeda dari
rasionalitas klasik yang hanya menilai tindakan dari pengalaman masa lalu.
Dalam dunia yang diwarnai oleh ketidakpastian ilmiah dan risiko global,
pengetahuan moral harus bersifat prospektif.¹¹ Artinya, tanggung jawab
memerlukan kemampuan pengetahuan yang memperhitungkan apa yang belum
terjadi. Dengan demikian, etika tanggung jawab menggabungkan aspek
kognitif, afektif, dan imajinatif dalam struktur epistemologisnya.
4.4.      
Keterbatasan Pengetahuan dan Prinsip
Kehati-hatian
Jonas menekankan bahwa
epistemologi tanggung jawab harus didasarkan pada pengakuan atas keterbatasan
pengetahuan manusia.¹² Dalam menghadapi kompleksitas sistem ekologis dan
teknologi, manusia tidak dapat sepenuhnya mengetahui akibat dari tindakannya.
Oleh sebab itu, pengetahuan etis harus disertai dengan epistemic humility—kerendahan
hati intelektual.¹³ Prinsip kehati-hatian (precautionary principle)
lahir dari kesadaran epistemologis ini: lebih baik menahan diri dari tindakan
berisiko tinggi ketika akibatnya belum sepenuhnya diketahui.¹⁴
Prinsip ini menegaskan bahwa
tanggung jawab moral menuntut manusia untuk menggabungkan pengetahuan dan
ketidaktahuan dalam pengambilan keputusan. Etika tanggung jawab, dengan
demikian, bukanlah etika kepastian, melainkan etika yang berakar pada kesadaran
akan batas rasionalitas manusia di hadapan kompleksitas dunia.
4.5.      
Rasionalitas Komunikatif dan Pengetahuan
Inter-subjektif
Selain dimensi individual,
pengetahuan etis juga memiliki aspek sosial. Jürgen Habermas, melalui teori
tindakan komunikatifnya, menjelaskan bahwa pengetahuan moral tidak hanya
dihasilkan oleh subjek rasional tunggal, tetapi oleh interaksi komunikatif
antarindividu yang berorientasi pada saling pengertian (mutual
understanding).¹⁵ Dalam konteks ini, epistemologi etika tanggung jawab
menuntut dialog etis yang terbuka, di mana keputusan moral dibentuk melalui
pertimbangan bersama mengenai akibat dan tanggung jawab.¹⁶
Hal ini menunjukkan bahwa
etika tanggung jawab bersifat dialogis: pengetahuan moral tidak bersumber dari
otoritas tunggal, tetapi dari diskursus rasional yang melibatkan berbagai pihak
yang terkena dampak.¹⁷ Maka, epistemologi etika tanggung jawab tidak hanya
menuntut refleksi individu, tetapi juga partisipasi sosial dalam proses penentuan
apa yang dianggap benar dan bertanggung jawab.
4.6.      
Pengetahuan Etis sebagai Praxis Reflektif
Akhirnya, epistemologi
tanggung jawab berpuncak pada kesadaran bahwa pengetahuan moral sejati tidak
bersifat teoretis, melainkan praktis.¹⁸ Pengetahuan moral harus diwujudkan
dalam tindakan konkret yang menjaga kehidupan. Dengan demikian, epistemologi
etika tanggung jawab adalah epistemologi praksis: pengetahuan yang menuntut
untuk diwujudkan.¹⁹
Dalam hal ini, etika tanggung
jawab menyatukan knowing dan acting, pengetahuan dan
tindakan, dalam kesatuan moral yang utuh. Mengetahui bahwa seseorang
bertanggung jawab berarti sekaligus bertindak untuk memelihara kehidupan.²⁰
Dengan demikian, epistemologi etika tanggung jawab menegaskan bahwa moralitas
bukan sekadar pengetahuan tentang yang baik, tetapi komitmen eksistensial untuk
menjadikannya nyata.
Footnotes
[1]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 9–11.
[2]               
Ibid., 18–19.
[3]               
Gabriel Marcel, Being and Having (London: Dacre Press, 1949),
102–104.
[4]               
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority
(Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 200–203.
[5]               
Jonas, The Imperative of Responsibility, 25–27.
[6]               
Ibid., 29.
[7]               
Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values,
trans. Manfred S. Frings and Roger L. Funk (Evanston: Northwestern University
Press, 1973), 98–101.
[8]               
Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence, trans.
Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 116–118.
[9]               
Martha C. Nussbaum, Love’s Knowledge: Essays on Philosophy and
Literature (New York: Oxford University Press, 1990), 45–48.
[10]            
Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die
technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 64–67.
[11]            
Stephen Gardiner, “A Core Precautionary Principle,” Journal of
Political Philosophy 14, no. 1 (2006): 33–36.
[12]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 36–38.
[13]            
Lorraine Code, Epistemic Responsibility (Hanover: University
Press of New England, 1987), 43–46.
[14]            
Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London:
Routledge, 2016), 71–74.
[15]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 99–102.
[16]            
Ibid., 125–126.
[17]            
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and
Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992),
156–158.
[18]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 331–334.
[19]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 62–64.
[20]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 41–43.
5.          
Aksiologi
dan Etika Praktis
Aksiologi dalam etika
tanggung jawab berfokus pada penentuan dan pemaknaan
nilai-nilai moral yang menjadi dasar tindakan manusia dalam menjaga
keberlangsungan kehidupan. Ia tidak hanya menjawab pertanyaan apa yang
bernilai baik, tetapi juga bagaimana nilai-nilai itu diwujudkan secara
praktis dalam kehidupan sosial, teknologi, dan ekologis. Dalam konteks
ini, etika tanggung jawab menuntut orientasi nilai yang melampaui kepentingan
individu, menuju tanggung jawab kolektif terhadap kehidupan dan masa depan.¹
5.1.      
Nilai Dasar Etika Tanggung Jawab: Kehidupan
sebagai Nilai Tertinggi
Menurut Hans Jonas, nilai
tertinggi dalam etika tanggung jawab adalah keberlangsungan
kehidupan itu sendiri (the continuity of genuine human life
on earth).² Nilai ini bersifat ontologis dan universal karena menjadi
prasyarat bagi segala nilai lain. Tanpa eksistensi kehidupan, tidak ada lagi konteks
di mana kebaikan, keadilan, atau kebahagiaan dapat diwujudkan.³ Oleh karena
itu, tindakan manusia harus selalu diukur berdasarkan kontribusinya terhadap
pemeliharaan kehidupan, bukan sekadar keuntungan jangka pendek atau kepentingan
individu.
Dalam kerangka aksiologis
ini, tanggung jawab bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga ekspresi dari
cinta terhadap kehidupan (amor vitae).⁴ Nilai kehidupan bersifat
intrinsik, bukan instrumental. Artinya, kehidupan tidak bernilai karena berguna
bagi manusia, tetapi karena ia memiliki martabat yang layak dipertahankan.⁵
Dengan demikian, etika tanggung jawab menolak antroposentrisme sempit dan
menggantinya dengan biocentrisme etis, di
mana nilai moral mencakup seluruh entitas hidup.
5.2.      
Prinsip Kehati-hatian (Precautionary
Principle) dan Nilai Kehidupan
Dalam dunia modern yang sarat
dengan ketidakpastian ilmiah, tindakan etis harus berakar pada prinsip
kehati-hatian. Jonas menyebut prinsip ini sebagai heuristics of fear,
yakni bentuk kehati-hatian epistemologis dan moral yang berangkat dari
imajinasi terhadap potensi kerusakan kehidupan.⁶ Prinsip ini menyatakan bahwa
ketika akibat dari tindakan manusia tidak dapat dipastikan sepenuhnya, terutama
jika berpotensi menimbulkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, maka
tindakan tersebut harus dihindari.⁷
Secara aksiologis, prinsip
kehati-hatian menegaskan prioritas nilai kehidupan di atas nilai-nilai ekonomi,
teknologis, dan politis.⁸ Dalam konteks bioteknologi, misalnya, eksperimen
genetik atau kecerdasan buatan harus tunduk pada batas moral yang menjamin
keberlanjutan kehidupan. Dengan demikian, tindakan etis bukan hanya yang
menghasilkan manfaat, tetapi yang mencegah malapetaka potensial.⁹
5.3.      
Nilai Keadilan dan Solidaritas Antar Generasi
Etika tanggung jawab juga
menekankan keadilan antar generasi (intergenerational
justice).¹⁰ Artinya, tindakan generasi sekarang harus mempertimbangkan hak
generasi mendatang untuk menikmati dunia yang layak huni. Prinsip ini menuntut
solidaritas temporal: rasa tanggung jawab lintas waktu antara manusia kini dan
manusia masa depan.¹¹
Jonas berpendapat bahwa
tanggung jawab moral bersifat asymmetric: generasi sekarang memiliki
kewajiban terhadap yang belum lahir, meski generasi masa depan tidak dapat
memberikan balasan atau kontrak moral.¹² Dalam hal ini, etika tanggung jawab
menolak paradigma etika timbal balik (reciprocity ethics) dan
menggantinya dengan etika kepedulian proleptik,
yakni kepedulian terhadap yang belum hadir.¹³
Solidaritas antar generasi
mencerminkan struktur nilai yang dinamis: nilai keadilan tidak lagi terbatas
pada distribusi kesejahteraan sekarang, tetapi pada perlindungan terhadap
keberlanjutan kehidupan secara keseluruhan.¹⁴
5.4.      
Etika Lingkungan: Dari Antroposentrisme ke
Ekosentrisme
Dalam ranah etika lingkungan,
etika tanggung jawab memuat pergeseran paradigma aksiologis dari antroposentrisme
menuju ekosentrisme. Manusia
tidak lagi diposisikan sebagai penguasa atas alam, tetapi sebagai bagian
integral dari ekosistem yang memiliki kewajiban untuk menjaga
keseimbangannya.¹⁵ Jonas menulis bahwa kekuatan teknologi modern telah
memberikan manusia kekuasaan atas alam yang tak terbatas, tetapi juga tanggung
jawab yang sama besarnya untuk tidak merusaknya.¹⁶
Aksiologi ekosentris ini
mengakui bahwa nilai moral tidak berhenti pada manusia, melainkan meliputi
seluruh sistem kehidupan. Dengan demikian, tindakan yang memelihara bumi,
keanekaragaman hayati, dan keseimbangan ekologis merupakan tindakan etis yang
bernilai tinggi.¹⁷ Dalam kerangka ini, tanggung jawab ekologis adalah bentuk konkret
dari cinta terhadap kehidupan itu sendiri.
5.5.      
Etika Sosial dan Tanggung Jawab Kolektif
Selain dimensi ekologis,
etika tanggung jawab juga menuntut penerapan dalam kehidupan sosial-politik.
Nilai tanggung jawab harus diwujudkan dalam tatanan kelembagaan, kebijakan
publik, dan struktur ekonomi. Jonas menegaskan bahwa tanggung jawab tidak dapat
dibatasi pada moralitas individu, karena dampak tindakan modern bersifat
sistemik.¹⁸
Etika tanggung jawab sosial
meliputi kesadaran bahwa kebijakan politik dan ekonomi memiliki konsekuensi
moral.¹⁹ Oleh karena itu, tanggung jawab institusional menjadi syarat bagi
keberlangsungan kehidupan bersama. Pemimpin politik, ilmuwan, dan korporasi
memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa keputusan mereka tidak merugikan
generasi mendatang maupun ekosistem global.²⁰
Nilai solidaritas,
keberlanjutan, dan keadilan sosial menjadi poros utama aksiologi tanggung jawab
kolektif. Dalam hal ini, etika tanggung jawab berfungsi sebagai etika
publik yang mengatur relasi antara kebebasan manusia dan
keterbatasan dunia.²¹
Kebaikan sebagai Tindakan Pemeliharaan (Ethics
of Care)
Etika tanggung jawab memiliki
kedekatan konseptual dengan ethics of care—etika kepedulian yang
menekankan relasi, empati, dan pemeliharaan kehidupan.²² Namun, berbeda dengan
pendekatan feminis yang lebih menyoroti hubungan interpersonal, etika tanggung
jawab bersifat universal dan ontologis.²³ Ia menegaskan bahwa kebaikan moral
tertinggi adalah tindakan yang menjaga, memelihara, dan mengembangkan kehidupan
dalam segala bentuknya.²⁴
Dengan demikian, tindakan
baik bukan sekadar tindakan yang adil atau rasional, melainkan tindakan yang
bertanggung jawab terhadap dampak ekologis dan eksistensial. Dalam pengertian
ini, etika tanggung jawab mengintegrasikan nilai-nilai klasik seperti keadilan
dan kebajikan ke dalam horizon baru yang mencakup seluruh keberadaan.²⁵
Footnotes
[1]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 92–94.
[2]               
Ibid., 80–81.
[3]               
Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London:
Routledge, 2016), 52–53.
[4]               
Gabriel Marcel, Being and Having (London: Dacre Press, 1949),
118–120.
[5]               
Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental
Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 34–36.
[6]               
Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die
technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 64–67.
[7]               
Stephen Gardiner, “A Core Precautionary Principle,” Journal of Political
Philosophy 14, no. 1 (2006): 33–36.
[8]               
Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 49–51.
[9]               
Jonas, The Imperative of Responsibility, 96–97.
[10]            
Brian Barry, Justice as Impartiality (Oxford: Oxford
University Press, 1995), 87–89.
[11]            
Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International
Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations
University Press, 1989), 19–21.
[12]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 100–102.
[13]            
Ibid., 105.
[14]            
Henry Shue, “Subsistence Emissions and Luxury Emissions,” Law &
Policy 15, no. 1 (1993): 39–40.
[15]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 201–203.
[16]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 110–112.
[17]            
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 85–87.
[18]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 120–122.
[19]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 82–83.
[20]            
Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity (London:
Sage, 1992), 45–47.
[21]            
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and
Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992),
165–166.
[22]            
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and
Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982),
73–75.
[23]            
Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral
Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 98–101.
[24]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 128–130.
[25]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 70–72.
6.          
Kritik
terhadap Etika Tanggung Jawab
Meskipun etika
tanggung jawab yang dikembangkan oleh Hans Jonas dianggap
sebagai salah satu terobosan moral paling penting dalam filsafat abad ke-20,
gagasan ini tidak luput dari kritik filosofis dan praktis. Kritik terhadap
etika tanggung jawab datang dari berbagai aliran pemikiran—mulai dari etika
deontologis dan utilitarian, hingga eksistensialisme,
postmodernisme, dan filsafat politik
kontemporer. Kritik-kritik ini tidak hanya menyoroti aspek
konseptual (teoretis), tetapi juga mempertanyakan keterterapan
praktis dari etika tanggung jawab dalam dunia modern yang
kompleks, plural, dan global.¹
6.1.      
Kritik Rasionalitas Moral dan Dimensi Utopis
Beberapa filsuf menilai bahwa
etika tanggung jawab Jonas terlalu utopis karena menuntut manusia untuk memikul
beban moral yang melampaui kemampuan rasional dan politisnya.² Raymond Geuss,
misalnya, berpendapat bahwa etika Jonas cenderung mengidealisasi manusia
sebagai agen moral yang memiliki kapasitas prediktif dan reflektif sempurna
terhadap dampak masa depan tindakannya, padahal dalam kenyataan, struktur
sosial dan politik sering kali tidak memungkinkan refleksi etis yang mendalam
sebelum bertindak.³
Selain itu, etika tanggung
jawab dianggap cenderung pesimistis terhadap kemajuan teknologi. Heuristics
of fear yang diusulkan Jonas dianggap lebih menekankan aspek negatif dari
imajinasi moral—yakni rasa takut akan kehancuran—ketimbang aspek kreatif dari
harapan dan inovasi.⁴ Dengan demikian, rasionalitas moral Jonas dinilai
bersifat preventif dan konservatif, bukan produktif dan progresif sebagaimana
etika rasional Kantian atau pragmatisme Deweyan.⁵
6.2.      
Kritik dari Perspektif Deontologis dan
Utilitarian
Dari perspektif etika
deontologis, konsep tanggung jawab Jonas dianggap mengaburkan
batas antara kewajiban moral dan konsekuensi tindakan. Menurut Kant, moralitas
hanya bergantung pada motivasi dan prinsip tindakan (maksim), bukan pada
akibatnya.⁶ Dengan menitikberatkan tanggung jawab pada konsekuensi masa depan,
Jonas dianggap bergeser dari deontologi menuju konsekuensialisme yang samar.⁷
Hal ini menimbulkan dilema epistemologis: bagaimana seseorang dapat mengetahui
secara pasti akibat moral dari tindakannya terhadap generasi mendatang yang
belum ada?⁸
Sementara itu, etika
utilitarian mengkritik bahwa tanggung jawab Jonas tidak menyediakan
kriteria kuantitatif yang jelas untuk menilai manfaat dan kerugian tindakan.⁹
John Stuart Mill maupun Peter Singer akan menilai bahwa tanggung jawab moral
harus tetap mempertimbangkan the greatest happiness principle,
sedangkan etika Jonas menolak prinsip kebahagiaan kolektif jika berpotensi
mengancam eksistensi kehidupan secara keseluruhan.¹⁰ Dalam konteks ini, etika
tanggung jawab tampak lebih bersifat absolutis dibandingkan utilitarianisme
yang fleksibel terhadap konsekuensi sosial.
6.3.      
Kritik Eksistensialis: Kebebasan versus
Ketakutan
Etika tanggung jawab juga
dikritik oleh para filsuf eksistensialis seperti
Jean-Paul Sartre dan Albert Camus. Sartre menilai bahwa konsep tanggung jawab
Jonas terlalu menekankan norma eksternal (imperatif masa depan) yang
berpotensi mengurangi kebebasan eksistensial manusia.¹¹ Dalam pandangan
eksistensialis, tanggung jawab moral adalah hasil keputusan bebas yang
bersumber dari proyek eksistensi individu, bukan dari kewajiban
ontologis yang bersifat universal.¹²
Camus, dalam kerangka
absurdisnya, akan menganggap bahwa seruan tanggung jawab terhadap masa depan
berpotensi menciptakan beban moral yang tidak realistis.¹³ Manusia, dalam dunia
yang absurd dan tak pasti, hanya dapat bertanggung jawab secara otentik
terhadap tindakannya saat ini, bukan terhadap konsekuensi yang tak dapat
dikendalikan.¹⁴ Dengan demikian, etika tanggung jawab dipandang berisiko
mereduksi kebebasan eksistensial menjadi kepatuhan moral yang abstrak.
6.4.      
Kritik Postmodern: Penolakan terhadap
Universalisme Moral
Dari sudut pandang postmodernisme,
etika tanggung jawab dianggap masih memelihara ambisi modernitas untuk
membangun norma moral universal. Jean-François Lyotard dan Zygmunt Bauman,
misalnya, menolak gagasan “imperatif baru” Jonas karena dianggap
mengabaikan pluralitas dan konteks lokal dari pengalaman moral.¹⁵ Etika
universal, menurut Bauman, sering kali gagal memahami situasi konkret di mana
tanggung jawab bersifat ambigu dan terfragmentasi.¹⁶
Selain itu, etika Jonas
dipandang terlalu berpusat pada subjek moral Barat—manusia modern yang
rasional dan sadar teknologi—sementara mengabaikan bentuk-bentuk tanggung jawab
alternatif yang muncul dalam tradisi non-Barat, spiritual, atau komunitarian.¹⁷
Dalam konteks globalisasi etika, tuntutan tanggung jawab terhadap masa depan
harus mempertimbangkan relativitas budaya dan sistem nilai yang beragam.¹⁸
6.5.      
Kritik Praktis: Ketidakefisienan dalam
Penerapan Global
Kritik paling konkret
terhadap etika tanggung jawab terletak pada kesulitannya untuk
diterapkan secara praktis dalam sistem politik, ekonomi, dan
teknologi global.¹⁹ Etika tanggung jawab menuntut bentuk tindakan moral yang
idealistik, tetapi tidak memberikan mekanisme kelembagaan yang memadai untuk
mengimplementasikannya. Misalnya, bagaimana mengukur tanggung jawab korporasi
multinasional terhadap dampak ekologis global ketika tidak ada lembaga moral
universal yang mengawasi tindakan tersebut?²⁰
Ulrich Beck menambahkan bahwa
dalam risk society, tanggung jawab cenderung tersebar (diffused
responsibility) di antara berbagai aktor sosial sehingga sulit menentukan
siapa yang harus bertanggung jawab secara konkret.²¹ Akibatnya, seruan moral
Jonas sering kali berhenti pada level refleksi etis, tanpa transformasi
struktural yang nyata dalam kebijakan global.²²
6.6.      
Kritik Internal: Ambiguitas antara Etika dan
Ontologi
Beberapa pemikir kontemporer,
termasuk Jürgen Habermas dan Paul Ricoeur, menyoroti ambiguitas dalam filsafat
Jonas antara etika normatif dan ontologi
eksistensial. Habermas menilai bahwa Jonas tidak cukup
membedakan antara “imperatif moral” dan “fakta biologis” ketika
menganggap kehidupan sebagai nilai tertinggi.²³ Ia mengingatkan bahwa
menjadikan kehidupan sebagai dasar moral berisiko melahirkan bentuk naturalisme
etis, di mana fakta biologis digunakan untuk membenarkan norma moral.²⁴
Ricoeur, di sisi lain,
menilai bahwa etika Jonas terlalu menekankan dimensi tanggung jawab tanpa
keseimbangan dengan pengampunan (forgiveness) dan kebebasan naratif
manusia.²⁵ Akibatnya, etika tanggung jawab berpotensi menjadi etika beban (ethics
of burden)—menuntut manusia untuk terus memikul tanggung jawab tanpa ruang
bagi rekonsiliasi moral.²⁶
Evaluasi Umum: Nilai dan Keterbatasan
Kritik-kritik tersebut
menunjukkan bahwa etika tanggung jawab, meski visioner dan penting dalam
merespons krisis teknologi dan ekologi, memiliki keterbatasan dalam aspek
epistemologis, praktis, dan politis. Namun demikian, keunggulan utama etika
Jonas terletak pada kesadarannya terhadap dimensi temporal
moralitas—sesuatu yang diabaikan oleh sebagian besar etika
klasik.²⁷ Etika ini membuka ruang bagi tanggung jawab intergenerasional dan
ekosentris yang sangat relevan bagi dunia kontemporer, meski masih memerlukan
pengembangan lebih lanjut agar dapat dioperasionalkan dalam kebijakan publik dan
praksis sosial.²⁸
Footnotes
[1]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 1–3.
[2]               
Ibid., 78–80.
[3]               
Raymond Geuss, Philosophy and Real Politics (Princeton:
Princeton University Press, 2008), 66–68.
[4]               
Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die
technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 71–73.
[5]               
John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt,
1922), 23–25.
[6]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–4:424.
[7]               
Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 104–106.
[8]               
Bernard Williams, Ethics and the Limits of Philosophy
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 117–118.
[9]               
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 12–14.
[10]            
John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and
Bourn, 1863), 24–26.
[11]            
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 33–35.
[12]            
Ibid., 42–44.
[13]            
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New
York: Vintage Books, 1991), 54–56.
[14]            
Ibid., 73–75.
[15]            
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), 25–27.
[16]            
Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993),
6–8.
[17]            
Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 14–16.
[18]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 22–24.
[19]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 91–93.
[20]            
John Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses,
3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 121–123.
[21]            
Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity (London:
Sage, 1992), 47–50.
[22]            
Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford:
Stanford University Press, 1990), 112–114.
[23]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 92–94.
[24]            
Ibid., 96.
[25]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 343–345.
[26]            
Ibid., 349–350.
[27]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 129–131.
[28]         
Henk
ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London: Routledge, 2016),
79–81.
7.          
Relevansi
Kontemporer Etika Tanggung Jawab
Etika tanggung jawab (Ethics
of Responsibility) yang dirumuskan oleh Hans Jonas
tetap memiliki relevansi yang sangat kuat dalam menghadapi tantangan moral,
ekologis, dan teknologi abad ke-21. Dunia kontemporer kini hidup dalam kondisi
yang oleh Ulrich Beck disebut sebagai risk society, yakni masyarakat
yang hidup di bawah bayang-bayang risiko global yang dihasilkan oleh kemajuan
teknologi dan ekonomi modern.¹ Dalam konteks ini, seruan Jonas untuk
mengembangkan “imperatif baru”—bertindak demi kelangsungan kehidupan
manusia di bumi—menjadi semakin mendesak.² Etika tanggung jawab memberikan
kerangka moral yang dapat menjawab dilema etis zaman modern, mulai dari krisis
lingkungan hingga kecerdasan buatan (AI), dari bioteknologi hingga etika
global.
7.1.      
Krisis Ekologis dan Tanggung Jawab terhadap
Bumi
Krisis ekologis merupakan
tantangan moral paling nyata yang menuntut aktualisasi etika tanggung jawab.
Pemanasan global, deforestasi, pencemaran laut, dan kepunahan spesies menegaskan
bahwa tindakan manusia telah melampaui kapasitas regeneratif bumi.³ Jonas
mengingatkan bahwa kekuasaan manusia atas alam modern telah melampaui batas
etis yang dapat dikendalikan oleh hukum moral tradisional.⁴ Maka, tanggung
jawab ekologis bukan sekadar pilihan moral, melainkan kewajiban eksistensial
terhadap keberlanjutan kehidupan.
Dalam kerangka etika tanggung
jawab, alam tidak lagi dipandang sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai subjek
moral implisit yang memiliki nilai intrinsik.⁵ Etika ini beresonansi
dengan perkembangan ecological ethics kontemporer, seperti gagasan
Aldo Leopold tentang land ethic dan prinsip deep ecology Arne
Naess yang menuntut hubungan harmonis antara manusia dan alam.⁶ Dengan
demikian, tanggung jawab terhadap bumi adalah bentuk konkret dari “imperatif
Jonasian” di era krisis iklim global.
7.2.      
Revolusi Teknologi dan Etika Kecerdasan Buatan
(AI)
Kemajuan teknologi digital
dan kecerdasan buatan membawa dimensi baru dalam tanggung jawab moral.
Teknologi kini bukan hanya alat netral, tetapi agen yang berpotensi memengaruhi
keputusan moral, politik, bahkan eksistensi manusia.⁷ Jonas, meski menulis
sebelum munculnya AI modern, telah memperingatkan tentang bahaya moral dari
teknologi yang menggeser batas antara manusia dan mesin.⁸
Dalam konteks AI, etika
tanggung jawab menuntut agar inovasi teknologi selalu diarahkan pada
pemeliharaan martabat manusia dan kehidupan.⁹ Prinsip kehati-hatian (precautionary
principle) menjadi pedoman penting dalam menghadapi ketidakpastian etis
AI—terutama dalam bidang seperti pengawasan digital, algoritma bias, dan autonomous
weapons systems.¹⁰ Dengan demikian, etika tanggung jawab menyediakan
landasan normatif untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tetap melayani
kemanusiaan, bukan menguasainya.
7.3.      
Bioetika dan Manipulasi Kehidupan
Perkembangan bioteknologi,
seperti rekayasa genetika, kloning, dan synthetic biology, menimbulkan
dilema moral baru yang sejalan dengan keprihatinan Jonas tentang kekuasaan
manusia terhadap kehidupan.¹¹ Dalam The Imperative of Responsibility,
Jonas menegaskan bahwa kemampuan manusia untuk “menciptakan kehidupan”
menuntut bentuk tanggung jawab moral yang lebih besar dari sebelumnya.¹²
Etika tanggung jawab
mengajarkan bahwa teknologi biologis harus tunduk pada batas moral yang mempertahankan
martabat kehidupan.¹³ Hal ini sejalan dengan pandangan dalam bioethics of
responsibility yang dikembangkan oleh Henk ten Have dan Fritz Jahr, yang
menempatkan prinsip tanggung jawab sebagai inti bioetika global.¹⁴ Dalam
konteks pandemi, misalnya, tanggung jawab etis mencakup keseimbangan antara
kemajuan sains medis dan keadilan distributif terhadap akses kesehatan.¹⁵
7.4.      
Etika Politik dan Tanggung Jawab Global
Dalam dunia yang terhubung
secara global, tanggung jawab moral tidak lagi dapat dibatasi oleh batas negara
atau budaya. Etika tanggung jawab menuntut bentuk solidaritas
moral global yang melampaui egoisme nasional maupun kepentingan
ekonomi jangka pendek.¹⁶ Prinsip tanggung jawab global ini memiliki resonansi
dengan etika komunikasi Habermas dan teori keadilan global Martha Nussbaum,
yang menekankan bahwa moralitas harus berlandaskan pada penghargaan terhadap
kehidupan universal.¹⁷
Dalam praktik politik
internasional, hal ini berarti kebijakan pembangunan, perdagangan, dan keamanan
global harus mempertimbangkan dampak ekologis dan kemanusiaan terhadap generasi
mendatang.¹⁸ Etika tanggung jawab dengan demikian menjadi basis moral bagi
kebijakan berkelanjutan (sustainable development) dan etika kebijakan
publik di era globalisasi.¹⁹
7.5.      
Etika Tanggung Jawab dalam Dunia Digital dan
Sosial
Selain ranah teknologi dan
ekologi, relevansi etika tanggung jawab juga meluas pada ruang digital. Dunia
media sosial dan information society menciptakan bentuk tanggung jawab
baru terhadap kebenaran, privasi, dan dampak sosial informasi.²⁰ Jonas
menegaskan bahwa kekuasaan informasi juga mengandung beban moral, sebab setiap
tindakan komunikasi memiliki konsekuensi sosial.²¹
Dalam konteks ini, tanggung
jawab digital menuntut etika yang berlandaskan pada transparansi, kejujuran,
dan penghormatan terhadap martabat manusia.²² Prinsip tanggung jawab tidak
hanya berlaku pada pencipta teknologi, tetapi juga pada pengguna yang membentuk
ekosistem moral dunia maya.²³ Dengan demikian, etika tanggung jawab menjadi
paradigma penting dalam menanggulangi disinformasi, ujaran kebencian, dan
krisis kepercayaan publik di era digital.
7.6.      
Pendidikan Moral dan Transformasi Kesadaran
Relevansi terakhir dari etika
tanggung jawab adalah perannya dalam pendidikan moral.
Jonas menekankan bahwa tanpa pembentukan kesadaran tanggung jawab melalui
pendidikan, etika ini hanya akan menjadi teori abstrak.²⁴ Pendidikan tanggung
jawab menuntut pembentukan karakter yang mencintai kehidupan dan menyadari
konsekuensi tindakan terhadap sesama dan lingkungan.²⁵
Dalam konteks pendidikan
global, etika tanggung jawab dapat menjadi fondasi bagi environmental
education, digital citizenship education, dan ethics of
technology education.²⁶ Tujuan akhirnya bukan sekadar mengajarkan
pengetahuan moral, tetapi membentuk manusia yang memiliki empati, imajinasi
etis, dan visi jangka panjang untuk menjaga kehidupan.²⁷
Kesimpulan Sementara: Dari Teori ke Praksis
Global
Dengan memperhatikan
kompleksitas dunia modern—mulai dari krisis ekologis hingga disrupsi teknologi—etika
tanggung jawab hadir sebagai fondasi moral yang integral dan futuristik.²⁸ Ia
menawarkan paradigma baru yang menggabungkan rational foresight,
empati moral, dan kesadaran ekologis sebagai jalan menuju kelangsungan hidup
manusia dan planet ini.²⁹
Relevansi kontemporer etika
tanggung jawab tidak terletak pada kemampuannya menyelesaikan semua persoalan
etis secara instan, melainkan pada kemampuannya mengubah cara manusia
berpikir tentang moralitas—dari etika tindakan kini menuju
etika masa depan.³⁰ Dengan demikian, etika tanggung jawab Jonas tetap menjadi
salah satu pilar paling penting bagi filsafat moral abad ke-21.
Footnotes
[1]               
Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity (London:
Sage, 1992), 19–21.
[2]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 11–13.
[3]               
Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 22–25.
[4]               
Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die
technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 60–63.
[5]               
Jonas, The Imperative of Responsibility, 23–25.
[6]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 202–204.
[7]               
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 15–18.
[8]               
Jonas, The Imperative of Responsibility, 41–43.
[9]               
Ibid., 46–47.
[10]            
Stephen Gardiner, “A Core Precautionary Principle,” Journal of
Political Philosophy 14, no. 1 (2006): 35–37.
[11]            
Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London:
Routledge, 2016), 82–85.
[12]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 53–54.
[13]            
Ibid., 58.
[14]            
Fritz Jahr, “Bio-Ethik: Eine Umschau über die ethischen Beziehungen des
Menschen zu Tier und Pflanze,” Kosmos 24 (1927): 2–4.
[15]            
Ruth Macklin, “Global Health Ethics for the 21st Century,” Kennedy
Institute of Ethics Journal 20, no. 4 (2010): 331–333.
[16]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 92–93.
[17]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 24–27.
[18]            
John Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses,
3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 125–127.
[19]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 95–96.
[20]            
Luciano Floridi, The Logic of Information: A Theory of Philosophy
as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 132–134.
[21]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 102–103.
[22]            
Rafael Capurro, “Digital Ethics,” in The Handbook of Information
and Computer Ethics, ed. Kenneth E. Himma and Herman T. Tavani (Hoboken,
NJ: Wiley, 2008), 187–189.
[23]            
Charles Ess, Digital Media Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Polity
Press, 2020), 45–48.
[24]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 118–120.
[25]            
Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral
Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 175–177.
[26]            
Robert L. W. Zimdars-Swartz, “Moral Education and the Ethics of
Responsibility,” Journal of Moral Education 29, no. 3 (2000): 321–324.
[27]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 341–343.
[28]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 126–127.
[29]            
Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction, 90–92.
[30]            
Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 115–117.
8.          
Sintesis
Filosofis
Etika tanggung jawab
sebagaimana dirumuskan oleh Hans Jonas merupakan
refleksi filosofis yang berupaya menyatukan kembali hubungan antara kebebasan,
kehidupan, dan tanggung jawab dalam satu kerangka moral yang
utuh. Sintesis filosofis ini memperlihatkan upaya untuk melampaui keterpecahan
etika modern yang terbelah antara otonomi rasional (Kant), hedonisme utilitarian,
dan relativisme postmodern. Jonas menegaskan bahwa moralitas tidak dapat
dipahami secara memadai tanpa kesadaran ontologis bahwa “ada” manusia
bergantung pada kelangsungan kehidupan itu sendiri.¹ Dengan demikian, etika
tanggung jawab menjadi bentuk metafisika moral baru
yang mengikat manusia pada tugas menjaga eksistensi, bukan sekadar menaati
norma.
8.1.      
Dialektika antara Kebebasan dan Kewajiban Moral
Sintesis filosofis etika
tanggung jawab dimulai dari rekonsiliasi antara kebebasan eksistensial
dan kewajiban moral ontologis. Dalam filsafat
eksistensialis seperti Sartre, kebebasan manusia bersifat absolut dan tanpa
dasar metafisik.² Namun, bagi Jonas, kebebasan tanpa arah moral berujung pada
nihilisme etis dan kehancuran ekologis.³ Karena itu, kebebasan harus diikat
oleh tanggung jawab, bukan sebagai batas eksternal, tetapi sebagai pemenuhan
esensinya yang sejati.
Tanggung jawab, dalam
kerangka Jonasian, bukan sekadar reaksi moral, melainkan modus
ontologis kebebasan itu sendiri.⁴ Artinya, manusia menjadi
benar-benar bebas ketika ia sadar akan konsekuensi eksistensial dari
tindakannya terhadap kehidupan lain. Kebebasan yang berakar pada tanggung jawab
bukanlah kebebasan untuk bertindak tanpa batas, melainkan kebebasan untuk
menjaga keberlanjutan kehidupan.⁵ Dengan demikian, etika tanggung jawab
mengembalikan makna kebebasan dari dimensi individual menuju dimensi kosmik.
8.2.      
Integrasi antara Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi
Etika tanggung jawab memiliki
struktur filosofis yang koheren karena menyatukan tiga pilar utama filsafat: ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
Ontologinya menempatkan tanggung jawab sebagai struktur keberadaan manusia yang
inheren—bahwa manusia adalah makhluk yang secara ontologis bertanggung
jawab.⁶ Epistemologinya berakar pada kesadaran moral dan moral
foresight, yaitu kemampuan untuk mengantisipasi dampak jangka panjang dari
tindakan.⁷ Sedangkan aksiologinya menegaskan bahwa kehidupan merupakan nilai
tertinggi yang harus dilindungi di atas semua kepentingan instrumental.⁸
Melalui penyatuan ketiga
dimensi tersebut, etika tanggung jawab menghindari jebakan reduksionisme etika
modern. Ia tidak semata-mata etika rasional, empiris, atau teleologis, tetapi etika
integral, di mana pengetahuan, tindakan, dan nilai berakar pada
satu kesatuan eksistensial: kehidupan itu sendiri.⁹ Dengan demikian, sintesis
ini menegaskan bahwa moralitas bukan sistem aturan eksternal, melainkan
kesadaran ontologis yang tumbuh dari relasi manusia dengan dunia.
8.3.      
Dimensi Transendental dan Teologis: Imperatif
Kehidupan
Jonas tidak menyusun etika
tanggung jawab sebagai etika religius, tetapi gagasannya memiliki implikasi
transendental yang mendalam. Ia mengakui bahwa sumber kewajiban
moral yang sejati tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh rasionalitas manusia,
melainkan berakar pada rasa takjub terhadap keberadaan (the wonder
of being).¹⁰ Dalam arti ini, tanggung jawab moral bersumber dari pengakuan
akan kesakralan kehidupan—sebuah kesadaran yang mirip dengan intuisi religius,
meski tidak dogmatis.¹¹
Dengan demikian, imperatif
Jonasian—“Bertindaklah sedemikian rupa agar akibat dari tindakanmu sejalan
dengan keberlanjutan kehidupan manusia di bumi”¹²—dapat dibaca sebagai bentuk imperatif
kategoris ontologis: kewajiban moral yang berasal dari nilai
ontologis kehidupan itu sendiri. Dalam pengertian ini, etika tanggung jawab
tidak menolak Tuhan, tetapi menegaskan bahwa keberadaan manusia sendiri telah
mengandung “jejak transendensi” dalam bentuk tanggung jawab terhadap
kehidupan.¹³
8.4.      
Tanggung Jawab sebagai Jembatan antara Etika
dan Politik
Sintesis filosofis etika
tanggung jawab juga memiliki implikasi politis. Jonas mengajak filsafat moral
untuk menembus ruang publik dan menjadi prinsip bagi kebijakan global.¹⁴ Etika
ini menuntut paradigma politik baru yang berbasis pada responsible
governance—yakni pengambilan keputusan yang mempertimbangkan dampak
ekologis, sosial, dan generasional.¹⁵ Dengan demikian, tanggung jawab menjadi
penghubung antara moralitas personal dan keadilan publik.
Dalam kerangka ini, etika
tanggung jawab menjadi antitesis terhadap politik pragmatis yang menjustifikasi
segala cara demi kepentingan ekonomi jangka pendek.¹⁶ Jonas menegaskan bahwa
legitimasi moral kekuasaan tidak ditentukan oleh keberhasilannya, tetapi oleh
kesetiaannya terhadap prinsip keberlanjutan kehidupan.¹⁷ Maka, tanggung jawab
bukan hanya tuntutan etis individu, tetapi juga imperatif struktural
bagi peradaban manusia.¹⁸
8.5.      
Menuju Etika Global dan Ekosentris
Sintesis etika tanggung jawab
berpuncak pada gagasan etika global—sebuah etika
yang tidak terbatas pada ruang dan waktu, tetapi mencakup seluruh komunitas
kehidupan.¹⁹ Dalam pandangan Jonas, manusia memiliki tanggung jawab terhadap
semua makhluk hidup karena mereka berbagi nasib eksistensial dalam dunia yang
sama.²⁰ Etika ini melampaui humanisme klasik yang antroposentris, menuju
humanisme ekologis yang menempatkan manusia sebagai penjaga (custodian)
kehidupan.²¹
Konsep ini memiliki kesamaan
dengan global ethics milik Hans Küng, yang menekankan nilai universal
seperti solidaritas, keberlanjutan, dan keadilan ekologis sebagai dasar moral
bersama umat manusia.²² Dengan demikian, etika tanggung jawab Jonas dapat
dianggap sebagai metafisika moral global, yang menyatukan tanggung
jawab pribadi, sosial, dan ekologis dalam horizon universal.
Relevansi Sintesis bagi Filsafat Masa Depan
Dalam tataran konseptual,
sintesis etika tanggung jawab memberikan arah baru bagi filsafat moral masa
depan: dari anthropocentric reason menuju responsible reason—rasionalitas
yang sadar akan keterbatasan dan konsekuensinya.²³ Filsafat masa depan tidak
lagi cukup dengan refleksi tentang apa yang benar, tetapi harus
memikirkan apa yang lestari.²⁴
Dengan demikian, etika
tanggung jawab menawarkan paradigma transformatif: moralitas yang bersumber
dari ontologi kehidupan, epistemologi kesadaran moral, dan aksiologi
keberlanjutan.²⁵ Ia menjadi ethics of hope yang realistis—sebuah
pandangan moral yang menggabungkan rasa takut yang bijaksana (heuristics of
fear) dengan pengharapan terhadap kemungkinan keberlanjutan.²⁶ Dalam dunia
yang diwarnai krisis multidimensional, sintesis filosofis ini menjadi dasar
bagi pembangunan etika masa depan yang inklusif, reflektif, dan bertanggung
jawab terhadap semua bentuk kehidupan.
Footnotes
[1]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 9–11.
[2]               
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes
(New York: Philosophical Library, 1956), 437–439.
[3]               
Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die
technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 64–66.
[4]               
Jonas, The Imperative of Responsibility, 21–22.
[5]               
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority
(Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 200–203.
[6]               
Gabriel Marcel, Being and Having (London: Dacre Press, 1949),
108–110.
[7]               
Jonas, The Imperative of Responsibility, 29–30.
[8]               
Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London:
Routledge, 2016), 62–64.
[9]               
Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 337–340.
[10]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 113–115.
[11]            
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith: An Introduction to the
Idea of Christianity, trans. William V. Dych (New York: Crossroad, 1982),
87–88.
[12]            
Jonas, Das Prinzip Verantwortung, 36.
[13]            
Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 114–115.
[14]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 122–123.
[15]            
Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity (London:
Sage, 1992), 45–47.
[16]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 83–85.
[17]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 125–126.
[18]            
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and
Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992),
158–160.
[19]            
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic
(New York: Crossroad, 1991), 12–15.
[20]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 133–134.
[21]            
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 201–203.
[22]            
Hans Küng and Karl-Josef Kuschel, eds., A Global Ethic: The
Declaration of the Parliament of the World’s Religions (New York:
Continuum, 1993), 9–11.
[23]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 137–139.
[24]            
Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction, 98–99.
[25]            
Ricoeur, Oneself as Another, 342–344.
[26]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 141–143.
9.          
Kesimpulan
Etika tanggung jawab (Ethics
of Responsibility) sebagaimana dikembangkan oleh Hans
Jonas merupakan salah satu sumbangan paling signifikan dalam
filsafat moral kontemporer karena berhasil merekonstruksi hubungan antara kebebasan,
moralitas, dan keberlanjutan kehidupan. Ia menjawab krisis
etika modern yang terlalu menekankan otonomi individu dan rasionalitas
instrumental tanpa mempertimbangkan akibat jangka panjang terhadap dunia dan
generasi mendatang.¹ Etika ini berangkat dari kesadaran bahwa tindakan manusia
modern, melalui sains dan teknologi, telah memperoleh kekuasaan yang melampaui
kapasitas moral tradisional untuk mengendalikannya. Karena itu, manusia
memerlukan bentuk moralitas baru yang sepadan dengan kekuatan yang dimilikinya—suatu
imperatif tanggung jawab yang berorientasi pada kelangsungan kehidupan
di bumi.²
9.1.      
Rekonstruksi Moralitas: Dari Rasionalitas ke
Keberlanjutan
Jonas mereformulasi etika
bukan sebagai sistem aturan, tetapi sebagai kesadaran ontologis
terhadap nilai kehidupan.³ Ia menolak moralitas yang bersifat
abstrak dan formalistik, dan menggantikannya dengan etika yang berakar pada
pengalaman eksistensial manusia sebagai makhluk yang hidup di antara makhluk
hidup lainnya.⁴ Dalam kerangka ini, kehidupan menjadi nilai tertinggi—suatu good-in-itself
yang menjadi sumber semua nilai lain.⁵ Dengan demikian, etika tanggung jawab
memulihkan dimensi kosmologis etika: manusia bertanggung jawab bukan hanya
kepada sesamanya, tetapi juga kepada alam semesta sebagai komunitas moral yang
lebih luas.⁶
Kesimpulan ini menunjukkan
bahwa rasionalitas moral modern yang hanya mengandalkan kalkulasi utilitarian
atau prinsip universal harus dilengkapi oleh rasionalitas moral
ekologis, yakni kesadaran akan batas tindakan manusia dan
implikasinya terhadap kehidupan secara menyeluruh.⁷ Etika tanggung jawab
menegaskan bahwa nilai tertinggi bukan terletak pada kebebasan untuk bertindak,
melainkan pada tanggung jawab untuk menjaga kemungkinan bertindak di masa
depan.⁸
9.2.      
Dimensi Temporal dan Intergenerasional Tanggung
Jawab
Salah satu kontribusi
terpenting etika tanggung jawab adalah penekanan pada dimensi
temporal moralitas. Etika tradisional hanya berfokus pada
akibat langsung, sedangkan Jonas memperluas horizon moral hingga ke masa depan
yang jauh, mencakup generasi yang belum lahir.⁹ Dalam hal ini, tanggung jawab
bersifat proleptik—bertindak demi mereka yang belum hadir.¹⁰
Etika ini menegaskan bahwa
tindakan manusia saat ini memiliki nilai moral sejauh ia menjamin keberlanjutan
kehidupan generasi mendatang.¹¹ Prinsip ini sangat relevan dalam menghadapi isu
kontemporer seperti krisis iklim, penggunaan sumber daya alam, serta
pengembangan teknologi genetika dan kecerdasan buatan. Dengan demikian, etika
tanggung jawab bukan hanya etika reflektif, melainkan etika
futuristik yang mengarahkan moralitas manusia menuju horizon
keberlanjutan.¹²
9.3.      
Sintesis antara Kebebasan, Tanggung Jawab, dan
Keberadaan
Etika tanggung jawab juga
mengandung dimensi ontologis yang dalam: ia menyatukan kebebasan dan tanggung
jawab sebagai dua aspek dari satu eksistensi manusia.¹³ Kebebasan sejati,
menurut Jonas, tidak terletak pada kemampuan untuk memilih tanpa batas, tetapi
pada kesediaan untuk memikul konsekuensi tindakan terhadap kehidupan.¹⁴ Dengan
demikian, tanggung jawab tidak membatasi kebebasan, melainkan memberinya makna.
Dalam pengertian ini, manusia
tidak lagi menjadi pusat nilai secara antroposentris, tetapi bagian dari
jaringan eksistensial yang saling bergantung.¹⁵ Etika tanggung jawab mengajak
manusia untuk berpikir ekologis—melihat dirinya sebagai penjaga
keberadaan, bukan penguasa atasnya.¹⁶ Sintesis ini melahirkan paradigma baru
dalam etika: etika keberlanjutan, yang
menempatkan tanggung jawab sebagai inti dari eksistensi moral manusia.¹⁷
9.4.      
Relevansi bagi Krisis Global dan Filsafat Masa
Depan
Dalam konteks dunia
kontemporer yang diwarnai oleh krisis ekologi, ketimpangan sosial, dan disrupsi
teknologi, etika tanggung jawab menawarkan kerangka moral yang paling sesuai.
Ia memadukan prudential foresight dengan ethical humility,
yakni kemampuan untuk memprediksi akibat tindakan sekaligus kesadaran akan
keterbatasan pengetahuan manusia.¹⁸
Etika tanggung jawab juga
dapat menjadi fondasi bagi etika global, karena
menuntut solidaritas lintas batas, generasi, dan spesies.¹⁹ Prinsip ini
memiliki implikasi mendalam bagi kebijakan publik, pendidikan moral, serta
pengembangan teknologi yang berorientasi pada martabat kehidupan.²⁰
Dengan demikian, Jonas
berhasil mengubah arah filsafat moral dari ethics of autonomy menuju ethics
of responsibility—sebuah pergeseran paradigmatik dari moralitas yang
berpusat pada subjek menuju moralitas yang berakar pada kehidupan itu
sendiri.²¹
Penutup: Etika bagi Masa Depan yang Dapat
Dihuni
Etika tanggung jawab
mengajarkan bahwa kemajuan teknologi dan kebebasan manusia hanya bernilai
sejauh keduanya menjaga keberlanjutan kehidupan.²² Dalam situasi global yang
rentan terhadap kehancuran ekologis dan dehumanisasi digital, gagasan Jonas
menjadi seruan moral yang paling relevan: “bertindaklah demi kehidupan,
karena hidup adalah prasyarat dari segala nilai.”²³
Dengan demikian, etika
tanggung jawab bukan sekadar teori moral, melainkan visi filosofis tentang
kelangsungan eksistensi. Ia mengembalikan filsafat moral kepada
fungsi aslinya—yakni menjaga keseimbangan antara kebebasan dan keberlanjutan,
antara daya cipta dan kehati-hatian.²⁴ Melalui etika ini, filsafat dipanggil
untuk menjadi penjaga kehidupan (guardian of life), agar dunia yang
dihuni manusia tetap dapat ditinggali secara manusiawi.²⁵
Footnotes
[1]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 3–5.
[2]               
Ibid., 9–10.
[3]               
Gabriel Marcel, Being and Having (London: Dacre Press, 1949),
108–110.
[4]               
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority
(Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 197–199.
[5]               
Jonas, The Imperative of Responsibility, 13–15.
[6]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 203–204.
[7]               
Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London:
Routledge, 2016), 84–86.
[8]               
Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die
technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 37–39.
[9]               
Jonas, The Imperative of Responsibility, 23–25.
[10]            
Ibid., 30–31.
[11]            
Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International
Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations
University Press, 1989), 19–21.
[12]            
Stephen Gardiner, “A Perfect Moral Storm: Climate Change, Intergenerational
Ethics and the Problem of Moral Corruption,” Environmental Values 15,
no. 3 (2006): 397–400.
[13]            
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 32–34.
[14]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 41–43.
[15]            
Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental
Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 34–36.
[16]            
Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 49–50.
[17]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 53–55.
[18]            
Lorraine Code, Epistemic Responsibility (Hanover: University
Press of New England, 1987), 43–45.
[19]            
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic
(New York: Crossroad, 1991), 17–18.
[20]            
Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity (London:
Sage, 1992), 45–46.
[21]            
Jonas, The Imperative of Responsibility, 124–126.
[22]            
Ibid., 130–131.
[23]            
Ibid., 141.
[24]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 341–343.
[25]            
Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction, 98–100.
Daftar Pustaka 
Attfield, R. (2014). Environmental ethics: An overview for the twenty-first
century. Cambridge: Polity Press.
Bauman, Z. (1993). Postmodern ethics. Oxford: Blackwell.
Barry, B. (1995). Justice as impartiality. Oxford: Oxford University
Press.
Beck, U. (1992). Risk society: Towards a new modernity. London: Sage.
Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community, and postmodernism in
contemporary ethics. Cambridge: Polity Press.
Buber, M. (1970). I and Thou (W. Kaufmann, Trans.). New York: Charles
Scribner’s Sons.
Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). New York:
Vintage Books.
Capurro, R. (2008). Digital ethics. In K. E. Himma & H. T. Tavani (Eds.), The
handbook of information and computer ethics (pp. 185–200). Hoboken, NJ:
Wiley.
Code, L. (1987). Epistemic responsibility. Hanover: University Press of
New England.
Dewey, J. (1922). Human nature and conduct. New York: Henry Holt.
Diogenes Laërtius. (1925). Lives of eminent philosophers (R.
D. Hicks, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Dryzek, J. (2013). The politics of the earth: Environmental discourses (3rd
ed.). Oxford: Oxford University Press.
Engelhardt, H. T., Jr. (1996). The foundations of bioethics. New
York: Oxford University Press.
Ess, C. (2020). Digital media ethics (3rd ed.). Cambridge: Polity Press.
Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford: Oxford University
Press.
Floridi, L. (2019). The logic of information: A theory of philosophy as
conceptual design. Oxford: Oxford University Press.
Gardiner, S. (2006). A core precautionary principle. Journal of Political
Philosophy, 14(1), 33–37.
Gardiner, S. (2006). A perfect moral storm: Climate change, intergenerational ethics
and the problem of moral corruption. Environmental Values, 15(3),
397–400.
Geuss, R. (2008). Philosophy and real politics. Princeton: Princeton
University Press.
Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and women’s
development. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1, T. McCarthy,
Trans.). Boston: Beacon Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C.
Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). Cambridge, MA: MIT Press.
Have, H. ten. (2016). Global bioethics: An introduction. London: Routledge.
Hegel, G. W. F. (1967). Philosophy of right (T. M. Knox, Trans.). Oxford: Oxford
University Press.
Jonas, H. (1979). Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die
technologische Zivilisation. Frankfurt am Main: Suhrkamp.
Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for
the technological age. Chicago: University of Chicago Press.
Jahr, F. (1927). Bio-ethik: Eine Umschau über die ethischen Beziehungen des
Menschen zu Tier und Pflanze. Kosmos, 24, 2–4.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor,
Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Kaplan, D. (2002). Responsibility and the future: Ethics of temporality. Philosophy
Today, 46(3), 256–259.
Korsgaard, C. (1996). Creating the kingdom of ends. Cambridge: Cambridge
University Press.
Küng, H. (1991). Global responsibility: In search of a new world ethic.
New York: Crossroad.
Küng, H., & Kuschel, K.-J. (Eds.). (1993). A global ethic: The declaration
of the Parliament of the World’s Religions. New York: Continuum.
Laërtius, D. (1925). Lives of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.).
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Leopold, A. (1949). A sand county almanac. New York: Oxford University
Press.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority.
Pittsburgh: Duquesne University Press.
Levinas, E. (1998). Otherwise than being or beyond essence (A. Lingis,
Trans.). Pittsburgh: Duquesne University Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G.
Bennington & B. Massumi, Trans.). Minneapolis: University of Minnesota
Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue. Notre Dame: University of Notre Dame
Press.
Macklin, R. (2010). Global health ethics for the 21st century. Kennedy Institute
of Ethics Journal, 20(4), 331–333.
Marcel, G. (1949). Being and having. London: Dacre Press.
Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. London: Parker, Son, and Bourn.
Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle: Outline of an ecosophy
(D. Rothenberg, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Noddings, N. (1984). Caring: A relational approach to ethics and moral education.
Berkeley: University of California Press.
Nussbaum, M. C. (1990). Love’s knowledge: Essays on philosophy and literature.
New York: Oxford University Press.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species
membership. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Rahner, K. (1982). Foundations of Christian faith: An introduction to the idea
of Christianity (W. V. Dych, Trans.). New York: Crossroad.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another. Chicago: University of Chicago
Press.
Rolston, H., III. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural
world. Philadelphia: Temple University Press.
Sandel, M. (1998). Liberalism and the limits of justice (2nd ed.).
Cambridge: Cambridge University Press.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. Barnes, Trans.). New York:
Philosophical Library.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). New
Haven: Yale University Press.
Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and non-formal ethics of values (M.
S. Frings & R. L. Funk, Trans.). Evanston: Northwestern University Press.
Shue, H. (1993). Subsistence emissions and luxury emissions. Law &
Policy, 15(1), 39–40.
Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge: Cambridge
University Press.
Taylor, P. W. (1986). Respect for nature: A theory of environmental ethics.
Princeton: Princeton University Press.
Weber, M. (1958). The Protestant ethic and the spirit of capitalism (T.
Parsons, Trans.). New York: Scribner.
Weiss, E. B. (1989). In fairness to future generations: International law, common
patrimony, and intergenerational equity. Tokyo: United Nations University
Press.
Williams, B. (1985). Ethics and the limits of philosophy. Cambridge, MA:
Harvard University Press.
Zimdars-Swartz, R. L. W. (2000). Moral education and the ethics of
responsibility. Journal of Moral Education, 29(3), 321–324.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar