Jumat, 24 Oktober 2025

Etika Tanggung Jawab: Fondasi Moral bagi Dunia Modern antara Kebebasan, Risiko, dan Kemanusiaan

Etika Tanggung Jawab

Fondasi Moral bagi Dunia Modern antara Kebebasan, Risiko, dan Kemanusiaan


Alihkan ke: Filsafat Moral.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif etika tanggung jawab (Ethics of Responsibility) sebagaimana dirumuskan oleh Hans Jonas sebagai salah satu paradigma moral terpenting dalam filsafat kontemporer. Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis, tulisan ini menunjukkan bahwa etika tanggung jawab lahir dari kesadaran akan krisis modernitas—yakni ketidakseimbangan antara kekuasaan teknologi manusia dan kapasitas moral untuk mengendalikannya. Jonas menawarkan “imperatif baru” yang berbunyi: bertindaklah sedemikian rupa agar akibat dari tindakanmu sejalan dengan keberlangsungan kehidupan manusia di bumi. Prinsip ini menandai pergeseran radikal dari etika tradisional yang berorientasi pada tindakan individual di masa kini menuju etika futuristik yang memperhitungkan akibat jangka panjang terhadap generasi mendatang dan alam semesta.

Kajian ini menegaskan bahwa ontologi tanggung jawab menempatkan manusia sebagai makhluk yang secara eksistensial terikat pada kewajiban menjaga kehidupan, sementara epistemologi etisnya berakar pada rasionalitas reflektif, intuisi moral, dan imajinasi etis yang memperhitungkan dampak masa depan. Dari sisi aksiologi, nilai tertinggi dalam etika ini adalah kelangsungan kehidupan, yang diwujudkan melalui prinsip kehati-hatian, keadilan antar generasi, dan solidaritas ekologis. Artikel ini juga memaparkan kritik terhadap aspek utopis dan universalistik etika Jonas, seraya menegaskan relevansinya bagi isu-isu kontemporer seperti krisis iklim, kecerdasan buatan, bioteknologi, dan etika global.

Secara filosofis, etika tanggung jawab menyatukan kembali kebebasan dan kewajiban dalam struktur ontologis kehidupan: kebebasan manusia memperoleh makna sejati hanya ketika disertai kesadaran tanggung jawab terhadap keberlanjutan eksistensi. Dengan demikian, etika tanggung jawab bukan sekadar teori moral, melainkan visi metafisik tentang penjagaan kehidupan (custodianship of life) yang menjadi fondasi bagi moralitas masa depan. Dalam dunia yang dihadapkan pada ancaman ekologis dan disrupsi teknologi, gagasan Jonas menghadirkan arah baru bagi filsafat moral: dari ethics of autonomy menuju ethics of responsibility—dari etika tindakan kini menuju etika masa depan yang berkelanjutan.

Kata Kunci: Etika Tanggung Jawab, Hans Jonas, Tanggung Jawab Moral, Etika Futuristik, Etika Lingkungan, Bioetika, Ontologi Moral, Aksiologi, Etika Global, Filsafat Kontemporer.


PEMBAHASAN

Etika Tanggung Jawab (Ethics of Responsibility)


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah perkembangan filsafat moral, konsep tanggung jawab merupakan salah satu pilar yang menentukan bagaimana manusia memahami dirinya sebagai makhluk etis. Etika tanggung jawab (Ethics of Responsibility) muncul sebagai reaksi terhadap krisis moral modern yang ditandai oleh kemajuan teknologi, globalisasi, dan degradasi lingkungan. Sejak abad ke-20, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya memperluas kekuasaan manusia atas alam, tetapi juga menghadirkan konsekuensi moral baru yang belum pernah dihadapi dalam sejarah etika klasik maupun modern. Dalam konteks inilah Hans Jonas mengemukakan seruannya untuk merumuskan “imperatif baru,” yakni tanggung jawab manusia terhadap kelangsungan kehidupan di masa depan.¹

Etika tanggung jawab berupaya menjembatani kesenjangan antara tindakan manusia dan akibatnya yang melampaui batas temporal maupun spasial. Jika etika tradisional—seperti etika Kantian—berfokus pada relasi antarindividu di masa kini, maka etika tanggung jawab memperluas cakrawala moral hingga mencakup generasi mendatang dan alam sebagai entitas moral.² Dengan demikian, etika ini menuntut suatu kesadaran baru bahwa tindakan manusia modern memiliki daya destruktif yang dapat mengancam eksistensi umat manusia sendiri.³

Krisis ekologi global, seperti pemanasan global dan hilangnya keanekaragaman hayati, serta problem etis seputar bioteknologi dan kecerdasan buatan, menegaskan pentingnya tanggung jawab moral yang melampaui egoisme antroposentris.⁴ Etika tanggung jawab tidak hanya mengajarkan apa yang baik untuk dilakukan, tetapi juga apa yang tidak boleh dilakukan demi menjaga keberlanjutan kehidupan. Hal ini menunjukkan pergeseran dari etika tindakan individual menuju etika kewajiban ontologis—tanggung jawab untuk memelihara eksistensi kehidupan itu sendiri.⁵

Pendahuluan kajian ini bertujuan menyoroti relevansi etika tanggung jawab sebagai paradigma etis alternatif di tengah krisis modernitas. Dengan menggunakan pendekatan filsafat normatif, fenomenologis, dan hermeneutik, tulisan ini berupaya menggali makna tanggung jawab sebagai prinsip dasar moralitas kontemporer.⁶ Fokus utama artikel ini adalah menjelaskan akar historis, struktur ontologis, dimensi epistemologis, serta implikasi aksiologis dari etika tanggung jawab, diikuti dengan analisis kritis dan refleksi filosofis terhadap relevansinya di era global yang penuh ketidakpastian.


Footnotes

[1]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 4–6.

[2]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 112–115.

[3]                Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 172–175.

[4]                Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 28–31.

[5]                H. Tristram Engelhardt Jr., The Foundations of Bioethics (New York: Oxford University Press, 1996), 22–25.

[6]                Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor: Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language (Toronto: University of Toronto Press, 1977), 341–343.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Etika Tanggung Jawab

Konsep etika tanggung jawab tidak muncul dalam ruang hampa. Ia berakar pada pergulatan panjang sejarah filsafat moral Barat yang terus berusaha memahami hubungan antara kebebasan, tindakan, dan kewajiban. Secara historis, gagasan tentang tanggung jawab telah termanifestasi sejak masa etika klasik Yunani, berkembang dalam etika modern rasionalis, dan mengalami transfigurasi mendalam dalam etika kontemporer, khususnya melalui karya Hans Jonas yang menekankan dimensi ontologis dan futuristik dari tanggung jawab manusia terhadap kehidupan.¹

2.1.       Akar Etika Klasik: Dari Arete ke Tanggung Jawab

Dalam tradisi Yunani kuno, tanggung jawab (responsibility) belum dimaknai secara eksplisit sebagai konsep moral seperti pada masa modern. Namun, nilai-nilai yang mendasarinya telah terwujud dalam gagasan aretē (keutamaan) dan phronesis (kebijaksanaan praktis) sebagaimana diajarkan oleh Aristoteles.² Bagi Aristoteles, manusia bertanggung jawab sejauh ia bertindak secara sadar dan berdasarkan kehendak bebas (prohairesis), karena tindakan etis selalu terkait dengan telos, yakni tujuan akhir menuju kebahagiaan (eudaimonia).³ Dengan demikian, tanggung jawab merupakan konsekuensi dari kebebasan rasional yang diarahkan pada kebaikan.

Sementara itu, aliran Stoa menekankan dimensi kosmologis dari tanggung jawab. Dalam pandangan Stoisisme, manusia merupakan bagian dari logos alam semesta, sehingga setiap tindakan yang selaras dengan tatanan kosmos merupakan bentuk pemenuhan tanggung jawab moral terhadap keteraturan universal.⁴ Etika Stoa ini memperkenalkan kesadaran etis yang melampaui individualitas, suatu benih awal bagi gagasan tanggung jawab terhadap totalitas keberadaan.

2.2.       Etika Modern: Rasionalitas, Otonomi, dan Kewajiban Moral

Peralihan menuju zaman modern membawa perubahan paradigma etika yang signifikan. Immanuel Kant, melalui Grundlegung zur Metaphysik der Sitten (1785), merumuskan moralitas sebagai kewajiban otonom yang bersumber dari rasio praktis.⁵ Dalam kerangka Kantian, tanggung jawab moral terletak pada kemampuan subjek rasional untuk bertindak menurut hukum moral universal—yakni imperatif kategoris—yang mengharuskan manusia memperlakukan sesama bukan sebagai alat, melainkan tujuan pada dirinya sendiri.⁶

Namun, dalam sistem Kant, tanggung jawab terbatas pada tindakan yang dapat dikontrol oleh kehendak individual di masa kini. Ia belum memperhitungkan dampak jangka panjang terhadap masa depan atau alam.⁷ Inilah celah yang kelak akan dikritik oleh filsuf-filsuf abad ke-20, yang melihat bahwa rasionalitas moral Kantian tidak cukup untuk menjawab persoalan etis di era teknologi dan globalisasi.

Setelah Kant, filsafat moral Hegel memperkenalkan dimensi sosial dari tanggung jawab melalui konsep Sittlichkeit, yakni kehidupan etis yang terwujud dalam lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, masyarakat, dan negara.⁸ Dengan ini, tanggung jawab tidak lagi bersifat individualistik, tetapi merupakan hasil dialektika antara kebebasan subjektif dan struktur objektif kehidupan bersama.

2.3.       Krisis Modernitas dan Lahirnya Etika Eksistensialis

Abad ke-20 ditandai oleh krisis besar akibat perang dunia, industrialisasi, dan dehumanisasi teknologi. Dalam konteks ini, etika eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre menekankan tanggung jawab radikal manusia atas keberadaannya sendiri. Menurut Sartre, “manusia dikutuk untuk bebas,” dan karenanya ia bertanggung jawab atas setiap tindakannya, bahkan terhadap seluruh umat manusia.⁹ Namun, etika Sartrean bersifat antropocentris, karena hanya mengakui tanggung jawab terhadap manusia, bukan terhadap dunia non-manusia.

Di sisi lain, Emmanuel Levinas memperluas cakrawala etis melalui konsep face of the Other, di mana tanggung jawab muncul sebagai panggilan tanpa syarat dari wajah orang lain yang menuntut pengakuan dan tindakan etis.¹⁰ Dalam konteks ini, etika mendahului ontologi; tanggung jawab bukan hasil keputusan rasional, tetapi pengalaman eksistensial yang mendahului kebebasan.¹¹

2.4.       Hans Jonas dan Etika Tanggung Jawab Modern

Hans Jonas (1903–1993) melanjutkan semangat eksistensialis dan fenomenologis itu, tetapi mengarahkan etika ke arah yang lebih ontologis dan kosmologis. Dalam karya monumentalnya Das Prinzip Verantwortung (1979), Jonas mengajukan sebuah imperatif baru: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat dari tindakanmu sejalan dengan kelangsungan kehidupan manusia di bumi.”¹² Etika Jonas lahir dari kesadaran bahwa kekuatan teknologi modern telah menciptakan konsekuensi moral yang melampaui kendali manusia dan generasi kini.

Menurut Jonas, tanggung jawab bukan hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap seluruh keberadaan hidup (bios).¹³ Ia menolak etika tradisional yang antroposentris dan menggagas etika futuristik yang berorientasi pada keberlanjutan eksistensi.¹⁴ Dalam hal ini, etika tanggung jawab Jonas menjadi titik puncak evolusi moral manusia dari etika tindakan langsung menuju etika prediktif, dari ethos of autonomy menuju ethos of responsibility.


Footnotes

[1]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 1–5.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1103a–1106a.

[3]                Ibid., 1113b–1115a.

[4]                Diogenes Laërtius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), VII.88–92.

[5]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:393–4:405.

[6]                Ibid., 4:428.

[7]                Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 109–112.

[8]                G. W. F. Hegel, Philosophy of Right, trans. T. M. Knox (Oxford: Oxford University Press, 1967), §142–§157.

[9]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 29–31.

[10]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–201.

[11]             Ibid., 213–216.

[12]             Hans Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 36.

[13]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 7–9.

[14]             Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London: Routledge, 2016), 54–57.


3.           Ontologi Tanggung Jawab

Pembahasan mengenai ontologi tanggung jawab merupakan inti dari pemahaman filosofis terhadap etika tanggung jawab. Dalam konteks ini, “ontologi” tidak sekadar menjelaskan apa itu tanggung jawab, tetapi lebih mendalam: bagaimana tanggung jawab ada dalam struktur eksistensi manusia dan dunia. Etika tanggung jawab menuntut pemahaman bahwa tanggung jawab bukan hanya kategori moral atau normatif, melainkan juga kategori ontologis yang berkaitan dengan keberadaan manusia sebagai makhluk yang sadar, bebas, dan berelasi.¹

3.1.       Hakikat Ontologis Tanggung Jawab: Dari Ada ke Kewajiban

Ontologi tanggung jawab bertumpu pada gagasan bahwa keberadaan manusia selalu mengandaikan keterarahan pada yang lain (being-for-the-other).² Manusia bukanlah entitas yang berdiri sendiri secara atomistik, melainkan makhluk yang keberadaannya ditentukan oleh relasi, baik terhadap sesama, alam, maupun masa depan. Dalam kerangka ini, tanggung jawab tidak muncul dari pilihan eksternal, tetapi melekat pada hakikat manusia itu sendiri sebagai ens ethicus—makhluk moral.³

Hans Jonas menekankan bahwa tanggung jawab tidak dapat dipahami hanya sebagai akibat dari kebebasan, melainkan sebagai ekspresi dari being yang memiliki kesadaran akan kehidupan lain.⁴ Artinya, ontologi tanggung jawab bersifat relasional: “ada” manusia senantiasa mengandung kewajiban terhadap kelangsungan “ada” yang lain.⁵ Dengan demikian, eksistensi dan moralitas tidak lagi dipisahkan, karena tindakan moral menjadi bentuk aktualisasi dari keberadaan itu sendiri.

3.2.       Subjek dan Objek Tanggung Jawab

Secara klasik, filsafat moral menempatkan manusia sebagai subjek moral tunggal yang bertanggung jawab terhadap sesama manusia. Namun, dalam kerangka etika tanggung jawab, baik subjek maupun objek tanggung jawab mengalami perluasan. Subjek tanggung jawab tidak hanya individu rasional, tetapi juga entitas kolektif seperti lembaga, negara, dan umat manusia secara keseluruhan.⁶ Hal ini mencerminkan dimensi intersubjektif dan struktural dari moralitas kontemporer.

Adapun objek tanggung jawab meluas melampaui manusia. Jonas mengajukan tesis bahwa entitas non-manusia—seperti alam, ekosistem, dan generasi mendatang—juga menjadi penerima tanggung jawab moral.⁷ Ia menulis bahwa kehidupan di luar diri manusia memiliki nilai intrinsik yang menuntut perlindungan.⁸ Dengan demikian, tanggung jawab tidak lagi berorientasi pada hubungan timbal balik (seperti dalam kontrak sosial), melainkan bersifat asimetric duty—kewajiban tanpa jaminan balasan.⁹

Ontologi ini memperlihatkan bahwa tanggung jawab bukan relasi hukum, melainkan relasi eksistensial: manusia bertanggung jawab bukan karena ia dipaksa untuk bertanggung jawab, melainkan karena ia tidak dapat tidak bertanggung jawab terhadap kehidupan yang lain.¹⁰

3.3.       Dimensi Temporal: Tanggung Jawab terhadap Masa Depan

Salah satu dimensi ontologis paling penting dalam etika tanggung jawab adalah waktu. Etika tradisional sering kali menekankan tanggung jawab atas tindakan di masa kini terhadap sesama yang ada saat ini. Jonas menolak batasan temporal semacam itu dengan menegaskan bahwa teknologi modern telah memperluas jangkauan tindakan manusia hingga ke masa depan yang jauh.¹¹ Oleh karena itu, tanggung jawab juga harus melampaui horizon temporal sekarang menuju masa depan.

Dalam The Imperative of Responsibility, Jonas menegaskan bahwa tanggung jawab moral manusia meliputi generasi yang belum lahir.¹² Tindakan hari ini membawa akibat yang menentukan eksistensi kehidupan esok hari. Dimensi temporal ini bersifat eksistensial: tanggung jawab menjadi bentuk perpanjangan “ada manusia” ke dalam “ada yang akan datang.”¹³ Dengan demikian, masa depan bukan sekadar waktu yang belum terjadi, tetapi bagian dari eksistensi moral yang menuntut penjagaan.

3.4.       Kebebasan dan Tanggung Jawab: Relasi Ontologis yang Tak Terpisahkan

Kebebasan sering dipahami sebagai kondisi yang memungkinkan manusia memilih secara otonom. Namun, dalam perspektif ontologis, kebebasan tanpa tanggung jawab adalah absurditas moral. Sartre memang menegaskan bahwa kebebasan mendahului esensi, tetapi Jonas menambahkan bahwa kebebasan sejati hanya memiliki makna ketika terarah pada pemeliharaan kehidupan.¹⁴ Dengan kata lain, tanggung jawab bukan pembatas kebebasan, melainkan penggenapnya.

Dalam pandangan eksistensial-ontologis ini, kebebasan adalah kondisi being capable of responsibility.¹⁵ Manusia bertanggung jawab karena ia bebas, dan kebebasannya bermakna karena di dalamnya terdapat kemungkinan untuk bertanggung jawab. Relasi ini menciptakan kesatuan antara etika dan ontologi: manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab karena ia ada.

3.5.       Tanggung Jawab sebagai Struktur Dasar Keberadaan

Emmanuel Levinas melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa tanggung jawab bukan sekadar tindakan sadar, melainkan struktur keberadaan manusia itu sendiri.¹⁶ Ia menulis bahwa manusia “selalu sudah bertanggung jawab” bahkan sebelum menyadari tanggung jawab itu. Dalam relasi dengan the Other, manusia dipanggil secara etis tanpa syarat, dan panggilan ini mendefinisikan eksistensinya.¹⁷ Dengan demikian, tanggung jawab mendahului kebebasan, bahkan mendahului eksistensi itu sendiri.

Dalam kerangka ini, ontologi tanggung jawab menjadi sebuah ethos of being: eksistensi yang bermoral bukan karena mengikuti norma eksternal, tetapi karena keberadaan itu sendiri merupakan tanggapan terhadap yang lain.¹⁸ Etika tanggung jawab, dengan demikian, bukan sekadar doktrin moral, melainkan ekspresi ontologis dari kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 10–12.

[2]                Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54–57.

[3]                Gabriel Marcel, Being and Having (London: Dacre Press, 1949), 98–100.

[4]                Jonas, The Imperative of Responsibility, 18–20.

[5]                Ibid., 23–24.

[6]                Peter Kemp, “Ethics and Responsibility in the Age of Technology,” Ethical Perspectives 8, no. 1 (2001): 32–34.

[7]                Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 42–45.

[8]                Ibid., 53.

[9]                Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London: Routledge, 2016), 61–63.

[10]             Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 114–116.

[11]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 27–29.

[12]             Ibid., 34.

[13]             David Kaplan, “Responsibility and the Future: Ethics of Temporality,” Philosophy Today 46, no. 3 (2002): 256–259.

[14]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 553–555.

[15]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 39–40.

[16]             Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 199–201.

[17]             Ibid., 213–216.

[18]             Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 337–340.


4.           Epistemologi Etika Tanggung Jawab

Epistemologi etika tanggung jawab berusaha menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana manusia mengetahui bahwa ia bertanggung jawab, dan atas dasar apa pengetahuan etis itu sahih? Dalam konteks ini, etika tanggung jawab tidak hanya menyoroti aspek normatif dari moralitas, tetapi juga cara manusia memahami, menilai, dan memproyeksikan akibat dari tindakannya terhadap dunia.¹ Dengan demikian, epistemologi etika tanggung jawab menggabungkan rasionalitas etis, kesadaran fenomenologis, dan imajinasi moral dalam memahami kewajiban manusia terhadap masa kini dan masa depan.

4.1.       Rasionalitas Etis dan Kesadaran Moral

Rasionalitas dalam etika tanggung jawab tidak identik dengan rasionalitas kalkulatif yang digunakan dalam ilmu pengetahuan modern. Menurut Hans Jonas, jenis rasionalitas yang diperlukan untuk memahami tanggung jawab adalah rationality of care—rasionalitas yang berpadu dengan kepekaan moral terhadap kehidupan.² Rasionalitas semacam ini menuntut manusia untuk menilai tindakan bukan semata-mata dari efisiensi atau hasil langsung, tetapi dari dampak jangka panjang terhadap keberlangsungan hidup.

Dalam kerangka epistemologis ini, pengetahuan moral muncul dari kesadaran reflektif atas keterhubungan eksistensial.³ Manusia mengetahui bahwa ia bertanggung jawab bukan karena aturan eksternal yang memaksanya, tetapi karena ia menyadari keberadaannya sebagai bagian dari jaringan kehidupan. Kesadaran moral, dalam pengertian ini, bersifat fenomenologis—yakni muncul dari pengalaman langsung menghadapi kerentanan makhluk lain dan dari rasa kewajiban yang lahir secara spontan.⁴

4.2.       Intuisi Etis dan Fenomenologi Kehidupan

Hans Jonas menolak pandangan positivistik yang menganggap moralitas hanya dapat diturunkan dari proposisi logis atau empiris.⁵ Bagi Jonas, sumber pengetahuan etis justru terletak pada pengalaman vitalitas—pengalaman akan nilai kehidupan itu sendiri. Ia menulis bahwa “the self-awareness of life entails a sense of obligation to preserve life.”⁶ Dengan demikian, intuisi etis tidak bersumber dari hukum formal, melainkan dari kesadaran akan nilai intrinsik kehidupan yang dihadirkan oleh pengalaman eksistensial.

Pendekatan ini sejalan dengan filsafat fenomenologi yang dikembangkan oleh Max Scheler dan Emmanuel Levinas. Scheler menekankan bahwa nilai moral diketahui melalui ordo amoris (tatanan kasih), yaitu kapasitas afektif untuk mengenali hierarki nilai.⁷ Levinas melanjutkan hal ini dengan mengemukakan bahwa tanggung jawab diketahui bukan melalui deduksi rasional, tetapi melalui wajah orang lain—pengalaman etis yang langsung menyingkap kewajiban tanpa perantara konsep.⁸ Dengan demikian, epistemologi etika tanggung jawab bersifat prareflektif: manusia mengetahui kewajibannya sebelum ia memutuskan untuk bertanggung jawab.

4.3.       Imaginasi Moral dan Foresight Etis

Salah satu aspek epistemologis terpenting dalam etika tanggung jawab adalah imaginasi moral (moral imagination), yaitu kemampuan untuk mengantisipasi akibat dari tindakan sebelum konsekuensinya terjadi.⁹ Jonas menyebut hal ini sebagai heuristics of fear—suatu kemampuan moral untuk membayangkan kemungkinan buruk dari kekuatan teknologi manusia.¹⁰ Dengan membayangkan akibat destruktif, manusia dapat memperoleh pengetahuan moral yang bersifat preventif, bukan hanya reaktif.

Epistemologi ini berbeda dari rasionalitas klasik yang hanya menilai tindakan dari pengalaman masa lalu. Dalam dunia yang diwarnai oleh ketidakpastian ilmiah dan risiko global, pengetahuan moral harus bersifat prospektif.¹¹ Artinya, tanggung jawab memerlukan kemampuan pengetahuan yang memperhitungkan apa yang belum terjadi. Dengan demikian, etika tanggung jawab menggabungkan aspek kognitif, afektif, dan imajinatif dalam struktur epistemologisnya.

4.4.       Keterbatasan Pengetahuan dan Prinsip Kehati-hatian

Jonas menekankan bahwa epistemologi tanggung jawab harus didasarkan pada pengakuan atas keterbatasan pengetahuan manusia.¹² Dalam menghadapi kompleksitas sistem ekologis dan teknologi, manusia tidak dapat sepenuhnya mengetahui akibat dari tindakannya. Oleh sebab itu, pengetahuan etis harus disertai dengan epistemic humility—kerendahan hati intelektual.¹³ Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) lahir dari kesadaran epistemologis ini: lebih baik menahan diri dari tindakan berisiko tinggi ketika akibatnya belum sepenuhnya diketahui.¹⁴

Prinsip ini menegaskan bahwa tanggung jawab moral menuntut manusia untuk menggabungkan pengetahuan dan ketidaktahuan dalam pengambilan keputusan. Etika tanggung jawab, dengan demikian, bukanlah etika kepastian, melainkan etika yang berakar pada kesadaran akan batas rasionalitas manusia di hadapan kompleksitas dunia.

4.5.       Rasionalitas Komunikatif dan Pengetahuan Inter-subjektif

Selain dimensi individual, pengetahuan etis juga memiliki aspek sosial. Jürgen Habermas, melalui teori tindakan komunikatifnya, menjelaskan bahwa pengetahuan moral tidak hanya dihasilkan oleh subjek rasional tunggal, tetapi oleh interaksi komunikatif antarindividu yang berorientasi pada saling pengertian (mutual understanding).¹⁵ Dalam konteks ini, epistemologi etika tanggung jawab menuntut dialog etis yang terbuka, di mana keputusan moral dibentuk melalui pertimbangan bersama mengenai akibat dan tanggung jawab.¹⁶

Hal ini menunjukkan bahwa etika tanggung jawab bersifat dialogis: pengetahuan moral tidak bersumber dari otoritas tunggal, tetapi dari diskursus rasional yang melibatkan berbagai pihak yang terkena dampak.¹⁷ Maka, epistemologi etika tanggung jawab tidak hanya menuntut refleksi individu, tetapi juga partisipasi sosial dalam proses penentuan apa yang dianggap benar dan bertanggung jawab.

4.6.       Pengetahuan Etis sebagai Praxis Reflektif

Akhirnya, epistemologi tanggung jawab berpuncak pada kesadaran bahwa pengetahuan moral sejati tidak bersifat teoretis, melainkan praktis.¹⁸ Pengetahuan moral harus diwujudkan dalam tindakan konkret yang menjaga kehidupan. Dengan demikian, epistemologi etika tanggung jawab adalah epistemologi praksis: pengetahuan yang menuntut untuk diwujudkan.¹⁹

Dalam hal ini, etika tanggung jawab menyatukan knowing dan acting, pengetahuan dan tindakan, dalam kesatuan moral yang utuh. Mengetahui bahwa seseorang bertanggung jawab berarti sekaligus bertindak untuk memelihara kehidupan.²⁰ Dengan demikian, epistemologi etika tanggung jawab menegaskan bahwa moralitas bukan sekadar pengetahuan tentang yang baik, tetapi komitmen eksistensial untuk menjadikannya nyata.


Footnotes

[1]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 9–11.

[2]                Ibid., 18–19.

[3]                Gabriel Marcel, Being and Having (London: Dacre Press, 1949), 102–104.

[4]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 200–203.

[5]                Jonas, The Imperative of Responsibility, 25–27.

[6]                Ibid., 29.

[7]                Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values, trans. Manfred S. Frings and Roger L. Funk (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 98–101.

[8]                Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 116–118.

[9]                Martha C. Nussbaum, Love’s Knowledge: Essays on Philosophy and Literature (New York: Oxford University Press, 1990), 45–48.

[10]             Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 64–67.

[11]             Stephen Gardiner, “A Core Precautionary Principle,” Journal of Political Philosophy 14, no. 1 (2006): 33–36.

[12]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 36–38.

[13]             Lorraine Code, Epistemic Responsibility (Hanover: University Press of New England, 1987), 43–46.

[14]             Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London: Routledge, 2016), 71–74.

[15]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 99–102.

[16]             Ibid., 125–126.

[17]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 156–158.

[18]             Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 331–334.

[19]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 62–64.

[20]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 41–43.


5.           Aksiologi dan Etika Praktis

Aksiologi dalam etika tanggung jawab berfokus pada penentuan dan pemaknaan nilai-nilai moral yang menjadi dasar tindakan manusia dalam menjaga keberlangsungan kehidupan. Ia tidak hanya menjawab pertanyaan apa yang bernilai baik, tetapi juga bagaimana nilai-nilai itu diwujudkan secara praktis dalam kehidupan sosial, teknologi, dan ekologis. Dalam konteks ini, etika tanggung jawab menuntut orientasi nilai yang melampaui kepentingan individu, menuju tanggung jawab kolektif terhadap kehidupan dan masa depan.¹

5.1.       Nilai Dasar Etika Tanggung Jawab: Kehidupan sebagai Nilai Tertinggi

Menurut Hans Jonas, nilai tertinggi dalam etika tanggung jawab adalah keberlangsungan kehidupan itu sendiri (the continuity of genuine human life on earth).² Nilai ini bersifat ontologis dan universal karena menjadi prasyarat bagi segala nilai lain. Tanpa eksistensi kehidupan, tidak ada lagi konteks di mana kebaikan, keadilan, atau kebahagiaan dapat diwujudkan.³ Oleh karena itu, tindakan manusia harus selalu diukur berdasarkan kontribusinya terhadap pemeliharaan kehidupan, bukan sekadar keuntungan jangka pendek atau kepentingan individu.

Dalam kerangka aksiologis ini, tanggung jawab bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga ekspresi dari cinta terhadap kehidupan (amor vitae).⁴ Nilai kehidupan bersifat intrinsik, bukan instrumental. Artinya, kehidupan tidak bernilai karena berguna bagi manusia, tetapi karena ia memiliki martabat yang layak dipertahankan.⁵ Dengan demikian, etika tanggung jawab menolak antroposentrisme sempit dan menggantinya dengan biocentrisme etis, di mana nilai moral mencakup seluruh entitas hidup.

5.2.       Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle) dan Nilai Kehidupan

Dalam dunia modern yang sarat dengan ketidakpastian ilmiah, tindakan etis harus berakar pada prinsip kehati-hatian. Jonas menyebut prinsip ini sebagai heuristics of fear, yakni bentuk kehati-hatian epistemologis dan moral yang berangkat dari imajinasi terhadap potensi kerusakan kehidupan.⁶ Prinsip ini menyatakan bahwa ketika akibat dari tindakan manusia tidak dapat dipastikan sepenuhnya, terutama jika berpotensi menimbulkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, maka tindakan tersebut harus dihindari.⁷

Secara aksiologis, prinsip kehati-hatian menegaskan prioritas nilai kehidupan di atas nilai-nilai ekonomi, teknologis, dan politis.⁸ Dalam konteks bioteknologi, misalnya, eksperimen genetik atau kecerdasan buatan harus tunduk pada batas moral yang menjamin keberlanjutan kehidupan. Dengan demikian, tindakan etis bukan hanya yang menghasilkan manfaat, tetapi yang mencegah malapetaka potensial.⁹

5.3.       Nilai Keadilan dan Solidaritas Antar Generasi

Etika tanggung jawab juga menekankan keadilan antar generasi (intergenerational justice).¹⁰ Artinya, tindakan generasi sekarang harus mempertimbangkan hak generasi mendatang untuk menikmati dunia yang layak huni. Prinsip ini menuntut solidaritas temporal: rasa tanggung jawab lintas waktu antara manusia kini dan manusia masa depan.¹¹

Jonas berpendapat bahwa tanggung jawab moral bersifat asymmetric: generasi sekarang memiliki kewajiban terhadap yang belum lahir, meski generasi masa depan tidak dapat memberikan balasan atau kontrak moral.¹² Dalam hal ini, etika tanggung jawab menolak paradigma etika timbal balik (reciprocity ethics) dan menggantinya dengan etika kepedulian proleptik, yakni kepedulian terhadap yang belum hadir.¹³

Solidaritas antar generasi mencerminkan struktur nilai yang dinamis: nilai keadilan tidak lagi terbatas pada distribusi kesejahteraan sekarang, tetapi pada perlindungan terhadap keberlanjutan kehidupan secara keseluruhan.¹⁴

5.4.       Etika Lingkungan: Dari Antroposentrisme ke Ekosentrisme

Dalam ranah etika lingkungan, etika tanggung jawab memuat pergeseran paradigma aksiologis dari antroposentrisme menuju ekosentrisme. Manusia tidak lagi diposisikan sebagai penguasa atas alam, tetapi sebagai bagian integral dari ekosistem yang memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangannya.¹⁵ Jonas menulis bahwa kekuatan teknologi modern telah memberikan manusia kekuasaan atas alam yang tak terbatas, tetapi juga tanggung jawab yang sama besarnya untuk tidak merusaknya.¹⁶

Aksiologi ekosentris ini mengakui bahwa nilai moral tidak berhenti pada manusia, melainkan meliputi seluruh sistem kehidupan. Dengan demikian, tindakan yang memelihara bumi, keanekaragaman hayati, dan keseimbangan ekologis merupakan tindakan etis yang bernilai tinggi.¹⁷ Dalam kerangka ini, tanggung jawab ekologis adalah bentuk konkret dari cinta terhadap kehidupan itu sendiri.

5.5.       Etika Sosial dan Tanggung Jawab Kolektif

Selain dimensi ekologis, etika tanggung jawab juga menuntut penerapan dalam kehidupan sosial-politik. Nilai tanggung jawab harus diwujudkan dalam tatanan kelembagaan, kebijakan publik, dan struktur ekonomi. Jonas menegaskan bahwa tanggung jawab tidak dapat dibatasi pada moralitas individu, karena dampak tindakan modern bersifat sistemik.¹⁸

Etika tanggung jawab sosial meliputi kesadaran bahwa kebijakan politik dan ekonomi memiliki konsekuensi moral.¹⁹ Oleh karena itu, tanggung jawab institusional menjadi syarat bagi keberlangsungan kehidupan bersama. Pemimpin politik, ilmuwan, dan korporasi memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa keputusan mereka tidak merugikan generasi mendatang maupun ekosistem global.²⁰

Nilai solidaritas, keberlanjutan, dan keadilan sosial menjadi poros utama aksiologi tanggung jawab kolektif. Dalam hal ini, etika tanggung jawab berfungsi sebagai etika publik yang mengatur relasi antara kebebasan manusia dan keterbatasan dunia.²¹


Kebaikan sebagai Tindakan Pemeliharaan (Ethics of Care)

Etika tanggung jawab memiliki kedekatan konseptual dengan ethics of care—etika kepedulian yang menekankan relasi, empati, dan pemeliharaan kehidupan.²² Namun, berbeda dengan pendekatan feminis yang lebih menyoroti hubungan interpersonal, etika tanggung jawab bersifat universal dan ontologis.²³ Ia menegaskan bahwa kebaikan moral tertinggi adalah tindakan yang menjaga, memelihara, dan mengembangkan kehidupan dalam segala bentuknya.²⁴

Dengan demikian, tindakan baik bukan sekadar tindakan yang adil atau rasional, melainkan tindakan yang bertanggung jawab terhadap dampak ekologis dan eksistensial. Dalam pengertian ini, etika tanggung jawab mengintegrasikan nilai-nilai klasik seperti keadilan dan kebajikan ke dalam horizon baru yang mencakup seluruh keberadaan.²⁵


Footnotes

[1]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 92–94.

[2]                Ibid., 80–81.

[3]                Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London: Routledge, 2016), 52–53.

[4]                Gabriel Marcel, Being and Having (London: Dacre Press, 1949), 118–120.

[5]                Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 34–36.

[6]                Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 64–67.

[7]                Stephen Gardiner, “A Core Precautionary Principle,” Journal of Political Philosophy 14, no. 1 (2006): 33–36.

[8]                Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 49–51.

[9]                Jonas, The Imperative of Responsibility, 96–97.

[10]             Brian Barry, Justice as Impartiality (Oxford: Oxford University Press, 1995), 87–89.

[11]             Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University Press, 1989), 19–21.

[12]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 100–102.

[13]             Ibid., 105.

[14]             Henry Shue, “Subsistence Emissions and Luxury Emissions,” Law & Policy 15, no. 1 (1993): 39–40.

[15]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 201–203.

[16]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 110–112.

[17]             Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 85–87.

[18]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 120–122.

[19]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 82–83.

[20]             Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity (London: Sage, 1992), 45–47.

[21]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 165–166.

[22]             Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 73–75.

[23]             Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 98–101.

[24]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 128–130.

[25]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 70–72.


6.           Kritik terhadap Etika Tanggung Jawab

Meskipun etika tanggung jawab yang dikembangkan oleh Hans Jonas dianggap sebagai salah satu terobosan moral paling penting dalam filsafat abad ke-20, gagasan ini tidak luput dari kritik filosofis dan praktis. Kritik terhadap etika tanggung jawab datang dari berbagai aliran pemikiran—mulai dari etika deontologis dan utilitarian, hingga eksistensialisme, postmodernisme, dan filsafat politik kontemporer. Kritik-kritik ini tidak hanya menyoroti aspek konseptual (teoretis), tetapi juga mempertanyakan keterterapan praktis dari etika tanggung jawab dalam dunia modern yang kompleks, plural, dan global.¹

6.1.       Kritik Rasionalitas Moral dan Dimensi Utopis

Beberapa filsuf menilai bahwa etika tanggung jawab Jonas terlalu utopis karena menuntut manusia untuk memikul beban moral yang melampaui kemampuan rasional dan politisnya.² Raymond Geuss, misalnya, berpendapat bahwa etika Jonas cenderung mengidealisasi manusia sebagai agen moral yang memiliki kapasitas prediktif dan reflektif sempurna terhadap dampak masa depan tindakannya, padahal dalam kenyataan, struktur sosial dan politik sering kali tidak memungkinkan refleksi etis yang mendalam sebelum bertindak.³

Selain itu, etika tanggung jawab dianggap cenderung pesimistis terhadap kemajuan teknologi. Heuristics of fear yang diusulkan Jonas dianggap lebih menekankan aspek negatif dari imajinasi moral—yakni rasa takut akan kehancuran—ketimbang aspek kreatif dari harapan dan inovasi.⁴ Dengan demikian, rasionalitas moral Jonas dinilai bersifat preventif dan konservatif, bukan produktif dan progresif sebagaimana etika rasional Kantian atau pragmatisme Deweyan.⁵

6.2.       Kritik dari Perspektif Deontologis dan Utilitarian

Dari perspektif etika deontologis, konsep tanggung jawab Jonas dianggap mengaburkan batas antara kewajiban moral dan konsekuensi tindakan. Menurut Kant, moralitas hanya bergantung pada motivasi dan prinsip tindakan (maksim), bukan pada akibatnya.⁶ Dengan menitikberatkan tanggung jawab pada konsekuensi masa depan, Jonas dianggap bergeser dari deontologi menuju konsekuensialisme yang samar.⁷ Hal ini menimbulkan dilema epistemologis: bagaimana seseorang dapat mengetahui secara pasti akibat moral dari tindakannya terhadap generasi mendatang yang belum ada?⁸

Sementara itu, etika utilitarian mengkritik bahwa tanggung jawab Jonas tidak menyediakan kriteria kuantitatif yang jelas untuk menilai manfaat dan kerugian tindakan.⁹ John Stuart Mill maupun Peter Singer akan menilai bahwa tanggung jawab moral harus tetap mempertimbangkan the greatest happiness principle, sedangkan etika Jonas menolak prinsip kebahagiaan kolektif jika berpotensi mengancam eksistensi kehidupan secara keseluruhan.¹⁰ Dalam konteks ini, etika tanggung jawab tampak lebih bersifat absolutis dibandingkan utilitarianisme yang fleksibel terhadap konsekuensi sosial.

6.3.       Kritik Eksistensialis: Kebebasan versus Ketakutan

Etika tanggung jawab juga dikritik oleh para filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus. Sartre menilai bahwa konsep tanggung jawab Jonas terlalu menekankan norma eksternal (imperatif masa depan) yang berpotensi mengurangi kebebasan eksistensial manusia.¹¹ Dalam pandangan eksistensialis, tanggung jawab moral adalah hasil keputusan bebas yang bersumber dari proyek eksistensi individu, bukan dari kewajiban ontologis yang bersifat universal.¹²

Camus, dalam kerangka absurdisnya, akan menganggap bahwa seruan tanggung jawab terhadap masa depan berpotensi menciptakan beban moral yang tidak realistis.¹³ Manusia, dalam dunia yang absurd dan tak pasti, hanya dapat bertanggung jawab secara otentik terhadap tindakannya saat ini, bukan terhadap konsekuensi yang tak dapat dikendalikan.¹⁴ Dengan demikian, etika tanggung jawab dipandang berisiko mereduksi kebebasan eksistensial menjadi kepatuhan moral yang abstrak.

6.4.       Kritik Postmodern: Penolakan terhadap Universalisme Moral

Dari sudut pandang postmodernisme, etika tanggung jawab dianggap masih memelihara ambisi modernitas untuk membangun norma moral universal. Jean-François Lyotard dan Zygmunt Bauman, misalnya, menolak gagasan “imperatif baru” Jonas karena dianggap mengabaikan pluralitas dan konteks lokal dari pengalaman moral.¹⁵ Etika universal, menurut Bauman, sering kali gagal memahami situasi konkret di mana tanggung jawab bersifat ambigu dan terfragmentasi.¹⁶

Selain itu, etika Jonas dipandang terlalu berpusat pada subjek moral Barat—manusia modern yang rasional dan sadar teknologi—sementara mengabaikan bentuk-bentuk tanggung jawab alternatif yang muncul dalam tradisi non-Barat, spiritual, atau komunitarian.¹⁷ Dalam konteks globalisasi etika, tuntutan tanggung jawab terhadap masa depan harus mempertimbangkan relativitas budaya dan sistem nilai yang beragam.¹⁸

6.5.       Kritik Praktis: Ketidakefisienan dalam Penerapan Global

Kritik paling konkret terhadap etika tanggung jawab terletak pada kesulitannya untuk diterapkan secara praktis dalam sistem politik, ekonomi, dan teknologi global.¹⁹ Etika tanggung jawab menuntut bentuk tindakan moral yang idealistik, tetapi tidak memberikan mekanisme kelembagaan yang memadai untuk mengimplementasikannya. Misalnya, bagaimana mengukur tanggung jawab korporasi multinasional terhadap dampak ekologis global ketika tidak ada lembaga moral universal yang mengawasi tindakan tersebut?²⁰

Ulrich Beck menambahkan bahwa dalam risk society, tanggung jawab cenderung tersebar (diffused responsibility) di antara berbagai aktor sosial sehingga sulit menentukan siapa yang harus bertanggung jawab secara konkret.²¹ Akibatnya, seruan moral Jonas sering kali berhenti pada level refleksi etis, tanpa transformasi struktural yang nyata dalam kebijakan global.²²

6.6.       Kritik Internal: Ambiguitas antara Etika dan Ontologi

Beberapa pemikir kontemporer, termasuk Jürgen Habermas dan Paul Ricoeur, menyoroti ambiguitas dalam filsafat Jonas antara etika normatif dan ontologi eksistensial. Habermas menilai bahwa Jonas tidak cukup membedakan antara “imperatif moral” dan “fakta biologis” ketika menganggap kehidupan sebagai nilai tertinggi.²³ Ia mengingatkan bahwa menjadikan kehidupan sebagai dasar moral berisiko melahirkan bentuk naturalisme etis, di mana fakta biologis digunakan untuk membenarkan norma moral.²⁴

Ricoeur, di sisi lain, menilai bahwa etika Jonas terlalu menekankan dimensi tanggung jawab tanpa keseimbangan dengan pengampunan (forgiveness) dan kebebasan naratif manusia.²⁵ Akibatnya, etika tanggung jawab berpotensi menjadi etika beban (ethics of burden)—menuntut manusia untuk terus memikul tanggung jawab tanpa ruang bagi rekonsiliasi moral.²⁶


Evaluasi Umum: Nilai dan Keterbatasan

Kritik-kritik tersebut menunjukkan bahwa etika tanggung jawab, meski visioner dan penting dalam merespons krisis teknologi dan ekologi, memiliki keterbatasan dalam aspek epistemologis, praktis, dan politis. Namun demikian, keunggulan utama etika Jonas terletak pada kesadarannya terhadap dimensi temporal moralitas—sesuatu yang diabaikan oleh sebagian besar etika klasik.²⁷ Etika ini membuka ruang bagi tanggung jawab intergenerasional dan ekosentris yang sangat relevan bagi dunia kontemporer, meski masih memerlukan pengembangan lebih lanjut agar dapat dioperasionalkan dalam kebijakan publik dan praksis sosial.²⁸


Footnotes

[1]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 1–3.

[2]                Ibid., 78–80.

[3]                Raymond Geuss, Philosophy and Real Politics (Princeton: Princeton University Press, 2008), 66–68.

[4]                Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 71–73.

[5]                John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt, 1922), 23–25.

[6]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–4:424.

[7]                Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 104–106.

[8]                Bernard Williams, Ethics and the Limits of Philosophy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 117–118.

[9]                Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 12–14.

[10]             John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1863), 24–26.

[11]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 33–35.

[12]             Ibid., 42–44.

[13]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage Books, 1991), 54–56.

[14]             Ibid., 73–75.

[15]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 25–27.

[16]             Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993), 6–8.

[17]             Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 14–16.

[18]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 22–24.

[19]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 91–93.

[20]             John Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 121–123.

[21]             Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity (London: Sage, 1992), 47–50.

[22]             Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford: Stanford University Press, 1990), 112–114.

[23]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 92–94.

[24]             Ibid., 96.

[25]             Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 343–345.

[26]             Ibid., 349–350.

[27]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 129–131.

[28]          Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London: Routledge, 2016), 79–81.


7.           Relevansi Kontemporer Etika Tanggung Jawab

Etika tanggung jawab (Ethics of Responsibility) yang dirumuskan oleh Hans Jonas tetap memiliki relevansi yang sangat kuat dalam menghadapi tantangan moral, ekologis, dan teknologi abad ke-21. Dunia kontemporer kini hidup dalam kondisi yang oleh Ulrich Beck disebut sebagai risk society, yakni masyarakat yang hidup di bawah bayang-bayang risiko global yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi dan ekonomi modern.¹ Dalam konteks ini, seruan Jonas untuk mengembangkan “imperatif baru”—bertindak demi kelangsungan kehidupan manusia di bumi—menjadi semakin mendesak.² Etika tanggung jawab memberikan kerangka moral yang dapat menjawab dilema etis zaman modern, mulai dari krisis lingkungan hingga kecerdasan buatan (AI), dari bioteknologi hingga etika global.

7.1.       Krisis Ekologis dan Tanggung Jawab terhadap Bumi

Krisis ekologis merupakan tantangan moral paling nyata yang menuntut aktualisasi etika tanggung jawab. Pemanasan global, deforestasi, pencemaran laut, dan kepunahan spesies menegaskan bahwa tindakan manusia telah melampaui kapasitas regeneratif bumi.³ Jonas mengingatkan bahwa kekuasaan manusia atas alam modern telah melampaui batas etis yang dapat dikendalikan oleh hukum moral tradisional.⁴ Maka, tanggung jawab ekologis bukan sekadar pilihan moral, melainkan kewajiban eksistensial terhadap keberlanjutan kehidupan.

Dalam kerangka etika tanggung jawab, alam tidak lagi dipandang sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai subjek moral implisit yang memiliki nilai intrinsik.⁵ Etika ini beresonansi dengan perkembangan ecological ethics kontemporer, seperti gagasan Aldo Leopold tentang land ethic dan prinsip deep ecology Arne Naess yang menuntut hubungan harmonis antara manusia dan alam.⁶ Dengan demikian, tanggung jawab terhadap bumi adalah bentuk konkret dari “imperatif Jonasian” di era krisis iklim global.

7.2.       Revolusi Teknologi dan Etika Kecerdasan Buatan (AI)

Kemajuan teknologi digital dan kecerdasan buatan membawa dimensi baru dalam tanggung jawab moral. Teknologi kini bukan hanya alat netral, tetapi agen yang berpotensi memengaruhi keputusan moral, politik, bahkan eksistensi manusia.⁷ Jonas, meski menulis sebelum munculnya AI modern, telah memperingatkan tentang bahaya moral dari teknologi yang menggeser batas antara manusia dan mesin.⁸

Dalam konteks AI, etika tanggung jawab menuntut agar inovasi teknologi selalu diarahkan pada pemeliharaan martabat manusia dan kehidupan.⁹ Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) menjadi pedoman penting dalam menghadapi ketidakpastian etis AI—terutama dalam bidang seperti pengawasan digital, algoritma bias, dan autonomous weapons systems.¹⁰ Dengan demikian, etika tanggung jawab menyediakan landasan normatif untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tetap melayani kemanusiaan, bukan menguasainya.

7.3.       Bioetika dan Manipulasi Kehidupan

Perkembangan bioteknologi, seperti rekayasa genetika, kloning, dan synthetic biology, menimbulkan dilema moral baru yang sejalan dengan keprihatinan Jonas tentang kekuasaan manusia terhadap kehidupan.¹¹ Dalam The Imperative of Responsibility, Jonas menegaskan bahwa kemampuan manusia untuk “menciptakan kehidupan” menuntut bentuk tanggung jawab moral yang lebih besar dari sebelumnya.¹²

Etika tanggung jawab mengajarkan bahwa teknologi biologis harus tunduk pada batas moral yang mempertahankan martabat kehidupan.¹³ Hal ini sejalan dengan pandangan dalam bioethics of responsibility yang dikembangkan oleh Henk ten Have dan Fritz Jahr, yang menempatkan prinsip tanggung jawab sebagai inti bioetika global.¹⁴ Dalam konteks pandemi, misalnya, tanggung jawab etis mencakup keseimbangan antara kemajuan sains medis dan keadilan distributif terhadap akses kesehatan.¹⁵

7.4.       Etika Politik dan Tanggung Jawab Global

Dalam dunia yang terhubung secara global, tanggung jawab moral tidak lagi dapat dibatasi oleh batas negara atau budaya. Etika tanggung jawab menuntut bentuk solidaritas moral global yang melampaui egoisme nasional maupun kepentingan ekonomi jangka pendek.¹⁶ Prinsip tanggung jawab global ini memiliki resonansi dengan etika komunikasi Habermas dan teori keadilan global Martha Nussbaum, yang menekankan bahwa moralitas harus berlandaskan pada penghargaan terhadap kehidupan universal.¹⁷

Dalam praktik politik internasional, hal ini berarti kebijakan pembangunan, perdagangan, dan keamanan global harus mempertimbangkan dampak ekologis dan kemanusiaan terhadap generasi mendatang.¹⁸ Etika tanggung jawab dengan demikian menjadi basis moral bagi kebijakan berkelanjutan (sustainable development) dan etika kebijakan publik di era globalisasi.¹⁹

7.5.       Etika Tanggung Jawab dalam Dunia Digital dan Sosial

Selain ranah teknologi dan ekologi, relevansi etika tanggung jawab juga meluas pada ruang digital. Dunia media sosial dan information society menciptakan bentuk tanggung jawab baru terhadap kebenaran, privasi, dan dampak sosial informasi.²⁰ Jonas menegaskan bahwa kekuasaan informasi juga mengandung beban moral, sebab setiap tindakan komunikasi memiliki konsekuensi sosial.²¹

Dalam konteks ini, tanggung jawab digital menuntut etika yang berlandaskan pada transparansi, kejujuran, dan penghormatan terhadap martabat manusia.²² Prinsip tanggung jawab tidak hanya berlaku pada pencipta teknologi, tetapi juga pada pengguna yang membentuk ekosistem moral dunia maya.²³ Dengan demikian, etika tanggung jawab menjadi paradigma penting dalam menanggulangi disinformasi, ujaran kebencian, dan krisis kepercayaan publik di era digital.

7.6.       Pendidikan Moral dan Transformasi Kesadaran

Relevansi terakhir dari etika tanggung jawab adalah perannya dalam pendidikan moral. Jonas menekankan bahwa tanpa pembentukan kesadaran tanggung jawab melalui pendidikan, etika ini hanya akan menjadi teori abstrak.²⁴ Pendidikan tanggung jawab menuntut pembentukan karakter yang mencintai kehidupan dan menyadari konsekuensi tindakan terhadap sesama dan lingkungan.²⁵

Dalam konteks pendidikan global, etika tanggung jawab dapat menjadi fondasi bagi environmental education, digital citizenship education, dan ethics of technology education.²⁶ Tujuan akhirnya bukan sekadar mengajarkan pengetahuan moral, tetapi membentuk manusia yang memiliki empati, imajinasi etis, dan visi jangka panjang untuk menjaga kehidupan.²⁷


Kesimpulan Sementara: Dari Teori ke Praksis Global

Dengan memperhatikan kompleksitas dunia modern—mulai dari krisis ekologis hingga disrupsi teknologi—etika tanggung jawab hadir sebagai fondasi moral yang integral dan futuristik.²⁸ Ia menawarkan paradigma baru yang menggabungkan rational foresight, empati moral, dan kesadaran ekologis sebagai jalan menuju kelangsungan hidup manusia dan planet ini.²⁹

Relevansi kontemporer etika tanggung jawab tidak terletak pada kemampuannya menyelesaikan semua persoalan etis secara instan, melainkan pada kemampuannya mengubah cara manusia berpikir tentang moralitas—dari etika tindakan kini menuju etika masa depan.³⁰ Dengan demikian, etika tanggung jawab Jonas tetap menjadi salah satu pilar paling penting bagi filsafat moral abad ke-21.


Footnotes

[1]                Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity (London: Sage, 1992), 19–21.

[2]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–13.

[3]                Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 22–25.

[4]                Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 60–63.

[5]                Jonas, The Imperative of Responsibility, 23–25.

[6]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 202–204.

[7]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 15–18.

[8]                Jonas, The Imperative of Responsibility, 41–43.

[9]                Ibid., 46–47.

[10]             Stephen Gardiner, “A Core Precautionary Principle,” Journal of Political Philosophy 14, no. 1 (2006): 35–37.

[11]             Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London: Routledge, 2016), 82–85.

[12]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 53–54.

[13]             Ibid., 58.

[14]             Fritz Jahr, “Bio-Ethik: Eine Umschau über die ethischen Beziehungen des Menschen zu Tier und Pflanze,” Kosmos 24 (1927): 2–4.

[15]             Ruth Macklin, “Global Health Ethics for the 21st Century,” Kennedy Institute of Ethics Journal 20, no. 4 (2010): 331–333.

[16]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 92–93.

[17]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 24–27.

[18]             John Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 125–127.

[19]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 95–96.

[20]             Luciano Floridi, The Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 132–134.

[21]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 102–103.

[22]             Rafael Capurro, “Digital Ethics,” in The Handbook of Information and Computer Ethics, ed. Kenneth E. Himma and Herman T. Tavani (Hoboken, NJ: Wiley, 2008), 187–189.

[23]             Charles Ess, Digital Media Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Polity Press, 2020), 45–48.

[24]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 118–120.

[25]             Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 175–177.

[26]             Robert L. W. Zimdars-Swartz, “Moral Education and the Ethics of Responsibility,” Journal of Moral Education 29, no. 3 (2000): 321–324.

[27]             Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 341–343.

[28]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 126–127.

[29]             Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction, 90–92.

[30]             Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 115–117.


8.           Sintesis Filosofis

Etika tanggung jawab sebagaimana dirumuskan oleh Hans Jonas merupakan refleksi filosofis yang berupaya menyatukan kembali hubungan antara kebebasan, kehidupan, dan tanggung jawab dalam satu kerangka moral yang utuh. Sintesis filosofis ini memperlihatkan upaya untuk melampaui keterpecahan etika modern yang terbelah antara otonomi rasional (Kant), hedonisme utilitarian, dan relativisme postmodern. Jonas menegaskan bahwa moralitas tidak dapat dipahami secara memadai tanpa kesadaran ontologis bahwa “ada” manusia bergantung pada kelangsungan kehidupan itu sendiri.¹ Dengan demikian, etika tanggung jawab menjadi bentuk metafisika moral baru yang mengikat manusia pada tugas menjaga eksistensi, bukan sekadar menaati norma.

8.1.       Dialektika antara Kebebasan dan Kewajiban Moral

Sintesis filosofis etika tanggung jawab dimulai dari rekonsiliasi antara kebebasan eksistensial dan kewajiban moral ontologis. Dalam filsafat eksistensialis seperti Sartre, kebebasan manusia bersifat absolut dan tanpa dasar metafisik.² Namun, bagi Jonas, kebebasan tanpa arah moral berujung pada nihilisme etis dan kehancuran ekologis.³ Karena itu, kebebasan harus diikat oleh tanggung jawab, bukan sebagai batas eksternal, tetapi sebagai pemenuhan esensinya yang sejati.

Tanggung jawab, dalam kerangka Jonasian, bukan sekadar reaksi moral, melainkan modus ontologis kebebasan itu sendiri.⁴ Artinya, manusia menjadi benar-benar bebas ketika ia sadar akan konsekuensi eksistensial dari tindakannya terhadap kehidupan lain. Kebebasan yang berakar pada tanggung jawab bukanlah kebebasan untuk bertindak tanpa batas, melainkan kebebasan untuk menjaga keberlanjutan kehidupan.⁵ Dengan demikian, etika tanggung jawab mengembalikan makna kebebasan dari dimensi individual menuju dimensi kosmik.

8.2.       Integrasi antara Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Etika tanggung jawab memiliki struktur filosofis yang koheren karena menyatukan tiga pilar utama filsafat: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologinya menempatkan tanggung jawab sebagai struktur keberadaan manusia yang inheren—bahwa manusia adalah makhluk yang secara ontologis bertanggung jawab.⁶ Epistemologinya berakar pada kesadaran moral dan moral foresight, yaitu kemampuan untuk mengantisipasi dampak jangka panjang dari tindakan.⁷ Sedangkan aksiologinya menegaskan bahwa kehidupan merupakan nilai tertinggi yang harus dilindungi di atas semua kepentingan instrumental.⁸

Melalui penyatuan ketiga dimensi tersebut, etika tanggung jawab menghindari jebakan reduksionisme etika modern. Ia tidak semata-mata etika rasional, empiris, atau teleologis, tetapi etika integral, di mana pengetahuan, tindakan, dan nilai berakar pada satu kesatuan eksistensial: kehidupan itu sendiri.⁹ Dengan demikian, sintesis ini menegaskan bahwa moralitas bukan sistem aturan eksternal, melainkan kesadaran ontologis yang tumbuh dari relasi manusia dengan dunia.

8.3.       Dimensi Transendental dan Teologis: Imperatif Kehidupan

Jonas tidak menyusun etika tanggung jawab sebagai etika religius, tetapi gagasannya memiliki implikasi transendental yang mendalam. Ia mengakui bahwa sumber kewajiban moral yang sejati tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh rasionalitas manusia, melainkan berakar pada rasa takjub terhadap keberadaan (the wonder of being).¹⁰ Dalam arti ini, tanggung jawab moral bersumber dari pengakuan akan kesakralan kehidupan—sebuah kesadaran yang mirip dengan intuisi religius, meski tidak dogmatis.¹¹

Dengan demikian, imperatif Jonasian—“Bertindaklah sedemikian rupa agar akibat dari tindakanmu sejalan dengan keberlanjutan kehidupan manusia di bumi”¹²—dapat dibaca sebagai bentuk imperatif kategoris ontologis: kewajiban moral yang berasal dari nilai ontologis kehidupan itu sendiri. Dalam pengertian ini, etika tanggung jawab tidak menolak Tuhan, tetapi menegaskan bahwa keberadaan manusia sendiri telah mengandung “jejak transendensi” dalam bentuk tanggung jawab terhadap kehidupan.¹³

8.4.       Tanggung Jawab sebagai Jembatan antara Etika dan Politik

Sintesis filosofis etika tanggung jawab juga memiliki implikasi politis. Jonas mengajak filsafat moral untuk menembus ruang publik dan menjadi prinsip bagi kebijakan global.¹⁴ Etika ini menuntut paradigma politik baru yang berbasis pada responsible governance—yakni pengambilan keputusan yang mempertimbangkan dampak ekologis, sosial, dan generasional.¹⁵ Dengan demikian, tanggung jawab menjadi penghubung antara moralitas personal dan keadilan publik.

Dalam kerangka ini, etika tanggung jawab menjadi antitesis terhadap politik pragmatis yang menjustifikasi segala cara demi kepentingan ekonomi jangka pendek.¹⁶ Jonas menegaskan bahwa legitimasi moral kekuasaan tidak ditentukan oleh keberhasilannya, tetapi oleh kesetiaannya terhadap prinsip keberlanjutan kehidupan.¹⁷ Maka, tanggung jawab bukan hanya tuntutan etis individu, tetapi juga imperatif struktural bagi peradaban manusia.¹⁸

8.5.       Menuju Etika Global dan Ekosentris

Sintesis etika tanggung jawab berpuncak pada gagasan etika global—sebuah etika yang tidak terbatas pada ruang dan waktu, tetapi mencakup seluruh komunitas kehidupan.¹⁹ Dalam pandangan Jonas, manusia memiliki tanggung jawab terhadap semua makhluk hidup karena mereka berbagi nasib eksistensial dalam dunia yang sama.²⁰ Etika ini melampaui humanisme klasik yang antroposentris, menuju humanisme ekologis yang menempatkan manusia sebagai penjaga (custodian) kehidupan.²¹

Konsep ini memiliki kesamaan dengan global ethics milik Hans Küng, yang menekankan nilai universal seperti solidaritas, keberlanjutan, dan keadilan ekologis sebagai dasar moral bersama umat manusia.²² Dengan demikian, etika tanggung jawab Jonas dapat dianggap sebagai metafisika moral global, yang menyatukan tanggung jawab pribadi, sosial, dan ekologis dalam horizon universal.


Relevansi Sintesis bagi Filsafat Masa Depan

Dalam tataran konseptual, sintesis etika tanggung jawab memberikan arah baru bagi filsafat moral masa depan: dari anthropocentric reason menuju responsible reason—rasionalitas yang sadar akan keterbatasan dan konsekuensinya.²³ Filsafat masa depan tidak lagi cukup dengan refleksi tentang apa yang benar, tetapi harus memikirkan apa yang lestari.²⁴

Dengan demikian, etika tanggung jawab menawarkan paradigma transformatif: moralitas yang bersumber dari ontologi kehidupan, epistemologi kesadaran moral, dan aksiologi keberlanjutan.²⁵ Ia menjadi ethics of hope yang realistis—sebuah pandangan moral yang menggabungkan rasa takut yang bijaksana (heuristics of fear) dengan pengharapan terhadap kemungkinan keberlanjutan.²⁶ Dalam dunia yang diwarnai krisis multidimensional, sintesis filosofis ini menjadi dasar bagi pembangunan etika masa depan yang inklusif, reflektif, dan bertanggung jawab terhadap semua bentuk kehidupan.


Footnotes

[1]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 9–11.

[2]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 437–439.

[3]                Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 64–66.

[4]                Jonas, The Imperative of Responsibility, 21–22.

[5]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 200–203.

[6]                Gabriel Marcel, Being and Having (London: Dacre Press, 1949), 108–110.

[7]                Jonas, The Imperative of Responsibility, 29–30.

[8]                Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London: Routledge, 2016), 62–64.

[9]                Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 337–340.

[10]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 113–115.

[11]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith: An Introduction to the Idea of Christianity, trans. William V. Dych (New York: Crossroad, 1982), 87–88.

[12]             Jonas, Das Prinzip Verantwortung, 36.

[13]             Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 114–115.

[14]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 122–123.

[15]             Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity (London: Sage, 1992), 45–47.

[16]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 83–85.

[17]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 125–126.

[18]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 158–160.

[19]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 12–15.

[20]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 133–134.

[21]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 201–203.

[22]             Hans Küng and Karl-Josef Kuschel, eds., A Global Ethic: The Declaration of the Parliament of the World’s Religions (New York: Continuum, 1993), 9–11.

[23]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 137–139.

[24]             Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction, 98–99.

[25]             Ricoeur, Oneself as Another, 342–344.

[26]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 141–143.


9.           Kesimpulan

Etika tanggung jawab (Ethics of Responsibility) sebagaimana dikembangkan oleh Hans Jonas merupakan salah satu sumbangan paling signifikan dalam filsafat moral kontemporer karena berhasil merekonstruksi hubungan antara kebebasan, moralitas, dan keberlanjutan kehidupan. Ia menjawab krisis etika modern yang terlalu menekankan otonomi individu dan rasionalitas instrumental tanpa mempertimbangkan akibat jangka panjang terhadap dunia dan generasi mendatang.¹ Etika ini berangkat dari kesadaran bahwa tindakan manusia modern, melalui sains dan teknologi, telah memperoleh kekuasaan yang melampaui kapasitas moral tradisional untuk mengendalikannya. Karena itu, manusia memerlukan bentuk moralitas baru yang sepadan dengan kekuatan yang dimilikinya—suatu imperatif tanggung jawab yang berorientasi pada kelangsungan kehidupan di bumi.²

9.1.       Rekonstruksi Moralitas: Dari Rasionalitas ke Keberlanjutan

Jonas mereformulasi etika bukan sebagai sistem aturan, tetapi sebagai kesadaran ontologis terhadap nilai kehidupan.³ Ia menolak moralitas yang bersifat abstrak dan formalistik, dan menggantikannya dengan etika yang berakar pada pengalaman eksistensial manusia sebagai makhluk yang hidup di antara makhluk hidup lainnya.⁴ Dalam kerangka ini, kehidupan menjadi nilai tertinggi—suatu good-in-itself yang menjadi sumber semua nilai lain.⁵ Dengan demikian, etika tanggung jawab memulihkan dimensi kosmologis etika: manusia bertanggung jawab bukan hanya kepada sesamanya, tetapi juga kepada alam semesta sebagai komunitas moral yang lebih luas.⁶

Kesimpulan ini menunjukkan bahwa rasionalitas moral modern yang hanya mengandalkan kalkulasi utilitarian atau prinsip universal harus dilengkapi oleh rasionalitas moral ekologis, yakni kesadaran akan batas tindakan manusia dan implikasinya terhadap kehidupan secara menyeluruh.⁷ Etika tanggung jawab menegaskan bahwa nilai tertinggi bukan terletak pada kebebasan untuk bertindak, melainkan pada tanggung jawab untuk menjaga kemungkinan bertindak di masa depan.⁸

9.2.       Dimensi Temporal dan Intergenerasional Tanggung Jawab

Salah satu kontribusi terpenting etika tanggung jawab adalah penekanan pada dimensi temporal moralitas. Etika tradisional hanya berfokus pada akibat langsung, sedangkan Jonas memperluas horizon moral hingga ke masa depan yang jauh, mencakup generasi yang belum lahir.⁹ Dalam hal ini, tanggung jawab bersifat proleptik—bertindak demi mereka yang belum hadir.¹⁰

Etika ini menegaskan bahwa tindakan manusia saat ini memiliki nilai moral sejauh ia menjamin keberlanjutan kehidupan generasi mendatang.¹¹ Prinsip ini sangat relevan dalam menghadapi isu kontemporer seperti krisis iklim, penggunaan sumber daya alam, serta pengembangan teknologi genetika dan kecerdasan buatan. Dengan demikian, etika tanggung jawab bukan hanya etika reflektif, melainkan etika futuristik yang mengarahkan moralitas manusia menuju horizon keberlanjutan.¹²

9.3.       Sintesis antara Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Keberadaan

Etika tanggung jawab juga mengandung dimensi ontologis yang dalam: ia menyatukan kebebasan dan tanggung jawab sebagai dua aspek dari satu eksistensi manusia.¹³ Kebebasan sejati, menurut Jonas, tidak terletak pada kemampuan untuk memilih tanpa batas, tetapi pada kesediaan untuk memikul konsekuensi tindakan terhadap kehidupan.¹⁴ Dengan demikian, tanggung jawab tidak membatasi kebebasan, melainkan memberinya makna.

Dalam pengertian ini, manusia tidak lagi menjadi pusat nilai secara antroposentris, tetapi bagian dari jaringan eksistensial yang saling bergantung.¹⁵ Etika tanggung jawab mengajak manusia untuk berpikir ekologis—melihat dirinya sebagai penjaga keberadaan, bukan penguasa atasnya.¹⁶ Sintesis ini melahirkan paradigma baru dalam etika: etika keberlanjutan, yang menempatkan tanggung jawab sebagai inti dari eksistensi moral manusia.¹⁷

9.4.       Relevansi bagi Krisis Global dan Filsafat Masa Depan

Dalam konteks dunia kontemporer yang diwarnai oleh krisis ekologi, ketimpangan sosial, dan disrupsi teknologi, etika tanggung jawab menawarkan kerangka moral yang paling sesuai. Ia memadukan prudential foresight dengan ethical humility, yakni kemampuan untuk memprediksi akibat tindakan sekaligus kesadaran akan keterbatasan pengetahuan manusia.¹⁸

Etika tanggung jawab juga dapat menjadi fondasi bagi etika global, karena menuntut solidaritas lintas batas, generasi, dan spesies.¹⁹ Prinsip ini memiliki implikasi mendalam bagi kebijakan publik, pendidikan moral, serta pengembangan teknologi yang berorientasi pada martabat kehidupan.²⁰

Dengan demikian, Jonas berhasil mengubah arah filsafat moral dari ethics of autonomy menuju ethics of responsibility—sebuah pergeseran paradigmatik dari moralitas yang berpusat pada subjek menuju moralitas yang berakar pada kehidupan itu sendiri.²¹


Penutup: Etika bagi Masa Depan yang Dapat Dihuni

Etika tanggung jawab mengajarkan bahwa kemajuan teknologi dan kebebasan manusia hanya bernilai sejauh keduanya menjaga keberlanjutan kehidupan.²² Dalam situasi global yang rentan terhadap kehancuran ekologis dan dehumanisasi digital, gagasan Jonas menjadi seruan moral yang paling relevan: “bertindaklah demi kehidupan, karena hidup adalah prasyarat dari segala nilai.”²³

Dengan demikian, etika tanggung jawab bukan sekadar teori moral, melainkan visi filosofis tentang kelangsungan eksistensi. Ia mengembalikan filsafat moral kepada fungsi aslinya—yakni menjaga keseimbangan antara kebebasan dan keberlanjutan, antara daya cipta dan kehati-hatian.²⁴ Melalui etika ini, filsafat dipanggil untuk menjadi penjaga kehidupan (guardian of life), agar dunia yang dihuni manusia tetap dapat ditinggali secara manusiawi.²⁵


Footnotes

[1]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 3–5.

[2]                Ibid., 9–10.

[3]                Gabriel Marcel, Being and Having (London: Dacre Press, 1949), 108–110.

[4]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 197–199.

[5]                Jonas, The Imperative of Responsibility, 13–15.

[6]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 203–204.

[7]                Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction (London: Routledge, 2016), 84–86.

[8]                Jonas, Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die technologische Zivilisation (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979), 37–39.

[9]                Jonas, The Imperative of Responsibility, 23–25.

[10]             Ibid., 30–31.

[11]             Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University Press, 1989), 19–21.

[12]             Stephen Gardiner, “A Perfect Moral Storm: Climate Change, Intergenerational Ethics and the Problem of Moral Corruption,” Environmental Values 15, no. 3 (2006): 397–400.

[13]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 32–34.

[14]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 41–43.

[15]             Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 34–36.

[16]             Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 49–50.

[17]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 53–55.

[18]             Lorraine Code, Epistemic Responsibility (Hanover: University Press of New England, 1987), 43–45.

[19]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 17–18.

[20]             Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity (London: Sage, 1992), 45–46.

[21]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 124–126.

[22]             Ibid., 130–131.

[23]             Ibid., 141.

[24]             Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 341–343.

[25]             Henk ten Have, Global Bioethics: An Introduction, 98–100.


Daftar Pustaka

Attfield, R. (2014). Environmental ethics: An overview for the twenty-first century. Cambridge: Polity Press.

Bauman, Z. (1993). Postmodern ethics. Oxford: Blackwell.

Barry, B. (1995). Justice as impartiality. Oxford: Oxford University Press.

Beck, U. (1992). Risk society: Towards a new modernity. London: Sage.

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community, and postmodernism in contemporary ethics. Cambridge: Polity Press.

Buber, M. (1970). I and Thou (W. Kaufmann, Trans.). New York: Charles Scribner’s Sons.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). New York: Vintage Books.

Capurro, R. (2008). Digital ethics. In K. E. Himma & H. T. Tavani (Eds.), The handbook of information and computer ethics (pp. 185–200). Hoboken, NJ: Wiley.

Code, L. (1987). Epistemic responsibility. Hanover: University Press of New England.

Dewey, J. (1922). Human nature and conduct. New York: Henry Holt.

Diogenes Laërtius. (1925). Lives of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Dryzek, J. (2013). The politics of the earth: Environmental discourses (3rd ed.). Oxford: Oxford University Press.

Engelhardt, H. T., Jr. (1996). The foundations of bioethics. New York: Oxford University Press.

Ess, C. (2020). Digital media ethics (3rd ed.). Cambridge: Polity Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford: Oxford University Press.

Floridi, L. (2019). The logic of information: A theory of philosophy as conceptual design. Oxford: Oxford University Press.

Gardiner, S. (2006). A core precautionary principle. Journal of Political Philosophy, 14(1), 33–37.

Gardiner, S. (2006). A perfect moral storm: Climate change, intergenerational ethics and the problem of moral corruption. Environmental Values, 15(3), 397–400.

Geuss, R. (2008). Philosophy and real politics. Princeton: Princeton University Press.

Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and women’s development. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). Cambridge, MA: MIT Press.

Have, H. ten. (2016). Global bioethics: An introduction. London: Routledge.

Hegel, G. W. F. (1967). Philosophy of right (T. M. Knox, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Jonas, H. (1979). Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die technologische Zivilisation. Frankfurt am Main: Suhrkamp.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. Chicago: University of Chicago Press.

Jahr, F. (1927). Bio-ethik: Eine Umschau über die ethischen Beziehungen des Menschen zu Tier und Pflanze. Kosmos, 24, 2–4.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kaplan, D. (2002). Responsibility and the future: Ethics of temporality. Philosophy Today, 46(3), 256–259.

Korsgaard, C. (1996). Creating the kingdom of ends. Cambridge: Cambridge University Press.

Küng, H. (1991). Global responsibility: In search of a new world ethic. New York: Crossroad.

Küng, H., & Kuschel, K.-J. (Eds.). (1993). A global ethic: The declaration of the Parliament of the World’s Religions. New York: Continuum.

Laërtius, D. (1925). Lives of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Leopold, A. (1949). A sand county almanac. New York: Oxford University Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority. Pittsburgh: Duquesne University Press.

Levinas, E. (1998). Otherwise than being or beyond essence (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh: Duquesne University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). Minneapolis: University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue. Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Macklin, R. (2010). Global health ethics for the 21st century. Kennedy Institute of Ethics Journal, 20(4), 331–333.

Marcel, G. (1949). Being and having. London: Dacre Press.

Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. London: Parker, Son, and Bourn.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Noddings, N. (1984). Caring: A relational approach to ethics and moral education. Berkeley: University of California Press.

Nussbaum, M. C. (1990). Love’s knowledge: Essays on philosophy and literature. New York: Oxford University Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Rahner, K. (1982). Foundations of Christian faith: An introduction to the idea of Christianity (W. V. Dych, Trans.). New York: Crossroad.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another. Chicago: University of Chicago Press.

Rolston, H., III. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural world. Philadelphia: Temple University Press.

Sandel, M. (1998). Liberalism and the limits of justice (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. Barnes, Trans.). New York: Philosophical Library.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). New Haven: Yale University Press.

Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and non-formal ethics of values (M. S. Frings & R. L. Funk, Trans.). Evanston: Northwestern University Press.

Shue, H. (1993). Subsistence emissions and luxury emissions. Law & Policy, 15(1), 39–40.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Taylor, P. W. (1986). Respect for nature: A theory of environmental ethics. Princeton: Princeton University Press.

Weber, M. (1958). The Protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). New York: Scribner.

Weiss, E. B. (1989). In fairness to future generations: International law, common patrimony, and intergenerational equity. Tokyo: United Nations University Press.

Williams, B. (1985). Ethics and the limits of philosophy. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Zimdars-Swartz, R. L. W. (2000). Moral education and the ethics of responsibility. Journal of Moral Education, 29(3), 321–324.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar