Pengantar Ilmu Sosial dan Humaniora
Fondasi Konseptual, Historis, dan Aplikatif dalam
Kajian Keilmuan
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Ilmu Sosial, Humaniora.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai Pengantar
Ilmu Sosial dan Humaniora dengan menelusuri aspek konseptual, historis, metodologis,
serta relevansinya dalam konteks kontemporer. Kajian diawali dengan pendahuluan
yang menekankan pentingnya ilmu sosial dan humaniora sebagai fondasi keilmuan
untuk memahami manusia dan masyarakat. Selanjutnya, artikel menguraikan konsep
dasar kedua bidang ini, perbedaan sekaligus persinggungannya, serta sejarah
perkembangan yang berakar dari tradisi klasik hingga modern. Pembahasan juga
menyoroti beragam paradigma keilmuan—positivistik, interpretatif, kritis, dan
postmodern—beserta metodologi penelitian yang digunakan, baik dalam pendekatan
kuantitatif, kualitatif, maupun hermeneutis. Tema-tema sentral seperti individu
dan masyarakat, kebudayaan, simbol, kekuasaan, globalisasi, hingga identitas
religius menjadi fokus utama yang memperlihatkan kompleksitas kajian
sosial-humaniora. Artikel ini juga menekankan relevansi praktis ilmu sosial dan
humaniora dalam pembentukan kebijakan publik, pendidikan, budaya populer,
hingga humaniora digital. Tidak hanya itu, berbagai kritik dan tantangan
seperti masalah metodologis, keterbatasan sumber daya, hingga persaingan dengan
ilmu eksakta turut dibahas. Pada bagian akhir, artikel menawarkan refleksi
mengenai prospek dan inovasi masa depan, termasuk integrasi interdisipliner,
pemanfaatan big data, serta dekolonisasi pengetahuan. Dengan demikian, artikel
ini menegaskan bahwa ilmu sosial dan humaniora tetap memiliki peran strategis
dalam membangun masyarakat yang adil, reflektif, inklusif, dan berkeadaban di
era global.
Kata Kunci: Ilmu Sosial, Humaniora, Metodologi, Paradigma, Globalisasi,
Humaniora Digital, Dekolonisasi Pengetahuan.
PEMBAHASAN
Pengantar Ilmu Sosial dan Humaniora
1.          
Pendahuluan
Ilmu sosial dan humaniora merupakan dua bidang kajian
yang memiliki kedudukan fundamental dalam memahami realitas manusia dan
masyarakat. Keduanya tidak hanya menekankan aspek pengetahuan teoretis, tetapi
juga berusaha menjelaskan, menafsirkan, dan mengkritisi fenomena yang berkaitan
dengan kehidupan manusia dalam konteks sosial, budaya, politik, ekonomi, maupun
historis. Sebagai ilmu yang berakar pada refleksi kritis terhadap pengalaman
manusia, ilmu sosial dan humaniora menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus
objek kajian, sehingga keduanya memiliki peran sentral dalam membangun
pemahaman yang lebih utuh mengenai eksistensi manusia di dunia.¹
Latar belakang munculnya ilmu sosial dapat ditelusuri
dari kebutuhan manusia modern untuk menjelaskan perubahan sosial yang terjadi
akibat revolusi industri, urbanisasi, serta berkembangnya kapitalisme pada abad
ke-18 dan 19. Auguste Comte, misalnya, memandang sosiologi sebagai “ilmu
tentang masyarakat” yang bertujuan mengungkap hukum-hukum universal yang
mengatur kehidupan sosial.² Di sisi lain, humaniora memiliki akar yang lebih
tua, yaitu sejak peradaban Yunani dan Romawi kuno yang mengedepankan filsafat,
retorika, seni, dan sejarah sebagai sarana pembentukan manusia yang berbudaya.³
Kedua bidang ini kemudian bertemu dalam ranah modern dengan tujuan yang sama,
yakni menggali hakikat manusia dalam seluruh dimensinya: biologis, sosial,
kultural, dan moral.
Urgensi ilmu sosial dan humaniora di era kontemporer
semakin nyata ketika masyarakat menghadapi kompleksitas globalisasi,
digitalisasi, dan krisis multidimensi. Ilmu sosial memungkinkan analisis yang
kritis terhadap dinamika kekuasaan, distribusi sumber daya, serta struktur
sosial yang menciptakan ketidaksetaraan.⁴ Sementara itu, humaniora memberikan
dimensi reflektif dan normatif dalam menafsirkan nilai-nilai, identitas, serta
makna kehidupan manusia di tengah perubahan global. Dengan demikian, keduanya
berfungsi tidak hanya sebagai instrumen analisis, tetapi juga sebagai landasan
etis untuk membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan beradab.
Selain itu, relevansi kajian ini dapat dilihat dalam
kontribusinya terhadap kebijakan publik, pendidikan, hingga budaya populer.
Kajian ilmu sosial membantu merumuskan strategi pembangunan berbasis kebutuhan
masyarakat, sedangkan humaniora mengingatkan pada dimensi kemanusiaan yang
tidak dapat diukur secara material semata.⁵ Keterpaduan keduanya juga
menegaskan bahwa ilmu pengetahuan bukanlah sekadar akumulasi data empiris,
tetapi juga refleksi filosofis dan interpretasi makna.
Berdasarkan latar belakang tersebut, kajian mengenai
ilmu sosial dan humaniora perlu diletakkan sebagai fondasi akademik yang
komprehensif. Kajian ini bertujuan untuk memahami hubungan antara ilmu sosial
dan humaniora, menguraikan relevansi metodologisnya, serta mengidentifikasi
tantangan sekaligus prospek yang dapat dikembangkan pada masa depan. Dengan demikian,
tulisan ini berupaya menegaskan posisi ilmu sosial dan humaniora sebagai pilar
penting dalam pengembangan pengetahuan sekaligus pembentukan masyarakat yang
berkeadaban.
Footnotes
[1]               
Clifford Geertz, The
Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–7.
[2]               
Auguste Comte, The Positive
Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell
and Sons, 1896), 2–3.
[3]               
Martha C. Nussbaum, Not for
Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University
Press, 2010), 23–25.
[4]               
Anthony Giddens, Sociology,
7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2013), 45–48.
[5]               
Edward Said, Humanism and
Democratic Criticism (New York: Columbia University Press, 2004), 11–14.
2.          
Konsep
Dasar Ilmu Sosial dan Humaniora
Ilmu sosial dan humaniora merupakan dua rumpun
keilmuan yang memiliki orientasi berbeda, namun saling melengkapi dalam
memahami manusia, masyarakat, dan kebudayaan. Secara konseptual, ilmu sosial
merujuk pada disiplin-disiplin yang berusaha menjelaskan perilaku manusia dalam
konteks interaksi sosial serta struktur masyarakat. Di dalamnya terdapat
cabang-cabang utama seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik, ekonomi,
psikologi sosial, dan geografi manusia.¹ Fokus utama ilmu sosial adalah
menemukan pola, struktur, dan dinamika hubungan antarindividu maupun kelompok
dengan pendekatan analitis-empiris.
Sebaliknya, humaniora lebih menekankan pada
dimensi makna, nilai, dan ekspresi budaya manusia. Humaniora mencakup bidang
filsafat, sejarah, linguistik, sastra, seni, agama, serta etika, yang bertujuan
memahami bagaimana manusia memaknai eksistensinya melalui bahasa, simbol,
narasi, dan estetika.² Jika ilmu sosial berorientasi pada “penjelasan”
(explanation), maka humaniora lebih berorientasi pada “pemahaman” (understanding)
dan “penafsiran” (interpretation).³
Meskipun terdapat perbedaan mendasar, kedua bidang ini
memiliki titik temu yang penting. Keduanya sama-sama menjadikan manusia sebagai
subjek sekaligus objek kajian. Perbedaan terletak pada cara pandang: ilmu
sosial cenderung menggunakan metode kuantitatif dan berusaha menggeneralisasi
fenomena, sedangkan humaniora cenderung bersifat kualitatif dan menekankan
subjektivitas serta keberagaman makna.⁴ Akan tetapi, dalam praktik akademik
modern, pemisahan antara ilmu sosial dan humaniora sering kali bersifat
artifisial karena keduanya saling bergantung dalam memberikan pemahaman yang
utuh mengenai realitas manusia.
Secara epistemologis, ilmu sosial sering dikaitkan
dengan positivisme yang menekankan objektivitas, verifikasi, dan pengukuran,
sementara humaniora lebih dekat dengan hermeneutika, fenomenologi, dan kritik
budaya yang menekankan interpretasi serta refleksi kritis.⁵ Perbedaan
epistemologi ini tidak harus dilihat sebagai pertentangan, melainkan sebagai peluang
dialog untuk mengembangkan pendekatan multidisipliner, interdisipliner, hingga
transdisipliner. Dengan cara ini, pengetahuan tidak hanya dipahami sebagai
akumulasi data empiris, tetapi juga sebagai konstruksi makna yang kaya dan
berlapis.
Dengan memahami konsep dasar ilmu sosial dan
humaniora, dapat disimpulkan bahwa keduanya merupakan fondasi penting dalam
membangun kesadaran kritis, nilai kemanusiaan, serta analisis sistematis
terhadap berbagai persoalan kontemporer. Integrasi keduanya memungkinkan
analisis yang komprehensif—baik dari sisi struktur sosial maupun dari dimensi
nilai dan makna yang mendasari kehidupan manusia.
Footnotes
[1]               
Anthony Giddens, Sociology,
7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2013), 20–22.
[2]               
Martha C. Nussbaum, Not for Profit:
Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press,
2010), 27–30.
[3]               
Wilhelm Dilthey, Introduction to
the Human Sciences, trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State
University Press, 1988), 85–87.
[4]               
Clifford Geertz, The Interpretation
of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 9–10.
[5]               
Jürgen Habermas, Knowledge and
Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971),
301–305.
3.          
Sejarah
Perkembangan Ilmu Sosial dan Humaniora
Perkembangan ilmu sosial dan humaniora tidak dapat
dilepaskan dari dinamika sejarah peradaban manusia yang senantiasa berusaha
memahami dirinya sendiri, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari
masyarakat. Secara historis, humaniora memiliki akar lebih tua, berawal
dari tradisi Yunani dan Romawi kuno. Pada masa itu, filsafat, retorika,
sejarah, dan seni dianggap sebagai studia humanitatis, yakni disiplin
yang membentuk manusia beradab dan berbudaya.¹ Humaniora berfungsi sebagai
sarana pembinaan moral dan intelektual, yang menekankan pengembangan
kebijaksanaan dan kebajikan. Warisan klasik ini kemudian diteruskan pada masa
Renaisans Eropa (abad ke-14–16), ketika muncul kembali semangat untuk
menempatkan manusia sebagai pusat pemikiran dan kebudayaan.²
Sementara itu, ilmu sosial mulai berkembang
secara sistematis pada era modern, khususnya sejak abad ke-18 hingga ke-19,
seiring munculnya Revolusi Ilmiah, Pencerahan, dan Revolusi Industri. Auguste
Comte, yang dikenal sebagai “bapak sosiologi,” memperkenalkan gagasan
tentang sosiologi sebagai ilmu positif yang berfungsi menemukan hukum-hukum
sosial layaknya ilmu alam.³ Tokoh lain seperti Karl Marx, Émile Durkheim, dan
Max Weber memberikan fondasi kritis dengan menekankan pentingnya memahami
struktur sosial, konflik kelas, agama, dan makna subjektif dalam kehidupan
sosial.⁴ Dengan demikian, ilmu sosial modern lahir sebagai respons intelektual
terhadap perubahan besar yang melanda masyarakat Eropa pada masa
industrialisasi, urbanisasi, dan ekspansi kapitalisme.
Pada abad ke-20, perkembangan ilmu sosial dan
humaniora mengalami diferensiasi dan spesialisasi yang semakin kompleks. Ilmu
sosial berkembang dalam berbagai cabang seperti ilmu politik, antropologi,
ekonomi, dan psikologi sosial, sedangkan humaniora menegaskan diri dalam kajian
sejarah, filsafat, bahasa, sastra, dan seni.⁵ Namun, meskipun semakin
terfragmentasi, keduanya tetap memiliki kesamaan tujuan, yaitu memahami manusia
dalam seluruh dimensi kehidupannya. Pada periode yang sama, muncul pula
aliran-aliran kritis seperti teori Frankfurt, poststrukturalisme, dan
poskolonialisme yang menekankan perlunya refleksi terhadap dominasi ideologi,
relasi kuasa, dan konstruksi makna dalam kehidupan sosial-budaya.⁶
Dalam konteks Indonesia, ilmu sosial dan humaniora
berkembang pesat setelah masa kolonial, terutama sejak berdirinya
universitas-universitas nasional pasca-kemerdekaan. Kajian ilmu sosial
digunakan untuk memahami struktur sosial masyarakat majemuk, pembangunan
ekonomi, dan dinamika politik, sementara humaniora menekankan studi tentang
kebudayaan lokal, sejarah, serta filsafat ketimuran.⁷ Tantangan globalisasi
pada era kontemporer kemudian memperluas peran keduanya: ilmu sosial memberikan
analisis kritis terhadap perubahan struktur sosial dan ekonomi global,
sedangkan humaniora berperan menjaga identitas, nilai, dan warisan budaya
bangsa.
Dengan demikian, sejarah perkembangan ilmu sosial dan
humaniora memperlihatkan perjalanan panjang yang saling bersinggungan. Dari
akar klasik hingga modern, dari tradisi Barat hingga konteks lokal Indonesia,
keduanya terus berevolusi sebagai refleksi atas kompleksitas pengalaman
manusia. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu sosial dan humaniora bukanlah bidang
yang statis, melainkan dinamis, selalu menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, sekaligus menawarkan kritik dan alternatif bagi masa depan umat manusia.
Footnotes
[1]               
Paul Oskar Kristeller, Renaissance
Thought and Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 22–25.
[2]               
Eugenio Garin, Italian Humanism:
Philosophy and Civic Life in the Renaissance (Oxford: Blackwell, 1965),
14–16.
[3]               
Auguste Comte, The Positive
Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell
and Sons, 1896), 5–7.
[4]               
Anthony Giddens, Capitalism and
Modern Social Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 17–20.
[5]               
Immanuel Wallerstein, The Social
Sciences in the Twentieth Century (Berkeley: University of California
Press, 1991), 9–12.
[6]               
Max Horkheimer and Theodor W.
Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford:
Stanford University Press, 2002), xiii–xv.
[7]               
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 3–6.
4.          
Paradigma
dan Pendekatan Keilmuan
Paradigma dalam ilmu sosial dan humaniora merujuk pada
kerangka konseptual yang menjadi landasan cara pandang, pemilihan metode, dan
interpretasi terhadap fenomena manusia maupun masyarakat. Thomas Kuhn dalam
karyanya The Structure of Scientific Revolutions menjelaskan bahwa
paradigma merupakan seperangkat keyakinan dan praktik yang membentuk komunitas
ilmiah dalam memahami realitas.¹ Dalam konteks ilmu sosial dan humaniora,
paradigma-paradigma tersebut berkembang beragam, dipengaruhi oleh tradisi
epistemologis, ontologis, dan metodologis yang berbeda.
Paradigma positivistik menekankan pada
pencarian hukum-hukum universal dengan menggunakan pendekatan empiris,
kuantitatif, dan terukur. Dalam paradigma ini, fenomena sosial diperlakukan
serupa dengan fenomena alam yang tunduk pada hukum sebab-akibat.² Contohnya
adalah penelitian sosiologi klasik Durkheim yang berusaha menjelaskan fenomena
bunuh diri melalui data statistik.³ Meskipun demikian, pendekatan ini sering
dikritik karena mengabaikan makna subjektif dan konteks budaya yang melekat
dalam tindakan sosial.
Sebagai reaksi terhadap positivisme, lahirlah
paradigma interpretatif yang berakar pada hermeneutika, fenomenologi,
dan tradisi Verstehen dari Max Weber. Paradigma ini menekankan pentingnya
memahami makna, simbol, serta pengalaman subjektif individu dalam kehidupan
sosial.⁴ Peneliti interpretatif berusaha menafsirkan realitas sosial dari sudut
pandang pelaku, bukan sekadar mengukur variabel yang tampak di permukaan.
Clifford Geertz, misalnya, menekankan pentingnya thick description dalam
antropologi budaya untuk mengungkap makna yang tersembunyi di balik praktik
sosial.⁵
Selain itu, muncul pula paradigma kritis yang
dipengaruhi oleh tradisi Marxian dan teori Frankfurt. Paradigma ini berupaya
membongkar relasi kuasa, ideologi, serta dominasi yang melandasi struktur
sosial. Bagi teori kritis, ilmu bukanlah sekadar alat untuk menjelaskan atau
memahami, tetapi juga untuk membebaskan manusia dari penindasan struktural.⁶
Misalnya, analisis Habermas mengenai komunikasi menyoroti bagaimana
rasionalitas instrumental dapat menghambat tercapainya dialog yang bebas dari
distorsi kekuasaan.⁷
Dalam perkembangan mutakhir, terjadi pula pergeseran
menuju paradigma postmodern dan poststrukturalis yang menolak klaim
kebenaran tunggal. Paradigma ini melihat realitas sosial sebagai konstruksi
yang plural, relatif, dan dipengaruhi oleh wacana serta representasi.⁸
Pendekatan ini melahirkan metode interdisipliner, seperti studi gender,
poskolonial, hingga cultural studies, yang berfokus pada dekonstruksi narasi
dominan dan pengakuan atas keragaman identitas.
Dari sisi metodologis, ketiga paradigma utama tersebut
menghasilkan beragam pendekatan penelitian. Positivisme cenderung menggunakan
survei, eksperimen, dan analisis statistik; interpretatif mengandalkan
wawancara mendalam, observasi partisipan, serta analisis teks; sementara
paradigma kritis dan postmodern menekankan analisis wacana, kritik ideologi,
serta etnografi refleksif. Keseluruhan pendekatan ini menunjukkan bahwa ilmu
sosial dan humaniora tidak bersifat monolitik, melainkan plural dan dinamis,
sehingga membuka peluang untuk kolaborasi multidisipliner, interdisipliner,
hingga transdisipliner.
Dengan demikian, pemahaman tentang paradigma dan
pendekatan keilmuan menjadi kunci bagi peneliti untuk menentukan kerangka
berpikir, memilih metode, serta menafsirkan hasil kajian. Perbedaan paradigma
tidak harus dipandang sebagai pertentangan mutlak, melainkan sebagai keragaman
epistemologis yang memperkaya wawasan dalam memahami kompleksitas manusia dan
masyarakat.
Footnotes
[1]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press,
1970), 10–11.
[2]               
Auguste Comte, The Positive
Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell
and Sons, 1896), 4–6.
[3]               
Émile Durkheim, Suicide: A Study in
Sociology, trans. John A. Spaulding and George Simpson (Glencoe, IL: Free
Press, 1951), 45–48.
[4]               
Max Weber, Economy and Society:
An Outline of Interpretive Sociology, trans. Ephraim Fischoff et al.
(Berkeley: University of California Press, 1978), 3–6.
[5]               
Clifford Geertz, The
Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 6–7.
[6]               
Max Horkheimer, “Traditional and
Critical Theory,” in Critical Theory: Selected Essays, trans. Matthew J.
O’Connell (New York: Continuum, 1982), 188–243.
[7]               
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press,
1984), 285–288.
[8]               
Michel Foucault, The Archaeology
of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972),
167–170.
5.          
Metodologi
Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Humaniora
Metodologi
penelitian dalam ilmu sosial dan humaniora mencerminkan keragaman paradigma,
pendekatan, dan teknik yang digunakan untuk memahami manusia dan masyarakat.
Sebagai dua rumpun ilmu yang sama-sama berfokus pada manusia, keduanya memiliki
tradisi metodologis yang berbeda namun saling melengkapi. Ilmu sosial cenderung
mengedepankan pendekatan empiris-analitis dengan penekanan pada keterukuran,
sementara humaniora lebih menekankan pada interpretasi, refleksi, dan pemaknaan
terhadap teks, simbol, maupun pengalaman manusia.¹
5.1.       Metodologi dalam Ilmu Sosial
Metode penelitian
ilmu sosial berakar pada positivisme yang menekankan pentingnya observasi
empiris, pengukuran, serta generalisasi hukum sosial. Teknik penelitian
kuantitatif seperti survei, kuesioner, eksperimen, dan analisis
statistik digunakan untuk menguji hipotesis dan menemukan pola
dalam perilaku sosial.² Penelitian semacam ini, misalnya, digunakan untuk
memahami pola partisipasi politik, perilaku konsumen, atau dinamika kelas sosial.
Selain metode kuantitatif, berkembang pula metode kualitatif seperti observasi
partisipan, wawancara mendalam, studi kasus, dan etnografi.³
Metode kualitatif berusaha menangkap makna subjektif dari pengalaman sosial,
yang sering kali tidak dapat direduksi menjadi angka-angka.
5.2.       Metodologi dalam Humaniora
Berbeda dari ilmu
sosial, humaniora lebih menekankan pada penafsiran teks, simbol, dan praktik budaya.
Hermeneutika, misalnya, digunakan untuk menafsirkan karya sastra, teks agama,
maupun dokumen sejarah dengan menggali makna di balik struktur bahasa.⁴ Metode filologi
berfokus pada kritik teks untuk menelusuri sejarah naskah, sementara pendekatan
fenomenologi
digunakan untuk memahami pengalaman kesadaran manusia secara mendalam. Selain
itu, metode analisis wacana dan kritik budaya
banyak digunakan dalam kajian kontemporer untuk membongkar konstruksi makna,
relasi kuasa, dan ideologi dalam teks maupun praktik budaya.⁵
5.3.       Validitas, Reliabilitas, dan Etika
Dalam penelitian
ilmu sosial, konsep validitas dan reliabilitas
menjadi standar utama untuk memastikan bahwa data yang diperoleh sahih dan
dapat dipertanggungjawabkan. Validitas menyangkut sejauh mana instrumen
mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur, sedangkan reliabilitas berkaitan
dengan konsistensi hasil pengukuran.⁶ Sementara dalam humaniora, ukuran
keabsahan penelitian lebih bersifat interpretatif, yakni sejauh mana penafsiran
dapat dipertanggungjawabkan secara logis, argumentatif, dan kontekstual.
Keabsahan dalam humaniora juga melibatkan plausibilitas interpretasi,
koherensi argumentasi, serta kedalaman refleksi filosofis.⁷
Etika penelitian
juga merupakan dimensi krusial. Dalam ilmu sosial, peneliti wajib menjaga
kerahasiaan responden, memperoleh persetujuan partisipan, serta menghindari
manipulasi data. Dalam humaniora, peneliti dihadapkan pada tanggung jawab untuk
tidak memanipulasi makna teks atau konteks budaya, serta menjaga sensitivitas
terhadap nilai dan tradisi yang dikaji.⁸
5.4.       Tantangan Metodologis
Baik ilmu sosial
maupun humaniora menghadapi tantangan metodologis yang signifikan. Ilmu sosial
sering dikritik karena kecenderungannya mereduksi fenomena kompleks menjadi
variabel kuantitatif, sehingga mengabaikan makna subjektif. Sebaliknya,
humaniora dikritik karena dianggap terlalu subjektif dan kurang memiliki
standar objektif dalam menilai hasil penelitian.⁹ Tantangan ini mendorong
munculnya pendekatan interdisipliner dan mixed
methods, yang menggabungkan kekuatan analisis kuantitatif dan
kedalaman interpretasi kualitatif. Dengan cara ini, penelitian dapat
menghasilkan gambaran yang lebih komprehensif mengenai realitas sosial-budaya.
Dengan demikian,
metodologi penelitian dalam ilmu sosial dan humaniora mencerminkan dialektika
antara objektivitas dan interpretasi, antara pengukuran empiris dan pemaknaan
simbolik. Keanekaragaman metodologis ini justru menjadi kekuatan utama, karena
memungkinkan peneliti untuk menjawab berbagai persoalan manusia dengan
perspektif yang kaya, kritis, dan reflektif.
Footnotes
[1]               
Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, The Sage Handbook of
Qualitative Research, 5th ed. (Thousand Oaks, CA: Sage, 2018), 3–5.
[2]               
Earl Babbie, The Practice of Social Research, 15th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2021), 114–116.
[3]               
John W. Creswell and J. David Creswell, Research Design:
Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 5th ed. (Thousand
Oaks, CA: Sage, 2018), 217–220.
[4]               
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 299–302.
[5]               
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 110–113.
[6]               
Rensis Likert, “A Technique for the Measurement of Attitudes,” Archives
of Psychology 22, no. 140 (1932): 5–6.
[7]               
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 45–47.
[8]               
American Anthropological Association, Principles of Professional
Responsibility (Washington, DC: AAA, 2012), 2–3.
[9]               
Immanuel Wallerstein, Open the Social Sciences: Report of the
Gulbenkian Commission on the Restructuring of the Social Sciences
(Stanford: Stanford University Press, 1996), 35–38.
6.          
Tema-Tema
Sentral dalam Ilmu Sosial dan Humaniora
Ilmu sosial dan
humaniora memiliki sejumlah tema sentral yang senantiasa menjadi fokus kajian
dalam upaya memahami manusia, masyarakat, dan kebudayaan. Tema-tema ini
berkembang sesuai dengan dinamika sejarah, perubahan sosial, serta tantangan
global kontemporer. Beberapa di antaranya bersifat universal dan fundamental, sementara
yang lain muncul sebagai respons terhadap perkembangan zaman.
6.1.       Manusia sebagai Individu dan Makhluk Sosial
Tema pertama adalah
pemahaman tentang manusia sebagai makhluk yang memiliki dua dimensi:
individualitas dan sosialitas. Ilmu sosial menekankan bagaimana perilaku
individu dipengaruhi oleh norma, nilai, dan struktur sosial, sementara
humaniora berfokus pada makna eksistensial dan pengalaman subjektif manusia.¹
Pemikiran Aristoteles mengenai manusia sebagai zoon politikon menegaskan bahwa
manusia hanya dapat mencapai potensinya dalam kehidupan bersama.²
6.2.       Kebudayaan, Bahasa, dan Simbol
Kebudayaan merupakan
salah satu tema utama dalam ilmu sosial dan humaniora. Clifford Geertz
memandang kebudayaan sebagai sistem makna simbolik yang diturunkan melalui
bahasa dan praktik sosial.³ Humaniora memperkuat tema ini dengan menekankan
interpretasi atas teks, narasi, dan seni sebagai ekspresi kebudayaan. Bahasa
tidak hanya dilihat sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai sarana
pembentukan identitas dan realitas sosial.⁴
6.3.       Kekuasaan, Struktur Sosial, dan Ketidaksetaraan
Tema berikutnya
adalah analisis terhadap kekuasaan dan struktur sosial. Dalam tradisi
sosiologi, Marx menekankan konflik kelas sebagai faktor penentu dinamika
sosial, sementara Weber menyoroti dimensi otoritas, birokrasi, dan status.⁵
Humaniora melengkapi perspektif ini melalui kritik budaya yang membongkar
bagaimana representasi, wacana, dan ideologi berperan dalam melanggengkan
dominasi.⁶ Tema ketidaksetaraan sosial ini tetap relevan dalam konteks modern,
terutama terkait isu gender, ras, dan globalisasi ekonomi.
6.4.       Modernitas, Globalisasi, dan Teknologi
Transformasi
masyarakat modern, globalisasi, serta perkembangan teknologi digital menjadi
tema penting dalam kajian sosial-humaniora. Anthony Giddens menggambarkan
modernitas sebagai proses institusional yang menciptakan keterputusan ruang dan
waktu serta memperluas sistem kepercayaan abstrak.⁷ Globalisasi, pada
gilirannya, menghasilkan interaksi lintas budaya, namun juga memicu homogenisasi
dan ketegangan identitas lokal. Humaniora menyoroti dimensi etis dan kultural
dari globalisasi serta dampak teknologi terhadap pengalaman manusia, misalnya
dalam konteks humaniora digital.⁸
6.5.       Identitas, Nilai, dan Agama
Tema lain yang tak
kalah penting adalah identitas, nilai, dan agama. Identitas personal maupun
kolektif terbentuk melalui interaksi sosial, konstruksi budaya, dan pengalaman
historis.⁹ Nilai-nilai moral dan etika menjadi pusat kajian filsafat dan agama,
sementara ilmu sosial berusaha memahami bagaimana nilai tersebut dilembagakan
dalam norma sosial. Agama, dalam hal ini, dipandang tidak hanya sebagai sistem
kepercayaan, tetapi juga sebagai institusi sosial dan sumber legitimasi
moral.¹⁰
Dengan demikian,
tema-tema sentral dalam ilmu sosial dan humaniora berfungsi sebagai pintu masuk
untuk memahami kompleksitas manusia dalam konteks individu maupun masyarakat.
Keseluruhan tema ini memperlihatkan bahwa ilmu sosial dan humaniora tidak hanya
menjelaskan realitas empiris, tetapi juga menafsirkan makna, nilai, dan simbol
yang membentuk kehidupan manusia.
Footnotes
[1]               
Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of
Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books,
1967), 33–36.
[2]               
Aristotle, The Politics, trans. Carnes Lord (Chicago:
University of Chicago Press, 1984), 1253a.
[3]               
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York:
Basic Books, 1973), 89–90.
[4]               
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed.
Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: McGraw-Hill,
1966), 65–67.
[5]               
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto
(London: Verso, 1998), 14–17.
[6]               
Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and
Signifying Practices (London: Sage, 1997), 15–18.
[7]               
Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Cambridge:
Polity Press, 1990), 21–24.
[8]               
N. Katherine Hayles, How We Think: Digital Media and Contemporary
Technogenesis (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 1–3.
[9]               
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 25–27.
[10]            
Émile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, trans.
Karen E. Fields (New York: Free Press, 1995), 42–44.
7.          
Relevansi
Ilmu Sosial dan Humaniora dalam Kehidupan Kontemporer
Ilmu sosial dan
humaniora memiliki relevansi yang semakin signifikan dalam menghadapi
kompleksitas kehidupan kontemporer. Perkembangan teknologi digital,
globalisasi, perubahan sosial, dan krisis multidimensi menuntut kehadiran
perspektif kritis serta reflektif untuk memahami realitas dan mencari solusi
yang berkelanjutan. Ilmu sosial berperan dalam menganalisis struktur dan
dinamika masyarakat, sedangkan humaniora menawarkan kerangka etis, filosofis,
dan kultural untuk menafsirkan makna di balik perubahan tersebut. Keduanya
saling melengkapi dalam memberikan landasan intelektual yang kokoh bagi
pembangunan peradaban.
7.1.       Kontribusi dalam Pembentukan Kebijakan Publik
Ilmu sosial berperan
penting dalam menghasilkan analisis berbasis data yang membantu perumusan
kebijakan publik. Survei sosial, studi ekonomi, maupun penelitian politik dapat
memberikan gambaran obyektif mengenai kondisi masyarakat.¹ Sementara itu,
humaniora menambahkan dimensi normatif dengan mengingatkan bahwa kebijakan
harus mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan keberagaman
budaya.² Dengan demikian, sinergi keduanya mampu mendorong lahirnya kebijakan
publik yang lebih inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.
7.2.       Peran dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter
Relevansi ilmu
sosial dan humaniora juga nyata dalam bidang pendidikan. Humaniora, melalui
filsafat, sastra, sejarah, dan seni, memperkuat kapasitas reflektif, imajinatif,
dan etis peserta didik.³ Sementara itu, ilmu sosial membantu membangun
kesadaran kritis terhadap struktur sosial, ketidaksetaraan, dan tantangan
global. Pendidikan berbasis sosial-humaniora dengan demikian tidak hanya
berorientasi pada penguasaan keterampilan teknis, tetapi juga pada pembentukan
karakter, empati, serta kepekaan sosial.⁴
7.3.       Dampak pada Seni, Sastra, dan Budaya Populer
Humaniora memberikan
kontribusi besar dalam memahami dinamika budaya populer, media, dan seni
kontemporer. Kajian sastra, film, musik, hingga media digital membuka ruang
interpretasi mengenai identitas, resistensi, dan transformasi sosial.⁵ Ilmu
sosial melengkapi analisis ini dengan melihat bagaimana budaya populer
dipengaruhi oleh struktur ekonomi-politik global dan proses globalisasi.⁶
Dengan demikian, keduanya membantu masyarakat untuk tidak hanya menikmati
produk budaya, tetapi juga memahami konteks sosial dan ideologi yang
melatarbelakanginya.
7.4.       Humaniora Digital dan Transformasi Teknologi
Era digital telah
melahirkan bidang baru yang dikenal sebagai digital humanities, yakni
penggunaan teknologi digital untuk meneliti, menginterpretasi, dan menyebarkan
pengetahuan dalam humaniora.⁷ Sementara itu, ilmu sosial memanfaatkan big data,
analitik jejaring sosial, dan metode kuantitatif untuk memahami interaksi
manusia di dunia maya.⁸ Relevansi keduanya dalam konteks ini terletak pada
kemampuan untuk menggabungkan refleksi kritis dengan analisis data, sehingga
fenomena digital dapat dipahami secara lebih menyeluruh—baik dari sisi teknis
maupun kultural.
7.5.       Tanggapan terhadap Krisis Global
Krisis kontemporer
seperti perubahan iklim, pandemi, dan ketidaksetaraan global memperlihatkan
urgensi ilmu sosial dan humaniora. Ilmu sosial dapat menganalisis dampak
kebijakan kesehatan, distribusi sumber daya, serta dinamika solidaritas sosial.
Humaniora, di sisi lain, menawarkan perspektif etis dan eksistensial mengenai
makna penderitaan, solidaritas, dan tanggung jawab manusia terhadap sesama dan
alam.⁹ Kombinasi keduanya membantu membangun narasi alternatif yang menekankan
keberlanjutan, keadilan sosial, serta kesadaran ekologis.
Dengan demikian,
relevansi ilmu sosial dan humaniora dalam kehidupan kontemporer tidak dapat
dipandang sebelah mata. Keduanya berfungsi sebagai pilar penting dalam membangun
masyarakat yang lebih adil, reflektif, inklusif, dan tanggap terhadap perubahan
zaman. Integrasi analisis empiris ilmu sosial dan refleksi humaniora menawarkan
pendekatan komprehensif untuk menghadapi tantangan global, sekaligus meneguhkan
nilai-nilai kemanusiaan dalam dunia yang semakin kompleks.
Footnotes
[1]               
Earl Babbie, The Practice of Social Research, 15th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2021), 23–25.
[2]               
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 45–47.
[3]               
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–75.
[4]               
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury,
2011), 33–36.
[5]               
Raymond Williams, Culture and Society: 1780–1950 (New York:
Columbia University Press, 1983), 256–258.
[6]               
Stuart Hall, Cultural Studies 1983: A Theoretical History, ed.
Jennifer Daryl Slack and Lawrence Grossberg (Durham: Duke University Press,
2016), 145–148.
[7]               
N. Katherine Hayles, How We Think: Digital Media and Contemporary
Technogenesis (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 25–28.
[8]               
Matthew A. Russell, Mining the Social Web, 3rd ed.
(Sebastopol, CA: O’Reilly Media, 2019), 10–12.
[9]               
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic
Regime, trans. Catherine Porter (Cambridge: Polity Press, 2017), 15–18.
8.          
Tantangan
dan Kritik terhadap Ilmu Sosial dan Humaniora
Ilmu sosial dan
humaniora, meskipun memiliki peran penting dalam membangun pemahaman tentang
manusia dan masyarakat, tidak lepas dari berbagai tantangan dan kritik. Kritik
ini muncul baik dari dalam ranah akademik maupun dari luar, terutama terkait
relevansi, metodologi, dan kontribusinya dalam menghadapi persoalan
kontemporer.
8.1.       Kritik terhadap Relevansi Praktis
Salah satu kritik
utama terhadap ilmu sosial dan humaniora adalah anggapan bahwa keduanya kurang
memberikan kontribusi praktis dibandingkan ilmu alam atau teknologi. Dalam
konteks pembangunan ekonomi dan inovasi teknologi, ilmu sosial dan humaniora
kerap dianggap tidak produktif secara material.¹ Akibatnya, bidang ini sering
kali terpinggirkan dalam alokasi sumber daya riset. Kritik ini diperkuat oleh
pandangan utilitarian yang lebih menekankan hasil yang dapat diukur secara
langsung.²
8.2.       Persaingan dengan Ilmu Eksakta dan Teknologi
Tantangan lain
datang dari dominasi ilmu eksakta dan teknologi yang semakin menguasai arah
perkembangan peradaban modern. Revolusi digital, big data, dan kecerdasan
buatan, misalnya, menimbulkan pertanyaan tentang apakah ilmu sosial dan
humaniora masih relevan.³ Banyak kalangan menilai bahwa keduanya tertinggal
dalam memberikan solusi cepat dan konkret terhadap persoalan global, padahal
realitas sosial tidak semata-mata dapat diselesaikan dengan pendekatan teknis.
8.3.       Masalah Metodologis
Secara metodologis,
ilmu sosial dan humaniora menghadapi kritik terkait objektivitas,
generalisasi, dan validitas. Ilmu sosial, khususnya, sering
dianggap terjebak dalam positivisme yang mereduksi fenomena kompleks menjadi
variabel statistik, sehingga kehilangan makna subjektif.⁴ Sebaliknya, humaniora
dikritik karena terlalu subjektif, interpretatif, dan sulit diverifikasi.⁵ Hal
ini menimbulkan ketegangan epistemologis mengenai apakah keduanya dapat
memberikan pengetahuan yang sahih dan dapat diandalkan.
8.4.       Tantangan Globalisasi dan Homogenisasi Budaya
Globalisasi
menghadirkan dilema bagi ilmu sosial dan humaniora. Di satu sisi, ia membuka
ruang pertukaran gagasan dan kolaborasi lintas budaya. Di sisi lain,
globalisasi memunculkan homogenisasi budaya yang mengancam identitas lokal.⁶
Kritik diarahkan pada ilmu sosial dan humaniora yang dianggap kurang tanggap
dalam menghadapi arus kapitalisme global serta dominasi wacana Barat atas
pengetahuan. Hal ini menimbulkan seruan untuk melakukan dekolonisasi
pengetahuan dan mengembangkan perspektif yang lebih inklusif.⁷
8.5.       Pendanaan dan Apresiasi terhadap Penelitian
Kritik lain
menyangkut rendahnya dukungan finansial terhadap penelitian di bidang ilmu
sosial dan humaniora. Banyak pemerintah dan lembaga donor lebih memprioritaskan
riset di bidang sains dan teknologi karena dianggap lebih menguntungkan secara
ekonomi.⁸ Akibatnya, penelitian sosial dan humaniora sering mengalami
keterbatasan sumber daya, yang berdampak pada kualitas dan inovasi riset.
8.6.       Tantangan Etika dan Ideologi
Ilmu sosial dan
humaniora juga menghadapi kritik mengenai bias ideologi dan etika penelitian.
Peneliti sering dituduh membawa kepentingan politik tertentu dalam analisis
sosial atau interpretasi budaya.⁹ Hal ini memunculkan pertanyaan tentang
independensi akademik serta tanggung jawab etis dalam penelitian. Dalam konteks
ini, teori kritis menekankan perlunya refleksi diri (self-reflexivity) agar
ilmu tidak menjadi instrumen legitimasi kekuasaan.¹⁰
Dengan demikian,
tantangan dan kritik terhadap ilmu sosial dan humaniora memperlihatkan adanya
ketegangan antara relevansi praktis, metodologi, serta posisi keduanya dalam
percaturan global ilmu pengetahuan. Alih-alih melemahkan, kritik-kritik ini
justru dapat dijadikan momentum untuk merevitalisasi peran ilmu sosial dan
humaniora. Dengan memperkuat refleksi kritis, memperluas kolaborasi
interdisipliner, serta menegaskan komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan,
keduanya dapat tetap relevan dalam menghadapi kompleksitas zaman modern.
Footnotes
[1]               
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 5–7.
[2]               
Stefan Collini, What Are Universities For? (London: Penguin,
2012), 45–48.
[3]               
Chris Anderson, “The End of Theory: The Data Deluge Makes the
Scientific Method Obsolete,” Wired Magazine 16, no. 7 (2008): 1–3.
[4]               
Émile Durkheim, The Rules of Sociological Method, trans. W. D.
Halls (New York: Free Press, 1982), 31–34.
[5]               
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 41–44.
[6]               
Anthony Giddens, Runaway World: How Globalisation Is Reshaping Our
Lives (London: Profile Books, 1999), 10–13.
[7]               
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 55–57.
[8]               
Immanuel Wallerstein, Open the Social Sciences: Report of the
Gulbenkian Commission on the Restructuring of the Social Sciences
(Stanford: Stanford University Press, 1996), 27–29.
[9]               
Pierre Bourdieu, Homo Academicus, trans. Peter Collier
(Stanford: Stanford University Press, 1988), 76–78.
[10]            
Max Horkheimer, “Traditional and Critical Theory,” in Critical
Theory: Selected Essays, trans. Matthew J. O’Connell (New York: Continuum,
1982), 199–202.
9.          
Prospek
dan Inovasi Masa Depan
Ilmu sosial dan
humaniora menghadapi masa depan yang penuh tantangan sekaligus peluang untuk
berinovasi. Dalam konteks dunia yang semakin kompleks, global, dan
terdigitalisasi, prospek kedua bidang ini terletak pada kemampuannya untuk
menafsirkan perubahan sosial, menawarkan refleksi kritis, serta menghadirkan
kerangka etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Alih-alih
terpinggirkan oleh dominasi sains alam dan teknologi, ilmu sosial dan humaniora
justru dapat memperluas relevansinya melalui inovasi interdisipliner dan
kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.
9.1.       Integrasi Ilmu Sosial, Humaniora, dan Ilmu Alam
Salah satu prospek
penting adalah semakin menguatnya integrasi antara ilmu sosial, humaniora, dan
ilmu alam. Tantangan global seperti krisis iklim, kesehatan masyarakat, dan
transformasi digital tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan teknis.¹
Ilmu sosial memberikan analisis mengenai struktur sosial dan dinamika politik,
sementara humaniora menawarkan refleksi etis dan historis. Kolaborasi dengan
ilmu alam memungkinkan solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan,
misalnya dalam kebijakan energi terbarukan atau manajemen bencana berbasis
komunitas.²
9.2.       Pemanfaatan Teknologi Digital dan Big Data
Era digital membuka
peluang baru bagi penelitian sosial-humaniora melalui pemanfaatan big data,
analisis jejaring sosial, serta kecerdasan buatan.³ Metode ini dapat memperkaya
pemahaman tentang pola interaksi manusia, dinamika opini publik, hingga
pergeseran budaya global. Di sisi lain, humaniora digital (digital
humanities) memungkinkan eksplorasi baru terhadap teks, arsip, dan
seni dengan memanfaatkan teknologi digital.⁴ Inovasi ini tidak hanya
meningkatkan kapasitas penelitian, tetapi juga memperluas jangkauan diseminasi
ilmu melalui platform daring yang lebih inklusif.
9.3.       Kontribusi terhadap Pembangunan Berkelanjutan
Agenda pembangunan
berkelanjutan (Sustainable Development Goals –
SDGs) menuntut keterlibatan aktif ilmu sosial dan humaniora. Bidang ini dapat
memberikan kontribusi dalam memahami dimensi sosial dari kemiskinan,
ketidaksetaraan, pendidikan, serta keadilan gender.⁵ Selain itu, humaniora
berperan dalam menumbuhkan kesadaran ekologis dan etika lingkungan, yang
penting dalam menghadapi krisis iklim. Dengan demikian, prospek masa depan ilmu
sosial dan humaniora erat kaitannya dengan kemampuan untuk mengintegrasikan
ilmu dengan kebutuhan sosial dan ekologis.
9.4.       Hibridisasi Metodologi dan Pendekatan
Masa depan ilmu
sosial dan humaniora juga ditandai oleh berkembangnya pendekatan hibrid yang memadukan
metode kuantitatif, kualitatif, dan interpretatif. Pendekatan mixed
methods menjadi semakin penting untuk menangkap kompleksitas
realitas sosial.⁶ Selain itu, refleksivitas peneliti dan kolaborasi lintas
disiplin memperkuat keabsahan sekaligus memperluas perspektif dalam penelitian.
Dengan cara ini, penelitian sosial-humaniora dapat menghasilkan pemahaman yang
lebih mendalam dan relevan dengan tantangan kontemporer.
9.5.       Dialog Antar-Disiplin dan Globalisasi Pengetahuan
Prospek lain yang
tidak kalah penting adalah terbukanya dialog antar-disiplin dan antar-budaya
dalam produksi pengetahuan. Ilmu sosial dan humaniora masa depan dituntut untuk
melampaui dominasi wacana Barat dengan mengintegrasikan perspektif lokal,
tradisional, dan poskolonial.⁷ Hal ini akan memperkaya khazanah pengetahuan
global dan menghadirkan narasi yang lebih inklusif.
Dengan demikian,
prospek dan inovasi masa depan ilmu sosial dan humaniora terletak pada
kemampuannya untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman, berkolaborasi dengan
disiplin lain, serta tetap berkomitmen pada nilai kemanusiaan. Kekuatan
refleksi kritis dan kreativitas intelektual yang dimiliki bidang ini
menjadikannya relevan untuk menjawab persoalan abad ke-21 sekaligus membangun
peradaban yang lebih adil, berkelanjutan, dan manusiawi.
Footnotes
[1]               
Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine
Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 5–7.
[2]               
Sheila Jasanoff, Designs on Nature: Science and Democracy in Europe
and the United States (Princeton: Princeton University Press, 2005),
11–13.
[3]               
Rob Kitchin, The Data Revolution: Big Data, Open Data, Data
Infrastructures and Their Consequences (London: Sage, 2014), 25–28.
[4]               
N. Katherine Hayles, How We Think: Digital Media and Contemporary
Technogenesis (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 67–70.
[5]               
Jeffrey D. Sachs, The Age of Sustainable Development (New
York: Columbia University Press, 2015), 45–47.
[6]               
John W. Creswell and Vicki L. Plano Clark, Designing and Conducting
Mixed Methods Research, 3rd ed. (Thousand Oaks, CA: Sage, 2018), 55–57.
[7]               
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011),
101–103.
10.       Kesimpulan
Ilmu sosial dan humaniora merupakan dua bidang kajian
yang memiliki peran vital dalam memahami kompleksitas manusia, masyarakat, dan
kebudayaan. Keduanya berakar pada tradisi intelektual yang berbeda, namun
saling melengkapi: ilmu sosial dengan kecenderungannya pada analisis empiris
dan sistematis, sedangkan humaniora dengan fokus pada interpretasi makna,
nilai, serta refleksi filosofis.¹ Integrasi keduanya memungkinkan pemahaman
yang lebih komprehensif, baik dalam menjelaskan struktur sosial maupun dalam menafsirkan
dimensi simbolik dan eksistensial kehidupan manusia.
Sejarah perkembangan ilmu sosial dan humaniora
memperlihatkan dinamika yang terus berubah mengikuti konteks zaman. Dari
warisan klasik filsafat dan studia humanitatis pada masa Yunani dan
Renaisans, hingga lahirnya sosiologi, antropologi, dan cabang ilmu sosial
lainnya pada era modern, kedua bidang ini telah menjadi fondasi penting dalam
membangun kesadaran kritis masyarakat.² Dalam perkembangannya, paradigma
positivistik, interpretatif, kritis, hingga postmodern menghadirkan keragaman
epistemologis yang memperkaya pendekatan penelitian.³
Relevansi ilmu sosial dan humaniora di era kontemporer
sangat nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Keduanya berkontribusi dalam
perumusan kebijakan publik yang inklusif, penguatan pendidikan berbasis
karakter, analisis terhadap budaya populer, hingga pemanfaatan teknologi
digital dan big data untuk memahami fenomena sosial.⁴ Bahkan, di tengah
krisis global seperti perubahan iklim, pandemi, dan ketidaksetaraan sosial,
ilmu sosial dan humaniora mampu menghadirkan perspektif etis dan reflektif yang
menekankan keberlanjutan, solidaritas, dan keadilan.⁵
Meski demikian, tidak dapat diabaikan bahwa ilmu
sosial dan humaniora menghadapi tantangan serius berupa kritik atas relevansi
praktis, keterbatasan metodologis, serta persaingan dengan sains dan teknologi.
Namun, justru dari tantangan inilah muncul peluang untuk berinovasi, seperti
pengembangan humaniora digital, pendekatan interdisipliner, hingga dekolonisasi
pengetahuan yang membuka ruang bagi perspektif lokal dan global secara lebih
seimbang.⁶
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa prospek ilmu
sosial dan humaniora tetap cerah, asalkan mampu beradaptasi dengan perkembangan
zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Relevansi keduanya tidak hanya terletak
pada kemampuan menjelaskan realitas, tetapi juga pada kekuatan refleksi kritis,
penanaman nilai kemanusiaan, serta perumusan visi etis bagi peradaban. Seperti
ditegaskan Nussbaum, keberadaan humaniora dan ilmu sosial menjadi penopang
utama bagi demokrasi, kemanusiaan, dan kehidupan yang bermartabat.⁷ Oleh karena
itu, memperkuat penelitian, pendidikan, dan kebijakan berbasis sosial-humaniora
merupakan langkah strategis untuk membangun masyarakat yang adil, reflektif,
dan berkeadaban di abad ke-21.
Footnotes
[1]               
Clifford Geertz, The
Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–7.
[2]               
Paul Oskar Kristeller, Renaissance
Thought and Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 22–25.
[3]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press,
1970), 10–11.
[4]               
N. Katherine Hayles, How We
Think: Digital Media and Contemporary Technogenesis (Chicago: University of
Chicago Press, 2012), 25–28.
[5]               
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight
Lectures on the New Climatic Regime, trans. Catherine Porter (Cambridge:
Polity Press, 2017), 15–18.
[6]               
Walter D. Mignolo, The Darker
Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke
University Press, 2011), 55–57.
[7]               
Martha C. Nussbaum, Not for
Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University
Press, 2010), 1–3.
Daftar Pustaka
Anderson, C. (2008). The end of theory: The data deluge
makes the scientific method obsolete. Wired Magazine, 16(7), 1–3.
Aristotle. (1984). The politics (C. Lord,
Trans.). University of Chicago Press.
Babbie, E. (2021). The practice of social research
(15th ed.). Cengage Learning.
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1967). The
social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge.
Anchor Books.
Bourdieu, P. (1988). Homo academicus (P.
Collier, Trans.). Stanford University Press.
Collini, S. (2012). What are universities for?
Penguin.
Comte, A. (1896). The positive philosophy of
Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). George Bell and Sons.
Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2018). Research
design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches (5th ed.).
Sage.
Creswell, J. W., & Plano Clark, V. L. (2018). Designing
and conducting mixed methods research (3rd ed.). Sage.
Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (Eds.). (2018). The
Sage handbook of qualitative research (5th ed.). Sage.
Dilthey, W. (1988). Introduction to the human
sciences (R. J. Betanzos, Trans.). Wayne State University Press.
Durkheim, É. (1951). Suicide: A study in sociology
(J. A. Spaulding & G. Simpson, Trans.). Free Press.
Durkheim, É. (1982). The rules of sociological method
(W. D. Halls, Trans.). Free Press.
Durkheim, É. (1995). The elementary forms of
religious life (K. E. Fields, Trans.). Free Press.
Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge
(A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd
rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Garin, E. (1965). Italian humanism: Philosophy and
civic life in the Renaissance. Blackwell.
Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures.
Basic Books.
Giddens, A. (1971). Capitalism and modern social
theory. Cambridge University Press.
Giddens, A. (1990). The consequences of modernity.
Polity Press.
Giddens, A. (1999). Runaway world: How
globalisation is reshaping our lives. Profile Books.
Giddens, A. (2013). Sociology (7th ed.). Polity
Press.
Giroux, H. A. (2011). On critical pedagogy.
Bloomsbury.
Hall, S. (1997). Representation: Cultural
representations and signifying practices. Sage.
Hall, S. (2016). Cultural studies 1983: A
theoretical history (J. D. Slack & L. Grossberg, Eds.). Duke University
Press.
Hayles, N. K. (2012). How we think: Digital media
and contemporary technogenesis. University of Chicago Press.
Horkheimer, M. (1982). Traditional and critical
theory. In Critical theory: Selected essays (M. J. O’Connell, Trans.,
pp. 188–243). Continuum.
Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic
of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.
Jasanoff, S. (2005). Designs on nature: Science and
democracy in Europe and the United States. Princeton University Press.
Kitchin, R. (2014). The data revolution: Big data,
open data, data infrastructures and their consequences. Sage.
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar ilmu
antropologi. Rineka Cipta.
Kristeller, P. O. (1979). Renaissance thought and
its sources. Columbia University Press.
Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific
revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.
Latour, B. (1993). We have never been modern
(C. Porter, Trans.). Harvard University Press.
Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures on
the new climatic regime (C. Porter, Trans.). Polity Press.
Likert, R. (1932). A technique for the measurement of
attitudes. Archives of Psychology, 22(140), 1–55.
Marx, K., & Engels, F. (1998). The communist
manifesto. Verso.
Mignolo, W. D. (2011). The darker side of Western
modernity: Global futures, decolonial options. Duke University Press.
Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why
democracy needs the humanities. Princeton University Press.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.
Russell, M. A. (2019). Mining the social web
(3rd ed.). O’Reilly Media.
Sachs, J. D. (2015). The age of sustainable
development. Columbia University Press.
Saussure, F. de. (1966). Course in general
linguistics (C. Bally & A. Sechehaye, Eds.; W. Baskin, Trans.).
McGraw-Hill.
Said, E. W. (2004). Humanism and democratic
criticism. Columbia University Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making
of the modern identity. Harvard University Press.
Wallerstein, I. (1991). The social sciences in the
twentieth century. University of California Press.
Wallerstein, I. (1996). Open the social sciences:
Report of the Gulbenkian Commission on the restructuring of the social sciences.
Stanford University Press.
Weber, M. (1978). Economy and society: An outline
of interpretive sociology (E. Fischoff et al., Trans.). University of
California Press.
Williams, R. (1983). Culture and society: 1780–1950.
Columbia University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar