Jumat, 10 Oktober 2025

Pengantar Ilmu Sosial dan Humaniora: Fondasi Konseptual, Historis, dan Aplikatif dalam Kajian Keilmuan

Pengantar Ilmu Sosial dan Humaniora

Fondasi Konseptual, Historis, dan Aplikatif dalam Kajian Keilmuan


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.

Ilmu Sosial, Humaniora.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai Pengantar Ilmu Sosial dan Humaniora dengan menelusuri aspek konseptual, historis, metodologis, serta relevansinya dalam konteks kontemporer. Kajian diawali dengan pendahuluan yang menekankan pentingnya ilmu sosial dan humaniora sebagai fondasi keilmuan untuk memahami manusia dan masyarakat. Selanjutnya, artikel menguraikan konsep dasar kedua bidang ini, perbedaan sekaligus persinggungannya, serta sejarah perkembangan yang berakar dari tradisi klasik hingga modern. Pembahasan juga menyoroti beragam paradigma keilmuan—positivistik, interpretatif, kritis, dan postmodern—beserta metodologi penelitian yang digunakan, baik dalam pendekatan kuantitatif, kualitatif, maupun hermeneutis. Tema-tema sentral seperti individu dan masyarakat, kebudayaan, simbol, kekuasaan, globalisasi, hingga identitas religius menjadi fokus utama yang memperlihatkan kompleksitas kajian sosial-humaniora. Artikel ini juga menekankan relevansi praktis ilmu sosial dan humaniora dalam pembentukan kebijakan publik, pendidikan, budaya populer, hingga humaniora digital. Tidak hanya itu, berbagai kritik dan tantangan seperti masalah metodologis, keterbatasan sumber daya, hingga persaingan dengan ilmu eksakta turut dibahas. Pada bagian akhir, artikel menawarkan refleksi mengenai prospek dan inovasi masa depan, termasuk integrasi interdisipliner, pemanfaatan big data, serta dekolonisasi pengetahuan. Dengan demikian, artikel ini menegaskan bahwa ilmu sosial dan humaniora tetap memiliki peran strategis dalam membangun masyarakat yang adil, reflektif, inklusif, dan berkeadaban di era global.

Kata Kunci: Ilmu Sosial, Humaniora, Metodologi, Paradigma, Globalisasi, Humaniora Digital, Dekolonisasi Pengetahuan.


PEMBAHASAN

Pengantar Ilmu Sosial dan Humaniora


1.           Pendahuluan

Ilmu sosial dan humaniora merupakan dua bidang kajian yang memiliki kedudukan fundamental dalam memahami realitas manusia dan masyarakat. Keduanya tidak hanya menekankan aspek pengetahuan teoretis, tetapi juga berusaha menjelaskan, menafsirkan, dan mengkritisi fenomena yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam konteks sosial, budaya, politik, ekonomi, maupun historis. Sebagai ilmu yang berakar pada refleksi kritis terhadap pengalaman manusia, ilmu sosial dan humaniora menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus objek kajian, sehingga keduanya memiliki peran sentral dalam membangun pemahaman yang lebih utuh mengenai eksistensi manusia di dunia.¹

Latar belakang munculnya ilmu sosial dapat ditelusuri dari kebutuhan manusia modern untuk menjelaskan perubahan sosial yang terjadi akibat revolusi industri, urbanisasi, serta berkembangnya kapitalisme pada abad ke-18 dan 19. Auguste Comte, misalnya, memandang sosiologi sebagai “ilmu tentang masyarakat” yang bertujuan mengungkap hukum-hukum universal yang mengatur kehidupan sosial.² Di sisi lain, humaniora memiliki akar yang lebih tua, yaitu sejak peradaban Yunani dan Romawi kuno yang mengedepankan filsafat, retorika, seni, dan sejarah sebagai sarana pembentukan manusia yang berbudaya.³ Kedua bidang ini kemudian bertemu dalam ranah modern dengan tujuan yang sama, yakni menggali hakikat manusia dalam seluruh dimensinya: biologis, sosial, kultural, dan moral.

Urgensi ilmu sosial dan humaniora di era kontemporer semakin nyata ketika masyarakat menghadapi kompleksitas globalisasi, digitalisasi, dan krisis multidimensi. Ilmu sosial memungkinkan analisis yang kritis terhadap dinamika kekuasaan, distribusi sumber daya, serta struktur sosial yang menciptakan ketidaksetaraan.⁴ Sementara itu, humaniora memberikan dimensi reflektif dan normatif dalam menafsirkan nilai-nilai, identitas, serta makna kehidupan manusia di tengah perubahan global. Dengan demikian, keduanya berfungsi tidak hanya sebagai instrumen analisis, tetapi juga sebagai landasan etis untuk membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan beradab.

Selain itu, relevansi kajian ini dapat dilihat dalam kontribusinya terhadap kebijakan publik, pendidikan, hingga budaya populer. Kajian ilmu sosial membantu merumuskan strategi pembangunan berbasis kebutuhan masyarakat, sedangkan humaniora mengingatkan pada dimensi kemanusiaan yang tidak dapat diukur secara material semata.⁵ Keterpaduan keduanya juga menegaskan bahwa ilmu pengetahuan bukanlah sekadar akumulasi data empiris, tetapi juga refleksi filosofis dan interpretasi makna.

Berdasarkan latar belakang tersebut, kajian mengenai ilmu sosial dan humaniora perlu diletakkan sebagai fondasi akademik yang komprehensif. Kajian ini bertujuan untuk memahami hubungan antara ilmu sosial dan humaniora, menguraikan relevansi metodologisnya, serta mengidentifikasi tantangan sekaligus prospek yang dapat dikembangkan pada masa depan. Dengan demikian, tulisan ini berupaya menegaskan posisi ilmu sosial dan humaniora sebagai pilar penting dalam pengembangan pengetahuan sekaligus pembentukan masyarakat yang berkeadaban.


Footnotes

[1]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–7.

[2]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell and Sons, 1896), 2–3.

[3]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 23–25.

[4]                Anthony Giddens, Sociology, 7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2013), 45–48.

[5]                Edward Said, Humanism and Democratic Criticism (New York: Columbia University Press, 2004), 11–14.


2.           Konsep Dasar Ilmu Sosial dan Humaniora

Ilmu sosial dan humaniora merupakan dua rumpun keilmuan yang memiliki orientasi berbeda, namun saling melengkapi dalam memahami manusia, masyarakat, dan kebudayaan. Secara konseptual, ilmu sosial merujuk pada disiplin-disiplin yang berusaha menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi sosial serta struktur masyarakat. Di dalamnya terdapat cabang-cabang utama seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik, ekonomi, psikologi sosial, dan geografi manusia.¹ Fokus utama ilmu sosial adalah menemukan pola, struktur, dan dinamika hubungan antarindividu maupun kelompok dengan pendekatan analitis-empiris.

Sebaliknya, humaniora lebih menekankan pada dimensi makna, nilai, dan ekspresi budaya manusia. Humaniora mencakup bidang filsafat, sejarah, linguistik, sastra, seni, agama, serta etika, yang bertujuan memahami bagaimana manusia memaknai eksistensinya melalui bahasa, simbol, narasi, dan estetika.² Jika ilmu sosial berorientasi pada “penjelasan” (explanation), maka humaniora lebih berorientasi pada “pemahaman” (understanding) dan “penafsiran” (interpretation).³

Meskipun terdapat perbedaan mendasar, kedua bidang ini memiliki titik temu yang penting. Keduanya sama-sama menjadikan manusia sebagai subjek sekaligus objek kajian. Perbedaan terletak pada cara pandang: ilmu sosial cenderung menggunakan metode kuantitatif dan berusaha menggeneralisasi fenomena, sedangkan humaniora cenderung bersifat kualitatif dan menekankan subjektivitas serta keberagaman makna.⁴ Akan tetapi, dalam praktik akademik modern, pemisahan antara ilmu sosial dan humaniora sering kali bersifat artifisial karena keduanya saling bergantung dalam memberikan pemahaman yang utuh mengenai realitas manusia.

Secara epistemologis, ilmu sosial sering dikaitkan dengan positivisme yang menekankan objektivitas, verifikasi, dan pengukuran, sementara humaniora lebih dekat dengan hermeneutika, fenomenologi, dan kritik budaya yang menekankan interpretasi serta refleksi kritis.⁵ Perbedaan epistemologi ini tidak harus dilihat sebagai pertentangan, melainkan sebagai peluang dialog untuk mengembangkan pendekatan multidisipliner, interdisipliner, hingga transdisipliner. Dengan cara ini, pengetahuan tidak hanya dipahami sebagai akumulasi data empiris, tetapi juga sebagai konstruksi makna yang kaya dan berlapis.

Dengan memahami konsep dasar ilmu sosial dan humaniora, dapat disimpulkan bahwa keduanya merupakan fondasi penting dalam membangun kesadaran kritis, nilai kemanusiaan, serta analisis sistematis terhadap berbagai persoalan kontemporer. Integrasi keduanya memungkinkan analisis yang komprehensif—baik dari sisi struktur sosial maupun dari dimensi nilai dan makna yang mendasari kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Anthony Giddens, Sociology, 7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2013), 20–22.

[2]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 27–30.

[3]                Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences, trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 85–87.

[4]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 9–10.

[5]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–305.


3.           Sejarah Perkembangan Ilmu Sosial dan Humaniora

Perkembangan ilmu sosial dan humaniora tidak dapat dilepaskan dari dinamika sejarah peradaban manusia yang senantiasa berusaha memahami dirinya sendiri, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat. Secara historis, humaniora memiliki akar lebih tua, berawal dari tradisi Yunani dan Romawi kuno. Pada masa itu, filsafat, retorika, sejarah, dan seni dianggap sebagai studia humanitatis, yakni disiplin yang membentuk manusia beradab dan berbudaya.¹ Humaniora berfungsi sebagai sarana pembinaan moral dan intelektual, yang menekankan pengembangan kebijaksanaan dan kebajikan. Warisan klasik ini kemudian diteruskan pada masa Renaisans Eropa (abad ke-14–16), ketika muncul kembali semangat untuk menempatkan manusia sebagai pusat pemikiran dan kebudayaan.²

Sementara itu, ilmu sosial mulai berkembang secara sistematis pada era modern, khususnya sejak abad ke-18 hingga ke-19, seiring munculnya Revolusi Ilmiah, Pencerahan, dan Revolusi Industri. Auguste Comte, yang dikenal sebagai “bapak sosiologi,” memperkenalkan gagasan tentang sosiologi sebagai ilmu positif yang berfungsi menemukan hukum-hukum sosial layaknya ilmu alam.³ Tokoh lain seperti Karl Marx, Émile Durkheim, dan Max Weber memberikan fondasi kritis dengan menekankan pentingnya memahami struktur sosial, konflik kelas, agama, dan makna subjektif dalam kehidupan sosial.⁴ Dengan demikian, ilmu sosial modern lahir sebagai respons intelektual terhadap perubahan besar yang melanda masyarakat Eropa pada masa industrialisasi, urbanisasi, dan ekspansi kapitalisme.

Pada abad ke-20, perkembangan ilmu sosial dan humaniora mengalami diferensiasi dan spesialisasi yang semakin kompleks. Ilmu sosial berkembang dalam berbagai cabang seperti ilmu politik, antropologi, ekonomi, dan psikologi sosial, sedangkan humaniora menegaskan diri dalam kajian sejarah, filsafat, bahasa, sastra, dan seni.⁵ Namun, meskipun semakin terfragmentasi, keduanya tetap memiliki kesamaan tujuan, yaitu memahami manusia dalam seluruh dimensi kehidupannya. Pada periode yang sama, muncul pula aliran-aliran kritis seperti teori Frankfurt, poststrukturalisme, dan poskolonialisme yang menekankan perlunya refleksi terhadap dominasi ideologi, relasi kuasa, dan konstruksi makna dalam kehidupan sosial-budaya.⁶

Dalam konteks Indonesia, ilmu sosial dan humaniora berkembang pesat setelah masa kolonial, terutama sejak berdirinya universitas-universitas nasional pasca-kemerdekaan. Kajian ilmu sosial digunakan untuk memahami struktur sosial masyarakat majemuk, pembangunan ekonomi, dan dinamika politik, sementara humaniora menekankan studi tentang kebudayaan lokal, sejarah, serta filsafat ketimuran.⁷ Tantangan globalisasi pada era kontemporer kemudian memperluas peran keduanya: ilmu sosial memberikan analisis kritis terhadap perubahan struktur sosial dan ekonomi global, sedangkan humaniora berperan menjaga identitas, nilai, dan warisan budaya bangsa.

Dengan demikian, sejarah perkembangan ilmu sosial dan humaniora memperlihatkan perjalanan panjang yang saling bersinggungan. Dari akar klasik hingga modern, dari tradisi Barat hingga konteks lokal Indonesia, keduanya terus berevolusi sebagai refleksi atas kompleksitas pengalaman manusia. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu sosial dan humaniora bukanlah bidang yang statis, melainkan dinamis, selalu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, sekaligus menawarkan kritik dan alternatif bagi masa depan umat manusia.


Footnotes

[1]                Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 22–25.

[2]                Eugenio Garin, Italian Humanism: Philosophy and Civic Life in the Renaissance (Oxford: Blackwell, 1965), 14–16.

[3]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell and Sons, 1896), 5–7.

[4]                Anthony Giddens, Capitalism and Modern Social Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 17–20.

[5]                Immanuel Wallerstein, The Social Sciences in the Twentieth Century (Berkeley: University of California Press, 1991), 9–12.

[6]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), xiii–xv.

[7]                Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 3–6.


4.           Paradigma dan Pendekatan Keilmuan

Paradigma dalam ilmu sosial dan humaniora merujuk pada kerangka konseptual yang menjadi landasan cara pandang, pemilihan metode, dan interpretasi terhadap fenomena manusia maupun masyarakat. Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolutions menjelaskan bahwa paradigma merupakan seperangkat keyakinan dan praktik yang membentuk komunitas ilmiah dalam memahami realitas.¹ Dalam konteks ilmu sosial dan humaniora, paradigma-paradigma tersebut berkembang beragam, dipengaruhi oleh tradisi epistemologis, ontologis, dan metodologis yang berbeda.

Paradigma positivistik menekankan pada pencarian hukum-hukum universal dengan menggunakan pendekatan empiris, kuantitatif, dan terukur. Dalam paradigma ini, fenomena sosial diperlakukan serupa dengan fenomena alam yang tunduk pada hukum sebab-akibat.² Contohnya adalah penelitian sosiologi klasik Durkheim yang berusaha menjelaskan fenomena bunuh diri melalui data statistik.³ Meskipun demikian, pendekatan ini sering dikritik karena mengabaikan makna subjektif dan konteks budaya yang melekat dalam tindakan sosial.

Sebagai reaksi terhadap positivisme, lahirlah paradigma interpretatif yang berakar pada hermeneutika, fenomenologi, dan tradisi Verstehen dari Max Weber. Paradigma ini menekankan pentingnya memahami makna, simbol, serta pengalaman subjektif individu dalam kehidupan sosial.⁴ Peneliti interpretatif berusaha menafsirkan realitas sosial dari sudut pandang pelaku, bukan sekadar mengukur variabel yang tampak di permukaan. Clifford Geertz, misalnya, menekankan pentingnya thick description dalam antropologi budaya untuk mengungkap makna yang tersembunyi di balik praktik sosial.⁵

Selain itu, muncul pula paradigma kritis yang dipengaruhi oleh tradisi Marxian dan teori Frankfurt. Paradigma ini berupaya membongkar relasi kuasa, ideologi, serta dominasi yang melandasi struktur sosial. Bagi teori kritis, ilmu bukanlah sekadar alat untuk menjelaskan atau memahami, tetapi juga untuk membebaskan manusia dari penindasan struktural.⁶ Misalnya, analisis Habermas mengenai komunikasi menyoroti bagaimana rasionalitas instrumental dapat menghambat tercapainya dialog yang bebas dari distorsi kekuasaan.⁷

Dalam perkembangan mutakhir, terjadi pula pergeseran menuju paradigma postmodern dan poststrukturalis yang menolak klaim kebenaran tunggal. Paradigma ini melihat realitas sosial sebagai konstruksi yang plural, relatif, dan dipengaruhi oleh wacana serta representasi.⁸ Pendekatan ini melahirkan metode interdisipliner, seperti studi gender, poskolonial, hingga cultural studies, yang berfokus pada dekonstruksi narasi dominan dan pengakuan atas keragaman identitas.

Dari sisi metodologis, ketiga paradigma utama tersebut menghasilkan beragam pendekatan penelitian. Positivisme cenderung menggunakan survei, eksperimen, dan analisis statistik; interpretatif mengandalkan wawancara mendalam, observasi partisipan, serta analisis teks; sementara paradigma kritis dan postmodern menekankan analisis wacana, kritik ideologi, serta etnografi refleksif. Keseluruhan pendekatan ini menunjukkan bahwa ilmu sosial dan humaniora tidak bersifat monolitik, melainkan plural dan dinamis, sehingga membuka peluang untuk kolaborasi multidisipliner, interdisipliner, hingga transdisipliner.

Dengan demikian, pemahaman tentang paradigma dan pendekatan keilmuan menjadi kunci bagi peneliti untuk menentukan kerangka berpikir, memilih metode, serta menafsirkan hasil kajian. Perbedaan paradigma tidak harus dipandang sebagai pertentangan mutlak, melainkan sebagai keragaman epistemologis yang memperkaya wawasan dalam memahami kompleksitas manusia dan masyarakat.


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.

[2]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell and Sons, 1896), 4–6.

[3]                Émile Durkheim, Suicide: A Study in Sociology, trans. John A. Spaulding and George Simpson (Glencoe, IL: Free Press, 1951), 45–48.

[4]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, trans. Ephraim Fischoff et al. (Berkeley: University of California Press, 1978), 3–6.

[5]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 6–7.

[6]                Max Horkheimer, “Traditional and Critical Theory,” in Critical Theory: Selected Essays, trans. Matthew J. O’Connell (New York: Continuum, 1982), 188–243.

[7]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.

[8]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 167–170.


5.           Metodologi Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Humaniora

Metodologi penelitian dalam ilmu sosial dan humaniora mencerminkan keragaman paradigma, pendekatan, dan teknik yang digunakan untuk memahami manusia dan masyarakat. Sebagai dua rumpun ilmu yang sama-sama berfokus pada manusia, keduanya memiliki tradisi metodologis yang berbeda namun saling melengkapi. Ilmu sosial cenderung mengedepankan pendekatan empiris-analitis dengan penekanan pada keterukuran, sementara humaniora lebih menekankan pada interpretasi, refleksi, dan pemaknaan terhadap teks, simbol, maupun pengalaman manusia.¹

5.1.       Metodologi dalam Ilmu Sosial

Metode penelitian ilmu sosial berakar pada positivisme yang menekankan pentingnya observasi empiris, pengukuran, serta generalisasi hukum sosial. Teknik penelitian kuantitatif seperti survei, kuesioner, eksperimen, dan analisis statistik digunakan untuk menguji hipotesis dan menemukan pola dalam perilaku sosial.² Penelitian semacam ini, misalnya, digunakan untuk memahami pola partisipasi politik, perilaku konsumen, atau dinamika kelas sosial. Selain metode kuantitatif, berkembang pula metode kualitatif seperti observasi partisipan, wawancara mendalam, studi kasus, dan etnografi.³ Metode kualitatif berusaha menangkap makna subjektif dari pengalaman sosial, yang sering kali tidak dapat direduksi menjadi angka-angka.

5.2.       Metodologi dalam Humaniora

Berbeda dari ilmu sosial, humaniora lebih menekankan pada penafsiran teks, simbol, dan praktik budaya. Hermeneutika, misalnya, digunakan untuk menafsirkan karya sastra, teks agama, maupun dokumen sejarah dengan menggali makna di balik struktur bahasa.⁴ Metode filologi berfokus pada kritik teks untuk menelusuri sejarah naskah, sementara pendekatan fenomenologi digunakan untuk memahami pengalaman kesadaran manusia secara mendalam. Selain itu, metode analisis wacana dan kritik budaya banyak digunakan dalam kajian kontemporer untuk membongkar konstruksi makna, relasi kuasa, dan ideologi dalam teks maupun praktik budaya.⁵

5.3.       Validitas, Reliabilitas, dan Etika

Dalam penelitian ilmu sosial, konsep validitas dan reliabilitas menjadi standar utama untuk memastikan bahwa data yang diperoleh sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Validitas menyangkut sejauh mana instrumen mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur, sedangkan reliabilitas berkaitan dengan konsistensi hasil pengukuran.⁶ Sementara dalam humaniora, ukuran keabsahan penelitian lebih bersifat interpretatif, yakni sejauh mana penafsiran dapat dipertanggungjawabkan secara logis, argumentatif, dan kontekstual. Keabsahan dalam humaniora juga melibatkan plausibilitas interpretasi, koherensi argumentasi, serta kedalaman refleksi filosofis.⁷

Etika penelitian juga merupakan dimensi krusial. Dalam ilmu sosial, peneliti wajib menjaga kerahasiaan responden, memperoleh persetujuan partisipan, serta menghindari manipulasi data. Dalam humaniora, peneliti dihadapkan pada tanggung jawab untuk tidak memanipulasi makna teks atau konteks budaya, serta menjaga sensitivitas terhadap nilai dan tradisi yang dikaji.⁸

5.4.       Tantangan Metodologis

Baik ilmu sosial maupun humaniora menghadapi tantangan metodologis yang signifikan. Ilmu sosial sering dikritik karena kecenderungannya mereduksi fenomena kompleks menjadi variabel kuantitatif, sehingga mengabaikan makna subjektif. Sebaliknya, humaniora dikritik karena dianggap terlalu subjektif dan kurang memiliki standar objektif dalam menilai hasil penelitian.⁹ Tantangan ini mendorong munculnya pendekatan interdisipliner dan mixed methods, yang menggabungkan kekuatan analisis kuantitatif dan kedalaman interpretasi kualitatif. Dengan cara ini, penelitian dapat menghasilkan gambaran yang lebih komprehensif mengenai realitas sosial-budaya.

Dengan demikian, metodologi penelitian dalam ilmu sosial dan humaniora mencerminkan dialektika antara objektivitas dan interpretasi, antara pengukuran empiris dan pemaknaan simbolik. Keanekaragaman metodologis ini justru menjadi kekuatan utama, karena memungkinkan peneliti untuk menjawab berbagai persoalan manusia dengan perspektif yang kaya, kritis, dan reflektif.


Footnotes

[1]                Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, The Sage Handbook of Qualitative Research, 5th ed. (Thousand Oaks, CA: Sage, 2018), 3–5.

[2]                Earl Babbie, The Practice of Social Research, 15th ed. (Boston: Cengage Learning, 2021), 114–116.

[3]                John W. Creswell and J. David Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 5th ed. (Thousand Oaks, CA: Sage, 2018), 217–220.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 299–302.

[5]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 110–113.

[6]                Rensis Likert, “A Technique for the Measurement of Attitudes,” Archives of Psychology 22, no. 140 (1932): 5–6.

[7]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 45–47.

[8]                American Anthropological Association, Principles of Professional Responsibility (Washington, DC: AAA, 2012), 2–3.

[9]                Immanuel Wallerstein, Open the Social Sciences: Report of the Gulbenkian Commission on the Restructuring of the Social Sciences (Stanford: Stanford University Press, 1996), 35–38.


6.           Tema-Tema Sentral dalam Ilmu Sosial dan Humaniora

Ilmu sosial dan humaniora memiliki sejumlah tema sentral yang senantiasa menjadi fokus kajian dalam upaya memahami manusia, masyarakat, dan kebudayaan. Tema-tema ini berkembang sesuai dengan dinamika sejarah, perubahan sosial, serta tantangan global kontemporer. Beberapa di antaranya bersifat universal dan fundamental, sementara yang lain muncul sebagai respons terhadap perkembangan zaman.

6.1.       Manusia sebagai Individu dan Makhluk Sosial

Tema pertama adalah pemahaman tentang manusia sebagai makhluk yang memiliki dua dimensi: individualitas dan sosialitas. Ilmu sosial menekankan bagaimana perilaku individu dipengaruhi oleh norma, nilai, dan struktur sosial, sementara humaniora berfokus pada makna eksistensial dan pengalaman subjektif manusia.¹ Pemikiran Aristoteles mengenai manusia sebagai zoon politikon menegaskan bahwa manusia hanya dapat mencapai potensinya dalam kehidupan bersama.²

6.2.       Kebudayaan, Bahasa, dan Simbol

Kebudayaan merupakan salah satu tema utama dalam ilmu sosial dan humaniora. Clifford Geertz memandang kebudayaan sebagai sistem makna simbolik yang diturunkan melalui bahasa dan praktik sosial.³ Humaniora memperkuat tema ini dengan menekankan interpretasi atas teks, narasi, dan seni sebagai ekspresi kebudayaan. Bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai sarana pembentukan identitas dan realitas sosial.⁴

6.3.       Kekuasaan, Struktur Sosial, dan Ketidaksetaraan

Tema berikutnya adalah analisis terhadap kekuasaan dan struktur sosial. Dalam tradisi sosiologi, Marx menekankan konflik kelas sebagai faktor penentu dinamika sosial, sementara Weber menyoroti dimensi otoritas, birokrasi, dan status.⁵ Humaniora melengkapi perspektif ini melalui kritik budaya yang membongkar bagaimana representasi, wacana, dan ideologi berperan dalam melanggengkan dominasi.⁶ Tema ketidaksetaraan sosial ini tetap relevan dalam konteks modern, terutama terkait isu gender, ras, dan globalisasi ekonomi.

6.4.       Modernitas, Globalisasi, dan Teknologi

Transformasi masyarakat modern, globalisasi, serta perkembangan teknologi digital menjadi tema penting dalam kajian sosial-humaniora. Anthony Giddens menggambarkan modernitas sebagai proses institusional yang menciptakan keterputusan ruang dan waktu serta memperluas sistem kepercayaan abstrak.⁷ Globalisasi, pada gilirannya, menghasilkan interaksi lintas budaya, namun juga memicu homogenisasi dan ketegangan identitas lokal. Humaniora menyoroti dimensi etis dan kultural dari globalisasi serta dampak teknologi terhadap pengalaman manusia, misalnya dalam konteks humaniora digital.⁸

6.5.       Identitas, Nilai, dan Agama

Tema lain yang tak kalah penting adalah identitas, nilai, dan agama. Identitas personal maupun kolektif terbentuk melalui interaksi sosial, konstruksi budaya, dan pengalaman historis.⁹ Nilai-nilai moral dan etika menjadi pusat kajian filsafat dan agama, sementara ilmu sosial berusaha memahami bagaimana nilai tersebut dilembagakan dalam norma sosial. Agama, dalam hal ini, dipandang tidak hanya sebagai sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai institusi sosial dan sumber legitimasi moral.¹⁰

Dengan demikian, tema-tema sentral dalam ilmu sosial dan humaniora berfungsi sebagai pintu masuk untuk memahami kompleksitas manusia dalam konteks individu maupun masyarakat. Keseluruhan tema ini memperlihatkan bahwa ilmu sosial dan humaniora tidak hanya menjelaskan realitas empiris, tetapi juga menafsirkan makna, nilai, dan simbol yang membentuk kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1967), 33–36.

[2]                Aristotle, The Politics, trans. Carnes Lord (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 1253a.

[3]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 89–90.

[4]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: McGraw-Hill, 1966), 65–67.

[5]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto (London: Verso, 1998), 14–17.

[6]                Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (London: Sage, 1997), 15–18.

[7]                Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Cambridge: Polity Press, 1990), 21–24.

[8]                N. Katherine Hayles, How We Think: Digital Media and Contemporary Technogenesis (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 1–3.

[9]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 25–27.

[10]             Émile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, trans. Karen E. Fields (New York: Free Press, 1995), 42–44.


7.           Relevansi Ilmu Sosial dan Humaniora dalam Kehidupan Kontemporer

Ilmu sosial dan humaniora memiliki relevansi yang semakin signifikan dalam menghadapi kompleksitas kehidupan kontemporer. Perkembangan teknologi digital, globalisasi, perubahan sosial, dan krisis multidimensi menuntut kehadiran perspektif kritis serta reflektif untuk memahami realitas dan mencari solusi yang berkelanjutan. Ilmu sosial berperan dalam menganalisis struktur dan dinamika masyarakat, sedangkan humaniora menawarkan kerangka etis, filosofis, dan kultural untuk menafsirkan makna di balik perubahan tersebut. Keduanya saling melengkapi dalam memberikan landasan intelektual yang kokoh bagi pembangunan peradaban.

7.1.       Kontribusi dalam Pembentukan Kebijakan Publik

Ilmu sosial berperan penting dalam menghasilkan analisis berbasis data yang membantu perumusan kebijakan publik. Survei sosial, studi ekonomi, maupun penelitian politik dapat memberikan gambaran obyektif mengenai kondisi masyarakat.¹ Sementara itu, humaniora menambahkan dimensi normatif dengan mengingatkan bahwa kebijakan harus mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan keberagaman budaya.² Dengan demikian, sinergi keduanya mampu mendorong lahirnya kebijakan publik yang lebih inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.

7.2.       Peran dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter

Relevansi ilmu sosial dan humaniora juga nyata dalam bidang pendidikan. Humaniora, melalui filsafat, sastra, sejarah, dan seni, memperkuat kapasitas reflektif, imajinatif, dan etis peserta didik.³ Sementara itu, ilmu sosial membantu membangun kesadaran kritis terhadap struktur sosial, ketidaksetaraan, dan tantangan global. Pendidikan berbasis sosial-humaniora dengan demikian tidak hanya berorientasi pada penguasaan keterampilan teknis, tetapi juga pada pembentukan karakter, empati, serta kepekaan sosial.⁴

7.3.       Dampak pada Seni, Sastra, dan Budaya Populer

Humaniora memberikan kontribusi besar dalam memahami dinamika budaya populer, media, dan seni kontemporer. Kajian sastra, film, musik, hingga media digital membuka ruang interpretasi mengenai identitas, resistensi, dan transformasi sosial.⁵ Ilmu sosial melengkapi analisis ini dengan melihat bagaimana budaya populer dipengaruhi oleh struktur ekonomi-politik global dan proses globalisasi.⁶ Dengan demikian, keduanya membantu masyarakat untuk tidak hanya menikmati produk budaya, tetapi juga memahami konteks sosial dan ideologi yang melatarbelakanginya.

7.4.       Humaniora Digital dan Transformasi Teknologi

Era digital telah melahirkan bidang baru yang dikenal sebagai digital humanities, yakni penggunaan teknologi digital untuk meneliti, menginterpretasi, dan menyebarkan pengetahuan dalam humaniora.⁷ Sementara itu, ilmu sosial memanfaatkan big data, analitik jejaring sosial, dan metode kuantitatif untuk memahami interaksi manusia di dunia maya.⁸ Relevansi keduanya dalam konteks ini terletak pada kemampuan untuk menggabungkan refleksi kritis dengan analisis data, sehingga fenomena digital dapat dipahami secara lebih menyeluruh—baik dari sisi teknis maupun kultural.

7.5.       Tanggapan terhadap Krisis Global

Krisis kontemporer seperti perubahan iklim, pandemi, dan ketidaksetaraan global memperlihatkan urgensi ilmu sosial dan humaniora. Ilmu sosial dapat menganalisis dampak kebijakan kesehatan, distribusi sumber daya, serta dinamika solidaritas sosial. Humaniora, di sisi lain, menawarkan perspektif etis dan eksistensial mengenai makna penderitaan, solidaritas, dan tanggung jawab manusia terhadap sesama dan alam.⁹ Kombinasi keduanya membantu membangun narasi alternatif yang menekankan keberlanjutan, keadilan sosial, serta kesadaran ekologis.

Dengan demikian, relevansi ilmu sosial dan humaniora dalam kehidupan kontemporer tidak dapat dipandang sebelah mata. Keduanya berfungsi sebagai pilar penting dalam membangun masyarakat yang lebih adil, reflektif, inklusif, dan tanggap terhadap perubahan zaman. Integrasi analisis empiris ilmu sosial dan refleksi humaniora menawarkan pendekatan komprehensif untuk menghadapi tantangan global, sekaligus meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan dalam dunia yang semakin kompleks.


Footnotes

[1]                Earl Babbie, The Practice of Social Research, 15th ed. (Boston: Cengage Learning, 2021), 23–25.

[2]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 45–47.

[3]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–75.

[4]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury, 2011), 33–36.

[5]                Raymond Williams, Culture and Society: 1780–1950 (New York: Columbia University Press, 1983), 256–258.

[6]                Stuart Hall, Cultural Studies 1983: A Theoretical History, ed. Jennifer Daryl Slack and Lawrence Grossberg (Durham: Duke University Press, 2016), 145–148.

[7]                N. Katherine Hayles, How We Think: Digital Media and Contemporary Technogenesis (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 25–28.

[8]                Matthew A. Russell, Mining the Social Web, 3rd ed. (Sebastopol, CA: O’Reilly Media, 2019), 10–12.

[9]                Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime, trans. Catherine Porter (Cambridge: Polity Press, 2017), 15–18.


8.           Tantangan dan Kritik terhadap Ilmu Sosial dan Humaniora

Ilmu sosial dan humaniora, meskipun memiliki peran penting dalam membangun pemahaman tentang manusia dan masyarakat, tidak lepas dari berbagai tantangan dan kritik. Kritik ini muncul baik dari dalam ranah akademik maupun dari luar, terutama terkait relevansi, metodologi, dan kontribusinya dalam menghadapi persoalan kontemporer.

8.1.       Kritik terhadap Relevansi Praktis

Salah satu kritik utama terhadap ilmu sosial dan humaniora adalah anggapan bahwa keduanya kurang memberikan kontribusi praktis dibandingkan ilmu alam atau teknologi. Dalam konteks pembangunan ekonomi dan inovasi teknologi, ilmu sosial dan humaniora kerap dianggap tidak produktif secara material.¹ Akibatnya, bidang ini sering kali terpinggirkan dalam alokasi sumber daya riset. Kritik ini diperkuat oleh pandangan utilitarian yang lebih menekankan hasil yang dapat diukur secara langsung.²

8.2.       Persaingan dengan Ilmu Eksakta dan Teknologi

Tantangan lain datang dari dominasi ilmu eksakta dan teknologi yang semakin menguasai arah perkembangan peradaban modern. Revolusi digital, big data, dan kecerdasan buatan, misalnya, menimbulkan pertanyaan tentang apakah ilmu sosial dan humaniora masih relevan.³ Banyak kalangan menilai bahwa keduanya tertinggal dalam memberikan solusi cepat dan konkret terhadap persoalan global, padahal realitas sosial tidak semata-mata dapat diselesaikan dengan pendekatan teknis.

8.3.       Masalah Metodologis

Secara metodologis, ilmu sosial dan humaniora menghadapi kritik terkait objektivitas, generalisasi, dan validitas. Ilmu sosial, khususnya, sering dianggap terjebak dalam positivisme yang mereduksi fenomena kompleks menjadi variabel statistik, sehingga kehilangan makna subjektif.⁴ Sebaliknya, humaniora dikritik karena terlalu subjektif, interpretatif, dan sulit diverifikasi.⁵ Hal ini menimbulkan ketegangan epistemologis mengenai apakah keduanya dapat memberikan pengetahuan yang sahih dan dapat diandalkan.

8.4.       Tantangan Globalisasi dan Homogenisasi Budaya

Globalisasi menghadirkan dilema bagi ilmu sosial dan humaniora. Di satu sisi, ia membuka ruang pertukaran gagasan dan kolaborasi lintas budaya. Di sisi lain, globalisasi memunculkan homogenisasi budaya yang mengancam identitas lokal.⁶ Kritik diarahkan pada ilmu sosial dan humaniora yang dianggap kurang tanggap dalam menghadapi arus kapitalisme global serta dominasi wacana Barat atas pengetahuan. Hal ini menimbulkan seruan untuk melakukan dekolonisasi pengetahuan dan mengembangkan perspektif yang lebih inklusif.⁷

8.5.       Pendanaan dan Apresiasi terhadap Penelitian

Kritik lain menyangkut rendahnya dukungan finansial terhadap penelitian di bidang ilmu sosial dan humaniora. Banyak pemerintah dan lembaga donor lebih memprioritaskan riset di bidang sains dan teknologi karena dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi.⁸ Akibatnya, penelitian sosial dan humaniora sering mengalami keterbatasan sumber daya, yang berdampak pada kualitas dan inovasi riset.

8.6.       Tantangan Etika dan Ideologi

Ilmu sosial dan humaniora juga menghadapi kritik mengenai bias ideologi dan etika penelitian. Peneliti sering dituduh membawa kepentingan politik tertentu dalam analisis sosial atau interpretasi budaya.⁹ Hal ini memunculkan pertanyaan tentang independensi akademik serta tanggung jawab etis dalam penelitian. Dalam konteks ini, teori kritis menekankan perlunya refleksi diri (self-reflexivity) agar ilmu tidak menjadi instrumen legitimasi kekuasaan.¹⁰

Dengan demikian, tantangan dan kritik terhadap ilmu sosial dan humaniora memperlihatkan adanya ketegangan antara relevansi praktis, metodologi, serta posisi keduanya dalam percaturan global ilmu pengetahuan. Alih-alih melemahkan, kritik-kritik ini justru dapat dijadikan momentum untuk merevitalisasi peran ilmu sosial dan humaniora. Dengan memperkuat refleksi kritis, memperluas kolaborasi interdisipliner, serta menegaskan komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan, keduanya dapat tetap relevan dalam menghadapi kompleksitas zaman modern.


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 5–7.

[2]                Stefan Collini, What Are Universities For? (London: Penguin, 2012), 45–48.

[3]                Chris Anderson, “The End of Theory: The Data Deluge Makes the Scientific Method Obsolete,” Wired Magazine 16, no. 7 (2008): 1–3.

[4]                Émile Durkheim, The Rules of Sociological Method, trans. W. D. Halls (New York: Free Press, 1982), 31–34.

[5]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 41–44.

[6]                Anthony Giddens, Runaway World: How Globalisation Is Reshaping Our Lives (London: Profile Books, 1999), 10–13.

[7]                Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 55–57.

[8]                Immanuel Wallerstein, Open the Social Sciences: Report of the Gulbenkian Commission on the Restructuring of the Social Sciences (Stanford: Stanford University Press, 1996), 27–29.

[9]                Pierre Bourdieu, Homo Academicus, trans. Peter Collier (Stanford: Stanford University Press, 1988), 76–78.

[10]             Max Horkheimer, “Traditional and Critical Theory,” in Critical Theory: Selected Essays, trans. Matthew J. O’Connell (New York: Continuum, 1982), 199–202.


9.           Prospek dan Inovasi Masa Depan

Ilmu sosial dan humaniora menghadapi masa depan yang penuh tantangan sekaligus peluang untuk berinovasi. Dalam konteks dunia yang semakin kompleks, global, dan terdigitalisasi, prospek kedua bidang ini terletak pada kemampuannya untuk menafsirkan perubahan sosial, menawarkan refleksi kritis, serta menghadirkan kerangka etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Alih-alih terpinggirkan oleh dominasi sains alam dan teknologi, ilmu sosial dan humaniora justru dapat memperluas relevansinya melalui inovasi interdisipliner dan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.

9.1.       Integrasi Ilmu Sosial, Humaniora, dan Ilmu Alam

Salah satu prospek penting adalah semakin menguatnya integrasi antara ilmu sosial, humaniora, dan ilmu alam. Tantangan global seperti krisis iklim, kesehatan masyarakat, dan transformasi digital tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan teknis.¹ Ilmu sosial memberikan analisis mengenai struktur sosial dan dinamika politik, sementara humaniora menawarkan refleksi etis dan historis. Kolaborasi dengan ilmu alam memungkinkan solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan, misalnya dalam kebijakan energi terbarukan atau manajemen bencana berbasis komunitas.²

9.2.       Pemanfaatan Teknologi Digital dan Big Data

Era digital membuka peluang baru bagi penelitian sosial-humaniora melalui pemanfaatan big data, analisis jejaring sosial, serta kecerdasan buatan.³ Metode ini dapat memperkaya pemahaman tentang pola interaksi manusia, dinamika opini publik, hingga pergeseran budaya global. Di sisi lain, humaniora digital (digital humanities) memungkinkan eksplorasi baru terhadap teks, arsip, dan seni dengan memanfaatkan teknologi digital.⁴ Inovasi ini tidak hanya meningkatkan kapasitas penelitian, tetapi juga memperluas jangkauan diseminasi ilmu melalui platform daring yang lebih inklusif.

9.3.       Kontribusi terhadap Pembangunan Berkelanjutan

Agenda pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals – SDGs) menuntut keterlibatan aktif ilmu sosial dan humaniora. Bidang ini dapat memberikan kontribusi dalam memahami dimensi sosial dari kemiskinan, ketidaksetaraan, pendidikan, serta keadilan gender.⁵ Selain itu, humaniora berperan dalam menumbuhkan kesadaran ekologis dan etika lingkungan, yang penting dalam menghadapi krisis iklim. Dengan demikian, prospek masa depan ilmu sosial dan humaniora erat kaitannya dengan kemampuan untuk mengintegrasikan ilmu dengan kebutuhan sosial dan ekologis.

9.4.       Hibridisasi Metodologi dan Pendekatan

Masa depan ilmu sosial dan humaniora juga ditandai oleh berkembangnya pendekatan hibrid yang memadukan metode kuantitatif, kualitatif, dan interpretatif. Pendekatan mixed methods menjadi semakin penting untuk menangkap kompleksitas realitas sosial.⁶ Selain itu, refleksivitas peneliti dan kolaborasi lintas disiplin memperkuat keabsahan sekaligus memperluas perspektif dalam penelitian. Dengan cara ini, penelitian sosial-humaniora dapat menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam dan relevan dengan tantangan kontemporer.

9.5.       Dialog Antar-Disiplin dan Globalisasi Pengetahuan

Prospek lain yang tidak kalah penting adalah terbukanya dialog antar-disiplin dan antar-budaya dalam produksi pengetahuan. Ilmu sosial dan humaniora masa depan dituntut untuk melampaui dominasi wacana Barat dengan mengintegrasikan perspektif lokal, tradisional, dan poskolonial.⁷ Hal ini akan memperkaya khazanah pengetahuan global dan menghadirkan narasi yang lebih inklusif.

Dengan demikian, prospek dan inovasi masa depan ilmu sosial dan humaniora terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman, berkolaborasi dengan disiplin lain, serta tetap berkomitmen pada nilai kemanusiaan. Kekuatan refleksi kritis dan kreativitas intelektual yang dimiliki bidang ini menjadikannya relevan untuk menjawab persoalan abad ke-21 sekaligus membangun peradaban yang lebih adil, berkelanjutan, dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 5–7.

[2]                Sheila Jasanoff, Designs on Nature: Science and Democracy in Europe and the United States (Princeton: Princeton University Press, 2005), 11–13.

[3]                Rob Kitchin, The Data Revolution: Big Data, Open Data, Data Infrastructures and Their Consequences (London: Sage, 2014), 25–28.

[4]                N. Katherine Hayles, How We Think: Digital Media and Contemporary Technogenesis (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 67–70.

[5]                Jeffrey D. Sachs, The Age of Sustainable Development (New York: Columbia University Press, 2015), 45–47.

[6]                John W. Creswell and Vicki L. Plano Clark, Designing and Conducting Mixed Methods Research, 3rd ed. (Thousand Oaks, CA: Sage, 2018), 55–57.

[7]                Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 101–103.


10.       Kesimpulan

Ilmu sosial dan humaniora merupakan dua bidang kajian yang memiliki peran vital dalam memahami kompleksitas manusia, masyarakat, dan kebudayaan. Keduanya berakar pada tradisi intelektual yang berbeda, namun saling melengkapi: ilmu sosial dengan kecenderungannya pada analisis empiris dan sistematis, sedangkan humaniora dengan fokus pada interpretasi makna, nilai, serta refleksi filosofis.¹ Integrasi keduanya memungkinkan pemahaman yang lebih komprehensif, baik dalam menjelaskan struktur sosial maupun dalam menafsirkan dimensi simbolik dan eksistensial kehidupan manusia.

Sejarah perkembangan ilmu sosial dan humaniora memperlihatkan dinamika yang terus berubah mengikuti konteks zaman. Dari warisan klasik filsafat dan studia humanitatis pada masa Yunani dan Renaisans, hingga lahirnya sosiologi, antropologi, dan cabang ilmu sosial lainnya pada era modern, kedua bidang ini telah menjadi fondasi penting dalam membangun kesadaran kritis masyarakat.² Dalam perkembangannya, paradigma positivistik, interpretatif, kritis, hingga postmodern menghadirkan keragaman epistemologis yang memperkaya pendekatan penelitian.³

Relevansi ilmu sosial dan humaniora di era kontemporer sangat nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Keduanya berkontribusi dalam perumusan kebijakan publik yang inklusif, penguatan pendidikan berbasis karakter, analisis terhadap budaya populer, hingga pemanfaatan teknologi digital dan big data untuk memahami fenomena sosial.⁴ Bahkan, di tengah krisis global seperti perubahan iklim, pandemi, dan ketidaksetaraan sosial, ilmu sosial dan humaniora mampu menghadirkan perspektif etis dan reflektif yang menekankan keberlanjutan, solidaritas, dan keadilan.⁵

Meski demikian, tidak dapat diabaikan bahwa ilmu sosial dan humaniora menghadapi tantangan serius berupa kritik atas relevansi praktis, keterbatasan metodologis, serta persaingan dengan sains dan teknologi. Namun, justru dari tantangan inilah muncul peluang untuk berinovasi, seperti pengembangan humaniora digital, pendekatan interdisipliner, hingga dekolonisasi pengetahuan yang membuka ruang bagi perspektif lokal dan global secara lebih seimbang.⁶

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa prospek ilmu sosial dan humaniora tetap cerah, asalkan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Relevansi keduanya tidak hanya terletak pada kemampuan menjelaskan realitas, tetapi juga pada kekuatan refleksi kritis, penanaman nilai kemanusiaan, serta perumusan visi etis bagi peradaban. Seperti ditegaskan Nussbaum, keberadaan humaniora dan ilmu sosial menjadi penopang utama bagi demokrasi, kemanusiaan, dan kehidupan yang bermartabat.⁷ Oleh karena itu, memperkuat penelitian, pendidikan, dan kebijakan berbasis sosial-humaniora merupakan langkah strategis untuk membangun masyarakat yang adil, reflektif, dan berkeadaban di abad ke-21.


Footnotes

[1]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–7.

[2]                Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 22–25.

[3]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.

[4]                N. Katherine Hayles, How We Think: Digital Media and Contemporary Technogenesis (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 25–28.

[5]                Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime, trans. Catherine Porter (Cambridge: Polity Press, 2017), 15–18.

[6]                Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 55–57.

[7]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 1–3.


Daftar Pustaka

Anderson, C. (2008). The end of theory: The data deluge makes the scientific method obsolete. Wired Magazine, 16(7), 1–3.

Aristotle. (1984). The politics (C. Lord, Trans.). University of Chicago Press.

Babbie, E. (2021). The practice of social research (15th ed.). Cengage Learning.

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1967). The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge. Anchor Books.

Bourdieu, P. (1988). Homo academicus (P. Collier, Trans.). Stanford University Press.

Collini, S. (2012). What are universities for? Penguin.

Comte, A. (1896). The positive philosophy of Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). George Bell and Sons.

Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2018). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches (5th ed.). Sage.

Creswell, J. W., & Plano Clark, V. L. (2018). Designing and conducting mixed methods research (3rd ed.). Sage.

Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (Eds.). (2018). The Sage handbook of qualitative research (5th ed.). Sage.

Dilthey, W. (1988). Introduction to the human sciences (R. J. Betanzos, Trans.). Wayne State University Press.

Durkheim, É. (1951). Suicide: A study in sociology (J. A. Spaulding & G. Simpson, Trans.). Free Press.

Durkheim, É. (1982). The rules of sociological method (W. D. Halls, Trans.). Free Press.

Durkheim, É. (1995). The elementary forms of religious life (K. E. Fields, Trans.). Free Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Garin, E. (1965). Italian humanism: Philosophy and civic life in the Renaissance. Blackwell.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Giddens, A. (1971). Capitalism and modern social theory. Cambridge University Press.

Giddens, A. (1990). The consequences of modernity. Polity Press.

Giddens, A. (1999). Runaway world: How globalisation is reshaping our lives. Profile Books.

Giddens, A. (2013). Sociology (7th ed.). Polity Press.

Giroux, H. A. (2011). On critical pedagogy. Bloomsbury.

Hall, S. (1997). Representation: Cultural representations and signifying practices. Sage.

Hall, S. (2016). Cultural studies 1983: A theoretical history (J. D. Slack & L. Grossberg, Eds.). Duke University Press.

Hayles, N. K. (2012). How we think: Digital media and contemporary technogenesis. University of Chicago Press.

Horkheimer, M. (1982). Traditional and critical theory. In Critical theory: Selected essays (M. J. O’Connell, Trans., pp. 188–243). Continuum.

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.

Jasanoff, S. (2005). Designs on nature: Science and democracy in Europe and the United States. Princeton University Press.

Kitchin, R. (2014). The data revolution: Big data, open data, data infrastructures and their consequences. Sage.

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar ilmu antropologi. Rineka Cipta.

Kristeller, P. O. (1979). Renaissance thought and its sources. Columbia University Press.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Latour, B. (1993). We have never been modern (C. Porter, Trans.). Harvard University Press.

Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures on the new climatic regime (C. Porter, Trans.). Polity Press.

Likert, R. (1932). A technique for the measurement of attitudes. Archives of Psychology, 22(140), 1–55.

Marx, K., & Engels, F. (1998). The communist manifesto. Verso.

Mignolo, W. D. (2011). The darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke University Press.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University Press.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.

Russell, M. A. (2019). Mining the social web (3rd ed.). O’Reilly Media.

Sachs, J. D. (2015). The age of sustainable development. Columbia University Press.

Saussure, F. de. (1966). Course in general linguistics (C. Bally & A. Sechehaye, Eds.; W. Baskin, Trans.). McGraw-Hill.

Said, E. W. (2004). Humanism and democratic criticism. Columbia University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Wallerstein, I. (1991). The social sciences in the twentieth century. University of California Press.

Wallerstein, I. (1996). Open the social sciences: Report of the Gulbenkian Commission on the restructuring of the social sciences. Stanford University Press.

Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology (E. Fischoff et al., Trans.). University of California Press.

Williams, R. (1983). Culture and society: 1780–1950. Columbia University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar