Filsafat Sosial dan Kritis
Konsep, Sejarah, Tokoh, Kritik, dan Relevansi
Kontemporer
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif filsafat sosial dan kritis
dengan menelusuri konsep, sejarah, tokoh-tokoh utama, kritik, serta relevansinya
dalam dunia kontemporer. Filsafat sosial berfokus pada relasi antara individu
dan masyarakat, serta norma, institusi, dan nilai yang membentuk kehidupan
kolektif. Sementara itu, filsafat kritis, yang berakar pada tradisi Mazhab
Frankfurt, menekankan pembebasan manusia melalui kritik ideologi, analisis
budaya, dan refleksi interdisipliner.
Kajian ini menunjukkan perkembangan historis dari akar klasik filsafat
Yunani hingga pemikiran kontemporer seperti teori feminis, poskolonial, ekologi
kritis, dan analisis teknologi digital. Tokoh-tokoh seperti Karl Marx, Max
Horkheimer, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse, dan Jürgen Habermas ditampilkan
sebagai pilar utama yang membentuk arah teori kritis. Artikel ini juga
menyoroti kritik terhadap kapitalisme, konsumerisme, rasionalitas instrumental,
patriarki, serta kolonialisme, sekaligus memperlihatkan relevansi filsafat
sosial dan kritis dalam menjawab problem global, mulai dari demokrasi
deliberatif, pendidikan kritis, hingga kapitalisme pengawasan.
Melalui pendekatan reflektif-filosofis dan analisis interdisipliner,
artikel ini menegaskan bahwa filsafat sosial dan kritis tetap menjadi proyek
intelektual yang hidup, terbuka, dan transformatif. Ia berfungsi tidak hanya
sebagai analisis teoretis, tetapi juga sebagai kompas etis dan praksis
emansipatoris untuk menghadapi tantangan abad ke-21.
Kata Kunci: Filsafat
Sosial; Filsafat Kritis; Teori Kritis; Kapitalisme; Demokrasi Deliberatif;
Kesadaran Kritis; Emansipasi; Globalisasi; Feminisme; Teknologi Digital.
PEMBAHASAN
Konsep, Sejarah, Tokoh, Kritik, dan Relevansi Filsafat
Sosial dan Kritis
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang
Masalah
Filsafat sosial dan kritis lahir dari
kebutuhan manusia untuk memahami, mengkritisi, dan mentransformasi realitas
sosial. Sejak awal, filsafat tidak hanya berbicara tentang hakikat keberadaan
(ontologi) atau pengetahuan (epistemologi), tetapi juga tentang relasi manusia
dalam kehidupan bersama, keadilan, dan struktur kekuasaan yang melingkupinya.¹
Dalam konteks modern, kehadiran filsafat kritis yang berakar dari Frankfurt
School menjadi tonggak penting dalam mempersoalkan berbagai bentuk dominasi
dan hegemoni yang tersembunyi dalam kapitalisme, rasionalitas instrumental,
serta budaya massa.²
Filsafat sosial berupaya menjembatani
pemikiran abstrak dengan realitas konkret masyarakat, sementara filsafat kritis
menawarkan pisau analisis untuk membongkar ideologi yang menindas dan
menyamarkan relasi kuasa.³ Keduanya memiliki orientasi yang sama: menghadirkan
kesadaran kritis, emansipasi, dan transformasi sosial. Dalam konteks
globalisasi, digitalisasi, serta krisis multidimensi—ekonomi, politik, budaya,
hingga ekologi—pendekatan filsafat sosial dan kritis semakin relevan.⁴
1.2.      
Rumusan Masalah dan
Tujuan Kajian
Berdasarkan latar belakang tersebut,
beberapa pertanyaan fundamental dapat dirumuskan:
1)                 
Apa yang dimaksud dengan
filsafat sosial dan filsafat kritis, serta bagaimana keduanya saling
berhubungan?
2)                 
Bagaimana sejarah
perkembangan filsafat sosial dan kritis, khususnya kontribusi tokoh-tokoh utama
seperti Karl Marx, Horkheimer, Adorno, Marcuse, dan Habermas?
3)                 
Bagaimana filsafat sosial
dan kritis mengkritisi masyarakat modern yang diliputi kapitalisme,
konsumerisme, dan hegemoni media?
4)                 
Sejauh mana relevansi
filsafat sosial dan kritis dalam menjawab problem-problem kontemporer, termasuk
isu lingkungan, gender, demokrasi, dan teknologi digital?
Tujuan kajian ini adalah:
·                    
Memberikan pemahaman
menyeluruh tentang filsafat sosial dan kritis sebagai bagian penting dari
tradisi filsafat.
·                    
Menelusuri perkembangan
historis dan tokoh-tokoh utama yang membentuk kerangka pemikirannya.
·                    
Menguraikan kritik-kritik
utama terhadap masyarakat modern.
·                    
Menunjukkan relevansinya
dalam menghadapi tantangan kontemporer.
1.3.      
Metodologi Kajian
Kajian ini menggunakan pendekatan
filosofis dengan menggabungkan analisis historis dan refleksi kritis. Secara
metodologis, kajian ini bersandar pada penelitian kepustakaan (library
research) dengan menelaah karya-karya utama dari para tokoh filsafat sosial
dan kritis.⁵ Selain itu, analisis dilakukan dengan memanfaatkan perspektif
interdisipliner—mencakup sosiologi, politik, ekonomi, dan teori budaya—untuk
memahami secara lebih komprehensif konteks sosial yang menjadi objek kajian.⁶
Dengan demikian, artikel ini tidak
hanya deskriptif-historis, melainkan juga normatif-kritis. Artinya, ia tidak
hanya berfokus pada penjelasan tentang apa yang telah dipikirkan para filsuf
sosial dan kritis, tetapi juga pada bagaimana gagasan mereka dapat
diaplikasikan, diuji, atau dikembangkan dalam menghadapi tantangan sosial
kontemporer.⁷
Footnotes
[1]               
Andrew Edgar dan Peter Sedgwick, Cultural Theory:
The Key Concepts (London: Routledge, 2002), 312.
[2]               
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of
Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), xv–xvi.
[3]               
Douglas Kellner, Critical Theory, Marxism, and
Modernity (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1989), 14.
[4]               
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 3–5.
[5]               
Raymond Geuss, The Idea of a Critical Theory:
Habermas and the Frankfurt School (Cambridge: Cambridge University Press,
1981), 7.
[6]               
Craig Calhoun, Critical Social Theory: Culture,
History, and the Challenge of Difference (Oxford: Blackwell, 1995), 22–23.
[7]               
Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study
of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press,
1986), 10.
2.          
Konsep Dasar
Filsafat Sosial
2.1.      
Definisi dan Ruang
Lingkup Filsafat Sosial
Filsafat sosial merupakan cabang filsafat
yang memusatkan perhatian pada hubungan antara individu dan masyarakat, serta
struktur-struktur yang menopang kehidupan kolektif manusia.¹ Ia menelaah norma,
institusi, dan nilai-nilai yang membentuk kehidupan sosial, mulai dari politik,
hukum, agama, hingga budaya.² Tidak seperti filsafat politik yang cenderung
fokus pada kekuasaan dan negara, filsafat sosial lebih luas karena mencakup
seluruh aspek interaksi manusia, baik formal maupun informal.³
Sebagai disiplin, filsafat sosial
berupaya untuk memahami secara konseptual dinamika masyarakat: bagaimana
keadilan ditegakkan, bagaimana norma terbentuk, serta bagaimana manusia
mencapai kehidupan yang bermakna dalam relasi sosialnya.⁴
2.2.      
Tujuan Filsafat
Sosial
Tujuan utama filsafat sosial adalah
menganalisis, mengkritisi, dan mengarahkan masyarakat menuju kondisi yang lebih
adil, bebas, dan manusiawi.⁵ Hal ini menyiratkan adanya fungsi normatif:
filsafat sosial tidak sekadar menjelaskan fenomena sosial, melainkan juga
menilai apakah fenomena itu sesuai dengan prinsip keadilan dan kebebasan.⁶
Dengan demikian, filsafat sosial
memiliki peran ganda. Pertama, ia bersifat deskriptif dengan memetakan
bagaimana masyarakat berfungsi. Kedua, ia bersifat normatif-kritis
dengan menilai apakah tatanan sosial tersebut adil, egaliter, dan
emansipatoris.⁷
2.3.      
Objek Kajian
Filsafat Sosial
Objek kajian filsafat sosial meliputi
berbagai dimensi kehidupan bersama:
1)                 
Norma dan Etika Sosial
– Bagaimana aturan moral dan sosial mengikat manusia dalam komunitasnya.⁸
2)                 
Institusi Sosial – Termasuk
negara, keluarga, ekonomi, pendidikan, dan agama sebagai struktur yang
membentuk identitas dan perilaku kolektif.⁹
3)                 
Keadilan Sosial dan
Kesetaraan – Pertanyaan filosofis mengenai distribusi kekayaan, hak, dan
kewajiban dalam masyarakat.¹⁰
4)                 
Kekuasaan dan Ideologi
– Analisis mengenai bagaimana kekuasaan dijalankan, dipertahankan, dan dilawan
dalam tatanan sosial.¹¹
5)                 
Budaya dan Identitas
– Peran budaya, bahasa, dan simbol dalam membentuk kesadaran sosial.¹²
Dengan ruang lingkup seluas ini,
filsafat sosial menjadi kerangka reflektif yang memungkinkan manusia untuk
memahami sekaligus mengubah kondisi kehidupannya.¹³
Relevansi Konsep Dasar Filsafat Sosial
Pemahaman mendasar tentang filsafat
sosial penting untuk membaca tantangan dunia kontemporer. Di tengah
globalisasi, ketidaksetaraan ekonomi, dan krisis ekologi, filsafat sosial
menghadirkan landasan teoritis untuk mengkaji ulang bagaimana masyarakat
seharusnya diatur.¹⁴ Dengan demikian, filsafat sosial tidak hanya bersifat
teoretis, tetapi juga praktis—memberi arah bagi tindakan kolektif dan kebijakan
publik.¹⁵
Footnotes
[1]               
Nicholas Bunnin dan Jiyuan Yu, The Blackwell
Dictionary of Western Philosophy (Oxford: Blackwell, 2004), 654.
[2]               
Leszek Kołakowski, Modernity on Endless Trial
(Chicago: University of Chicago Press, 1990), 87.
[3]               
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy:
An Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 9.
[4]               
Michael J. Sandel, Justice: What’s the Right Thing
to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 19.
[5]               
Andrew Heywood, Political Theory: An Introduction
(New York: Palgrave Macmillan, 2015), 54.
[6]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1971), 3–4.
[7]               
Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social
Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014),
11.
[8]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 2007), 67.
[9]               
Anthony Giddens, The Constitution of Society:
Outline of the Theory of Structuration (Berkeley: University of California
Press, 1984), 25.
[10]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New York:
Alfred A. Knopf, 1999), 12.
[11]            
Steven Lukes, Power: A Radical View (London:
Macmillan, 2005), 30.
[12]            
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power
(Cambridge: Polity Press, 1991), 45.
[13]            
Craig Calhoun, Social Theory: A Historical
Introduction (Oxford: Blackwell, 2002), 5.
[14]            
David Held dan Anthony McGrew, Globalization/Anti-Globalization
(Cambridge: Polity Press, 2003), 77.
[15]            
Iris Marion Young, Justice and the Politics of
Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 41.
3.          
Konsep Dasar
Filsafat Kritis
3.1.      
Pengertian Filsafat
Kritis
Filsafat kritis berakar dari tradisi Critical
Theory yang berkembang pada awal abad ke-20 melalui Mazhab Frankfurt.¹
Berbeda dengan filsafat tradisional yang cenderung bersifat kontemplatif,
filsafat kritis hadir sebagai filsafat praksis yang berorientasi pada
pembebasan manusia dari dominasi sosial, ekonomi, dan politik.² Max Horkheimer
mendefinisikan teori kritis sebagai upaya filsafat untuk tidak hanya
menjelaskan masyarakat, tetapi juga mengubahnya melalui refleksi kritis yang
menyatukan teori dan praksis.³
Pada intinya, filsafat kritis adalah
usaha filosofis untuk membongkar relasi kuasa yang tersembunyi di balik
struktur sosial dan kebudayaan.⁴ Ia menggabungkan analisis filosofis,
sosiologis, dan politik untuk menghasilkan kesadaran kritis (critical
consciousness) yang mampu menantang ideologi dominan.⁵
3.2.      
Tujuan dan Orientasi
Kritis
Orientasi filsafat kritis bersifat
emansipatoris. Tujuannya adalah membebaskan manusia dari bentuk-bentuk
penindasan yang termanifestasi dalam kapitalisme, budaya massa, dan
rasionalitas instrumental.⁶ Berbeda dengan ilmu sosial positif yang cenderung
netral, filsafat kritis menegaskan bahwa pengetahuan tidak pernah bebas nilai,
melainkan selalu terkait dengan kepentingan tertentu.⁷
Dengan demikian, filsafat kritis tidak
hanya menilai kondisi sosial apa adanya, tetapi juga mengajukan alternatif
normatif menuju masyarakat yang lebih adil.⁸ Ia menuntut keterlibatan aktif
filsuf dalam perjuangan sosial, sehingga refleksi kritis tidak terjebak dalam
abstraksi, melainkan berorientasi pada transformasi.⁹
3.3.      
Metodologi Kritis
Metodologi filsafat kritis ditandai
oleh pendekatan interdisipliner dan dialektis. Pertama, ia menggunakan metode dialektika
untuk menyingkap kontradiksi dalam masyarakat modern, sebagaimana dikembangkan
oleh Hegel dan Marx.¹⁰ Kedua, ia menerapkan kritik ideologi, yakni
membongkar ilusi yang dihasilkan oleh sistem ekonomi-politik dan media yang
mempertahankan status quo.¹¹ Ketiga, filsafat kritis bersifat interdisipliner,
memadukan filsafat, sosiologi, psikologi, ekonomi, dan teori budaya dalam satu
kerangka refleksi.¹²
Habermas kemudian memperluas metodologi
ini dengan menekankan pentingnya tindakan komunikatif, yaitu model
interaksi sosial yang berlandaskan rasionalitas komunikatif dan ruang publik
demokratis.¹³ Dengan metodologi ini, filsafat kritis bukan hanya alat analisis,
tetapi juga proyek normatif yang mengarahkan manusia pada kebebasan dan
keadilan.¹⁴
Relevansi Konsep Dasar Filsafat Kritis
Dalam konteks kontemporer, filsafat
kritis penting untuk membaca dinamika sosial global. Fenomena seperti
neoliberalisme, kapitalisme digital, krisis ekologi, dan ketidakadilan sosial membutuhkan
analisis kritis yang melampaui pendekatan positivistik.¹⁵ Filsafat kritis
memberikan kerangka untuk memahami bahwa pengetahuan, teknologi, dan budaya
tidak netral, melainkan berkelindan dengan struktur kekuasaan.¹⁶
Dengan demikian, konsep dasar filsafat
kritis tidak hanya relevan bagi diskursus akademik, tetapi juga menjadi fondasi
praksis sosial-politik yang berorientasi pada transformasi emansipatoris.¹⁷
Footnotes
[1]               
Rolf Wiggershaus, The Frankfurt School: Its
History, Theories, and Political Significance (Cambridge, MA: MIT Press,
1994), 3.
[2]               
Max Horkheimer, “Traditional and Critical Theory,”
dalam Critical Theory: Selected Essays (New York: Continuum, 2002), 188.
[3]               
Ibid., 192.
[4]               
Martin Jay, The Dialectical Imagination: A History
of the Frankfurt School and the Institute of Social Research (Berkeley:
University of California Press, 1996), 41.
[5]               
Douglas Kellner, Critical Theory, Marxism, and
Modernity (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1989), 27.
[6]               
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in the
Ideology of Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964), xii.
[7]               
Raymond Geuss, The Idea of a Critical Theory:
Habermas and the Frankfurt School (Cambridge: Cambridge University Press,
1981), 2.
[8]               
Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study
of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press,
1986), 23.
[9]               
Andrew Arato dan Eike Gebhardt, The Essential
Frankfurt School Reader (New York: Continuum, 1982), 15.
[10]            
Fredric Jameson, Marxism and Form (Princeton:
Princeton University Press, 1971), 56.
[11]            
Terry Eagleton, Ideology: An Introduction
(London: Verso, 1991), 5.
[12]            
Craig Calhoun, Critical Social Theory: Culture,
History, and the Challenge of Difference (Oxford: Blackwell, 1995), 11.
[13]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 99.
[14]            
Ibid., 101.
[15]            
David Harvey, Seventeen Contradictions and the End
of Capitalism (Oxford: Oxford University Press, 2014), 7.
[16]            
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997),
15.
[17]            
Axel Honneth, The Critique of Power: Reflective
Stages in a Critical Social Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 9.
4.          
Sejarah Perkembangan
Filsafat Sosial dan Kritis
4.1.      
Akar Klasik:
Filsafat Yunani dan Pencerahan
Sejarah filsafat sosial berakar sejak
zaman Yunani kuno. Plato, dalam Republic, membicarakan konsep keadilan
dan struktur ideal negara, sementara Aristoteles dalam Politics
menekankan manusia sebagai zoon politikon, makhluk yang hanya dapat mencapai
kesempurnaan dalam kehidupan bermasyarakat.¹ Pada Abad Pertengahan, filsafat
sosial banyak diwarnai oleh pemikiran teologis seperti Thomas Aquinas yang
menekankan keteraturan sosial berdasarkan hukum kodrat.²
Memasuki Zaman Pencerahan, filsuf
seperti Hobbes, Locke, dan Rousseau mengembangkan teori kontrak sosial untuk
menjelaskan asal-usul masyarakat dan legitimasi negara.³ Tradisi ini melahirkan
gagasan tentang hak asasi manusia, kebebasan, dan kesetaraan, yang kemudian
menjadi fondasi bagi filsafat sosial modern.
4.2.      
Pengaruh Karl Marx
dan Tradisi Marxisme
Lompatan besar dalam sejarah filsafat
sosial terjadi melalui pemikiran Karl Marx. Dalam karya-karyanya seperti The
Communist Manifesto dan Das Kapital, Marx mengkritik kapitalisme
sebagai sistem yang menghasilkan alienasi dan eksploitasi.⁴ Ia memperkenalkan
analisis materialisme historis, yakni pemahaman bahwa perkembangan masyarakat
ditentukan oleh basis ekonomi dan relasi produksi.⁵
Tradisi Marxisme kemudian menjadi
landasan penting bagi kritik sosial di abad ke-19 dan 20, baik dalam bentuk
teori revolusioner maupun adaptasi kritis yang lebih reflektif.⁶
4.3.      
Mazhab Frankfurt dan
Teori Kritis
Pada 1920-an, berdirilah Institut
für Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) di Frankfurt, Jerman, yang
menjadi pusat lahirnya Critical Theory.⁷ Max Horkheimer, Theodor W.
Adorno, Herbert Marcuse, dan Walter Benjamin termasuk tokoh generasi pertama
Mazhab Frankfurt. Mereka berusaha mengembangkan Marxisme dalam konteks baru,
dengan menambahkan analisis budaya, psikologi, dan filsafat.⁸
Karya monumental Dialectic of
Enlightenment (1947) karya Horkheimer dan Adorno menyoroti bagaimana
rasionalitas pencerahan yang semula membebaskan justru berubah menjadi
instrumen dominasi melalui kapitalisme lanjut dan industri budaya.⁹ Sementara
itu, Marcuse dalam One-Dimensional Man (1964) menunjukkan bagaimana
masyarakat industri modern melahirkan manusia yang terjebak dalam konsumerisme
tanpa kesadaran kritis.¹⁰
4.4.      
Habermas dan
Generasi Kedua Teori Kritis
Jürgen Habermas, tokoh generasi kedua
Mazhab Frankfurt, memperluas horizon teori kritis dengan konsep tindakan
komunikatif.¹¹ Berbeda dengan pendahulunya yang lebih pesimis terhadap
modernitas, Habermas menekankan potensi emansipatoris dari rasionalitas
komunikatif yang diwujudkan dalam ruang publik demokratis.¹²
Pemikiran Habermas memindahkan fokus
dari dominasi ekonomi dan budaya menuju pentingnya komunikasi yang bebas
distorsi sebagai syarat demokrasi deliberatif.¹³ Dengan demikian, teori kritis
memasuki fase baru yang lebih optimis terhadap kemungkinan transformasi sosial
melalui diskursus rasional.
4.5.      
Perkembangan
Pasca-Frankfurt
Seiring berjalannya waktu, teori kritis
terus berkembang melalui pemikiran generasi ketiga seperti Axel Honneth dengan
teori pengakuan (recognition theory) yang menekankan pentingnya
penghormatan, solidaritas, dan cinta dalam membangun masyarakat yang adil.¹⁴
Selain itu, teori kritis juga berinteraksi dengan pemikiran kontemporer lain,
seperti teori feminis (Nancy Fraser), teori poskolonial (Edward Said, Gayatri
Spivak), dan teori budaya (Stuart Hall).¹⁵
Dengan keterbukaan pada isu-isu baru,
filsafat kritis berhasil memperluas cakrawalanya, menjadikannya relevan dalam
menghadapi tantangan kontemporer, termasuk globalisasi, neoliberalisme, dan
krisis lingkungan.¹⁶
Sintesis Historis
Dari akar klasik hingga perkembangannya
saat ini, filsafat sosial dan kritis menunjukkan kontinuitas sekaligus
perubahan. Kontinuitasnya terletak pada upaya reflektif terhadap keadilan,
kebebasan, dan struktur sosial, sementara perubahannya tampak dalam orientasi
yang semakin plural, interdisipliner, dan peka terhadap isu-isu baru.¹⁷ Sejarah
ini menegaskan bahwa filsafat sosial dan kritis bukanlah tradisi yang statis,
melainkan proyek intelektual yang terus berkembang sesuai dengan dinamika
zaman.
Footnotes
[1]               
Plato, Republic, terj. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett, 1992), 45.
[2]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, ed. Fathers
of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), II-II,
Q.58.
[3]               
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract,
terj. Maurice Cranston (London: Penguin, 1968), 49.
[4]               
Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist
Manifesto (London: Verso, 1998), 12.
[5]               
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy,
Vol. I (London: Penguin, 1990), 175.
[6]               
Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of
Karl Marx (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 93.
[7]               
Rolf Wiggershaus, The Frankfurt School: Its
History, Theories, and Political Significance (Cambridge, MA: MIT Press,
1994), 56.
[8]               
Martin Jay, The Dialectical Imagination: A History
of the Frankfurt School and the Institute of Social Research (Berkeley:
University of California Press, 1996), 78.
[9]               
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of
Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), xiii.
[10]            
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in
the Ideology of Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964),
3.
[11]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.
[12]            
Ibid., 101.
[13]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 24.
[14]            
Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The
Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 92.
[15]            
Nancy Fraser, Redistribution or Recognition? A
Political-Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 11.
[16]            
Edward Said, Culture and Imperialism (New York:
Vintage, 1994), 19.
[17]            
Craig Calhoun, Social Theory: A Historical
Introduction (Oxford: Blackwell, 2002), 288.
5.          
Tokoh-Tokoh Utama
5.1.      
Karl Marx: Kritik
Kapitalisme dan Alienasi
Karl Marx (1818–1883) merupakan fondasi
utama bagi filsafat sosial dan kritis. Dalam Das Kapital dan The
Communist Manifesto, Marx menunjukkan bagaimana kapitalisme menghasilkan
ketimpangan melalui relasi produksi yang eksploitatif.¹ Konsep alienasi
(Entfremdung) yang ia kembangkan menggambarkan keterasingan manusia dari hasil
kerjanya, sesama, dan bahkan dirinya sendiri akibat logika kapitalisme.²
Analisis Marx menekankan materialisme historis, yakni bahwa perkembangan
sejarah ditentukan oleh kontradiksi antara basis ekonomi dan suprastruktur
ideologis.³
5.2.      
Max Horkheimer:
Teori Kritis sebagai Proyek Emansipasi
Max Horkheimer (1895–1973), direktur
Institut Penelitian Sosial Frankfurt, memformulasikan konsep Critical Theory.⁴
Dalam esainya “Traditional and Critical Theory,” ia membedakan teori
tradisional yang bersifat deskriptif dengan teori kritis yang bersifat
emansipatoris.⁵ Horkheimer menegaskan bahwa filsafat harus berpihak pada
pembebasan manusia dari dominasi, bukan sekadar menjelaskan realitas sosial.
Bersama Adorno, ia menulis Dialectic of Enlightenment, yang mengkritik
rasionalitas modern sebagai sarana dominasi baru.⁶
5.3.      
Theodor W. Adorno:
Kritik Budaya Massa
Theodor W. Adorno (1903–1969) dikenal
dengan analisis tajamnya terhadap industri budaya. Menurutnya, budaya modern
tidak lagi mendorong kreativitas, melainkan menjadi alat reproduksi ideologi
kapitalis melalui standar komodifikasi.⁷ Dalam Minima Moralia dan Dialectic
of Enlightenment, Adorno menyoroti bagaimana seni, musik, dan media berubah
menjadi instrumen homogenisasi kesadaran.⁸ Ia pesimis terhadap potensi
pencerahan, karena modernitas justru melahirkan bentuk baru dari
keterbelengguan manusia.⁹
5.4.      
Herbert Marcuse:
Masyarakat Satu Dimensi
Herbert Marcuse (1898–1979) melalui
karya One-Dimensional Man mengkritik masyarakat industri maju yang
menciptakan individu tanpa daya kritis, terjebak dalam konsumsi dan
keseragaman.¹⁰ Konsep “masyarakat satu dimensi” menunjukkan bagaimana teknologi
dan kapitalisme menginternalisasi dominasi dalam kesadaran manusia.¹¹ Marcuse
menjadi inspirasi penting bagi gerakan mahasiswa 1968, karena ia menekankan
pentingnya resistensi radikal terhadap sistem yang menindas.¹²
5.5.      
Jürgen Habermas:
Rasionalitas Komunikatif
Jürgen Habermas (1929– ) melanjutkan
tradisi Frankfurt dengan memperkenalkan konsep rasionalitas komunikatif.¹³
Berbeda dengan pesimisme Adorno dan Horkheimer, Habermas melihat adanya potensi
emansipasi melalui komunikasi bebas distorsi dalam ruang publik.¹⁴ Dalam The
Theory of Communicative Action, ia menekankan bahwa konsensus yang dicapai
melalui diskursus rasional dapat menjadi dasar demokrasi deliberatif.¹⁵
Habermas juga mengkritik kolonisasi dunia-hidup oleh sistem ekonomi dan
administratif yang mengikis solidaritas sosial.¹⁶
5.6.      
Tokoh Lain:
Foucault, Bourdieu, dan Generasi Baru
Selain tokoh Frankfurt, pemikir lain
turut memberi kontribusi penting dalam tradisi filsafat kritis. Michel Foucault
(1926–1984) menyoroti bagaimana kekuasaan beroperasi melalui wacana dan praktik
disipliner, bukan hanya melalui institusi negara.¹⁷ Pierre Bourdieu (1930–2002)
mengembangkan konsep habitus dan modal simbolik untuk menjelaskan
bagaimana struktur sosial direproduksi melalui budaya dan pendidikan.¹⁸
Generasi kontemporer seperti Axel
Honneth mengembangkan teori pengakuan (recognition theory), sementara
Nancy Fraser memperluas teori kritis dengan memasukkan isu feminisme, keadilan
global, dan neoliberalisme.¹⁹ Dengan demikian, filsafat sosial dan kritis tidak
hanya berhenti pada Frankfurt School, tetapi terus berkembang mengikuti
dinamika zaman.²⁰
Sintesis Tokoh-Tokoh
Dari Marx hingga Habermas, dari Adorno
hingga Foucault, para tokoh ini menunjukkan bahwa filsafat sosial dan kritis
adalah proyek kolektif yang selalu berubah.²¹ Mereka berbeda dalam pendekatan,
namun memiliki benang merah: mengungkap dominasi yang tersembunyi, menolak
hegemoni, dan memperjuangkan emansipasi manusia.²²
Footnotes
[1]               
Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist
Manifesto (London: Verso, 1998), 12.
[2]               
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of
1844, terj. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 72.
[3]               
Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of
Karl Marx (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 93.
[4]               
Rolf Wiggershaus, The Frankfurt School: Its
History, Theories, and Political Significance (Cambridge, MA: MIT Press,
1994), 102.
[5]               
Max Horkheimer, “Traditional and Critical Theory,”
dalam Critical Theory: Selected Essays (New York: Continuum, 2002), 188.
[6]               
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of
Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), xiii.
[7]               
Theodor W. Adorno, The Culture Industry: Selected
Essays on Mass Culture (London: Routledge, 1991), 34.
[8]               
Theodor W. Adorno, Minima Moralia: Reflections from
Damaged Life (London: Verso, 1974), 15.
[9]               
Martin Jay, The Dialectical Imagination: A History
of the Frankfurt School and the Institute of Social Research (Berkeley:
University of California Press, 1996), 252.
[10]            
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in
the Ideology of Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964),
3.
[11]            
Ibid., 10.
[12]            
Douglas Kellner, Herbert Marcuse and the Crisis of
Marxism (Berkeley: University of California Press, 1984), 19.
[13]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.
[14]            
Ibid., 101.
[15]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 24.
[16]            
Ibid., 345.
[17]            
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth
of the Prison (New York: Pantheon Books, 1977), 27.
[18]            
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice
(Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 72.
[19]            
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997),
15.
[20]            
Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social
Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014),
12.
[21]            
Craig Calhoun, Social Theory: A Historical
Introduction (Oxford: Blackwell, 2002), 288.
[22]            
Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study
of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press,
1986), 45.
6.          
Kritik terhadap
Masyarakat Modern
6.1.      
Kritik terhadap
Kapitalisme dan Konsumerisme
Salah satu tema utama dalam filsafat
sosial dan kritis adalah kritik terhadap kapitalisme modern. Karl Marx telah
menunjukkan bagaimana kapitalisme melahirkan eksploitasi dan ketimpangan
struktural melalui sistem kepemilikan privat atas alat produksi.¹ Tradisi
kritis kemudian memperluas kritik ini dengan menyoroti konsumerisme sebagai
bentuk baru dari dominasi, di mana manusia diposisikan bukan sebagai subjek
yang bebas, melainkan sebagai konsumen pasif yang ditentukan oleh logika
pasar.² Herbert Marcuse menyebut fenomena ini sebagai “masyarakat satu
dimensi,” yakni kondisi di mana individu kehilangan daya kritis karena larut
dalam kebutuhan semu yang diproduksi sistem kapitalisme.³
6.2.      
Kritik terhadap
Rasionalitas Instrumental dan Teknologi
Horkheimer dan Adorno, dalam Dialectic
of Enlightenment, mengkritik bagaimana rasionalitas pencerahan yang semula
bertujuan membebaskan justru berubah menjadi rasionalitas instrumental yang
mendukung dominasi.⁴ Rasionalitas instrumental menempatkan efisiensi dan
kontrol sebagai nilai tertinggi, tanpa memperhatikan aspek etis dan
emansipatoris.⁵ Kritik ini menjadi semakin relevan dalam era teknologi digital,
di mana algoritma, data, dan kecerdasan buatan tidak hanya menjadi alat teknis,
tetapi juga sarana reproduksi kekuasaan dan pengawasan sosial.⁶
6.3.      
Kritik terhadap
Ideologi dan Media Massa
Adorno dan Horkheimer memperkenalkan
istilah “industri budaya” untuk menjelaskan bagaimana media massa memproduksi
kesadaran palsu (false consciousness).⁷ Melalui film, musik, dan iklan,
industri budaya menciptakan ilusi kebahagiaan yang justru menutupi
ketidakadilan struktural.⁸ Media tidak lagi menjadi sarana emansipasi,
melainkan instrumen hegemonik yang melanggengkan status quo.⁹ Pandangan ini kemudian
diperkaya oleh analisis Michel Foucault mengenai wacana dan kekuasaan, serta
Pierre Bourdieu tentang dominasi simbolik, yang menegaskan bahwa ideologi
bekerja melalui mekanisme halus yang membentuk persepsi sosial.¹⁰
6.4.      
Kritik terhadap
Ketidakadilan Sosial dan Kelas
Filsafat sosial dan kritis juga
menyoroti persoalan ketidakadilan sosial. Marx menegaskan bahwa perjuangan
kelas adalah motor sejarah, di mana kelas proletariat berhadapan dengan
borjuasi.¹¹ Pada perkembangan kontemporer, teori kritis memperluas analisis
ketidakadilan tidak hanya pada kelas ekonomi, tetapi juga pada dimensi
kultural, politik, dan identitas.¹² Nancy Fraser, misalnya, menunjukkan bahwa
keadilan tidak cukup dipahami dalam kerangka distribusi ekonomi, melainkan juga
dalam hal pengakuan identitas dan representasi politik.¹³
6.5.      
Kritik terhadap
Patriarki dan Dominasi Gender
Gerakan feminis kritis mengintegrasikan
analisis gender dalam tradisi filsafat sosial dan kritis. Feminisme menyoroti
bagaimana patriarki beroperasi sebagai struktur dominasi yang mengatur relasi
gender dalam ranah domestik maupun publik.¹⁴ Teori feminis kontemporer
mengkritik tidak hanya diskriminasi langsung, tetapi juga mekanisme halus yang
menormalisasi ketidaksetaraan gender.¹⁵ Dalam hal ini, filsafat kritis memberi
ruang untuk membongkar konstruksi sosial yang menindas perempuan dan kelompok
gender minoritas.¹⁶
6.6.      
Kritik terhadap
Kolonialisme dan Neo-Imperialisme
Selain kapitalisme dan patriarki,
filsafat kritis kontemporer juga menyoroti persoalan kolonialisme dan bentuk
neo-imperialisme. Edward Said dalam Orientalism menunjukkan bagaimana
Barat membangun citra tentang Timur sebagai “yang lain” untuk mempertahankan
dominasi kolonial.¹⁷ Pemikiran poskolonial ini melanjutkan semangat kritis
dengan menantang hegemoni global yang mewarisi ketidaksetaraan kolonial.
Gayatri Spivak dan Homi Bhabha kemudian menambahkan dimensi identitas hibrid
dan suara subaltern sebagai bagian dari kritik terhadap dominasi global.¹⁸
Sintesis Kritik Sosial Modern
Dari berbagai perspektif tersebut,
jelas bahwa filsafat sosial dan kritis memiliki peran penting dalam mengungkap
struktur dominasi yang tersembunyi di balik modernitas.¹⁹ Kritik terhadap
kapitalisme, teknologi, media, patriarki, dan kolonialisme menunjukkan bahwa
modernitas bukan hanya proyek pencerahan, tetapi juga mengandung potensi
penindasan baru.²⁰ Dengan kesadaran kritis, filsafat sosial dan kritis berusaha
membuka ruang bagi transformasi menuju masyarakat yang lebih adil dan
emansipatoris.²¹
Footnotes
[1]               
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy,
Vol. I (London: Penguin, 1990), 175.
[2]               
Jean Baudrillard, The Consumer Society: Myths and
Structures (London: Sage, 1998), 25.
[3]               
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston:
Beacon Press, 1964), 12.
[4]               
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of
Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), xiii.
[5]               
Andrew Feenberg, Critical Theory of Technology
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 14.
[6]               
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism
(New York: PublicAffairs, 2019), 8.
[7]               
Theodor W. Adorno, The Culture Industry: Selected
Essays on Mass Culture (London: Routledge, 1991), 43.
[8]               
Ibid., 55.
[9]               
Stuart Hall, Representation: Cultural
Representations and Signifying Practices (London: Sage, 1997), 89.
[10]            
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power
(Cambridge: Polity Press, 1991), 45.
[11]            
Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist
Manifesto (London: Verso, 1998), 12.
[12]            
Craig Calhoun, Critical Social Theory (Oxford:
Blackwell, 1995), 67.
[13]            
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997),
15.
[14]            
Simone de Beauvoir, The Second Sex (New York:
Vintage, 1989), 23.
[15]            
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the
Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 4.
[16]            
Iris Marion Young, Justice and the Politics of
Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 123.
[17]            
Edward Said, Orientalism (New York: Vintage,
1978), 11.
[18]            
Gayatri Chakravorty Spivak, Can the Subaltern
Speak? (Basingstoke: Macmillan, 1988), 22.
[19]            
Douglas Kellner, Critical Theory, Marxism, and
Modernity (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1989), 27.
[20]            
Martin Jay, The Dialectical Imagination
(Berkeley: University of California Press, 1996), 286.
[21]            
Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social
Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014),
11.
7.          
Isu dan Perdebatan
Kontemporer
7.1.      
Globalisasi,
Neoliberalisme, dan Krisis Sosial
Globalisasi telah memperluas interaksi
ekonomi, politik, dan budaya, namun juga menghadirkan bentuk baru dari dominasi
global.¹ Neoliberalisme, dengan logika deregulasi dan privatisasi, memperdalam
kesenjangan sosial dan menggerus peran negara dalam menjamin kesejahteraan.²
Filsafat kritis memandang globalisasi sebagai fenomena ambivalen: di satu sisi
membuka peluang interaksi lintas budaya, di sisi lain memperkuat hegemoni
kapitalisme global.³ Perdebatan muncul mengenai bagaimana teori kritis dapat
merespons tantangan globalisasi tanpa jatuh ke dalam relativisme budaya ataupun
hegemoni ekonomi pasar.⁴
7.2.      
Isu Lingkungan dan
Ekologi Kritis
Krisis ekologis menjadi salah satu
problem terbesar abad ke-21. Filsafat kritis memperlihatkan bahwa kerusakan
lingkungan tidak dapat dipisahkan dari logika kapitalisme yang eksploitatif.⁵
Tokoh seperti Herbert Marcuse telah menyinggung keterhubungan antara teknologi,
produksi, dan degradasi alam.⁶ Di era kontemporer, teori ekologi kritis
menekankan perlunya paradigma alternatif yang menolak dominasi manusia atas
alam, dan menggantinya dengan hubungan yang lebih berkelanjutan.⁷ Perdebatan
utama terletak pada apakah solusi ekologis dapat dicapai melalui reformasi
struktural kapitalisme atau membutuhkan transformasi radikal terhadap seluruh
sistem sosial-ekonomi.⁸
7.3.      
Keadilan Sosial dan
Multikulturalisme
Dalam masyarakat multikultural,
perdebatan tentang keadilan sosial tidak hanya berkisar pada distribusi
ekonomi, tetapi juga pengakuan identitas dan representasi politik.⁹ Nancy
Fraser menekankan bahwa keadilan harus dipahami secara ganda: sebagai
redistribusi sumber daya sekaligus pengakuan terhadap identitas yang
terpinggirkan.¹⁰ Hal ini menimbulkan diskusi tentang bagaimana demokrasi dapat
mengakomodasi perbedaan budaya tanpa terjebak dalam fragmentasi sosial.¹¹ Teori
kritis kontemporer berusaha menjawab dilema ini dengan mengedepankan
solidaritas kosmopolitan yang melampaui batas etnis, agama, dan bangsa.¹²
7.4.      
Gerakan Feminisme
dan Teori Gender Kritis
Feminisme merupakan salah satu medan
penting dalam perkembangan filsafat kritis.¹³ Judith Butler, melalui gagasannya
tentang konstruksi gender, menantang konsep identitas yang esensialis dan
menunjukkan bahwa gender adalah performativitas yang dihasilkan oleh norma
sosial.¹⁴ Perdebatan muncul antara feminisme gelombang kedua yang menekankan
kesetaraan formal dengan feminisme post-strukturalis yang mengkritik norma
heteronormatif.¹⁵ Teori kritis di sini menjadi wadah refleksi mengenai
bagaimana patriarki beroperasi dalam relasi sosial, politik, dan ekonomi, serta
bagaimana strategi emansipasi gender dapat dirumuskan.¹⁶
7.5.      
Isu Teknologi, Big
Data, dan Masyarakat Digital
Perkembangan teknologi informasi, media
sosial, dan big data menimbulkan tantangan baru bagi filsafat sosial dan
kritis. Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai “kapitalisme pengawasan,”
di mana data personal diperdagangkan sebagai komoditas baru.¹⁷ Hal ini
menimbulkan perdebatan mengenai privasi, kebebasan, dan kontrol sosial di era
digital.¹⁸ Selain itu, algoritma yang mengatur arus informasi berpotensi
memperkuat polarisasi sosial dan manipulasi politik.¹⁹ Filsafat kritis berperan
penting dalam membongkar ideologi teknologi, sekaligus merumuskan kerangka etis
dan normatif untuk menghadapi tantangan digital.²⁰
Sintesis Perdebatan Kontemporer
Isu-isu kontemporer ini menunjukkan
bahwa filsafat sosial dan kritis tidak berhenti pada analisis kapitalisme
klasik, melainkan terus berkembang menjawab tantangan zaman.²¹ Perdebatan
seputar globalisasi, ekologi, multikulturalisme, feminisme, dan teknologi
menegaskan perlunya teori kritis yang adaptif, interdisipliner, dan
transformatif.²² Dengan demikian, filsafat kritis tetap menjadi medan refleksi
yang relevan bagi pencarian keadilan dan emansipasi dalam masyarakat global
kontemporer.²³
Footnotes
[1]               
David Held dan Anthony McGrew, Globalization/Anti-Globalization
(Cambridge: Polity Press, 2003), 45.
[2]               
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 3.
[3]               
Ulrich Beck, What Is Globalization? (Cambridge:
Polity Press, 2000), 23.
[4]               
Craig Calhoun, Critical Social Theory (Oxford:
Blackwell, 1995), 102.
[5]               
John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism
and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 14.
[6]               
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston:
Beacon Press, 1964), 232.
[7]               
Andrew Dobson, Green Political Thought (London:
Routledge, 2007), 18.
[8]               
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 27.
[9]               
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship
(Oxford: Oxford University Press, 1995), 75.
[10]            
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections
on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11.
[11]            
Charles Taylor, Multiculturalism and “The Politics
of Recognition” (Princeton: Princeton University Press, 1992), 37.
[12]            
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a
World of Strangers (New York: W.W. Norton, 2006), 49.
[13]            
bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center
(Boston: South End Press, 1984), 25.
[14]            
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the
Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 25.
[15]            
Chris Beasley, What Is Feminism? (London: Sage,
1999), 67.
[16]            
Iris Marion Young, Justice and the Politics of
Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 131.
[17]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism
(New York: PublicAffairs, 2019), 8.
[18]            
Evgeny Morozov, The Net Delusion: The Dark Side of
Internet Freedom (New York: PublicAffairs, 2011), 112.
[19]            
Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression
(New York: NYU Press, 2018), 3.
[20]            
Andrew Feenberg, Transforming Technology: A
Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 41.
[21]            
Martin Jay, The Dialectical Imagination
(Berkeley: University of California Press, 1996), 288.
[22]            
Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social
Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014),
9.
[23]            
Seyla Benhabib, Another Cosmopolitanism
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 12.
8.          
Relevansi Filsafat
Sosial dan Kritis
8.1.      
Relevansi dalam
Analisis Sosial Kontemporer
Filsafat sosial dan kritis tetap
relevan sebagai alat analisis untuk memahami problematika dunia kontemporer.
Ketimpangan global, krisis ekonomi, dan konflik identitas menunjukkan bahwa
masyarakat modern masih dikuasai oleh struktur dominasi yang kompleks.¹ Teori
kritis membantu membongkar relasi kuasa yang tersembunyi dalam ekonomi
neoliberal, budaya populer, dan politik identitas.² Dengan kerangka kritis,
masyarakat dapat melihat bahwa fenomena sosial bukanlah sesuatu yang netral,
melainkan terikat pada kepentingan ideologis.³
8.2.      
Relevansi dalam
Pendidikan dan Kesadaran Kritis
Dalam bidang pendidikan, filsafat
kritis berkontribusi melalui gagasan pedagogi kritis yang dikembangkan
oleh Paulo Freire. Freire menekankan pentingnya kesadaran kritis (conscientização)
agar peserta didik mampu memahami realitas sosial secara reflektif dan
berpartisipasi dalam transformasi masyarakat.⁴ Pendidikan tidak lagi sekadar
proses transfer pengetahuan, melainkan sarana emansipasi yang memerdekakan.⁵
Dengan demikian, filsafat sosial dan kritis berfungsi membangun generasi yang
sadar terhadap ketidakadilan dan siap mengubahnya.⁶
8.3.      
Relevansi dalam
Praktik Politik dan Demokrasi
Filsafat sosial dan kritis juga
memainkan peran penting dalam penguatan demokrasi. Habermas, dengan teori
tindakan komunikatifnya, menawarkan model demokrasi deliberatif yang menekankan
diskursus bebas distorsi sebagai syarat tercapainya legitimasi politik.⁷ Dalam
era meningkatnya populisme dan disinformasi digital, gagasan ini menjadi
semakin penting untuk menjaga ruang publik yang sehat.⁸ Dengan kerangka kritis,
politik tidak sekadar perebutan kekuasaan, tetapi juga forum dialog rasional
demi kepentingan bersama.⁹
8.4.      
Relevansi dalam
Etika dan Keadilan Global
Isu-isu global seperti migrasi,
perubahan iklim, dan ketidaksetaraan ekonomi menuntut pendekatan etis yang
transnasional.¹⁰ Teori kritis menawarkan kerangka etika kosmopolitan yang
menekankan solidaritas, pengakuan, dan redistribusi.¹¹ Nancy Fraser, misalnya,
menunjukkan bahwa keadilan global tidak bisa dipisahkan dari keadilan lokal,
karena keduanya saling terkait dalam tatanan neoliberal global.¹² Dengan
demikian, filsafat sosial dan kritis memberi pijakan normatif untuk membangun
tatanan global yang lebih adil dan berkelanjutan.¹³
8.5.      
Relevansi dalam Era
Digital dan Teknologi
Perkembangan teknologi digital, big
data, dan kecerdasan buatan memunculkan bentuk baru kapitalisme: kapitalisme
pengawasan. Shoshana Zuboff menekankan bahwa data personal kini menjadi
komoditas baru yang diperdagangkan oleh korporasi global.¹⁴ Filsafat kritis
membantu mengungkap bagaimana teknologi, alih-alih netral, justru memperdalam relasi
dominasi melalui kontrol sosial yang tersembunyi.¹⁵ Dalam konteks ini,
relevansi filsafat kritis terletak pada perannya sebagai pengingat bahwa
teknologi harus diarahkan untuk tujuan emansipasi, bukan sekadar profit dan
kontrol.¹⁶
Sintesis Relevansi Kontemporer
Dengan berbagai dimensi tersebut, jelas
bahwa filsafat sosial dan kritis tetap memiliki signifikansi besar dalam dunia
kontemporer. Ia berfungsi sebagai pisau analisis, sarana pendidikan kritis,
kerangka politik deliberatif, dan fondasi etika global.¹⁷ Lebih jauh, filsafat
sosial dan kritis menjadi kompas normatif untuk menghadapi tantangan
zaman—mulai dari krisis ekonomi, ekologi, gender, hingga teknologi digital.¹⁸
Footnotes
[1]               
David Harvey, Seventeen Contradictions and the End
of Capitalism (Oxford: Oxford University Press, 2014), 7.
[2]               
Douglas Kellner, Media Culture: Cultural Studies,
Identity and Politics between the Modern and the Postmodern (London:
Routledge, 1995), 12.
[3]               
Terry Eagleton, Ideology: An Introduction
(London: Verso, 1991), 15.
[4]               
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New
York: Continuum, 2000), 35.
[5]               
Henry A. Giroux, Theory and Resistance in
Education: Towards a Pedagogy for the Opposition (Westport, CT: Bergin
& Garvey, 2001), 17.
[6]               
bell hooks, Teaching to Transgress: Education as
the Practice of Freedom (New York: Routledge, 1994), 13.
[7]               
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 24.
[8]               
Zizi Papacharissi, A Private Sphere: Democracy in a
Digital Age (Cambridge: Polity Press, 2010), 5.
[9]               
Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London:
Verso, 2000), 49.
[10]            
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights
(Cambridge: Polity Press, 2002), 21.
[11]            
Seyla Benhabib, Another Cosmopolitanism (Oxford:
Oxford University Press, 2006), 12.
[12]            
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining
Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University
Press, 2008), 15.
[13]            
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a
World of Strangers (New York: W.W. Norton, 2006), 32.
[14]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism
(New York: PublicAffairs, 2019), 8.
[15]            
Evgeny Morozov, To Save Everything, Click Here: The
Folly of Technological Solutionism (New York: PublicAffairs, 2013), 76.
[16]            
Andrew Feenberg, Transforming Technology: A
Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 41.
[17]            
Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social
Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014),
9.
[18]            
Martin Jay, The Dialectical Imagination: A History
of the Frankfurt School and the Institute of Social Research (Berkeley:
University of California Press, 1996), 286.
9.          
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
9.1.      
Hubungan Filsafat
Sosial dan Kritis dengan Tradisi Filsafat Umum
Filsafat sosial dan kritis dapat
dipahami sebagai perpanjangan dari tradisi filsafat klasik yang sejak Plato dan
Aristoteles telah membicarakan keadilan, etika, dan kehidupan bersama.¹ Namun,
yang membedakannya adalah orientasi praksis dan emansipatoris. Jika filsafat
tradisional sering berfokus pada kontemplasi teoretis, filsafat sosial dan
kritis memadukannya dengan dorongan untuk mengubah realitas sosial.² Dengan
demikian, ia menjadi jembatan antara teori dan praksis, antara refleksi
filosofis dan transformasi historis.³
9.2.      
Integrasi dengan
Ilmu Sosial dan Humaniora
Sejak awal perkembangannya, teori
kritis bersifat interdisipliner: ia menyerap wawasan dari sosiologi, psikologi,
ekonomi, hingga teori budaya.⁴ Pendekatan ini menjadikan filsafat kritis tidak
terjebak dalam spekulasi abstrak, melainkan berakar pada realitas sosial yang
kompleks.⁵ Di era kontemporer, filsafat sosial dan kritis semakin berinteraksi
dengan berbagai disiplin, seperti feminisme, ekologi, studi poskolonial, dan
kajian media.⁶ Integrasi ini memperlihatkan bahwa filsafat tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan sosial, melainkan harus menjadi refleksi atas problem
nyata yang dihadapi manusia.⁷
9.3.      
Refleksi atas
Harapan dan Tantangan Abad ke-21
Filsafat sosial dan kritis menghadapi
tantangan besar di era globalisasi, neoliberalisme, krisis ekologi, dan
revolusi digital.⁸ Tantangan ini menuntut agar filsafat kritis tidak berhenti
pada kritik terhadap kapitalisme klasik, melainkan memperluas diri untuk
merespons bentuk dominasi baru seperti kapitalisme digital, patriarki global, dan
ketidakadilan ekologis.⁹ Refleksi filosofis menunjukkan bahwa harapan
emansipasi masih terbuka, sejauh manusia mampu membangun kesadaran kritis,
solidaritas global, dan ruang publik yang inklusif.¹⁰
Di sisi lain, filsafat sosial dan
kritis juga harus menjaga keseimbangan antara pesimisme dan utopia. Sebagaimana
ditunjukkan Adorno, kritik tidak boleh kehilangan daya radikalnya, tetapi
sebagaimana ditekankan Habermas, kritik harus juga menyediakan horizon normatif
yang memungkinkan perubahan sosial.¹¹ Dengan demikian, filsafat kritis bukan
sekadar skeptisisme, melainkan juga sebuah proyek etis dan politis yang
menegaskan martabat manusia.¹²
Sintesis Filosofis
Dari keseluruhan pembahasan dapat
disintesiskan bahwa filsafat sosial dan kritis adalah tradisi reflektif yang:
1)                 
Berakar pada warisan
klasik, tetapi berorientasi pada praksis transformasi.
2)                 
Bersifat interdisipliner,
mengintegrasikan filsafat dengan ilmu sosial.
3)                 
Menawarkan kritik tajam
terhadap modernitas sekaligus horizon normatif emansipasi.
4)                 
Relevan untuk menjawab
tantangan global kontemporer melalui pendekatan kritis dan dialogis.
Dengan demikian, refleksi filosofis ini
menegaskan bahwa filsafat sosial dan kritis tetap merupakan proyek yang hidup,
terbuka, dan terus berkembang, sejalan dengan perubahan zaman.¹³
Footnotes
[1]               
Plato, Republic, terj. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett, 1992), 45.
[2]               
Max Horkheimer, “Traditional and Critical Theory,”
dalam Critical Theory: Selected Essays (New York: Continuum, 2002), 188.
[3]               
Martin Jay, The Dialectical Imagination: A History
of the Frankfurt School and the Institute of Social Research (Berkeley:
University of California Press, 1996), 41.
[4]               
Rolf Wiggershaus, The Frankfurt School: Its
History, Theories, and Political Significance (Cambridge, MA: MIT Press, 1994),
56.
[5]               
Craig Calhoun, Critical Social Theory: Culture,
History, and the Challenge of Difference (Oxford: Blackwell, 1995), 23.
[6]               
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997),
15.
[7]               
bell hooks, Teaching to Transgress: Education as
the Practice of Freedom (New York: Routledge, 1994), 13.
[8]               
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 3.
[9]               
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism
(New York: PublicAffairs, 2019), 8.
[10]            
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New
York: Continuum, 2000), 45.
[11]            
Theodor W. Adorno, Minima Moralia: Reflections from
Damaged Life (London: Verso, 1974), 25.
[12]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 99.
[13]            
Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social
Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014),
9.
10.      
Penutup
10.1.   
Kesimpulan Utama
Filsafat sosial dan kritis merupakan
tradisi pemikiran yang berangkat dari refleksi klasik tentang kehidupan bersama
hingga berkembang menjadi proyek intelektual yang berorientasi emansipasi.¹
Dari Marx hingga Habermas, dari Adorno hingga Fraser, filsafat ini selalu
berusaha membongkar bentuk-bentuk dominasi yang tersembunyi di balik struktur
sosial, ekonomi, politik, dan budaya.² Ia menolak netralitas semu ilmu
pengetahuan, dan sebaliknya menegaskan bahwa filsafat harus berpihak pada
kebebasan, keadilan, dan solidaritas.³
10.2.   
Prospek dan
Tantangan
Dalam dunia kontemporer, relevansi
filsafat sosial dan kritis semakin nyata. Neoliberalisme, globalisasi, krisis
ekologi, patriarki, serta kapitalisme digital menunjukkan bahwa dominasi tidak
lagi hadir hanya dalam bentuk klasik, tetapi dalam wujud yang lebih kompleks
dan tersembunyi.⁴ Tantangan utama bagi filsafat kritis adalah bagaimana
memperbarui diri agar tetap mampu menjawab dinamika zaman tanpa kehilangan daya
reflektif dan normatifnya.⁵
Prospeknya terletak pada kemampuan
filsafat kritis untuk menjadi kompas moral dan intelektual dalam menghadapi
ketidakpastian global. Dengan integrasi interdisipliner dan keterbukaan
terhadap isu-isu baru—seperti feminisme, ekologi, dan teknologi
digital—filsafat sosial dan kritis dapat terus menjadi proyek pembebasan yang
relevan.⁶
10.3.   
Rekomendasi untuk
Penelitian Lanjutan
Sebagai tradisi pemikiran yang dinamis,
filsafat sosial dan kritis membuka peluang luas untuk penelitian lanjutan.
Beberapa arah yang potensial antara lain:
1)                 
Analisis kritis terhadap
kapitalisme digital dan dampaknya bagi kebebasan individu.
2)                 
Studi interseksionalitas
yang menggabungkan kritik kelas, gender, dan ras dalam perspektif global.
3)                 
Penelitian tentang pedagogi
kritis di era media sosial dan pendidikan daring.
4)                 
Eksplorasi ekologi kritis
dalam menghadapi krisis iklim dan degradasi lingkungan.
Dengan demikian, filsafat sosial dan
kritis tidak hanya menjadi warisan intelektual, tetapi juga sebuah proyek
terbuka yang terus menantang generasi baru untuk melanjutkan perjuangan
emansipasi.⁷
Penutup Reflektif
Sejarah panjang filsafat sosial dan
kritis menunjukkan bahwa filsafat bukan sekadar wacana abstrak, melainkan
praksis reflektif yang berhubungan langsung dengan kehidupan manusia.⁸ Dalam
setiap tahapannya, filsafat ini selalu menegaskan bahwa tugas filsafat adalah to
interpret the world and to change it—menafsirkan dunia sekaligus
mengubahnya.⁹ Oleh karena itu, penutup ini bukanlah akhir dari pembahasan,
melainkan undangan untuk terus melanjutkan refleksi kritis demi mewujudkan
masyarakat yang lebih adil, bebas, dan manusiawi.¹⁰
Footnotes
[1]               
Martin Jay, The Dialectical Imagination: A History
of the Frankfurt School and the Institute of Social Research (Berkeley:
University of California Press, 1996), 41.
[2]               
Rolf Wiggershaus, The Frankfurt School: Its
History, Theories, and Political Significance (Cambridge, MA: MIT Press,
1994), 102.
[3]               
Max Horkheimer, “Traditional and Critical Theory,”
dalam Critical Theory: Selected Essays (New York: Continuum, 2002), 188.
[4]               
David Harvey, Seventeen Contradictions and the End
of Capitalism (Oxford: Oxford University Press, 2014), 7.
[5]               
Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social
Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014),
11.
[6]               
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining
Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University
Press, 2008), 15.
[7]               
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New
York: Continuum, 2000), 67.
[8]               
Craig Calhoun, Critical Social Theory: Culture,
History, and the Challenge of Difference (Oxford: Blackwell, 1995), 23.
[9]               
Karl Marx, Theses on Feuerbach, dalam The
German Ideology (New York: International Publishers, 1970), 123.
[10]            
Seyla Benhabib, Another Cosmopolitanism
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 12.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W. (1974). Minima
moralia: Reflections from damaged life. London: Verso.
Adorno, T. W. (1991). The culture
industry: Selected essays on mass culture. London: Routledge.
Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism:
Ethics in a world of strangers. New York, NY: W.W. Norton.
Arato, A., & Gebhardt, E. (1982).
The essential Frankfurt School reader. New York, NY: Continuum.
Aquinas, T. (1947). Summa
theologica (Fathers of the English Dominican Province, Eds.). New York, NY:
Benziger Bros.
Avineri, S. (1968). The social and
political thought of Karl Marx. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Baudrillard, J. (1998). The
consumer society: Myths and structures. London, UK: Sage.
Beasley, C. (1999). What is
feminism?. London, UK: Sage.
Beck, U. (2000). What is
globalization?. Cambridge, UK: Polity Press.
Benhabib, S. (1986). Critique,
norm, and utopia: A study of the foundations of critical theory. New York,
NY: Columbia University Press.
Benhabib, S. (2006). Another
cosmopolitanism. Oxford, UK: Oxford University Press.
Bourdieu, P. (1977). Outline of a
theory of practice. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Bourdieu, P. (1991). Language and
symbolic power. Cambridge, UK: Polity Press.
Butler, J. (1990). Gender trouble:
Feminism and the subversion of identity. New York, NY: Routledge.
Bunnin, N., & Yu, J. (2004). The
Blackwell dictionary of Western philosophy. Oxford, UK: Blackwell.
Calhoun, C. (1995). Critical
social theory: Culture, history, and the challenge of difference. Oxford,
UK: Blackwell.
Calhoun, C. (2002). Social theory:
A historical introduction. Oxford, UK: Blackwell.
Dobson, A. (2007). Green political
thought. London, UK: Routledge.
Eagleton, T. (1991). Ideology: An
introduction. London, UK: Verso.
Edgar, A., & Sedgwick, P. (2002).
Cultural theory: The key concepts. London, UK: Routledge.
Feenberg, A. (1991). Critical
theory of technology. Oxford, UK: Oxford University Press.
Feenberg, A. (2002). Transforming
technology: A critical theory revisited. Oxford, UK: Oxford University
Press.
Foster, J. B. (2000). Marx’s
ecology: Materialism and nature. New York, NY: Monthly Review Press.
Foucault, M. (1977). Discipline
and punish: The birth of the prison. New York, NY: Pantheon Books.
Fraser, N. (1997). Justice
interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. New
York, NY: Routledge.
Fraser, N. (2003). Redistribution
or recognition? A political-philosophical exchange. London, UK: Verso.
Fraser, N. (2008). Scales of
justice: Reimagining political space in a globalizing world. New York, NY:
Columbia University Press.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the
oppressed. New York, NY: Continuum.
Geuss, R. (1981). The idea of a
critical theory: Habermas and the Frankfurt School. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
Giddens, A. (1984). The constitution
of society: Outline of the theory of structuration. Berkeley, CA:
University of California Press.
Giroux, H. A. (2001). Theory and
resistance in education: Towards a pedagogy for the opposition. Westport,
CT: Bergin & Garvey.
Hall, S. (1997). Representation:
Cultural representations and signifying practices. London, UK: Sage.
Harvey, D. (2005). A brief history
of neoliberalism. Oxford, UK: Oxford University Press.
Harvey, D. (2014). Seventeen
contradictions and the end of capitalism. Oxford, UK: Oxford University
Press.
Held, D., & McGrew, A. (2003). Globalization/Anti-globalization.
Cambridge, UK: Polity Press.
Heywood, A. (2015). Political
theory: An introduction. New York, NY: Palgrave Macmillan.
hooks, b. (1984). Feminist theory:
From margin to center. Boston, MA: South End Press.
hooks, b. (1994). Teaching to
transgress: Education as the practice of freedom. New York, NY: Routledge.
Honneth, A. (1991). The critique
of power: Reflective stages in a critical social theory. Cambridge, MA: MIT
Press.
Honneth, A. (1995). The struggle
for recognition: The moral grammar of social conflicts. Cambridge, UK:
Polity Press.
Honneth, A. (2014). Freedom’s
right: The social foundations of democratic life. New York, NY: Columbia
University Press.
Horkheimer, M. (2002). Critical
theory: Selected essays. New York, NY: Continuum.
Horkheimer, M., & Adorno, T. W.
(2002). Dialectic of enlightenment. Stanford, CA: Stanford University
Press.
Jay, M. (1996). The dialectical
imagination: A history of the Frankfurt School and the Institute of Social
Research. Berkeley, CA: University of California Press.
Jameson, F. (1971). Marxism and
form. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Kellner, D. (1984). Herbert
Marcuse and the crisis of Marxism. Berkeley, CA: University of California
Press.
Kellner, D. (1989). Critical
theory, Marxism, and modernity. Baltimore, MD: Johns Hopkins University
Press.
Kellner, D. (1995). Media culture:
Cultural studies, identity and politics between the modern and the postmodern.
London, UK: Routledge.
Klein, N. (2014). This changes
everything: Capitalism vs. the climate. New York, NY: Simon & Schuster.
Kołakowski, L. (1990). Modernity
on endless trial. Chicago, IL: University of Chicago Press.
Kymlicka, W. (1995). Multicultural
citizenship. Oxford, UK: Oxford University Press.
Kymlicka, W. (2002). Contemporary
political philosophy: An introduction. Oxford, UK: Oxford University Press.
MacIntyre, A. (2007). After virtue.
Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Marcuse, H. (1964). One-dimensional
man: Studies in the ideology of advanced industrial society. Boston, MA:
Beacon Press.
Marx, K. (1959). Economic and
philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). Moscow: Progress
Publishers.
Marx, K. (1990). Capital: A
critique of political economy (Vol. 1). London, UK: Penguin.
Marx, K., & Engels, F. (1998). The
Communist manifesto. London, UK: Verso.
Marx, K., & Engels, F. (1970). The
German ideology (includes “Theses on Feuerbach”). New York, NY:
International Publishers.
Morozov, E. (2011). The net
delusion: The dark side of internet freedom. New York, NY: PublicAffairs.
Mouffe, C. (2000). The democratic
paradox. London, UK: Verso.
Noble, S. U. (2018). Algorithms of
oppression. New York, NY: NYU Press.
Papacharissi, Z. (2010). A private
sphere: Democracy in a digital age. Cambridge, UK: Polity Press.
Plato. (1992). Republic (G. M.
A. Grube, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett.
Pogge, T. (2002). World poverty
and human rights. Cambridge, UK: Polity Press.
Rawls, J. (1971). A theory of
justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Rousseau, J.-J. (1968). The social
contract (M. Cranston, Trans.). London, UK: Penguin.
Said, E. (1978). Orientalism.
New York, NY: Vintage.
Said, E. (1994). Culture and
imperialism. New York, NY: Vintage.
Sandel, M. J. (2009). Justice:
What’s the right thing to do?. New York, NY: Farrar, Straus and Giroux.
Sen, A. (1999). Development as
freedom. New York, NY: Alfred A. Knopf.
Spivak, G. C. (1988). Can the
subaltern speak?. Basingstoke, UK: Macmillan.
Taylor, C. (1992). Multiculturalism
and “the politics of recognition”. Princeton, NJ: Princeton University
Press.
Wiggershaus, R. (1994). The
Frankfurt School: Its history, theories, and political significance.
Cambridge, MA: MIT Press.
Young, I. M. (1990). Justice and
the politics of difference. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Zuboff, S. (2019). The age of
surveillance capitalism. New York, NY: PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar