Jumat, 24 Oktober 2025

Demarkasi Ilmu: Problematika Batas antara Sains dan Non-Sains dalam Filsafat Ilmu

Demarkasi Ilmu

Problematika Batas antara Sains dan Non-Sains dalam Filsafat Ilmu


Alihkan ke: Filsafat Ilmu.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif persoalan demarkasi ilmu, yakni usaha filosofis untuk membedakan antara pengetahuan ilmiah dan non-ilmiah. Permasalahan ini menjadi pusat perhatian dalam filsafat ilmu karena menyentuh inti dari rasionalitas, metodologi, dan legitimasi sains. Kajian ini menelusuri akar historis demarkasi sejak rasionalisme Yunani Kuno dan positivisme Auguste Comte hingga kritik kontemporer dari Thomas S. Kuhn, Imre Lakatos, dan Paul Feyerabend. Melalui analisis historis dan konseptual, artikel ini menunjukkan bahwa demarkasi bukanlah batas mutlak, melainkan proses reflektif yang selalu terbuka terhadap revisi metodologis dan nilai-nilai sosial.

Secara epistemologis, demarkasi bertransformasi dari model verifikasionisme menuju falsifikasionisme dan akhirnya menuju pluralisme rasional yang mengakui konteks historis dan sosiologis sains. Secara ontologis, ilmu dipahami sebagai kegiatan manusia yang berupaya menjelaskan realitas melalui struktur kausal dan teoretis, bukan sekadar akumulasi fakta empiris. Sementara secara aksiologis, sains diikat oleh norma-norma etis seperti objektivitas, keterbukaan, dan tanggung jawab sosial yang menjadi dasar legitimasi moralnya.

Artikel ini juga menyoroti relevansi kontemporer demarkasi dalam era post-truth, di mana batas antara sains dan pseudoscience semakin kabur akibat arus informasi digital dan krisis kepercayaan publik terhadap otoritas ilmiah. Dalam konteks ini, demarkasi memperoleh dimensi baru sebagai tanggung jawab epistemik dan moral untuk menjaga integritas sains, mendorong literasi ilmiah, serta memastikan bahwa ilmu tetap berfungsi bagi kemanusiaan dan keberlanjutan planet.

Sebagai sintesis filosofis, artikel ini menyimpulkan bahwa demarkasi tidak dapat direduksi menjadi kriteria metodologis tunggal, melainkan harus dipahami sebagai horizon reflektif di mana sains, etika, dan masyarakat saling berinteraksi. Demarkasi sejati bukan garis pemisah, melainkan jembatan antara kebenaran dan kebijaksanaan—antara pengetahuan ilmiah dan tanggung jawab manusia terhadap penggunaannya.

Kata Kunci: demarkasi ilmu, filsafat ilmu, falsifikasionisme, rasionalitas ilmiah, etika ilmiah, positivisme, post-truth, pluralisme epistemik, tanggung jawab ilmuwan.


PEMBAHASAN

Bagaimana Menentukan Kriteria Pembeda antara Ilmu dan Non-Ilmu?


1.           Pendahuluan

Persoalan demarkasi ilmu merupakan salah satu isu sentral dalam filsafat ilmu, karena berkaitan langsung dengan upaya menentukan batas yang jelas antara apa yang disebut “ilmu” dan apa yang bukan. Sejak awal berkembangnya sains modern pada abad ke-17, para filsuf dan ilmuwan berupaya menjawab pertanyaan mendasar: apa yang membuat suatu pengetahuan disebut ilmiah? Masalah ini bukan sekadar persoalan akademis, melainkan juga menyangkut legitimasi sosial dan epistemik dari kegiatan ilmiah itu sendiri.¹ Dalam konteks ini, problem demarkasi menjadi jantung bagi refleksi epistemologis dan metodologis tentang sifat pengetahuan ilmiah, kriteria rasionalitas, dan dasar pembenaran ilmiah.

Secara historis, persoalan demarkasi muncul seiring dengan lahirnya positivisme dan empirisisme modern, yang berusaha memisahkan sains dari metafisika, agama, dan spekulasi filosofis. Auguste Comte, misalnya, melalui Cours de Philosophie Positive (1830–1842), menegaskan bahwa ilmu sejati harus berlandaskan pada observasi dan eksperimentasi yang dapat diverifikasi secara empiris.² Pandangan ini kemudian diwarisi dan diperkuat oleh Lingkaran Wina (Vienna Circle) pada awal abad ke-20, yang mengusung prinsip verifikasionisme sebagai kriteria utama keilmiahan.³ Menurut kelompok ini, hanya proposisi yang dapat diverifikasi melalui pengalaman empiris yang memiliki makna kognitif; sedangkan proposisi metafisis dianggap tidak bermakna (meaningless statements).⁴ Dengan demikian, demarkasi dipahami secara ketat sebagai garis antara pengetahuan ilmiah yang dapat diuji dan pengetahuan non-ilmiah yang spekulatif.

Namun, kriteria verifikasi ini segera menghadapi kritik mendasar dari Karl Popper, yang menilai bahwa tidak semua teori ilmiah dapat diverifikasi secara sempurna.⁵ Sebaliknya, ilmu justru berkembang melalui upaya untuk memfalsifikasi (menyangkal) hipotesis. Dengan demikian, bagi Popper, teori ilmiah adalah teori yang dapat diuji dan berpotensi disangkal oleh pengalaman.⁶ Inilah yang kemudian dikenal sebagai falsifikasionisme kritis, yang menandai pergeseran paradigma besar dalam perdebatan tentang demarkasi ilmu. Popper memandang falsifikabilitas sebagai satu-satunya kriteria rasional yang memisahkan sains dari pseudoscience, seperti astrologi atau psikoanalisis Freudian.⁷

Meskipun falsifikasionisme Popper berpengaruh besar, berbagai pemikir setelahnya seperti Thomas S. Kuhn, Imre Lakatos, dan Paul Feyerabend menilai bahwa kriteria tunggal seperti falsifikabilitas tidak cukup menjelaskan kompleksitas praktik ilmiah.⁸ Kuhn, dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962), menyoroti bahwa ilmu berkembang bukan melalui falsifikasi berkelanjutan, melainkan melalui revolusi paradigma, yakni perubahan mendasar dalam cara komunitas ilmiah memahami dunia.⁹ Lakatos mencoba menengahi perdebatan dengan memperkenalkan konsep program riset ilmiah (scientific research programmes) yang menilai sains dari progresivitas heuristiknya, bukan dari falsifikasi tunggal.¹⁰ Sementara itu, Feyerabend secara radikal menolak gagasan bahwa ada satu metode ilmiah yang universal, dan menyatakan bahwa dalam sejarah ilmu, “anything goes” — yakni tidak ada satu pun metode yang mutlak berlaku dalam semua konteks ilmiah.¹¹

Dalam perkembangan kontemporer, problem demarkasi tidak hanya menjadi persoalan epistemologis, tetapi juga aksiologis dan sosiologis, karena menyangkut hubungan antara sains, masyarakat, dan nilai-nilai. Di era informasi, muncul kembali perdebatan baru: bagaimana membedakan antara scientific knowledge dan pseudoscience dalam konteks maraknya teori konspirasi, hoaks ilmiah, dan pengetahuan berbasis algoritma.¹² Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika ilmu tidak lagi eksklusif berada di tangan para ilmuwan profesional, melainkan juga diproduksi dan disebarluaskan dalam ruang publik digital. Dalam konteks ini, problem demarkasi tidak hanya menyentuh persoalan metodologis, tetapi juga etis dan politis — menyangkut otoritas, kepercayaan, dan tanggung jawab sosial ilmu.¹³

Dengan demikian, pembahasan tentang demarkasi ilmu tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi utama filsafat ilmu: ontologi, yang menelaah hakikat dan objek ilmu; epistemologi, yang meneliti dasar pengetahuan ilmiah dan kriteria rasionalitasnya; serta aksiologi, yang mempertanyakan nilai, etika, dan tujuan dari aktivitas ilmiah itu sendiri.¹⁴ Melalui pendekatan historis dan filosofis, artikel ini akan menguraikan evolusi konsep demarkasi dari positivisme logis hingga postpositivisme, menelaah berbagai kritik terhadapnya, serta menyoroti relevansinya dalam konteks keilmuan dan masyarakat kontemporer. Dengan demikian, diharapkan pembahasan ini dapat memperkaya pemahaman mengenai batas-batas ilmu dan peran reflektif filsafat dalam menjaga rasionalitas ilmiah di tengah dinamika zaman.¹⁵


Footnotes

[1]                Larry Laudan, “The Demise of the Demarcation Problem,” Physics, Philosophy and Psychoanalysis, ed. Robert S. Cohen and Larry Laudan (Dordrecht: D. Reidel, 1983), 111–127.

[2]                Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive (Paris: Bachelier, 1830).

[3]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936).

[4]                Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language (London: Kegan Paul, 1934).

[5]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959).

[6]                Ibid., 40–41.

[7]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 33–39.

[8]                Imre Lakatos and Alan Musgrave, eds., Criticism and the Growth of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1970).

[9]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–71.

[10]             Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 91–136.

[11]             Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 27–35.

[12]             Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 5–9.

[13]             Heather Douglas, Science, Policy, and the Value-Free Ideal (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 14–18.

[14]             Mario Bunge, Philosophy of Science: From Problem to Theory (New Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 22–28.

[15]             Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–4.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Masalah Demarkasi

Persoalan demarkasi ilmu tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan memiliki akar historis yang panjang dan kompleks dalam perjalanan pemikiran manusia mengenai pengetahuan. Sejak masa filsafat Yunani Kuno, persoalan mengenai epistēmē (pengetahuan sejati) dan doxa (pendapat) telah menjadi tema utama yang mengarahkan pencarian terhadap bentuk pengetahuan yang sahih dan dapat dipercaya.¹ Dalam konteks ini, Plato membedakan antara pengetahuan yang didasarkan pada rasio dan dunia ide yang tetap (realm of forms), dan pendapat yang bersumber dari persepsi inderawi yang berubah-ubah.² Sedangkan Aristoteles mengembangkan pandangan yang lebih empiris, dengan menekankan bahwa ilmu sejati harus berangkat dari observasi terhadap realitas dan ditopang oleh prinsip-prinsip logika deduktif.³ Gagasan ini menjadi fondasi bagi tradisi ilmiah Barat yang berupaya membangun pengetahuan sistematis melalui rasionalitas dan pengalaman.

Pada abad pertengahan, ketika filsafat berada di bawah dominasi teologi, persoalan demarkasi muncul dalam bentuk lain, yakni upaya untuk memisahkan pengetahuan wahyu (scientia divina) dari pengetahuan rasional (scientia humana).⁴ Tokoh seperti Thomas Aquinas berusaha menyeimbangkan keduanya dengan menegaskan bahwa kebenaran wahyu dan kebenaran rasional tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi.⁵ Namun, gagasan otonomi rasio manusia yang dikembangkan Aquinas menjadi benih bagi munculnya semangat rasionalisme ilmiah pada masa Renaissance dan Revolusi Ilmiah.

Pada abad ke-17, Francis Bacon melalui karya Novum Organum (1620) menolak otoritas skolastik dan menekankan pentingnya metode induktif sebagai jalan menuju pengetahuan ilmiah.⁶ Ia menilai bahwa sains sejati harus berangkat dari pengalaman empiris dan pengamatan sistematis, bukan dari spekulasi metafisis. Bersamaan dengan itu, René Descartes menekankan peran rasio dan deduksi logis sebagai landasan kepastian pengetahuan.⁷ Meskipun pendekatan keduanya berbeda—Bacon empiris, Descartes rasionalis—keduanya berkontribusi dalam membentuk kerangka epistemologis modern yang berorientasi pada kepastian metodologis. Dalam konteks ini, persoalan demarkasi mulai diarahkan pada upaya mencari metode ilmiah universal yang dapat menjamin objektivitas dan validitas pengetahuan.

Memasuki abad ke-19, positivisme yang dikembangkan oleh Auguste Comte menandai tonggak penting dalam sejarah masalah demarkasi. Comte berpendapat bahwa pengetahuan manusia berkembang melalui tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif, di mana tahap terakhir adalah puncak kematangan intelektual manusia yang hanya mengakui fakta empiris sebagai sumber kebenaran.⁸ Dalam kerangka positivisme, batas antara ilmu dan non-ilmu ditentukan oleh sejauh mana suatu teori dapat diverifikasi berdasarkan observasi dan eksperimen.⁹ Positivisme kemudian memengaruhi perkembangan berbagai disiplin ilmu modern, termasuk sosiologi, ekonomi, dan psikologi, yang berusaha meniru model sains alam dengan menggunakan metode kuantitatif dan eksperimental.

Namun, semangat positivisme mulai mengalami krisis pada awal abad ke-20. Kelompok Lingkaran Wina (Vienna Circle) yang terdiri dari tokoh-tokoh seperti Moritz Schlick, Rudolf Carnap, dan Otto Neurath, berupaya memperbarui positivisme dengan menambahkan unsur logika formal dan analisis bahasa ke dalam metode ilmiah.¹⁰ Gerakan ini dikenal sebagai positivisme logis (logical positivism), yang mengajukan prinsip verifikasi sebagai kriteria demarkasi utama: pernyataan ilmiah adalah yang dapat diverifikasi secara empiris, sedangkan yang tidak dapat diverifikasi dianggap tidak bermakna secara kognitif.¹¹ Dengan demikian, positivisme logis memindahkan fokus demarkasi dari substansi ontologis ke kriteria linguistik dan logis, di mana makna suatu pernyataan bergantung pada cara ia dapat diuji secara empiris.

Namun, posisi ini mendapat kritik tajam dari Karl Popper, yang menilai bahwa prinsip verifikasi bersifat terlalu kuat dan justru menghambat kemajuan ilmu.¹² Menurut Popper, sains tidak tumbuh dengan membenarkan teori, tetapi dengan mengujinya secara kritis untuk mencari kesalahan.¹³ Dengan demikian, falsifikabilitas—bukan verifikasi—merupakan kriteria yang lebih rasional dan realistis untuk membedakan ilmu dari non-ilmu.¹⁴ Falsifikasionisme Popper menjadi tonggak penting yang mengubah arah perdebatan tentang demarkasi, sekaligus mengilhami munculnya pendekatan-pendekatan baru seperti teori paradigma Thomas S. Kuhn, program riset ilmiah Imre Lakatos, dan anarkisme metodologis Paul Feyerabend.¹⁵

Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962) memperlihatkan bahwa sejarah ilmu tidak berkembang secara linear, tetapi melalui revolusi paradigma, yaitu perubahan kerangka konseptual yang mengatur apa yang dianggap sebagai pengetahuan sahih.¹⁶ Lakatos, di sisi lain, mencoba mendamaikan Popper dan Kuhn dengan konsep program riset ilmiah, di mana teori ilmiah dinilai berdasarkan kemampuan progresifnya dalam menghasilkan penemuan baru, bukan dari falsifikasi tunggal.¹⁷ Sementara Feyerabend dengan tegas menolak adanya metode ilmiah yang tunggal dan universal, serta menyoroti bahwa sejarah ilmu menunjukkan keberagaman metode dan pendekatan yang justru memperkaya perkembangan pengetahuan.¹⁸

Melalui perjalanan historis tersebut, dapat dilihat bahwa persoalan demarkasi tidak hanya bersifat epistemologis, tetapi juga genealogis, karena mencerminkan dinamika perubahan cara manusia memahami pengetahuan dan realitas. Seiring waktu, kriteria demarkasi mengalami transformasi dari pendekatan metafisik pada masa klasik, ke metodologis pada masa modern, hingga sosiologis dan pluralistik pada masa kontemporer.¹⁹ Dengan demikian, sejarah demarkasi ilmu menunjukkan bahwa batas antara sains dan non-sains bukanlah garis yang tetap, melainkan hasil negosiasi intelektual yang terus berkembang sesuai dengan konteks sejarah, budaya, dan paradigma ilmiah yang berlaku.²⁰


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 476–480.

[2]                Ibid., 509–511.

[3]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1994), 71b–75a.

[4]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Scribner, 1936), 84–87.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 1, a. 8.

[6]                Francis Bacon, Novum Organum (London: J. Bill, 1620), Aphorism I–XIX.

[7]                René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 18–24.

[8]                Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive (Paris: Bachelier, 1830), 4–7.

[9]                Ibid., 11–12.

[10]             Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World (Chicago: Open Court, 1928), 19–24.

[11]             A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 32–35.

[12]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 33–39.

[13]             Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 45–48.

[14]             Ibid., 51.

[15]             Imre Lakatos and Alan Musgrave, eds., Criticism and the Growth of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 105–110.

[16]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–71.

[17]             Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 91–136.

[18]             Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 27–40.

[19]             Larry Laudan, “The Demise of the Demarcation Problem,” in Physics, Philosophy and Psychoanalysis, ed. Robert S. Cohen and Larry Laudan (Dordrecht: D. Reidel, 1983), 112–115.

[20]             Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 8–11.


3.           Ontologi Demarkasi: Apa yang Disebut “Ilmu”?

Masalah ontologi demarkasi berkaitan dengan pertanyaan fundamental mengenai apa yang disebut sebagai ilmu itu sendiri. Jika epistemologi demarkasi berfokus pada cara mengetahui (metode dan kriteria kebenaran), maka ontologi demarkasi menelaah hakikat keberadaan ilmu—apa entitasnya, bagaimana ia hadir dalam dunia, dan apa yang membedakannya dari bentuk pengetahuan lain seperti mitos, seni, atau keyakinan religius.¹ Dengan kata lain, sebelum membahas bagaimana membedakan ilmu dari non-ilmu secara epistemologis, kita terlebih dahulu perlu memahami secara ontologis apa yang dimaksud dengan “ilmu” sebagai bentuk realitas tertentu dalam kebudayaan manusia.

Secara historis, konsep tentang hakikat ilmu mengalami evolusi sejalan dengan perubahan paradigma pengetahuan. Dalam tradisi Yunani kuno, Aristoteles memandang ilmu (epistēmē) sebagai pengetahuan tentang sebab-sebab (aitia) yang bersifat universal dan niscaya.² Ilmu, bagi Aristoteles, adalah upaya rasional untuk memahami mengapa sesuatu terjadi, bukan sekadar apa yang tampak secara empiris.³ Pandangan ini menegaskan bahwa ilmu bukan sekadar kumpulan fakta, tetapi suatu bentuk pengetahuan yang berstruktur kausal dan rasional. Dalam kerangka ontologis Aristotelian, realitas memiliki tatanan dan tujuan (telos), dan ilmu bertugas mengungkap keteraturan itu.⁴

Berbeda dengan itu, tradisi modern yang lahir pada abad ke-17 hingga ke-18 menggeser orientasi ontologis ilmu dari substansi ke mekanisme. Dalam pandangan Galileo Galilei, Isaac Newton, dan René Descartes, dunia dipahami sebagai sistem yang tunduk pada hukum-hukum matematis yang dapat dijelaskan secara kuantitatif.⁵ Ontologi ilmu modern adalah mekanistik dan reduksionistik: realitas dipandang sebagai objek yang dapat diuraikan ke dalam komponen-komponen yang sederhana dan dapat diukur.⁶ Dengan demikian, ilmu menjadi aktivitas untuk mengobjektifikasi alam—menyingkap struktur formalnya tanpa melibatkan nilai-nilai atau tujuan intrinsik.⁷

Pandangan ini diperkuat oleh positivisme abad ke-19, terutama oleh Auguste Comte, yang menegaskan bahwa realitas ilmiah adalah segala sesuatu yang dapat diamati dan diukur.⁸ Ontologi sains, menurut Comte, tidak mengenal entitas metafisis; yang nyata hanyalah fenomena empiris dan hukum yang mengaturnya.⁹ Dalam kerangka ini, ilmu dipahami sebagai sistem pengetahuan yang berurusan dengan hubungan antara fakta, bukan dengan esensi atau sebab final. Pandangan Comte ini menjadi dasar bagi munculnya pembedaan tegas antara “ilmu positif” dan “pengetahuan spekulatif”.¹⁰

Namun, ontologi semacam itu mulai dikritik pada abad ke-20. Karl Popper menolak pandangan bahwa ilmu hanya berkaitan dengan observasi; baginya, teori ilmiah adalah konstruksi hipotetis yang menjelaskan realitas, bukan sekadar mendeskripsikannya.¹¹ Ontologi ilmu, dalam pandangan Popper, bersifat realistis kritis: dunia nyata memang ada secara independen dari subjek, tetapi pemahaman manusia terhadapnya selalu bersifat tentatif dan terbuka untuk koreksi.¹² Dalam kerangka ini, ilmu bukan representasi sempurna dari realitas, melainkan model rasional yang mendekati kebenaran melalui proses kritik dan falsifikasi.¹³

Sementara itu, Thomas S. Kuhn dan Imre Lakatos menggeser diskursus ontologis dari realitas objektif ke struktur internal ilmu itu sendiri. Kuhn menekankan bahwa “ilmu” tidak dapat dipahami terlepas dari paradigma yang mengaturnya—yakni seperangkat keyakinan, nilai, dan teknik yang diterima oleh komunitas ilmiah pada suatu masa.¹⁴ Dengan demikian, ontologi ilmu menjadi bersifat historis dan sosial: apa yang disebut “ilmu” bergantung pada konsensus komunitas ilmiah dan perubahan paradigma. Lakatos menambahkan bahwa ilmu dapat dipahami sebagai program riset yang memiliki “inti keras” (hard core) dan “sabuk pelindung” (protective belt) dari hipotesis tambahan; yang membedakan ilmu dari non-ilmu bukan hanya objeknya, tetapi juga struktur dinamisnya dalam menghadapi anomali.¹⁵

Dalam konteks yang lebih radikal, Paul Feyerabend mempertanyakan seluruh asumsi ontologis tentang keunikan ilmu. Menurutnya, tidak ada entitas tunggal yang dapat disebut “ilmu” secara universal, sebab praktik ilmiah berbeda-beda dalam tiap konteks sejarah dan budaya.¹⁶ Ontologi ilmu, dalam pandangan ini, bersifat pluralistik dan anarkis: ilmu tidak lebih unggul secara ontologis dibanding bentuk pengetahuan lain seperti mitos atau seni, karena semuanya merupakan cara manusia menafsirkan dunia.¹⁷ Pandangan Feyerabend membuka ruang bagi relativisme epistemik, tetapi sekaligus menegaskan bahwa apa yang disebut “ilmu” adalah konstruksi sosial yang historis, bukan entitas metafisis yang tetap.

Dalam refleksi kontemporer, para filsuf ilmu seperti Mario Bunge, Ian Hacking, dan Nancy Cartwright mencoba merekonstruksi ontologi sains agar lebih realistis namun tidak dogmatis. Bunge menegaskan bahwa realitas ilmiah terdiri dari entitas dan proses yang memiliki struktur kausal, bukan sekadar hasil observasi.¹⁸ Hacking mengusulkan pendekatan realisme eksperimental, di mana keberadaan entitas ilmiah dibenarkan bukan karena ia dapat “dilihat”, tetapi karena ia dapat diperlakukan dan dimanipulasi secara efektif.¹⁹ Cartwright, di sisi lain, menyoroti bahwa hukum-hukum ilmiah sering kali hanya berlaku dalam konteks tertentu, sehingga realitas ilmiah bersifat fragmentaris dan kontekstual.²⁰

Dengan demikian, secara ontologis, ilmu dapat dipahami sebagai aktivitas manusia yang berorientasi pada pencarian penjelasan rasional tentang realitas empiris, yang bersifat sistematis, terbuka terhadap koreksi, dan memiliki struktur metodologis yang dapat diuji. Ilmu bukan sekadar kumpulan fakta atau proposisi, melainkan praktik rasional dan sosial yang terus membentuk dirinya melalui interaksi antara teori, data, dan nilai-nilai komunitas ilmiah.²¹ Dalam arti ini, demarkasi ilmu bukan hanya persoalan metode, tetapi juga persoalan ontologis mengenai apa yang kita anggap nyata dan dapat diketahui secara ilmiah.²²


Footnotes

[1]                Mario Bunge, Philosophy of Science: From Problem to Theory (New Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 17–20.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 981b–982a.

[3]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1994), 71b–75a.

[4]                Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development (Oxford: Oxford University Press, 1948), 145–148.

[5]                René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 21–25.

[6]                Isaac Newton, Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica (London: Joseph Streater, 1687), Preface.

[7]                Alexandre Koyré, From the Closed World to the Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 120–125.

[8]                Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive (Paris: Bachelier, 1830), 5–9.

[9]                Ibid., 12–15.

[10]             Ibid., 17–18.

[11]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 40–43.

[12]             Karl Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary Approach (Oxford: Clarendon Press, 1972), 108–110.

[13]             Ibid., 112.

[14]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–71.

[15]             Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 91–136.

[16]             Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 28–34.

[17]             Ibid., 245–250.

[18]             Mario Bunge, Epistemology and Methodology I: Exploring the World (Dordrecht: Reidel, 1983), 56–60.

[19]             Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 21–25.

[20]             Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford: Clarendon Press, 1983), 45–49.

[21]             Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 10–14.

[22]             Larry Laudan, “The Demise of the Demarcation Problem,” in Physics, Philosophy and Psychoanalysis, ed. Robert S. Cohen and Larry Laudan (Dordrecht: D. Reidel, 1983), 121–125.


4.           Epistemologi Demarkasi: Kriteria dan Rasionalitas Ilmiah

Masalah epistemologi demarkasi merupakan inti dari perdebatan dalam filsafat ilmu, karena menyentuh pertanyaan fundamental: apa yang membuat suatu pengetahuan dapat disebut ilmiah? Bila bagian ontologis menelaah “apa itu ilmu” dari segi keberadaannya, maka bagian epistemologis berupaya menelaah bagaimana ilmu memperoleh, memvalidasi, dan membenarkan pengetahuannya.¹ Dengan demikian, epistemologi demarkasi berkaitan erat dengan konsep rasionalitas ilmiah—yakni seperangkat prinsip, metode, dan kriteria yang membedakan pengetahuan ilmiah dari pengetahuan biasa, mitos, atau pseudoscience.²

4.1.       Dari Verifikasionisme ke Falsifikasionisme: Pergeseran Paradigma Kebenaran Ilmiah

Pada awal abad ke-20, positivisme logis atau empirisisme logis yang berkembang di bawah Lingkaran Wina (Vienna Circle), menjadi proyek filosofis besar pertama yang secara sistematis berusaha menjawab masalah demarkasi.³ Tokoh-tokoh seperti Moritz Schlick, Rudolf Carnap, dan A. J. Ayer berpendapat bahwa proposisi ilmiah harus tunduk pada prinsip verifikasi: sebuah pernyataan bermakna secara ilmiah hanya jika dapat diverifikasi melalui pengalaman empiris.⁴ Dalam kerangka ini, bahasa ilmiah harus bersifat observasional, operasional, dan bebas dari metafisika.⁵

Namun, kriteria verifikasi menghadapi kesulitan serius. Tidak semua teori ilmiah dapat diverifikasi secara langsung, seperti teori atom, gravitasi, atau relativitas.⁶ Karena itu, Karl Popper mengajukan alternatif revolusioner: bukan verifikasi, melainkan falsifikasi sebagai kriteria utama demarkasi.⁷ Menurut Popper, teori ilmiah adalah teori yang dapat diuji dan berpotensi disangkal oleh pengalaman.⁸ Falsifikabilitas, dengan demikian, menjadi tanda keilmiahan karena ia menuntut keberanian epistemik untuk mempertaruhkan kebenaran teorinya terhadap bukti yang mungkin menentangnya.⁹ Bagi Popper, pernyataan yang tidak mungkin disangkal—seperti dogma agama atau psikoanalisis Freudian—tidak dapat disebut ilmiah.¹⁰

Popper menganggap rasionalitas ilmiah bersifat kritis dan dinamis: teori ilmiah tidak pernah benar secara absolut, tetapi hanya belum terbantahkan.¹¹ Proses ilmiah adalah dialog tak berkesudahan antara hipotesis dan kritik, di mana kesalahan menjadi sumber kemajuan pengetahuan.¹² Dengan demikian, epistemologi demarkasi Popper bersifat fallibilistik dan anti-dogmatis, menolak klaim kepastian mutlak yang menjadi ciri positivisme klasik.¹³

4.2.       Paradigma dan Rasionalitas Ilmiah menurut Thomas S. Kuhn

Meskipun falsifikasionisme Popper berpengaruh besar, Thomas S. Kuhn menunjukkan bahwa dalam praktiknya, ilmu tidak berkembang melalui falsifikasi tunggal, melainkan melalui perubahan paradigma.¹⁴ Dalam karyanya The Structure of Scientific Revolutions (1962), Kuhn memperkenalkan konsep paradigm sebagai kerangka konseptual yang memandu aktivitas ilmiah: menentukan masalah apa yang layak diteliti, metode apa yang sah digunakan, dan hasil seperti apa yang dianggap valid.¹⁵

Menurut Kuhn, rasionalitas ilmiah bersifat komunal dan historis. Dalam masa “ilmu normal,” ilmuwan bekerja dalam paradigma yang disepakati, menyelesaikan teka-teki ilmiah tanpa mempertanyakan dasar paradigma itu sendiri.¹⁶ Namun ketika anomali menumpuk dan tidak dapat diselesaikan, terjadi krisis ilmiah yang mendorong lahirnya paradigma baru.¹⁷ Proses ini bukan hanya rasional dalam arti logis, tetapi juga bersifat sosiologis dan psikologis. Oleh karena itu, bagi Kuhn, demarkasi ilmu tidak hanya ditentukan oleh kriteria logis, melainkan juga oleh dinamika komunitas ilmiah.¹⁸

Kritik terhadap Popper oleh Kuhn menunjukkan bahwa rasionalitas ilmiah tidak bersifat universal dan ahistoris, melainkan bergantung pada konteks paradigma yang berlaku.¹⁹ Ilmu bukan sekadar himpunan proposisi yang dapat diuji, tetapi suatu bentuk kehidupan intelektual yang diatur oleh tradisi, norma, dan konsensus ilmuwan.²⁰

4.3.       Program Riset Ilmiah dan Rasionalitas Heuristik (Imre Lakatos)

Imre Lakatos mencoba menggabungkan falsifikasionisme Popper dan relativisme Kuhn melalui konsep program riset ilmiah (scientific research programmes).²¹ Bagi Lakatos, ilmu berkembang dalam bentuk program riset yang memiliki “inti keras” (hard core)—yakni hipotesis dasar yang tidak boleh disentuh—dan “sabuk pelindung” (protective belt) dari teori-teori tambahan yang dapat disesuaikan untuk melindungi inti keras tersebut dari falsifikasi.²²

Suatu program riset disebut progresif apabila mampu menghasilkan prediksi baru yang dapat diuji dan dikonfirmasi secara empiris, sedangkan program riset degeneratif hanya menambal anomali tanpa memberi kemajuan teoretis.²³ Dengan demikian, demarkasi ilmu tidak terletak pada falsifikasi tunggal (Popper), melainkan pada dinamika heuristik yang membedakan antara ilmu yang berkembang dan ilmu yang stagnan.²⁴ Lakatos berhasil menunjukkan bahwa rasionalitas ilmiah bersifat prosesual dan evaluatif, bukan sekadar prosedural.²⁵

4.4.       Kritik Feyerabend dan Pluralisme Epistemik

Dalam posisi yang lebih ekstrem, Paul Feyerabend menolak seluruh usaha untuk menetapkan kriteria universal bagi sains.²⁶ Dalam Against Method (1975), ia menegaskan prinsip terkenal “anything goes” sebagai kritik terhadap mitos rasionalitas tunggal.²⁷ Menurutnya, sejarah ilmu menunjukkan bahwa banyak kemajuan besar justru terjadi ketika ilmuwan melanggar aturan metodologis yang ada.²⁸ Feyerabend menolak ide adanya “metode ilmiah” yang tetap dan universal; baginya, rasionalitas ilmiah bersifat pluralistik dan kontekstual.²⁹

Kritik Feyerabend memperluas cakupan epistemologi demarkasi ke wilayah antropologi pengetahuan, di mana sains dipandang sebagai salah satu bentuk budaya manusia di antara banyak cara memahami dunia.³⁰ Walaupun posisinya sering dianggap relativistik, Feyerabend mengingatkan bahwa upaya menetapkan satu kriteria rasionalitas dapat berujung pada dogmatisme ilmiah yang mengekang kreativitas pengetahuan.³¹

4.5.       Epistemologi Demarkasi dalam Konteks Kontemporer

Dalam perkembangan kontemporer, diskursus epistemologi demarkasi semakin kompleks dengan munculnya sains interdisipliner, data science, dan artificial intelligence.³² Massimo Pigliucci dan Maarten Boudry menyoroti bahwa problem demarkasi kini tidak hanya filosofis, tetapi juga praktis—misalnya dalam membedakan antara science-based medicine dan alternative medicine, atau antara riset ilmiah dan pseudoscience.³³

Kriteria rasionalitas ilmiah kini tidak lagi tunggal, melainkan mencakup aspek-aspek seperti testabilitas empiris, koherensi teoretis, prediktivitas, dan integritas metodologis.³⁴ Di sisi lain, epistemologi demarkasi juga menuntut dimensi etis: rasionalitas ilmiah harus berakar pada kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab sosial terhadap kebenaran.³⁵

Dengan demikian, epistemologi demarkasi tidak dapat direduksi pada satu prinsip universal. Ia merupakan ruang refleksi dinamis di mana rasionalitas ilmiah selalu dinegosiasikan antara kriteria logis, konteks historis, dan nilai-nilai sosial.³⁶ Dalam arti ini, demarkasi bukanlah garis batas tetap, melainkan medan dialog antara kritisisme Popperian, historisisme Kuhnian, dan pluralisme Feyerabendian, yang bersama-sama memperkaya pemahaman kita tentang hakikat ilmu dan rasionalitas manusia.³⁷


Footnotes

[1]                Mario Bunge, Philosophy of Science: From Problem to Theory (New Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 21–25.

[2]                Larry Laudan, “The Demise of the Demarcation Problem,” in Physics, Philosophy and Psychoanalysis, ed. Robert S. Cohen and Larry Laudan (Dordrecht: D. Reidel, 1983), 111–113.

[3]                Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language (London: Kegan Paul, 1934), 8–10.

[4]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 32–35.

[5]                Moritz Schlick, “Meaning and Verification,” The Philosophical Review 45, no. 4 (1936): 339–369.

[6]                Carl G. Hempel, Philosophy of Natural Science (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1966), 23–26.

[7]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 40–43.

[8]                Ibid., 44.

[9]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 48–52.

[10]             Ibid., 53–54.

[11]             Karl Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary Approach (Oxford: Clarendon Press, 1972), 80–85.

[12]             Ibid., 90–92.

[13]             David Miller, Critical Rationalism: A Restatement and Defence (Chicago: Open Court, 1994), 15–20.

[14]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–71.

[15]             Ibid., 75–90.

[16]             Ibid., 110–112.

[17]             Ibid., 121–125.

[18]             Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 140–143.

[19]             Larry Laudan, “A Confutation of Convergent Realism,” Philosophy of Science 48, no. 1 (1981): 19–49.

[20]             Kuhn, Structure of Scientific Revolutions, 210–212.

[21]             Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 91–136.

[22]             Ibid., 100–105.

[23]             Ibid., 123–126.

[24]             Alan Chalmers, What Is This Thing Called Science? (Indianapolis: Hackett, 1999), 98–101.

[25]             Lakatos, Methodology, 132–133.

[26]             Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 17–19.

[27]             Ibid., 23–26.

[28]             Ibid., 31–33.

[29]             Ibid., 245–250.

[30]             Steve Fuller, Science vs. Religion? Intelligent Design and the Problem of Evolution (Cambridge: Polity Press, 2007), 56–60.

[31]             Feyerabend, Against Method, 255–257.

[32]             Heather Douglas, Science, Policy, and the Value-Free Ideal (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 14–18.

[33]             Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 5–9.

[34]             Susan Haack, Defending Science—Within Reason (Amherst: Prometheus Books, 2003), 120–124.

[35]             Robert K. Merton, The Sociology of Science (Chicago: University of Chicago Press, 1973), 267–272.

[36]             Larry Laudan, Progress and Its Problems: Toward a Theory of Scientific Growth (Berkeley: University of California Press, 1977), 63–69.

[37]             Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 156–160.


5.           Aksiologi dan Etika Ilmiah dalam Demarkasi

Aspek aksiologis dari persoalan demarkasi ilmu menyentuh dimensi nilai, tujuan, dan tanggung jawab moral yang melekat dalam aktivitas ilmiah. Jika epistemologi menjawab bagaimana ilmu memperoleh pengetahuan, maka aksiologi bertanya untuk apa pengetahuan itu digunakan dan nilai-nilai apa yang mengarahkannya.¹ Dalam konteks filsafat ilmu, demarkasi tidak hanya bersifat epistemologis, tetapi juga etis, sebab batas antara ilmu dan non-ilmu memiliki implikasi moral terhadap bagaimana pengetahuan digunakan untuk kemaslahatan manusia dan kehidupan sosial.²

5.1.       Ilmu sebagai Aktivitas Bernilai

Setiap kegiatan ilmiah berakar pada nilai-nilai tertentu yang membentuk karakter dan orientasi keilmuannya. Dalam pandangan Max Weber, ilmu tidak dapat sepenuhnya bebas nilai (value-free), karena pemilihan topik, metode, dan interpretasi hasil penelitian selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial dan kultural.³ Namun, Weber membedakan antara nilai internal (seperti kejujuran, ketelitian, dan objektivitas) yang melekat pada kegiatan ilmiah, dan nilai eksternal (seperti ideologi, agama, atau politik) yang berada di luar ranah ilmiah.⁴

Dalam hal ini, aksiologi demarkasi berperan penting untuk menjaga integritas sains agar tidak terkooptasi oleh kepentingan non-ilmiah. Ketika batas antara ilmu dan non-ilmu kabur, muncul bahaya instrumentalisasi pengetahuan untuk kepentingan ekonomi, politik, atau dogma tertentu.⁵ Sebagai contoh, manipulasi data penelitian demi kepentingan industri farmasi atau penggunaan sains untuk propaganda ideologis menegaskan pentingnya etika ilmiah sebagai bagian tak terpisahkan dari kriteria keilmiahan.⁶

5.2.       Nilai-nilai Etis dalam Praktik Ilmiah: Mertonian Norms

Sosiolog ilmu Robert K. Merton mengembangkan empat norma etis yang menjadi fondasi perilaku ilmiah: universalism, communalism, disinterestedness, dan organized skepticism.⁷

·                     Universalism menegaskan bahwa kebenaran ilmiah harus dinilai berdasarkan bukti, bukan berdasarkan siapa yang mengemukakannya.⁸

·                     Communalism menyatakan bahwa hasil penelitian ilmiah merupakan milik bersama umat manusia dan harus dibagikan secara terbuka.⁹

·                     Disinterestedness menuntut ilmuwan untuk bebas dari kepentingan pribadi atau politik.¹⁰

·                     Organized skepticism mengharuskan setiap klaim ilmiah diuji secara kritis oleh komunitas ilmiah.¹¹

Keempat norma ini tidak hanya menjadi pedoman etis, tetapi juga menjadi prinsip aksiologis demarkasi: hanya kegiatan ilmiah yang beroperasi sesuai dengan nilai-nilai tersebut yang dapat disebut ilmiah secara etis. Dengan kata lain, demarkasi ilmu tidak hanya ditentukan oleh apa yang diketahui atau bagaimana diketahuinya, tetapi juga oleh bagaimana dan untuk tujuan apa pengetahuan itu digunakan.¹²

5.3.       Demarkasi dan Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan

Tanggung jawab sosial ilmuwan merupakan dimensi aksiologis yang semakin penting di era sains modern. Ilmu tidak berdiri di ruang hampa; hasil-hasilnya berdampak luas terhadap masyarakat, lingkungan, dan moralitas. Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility, menekankan bahwa kekuatan teknologi hasil sains modern menuntut etika baru yang mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kehidupan manusia dan alam.¹³ Prinsip “bertanggung jawab atas kemungkinan akibat pengetahuan” menjadi kriteria moral baru dalam menilai keilmiahan praktik ilmiah.¹⁴

Demarkasi ilmu dalam konteks ini berfungsi sebagai penjaga moral: membedakan antara pengetahuan yang dihasilkan melalui tanggung jawab etis dan yang dihasilkan demi kekuasaan atau keuntungan. Ilmu yang kehilangan orientasi aksiologisnya berisiko menjadi pseudoscience yang hanya berorientasi pragmatis.¹⁵

Selain itu, di tengah era post-truth dan komersialisasi ilmu, tanggung jawab ilmuwan juga mencakup menjaga integritas publik terhadap sains.¹⁶ Ketika sains dipolitisasi atau dimanipulasi untuk kepentingan ekonomi, publik kehilangan kepercayaan terhadap kebenaran ilmiah. Dalam situasi ini, etika ilmiah tidak hanya menjaga validitas metodologis, tetapi juga membangun legitimasi sosial sains sebagai otoritas rasional.¹⁷

5.4.       Etika Penelitian dan Kejujuran Ilmiah

Etika ilmiah juga berkaitan dengan kejujuran dalam proses penelitian: ketepatan dalam pengumpulan data, integritas dalam analisis, dan keterbukaan dalam publikasi. Pelanggaran seperti fabrication, falsification, dan plagiarism tidak hanya melanggar etika profesional, tetapi juga menggugurkan status ilmiah dari penelitian itu sendiri.¹⁸ Dalam arti ini, kejujuran ilmiah menjadi kriteria aksiologis yang tak kalah penting dari verifikasi atau falsifikasi dalam demarkasi epistemologis.¹⁹

Menurut Heather Douglas, etika dalam ilmu tidak dapat dipisahkan dari proses pengambilan keputusan ilmiah itu sendiri, karena nilai-nilai moral sering kali berperan dalam menimbang risiko, manfaat, dan interpretasi bukti.²⁰ Oleh karena itu, penilaian ilmiah yang bertanggung jawab bukan sekadar keputusan teknis, tetapi juga keputusan etis.²¹

5.5.       Aksiologi Ilmu dalam Konteks Kontemporer

Dalam era modern, persoalan demarkasi juga memiliki dimensi aksiologis baru yang terkait dengan keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan etika teknologi.²² Sains tidak lagi cukup diukur berdasarkan kebenaran dan rasionalitas, tetapi juga dampak moral dan ekologisnya. Misalnya, bioteknologi, kecerdasan buatan, dan energi nuklir memunculkan dilema etis baru yang menuntut refleksi filosofis tentang batas-batas legitimasi ilmu.²³

Demarkasi ilmu yang etis menuntut bahwa pengetahuan ilmiah tidak hanya harus benar, tetapi juga baik dan bermanfaat.²⁴ Prinsip ini mengembalikan sains ke dalam kerangka humanistik, di mana ilmu berfungsi sebagai sarana untuk memperdalam martabat manusia dan menjaga kelestarian dunia.²⁵

Dengan demikian, dimensi aksiologis dan etika ilmiah dalam demarkasi menunjukkan bahwa sains sejati tidak hanya dibedakan oleh metode atau teori, tetapi juga oleh nilai-nilai moral yang menuntun dan membatasi penggunaannya.²⁶ Ilmu yang kehilangan arah etisnya akan jatuh ke dalam bentuk baru dari non-ilmu: teknologi tanpa kebijaksanaan.²⁷


Footnotes

[1]                Mario Bunge, Philosophy of Science: From Problem to Theory (New Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 26–30.

[2]                Larry Laudan, Progress and Its Problems: Toward a Theory of Scientific Growth (Berkeley: University of California Press, 1977), 58–61.

[3]                Max Weber, The Methodology of the Social Sciences, trans. Edward Shils and Henry Finch (New York: Free Press, 1949), 51–54.

[4]                Ibid., 65–68.

[5]                Sheila Jasanoff, Science at the Bar: Law, Science, and Technology in America (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 14–16.

[6]                David Resnik, Ethics of Science: An Introduction (New York: Routledge, 1998), 39–42.

[7]                Robert K. Merton, The Sociology of Science: Theoretical and Empirical Investigations (Chicago: University of Chicago Press, 1973), 267–278.

[8]                Ibid., 269.

[9]                Ibid., 270.

[10]             Ibid., 271.

[11]             Ibid., 272.

[12]             John Ziman, Real Science: What It Is, and What It Means (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 134–138.

[13]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 22–28.

[14]             Ibid., 38–40.

[15]             Mario Bunge, Epistemology and Methodology I: Exploring the World (Dordrecht: Reidel, 1983), 59–61.

[16]             Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 44–47.

[17]             Heather Douglas, Science, Policy, and the Value-Free Ideal (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 15–18.

[18]             David B. Resnik, Scientific Research and Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2020), 81–85.

[19]             Ibid., 87.

[20]             Douglas, Science, Policy, and the Value-Free Ideal, 100–103.

[21]             Ibid., 110–112.

[22]             J. Britt Holbrook, “What Is Value in Research?,” Science and Engineering Ethics 25, no. 6 (2019): 1653–1673.

[23]             Hans Jonas, Imperative of Responsibility, 115–118.

[24]             John Dewey, Reconstruction in Philosophy (Boston: Beacon Press, 1948), 84–87.

[25]             Philip Kitcher, Science, Truth, and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2001), 15–19.

[26]             Mario Bunge, Evaluating Philosophies (Dordrecht: Springer, 2012), 102–104.

[27]             Albert Borgmann, Technology and the Character of Contemporary Life (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 145–148.


6.           Kritik terhadap Konsep Demarkasi

Persoalan demarkasi ilmu—yakni usaha untuk menentukan batas yang tegas antara sains dan non-sains—telah lama menjadi pusat perdebatan dalam filsafat ilmu. Meskipun gagasan ini berakar pada niat epistemologis yang mulia, yakni menjaga rasionalitas dan objektivitas pengetahuan ilmiah, banyak pemikir kemudian menilai bahwa konsep demarkasi mengandung kelemahan mendasar baik secara metodologis maupun filosofis. Kritik terhadap konsep ini menunjukkan bahwa usaha mencari kriteria tunggal keilmiahan bersifat problematik, karena sains sendiri berkembang melalui keragaman metodologis, historis, dan sosial.¹

6.1.       Kritik terhadap Positivisme dan Kriteria Verifikasi

Kritik pertama datang terhadap positivisme logis dan prinsip verifikasi yang diusung oleh Lingkaran Wina. Para filsuf seperti W. V. O. Quine dan Karl Popper menunjukkan bahwa kriteria verifikasi tidak dapat diterapkan secara universal, sebab banyak teori ilmiah yang melibatkan entitas tidak langsung teramati, seperti elektron atau medan gravitasi.² Dalam esainya Two Dogmas of Empiricism, Quine menolak dikotomi antara proposisi analitik dan sintetik yang menjadi dasar verifikasionisme, dengan menunjukkan bahwa seluruh teori ilmiah bergantung pada jaringan keyakinan (web of belief) yang saling terkait.³

Selain itu, prinsip verifikasi gagal menangkap dimensi teoritis dari sains. Misalnya, teori relativitas atau mekanika kuantum tidak dapat diverifikasi secara langsung melalui observasi sederhana, melainkan melalui serangkaian inferensi dan eksperimen kompleks.⁴ Dengan demikian, positivisme logis dianggap terlalu sempit karena mengabaikan peran teori dan imajinasi ilmiah dalam membentuk realitas empiris.⁵

6.2.       Kritik terhadap Falsifikasionisme Popper

Meskipun Popper berhasil menggantikan verifikasi dengan falsifikasi sebagai kriteria demarkasi yang lebih realistis, kritik kemudian menunjukkan bahwa falsifikasionisme pun tidak luput dari kelemahan.⁶ Pertama, dalam praktik ilmiah, ilmuwan jarang menolak teori hanya karena satu hasil eksperimen yang tidak sesuai.⁷ Seperti dijelaskan oleh Thomas S. Kuhn dan Imre Lakatos, teori besar sering kali dipertahankan dengan memodifikasi asumsi atau menyesuaikan perangkat tambahan (auxiliary hypotheses).⁸

Kedua, falsifikasionisme Popper cenderung terlalu idealistik, karena mengasumsikan bahwa ilmuwan bersikap sepenuhnya rasional dan bebas dari bias sosial atau psikologis.⁹ Padahal, sejarah sains menunjukkan bahwa teori sering dipertahankan bukan hanya karena bukti empiris, tetapi juga karena keanggunan teoritis, tradisi, atau daya guna praktisnya.¹⁰ Dalam hal ini, Larry Laudan berargumen bahwa tidak ada satu pun kriteria logis yang dapat secara konsisten memisahkan sains dari pseudoscience.¹¹ Menurutnya, demarkasi lebih tepat dipahami sebagai masalah nilai epistemik—seberapa baik teori menjelaskan dan memprediksi fenomena—daripada sekadar logika formal.¹²

6.3.       Relativisme Kuhn dan Kritik terhadap Objektivitas Ilmiah

Kritik yang lebih radikal muncul dari Thomas S. Kuhn, yang menolak pandangan bahwa sains berkembang secara kumulatif dan rasional.¹³ Dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962), Kuhn menunjukkan bahwa perubahan ilmiah terjadi melalui revolusi paradigma, bukan melalui falsifikasi berkelanjutan.¹⁴ Paradigma menentukan cara ilmuwan memandang dunia, menetapkan apa yang dianggap sebagai fakta, serta menentukan metode yang sah.¹⁵ Dengan demikian, kebenaran ilmiah bersifat paradigmatik dan historis, bukan universal.¹⁶

Konsekuensinya, kriteria demarkasi kehilangan landasan objektifnya: apa yang disebut “ilmiah” tergantung pada paradigma yang dominan dalam komunitas ilmiah pada masa tertentu.¹⁷ Pandangan ini mengguncang fondasi rasionalitas sains karena membuka kemungkinan bahwa ilmu tidak lebih dari konstruksi sosial yang berubah sesuai konteks historis.¹⁸ Kritik terhadap Kuhn kemudian datang dari Karl Popper sendiri, yang menuduhnya terjebak dalam relativisme epistemik yang berbahaya bagi rasionalitas ilmiah.¹⁹ Namun demikian, banyak filsuf ilmu kontemporer melihat sumbangan Kuhn sebagai pengingat bahwa demarkasi tidak mungkin dilepaskan dari dimensi historis dan sosiologis sains.²⁰

6.4.       Anarkisme Metodologis Feyerabend

Paul Feyerabend memberikan kritik paling ekstrem terhadap konsep demarkasi dalam Against Method (1975). Ia menolak gagasan bahwa ada “metode ilmiah” yang universal dan menganggap setiap upaya menetapkan kriteria tunggal sebagai bentuk penindasan epistemik.²¹ Menurut Feyerabend, sejarah sains justru menunjukkan bahwa kemajuan ilmiah terjadi ketika para ilmuwan melanggar aturan metodologis, misalnya Galileo yang menentang paradigma Aristotelian.²² Oleh karena itu, ia mengajukan prinsip “anything goes” sebagai bentuk anarkisme metodologis: ilmu harus dibiarkan berkembang secara bebas dan kreatif, tanpa dibatasi oleh dogma metodologis.²³

Bagi Feyerabend, demarkasi tidak hanya mustahil, tetapi juga tidak diinginkan, karena menciptakan hierarki epistemik antara sains dan bentuk pengetahuan lain seperti mitos, agama, atau seni.²⁴ Ia berpendapat bahwa semua sistem pengetahuan memiliki nilai dan rasionalitasnya sendiri dalam konteks sosialnya.²⁵ Kritik ini menantang klaim keunggulan moral dan epistemologis sains, serta membuka ruang bagi pluralisme pengetahuan.²⁶

6.5.       Perspektif Postmodern dan Kritik Sosio-Kultural

Dalam konteks postmodernisme, kritik terhadap demarkasi ilmu semakin diperluas. Jean-François Lyotard, dalam The Postmodern Condition (1979), berargumen bahwa sains tidak lagi memiliki otoritas tunggal atas kebenaran karena telah menjadi salah satu dari sekian banyak language games dalam masyarakat kontemporer.²⁷ Kebenaran ilmiah kini dinilai berdasarkan narasi-narasi lokal dan kepentingan praktis, bukan berdasarkan klaim universalitas.²⁸

Sementara Michel Foucault menyoroti bahwa ilmu tidak pernah netral, melainkan selalu terkait dengan relasi kuasa (power/knowledge).²⁹ Menurutnya, demarkasi sains sering berfungsi sebagai mekanisme eksklusi untuk mendefinisikan apa yang sah dan apa yang tidak sah untuk diketahui.³⁰ Dalam kerangka ini, sains bukan hanya sistem pengetahuan, tetapi juga institusi sosial yang mengatur wacana dan otoritas pengetahuan.³¹ Kritik Foucault membuka kesadaran baru bahwa upaya mendemarkasikan ilmu dari non-ilmu sering kali menyembunyikan dimensi ideologis dan politik di balik klaim objektivitas.³²

6.6.       Krisis Kontemporer dan Tantangan Baru

Di era informasi dan teknologi digital, kritik terhadap konsep demarkasi semakin relevan. Fenomena post-truth, misinformasi ilmiah, dan maraknya pseudoscience di media sosial menunjukkan bahwa otoritas ilmiah kini dipertaruhkan di ruang publik yang bebas dan desentralistik.³³ Dalam situasi ini, masalah demarkasi bukan lagi sekadar filosofis, tetapi juga sosial dan etis: bagaimana sains mempertahankan kredibilitasnya tanpa jatuh pada dogmatisme elit ilmiah.³⁴

Para filsuf kontemporer seperti Massimo Pigliucci menekankan bahwa meskipun kriteria tunggal untuk demarkasi mustahil, kita tetap membutuhkan spektrum keilmiahan (scientificity spectrum) untuk membedakan antara pengetahuan yang rasional dan yang tidak.³⁵ Dengan demikian, kritik terhadap konsep demarkasi tidak berarti menolak sains, melainkan menyerukan bentuk demarkasi reflektif, yang lebih inklusif, kontekstual, dan sadar akan nilai-nilai sosialnya.³⁶


Footnotes

[1]                Larry Laudan, “The Demise of the Demarcation Problem,” in Physics, Philosophy and Psychoanalysis, ed. Robert S. Cohen and Larry Laudan (Dordrecht: D. Reidel, 1983), 111–113.

[2]                W. V. O. Quine, From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20–23.

[3]                W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43.

[4]                Carl G. Hempel, Philosophy of Natural Science (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1966), 23–25.

[5]                Hilary Putnam, Meaning and the Moral Sciences (London: Routledge, 1978), 125–129.

[6]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 44–47.

[7]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–71.

[8]                Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 91–136.

[9]                Larry Laudan, Progress and Its Problems: Toward a Theory of Scientific Growth (Berkeley: University of California Press, 1977), 59–61.

[10]             Mary Hesse, Revolutions and Reconstructions in the Philosophy of Science (Brighton: Harvester Press, 1980), 110–114.

[11]             Laudan, “The Demise of the Demarcation Problem,” 121–125.

[12]             Ibid., 127.

[13]             Kuhn, Structure of Scientific Revolutions, 10–12.

[14]             Ibid., 90–96.

[15]             Ibid., 100–105.

[16]             Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 142–147.

[17]             Kuhn, Structure, 150–152.

[18]             Paul Hoyningen-Huene, Reconstructing Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 120–124.

[19]             Karl Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary Approach (Oxford: Clarendon Press, 1972), 110–113.

[20]             Imre Lakatos and Alan Musgrave, eds., Criticism and the Growth of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 176–180.

[21]             Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 17–21.

[22]             Ibid., 30–33.

[23]             Ibid., 245–250.

[24]             Ibid., 255–258.

[25]             Paul Feyerabend, Science in a Free Society (London: Verso, 1978), 42–46.

[26]             Ibid., 67–69.

[27]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxvii.

[28]             Ibid., 36–38.

[29]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 78–82.

[30]             Ibid., 109–113.

[31]             Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge (London: Routledge, 1972), 178–182.

[32]             Ibid., 184–188.

[33]             Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 12–15.

[34]             Heather Douglas, Science, Policy, and the Value-Free Ideal (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 15–18.

[35]             Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 5–9.

[36]             Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 159–163.


7.           Relevansi Kontemporer Demarkasi Ilmu

Meskipun konsep demarkasi ilmu telah mengalami kritik dan perombakan dari berbagai sudut pandang, isu ini tetap relevan dalam konteks intelektual dan sosial kontemporer. Di abad ke-21, ketika sains berinteraksi secara intens dengan teknologi digital, ekonomi global, dan budaya informasi, pertanyaan “apa yang membedakan ilmu dari non-ilmu?” menjadi semakin penting, bukan hanya secara filosofis tetapi juga secara praktis.¹ Krisis kepercayaan terhadap otoritas ilmiah, maraknya disinformasi, dan berkembangnya “pseudoscience” di ruang publik digital menjadikan masalah demarkasi bukan lagi sekadar perdebatan akademik, tetapi juga persoalan sosial dan etis yang menyangkut masa depan rasionalitas publik.²

7.1.       Demarkasi dalam Era Post-Truth dan Disinformasi Ilmiah

Salah satu tantangan terbesar bagi filsafat ilmu kontemporer adalah munculnya fenomena post-truth, yaitu situasi di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih memengaruhi opini publik daripada fakta-fakta ilmiah.³ Menurut Lee McIntyre, dalam konteks ini sains kehilangan otoritasnya karena kebenaran ilmiah dikaburkan oleh narasi ideologis, ekonomi, atau politik.⁴ Fenomena seperti penolakan terhadap vaksin, teori konspirasi, atau misinformasi tentang perubahan iklim memperlihatkan bagaimana batas antara sains dan pseudoscience semakin kabur di ruang digital.⁵

Dalam konteks tersebut, problem demarkasi memperoleh makna baru: bukan lagi sekadar menentukan metode ilmiah yang benar, tetapi juga bagaimana masyarakat dapat membedakan pengetahuan yang dapat dipercaya dari klaim yang menyesatkan.⁶ Oleh karena itu, demarkasi kini menjadi isu epistemik sekaligus moral, yang menuntut kemampuan berpikir kritis (critical literacy) dan kesadaran akan sumber informasi yang valid.⁷

7.2.       Demarkasi dan Sains Digital: Data, Algoritma, dan Kebenaran

Transformasi epistemologi modern juga dipicu oleh kemunculan data science dan kecerdasan buatan (artificial intelligence).⁸ Dalam konteks ini, sains tidak lagi sekadar aktivitas teoretis manusia, tetapi melibatkan algoritma dan mesin dalam proses penemuan pengetahuan. Hal ini memunculkan pertanyaan baru: apakah analisis data besar (big data) dapat disebut “ilmiah” dalam pengertian klasik, mengingat ia tidak selalu berangkat dari hipotesis atau teori yang dapat difalsifikasi seperti dalam tradisi Popperian?⁹

Menurut Sabina Leonelli, sains berbasis data menandai pergeseran paradigma epistemologis di mana teori tidak lagi menjadi pusat, melainkan data infrastructures dan computational models yang membentuk dasar validitas ilmiah.¹⁰ Demarkasi dalam konteks ini bergeser dari falsifikabilitas menuju reliabilitas data dan transparansi algoritmik.¹¹ Dengan demikian, problem demarkasi kini mencakup persoalan teknologis: bagaimana membedakan pengetahuan ilmiah dari hasil otomatisasi digital yang tidak disertai proses refleksi metodologis manusia.¹²

7.3.       Demarkasi dalam Ilmu Sosial dan Humaniora

Persoalan demarkasi juga kembali mencuat dalam perdebatan antara ilmu alam (natural sciences) dan ilmu sosial-humaniora (human sciences). Dalam konteks ini, demarkasi tidak lagi berfokus pada pemisahan antara sains dan pseudoscience, tetapi antara pengetahuan nomotetis (berhukum umum) dan pengetahuan idiografis (bermakna khusus).¹³ Menurut Jürgen Habermas, ilmu-ilmu sosial tidak dapat diukur dengan standar objektivitas positivistik karena objeknya adalah manusia yang memiliki kesadaran, nilai, dan tujuan.¹⁴

Habermas mengusulkan konsep rasionalitas komunikatif, di mana validitas ilmiah tidak hanya ditentukan oleh kesesuaian empiris, tetapi juga oleh keterbukaan terhadap dialog intersubjektif.¹⁵ Dalam kerangka ini, demarkasi ilmu menjadi lebih dialogis dan hermeneutik, menekankan keterlibatan etis dan komunikatif antara peneliti dan subjek penelitian.¹⁶

7.4.       Pseudoscience dan Literasi Publik

Relevansi lain dari masalah demarkasi terlihat dalam perdebatan publik mengenai pseudoscience—misalnya astrologi, homeopati, dan berbagai teori konspirasi ilmiah. Menurut Massimo Pigliucci, problem utama pseudoscience bukan hanya pada metode yang salah, tetapi juga pada ketidakterlibatan dalam mekanisme koreksi sosial ilmiah seperti peer review dan falsifikasi kolektif.¹⁷ Pigliucci menegaskan bahwa demarkasi modern harus dipahami secara gradualistik, yakni sebagai spektrum antara “lebih ilmiah” dan “kurang ilmiah”, bukan sebagai garis absolut.¹⁸

Keterlibatan masyarakat dalam memahami prinsip dasar sains menjadi bagian integral dari demarkasi kontemporer. Tanpa literasi ilmiah yang memadai, masyarakat akan mudah terjebak dalam otoritarianisme pengetahuan atau bahkan penolakan total terhadap sains.¹⁹ Oleh karena itu, demarkasi kontemporer berfungsi sebagai pendidikan epistemik publik yang menumbuhkan sikap kritis dan skeptisisme sehat terhadap klaim-klaim pengetahuan.²⁰

7.5.       Dimensi Etis dan Ekologis Demarkasi

Dalam konteks globalisasi dan krisis lingkungan, demarkasi ilmu juga memperoleh dimensi aksiologis dan ekologis. Menurut Bruno Latour, sains kontemporer tidak dapat lagi dipahami sebagai aktivitas netral yang terpisah dari dunia sosial, melainkan sebagai bagian dari network of actors yang melibatkan manusia, teknologi, dan alam.²¹ Ia mengusulkan pendekatan actor-network theory (ANT) yang melihat ilmu sebagai hasil interaksi kompleks antara manusia dan non-manusia.²² Dalam kerangka ini, demarkasi tidak lagi dimaksudkan untuk memisahkan sains dari non-sains, tetapi untuk memahami bagaimana sains beroperasi dalam jejaring kekuasaan dan tanggung jawab ekologis.²³

Selain itu, dalam era krisis iklim, sains harus diorientasikan tidak hanya pada pencarian kebenaran, tetapi juga pada kelangsungan hidup planet dan keadilan ekologis.²⁴ Ilmu yang etis bukan hanya yang benar secara empiris, tetapi juga yang memperhatikan keberlanjutan dan martabat kehidupan.²⁵

Keilmiahan, Demokrasi, dan Rasionalitas Publik

Dalam masyarakat demokratis, problem demarkasi memiliki konsekuensi politik. Menurut Philip Kitcher, sains modern hanya dapat berfungsi secara etis apabila ia bersandar pada prinsip well-ordered science, yaitu sains yang diarahkan untuk kepentingan publik dan dikontrol secara demokratis.²⁶ Dalam kerangka ini, demarkasi bukan hanya soal metodologi, tetapi juga soal legitimasi sosial—siapa yang memiliki hak untuk berbicara atas nama kebenaran ilmiah, dan bagaimana keputusan ilmiah diambil secara inklusif.²⁷

Dengan demikian, relevansi demarkasi ilmu di era kontemporer meluas ke ranah etika, politik, dan ekologi. Ia tidak lagi berfungsi sebagai tembok pemisah antara ilmu dan non-ilmu, tetapi sebagai proses reflektif dan kritis untuk menegakkan integritas epistemik, tanggung jawab sosial, dan keberlanjutan moral sains.²⁸


Footnotes

[1]                Larry Laudan, “The Demise of the Demarcation Problem,” in Physics, Philosophy and Psychoanalysis, ed. Robert S. Cohen and Larry Laudan (Dordrecht: D. Reidel, 1983), 125–128.

[2]                Heather Douglas, Science, Policy, and the Value-Free Ideal (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 14–18.

[3]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 12–15.

[4]                Ibid., 22–26.

[5]                Naomi Oreskes and Erik M. Conway, Merchants of Doubt (New York: Bloomsbury Press, 2010), 47–53.

[6]                McIntyre, Post-Truth, 45–48.

[7]                Susan Haack, Defending Science—Within Reason (Amherst: Prometheus Books, 2003), 122–126.

[8]                Sabina Leonelli, Data-Centric Biology: A Philosophical Study (Chicago: University of Chicago Press, 2016), 5–9.

[9]                Luciano Floridi, The Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 33–36.

[10]             Leonelli, Data-Centric Biology, 42–46.

[11]             Ibid., 58–62.

[12]             Eric Winsberg, Philosophy and Climate Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2018), 89–92.

[13]             Wilhelm Windelband, History and Natural Science, trans. Guy Oakes (New York: Harper Torchbooks, 1980), 8–12.

[14]             Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–306.

[15]             Ibid., 314–317.

[16]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method (London: Sheed and Ward, 1975), 267–270.

[17]             Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 5–9.

[18]             Ibid., 12–15.

[19]             John Ziman, Real Science: What It Is, and What It Means (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 210–214.

[20]             Carl Mitcham, Thinking through Technology: The Path between Engineering and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994), 155–158.

[21]             Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 4–6.

[22]             Bruno Latour, Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers through Society (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 109–112.

[23]             Ibid., 145–150.

[24]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 115–118.

[25]             Mario Bunge, Evaluating Philosophies (Dordrecht: Springer, 2012), 102–104.

[26]             Philip Kitcher, Science, Truth, and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2001), 15–19.

[27]             Ibid., 42–44.

[28]             Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 165–170.


8.           Sintesis Filosofis

Pembahasan tentang demarkasi ilmu—dari akar historisnya di era positivisme hingga kritik postmodern dan tantangan kontemporer—menunjukkan bahwa persoalan ini bukan hanya perdebatan tentang batas epistemologis, melainkan juga refleksi mendalam mengenai hakikat rasionalitas manusia. Dalam tataran filosofis, demarkasi tidak dapat direduksi menjadi sekadar garis pembeda antara ilmu dan non-ilmu; ia adalah proses reflektif dan dinamis yang memperlihatkan bagaimana manusia memahami, menafsirkan, dan menilai pengetahuan dalam konteks historis, sosial, dan etis.¹

8.1.       Rekonsiliasi Historis: Dari Kepastian ke Keterbukaan

Dari segi historis, perjalanan konsep demarkasi dapat dilihat sebagai transisi dari epistemologi kepastian menuju epistemologi keterbukaan. Positivisme klasik, yang berakar pada Comte dan Lingkaran Wina, berupaya membangun sains sebagai bentuk pengetahuan yang absolut, bebas nilai, dan dapat diverifikasi secara empiris.² Namun, upaya tersebut menimbulkan ketegangan filosofis karena menutup ruang bagi dimensi kreatif, interpretatif, dan spekulatif dari ilmu itu sendiri. Popper membuka jalan bagi reinterpretasi ini dengan menegaskan bahwa ilmu justru maju melalui kesalahan dan falsifikasi—bukan melalui kepastian.³

Demikian pula, pemikiran Kuhn dan Lakatos menunjukkan bahwa rasionalitas ilmiah tidak bersifat linear, melainkan historis dan kontekstual.⁴ Ilmu tidak tumbuh melalui akumulasi fakta, tetapi melalui revolusi paradigma dan dinamika program riset. Feyerabend kemudian memperluas wacana ini dengan menolak keberadaan metode tunggal, dan mengajak filsafat ilmu untuk merangkul pluralitas pendekatan.⁵ Dalam kerangka sintesis ini, kita memahami bahwa demarkasi bukanlah dinding yang memisahkan, melainkan jembatan yang mempertemukan berbagai bentuk pengetahuan dalam keragaman metodologisnya.

8.2.       Ontologi dan Epistemologi yang Terintegrasi

Sintesis filosofis juga menuntut rekonsiliasi antara aspek ontologis dan epistemologis dari ilmu. Secara ontologis, sains tidak hanya berurusan dengan “apa yang ada”, tetapi juga dengan “bagaimana yang ada itu dimengerti.”⁶ Realitas ilmiah bukan sekadar kumpulan fakta empiris, melainkan hasil konstruksi interaktif antara dunia objektif dan aktivitas rasional manusia.⁷ Dengan demikian, ilmu adalah modus eksistensi pengetahuan manusia, yang berada di antara dunia empiris dan dunia konseptual.

Epistemologinya, di sisi lain, menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah harus tetap kritis, terbuka terhadap koreksi, dan tunduk pada prinsip rasionalitas komunikatif.⁸ Popperian fallibilism, Kuhnian historisisme, dan Feyerabendian pluralisme—jika dibaca bersama—menunjukkan bahwa kebenaran ilmiah bersifat progresif dan korektif, bukan final.⁹ Dalam pandangan ini, demarkasi ilmiah menjadi bukan sekadar kriteria metodologis, tetapi etos epistemik yang menuntun cara manusia memahami realitas secara bertanggung jawab.

8.3.       Dimensi Aksiologis: Ilmu sebagai Proyek Etis

Dari segi aksiologi, sintesis filosofis menegaskan bahwa ilmu bukan hanya aktivitas rasional, tetapi juga aktivitas moral. Ilmu memiliki tanggung jawab untuk menjaga integritas, transparansi, dan kebermanfaatan sosial.¹⁰ Prinsip-prinsip Merton tentang universalism, communalism, disinterestedness, dan organized skepticism tidak lagi dapat dipahami sebagai aturan eksternal, melainkan sebagai bagian dari substansi filosofis sains itu sendiri.¹¹

Selain itu, dimensi etis ilmu kini semakin diperluas dengan kesadaran ekologis dan kemanusiaan global. Menurut Hans Jonas, tanggung jawab manusia terhadap akibat teknologis dari sains harus menjadi dasar etika baru bagi ilmu pengetahuan.¹² Dengan demikian, demarkasi ilmu yang sejati tidak berhenti pada metodologi, tetapi mencakup moralitas epistemik—yakni kesadaran bahwa pengetahuan harus diarahkan untuk menjaga kehidupan, bukan sekadar menguasainya.¹³

8.4.       Menuju Pluralisme Rasional dan Dialog Keilmuan

Sintesis filosofis juga menuntut pendekatan pluralisme rasional, yang menerima bahwa sains bukan satu-satunya bentuk legitim pengetahuan.¹⁴ Pendekatan ini tidak menolak keberadaan agama, seni, atau mitos sebagai bentuk pengetahuan manusia, tetapi menempatkannya dalam dialog epistemik yang saling memperkaya. Dalam pandangan Jürgen Habermas, rasionalitas ilmiah harus bersanding dengan rasionalitas praktis dan komunikatif agar pengetahuan tetap berakar pada kehidupan sosial dan moral.¹⁵

Demarkasi dalam kerangka pluralistik ini bukan berarti relativisme tanpa batas, melainkan keteraturan yang reflektif, di mana batas antara ilmu dan non-ilmu bersifat permeabel dan dapat dinegosiasikan melalui wacana rasional.¹⁶ Dengan demikian, sains modern dapat mempertahankan keotentikan metodologinya tanpa kehilangan keterbukaannya terhadap bentuk pengetahuan lain yang berorientasi pada makna dan nilai.

Relevansi Filosofis dan Pandangan Integratif

Pada akhirnya, sintesis filosofis tentang demarkasi ilmu menegaskan bahwa upaya untuk memahami batas-batas sains adalah bagian dari upaya memahami hakikat manusia sebagai makhluk pencari kebenaran. Ilmu, dengan segala keterbatasannya, merupakan refleksi dari rasionalitas manusia yang terbuka, kritis, dan berorientasi pada kebaikan.¹⁷

Demarkasi yang terlalu ketat menjadikan sains kaku dan tertutup, sedangkan demarkasi yang terlalu longgar menjadikan sains kehilangan daya normatifnya. Karena itu, jalan tengah yang dapat diambil adalah demarkasi reflektif, yang mengakui rasionalitas sains sekaligus menempatkannya dalam horizon etis dan sosial yang lebih luas.¹⁸ Dalam sintesis ini, filsafat ilmu berperan sebagai penjaga keseimbangan antara kebebasan berpikir dan tanggung jawab epistemik—antara rasionalitas dan kebijaksanaan.¹⁹

Dengan demikian, demarkasi ilmu dalam perspektif filosofis kontemporer bukanlah garis yang membatasi, tetapi horizon yang memperluas: ia menjadi medan dialog abadi antara fakta dan makna, antara pengetahuan dan kebijaksanaan, antara sains dan kemanusiaan.²⁰


Footnotes

[1]                Mario Bunge, Philosophy of Science: From Problem to Theory (New Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 29–32.

[2]                Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive (Paris: Bachelier, 1830), 5–9.

[3]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 47–52.

[4]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–71.

[5]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 245–250.

[6]                Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 21–25.

[7]                Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford: Clarendon Press, 1983), 46–49.

[8]                Karl Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary Approach (Oxford: Clarendon Press, 1972), 112–115.

[9]                Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 120–123.

[10]             Robert K. Merton, The Sociology of Science (Chicago: University of Chicago Press, 1973), 267–272.

[11]             Ibid., 269–270.

[12]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 22–28.

[13]             Ibid., 38–40.

[14]             Larry Laudan, Progress and Its Problems: Toward a Theory of Scientific Growth (Berkeley: University of California Press, 1977), 59–63.

[15]             Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 310–315.

[16]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method (London: Sheed and Ward, 1975), 267–270.

[17]             Mario Bunge, Evaluating Philosophies (Dordrecht: Springer, 2012), 102–104.

[18]             Heather Douglas, Science, Policy, and the Value-Free Ideal (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 100–103.

[19]             Philip Kitcher, Science, Truth, and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2001), 42–46.

[20]             Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 15–19.


9.           Kesimpulan

Persoalan demarkasi ilmu merupakan tema sentral dalam filsafat ilmu yang terus mengalami pembaruan dan reinterpretasi seiring perkembangan sejarah pemikiran manusia. Secara konseptual, demarkasi berupaya menjawab pertanyaan mendasar: apa yang membuat suatu pengetahuan disebut ilmiah dan apa yang tidak? Pertanyaan ini, meskipun tampak sederhana, menyentuh inti dari epistemologi, ontologi, dan aksiologi sains.¹ Melalui perjalanan historisnya, mulai dari positivisme Comte, falsifikasionisme Popper, revolusi paradigma Kuhn, hingga pluralisme metodologis Feyerabend, tampak bahwa demarkasi bukan sekadar persoalan metodologis, melainkan juga cerminan cara manusia memahami realitas dan kebenaran.²

Secara epistemologis, gagasan demarkasi telah bergeser dari pencarian kriteria tunggal ke arah pluralisme rasional.³ Positivisme logis menekankan verifikasi empiris sebagai syarat ilmiah, namun gagal menjelaskan sifat teoritis sains. Popper kemudian mengusulkan falsifikabilitas sebagai alternatif, yang menandai pergeseran penting menuju rasionalitas kritis.⁴ Meski demikian, perkembangan pemikiran selanjutnya melalui Kuhn dan Lakatos memperlihatkan bahwa ilmu tidak hanya tunduk pada logika pengujian, tetapi juga pada konteks historis, sosial, dan budaya.⁵ Dengan demikian, rasionalitas ilmiah bersifat dinamis, tidak dapat dilepaskan dari perubahan paradigma dan struktur komunitas ilmiah.⁶

Secara ontologis, demarkasi juga mengungkapkan bahwa ilmu bukan semata representasi objektif dari realitas, melainkan hasil interaksi antara manusia dan dunia yang dipahaminya.⁷ Ilmu tidak lahir dari kekosongan nilai, tetapi merupakan modus eksistensi pengetahuan manusia yang diwarnai oleh intensi, interpretasi, dan penilaian. Dalam pandangan ini, sains adalah kegiatan manusia yang bersifat terbuka—senantiasa merevisi dan menafsirkan kembali realitas berdasarkan bukti, dialog, dan refleksi.⁸ Dengan demikian, demarkasi bukanlah batas absolut antara sains dan non-sains, melainkan proses reflektif yang menandai upaya manusia untuk mempertahankan rasionalitas di tengah kompleksitas pengetahuan.⁹

Sementara itu, secara aksiologis, demarkasi ilmu menegaskan pentingnya nilai-nilai moral dan sosial dalam praktik ilmiah. Ilmu yang sejati bukan hanya yang memenuhi kriteria metodologis, tetapi juga yang menjunjung tinggi etika penelitian, kejujuran intelektual, dan tanggung jawab sosial.¹⁰ Prinsip-prinsip etis seperti universalism, communalism, dan organized skepticism yang diajukan oleh Merton menunjukkan bahwa rasionalitas ilmiah selalu berkaitan dengan integritas moral ilmuwan.¹¹ Di era teknologi dan globalisasi, persoalan demarkasi semakin kompleks, karena sains kini bersentuhan dengan kekuasaan ekonomi, politik, dan teknologi informasi yang dapat memengaruhi kemandirian epistemiknya.¹² Oleh karena itu, demarkasi kontemporer harus juga dipahami sebagai tanggung jawab moral untuk menjaga sains dari penyalahgunaan dan manipulasi sosial.¹³

Dalam konteks kontemporer, relevansi demarkasi semakin terasa di tengah krisis kepercayaan terhadap sains dan munculnya fenomena post-truth.¹⁴ Perbatasan antara fakta ilmiah dan opini subjektif semakin kabur, sehingga masyarakat memerlukan kemampuan epistemik untuk membedakan antara pengetahuan yang sahih dan klaim yang menyesatkan.¹⁵ Karena itu, demarkasi kini bukan sekadar perdebatan akademik, tetapi juga tanggung jawab kultural untuk mempertahankan nalar kritis di ruang publik.¹⁶ Filsafat ilmu berperan penting untuk menanamkan kesadaran bahwa sains bukan dogma, melainkan dialog yang terus-menerus antara bukti, teori, dan nilai.¹⁷

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa demarkasi ilmu adalah proses historis, epistemologis, dan etis yang tidak pernah final. Ia bukan garis batas yang tegas, melainkan horizon yang terbuka—tempat di mana sains merefleksikan dirinya sendiri, menguji prinsipnya, dan memperbarui tanggung jawabnya terhadap kebenaran dan kemanusiaan.¹⁸ Dalam semangat ini, filsafat ilmu berfungsi bukan untuk mengukuhkan sekat antara sains dan non-sains, melainkan untuk memelihara keterbukaan dan kebijaksanaan epistemik yang memungkinkan pengetahuan terus berkembang secara kritis, etis, dan humanistik.¹⁹


Footnotes

[1]                Mario Bunge, Philosophy of Science: From Problem to Theory (New Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 29–32.

[2]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 44–47.

[3]                Larry Laudan, “The Demise of the Demarcation Problem,” in Physics, Philosophy and Psychoanalysis, ed. Robert S. Cohen and Larry Laudan (Dordrecht: D. Reidel, 1983), 111–113.

[4]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 48–52.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 90–96.

[6]                Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 120–123.

[7]                Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 21–25.

[8]                Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford: Clarendon Press, 1983), 46–49.

[9]                Mario Bunge, Epistemology and Methodology I: Exploring the World (Dordrecht: Reidel, 1983), 58–61.

[10]             Heather Douglas, Science, Policy, and the Value-Free Ideal (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 14–18.

[11]             Robert K. Merton, The Sociology of Science: Theoretical and Empirical Investigations (Chicago: University of Chicago Press, 1973), 267–272.

[12]             Sheila Jasanoff, The Fifth Branch: Science Advisers as Policymakers (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 33–36.

[13]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 38–42.

[14]             Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 12–15.

[15]             Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 8–11.

[16]             Susan Haack, Defending Science—Within Reason (Amherst: Prometheus Books, 2003), 122–126.

[17]             Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–306.

[18]             Philip Kitcher, Science, Truth, and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2001), 42–44.

[19]             Mario Bunge, Evaluating Philosophies (Dordrecht: Springer, 2012), 102–104.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. Gollancz.

Bacon, F. (1620). Novum organum. J. Bill.

Borgmann, A. (1984). Technology and the character of contemporary life. University of Chicago Press.

Bunge, M. (1983). Epistemology and methodology I: Exploring the world. Reidel.

Bunge, M. (1998). Philosophy of science: From problem to theory. Transaction Publishers.

Bunge, M. (2012). Evaluating philosophies. Springer.

Carnap, R. (1934). The logical syntax of language. Kegan Paul.

Cartwright, N. (1983). How the laws of physics lie. Clarendon Press.

Chalmers, A. (1999). What is this thing called science? Hackett.

Comte, A. (1830). Cours de philosophie positive. Bachelier.

Dewey, J. (1948). Reconstruction in philosophy. Beacon Press.

Descartes, R. (1998). Discourse on the method (D. A. Cress, Trans.). Hackett.

Douglas, H. (2009). Science, policy, and the value-free ideal. University of Pittsburgh Press.

Feyerabend, P. (1975). Against method. Verso.

Feyerabend, P. (1978). Science in a free society. Verso.

Floridi, L. (2019). The logic of information: A theory of philosophy as conceptual design. Oxford University Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge. Routledge.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Fuller, S. (2000). Thomas Kuhn: A philosophical history for our times. University of Chicago Press.

Fuller, S. (2007). Science vs. religion? Intelligent design and the problem of evolution. Polity Press.

Gadamer, H.-G. (1975). Truth and method. Sheed and Ward.

Gilson, É. (1936). The spirit of medieval philosophy. Scribner.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Hacking, I. (1983). Representing and intervening: Introductory topics in the philosophy of natural science. Cambridge University Press.

Haack, S. (2003). Defending science—within reason: Between scientism and cynicism. Prometheus Books.

Hempel, C. G. (1966). Philosophy of natural science. Prentice Hall.

Hesse, M. (1980). Revolutions and reconstructions in the philosophy of science. Harvester Press.

Holbrook, J. B. (2019). What is value in research? Science and Engineering Ethics, 25(6), 1653–1673.

Hoyningen-Huene, P. (1993). Reconstructing scientific revolutions: Thomas S. Kuhn’s philosophy of science. University of Chicago Press.

Jaeger, W. (1948). Aristotle: Fundamentals of the history of his development. Oxford University Press.

Jasanoff, S. (1995). Science at the bar: Law, science, and technology in America. Harvard University Press.

Jasanoff, S. (1990). The fifth branch: Science advisers as policymakers. Harvard University Press.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kitcher, P. (2001). Science, truth, and democracy. Oxford University Press.

Koyré, A. (1957). From the closed world to the infinite universe. Johns Hopkins University Press.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. University of Chicago Press.

Lakatos, I. (1978). The methodology of scientific research programmes. Cambridge University Press.

Lakatos, I., & Musgrave, A. (Eds.). (1970). Criticism and the growth of knowledge. Cambridge University Press.

Latour, B. (1987). Science in action: How to follow scientists and engineers through society. Harvard University Press.

Latour, B. (1993). We have never been modern (C. Porter, Trans.). Harvard University Press.

Laudan, L. (1977). Progress and its problems: Toward a theory of scientific growth. University of California Press.

Laudan, L. (1983). The demise of the demarcation problem. In R. S. Cohen & L. Laudan (Eds.), Physics, philosophy and psychoanalysis (pp. 111–127). D. Reidel.

Leonelli, S. (2016). Data-centric biology: A philosophical study. University of Chicago Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Merton, R. K. (1973). The sociology of science: Theoretical and empirical investigations. University of Chicago Press.

Miller, D. (1994). Critical rationalism: A restatement and defence. Open Court.

Mitcham, C. (1994). Thinking through technology: The path between engineering and philosophy. University of Chicago Press.

Newton, I. (1687). Philosophiæ naturalis principia mathematica. Joseph Streater.

Oreskes, N., & Conway, E. M. (2010). Merchants of doubt. Bloomsbury Press.

Pigliucci, M., & Boudry, M. (Eds.). (2013). Philosophy of pseudoscience: Reconsidering the demarcation problem. University of Chicago Press.

Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.

Popper, K. (1959). The logic of scientific discovery. Hutchinson.

Popper, K. (1963). Conjectures and refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge.

Popper, K. (1972). Objective knowledge: An evolutionary approach. Clarendon Press.

Putnam, H. (1978). Meaning and the moral sciences. Routledge.

Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The Philosophical Review, 60(1), 20–43.

Quine, W. V. O. (1953). From a logical point of view. Harvard University Press.

Resnik, D. B. (1998). Ethics of science: An introduction. Routledge.

Resnik, D. B. (2020). Scientific research and ethics. Cambridge University Press.

Schlick, M. (1936). Meaning and verification. The Philosophical Review, 45(4), 339–369.

Weber, M. (1949). The methodology of the social sciences (E. Shils & H. Finch, Trans.). Free Press.

Windelband, W. (1980). History and natural science (G. Oakes, Trans.). Harper Torchbooks.

Winsberg, E. (2018). Philosophy and climate science. Cambridge University Press.

Ziman, J. (2000). Real science: What it is, and what it means. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar