Demarkasi Ilmu
Problematika Batas antara Sains dan Non-Sains dalam
Filsafat Ilmu
Alihkan ke: Filsafat Ilmu.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif persoalan demarkasi
ilmu, yakni usaha filosofis untuk membedakan antara pengetahuan ilmiah dan
non-ilmiah. Permasalahan ini menjadi pusat perhatian dalam filsafat ilmu karena
menyentuh inti dari rasionalitas, metodologi, dan legitimasi sains. Kajian ini
menelusuri akar historis demarkasi sejak rasionalisme Yunani Kuno dan positivisme
Auguste Comte hingga kritik kontemporer dari Thomas S. Kuhn, Imre Lakatos, dan
Paul Feyerabend. Melalui analisis historis dan konseptual, artikel ini
menunjukkan bahwa demarkasi bukanlah batas mutlak, melainkan proses
reflektif yang selalu terbuka terhadap revisi metodologis dan nilai-nilai
sosial.
Secara epistemologis, demarkasi
bertransformasi dari model verifikasionisme menuju falsifikasionisme dan
akhirnya menuju pluralisme rasional yang mengakui konteks historis dan
sosiologis sains. Secara ontologis, ilmu dipahami sebagai kegiatan
manusia yang berupaya menjelaskan realitas melalui struktur kausal dan
teoretis, bukan sekadar akumulasi fakta empiris. Sementara secara aksiologis,
sains diikat oleh norma-norma etis seperti objektivitas, keterbukaan, dan
tanggung jawab sosial yang menjadi dasar legitimasi moralnya.
Artikel ini juga menyoroti relevansi kontemporer
demarkasi dalam era post-truth, di mana batas antara sains dan
pseudoscience semakin kabur akibat arus informasi digital dan krisis kepercayaan
publik terhadap otoritas ilmiah. Dalam konteks ini, demarkasi memperoleh
dimensi baru sebagai tanggung jawab epistemik dan moral untuk menjaga
integritas sains, mendorong literasi ilmiah, serta memastikan bahwa ilmu tetap
berfungsi bagi kemanusiaan dan keberlanjutan planet.
Sebagai sintesis filosofis, artikel ini
menyimpulkan bahwa demarkasi tidak dapat direduksi menjadi kriteria metodologis
tunggal, melainkan harus dipahami sebagai horizon reflektif di mana
sains, etika, dan masyarakat saling berinteraksi. Demarkasi sejati bukan garis
pemisah, melainkan jembatan antara kebenaran dan kebijaksanaan—antara
pengetahuan ilmiah dan tanggung jawab manusia terhadap penggunaannya.
Kata Kunci: demarkasi
ilmu, filsafat ilmu, falsifikasionisme, rasionalitas ilmiah, etika ilmiah,
positivisme, post-truth, pluralisme epistemik, tanggung jawab ilmuwan.
PEMBAHASAN
Bagaimana Menentukan Kriteria Pembeda antara Ilmu dan
Non-Ilmu?
1.          
Pendahuluan
Persoalan demarkasi ilmu merupakan salah
satu isu sentral dalam filsafat ilmu, karena berkaitan langsung dengan
upaya menentukan batas yang jelas antara apa yang disebut “ilmu” dan apa
yang bukan. Sejak awal berkembangnya sains modern pada abad ke-17, para filsuf
dan ilmuwan berupaya menjawab pertanyaan mendasar: apa yang membuat suatu
pengetahuan disebut ilmiah? Masalah ini bukan sekadar persoalan akademis,
melainkan juga menyangkut legitimasi sosial dan epistemik dari kegiatan ilmiah
itu sendiri.¹ Dalam konteks ini, problem demarkasi menjadi jantung bagi
refleksi epistemologis dan metodologis tentang sifat pengetahuan ilmiah,
kriteria rasionalitas, dan dasar pembenaran ilmiah.
Secara historis, persoalan demarkasi muncul seiring
dengan lahirnya positivisme dan empirisisme modern, yang berusaha
memisahkan sains dari metafisika, agama, dan spekulasi filosofis. Auguste
Comte, misalnya, melalui Cours de Philosophie Positive (1830–1842),
menegaskan bahwa ilmu sejati harus berlandaskan pada observasi dan
eksperimentasi yang dapat diverifikasi secara empiris.² Pandangan ini kemudian
diwarisi dan diperkuat oleh Lingkaran Wina (Vienna Circle) pada awal
abad ke-20, yang mengusung prinsip verifikasionisme sebagai kriteria
utama keilmiahan.³ Menurut kelompok ini, hanya proposisi yang dapat
diverifikasi melalui pengalaman empiris yang memiliki makna kognitif; sedangkan
proposisi metafisis dianggap tidak bermakna (meaningless statements).⁴
Dengan demikian, demarkasi dipahami secara ketat sebagai garis antara
pengetahuan ilmiah yang dapat diuji dan pengetahuan non-ilmiah yang spekulatif.
Namun, kriteria verifikasi ini segera menghadapi
kritik mendasar dari Karl Popper, yang menilai bahwa tidak semua teori
ilmiah dapat diverifikasi secara sempurna.⁵ Sebaliknya, ilmu justru berkembang
melalui upaya untuk memfalsifikasi (menyangkal) hipotesis. Dengan
demikian, bagi Popper, teori ilmiah adalah teori yang dapat diuji dan
berpotensi disangkal oleh pengalaman.⁶ Inilah yang kemudian dikenal sebagai
falsifikasionisme kritis, yang menandai pergeseran paradigma besar dalam
perdebatan tentang demarkasi ilmu. Popper memandang falsifikabilitas sebagai
satu-satunya kriteria rasional yang memisahkan sains dari pseudoscience,
seperti astrologi atau psikoanalisis Freudian.⁷
Meskipun falsifikasionisme Popper berpengaruh
besar, berbagai pemikir setelahnya seperti Thomas S. Kuhn, Imre
Lakatos, dan Paul Feyerabend menilai bahwa kriteria tunggal seperti
falsifikabilitas tidak cukup menjelaskan kompleksitas praktik ilmiah.⁸ Kuhn,
dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962), menyoroti bahwa
ilmu berkembang bukan melalui falsifikasi berkelanjutan, melainkan melalui revolusi
paradigma, yakni perubahan mendasar dalam cara komunitas ilmiah memahami
dunia.⁹ Lakatos mencoba menengahi perdebatan dengan memperkenalkan konsep program
riset ilmiah (scientific research programmes) yang menilai sains
dari progresivitas heuristiknya, bukan dari falsifikasi tunggal.¹⁰ Sementara
itu, Feyerabend secara radikal menolak gagasan bahwa ada satu metode ilmiah
yang universal, dan menyatakan bahwa dalam sejarah ilmu, “anything goes”
— yakni tidak ada satu pun metode yang mutlak berlaku dalam semua konteks
ilmiah.¹¹
Dalam perkembangan kontemporer, problem demarkasi
tidak hanya menjadi persoalan epistemologis, tetapi juga aksiologis dan
sosiologis, karena menyangkut hubungan antara sains, masyarakat, dan
nilai-nilai. Di era informasi, muncul kembali perdebatan baru: bagaimana
membedakan antara scientific knowledge dan pseudoscience dalam
konteks maraknya teori konspirasi, hoaks ilmiah, dan pengetahuan berbasis
algoritma.¹² Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika ilmu tidak lagi
eksklusif berada di tangan para ilmuwan profesional, melainkan juga diproduksi
dan disebarluaskan dalam ruang publik digital. Dalam konteks ini, problem
demarkasi tidak hanya menyentuh persoalan metodologis, tetapi juga etis dan
politis — menyangkut otoritas, kepercayaan, dan tanggung jawab sosial ilmu.¹³
Dengan demikian, pembahasan tentang demarkasi
ilmu tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi utama filsafat ilmu: ontologi,
yang menelaah hakikat dan objek ilmu; epistemologi, yang meneliti dasar
pengetahuan ilmiah dan kriteria rasionalitasnya; serta aksiologi, yang
mempertanyakan nilai, etika, dan tujuan dari aktivitas ilmiah itu sendiri.¹⁴
Melalui pendekatan historis dan filosofis, artikel ini akan menguraikan evolusi
konsep demarkasi dari positivisme logis hingga postpositivisme, menelaah
berbagai kritik terhadapnya, serta menyoroti relevansinya dalam konteks
keilmuan dan masyarakat kontemporer. Dengan demikian, diharapkan pembahasan ini
dapat memperkaya pemahaman mengenai batas-batas ilmu dan peran reflektif
filsafat dalam menjaga rasionalitas ilmiah di tengah dinamika zaman.¹⁵
Footnotes
[1]               
Larry Laudan, “The Demise of the Demarcation
Problem,” Physics, Philosophy and Psychoanalysis, ed. Robert S. Cohen and
Larry Laudan (Dordrecht: D. Reidel, 1983), 111–127.
[2]               
Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive
(Paris: Bachelier, 1830).
[3]               
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936).
[4]               
Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language
(London: Kegan Paul, 1934).
[5]               
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Hutchinson, 1959).
[6]               
Ibid., 40–41.
[7]               
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 33–39.
[8]               
Imre Lakatos and Alan Musgrave, eds., Criticism
and the Growth of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1970).
[9]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–71.
[10]            
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific
Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 91–136.
[11]            
Paul Feyerabend, Against Method (London:
Verso, 1975), 27–35.
[12]            
Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy
of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago:
University of Chicago Press, 2013), 5–9.
[13]            
Heather Douglas, Science, Policy, and the
Value-Free Ideal (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 14–18.
[14]            
Mario Bunge, Philosophy of Science: From Problem
to Theory (New Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 22–28.
[15]            
Ian Hacking, Representing and Intervening:
Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), 1–4.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis Masalah Demarkasi
Persoalan demarkasi ilmu tidak muncul secara
tiba-tiba, melainkan memiliki akar historis yang panjang dan kompleks dalam
perjalanan pemikiran manusia mengenai pengetahuan. Sejak masa filsafat
Yunani Kuno, persoalan mengenai epistēmē (pengetahuan sejati) dan doxa
(pendapat) telah menjadi tema utama yang mengarahkan pencarian terhadap bentuk
pengetahuan yang sahih dan dapat dipercaya.¹ Dalam konteks ini, Plato
membedakan antara pengetahuan yang didasarkan pada rasio dan dunia ide yang
tetap (realm of forms), dan pendapat yang bersumber dari persepsi inderawi yang
berubah-ubah.² Sedangkan Aristoteles mengembangkan pandangan yang lebih
empiris, dengan menekankan bahwa ilmu sejati harus berangkat dari observasi
terhadap realitas dan ditopang oleh prinsip-prinsip logika deduktif.³ Gagasan
ini menjadi fondasi bagi tradisi ilmiah Barat yang berupaya membangun
pengetahuan sistematis melalui rasionalitas dan pengalaman.
Pada abad pertengahan, ketika filsafat berada di
bawah dominasi teologi, persoalan demarkasi muncul dalam bentuk lain, yakni
upaya untuk memisahkan pengetahuan wahyu (scientia divina) dari
pengetahuan rasional (scientia humana).⁴ Tokoh seperti Thomas Aquinas
berusaha menyeimbangkan keduanya dengan menegaskan bahwa kebenaran wahyu dan kebenaran
rasional tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi.⁵ Namun, gagasan
otonomi rasio manusia yang dikembangkan Aquinas menjadi benih bagi munculnya
semangat rasionalisme ilmiah pada masa Renaissance dan Revolusi
Ilmiah.
Pada abad ke-17, Francis Bacon melalui karya
Novum Organum (1620) menolak otoritas skolastik dan menekankan
pentingnya metode induktif sebagai jalan menuju pengetahuan ilmiah.⁶ Ia menilai
bahwa sains sejati harus berangkat dari pengalaman empiris dan pengamatan
sistematis, bukan dari spekulasi metafisis. Bersamaan dengan itu, René
Descartes menekankan peran rasio dan deduksi logis sebagai landasan
kepastian pengetahuan.⁷ Meskipun pendekatan keduanya berbeda—Bacon empiris,
Descartes rasionalis—keduanya berkontribusi dalam membentuk kerangka
epistemologis modern yang berorientasi pada kepastian metodologis. Dalam
konteks ini, persoalan demarkasi mulai diarahkan pada upaya mencari metode
ilmiah universal yang dapat menjamin objektivitas dan validitas
pengetahuan.
Memasuki abad ke-19, positivisme yang
dikembangkan oleh Auguste Comte menandai tonggak penting dalam sejarah
masalah demarkasi. Comte berpendapat bahwa pengetahuan manusia berkembang
melalui tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif, di mana tahap terakhir
adalah puncak kematangan intelektual manusia yang hanya mengakui fakta empiris
sebagai sumber kebenaran.⁸ Dalam kerangka positivisme, batas antara ilmu dan
non-ilmu ditentukan oleh sejauh mana suatu teori dapat diverifikasi berdasarkan
observasi dan eksperimen.⁹ Positivisme kemudian memengaruhi perkembangan
berbagai disiplin ilmu modern, termasuk sosiologi, ekonomi, dan psikologi, yang
berusaha meniru model sains alam dengan menggunakan metode kuantitatif dan
eksperimental.
Namun, semangat positivisme mulai mengalami krisis
pada awal abad ke-20. Kelompok Lingkaran Wina (Vienna Circle) yang
terdiri dari tokoh-tokoh seperti Moritz Schlick, Rudolf Carnap,
dan Otto Neurath, berupaya memperbarui positivisme dengan menambahkan
unsur logika formal dan analisis bahasa ke dalam metode ilmiah.¹⁰ Gerakan ini
dikenal sebagai positivisme logis (logical positivism), yang
mengajukan prinsip verifikasi sebagai kriteria demarkasi utama:
pernyataan ilmiah adalah yang dapat diverifikasi secara empiris, sedangkan yang
tidak dapat diverifikasi dianggap tidak bermakna secara kognitif.¹¹ Dengan
demikian, positivisme logis memindahkan fokus demarkasi dari substansi
ontologis ke kriteria linguistik dan logis, di mana makna suatu pernyataan
bergantung pada cara ia dapat diuji secara empiris.
Namun, posisi ini mendapat kritik tajam dari Karl
Popper, yang menilai bahwa prinsip verifikasi bersifat terlalu kuat dan
justru menghambat kemajuan ilmu.¹² Menurut Popper, sains tidak tumbuh dengan
membenarkan teori, tetapi dengan mengujinya secara kritis untuk mencari
kesalahan.¹³ Dengan demikian, falsifikabilitas—bukan
verifikasi—merupakan kriteria yang lebih rasional dan realistis untuk
membedakan ilmu dari non-ilmu.¹⁴ Falsifikasionisme Popper menjadi tonggak
penting yang mengubah arah perdebatan tentang demarkasi, sekaligus mengilhami
munculnya pendekatan-pendekatan baru seperti teori paradigma Thomas S. Kuhn,
program riset ilmiah Imre Lakatos, dan anarkisme metodologis Paul
Feyerabend.¹⁵
Kuhn dalam The Structure of Scientific
Revolutions (1962) memperlihatkan bahwa sejarah ilmu tidak berkembang
secara linear, tetapi melalui revolusi paradigma, yaitu perubahan
kerangka konseptual yang mengatur apa yang dianggap sebagai pengetahuan
sahih.¹⁶ Lakatos, di sisi lain, mencoba mendamaikan Popper dan Kuhn dengan
konsep program riset ilmiah, di mana teori ilmiah dinilai berdasarkan
kemampuan progresifnya dalam menghasilkan penemuan baru, bukan dari falsifikasi
tunggal.¹⁷ Sementara Feyerabend dengan tegas menolak adanya metode ilmiah yang
tunggal dan universal, serta menyoroti bahwa sejarah ilmu menunjukkan
keberagaman metode dan pendekatan yang justru memperkaya perkembangan
pengetahuan.¹⁸
Melalui perjalanan historis tersebut, dapat dilihat
bahwa persoalan demarkasi tidak hanya bersifat epistemologis, tetapi juga genealogis,
karena mencerminkan dinamika perubahan cara manusia memahami pengetahuan dan
realitas. Seiring waktu, kriteria demarkasi mengalami transformasi dari
pendekatan metafisik pada masa klasik, ke metodologis pada masa
modern, hingga sosiologis dan pluralistik pada masa kontemporer.¹⁹
Dengan demikian, sejarah demarkasi ilmu menunjukkan bahwa batas antara sains
dan non-sains bukanlah garis yang tetap, melainkan hasil negosiasi intelektual
yang terus berkembang sesuai dengan konteks sejarah, budaya, dan paradigma
ilmiah yang berlaku.²⁰
Footnotes
[1]               
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 476–480.
[2]               
Ibid., 509–511.
[3]               
Aristotle, Posterior Analytics, trans.
Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1994), 71b–75a.
[4]               
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner, 1936), 84–87.
[5]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 1,
a. 8.
[6]               
Francis Bacon, Novum Organum (London: J.
Bill, 1620), Aphorism I–XIX.
[7]               
René Descartes, Discourse on the Method,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 18–24.
[8]               
Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive
(Paris: Bachelier, 1830), 4–7.
[9]               
Ibid., 11–12.
[10]            
Rudolf Carnap, The Logical Structure of the
World (Chicago: Open Court, 1928), 19–24.
[11]            
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 32–35.
[12]            
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Hutchinson, 1959), 33–39.
[13]            
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 45–48.
[14]            
Ibid., 51.
[15]            
Imre Lakatos and Alan Musgrave, eds., Criticism
and the Growth of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1970),
105–110.
[16]            
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–71.
[17]            
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific
Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 91–136.
[18]            
Paul Feyerabend, Against Method (London:
Verso, 1975), 27–40.
[19]            
Larry Laudan, “The Demise of the Demarcation
Problem,” in Physics, Philosophy and Psychoanalysis, ed. Robert S. Cohen
and Larry Laudan (Dordrecht: D. Reidel, 1983), 112–115.
[20]            
Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy
of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago:
University of Chicago Press, 2013), 8–11.
3.          
Ontologi
Demarkasi: Apa yang Disebut “Ilmu”?
Masalah ontologi demarkasi berkaitan dengan
pertanyaan fundamental mengenai apa yang disebut sebagai ilmu itu sendiri.
Jika epistemologi demarkasi berfokus pada cara mengetahui (metode dan kriteria
kebenaran), maka ontologi demarkasi menelaah hakikat keberadaan ilmu—apa
entitasnya, bagaimana ia hadir dalam dunia, dan apa yang membedakannya dari
bentuk pengetahuan lain seperti mitos, seni, atau keyakinan religius.¹ Dengan
kata lain, sebelum membahas bagaimana membedakan ilmu dari non-ilmu secara
epistemologis, kita terlebih dahulu perlu memahami secara ontologis apa yang
dimaksud dengan “ilmu” sebagai bentuk realitas tertentu dalam kebudayaan
manusia.
Secara historis, konsep tentang hakikat ilmu
mengalami evolusi sejalan dengan perubahan paradigma pengetahuan. Dalam tradisi
Yunani kuno, Aristoteles memandang ilmu (epistēmē) sebagai
pengetahuan tentang sebab-sebab (aitia) yang bersifat universal dan niscaya.²
Ilmu, bagi Aristoteles, adalah upaya rasional untuk memahami mengapa
sesuatu terjadi, bukan sekadar apa yang tampak secara empiris.³
Pandangan ini menegaskan bahwa ilmu bukan sekadar kumpulan fakta, tetapi suatu
bentuk pengetahuan yang berstruktur kausal dan rasional. Dalam kerangka
ontologis Aristotelian, realitas memiliki tatanan dan tujuan (telos),
dan ilmu bertugas mengungkap keteraturan itu.⁴
Berbeda dengan itu, tradisi modern yang
lahir pada abad ke-17 hingga ke-18 menggeser orientasi ontologis ilmu dari substansi
ke mekanisme. Dalam pandangan Galileo Galilei, Isaac Newton,
dan René Descartes, dunia dipahami sebagai sistem yang tunduk pada
hukum-hukum matematis yang dapat dijelaskan secara kuantitatif.⁵ Ontologi ilmu
modern adalah mekanistik dan reduksionistik: realitas dipandang sebagai
objek yang dapat diuraikan ke dalam komponen-komponen yang sederhana dan dapat
diukur.⁶ Dengan demikian, ilmu menjadi aktivitas untuk mengobjektifikasi
alam—menyingkap struktur formalnya tanpa melibatkan nilai-nilai atau tujuan
intrinsik.⁷
Pandangan ini diperkuat oleh positivisme abad
ke-19, terutama oleh Auguste Comte, yang menegaskan bahwa realitas
ilmiah adalah segala sesuatu yang dapat diamati dan diukur.⁸ Ontologi sains,
menurut Comte, tidak mengenal entitas metafisis; yang nyata hanyalah fenomena
empiris dan hukum yang mengaturnya.⁹ Dalam kerangka ini, ilmu dipahami sebagai
sistem pengetahuan yang berurusan dengan hubungan antara fakta, bukan dengan
esensi atau sebab final. Pandangan Comte ini menjadi dasar bagi munculnya
pembedaan tegas antara “ilmu positif” dan “pengetahuan spekulatif”.¹⁰
Namun, ontologi semacam itu mulai dikritik pada
abad ke-20. Karl Popper menolak pandangan bahwa ilmu hanya berkaitan
dengan observasi; baginya, teori ilmiah adalah konstruksi hipotetis yang menjelaskan
realitas, bukan sekadar mendeskripsikannya.¹¹ Ontologi ilmu, dalam pandangan
Popper, bersifat realistis kritis: dunia nyata memang ada secara
independen dari subjek, tetapi pemahaman manusia terhadapnya selalu bersifat
tentatif dan terbuka untuk koreksi.¹² Dalam kerangka ini, ilmu bukan
representasi sempurna dari realitas, melainkan model rasional yang mendekati
kebenaran melalui proses kritik dan falsifikasi.¹³
Sementara itu, Thomas S. Kuhn dan Imre
Lakatos menggeser diskursus ontologis dari realitas objektif ke struktur
internal ilmu itu sendiri. Kuhn menekankan bahwa “ilmu” tidak dapat
dipahami terlepas dari paradigma yang mengaturnya—yakni seperangkat
keyakinan, nilai, dan teknik yang diterima oleh komunitas ilmiah pada suatu
masa.¹⁴ Dengan demikian, ontologi ilmu menjadi bersifat historis dan sosial:
apa yang disebut “ilmu” bergantung pada konsensus komunitas ilmiah dan
perubahan paradigma. Lakatos menambahkan bahwa ilmu dapat dipahami sebagai program
riset yang memiliki “inti keras” (hard core) dan “sabuk pelindung”
(protective belt) dari hipotesis tambahan; yang membedakan ilmu dari non-ilmu
bukan hanya objeknya, tetapi juga struktur dinamisnya dalam menghadapi
anomali.¹⁵
Dalam konteks yang lebih radikal, Paul Feyerabend
mempertanyakan seluruh asumsi ontologis tentang keunikan ilmu. Menurutnya,
tidak ada entitas tunggal yang dapat disebut “ilmu” secara universal,
sebab praktik ilmiah berbeda-beda dalam tiap konteks sejarah dan budaya.¹⁶
Ontologi ilmu, dalam pandangan ini, bersifat pluralistik dan anarkis:
ilmu tidak lebih unggul secara ontologis dibanding bentuk pengetahuan lain
seperti mitos atau seni, karena semuanya merupakan cara manusia menafsirkan
dunia.¹⁷ Pandangan Feyerabend membuka ruang bagi relativisme epistemik, tetapi
sekaligus menegaskan bahwa apa yang disebut “ilmu” adalah konstruksi
sosial yang historis, bukan entitas metafisis yang tetap.
Dalam refleksi kontemporer, para filsuf ilmu
seperti Mario Bunge, Ian Hacking, dan Nancy Cartwright
mencoba merekonstruksi ontologi sains agar lebih realistis namun tidak
dogmatis. Bunge menegaskan bahwa realitas ilmiah terdiri dari entitas dan
proses yang memiliki struktur kausal, bukan sekadar hasil observasi.¹⁸
Hacking mengusulkan pendekatan realisme eksperimental, di mana
keberadaan entitas ilmiah dibenarkan bukan karena ia dapat “dilihat”,
tetapi karena ia dapat diperlakukan dan dimanipulasi secara efektif.¹⁹
Cartwright, di sisi lain, menyoroti bahwa hukum-hukum ilmiah sering kali hanya
berlaku dalam konteks tertentu, sehingga realitas ilmiah bersifat fragmentaris
dan kontekstual.²⁰
Dengan demikian, secara ontologis, ilmu dapat
dipahami sebagai aktivitas manusia yang berorientasi pada pencarian penjelasan
rasional tentang realitas empiris, yang bersifat sistematis, terbuka
terhadap koreksi, dan memiliki struktur metodologis yang dapat diuji. Ilmu
bukan sekadar kumpulan fakta atau proposisi, melainkan praktik rasional dan
sosial yang terus membentuk dirinya melalui interaksi antara teori, data,
dan nilai-nilai komunitas ilmiah.²¹ Dalam arti ini, demarkasi ilmu bukan hanya
persoalan metode, tetapi juga persoalan ontologis mengenai apa yang kita
anggap nyata dan dapat diketahui secara ilmiah.²²
Footnotes
[1]               
Mario Bunge, Philosophy of Science: From Problem
to Theory (New Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 17–20.
[2]               
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 981b–982a.
[3]               
Aristotle, Posterior Analytics, trans.
Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1994), 71b–75a.
[4]               
Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the
History of His Development (Oxford: Oxford University Press, 1948),
145–148.
[5]               
René Descartes, Discourse on the Method,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 21–25.
[6]               
Isaac Newton, Philosophiæ Naturalis Principia
Mathematica (London: Joseph Streater, 1687), Preface.
[7]               
Alexandre Koyré, From the Closed World to the
Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957),
120–125.
[8]               
Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive
(Paris: Bachelier, 1830), 5–9.
[9]               
Ibid., 12–15.
[10]            
Ibid., 17–18.
[11]            
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Hutchinson, 1959), 40–43.
[12]            
Karl Popper, Objective Knowledge: An
Evolutionary Approach (Oxford: Clarendon Press, 1972), 108–110.
[13]            
Ibid., 112.
[14]            
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–71.
[15]            
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific
Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 91–136.
[16]            
Paul Feyerabend, Against Method (London:
Verso, 1975), 28–34.
[17]            
Ibid., 245–250.
[18]            
Mario Bunge, Epistemology and Methodology I:
Exploring the World (Dordrecht: Reidel, 1983), 56–60.
[19]            
Ian Hacking, Representing and Intervening
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 21–25.
[20]            
Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie
(Oxford: Clarendon Press, 1983), 45–49.
[21]            
Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy
of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago:
University of Chicago Press, 2013), 10–14.
[22]            
Larry Laudan, “The Demise of the Demarcation
Problem,” in Physics, Philosophy and Psychoanalysis, ed. Robert S. Cohen
and Larry Laudan (Dordrecht: D. Reidel, 1983), 121–125.
4.          
Epistemologi
Demarkasi: Kriteria dan Rasionalitas Ilmiah
Masalah epistemologi
demarkasi merupakan inti dari perdebatan dalam filsafat ilmu,
karena menyentuh pertanyaan fundamental: apa yang membuat suatu pengetahuan dapat
disebut ilmiah? Bila bagian ontologis menelaah “apa itu ilmu” dari
segi keberadaannya, maka bagian epistemologis berupaya menelaah bagaimana
ilmu memperoleh, memvalidasi, dan membenarkan pengetahuannya.¹
Dengan demikian, epistemologi demarkasi berkaitan erat dengan konsep rasionalitas
ilmiah—yakni seperangkat prinsip, metode, dan kriteria yang
membedakan pengetahuan ilmiah dari pengetahuan biasa, mitos, atau
pseudoscience.²
4.1.       Dari Verifikasionisme ke Falsifikasionisme:
Pergeseran Paradigma Kebenaran Ilmiah
Pada awal abad
ke-20, positivisme
logis atau empirisisme logis yang
berkembang di bawah Lingkaran Wina (Vienna Circle),
menjadi proyek filosofis besar pertama yang secara sistematis berusaha menjawab
masalah demarkasi.³ Tokoh-tokoh seperti Moritz Schlick, Rudolf
Carnap, dan A. J. Ayer berpendapat bahwa
proposisi ilmiah harus tunduk pada prinsip verifikasi: sebuah
pernyataan bermakna secara ilmiah hanya jika dapat diverifikasi melalui
pengalaman empiris.⁴ Dalam kerangka ini, bahasa ilmiah harus bersifat
observasional, operasional, dan bebas dari metafisika.⁵
Namun, kriteria
verifikasi menghadapi kesulitan serius. Tidak semua teori ilmiah dapat
diverifikasi secara langsung, seperti teori atom, gravitasi, atau relativitas.⁶
Karena itu, Karl Popper mengajukan
alternatif revolusioner: bukan verifikasi, melainkan falsifikasi
sebagai kriteria utama demarkasi.⁷ Menurut Popper, teori ilmiah adalah teori
yang dapat
diuji dan berpotensi disangkal oleh pengalaman.⁸ Falsifikabilitas,
dengan demikian, menjadi tanda keilmiahan karena ia menuntut keberanian
epistemik untuk mempertaruhkan kebenaran teorinya terhadap bukti yang mungkin
menentangnya.⁹ Bagi Popper, pernyataan yang tidak mungkin disangkal—seperti
dogma agama atau psikoanalisis Freudian—tidak dapat disebut ilmiah.¹⁰
Popper menganggap rasionalitas
ilmiah bersifat kritis dan dinamis: teori ilmiah tidak pernah
benar secara absolut, tetapi hanya belum terbantahkan.¹¹ Proses ilmiah
adalah dialog tak berkesudahan antara hipotesis dan kritik, di mana kesalahan
menjadi sumber kemajuan pengetahuan.¹² Dengan demikian, epistemologi demarkasi
Popper bersifat fallibilistik dan anti-dogmatis,
menolak klaim kepastian mutlak yang menjadi ciri positivisme klasik.¹³
4.2.       Paradigma dan Rasionalitas Ilmiah menurut Thomas S.
Kuhn
Meskipun
falsifikasionisme Popper berpengaruh besar, Thomas S. Kuhn menunjukkan
bahwa dalam praktiknya, ilmu tidak berkembang melalui falsifikasi tunggal,
melainkan melalui perubahan paradigma.¹⁴ Dalam
karyanya The
Structure of Scientific Revolutions (1962), Kuhn memperkenalkan
konsep paradigm
sebagai kerangka konseptual yang memandu aktivitas ilmiah: menentukan masalah
apa yang layak diteliti, metode apa yang sah digunakan, dan hasil seperti apa
yang dianggap valid.¹⁵
Menurut Kuhn,
rasionalitas ilmiah bersifat komunal dan historis. Dalam
masa “ilmu normal,” ilmuwan bekerja dalam paradigma yang disepakati,
menyelesaikan teka-teki ilmiah tanpa mempertanyakan dasar paradigma itu
sendiri.¹⁶ Namun ketika anomali menumpuk dan tidak dapat diselesaikan, terjadi krisis
ilmiah yang mendorong lahirnya paradigma baru.¹⁷ Proses ini
bukan hanya rasional dalam arti logis, tetapi juga bersifat sosiologis dan
psikologis. Oleh karena itu, bagi Kuhn, demarkasi ilmu tidak hanya ditentukan oleh
kriteria logis, melainkan juga oleh dinamika komunitas ilmiah.¹⁸
Kritik terhadap
Popper oleh Kuhn menunjukkan bahwa rasionalitas ilmiah tidak bersifat universal
dan ahistoris, melainkan bergantung pada konteks paradigma yang berlaku.¹⁹ Ilmu
bukan sekadar himpunan proposisi yang dapat diuji, tetapi suatu
bentuk kehidupan intelektual yang diatur oleh tradisi, norma, dan
konsensus ilmuwan.²⁰
4.3.       Program Riset Ilmiah dan Rasionalitas Heuristik
(Imre Lakatos)
Imre
Lakatos mencoba menggabungkan falsifikasionisme Popper dan
relativisme Kuhn melalui konsep program riset ilmiah (scientific
research programmes).²¹ Bagi Lakatos, ilmu berkembang dalam bentuk
program riset yang memiliki “inti keras” (hard core)—yakni hipotesis dasar
yang tidak boleh disentuh—dan “sabuk pelindung” (protective
belt) dari teori-teori tambahan yang dapat disesuaikan untuk
melindungi inti keras tersebut dari falsifikasi.²²
Suatu program riset
disebut progresif apabila mampu
menghasilkan prediksi baru yang dapat diuji dan dikonfirmasi secara empiris,
sedangkan program riset degeneratif hanya menambal
anomali tanpa memberi kemajuan teoretis.²³ Dengan demikian, demarkasi ilmu
tidak terletak pada falsifikasi tunggal (Popper), melainkan pada dinamika
heuristik yang membedakan antara ilmu yang berkembang dan ilmu
yang stagnan.²⁴ Lakatos berhasil menunjukkan bahwa rasionalitas ilmiah bersifat
prosesual
dan evaluatif, bukan sekadar prosedural.²⁵
4.4.       Kritik Feyerabend dan Pluralisme Epistemik
Dalam posisi yang
lebih ekstrem, Paul Feyerabend menolak seluruh
usaha untuk menetapkan kriteria universal bagi sains.²⁶ Dalam Against
Method (1975), ia menegaskan prinsip terkenal “anything
goes” sebagai kritik terhadap mitos rasionalitas tunggal.²⁷
Menurutnya, sejarah ilmu menunjukkan bahwa banyak kemajuan besar justru terjadi
ketika ilmuwan melanggar aturan metodologis yang ada.²⁸ Feyerabend menolak ide
adanya “metode ilmiah” yang tetap dan universal; baginya, rasionalitas
ilmiah bersifat pluralistik dan kontekstual.²⁹
Kritik Feyerabend
memperluas cakupan epistemologi demarkasi ke wilayah antropologi
pengetahuan, di mana sains dipandang sebagai salah satu bentuk
budaya manusia di antara banyak cara memahami dunia.³⁰ Walaupun posisinya
sering dianggap relativistik, Feyerabend mengingatkan bahwa upaya menetapkan
satu kriteria rasionalitas dapat berujung pada dogmatisme ilmiah yang mengekang
kreativitas pengetahuan.³¹
4.5.       Epistemologi Demarkasi dalam Konteks Kontemporer
Dalam perkembangan
kontemporer, diskursus epistemologi demarkasi semakin kompleks dengan munculnya
sains interdisipliner, data science, dan artificial intelligence.³² Massimo
Pigliucci dan Maarten Boudry menyoroti bahwa
problem demarkasi kini tidak hanya filosofis, tetapi juga praktis—misalnya
dalam membedakan antara science-based medicine dan alternative
medicine, atau antara riset ilmiah dan pseudoscience.³³
Kriteria
rasionalitas ilmiah kini tidak lagi tunggal, melainkan mencakup aspek-aspek
seperti testabilitas empiris, koherensi
teoretis, prediktivitas, dan integritas
metodologis.³⁴ Di sisi lain, epistemologi demarkasi juga
menuntut dimensi etis: rasionalitas ilmiah harus
berakar pada kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab sosial terhadap
kebenaran.³⁵
Dengan demikian,
epistemologi demarkasi tidak dapat direduksi pada satu prinsip universal. Ia
merupakan ruang refleksi dinamis di mana
rasionalitas ilmiah selalu dinegosiasikan antara kriteria logis, konteks
historis, dan nilai-nilai sosial.³⁶ Dalam arti ini, demarkasi bukanlah garis
batas tetap, melainkan medan dialog antara kritisisme Popperian, historisisme
Kuhnian, dan pluralisme Feyerabendian, yang
bersama-sama memperkaya pemahaman kita tentang hakikat ilmu dan rasionalitas
manusia.³⁷
Footnotes
[1]               
Mario Bunge, Philosophy of Science:
From Problem to Theory (New
Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 21–25.
[2]               
Larry Laudan, “The Demise of the Demarcation Problem,” in Physics, Philosophy and Psychoanalysis, ed. Robert S. Cohen and Larry Laudan (Dordrecht: D.
Reidel, 1983), 111–113.
[3]               
Rudolf Carnap, The Logical Syntax of
Language (London: Kegan Paul, 1934),
8–10.
[4]               
A. J. Ayer, Language, Truth and
Logic (London: Gollancz, 1936),
32–35.
[5]               
Moritz Schlick, “Meaning and Verification,” The Philosophical Review
45, no. 4 (1936): 339–369.
[6]               
Carl G. Hempel, Philosophy of Natural
Science (Englewood Cliffs: Prentice
Hall, 1966), 23–26.
[7]               
Karl Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Hutchinson,
1959), 40–43.
[8]               
Ibid., 44.
[9]               
Karl Popper, Conjectures and
Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 48–52.
[10]            
Ibid., 53–54.
[11]            
Karl Popper, Objective Knowledge: An
Evolutionary Approach (Oxford:
Clarendon Press, 1972), 80–85.
[12]            
Ibid., 90–92.
[13]            
David Miller, Critical Rationalism: A
Restatement and Defence (Chicago:
Open Court, 1994), 15–20.
[14]            
Thomas S. Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions (Chicago:
University of Chicago Press, 1962), 66–71.
[15]            
Ibid., 75–90.
[16]            
Ibid., 110–112.
[17]            
Ibid., 121–125.
[18]            
Steve Fuller, Thomas Kuhn: A
Philosophical History for Our Times
(Chicago: University of Chicago Press, 2000), 140–143.
[19]            
Larry Laudan, “A Confutation of Convergent Realism,” Philosophy of Science
48, no. 1 (1981): 19–49.
[20]            
Kuhn, Structure of Scientific
Revolutions, 210–212.
[21]            
Imre Lakatos, The Methodology of
Scientific Research Programmes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 91–136.
[22]            
Ibid., 100–105.
[23]            
Ibid., 123–126.
[24]            
Alan Chalmers, What Is This Thing
Called Science? (Indianapolis:
Hackett, 1999), 98–101.
[25]            
Lakatos, Methodology, 132–133.
[26]            
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 17–19.
[27]            
Ibid., 23–26.
[28]            
Ibid., 31–33.
[29]            
Ibid., 245–250.
[30]            
Steve Fuller, Science vs. Religion?
Intelligent Design and the Problem of Evolution (Cambridge: Polity Press, 2007), 56–60.
[31]            
Feyerabend, Against Method, 255–257.
[32]            
Heather Douglas, Science, Policy, and
the Value-Free Ideal (Pittsburgh:
University of Pittsburgh Press, 2009), 14–18.
[33]            
Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation
Problem (Chicago: University of
Chicago Press, 2013), 5–9.
[34]            
Susan Haack, Defending
Science—Within Reason (Amherst:
Prometheus Books, 2003), 120–124.
[35]            
Robert K. Merton, The Sociology of
Science (Chicago: University of
Chicago Press, 1973), 267–272.
[36]            
Larry Laudan, Progress and Its
Problems: Toward a Theory of Scientific Growth (Berkeley: University of California Press, 1977),
63–69.
[37]            
Ian Hacking, Representing and
Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983),
156–160.
5.          
Aksiologi
dan Etika Ilmiah dalam Demarkasi
Aspek aksiologis
dari persoalan demarkasi ilmu menyentuh dimensi nilai, tujuan, dan tanggung
jawab moral yang melekat dalam aktivitas ilmiah. Jika epistemologi menjawab bagaimana
ilmu memperoleh pengetahuan, maka aksiologi bertanya untuk
apa pengetahuan itu digunakan dan nilai-nilai apa yang mengarahkannya.¹
Dalam konteks filsafat ilmu, demarkasi tidak hanya bersifat epistemologis,
tetapi juga etis, sebab batas antara ilmu dan non-ilmu memiliki
implikasi moral terhadap bagaimana pengetahuan digunakan untuk kemaslahatan
manusia dan kehidupan sosial.²
5.1.       Ilmu sebagai Aktivitas Bernilai
Setiap kegiatan
ilmiah berakar pada nilai-nilai tertentu yang membentuk karakter dan orientasi
keilmuannya. Dalam pandangan Max Weber, ilmu tidak dapat
sepenuhnya bebas nilai (value-free), karena pemilihan
topik, metode, dan interpretasi hasil penelitian selalu dipengaruhi oleh
nilai-nilai sosial dan kultural.³ Namun, Weber membedakan antara nilai
internal (seperti kejujuran, ketelitian, dan objektivitas) yang
melekat pada kegiatan ilmiah, dan nilai eksternal (seperti
ideologi, agama, atau politik) yang berada di luar ranah ilmiah.⁴
Dalam hal ini, aksiologi
demarkasi berperan penting untuk menjaga integritas sains agar
tidak terkooptasi oleh kepentingan non-ilmiah. Ketika batas antara ilmu dan
non-ilmu kabur, muncul bahaya instrumentalisasi pengetahuan untuk kepentingan
ekonomi, politik, atau dogma tertentu.⁵ Sebagai contoh, manipulasi data
penelitian demi kepentingan industri farmasi atau penggunaan sains untuk
propaganda ideologis menegaskan pentingnya etika ilmiah sebagai bagian tak
terpisahkan dari kriteria keilmiahan.⁶
5.2.       Nilai-nilai Etis dalam Praktik Ilmiah: Mertonian
Norms
Sosiolog ilmu Robert
K. Merton mengembangkan empat norma etis yang menjadi fondasi
perilaku ilmiah: universalism, communalism, disinterestedness,
dan organized
skepticism.⁷
·                    
Universalism
menegaskan bahwa kebenaran ilmiah harus dinilai berdasarkan bukti, bukan
berdasarkan siapa yang mengemukakannya.⁸
·                    
Communalism
menyatakan bahwa hasil penelitian ilmiah merupakan milik bersama umat manusia
dan harus dibagikan secara terbuka.⁹
·                    
Disinterestedness
menuntut ilmuwan untuk bebas dari kepentingan pribadi atau politik.¹⁰
·                    
Organized
skepticism mengharuskan setiap klaim ilmiah diuji secara kritis
oleh komunitas ilmiah.¹¹
Keempat norma ini
tidak hanya menjadi pedoman etis, tetapi juga menjadi prinsip
aksiologis demarkasi: hanya kegiatan ilmiah yang beroperasi
sesuai dengan nilai-nilai tersebut yang dapat disebut ilmiah
secara etis. Dengan kata lain, demarkasi ilmu tidak hanya
ditentukan oleh apa yang diketahui atau bagaimana
diketahuinya, tetapi juga oleh bagaimana dan untuk tujuan apa pengetahuan itu
digunakan.¹²
5.3.       Demarkasi dan Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan
Tanggung jawab
sosial ilmuwan merupakan dimensi aksiologis yang semakin penting di era sains
modern. Ilmu tidak berdiri di ruang hampa; hasil-hasilnya berdampak luas
terhadap masyarakat, lingkungan, dan moralitas. Hans Jonas, dalam The
Imperative of Responsibility, menekankan bahwa kekuatan teknologi
hasil sains modern menuntut etika baru yang mempertimbangkan dampak jangka
panjang terhadap kehidupan manusia dan alam.¹³ Prinsip “bertanggung jawab
atas kemungkinan akibat pengetahuan” menjadi kriteria moral baru dalam
menilai keilmiahan praktik ilmiah.¹⁴
Demarkasi ilmu dalam
konteks ini berfungsi sebagai penjaga moral: membedakan antara
pengetahuan yang dihasilkan melalui tanggung jawab etis dan yang dihasilkan
demi kekuasaan atau keuntungan. Ilmu yang kehilangan orientasi aksiologisnya
berisiko menjadi pseudoscience yang hanya berorientasi pragmatis.¹⁵
Selain itu, di
tengah era
post-truth dan komersialisasi ilmu, tanggung jawab ilmuwan juga
mencakup menjaga integritas publik terhadap sains.¹⁶ Ketika sains dipolitisasi
atau dimanipulasi untuk kepentingan ekonomi, publik kehilangan kepercayaan
terhadap kebenaran ilmiah. Dalam situasi ini, etika ilmiah tidak hanya menjaga
validitas metodologis, tetapi juga membangun legitimasi sosial sains sebagai
otoritas rasional.¹⁷
5.4.       Etika Penelitian dan Kejujuran Ilmiah
Etika ilmiah juga
berkaitan dengan kejujuran dalam proses penelitian:
ketepatan dalam pengumpulan data, integritas dalam analisis, dan keterbukaan
dalam publikasi. Pelanggaran seperti fabrication, falsification,
dan plagiarism
tidak hanya melanggar etika profesional, tetapi juga menggugurkan status ilmiah
dari penelitian itu sendiri.¹⁸ Dalam arti ini, kejujuran ilmiah menjadi kriteria
aksiologis yang tak kalah penting dari verifikasi atau falsifikasi dalam
demarkasi epistemologis.¹⁹
Menurut Heather
Douglas, etika dalam ilmu tidak dapat dipisahkan dari proses
pengambilan keputusan ilmiah itu sendiri, karena nilai-nilai moral sering kali
berperan dalam menimbang risiko, manfaat, dan interpretasi bukti.²⁰ Oleh karena
itu, penilaian
ilmiah yang bertanggung jawab bukan sekadar keputusan teknis,
tetapi juga keputusan etis.²¹
5.5.       Aksiologi Ilmu dalam Konteks Kontemporer
Dalam era modern,
persoalan demarkasi juga memiliki dimensi aksiologis baru yang terkait dengan keadilan
sosial, keberlanjutan lingkungan, dan etika teknologi.²² Sains
tidak lagi cukup diukur berdasarkan kebenaran dan rasionalitas, tetapi juga dampak
moral dan ekologisnya. Misalnya, bioteknologi, kecerdasan buatan,
dan energi nuklir memunculkan dilema etis baru yang menuntut refleksi filosofis
tentang batas-batas legitimasi ilmu.²³
Demarkasi ilmu yang
etis menuntut bahwa pengetahuan ilmiah tidak hanya harus benar, tetapi juga baik dan
bermanfaat.²⁴ Prinsip ini mengembalikan sains ke dalam kerangka humanistik,
di mana ilmu berfungsi sebagai sarana untuk memperdalam martabat manusia dan
menjaga kelestarian dunia.²⁵
Dengan demikian,
dimensi aksiologis dan etika ilmiah dalam demarkasi menunjukkan bahwa sains
sejati tidak hanya dibedakan oleh metode atau teori, tetapi juga oleh
nilai-nilai moral yang menuntun dan membatasi penggunaannya.²⁶ Ilmu yang
kehilangan arah etisnya akan jatuh ke dalam bentuk baru dari non-ilmu:
teknologi tanpa kebijaksanaan.²⁷
Footnotes
[1]               
Mario Bunge, Philosophy of Science:
From Problem to Theory (New
Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 26–30.
[2]               
Larry Laudan, Progress and Its
Problems: Toward a Theory of Scientific Growth (Berkeley: University of California Press, 1977),
58–61.
[3]               
Max Weber, The Methodology of the
Social Sciences, trans. Edward Shils
and Henry Finch (New York: Free Press, 1949), 51–54.
[4]               
Ibid., 65–68.
[5]               
Sheila Jasanoff, Science at the Bar:
Law, Science, and Technology in America
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 14–16.
[6]               
David Resnik, Ethics of Science: An
Introduction (New York: Routledge,
1998), 39–42.
[7]               
Robert K. Merton, The Sociology of
Science: Theoretical and Empirical Investigations (Chicago: University of Chicago Press, 1973),
267–278.
[8]               
Ibid., 269.
[9]               
Ibid., 270.
[10]            
Ibid., 271.
[11]            
Ibid., 272.
[12]            
John Ziman, Real Science: What It
Is, and What It Means (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000), 134–138.
[13]            
Hans Jonas, The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 22–28.
[14]            
Ibid., 38–40.
[15]            
Mario Bunge, Epistemology and
Methodology I: Exploring the World
(Dordrecht: Reidel, 1983), 59–61.
[16]            
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 44–47.
[17]            
Heather Douglas, Science, Policy, and
the Value-Free Ideal (Pittsburgh:
University of Pittsburgh Press, 2009), 15–18.
[18]            
David B. Resnik, Scientific Research and
Ethics (Cambridge: Cambridge
University Press, 2020), 81–85.
[19]            
Ibid., 87.
[20]            
Douglas, Science, Policy, and
the Value-Free Ideal, 100–103.
[21]            
Ibid., 110–112.
[22]            
J. Britt Holbrook, “What Is Value in Research?,” Science and Engineering Ethics 25, no. 6 (2019): 1653–1673.
[23]            
Hans Jonas, Imperative of
Responsibility, 115–118.
[24]            
John Dewey, Reconstruction in
Philosophy (Boston: Beacon Press,
1948), 84–87.
[25]            
Philip Kitcher, Science, Truth, and
Democracy (Oxford: Oxford University
Press, 2001), 15–19.
[26]            
Mario Bunge, Evaluating Philosophies (Dordrecht: Springer, 2012), 102–104.
[27]            
Albert Borgmann, Technology and the Character
of Contemporary Life (Chicago:
University of Chicago Press, 1984), 145–148.
6.          
Kritik
terhadap Konsep Demarkasi
Persoalan demarkasi
ilmu—yakni usaha untuk menentukan batas yang tegas antara sains
dan non-sains—telah lama menjadi pusat perdebatan dalam filsafat ilmu. Meskipun
gagasan ini berakar pada niat epistemologis yang mulia, yakni menjaga
rasionalitas dan objektivitas pengetahuan ilmiah, banyak pemikir kemudian
menilai bahwa konsep demarkasi mengandung kelemahan mendasar baik secara
metodologis maupun filosofis. Kritik terhadap konsep ini menunjukkan bahwa usaha
mencari kriteria tunggal keilmiahan bersifat problematik,
karena sains sendiri berkembang melalui keragaman metodologis, historis, dan
sosial.¹
6.1.       Kritik terhadap Positivisme dan Kriteria Verifikasi
Kritik pertama
datang terhadap positivisme logis dan prinsip
verifikasi yang diusung oleh Lingkaran Wina. Para filsuf
seperti W. V. O. Quine dan Karl
Popper menunjukkan bahwa kriteria verifikasi tidak dapat
diterapkan secara universal, sebab banyak teori ilmiah yang melibatkan entitas
tidak langsung teramati, seperti elektron atau medan gravitasi.² Dalam esainya Two
Dogmas of Empiricism, Quine menolak dikotomi antara proposisi
analitik dan sintetik yang menjadi dasar verifikasionisme, dengan menunjukkan
bahwa seluruh teori ilmiah bergantung pada jaringan keyakinan (web of
belief) yang saling terkait.³
Selain itu, prinsip
verifikasi gagal menangkap dimensi teoritis dari sains.
Misalnya, teori relativitas atau mekanika kuantum tidak dapat diverifikasi
secara langsung melalui observasi sederhana, melainkan melalui serangkaian
inferensi dan eksperimen kompleks.⁴ Dengan demikian, positivisme logis dianggap
terlalu sempit karena mengabaikan peran teori dan imajinasi ilmiah dalam
membentuk realitas empiris.⁵
6.2.       Kritik terhadap Falsifikasionisme Popper
Meskipun Popper
berhasil menggantikan verifikasi dengan falsifikasi sebagai kriteria
demarkasi yang lebih realistis, kritik kemudian menunjukkan bahwa
falsifikasionisme pun tidak luput dari kelemahan.⁶ Pertama, dalam praktik
ilmiah, ilmuwan jarang menolak teori hanya karena satu hasil eksperimen yang
tidak sesuai.⁷ Seperti dijelaskan oleh Thomas S. Kuhn dan Imre
Lakatos, teori besar sering kali dipertahankan dengan
memodifikasi asumsi atau menyesuaikan perangkat tambahan (auxiliary
hypotheses).⁸
Kedua,
falsifikasionisme Popper cenderung terlalu idealistik, karena
mengasumsikan bahwa ilmuwan bersikap sepenuhnya rasional dan bebas dari bias
sosial atau psikologis.⁹ Padahal, sejarah sains menunjukkan bahwa teori sering
dipertahankan bukan hanya karena bukti empiris, tetapi juga karena keanggunan
teoritis, tradisi, atau daya guna praktisnya.¹⁰ Dalam hal ini, Larry
Laudan berargumen bahwa tidak ada satu pun kriteria logis yang
dapat secara konsisten memisahkan sains dari pseudoscience.¹¹ Menurutnya, demarkasi
lebih tepat dipahami sebagai masalah nilai epistemik—seberapa baik
teori menjelaskan dan memprediksi fenomena—daripada sekadar logika formal.¹²
6.3.       Relativisme Kuhn dan Kritik terhadap Objektivitas
Ilmiah
Kritik yang lebih
radikal muncul dari Thomas S. Kuhn, yang menolak
pandangan bahwa sains berkembang secara kumulatif dan rasional.¹³ Dalam The
Structure of Scientific Revolutions (1962), Kuhn menunjukkan bahwa
perubahan ilmiah terjadi melalui revolusi paradigma, bukan
melalui falsifikasi berkelanjutan.¹⁴ Paradigma menentukan cara ilmuwan
memandang dunia, menetapkan apa yang dianggap sebagai fakta, serta menentukan
metode yang sah.¹⁵ Dengan demikian, kebenaran ilmiah bersifat paradigmatik dan historis,
bukan universal.¹⁶
Konsekuensinya,
kriteria demarkasi kehilangan landasan objektifnya: apa yang disebut “ilmiah”
tergantung pada paradigma yang dominan dalam komunitas ilmiah pada masa
tertentu.¹⁷ Pandangan ini mengguncang fondasi rasionalitas sains karena membuka
kemungkinan bahwa ilmu tidak lebih dari konstruksi sosial yang berubah sesuai
konteks historis.¹⁸ Kritik terhadap Kuhn kemudian datang dari Karl
Popper sendiri, yang menuduhnya terjebak dalam relativisme
epistemik yang berbahaya bagi rasionalitas ilmiah.¹⁹ Namun demikian, banyak
filsuf ilmu kontemporer melihat sumbangan Kuhn sebagai pengingat bahwa demarkasi
tidak mungkin dilepaskan dari dimensi historis dan sosiologis sains.²⁰
6.4.       Anarkisme Metodologis Feyerabend
Paul
Feyerabend memberikan kritik paling ekstrem terhadap konsep
demarkasi dalam Against Method (1975). Ia menolak
gagasan bahwa ada “metode ilmiah” yang universal dan menganggap setiap
upaya menetapkan kriteria tunggal sebagai bentuk penindasan epistemik.²¹
Menurut Feyerabend, sejarah sains justru menunjukkan bahwa kemajuan ilmiah
terjadi ketika para ilmuwan melanggar aturan metodologis, misalnya Galileo yang
menentang paradigma Aristotelian.²² Oleh karena itu, ia mengajukan prinsip “anything
goes” sebagai bentuk anarkisme metodologis: ilmu
harus dibiarkan berkembang secara bebas dan kreatif, tanpa dibatasi oleh dogma
metodologis.²³
Bagi Feyerabend,
demarkasi tidak hanya mustahil, tetapi juga tidak diinginkan, karena
menciptakan hierarki epistemik antara sains dan bentuk pengetahuan lain seperti
mitos, agama, atau seni.²⁴ Ia berpendapat bahwa semua sistem pengetahuan
memiliki nilai dan rasionalitasnya sendiri dalam konteks sosialnya.²⁵ Kritik
ini menantang klaim keunggulan moral dan epistemologis sains, serta membuka
ruang bagi pluralisme pengetahuan.²⁶
6.5.       Perspektif Postmodern dan Kritik Sosio-Kultural
Dalam konteks postmodernisme,
kritik terhadap demarkasi ilmu semakin diperluas. Jean-François
Lyotard, dalam The Postmodern Condition (1979),
berargumen bahwa sains tidak lagi memiliki otoritas tunggal atas kebenaran
karena telah menjadi salah satu dari sekian banyak language games dalam masyarakat
kontemporer.²⁷ Kebenaran ilmiah kini dinilai berdasarkan narasi-narasi lokal
dan kepentingan praktis, bukan berdasarkan klaim universalitas.²⁸
Sementara Michel
Foucault menyoroti bahwa ilmu tidak pernah netral, melainkan
selalu terkait dengan relasi kuasa (power/knowledge).²⁹
Menurutnya, demarkasi sains sering berfungsi sebagai mekanisme eksklusi untuk
mendefinisikan apa yang sah dan apa yang tidak sah untuk diketahui.³⁰ Dalam
kerangka ini, sains bukan hanya sistem pengetahuan, tetapi juga institusi
sosial yang mengatur wacana dan otoritas pengetahuan.³¹ Kritik
Foucault membuka kesadaran baru bahwa upaya mendemarkasikan ilmu dari non-ilmu
sering kali menyembunyikan dimensi ideologis dan politik di balik klaim
objektivitas.³²
6.6.       Krisis Kontemporer dan Tantangan Baru
Di era informasi dan
teknologi digital, kritik terhadap konsep demarkasi semakin relevan. Fenomena post-truth,
misinformasi ilmiah, dan maraknya pseudoscience di media sosial menunjukkan
bahwa otoritas ilmiah kini dipertaruhkan di ruang publik yang bebas dan
desentralistik.³³ Dalam situasi ini, masalah demarkasi bukan lagi sekadar filosofis,
tetapi juga sosial dan etis: bagaimana sains mempertahankan
kredibilitasnya tanpa jatuh pada dogmatisme elit ilmiah.³⁴
Para filsuf
kontemporer seperti Massimo Pigliucci menekankan
bahwa meskipun kriteria tunggal untuk demarkasi mustahil, kita tetap
membutuhkan spektrum keilmiahan (scientificity
spectrum) untuk membedakan antara pengetahuan yang rasional dan
yang tidak.³⁵ Dengan demikian, kritik terhadap konsep demarkasi tidak berarti
menolak sains, melainkan menyerukan bentuk demarkasi reflektif, yang lebih
inklusif, kontekstual, dan sadar akan nilai-nilai sosialnya.³⁶
Footnotes
[1]               
Larry Laudan, “The Demise of the Demarcation Problem,” in Physics, Philosophy and Psychoanalysis, ed. Robert S. Cohen and Larry Laudan (Dordrecht: D.
Reidel, 1983), 111–113.
[2]               
W. V. O. Quine, From a Logical Point of
View (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1953), 20–23.
[3]               
W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review
60, no. 1 (1951): 20–43.
[4]               
Carl G. Hempel, Philosophy of Natural
Science (Englewood Cliffs: Prentice
Hall, 1966), 23–25.
[5]               
Hilary Putnam, Meaning and the Moral
Sciences (London: Routledge, 1978),
125–129.
[6]               
Karl Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Hutchinson,
1959), 44–47.
[7]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions (Chicago:
University of Chicago Press, 1962), 66–71.
[8]               
Imre Lakatos, The Methodology of
Scientific Research Programmes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 91–136.
[9]               
Larry Laudan, Progress and Its
Problems: Toward a Theory of Scientific Growth (Berkeley: University of California Press, 1977), 59–61.
[10]            
Mary Hesse, Revolutions and
Reconstructions in the Philosophy of Science (Brighton: Harvester Press, 1980), 110–114.
[11]            
Laudan, “The Demise of the Demarcation Problem,” 121–125.
[12]            
Ibid., 127.
[13]            
Kuhn, Structure of Scientific
Revolutions, 10–12.
[14]            
Ibid., 90–96.
[15]            
Ibid., 100–105.
[16]            
Steve Fuller, Thomas Kuhn: A
Philosophical History for Our Times
(Chicago: University of Chicago Press, 2000), 142–147.
[17]            
Kuhn, Structure, 150–152.
[18]            
Paul Hoyningen-Huene, Reconstructing
Scientific Revolutions (Chicago:
University of Chicago Press, 1993), 120–124.
[19]            
Karl Popper, Objective Knowledge: An
Evolutionary Approach (Oxford:
Clarendon Press, 1972), 110–113.
[20]            
Imre Lakatos and Alan Musgrave, eds., Criticism and the Growth of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1970),
176–180.
[21]            
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 17–21.
[22]            
Ibid., 30–33.
[23]            
Ibid., 245–250.
[24]            
Ibid., 255–258.
[25]            
Paul Feyerabend, Science in a Free
Society (London: Verso, 1978),
42–46.
[26]            
Ibid., 67–69.
[27]            
Jean-François Lyotard, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxvii.
[28]            
Ibid., 36–38.
[29]            
Michel Foucault, Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
78–82.
[30]            
Ibid., 109–113.
[31]            
Michel Foucault, The Archaeology of
Knowledge (London: Routledge, 1972),
178–182.
[32]            
Ibid., 184–188.
[33]            
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 12–15.
[34]            
Heather Douglas, Science, Policy, and
the Value-Free Ideal (Pittsburgh:
University of Pittsburgh Press, 2009), 15–18.
[35]            
Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation
Problem (Chicago: University of
Chicago Press, 2013), 5–9.
[36]            
Ian Hacking, Representing and
Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983),
159–163.
7.          
Relevansi
Kontemporer Demarkasi Ilmu
Meskipun konsep demarkasi
ilmu telah mengalami kritik dan perombakan dari berbagai sudut
pandang, isu ini tetap relevan dalam konteks intelektual dan sosial
kontemporer. Di abad ke-21, ketika sains berinteraksi secara intens dengan
teknologi digital, ekonomi global, dan budaya informasi, pertanyaan “apa
yang membedakan ilmu dari non-ilmu?” menjadi semakin penting, bukan hanya
secara filosofis tetapi juga secara praktis.¹ Krisis kepercayaan terhadap
otoritas ilmiah, maraknya disinformasi, dan berkembangnya “pseudoscience”
di ruang publik digital menjadikan masalah demarkasi bukan lagi sekadar
perdebatan akademik, tetapi juga persoalan sosial dan etis yang menyangkut masa
depan rasionalitas publik.²
7.1.       Demarkasi dalam Era Post-Truth dan Disinformasi
Ilmiah
Salah satu tantangan
terbesar bagi filsafat ilmu kontemporer adalah munculnya fenomena post-truth,
yaitu situasi di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih memengaruhi opini
publik daripada fakta-fakta ilmiah.³ Menurut Lee McIntyre, dalam konteks ini
sains kehilangan otoritasnya karena kebenaran ilmiah dikaburkan oleh narasi
ideologis, ekonomi, atau politik.⁴ Fenomena seperti penolakan terhadap vaksin,
teori konspirasi, atau misinformasi tentang perubahan iklim memperlihatkan
bagaimana batas antara sains dan pseudoscience semakin kabur di ruang digital.⁵
Dalam konteks
tersebut, problem demarkasi memperoleh makna baru: bukan lagi sekadar menentukan
metode
ilmiah yang benar, tetapi juga bagaimana masyarakat dapat
membedakan pengetahuan yang dapat dipercaya
dari klaim yang menyesatkan.⁶ Oleh karena itu, demarkasi kini menjadi isu epistemik
sekaligus moral, yang menuntut kemampuan berpikir kritis (critical
literacy) dan kesadaran akan sumber informasi yang valid.⁷
7.2.       Demarkasi dan Sains Digital: Data, Algoritma, dan
Kebenaran
Transformasi
epistemologi modern juga dipicu oleh kemunculan data science dan kecerdasan
buatan (artificial intelligence).⁸ Dalam konteks ini, sains
tidak lagi sekadar aktivitas teoretis manusia, tetapi melibatkan algoritma dan
mesin dalam proses penemuan pengetahuan. Hal ini memunculkan pertanyaan baru:
apakah analisis data besar (big data) dapat disebut “ilmiah” dalam
pengertian klasik, mengingat ia tidak selalu berangkat dari hipotesis atau
teori yang dapat difalsifikasi seperti dalam tradisi Popperian?⁹
Menurut Sabina
Leonelli, sains berbasis data menandai pergeseran paradigma
epistemologis di mana teori tidak lagi menjadi pusat, melainkan data
infrastructures dan computational models yang membentuk
dasar validitas ilmiah.¹⁰ Demarkasi dalam konteks ini bergeser dari falsifikabilitas
menuju reliabilitas
data dan transparansi algoritmik.¹¹
Dengan demikian, problem demarkasi kini mencakup persoalan teknologis:
bagaimana membedakan pengetahuan ilmiah dari hasil otomatisasi digital yang
tidak disertai proses refleksi metodologis manusia.¹²
7.3.       Demarkasi dalam Ilmu Sosial dan Humaniora
Persoalan demarkasi
juga kembali mencuat dalam perdebatan antara ilmu alam (natural sciences)
dan ilmu
sosial-humaniora (human sciences). Dalam konteks ini, demarkasi
tidak lagi berfokus pada pemisahan antara sains dan pseudoscience, tetapi
antara pengetahuan
nomotetis (berhukum umum) dan pengetahuan idiografis (bermakna khusus).¹³
Menurut Jürgen Habermas, ilmu-ilmu
sosial tidak dapat diukur dengan standar objektivitas positivistik karena
objeknya adalah manusia yang memiliki kesadaran, nilai, dan tujuan.¹⁴
Habermas mengusulkan
konsep rasionalitas
komunikatif, di mana validitas ilmiah tidak hanya ditentukan
oleh kesesuaian empiris, tetapi juga oleh keterbukaan terhadap dialog
intersubjektif.¹⁵ Dalam kerangka ini, demarkasi ilmu menjadi lebih dialogis
dan hermeneutik, menekankan keterlibatan etis dan komunikatif
antara peneliti dan subjek penelitian.¹⁶
7.4.       Pseudoscience dan Literasi Publik
Relevansi lain dari
masalah demarkasi terlihat dalam perdebatan publik mengenai pseudoscience—misalnya
astrologi, homeopati, dan berbagai teori konspirasi ilmiah. Menurut Massimo
Pigliucci, problem utama pseudoscience bukan hanya pada metode
yang salah, tetapi juga pada ketidakterlibatan dalam mekanisme koreksi
sosial ilmiah seperti peer review dan falsifikasi kolektif.¹⁷
Pigliucci menegaskan bahwa demarkasi modern harus dipahami secara gradualistik,
yakni sebagai spektrum antara “lebih ilmiah” dan “kurang ilmiah”,
bukan sebagai garis absolut.¹⁸
Keterlibatan
masyarakat dalam memahami prinsip dasar sains menjadi bagian integral dari demarkasi
kontemporer. Tanpa literasi ilmiah yang memadai, masyarakat akan mudah terjebak
dalam otoritarianisme pengetahuan atau bahkan penolakan total terhadap sains.¹⁹
Oleh karena itu, demarkasi kontemporer berfungsi sebagai
pendidikan epistemik publik yang menumbuhkan sikap kritis dan
skeptisisme sehat terhadap klaim-klaim pengetahuan.²⁰
7.5.       Dimensi Etis dan Ekologis Demarkasi
Dalam konteks
globalisasi dan krisis lingkungan, demarkasi ilmu juga memperoleh dimensi aksiologis
dan ekologis. Menurut Bruno Latour, sains kontemporer
tidak dapat lagi dipahami sebagai aktivitas netral yang terpisah dari dunia
sosial, melainkan sebagai bagian dari network of actors yang melibatkan
manusia, teknologi, dan alam.²¹ Ia mengusulkan pendekatan actor-network
theory (ANT) yang melihat ilmu sebagai hasil interaksi kompleks
antara manusia dan non-manusia.²² Dalam kerangka ini, demarkasi tidak lagi
dimaksudkan untuk memisahkan sains dari non-sains, tetapi untuk memahami bagaimana
sains beroperasi dalam jejaring kekuasaan dan tanggung jawab ekologis.²³
Selain itu, dalam
era krisis iklim, sains harus diorientasikan tidak hanya pada pencarian
kebenaran, tetapi juga pada kelangsungan hidup planet dan keadilan ekologis.²⁴
Ilmu yang etis bukan hanya yang benar secara empiris, tetapi juga yang
memperhatikan keberlanjutan dan martabat kehidupan.²⁵
Keilmiahan, Demokrasi, dan Rasionalitas Publik
Dalam masyarakat
demokratis, problem demarkasi memiliki konsekuensi politik. Menurut Philip
Kitcher, sains modern hanya dapat berfungsi secara etis apabila
ia bersandar pada prinsip well-ordered science, yaitu sains
yang diarahkan untuk kepentingan publik dan dikontrol secara demokratis.²⁶
Dalam kerangka ini, demarkasi bukan hanya soal metodologi, tetapi juga soal
legitimasi sosial—siapa yang memiliki hak untuk berbicara atas
nama kebenaran ilmiah, dan bagaimana keputusan ilmiah diambil secara
inklusif.²⁷
Dengan demikian,
relevansi demarkasi ilmu di era kontemporer meluas ke ranah etika, politik, dan
ekologi. Ia tidak lagi berfungsi sebagai tembok pemisah antara ilmu dan
non-ilmu, tetapi sebagai proses reflektif dan kritis
untuk menegakkan integritas epistemik, tanggung jawab sosial, dan keberlanjutan
moral sains.²⁸
Footnotes
[1]               
Larry Laudan, “The Demise of the Demarcation Problem,” in Physics, Philosophy and Psychoanalysis, ed. Robert S. Cohen and Larry Laudan (Dordrecht: D.
Reidel, 1983), 125–128.
[2]               
Heather Douglas, Science, Policy, and
the Value-Free Ideal (Pittsburgh:
University of Pittsburgh Press, 2009), 14–18.
[3]               
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 12–15.
[4]               
Ibid., 22–26.
[5]               
Naomi Oreskes and Erik M. Conway, Merchants
of Doubt (New York: Bloomsbury
Press, 2010), 47–53.
[6]               
McIntyre, Post-Truth, 45–48.
[7]               
Susan Haack, Defending
Science—Within Reason (Amherst:
Prometheus Books, 2003), 122–126.
[8]               
Sabina Leonelli, Data-Centric Biology: A
Philosophical Study (Chicago:
University of Chicago Press, 2016), 5–9.
[9]               
Luciano Floridi, The Logic of
Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 33–36.
[10]            
Leonelli, Data-Centric Biology, 42–46.
[11]            
Ibid., 58–62.
[12]            
Eric Winsberg, Philosophy and Climate
Science (Cambridge: Cambridge
University Press, 2018), 89–92.
[13]            
Wilhelm Windelband, History
and Natural Science, trans. Guy
Oakes (New York: Harper Torchbooks, 1980), 8–12.
[14]            
Jürgen Habermas, Knowledge and Human
Interests, trans. Jeremy Shapiro
(Boston: Beacon Press, 1971), 301–306.
[15]            
Ibid., 314–317.
[16]            
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method (London: Sheed and Ward,
1975), 267–270.
[17]            
Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation
Problem (Chicago: University of
Chicago Press, 2013), 5–9.
[18]            
Ibid., 12–15.
[19]            
John Ziman, Real Science: What It
Is, and What It Means (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000), 210–214.
[20]            
Carl Mitcham, Thinking through
Technology: The Path between Engineering and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994),
155–158.
[21]            
Bruno Latour, We Have Never Been
Modern, trans. Catherine Porter
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 4–6.
[22]            
Bruno Latour, Science in Action: How
to Follow Scientists and Engineers through Society (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987),
109–112.
[23]            
Ibid., 145–150.
[24]            
Hans Jonas, The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984),
115–118.
[25]            
Mario Bunge, Evaluating Philosophies (Dordrecht: Springer, 2012), 102–104.
[26]            
Philip Kitcher, Science, Truth, and
Democracy (Oxford: Oxford University
Press, 2001), 15–19.
[27]            
Ibid., 42–44.
[28]            
Ian Hacking, Representing and
Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983),
165–170.
8.          
Sintesis
Filosofis
Pembahasan tentang demarkasi
ilmu—dari akar historisnya di era positivisme hingga kritik
postmodern dan tantangan kontemporer—menunjukkan bahwa persoalan ini bukan
hanya perdebatan tentang batas epistemologis, melainkan juga
refleksi mendalam mengenai hakikat rasionalitas manusia. Dalam tataran filosofis,
demarkasi tidak dapat direduksi menjadi sekadar garis pembeda antara ilmu dan
non-ilmu; ia adalah proses reflektif dan dinamis
yang memperlihatkan bagaimana manusia memahami, menafsirkan, dan menilai
pengetahuan dalam konteks historis, sosial, dan etis.¹
8.1.       Rekonsiliasi Historis: Dari Kepastian ke
Keterbukaan
Dari segi historis,
perjalanan konsep demarkasi dapat dilihat sebagai transisi dari epistemologi
kepastian menuju epistemologi keterbukaan.
Positivisme klasik, yang berakar pada Comte dan Lingkaran Wina, berupaya
membangun sains sebagai bentuk pengetahuan yang absolut, bebas nilai, dan dapat
diverifikasi secara empiris.² Namun, upaya tersebut menimbulkan ketegangan
filosofis karena menutup ruang bagi dimensi kreatif, interpretatif, dan
spekulatif dari ilmu itu sendiri. Popper membuka jalan bagi reinterpretasi ini
dengan menegaskan bahwa ilmu justru maju melalui kesalahan dan falsifikasi—bukan
melalui kepastian.³
Demikian pula,
pemikiran Kuhn dan Lakatos menunjukkan bahwa rasionalitas ilmiah tidak bersifat
linear, melainkan historis dan kontekstual.⁴ Ilmu tidak tumbuh melalui
akumulasi fakta, tetapi melalui revolusi paradigma dan dinamika
program riset. Feyerabend kemudian memperluas wacana ini dengan menolak
keberadaan metode tunggal, dan mengajak filsafat ilmu untuk merangkul
pluralitas pendekatan.⁵ Dalam kerangka sintesis ini, kita memahami bahwa demarkasi
bukanlah dinding yang memisahkan, melainkan jembatan yang mempertemukan
berbagai bentuk pengetahuan dalam keragaman metodologisnya.
8.2.       Ontologi dan Epistemologi yang Terintegrasi
Sintesis filosofis
juga menuntut rekonsiliasi antara aspek ontologis dan epistemologis
dari ilmu. Secara ontologis, sains tidak hanya berurusan dengan “apa yang
ada”, tetapi juga dengan “bagaimana yang ada itu dimengerti.”⁶
Realitas ilmiah bukan sekadar kumpulan fakta empiris, melainkan hasil
konstruksi interaktif antara dunia objektif dan aktivitas rasional manusia.⁷
Dengan demikian, ilmu adalah modus eksistensi pengetahuan manusia,
yang berada di antara dunia empiris dan dunia konseptual.
Epistemologinya, di
sisi lain, menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah harus tetap kritis, terbuka
terhadap koreksi, dan tunduk pada prinsip rasionalitas komunikatif.⁸ Popperian
fallibilism, Kuhnian historisisme, dan Feyerabendian pluralisme—jika dibaca
bersama—menunjukkan bahwa kebenaran ilmiah bersifat progresif
dan korektif, bukan final.⁹ Dalam pandangan ini, demarkasi
ilmiah menjadi bukan sekadar kriteria metodologis, tetapi etos
epistemik yang menuntun cara manusia memahami realitas secara
bertanggung jawab.
8.3.       Dimensi Aksiologis: Ilmu sebagai Proyek Etis
Dari segi aksiologi,
sintesis filosofis menegaskan bahwa ilmu bukan hanya aktivitas rasional, tetapi
juga aktivitas moral. Ilmu memiliki tanggung jawab untuk
menjaga integritas, transparansi, dan kebermanfaatan sosial.¹⁰ Prinsip-prinsip
Merton tentang universalism, communalism,
disinterestedness,
dan organized
skepticism tidak lagi dapat dipahami sebagai aturan eksternal,
melainkan sebagai bagian dari substansi filosofis sains itu sendiri.¹¹
Selain itu, dimensi
etis ilmu kini semakin diperluas dengan kesadaran ekologis dan kemanusiaan
global. Menurut Hans Jonas, tanggung jawab
manusia terhadap akibat teknologis dari sains harus menjadi dasar etika baru
bagi ilmu pengetahuan.¹² Dengan demikian, demarkasi ilmu yang sejati tidak
berhenti pada metodologi, tetapi mencakup moralitas
epistemik—yakni kesadaran bahwa pengetahuan harus diarahkan untuk
menjaga kehidupan, bukan sekadar menguasainya.¹³
8.4.       Menuju Pluralisme Rasional dan Dialog Keilmuan
Sintesis filosofis
juga menuntut pendekatan pluralisme rasional, yang
menerima bahwa sains bukan satu-satunya bentuk legitim pengetahuan.¹⁴
Pendekatan ini tidak menolak keberadaan agama, seni, atau mitos sebagai bentuk
pengetahuan manusia, tetapi menempatkannya dalam dialog epistemik yang saling
memperkaya. Dalam pandangan Jürgen Habermas, rasionalitas
ilmiah harus bersanding dengan rasionalitas praktis dan komunikatif agar
pengetahuan tetap berakar pada kehidupan sosial dan moral.¹⁵
Demarkasi dalam
kerangka pluralistik ini bukan berarti relativisme tanpa batas, melainkan keteraturan
yang reflektif, di mana batas antara ilmu dan non-ilmu bersifat
permeabel dan dapat dinegosiasikan melalui wacana rasional.¹⁶ Dengan demikian,
sains modern dapat mempertahankan keotentikan metodologinya tanpa kehilangan
keterbukaannya terhadap bentuk pengetahuan lain yang berorientasi pada makna
dan nilai.
Relevansi Filosofis dan Pandangan Integratif
Pada akhirnya,
sintesis filosofis tentang demarkasi ilmu menegaskan bahwa upaya untuk memahami
batas-batas sains adalah bagian dari upaya memahami hakikat
manusia sebagai makhluk pencari kebenaran. Ilmu, dengan segala
keterbatasannya, merupakan refleksi dari rasionalitas manusia yang terbuka,
kritis, dan berorientasi pada kebaikan.¹⁷
Demarkasi yang
terlalu ketat menjadikan sains kaku dan tertutup, sedangkan demarkasi yang
terlalu longgar menjadikan sains kehilangan daya normatifnya. Karena itu, jalan
tengah yang dapat diambil adalah demarkasi reflektif, yang
mengakui rasionalitas sains sekaligus menempatkannya dalam horizon etis dan
sosial yang lebih luas.¹⁸ Dalam sintesis ini, filsafat ilmu berperan sebagai
penjaga keseimbangan antara kebebasan berpikir dan tanggung jawab
epistemik—antara rasionalitas dan kebijaksanaan.¹⁹
Dengan demikian, demarkasi
ilmu dalam perspektif filosofis kontemporer bukanlah garis yang membatasi,
tetapi horizon yang memperluas: ia menjadi medan dialog abadi
antara fakta dan makna, antara pengetahuan dan kebijaksanaan, antara sains dan
kemanusiaan.²⁰
Footnotes
[1]               
Mario Bunge, Philosophy of Science:
From Problem to Theory (New
Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 29–32.
[2]               
Auguste Comte, Cours de Philosophie
Positive (Paris: Bachelier, 1830),
5–9.
[3]               
Karl Popper, Conjectures and
Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 47–52.
[4]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions (Chicago:
University of Chicago Press, 1962), 66–71.
[5]               
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 245–250.
[6]               
Ian Hacking, Representing and
Intervening (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 21–25.
[7]               
Nancy Cartwright, How the Laws of Physics
Lie (Oxford: Clarendon Press, 1983),
46–49.
[8]               
Karl Popper, Objective Knowledge: An
Evolutionary Approach (Oxford:
Clarendon Press, 1972), 112–115.
[9]               
Imre Lakatos, The Methodology of
Scientific Research Programmes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 120–123.
[10]            
Robert K. Merton, The Sociology of
Science (Chicago: University of
Chicago Press, 1973), 267–272.
[11]            
Ibid., 269–270.
[12]            
Hans Jonas, The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 22–28.
[13]            
Ibid., 38–40.
[14]            
Larry Laudan, Progress and Its
Problems: Toward a Theory of Scientific Growth (Berkeley: University of California Press, 1977),
59–63.
[15]            
Jürgen Habermas, Knowledge and Human
Interests, trans. Jeremy Shapiro
(Boston: Beacon Press, 1971), 310–315.
[16]            
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method (London: Sheed and Ward,
1975), 267–270.
[17]            
Mario Bunge, Evaluating Philosophies (Dordrecht: Springer, 2012), 102–104.
[18]            
Heather Douglas, Science, Policy, and
the Value-Free Ideal (Pittsburgh:
University of Pittsburgh Press, 2009), 100–103.
[19]            
Philip Kitcher, Science, Truth, and
Democracy (Oxford: Oxford University
Press, 2001), 42–46.
[20]            
Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation
Problem (Chicago: University of
Chicago Press, 2013), 15–19.
9.          
Kesimpulan
Persoalan demarkasi ilmu merupakan tema
sentral dalam filsafat ilmu yang terus mengalami pembaruan dan reinterpretasi
seiring perkembangan sejarah pemikiran manusia. Secara konseptual, demarkasi
berupaya menjawab pertanyaan mendasar: apa yang membuat suatu pengetahuan
disebut ilmiah dan apa yang tidak? Pertanyaan ini, meskipun tampak sederhana,
menyentuh inti dari epistemologi, ontologi, dan aksiologi sains.¹ Melalui
perjalanan historisnya, mulai dari positivisme Comte, falsifikasionisme Popper,
revolusi paradigma Kuhn, hingga pluralisme metodologis Feyerabend, tampak bahwa
demarkasi bukan sekadar persoalan metodologis, melainkan juga cerminan cara
manusia memahami realitas dan kebenaran.²
Secara epistemologis, gagasan demarkasi
telah bergeser dari pencarian kriteria tunggal ke arah pluralisme rasional.³
Positivisme logis menekankan verifikasi empiris sebagai syarat ilmiah, namun
gagal menjelaskan sifat teoritis sains. Popper kemudian mengusulkan
falsifikabilitas sebagai alternatif, yang menandai pergeseran penting menuju
rasionalitas kritis.⁴ Meski demikian, perkembangan pemikiran selanjutnya
melalui Kuhn dan Lakatos memperlihatkan bahwa ilmu tidak hanya tunduk pada
logika pengujian, tetapi juga pada konteks historis, sosial, dan budaya.⁵
Dengan demikian, rasionalitas ilmiah bersifat dinamis, tidak dapat
dilepaskan dari perubahan paradigma dan struktur komunitas ilmiah.⁶
Secara ontologis, demarkasi juga
mengungkapkan bahwa ilmu bukan semata representasi objektif dari realitas,
melainkan hasil interaksi antara manusia dan dunia yang dipahaminya.⁷ Ilmu
tidak lahir dari kekosongan nilai, tetapi merupakan modus eksistensi
pengetahuan manusia yang diwarnai oleh intensi, interpretasi, dan
penilaian. Dalam pandangan ini, sains adalah kegiatan manusia yang bersifat
terbuka—senantiasa merevisi dan menafsirkan kembali realitas berdasarkan bukti,
dialog, dan refleksi.⁸ Dengan demikian, demarkasi bukanlah batas absolut antara
sains dan non-sains, melainkan proses reflektif yang menandai upaya
manusia untuk mempertahankan rasionalitas di tengah kompleksitas pengetahuan.⁹
Sementara itu, secara aksiologis, demarkasi
ilmu menegaskan pentingnya nilai-nilai moral dan sosial dalam praktik ilmiah.
Ilmu yang sejati bukan hanya yang memenuhi kriteria metodologis, tetapi juga
yang menjunjung tinggi etika penelitian, kejujuran intelektual, dan tanggung
jawab sosial.¹⁰ Prinsip-prinsip etis seperti universalism, communalism,
dan organized skepticism yang diajukan oleh Merton menunjukkan bahwa
rasionalitas ilmiah selalu berkaitan dengan integritas moral ilmuwan.¹¹ Di era
teknologi dan globalisasi, persoalan demarkasi semakin kompleks, karena sains
kini bersentuhan dengan kekuasaan ekonomi, politik, dan teknologi informasi
yang dapat memengaruhi kemandirian epistemiknya.¹² Oleh karena itu, demarkasi
kontemporer harus juga dipahami sebagai tanggung jawab moral untuk menjaga
sains dari penyalahgunaan dan manipulasi sosial.¹³
Dalam konteks kontemporer, relevansi
demarkasi semakin terasa di tengah krisis kepercayaan terhadap sains dan
munculnya fenomena post-truth.¹⁴ Perbatasan antara fakta ilmiah dan
opini subjektif semakin kabur, sehingga masyarakat memerlukan kemampuan
epistemik untuk membedakan antara pengetahuan yang sahih dan klaim yang
menyesatkan.¹⁵ Karena itu, demarkasi kini bukan sekadar perdebatan akademik,
tetapi juga tanggung jawab kultural untuk mempertahankan nalar kritis di
ruang publik.¹⁶ Filsafat ilmu berperan penting untuk menanamkan kesadaran bahwa
sains bukan dogma, melainkan dialog yang terus-menerus antara bukti, teori, dan
nilai.¹⁷
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa demarkasi
ilmu adalah proses historis, epistemologis, dan etis yang tidak pernah final.
Ia bukan garis batas yang tegas, melainkan horizon yang terbuka—tempat di mana
sains merefleksikan dirinya sendiri, menguji prinsipnya, dan memperbarui
tanggung jawabnya terhadap kebenaran dan kemanusiaan.¹⁸ Dalam semangat ini,
filsafat ilmu berfungsi bukan untuk mengukuhkan sekat antara sains dan
non-sains, melainkan untuk memelihara keterbukaan dan kebijaksanaan
epistemik yang memungkinkan pengetahuan terus berkembang secara kritis,
etis, dan humanistik.¹⁹
Footnotes
[1]               
Mario Bunge, Philosophy of Science: From Problem
to Theory (New Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 29–32.
[2]               
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Hutchinson, 1959), 44–47.
[3]               
Larry Laudan, “The Demise of the Demarcation
Problem,” in Physics, Philosophy and Psychoanalysis, ed. Robert S. Cohen
and Larry Laudan (Dordrecht: D. Reidel, 1983), 111–113.
[4]               
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 48–52.
[5]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 90–96.
[6]               
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific
Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 120–123.
[7]               
Ian Hacking, Representing and Intervening
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 21–25.
[8]               
Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie
(Oxford: Clarendon Press, 1983), 46–49.
[9]               
Mario Bunge, Epistemology and Methodology I:
Exploring the World (Dordrecht: Reidel, 1983), 58–61.
[10]            
Heather Douglas, Science, Policy, and the
Value-Free Ideal (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 14–18.
[11]            
Robert K. Merton, The Sociology of Science:
Theoretical and Empirical Investigations (Chicago: University of Chicago
Press, 1973), 267–272.
[12]            
Sheila Jasanoff, The Fifth Branch: Science
Advisers as Policymakers (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990),
33–36.
[13]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 38–42.
[14]            
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT
Press, 2018), 12–15.
[15]            
Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy
of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago:
University of Chicago Press, 2013), 8–11.
[16]            
Susan Haack, Defending Science—Within Reason
(Amherst: Prometheus Books, 2003), 122–126.
[17]            
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–306.
[18]            
Philip Kitcher, Science, Truth, and Democracy
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 42–44.
[19]            
Mario Bunge, Evaluating Philosophies
(Dordrecht: Springer, 2012), 102–104.
Daftar Pustaka 
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic.
Gollancz.
Bacon, F. (1620). Novum organum. J. Bill.
Borgmann, A. (1984). Technology and the
character of contemporary life. University of Chicago Press.
Bunge, M. (1983). Epistemology and methodology
I: Exploring the world. Reidel.
Bunge, M. (1998). Philosophy of science: From
problem to theory. Transaction Publishers.
Bunge, M. (2012). Evaluating philosophies.
Springer.
Carnap, R. (1934). The logical syntax of
language. Kegan Paul.
Cartwright, N. (1983). How the laws of physics
lie. Clarendon Press.
Chalmers, A. (1999). What is this thing called
science? Hackett.
Comte, A. (1830). Cours de philosophie positive.
Bachelier.
Dewey, J. (1948). Reconstruction in philosophy.
Beacon Press.
Descartes, R. (1998). Discourse on the method
(D. A. Cress, Trans.). Hackett.
Douglas, H. (2009). Science, policy, and the
value-free ideal. University of Pittsburgh Press.
Feyerabend, P. (1975). Against method.
Verso.
Feyerabend, P. (1978). Science in a free society.
Verso.
Floridi, L. (2019). The logic of information: A
theory of philosophy as conceptual design. Oxford University Press.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge. Routledge.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Fuller, S. (2000). Thomas Kuhn: A philosophical
history for our times. University of Chicago Press.
Fuller, S. (2007). Science vs. religion?
Intelligent design and the problem of evolution. Polity Press.
Gadamer, H.-G. (1975). Truth and method.
Sheed and Ward.
Gilson, É. (1936). The spirit of medieval
philosophy. Scribner.
Habermas, J. (1971). Knowledge and human
interests (J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Hacking, I. (1983). Representing and
intervening: Introductory topics in the philosophy of natural science.
Cambridge University Press.
Haack, S. (2003). Defending science—within
reason: Between scientism and cynicism. Prometheus Books.
Hempel, C. G. (1966). Philosophy of natural
science. Prentice Hall.
Hesse, M. (1980). Revolutions and
reconstructions in the philosophy of science. Harvester Press.
Holbrook, J. B. (2019). What is value in research? Science
and Engineering Ethics, 25(6), 1653–1673.
Hoyningen-Huene, P. (1993). Reconstructing
scientific revolutions: Thomas S. Kuhn’s philosophy of science. University
of Chicago Press.
Jaeger, W. (1948). Aristotle: Fundamentals of
the history of his development. Oxford University Press.
Jasanoff, S. (1995). Science at the bar: Law,
science, and technology in America. Harvard University Press.
Jasanoff, S. (1990). The fifth branch: Science
advisers as policymakers. Harvard University Press.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kitcher, P. (2001). Science, truth, and
democracy. Oxford University Press.
Koyré, A. (1957). From the closed world to the
infinite universe. Johns Hopkins University Press.
Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific
revolutions. University of Chicago Press.
Lakatos, I. (1978). The methodology of
scientific research programmes. Cambridge University Press.
Lakatos, I., & Musgrave, A. (Eds.). (1970). Criticism
and the growth of knowledge. Cambridge University Press.
Latour, B. (1987). Science in action: How to
follow scientists and engineers through society. Harvard University Press.
Latour, B. (1993). We have never been modern
(C. Porter, Trans.). Harvard University Press.
Laudan, L. (1977). Progress and its problems:
Toward a theory of scientific growth. University of California Press.
Laudan, L. (1983). The demise of the demarcation
problem. In R. S. Cohen & L. Laudan (Eds.), Physics, philosophy and
psychoanalysis (pp. 111–127). D. Reidel.
Leonelli, S. (2016). Data-centric biology: A
philosophical study. University of Chicago Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press.
McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.
Merton, R. K. (1973). The sociology of science:
Theoretical and empirical investigations. University of Chicago Press.
Miller, D. (1994). Critical rationalism: A
restatement and defence. Open Court.
Mitcham, C. (1994). Thinking through technology:
The path between engineering and philosophy. University of Chicago Press.
Newton, I. (1687). Philosophiæ naturalis
principia mathematica. Joseph Streater.
Oreskes, N., & Conway, E. M. (2010). Merchants
of doubt. Bloomsbury Press.
Pigliucci, M., & Boudry, M. (Eds.). (2013). Philosophy
of pseudoscience: Reconsidering the demarcation problem. University of
Chicago Press.
Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube,
Trans.). Hackett Publishing.
Popper, K. (1959). The logic of scientific
discovery. Hutchinson.
Popper, K. (1963). Conjectures and refutations:
The growth of scientific knowledge. Routledge.
Popper, K. (1972). Objective knowledge: An
evolutionary approach. Clarendon Press.
Putnam, H. (1978). Meaning and the moral
sciences. Routledge.
Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The
Philosophical Review, 60(1), 20–43.
Quine, W. V. O. (1953). From a logical point of
view. Harvard University Press.
Resnik, D. B. (1998). Ethics of science: An
introduction. Routledge.
Resnik, D. B. (2020). Scientific research and
ethics. Cambridge University Press.
Schlick, M. (1936). Meaning and verification. The
Philosophical Review, 45(4), 339–369.
Weber, M. (1949). The methodology of the social
sciences (E. Shils & H. Finch, Trans.). Free Press.
Windelband, W. (1980). History and natural
science (G. Oakes, Trans.). Harper Torchbooks.
Winsberg, E. (2018). Philosophy and climate science.
Cambridge University Press.
Ziman, J. (2000). Real science: What it is, and
what it means. Cambridge University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar