Deisme
Rasionalitas Ketuhanan dalam Perspektif Filsafat Modern
dan Implikasinya bagi Pemikiran Kontemporer
Alihkan ke: Aliran-Aliran
dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara sistematis dan
filosofis konsep Deisme sebagai bentuk religiositas rasional yang lahir
dari semangat Pencerahan (Enlightenment) abad ke-17 dan ke-18. Deisme dipahami
sebagai pandangan yang menegaskan keberadaan Tuhan sebagai Penyebab Pertama
dan Arsitek Agung Semesta, yang menciptakan dunia berdasarkan hukum-hukum
rasional namun tidak campur tangan secara langsung dalam proses alamiah.
Melalui analisis historis, ontologis, epistemologis, dan etis, kajian ini
menelusuri akar genealogi pemikiran Deisme, tokoh-tokoh utamanya seperti Lord
Herbert of Cherbury, John Toland, Voltaire, dan Thomas
Paine, serta kontribusinya terhadap perkembangan filsafat, etika, dan ilmu
pengetahuan modern.
Secara teoretis, Deisme berperan penting dalam
membentuk fondasi rasionalisme, sekularisme, dan humanisme modern,
sekaligus menjadi basis bagi teologi alamiah (natural theology) dan dialog
antara sains dan agama. Namun demikian, aliran ini tidak lepas dari kritik,
terutama terkait konsep Tuhan yang impersonal, reduksi spiritualitas, dan
keterbatasan epistemologisnya dalam menjelaskan pengalaman religius yang
bersifat personal dan eksistensial. Dalam konteks kontemporer, Deisme kembali
menemukan relevansinya sebagai spiritualitas rasional, yakni model
keimanan yang memadukan akal dan etika, iman dan sains, serta moralitas
universal dalam masyarakat pluralistik.
Melalui pendekatan analitis dan reflektif, artikel
ini menyimpulkan bahwa Deisme bukan sekadar warisan historis Pencerahan,
melainkan paradigma filosofis yang tetap aktual untuk menjembatani rasionalitas
dan spiritualitas manusia modern. Ia menegaskan bahwa rasio adalah jalan
menuju iman yang tercerahkan, dan bahwa moralitas rasional merupakan
wujud tertinggi dari keimanan universal.
Kata Kunci: Deisme; Rasionalitas; Pencerahan; Teologi Alamiah;
Filsafat Agama; Humanisme; Sekularisme; Spiritualitas Rasional; Etika Alamiah;
Dialog Sains dan Agama.
PEMBAHASAN
Hakikat Deisme sebagai Upaya Menalar Tuhan Melalui Akal
dan Hukum Alam
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang Masalah
Deisme merupakan salah satu aliran pemikiran keagamaan
dan filsafat yang muncul pada masa Pencerahan Eropa (Enlightenment) abad
ke-17 dan ke-18. Gerakan ini lahir sebagai reaksi terhadap dua kutub ekstrem
yang berkembang kala itu: dogmatisme teologis Gereja di satu sisi, dan skeptisisme
ateistik di sisi lain. Para pemikir deistik berusaha menegakkan suatu
bentuk kepercayaan kepada Tuhan yang berlandaskan rasionalitas dan hukum
alam, bukan pada wahyu supranatural atau otoritas keagamaan institusional.
Tuhan, menurut Deisme, adalah Pencipta dan pengatur alam semesta, namun
setelah menciptakan dunia, Ia tidak lagi ikut campur dalam proses-proses
alamiah yang tunduk pada hukum rasional yang tetap dan universal.¹
Kelahiran Deisme tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan sains modern dan rasionalisme filsafat yang mengubah
cara manusia memahami dunia dan ketuhanan. Kemajuan ilmiah yang dipelopori oleh
tokoh-tokoh seperti Isaac Newton dan Galileo Galilei menumbuhkan
keyakinan bahwa alam semesta bekerja menurut prinsip mekanistik dan rasional.²
Dalam konteks itu, gagasan tentang Tuhan sebagai “Arsitek Agung Alam Semesta”
(The Great Architect of the Universe) menjadi metafora yang menggantikan citra
teologis tradisional tentang Tuhan yang aktif secara personal.³
Deisme juga merupakan refleksi dari semangat
kebebasan berpikir dan penolakan terhadap dogma religius. Tokoh
seperti John Toland dalam Christianity Not Mysterious (1696)
menegaskan bahwa tidak ada sesuatu dalam agama yang bertentangan dengan akal;
segala yang benar-benar berasal dari Tuhan pasti sejalan dengan prinsip
rasional.⁴ Pemikiran ini kemudian disebarluaskan oleh para filsuf Pencerahan
lain seperti Voltaire, Thomas Paine, dan Lord Herbert of
Cherbury, yang masing-masing menegaskan peran akal manusia dalam
menafsirkan realitas keagamaan tanpa bergantung pada otoritas tradisional.⁵
Dalam konteks modern, Deisme memiliki relevansi
filosofis yang luas. Di tengah meningkatnya sekularisasi, relativisme nilai,
dan ketegangan antara sains dan agama, Deisme menawarkan model religiositas
rasional yang menghubungkan iman dengan pengetahuan ilmiah. Ia menghadirkan
suatu bentuk spiritualitas yang inklusif, non-dogmatis, dan berbasis rasio,
sehingga tetap memberi ruang bagi pencarian makna transendental dalam dunia
modern yang cenderung materialistik.⁶
1.2.      
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, kajian ini diarahkan
untuk menjawab beberapa pertanyaan pokok:
1)                 
Apa hakikat Deisme sebagai sistem kepercayaan filosofis dan religius?
2)                 
Bagaimana dasar ontologis, epistemologis, dan etis dari pemikiran
Deisme?
3)                 
Bagaimana kontribusi dan pengaruh Deisme terhadap perkembangan filsafat
dan pemikiran modern?
4)                 
Sejauh mana relevansi Deisme dalam konteks pemikiran kontemporer,
khususnya dalam dialog antara sains, agama, dan moralitas global?
1.3.      
Tujuan dan Manfaat Kajian
Kajian ini bertujuan untuk menguraikan hakikat
Deisme secara filosofis, menelusuri akar historisnya, serta menelaah
implikasinya terhadap perkembangan pemikiran rasional dan etika modern. Secara
teoretis, penelitian ini diharapkan memperkaya diskursus filsafat agama dengan
menawarkan perspektif yang menjembatani iman dan rasionalitas. Secara
praktis, kajian ini dapat membantu pembaca memahami bentuk religiositas yang
tidak terjebak pada fundamentalisme dogmatis maupun nihilisme ateistik.
1.4.      
Metode Kajian
Kajian ini menggunakan pendekatan filsafat
analitis-kritis dengan metode historis dan komparatif. Pendekatan
historis digunakan untuk menelusuri genealogi pemikiran Deisme dari masa
Pencerahan hingga perkembangannya di era modern, sedangkan pendekatan
komparatif digunakan untuk membandingkan Deisme dengan pandangan teologis dan
ateistik. Analisis ini bersifat normatif-reflektif, bertujuan menilai
kekuatan argumentasi rasional dalam Deisme serta relevansinya dengan paradigma
spiritualitas kontemporer.
Footnotes
[1]               
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: W. W. Norton & Company, 1966), 45–47.
[2]               
Richard S. Westfall, The Construction of Modern
Science: Mechanisms and Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press,
1971), 112–118.
[3]               
Lord Herbert of Cherbury, De Veritate
(London: Edward Blount, 1624), 23.
[4]               
John Toland, Christianity Not Mysterious
(London: Sam. Buckley, 1696), 5–7.
[5]               
Voltaire, Philosophical Dictionary, trans.
Theodore Besterman (New York: Penguin Books, 1972), 132–136; Thomas Paine, The
Age of Reason (Philadelphia: Printed by R. Aitken, 1794), 11–13.
[6]               
J. C. A. Gaskin, Varieties of Unbelief: From
Epicurus to Sartre (London: Macmillan, 1989), 84–88.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogi Pemikiran Deisme
2.1.      
Asal-Usul Historis dan Latar
Intelektual
Deisme muncul pada masa Pencerahan
(Enlightenment) di Eropa, sekitar abad ke-17 hingga ke-18, ketika
masyarakat Barat mengalami transformasi intelektual besar-besaran. Gerakan ini
menandai peralihan dari otoritas teologis Gereja menuju otonomi
rasional manusia.¹ Dalam konteks sejarah pemikiran, Deisme merupakan
sintesis antara rasionalisme (yang menekankan akal sebagai sumber
pengetahuan) dan naturalisme ilmiah (yang menganggap alam semesta tunduk
pada hukum-hukum tetap yang dapat dipahami oleh manusia).²
Gagasan Deistik berakar pada tradisi filsafat
klasik, terutama pada konsep causa prima (penyebab pertama) Aristoteles,
yang kemudian diadaptasi oleh para filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas.³
Namun, Deisme menolak pendekatan teologis yang bersifat dogmatis, dan
menggantinya dengan pendekatan yang empiris-rasional. Pandangan ini
muncul sebagai respons terhadap perpecahan religius pasca-Reformasi serta
munculnya revolusi ilmiah yang mengubah paradigma manusia tentang alam dan
Tuhan.
Revolusi ilmiah abad ke-17, yang dipelopori oleh Copernicus,
Galileo, dan Newton, memberikan landasan bagi pandangan dunia
mekanistik. Alam dipahami sebagai sistem tertutup yang bekerja menurut hukum
matematis yang pasti.⁴ Dalam konteks itu, Deisme memandang Tuhan sebagai “Arsitek
Agung” yang menciptakan alam semesta dengan hukum-hukum tetap, kemudian
membiarkannya beroperasi secara mandiri tanpa campur tangan ilahi selanjutnya.⁵
2.2.      
Tokoh-Tokoh Perintis dan Karya-Karya
Kunci
Tokoh pertama yang secara sistematis merumuskan
prinsip-prinsip Deisme adalah Lord Herbert of Cherbury (1583–1648), yang
dikenal sebagai “Bapak Deisme Inggris.” Dalam karyanya De Veritate
(1624), Herbert mengemukakan lima prinsip dasar agama alamiah (natural
religion): (1) adanya Tuhan; (2) kewajiban manusia untuk menyembah-Nya; (3)
kebajikan moral sebagai bentuk ibadah; (4) penyesalan atas dosa; dan (5)
ganjaran dan hukuman di kehidupan setelah mati.⁶ Prinsip-prinsip ini dianggap
universal dan dapat diketahui oleh akal tanpa memerlukan wahyu khusus.
Setelah Herbert, pemikir seperti John Toland
(1670–1722) melalui Christianity Not Mysterious (1696) menolak
gagasan bahwa agama mengandung misteri yang melampaui akal.⁷ Ia berargumen
bahwa semua kebenaran keagamaan dapat dipahami secara rasional dan bahwa Tuhan
tidak menginginkan manusia mempercayai sesuatu yang bertentangan dengan nalar.
Pemikir lain seperti Anthony Collins, Matthew Tindal, dan Thomas
Morgan memperluas gagasan Deistik ini dengan mengkritik dogma gereja dan
menegaskan prinsip kebebasan berpikir (freedom of thought) sebagai pilar
utama religiositas rasional.⁸
Deisme kemudian menyebar ke benua Eropa dan
Amerika. Di Prancis, Voltaire mengadaptasi gagasan Deistik untuk
menyerang fanatisme religius Gereja Katolik dan mempromosikan “religion
naturelle” (agama alamiah).⁹ Sementara di Amerika, Thomas Jefferson
dan Thomas Paine menjadikan Deisme sebagai dasar etika publik dan
kebebasan beragama dalam semangat Revolusi Amerika.¹⁰ Paine dalam The Age of
Reason menegaskan bahwa kitab suci bukan wahyu Tuhan, melainkan hasil
interpretasi manusia yang bisa keliru; akal adalah kitab suci sejati yang
dianugerahkan Tuhan kepada seluruh umat manusia.¹¹
2.3.      
Genealogi Pemikiran dan
Perkembangannya
Genealogi Deisme menunjukkan keterkaitan erat
antara perkembangan filsafat modern, sains alam, dan humanisme
renaisans. Secara konseptual, Deisme berutang banyak pada rasionalisme
Descartes dan empirisme Locke, tetapi menolak unsur metafisik dan
dogmatis dari keduanya.¹² Dari Descartes, Deisme mewarisi ide tentang Tuhan
sebagai penyebab pertama yang sempurna, sedangkan dari Locke, ia mengadopsi
prinsip bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, namun dapat diolah oleh akal
untuk menemukan hukum moral dan keagamaan universal.¹³
Pada abad ke-18, Deisme menjadi bagian penting dari
gerakan Pencerahan. Dalam konteks sosial, ia mendukung lahirnya
toleransi beragama, kebebasan berpendapat, dan otonomi moral individu.¹⁴ Namun
memasuki abad ke-19, Deisme mulai meredup di bawah pengaruh positivisme
ilmiah dan kritik teologi modern, terutama setelah munculnya
pandangan ateistik dan agnostik yang lebih radikal.¹⁵ Meski demikian, warisan
Deistik tetap hidup dalam bentuk spiritualitas rasional, humanisme
sekuler, dan teologi liberal yang menekankan etika universal dan
keimanan tanpa dogma.¹⁶
Footnotes
[1]               
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: W. W. Norton & Company, 1966), 43–48.
[2]               
Ernst Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment,
trans. Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove (Princeton: Princeton
University Press, 1951), 121–126.
[3]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.2, a.3.
[4]               
Richard S. Westfall, The Construction of Modern
Science: Mechanisms and Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press,
1971), 98–101.
[5]               
Lord Herbert of Cherbury, De Veritate
(London: Edward Blount, 1624), 29–31.
[6]               
Ibid., 42–46.
[7]               
John Toland, Christianity Not Mysterious
(London: Sam. Buckley, 1696), 3–6.
[8]               
Matthew Tindal, Christianity as Old as the
Creation (London: M. Darby, 1730), 9–11.
[9]               
Voltaire, Philosophical Dictionary, trans.
Theodore Besterman (New York: Penguin Books, 1972), 133–135.
[10]            
D. L. Wilson, Jefferson and the Enlightenment:
The Faith of a Rational Man (New York: Oxford University Press, 1981),
77–80.
[11]            
Thomas Paine, The Age of Reason
(Philadelphia: R. Aitken, 1794), 22–25.
[12]            
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II, 1–2.
[13]            
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), Meditation III.
[14]            
Ernst Cassirer, The Philosophy of the
Enlightenment, 214–219.
[15]            
Auguste Comte, The Positive Philosophy of
Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons,
1896), 12–16.
[16]            
J. C. A. Gaskin, Varieties of Unbelief: From
Epicurus to Sartre (London: Macmillan, 1989), 89–92.
3.          
Ontologi
dan Teologi dalam Deisme
3.1.      
Konsep Ketuhanan: Tuhan sebagai
Arsitek Agung
Dalam ontologi Deisme, Tuhan dipahami sebagai penyebab
pertama (causa prima) dan Arsitek Agung Alam Semesta (The
Great Architect of the Universe). Ia adalah sumber asal mula eksistensi,
penggerak pertama yang menciptakan alam semesta berdasarkan hukum-hukum
rasional yang tak berubah.¹ Namun berbeda dengan teisme tradisional, Deisme
menolak pandangan bahwa Tuhan terus-menerus ikut campur dalam urusan dunia.
Setelah menciptakan alam, Tuhan membiarkannya beroperasi secara mandiri melalui
hukum alam yang tetap dan universal.²
Pandangan ini memiliki akar metafisik yang kuat
dalam filsafat Aristoteles dan Thomas Aquinas, tetapi Deisme
menolak aspek teologis personalistik yang menekankan hubungan langsung antara
Tuhan dan manusia.³ Tuhan Deistik bersifat transenden tetapi tidak imanen,
rasional namun impersonal. Ia tidak terlibat dalam mukjizat, wahyu, atau
intervensi supranatural, karena setiap fenomena alam memiliki penjelasan
kausalitasnya sendiri.⁴ Dengan demikian, eksistensi Tuhan dalam Deisme bersifat
logis dan niscaya, bukan berdasarkan pengalaman religius atau dogma
wahyu, melainkan deduksi rasional dari keteraturan alam.⁵
Bagi tokoh seperti Lord Herbert of Cherbury,
keberadaan Tuhan dapat diketahui melalui “cahaya akal alami” (light
of nature), bukan melalui kitab suci.⁶ Sementara John Toland
menegaskan bahwa segala sesuatu yang benar tentang Tuhan dapat dipahami oleh
akal sehat, tanpa membutuhkan rahasia keimanan.⁷ Tuhan bukan entitas yang harus
disembah karena misterinya, melainkan dipahami karena rasionalitas-Nya.
3.2.      
Pandangan tentang Alam dan Realitas
Ontologi Deisme menegaskan bahwa alam semesta
adalah sistem tertutup yang teratur dan rasional, berjalan berdasarkan
hukum-hukum universal yang ditetapkan Tuhan sejak awal penciptaan.⁸ Alam dipandang
bukan sebagai ciptaan yang memerlukan campur tangan terus-menerus, melainkan
sebagai mekanisme kosmik otonom, sejalan dengan prinsip determinisme
mekanistik yang dikembangkan dalam sains Newtonian.⁹
Dalam kerangka ini, alam adalah wahyu Tuhan yang
sejati, sedangkan wahyu tertulis hanyalah interpretasi manusia terhadap
hukum-hukum alam tersebut.¹⁰ Dengan mengamati alam dan memahami hukumnya,
manusia sejatinya memahami kehendak rasional Tuhan.¹¹ Karena itu, banyak
pemikir Deistik seperti Voltaire dan Tindal menganggap bahwa “agama
alamiah” (natural religion) lebih murni daripada agama wahyu, sebab
ia bersandar pada universalitas akal dan pengalaman empiris yang dapat
diverifikasi.¹²
Pandangan ini membawa konsekuensi teologis yang
besar: mukjizat, doa permohonan, dan nubuat dianggap tidak konsisten dengan
konsep Tuhan yang rasional dan hukum alam yang tetap.¹³ Dengan demikian,
keimanan Deistik beralih dari dimensi keajaiban menuju iman rasional
terhadap keteraturan kosmos, di mana keteraturan itu sendiri menjadi bukti
keberadaan Sang Pencipta.¹⁴
3.3.      
Pandangan tentang Manusia dan
Moralitas
Dalam antropologi Deistik, manusia dipandang
sebagai makhluk rasional yang dianugerahi akal budi untuk mengenali
Tuhan dan hukum moral alamiah.¹⁵ Karena itu, wahyu eksternal dianggap tidak
perlu: semua manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui yang baik dan yang
benar melalui refleksi moral dan rasio.¹⁶ Moralitas Deistik bersumber dari tatanan
alam yang mencerminkan kebijaksanaan ilahi. Dengan mengikuti hukum alam,
manusia menjalankan kehendak Tuhan tanpa memerlukan campur tangan lembaga
keagamaan.¹⁷
Herbert of Cherbury menyebut prinsip ini sebagai “common
notions of religion,” yakni gagasan moral universal yang tertanam dalam
akal manusia.¹⁸ Sementara Thomas Paine menegaskan bahwa agama sejati
adalah berbuat baik, bukan mempercayai dogma tertentu.¹⁹ Moralitas Deistik
dengan demikian bersifat universal, rasional, dan independen dari doktrin
agama tertentu. Ia menolak konsep dosa asal, keselamatan melalui perantara,
maupun otoritas rohani, dan menggantinya dengan tanggung jawab moral pribadi
terhadap Tuhan yang rasional.²⁰
Dengan demikian, manusia dalam Deisme bukan makhluk
pasif yang menunggu wahyu, melainkan subjek aktif yang memaknai Tuhan melalui
nalar dan tindakan etisnya. Inilah bentuk spiritualitas rasional, di
mana iman menjadi ekspresi dari pemahaman terhadap hukum moral universal yang
bersumber dari akal dan keteraturan kosmos.
Footnotes
[1]               
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 1072b.
[2]               
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: W. W. Norton & Company, 1966), 51–54.
[3]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.2, a.3.
[4]               
Ernst Cassirer, The Philosophy of the
Enlightenment, trans. Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove
(Princeton: Princeton University Press, 1951), 130–133.
[5]               
J. L. Mackie, The Miracle of Theism: Arguments
for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982),
15–18.
[6]               
Lord Herbert of Cherbury, De Veritate
(London: Edward Blount, 1624), 40–42.
[7]               
John Toland, Christianity Not Mysterious
(London: Sam. Buckley, 1696), 6–8.
[8]               
Richard S. Westfall, The Construction of Modern
Science: Mechanisms and Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press,
1971), 118–122.
[9]               
Isaac Newton, Philosophiæ Naturalis Principia
Mathematica (London: Royal Society, 1687), 392–395.
[10]            
Matthew Tindal, Christianity as Old as the
Creation (London: M. Darby, 1730), 13–16.
[11]            
Voltaire, Philosophical Dictionary, trans.
Theodore Besterman (New York: Penguin Books, 1972), 145–148.
[12]            
Ibid., 152–153.
[13]            
Thomas Paine, The Age of Reason
(Philadelphia: R. Aitken, 1794), 38–42.
[14]            
J. C. A. Gaskin, Varieties of Unbelief: From
Epicurus to Sartre (London: Macmillan, 1989), 93–95.
[15]            
Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment,
235–238.
[16]            
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II, 1–4.
[17]            
Peter Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion: The Legacy of Deism (London: Routledge, 1989), 74–77.
[18]            
Herbert of Cherbury, De Veritate, 47–49.
[19]            
Paine, The Age of Reason, 95.
[20]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 81–83.
4.          
Epistemologi
dan Metodologi Deistik
4.1.      
Rasionalitas sebagai Dasar
Pengetahuan Keagamaan
Epistemologi Deistik berangkat dari keyakinan bahwa
akal budi manusia merupakan sumber utama pengetahuan tentang Tuhan dan
moralitas.¹ Dalam pandangan ini, pengetahuan religius tidak diperoleh
melalui wahyu atau pengalaman mistik, melainkan melalui refleksi rasional
terhadap hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan.² Akal menjadi alat utama untuk
memahami kebenaran ilahi karena ia merupakan anugerah Tuhan yang bersifat
universal dan dapat digunakan oleh semua manusia tanpa perantara.³
Deisme menolak bentuk pengetahuan yang bersifat
dogmatis atau supranatural. Menurut John Toland, tidak ada sesuatu dalam
agama yang melampaui akal manusia; jika suatu doktrin tampak tidak rasional,
maka doktrin itu harus ditolak atau ditafsir ulang.⁴ Bagi para pemikir Deistik,
iman dan akal tidak bertentangan, melainkan dua aspek yang saling
melengkapi dalam memahami kebenaran. Iman tanpa akal adalah fanatisme,
sementara akal tanpa iman adalah kehampaan moral.⁵
Dalam konteks Pencerahan, pendekatan epistemologis
Deistik sejalan dengan rasionalisme Cartesian dan empirisme Lockean,
yang menegaskan bahwa pengetahuan harus didasarkan pada bukti rasional dan
pengalaman inderawi.⁶ Namun, berbeda dari materialisme ateistik, Deisme tetap
mengakui adanya Tuhan sebagai sumber keteraturan dan moralitas, meskipun Ia
tidak lagi campur tangan langsung dalam dunia.⁷ Dengan demikian, epistemologi
Deistik menempatkan Tuhan sebagai prinsip rasional transendental, bukan
sebagai entitas personal yang mengungkapkan diri melalui wahyu.
4.2.      
Penolakan terhadap Wahyu
Supranatural
Salah satu ciri epistemologis yang paling khas dari
Deisme adalah penolakannya terhadap wahyu supranatural sebagai sumber
pengetahuan keagamaan yang sah.⁸ Bagi kaum Deistik, klaim wahyu bersifat
partikular, subjektif, dan historis, sehingga tidak dapat dijadikan dasar bagi
agama yang universal.⁹ Sebaliknya, hukum moral dan religius yang benar harus
bersumber dari “agama alamiah” (natural religion), yakni agama yang
dapat dipahami semua manusia melalui akal dan pengalaman terhadap dunia alam.¹⁰
Thomas Paine dalam The Age of Reason menyatakan bahwa “wahyu hanya berlaku
bagi orang yang menerimanya secara langsung; bagi orang lain, ia hanyalah kabar
atau kesaksian,” sehingga tidak memiliki nilai epistemik yang objektif.¹¹
Dengan demikian, Deisme menolak otoritas kitab suci sebagai sumber pengetahuan
final tentang Tuhan.¹²
Dalam hal ini, Deisme membedakan dua jenis
pengetahuan religius: (1) knowledge by reason, yaitu pengetahuan yang
diperoleh melalui refleksi rasional atas hukum alam; dan (2) knowledge by
revelation, yakni pengetahuan yang diklaim datang melalui perantaraan
wahyu.¹³ Deisme menegaskan bahwa hanya knowledge by reason yang dapat
dianggap sah, karena ia bersifat universal, konsisten, dan bebas dari bias
historis maupun sektarian.¹⁴
4.3.      
Metodologi Rasional-Empiris dalam
Deisme
Secara metodologis, Deisme menggunakan pendekatan
rasional-empiris dalam memahami Tuhan dan realitas.¹⁵ Akal digunakan untuk
menafsirkan data empiris dari alam, yang dianggap sebagai manifestasi kebijaksanaan
Tuhan.¹⁶ Metode ini didasarkan pada prinsip yang sama dengan metode ilmiah,
yaitu observasi, deduksi, dan generalisasi. Dengan mengamati keteraturan
dan hukum alam, manusia dapat menyimpulkan keberadaan penyebab pertama yang
cerdas dan rasional.¹⁷
Metodologi Deistik menolak segala bentuk otoritas
eksternal dalam pencarian kebenaran. Baik otoritas Gereja maupun wahyu
dianggap dapat menghalangi kebebasan berpikir.¹⁸ Oleh karena itu, para pemikir
Deistik seperti Matthew Tindal dan Anthony Collins menekankan
perlunya kebebasan intelektual (intellectual liberty) dalam studi
agama.¹⁹ Pengetahuan religius, dalam pandangan mereka, harus diuji dengan standar
rasionalitas dan pengalaman empiris, bukan dengan kepercayaan dogmatis.²⁰
Dengan demikian, metodologi Deistik bersifat kritis,
rasional, dan terbuka terhadap revisi. Ia menolak klaim kebenaran absolut
yang tidak dapat diverifikasi, serta mengedepankan prinsip koherensi antara
agama, moralitas, dan ilmu pengetahuan.²¹ Dalam hal ini, Deisme memberikan sumbangan
epistemologis penting bagi perkembangan filsafat kritis dan pemikiran ilmiah
modern, karena menegaskan bahwa iman sejati bukanlah penyerahan diri kepada
otoritas, melainkan hasil kesadaran rasional manusia terhadap keteraturan dan
kebijaksanaan kosmos.²²
4.4.      
Sintesis antara Rasionalisme dan
Empirisme
Epistemologi Deistik dapat pula dipahami sebagai
upaya sintesis antara rasionalisme dan empirisme.²³ Dari rasionalisme,
Deisme mengambil keyakinan akan adanya prinsip-prinsip universal dan niscaya
dalam struktur realitas. Dari empirisme, Deisme mengambil pentingnya pengalaman
dan observasi terhadap dunia sebagai dasar pengetahuan.²⁴
Kombinasi keduanya menghasilkan epistemologi yang koheren
dan moderat, yang menghindari ekstremitas rasionalisme metafisik maupun
skeptisisme empiris.²⁵ Dengan demikian, Deisme menegaskan bahwa pengetahuan
tentang Tuhan tidak bersifat mistik, tetapi diperoleh melalui refleksi
terhadap keteraturan alam semesta.²⁶ Seperti ditegaskan oleh Voltaire,
“jika alam adalah karya yang penuh keteraturan, maka Tuhan adalah arsitek yang
rasional; mengenal alam berarti mengenal Tuhan.”²⁷
Footnotes
[1]               
Peter Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion: The Legacy of Deism (London: Routledge, 1989), 44–47.
[2]               
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: W. W. Norton & Company, 1966), 58–61.
[3]               
J. C. A. Gaskin, Varieties of Unbelief: From
Epicurus to Sartre (London: Macmillan, 1989), 97–99.
[4]               
John Toland, Christianity Not Mysterious
(London: Sam. Buckley, 1696), 4–6.
[5]               
Lord Herbert of Cherbury, De Veritate
(London: Edward Blount, 1624), 52–54.
[6]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), Meditation III.
[7]               
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II, 1–3.
[8]               
Ernst Cassirer, The Philosophy of the
Enlightenment, trans. Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove
(Princeton: Princeton University Press, 1951), 148–152.
[9]               
Voltaire, Philosophical Dictionary, trans.
Theodore Besterman (New York: Penguin Books, 1972), 160–162.
[10]            
Matthew Tindal, Christianity as Old as the
Creation (London: M. Darby, 1730), 21–25.
[11]            
Thomas Paine, The Age of Reason
(Philadelphia: R. Aitken, 1794), 41.
[12]            
Ibid., 45–47.
[13]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 51–53.
[14]            
Gaskin, Varieties of Unbelief, 100–102.
[15]            
Richard S. Westfall, The Construction of Modern
Science: Mechanisms and Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press,
1971), 135–137.
[16]            
Isaac Newton, Philosophiæ Naturalis Principia
Mathematica (London: Royal Society, 1687), 400–402.
[17]            
Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment,
155–158.
[18]            
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation,
62–63.
[19]            
Anthony Collins, A Discourse of Free Thinking
(London: T. Jauncy, 1713), 9–12.
[20]            
Tindal, Christianity as Old as the Creation,
32–34.
[21]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 64–66.
[22]            
Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment,
159–161.
[23]            
J. L. Mackie, The Miracle of Theism: Arguments
for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982),
19–21.
[24]            
Locke, An Essay Concerning Human Understanding,
II, 4–6.
[25]            
Descartes, Meditations on First Philosophy,
Meditation V.
[26]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 70–72.
[27]            
Voltaire, Philosophical Dictionary, 168–170.
5.          
Etika
dan Moralitas dalam Perspektif Deistik
5.1.      
Etika Alamiah sebagai Dasar
Moralitas
Dalam kerangka Deisme, etika dan moralitas tidak
bersumber dari wahyu ilahi atau otoritas keagamaan, melainkan dari hukum
moral alamiah (natural moral law) yang dapat diketahui oleh akal manusia.¹
Kaum Deistik meyakini bahwa Tuhan, sebagai Pencipta yang rasional, menanamkan
dalam diri manusia kemampuan untuk membedakan yang benar dan yang salah melalui
refleksi moral dan kesadaran akal budi.² Oleh karena itu, prinsip etika Deistik
bersifat universal, rasional, dan independen dari agama tertentu.³
Menurut Lord Herbert of Cherbury, dalam De
Veritate, semua manusia memiliki “common notions of religion” yang
mencakup pengetahuan moral dasar: bahwa Tuhan ada, Ia patut disembah melalui
kebajikan, dan bahwa kebaikan akan mendapatkan balasan, sementara kejahatan
akan dihukum.⁴ Moralitas, dalam pandangan ini, tidak bergantung pada wahyu
tertulis, tetapi merupakan konsekuensi logis dari tatanan rasional alam
semesta.⁵
Etika Deistik menolak relativisme moral sekaligus
menolak absolutisme dogmatis. Ia berpijak pada keyakinan bahwa hukum moral
adalah bagian dari struktur kosmos, sama seperti hukum fisika atau matematika.⁶
Dengan demikian, tindakan bermoral bukanlah hasil ketaatan buta terhadap
perintah agama, melainkan ekspresi rasional dari kehendak baik yang selaras
dengan hukum alam dan nalar universal.⁷
5.2.      
Kebebasan, Tanggung Jawab, dan
Otonomi Moral
Bagi kaum Deistik, manusia adalah makhluk
rasional yang bebas dan bertanggung jawab atas tindakannya.⁸ Kebebasan
moral merupakan salah satu konsekuensi logis dari kepercayaan terhadap Tuhan
yang tidak campur tangan langsung dalam dunia. Tuhan memberikan manusia akal
sebagai instrumen untuk menavigasi kehidupannya; dengan demikian, manusia
memikul tanggung jawab penuh atas keputusan moralnya.⁹
John Toland dan Anthony Collins menekankan bahwa kebebasan berpikir (free
thought) dan kebebasan hati nurani (freedom of conscience) adalah
syarat bagi kehidupan moral yang autentik.¹⁰ Moralitas sejati tidak dapat
dipaksakan oleh dogma atau otoritas eksternal, tetapi harus lahir dari refleksi
rasional individu terhadap prinsip-prinsip universal kebaikan.¹¹
Dalam konteks ini, Deisme berkontribusi besar
terhadap gagasan otonomi moral, yang kemudian memengaruhi filsafat Immanuel
Kant.¹² Kant, meskipun tidak secara eksplisit Deistik, mengembangkan konsep
moral law within yang sejajar dengan ide Deistik tentang hukum moral
alamiah.¹³ Prinsip moral bukan berasal dari luar diri manusia (heteronomi),
melainkan dari rasio praktis yang bersifat universal.¹⁴
Dengan demikian, moralitas Deistik menempatkan
manusia sebagai subjek etis yang otonom: ia tidak tunduk pada dogma, melainkan
pada hukum moral yang rasional dan bersifat internal. Prinsip ini kemudian
menjadi fondasi bagi etika modern yang menekankan kebebasan individu, tanggung
jawab, dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.¹⁵
5.3.      
Toleransi dan Keadilan sebagai
Implikasi Etis
Salah satu implikasi terpenting dari moralitas
Deistik adalah munculnya nilai toleransi dan keadilan sosial
sebagai pilar etika publik.¹⁶ Karena Deisme menolak eksklusivisme keagamaan dan
wahyu partikular, ia mengajarkan bahwa semua manusia, tanpa memandang agama,
memiliki potensi rasional yang sama untuk mengenali Tuhan dan hukum moral.¹⁷
Pandangan ini mendasari prinsip toleransi beragama yang berkembang dalam
Pencerahan Eropa dan menjadi fondasi moral bagi masyarakat modern yang
pluralistik.¹⁸
Voltaire, dalam Traité sur la Tolérance, mengkritik kekerasan atas nama
agama dan menyerukan penghormatan terhadap kebebasan berpikir.¹⁹ Sikap toleran
tersebut merupakan konsekuensi langsung dari epistemologi dan etika Deistik
yang menempatkan akal dan kemanusiaan sebagai pusat moralitas.²⁰
Selain itu, nilai keadilan dalam Deisme
bersumber dari keteraturan moral alam. Keadilan tidak dipahami sebagai balasan
ilahi di akhirat, melainkan sebagai keseimbangan rasional yang tercermin dalam
kehidupan sosial.²¹ Dengan demikian, Deisme menekankan etika keadilan yang
bersifat rasional—bukan sekadar keadilan teologis, melainkan keadilan yang
berdasar pada kesadaran moral universal dan tanggung jawab sosial.²²
5.4.      
Perbandingan dengan Etika Kristen
dan Humanisme Sekuler
Secara historis, etika Deistik menempati posisi
antara etika religius tradisional dan humanisme sekuler modern.²³
Dari agama, Deisme mempertahankan keyakinan akan keberadaan Tuhan dan tatanan
moral objektif. Namun, dari humanisme sekuler, ia mengambil penekanan pada
rasionalitas, kebebasan individu, dan otonomi moral.²⁴
Berbeda dengan etika Kristen yang berpusat pada
wahyu dan keselamatan, etika Deistik berpusat pada keutamaan rasional
dan kewajiban moral alamiah.²⁵ Sementara humanisme modern mungkin
menolak keberadaan Tuhan sama sekali, Deisme tetap memandang Tuhan sebagai
fondasi metafisis bagi hukum moral, meskipun tidak dalam bentuk pribadi atau
intervensional.²⁶
Dengan demikian, Deisme berperan sebagai jembatan
filosofis antara teologi dan humanisme. Ia menawarkan model moralitas yang
tidak bergantung pada dogma keagamaan, tetapi juga tidak terjebak dalam
nihilisme moral.²⁷ Etika Deistik memadukan kepercayaan pada tatanan ilahi
dengan kepercayaan terhadap kemampuan rasional manusia, menjadikannya salah
satu fondasi penting bagi etika modern, sekularisme etis, dan hak asasi
manusia.²⁸
Footnotes
[1]               
Peter Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion: The Legacy of Deism (London: Routledge, 1989), 85–88.
[2]               
Lord Herbert of Cherbury, De Veritate
(London: Edward Blount, 1624), 46–48.
[3]               
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: W. W. Norton & Company, 1966), 73–76.
[4]               
Herbert of Cherbury, De Veritate, 49–50.
[5]               
J. C. A. Gaskin, Varieties of Unbelief: From
Epicurus to Sartre (London: Macmillan, 1989), 104–106.
[6]               
Ernst Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment,
trans. Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove (Princeton: Princeton
University Press, 1951), 220–224.
[7]               
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 89–90.
[8]               
John Toland, Christianity Not Mysterious
(London: Sam. Buckley, 1696), 10–12.
[9]               
Anthony Collins, A Discourse of Free Thinking
(London: T. Jauncy, 1713), 14–16.
[10]            
Ibid., 18–20.
[11]            
Matthew Tindal, Christianity as Old as the
Creation (London: M. Darby, 1730), 41–43.
[12]            
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
27–30.
[13]            
Ibid., 33.
[14]            
Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment,
228–230.
[15]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 93–96.
[16]            
Voltaire, Traité sur la Tolérance (Geneva:
Cramer, 1763), 12–15.
[17]            
Gay, The Enlightenment: An Interpretation,
79–82.
[18]            
Ernest Barker, Church, State, and Civilization
(London: Oxford University Press, 1944), 102–105.
[19]            
Voltaire, Traité sur la Tolérance, 21–25.
[20]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 99–101.
[21]            
Tindal, Christianity as Old as the Creation,
54–56.
[22]            
Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment,
235–238.
[23]            
Gaskin, Varieties of Unbelief, 110–112.
[24]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 102–105.
[25]            
Herbert of Cherbury, De Veritate, 52–53.
[26]            
Thomas Paine, The Age of Reason
(Philadelphia: R. Aitken, 1794), 98–101.
[27]            
Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment,
241–243.
[28]            
Peter Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 107–110.
6.          
Pengaruh
dan Kontribusi Deisme terhadap Filsafat dan Ilmu
6.1.      
Deisme dan Rasionalisme Modern
Deisme memainkan peran penting dalam perkembangan rasionalisme
modern, khususnya dalam membentuk paradigma berpikir yang menempatkan akal
sebagai sumber utama pengetahuan dan moralitas.¹ Dalam konteks filsafat Pencerahan
(Enlightenment), Deisme berfungsi sebagai jembatan antara teologi dan
filsafat rasional, menolak dogmatisme keagamaan sekaligus menahan arus
ateisme radikal.²
Para pemikir Deistik seperti Lord Herbert of
Cherbury dan John Toland menekankan bahwa kebenaran agama harus
dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, bukan diterima atas dasar otoritas
atau wahyu semata.³ Pandangan ini sejalan dengan semangat Descartes, Locke,
dan Spinoza, yang menegaskan otonomi akal manusia dalam memahami
realitas.⁴ Melalui pendekatan ini, Deisme turut membentuk fondasi bagi filsafat
modern yang menekankan reason over revelation dan autonomy over
authority.
Deisme juga memberikan pengaruh epistemologis yang
signifikan terhadap gagasan rasionalitas moral Kantian.⁵ Meskipun Kant
tidak secara eksplisit mengidentifikasi dirinya sebagai Deist, konsepnya
tentang “Tuhan sebagai postulat rasional moralitas” mencerminkan
semangat Deistik: Tuhan tidak dikenal melalui wahyu, melainkan diasumsikan
sebagai syarat rasional bagi tatanan moral yang bermakna.⁶ Dengan demikian,
Deisme berkontribusi pada transformasi filsafat agama dari bentuk teologis
menuju bentuk etis-rasional.⁷
6.2.      
Kontribusi terhadap Sekularisme dan
Humanisme
Deisme juga menjadi salah satu pondasi
intelektual bagi sekularisme modern.⁸ Dengan menolak campur tangan ilahi
dan otoritas gerejawi dalam urusan duniawi, Deisme membuka jalan bagi pemisahan
antara agama dan negara, serta menegaskan pentingnya kebebasan berpikir dan
hati nurani.⁹
Gagasan ini memengaruhi perkembangan liberalisme
politik di Inggris dan Amerika, terutama dalam pemikiran Thomas
Jefferson, Benjamin Franklin, dan Thomas Paine.¹⁰ Jefferson,
misalnya, memandang Deisme sebagai dasar moralitas publik yang bersandar pada
hukum alam, bukan pada dogma keagamaan.¹¹ Prinsip ini tercermin dalam Declaration
of Independence (1776), yang menegaskan bahwa hak-hak manusia berasal dari
“Laws of Nature and of Nature’s God,” sebuah ekspresi khas Deistik.¹²
Lebih jauh, Deisme juga berkontribusi terhadap humanisme
modern, dengan menekankan kemampuan manusia untuk memahami, menilai, dan
memperbaiki dunia tanpa bergantung pada intervensi supranatural.¹³ Dalam
kerangka ini, moralitas tidak lagi dilihat sebagai ketaatan terhadap perintah
eksternal, tetapi sebagai tanggung jawab rasional untuk menciptakan tatanan
sosial yang adil dan harmonis.¹⁴
6.3.      
Pengaruh terhadap Ilmu Pengetahuan
dan Metodologi Ilmiah
Salah satu dampak paling nyata dari Deisme adalah
pada perkembangan ilmu pengetahuan modern. Deisme memandang alam semesta
sebagai mekanisme rasional yang tunduk pada hukum tetap dan dapat
dipahami oleh akal manusia.¹⁵ Pandangan ini sejalan dengan prinsip determinisme
ilmiah dalam sains Newtonian, yang menyatakan bahwa setiap fenomena alam
memiliki sebab yang dapat dijelaskan melalui hukum-hukum universal.¹⁶
Dalam kerangka teologis Deistik, Tuhan berperan
sebagai Pencipta yang menetapkan hukum-hukum alam pada awal penciptaan,
kemudian membiarkan dunia berjalan secara otonom sesuai tatanan tersebut.¹⁷
Konsep ini mengilhami munculnya paradigma mekanistik dalam sains, di
mana alam dipelajari bukan sebagai misteri teologis, tetapi sebagai sistem
rasional yang dapat diobservasi dan dijelaskan.¹⁸
Isaac Newton sendiri, meskipun bukan Deist dalam pengertian tegas, memandang bahwa
keteraturan alam semesta adalah bukti kebijaksanaan Tuhan sebagai perancang
yang agung.¹⁹ Namun, interpretasi filosofis terhadap sistem Newton sering kali
diambil alih oleh kaum Deistik seperti Voltaire dan Laplace, yang
menolak kebutuhan akan intervensi ilahi dalam menjelaskan hukum-hukum fisika.²⁰
Dengan demikian, Deisme berperan dalam membentuk kerangka rasional dan
empiris bagi sains modern, sekaligus mengikis pandangan teologis yang
menempatkan fenomena alam di bawah otoritas doktrin religius.²¹
6.4.      
Kontribusi terhadap Etika dan
Filsafat Moral
Deisme memberikan sumbangan besar terhadap
pengembangan etika rasional dan moralitas universal yang bersifat
non-dogmatis.²² Prinsip moralitas dalam Deisme berakar pada hukum alam yang
rasional, bukan pada wahyu partikular.²³ Pandangan ini mempengaruhi filsafat
moral abad ke-18, termasuk gagasan natural rights (hak-hak alamiah) dan universal
moral reason, yang menjadi dasar bagi pemikiran moral modern dan teori hak
asasi manusia.²⁴
Matthew Tindal dalam Christianity as Old as the Creation menegaskan bahwa agama
sejati adalah hukum moral universal yang sudah ada sejak dunia diciptakan.²⁵
Sementara itu, Thomas Paine menekankan bahwa melakukan kebajikan kepada
sesama adalah bentuk tertinggi ibadah kepada Tuhan.²⁶ Kedua pandangan ini
memperkuat gagasan bahwa moralitas dapat berdiri sendiri tanpa ketergantungan
pada sistem keagamaan tertentu, selama ia selaras dengan prinsip rasional dan
kemanusiaan.²⁷
6.5.      
Warisan Intelektual dan Pengaruh
Jangka Panjang
Warisan intelektual Deisme dapat ditemukan dalam
berbagai aliran filsafat kontemporer, seperti teologi liberal, humanisme
sekuler, dan spiritualitas rasional modern.²⁸ Dalam abad ke-19 dan
ke-20, pengaruh Deisme muncul dalam bentuk teologi naturalistik, yang
berusaha memahami Tuhan melalui hukum-hukum alam dan evolusi, bukan melalui
wahyu atau mukjizat.²⁹
Selain itu, semangat kritis dan rasional Deistik
juga memberi pengaruh terhadap filsafat positivisme ilmiah, agnostisisme,
dan bahkan eksistensialisme teistik, yang sama-sama berupaya mencari
dasar rasional bagi iman atau moralitas tanpa dogma.³⁰ Meskipun Deisme sebagai
sistem kepercayaan formal tidak lagi dominan, prinsip-prinsipnya tetap menjadi
bagian integral dari tradisi intelektual modern yang menggabungkan iman,
rasionalitas, dan kemanusiaan dalam satu kesatuan yang koheren.³¹
Footnotes
[1]               
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: W. W. Norton & Company, 1966), 83–86.
[2]               
Ernst Cassirer, The Philosophy of the
Enlightenment, trans. Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove
(Princeton: Princeton University Press, 1951), 190–194.
[3]               
Lord Herbert of Cherbury, De Veritate
(London: Edward Blount, 1624), 50–52.
[4]               
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II, 1–3.
[5]               
Immanuel Kant, Religion within the Boundaries of
Mere Reason, trans. Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 30–33.
[6]               
Ibid., 40–42.
[7]               
J. C. A. Gaskin, Varieties of Unbelief: From
Epicurus to Sartre (London: Macmillan, 1989), 117–120.
[8]               
Peter Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion: The Legacy of Deism (London: Routledge, 1989), 111–114.
[9]               
Voltaire, Philosophical Dictionary, trans.
Theodore Besterman (New York: Penguin Books, 1972), 175–177.
[10]            
D. L. Wilson, Jefferson and the Enlightenment:
The Faith of a Rational Man (New York: Oxford University Press, 1981),
78–81.
[11]            
Ibid., 83.
[12]            
Declaration of Independence (Philadelphia: Continental
Congress, 1776).
[13]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 116–118.
[14]            
Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment,
198–200.
[15]            
Richard S. Westfall, The Construction of Modern
Science: Mechanisms and Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press,
1971), 140–142.
[16]            
Isaac Newton, Philosophiæ Naturalis Principia
Mathematica (London: Royal Society, 1687), 403–405.
[17]            
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation,
89–91.
[18]            
Ernst Cassirer, The Philosophy of the
Enlightenment, 203–205.
[19]            
Isaac Newton, Opticks (London: Sam. Smith,
1704), 370–372.
[20]            
Voltaire, Letters on England (London: C.
Davis, 1733), 45–48.
[21]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 120–123.
[22]            
Herbert of Cherbury, De Veritate, 54–55.
[23]            
Matthew Tindal, Christianity as Old as the
Creation (London: M. Darby, 1730), 60–63.
[24]            
Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment,
209–212.
[25]            
Tindal, Christianity as Old as the Creation,
66–69.
[26]            
Thomas Paine, The Age of Reason
(Philadelphia: R. Aitken, 1794), 103–106.
[27]            
J. L. Mackie, The Miracle of Theism: Arguments
for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982), 23–26.
[28]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 125–128.
[29]            
Julian Huxley, Religion without Revelation
(London: Watts & Co., 1927), 35–39.
[30]            
A. N. Whitehead, Science and the Modern World
(New York: Macmillan, 1925), 189–192.
[31]            
Gaskin, Varieties of Unbelief, 121–124.
7.          
Kritik
terhadap Deisme
7.1.      
Kritik Teologis: Tuhan yang Jauh dan
Tidak Personal
Salah satu kritik paling mendasar terhadap Deisme
datang dari kalangan teolog tradisional, baik Kristen, Islam, maupun Yudaisme,
yang menilai bahwa konsep Tuhan dalam Deisme terlalu abstrak dan impersonal.¹
Dalam pandangan teistik klasik, Tuhan bukan hanya Pencipta, melainkan juga pengatur
dan pemelihara dunia yang aktif berinteraksi dengan ciptaan-Nya.²
Sebaliknya, Deisme menggambarkan Tuhan sebagai Arsitek Agung yang pasif,
yang setelah menciptakan alam semesta membiarkan segala sesuatu berjalan
sendiri menurut hukum alam.³
Kritikus seperti Blaise Pascal menolak
gagasan tersebut dengan menyatakan bahwa Tuhan Deistik “tidak lebih dari
hipotesis metafisik tanpa kehadiran eksistensial.”⁴ Bagi Pascal, iman
bukanlah hasil deduksi rasional, tetapi hubungan personal dan emosional dengan
Tuhan yang hidup.⁵ Dalam konteks Islam, pandangan Deistik juga dikritik karena
menghapus aspek wahyu (tanzīl) dan sifat Tuhan yang rahmān dan rahīm,
yang menegaskan kedekatan dan kasih sayang Tuhan terhadap manusia.⁶
Kritik ini menyoroti kontradiksi eksistensial
dalam Deisme: bagaimana mungkin Tuhan yang rasional dan sempurna menciptakan
dunia tetapi tidak peduli terhadapnya? Dengan menolak konsep wahyu dan doa,
Deisme dianggap meniadakan hubungan spiritual antara manusia dan Tuhan,
sehingga keimanan kehilangan dimensi personal dan afektif.⁷
7.2.      
Kritik Filsafat Modern: Keterbatasan
Rasionalisme Deistik
Dari sudut pandang filsafat modern, Deisme sering
dikritik karena terlalu mengandalkan rasio sebagai satu-satunya sumber
kebenaran religius, tanpa memberi ruang bagi pengalaman eksistensial dan
historis manusia.⁸ David Hume, misalnya, dalam Dialogues Concerning
Natural Religion (1779), menolak argumen kosmologis Deistik dengan
menunjukkan bahwa keteraturan alam tidak serta-merta membuktikan keberadaan
Tuhan, karena keteraturan dapat dijelaskan melalui kebetulan atau sebab
alami lain.⁹
Lebih lanjut, Hume menilai bahwa pandangan Deistik
tentang Tuhan sebagai penyebab pertama tidak memberikan kontribusi praktis
terhadap moralitas atau kehidupan manusia, karena Tuhan yang tidak terlibat
tidak memiliki relevansi etis.¹⁰ Dalam nada serupa, Immanuel Kant
mengkritik Deisme karena menempatkan Tuhan hanya sebagai ens rationis—sebuah
postulat rasional, bukan realitas eksistensial.¹¹ Kant menegaskan bahwa akal
manusia memang memerlukan ide tentang Tuhan sebagai dasar moralitas, tetapi ide
tersebut tidak membuktikan keberadaan Tuhan secara objektif.¹²
Kritik ini memperlihatkan bahwa rasionalisme
Deistik gagal menjawab kebutuhan spiritual dan moral manusia, karena
mengubah Tuhan menjadi konsep intelektual yang dingin dan jauh dari pengalaman
hidup.¹³ Dalam pandangan para eksistensialis seperti Søren Kierkegaard,
iman sejati bukanlah kesimpulan logis, melainkan lompatan eksistensial yang
melibatkan paradoks dan komitmen personal terhadap Tuhan yang hidup.¹⁴
7.3.      
Kritik Ilmiah dan Metodologis:
Masalah Teleologi Alam
Dari perspektif sains modern, pandangan Deistik
tentang alam sebagai sistem yang diciptakan oleh Tuhan dan berjalan otomatis
menurut hukum tetap menghadapi tantangan metodologis dan empiris.¹⁵
Kemajuan fisika modern—terutama teori relativitas dan mekanika
kuantum—menunjukkan bahwa alam semesta tidak sepenuhnya deterministik
sebagaimana diasumsikan oleh Deisme klasik.¹⁶
Stephen Hawking dalam A Brief History of Time (1988) berargumen bahwa konsep
“Tuhan sebagai pengatur awal” tidak diperlukan dalam penjelasan ilmiah tentang
asal mula alam semesta, karena hukum-hukum fisika dapat menjelaskan munculnya
kosmos tanpa melibatkan agen metafisik.¹⁷ Dengan demikian, Deisme dianggap
masih menyisakan bentuk “God of the gaps”, yaitu menjelaskan hal-hal
yang belum diketahui sains dengan mengandaikan Tuhan sebagai sebab pertama.¹⁸
Selain itu, teori evolusi Darwin juga menantang
gagasan Deistik tentang rancangan rasional alam.¹⁹ Alam tidak lagi dipandang
sebagai tatanan yang sempurna dan terencana secara harmonis, melainkan hasil
proses seleksi alam yang acak dan kontingent.²⁰ Pandangan ini melemahkan asumsi
dasar Deisme bahwa keteraturan dan rasionalitas alam merupakan bukti keberadaan
Tuhan yang rasional.²¹
7.4.      
Kritik Etis dan Sosiologis: Bahaya
Moralitas Tanpa Spiritualitas
Kritik lainnya muncul dari para filsuf moral dan
teolog yang menilai bahwa Deisme cenderung menghasilkan moralitas yang
kering dan formalistik, karena tidak disertai dengan dimensi spiritual dan
emosional.²² Moralitas Deistik berakar pada hukum alam rasional, tetapi tanpa
hubungan religius personal, etika tersebut kehilangan daya motivasional dan
inspiratif.²³
Alasdair MacIntyre dalam After Virtue menegaskan bahwa proyek
moral Pencerahan—termasuk Deisme—gagal karena berusaha memisahkan etika dari
konteks tradisi dan komunitas spiritual.²⁴ Akibatnya, moralitas rasional yang
diklaim universal justru menjadi relatif dan terfragmentasi dalam praktik
sosial modern.²⁵
Selain itu, dari sudut pandang sosiologis, Deisme
sering dianggap tidak mampu menjawab kebutuhan eksistensial manusia akan
makna, doa, dan keselamatan.²⁶ Dalam masyarakat modern yang kompleks dan
penuh ketidakpastian, pandangan Deistik yang menolak wahyu dan iman personal
sering kali dinilai terlalu steril untuk memberikan penghiburan spiritual.²⁷
7.5.      
Kritik Kontemporer: Krisis Spiritualitas
Rasional
Dalam era kontemporer, kritik terhadap Deisme
berkembang menjadi refleksi atas krisis spiritualitas rasional.²⁸
Meskipun Deisme menawarkan alternatif terhadap fanatisme dan dogmatisme, ia
sering dianggap gagal menyediakan dasar bagi religiositas yang hidup.²⁹
Alvin Plantinga, dalam God and Other Minds (1967), menunjukkan bahwa argumen
Deistik tidak cukup kuat untuk mendukung iman teistik, karena menjadikan Tuhan
sebagai hipotesis filosofis, bukan objek pengalaman iman.³⁰ Sementara itu, Charles
Taylor dalam A Secular Age (2007) menilai bahwa Deisme justru
berkontribusi terhadap lahirnya sekularisme modern, dengan mereduksi agama
menjadi sistem moral rasional tanpa kedalaman spiritual.³¹
Dengan demikian, kritik kontemporer melihat Deisme
sebagai fase transisional dalam sejarah filsafat agama—penting secara
historis, tetapi terbatas secara eksistensial.³² Ia berhasil membebaskan akal
dari dogma, namun gagal menghidupkan kembali dimensi eksistensial iman yang
melampaui rasionalitas murni.³³
Footnotes
[1]               
Peter Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion: The Legacy of Deism (London: Routledge, 1989), 130–133.
[2]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.2, a.3.
[3]               
Lord Herbert of Cherbury, De Veritate
(London: Edward Blount, 1624), 49–52.
[4]               
Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J.
Krailsheimer (London: Penguin Books, 1995), 124–127.
[5]               
Ibid., 135.
[6]               
M. Fethullah Gülen, Key Concepts in the Practice
of Sufism (New Jersey: Tughra Books, 2009), 44–47.
[7]               
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 136–138.
[8]               
Ernst Cassirer, The Philosophy of the
Enlightenment, trans. Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove
(Princeton: Princeton University Press, 1951), 240–243.
[9]               
David Hume, Dialogues Concerning Natural
Religion (London: A. Millar, 1779), 31–34.
[10]            
Ibid., 45–48.
[11]            
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A632/B660.
[12]            
Ibid., A635/B663.
[13]            
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: W. W. Norton & Company, 1966), 102–104.
[14]            
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 52–56.
[15]            
Richard S. Westfall, The Construction of Modern
Science: Mechanisms and Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press,
1971), 146–148.
[16]            
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The
Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 28–32.
[17]            
Stephen Hawking, A Brief History of Time
(New York: Bantam Books, 1988), 136–139.
[18]            
Richard Dawkins, The God Delusion (Boston:
Houghton Mifflin, 2006), 180–183.
[19]            
Charles Darwin, On the Origin of Species
(London: John Murray, 1859), 489–491.
[20]            
Ibid., 502–504.
[21]            
J. C. A. Gaskin, Varieties of Unbelief: From
Epicurus to Sartre (London: Macmillan, 1989), 127–130.
[22]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 141–144.
[23]            
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation,
107–110.
[24]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 62–65.
[25]            
Ibid., 69–70.
[26]            
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2007), 431–433.
[27]            
Ibid., 438–440.
[28]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 147–149.
[29]            
Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment,
250–252.
[30]            
Alvin Plantinga, God and Other Minds
(Ithaca: Cornell University Press, 1967), 85–87.
[31]            
Taylor, A Secular Age, 441–444.
[32]            
J. L. Mackie, The Miracle of Theism: Arguments
for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982),
29–32.
[33]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 150–152.
8.          
Relevansi
Deisme dalam Konteks Kontemporer
8.1.      
Deisme dan Agnostisisme Modern
Dalam konteks intelektual abad ke-21, Deisme
mendapatkan kembali perhatian sebagai alternatif moderat antara teisme
dogmatis dan ateisme materialistik.¹ Meskipun istilah “Deisme” jarang
digunakan secara eksplisit, banyak pandangan kontemporer yang bersifat agnostik-rasional
atau spiritual tetapi non-dogmatis (spiritual but not religious) yang
sejatinya mengandung semangat Deistik.² Pandangan ini berangkat dari keyakinan
bahwa alam semesta menunjukkan keteraturan dan rasionalitas, namun manusia
tidak memiliki akses langsung terhadap kehendak Tuhan melalui wahyu.³
Sebagian filsuf dan ilmuwan modern mengadopsi
posisi agnostik-deistik, yakni menerima kemungkinan keberadaan Tuhan
sebagai prinsip kosmis rasional, tetapi menolak konsep Tuhan personal yang
campur tangan langsung dalam kehidupan manusia.⁴ Albert Einstein,
misalnya, menggambarkan kepercayaannya sebagai “keimanan pada Tuhan Spinoza”
— Tuhan yang menyingkapkan diri melalui harmoni hukum alam, bukan melalui
mukjizat atau kitab suci.⁵
Dengan demikian, Deisme modern menjadi kerangka
konseptual bagi banyak pemikir yang ingin mempertahankan makna spiritual
dalam dunia sekuler, tanpa harus kembali pada dogma keagamaan tradisional.⁶
Ia menghadirkan spiritualitas berbasis nalar yang menghargai sains, tetapi
tetap membuka ruang bagi dimensi transendental.⁷
8.2.      
Deisme dan Dialog antara Sains dan
Agama
Deisme juga memiliki relevansi besar dalam upaya
membangun dialog antara sains dan agama di era modern.⁸ Dalam situasi di
mana sains sering dipandang bertentangan dengan iman, paradigma Deistik
menawarkan jalan tengah yang rasional dan inklusif.⁹
Deisme menegaskan bahwa agama dan sains tidak perlu
bersaing, karena keduanya berangkat dari sumber yang sama — rasionalitas
dan keteraturan kosmos.¹⁰ Jika agama bertujuan mencari makna di balik hukum
alam, maka sains berupaya menjelaskan cara hukum-hukum itu bekerja.¹¹ Dalam
kerangka ini, Deisme dapat berfungsi sebagai model epistemologis yang
menyeimbangkan antara dimensi empiris dan dimensi metafisik pengetahuan.¹²
Pandangan ini memiliki implikasi penting bagi
filsafat ilmu dan teologi kontemporer. Ian Barbour, dalam Religion
and Science (1997), menyebut pendekatan Deistik sebagai bentuk “harmoni
epistemologis,” yakni pandangan bahwa hukum alam adalah ekspresi rasional
dari prinsip kosmik yang dapat disebut “Tuhan”.¹³ Pendekatan ini juga
sejalan dengan gagasan Teilhard de Chardin tentang evolusi spiritual,
yang menafsirkan proses kosmos sebagai gerak menuju kesadaran ilahi tanpa
meniadakan prinsip ilmiah.¹⁴
Dengan demikian, Deisme dapat berperan sebagai fondasi
konseptual bagi dialog transdisipliner antara teologi, filsafat, dan sains,
dengan menekankan bahwa iman dan rasio bukanlah dua dunia yang terpisah,
melainkan dua cara berbeda manusia memahami realitas yang sama.¹⁵
8.3.      
Deisme dan Etika Global
Dalam konteks moral global, Deisme menawarkan
perspektif etika universal yang relevan untuk menjawab tantangan
pluralisme dan sekularisasi.¹⁶ Prinsip moralitas Deistik yang bersumber dari
akal dan hukum alam memungkinkan lahirnya nilai-nilai universal yang dapat
diterima oleh berbagai tradisi keagamaan maupun non-religius.¹⁷
Etika Deistik menekankan bahwa manusia memiliki tanggung
jawab moral universal yang tidak bergantung pada kepercayaan partikular.¹⁸
Hal ini selaras dengan semangat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948)
yang berpijak pada martabat dan kebebasan manusia sebagai makhluk rasional.¹⁹
Dalam era globalisasi dan krisis etika
modern—seperti kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, dan konflik
identitas—Deisme menyediakan kerangka moral yang rasional, inklusif, dan
kosmopolitan.²⁰ Etika Deistik dapat dipandang sebagai jembatan moral
global, yang memungkinkan kolaborasi lintas agama dan budaya tanpa
mengorbankan rasionalitas ilmiah maupun nilai-nilai spiritualitas.²¹
8.4.      
Neo-Deisme di Era Digital dan
Post-Sekular
Fenomena neo-Deisme muncul kembali di era
digital dan post-sekular, di mana individu mencari makna spiritual di luar
lembaga keagamaan tradisional.²² Masyarakat kontemporer semakin tertarik pada
gagasan spiritualitas rasional — keimanan yang berbasis kesadaran
ekologis, ilmiah, dan etis tanpa keharusan mengikuti dogma tertentu.²³
Neo-Deisme modern sering ditemukan dalam pemikiran humanisme
spiritual dan ekoteologi, yang melihat Tuhan bukan sebagai penguasa
transenden, melainkan sebagai prinsip harmoni dan kesadaran kosmik yang hadir
dalam seluruh realitas.²⁴ Gagasan ini sejalan dengan pemikiran E. O. Wilson
tentang “biophilia,” yaitu cinta alam yang mendalam sebagai dasar
moralitas ekologis.²⁵
Selain itu, dalam masyarakat digital, Deisme juga
memperoleh bentuk baru sebagai spiritualitas reflektif, di mana individu
menggunakan rasio dan teknologi untuk memahami dimensi eksistensial
kehidupannya.²⁶ Pemikiran Deistik memberi kerangka etis bagi generasi modern
untuk menyeimbangkan rasionalitas teknologi dengan kesadaran spiritual yang
luas.²⁷
Dengan demikian, Neo-Deisme berfungsi sebagai resonansi
spiritual dari modernitas reflektif, di mana manusia mencari Tuhan melalui
keteraturan kosmos, bukan melalui dogma atau institusi.²⁸
8.5.      
Relevansi Filsafat Deistik bagi Masa
Depan
Relevansi terakhir dari Deisme terletak pada
potensinya untuk menyatukan rasionalitas ilmiah dengan spiritualitas
universal.²⁹ Dalam dunia yang kian terpolarisasi antara fundamentalisme
agama dan nihilisme sekuler, Deisme menawarkan posisi tengah yang mengakui
keberadaan Tuhan sebagai prinsip rasional dan etis yang menata semesta.³⁰
Pemikiran ini dapat menjadi dasar bagi “teologi
rasional global”, yakni upaya membangun kerangka spiritualitas yang
inklusif dan berbasis akal, yang menghargai pluralitas budaya tanpa kehilangan
arah moral universal.³¹ Seperti diungkapkan oleh Charles Taylor, dunia
modern membutuhkan “iman yang reflektif,” bukan iman yang dogmatis — dan
Deisme menyediakan kerangka filosofis bagi iman semacam itu.³²
Dengan demikian, Deisme tetap relevan sebagai model
religiositas rasional yang menyeimbangkan akal dan iman, ilmu dan nilai,
spiritualitas dan moralitas, serta menjadi inspirasi bagi pencarian makna
manusia dalam dunia pasca-modern.³³
Footnotes
[1]               
Peter Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion: The Legacy of Deism (London: Routledge, 1989), 153–156.
[2]               
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2007), 435–437.
[3]               
J. C. A. Gaskin, Varieties of Unbelief: From
Epicurus to Sartre (London: Macmillan, 1989), 135–138.
[4]               
Paul Davies, The Mind of God: The Scientific
Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 34–36.
[5]               
Albert Einstein, Ideas and Opinions, trans.
Sonja Bargmann (New York: Crown Publishers, 1954), 262–263.
[6]               
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 157–160.
[7]               
Taylor, A Secular Age, 440–442.
[8]               
Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical
and Contemporary Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 107–109.
[9]               
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: W. W. Norton & Company, 1966), 112–114.
[10]            
Barbour, Religion and Science, 111–113.
[11]            
Ernest Nagel, The Structure of Science: Problems
in the Logic of Scientific Explanation (London: Routledge, 1961), 321–323.
[12]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 162–164.
[13]            
Barbour, Religion and Science, 118–120.
[14]            
Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man
(New York: Harper & Row, 1959), 289–291.
[15]            
Taylor, A Secular Age, 445–447.
[16]            
Ernst Cassirer, The Philosophy of the
Enlightenment, trans. Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove
(Princeton: Princeton University Press, 1951), 256–259.
[17]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 166–168.
[18]            
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
41–43.
[19]            
Universal Declaration of Human Rights (Paris: United Nations General
Assembly, 1948), Article 1.
[20]            
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a
New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 15–18.
[21]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 169–171.
[22]            
Taylor, A Secular Age, 448–451.
[23]            
J. L. Mackie, The Miracle of Theism: Arguments
for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982),
34–36.
[24]            
Ursula Goodenough, The Sacred Depths of Nature
(New York: Oxford University Press, 1998), 25–28.
[25]            
Edward O. Wilson, Biophilia (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1984), 139–141.
[26]            
Taylor, A Secular Age, 455–457.
[27]            
Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the
Universe Just Right for Life? (London: Penguin Books, 2006), 210–212.
[28]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 172–175.
[29]            
Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment,
261–263.
[30]            
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation,
118–120.
[31]            
Hans Küng, The Beginning of All Things: Science
and Religion (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2007), 84–86.
[32]            
Taylor, A Secular Age, 458–460.
[33]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 176–179.
9.          
Analisis
Filosofis dan Sintesis Teoretis
9.1.      
Sintesis antara Rasionalitas dan
Spiritualitas
Deisme menempati posisi unik dalam sejarah filsafat
agama karena berupaya menyatukan rasionalitas dan spiritualitas dalam
satu kerangka ontologis dan epistemologis yang koheren.¹ Dalam perspektif
filosofis, Deisme menolak dikotomi antara iman dan akal, dengan menegaskan
bahwa keimanan sejati tidak menentang rasio, melainkan berakar padanya.²
Tuhan, bagi kaum Deistik, bukanlah entitas antropomorfik yang bertindak secara
arbitrer, melainkan prinsip rasional tertinggi yang menjiwai tatanan kosmos.³
Pandangan ini menunjukkan upaya sintesis antara dua
kecenderungan besar filsafat Barat: rasionalisme yang menekankan deduksi
logis dan empirisme yang berakar pada pengalaman.⁴ Dalam kerangka
Deistik, rasionalitas dan pengalaman alam tidak dipertentangkan, melainkan
saling melengkapi: akal menafsirkan hukum-hukum alam yang merupakan cerminan
kebijaksanaan Tuhan.⁵
Filsuf kontemporer seperti Paul Davies dan Ian
Barbour menegaskan bahwa pandangan Deistik tetap relevan dalam konteks
filsafat sains modern, karena menghadirkan Tuhan sebagai dasar metafisis
dari keteraturan kosmos, bukan sebagai agen intervensional.⁶ Dengan
demikian, Deisme dapat dibaca sebagai metafisika rasional spiritualitas,
yang memungkinkan manusia memahami keberadaan Tuhan melalui struktur hukum alam
dan kesadaran moral batiniah.⁷
9.2.      
Rehabilitasi Konsep Tuhan dalam
Filsafat Modern
Salah satu sumbangan filosofis penting dari Deisme
adalah rehabilitasi konsep Tuhan dari bentuk teologis-dogmatis menuju
bentuk rasional dan universal.⁸ Tuhan dalam Deisme tidak dibatasi oleh teks
suci atau institusi keagamaan, tetapi dipahami melalui nalar dan keteraturan
kosmos.⁹ Hal ini membawa perubahan paradigma dalam filsafat modern: dari Deus
revelatus (Tuhan wahyu) menuju Deus absconditus (Tuhan tersembunyi)
yang hanya dapat dikenali melalui refleksi intelektual dan moral.¹⁰
Namun, perubahan ini juga menimbulkan konsekuensi
epistemologis. Tuhan yang rasional dan impersonal berisiko kehilangan kedalaman
eksistensial, sebagaimana dikritik oleh Pascal dan Kierkegaard,
yang menilai bahwa Deisme gagal menampung dimensi pengalaman iman yang personal
dan paradoksal.¹¹ Meski demikian, secara filosofis, Deisme tetap penting karena
menawarkan bentuk baru dari teologi rasional yang bebas dari dogma,
sekaligus terbuka terhadap koreksi empiris dan refleksi moral.¹²
Dalam hal ini, Deisme dapat dianggap sebagai cikal
bakal filsafat agama modern, yang berupaya menafsirkan Tuhan bukan
sebagai objek metafisika statis, melainkan sebagai prinsip rasional yang dapat
dimaknai secara etis dan eksistensial.¹³ Dengan kata lain, Deisme menempatkan
Tuhan bukan dalam ruang keajaiban, tetapi dalam struktur nalar dan moralitas
universal yang melekat pada eksistensi manusia.¹⁴
9.3.      
Integrasi Etika Alamiah dan
Humanisme Rasional
Secara teoretis, Deisme juga berperan dalam merumuskan
sintesis antara etika alamiah dan humanisme rasional.¹⁵ Dengan menolak
wahyu partikular, Deisme menegaskan bahwa hukum moral bersifat alamiah,
dapat ditemukan melalui refleksi akal, dan berlaku universal bagi seluruh
manusia.¹⁶
Pandangan ini sejalan dengan gagasan Immanuel
Kant tentang moral law within, yang menempatkan prinsip moral bukan
di luar manusia, melainkan di dalam kesadaran rasionalnya.¹⁷ Kant menyebut
bahwa moralitas yang sejati bersifat a priori dan otonom, dan Tuhan
hanyalah postulat rasional bagi tatanan moral.¹⁸ Hal ini menunjukkan
kesinambungan teoretis antara Deisme dan etika rasional modern.
Lebih jauh, Deisme membuka jalan bagi munculnya etika
kosmopolitan dan humanisme sekuler, karena mengajarkan bahwa kebaikan tidak
memerlukan dasar teologis partikular, melainkan dapat dipahami melalui akal
universal dan pengalaman moral bersama.¹⁹ Dengan demikian, Deisme tidak
meniadakan Tuhan, tetapi memposisikan Tuhan sebagai dasar rasional bagi
moralitas dan kemanusiaan.²⁰
9.4.      
Deisme sebagai Paradigma Filsafat
Ilmu dan Teologi Alamiah
Dari perspektif metodologis, Deisme memberikan
kontribusi penting bagi perkembangan teologi alamiah (natural theology)
dan filsafat ilmu modern.²¹ Paradigma Deistik mengajarkan bahwa memahami
Tuhan berarti memahami hukum-hukum alam yang Ia tetapkan; oleh karena itu,
penyelidikan ilmiah merupakan bagian dari bentuk pengabdian rasional kepada
Sang Pencipta.²²
Gagasan ini melahirkan hubungan yang positif antara
iman dan sains, karena keduanya berbagi prinsip epistemik yang sama:
keteraturan, rasionalitas, dan keterbukaan terhadap koreksi.²³ Isaac Newton,
Robert Boyle, dan Leibniz merupakan contoh ilmuwan yang memandang
studi ilmiah sebagai sarana untuk mengenal Tuhan melalui keteraturan
ciptaan-Nya, meskipun dalam bentuk yang lebih rasional daripada religius.²⁴
Dalam konteks kontemporer, pendekatan ini
dihidupkan kembali oleh filsuf seperti John Polkinghorne, yang menilai
bahwa Deisme menyediakan dasar konseptual bagi dialog sains dan teologi
tanpa subordinasi.²⁵ Dengan demikian, Deisme tidak hanya berfungsi sebagai
teori metafisis, tetapi juga sebagai metode integratif antara
pengetahuan empiris dan refleksi teologis.²⁶
9.5.      
Kontribusi Deisme terhadap Evolusi
Pemikiran Filsafat Agama
Dalam sintesis akhir, dapat dikatakan bahwa Deisme
merupakan tahapan penting dalam evolusi filsafat agama, yang menandai
transisi dari teologi skolastik ke teologi rasional modern.²⁷ Ia membuka jalan
bagi munculnya teisme kritis, agnostisisme reflektif, dan bahkan spiritualitas
post-sekuler yang menekankan rasionalitas moral dan kesadaran universal.²⁸
Melalui kritik terhadap dogma dan penekanan pada
akal, Deisme membentuk paradigma baru dalam pemikiran manusia tentang Tuhan: iman
tanpa otoritas, moralitas tanpa wahyu, dan spiritualitas tanpa mistisisme.²⁹
Walaupun banyak dikritik karena dianggap mengurangi dimensi personal dari
Tuhan, Deisme tetap berperan sebagai sintesis teoretis antara logos dan
ethos, antara hukum alam dan nilai kemanusiaan.³⁰
Dengan demikian, analisis filosofis terhadap Deisme
memperlihatkan bahwa aliran ini bukan sekadar produk sejarah Pencerahan, tetapi
juga model konseptual yang relevan untuk mengintegrasikan rasionalitas,
etika, dan spiritualitas dalam dunia kontemporer.³¹
Footnotes
[1]               
Peter Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion: The Legacy of Deism (London: Routledge, 1989), 181–183.
[2]               
Lord Herbert of Cherbury, De Veritate
(London: Edward Blount, 1624), 54–56.
[3]               
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: W. W. Norton & Company, 1966), 122–124.
[4]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), Meditation V.
[5]               
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II, 1–3.
[6]               
Paul Davies, The Mind of God: The Scientific
Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 38–40.
[7]               
Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical
and Contemporary Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 115–118.
[8]               
Ernst Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment,
trans. Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove (Princeton: Princeton
University Press, 1951), 270–273.
[9]               
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 185–187.
[10]            
Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J.
Krailsheimer (London: Penguin Books, 1995), 130–132.
[11]            
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 60–62.
[12]            
J. L. Mackie, The Miracle of Theism: Arguments
for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982),
37–39.
[13]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 188–191.
[14]            
Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment,
276–278.
[15]            
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation,
127–129.
[16]            
Matthew Tindal, Christianity as Old as the
Creation (London: M. Darby, 1730), 58–61.
[17]            
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
41–44.
[18]            
Ibid., 50–52.
[19]            
J. C. A. Gaskin, Varieties of Unbelief: From
Epicurus to Sartre (London: Macmillan, 1989), 142–144.
[20]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 192–194.
[21]            
Richard S. Westfall, The Construction of Modern
Science: Mechanisms and Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press,
1971), 152–155.
[22]            
Isaac Newton, Philosophiæ Naturalis Principia
Mathematica (London: Royal Society, 1687), 404–406.
[23]            
Barbour, Religion and Science, 119–121.
[24]            
Robert Boyle, The Christian Virtuoso
(London: Joseph Downing, 1690), 6–8.
[25]            
John Polkinghorne, Science and Providence: God’s
Interaction with the World (Boston: Shambhala, 1989), 87–89.
[26]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 197–199.
[27]            
Ernst Cassirer, The Philosophy of the
Enlightenment, 280–282.
[28]            
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2007), 462–465.
[29]            
Thomas Paine, The Age of Reason
(Philadelphia: R. Aitken, 1794), 113–116.
[30]            
Hans Küng, The Beginning of All Things: Science
and Religion (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2007), 90–93.
[31]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 200–203.
10.       Kesimpulan
10.1.   
Deisme sebagai Sintesis antara Iman
dan Rasio
Dari keseluruhan pembahasan, dapat disimpulkan
bahwa Deisme merupakan bentuk religiositas rasional yang muncul sebagai
hasil dialektika antara iman dan akal dalam sejarah filsafat modern.¹ Ia
berakar pada semangat Pencerahan (Enlightenment), yang menolak
dogmatisme religius tanpa terjerumus dalam ateisme nihilistik.² Melalui
penegasan bahwa Tuhan dapat dikenal melalui akal dan hukum alam, Deisme
menawarkan sintesis filosofis antara teologi dan sains, antara keyakinan dan
penalaran.³
Dengan menempatkan Tuhan sebagai Penyebab
Pertama dan Prinsip Rasional Semesta, Deisme menghadirkan konsep Ketuhanan
yang koheren secara metafisis dan epistemologis.⁴ Tuhan tidak dipahami sebagai
agen supranatural yang melakukan intervensi, melainkan sebagai sumber hukum
universal yang menjiwai keteraturan kosmos.⁵ Pandangan ini memberi dasar bagi
paradigma teologi alamiah dan filsafat ilmiah modern, yang hingga
kini tetap menjadi landasan penting bagi refleksi rasional tentang keberadaan
Tuhan.⁶
10.2.   
Relevansi Filosofis dan Etis Deisme
Secara filosofis, Deisme menandai transformasi
besar dalam sejarah pemikiran manusia: dari teologi berbasis wahyu menuju filsafat
agama berbasis rasionalitas universal.⁷ Dalam hal ini, Deisme berperan
sebagai jembatan intelektual antara metafisika klasik dan epistemologi
modern, yang menggabungkan determinasi logis dengan kebebasan moral.⁸
Sementara secara etis, Deisme menekankan moralitas
alamiah yang bersumber dari akal dan hati nurani, bukan dari otoritas
eksternal atau teks wahyu.⁹ Prinsip ini kemudian berpengaruh terhadap gagasan
modern tentang hak asasi manusia, kebebasan berpikir, dan etika
kosmopolitan.¹⁰ Dengan demikian, Deisme tidak hanya menjadi doktrin
teologis, tetapi juga menjadi landasan moral universal yang menegaskan
martabat dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk rasional.¹¹
10.3.   
Keterbatasan dan Kritik terhadap
Deisme
Namun, Deisme juga memiliki keterbatasan teoretis
dan eksistensial.¹² Konsep Tuhan yang impersonal dan non-intervensional sering
dianggap mengaburkan dimensi spiritual dan emosional dari iman.¹³ Kritik
dari Pascal, Kierkegaard, dan para teolog modern menunjukkan
bahwa rasionalitas semata tidak cukup untuk menjelaskan pengalaman religius
yang bersifat personal, transendental, dan paradoksal.¹⁴
Selain itu, dalam konteks sains modern, asumsi
Deistik tentang keteraturan mutlak alam telah ditantang oleh teori relativitas,
mekanika kuantum, dan evolusi biologis yang menyingkap sifat kontingent dan
dinamis dari realitas.¹⁵ Karena itu, Deisme memerlukan reformulasi
konseptual agar tetap relevan dengan perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan kontemporer.¹⁶
10.4.   
Relevansi Kontemporer: Menuju
Spiritualitas Rasional
Di era post-sekular, gagasan Deistik menemukan
relevansi baru sebagai spiritualitas rasional — bentuk religiositas yang
berakar pada kesadaran ilmiah, ekologis, dan etis.¹⁷ Paradigma ini memadukan
nilai-nilai Pencerahan (kebebasan berpikir, toleransi, dan otonomi moral)
dengan dimensi spiritualitas yang terbuka terhadap makna transenden.¹⁸
Sebagaimana dikemukakan oleh Charles Taylor,
manusia modern membutuhkan iman yang reflektif, bukan dogmatis — iman yang
berpikir dalam terang akal.¹⁹ Deisme menyediakan kerangka konseptual bagi iman
semacam itu: iman yang berakar pada rasio, berpijak pada etika, dan terbuka
terhadap koreksi empiris.²⁰ Dengan demikian, Deisme bukan sekadar warisan
sejarah, tetapi visi filosofis tentang bagaimana manusia modern dapat
memahami Tuhan dan dirinya sendiri secara rasional dan bermoral.²¹
10.5.   
Konklusi Umum: Warisan Permanen
Deisme
Secara keseluruhan, Deisme meninggalkan warisan
intelektual yang mendalam bagi filsafat, ilmu pengetahuan, dan etika modern.²²
Ia mengajarkan bahwa iman sejati tidak meniadakan nalar, dan bahwa pencarian
akan Tuhan dapat dilakukan melalui refleksi atas keteraturan alam dan kesadaran
moral batiniah.²³
Walaupun telah banyak dikritik, nilai-nilai Deistik
— seperti kebebasan berpikir, toleransi, dan penghormatan terhadap rasionalitas
— tetap menjadi fondasi bagi peradaban modern yang pluralistik dan ilmiah.²⁴
Sebagai sintesis antara iman dan akal, Deisme terus menginspirasi pencarian
manusia akan makna hidup dalam dunia yang semakin kompleks dan rasional.²⁵
Dengan demikian, Deisme bukan hanya fenomena
sejarah, melainkan paradigma filosofis abadi yang menegaskan bahwa rasionalitas
adalah jalan menuju spiritualitas, dan moralitas adalah wujud iman yang sejati.²⁶
Footnotes
[1]               
Peter Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion: The Legacy of Deism (London: Routledge, 1989), 205–207.
[2]               
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: W. W. Norton & Company, 1966), 130–132.
[3]               
Lord Herbert of Cherbury, De Veritate
(London: Edward Blount, 1624), 57–59.
[4]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), Meditation V.
[5]               
Isaac Newton, Philosophiæ Naturalis Principia
Mathematica (London: Royal Society, 1687), 410–412.
[6]               
Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical
and Contemporary Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 125–127.
[7]               
Ernst Cassirer, The Philosophy of the
Enlightenment, trans. Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove
(Princeton: Princeton University Press, 1951), 286–288.
[8]               
J. C. A. Gaskin, Varieties of Unbelief: From
Epicurus to Sartre (London: Macmillan, 1989), 148–150.
[9]               
Matthew Tindal, Christianity as Old as the
Creation (London: M. Darby, 1730), 71–73.
[10]            
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
54–57.
[11]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 208–210.
[12]            
Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J.
Krailsheimer (London: Penguin Books, 1995), 138–140.
[13]            
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 66–68.
[14]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 72–74.
[15]            
Stephen Hawking, A Brief History of Time
(New York: Bantam Books, 1988), 142–145.
[16]            
Richard Dawkins, The God Delusion (Boston:
Houghton Mifflin, 2006), 192–195.
[17]            
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2007), 465–468.
[18]            
Hans Küng, The Beginning of All Things: Science
and Religion (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2007), 97–99.
[19]            
Taylor, A Secular Age, 470–472.
[20]            
Paul Davies, The Mind of God: The Scientific
Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 44–46.
[21]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 212–214.
[22]            
Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment,
292–295.
[23]            
Barbour, Religion and Science, 130–133.
[24]            
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation,
136–139.
[25]            
J. L. Mackie, The Miracle of Theism: Arguments
for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982),
40–43.
[26]            
Byrne, Natural Religion and the Nature of
Religion, 215–218.
Daftar Pustaka 
Aquinas, T. (1947). Summa Theologica (Trans.
Fathers of the English Dominican Province). New York, NY: Benziger Bros.
Barbour, I. G. (1997). Religion and Science:
Historical and Contemporary Issues. San Francisco, CA: HarperCollins.
Barker, E. (1944). Church, State, and
Civilization. London, UK: Oxford University Press.
Boyle, R. (1690). The Christian Virtuoso.
London, UK: Joseph Downing.
Byrne, P. (1989). Natural Religion and the
Nature of Religion: The Legacy of Deism. London, UK: Routledge.
Cassirer, E. (1951). The Philosophy of the
Enlightenment (Trans. F. C. A. Koelln & J. P. Pettegrove). Princeton,
NJ: Princeton University Press.
Darwin, C. (1859). On the Origin of Species.
London, UK: John Murray.
Davies, P. (1992). The Mind of God: The
Scientific Basis for a Rational World. New York, NY: Simon & Schuster.
Davies, P. (2006). The Goldilocks Enigma: Why Is
the Universe Just Right for Life? London, UK: Penguin Books.
Dawkins, R. (2006). The God Delusion.
Boston, MA: Houghton Mifflin.
Declaration of Independence. (1776). Declaration
of Independence of the United States of America. Philadelphia, PA:
Continental Congress.
Descartes, R. (1993). Meditations on First
Philosophy (Trans. D. A. Cress). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Einstein, A. (1954). Ideas and Opinions
(Trans. S. Bargmann). New York, NY: Crown Publishers.
Gaskin, J. C. A. (1989). Varieties of Unbelief:
From Epicurus to Sartre. London, UK: Macmillan.
Gay, P. (1966). The Enlightenment: An
Interpretation. New York, NY: W. W. Norton & Company.
Goodenough, U. (1998). The Sacred Depths of
Nature. New York, NY: Oxford University Press.
Gülen, M. F. (2009). Key Concepts in the
Practice of Sufism. Somerset, NJ: Tughra Books.
Hawking, S. (1988). A Brief History of Time.
New York, NY: Bantam Books.
Heisenberg, W. (1958). Physics and Philosophy:
The Revolution in Modern Science. New York, NY: Harper & Row.
Herbert of Cherbury, L. (1624). De Veritate.
London, UK: Edward Blount.
Hume, D. (1779). Dialogues Concerning Natural
Religion. London, UK: A. Millar.
Huxley, J. (1927). Religion without Revelation.
London, UK: Watts & Co.
Kant, I. (1998). Critique of Pure Reason
(Trans. P. Guyer & A. Wood). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork of the Metaphysics
of Morals (Trans. M. Gregor). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Religion within the Boundaries
of Mere Reason (Trans. A. Wood). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and Trembling
(Trans. A. Hannay). London, UK: Penguin Books.
Küng, H. (1991). Global Responsibility: In
Search of a New World Ethic. New York, NY: Crossroad.
Küng, H. (2007). The Beginning of All Things:
Science and Religion. Grand Rapids, MI: Eerdmans.
Locke, J. (1690). An Essay Concerning Human
Understanding. London, UK: Thomas Basset.
MacIntyre, A. (1981). After Virtue. Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Mackie, J. L. (1982). The Miracle of Theism:
Arguments for and Against the Existence of God. Oxford, UK: Clarendon
Press.
Nagel, E. (1961). The Structure of Science:
Problems in the Logic of Scientific Explanation. London, UK: Routledge.
Newton, I. (1687). Philosophiæ Naturalis
Principia Mathematica. London, UK: Royal Society.
Newton, I. (1704). Opticks. London, UK: Sam.
Smith.
Paine, T. (1794). The Age of Reason.
Philadelphia, PA: R. Aitken.
Pascal, B. (1995). Pensées (Trans. A. J.
Krailsheimer). London, UK: Penguin Books.
Plantinga, A. (1967). God and Other Minds.
Ithaca, NY: Cornell University Press.
Polkinghorne, J. (1989). Science and Providence:
God’s Interaction with the World. Boston, MA: Shambhala.
Taylor, C. (2007). A Secular Age. Cambridge,
MA: Harvard University Press.
Teilhard de Chardin, P. (1959). The Phenomenon
of Man. New York, NY: Harper & Row.
Tindal, M. (1730). Christianity as Old as the
Creation. London, UK: M. Darby.
Toland, J. (1696). Christianity Not Mysterious.
London, UK: Sam. Buckley.
Universal Declaration of Human Rights. (1948). Universal
Declaration of Human Rights. Paris, France: United Nations General
Assembly.
Voltaire. (1733). Letters on England.
London, UK: C. Davis.
Voltaire. (1763). Traité sur la Tolérance.
Geneva, Switzerland: Cramer.
Voltaire. (1972). Philosophical Dictionary
(Trans. T. Besterman). New York, NY: Penguin Books.
Westfall, R. S. (1971). The Construction of
Modern Science: Mechanisms and Mechanics. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
Whitehead, A. N. (1925). Science and the Modern
World. New York, NY: Macmillan.
Wilson, D. L. (1981). Jefferson and the Enlightenment:
The Faith of a Rational Man. New York, NY: Oxford University Press.
Wilson, E. O. (1984). Biophilia. Cambridge,
MA: Harvard University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar