Minggu, 26 Oktober 2025

Ekologi Marxis: Dialektika Materialisme, Kapitalisme, dan Krisis Lingkungan

Ekologi Marxis

Dialektika Materialisme, Kapitalisme, dan Krisis Lingkungan


Alihkan ke: Etika Lingkungan.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif kerangka filsafat Ekologi Marxis, suatu pendekatan kritis yang mengintegrasikan teori materialisme historis Karl Marx dengan analisis ekologis kontemporer. Kajian ini menunjukkan bahwa krisis ekologis global—seperti perubahan iklim, deforestasi, dan degradasi tanah—tidak dapat dipahami semata sebagai akibat dari kesalahan teknis atau perilaku individu, melainkan merupakan konsekuensi struktural dari logika akumulasi kapitalisme. Melalui pembacaan terhadap karya-karya Marx, Engels, serta para teoretikus ekososialis seperti John Bellamy Foster, Paul Burkett, James O’Connor, dan Michael Löwy, artikel ini menelusuri dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, dan politik dari hubungan antara manusia dan alam dalam kerangka dialektika material.

Secara ontologis, Ekologi Marxis memahami alam sebagai totalitas material dialektis yang saling berhubungan dengan produksi sosial manusia. Secara epistemologis, ia menolak positivisme dan menegaskan praxis sebagai sumber pengetahuan yang kritis dan historis. Secara aksiologis, ia mengusung etika ekososialis yang berlandaskan solidaritas, keadilan ekologis, dan emansipasi dari eksploitasi kapitalistik. Dalam dimensi sosial-politik, Ekologi Marxis memberikan fondasi teoritis bagi gerakan ekososialisme yang berupaya mentransformasikan struktur ekonomi dan kebijakan publik menuju tatanan ekologis yang demokratis dan berkelanjutan.

Artikel ini juga mengulas berbagai kritik terhadap Ekologi Marxis, baik dari ekofeminisme, deep ecology, maupun post-humanisme, serta merefleksikan relevansinya di era Antroposen. Melalui sintesis filosofisnya, Ekologi Marxis tidak hanya berfungsi sebagai teori kritis terhadap kapitalisme, tetapi juga sebagai filsafat pembebasan ekologis yang menegaskan hubungan timbal balik antara manusia dan alam sebagai dasar bagi peradaban ekologis baru.

Kata Kunci: Ekologi Marxis, materialisme historis, kapitalisme, metabolic rift, ekososialisme, keadilan ekologis, Antroposen, filsafat pembebasan ekologis.


PEMBAHASAN

Ekologi Marxis bagi Teori Sosial dan Kebijakan Lingkungan


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Masalah

Krisis ekologis global yang dihadapi umat manusia dewasa ini bukan sekadar akibat dari perilaku individu atau kesalahan teknis dalam pengelolaan sumber daya alam, melainkan merupakan hasil dari struktur ekonomi-politik yang menempatkan alam sebagai objek eksploitasi tanpa batas demi akumulasi kapital. Kapitalisme, sebagai sistem produksi dominan, mendorong pertumbuhan tanpa henti (infinite growth) yang bertentangan dengan batas-batas ekologis bumi. Dalam kerangka ini, alam direduksi menjadi sekadar komoditas—resources yang nilainya diukur berdasarkan profitabilitas pasar, bukan nilai intrinsiknya sebagai sistem kehidupan yang kompleks dan saling bergantung satu sama lain.¹

Karl Marx, meskipun hidup pada abad ke-19, telah menunjukkan kepekaan mendalam terhadap dimensi ekologis dari kapitalisme. Ia menggambarkan proses produksi kapitalistik sebagai penyebab “keretakan metabolik” (metabolic rift) antara manusia dan alam, yakni keterputusan antara proses sosial dan siklus alami yang menopang kehidupan.² Dalam kerangka tersebut, Ekologi Marxis (Marxist Ecology) berupaya menafsirkan ulang Marxisme bukan hanya sebagai teori tentang kelas dan ekonomi, tetapi juga sebagai kritik terhadap hubungan destruktif antara manusia dan lingkungan dalam konteks kapitalisme global.³

Krisis iklim, polusi, deforestasi, serta hilangnya keanekaragaman hayati menjadi bukti konkret dari logika kapitalisme yang menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas keseimbangan ekologis.⁴ Dalam konteks inilah, Ekologi Marxis hadir sebagai sintesis antara teori materialisme historis dan pemikiran ekologis modern, yang bertujuan memahami akar struktural krisis ekologi serta menawarkan perspektif emansipatoris terhadap hubungan manusia dan alam.⁵

1.2.       Rumusan Masalah

Kajian ini berupaya menjawab sejumlah pertanyaan mendasar:

1)                  Bagaimana Marxisme menjelaskan hubungan antara manusia dan alam dalam kerangka materialisme historis?

2)                  Apa bentuk kritik Ekologi Marxis terhadap logika kapitalisme yang eksploitatif terhadap lingkungan?

3)                  Bagaimana konsep-konsep seperti metabolic rift, alienasi ekologis, dan keadilan ekososial dapat digunakan untuk memahami serta merespons krisis lingkungan kontemporer?

1.3.       Tujuan dan Manfaat Kajian

Tujuan utama kajian ini adalah untuk:

·                     Menelaah secara kritis konsep-konsep dasar Ekologi Marxis dalam kaitannya dengan krisis lingkungan modern.

·                     Mengidentifikasi kontribusi teoretis Marxisme terhadap paradigma ekologi kritis dan keadilan sosial.

·                     Menawarkan kerangka konseptual yang dapat menjadi dasar bagi praksis sosial-politik menuju transformasi ekologis.

Secara akademik, kajian ini diharapkan memperkaya diskursus filsafat lingkungan dengan perspektif materialis-dialektis yang menekankan keterkaitan antara struktur sosial dan sistem ekologis. Secara praktis, ia memberikan arah bagi gerakan sosial dan kebijakan publik yang berpihak pada keberlanjutan ekologis serta keadilan sosial.⁶

1.4.       Metode dan Pendekatan Kajian

Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini bersifat historis-dialektis dan kritis-analitis. Pendekatan historis-dialektis digunakan untuk menelusuri bagaimana dinamika hubungan antara manusia, alam, dan mode produksi berkembang secara historis. Sementara itu, pendekatan kritis-analitis digunakan untuk membongkar ideologi yang melandasi relasi eksploitatif terhadap alam, serta menunjukkan alternatif praksis ekologis berbasis solidaritas sosial dan keberlanjutan.⁷

Analisis akan berfokus pada teks-teks klasik Marx dan Engels, serta pemikiran para teoretikus kontemporer seperti John Bellamy Foster, Paul Burkett, dan James O’Connor yang memperluas horizon Marxisme ke dalam bidang ekologi.⁸ Dengan demikian, kajian ini tidak hanya bersifat interpretatif terhadap teks, tetapi juga reflektif terhadap realitas sosial-ekologis masa kini.


Footnotes

[1]                John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 17–18.

[2]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1 (London: Penguin Classics, 1990), 637–38.

[3]                Paul Burkett, Marx and Nature: A Red and Green Perspective (New York: St. Martin’s Press, 1999), 23.

[4]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 45.

[5]                Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical Alternative to Capitalist Catastrophe (Chicago: Haymarket Books, 2015), 12–15.

[6]                Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 5–6.

[7]                Georg Lukács, History and Class Consciousness: Studies in Marxist Dialectics (Cambridge, MA: MIT Press, 1971), 13.

[8]                James O’Connor, Natural Causes: Essays in Ecological Marxism (New York: Guilford Press, 1998), 7.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

2.1.       Akar Pemikiran Ekologi Marxis dalam Tradisi Marxis Klasik

Ekologi Marxis berakar pada pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels yang menolak pandangan dualistik antara manusia dan alam. Dalam karya Capital, Marx menjelaskan bahwa manusia adalah “bagian dari alam” yang memediasi hubungannya dengan dunia material melalui kerja (labour).¹ Kerja tidak hanya bersifat sosial, tetapi juga ekologis karena ia merupakan proses metabolik (metabolic interaction) antara manusia dan alam, di mana manusia mengubah alam untuk memenuhi kebutuhannya, sementara alam menyediakan kondisi material bagi kelangsungan kehidupan manusia.²

Konsep ini menjadi dasar bagi apa yang kemudian dikenal sebagai metabolic rift atau “keretakan metabolik,” yakni gangguan dalam siklus timbal balik antara manusia dan alam akibat cara produksi kapitalistik yang eksploitatif.³ Kapitalisme, menurut Marx, memisahkan manusia dari proses alamiah produksi melalui komodifikasi tenaga kerja dan sumber daya alam, sehingga menimbulkan alienasi ekologis.⁴ Friedrich Engels dalam Dialectics of Nature menegaskan bahwa manusia tidak dapat berdiri di luar hukum-hukum alam; setiap intervensi terhadap alam tanpa kesadaran terhadap hukum-hukum tersebut akan menimbulkan konsekuensi destruktif.⁵ Dengan demikian, sejak awal, Marxisme telah memuat embrio kesadaran ekologis yang menempatkan krisis lingkungan sebagai hasil dari relasi sosial ekonomi, bukan semata kesalahan moral atau teknis.

2.2.       Perkembangan Lanjut dalam Tradisi Kritis

Setelah Marx dan Engels, konsep relasi manusia-alam dikembangkan lebih lanjut oleh para pemikir Marxis generasi berikutnya. Georg Lukács melalui History and Class Consciousness memperluas dialektika material menjadi kesadaran historis yang mengaitkan alienasi manusia dengan objektifikasi alam.⁶ Antonio Gramsci menyoroti dimensi kultural dari hegemoni kapitalisme, yang tidak hanya menguasai alat produksi tetapi juga cara manusia memahami alam dan teknologi.⁷

Memasuki abad ke-20, tradisi Frankfurt School—khususnya melalui Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno—mengkritik “rasionalitas instrumental” modern yang menjadikan alam objek dominasi teknologis.⁸ Dalam Dialectic of Enlightenment, Adorno dan Horkheimer memperingatkan bahwa dominasi atas alam adalah refleksi dari dominasi atas manusia sendiri.⁹ Kritik ini membuka jalan bagi ekologi kritis yang menolak eksploitasi ekologis sebagai bentuk alienasi yang dilembagakan.

Pada paruh akhir abad ke-20, muncul gerakan ekososialis yang secara eksplisit menggabungkan teori Marxis dengan pemikiran ekologis. James O’Connor memperkenalkan “kontradiksi kedua kapitalisme,” yakni ketegangan antara akumulasi kapital dan kondisi ekologis produksi yang menopangnya.¹⁰ John Bellamy Foster menghidupkan kembali gagasan metabolic rift Marx sebagai teori sentral dalam Marx’s Ecology, dengan menegaskan bahwa krisis ekologi adalah ekspresi konkret dari kontradiksi internal kapitalisme.¹¹ Paul Burkett, dalam karyanya Marx and Nature, menolak anggapan bahwa Marxisme bersifat antroposentris, dan justru menegaskan bahwa Marxisme menawarkan kerangka non-dualistis yang memahami alam sebagai bagian integral dari dinamika sosial-historis.¹²

2.3.       Konteks Sosio-Historis Munculnya Ekologi Marxis

Ekologi Marxis lahir dari kesadaran historis bahwa kerusakan lingkungan tidak dapat dipisahkan dari struktur kapitalisme global. Industrialisasi sejak abad ke-18 menciptakan keterputusan antara produksi manusia dan regenerasi ekologis.¹³ Urbanisasi dan pertanian industri mempercepat pemisahan manusia dari tanah, menciptakan sistem produksi yang menguras sumber daya tanpa memperhitungkan kapasitas alam untuk memulihkannya.¹⁴

Kondisi ini memperparah ketimpangan global antara negara industri dan negara berkembang. Sumber daya alam dari wilayah Selatan diekstraksi untuk menopang konsumsi dan pertumbuhan ekonomi di wilayah Utara, menciptakan “imperialisme ekologis.”¹⁵ Dalam konteks ini, ekologi Marxis tidak hanya membahas relasi manusia-alam dalam skala lokal, tetapi juga menyoroti dimensi geopolitik dan ekonomi dunia dari krisis ekologis.

Selain itu, munculnya gerakan lingkungan di dekade 1960–1970-an, seperti Earth Day dan laporan Limits to Growth (1972), membuka ruang bagi reinterpretasi pemikiran Marx dalam kerangka ekologis.¹⁶ Para teoretikus ekososialis kemudian melihat perlunya menghubungkan perjuangan kelas dengan perjuangan lingkungan—bahwa pembebasan manusia dari eksploitasi ekonomi harus bersamaan dengan pembebasan alam dari eksploitasi ekologis.¹⁷

Dengan demikian, Ekologi Marxis merupakan hasil evolusi panjang yang berakar pada materialisme historis klasik, dikembangkan oleh tradisi kritis, dan dimatangkan oleh kesadaran ekososialis kontemporer yang menekankan keadilan sosial dan ekologis secara bersamaan.


Footnotes

[1]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1 (London: Penguin Classics, 1990), 133.

[2]                Ibid., 283–84.

[3]                John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 155.

[4]                Ibid., 163.

[5]                Friedrich Engels, Dialectics of Nature (Moscow: Progress Publishers, 1976), 180.

[6]                Georg Lukács, History and Class Consciousness: Studies in Marxist Dialectics (Cambridge, MA: MIT Press, 1971), 89–90.

[7]                Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks (New York: International Publishers, 1971), 377.

[8]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment (Stanford, CA: Stanford University Press, 2002), 68.

[9]                Ibid., 95.

[10]             James O’Connor, Natural Causes: Essays in Ecological Marxism (New York: Guilford Press, 1998), 164.

[11]             Foster, Marx’s Ecology, 211.

[12]             Paul Burkett, Marx and Nature: A Red and Green Perspective (New York: St. Martin’s Press, 1999), 45.

[13]             Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 22.

[14]             Ibid., 31–33.

[15]             Alf Hornborg, The Power of the Machine: Global Inequalities of Economy, Technology, and Environment (Walnut Creek, CA: AltaMira Press, 2001), 54.

[16]             Donella Meadows et al., The Limits to Growth (New York: Universe Books, 1972), 8.

[17]             Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical Alternative to Capitalist Catastrophe (Chicago: Haymarket Books, 2015), 19.


3.           Ontologi: Alam sebagai Totalitas Material Dialektis

3.1.       Konsep Materialisme Dialektis terhadap Alam

Dalam kerangka Ekologi Marxis, ontologi alam berpijak pada prinsip materialisme dialektis, yaitu pandangan bahwa realitas bersifat material, historis, dan senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditentukan oleh kontradiksi internalnya sendiri.¹ Bagi Marx dan Engels, alam bukanlah sesuatu yang statis atau eksternal terhadap manusia, melainkan bagian dari totalitas material yang saling terkait dan bergerak secara dialektis.² Dengan kata lain, alam tidak dapat dipahami sebagai “latar belakang” pasif bagi tindakan manusia, tetapi sebagai proses dinamis yang menjadi kondisi sekaligus hasil dari kegiatan manusia.³

Dalam Dialectics of Nature, Engels menegaskan bahwa hukum-hukum dialektika—transformasi kuantitas menjadi kualitas, negasi dari negasi, serta kesatuan dan perjuangan dari hal-hal yang berlawanan—berlaku pula di alam.⁴ Pandangan ini menolak dualisme Cartesian yang memisahkan manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek, serta menggantikannya dengan paradigma relasional di mana manusia adalah bagian integral dari jaringan kehidupan material.⁵ Oleh karena itu, materialisme dialektis menolak pandangan mekanistik yang melihat alam sebagai sistem tertutup, melainkan menegaskan bahwa alam merupakan proses terbuka yang senantiasa bertransformasi melalui kontradiksi internalnya.⁶

Dalam konteks ekologis, hal ini berarti bahwa krisis lingkungan bukan sekadar akibat eksternal dari aktivitas manusia, tetapi hasil dari distorsi dalam hubungan dialektis antara sistem sosial (khususnya kapitalisme) dan sistem alam. Kapitalisme, dengan logika akumulasi tanpa batasnya, mengubah relasi metabolik antara manusia dan alam menjadi proses eksploitatif yang merusak totalitas ekologis.⁷

3.2.       Manusia sebagai Makhluk Alamiah dan Sosial

Ontologi Marx menempatkan manusia sebagai makhluk yang sekali gus alamiah dan sosial (species-being).⁸ Dalam Manuscripts of 1844, Marx menyatakan bahwa manusia menegaskan dirinya sebagai makhluk alamiah justru melalui kerja, karena melalui proses kerja manusia menyesuaikan alam dengan kebutuhan hidupnya dan sekaligus mengubah dirinya sendiri.⁹ Kerja, dengan demikian, adalah bentuk praksis di mana hubungan dialektis antara manusia dan alam diwujudkan.

Namun, di bawah kapitalisme, kerja kehilangan karakter alamiahnya dan berubah menjadi kegiatan yang teralienasi.¹⁰ Manusia tidak lagi berhubungan dengan alam sebagai bagian dari dirinya, melainkan sebagai objek produksi yang harus dikuasai dan dikomodifikasi.¹¹ Alienasi ini bukan hanya bersifat sosial, melainkan juga ekologis—karena keterputusan antara manusia dan alam berarti hilangnya kesadaran akan totalitas material yang menopang kehidupan.¹²

Dengan demikian, dalam perspektif Ekologi Marxis, hubungan manusia dengan alam bukan hubungan hierarkis, tetapi hubungan ko-evolusioner yang saling membentuk.¹³ Manusia bukan penguasa alam, tetapi bagian dari sistem metabolik yang kompleks, di mana kehidupan sosial dan ekologis saling bergantung.¹⁴

3.3.       Alienasi Ekologis dalam Kapitalisme

Konsep alienasi ekologis (ecological alienation) menjadi pusat dari ontologi kritis Ekologi Marxis. Dalam kapitalisme, alam diperlakukan sebagai sumber daya tanpa batas, dan hubungan manusia dengan lingkungan direduksi menjadi hubungan komoditas.¹⁵ Marx menyebut fenomena ini sebagai “fetisisme komoditas” (commodity fetishism), di mana hubungan sosial dan ekologis tersembunyi di balik nilai tukar.¹⁶ Akibatnya, proses produksi kapitalistik menimbulkan metabolic rift—keretakan dalam siklus alamiah antara manusia dan bumi.¹⁷

Sebagai contoh, sistem pertanian industri modern mencerminkan keretakan ini: tanah dieksploitasi tanpa regenerasi alami, sementara hasil panen dikirim ke pusat-pusat industri yang jauh, memutuskan sirkulasi nutrien antara kota dan desa.¹⁸ Dalam jangka panjang, hal ini menyebabkan degradasi ekologis, penipisan tanah, dan ketidakseimbangan metabolik dalam biosfer.¹⁹

Alienasi ekologis bukan hanya soal perusakan lingkungan fisik, tetapi juga krisis kesadaran manusia terhadap posisinya dalam totalitas alam.²⁰ Manusia modern, yang hidup dalam masyarakat konsumtif dan terindustrialisasi, kehilangan pandangan akan keterhubungan organiknya dengan alam.²¹ Dengan demikian, penyembuhan krisis ekologis menuntut bukan hanya reformasi teknologi atau kebijakan lingkungan, tetapi juga rekonstruksi ontologis: pemulihan kesadaran manusia sebagai bagian dari totalitas material dialektis.²²


Footnotes

[1]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology (New York: International Publishers, 1970), 43.

[2]                Friedrich Engels, Dialectics of Nature (Moscow: Progress Publishers, 1976), 25.

[3]                John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 33.

[4]                Engels, Dialectics of Nature, 65–67.

[5]                Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 42.

[6]                Bertell Ollman, Dance of the Dialectic: Steps in Marx’s Method (Urbana: University of Illinois Press, 2003), 78.

[7]                Paul Burkett, Marx and Nature: A Red and Green Perspective (New York: St. Martin’s Press, 1999), 97.

[8]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 (Moscow: Progress Publishers, 1961), 75.

[9]                Ibid., 77.

[10]             Ibid., 93.

[11]             Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1 (London: Penguin Classics, 1990), 637.

[12]             Foster, Marx’s Ecology, 163.

[13]             Alfred Schmidt, The Concept of Nature in Marx (London: NLB, 1971), 12.

[14]             Moore, Capitalism in the Web of Life, 59.

[15]             James O’Connor, Natural Causes: Essays in Ecological Marxism (New York: Guilford Press, 1998), 12.

[16]             Marx, Capital, 165.

[17]             Foster, Marx’s Ecology, 155.

[18]             Ibid., 173.

[19]             Jason W. Moore, Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 66.

[20]             Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical Alternative to Capitalist Catastrophe (Chicago: Haymarket Books, 2015), 28.

[21]             Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 9.

[22]             Foster, Marx’s Ecology, 211.


4.           Epistemologi: Pengetahuan Kritis dan Ekologi Historis

4.1.       Epistemologi Dialektis Marxian

Epistemologi dalam Ekologi Marxis berakar pada prinsip materialisme historis-dialektis, yang menolak dikotomi antara subjek dan objek pengetahuan.¹ Bagi Marx, pengetahuan tidak lahir dari kontemplasi pasif terhadap dunia, melainkan dari praxis—yakni aktivitas manusia yang konkret dan historis dalam mengubah alam sekaligus dirinya sendiri.² Pengetahuan bukan refleksi statis atas realitas, melainkan hasil dari interaksi dinamis antara manusia dan dunia material dalam proses produksi sosial.³

Dalam konteks ini, epistemologi Marxian menentang dua arus besar dalam filsafat modern: idealisme, yang memisahkan kesadaran dari materialitas, dan positivisme, yang menganggap pengetahuan sebagai kumpulan fakta empiris yang netral.⁴ Marx mengusulkan suatu cara berpikir dialektis yang memahami realitas sebagai proses yang sarat kontradiksi dan perubahan. Oleh karena itu, kebenaran bukanlah korespondensi statis antara pikiran dan dunia, tetapi hasil dari praktik historis yang terus berkembang.⁵

Engels menegaskan bahwa “dialektika alam” harus dipahami sebagai gerak internal dari materi itu sendiri, bukan sebagai hasil proyeksi kesadaran manusia.⁶ Ini berarti bahwa epistemologi Marxis memiliki basis ontologis yang kuat—pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui pemahaman terhadap proses material dan historis dari realitas itu sendiri. Dalam konteks ekologi, hal ini menuntut kita untuk tidak melihat alam sebagai “obyek penelitian netral,” melainkan sebagai sistem material yang terjalin dalam totalitas sosial.⁷

4.2.       Konsep “Metabolic Rift” sebagai Instrumen Analisis Epistemik

Salah satu kontribusi paling penting dari Ekologi Marxis terhadap epistemologi adalah konsep “metabolic rift” atau “keretakan metabolik.” Istilah ini digunakan John Bellamy Foster untuk menjelaskan bagaimana Marx memahami terganggunya hubungan metabolik antara manusia dan alam akibat logika produksi kapitalistik.⁸ Secara epistemologis, konsep ini berfungsi sebagai lensa kritis untuk membaca realitas ekologis bukan semata-mata sebagai fenomena biofisik, tetapi sebagai produk dari kontradiksi sosial-ekonomi.⁹

Dengan menggunakan kerangka metabolic rift, epistemologi Ekologi Marxis menolak reduksionisme ilmiah yang memisahkan lingkungan dari struktur sosial.¹⁰ Ia menegaskan bahwa krisis ekologis harus dipahami sebagai gejala dari “logika akumulasi kapital,” bukan sekadar akibat dari “kesalahan teknologi.”¹¹ Pengetahuan ekologis sejati, dengan demikian, adalah pengetahuan yang menyadari keterkaitannya dengan sistem sosial dan produksi yang melahirkannya.¹²

James O’Connor, dalam teori “kontradiksi kedua kapitalisme,” mengembangkan dimensi epistemik ini dengan menyoroti bagaimana sistem kapitalis secara internal menciptakan krisis ekologis yang kemudian ia coba atasi melalui mekanisme pasar dan inovasi teknologi—yang justru memperparah kontradiksi tersebut.¹³ Maka, epistemologi ekologis Marxis bukan hanya menjelaskan apa yang terjadi pada alam, tetapi juga mengapa dan bagaimana struktur sosial memproduksinya.¹⁴

4.3.       Peran Kesadaran Ekologis Kelas Pekerja

Dalam perspektif Marxian, epistemologi tidak dapat dipisahkan dari kesadaran kelas. Pengetahuan sejati hanya dapat muncul melalui pengalaman praksis kolektif yang mengungkap relasi kekuasaan dalam masyarakat.¹⁵ Dalam konteks ekologi, hal ini berarti bahwa kesadaran ekologis sejati bukan sekadar kesadaran moral tentang “menjaga lingkungan,” tetapi kesadaran historis tentang bagaimana kapitalisme menciptakan kondisi material dari krisis ekologis itu sendiri.¹⁶

Kesadaran ekologis kelas pekerja (eco-class consciousness) menandai tahap epistemologis baru, di mana perjuangan melawan eksploitasi ekonomi bersatu dengan perjuangan melawan perusakan lingkungan.¹⁷ Dalam kerangka ini, pengetahuan ekologis tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga politis—ia lahir dari pengalaman nyata dalam produksi, kerja, dan perjuangan sosial.¹⁸

Antonio Gramsci menegaskan bahwa setiap kelas sosial menciptakan “pandangan dunia” (worldview) yang khas; dalam hal ini, Ekologi Marxis mengusulkan worldview ekologis yang berakar pada materialisme historis dan emansipasi sosial.¹⁹ Dengan demikian, epistemologi Ekologi Marxis menuntut transformasi bukan hanya pada tataran konsep, tetapi juga dalam struktur kesadaran kolektif manusia.²⁰


Footnotes

[1]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology (New York: International Publishers, 1970), 39.

[2]                Karl Marx, Theses on Feuerbach, in The Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: Norton, 1978), 145.

[3]                Bertell Ollman, Dance of the Dialectic: Steps in Marx’s Method (Urbana: University of Illinois Press, 2003), 97.

[4]                Georg Lukács, History and Class Consciousness: Studies in Marxist Dialectics (Cambridge, MA: MIT Press, 1971), 10–11.

[5]                Ibid., 14.

[6]                Friedrich Engels, Dialectics of Nature (Moscow: Progress Publishers, 1976), 72.

[7]                John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 83.

[8]                Ibid., 155.

[9]                Paul Burkett, Marx and Nature: A Red and Green Perspective (New York: St. Martin’s Press, 1999), 51.

[10]             Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 22.

[11]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 68.

[12]             Foster, Marx’s Ecology, 162.

[13]             James O’Connor, Natural Causes: Essays in Ecological Marxism (New York: Guilford Press, 1998), 160.

[14]             Foster, Marx’s Ecology, 211.

[15]             Marx and Engels, The German Ideology, 61.

[16]             Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical Alternative to Capitalist Catastrophe (Chicago: Haymarket Books, 2015), 29.

[17]             Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 12.

[18]             Lukács, History and Class Consciousness, 89.

[19]             Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks (New York: International Publishers, 1971), 323.

[20]             Löwy, Ecosocialism, 35.


5.           Aksiologi dan Etika Ekososialis

5.1.       Nilai dan Tujuan dalam Ekologi Marxis

Aksiologi dalam Ekologi Marxis berangkat dari keyakinan bahwa nilai moral dan sosial tidak berdiri di atas struktur material yang netral, melainkan tertanam dalam relasi produksi dan sistem ekonomi-politik yang membentuk kehidupan manusia.¹ Dalam konteks kapitalisme, nilai-nilai yang dominan—efisiensi, pertumbuhan tanpa batas, dan akumulasi—telah menyingkirkan nilai-nilai ekologis dan sosial seperti keberlanjutan, solidaritas, dan keadilan.² Oleh karena itu, Ekologi Marxis berupaya merumuskan kembali fondasi etis masyarakat dengan menempatkan keadilan ekologis (ecological justice) sebagai inti dari transformasi sosial.³

Bagi Marx, nilai sejati bukanlah abstraksi moral individual, tetapi hasil dari relasi sosial konkret.⁴ Dalam masyarakat kapitalistik, relasi ini menjadi terdistorsi karena nilai ditentukan oleh logika komoditas dan nilai tukar (exchange value), bukan oleh nilai guna (use value).⁵ Akibatnya, alam kehilangan nilai intrinsiknya dan hanya dianggap penting sejauh dapat dikomodifikasi. Ekologi Marxis mengusulkan reorientasi nilai: dari dominasi ekonomi menuju emansipasi ekologis dan sosial.⁶ Nilai tertinggi bukan lagi keuntungan (profit), melainkan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan batas-batas ekologis bumi.⁷

Dengan demikian, etika Ekososialis berpijak pada prinsip materialisme historis yang menegaskan bahwa moralitas sejati tidak mungkin muncul dari sistem yang menindas manusia dan alam.⁸ Etika harus dibangun di atas relasi sosial yang adil dan ekologis—yakni suatu masyarakat di mana proses produksi tidak menghancurkan fondasi material dari keberlanjutan kehidupan.⁹

5.2.       Etika Produksi dan Konsumsi

Dalam perspektif Ekologi Marxis, etika tidak dapat dilepaskan dari praktik produksi dan konsumsi.¹⁰ Sistem kapitalistik menciptakan etika instrumental yang menjustifikasi eksploitasi alam dan tenaga kerja atas nama efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.¹¹ Marx menulis bahwa dalam kapitalisme, produksi bukan untuk pemenuhan kebutuhan manusia, melainkan demi akumulasi kapital tanpa batas.¹² Hal ini menyebabkan apa yang disebut Foster sebagai “rasionalitas ekologis terbalik” (inverted ecological rationality): semakin besar produktivitas, semakin besar pula kerusakan ekologis yang ditimbulkannya.¹³

Etika Ekososialis menolak logika ini dan menuntut bentuk produksi yang berkelanjutan, egaliter, dan demokratis secara ekologis.¹⁴ Produksi harus diarahkan bukan untuk akumulasi kapital, melainkan untuk reproduksi sosial dan ekologis yang sehat.¹⁵ Konsumsi pun harus diubah dari orientasi individualistis dan kompetitif menuju bentuk konsumsi sadar (conscious consumption) yang mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis dari setiap tindakan ekonomi.¹⁶

Etika ini tidak menolak teknologi, tetapi menuntut demokratisasi dalam pengembangan dan penerapannya. Teknologi harus dikendalikan secara sosial, bukan dikomersialisasikan untuk kepentingan korporasi global.¹⁷ Dengan demikian, etika Ekososialis menegaskan bahwa perubahan moral tidak dapat dipisahkan dari perubahan struktural dalam cara manusia memproduksi dan mengonsumsi.¹⁸

5.3.       Ekologi dan Solidaritas Global

Dimensi aksiologis Ekologi Marxis bersifat universal dan transnasional. Ia menegaskan bahwa krisis ekologis tidak mengenal batas negara, sehingga etika yang dikembangkan harus bersifat global dan berbasis solidaritas.¹⁹ Solidaritas ekologis berarti pengakuan bahwa penderitaan ekologis di satu wilayah adalah konsekuensi dari pola produksi dan konsumsi di wilayah lain.²⁰ Dalam kerangka ini, gerakan ekososialis menyerukan keadilan iklim (climate justice) sebagai bentuk konkret dari solidaritas global.²¹

Michael Löwy menegaskan bahwa solidaritas ekologis harus melampaui humanisme sempit dan mencakup penghargaan terhadap seluruh bentuk kehidupan.²² Ini berarti menolak antroposentrisme modern dan mengakui bahwa pembebasan manusia tidak dapat dipisahkan dari pembebasan alam dari dominasi kapital.²³ Dengan demikian, etika Ekososialis adalah etika koeksistensi—suatu tatanan moral yang mengakui kesalingtergantungan antara manusia dan alam dalam jaringan kehidupan planet ini.²⁴

Prinsip solidaritas ekologis juga memiliki dimensi politik: ia menuntut pembentukan struktur internasional yang adil dalam pembagian sumber daya, teknologi, dan tanggung jawab ekologis.²⁵ Etika Ekososialis menolak green capitalism yang hanya melapisi eksploitasi lama dengan retorika keberlanjutan, dan sebaliknya mendorong kolektivitas ekologis yang berbasis pada kontrol demokratis atas sumber daya bersama (commons).²⁶


Footnotes

[1]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology (New York: International Publishers, 1970), 42.

[2]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 59.

[3]                John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 221.

[4]                Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 (Moscow: Progress Publishers, 1961), 95.

[5]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1 (London: Penguin Classics, 1990), 163.

[6]                Paul Burkett, Marx and Nature: A Red and Green Perspective (New York: St. Martin’s Press, 1999), 82.

[7]                Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical Alternative to Capitalist Catastrophe (Chicago: Haymarket Books, 2015), 18.

[8]                Friedrich Engels, Anti-Dühring (Moscow: Progress Publishers, 1976), 112.

[9]                Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 11.

[10]             Foster, Marx’s Ecology, 155.

[11]             Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 38.

[12]             Marx, Capital, 742.

[13]             Foster, Marx’s Ecology, 177.

[14]             James O’Connor, Natural Causes: Essays in Ecological Marxism (New York: Guilford Press, 1998), 161.

[15]             Burkett, Marx and Nature, 106.

[16]             Löwy, Ecosocialism, 25.

[17]             Alf Hornborg, The Power of the Machine: Global Inequalities of Economy, Technology, and Environment (Walnut Creek, CA: AltaMira Press, 2001), 59.

[18]             Foster, Marx’s Ecology, 212.

[19]             Löwy, Ecosocialism, 33.

[20]             Klein, This Changes Everything, 95.

[21]             Andreas Malm, Fossil Capital: The Rise of Steam Power and the Roots of Global Warming (London: Verso, 2016), 376.

[22]             Löwy, Ecosocialism, 41.

[23]             Burkett, Marx and Nature, 128.

[24]             Foster, Marx’s Ecology, 220.

[25]             O’Connor, Natural Causes, 165.

[26]             Moore, Capitalism in the Web of Life, 72.


6.           Dimensi Sosial dan Politik Ekologi Marxis

6.1.       Ekonomi Politik Lingkungan

Dalam kerangka Ekologi Marxis, dimensi sosial dan politik krisis ekologis tidak dapat dipahami terpisah dari struktur ekonomi politik kapitalisme global.¹ Kapitalisme tidak hanya menciptakan relasi produksi yang eksploitatif terhadap tenaga kerja, tetapi juga terhadap alam sebagai basis material kehidupan.² Marx menegaskan bahwa dalam sistem ini, “produksi demi produksi” menggantikan prinsip “produksi demi kehidupan,” sehingga nilai alam direduksi menjadi instrumen bagi akumulasi kapital.³

John Bellamy Foster menggambarkan bahwa bentuk eksploitasi ini melahirkan “krisis metabolik” antara masyarakat dan lingkungan, di mana sistem ekonomi tidak lagi beroperasi dalam siklus ekologis yang seimbang, melainkan dalam sirkuit akumulasi yang tak berujung.⁴ Dalam konteks modern, logika ini termanifestasi dalam industrialisasi berlebihan, urbanisasi masif, dan perdagangan global yang memindahkan beban ekologis dari negara industri ke negara berkembang.⁵

Fenomena tersebut mempertegas munculnya apa yang disebut Alf Hornborg sebagai “imperialisme ekologis”, yakni dominasi negara-negara kapitalis atas sumber daya dan ekosistem di wilayah dunia Selatan melalui mekanisme ekonomi, teknologi, dan perdagangan.⁶ Dengan demikian, dimensi sosial dan politik Ekologi Marxis tidak hanya menyangkut hubungan manusia dengan alam, tetapi juga relasi kekuasaan antar-manusia yang menentukan bagaimana alam dimanfaatkan dan dimaknai.⁷

6.2.       Ekososialisme dan Perjuangan Politik

Sebagai respons terhadap kontradiksi antara kapitalisme dan keberlanjutan ekologis, lahirlah gagasan ekososialisme sebagai bentuk praksis politik dari Ekologi Marxis.⁸ Michael Löwy mendefinisikan ekososialisme sebagai proyek transformasi sosial yang mengintegrasikan perjuangan kelas dengan perjuangan ekologis, dengan tujuan membangun masyarakat yang demokratis, egaliter, dan berkelanjutan.⁹

Ekososialisme menolak pendekatan reformis hijau (green reformism) yang hanya memperhalus wajah kapitalisme melalui kebijakan teknokratis seperti pajak karbon atau “pasar hijau.”¹⁰ Bagi para teoretikus ekososialis, upaya tersebut tidak menyentuh akar persoalan: logika akumulasi yang menjadi fondasi sistem kapitalisme itu sendiri.¹¹ Karena itu, perjuangan ekologis harus diartikulasikan sebagai perjuangan politis yang menuntut perubahan struktur kepemilikan, sistem produksi, dan distribusi sumber daya.¹²

Dalam tataran politik praktis, ekososialisme mengusulkan model transisi yang mencakup demokratisasi ekonomi, dekomodifikasi energi dan tanah, serta perencanaan sosial yang berorientasi pada kebutuhan kolektif, bukan keuntungan korporatif.¹³ John Bellamy Foster menyebut pendekatan ini sebagai “ecological revolution”, yaitu perubahan radikal dalam relasi produksi dan kesadaran ekologis yang hanya mungkin melalui keterlibatan aktif kelas pekerja dan komunitas rakyat.¹⁴ Dengan demikian, politik ekologis bukan sekadar reformasi kebijakan lingkungan, melainkan perjuangan menuju tatanan sosial baru yang membebaskan manusia dan alam dari eksploitasi struktural.¹⁵

6.3.       Peran Negara dan Gerakan Sosial

Dalam analisis politik Ekologi Marxis, negara kapitalis dipandang bukan sebagai entitas netral, tetapi sebagai instrumen yang mempertahankan kepentingan kelas dominan.¹⁶ James O’Connor menegaskan bahwa negara modern berfungsi untuk mengelola “kontradiksi kedua kapitalisme,” yakni ketegangan antara kebutuhan akan akumulasi kapital dan pemeliharaan kondisi ekologis yang menopang produksi.¹⁷ Negara sering kali merespons krisis ekologis bukan dengan membatasi kapitalisme, tetapi dengan mengatur ulang mekanisme eksploitasi melalui kebijakan yang tampak “hijau.”¹⁸

Sebagai antitesis terhadap politik negara kapitalistik, gerakan sosial ekologis berperan penting dalam membangun kesadaran politik baru. Gerakan ini melampaui agenda konservasionis dan reformis, menuju gerakan ekososialis yang menghubungkan perjuangan lingkungan dengan perjuangan kelas, feminisme, dan keadilan rasial.¹⁹

Contoh konkret dapat ditemukan dalam gerakan “Just Transition” di Amerika Latin, Eropa, dan Asia, yang berupaya mengubah sistem energi dan produksi menuju model demokratis dan berkelanjutan.²⁰ Gerakan ini menolak privatisasi sumber daya publik dan menegaskan bahwa transformasi ekologis harus diiringi dengan redistribusi kekuasaan ekonomi dan politik.²¹

Ekologi Marxis menekankan pentingnya praxis kolektif—yakni tindakan sosial yang sadar dan terorganisir—sebagai kekuatan penggerak perubahan historis.²² Dengan demikian, dimensi sosial dan politik dari Ekologi Marxis bukan sekadar analisis tentang krisis lingkungan, tetapi proyek emansipatoris yang menempatkan transformasi ekologis sebagai bagian integral dari perjuangan pembebasan manusia secara total.²³


Footnotes

[1]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1 (London: Penguin Classics, 1990), 742.

[2]                John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 144.

[3]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 (Moscow: Progress Publishers, 1961), 93.

[4]                Foster, Marx’s Ecology, 155.

[5]                Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 38.

[6]                Alf Hornborg, The Power of the Machine: Global Inequalities of Economy, Technology, and Environment (Walnut Creek, CA: AltaMira Press, 2001), 57.

[7]                Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 10.

[8]                Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical Alternative to Capitalist Catastrophe (Chicago: Haymarket Books, 2015), 15.

[9]                Ibid., 17.

[10]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 78.

[11]             Paul Burkett, Marx and Nature: A Red and Green Perspective (New York: St. Martin’s Press, 1999), 121.

[12]             Foster, Marx’s Ecology, 223.

[13]             Löwy, Ecosocialism, 27.

[14]             John Bellamy Foster, The Ecological Revolution: Making Peace with the Planet (New York: Monthly Review Press, 2009), 10–11.

[15]             James O’Connor, Natural Causes: Essays in Ecological Marxism (New York: Guilford Press, 1998), 162.

[16]             Nicos Poulantzas, Political Power and Social Classes (London: Verso, 1978), 133.

[17]             O’Connor, Natural Causes, 158.

[18]             Moore, Capitalism in the Web of Life, 62.

[19]             Löwy, Ecosocialism, 34.

[20]             Daniel Tanuro, Green Capitalism: Why It Can’t Work (London: Merlin Press, 2013), 91.

[21]             Klein, This Changes Everything, 102.

[22]             Georg Lukács, History and Class Consciousness: Studies in Marxist Dialectics (Cambridge, MA: MIT Press, 1971), 85.

[23]             Foster, The Ecological Revolution, 19.


7.           Kritik terhadap Ekologi Marxis

7.1.       Kritik dari Perspektif Ekofeminisme

Salah satu kritik utama terhadap Ekologi Marxis datang dari ekofeminisme, yang menilai bahwa pendekatan Marxis terlalu berfokus pada struktur ekonomi dan mengabaikan dimensi gender dalam relasi manusia-alam.¹ Ekofeminis seperti Carolyn Merchant dan Vandana Shiva berpendapat bahwa krisis ekologis tidak hanya disebabkan oleh kapitalisme, tetapi juga oleh paradigma patriarkal yang melihat alam dan perempuan sebagai objek dominasi.² Mereka menilai bahwa meskipun Marx membongkar hubungan eksploitasi antara manusia dan alam melalui kerja, ia gagal melihat bagaimana relasi patriarki turut menstrukturkan cara manusia memahami dan mengeksploitasi alam.³

Dalam hal ini, Ekologi Marxis dianggap cenderung reduksionistik karena mengartikan semua bentuk penindasan ekologis sebagai turunan dari basis ekonomi.⁴ Padahal, bagi ekofeminis, dominasi terhadap alam juga bersumber dari struktur simbolik dan budaya yang menempatkan nilai “maskulin” (rasionalitas, kontrol, kekuasaan) di atas nilai “feminin” (kerjasama, pemeliharaan, kesalingtergantungan).⁵ Dengan demikian, kritik ekofeminis menuntut agar Ekologi Marxis memperluas analisisnya dengan memasukkan dimensi etika perawatan (ethics of care) dan epistemologi relasional yang menghargai keterhubungan antara manusia, alam, dan gender.⁶

7.2.       Kritik dari Perspektif Deep Ecology dan Post-Humanisme

Kritik kedua datang dari gerakan Deep Ecology dan post-humanisme, yang menilai bahwa Marxisme tetap bersifat antroposentris, meskipun dalam bentuk yang lebih halus.⁷ Menurut Arne Naess, pendiri Deep Ecology, Marx masih menempatkan manusia sebagai pusat nilai moral dan menganggap alam bernilai sejauh berperan dalam proses produksi manusia.⁸ Bagi para pemikir Deep Ecology, pandangan ini tidak cukup radikal karena tetap mempertahankan hierarki antara manusia dan alam. Mereka menuntut pendekatan biosentris yang mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup, bukan hanya nilai instrumentalnya bagi manusia.⁹

Sementara itu, post-humanisme—yang diwakili oleh tokoh seperti Bruno Latour dan Rosi Braidotti—menuduh Ekologi Marxis terlalu terikat pada humanisme klasik dan konsep “subjek pekerja.”¹⁰ Post-humanis berargumen bahwa dalam dunia pasca-antropogenik, manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai pusat tindakan historis tunggal, melainkan sebagai bagian dari jaringan aktor-aktor non-manusia (teknologi, ekosistem, organisme mikro, dan materialitas lain).¹¹ Dengan demikian, mereka menilai bahwa pendekatan Marxis masih gagal menangkap kompleksitas agensi ekologis yang melibatkan entitas non-manusia dalam sistem sosial.¹²

Kritik ini menantang fondasi ontologis dan epistemologis Marxisme yang masih berbasis pada subjek historis manusia.¹³ Namun, beberapa pemikir seperti Jason W. Moore mencoba menjembatani perdebatan ini dengan memperkenalkan konsep “web of life”, yang melihat kapitalisme bukan sekadar sistem sosial manusia, tetapi juga ekosistem sejarah yang melibatkan hubungan metabolik antara manusia dan alam secara simultan.¹⁴

7.3.       Kritik Internal: Dogmatisme dan Reduksi Struktural

Selain kritik eksternal, terdapat pula kritik internal terhadap Ekologi Marxis dari kalangan Marxis sendiri. Beberapa teoretikus, seperti Ted Benton dan André Gorz, mengingatkan bahaya dogmatisme struktural dalam membaca hubungan manusia-alam.¹⁵ Mereka menilai bahwa sebagian Ekolog Marxis cenderung menafsirkan ulang teks-teks Marx secara deterministik, seolah seluruh dinamika ekologis dapat dijelaskan hanya melalui hubungan produksi.¹⁶ Akibatnya, dimensi kultural, etis, dan simbolik dari relasi ekologis sering kali terabaikan.¹⁷

André Gorz, misalnya, berargumen bahwa transformasi ekologis tidak dapat dicapai hanya melalui perubahan struktur ekonomi, tetapi juga melalui perubahan gaya hidup dan sistem nilai manusia.¹⁸ Dengan kata lain, revolusi ekologis memerlukan revolusi kesadaran, bukan semata revolusi produksi. Kritik ini menegaskan pentingnya aspek praksis dan subjektivitas manusia dalam membangun hubungan ekologis yang baru.¹⁹

Lebih jauh lagi, beberapa Marxis ekologi kontemporer seperti John Bellamy Foster sendiri mengakui bahwa Marxisme klasik memiliki keterbatasan dalam merespons tantangan ekologi global modern seperti perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati.²⁰ Karena itu, Foster dan Paul Burkett menyerukan revitalisasi Marxisme agar lebih sensitif terhadap dimensi ekologis, kultural, dan politik global.²¹ Kritik internal ini, dengan demikian, justru memperkuat tradisi Marxis yang bersifat reflektif dan terbuka terhadap koreksi historis, selaras dengan semangat dialektika yang menjadi inti dari filsafat Marx itu sendiri.²²


Footnotes

[1]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 41.

[2]                Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1988), 22.

[3]                Ibid., 45.

[4]                Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 9.

[5]                Merchant, The Death of Nature, 82.

[6]                Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on What It Is and Why It Matters (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2000), 67.

[7]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28.

[8]                Ibid., 31.

[9]                Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990), 19.

[10]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 56.

[11]             Bruno Latour, Politics of Nature: How to Bring the Sciences into Democracy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 15.

[12]             Braidotti, The Posthuman, 72.

[13]             Ibid., 89.

[14]             Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 3.

[15]             Ted Benton, The Greening of Marxism, 18.

[16]             André Gorz, Ecology as Politics (London: Pluto Press, 1987), 10.

[17]             Ibid., 16.

[18]             Ibid., 45.

[19]             Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical Alternative to Capitalist Catastrophe (Chicago: Haymarket Books, 2015), 32.

[20]             John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 213.

[21]             Paul Burkett, Marx and Nature: A Red and Green Perspective (New York: St. Martin’s Press, 1999), 111.

[22]             Foster, Marx’s Ecology, 220.


8.           Relevansi Kontemporer

8.1.       Ekologi Marxis di Era Antroposen

Dalam konteks abad ke-21, relevansi Ekologi Marxis semakin menonjol seiring munculnya istilah Antroposen, yaitu era geologis baru yang menandai dominasi aktivitas manusia terhadap sistem bumi.¹ Konsep ini menyingkap paradoks modernitas: kemajuan teknologi dan produksi yang membawa kemakmuran sekaligus mempercepat kehancuran ekologis planet.² John Bellamy Foster menegaskan bahwa dinamika Antroposen tidak dapat dijelaskan hanya melalui sains lingkungan, tetapi harus dipahami melalui analisis ekonomi-politik yang menyoroti akar sistemik krisis ekologis dalam kapitalisme global.³

Kapitalisme lanjut, dengan logika akumulasi tanpa batasnya, telah memperdalam metabolic rift antara masyarakat dan alam.⁴ Krisis iklim, deforestasi masif, pencemaran laut, dan degradasi tanah merupakan ekspresi konkret dari cara produksi kapitalistik yang memutus hubungan metabolik antara manusia dan ekosistem.⁵ Dalam kerangka ini, Ekologi Marxis menawarkan kritik struktural terhadap paradigma “ekonomi hijau” neoliberal yang berupaya menyelesaikan krisis iklim melalui mekanisme pasar—sebuah upaya yang, bagi para Marxis, hanya mereproduksi kontradiksi ekologis dalam bentuk baru.⁶

Foster dan Moore menekankan bahwa memahami Antroposen tanpa memahami kapitalisme berarti menutupi penyebab utamanya.⁷ Istilah yang lebih tepat, menurut mereka, adalah “Kapitalosien” (Capitalocene), karena yang mendominasi planet bukanlah manusia secara umum, melainkan sistem kapitalisme global yang menstrukturkan cara produksi, konsumsi, dan distribusi energi serta sumber daya alam.⁸ Dengan demikian, Ekologi Marxis menjadi kerangka kritis untuk mengidentifikasi akar historis dan sosial dari krisis planet di era modern.⁹

8.2.       Perspektif Ekososialis dalam Kebijakan Publik

Dalam tataran praksis politik, gagasan Ekologi Marxis berkontribusi besar terhadap perkembangan paradigma ekososialis dalam kebijakan publik dan gerakan lingkungan global.¹⁰ Ekososialisme berupaya menggabungkan transformasi ekonomi dengan demokratisasi ekologi, menolak dikotomi antara “kesejahteraan sosial” dan “keberlanjutan lingkungan.”¹¹

Program seperti Green New Deal di Amerika Serikat dan Eropa mencerminkan pengaruh pemikiran Marxis-ekologis, meskipun dengan variasi ideologis.¹² Di dalamnya terkandung kesadaran bahwa krisis ekologis tidak dapat diatasi tanpa mengubah struktur ekonomi yang menciptakan ketimpangan dan eksploitasi.¹³ Namun, para pemikir ekososialis seperti Michael Löwy dan Daniel Tanuro mengingatkan bahwa Green New Deal tetap berisiko menjadi versi baru green capitalism apabila tidak disertai perubahan radikal terhadap kepemilikan dan kontrol sosial atas alat produksi.¹⁴

Dalam konteks kebijakan energi, Ekologi Marxis menekankan pentingnya dekomodifikasi sumber daya alam—yakni menjadikan energi, air, dan tanah sebagai commons yang dikelola secara demokratis dan partisipatif.¹⁵ Hal ini menandai pergeseran paradigma dari manajemen ekologis berbasis pasar menuju tata kelola ekologis berbasis solidaritas sosial.¹⁶ Prinsip ini telah menginspirasi kebijakan di beberapa negara Amerika Latin, seperti Bolivia dan Ekuador, yang mengakui hak hukum bagi alam (rights of nature) dalam konstitusi mereka.¹⁷

8.3.       Ekologi Marxis dan Transformasi Budaya

Selain dimensi ekonomi dan politik, relevansi kontemporer Ekologi Marxis juga terletak pada transformasi budaya dan kesadaran ekologis.¹⁸ Dalam masyarakat konsumtif modern, krisis lingkungan bukan hanya hasil struktur ekonomi, tetapi juga akibat fetisisme konsumsi—yakni keyakinan bahwa kebahagiaan dapat diperoleh melalui kepemilikan material tanpa batas.¹⁹ Marx telah mengantisipasi fenomena ini ketika menggambarkan bagaimana komoditas memanipulasi kesadaran manusia melalui ilusi nilai.²⁰

Oleh karena itu, Ekologi Marxis menegaskan perlunya perubahan kesadaran—dari kesadaran individualistis menuju kesadaran kolektif ekologis.²¹ Pendidikan, seni, dan media memiliki peran penting dalam membentuk eco-consciousness yang memahami keterhubungan antara kehidupan manusia dan sistem alam.²² Dalam bidang filsafat dan teologi kontemporer, pendekatan ini bahkan bersinggungan dengan etika bumi (earth ethics) dan spiritualitas ekologis yang menekankan kesakralan materi dan relasi kosmik.²³

Transformasi budaya tersebut menjadi syarat bagi transisi ekologis yang sejati.²⁴ Tanpa perubahan nilai dan imajinasi sosial, kebijakan struktural sekalipun akan gagal membangun hubungan baru antara manusia dan alam.²⁵ Dengan demikian, Ekologi Marxis relevan bukan hanya sebagai teori ekonomi-politik, tetapi juga sebagai kerangka filosofis dan kultural untuk membentuk peradaban ekologis masa depan.²⁶


Footnotes

[1]                Paul J. Crutzen and Eugene F. Stoermer, “The ‘Anthropocene,’” Global Change Newsletter 41 (2000): 17–18.

[2]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 5.

[3]                John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 212.

[4]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1 (London: Penguin Classics, 1990), 637.

[5]                Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 15.

[6]                Daniel Tanuro, Green Capitalism: Why It Can’t Work (London: Merlin Press, 2013), 77.

[7]                Foster, Marx’s Ecology, 222.

[8]                Moore, Capitalism in the Web of Life, 3–5.

[9]                Andreas Malm, Fossil Capital: The Rise of Steam Power and the Roots of Global Warming (London: Verso, 2016), 381.

[10]             Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical Alternative to Capitalist Catastrophe (Chicago: Haymarket Books, 2015), 11.

[11]             Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 12.

[12]             Naomi Klein, On Fire: The (Burning) Case for a Green New Deal (New York: Simon & Schuster, 2019), 28.

[13]             Löwy, Ecosocialism, 23.

[14]             Tanuro, Green Capitalism, 89.

[15]             Paul Burkett, Marx and Nature: A Red and Green Perspective (New York: St. Martin’s Press, 1999), 109.

[16]             John Bellamy Foster and Brett Clark, The Robbery of Nature: Capitalism and the Ecological Rift (New York: Monthly Review Press, 2020), 194.

[17]             Eduardo Gudynas, The Rights of Nature: Ethics and the Politics of the Environment (Durham, NC: Duke University Press, 2021), 42.

[18]             Foster, Marx’s Ecology, 230.

[19]             Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 (Moscow: Progress Publishers, 1961), 92.

[20]             Ibid., 94.

[21]             Löwy, Ecosocialism, 36.

[22]             Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 2017), 41.

[23]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 37.

[24]             Benton, The Greening of Marxism, 17.

[25]             Foster, The Ecological Revolution: Making Peace with the Planet (New York: Monthly Review Press, 2009), 15.

[26]             Löwy, Ecosocialism, 41.


9.           Sintesis Filosofis

9.1.       Integrasi antara Materialisme, Ekologi, dan Emansipasi

Sintesis filosofis dalam Ekologi Marxis menegaskan upaya untuk mengintegrasikan materialisme historis dengan kesadaran ekologis, sehingga hubungan antara manusia dan alam tidak lagi dipahami secara dualistik, melainkan sebagai dialektika yang saling menentukan.¹ Dalam pandangan ini, materialisme tidak sekadar berarti pengakuan atas keberadaan realitas fisik, tetapi juga pemahaman bahwa alam adalah bagian dari proses historis yang terus berkembang melalui kerja manusia.² Alam bukan objek pasif bagi aktivitas ekonomi, melainkan partner dialektis yang membentuk dan dibentuk oleh kehidupan sosial.³

Karl Marx menulis bahwa “manusia hidup dari alam, berarti bahwa alam adalah tubuh manusia… manusia harus menjaga hubungan yang terus-menerus dengan alam agar tidak mati.”⁴ Pernyataan ini menunjukkan bahwa hubungan antara manusia dan alam bersifat ontologis, bukan instrumental. Dalam konteks ini, Ekologi Marxis memperluas materialisme menjadi materialisme ekologis, di mana alam tidak lagi diposisikan sebagai latar belakang, tetapi sebagai bagian dari totalitas historis.⁵

Sintesis ini juga mencakup aspek emansipatoris, karena pembebasan manusia dari eksploitasi ekonomi tidak dapat dipisahkan dari pembebasan alam dari eksploitasi ekologis.⁶ Emansipasi sejati, menurut Marx, berarti rekonsiliasi antara manusia dan kondisi alamiahnya—sebuah Aufhebung (pengangkatan dan penyatuan) antara kebutuhan manusia dan batas-batas ekosistem.⁷ Dalam hal ini, Ekologi Marxis berupaya memulihkan kesatuan ontologis antara manusia dan dunia material melalui transformasi sosial yang adil dan berkelanjutan.⁸

9.2.       Sintesis Etika, Politik, dan Ontologi Ekologis

Sintesis filosofis juga tampak dalam usaha menghubungkan etika, politik, dan ontologi ekologis ke dalam satu kerangka yang koheren. Etika dalam Ekologi Marxis bukan etika normatif yang bersifat abstrak, melainkan etika praksis yang berakar pada kondisi material masyarakat.⁹ Prinsip etis utama bukanlah “tanggung jawab moral terhadap alam” secara idealistik, tetapi penciptaan struktur sosial yang memungkinkan hubungan manusia-alam berlangsung secara berkelanjutan dan egaliter.¹⁰

Politik ekologis yang diturunkan dari prinsip tersebut bersifat emansipatoris dan kolektif, menentang hegemoni kapitalisme yang mengorganisasi kehidupan berdasarkan kepemilikan privat dan akumulasi.¹¹ Ekologi dalam pandangan ini bukan sekadar isu lingkungan, melainkan bentuk praksis sosial untuk menciptakan tatanan dunia baru.¹² Michael Löwy menyebutnya sebagai praxis revolusioner ekologis—suatu transformasi radikal di mana rasionalitas ekonomi digantikan oleh rasionalitas ekologis dan solidaritas manusia.¹³

Dari sisi ontologis, Ekologi Marxis menawarkan reinterpretasi hubungan manusia-alam sebagai totalitas material dialektis yang tidak dapat direduksi menjadi hubungan sebab-akibat mekanistik.¹⁴ Alam tidak sekadar sistem fisik yang tunduk pada hukum ekonomi, melainkan medan dialektika historis tempat nilai, kesadaran, dan produksi sosial saling berinteraksi.¹⁵ Oleh karena itu, Etika Ekososialis menjadi kelanjutan logis dari Ontologi Marxis, dan keduanya disatukan dalam praksis politik yang berorientasi pada transformasi sosial-ekologis.¹⁶

9.3.       Menuju Paradigma Ekososialis Humanistik

Sintesis akhir dari Ekologi Marxis mengarah pada pembentukan paradigma ekososialis humanistik, yakni pandangan dunia yang menempatkan manusia dalam relasi yang setara dengan alam tanpa menghapus peran aktifnya sebagai makhluk historis.¹⁷ Paradigma ini berupaya mengatasi dua ekstrem: antroposentrisme modern yang menindas alam, dan ekosentrisme ekstrem yang meniadakan agensi manusia.¹⁸ Dalam posisi dialektisnya, manusia dipahami sebagai bagian dari alam sekaligus agen transformasi yang bertanggung jawab terhadap keseimbangan ekologis.¹⁹

Ekososialisme humanistik menegaskan bahwa pembangunan peradaban baru harus berlandaskan pada prinsip keadilan ekologis, solidaritas global, dan kebersamaan material.²⁰ Tujuan akhirnya bukan sekadar menghindari bencana lingkungan, tetapi membangun bentuk kehidupan yang lebih bermakna dan berkelanjutan—di mana kebahagiaan manusia tidak diukur dari konsumsi, tetapi dari harmoni sosial dan ekologis.²¹

Paradigma ini menuntut transformasi menyeluruh: ekonomi yang berorientasi pada kebutuhan sosial, teknologi yang berfungsi untuk keberlanjutan, politik yang demokratis secara ekologis, dan kebudayaan yang menumbuhkan kesadaran planetar.²² Dengan demikian, sintesis filosofis Ekologi Marxis berujung pada visi peradaban ekologis global, di mana humanisme dan ekologi berpadu dalam horizon praksis yang transformatif.²³


Footnotes

[1]                John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 219.

[2]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology (New York: International Publishers, 1970), 42.

[3]                Paul Burkett, Marx and Nature: A Red and Green Perspective (New York: St. Martin’s Press, 1999), 53.

[4]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 (Moscow: Progress Publishers, 1961), 75.

[5]                Foster, Marx’s Ecology, 224.

[6]                Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical Alternative to Capitalist Catastrophe (Chicago: Haymarket Books, 2015), 28.

[7]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1 (London: Penguin Classics, 1990), 637.

[8]                Foster, The Ecological Revolution: Making Peace with the Planet (New York: Monthly Review Press, 2009), 14.

[9]                Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 8.

[10]             Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 18.

[11]             Löwy, Ecosocialism, 33.

[12]             Foster, The Ecological Revolution, 22.

[13]             Löwy, Ecosocialism, 36.

[14]             Burkett, Marx and Nature, 109.

[15]             Alfred Schmidt, The Concept of Nature in Marx (London: NLB, 1971), 72.

[16]             Foster and Brett Clark, The Robbery of Nature: Capitalism and the Ecological Rift (New York: Monthly Review Press, 2020), 188.

[17]             Löwy, Ecosocialism, 40.

[18]             Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 31.

[19]             Bruno Latour, Politics of Nature: How to Bring the Sciences into Democracy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 25.

[20]             Foster, Marx’s Ecology, 228.

[21]             Löwy, Ecosocialism, 43.

[22]             Daniel Tanuro, Green Capitalism: Why It Can’t Work (London: Merlin Press, 2013), 89.

[23]             Foster, The Ecological Revolution, 28.


10.       Kesimpulan

10.1.    Rekapitulasi Gagasan Pokok

Ekologi Marxis menawarkan sintesis kritis antara teori sosial Marxian dan kesadaran ekologis kontemporer dengan menegaskan bahwa krisis lingkungan bukanlah fenomena alamiah atau moral semata, melainkan akibat langsung dari logika produksi kapitalistik yang eksploitatif.¹ Dalam kerangka ini, alam dipahami bukan sebagai objek luar yang terpisah dari manusia, tetapi sebagai bagian integral dari totalitas material yang bersifat historis dan dialektis.²

Karl Marx telah menunjukkan bahwa kapitalisme menimbulkan keretakan metabolik (metabolic rift) antara manusia dan alam melalui mekanisme produksi yang mengubah proses ekologis menjadi sirkuit akumulasi.³ John Bellamy Foster dan para pemikir ekososialis kemudian mengembangkan analisis ini menjadi teori kritis terhadap modernitas industri dan globalisasi neoliberal yang mempercepat degradasi planet.⁴ Dengan demikian, Ekologi Marxis berfungsi sebagai kerangka teoritis untuk membaca hubungan sosial-ekologis dalam konteks sejarah kapitalisme global, sekaligus sebagai paradigma alternatif menuju masyarakat yang berkelanjutan dan adil.⁵

10.2.    Implikasi Filosofis dan Praktis

Secara filosofis, Ekologi Marxis menegaskan bahwa ontologi materialis dialektis dapat menjadi landasan bagi pemikiran ekologis yang non-dualistis, di mana manusia tidak dipandang sebagai penguasa alam, melainkan sebagai bagian dari proses metabolik kehidupan.⁶ Epistemologinya berakar pada praxis, yaitu hubungan reflektif antara teori dan tindakan sosial yang berorientasi pada perubahan struktural.⁷ Aksiologinya menempatkan nilai ekologis dan sosial di atas nilai tukar kapitalistik, menegaskan pentingnya solidaritas, keberlanjutan, dan keadilan ekologis sebagai dasar etika baru.⁸

Secara praktis, Ekologi Marxis mengajukan transformasi sistemik yang meliputi demokratisasi ekonomi, dekomodifikasi sumber daya alam, serta pembentukan budaya ekologis yang menumbuhkan kesadaran planetar.⁹ Gagasan ini telah beresonansi dengan berbagai gerakan sosial kontemporer seperti degrowth movement, climate justice, dan Green New Deal yang, meskipun berbeda bentuk, sama-sama menuntut perubahan mendasar dalam sistem produksi dan konsumsi global.¹⁰ Dalam hal ini, relevansi Ekologi Marxis tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga praksis politis yang konkret dalam perjuangan melawan krisis iklim dan ketimpangan sosial.¹¹

10.3.    Arah Pengembangan Kajian Selanjutnya

Kajian Ekologi Marxis terus berkembang dan menghadapi tantangan baru dalam era Antroposen yang ditandai oleh percepatan perubahan iklim, kepunahan spesies, serta eksploitasi bioteknologi dan kecerdasan buatan.¹² Untuk menjawab tantangan ini, teori Ekologi Marxis perlu berinteraksi dengan paradigma kritis lainnya seperti ekofeminisme, post-humanisme, dan dekolonialisme ekologis, guna memperluas cakupan analisis terhadap dimensi budaya, etika, dan geopolitik dari krisis lingkungan.¹³

Lebih jauh, Ekologi Marxis harus menegaskan kembali fungsi utamanya sebagai teori emansipasi, bukan sekadar kritik.¹⁴ Ia tidak berhenti pada dekonstruksi sistem kapitalistik, tetapi mengajukan visi konstruktif tentang peradaban ekologis baru yang menyeimbangkan kebutuhan manusia dengan keberlanjutan bumi.¹⁵ Dalam visi ini, manusia diakui sebagai makhluk historis sekaligus ekologis—yang kebebasannya tidak diukur oleh kemampuannya menaklukkan alam, melainkan oleh kemampuannya hidup selaras di dalamnya.¹⁶

Dengan demikian, Ekologi Marxis menjadi bukan hanya teori tentang krisis, tetapi juga filsafat pembebasan ekologis, yang mengintegrasikan materialisme, etika, dan praksis sosial menuju transformasi dunia yang lebih adil, lestari, dan manusiawi.¹⁷


Footnotes

[1]                John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 155.

[2]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology (New York: International Publishers, 1970), 39.

[3]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1 (London: Penguin Classics, 1990), 637.

[4]                Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 5.

[5]                Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical Alternative to Capitalist Catastrophe (Chicago: Haymarket Books, 2015), 20.

[6]                Friedrich Engels, Dialectics of Nature (Moscow: Progress Publishers, 1976), 72.

[7]                Bertell Ollman, Dance of the Dialectic: Steps in Marx’s Method (Urbana: University of Illinois Press, 2003), 99.

[8]                Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 12.

[9]                Paul Burkett, Marx and Nature: A Red and Green Perspective (New York: St. Martin’s Press, 1999), 109.

[10]             Daniel Tanuro, Green Capitalism: Why It Can’t Work (London: Merlin Press, 2013), 89.

[11]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 78.

[12]             Andreas Malm, Fossil Capital: The Rise of Steam Power and the Roots of Global Warming (London: Verso, 2016), 383.

[13]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 54.

[14]             Löwy, Ecosocialism, 37.

[15]             John Bellamy Foster, The Ecological Revolution: Making Peace with the Planet (New York: Monthly Review Press, 2009), 15.

[16]             Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 (Moscow: Progress Publishers, 1961), 93.

[17]             Foster, The Ecological Revolution, 28.


Daftar Pustaka

Benton, T. (1996). The greening of Marxism. New York, NY: Guilford Press.

Boff, L. (1997). Cry of the Earth, cry of the poor. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Braidotti, R. (2013). The posthuman. Cambridge, UK: Polity Press.

Burkett, P. (1999). Marx and nature: A red and green perspective. New York, NY: St. Martin’s Press.

Crutzen, P. J., & Stoermer, E. F. (2000). The “Anthropocene.” Global Change Newsletter, 41(May), 17–18.

Engels, F. (1976). Anti-Dühring. Moscow, Russia: Progress Publishers.

Engels, F. (1976). Dialectics of nature. Moscow, Russia: Progress Publishers.

Foster, J. B. (2000). Marx’s ecology: Materialism and nature. New York, NY: Monthly Review Press.

Foster, J. B. (2009). The ecological revolution: Making peace with the planet. New York, NY: Monthly Review Press.

Foster, J. B., & Clark, B. (2020). The robbery of nature: Capitalism and the ecological rift. New York, NY: Monthly Review Press.

Fox, W. (1990). Toward a transpersonal ecology: Developing new foundations for environmentalism. Boston, MA: Shambhala.

Gorz, A. (1987). Ecology as politics. London, UK: Pluto Press.

Gramsci, A. (1971). Selections from the prison notebooks. New York, NY: International Publishers.

Gudynas, E. (2021). The rights of nature: Ethics and the politics of the environment. Durham, NC: Duke University Press.

Hornborg, A. (2001). The power of the machine: Global inequalities of economy, technology, and environment. Walnut Creek, CA: AltaMira Press.

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment. Stanford, CA: Stanford University Press.

Klein, N. (2014). This changes everything: Capitalism vs. the climate. New York, NY: Simon & Schuster.

Klein, N. (2019). On fire: The (burning) case for a Green New Deal. New York, NY: Simon & Schuster.

Latour, B. (2004). Politics of nature: How to bring the sciences into democracy. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Löwy, M. (2015). Ecosocialism: A radical alternative to capitalist catastrophe. Chicago, IL: Haymarket Books.

Lukács, G. (1971). History and class consciousness: Studies in Marxist dialectics. Cambridge, MA: MIT Press.

Malcolm, A. (2016). Fossil capital: The rise of steam power and the roots of global warming. London, UK: Verso.

Marx, K. (1961). Economic and philosophic manuscripts of 1844. Moscow, Russia: Progress Publishers.

Marx, K. (1990). Capital: A critique of political economy (Vol. 1). London, UK: Penguin Classics.

Marx, K., & Engels, F. (1970). The German ideology. New York, NY: International Publishers.

Meadows, D. H., Meadows, D. L., Randers, J., & Behrens, W. W. (1972). The limits to growth. New York, NY: Universe Books.

Merchant, C. (1980). The death of nature: Women, ecology, and the scientific revolution. San Francisco, CA: Harper & Row.

Moore, J. W. (2015). Capitalism in the web of life: Ecology and the accumulation of capital. London, UK: Verso.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle: Outline of an ecosophy. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

O’Connor, J. (1998). Natural causes: Essays in ecological Marxism. New York, NY: Guilford Press.

Ollman, B. (2003). Dance of the dialectic: Steps in Marx’s method. Urbana, IL: University of Illinois Press.

Poulantzas, N. (1978). Political power and social classes. London, UK: Verso.

Salleh, A. (2017). Ecofeminism as politics: Nature, Marx and the postmodern (2nd ed.). London, UK: Zed Books.

Schmidt, A. (1971). The concept of nature in Marx. London, UK: NLB.

Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology, and development. London, UK: Zed Books.

Tanuro, D. (2013). Green capitalism: Why it can’t work. London, UK: Merlin Press.

Warren, K. J. (2000). Ecofeminist philosophy: A Western perspective on what it is and why it matters. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar