Ekologi Marxis
Dialektika Materialisme, Kapitalisme, dan Krisis
Lingkungan
Alihkan ke: Etika Lingkungan. 
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif kerangka
filsafat Ekologi Marxis, suatu pendekatan kritis yang mengintegrasikan
teori materialisme historis Karl Marx dengan analisis ekologis kontemporer.
Kajian ini menunjukkan bahwa krisis ekologis global—seperti perubahan iklim,
deforestasi, dan degradasi tanah—tidak dapat dipahami semata sebagai akibat
dari kesalahan teknis atau perilaku individu, melainkan merupakan konsekuensi
struktural dari logika akumulasi kapitalisme. Melalui pembacaan terhadap
karya-karya Marx, Engels, serta para teoretikus ekososialis seperti John
Bellamy Foster, Paul Burkett, James O’Connor, dan Michael Löwy, artikel ini
menelusuri dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, dan politik
dari hubungan antara manusia dan alam dalam kerangka dialektika material.
Secara ontologis, Ekologi Marxis memahami alam
sebagai totalitas material dialektis yang saling berhubungan dengan
produksi sosial manusia. Secara epistemologis, ia menolak positivisme dan
menegaskan praxis sebagai sumber pengetahuan yang kritis dan historis.
Secara aksiologis, ia mengusung etika ekososialis yang berlandaskan
solidaritas, keadilan ekologis, dan emansipasi dari eksploitasi kapitalistik.
Dalam dimensi sosial-politik, Ekologi Marxis memberikan fondasi teoritis bagi
gerakan ekososialisme yang berupaya mentransformasikan struktur ekonomi
dan kebijakan publik menuju tatanan ekologis yang demokratis dan berkelanjutan.
Artikel ini juga mengulas berbagai kritik
terhadap Ekologi Marxis, baik dari ekofeminisme, deep ecology, maupun
post-humanisme, serta merefleksikan relevansinya di era Antroposen. Melalui
sintesis filosofisnya, Ekologi Marxis tidak hanya berfungsi sebagai teori
kritis terhadap kapitalisme, tetapi juga sebagai filsafat pembebasan
ekologis yang menegaskan hubungan timbal balik antara manusia dan alam
sebagai dasar bagi peradaban ekologis baru.
Kata Kunci: Ekologi
Marxis, materialisme historis, kapitalisme, metabolic rift, ekososialisme,
keadilan ekologis, Antroposen, filsafat pembebasan ekologis.
PEMBAHASAN
Ekologi Marxis bagi Teori Sosial dan Kebijakan
Lingkungan
1.          
Pendahuluan
1.1.       Latar Belakang Masalah
Krisis ekologis
global yang dihadapi umat manusia dewasa ini bukan sekadar akibat dari perilaku
individu atau kesalahan teknis dalam pengelolaan sumber daya alam, melainkan
merupakan hasil dari struktur ekonomi-politik yang menempatkan alam sebagai
objek eksploitasi tanpa batas demi akumulasi kapital. Kapitalisme, sebagai
sistem produksi dominan, mendorong pertumbuhan tanpa henti (infinite growth)
yang bertentangan dengan batas-batas ekologis bumi. Dalam kerangka ini, alam
direduksi menjadi sekadar komoditas—resources yang nilainya diukur
berdasarkan profitabilitas pasar, bukan nilai intrinsiknya sebagai sistem
kehidupan yang kompleks dan saling bergantung satu sama lain.¹
Karl Marx, meskipun
hidup pada abad ke-19, telah menunjukkan kepekaan mendalam terhadap dimensi
ekologis dari kapitalisme. Ia menggambarkan proses produksi kapitalistik
sebagai penyebab “keretakan metabolik” (metabolic rift) antara manusia dan
alam, yakni keterputusan antara proses sosial dan siklus alami yang menopang
kehidupan.² Dalam kerangka tersebut, Ekologi Marxis (Marxist Ecology)
berupaya menafsirkan ulang Marxisme bukan hanya sebagai teori tentang kelas dan
ekonomi, tetapi juga sebagai kritik terhadap hubungan destruktif antara manusia
dan lingkungan dalam konteks kapitalisme global.³
Krisis iklim,
polusi, deforestasi, serta hilangnya keanekaragaman hayati menjadi bukti
konkret dari logika kapitalisme yang menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas
keseimbangan ekologis.⁴ Dalam konteks inilah, Ekologi Marxis hadir sebagai
sintesis antara teori materialisme historis dan pemikiran ekologis modern, yang
bertujuan memahami akar struktural krisis ekologi serta menawarkan perspektif
emansipatoris terhadap hubungan manusia dan alam.⁵
1.2.      
Rumusan Masalah
Kajian ini berupaya
menjawab sejumlah pertanyaan mendasar:
1)                 
Bagaimana Marxisme menjelaskan
hubungan antara manusia dan alam dalam kerangka materialisme historis?
2)                 
Apa bentuk kritik Ekologi Marxis
terhadap logika kapitalisme yang eksploitatif terhadap lingkungan?
3)                 
Bagaimana konsep-konsep seperti metabolic
rift, alienasi ekologis, dan keadilan ekososial dapat digunakan
untuk memahami serta merespons krisis lingkungan kontemporer?
1.3.      
Tujuan dan Manfaat Kajian
Tujuan utama kajian
ini adalah untuk:
·                    
Menelaah secara kritis
konsep-konsep dasar Ekologi Marxis dalam kaitannya dengan krisis lingkungan
modern.
·                    
Mengidentifikasi kontribusi
teoretis Marxisme terhadap paradigma ekologi kritis dan keadilan sosial.
·                    
Menawarkan kerangka
konseptual yang dapat menjadi dasar bagi praksis sosial-politik menuju
transformasi ekologis.
Secara akademik,
kajian ini diharapkan memperkaya diskursus filsafat lingkungan dengan
perspektif materialis-dialektis yang menekankan keterkaitan antara struktur
sosial dan sistem ekologis. Secara praktis, ia memberikan arah bagi gerakan
sosial dan kebijakan publik yang berpihak pada keberlanjutan ekologis serta
keadilan sosial.⁶
1.4.      
Metode dan Pendekatan Kajian
Pendekatan yang
digunakan dalam kajian ini bersifat historis-dialektis dan kritis-analitis.
Pendekatan historis-dialektis digunakan untuk menelusuri bagaimana dinamika
hubungan antara manusia, alam, dan mode produksi berkembang secara historis.
Sementara itu, pendekatan kritis-analitis digunakan untuk membongkar ideologi
yang melandasi relasi eksploitatif terhadap alam, serta menunjukkan alternatif
praksis ekologis berbasis solidaritas sosial dan keberlanjutan.⁷
Analisis akan
berfokus pada teks-teks klasik Marx dan Engels, serta pemikiran para teoretikus
kontemporer seperti John Bellamy Foster, Paul Burkett, dan James O’Connor yang
memperluas horizon Marxisme ke dalam bidang ekologi.⁸ Dengan demikian, kajian
ini tidak hanya bersifat interpretatif terhadap teks, tetapi juga reflektif
terhadap realitas sosial-ekologis masa kini.
Footnotes
[1]               
John Bellamy Foster, Marx’s
Ecology: Materialism and Nature (New
York: Monthly Review Press, 2000), 17–18.
[2]               
Karl Marx, Capital: A Critique of
Political Economy, vol. 1 (London:
Penguin Classics, 1990), 637–38.
[3]               
Paul Burkett, Marx and Nature: A Red
and Green Perspective (New York: St.
Martin’s Press, 1999), 23.
[4]               
Naomi Klein, This Changes
Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 45.
[5]               
Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical
Alternative to Capitalist Catastrophe
(Chicago: Haymarket Books, 2015), 12–15.
[6]               
Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 5–6.
[7]               
Georg Lukács, History and Class
Consciousness: Studies in Marxist Dialectics (Cambridge, MA: MIT Press, 1971), 13.
[8]               
James O’Connor, Natural Causes: Essays
in Ecological Marxism (New York:
Guilford Press, 1998), 7.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis
2.1.      
Akar Pemikiran Ekologi Marxis dalam Tradisi
Marxis Klasik
Ekologi Marxis
berakar pada pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels yang menolak pandangan
dualistik antara manusia dan alam. Dalam karya Capital, Marx menjelaskan bahwa
manusia adalah “bagian dari alam” yang memediasi hubungannya dengan
dunia material melalui kerja (labour).¹ Kerja tidak hanya
bersifat sosial, tetapi juga ekologis karena ia merupakan proses metabolik (metabolic
interaction) antara manusia dan alam, di mana manusia mengubah alam
untuk memenuhi kebutuhannya, sementara alam menyediakan kondisi material bagi
kelangsungan kehidupan manusia.²
Konsep ini menjadi
dasar bagi apa yang kemudian dikenal sebagai metabolic rift atau “keretakan
metabolik,” yakni gangguan dalam siklus timbal balik antara manusia dan
alam akibat cara produksi kapitalistik yang eksploitatif.³ Kapitalisme, menurut
Marx, memisahkan manusia dari proses alamiah produksi melalui komodifikasi
tenaga kerja dan sumber daya alam, sehingga menimbulkan alienasi ekologis.⁴
Friedrich Engels dalam Dialectics of Nature menegaskan
bahwa manusia tidak dapat berdiri di luar hukum-hukum alam; setiap intervensi
terhadap alam tanpa kesadaran terhadap hukum-hukum tersebut akan menimbulkan konsekuensi
destruktif.⁵ Dengan demikian, sejak awal, Marxisme telah memuat embrio
kesadaran ekologis yang menempatkan krisis lingkungan sebagai hasil dari relasi
sosial ekonomi, bukan semata kesalahan moral atau teknis.
2.2.      
Perkembangan Lanjut dalam Tradisi Kritis
Setelah Marx dan
Engels, konsep relasi manusia-alam dikembangkan lebih lanjut oleh para pemikir
Marxis generasi berikutnya. Georg Lukács melalui History and Class Consciousness
memperluas dialektika material menjadi kesadaran historis yang mengaitkan
alienasi manusia dengan objektifikasi alam.⁶ Antonio Gramsci menyoroti dimensi
kultural dari hegemoni kapitalisme, yang tidak hanya menguasai alat produksi
tetapi juga cara manusia memahami alam dan teknologi.⁷
Memasuki abad ke-20,
tradisi Frankfurt
School—khususnya melalui Max Horkheimer dan Theodor W.
Adorno—mengkritik “rasionalitas instrumental” modern yang menjadikan
alam objek dominasi teknologis.⁸ Dalam Dialectic of Enlightenment, Adorno
dan Horkheimer memperingatkan bahwa dominasi atas alam adalah refleksi dari
dominasi atas manusia sendiri.⁹ Kritik ini membuka jalan bagi ekologi kritis
yang menolak eksploitasi ekologis sebagai bentuk alienasi yang dilembagakan.
Pada paruh akhir
abad ke-20, muncul gerakan ekososialis yang secara eksplisit menggabungkan
teori Marxis dengan pemikiran ekologis. James O’Connor memperkenalkan “kontradiksi
kedua kapitalisme,” yakni ketegangan antara akumulasi kapital dan kondisi
ekologis produksi yang menopangnya.¹⁰ John Bellamy Foster menghidupkan kembali
gagasan metabolic
rift Marx sebagai teori sentral dalam Marx’s Ecology, dengan menegaskan
bahwa krisis ekologi adalah ekspresi konkret dari kontradiksi internal
kapitalisme.¹¹ Paul Burkett, dalam karyanya Marx and Nature, menolak anggapan
bahwa Marxisme bersifat antroposentris, dan justru menegaskan bahwa Marxisme
menawarkan kerangka non-dualistis yang memahami alam sebagai bagian integral
dari dinamika sosial-historis.¹²
2.3.      
Konteks Sosio-Historis Munculnya Ekologi Marxis
Ekologi Marxis lahir
dari kesadaran historis bahwa kerusakan lingkungan tidak dapat dipisahkan dari
struktur kapitalisme global. Industrialisasi sejak abad ke-18 menciptakan
keterputusan antara produksi manusia dan regenerasi ekologis.¹³ Urbanisasi dan
pertanian industri mempercepat pemisahan manusia dari tanah, menciptakan sistem
produksi yang menguras sumber daya tanpa memperhitungkan kapasitas alam untuk
memulihkannya.¹⁴
Kondisi ini
memperparah ketimpangan global antara negara industri dan negara berkembang.
Sumber daya alam dari wilayah Selatan diekstraksi untuk menopang konsumsi dan
pertumbuhan ekonomi di wilayah Utara, menciptakan “imperialisme ekologis.”¹⁵
Dalam konteks ini, ekologi Marxis tidak hanya membahas relasi manusia-alam
dalam skala lokal, tetapi juga menyoroti dimensi geopolitik dan ekonomi dunia
dari krisis ekologis.
Selain itu,
munculnya gerakan lingkungan di dekade 1960–1970-an, seperti Earth
Day dan laporan Limits to Growth (1972), membuka
ruang bagi reinterpretasi pemikiran Marx dalam kerangka ekologis.¹⁶ Para teoretikus
ekososialis kemudian melihat perlunya menghubungkan perjuangan kelas dengan
perjuangan lingkungan—bahwa pembebasan manusia dari eksploitasi ekonomi harus
bersamaan dengan pembebasan alam dari eksploitasi ekologis.¹⁷
Dengan demikian,
Ekologi Marxis merupakan hasil evolusi panjang yang berakar pada materialisme
historis klasik, dikembangkan oleh tradisi kritis, dan dimatangkan oleh
kesadaran ekososialis kontemporer yang menekankan keadilan sosial dan ekologis
secara bersamaan.
Footnotes
[1]               
Karl Marx, Capital: A Critique of
Political Economy, vol. 1 (London:
Penguin Classics, 1990), 133.
[2]               
Ibid., 283–84.
[3]               
John Bellamy Foster, Marx’s
Ecology: Materialism and Nature (New
York: Monthly Review Press, 2000), 155.
[4]               
Ibid., 163.
[5]               
Friedrich Engels, Dialectics of Nature (Moscow: Progress Publishers, 1976), 180.
[6]               
Georg Lukács, History and Class
Consciousness: Studies in Marxist Dialectics (Cambridge, MA: MIT Press, 1971), 89–90.
[7]               
Antonio Gramsci, Selections from the
Prison Notebooks (New York:
International Publishers, 1971), 377.
[8]               
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment (Stanford, CA: Stanford University Press, 2002), 68.
[9]               
Ibid., 95.
[10]            
James O’Connor, Natural Causes: Essays
in Ecological Marxism (New York:
Guilford Press, 1998), 164.
[11]            
Foster, Marx’s Ecology, 211.
[12]            
Paul Burkett, Marx and Nature: A Red
and Green Perspective (New York: St.
Martin’s Press, 1999), 45.
[13]            
Jason W. Moore, Capitalism in the Web
of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 22.
[14]            
Ibid., 31–33.
[15]            
Alf Hornborg, The Power of the
Machine: Global Inequalities of Economy, Technology, and Environment (Walnut Creek, CA: AltaMira Press, 2001), 54.
[16]            
Donella Meadows et al., The
Limits to Growth (New York: Universe
Books, 1972), 8.
[17]            
Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical
Alternative to Capitalist Catastrophe
(Chicago: Haymarket Books, 2015), 19.
3.          
Ontologi:
Alam sebagai Totalitas Material Dialektis
3.1.      
Konsep Materialisme Dialektis terhadap Alam
Dalam kerangka
Ekologi Marxis, ontologi alam berpijak pada prinsip materialisme
dialektis, yaitu pandangan bahwa realitas bersifat material,
historis, dan senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditentukan oleh
kontradiksi internalnya sendiri.¹ Bagi Marx dan Engels, alam bukanlah sesuatu
yang statis atau eksternal terhadap manusia, melainkan bagian dari totalitas
material yang saling terkait dan bergerak secara dialektis.² Dengan kata lain,
alam tidak dapat dipahami sebagai “latar belakang” pasif bagi tindakan
manusia, tetapi sebagai proses dinamis yang menjadi kondisi sekaligus hasil
dari kegiatan manusia.³
Dalam Dialectics
of Nature, Engels menegaskan bahwa hukum-hukum
dialektika—transformasi kuantitas menjadi kualitas, negasi dari negasi, serta
kesatuan dan perjuangan dari hal-hal yang berlawanan—berlaku pula di alam.⁴
Pandangan ini menolak dualisme Cartesian yang memisahkan manusia sebagai subjek
dan alam sebagai objek, serta menggantikannya dengan paradigma relasional di
mana manusia adalah bagian integral dari jaringan kehidupan material.⁵ Oleh
karena itu, materialisme dialektis menolak pandangan mekanistik yang melihat
alam sebagai sistem tertutup, melainkan menegaskan bahwa alam merupakan proses
terbuka yang senantiasa bertransformasi melalui kontradiksi internalnya.⁶
Dalam konteks
ekologis, hal ini berarti bahwa krisis lingkungan bukan sekadar akibat
eksternal dari aktivitas manusia, tetapi hasil dari distorsi dalam hubungan
dialektis antara sistem sosial (khususnya kapitalisme) dan sistem alam.
Kapitalisme, dengan logika akumulasi tanpa batasnya, mengubah relasi metabolik
antara manusia dan alam menjadi proses eksploitatif yang merusak totalitas
ekologis.⁷
3.2.      
Manusia sebagai Makhluk Alamiah dan Sosial
Ontologi Marx
menempatkan manusia sebagai makhluk yang sekali gus alamiah dan sosial (species-being).⁸
Dalam Manuscripts
of 1844, Marx menyatakan bahwa manusia menegaskan dirinya sebagai
makhluk alamiah justru melalui kerja, karena melalui proses kerja manusia
menyesuaikan alam dengan kebutuhan hidupnya dan sekaligus mengubah dirinya
sendiri.⁹ Kerja, dengan demikian, adalah bentuk praksis di mana hubungan
dialektis antara manusia dan alam diwujudkan.
Namun, di bawah
kapitalisme, kerja kehilangan karakter alamiahnya dan berubah menjadi kegiatan
yang teralienasi.¹⁰ Manusia tidak lagi berhubungan dengan alam sebagai bagian
dari dirinya, melainkan sebagai objek produksi yang harus dikuasai dan
dikomodifikasi.¹¹ Alienasi ini bukan hanya bersifat sosial, melainkan juga
ekologis—karena keterputusan antara manusia dan alam berarti hilangnya
kesadaran akan totalitas material yang menopang kehidupan.¹²
Dengan demikian,
dalam perspektif Ekologi Marxis, hubungan manusia dengan alam bukan hubungan
hierarkis, tetapi hubungan ko-evolusioner yang saling membentuk.¹³ Manusia
bukan penguasa alam, tetapi bagian dari sistem metabolik yang kompleks, di mana
kehidupan sosial dan ekologis saling bergantung.¹⁴
3.3.      
Alienasi Ekologis dalam Kapitalisme
Konsep alienasi
ekologis (ecological alienation) menjadi
pusat dari ontologi kritis Ekologi Marxis. Dalam kapitalisme, alam diperlakukan
sebagai sumber daya tanpa batas, dan hubungan manusia dengan lingkungan
direduksi menjadi hubungan komoditas.¹⁵ Marx menyebut fenomena ini sebagai “fetisisme
komoditas” (commodity fetishism), di mana
hubungan sosial dan ekologis tersembunyi di balik nilai tukar.¹⁶ Akibatnya,
proses produksi kapitalistik menimbulkan metabolic rift—keretakan dalam
siklus alamiah antara manusia dan bumi.¹⁷
Sebagai contoh,
sistem pertanian industri modern mencerminkan keretakan ini: tanah
dieksploitasi tanpa regenerasi alami, sementara hasil panen dikirim ke
pusat-pusat industri yang jauh, memutuskan sirkulasi nutrien antara kota dan
desa.¹⁸ Dalam jangka panjang, hal ini menyebabkan degradasi ekologis, penipisan
tanah, dan ketidakseimbangan metabolik dalam biosfer.¹⁹
Alienasi ekologis bukan
hanya soal perusakan lingkungan fisik, tetapi juga krisis kesadaran manusia
terhadap posisinya dalam totalitas alam.²⁰ Manusia modern, yang hidup dalam
masyarakat konsumtif dan terindustrialisasi, kehilangan pandangan akan
keterhubungan organiknya dengan alam.²¹ Dengan demikian, penyembuhan krisis
ekologis menuntut bukan hanya reformasi teknologi atau kebijakan lingkungan,
tetapi juga rekonstruksi ontologis: pemulihan kesadaran manusia sebagai bagian
dari totalitas material dialektis.²²
Footnotes
[1]               
Karl Marx and Friedrich Engels, The
German Ideology (New York:
International Publishers, 1970), 43.
[2]               
Friedrich Engels, Dialectics of Nature (Moscow: Progress Publishers, 1976), 25.
[3]               
John Bellamy Foster, Marx’s
Ecology: Materialism and Nature (New
York: Monthly Review Press, 2000), 33.
[4]               
Engels, Dialectics of Nature, 65–67.
[5]               
Jason W. Moore, Capitalism in the Web
of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 42.
[6]               
Bertell Ollman, Dance of the Dialectic:
Steps in Marx’s Method (Urbana:
University of Illinois Press, 2003), 78.
[7]               
Paul Burkett, Marx and Nature: A Red
and Green Perspective (New York: St.
Martin’s Press, 1999), 97.
[8]               
Karl Marx, Economic and
Philosophic Manuscripts of 1844
(Moscow: Progress Publishers, 1961), 75.
[9]               
Ibid., 77.
[10]            
Ibid., 93.
[11]            
Karl Marx, Capital: A Critique of
Political Economy, vol. 1 (London:
Penguin Classics, 1990), 637.
[12]            
Foster, Marx’s Ecology, 163.
[13]            
Alfred Schmidt, The Concept of Nature
in Marx (London: NLB, 1971), 12.
[14]            
Moore, Capitalism in the Web
of Life, 59.
[15]            
James O’Connor, Natural Causes: Essays
in Ecological Marxism (New York:
Guilford Press, 1998), 12.
[16]            
Marx, Capital, 165.
[17]            
Foster, Marx’s Ecology, 155.
[18]            
Ibid., 173.
[19]            
Jason W. Moore, Ecology and the
Accumulation of Capital (London:
Verso, 2015), 66.
[20]            
Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical
Alternative to Capitalist Catastrophe
(Chicago: Haymarket Books, 2015), 28.
[21]            
Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 9.
[22]            
Foster, Marx’s Ecology, 211.
4.          
Epistemologi:
Pengetahuan Kritis dan Ekologi Historis
4.1.      
Epistemologi Dialektis Marxian
Epistemologi dalam
Ekologi Marxis berakar pada prinsip materialisme historis-dialektis,
yang menolak dikotomi antara subjek dan objek pengetahuan.¹ Bagi Marx,
pengetahuan tidak lahir dari kontemplasi pasif terhadap dunia, melainkan dari praxis—yakni
aktivitas manusia yang konkret dan historis dalam mengubah alam sekaligus
dirinya sendiri.² Pengetahuan bukan refleksi statis atas realitas, melainkan
hasil dari interaksi dinamis antara manusia dan dunia material dalam proses produksi
sosial.³
Dalam konteks ini,
epistemologi Marxian menentang dua arus besar dalam filsafat modern: idealisme,
yang memisahkan kesadaran dari materialitas, dan positivisme, yang menganggap
pengetahuan sebagai kumpulan fakta empiris yang netral.⁴ Marx mengusulkan suatu
cara berpikir dialektis yang memahami realitas sebagai proses yang sarat
kontradiksi dan perubahan. Oleh karena itu, kebenaran bukanlah korespondensi
statis antara pikiran dan dunia, tetapi hasil dari praktik historis yang terus
berkembang.⁵
Engels menegaskan
bahwa “dialektika alam” harus dipahami sebagai gerak internal dari
materi itu sendiri, bukan sebagai hasil proyeksi kesadaran manusia.⁶ Ini
berarti bahwa epistemologi Marxis memiliki basis ontologis yang
kuat—pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui pemahaman terhadap proses
material dan historis dari realitas itu sendiri. Dalam konteks ekologi, hal ini
menuntut kita untuk tidak melihat alam sebagai “obyek penelitian netral,”
melainkan sebagai sistem material yang terjalin dalam totalitas sosial.⁷
4.2.      
Konsep “Metabolic Rift” sebagai
Instrumen Analisis Epistemik
Salah satu
kontribusi paling penting dari Ekologi Marxis terhadap epistemologi adalah
konsep “metabolic
rift” atau “keretakan metabolik.” Istilah ini digunakan
John Bellamy Foster untuk menjelaskan bagaimana Marx memahami terganggunya
hubungan metabolik antara manusia dan alam akibat logika produksi
kapitalistik.⁸ Secara epistemologis, konsep ini berfungsi sebagai lensa kritis
untuk membaca realitas ekologis bukan semata-mata sebagai fenomena biofisik,
tetapi sebagai produk dari kontradiksi sosial-ekonomi.⁹
Dengan menggunakan
kerangka metabolic
rift, epistemologi Ekologi Marxis menolak reduksionisme ilmiah yang
memisahkan lingkungan dari struktur sosial.¹⁰ Ia menegaskan bahwa krisis
ekologis harus dipahami sebagai gejala dari “logika akumulasi kapital,”
bukan sekadar akibat dari “kesalahan teknologi.”¹¹ Pengetahuan ekologis
sejati, dengan demikian, adalah pengetahuan yang menyadari keterkaitannya
dengan sistem sosial dan produksi yang melahirkannya.¹²
James O’Connor,
dalam teori “kontradiksi kedua kapitalisme,” mengembangkan dimensi
epistemik ini dengan menyoroti bagaimana sistem kapitalis secara internal
menciptakan krisis ekologis yang kemudian ia coba atasi melalui mekanisme pasar
dan inovasi teknologi—yang justru memperparah kontradiksi tersebut.¹³ Maka,
epistemologi ekologis Marxis bukan hanya menjelaskan apa yang
terjadi pada alam, tetapi juga mengapa dan bagaimana
struktur sosial memproduksinya.¹⁴
4.3.      
Peran Kesadaran Ekologis Kelas Pekerja
Dalam perspektif
Marxian, epistemologi tidak dapat dipisahkan dari kesadaran
kelas. Pengetahuan sejati hanya dapat muncul melalui pengalaman
praksis kolektif yang mengungkap relasi kekuasaan dalam masyarakat.¹⁵ Dalam
konteks ekologi, hal ini berarti bahwa kesadaran ekologis sejati bukan sekadar
kesadaran moral tentang “menjaga lingkungan,” tetapi kesadaran historis
tentang bagaimana kapitalisme menciptakan kondisi material dari krisis ekologis
itu sendiri.¹⁶
Kesadaran ekologis
kelas pekerja (eco-class consciousness) menandai
tahap epistemologis baru, di mana perjuangan melawan eksploitasi ekonomi
bersatu dengan perjuangan melawan perusakan lingkungan.¹⁷ Dalam kerangka ini,
pengetahuan ekologis tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga politis—ia
lahir dari pengalaman nyata dalam produksi, kerja, dan perjuangan sosial.¹⁸
Antonio Gramsci
menegaskan bahwa setiap kelas sosial menciptakan “pandangan dunia” (worldview)
yang khas; dalam hal ini, Ekologi Marxis mengusulkan worldview
ekologis yang berakar pada materialisme historis dan emansipasi sosial.¹⁹
Dengan demikian, epistemologi Ekologi Marxis menuntut transformasi bukan hanya
pada tataran konsep, tetapi juga dalam struktur kesadaran kolektif manusia.²⁰
Footnotes
[1]               
Karl Marx and Friedrich Engels, The
German Ideology (New York:
International Publishers, 1970), 39.
[2]               
Karl Marx, Theses on Feuerbach, in The
Marx-Engels Reader, ed. Robert C.
Tucker (New York: Norton, 1978), 145.
[3]               
Bertell Ollman, Dance of the Dialectic:
Steps in Marx’s Method (Urbana:
University of Illinois Press, 2003), 97.
[4]               
Georg Lukács, History and Class
Consciousness: Studies in Marxist Dialectics (Cambridge, MA: MIT Press, 1971), 10–11.
[5]               
Ibid., 14.
[6]               
Friedrich Engels, Dialectics of Nature (Moscow: Progress Publishers, 1976), 72.
[7]               
John Bellamy Foster, Marx’s
Ecology: Materialism and Nature (New
York: Monthly Review Press, 2000), 83.
[8]               
Ibid., 155.
[9]               
Paul Burkett, Marx and Nature: A Red
and Green Perspective (New York: St.
Martin’s Press, 1999), 51.
[10]            
Jason W. Moore, Capitalism in the Web
of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 22.
[11]            
Naomi Klein, This Changes
Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 68.
[12]            
Foster, Marx’s Ecology, 162.
[13]            
James O’Connor, Natural Causes: Essays
in Ecological Marxism (New York:
Guilford Press, 1998), 160.
[14]            
Foster, Marx’s Ecology, 211.
[15]            
Marx and Engels, The German Ideology, 61.
[16]            
Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical
Alternative to Capitalist Catastrophe
(Chicago: Haymarket Books, 2015), 29.
[17]            
Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 12.
[18]            
Lukács, History and Class
Consciousness, 89.
[19]            
Antonio Gramsci, Selections from the
Prison Notebooks (New York:
International Publishers, 1971), 323.
[20]            
Löwy, Ecosocialism, 35.
5.          
Aksiologi
dan Etika Ekososialis
5.1.      
Nilai dan Tujuan dalam Ekologi Marxis
Aksiologi dalam
Ekologi Marxis berangkat dari keyakinan bahwa nilai moral dan sosial tidak
berdiri di atas struktur material yang netral, melainkan tertanam dalam relasi
produksi dan sistem ekonomi-politik yang membentuk kehidupan manusia.¹ Dalam
konteks kapitalisme, nilai-nilai yang dominan—efisiensi, pertumbuhan tanpa
batas, dan akumulasi—telah menyingkirkan nilai-nilai ekologis dan sosial
seperti keberlanjutan, solidaritas, dan keadilan.² Oleh karena itu, Ekologi
Marxis berupaya merumuskan kembali fondasi etis masyarakat dengan menempatkan keadilan
ekologis (ecological justice) sebagai inti
dari transformasi sosial.³
Bagi Marx, nilai
sejati bukanlah abstraksi moral individual, tetapi hasil dari relasi sosial
konkret.⁴ Dalam masyarakat kapitalistik, relasi ini menjadi terdistorsi karena
nilai ditentukan oleh logika komoditas dan nilai tukar (exchange
value), bukan oleh nilai guna (use value).⁵ Akibatnya, alam
kehilangan nilai intrinsiknya dan hanya dianggap penting sejauh dapat
dikomodifikasi. Ekologi Marxis mengusulkan reorientasi nilai: dari dominasi
ekonomi menuju emansipasi ekologis dan sosial.⁶ Nilai tertinggi bukan lagi
keuntungan (profit), melainkan keseimbangan
antara kebutuhan manusia dan batas-batas ekologis bumi.⁷
Dengan demikian,
etika Ekososialis berpijak pada prinsip materialisme historis yang menegaskan
bahwa moralitas sejati tidak mungkin muncul dari sistem yang menindas manusia
dan alam.⁸ Etika harus dibangun di atas relasi sosial yang adil dan
ekologis—yakni suatu masyarakat di mana proses produksi tidak menghancurkan
fondasi material dari keberlanjutan kehidupan.⁹
5.2.      
Etika Produksi dan Konsumsi
Dalam perspektif
Ekologi Marxis, etika tidak dapat dilepaskan dari praktik produksi dan
konsumsi.¹⁰ Sistem kapitalistik menciptakan etika instrumental yang
menjustifikasi eksploitasi alam dan tenaga kerja atas nama efisiensi dan
pertumbuhan ekonomi.¹¹ Marx menulis bahwa dalam kapitalisme, produksi bukan
untuk pemenuhan kebutuhan manusia, melainkan demi akumulasi kapital tanpa
batas.¹² Hal ini menyebabkan apa yang disebut Foster sebagai “rasionalitas
ekologis terbalik” (inverted ecological rationality):
semakin besar produktivitas, semakin besar pula kerusakan ekologis yang
ditimbulkannya.¹³
Etika Ekososialis
menolak logika ini dan menuntut bentuk produksi yang berkelanjutan,
egaliter, dan demokratis secara ekologis.¹⁴ Produksi harus
diarahkan bukan untuk akumulasi kapital, melainkan untuk reproduksi sosial dan
ekologis yang sehat.¹⁵ Konsumsi pun harus diubah dari orientasi individualistis
dan kompetitif menuju bentuk konsumsi sadar (conscious consumption) yang
mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis dari setiap tindakan ekonomi.¹⁶
Etika ini tidak
menolak teknologi, tetapi menuntut demokratisasi dalam pengembangan dan
penerapannya. Teknologi harus dikendalikan secara sosial, bukan
dikomersialisasikan untuk kepentingan korporasi global.¹⁷ Dengan demikian,
etika Ekososialis menegaskan bahwa perubahan moral tidak dapat dipisahkan dari
perubahan struktural dalam cara manusia memproduksi dan mengonsumsi.¹⁸
5.3.      
Ekologi dan Solidaritas Global
Dimensi aksiologis
Ekologi Marxis bersifat universal dan transnasional. Ia menegaskan bahwa krisis
ekologis tidak mengenal batas negara, sehingga etika yang dikembangkan harus
bersifat global dan berbasis solidaritas.¹⁹ Solidaritas ekologis berarti
pengakuan bahwa penderitaan ekologis di satu wilayah adalah konsekuensi dari
pola produksi dan konsumsi di wilayah lain.²⁰ Dalam kerangka ini, gerakan
ekososialis menyerukan keadilan iklim (climate
justice) sebagai bentuk konkret dari solidaritas global.²¹
Michael Löwy
menegaskan bahwa solidaritas ekologis harus melampaui humanisme sempit dan
mencakup penghargaan terhadap seluruh bentuk kehidupan.²² Ini berarti menolak
antroposentrisme modern dan mengakui bahwa pembebasan manusia tidak dapat
dipisahkan dari pembebasan alam dari dominasi kapital.²³ Dengan demikian, etika
Ekososialis adalah etika koeksistensi—suatu tatanan moral
yang mengakui kesalingtergantungan antara manusia dan alam dalam jaringan
kehidupan planet ini.²⁴
Prinsip solidaritas
ekologis juga memiliki dimensi politik: ia menuntut pembentukan struktur
internasional yang adil dalam pembagian sumber daya, teknologi, dan tanggung
jawab ekologis.²⁵ Etika Ekososialis menolak green capitalism yang hanya
melapisi eksploitasi lama dengan retorika keberlanjutan, dan sebaliknya
mendorong kolektivitas ekologis yang berbasis pada kontrol demokratis atas
sumber daya bersama (commons).²⁶
Footnotes
[1]               
Karl Marx and Friedrich Engels, The
German Ideology (New York:
International Publishers, 1970), 42.
[2]               
Naomi Klein, This Changes
Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 59.
[3]               
John Bellamy Foster, Marx’s
Ecology: Materialism and Nature (New
York: Monthly Review Press, 2000), 221.
[4]               
Marx, Economic and
Philosophic Manuscripts of 1844
(Moscow: Progress Publishers, 1961), 95.
[5]               
Karl Marx, Capital: A Critique of
Political Economy, vol. 1 (London:
Penguin Classics, 1990), 163.
[6]               
Paul Burkett, Marx and Nature: A Red
and Green Perspective (New York: St.
Martin’s Press, 1999), 82.
[7]               
Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical
Alternative to Capitalist Catastrophe
(Chicago: Haymarket Books, 2015), 18.
[8]               
Friedrich Engels, Anti-Dühring (Moscow: Progress Publishers, 1976), 112.
[9]               
Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 11.
[10]            
Foster, Marx’s Ecology, 155.
[11]            
Jason W. Moore, Capitalism in the Web
of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 38.
[12]            
Marx, Capital, 742.
[13]            
Foster, Marx’s Ecology, 177.
[14]            
James O’Connor, Natural Causes: Essays
in Ecological Marxism (New York:
Guilford Press, 1998), 161.
[15]            
Burkett, Marx and Nature, 106.
[16]            
Löwy, Ecosocialism, 25.
[17]            
Alf Hornborg, The Power of the
Machine: Global Inequalities of Economy, Technology, and Environment (Walnut Creek, CA: AltaMira Press, 2001), 59.
[18]            
Foster, Marx’s Ecology, 212.
[19]            
Löwy, Ecosocialism, 33.
[20]            
Klein, This Changes Everything, 95.
[21]            
Andreas Malm, Fossil Capital: The
Rise of Steam Power and the Roots of Global Warming (London: Verso, 2016), 376.
[22]            
Löwy, Ecosocialism, 41.
[23]            
Burkett, Marx and Nature, 128.
[24]            
Foster, Marx’s Ecology, 220.
[25]            
O’Connor, Natural Causes, 165.
[26]            
Moore, Capitalism in the Web
of Life, 72.
6.          
Dimensi
Sosial dan Politik Ekologi Marxis
6.1.      
Ekonomi Politik Lingkungan
Dalam kerangka
Ekologi Marxis, dimensi sosial dan politik krisis ekologis tidak dapat dipahami
terpisah dari struktur ekonomi politik kapitalisme global.¹
Kapitalisme tidak hanya menciptakan relasi produksi yang eksploitatif terhadap
tenaga kerja, tetapi juga terhadap alam sebagai basis material kehidupan.² Marx
menegaskan bahwa dalam sistem ini, “produksi demi produksi” menggantikan
prinsip “produksi demi kehidupan,” sehingga nilai alam direduksi menjadi
instrumen bagi akumulasi kapital.³
John Bellamy Foster
menggambarkan bahwa bentuk eksploitasi ini melahirkan “krisis metabolik”
antara masyarakat dan lingkungan, di mana sistem ekonomi tidak lagi beroperasi
dalam siklus ekologis yang seimbang, melainkan dalam sirkuit akumulasi yang tak
berujung.⁴ Dalam konteks modern, logika ini termanifestasi dalam
industrialisasi berlebihan, urbanisasi masif, dan perdagangan global yang
memindahkan beban ekologis dari negara industri ke negara berkembang.⁵
Fenomena tersebut
mempertegas munculnya apa yang disebut Alf Hornborg sebagai “imperialisme
ekologis”, yakni dominasi negara-negara kapitalis atas sumber
daya dan ekosistem di wilayah dunia Selatan melalui mekanisme ekonomi,
teknologi, dan perdagangan.⁶ Dengan demikian, dimensi sosial dan politik
Ekologi Marxis tidak hanya menyangkut hubungan manusia dengan alam, tetapi juga
relasi kekuasaan antar-manusia yang menentukan bagaimana alam dimanfaatkan dan
dimaknai.⁷
6.2.      
Ekososialisme dan Perjuangan Politik
Sebagai respons
terhadap kontradiksi antara kapitalisme dan keberlanjutan ekologis, lahirlah
gagasan ekososialisme sebagai bentuk
praksis politik dari Ekologi Marxis.⁸ Michael Löwy mendefinisikan ekososialisme
sebagai proyek transformasi sosial yang mengintegrasikan perjuangan kelas
dengan perjuangan ekologis, dengan tujuan membangun masyarakat yang demokratis,
egaliter, dan berkelanjutan.⁹
Ekososialisme
menolak pendekatan reformis hijau (green
reformism) yang hanya memperhalus wajah kapitalisme melalui
kebijakan teknokratis seperti pajak karbon atau “pasar hijau.”¹⁰ Bagi para
teoretikus ekososialis, upaya tersebut tidak menyentuh akar persoalan: logika
akumulasi yang menjadi fondasi sistem kapitalisme itu sendiri.¹¹ Karena itu,
perjuangan ekologis harus diartikulasikan sebagai perjuangan politis yang
menuntut perubahan struktur kepemilikan, sistem produksi, dan distribusi sumber
daya.¹²
Dalam tataran
politik praktis, ekososialisme mengusulkan model transisi yang mencakup
demokratisasi ekonomi, dekomodifikasi energi dan tanah, serta perencanaan
sosial yang berorientasi pada kebutuhan kolektif, bukan keuntungan
korporatif.¹³ John Bellamy Foster menyebut pendekatan ini sebagai “ecological
revolution”, yaitu perubahan radikal dalam relasi produksi dan
kesadaran ekologis yang hanya mungkin melalui keterlibatan aktif kelas pekerja
dan komunitas rakyat.¹⁴ Dengan demikian, politik ekologis bukan sekadar
reformasi kebijakan lingkungan, melainkan perjuangan menuju tatanan sosial baru
yang membebaskan manusia dan alam dari eksploitasi struktural.¹⁵
6.3.      
Peran Negara dan Gerakan Sosial
Dalam analisis
politik Ekologi Marxis, negara kapitalis dipandang
bukan sebagai entitas netral, tetapi sebagai instrumen yang mempertahankan
kepentingan kelas dominan.¹⁶ James O’Connor menegaskan bahwa negara modern
berfungsi untuk mengelola “kontradiksi kedua kapitalisme,” yakni
ketegangan antara kebutuhan akan akumulasi kapital dan pemeliharaan kondisi
ekologis yang menopang produksi.¹⁷ Negara sering kali merespons krisis ekologis
bukan dengan membatasi kapitalisme, tetapi dengan mengatur ulang mekanisme
eksploitasi melalui kebijakan yang tampak “hijau.”¹⁸
Sebagai antitesis
terhadap politik negara kapitalistik, gerakan sosial ekologis berperan penting
dalam membangun kesadaran politik baru. Gerakan ini melampaui agenda
konservasionis dan reformis, menuju gerakan ekososialis yang menghubungkan
perjuangan lingkungan dengan perjuangan kelas, feminisme, dan keadilan
rasial.¹⁹
Contoh konkret dapat
ditemukan dalam gerakan “Just Transition” di Amerika Latin, Eropa, dan
Asia, yang berupaya mengubah sistem energi dan produksi menuju model demokratis
dan berkelanjutan.²⁰ Gerakan ini menolak privatisasi sumber daya publik dan
menegaskan bahwa transformasi ekologis harus diiringi dengan redistribusi
kekuasaan ekonomi dan politik.²¹
Ekologi Marxis
menekankan pentingnya praxis kolektif—yakni tindakan
sosial yang sadar dan terorganisir—sebagai kekuatan penggerak perubahan
historis.²² Dengan demikian, dimensi sosial dan politik dari Ekologi Marxis
bukan sekadar analisis tentang krisis lingkungan, tetapi proyek emansipatoris
yang menempatkan transformasi ekologis sebagai bagian integral dari perjuangan
pembebasan manusia secara total.²³
Footnotes
[1]               
Karl Marx, Capital: A Critique of
Political Economy, vol. 1 (London:
Penguin Classics, 1990), 742.
[2]               
John Bellamy Foster, Marx’s
Ecology: Materialism and Nature (New
York: Monthly Review Press, 2000), 144.
[3]               
Karl Marx, Economic and
Philosophic Manuscripts of 1844
(Moscow: Progress Publishers, 1961), 93.
[4]               
Foster, Marx’s Ecology, 155.
[5]               
Jason W. Moore, Capitalism in the Web
of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 38.
[6]               
Alf Hornborg, The Power of the
Machine: Global Inequalities of Economy, Technology, and Environment (Walnut Creek, CA: AltaMira Press, 2001), 57.
[7]               
Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 10.
[8]               
Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical
Alternative to Capitalist Catastrophe
(Chicago: Haymarket Books, 2015), 15.
[9]               
Ibid., 17.
[10]            
Naomi Klein, This Changes
Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 78.
[11]            
Paul Burkett, Marx and Nature: A Red
and Green Perspective (New York: St.
Martin’s Press, 1999), 121.
[12]            
Foster, Marx’s Ecology, 223.
[13]            
Löwy, Ecosocialism, 27.
[14]            
John Bellamy Foster, The
Ecological Revolution: Making Peace with the Planet (New York: Monthly Review Press, 2009), 10–11.
[15]            
James O’Connor, Natural Causes: Essays
in Ecological Marxism (New York:
Guilford Press, 1998), 162.
[16]            
Nicos Poulantzas, Political Power and
Social Classes (London: Verso,
1978), 133.
[17]            
O’Connor, Natural Causes, 158.
[18]            
Moore, Capitalism in the Web
of Life, 62.
[19]            
Löwy, Ecosocialism, 34.
[20]            
Daniel Tanuro, Green Capitalism: Why
It Can’t Work (London: Merlin Press,
2013), 91.
[21]            
Klein, This Changes Everything, 102.
[22]            
Georg Lukács, History and Class
Consciousness: Studies in Marxist Dialectics (Cambridge, MA: MIT Press, 1971), 85.
[23]            
Foster, The Ecological
Revolution, 19.
7.          
Kritik
terhadap Ekologi Marxis
7.1.      
Kritik dari Perspektif Ekofeminisme
Salah satu kritik
utama terhadap Ekologi Marxis datang dari ekofeminisme, yang menilai
bahwa pendekatan Marxis terlalu berfokus pada struktur ekonomi dan mengabaikan
dimensi gender dalam relasi manusia-alam.¹ Ekofeminis seperti Carolyn Merchant
dan Vandana Shiva berpendapat bahwa krisis ekologis tidak hanya disebabkan oleh
kapitalisme, tetapi juga oleh paradigma patriarkal yang melihat alam dan
perempuan sebagai objek dominasi.² Mereka menilai bahwa meskipun Marx
membongkar hubungan eksploitasi antara manusia dan alam melalui kerja, ia gagal
melihat bagaimana relasi patriarki turut menstrukturkan cara manusia memahami
dan mengeksploitasi alam.³
Dalam hal ini,
Ekologi Marxis dianggap cenderung reduksionistik karena mengartikan semua
bentuk penindasan ekologis sebagai turunan dari basis ekonomi.⁴ Padahal, bagi
ekofeminis, dominasi terhadap alam juga bersumber dari struktur simbolik dan
budaya yang menempatkan nilai “maskulin” (rasionalitas, kontrol,
kekuasaan) di atas nilai “feminin” (kerjasama, pemeliharaan,
kesalingtergantungan).⁵ Dengan demikian, kritik ekofeminis menuntut agar
Ekologi Marxis memperluas analisisnya dengan memasukkan dimensi etika perawatan
(ethics
of care) dan epistemologi relasional yang menghargai keterhubungan
antara manusia, alam, dan gender.⁶
7.2.      
Kritik dari Perspektif Deep Ecology dan
Post-Humanisme
Kritik kedua datang
dari gerakan
Deep Ecology dan post-humanisme, yang menilai
bahwa Marxisme tetap bersifat antroposentris, meskipun dalam
bentuk yang lebih halus.⁷ Menurut Arne Naess, pendiri Deep Ecology, Marx masih
menempatkan manusia sebagai pusat nilai moral dan menganggap alam bernilai
sejauh berperan dalam proses produksi manusia.⁸ Bagi para pemikir Deep Ecology,
pandangan ini tidak cukup radikal karena tetap mempertahankan hierarki antara
manusia dan alam. Mereka menuntut pendekatan biosentris yang mengakui nilai
intrinsik semua makhluk hidup, bukan hanya nilai instrumentalnya bagi manusia.⁹
Sementara itu,
post-humanisme—yang diwakili oleh tokoh seperti Bruno Latour dan Rosi
Braidotti—menuduh Ekologi Marxis terlalu terikat pada humanisme klasik dan
konsep “subjek pekerja.”¹⁰ Post-humanis berargumen bahwa dalam dunia
pasca-antropogenik, manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai pusat tindakan
historis tunggal, melainkan sebagai bagian dari jaringan aktor-aktor
non-manusia (teknologi, ekosistem, organisme mikro, dan materialitas lain).¹¹
Dengan demikian, mereka menilai bahwa pendekatan Marxis masih gagal menangkap
kompleksitas agensi ekologis yang melibatkan
entitas non-manusia dalam sistem sosial.¹²
Kritik ini menantang
fondasi ontologis dan epistemologis Marxisme yang masih berbasis pada subjek
historis manusia.¹³ Namun, beberapa pemikir seperti Jason W. Moore mencoba
menjembatani perdebatan ini dengan memperkenalkan konsep “web of
life”, yang melihat kapitalisme bukan sekadar sistem sosial
manusia, tetapi juga ekosistem sejarah yang melibatkan
hubungan metabolik antara manusia dan alam secara simultan.¹⁴
7.3.      
Kritik Internal: Dogmatisme dan Reduksi
Struktural
Selain kritik
eksternal, terdapat pula kritik internal terhadap Ekologi Marxis dari kalangan Marxis
sendiri. Beberapa teoretikus, seperti Ted Benton dan André
Gorz, mengingatkan bahaya dogmatisme struktural dalam
membaca hubungan manusia-alam.¹⁵ Mereka menilai bahwa sebagian Ekolog Marxis
cenderung menafsirkan ulang teks-teks Marx secara deterministik, seolah seluruh
dinamika ekologis dapat dijelaskan hanya melalui hubungan produksi.¹⁶
Akibatnya, dimensi kultural, etis, dan simbolik dari relasi ekologis sering
kali terabaikan.¹⁷
André Gorz,
misalnya, berargumen bahwa transformasi ekologis tidak dapat dicapai hanya
melalui perubahan struktur ekonomi, tetapi juga melalui perubahan gaya hidup
dan sistem nilai manusia.¹⁸ Dengan kata lain, revolusi ekologis memerlukan revolusi
kesadaran, bukan semata revolusi produksi. Kritik ini menegaskan
pentingnya aspek praksis dan subjektivitas manusia dalam membangun hubungan
ekologis yang baru.¹⁹
Lebih jauh lagi,
beberapa Marxis ekologi kontemporer seperti John Bellamy Foster sendiri
mengakui bahwa Marxisme klasik memiliki keterbatasan dalam merespons tantangan
ekologi global modern seperti perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman
hayati.²⁰ Karena itu, Foster dan Paul Burkett menyerukan revitalisasi
Marxisme agar lebih sensitif terhadap dimensi ekologis, kultural, dan politik
global.²¹ Kritik internal ini, dengan demikian, justru memperkuat tradisi Marxis
yang bersifat reflektif dan terbuka terhadap koreksi historis, selaras dengan
semangat dialektika yang menjadi inti dari filsafat Marx itu sendiri.²²
Footnotes
[1]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature:
Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 41.
[2]               
Vandana Shiva, Staying Alive: Women,
Ecology, and Development (London:
Zed Books, 1988), 22.
[3]               
Ibid., 45.
[4]               
Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 9.
[5]               
Merchant, The Death of Nature, 82.
[6]               
Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy:
A Western Perspective on What It Is and Why It Matters (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2000), 67.
[7]               
Arne Naess, Ecology, Community and
Lifestyle: Outline of an Ecosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28.
[8]               
Ibid., 31.
[9]               
Warwick Fox, Toward a Transpersonal
Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990), 19.
[10]            
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 56.
[11]            
Bruno Latour, Politics of Nature: How
to Bring the Sciences into Democracy
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 15.
[12]            
Braidotti, The Posthuman, 72.
[13]            
Ibid., 89.
[14]            
Jason W. Moore, Capitalism in the Web
of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 3.
[15]            
Ted Benton, The Greening of Marxism, 18.
[16]            
André Gorz, Ecology as Politics (London: Pluto Press, 1987), 10.
[17]            
Ibid., 16.
[18]            
Ibid., 45.
[19]            
Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical
Alternative to Capitalist Catastrophe
(Chicago: Haymarket Books, 2015), 32.
[20]            
John Bellamy Foster, Marx’s
Ecology: Materialism and Nature (New
York: Monthly Review Press, 2000), 213.
[21]            
Paul Burkett, Marx and Nature: A Red
and Green Perspective (New York: St.
Martin’s Press, 1999), 111.
[22]            
Foster, Marx’s Ecology, 220.
8.          
Relevansi
Kontemporer
8.1.      
Ekologi Marxis di Era Antroposen
Dalam konteks abad
ke-21, relevansi Ekologi Marxis semakin menonjol seiring munculnya istilah Antroposen,
yaitu era geologis baru yang menandai dominasi aktivitas manusia terhadap
sistem bumi.¹ Konsep ini menyingkap paradoks modernitas: kemajuan teknologi dan
produksi yang membawa kemakmuran sekaligus mempercepat kehancuran ekologis
planet.² John Bellamy Foster menegaskan bahwa dinamika Antroposen tidak dapat
dijelaskan hanya melalui sains lingkungan, tetapi harus dipahami melalui
analisis ekonomi-politik yang menyoroti akar sistemik krisis ekologis dalam
kapitalisme global.³
Kapitalisme lanjut,
dengan logika akumulasi tanpa batasnya, telah memperdalam metabolic
rift antara masyarakat dan alam.⁴ Krisis iklim, deforestasi masif, pencemaran
laut, dan degradasi tanah merupakan ekspresi konkret dari cara produksi
kapitalistik yang memutus hubungan metabolik antara manusia dan ekosistem.⁵
Dalam kerangka ini, Ekologi Marxis menawarkan kritik struktural terhadap
paradigma “ekonomi hijau” neoliberal yang berupaya menyelesaikan krisis
iklim melalui mekanisme pasar—sebuah upaya yang, bagi para Marxis, hanya
mereproduksi kontradiksi ekologis dalam bentuk baru.⁶
Foster dan Moore
menekankan bahwa memahami Antroposen tanpa memahami kapitalisme berarti
menutupi penyebab utamanya.⁷ Istilah yang lebih tepat, menurut mereka, adalah
“Kapitalosien” (Capitalocene), karena yang
mendominasi planet bukanlah manusia secara umum, melainkan sistem kapitalisme
global yang menstrukturkan cara produksi, konsumsi, dan distribusi energi serta
sumber daya alam.⁸ Dengan demikian, Ekologi Marxis menjadi kerangka kritis
untuk mengidentifikasi akar historis dan sosial dari krisis planet di era
modern.⁹
8.2.      
Perspektif Ekososialis dalam Kebijakan Publik
Dalam tataran
praksis politik, gagasan Ekologi Marxis berkontribusi besar terhadap
perkembangan paradigma ekososialis dalam kebijakan
publik dan gerakan lingkungan global.¹⁰ Ekososialisme berupaya menggabungkan
transformasi ekonomi dengan demokratisasi ekologi, menolak dikotomi antara “kesejahteraan
sosial” dan “keberlanjutan lingkungan.”¹¹
Program seperti Green
New Deal di Amerika Serikat dan Eropa mencerminkan pengaruh
pemikiran Marxis-ekologis, meskipun dengan variasi ideologis.¹² Di dalamnya
terkandung kesadaran bahwa krisis ekologis tidak dapat diatasi tanpa mengubah
struktur ekonomi yang menciptakan ketimpangan dan eksploitasi.¹³ Namun, para
pemikir ekososialis seperti Michael Löwy dan Daniel Tanuro mengingatkan bahwa Green
New Deal tetap berisiko menjadi versi baru green
capitalism apabila tidak disertai perubahan radikal terhadap
kepemilikan dan kontrol sosial atas alat produksi.¹⁴
Dalam konteks
kebijakan energi, Ekologi Marxis menekankan pentingnya dekomodifikasi
sumber daya alam—yakni menjadikan energi, air, dan tanah
sebagai commons
yang dikelola secara demokratis dan partisipatif.¹⁵ Hal ini menandai pergeseran
paradigma dari manajemen ekologis berbasis pasar menuju tata kelola ekologis
berbasis solidaritas sosial.¹⁶ Prinsip ini telah menginspirasi kebijakan di beberapa
negara Amerika Latin, seperti Bolivia dan Ekuador, yang mengakui hak hukum bagi
alam (rights
of nature) dalam konstitusi mereka.¹⁷
8.3.      
Ekologi Marxis dan Transformasi Budaya
Selain dimensi
ekonomi dan politik, relevansi kontemporer Ekologi Marxis juga terletak pada transformasi
budaya dan kesadaran ekologis.¹⁸ Dalam masyarakat konsumtif
modern, krisis lingkungan bukan hanya hasil struktur ekonomi, tetapi juga
akibat fetisisme
konsumsi—yakni keyakinan bahwa kebahagiaan dapat diperoleh melalui
kepemilikan material tanpa batas.¹⁹ Marx telah mengantisipasi fenomena ini
ketika menggambarkan bagaimana komoditas memanipulasi kesadaran manusia melalui
ilusi nilai.²⁰
Oleh karena itu,
Ekologi Marxis menegaskan perlunya perubahan kesadaran—dari kesadaran
individualistis menuju kesadaran kolektif ekologis.²¹ Pendidikan, seni, dan
media memiliki peran penting dalam membentuk eco-consciousness yang memahami
keterhubungan antara kehidupan manusia dan sistem alam.²² Dalam bidang filsafat
dan teologi kontemporer, pendekatan ini bahkan bersinggungan dengan etika bumi
(earth ethics) dan spiritualitas ekologis yang menekankan kesakralan materi dan
relasi kosmik.²³
Transformasi budaya
tersebut menjadi syarat bagi transisi ekologis yang sejati.²⁴ Tanpa perubahan
nilai dan imajinasi sosial, kebijakan struktural sekalipun akan gagal membangun
hubungan baru antara manusia dan alam.²⁵ Dengan demikian, Ekologi Marxis
relevan bukan hanya sebagai teori ekonomi-politik, tetapi juga sebagai kerangka
filosofis dan kultural untuk membentuk peradaban ekologis masa depan.²⁶
Footnotes
[1]               
Paul J. Crutzen and Eugene F. Stoermer, “The ‘Anthropocene,’” Global Change Newsletter
41 (2000): 17–18.
[2]               
Naomi Klein, This Changes
Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 5.
[3]               
John Bellamy Foster, Marx’s
Ecology: Materialism and Nature (New
York: Monthly Review Press, 2000), 212.
[4]               
Karl Marx, Capital: A Critique of
Political Economy, vol. 1 (London:
Penguin Classics, 1990), 637.
[5]               
Jason W. Moore, Capitalism in the Web
of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 15.
[6]               
Daniel Tanuro, Green Capitalism: Why
It Can’t Work (London: Merlin Press,
2013), 77.
[7]               
Foster, Marx’s Ecology, 222.
[8]               
Moore, Capitalism in the Web
of Life, 3–5.
[9]               
Andreas Malm, Fossil Capital: The Rise
of Steam Power and the Roots of Global Warming (London: Verso, 2016), 381.
[10]            
Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical
Alternative to Capitalist Catastrophe
(Chicago: Haymarket Books, 2015), 11.
[11]            
Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 12.
[12]            
Naomi Klein, On Fire: The (Burning)
Case for a Green New Deal (New York:
Simon & Schuster, 2019), 28.
[13]            
Löwy, Ecosocialism, 23.
[14]            
Tanuro, Green Capitalism, 89.
[15]            
Paul Burkett, Marx and Nature: A Red
and Green Perspective (New York: St.
Martin’s Press, 1999), 109.
[16]            
John Bellamy Foster and Brett Clark, The
Robbery of Nature: Capitalism and the Ecological Rift (New York: Monthly Review Press, 2020), 194.
[17]            
Eduardo Gudynas, The Rights of Nature:
Ethics and the Politics of the Environment (Durham, NC: Duke University Press, 2021), 42.
[18]            
Foster, Marx’s Ecology, 230.
[19]            
Karl Marx, Economic and
Philosophic Manuscripts of 1844
(Moscow: Progress Publishers, 1961), 92.
[20]            
Ibid., 94.
[21]            
Löwy, Ecosocialism, 36.
[22]            
Ariel Salleh, Ecofeminism as
Politics: Nature, Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 2017), 41.
[23]            
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry
of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 1997), 37.
[24]            
Benton, The Greening of Marxism, 17.
[25]            
Foster, The Ecological
Revolution: Making Peace with the Planet (New York: Monthly Review Press, 2009), 15.
[26]            
Löwy, Ecosocialism, 41.
9.          
Sintesis
Filosofis
9.1.      
Integrasi antara Materialisme, Ekologi, dan
Emansipasi
Sintesis filosofis
dalam Ekologi Marxis menegaskan upaya untuk mengintegrasikan materialisme historis dengan
kesadaran ekologis, sehingga hubungan antara manusia dan alam
tidak lagi dipahami secara dualistik, melainkan sebagai dialektika yang saling
menentukan.¹ Dalam pandangan ini, materialisme tidak sekadar berarti pengakuan
atas keberadaan realitas fisik, tetapi juga pemahaman bahwa alam adalah bagian
dari proses historis yang terus berkembang melalui kerja manusia.² Alam bukan
objek pasif bagi aktivitas ekonomi, melainkan partner dialektis yang membentuk
dan dibentuk oleh kehidupan sosial.³
Karl Marx menulis
bahwa “manusia hidup dari alam, berarti bahwa alam adalah tubuh manusia…
manusia harus menjaga hubungan yang terus-menerus dengan alam agar tidak mati.”⁴
Pernyataan ini menunjukkan bahwa hubungan antara manusia dan alam bersifat
ontologis, bukan instrumental. Dalam konteks ini, Ekologi Marxis memperluas
materialisme menjadi materialisme ekologis, di mana
alam tidak lagi diposisikan sebagai latar belakang, tetapi sebagai bagian dari
totalitas historis.⁵
Sintesis ini juga
mencakup aspek emansipatoris, karena
pembebasan manusia dari eksploitasi ekonomi tidak dapat dipisahkan dari
pembebasan alam dari eksploitasi ekologis.⁶ Emansipasi sejati, menurut Marx,
berarti rekonsiliasi antara manusia dan kondisi alamiahnya—sebuah Aufhebung
(pengangkatan dan penyatuan) antara kebutuhan manusia dan batas-batas
ekosistem.⁷ Dalam hal ini, Ekologi Marxis berupaya memulihkan kesatuan
ontologis antara manusia dan dunia material melalui transformasi sosial yang
adil dan berkelanjutan.⁸
9.2.      
Sintesis Etika, Politik, dan Ontologi Ekologis
Sintesis filosofis
juga tampak dalam usaha menghubungkan etika, politik, dan ontologi ekologis
ke dalam satu kerangka yang koheren. Etika dalam Ekologi Marxis bukan etika
normatif yang bersifat abstrak, melainkan etika praksis yang berakar pada
kondisi material masyarakat.⁹ Prinsip etis utama bukanlah “tanggung jawab
moral terhadap alam” secara idealistik, tetapi penciptaan struktur sosial
yang memungkinkan hubungan manusia-alam berlangsung secara berkelanjutan dan
egaliter.¹⁰
Politik ekologis
yang diturunkan dari prinsip tersebut bersifat emansipatoris dan kolektif,
menentang hegemoni kapitalisme yang mengorganisasi kehidupan berdasarkan
kepemilikan privat dan akumulasi.¹¹ Ekologi dalam pandangan ini bukan sekadar
isu lingkungan, melainkan bentuk praksis sosial untuk menciptakan tatanan dunia
baru.¹² Michael Löwy menyebutnya sebagai praxis revolusioner ekologis—suatu
transformasi radikal di mana rasionalitas ekonomi digantikan oleh rasionalitas
ekologis dan solidaritas manusia.¹³
Dari sisi ontologis,
Ekologi Marxis menawarkan reinterpretasi hubungan manusia-alam sebagai totalitas
material dialektis yang tidak dapat direduksi menjadi hubungan
sebab-akibat mekanistik.¹⁴ Alam tidak sekadar sistem fisik yang tunduk pada
hukum ekonomi, melainkan medan dialektika historis tempat nilai, kesadaran, dan
produksi sosial saling berinteraksi.¹⁵ Oleh karena itu, Etika Ekososialis
menjadi kelanjutan logis dari Ontologi Marxis, dan keduanya disatukan dalam
praksis politik yang berorientasi pada transformasi sosial-ekologis.¹⁶
9.3.      
Menuju Paradigma Ekososialis Humanistik
Sintesis akhir dari
Ekologi Marxis mengarah pada pembentukan paradigma ekososialis humanistik,
yakni pandangan dunia yang menempatkan manusia dalam relasi yang setara dengan
alam tanpa menghapus peran aktifnya sebagai makhluk historis.¹⁷ Paradigma ini
berupaya mengatasi dua ekstrem: antroposentrisme modern yang menindas alam, dan
ekosentrisme ekstrem yang meniadakan agensi manusia.¹⁸ Dalam posisi
dialektisnya, manusia dipahami sebagai bagian dari alam sekaligus agen
transformasi yang bertanggung jawab terhadap keseimbangan ekologis.¹⁹
Ekososialisme
humanistik menegaskan bahwa pembangunan peradaban baru harus berlandaskan pada
prinsip keadilan ekologis, solidaritas global, dan
kebersamaan material.²⁰ Tujuan akhirnya bukan sekadar menghindari
bencana lingkungan, tetapi membangun bentuk kehidupan yang lebih bermakna dan
berkelanjutan—di mana kebahagiaan manusia tidak diukur dari konsumsi, tetapi
dari harmoni sosial dan ekologis.²¹
Paradigma ini
menuntut transformasi menyeluruh: ekonomi yang berorientasi pada kebutuhan
sosial, teknologi yang berfungsi untuk keberlanjutan, politik yang demokratis
secara ekologis, dan kebudayaan yang menumbuhkan kesadaran planetar.²² Dengan
demikian, sintesis filosofis Ekologi Marxis berujung pada visi peradaban
ekologis global, di mana humanisme dan ekologi berpadu dalam
horizon praksis yang transformatif.²³
Footnotes
[1]               
John Bellamy Foster, Marx’s
Ecology: Materialism and Nature (New
York: Monthly Review Press, 2000), 219.
[2]               
Karl Marx and Friedrich Engels, The
German Ideology (New York:
International Publishers, 1970), 42.
[3]               
Paul Burkett, Marx and Nature: A Red
and Green Perspective (New York: St.
Martin’s Press, 1999), 53.
[4]               
Karl Marx, Economic and
Philosophic Manuscripts of 1844
(Moscow: Progress Publishers, 1961), 75.
[5]               
Foster, Marx’s Ecology, 224.
[6]               
Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical
Alternative to Capitalist Catastrophe
(Chicago: Haymarket Books, 2015), 28.
[7]               
Karl Marx, Capital: A Critique of
Political Economy, vol. 1 (London:
Penguin Classics, 1990), 637.
[8]               
Foster, The Ecological
Revolution: Making Peace with the Planet (New York: Monthly Review Press, 2009), 14.
[9]               
Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 8.
[10]            
Jason W. Moore, Capitalism in the Web
of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 18.
[11]            
Löwy, Ecosocialism, 33.
[12]            
Foster, The Ecological
Revolution, 22.
[13]            
Löwy, Ecosocialism, 36.
[14]            
Burkett, Marx and Nature, 109.
[15]            
Alfred Schmidt, The Concept of Nature
in Marx (London: NLB, 1971), 72.
[16]            
Foster and Brett Clark, The
Robbery of Nature: Capitalism and the Ecological Rift (New York: Monthly Review Press, 2020), 188.
[17]            
Löwy, Ecosocialism, 40.
[18]            
Arne Naess, Ecology, Community and
Lifestyle: Outline of an Ecosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 31.
[19]            
Bruno Latour, Politics of Nature: How
to Bring the Sciences into Democracy
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 25.
[20]            
Foster, Marx’s Ecology, 228.
[21]            
Löwy, Ecosocialism, 43.
[22]            
Daniel Tanuro, Green Capitalism: Why
It Can’t Work (London: Merlin Press,
2013), 89.
[23]            
Foster, The Ecological
Revolution, 28.
10.       Kesimpulan
10.1.   
Rekapitulasi Gagasan Pokok
Ekologi Marxis
menawarkan sintesis kritis antara teori sosial Marxian dan kesadaran ekologis
kontemporer dengan menegaskan bahwa krisis lingkungan bukanlah fenomena alamiah
atau moral semata, melainkan akibat langsung dari logika produksi kapitalistik
yang eksploitatif.¹ Dalam kerangka ini, alam dipahami bukan sebagai objek luar
yang terpisah dari manusia, tetapi sebagai bagian integral dari totalitas
material yang bersifat historis dan dialektis.²
Karl Marx telah
menunjukkan bahwa kapitalisme menimbulkan keretakan metabolik (metabolic
rift) antara manusia dan alam melalui mekanisme produksi yang
mengubah proses ekologis menjadi sirkuit akumulasi.³ John Bellamy Foster dan
para pemikir ekososialis kemudian mengembangkan analisis ini menjadi teori
kritis terhadap modernitas industri dan globalisasi neoliberal yang mempercepat
degradasi planet.⁴ Dengan demikian, Ekologi Marxis berfungsi sebagai kerangka
teoritis untuk membaca hubungan sosial-ekologis dalam konteks sejarah
kapitalisme global, sekaligus sebagai paradigma alternatif menuju masyarakat
yang berkelanjutan dan adil.⁵
10.2.   
Implikasi Filosofis dan Praktis
Secara filosofis,
Ekologi Marxis menegaskan bahwa ontologi materialis dialektis
dapat menjadi landasan bagi pemikiran ekologis yang non-dualistis, di mana
manusia tidak dipandang sebagai penguasa alam, melainkan sebagai bagian dari
proses metabolik kehidupan.⁶ Epistemologinya berakar pada praxis,
yaitu hubungan reflektif antara teori dan tindakan sosial yang berorientasi
pada perubahan struktural.⁷ Aksiologinya menempatkan nilai ekologis dan sosial
di atas nilai tukar kapitalistik, menegaskan pentingnya solidaritas,
keberlanjutan, dan keadilan ekologis sebagai dasar etika baru.⁸
Secara praktis,
Ekologi Marxis mengajukan transformasi sistemik yang meliputi demokratisasi
ekonomi, dekomodifikasi sumber daya alam, serta pembentukan budaya ekologis
yang menumbuhkan kesadaran planetar.⁹ Gagasan ini telah beresonansi dengan
berbagai gerakan sosial kontemporer seperti degrowth movement, climate
justice, dan Green New Deal yang, meskipun
berbeda bentuk, sama-sama menuntut perubahan mendasar dalam sistem produksi dan
konsumsi global.¹⁰ Dalam hal ini, relevansi Ekologi Marxis tidak hanya bersifat
akademik, tetapi juga praksis politis yang konkret dalam perjuangan melawan
krisis iklim dan ketimpangan sosial.¹¹
10.3.   
Arah Pengembangan Kajian Selanjutnya
Kajian Ekologi
Marxis terus berkembang dan menghadapi tantangan baru dalam era Antroposen yang
ditandai oleh percepatan perubahan iklim, kepunahan spesies, serta eksploitasi
bioteknologi dan kecerdasan buatan.¹² Untuk menjawab tantangan ini, teori
Ekologi Marxis perlu berinteraksi dengan paradigma kritis lainnya seperti ekofeminisme,
post-humanisme,
dan dekolonialisme
ekologis, guna memperluas cakupan analisis terhadap dimensi
budaya, etika, dan geopolitik dari krisis lingkungan.¹³
Lebih jauh, Ekologi
Marxis harus menegaskan kembali fungsi utamanya sebagai teori
emansipasi, bukan sekadar kritik.¹⁴ Ia tidak berhenti pada
dekonstruksi sistem kapitalistik, tetapi mengajukan visi konstruktif tentang
peradaban ekologis baru yang menyeimbangkan kebutuhan manusia dengan
keberlanjutan bumi.¹⁵ Dalam visi ini, manusia diakui sebagai makhluk historis
sekaligus ekologis—yang kebebasannya tidak diukur oleh kemampuannya menaklukkan
alam, melainkan oleh kemampuannya hidup selaras di dalamnya.¹⁶
Dengan demikian,
Ekologi Marxis menjadi bukan hanya teori tentang krisis, tetapi juga filsafat
pembebasan ekologis, yang mengintegrasikan materialisme, etika,
dan praksis sosial menuju transformasi dunia yang lebih adil, lestari, dan
manusiawi.¹⁷
Footnotes
[1]               
John Bellamy Foster, Marx’s
Ecology: Materialism and Nature (New
York: Monthly Review Press, 2000), 155.
[2]               
Karl Marx and Friedrich Engels, The
German Ideology (New York:
International Publishers, 1970), 39.
[3]               
Karl Marx, Capital: A Critique of
Political Economy, vol. 1 (London:
Penguin Classics, 1990), 637.
[4]               
Jason W. Moore, Capitalism in the Web
of Life: Ecology and the Accumulation of Capital (London: Verso, 2015), 5.
[5]               
Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical
Alternative to Capitalist Catastrophe
(Chicago: Haymarket Books, 2015), 20.
[6]               
Friedrich Engels, Dialectics of Nature (Moscow: Progress Publishers, 1976), 72.
[7]               
Bertell Ollman, Dance of the Dialectic:
Steps in Marx’s Method (Urbana:
University of Illinois Press, 2003), 99.
[8]               
Ted Benton, The Greening of Marxism (New York: Guilford Press, 1996), 12.
[9]               
Paul Burkett, Marx and Nature: A Red
and Green Perspective (New York: St.
Martin’s Press, 1999), 109.
[10]            
Daniel Tanuro, Green Capitalism: Why
It Can’t Work (London: Merlin Press,
2013), 89.
[11]            
Naomi Klein, This Changes
Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 78.
[12]            
Andreas Malm, Fossil Capital: The
Rise of Steam Power and the Roots of Global Warming (London: Verso, 2016), 383.
[13]            
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 54.
[14]            
Löwy, Ecosocialism, 37.
[15]            
John Bellamy Foster, The
Ecological Revolution: Making Peace with the Planet (New York: Monthly Review Press, 2009), 15.
[16]            
Marx, Economic and
Philosophic Manuscripts of 1844
(Moscow: Progress Publishers, 1961), 93.
[17]            
Foster, The Ecological
Revolution, 28.
Daftar Pustaka 
Benton, T. (1996). The greening of Marxism. New York, NY: Guilford Press.
Boff, L. (1997). Cry of the Earth, cry of the poor. Maryknoll, NY: Orbis
Books.
Braidotti, R. (2013). The posthuman. Cambridge, UK: Polity Press.
Burkett, P. (1999). Marx and nature: A red and green perspective. New York,
NY: St. Martin’s Press.
Crutzen, P. J., & Stoermer, E. F. (2000). The “Anthropocene.” Global Change
Newsletter, 41(May), 17–18.
Engels, F. (1976). Anti-Dühring. Moscow, Russia: Progress Publishers.
Engels, F. (1976). Dialectics of nature. Moscow, Russia: Progress
Publishers.
Foster, J. B. (2000). Marx’s ecology: Materialism and nature. New York, NY:
Monthly Review Press.
Foster, J. B. (2009). The ecological revolution: Making peace with the planet.
New York, NY: Monthly Review Press.
Foster, J. B., & Clark, B. (2020). The robbery of nature: Capitalism and
the ecological rift. New York, NY: Monthly Review Press.
Fox, W. (1990). Toward a transpersonal ecology: Developing new foundations
for environmentalism. Boston, MA: Shambhala.
Gorz, A. (1987). Ecology as politics. London, UK: Pluto Press.
Gramsci, A. (1971). Selections from the prison notebooks. New York, NY:
International Publishers.
Gudynas, E. (2021). The rights of nature: Ethics and the politics of the environment.
Durham, NC: Duke University Press.
Hornborg, A. (2001). The power of the machine: Global inequalities of economy,
technology, and environment. Walnut Creek, CA: AltaMira Press.
Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment.
Stanford, CA: Stanford University Press.
Klein, N. (2014). This changes everything: Capitalism vs. the climate. New
York, NY: Simon & Schuster.
Klein, N. (2019). On fire: The (burning) case for a Green New Deal. New
York, NY: Simon & Schuster.
Latour, B. (2004). Politics of nature: How to bring the sciences into democracy.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Löwy, M. (2015). Ecosocialism: A radical alternative to capitalist
catastrophe. Chicago, IL: Haymarket Books.
Lukács, G. (1971). History and class consciousness: Studies in Marxist
dialectics. Cambridge, MA: MIT Press.
Malcolm, A. (2016). Fossil capital: The rise of steam power and the roots of
global warming. London, UK: Verso.
Marx, K. (1961). Economic and philosophic manuscripts of 1844. Moscow,
Russia: Progress Publishers.
Marx, K. (1990). Capital: A critique of political economy (Vol. 1).
London, UK: Penguin Classics.
Marx, K., & Engels, F. (1970). The German ideology. New York, NY:
International Publishers.
Meadows, D. H., Meadows, D. L., Randers, J., &
Behrens, W. W. (1972). The
limits to growth. New York, NY: Universe Books.
Merchant, C. (1980). The death of nature: Women, ecology, and the scientific
revolution. San Francisco, CA: Harper & Row.
Moore, J. W. (2015). Capitalism in the web of life: Ecology and the accumulation
of capital. London, UK: Verso.
Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle: Outline of an ecosophy.
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
O’Connor, J. (1998). Natural causes: Essays in ecological Marxism. New York,
NY: Guilford Press.
Ollman, B. (2003). Dance of the dialectic: Steps in Marx’s method. Urbana,
IL: University of Illinois Press.
Poulantzas, N. (1978). Political power and social classes. London, UK: Verso.
Salleh, A. (2017). Ecofeminism as politics: Nature, Marx and the postmodern
(2nd ed.). London, UK: Zed Books.
Schmidt, A. (1971). The concept of nature in Marx. London, UK: NLB.
Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology, and development. London,
UK: Zed Books.
Tanuro, D. (2013). Green capitalism: Why it can’t work. London, UK: Merlin
Press.
Warren, K. J. (2000). Ecofeminist philosophy: A Western perspective on what it is
and why it matters. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar