Minggu, 26 Oktober 2025

Stewardship Ethics: Tanggung Jawab Manusia sebagai Penatalayan Lingkungan

Stewardship Ethics

Tanggung Jawab Manusia sebagai Penatalayan Lingkungan


Alihkan ke: Etika Lingungan.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep Etika Stewardship (Stewardship Ethics) sebagai paradigma moral dan filosofis yang menekankan tanggung jawab manusia sebagai penjaga bumi (steward of the Earth). Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis, tulisan ini menelusuri asal-usul teologis stewardship dalam tradisi Yudeo-Kristen dan Islam, perkembangannya dalam teologi ekologis modern, serta integrasinya dalam wacana etika lingkungan kontemporer. Kajian ini menegaskan bahwa Stewardship Ethics berakar pada pandangan dunia yang memadukan iman dan rasionalitas ekologis, di mana manusia dipandang sebagai makhluk moral dan spiritual yang memiliki tanggung jawab menjaga keberlanjutan kehidupan di bumi.

Secara ontologis, stewardship menolak dikotomi manusia–alam dan menggantinya dengan paradigma relasional yang menempatkan manusia sebagai bagian dari komunitas biotik. Secara epistemologis, etika ini mengedepankan pengetahuan reflektif dan partisipatif yang bersumber dari wahyu, rasionalitas moral, dan pengalaman ekologis. Sementara secara aksiologis, Stewardship Ethics menegakkan nilai-nilai universal seperti tanggung jawab, keadilan ekologis, moderasi, dan keberlanjutan. Melalui nilai-nilai tersebut, etika ini menawarkan landasan moral untuk kebijakan publik, pendidikan lingkungan, serta spiritualitas ekologis lintas agama.

Namun, artikel ini juga mengulas kritik terhadap stewardship, terutama dari perspektif deep ecology, ekofeminisme, dan posthumanisme, yang menilai bahwa konsep ini masih menyimpan jejak antroposentrisme dan paternalistik. Meskipun demikian, dalam konteks krisis ekologis global, Stewardship Ethics tetap relevan sebagai kerangka moral universal yang memadukan iman, rasio, dan tanggung jawab ekologis. Akhirnya, stewardship dipahami sebagai panggilan eksistensial manusia untuk hidup dalam harmoni dengan alam—sebagai pelayan kehidupan, bukan penguasanya.

Kata Kunci: Etika Lingkungan, Stewardship, Tanggung Jawab Ekologis, Spiritualitas Alam, Keadilan Ekologis, Etika Planetary, Keberlanjutan.


PEMBAHASAN

Etika Pengelolaan Alam (Stewardship Ethics)


1.           Pendahuluan

Krisis lingkungan yang dihadapi umat manusia dewasa ini bukan sekadar problem ekologis, melainkan juga krisis moral dan spiritual yang mencerminkan cara manusia memandang dan memperlakukan alam. Pemanasan global, kerusakan ekosistem, deforestasi, dan hilangnya keanekaragaman hayati merupakan manifestasi dari paradigma antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa alam. Dalam konteks ini, muncul kebutuhan mendesak untuk meninjau ulang hubungan etis antara manusia dan lingkungan hidup melalui kerangka moral yang lebih inklusif dan berkeadilan ekologis. Salah satu konsep yang menonjol dalam wacana etika lingkungan modern adalah Etika Stewardship (Stewardship Ethics), yang menekankan tanggung jawab moral manusia sebagai penatalayan atau penjaga bumi (steward of the Earth)—bukan sebagai pemilik absolutnya.¹

Etika Stewardship berakar pada tradisi religius dan moral, terutama dalam teologi Yudeo-Kristen, yang menggambarkan manusia sebagai wakil Tuhan yang diberi mandat untuk “mengusahakan dan memelihara bumi” (Kejadian 2:15).² Mandat ini bukanlah legitimasi untuk mengeksploitasi alam, melainkan panggilan etis untuk memelihara dan menjaga keseimbangan ciptaan. Dalam perkembangannya, konsep ini juga diinterpretasikan ulang dalam konteks sekuler dan ilmiah, sebagai suatu bentuk etika tanggung jawab ekologis yang menuntut kesadaran manusia terhadap keterbatasan sumber daya alam dan kewajiban moral untuk melestarikannya bagi generasi mendatang.³ Dengan demikian, stewardship ethics memadukan dimensi teologis, ekologis, dan etis dalam satu kerangka normatif yang memandu tindakan manusia terhadap alam.

Kajian terhadap etika stewardship menjadi semakin penting ketika dunia menghadapi tantangan ekologis global seperti perubahan iklim, degradasi tanah, serta pencemaran laut dan udara. Sebagaimana dinyatakan oleh Aldo Leopold dalam gagasan land ethic-nya, hubungan manusia dengan alam perlu melampaui logika ekonomi dan hukum kepemilikan menuju pengakuan bahwa manusia adalah bagian dari “komunitas biotik” yang lebih luas.⁴ Etika stewardship menawarkan visi alternatif terhadap paradigma teknosentris modern yang cenderung reduktif terhadap nilai-nilai alam. Di sini, tanggung jawab moral bukan sekadar tindakan konservasi, melainkan bentuk partisipasi aktif manusia dalam memelihara keteraturan ekologis sebagai wujud penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri.⁵

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam fondasi filosofis dari Etika Stewardship, meliputi dimensi historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis, serta mengulas relevansinya dalam konteks kontemporer. Pendekatan yang digunakan bersifat analitis-filosofis, dengan menelusuri akar konseptualnya dalam teologi, filsafat moral, dan ekoteologi modern. Pembahasan ini juga menyoroti kritik terhadap paradigma stewardship, terutama dari kalangan ekofeminis, deep ecology, dan pemikir post-humanis, yang menilai konsep tersebut masih memelihara struktur dominasi manusia atas alam.⁶ Namun demikian, dengan pendekatan reflektif dan hermeneutik, tulisan ini berupaya menunjukkan bahwa etika stewardship tetap memiliki relevansi besar dalam membangun kesadaran ekologis global, terutama jika ditafsirkan secara egalitarian dan kontekstual.

Dengan demikian, bagian pendahuluan ini menegaskan posisi bahwa Stewardship Ethics bukan sekadar doktrin moral teologis, tetapi paradigma etika universal yang berupaya menyeimbangkan antara tanggung jawab manusia dan keberlanjutan ekologis. Etika ini mendorong manusia untuk menafsirkan kembali kedudukan ontologisnya dalam kosmos, bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai penjaga harmoni yang bertanggung jawab atas keberlangsungan seluruh makhluk hidup.


Footnotes

¹ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 45–47.
² Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 102–104.
³ James A. Nash, Loving Nature: Ecological Integrity and Christian Responsibility (Nashville: Abingdon Press, 1991), 12–15.
⁴ Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 224–225.
⁵ Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 56–58.
⁶ Carolyn Merchant, Earthcare: Women and the Environment (New York: Routledge, 1995), 89–91.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Stewardship Ethics

Konsep Stewardship Ethics memiliki akar yang panjang dalam sejarah pemikiran teologis dan filsafat moral, yang berkembang dari pandangan keagamaan kuno hingga menjadi kerangka etika lingkungan modern. Istilah stewardship secara etimologis berasal dari kata steward, yang berarti pengurus atau penatalayan, dan mengandung makna moral tentang tanggung jawab serta keterbatasan otoritas manusia atas sesuatu yang bukan miliknya. Dalam konteks etika lingkungan, istilah ini mengandung gagasan bahwa bumi dan seluruh kehidupan di dalamnya merupakan titipan yang harus dijaga, bukan sumber daya yang dapat dieksploitasi secara bebas.¹

2.1.       Asal-usul Teologis: Penatalayan dalam Tradisi Yudeo-Kristen dan Islam

Dalam tradisi Yudeo-Kristen, gagasan stewardship berakar pada narasi kitab Kejadian tentang penciptaan dunia. Tuhan memberikan mandat kepada manusia untuk “mengusahakan dan memelihara taman” (Kej. 2:15), yang menegaskan fungsi manusia bukan sebagai penguasa absolut, tetapi sebagai pelayan ciptaan.² Pemahaman ini menempatkan manusia sebagai makhluk moral yang diberi amanah untuk mengelola bumi dengan rasa hormat dan tanggung jawab terhadap Sang Pencipta dan seluruh ciptaan.³ Dalam teologi Kristen, pandangan ini diperkuat oleh gagasan imago Dei—bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah—yang mengimplikasikan tanggung jawab moral untuk meniru sifat kasih dan keadilan Tuhan terhadap dunia.⁴

Tradisi Islam juga mengenal konsep serupa melalui istilah khalifah fil ardh (wakil Allah di bumi). Dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 30), manusia diangkat sebagai khalifah untuk memakmurkan bumi dan menegakkan keseimbangan (mīzān).⁵ Etika ini mengandung prinsip kesetaraan ekologis antara manusia dan makhluk lain, karena seluruh ciptaan dianggap sebagai tanda-tanda (āyāt) Tuhan yang memiliki nilai intrinsik.⁶ Dalam perspektif ini, stewardship bukan sekadar tanggung jawab ekologis, tetapi juga bentuk ibadah moral dan spiritual yang mencerminkan kesadaran akan keterhubungan manusia dengan seluruh kosmos.⁷

2.2.       Transformasi Modern: Dari Ekoteologi hingga Etika Lingkungan

Konsep stewardship mengalami transformasi besar dalam abad ke-20, terutama setelah munculnya kesadaran ekologis global. Salah satu titik baliknya adalah artikel klasik Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis” (1967), yang mengkritik warisan antroposentris dalam teologi Barat.⁸ White menilai bahwa interpretasi teologis tradisional atas mandat “menguasai bumi” telah disalahpahami sebagai legitimasi untuk mengeksploitasi alam. Sebagai solusinya, ia menyerukan pembaruan teologi Kristen menuju paradigma “ekoteologi” yang menekankan tanggung jawab ekologis manusia sebagai pelayan ciptaan, bukan penguasa.⁹

Gagasan White memicu diskursus luas dalam bidang etika lingkungan dan filsafat moral, mendorong munculnya berbagai pendekatan baru seperti ecotheology, creation spirituality, dan Christian environmental ethics.¹⁰ Pemikir seperti James Nash dan John Cobb mengembangkan konsep earth stewardship yang menekankan solidaritas ekologis lintas generasi serta kesadaran akan keterkaitan antara iman dan kelestarian bumi.¹¹ Dalam perkembangan sekuler, konsep stewardship juga diadopsi oleh etika lingkungan modern, terutama dalam teori land ethic Aldo Leopold yang mengajak manusia untuk menjadi “anggota dan pengurus komunitas biotik.”¹²

2.3.       Genealogi Filsafat Moral: Dari Etika Kewajiban hingga Ekologisme

Dari perspektif filsafat moral, stewardship ethics dapat dilacak dalam perkembangan etika kewajiban (deontological ethics) Immanuel Kant, yang menekankan tanggung jawab moral terhadap makhluk hidup bukan karena nilai instrumentalnya, tetapi karena prinsip rasionalitas moral yang menghormati kehidupan.¹³ Konsep ini juga memiliki resonansi dengan virtue ethics Aristotelian, yang menekankan pembentukan karakter moral seperti kebijaksanaan (phronesis) dan kesederhanaan (sophrosyne) dalam relasi manusia dengan alam.¹⁴

Pada abad ke-20, tokoh seperti Hans Jonas melalui karya The Imperative of Responsibility (1979) memperluas horizon etika dengan menekankan tanggung jawab manusia terhadap generasi masa depan dan kelestarian kehidupan.¹⁵ Jonas berpendapat bahwa teknologi modern telah memperluas jangkauan tindakan manusia hingga ke skala planet, sehingga etika tradisional harus diperluas menjadi etika tanggung jawab ekologis—sebuah prinsip yang sejalan dengan semangat stewardship.¹⁶ Dalam konteks ini, stewardship ethics dapat dilihat sebagai hasil sintesis antara warisan moral religius dan kesadaran ekologis modern yang bertujuan menjaga kesinambungan hidup di bumi.

Dengan demikian, genealogi Stewardship Ethics memperlihatkan pergeseran dari paradigma teologis menuju paradigma etis-ekologis yang lebih universal. Dari amanah ilahi menjadi tanggung jawab moral global, dari dominasi menjadi pemeliharaan, dari eksploitasi menjadi solidaritas ekologis. Etika ini menjadi salah satu tonggak utama dalam upaya filsafat modern untuk merekonstruksi hubungan manusia dengan alam secara berkelanjutan dan bermartabat.


Footnotes

¹ Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 7–8.
² James A. Nash, Loving Nature: Ecological Integrity and Christian Responsibility (Nashville: Abingdon Press, 1991), 12–14.
³ Roderick Nash, The Rights of Nature: A History of Environmental Ethics (Madison: University of Wisconsin Press, 1989), 45–47.
⁴ John B. Cobb Jr., Is It Too Late? A Theology of Ecology (Beverly Hills: Bruce Publishing, 1972), 33–34.
⁵ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 18–19.
⁶ Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha Publishers, 2002), 24–26.
⁷ Ibrahim Özdemir, Toward an Islamic Environmental Ethics: A Perspective from the Qur’an and Sunnah (Ankara: Center for Islamic Studies, 2003), 53–54.
⁸ Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–1207.
⁹ Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 45–46.
¹⁰ Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman and Todd, 2008), 15–17.
¹¹ James A. Nash, Loving Nature: Ecological Integrity and Christian Responsibility, 43–45.
¹² Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 203–204.
¹³ Immanuel Kant, Lectures on Ethics, trans. Louis Infield (New York: Harper and Row, 1963), 239–240.
¹⁴ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W. D. Ross (Oxford: Oxford University Press, 1980), 110–111.
¹⁵ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–8.
¹⁶ Ibid., 128–130.


3.           Ontologi Stewardship: Relasi Manusia dan Alam

Ontologi Stewardship Ethics berpijak pada pemahaman bahwa manusia bukanlah entitas yang terpisah dari alam, melainkan bagian integral dari totalitas ekosistem yang saling bergantung. Dalam kerangka ini, keberadaan manusia dipahami bukan sebagai penguasa atau pemilik mutlak, melainkan sebagai makhluk moral yang memiliki fungsi ontologis sebagai penjaga (steward) dari jaringan kehidupan.¹ Ontologi stewardship berusaha mengatasi dikotomi klasik antara manusia dan alam yang diwariskan oleh filsafat modern, terutama dualisme Cartesian yang memisahkan res cogitans (subjek berpikir) dari res extensa (benda yang diperluas).² Sebaliknya, ia menawarkan paradigma relasional dan interdependen, di mana eksistensi manusia memperoleh maknanya dalam keterhubungan dengan seluruh ciptaan.³

3.1.       Hakikat Keberadaan Manusia sebagai Makhluk Moral-Ekologis

Dalam perspektif stewardship, manusia dipandang sebagai makhluk yang diberi kapasitas rasional dan moral untuk memahami serta menjaga keteraturan alam. Pandangan ini selaras dengan prinsip imago Dei dalam teologi Kristen, yang mengartikan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Tuhan bukan untuk mendominasi, tetapi untuk meneladani kasih dan kebijaksanaan-Nya dalam mengelola bumi.⁴ Sementara dalam tradisi Islam, ontologi manusia sebagai khalifah fil ardh menegaskan fungsi perwakilan Ilahi yang mengemban tanggung jawab menjaga keseimbangan (mīzān) dan keadilan ekologis.⁵ Kedua pandangan ini menyatukan aspek spiritual dan ekologis manusia sebagai bagian dari ciptaan yang memiliki nilai dan tujuan dalam kosmos.

Namun, berbeda dengan pandangan antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai, stewardship ethics menegaskan bahwa nilai eksistensial manusia justru terletak pada relasinya yang bertanggung jawab terhadap makhluk lain.⁶ Manusia memperoleh martabat moral bukan dari kekuasaannya atas alam, tetapi dari kemampuannya untuk menjaga dan merawat kehidupan. Dengan demikian, manusia tidak hanya “ada di dunia” (being-in-the-world) sebagaimana digambarkan Heidegger, tetapi juga “ada untuk dunia” (being-for-the-world), yakni eksistensi yang menemukan maknanya dalam relasi empatik dan etis terhadap lingkungan hidup.⁷

3.2.       Relasi Ontologis antara Manusia dan Alam

Relasi manusia dan alam dalam kerangka ontologis stewardship didasarkan pada prinsip koeksistensi dan keterhubungan substansial. Alam bukan sekadar objek material untuk dimanfaatkan, melainkan entitas hidup yang memiliki nilai intrinsik (intrinsic value).⁸ Pemikiran ini sejalan dengan pandangan ekosentris Aldo Leopold, yang menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari “komunitas biotik” dan oleh karenanya memiliki kewajiban moral untuk menghormati integritas, stabilitas, dan keindahan ekosistem.⁹

Dalam tradisi filsafat Timur, terutama dalam kosmologi Islam dan pandangan Taoisme, relasi ontologis antara manusia dan alam dipahami sebagai keterpaduan kosmik: manusia dan alam merupakan dua manifestasi dari realitas Ilahi yang sama.ⁱ⁰ Dengan demikian, tindakan manusia terhadap alam mencerminkan tindakan terhadap dirinya sendiri. Dalam kerangka stewardship, relasi ini bukan relasi dominasi, melainkan relasi partisipatif—di mana manusia memelihara alam sebagaimana alam menopang eksistensinya.ⁱ¹

Dari perspektif fenomenologis, hubungan manusia dan alam bukanlah sekadar interaksi eksternal, tetapi pengalaman keberadaan yang saling membentuk. Maurice Merleau-Ponty menegaskan bahwa tubuh manusia merupakan bagian dari “daging dunia” (flesh of the world), suatu metafora ontologis yang meniadakan pemisahan mutlak antara subjek dan objek.ⁱ² Dalam konteks ini, stewardship bukanlah kewajiban eksternal yang dikenakan dari luar, melainkan kesadaran eksistensial yang lahir dari pengalaman keterhubungan manusia dengan dunia hidup (Lebenswelt).ⁱ³

3.3.       Alam sebagai Entitas Bernilai dan Komunitas Moral

Salah satu pilar ontologis penting dalam stewardship ethics adalah pengakuan bahwa alam memiliki nilai intrinsik—nilai yang tidak bergantung pada kepentingan atau manfaat manusia.ⁱ⁴ Prinsip ini menolak reduksi nilai alam menjadi sekadar instrumen ekonomi, dan menegaskan bahwa setiap makhluk hidup memiliki hak untuk eksis dalam tatanan ciptaan. Holmes Rolston III menyebut alam sebagai “realitas moral” (moral field), di mana manusia berkewajiban menghormati dinamika kehidupan yang lebih luas dari dirinya.ⁱ⁵

Dalam konteks stewardship, nilai alam tidak hanya bersifat ekologis tetapi juga teologis. Thomas Berry menekankan bahwa seluruh alam semesta adalah “perwujudan diri Tuhan” (manifestation of the divine), dan oleh karenanya tindakan menjaga bumi merupakan bentuk partisipasi manusia dalam karya penciptaan yang berkelanjutan.ⁱ⁶ Dengan demikian, ontologi stewardship bukanlah ontologi eksploitasi, melainkan ontologi pemeliharaan—yang menempatkan keberadaan manusia dalam kerangka kesadaran kosmik dan solidaritas ekologis.


Secara keseluruhan, ontologi Stewardship Ethics memandang manusia sebagai bagian integral dari tatanan kosmik yang saling terhubung secara moral, spiritual, dan ekologis. Relasi manusia dengan alam bersifat ko-eksistensial: manusia membutuhkan alam sebagaimana alam memerlukan manusia untuk dijaga dan dilestarikan. Dalam kesadaran ini, keberadaan manusia mencapai makna terdalamnya—yakni ketika ia bertindak sebagai penjaga harmoni kosmos, bukan sebagai penguasa yang memecahkannya.


Footnotes

¹ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 45–47.
² René Descartes, Discourse on the Method, trans. John Veitch (London: Dent, 1912), 36–38.
³ Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 67–69.
⁴ John B. Cobb Jr., Is It Too Late? A Theology of Ecology (Beverly Hills: Bruce Publishing, 1972), 31–32.
⁵ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 23–24.
⁶ Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 102–103.
⁷ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 53–54.
⁸ Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1989), 78–80.
⁹ Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 224–225.
ⁱ⁰ Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on Confucian Religiousness (Albany: State University of New York Press, 1989), 45–47.
ⁱ¹ Ibrahim Özdemir, Toward an Islamic Environmental Ethics: A Perspective from the Qur’an and Sunnah (Ankara: Center for Islamic Studies, 2003), 53–54.
ⁱ² Maurice Merleau-Ponty, The Visible and the Invisible, trans. Alphonso Lingis (Evanston: Northwestern University Press, 1968), 130–132.
ⁱ³ David Abram, The Spell of the Sensuous (New York: Pantheon Books, 1996), 55–57.
ⁱ⁴ Paul Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 75–76.
ⁱ⁵ Holmes Rolston III, Environmental Ethics, 115–117.
ⁱ⁶ Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 56–58.


4.           Epistemologi Stewardship: Pengetahuan, Kesadaran, dan Tanggung Jawab

Epistemologi Stewardship Ethics berfokus pada cara manusia mengetahui, memahami, dan menginternalisasi tanggung jawab moral terhadap alam. Dalam konteks ini, pengetahuan bukan sekadar proses kognitif atau rasional yang bersifat objektif, melainkan juga pengetahuan normatif dan reflektif yang menuntun tindakan etis terhadap lingkungan hidup.¹ Etika stewardship menolak pandangan positivistik yang memisahkan subjek pengetahuan (manusia) dari objek yang diketahui (alam). Sebaliknya, ia menegaskan bahwa pengetahuan sejati tentang alam harus melibatkan keterlibatan eksistensial, kesadaran etis, dan tanggung jawab moral terhadap ciptaan.²

4.1.       Sumber Pengetahuan Etis: Wahyu, Rasionalitas, dan Pengalaman Ekologis

Dalam tradisi teologis, sumber epistemik utama stewardship adalah wahyu yang mengandung pesan moral dan spiritual mengenai relasi manusia dengan alam. Dalam teologi Yudeo-Kristen, misalnya, mandat untuk “memelihara bumi” (Kej. 2:15) bukan sekadar perintah etis, tetapi juga epistemologis—ia mengandung pengetahuan tentang posisi manusia sebagai pelayan ciptaan.³ Demikian pula, dalam Islam, Al-Qur’an menggambarkan alam sebagai “ayat-ayat Tuhan” (āyāt Allāh) yang harus dibaca dan direnungkan, bukan dieksploitasi.⁴ Wahyu dalam konteks ini menjadi sumber gnosis ekologis—pengetahuan yang bersifat kontemplatif dan etis, menuntun manusia untuk memahami dunia bukan hanya sebagai fakta fisik, tetapi sebagai tanda moral-spiritual.⁵

Selain wahyu, rasionalitas moral dan pengetahuan ilmiah juga menjadi fondasi epistemologis dalam stewardship ethics. Rasionalitas memungkinkan manusia untuk menganalisis hubungan sebab-akibat dalam ekosistem dan memahami konsekuensi etis dari tindakan ekologisnya.⁶ Namun, berbeda dengan rasionalitas instrumental yang mendominasi modernitas, stewardship ethics menuntut rasionalitas reflektif—yakni akal budi yang diarahkan untuk memahami tanggung jawab, bukan sekadar efisiensi.⁷ Hans Jonas menekankan bahwa kemajuan teknologi menimbulkan tanggung jawab epistemik baru: manusia harus mengetahui bukan hanya “apa yang bisa ia lakukan”, tetapi juga “apa akibat moral dari tindakannya terhadap kehidupan di masa depan.”⁸

Sumber pengetahuan ketiga adalah pengalaman ekologis langsung—yakni pengetahuan yang lahir dari perjumpaan manusia dengan dunia hidup. Dalam filsafat fenomenologis, pengalaman ini disebut Lebenswelt atau dunia-hidup, di mana manusia merasakan keterikatan eksistensial dengan alam melalui tubuh, emosi, dan persepsi.⁹ Maurice Merleau-Ponty menegaskan bahwa pengetahuan sejati tentang dunia tidak dapat dipisahkan dari cara tubuh manusia mengalami dunia itu sendiri.¹⁰ Dalam konteks stewardship, pengalaman ekologis menjadi dasar kesadaran empatik yang mendorong tanggung jawab moral terhadap makhluk hidup lainnya.

4.2.       Kesadaran Ekologis dan Dimensi Reflektif Pengetahuan

Kesadaran ekologis merupakan aspek epistemologis yang vital dalam etika stewardship. Ia bukan hanya kesadaran kognitif tentang fakta ekologis, melainkan kesadaran moral dan spiritual tentang keterhubungan semua makhluk dalam jaringan kehidupan.¹¹ Kesadaran ini muncul dari proses reflektif, di mana manusia menyadari bahwa tindakannya terhadap alam memiliki konsekuensi moral dan eksistensial. Dengan demikian, epistemologi stewardship melampaui pengetahuan proposisional menuju pengetahuan transformatif—pengetahuan yang mengubah cara manusia berpikir dan bertindak dalam dunia.¹²

Aldo Leopold, dalam Land Ethic, menekankan pentingnya kesadaran ekologis sebagai bentuk evolusi moral manusia. Menurutnya, “manusia menjadi beretika ketika ia mampu memperluas rasa tanggung jawabnya tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada tanah, air, hewan, dan seluruh komunitas biotik.”¹³ Kesadaran seperti ini merupakan hasil dari refleksi moral yang mendalam—suatu bentuk “pengetahuan yang dihidupi” (lived knowledge) yang tidak hanya dihasilkan oleh intelek, tetapi juga oleh hati nurani dan empati ekologis.¹⁴

Dalam konteks teologis, kesadaran ekologis juga merupakan kesadaran akan kehadiran ilahi dalam seluruh ciptaan. Thomas Berry menyebutnya sebagai cosmological consciousness, yakni kesadaran bahwa seluruh alam semesta merupakan partisipasi dalam kehidupan ilahi.¹⁵ Dalam kesadaran semacam ini, mengetahui berarti menyatu dengan ciptaan dalam relasi kasih dan penghormatan. Pengetahuan yang sejati bukanlah dominasi, melainkan partisipasi dalam misteri keberadaan.¹⁶

4.3.       Dimensi Tanggung Jawab: Dari Pengetahuan ke Etika Praktis

Dalam kerangka stewardship ethics, pengetahuan tidak berhenti pada pengenalan intelektual, melainkan menuntut perwujudan dalam tanggung jawab moral. Pengetahuan sejati melahirkan tindakan etis; knowing berarti acting responsibly.¹⁷ Hans Jonas merumuskan prinsip etis ini dalam imperatif moralnya: “Act so that the effects of your action are compatible with the permanence of genuine human life on Earth.”¹⁸ Dengan kata lain, pengetahuan ekologis mengandung kewajiban untuk bertindak demi keberlanjutan kehidupan.

Tanggung jawab epistemik ini bersifat intergenerasional—manusia wajib mempertimbangkan dampak pengetahuannya terhadap generasi yang akan datang.¹⁹ Etika stewardship menolak pengetahuan yang bebas nilai (value-free knowledge) dan menegaskan bahwa setiap bentuk pengetahuan, terutama pengetahuan ilmiah, harus diarahkan pada pemeliharaan kehidupan, bukan destruksi ekologis.²⁰ Karenanya, epistemologi stewardship memulihkan kembali keterkaitan antara pengetahuan, kebijaksanaan (wisdom), dan kebajikan (virtue).²¹

Secara keseluruhan, epistemologi Stewardship Ethics menunjukkan bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang berakar pada kesadaran moral dan diwujudkan dalam tanggung jawab ekologis. Ia menuntut sintesis antara rasio, wahyu, dan pengalaman—suatu bentuk ecological rationality yang melampaui batas epistemologi modern. Dalam kerangka ini, manusia tidak hanya mengenal dunia, tetapi juga berjanji untuk menjaganya.


Footnotes

¹ Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 91–92.
² Val Plumwood, Environmental Culture: The Ecological Crisis of Reason (London: Routledge, 2002), 28–30.
³ James A. Nash, Loving Nature: Ecological Integrity and Christian Responsibility (Nashville: Abingdon Press, 1991), 13–15.
⁴ Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 45–46.
⁵ Ibrahim Özdemir, Toward an Islamic Environmental Ethics: A Perspective from the Qur’an and Sunnah (Ankara: Center for Islamic Studies, 2003), 51–52.
⁶ Bryan Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 32–33.
⁷ Andrew Brennan and Yeuk-Sze Lo, Understanding Environmental Philosophy (Durham: Acumen, 2010), 75–77.
⁸ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–7.
⁹ Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 108–109.
¹⁰ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 122–123.
¹¹ Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 203–204.
¹² David Abram, The Spell of the Sensuous (New York: Pantheon Books, 1996), 68–70.
¹³ Leopold, A Sand County Almanac, 224–225.
¹⁴ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 112–114.
¹⁵ Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 49–50.
¹⁶ Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 57–59.
¹⁷ Bryan G. Norton, Why Preserve Natural Variety? (Princeton: Princeton University Press, 1987), 93–94.
¹⁸ Jonas, The Imperative of Responsibility, 11.
¹⁹ Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 101–103.
²⁰ Andrew Light and Holmes Rolston III, Environmental Ethics: An Anthology (Malden: Blackwell, 2003), 35–37.
²¹ Henryk Skolimowski, Eco-Philosophy: Designing New Tactics for Living (London: Marion Boyars, 1981), 64–65.


5.           Aksiologi dan Etika Praktis Stewardship

Aksiologi Stewardship Ethics menyoroti dimensi nilai dan praksis moral yang menjadi dasar tindakan manusia terhadap alam. Dalam kerangka ini, nilai-nilai etis tidak hanya berorientasi pada kepentingan manusia, tetapi juga pada keberlanjutan kehidupan secara menyeluruh.¹ Etika stewardship menekankan bahwa setiap tindakan manusia terhadap lingkungan harus mencerminkan tanggung jawab, keadilan, dan penghormatan terhadap ciptaan. Aksiologi ini dengan demikian bersifat holistik dan teleologis: nilai moral tertinggi bukan terletak pada penguasaan atas alam, melainkan pada pemeliharaan keseimbangannya demi keberlanjutan kosmos.²

5.1.       Nilai-Nilai Dasar dalam Etika Stewardship

Nilai-nilai dasar dalam stewardship ethics meliputi tanggung jawab moral, keadilan ekologis, moderasi, dan keberlanjutan. Pertama, tanggung jawab moral menjadi prinsip utama yang menuntun hubungan manusia dengan alam. Hans Jonas menekankan bahwa kemajuan teknologi modern memperluas jangkauan tindakan manusia hingga ke skala planet, sehingga tanggung jawab moral juga harus diperluas ke masa depan dan seluruh komunitas biotik.³ Dalam pandangan ini, manusia wajib bertindak sedemikian rupa agar hasil perbuatannya tetap selaras dengan kelangsungan kehidupan di bumi.⁴

Kedua, prinsip keadilan ekologis (ecological justice) menekankan kesetaraan moral antara manusia dan makhluk hidup lainnya. Robin Attfield menyatakan bahwa semua makhluk memiliki nilai intrinsik yang layak dihormati, sehingga tindakan manusia harus mempertimbangkan kesejahteraan non-manusia sebagai bagian dari keadilan moral.⁵ Keadilan ekologis juga mencakup keadilan antargenerasi, yakni kewajiban moral untuk melindungi hak-hak ekologis generasi mendatang.⁶

Ketiga, nilai moderasi (temperance) dan kesederhanaan hidup (simplicity of life) menjadi ekspresi kebajikan moral dalam etika stewardship. Prinsip ini menolak hedonisme konsumtif dan mengajarkan keseimbangan antara kebutuhan dan pelestarian sumber daya alam.⁷ Dalam pandangan etika kebajikan Aristotelian, moderasi adalah ekspresi dari phronesis—kebijaksanaan praktis yang menuntun manusia pada harmoni dengan alam.⁸ Nilai terakhir, keberlanjutan (sustainability), menekankan dimensi temporal dari tanggung jawab ekologis. Sebagaimana ditegaskan oleh Bryan Norton, keberlanjutan bukan sekadar konsep teknis, tetapi nilai moral yang merefleksikan kesadaran akan kontinuitas kehidupan.⁹

5.2.       Praksis Etika: Implementasi dalam Kebijakan dan Kehidupan

Etika stewardship tidak berhenti pada tataran ide, tetapi harus diwujudkan dalam praksis sosial, politik, dan ekonomi.¹⁰ Dalam bidang kebijakan publik, prinsip stewardship menuntut penerapan regulasi yang menjamin keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian alam. Prinsip “use without abuse” menjadi pedoman bagi kebijakan lingkungan yang berkeadilan ekologis.¹¹ Pemerintah, korporasi, dan individu semuanya memiliki peran dalam menjalankan tanggung jawab kolektif menjaga integritas ekosistem.

Dalam konteks ekonomi, etika stewardship mendorong model pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menempatkan nilai moral di atas nilai pasar.¹² Amartya Sen menegaskan bahwa pembangunan sejati tidak diukur dari pertumbuhan ekonomi semata, melainkan dari kemampuan manusia untuk menjalani kehidupan yang bermartabat dan selaras dengan alam.¹³ Oleh karena itu, praktik ekonomi yang berlandaskan stewardship menolak eksploitasi berlebihan dan mendukung ekonomi sirkular yang menghargai daur kehidupan alam.

Dalam bidang pendidikan dan budaya, etika stewardship harus diinternalisasikan melalui pendidikan ekologis yang menumbuhkan kesadaran moral terhadap bumi.¹⁴ Thomas Berry menekankan perlunya “ecozoic consciousness”, yakni kesadaran baru yang menempatkan manusia sebagai bagian dari komunitas bumi, bukan sebagai penguasa.¹⁵ Pendidikan semacam ini bertujuan membentuk karakter ekologis yang berlandaskan pada cinta, empati, dan rasa tanggung jawab terhadap makhluk lain.

Selain itu, praksis stewardship juga diwujudkan dalam spiritualitas ekologis, yakni kesadaran religius bahwa menjaga bumi merupakan bagian dari panggilan moral dan ibadah.¹⁶ Dalam tradisi Kristen, tindakan merawat ciptaan dipandang sebagai bentuk kasih kepada Tuhan yang diwujudkan melalui kasih kepada dunia ciptaan-Nya.¹⁷ Dalam Islam, hal ini selaras dengan konsep ‘ibadah khalifah, di mana mengelola alam dengan adil adalah bagian dari ketaatan kepada Allah.¹⁸ Dengan demikian, spiritualitas ekologis memberikan fondasi eksistensial bagi praksis moral manusia terhadap lingkungan.

5.3.       Etika Tindakan dan Kebajikan Ekologis

Aksiologi stewardship juga berkaitan erat dengan etika kebajikan (virtue ethics). Etika ini tidak hanya menilai benar-salah tindakan, tetapi juga menilai kualitas karakter yang membimbing tindakan tersebut.¹⁹ Dalam konteks ekologis, kebajikan seperti kebijaksanaan (prudence), kerendahan hati (humility), dan rasa syukur (gratitude) menjadi dasar perilaku etis terhadap alam.²⁰ Holmes Rolston III menegaskan bahwa kebajikan ekologis bukan sekadar kewajiban moral, melainkan bentuk cinta aktif terhadap kehidupan.²¹

Kerendahan hati ekologis (ecological humility) sangat penting dalam etika stewardship, karena ia mengajarkan bahwa manusia bukan pusat kosmos, melainkan bagian dari sistem kehidupan yang lebih luas.²² Kebajikan ini menuntun manusia untuk mengakui keterbatasannya dan menghindari sikap dominatif terhadap alam. Di sisi lain, kebajikan rasa syukur memupuk penghargaan terhadap anugerah kehidupan dan memotivasi tindakan pelestarian.²³ Dengan demikian, praksis stewardship bukan hanya tentang “mengetahui yang benar”, tetapi juga “menjadi pribadi yang benar”—yakni pribadi yang hidup selaras dengan nilai-nilai kosmis dan ekologis.


Secara keseluruhan, aksiologi dan etika praktis Stewardship membentuk kerangka nilai yang memadukan tanggung jawab moral, kebajikan karakter, dan kesadaran spiritual dalam relasi manusia dengan alam. Etika ini mengarahkan tindakan manusia dari eksploitasi menuju pemeliharaan, dari dominasi menuju partisipasi, dan dari kepemilikan menuju pelayanan. Melalui penerapan nilai-nilai ini, Stewardship Ethics menjadi dasar moral bagi transformasi peradaban menuju tatanan ekologis yang berkelanjutan dan bermartabat.


Footnotes

¹ Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 107–108.
² Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 56–57.
³ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–7.
⁴ Ibid., 11.
⁵ Robin Attfield, The Ethics of Environmental Concern (Athens: University of Georgia Press, 1991), 92–94.
⁶ Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 101–103.
⁷ Karen Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on What It Is and Why It Matters (Bloomington: Indiana University Press, 2000), 121–123.
⁸ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W. D. Ross (Oxford: Oxford University Press, 1980), 110–111.
⁹ Bryan Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 32–33.
¹⁰ Andrew Light and Holmes Rolston III, Environmental Ethics: An Anthology (Malden: Blackwell, 2003), 42–44.
¹¹ Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 225–226.
¹² Herman E. Daly, Steady-State Economics (Washington, D.C.: Island Press, 1991), 12–14.
¹³ Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 243–245.
¹⁴ David Orr, Ecological Literacy: Education and the Transition to a Postmodern World (Albany: SUNY Press, 1992), 87–89.
¹⁵ Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 49–50.
¹⁶ Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, D.C.: Island Press, 2014), 17–18.
¹⁷ James A. Nash, Loving Nature: Ecological Integrity and Christian Responsibility (Nashville: Abingdon Press, 1991), 53–55.
¹⁸ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 23–25.
¹⁹ Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 166–167.
²⁰ Philip Cafaro, Thoreau’s Living Ethics: Walden and the Pursuit of Virtue (Athens: University of Georgia Press, 2004), 132–134.
²¹ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 112–114.
²² Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 70–72.
²³ Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman and Todd, 2008), 45–47.


6.           Kritik terhadap Konsep Stewardship

Meskipun Stewardship Ethics menawarkan paradigma etis yang penting dalam membangun kesadaran ekologis, konsep ini tidak luput dari kritik tajam baik dari perspektif filsafat lingkungan, teologi, maupun etika sekuler. Kritik-kritik tersebut pada umumnya berpusat pada tiga hal: (1) kecenderungan antroposentris yang tetap melekat dalam gagasan stewardship; (2) problem paternalistik dalam relasi manusia-alam; serta (3) keterbatasan teologis yang menjadikan etika ini kurang inklusif bagi masyarakat sekuler atau pluralistik. Kritik ini memperlihatkan bahwa, meskipun stewardship ethics berniat menumbuhkan tanggung jawab ekologis, dalam praktiknya ia masih mewarisi struktur dominasi manusia atas alam yang justru menjadi akar krisis ekologis modern.¹

6.1.       Kritik Antroposentris: Warisan Dominasi Manusia atas Alam

Kritik pertama datang dari kalangan deep ecology dan ekofeminisme, yang menilai bahwa stewardship ethics tetap berangkat dari asumsi antroposentris. Arne Naess, tokoh deep ecology, berpendapat bahwa walaupun stewardship menuntut manusia untuk bertanggung jawab terhadap alam, ia tetap menempatkan manusia sebagai pusat moral yang menentukan nilai-nilai bagi makhluk lain.² Dengan demikian, relasi manusia dengan alam masih bersifat hierarkis, di mana manusia menjadi penjaga “dari atas,” bukan bagian yang setara di dalam komunitas ekologis.³

Val Plumwood mengajukan kritik serupa melalui analisis ekofeminisnya terhadap dualisme patriarkal dalam filsafat Barat. Menurutnya, stewardship ethics mempertahankan pola pikir “penguasa yang baik” (benevolent dominion), yang sekalipun mengedepankan tanggung jawab, tetap mengandaikan posisi manusia sebagai pihak yang lebih tinggi dari alam.⁴ Dengan kata lain, stewardship gagal sepenuhnya mendekonstruksi paradigma dominasi; ia hanya melunakkannya dengan moralitas paternalistik.⁵

Kritik ini juga menyentuh aspek teologis: gagasan manusia sebagai “wakil Tuhan” atau “penatalayan ciptaan” dalam tradisi Yudeo-Kristen dianggap berpotensi melanggengkan hierarki ontologis antara manusia dan alam.⁶ Dalam konteks sejarah, sebagaimana dikemukakan Lynn White Jr., tafsir antroposentris atas kitab Kejadian menjadi salah satu penyebab krisis ekologi modern.⁷ Oleh karena itu, sebagian pemikir menilai bahwa stewardship ethics tidak cukup radikal untuk menumbuhkan kesadaran ekologis yang sejati, karena masih berakar pada pandangan dunia yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai moral.⁸

6.2.       Kritik Ekofeminisme dan Paradigma Relasi yang Paternalistik

Kalangan ekofeminis seperti Karen Warren dan Carolyn Merchant menilai bahwa stewardship ethics mencerminkan logika patriarkal yang sama dengan struktur sosial yang menindas perempuan dan alam.⁹ Warren berargumen bahwa konsep “penatalayan” secara implisit memperkuat relasi kuasa—di mana manusia dianggap sebagai pihak yang lebih bijak dan rasional, sedangkan alam diposisikan sebagai entitas pasif yang perlu diatur.¹⁰ Merchant menambahkan bahwa, meskipun niatnya menjaga alam, stewardship tetap mengekalkan relasi dominasi halus, menggantikan eksploitasi langsung dengan pengawasan paternalistik.¹¹

Kritik ekofeminis ini mengajak pada pergeseran paradigma dari “pengelolaan” menuju “kebersamaan ekologis” (ecological partnership).¹² Dalam pandangan ini, manusia seharusnya tidak berperan sebagai pengawas moral atas alam, melainkan sebagai mitra sejajar dalam jaringan kehidupan.¹³ Etika yang berakar pada empati, kasih, dan kesalingterhubungan—bukan pengawasan atau kontrol—lebih sesuai dengan visi ekologis yang membebaskan.¹⁴

6.3.       Kritik Sekuler: Keterbatasan Dasar Teologis dan Inklusivitas

Kritik ketiga berasal dari pendekatan sekuler dan humanistik, yang menyoroti keterbatasan stewardship ethics karena fondasinya yang teosentris.¹⁵ Dalam tradisi teologi Kristen dan Islam, konsep stewardship bergantung pada gagasan tentang Tuhan sebagai pemilik dunia, sementara manusia adalah wakil atau pelayan-Nya. Bagi masyarakat sekuler atau pluralistik, dasar teologis ini sulit diterima karena mengasumsikan sistem kepercayaan tertentu.¹⁶

Selain itu, kritik sekuler juga menyoroti bahwa etika stewardship sering gagal menghadapi realitas ekonomi dan politik global yang menjadi akar kerusakan lingkungan.¹⁷ Holmes Rolston III, meskipun mendukung stewardship ethics, mengakui bahwa moralitas pribadi tidak cukup tanpa perubahan struktural dalam sistem produksi dan konsumsi global.¹⁸ Sementara itu, pemikir pragmatis seperti Bryan Norton menilai bahwa etika ekologis yang efektif harus berorientasi pada hasil nyata (consequential environmental ethics), bukan hanya pada kewajiban moral yang bersifat ideal.¹⁹

Dalam kerangka ini, kritik sekuler mengusulkan rekonstruksi etika stewardship agar bersifat lebih universal, berbasis pada prinsip rasionalitas ekologis dan tanggung jawab global, tanpa bergantung pada otoritas religius.²⁰

6.4.       Kritik Posthumanisme: Menembus Batas Manusia-Sentra

Selain tiga arus besar di atas, muncul pula kritik dari perspektif posthumanisme dan filsafat materialisme baru, yang menolak setiap bentuk etika yang masih berpusat pada manusia, bahkan dalam bentuk “penatalayan yang bijaksana.”²¹ Donna Haraway dan Bruno Latour, misalnya, mengajukan paradigma more-than-human ethics, di mana subjek moral bukan hanya manusia, tetapi juga spesies lain, teknologi, dan sistem ekologis.²² Dalam pandangan ini, stewardship ethics dianggap masih terlalu antroposentris dan moralistik, karena tidak mengakui agensi (daya-tindak) non-manusia sebagai bagian dari jaringan moralitas dunia.²³

Bagi para pemikir posthumanis, etika masa depan harus bersifat distributif, bukan hierarkis—yakni membagikan tanggung jawab moral di antara semua entitas yang berpartisipasi dalam jaringan kehidupan.²⁴ Dengan demikian, stewardship ethics perlu ditransformasikan menjadi bentuk etika ko-evolusioner, di mana manusia, teknologi, dan alam berinteraksi dalam sistem moral yang saling membentuk.²⁵


Secara keseluruhan, kritik-kritik terhadap Stewardship Ethics memperlihatkan bahwa, meskipun etika ini berperan penting dalam mempromosikan tanggung jawab ekologis, ia masih menyimpan keterbatasan konseptual dan praksis. Paradigma ini perlu melampaui warisan antroposentris dan teosentris menuju bentuk etika ekologis yang lebih egaliter, partisipatif, dan non-dominatif. Reformulasi stewardship ethics dalam arah ekosentris, dialogis, dan posthumanis dapat membuka jalan bagi transformasi etika lingkungan yang lebih inklusif dan relevan dengan tantangan planet masa kini.


Footnotes

¹ Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 41–43.
² Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–29.
³ Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New York Press, 1990), 57–58.
⁴ Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 70–72.
⁵ Ibid., 74.
⁶ John B. Cobb Jr., Is It Too Late? A Theology of Ecology (Beverly Hills: Bruce Publishing, 1972), 33–34.
⁷ Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–1207.
⁸ Roderick Nash, The Rights of Nature: A History of Environmental Ethics (Madison: University of Wisconsin Press, 1989), 52–53.
⁹ Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on What It Is and Why It Matters (Bloomington: Indiana University Press, 2000), 122–124.
¹⁰ Ibid., 127.
¹¹ Carolyn Merchant, Earthcare: Women and the Environment (New York: Routledge, 1995), 89–90.
¹² Warren, Ecofeminist Philosophy, 135–136.
¹³ Merchant, Earthcare, 92.
¹⁴ Mary Mellor, Feminism and Ecology (Cambridge: Polity Press, 1997), 85–87.
¹⁵ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 116–117.
¹⁶ Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 109–110.
¹⁷ Bryan G. Norton, Why Preserve Natural Variety? (Princeton: Princeton University Press, 1987), 95–97.
¹⁸ Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 102–104.
¹⁹ Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management, 49–50.
²⁰ Andrew Brennan and Yeuk-Sze Lo, Understanding Environmental Philosophy (Durham: Acumen, 2010), 86–88.
²¹ Cary Wolfe, What Is Posthumanism? (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2010), 120–122.
²² Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 97–99.
²³ Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine Porter (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 136–138.
²⁴ Haraway, Staying with the Trouble, 105–106.
²⁵ Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 89–90.


7.           Relevansi Kontemporer Stewardship Ethics

Konsep Stewardship Ethics tetap memiliki relevansi yang sangat besar dalam menghadapi tantangan ekologis dan sosial di era kontemporer. Di tengah krisis iklim, ketimpangan sosial-ekologis, dan degradasi nilai-nilai spiritual akibat modernitas teknologis, stewardship menawarkan paradigma etika yang mengintegrasikan tanggung jawab moral, kesadaran ekologis, serta spiritualitas kosmik.¹ Relevansinya mencakup tiga ranah utama: (1) etika global terhadap perubahan iklim dan keberlanjutan, (2) transformasi sosial melalui kebijakan dan pendidikan ekologis, dan (3) pembaruan spiritualitas manusia dalam konteks planet yang rapuh.

7.1.       Etika Global dan Krisis Iklim

Dalam konteks krisis iklim, stewardship ethics menjadi dasar moral bagi gerakan keberlanjutan global.² Etika ini menolak pandangan antroposentris dan ekonomi pertumbuhan tanpa batas, yang telah mendorong eksploitasi sumber daya alam secara destruktif.³ Prinsip stewardship mengajarkan bahwa bumi bukan milik manusia, melainkan amanah yang harus dijaga demi kesejahteraan seluruh makhluk hidup dan generasi mendatang.⁴

Prinsip ini secara eksplisit diakui dalam berbagai dokumen etika global, seperti Laudato Si’ (2015) oleh Paus Fransiskus, yang menyerukan “ecological conversion”—yakni perubahan kesadaran manusia menuju tanggung jawab ekologis dan solidaritas universal.⁵ Paus Fransiskus menekankan bahwa manusia dipanggil untuk menjadi penjaga ciptaan (guardians of creation), bukan penguasa yang rakus.⁶ Perspektif ini juga menemukan gaung dalam inisiatif antaragama seperti Faith for Earth dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menegaskan peran komunitas religius dalam memajukan etika ekologis global.⁷

Selain ranah moral keagamaan, stewardship ethics juga memiliki relevansi dalam kerangka sekuler dan ilmiah. Konsep keberlanjutan dalam United Nations Sustainable Development Goals (SDGs) mencerminkan nilai-nilai stewardship, terutama dalam tujuan ke-13 (“Climate Action”) dan ke-15 (“Life on Land”), yang menuntut tanggung jawab manusia terhadap bumi secara kolektif dan berkeadilan.⁸ Dalam pengertian ini, stewardship berfungsi sebagai prinsip normatif yang menautkan etika lingkungan dengan politik global keberlanjutan.⁹

7.2.       Transformasi Sosial dan Pendidikan Ekologis

Relevansi kontemporer stewardship ethics juga tampak dalam bidang pendidikan dan transformasi sosial. Dunia modern menghadapi krisis epistemik di mana pengetahuan sering terpisah dari kebijaksanaan moral.¹⁰ Dalam situasi ini, etika stewardship menawarkan paradigma pendidikan baru yang mengintegrasikan rasionalitas ilmiah dengan kesadaran etis dan spiritual.¹¹ David Orr menyebut pendidikan ekologis sebagai “pendidikan untuk kehidupan yang bertanggung jawab,” yakni pendidikan yang membentuk manusia sebagai warga ekologis (ecological citizens) yang sadar akan tanggung jawabnya terhadap sistem kehidupan.¹²

Di tingkat praktis, banyak lembaga pendidikan dan komunitas keagamaan mulai mengadopsi prinsip stewardship dalam kurikulum dan gaya hidup berkelanjutan.¹³ Misalnya, konsep Green Campus, Eco-School, dan Faith-Based Environmental Education merupakan implementasi nyata dari nilai-nilai stewardship: memelihara bumi melalui perubahan perilaku, kesadaran, dan tata kelola institusional.¹⁴ Dalam masyarakat yang lebih luas, nilai stewardship menumbuhkan solidaritas ekologis lintas budaya dan agama—sebuah landasan penting untuk membangun moralitas global berbasis empati ekologis.¹⁵

Selain pendidikan, konsep ini juga relevan bagi kebijakan publik dan etika ekonomi.¹⁶ Dalam ekonomi modern yang didominasi oleh kapitalisme konsumtif, prinsip stewardship dapat menjadi kerangka etis bagi ekonomi berkelanjutan, ekonomi hijau, dan ekonomi sirkular.¹⁷ Prinsip “gunakan tanpa merusak” (use without abuse) dan “keuntungan untuk keberlanjutan” (profit for sustainability) dapat dijadikan dasar moral bagi tata kelola korporasi dan kebijakan industri yang bertanggung jawab terhadap alam.¹⁸

7.3.       Spiritualitas Ekologis dan Kesadaran Planet

Relevansi lain dari stewardship ethics adalah kebangkitannya dalam spiritualitas ekologis kontemporer, yang berupaya menghidupkan kembali hubungan sakral manusia dengan bumi.¹⁹ Thomas Berry menegaskan bahwa krisis ekologis modern adalah krisis spiritualitas: manusia kehilangan rasa hormat terhadap bumi sebagai “komunitas suci kehidupan.”²⁰ Dalam kerangka ini, stewardship ethics berfungsi bukan sekadar sebagai etika moral, tetapi sebagai jalan pembaruan kesadaran spiritual.²¹

Spiritualitas stewardship menumbuhkan kesadaran bahwa segala bentuk kehidupan merupakan partisipasi dalam kehidupan ilahi—sebuah kesatuan kosmik yang mengandung nilai intrinsik.²² Dalam pandangan ini, tanggung jawab ekologis tidak hanya bersumber dari kewajiban moral, tetapi juga dari rasa syukur dan cinta terhadap kehidupan.²³ Pandangan ini bersesuaian dengan gerakan eco-spirituality dan interfaith ecology, yang menekankan peran agama dalam mengembalikan keseimbangan kosmos melalui tindakan praktis menjaga bumi.²⁴

Secara filosofis, kesadaran ekologis dalam stewardship ethics dapat dipahami sebagai bentuk kesadaran planet (planetary consciousness), sebagaimana diusulkan oleh Edgar Morin dan Ervin Laszlo.²⁵ Mereka menegaskan bahwa masa depan manusia hanya dapat dijamin jika manusia menyadari dirinya sebagai bagian dari sistem bumi yang hidup. Dalam konteks ini, stewardship ethics tidak hanya relevan bagi agama atau filsafat moral, tetapi juga bagi peradaban global yang sedang mencari keseimbangan antara teknologi dan kebijaksanaan ekologis.²⁶


Secara keseluruhan, relevansi kontemporer Stewardship Ethics terletak pada kemampuannya menjembatani antara etika, kebijakan, dan spiritualitas dalam menghadapi tantangan ekologis global. Ia menawarkan paradigma moral yang melampaui sekat-sekat ideologis—menggabungkan ilmu, iman, dan tindakan dalam satu visi keberlanjutan planet. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh ekonomi dan politik, stewardship mengingatkan bahwa manusia bukan penguasa dunia, melainkan penjaga kehidupan yang bertanggung jawab atas masa depan bumi.²⁷


Footnotes

¹ Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 118–120.
² Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 99–101.
³ Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 36–37.
⁴ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 10–12.
⁵ Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 47–48.
⁶ Ibid., 53.
⁷ United Nations Environment Programme, Faith for Earth: A Call for Action (Nairobi: UNEP, 2020), 7–9.
⁸ United Nations, Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development (New York: UN, 2015), 14–16.
⁹ Andrew Light and Holmes Rolston III, Environmental Ethics: An Anthology (Malden: Blackwell, 2003), 52–54.
¹⁰ Val Plumwood, Environmental Culture: The Ecological Crisis of Reason (London: Routledge, 2002), 98–100.
¹¹ David Orr, Ecological Literacy: Education and the Transition to a Postmodern World (Albany: SUNY Press, 1992), 84–86.
¹² Ibid., 90.
¹³ Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, D.C.: Island Press, 2014), 15–16.
¹⁴ Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton, Longman and Todd, 2008), 51–53.
¹⁵ Ibrahim Özdemir, Toward an Islamic Environmental Ethics: A Perspective from the Qur’an and Sunnah (Ankara: Center for Islamic Studies, 2003), 62–63.
¹⁶ Herman E. Daly, Steady-State Economics (Washington, D.C.: Island Press, 1991), 14–15.
¹⁷ Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 247–249.
¹⁸ Daly, Steady-State Economics, 19–20.
¹⁹ Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 54–56.
²⁰ Ibid., 58–59.
²¹ Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 56–57.
²² Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 45–46.
²³ Mary Evelyn Tucker, The Philosophy of Qi: The Ethics of a Connected Universe (Cambridge: Harvard University Center for the Study of World Religions, 2001), 32–33.
²⁴ Tucker and Grim, Ecology and Religion, 22–24.
²⁵ Edgar Morin and Anne Brigitte Kern, Homeland Earth: A Manifesto for the New Millennium (London: Pinter, 1999), 11–13.
²⁶ Ervin Laszlo, Macroshift: Navigating the Transformation to a Sustainable World (San Francisco: Berrett-Koehler, 2001), 29–31.
²⁷ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 120–121.


8.           Sintesis Filosofis

Etika stewardship merupakan hasil sintesis filosofis yang memadukan unsur teologis, moral, dan ekologis ke dalam suatu pandangan dunia (Weltanschauung) yang komprehensif tentang tanggung jawab manusia terhadap alam. Ia bukan sekadar sistem etika normatif, melainkan paradigma filosofis yang menata kembali relasi ontologis, epistemologis, dan aksiologis manusia dengan dunia.¹ Dalam perspektif ini, Stewardship Ethics berfungsi sebagai jembatan antara kesadaran spiritual dan rasionalitas ekologis, antara iman dan ilmu, serta antara kebebasan manusia dan keterbatasan kosmisnya.²

8.1.       Integrasi Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Secara ontologis, stewardship mengakui keberadaan manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang lebih luas—bukan entitas otonom yang berdiri di atas alam, tetapi makhluk moral yang eksistensinya saling terkait dengan seluruh ciptaan.³ Ontologi ini menegaskan bahwa segala sesuatu memiliki nilai intrinsik, dan manusia menemukan makna keberadaannya dalam relasi harmonis dengan dunia.⁴ Dengan demikian, prinsip dasar ontologis dari stewardship adalah ko-eksistensi dan interdependensi: manusia tidak dapat hidup tanpa alam, sebagaimana alam memerlukan manusia untuk dijaga dan dilestarikan.⁵

Dari sisi epistemologis, stewardship ethics memadukan tiga sumber pengetahuan moral: wahyu, rasionalitas, dan pengalaman ekologis.⁶ Wahyu memberikan orientasi transendental mengenai tujuan moral manusia sebagai penjaga ciptaan; rasionalitas menuntun manusia untuk menimbang akibat moral dari tindakannya; dan pengalaman ekologis memperdalam pemahaman eksistensial tentang keterhubungan manusia dengan dunia hidup (Lebenswelt).⁷ Epistemologi semacam ini bersifat reflektif dan partisipatif—pengetahuan bukan hasil dominasi terhadap objek, melainkan hasil keterlibatan penuh manusia dalam kehidupan yang dijalaninya.⁸

Secara aksiologis, stewardship ethics menegaskan nilai-nilai moral universal: tanggung jawab, keadilan ekologis, kesederhanaan, solidaritas, dan keberlanjutan.⁹ Nilai-nilai ini mengarahkan tindakan manusia untuk tidak hanya mempertahankan kehidupan, tetapi juga menghormati keindahan, keseimbangan, dan kesucian ciptaan.¹⁰ Dengan demikian, etika stewardship mengandung horizon normatif yang tidak berhenti pada perilaku etis individu, tetapi juga meliputi struktur sosial, politik, dan ekonomi yang mendukung keberlanjutan ekologis global.¹¹

8.2.       Sintesis antara Spiritualitas dan Rasionalitas Ekologis

Salah satu kekuatan konseptual stewardship ethics terletak pada kemampuannya untuk mensintesiskan spiritualitas dan rasionalitas ekologis dalam satu kerangka moral yang utuh.¹² Dalam dunia modern yang cenderung memisahkan iman dari ilmu, stewardship menawarkan paradigma integratif di mana spiritualitas tidak menolak sains, tetapi memberikan arah etis bagi penggunaannya.¹³ Sebagaimana ditegaskan oleh Thomas Berry, manusia modern harus mengalami “ecological conversion”—sebuah transformasi kesadaran yang mengembalikan hubungan sakral antara manusia dan bumi.¹⁴

Dengan demikian, spiritualitas dalam stewardship bukanlah mistisisme yang menjauh dari dunia, tetapi kesadaran aktif bahwa seluruh ciptaan adalah refleksi dari nilai ilahi yang harus dihormati.¹⁵ Kesadaran ini membangun rational compassion—yakni kasih yang disertai pemahaman rasional tentang sistem kehidupan.¹⁶ Maka, etika stewardship menjadi jalan tengah antara religiositas yang dogmatis dan rasionalisme yang dingin: ia membentuk moralitas yang hangat, reflektif, dan berakar pada cinta terhadap kehidupan.¹⁷

8.3.       Rekonstruksi Etika Manusia dalam Kosmos

Secara filosofis, stewardship ethics merekonstruksi posisi manusia dalam kosmos dari paradigma dominasi menuju paradigma partisipasi.¹⁸ Jika modernitas menempatkan manusia sebagai subjek penakluk alam (homo faber), maka stewardship menegaskan manusia sebagai penjaga kehidupan (homo custus).¹⁹ Perubahan ini memiliki implikasi mendalam bagi filsafat moral dan politik: kekuasaan harus dipahami sebagai tanggung jawab, bukan hak; dan kemajuan harus diukur berdasarkan keseimbangan, bukan eksploitasi.²⁰

Dalam pengertian ini, stewardship mengandung semangat etika Hans Jonas yang menuntut manusia bertindak dengan memperhatikan keberlanjutan kehidupan masa depan.²¹ Jonas menulis, “Act so that the effects of your actions are compatible with the permanence of genuine life on Earth.”²² Prinsip tanggung jawab ini menjadi dasar moral universal dalam dunia global yang terancam oleh krisis ekologi dan teknologi.

Lebih jauh, stewardship ethics mengafirmasi apa yang disebut Holmes Rolston III sebagai “value in the natural world”—bahwa alam memiliki nilai moral yang tidak bergantung pada kebermanfaatan bagi manusia.²³ Dengan mengakui nilai tersebut, manusia tidak lagi bertindak sebagai penguasa, tetapi sebagai mitra moral dalam komunitas biotik.²⁴ Maka, tindakan etis dalam stewardship adalah bentuk solidaritas kosmik: menjaga alam berarti menjaga diri sendiri, karena keduanya merupakan bagian dari satu kehidupan yang sama.²⁵

8.4.       Stewardship sebagai Etika Planetary dan Dialogis

Dalam era globalisasi dan krisis iklim, stewardship ethics memperoleh makna baru sebagai etika planetary (planetary ethics).²⁶ Ia melampaui batas-batas agama, bangsa, dan budaya dengan menegaskan tanggung jawab bersama terhadap bumi sebagai rumah bersama (common home).²⁷ Edgar Morin menyebut hal ini sebagai kesadaran “homeland earth”—kesadaran bahwa umat manusia adalah satu komunitas yang hidup di bawah nasib ekologis yang sama.²⁸ Dalam kerangka ini, stewardship menjadi prinsip dialogis yang membuka ruang pertemuan antara berbagai tradisi keagamaan dan sistem moral sekuler demi tujuan bersama: kelestarian kehidupan di bumi.²⁹

Paradigma stewardship juga sejalan dengan gagasan posthumanisme ekologis, yang menolak dominasi manusia dan mengakui agensi makhluk non-manusia.³⁰ Ia mengajarkan bahwa tanggung jawab etis tidak hanya mencakup relasi antar-manusia, tetapi juga relasi dengan hewan, tumbuhan, tanah, air, dan udara.³¹ Dalam tataran ini, stewardship berevolusi dari etika keagamaan menjadi etika planet yang inklusif—suatu moralitas universal yang mendasarkan dirinya pada kesadaran akan kesalingterhubungan semua makhluk hidup.³²


Secara keseluruhan, Stewardship Ethics dapat dipandang sebagai bentuk etika sintetis yang menggabungkan ontologi partisipatif, epistemologi reflektif, dan aksiologi ekologis. Ia menawarkan visi moral baru bagi peradaban manusia—visi tentang kehidupan yang berakar pada tanggung jawab, keterhubungan, dan kasih terhadap seluruh ciptaan. Dalam konteks krisis ekologis global, sintesis ini bukan sekadar wacana moral, tetapi panggilan eksistensial: untuk hidup sebagai penjaga bumi yang rendah hati, bijaksana, dan berbelarasa.³³


Footnotes

¹ Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 122–123.
² Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 57–59.
³ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 115–117.
⁴ Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 83–84.
⁵ Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 224–225.
⁶ Ibrahim Özdemir, Toward an Islamic Environmental Ethics: A Perspective from the Qur’an and Sunnah (Ankara: Center for Islamic Studies, 2003), 53–54.
⁷ Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 108–109.
⁸ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 122–123.
⁹ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–8.
¹⁰ Bryan G. Norton, Why Preserve Natural Variety? (Princeton: Princeton University Press, 1987), 94–96.
¹¹ Andrew Light and Holmes Rolston III, Environmental Ethics: An Anthology (Malden: Blackwell, 2003), 46–48.
¹² Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 54–56.
¹³ Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 45–47.
¹⁴ Thomas Berry, The Great Work, 60–62.
¹⁵ Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, D.C.: Island Press, 2014), 20–22.
¹⁶ Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 100–102.
¹⁷ Robin Attfield, The Ethics of Environmental Concern (Athens: University of Georgia Press, 1991), 87–89.
¹⁸ Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 71–73.
¹⁹ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility, 9–11.
²⁰ Herman E. Daly, Steady-State Economics (Washington, D.C.: Island Press, 1991), 14–15.
²¹ Jonas, The Imperative of Responsibility, 12.
²² Ibid., 13.
²³ Holmes Rolston III, Environmental Ethics, 119–121.
²⁴ Aldo Leopold, A Sand County Almanac, 226.
²⁵ David Abram, The Spell of the Sensuous (New York: Pantheon Books, 1996), 58–60.
²⁶ Edgar Morin and Anne Brigitte Kern, Homeland Earth: A Manifesto for the New Millennium (London: Pinter, 1999), 11–13.
²⁷ Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 49–50.
²⁸ Morin and Kern, Homeland Earth, 17–18.
²⁹ Mary Evelyn Tucker, The Philosophy of Qi: The Ethics of a Connected Universe (Cambridge: Harvard University Center for the Study of World Religions, 2001), 35–36.
³⁰ Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 103–105.
³¹ Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine Porter (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 136–138.
³² Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 89–91.
³³ Thomas Berry, The Dream of the Earth, 59–61.


9.           Kesimpulan

Etika stewardship menampilkan sebuah paradigma moral yang menempatkan manusia bukan sebagai penguasa yang menaklukkan alam, melainkan sebagai penjaga dan pelayan kehidupan.¹ Dalam dunia modern yang ditandai oleh eksploitasi ekologis, fragmentasi moral, dan krisis spiritualitas, konsep ini menghadirkan alternatif filosofis yang menegaskan kembali kesatuan ontologis manusia dengan alam serta tanggung jawab moral terhadap kelestarian bumi.² Melalui pendekatan yang integratif—teologis, rasional, dan etis—stewardship ethics mengembalikan posisi manusia dalam kosmos sebagai makhluk yang memiliki peran etis: menjaga keteraturan, keseimbangan, dan keindahan ciptaan.³

Secara ontologis, stewardship menolak dualisme antara manusia dan alam yang diwariskan oleh modernitas.⁴ Ia menegaskan bahwa manusia dan alam berada dalam satu jaringan eksistensi yang saling bergantung dan memiliki nilai intrinsik.⁵ Dengan demikian, keberadaan manusia memperoleh makna bukan karena kemampuannya menguasai dunia, tetapi karena kemampuannya berpartisipasi dalam menjaga keberlangsungan kehidupan.⁶ Ontologi stewardship bersifat partisipatif: manusia ada di dunia sekaligus untuk dunia (being-in-and-for-the-world).⁷

Secara epistemologis, stewardship ethics mengajarkan bahwa pengetahuan sejati bukanlah hasil dari penguasaan objektif terhadap alam, melainkan buah dari kesadaran reflektif dan empatik terhadap keterhubungan seluruh ciptaan.⁸ Pengetahuan ilmiah, dalam etika ini, harus diimbangi oleh kebijaksanaan moral dan spiritualitas ekologis.⁹ Hal ini menggeser epistemologi positivistik menuju epistemologi moral-partisipatif—sebuah pengetahuan yang tidak hanya menjelaskan realitas, tetapi juga membimbing tindakan manusia terhadapnya.¹⁰

Dari sisi aksiologi, stewardship ethics memusatkan perhatian pada nilai-nilai tanggung jawab, keadilan ekologis, kesederhanaan, dan keberlanjutan.¹¹ Nilai-nilai tersebut menuntut perubahan paradigma dari eksploitasi menuju konservasi, dari kompetisi menuju koeksistensi, dan dari konsumsi menuju keseimbangan hidup.¹² Sebagaimana ditegaskan oleh Hans Jonas, tindakan manusia harus selalu diukur dengan prinsip tanggung jawab terhadap kelangsungan kehidupan di bumi.¹³ Dengan demikian, etika stewardship menuntun manusia untuk bertindak tidak hanya demi dirinya sendiri, tetapi juga demi generasi yang akan datang dan seluruh komunitas biotik.¹⁴

Relevansi kontemporer stewardship semakin jelas ketika umat manusia dihadapkan pada krisis iklim dan ancaman ekologis global.¹⁵ Dalam konteks ini, stewardship ethics tidak hanya menjadi wacana moral keagamaan, tetapi juga fondasi universal bagi etika planet (planetary ethics).¹⁶ Paradigma ini menggabungkan spiritualitas, rasionalitas ekologis, dan tanggung jawab sosial menjadi visi moral baru bagi peradaban manusia.¹⁷ Sebagaimana ditegaskan oleh Thomas Berry, umat manusia perlu mengalami “ecozoic awakening”—yakni kesadaran bahwa bumi adalah komunitas hidup yang sakral, bukan sekadar sumber daya ekonomi.¹⁸

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Stewardship Ethics merupakan sintesis filosofis antara iman dan rasio, antara moralitas dan keberlanjutan, antara manusia dan alam. Ia menegaskan bahwa tindakan etis bukanlah pilihan bebas, melainkan panggilan eksistensial yang berakar pada hakikat manusia sebagai makhluk moral dan spiritual.¹⁹ Dalam visi ini, menjaga bumi berarti menjaga martabat manusia sendiri, sebab kehidupan hanya dapat bertahan ketika manusia hidup dalam kasih, tanggung jawab, dan solidaritas terhadap seluruh ciptaan.²⁰


Footnotes

¹ Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 118–120.
² Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 56–57.
³ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 115–117.
⁴ René Descartes, Discourse on the Method, trans. John Veitch (London: Dent, 1912), 37–38.
⁵ Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 203–204.
⁶ Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 83–84.
⁷ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 52–54.
⁸ Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 108–109.
⁹ Val Plumwood, Environmental Culture: The Ecological Crisis of Reason (London: Routledge, 2002), 99–101.
¹⁰ David Abram, The Spell of the Sensuous (New York: Pantheon Books, 1996), 67–69.
¹¹ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–8.
¹² Herman E. Daly, Steady-State Economics (Washington, D.C.: Island Press, 1991), 14–15.
¹³ Jonas, The Imperative of Responsibility, 10–11.
¹⁴ Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 44–46.
¹⁵ Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, D.C.: Island Press, 2014), 16–18.
¹⁶ Edgar Morin and Anne Brigitte Kern, Homeland Earth: A Manifesto for the New Millennium (London: Pinter, 1999), 11–13.
¹⁷ Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 243–245.
¹⁸ Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 59–60.
¹⁹ Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 48–49.
²⁰ Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 53–54.


Daftar Pustaka

Abram, D. (1996). The spell of the sensuous: Perception and language in a more-than-human world. Pantheon Books.

Aristotle. (1980). Nicomachean ethics (W. D. Ross, Trans.). Oxford University Press.

Attfield, R. (1991). The ethics of environmental concern. University of Georgia Press.

Attfield, R. (2014). Environmental ethics: An overview for the twenty-first century. Polity Press.

Berry, T. (1988). The dream of the earth. Sierra Club Books.

Berry, T. (1999). The great work: Our way into the future. Bell Tower.

Braidotti, R. (2013). The posthuman. Polity Press.

Brennan, A., & Lo, Y.-S. (2010). Understanding environmental philosophy. Acumen.

Cafaro, P. (2004). Thoreau’s living ethics: Walden and the pursuit of virtue. University of Georgia Press.

Cobb, J. B., Jr. (1972). Is it too late? A theology of ecology. Bruce Publishing.

Daly, H. E. (1991). Steady-state economics (2nd ed.). Island Press.

Deane-Drummond, C. (2008). Eco-theology. Darton, Longman and Todd.

Descartes, R. (1912). Discourse on the method (J. Veitch, Trans.). Dent.

Fox, W. (1990). Toward a transpersonal ecology: Developing new foundations for environmentalism. State University of New York Press.

Haraway, D. (2016). Staying with the trouble: Making kin in the Chthulucene. Duke University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics. Oxford University Press.

Husserl, E. (1970). The crisis of European sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern University Press.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Khalid, F. (2002). Islam and the environment. Ta-Ha Publishers.

Latour, B. (1993). We have never been modern (C. Porter, Trans.). Harvard University Press.

Leopold, A. (1949). A sand county almanac. Oxford University Press.

Light, A., & Rolston, H. III. (Eds.). (2003). Environmental ethics: An anthology. Blackwell.

Merchant, C. (1995). Earthcare: Women and the environment. Routledge.

Mellor, M. (1997). Feminism and ecology. Polity Press.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Merleau-Ponty, M. (1968). The visible and the invisible (A. Lingis, Trans.). Northwestern University Press.

Morin, E., & Kern, A. B. (1999). Homeland earth: A manifesto for the new millennium. Pinter.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge University Press.

Nash, J. A. (1991). Loving nature: Ecological integrity and Christian responsibility. Abingdon Press.

Nash, R. (1989). The rights of nature: A history of environmental ethics. University of Wisconsin Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of nature. Oxford University Press.

Nasr, S. H. (1997). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. ABC International Group.

Norton, B. G. (1987). Why preserve natural variety? Princeton University Press.

Norton, B. G. (2005). Sustainability: A philosophy of adaptive ecosystem management. University of Chicago Press.

Özdemir, I. (2003). Toward an Islamic environmental ethics: A perspective from the Qur’an and Sunnah. Center for Islamic Studies.

Orr, D. (1992). Ecological literacy: Education and the transition to a postmodern world. SUNY Press.

Plumwood, V. (1993). Feminism and the mastery of nature. Routledge.

Plumwood, V. (2002). Environmental culture: The ecological crisis of reason. Routledge.

Pope Francis. (2015). Laudato si’: On care for our common home. Libreria Editrice Vaticana.

Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural world. Temple University Press.

Rolston, H. III. (1989). Philosophy gone wild: Essays in environmental ethics. Prometheus Books.

Rolston, H. III. (2012). A new environmental ethics: The next millennium for life on Earth. Routledge.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Anchor Books.

Skolimowski, H. (1981). Eco-philosophy: Designing new tactics for living. Marion Boyars.

Taylor, P. W. (1986). Respect for nature: A theory of environmental ethics. Princeton University Press.

Tucker, M. E. (2001). The philosophy of Qi: The ethics of a connected universe. Harvard University Center for the Study of World Religions.

Tucker, M. E., & Grim, J. (2014). Ecology and religion. Island Press.

Tu, W. (1989). Centrality and commonality: An essay on Confucian religiousness. State University of New York Press.

United Nations. (2015). Transforming our world: The 2030 agenda for sustainable development. United Nations.

United Nations Environment Programme. (2020). Faith for Earth: A call for action. UNEP.

Warren, K. J. (2000). Ecofeminist philosophy: A Western perspective on what it is and why it matters. Indiana University Press.

White, L. Jr. (1967). The historical roots of our ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.

Wolfe, C. (2010). What is posthumanism? University of Minnesota Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar