Stewardship Ethics
Tanggung Jawab Manusia sebagai Penatalayan Lingkungan
Alihkan ke: Etika Lingungan.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep Etika
Stewardship (Stewardship Ethics) sebagai paradigma moral dan filosofis yang
menekankan tanggung jawab manusia sebagai penjaga bumi (steward of the Earth).
Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis, tulisan
ini menelusuri asal-usul teologis stewardship dalam tradisi
Yudeo-Kristen dan Islam, perkembangannya dalam teologi ekologis modern, serta
integrasinya dalam wacana etika lingkungan kontemporer. Kajian ini menegaskan
bahwa Stewardship Ethics berakar pada pandangan dunia yang memadukan
iman dan rasionalitas ekologis, di mana manusia dipandang sebagai makhluk moral
dan spiritual yang memiliki tanggung jawab menjaga keberlanjutan kehidupan di
bumi.
Secara ontologis, stewardship menolak
dikotomi manusia–alam dan menggantinya dengan paradigma relasional yang
menempatkan manusia sebagai bagian dari komunitas biotik. Secara epistemologis,
etika ini mengedepankan pengetahuan reflektif dan partisipatif yang bersumber
dari wahyu, rasionalitas moral, dan pengalaman ekologis. Sementara secara
aksiologis, Stewardship Ethics menegakkan nilai-nilai universal seperti
tanggung jawab, keadilan ekologis, moderasi, dan keberlanjutan. Melalui
nilai-nilai tersebut, etika ini menawarkan landasan moral untuk kebijakan
publik, pendidikan lingkungan, serta spiritualitas ekologis lintas agama.
Namun, artikel ini juga mengulas kritik terhadap stewardship,
terutama dari perspektif deep ecology, ekofeminisme, dan posthumanisme,
yang menilai bahwa konsep ini masih menyimpan jejak antroposentrisme dan
paternalistik. Meskipun demikian, dalam konteks krisis ekologis global, Stewardship
Ethics tetap relevan sebagai kerangka moral universal yang memadukan iman,
rasio, dan tanggung jawab ekologis. Akhirnya, stewardship dipahami
sebagai panggilan eksistensial manusia untuk hidup dalam harmoni dengan
alam—sebagai pelayan kehidupan, bukan penguasanya.
Kata Kunci: Etika
Lingkungan, Stewardship, Tanggung Jawab Ekologis, Spiritualitas Alam, Keadilan
Ekologis, Etika Planetary, Keberlanjutan.
PEMBAHASAN
Etika Pengelolaan Alam (Stewardship Ethics)
1.          
Pendahuluan
Krisis lingkungan yang dihadapi umat manusia dewasa
ini bukan sekadar problem ekologis, melainkan juga krisis moral dan spiritual
yang mencerminkan cara manusia memandang dan memperlakukan alam. Pemanasan
global, kerusakan ekosistem, deforestasi, dan hilangnya keanekaragaman hayati
merupakan manifestasi dari paradigma antroposentris yang menempatkan manusia
sebagai pusat dan penguasa alam. Dalam konteks ini, muncul kebutuhan mendesak
untuk meninjau ulang hubungan etis antara manusia dan lingkungan hidup melalui kerangka
moral yang lebih inklusif dan berkeadilan ekologis. Salah satu konsep yang
menonjol dalam wacana etika lingkungan modern adalah Etika Stewardship (Stewardship
Ethics), yang menekankan tanggung jawab moral manusia sebagai
penatalayan atau penjaga bumi (steward of the Earth)—bukan sebagai
pemilik absolutnya.¹
Etika Stewardship berakar pada tradisi religius dan
moral, terutama dalam teologi Yudeo-Kristen, yang menggambarkan manusia sebagai
wakil Tuhan yang diberi mandat untuk “mengusahakan dan memelihara bumi”
(Kejadian 2:15).² Mandat ini bukanlah legitimasi untuk mengeksploitasi alam,
melainkan panggilan etis untuk memelihara dan menjaga keseimbangan ciptaan.
Dalam perkembangannya, konsep ini juga diinterpretasikan ulang dalam konteks
sekuler dan ilmiah, sebagai suatu bentuk etika tanggung jawab ekologis
yang menuntut kesadaran manusia terhadap keterbatasan sumber daya alam dan
kewajiban moral untuk melestarikannya bagi generasi mendatang.³ Dengan
demikian, stewardship ethics memadukan dimensi teologis, ekologis, dan
etis dalam satu kerangka normatif yang memandu tindakan manusia terhadap alam.
Kajian terhadap etika stewardship menjadi semakin
penting ketika dunia menghadapi tantangan ekologis global seperti perubahan
iklim, degradasi tanah, serta pencemaran laut dan udara. Sebagaimana dinyatakan
oleh Aldo Leopold dalam gagasan land ethic-nya, hubungan manusia dengan
alam perlu melampaui logika ekonomi dan hukum kepemilikan menuju pengakuan
bahwa manusia adalah bagian dari “komunitas biotik” yang lebih luas.⁴
Etika stewardship menawarkan visi alternatif terhadap paradigma teknosentris
modern yang cenderung reduktif terhadap nilai-nilai alam. Di sini, tanggung
jawab moral bukan sekadar tindakan konservasi, melainkan bentuk partisipasi
aktif manusia dalam memelihara keteraturan ekologis sebagai wujud penghormatan
terhadap kehidupan itu sendiri.⁵
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara
mendalam fondasi filosofis dari Etika Stewardship, meliputi dimensi historis,
ontologis, epistemologis, dan aksiologis, serta mengulas relevansinya dalam
konteks kontemporer. Pendekatan yang digunakan bersifat analitis-filosofis,
dengan menelusuri akar konseptualnya dalam teologi, filsafat moral, dan
ekoteologi modern. Pembahasan ini juga menyoroti kritik terhadap paradigma
stewardship, terutama dari kalangan ekofeminis, deep ecology, dan
pemikir post-humanis, yang menilai konsep tersebut masih memelihara
struktur dominasi manusia atas alam.⁶ Namun demikian, dengan pendekatan
reflektif dan hermeneutik, tulisan ini berupaya menunjukkan bahwa etika
stewardship tetap memiliki relevansi besar dalam membangun kesadaran ekologis
global, terutama jika ditafsirkan secara egalitarian dan kontekstual.
Dengan demikian, bagian pendahuluan ini menegaskan
posisi bahwa Stewardship Ethics bukan sekadar doktrin moral teologis,
tetapi paradigma etika universal yang berupaya menyeimbangkan antara tanggung
jawab manusia dan keberlanjutan ekologis. Etika ini mendorong manusia untuk
menafsirkan kembali kedudukan ontologisnya dalam kosmos, bukan sebagai
penguasa, melainkan sebagai penjaga harmoni yang bertanggung jawab atas
keberlangsungan seluruh makhluk hidup.
Footnotes
¹ Holmes
Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World
(Philadelphia: Temple University Press, 1988), 45–47.
² Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First
Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 102–104.
³ James A. Nash, Loving Nature: Ecological Integrity and Christian
Responsibility (Nashville: Abingdon Press, 1991), 12–15.
⁴ Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University
Press, 1949), 224–225.
⁵ Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell
Tower, 1999), 56–58.
⁶ Carolyn Merchant, Earthcare: Women and the Environment (New York:
Routledge, 1995), 89–91.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis Stewardship Ethics
Konsep Stewardship
Ethics memiliki akar yang panjang dalam sejarah pemikiran
teologis dan filsafat moral, yang berkembang dari pandangan keagamaan kuno hingga
menjadi kerangka etika lingkungan modern. Istilah stewardship secara etimologis
berasal dari kata steward, yang berarti pengurus atau
penatalayan, dan mengandung makna moral tentang tanggung jawab serta
keterbatasan otoritas manusia atas sesuatu yang bukan miliknya. Dalam konteks
etika lingkungan, istilah ini mengandung gagasan bahwa bumi dan seluruh
kehidupan di dalamnya merupakan titipan yang harus dijaga, bukan sumber daya
yang dapat dieksploitasi secara bebas.¹
2.1.       Asal-usul Teologis: Penatalayan dalam Tradisi
Yudeo-Kristen dan Islam
Dalam tradisi
Yudeo-Kristen, gagasan stewardship berakar pada narasi
kitab Kejadian
tentang penciptaan dunia. Tuhan memberikan mandat kepada manusia untuk “mengusahakan
dan memelihara taman” (Kej. 2:15), yang menegaskan fungsi manusia bukan
sebagai penguasa absolut, tetapi sebagai pelayan ciptaan.² Pemahaman ini
menempatkan manusia sebagai makhluk moral yang diberi amanah untuk mengelola
bumi dengan rasa hormat dan tanggung jawab terhadap Sang Pencipta dan seluruh
ciptaan.³ Dalam teologi Kristen, pandangan ini diperkuat oleh gagasan imago
Dei—bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah—yang
mengimplikasikan tanggung jawab moral untuk meniru sifat kasih dan keadilan
Tuhan terhadap dunia.⁴
Tradisi Islam juga
mengenal konsep serupa melalui istilah khalifah fil ardh (wakil Allah
di bumi). Dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 30), manusia diangkat sebagai khalifah
untuk memakmurkan bumi dan menegakkan keseimbangan (mīzān).⁵ Etika ini mengandung
prinsip kesetaraan ekologis antara manusia dan makhluk lain, karena seluruh
ciptaan dianggap sebagai tanda-tanda (āyāt) Tuhan yang memiliki nilai
intrinsik.⁶ Dalam perspektif ini, stewardship bukan sekadar tanggung
jawab ekologis, tetapi juga bentuk ibadah moral dan spiritual yang mencerminkan
kesadaran akan keterhubungan manusia dengan seluruh kosmos.⁷
2.2.       Transformasi Modern: Dari Ekoteologi hingga Etika
Lingkungan
Konsep stewardship
mengalami transformasi besar dalam abad ke-20, terutama setelah munculnya
kesadaran ekologis global. Salah satu titik baliknya adalah artikel klasik Lynn
White Jr., “The
Historical Roots of Our Ecologic Crisis” (1967), yang mengkritik
warisan antroposentris dalam teologi Barat.⁸ White menilai bahwa interpretasi
teologis tradisional atas mandat “menguasai bumi” telah disalahpahami
sebagai legitimasi untuk mengeksploitasi alam. Sebagai solusinya, ia menyerukan
pembaruan teologi Kristen menuju paradigma “ekoteologi” yang menekankan
tanggung jawab ekologis manusia sebagai pelayan ciptaan, bukan penguasa.⁹
Gagasan White memicu
diskursus luas dalam bidang etika lingkungan dan filsafat moral, mendorong
munculnya berbagai pendekatan baru seperti ecotheology, creation
spirituality, dan Christian environmental ethics.¹⁰
Pemikir seperti James Nash dan John Cobb mengembangkan konsep earth
stewardship yang menekankan solidaritas ekologis lintas generasi
serta kesadaran akan keterkaitan antara iman dan kelestarian bumi.¹¹ Dalam
perkembangan sekuler, konsep stewardship juga diadopsi oleh etika lingkungan
modern, terutama dalam teori land ethic Aldo Leopold yang
mengajak manusia untuk menjadi “anggota dan pengurus komunitas biotik.”¹²
2.3.       Genealogi Filsafat Moral: Dari Etika Kewajiban
hingga Ekologisme
Dari perspektif
filsafat moral, stewardship ethics dapat dilacak
dalam perkembangan etika kewajiban (deontological ethics) Immanuel
Kant, yang menekankan tanggung jawab moral terhadap makhluk hidup bukan karena
nilai instrumentalnya, tetapi karena prinsip rasionalitas moral yang
menghormati kehidupan.¹³ Konsep ini juga memiliki resonansi dengan virtue
ethics Aristotelian, yang menekankan pembentukan karakter moral
seperti kebijaksanaan (phronesis) dan kesederhanaan (sophrosyne)
dalam relasi manusia dengan alam.¹⁴
Pada abad ke-20,
tokoh seperti Hans Jonas melalui karya The Imperative of Responsibility
(1979) memperluas horizon etika dengan menekankan tanggung jawab manusia
terhadap generasi masa depan dan kelestarian kehidupan.¹⁵ Jonas berpendapat
bahwa teknologi modern telah memperluas jangkauan tindakan manusia hingga ke
skala planet, sehingga etika tradisional harus diperluas menjadi etika tanggung
jawab ekologis—sebuah prinsip yang sejalan dengan semangat stewardship.¹⁶
Dalam konteks ini, stewardship ethics dapat dilihat
sebagai hasil sintesis antara warisan moral religius dan kesadaran ekologis
modern yang bertujuan menjaga kesinambungan hidup di bumi.
Dengan demikian,
genealogi Stewardship
Ethics memperlihatkan pergeseran dari paradigma teologis menuju
paradigma etis-ekologis yang lebih universal. Dari amanah ilahi menjadi
tanggung jawab moral global, dari dominasi menjadi pemeliharaan, dari
eksploitasi menjadi solidaritas ekologis. Etika ini menjadi salah satu tonggak
utama dalam upaya filsafat modern untuk merekonstruksi hubungan manusia dengan
alam secara berkelanjutan dan bermartabat.
Footnotes
¹ Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 7–8.
² James A. Nash, Loving Nature: Ecological Integrity and
Christian Responsibility (Nashville: Abingdon Press, 1991), 12–14.
³ Roderick Nash, The Rights of Nature: A History of
Environmental Ethics (Madison: University of Wisconsin Press,
1989), 45–47.
⁴ John B. Cobb Jr., Is It Too Late? A Theology of Ecology
(Beverly Hills: Bruce Publishing, 1972), 33–34.
⁵ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of
Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 18–19.
⁶ Fazlun Khalid, Islam and the Environment
(London: Ta-Ha Publishers, 2002), 24–26.
⁷ Ibrahim Özdemir, Toward an Islamic Environmental Ethics: A
Perspective from the Qur’an and Sunnah (Ankara: Center for Islamic
Studies, 2003), 53–54.
⁸ Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science
155, no. 3767 (1967): 1203–1207.
⁹ Thomas Berry, The Dream of the Earth (San
Francisco: Sierra Club Books, 1988), 45–46.
¹⁰ Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton,
Longman and Todd, 2008), 15–17.
¹¹ James A. Nash, Loving Nature: Ecological Integrity and
Christian Responsibility, 43–45.
¹² Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New
York: Oxford University Press, 1949), 203–204.
¹³ Immanuel Kant, Lectures on Ethics, trans.
Louis Infield (New York: Harper and Row, 1963), 239–240.
¹⁴ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W.
D. Ross (Oxford: Oxford University Press, 1980), 110–111.
¹⁵ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University
of Chicago Press, 1984), 6–8.
¹⁶ Ibid., 128–130.
3.          
Ontologi
Stewardship: Relasi Manusia dan Alam
Ontologi Stewardship
Ethics berpijak pada pemahaman bahwa manusia bukanlah entitas yang
terpisah dari alam, melainkan bagian integral dari totalitas ekosistem yang
saling bergantung. Dalam kerangka ini, keberadaan manusia dipahami bukan
sebagai penguasa atau pemilik mutlak, melainkan sebagai makhluk moral yang
memiliki fungsi ontologis sebagai penjaga (steward)
dari jaringan kehidupan.¹ Ontologi stewardship berusaha mengatasi
dikotomi klasik antara manusia dan alam yang diwariskan oleh filsafat modern,
terutama dualisme Cartesian yang memisahkan res cogitans (subjek berpikir) dari
res
extensa (benda yang diperluas).² Sebaliknya, ia menawarkan
paradigma relasional dan interdependen,
di mana eksistensi manusia memperoleh maknanya dalam keterhubungan dengan
seluruh ciptaan.³
3.1.       Hakikat Keberadaan Manusia sebagai Makhluk
Moral-Ekologis
Dalam perspektif stewardship,
manusia dipandang sebagai makhluk yang diberi kapasitas rasional dan moral
untuk memahami serta menjaga keteraturan alam. Pandangan ini selaras dengan
prinsip imago
Dei dalam teologi Kristen, yang mengartikan bahwa manusia
diciptakan menurut gambar Tuhan bukan untuk mendominasi, tetapi untuk
meneladani kasih dan kebijaksanaan-Nya dalam mengelola bumi.⁴ Sementara dalam
tradisi Islam, ontologi manusia sebagai khalifah fil ardh menegaskan fungsi
perwakilan Ilahi yang mengemban tanggung jawab menjaga keseimbangan (mīzān)
dan keadilan ekologis.⁵ Kedua pandangan ini menyatukan aspek spiritual dan
ekologis manusia sebagai bagian dari ciptaan yang memiliki nilai dan tujuan dalam
kosmos.
Namun, berbeda
dengan pandangan antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai, stewardship
ethics menegaskan bahwa nilai eksistensial manusia justru terletak pada
relasinya yang bertanggung jawab terhadap makhluk lain.⁶
Manusia memperoleh martabat moral bukan dari kekuasaannya atas alam, tetapi
dari kemampuannya untuk menjaga dan merawat kehidupan. Dengan demikian, manusia
tidak hanya “ada di dunia” (being-in-the-world) sebagaimana
digambarkan Heidegger, tetapi juga “ada untuk dunia” (being-for-the-world),
yakni eksistensi yang menemukan maknanya dalam relasi empatik dan etis terhadap
lingkungan hidup.⁷
3.2.       Relasi Ontologis antara Manusia dan Alam
Relasi manusia dan
alam dalam kerangka ontologis stewardship didasarkan pada prinsip
koeksistensi
dan keterhubungan substansial. Alam bukan sekadar objek
material untuk dimanfaatkan, melainkan entitas hidup yang memiliki nilai
intrinsik (intrinsic
value).⁸ Pemikiran ini sejalan dengan pandangan ekosentris Aldo
Leopold, yang menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari “komunitas biotik”
dan oleh karenanya memiliki kewajiban moral untuk menghormati integritas,
stabilitas, dan keindahan ekosistem.⁹
Dalam tradisi
filsafat Timur, terutama dalam kosmologi Islam dan pandangan Taoisme, relasi
ontologis antara manusia dan alam dipahami sebagai keterpaduan
kosmik: manusia dan alam merupakan dua manifestasi dari
realitas Ilahi yang sama.ⁱ⁰ Dengan demikian, tindakan manusia terhadap alam
mencerminkan tindakan terhadap dirinya sendiri. Dalam kerangka stewardship,
relasi ini bukan relasi dominasi, melainkan relasi partisipatif—di mana
manusia memelihara alam sebagaimana alam menopang eksistensinya.ⁱ¹
Dari perspektif
fenomenologis, hubungan manusia dan alam bukanlah sekadar interaksi eksternal,
tetapi pengalaman keberadaan yang saling membentuk. Maurice Merleau-Ponty
menegaskan bahwa tubuh manusia merupakan bagian dari “daging dunia” (flesh of
the world), suatu metafora ontologis yang meniadakan pemisahan
mutlak antara subjek dan objek.ⁱ² Dalam konteks ini, stewardship
bukanlah kewajiban eksternal yang dikenakan dari luar, melainkan kesadaran
eksistensial yang lahir dari pengalaman keterhubungan manusia dengan dunia
hidup (Lebenswelt).ⁱ³
3.3.       Alam sebagai Entitas Bernilai dan Komunitas Moral
Salah satu pilar
ontologis penting dalam stewardship ethics adalah pengakuan
bahwa alam
memiliki nilai intrinsik—nilai yang tidak bergantung pada
kepentingan atau manfaat manusia.ⁱ⁴ Prinsip ini menolak reduksi nilai alam
menjadi sekadar instrumen ekonomi, dan menegaskan bahwa setiap makhluk hidup
memiliki hak untuk eksis dalam tatanan ciptaan. Holmes Rolston III menyebut
alam sebagai “realitas moral” (moral field), di mana manusia
berkewajiban menghormati dinamika kehidupan yang lebih luas dari dirinya.ⁱ⁵
Dalam konteks stewardship,
nilai alam tidak hanya bersifat ekologis tetapi juga teologis. Thomas Berry
menekankan bahwa seluruh alam semesta adalah “perwujudan diri Tuhan” (manifestation
of the divine), dan oleh karenanya tindakan menjaga bumi merupakan
bentuk partisipasi manusia dalam karya penciptaan yang berkelanjutan.ⁱ⁶ Dengan
demikian, ontologi stewardship bukanlah ontologi
eksploitasi, melainkan ontologi pemeliharaan—yang
menempatkan keberadaan manusia dalam kerangka kesadaran kosmik dan solidaritas
ekologis.
Secara keseluruhan,
ontologi Stewardship
Ethics memandang manusia sebagai bagian integral dari tatanan
kosmik yang saling terhubung secara moral, spiritual, dan ekologis. Relasi
manusia dengan alam bersifat ko-eksistensial: manusia
membutuhkan alam sebagaimana alam memerlukan manusia untuk dijaga dan
dilestarikan. Dalam kesadaran ini, keberadaan manusia mencapai makna
terdalamnya—yakni ketika ia bertindak sebagai penjaga harmoni kosmos, bukan
sebagai penguasa yang memecahkannya.
Footnotes
¹ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and
Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 45–47.
² René Descartes, Discourse on the Method,
trans. John Veitch (London: Dent, 1912), 36–38.
³ Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 67–69.
⁴ John B. Cobb Jr., Is It Too Late? A Theology of Ecology
(Beverly Hills: Bruce Publishing, 1972), 31–32.
⁵ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of
Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 23–24.
⁶ Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 102–103.
⁷ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 53–54.
⁸ Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in
Environmental Ethics (Buffalo: Prometheus Books, 1989), 78–80.
⁹ Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New
York: Oxford University Press, 1949), 224–225.
ⁱ⁰ Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on
Confucian Religiousness (Albany: State University of New York
Press, 1989), 45–47.
ⁱ¹ Ibrahim Özdemir, Toward an Islamic Environmental Ethics: A
Perspective from the Qur’an and Sunnah (Ankara: Center for Islamic
Studies, 2003), 53–54.
ⁱ² Maurice Merleau-Ponty, The Visible and the Invisible,
trans. Alphonso Lingis (Evanston: Northwestern University Press, 1968),
130–132.
ⁱ³ David Abram, The Spell of the Sensuous
(New York: Pantheon Books, 1996), 55–57.
ⁱ⁴ Paul Taylor, Respect for Nature: A Theory of
Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986),
75–76.
ⁱ⁵ Holmes Rolston III, Environmental Ethics,
115–117.
ⁱ⁶ Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future
(New York: Bell Tower, 1999), 56–58.
4.          
Epistemologi
Stewardship: Pengetahuan, Kesadaran, dan Tanggung Jawab
Epistemologi Stewardship
Ethics berfokus pada cara manusia mengetahui, memahami, dan
menginternalisasi tanggung jawab moral terhadap alam. Dalam konteks ini,
pengetahuan bukan sekadar proses kognitif atau rasional yang bersifat objektif,
melainkan juga pengetahuan normatif dan reflektif
yang menuntun tindakan etis terhadap lingkungan hidup.¹ Etika stewardship
menolak pandangan positivistik yang memisahkan subjek pengetahuan (manusia)
dari objek yang diketahui (alam). Sebaliknya, ia menegaskan bahwa pengetahuan
sejati tentang alam harus melibatkan keterlibatan eksistensial, kesadaran etis,
dan tanggung jawab moral terhadap ciptaan.²
4.1.       Sumber Pengetahuan Etis: Wahyu, Rasionalitas, dan
Pengalaman Ekologis
Dalam tradisi
teologis, sumber epistemik utama stewardship adalah wahyu
yang mengandung pesan moral dan spiritual mengenai relasi manusia dengan alam.
Dalam teologi Yudeo-Kristen, misalnya, mandat untuk “memelihara bumi”
(Kej. 2:15) bukan sekadar perintah etis, tetapi juga epistemologis—ia
mengandung pengetahuan tentang posisi manusia sebagai pelayan ciptaan.³
Demikian pula, dalam Islam, Al-Qur’an menggambarkan alam sebagai “ayat-ayat
Tuhan” (āyāt Allāh) yang harus dibaca dan
direnungkan, bukan dieksploitasi.⁴ Wahyu dalam konteks ini menjadi sumber gnosis
ekologis—pengetahuan yang bersifat kontemplatif dan etis, menuntun
manusia untuk memahami dunia bukan hanya sebagai fakta fisik, tetapi sebagai
tanda moral-spiritual.⁵
Selain wahyu, rasionalitas
moral dan pengetahuan ilmiah juga menjadi fondasi epistemologis
dalam stewardship
ethics. Rasionalitas memungkinkan manusia untuk menganalisis
hubungan sebab-akibat dalam ekosistem dan memahami konsekuensi etis dari
tindakan ekologisnya.⁶ Namun, berbeda dengan rasionalitas instrumental yang
mendominasi modernitas, stewardship ethics menuntut
rasionalitas reflektif—yakni akal budi yang diarahkan untuk memahami tanggung
jawab, bukan sekadar efisiensi.⁷ Hans Jonas menekankan bahwa kemajuan teknologi
menimbulkan tanggung jawab epistemik baru: manusia harus mengetahui bukan hanya
“apa yang bisa ia lakukan”, tetapi juga “apa akibat moral dari tindakannya
terhadap kehidupan di masa depan.”⁸
Sumber pengetahuan
ketiga adalah pengalaman ekologis langsung—yakni
pengetahuan yang lahir dari perjumpaan manusia dengan dunia hidup. Dalam
filsafat fenomenologis, pengalaman ini disebut Lebenswelt atau dunia-hidup, di
mana manusia merasakan keterikatan eksistensial dengan alam melalui tubuh,
emosi, dan persepsi.⁹ Maurice Merleau-Ponty menegaskan bahwa pengetahuan sejati
tentang dunia tidak dapat dipisahkan dari cara tubuh manusia mengalami dunia
itu sendiri.¹⁰ Dalam konteks stewardship, pengalaman ekologis
menjadi dasar kesadaran empatik yang mendorong tanggung jawab moral terhadap
makhluk hidup lainnya.
4.2.       Kesadaran Ekologis dan Dimensi Reflektif
Pengetahuan
Kesadaran ekologis
merupakan aspek epistemologis yang vital dalam etika stewardship.
Ia bukan hanya kesadaran kognitif tentang fakta ekologis, melainkan kesadaran
moral dan spiritual tentang keterhubungan semua makhluk dalam
jaringan kehidupan.¹¹ Kesadaran ini muncul dari proses reflektif, di mana
manusia menyadari bahwa tindakannya terhadap alam memiliki konsekuensi moral
dan eksistensial. Dengan demikian, epistemologi stewardship melampaui pengetahuan
proposisional menuju pengetahuan transformatif—pengetahuan
yang mengubah cara manusia berpikir dan bertindak dalam dunia.¹²
Aldo Leopold, dalam Land
Ethic, menekankan pentingnya kesadaran ekologis sebagai bentuk
evolusi moral manusia. Menurutnya, “manusia menjadi beretika ketika ia mampu
memperluas rasa tanggung jawabnya tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi
juga kepada tanah, air, hewan, dan seluruh komunitas biotik.”¹³ Kesadaran
seperti ini merupakan hasil dari refleksi moral yang mendalam—suatu bentuk
“pengetahuan yang dihidupi” (lived knowledge) yang tidak hanya
dihasilkan oleh intelek, tetapi juga oleh hati nurani dan empati ekologis.¹⁴
Dalam konteks
teologis, kesadaran ekologis juga merupakan kesadaran akan kehadiran ilahi dalam
seluruh ciptaan. Thomas Berry menyebutnya sebagai cosmological consciousness, yakni
kesadaran bahwa seluruh alam semesta merupakan partisipasi dalam kehidupan
ilahi.¹⁵ Dalam kesadaran semacam ini, mengetahui berarti menyatu dengan ciptaan
dalam relasi kasih dan penghormatan. Pengetahuan yang sejati bukanlah dominasi,
melainkan partisipasi dalam misteri keberadaan.¹⁶
4.3.       Dimensi Tanggung Jawab: Dari Pengetahuan ke Etika
Praktis
Dalam kerangka stewardship
ethics, pengetahuan tidak berhenti pada pengenalan intelektual,
melainkan menuntut perwujudan dalam tanggung jawab moral. Pengetahuan sejati
melahirkan tindakan etis; knowing berarti acting
responsibly.¹⁷ Hans Jonas merumuskan prinsip etis ini dalam
imperatif moralnya: “Act so that the effects of your action are compatible
with the permanence of genuine human life on Earth.”¹⁸ Dengan kata lain,
pengetahuan ekologis mengandung kewajiban untuk bertindak demi keberlanjutan
kehidupan.
Tanggung jawab
epistemik ini bersifat intergenerasional—manusia wajib
mempertimbangkan dampak pengetahuannya terhadap generasi yang akan datang.¹⁹
Etika stewardship
menolak pengetahuan yang bebas nilai (value-free knowledge) dan
menegaskan bahwa setiap bentuk pengetahuan, terutama pengetahuan ilmiah, harus
diarahkan pada pemeliharaan kehidupan, bukan destruksi ekologis.²⁰ Karenanya,
epistemologi stewardship memulihkan kembali
keterkaitan antara pengetahuan, kebijaksanaan (wisdom), dan kebajikan (virtue).²¹
Secara keseluruhan,
epistemologi Stewardship Ethics menunjukkan bahwa
pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang berakar pada kesadaran moral dan diwujudkan
dalam tanggung jawab ekologis. Ia menuntut sintesis antara
rasio, wahyu, dan pengalaman—suatu bentuk ecological rationality yang
melampaui batas epistemologi modern. Dalam kerangka ini, manusia tidak hanya
mengenal dunia, tetapi juga berjanji untuk menjaganya.
Footnotes
¹ Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 91–92.
² Val Plumwood, Environmental Culture: The Ecological
Crisis of Reason (London: Routledge, 2002), 28–30.
³ James A. Nash, Loving Nature: Ecological Integrity and
Christian Responsibility (Nashville: Abingdon Press, 1991), 13–15.
⁴ Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature
(New York: Oxford University Press, 1996), 45–46.
⁵ Ibrahim Özdemir, Toward an Islamic Environmental Ethics: A
Perspective from the Qur’an and Sunnah (Ankara: Center for Islamic
Studies, 2003), 51–52.
⁶ Bryan Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
32–33.
⁷ Andrew Brennan and Yeuk-Sze Lo, Understanding
Environmental Philosophy (Durham: Acumen, 2010), 75–77.
⁸ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University
of Chicago Press, 1984), 6–7.
⁹ Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and
Transcendental Phenomenology (Evanston: Northwestern University
Press, 1970), 108–109.
¹⁰ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception,
trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 122–123.
¹¹ Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New
York: Oxford University Press, 1949), 203–204.
¹² David Abram, The Spell of the Sensuous
(New York: Pantheon Books, 1996), 68–70.
¹³ Leopold, A Sand County Almanac,
224–225.
¹⁴ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and
Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 112–114.
¹⁵ Thomas Berry, The Dream of the Earth (San
Francisco: Sierra Club Books, 1988), 49–50.
¹⁶ Berry, The Great Work: Our Way into the Future
(New York: Bell Tower, 1999), 57–59.
¹⁷ Bryan G. Norton, Why Preserve Natural Variety?
(Princeton: Princeton University Press, 1987), 93–94.
¹⁸ Jonas, The Imperative of Responsibility,
11.
¹⁹ Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next
Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 101–103.
²⁰ Andrew Light and Holmes Rolston III, Environmental Ethics:
An Anthology (Malden: Blackwell, 2003), 35–37.
²¹ Henryk Skolimowski, Eco-Philosophy: Designing New Tactics for
Living (London: Marion Boyars, 1981), 64–65.
5.          
Aksiologi
dan Etika Praktis Stewardship
Aksiologi Stewardship
Ethics menyoroti dimensi nilai dan praksis moral yang menjadi dasar
tindakan manusia terhadap alam. Dalam kerangka ini, nilai-nilai etis tidak
hanya berorientasi pada kepentingan manusia, tetapi juga pada keberlanjutan
kehidupan secara menyeluruh.¹ Etika stewardship menekankan bahwa setiap
tindakan manusia terhadap lingkungan harus mencerminkan tanggung jawab, keadilan,
dan penghormatan terhadap ciptaan. Aksiologi ini dengan demikian bersifat holistik
dan teleologis: nilai moral tertinggi bukan terletak pada
penguasaan atas alam, melainkan pada pemeliharaan keseimbangannya demi
keberlanjutan kosmos.²
5.1.       Nilai-Nilai Dasar dalam Etika Stewardship
Nilai-nilai dasar
dalam stewardship
ethics meliputi tanggung jawab moral, keadilan
ekologis, moderasi, dan keberlanjutan.
Pertama, tanggung jawab moral menjadi prinsip utama yang menuntun hubungan
manusia dengan alam. Hans Jonas menekankan bahwa kemajuan teknologi modern
memperluas jangkauan tindakan manusia hingga ke skala planet, sehingga tanggung
jawab moral juga harus diperluas ke masa depan dan seluruh komunitas biotik.³
Dalam pandangan ini, manusia wajib bertindak sedemikian rupa agar hasil
perbuatannya tetap selaras dengan kelangsungan kehidupan di bumi.⁴
Kedua, prinsip keadilan
ekologis (ecological justice) menekankan kesetaraan moral
antara manusia dan makhluk hidup lainnya. Robin Attfield menyatakan bahwa semua
makhluk memiliki nilai intrinsik yang layak dihormati, sehingga tindakan
manusia harus mempertimbangkan kesejahteraan non-manusia sebagai bagian dari
keadilan moral.⁵ Keadilan ekologis juga mencakup keadilan antargenerasi, yakni
kewajiban moral untuk melindungi hak-hak ekologis generasi mendatang.⁶
Ketiga, nilai moderasi
(temperance) dan kesederhanaan hidup (simplicity of life)
menjadi ekspresi kebajikan moral dalam etika stewardship. Prinsip ini menolak
hedonisme konsumtif dan mengajarkan keseimbangan antara kebutuhan dan
pelestarian sumber daya alam.⁷ Dalam pandangan etika kebajikan Aristotelian,
moderasi adalah ekspresi dari phronesis—kebijaksanaan praktis
yang menuntun manusia pada harmoni dengan alam.⁸ Nilai terakhir, keberlanjutan
(sustainability), menekankan dimensi temporal dari tanggung
jawab ekologis. Sebagaimana ditegaskan oleh Bryan Norton, keberlanjutan bukan
sekadar konsep teknis, tetapi nilai moral yang merefleksikan kesadaran akan
kontinuitas kehidupan.⁹
5.2.       Praksis Etika: Implementasi dalam Kebijakan dan Kehidupan
Etika stewardship
tidak berhenti pada tataran ide, tetapi harus diwujudkan dalam praksis sosial,
politik, dan ekonomi.¹⁰ Dalam bidang kebijakan publik, prinsip
stewardship menuntut penerapan regulasi yang menjamin keseimbangan antara
pembangunan dan pelestarian alam. Prinsip “use without abuse” menjadi pedoman
bagi kebijakan lingkungan yang berkeadilan ekologis.¹¹ Pemerintah, korporasi,
dan individu semuanya memiliki peran dalam menjalankan tanggung jawab kolektif
menjaga integritas ekosistem.
Dalam konteks ekonomi,
etika stewardship mendorong model pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) yang menempatkan nilai moral di atas nilai pasar.¹²
Amartya Sen menegaskan bahwa pembangunan sejati tidak diukur dari pertumbuhan
ekonomi semata, melainkan dari kemampuan manusia untuk menjalani kehidupan yang
bermartabat dan selaras dengan alam.¹³ Oleh karena itu, praktik ekonomi yang
berlandaskan stewardship menolak eksploitasi berlebihan dan mendukung ekonomi
sirkular yang menghargai daur kehidupan alam.
Dalam bidang pendidikan
dan budaya, etika stewardship harus diinternalisasikan melalui
pendidikan ekologis yang menumbuhkan kesadaran moral terhadap bumi.¹⁴ Thomas
Berry menekankan perlunya “ecozoic consciousness”, yakni
kesadaran baru yang menempatkan manusia sebagai bagian dari komunitas bumi,
bukan sebagai penguasa.¹⁵ Pendidikan semacam ini bertujuan membentuk karakter
ekologis yang berlandaskan pada cinta, empati, dan rasa tanggung jawab terhadap
makhluk lain.
Selain itu, praksis
stewardship juga diwujudkan dalam spiritualitas ekologis, yakni
kesadaran religius bahwa menjaga bumi merupakan bagian dari panggilan moral dan
ibadah.¹⁶ Dalam tradisi Kristen, tindakan merawat ciptaan dipandang sebagai
bentuk kasih kepada Tuhan yang diwujudkan melalui kasih kepada dunia
ciptaan-Nya.¹⁷ Dalam Islam, hal ini selaras dengan konsep ‘ibadah
khalifah, di mana mengelola alam dengan adil adalah bagian dari
ketaatan kepada Allah.¹⁸ Dengan demikian, spiritualitas ekologis memberikan
fondasi eksistensial bagi praksis moral manusia terhadap lingkungan.
5.3.       Etika Tindakan dan Kebajikan Ekologis
Aksiologi
stewardship juga berkaitan erat dengan etika kebajikan (virtue ethics).
Etika ini tidak hanya menilai benar-salah tindakan, tetapi juga menilai
kualitas karakter yang membimbing tindakan tersebut.¹⁹ Dalam konteks ekologis,
kebajikan seperti kebijaksanaan (prudence), kerendahan hati (humility),
dan rasa syukur (gratitude) menjadi dasar perilaku
etis terhadap alam.²⁰ Holmes Rolston III menegaskan bahwa kebajikan ekologis
bukan sekadar kewajiban moral, melainkan bentuk cinta aktif terhadap
kehidupan.²¹
Kerendahan hati
ekologis (ecological humility) sangat penting dalam etika stewardship, karena
ia mengajarkan bahwa manusia bukan pusat kosmos, melainkan bagian dari sistem
kehidupan yang lebih luas.²² Kebajikan ini menuntun manusia untuk mengakui
keterbatasannya dan menghindari sikap dominatif terhadap alam. Di sisi lain,
kebajikan rasa syukur memupuk penghargaan terhadap anugerah kehidupan dan
memotivasi tindakan pelestarian.²³ Dengan demikian, praksis stewardship
bukan hanya tentang “mengetahui yang benar”, tetapi juga “menjadi
pribadi yang benar”—yakni pribadi yang hidup selaras dengan nilai-nilai
kosmis dan ekologis.
Secara keseluruhan,
aksiologi dan etika praktis Stewardship membentuk kerangka
nilai yang memadukan tanggung jawab moral, kebajikan karakter, dan kesadaran
spiritual dalam relasi manusia dengan alam. Etika ini mengarahkan tindakan
manusia dari eksploitasi menuju pemeliharaan, dari dominasi menuju partisipasi,
dan dari kepemilikan menuju pelayanan. Melalui penerapan nilai-nilai ini, Stewardship
Ethics menjadi dasar moral bagi transformasi peradaban menuju
tatanan ekologis yang berkelanjutan dan bermartabat.
Footnotes
¹ Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 107–108.
² Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future
(New York: Bell Tower, 1999), 56–57.
³ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University
of Chicago Press, 1984), 6–7.
⁴ Ibid., 11.
⁵ Robin Attfield, The Ethics of Environmental Concern
(Athens: University of Georgia Press, 1991), 92–94.
⁶ Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next
Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 101–103.
⁷ Karen Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western
Perspective on What It Is and Why It Matters (Bloomington: Indiana
University Press, 2000), 121–123.
⁸ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W.
D. Ross (Oxford: Oxford University Press, 1980), 110–111.
⁹ Bryan Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
32–33.
¹⁰ Andrew Light and Holmes Rolston III, Environmental Ethics:
An Anthology (Malden: Blackwell, 2003), 42–44.
¹¹ Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New
York: Oxford University Press, 1949), 225–226.
¹² Herman E. Daly, Steady-State Economics
(Washington, D.C.: Island Press, 1991), 12–14.
¹³ Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Anchor Books, 1999), 243–245.
¹⁴ David Orr, Ecological Literacy: Education and the
Transition to a Postmodern World (Albany: SUNY Press, 1992), 87–89.
¹⁵ Thomas Berry, The Dream of the Earth (San
Francisco: Sierra Club Books, 1988), 49–50.
¹⁶ Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion
(Washington, D.C.: Island Press, 2014), 17–18.
¹⁷ James A. Nash, Loving Nature: Ecological Integrity and
Christian Responsibility (Nashville: Abingdon Press, 1991), 53–55.
¹⁸ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of
Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 23–25.
¹⁹ Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford:
Oxford University Press, 1999), 166–167.
²⁰ Philip Cafaro, Thoreau’s Living Ethics: Walden and the
Pursuit of Virtue (Athens: University of Georgia Press, 2004),
132–134.
²¹ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and
Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 112–114.
²² Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 70–72.
²³ Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton,
Longman and Todd, 2008), 45–47.
6.          
Kritik
terhadap Konsep Stewardship
Meskipun Stewardship
Ethics menawarkan paradigma etis yang penting dalam membangun
kesadaran ekologis, konsep ini tidak luput dari kritik tajam baik dari
perspektif filsafat lingkungan, teologi, maupun etika sekuler. Kritik-kritik
tersebut pada umumnya berpusat pada tiga hal: (1) kecenderungan antroposentris
yang tetap melekat dalam gagasan stewardship; (2) problem
paternalistik dalam relasi manusia-alam; serta (3) keterbatasan teologis yang
menjadikan etika ini kurang inklusif bagi masyarakat sekuler atau pluralistik.
Kritik ini memperlihatkan bahwa, meskipun stewardship ethics berniat
menumbuhkan tanggung jawab ekologis, dalam praktiknya ia masih mewarisi
struktur dominasi manusia atas alam yang justru menjadi akar krisis ekologis
modern.¹
6.1.       Kritik Antroposentris: Warisan Dominasi Manusia
atas Alam
Kritik pertama
datang dari kalangan deep ecology dan ekofeminisme,
yang menilai bahwa stewardship ethics tetap berangkat
dari asumsi antroposentris. Arne Naess, tokoh deep ecology, berpendapat bahwa
walaupun stewardship
menuntut manusia untuk bertanggung jawab terhadap alam, ia tetap menempatkan
manusia sebagai pusat moral yang menentukan nilai-nilai bagi makhluk lain.²
Dengan demikian, relasi manusia dengan alam masih bersifat hierarkis, di mana
manusia menjadi penjaga “dari atas,” bukan bagian yang setara di dalam
komunitas ekologis.³
Val Plumwood
mengajukan kritik serupa melalui analisis ekofeminisnya terhadap dualisme
patriarkal dalam filsafat Barat. Menurutnya, stewardship ethics mempertahankan
pola pikir “penguasa yang baik” (benevolent dominion), yang sekalipun
mengedepankan tanggung jawab, tetap mengandaikan posisi manusia sebagai pihak
yang lebih tinggi dari alam.⁴ Dengan kata lain, stewardship gagal sepenuhnya
mendekonstruksi paradigma dominasi; ia hanya melunakkannya dengan moralitas
paternalistik.⁵
Kritik ini juga
menyentuh aspek teologis: gagasan manusia sebagai “wakil Tuhan” atau “penatalayan
ciptaan” dalam tradisi Yudeo-Kristen dianggap berpotensi melanggengkan
hierarki ontologis antara manusia dan alam.⁶ Dalam konteks sejarah, sebagaimana
dikemukakan Lynn White Jr., tafsir antroposentris atas kitab Kejadian menjadi
salah satu penyebab krisis ekologi modern.⁷ Oleh karena itu, sebagian pemikir
menilai bahwa stewardship ethics tidak cukup
radikal untuk menumbuhkan kesadaran ekologis yang sejati, karena masih berakar
pada pandangan dunia yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai moral.⁸
6.2.       Kritik Ekofeminisme dan Paradigma Relasi yang
Paternalistik
Kalangan ekofeminis
seperti Karen Warren dan Carolyn Merchant menilai bahwa stewardship
ethics mencerminkan logika patriarkal yang sama dengan struktur
sosial yang menindas perempuan dan alam.⁹ Warren berargumen bahwa konsep “penatalayan”
secara implisit memperkuat relasi kuasa—di mana manusia dianggap sebagai pihak
yang lebih bijak dan rasional, sedangkan alam diposisikan sebagai entitas pasif
yang perlu diatur.¹⁰ Merchant menambahkan bahwa, meskipun niatnya menjaga alam,
stewardship
tetap mengekalkan relasi dominasi halus, menggantikan eksploitasi langsung
dengan pengawasan paternalistik.¹¹
Kritik ekofeminis
ini mengajak pada pergeseran paradigma dari “pengelolaan” menuju “kebersamaan
ekologis” (ecological partnership).¹² Dalam
pandangan ini, manusia seharusnya tidak berperan sebagai pengawas moral atas
alam, melainkan sebagai mitra sejajar dalam jaringan kehidupan.¹³ Etika yang
berakar pada empati, kasih, dan kesalingterhubungan—bukan pengawasan atau
kontrol—lebih sesuai dengan visi ekologis yang membebaskan.¹⁴
6.3.       Kritik Sekuler: Keterbatasan Dasar Teologis dan
Inklusivitas
Kritik ketiga
berasal dari pendekatan sekuler dan humanistik,
yang menyoroti keterbatasan stewardship ethics karena
fondasinya yang teosentris.¹⁵ Dalam tradisi teologi Kristen dan Islam, konsep
stewardship bergantung pada gagasan tentang Tuhan sebagai pemilik dunia,
sementara manusia adalah wakil atau pelayan-Nya. Bagi masyarakat sekuler atau
pluralistik, dasar teologis ini sulit diterima karena mengasumsikan sistem
kepercayaan tertentu.¹⁶
Selain itu, kritik
sekuler juga menyoroti bahwa etika stewardship sering gagal menghadapi
realitas ekonomi dan politik global yang menjadi akar kerusakan lingkungan.¹⁷
Holmes Rolston III, meskipun mendukung stewardship ethics, mengakui bahwa
moralitas pribadi tidak cukup tanpa perubahan struktural dalam sistem produksi
dan konsumsi global.¹⁸ Sementara itu, pemikir pragmatis seperti Bryan Norton
menilai bahwa etika ekologis yang efektif harus berorientasi pada hasil nyata (consequential
environmental ethics), bukan hanya pada kewajiban moral yang
bersifat ideal.¹⁹
Dalam kerangka ini,
kritik sekuler mengusulkan rekonstruksi etika stewardship
agar bersifat lebih universal, berbasis pada prinsip rasionalitas ekologis dan
tanggung jawab global, tanpa bergantung pada otoritas religius.²⁰
6.4.       Kritik Posthumanisme: Menembus Batas Manusia-Sentra
Selain tiga arus
besar di atas, muncul pula kritik dari perspektif posthumanisme
dan filsafat
materialisme baru, yang menolak setiap bentuk etika yang masih
berpusat pada manusia, bahkan dalam bentuk “penatalayan yang bijaksana.”²¹
Donna Haraway dan Bruno Latour, misalnya, mengajukan paradigma more-than-human
ethics, di mana subjek moral bukan hanya manusia, tetapi juga
spesies lain, teknologi, dan sistem ekologis.²² Dalam pandangan ini, stewardship
ethics dianggap masih terlalu antroposentris dan moralistik, karena
tidak mengakui agensi (daya-tindak) non-manusia sebagai bagian dari jaringan
moralitas dunia.²³
Bagi para pemikir
posthumanis, etika masa depan harus bersifat distributif, bukan
hierarkis—yakni membagikan tanggung jawab moral di antara semua entitas yang
berpartisipasi dalam jaringan kehidupan.²⁴ Dengan demikian, stewardship
ethics perlu ditransformasikan menjadi bentuk etika ko-evolusioner,
di mana manusia, teknologi, dan alam berinteraksi dalam sistem moral yang
saling membentuk.²⁵
Secara keseluruhan,
kritik-kritik terhadap Stewardship Ethics memperlihatkan
bahwa, meskipun etika ini berperan penting dalam mempromosikan tanggung jawab
ekologis, ia masih menyimpan keterbatasan konseptual dan praksis. Paradigma ini
perlu melampaui warisan antroposentris dan teosentris menuju bentuk etika
ekologis yang lebih egaliter, partisipatif, dan non-dominatif. Reformulasi stewardship
ethics dalam arah ekosentris, dialogis, dan posthumanis
dapat membuka jalan bagi transformasi etika lingkungan yang lebih inklusif dan
relevan dengan tantangan planet masa kini.
Footnotes
¹ Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
41–43.
² Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline
of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 28–29.
³ Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology:
Developing New Foundations for Environmentalism (Albany: State
University of New York Press, 1990), 57–58.
⁴ Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 70–72.
⁵ Ibid., 74.
⁶ John B. Cobb Jr., Is It Too Late? A Theology of Ecology
(Beverly Hills: Bruce Publishing, 1972), 33–34.
⁷ Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science
155, no. 3767 (1967): 1203–1207.
⁸ Roderick Nash, The Rights of Nature: A History of
Environmental Ethics (Madison: University of Wisconsin Press,
1989), 52–53.
⁹ Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western
Perspective on What It Is and Why It Matters (Bloomington: Indiana
University Press, 2000), 122–124.
¹⁰ Ibid., 127.
¹¹ Carolyn Merchant, Earthcare: Women and the Environment
(New York: Routledge, 1995), 89–90.
¹² Warren, Ecofeminist Philosophy,
135–136.
¹³ Merchant, Earthcare, 92.
¹⁴ Mary Mellor, Feminism and Ecology
(Cambridge: Polity Press, 1997), 85–87.
¹⁵ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and
Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 116–117.
¹⁶ Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 109–110.
¹⁷ Bryan G. Norton, Why Preserve Natural Variety?
(Princeton: Princeton University Press, 1987), 95–97.
¹⁸ Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next
Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 102–104.
¹⁹ Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management, 49–50.
²⁰ Andrew Brennan and Yeuk-Sze Lo, Understanding
Environmental Philosophy (Durham: Acumen, 2010), 86–88.
²¹ Cary Wolfe, What Is Posthumanism?
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 2010), 120–122.
²² Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in
the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 97–99.
²³ Bruno Latour, We Have Never Been Modern,
trans. Catherine Porter (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 136–138.
²⁴ Haraway, Staying with the Trouble,
105–106.
²⁵ Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 89–90.
7.          
Relevansi
Kontemporer Stewardship Ethics
Konsep Stewardship
Ethics tetap memiliki relevansi yang sangat besar dalam menghadapi
tantangan ekologis dan sosial di era kontemporer. Di tengah krisis iklim,
ketimpangan sosial-ekologis, dan degradasi nilai-nilai spiritual akibat
modernitas teknologis, stewardship menawarkan paradigma
etika yang mengintegrasikan tanggung jawab moral, kesadaran ekologis, serta
spiritualitas kosmik.¹ Relevansinya mencakup tiga ranah utama: (1) etika global
terhadap perubahan iklim dan keberlanjutan, (2) transformasi sosial melalui
kebijakan dan pendidikan ekologis, dan (3) pembaruan spiritualitas manusia
dalam konteks planet yang rapuh.
7.1.       Etika Global dan Krisis Iklim
Dalam konteks krisis
iklim, stewardship
ethics menjadi dasar moral bagi gerakan keberlanjutan global.²
Etika ini menolak pandangan antroposentris dan ekonomi pertumbuhan tanpa batas,
yang telah mendorong eksploitasi sumber daya alam secara destruktif.³ Prinsip stewardship
mengajarkan bahwa bumi bukan milik manusia, melainkan amanah yang harus dijaga
demi kesejahteraan seluruh makhluk hidup dan generasi mendatang.⁴
Prinsip ini secara
eksplisit diakui dalam berbagai dokumen etika global, seperti Laudato
Si’ (2015) oleh Paus Fransiskus, yang menyerukan “ecological
conversion”—yakni perubahan kesadaran manusia menuju tanggung jawab
ekologis dan solidaritas universal.⁵ Paus Fransiskus menekankan bahwa manusia
dipanggil untuk menjadi penjaga ciptaan (guardians of creation), bukan
penguasa yang rakus.⁶ Perspektif ini juga menemukan gaung dalam inisiatif
antaragama seperti Faith for Earth dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa, yang menegaskan peran komunitas religius dalam memajukan etika
ekologis global.⁷
Selain ranah moral
keagamaan, stewardship
ethics juga memiliki relevansi dalam kerangka sekuler dan ilmiah.
Konsep keberlanjutan dalam United Nations Sustainable Development Goals
(SDGs) mencerminkan nilai-nilai stewardship, terutama dalam tujuan
ke-13 (“Climate Action”) dan ke-15 (“Life on Land”), yang
menuntut tanggung jawab manusia terhadap bumi secara kolektif dan berkeadilan.⁸
Dalam pengertian ini, stewardship berfungsi sebagai
prinsip normatif yang menautkan etika lingkungan dengan politik global
keberlanjutan.⁹
7.2.       Transformasi Sosial dan Pendidikan Ekologis
Relevansi
kontemporer stewardship ethics juga tampak
dalam bidang pendidikan dan transformasi sosial.
Dunia modern menghadapi krisis epistemik di mana pengetahuan sering terpisah
dari kebijaksanaan moral.¹⁰ Dalam situasi ini, etika stewardship menawarkan
paradigma pendidikan baru yang mengintegrasikan rasionalitas ilmiah dengan
kesadaran etis dan spiritual.¹¹ David Orr menyebut pendidikan ekologis sebagai
“pendidikan untuk kehidupan yang bertanggung jawab,” yakni pendidikan yang
membentuk manusia sebagai warga ekologis (ecological citizens) yang sadar
akan tanggung jawabnya terhadap sistem kehidupan.¹²
Di tingkat praktis,
banyak lembaga pendidikan dan komunitas keagamaan mulai mengadopsi prinsip
stewardship dalam kurikulum dan gaya hidup berkelanjutan.¹³ Misalnya, konsep Green
Campus, Eco-School, dan Faith-Based
Environmental Education merupakan implementasi nyata dari
nilai-nilai stewardship: memelihara bumi melalui perubahan perilaku, kesadaran,
dan tata kelola institusional.¹⁴ Dalam masyarakat yang lebih luas, nilai stewardship
menumbuhkan solidaritas ekologis lintas budaya dan agama—sebuah landasan
penting untuk membangun moralitas global berbasis empati ekologis.¹⁵
Selain pendidikan,
konsep ini juga relevan bagi kebijakan publik dan etika ekonomi.¹⁶ Dalam
ekonomi modern yang didominasi oleh kapitalisme konsumtif, prinsip stewardship
dapat menjadi kerangka etis bagi ekonomi berkelanjutan, ekonomi hijau, dan
ekonomi sirkular.¹⁷ Prinsip “gunakan tanpa merusak” (use
without abuse) dan “keuntungan untuk keberlanjutan” (profit
for sustainability) dapat dijadikan dasar moral bagi tata kelola
korporasi dan kebijakan industri yang bertanggung jawab terhadap alam.¹⁸
7.3.       Spiritualitas Ekologis dan Kesadaran Planet
Relevansi lain dari stewardship
ethics adalah kebangkitannya dalam spiritualitas ekologis kontemporer,
yang berupaya menghidupkan kembali hubungan sakral manusia dengan bumi.¹⁹
Thomas Berry menegaskan bahwa krisis ekologis modern adalah krisis
spiritualitas: manusia kehilangan rasa hormat terhadap bumi sebagai “komunitas
suci kehidupan.”²⁰ Dalam kerangka ini, stewardship ethics berfungsi bukan
sekadar sebagai etika moral, tetapi sebagai jalan pembaruan kesadaran
spiritual.²¹
Spiritualitas stewardship
menumbuhkan kesadaran bahwa segala bentuk kehidupan merupakan partisipasi dalam
kehidupan ilahi—sebuah kesatuan kosmik yang mengandung nilai intrinsik.²² Dalam
pandangan ini, tanggung jawab ekologis tidak hanya bersumber dari kewajiban
moral, tetapi juga dari rasa syukur dan cinta terhadap kehidupan.²³ Pandangan
ini bersesuaian dengan gerakan eco-spirituality dan interfaith
ecology, yang menekankan peran agama dalam mengembalikan
keseimbangan kosmos melalui tindakan praktis menjaga bumi.²⁴
Secara filosofis,
kesadaran ekologis dalam stewardship ethics dapat dipahami
sebagai bentuk kesadaran planet (planetary
consciousness), sebagaimana diusulkan oleh Edgar Morin dan Ervin
Laszlo.²⁵ Mereka menegaskan bahwa masa depan manusia hanya dapat dijamin jika
manusia menyadari dirinya sebagai bagian dari sistem bumi yang hidup. Dalam
konteks ini, stewardship ethics tidak hanya
relevan bagi agama atau filsafat moral, tetapi juga bagi peradaban global yang
sedang mencari keseimbangan antara teknologi dan kebijaksanaan ekologis.²⁶
Secara keseluruhan,
relevansi kontemporer Stewardship Ethics terletak pada
kemampuannya menjembatani antara etika, kebijakan, dan spiritualitas dalam
menghadapi tantangan ekologis global. Ia menawarkan paradigma moral yang
melampaui sekat-sekat ideologis—menggabungkan ilmu, iman, dan tindakan dalam
satu visi keberlanjutan planet. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh
ekonomi dan politik, stewardship mengingatkan bahwa
manusia bukan penguasa dunia, melainkan penjaga kehidupan yang bertanggung
jawab atas masa depan bumi.²⁷
Footnotes
¹ Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 118–120.
² Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next
Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 99–101.
³ Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
36–37.
⁴ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University
of Chicago Press, 1984), 10–12.
⁵ Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 47–48.
⁶ Ibid., 53.
⁷ United Nations Environment Programme, Faith for Earth: A Call
for Action (Nairobi: UNEP, 2020), 7–9.
⁸ United Nations, Transforming Our World: The 2030 Agenda
for Sustainable Development (New York: UN, 2015), 14–16.
⁹ Andrew Light and Holmes Rolston III, Environmental Ethics:
An Anthology (Malden: Blackwell, 2003), 52–54.
¹⁰ Val Plumwood, Environmental Culture: The Ecological
Crisis of Reason (London: Routledge, 2002), 98–100.
¹¹ David Orr, Ecological Literacy: Education and the
Transition to a Postmodern World (Albany: SUNY Press, 1992), 84–86.
¹² Ibid., 90.
¹³ Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion
(Washington, D.C.: Island Press, 2014), 15–16.
¹⁴ Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Darton,
Longman and Todd, 2008), 51–53.
¹⁵ Ibrahim Özdemir, Toward an Islamic Environmental Ethics: A
Perspective from the Qur’an and Sunnah (Ankara: Center for Islamic
Studies, 2003), 62–63.
¹⁶ Herman E. Daly, Steady-State Economics
(Washington, D.C.: Island Press, 1991), 14–15.
¹⁷ Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Anchor Books, 1999), 247–249.
¹⁸ Daly, Steady-State Economics, 19–20.
¹⁹ Thomas Berry, The Dream of the Earth (San
Francisco: Sierra Club Books, 1988), 54–56.
²⁰ Ibid., 58–59.
²¹ Berry, The Great Work: Our Way into the Future
(New York: Bell Tower, 1999), 56–57.
²² Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature
(New York: Oxford University Press, 1996), 45–46.
²³ Mary Evelyn Tucker, The Philosophy of Qi: The Ethics of a
Connected Universe (Cambridge: Harvard University Center for the
Study of World Religions, 2001), 32–33.
²⁴ Tucker and Grim, Ecology and Religion, 22–24.
²⁵ Edgar Morin and Anne Brigitte Kern, Homeland Earth: A
Manifesto for the New Millennium (London: Pinter, 1999), 11–13.
²⁶ Ervin Laszlo, Macroshift: Navigating the Transformation
to a Sustainable World (San Francisco: Berrett-Koehler, 2001),
29–31.
²⁷ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and
Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 120–121.
8.          
Sintesis
Filosofis
Etika stewardship
merupakan hasil sintesis filosofis yang memadukan unsur teologis, moral, dan
ekologis ke dalam suatu pandangan dunia (Weltanschauung) yang komprehensif
tentang tanggung jawab manusia terhadap alam. Ia bukan sekadar sistem etika
normatif, melainkan paradigma filosofis yang menata kembali relasi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis manusia dengan dunia.¹ Dalam perspektif ini, Stewardship
Ethics berfungsi sebagai jembatan antara kesadaran spiritual dan
rasionalitas ekologis, antara iman dan ilmu, serta antara kebebasan manusia dan
keterbatasan kosmisnya.²
8.1.       Integrasi Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Secara ontologis, stewardship
mengakui keberadaan manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang lebih
luas—bukan entitas otonom yang berdiri di atas alam, tetapi makhluk moral yang
eksistensinya saling terkait dengan seluruh ciptaan.³ Ontologi ini menegaskan
bahwa segala sesuatu memiliki nilai intrinsik, dan manusia menemukan makna
keberadaannya dalam relasi harmonis dengan dunia.⁴ Dengan demikian, prinsip
dasar ontologis dari stewardship adalah ko-eksistensi
dan interdependensi: manusia tidak dapat hidup tanpa alam, sebagaimana alam
memerlukan manusia untuk dijaga dan dilestarikan.⁵
Dari sisi
epistemologis, stewardship ethics memadukan tiga
sumber pengetahuan moral: wahyu, rasionalitas, dan pengalaman ekologis.⁶ Wahyu
memberikan orientasi transendental mengenai tujuan moral manusia sebagai
penjaga ciptaan; rasionalitas menuntun manusia untuk menimbang akibat moral
dari tindakannya; dan pengalaman ekologis memperdalam pemahaman eksistensial
tentang keterhubungan manusia dengan dunia hidup (Lebenswelt).⁷ Epistemologi semacam
ini bersifat reflektif dan partisipatif—pengetahuan bukan hasil dominasi
terhadap objek, melainkan hasil keterlibatan penuh manusia dalam kehidupan yang
dijalaninya.⁸
Secara aksiologis, stewardship
ethics menegaskan nilai-nilai moral universal: tanggung jawab,
keadilan ekologis, kesederhanaan, solidaritas, dan keberlanjutan.⁹ Nilai-nilai
ini mengarahkan tindakan manusia untuk tidak hanya mempertahankan kehidupan,
tetapi juga menghormati keindahan, keseimbangan, dan kesucian ciptaan.¹⁰ Dengan
demikian, etika stewardship mengandung horizon
normatif yang tidak berhenti pada perilaku etis individu, tetapi juga meliputi
struktur sosial, politik, dan ekonomi yang mendukung keberlanjutan ekologis
global.¹¹
8.2.       Sintesis antara Spiritualitas dan Rasionalitas
Ekologis
Salah satu kekuatan
konseptual stewardship
ethics terletak pada kemampuannya untuk mensintesiskan
spiritualitas dan rasionalitas ekologis dalam satu kerangka moral yang utuh.¹²
Dalam dunia modern yang cenderung memisahkan iman dari ilmu, stewardship
menawarkan paradigma integratif di mana spiritualitas tidak menolak sains,
tetapi memberikan arah etis bagi penggunaannya.¹³ Sebagaimana ditegaskan oleh
Thomas Berry, manusia modern harus mengalami “ecological conversion”—sebuah
transformasi kesadaran yang mengembalikan hubungan sakral antara manusia dan
bumi.¹⁴
Dengan demikian,
spiritualitas dalam stewardship bukanlah mistisisme
yang menjauh dari dunia, tetapi kesadaran aktif bahwa seluruh ciptaan adalah
refleksi dari nilai ilahi yang harus dihormati.¹⁵ Kesadaran ini membangun rational
compassion—yakni kasih yang disertai pemahaman rasional tentang
sistem kehidupan.¹⁶ Maka, etika stewardship menjadi jalan tengah
antara religiositas yang dogmatis dan rasionalisme yang dingin: ia membentuk
moralitas yang hangat, reflektif, dan berakar pada cinta terhadap kehidupan.¹⁷
8.3.       Rekonstruksi Etika Manusia dalam Kosmos
Secara filosofis, stewardship
ethics merekonstruksi posisi manusia dalam kosmos dari paradigma
dominasi menuju paradigma partisipasi.¹⁸ Jika modernitas menempatkan manusia
sebagai subjek penakluk alam (homo faber), maka stewardship
menegaskan manusia sebagai penjaga kehidupan (homo custus).¹⁹ Perubahan ini
memiliki implikasi mendalam bagi filsafat moral dan politik: kekuasaan harus
dipahami sebagai tanggung jawab, bukan hak; dan kemajuan harus diukur
berdasarkan keseimbangan, bukan eksploitasi.²⁰
Dalam pengertian
ini, stewardship
mengandung semangat etika Hans Jonas yang menuntut manusia bertindak dengan
memperhatikan keberlanjutan kehidupan masa depan.²¹ Jonas menulis, “Act so that the effects of your actions are
compatible with the permanence of genuine life on Earth.”²² Prinsip
tanggung jawab ini menjadi dasar moral universal dalam dunia global yang
terancam oleh krisis ekologi dan teknologi.
Lebih jauh, stewardship
ethics mengafirmasi apa yang disebut Holmes Rolston III sebagai “value
in the natural world”—bahwa alam memiliki nilai moral yang tidak
bergantung pada kebermanfaatan bagi manusia.²³ Dengan mengakui nilai tersebut,
manusia tidak lagi bertindak sebagai penguasa, tetapi sebagai mitra moral dalam
komunitas biotik.²⁴ Maka, tindakan etis dalam stewardship adalah bentuk
solidaritas kosmik: menjaga alam berarti menjaga diri sendiri, karena keduanya
merupakan bagian dari satu kehidupan yang sama.²⁵
8.4.       Stewardship sebagai Etika Planetary dan Dialogis
Dalam era
globalisasi dan krisis iklim, stewardship ethics memperoleh makna
baru sebagai etika planetary (planetary ethics).²⁶
Ia melampaui batas-batas agama, bangsa, dan budaya dengan menegaskan tanggung
jawab bersama terhadap bumi sebagai rumah bersama (common home).²⁷ Edgar Morin
menyebut hal ini sebagai kesadaran “homeland earth”—kesadaran bahwa
umat manusia adalah satu komunitas yang hidup di bawah nasib ekologis yang
sama.²⁸ Dalam kerangka ini, stewardship menjadi prinsip
dialogis yang membuka ruang pertemuan antara berbagai tradisi keagamaan dan
sistem moral sekuler demi tujuan bersama: kelestarian kehidupan di bumi.²⁹
Paradigma stewardship
juga sejalan dengan gagasan posthumanisme ekologis, yang menolak dominasi
manusia dan mengakui agensi makhluk non-manusia.³⁰ Ia mengajarkan bahwa
tanggung jawab etis tidak hanya mencakup relasi antar-manusia, tetapi juga
relasi dengan hewan, tumbuhan, tanah, air, dan udara.³¹ Dalam tataran ini, stewardship
berevolusi dari etika keagamaan menjadi etika planet yang inklusif—suatu
moralitas universal yang mendasarkan dirinya pada kesadaran akan
kesalingterhubungan semua makhluk hidup.³²
Secara keseluruhan, Stewardship
Ethics dapat dipandang sebagai bentuk etika sintetis yang
menggabungkan ontologi partisipatif, epistemologi reflektif,
dan aksiologi ekologis. Ia menawarkan visi moral baru bagi
peradaban manusia—visi tentang kehidupan yang berakar pada tanggung jawab,
keterhubungan, dan kasih terhadap seluruh ciptaan. Dalam konteks krisis
ekologis global, sintesis ini bukan sekadar wacana moral, tetapi panggilan
eksistensial: untuk hidup sebagai penjaga bumi yang rendah hati, bijaksana, dan
berbelarasa.³³
Footnotes
¹ Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 122–123.
² Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future
(New York: Bell Tower, 1999), 57–59.
³ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and
Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 115–117.
⁴ Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of
Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986),
83–84.
⁵ Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New
York: Oxford University Press, 1949), 224–225.
⁶ Ibrahim Özdemir, Toward an Islamic Environmental Ethics: A
Perspective from the Qur’an and Sunnah (Ankara: Center for Islamic
Studies, 2003), 53–54.
⁷ Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and
Transcendental Phenomenology (Evanston: Northwestern University
Press, 1970), 108–109.
⁸ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception,
trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 122–123.
⁹ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University
of Chicago Press, 1984), 6–8.
¹⁰ Bryan G. Norton, Why Preserve Natural Variety?
(Princeton: Princeton University Press, 1987), 94–96.
¹¹ Andrew Light and Holmes Rolston III, Environmental Ethics:
An Anthology (Malden: Blackwell, 2003), 46–48.
¹² Berry, The Dream of the Earth (San
Francisco: Sierra Club Books, 1988), 54–56.
¹³ Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature
(New York: Oxford University Press, 1996), 45–47.
¹⁴ Thomas Berry, The Great Work, 60–62.
¹⁵ Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion
(Washington, D.C.: Island Press, 2014), 20–22.
¹⁶ Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next
Millennium for Life on Earth (New York: Routledge, 2012), 100–102.
¹⁷ Robin Attfield, The Ethics of Environmental Concern
(Athens: University of Georgia Press, 1991), 87–89.
¹⁸ Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 71–73.
¹⁹ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility,
9–11.
²⁰ Herman E. Daly, Steady-State Economics (Washington,
D.C.: Island Press, 1991), 14–15.
²¹ Jonas, The Imperative of Responsibility,
12.
²² Ibid., 13.
²³ Holmes Rolston III, Environmental Ethics,
119–121.
²⁴ Aldo Leopold, A Sand County Almanac, 226.
²⁵ David Abram, The Spell of the Sensuous
(New York: Pantheon Books, 1996), 58–60.
²⁶ Edgar Morin and Anne Brigitte Kern, Homeland Earth: A
Manifesto for the New Millennium (London: Pinter, 1999), 11–13.
²⁷ Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 49–50.
²⁸ Morin and Kern, Homeland Earth, 17–18.
²⁹ Mary Evelyn Tucker, The Philosophy of Qi: The Ethics of a
Connected Universe (Cambridge: Harvard University Center for the
Study of World Religions, 2001), 35–36.
³⁰ Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in
the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 103–105.
³¹ Bruno Latour, We Have Never Been Modern,
trans. Catherine Porter (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 136–138.
³² Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 89–91.
³³ Thomas Berry, The Dream of the Earth,
59–61.
9.          
Kesimpulan
Etika stewardship menampilkan sebuah
paradigma moral yang menempatkan manusia bukan sebagai penguasa yang
menaklukkan alam, melainkan sebagai penjaga dan pelayan kehidupan.¹
Dalam dunia modern yang ditandai oleh eksploitasi ekologis, fragmentasi moral,
dan krisis spiritualitas, konsep ini menghadirkan alternatif filosofis yang
menegaskan kembali kesatuan ontologis manusia dengan alam serta tanggung jawab
moral terhadap kelestarian bumi.² Melalui pendekatan yang integratif—teologis,
rasional, dan etis—stewardship ethics mengembalikan posisi manusia dalam
kosmos sebagai makhluk yang memiliki peran etis: menjaga keteraturan,
keseimbangan, dan keindahan ciptaan.³
Secara ontologis, stewardship menolak
dualisme antara manusia dan alam yang diwariskan oleh modernitas.⁴ Ia
menegaskan bahwa manusia dan alam berada dalam satu jaringan eksistensi yang
saling bergantung dan memiliki nilai intrinsik.⁵ Dengan demikian, keberadaan
manusia memperoleh makna bukan karena kemampuannya menguasai dunia, tetapi
karena kemampuannya berpartisipasi dalam menjaga keberlangsungan kehidupan.⁶
Ontologi stewardship bersifat partisipatif: manusia ada di dunia
sekaligus untuk dunia (being-in-and-for-the-world).⁷
Secara epistemologis, stewardship ethics
mengajarkan bahwa pengetahuan sejati bukanlah hasil dari penguasaan objektif
terhadap alam, melainkan buah dari kesadaran reflektif dan empatik
terhadap keterhubungan seluruh ciptaan.⁸ Pengetahuan ilmiah, dalam etika ini,
harus diimbangi oleh kebijaksanaan moral dan spiritualitas ekologis.⁹ Hal ini
menggeser epistemologi positivistik menuju epistemologi
moral-partisipatif—sebuah pengetahuan yang tidak hanya menjelaskan realitas,
tetapi juga membimbing tindakan manusia terhadapnya.¹⁰
Dari sisi aksiologi, stewardship ethics
memusatkan perhatian pada nilai-nilai tanggung jawab, keadilan ekologis,
kesederhanaan, dan keberlanjutan.¹¹ Nilai-nilai tersebut menuntut perubahan
paradigma dari eksploitasi menuju konservasi, dari kompetisi menuju
koeksistensi, dan dari konsumsi menuju keseimbangan hidup.¹² Sebagaimana
ditegaskan oleh Hans Jonas, tindakan manusia harus selalu diukur dengan prinsip
tanggung jawab terhadap kelangsungan kehidupan di bumi.¹³ Dengan demikian,
etika stewardship menuntun manusia untuk bertindak tidak hanya demi
dirinya sendiri, tetapi juga demi generasi yang akan datang dan seluruh
komunitas biotik.¹⁴
Relevansi kontemporer stewardship semakin
jelas ketika umat manusia dihadapkan pada krisis iklim dan ancaman ekologis
global.¹⁵ Dalam konteks ini, stewardship ethics tidak hanya menjadi
wacana moral keagamaan, tetapi juga fondasi universal bagi etika planet (planetary
ethics).¹⁶ Paradigma ini menggabungkan spiritualitas, rasionalitas
ekologis, dan tanggung jawab sosial menjadi visi moral baru bagi peradaban
manusia.¹⁷ Sebagaimana ditegaskan oleh Thomas Berry, umat manusia perlu
mengalami “ecozoic awakening”—yakni kesadaran bahwa bumi adalah
komunitas hidup yang sakral, bukan sekadar sumber daya ekonomi.¹⁸
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Stewardship
Ethics merupakan sintesis filosofis antara iman dan rasio, antara moralitas
dan keberlanjutan, antara manusia dan alam. Ia menegaskan bahwa tindakan etis
bukanlah pilihan bebas, melainkan panggilan eksistensial yang berakar pada
hakikat manusia sebagai makhluk moral dan spiritual.¹⁹ Dalam visi ini, menjaga
bumi berarti menjaga martabat manusia sendiri, sebab kehidupan hanya dapat
bertahan ketika manusia hidup dalam kasih, tanggung jawab, dan solidaritas
terhadap seluruh ciptaan.²⁰
Footnotes
¹ Robin
Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century
(Cambridge: Polity Press, 2014), 118–120.
² Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell
Tower, 1999), 56–57.
³ Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the
Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 115–117.
⁴ René Descartes, Discourse on the Method, trans. John Veitch (London:
Dent, 1912), 37–38.
⁵ Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University
Press, 1949), 203–204.
⁶ Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics
(Princeton: Princeton University Press, 1986), 83–84.
⁷ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward
Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 52–54.
⁸ Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental
Phenomenology (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 108–109.
⁹ Val Plumwood, Environmental Culture: The Ecological Crisis of Reason
(London: Routledge, 2002), 99–101.
¹⁰ David Abram, The Spell of the Sensuous (New York: Pantheon Books,
1996), 67–69.
¹¹ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for
the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–8.
¹² Herman E. Daly, Steady-State Economics (Washington, D.C.: Island
Press, 1991), 14–15.
¹³ Jonas, The Imperative of Responsibility, 10–11.
¹⁴ Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem
Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 44–46.
¹⁵ Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington,
D.C.: Island Press, 2014), 16–18.
¹⁶ Edgar Morin and Anne Brigitte Kern, Homeland Earth: A Manifesto for the
New Millennium (London: Pinter, 1999), 11–13.
¹⁷ Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999),
243–245.
¹⁸ Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club
Books, 1988), 59–60.
¹⁹ Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York:
Oxford University Press, 1996), 48–49.
²⁰ Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 2015), 53–54.
Daftar Pustaka
Abram, D. (1996). The spell of the sensuous: Perception
and language in a more-than-human world. Pantheon Books.
Aristotle. (1980). Nicomachean ethics (W. D.
Ross, Trans.). Oxford University Press.
Attfield, R. (1991). The ethics of environmental
concern. University of Georgia Press.
Attfield, R. (2014). Environmental ethics: An
overview for the twenty-first century. Polity Press.
Berry, T. (1988). The dream of the earth.
Sierra Club Books.
Berry, T. (1999). The great work: Our way into
the future. Bell Tower.
Braidotti, R. (2013). The posthuman. Polity
Press.
Brennan, A., & Lo, Y.-S. (2010). Understanding
environmental philosophy. Acumen.
Cafaro, P. (2004). Thoreau’s living ethics:
Walden and the pursuit of virtue. University of Georgia Press.
Cobb, J. B., Jr. (1972). Is it too late? A
theology of ecology. Bruce Publishing.
Daly, H. E. (1991). Steady-state economics
(2nd ed.). Island Press.
Deane-Drummond, C. (2008). Eco-theology.
Darton, Longman and Todd.
Descartes, R. (1912). Discourse on the method
(J. Veitch, Trans.). Dent.
Fox, W. (1990). Toward a transpersonal ecology:
Developing new foundations for environmentalism. State University of New
York Press.
Haraway, D. (2016). Staying with the trouble:
Making kin in the Chthulucene. Duke University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics.
Oxford University Press.
Husserl, E. (1970). The crisis of European
sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern
University Press.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Khalid, F. (2002). Islam and the environment.
Ta-Ha Publishers.
Latour, B. (1993). We have never been modern
(C. Porter, Trans.). Harvard University Press.
Leopold, A. (1949). A sand county almanac.
Oxford University Press.
Light, A., & Rolston, H. III. (Eds.). (2003). Environmental
ethics: An anthology. Blackwell.
Merchant, C. (1995). Earthcare: Women and the
environment. Routledge.
Mellor, M. (1997). Feminism and ecology.
Polity Press.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge.
Merleau-Ponty, M. (1968). The visible and the
invisible (A. Lingis, Trans.). Northwestern University Press.
Morin, E., & Kern, A. B. (1999). Homeland
earth: A manifesto for the new millennium. Pinter.
Naess, A. (1989). Ecology, community and
lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge
University Press.
Nash, J. A. (1991). Loving nature: Ecological
integrity and Christian responsibility. Abingdon Press.
Nash, R. (1989). The rights of nature: A history
of environmental ethics. University of Wisconsin Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of
nature. Oxford University Press.
Nasr, S. H. (1997). Man and nature: The
spiritual crisis of modern man. ABC International Group.
Norton, B. G. (1987). Why preserve natural
variety? Princeton University Press.
Norton, B. G. (2005). Sustainability: A philosophy
of adaptive ecosystem management. University of Chicago Press.
Özdemir, I. (2003). Toward an Islamic
environmental ethics: A perspective from the Qur’an and Sunnah. Center for
Islamic Studies.
Orr, D. (1992). Ecological literacy: Education
and the transition to a postmodern world. SUNY Press.
Plumwood, V. (1993). Feminism and the mastery of
nature. Routledge.
Plumwood, V. (2002). Environmental culture: The
ecological crisis of reason. Routledge.
Pope Francis. (2015). Laudato si’: On care for
our common home. Libreria Editrice Vaticana.
Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics:
Duties to and values in the natural world. Temple University Press.
Rolston, H. III. (1989). Philosophy gone wild:
Essays in environmental ethics. Prometheus Books.
Rolston, H. III. (2012). A new environmental
ethics: The next millennium for life on Earth. Routledge.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Anchor Books.
Skolimowski, H. (1981). Eco-philosophy:
Designing new tactics for living. Marion Boyars.
Taylor, P. W. (1986). Respect for nature: A
theory of environmental ethics. Princeton University Press.
Tucker, M. E. (2001). The philosophy of Qi: The
ethics of a connected universe. Harvard University Center for the Study of
World Religions.
Tucker, M. E., & Grim, J. (2014). Ecology
and religion. Island Press.
Tu, W. (1989). Centrality and commonality: An
essay on Confucian religiousness. State University of New York Press.
United Nations. (2015). Transforming our world:
The 2030 agenda for sustainable development. United Nations.
United Nations Environment Programme. (2020). Faith
for Earth: A call for action. UNEP.
Warren, K. J. (2000). Ecofeminist philosophy: A
Western perspective on what it is and why it matters. Indiana University
Press.
White, L. Jr. (1967). The historical roots of our
ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.
Wolfe, C. (2010). What is posthumanism?
University of Minnesota Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar