Pengendalian Diri (Sôphrosynê)
Fondasi Etis Kehidupan
Rasional
Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep sôphrosynê atau
pengendalian diri sebagai salah satu dari empat kebajikan utama dalam filsafat
Stoikisme, dengan menekankan kedudukannya sebagai fondasi etis dan psikologis
dalam kehidupan rasional. Kajian dimulai dengan menelusuri akar historis sôphrosynê
dalam filsafat Yunani klasik, terutama pada pemikiran Plato dan Aristoteles,
sebelum dikembangkan lebih lanjut oleh Zeno, Chrysippus, Epictetus, dan Marcus
Aurelius. Dari perspektif etis, pengendalian diri dipahami sebagai mekanisme
yang menjaga agar tindakan manusia senantiasa selaras dengan akal (logos)
dan kebajikan (aretê). Dari sisi psikologis, ia berfungsi sebagai
regulasi emosi yang melindungi jiwa dari dominasi nafsu (pathê) dan
gangguan batin.
Pembahasan artikel ini juga menyoroti peran
pengendalian diri dalam relasi sosial dan kehidupan politik, di mana sôphrosynê
menjadi pilar penting bagi perdamaian, keadilan, dan kepemimpinan yang
bermoral. Lebih jauh, relevansi konsep ini dalam konteks modern ditunjukkan
melalui tantangan budaya konsumtif, distraksi digital, serta krisis kesehatan
mental, yang dapat diatasi dengan prinsip moderasi dan disiplin batin Stoik.
Selain itu, keterkaitan sôphrosynê dengan praktik terapi kognitif modern
menegaskan universalitas dan daya tahannya lintas zaman. Dengan demikian,
pengendalian diri dalam Stoikisme bukan hanya kebajikan individual, melainkan juga
instrumen moral-sosial yang relevan bagi kehidupan manusia kontemporer.
Kata Kunci: Stoikisme,
sôphrosynê, pengendalian diri, kebajikan, etika, psikologi, Marcus Aurelius,
Epictetus.
PEMBAHASAN
Pengendalian Diri (Sôphrosynê)
dalam Stoikisme
1.         
Pendahuluan
Stoikisme, salah
satu aliran filsafat terbesar dari dunia Yunani-Romawi, telah lama dikenal
sebagai filsafat praktis yang menekankan pada pencapaian ketenangan batin (ataraxia)
dan kebahagiaan sejati (eudaimonia) melalui kehidupan yang
selaras dengan rasio dan alam. Zeno dari Citium, pendirinya, menekankan bahwa
hidup yang baik tidak ditentukan oleh kekayaan atau kekuasaan, melainkan oleh kemampuan manusia
untuk hidup sesuai dengan kebajikan (aretê) sebagai prinsip moral
tertinggi.¹ Dari empat kebajikan utama yang menjadi fondasi
Stoikisme—kebijaksanaan (sophia), keberanian (andreia),
keadilan (dikaiosynê),
dan pengendalian diri (sôphrosynê)—konsep pengendalian
diri menempati posisi sentral karena menjadi penopang bagi terwujudnya ketiga kebajikan
lainnya.²
Pengendalian diri (sôphrosynê)
dalam Stoikisme dipahami sebagai kemampuan untuk menahan diri dari dorongan
berlebihan, mengendalikan hawa nafsu, serta menjaga stabilitas emosi agar
tindakan senantiasa dituntun oleh akal sehat.³ Bagi para filsuf Stoik, manusia
yang tidak mampu mengendalikan emosi akan terombang-ambing oleh kemarahan,
keserakahan, dan ketakutan, yang pada akhirnya menjauhkannya dari kehidupan
yang rasional dan harmonis. Hal ini sejalan dengan pandangan Plato dalam Republic,
di mana sôphrosynê
diidentifikasi sebagai harmoni antara bagian rasional dan irasional dalam jiwa,
serta menjadi syarat terciptanya keadilan dan ketertiban moral.⁴
Dalam tradisi
Romawi, Marcus Aurelius melalui karyanya Meditations menekankan urgensi menjaga
kestabilan batin dengan menguasai diri sendiri, bukan membiarkan diri dikuasai
oleh emosi eksternal. Ia menulis bahwa "kebahagiaan hidup bergantung pada kualitas
pikiran kita," yang berarti bahwa disiplin diri merupakan
prasyarat utama untuk membangun kebebasan batin.⁵ Epictetus, seorang filsuf
Stoik lainnya, menambahkan bahwa manusia tidak dapat mengendalikan peristiwa
eksternal, tetapi sepenuhnya dapat mengendalikan respons internal melalui
pengendalian diri.⁶ Pandangan ini memperlihatkan bahwa sôphrosynê
tidak hanya merupakan kebajikan moral, tetapi juga strategi eksistensial untuk
bertahan menghadapi ketidakpastian hidup.
Kajian mengenai
pengendalian diri dalam Stoikisme menjadi penting karena relevansinya tidak
hanya pada konteks klasik, tetapi juga dalam menghadapi tantangan modern. Di
tengah dunia yang dipenuhi godaan konsumerisme, distraksi digital, serta
tekanan emosional akibat kompetisi dan ketidakpastian sosial, gagasan tentang sôphrosynê
menawarkan fondasi etis untuk membangun kehidupan yang lebih terarah dan
rasional.⁷ Dengan demikian, artikel ini akan membahas secara mendalam konsep sôphrosynê
dari perspektif Stoikisme, landasan filosofis-historisnya, aplikasinya dalam
kehidupan, serta relevansinya dalam konteks kontemporer.
Footnotes
[1]               
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D.
Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 7.87.
[2]               
Anthony A. Long dan David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers
(Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 394.
[3]               
Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism
(Oxford: Clarendon Press, 1985), 141–143.
[4]               
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, revised by C.D.C. Reeve
(Indianapolis: Hackett, 1992), 430e–432a.
[5]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2003), 4.3.
[6]               
Epictetus, Discourses and Selected Writings, trans. Robert
Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 1.1.
[7]               
Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London:
Routledge, 2013), 58–60.
2.              
Konsep Dasar Pengendalian
Diri dalam Stoikisme
Pengendalian diri (sôphrosynê)
merupakan salah satu kebajikan utama dalam filsafat Stoikisme yang berfungsi
sebagai landasan untuk menjaga harmoni batin dan keteraturan moral. Para filsuf
Stoik menekankan bahwa hidup yang baik hanya dapat dicapai jika manusia mampu
menundukkan dorongan emosional dan nafsu yang berlebihan di bawah kendali akal
(logos).¹
Dalam konteks ini, pengendalian diri tidak dipahami sebagai penekanan mutlak
terhadap emosi, melainkan sebagai kemampuan mengarahkan emosi agar sesuai
dengan rasio.² Dengan demikian, sôphrosynê bukan sekadar menahan
diri, tetapi lebih pada pengelolaan diri sehingga tindakan manusia konsisten
dengan kebajikan.
Secara etimologis,
istilah sôphrosynê
dalam bahasa Yunani kuno mengandung makna “akal sehat” atau “kewarasan,”
yang berhubungan dengan kemampuan menjaga keseimbangan antara dorongan jasmani
dan tuntunan akal.³ Dalam kerangka Stoikisme, keseimbangan ini dicapai ketika
individu dapat menerima takdir alamiah (physis) tanpa kehilangan otonomi
moralnya.⁴ Hal ini selaras dengan prinsip Stoik bahwa kebahagiaan sejati (eudaimonia)
tidak bergantung pada kondisi eksternal, melainkan pada disposisi batin yang
terkendali dan seimbang.
Pengendalian diri
dalam Stoikisme juga memiliki dimensi rasional dan etis yang erat kaitannya
dengan pemahaman tentang logos. Para filsuf Stoik
berpendapat bahwa logos adalah prinsip rasional yang
menjiwai alam semesta, dan manusia sebagai makhluk rasional dituntut untuk
hidup selaras dengannya.⁵ Oleh karena itu, sôphrosynê dapat dipandang sebagai
bentuk konkret keteraturan batin yang memungkinkan manusia untuk sejalan dengan
tatanan kosmos. Tanpa pengendalian diri, manusia cenderung dikuasai oleh nafsu
(pathê),
yang oleh kaum Stoik dianggap sebagai bentuk “penyakit jiwa” yang
menjauhkan seseorang dari kebajikan.⁶
Selain itu, sôphrosynê
juga berfungsi sebagai jembatan antara kebajikan lain dalam Stoikisme. Tanpa
pengendalian diri, kebijaksanaan (sophia) akan kehilangan ketegasan
aplikatifnya, keadilan (dikaiosynê) akan mudah tergoyahkan
oleh kepentingan pribadi, dan keberanian (andreia) akan berisiko berubah
menjadi keberanian buta.⁷ Dengan kata lain, pengendalian diri adalah penopang
yang memastikan agar setiap kebajikan dapat dijalankan secara konsisten dalam
kehidupan nyata.
Marcus Aurelius
menegaskan pentingnya kestabilan emosi sebagai wujud pengendalian diri dengan
menyatakan bahwa “seseorang menjadi tak terkalahkan ketika ia menolak tunduk
pada emosi yang tidak pantas.”⁸ Sementara itu, Epictetus menekankan bahwa
kebebasan sejati bukanlah kebebasan dari kondisi eksternal, melainkan kemampuan
untuk menguasai diri dalam menghadapi segala situasi.⁹ Pernyataan ini
memperlihatkan bahwa sôphrosynê dalam Stoikisme tidak
hanya bernilai moral, tetapi juga berfungsi sebagai dasar praktis untuk
mencapai kebebasan batin (eleutheria).
Dari uraian ini,
jelas bahwa sôphrosynê adalah kebajikan
fundamental dalam Stoikisme yang memungkinkan manusia untuk hidup secara
rasional, etis, dan harmonis. Ia tidak sekadar berfungsi sebagai pengekangan terhadap
dorongan emosional, tetapi juga sebagai keterampilan eksistensial yang
membentuk manusia menjadi pribadi yang berkeutamaan. Dengan pengendalian diri,
individu dapat menjalani hidup selaras dengan alam semesta, menjaga integritas
moral, dan meraih kebahagiaan yang autentik.
Footnotes
[1]               
Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism
(Oxford: Clarendon Press, 1985), 138.
[2]               
Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford
University Press, 1993), 410.
[3]               
A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics
(London: Duckworth, 1986), 201.
[4]               
John M. Cooper, Pursuits of Wisdom: Six Ways of Life in Ancient
Philosophy from Socrates to Plotinus (Princeton: Princeton University
Press, 2012), 168.
[5]               
Anthony A. Long dan David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers
(Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 395.
[6]               
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in
Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 394.
[7]               
Christopher Gill, The Structured Self in Hellenistic and Roman
Thought (Oxford: Oxford University Press, 2006), 213.
[8]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2003), 6.30.
[9]               
Epictetus, Discourses and Selected Writings, trans. Robert
Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 1.1.
3.              
Landasan Filosofis dan
Historis
Konsep sôphrosynê
(pengendalian diri) dalam Stoikisme tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan
berakar pada tradisi filsafat Yunani kuno yang lebih luas. Akar pemikiran ini
dapat ditelusuri sejak masa awal filsafat Yunani, terutama dalam karya Plato
dan Aristoteles, sebelum kemudian ditransformasi dan diperdalam oleh para
filsuf Stoik. Dengan demikian, memahami sôphrosynê dalam Stoikisme menuntut
pengkajian historis terhadap kesinambungan dan pergeseran maknanya di sepanjang
tradisi filsafat klasik.
3.1.      
Akar Konsep dalam Filsafat Yunani Awal
Dalam filsafat
Yunani, sôphrosynê
awalnya dimaknai sebagai "kesederhanaan" atau "moderasi,"
suatu sikap menjaga keseimbangan diri dalam menghadapi dorongan hasrat dan
kesenangan. Plato dalam Republic menyebut sôphrosynê
sebagai harmoni antara bagian rasional, penuh semangat (thumos),
dan penuh nafsu (epithumia) dalam jiwa manusia.¹
Tanpa harmoni tersebut, jiwa manusia akan tercerai-berai dan kehilangan
keteraturannya. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics memandang sôphrosynê
sebagai kebajikan etis yang berkaitan dengan pengaturan hasrat, khususnya dalam
kaitannya dengan kesenangan jasmani.² Dengan kata lain, pengendalian diri
merupakan syarat bagi tercapainya kehidupan berkeutamaan (aretê)
dan kebahagiaan sejati (eudaimonia).
3.2.      
Transformasi dalam Stoikisme Awal
Kaum Stoik awal,
seperti Zeno dari Citium dan Chrysippus, mengadopsi sekaligus memperluas konsep
sôphrosynê.
Mereka menekankan bahwa pengendalian diri tidak hanya menyangkut pengaturan
hasrat jasmani, tetapi mencakup keseluruhan disposisi jiwa yang selaras dengan
akal (logos).³
Chrysippus bahkan menegaskan bahwa emosi berlebihan (pathê)
merupakan hasil dari penilaian yang keliru, dan hanya melalui sôphrosynê
manusia dapat membebaskan diri dari keterikatan emosional yang merusak.⁴ Dalam
kerangka ini, pengendalian diri bukan sekadar moderasi, melainkan bentuk
kebijaksanaan praktis yang menuntun manusia pada keteraturan batin dan
keselarasan dengan tatanan kosmik.
3.3.      
Perkembangan dalam Tradisi Romawi
Ketika Stoikisme
berkembang di dunia Romawi, tokoh-tokoh seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus
Aurelius menekankan dimensi praktis dari sôphrosynê. Seneca melihat
pengendalian diri sebagai benteng terhadap godaan eksternal, menulis bahwa
"tidak ada perbudakan yang lebih menyedihkan daripada diperbudak oleh
nafsu sendiri."⁵ Epictetus mengajarkan bahwa pengendalian diri
memungkinkan manusia untuk membedakan antara hal-hal yang berada dalam kendali
dan yang tidak, sehingga tidak terjebak dalam penderitaan yang sia-sia.⁶ Marcus
Aurelius, dalam Meditations, menegaskan bahwa
kestabilan emosi adalah dasar bagi kebebasan batin dan keharmonisan hidup.⁷
Dengan demikian, dalam Stoikisme Romawi, sôphrosynê menjadi tidak hanya
kebajikan moral, tetapi juga metode praktis untuk bertahan menghadapi realitas
sosial-politik yang penuh tekanan.
3.4.      
Relasi dengan Kebajikan Lain dalam Stoikisme
Dalam sistem etika
Stoik, sôphrosynê
tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan erat dengan tiga kebajikan utama
lainnya: kebijaksanaan (sophia), keadilan (dikaiosynê),
dan keberanian (andreia). Tanpa pengendalian diri,
kebijaksanaan tidak dapat dipraktikkan secara konsisten; tanpa pengendalian
diri, keadilan akan dikompromikan oleh nafsu; dan tanpa pengendalian diri,
keberanian dapat berubah menjadi kecerobohan.⁸ Dengan demikian, secara historis
maupun filosofis, sôphrosynê dipandang sebagai
penyangga utama yang memungkinkan kebajikan lain dijalankan dengan seimbang.
Dari perspektif
historis, terlihat bahwa meskipun konsep sôphrosynê telah dikenal dalam
tradisi Yunani sebelum Stoikisme, kaum Stoik memberikan elaborasi yang khas:
mereka menempatkan pengendalian diri sebagai inti dari kehidupan rasional dan
harmonis. Transformasi ini memperlihatkan kesinambungan sekaligus kebaruan,
yang menjadikan sôphrosynê sebagai pilar penting
dalam filsafat moral klasik dan relevan hingga zaman modern.
Footnotes
[1]               
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, revised by C.D.C. Reeve
(Indianapolis: Hackett, 1992), 430e–432a.
[2]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), 1118a–1119b.
[3]               
Anthony A. Long and David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers
(Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 395.
[4]               
Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism
(Oxford: Clarendon Press, 1985), 144–146.
[5]               
Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (London:
Penguin Classics, 2004), Letter 47.17.
[6]               
Epictetus, Discourses and Selected Writings, trans. Robert
Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 1.1.
[7]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2003), 6.30.
[8]               
Christopher Gill, The Structured Self in Hellenistic and Roman
Thought (Oxford: Oxford University Press, 2006), 213.
4.              
Pengendalian Diri dalam
Karya Marcus Aurelius dan Epictetus
Pengendalian diri (sôphrosynê)
merupakan tema sentral dalam karya-karya para filsuf Stoik, khususnya Marcus
Aurelius dan Epictetus. Kedua tokoh ini mewakili dua perspektif khas dalam
tradisi Stoik: Aurelius sebagai kaisar Romawi yang menghadapi tekanan politik
dan militer, serta Epictetus sebagai seorang mantan budak yang menekankan
kebebasan batin melalui filsafat. Meskipun latar belakang mereka berbeda,
keduanya sama-sama menempatkan pengendalian diri sebagai kebajikan fundamental
untuk mencapai ketenangan jiwa dan kebebasan sejati.
4.1.      
Marcus Aurelius dan Kestabilan Emosi dalam
Meditations
Dalam Meditations,
Marcus Aurelius menekankan pentingnya menjaga kestabilan batin dengan menguasai
diri, bukan membiarkan diri dikuasai oleh keadaan eksternal. Ia menulis bahwa
kebahagiaan hidup manusia sepenuhnya ditentukan oleh kualitas pikirannya, bukan
oleh kondisi luar.¹ Bagi Aurelius, pengendalian diri adalah bentuk latihan
batin (askêsis)
yang melibatkan pengamatan terus-menerus terhadap pikiran dan emosi, agar
manusia tetap selaras dengan rasio dan hukum alam (logos).²
Lebih jauh, Aurelius
sering menasihati dirinya untuk tidak terjerat oleh amarah maupun kesedihan. Ia
menyadari bahwa emosi negatif lahir dari penilaian subjektif yang keliru terhadap
peristiwa eksternal.³ Oleh karena itu, sôphrosynê berfungsi sebagai
benteng moral yang menjaga jiwa tetap teguh di tengah gejolak politik,
peperangan, maupun pengkhianatan. Pengendalian diri baginya adalah syarat
mutlak bagi seorang pemimpin agar dapat memerintah dengan adil, rasional, dan
tanpa dominasi hawa nafsu.⁴
4.2.      
Epictetus dan Kebebasan Batin melalui
Pengendalian Diri
Berbeda dengan
Aurelius, Epictetus—dalam Discourses dan Enchiridion—lebih
menekankan aspek praktis dari pengendalian diri sebagai kunci untuk meraih
kebebasan sejati (eleutheria). Menurutnya, manusia
tidak memiliki kuasa atas dunia luar, tetapi sepenuhnya berkuasa atas sikap dan
respons batinnya.⁵ Dengan demikian, pengendalian diri merupakan sarana untuk
membedakan antara hal-hal yang berada dalam kendali (ta eph’
hêmin) dan hal-hal yang berada di luar kendali (ta ouk
eph’ hêmin).⁶
Epictetus
mengibaratkan hidup seperti sebuah permainan peran: manusia tidak dapat memilih
peran yang diberikan oleh takdir, tetapi dapat memilih bagaimana menjalankan
peran tersebut dengan bermartabat.⁷ Dalam kerangka ini, sôphrosynê
adalah kemampuan untuk menahan diri dari keluhan, ketakutan, atau hasrat
berlebihan, sekaligus mengarahkan jiwa agar tetap tenang meski berhadapan
dengan penderitaan atau kehilangan. Bagi Epictetus, hanya dengan menguasai diri
seseorang dapat membebaskan diri dari perbudakan nafsu dan mencapai kehidupan
yang benar-benar bebas.⁸
4.3.      
Kesamaan dan Perbedaan Pendekatan
Meskipun berbeda
latar belakang, terdapat kesamaan mendasar antara Aurelius dan Epictetus dalam
menekankan bahwa pengendalian diri adalah kunci untuk menjaga integritas moral.
Keduanya melihat sôphrosynê sebagai cara untuk
menghadapi penderitaan dengan ketenangan dan menjalani hidup selaras dengan
rasio. Namun, pendekatan Aurelius lebih menekankan pada tanggung jawab sosial
dan politik sebagai seorang kaisar, sedangkan Epictetus menyoroti kebebasan
batin individu yang terlepas dari kondisi eksternal.⁹
Perbedaan perspektif
ini justru memperkaya pemahaman tentang sôphrosynê dalam Stoikisme.
Aurelius menunjukkan relevansinya bagi kepemimpinan dan kehidupan publik,
sementara Epictetus menegaskan dimensi eksistensial pengendalian diri sebagai
jalan menuju otonomi moral. Keduanya mengonfirmasi bahwa sôphrosynê
adalah kebajikan yang melampaui batas sosial, mampu membimbing manusia baik
dalam ruang privat maupun publik, dari istana kekaisaran hingga kehidupan
seorang budak.
Footnotes
[1]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2003), 4.3.
[2]               
Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius,
trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 83–84.
[3]               
Marcus Aurelius, Meditations, 8.47.
[4]               
Donald Robertson, How to Think Like a Roman Emperor: The Stoic
Philosophy of Marcus Aurelius (New York: St. Martin’s Press, 2019),
122–125.
[5]               
Epictetus, Discourses and Selected Writings, trans. Robert
Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 1.1.
[6]               
Epictetus, Enchiridion, trans. Nicholas P. White
(Indianapolis: Hackett, 1983), §1.
[7]               
Epictetus, Discourses, 1.29.
[8]               
A.A. Long, Epictetus: A Stoic and Socratic Guide to Life
(Oxford: Clarendon Press, 2002), 101–103.
[9]               
John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California
Press, 2006), 108–110.
5.              
Dimensi Etis dan Psikologis
Pengendalian diri (sôphrosynê)
dalam Stoikisme bukan hanya kebajikan moral, melainkan juga sebuah disposisi
psikologis yang membentuk fondasi kehidupan manusia yang rasional dan harmonis.
Dari perspektif etika, sôphrosynê berfungsi sebagai
mekanisme yang memastikan bahwa tindakan manusia selalu sejalan dengan akal (logos)
dan kebajikan (aretê). Dari sisi psikologis,
pengendalian diri dipandang sebagai regulasi emosi yang melindungi jiwa dari
ketidakstabilan, penderitaan, dan kehancuran moral. Dengan demikian, dimensi
etis dan psikologis sôphrosynê saling terkait erat,
menegaskan bahwa filsafat Stoik merupakan sebuah terapi moral sekaligus terapi
jiwa.
5.1.      
Dimensi Etis: Sôphrosynê sebagai Penuntun Moral
Kaum Stoik
menegaskan bahwa semua kebajikan berakar pada rasio, dan pengendalian diri
adalah bentuk nyata dari ketaatan terhadap prinsip rasional tersebut.¹ Dengan
menguasai diri, manusia tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh nafsu (pathê),
yang oleh Stoik dianggap sebagai bentuk “penyakit jiwa.”² Dalam kerangka
etis, sôphrosynê
menjamin bahwa keputusan moral tidak didasarkan pada dorongan impulsif,
melainkan pada pertimbangan rasional yang sejalan dengan hukum alam.³
Hal ini menegaskan
posisi sôphrosynê
sebagai fondasi dari kebajikan lainnya. Keberanian tanpa pengendalian diri akan
berubah menjadi kecerobohan; keadilan tanpa pengendalian diri akan tergelincir
menjadi kesewenang-wenangan; dan kebijaksanaan tanpa pengendalian diri tidak
akan menemukan bentuk praktisnya.⁴ Dengan kata lain, secara etis, pengendalian diri
bukan sekadar kebajikan tambahan, tetapi sebuah syarat keberlanjutan dari
keseluruhan kehidupan bermoral dalam Stoikisme.
5.2.      
Dimensi Psikologis: Sôphrosynê sebagai Regulasi
Emosi
Stoikisme juga
memandang sôphrosynê
sebagai strategi untuk mencapai kesehatan jiwa. Epictetus menekankan bahwa
penderitaan emosional lahir bukan dari peristiwa itu sendiri, melainkan dari
penilaian subjektif yang kita berikan terhadapnya.⁵ Oleh karena itu,
pengendalian diri berfungsi untuk menata kembali penilaian (judgment)
sehingga emosi negatif tidak berkembang menjadi gangguan batin. Dengan
pengendalian diri, manusia dapat mengubah respons internal terhadap keadaan
eksternal, sehingga tercapai ketenangan (ataraxia).
Marcus Aurelius juga
menekankan aspek psikologis ini dengan menulis bahwa “jiwa menjadi tenteram
ketika tidak terganggu oleh keinginan berlebihan dan tetap setia pada
kewajibannya.”⁶ Pandangan ini mengaitkan pengendalian diri dengan konsep
kesehatan jiwa modern, khususnya dalam bidang psikologi kognitif. Beberapa
sarjana modern, seperti Martha Nussbaum, bahkan menyebut filsafat Stoik sebagai
bentuk awal dari cognitive therapy yang berfungsi
mengoreksi cara berpikir dan menata emosi manusia.⁷
5.3.      
Integrasi Etis dan Psikologis: Jalan Menuju
Eudaimonia
Ketika dimensi etis
dan psikologis sôphrosynê digabungkan,
terbentuklah kerangka utuh untuk mencapai eudaimonia atau kebahagiaan sejati.
Etika Stoik mengajarkan bahwa hidup yang baik hanya mungkin jika manusia
menjaga kebajikan; sedangkan psikologi Stoik menunjukkan bahwa kestabilan emosi
adalah prasyarat bagi keberlangsungan kebajikan itu sendiri.⁸ Dengan demikian, sôphrosynê
tidak hanya menuntun manusia menuju tindakan yang benar, tetapi juga membentuk
kondisi jiwa yang stabil dan sehat, yang pada akhirnya menjadi dasar bagi
kehidupan yang harmonis.
Footnotes
[1]               
A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics
(London: Duckworth, 1986), 201.
[2]               
Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism
(Oxford: Clarendon Press, 1985), 144–146.
[3]               
John M. Cooper, Pursuits of Wisdom: Six Ways of Life in Ancient
Philosophy from Socrates to Plotinus (Princeton: Princeton University
Press, 2012), 168.
[4]               
Christopher Gill, The Structured Self in Hellenistic and Roman
Thought (Oxford: Oxford University Press, 2006), 213.
[5]               
Epictetus, Discourses and Selected Writings, trans. Robert
Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 1.1.
[6]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2003), 6.30.
[7]               
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in
Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 394–395.
[8]               
Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London:
Routledge, 2013), 58–60.
6.              
Pengendalian Diri dan
Relasi Sosial
Stoikisme tidak
hanya menekankan kehidupan batin yang tenang, tetapi juga menempatkan manusia
sebagai makhluk sosial (zôon politikon) yang terikat dalam
jaringan kewajiban moral terhadap sesama.¹ Dalam konteks ini, pengendalian diri
(sôphrosynê)
memiliki fungsi etis yang melampaui dimensi individual: ia menjadi fondasi
penting untuk membangun relasi sosial yang harmonis, adil, dan rasional.
Seorang Stoik sejati tidak hanya menguasai dirinya untuk mencapai ketenangan
batin, tetapi juga agar dapat berkontribusi positif dalam kehidupan bersama.
6.1.      
Menahan Amarah dalam Interaksi Sosial
Salah satu
perwujudan nyata sôphrosynê adalah kemampuan menahan
amarah dalam interaksi dengan orang lain. Seneca dalam De Ira
menegaskan bahwa amarah adalah emosi destruktif yang menghancurkan hubungan
antarindividu maupun tatanan masyarakat.² Pengendalian diri memungkinkan
manusia menghadapi konflik tanpa terjebak dalam kekerasan emosional, sehingga
perbedaan dapat diselesaikan melalui rasio, bukan ledakan nafsu.³ Dalam
masyarakat, hal ini berarti sôphrosynê menjadi pilar bagi perdamaian
sosial dan keteraturan hukum.
6.2.      
Mengendalikan Keserakahan dan Hawa Nafsu
Selain amarah,
Stoikisme juga menyoroti keserakahan dan dorongan hawa nafsu sebagai ancaman
utama bagi keharmonisan sosial. Epictetus menekankan bahwa keserakahan muncul
dari ketidakmampuan membedakan antara kebutuhan nyata dan hasrat yang
berlebihan.⁴ Dengan pengendalian diri, individu belajar untuk hidup sederhana (autarkeia)
dan tidak merugikan orang lain demi memenuhi kepentingan pribadi. Marcus
Aurelius bahkan mengingatkan dirinya untuk selalu berbuat adil, tidak dikuasai
oleh keuntungan atau ambisi yang mengorbankan kepentingan bersama.⁵ Dengan
demikian, sôphrosynê
berfungsi sebagai pengendali egoisme demi terciptanya relasi sosial yang sehat.
6.3.      
Pengendalian Diri dalam Kehidupan Publik dan
Politik
Sebagai kaisar,
Marcus Aurelius menyadari bahwa pengendalian diri merupakan prasyarat moral
bagi seorang pemimpin. Tanpa pengendalian diri, kekuasaan akan mudah berubah
menjadi tirani. Ia menulis dalam Meditations bahwa seorang pemimpin
harus menjaga diri dari kesombongan, kerakusan, dan dendam, karena hal-hal
tersebut mengikis keadilan dan merusak kepercayaan rakyat.⁶ Pengendalian diri
di sini bukan hanya kebajikan pribadi, tetapi juga tanggung jawab
sosial-politik yang berdampak pada stabilitas negara.
Bagi masyarakat
luas, Stoikisme menekankan bahwa setiap individu adalah bagian dari komunitas
kosmopolitan, yaitu kosmopolis, di mana semua manusia
dipandang sebagai warga dunia yang setara.⁷ Dengan menguasai diri, seseorang
dapat menahan kecenderungan diskriminatif, mengedepankan keadilan, dan
memperlakukan orang lain dengan martabat yang sama.
6.4.      
Harmoni Sosial melalui Sôphrosynê
Pada akhirnya,
pengendalian diri berperan sebagai jembatan antara kehidupan moral individu dan
keteraturan sosial. Dengan menundukkan hawa nafsu, manusia mampu berinteraksi
secara adil, menunaikan kewajiban sosial, dan menghormati hak orang lain.⁸
Dalam pandangan Stoik, masyarakat yang diwarnai oleh sôphrosynê
adalah masyarakat yang bebas dari dominasi emosi kolektif yang merusak, seperti
kemarahan massa atau keserakahan ekonomi. Dengan kata lain, pengendalian diri
bukan hanya menjaga ketenangan individu, tetapi juga menjadi landasan bagi
terciptanya harmoni sosial.
Footnotes
[1]               
A.A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California
Press, 1996), 207.
[2]               
Seneca, On Anger (De Ira), trans. John W. Basore (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1928), 1.1.
[3]               
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in
Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 402.
[4]               
Epictetus, Discourses and Selected Writings, trans. Robert
Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 3.7.
[5]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2003), 6.30.
[6]               
Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius,
trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 143–145.
[7]               
John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California
Press, 2006), 118–120.
[8]               
Christopher Gill, The Structured Self in Hellenistic and Roman
Thought (Oxford: Oxford University Press, 2006), 214.
7.              
Relevansi dalam Konteks
Modern
Meskipun lahir lebih
dari dua milenium yang lalu, gagasan Stoikisme tentang pengendalian diri (sôphrosynê)
tetap memiliki relevansi besar dalam kehidupan modern. Dunia kontemporer
ditandai oleh dinamika sosial, politik, dan psikologis yang kompleks:
konsumerisme global, tekanan kompetitif, distraksi digital, serta meningkatnya
gangguan kesehatan mental. Dalam konteks ini, sôphrosynê menghadirkan kerangka
filosofis sekaligus praktis yang membantu manusia menjaga keseimbangan batin,
mengendalikan emosi, dan membangun kehidupan yang lebih rasional.
7.1.      
Tantangan Konsumerisme dan Budaya Instan
Era modern
menghadirkan godaan yang jauh lebih besar dibandingkan zaman Yunani-Romawi,
terutama melalui budaya konsumsi dan teknologi digital. Jean Twenge, misalnya,
menunjukkan bahwa generasi modern menghadapi tingkat kecemasan yang lebih
tinggi akibat paparan media sosial dan tekanan budaya instan.¹ Dalam situasi
ini, sôphrosynê
dapat menjadi prinsip moderasi yang mengajarkan individu untuk menahan diri
dari keserakahan konsumtif dan mengendalikan kebutuhan palsu yang ditawarkan
oleh kapitalisme modern.² Dengan menghidupi pengendalian diri, individu mampu
membedakan antara kebutuhan yang rasional dan hasrat yang diciptakan oleh
industri hiburan dan iklan.
7.2.      
Sôphrosynê dan Kesehatan Mental
Stoikisme sering
dipandang sebagai bentuk awal dari cognitive behavioral therapy (CBT),
yang menekankan bahwa penderitaan emosional berasal dari cara kita menilai
suatu peristiwa, bukan dari peristiwa itu sendiri.³ Dalam psikologi modern,
prinsip ini terbukti efektif dalam terapi depresi, kecemasan, dan stres. Donald
Robertson berpendapat bahwa praktik Stoik, termasuk pengendalian diri, membantu
membentuk kebiasaan berpikir yang sehat melalui refleksi rasional dan disiplin
mental.⁴ Dengan demikian, sôphrosynê bukan hanya kebajikan
moral, tetapi juga alat psikoterapi yang relevan bagi kesejahteraan psikologis
manusia modern.
7.3.      
Kepemimpinan dan Etika Publik
Dalam dunia politik
dan bisnis yang sarat dengan krisis moral, sôphrosynê menjadi kebajikan
penting bagi para pemimpin. Jim Collins dalam studinya tentang kepemimpinan
menyebut bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mampu mengendalikan ego,
menahan ambisi pribadi, dan mengutamakan kepentingan kolektif.⁵ Hal ini sejalan
dengan ajaran Marcus Aurelius yang menekankan pentingnya menjaga diri dari
kesombongan, dendam, dan kerakusan dalam mengelola kekuasaan.⁶ Dengan demikian,
pengendalian diri bukan hanya persoalan pribadi, tetapi juga fondasi bagi etika
sosial-politik yang sehat.
7.4.      
Mindfulness dan Stoikisme dalam Kehidupan
Sehari-hari
Kebangkitan minat
terhadap filsafat praktis, termasuk Stoikisme, terlihat jelas dalam berbagai gerakan
mindfulness
modern. Ryan Holiday, misalnya, dalam The Daily Stoic mengadaptasi
prinsip Stoik, termasuk sôphrosynê, sebagai panduan praktis
menghadapi kesibukan dan tekanan hidup modern.⁷ Pengendalian diri di sini
dipraktikkan melalui refleksi harian, meditasi, dan pengelolaan emosi dalam
situasi sulit. Kehadiran Stoikisme dalam budaya populer membuktikan bahwa
nilai-nilai klasik tetap relevan sebagai panduan etis dan psikologis di tengah
dunia yang serba cepat.
7.5.      
Relevansi Universal Sôphrosynê
Akhirnya, sôphrosynê
dalam konteks modern tidak hanya berfungsi sebagai alat moral individual,
tetapi juga sebagai nilai universal yang dapat diterapkan dalam berbagai
bidang: pendidikan, psikologi, kepemimpinan, dan kehidupan sosial. Ia
menegaskan pentingnya menata diri sebelum menata dunia, serta mengingatkan
manusia bahwa kebahagiaan sejati tidak ditentukan oleh materi atau kekuasaan,
melainkan oleh kemampuan untuk menguasai diri sendiri.⁸
Footnotes
[1]               
Jean M. Twenge, iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing
Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy—and Completely Unprepared for
Adulthood (New York: Atria Books, 2017), 102–105.
[2]               
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in
Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 398.
[3]               
A.A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California
Press, 1996), 222.
[4]               
Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London:
Routledge, 2013), 58–60.
[5]               
Jim Collins, Good to Great: Why Some Companies Make the Leap… and
Others Don’t (New York: HarperBusiness, 2001), 30–32.
[6]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2003), 6.30.
[7]               
Ryan Holiday and Stephen Hanselman, The Daily Stoic: 366
Meditations on Wisdom, Perseverance, and the Art of Living (New York:
Portfolio/Penguin, 2016), 12–15.
[8]               
John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California
Press, 2006), 123.
8.              
Penutup
Pengendalian diri (sôphrosynê)
dalam tradisi Stoikisme terbukti bukan sekadar kebajikan tambahan, melainkan
fondasi etis yang menopang keseluruhan kerangka moral filsafat ini. Sejak akar
pemikiran Yunani kuno dalam karya Plato dan Aristoteles hingga elaborasi khas
para filsuf Stoik seperti Zeno, Chrysippus, Epictetus, dan Marcus Aurelius, sôphrosynê
selalu dipahami sebagai syarat utama bagi kehidupan rasional dan bermoral.¹ Ia
menjadi benteng terhadap dominasi nafsu (pathê) yang dianggap sebagai
penyakit jiwa, sekaligus menjadi penuntun manusia untuk hidup selaras dengan
rasio dan hukum alam semesta (logos).²
Dari perspektif etis,
sôphrosynê
memastikan bahwa tindakan manusia tidak dikendalikan oleh impuls, melainkan
diarahkan oleh kebajikan.³ Dari sisi psikologis, pengendalian diri membantu
manusia menjaga kestabilan emosi dan mencapai kebebasan batin.⁴ Integrasi kedua
dimensi ini menjadikan sôphrosynê bukan hanya sarana
pencapaian kebajikan individual, tetapi juga instrumen penting bagi kehidupan
sosial dan politik yang harmonis. Marcus Aurelius menunjukkan bahwa
pengendalian diri merupakan syarat moral bagi kepemimpinan yang adil, sementara
Epictetus menekankan bahwa ia adalah jalan menuju otonomi dan kebebasan
sejati.⁵
Relevansi sôphrosynê
semakin nyata dalam konteks modern. Di tengah budaya konsumtif, tekanan
digital, dan meningkatnya gangguan kesehatan mental, kebajikan ini menjadi
prinsip universal untuk menata hidup dengan rasional dan sederhana.⁶ Prinsip
pengendalian diri Stoik bahkan beresonansi dengan pendekatan psikologi kognitif
modern dan terapi perilaku, menunjukkan daya tahannya lintas zaman dan
disiplin.⁷
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa sôphrosynê adalah kebajikan yang
melintasi batas sejarah, budaya, dan konteks. Ia adalah fondasi kehidupan etis
yang menuntun manusia pada kebahagiaan sejati (eudaimonia), baik sebagai individu
maupun anggota komunitas kosmopolitan.⁸ Melalui pengendalian diri, manusia
bukan hanya mampu menguasai dirinya, tetapi juga berkontribusi pada harmoni
sosial dan kelestarian moral. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Stoik mengenai
pengendalian diri tetap relevan sebagai panduan hidup rasional dan bermakna,
dari dunia kuno hingga era modern.
Footnotes
[1]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), 1118a–1119b.
[2]               
Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism
(Oxford: Clarendon Press, 1985), 144–146.
[3]               
A.A. Long and David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers
(Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 395.
[4]               
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in
Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 394–395.
[5]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2003), 6.30; Epictetus, Discourses and Selected Writings,
trans. Robert Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 1.1.
[6]               
Jean M. Twenge, iGen (New York: Atria Books, 2017), 102–105.
[7]               
Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London:
Routledge, 2013), 58–60.
[8]               
John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California
Press, 2006), 123.
Daftar
Pustaka
Annas, J. (1993). The morality of happiness.
Oxford University Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans., 2nd ed.). Hackett.
Collins, J. (2001). Good to great: Why some
companies make the leap... and others don’t. HarperBusiness.
Cooper, J. M. (2012). Pursuits of wisdom: Six ways
of life in ancient philosophy from Socrates to Plotinus. Princeton
University Press.
Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent
philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.
Epictetus. (1983). Enchiridion (N. P. White,
Trans.). Hackett.
Epictetus. (2008). Discourses and selected writings
(R. Dobbin, Trans.). Penguin Classics.
Gill, C. (2006). The structured self in Hellenistic
and Roman thought. Oxford University Press.
Hadot, P. (1998). The inner citadel: The
meditations of Marcus Aurelius (M. Chase, Trans.). Harvard University
Press.
Holiday, R., & Hanselman, S. (2016). The daily
stoic: 366 meditations on wisdom, perseverance, and the art of living.
Portfolio/Penguin.
Inwood, B. (1985). Ethics and human action in early
Stoicism. Clarendon Press.
Long, A. A. (1986). Hellenistic philosophy: Stoics,
Epicureans, Sceptics. Duckworth.
Long, A. A. (1996). Stoic studies. University
of California Press.
Long, A. A. (2002). Epictetus: A Stoic and Socratic
guide to life. Clarendon Press.
Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The
Hellenistic philosophers. Cambridge University Press.
Marcus Aurelius. (2003). Meditations (G. Hays,
Trans.). Modern Library.
Nussbaum, M. C. (1994). The therapy of desire: Theory
and practice in Hellenistic ethics. Princeton University Press.
Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube,
Trans., rev. C. D. C. Reeve). Hackett.
Robertson, D. (2013). Stoicism and the art of
happiness. Routledge.
Robertson, D. (2019). How to think like a Roman
emperor: The Stoic philosophy of Marcus Aurelius. St. Martin’s Press.
Sellars, J. (2006). Stoicism. University of
California Press.
Seneca. (1928). On anger (De Ira) (J. W.
Basore, Trans.). Harvard University Press.
Seneca. (2004). Letters from a Stoic (R.
Campbell, Trans.). Penguin Classics.
Twenge, J. M. (2017). iGen: Why today’s
super-connected kids are growing up less rebellious, more tolerant, less
happy—and completely unprepared for adulthood. Atria Books.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar