Selasa, 02 Desember 2025

Rasionalisme Peripatetik (Ibn Sīnā): Sintesis antara Logika Aristotelian dan Metafisika Islam

Rasionalisme Peripatetik (Ibn Sīnā)

Sintesis antara Logika Aristotelian dan Metafisika Islam


Alihkan ke: Metafisika Islam.


Abstrak

Artikel ini menguraikan secara komprehensif sistem Rasionalisme Peripatetik yang dikembangkan oleh Ibn Sīnā (Avicenna) sebagai puncak sintesis antara tradisi filsafat Yunani dan teologi Islam. Kajian ini menelusuri akar historis dan genealogis pemikiran Ibn Sīnā dalam konteks transmisi intelektual dari Aristoteles dan al-Fārābī, kemudian mengkaji secara mendalam dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, logis, teologis, dan sosial dari sistem rasionalismenya. Dalam ranah ontologi, Ibn Sīnā membedakan secara tegas antara wujūd (eksistensi) dan māhiyyah (esensi), menegaskan Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd (Wujud Niscaya) yang menjadi dasar seluruh realitas. Dalam epistemologi, ia menegaskan rasio (ʿaql) sebagai instrumen utama pengetahuan yang berfungsi menyingkap keteraturan kosmos melalui proses abstraksi dan iluminasi intelektual dari al-ʿaql al-faʿʿāl.

Dari segi aksiologi, rasionalitas dipahami sebagai sarana etis dan spiritual untuk mencapai kebahagiaan tertinggi (al-saʿādah), di mana berpikir benar adalah bagian dari penyucian jiwa. Pada level logika dan ilmu, Ibn Sīnā membangun sistem deduktif yang menjembatani antara empirisme dan metafisika, memformulasikan struktur berpikir ilmiah yang menjadi model bagi logika Islam klasik. Sementara itu, dimensi teologis dan mistis dalam rasionalisme Ibn Sīnā memperlihatkan bahwa filsafat dan iman tidak saling meniadakan, melainkan saling memperkuat dalam upaya mencapai pengetahuan tentang Tuhan.

Artikel ini juga menelaah dimensi sosial dan kultural rasionalisme Ibn Sīnā sebagai fondasi etika intelektual dan pendidikan Islam, yang berperan penting dalam pembentukan peradaban ilmiah dunia Islam klasik. Melalui perbandingan dengan pemikir lain seperti al-Ghazālī, Suhrawardī, dan Mulla Ṣadrā, dijelaskan pula bagaimana kritik dan klarifikasi terhadap Ibn Sīnā justru memperkaya tradisi rasionalisme Islam. Pada bagian akhir, dibahas relevansi kontemporer sistem Ibn Sīnā terhadap filsafat ilmu, etika pengetahuan, dialog agama dan sains, hingga krisis spiritual modern.

Keseluruhan pembahasan berpuncak pada sintesis filosofis yang menunjukkan bahwa pemikiran Ibn Sīnā bukan sekadar sistem rasional, melainkan visi integratif yang mempersatukan akal, iman, dan eksistensi. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya bersumber dari observasi empiris, tetapi juga dari refleksi metafisis yang menuntun manusia menuju kesadaran Ilahi. Dengan demikian, rasionalisme Ibn Sīnā tetap menjadi paradigma filosofis yang relevan untuk membangun harmoni antara sains, etika, dan spiritualitas dalam dunia modern.

Kata Kunci: Ibn Sīnā, Rasionalisme Peripatetik, Wājib al-Wujūd, ʿAql al-faʿʿāl, Ontologi, Epistemologi, Etika Pengetahuan, Filsafat Islam, Sintesis Akal dan Iman, Relevansi Kontemporer.


PEMBAHASAN

Rasionalisme Peripatetik dalam Filsafat Ibn Sīnā


1.           Pendahuluan

Rasionalisme Peripatetik dalam filsafat Ibn Sīnā (Avicenna) merupakan salah satu fondasi utama dalam tradisi intelektual Islam yang menggabungkan antara logika Aristotelian dan metafisika keislaman secara harmonis. Dalam konteks sejarah intelektual dunia Islam, pemikiran Ibn Sīnā menandai puncak perkembangan mashshā’iyyah (filsafat peripatetik), yakni tradisi berpikir yang menekankan pada kekuatan akal (ʿaql) sebagai sarana utama untuk mencapai pengetahuan yang sejati. Rasionalisme ini bukan sekadar upaya intelektual untuk meniru Aristoteles, tetapi merupakan rekonstruksi kreatif yang mengintegrasikan rasionalitas Yunani dengan prinsip-prinsip tauhid dan teologi Islam yang mendalam. Ibn Sīnā menegaskan bahwa pengetahuan rasional yang benar harus mengantarkan manusia kepada pengenalan terhadap Wājib al-Wujūd, yaitu Tuhan sebagai sumber segala eksistensi dan sebab pertama dari seluruh realitas yang ada.¹

Konteks kelahiran rasionalisme Ibn Sīnā tidak dapat dilepaskan dari tradisi filsafat Islam awal yang berinteraksi dengan kebudayaan Helenistik dan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Dinasti Abbasiyah.² Melalui proses intelektual yang panjang ini, terjadi dialog intens antara warisan pemikiran Yunani, Persia, dan Islam yang kemudian melahirkan sistem filsafat yang orisinal. Ibn Sīnā, yang hidup pada abad ke-10 dan 11 M, tampil sebagai figur yang memadukan analisis logis Aristotelian dengan metafisika yang berlandaskan wahyu dan rasionalitas spiritual. Ia tidak sekadar mengomentari Aristoteles, tetapi mengembangkan sistem filsafat yang jauh lebih luas dan integral, mencakup logika, fisika, metafisika, psikologi, dan etika, sebagaimana tertuang dalam karya-karyanya seperti al-Shifāʾ, al-Najāt, dan al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt

Dalam kerangka filsafatnya, Ibn Sīnā menegaskan bahwa akal merupakan instrumen tertinggi untuk memahami struktur realitas. Rasionalisme baginya berarti kepercayaan terhadap kemampuan manusia untuk menembus hakikat segala sesuatu melalui penalaran yang benar dan sistematis. Namun, berbeda dengan rasionalisme modern Barat yang cenderung memisahkan antara akal dan metafisika, Ibn Sīnā menempatkan rasionalitas sebagai jalan menuju spiritualitas. Pengetahuan rasional tidak berhenti pada tataran empiris atau deduktif, melainkan berujung pada kontemplasi terhadap prinsip-prinsip ilahiah yang menopang eksistensi.⁴

Pemikiran Ibn Sīnā menjadi titik temu antara dua tradisi besar: rasionalisme Yunani dan spiritualitas Islam. Dalam hal ini, ia berhasil merumuskan konsep-konsep rasional yang tetap terbuka terhadap dimensi metafisik dan wahyu. Ia mengadopsi struktur logika Aristotelian sebagai dasar berpikir ilmiah, tetapi mengarahkan penggunaannya untuk memahami hakikat Tuhan, jiwa, dan alam semesta. Oleh karena itu, sistem Ibn Sīnā dapat disebut sebagai rasionalisme teologis, yaitu pendekatan yang menegaskan supremasi akal dalam memahami realitas tanpa menafikan kehadiran sumber ilahiah.⁵

Kajian mengenai Rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā menjadi penting karena mengandung dua dimensi yang saling melengkapi: dimensi historis dan dimensi epistemologis. Secara historis, ia melanjutkan warisan para filsuf Muslim sebelumnya seperti al-Kindī dan al-Fārābī, tetapi memperluasnya dengan sistem metafisika yang lebih kompleks. Secara epistemologis, ia mengonstruksi kerangka rasionalitas yang menekankan deduksi, demonstrasi (burhān), dan definisi konseptual sebagai jalan memperoleh ilmu yang pasti.⁶ Dengan demikian, kajian ini tidak hanya merekonstruksi pemikiran Ibn Sīnā sebagai bagian dari sejarah filsafat Islam, tetapi juga menelaah relevansinya terhadap perkembangan epistemologi dan rasionalitas ilmiah di era modern.

Artikel ini bertujuan untuk mengurai secara mendalam hakikat Rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā melalui pendekatan historis-filosofis. Pembahasan mencakup landasan genealogis, aspek ontologis dan epistemologis, nilai-nilai aksiologis, hingga relevansinya dalam konteks intelektual kontemporer. Dengan menelaah sistem filsafat Ibn Sīnā secara menyeluruh, diharapkan dapat ditemukan kembali nilai-nilai rasionalitas yang berakar dalam tradisi Islam dan memiliki daya transformasi bagi peradaban ilmu modern yang tengah mencari keseimbangan antara sains dan spiritualitas.⁷


Footnotes

[1]                ¹ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2014), 23–26.

[2]                ² Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 71–74.

[3]                ³ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Metaphysics, ed. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), xvii–xviii.

[4]                ⁴ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press, 1952), 15–18.

[5]                ⁵ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 42–46.

[6]                ⁶ Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 67–69.

[7]                ⁷ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 12–15.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Rasionalisme Peripatetik dalam pemikiran Ibn Sīnā tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari proses historis yang panjang dan dialogis antara tradisi Yunani, Persia, dan Islam. Jejak genealogisnya dapat ditelusuri sejak masa penerjemahan besar-besaran karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Dinasti Abbasiyah abad ke-8 hingga ke-10 M. Gerakan ini dipelopori oleh lembaga seperti Bayt al-Ḥikmah di Baghdad, yang menjadi pusat pertukaran ilmu antara berbagai peradaban.¹ Melalui aktivitas penerjemahan karya Aristoteles, Plotinus, dan Galen oleh tokoh-tokoh seperti Ḥunayn ibn Isḥāq dan Ishāq ibn Ḥunayn, gagasan-gagasan metafisika dan logika Yunani menemukan bentuk baru dalam horizon Islam.²

Sebelum Ibn Sīnā, dua tokoh penting telah memainkan peran besar dalam membentuk landasan rasionalisme Islam, yaitu al-Kindī dan al-Fārābī. Al-Kindī dikenal sebagai faylasūf al-ʿArab, yang untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep filsafat rasional ke dalam konteks keislaman, menegaskan bahwa akal dan wahyu tidak saling bertentangan, tetapi bersifat komplementer.³ Namun, fondasi sistematis bagi rasionalisme Peripatetik diletakkan oleh al-Fārābī, yang berhasil mensistematisasi logika Aristotelian serta membangun model metafisika intelektual yang kelak menjadi inspirasi utama bagi Ibn Sīnā.⁴ Al-Fārābī melalui karyanya Al-Madīnah al-Fāḍilah dan Al-Jamʿ bayna Raʾyay al-Ḥakīmayn (“Harmonisasi antara dua filsuf besar”) berupaya menyatukan pandangan Plato dan Aristoteles dalam kerangka teologis Islam, suatu usaha yang kemudian disempurnakan oleh Ibn Sīnā dalam bentuk sintesis rasional dan spiritual yang lebih matang.⁵

Latar belakang sosial-politik dunia Islam pada masa Ibn Sīnā juga memainkan peranan signifikan dalam pembentukan karakter rasionalismenya. Ia hidup pada masa disintegrasi kekuasaan Abbasiyah dan munculnya dinasti-dinasti lokal seperti Samanid dan Buyid, yang memberikan ruang bagi kebebasan intelektual dan perkembangan ilmu pengetahuan.⁶ Dalam lingkungan Persia Timur inilah Ibn Sīnā memperoleh pendidikan dan akses luas terhadap literatur filsafat Yunani serta karya-karya para pemikir Muslim sebelumnya. Ia membaca hampir seluruh korpus Aristotelian, tetapi dengan pendekatan kritis dan kreatif, tidak sekadar menyalin tetapi menafsirkan ulang sesuai dengan kebutuhan sistem epistemik Islam.⁷

Rasionalisme Ibn Sīnā berkembang dalam konteks di mana filsafat Yunani sudah mengalami reinterpretasi melalui lensa Neoplatonisme. Plotinus dan Proclus memberi pengaruh kuat terhadap pandangan kosmologis dan metafisika para filsuf Muslim. Namun, Ibn Sīnā menolak elemen mistik murni Neoplatonis yang meniadakan rasionalitas sistematis; sebaliknya, ia menegaskan bahwa emanasi (fayḍ) dari Tuhan ke dunia tidak bersifat irasional, melainkan berlangsung menurut hukum kausalitas rasional yang dapat dipahami oleh akal.⁸ Dalam hal ini, rasionalisme Ibn Sīnā merupakan upaya untuk memurnikan filsafat Islam dari elemen irasional tanpa menyingkirkan dimensi spiritualitasnya.

Secara genealogis, sistem Ibn Sīnā dapat dianggap sebagai tahap puncak dari proses rasionalisasi transkultural dalam peradaban Islam. Ia menyerap warisan filsafat Yunani melalui al-Fārābī, memadukannya dengan kosmologi Islam, dan menanamkannya dalam kerangka tauhid yang rasional.⁹ Rasionalisme yang dibangun bukan hanya instrumen logika formal, melainkan juga metode untuk memahami hakikat Tuhan dan struktur realitas. Dengan demikian, landasan historis rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā adalah hasil dari sintesis kreatif antara warisan intelektual Barat kuno dan semangat spiritual Timur Islam.

Lebih jauh, tradisi Avicennian menjadi dasar bagi perkembangan filsafat Islam selanjutnya, baik dalam bentuk reaksi maupun elaborasi. Pemikir seperti Suhrawardī mengkritik rasionalisme Ibn Sīnā dan mengajukan iluminasionisme (ḥikmat al-ishrāq), sementara al-Ghazālī menyerangnya dari sisi teologis.¹⁰ Namun, justru melalui kritik-kritik inilah sistem Ibn Sīnā menunjukkan ketangguhannya, karena pengaruhnya tetap bertahan hingga ke dunia Latin abad pertengahan. Filsuf-filsuf seperti Thomas Aquinas dan Albertus Magnus banyak mengadopsi struktur metafisika Avicennian dalam membangun teologi skolastik Barat.¹¹ Dengan demikian, secara genealogis, rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā tidak hanya menjadi tonggak sejarah filsafat Islam, tetapi juga jembatan intelektual antara Timur dan Barat dalam tradisi filsafat dunia.


Footnotes

[1]                ¹ George N. Atiyeh, Arabic Thought in the Liberal Age (Cambridge: Harvard University Press, 1978), 15–18.

[2]                ² Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (London: Routledge, 1998), 43–46.

[3]                ³ Peter Adamson, Al-Kindī (Oxford: Oxford University Press, 2007), 58–60.

[4]                ⁴ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 132–135.

[5]                ⁵ Al-Fārābī, Al-Jamʿ bayna Raʾyay al-Ḥakīmayn, ed. Fauzi Najjar (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 7–9.

[6]                ⁶ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1997), 94–97.

[7]                ⁷ Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 11–14.

[8]                ⁸ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 154–156.

[9]                ⁹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 47–51.

[10]             ¹⁰ Shihab al-Din al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1970), 23–26.

[11]             ¹¹ Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 101–104.


3.           Ontologi: Struktur Keberadaan dalam Rasionalisme Ibn Sīnā

Ontologi Ibn Sīnā merupakan inti dari sistem rasionalisme Peripatetiknya. Dalam kerangka pemikirannya, konsep keberadaan (wujūd) menempati posisi sentral sebagai dasar metafisika yang rasional. Ibn Sīnā menegaskan bahwa seluruh realitas dapat dipahami melalui distingsi fundamental antara wujūd (eksistensi) dan māhiyyah (hakikat atau esensi).¹ Distingsi ini merupakan salah satu sumbangan terbesar Ibn Sīnā terhadap sejarah filsafat, sebab ia menegaskan bahwa māhiyyah tidak secara inheren mengandung wujūd; sesuatu dapat memiliki hakikat tertentu tanpa harus ada secara aktual di luar pikiran.² Dengan demikian, eksistensi menjadi sesuatu yang “ditambahkan” kepada esensi oleh sebab eksternal—yakni Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada).³

3.1.       Distingsi antara Esensi dan Eksistensi

Dalam sistem ontologi Ibn Sīnā, esensi menjelaskan “apa sesuatu itu”, sementara eksistensi menjelaskan “bahwa sesuatu itu ada”. Esensi bersifat konseptual dan dapat dipikirkan secara independen dari eksistensi, sedangkan eksistensi merupakan realisasi aktual dari potensi esensial.⁴ Misalnya, konsep “manusia” dapat dipahami tanpa harus ada manusia konkret di dunia nyata. Dalam hal ini, Ibn Sīnā mengantisipasi perdebatan ontologis yang kelak berkembang dalam filsafat skolastik Eropa, terutama dalam karya Thomas Aquinas, yang banyak mengadopsi dan memodifikasi distingsi Avicennian ini.⁵

Distingsi antara esensi dan eksistensi berfungsi untuk menegaskan hierarki ontologis yang rasional. Hanya Tuhan yang esensinya identik dengan eksistensinya—māhiyyatuhū ʿayn wujūdihī—karena Ia tidak bergantung pada sebab eksternal untuk ada.⁶ Sebaliknya, semua makhluk selain Tuhan memiliki esensi yang terpisah dari eksistensinya, sehingga mereka disebut mumkin al-wujūd (yang mungkin ada).⁷ Maka, struktur realitas menjadi tersusun atas dua tingkat: Wājib al-Wujūd sebagai sumber niscaya segala eksistensi, dan mumkināt (entitas kontingen) yang menerima keberadaannya melalui emanasi dari Yang Niscaya Ada.

3.2.       Hierarki Keberadaan dan Konsep Wājib al-Wujūd

Konsep Wājib al-Wujūd adalah jantung dari metafisika rasional Ibn Sīnā. Tuhan dipahami bukan sekadar sebagai sebab pertama dalam pengertian temporal, tetapi sebagai sebab niscaya secara ontologis.⁸ Keberadaan-Nya bersifat mutlak, tidak bergantung pada apapun, dan menjadi sumber dari seluruh realitas melalui proses emanasi (fayḍ). Dari Tuhan mengalir keberadaan ke dalam tataran-tataran intelek (ʿuqūl), langit, dan akhirnya dunia materi. Namun, berbeda dari pandangan Neoplatonis yang cenderung mistis, Ibn Sīnā menegaskan bahwa proses emanasi tersebut bersifat rasional dan tertata, mengikuti prinsip kausalitas yang pasti.⁹

Dalam skema hierarkis ini, akal pertama (al-ʿaql al-awwal) merupakan emanasi langsung dari Wājib al-Wujūd. Dari akal pertama lahir akal kedua, dan seterusnya hingga akal kesepuluh (al-ʿaql al-ʿāshir), yang berhubungan dengan dunia sublunar dan manusia.¹⁰ Jiwa manusia, sebagai bagian dari sistem kosmik ini, merupakan entitas rasional yang berpotensi menyatu dengan akal aktif (al-ʿaql al-faʿʿāl) melalui pengetahuan dan kontemplasi.¹¹ Dengan demikian, sistem ontologis Ibn Sīnā bukan hanya kosmologis tetapi juga epistemologis: manusia dapat menapaki struktur keberadaan melalui penggunaan rasio yang murni.

3.3.       Ontologi Rasional dan Kausalitas Eksistensial

Rasionalisme Ibn Sīnā menolak gagasan kebetulan ontologis. Segala sesuatu yang ada pasti memiliki sebab yang menjelaskan keberadaannya secara rasional.¹² Prinsip kausalitas ini tidak hanya berlaku dalam dunia empiris, tetapi juga dalam tataran metafisika. Bahkan Tuhan sendiri, meskipun tanpa sebab eksternal, dipahami sebagai causa sui dalam arti bahwa keberadaan-Nya niscaya karena esensi-Nya menuntut eksistensi.¹³ Oleh karena itu, bagi Ibn Sīnā, pemahaman rasional terhadap realitas berarti menyingkap keteraturan kausal yang bersumber dari prinsip ketuhanan.

Struktur rasional ini juga menjelaskan perbedaan antara wujūd bi al-dhāt (ada karena dirinya sendiri) dan wujūd bi al-ghayr (ada karena selain dirinya).¹⁴ Hanya Tuhan yang memiliki wujūd bi al-dhāt, sedangkan semua makhluk lainnya memiliki wujūd bi al-ghayr, karena keberadaannya bergantung pada sebab lain. Dengan kerangka ini, Ibn Sīnā membangun sebuah sistem metafisika rasional yang meniadakan kebetulan dan menegakkan prinsip keteraturan universal, di mana akal manusia mampu menalar struktur tersebut secara bertingkat.


Rasionalitas Kosmos dan Integrasi dengan Teologi

Bagi Ibn Sīnā, alam semesta bukanlah hasil tindakan voluntaristik Tuhan yang sewenang-wenang, melainkan manifestasi rasional dari keharusan eksistensial.¹⁵ Segala sesuatu dalam kosmos memiliki tempat dan tujuan dalam tatanan wujud yang hierarkis. Meskipun sistemnya tampak deterministik, Ibn Sīnā tetap memberikan ruang bagi kebebasan moral manusia melalui aktivitas intelektual. Jiwa rasional manusia dapat mendekat kepada sumber eksistensi melalui penyempurnaan akalnya.¹⁶ Dengan demikian, ontologi Ibn Sīnā bukan hanya metafisika abstrak, tetapi juga memiliki implikasi etis dan spiritual: memahami struktur wujud berarti mengenal Tuhan dan menempatkan diri dalam keteraturan rasional kosmos.

Rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā dengan demikian membangun sebuah ontologi yang logis, koheren, dan teologis. Ia tidak memisahkan antara metafisika dan logika, antara Tuhan dan dunia, tetapi menegaskan hubungan rasional dan kausal di antara keduanya. Ontologi semacam ini menjadi dasar bagi seluruh bangunan epistemologi dan aksiologi dalam sistem Ibn Sīnā, sekaligus menjadi model metafisika rasional yang memengaruhi baik tradisi Islam maupun filsafat skolastik Barat.¹⁷


Footnotes

[1]                ¹ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Metaphysics, ed. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 4–7.

[2]                ² Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2014), 76–78.

[3]                ³ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 55–58.

[4]                ⁴ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press, 1952), 24–25.

[5]                ⁵ Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), x–xii.

[6]                ⁶ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 93–95.

[7]                ⁷ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 148–150.

[8]                ⁸ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 60–62.

[9]                ⁹ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 83–86.

[10]             ¹⁰ Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 67–70.

[11]             ¹¹ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 38–40.

[12]             ¹² Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 101–103.

[13]             ¹³ F. W. Zimmermann, Al-Fārābī’s Commentary and Short Treatise on Aristotle’s De Interpretatione (Oxford: Oxford University Press, 1981), 18–20.

[14]             ¹⁴ Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1985), 52–54.

[15]             ¹⁵ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 102–104.

[16]             ¹⁶ Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 14–16.

[17]             ¹⁷ Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 87–89.


4.           Epistemologi: Rasionalisme sebagai Jalan Pengetahuan

Epistemologi Ibn Sīnā merupakan jantung dari sistem rasionalisme Peripatetiknya, di mana akal (ʿaql) menjadi instrumen utama bagi manusia untuk menyingkap hakikat realitas. Dalam kerangka berpikir Ibn Sīnā, pengetahuan tidak semata hasil dari pengalaman empiris atau intuisi spiritual, melainkan hasil dari proses rasional yang sistematis, berjenjang, dan berorientasi pada kebenaran universal.¹ Bagi Ibn Sīnā, rasionalisme bukan hanya metode berpikir, melainkan jalan eksistensial menuju kesempurnaan jiwa (kamāl al-nafs).² Dengan demikian, epistemologi Avicennian mengandung dimensi logis sekaligus spiritual: manusia mengenal dunia melalui akal, dan melalui akal pula ia mengenal Tuhan.

4.1.       Struktur Kognisi dan Hirarki Akal

Ibn Sīnā membagi struktur kognitif manusia ke dalam beberapa tingkatan, yang menggambarkan dinamika antara potensi dan aktualitas dalam proses berpikir.³ Pertama, al-ʿaql al-hayūlānī (akal potensial), yaitu kemampuan bawaan manusia untuk berpikir, namun belum teraktualisasi. Kedua, al-ʿaql bi al-malakah (akal dalam disposisi), yakni kemampuan berpikir yang mulai terbentuk melalui latihan intelektual dan pembelajaran. Ketiga, al-ʿaql bi al-fiʿl (akal aktual), yaitu akal yang telah mencapai kemampuan rasional yang stabil. Terakhir, al-ʿaql al-mustafād (akal perolehan), yakni kondisi tertinggi di mana jiwa manusia berhubungan langsung dengan al-ʿaql al-faʿʿāl (akal aktif), sumber universal bagi seluruh bentuk pengetahuan.⁴

Konsepsi hierarkis ini tidak hanya menggambarkan struktur epistemologis, tetapi juga menunjukkan arah spiritual manusia. Hubungan dengan al-ʿaql al-faʿʿāl bukan sekadar proses kognitif, tetapi juga penyatuan intelektual dengan tatanan rasional kosmos. Dalam pandangan Ibn Sīnā, pengetahuan sejati (al-ʿilm al-ḥaqīqī) hanya dapat diperoleh ketika akal manusia menyerap bentuk-bentuk universal dari akal aktif tanpa distorsi empiris.⁵ Dengan demikian, epistemologi Ibn Sīnā menegaskan bahwa rasionalitas adalah sarana transendensi, dan akal menjadi jembatan antara manusia dan Tuhan.

4.2.       Akal, Indra, dan Imajinasi

Meskipun menekankan rasionalitas, Ibn Sīnā tidak menafikan peran indra dalam proses pengetahuan. Ia mengakui bahwa semua pengetahuan bermula dari pengalaman empiris, tetapi menegaskan bahwa pengalaman hanyalah titik awal, bukan tujuan akhir.⁶ Indra menyediakan data mentah, yang kemudian diproses oleh daya imajinasi (mutakhayyilah) untuk membentuk representasi mental. Dari sini akal menyusun konsep-konsep universal yang terlepas dari partikularitas pengalaman. Proses ini menggambarkan sintesis antara empirisme Aristotelian dan rasionalisme metafisik.⁷

Akal, menurut Ibn Sīnā, memiliki kemampuan untuk menyingkap esensi (māhiyyah) di balik fenomena empiris. Dalam hal ini, pengetahuan sejati bukan sekadar mengetahui “apa yang tampak”, melainkan memahami “mengapa sesuatu itu ada”.⁸ Oleh sebab itu, logika (manṭiq) menjadi perangkat fundamental bagi epistemologi Ibn Sīnā—ia menuntut agar setiap penalaran tunduk pada struktur deduktif yang sahih, seperti dalam metode qiyās (silogisme) dan burhān (demonstrasi).⁹ Rasionalitas dalam pengertian ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga ontologis, karena menunjukkan kesesuaian antara struktur berpikir manusia dengan tatanan rasional alam semesta.

4.3.       Peran Intuisi Intelektual (ḥads)

Selain proses deduktif-logis, Ibn Sīnā juga mengakui adanya ḥads, yakni intuisi intelektual yang memungkinkan manusia menangkap kebenaran secara langsung tanpa perantaraan inferensi panjang.¹⁰ Namun, ḥads bukanlah wahyu atau ilham dalam arti mistik, melainkan hasil dari kesiapan akal yang telah mencapai tingkat kemurnian tertentu. Ia muncul ketika jiwa rasional berhubungan secara langsung dengan akal aktif, yang memancarkan bentuk-bentuk pengetahuan universal.¹¹ Dengan demikian, ḥads dalam sistem Ibn Sīnā tetap merupakan bagian dari rasionalitas, bukan pengganti logika, melainkan puncak dari logika itu sendiri.

Hads juga berperan penting dalam penemuan ilmiah dan pengetahuan filosofis. Dalam Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, Ibn Sīnā menggambarkan ḥads sebagai sumber bagi intuisi para nabi dan para filsuf besar, karena mereka memiliki kesiapan jiwa tertinggi untuk menerima pancaran pengetahuan dari akal aktif.¹² Namun, perbedaan antara kenabian dan filsafat terletak pada tingkat kekuatan imajinatif: nabi menyalurkan intuisi rasional tersebut dalam bentuk simbolis dan wahyu, sedangkan filsuf mengungkapkannya dalam bentuk proposisi rasional.¹³ Dengan demikian, epistemologi Ibn Sīnā juga menjadi jembatan antara filsafat dan wahyu, tanpa menegasikan keotentikan masing-masing.

4.4.       Rasionalisme dan Metode Demonstratif

Sebagai seorang peripatetik, Ibn Sīnā menekankan pentingnya metode demonstratif (burhān) dalam memperoleh ilmu yang pasti (ʿilm yaqīnī). Menurutnya, pengetahuan sejati hanya diperoleh jika premis-premisnya bersifat benar, niscaya, dan universal.¹⁴ Ia membedakan antara tiga jenis penalaran: burhān (demonstrasi rasional), jadal (dialektika), dan khiṭābah (retorika). Hanya burhān yang mampu menghasilkan pengetahuan ilmiah sejati karena didasarkan pada kausalitas dan universalitas yang rasional.¹⁵ Dalam pandangan ini, rasionalisme Ibn Sīnā menjadi pondasi bagi metodologi ilmiah di dunia Islam dan kelak memengaruhi tradisi skolastik Barat.

Logika bagi Ibn Sīnā bukanlah sekadar alat bantu berpikir, melainkan kerangka epistemologis yang membentuk struktur pengetahuan itu sendiri.¹⁶ Setiap proposisi, definisi, dan inferensi harus mengikuti hukum-hukum rasional yang pasti agar dapat disebut ʿilm. Melalui sistem logika ini, Ibn Sīnā berusaha menegakkan prinsip bahwa kebenaran bersifat objektif dan dapat dicapai melalui deduksi yang sahih, bukan sekadar melalui otoritas atau pengalaman subjektif.¹⁷


Pengetahuan, Jiwa, dan Kesempurnaan

Epistemologi Ibn Sīnā tidak berhenti pada tataran teoritis, tetapi memiliki dimensi eksistensial. Pengetahuan rasional mengarahkan jiwa menuju kesempurnaan dan kebahagiaan sejati (saʿādah).¹⁸ Bagi Ibn Sīnā, ketika akal manusia berhubungan dengan akal aktif dan menangkap kebenaran universal, ia mengalami penyatuan intelektual (ittiṣāl) yang merupakan bentuk tertinggi dari kesempurnaan spiritual.¹⁹ Dengan demikian, epistemologi Avicennian memiliki dimensi soteriologis: pengetahuan bukan hanya alat untuk memahami dunia, tetapi juga sarana penyelamatan jiwa.

Rasionalisme Ibn Sīnā, dengan demikian, bukanlah rasionalisme sekuler atau empiris semata, melainkan rasionalisme spiritual yang menempatkan akal sebagai cermin dari keteraturan ilahi. Melalui rasio, manusia menembus batas empiris menuju dimensi hakikat; melalui pengetahuan, manusia menempuh jalan menuju Tuhan.²⁰ Maka, epistemologi dalam sistem Ibn Sīnā merupakan perjalanan intelektual sekaligus spiritual, di mana rasionalitas menjadi bentuk tertinggi dari ibadah intelektual.


Footnotes

[1]                ¹ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press, 1952), 31–34.

[2]                ² Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 97–100.

[3]                ³ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: De Anima (Psychology), ed. Fazlur Rahman (London: Oxford University Press, 1959), 42–45.

[4]                ⁴ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2014), 112–115.

[5]                ⁵ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 49–52.

[6]                ⁶ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 92–94.

[7]                ⁷ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 156–159.

[8]                ⁸ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 78–81.

[9]                ⁹ F. W. Zimmermann, Al-Fārābī’s Commentary and Short Treatise on Aristotle’s De Interpretatione (Oxford: Oxford University Press, 1981), 27–29.

[10]             ¹⁰ Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 18–20.

[11]             ¹¹ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 84–87.

[12]             ¹² Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, 83–85.

[13]             ¹³ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 62–65.

[14]             ¹⁴ Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1993), I.2–4.

[15]             ¹⁵ Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 71–74.

[16]             ¹⁶ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1997), 114–117.

[17]             ¹⁷ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 122–124.

[18]             ¹⁸ Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 108–111.

[19]             ¹⁹ Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1985), 61–63.

[20]             ²⁰ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 176–179.


5.           Aksiologi: Rasionalitas dan Tujuan Etis Pengetahuan

Dalam sistem filsafat Ibn Sīnā, rasionalisme tidak berhenti pada tataran ontologis dan epistemologis, tetapi berlanjut pada dimensi aksiologis—yakni pembahasan mengenai nilai dan tujuan akhir pengetahuan. Aksiologi Ibn Sīnā bertumpu pada gagasan bahwa pengetahuan memiliki fungsi etis dan teleologis, bukan semata-mata sebagai sarana untuk memahami dunia, melainkan juga sebagai jalan menuju penyempurnaan jiwa (kamāl al-nafs) dan kebahagiaan sejati (al-saʿādah).¹ Rasionalitas, bagi Ibn Sīnā, bukan hanya alat kognitif, tetapi juga daya moral yang mengarahkan manusia pada kebaikan tertinggi, yaitu penyatuan intelektual dengan sumber wujud, Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada).²

5.1.       Pengetahuan sebagai Jalan Menuju Kesempurnaan Jiwa

Bagi Ibn Sīnā, setiap tindakan rasional yang benar memiliki nilai intrinsik karena mengarahkan jiwa manusia pada kesempurnaan. Pengetahuan yang diperoleh melalui akal bukan hanya meningkatkan kapasitas intelektual, tetapi juga memperhalus dimensi spiritual manusia.³ Jiwa yang rasional akan naik dari tataran empiris menuju tataran intelektual murni, di mana ia tidak lagi terikat pada materi. Dalam Al-Najāt, Ibn Sīnā menjelaskan bahwa pengetahuan sejati adalah bentuk aktualisasi tertinggi dari potensi jiwa, dan karena itu, ia merupakan kebajikan tertinggi.⁴

Rasionalitas menjadi instrumen utama bagi transformasi moral manusia. Ketika akal menguasai daya nafsani dan imajinatif, manusia mencapai keseimbangan antara aspek rasional, emosional, dan hasrat.⁵ Kondisi ini disebut Ibn Sīnā sebagai iʿtidāl al-nafs—keseimbangan jiwa—yang merupakan prasyarat untuk kebahagiaan sejati.⁶ Maka, bagi Ibn Sīnā, pengetahuan rasional memiliki nilai aksiologis karena ia membentuk karakter moral yang harmonis, menjauhkan manusia dari kebodohan (jahl) dan hawa nafsu yang destruktif.

5.2.       Rasionalisme dan Etika Intelektual

Etika dalam rasionalisme Ibn Sīnā bersifat intelektualistik: kebaikan tertinggi (al-khayr al-aʿẓam) terletak dalam aktivitas intelek (fiʿl al-ʿaql).⁷ Ia mengikuti jejak Aristoteles dalam menegaskan bahwa kebahagiaan sejati (eudaimonia) hanya mungkin tercapai melalui kontemplasi intelektual yang terus-menerus. Namun, Ibn Sīnā mengislamisasi konsep ini dengan menempatkannya dalam kerangka tauhid.⁸ Kontemplasi bukan semata aktivitas rasio, tetapi juga ibadah intelektual, karena melalui pengetahuan rasional manusia mengenal dan mencintai Tuhan secara lebih mendalam.⁹

Pengetahuan, dengan demikian, memiliki nilai moral karena ia menghubungkan manusia dengan kebenaran ilahi. Ibn Sīnā menolak pandangan relativistik tentang kebenaran; baginya, kebenaran bersifat objektif, rasional, dan sakral.¹⁰ Setiap bentuk pengetahuan yang sejati harus mengantarkan manusia pada pengakuan terhadap keteraturan rasional ciptaan Tuhan. Oleh sebab itu, rasionalitas juga merupakan bentuk taʿabbud ʿaqlī—penghambaan melalui akal—di mana berpikir benar menjadi bagian dari etika spiritual.¹¹

5.3.       Dimensi Teleologis: Kebahagiaan dan Kesatuan dengan Akal Aktif

Konsep kebahagiaan (al-saʿādah) dalam filsafat Ibn Sīnā memiliki dasar epistemologis dan metafisis. Kebahagiaan tertinggi hanya dapat dicapai oleh jiwa yang telah menyatu dengan akal aktif (al-ʿaql al-faʿʿāl).¹² Penyatuan ini bukan berarti lebur secara ontologis, tetapi kesesuaian total antara akal manusia dan tatanan rasional universal. Dalam kondisi tersebut, jiwa mencapai kebebasan dari materi dan hidup dalam keabadian intelektual.¹³ Maka, pengetahuan rasional menjadi sarana pembebasan (takhallus) dari dunia materi menuju kesempurnaan spiritual.

Ibn Sīnā menjelaskan bahwa manusia yang menggunakan akalnya secara benar akan mencapai ittisāl (komuni intelektual) dengan akal aktif, sementara mereka yang hidup dalam kebodohan akan tetap terperangkap dalam dunia indrawi yang fana.¹⁴ Dengan demikian, tujuan etis dari pengetahuan adalah penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) dan pengaktualan potensi rasionalnya hingga ia menjadi “cermin” bagi realitas ilahi.¹⁵

5.4.       Pengetahuan, Tanggung Jawab, dan Nilai Sosial

Rasionalisme Ibn Sīnā tidak hanya bersifat individual, tetapi juga memiliki dimensi sosial. Ia menegaskan bahwa manusia, sebagai makhluk sosial (madani bi al-ṭabʿ), wajib menggunakan akalnya untuk mencapai tatanan sosial yang adil dan harmonis.¹⁶ Dalam pandangan ini, pengetahuan memiliki tanggung jawab moral terhadap kemaslahatan umum. Para pemimpin dan ilmuwan harus mengarahkan kemampuan rasional mereka untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat.¹⁷

Ibn Sīnā menyatakan bahwa akal adalah sumber nilai-nilai moral karena ia membedakan antara yang baik (khayr) dan yang buruk (sharr).¹⁸ Maka, rasionalitas bukan hanya menghasilkan pengetahuan teoretis, tetapi juga membimbing tindakan praktis. Ilmu pengetahuan sejati adalah yang berkontribusi terhadap keharmonisan antara jiwa, masyarakat, dan tatanan kosmos.¹⁹ Oleh karena itu, aksiologi Ibn Sīnā menolak dikotomi antara ilmu dan moral; keduanya merupakan dua sisi dari satu kesempurnaan rasional yang sama.


Rasionalisme dan Spiritualitas

Salah satu keistimewaan aksiologi Ibn Sīnā adalah kemampuannya mengintegrasikan rasionalisme dengan spiritualitas. Ia menolak dualisme antara akal dan iman, karena keduanya berasal dari sumber yang sama—Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd.²⁰ Pengetahuan rasional yang sejati mengantarkan manusia pada cinta ilahi (maḥabbah ilāhiyyah), sebab semakin manusia mengenal tatanan rasional alam semesta, semakin dalam pula kesadarannya akan kebesaran Sang Pencipta.²¹

Dengan demikian, tujuan etis pengetahuan dalam sistem Ibn Sīnā bukan hanya moral atau sosial, tetapi juga mistikal. Akal menjadi instrumen untuk menapaki jalan menuju Tuhan; berpikir benar berarti hidup benar.²² Rasionalitas adalah ibadah intelektual yang menegaskan kesatuan antara kebenaran, kebaikan, dan keindahan—suatu sintesis yang menjadikan filsafat Ibn Sīnā sebagai salah satu puncak rasionalisme spiritual dalam sejarah pemikiran Islam.


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 112–115.

[2]                ² Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 91–93.

[3]                ³ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press, 1952), 37–39.

[4]                ⁴ Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1985), 71–73.

[5]                ⁵ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 103–106.

[6]                ⁶ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2014), 142–145.

[7]                ⁷ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1985), 1176b–1178a.

[8]                ⁸ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 165–168.

[9]                ⁹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 69–72.

[10]             ¹⁰ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 58–60.

[11]             ¹¹ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 87–90.

[12]             ¹² Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 83–85.

[13]             ¹³ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 188–191.

[14]             ¹⁴ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Metaphysics, ed. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 98–101.

[15]             ¹⁵ Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 27–30.

[16]             ¹⁶ Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 34–36.

[17]             ¹⁷ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1997), 119–121.

[18]             ¹⁸ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 66–68.

[19]             ¹⁹ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 121–123.

[20]             ²⁰ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, 91–93.

[21]             ²¹ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 45–48.

[22]             ²² Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 137–139.


6.           Struktur Logika dan Ilmu (al-Manṭiq wa al-ʿIlm)

Dalam sistem rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā, logika (al-manṭiq) merupakan fondasi epistemologis dan metodologis bagi seluruh cabang ilmu (al-ʿilm). Logika bagi Ibn Sīnā bukan sekadar alat bantu berpikir, melainkan mīzān al-fikr—timbangan berpikir yang menjamin validitas pengetahuan.¹ Ia memandang logika sebagai ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk inferensi rasional dan cara memperoleh pengetahuan yang pasti (ʿilm yaqīnī). Sebagaimana matematika menjadi ukuran bagi kuantitas, logika menjadi ukuran bagi kebenaran berpikir.² Dengan demikian, sistem logika Ibn Sīnā adalah tulang punggung dari seluruh bangunan rasionalisme Avicennian: ia menghubungkan antara epistemologi, ontologi, dan aksiologi dalam satu struktur ilmiah yang koheren.

6.1.       Logika sebagai Instrumen Rasionalitas

Ibn Sīnā mengikuti jejak Aristoteles dalam membangun sistem logika formal, tetapi ia memperluasnya dengan muatan semantik dan epistemologis. Ia membedakan antara ṣuwar al-fikr (bentuk pikiran) dan maʿānī al-fikr (makna pikiran), yang kemudian dikenal sebagai logika formal dan logika material.³ Logika formal berurusan dengan bentuk-bentuk inferensi yang sahih, seperti silogisme (qiyās), induksi (istiqrāʾ), dan analogi (tamthīl). Sedangkan logika material membahas kebenaran isi proposisi, yaitu kesesuaian antara penalaran dan realitas (mutābaqat al-fikr li al-wāqiʿ).⁴

Menurut Ibn Sīnā, tanpa logika manusia mudah terjerumus dalam kekeliruan berpikir (ghalaṭ), karena akal secara alami cenderung salah dalam menilai tanpa aturan yang ketat.⁵ Oleh karena itu, ia menyebut logika sebagai “penjaga akal dari kesesatan” (ḥāris al-ʿaql min al-khaṭaʾ).⁶ Fungsi logika, dalam pandangan ini, tidak hanya teknis tetapi juga moral dan spiritual: berpikir benar adalah bentuk ketaatan terhadap tatanan rasional ciptaan Tuhan.

6.2.       Struktur Silogisme dan Demonstrasi (al-Burhān)

Salah satu kontribusi terbesar Ibn Sīnā terhadap logika adalah penyempurnaan teori silogisme Aristotelian. Ia membedakan tiga jenis penalaran: burhān (demonstratif), jadal (dialektik), dan khiṭābah (retoris).⁷ Di antara ketiganya, hanya burhān yang menghasilkan pengetahuan yang benar-benar ilmiah (ʿilm yaqīnī), karena ia didasarkan pada premis-premis yang niscaya (ḍarūrī) dan universal (kullī).⁸

Silogisme demonstratif, menurut Ibn Sīnā, adalah inti dari ilmu (ʿilm). Ia menegaskan bahwa sains tidak dapat berdiri tanpa dasar deduktif yang teratur, sebab pengetahuan ilmiah harus dapat dibuktikan secara rasional.⁹ Dalam Al-Shifāʾ: Al-Manṭiq, Ibn Sīnā menjelaskan bahwa proses burhān menghubungkan premis-premis yang benar secara niscaya untuk sampai pada kesimpulan yang juga niscaya.¹⁰ Dengan demikian, struktur pengetahuan ilmiah baginya bersifat deduktif dan hierarkis—setiap ilmu memperoleh validitasnya dari prinsip rasional yang lebih tinggi.

Lebih jauh, Ibn Sīnā menegaskan bahwa logika tidak hanya berfungsi untuk membangun argumen, tetapi juga untuk menguji koherensi konsep-konsep ilmiah.¹¹ Tanpa logika, ilmu akan kehilangan struktur dan konsistensinya. Maka, logika merupakan syarat metodologis bagi seluruh ilmu pengetahuan, baik yang bersifat teoritis (ʿulūm naẓariyyah) maupun praktis (ʿulūm ʿamaliyyah).

6.3.       Klasifikasi Ilmu dan Prinsip Rasionalitas Ilmiah

Dalam pandangan Ibn Sīnā, ilmu merupakan bentuk tertinggi dari rasionalitas yang terstruktur. Ia membagi ilmu menjadi dua kategori besar: ilmu teoritis (al-ʿulūm al-naẓariyyah) dan ilmu praktis (al-ʿulūm al-ʿamaliyyah).¹² Ilmu teoritis meliputi fisika (ʿilm al-ṭabīʿiyyāt), matematika (ʿilm al-riyāḍiyyāt), dan metafisika (ʿilm al-ilāhiyyāt); sedangkan ilmu praktis mencakup etika (ʿilm al-akhlāq), ekonomi rumah tangga (ʿilm tadbīr al-manzil), dan politik (ʿilm tadbīr al-madīnah).¹³

Semua cabang ilmu tersebut, menurut Ibn Sīnā, harus berakar pada prinsip rasional dan mengikuti struktur logika demonstratif.¹⁴ Dengan kata lain, ilmu bukanlah kumpulan dogma atau tradisi, tetapi sistem kognitif yang tunduk pada hukum kausalitas dan pembuktian rasional. Dalam konteks ini, Ibn Sīnā menolak metode dialektika skolastik yang hanya menghasilkan opini (ẓann), bukan pengetahuan yang pasti (yaqīn).¹⁵ Ia menegaskan bahwa tujuan ilmu bukan hanya untuk mengetahui fenomena, melainkan untuk memahami sebab-sebabnya secara rasional (maʿrifat al-asbāb).¹⁶

Konsepsi ini menunjukkan bahwa Ibn Sīnā menempatkan ilmu sebagai refleksi rasional atas keteraturan kosmos. Alam semesta baginya adalah tatanan rasional yang dapat dipahami karena Tuhan menciptakannya berdasarkan prinsip logika dan sebab-akibat.¹⁷ Maka, memahami alam berarti memahami manifestasi rasional dari kehendak ilahi.

6.4.       Logika sebagai Jembatan antara Filsafat dan Ilmu Empiris

Ibn Sīnā mengembangkan sistem logika yang bersifat integratif—ia tidak memisahkan antara rasionalisme metafisik dan metode empiris. Dalam Al-Burhān, ia menjelaskan bahwa semua ilmu bermula dari pengamatan (mushāhadah) terhadap fenomena, namun harus disempurnakan melalui deduksi rasional agar mencapai kebenaran universal.¹⁸ Dengan demikian, pengalaman empiris menyediakan bahan, sementara logika mengubahnya menjadi pengetahuan ilmiah.

Bagi Ibn Sīnā, logika adalah jembatan antara filsafat dan sains: ia menghubungkan tataran konseptual metafisika dengan tataran empiris fisika.¹⁹ Prinsip ini menegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat dan ilmu dalam Islam klasik; keduanya merupakan dua sisi dari rasionalitas yang sama. Dalam pengertian ini, Ibn Sīnā menempatkan rasionalisme sebagai fondasi epistemik bagi seluruh ilmu pengetahuan, baik yang bersifat natural maupun spiritual.²⁰


Signifikansi Logika dalam Tradisi Islam dan Barat

Sistem logika Ibn Sīnā memiliki pengaruh besar tidak hanya di dunia Islam, tetapi juga di Eropa abad pertengahan. Karya-karyanya seperti Al-Shifāʾ dan Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi rujukan utama bagi para skolastik seperti Albertus Magnus dan Thomas Aquinas.²¹ Dalam tradisi Islam sendiri, logika Ibn Sīnā menjadi model standar bagi para mutakallimūn (teolog rasionalis) dan fuqahāʾ (ahli hukum) dalam menyusun argumen teoretis dan yuridis.²²

Dengan logika yang sistematis dan universal, Ibn Sīnā berhasil menggabungkan metodologi ilmiah dengan prinsip-prinsip rasionalitas metafisik. Ia membuktikan bahwa berpikir rasional adalah bagian dari ibadah intelektual dan tanggung jawab moral manusia.²³ Maka, al-manṭiq wa al-ʿilm dalam sistem Ibn Sīnā bukan hanya sekadar cabang filsafat, tetapi struktur kesatuan antara nalar, etika, dan spiritualitas. Logika menjadi jalan untuk memahami alam dan sekaligus mengenal Sang Pencipta melalui keteraturan rasional ciptaan-Nya.²⁴


Footnotes

[1]                ¹ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Al-Manṭiq, ed. A. Badawi (Cairo: Al-Maṭbaʿah al-Amīriyyah, 1952), 3–5.

[2]                ² Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 73–75.

[3]                ³ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press, 1952), 44–46.

[4]                ⁴ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2014), 162–165.

[5]                ⁵ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 171–173.

[6]                ⁶ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 118–120.

[7]                ⁷ Aristotle, Organon, trans. J. Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1984), I.2–5.

[8]                ⁸ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 92–95.

[9]                ⁹ Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 88–91.

[10]             ¹⁰ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Al-Manṭiq, 12–14.

[11]             ¹¹ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 96–99.

[12]             ¹² Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 121–124.

[13]             ¹³ Al-Fārābī, Iḥṣāʾ al-ʿUlūm, ed. Osman Amine (Cairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1968), 8–10.

[14]             ¹⁴ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 63–65.

[15]             ¹⁵ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 141–143.

[16]             ¹⁶ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Metaphysics, ed. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 105–108.

[17]             ¹⁷ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 197–200.

[18]             ¹⁸ Ibn Sīnā, Al-Burhān, in Al-Shifāʾ: Al-Manṭiq, 21–23.

[19]             ¹⁹ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 73–75.

[20]             ²⁰ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 128–130.

[21]             ²¹ Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 121–124.

[22]             ²² Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1997), 130–133.

[23]             ²³ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 55–58.

[24]             ²⁴ Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 33–35.


7.           Dimensi Teologis dan Mistis dalam Rasionalisme Peripatetik

Salah satu aspek paling menarik dari filsafat Ibn Sīnā adalah kemampuannya untuk mengintegrasikan rasionalisme Peripatetik dengan dimensi teologis dan mistis tanpa kehilangan koherensi logisnya. Dalam pandangan Ibn Sīnā, akal dan wahyu bukanlah dua sumber kebenaran yang bertentangan, melainkan dua jalan paralel menuju satu realitas yang sama, yaitu Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada).¹ Melalui pendekatan ini, Ibn Sīnā berhasil menegakkan suatu bentuk rasionalisme teologis, di mana keimanan tidak bersifat dogmatis, tetapi berakar pada pengetahuan rasional yang sistematis dan terbukti secara intelektual.²

7.1.       Rasionalisasi Teologi: Tuhan sebagai Realitas Niscaya

Dalam kerangka teologinya, Ibn Sīnā menegaskan bahwa eksistensi Tuhan dapat dibuktikan melalui argumen rasional murni tanpa bergantung pada teks wahyu.³ Ia mengembangkan apa yang dikenal sebagai burhān al-ṣiddīqīn—argumen para “shiddīqīn” (orang yang benar dalam pengetahuan)—yang membuktikan keberadaan Tuhan langsung dari realitas wujud itu sendiri.⁴ Berbeda dengan para teolog kalām yang menggunakan argumentasi kosmologis berdasarkan gerak dan sebab akibat, Ibn Sīnā berangkat dari konsep metafisis bahwa di antara semua entitas, pasti ada yang keberadaannya niscaya dan tidak bergantung pada apapun. Entitas inilah yang disebut Wājib al-Wujūd.⁵

Dalam hal ini, rasionalisme Ibn Sīnā menegaskan bahwa teologi dapat berdiri di atas dasar logika dan filsafat tanpa kehilangan sifat religiusnya. Keberadaan Tuhan bukan hanya “objek iman,” tetapi juga “objek pengetahuan.”⁶ Bahkan, menurut Ibn Sīnā, pengetahuan tentang Tuhan adalah puncak tertinggi dari aktivitas rasional manusia, sebab akal yang mencapai pengetahuan tentang Wājib al-Wujūd telah mengaktualkan potensi intelektualnya secara sempurna.⁷

7.2.       Relasi Akal dan Wahyu

Ibn Sīnā tidak memisahkan wahyu dari sistem pengetahuannya, tetapi menempatkannya dalam hubungan hierarkis dengan akal. Wahyu baginya adalah bentuk pengetahuan ilahiah yang lebih tinggi, yang diperoleh bukan melalui proses diskursif, tetapi melalui iluminasi dari al-ʿaql al-faʿʿāl (akal aktif) kepada jiwa nabi.⁸ Dalam proses kenabian, daya imajinatif (al-quwwah al-mutakhayyilah) berperan penting untuk menerjemahkan kebenaran universal rasional ke dalam bentuk simbolik dan bahasa yang dapat dipahami masyarakat.⁹ Dengan demikian, wahyu bukanlah irasional, melainkan rasional yang dipresentasikan dalam bentuk simbolik untuk kepentingan moral dan sosial.¹⁰

Dalam Al-Shifāʾ, Ibn Sīnā menjelaskan bahwa wahyu dan filsafat pada dasarnya berangkat dari sumber yang sama—akal aktif—namun berbeda dalam cara penerimaan dan ekspresi.¹¹ Filsuf menggunakan akalnya secara analitik untuk sampai pada kebenaran, sementara nabi menerimanya secara langsung dan intuitif melalui iluminasi ilahi.¹² Maka, wahyu dan filsafat bukanlah dua jalan yang terpisah, tetapi dua mode epistemik yang saling melengkapi dalam mengungkap realitas.¹³

7.3.       Mistisisme Rasional: Pengalaman Kontemplatif sebagai Puncak Inteleksi

Meskipun Ibn Sīnā dikenal sebagai rasionalis, ia juga membuka ruang bagi dimensi mistik yang bersifat intelektual. Dalam karya-karya seperti Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt dan Ḥayy ibn Yaqẓān, ia menggambarkan perjalanan jiwa menuju Tuhan sebagai proses intelektual yang bercorak kontemplatif.¹⁴ Jiwa manusia, melalui penyucian dan pengetahuan rasional, naik dari dunia materi menuju dunia akal dan akhirnya menyatu dengan sumber pengetahuan ilahiah, al-ʿaql al-faʿʿāl.¹⁵

Proses ini bukan bentuk ekstase emosional, melainkan ittisāl ʿaqlī—penyatuan intelektual antara akal manusia dan akal aktif.¹⁶ Mistisisme Ibn Sīnā bersifat rasional karena ia menjelaskan pengalaman spiritual dalam bahasa logika dan metafisika. Dalam pengertian ini, “mistik” bukan berarti meninggalkan akal, tetapi mengaktualisasikan potensi tertingginya.¹⁷ Ia menggambarkan penyatuan intelektual tersebut sebagai keadaan di mana akal “melihat kebenaran tanpa perantara,” suatu bentuk iluminasi intelektual yang merupakan hasil dari disiplin rasional dan moral yang mendalam.¹⁸

7.4.       Tuhan sebagai Sumber Emanasi dan Tujuan Spiritual

Dalam kosmologi emanatif Ibn Sīnā, seluruh realitas berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya melalui tatanan rasional yang hierarkis.¹⁹ Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd memancarkan wujud kepada makhluk lain melalui serangkaian intelek (ʿuqūl) hingga dunia materi.²⁰ Proses ini bukan tindakan kehendak bebas dalam pengertian antropomorfik, tetapi keniscayaan dari kesempurnaan Ilahi.²¹ Namun, meskipun emanasi bersifat niscaya, Ibn Sīnā menegaskan bahwa Tuhan tetap merupakan “Yang Mengetahui” dan “Yang Menghendaki” secara rasional, bukan secara temporal.²²

Struktur emanasi ini tidak hanya menjelaskan asal-usul alam semesta, tetapi juga perjalanan spiritual manusia. Jiwa manusia, yang berasal dari Tuhan, memiliki potensi untuk kembali kepada-Nya melalui pengetahuan.²³ Dengan demikian, seluruh sistem ontologi dan epistemologi Ibn Sīnā bermuara pada teleologi spiritual: pengetahuan sejati adalah jalan kembali kepada asal wujud.²⁴


Sintesis antara Rasionalisme dan Spiritualitas Islam

Rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā berhasil melahirkan sintesis antara filsafat dan spiritualitas. Ia menolak pandangan kalangan mistik ekstrem yang menolak rasio, dan juga menolak pandangan teolog literal yang menolak filsafat.²⁵ Dalam sistemnya, iman diperkuat oleh pengetahuan, dan pengetahuan diperdalam oleh iman. Ia menggambarkan perjalanan intelektual sebagai miʿrāj al-ʿaql—kenaikan akal menuju Tuhan melalui refleksi rasional, kontemplasi, dan penyucian diri.²⁶

Dengan demikian, dimensi teologis dan mistis dalam rasionalisme Ibn Sīnā tidak bersifat kontradiktif, melainkan komplementer. Rasionalitas adalah jalan menuju spiritualitas, dan spiritualitas adalah puncak rasionalitas.²⁷ Dalam dirinya, Ibn Sīnā mewariskan paradigma filsafat Islam yang mampu menyatukan burhān (demonstrasi rasional), ʿirfān (pengetahuan mistik), dan īmān (iman teologis) dalam satu kesatuan intelektual yang harmonis.²⁸


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 131–133.

[2]                ² Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 104–106.

[3]                ³ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press, 1952), 52–54.

[4]                ⁴ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 97–100.

[5]                ⁵ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2014), 178–181.

[6]                ⁶ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 183–185.

[7]                ⁷ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 71–73.

[8]                ⁸ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Metaphysics, ed. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 116–118.

[9]                ⁹ Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 44–47.

[10]             ¹⁰ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 82–85.

[11]             ¹¹ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Al-Manṭiq, ed. A. Badawi (Cairo: Al-Maṭbaʿah al-Amīriyyah, 1952), 23–25.

[12]             ¹² Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 41–43.

[13]             ¹³ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 61–63.

[14]             ¹⁴ Ibn Sīnā, Ḥayy ibn Yaqẓān, ed. G. Anawati (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1959), 5–9.

[15]             ¹⁵ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 209–211.

[16]             ¹⁶ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1997), 142–145.

[17]             ¹⁷ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 128–131.

[18]             ¹⁸ Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 113–116.

[19]             ¹⁹ Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1985), 81–84.

[20]             ²⁰ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 151–153.

[21]             ²¹ Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 99–102.

[22]             ²² Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, 115–118.

[23]             ²³ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 133–136.

[24]             ²⁴ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology, 56–59.

[25]             ²⁵ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 87–89.

[26]             ²⁶ Mehdi Ha’iri Yazdi, Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 94–97.

[27]             ²⁷ Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ʿArabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 48–50.

[28]             ²⁸ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, 140–143.


8.           Dimensi Sosial dan Kultural

Dimensi sosial dan kultural dalam rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā memperlihatkan bagaimana filsafat rasional tidak hanya berfungsi sebagai sistem metafisika dan epistemologi, tetapi juga sebagai landasan bagi pembangunan peradaban Islam klasik. Rasionalisme Ibn Sīnā berperan penting dalam membentuk etos ilmiah, struktur pendidikan, serta kebudayaan intelektual dunia Islam abad pertengahan.¹ Dalam pandangannya, pengetahuan rasional bukan sekadar aktivitas intelektual individual, tetapi juga proses sosial yang memiliki dampak luas terhadap tatanan masyarakat. Melalui rasionalitas, masyarakat dapat mencapai tatanan moral, politik, dan spiritual yang harmonis.²

8.1.       Rasionalisme sebagai Basis Peradaban Ilmiah Islam

Pada masa Ibn Sīnā, dunia Islam tengah mengalami masa keemasan ilmu pengetahuan. Gerakan penerjemahan dan pembentukan pusat-pusat ilmu seperti Bayt al-Ḥikmah di Baghdad dan sekolah-sekolah di wilayah Persia menciptakan lingkungan intelektual yang kondusif bagi pengembangan rasionalisme.³ Ibn Sīnā, yang hidup di bawah perlindungan dinasti Samanid dan Buyid, menjadi simbol integrasi antara filsafat, sains, dan agama dalam satu tradisi intelektual yang rasional dan terbuka.⁴

Pemikiran Ibn Sīnā berkontribusi besar dalam memperkuat kebudayaan ilmiah Islam yang menempatkan akal (ʿaql) sebagai instrumen utama kemajuan.⁵ Melalui karya-karyanya di bidang logika, metafisika, kedokteran, dan psikologi, ia memperkenalkan standar rasionalitas yang ketat bagi ilmu pengetahuan. Dalam Al-Qānūn fī al-Ṭibb, misalnya, ia menerapkan prinsip-prinsip deduktif dan observasional yang mencerminkan perpaduan antara metode rasional dan empiris.⁶ Dengan demikian, rasionalisme Ibn Sīnā menjadi model bagi tradisi ilmiah yang menghargai bukti, konsistensi logis, dan keteraturan alam sebagai manifestasi kebijaksanaan Ilahi.

8.2.       Rasionalisme dan Pendidikan: Pembentukan Etos Intelektual

Ibn Sīnā menegaskan bahwa pendidikan (taʿlīm) merupakan sarana esensial untuk membentuk manusia rasional dan bermoral.⁷ Dalam sistem pemikirannya, tujuan utama pendidikan adalah mengaktualkan potensi akal manusia agar ia mampu mencapai pengetahuan sejati (ʿilm ḥaqīqī).⁸ Konsep pendidikan ini bersifat universal, mencakup aspek intelektual, etis, dan spiritual. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk berpikir rasional, tetapi perlu dibimbing melalui proses pendidikan yang sistematis dan disiplin logis.⁹

Gagasan ini kemudian memengaruhi perkembangan madrasah dan universitas Islam abad pertengahan, seperti Nizāmiyyah di Baghdad, di mana logika dan filsafat Avicennian menjadi bagian dari kurikulum intelektual.¹⁰ Para ilmuwan dan teolog seperti Fakhr al-Dīn al-Rāzī dan Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī mengembangkan dan mengajarkan logika Ibn Sīnā sebagai instrumen berpikir ilmiah dan metodologis dalam teologi maupun hukum Islam.¹¹ Maka, warisan sosial Ibn Sīnā terletak pada rasionalisasi lembaga pendidikan Islam: dari sekadar pengajaran dogmatis menjadi latihan intelektual yang terstruktur.

8.3.       Pengaruh terhadap Kebudayaan Intelektual dan Karya Sastra

Rasionalisme Ibn Sīnā juga meninggalkan jejak yang dalam pada budaya literer dan filosofis Islam.¹² Konsep-konsep Avicennian seperti al-ʿaql al-faʿʿāl (akal aktif), ittisāl (penyatuan intelektual), dan saʿādah (kebahagiaan) menjadi inspirasi bagi karya-karya filsafat, tasawuf, dan sastra. Dalam tradisi Persia, pemikiran Ibn Sīnā memengaruhi penyair-filsuf seperti ʿUmar Khayyām, Suhrawardī, dan Jalāl al-Dīn Rūmī, yang menyerap rasionalisme Avicennian ke dalam simbolisme mistik.¹³

Henry Corbin menafsirkan hal ini sebagai “transfigurasi rasionalitas” dalam bentuk imajinatif dan simbolik, di mana prinsip rasional Ibn Sīnā menjadi dasar bagi hikmah ishrāqiyyah (filsafat iluminasi) dan teosofi Persia.¹⁴ Dengan demikian, pemikiran rasional tidak menumpulkan daya estetis dan spiritual, melainkan memperkaya kebudayaan Islam dengan kerangka berpikir yang menyeimbangkan antara logika dan imajinasi, akal dan intuisi.

8.4.       Rasionalitas, Etika Sosial, dan Politik

Rasionalisme Ibn Sīnā juga berdampak pada pembentukan etika sosial dan politik. Ia meyakini bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang diatur berdasarkan prinsip rasional dan keadilan.¹⁵ Dalam karyanya Al-Siyāsah, ia menjelaskan bahwa struktur sosial yang baik harus berlandaskan pengetahuan dan kebijaksanaan, bukan kekuasaan semata.¹⁶ Negara ideal (al-madīnah al-fāḍilah) bagi Ibn Sīnā adalah komunitas di mana pemimpin memiliki keutamaan intelektual dan moral, mirip dengan konsep philosopher-king dalam filsafat Plato, namun disesuaikan dengan nilai-nilai Islam.¹⁷

Bagi Ibn Sīnā, rasionalitas memiliki peran sosial karena ia menjamin keteraturan hukum, kemaslahatan publik, dan harmoni antara individu dan masyarakat.¹⁸ Pengetahuan tidak boleh terkurung di ruang akademik, tetapi harus diterapkan dalam kehidupan sosial untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini, rasionalisme Avicennian melahirkan etos sosial yang menekankan tanggung jawab intelektual terhadap kesejahteraan umat manusia.¹⁹


Pengaruh Kultural Jangka Panjang: Dari Dunia Islam ke Barat Latin

Jejak kultural Ibn Sīnā melampaui batas dunia Islam. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sejak abad ke-12 dan menjadi bagian utama dari kurikulum universitas di Eropa, seperti Paris dan Bologna.²⁰ Canon Medicinae (terjemahan Al-Qānūn fī al-Ṭibb) digunakan sebagai buku ajar kedokteran hingga abad ke-17.²¹ Sementara itu, sistem logika dan metafisikanya memberi pengaruh besar pada tokoh-tokoh seperti Albertus Magnus dan Thomas Aquinas.²²

Di dunia Islam sendiri, pengaruh Avicennian bertahan dalam berbagai madrasah dan tarekat intelektual hingga era modern.²³ Konsep rasionalitas sebagai jalan menuju Tuhan dan kebahagiaan manusia terus menjadi inspirasi bagi gerakan pembaruan intelektual Islam.²⁴ Maka, dimensi sosial dan kultural dari rasionalisme Ibn Sīnā menegaskan bahwa filsafat tidak terpisah dari realitas sosial, melainkan menjadi jantung peradaban—sebuah ekspresi rasional dari iman, ilmu, dan budaya yang saling berkelindan.²⁵


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 133–136.

[2]                ² Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 190–193.

[3]                ³ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 162–165.

[4]                ⁴ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 215–218.

[5]                ⁵ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 135–137.

[6]                ⁶ Ibn Sīnā, Al-Qānūn fī al-Ṭibb, ed. Jamāl al-Dīn al-Qifṭī (Cairo: Dār al-Kutub al-ʿArabiyyah, 1906), 4–6.

[7]                ⁷ Ibn Sīnā, Al-Taʿlīmāt al-ʿAqliyyah, ed. Abū al-ʿAlāʾ ʿAfīfī (Cairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1953), 9–11.

[8]                ⁸ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 89–91.

[9]                ⁹ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press, 1952), 60–63.

[10]             ¹⁰ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 115–118.

[11]             ¹¹ Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Sharḥ al-Ishārāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1960), 14–17.

[12]             ¹² Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1997), 151–153.

[13]             ¹³ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 121–123.

[14]             ¹⁴ Ibid., 125–127.

[15]             ¹⁵ Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 55–58.

[16]             ¹⁶ Ibn Sīnā, Al-Siyāsah, in Risālat al-Tadbīrāt al-Ilāhiyyah, ed. ʿAbd al-Raḥmān Badawī (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1954), 10–12.

[17]             ¹⁷ Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 106–108.

[18]             ¹⁸ Mehdi Ha’iri Yazdi, Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 99–102.

[19]             ¹⁹ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 95–97.

[20]             ²⁰ Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 145–148.

[21]             ²¹ Charles Burnett, “The Transmission of Arabic Learning to the West,” The Legacy of Islam, ed. Joseph Schacht and C. E. Bosworth (Oxford: Oxford University Press, 1974), 63–66.

[22]             ²² Thomas Aquinas, Summa contra Gentiles, trans. Anton Pegis (New York: Random House, 1955), II.4–6.

[23]             ²³ Nasr Hamid Abu Zayd, Falsafat al-Taʾwīl (Beirut: Dār al-Tanwīr, 1983), 54–56.

[24]             ²⁴ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 145–147.

[25]             ²⁵ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 63–65.


9.           Perbandingan Filosofis

Rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā menempati posisi istimewa dalam sejarah filsafat, karena berhasil menjembatani dua tradisi besar—Yunani Kuno dan Islam—serta memberi pengaruh luas terhadap filsafat Barat dan Timur. Sistem filsafatnya tidak hanya merupakan kelanjutan dari Aristotelianisme, tetapi juga sebuah transformasi yang memadukan logika rasional, metafisika teologis, dan intuisi spiritual.¹ Perbandingan filosofis antara Ibn Sīnā dan tokoh-tokoh seperti Aristoteles, al-Fārābī, Suhrawardī, dan bahkan rasionalis modern seperti Descartes dan Spinoza memperlihatkan bahwa pemikirannya memiliki daya lentur konseptual yang melintasi zaman dan peradaban.

9.1.       Ibn Sīnā dan Aristoteles: Rasionalitas dan Metafisika Wujud

Ibn Sīnā adalah pewaris intelektual Aristoteles yang paling berpengaruh di dunia Islam. Ia mengadopsi struktur logika Aristotelian sebagai dasar berpikir, tetapi melangkah lebih jauh dalam dimensi ontologis dan metafisik.² Bagi Aristoteles, substansi (ousia) adalah inti realitas yang tidak terpisah dari bentuk dan materi, sedangkan Ibn Sīnā memperkenalkan distingsi radikal antara wujūd (eksistensi) dan māhiyyah (esensi).³ Distingsi ini merupakan inovasi Avicennian yang tidak ditemukan dalam Aristotelianisme murni. Dengan pemisahan itu, Ibn Sīnā membuka jalan bagi pemikiran tentang wujūd sebagai kategori metafisika tersendiri—suatu terobosan yang kemudian diadopsi oleh Thomas Aquinas dalam teologi skolastik.⁴

Selain itu, perbedaan mencolok antara keduanya terletak pada konsepsi tentang Tuhan. Aristoteles menggambarkan Tuhan sebagai “Penggerak Tak Tergerakkan” (Unmoved Mover), yang hanya menjadi penyebab akhir dari gerak kosmos.⁵ Ibn Sīnā, sebaliknya, menafsirkan Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd, sebab pertama yang niscaya, bukan hanya sumber gerak, tetapi sumber eksistensi itu sendiri.⁶ Ia menegaskan bahwa semua entitas bergantung pada Tuhan dalam wujudnya, bukan sekadar dalam geraknya. Maka, rasionalisme Ibn Sīnā memperluas teologi Aristotelian menjadi metafisika eksistensial yang menekankan kontinuitas kausalitas antara Tuhan dan ciptaan.⁷

9.2.       Ibn Sīnā dan al-Fārābī: Sintesis Logika dan Politik Etis

Al-Fārābī adalah tokoh kunci yang menyiapkan fondasi bagi rasionalisme Ibn Sīnā. Keduanya sama-sama peripatetik dan menempatkan akal sebagai instrumen tertinggi pengetahuan.⁸ Namun, Ibn Sīnā mengembangkan sistem filsafat yang lebih sistematis dan metafisik dibanding gurunya. Jika al-Fārābī lebih menekankan rasionalitas sosial dan politik dalam Al-Madīnah al-Fāḍilah, Ibn Sīnā memperluasnya ke arah metafisika emanasi dan psikologi rasional.⁹

Al-Fārābī berpendapat bahwa kebahagiaan (saʿādah) diperoleh melalui kesempurnaan akal praktis dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan Ibn Sīnā melihatnya sebagai penyatuan intelektual dengan akal aktif (al-ʿaql al-faʿʿāl).¹⁰ Dengan demikian, rasionalisme Ibn Sīnā bersifat lebih transendental: kebahagiaan bukan hanya moral-sosial, tetapi juga spiritual-metafisik. Namun keduanya sepakat bahwa akal manusia adalah jembatan antara dunia empiris dan realitas ilahiah.¹¹

9.3.       Ibn Sīnā dan Suhrawardī: Rasionalisme vs. Iluminasionisme

Perbandingan dengan Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī memperlihatkan pergeseran besar dalam sejarah filsafat Islam. Suhrawardī mengkritik sistem Ibn Sīnā karena dianggap terlalu rasional dan deduktif, lalu mengajukan alternatif ḥikmat al-ishrāq (filsafat iluminasi) yang menekankan intuisi cahaya dan penyingkapan batin (kashf).¹² Namun, meskipun berbeda pendekatan, keduanya tidak saling meniadakan. Suhrawardī justru membangun sistemnya di atas fondasi logika Avicennian. Ia mempertahankan kerangka rasional Ibn Sīnā, tetapi menambahkan dimensi simbolik dan mistik.¹³

Bagi Ibn Sīnā, pengetahuan diperoleh melalui hubungan rasional dengan akal aktif, sedangkan bagi Suhrawardī, pengetahuan sejati datang dari iluminasi cahaya ilahiah yang langsung menyingkap hakikat realitas.¹⁴ Namun, keduanya sepakat bahwa pengetahuan adalah sarana untuk mendekati Tuhan, meski Ibn Sīnā menempuh jalan deduktif-logis dan Suhrawardī menempuh jalan intuitif-visioner.¹⁵ Dalam hal ini, Ibn Sīnā dapat dipandang sebagai representasi rasionalisme iluminatif awal—suatu bentuk rasionalitas yang membuka ruang bagi pengalaman spiritual tanpa kehilangan ketertiban logisnya.¹⁶

9.4.       Ibn Sīnā dan Rasionalisme Modern: Descartes dan Spinoza

Rasionalisme Ibn Sīnā juga memiliki paralel yang mencolok dengan rasionalisme modern Barat, terutama Descartes dan Spinoza. Seperti Descartes, Ibn Sīnā menempatkan akal sebagai fondasi pengetahuan yang pasti dan menolak relativisme empiris.¹⁷ Namun, Ibn Sīnā tidak memisahkan akal dari metafisika; baginya, kebenaran rasional berakar pada realitas wujud yang ditopang oleh Tuhan. Descartes menegakkan prinsip cogito ergo sum (“aku berpikir, maka aku ada”) sebagai dasar epistemologi, sedangkan Ibn Sīnā telah merumuskannya lebih awal dalam eksperimen pemikiran “manusia terbang” (al-insān al-ṭāʾir)—sebuah refleksi tentang kesadaran diri tanpa keterlibatan tubuh.¹⁸

Sementara itu, hubungan Ibn Sīnā dengan Spinoza tampak dalam pandangan keduanya tentang keharusan metafisika. Spinoza berbicara tentang Tuhan atau alam sebagai substansi tunggal yang niscaya (Deus sive Natura), sedangkan Ibn Sīnā menegaskan Wājib al-Wujūd sebagai sumber keberadaan yang melimpahkan wujud secara rasional dan teratur.¹⁹ Namun, Ibn Sīnā tidak jatuh ke dalam panteisme seperti Spinoza; ia tetap mempertahankan transendensi Tuhan.²⁰ Dengan demikian, rasionalisme Ibn Sīnā memadukan keutuhan logika metafisis dengan prinsip teologis yang menjaga keseimbangan antara iman dan akal.²¹


Ibn Sīnā sebagai Titik Pertemuan Timur dan Barat

Dalam sejarah intelektual, Ibn Sīnā berperan sebagai poros yang menghubungkan filsafat Yunani, Islam, dan Latin abad pertengahan.²² Ia menafsirkan kembali Aristoteles melalui konteks Islam dan mewariskan sistem rasional yang menjadi dasar bagi teologi skolastik Eropa.²³ Melalui penerjemahan karya-karyanya ke dalam bahasa Latin—Avicenna Latinus—pemikirannya memengaruhi Albertus Magnus, Thomas Aquinas, dan Duns Scotus.²⁴

Di dunia Islam Timur, sistemnya menjadi pijakan bagi para filsuf Persia seperti Suhrawardī, Mulla Ṣadrā, dan Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī.²⁵ Dengan demikian, Ibn Sīnā menempati posisi unik sebagai titik pertemuan dua arus besar: rasionalisme teologis Islam dan rasionalisme sekuler Barat.²⁶ Filsafatnya membuktikan bahwa rasionalitas tidak bertentangan dengan spiritualitas, dan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat dicapai jika akal, intuisi, dan iman berada dalam harmoni.²⁷


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 153–156.

[2]                ² Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2014), 198–201.

[3]                ³ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Metaphysics, ed. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 8–10.

[4]                ⁴ Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), xii–xiv.

[5]                ⁵ Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), XII.7.

[6]                ⁶ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 103–106.

[7]                ⁷ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 195–198.

[8]                ⁸ Al-Fārābī, Iḥṣāʾ al-ʿUlūm, ed. Osman Amine (Cairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1968), 22–24.

[9]                ⁹ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 167–169.

[10]             ¹⁰ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press, 1952), 67–69.

[11]             ¹¹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 94–97.

[12]             ¹² Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1970), 28–31.

[13]             ¹³ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 129–132.

[14]             ¹⁴ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 145–147.

[15]             ¹⁵ Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 121–124.

[16]             ¹⁶ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 82–84.

[17]             ¹⁷ René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 15–18.

[18]             ¹⁸ Ibn Sīnā, Kitāb al-Nafs, in Al-Shifāʾ, ed. F. Rahman (London: Oxford University Press, 1959), 35–38.

[19]             ¹⁹ Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (Princeton: Princeton University Press, 1985), I.11–15.

[20]             ²⁰ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 220–223.

[21]             ²¹ Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 113–116.

[22]             ²² Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 151–153.

[23]             ²³ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 101–103.

[24]             ²⁴ Dag Nikolaus Hasse, Avicenna’s Influence on the Latin West (Turnhout: Brepols, 2000), 12–15.

[25]             ²⁵ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1997), 161–164.

[26]             ²⁶ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 143–146.

[27]             ²⁷ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 68–70.


10.       Kritik dan Klarifikasi Filosofis

Filsafat rasional Ibn Sīnā, meskipun menjadi salah satu sistem metafisika dan epistemologi paling berpengaruh dalam sejarah Islam, tidak luput dari kritik tajam baik dari kalangan teolog, filsuf sezamannya, maupun pemikir-pemikir pasca-Avicennian. Kritik terhadap Ibn Sīnā tidak hanya bersifat doktrinal, tetapi juga metodologis—terutama terkait dengan upayanya menalar kebenaran wahyu melalui logika Aristotelian. Namun, di sisi lain, perdebatan ini justru memperkaya tradisi intelektual Islam dengan klarifikasi-konseptual yang mempertegas posisi rasionalisme Peripatetik sebagai salah satu poros utama filsafat Islam.¹

10.1.    Kritik Teologis: Al-Ghazālī dan Masalah Metafisika Wujud

Kritik paling berpengaruh terhadap Ibn Sīnā datang dari Abū Ḥāmid al-Ghazālī, terutama dalam karyanya Tahāfut al-Falāsifah (Inkoherensi Para Filsuf).² Al-Ghazālī menuduh Ibn Sīnā dan para falāsifah (filsuf Islam peripatetik) telah keluar dari ortodoksi Islam dalam tiga hal pokok: (1) keyakinan bahwa dunia bersifat qadīm (abadi), (2) penolakan terhadap pengetahuan Tuhan tentang partikularitas, dan (3) penolakan terhadap kebangkitan jasmani.³

Menurut al-Ghazālī, konsep emanasi Ibn Sīnā yang meniscayakan keteraturan rasional dalam penciptaan justru meniadakan kehendak bebas Tuhan. Dalam kerangka teologis Asyʿariyyah, Tuhan bertindak bukan karena keniscayaan rasional, tetapi karena kehendak absolut.⁴ Dengan demikian, sistem kausalitas Avicennian dianggap membatasi kemahakuasaan Tuhan. Ibn Sīnā menjawab secara implisit dalam Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt bahwa emanasi tidak menafikan kehendak, sebab kehendak Ilahi sendiri bersifat niscaya—ia “menghendaki secara rasional,” bukan “menghendaki secara arbitrer.”⁵

Kritik al-Ghazālī terhadap epistemologi Ibn Sīnā juga menyoroti klaim bahwa manusia dapat mengetahui hakikat Tuhan melalui rasio. Menurut al-Ghazālī, pengetahuan manusia tentang Tuhan terbatas pada simbol-simbol wahyu dan tidak dapat menembus esensi Ilahi.⁶ Kritik ini kemudian melahirkan perdebatan panjang antara rasionalisme filosofis dan teologi dialektis (ʿilm al-kalām), yang berlangsung hingga era Fakhr al-Dīn al-Rāzī dan Ibn Rushd.

10.2.    Kritik Filsafat Iluminasionis: Suhrawardī dan Dimensi Intuitif Pengetahuan

Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, pendiri filsafat iluminasi (ḥikmat al-ishrāq), memberikan kritik yang lebih filosofis terhadap Ibn Sīnā. Ia menilai sistem rasional Ibn Sīnā terlalu bergantung pada deduksi formal dan tidak cukup memberi ruang bagi pengetahuan langsung (ʿilm ḥuḍūrī).⁷ Menurut Suhrawardī, akal memang penting, tetapi kebenaran tertinggi hanya dapat dicapai melalui penyinaran batin (iluminasi) dan intuisi spiritual.⁸

Kritik Suhrawardī bukanlah penolakan total, melainkan pengayaan terhadap rasionalisme Avicennian. Ia mempertahankan kerangka logika Ibn Sīnā tetapi menambahkan dimensi simbolik dan esoteris, di mana pengetahuan dipahami sebagai “cahaya yang menyingkap realitas.”⁹ Dalam konteks ini, Suhrawardī sebenarnya memperluas horizon epistemologi Ibn Sīnā dari burhān (demonstrasi rasional) menuju kashf (penyingkapan intuitif). Ibn Sīnā sendiri dalam bagian akhir Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt telah mengisyaratkan tingkat pengetahuan intuitif (ḥads), yang menjadi landasan bagi filsafat iluminasi di kemudian hari.¹⁰

10.3.    Kritik Empirisme dan Skeptisisme Epistemologis

Sebagian teolog dan ilmuwan Muslim menilai bahwa rasionalisme Ibn Sīnā terlalu menekankan logika deduktif sehingga mengabaikan pengalaman empiris.¹¹ Kritik ini berkembang dalam tradisi sains Islam setelah abad ke-11, terutama di kalangan ahli observasi dan eksperimentasi seperti Ibn al-Haytham dan al-Bīrūnī. Bagi mereka, kebenaran ilmiah harus diperoleh melalui observasi dan verifikasi, bukan hanya deduksi metafisik.¹² Namun, Ibn Sīnā sebenarnya tidak menolak pengalaman empiris; ia hanya menempatkannya pada posisi subordinatif terhadap akal. Ia menegaskan bahwa data empiris harus ditransformasikan oleh akal menjadi konsep universal agar memiliki nilai ilmiah sejati.¹³

Kritik semacam ini kemudian menjadi awal dari pemisahan antara filsafat rasional dan ilmu eksperimental. Namun, dalam pandangan kontemporer, sistem Ibn Sīnā justru dapat dianggap sebagai bentuk awal epistemic pluralism, di mana pengetahuan diperoleh melalui kombinasi empirisme dan rasionalisme yang saling melengkapi.¹⁴

10.4.    Klarifikasi Filosofis: Rasionalisme sebagai Jalan Tengah

Kritik terhadap Ibn Sīnā justru mempertegas karakter rasionalismenya sebagai jalan tengah antara dogmatisme teologis dan mistisisme antirasional. Dalam sistem Ibn Sīnā, rasio (ʿaql) tidak menggantikan wahyu, tetapi menafsirkan dan memperdalam maknanya secara metodologis.¹⁵ Ia menghindari dua ekstrem: (1) reduksi iman ke dalam empirisme materialistik, dan (2) pengabaian akal dalam spiritualisme subjektif. Dengan demikian, rasionalisme Ibn Sīnā bersifat teo-rasional, yaitu berpikir logis dengan orientasi teologis.¹⁶

Klarifikasi filosofis ini tampak dalam pandangan Ibn Sīnā mengenai kesesuaian antara filsafat dan agama. Dalam Kitāb al-Siyāsah, ia menyatakan bahwa filsafat sejati tidak bertentangan dengan agama, karena keduanya berasal dari sumber kebenaran yang sama.¹⁷ Wahyu adalah bentuk komunikasi simbolik dari kebenaran rasional yang diakses oleh para nabi, sedangkan filsafat adalah bentuk penalaran sistematis atas kebenaran yang sama.¹⁸

10.5.    Kritik Modern dan Rehabilitasi Avicennianisme

Dalam konteks modern, sejumlah pemikir seperti Henri Corbin, Seyyed Hossein Nasr, dan Mehdi Haʾiri Yazdi menilai bahwa kritik-kritik klasik terhadap Ibn Sīnā sering kali didasarkan pada kesalahpahaman epistemologis.¹⁹ Mereka berpendapat bahwa sistem Ibn Sīnā justru merupakan sintesis paling seimbang antara rasionalisme Yunani dan spiritualitas Islam.²⁰ Corbin bahkan menyebutnya sebagai “rasionalisme imaginal”—yakni bentuk rasionalitas yang menyatu dengan visi metafisik dan imajinasi kreatif.²¹

Rehabilitasi Avicennianisme dalam filsafat Islam modern juga dilakukan oleh para sarjana seperti ʿAllāmah Ṭabāṭabāʾī dan Mulla Ṣadrā, yang menafsirkan kembali konsep wujūd Ibn Sīnā dalam kerangka eksistensialisme Islam.²² Mereka menegaskan bahwa rasionalisme Ibn Sīnā bukan sistem tertutup, tetapi kerangka dinamis yang terus berkembang dalam sejarah pemikiran Islam dan dunia.²³


Signifikansi Klarifikasi: Rasionalisme sebagai Pilar Dialog

Kritik dan klarifikasi terhadap Ibn Sīnā menunjukkan bahwa rasionalisme Peripatetik bukan sekadar produk sejarah, melainkan paradigma yang terus relevan untuk memahami hubungan antara iman, sains, dan filsafat.²⁴ Rasionalitas Avicennian menegaskan bahwa berpikir benar adalah bentuk ibadah intelektual, sedangkan pengetahuan sejati adalah jembatan menuju Tuhan.²⁵ Dengan menolak fanatisme intelektual maupun spiritualisme tanpa dasar logika, Ibn Sīnā menegakkan prinsip bahwa kebenaran harus dicari melalui kesatuan akal, pengalaman, dan wahyu.²⁶

Dalam arti ini, kritik terhadap Ibn Sīnā bukan akhir dari rasionalisme Islam, melainkan proses purifikasi dan penguatan epistemiknya.²⁷ Melalui dialog dengan para pengkritiknya, sistem Ibn Sīnā justru menjadi semakin matang, menunjukkan daya tahan filsafat Islam terhadap pergulatan intelektual sepanjang zaman.²⁸


Footnotes

[1]                ¹ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 205–208.

[2]                ² Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 3–6.

[3]                ³ Ibid., 7–10.

[4]                ⁴ W. Montgomery Watt, The Faith and Practice of Al-Ghazali (London: George Allen & Unwin, 1953), 89–92.

[5]                ⁵ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 111–113.

[6]                ⁶ Al-Ghazālī, Maqāṣid al-Falāsifah, trans. S. M. Afnan (London: Luzac & Co., 1930), 55–58.

[7]                ⁷ Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1970), 37–40.

[8]                ⁸ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 137–139.

[9]                ⁹ Mehdi Haʾiri Yazdi, Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 76–79.

[10]             ¹⁰ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, 115–117.

[11]             ¹¹ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 152–154.

[12]             ¹² George Saliba, A History of Arabic Astronomy (New York: New York University Press, 1994), 21–23.

[13]             ¹³ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press, 1952), 74–77.

[14]             ¹⁴ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 154–157.

[15]             ¹⁵ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 101–103.

[16]             ¹⁶ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 231–234.

[17]             ¹⁷ Ibn Sīnā, Kitāb al-Siyāsah, in Risālat al-Tadbīrāt al-Ilāhiyyah, ed. ʿAbd al-Raḥmān Badawī (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1954), 15–17.

[18]             ¹⁸ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 162–165.

[19]             ¹⁹ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 72–75.

[20]             ²⁰ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1997), 171–174.

[21]             ²¹ Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, 142–144.

[22]             ²² Mulla Ṣadrā, Al-Asfār al-Arbaʿah, ed. Muhammad Rida al-Muzaffar (Tehran: Intishārāt-e Bīdār, 1981), 52–55.

[23]             ²³ Seyyed Hossein Nasr, The Essential Seyyed Hossein Nasr (Bloomington: World Wisdom, 2007), 97–100.

[24]             ²⁴ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 112–114.

[25]             ²⁵ Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 122–125.

[26]             ²⁶ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2014), 210–213.

[27]             ²⁷ Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 162–165.

[28]             ²⁸ Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 132–135.


11.       Relevansi Kontemporer

Rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā tetap memiliki relevansi yang mendalam dalam konteks pemikiran kontemporer, baik dalam ranah filsafat ilmu, etika, maupun dialog antara agama dan sains. Pemikiran Ibn Sīnā menunjukkan bahwa rasionalitas bukanlah sekadar perangkat teknis untuk berpikir logis, melainkan dimensi eksistensial yang mengarahkan manusia pada kebenaran dan kebijaksanaan.¹ Dalam dunia modern yang sering kali terjebak dalam fragmentasi pengetahuan, pandangan Ibn Sīnā menghadirkan model integratif yang menggabungkan dimensi empiris, rasional, dan spiritual secara harmonis.²

11.1.    Relevansi dalam Filsafat Ilmu dan Sains Modern

Dalam filsafat ilmu kontemporer, sistem rasionalisme Ibn Sīnā menjadi relevan karena menegaskan prinsip keteraturan kosmos dan rasionalitas hukum alam.³ Pandangannya bahwa alam semesta tunduk pada struktur kausalitas rasional sejalan dengan semangat ilmiah modern, namun dengan perbedaan mendasar: bagi Ibn Sīnā, hukum alam bukanlah mekanisme tanpa makna, melainkan refleksi dari kebijaksanaan ilahi.⁴ Dengan demikian, pendekatan ilmiahnya tidak jatuh pada reduksionisme materialistik.

Rasionalisme Avicennian juga mengandung prinsip metodologis yang masih relevan: keseimbangan antara induksi empiris dan deduksi rasional.⁵ Dalam dunia penelitian modern, Ibn Sīnā menegaskan pentingnya pengamatan yang disertai refleksi rasional, bukan sekadar pengumpulan data empiris. Ia mengingatkan bahwa pengetahuan ilmiah sejati tidak berhenti pada data, tetapi harus menyingkap makna dan sebab yang mendasarinya (ʿillah).⁶ Pandangan ini dapat menjadi dasar filosofis bagi paradigma sains yang lebih reflektif, integratif, dan berorientasi pada kebijaksanaan.⁷

11.2.    Relevansi bagi Etika Intelektual dan Spiritualitas Modern

Rasionalisme Ibn Sīnā juga menawarkan solusi etis terhadap krisis spiritual dan moralitas intelektual dunia modern. Dalam konteks globalisasi dan era informasi, rasionalitas sering tereduksi menjadi sekadar instrumentalisme—alat untuk efisiensi dan kekuasaan—tanpa orientasi etis.⁸ Ibn Sīnā menegaskan bahwa pengetahuan sejati harus membawa jiwa kepada kesempurnaan moral dan spiritual.⁹ Akal tidak hanya berfungsi untuk menganalisis, tetapi juga untuk memuliakan eksistensi dengan memahami keteraturan Tuhan dalam segala sesuatu.

Konsep saʿādah (kebahagiaan sejati) Ibn Sīnā memiliki relevansi besar dalam etika kontemporer, karena menggabungkan keseimbangan antara rasionalitas dan kebajikan moral.¹⁰ Ia menolak pemisahan antara berpikir dan berbuat: kebenaran intelektual tanpa kebajikan etis adalah pengetahuan yang tidak utuh. Dalam konteks modern, prinsip ini dapat menjadi dasar bagi “etika pengetahuan,” di mana sains dan teknologi tidak boleh dilepaskan dari tanggung jawab moral dan spiritual manusia.¹¹

11.3.    Relevansi dalam Dialog antara Agama dan Sains

Salah satu sumbangan terbesar Ibn Sīnā bagi wacana kontemporer adalah sintesis antara iman dan rasio, yang menjadi model potensial bagi dialog antara agama dan sains.¹² Di tengah polarisasi antara fundamentalisme religius dan sekularisme saintifik, sistem Ibn Sīnā menawarkan pendekatan harmonis: agama menyediakan orientasi nilai dan makna, sementara akal menyediakan metode penalaran dan verifikasi.¹³

Gagasan bahwa wahyu dan rasio berasal dari sumber yang sama—yakni kebenaran ilahi—memungkinkan munculnya epistemologi lintas disiplin yang menolak dikotomi antara iman dan sains.¹⁴ Dalam perspektif Avicennian, ilmuwan dan teolog memiliki misi yang sama: menyingkap tanda-tanda Tuhan melalui alam semesta.¹⁵ Dengan demikian, pemikiran Ibn Sīnā memberi fondasi filosofis bagi integrasi pengetahuan ilmiah dan teologis di abad ke-21, di mana krisis makna menjadi persoalan mendesak peradaban modern.¹⁶

11.4.    Relevansi bagi Filsafat Pendidikan dan Humanisme

Pemikiran Ibn Sīnā memiliki signifikansi besar dalam filsafat pendidikan modern, terutama dalam upaya mengembalikan dimensi rasional dan spiritual pendidikan. Ia memandang pendidikan sebagai proses penyempurnaan jiwa melalui ilmu yang benar dan berpikir kritis.¹⁷ Pandangan ini beresonansi dengan gagasan pendidikan humanistik kontemporer yang menekankan pengembangan seluruh potensi manusia—akal, moral, dan spiritual.¹⁸

Dalam konteks krisis pendidikan global yang cenderung menekankan keterampilan teknis tanpa refleksi filosofis, warisan Ibn Sīnā mengingatkan bahwa tujuan akhir pendidikan bukan sekadar efisiensi ekonomi, tetapi tahdzīb al-nafs (penyucian jiwa) dan kamāl al-ʿaql (kesempurnaan akal).¹⁹ Pendidikan rasional harus menghasilkan manusia yang berpikir logis, tetapi juga bijak dan berbelas kasih—karena akal sejati selalu bersatu dengan kebajikan.²⁰

11.5.    Relevansi Metafisika Ibn Sīnā dalam Filsafat Eksistensial dan Kosmologi

Metafisika Ibn Sīnā yang menegaskan perbedaan antara wujūd (eksistensi) dan māhiyyah (esensi) memiliki pengaruh laten dalam tradisi filsafat eksistensial modern.²¹ Dalam konteks kontemporer, perbedaan ini dapat membantu menjelaskan krisis identitas manusia di era modern: manusia sering kehilangan “makna esensial” dirinya dalam arus eksistensi materialistik.²² Pemikiran Ibn Sīnā mengajarkan bahwa eksistensi tanpa esensi adalah kekosongan, sedangkan esensi tanpa aktualisasi adalah potensi yang belum bermakna.²³

Selain itu, konsep Wājib al-Wujūd sebagai sumber keteraturan kosmos dapat memberi inspirasi baru dalam diskursus ekoteologi dan filsafat lingkungan modern.²⁴ Alam, dalam pandangan Avicennian, adalah emanasi rasional dari Tuhan, bukan objek eksploitasi. Dengan demikian, memahami alam berarti menghormatinya sebagai manifestasi dari kebijaksanaan ilahi.²⁵ Dalam era krisis ekologis global, pendekatan ini menawarkan kerangka rasional sekaligus spiritual bagi pembangunan peradaban ekologis yang beretika dan berkeadaban.²⁶


Relevansi Universal: Rasionalisme sebagai Etos Peradaban

Rasionalisme Ibn Sīnā mengajarkan bahwa berpikir rasional adalah panggilan universal manusia.²⁷ Di tengah derasnya arus disinformasi, populisme, dan anti-intelektualisme global, prinsip Avicennian bahwa akal harus dikendalikan oleh etika dan diarahkan pada kebenaran memiliki nilai peradaban yang tak ternilai.²⁸ Rasionalitas bukanlah milik satu agama atau bangsa, tetapi milik kemanusiaan universal yang mencari kejelasan, keadilan, dan makna.²⁹

Dengan demikian, relevansi Ibn Sīnā di dunia kontemporer terletak pada kemampuannya menyatukan rasionalitas dan spiritualitas, sains dan nilai, individu dan masyarakat.³⁰ Sistemnya bukan sekadar warisan historis, tetapi paradigma filosofis yang menegaskan kembali tugas utama manusia: menggunakan akalnya untuk memahami, memuliakan, dan menata dunia secara etis dan rasional.³¹


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 119–122.

[2]                ² Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 240–243.

[3]                ³ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press, 1952), 78–80.

[4]                ⁴ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 161–164.

[5]                ⁵ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2014), 220–222.

[6]                ⁶ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Metaphysics, ed. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 115–118.

[7]                ⁷ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 159–162.

[8]                ⁸ Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 214–216.

[9]                ⁹ Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1985), 91–93.

[10]             ¹⁰ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 153–155.

[11]             ¹¹ Seyyed Hossein Nasr, The Essential Seyyed Hossein Nasr (Bloomington: World Wisdom, 2007), 107–110.

[12]             ¹² Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 213–216.

[13]             ¹³ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 122–124.

[14]             ¹⁴ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 123–125.

[15]             ¹⁵ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 97–99.

[16]             ¹⁶ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 82–85.

[17]             ¹⁷ Ibn Sīnā, Al-Taʿlīmāt al-ʿAqliyyah, ed. Abū al-ʿAlāʾ ʿAfīfī (Cairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1953), 15–17.

[18]             ¹⁸ John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 329–332.

[19]             ¹⁹ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 176–179.

[20]             ²⁰ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 61–63.

[21]             ²¹ Mulla Ṣadrā, Al-Asfār al-Arbaʿah, ed. Muhammad Rida al-Muzaffar (Tehran: Intishārāt-e Bīdār, 1981), 72–74.

[22]             ²² Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 182–184.

[23]             ²³ Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ʿArabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 75–78.

[24]             ²⁴ Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 97–99.

[25]             ²⁵ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Physics, ed. F. Rahman (Cairo: Dār al-Kutub al-ʿArabiyyah, 1952), 33–36.

[26]             ²⁶ Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 144–147.

[27]             ²⁷ Peter Adamson, Classical Philosophy: A History of Philosophy Without Any Gaps, Volume 1 (Oxford: Oxford University Press, 2014), 321–323.

[28]             ²⁸ Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York: Ballantine Books, 1991), 397–400.

[29]             ²⁹ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1997), 183–186.

[30]             ³⁰ Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 173–175.

[31]             ³¹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 135–138.


12.       Sintesis Filosofis

Filsafat Ibn Sīnā mencapai puncak rasionalitas dalam sejarah pemikiran Islam, namun kekuatannya yang sejati justru terletak pada kemampuannya menyatukan berbagai dimensi pengetahuan—logika, metafisika, epistemologi, etika, dan teologi—ke dalam satu sistem yang koheren dan holistik. Sintesis filosofis Ibn Sīnā bukan sekadar perpaduan antara filsafat Yunani dan Islam, tetapi sebuah integrasi dinamis antara rasionalitas dan spiritualitas, antara akal dan wahyu, antara pengetahuan dan kebijaksanaan.¹

12.1.    Kesatuan Rasionalisme dan Teologi

Salah satu sumbangan terbesar Ibn Sīnā adalah kemampuannya menjadikan rasionalitas sebagai sarana untuk menegaskan keimanan, bukan untuk menggugatnya.² Ia berhasil menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan dan keteraturan kosmos dapat dijelaskan secara rasional tanpa menafikan wahyu. Dalam hal ini, Ibn Sīnā memperlihatkan bahwa filsafat dan agama bukan dua entitas yang saling meniadakan, tetapi dua jalan menuju satu kebenaran yang sama.³

Melalui konsep Wājib al-Wujūd, Ibn Sīnā menegaskan bahwa seluruh realitas bergantung secara niscaya kepada Tuhan.⁴ Tuhan bukan hanya penyebab pertama (causa prima), melainkan sumber keberadaan yang menjadi fondasi logis seluruh eksistensi.⁵ Di sinilah terletak sintesis teologis Ibn Sīnā: ia mengubah teologi spekulatif menjadi teologi rasional yang berakar pada prinsip ontologis. Filsafat, dalam pengertiannya, adalah ibadah intelektual, karena berpikir benar adalah bentuk pengenalan terhadap Tuhan.⁶

12.2.    Integrasi Ontologi dan Epistemologi

Ibn Sīnā menyatukan pandangan tentang ada (ontologi) dan mengetahui (epistemologi) dalam struktur filsafat yang berlapis. Ia menegaskan bahwa keberadaan (wujūd) dan pengetahuan (ʿilm) saling terpantul: realitas yang benar dapat diketahui karena akal manusia memiliki struktur yang sejalan dengan tatanan wujud.⁷ Ini adalah bentuk awal dari “korespondensi metafisik,” di mana struktur rasional alam semesta mencerminkan keteraturan Ilahi.⁸

Proses pengetahuan dalam sistem Avicennian bukan hanya kognitif, tetapi juga ontologis.⁹ Ketika manusia mengetahui sesuatu secara rasional, ia sebenarnya sedang mengaktualkan potensi eksistensial jiwanya. Dalam Kitāb al-Nafs, Ibn Sīnā menegaskan bahwa pengetahuan adalah “penerimaan bentuk tanpa materi”—sebuah proses penyatuan antara subjek dan objek melalui mediasi akal.¹⁰ Dengan demikian, epistemologi Ibn Sīnā adalah metafisika yang hidup: pengetahuan adalah wujud yang sadar akan dirinya sendiri.

12.3.    Harmoni antara Logika dan Spiritualitas

Ibn Sīnā mengajarkan bahwa berpikir logis tidak meniadakan pengalaman spiritual. Sebaliknya, keduanya saling melengkapi dalam proses pencarian kebenaran.¹¹ Logika (manṭiq) menjadi jalan menuju disiplin intelektual, sementara spiritualitas (taʾalluh) menjadi jalan menuju kebijaksanaan eksistensial. Dalam Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, Ibn Sīnā menggambarkan perjalanan intelektual manusia sebagai miʿrāj al-ʿaql—kenaikan akal menuju cahaya pengetahuan Ilahi.¹²

Dengan menempatkan rasionalitas sebagai sarana penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs), Ibn Sīnā membangun jembatan antara filsafat dan tasawuf.¹³ Ia menolak dikotomi antara rasionalisme dan mistisisme dengan menegaskan bahwa akal dan intuisi berasal dari sumber yang sama, yakni al-ʿaql al-faʿʿāl.¹⁴ Dalam pandangan ini, logika bukan hanya teknik berpikir, tetapi latihan moral dan spiritual yang menuntun manusia kepada kesempurnaan.

12.4.    Sintesis Etika, Politik, dan Ilmu Pengetahuan

Rasionalisme Ibn Sīnā juga menyatukan dimensi individu dan sosial dari pengetahuan. Ia melihat pengetahuan rasional tidak berhenti pada kontemplasi, tetapi berbuah pada tindakan etis dan tatanan sosial yang adil.¹⁵ Dalam Kitāb al-Siyāsah, ia menegaskan bahwa masyarakat yang baik hanya dapat dibangun atas dasar rasionalitas dan keadilan.¹⁶ Dengan demikian, ilmu pengetahuan menjadi dasar etika publik dan politik moral.

Ilmu, dalam pandangan Ibn Sīnā, harus mengarahkan manusia kepada al-saʿādah—kebahagiaan sejati—yang tidak hanya bersifat individual tetapi juga kolektif.¹⁷ Masyarakat rasional adalah masyarakat yang memadukan keutamaan intelektual dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendidikan dan logika, manusia dilatih untuk berpikir benar dan bertindak adil.¹⁸ Sintesis ini memperlihatkan bahwa filsafat Ibn Sīnā tidak hanya bersifat spekulatif, melainkan juga praksis, etis, dan humanistik.

12.5.    Rasionalisme sebagai Jalan Menuju Transendensi

Inti dari sintesis Avicennian adalah pandangan bahwa akal manusia memiliki kapasitas transendental: ia mampu menembus batas empiris menuju realitas Ilahi.¹⁹ Dalam kerangka ini, rasionalitas bukan sekadar alat berpikir, tetapi sarana penyingkapan (kashf ʿaqlī) terhadap hakikat tertinggi. Ketika akal mencapai pengetahuan tentang Tuhan, ia tidak lagi sekadar mengetahui, melainkan menjadi—yakni berpartisipasi dalam realitas rasional yang bersumber dari Tuhan.²⁰

Pandangan ini menunjukkan kedalaman spiritual rasionalisme Ibn Sīnā: filsafat bukan antitesis iman, tetapi penyempurnaannya.²¹ Dengan akal, manusia memahami struktur kosmos; dengan iman, ia menyadari makna dan arah keberadaan. Sintesis antara keduanya menghasilkan kebijaksanaan (ḥikmah), yang dalam tradisi Islam klasik adalah tujuan tertinggi pengetahuan.²²

12.6.    Pengaruh Sintesis Avicennian terhadap Tradisi Selanjutnya

Sintesis filosofis Ibn Sīnā melahirkan dua arus besar: rasionalisme skolastik di Barat Latin dan filsafat teosofis di dunia Islam Timur.²³ Di Eropa, pemikir seperti Thomas Aquinas dan Duns Scotus mengadaptasi konsep essentia–existentia untuk membangun teologi natural.²⁴ Di Timur, tokoh seperti Suhrawardī dan Mulla Ṣadrā memperdalamnya melalui dimensi iluminatif dan eksistensial, sehingga lahirlah ḥikmah al-mutaʿāliyah—filsafat transendental Persia.²⁵

Dengan demikian, warisan Ibn Sīnā bukan hanya historis, melainkan paradigmatik. Ia menjadi simbol pertemuan antara rasionalitas Yunani, wahyu Islam, dan kebijaksanaan Timur.²⁶ Dalam dunia yang cenderung terpecah antara sains dan nilai, sistem Ibn Sīnā menawarkan model kesatuan intelektual yang mendamaikan kebenaran ilmiah, moralitas, dan spiritualitas dalam satu kerangka metafisis yang utuh.²⁷


Kesimpulan Sintetis

Sintesis filosofis Ibn Sīnā dapat diringkas sebagai upaya mengharmoniskan tiga poros utama: akal (ʿaql), iman (īmān), dan wujud (wujūd).²⁸ Ia membuktikan bahwa rasionalitas yang sejati tidak bertentangan dengan keimanan, dan bahwa pengetahuan yang sejati selalu menuntun kepada kesadaran metafisis. Dalam diri Ibn Sīnā, filsafat menjadi ibadah, logika menjadi zikir intelektual, dan pengetahuan menjadi jalan menuju kebahagiaan abadi.²⁹

Maka, relevansi sintesis Ibn Sīnā terletak pada pesan universalnya: bahwa kebijaksanaan sejati lahir dari kesatuan antara berpikir dan beriman, antara rasio dan nurani, antara pengetahuan dan pengabdian.³⁰ Ia mengajarkan bahwa puncak rasionalitas adalah spiritualitas, dan puncak spiritualitas adalah pemahaman rasional akan keindahan kebenaran.³¹


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 141–143.

[2]                ² Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 161–164.

[3]                ³ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 218–220.

[4]                ⁴ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 131–134.

[5]                ⁵ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2014), 231–233.

[6]                ⁶ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press, 1952), 86–88.

[7]                ⁷ Mehdi Haʾiri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 101–103.

[8]                ⁸ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 89–91.

[9]                ⁹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 164–167.

[10]             ¹⁰ Ibn Sīnā, Kitāb al-Nafs, in Al-Shifāʾ, ed. F. Rahman (London: Oxford University Press, 1959), 47–50.

[11]             ¹¹ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 173–176.

[12]             ¹² Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, 138–140.

[13]             ¹³ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 254–257.

[14]             ¹⁴ Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1970), 45–48.

[15]             ¹⁵ Ibn Sīnā, Al-Siyāsah, in Risālat al-Tadbīrāt al-Ilāhiyyah, ed. ʿAbd al-Raḥmān Badawī (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1954), 21–23.

[16]             ¹⁶ Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 63–65.

[17]             ¹⁷ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 166–168.

[18]             ¹⁸ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 124–126.

[19]             ¹⁹ Mulla Ṣadrā, Al-Asfār al-Arbaʿah, ed. Muhammad Rida al-Muzaffar (Tehran: Intishārāt-e Bīdār, 1981), 81–84.

[20]             ²⁰ Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ʿArabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 89–92.

[21]             ²¹ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 77–80.

[22]             ²² Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 182–184.

[23]             ²³ Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 181–184.

[24]             ²⁴ Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger, 1947), I.q.3.

[25]             ²⁵ Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques, vol. 2 (Paris: Gallimard, 1972), 55–58.

[26]             ²⁶ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 131–134.

[27]             ²⁷ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1997), 191–194.

[28]             ²⁸ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 149–151.

[29]             ²⁹ Henry Corbin, Temple and Contemplation, 95–97.

[30]             ³⁰ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 179–181.

[31]             ³¹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 189–192.


13.       Kesimpulan

Rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā merupakan salah satu puncak tertinggi dalam sejarah filsafat Islam yang berhasil mensintesiskan warisan intelektual Yunani dengan kerangka spiritual Islam.¹ Ia bukan sekadar penerus Aristoteles, melainkan inovator yang mengembangkan sistem metafisika, epistemologi, dan logika menjadi struktur pemikiran yang menyatukan rasionalitas dan transendensi. Melalui konsep-konsep fundamental seperti Wājib al-Wujūd, al-ʿaql al-faʿʿāl, serta distingsi antara wujūd dan māhiyyah, Ibn Sīnā meletakkan dasar bagi pemikiran eksistensial dan teologis yang bertahan lintas zaman.²

Dalam sistemnya, akal (ʿaql) menempati posisi sentral bukan hanya sebagai alat berpikir, tetapi juga sebagai jalan menuju penyempurnaan jiwa dan kebahagiaan sejati (al-saʿādah).³ Rasionalisme Ibn Sīnā tidak berhenti pada deduksi logis, tetapi menuntun manusia menuju kesadaran spiritual. Ia menunjukkan bahwa berpikir benar adalah bentuk ibadah intelektual, dan pengetahuan sejati adalah sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.⁴ Dengan demikian, rasionalitas Avicennian tidak bersifat sekuler, tetapi teologis—sebuah “rasionalisme sakral” yang menegaskan kesatuan antara kebenaran dan ketuhanan.⁵

Secara historis, pemikiran Ibn Sīnā melahirkan dua warisan besar: di Barat, ia menjadi fondasi bagi skolastisisme melalui Thomas Aquinas dan Albertus Magnus; di Timur, ia menginspirasi lahirnya ḥikmat al-ishrāq (filsafat iluminasi) dan ḥikmat al-mutaʿāliyah (filsafat transendental) yang dikembangkan oleh Suhrawardī dan Mulla Ṣadrā.⁶ Ia menjadi jembatan filosofis antara dunia Islam, Yunani, dan Eropa Latin—mewakili titik temu universal antara rasionalisme dan spiritualitas.⁷

Dari segi aksiologi, rasionalisme Ibn Sīnā membentuk dasar etika intelektual Islam: bahwa ilmu bukan semata untuk mengetahui, tetapi untuk menata kehidupan dan memperhalus jiwa.⁸ Pengetahuan yang benar menuntun pada moralitas dan keteraturan sosial, sedangkan kebodohan adalah sumber kekacauan. Maka, pendidikan rasional menjadi sarana pembebasan manusia dari ketidaktahuan menuju kesempurnaan eksistensial.⁹

Dalam konteks kontemporer, warisan Ibn Sīnā memiliki nilai yang sangat penting. Dunia modern, yang sering kali memisahkan sains dari makna, dapat belajar dari integrasi epistemologis Ibn Sīnā antara rasio dan iman.¹⁰ Pandangan Avicennian menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari etika dan metafisika, karena rasionalitas tanpa nilai akan kehilangan arah, sedangkan iman tanpa rasionalitas akan kehilangan kedalaman.¹¹

Oleh karena itu, sistem rasionalisme Ibn Sīnā tidak hanya menjadi peninggalan historis, tetapi paradigma abadi yang menegaskan harmoni antara akal dan wahyu, antara empirisme dan metafisika, antara pengetahuan dan kebijaksanaan.¹² Ia menampilkan wajah Islam yang rasional, ilmiah, dan spiritual sekaligus—sebuah warisan yang tidak hanya membentuk peradaban klasik, tetapi juga menjadi sumber inspirasi untuk membangun kembali kesadaran filosofis dan spiritual di era modern.¹³

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa Ibn Sīnā telah memperlihatkan bahwa rasionalitas sejati adalah jalan menuju kebijaksanaan ilahi.¹⁴ Melalui filsafatnya, ia mengajarkan bahwa berpikir dengan jernih adalah bentuk pengabdian, dan mencari kebenaran adalah wujud tertinggi dari iman.¹⁵ Maka, dalam setiap zaman, rasionalisme Ibn Sīnā akan tetap hidup sebagai mercusuar yang menuntun manusia menuju kesatuan antara pengetahuan, moralitas, dan transendensi.¹⁶


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 155–158.

[2]                ² Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 167–169.

[3]                ³ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press, 1952), 93–96.

[4]                ⁴ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 142–145.

[5]                ⁵ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 190–193.

[6]                ⁶ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 139–142.

[7]                ⁷ Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 189–192.

[8]                ⁸ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 184–186.

[9]                ⁹ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 131–134.

[10]             ¹⁰ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 263–266.

[11]             ¹¹ Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 102–104.

[12]             ¹² Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1997), 195–198.

[13]             ¹³ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 174–177.

[14]             ¹⁴ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 99–101.

[15]             ¹⁵ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 226–228.

[16]             ¹⁶ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 190–193.


Daftar Pustaka

Adamson, P. (2016). Philosophy in the Islamic World. Oxford University Press.

Aminrazavi, M. (1997). The Islamic Intellectual Tradition in Persia. Curzon Press.

Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger.

Aquinas, T. (1968). De Ente et Essentia (A. Maurer, Trans.). Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Aristotle. (1984). Organon (J. Barnes, Trans.). Clarendon Press.

Burnett, C. (1974). The transmission of Arabic learning to the West. In J. Schacht & C. E. Bosworth (Eds.), The Legacy of Islam (pp. 63–66). Oxford University Press.

Corbin, H. (1960). Avicenna and the Visionary Recital (W. R. Trask, Trans.). Princeton University Press.

Corbin, H. (1969). Creative Imagination in the Sufism of Ibn ʿArabī. Princeton University Press.

Corbin, H. (1972). En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques (Vol. 2). Gallimard.

Corbin, H. (1986). Temple and Contemplation (P. Sherrard, Trans.). Kegan Paul.

Corbin, H. (1993). History of Islamic Philosophy (L. Sherrard, Trans.). Kegan Paul.

Descartes, R. (1996). Meditations on First Philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Dewey, J. (1916). Democracy and Education. Macmillan.

Fakhry, M. (2004). A History of Islamic Philosophy. Columbia University Press.

Ghazālī, A. H. (1927). Tahāfut al-Falāsifah (M. Bouyges, Ed.). Imprimerie Catholique.

Ghazālī, A. H. (1930). Maqāṣid al-Falāsifah (S. M. Afnan, Trans.). Luzac & Co.

Gilson, E. (1936). The Spirit of Medieval Philosophy. Charles Scribner’s Sons.

Goodman, L. E. (1992). Avicenna. Routledge.

Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture. Routledge.

Gutas, D. (2014). Avicenna and the Aristotelian Tradition. Brill.

Haʾiri Yazdi, M. (1992). The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy. State University of New York Press.

Haʾiri Yazdi, M. (1992). Knowledge by Presence. State University of New York Press.

Leaman, O. (1985). An Introduction to Classical Islamic Philosophy. Cambridge University Press.

Makdisi, G. (1981). The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh University Press.

Mulla Ṣadrā. (1981). Al-Asfār al-Arbaʿah (M. R. al-Muzaffar, Ed.). Intishārāt-e Bīdār.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim Sages. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and Civilization in Islam. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford University Press.

Nasr, S. H. (2006). Islamic Philosophy from Its Origin to the Present. State University of New York Press.

Nasr, S. H. (2007). The Essential Seyyed Hossein Nasr. World Wisdom.

Rahman, F. (1952). Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI. Oxford University Press.

Rahman, F. (1959). Kitāb al-Nafs, in Al-Shifāʾ. Oxford University Press.

Rahman, F. (1975). The Philosophy of Mulla Sadra. State University of New York Press.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press.

Sardar, Z. (1985). Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come. Mansell.

Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam. Oxford University Press.

Saliba, G. (1994). A History of Arabic Astronomy. New York University Press.

Suhrawardī, S. D. (1970). Ḥikmat al-Ishrāq (H. Corbin, Ed.). Institute Franco-Iranien.

Tarnas, R. (1991). The Passion of the Western Mind. Ballantine Books.

Watt, W. M. (1953). The Faith and Practice of Al-Ghazali. George Allen & Unwin.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar