Rasionalisme Peripatetik (Ibn Sīnā)
Sintesis antara Logika Aristotelian dan Metafisika
Islam
Alihkan ke: Metafisika Islam.
Abstrak
Artikel ini menguraikan secara komprehensif sistem Rasionalisme
Peripatetik yang dikembangkan oleh Ibn Sīnā (Avicenna) sebagai
puncak sintesis antara tradisi filsafat Yunani dan teologi Islam. Kajian ini
menelusuri akar historis dan genealogis pemikiran Ibn Sīnā dalam konteks
transmisi intelektual dari Aristoteles dan al-Fārābī, kemudian mengkaji secara
mendalam dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, logis, teologis, dan
sosial dari sistem rasionalismenya. Dalam ranah ontologi, Ibn Sīnā
membedakan secara tegas antara wujūd (eksistensi) dan māhiyyah
(esensi), menegaskan Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd (Wujud Niscaya) yang
menjadi dasar seluruh realitas. Dalam epistemologi, ia menegaskan rasio
(ʿaql) sebagai instrumen utama pengetahuan yang berfungsi menyingkap
keteraturan kosmos melalui proses abstraksi dan iluminasi intelektual dari al-ʿaql
al-faʿʿāl.
Dari segi aksiologi, rasionalitas dipahami
sebagai sarana etis dan spiritual untuk mencapai kebahagiaan tertinggi (al-saʿādah),
di mana berpikir benar adalah bagian dari penyucian jiwa. Pada level logika
dan ilmu, Ibn Sīnā membangun sistem deduktif yang menjembatani antara
empirisme dan metafisika, memformulasikan struktur berpikir ilmiah yang menjadi
model bagi logika Islam klasik. Sementara itu, dimensi teologis dan mistis
dalam rasionalisme Ibn Sīnā memperlihatkan bahwa filsafat dan iman tidak saling
meniadakan, melainkan saling memperkuat dalam upaya mencapai pengetahuan
tentang Tuhan.
Artikel ini juga menelaah dimensi sosial dan
kultural rasionalisme Ibn Sīnā sebagai fondasi etika intelektual dan
pendidikan Islam, yang berperan penting dalam pembentukan peradaban ilmiah
dunia Islam klasik. Melalui perbandingan dengan pemikir lain seperti
al-Ghazālī, Suhrawardī, dan Mulla Ṣadrā, dijelaskan pula bagaimana kritik dan
klarifikasi terhadap Ibn Sīnā justru memperkaya tradisi rasionalisme Islam.
Pada bagian akhir, dibahas relevansi kontemporer sistem Ibn Sīnā
terhadap filsafat ilmu, etika pengetahuan, dialog agama dan sains, hingga
krisis spiritual modern.
Keseluruhan pembahasan berpuncak pada sintesis
filosofis yang menunjukkan bahwa pemikiran Ibn Sīnā bukan sekadar sistem
rasional, melainkan visi integratif yang mempersatukan akal, iman, dan
eksistensi. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya bersumber dari
observasi empiris, tetapi juga dari refleksi metafisis yang menuntun manusia
menuju kesadaran Ilahi. Dengan demikian, rasionalisme Ibn Sīnā tetap menjadi
paradigma filosofis yang relevan untuk membangun harmoni antara sains, etika,
dan spiritualitas dalam dunia modern.
Kata Kunci: Ibn Sīnā,
Rasionalisme Peripatetik, Wājib al-Wujūd, ʿAql al-faʿʿāl, Ontologi,
Epistemologi, Etika Pengetahuan, Filsafat Islam, Sintesis Akal dan Iman,
Relevansi Kontemporer.
PEMBAHASAN
Rasionalisme Peripatetik dalam Filsafat Ibn Sīnā
1.
Pendahuluan
Rasionalisme Peripatetik dalam filsafat Ibn Sīnā
(Avicenna) merupakan salah satu fondasi utama dalam tradisi intelektual Islam
yang menggabungkan antara logika Aristotelian dan metafisika keislaman secara
harmonis. Dalam konteks sejarah intelektual dunia Islam, pemikiran Ibn Sīnā
menandai puncak perkembangan mashshā’iyyah (filsafat peripatetik), yakni
tradisi berpikir yang menekankan pada kekuatan akal (ʿaql) sebagai
sarana utama untuk mencapai pengetahuan yang sejati. Rasionalisme ini bukan
sekadar upaya intelektual untuk meniru Aristoteles, tetapi merupakan
rekonstruksi kreatif yang mengintegrasikan rasionalitas Yunani dengan
prinsip-prinsip tauhid dan teologi Islam yang mendalam. Ibn Sīnā menegaskan
bahwa pengetahuan rasional yang benar harus mengantarkan manusia kepada
pengenalan terhadap Wājib al-Wujūd, yaitu Tuhan sebagai sumber segala
eksistensi dan sebab pertama dari seluruh realitas yang ada.¹
Konteks kelahiran rasionalisme Ibn Sīnā tidak dapat
dilepaskan dari tradisi filsafat Islam awal yang berinteraksi dengan kebudayaan
Helenistik dan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa
Dinasti Abbasiyah.² Melalui proses intelektual yang panjang ini, terjadi dialog
intens antara warisan pemikiran Yunani, Persia, dan Islam yang kemudian
melahirkan sistem filsafat yang orisinal. Ibn Sīnā, yang hidup pada abad ke-10
dan 11 M, tampil sebagai figur yang memadukan analisis logis Aristotelian
dengan metafisika yang berlandaskan wahyu dan rasionalitas spiritual. Ia tidak
sekadar mengomentari Aristoteles, tetapi mengembangkan sistem filsafat yang
jauh lebih luas dan integral, mencakup logika, fisika, metafisika, psikologi,
dan etika, sebagaimana tertuang dalam karya-karyanya seperti al-Shifāʾ, al-Najāt,
dan al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt.³
Dalam kerangka filsafatnya, Ibn Sīnā menegaskan
bahwa akal merupakan instrumen tertinggi untuk memahami struktur realitas.
Rasionalisme baginya berarti kepercayaan terhadap kemampuan manusia untuk
menembus hakikat segala sesuatu melalui penalaran yang benar dan sistematis.
Namun, berbeda dengan rasionalisme modern Barat yang cenderung memisahkan
antara akal dan metafisika, Ibn Sīnā menempatkan rasionalitas sebagai jalan
menuju spiritualitas. Pengetahuan rasional tidak berhenti pada tataran empiris
atau deduktif, melainkan berujung pada kontemplasi terhadap prinsip-prinsip
ilahiah yang menopang eksistensi.⁴
Pemikiran Ibn Sīnā menjadi titik temu antara dua
tradisi besar: rasionalisme Yunani dan spiritualitas Islam. Dalam hal ini, ia
berhasil merumuskan konsep-konsep rasional yang tetap terbuka terhadap dimensi
metafisik dan wahyu. Ia mengadopsi struktur logika Aristotelian sebagai dasar
berpikir ilmiah, tetapi mengarahkan penggunaannya untuk memahami hakikat Tuhan,
jiwa, dan alam semesta. Oleh karena itu, sistem Ibn Sīnā dapat disebut sebagai rasionalisme
teologis, yaitu pendekatan yang menegaskan supremasi akal dalam memahami
realitas tanpa menafikan kehadiran sumber ilahiah.⁵
Kajian mengenai Rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā
menjadi penting karena mengandung dua dimensi yang saling melengkapi: dimensi
historis dan dimensi epistemologis. Secara historis, ia melanjutkan warisan
para filsuf Muslim sebelumnya seperti al-Kindī dan al-Fārābī, tetapi
memperluasnya dengan sistem metafisika yang lebih kompleks. Secara
epistemologis, ia mengonstruksi kerangka rasionalitas yang menekankan deduksi,
demonstrasi (burhān), dan definisi konseptual sebagai jalan memperoleh
ilmu yang pasti.⁶ Dengan demikian, kajian ini tidak hanya merekonstruksi
pemikiran Ibn Sīnā sebagai bagian dari sejarah filsafat Islam, tetapi juga
menelaah relevansinya terhadap perkembangan epistemologi dan rasionalitas
ilmiah di era modern.
Artikel ini bertujuan untuk mengurai secara
mendalam hakikat Rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā melalui pendekatan
historis-filosofis. Pembahasan mencakup landasan genealogis, aspek ontologis
dan epistemologis, nilai-nilai aksiologis, hingga relevansinya dalam konteks
intelektual kontemporer. Dengan menelaah sistem filsafat Ibn Sīnā secara
menyeluruh, diharapkan dapat ditemukan kembali nilai-nilai rasionalitas yang
berakar dalam tradisi Islam dan memiliki daya transformasi bagi peradaban ilmu
modern yang tengah mencari keseimbangan antara sains dan spiritualitas.⁷
Footnotes
[1]
¹ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian
Tradition (Leiden: Brill, 2014), 23–26.
[2]
² Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization
in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 71–74.
[3]
³ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Metaphysics, ed.
Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), xvii–xviii.
[4]
⁴ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An
English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford
University Press, 1952), 15–18.
[5]
⁵ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary
Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press,
1960), 42–46.
[6]
⁶ Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 67–69.
[7]
⁷ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: State University of New York
Press, 1992), 12–15.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Rasionalisme Peripatetik dalam pemikiran Ibn Sīnā
tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari proses historis
yang panjang dan dialogis antara tradisi Yunani, Persia, dan Islam. Jejak
genealogisnya dapat ditelusuri sejak masa penerjemahan besar-besaran
karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Dinasti Abbasiyah
abad ke-8 hingga ke-10 M. Gerakan ini dipelopori oleh lembaga seperti Bayt
al-Ḥikmah di Baghdad, yang menjadi pusat pertukaran ilmu antara berbagai
peradaban.¹ Melalui aktivitas penerjemahan karya Aristoteles, Plotinus, dan
Galen oleh tokoh-tokoh seperti Ḥunayn ibn Isḥāq dan Ishāq ibn Ḥunayn,
gagasan-gagasan metafisika dan logika Yunani menemukan bentuk baru dalam
horizon Islam.²
Sebelum Ibn Sīnā, dua tokoh penting telah memainkan
peran besar dalam membentuk landasan rasionalisme Islam, yaitu al-Kindī dan
al-Fārābī. Al-Kindī dikenal sebagai faylasūf al-ʿArab, yang untuk
pertama kalinya memperkenalkan konsep filsafat rasional ke dalam konteks
keislaman, menegaskan bahwa akal dan wahyu tidak saling bertentangan, tetapi
bersifat komplementer.³ Namun, fondasi sistematis bagi rasionalisme Peripatetik
diletakkan oleh al-Fārābī, yang berhasil mensistematisasi logika Aristotelian
serta membangun model metafisika intelektual yang kelak menjadi inspirasi utama
bagi Ibn Sīnā.⁴ Al-Fārābī melalui karyanya Al-Madīnah al-Fāḍilah dan Al-Jamʿ
bayna Raʾyay al-Ḥakīmayn (“Harmonisasi antara dua filsuf besar”)
berupaya menyatukan pandangan Plato dan Aristoteles dalam kerangka teologis
Islam, suatu usaha yang kemudian disempurnakan oleh Ibn Sīnā dalam bentuk
sintesis rasional dan spiritual yang lebih matang.⁵
Latar belakang sosial-politik dunia Islam pada masa
Ibn Sīnā juga memainkan peranan signifikan dalam pembentukan karakter
rasionalismenya. Ia hidup pada masa disintegrasi kekuasaan Abbasiyah dan
munculnya dinasti-dinasti lokal seperti Samanid dan Buyid, yang memberikan
ruang bagi kebebasan intelektual dan perkembangan ilmu pengetahuan.⁶ Dalam
lingkungan Persia Timur inilah Ibn Sīnā memperoleh pendidikan dan akses luas
terhadap literatur filsafat Yunani serta karya-karya para pemikir Muslim
sebelumnya. Ia membaca hampir seluruh korpus Aristotelian, tetapi dengan
pendekatan kritis dan kreatif, tidak sekadar menyalin tetapi menafsirkan ulang
sesuai dengan kebutuhan sistem epistemik Islam.⁷
Rasionalisme Ibn Sīnā berkembang dalam konteks di
mana filsafat Yunani sudah mengalami reinterpretasi melalui lensa
Neoplatonisme. Plotinus dan Proclus memberi pengaruh kuat terhadap pandangan
kosmologis dan metafisika para filsuf Muslim. Namun, Ibn Sīnā menolak elemen
mistik murni Neoplatonis yang meniadakan rasionalitas sistematis; sebaliknya,
ia menegaskan bahwa emanasi (fayḍ) dari Tuhan ke dunia tidak bersifat
irasional, melainkan berlangsung menurut hukum kausalitas rasional yang dapat
dipahami oleh akal.⁸ Dalam hal ini, rasionalisme Ibn Sīnā merupakan upaya untuk
memurnikan filsafat Islam dari elemen irasional tanpa menyingkirkan dimensi
spiritualitasnya.
Secara genealogis, sistem Ibn Sīnā dapat dianggap
sebagai tahap puncak dari proses rasionalisasi transkultural dalam
peradaban Islam. Ia menyerap warisan filsafat Yunani melalui al-Fārābī,
memadukannya dengan kosmologi Islam, dan menanamkannya dalam kerangka tauhid
yang rasional.⁹ Rasionalisme yang dibangun bukan hanya instrumen logika formal,
melainkan juga metode untuk memahami hakikat Tuhan dan struktur realitas.
Dengan demikian, landasan historis rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā adalah
hasil dari sintesis kreatif antara warisan intelektual Barat kuno dan semangat
spiritual Timur Islam.
Lebih jauh, tradisi Avicennian menjadi dasar bagi
perkembangan filsafat Islam selanjutnya, baik dalam bentuk reaksi maupun
elaborasi. Pemikir seperti Suhrawardī mengkritik rasionalisme Ibn Sīnā dan
mengajukan iluminasionisme (ḥikmat al-ishrāq), sementara al-Ghazālī
menyerangnya dari sisi teologis.¹⁰ Namun, justru melalui kritik-kritik inilah
sistem Ibn Sīnā menunjukkan ketangguhannya, karena pengaruhnya tetap bertahan
hingga ke dunia Latin abad pertengahan. Filsuf-filsuf seperti Thomas Aquinas
dan Albertus Magnus banyak mengadopsi struktur metafisika Avicennian dalam
membangun teologi skolastik Barat.¹¹ Dengan demikian, secara genealogis,
rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā tidak hanya menjadi tonggak sejarah filsafat
Islam, tetapi juga jembatan intelektual antara Timur dan Barat dalam tradisi
filsafat dunia.
Footnotes
[1]
¹ George N. Atiyeh, Arabic Thought in the
Liberal Age (Cambridge: Harvard University Press, 1978), 15–18.
[2]
² Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society
(London: Routledge, 1998), 43–46.
[3]
³ Peter Adamson, Al-Kindī (Oxford: Oxford
University Press, 2007), 58–60.
[4]
⁴ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 132–135.
[5]
⁵ Al-Fārābī, Al-Jamʿ bayna Raʾyay al-Ḥakīmayn,
ed. Fauzi Najjar (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 7–9.
[6]
⁶ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual
Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1997), 94–97.
[7]
⁷ Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 1992), 11–14.
[8]
⁸ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 154–156.
[9]
⁹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present (Albany: State University of New York Press,
2006), 47–51.
[10]
¹⁰ Shihab al-Din al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq,
ed. Henry Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1970), 23–26.
[11]
¹¹ Etienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 101–104.
3.
Ontologi:
Struktur Keberadaan dalam Rasionalisme Ibn Sīnā
Ontologi Ibn Sīnā
merupakan inti dari sistem rasionalisme Peripatetiknya. Dalam kerangka
pemikirannya, konsep keberadaan (wujūd) menempati posisi sentral
sebagai dasar metafisika yang rasional. Ibn Sīnā menegaskan bahwa seluruh
realitas dapat dipahami melalui distingsi fundamental antara wujūd
(eksistensi) dan māhiyyah (hakikat atau esensi).¹
Distingsi ini merupakan salah satu sumbangan terbesar Ibn Sīnā terhadap sejarah
filsafat, sebab ia menegaskan bahwa māhiyyah tidak secara inheren
mengandung wujūd;
sesuatu dapat memiliki hakikat tertentu tanpa harus ada secara aktual di luar
pikiran.² Dengan demikian, eksistensi menjadi sesuatu yang “ditambahkan”
kepada esensi oleh sebab eksternal—yakni Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd (Yang
Niscaya Ada).³
3.1. Distingsi antara Esensi dan Eksistensi
Dalam sistem
ontologi Ibn Sīnā, esensi menjelaskan “apa sesuatu itu”, sementara
eksistensi menjelaskan “bahwa sesuatu itu ada”. Esensi bersifat konseptual
dan dapat dipikirkan secara independen dari eksistensi, sedangkan eksistensi
merupakan realisasi aktual dari potensi esensial.⁴ Misalnya, konsep “manusia”
dapat dipahami tanpa harus ada manusia konkret di dunia nyata. Dalam hal ini,
Ibn Sīnā mengantisipasi perdebatan ontologis yang kelak berkembang dalam
filsafat skolastik Eropa, terutama dalam karya Thomas Aquinas, yang banyak
mengadopsi dan memodifikasi distingsi Avicennian ini.⁵
Distingsi antara
esensi dan eksistensi berfungsi untuk menegaskan hierarki ontologis yang
rasional. Hanya Tuhan yang esensinya identik dengan eksistensinya—māhiyyatuhū
ʿayn wujūdihī—karena Ia tidak bergantung pada sebab eksternal untuk
ada.⁶ Sebaliknya, semua makhluk selain Tuhan memiliki esensi yang terpisah dari
eksistensinya, sehingga mereka disebut mumkin al-wujūd (yang mungkin
ada).⁷ Maka, struktur realitas menjadi tersusun atas dua tingkat: Wājib
al-Wujūd sebagai sumber niscaya segala eksistensi, dan mumkināt
(entitas kontingen) yang menerima keberadaannya melalui emanasi dari Yang
Niscaya Ada.
3.2. Hierarki Keberadaan dan Konsep Wājib al-Wujūd
Konsep Wājib
al-Wujūd adalah jantung dari metafisika rasional Ibn Sīnā. Tuhan
dipahami bukan sekadar sebagai sebab pertama dalam pengertian temporal, tetapi
sebagai sebab niscaya secara ontologis.⁸ Keberadaan-Nya bersifat mutlak, tidak
bergantung pada apapun, dan menjadi sumber dari seluruh realitas melalui proses
emanasi (fayḍ).
Dari Tuhan mengalir keberadaan ke dalam tataran-tataran intelek (ʿuqūl),
langit, dan akhirnya dunia materi. Namun, berbeda dari pandangan Neoplatonis
yang cenderung mistis, Ibn Sīnā menegaskan bahwa proses emanasi tersebut
bersifat rasional dan tertata, mengikuti prinsip kausalitas yang pasti.⁹
Dalam skema
hierarkis ini, akal pertama (al-ʿaql al-awwal) merupakan emanasi
langsung dari Wājib al-Wujūd. Dari akal pertama lahir akal kedua, dan
seterusnya hingga akal kesepuluh (al-ʿaql al-ʿāshir), yang
berhubungan dengan dunia sublunar dan manusia.¹⁰ Jiwa manusia, sebagai bagian
dari sistem kosmik ini, merupakan entitas rasional yang berpotensi menyatu
dengan akal aktif (al-ʿaql al-faʿʿāl) melalui
pengetahuan dan kontemplasi.¹¹ Dengan demikian, sistem ontologis Ibn Sīnā bukan
hanya kosmologis tetapi juga epistemologis: manusia dapat menapaki struktur
keberadaan melalui penggunaan rasio yang murni.
3.3. Ontologi Rasional dan Kausalitas Eksistensial
Rasionalisme Ibn
Sīnā menolak gagasan kebetulan ontologis. Segala sesuatu yang ada pasti
memiliki sebab yang menjelaskan keberadaannya secara rasional.¹² Prinsip
kausalitas ini tidak hanya berlaku dalam dunia empiris, tetapi juga dalam
tataran metafisika. Bahkan Tuhan sendiri, meskipun tanpa sebab eksternal,
dipahami sebagai causa sui dalam arti bahwa
keberadaan-Nya niscaya karena esensi-Nya menuntut eksistensi.¹³ Oleh karena
itu, bagi Ibn Sīnā, pemahaman rasional terhadap realitas berarti menyingkap
keteraturan kausal yang bersumber dari prinsip ketuhanan.
Struktur rasional
ini juga menjelaskan perbedaan antara wujūd bi al-dhāt (ada karena
dirinya sendiri) dan wujūd bi al-ghayr (ada karena
selain dirinya).¹⁴ Hanya Tuhan yang memiliki wujūd bi al-dhāt, sedangkan semua
makhluk lainnya memiliki wujūd bi al-ghayr, karena
keberadaannya bergantung pada sebab lain. Dengan kerangka ini, Ibn Sīnā
membangun sebuah sistem metafisika rasional yang meniadakan kebetulan dan
menegakkan prinsip keteraturan universal, di mana akal manusia mampu menalar
struktur tersebut secara bertingkat.
Rasionalitas Kosmos dan Integrasi dengan Teologi
Bagi Ibn Sīnā, alam
semesta bukanlah hasil tindakan voluntaristik Tuhan yang sewenang-wenang,
melainkan manifestasi rasional dari keharusan eksistensial.¹⁵ Segala sesuatu
dalam kosmos memiliki tempat dan tujuan dalam tatanan wujud yang hierarkis.
Meskipun sistemnya tampak deterministik, Ibn Sīnā tetap memberikan ruang bagi
kebebasan moral manusia melalui aktivitas intelektual. Jiwa rasional manusia
dapat mendekat kepada sumber eksistensi melalui penyempurnaan akalnya.¹⁶ Dengan
demikian, ontologi Ibn Sīnā bukan hanya metafisika abstrak, tetapi juga
memiliki implikasi etis dan spiritual: memahami struktur wujud berarti mengenal
Tuhan dan menempatkan diri dalam keteraturan rasional kosmos.
Rasionalisme
Peripatetik Ibn Sīnā dengan demikian membangun sebuah ontologi yang logis,
koheren, dan teologis. Ia tidak memisahkan antara metafisika dan logika, antara
Tuhan dan dunia, tetapi menegaskan hubungan rasional dan kausal di antara
keduanya. Ontologi semacam ini menjadi dasar bagi seluruh bangunan epistemologi
dan aksiologi dalam sistem Ibn Sīnā, sekaligus menjadi model metafisika
rasional yang memengaruhi baik tradisi Islam maupun filsafat skolastik Barat.¹⁷
Footnotes
[1]
¹ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Metaphysics, ed. Michael Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2005), 4–7.
[2]
² Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2014), 76–78.
[3]
³ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 55–58.
[4]
⁴ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of
Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press,
1952), 24–25.
[5]
⁵ Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, trans. Armand Maurer
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), x–xii.
[6]
⁶ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 93–95.
[7]
⁷ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 148–150.
[8]
⁸ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 60–62.
[9]
⁹ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 83–86.
[10]
¹⁰ Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 67–70.
[11]
¹¹ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 38–40.
[12]
¹² Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard
University Press, 1964), 101–103.
[13]
¹³ F. W. Zimmermann, Al-Fārābī’s Commentary and Short Treatise on
Aristotle’s De Interpretatione (Oxford: Oxford University Press, 1981),
18–20.
[14]
¹⁴ Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq
al-Jadīdah, 1985), 52–54.
[15]
¹⁵ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 102–104.
[16]
¹⁶ Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 14–16.
[17]
¹⁷ Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto:
Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 87–89.
4.
Epistemologi:
Rasionalisme sebagai Jalan Pengetahuan
Epistemologi Ibn
Sīnā merupakan jantung dari sistem rasionalisme Peripatetiknya, di mana akal (ʿaql)
menjadi instrumen utama bagi manusia untuk menyingkap hakikat realitas. Dalam
kerangka berpikir Ibn Sīnā, pengetahuan tidak semata hasil dari pengalaman
empiris atau intuisi spiritual, melainkan hasil dari proses rasional yang
sistematis, berjenjang, dan berorientasi pada kebenaran universal.¹ Bagi Ibn
Sīnā, rasionalisme bukan hanya metode berpikir, melainkan jalan eksistensial
menuju kesempurnaan jiwa (kamāl al-nafs).² Dengan demikian,
epistemologi Avicennian mengandung dimensi logis sekaligus spiritual: manusia
mengenal dunia melalui akal, dan melalui akal pula ia mengenal Tuhan.
4.1. Struktur Kognisi dan Hirarki Akal
Ibn Sīnā membagi
struktur kognitif manusia ke dalam beberapa tingkatan, yang menggambarkan
dinamika antara potensi dan aktualitas dalam proses berpikir.³ Pertama, al-ʿaql
al-hayūlānī (akal potensial), yaitu kemampuan bawaan manusia untuk
berpikir, namun belum teraktualisasi. Kedua, al-ʿaql bi al-malakah (akal dalam
disposisi), yakni kemampuan berpikir yang mulai terbentuk melalui latihan
intelektual dan pembelajaran. Ketiga, al-ʿaql bi al-fiʿl (akal aktual),
yaitu akal yang telah mencapai kemampuan rasional yang stabil. Terakhir, al-ʿaql
al-mustafād (akal perolehan), yakni kondisi tertinggi di mana jiwa
manusia berhubungan langsung dengan al-ʿaql al-faʿʿāl (akal aktif),
sumber universal bagi seluruh bentuk pengetahuan.⁴
Konsepsi hierarkis
ini tidak hanya menggambarkan struktur epistemologis, tetapi juga menunjukkan
arah spiritual manusia. Hubungan dengan al-ʿaql al-faʿʿāl bukan sekadar
proses kognitif, tetapi juga penyatuan intelektual dengan tatanan rasional
kosmos. Dalam pandangan Ibn Sīnā, pengetahuan sejati (al-ʿilm
al-ḥaqīqī) hanya dapat diperoleh ketika akal manusia menyerap
bentuk-bentuk universal dari akal aktif tanpa distorsi empiris.⁵ Dengan
demikian, epistemologi Ibn Sīnā menegaskan bahwa rasionalitas adalah sarana
transendensi, dan akal menjadi jembatan antara manusia dan Tuhan.
4.2. Akal, Indra, dan Imajinasi
Meskipun menekankan
rasionalitas, Ibn Sīnā tidak menafikan peran indra dalam proses pengetahuan. Ia
mengakui bahwa semua pengetahuan bermula dari pengalaman empiris, tetapi
menegaskan bahwa pengalaman hanyalah titik awal, bukan tujuan akhir.⁶ Indra
menyediakan data mentah, yang kemudian diproses oleh daya imajinasi (mutakhayyilah)
untuk membentuk representasi mental. Dari sini akal menyusun konsep-konsep
universal yang terlepas dari partikularitas pengalaman. Proses ini menggambarkan
sintesis antara empirisme Aristotelian dan rasionalisme metafisik.⁷
Akal, menurut Ibn
Sīnā, memiliki kemampuan untuk menyingkap esensi (māhiyyah) di balik fenomena
empiris. Dalam hal ini, pengetahuan sejati bukan sekadar mengetahui “apa
yang tampak”, melainkan memahami “mengapa sesuatu itu ada”.⁸ Oleh
sebab itu, logika (manṭiq) menjadi perangkat
fundamental bagi epistemologi Ibn Sīnā—ia menuntut agar setiap penalaran tunduk
pada struktur deduktif yang sahih, seperti dalam metode qiyās
(silogisme) dan burhān (demonstrasi).⁹ Rasionalitas
dalam pengertian ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga ontologis, karena
menunjukkan kesesuaian antara struktur berpikir manusia dengan tatanan rasional
alam semesta.
4.3. Peran Intuisi Intelektual (ḥads)
Selain proses
deduktif-logis, Ibn Sīnā juga mengakui adanya ḥads, yakni intuisi intelektual
yang memungkinkan manusia menangkap kebenaran secara langsung tanpa perantaraan
inferensi panjang.¹⁰ Namun, ḥads bukanlah wahyu atau ilham
dalam arti mistik, melainkan hasil dari kesiapan akal yang telah mencapai
tingkat kemurnian tertentu. Ia muncul ketika jiwa rasional berhubungan secara
langsung dengan akal aktif, yang memancarkan bentuk-bentuk pengetahuan
universal.¹¹ Dengan demikian, ḥads dalam sistem Ibn Sīnā tetap
merupakan bagian dari rasionalitas, bukan pengganti logika, melainkan puncak
dari logika itu sendiri.
Hads
juga berperan penting dalam penemuan ilmiah dan pengetahuan filosofis. Dalam Al-Ishārāt
wa al-Tanbīhāt, Ibn Sīnā menggambarkan ḥads sebagai sumber bagi intuisi
para nabi dan para filsuf besar, karena mereka memiliki kesiapan jiwa tertinggi
untuk menerima pancaran pengetahuan dari akal aktif.¹² Namun, perbedaan antara
kenabian dan filsafat terletak pada tingkat kekuatan imajinatif: nabi
menyalurkan intuisi rasional tersebut dalam bentuk simbolis dan wahyu,
sedangkan filsuf mengungkapkannya dalam bentuk proposisi rasional.¹³ Dengan
demikian, epistemologi Ibn Sīnā juga menjadi jembatan antara filsafat dan
wahyu, tanpa menegasikan keotentikan masing-masing.
4.4. Rasionalisme dan Metode Demonstratif
Sebagai seorang
peripatetik, Ibn Sīnā menekankan pentingnya metode demonstratif (burhān)
dalam memperoleh ilmu yang pasti (ʿilm yaqīnī). Menurutnya,
pengetahuan sejati hanya diperoleh jika premis-premisnya bersifat benar, niscaya,
dan universal.¹⁴ Ia membedakan antara tiga jenis penalaran: burhān
(demonstrasi rasional), jadal (dialektika), dan khiṭābah
(retorika). Hanya burhān yang mampu menghasilkan
pengetahuan ilmiah sejati karena didasarkan pada kausalitas dan universalitas
yang rasional.¹⁵ Dalam pandangan ini, rasionalisme Ibn Sīnā menjadi pondasi
bagi metodologi ilmiah di dunia Islam dan kelak memengaruhi tradisi skolastik
Barat.
Logika bagi Ibn Sīnā
bukanlah sekadar alat bantu berpikir, melainkan kerangka epistemologis yang
membentuk struktur pengetahuan itu sendiri.¹⁶ Setiap proposisi, definisi, dan
inferensi harus mengikuti hukum-hukum rasional yang pasti agar dapat disebut ʿilm.
Melalui sistem logika ini, Ibn Sīnā berusaha menegakkan prinsip bahwa kebenaran
bersifat objektif dan dapat dicapai melalui deduksi yang sahih, bukan sekadar
melalui otoritas atau pengalaman subjektif.¹⁷
Pengetahuan, Jiwa, dan Kesempurnaan
Epistemologi Ibn
Sīnā tidak berhenti pada tataran teoritis, tetapi memiliki dimensi eksistensial.
Pengetahuan rasional mengarahkan jiwa menuju kesempurnaan dan kebahagiaan
sejati (saʿādah).¹⁸
Bagi Ibn Sīnā, ketika akal manusia berhubungan dengan akal aktif dan menangkap
kebenaran universal, ia mengalami penyatuan intelektual (ittiṣāl)
yang merupakan bentuk tertinggi dari kesempurnaan spiritual.¹⁹ Dengan demikian,
epistemologi Avicennian memiliki dimensi soteriologis: pengetahuan bukan hanya
alat untuk memahami dunia, tetapi juga sarana penyelamatan jiwa.
Rasionalisme Ibn
Sīnā, dengan demikian, bukanlah rasionalisme sekuler atau empiris semata,
melainkan rasionalisme spiritual yang menempatkan akal sebagai cermin dari
keteraturan ilahi. Melalui rasio, manusia menembus batas empiris menuju dimensi
hakikat; melalui pengetahuan, manusia menempuh jalan menuju Tuhan.²⁰ Maka,
epistemologi dalam sistem Ibn Sīnā merupakan perjalanan intelektual sekaligus
spiritual, di mana rasionalitas menjadi bentuk tertinggi dari ibadah
intelektual.
Footnotes
[1]
¹ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of
Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press,
1952), 31–34.
[2]
² Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard
University Press, 1964), 97–100.
[3]
³ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: De Anima (Psychology), ed. Fazlur
Rahman (London: Oxford University Press, 1959), 42–45.
[4]
⁴ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2014), 112–115.
[5]
⁵ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 49–52.
[6]
⁶ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 92–94.
[7]
⁷ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 156–159.
[8]
⁸ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 78–81.
[9]
⁹ F. W. Zimmermann, Al-Fārābī’s Commentary and Short Treatise on
Aristotle’s De Interpretatione (Oxford: Oxford University Press, 1981),
27–29.
[10]
¹⁰ Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 18–20.
[11]
¹¹ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 84–87.
[12]
¹² Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, 83–85.
[13]
¹³ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 62–65.
[14]
¹⁴ Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes
(Oxford: Clarendon Press, 1993), I.2–4.
[15]
¹⁵ Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 71–74.
[16]
¹⁶ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia
(Richmond: Curzon Press, 1997), 114–117.
[17]
¹⁷ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 122–124.
[18]
¹⁸ Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 108–111.
[19]
¹⁹ Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq
al-Jadīdah, 1985), 61–63.
[20]
²⁰ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 176–179.
5.
Aksiologi:
Rasionalitas dan Tujuan Etis Pengetahuan
Dalam sistem
filsafat Ibn Sīnā, rasionalisme tidak berhenti pada tataran ontologis dan
epistemologis, tetapi berlanjut pada dimensi aksiologis—yakni pembahasan
mengenai nilai dan tujuan akhir pengetahuan. Aksiologi Ibn Sīnā bertumpu pada
gagasan bahwa pengetahuan memiliki fungsi etis dan teleologis, bukan
semata-mata sebagai sarana untuk memahami dunia, melainkan juga sebagai jalan
menuju penyempurnaan jiwa (kamāl al-nafs) dan kebahagiaan
sejati (al-saʿādah).¹
Rasionalitas, bagi Ibn Sīnā, bukan hanya alat kognitif, tetapi juga daya moral
yang mengarahkan manusia pada kebaikan tertinggi, yaitu penyatuan intelektual
dengan sumber wujud, Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada).²
5.1. Pengetahuan sebagai Jalan Menuju Kesempurnaan Jiwa
Bagi Ibn Sīnā,
setiap tindakan rasional yang benar memiliki nilai intrinsik karena mengarahkan
jiwa manusia pada kesempurnaan. Pengetahuan yang diperoleh melalui akal bukan
hanya meningkatkan kapasitas intelektual, tetapi juga memperhalus dimensi
spiritual manusia.³ Jiwa yang rasional akan naik dari tataran empiris menuju
tataran intelektual murni, di mana ia tidak lagi terikat pada materi. Dalam Al-Najāt,
Ibn Sīnā menjelaskan bahwa pengetahuan sejati adalah bentuk aktualisasi
tertinggi dari potensi jiwa, dan karena itu, ia merupakan kebajikan tertinggi.⁴
Rasionalitas menjadi
instrumen utama bagi transformasi moral manusia. Ketika akal menguasai daya nafsani
dan imajinatif, manusia mencapai keseimbangan antara aspek rasional, emosional,
dan hasrat.⁵ Kondisi ini disebut Ibn Sīnā sebagai iʿtidāl al-nafs—keseimbangan
jiwa—yang merupakan prasyarat untuk kebahagiaan sejati.⁶ Maka, bagi Ibn Sīnā, pengetahuan
rasional memiliki nilai aksiologis karena ia membentuk karakter moral yang
harmonis, menjauhkan manusia dari kebodohan (jahl) dan hawa nafsu yang
destruktif.
5.2. Rasionalisme dan Etika Intelektual
Etika dalam
rasionalisme Ibn Sīnā bersifat intelektualistik: kebaikan tertinggi (al-khayr
al-aʿẓam) terletak dalam aktivitas intelek (fiʿl
al-ʿaql).⁷ Ia mengikuti jejak Aristoteles dalam menegaskan bahwa
kebahagiaan sejati (eudaimonia) hanya mungkin tercapai
melalui kontemplasi intelektual yang terus-menerus. Namun, Ibn Sīnā
mengislamisasi konsep ini dengan menempatkannya dalam kerangka tauhid.⁸
Kontemplasi bukan semata aktivitas rasio, tetapi juga ibadah intelektual,
karena melalui pengetahuan rasional manusia mengenal dan mencintai Tuhan secara
lebih mendalam.⁹
Pengetahuan, dengan
demikian, memiliki nilai moral karena ia menghubungkan manusia dengan kebenaran
ilahi. Ibn Sīnā menolak pandangan relativistik tentang kebenaran; baginya,
kebenaran bersifat objektif, rasional, dan sakral.¹⁰ Setiap bentuk pengetahuan
yang sejati harus mengantarkan manusia pada pengakuan terhadap keteraturan
rasional ciptaan Tuhan. Oleh sebab itu, rasionalitas juga merupakan bentuk taʿabbud
ʿaqlī—penghambaan melalui akal—di mana berpikir benar menjadi
bagian dari etika spiritual.¹¹
5.3. Dimensi Teleologis: Kebahagiaan dan Kesatuan dengan
Akal Aktif
Konsep kebahagiaan (al-saʿādah)
dalam filsafat Ibn Sīnā memiliki dasar epistemologis dan metafisis. Kebahagiaan
tertinggi hanya dapat dicapai oleh jiwa yang telah menyatu dengan akal aktif (al-ʿaql
al-faʿʿāl).¹² Penyatuan ini bukan berarti lebur secara ontologis,
tetapi kesesuaian total antara akal manusia dan tatanan rasional universal.
Dalam kondisi tersebut, jiwa mencapai kebebasan dari materi dan hidup dalam
keabadian intelektual.¹³ Maka, pengetahuan rasional menjadi sarana pembebasan (takhallus)
dari dunia materi menuju kesempurnaan spiritual.
Ibn Sīnā menjelaskan
bahwa manusia yang menggunakan akalnya secara benar akan mencapai ittisāl
(komuni intelektual) dengan akal aktif, sementara mereka yang hidup dalam
kebodohan akan tetap terperangkap dalam dunia indrawi yang fana.¹⁴ Dengan
demikian, tujuan etis dari pengetahuan adalah penyucian jiwa (tazkiyat
al-nafs) dan pengaktualan potensi rasionalnya hingga ia menjadi
“cermin” bagi realitas ilahi.¹⁵
5.4. Pengetahuan, Tanggung Jawab, dan Nilai Sosial
Rasionalisme Ibn
Sīnā tidak hanya bersifat individual, tetapi juga memiliki dimensi sosial. Ia
menegaskan bahwa manusia, sebagai makhluk sosial (madani bi al-ṭabʿ), wajib
menggunakan akalnya untuk mencapai tatanan sosial yang adil dan harmonis.¹⁶
Dalam pandangan ini, pengetahuan memiliki tanggung jawab moral terhadap
kemaslahatan umum. Para pemimpin dan ilmuwan harus mengarahkan kemampuan
rasional mereka untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan
masyarakat.¹⁷
Ibn Sīnā menyatakan
bahwa akal adalah sumber nilai-nilai moral karena ia membedakan antara yang
baik (khayr)
dan yang buruk (sharr).¹⁸ Maka, rasionalitas bukan
hanya menghasilkan pengetahuan teoretis, tetapi juga membimbing tindakan praktis.
Ilmu pengetahuan sejati adalah yang berkontribusi terhadap keharmonisan antara
jiwa, masyarakat, dan tatanan kosmos.¹⁹ Oleh karena itu, aksiologi Ibn Sīnā
menolak dikotomi antara ilmu dan moral; keduanya merupakan dua sisi dari satu
kesempurnaan rasional yang sama.
Rasionalisme dan Spiritualitas
Salah satu
keistimewaan aksiologi Ibn Sīnā adalah kemampuannya mengintegrasikan
rasionalisme dengan spiritualitas. Ia menolak dualisme antara akal dan iman,
karena keduanya berasal dari sumber yang sama—Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd.²⁰
Pengetahuan rasional yang sejati mengantarkan manusia pada cinta ilahi (maḥabbah
ilāhiyyah), sebab semakin manusia mengenal tatanan rasional alam
semesta, semakin dalam pula kesadarannya akan kebesaran Sang Pencipta.²¹
Dengan demikian,
tujuan etis pengetahuan dalam sistem Ibn Sīnā bukan hanya moral atau sosial,
tetapi juga mistikal. Akal menjadi instrumen untuk menapaki jalan menuju Tuhan;
berpikir benar berarti hidup benar.²² Rasionalitas adalah ibadah intelektual
yang menegaskan kesatuan antara kebenaran, kebaikan, dan keindahan—suatu
sintesis yang menjadikan filsafat Ibn Sīnā sebagai salah satu puncak
rasionalisme spiritual dalam sejarah pemikiran Islam.
Footnotes
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard
University Press, 1964), 112–115.
[2]
² Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 91–93.
[3]
³ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of
Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press,
1952), 37–39.
[4]
⁴ Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq
al-Jadīdah, 1985), 71–73.
[5]
⁵ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 103–106.
[6]
⁶ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2014), 142–145.
[7]
⁷ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1985), 1176b–1178a.
[8]
⁸ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 165–168.
[9]
⁹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 69–72.
[10]
¹⁰ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 58–60.
[11]
¹¹ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 87–90.
[12]
¹² Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 83–85.
[13]
¹³ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 188–191.
[14]
¹⁴ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Metaphysics, ed. Michael Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2005), 98–101.
[15]
¹⁵ Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 27–30.
[16]
¹⁶ Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader
(Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 34–36.
[17]
¹⁷ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia
(Richmond: Curzon Press, 1997), 119–121.
[18]
¹⁸ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford:
Oxford University Press, 2016), 66–68.
[19]
¹⁹ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 121–123.
[20]
²⁰ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, 91–93.
[21]
²¹ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip
Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 45–48.
[22]
²² Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 137–139.
6.
Struktur
Logika dan Ilmu (al-Manṭiq wa al-ʿIlm)
Dalam sistem
rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā, logika (al-manṭiq) merupakan fondasi
epistemologis dan metodologis bagi seluruh cabang ilmu (al-ʿilm).
Logika bagi Ibn Sīnā bukan sekadar alat bantu berpikir, melainkan mīzān
al-fikr—timbangan berpikir yang menjamin validitas pengetahuan.¹ Ia
memandang logika sebagai ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk inferensi rasional
dan cara memperoleh pengetahuan yang pasti (ʿilm yaqīnī). Sebagaimana
matematika menjadi ukuran bagi kuantitas, logika menjadi ukuran bagi kebenaran
berpikir.² Dengan demikian, sistem logika Ibn Sīnā adalah tulang punggung dari
seluruh bangunan rasionalisme Avicennian: ia menghubungkan antara epistemologi,
ontologi, dan aksiologi dalam satu struktur ilmiah yang koheren.
6.1. Logika sebagai Instrumen Rasionalitas
Ibn Sīnā mengikuti
jejak Aristoteles dalam membangun sistem logika formal, tetapi ia memperluasnya
dengan muatan semantik dan epistemologis. Ia membedakan antara ṣuwar
al-fikr (bentuk pikiran) dan maʿānī al-fikr (makna pikiran),
yang kemudian dikenal sebagai logika formal dan logika material.³ Logika formal
berurusan dengan bentuk-bentuk inferensi yang sahih, seperti silogisme (qiyās),
induksi (istiqrāʾ),
dan analogi (tamthīl). Sedangkan logika material
membahas kebenaran isi proposisi, yaitu kesesuaian antara penalaran dan
realitas (mutābaqat
al-fikr li al-wāqiʿ).⁴
Menurut Ibn Sīnā,
tanpa logika manusia mudah terjerumus dalam kekeliruan berpikir (ghalaṭ),
karena akal secara alami cenderung salah dalam menilai tanpa aturan yang
ketat.⁵ Oleh karena itu, ia menyebut logika sebagai “penjaga akal dari
kesesatan” (ḥāris al-ʿaql min al-khaṭaʾ).⁶
Fungsi logika, dalam pandangan ini, tidak hanya teknis tetapi juga moral dan
spiritual: berpikir benar adalah bentuk ketaatan terhadap tatanan rasional
ciptaan Tuhan.
6.2. Struktur Silogisme dan Demonstrasi (al-Burhān)
Salah satu
kontribusi terbesar Ibn Sīnā terhadap logika adalah penyempurnaan teori
silogisme Aristotelian. Ia membedakan tiga jenis penalaran: burhān
(demonstratif), jadal (dialektik), dan khiṭābah
(retoris).⁷ Di antara ketiganya, hanya burhān yang menghasilkan
pengetahuan yang benar-benar ilmiah (ʿilm yaqīnī), karena ia didasarkan
pada premis-premis yang niscaya (ḍarūrī) dan universal (kullī).⁸
Silogisme
demonstratif, menurut Ibn Sīnā, adalah inti dari ilmu (ʿilm).
Ia menegaskan bahwa sains tidak dapat berdiri tanpa dasar deduktif yang
teratur, sebab pengetahuan ilmiah harus dapat dibuktikan secara rasional.⁹
Dalam Al-Shifāʾ:
Al-Manṭiq, Ibn Sīnā menjelaskan bahwa proses burhān
menghubungkan premis-premis yang benar secara niscaya untuk sampai pada
kesimpulan yang juga niscaya.¹⁰ Dengan demikian, struktur pengetahuan ilmiah
baginya bersifat deduktif dan hierarkis—setiap ilmu memperoleh validitasnya
dari prinsip rasional yang lebih tinggi.
Lebih jauh, Ibn Sīnā
menegaskan bahwa logika tidak hanya berfungsi untuk membangun argumen, tetapi
juga untuk menguji koherensi konsep-konsep ilmiah.¹¹ Tanpa logika, ilmu akan
kehilangan struktur dan konsistensinya. Maka, logika merupakan syarat
metodologis bagi seluruh ilmu pengetahuan, baik yang bersifat teoritis (ʿulūm naẓariyyah)
maupun praktis (ʿulūm ʿamaliyyah).
6.3. Klasifikasi Ilmu dan Prinsip Rasionalitas Ilmiah
Dalam pandangan Ibn
Sīnā, ilmu merupakan bentuk tertinggi dari rasionalitas yang terstruktur. Ia
membagi ilmu menjadi dua kategori besar: ilmu teoritis (al-ʿulūm
al-naẓariyyah) dan ilmu praktis (al-ʿulūm al-ʿamaliyyah).¹² Ilmu
teoritis meliputi fisika (ʿilm al-ṭabīʿiyyāt), matematika (ʿilm
al-riyāḍiyyāt), dan metafisika (ʿilm al-ilāhiyyāt); sedangkan ilmu
praktis mencakup etika (ʿilm al-akhlāq), ekonomi rumah
tangga (ʿilm
tadbīr al-manzil), dan politik (ʿilm tadbīr al-madīnah).¹³
Semua cabang ilmu
tersebut, menurut Ibn Sīnā, harus berakar pada prinsip rasional dan mengikuti
struktur logika demonstratif.¹⁴ Dengan kata lain, ilmu bukanlah kumpulan dogma
atau tradisi, tetapi sistem kognitif yang tunduk pada hukum kausalitas dan
pembuktian rasional. Dalam konteks ini, Ibn Sīnā menolak metode dialektika skolastik
yang hanya menghasilkan opini (ẓann), bukan pengetahuan yang pasti
(yaqīn).¹⁵
Ia menegaskan bahwa tujuan ilmu bukan hanya untuk mengetahui fenomena,
melainkan untuk memahami sebab-sebabnya secara rasional (maʿrifat
al-asbāb).¹⁶
Konsepsi ini
menunjukkan bahwa Ibn Sīnā menempatkan ilmu sebagai refleksi rasional atas
keteraturan kosmos. Alam semesta baginya adalah tatanan rasional yang dapat
dipahami karena Tuhan menciptakannya berdasarkan prinsip logika dan
sebab-akibat.¹⁷ Maka, memahami alam berarti memahami manifestasi rasional dari
kehendak ilahi.
6.4. Logika sebagai Jembatan antara Filsafat dan Ilmu
Empiris
Ibn Sīnā
mengembangkan sistem logika yang bersifat integratif—ia tidak memisahkan antara
rasionalisme metafisik dan metode empiris. Dalam Al-Burhān, ia menjelaskan bahwa
semua ilmu bermula dari pengamatan (mushāhadah) terhadap fenomena,
namun harus disempurnakan melalui deduksi rasional agar mencapai kebenaran
universal.¹⁸ Dengan demikian, pengalaman empiris menyediakan bahan, sementara
logika mengubahnya menjadi pengetahuan ilmiah.
Bagi Ibn Sīnā,
logika adalah jembatan antara filsafat dan sains: ia menghubungkan tataran
konseptual metafisika dengan tataran empiris fisika.¹⁹ Prinsip ini menegaskan
bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat dan ilmu dalam Islam klasik;
keduanya merupakan dua sisi dari rasionalitas yang sama. Dalam pengertian ini,
Ibn Sīnā menempatkan rasionalisme sebagai fondasi epistemik bagi seluruh ilmu
pengetahuan, baik yang bersifat natural maupun spiritual.²⁰
Signifikansi Logika dalam Tradisi Islam dan Barat
Sistem logika Ibn
Sīnā memiliki pengaruh besar tidak hanya di dunia Islam, tetapi juga di Eropa
abad pertengahan. Karya-karyanya seperti Al-Shifāʾ dan Al-Ishārāt
wa al-Tanbīhāt diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi rujukan
utama bagi para skolastik seperti Albertus Magnus dan Thomas Aquinas.²¹ Dalam
tradisi Islam sendiri, logika Ibn Sīnā menjadi model standar bagi para
mutakallimūn (teolog rasionalis) dan fuqahāʾ (ahli hukum) dalam menyusun
argumen teoretis dan yuridis.²²
Dengan logika yang
sistematis dan universal, Ibn Sīnā berhasil menggabungkan metodologi ilmiah
dengan prinsip-prinsip rasionalitas metafisik. Ia membuktikan bahwa berpikir
rasional adalah bagian dari ibadah intelektual dan tanggung jawab moral manusia.²³
Maka, al-manṭiq
wa al-ʿilm dalam sistem Ibn Sīnā bukan hanya sekadar cabang
filsafat, tetapi struktur kesatuan antara nalar, etika, dan spiritualitas.
Logika menjadi jalan untuk memahami alam dan sekaligus mengenal Sang Pencipta
melalui keteraturan rasional ciptaan-Nya.²⁴
Footnotes
[1]
¹ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Al-Manṭiq, ed. A. Badawi (Cairo:
Al-Maṭbaʿah al-Amīriyyah, 1952), 3–5.
[2]
² Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 73–75.
[3]
³ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of
Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press,
1952), 44–46.
[4]
⁴ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2014), 162–165.
[5]
⁵ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 171–173.
[6]
⁶ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 118–120.
[7]
⁷ Aristotle, Organon, trans. J. Barnes (Oxford: Clarendon
Press, 1984), I.2–5.
[8]
⁸ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 92–95.
[9]
⁹ Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 88–91.
[10]
¹⁰ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Al-Manṭiq, 12–14.
[11]
¹¹ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 96–99.
[12]
¹² Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard
University Press, 1964), 121–124.
[13]
¹³ Al-Fārābī, Iḥṣāʾ al-ʿUlūm, ed. Osman Amine (Cairo: Dār
al-Fikr al-ʿArabī, 1968), 8–10.
[14]
¹⁴ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 63–65.
[15]
¹⁵ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 141–143.
[16]
¹⁶ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Metaphysics, ed. Michael Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2005), 105–108.
[17]
¹⁷ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 197–200.
[18]
¹⁸ Ibn Sīnā, Al-Burhān, in Al-Shifāʾ: Al-Manṭiq,
21–23.
[19]
¹⁹ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford:
Oxford University Press, 2016), 73–75.
[20]
²⁰ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 128–130.
[21]
²¹ Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New
York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 121–124.
[22]
²² Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia
(Richmond: Curzon Press, 1997), 130–133.
[23]
²³ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip
Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 55–58.
[24]
²⁴ Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 33–35.
7.
Dimensi
Teologis dan Mistis dalam Rasionalisme Peripatetik
Salah satu aspek
paling menarik dari filsafat Ibn Sīnā adalah kemampuannya untuk
mengintegrasikan rasionalisme Peripatetik dengan dimensi teologis dan mistis
tanpa kehilangan koherensi logisnya. Dalam pandangan Ibn Sīnā, akal dan wahyu
bukanlah dua sumber kebenaran yang bertentangan, melainkan dua jalan paralel
menuju satu realitas yang sama, yaitu Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada).¹
Melalui pendekatan ini, Ibn Sīnā berhasil menegakkan suatu bentuk rasionalisme
teologis, di mana keimanan tidak bersifat dogmatis, tetapi berakar
pada pengetahuan rasional yang sistematis dan terbukti secara intelektual.²
7.1. Rasionalisasi Teologi: Tuhan sebagai Realitas
Niscaya
Dalam kerangka
teologinya, Ibn Sīnā menegaskan bahwa eksistensi Tuhan dapat dibuktikan melalui
argumen rasional murni tanpa bergantung pada teks wahyu.³ Ia mengembangkan apa
yang dikenal sebagai burhān al-ṣiddīqīn—argumen para “shiddīqīn”
(orang yang benar dalam pengetahuan)—yang membuktikan keberadaan Tuhan langsung
dari realitas wujud itu sendiri.⁴ Berbeda dengan para teolog kalām yang
menggunakan argumentasi kosmologis berdasarkan gerak dan sebab akibat, Ibn Sīnā
berangkat dari konsep metafisis bahwa di antara semua entitas, pasti ada yang
keberadaannya niscaya dan tidak bergantung pada apapun. Entitas inilah yang
disebut Wājib
al-Wujūd.⁵
Dalam hal ini,
rasionalisme Ibn Sīnā menegaskan bahwa teologi dapat berdiri di atas dasar
logika dan filsafat tanpa kehilangan sifat religiusnya. Keberadaan Tuhan bukan
hanya “objek iman,” tetapi juga “objek pengetahuan.”⁶ Bahkan,
menurut Ibn Sīnā, pengetahuan tentang Tuhan adalah puncak tertinggi dari
aktivitas rasional manusia, sebab akal yang mencapai pengetahuan tentang Wājib
al-Wujūd telah mengaktualkan potensi intelektualnya secara
sempurna.⁷
7.2. Relasi Akal dan Wahyu
Ibn Sīnā tidak
memisahkan wahyu dari sistem pengetahuannya, tetapi menempatkannya dalam
hubungan hierarkis dengan akal. Wahyu baginya adalah bentuk pengetahuan ilahiah
yang lebih tinggi, yang diperoleh bukan melalui proses diskursif, tetapi
melalui iluminasi dari al-ʿaql al-faʿʿāl (akal aktif)
kepada jiwa nabi.⁸ Dalam proses kenabian, daya imajinatif (al-quwwah
al-mutakhayyilah) berperan penting untuk menerjemahkan kebenaran
universal rasional ke dalam bentuk simbolik dan bahasa yang dapat dipahami
masyarakat.⁹ Dengan demikian, wahyu bukanlah irasional, melainkan rasional yang
dipresentasikan dalam bentuk simbolik untuk kepentingan moral dan sosial.¹⁰
Dalam Al-Shifāʾ,
Ibn Sīnā menjelaskan bahwa wahyu dan filsafat pada dasarnya berangkat dari
sumber yang sama—akal aktif—namun berbeda dalam cara penerimaan dan ekspresi.¹¹
Filsuf menggunakan akalnya secara analitik untuk sampai pada kebenaran,
sementara nabi menerimanya secara langsung dan intuitif melalui iluminasi
ilahi.¹² Maka, wahyu dan filsafat bukanlah dua jalan yang terpisah, tetapi dua
mode epistemik yang saling melengkapi dalam mengungkap realitas.¹³
7.3. Mistisisme Rasional: Pengalaman Kontemplatif
sebagai Puncak Inteleksi
Meskipun Ibn Sīnā
dikenal sebagai rasionalis, ia juga membuka ruang bagi dimensi mistik yang
bersifat intelektual. Dalam karya-karya seperti Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt dan Ḥayy ibn
Yaqẓān, ia menggambarkan perjalanan jiwa menuju Tuhan sebagai
proses intelektual yang bercorak kontemplatif.¹⁴ Jiwa manusia, melalui
penyucian dan pengetahuan rasional, naik dari dunia materi menuju dunia akal
dan akhirnya menyatu dengan sumber pengetahuan ilahiah, al-ʿaql
al-faʿʿāl.¹⁵
Proses ini bukan
bentuk ekstase emosional, melainkan ittisāl ʿaqlī—penyatuan intelektual
antara akal manusia dan akal aktif.¹⁶ Mistisisme Ibn Sīnā bersifat rasional
karena ia menjelaskan pengalaman spiritual dalam bahasa logika dan metafisika.
Dalam pengertian ini, “mistik” bukan berarti meninggalkan akal, tetapi mengaktualisasikan
potensi tertingginya.¹⁷ Ia menggambarkan penyatuan intelektual tersebut sebagai
keadaan di mana akal “melihat kebenaran tanpa perantara,” suatu bentuk
iluminasi intelektual yang merupakan hasil dari disiplin rasional dan moral
yang mendalam.¹⁸
7.4. Tuhan sebagai Sumber Emanasi dan Tujuan Spiritual
Dalam kosmologi
emanatif Ibn Sīnā, seluruh realitas berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya
melalui tatanan rasional yang hierarkis.¹⁹ Tuhan sebagai Wājib
al-Wujūd memancarkan wujud kepada makhluk lain melalui serangkaian
intelek (ʿuqūl)
hingga dunia materi.²⁰ Proses ini bukan tindakan kehendak bebas dalam
pengertian antropomorfik, tetapi keniscayaan dari kesempurnaan Ilahi.²¹ Namun,
meskipun emanasi bersifat niscaya, Ibn Sīnā menegaskan bahwa Tuhan tetap
merupakan “Yang Mengetahui” dan “Yang Menghendaki” secara
rasional, bukan secara temporal.²²
Struktur emanasi ini
tidak hanya menjelaskan asal-usul alam semesta, tetapi juga perjalanan
spiritual manusia. Jiwa manusia, yang berasal dari Tuhan, memiliki potensi
untuk kembali kepada-Nya melalui pengetahuan.²³ Dengan demikian, seluruh sistem
ontologi dan epistemologi Ibn Sīnā bermuara pada teleologi spiritual:
pengetahuan sejati adalah jalan kembali kepada asal wujud.²⁴
Sintesis antara Rasionalisme dan Spiritualitas Islam
Rasionalisme
Peripatetik Ibn Sīnā berhasil melahirkan sintesis antara filsafat dan
spiritualitas. Ia menolak pandangan kalangan mistik ekstrem yang menolak rasio,
dan juga menolak pandangan teolog literal yang menolak filsafat.²⁵ Dalam sistemnya,
iman diperkuat oleh pengetahuan, dan pengetahuan diperdalam oleh iman. Ia
menggambarkan perjalanan intelektual sebagai miʿrāj al-ʿaql—kenaikan akal menuju
Tuhan melalui refleksi rasional, kontemplasi, dan penyucian diri.²⁶
Dengan demikian,
dimensi teologis dan mistis dalam rasionalisme Ibn Sīnā tidak bersifat
kontradiktif, melainkan komplementer. Rasionalitas adalah jalan menuju
spiritualitas, dan spiritualitas adalah puncak rasionalitas.²⁷ Dalam dirinya,
Ibn Sīnā mewariskan paradigma filsafat Islam yang mampu menyatukan burhān
(demonstrasi rasional), ʿirfān (pengetahuan mistik), dan īmān
(iman teologis) dalam satu kesatuan intelektual yang harmonis.²⁸
Footnotes
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard
University Press, 1964), 131–133.
[2]
² Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 104–106.
[3]
³ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of
Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press,
1952), 52–54.
[4]
⁴ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 97–100.
[5]
⁵ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2014), 178–181.
[6]
⁶ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 183–185.
[7]
⁷ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 71–73.
[8]
⁸ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Metaphysics, ed. Michael Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2005), 116–118.
[9]
⁹ Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader
(Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 44–47.
[10]
¹⁰ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 82–85.
[11]
¹¹ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Al-Manṭiq, ed. A. Badawi (Cairo:
Al-Maṭbaʿah al-Amīriyyah, 1952), 23–25.
[12]
¹² Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 41–43.
[13]
¹³ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip
Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 61–63.
[14]
¹⁴ Ibn Sīnā, Ḥayy ibn Yaqẓān, ed. G. Anawati (Cairo: Dār
al-Maʿārif, 1959), 5–9.
[15]
¹⁵ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 209–211.
[16]
¹⁶ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia
(Richmond: Curzon Press, 1997), 142–145.
[17]
¹⁷ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 128–131.
[18]
¹⁸ Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 113–116.
[19]
¹⁹ Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq
al-Jadīdah, 1985), 81–84.
[20]
²⁰ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 151–153.
[21]
²¹ Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992),
99–102.
[22]
²² Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, 115–118.
[23]
²³ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 133–136.
[24]
²⁴ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology, 56–59.
[25]
²⁵ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford:
Oxford University Press, 2016), 87–89.
[26]
²⁶ Mehdi Ha’iri Yazdi, Knowledge by Presence (Albany: State
University of New York Press, 1992), 94–97.
[27]
²⁷ Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ʿArabī
(Princeton: Princeton University Press, 1969), 48–50.
[28]
²⁸ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, 140–143.
8.
Dimensi
Sosial dan Kultural
Dimensi sosial dan
kultural dalam rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā memperlihatkan bagaimana
filsafat rasional tidak hanya berfungsi sebagai sistem metafisika dan
epistemologi, tetapi juga sebagai landasan bagi pembangunan peradaban Islam klasik.
Rasionalisme Ibn Sīnā berperan penting dalam membentuk etos ilmiah, struktur
pendidikan, serta kebudayaan intelektual dunia Islam abad pertengahan.¹ Dalam
pandangannya, pengetahuan rasional bukan sekadar aktivitas intelektual
individual, tetapi juga proses sosial yang memiliki dampak luas terhadap
tatanan masyarakat. Melalui rasionalitas, masyarakat dapat mencapai tatanan
moral, politik, dan spiritual yang harmonis.²
8.1. Rasionalisme sebagai Basis Peradaban Ilmiah Islam
Pada masa Ibn Sīnā,
dunia Islam tengah mengalami masa keemasan ilmu pengetahuan. Gerakan
penerjemahan dan pembentukan pusat-pusat ilmu seperti Bayt al-Ḥikmah
di Baghdad dan sekolah-sekolah di wilayah Persia menciptakan lingkungan
intelektual yang kondusif bagi pengembangan rasionalisme.³ Ibn Sīnā, yang hidup
di bawah perlindungan dinasti Samanid dan Buyid, menjadi simbol integrasi
antara filsafat, sains, dan agama dalam satu tradisi intelektual yang rasional
dan terbuka.⁴
Pemikiran Ibn Sīnā
berkontribusi besar dalam memperkuat kebudayaan ilmiah Islam yang menempatkan
akal (ʿaql)
sebagai instrumen utama kemajuan.⁵ Melalui karya-karyanya di bidang logika,
metafisika, kedokteran, dan psikologi, ia memperkenalkan standar rasionalitas
yang ketat bagi ilmu pengetahuan. Dalam Al-Qānūn fī al-Ṭibb, misalnya, ia
menerapkan prinsip-prinsip deduktif dan observasional yang mencerminkan
perpaduan antara metode rasional dan empiris.⁶ Dengan demikian, rasionalisme
Ibn Sīnā menjadi model bagi tradisi ilmiah yang menghargai bukti, konsistensi logis,
dan keteraturan alam sebagai manifestasi kebijaksanaan Ilahi.
8.2. Rasionalisme dan Pendidikan: Pembentukan Etos
Intelektual
Ibn Sīnā menegaskan
bahwa pendidikan (taʿlīm) merupakan sarana esensial
untuk membentuk manusia rasional dan bermoral.⁷ Dalam sistem pemikirannya,
tujuan utama pendidikan adalah mengaktualkan potensi akal manusia agar ia mampu
mencapai pengetahuan sejati (ʿilm ḥaqīqī).⁸ Konsep pendidikan
ini bersifat universal, mencakup aspek intelektual, etis, dan spiritual. Setiap
manusia memiliki kemampuan untuk berpikir rasional, tetapi perlu dibimbing
melalui proses pendidikan yang sistematis dan disiplin logis.⁹
Gagasan ini kemudian
memengaruhi perkembangan madrasah dan universitas Islam abad pertengahan,
seperti Nizāmiyyah di Baghdad, di mana logika dan filsafat Avicennian menjadi
bagian dari kurikulum intelektual.¹⁰ Para ilmuwan dan teolog seperti Fakhr
al-Dīn al-Rāzī dan Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī mengembangkan dan mengajarkan logika
Ibn Sīnā sebagai instrumen berpikir ilmiah dan metodologis dalam teologi maupun
hukum Islam.¹¹ Maka, warisan sosial Ibn Sīnā terletak pada rasionalisasi
lembaga pendidikan Islam: dari sekadar pengajaran dogmatis menjadi latihan
intelektual yang terstruktur.
8.3. Pengaruh terhadap Kebudayaan Intelektual dan Karya
Sastra
Rasionalisme Ibn
Sīnā juga meninggalkan jejak yang dalam pada budaya literer dan filosofis
Islam.¹² Konsep-konsep Avicennian seperti al-ʿaql al-faʿʿāl (akal aktif), ittisāl
(penyatuan intelektual), dan saʿādah (kebahagiaan) menjadi
inspirasi bagi karya-karya filsafat, tasawuf, dan sastra. Dalam tradisi Persia,
pemikiran Ibn Sīnā memengaruhi penyair-filsuf seperti ʿUmar Khayyām,
Suhrawardī, dan Jalāl al-Dīn Rūmī, yang menyerap rasionalisme Avicennian ke
dalam simbolisme mistik.¹³
Henry Corbin
menafsirkan hal ini sebagai “transfigurasi rasionalitas” dalam bentuk
imajinatif dan simbolik, di mana prinsip rasional Ibn Sīnā menjadi dasar bagi hikmah
ishrāqiyyah (filsafat iluminasi) dan teosofi Persia.¹⁴ Dengan
demikian, pemikiran rasional tidak menumpulkan daya estetis dan spiritual,
melainkan memperkaya kebudayaan Islam dengan kerangka berpikir yang
menyeimbangkan antara logika dan imajinasi, akal dan intuisi.
8.4. Rasionalitas, Etika Sosial, dan Politik
Rasionalisme Ibn
Sīnā juga berdampak pada pembentukan etika sosial dan politik. Ia meyakini
bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang diatur berdasarkan prinsip
rasional dan keadilan.¹⁵ Dalam karyanya Al-Siyāsah, ia menjelaskan bahwa
struktur sosial yang baik harus berlandaskan pengetahuan dan kebijaksanaan,
bukan kekuasaan semata.¹⁶ Negara ideal (al-madīnah al-fāḍilah) bagi Ibn
Sīnā adalah komunitas di mana pemimpin memiliki keutamaan intelektual dan
moral, mirip dengan konsep philosopher-king dalam filsafat
Plato, namun disesuaikan dengan nilai-nilai Islam.¹⁷
Bagi Ibn Sīnā,
rasionalitas memiliki peran sosial karena ia menjamin keteraturan hukum,
kemaslahatan publik, dan harmoni antara individu dan masyarakat.¹⁸ Pengetahuan
tidak boleh terkurung di ruang akademik, tetapi harus diterapkan dalam
kehidupan sosial untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini,
rasionalisme Avicennian melahirkan etos sosial yang menekankan tanggung jawab
intelektual terhadap kesejahteraan umat manusia.¹⁹
Pengaruh Kultural Jangka Panjang: Dari Dunia Islam ke Barat Latin
Jejak kultural Ibn
Sīnā melampaui batas dunia Islam. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin sejak abad ke-12 dan menjadi bagian utama dari kurikulum universitas di
Eropa, seperti Paris dan Bologna.²⁰ Canon Medicinae (terjemahan Al-Qānūn
fī al-Ṭibb) digunakan sebagai buku ajar kedokteran hingga abad
ke-17.²¹ Sementara itu, sistem logika dan metafisikanya memberi pengaruh besar
pada tokoh-tokoh seperti Albertus Magnus dan Thomas Aquinas.²²
Di dunia Islam sendiri,
pengaruh Avicennian bertahan dalam berbagai madrasah dan tarekat intelektual
hingga era modern.²³ Konsep rasionalitas sebagai jalan menuju Tuhan dan
kebahagiaan manusia terus menjadi inspirasi bagi gerakan pembaruan intelektual
Islam.²⁴ Maka, dimensi sosial dan kultural dari rasionalisme Ibn Sīnā
menegaskan bahwa filsafat tidak terpisah dari realitas sosial, melainkan
menjadi jantung peradaban—sebuah ekspresi rasional dari iman, ilmu, dan budaya
yang saling berkelindan.²⁵
Footnotes
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 133–136.
[2]
² Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 190–193.
[3]
³ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 162–165.
[4]
⁴ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 215–218.
[5]
⁵ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 135–137.
[6]
⁶ Ibn Sīnā, Al-Qānūn fī al-Ṭibb, ed. Jamāl al-Dīn al-Qifṭī
(Cairo: Dār al-Kutub al-ʿArabiyyah, 1906), 4–6.
[7]
⁷ Ibn Sīnā, Al-Taʿlīmāt al-ʿAqliyyah, ed. Abū al-ʿAlāʾ ʿAfīfī
(Cairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1953), 9–11.
[8]
⁸ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 89–91.
[9]
⁹ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of
Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press,
1952), 60–63.
[10]
¹⁰ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning
in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981),
115–118.
[11]
¹¹ Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Sharḥ al-Ishārāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Maʿārif, 1960), 14–17.
[12]
¹² Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia
(Richmond: Curzon Press, 1997), 151–153.
[13]
¹³ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 121–123.
[14]
¹⁴ Ibid., 125–127.
[15]
¹⁵ Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader
(Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 55–58.
[16]
¹⁶ Ibn Sīnā, Al-Siyāsah, in Risālat al-Tadbīrāt
al-Ilāhiyyah, ed. ʿAbd al-Raḥmān Badawī (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1954),
10–12.
[17]
¹⁷ Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992),
106–108.
[18]
¹⁸ Mehdi Ha’iri Yazdi, Knowledge by Presence (Albany: State
University of New York Press, 1992), 99–102.
[19]
¹⁹ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford:
Oxford University Press, 2016), 95–97.
[20]
²⁰ Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New
York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 145–148.
[21]
²¹ Charles Burnett, “The Transmission of Arabic Learning to the West,” The
Legacy of Islam, ed. Joseph Schacht and C. E. Bosworth (Oxford: Oxford
University Press, 1974), 63–66.
[22]
²² Thomas Aquinas, Summa contra Gentiles, trans. Anton Pegis
(New York: Random House, 1955), II.4–6.
[23]
²³ Nasr Hamid Abu Zayd, Falsafat al-Taʾwīl (Beirut: Dār
al-Tanwīr, 1983), 54–56.
[24]
²⁴ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard
University Press, 1964), 145–147.
[25]
²⁵ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip
Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 63–65.
9.
Perbandingan
Filosofis
Rasionalisme
Peripatetik Ibn Sīnā menempati posisi istimewa dalam sejarah filsafat, karena
berhasil menjembatani dua tradisi besar—Yunani Kuno dan Islam—serta memberi
pengaruh luas terhadap filsafat Barat dan Timur. Sistem filsafatnya tidak hanya
merupakan kelanjutan dari Aristotelianisme, tetapi juga sebuah transformasi
yang memadukan logika rasional, metafisika teologis, dan intuisi spiritual.¹
Perbandingan filosofis antara Ibn Sīnā dan tokoh-tokoh seperti Aristoteles,
al-Fārābī, Suhrawardī, dan bahkan rasionalis modern seperti Descartes dan
Spinoza memperlihatkan bahwa pemikirannya memiliki daya lentur konseptual yang
melintasi zaman dan peradaban.
9.1. Ibn Sīnā dan Aristoteles: Rasionalitas dan
Metafisika Wujud
Ibn Sīnā adalah
pewaris intelektual Aristoteles yang paling berpengaruh di dunia Islam. Ia
mengadopsi struktur logika Aristotelian sebagai dasar berpikir, tetapi
melangkah lebih jauh dalam dimensi ontologis dan metafisik.² Bagi Aristoteles,
substansi (ousia)
adalah inti realitas yang tidak terpisah dari bentuk dan materi, sedangkan Ibn
Sīnā memperkenalkan distingsi radikal antara wujūd (eksistensi) dan māhiyyah
(esensi).³ Distingsi ini merupakan inovasi Avicennian yang tidak ditemukan
dalam Aristotelianisme murni. Dengan pemisahan itu, Ibn Sīnā membuka jalan bagi
pemikiran tentang wujūd sebagai kategori metafisika
tersendiri—suatu terobosan yang kemudian diadopsi oleh Thomas Aquinas dalam
teologi skolastik.⁴
Selain itu,
perbedaan mencolok antara keduanya terletak pada konsepsi tentang Tuhan.
Aristoteles menggambarkan Tuhan sebagai “Penggerak Tak Tergerakkan” (Unmoved
Mover), yang hanya menjadi penyebab akhir dari gerak kosmos.⁵ Ibn
Sīnā, sebaliknya, menafsirkan Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd, sebab pertama yang
niscaya, bukan hanya sumber gerak, tetapi sumber eksistensi itu sendiri.⁶ Ia
menegaskan bahwa semua entitas bergantung pada Tuhan dalam wujudnya, bukan
sekadar dalam geraknya. Maka, rasionalisme Ibn Sīnā memperluas teologi
Aristotelian menjadi metafisika eksistensial yang menekankan kontinuitas
kausalitas antara Tuhan dan ciptaan.⁷
9.2. Ibn Sīnā dan al-Fārābī: Sintesis Logika dan Politik
Etis
Al-Fārābī adalah
tokoh kunci yang menyiapkan fondasi bagi rasionalisme Ibn Sīnā. Keduanya
sama-sama peripatetik dan menempatkan akal sebagai instrumen tertinggi
pengetahuan.⁸ Namun, Ibn Sīnā mengembangkan sistem filsafat yang lebih
sistematis dan metafisik dibanding gurunya. Jika al-Fārābī lebih menekankan
rasionalitas sosial dan politik dalam Al-Madīnah al-Fāḍilah, Ibn Sīnā
memperluasnya ke arah metafisika emanasi dan psikologi rasional.⁹
Al-Fārābī
berpendapat bahwa kebahagiaan (saʿādah) diperoleh melalui
kesempurnaan akal praktis dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan Ibn Sīnā
melihatnya sebagai penyatuan intelektual dengan akal aktif (al-ʿaql
al-faʿʿāl).¹⁰ Dengan demikian, rasionalisme Ibn Sīnā bersifat lebih
transendental: kebahagiaan bukan hanya moral-sosial, tetapi juga
spiritual-metafisik. Namun keduanya sepakat bahwa akal manusia adalah jembatan
antara dunia empiris dan realitas ilahiah.¹¹
9.3. Ibn Sīnā dan Suhrawardī: Rasionalisme vs. Iluminasionisme
Perbandingan dengan
Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī memperlihatkan pergeseran besar dalam sejarah
filsafat Islam. Suhrawardī mengkritik sistem Ibn Sīnā karena dianggap terlalu
rasional dan deduktif, lalu mengajukan alternatif ḥikmat al-ishrāq (filsafat
iluminasi) yang menekankan intuisi cahaya dan penyingkapan batin (kashf).¹²
Namun, meskipun berbeda pendekatan, keduanya tidak saling meniadakan.
Suhrawardī justru membangun sistemnya di atas fondasi logika Avicennian. Ia
mempertahankan kerangka rasional Ibn Sīnā, tetapi menambahkan dimensi simbolik
dan mistik.¹³
Bagi Ibn Sīnā,
pengetahuan diperoleh melalui hubungan rasional dengan akal aktif, sedangkan
bagi Suhrawardī, pengetahuan sejati datang dari iluminasi cahaya ilahiah yang
langsung menyingkap hakikat realitas.¹⁴ Namun, keduanya sepakat bahwa
pengetahuan adalah sarana untuk mendekati Tuhan, meski Ibn Sīnā menempuh jalan
deduktif-logis dan Suhrawardī menempuh jalan intuitif-visioner.¹⁵ Dalam hal
ini, Ibn Sīnā dapat dipandang sebagai representasi rasionalisme iluminatif awal—suatu
bentuk rasionalitas yang membuka ruang bagi pengalaman spiritual tanpa
kehilangan ketertiban logisnya.¹⁶
9.4. Ibn Sīnā dan Rasionalisme Modern: Descartes dan
Spinoza
Rasionalisme Ibn
Sīnā juga memiliki paralel yang mencolok dengan rasionalisme modern Barat,
terutama Descartes dan Spinoza. Seperti Descartes, Ibn Sīnā menempatkan akal
sebagai fondasi pengetahuan yang pasti dan menolak relativisme empiris.¹⁷
Namun, Ibn Sīnā tidak memisahkan akal dari metafisika; baginya, kebenaran
rasional berakar pada realitas wujud yang ditopang oleh Tuhan. Descartes
menegakkan prinsip cogito ergo sum
(“aku berpikir, maka aku ada”) sebagai dasar epistemologi, sedangkan Ibn
Sīnā telah merumuskannya lebih awal dalam eksperimen pemikiran “manusia
terbang” (al-insān al-ṭāʾir)—sebuah refleksi
tentang kesadaran diri tanpa keterlibatan tubuh.¹⁸
Sementara itu,
hubungan Ibn Sīnā dengan Spinoza tampak dalam pandangan keduanya tentang
keharusan metafisika. Spinoza berbicara tentang Tuhan atau alam sebagai
substansi tunggal yang niscaya (Deus sive Natura), sedangkan Ibn
Sīnā menegaskan Wājib al-Wujūd sebagai sumber
keberadaan yang melimpahkan wujud secara rasional dan teratur.¹⁹ Namun, Ibn
Sīnā tidak jatuh ke dalam panteisme seperti Spinoza; ia tetap mempertahankan
transendensi Tuhan.²⁰ Dengan demikian, rasionalisme Ibn Sīnā memadukan keutuhan
logika metafisis dengan prinsip teologis yang menjaga keseimbangan antara iman
dan akal.²¹
Ibn Sīnā sebagai Titik Pertemuan Timur dan Barat
Dalam sejarah
intelektual, Ibn Sīnā berperan sebagai poros yang menghubungkan filsafat
Yunani, Islam, dan Latin abad pertengahan.²² Ia menafsirkan kembali Aristoteles
melalui konteks Islam dan mewariskan sistem rasional yang menjadi dasar bagi
teologi skolastik Eropa.²³ Melalui penerjemahan karya-karyanya ke dalam bahasa
Latin—Avicenna
Latinus—pemikirannya memengaruhi Albertus Magnus, Thomas Aquinas,
dan Duns Scotus.²⁴
Di dunia Islam
Timur, sistemnya menjadi pijakan bagi para filsuf Persia seperti Suhrawardī, Mulla
Ṣadrā, dan Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī.²⁵ Dengan demikian, Ibn Sīnā menempati posisi
unik sebagai titik pertemuan dua arus besar: rasionalisme teologis Islam dan
rasionalisme sekuler Barat.²⁶ Filsafatnya membuktikan bahwa rasionalitas tidak
bertentangan dengan spiritualitas, dan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat
dicapai jika akal, intuisi, dan iman berada dalam harmoni.²⁷
Footnotes
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard
University Press, 1964), 153–156.
[2]
² Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2014), 198–201.
[3]
³ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Metaphysics, ed. Michael Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2005), 8–10.
[4]
⁴ Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, trans. Armand Maurer
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), xii–xiv.
[5]
⁵ Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon
Press, 1924), XII.7.
[6]
⁶ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 103–106.
[7]
⁷ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 195–198.
[8]
⁸ Al-Fārābī, Iḥṣāʾ al-ʿUlūm, ed. Osman Amine (Cairo: Dār
al-Fikr al-ʿArabī, 1968), 22–24.
[9]
⁹ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 167–169.
[10]
¹⁰ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of
Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press,
1952), 67–69.
[11]
¹¹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 94–97.
[12]
¹² Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry
Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1970), 28–31.
[13]
¹³ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 129–132.
[14]
¹⁴ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 145–147.
[15]
¹⁵ Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 121–124.
[16]
¹⁶ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 82–84.
[17]
¹⁷ René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans.
John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 15–18.
[18]
¹⁸ Ibn Sīnā, Kitāb al-Nafs, in Al-Shifāʾ, ed. F.
Rahman (London: Oxford University Press, 1959), 35–38.
[19]
¹⁹ Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (Princeton:
Princeton University Press, 1985), I.11–15.
[20]
²⁰ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 220–223.
[21]
²¹ Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992),
113–116.
[22]
²² Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New
York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 151–153.
[23]
²³ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford:
Oxford University Press, 2016), 101–103.
[24]
²⁴ Dag Nikolaus Hasse, Avicenna’s Influence on the Latin West
(Turnhout: Brepols, 2000), 12–15.
[25]
²⁵ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia
(Richmond: Curzon Press, 1997), 161–164.
[26]
²⁶ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 143–146.
[27]
²⁷ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip
Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 68–70.
10. Kritik dan Klarifikasi Filosofis
Filsafat rasional
Ibn Sīnā, meskipun menjadi salah satu sistem metafisika dan epistemologi paling
berpengaruh dalam sejarah Islam, tidak luput dari kritik tajam baik dari
kalangan teolog, filsuf sezamannya, maupun pemikir-pemikir pasca-Avicennian.
Kritik terhadap Ibn Sīnā tidak hanya bersifat doktrinal, tetapi juga
metodologis—terutama terkait dengan upayanya menalar kebenaran wahyu melalui
logika Aristotelian. Namun, di sisi lain, perdebatan ini justru memperkaya
tradisi intelektual Islam dengan klarifikasi-konseptual yang mempertegas posisi
rasionalisme Peripatetik sebagai salah satu poros utama filsafat Islam.¹
10.1. Kritik Teologis: Al-Ghazālī dan Masalah Metafisika Wujud
Kritik paling
berpengaruh terhadap Ibn Sīnā datang dari Abū Ḥāmid al-Ghazālī, terutama dalam
karyanya Tahāfut
al-Falāsifah (Inkoherensi Para Filsuf).² Al-Ghazālī menuduh Ibn
Sīnā dan para falāsifah (filsuf Islam peripatetik) telah keluar dari ortodoksi
Islam dalam tiga hal pokok: (1) keyakinan bahwa dunia bersifat qadīm (abadi),
(2) penolakan terhadap pengetahuan Tuhan tentang partikularitas, dan (3)
penolakan terhadap kebangkitan jasmani.³
Menurut al-Ghazālī,
konsep emanasi Ibn Sīnā yang meniscayakan keteraturan rasional dalam penciptaan
justru meniadakan kehendak bebas Tuhan. Dalam kerangka teologis Asyʿariyyah,
Tuhan bertindak bukan karena keniscayaan rasional, tetapi karena kehendak
absolut.⁴ Dengan demikian, sistem kausalitas Avicennian dianggap membatasi
kemahakuasaan Tuhan. Ibn Sīnā menjawab secara implisit dalam Al-Ishārāt
wa al-Tanbīhāt bahwa emanasi tidak menafikan kehendak, sebab
kehendak Ilahi sendiri bersifat niscaya—ia “menghendaki secara rasional,”
bukan “menghendaki secara arbitrer.”⁵
Kritik al-Ghazālī
terhadap epistemologi Ibn Sīnā juga menyoroti klaim bahwa manusia dapat
mengetahui hakikat Tuhan melalui rasio. Menurut al-Ghazālī, pengetahuan manusia
tentang Tuhan terbatas pada simbol-simbol wahyu dan tidak dapat menembus esensi
Ilahi.⁶ Kritik ini kemudian melahirkan perdebatan panjang antara rasionalisme
filosofis dan teologi dialektis (ʿilm al-kalām), yang berlangsung
hingga era Fakhr al-Dīn al-Rāzī dan Ibn Rushd.
10.2. Kritik Filsafat Iluminasionis: Suhrawardī dan
Dimensi Intuitif Pengetahuan
Shihāb al-Dīn
al-Suhrawardī, pendiri filsafat iluminasi (ḥikmat al-ishrāq), memberikan
kritik yang lebih filosofis terhadap Ibn Sīnā. Ia menilai sistem rasional Ibn
Sīnā terlalu bergantung pada deduksi formal dan tidak cukup memberi ruang bagi
pengetahuan langsung (ʿilm ḥuḍūrī).⁷ Menurut Suhrawardī,
akal memang penting, tetapi kebenaran tertinggi hanya dapat dicapai melalui
penyinaran batin (iluminasi) dan intuisi spiritual.⁸
Kritik Suhrawardī
bukanlah penolakan total, melainkan pengayaan terhadap rasionalisme Avicennian.
Ia mempertahankan kerangka logika Ibn Sīnā tetapi menambahkan dimensi simbolik
dan esoteris, di mana pengetahuan dipahami sebagai “cahaya yang menyingkap
realitas.”⁹ Dalam konteks ini, Suhrawardī sebenarnya memperluas horizon
epistemologi Ibn Sīnā dari burhān (demonstrasi rasional)
menuju kashf
(penyingkapan intuitif). Ibn Sīnā sendiri dalam bagian akhir Al-Ishārāt
wa al-Tanbīhāt telah mengisyaratkan tingkat pengetahuan intuitif (ḥads),
yang menjadi landasan bagi filsafat iluminasi di kemudian hari.¹⁰
10.3. Kritik Empirisme dan Skeptisisme Epistemologis
Sebagian teolog dan
ilmuwan Muslim menilai bahwa rasionalisme Ibn Sīnā terlalu menekankan logika
deduktif sehingga mengabaikan pengalaman empiris.¹¹ Kritik ini berkembang dalam
tradisi sains Islam setelah abad ke-11, terutama di kalangan ahli observasi dan
eksperimentasi seperti Ibn al-Haytham dan al-Bīrūnī. Bagi mereka, kebenaran
ilmiah harus diperoleh melalui observasi dan verifikasi, bukan hanya deduksi
metafisik.¹² Namun, Ibn Sīnā sebenarnya tidak menolak pengalaman empiris; ia
hanya menempatkannya pada posisi subordinatif terhadap akal. Ia menegaskan
bahwa data empiris harus ditransformasikan oleh akal menjadi konsep universal
agar memiliki nilai ilmiah sejati.¹³
Kritik semacam ini
kemudian menjadi awal dari pemisahan antara filsafat rasional dan ilmu
eksperimental. Namun, dalam pandangan kontemporer, sistem Ibn Sīnā justru dapat
dianggap sebagai bentuk awal epistemic pluralism, di mana
pengetahuan diperoleh melalui kombinasi empirisme dan rasionalisme yang saling
melengkapi.¹⁴
10.4. Klarifikasi Filosofis: Rasionalisme sebagai Jalan
Tengah
Kritik terhadap Ibn
Sīnā justru mempertegas karakter rasionalismenya sebagai jalan tengah antara
dogmatisme teologis dan mistisisme antirasional. Dalam sistem Ibn Sīnā, rasio (ʿaql)
tidak menggantikan wahyu, tetapi menafsirkan dan memperdalam maknanya secara
metodologis.¹⁵ Ia menghindari dua ekstrem: (1) reduksi iman ke dalam empirisme
materialistik, dan (2) pengabaian akal dalam spiritualisme subjektif. Dengan
demikian, rasionalisme Ibn Sīnā bersifat teo-rasional, yaitu berpikir logis
dengan orientasi teologis.¹⁶
Klarifikasi
filosofis ini tampak dalam pandangan Ibn Sīnā mengenai kesesuaian antara
filsafat dan agama. Dalam Kitāb al-Siyāsah, ia menyatakan
bahwa filsafat sejati tidak bertentangan dengan agama, karena keduanya berasal
dari sumber kebenaran yang sama.¹⁷ Wahyu adalah bentuk komunikasi simbolik dari
kebenaran rasional yang diakses oleh para nabi, sedangkan filsafat adalah
bentuk penalaran sistematis atas kebenaran yang sama.¹⁸
10.5. Kritik Modern dan Rehabilitasi Avicennianisme
Dalam konteks
modern, sejumlah pemikir seperti Henri Corbin, Seyyed Hossein Nasr, dan Mehdi
Haʾiri Yazdi menilai bahwa kritik-kritik klasik terhadap Ibn Sīnā sering kali
didasarkan pada kesalahpahaman epistemologis.¹⁹ Mereka berpendapat bahwa sistem
Ibn Sīnā justru merupakan sintesis paling seimbang antara rasionalisme Yunani
dan spiritualitas Islam.²⁰ Corbin bahkan menyebutnya sebagai “rasionalisme
imaginal”—yakni bentuk rasionalitas yang menyatu dengan visi metafisik dan
imajinasi kreatif.²¹
Rehabilitasi
Avicennianisme dalam filsafat Islam modern juga dilakukan oleh para sarjana
seperti ʿAllāmah Ṭabāṭabāʾī dan Mulla Ṣadrā, yang menafsirkan kembali konsep wujūd
Ibn Sīnā dalam kerangka eksistensialisme Islam.²² Mereka menegaskan bahwa
rasionalisme Ibn Sīnā bukan sistem tertutup, tetapi kerangka dinamis yang terus
berkembang dalam sejarah pemikiran Islam dan dunia.²³
Signifikansi Klarifikasi: Rasionalisme sebagai Pilar Dialog
Kritik dan
klarifikasi terhadap Ibn Sīnā menunjukkan bahwa rasionalisme Peripatetik bukan
sekadar produk sejarah, melainkan paradigma yang terus relevan untuk memahami
hubungan antara iman, sains, dan filsafat.²⁴ Rasionalitas Avicennian menegaskan
bahwa berpikir benar adalah bentuk ibadah intelektual, sedangkan pengetahuan
sejati adalah jembatan menuju Tuhan.²⁵ Dengan menolak fanatisme intelektual
maupun spiritualisme tanpa dasar logika, Ibn Sīnā menegakkan prinsip bahwa
kebenaran harus dicari melalui kesatuan akal, pengalaman, dan wahyu.²⁶
Dalam arti ini,
kritik terhadap Ibn Sīnā bukan akhir dari rasionalisme Islam, melainkan proses
purifikasi dan penguatan epistemiknya.²⁷ Melalui dialog dengan para
pengkritiknya, sistem Ibn Sīnā justru menjadi semakin matang, menunjukkan daya
tahan filsafat Islam terhadap pergulatan intelektual sepanjang zaman.²⁸
Footnotes
[1]
¹ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 205–208.
[2]
² Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges
(Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 3–6.
[3]
³ Ibid., 7–10.
[4]
⁴ W. Montgomery Watt, The Faith and Practice of Al-Ghazali
(London: George Allen & Unwin, 1953), 89–92.
[5]
⁵ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 111–113.
[6]
⁶ Al-Ghazālī, Maqāṣid al-Falāsifah, trans. S. M. Afnan
(London: Luzac & Co., 1930), 55–58.
[7]
⁷ Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry
Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1970), 37–40.
[8]
⁸ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 137–139.
[9]
⁹ Mehdi Haʾiri Yazdi, Knowledge by Presence (Albany: State
University of New York Press, 1992), 76–79.
[10]
¹⁰ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, 115–117.
[11]
¹¹ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 152–154.
[12]
¹² George Saliba, A History of Arabic Astronomy (New York: New
York University Press, 1994), 21–23.
[13]
¹³ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of
Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press,
1952), 74–77.
[14]
¹⁴ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 154–157.
[15]
¹⁵ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 101–103.
[16]
¹⁶ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 231–234.
[17]
¹⁷ Ibn Sīnā, Kitāb al-Siyāsah, in Risālat al-Tadbīrāt
al-Ilāhiyyah, ed. ʿAbd al-Raḥmān Badawī (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1954),
15–17.
[18]
¹⁸ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard
University Press, 1964), 162–165.
[19]
¹⁹ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip
Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 72–75.
[20]
²⁰ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia
(Richmond: Curzon Press, 1997), 171–174.
[21]
²¹ Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, 142–144.
[22]
²² Mulla Ṣadrā, Al-Asfār al-Arbaʿah, ed. Muhammad Rida
al-Muzaffar (Tehran: Intishārāt-e Bīdār, 1981), 52–55.
[23]
²³ Seyyed Hossein Nasr, The Essential Seyyed Hossein Nasr
(Bloomington: World Wisdom, 2007), 97–100.
[24]
²⁴ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford:
Oxford University Press, 2016), 112–114.
[25]
²⁵ Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992),
122–125.
[26]
²⁶ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2014), 210–213.
[27]
²⁷ Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New
York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 162–165.
[28]
²⁸ Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 132–135.
11. Relevansi Kontemporer
Rasionalisme
Peripatetik Ibn Sīnā tetap memiliki relevansi yang mendalam dalam konteks
pemikiran kontemporer, baik dalam ranah filsafat ilmu, etika, maupun dialog
antara agama dan sains. Pemikiran Ibn Sīnā menunjukkan bahwa rasionalitas
bukanlah sekadar perangkat teknis untuk berpikir logis, melainkan dimensi
eksistensial yang mengarahkan manusia pada kebenaran dan kebijaksanaan.¹ Dalam
dunia modern yang sering kali terjebak dalam fragmentasi pengetahuan, pandangan
Ibn Sīnā menghadirkan model integratif yang menggabungkan dimensi empiris,
rasional, dan spiritual secara harmonis.²
11.1. Relevansi dalam Filsafat Ilmu dan Sains Modern
Dalam filsafat ilmu
kontemporer, sistem rasionalisme Ibn Sīnā menjadi relevan karena menegaskan
prinsip keteraturan kosmos dan rasionalitas hukum alam.³ Pandangannya bahwa
alam semesta tunduk pada struktur kausalitas rasional sejalan dengan semangat
ilmiah modern, namun dengan perbedaan mendasar: bagi Ibn Sīnā, hukum alam
bukanlah mekanisme tanpa makna, melainkan refleksi dari kebijaksanaan ilahi.⁴
Dengan demikian, pendekatan ilmiahnya tidak jatuh pada reduksionisme
materialistik.
Rasionalisme
Avicennian juga mengandung prinsip metodologis yang masih relevan: keseimbangan
antara induksi empiris dan deduksi rasional.⁵ Dalam dunia penelitian modern,
Ibn Sīnā menegaskan pentingnya pengamatan yang disertai refleksi rasional,
bukan sekadar pengumpulan data empiris. Ia mengingatkan bahwa pengetahuan
ilmiah sejati tidak berhenti pada data, tetapi harus menyingkap makna
dan sebab
yang mendasarinya (ʿillah).⁶ Pandangan ini dapat
menjadi dasar filosofis bagi paradigma sains yang lebih reflektif, integratif,
dan berorientasi pada kebijaksanaan.⁷
11.2. Relevansi bagi Etika Intelektual dan Spiritualitas
Modern
Rasionalisme Ibn
Sīnā juga menawarkan solusi etis terhadap krisis spiritual dan moralitas
intelektual dunia modern. Dalam konteks globalisasi dan era informasi,
rasionalitas sering tereduksi menjadi sekadar instrumentalisme—alat untuk
efisiensi dan kekuasaan—tanpa orientasi etis.⁸ Ibn Sīnā menegaskan bahwa
pengetahuan sejati harus membawa jiwa kepada kesempurnaan moral dan spiritual.⁹
Akal tidak hanya berfungsi untuk menganalisis, tetapi juga untuk memuliakan
eksistensi dengan memahami keteraturan Tuhan dalam segala sesuatu.
Konsep saʿādah
(kebahagiaan sejati) Ibn Sīnā memiliki relevansi besar dalam etika kontemporer,
karena menggabungkan keseimbangan antara rasionalitas dan kebajikan moral.¹⁰ Ia
menolak pemisahan antara berpikir dan berbuat: kebenaran intelektual tanpa
kebajikan etis adalah pengetahuan yang tidak utuh. Dalam konteks modern,
prinsip ini dapat menjadi dasar bagi “etika pengetahuan,” di mana sains
dan teknologi tidak boleh dilepaskan dari tanggung jawab moral dan spiritual
manusia.¹¹
11.3. Relevansi dalam Dialog antara Agama dan Sains
Salah satu sumbangan
terbesar Ibn Sīnā bagi wacana kontemporer adalah sintesis antara iman dan
rasio, yang menjadi model potensial bagi dialog antara agama dan sains.¹² Di
tengah polarisasi antara fundamentalisme religius dan sekularisme saintifik,
sistem Ibn Sīnā menawarkan pendekatan harmonis: agama menyediakan orientasi
nilai dan makna, sementara akal menyediakan metode penalaran dan verifikasi.¹³
Gagasan bahwa wahyu dan
rasio berasal dari sumber yang sama—yakni kebenaran ilahi—memungkinkan
munculnya epistemologi lintas disiplin yang menolak dikotomi antara iman dan
sains.¹⁴ Dalam perspektif Avicennian, ilmuwan dan teolog memiliki misi yang
sama: menyingkap tanda-tanda Tuhan melalui alam semesta.¹⁵ Dengan demikian,
pemikiran Ibn Sīnā memberi fondasi filosofis bagi integrasi pengetahuan ilmiah
dan teologis di abad ke-21, di mana krisis makna menjadi persoalan mendesak
peradaban modern.¹⁶
11.4. Relevansi bagi Filsafat Pendidikan dan Humanisme
Pemikiran Ibn Sīnā
memiliki signifikansi besar dalam filsafat pendidikan modern, terutama dalam
upaya mengembalikan dimensi rasional dan spiritual pendidikan. Ia memandang
pendidikan sebagai proses penyempurnaan jiwa melalui ilmu yang benar dan
berpikir kritis.¹⁷ Pandangan ini beresonansi dengan gagasan pendidikan
humanistik kontemporer yang menekankan pengembangan seluruh potensi
manusia—akal, moral, dan spiritual.¹⁸
Dalam konteks krisis
pendidikan global yang cenderung menekankan keterampilan teknis tanpa refleksi
filosofis, warisan Ibn Sīnā mengingatkan bahwa tujuan akhir pendidikan bukan
sekadar efisiensi ekonomi, tetapi tahdzīb al-nafs (penyucian jiwa)
dan kamāl
al-ʿaql (kesempurnaan akal).¹⁹ Pendidikan rasional harus
menghasilkan manusia yang berpikir logis, tetapi juga bijak dan berbelas
kasih—karena akal sejati selalu bersatu dengan kebajikan.²⁰
11.5. Relevansi Metafisika Ibn Sīnā dalam Filsafat
Eksistensial dan Kosmologi
Metafisika Ibn Sīnā
yang menegaskan perbedaan antara wujūd (eksistensi) dan māhiyyah
(esensi) memiliki pengaruh laten dalam tradisi filsafat eksistensial modern.²¹
Dalam konteks kontemporer, perbedaan ini dapat membantu menjelaskan krisis
identitas manusia di era modern: manusia sering kehilangan “makna esensial”
dirinya dalam arus eksistensi materialistik.²² Pemikiran Ibn Sīnā mengajarkan
bahwa eksistensi tanpa esensi adalah kekosongan, sedangkan esensi tanpa
aktualisasi adalah potensi yang belum bermakna.²³
Selain itu, konsep Wājib
al-Wujūd sebagai sumber keteraturan kosmos dapat memberi inspirasi
baru dalam diskursus ekoteologi dan filsafat lingkungan modern.²⁴ Alam, dalam
pandangan Avicennian, adalah emanasi rasional dari Tuhan, bukan objek
eksploitasi. Dengan demikian, memahami alam berarti menghormatinya sebagai
manifestasi dari kebijaksanaan ilahi.²⁵ Dalam era krisis ekologis global,
pendekatan ini menawarkan kerangka rasional sekaligus spiritual bagi
pembangunan peradaban ekologis yang beretika dan berkeadaban.²⁶
Relevansi Universal: Rasionalisme sebagai Etos Peradaban
Rasionalisme Ibn
Sīnā mengajarkan bahwa berpikir rasional adalah panggilan universal manusia.²⁷
Di tengah derasnya arus disinformasi, populisme, dan anti-intelektualisme
global, prinsip Avicennian bahwa akal harus dikendalikan oleh etika dan diarahkan
pada kebenaran memiliki nilai peradaban yang tak ternilai.²⁸ Rasionalitas
bukanlah milik satu agama atau bangsa, tetapi milik kemanusiaan universal yang
mencari kejelasan, keadilan, dan makna.²⁹
Dengan demikian,
relevansi Ibn Sīnā di dunia kontemporer terletak pada kemampuannya menyatukan
rasionalitas dan spiritualitas, sains dan nilai, individu dan masyarakat.³⁰
Sistemnya bukan sekadar warisan historis, tetapi paradigma filosofis yang
menegaskan kembali tugas utama manusia: menggunakan akalnya untuk memahami,
memuliakan, dan menata dunia secara etis dan rasional.³¹
Footnotes
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 119–122.
[2]
² Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 240–243.
[3]
³ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of
Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press,
1952), 78–80.
[4]
⁴ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 161–164.
[5]
⁵ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2014), 220–222.
[6]
⁶ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Metaphysics, ed. Michael Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2005), 115–118.
[7]
⁷ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 159–162.
[8]
⁸ Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance
of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011),
214–216.
[9]
⁹ Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq
al-Jadīdah, 1985), 91–93.
[10]
¹⁰ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 153–155.
[11]
¹¹ Seyyed Hossein Nasr, The Essential Seyyed Hossein Nasr
(Bloomington: World Wisdom, 2007), 107–110.
[12]
¹² Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 213–216.
[13]
¹³ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford:
Oxford University Press, 2016), 122–124.
[14]
¹⁴ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 123–125.
[15]
¹⁵ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 97–99.
[16]
¹⁶ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip
Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 82–85.
[17]
¹⁷ Ibn Sīnā, Al-Taʿlīmāt al-ʿAqliyyah, ed. Abū al-ʿAlāʾ ʿAfīfī
(Cairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1953), 15–17.
[18]
¹⁸ John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 329–332.
[19]
¹⁹ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard
University Press, 1964), 176–179.
[20]
²⁰ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
61–63.
[21]
²¹ Mulla Ṣadrā, Al-Asfār al-Arbaʿah, ed. Muhammad Rida
al-Muzaffar (Tehran: Intishārāt-e Bīdār, 1981), 72–74.
[22]
²² Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany:
State University of New York Press, 1989), 182–184.
[23]
²³ Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ʿArabī
(Princeton: Princeton University Press, 1969), 75–78.
[24]
²⁴ Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come
(London: Mansell, 1985), 97–99.
[25]
²⁵ Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Physics, ed. F. Rahman (Cairo: Dār
al-Kutub al-ʿArabiyyah, 1952), 33–36.
[26]
²⁶ Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature
(Oxford: Oxford University Press, 1996), 144–147.
[27]
²⁷ Peter Adamson, Classical Philosophy: A History of Philosophy
Without Any Gaps, Volume 1 (Oxford: Oxford University Press, 2014),
321–323.
[28]
²⁸ Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York:
Ballantine Books, 1991), 397–400.
[29]
²⁹ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia
(Richmond: Curzon Press, 1997), 183–186.
[30]
³⁰ Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New
York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 173–175.
[31]
³¹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 135–138.
12. Sintesis Filosofis
Filsafat Ibn Sīnā
mencapai puncak rasionalitas dalam sejarah pemikiran Islam, namun kekuatannya
yang sejati justru terletak pada kemampuannya menyatukan berbagai dimensi
pengetahuan—logika, metafisika, epistemologi, etika, dan teologi—ke dalam satu
sistem yang koheren dan holistik. Sintesis filosofis Ibn Sīnā bukan sekadar
perpaduan antara filsafat Yunani dan Islam, tetapi sebuah integrasi dinamis
antara rasionalitas dan spiritualitas, antara akal dan wahyu, antara
pengetahuan dan kebijaksanaan.¹
12.1. Kesatuan Rasionalisme dan Teologi
Salah satu sumbangan
terbesar Ibn Sīnā adalah kemampuannya menjadikan rasionalitas sebagai sarana
untuk menegaskan keimanan, bukan untuk menggugatnya.² Ia berhasil menunjukkan
bahwa eksistensi Tuhan dan keteraturan kosmos dapat dijelaskan secara rasional
tanpa menafikan wahyu. Dalam hal ini, Ibn Sīnā memperlihatkan bahwa filsafat
dan agama bukan dua entitas yang saling meniadakan, tetapi dua jalan menuju
satu kebenaran yang sama.³
Melalui konsep Wājib
al-Wujūd, Ibn Sīnā menegaskan bahwa seluruh realitas bergantung
secara niscaya kepada Tuhan.⁴ Tuhan bukan hanya penyebab pertama (causa
prima), melainkan sumber keberadaan yang menjadi fondasi logis
seluruh eksistensi.⁵ Di sinilah terletak sintesis teologis Ibn Sīnā: ia
mengubah teologi spekulatif menjadi teologi rasional yang berakar pada prinsip
ontologis. Filsafat, dalam pengertiannya, adalah ibadah intelektual, karena
berpikir benar adalah bentuk pengenalan terhadap Tuhan.⁶
12.2. Integrasi Ontologi dan Epistemologi
Ibn Sīnā menyatukan
pandangan tentang ada (ontologi) dan mengetahui
(epistemologi) dalam struktur filsafat yang berlapis. Ia menegaskan bahwa
keberadaan (wujūd) dan pengetahuan (ʿilm)
saling terpantul: realitas yang benar dapat diketahui karena akal manusia
memiliki struktur yang sejalan dengan tatanan wujud.⁷ Ini adalah bentuk awal
dari “korespondensi metafisik,” di mana struktur rasional alam semesta
mencerminkan keteraturan Ilahi.⁸
Proses pengetahuan
dalam sistem Avicennian bukan hanya kognitif, tetapi juga ontologis.⁹ Ketika
manusia mengetahui sesuatu secara rasional, ia sebenarnya sedang mengaktualkan
potensi eksistensial jiwanya. Dalam Kitāb al-Nafs, Ibn Sīnā menegaskan
bahwa pengetahuan adalah “penerimaan bentuk tanpa materi”—sebuah proses
penyatuan antara subjek dan objek melalui mediasi akal.¹⁰ Dengan demikian,
epistemologi Ibn Sīnā adalah metafisika yang hidup: pengetahuan adalah wujud
yang sadar akan dirinya sendiri.
12.3. Harmoni antara Logika dan Spiritualitas
Ibn Sīnā mengajarkan
bahwa berpikir logis tidak meniadakan pengalaman spiritual. Sebaliknya,
keduanya saling melengkapi dalam proses pencarian kebenaran.¹¹ Logika (manṭiq)
menjadi jalan menuju disiplin intelektual, sementara spiritualitas (taʾalluh)
menjadi jalan menuju kebijaksanaan eksistensial. Dalam Al-Ishārāt
wa al-Tanbīhāt, Ibn Sīnā menggambarkan perjalanan intelektual
manusia sebagai miʿrāj al-ʿaql—kenaikan akal menuju
cahaya pengetahuan Ilahi.¹²
Dengan menempatkan
rasionalitas sebagai sarana penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs), Ibn Sīnā
membangun jembatan antara filsafat dan tasawuf.¹³ Ia menolak dikotomi antara
rasionalisme dan mistisisme dengan menegaskan bahwa akal dan intuisi berasal
dari sumber yang sama, yakni al-ʿaql al-faʿʿāl.¹⁴ Dalam
pandangan ini, logika bukan hanya teknik berpikir, tetapi latihan moral dan
spiritual yang menuntun manusia kepada kesempurnaan.
12.4. Sintesis Etika, Politik, dan Ilmu Pengetahuan
Rasionalisme Ibn
Sīnā juga menyatukan dimensi individu dan sosial dari pengetahuan. Ia melihat
pengetahuan rasional tidak berhenti pada kontemplasi, tetapi berbuah pada
tindakan etis dan tatanan sosial yang adil.¹⁵ Dalam Kitāb al-Siyāsah, ia menegaskan
bahwa masyarakat yang baik hanya dapat dibangun atas dasar rasionalitas dan
keadilan.¹⁶ Dengan demikian, ilmu pengetahuan menjadi dasar etika publik dan
politik moral.
Ilmu, dalam
pandangan Ibn Sīnā, harus mengarahkan manusia kepada al-saʿādah—kebahagiaan
sejati—yang tidak hanya bersifat individual tetapi juga kolektif.¹⁷ Masyarakat
rasional adalah masyarakat yang memadukan keutamaan intelektual dan spiritual
dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendidikan dan logika, manusia dilatih
untuk berpikir benar dan bertindak adil.¹⁸ Sintesis ini memperlihatkan bahwa
filsafat Ibn Sīnā tidak hanya bersifat spekulatif, melainkan juga praksis,
etis, dan humanistik.
12.5. Rasionalisme sebagai Jalan Menuju Transendensi
Inti dari sintesis
Avicennian adalah pandangan bahwa akal manusia memiliki kapasitas
transendental: ia mampu menembus batas empiris menuju realitas Ilahi.¹⁹ Dalam
kerangka ini, rasionalitas bukan sekadar alat berpikir, tetapi sarana
penyingkapan (kashf ʿaqlī) terhadap hakikat
tertinggi. Ketika akal mencapai pengetahuan tentang Tuhan, ia tidak lagi
sekadar mengetahui, melainkan menjadi—yakni berpartisipasi dalam
realitas rasional yang bersumber dari Tuhan.²⁰
Pandangan ini
menunjukkan kedalaman spiritual rasionalisme Ibn Sīnā: filsafat bukan antitesis
iman, tetapi penyempurnaannya.²¹ Dengan akal, manusia memahami struktur kosmos;
dengan iman, ia menyadari makna dan arah keberadaan. Sintesis antara keduanya
menghasilkan kebijaksanaan (ḥikmah), yang dalam tradisi Islam
klasik adalah tujuan tertinggi pengetahuan.²²
12.6. Pengaruh Sintesis Avicennian terhadap Tradisi
Selanjutnya
Sintesis filosofis
Ibn Sīnā melahirkan dua arus besar: rasionalisme skolastik di Barat Latin dan
filsafat teosofis di dunia Islam Timur.²³ Di Eropa, pemikir seperti Thomas
Aquinas dan Duns Scotus mengadaptasi konsep essentia–existentia untuk membangun
teologi natural.²⁴ Di Timur, tokoh seperti Suhrawardī dan Mulla Ṣadrā
memperdalamnya melalui dimensi iluminatif dan eksistensial, sehingga lahirlah ḥikmah
al-mutaʿāliyah—filsafat transendental Persia.²⁵
Dengan demikian,
warisan Ibn Sīnā bukan hanya historis, melainkan paradigmatik. Ia menjadi
simbol pertemuan antara rasionalitas Yunani, wahyu Islam, dan kebijaksanaan
Timur.²⁶ Dalam dunia yang cenderung terpecah antara sains dan nilai, sistem Ibn
Sīnā menawarkan model kesatuan intelektual yang mendamaikan kebenaran ilmiah,
moralitas, dan spiritualitas dalam satu kerangka metafisis yang utuh.²⁷
Kesimpulan Sintetis
Sintesis filosofis
Ibn Sīnā dapat diringkas sebagai upaya mengharmoniskan tiga poros utama: akal (ʿaql),
iman (īmān),
dan wujud (wujūd).²⁸
Ia membuktikan bahwa rasionalitas yang sejati tidak bertentangan dengan
keimanan, dan bahwa pengetahuan yang sejati selalu menuntun kepada kesadaran
metafisis. Dalam diri Ibn Sīnā, filsafat menjadi ibadah, logika menjadi zikir
intelektual, dan pengetahuan menjadi jalan menuju kebahagiaan abadi.²⁹
Maka, relevansi
sintesis Ibn Sīnā terletak pada pesan universalnya: bahwa kebijaksanaan sejati
lahir dari kesatuan antara berpikir dan beriman, antara rasio dan nurani,
antara pengetahuan dan pengabdian.³⁰ Ia mengajarkan bahwa puncak rasionalitas
adalah spiritualitas, dan puncak spiritualitas adalah pemahaman rasional akan
keindahan kebenaran.³¹
Footnotes
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present (Albany: State University of New York Press, 2006), 141–143.
[2]
² Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, trans.
Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 161–164.
[3]
³ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia
University Press, 2004), 218–220.
[4]
⁴ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 131–134.
[5]
⁵ Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2014), 231–233.
[6]
⁶ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of
Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press,
1952), 86–88.
[7]
⁷ Mehdi Haʾiri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 101–103.
[8]
⁸ Henry Corbin, Temple and Contemplation, trans. Philip
Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 89–91.
[9]
⁹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 164–167.
[10]
¹⁰ Ibn Sīnā, Kitāb al-Nafs, in Al-Shifāʾ, ed. F.
Rahman (London: Oxford University Press, 1959), 47–50.
[11]
¹¹ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 173–176.
[12]
¹² Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, 138–140.
[13]
¹³ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 254–257.
[14]
¹⁴ Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry
Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1970), 45–48.
[15]
¹⁵ Ibn Sīnā, Al-Siyāsah, in Risālat al-Tadbīrāt al-Ilāhiyyah,
ed. ʿAbd al-Raḥmān Badawī (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1954), 21–23.
[16]
¹⁶ Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader
(Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 63–65.
[17]
¹⁷ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 166–168.
[18]
¹⁸ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning
in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981),
124–126.
[19]
¹⁹ Mulla Ṣadrā, Al-Asfār al-Arbaʿah, ed. Muhammad Rida
al-Muzaffar (Tehran: Intishārāt-e Bīdār, 1981), 81–84.
[20]
²⁰ Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ʿArabī
(Princeton: Princeton University Press, 1969), 89–92.
[21]
²¹ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
77–80.
[22]
²² Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard
University Press, 1964), 182–184.
[23]
²³ Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New
York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 181–184.
[24]
²⁴ Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger, 1947), I.q.3.
[25]
²⁵ Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et
Philosophiques, vol. 2 (Paris: Gallimard, 1972), 55–58.
[26]
²⁶ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford:
Oxford University Press, 2016), 131–134.
[27]
²⁷ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia
(Richmond: Curzon Press, 1997), 191–194.
[28]
²⁸ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, 149–151.
[29]
²⁹ Henry Corbin, Temple and Contemplation, 95–97.
[30]
³⁰ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
179–181.
[31]
³¹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 189–192.
13. Kesimpulan
Rasionalisme Peripatetik Ibn Sīnā merupakan salah
satu puncak tertinggi dalam sejarah filsafat Islam yang berhasil mensintesiskan
warisan intelektual Yunani dengan kerangka spiritual Islam.¹ Ia bukan sekadar
penerus Aristoteles, melainkan inovator yang mengembangkan sistem metafisika,
epistemologi, dan logika menjadi struktur pemikiran yang menyatukan
rasionalitas dan transendensi. Melalui konsep-konsep fundamental seperti Wājib
al-Wujūd, al-ʿaql al-faʿʿāl, serta distingsi antara wujūd dan
māhiyyah, Ibn Sīnā meletakkan dasar bagi pemikiran eksistensial dan
teologis yang bertahan lintas zaman.²
Dalam sistemnya, akal (ʿaql) menempati
posisi sentral bukan hanya sebagai alat berpikir, tetapi juga sebagai jalan
menuju penyempurnaan jiwa dan kebahagiaan sejati (al-saʿādah).³ Rasionalisme
Ibn Sīnā tidak berhenti pada deduksi logis, tetapi menuntun manusia menuju
kesadaran spiritual. Ia menunjukkan bahwa berpikir benar adalah bentuk ibadah
intelektual, dan pengetahuan sejati adalah sarana mendekatkan diri kepada
Tuhan.⁴ Dengan demikian, rasionalitas Avicennian tidak bersifat sekuler, tetapi
teologis—sebuah “rasionalisme sakral” yang menegaskan kesatuan antara
kebenaran dan ketuhanan.⁵
Secara historis, pemikiran Ibn Sīnā melahirkan dua
warisan besar: di Barat, ia menjadi fondasi bagi skolastisisme melalui Thomas
Aquinas dan Albertus Magnus; di Timur, ia menginspirasi lahirnya ḥikmat
al-ishrāq (filsafat iluminasi) dan ḥikmat al-mutaʿāliyah (filsafat
transendental) yang dikembangkan oleh Suhrawardī dan Mulla Ṣadrā.⁶ Ia menjadi
jembatan filosofis antara dunia Islam, Yunani, dan Eropa Latin—mewakili titik
temu universal antara rasionalisme dan spiritualitas.⁷
Dari segi aksiologi, rasionalisme Ibn Sīnā
membentuk dasar etika intelektual Islam: bahwa ilmu bukan semata untuk
mengetahui, tetapi untuk menata kehidupan dan memperhalus jiwa.⁸ Pengetahuan
yang benar menuntun pada moralitas dan keteraturan sosial, sedangkan kebodohan
adalah sumber kekacauan. Maka, pendidikan rasional menjadi sarana pembebasan
manusia dari ketidaktahuan menuju kesempurnaan eksistensial.⁹
Dalam konteks kontemporer, warisan Ibn Sīnā
memiliki nilai yang sangat penting. Dunia modern, yang sering kali memisahkan
sains dari makna, dapat belajar dari integrasi epistemologis Ibn Sīnā antara
rasio dan iman.¹⁰ Pandangan Avicennian menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak
dapat dilepaskan dari etika dan metafisika, karena rasionalitas tanpa nilai
akan kehilangan arah, sedangkan iman tanpa rasionalitas akan kehilangan
kedalaman.¹¹
Oleh karena itu, sistem rasionalisme Ibn Sīnā tidak
hanya menjadi peninggalan historis, tetapi paradigma abadi yang menegaskan
harmoni antara akal dan wahyu, antara empirisme dan metafisika, antara
pengetahuan dan kebijaksanaan.¹² Ia menampilkan wajah Islam yang rasional,
ilmiah, dan spiritual sekaligus—sebuah warisan yang tidak hanya membentuk
peradaban klasik, tetapi juga menjadi sumber inspirasi untuk membangun kembali
kesadaran filosofis dan spiritual di era modern.¹³
Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa Ibn Sīnā
telah memperlihatkan bahwa rasionalitas sejati adalah jalan menuju
kebijaksanaan ilahi.¹⁴ Melalui filsafatnya, ia mengajarkan bahwa berpikir
dengan jernih adalah bentuk pengabdian, dan mencari kebenaran adalah wujud
tertinggi dari iman.¹⁵ Maka, dalam setiap zaman, rasionalisme Ibn Sīnā akan tetap
hidup sebagai mercusuar yang menuntun manusia menuju kesatuan antara
pengetahuan, moralitas, dan transendensi.¹⁶
Footnotes
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present (Albany: State University of New York Press,
2006), 155–158.
[2]
² Henry Corbin, Avicenna and the Visionary
Recital, trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press,
1960), 167–169.
[3]
³ Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An
English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford
University Press, 1952), 93–96.
[4]
⁴ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed.
Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 142–145.
[5]
⁵ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 190–193.
[6]
⁶ Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World
(Oxford: Oxford University Press, 2016), 139–142.
[7]
⁷ Etienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 189–192.
[8]
⁸ Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 184–186.
[9]
⁹ George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1981), 131–134.
[10]
¹⁰ Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 263–266.
[11]
¹¹ Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape
of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 102–104.
[12]
¹² Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual
Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1997), 195–198.
[13]
¹³ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization
in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 174–177.
[14]
¹⁴ Henry Corbin, Temple and Contemplation,
trans. Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1986), 99–101.
[15]
¹⁵ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 226–228.
[16]
¹⁶ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages
(Cambridge: Harvard University Press, 1964), 190–193.
Daftar Pustaka
Adamson, P. (2016). Philosophy in the Islamic
World. Oxford University Press.
Aminrazavi, M. (1997). The Islamic Intellectual
Tradition in Persia. Curzon Press.
Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger.
Aquinas, T. (1968). De Ente et Essentia (A.
Maurer, Trans.). Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Clarendon Press.
Aristotle. (1984). Organon (J. Barnes,
Trans.). Clarendon Press.
Burnett, C. (1974). The transmission of Arabic
learning to the West. In J. Schacht & C. E. Bosworth (Eds.), The Legacy
of Islam (pp. 63–66). Oxford University Press.
Corbin, H. (1960). Avicenna and the Visionary
Recital (W. R. Trask, Trans.). Princeton University Press.
Corbin, H. (1969). Creative Imagination in the
Sufism of Ibn ʿArabī. Princeton University Press.
Corbin, H. (1972). En Islam Iranien: Aspects
Spirituels et Philosophiques (Vol. 2). Gallimard.
Corbin, H. (1986). Temple and Contemplation
(P. Sherrard, Trans.). Kegan Paul.
Corbin, H. (1993). History of Islamic Philosophy
(L. Sherrard, Trans.). Kegan Paul.
Descartes, R. (1996). Meditations on First
Philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Dewey, J. (1916). Democracy and Education.
Macmillan.
Fakhry, M. (2004). A History of Islamic
Philosophy. Columbia University Press.
Ghazālī, A. H. (1927). Tahāfut al-Falāsifah
(M. Bouyges, Ed.). Imprimerie Catholique.
Ghazālī, A. H. (1930). Maqāṣid al-Falāsifah
(S. M. Afnan, Trans.). Luzac & Co.
Gilson, E. (1936). The Spirit of Medieval
Philosophy. Charles Scribner’s Sons.
Goodman, L. E. (1992). Avicenna. Routledge.
Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture.
Routledge.
Gutas, D. (2014). Avicenna and the Aristotelian
Tradition. Brill.
Haʾiri Yazdi, M. (1992). The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy. State University of New York Press.
Haʾiri Yazdi, M. (1992). Knowledge by Presence.
State University of New York Press.
Leaman, O. (1985). An Introduction to Classical
Islamic Philosophy. Cambridge University Press.
Makdisi, G. (1981). The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh University Press.
Mulla Ṣadrā. (1981). Al-Asfār al-Arbaʿah (M.
R. al-Muzaffar, Ed.). Intishārāt-e Bīdār.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim Sages.
Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and Civilization in
Islam. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred.
State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of
Nature. Oxford University Press.
Nasr, S. H. (2006). Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present. State University of New York Press.
Nasr, S. H. (2007). The Essential Seyyed Hossein
Nasr. World Wisdom.
Rahman, F. (1952). Avicenna’s Psychology: An
English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI. Oxford
University Press.
Rahman, F. (1959). Kitāb al-Nafs, in Al-Shifāʾ.
Oxford University Press.
Rahman, F. (1975). The Philosophy of Mulla Sadra.
State University of New York Press.
Rahman, F. (1982). Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press.
Sardar, Z. (1985). Islamic Futures: The Shape of
Ideas to Come. Mansell.
Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The
Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam. Oxford University
Press.
Saliba, G. (1994). A History of Arabic Astronomy.
New York University Press.
Suhrawardī, S. D. (1970). Ḥikmat al-Ishrāq
(H. Corbin, Ed.). Institute Franco-Iranien.
Tarnas, R. (1991). The Passion of the Western
Mind. Ballantine Books.
Watt, W. M. (1953). The Faith and Practice of
Al-Ghazali. George Allen & Unwin.
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar