Selasa, 15 April 2025

Pemikiran Seyyed Hossein Nasr: Sebuah Telaah Filsafat Perennial dan Krisis Dunia Modern

Pemikiran Seyyed Hossein Nasr

Sebuah Telaah Filsafat Perennial dan Krisis Dunia Modern


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji pemikiran Seyyed Hossein Nasr sebagai respons terhadap krisis peradaban modern melalui pendekatan filsafat perennial dan spiritualitas Islam tradisional. Nasr memformulasikan kritik mendalam terhadap modernitas yang ia nilai telah mereduksi realitas menjadi semata-mata material dan sekuler, sehingga menyebabkan kehampaan spiritual, degradasi lingkungan, dan disorientasi eksistensial manusia. Berangkat dari epistemologi tradisional Islam, Nasr mengusulkan rekonstruksi sistem pengetahuan yang sakral dan holistik, dengan menempatkan wahyu, akal, dan intuisi spiritual dalam satu kesatuan hierarkis. Artikel ini juga membahas kedudukan tasawuf dalam pemikiran Nasr sebagai jalan esoterik menuju Tuhan serta sebagai fondasi bagi etika dan kosmologi Islam. Selain itu, dibahas kontribusi Nasr dalam bidang filsafat sains, ekologi Islam, dan dialog antaragama. Meskipun pemikirannya menuai kritik dari berbagai kalangan, artikel ini menunjukkan bahwa gagasan Nasr tetap relevan dalam merumuskan paradigma alternatif bagi dunia Islam kontemporer yang sedang menghadapi tantangan modernitas, globalisasi, dan krisis spiritual. Dengan menyandingkan akar-akar tradisi dengan tuntutan zaman, Nasr menawarkan visi peradaban Islam yang transenden, inklusif, dan berkeadaban.

Kata Kunci: Seyyed Hossein Nasr; Filsafat Islam; Filsafat Perennial; Epistemologi Tradisional; Tasawuf; Krisis Modernitas; Spiritualitas Islam; Kosmologi Islam; Dialog Antaragama; Ekologi Sakral.


PEMBAHASAN

Seyyed Hossein Nasr dan Spiritualitas Islam Tradisional


1.           Pendahuluan

Modernitas, dengan segala capaian teknologis dan rasionalitas ilmiahnya, telah membawa dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Namun di balik kemajuan tersebut, muncul pula krisis spiritual yang mendalam: alienasi eksistensial, degradasi lingkungan, dan fragmentasi nilai-nilai hidup. Dalam konteks ini, muncul urgensi untuk meninjau ulang fondasi epistemologis dan spiritual peradaban modern. Seyyed Hossein Nasr, seorang filsuf Islam kontemporer terkemuka, tampil sebagai salah satu pemikir yang menyuarakan kritik tajam terhadap modernitas dan menyerukan kembalinya orientasi spiritual yang bersumber dari tradisi sakral Islam.

Nasr meyakini bahwa modernitas telah memutus hubungan manusia dengan “tatanan metafisik” yang menjadi fondasi utama kehidupan tradisional. Bagi Nasr, ilmu pengetahuan modern yang bersifat sekuler dan positivistik telah mereduksi realitas hanya pada aspek material, menyingkirkan dimensi ilahiah yang sebelumnya menjadi pusat orientasi dalam tradisi Islam klasik. Hal ini menyebabkan “krisis sakralitas” dalam peradaban kontemporer yang tercermin dalam krisis ekologi, krisis makna, dan kehilangan pusat spiritual dalam kehidupan manusia modern¹.

Dengan latar belakang pendidikan di Barat dan akar intelektual yang kuat dalam tradisi Islam, Nasr memformulasikan kritiknya melalui pendekatan filsafat perennial (perennial philosophy), yang menyatakan bahwa terdapat suatu inti kebenaran metafisik universal yang bersifat abadi dan tercermin dalam seluruh agama wahyu². Pendekatan ini tidak hanya menjadi kritik terhadap modernitas Barat, tetapi juga menjadi tawaran konstruktif untuk membangun kembali hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan secara harmonis melalui pendekatan esoterik Islam, khususnya tasawuf.

Pemikiran Nasr sangat relevan dalam diskursus filsafat Islam kontemporer karena ia tidak hanya berbicara tentang Islam sebagai doktrin, tetapi juga sebagai peradaban spiritual yang memiliki kosmologi, metafisika, dan etika yang menyatu secara integral. Sebagai seorang tokoh dari mazhab Tradisionalis, ia memandang bahwa pemulihan peradaban Islam tidak dapat dicapai melalui imitasi terhadap model Barat, tetapi harus dimulai dari rekonstruksi kesadaran spiritual berdasarkan warisan hikmah (ḥikmah) yang telah diwariskan oleh para filsuf dan sufi besar Islam³.

Melalui artikel ini, pembahasan akan difokuskan pada aspek utama pemikiran Seyyed Hossein Nasr, terutama mengenai epistemologi tradisional, konsep filsafat perennial, serta kritik terhadap modernitas dan dampaknya terhadap krisis spiritual. Diharapkan telaah ini dapat memberikan kontribusi dalam merespons tantangan zaman dengan fondasi filosofis dan spiritual yang kokoh.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 3–6.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 5–9.

[3]                William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2001), 12–13.


2.           Biografi Intelektual Seyyed Hossein Nasr

Seyyed Hossein Nasr lahir di Teheran, Iran, pada 7 April 1933 dalam keluarga aristokrat yang memiliki tradisi intelektual dan religius yang kuat. Ayahnya, Seyyed Valiallah Nasr, adalah seorang dokter dan intelektual yang turut berperan dalam mendirikan sistem pendidikan modern di Iran. Lingkungan keluarga yang religius dan intelektual ini membentuk fondasi awal bagi Nasr untuk tumbuh dalam tradisi Islam yang kental dan kosmopolitan¹.

Nasr menempuh pendidikan dasarnya di Iran, namun pada usia tiga belas tahun ia melanjutkan studinya ke Amerika Serikat. Ia diterima di Peddie School, sebuah sekolah persiapan bergengsi di New Jersey, dan kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Massachusetts Institute of Technology (MIT), tempat ia memperoleh gelar sarjana dalam bidang fisika. Namun, ketertarikannya terhadap filsafat dan spiritualitas mendorongnya untuk melanjutkan studi ke Harvard University, di mana ia memperoleh gelar doktor dalam bidang sejarah sains dan filsafat Islam pada tahun 1958. Disertasinya berjudul Conceptions of Nature in Islamic Thought merupakan studi pionir yang mempertemukan antara sains dan spiritualitas dalam kerangka Islam².

Selama masa studinya di Barat, Nasr tidak hanya menekuni bidang akademik, tetapi juga menjalin hubungan erat dengan pemikir-pemikir Perennialis seperti Frithjof Schuon, Titus Burckhardt, dan René Guénon. Interaksinya dengan mazhab Perennialisme ini membentuk kerangka metafisika dan epistemologi yang kelak menjadi inti dari pemikiran filsafatnya. Nasr menerima ajaran tentang sophia perennis (kebijaksanaan abadi) sebagai prinsip yang menghubungkan seluruh agama wahyu dan tradisi spiritual sejati³.

Sekembalinya ke Iran, Nasr mengabdi di berbagai institusi akademik, termasuk sebagai dosen dan kemudian rektor di Universitas Teknologi Aryamehr (sekarang Sharif University of Technology), serta sebagai profesor di Universitas Teheran. Ia juga mendirikan Akademi Filsafat Iran yang bertujuan untuk menghidupkan kembali warisan intelektual Islam klasik, terutama dalam bidang falsafah dan hikmah⁴. Keberadaannya di Iran berakhir setelah Revolusi Islam 1979, ketika ia memilih bermigrasi ke Amerika Serikat karena dinamika politik yang tidak kondusif bagi aktivitas akademik dan spiritualnya.

Sejak saat itu, Nasr menetap di Amerika Serikat dan mengajar di berbagai universitas ternama, termasuk Temple University dan George Washington University, di mana ia menjabat sebagai Profesor Studi Islam. Di luar aktivitas akademik, Nasr juga aktif dalam berbagai forum internasional, dialog antaragama, dan konferensi lingkungan hidup. Ia telah menulis lebih dari lima puluh buku dan ratusan artikel ilmiah dalam bahasa Inggris, Persia, dan Arab, yang mencakup tema-tema filsafat Islam, tasawuf, sains sakral, ekologi spiritual, dan tradisi religius dunia⁵.

Karier intelektual Nasr menunjukkan kesinambungan antara tradisi Islam klasik dan pemikiran kontemporer. Ia bukan hanya pengulas warisan masa lalu, melainkan juga seorang pembaru (mujaddid) spiritual yang menjembatani diskursus Timur dan Barat, sains dan agama, serta eksoterisme dan esoterisme. Dalam hal ini, ia menjadi salah satu pemikir Muslim paling berpengaruh di dunia kontemporer, yang karya-karyanya diapresiasi oleh kalangan akademisi, agamawan, dan aktivis spiritual lintas tradisi.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, The Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy (London: Bloomsbury Academic, 2006), 407–409.

[2]                Ibrahim Kalin, “Seyyed Hossein Nasr,” in The Oxford Encyclopedia of the Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford: Oxford University Press, 2009).

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), xi–xiii.

[4]                Ramin Jahanbegloo, In Search of the Sacred: A Conversation with Seyyed Hossein Nasr on His Life and Thought (Santa Barbara: Praeger, 2010), 49–54.

[5]                Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1996), 265–267.


3.           Epistemologi Tradisional dan Kritik terhadap Sains Modern

Seyyed Hossein Nasr merupakan salah satu pemikir kontemporer yang gigih menghidupkan kembali epistemologi tradisional dalam khazanah pemikiran Islam. Menurut Nasr, epistemologi tradisional adalah kerangka pengetahuan yang tidak hanya mengakui validitas akal dan empirisme, tetapi juga mengintegrasikan wahyu (al-wahy) dan intuisi spiritual (kasyf atau dzauq) sebagai sumber pengetahuan yang sah dan tertinggi. Dalam kerangka ini, pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sakral karena berakar pada hakikat Ilahi, bukan semata hasil konstruksi rasional manusia¹.

Nasr menyatakan bahwa dalam Islam klasik, struktur pengetahuan bersifat hierarkis. Di puncak hierarki ini terdapat pengetahuan ilahiah (al-‘ilm al-ladunni) yang diperoleh melalui iluminasi spiritual, diikuti oleh pengetahuan rasional (al-‘aql), dan terakhir pengetahuan indrawi. Pengetahuan yang sejati, menurutnya, adalah pengetahuan yang mengantarkan manusia kepada Tuhan, bukan sekadar deskripsi teknis dunia fisik². Dalam perspektif ini, ilmu tidak netral: ia harus memancarkan nilai-nilai sakral, etika, dan tujuan transenden.

Sebaliknya, Nasr mengkritik keras sains modern Barat yang ia anggap telah terlepas dari akar metafisik dan spiritualnya. Sains modern, menurutnya, dibangun atas dasar dualisme Cartesian, empirisme mekanistik, dan reduksionisme materialistik. Dalam pandangan Nasr, sains semacam ini tidak hanya gagal menjelaskan realitas secara utuh, tetapi juga berkontribusi terhadap degradasi lingkungan, krisis spiritual, dan nihilisme budaya di dunia kontemporer³. Ia menyebut kondisi ini sebagai “krisis pengetahuan” (crisis of knowledge), di mana manusia kehilangan orientasi ilahiah dalam proses memperoleh dan menggunakan pengetahuan⁴.

Melalui karya utamanya Knowledge and the Sacred, Nasr menyerukan pentingnya pemulihan ilmu yang sakral (sacred science), yaitu ilmu yang tidak memisahkan realitas fisik dari dimensi metafisik. Ilmu yang sakral didasarkan pada kesadaran bahwa seluruh alam adalah manifestasi dari Tuhan, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an bahwa segala sesuatu bertasbih kepada-Nya (QS. Al-Isra’ [17] ayat 44). Dalam kerangka ini, pengetahuan tentang alam menjadi jalan menuju makrifat kepada Sang Pencipta⁵.

Pemulihan epistemologi tradisional, bagi Nasr, tidak berarti menolak sains modern secara keseluruhan. Yang ia tolak adalah absolutisasi sains modern sebagai satu-satunya cara untuk memahami realitas. Nasr menekankan pentingnya mengintegrasikan kembali unsur-unsur spiritual dan nilai-nilai metafisik ke dalam praksis keilmuan. Hal ini ia lakukan tidak hanya dalam konteks Islam, tetapi juga dalam dialog lintas tradisi religius yang mengakui eksistensi “kebijaksanaan abadi” (Sophia Perennis) sebagai fondasi semua ilmu sejati⁶.

Kritik Nasr terhadap sains modern sekaligus menjadi panggilan untuk rekonsiliasi antara ilmu dan iman, antara rasionalitas dan wahyu, serta antara manusia dan alam. Dalam pandangannya, masa depan peradaban bergantung pada kesediaan manusia untuk kembali kepada struktur pengetahuan yang memuliakan Tuhan dan menjunjung keseimbangan kosmik. Dengan demikian, epistemologi tradisional bukanlah nostalgia masa lalu, melainkan tawaran solutif untuk mengatasi krisis pengetahuan dan spiritualitas dewasa ini.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 3–5.

[2]                Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 10–12.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 7–9.

[4]                Nasr, “The Spiritual Crisis of Modern Man,” in Islam and the Plight of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 2001), 56–58.

[5]                Qur'an 17:44; lihat juga Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 23.

[6]                William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2007), 14–16.


4.           Filsafat Perennial (Perennial Philosophy)

Salah satu aspek paling mendasar dalam pemikiran Seyyed Hossein Nasr adalah keterikatannya dengan filsafat perennial (perennial philosophy), suatu pendekatan metafisik yang menekankan keberadaan kebenaran universal dan abadi yang terkandung dalam semua tradisi religius autentik. Nasr adalah salah satu tokoh Muslim terkemuka dalam arus pemikiran ini bersama tokoh-tokoh seperti René Guénon, Frithjof Schuon, dan Titus Burckhardt¹. Filsafat perennial bagi Nasr bukan hanya kerangka berpikir metafisik, tetapi juga merupakan jalan spiritual yang berakar pada hikmah tradisional (ḥikmah al-khālidah) dan praktik esoterik Islam.

Dalam kerangka filsafat perennial, diyakini bahwa seluruh agama wahyu mengandung inti kebenaran yang sama, yaitu Realitas Transenden yang tak berubah (al-Ḥaqq), yang menjadi sumber dan tujuan segala eksistensi. Perbedaan dalam aspek luar agama-agama dipandang sebagai ekspresi simbolik dan kultural dari satu inti kebenaran metafisik tersebut². Dalam Islam, prinsip ini tercermin dalam ajaran tauhid serta konsep fitrah sebagai kecenderungan manusia untuk mengenal Tuhan secara naluriah.

Bagi Nasr, perennialisme adalah sarana untuk membela nilai-nilai sakral dan metafisik yang ditinggalkan oleh peradaban modern. Ia memandang bahwa filsafat modern Barat telah tercerabut dari akar transendennya dan jatuh ke dalam relativisme dan sekularisme. Dalam konteks ini, filsafat perennial menjadi kritik tajam terhadap modernitas dan tawaran jalan kembali kepada Tradisi dengan huruf kapital “T”—yaitu warisan suci dari agama-agama wahyu yang membimbing manusia menuju realitas ilahi³.

Dalam karya Knowledge and the Sacred, Nasr menekankan bahwa filsafat perennial tidak bertentangan dengan agama tertentu, tetapi justru membantu mengungkap kedalaman metafisik dari setiap agama, termasuk Islam. Ia berargumen bahwa tasawuf merupakan bentuk aktual dari filsafat perennial dalam Islam, karena ia memuat pengetahuan intuitif, simbolisme sakral, dan disiplin spiritual yang mengarah pada penyaksian Tuhan (mushāhadah)⁴. Dengan demikian, filsafat perennial bukanlah pengaburan agama, melainkan pendalaman dimensi esoterik yang menjadi ruh dari agama itu sendiri.

Keterlibatan Nasr dalam mazhab Tradisionalis membawanya pada pandangan bahwa peradaban masa kini hanya dapat diselamatkan melalui rekonsiliasi dengan kebijaksanaan tradisional. Dalam pemikiran ini, tradisi bukan sekadar kebiasaan budaya, melainkan struktur kosmologis dan metafisik yang menghubungkan manusia dengan sumber transendennya. Oleh karena itu, pemulihan peradaban tidak dapat dicapai dengan modernisasi semata, melainkan melalui “resakralisasi” ilmu, kehidupan, dan eksistensi manusia⁵.

Meskipun pendekatan perennial mendapat dukungan dari berbagai kalangan spiritual, pendekatan ini juga menuai kritik. Sebagian cendekiawan Muslim mempertanyakan keabsahan pendekatan ini karena dianggap cenderung sinkretistik dan mengaburkan batas antara Islam dan agama-agama lain. Namun Nasr menegaskan bahwa ia tetap berdiri dalam kerangka tauhid dan tidak pernah menyamakan Islam dengan tradisi lainnya dalam hal syariat dan wahyu, meskipun mengakui adanya kesamaan dalam inti metafisik dan spiritual⁶.

Secara keseluruhan, filsafat perennial dalam pemikiran Nasr adalah upaya untuk mengembalikan kedudukan metafisika sebagai pusat peradaban. Ia menawarkan suatu paradigma alternatif terhadap modernitas: paradigma yang mengakui kedalaman spiritual manusia, kesakralan alam semesta, dan keterikatan segala sesuatu kepada Realitas Mutlak. Dalam dunia yang sedang mengalami krisis makna, pendekatan ini tampil sebagai tawaran filosofis dan spiritual yang kaya untuk merajut kembali hubungan manusia dengan Tuhan dan kosmos.


Footnotes

[1]                Harry Oldmeadow, The Essential Frithjof Schuon (Bloomington: World Wisdom, 2005), 17–18.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 14–16.

[3]                Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 2001), 72–74.

[4]                Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 67–71.

[5]                William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2001), 203–205.

[6]                Reza Shah-Kazemi, “Perennial Philosophy and the Transcendent Unity of Religions,” Islamic Quarterly 48, no. 1 (2004): 45–48.


5.           Spiritualitas Islam dan Tasawuf

Dalam konstruksi filsafat dan visi peradabannya, Seyyed Hossein Nasr menempatkan spiritualitas Islam—khususnya tasawuf—sebagai inti dari pemulihan makna hidup manusia modern. Menurut Nasr, Islam tidak hanya merupakan sistem hukum dan teologi formal, tetapi juga memiliki dimensi batin yang dalam, yaitu tasawuf (sufisme), yang merepresentasikan inti esoterik agama Islam dan sarana utama bagi manusia untuk kembali kepada Tuhan dalam dunia yang kian sekuler dan materialistik¹.

Tasawuf, dalam pandangan Nasr, adalah jalan menuju pengetahuan langsung tentang Tuhan (ma‘rifah) yang diperoleh melalui penyucian jiwa, disiplin spiritual, dan pembinaan batin. Ia melihat tasawuf sebagai ekspresi otentik dari ajaran Islam yang bersumber dari wahyu (al-Qur’an dan Sunnah), diteruskan oleh para sahabat Nabi, dan berkembang dalam bentuk tatanan spiritual (ṭarīqah) yang mapan². Tasawuf bukanlah unsur tambahan dalam Islam, melainkan dimensi batin yang melengkapi aspek lahir (syariat) dan rasional (akal), membentuk struktur integral dari agama.

Nasr menekankan bahwa fungsi utama tasawuf adalah menghidupkan kembali orientasi teosentris dalam diri manusia, yakni kesadaran bahwa seluruh eksistensi bersumber dari dan menuju kepada Allah (inna lillāhi wa inna ilaihi rāji‘ūn). Di tengah dominasi modernitas yang menempatkan manusia sebagai pusat segala hal (antroposentrisme), tasawuf mengajarkan tentang tawadhu’ kosmik, yaitu kesadaran akan posisi ontologis manusia sebagai makhluk yang terikat pada Tuhan dan kosmos⁴. Melalui disiplin spiritual seperti zikir, khalwat, muraqabah, dan muhasabah, manusia dibimbing untuk menyingkap tabir dunia fisik menuju realitas transenden.

Dalam konteks filsafat perennial yang dianut Nasr, tasawuf menempati posisi sentral karena ia mewujudkan prinsip religio perennis dalam Islam. Ia menyebut tasawuf sebagai “jalan esoterik” (the esoteric path) yang menghubungkan manusia dengan kebenaran abadi, serupa dengan mistisisme Kristen, kabbalah Yahudi, dan Vedanta Hindu⁵. Namun demikian, Nasr selalu menegaskan keunikan tasawuf dalam bingkai tauhid Islam, berbeda dari sinkretisme atau pluralisme relativistik yang mengaburkan batas-batas agama.

Tasawuf juga menjadi landasan bagi kritik Nasr terhadap modernitas. Ia berpendapat bahwa kehilangan spiritualitas dalam masyarakat modern adalah penyebab utama dari krisis lingkungan, alienasi manusia, dan kehampaan makna hidup. Dalam karyanya Man and Nature, ia menjelaskan bahwa dunia tradisional Islam memandang alam sebagai tanda-tanda Tuhan (āyāt Allāh), sedangkan modernitas memandangnya sekadar sebagai objek eksploitasi. Tasawuf, dengan pandangan kosmologisnya yang sakral, menawarkan paradigma alternatif yang menempatkan manusia sebagai khalifah yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan kosmik⁶.

Selain sebagai jalan spiritual individual, tasawuf menurut Nasr juga memiliki peran peradaban. Ia menjadi kekuatan pembentuk etika, seni, arsitektur, dan tata sosial dalam sejarah peradaban Islam. Oleh karena itu, pemulihan tasawuf bukan hanya penting untuk pembinaan individu, tetapi juga untuk rekonstruksi peradaban Islam yang berakar pada nilai-nilai ilahiah dan kosmologis⁷.

Dalam dunia Islam kontemporer yang sering kali terjebak dalam konflik antara fundamentalisme dan sekularisme, Nasr menawarkan tasawuf sebagai jalan tengah yang menyatukan keutuhan Islam dalam bentuknya yang paling spiritual, inklusif, dan berakar pada tradisi. Ia menyerukan agar umat Islam kembali menyadari nilai tasawuf, tidak sebagai pelarian, tetapi sebagai jalan integratif menuju kedalaman agama dan solusi peradaban.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam's Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), xiii–xv.

[2]                Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 131–133.

[3]                William C. Chittick, Sufism: A Short Introduction (Oxford: Oneworld Publications, 2000), 6–8.

[4]                Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 34–36.

[5]                Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 50–52.

[6]                Harry Oldmeadow, “Sufism and Tradition: The Thought of Seyyed Hossein Nasr,” Sacred Web 5 (2000): 15–18.

[7]                Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence: According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington: World Wisdom, 2006), 87–88.


6.           Kritik terhadap Modernitas dan Krisis Peradaban Kontemporer

Kritik Seyyed Hossein Nasr terhadap modernitas bersifat menyeluruh dan mendalam. Ia tidak sekadar menyoroti gejala permukaan, tetapi menggugat fondasi metafisik dari peradaban modern yang menurutnya telah tercerabut dari akar sakral dan spiritualnya. Modernitas, dalam pandangan Nasr, merupakan proyek peradaban yang dibangun atas dasar sekularisme, materialisme, dan humanisme antroposentris, yang secara sistematis menyingkirkan Tuhan dari pusat kehidupan manusia¹.

Nasr menggambarkan modernitas sebagai peradaban yang mengalami krisis ontologis, yakni kehilangan pemahaman akan realitas tertinggi (al-Ḥaqq) dan hierarki kosmos yang mencerminkan keteraturan ilahiah. Dalam sistem tradisional, seluruh elemen kehidupan—dari sains hingga seni, dari politik hingga pendidikan—berakar pada prinsip-prinsip metafisik yang bersumber dari wahyu dan diselaraskan melalui akal serta intuisi spiritual. Modernitas memutus keterkaitan ini dan menjadikan rasionalitas otonom sebagai satu-satunya ukuran kebenaran².

Salah satu ekspresi krisis modernitas yang paling nyata, menurut Nasr, adalah krisis ekologi global. Dalam karyanya Man and Nature, Nasr menekankan bahwa peradaban modern melihat alam sebagai objek mati yang dapat dieksploitasi tanpa batas. Sebaliknya, dalam pandangan Islam tradisional, alam adalah ciptaan Ilahi yang hidup dan penuh makna spiritual. Manusia bukan penguasa mutlak atas alam, tetapi khalifah yang diberi amanah untuk menjaga keseimbangan dan keteraturan kosmos³. Oleh karena itu, krisis lingkungan dewasa ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi berakar pada krisis spiritual dan epistemologis dalam cara manusia modern memahami eksistensinya.

Lebih jauh, Nasr memandang bahwa alienasi manusia modern dari realitas transenden telah menciptakan kekosongan makna yang tak tergantikan oleh sains, teknologi, atau konsumsi material. Dalam Islam and the Plight of Modern Man, ia menegaskan bahwa manusia modern, meski hidup dalam kemajuan teknologis yang belum pernah terjadi sebelumnya, justru mengalami kehampaan spiritual dan kehilangan arah hidup. Nasr menyebut ini sebagai “kehancuran manusia sebagai makhluk spiritual”_⁴.

Kritik Nasr terhadap modernitas tidak hanya bersifat dekonstruktif, tetapi juga menawarkan alternatif konstruktif, yakni dengan kembali kepada prinsip-prinsip Tradisi (dengan huruf kapital), yaitu prinsip metafisik yang menjadi fondasi semua agama wahyu. Ia menyerukan resakralisasi ilmu, pendidikan, dan kehidupan sosial sebagai jalan untuk merekonstruksi peradaban yang seimbang antara akal, wahyu, dan intuisi. Resakralisasi ini tidak berarti menolak kemajuan sains dan teknologi, tetapi menundukkannya di bawah kebijaksanaan metafisik dan etika spiritual⁵.

Namun, kritik Nasr tidak hanya ditujukan pada peradaban Barat. Ia juga mengkritik umat Islam kontemporer yang terjebak pada dua ekstrem: modernisme sekular yang mengimitasi Barat secara buta, dan fundamentalisme literal yang kehilangan kedalaman spiritual dan intelektual Islam klasik. Dalam pandangan Nasr, solusi sejati terletak pada pemulihan integrasi antara syariat, akal, dan tasawuf, sebagaimana tercermin dalam peradaban Islam tradisional⁶.

Kritik Nasr terhadap modernitas adalah bagian dari proyek intelektual yang lebih besar: membangun kembali paradigma ilmu yang sakral dan peradaban spiritual. Ia percaya bahwa masa depan umat manusia sangat bergantung pada kemampuannya untuk melampaui keterbatasan modernitas sekuler dan membuka diri terhadap dimensi transenden realitas, yang telah lama ditinggalkan dalam kehidupan modern. Dalam konteks ini, pemikiran Nasr menawarkan kontribusi penting bagi filsafat Islam kontemporer dan wacana global tentang krisis kemanusiaan dan lingkungan.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 2001), 17–21.

[2]                Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 26–30.

[3]                Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 45–47.

[4]                Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 100–102.

[5]                William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld, 2007), 29–31.

[6]                Ibrahim Kalin, “Knowledge as Light: Critical Reflections on Seyyed Hossein Nasr's Epistemology,” Islamic Studies 43, no. 2 (2004): 227–230.


7.           Kontribusi Intelektual dan Pengaruh Global

Seyyed Hossein Nasr adalah salah satu tokoh Muslim kontemporer yang pengaruh intelektualnya melintasi batas geografis, budaya, dan agama. Kontribusinya mencakup bidang filsafat Islam, studi perbandingan agama, spiritualitas, tasawuf, sejarah sains, serta pemikiran ekologi sakral. Keistimewaan Nasr terletak pada kemampuannya menyatukan kedalaman tradisi Islam klasik dengan bahasa dan metodologi filsafat kontemporer, sehingga menjadikan pemikirannya dapat diakses oleh publik akademik global¹.

Kontribusi pertama dan paling mendasar dari Nasr adalah revitalisasi filsafat Islam tradisional sebagai suatu sistem pemikiran yang masih relevan untuk merespons krisis dunia modern. Melalui karya-karyanya seperti Knowledge and the Sacred dan The Need for a Sacred Science, ia menghadirkan kembali struktur pengetahuan Islam yang bersifat hierarkis dan transenden, dengan wahyu dan intuisi spiritual sebagai puncaknya². Dalam kerangka ini, Nasr menjadi juru bicara utama dari mazhab Tradisionalis Islam yang mempertahankan integritas metafisik dan spiritual ajaran Islam dalam dunia yang didominasi oleh positivisme dan sekularisme.

Selain itu, Nasr dikenal luas sebagai pelopor bidang sejarah dan filsafat sains Islam. Bukunya Science and Civilization in Islam merupakan salah satu karya klasik yang memperkenalkan kontribusi peradaban Islam terhadap ilmu pengetahuan kepada publik Barat. Ia tidak hanya menekankan pencapaian teknis ilmuwan Muslim klasik seperti al-Biruni, Ibn Sina, dan al-Tusi, tetapi juga memperlihatkan fondasi kosmologis dan spiritual yang melandasi sains dalam Islam³. Dengan demikian, Nasr membangun jembatan antara sejarah sains dan dimensi sakralitas, sesuatu yang sangat jarang dilakukan dalam studi-studi orientalis.

Kontribusi penting lainnya adalah dalam dialog antaragama dan lintas tradisi spiritual. Sebagai bagian dari mazhab Perennial, Nasr aktif dalam forum-forum internasional yang mempromosikan kesalingpahaman antara agama-agama besar dunia. Ia menekankan bahwa semua tradisi religius yang otentik mengandung inti metafisika yang sama, dan bahwa perbedaan lahiriah tidak menghalangi keterhubungan batiniah antaragama. Pemikirannya sangat diapresiasi oleh kalangan spiritualis Hindu, Budha, dan Kristen Timur yang melihat dalam Islam versi Nasr suatu bentuk agama yang penuh kedalaman metafisik dan toleransi spiritual⁴.

Pengaruh Nasr juga terasa dalam diskursus filsafat lingkungan dan ekologi sakral. Ia merupakan salah satu pemikir Muslim pertama yang menyoroti hubungan antara kerusakan lingkungan dengan krisis spiritualitas manusia modern. Dalam karya Man and Nature dan Religion and the Order of Nature, Nasr menyerukan agar umat manusia kembali melihat alam sebagai ciptaan Tuhan yang sakral, bukan sekadar sumber eksploitasi. Konsep ini menjadi inspirasi dalam pengembangan pendekatan eko-teologi dalam konteks Islam dan juga lintas agama⁵.

Secara akademik, Nasr telah mengajar di berbagai universitas bergengsi, seperti Harvard, Temple University, dan George Washington University, tempat ia menjabat sebagai Distinguished Professor of Islamic Studies. Ia juga menjadi pembicara utama dalam berbagai simposium internasional, dan telah menulis lebih dari 50 buku dan 500 artikel dalam berbagai bahasa. Murid-murid dan pengikut intelektualnya tersebar di berbagai negara, termasuk dunia Islam, Eropa, dan Amerika Serikat, menjadikan pemikirannya berdampak luas dalam ranah global⁶.

Dengan demikian, Nasr bukan hanya seorang filsuf Islam, tetapi juga duta intelektual tradisi Islam kepada dunia modern. Ia berhasil menunjukkan bahwa Islam memiliki warisan filsafat dan spiritualitas yang kaya, yang tidak hanya relevan untuk umat Muslim, tetapi juga bagi seluruh umat manusia dalam menghadapi tantangan zaman. Kontribusinya telah membentuk wacana baru tentang Islam yang berakar pada tradisi, berjiwa universal, dan terbuka terhadap peradaban global tanpa kehilangan jati dirinya.


Footnotes

[1]                Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia (Richmond: Curzon Press, 1996), 261–264.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 3–8.

[3]                Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), vii–x.

[4]                Reza Shah-Kazemi, “Perennial Philosophy and the Transcendent Unity of Religions,” Islamic Quarterly 48, no. 1 (2004): 43–46.

[5]                Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 99–102.

[6]                Ibrahim Kalin, “Seyyed Hossein Nasr,” in The Oxford Encyclopedia of the Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford: Oxford University Press, 2009).


8.           Kritik dan Kontroversi terhadap Pemikiran Nasr

Meskipun pemikiran Seyyed Hossein Nasr banyak mendapat apresiasi dari berbagai kalangan akademik dan spiritual, baik di dunia Islam maupun Barat, ia juga menjadi objek kritik yang cukup luas, terutama karena orientasi metafisiknya yang kuat dan afiliasinya dengan mazhab Perennial. Kritik terhadap Nasr datang dari beragam sudut pandang: kaum modernis Islam, kelompok fundamentalis, akademisi sekuler, bahkan sebagian kalangan sufi dan filosof Islam.

Salah satu kritik utama yang diarahkan kepada Nasr adalah keterlibatannya dalam filsafat perennial yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai bentuk sinkretisme religius. Pendekatan perennial menekankan adanya inti metafisik universal dalam semua agama besar, dan hal ini memunculkan tuduhan bahwa Nasr mengaburkan batas-batas keimanan Islam dengan tradisi-tradisi lain. Kalangan Muslim eksklusivis melihat pendekatan ini sebagai upaya menyamakan Islam dengan agama lain, yang dapat melemahkan identitas tauhid yang eksklusif dalam Islam¹. Namun, Nasr sendiri membantah tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa ia tetap memegang teguh akidah Islam. Ia membedakan antara “persatuan esoterik” dalam realitas transenden dan “perbedaan eksoterik” dalam hukum dan doktrin².

Kritik lain datang dari kalangan modernis Islam, yang menilai pendekatan Nasr terlalu “nostalgik” dan tidak realistis terhadap tantangan zaman. Menurut mereka, solusi yang ditawarkan Nasr—yaitu kembali kepada struktur pengetahuan tradisional dan spiritualitas esoterik—tidak cukup menjawab masalah sosial-politik, ekonomi, dan teknologi yang dihadapi umat Islam saat ini³. Tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman dan Nasr Hamid Abu Zayd, meskipun tidak menyerang langsung Nasr, menyuarakan pendekatan yang lebih historis dan hermeneutik dalam memahami Islam, yang berbeda dengan pendekatan metafisik-perennial Nasr yang ahistoris dan absolutistik⁴.

Nasr juga dikritik karena gaya penulisannya yang sangat filosofis dan elitis, sehingga dianggap kurang dapat diakses oleh masyarakat Muslim awam. Karya-karyanya yang sarat dengan istilah metafisika, kosmologi, dan simbolisme, sering kali sulit dipahami oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang filsafat atau tasawuf. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam mendiseminasikan pemikirannya ke tengah masyarakat luas⁵.

Selain itu, sebagian kalangan sufi juga mengkritik pendekatan Nasr karena fokusnya yang cenderung teoretik daripada praksis tasawuf. Meskipun Nasr menulis banyak tentang tasawuf dan spiritualitas Islam, ia tidak dikenal sebagai seorang praktisi ṭarīqah dalam pengertian teknis. Ia lebih menekankan aspek intelektual-esoterik dari tasawuf ketimbang dimensi amaliah-spiritual yang biasa ditemukan dalam laku sufi harian⁶. Hal ini memunculkan kritik bahwa tasawuf dalam kerangka Nasr lebih merupakan konstruksi filosofis daripada praktik transformatif.

Dari sisi lain, akademisi sekuler dan orientalis juga mengkritik Nasr karena dianggap terlalu apologetik dan anti-modern. Ia dinilai tidak cukup kritis terhadap aspek problematis dalam sejarah peradaban Islam, dan terlalu menyanjung warisan tradisional tanpa membuka ruang bagi pembaruan metodologis. Posisi Nasr yang memandang modernitas sebagai “penyimpangan kosmik” dianggap terlalu ekstrem dan kurang memberikan apresiasi terhadap pencapaian rasionalitas modern dalam bidang keilmuan dan hak asasi manusia⁷.

Namun, meskipun menghadapi berbagai kritik tersebut, pemikiran Nasr tetap memiliki posisi penting dan strategis dalam wacana filsafat Islam kontemporer. Kritik-kritik tersebut justru menunjukkan kompleksitas dan daya tarik pemikirannya, yang menantang banyak arus utama dalam pemikiran Islam dan filsafat modern. Lebih dari itu, posisi Nasr yang konsisten dalam mempertahankan spiritualitas dan kosmologi Islam tradisional menjadikannya sebagai salah satu dari sedikit tokoh yang berhasil merumuskan alternatif peradaban berbasis metafisika dalam dunia yang terfragmentasi oleh relativisme dan nihilisme.


Footnotes

[1]                Farhan Shah, “Islam, Tradition and the Challenge of Modernity: The Case of Seyyed Hossein Nasr,” Religions 12, no. 10 (2021): 3–5.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 29–31.

[3]                Ibrahim M. Abu-Rabi‘, Contemporary Arab Thought: Studies in Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004), 88–90.

[4]                Charles E. Butterworth and I. William Zartman, eds., Political Islam: Essays from Middle East Report (Berkeley: University of California Press, 1992), 135–137.

[5]                Ibrahim Kalin, “Knowledge as Light: Critical Reflections on Seyyed Hossein Nasr's Epistemology,” Islamic Studies 43, no. 2 (2004): 231.

[6]                Harry Oldmeadow, “Sufism and Tradition: The Thought of Seyyed Hossein Nasr,” Sacred Web 5 (2000): 20.

[7]                Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 32–35.


9.           Relevansi Pemikiran Nasr dalam Konteks Dunia Islam Masa Kini

Di tengah dinamika globalisasi, krisis lingkungan, arus modernisasi, serta ketegangan antara fundamentalisme dan sekularisme, pemikiran Seyyed Hossein Nasr menawarkan alternatif paradigma yang bernuansa spiritual dan filosofis, yang sangat relevan bagi dunia Islam masa kini. Tawaran intelektual Nasr bukan sekadar nostalgia terhadap masa lalu Islam klasik, melainkan sebuah upaya sistematis untuk merumuskan kembali arah peradaban Islam berdasarkan akar-akar metafisik dan tradisional yang telah terabaikan dalam kehidupan modern¹.

Pertama, dalam bidang pendidikan dan epistemologi, pemikiran Nasr mengusulkan perlunya rekonstruksi sistem pendidikan Islam yang berlandaskan pada integrasi antara ilmu rasional, ilmu kealaman, dan ilmu spiritual. Nasr mengkritik sistem pendidikan modern yang memisahkan ilmu dari nilai-nilai transenden dan menyerukan pendidikan yang menanamkan keterhubungan antara pengetahuan dan Tuhan sebagai sumber segala realitas². Dalam konteks ini, pemikiran Nasr memberi kontribusi penting bagi gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan dan resakralisasi pendidikan tinggi Islam.

Kedua, dalam dimensi spiritualitas dan pembinaan keagamaan, Nasr menggarisbawahi pentingnya tasawuf sebagai fondasi kehidupan ruhani yang autentik. Ia mengingatkan bahwa umat Islam tidak dapat bertahan dalam arus modernitas tanpa kembali kepada kedalaman spiritual dan dimensi esoterik Islam, yang selama berabad-abad telah menjadi pilar peradaban Islam. Dalam era di mana radikalisme dan literalisme sering menjadi wajah dominan agama, pendekatan spiritual Nasr mampu menghadirkan Islam yang lebih mendalam, inklusif, dan menyembuhkan³.

Ketiga, relevansi pemikiran Nasr juga tampak dalam respon terhadap krisis ekologi dan lingkungan hidup. Dunia Islam saat ini menghadapi tantangan besar dalam mengelola sumber daya alam, degradasi lingkungan, dan perubahan iklim. Nasr menjadi pionir dalam membangun kosmologi Islam yang sakral terhadap alam, di mana bumi dilihat sebagai amanah Tuhan, bukan sekadar objek eksploitasi. Pemikiran ini menjadi fondasi bagi perkembangan etika lingkungan Islam (Islamic environmental ethics) dan penguatan kesadaran ekologis berbasis wahyu⁴.

Keempat, dalam konteks globalisasi dan dialog antaragama, pemikiran Nasr yang berbasis pada filsafat perennial membuka ruang bagi kesalingpahaman yang dalam antara umat Islam dan tradisi-tradisi agama lain, tanpa mengorbankan identitas keimanan. Ia menunjukkan bahwa seorang Muslim bisa bersikap terbuka, dialogis, dan toleran, tanpa terjerumus dalam relativisme atau sinkretisme. Di dunia Islam kontemporer yang rentan konflik identitas, pendekatan Nasr menghadirkan teladan keseimbangan antara keteguhan iman dan keterbukaan spiritual⁵.

Kelima, pemikiran Nasr dapat menjadi rambu korektif terhadap dua ekstremitas peradaban Muslim masa kini: sekularisme imitasi dan fundamentalisme tekstual. Nasr menolak keduanya dan menawarkan jalan tengah berbasis hikmah dan tasawuf. Ia mengajak umat Islam untuk tidak sekadar meromantisasi masa lalu, tetapi menghidupkan kembali substansi spiritual dan intelektual Islam yang mendalam sebagai fondasi bangunan peradaban baru⁶.

Akhirnya, relevansi pemikiran Nasr juga tampak dalam peranannya sebagai penghubung antara tradisi Islam klasik dan wacana filsafat kontemporer. Ia memposisikan Islam bukan sebagai warisan statis, tetapi sebagai sumber kebijaksanaan yang hidup dan mampu berdialog secara setara dengan tantangan dunia modern. Dalam hal ini, Nasr tidak hanya penting bagi dunia Islam, tetapi juga bagi wacana global mengenai spiritualitas, lingkungan, dan krisis kemanusiaan⁷.


Footnotes

[1]                Ibrahim Kalin, “Seyyed Hossein Nasr: Traditional Islam in the Modern World,” in The Oxford Encyclopedia of the Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford: Oxford University Press, 2009).

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 95–97.

[3]                Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam's Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 137–139.

[4]                Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 114–118.

[5]                Reza Shah-Kazemi, “Perennial Philosophy and the Transcendent Unity of Religions,” Islamic Quarterly 48, no. 1 (2004): 49–52.

[6]                Ibrahim M. Abu-Rabi‘, The Blackwell Companion to Contemporary Islamic Thought (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), 331–334.

[7]                William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2007), 217–219.


10.       Kesimpulan

Pemikiran Seyyed Hossein Nasr merepresentasikan salah satu upaya paling sistematis dalam menjawab tantangan zaman modern melalui pendekatan yang berakar pada filsafat Islam tradisional dan spiritualitas tasawuf. Di tengah arus sekularisasi, krisis lingkungan, dan alienasi spiritual yang mengglobal, Nasr menawarkan suatu bentuk kebangkitan intelektual dan ruhani yang berlandaskan pada prinsip metafisika Islam serta wawasan perennial yang mengakui kesatuan inti dari semua agama wahyu¹.

Sebagaimana terurai dalam berbagai gagasannya, Nasr tidak hanya memberikan kritik mendalam terhadap modernitas, tetapi juga mengajukan kerangka epistemologis dan kosmologis alternatif yang bersifat sakral, holistik, dan berorientasi pada Tuhan. Ia mengajak umat Islam untuk merevitalisasi peradaban bukan dengan meniru Barat, tetapi dengan menyelami kembali khazanah hikmah Islam, mengintegrasikan akal, wahyu, dan intuisi, serta memulihkan hubungan manusia dengan alam sebagai ciptaan Tuhan².

Filsafat perennial yang dianut Nasr bukan sekadar teori abstrak, melainkan tawaran ontologis dan praktis untuk membangun tata nilai global yang berakar pada spiritualitas dan kesadaran metafisik. Pendekatan ini memberikan kontribusi besar bagi dialog antaragama, etika lingkungan hidup, serta pendidikan berbasis nilai transendental. Dengan menekankan pentingnya dimensi esoterik Islam, khususnya melalui tasawuf, Nasr memperlihatkan bahwa spiritualitas bukan hanya jalan personal menuju Tuhan, tetapi juga basis bagi rekonstruksi sosial dan kultural dalam dunia Muslim kontemporer³.

Meski menghadapi kritik dari berbagai kalangan—baik modernis, fundamentalis, maupun sekuler—pemikiran Nasr tetap menunjukkan koherensi filosofis dan integritas spiritual yang kuat. Ia berdiri teguh dalam mempertahankan Islam sebagai agama yang tidak hanya memiliki sistem hukum dan teologi, tetapi juga kekayaan intelektual dan metafisika yang mampu berdialog dengan dunia modern tanpa kehilangan otentisitas⁴.

Dengan demikian, kontribusi Seyyed Hossein Nasr bukan hanya penting dalam konteks akademik, tetapi juga dalam membangun paradigma alternatif yang dapat menginspirasi transformasi peradaban ke arah yang lebih manusiawi, sakral, dan berkeadaban. Dalam dunia yang mengalami krisis makna dan arah, pemikiran Nasr membuka jalan bagi rekonsiliasi antara ilmu dan iman, antara manusia dan Tuhan, serta antara tradisi dan modernitas⁵.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 12–15.

[2]                Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 92–97.

[3]                Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam's Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 141–143.

[4]                Farhan Shah, “Islam, Tradition and the Challenge of Modernity: The Case of Seyyed Hossein Nasr,” Religions 12, no. 10 (2021): 5–7.

[5]                William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2007), 219.


Daftar Pustaka

Abu-Rabiʿ, I. M. (2004). Contemporary Arab thought: Studies in post-1967 Arab intellectual history. Pluto Press.

Abu Zayd, N. H. (2006). Reformation of Islamic thought: A critical historical analysis. Amsterdam University Press.

Aminrazavi, M. (1996). The Islamic intellectual tradition in Persia. Curzon Press.

Butterworth, C. E., & Zartman, I. W. (Eds.). (1992). Political Islam: Essays from Middle East Report. University of California Press.

Chittick, W. C. (2000). Sufism: A short introduction. Oneworld Publications.

Chittick, W. C. (2001). The heart of Islamic philosophy: The quest for self-knowledge in the teachings of Afdal al-Din Kashani. Oxford University Press.

Chittick, W. C. (2007). Science of the cosmos, science of the soul: The pertinence of Islamic cosmology in the modern world. Oneworld Publications.

Esposito, J. L. (Ed.). (2009). The Oxford encyclopedia of the Islamic world. Oxford University Press.

Jahanbegloo, R. (2010). In search of the sacred: A conversation with Seyyed Hossein Nasr on his life and thought. Praeger.

Kalin, I. (2004). Knowledge as light: Critical reflections on Seyyed Hossein Nasr’s epistemology. Islamic Studies, 43(2), 227–235.

Kalin, I. (2009). Seyyed Hossein Nasr. In J. L. Esposito (Ed.), The Oxford encyclopedia of the Islamic world. Oxford University Press.

Leaman, O. (2006). The biographical encyclopedia of Islamic philosophy. Bloomsbury Academic.

Nasr, S. H. (1968). Man and nature: The spiritual crisis in modern man. George Allen and Unwin.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred science. State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of nature. Oxford University Press.

Nasr, S. H. (2001). Islam and the plight of modern man (2nd ed.). ABC International Group.

Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The vision and promise of Sufism, Islam's mystical tradition. HarperOne.

Oldmeadow, H. (2000). Sufism and tradition: The thought of Seyyed Hossein Nasr. Sacred Web, 5, 10–23.

Oldmeadow, H. (2005). The essential Frithjof Schuon. World Wisdom.

Shah-Kazemi, R. (2004). Perennial philosophy and the transcendent unity of religions. Islamic Quarterly, 48(1), 43–52.

Shah-Kazemi, R. (2006). Paths to transcendence: According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart. World Wisdom.

Shah, F. (2021). Islam, tradition and the challenge of modernity: The case of Seyyed Hossein Nasr. Religions, 12(10), 1–11. https://doi.org/10.3390/rel12100901


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar