Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
Sebuah Telaah Filsafat Perennial dan Krisis Dunia
Modern
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji pemikiran Seyyed Hossein Nasr
sebagai respons terhadap krisis peradaban modern melalui pendekatan filsafat
perennial dan spiritualitas Islam tradisional. Nasr memformulasikan kritik
mendalam terhadap modernitas yang ia nilai telah mereduksi realitas menjadi
semata-mata material dan sekuler, sehingga menyebabkan kehampaan spiritual,
degradasi lingkungan, dan disorientasi eksistensial manusia. Berangkat dari
epistemologi tradisional Islam, Nasr mengusulkan rekonstruksi sistem pengetahuan
yang sakral dan holistik, dengan menempatkan wahyu, akal, dan intuisi spiritual
dalam satu kesatuan hierarkis. Artikel ini juga membahas kedudukan tasawuf
dalam pemikiran Nasr sebagai jalan esoterik menuju Tuhan serta sebagai fondasi
bagi etika dan kosmologi Islam. Selain itu, dibahas kontribusi Nasr dalam
bidang filsafat sains, ekologi Islam, dan dialog antaragama. Meskipun
pemikirannya menuai kritik dari berbagai kalangan, artikel ini menunjukkan
bahwa gagasan Nasr tetap relevan dalam merumuskan paradigma alternatif bagi
dunia Islam kontemporer yang sedang menghadapi tantangan modernitas,
globalisasi, dan krisis spiritual. Dengan menyandingkan akar-akar tradisi
dengan tuntutan zaman, Nasr menawarkan visi peradaban Islam yang transenden,
inklusif, dan berkeadaban.
Kata Kunci: Seyyed Hossein Nasr; Filsafat Islam; Filsafat
Perennial; Epistemologi Tradisional; Tasawuf; Krisis Modernitas; Spiritualitas
Islam; Kosmologi Islam; Dialog Antaragama; Ekologi Sakral.
PEMBAHASAN
Seyyed Hossein Nasr dan Spiritualitas Islam Tradisional
1.
Pendahuluan
Modernitas, dengan
segala capaian teknologis dan rasionalitas ilmiahnya, telah membawa dampak
signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Namun di balik kemajuan
tersebut, muncul pula krisis spiritual yang mendalam: alienasi eksistensial,
degradasi lingkungan, dan fragmentasi nilai-nilai hidup. Dalam konteks ini,
muncul urgensi untuk meninjau ulang fondasi epistemologis dan spiritual
peradaban modern. Seyyed Hossein Nasr, seorang filsuf Islam kontemporer
terkemuka, tampil sebagai salah satu pemikir yang menyuarakan kritik tajam
terhadap modernitas dan menyerukan kembalinya orientasi spiritual yang
bersumber dari tradisi sakral Islam.
Nasr meyakini bahwa
modernitas telah memutus hubungan manusia dengan “tatanan metafisik”
yang menjadi fondasi utama kehidupan tradisional. Bagi Nasr, ilmu pengetahuan
modern yang bersifat sekuler dan positivistik telah mereduksi realitas hanya
pada aspek material, menyingkirkan dimensi ilahiah yang sebelumnya menjadi
pusat orientasi dalam tradisi Islam klasik. Hal ini menyebabkan “krisis
sakralitas” dalam peradaban kontemporer yang tercermin dalam krisis
ekologi, krisis makna, dan kehilangan pusat spiritual dalam kehidupan manusia
modern¹.
Dengan latar
belakang pendidikan di Barat dan akar intelektual yang kuat dalam tradisi
Islam, Nasr memformulasikan kritiknya melalui pendekatan filsafat
perennial (perennial philosophy), yang menyatakan bahwa
terdapat suatu inti kebenaran metafisik universal yang bersifat abadi dan
tercermin dalam seluruh agama wahyu². Pendekatan ini tidak hanya menjadi kritik
terhadap modernitas Barat, tetapi juga menjadi tawaran konstruktif untuk
membangun kembali hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan secara harmonis
melalui pendekatan esoterik Islam, khususnya tasawuf.
Pemikiran Nasr
sangat relevan dalam diskursus filsafat Islam kontemporer karena ia tidak hanya
berbicara tentang Islam sebagai doktrin, tetapi juga sebagai peradaban
spiritual yang memiliki kosmologi, metafisika, dan etika yang menyatu secara
integral. Sebagai seorang tokoh dari mazhab Tradisionalis, ia memandang bahwa
pemulihan peradaban Islam tidak dapat dicapai melalui imitasi terhadap model
Barat, tetapi harus dimulai dari rekonstruksi kesadaran spiritual berdasarkan
warisan hikmah (ḥikmah) yang telah diwariskan oleh para filsuf dan sufi besar
Islam³.
Melalui artikel ini,
pembahasan akan difokuskan pada aspek utama pemikiran Seyyed Hossein Nasr,
terutama mengenai epistemologi tradisional, konsep filsafat perennial, serta
kritik terhadap modernitas dan dampaknya terhadap krisis spiritual. Diharapkan
telaah ini dapat memberikan kontribusi dalam merespons tantangan zaman dengan
fondasi filosofis dan spiritual yang kokoh.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 3–6.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany:
State University of New York Press, 1993), 5–9.
[3]
William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2001), 12–13.
2.
Biografi Intelektual Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr
lahir di Teheran, Iran, pada 7 April 1933 dalam keluarga aristokrat yang
memiliki tradisi intelektual dan religius yang kuat. Ayahnya, Seyyed Valiallah
Nasr, adalah seorang dokter dan intelektual yang turut berperan dalam
mendirikan sistem pendidikan modern di Iran. Lingkungan keluarga yang religius
dan intelektual ini membentuk fondasi awal bagi Nasr untuk tumbuh dalam tradisi
Islam yang kental dan kosmopolitan¹.
Nasr menempuh
pendidikan dasarnya di Iran, namun pada usia tiga belas tahun ia melanjutkan
studinya ke Amerika Serikat. Ia diterima di Peddie School, sebuah sekolah
persiapan bergengsi di New Jersey, dan kemudian melanjutkan pendidikan tinggi
di Massachusetts Institute of Technology (MIT), tempat ia memperoleh gelar
sarjana dalam bidang fisika. Namun, ketertarikannya terhadap filsafat dan
spiritualitas mendorongnya untuk melanjutkan studi ke Harvard University, di
mana ia memperoleh gelar doktor dalam bidang sejarah sains dan filsafat Islam
pada tahun 1958. Disertasinya berjudul Conceptions of Nature in Islamic Thought
merupakan studi pionir yang mempertemukan antara sains dan spiritualitas dalam
kerangka Islam².
Selama masa studinya
di Barat, Nasr tidak hanya menekuni bidang akademik, tetapi juga menjalin
hubungan erat dengan pemikir-pemikir Perennialis seperti Frithjof Schuon, Titus
Burckhardt, dan René Guénon. Interaksinya dengan mazhab Perennialisme ini
membentuk kerangka metafisika dan epistemologi yang kelak menjadi inti dari
pemikiran filsafatnya. Nasr menerima ajaran tentang sophia
perennis (kebijaksanaan abadi) sebagai prinsip yang
menghubungkan seluruh agama wahyu dan tradisi spiritual sejati³.
Sekembalinya ke
Iran, Nasr mengabdi di berbagai institusi akademik, termasuk sebagai dosen dan
kemudian rektor di Universitas Teknologi Aryamehr (sekarang Sharif University
of Technology), serta sebagai profesor di Universitas Teheran. Ia juga
mendirikan Akademi Filsafat Iran yang bertujuan untuk menghidupkan kembali
warisan intelektual Islam klasik, terutama dalam bidang falsafah dan hikmah⁴.
Keberadaannya di Iran berakhir setelah Revolusi Islam 1979, ketika ia memilih
bermigrasi ke Amerika Serikat karena dinamika politik yang tidak kondusif bagi
aktivitas akademik dan spiritualnya.
Sejak saat itu, Nasr
menetap di Amerika Serikat dan mengajar di berbagai universitas ternama,
termasuk Temple University dan George Washington University, di mana ia
menjabat sebagai Profesor Studi Islam. Di luar aktivitas akademik, Nasr juga
aktif dalam berbagai forum internasional, dialog antaragama, dan konferensi
lingkungan hidup. Ia telah menulis lebih dari lima puluh buku dan ratusan
artikel ilmiah dalam bahasa Inggris, Persia, dan Arab, yang mencakup tema-tema
filsafat Islam, tasawuf, sains sakral, ekologi spiritual, dan tradisi religius
dunia⁵.
Karier intelektual
Nasr menunjukkan kesinambungan antara tradisi Islam klasik dan pemikiran
kontemporer. Ia bukan hanya pengulas warisan masa lalu, melainkan juga seorang
pembaru (mujaddid) spiritual yang menjembatani diskursus Timur dan Barat, sains
dan agama, serta eksoterisme dan esoterisme. Dalam hal ini, ia menjadi salah
satu pemikir Muslim paling berpengaruh di dunia kontemporer, yang
karya-karyanya diapresiasi oleh kalangan akademisi, agamawan, dan aktivis
spiritual lintas tradisi.
Footnotes
[1]
Oliver Leaman, The Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy
(London: Bloomsbury Academic, 2006), 407–409.
[2]
Ibrahim Kalin, “Seyyed Hossein Nasr,” in The Oxford Encyclopedia of
the Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford: Oxford University Press,
2009).
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), xi–xiii.
[4]
Ramin Jahanbegloo, In Search of the Sacred: A Conversation with Seyyed
Hossein Nasr on His Life and Thought (Santa Barbara: Praeger, 2010),
49–54.
[5]
Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia
(Richmond: Curzon Press, 1996), 265–267.
3.
Epistemologi Tradisional dan Kritik terhadap
Sains Modern
Seyyed Hossein Nasr
merupakan salah satu pemikir kontemporer yang gigih menghidupkan kembali epistemologi
tradisional dalam khazanah pemikiran Islam. Menurut Nasr,
epistemologi tradisional adalah kerangka pengetahuan yang tidak hanya mengakui
validitas akal dan empirisme, tetapi juga mengintegrasikan wahyu (al-wahy
) dan intuisi spiritual (kasyf
atau dzauq
)
sebagai sumber pengetahuan yang sah dan tertinggi. Dalam kerangka ini,
pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sakral karena berakar pada hakikat
Ilahi, bukan semata hasil konstruksi rasional manusia¹.
Nasr menyatakan
bahwa dalam Islam klasik, struktur pengetahuan bersifat hierarkis. Di puncak
hierarki ini terdapat pengetahuan ilahiah (al-‘ilm
al-ladunni
) yang diperoleh melalui iluminasi spiritual, diikuti oleh
pengetahuan rasional (al-‘aql
), dan
terakhir pengetahuan indrawi. Pengetahuan yang sejati, menurutnya, adalah
pengetahuan yang mengantarkan manusia kepada Tuhan, bukan sekadar deskripsi
teknis dunia fisik². Dalam perspektif ini, ilmu tidak netral: ia harus
memancarkan nilai-nilai sakral, etika, dan tujuan transenden.
Sebaliknya, Nasr
mengkritik keras sains modern Barat yang ia
anggap telah terlepas dari akar metafisik dan spiritualnya. Sains modern,
menurutnya, dibangun atas dasar dualisme Cartesian, empirisme mekanistik, dan
reduksionisme materialistik. Dalam pandangan Nasr, sains semacam ini tidak
hanya gagal menjelaskan realitas secara utuh, tetapi juga berkontribusi
terhadap degradasi lingkungan, krisis spiritual, dan
nihilisme budaya di dunia kontemporer³. Ia menyebut kondisi ini
sebagai “krisis pengetahuan” (crisis of knowledge
), di mana manusia kehilangan
orientasi ilahiah dalam proses memperoleh dan menggunakan pengetahuan⁴.
Melalui karya
utamanya Knowledge
and the Sacred, Nasr menyerukan pentingnya pemulihan ilmu
yang sakral (sacred science
),
yaitu ilmu yang tidak memisahkan realitas fisik dari dimensi metafisik. Ilmu
yang sakral didasarkan pada kesadaran bahwa seluruh alam adalah manifestasi
dari Tuhan, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an bahwa segala sesuatu
bertasbih kepada-Nya (QS. Al-Isra’ [17] ayat 44). Dalam kerangka ini,
pengetahuan tentang alam menjadi jalan menuju makrifat kepada Sang Pencipta⁵.
Pemulihan
epistemologi tradisional, bagi Nasr, tidak berarti menolak sains modern secara
keseluruhan. Yang ia tolak adalah absolutisasi sains modern sebagai
satu-satunya cara untuk memahami realitas. Nasr menekankan pentingnya
mengintegrasikan kembali unsur-unsur spiritual dan nilai-nilai metafisik ke
dalam praksis keilmuan. Hal ini ia lakukan tidak hanya dalam konteks Islam,
tetapi juga dalam dialog lintas tradisi religius yang mengakui eksistensi “kebijaksanaan
abadi” (Sophia Perennis) sebagai fondasi semua ilmu sejati⁶.
Kritik Nasr terhadap
sains modern sekaligus menjadi panggilan untuk rekonsiliasi antara ilmu dan iman,
antara rasionalitas dan wahyu, serta antara manusia dan alam. Dalam
pandangannya, masa depan peradaban bergantung pada kesediaan manusia untuk
kembali kepada struktur pengetahuan yang memuliakan Tuhan dan menjunjung
keseimbangan kosmik. Dengan demikian, epistemologi tradisional bukanlah
nostalgia masa lalu, melainkan tawaran solutif untuk mengatasi krisis
pengetahuan dan spiritualitas dewasa ini.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 3–5.
[2]
Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1968), 10–12.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany:
State University of New York Press, 1993), 7–9.
[4]
Nasr, “The Spiritual Crisis of Modern Man,” in Islam and the Plight
of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 2001), 56–58.
[5]
Qur'an 17:44; lihat juga Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis
in Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 23.
[6]
William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul:
The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld
Publications, 2007), 14–16.
4.
Filsafat Perennial (Perennial Philosophy)
Salah satu aspek
paling mendasar dalam pemikiran Seyyed Hossein Nasr adalah keterikatannya
dengan filsafat
perennial (perennial philosophy), suatu
pendekatan metafisik yang menekankan keberadaan kebenaran universal dan abadi
yang terkandung dalam semua tradisi religius autentik. Nasr adalah salah satu
tokoh Muslim terkemuka dalam arus pemikiran ini bersama tokoh-tokoh seperti
René Guénon, Frithjof Schuon, dan Titus Burckhardt¹. Filsafat perennial bagi
Nasr bukan hanya kerangka berpikir metafisik, tetapi juga merupakan jalan
spiritual yang berakar pada hikmah tradisional (ḥikmah al-khālidah)
dan praktik esoterik Islam.
Dalam kerangka
filsafat perennial, diyakini bahwa seluruh agama wahyu mengandung inti
kebenaran yang sama, yaitu Realitas Transenden yang tak
berubah (al-Ḥaqq), yang menjadi sumber dan tujuan segala eksistensi. Perbedaan
dalam aspek luar agama-agama dipandang sebagai ekspresi simbolik dan kultural
dari satu inti kebenaran metafisik tersebut². Dalam Islam, prinsip ini
tercermin dalam ajaran tauhid serta konsep fitrah sebagai kecenderungan manusia
untuk mengenal Tuhan secara naluriah.
Bagi Nasr, perennialisme
adalah sarana untuk membela nilai-nilai sakral dan metafisik
yang ditinggalkan oleh peradaban modern. Ia memandang bahwa filsafat modern
Barat telah tercerabut dari akar transendennya dan jatuh ke dalam relativisme
dan sekularisme. Dalam konteks ini, filsafat perennial menjadi kritik tajam
terhadap modernitas dan tawaran jalan kembali kepada Tradisi dengan huruf
kapital “T”—yaitu warisan suci dari agama-agama wahyu yang membimbing manusia
menuju realitas ilahi³.
Dalam karya Knowledge
and the Sacred, Nasr menekankan bahwa filsafat perennial tidak
bertentangan dengan agama tertentu, tetapi justru membantu mengungkap kedalaman
metafisik dari setiap agama, termasuk Islam. Ia berargumen bahwa tasawuf
merupakan bentuk aktual dari filsafat perennial dalam Islam, karena ia memuat
pengetahuan intuitif, simbolisme sakral, dan disiplin spiritual yang mengarah
pada penyaksian Tuhan (mushāhadah)⁴. Dengan demikian, filsafat perennial
bukanlah pengaburan agama, melainkan pendalaman dimensi esoterik yang menjadi
ruh dari agama itu sendiri.
Keterlibatan Nasr
dalam mazhab Tradisionalis membawanya pada pandangan bahwa peradaban
masa kini hanya dapat diselamatkan melalui rekonsiliasi dengan kebijaksanaan
tradisional. Dalam pemikiran ini, tradisi bukan sekadar
kebiasaan budaya, melainkan struktur kosmologis dan metafisik yang
menghubungkan manusia dengan sumber transendennya. Oleh karena itu, pemulihan
peradaban tidak dapat dicapai dengan modernisasi semata, melainkan melalui
“resakralisasi” ilmu, kehidupan, dan eksistensi manusia⁵.
Meskipun pendekatan
perennial mendapat dukungan dari berbagai kalangan spiritual, pendekatan ini
juga menuai kritik. Sebagian cendekiawan Muslim mempertanyakan keabsahan pendekatan
ini karena dianggap cenderung sinkretistik dan mengaburkan batas antara Islam
dan agama-agama lain. Namun Nasr menegaskan bahwa ia tetap berdiri dalam
kerangka tauhid dan tidak pernah menyamakan Islam dengan tradisi lainnya dalam
hal syariat dan wahyu, meskipun mengakui adanya kesamaan dalam inti metafisik
dan spiritual⁶.
Secara keseluruhan,
filsafat perennial dalam pemikiran Nasr adalah upaya untuk mengembalikan
kedudukan metafisika sebagai pusat peradaban. Ia menawarkan suatu paradigma
alternatif terhadap modernitas: paradigma yang mengakui kedalaman spiritual
manusia, kesakralan alam semesta, dan keterikatan segala sesuatu kepada
Realitas Mutlak. Dalam dunia yang sedang mengalami krisis makna, pendekatan ini
tampil sebagai tawaran filosofis dan spiritual yang kaya untuk merajut kembali
hubungan manusia dengan Tuhan dan kosmos.
Footnotes
[1]
Harry Oldmeadow, The Essential Frithjof Schuon (Bloomington:
World Wisdom, 2005), 17–18.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany:
State University of New York Press, 1993), 14–16.
[3]
Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (Chicago: ABC
International Group, 2001), 72–74.
[4]
Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of
New York Press, 1989), 67–71.
[5]
William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2001), 203–205.
[6]
Reza Shah-Kazemi, “Perennial Philosophy and the Transcendent Unity of
Religions,” Islamic Quarterly 48, no. 1 (2004): 45–48.
5.
Spiritualitas Islam dan Tasawuf
Dalam konstruksi
filsafat dan visi peradabannya, Seyyed Hossein Nasr menempatkan spiritualitas
Islam—khususnya tasawuf—sebagai inti dari pemulihan makna hidup manusia modern.
Menurut Nasr, Islam tidak hanya merupakan sistem hukum dan teologi formal,
tetapi juga memiliki dimensi batin yang dalam, yaitu tasawuf (sufisme), yang
merepresentasikan inti esoterik agama Islam dan sarana utama bagi manusia untuk
kembali kepada Tuhan dalam dunia yang kian sekuler dan materialistik¹.
Tasawuf, dalam
pandangan Nasr, adalah jalan menuju pengetahuan langsung tentang Tuhan
(ma‘rifah) yang diperoleh melalui penyucian jiwa, disiplin spiritual, dan
pembinaan batin. Ia melihat tasawuf sebagai ekspresi otentik dari ajaran Islam
yang bersumber dari wahyu (al-Qur’an dan Sunnah), diteruskan oleh para sahabat
Nabi, dan berkembang dalam bentuk tatanan spiritual (ṭarīqah) yang mapan².
Tasawuf bukanlah unsur tambahan dalam Islam, melainkan dimensi batin yang
melengkapi aspek lahir (syariat) dan rasional (akal), membentuk struktur
integral dari agama.
Nasr menekankan
bahwa fungsi
utama tasawuf adalah menghidupkan kembali orientasi teosentris dalam diri
manusia, yakni kesadaran bahwa seluruh eksistensi bersumber
dari dan menuju kepada Allah (inna lillāhi wa inna ilaihi rāji‘ūn). Di tengah
dominasi modernitas yang menempatkan manusia sebagai pusat segala hal
(antroposentrisme), tasawuf mengajarkan tentang tawadhu’ kosmik, yaitu kesadaran
akan posisi ontologis manusia sebagai makhluk yang terikat pada Tuhan dan
kosmos⁴. Melalui disiplin spiritual seperti zikir, khalwat, muraqabah, dan
muhasabah, manusia dibimbing untuk menyingkap tabir dunia fisik menuju realitas
transenden.
Dalam konteks
filsafat perennial yang dianut Nasr, tasawuf menempati posisi sentral karena ia
mewujudkan prinsip religio perennis dalam Islam. Ia
menyebut tasawuf sebagai “jalan esoterik” (the esoteric path) yang
menghubungkan manusia dengan kebenaran abadi, serupa dengan mistisisme Kristen,
kabbalah Yahudi, dan Vedanta Hindu⁵. Namun demikian, Nasr selalu menegaskan
keunikan tasawuf dalam bingkai tauhid Islam, berbeda dari sinkretisme atau
pluralisme relativistik yang mengaburkan batas-batas agama.
Tasawuf juga menjadi
landasan bagi kritik Nasr terhadap modernitas. Ia berpendapat bahwa kehilangan
spiritualitas dalam masyarakat modern adalah penyebab utama
dari krisis lingkungan, alienasi manusia, dan kehampaan makna hidup. Dalam
karyanya Man and
Nature, ia menjelaskan bahwa dunia tradisional Islam memandang alam
sebagai tanda-tanda Tuhan (āyāt Allāh), sedangkan modernitas memandangnya
sekadar sebagai objek eksploitasi. Tasawuf, dengan pandangan kosmologisnya yang
sakral, menawarkan paradigma alternatif yang menempatkan manusia sebagai
khalifah yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan kosmik⁶.
Selain sebagai jalan
spiritual individual, tasawuf menurut Nasr juga memiliki peran peradaban. Ia
menjadi kekuatan pembentuk etika, seni, arsitektur, dan tata sosial dalam
sejarah peradaban Islam. Oleh karena itu, pemulihan tasawuf bukan hanya penting
untuk pembinaan individu, tetapi juga untuk rekonstruksi peradaban Islam yang
berakar pada nilai-nilai ilahiah dan kosmologis⁷.
Dalam dunia Islam
kontemporer yang sering kali terjebak dalam konflik antara fundamentalisme dan
sekularisme, Nasr menawarkan tasawuf sebagai jalan tengah yang menyatukan
keutuhan Islam dalam bentuknya yang paling spiritual, inklusif, dan berakar
pada tradisi. Ia menyerukan agar umat Islam kembali menyadari nilai tasawuf,
tidak sebagai pelarian, tetapi sebagai jalan integratif menuju kedalaman agama
dan solusi peradaban.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of
Sufism, Islam's Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), xiii–xv.
[2]
Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of
New York Press, 1989), 131–133.
[3]
William C. Chittick, Sufism: A Short Introduction (Oxford:
Oneworld Publications, 2000), 6–8.
[4]
Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man
(London: George Allen and Unwin, 1968), 34–36.
[5]
Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford
University Press, 1996), 50–52.
[6]
Harry Oldmeadow, “Sufism and Tradition: The Thought of Seyyed Hossein
Nasr,” Sacred Web 5 (2000): 15–18.
[7]
Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence: According to Shankara,
Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington: World Wisdom, 2006), 87–88.
6.
Kritik terhadap Modernitas dan Krisis Peradaban
Kontemporer
Kritik Seyyed
Hossein Nasr terhadap modernitas bersifat menyeluruh
dan mendalam. Ia tidak sekadar menyoroti gejala permukaan, tetapi menggugat fondasi
metafisik dari peradaban modern yang menurutnya telah
tercerabut dari akar sakral dan spiritualnya. Modernitas, dalam pandangan Nasr,
merupakan proyek peradaban yang dibangun atas dasar sekularisme,
materialisme, dan humanisme antroposentris, yang secara sistematis
menyingkirkan Tuhan dari pusat kehidupan manusia¹.
Nasr menggambarkan
modernitas sebagai peradaban yang mengalami krisis ontologis,
yakni kehilangan pemahaman akan realitas tertinggi (al-Ḥaqq) dan hierarki
kosmos yang mencerminkan keteraturan ilahiah. Dalam sistem tradisional, seluruh
elemen kehidupan—dari sains hingga seni, dari politik hingga pendidikan—berakar
pada prinsip-prinsip metafisik yang bersumber dari wahyu dan diselaraskan
melalui akal serta intuisi spiritual. Modernitas memutus keterkaitan ini dan
menjadikan rasionalitas otonom sebagai satu-satunya ukuran kebenaran².
Salah satu ekspresi
krisis modernitas yang paling nyata, menurut Nasr, adalah krisis
ekologi global. Dalam karyanya Man and Nature, Nasr menekankan
bahwa peradaban modern melihat alam sebagai objek mati yang dapat dieksploitasi
tanpa batas. Sebaliknya, dalam pandangan Islam tradisional, alam adalah ciptaan
Ilahi yang hidup dan penuh makna spiritual. Manusia bukan penguasa mutlak atas
alam, tetapi khalifah yang diberi amanah untuk
menjaga keseimbangan dan keteraturan kosmos³. Oleh karena itu, krisis
lingkungan dewasa ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi berakar pada krisis
spiritual dan epistemologis dalam cara manusia modern memahami
eksistensinya.
Lebih jauh, Nasr
memandang bahwa alienasi manusia modern dari realitas
transenden telah menciptakan kekosongan makna yang tak
tergantikan oleh sains, teknologi, atau konsumsi material. Dalam Islam
and the Plight of Modern Man, ia menegaskan bahwa manusia modern,
meski hidup dalam kemajuan teknologis yang belum pernah terjadi sebelumnya,
justru mengalami kehampaan spiritual dan kehilangan arah hidup. Nasr menyebut
ini sebagai “kehancuran manusia sebagai makhluk spiritual”_⁴.
Kritik Nasr terhadap
modernitas tidak hanya bersifat dekonstruktif, tetapi juga menawarkan alternatif
konstruktif, yakni dengan kembali kepada prinsip-prinsip Tradisi
(dengan huruf kapital), yaitu prinsip metafisik yang menjadi fondasi semua
agama wahyu. Ia menyerukan resakralisasi ilmu, pendidikan, dan kehidupan
sosial sebagai jalan untuk merekonstruksi peradaban yang
seimbang antara akal, wahyu, dan intuisi. Resakralisasi ini tidak berarti
menolak kemajuan sains dan teknologi, tetapi menundukkannya di bawah kebijaksanaan metafisik
dan etika spiritual⁵.
Namun, kritik Nasr
tidak hanya ditujukan pada peradaban Barat. Ia juga mengkritik umat
Islam kontemporer yang terjebak pada dua ekstrem: modernisme
sekular yang mengimitasi Barat secara buta, dan fundamentalisme literal yang
kehilangan kedalaman spiritual dan intelektual Islam klasik. Dalam pandangan
Nasr, solusi sejati terletak pada pemulihan integrasi antara syariat, akal, dan
tasawuf, sebagaimana tercermin dalam peradaban Islam tradisional⁶.
Kritik Nasr terhadap
modernitas adalah bagian dari proyek intelektual yang lebih besar: membangun
kembali paradigma ilmu yang sakral dan peradaban spiritual. Ia
percaya bahwa masa depan umat manusia sangat bergantung pada kemampuannya untuk
melampaui keterbatasan modernitas sekuler dan membuka diri terhadap dimensi
transenden realitas, yang telah lama ditinggalkan dalam
kehidupan modern. Dalam konteks ini, pemikiran Nasr menawarkan kontribusi
penting bagi filsafat Islam kontemporer dan wacana global tentang krisis
kemanusiaan dan lingkungan.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man
(Chicago: ABC International Group, 2001), 17–21.
[2]
Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of
New York Press, 1989), 26–30.
[3]
Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man
(London: George Allen and Unwin, 1968), 45–47.
[4]
Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford
University Press, 1996), 100–102.
[5]
William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul:
The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld,
2007), 29–31.
[6]
Ibrahim Kalin, “Knowledge as Light: Critical Reflections on Seyyed
Hossein Nasr's Epistemology,” Islamic Studies 43, no. 2 (2004):
227–230.
7.
Kontribusi Intelektual dan Pengaruh Global
Seyyed Hossein Nasr
adalah salah satu tokoh Muslim kontemporer yang pengaruh intelektualnya melintasi batas
geografis, budaya, dan agama. Kontribusinya mencakup bidang
filsafat Islam, studi perbandingan agama, spiritualitas, tasawuf, sejarah
sains, serta pemikiran ekologi sakral. Keistimewaan Nasr terletak pada
kemampuannya menyatukan kedalaman tradisi Islam klasik dengan bahasa
dan metodologi filsafat kontemporer, sehingga menjadikan
pemikirannya dapat diakses oleh publik akademik global¹.
Kontribusi pertama
dan paling mendasar dari Nasr adalah revitalisasi filsafat Islam tradisional
sebagai suatu sistem pemikiran yang masih relevan untuk merespons krisis dunia
modern. Melalui karya-karyanya seperti Knowledge and the Sacred dan The Need
for a Sacred Science, ia menghadirkan kembali struktur pengetahuan
Islam yang bersifat hierarkis dan transenden, dengan wahyu dan intuisi
spiritual sebagai puncaknya². Dalam kerangka ini, Nasr menjadi juru bicara
utama dari mazhab Tradisionalis Islam yang mempertahankan integritas metafisik
dan spiritual ajaran Islam dalam dunia yang didominasi oleh positivisme dan
sekularisme.
Selain itu, Nasr
dikenal luas sebagai pelopor bidang sejarah dan filsafat sains Islam.
Bukunya Science
and Civilization in Islam merupakan salah satu karya klasik yang
memperkenalkan kontribusi peradaban Islam terhadap ilmu pengetahuan kepada
publik Barat. Ia tidak hanya menekankan pencapaian teknis ilmuwan Muslim klasik
seperti al-Biruni, Ibn Sina, dan al-Tusi, tetapi juga memperlihatkan fondasi
kosmologis dan spiritual yang melandasi sains dalam Islam³.
Dengan demikian, Nasr membangun jembatan antara sejarah sains dan dimensi
sakralitas, sesuatu yang sangat jarang dilakukan dalam studi-studi orientalis.
Kontribusi penting
lainnya adalah dalam dialog antaragama dan lintas tradisi spiritual.
Sebagai bagian dari mazhab Perennial, Nasr aktif dalam forum-forum
internasional yang mempromosikan kesalingpahaman antara agama-agama besar
dunia. Ia menekankan bahwa semua tradisi religius yang otentik mengandung inti
metafisika yang sama, dan bahwa perbedaan lahiriah tidak menghalangi
keterhubungan batiniah antaragama. Pemikirannya sangat diapresiasi oleh
kalangan spiritualis Hindu, Budha, dan Kristen Timur yang melihat dalam Islam
versi Nasr suatu bentuk agama yang penuh kedalaman metafisik dan toleransi
spiritual⁴.
Pengaruh Nasr juga
terasa dalam diskursus filsafat lingkungan dan ekologi sakral.
Ia merupakan salah satu pemikir Muslim pertama yang menyoroti hubungan antara
kerusakan lingkungan dengan krisis spiritualitas manusia modern. Dalam karya Man and
Nature dan Religion and the Order of Nature,
Nasr menyerukan agar umat manusia kembali melihat alam sebagai ciptaan
Tuhan yang sakral, bukan sekadar sumber eksploitasi. Konsep ini
menjadi inspirasi dalam pengembangan pendekatan eko-teologi dalam konteks Islam
dan juga lintas agama⁵.
Secara akademik,
Nasr telah mengajar di berbagai universitas bergengsi, seperti Harvard, Temple
University, dan George Washington University, tempat ia menjabat sebagai
Distinguished Professor of Islamic Studies. Ia juga menjadi pembicara utama
dalam berbagai simposium internasional, dan telah menulis
lebih dari 50 buku dan 500 artikel dalam berbagai bahasa.
Murid-murid dan pengikut intelektualnya tersebar di berbagai negara, termasuk
dunia Islam, Eropa, dan Amerika Serikat, menjadikan pemikirannya berdampak
luas dalam ranah global⁶.
Dengan demikian,
Nasr bukan hanya seorang filsuf Islam, tetapi juga duta
intelektual tradisi Islam kepada dunia modern. Ia berhasil
menunjukkan bahwa Islam memiliki warisan filsafat dan spiritualitas yang kaya,
yang tidak hanya relevan untuk umat Muslim, tetapi juga bagi seluruh umat
manusia dalam menghadapi tantangan zaman. Kontribusinya telah membentuk wacana
baru tentang Islam yang berakar pada tradisi, berjiwa universal, dan terbuka
terhadap peradaban global tanpa kehilangan jati dirinya.
Footnotes
[1]
Mehdi Aminrazavi, The Islamic Intellectual Tradition in Persia
(Richmond: Curzon Press, 1996), 261–264.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 3–8.
[3]
Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1968), vii–x.
[4]
Reza Shah-Kazemi, “Perennial Philosophy and the Transcendent Unity of
Religions,” Islamic Quarterly 48, no. 1 (2004): 43–46.
[5]
Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford
University Press, 1996), 99–102.
[6]
Ibrahim Kalin, “Seyyed Hossein Nasr,” in The Oxford Encyclopedia of
the Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford: Oxford University Press,
2009).
8.
Kritik dan Kontroversi terhadap Pemikiran Nasr
Meskipun pemikiran
Seyyed Hossein Nasr banyak mendapat apresiasi dari berbagai kalangan akademik
dan spiritual, baik di dunia Islam maupun Barat, ia juga menjadi objek kritik
yang cukup luas, terutama karena orientasi metafisiknya yang kuat dan
afiliasinya dengan mazhab Perennial. Kritik terhadap Nasr
datang dari beragam sudut pandang: kaum modernis Islam, kelompok fundamentalis,
akademisi sekuler, bahkan sebagian kalangan sufi dan filosof Islam.
Salah satu kritik
utama yang diarahkan kepada Nasr adalah keterlibatannya dalam filsafat perennial
yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai bentuk sinkretisme
religius. Pendekatan perennial menekankan adanya inti metafisik
universal dalam semua agama besar, dan hal ini memunculkan tuduhan bahwa Nasr
mengaburkan batas-batas keimanan Islam dengan tradisi-tradisi lain. Kalangan
Muslim eksklusivis melihat pendekatan ini sebagai upaya menyamakan Islam dengan
agama lain, yang dapat melemahkan identitas tauhid yang eksklusif dalam Islam¹.
Namun, Nasr sendiri membantah tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa ia tetap
memegang teguh akidah Islam. Ia membedakan antara “persatuan
esoterik” dalam realitas transenden dan “perbedaan eksoterik” dalam hukum dan
doktrin².
Kritik lain datang
dari kalangan
modernis Islam, yang menilai pendekatan Nasr terlalu
“nostalgik” dan tidak realistis terhadap tantangan zaman. Menurut mereka,
solusi yang ditawarkan Nasr—yaitu kembali kepada struktur pengetahuan
tradisional dan spiritualitas esoterik—tidak cukup menjawab masalah
sosial-politik, ekonomi, dan teknologi yang dihadapi umat Islam saat ini³.
Tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman dan Nasr Hamid Abu Zayd, meskipun tidak
menyerang langsung Nasr, menyuarakan pendekatan yang lebih historis dan
hermeneutik dalam memahami Islam, yang berbeda dengan pendekatan
metafisik-perennial Nasr yang ahistoris dan absolutistik⁴.
Nasr juga dikritik
karena gaya
penulisannya yang sangat filosofis dan elitis, sehingga
dianggap kurang dapat diakses oleh masyarakat Muslim awam. Karya-karyanya yang
sarat dengan istilah metafisika, kosmologi, dan simbolisme, sering kali sulit
dipahami oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang filsafat atau tasawuf.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam mendiseminasikan pemikirannya ke tengah
masyarakat luas⁵.
Selain itu, sebagian
kalangan sufi juga mengkritik pendekatan Nasr karena fokusnya
yang cenderung teoretik daripada praksis tasawuf. Meskipun Nasr
menulis banyak tentang tasawuf dan spiritualitas Islam, ia tidak dikenal
sebagai seorang praktisi ṭarīqah dalam pengertian teknis. Ia lebih menekankan
aspek intelektual-esoterik dari tasawuf ketimbang dimensi amaliah-spiritual
yang biasa ditemukan dalam laku sufi harian⁶. Hal ini memunculkan kritik bahwa
tasawuf dalam kerangka Nasr lebih merupakan konstruksi filosofis daripada
praktik transformatif.
Dari sisi lain,
akademisi sekuler dan orientalis juga mengkritik Nasr karena dianggap terlalu
apologetik dan anti-modern. Ia dinilai tidak cukup kritis
terhadap aspek problematis dalam sejarah peradaban Islam, dan terlalu
menyanjung warisan tradisional tanpa membuka ruang bagi pembaruan metodologis.
Posisi Nasr yang memandang modernitas sebagai “penyimpangan kosmik” dianggap
terlalu ekstrem dan kurang memberikan apresiasi terhadap pencapaian rasionalitas
modern dalam bidang keilmuan dan hak asasi manusia⁷.
Namun, meskipun
menghadapi berbagai kritik tersebut, pemikiran Nasr tetap memiliki posisi
penting dan strategis dalam wacana filsafat Islam kontemporer. Kritik-kritik
tersebut justru menunjukkan kompleksitas dan daya tarik pemikirannya,
yang menantang banyak arus utama dalam pemikiran Islam dan filsafat modern.
Lebih dari itu, posisi Nasr yang konsisten dalam mempertahankan spiritualitas
dan kosmologi Islam tradisional menjadikannya sebagai salah satu dari sedikit
tokoh yang berhasil merumuskan alternatif peradaban berbasis metafisika
dalam dunia yang terfragmentasi oleh relativisme dan nihilisme.
Footnotes
[1]
Farhan Shah, “Islam, Tradition and the Challenge of Modernity: The Case
of Seyyed Hossein Nasr,” Religions 12, no. 10 (2021): 3–5.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany:
State University of New York Press, 1993), 29–31.
[3]
Ibrahim M. Abu-Rabi‘, Contemporary Arab Thought: Studies in
Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004), 88–90.
[4]
Charles E. Butterworth and I. William Zartman, eds., Political
Islam: Essays from Middle East Report (Berkeley: University of California
Press, 1992), 135–137.
[5]
Ibrahim Kalin, “Knowledge as Light: Critical Reflections on Seyyed Hossein
Nasr's Epistemology,” Islamic Studies 43, no. 2 (2004): 231.
[6]
Harry Oldmeadow, “Sufism and Tradition: The Thought of Seyyed Hossein
Nasr,” Sacred Web 5 (2000): 20.
[7]
Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought
(Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 32–35.
9.
Relevansi Pemikiran Nasr dalam Konteks Dunia
Islam Masa Kini
Di tengah dinamika
globalisasi, krisis lingkungan, arus modernisasi, serta ketegangan antara
fundamentalisme dan sekularisme, pemikiran Seyyed Hossein Nasr menawarkan alternatif
paradigma yang bernuansa spiritual dan filosofis, yang sangat
relevan bagi dunia Islam masa kini. Tawaran intelektual Nasr bukan sekadar
nostalgia terhadap masa lalu Islam klasik, melainkan sebuah upaya
sistematis untuk merumuskan kembali arah peradaban Islam berdasarkan akar-akar
metafisik dan tradisional yang telah terabaikan dalam kehidupan
modern¹.
Pertama, dalam
bidang pendidikan
dan epistemologi, pemikiran Nasr mengusulkan perlunya
rekonstruksi sistem pendidikan Islam yang berlandaskan pada integrasi
antara ilmu rasional, ilmu kealaman, dan ilmu spiritual. Nasr
mengkritik sistem pendidikan modern yang memisahkan ilmu dari nilai-nilai
transenden dan menyerukan pendidikan yang menanamkan keterhubungan antara
pengetahuan dan Tuhan sebagai sumber segala realitas². Dalam konteks ini,
pemikiran Nasr memberi kontribusi penting bagi gerakan Islamisasi ilmu
pengetahuan dan resakralisasi pendidikan tinggi Islam.
Kedua, dalam dimensi
spiritualitas
dan pembinaan keagamaan, Nasr menggarisbawahi pentingnya
tasawuf sebagai fondasi kehidupan ruhani yang autentik. Ia mengingatkan bahwa
umat Islam tidak dapat bertahan dalam arus modernitas tanpa kembali kepada kedalaman
spiritual dan dimensi esoterik Islam, yang selama berabad-abad
telah menjadi pilar peradaban Islam. Dalam era di mana radikalisme dan
literalisme sering menjadi wajah dominan agama, pendekatan spiritual Nasr mampu
menghadirkan Islam yang lebih mendalam, inklusif, dan
menyembuhkan³.
Ketiga, relevansi
pemikiran Nasr juga tampak dalam respon terhadap krisis ekologi dan lingkungan
hidup. Dunia Islam saat ini menghadapi tantangan besar dalam
mengelola sumber daya alam, degradasi lingkungan, dan perubahan iklim. Nasr
menjadi pionir dalam membangun kosmologi Islam yang sakral
terhadap alam, di mana bumi dilihat sebagai amanah Tuhan, bukan sekadar objek
eksploitasi. Pemikiran ini menjadi fondasi bagi perkembangan etika
lingkungan Islam (Islamic environmental ethics) dan penguatan
kesadaran ekologis berbasis wahyu⁴.
Keempat, dalam
konteks globalisasi dan dialog antaragama,
pemikiran Nasr yang berbasis pada filsafat perennial membuka
ruang bagi kesalingpahaman yang dalam antara umat Islam dan tradisi-tradisi
agama lain, tanpa mengorbankan identitas keimanan. Ia menunjukkan bahwa seorang
Muslim bisa bersikap terbuka, dialogis, dan toleran, tanpa terjerumus dalam
relativisme atau sinkretisme. Di dunia Islam kontemporer yang rentan konflik
identitas, pendekatan Nasr menghadirkan teladan keseimbangan antara keteguhan iman dan
keterbukaan spiritual⁵.
Kelima, pemikiran
Nasr dapat menjadi rambu korektif terhadap dua ekstremitas
peradaban Muslim masa kini: sekularisme imitasi dan
fundamentalisme tekstual. Nasr menolak keduanya dan menawarkan jalan tengah
berbasis hikmah dan tasawuf. Ia mengajak umat Islam untuk tidak sekadar
meromantisasi masa lalu, tetapi menghidupkan kembali substansi
spiritual dan intelektual Islam yang mendalam sebagai fondasi
bangunan peradaban baru⁶.
Akhirnya, relevansi
pemikiran Nasr juga tampak dalam peranannya sebagai penghubung
antara tradisi Islam klasik dan wacana filsafat kontemporer. Ia
memposisikan Islam bukan sebagai warisan statis, tetapi sebagai sumber
kebijaksanaan yang hidup dan mampu berdialog secara setara dengan tantangan
dunia modern. Dalam hal ini, Nasr tidak hanya penting bagi dunia Islam, tetapi
juga bagi wacana global mengenai spiritualitas,
lingkungan, dan krisis kemanusiaan⁷.
Footnotes
[1]
Ibrahim Kalin, “Seyyed Hossein Nasr: Traditional Islam in the Modern
World,” in The Oxford Encyclopedia of the Islamic World, ed. John L.
Esposito (Oxford: Oxford University Press, 2009).
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 95–97.
[3]
Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism,
Islam's Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 137–139.
[4]
Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man
(London: George Allen and Unwin, 1968), 114–118.
[5]
Reza Shah-Kazemi, “Perennial Philosophy and the Transcendent Unity of
Religions,” Islamic Quarterly 48, no. 1 (2004): 49–52.
[6]
Ibrahim M. Abu-Rabi‘, The Blackwell Companion to Contemporary
Islamic Thought (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), 331–334.
[7]
William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul:
The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld
Publications, 2007), 217–219.
10.
Kesimpulan
Pemikiran Seyyed
Hossein Nasr merepresentasikan salah satu upaya paling sistematis dalam
menjawab tantangan zaman modern melalui pendekatan yang berakar pada filsafat
Islam tradisional dan spiritualitas tasawuf. Di tengah arus
sekularisasi, krisis lingkungan, dan alienasi spiritual yang mengglobal, Nasr
menawarkan suatu bentuk kebangkitan intelektual dan ruhani
yang berlandaskan pada prinsip metafisika Islam serta wawasan perennial yang
mengakui kesatuan inti dari semua agama wahyu¹.
Sebagaimana terurai
dalam berbagai gagasannya, Nasr tidak hanya memberikan kritik mendalam terhadap
modernitas, tetapi juga mengajukan kerangka epistemologis dan kosmologis
alternatif yang bersifat sakral, holistik, dan berorientasi
pada Tuhan. Ia mengajak umat Islam untuk merevitalisasi peradaban bukan dengan
meniru Barat, tetapi dengan menyelami kembali khazanah hikmah Islam,
mengintegrasikan akal, wahyu, dan intuisi, serta memulihkan hubungan manusia
dengan alam sebagai ciptaan Tuhan².
Filsafat perennial
yang dianut Nasr bukan sekadar teori abstrak, melainkan tawaran ontologis dan
praktis untuk membangun tata nilai global yang berakar pada spiritualitas dan
kesadaran metafisik. Pendekatan ini memberikan kontribusi besar bagi dialog
antaragama, etika lingkungan hidup, serta pendidikan berbasis nilai
transendental. Dengan menekankan pentingnya dimensi esoterik
Islam, khususnya melalui tasawuf, Nasr memperlihatkan bahwa spiritualitas bukan
hanya jalan personal menuju Tuhan, tetapi juga basis bagi rekonstruksi sosial
dan kultural dalam dunia Muslim kontemporer³.
Meski menghadapi
kritik dari berbagai kalangan—baik modernis, fundamentalis, maupun
sekuler—pemikiran Nasr tetap menunjukkan koherensi filosofis dan integritas spiritual
yang kuat. Ia berdiri teguh dalam mempertahankan Islam sebagai
agama yang tidak hanya memiliki sistem hukum dan teologi, tetapi juga kekayaan
intelektual dan metafisika yang mampu berdialog dengan dunia modern tanpa
kehilangan otentisitas⁴.
Dengan demikian,
kontribusi Seyyed Hossein Nasr bukan hanya penting dalam konteks akademik,
tetapi juga dalam membangun paradigma alternatif
yang dapat menginspirasi transformasi peradaban ke arah yang lebih manusiawi,
sakral, dan berkeadaban. Dalam dunia yang mengalami krisis makna dan arah,
pemikiran Nasr membuka jalan bagi rekonsiliasi antara ilmu dan iman, antara
manusia dan Tuhan, serta antara tradisi dan modernitas⁵.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany:
State University of New York Press, 1993), 12–15.
[2]
Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of
New York Press, 1989), 92–97.
[3]
Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism,
Islam's Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 141–143.
[4]
Farhan Shah, “Islam, Tradition and the Challenge of Modernity: The Case
of Seyyed Hossein Nasr,” Religions 12, no. 10 (2021): 5–7.
[5]
William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul:
The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld
Publications, 2007), 219.
Daftar Pustaka
Abu-Rabiʿ, I. M. (2004). Contemporary
Arab thought: Studies in post-1967 Arab intellectual history. Pluto Press.
Abu Zayd, N. H. (2006). Reformation
of Islamic thought: A critical historical analysis. Amsterdam University
Press.
Aminrazavi, M. (1996). The
Islamic intellectual tradition in Persia. Curzon Press.
Butterworth, C. E., &
Zartman, I. W. (Eds.). (1992). Political Islam: Essays from Middle East
Report. University of California Press.
Chittick, W. C. (2000). Sufism:
A short introduction. Oneworld Publications.
Chittick, W. C. (2001). The
heart of Islamic philosophy: The quest for self-knowledge in the teachings of
Afdal al-Din Kashani. Oxford University Press.
Chittick, W. C. (2007). Science
of the cosmos, science of the soul: The pertinence of Islamic cosmology in the
modern world. Oneworld Publications.
Esposito, J. L. (Ed.).
(2009). The Oxford encyclopedia of the Islamic world. Oxford
University Press.
Jahanbegloo, R. (2010). In
search of the sacred: A conversation with Seyyed Hossein Nasr on his life and
thought. Praeger.
Kalin, I. (2004). Knowledge
as light: Critical reflections on Seyyed Hossein Nasr’s epistemology. Islamic
Studies, 43(2), 227–235.
Kalin, I. (2009). Seyyed
Hossein Nasr. In J. L. Esposito (Ed.), The Oxford encyclopedia of the
Islamic world. Oxford University Press.
Leaman, O. (2006). The
biographical encyclopedia of Islamic philosophy. Bloomsbury Academic.
Nasr, S. H. (1968). Man
and nature: The spiritual crisis in modern man. George Allen and Unwin.
Nasr, S. H. (1968). Science
and civilization in Islam. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge
and the sacred. State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1993). The
need for a sacred science. State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion
and the order of nature. Oxford University Press.
Nasr, S. H. (2001). Islam
and the plight of modern man (2nd ed.). ABC International Group.
Nasr, S. H. (2007). The
garden of truth: The vision and promise of Sufism, Islam's mystical tradition.
HarperOne.
Oldmeadow, H. (2000).
Sufism and tradition: The thought of Seyyed Hossein Nasr. Sacred Web,
5, 10–23.
Oldmeadow, H. (2005). The
essential Frithjof Schuon. World Wisdom.
Shah-Kazemi, R. (2004).
Perennial philosophy and the transcendent unity of religions. Islamic
Quarterly, 48(1), 43–52.
Shah-Kazemi, R. (2006). Paths
to transcendence: According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart.
World Wisdom.
Shah, F. (2021). Islam,
tradition and the challenge of modernity: The case of Seyyed Hossein Nasr. Religions,
12(10), 1–11. https://doi.org/10.3390/rel12100901
Tidak ada komentar:
Posting Komentar