Minggu, 26 Oktober 2025

Etika Politik: Fondasi Moral bagi Kekuasaan, Keadilan, dan Kehidupan Publik

Etika Politik

Fondasi Moral bagi Kekuasaan, Keadilan, dan Kehidupan Publik


Alihkan ke: Ilmu Politik.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam hakikat, struktur, dan relevansi etika politik sebagai cabang reflektif dari filsafat moral dan sosial yang berupaya menautkan antara moralitas, rasionalitas, dan praksis kekuasaan. Dalam konteks historis, etika politik berkembang dari fondasi klasik Aristoteles tentang politik sebagai sarana mencapai eudaimonia kolektif, melalui rasionalitas moral Kantian dan keadilan sosial Rawlsian, hingga kritik kontemporer yang diajukan oleh Habermas, Arendt, dan Levinas mengenai tanggung jawab etis dan komunikasi publik.

Kajian ini menelusuri dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari etika politik dengan menyoroti bagaimana nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab membentuk dasar normatif bagi tindakan politik yang berkeadaban. Secara ontologis, politik dipahami sebagai realitas sosial yang mengandaikan kebersamaan manusia; secara epistemologis, sebagai proses deliberatif yang menuntut rasionalitas komunikatif; dan secara aksiologis, sebagai praksis moral yang berorientasi pada bonum commune (kebaikan bersama).

Artikel ini juga memaparkan berbagai kritik terhadap etika politik—mulai dari realisme Machiavellian, nihilisme Nietzschean, determinisme Marxis, hingga relativisme postmodern—yang menyoroti keterbatasan moralitas universal dalam menghadapi kompleksitas kekuasaan. Namun, melalui sintesis filosofis antara tradisi klasik, modern, dan kontemporer, etika politik direkonseptualisasi sebagai filsafat praksis yang memadukan kebajikan (virtue), rasionalitas moral (reason), dan tanggung jawab kemanusiaan (responsibility).

Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh krisis moral, populisme, dan disrupsi digital, etika politik menjadi relevan sebagai pedoman normatif bagi pengelolaan kekuasaan yang adil, partisipatif, dan manusiawi. Ia mengingatkan bahwa politik yang etis bukan sekadar mekanisme pengambilan keputusan, melainkan wujud refleksi moral kolektif umat manusia terhadap keadilan, solidaritas, dan keberlanjutan kehidupan bersama.

Kata Kunci: Etika Politik; Keadilan; Tanggung Jawab; Moralitas Publik; Rasionalitas Komunikatif; Bonum Commune; Filsafat Praksis; Demokrasi; Kemanusiaan; Politik Global.


PEMBAHASAN

Membangun Fondasi Filosofis bagi Praktik Politik yang Etis


1.           Pendahuluan

Politik sejak awal kemunculannya selalu menjadi arena tarik-menarik antara kekuasaan dan moralitas. Di satu sisi, politik berkaitan dengan upaya manusia untuk mengatur kehidupan bersama melalui struktur kekuasaan, hukum, dan kebijakan publik. Di sisi lain, etika menuntut bahwa setiap tindakan manusia harus diarahkan kepada kebaikan dan keadilan. Ketegangan antara dua ranah ini melahirkan pertanyaan mendasar: apakah politik dapat bermoral, dan apakah moralitas dapat menjadi dasar bagi tindakan politik? Pertanyaan ini menjadi titik pijak utama dalam kajian etika politik sebagai refleksi filosofis tentang hubungan antara nilai moral dan praktik kekuasaan publik.¹

Secara historis, pemikiran tentang etika politik berakar dari tradisi filsafat Yunani klasik. Plato dalam Republic menekankan bahwa politik sejati adalah seni memerintah demi kebaikan bersama (common good), bukan sekadar perebutan kekuasaan.² Aristoteles kemudian menegaskan dalam Nicomachean Ethics dan Politics bahwa politik adalah cabang dari etika praktis karena tujuan tertingginya adalah kebajikan (aretê) yang diwujudkan dalam kehidupan polis.³ Bagi para filsuf ini, politik bukanlah domain yang otonom dari moralitas, tetapi ekspresi etis dari rasionalitas manusia dalam membangun tatanan sosial yang adil.

Namun, sejak modernitas, politik mulai dipisahkan dari moralitas. Machiavelli melalui Il Principe mengajukan gagasan realistik tentang kekuasaan yang terlepas dari norma moral tradisional.⁴ Ia menilai bahwa demi stabilitas dan efektivitas pemerintahan, seorang penguasa dapat menggunakan cara-cara yang secara etis dipertanyakan. Pemikiran ini memicu pergeseran paradigma dari politik moral ke politik kekuasaan (realpolitik). Paradigma tersebut kemudian dikritik oleh Immanuel Kant yang menegaskan bahwa politik sejati hanya dapat berakar pada prinsip moral universal, khususnya imperatif kategoris yang mengandaikan penghormatan terhadap martabat manusia.⁵

Dalam konteks kontemporer, etika politik kembali menemukan relevansinya ketika masyarakat global menghadapi krisis moral dalam tata kelola publik: korupsi, populisme, polarisasi ideologis, dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi gejala yang menuntut refleksi etis yang mendalam.⁶ Selain itu, munculnya demokrasi digital, media sosial, dan teknologi politik baru menimbulkan dilema moral baru, seperti manipulasi informasi, privasi warga, dan penyebaran ujaran kebencian.⁷ Kondisi ini menunjukkan bahwa refleksi etika politik tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praktis, karena menentukan arah peradaban politik manusia.

Kajian tentang etika politik karenanya berfungsi sebagai upaya untuk meneguhkan kembali fondasi moral dalam ruang publik. Ia menanyakan bagaimana kekuasaan dapat dijalankan tanpa kehilangan arah moralnya, bagaimana keadilan sosial dapat ditegakkan dalam struktur politik yang kompleks, dan bagaimana tanggung jawab etis dapat menjadi roh kehidupan bernegara.⁸ Dengan demikian, etika politik bukan hanya studi tentang moralitas dalam kekuasaan, tetapi juga tentang kemungkinan menghadirkan kemanusiaan di dalam politik itu sendiri.

Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan filosofis-historis dan refleksi normatif. Pendekatan filosofis-historis diperlukan untuk memahami akar konseptual etika politik dari masa ke masa, sementara refleksi normatif bertujuan untuk menilai nilai-nilai moral yang seharusnya menuntun praktik politik dalam dunia kontemporer.⁹ Dengan cara ini, artikel ini berupaya mengembalikan politik pada kedudukannya yang luhur sebagai praksis moral yang diarahkan kepada kebaikan bersama (bonum commune) dan keadilan sosial.¹⁰


Footnotes

[1]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 5–7.

[2]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 347c–352d.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1094a–b.

[4]                Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 58–60.

[5]                Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 120–123.

[6]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 3–6.

[7]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 443–448.

[8]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 175–182.

[9]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 13–15.

[10]             Thomas Aquinas, Summa Theologiae, II-II, q. 58, a. 5.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Etika Politik

2.1.       Akar Yunani Klasik: Politik sebagai Cabang Etika

Pemikiran tentang etika politik berakar kuat dalam filsafat Yunani klasik, di mana politik tidak dipahami semata sebagai perebutan kekuasaan, tetapi sebagai praxis moral demi kebaikan bersama. Plato dalam Republic memandang bahwa tujuan politik adalah menghadirkan keadilan dalam jiwa individu dan dalam tatanan negara.¹ Baginya, negara yang adil adalah cerminan dari jiwa yang teratur, di mana akal, keberanian, dan hasrat berada dalam harmoni.² Etika dan politik karenanya tidak dapat dipisahkan; seorang penguasa sejati bukanlah yang paling kuat, tetapi yang paling bijaksana—philosopher-king.

Aristoteles melanjutkan warisan ini dengan pendekatan yang lebih empiris. Dalam Nicomachean Ethics dan Politics, ia menegaskan bahwa manusia adalah zoon politikon—makhluk politik—yang hanya dapat mencapai kesempurnaan moral dalam kehidupan bersama.³ Tujuan akhir politik adalah eudaimonia (kebahagiaan yang berkelanjutan), yang hanya dapat dicapai melalui kebajikan etis (aretê).⁴ Dengan demikian, politik bagi Aristoteles merupakan cabang dari etika praktis yang mengarahkan manusia menuju kehidupan yang baik (the good life).⁵

2.2.       Tradisi Skolastik dan Kristen: Sintesis antara Iman, Akal, dan Kekuasaan

Tradisi Kristen awal memberikan dimensi baru terhadap etika politik melalui refleksi teologis tentang kekuasaan dan moralitas. Santo Agustinus dalam De Civitate Dei membedakan antara Civitas Dei (Kota Allah) dan Civitas Terrena (Kota Dunia), di mana politik duniawi dipandang sebagai akibat dari dosa asal, namun tetap memiliki peran instrumental dalam menjaga keteraturan sosial.⁶ Politik, bagi Agustinus, bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mewujudkan keadilan sementara di dunia yang fana.

Thomas Aquinas kemudian menyusun sintesis antara filsafat Aristotelian dan teologi Kristen.⁷ Dalam Summa Theologiae, ia menegaskan bahwa hukum manusia (lex humana) harus berakar pada hukum kodrati (lex naturalis) yang berasal dari hukum ilahi (lex divina).⁸ Dengan demikian, kekuasaan politik hanya sah sejauh sejalan dengan tatanan moral yang ditetapkan oleh akal budi dan kehendak Tuhan. Aquinas memandang negara sebagai communitas perfecta, yaitu komunitas moral yang diarahkan kepada kebaikan bersama (bonum commune).⁹

2.3.       Pencerahan dan Rasionalisme Politik: Etika Kewargaan dan Kontrak Sosial

Pada masa Pencerahan, muncul pergeseran paradigma menuju rasionalisasi politik. Para pemikir seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau memformulasikan teori kontrak sosial sebagai dasar legitimasi kekuasaan. Hobbes dalam Leviathan menekankan bahwa manusia, untuk menghindari kekacauan alami (state of nature), harus menyerahkan sebagian kebebasannya kepada negara demi keamanan bersama.¹⁰ Etika politik di sini bergeser dari moralitas kebajikan ke moralitas kontraktual.

John Locke menentang pandangan absolutisme Hobbes dengan menegaskan hak-hak alamiah individu—hidup, kebebasan, dan kepemilikan—yang tidak boleh dilanggar oleh negara.¹¹ Etika politik Locke menekankan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi hak-hak tersebut. Rousseau kemudian memperluas gagasan ini dengan memperkenalkan konsep volonté générale (kehendak umum), di mana legitimasi politik berasal dari partisipasi aktif warga negara yang rasional dan bebas.¹² Maka, etika politik modern menjadi landasan moral bagi demokrasi dan hak asasi manusia.

2.4.       Era Modern dan Kritis: Moralitas, Rasionalitas, dan Emansipasi

Memasuki era modern, refleksi etika politik menjadi semakin kompleks. Immanuel Kant menegaskan dalam Perpetual Peace bahwa politik sejati harus tunduk pada moralitas universal yang bersumber dari imperatif kategoris.¹³ Ia menolak pandangan utilitarian dan pragmatis, dengan menyatakan bahwa “politik tanpa moral adalah kejahatan.”¹⁴ Sementara itu, Hegel dalam Philosophy of Right menempatkan etika politik dalam kerangka Sittlichkeit, yakni moralitas objektif yang diwujudkan dalam institusi sosial seperti keluarga, masyarakat sipil, dan negara.¹⁵

Karl Marx menawarkan kritik radikal terhadap etika politik borjuis dengan menunjukkan bahwa moralitas sering kali berfungsi sebagai ideologi yang menutupi relasi dominasi.¹⁶ Dalam kerangka ini, etika politik harus bersifat emansipatoris, yaitu membebaskan manusia dari penindasan struktural. Warisan pemikiran Marx membuka jalan bagi teori kritis Frankfurt School yang menekankan pentingnya kesadaran moral dan rasionalitas komunikatif dalam praksis politik.¹⁷

2.5.       Perkembangan Kontemporer: Etika Diskursus dan Politik Deliberatif

Pada abad ke-20, etika politik berkembang melalui pemikiran neo-Kantian dan teori komunikasi. John Rawls dengan A Theory of Justice memperkenalkan prinsip keadilan sebagai fairness, yang menekankan bahwa lembaga politik harus dirancang sedemikian rupa agar setiap individu memiliki kesempatan yang setara di bawah “veil of ignorance.”¹⁸ Sementara itu, Jürgen Habermas mengembangkan discourse ethics, yang menempatkan legitimasi moral dalam proses komunikasi rasional antarwarga negara.¹⁹

Hannah Arendt menyoroti dimensi eksistensial politik sebagai ruang tindakan dan kebebasan manusia.²⁰ Politik, menurut Arendt, bukan sekadar instrumen kekuasaan, tetapi arena di mana manusia menegaskan eksistensinya melalui tindakan bersama.²¹ Dengan demikian, etika politik kontemporer bergerak dari paradigma kekuasaan menuju paradigma partisipasi, dari dominasi menuju komunikasi, dan dari hierarki menuju dialog etis yang setara.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 347c–352d.

[2]                Ibid., 427d–434c.

[3]                Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1253a.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a–1100a.

[5]                Ibid., 1177b–1178a.

[6]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Classics, 2003), XIX.17–24.

[7]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 201–205.

[8]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 91–95.

[9]                Ibid., II-II, q. 58, a. 5.

[10]             Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 89–94.

[11]             John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 285–289.

[12]             Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Classics, 1968), 50–52.

[13]             Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 120–123.

[14]             Ibid., 126.

[15]             G. W. F. Hegel, Elements of the Philosophy of Right, trans. H. B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 255–260.

[16]             Karl Marx, Critique of the Gotha Program (New York: International Publishers, 1970), 17–21.

[17]             Max Horkheimer, Critical Theory: Selected Essays (New York: Continuum, 1982), 212–215.

[18]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 11–13.

[19]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 447–451.

[20]             Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 175–182.

[21]             Ibid., 198–203.


3.           Ontologi Etika Politik

3.1.       Hakikat Tindakan Politik: Antara Kekuasaan dan Kebaikan

Secara ontologis, tindakan politik tidak dapat direduksi hanya pada dimensi instrumental atau teknokratis. Politik adalah praksis manusia yang memiliki dimensi eksistensial—yakni tindakan yang berakar pada kebebasan, tanggung jawab, dan orientasi terhadap kebaikan bersama (bonum commune).¹ Dalam perspektif Aristoteles, politik bukanlah sekadar sarana untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi merupakan praxis yang mengarahkan manusia kepada kebajikan moral.² Ia menempatkan politik sebagai puncak dari etika praktis, karena di dalamnya kehendak manusia diarahkan kepada kebaikan publik.

Berbeda dengan pandangan instrumental yang melihat politik sebagai “seni menguasai,” pandangan ontologis-etis menegaskan bahwa politik memiliki struktur moral intrinsik.³ Tindakan politik sejati bukanlah tindakan yang sekadar efektif, tetapi tindakan yang etis, yang memelihara tatanan kebaikan dan keadilan. Dalam pengertian ini, etika politik menolak pandangan Machiavellian yang mengabaikan moralitas demi efektivitas kekuasaan.⁴ Ontologi tindakan politik menegaskan bahwa kekuasaan hanya sah sejauh ia menegakkan kebenaran dan kebaikan yang rasional.

3.2.       Relasi antara Individu dan Komunitas dalam Struktur Politik

Dalam kerangka ontologis, individu dan komunitas tidak berdiri secara terpisah, melainkan saling melengkapi dalam eksistensi politik. Manusia, sebagaimana ditegaskan Aristoteles, adalah makhluk sosial yang hanya dapat mewujudkan dirinya secara utuh di dalam polis.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa politik bukanlah sesuatu yang eksternal terhadap moralitas individu, melainkan medan ontologis di mana kebajikan pribadi menemukan realisasinya dalam kehidupan bersama.

Thomas Aquinas memperdalam pandangan ini dengan menegaskan bahwa manusia adalah animal sociale et politicum bukan hanya secara biologis, tetapi juga moral dan rasional.⁶ Kebaikan bersama (bonum commune) tidak dapat direduksi pada penjumlahan kepentingan individual, melainkan merupakan tujuan moral yang lebih tinggi dari keseluruhan komunitas.⁷ Dalam kerangka ini, etika politik mengandaikan bahwa struktur sosial dan negara harus mencerminkan keterarahan moral manusia pada keadilan dan kesejahteraan bersama.

Hegel kemudian mengembangkan relasi ini melalui konsep Sittlichkeit, yakni moralitas objektif yang mewujud dalam lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, masyarakat sipil, dan negara.⁸ Negara bukanlah entitas artifisial, melainkan perwujudan rasional dari kebebasan etis manusia. Ontologi etika politik Hegel menunjukkan bahwa kebebasan tidak mungkin direalisasikan tanpa struktur sosial yang adil dan rasional.⁹

3.3.       Kekuasaan dan Tanggung Jawab: Dimensi Moral dari Otoritas

Kekuasaan politik dalam pandangan ontologis tidak bersifat netral. Ia selalu memuat nilai moral yang inheren karena berkaitan dengan tindakan atas manusia lain. Hannah Arendt menolak pengertian kekuasaan sebagai dominasi, dan menafsirkan kekuasaan sebagai kapasitas untuk bertindak bersama.¹⁰ Kekuasaan sejati, menurutnya, lahir dari tindakan kolektif yang berakar pada kesepakatan moral dan komunikasi publik.¹¹

Kant menegaskan bahwa kekuasaan politik hanya dapat dianggap sah jika dijalankan sesuai dengan prinsip moral universal.¹² Kekuasaan tanpa moralitas tidak hanya kehilangan legitimasi, tetapi juga menghancurkan martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri (Zweck an sich selbst).¹³ Oleh karena itu, tanggung jawab politik bukan hanya administratif, melainkan etis: penguasa harus bertindak bukan demi kepentingan pribadi atau kelompok, melainkan demi tatanan moral yang melindungi kebebasan dan keadilan semua warga.

Dalam konteks modern, Max Weber membedakan antara ethic of conviction (etika keyakinan) dan ethic of responsibility (etika tanggung jawab).¹⁴ Etika politik ontologis menuntut sintesis antara keduanya: keyakinan moral harus disertai kesadaran tanggung jawab terhadap akibat sosial dari tindakan politik. Dengan demikian, kekuasaan bukan sekadar hak, melainkan beban moral yang harus dijalankan dengan integritas.

3.4.       Negara sebagai Subjek Moral: Ontologi Keadilan dan Kebaikan Bersama

Negara, dalam pandangan ontologis-etis, bukanlah mesin birokrasi yang netral, tetapi entitas moral yang bertugas memelihara tatanan keadilan. Dalam tradisi skolastik, negara disebut sebagai communitas perfecta, yaitu komunitas yang memiliki tujuan moralnya sendiri, yakni kebaikan bersama.¹⁵ Etika politik menegaskan bahwa legitimasi negara tidak berasal dari kekuatan atau kontrak semata, tetapi dari kemampuan negara untuk mewujudkan nilai-nilai moral seperti keadilan, solidaritas, dan kesejahteraan umum.¹⁶

John Rawls memperbarui gagasan ini dalam konteks liberal-demokratis dengan mengajukan prinsip keadilan sebagai fairness.¹⁷ Negara yang adil, menurut Rawls, adalah negara yang lembaganya dirancang secara rasional oleh individu-individu yang tidak tahu posisi sosialnya sendiri (veil of ignorance).¹⁸ Dalam kerangka ontologis, ini berarti bahwa keadilan bukan sekadar nilai prosedural, melainkan esensi eksistensial dari politik itu sendiri—tanpa keadilan, politik kehilangan ontologinya sebagai praksis moral.

Dengan demikian, ontologi etika politik menegaskan bahwa keberadaan politik tidak dapat dipahami tanpa dimensi moralnya. Politik adalah ekspresi keberadaan manusia yang rasional dan etis, yang berusaha menata kehidupan bersama berdasarkan prinsip kebaikan dan keadilan.¹⁹ Etika politik, dalam arti ini, bukan sekadar refleksi normatif atas kekuasaan, tetapi juga penyingkapan hakikat politik itu sendiri sebagai perwujudan moralitas manusia dalam tatanan sosial.²⁰


Footnotes

[1]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 18–22.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1094a–1095a.

[3]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 160–162.

[4]                Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 65–67.

[5]                Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1253a.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 90–95.

[7]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 210–213.

[8]                G. W. F. Hegel, Elements of the Philosophy of Right, trans. H. B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 255–260.

[9]                Ibid., 278–282.

[10]             Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 200–205.

[11]             Ibid., 212–218.

[12]             Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 123–127.

[13]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 36–38.

[14]             Max Weber, Politics as a Vocation, trans. H. H. Gerth and C. Wright Mills (Philadelphia: Fortress Press, 1946), 120–122.

[15]             Thomas Aquinas, Summa Theologiae, II-II, q. 58, a. 5.

[16]             Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 15–17.

[17]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 11–15.

[18]             Ibid., 136–142.

[19]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 37–40.

[20]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–90.


4.           Epistemologi Etika Politik

4.1.       Sumber Pengetahuan Moral Politik: Akal Budi, Hati Nurani, dan Pengalaman Sosial

Epistemologi etika politik berupaya menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana manusia mengetahui dan menilai tindakan politik yang baik dan adil? Sumber pengetahuan moral dalam ranah politik tidak tunggal; ia bersifat plural dan dialektis antara rasio, hati nurani, dan pengalaman sosial-historis.¹

Dalam tradisi rasionalisme klasik, etika politik berakar pada akal budi praktis (practical reason) yang memungkinkan manusia menilai baik-buruknya tindakan politik berdasarkan prinsip rasional universal.² Bagi Immanuel Kant, akal budi moral bersifat otonom dan menjadi dasar bagi hukum politik yang sah.³ Moralitas politik harus berlandaskan pada prinsip yang dapat dijadikan hukum umum tanpa kontradiksi, yakni imperatif kategoris.⁴

Namun, dalam tradisi fenomenologis dan eksistensial, seperti pada Max Scheler dan Edith Stein, sumber pengetahuan moral tidak hanya berasal dari rasio, tetapi juga dari ordo amoris—tatanan nilai yang ditangkap melalui hati nurani dan empati terhadap pengalaman manusia lain.⁵ Dalam konteks politik, hal ini berarti bahwa keputusan etis tidak dapat dipisahkan dari pengalaman konkret penderitaan, ketidakadilan, dan aspirasi manusia. Pengetahuan moral politik karenanya bersifat empatik, historis, dan reflektif.⁶

4.2.       Rasionalitas Politik: Antara Rasionalitas Instrumental dan Rasionalitas Komunikatif

Dalam dunia modern, rasionalitas politik sering kali tereduksi menjadi rasionalitas instrumental—yakni kemampuan menggunakan sarana paling efisien untuk mencapai tujuan tertentu, tanpa mempertimbangkan nilai moral dari tujuan tersebut.⁷ Pandangan ini tampak jelas dalam paradigma realpolitik dan teori kekuasaan modern yang menekankan efektivitas di atas etika.

Namun, Jürgen Habermas menawarkan alternatif berupa rasionalitas komunikatif yang berakar pada dialog dan argumentasi moral.⁸ Dalam rasionalitas komunikatif, legitimasi politik tidak dihasilkan oleh dominasi atau efektivitas, melainkan oleh kesepakatan yang dicapai melalui proses komunikasi bebas dari paksaan.⁹ Etika diskursus Habermas menegaskan bahwa kebenaran moral politik tidak dapat dipaksakan secara hierarkis, tetapi harus diuji melalui partisipasi rasional seluruh warga negara.¹⁰

Dengan demikian, epistemologi etika politik menuntut pergeseran dari rasionalitas instrumental menuju rasionalitas intersubjektif, di mana kebenaran politik dibangun melalui argumentasi publik yang jujur, terbuka, dan rasional.¹¹ Pengetahuan etis dalam politik bersifat deliberatif—lahir dari percakapan dan refleksi kolektif yang mengandaikan kesetaraan moral antar-subjek.

4.3.       Peran Ideologi dan Wacana dalam Pembentukan Norma Etika Politik

Dalam praktik politik konkret, pengetahuan moral tidak hadir dalam ruang hampa; ia dibentuk, disalurkan, dan kadang dimanipulasi melalui ideologi dan wacana.¹² Michel Foucault menunjukkan bahwa relasi antara pengetahuan dan kekuasaan bersifat produktif—pengetahuan tidak netral, tetapi selalu terkait dengan struktur dominasi sosial.¹³ Etika politik, karenanya, harus bersikap kritis terhadap bagaimana wacana moral digunakan untuk melegitimasi kekuasaan atau menutupi ketidakadilan.

Namun, ideologi tidak selalu destruktif. Dalam kerangka hermeneutika kritis, seperti pada Paul Ricoeur, ideologi dapat berfungsi positif sebagai kekuatan simbolik yang memberi makna kolektif dan identitas politik bersama.¹⁴ Dalam hal ini, pengetahuan moral politik terbentuk melalui proses interpretasi simbol dan narasi yang menata pemahaman kita tentang keadilan, kebenaran, dan kebajikan publik.¹⁵

Oleh karena itu, epistemologi etika politik menuntut kesadaran hermeneutik—kemampuan untuk menafsirkan dan menilai ulang makna moral dalam setiap wacana politik. Pengetahuan moral tidak bersifat absolut, tetapi hasil dari dialektika antara ideologi, pengalaman, dan refleksi kritis.¹⁶

4.4.       Problem Relativisme dan Universalisme dalam Norma Politik

Salah satu tantangan epistemologis utama dalam etika politik adalah ketegangan antara relativisme dan universalisme moral. Relativisme moral berpendapat bahwa nilai-nilai etis tergantung pada konteks budaya, sejarah, atau ideologi politik tertentu.¹⁷ Sebaliknya, universalisme moral meyakini bahwa terdapat prinsip-prinsip etis universal yang berlaku bagi seluruh umat manusia, terlepas dari perbedaan konteks.¹⁸

Immanuel Kant dan tradisi deontologis menegaskan pentingnya prinsip moral universal sebagai dasar legitimasi politik.¹⁹ Namun, para pemikir postmodern seperti Richard Rorty atau Jean-François Lyotard menolak adanya fondasi moral universal, dengan menekankan pluralitas dan lokalitas nilai-nilai politik.²⁰

Etika politik kontemporer berupaya mencari jalan tengah melalui pendekatan dialogis dan interkultural.²¹ Dalam perspektif Habermas dan Karl-Otto Apel, universalisme moral tidak harus berarti dogmatisme, tetapi dapat dipahami sebagai universalisme prosedural—yakni kesepakatan rasional yang dicapai melalui dialog lintas budaya.²² Maka, kebenaran moral politik bersifat terbuka, intersubjektif, dan selalu dapat dikoreksi.²³

Dengan demikian, epistemologi etika politik bukan hanya menelusuri asal-usul pengetahuan moral, tetapi juga menegaskan cara bagaimana pengetahuan tersebut diuji, dinegosiasikan, dan diinternalisasi dalam kehidupan publik. Ia menjadi fondasi reflektif bagi praksis politik yang etis—politik yang mengetahui dan sadar akan alasan moral dari setiap tindakannya.²⁴


Footnotes

[1]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 55–58.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a–1102a.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 32–35.

[4]                Ibid., 42–46.

[5]                Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values, trans. Manfred Frings and Roger Funk (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1973), 89–92.

[6]                Edith Stein, An Investigation Concerning the State, trans. Marianne Sawicki (Washington, DC: ICS Publications, 2006), 75–79.

[7]                Max Weber, Economy and Society, trans. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 24–28.

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–289.

[9]                Ibid., 293–298.

[10]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–90.

[11]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 35–38.

[12]             Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses (London: Verso, 2014), 69–74.

[13]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 26–30.

[14]             Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, trans. John B. Thompson (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 193–198.

[15]             Ibid., 202–206.

[16]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 312–316.

[17]             Gilbert Harman, “Moral Relativism Defended,” Philosophical Review 84, no. 1 (1975): 3–22.

[18]             Martha Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 20–23.

[19]             Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 119–123.

[20]             Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 45–48.

[21]             Raimon Panikkar, Cultural Disarmament: The Way to Peace (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 1995), 67–70.

[22]             Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy, trans. Adey and Frisby (London: Routledge, 1980), 274–279.

[23]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 445–448.

[24]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 67–70.


5.           Aksiologi Etika Politik: Nilai, Keadilan, dan Tanggung Jawab

5.1.       Nilai-nilai Utama dalam Etika Politik: Keadilan, Kebebasan, dan Solidaritas

Aksiologi etika politik berfokus pada dimensi nilai yang mendasari dan menuntun tindakan politik manusia. Nilai politik bukan sekadar hasil dari konsensus sosial, melainkan ekspresi dari struktur moral yang mendalam dalam kehidupan bersama.¹ Tiga nilai fundamental yang menjadi pusat dalam aksiologi politik adalah keadilan, kebebasan, dan solidaritas—yang bersama-sama membentuk horizon moral bagi praksis politik yang manusiawi.

Keadilan (justice) menempati posisi sentral sebagai nilai normatif tertinggi dalam filsafat politik. Plato menggambarkan keadilan sebagai harmoni antara bagian-bagian jiwa dan struktur sosial, di mana setiap orang menempati tempatnya sesuai dengan kebajikan dan kemampuannya.² Aristoteles kemudian memformulasikan keadilan distributif dan retributif sebagai dasar penataan relasi politik yang etis.³ Dalam tradisi modern, John Rawls mendefinisikan keadilan sebagai fairness—suatu prinsip kesetaraan moral di mana setiap individu memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar dan kesempatan yang adil dalam struktur sosial.⁴

Kebebasan merupakan nilai politik yang tak terpisahkan dari keadilan. Kebebasan tidak hanya dimaknai sebagai otonomi individual (liberty), tetapi juga sebagai kemampuan kolektif untuk berpartisipasi dalam menentukan arah hidup bersama.⁵ Isaiah Berlin membedakan antara kebebasan negatif (freedom from) dan kebebasan positif (freedom to), menegaskan bahwa kebebasan sejati mensyaratkan kondisi sosial yang memungkinkan aktualisasi diri manusia.⁶

Solidaritas berfungsi sebagai jembatan moral yang menghubungkan kebebasan dengan keadilan. Emmanuel Levinas menekankan bahwa tanggung jawab terhadap sesama merupakan inti etika yang mendasari seluruh kehidupan sosial-politik.⁷ Solidaritas, dalam arti ini, bukan sekadar simpati, melainkan pengakuan aktif atas martabat manusia lain. Dalam konteks politik, solidaritas mewujud dalam kebijakan publik yang berpihak pada yang lemah dan dalam komitmen terhadap kesejahteraan bersama.⁸

5.2.       Politik sebagai Praksis Moral: Politik Kebajikan versus Politik Kekuasaan

Etika politik dalam dimensi aksiologis mengandung tegangan antara dua paradigma: politik kebajikan (virtue politics) dan politik kekuasaan (realpolitik). Politik kebajikan berpandangan bahwa tujuan utama politik adalah penegakan nilai-nilai moral dalam kehidupan publik. Dalam tradisi Aristotelian, politik merupakan sarana untuk mencapai kehidupan baik (eudaimonia) bagi seluruh warga.⁹

Sebaliknya, politik kekuasaan sebagaimana digagas Machiavelli dalam Il Principe, menempatkan efektivitas di atas moralitas.¹⁰ Dalam kerangka ini, tindakan politik dinilai bukan dari nilai moralnya, tetapi dari keberhasilannya dalam mempertahankan kekuasaan. Namun, paradigma tersebut melahirkan risiko instrumentalisasi manusia, di mana warga negara dipandang sebagai alat untuk tujuan politik.¹¹

Aksiologi etika politik menolak dikotomi ekstrem ini dengan mencari sintesis antara moralitas dan efektivitas.¹² Politik sejati adalah politik yang efektif sekaligus bermoral—politik yang rasional dalam sarana dan etis dalam tujuan.¹³ Dengan demikian, nilai-nilai moral bukan hambatan bagi politik, melainkan prasyarat bagi keberlanjutan dan legitimasi kekuasaan itu sendiri.

5.3.       Tanggung Jawab Etis Pemimpin dan Warga Negara

Dalam konteks aksiologi politik, tanggung jawab (responsibility) merupakan nilai yang mengikat seluruh pelaku politik—baik penguasa maupun warga negara. Max Weber membedakan antara etika keyakinan (ethic of conviction) dan etika tanggung jawab (ethic of responsibility), dan menegaskan bahwa seorang politisi sejati harus mampu menyeimbangkan keduanya.¹⁴ Artinya, tindakan politik harus didorong oleh keyakinan moral, tetapi juga mempertimbangkan akibat konkret bagi masyarakat.

Hannah Arendt menambahkan dimensi eksistensial terhadap tanggung jawab politik dengan menegaskan bahwa kekuasaan sejati muncul dari tindakan bersama (action in concert) yang berakar pada kepercayaan dan kesadaran moral kolektif.¹⁵ Dalam ruang publik, setiap warga negara adalah subjek moral yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dunia bersama (common world).¹⁶

Tanggung jawab etis juga melibatkan kesadaran akan keterbatasan manusia. Emmanuel Levinas memandang tanggung jawab bukan sebagai hasil kontrak, melainkan sebagai respons tanpa syarat terhadap kehadiran “yang lain” (the Other).¹⁷ Dalam politik, hal ini berarti bahwa keputusan etis harus selalu mempertimbangkan dampaknya terhadap manusia konkret yang terkena kebijakan. Dengan demikian, tanggung jawab politik bukan hanya administratif, tetapi juga transendental: ia mengakar pada kewajiban moral yang mendahului kehendak individual.¹⁸

5.4.       Etika Kebijakan Publik: Antara Utilitarianisme dan Deontologi

Dalam praktik kebijakan publik, nilai-nilai etika politik sering kali dihadapkan pada dilema antara dua paradigma aksiologis utama: utilitarianisme dan deontologi. Paradigma utilitarian, sebagaimana dirumuskan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, menilai moralitas kebijakan berdasarkan akibatnya bagi kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak (the greatest happiness for the greatest number).¹⁹ Pandangan ini menekankan efisiensi sosial, namun sering kali mengabaikan hak-hak minoritas.

Sebaliknya, pendekatan deontologis, sebagaimana dikembangkan oleh Kant, menilai moralitas berdasarkan prinsip dan kewajiban, bukan akibat.²⁰ Dalam kerangka ini, tindakan politik hanya sah bila menghormati martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri.²¹

Aksiologi etika politik kontemporer berupaya menggabungkan kedua pendekatan tersebut melalui konsep etika kebajikan publik (public virtue ethics), yang menekankan keseimbangan antara konsekuensi sosial dan kewajiban moral.²² Etika kebijakan publik demikian mengandaikan kehadiran rasionalitas moral yang mempertimbangkan baik hasil kebijakan maupun kesesuaiannya dengan prinsip moral universal.

Dengan demikian, ranah aksiologi menempatkan etika politik sebagai refleksi nilai yang mengarahkan kekuasaan kepada tujuan moral yang lebih tinggi: keadilan, kemanusiaan, dan kebaikan bersama.²³ Politik tanpa orientasi nilai kehilangan dimensi etiknya, sementara etika tanpa praksis politik kehilangan daya transformasinya. Keduanya hanya bermakna sejauh bersatu dalam tanggung jawab moral terhadap kehidupan publik.²⁴


Footnotes

[1]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 203–206.

[2]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 427d–434c.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1130a–1133b.

[4]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 11–17.

[5]                Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 35–38.

[6]                Isaiah Berlin, “Two Concepts of Liberty,” in Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 118–119.

[7]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–202.

[8]                Pope Francis, Fratelli Tutti: On Fraternity and Social Friendship (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2020), 108–110.

[9]                Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1252b–1255a.

[10]             Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 65–68.

[11]             Hannah Pitkin, Fortune Is a Woman: Gender and Politics in the Thought of Niccolò Machiavelli (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 56–59.

[12]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 34–36.

[13]             Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 23–26.

[14]             Max Weber, Politics as a Vocation, trans. H. H. Gerth and C. Wright Mills (Philadelphia: Fortress Press, 1946), 120–122.

[15]             Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 200–205.

[16]             Ibid., 212–215.

[17]             Levinas, Totality and Infinity, 244–246.

[18]             Jacques Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills (Chicago: University of Chicago Press, 1995), 62–64.

[19]             John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1863), 9–10.

[20]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 40–43.

[21]             Ibid., 45–48.

[22]             Martha Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 23–28.

[23]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 203–206.

[24]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 445–448.


6.           Dimensi Sosial dan Politik Etika

6.1.       Etika Politik dalam Masyarakat Demokratis dan Pluralistik

Etika politik dalam konteks sosial tidak dapat dilepaskan dari dinamika masyarakat demokratis yang pluralistik. Demokrasi bukan hanya sistem politik, melainkan juga tatanan etis yang mengandaikan kesetaraan, kebebasan, dan penghargaan terhadap perbedaan.¹ Dalam masyarakat pluralistik, etika politik berfungsi sebagai pedoman moral bagi interaksi sosial antarwarga negara yang memiliki pandangan hidup, nilai, dan kepentingan yang beragam.

John Rawls mengembangkan konsep “overlapping consensus” untuk menjelaskan bagaimana masyarakat yang plural dapat mencapai kesepakatan moral tanpa harus meniadakan perbedaan ideologis atau religius.² Prinsip-prinsip keadilan, seperti kebebasan dasar yang sama dan kesempatan yang setara, berfungsi sebagai titik temu etis yang memungkinkan koeksistensi damai di antara keragaman pandangan hidup.³ Dalam kerangka ini, etika politik bertindak sebagai bahasa moral universal yang memungkinkan kehidupan bersama yang adil di tengah pluralitas.

Jürgen Habermas menambahkan dimensi komunikatif terhadap gagasan demokrasi dengan menekankan bahwa legitimasi politik bergantung pada proses diskursus publik yang rasional dan inklusif.⁴ Proses deliberatif inilah yang menjadikan demokrasi bukan hanya mekanisme formal, tetapi juga praksis moral yang berakar pada penghormatan terhadap martabat dan rasionalitas setiap individu.⁵ Dengan demikian, demokrasi etis menuntut budaya dialog yang berkelanjutan, di mana konflik kepentingan diselesaikan melalui argumentasi moral, bukan kekerasan atau dominasi.

6.2.       Hubungan antara Moralitas Publik dan Hukum

Dimensi sosial etika politik juga mencakup hubungan kompleks antara moralitas publik dan hukum positif. Hukum, dalam pengertian ideal, merupakan ekspresi objektif dari nilai-nilai moral yang telah diinstitusionalisasikan.⁶ Thomas Aquinas menegaskan bahwa hukum manusia (lex humana) harus selaras dengan hukum moral kodrati (lex naturalis); jika hukum bertentangan dengan moralitas dasar, ia kehilangan legitimasi moralnya.⁷

Dalam konteks modern, hubungan antara hukum dan etika sering kali menimbulkan ketegangan. Positivisme hukum, sebagaimana dikembangkan oleh Hans Kelsen, berusaha memisahkan hukum dari moralitas demi netralitas rasional.⁸ Namun, pandangan ini dikritik oleh Lon Fuller yang menegaskan bahwa hukum tanpa moralitas tidak dapat menciptakan keadilan substantif.⁹

Etika politik memediasi ketegangan ini dengan menegaskan bahwa hukum harus berfungsi tidak hanya sebagai alat kontrol sosial, tetapi juga sebagai sarana moral untuk memajukan keadilan.¹⁰ Dengan demikian, moralitas publik menjadi fondasi normatif bagi legitimasi hukum, sedangkan hukum menyediakan struktur sosial bagi penerapan nilai-nilai etis dalam masyarakat.¹¹

6.3.       Etika Partisipasi Warga Negara: Civic Virtue dan Civil Society

Dimensi sosial etika politik menuntut partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan publik. Partisipasi ini tidak hanya bersifat politis, tetapi juga etis, karena berkaitan dengan kesadaran moral warga terhadap tanggung jawabnya dalam menjaga keadilan sosial.¹² Konsep civic virtue (kebajikan kewargaan) yang diperkenalkan Aristoteles menekankan bahwa warga negara yang baik adalah mereka yang tidak hanya menaati hukum, tetapi juga berpartisipasi dalam menciptakan kebijakan yang baik.¹³

Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America mengamati bahwa kekuatan demokrasi terletak pada kemampuannya menumbuhkan kebajikan sipil dalam masyarakat, yaitu kebiasaan bekerja sama dan berpartisipasi dalam urusan publik.¹⁴ Civil society, dalam konteks ini, merupakan ruang moral di mana warga negara mengembangkan solidaritas sosial dan tanggung jawab bersama.¹⁵

Namun, dalam dunia modern yang ditandai oleh individualisme dan komersialisasi, civic virtue menghadapi krisis.¹⁶ Etika politik kontemporer, sebagaimana dikembangkan oleh Charles Taylor dan Michael Sandel, menyerukan kebangkitan etika komunitarian yang menekankan pentingnya identitas moral bersama sebagai dasar kohesi sosial.¹⁷ Partisipasi politik bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban moral untuk menjaga common good dalam kehidupan bernegara.

6.4.       Etika Politik dalam Konteks Global: Keadilan Internasional dan Tanggung Jawab Lintas Negara

Globalisasi memperluas horizon etika politik melampaui batas negara-bangsa. Dalam dunia yang saling terhubung, keadilan dan tanggung jawab tidak lagi bersifat lokal, tetapi global.¹⁸ John Rawls dalam The Law of Peoples mengembangkan gagasan justice among nations, yaitu prinsip moral yang mengatur hubungan antarnegara berdasarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan solidaritas global.¹⁹

Amartya Sen menambahkan bahwa keadilan global harus dilihat bukan hanya dari tatanan lembaga internasional, tetapi dari realitas penderitaan manusia yang nyata.²⁰ Dalam kerangka ini, tanggung jawab etika politik global mencakup upaya untuk menghapus kemiskinan, ketimpangan, dan pelanggaran hak-hak dasar.²¹

Etika politik global juga menuntut transformasi kesadaran moral dari eksklusivitas nasional menuju cosmopolitan responsibility.²² Martha Nussbaum menyebutnya sebagai cosmopolitan citizenship, yakni kesadaran bahwa setiap manusia adalah anggota komunitas moral universal.²³ Dalam tataran praktis, hal ini berarti tanggung jawab kolektif untuk menjaga perdamaian, keadilan lingkungan, dan hak-hak manusia lintas batas.²⁴

Dengan demikian, dimensi sosial dan politik etika menegaskan bahwa moralitas tidak berhenti pada individu atau negara, tetapi meluas ke seluruh umat manusia.²⁵ Etika politik menjadi jembatan antara moral pribadi, struktur sosial, dan tata dunia, sehingga kehidupan publik dapat diarahkan pada cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab.²⁶


Footnotes

[1]                Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 45–48.

[2]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 133–136.

[3]                Ibid., 140–142.

[4]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 444–448.

[5]                Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2002), 37–39.

[6]                Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 25–27.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 95, a. 2.

[8]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 5–9.

[9]                Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven, CT: Yale University Press, 1964), 33–35.

[10]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 58–60.

[11]             Alasdair MacIntyre, Whose Justice? Which Rationality? (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1988), 345–347.

[12]             Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities, and the Communitarian Agenda (New York: Crown, 1993), 12–14.

[13]             Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1280b–1281a.

[14]             Alexis de Tocqueville, Democracy in America, trans. Harvey C. Mansfield and Delba Winthrop (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 506–508.

[15]             Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 19–23.

[16]             Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 56–58.

[17]             Michael Sandel, Democracy’s Discontent: America in Search of a Public Philosophy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996), 14–17.

[18]             David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State to Cosmopolitan Governance (Stanford, CA: Stanford University Press, 1995), 111–115.

[19]             John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 36–39.

[20]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 26–29.

[21]             Ibid., 31–34.

[22]             Ulrich Beck, What Is Globalization? (Cambridge: Polity Press, 2000), 73–75.

[23]             Martha Nussbaum, For Love of Country? (Boston: Beacon Press, 1996), 6–9.

[24]             Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 57–60.

[25]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 19–23.

[26]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–90.


7.           Kritik terhadap Etika Politik

7.1.       Kritik Machiavellian: Politik Tanpa Moral

Salah satu kritik paling tajam terhadap etika politik datang dari tradisi realisme politik yang diasosiasikan dengan pemikiran Niccolò Machiavelli. Dalam Il Principe, Machiavelli menolak gagasan bahwa politik harus tunduk pada norma moral tradisional.¹ Bagi Machiavelli, tujuan utama politik adalah menjaga stabilitas kekuasaan dan kelangsungan negara; karena itu, tindakan penguasa harus dinilai dari efektivitasnya, bukan dari moralitasnya.²

Kritik ini menantang pandangan idealis yang melihat politik sebagai perpanjangan dari etika. Dengan mengajukan tesis “the end justifies the means,” Machiavelli menegaskan bahwa tindakan yang tampak tidak bermoral, seperti penipuan atau kekerasan, dapat dibenarkan jika menghasilkan keamanan dan ketertiban negara.³ Dalam kerangka ini, moralitas dianggap subordinat terhadap kebutuhan politik.

Pandangan ini telah memunculkan debat panjang dalam sejarah filsafat politik. Max Weber menilai bahwa Machiavelli sebenarnya tidak menghapus moralitas, melainkan memperkenalkan etika tanggung jawab yang realistis—bahwa politisi harus berhadapan dengan konsekuensi moral yang berbeda dari individu biasa.⁴ Namun, bagi para pemikir etis seperti Jacques Maritain, politik yang terlepas dari moralitas akan berujung pada dehumanisasi kekuasaan dan kehilangan legitimasi spiritual.⁵

7.2.       Kritik Nietzschean: Moralitas sebagai Topeng Kekuasaan

Friedrich Nietzsche melancarkan kritik radikal terhadap moralitas secara umum, termasuk terhadap etika politik tradisional. Dalam Zur Genealogie der Moral, Nietzsche menolak konsep moralitas universal yang diklaim oleh etika rasional maupun agama.⁶ Menurutnya, moralitas tidak lahir dari rasio atau wahyu, melainkan dari kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).⁷

Dalam konteks politik, Nietzsche menilai bahwa moralitas yang menekankan kesetaraan dan belas kasih sebenarnya merupakan bentuk moralitas budak (slave morality)—yakni sistem nilai yang diciptakan oleh yang lemah untuk menundukkan kekuatan kreatif dan vital dari manusia unggul (Übermensch).⁸ Dengan demikian, etika politik yang menuntut moralitas universal dianggap sebagai alat ideologis yang mengekang potensi manusia untuk mencipta nilai-nilai baru.⁹

Kritik Nietzsche mengandung nilai pembebasan terhadap dogmatisme moral dalam politik, tetapi juga mengandung risiko relativisme dan nihilisme.¹⁰ Jika semua moralitas dianggap sebagai konstruksi kekuasaan, maka tidak ada dasar objektif untuk menilai keadilan atau tirani.¹¹ Oleh karena itu, tantangan dari Nietzsche bagi etika politik adalah bagaimana membangun moralitas politik yang otonom tanpa terjebak pada moral palsu yang menindas kreativitas manusia.¹²

7.3.       Kritik Marxis: Etika sebagai Ideologi Kelas

Karl Marx dan Friedrich Engels mengkritik etika politik dari perspektif materialisme historis. Bagi mereka, moralitas bukanlah sistem nilai universal, melainkan produk dari kondisi material dan relasi produksi.¹³ Dalam The German Ideology, Marx menegaskan bahwa nilai-nilai moral dan politik suatu masyarakat selalu merefleksikan kepentingan kelas yang berkuasa.¹⁴

Etika politik liberal yang berbicara tentang kebebasan, keadilan, dan hak individu dianggap sebagai bentuk “ideologi borjuis” yang menutupi ketimpangan struktural kapitalisme.¹⁵ Dalam pandangan ini, moralitas digunakan sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan status quo ekonomi dan politik.¹⁶

Kritik Marxis membuka kesadaran baru bahwa etika politik tidak bisa dilepaskan dari struktur sosial-ekonomi yang melahirkannya.¹⁷ Namun, reduksi total terhadap moralitas sebagai produk ideologis juga menuai kritik balik dari para pemikir neo-Marxis seperti Jürgen Habermas, yang menegaskan bahwa masih mungkin ada rasionalitas moral yang bebas dari determinasi ekonomi, yaitu melalui komunikasi dan diskursus etis yang otonom.¹⁸

7.4.       Kritik Postmodern: Relativitas, Fragmentasi, dan Dekonstruksi Moral Politik

Pemikiran postmodern membawa kritik baru terhadap etika politik modern yang dianggap terlalu mengandalkan rasionalitas dan universalitas. Jean-François Lyotard dalam The Postmodern Condition menyebut bahwa “metanarasi” seperti keadilan universal atau kemajuan moral tidak lagi dapat dipercaya di era pluralitas wacana.¹⁹ Dalam konteks ini, etika politik tradisional yang berupaya mencari prinsip moral tunggal dianggap gagal memahami kompleksitas realitas sosial kontemporer.²⁰

Michel Foucault menambahkan dimensi genealogis terhadap kritik ini dengan menegaskan bahwa moralitas dan pengetahuan selalu terkait dengan kekuasaan.²¹ Ia menunjukkan bahwa setiap rezim politik membentuk regime of truth—sistem pengetahuan yang menentukan apa yang dianggap benar dan salah.²² Dengan demikian, etika politik bukanlah refleksi objektif tentang kebaikan, melainkan konstruksi historis yang selalu bisa dipersoalkan.²³

Sementara Jacques Derrida, melalui konsep deconstruction, menegaskan perlunya sikap etis yang terbuka terhadap yang lain (the Other) tanpa mengklaim kebenaran universal.²⁴ Etika politik postmodern menolak absolutisme moral, tetapi tetap mempertahankan kepekaan terhadap penderitaan dan ketidakadilan melalui tanggung jawab yang tak terhingga terhadap yang lain.²⁵

Meskipun memberikan kritik yang tajam terhadap rasionalitas modern, etika postmodern menghadapi dilema: tanpa fondasi normatif yang kokoh, bagaimana mungkin menegakkan keadilan sosial atau melawan penindasan?²⁶ Oleh karena itu, tugas etika politik kontemporer adalah menemukan keseimbangan antara keterbukaan postmodern dan kebutuhan akan prinsip moral universal yang dapat mengatur kehidupan bersama.²⁷

7.5.       Refleksi atas Kritik-Kritik terhadap Etika Politik

Kritik-kritik terhadap etika politik, baik dari realisme, nihilisme, materialisme, maupun postmodernisme, mengandung dimensi konstruktif dan dekonstruktif sekaligus. Kritik tersebut mengingatkan bahwa etika politik tidak boleh naif terhadap realitas kekuasaan, ekonomi, dan wacana yang membentuknya. Namun, jika etika politik sepenuhnya ditinggalkan, politik akan kehilangan arah moralnya dan terperosok dalam anomi nilai.²⁸

Oleh karena itu, etika politik harus dikembangkan sebagai medan refleksi yang terbuka—menyadari keterbatasan moral universal sekaligus tetap memelihara cita-cita kemanusiaan yang rasional, adil, dan komunikatif.²⁹ Kritik terhadap etika politik bukanlah akhir dari moralitas, melainkan peluang untuk memperdalam pemahaman kita tentang politik sebagai ruang perjuangan moral yang dinamis dan selalu dapat dikoreksi.³⁰


Footnotes

[1]                Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 58–60.

[2]                Ibid., 66–68.

[3]                Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought, Vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 130–132.

[4]                Max Weber, Politics as a Vocation, trans. H. H. Gerth and C. Wright Mills (Philadelphia: Fortress Press, 1946), 120–122.

[5]                Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 15–18.

[6]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), 23–25.

[7]                Ibid., 45–48.

[8]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), 196–199.

[9]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 83–85.

[10]             Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 201–204.

[11]             Bernard Williams, Ethics and the Limits of Philosophy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 189–191.

[12]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 114–118.

[13]             Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology (New York: International Publishers, 1970), 47–50.

[14]             Ibid., 65–67.

[15]             Karl Marx, Critique of the Gotha Program (New York: International Publishers, 1970), 17–20.

[16]             Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses (London: Verso, 2014), 71–74.

[17]             Terry Eagleton, Ideology: An Introduction (London: Verso, 1991), 33–35.

[18]             Jürgen Habermas, Communication and the Evolution of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1979), 149–152.

[19]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[20]             Ibid., 56–58.

[21]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 26–30.

[22]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 119–121.

[23]             Ibid., 132–135.

[24]             Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 355–357.

[25]             Jacques Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills (Chicago: University of Chicago Press, 1995), 50–52.

[26]             Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993), 10–12.

[27]             Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 63–65.

[28]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 231–234.

[29]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–90.

[30]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 335–337.


8.           Relevansi Etika Politik dalam Konteks Kontemporer

8.1.       Krisis Moral dan Politik Kekuasaan di Dunia Modern

Dunia politik kontemporer menghadapi krisis moral yang semakin kompleks. Di satu sisi, demokrasi telah menjadi sistem pemerintahan yang paling diakui secara global, tetapi di sisi lain, praktiknya sering kali terjebak dalam pragmatisme kekuasaan, korupsi, dan manipulasi opini publik.¹ Politik yang seharusnya menjadi sarana untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan bersama justru sering bertransformasi menjadi arena kompetisi egoistik dan dominasi kelompok.²

Hannah Arendt dalam The Human Condition menegaskan bahwa kehilangan dimensi moral dalam politik menyebabkan alienasi manusia dari ruang publik.³ Kekuasaan tanpa etika melahirkan kekerasan, sementara kebebasan tanpa tanggung jawab mengarah pada anarki moral. Dalam konteks ini, etika politik menjadi penting sebagai koreksi terhadap reduksi politik menjadi sekadar strategi kekuasaan.⁴

Dalam masyarakat modern yang diwarnai oleh individualisme dan ekonomi neoliberal, politik sering dipisahkan dari kebajikan moral.⁵ Padahal, sebagaimana ditekankan oleh Alasdair MacIntyre, tatanan politik yang berkelanjutan membutuhkan virtue ethics—yakni pembentukan karakter warga negara yang mampu menempatkan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadi.⁶

8.2.       Etika Politik dalam Era Digital dan Media Sosial

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah secara radikal cara politik dijalankan. Era digital menghadirkan peluang sekaligus tantangan moral baru. Media sosial memungkinkan partisipasi publik yang lebih luas, tetapi juga membuka ruang bagi disinformasi, ujaran kebencian, dan politik identitas yang memecah belah.⁷

Manuel Castells menegaskan bahwa “politik jaringan” (networked politics) menciptakan bentuk kekuasaan baru yang tersebar dan tidak mudah dipertanggungjawabkan secara moral.⁸ Dalam konteks ini, etika politik digital menuntut kejujuran, tanggung jawab informasi, dan penghormatan terhadap integritas pribadi serta kebenaran publik.⁹

Jürgen Habermas memperingatkan bahwa rasionalitas komunikatif kini terancam oleh logika algoritmik dan komersialisasi ruang publik digital.¹⁰ Diskursus politik yang seharusnya berlandaskan argumen rasional sering kali tergantikan oleh emosi dan manipulasi algoritma.¹¹ Oleh karena itu, revitalisasi etika politik di era digital memerlukan pendidikan moral publik yang menumbuhkan literasi etis—kemampuan membedakan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial dalam komunikasi.¹²

8.3.       Politik Identitas, Populisme, dan Tantangan Pluralitas

Fenomena populisme dan politik identitas menandai pergeseran besar dalam lanskap politik global. Di satu sisi, populisme berangkat dari tuntutan moral rakyat terhadap elit yang korup dan sistem yang tidak adil. Namun di sisi lain, populisme sering menyederhanakan kompleksitas sosial menjadi dikotomi moral palsu: “rakyat yang murni” versus “elit yang jahat.”¹³

Etika politik menuntut agar perjuangan moral rakyat tidak terjebak dalam eksklusivisme dan intoleransi.¹⁴ Dalam masyarakat pluralistik, etika politik harus mengedepankan dialog antaridentitas, bukan antagonisme moral. Charles Taylor menegaskan bahwa pengakuan terhadap martabat dan identitas yang berbeda adalah inti dari keadilan dalam masyarakat multikultural.¹⁵

Namun, politik identitas yang tidak dibingkai secara etis dapat berubah menjadi moralitas kelompok yang menindas. Oleh karena itu, etika politik harus berfungsi sebagai prinsip moderasi, menjaga agar perjuangan politik tetap berada dalam koridor rasionalitas, kesetaraan, dan penghormatan terhadap “yang lain.”¹⁶

8.4.       Etika Politik dan Keadilan Global: Lingkungan, Kemanusiaan, dan Perdamaian

Dalam konteks global, etika politik menghadapi tantangan baru berupa krisis lingkungan, migrasi, dan ketimpangan ekonomi antarnegara.¹⁷ Politik global yang didominasi oleh kepentingan ekonomi dan kekuasaan negara-negara besar kerap mengabaikan tanggung jawab moral terhadap planet dan umat manusia.

Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility menyerukan etika politik ekologis yang berlandaskan pada tanggung jawab terhadap masa depan kehidupan di bumi.¹⁸ Menurutnya, kekuasaan teknologi modern menuntut tanggung jawab moral yang lebih luas: bukan hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap keberlanjutan alam.¹⁹

Selain itu, Amartya Sen dan Martha Nussbaum melalui teori capabilities approach menekankan bahwa keadilan global tidak hanya berkaitan dengan distribusi sumber daya, tetapi juga dengan kemampuan manusia untuk hidup bermartabat.²⁰ Dalam kerangka ini, etika politik menjadi dasar moral bagi kebijakan global yang menentang kemiskinan, ketimpangan, dan perang.²¹

Etika politik kontemporer juga harus menjawab persoalan kemanusiaan dalam konteks konflik, terorisme, dan migrasi global.²² Etika solidaritas lintas batas sebagaimana dikembangkan oleh Martha Nussbaum dan Kwame Appiah memperluas horizon moral politik dari nasionalisme menuju cosmopolitan responsibility.²³

8.5.       Menuju Politik Etis di Abad ke-21

Relevansi etika politik dalam dunia kontemporer terletak pada kemampuannya membangun kembali dasar moral bagi kehidupan bersama.²⁴ Dalam masyarakat yang semakin kompleks, etika politik berfungsi sebagai pedoman reflektif untuk menyeimbangkan antara kepentingan dan nilai, antara kekuasaan dan kebenaran.²⁵

Jacques Derrida menyebut perlunya “politik yang terbuka terhadap yang lain” (politics of hospitality)—suatu etika politik yang tidak berhenti pada hukum dan institusi, tetapi terus bergerak melalui tanggung jawab tanpa batas terhadap kemanusiaan.²⁶ Sementara itu, Habermas menekankan pentingnya ethics of discourse untuk memastikan bahwa legitimasi politik tetap bersandar pada komunikasi moral yang rasional.²⁷

Dengan demikian, etika politik bukan sekadar refleksi normatif, melainkan praksis transformasional yang menuntun manusia untuk mengembalikan kemanusiaan ke dalam ruang publik.²⁸ Ia bukan moralitas yang statis, melainkan etika yang hidup dan adaptif—etika yang mampu menanggapi tantangan zaman tanpa kehilangan arah pada tujuan utamanya: keadilan, kebaikan, dan tanggung jawab bersama.²⁹


Footnotes

[1]                Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 56–59.

[2]                Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 15–17.

[3]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 175–182.

[4]                Ibid., 198–200.

[5]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 231–233.

[6]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 233–236.

[7]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 79–81.

[8]                Manuel Castells, Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age (Cambridge: Polity Press, 2012), 3–6.

[9]                Ibid., 42–44.

[10]             Jürgen Habermas, “Digital Democracy: The Limits of Rational Communication in the Age of Algorithms,” Philosophy & Social Criticism 45, no. 8 (2019): 1004–1007.

[11]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 184–187.

[12]             Pierre Lévy, Collective Intelligence: Mankind’s Emerging World in Cyberspace (Cambridge, MA: Perseus Books, 1997), 12–15.

[13]             Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 19–22.

[14]             Nadia Urbinati, Democracy Disfigured: Opinion, Truth, and the People (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 67–69.

[15]             Charles Taylor, The Politics of Recognition, in Multiculturalism and “The Politics of Recognition”, ed. Amy Gutmann (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1994), 25–26.

[16]             Iris Marion Young, Inclusion and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 38–41.

[17]             David Held, Global Covenant: The Social Democratic Alternative to the Washington Consensus (Cambridge: Polity Press, 2004), 82–84.

[18]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–9.

[19]             Ibid., 11–13.

[20]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 35–37.

[21]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 20–23.

[22]             Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 57–60.

[23]             Martha C. Nussbaum, For Love of Country? (Boston: Beacon Press, 1996), 9–11.

[24]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 445–448.

[25]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 88–90.

[26]             Jacques Derrida, Politics of Friendship, trans. George Collins (London: Verso, 1997), 65–68.

[27]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 87–89.

[28]             Charles Taylor, Modern Social Imaginaries (Durham, NC: Duke University Press, 2004), 189–192.

[29]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 335–337.


9.           Sintesis Filosofis

9.1.       Integrasi antara Moralitas, Rasionalitas, dan Praksis Politik

Sintesis filosofis dari seluruh kajian etika politik mengarah pada upaya integratif untuk memahami politik bukan sekadar sebagai realitas kekuasaan, melainkan sebagai ruang moral dan rasional bagi tindakan manusia bersama. Etika politik, dalam pengertian ini, merupakan titik temu antara tiga dimensi fundamental: moralitas, rasionalitas, dan praksis sosial

Moralitas memberi arah normatif bagi tindakan politik; ia menegaskan bahwa kekuasaan harus tunduk pada nilai-nilai kebaikan dan keadilan.² Rasionalitas memberikan dasar epistemologis bagi perumusan kebijakan dan legitimasi publik melalui argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.³ Sedangkan praksis politik memastikan bahwa nilai dan rasionalitas tidak berhenti pada tataran teori, tetapi diwujudkan dalam kebijakan dan tindakan nyata demi kebaikan bersama (bonum commune).⁴

Jürgen Habermas merumuskan sintesis ini dalam kerangka rational-practical discourse, di mana moralitas dan politik tidak dipertentangkan, melainkan saling mengoreksi dalam ruang komunikasi publik.⁵ Politik yang rasional tanpa moral berujung pada teknokrasi; moralitas tanpa praksis rasional terjebak dalam idealisme kosong. Sintesis etika politik menuntut keseimbangan antara keduanya, sebagaimana Aristoteles menegaskan bahwa kebajikan politik harus diwujudkan dalam tindakan deliberatif demi eudaimonia kolektif.⁶

9.2.       Etika Politik sebagai Filsafat Praksis untuk Keadilan dan Kemanusiaan

Etika politik, dalam bentuknya yang paling mendalam, merupakan filsafat praksis—yakni refleksi moral yang mengarahkan tindakan politik menuju transformasi sosial dan kemanusiaan.⁷ Dalam tradisi filsafat Barat, gagasan ini berakar pada Aristoteles, disempurnakan oleh Thomas Aquinas, dan diperbarui oleh pemikir modern seperti Kant dan Rawls.

Thomas Aquinas menegaskan bahwa politik merupakan virtus architectonica—kebajikan tertinggi yang mengatur kebajikan lain untuk mencapai kebaikan bersama.⁸ Sementara Kant menegaskan bahwa setiap tindakan politik harus tunduk pada prinsip moral universal, karena manusia tidak boleh dijadikan alat bagi tujuan politik apa pun.⁹

John Rawls kemudian menempatkan etika politik dalam konteks modern sebagai filsafat keadilan distributif.¹⁰ Ia menunjukkan bahwa keadilan bukan sekadar nilai moral, tetapi struktur normatif bagi sistem sosial dan politik yang memungkinkan kebebasan dan kesetaraan berjalan seiring.¹¹

Dengan demikian, etika politik tidak hanya berbicara tentang “apa yang baik”, tetapi juga “bagaimana mewujudkannya”.¹² Politik yang etis menuntut tanggung jawab aktif untuk menciptakan kondisi sosial yang memungkinkan manusia berkembang secara moral, intelektual, dan spiritual.¹³

9.3.       Sintesis Tradisi Klasik, Modern, dan Kontemporer

Sintesis filosofis juga mencakup rekonsiliasi historis antara tiga horizon pemikiran: tradisi klasik, rasionalisme modern, dan kritik kontemporer.¹⁴

Dari tradisi klasik (Plato dan Aristoteles), etika politik mewarisi pandangan bahwa politik adalah seni mencapai kebaikan tertinggi dalam kehidupan bersama.¹⁵ Dari modernitas (Kant, Rousseau, dan Hegel), etika politik memperoleh prinsip rasionalitas moral, kebebasan individu, dan legitimasi institusional.¹⁶ Sedangkan dari filsafat kontemporer (Habermas, Arendt, Ricoeur, dan Levinas), etika politik mengadopsi kesadaran intersubjektif dan tanggung jawab terhadap “yang lain” dalam ruang publik.¹⁷

Sintesis ketiganya menunjukkan bahwa politik yang sejati harus:

1)                  Berakar pada kebajikan (virtue) — warisan tradisi klasik.

2)                  Berlandaskan rasionalitas moral (reason) — sumbangan modernitas.

3)                  Berorientasi pada dialog dan kemanusiaan (responsibility) — visi kontemporer.¹⁸

Gabungan ketiganya menghasilkan paradigma politik baru yang humanistik: kekuasaan sebagai pelayanan, rasionalitas sebagai komunikasi, dan moralitas sebagai orientasi.¹⁹ Dengan demikian, etika politik menjadi fondasi bagi tatanan sosial yang tidak hanya adil secara struktural, tetapi juga bermartabat secara moral.

9.4.       Menuju Humanisasi Politik: Etika sebagai Roh Peradaban Publik

Sintesis etika politik berpuncak pada gagasan humanisasi politik—yakni pemulihan politik sebagai ekspresi tertinggi kemanusiaan.²⁰ Dalam dunia yang cenderung mendewakan efisiensi, kekuasaan, dan ekonomi, etika hadir sebagai roh yang menegakkan martabat manusia di atas semua bentuk instrumentalitas.²¹

Hannah Arendt menegaskan bahwa politik sejati adalah tindakan kolektif yang memungkinkan manusia tampil (appearance) dalam ruang publik untuk mengungkapkan kebebasan dan keberadaannya.²² Dengan demikian, politik etis bukan sekadar urusan institusi, tetapi juga ruang eksistensial di mana manusia menjadi dirinya melalui kebersamaan.²³

Paul Ricoeur memperdalam pandangan ini dengan menegaskan bahwa tindakan politik harus selalu ditafsirkan dalam horizon keadilan dan kasih sayang.²⁴ Etika tanpa belas kasih akan menjadi legalisme kaku, sementara politik tanpa keadilan menjadi tirani tersembunyi.

Oleh karena itu, etika politik harus menjadi jembatan antara cita-cita moral dan realitas politik, antara keadilan dan kekuasaan, antara tanggung jawab dan kebebasan.²⁵ Politik yang demikian bukan sekadar alat pengaturan sosial, tetapi wahana spiritual di mana manusia memperjuangkan kebaikan bersama sebagai wujud tertinggi dari kemanusiaannya.²⁶


Konklusi Sintetis

Sintesis filosofis etika politik menegaskan bahwa moralitas dan politik bukanlah dua ranah yang saling meniadakan, melainkan dua dimensi dari satu praksis manusia yang sama—yakni perjuangan rasional menuju kehidupan bersama yang adil dan bermartabat.²⁷ Etika memberikan arah normatif, sementara politik menyediakan sarana praktis untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam sejarah.²⁸

Dalam arti ini, etika politik bukanlah moralitas yang menggurui politik, tetapi refleksi kritis yang terus-menerus menuntun politik agar tetap berakar pada kemanusiaan.²⁹ Seperti dikatakan oleh Maritain, politik sejati bukan sekadar seni memerintah, tetapi seni mengasihi masyarakat secara adil.³⁰


Footnotes

[1]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 335–337.

[2]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 212–216.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 32–35.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a–1100a.

[5]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–90.

[6]                Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1253a–1255a.

[7]                Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy, trans. Adey and Frisby (London: Routledge, 1980), 274–276.

[8]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 90–95.

[9]                Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 120–123.

[10]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 3–6.

[11]             Ibid., 11–17.

[12]             Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 15–17.

[13]             Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 200–205.

[14]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 231–234.

[15]             Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 347c–352d.

[16]             G. W. F. Hegel, Elements of the Philosophy of Right, trans. H. B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 255–260.

[17]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–202.

[18]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 445–448.

[19]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 58–61.

[20]             Jacques Maritain, Integral Humanism: Temporal and Spiritual Problems of a New Christendom (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1973), 72–74.

[21]             Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993), 16–18.

[22]             Hannah Arendt, The Human Condition, 198–200.

[23]             Ibid., 212–215.

[24]             Ricoeur, Oneself as Another, 338–340.

[25]             Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 112–115.

[26]             Charles Taylor, Modern Social Imaginaries (Durham, NC: Duke University Press, 2004), 189–192.

[27]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 91–93.

[28]             Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, trans. John B. Thompson (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 193–196.

[29]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–289.

[30]             Jacques Maritain, Man and the State, 26–28.


10.       Kesimpulan

Etika politik, sebagai cabang reflektif dari filsafat moral dan sosial, berupaya menjembatani dua ranah yang sering dipertentangkan: moralitas dan kekuasaan.¹ Dalam perjalanan sejarah pemikiran, politik sering dipahami sebagai seni mengatur atau mempertahankan kekuasaan, sementara etika menuntut penilaian atas baik dan buruknya tindakan manusia.² Namun, pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan secara ontologis maupun praksis. Politik tanpa etika kehilangan arah moralnya, sedangkan etika tanpa politik kehilangan daya transformasinya dalam dunia sosial.³

10.1.    Politik sebagai Praksis Moral

Etika politik menegaskan bahwa politik yang sejati adalah politik yang berorientasi pada bonum commune—kebaikan bersama.⁴ Dalam pengertian ini, tindakan politik yang sah harus berakar pada prinsip moral yang menjamin martabat, keadilan, dan kebebasan manusia. Thomas Aquinas menempatkan politik sebagai bentuk tertinggi dari kebajikan sosial, karena ia mengatur kehidupan bersama dalam rangka mencapai kebaikan universal.⁵ Dengan demikian, politik bukan sekadar teknik atau strategi kekuasaan, melainkan tindakan moral yang memerlukan kebijaksanaan (phronesis) dan tanggung jawab etis.⁶

John Rawls menegaskan bahwa struktur politik yang adil adalah prasyarat bagi kebebasan yang bermakna.⁷ Keadilan, dalam arti ini, tidak hanya merupakan nilai moral abstrak, tetapi prinsip institusional yang mewujud dalam tata hukum, kebijakan publik, dan partisipasi warga negara.⁸ Maka, etika politik memiliki fungsi ganda: sebagai refleksi kritis terhadap legitimasi kekuasaan, dan sebagai panduan normatif bagi praksis pemerintahan yang manusiawi.

10.2.    Dialektika antara Moralitas dan Rasionalitas Politik

Kesimpulan dari keseluruhan kajian ini memperlihatkan bahwa politik yang beretika harus menyeimbangkan antara rasionalitas instrumental dan rasionalitas moral.⁹ Politik modern sering kali dikuasai oleh logika efisiensi, pragmatisme, dan utilitarianisme, yang menilai tindakan berdasarkan hasil semata.¹⁰ Namun, etika politik mengingatkan bahwa hasil tidak dapat dilepaskan dari cara. Dalam bahasa Kantian, tindakan politik hanya sah bila dapat dijadikan hukum universal tanpa kontradiksi terhadap martabat manusia.¹¹

Habermas menyempurnakan gagasan ini melalui teori tindakan komunikatif, bahwa legitimasi politik sejati lahir dari proses diskursus rasional yang terbuka, di mana warga negara berpartisipasi sebagai subjek moral yang setara.¹² Dengan demikian, etika politik menolak absolutisme kekuasaan dan menggantikannya dengan legitimasi yang bersumber dari komunikasi moral dan konsensus rasional.¹³

10.3.    Tantangan Etika Politik di Era Kontemporer

Di era globalisasi dan digitalisasi, relevansi etika politik semakin mendesak. Politik kontemporer diwarnai oleh krisis kepercayaan, manipulasi media, populisme, dan erosi nilai-nilai publik.¹⁴ Dalam situasi ini, etika politik berperan sebagai pedoman moral yang mengembalikan orientasi politik kepada prinsip keadilan, tanggung jawab, dan solidaritas.¹⁵

Selain itu, politik global menuntut perluasan horizon etika dari level nasional menuju tanggung jawab kosmopolitan.¹⁶ Martha Nussbaum dan Amartya Sen menekankan pentingnya etika global yang menempatkan manusia—bukan negara—sebagai subjek utama keadilan.¹⁷ Etika politik masa kini harus mampu menjawab isu-isu lintas batas seperti krisis iklim, ketimpangan ekonomi, dan migrasi dengan perspektif moral yang universal dan partisipatif.¹⁸

10.4.    Politik sebagai Ruang Humanisasi

Kesimpulan terakhir menegaskan bahwa politik yang bermoral adalah politik yang mengembalikan kemanusiaan ke dalam kekuasaan.¹⁹ Hannah Arendt melihat politik sebagai ruang tindakan bersama di mana manusia menegaskan eksistensinya melalui kebebasan dan dialog.²⁰ Politik kehilangan maknanya bila terlepas dari tindakan yang memuliakan kehidupan dan menghargai martabat orang lain.²¹

Etika politik, dengan demikian, bukanlah moralitas yang membatasi kebebasan politik, tetapi kebijaksanaan moral yang menuntun kebebasan agar tetap berakar pada kebaikan bersama.²² Seperti ditegaskan oleh Paul Ricoeur, tanggung jawab etis dalam politik bukan hanya soal apa yang benar dilakukan, tetapi juga bagaimana bertindak secara adil dalam dunia yang kompleks dan plural.²³

Maka, etika politik merupakan filsafat praksis tentang kemanusiaan, yang menggabungkan refleksi rasional, kepekaan moral, dan tanggung jawab sosial.²⁴ Ia bukan teori yang statis, tetapi proses berkelanjutan untuk memurnikan politik dari dehumanisasi, menghidupkan kembali solidaritas, dan menegakkan keadilan dalam sejarah manusia.²⁵


Footnotes

[1]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 233–236.

[2]                Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 58–60.

[3]                Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 15–17.

[4]                Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1252b–1255a.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 90–95.

[6]                Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 34–36.

[7]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 3–6.

[8]                Ibid., 11–17.

[9]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–289.

[10]             Max Weber, Politics as a Vocation, trans. H. H. Gerth and C. Wright Mills (Philadelphia: Fortress Press, 1946), 120–122.

[11]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 32–35.

[12]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–90.

[13]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 35–38.

[14]             Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 56–58.

[15]             Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 18–20.

[16]             David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State to Cosmopolitan Governance (Stanford, CA: Stanford University Press, 1995), 111–115.

[17]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 20–23.

[18]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 35–37.

[19]             Charles Taylor, Modern Social Imaginaries (Durham, NC: Duke University Press, 2004), 189–192.

[20]             Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 200–205.

[21]             Ibid., 212–215.

[22]             Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 120–123.

[23]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 335–337.

[24]             Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 112–115.

[25]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 447–448.


Daftar Pustaka

Althusser, L. (2014). Ideology and ideological state apparatuses. London: Verso.

Apel, K.-O. (1980). Towards a transformation of philosophy (Adey & Frisby, Trans.). London: Routledge.

Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in a world of strangers. New York: W. W. Norton.

Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae (English Dominican Province, Trans.). New York: Benziger Bros.

Arendt, H. (1958). The human condition. Chicago: University of Chicago Press.

Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Bauman, Z. (1993). Postmodern ethics. Oxford: Blackwell.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Cambridge, UK: Polity Press.

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community, and postmodernism in contemporary ethics. Cambridge, UK: Polity Press.

Benhabib, S. (2002). The claims of culture: Equality and diversity in the global era. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Berlin, I. (1969). Two concepts of liberty. In Four essays on liberty (pp. 118–172). Oxford: Oxford University Press.

Castells, M. (2012). Networks of outrage and hope: Social movements in the Internet age. Cambridge, UK: Polity Press.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Derrida, J. (1995). The gift of death (D. Wills, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Derrida, J. (1997). Politics of friendship (G. Collins, Trans.). London: Verso.

Deleuze, G. (1983). Nietzsche and philosophy (H. Tomlinson, Trans.). New York: Columbia University Press.

Eagleton, T. (1991). Ideology: An introduction. London: Verso.

Etzioni, A. (1993). The spirit of community: Rights, responsibilities, and the communitarian agenda. New York: Crown.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford: Oxford University Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York: Pantheon Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). New York: Vintage Books.

Fuller, L. L. (1964). The morality of law. New Haven, CT: Yale University Press.

Gadamer, H.-G. (2013). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). London: Bloomsbury Academic.

Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. New York: Random House.

Habermas, J. (1979). Communication and the evolution of society (T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action: Vol. 1. Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). Cambridge, MA: MIT Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). Cambridge, MA: MIT Press.

Habermas, J. (2019). Digital democracy: The limits of rational communication in the age of algorithms. Philosophy & Social Criticism, 45(8), 1004–1010.

Harman, G. (1975). Moral relativism defended. Philosophical Review, 84(1), 3–22.

Held, D. (1995). Democracy and the global order: From the modern state to cosmopolitan governance. Stanford, CA: Stanford University Press.

Held, D. (2004). Global covenant: The social democratic alternative to the Washington Consensus. Cambridge, UK: Polity Press.

Hegel, G. W. F. (1991). Elements of the philosophy of right (H. B. Nisbet, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Horkheimer, M. (1982). Critical theory: Selected essays. New York: Continuum.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. Chicago: University of Chicago Press.

Kant, I. (1983). Perpetual peace and other essays (T. Humphrey, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kelsen, H. (1967). Pure theory of law (M. Knight, Trans.). Berkeley: University of California Press.

Küng, H. (1991). Global responsibility: In search of a new world ethic. New York: Crossroad.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh, PA: Duquesne University Press.

Levinas, E. (1998). Otherwise than being or beyond essence (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh, PA: Duquesne University Press.

Lévy, P. (1997). Collective intelligence: Mankind’s emerging world in cyberspace. Cambridge, MA: Perseus Books.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). Minneapolis: University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (1988). Whose justice? Which rationality? Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Maritain, J. (1951). Man and the state. Chicago: University of Chicago Press.

Maritain, J. (1973). Integral humanism: Temporal and spiritual problems of a new Christendom. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Marx, K. (1970). Critique of the Gotha program. New York: International Publishers.

Marx, K., & Engels, F. (1970). The German ideology. New York: International Publishers.

Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. London: Parker, Son, and Bourn.

Machiavelli, N. (1998). The prince (H. C. Mansfield, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Müller, J.-W. (2016). What is populism? Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Nussbaum, M. C. (1996). For love of country? Boston: Beacon Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Panikkar, R. (1995). Cultural disarmament: The way to peace. Louisville, KY: Westminster John Knox Press.

Pitkin, H. (1984). Fortune is a woman: Gender and politics in the thought of Niccolò Machiavelli. Chicago: University of Chicago Press.

Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of American community. New York: Simon & Schuster.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Rawls, J. (1993). Political liberalism. New York: Columbia University Press.

Rawls, J. (1999). The law of peoples. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the human sciences (J. B. Thompson, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (2000). The just (D. Pellauer, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge: Cambridge University Press.

Rousseau, J.-J. (1968). The social contract (M. Cranston, Trans.). London: Penguin Classics.

Sandel, M. J. (1996). Democracy’s discontent: America in search of a public philosophy. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Sandel, M. J. (2009). Justice: What’s the right thing to do? New York: Farrar, Straus and Giroux.

Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and non-formal ethics of values (M. Frings & R. Funk, Trans.). Evanston, IL: Northwestern University Press.

Schacht, R. (1983). Nietzsche. London: Routledge.

Sen, A. (1999). Development as freedom. New York: Alfred A. Knopf.

Sen, A. (2009). The idea of justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Skinner, Q. (1978). The foundations of modern political thought (Vol. 1). Cambridge: Cambridge University Press.

Stein, E. (2006). An investigation concerning the state (M. Sawicki, Trans.). Washington, DC: ICS Publications.

Tocqueville, A. de. (2000). Democracy in America (H. C. Mansfield & D. Winthrop, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Taylor, C. (1991). The ethics of authenticity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Taylor, C. (1994). The politics of recognition. In A. Gutmann (Ed.), Multiculturalism and “The Politics of Recognition” (pp. 25–73). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Taylor, C. (2004). Modern social imaginaries. Durham, NC: Duke University Press.

Urbinati, N. (2014). Democracy disfigured: Opinion, truth, and the people. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Weber, M. (1946). Politics as a vocation (H. H. Gerth & C. W. Mills, Trans.). Philadelphia: Fortress Press.

Weber, M. (1978). Economy and society (G. Roth & C. Wittich, Trans.). Berkeley: University of California Press.

Williams, B. (1985). Ethics and the limits of philosophy. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Young, I. M. (2000). Inclusion and democracy. Oxford: Oxford University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. New York: PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar