Etika Politik
Fondasi Moral bagi Kekuasaan, Keadilan, dan Kehidupan
Publik
Alihkan ke: Ilmu Politik. 
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam hakikat,
struktur, dan relevansi etika politik sebagai cabang reflektif dari
filsafat moral dan sosial yang berupaya menautkan antara moralitas,
rasionalitas, dan praksis kekuasaan. Dalam konteks historis, etika politik
berkembang dari fondasi klasik Aristoteles tentang politik sebagai sarana
mencapai eudaimonia kolektif, melalui rasionalitas moral Kantian dan
keadilan sosial Rawlsian, hingga kritik kontemporer yang diajukan oleh
Habermas, Arendt, dan Levinas mengenai tanggung jawab etis dan komunikasi
publik.
Kajian ini menelusuri dimensi ontologis, epistemologis,
dan aksiologis dari etika politik dengan menyoroti bagaimana nilai-nilai
keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab membentuk dasar normatif bagi tindakan
politik yang berkeadaban. Secara ontologis, politik dipahami sebagai realitas
sosial yang mengandaikan kebersamaan manusia; secara epistemologis, sebagai
proses deliberatif yang menuntut rasionalitas komunikatif; dan secara
aksiologis, sebagai praksis moral yang berorientasi pada bonum commune
(kebaikan bersama).
Artikel ini juga memaparkan berbagai kritik
terhadap etika politik—mulai dari realisme Machiavellian, nihilisme
Nietzschean, determinisme Marxis, hingga relativisme postmodern—yang menyoroti
keterbatasan moralitas universal dalam menghadapi kompleksitas kekuasaan.
Namun, melalui sintesis filosofis antara tradisi klasik, modern, dan
kontemporer, etika politik direkonseptualisasi sebagai filsafat praksis
yang memadukan kebajikan (virtue), rasionalitas moral (reason), dan tanggung
jawab kemanusiaan (responsibility).
Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh krisis
moral, populisme, dan disrupsi digital, etika politik menjadi relevan sebagai
pedoman normatif bagi pengelolaan kekuasaan yang adil, partisipatif, dan
manusiawi. Ia mengingatkan bahwa politik yang etis bukan sekadar mekanisme
pengambilan keputusan, melainkan wujud refleksi moral kolektif umat manusia
terhadap keadilan, solidaritas, dan keberlanjutan kehidupan bersama.
Kata Kunci: Etika Politik; Keadilan; Tanggung Jawab; Moralitas
Publik; Rasionalitas Komunikatif; Bonum Commune; Filsafat Praksis; Demokrasi;
Kemanusiaan; Politik Global.
PEMBAHASAN
Membangun Fondasi Filosofis bagi Praktik Politik yang
Etis
1.          
Pendahuluan
Politik sejak awal
kemunculannya selalu menjadi arena tarik-menarik antara kekuasaan dan
moralitas. Di satu sisi, politik berkaitan dengan upaya manusia untuk mengatur
kehidupan bersama melalui struktur kekuasaan, hukum, dan kebijakan publik. Di
sisi lain, etika menuntut bahwa setiap tindakan manusia harus diarahkan kepada
kebaikan dan keadilan. Ketegangan antara dua ranah ini melahirkan pertanyaan
mendasar: apakah politik dapat bermoral, dan apakah moralitas dapat menjadi
dasar bagi tindakan politik? Pertanyaan ini menjadi titik pijak utama dalam
kajian etika politik sebagai refleksi filosofis tentang
hubungan antara nilai moral dan praktik kekuasaan publik.¹
Secara historis, pemikiran
tentang etika politik berakar dari tradisi filsafat Yunani klasik. Plato dalam Republic
menekankan bahwa politik sejati adalah seni memerintah demi kebaikan bersama (common
good), bukan sekadar perebutan kekuasaan.² Aristoteles kemudian menegaskan
dalam Nicomachean Ethics dan Politics bahwa politik adalah
cabang dari etika praktis karena tujuan tertingginya adalah kebajikan (aretê)
yang diwujudkan dalam kehidupan polis.³ Bagi para filsuf ini, politik bukanlah
domain yang otonom dari moralitas, tetapi ekspresi etis dari rasionalitas
manusia dalam membangun tatanan sosial yang adil.
Namun, sejak modernitas,
politik mulai dipisahkan dari moralitas. Machiavelli melalui Il Principe
mengajukan gagasan realistik tentang kekuasaan yang terlepas dari norma moral
tradisional.⁴ Ia menilai bahwa demi stabilitas dan efektivitas pemerintahan,
seorang penguasa dapat menggunakan cara-cara yang secara etis dipertanyakan.
Pemikiran ini memicu pergeseran paradigma dari politik moral ke politik
kekuasaan (realpolitik). Paradigma tersebut kemudian dikritik oleh
Immanuel Kant yang menegaskan bahwa politik sejati hanya dapat berakar pada
prinsip moral universal, khususnya imperatif kategoris yang mengandaikan
penghormatan terhadap martabat manusia.⁵
Dalam konteks kontemporer,
etika politik kembali menemukan relevansinya ketika masyarakat global
menghadapi krisis moral dalam tata kelola publik: korupsi, populisme,
polarisasi ideologis, dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi gejala yang menuntut
refleksi etis yang mendalam.⁶ Selain itu, munculnya demokrasi digital, media
sosial, dan teknologi politik baru menimbulkan dilema moral baru, seperti
manipulasi informasi, privasi warga, dan penyebaran ujaran kebencian.⁷ Kondisi
ini menunjukkan bahwa refleksi etika politik tidak hanya bersifat teoritis,
tetapi juga praktis, karena menentukan arah peradaban politik manusia.
Kajian tentang etika politik
karenanya berfungsi sebagai upaya untuk meneguhkan kembali fondasi moral dalam
ruang publik. Ia menanyakan bagaimana kekuasaan dapat dijalankan tanpa
kehilangan arah moralnya, bagaimana keadilan sosial dapat ditegakkan dalam
struktur politik yang kompleks, dan bagaimana tanggung jawab etis dapat menjadi
roh kehidupan bernegara.⁸ Dengan demikian, etika politik bukan hanya studi
tentang moralitas dalam kekuasaan, tetapi juga tentang kemungkinan menghadirkan
kemanusiaan di dalam politik itu sendiri.
Metode yang digunakan dalam
kajian ini adalah pendekatan filosofis-historis dan refleksi
normatif. Pendekatan filosofis-historis diperlukan untuk memahami akar
konseptual etika politik dari masa ke masa, sementara refleksi normatif
bertujuan untuk menilai nilai-nilai moral yang seharusnya menuntun praktik
politik dalam dunia kontemporer.⁹ Dengan cara ini, artikel ini berupaya
mengembalikan politik pada kedudukannya yang luhur sebagai praksis moral yang
diarahkan kepada kebaikan bersama (bonum commune) dan keadilan
sosial.¹⁰
Footnotes
[1]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 5–7.
[2]               
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1992), 347c–352d.
[3]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1094a–b.
[4]               
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield
(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 58–60.
[5]               
Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted
Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 120–123.
[6]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 3–6.
[7]               
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 443–448.
[8]               
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 175–182.
[9]               
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 13–15.
[10]            
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, II-II, q. 58, a. 5.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis Etika Politik
2.1.      
Akar Yunani Klasik:
Politik sebagai Cabang Etika
Pemikiran tentang etika
politik berakar kuat dalam filsafat Yunani klasik, di mana politik tidak
dipahami semata sebagai perebutan kekuasaan, tetapi sebagai praxis moral
demi kebaikan bersama. Plato dalam Republic memandang bahwa tujuan
politik adalah menghadirkan keadilan dalam jiwa individu dan dalam tatanan
negara.¹ Baginya, negara yang adil adalah cerminan dari jiwa yang teratur, di
mana akal, keberanian, dan hasrat berada dalam harmoni.² Etika dan politik
karenanya tidak dapat dipisahkan; seorang penguasa sejati bukanlah yang paling
kuat, tetapi yang paling bijaksana—philosopher-king.
Aristoteles melanjutkan
warisan ini dengan pendekatan yang lebih empiris. Dalam Nicomachean Ethics
dan Politics, ia menegaskan bahwa manusia adalah zoon politikon—makhluk
politik—yang hanya dapat mencapai kesempurnaan moral dalam kehidupan bersama.³
Tujuan akhir politik adalah eudaimonia (kebahagiaan yang
berkelanjutan), yang hanya dapat dicapai melalui kebajikan etis (aretê).⁴
Dengan demikian, politik bagi Aristoteles merupakan cabang dari etika praktis
yang mengarahkan manusia menuju kehidupan yang baik (the good life).⁵
2.2.      
Tradisi Skolastik dan
Kristen: Sintesis antara Iman, Akal, dan Kekuasaan
Tradisi Kristen awal
memberikan dimensi baru terhadap etika politik melalui refleksi teologis
tentang kekuasaan dan moralitas. Santo Agustinus dalam De Civitate Dei
membedakan antara Civitas Dei (Kota Allah) dan Civitas Terrena
(Kota Dunia), di mana politik duniawi dipandang sebagai akibat dari dosa asal,
namun tetap memiliki peran instrumental dalam menjaga keteraturan sosial.⁶
Politik, bagi Agustinus, bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk
mewujudkan keadilan sementara di dunia yang fana.
Thomas Aquinas kemudian
menyusun sintesis antara filsafat Aristotelian dan teologi Kristen.⁷ Dalam Summa
Theologiae, ia menegaskan bahwa hukum manusia (lex humana) harus
berakar pada hukum kodrati (lex naturalis) yang berasal dari hukum
ilahi (lex divina).⁸ Dengan demikian, kekuasaan politik hanya sah
sejauh sejalan dengan tatanan moral yang ditetapkan oleh akal budi dan kehendak
Tuhan. Aquinas memandang negara sebagai communitas perfecta, yaitu
komunitas moral yang diarahkan kepada kebaikan bersama (bonum commune).⁹
2.3.      
Pencerahan dan
Rasionalisme Politik: Etika Kewargaan dan Kontrak Sosial
Pada masa Pencerahan, muncul
pergeseran paradigma menuju rasionalisasi politik. Para pemikir seperti Thomas
Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau memformulasikan teori kontrak
sosial sebagai dasar legitimasi kekuasaan. Hobbes dalam Leviathan
menekankan bahwa manusia, untuk menghindari kekacauan alami (state of
nature), harus menyerahkan sebagian kebebasannya kepada negara demi
keamanan bersama.¹⁰ Etika politik di sini bergeser dari moralitas kebajikan ke
moralitas kontraktual.
John Locke menentang
pandangan absolutisme Hobbes dengan menegaskan hak-hak alamiah individu—hidup,
kebebasan, dan kepemilikan—yang tidak boleh dilanggar oleh negara.¹¹ Etika
politik Locke menekankan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi hak-hak
tersebut. Rousseau kemudian memperluas gagasan ini dengan memperkenalkan konsep
volonté générale (kehendak umum), di mana legitimasi politik berasal
dari partisipasi aktif warga negara yang rasional dan bebas.¹² Maka, etika
politik modern menjadi landasan moral bagi demokrasi dan hak asasi manusia.
2.4.      
Era Modern dan Kritis:
Moralitas, Rasionalitas, dan Emansipasi
Memasuki era modern, refleksi
etika politik menjadi semakin kompleks. Immanuel Kant menegaskan dalam Perpetual
Peace bahwa politik sejati harus tunduk pada moralitas universal yang
bersumber dari imperatif kategoris.¹³ Ia menolak pandangan utilitarian dan
pragmatis, dengan menyatakan bahwa “politik tanpa moral adalah kejahatan.”¹⁴
Sementara itu, Hegel dalam Philosophy of Right menempatkan etika
politik dalam kerangka Sittlichkeit, yakni moralitas objektif yang
diwujudkan dalam institusi sosial seperti keluarga, masyarakat sipil, dan
negara.¹⁵
Karl Marx menawarkan kritik
radikal terhadap etika politik borjuis dengan menunjukkan bahwa moralitas
sering kali berfungsi sebagai ideologi yang menutupi relasi dominasi.¹⁶ Dalam
kerangka ini, etika politik harus bersifat emansipatoris, yaitu membebaskan
manusia dari penindasan struktural. Warisan pemikiran Marx membuka jalan bagi
teori kritis Frankfurt School yang menekankan pentingnya kesadaran moral dan
rasionalitas komunikatif dalam praksis politik.¹⁷
2.5.      
Perkembangan
Kontemporer: Etika Diskursus dan Politik Deliberatif
Pada abad ke-20, etika
politik berkembang melalui pemikiran neo-Kantian dan teori komunikasi. John
Rawls dengan A Theory of Justice memperkenalkan prinsip keadilan
sebagai fairness, yang menekankan bahwa lembaga politik harus
dirancang sedemikian rupa agar setiap individu memiliki kesempatan yang setara
di bawah “veil of ignorance.”¹⁸ Sementara itu, Jürgen Habermas
mengembangkan discourse ethics, yang menempatkan legitimasi moral
dalam proses komunikasi rasional antarwarga negara.¹⁹
Hannah Arendt menyoroti
dimensi eksistensial politik sebagai ruang tindakan dan kebebasan manusia.²⁰
Politik, menurut Arendt, bukan sekadar instrumen kekuasaan, tetapi arena di
mana manusia menegaskan eksistensinya melalui tindakan bersama.²¹ Dengan
demikian, etika politik kontemporer bergerak dari paradigma kekuasaan menuju
paradigma partisipasi, dari dominasi menuju komunikasi, dan dari hierarki
menuju dialog etis yang setara.
Footnotes
[1]               
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1992), 347c–352d.
[2]               
Ibid., 427d–434c.
[3]               
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), 1253a.
[4]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a–1100a.
[5]               
Ibid., 1177b–1178a.
[6]               
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Classics, 2003), XIX.17–24.
[7]               
Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 201–205.
[8]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 91–95.
[9]               
Ibid., II-II, q. 58, a. 5.
[10]            
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 89–94.
[11]            
John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge
University Press, 1988), 285–289.
[12]            
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Classics, 1968), 50–52.
[13]            
Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted
Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 120–123.
[14]            
Ibid., 126.
[15]            
G. W. F. Hegel, Elements of the Philosophy of Right, trans. H.
B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 255–260.
[16]            
Karl Marx, Critique of the Gotha Program (New York:
International Publishers, 1970), 17–21.
[17]            
Max Horkheimer, Critical Theory: Selected Essays (New York:
Continuum, 1982), 212–215.
[18]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 11–13.
[19]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 447–451.
[20]            
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 175–182.
[21]            
Ibid., 198–203.
3.          
Ontologi
Etika Politik
3.1.      
Hakikat Tindakan
Politik: Antara Kekuasaan dan Kebaikan
Secara ontologis, tindakan
politik tidak dapat direduksi hanya pada dimensi instrumental atau teknokratis.
Politik adalah praksis manusia yang memiliki dimensi eksistensial—yakni
tindakan yang berakar pada kebebasan, tanggung jawab, dan orientasi terhadap
kebaikan bersama (bonum commune).¹ Dalam perspektif Aristoteles,
politik bukanlah sekadar sarana untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi
merupakan praxis yang mengarahkan manusia kepada kebajikan moral.² Ia
menempatkan politik sebagai puncak dari etika praktis, karena di dalamnya
kehendak manusia diarahkan kepada kebaikan publik.
Berbeda dengan pandangan
instrumental yang melihat politik sebagai “seni menguasai,” pandangan
ontologis-etis menegaskan bahwa politik memiliki struktur moral intrinsik.³
Tindakan politik sejati bukanlah tindakan yang sekadar efektif, tetapi tindakan
yang etis, yang memelihara tatanan kebaikan dan keadilan. Dalam pengertian ini,
etika politik menolak pandangan Machiavellian yang mengabaikan moralitas demi
efektivitas kekuasaan.⁴ Ontologi tindakan politik menegaskan bahwa kekuasaan
hanya sah sejauh ia menegakkan kebenaran dan kebaikan yang rasional.
3.2.      
Relasi antara Individu
dan Komunitas dalam Struktur Politik
Dalam kerangka ontologis,
individu dan komunitas tidak berdiri secara terpisah, melainkan saling
melengkapi dalam eksistensi politik. Manusia, sebagaimana ditegaskan
Aristoteles, adalah makhluk sosial yang hanya dapat mewujudkan dirinya secara
utuh di dalam polis.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa politik bukanlah
sesuatu yang eksternal terhadap moralitas individu, melainkan medan ontologis
di mana kebajikan pribadi menemukan realisasinya dalam kehidupan bersama.
Thomas Aquinas memperdalam
pandangan ini dengan menegaskan bahwa manusia adalah animal sociale et
politicum bukan hanya secara biologis, tetapi juga moral dan rasional.⁶
Kebaikan bersama (bonum commune) tidak dapat direduksi pada
penjumlahan kepentingan individual, melainkan merupakan tujuan moral yang lebih
tinggi dari keseluruhan komunitas.⁷ Dalam kerangka ini, etika politik
mengandaikan bahwa struktur sosial dan negara harus mencerminkan keterarahan
moral manusia pada keadilan dan kesejahteraan bersama.
Hegel kemudian mengembangkan
relasi ini melalui konsep Sittlichkeit, yakni moralitas objektif yang
mewujud dalam lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, masyarakat sipil, dan
negara.⁸ Negara bukanlah entitas artifisial, melainkan perwujudan rasional dari
kebebasan etis manusia. Ontologi etika politik Hegel menunjukkan bahwa
kebebasan tidak mungkin direalisasikan tanpa struktur sosial yang adil dan
rasional.⁹
3.3.      
Kekuasaan dan Tanggung
Jawab: Dimensi Moral dari Otoritas
Kekuasaan politik dalam
pandangan ontologis tidak bersifat netral. Ia selalu memuat nilai moral yang
inheren karena berkaitan dengan tindakan atas manusia lain. Hannah Arendt
menolak pengertian kekuasaan sebagai dominasi, dan menafsirkan kekuasaan sebagai
kapasitas untuk bertindak bersama.¹⁰ Kekuasaan sejati, menurutnya, lahir dari
tindakan kolektif yang berakar pada kesepakatan moral dan komunikasi publik.¹¹
Kant menegaskan bahwa
kekuasaan politik hanya dapat dianggap sah jika dijalankan sesuai dengan prinsip
moral universal.¹² Kekuasaan tanpa moralitas tidak hanya kehilangan legitimasi,
tetapi juga menghancurkan martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri
(Zweck an sich selbst).¹³ Oleh karena itu, tanggung jawab politik
bukan hanya administratif, melainkan etis: penguasa harus bertindak bukan demi
kepentingan pribadi atau kelompok, melainkan demi tatanan moral yang melindungi
kebebasan dan keadilan semua warga.
Dalam konteks modern, Max
Weber membedakan antara ethic of conviction (etika keyakinan) dan ethic
of responsibility (etika tanggung jawab).¹⁴ Etika politik ontologis
menuntut sintesis antara keduanya: keyakinan moral harus disertai kesadaran
tanggung jawab terhadap akibat sosial dari tindakan politik. Dengan demikian,
kekuasaan bukan sekadar hak, melainkan beban moral yang harus dijalankan dengan
integritas.
3.4.      
Negara sebagai Subjek
Moral: Ontologi Keadilan dan Kebaikan Bersama
Negara, dalam pandangan
ontologis-etis, bukanlah mesin birokrasi yang netral, tetapi entitas moral yang
bertugas memelihara tatanan keadilan. Dalam tradisi skolastik, negara disebut
sebagai communitas perfecta, yaitu komunitas yang memiliki tujuan
moralnya sendiri, yakni kebaikan bersama.¹⁵ Etika politik menegaskan bahwa
legitimasi negara tidak berasal dari kekuatan atau kontrak semata, tetapi dari
kemampuan negara untuk mewujudkan nilai-nilai moral seperti keadilan,
solidaritas, dan kesejahteraan umum.¹⁶
John Rawls memperbarui
gagasan ini dalam konteks liberal-demokratis dengan mengajukan prinsip keadilan
sebagai fairness.¹⁷ Negara yang adil, menurut Rawls, adalah negara
yang lembaganya dirancang secara rasional oleh individu-individu yang tidak
tahu posisi sosialnya sendiri (veil of ignorance).¹⁸ Dalam kerangka
ontologis, ini berarti bahwa keadilan bukan sekadar nilai prosedural, melainkan
esensi eksistensial dari politik itu sendiri—tanpa keadilan, politik kehilangan
ontologinya sebagai praksis moral.
Dengan demikian, ontologi
etika politik menegaskan bahwa keberadaan politik tidak dapat dipahami tanpa
dimensi moralnya. Politik adalah ekspresi keberadaan manusia yang rasional dan
etis, yang berusaha menata kehidupan bersama berdasarkan prinsip kebaikan dan
keadilan.¹⁹ Etika politik, dalam arti ini, bukan sekadar refleksi normatif atas
kekuasaan, tetapi juga penyingkapan hakikat politik itu sendiri sebagai
perwujudan moralitas manusia dalam tatanan sosial.²⁰
Footnotes
[1]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 18–22.
[2]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1094a–1095a.
[3]               
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 160–162.
[4]               
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield (Chicago:
University of Chicago Press, 1998), 65–67.
[5]               
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), 1253a.
[6]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 90–95.
[7]               
Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 210–213.
[8]               
G. W. F. Hegel, Elements of the Philosophy of Right, trans. H.
B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 255–260.
[9]               
Ibid., 278–282.
[10]            
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago
Press, 1958), 200–205.
[11]            
Ibid., 212–218.
[12]            
Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted
Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 123–127.
[13]            
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 36–38.
[14]            
Max Weber, Politics as a Vocation, trans. H. H. Gerth and C.
Wright Mills (Philadelphia: Fortress Press, 1946), 120–122.
[15]            
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, II-II, q. 58, a. 5.
[16]            
Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of
Chicago Press, 1951), 15–17.
[17]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 11–15.
[18]            
Ibid., 136–142.
[19]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 37–40.
[20]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 88–90.
4.          
Epistemologi
Etika Politik
4.1.      
Sumber Pengetahuan
Moral Politik: Akal Budi, Hati Nurani, dan Pengalaman Sosial
Epistemologi etika politik
berupaya menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana manusia mengetahui dan
menilai tindakan politik yang baik dan adil? Sumber pengetahuan moral
dalam ranah politik tidak tunggal; ia bersifat plural dan dialektis antara
rasio, hati nurani, dan pengalaman sosial-historis.¹
Dalam tradisi rasionalisme
klasik, etika politik berakar pada akal budi praktis (practical reason)
yang memungkinkan manusia menilai baik-buruknya tindakan politik berdasarkan
prinsip rasional universal.² Bagi Immanuel Kant, akal budi moral bersifat
otonom dan menjadi dasar bagi hukum politik yang sah.³ Moralitas politik harus
berlandaskan pada prinsip yang dapat dijadikan hukum umum tanpa kontradiksi,
yakni imperatif kategoris.⁴
Namun, dalam tradisi
fenomenologis dan eksistensial, seperti pada Max Scheler dan Edith Stein,
sumber pengetahuan moral tidak hanya berasal dari rasio, tetapi juga dari ordo
amoris—tatanan nilai yang ditangkap melalui hati nurani dan empati
terhadap pengalaman manusia lain.⁵ Dalam konteks politik, hal ini berarti bahwa
keputusan etis tidak dapat dipisahkan dari pengalaman konkret penderitaan,
ketidakadilan, dan aspirasi manusia. Pengetahuan moral politik karenanya
bersifat empatik, historis, dan reflektif.⁶
4.2.      
Rasionalitas Politik:
Antara Rasionalitas Instrumental dan Rasionalitas Komunikatif
Dalam dunia modern,
rasionalitas politik sering kali tereduksi menjadi rasionalitas
instrumental—yakni kemampuan menggunakan sarana paling efisien untuk mencapai
tujuan tertentu, tanpa mempertimbangkan nilai moral dari tujuan tersebut.⁷
Pandangan ini tampak jelas dalam paradigma realpolitik dan teori kekuasaan
modern yang menekankan efektivitas di atas etika.
Namun, Jürgen Habermas
menawarkan alternatif berupa rasionalitas komunikatif yang berakar
pada dialog dan argumentasi moral.⁸ Dalam rasionalitas komunikatif, legitimasi
politik tidak dihasilkan oleh dominasi atau efektivitas, melainkan oleh
kesepakatan yang dicapai melalui proses komunikasi bebas dari paksaan.⁹ Etika
diskursus Habermas menegaskan bahwa kebenaran moral politik tidak dapat
dipaksakan secara hierarkis, tetapi harus diuji melalui partisipasi rasional
seluruh warga negara.¹⁰
Dengan demikian, epistemologi
etika politik menuntut pergeseran dari rasionalitas instrumental menuju
rasionalitas intersubjektif, di mana kebenaran politik dibangun melalui
argumentasi publik yang jujur, terbuka, dan rasional.¹¹ Pengetahuan etis dalam
politik bersifat deliberatif—lahir dari percakapan dan refleksi kolektif yang
mengandaikan kesetaraan moral antar-subjek.
4.3.      
Peran Ideologi dan
Wacana dalam Pembentukan Norma Etika Politik
Dalam praktik politik
konkret, pengetahuan moral tidak hadir dalam ruang hampa; ia dibentuk,
disalurkan, dan kadang dimanipulasi melalui ideologi dan wacana.¹² Michel
Foucault menunjukkan bahwa relasi antara pengetahuan dan kekuasaan bersifat
produktif—pengetahuan tidak netral, tetapi selalu terkait dengan struktur
dominasi sosial.¹³ Etika politik, karenanya, harus bersikap kritis terhadap
bagaimana wacana moral digunakan untuk melegitimasi kekuasaan atau menutupi
ketidakadilan.
Namun, ideologi tidak selalu
destruktif. Dalam kerangka hermeneutika kritis, seperti pada Paul Ricoeur,
ideologi dapat berfungsi positif sebagai kekuatan simbolik yang memberi makna
kolektif dan identitas politik bersama.¹⁴ Dalam hal ini, pengetahuan moral
politik terbentuk melalui proses interpretasi simbol dan narasi yang menata
pemahaman kita tentang keadilan, kebenaran, dan kebajikan publik.¹⁵
Oleh karena itu, epistemologi
etika politik menuntut kesadaran hermeneutik—kemampuan untuk menafsirkan dan
menilai ulang makna moral dalam setiap wacana politik. Pengetahuan moral tidak
bersifat absolut, tetapi hasil dari dialektika antara ideologi, pengalaman, dan
refleksi kritis.¹⁶
4.4.      
Problem Relativisme
dan Universalisme dalam Norma Politik
Salah satu tantangan
epistemologis utama dalam etika politik adalah ketegangan antara relativisme
dan universalisme moral. Relativisme moral berpendapat bahwa nilai-nilai etis
tergantung pada konteks budaya, sejarah, atau ideologi politik tertentu.¹⁷
Sebaliknya, universalisme moral meyakini bahwa terdapat prinsip-prinsip etis
universal yang berlaku bagi seluruh umat manusia, terlepas dari perbedaan
konteks.¹⁸
Immanuel Kant dan tradisi
deontologis menegaskan pentingnya prinsip moral universal sebagai dasar
legitimasi politik.¹⁹ Namun, para pemikir postmodern seperti Richard Rorty atau
Jean-François Lyotard menolak adanya fondasi moral universal, dengan menekankan
pluralitas dan lokalitas nilai-nilai politik.²⁰
Etika politik kontemporer
berupaya mencari jalan tengah melalui pendekatan dialogis dan interkultural.²¹
Dalam perspektif Habermas dan Karl-Otto Apel, universalisme moral tidak harus
berarti dogmatisme, tetapi dapat dipahami sebagai universalisme prosedural—yakni
kesepakatan rasional yang dicapai melalui dialog lintas budaya.²² Maka,
kebenaran moral politik bersifat terbuka, intersubjektif, dan selalu dapat
dikoreksi.²³
Dengan demikian, epistemologi
etika politik bukan hanya menelusuri asal-usul pengetahuan moral, tetapi juga
menegaskan cara bagaimana pengetahuan tersebut diuji, dinegosiasikan, dan
diinternalisasi dalam kehidupan publik. Ia menjadi fondasi reflektif bagi
praksis politik yang etis—politik yang mengetahui dan sadar akan alasan moral
dari setiap tindakannya.²⁴
Footnotes
[1]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 55–58.
[2]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a–1102a.
[3]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 32–35.
[4]               
Ibid., 42–46.
[5]               
Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values,
trans. Manfred Frings and Roger Funk (Evanston, IL: Northwestern University
Press, 1973), 89–92.
[6]               
Edith Stein, An Investigation Concerning the State, trans.
Marianne Sawicki (Washington, DC: ICS Publications, 2006), 75–79.
[7]               
Max Weber, Economy and Society, trans. Guenther Roth and Claus
Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 24–28.
[8]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–289.
[9]               
Ibid., 293–298.
[10]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 88–90.
[11]            
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and
Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992),
35–38.
[12]            
Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses
(London: Verso, 2014), 69–74.
[13]            
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 26–30.
[14]            
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, trans. John
B. Thompson (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 193–198.
[15]            
Ibid., 202–206.
[16]            
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 312–316.
[17]            
Gilbert Harman, “Moral Relativism Defended,” Philosophical Review
84, no. 1 (1975): 3–22.
[18]            
Martha Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 20–23.
[19]            
Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted
Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 119–123.
[20]            
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 45–48.
[21]            
Raimon Panikkar, Cultural Disarmament: The Way to Peace
(Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 1995), 67–70.
[22]            
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy, trans.
Adey and Frisby (London: Routledge, 1980), 274–279.
[23]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 445–448.
[24]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 67–70.
5.          
Aksiologi
Etika Politik: Nilai, Keadilan, dan Tanggung Jawab
5.1.      
Nilai-nilai Utama
dalam Etika Politik: Keadilan, Kebebasan, dan Solidaritas
Aksiologi etika politik
berfokus pada dimensi nilai yang mendasari dan menuntun tindakan
politik manusia. Nilai politik bukan sekadar hasil dari konsensus sosial,
melainkan ekspresi dari struktur moral yang mendalam dalam kehidupan bersama.¹
Tiga nilai fundamental yang menjadi pusat dalam aksiologi politik adalah keadilan,
kebebasan, dan solidaritas—yang bersama-sama
membentuk horizon moral bagi praksis politik yang manusiawi.
Keadilan (justice)
menempati posisi sentral sebagai nilai normatif tertinggi dalam filsafat
politik. Plato menggambarkan keadilan sebagai harmoni antara bagian-bagian jiwa
dan struktur sosial, di mana setiap orang menempati tempatnya sesuai dengan
kebajikan dan kemampuannya.² Aristoteles kemudian memformulasikan keadilan
distributif dan retributif sebagai dasar penataan relasi politik yang etis.³
Dalam tradisi modern, John Rawls mendefinisikan keadilan sebagai fairness—suatu
prinsip kesetaraan moral di mana setiap individu memiliki hak yang sama atas
kebebasan dasar dan kesempatan yang adil dalam struktur sosial.⁴
Kebebasan
merupakan nilai politik yang tak terpisahkan dari keadilan. Kebebasan tidak
hanya dimaknai sebagai otonomi individual (liberty), tetapi juga sebagai
kemampuan kolektif untuk berpartisipasi dalam menentukan arah hidup bersama.⁵
Isaiah Berlin membedakan antara kebebasan negatif (freedom from) dan
kebebasan positif (freedom to), menegaskan bahwa kebebasan sejati
mensyaratkan kondisi sosial yang memungkinkan aktualisasi diri manusia.⁶
Solidaritas
berfungsi sebagai jembatan moral yang menghubungkan kebebasan dengan keadilan.
Emmanuel Levinas menekankan bahwa tanggung jawab terhadap sesama merupakan inti
etika yang mendasari seluruh kehidupan sosial-politik.⁷ Solidaritas, dalam arti
ini, bukan sekadar simpati, melainkan pengakuan aktif atas martabat manusia
lain. Dalam konteks politik, solidaritas mewujud dalam kebijakan publik yang
berpihak pada yang lemah dan dalam komitmen terhadap kesejahteraan bersama.⁸
5.2.      
Politik sebagai
Praksis Moral: Politik Kebajikan versus Politik Kekuasaan
Etika politik dalam dimensi
aksiologis mengandung tegangan antara dua paradigma: politik kebajikan
(virtue politics) dan politik kekuasaan (realpolitik). Politik
kebajikan berpandangan bahwa tujuan utama politik adalah penegakan nilai-nilai
moral dalam kehidupan publik. Dalam tradisi Aristotelian, politik merupakan
sarana untuk mencapai kehidupan baik (eudaimonia) bagi seluruh warga.⁹
Sebaliknya, politik kekuasaan
sebagaimana digagas Machiavelli dalam Il Principe, menempatkan
efektivitas di atas moralitas.¹⁰ Dalam kerangka ini, tindakan politik dinilai
bukan dari nilai moralnya, tetapi dari keberhasilannya dalam mempertahankan
kekuasaan. Namun, paradigma tersebut melahirkan risiko instrumentalisasi
manusia, di mana warga negara dipandang sebagai alat untuk tujuan
politik.¹¹
Aksiologi etika politik
menolak dikotomi ekstrem ini dengan mencari sintesis antara moralitas dan
efektivitas.¹² Politik sejati adalah politik yang efektif sekaligus bermoral—politik
yang rasional dalam sarana dan etis dalam tujuan.¹³ Dengan demikian,
nilai-nilai moral bukan hambatan bagi politik, melainkan prasyarat bagi
keberlanjutan dan legitimasi kekuasaan itu sendiri.
5.3.      
Tanggung Jawab Etis
Pemimpin dan Warga Negara
Dalam konteks aksiologi
politik, tanggung jawab (responsibility) merupakan nilai yang mengikat
seluruh pelaku politik—baik penguasa maupun warga negara. Max Weber membedakan
antara etika keyakinan (ethic of conviction) dan etika
tanggung jawab (ethic of responsibility), dan menegaskan bahwa
seorang politisi sejati harus mampu menyeimbangkan keduanya.¹⁴ Artinya,
tindakan politik harus didorong oleh keyakinan moral, tetapi juga
mempertimbangkan akibat konkret bagi masyarakat.
Hannah Arendt menambahkan
dimensi eksistensial terhadap tanggung jawab politik dengan menegaskan bahwa
kekuasaan sejati muncul dari tindakan bersama (action in concert) yang
berakar pada kepercayaan dan kesadaran moral kolektif.¹⁵ Dalam ruang publik,
setiap warga negara adalah subjek moral yang bertanggung jawab atas
pemeliharaan dunia bersama (common world).¹⁶
Tanggung jawab etis juga
melibatkan kesadaran akan keterbatasan manusia. Emmanuel Levinas memandang
tanggung jawab bukan sebagai hasil kontrak, melainkan sebagai respons tanpa
syarat terhadap kehadiran “yang lain” (the Other).¹⁷ Dalam
politik, hal ini berarti bahwa keputusan etis harus selalu mempertimbangkan
dampaknya terhadap manusia konkret yang terkena kebijakan. Dengan demikian,
tanggung jawab politik bukan hanya administratif, tetapi juga transendental: ia
mengakar pada kewajiban moral yang mendahului kehendak individual.¹⁸
5.4.      
Etika Kebijakan
Publik: Antara Utilitarianisme dan Deontologi
Dalam praktik kebijakan
publik, nilai-nilai etika politik sering kali dihadapkan pada dilema antara dua
paradigma aksiologis utama: utilitarianisme dan deontologi.
Paradigma utilitarian, sebagaimana dirumuskan oleh Jeremy Bentham dan John
Stuart Mill, menilai moralitas kebijakan berdasarkan akibatnya bagi kebahagiaan
terbesar bagi jumlah orang terbanyak (the greatest happiness for the
greatest number).¹⁹ Pandangan ini menekankan efisiensi sosial, namun
sering kali mengabaikan hak-hak minoritas.
Sebaliknya, pendekatan deontologis,
sebagaimana dikembangkan oleh Kant, menilai moralitas berdasarkan prinsip dan kewajiban,
bukan akibat.²⁰ Dalam kerangka ini, tindakan politik hanya sah bila menghormati
martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri.²¹
Aksiologi etika politik
kontemporer berupaya menggabungkan kedua pendekatan tersebut melalui konsep etika
kebajikan publik (public virtue ethics), yang menekankan
keseimbangan antara konsekuensi sosial dan kewajiban moral.²² Etika kebijakan
publik demikian mengandaikan kehadiran rasionalitas moral yang mempertimbangkan
baik hasil kebijakan maupun kesesuaiannya dengan prinsip moral universal.
Dengan demikian, ranah
aksiologi menempatkan etika politik sebagai refleksi nilai yang mengarahkan
kekuasaan kepada tujuan moral yang lebih tinggi: keadilan, kemanusiaan, dan
kebaikan bersama.²³ Politik tanpa orientasi nilai kehilangan dimensi etiknya,
sementara etika tanpa praksis politik kehilangan daya transformasinya. Keduanya
hanya bermakna sejauh bersatu dalam tanggung jawab moral terhadap kehidupan
publik.²⁴
Footnotes
[1]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 203–206.
[2]               
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1992), 427d–434c.
[3]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1999), 1130a–1133b.
[4]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 11–17.
[5]               
Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1991), 35–38.
[6]               
Isaiah Berlin, “Two Concepts of Liberty,” in Four Essays on Liberty
(Oxford: Oxford University Press, 1969), 118–119.
[7]               
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–202.
[8]               
Pope Francis, Fratelli Tutti: On Fraternity and Social Friendship
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2020), 108–110.
[9]               
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), 1252b–1255a.
[10]            
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield
(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 65–68.
[11]            
Hannah Pitkin, Fortune Is a Woman: Gender and Politics in the
Thought of Niccolò Machiavelli (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 56–59.
[12]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 34–36.
[13]            
Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of
Chicago Press, 1951), 23–26.
[14]            
Max Weber, Politics as a Vocation, trans. H. H. Gerth and C.
Wright Mills (Philadelphia: Fortress Press, 1946), 120–122.
[15]            
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 200–205.
[16]            
Ibid., 212–215.
[17]            
Levinas, Totality and Infinity, 244–246.
[18]            
Jacques Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills
(Chicago: University of Chicago Press, 1995), 62–64.
[19]            
John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and
Bourn, 1863), 9–10.
[20]            
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 40–43.
[21]            
Ibid., 45–48.
[22]            
Martha Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 23–28.
[23]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 203–206.
[24]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 445–448.
6.          
Dimensi
Sosial dan Politik Etika
6.1.      
Etika Politik dalam
Masyarakat Demokratis dan Pluralistik
Etika politik dalam konteks
sosial tidak dapat dilepaskan dari dinamika masyarakat demokratis yang
pluralistik. Demokrasi bukan hanya sistem politik, melainkan juga tatanan etis
yang mengandaikan kesetaraan, kebebasan, dan penghargaan terhadap perbedaan.¹
Dalam masyarakat pluralistik, etika politik berfungsi sebagai pedoman moral
bagi interaksi sosial antarwarga negara yang memiliki pandangan hidup, nilai,
dan kepentingan yang beragam.
John Rawls mengembangkan
konsep “overlapping consensus” untuk menjelaskan bagaimana masyarakat
yang plural dapat mencapai kesepakatan moral tanpa harus meniadakan perbedaan
ideologis atau religius.² Prinsip-prinsip keadilan, seperti kebebasan dasar
yang sama dan kesempatan yang setara, berfungsi sebagai titik temu etis yang
memungkinkan koeksistensi damai di antara keragaman pandangan hidup.³ Dalam
kerangka ini, etika politik bertindak sebagai bahasa moral universal yang
memungkinkan kehidupan bersama yang adil di tengah pluralitas.
Jürgen Habermas menambahkan
dimensi komunikatif terhadap gagasan demokrasi dengan menekankan bahwa
legitimasi politik bergantung pada proses diskursus publik yang rasional dan
inklusif.⁴ Proses deliberatif inilah yang menjadikan demokrasi bukan hanya
mekanisme formal, tetapi juga praksis moral yang berakar pada penghormatan
terhadap martabat dan rasionalitas setiap individu.⁵ Dengan demikian, demokrasi
etis menuntut budaya dialog yang berkelanjutan, di mana konflik kepentingan
diselesaikan melalui argumentasi moral, bukan kekerasan atau dominasi.
6.2.      
Hubungan antara
Moralitas Publik dan Hukum
Dimensi sosial etika politik
juga mencakup hubungan kompleks antara moralitas publik dan hukum positif.
Hukum, dalam pengertian ideal, merupakan ekspresi objektif dari nilai-nilai
moral yang telah diinstitusionalisasikan.⁶ Thomas Aquinas menegaskan bahwa
hukum manusia (lex humana) harus selaras dengan hukum moral kodrati (lex
naturalis); jika hukum bertentangan dengan moralitas dasar, ia kehilangan
legitimasi moralnya.⁷
Dalam konteks modern,
hubungan antara hukum dan etika sering kali menimbulkan ketegangan. Positivisme
hukum, sebagaimana dikembangkan oleh Hans Kelsen, berusaha memisahkan hukum
dari moralitas demi netralitas rasional.⁸ Namun, pandangan ini dikritik oleh
Lon Fuller yang menegaskan bahwa hukum tanpa moralitas tidak dapat menciptakan
keadilan substantif.⁹
Etika politik memediasi
ketegangan ini dengan menegaskan bahwa hukum harus berfungsi tidak hanya
sebagai alat kontrol sosial, tetapi juga sebagai sarana moral untuk memajukan
keadilan.¹⁰ Dengan demikian, moralitas publik menjadi fondasi normatif bagi
legitimasi hukum, sedangkan hukum menyediakan struktur sosial bagi penerapan
nilai-nilai etis dalam masyarakat.¹¹
6.3.      
Etika Partisipasi
Warga Negara: Civic Virtue dan Civil Society
Dimensi sosial etika politik
menuntut partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan publik. Partisipasi ini
tidak hanya bersifat politis, tetapi juga etis, karena berkaitan dengan
kesadaran moral warga terhadap tanggung jawabnya dalam menjaga keadilan
sosial.¹² Konsep civic virtue (kebajikan kewargaan) yang diperkenalkan
Aristoteles menekankan bahwa warga negara yang baik adalah mereka yang tidak
hanya menaati hukum, tetapi juga berpartisipasi dalam menciptakan kebijakan
yang baik.¹³
Alexis de Tocqueville dalam Democracy
in America mengamati bahwa kekuatan demokrasi terletak pada kemampuannya
menumbuhkan kebajikan sipil dalam masyarakat, yaitu kebiasaan bekerja sama dan
berpartisipasi dalam urusan publik.¹⁴ Civil society, dalam konteks ini,
merupakan ruang moral di mana warga negara mengembangkan solidaritas sosial dan
tanggung jawab bersama.¹⁵
Namun, dalam dunia modern
yang ditandai oleh individualisme dan komersialisasi, civic virtue menghadapi
krisis.¹⁶ Etika politik kontemporer, sebagaimana dikembangkan oleh Charles
Taylor dan Michael Sandel, menyerukan kebangkitan etika komunitarian yang
menekankan pentingnya identitas moral bersama sebagai dasar kohesi sosial.¹⁷
Partisipasi politik bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban moral untuk menjaga common
good dalam kehidupan bernegara.
6.4.      
Etika Politik dalam
Konteks Global: Keadilan Internasional dan Tanggung Jawab Lintas Negara
Globalisasi memperluas
horizon etika politik melampaui batas negara-bangsa. Dalam dunia yang saling
terhubung, keadilan dan tanggung jawab tidak lagi bersifat lokal, tetapi
global.¹⁸ John Rawls dalam The Law of Peoples mengembangkan gagasan justice
among nations, yaitu prinsip moral yang mengatur hubungan antarnegara
berdasarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan solidaritas global.¹⁹
Amartya Sen menambahkan bahwa
keadilan global harus dilihat bukan hanya dari tatanan lembaga internasional,
tetapi dari realitas penderitaan manusia yang nyata.²⁰ Dalam kerangka ini,
tanggung jawab etika politik global mencakup upaya untuk menghapus kemiskinan,
ketimpangan, dan pelanggaran hak-hak dasar.²¹
Etika politik global juga
menuntut transformasi kesadaran moral dari eksklusivitas nasional menuju cosmopolitan
responsibility.²² Martha Nussbaum menyebutnya sebagai cosmopolitan
citizenship, yakni kesadaran bahwa setiap manusia adalah anggota komunitas
moral universal.²³ Dalam tataran praktis, hal ini berarti tanggung jawab
kolektif untuk menjaga perdamaian, keadilan lingkungan, dan hak-hak manusia
lintas batas.²⁴
Dengan demikian, dimensi
sosial dan politik etika menegaskan bahwa moralitas tidak berhenti pada
individu atau negara, tetapi meluas ke seluruh umat manusia.²⁵ Etika politik
menjadi jembatan antara moral pribadi, struktur sosial, dan tata dunia,
sehingga kehidupan publik dapat diarahkan pada cita-cita kemanusiaan yang adil
dan beradab.²⁶
Footnotes
[1]               
Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1991), 45–48.
[2]               
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), 133–136.
[3]               
Ibid., 140–142.
[4]               
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 444–448.
[5]               
Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in
the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2002), 37–39.
[6]               
Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of
Chicago Press, 1951), 25–27.
[7]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 95, a. 2.
[8]               
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley:
University of California Press, 1967), 5–9.
[9]               
Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven, CT: Yale
University Press, 1964), 33–35.
[10]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 58–60.
[11]            
Alasdair MacIntyre, Whose Justice? Which Rationality? (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1988), 345–347.
[12]            
Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities,
and the Communitarian Agenda (New York: Crown, 1993), 12–14.
[13]            
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), 1280b–1281a.
[14]            
Alexis de Tocqueville, Democracy in America, trans. Harvey C.
Mansfield and Delba Winthrop (Chicago: University of Chicago Press, 2000),
506–508.
[15]            
Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of
American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 19–23.
[16]            
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press,
2000), 56–58.
[17]            
Michael Sandel, Democracy’s Discontent: America in Search of a
Public Philosophy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996), 14–17.
[18]            
David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State
to Cosmopolitan Governance (Stanford, CA: Stanford University Press,
1995), 111–115.
[19]            
John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1999), 36–39.
[20]            
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 26–29.
[21]            
Ibid., 31–34.
[22]            
Ulrich Beck, What Is Globalization? (Cambridge: Polity Press,
2000), 73–75.
[23]            
Martha Nussbaum, For Love of Country? (Boston: Beacon Press,
1996), 6–9.
[24]            
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 57–60.
[25]            
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic
(New York: Crossroad, 1991), 19–23.
[26]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 88–90.
7.          
Kritik
terhadap Etika Politik
7.1.      
Kritik Machiavellian:
Politik Tanpa Moral
Salah satu kritik paling
tajam terhadap etika politik datang dari tradisi realisme politik
yang diasosiasikan dengan pemikiran Niccolò Machiavelli. Dalam Il Principe,
Machiavelli menolak gagasan bahwa politik harus tunduk pada norma moral
tradisional.¹ Bagi Machiavelli, tujuan utama politik adalah menjaga stabilitas
kekuasaan dan kelangsungan negara; karena itu, tindakan penguasa harus dinilai
dari efektivitasnya, bukan dari moralitasnya.²
Kritik ini menantang pandangan
idealis yang melihat politik sebagai perpanjangan dari etika. Dengan mengajukan
tesis “the end justifies the means,” Machiavelli menegaskan bahwa
tindakan yang tampak tidak bermoral, seperti penipuan atau kekerasan, dapat
dibenarkan jika menghasilkan keamanan dan ketertiban negara.³ Dalam kerangka
ini, moralitas dianggap subordinat terhadap kebutuhan politik.
Pandangan ini telah
memunculkan debat panjang dalam sejarah filsafat politik. Max Weber menilai
bahwa Machiavelli sebenarnya tidak menghapus moralitas, melainkan
memperkenalkan etika tanggung jawab yang realistis—bahwa politisi
harus berhadapan dengan konsekuensi moral yang berbeda dari individu biasa.⁴
Namun, bagi para pemikir etis seperti Jacques Maritain, politik yang terlepas
dari moralitas akan berujung pada dehumanisasi kekuasaan dan kehilangan
legitimasi spiritual.⁵
7.2.      
Kritik Nietzschean:
Moralitas sebagai Topeng Kekuasaan
Friedrich Nietzsche
melancarkan kritik radikal terhadap moralitas secara umum, termasuk terhadap
etika politik tradisional. Dalam Zur Genealogie der Moral, Nietzsche
menolak konsep moralitas universal yang diklaim oleh etika rasional maupun
agama.⁶ Menurutnya, moralitas tidak lahir dari rasio atau wahyu, melainkan dari
kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).⁷
Dalam konteks politik,
Nietzsche menilai bahwa moralitas yang menekankan kesetaraan dan belas kasih
sebenarnya merupakan bentuk moralitas budak (slave morality)—yakni
sistem nilai yang diciptakan oleh yang lemah untuk menundukkan kekuatan kreatif
dan vital dari manusia unggul (Übermensch).⁸ Dengan demikian, etika
politik yang menuntut moralitas universal dianggap sebagai alat ideologis yang
mengekang potensi manusia untuk mencipta nilai-nilai baru.⁹
Kritik Nietzsche mengandung
nilai pembebasan terhadap dogmatisme moral dalam politik, tetapi juga
mengandung risiko relativisme dan nihilisme.¹⁰ Jika semua moralitas dianggap
sebagai konstruksi kekuasaan, maka tidak ada dasar objektif untuk menilai
keadilan atau tirani.¹¹ Oleh karena itu, tantangan dari Nietzsche bagi etika
politik adalah bagaimana membangun moralitas politik yang otonom tanpa terjebak
pada moral palsu yang menindas kreativitas manusia.¹²
7.3.      
Kritik Marxis: Etika
sebagai Ideologi Kelas
Karl Marx dan Friedrich
Engels mengkritik etika politik dari perspektif materialisme historis. Bagi
mereka, moralitas bukanlah sistem nilai universal, melainkan produk dari
kondisi material dan relasi produksi.¹³ Dalam The German Ideology,
Marx menegaskan bahwa nilai-nilai moral dan politik suatu masyarakat selalu
merefleksikan kepentingan kelas yang berkuasa.¹⁴
Etika politik liberal yang
berbicara tentang kebebasan, keadilan, dan hak individu dianggap sebagai bentuk
“ideologi borjuis” yang menutupi ketimpangan struktural kapitalisme.¹⁵ Dalam
pandangan ini, moralitas digunakan sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan
status quo ekonomi dan politik.¹⁶
Kritik Marxis membuka
kesadaran baru bahwa etika politik tidak bisa dilepaskan dari struktur
sosial-ekonomi yang melahirkannya.¹⁷ Namun, reduksi total terhadap moralitas
sebagai produk ideologis juga menuai kritik balik dari para pemikir neo-Marxis
seperti Jürgen Habermas, yang menegaskan bahwa masih mungkin ada rasionalitas
moral yang bebas dari determinasi ekonomi, yaitu melalui komunikasi dan
diskursus etis yang otonom.¹⁸
7.4.      
Kritik Postmodern:
Relativitas, Fragmentasi, dan Dekonstruksi Moral Politik
Pemikiran postmodern membawa
kritik baru terhadap etika politik modern yang dianggap terlalu mengandalkan
rasionalitas dan universalitas. Jean-François Lyotard dalam The Postmodern
Condition menyebut bahwa “metanarasi” seperti keadilan universal
atau kemajuan moral tidak lagi dapat dipercaya di era pluralitas wacana.¹⁹
Dalam konteks ini, etika politik tradisional yang berupaya mencari prinsip
moral tunggal dianggap gagal memahami kompleksitas realitas sosial
kontemporer.²⁰
Michel Foucault menambahkan
dimensi genealogis terhadap kritik ini dengan menegaskan bahwa moralitas dan
pengetahuan selalu terkait dengan kekuasaan.²¹ Ia menunjukkan bahwa setiap
rezim politik membentuk regime of truth—sistem pengetahuan yang
menentukan apa yang dianggap benar dan salah.²² Dengan demikian, etika politik
bukanlah refleksi objektif tentang kebaikan, melainkan konstruksi historis yang
selalu bisa dipersoalkan.²³
Sementara Jacques Derrida,
melalui konsep deconstruction, menegaskan perlunya sikap etis yang
terbuka terhadap yang lain (the Other) tanpa mengklaim kebenaran
universal.²⁴ Etika politik postmodern menolak absolutisme moral, tetapi tetap
mempertahankan kepekaan terhadap penderitaan dan ketidakadilan melalui tanggung
jawab yang tak terhingga terhadap yang lain.²⁵
Meskipun memberikan kritik
yang tajam terhadap rasionalitas modern, etika postmodern menghadapi dilema:
tanpa fondasi normatif yang kokoh, bagaimana mungkin menegakkan keadilan sosial
atau melawan penindasan?²⁶ Oleh karena itu, tugas etika politik kontemporer
adalah menemukan keseimbangan antara keterbukaan postmodern dan kebutuhan akan
prinsip moral universal yang dapat mengatur kehidupan bersama.²⁷
7.5.      
Refleksi atas
Kritik-Kritik terhadap Etika Politik
Kritik-kritik terhadap etika
politik, baik dari realisme, nihilisme, materialisme, maupun postmodernisme,
mengandung dimensi konstruktif dan dekonstruktif sekaligus. Kritik tersebut
mengingatkan bahwa etika politik tidak boleh naif terhadap realitas kekuasaan,
ekonomi, dan wacana yang membentuknya. Namun, jika etika politik sepenuhnya
ditinggalkan, politik akan kehilangan arah moralnya dan terperosok dalam anomi
nilai.²⁸
Oleh karena itu, etika
politik harus dikembangkan sebagai medan refleksi yang terbuka—menyadari
keterbatasan moral universal sekaligus tetap memelihara cita-cita kemanusiaan
yang rasional, adil, dan komunikatif.²⁹ Kritik terhadap etika politik bukanlah
akhir dari moralitas, melainkan peluang untuk memperdalam pemahaman kita tentang
politik sebagai ruang perjuangan moral yang dinamis dan selalu dapat
dikoreksi.³⁰
Footnotes
[1]               
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield
(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 58–60.
[2]               
Ibid., 66–68.
[3]               
Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought,
Vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 130–132.
[4]               
Max Weber, Politics as a Vocation, trans. H. H. Gerth and C.
Wright Mills (Philadelphia: Fortress Press, 1946), 120–122.
[5]               
Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of
Chicago Press, 1951), 15–18.
[6]               
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), 23–25.
[7]               
Ibid., 45–48.
[8]               
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), 196–199.
[9]               
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 83–85.
[10]            
Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 201–204.
[11]            
Bernard Williams, Ethics and the Limits of Philosophy
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 189–191.
[12]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 114–118.
[13]            
Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology (New York:
International Publishers, 1970), 47–50.
[14]            
Ibid., 65–67.
[15]            
Karl Marx, Critique of the Gotha Program (New York:
International Publishers, 1970), 17–20.
[16]            
Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses
(London: Verso, 2014), 71–74.
[17]            
Terry Eagleton, Ideology: An Introduction (London: Verso,
1991), 33–35.
[18]            
Jürgen Habermas, Communication and the Evolution of Society,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1979), 149–152.
[19]            
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[20]            
Ibid., 56–58.
[21]            
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 26–30.
[22]            
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
119–121.
[23]            
Ibid., 132–135.
[24]            
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 355–357.
[25]            
Jacques Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills
(Chicago: University of Chicago Press, 1995), 50–52.
[26]            
Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993),
10–12.
[27]            
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 63–65.
[28]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 231–234.
[29]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 88–90.
[30]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 335–337.
8.          
Relevansi
Etika Politik dalam Konteks Kontemporer
8.1.      
Krisis Moral dan
Politik Kekuasaan di Dunia Modern
Dunia politik kontemporer
menghadapi krisis moral yang semakin kompleks. Di satu sisi, demokrasi telah
menjadi sistem pemerintahan yang paling diakui secara global, tetapi di sisi
lain, praktiknya sering kali terjebak dalam pragmatisme kekuasaan, korupsi, dan
manipulasi opini publik.¹ Politik yang seharusnya menjadi sarana untuk
menegakkan keadilan dan kesejahteraan bersama justru sering bertransformasi
menjadi arena kompetisi egoistik dan dominasi kelompok.²
Hannah Arendt dalam The
Human Condition menegaskan bahwa kehilangan dimensi moral dalam politik
menyebabkan alienasi manusia dari ruang publik.³ Kekuasaan tanpa etika
melahirkan kekerasan, sementara kebebasan tanpa tanggung jawab mengarah pada
anarki moral. Dalam konteks ini, etika politik menjadi penting sebagai koreksi
terhadap reduksi politik menjadi sekadar strategi kekuasaan.⁴
Dalam masyarakat modern yang
diwarnai oleh individualisme dan ekonomi neoliberal, politik sering dipisahkan
dari kebajikan moral.⁵ Padahal, sebagaimana ditekankan oleh Alasdair MacIntyre,
tatanan politik yang berkelanjutan membutuhkan virtue ethics—yakni
pembentukan karakter warga negara yang mampu menempatkan kebaikan bersama di
atas kepentingan pribadi.⁶
8.2.      
Etika Politik dalam
Era Digital dan Media Sosial
Perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi telah mengubah secara radikal cara politik dijalankan.
Era digital menghadirkan peluang sekaligus tantangan moral baru. Media sosial
memungkinkan partisipasi publik yang lebih luas, tetapi juga membuka ruang bagi
disinformasi, ujaran kebencian, dan politik identitas yang memecah belah.⁷
Manuel Castells menegaskan
bahwa “politik jaringan” (networked politics) menciptakan bentuk
kekuasaan baru yang tersebar dan tidak mudah dipertanggungjawabkan secara
moral.⁸ Dalam konteks ini, etika politik digital menuntut kejujuran, tanggung
jawab informasi, dan penghormatan terhadap integritas pribadi serta kebenaran
publik.⁹
Jürgen Habermas
memperingatkan bahwa rasionalitas komunikatif kini terancam oleh logika
algoritmik dan komersialisasi ruang publik digital.¹⁰ Diskursus politik yang
seharusnya berlandaskan argumen rasional sering kali tergantikan oleh emosi dan
manipulasi algoritma.¹¹ Oleh karena itu, revitalisasi etika politik di era
digital memerlukan pendidikan moral publik yang menumbuhkan literasi
etis—kemampuan membedakan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab
sosial dalam komunikasi.¹²
8.3.      
Politik Identitas,
Populisme, dan Tantangan Pluralitas
Fenomena populisme dan
politik identitas menandai pergeseran besar dalam lanskap politik global. Di
satu sisi, populisme berangkat dari tuntutan moral rakyat terhadap elit yang
korup dan sistem yang tidak adil. Namun di sisi lain, populisme sering
menyederhanakan kompleksitas sosial menjadi dikotomi moral palsu: “rakyat
yang murni” versus “elit yang jahat.”¹³
Etika politik menuntut agar
perjuangan moral rakyat tidak terjebak dalam eksklusivisme dan intoleransi.¹⁴
Dalam masyarakat pluralistik, etika politik harus mengedepankan dialog
antaridentitas, bukan antagonisme moral. Charles Taylor menegaskan bahwa
pengakuan terhadap martabat dan identitas yang berbeda adalah inti dari
keadilan dalam masyarakat multikultural.¹⁵
Namun, politik identitas yang
tidak dibingkai secara etis dapat berubah menjadi moralitas kelompok yang
menindas. Oleh karena itu, etika politik harus berfungsi sebagai prinsip
moderasi, menjaga agar perjuangan politik tetap berada dalam koridor
rasionalitas, kesetaraan, dan penghormatan terhadap “yang lain.”¹⁶
8.4.      
Etika Politik dan
Keadilan Global: Lingkungan, Kemanusiaan, dan Perdamaian
Dalam konteks global, etika
politik menghadapi tantangan baru berupa krisis lingkungan, migrasi, dan
ketimpangan ekonomi antarnegara.¹⁷ Politik global yang didominasi oleh
kepentingan ekonomi dan kekuasaan negara-negara besar kerap mengabaikan
tanggung jawab moral terhadap planet dan umat manusia.
Hans Jonas dalam The
Imperative of Responsibility menyerukan etika politik ekologis yang
berlandaskan pada tanggung jawab terhadap masa depan kehidupan di bumi.¹⁸
Menurutnya, kekuasaan teknologi modern menuntut tanggung jawab moral yang lebih
luas: bukan hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap keberlanjutan
alam.¹⁹
Selain itu, Amartya Sen dan
Martha Nussbaum melalui teori capabilities approach menekankan bahwa
keadilan global tidak hanya berkaitan dengan distribusi sumber daya, tetapi
juga dengan kemampuan manusia untuk hidup bermartabat.²⁰ Dalam kerangka ini,
etika politik menjadi dasar moral bagi kebijakan global yang menentang kemiskinan,
ketimpangan, dan perang.²¹
Etika politik kontemporer
juga harus menjawab persoalan kemanusiaan dalam konteks konflik, terorisme, dan
migrasi global.²² Etika solidaritas lintas batas sebagaimana dikembangkan oleh
Martha Nussbaum dan Kwame Appiah memperluas horizon moral politik dari
nasionalisme menuju cosmopolitan responsibility.²³
8.5.      
Menuju Politik Etis di
Abad ke-21
Relevansi etika politik dalam
dunia kontemporer terletak pada kemampuannya membangun kembali dasar moral bagi
kehidupan bersama.²⁴ Dalam masyarakat yang semakin kompleks, etika politik
berfungsi sebagai pedoman reflektif untuk menyeimbangkan antara kepentingan dan
nilai, antara kekuasaan dan kebenaran.²⁵
Jacques Derrida menyebut
perlunya “politik yang terbuka terhadap yang lain” (politics of
hospitality)—suatu etika politik yang tidak berhenti pada hukum dan
institusi, tetapi terus bergerak melalui tanggung jawab tanpa batas terhadap
kemanusiaan.²⁶ Sementara itu, Habermas menekankan pentingnya ethics of
discourse untuk memastikan bahwa legitimasi politik tetap bersandar pada
komunikasi moral yang rasional.²⁷
Dengan demikian, etika
politik bukan sekadar refleksi normatif, melainkan praksis transformasional
yang menuntun manusia untuk mengembalikan kemanusiaan ke dalam ruang publik.²⁸
Ia bukan moralitas yang statis, melainkan etika yang hidup dan adaptif—etika
yang mampu menanggapi tantangan zaman tanpa kehilangan arah pada tujuan
utamanya: keadilan, kebaikan, dan tanggung jawab bersama.²⁹
Footnotes
[1]               
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press,
2000), 56–59.
[2]               
Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 15–17.
[3]               
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 175–182.
[4]               
Ibid., 198–200.
[5]               
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 231–233.
[6]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 233–236.
[7]               
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 79–81.
[8]               
Manuel Castells, Networks of Outrage and Hope: Social Movements in
the Internet Age (Cambridge: Polity Press, 2012), 3–6.
[9]               
Ibid., 42–44.
[10]            
Jürgen Habermas, “Digital Democracy: The Limits of Rational
Communication in the Age of Algorithms,” Philosophy & Social Criticism
45, no. 8 (2019): 1004–1007.
[11]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 184–187.
[12]            
Pierre Lévy, Collective Intelligence: Mankind’s Emerging World in
Cyberspace (Cambridge, MA: Perseus Books, 1997), 12–15.
[13]            
Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University
of Pennsylvania Press, 2016), 19–22.
[14]            
Nadia Urbinati, Democracy Disfigured: Opinion, Truth, and the
People (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 67–69.
[15]            
Charles Taylor, The Politics of Recognition, in Multiculturalism
and “The Politics of Recognition”, ed. Amy Gutmann (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 1994), 25–26.
[16]            
Iris Marion Young, Inclusion and Democracy (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 38–41.
[17]            
David Held, Global Covenant: The Social Democratic Alternative to
the Washington Consensus (Cambridge: Polity Press, 2004), 82–84.
[18]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 6–9.
[19]            
Ibid., 11–13.
[20]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 35–37.
[21]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 20–23.
[22]            
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W. W. Norton, 2006), 57–60.
[23]            
Martha C. Nussbaum, For Love of Country? (Boston: Beacon Press,
1996), 9–11.
[24]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 445–448.
[25]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 88–90.
[26]            
Jacques Derrida, Politics of Friendship, trans. George Collins
(London: Verso, 1997), 65–68.
[27]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press,
1990), 87–89.
[28]            
Charles Taylor, Modern Social Imaginaries (Durham, NC: Duke
University Press, 2004), 189–192.
[29]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 335–337.
9.          
Sintesis
Filosofis
9.1.      
Integrasi antara
Moralitas, Rasionalitas, dan Praksis Politik
Sintesis filosofis dari
seluruh kajian etika politik mengarah pada upaya integratif untuk memahami
politik bukan sekadar sebagai realitas kekuasaan, melainkan sebagai ruang
moral dan rasional bagi tindakan manusia bersama. Etika politik, dalam
pengertian ini, merupakan titik temu antara tiga dimensi fundamental: moralitas,
rasionalitas, dan praksis sosial.¹
Moralitas memberi arah
normatif bagi tindakan politik; ia menegaskan bahwa kekuasaan harus tunduk pada
nilai-nilai kebaikan dan keadilan.² Rasionalitas memberikan dasar epistemologis
bagi perumusan kebijakan dan legitimasi publik melalui argumentasi yang dapat
dipertanggungjawabkan.³ Sedangkan praksis politik memastikan bahwa nilai dan
rasionalitas tidak berhenti pada tataran teori, tetapi diwujudkan dalam
kebijakan dan tindakan nyata demi kebaikan bersama (bonum commune).⁴
Jürgen Habermas merumuskan
sintesis ini dalam kerangka rational-practical discourse, di mana
moralitas dan politik tidak dipertentangkan, melainkan saling mengoreksi dalam
ruang komunikasi publik.⁵ Politik yang rasional tanpa moral berujung pada
teknokrasi; moralitas tanpa praksis rasional terjebak dalam idealisme kosong.
Sintesis etika politik menuntut keseimbangan antara keduanya, sebagaimana
Aristoteles menegaskan bahwa kebajikan politik harus diwujudkan dalam tindakan
deliberatif demi eudaimonia kolektif.⁶
9.2.      
Etika Politik sebagai
Filsafat Praksis untuk Keadilan dan Kemanusiaan
Etika politik, dalam
bentuknya yang paling mendalam, merupakan filsafat praksis—yakni
refleksi moral yang mengarahkan tindakan politik menuju transformasi sosial dan
kemanusiaan.⁷ Dalam tradisi filsafat Barat, gagasan ini berakar pada
Aristoteles, disempurnakan oleh Thomas Aquinas, dan diperbarui oleh pemikir
modern seperti Kant dan Rawls.
Thomas Aquinas menegaskan
bahwa politik merupakan virtus architectonica—kebajikan tertinggi yang
mengatur kebajikan lain untuk mencapai kebaikan bersama.⁸ Sementara Kant
menegaskan bahwa setiap tindakan politik harus tunduk pada prinsip moral
universal, karena manusia tidak boleh dijadikan alat bagi tujuan politik apa
pun.⁹
John Rawls kemudian
menempatkan etika politik dalam konteks modern sebagai filsafat keadilan
distributif.¹⁰ Ia menunjukkan bahwa keadilan bukan sekadar nilai moral, tetapi
struktur normatif bagi sistem sosial dan politik yang memungkinkan kebebasan
dan kesetaraan berjalan seiring.¹¹
Dengan demikian, etika
politik tidak hanya berbicara tentang “apa yang baik”, tetapi juga “bagaimana
mewujudkannya”.¹² Politik yang etis menuntut tanggung jawab aktif untuk
menciptakan kondisi sosial yang memungkinkan manusia berkembang secara moral,
intelektual, dan spiritual.¹³
9.3.      
Sintesis Tradisi
Klasik, Modern, dan Kontemporer
Sintesis filosofis juga
mencakup rekonsiliasi historis antara tiga horizon pemikiran: tradisi
klasik, rasionalisme modern, dan kritik
kontemporer.¹⁴
Dari tradisi klasik (Plato
dan Aristoteles), etika politik mewarisi pandangan bahwa politik adalah seni
mencapai kebaikan tertinggi dalam kehidupan bersama.¹⁵ Dari modernitas (Kant,
Rousseau, dan Hegel), etika politik memperoleh prinsip rasionalitas moral,
kebebasan individu, dan legitimasi institusional.¹⁶ Sedangkan dari filsafat
kontemporer (Habermas, Arendt, Ricoeur, dan Levinas), etika politik mengadopsi
kesadaran intersubjektif dan tanggung jawab terhadap “yang lain” dalam
ruang publik.¹⁷
Sintesis ketiganya
menunjukkan bahwa politik yang sejati harus:
1)                 
Berakar pada kebajikan
(virtue) — warisan tradisi klasik.
2)                 
Berlandaskan rasionalitas
moral (reason) — sumbangan modernitas.
3)                 
Berorientasi pada dialog
dan kemanusiaan (responsibility) — visi kontemporer.¹⁸
Gabungan ketiganya
menghasilkan paradigma politik baru yang humanistik: kekuasaan sebagai
pelayanan, rasionalitas sebagai komunikasi, dan moralitas sebagai orientasi.¹⁹
Dengan demikian, etika politik menjadi fondasi bagi tatanan sosial yang tidak
hanya adil secara struktural, tetapi juga bermartabat secara moral.
9.4.      
Menuju Humanisasi
Politik: Etika sebagai Roh Peradaban Publik
Sintesis etika politik
berpuncak pada gagasan humanisasi politik—yakni pemulihan
politik sebagai ekspresi tertinggi kemanusiaan.²⁰ Dalam dunia yang cenderung
mendewakan efisiensi, kekuasaan, dan ekonomi, etika hadir sebagai roh yang
menegakkan martabat manusia di atas semua bentuk instrumentalitas.²¹
Hannah Arendt menegaskan
bahwa politik sejati adalah tindakan kolektif yang memungkinkan manusia tampil
(appearance) dalam ruang publik untuk mengungkapkan kebebasan dan
keberadaannya.²² Dengan demikian, politik etis bukan sekadar urusan institusi,
tetapi juga ruang eksistensial di mana manusia menjadi dirinya melalui
kebersamaan.²³
Paul Ricoeur memperdalam
pandangan ini dengan menegaskan bahwa tindakan politik harus selalu ditafsirkan
dalam horizon keadilan dan kasih sayang.²⁴ Etika tanpa belas kasih akan menjadi
legalisme kaku, sementara politik tanpa keadilan menjadi tirani tersembunyi.
Oleh karena itu, etika
politik harus menjadi jembatan antara cita-cita moral dan realitas politik,
antara keadilan dan kekuasaan, antara tanggung jawab dan kebebasan.²⁵ Politik
yang demikian bukan sekadar alat pengaturan sosial, tetapi wahana spiritual di
mana manusia memperjuangkan kebaikan bersama sebagai wujud tertinggi dari
kemanusiaannya.²⁶
Konklusi
Sintetis
Sintesis filosofis etika
politik menegaskan bahwa moralitas dan politik bukanlah dua ranah yang saling
meniadakan, melainkan dua dimensi dari satu praksis manusia yang sama—yakni
perjuangan rasional menuju kehidupan bersama yang adil dan bermartabat.²⁷ Etika
memberikan arah normatif, sementara politik menyediakan sarana praktis untuk
mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam sejarah.²⁸
Dalam arti ini, etika politik
bukanlah moralitas yang menggurui politik, tetapi refleksi kritis yang
terus-menerus menuntun politik agar tetap berakar pada kemanusiaan.²⁹ Seperti
dikatakan oleh Maritain, politik sejati bukan sekadar seni memerintah, tetapi seni
mengasihi masyarakat secara adil.³⁰
Footnotes
[1]               
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 335–337.
[2]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 212–216.
[3]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 32–35.
[4]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a–1100a.
[5]               
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press,
1990), 88–90.
[6]               
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), 1253a–1255a.
[7]               
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy, trans.
Adey and Frisby (London: Routledge, 1980), 274–276.
[8]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 90–95.
[9]               
Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted
Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 120–123.
[10]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 3–6.
[11]            
Ibid., 11–17.
[12]            
Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of
Chicago Press, 1951), 15–17.
[13]            
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 200–205.
[14]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 231–234.
[15]            
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1992), 347c–352d.
[16]            
G. W. F. Hegel, Elements of the Philosophy of Right, trans. H.
B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 255–260.
[17]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–202.
[18]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 445–448.
[19]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 58–61.
[20]            
Jacques Maritain, Integral Humanism: Temporal and Spiritual
Problems of a New Christendom (Notre Dame, IN: University of Notre Dame
Press, 1973), 72–74.
[21]            
Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford: Blackwell, 1993),
16–18.
[22]            
Hannah Arendt, The Human Condition, 198–200.
[23]            
Ibid., 212–215.
[24]            
Ricoeur, Oneself as Another, 338–340.
[25]            
Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 112–115.
[26]            
Charles Taylor, Modern Social Imaginaries (Durham, NC: Duke
University Press, 2004), 189–192.
[27]            
Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 91–93.
[28]            
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, trans. John
B. Thompson (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 193–196.
[29]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–289.
[30]            
Jacques Maritain, Man and the State, 26–28.
10.       Kesimpulan
Etika politik, sebagai cabang
reflektif dari filsafat moral dan sosial, berupaya menjembatani dua ranah yang
sering dipertentangkan: moralitas dan kekuasaan.¹
Dalam perjalanan sejarah pemikiran, politik sering dipahami sebagai seni
mengatur atau mempertahankan kekuasaan, sementara etika menuntut penilaian atas
baik dan buruknya tindakan manusia.² Namun, pembahasan sebelumnya menunjukkan
bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan secara ontologis maupun praksis. Politik
tanpa etika kehilangan arah moralnya, sedangkan etika tanpa politik kehilangan
daya transformasinya dalam dunia sosial.³
10.1.   
Politik sebagai
Praksis Moral
Etika politik menegaskan
bahwa politik yang sejati adalah politik yang berorientasi pada bonum
commune—kebaikan bersama.⁴ Dalam pengertian ini, tindakan politik yang sah
harus berakar pada prinsip moral yang menjamin martabat, keadilan, dan
kebebasan manusia. Thomas Aquinas menempatkan politik sebagai bentuk tertinggi
dari kebajikan sosial, karena ia mengatur kehidupan bersama dalam rangka
mencapai kebaikan universal.⁵ Dengan demikian, politik bukan sekadar teknik
atau strategi kekuasaan, melainkan tindakan moral yang memerlukan kebijaksanaan
(phronesis) dan tanggung jawab etis.⁶
John Rawls menegaskan bahwa
struktur politik yang adil adalah prasyarat bagi kebebasan yang bermakna.⁷
Keadilan, dalam arti ini, tidak hanya merupakan nilai moral abstrak, tetapi
prinsip institusional yang mewujud dalam tata hukum, kebijakan publik, dan
partisipasi warga negara.⁸ Maka, etika politik memiliki fungsi ganda: sebagai
refleksi kritis terhadap legitimasi kekuasaan, dan sebagai panduan normatif
bagi praksis pemerintahan yang manusiawi.
10.2.   
Dialektika antara
Moralitas dan Rasionalitas Politik
Kesimpulan dari keseluruhan
kajian ini memperlihatkan bahwa politik yang beretika harus menyeimbangkan
antara rasionalitas instrumental dan rasionalitas
moral.⁹ Politik modern sering kali dikuasai oleh logika efisiensi,
pragmatisme, dan utilitarianisme, yang menilai tindakan berdasarkan hasil
semata.¹⁰ Namun, etika politik mengingatkan bahwa hasil tidak dapat dilepaskan
dari cara. Dalam bahasa Kantian, tindakan politik hanya sah bila dapat
dijadikan hukum universal tanpa kontradiksi terhadap martabat manusia.¹¹
Habermas menyempurnakan
gagasan ini melalui teori tindakan komunikatif, bahwa legitimasi politik sejati
lahir dari proses diskursus rasional yang terbuka, di mana warga negara
berpartisipasi sebagai subjek moral yang setara.¹² Dengan demikian, etika
politik menolak absolutisme kekuasaan dan menggantikannya dengan legitimasi
yang bersumber dari komunikasi moral dan konsensus rasional.¹³
10.3.   
Tantangan Etika Politik
di Era Kontemporer
Di era globalisasi dan
digitalisasi, relevansi etika politik semakin mendesak. Politik kontemporer
diwarnai oleh krisis kepercayaan, manipulasi media, populisme, dan erosi
nilai-nilai publik.¹⁴ Dalam situasi ini, etika politik berperan sebagai pedoman
moral yang mengembalikan orientasi politik kepada prinsip keadilan, tanggung
jawab, dan solidaritas.¹⁵
Selain itu, politik global
menuntut perluasan horizon etika dari level nasional menuju tanggung jawab
kosmopolitan.¹⁶ Martha Nussbaum dan Amartya Sen menekankan pentingnya etika
global yang menempatkan manusia—bukan negara—sebagai subjek utama keadilan.¹⁷
Etika politik masa kini harus mampu menjawab isu-isu lintas batas seperti
krisis iklim, ketimpangan ekonomi, dan migrasi dengan perspektif moral yang
universal dan partisipatif.¹⁸
10.4.   
Politik sebagai Ruang
Humanisasi
Kesimpulan terakhir
menegaskan bahwa politik yang bermoral adalah politik yang mengembalikan
kemanusiaan ke dalam kekuasaan.¹⁹ Hannah Arendt melihat politik
sebagai ruang tindakan bersama di mana manusia menegaskan eksistensinya melalui
kebebasan dan dialog.²⁰ Politik kehilangan maknanya bila terlepas dari tindakan
yang memuliakan kehidupan dan menghargai martabat orang lain.²¹
Etika politik, dengan
demikian, bukanlah moralitas yang membatasi kebebasan politik, tetapi
kebijaksanaan moral yang menuntun kebebasan agar tetap berakar pada kebaikan
bersama.²² Seperti ditegaskan oleh Paul Ricoeur, tanggung jawab etis dalam
politik bukan hanya soal apa yang benar dilakukan, tetapi juga bagaimana
bertindak secara adil dalam dunia yang kompleks dan plural.²³
Maka, etika politik
merupakan filsafat praksis tentang kemanusiaan, yang menggabungkan
refleksi rasional, kepekaan moral, dan tanggung jawab sosial.²⁴ Ia bukan teori
yang statis, tetapi proses berkelanjutan untuk memurnikan politik dari
dehumanisasi, menghidupkan kembali solidaritas, dan menegakkan keadilan dalam
sejarah manusia.²⁵
Footnotes
[1]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 233–236.
[2]               
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield
(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 58–60.
[3]               
Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of
Chicago Press, 1951), 15–17.
[4]               
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), 1252b–1255a.
[5]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 90–95.
[6]               
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 34–36.
[7]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 3–6.
[8]               
Ibid., 11–17.
[9]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–289.
[10]            
Max Weber, Politics as a Vocation, trans. H. H. Gerth and C.
Wright Mills (Philadelphia: Fortress Press, 1946), 120–122.
[11]            
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 32–35.
[12]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 88–90.
[13]            
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and
Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992),
35–38.
[14]            
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press,
2000), 56–58.
[15]            
Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 18–20.
[16]            
David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State
to Cosmopolitan Governance (Stanford, CA: Stanford University Press,
1995), 111–115.
[17]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 20–23.
[18]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 35–37.
[19]            
Charles Taylor, Modern Social Imaginaries (Durham, NC: Duke
University Press, 2004), 189–192.
[20]            
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 200–205.
[21]            
Ibid., 212–215.
[22]            
Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted
Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 120–123.
[23]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 335–337.
[24]            
Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 112–115.
[25]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 447–448.
Daftar Pustaka 
Althusser, L. (2014). Ideology and ideological
state apparatuses. London: Verso.
Apel, K.-O. (1980). Towards a transformation of
philosophy (Adey & Frisby, Trans.). London: Routledge.
Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in
a world of strangers. New York: W. W. Norton.
Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae
(English Dominican Province, Trans.). New York: Benziger Bros.
Arendt, H. (1958). The human condition.
Chicago: University of Chicago Press.
Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve,
Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Bauman, Z. (1993). Postmodern ethics.
Oxford: Blackwell.
Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Cambridge,
UK: Polity Press.
Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender,
community, and postmodernism in contemporary ethics. Cambridge, UK: Polity
Press.
Benhabib, S. (2002). The claims of culture:
Equality and diversity in the global era. Princeton, NJ: Princeton
University Press.
Berlin, I. (1969). Two concepts of liberty.
In Four essays on liberty (pp. 118–172). Oxford: Oxford University
Press.
Castells, M. (2012). Networks of outrage and
hope: Social movements in the Internet age. Cambridge, UK: Polity Press.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Derrida, J. (1995). The gift of death (D.
Wills, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Derrida, J. (1997). Politics of friendship
(G. Collins, Trans.). London: Verso.
Deleuze, G. (1983). Nietzsche and philosophy
(H. Tomlinson, Trans.). New York: Columbia University Press.
Eagleton, T. (1991). Ideology: An introduction.
London: Verso.
Etzioni, A. (1993). The spirit of community: Rights,
responsibilities, and the communitarian agenda. New York: Crown.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford: Oxford University Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York:
Pantheon Books.
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). New York: Vintage Books.
Fuller, L. L. (1964). The morality of law.
New Haven, CT: Yale University Press.
Gadamer, H.-G. (2013). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). London: Bloomsbury Academic.
Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of
St. Thomas Aquinas. New York: Random House.
Habermas, J. (1979). Communication and the
evolution of society (T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action: Vol. 1. Reason and the rationalization of society (T. McCarthy,
Trans.). Boston: Beacon Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and
communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.).
Cambridge, MA: MIT Press.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms:
Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.).
Cambridge, MA: MIT Press.
Habermas, J. (2019). Digital democracy: The limits
of rational communication in the age of algorithms. Philosophy & Social
Criticism, 45(8), 1004–1010.
Harman, G. (1975). Moral relativism defended. Philosophical
Review, 84(1), 3–22.
Held, D. (1995). Democracy and the global order:
From the modern state to cosmopolitan governance. Stanford, CA: Stanford
University Press.
Held, D. (2004). Global covenant: The social
democratic alternative to the Washington Consensus. Cambridge, UK: Polity
Press.
Hegel, G. W. F. (1991). Elements of the
philosophy of right (H. B. Nisbet, Trans.). Cambridge: Cambridge University
Press.
Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.).
Cambridge: Cambridge University Press.
Horkheimer, M. (1982). Critical theory: Selected
essays. New York: Continuum.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age. Chicago:
University of Chicago Press.
Kant, I. (1983). Perpetual peace and other
essays (T. Humphrey, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Kelsen, H. (1967). Pure theory of law (M.
Knight, Trans.). Berkeley: University of California Press.
Küng, H. (1991). Global responsibility: In search
of a new world ethic. New York: Crossroad.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh, PA: Duquesne
University Press.
Levinas, E. (1998). Otherwise than being or
beyond essence (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh, PA: Duquesne University
Press.
Lévy, P. (1997). Collective intelligence:
Mankind’s emerging world in cyberspace. Cambridge, MA: Perseus Books.
Locke, J. (1988). Two treatises of government
(P. Laslett, Ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.).
Minneapolis: University of Minnesota Press.
MacIntyre, A. (1988). Whose justice? Which
rationality? Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in
moral theory (3rd ed.). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Maritain, J. (1951). Man and the state.
Chicago: University of Chicago Press.
Maritain, J. (1973). Integral humanism: Temporal
and spiritual problems of a new Christendom. Notre Dame, IN: University of
Notre Dame Press.
Marx, K. (1970). Critique of the Gotha program.
New York: International Publishers.
Marx, K., & Engels, F. (1970). The German
ideology. New York: International Publishers.
Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. London:
Parker, Son, and Bourn.
Machiavelli, N. (1998). The prince (H. C.
Mansfield, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Müller, J.-W. (2016). What is populism?
Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Nussbaum, M. C. (1996). For love of country?
Boston: Beacon Press.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice:
Disability, nationality, species membership. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Panikkar, R. (1995). Cultural disarmament: The
way to peace. Louisville, KY: Westminster John Knox Press.
Pitkin, H. (1984). Fortune is a woman: Gender
and politics in the thought of Niccolò Machiavelli. Chicago: University of
Chicago Press.
Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube,
Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The
collapse and revival of American community. New York: Simon & Schuster.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Rawls, J. (1993). Political liberalism. New
York: Columbia University Press.
Rawls, J. (1999). The law of peoples.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the human
sciences (J. B. Thompson, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (2000). The just (D. Pellauer,
Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and
solidarity. Cambridge: Cambridge University Press.
Rousseau, J.-J. (1968). The social contract
(M. Cranston, Trans.). London: Penguin Classics.
Sandel, M. J. (1996). Democracy’s discontent:
America in search of a public philosophy. Cambridge, MA: Harvard University
Press.
Sandel, M. J. (2009). Justice: What’s the right
thing to do? New York: Farrar, Straus and Giroux.
Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and
non-formal ethics of values (M. Frings & R. Funk, Trans.). Evanston,
IL: Northwestern University Press.
Schacht, R. (1983). Nietzsche. London:
Routledge.
Sen, A. (1999). Development as freedom. New
York: Alfred A. Knopf.
Sen, A. (2009). The idea of justice.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Skinner, Q. (1978). The foundations of modern
political thought (Vol. 1). Cambridge: Cambridge University Press.
Stein, E. (2006). An investigation concerning
the state (M. Sawicki, Trans.). Washington, DC: ICS Publications.
Tocqueville, A. de. (2000). Democracy in America
(H. C. Mansfield & D. Winthrop, Trans.). Chicago: University of Chicago
Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Taylor, C. (1991). The ethics of authenticity.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Taylor, C. (1994). The politics of recognition.
In A. Gutmann (Ed.), Multiculturalism and “The Politics of Recognition”
(pp. 25–73). Princeton, NJ: Princeton University Press.
Taylor, C. (2004). Modern social imaginaries.
Durham, NC: Duke University Press.
Urbinati, N. (2014). Democracy disfigured:
Opinion, truth, and the people. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Weber, M. (1946). Politics as a vocation (H.
H. Gerth & C. W. Mills, Trans.). Philadelphia: Fortress Press.
Weber, M. (1978). Economy and society (G.
Roth & C. Wittich, Trans.). Berkeley: University of California Press.
Williams, B. (1985). Ethics and the limits of
philosophy. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Young, I. M. (2000). Inclusion and democracy.
Oxford: Oxford University Press.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. New
York: PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar