Sabtu, 11 Oktober 2025

Filsafat Kebudayaan: Konsep, Sejarah, dan Relevansi Kontemporer

Filsafat Kebudayaan

Konsep, Sejarah, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai filsafat kebudayaan sebagai cabang filsafat yang berupaya memahami hakikat, struktur, nilai, dan dinamika kebudayaan. Kajian dimulai dengan penelusuran konseptual tentang definisi kebudayaan dalam perspektif filosofis, dilanjutkan dengan telaah historis mengenai perkembangan filsafat kebudayaan di Barat maupun di luar Barat, serta kontribusi tokoh-tokoh utama seperti Wilhelm Dilthey, Oswald Spengler, Ernst Cassirer, José Ortega y Gasset, hingga Paul Ricoeur dan Clifford Geertz. Artikel ini juga menguraikan dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis kebudayaan sebagai basis refleksi filosofis yang mendalam. Selanjutnya, berbagai tema kunci, isu kritis, serta problem kontemporer seperti globalisasi, multikulturalisme, krisis nilai, poskolonialisme, hingga kebudayaan digital dianalisis secara filosofis. Artikel ini menegaskan bahwa filsafat kebudayaan relevan untuk menghadapi tantangan zaman modern melalui refleksi kritis, penguatan nilai, dialog antarbudaya, dan pembangunan manusiawi. Dengan demikian, filsafat kebudayaan berperan strategis dalam menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, serta dalam merumuskan arah peradaban yang lebih adil, damai, dan bermakna.

Kata kunci: filsafat kebudayaan, ontologi, epistemologi, aksiologi, globalisasi, identitas, simbol, multikulturalisme, modernitas, peradaban.


PEMBAHASAN

Konsep, Sejarah, dan Relevansi Filsafat Kebudayaan


1.           Pendahuluan

Filsafat kebudayaan merupakan salah satu cabang filsafat yang berupaya memahami hakikat, asal-usul, struktur, serta dinamika kebudayaan sebagai fenomena khas manusia. Dalam kerangka ini, kebudayaan tidak sekadar dipandang sebagai sekumpulan adat, tradisi, atau artefak, tetapi sebagai manifestasi dari eksistensi manusia dalam sejarah. Dengan demikian, filsafat kebudayaan berfungsi sebagai refleksi kritis atas makna dan nilai dari seluruh produk rohani dan material manusia, sekaligus membuka horizon pemahaman yang lebih luas mengenai peran kebudayaan dalam membentuk peradaban manusia.¹

Kelahiran filsafat kebudayaan dapat ditelusuri ke Eropa pada akhir abad ke-19, ketika para pemikir seperti Wilhelm Dilthey, Oswald Spengler, dan Ernst Cassirer berusaha merumuskan pemahaman filosofis tentang kebudayaan di tengah krisis modernitas.² Bagi Dilthey, kebudayaan dipahami melalui pengalaman historis manusia, sementara Spengler menekankan pada siklus naik-turunnya peradaban, dan Cassirer melihat kebudayaan sebagai ekspresi simbolis dari manusia sebagai animal symbolicum.³ Dengan beragam perspektif ini, filsafat kebudayaan berkembang menjadi medan kajian yang tidak hanya historis, melainkan juga kritis dan reflektif.

Dalam konteks kontemporer, kajian filsafat kebudayaan semakin relevan mengingat dinamika globalisasi, multikulturalisme, serta transformasi teknologi digital yang membawa perubahan signifikan dalam pola hidup manusia. Kebudayaan kini tidak lagi terbatas pada ruang geografis tertentu, melainkan hadir dalam bentuk interaksi global yang kompleks. Hal ini menimbulkan pertanyaan filosofis tentang identitas, nilai, serta arah perkembangan peradaban di masa depan.⁴ Dengan demikian, filsafat kebudayaan hadir bukan hanya sebagai upaya teoritis, melainkan juga sebagai praksis reflektif untuk memahami tantangan dan peluang zaman modern.

Artikel ini bertujuan menyajikan pembahasan komprehensif mengenai filsafat kebudayaan, mencakup aspek konseptual, historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, hingga isu-isu kontemporer. Melalui kerangka sistematis, diharapkan pembaca dapat memahami bagaimana filsafat kebudayaan berfungsi sebagai instrumen kritis dalam menafsirkan kehidupan manusia dan relevansinya bagi dunia modern.


Footnotes

[1]                Ferry Hidayat, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 5.

[2]                Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences, trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 23–30.

[3]                Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944), 25–40; Oswald Spengler, The Decline of the West, trans. Charles Francis Atkinson (New York: Alfred A. Knopf, 1926), 56–60.

[4]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 89–95.


2.           Konsep Dasar Filsafat Kebudayaan

2.1.       Definisi Kebudayaan

Kebudayaan merupakan salah satu konsep sentral dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial. Secara etimologis, istilah “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta budhayah, bentuk jamak dari buddhi, yang berarti “budi” atau “akal.” Dengan demikian, kebudayaan dapat dipahami sebagai segala hasil olah budi manusia.¹ Dalam perspektif antropologi modern, Edward B. Tylor mendefinisikan kebudayaan sebagai “keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.”²

Definisi ini menunjukkan bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan sebuah konstruksi historis yang hidup, berkembang, dan diwariskan antar generasi. Dalam kerangka filsafat, kebudayaan dipandang bukan sekadar sebagai fenomena empiris, melainkan sebagai objek refleksi kritis mengenai hakikat manusia dan dunia yang diciptakannya.³

2.2.       Filsafat Kebudayaan sebagai Disiplin Filsafat

Filsafat kebudayaan lahir sebagai respons terhadap kebutuhan memahami kebudayaan secara mendasar. Sebagai cabang filsafat, ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti: Apa hakikat kebudayaan? Bagaimana kebudayaan terbentuk dan berkembang? Apa nilai dan tujuan kebudayaan? Pertanyaan-pertanyaan ini menempatkan filsafat kebudayaan dalam posisi unik di antara filsafat umum dan ilmu-ilmu budaya.⁴

Objek material filsafat kebudayaan adalah kebudayaan itu sendiri, sementara objek formalnya adalah cara pandang filosofis terhadap kebudayaan. Dengan demikian, filsafat kebudayaan berbeda dengan antropologi, sosiologi, atau ilmu budaya murni, karena ia tidak hanya mendeskripsikan, tetapi juga menafsirkan makna terdalam kebudayaan.⁵

2.3.       Hakikat dan Unsur Kebudayaan

Secara filosofis, kebudayaan dipahami sebagai ekspresi eksistensial manusia yang mewujud dalam simbol, nilai, dan norma. Ernst Cassirer, dalam kerangka filsafat simboliknya, menyatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum—makhluk yang hidup dalam dunia simbol.⁶ Melalui bahasa, seni, agama, dan ilmu pengetahuan, manusia mengonstruksi realitas budaya yang melampaui dunia biologisnya.

Unsur-unsur kebudayaan mencakup dimensi material (teknologi, artefak), sosial (hubungan antar manusia, institusi), serta spiritual (agama, filsafat, nilai moral).⁷ Keseluruhan unsur tersebut membentuk jalinan kompleks yang tidak dapat dipisahkan dari identitas dan perkembangan manusia.

2.4.       Posisi Filsafat Kebudayaan dalam Khazanah Filsafat

Filsafat kebudayaan memiliki keterkaitan erat dengan cabang-cabang filsafat lainnya. Dalam aspek ontologis, ia bersinggungan dengan filsafat manusia (antropologi filosofis) karena sama-sama membahas eksistensi manusia sebagai pencipta kebudayaan. Dalam aspek epistemologis, ia berhubungan dengan hermeneutika, semiotika, dan filsafat ilmu, sebab kebudayaan harus ditafsirkan melalui simbol dan bahasa. Sedangkan dalam aspek aksiologis, filsafat kebudayaan menyinggung etika dan estetika karena berhubungan dengan nilai dan keindahan dalam kehidupan manusia.⁸

Dengan demikian, filsafat kebudayaan berfungsi sebagai jembatan antara refleksi filosofis dengan realitas historis, sosial, dan spiritual manusia. Ia membantu manusia memahami bukan hanya apa kebudayaan itu, melainkan juga mengapa dan untuk apa kebudayaan hadir dalam kehidupan.


Footnotes

[1]                Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 181.

[2]                Edward B. Tylor, Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art, and Custom, vol. 1 (London: John Murray, 1871), 1.

[3]                Ferry Hidayat, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 12–15.

[4]                Alois Wierlacher, Einführung in die Kulturwissenschaft (München: Wilhelm Fink, 2003), 7–10.

[5]                Kuntowijoyo, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 22.

[6]                Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944), 25.

[7]                Clyde Kluckhohn, Mirror for Man: The Relation of Anthropology to Modern Life (New York: Whittlesey House, 1949), 23–26.

[8]                Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action, and Interpretation, ed. and trans. John B. Thompson (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 67–70.


3.           Sejarah dan Perkembangan Filsafat Kebudayaan

3.1.       Latar Historis Kemunculan Filsafat Kebudayaan

Filsafat kebudayaan sebagai disiplin filosofis lahir pada penghujung abad ke-19 hingga awal abad ke-20, terutama di Eropa. Kelahirannya dipengaruhi oleh situasi sosial-intelektual pada masa itu, yakni krisis modernitas, industrialisasi, serta perubahan struktur masyarakat yang cepat.¹ Dalam kondisi demikian, filsafat kebudayaan muncul sebagai respons untuk memahami kebudayaan bukan sekadar sebagai fenomena empiris, melainkan sebagai kenyataan mendasar yang menentukan arah peradaban.

Selain itu, berkembangnya ilmu-ilmu budaya (humaniora) dan meningkatnya kesadaran historis turut memberi ruang bagi filsafat kebudayaan untuk merumuskan dirinya sebagai cabang filsafat yang berdiri sendiri.²

3.2.       Tokoh-Tokoh Pelopor

Beberapa tokoh penting meletakkan dasar bagi filsafat kebudayaan:

·                     Wilhelm Dilthey (1833–1911)

Dilthey menekankan pentingnya Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu kemanusiaan) yang berbeda dari ilmu-ilmu alam. Menurutnya, kebudayaan harus dipahami melalui pengalaman hidup dan pemahaman historis (Verstehen).³

·                     Oswald Spengler (1880–1936)

Dalam karya monumentalnya Der Untergang des Abendlandes (The Decline of the West), Spengler menafsirkan kebudayaan sebagai organisme hidup yang memiliki siklus lahir, berkembang, mencapai puncak, lalu merosot.⁴ Pandangan ini menekankan relativitas dan pluralitas peradaban.

·                     Ernst Cassirer (1874–1945)

Cassirer mengembangkan filsafat simbolik dengan gagasan bahwa manusia adalah animal symbolicum, yakni makhluk yang menciptakan kebudayaan melalui simbol-simbol: bahasa, seni, mitos, dan ilmu pengetahuan.⁵

Tokoh-tokoh ini membuka jalan bagi kajian filsafat kebudayaan modern yang menghubungkan refleksi filosofis dengan pemahaman budaya secara historis dan simbolik.

3.3.       Perkembangan di Dunia Non-Barat

Filsafat kebudayaan tidak hanya berkembang di Eropa, tetapi juga mendapatkan elaborasi di dunia non-Barat. Dalam konteks dunia Islam, misalnya, pemikir seperti Muhammad Iqbal menekankan pentingnya dinamika budaya dan spiritualitas Islam dalam menghadapi modernitas.⁶ Di Indonesia, pemikir seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan Kuntowijoyo mengangkat dimensi filosofis kebudayaan dalam kaitannya dengan pembangunan dan identitas nasional.⁷

Perkembangan ini menunjukkan bahwa filsafat kebudayaan memiliki karakter dialogis, yakni dapat berinteraksi dengan tradisi-tradisi pemikiran lokal tanpa kehilangan pijakan filosofisnya.

3.4.       Dinamika Kontemporer

Memasuki abad ke-20 akhir hingga kini, filsafat kebudayaan semakin terhubung dengan isu-isu global seperti multikulturalisme, poskolonialisme, globalisasi, dan teknologi digital. Pemikir seperti Paul Ricoeur menekankan pentingnya hermeneutika untuk memahami kebudayaan lintas batas.⁸ Clifford Geertz, meskipun seorang antropolog, juga memberikan kontribusi penting dalam pendekatan interpretatif yang menekankan kebudayaan sebagai “jaring makna” yang ditenun manusia.⁹

Dengan demikian, filsafat kebudayaan terus berkembang dari refleksi historis menjadi kerangka kritis yang relevan untuk memahami tantangan peradaban kontemporer.


Footnotes

[1]                Wolfgang Welsch, Unsere postmoderne Moderne (Weinheim: VCH, 1987), 15–20.

[2]                Alois Wierlacher, Einführung in die Kulturwissenschaft (München: Wilhelm Fink, 2003), 12–14.

[3]                Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences, trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 59–65.

[4]                Oswald Spengler, The Decline of the West, trans. Charles Francis Atkinson (New York: Alfred A. Knopf, 1926), 71–80.

[5]                Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944), 40–45.

[6]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1930), 101–105.

[7]                Sutan Takdir Alisjahbana, Kebudayaan, Pembangunan, dan Pembangunan Kebudayaan (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), 33–38; Kuntowijoyo, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 45–50.

[8]                Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action, and Interpretation, ed. and trans. John B. Thompson (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 115–120.

[9]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5.


4.           Ontologi Kebudayaan

4.1.       Hakikat Kebudayaan

Kajian ontologi kebudayaan berfokus pada pertanyaan mengenai apa kebudayaan itu dalam hakikatnya. Secara filosofis, kebudayaan dipahami sebagai eksistensi objektif sekaligus hasil ciptaan manusia.¹ Sebagai eksistensi objektif, kebudayaan memiliki realitas yang hidup dalam bentuk nilai, norma, bahasa, seni, dan simbol yang diwariskan. Namun, ia juga merupakan hasil dari aktivitas manusia yang mengolah pengalaman, akal budi, dan kreativitasnya.² Dengan demikian, kebudayaan tidak hanya sekadar kumpulan adat atau tradisi, melainkan bentuk perwujudan dari eksistensi manusia itu sendiri.

4.2.       Relasi Kebudayaan dengan Alam dan Sejarah

Kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari relasinya dengan alam dan sejarah. Manusia sebagai makhluk historis membentuk kebudayaan melalui interaksi dengan lingkungan alam dan kondisi sosialnya.³ Kebudayaan, dengan demikian, berfungsi sebagai sarana adaptasi manusia terhadap alam sekaligus sebagai jejak historis yang menandai perkembangan suatu masyarakat.

Dalam pandangan Oswald Spengler, kebudayaan bahkan dipahami seperti organisme yang tumbuh dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dengan siklus lahir, berkembang, matang, lalu mengalami kemunduran.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki dimensi temporal yang erat dengan sejarah manusia.

4.3.       Struktur dan Unsur Kebudayaan

Ontologi kebudayaan juga menyentuh pada pertanyaan mengenai struktur internal kebudayaan. Clyde Kluckhohn mengidentifikasi bahwa kebudayaan memiliki unsur-unsur universal, seperti sistem nilai, norma, teknologi, bahasa, seni, serta pranata sosial.⁵ Unsur-unsur ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait membentuk sebuah totalitas.

Dalam perspektif Ernst Cassirer, kebudayaan hadir melalui dunia simbol. Bahasa, mitos, seni, dan ilmu pengetahuan merupakan ekspresi simbolik manusia yang membentuk realitas kultural.⁶ Ontologi kebudayaan, dalam kerangka ini, menegaskan bahwa kebudayaan bukan sekadar kumpulan fakta, tetapi struktur simbolik yang melampaui realitas biologis.

4.4.       Kebudayaan sebagai Objektivasi Roh Manusia

Wilhelm Dilthey melihat kebudayaan sebagai bentuk objektivasi roh (spirit) manusia. Melalui kebudayaan, pengalaman subjektif manusia memperoleh bentuk objektif yang dapat diwariskan antar generasi.⁷ Seni, agama, dan filsafat menjadi medium bagi manusia untuk mengekspresikan kehidupan batinnya. Dengan demikian, kebudayaan dipahami sebagai jembatan antara subjektivitas individu dengan realitas kolektif umat manusia.

Hal ini juga menegaskan bahwa kebudayaan bukan sekadar produk material, melainkan ekspresi kehidupan rohani manusia yang meneguhkan eksistensinya di dunia.


Kesimpulan Ontologis

Secara ontologis, kebudayaan dapat dipahami sebagai realitas yang bersifat ganda: ia sekaligus produk manusia dan realitas objektif yang membentuk manusia. Kebudayaan memiliki struktur simbolik, historis, dan spiritual yang menjadikannya inti dari eksistensi manusia. Ontologi kebudayaan, dengan demikian, membantu manusia memahami dirinya sebagai makhluk historis, simbolis, dan kreatif.


Footnotes

[1]                Ferry Hidayat, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 18–19.

[2]                Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 181.

[3]                Kuntowijoyo, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 41–42.

[4]                Oswald Spengler, The Decline of the West, trans. Charles Francis Atkinson (New York: Alfred A. Knopf, 1926), 56–60.

[5]                Clyde Kluckhohn, Mirror for Man: The Relation of Anthropology to Modern Life (New York: Whittlesey House, 1949), 23–26.

[6]                Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944), 40–45.

[7]                Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences, trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 69–72.


5.           Epistemologi Kebudayaan

5.1.       Hakikat Pengetahuan tentang Kebudayaan

Epistemologi kebudayaan membahas pertanyaan mendasar tentang bagaimana manusia mengetahui, memahami, dan menafsirkan kebudayaan. Pengetahuan tentang kebudayaan berbeda dari pengetahuan tentang alam. Jika ilmu alam berusaha menjelaskan (erklären) gejala dengan hukum kausal, maka pemahaman tentang kebudayaan lebih bersifat hermeneutik, yaitu upaya memahami (verstehen) makna yang terkandung dalam simbol, bahasa, dan tindakan manusia.¹ Dengan demikian, epistemologi kebudayaan menekankan pendekatan interpretatif ketimbang eksperimental.

5.2.       Metode Pengetahuan Kebudayaan

Berbagai metode epistemologis digunakan untuk memahami kebudayaan, di antaranya:

·                     Hermeneutika

Sebagai metode penafsiran, hermeneutika digunakan untuk memahami makna teks, tradisi, atau simbol budaya. Wilhelm Dilthey menekankan bahwa memahami kebudayaan berarti masuk ke dalam horizon pengalaman hidup orang lain melalui interpretasi.²

·                     Fenomenologi

Edmund Husserl dan penerusnya memandang kebudayaan sebagai fenomena kesadaran yang harus digali maknanya secara esensial. Alfred Schutz, misalnya, mengembangkan fenomenologi sosial yang menyoroti bagaimana tindakan manusia membentuk realitas intersubjektif.³

·                     Strukturalisme dan Semiotika

Claude Lévi-Strauss mengembangkan analisis struktural untuk menyingkap pola-pola universal dalam mitos, bahasa, dan adat. Roland Barthes melanjutkan tradisi ini dengan semiotika, melihat kebudayaan sebagai sistem tanda yang sarat makna.⁴

Metode-metode ini memperlihatkan bahwa epistemologi kebudayaan beragam, namun tetap berpusat pada upaya memahami makna simbolis dari kehidupan manusia.

5.3.       Ilmu-ilmu Budaya dan Filsafat Kebudayaan

Epistemologi kebudayaan juga berkaitan erat dengan ilmu-ilmu budaya (cultural sciences). Antropologi, sosiologi, filologi, sejarah, hingga ilmu komunikasi menyediakan data empiris tentang praktik budaya. Namun, filsafat kebudayaan memberikan refleksi kritis atas dasar, makna, dan tujuan kebudayaan itu sendiri.⁵ Dengan kata lain, filsafat kebudayaan melengkapi ilmu-ilmu budaya dengan perspektif normatif dan reflektif.

5.4.       Kebudayaan sebagai Teks Terbuka

Paul Ricoeur mengembangkan pandangan bahwa kebudayaan dapat dipahami sebagai teks yang selalu terbuka untuk interpretasi.⁶ Teks budaya, seperti karya sastra, ritus keagamaan, atau simbol politik, tidak memiliki makna tunggal, melainkan senantiasa terbuka pada penafsiran baru sesuai dengan konteks historis. Clifford Geertz menegaskan hal serupa dengan menyatakan bahwa kebudayaan adalah “jaring makna” yang ditenun manusia, sehingga memahaminya berarti membaca tanda-tanda kehidupan sosial.⁷

5.5.       Dimensi Kritis Epistemologi Kebudayaan

Epistemologi kebudayaan tidak hanya berhenti pada deskripsi makna, tetapi juga melibatkan kritik. Habermas, misalnya, melalui teori tindakan komunikatif, mengingatkan bahwa komunikasi budaya dapat didistorsi oleh kepentingan kekuasaan.⁸ Dengan demikian, epistemologi kebudayaan juga berperan sebagai alat kritis untuk membongkar struktur ideologis yang tersembunyi dalam kebudayaan.


Footnotes

[1]                Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences, trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 59–65.

[2]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–275.

[3]                Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World, trans. George Walsh and Frederick Lehnert (Evanston: Northwestern University Press, 1967), 12–18.

[4]                Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology (New York: Basic Books, 1963), 206–210; Roland Barthes, Mythologies, trans. Annette Lavers (New York: Hill and Wang, 1972), 109–112.

[5]                Ferry Hidayat, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 33–35.

[6]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 87–90.

[7]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5.

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume One: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–290.


6.           Aksiologi Kebudayaan

6.1.       Kebudayaan sebagai Ranah Nilai

Aksiologi kebudayaan membahas dimensi nilai dari kebudayaan: apa yang dianggap baik, indah, dan bernilai dalam kehidupan manusia. Kebudayaan tidak hanya berupa sistem simbol dan praktik sosial, tetapi juga wadah bagi internalisasi nilai-nilai yang membentuk orientasi hidup manusia.¹ Nilai-nilai tersebut dapat berupa etika, estetika, religiusitas, maupun norma sosial yang mengarahkan perilaku manusia. Dengan demikian, kebudayaan menjadi arena di mana manusia bukan hanya “ada”, melainkan juga “bermakna.”

6.2.       Relativisme Budaya dan Universalisme Nilai

Salah satu problem utama dalam aksiologi kebudayaan adalah hubungan antara relativisme dan universalisme nilai. Relativisme budaya beranggapan bahwa setiap kebudayaan memiliki sistem nilai yang unik dan tidak dapat diukur dengan standar kebudayaan lain.² Namun, perspektif ini sering ditantang oleh gagasan universalisme yang menekankan adanya nilai-nilai dasar yang bersifat universal, seperti keadilan, kebenaran, dan martabat manusia.³

Debat antara relativisme dan universalisme ini tampak jelas dalam diskursus hak asasi manusia, di mana nilai-nilai universal sering dipertanyakan relevansinya dalam konteks kebudayaan lokal.⁴ Filsafat kebudayaan berfungsi untuk menjembatani ketegangan ini dengan menawarkan refleksi kritis terhadap dasar-dasar normatif kebudayaan.

6.3.       Etika dalam Kebudayaan

Etika dalam kebudayaan menyangkut bagaimana masyarakat membentuk norma moral untuk mengatur kehidupan bersama. Dalam perspektif Alasdair MacIntyre, kebudayaan menyediakan kerangka naratif yang memungkinkan manusia memahami konsep baik dan buruk.⁵ Etika budaya bukan hanya bersifat normatif, tetapi juga historis karena ia tumbuh dari tradisi tertentu.

Selain itu, kebudayaan juga dapat menjadi medium kritik etika. Misalnya, budaya konsumerisme atau hedonisme sering dipandang sebagai bentuk penyimpangan nilai yang harus ditinjau ulang secara kritis.⁶

6.4.       Estetika dan Kreativitas Budaya

Selain etika, kebudayaan juga sarat dengan nilai estetis. Seni, musik, sastra, dan arsitektur adalah manifestasi estetika yang memperkaya kehidupan manusia. Ernst Cassirer menekankan bahwa melalui simbol-simbol estetis, manusia mengaktualisasikan dimensi kreatifnya dan menegaskan identitas kulturalnya.⁷ Estetika dalam kebudayaan tidak sekadar menghadirkan keindahan, tetapi juga berfungsi sebagai medium komunikasi nilai dan pengalaman eksistensial.

6.5.       Kebudayaan dan Religiusitas

Dimensi lain yang penting adalah religiusitas dalam kebudayaan. Clifford Geertz menafsirkan agama sebagai sistem simbol yang membentuk suasana hati dan motivasi manusia dengan memberikan kerangka makna terhadap dunia.⁸ Nilai-nilai religius ini menjadi salah satu fondasi kebudayaan yang menghubungkan manusia dengan yang transenden. Dengan demikian, aksiologi kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari dimensi spiritual yang menyatu dalam kehidupan manusia.

6.6.       Kebudayaan sebagai Sarana Pembentukan Manusia Seutuhnya

Akhirnya, aksiologi kebudayaan menegaskan bahwa kebudayaan memiliki fungsi humanistik, yakni membentuk manusia seutuhnya. Melalui nilai-nilai etika, estetika, dan religiusitas, kebudayaan menjadi medium untuk mengembangkan martabat, kebebasan, dan tanggung jawab manusia.⁹ Filsafat kebudayaan, dengan demikian, tidak hanya mengkaji makna kebudayaan secara teoritis, tetapi juga mengajukan refleksi kritis atas bagaimana kebudayaan dapat memperkuat kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Ferry Hidayat, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 52–55.

[2]                Melville J. Herskovits, Cultural Relativism: Perspectives in Cultural Pluralism (New York: Random House, 1972), 31–35.

[3]                Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 38–42.

[4]                Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice (Ithaca: Cornell University Press, 2003), 25–28.

[5]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 216–220.

[6]                Zygmunt Bauman, Consuming Life (Cambridge: Polity Press, 2007), 12–15.

[7]                Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944), 85–90.

[8]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 90–91.

[9]                Kuntowijoyo, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 61–65.


7.           Tokoh-Tokoh Utama dalam Filsafat Kebudayaan

7.1.       Wilhelm Dilthey (1833–1911)

Wilhelm Dilthey dianggap sebagai salah satu peletak dasar filsafat kebudayaan modern. Ia membedakan ilmu-ilmu alam (Naturwissenschaften) dengan ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Menurutnya, ilmu alam menjelaskan (erklären) fenomena melalui hukum kausal, sementara ilmu kemanusiaan memahami (verstehen) makna kehidupan manusia.¹ Kebudayaan, bagi Dilthey, merupakan objektivasi dari pengalaman hidup yang hanya dapat dipahami melalui interpretasi historis.² Dengan demikian, ia menekankan pentingnya hermeneutika dalam studi kebudayaan.


7.2.       Oswald Spengler (1880–1936)

Oswald Spengler terkenal melalui karyanya Der Untergang des Abendlandes (The Decline of the West), di mana ia memandang kebudayaan sebagai organisme hidup dengan siklus tertentu: lahir, berkembang, mencapai puncak, dan akhirnya mengalami kemunduran.³ Pandangan ini menolak gagasan linearitas sejarah dan menggantinya dengan pluralitas kebudayaan yang masing-masing memiliki “jiwa” dan dinamika sendiri.⁴ Spengler menekankan relativisme historis kebudayaan, meskipun pandangannya sering dikritik karena deterministik.

7.3.       Ernst Cassirer (1874–1945)

Ernst Cassirer memberikan kontribusi penting dengan mengembangkan filsafat simbolik. Ia menegaskan bahwa manusia adalah animal symbolicum, yakni makhluk yang membangun dunianya melalui simbol-simbol seperti bahasa, mitos, seni, dan ilmu pengetahuan.⁵ Dengan demikian, kebudayaan tidak dipahami sekadar sebagai produk material, melainkan sebagai struktur simbolis yang menegaskan identitas manusia. Pemikiran Cassirer memperluas horizon filsafat kebudayaan dengan mengintegrasikan dimensi epistemologis dan semiotik.

7.4.       José Ortega y Gasset (1883–1955)

Filsuf Spanyol José Ortega y Gasset mengembangkan gagasan bahwa manusia senantiasa hidup dalam situasi historis yang spesifik. Melalui karyanya The Revolt of the Masses, ia mengkritik budaya massa modern yang dianggap mengikis individualitas dan kualitas intelektual.⁶ Ortega y Gasset menekankan pentingnya kebudayaan sebagai wadah pembentukan pribadi dan tanggung jawab sosial.

7.5.       Alfred Weber (1868–1958)

Sebagai adik dari Max Weber, Alfred Weber mengembangkan teori kebudayaan dengan menekankan aspek nilai dan kreativitas spiritual. Ia membedakan antara proses sosial-ekonomi yang dapat diukur dengan perkembangan kebudayaan yang sarat nilai.⁷ Kebudayaan, menurutnya, merupakan ekspresi bebas dari daya cipta manusia, bukan sekadar akibat dari faktor ekonomi.


Pemikir Kontemporer: Paul Ricoeur dan Clifford Geertz

Pada abad ke-20, Paul Ricoeur mengembangkan pendekatan hermeneutika yang sangat berpengaruh dalam filsafat kebudayaan. Ia menekankan bahwa kebudayaan dapat dipahami sebagai “teks” yang terbuka bagi penafsiran tanpa akhir.⁸ Clifford Geertz, seorang antropolog, memberikan kontribusi dengan pendekatan interpretatif, di mana kebudayaan dipandang sebagai “jaring makna” yang ditenun manusia.⁹ Meskipun bukan seorang filsuf murni, Geertz memperkaya epistemologi kebudayaan dengan metodologi interpretatif yang filosofis.


Sintesis Peran Tokoh

Tokoh-tokoh utama dalam filsafat kebudayaan menunjukkan keragaman pendekatan: Dilthey dengan hermeneutika historis, Spengler dengan teori siklus kebudayaan, Cassirer dengan filsafat simbolik, Ortega y Gasset dengan kritik budaya massa, Weber dengan teori nilai, serta Ricoeur dan Geertz dengan hermeneutika dan interpretasi budaya. Seluruhnya menegaskan bahwa kebudayaan adalah medan makna yang tak habis ditafsirkan dan menjadi pusat eksistensi manusia.


Footnotes

[1]                Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences, trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 59–65.

[2]                Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume III: The Formation of the Historical World in the Human Sciences, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 2002), 103–107.

[3]                Oswald Spengler, The Decline of the West, trans. Charles Francis Atkinson (New York: Alfred A. Knopf, 1926), 56–60.

[4]                H. Stuart Hughes, Oswald Spengler: A Critical Estimate (New York: Scribner’s, 1952), 45–49.

[5]                Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944), 25–30.

[6]                José Ortega y Gasset, The Revolt of the Masses, trans. Anonymous (New York: W.W. Norton, 1932), 12–15.

[7]                Alfred Weber, Kulturgeschichte als Kultursoziologie (Munich: Piper, 1935), 88–92.

[8]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 45–50.

[9]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5.


8.           Tema-Tema Kunci dalam Filsafat Kebudayaan

8.1.       Kebudayaan dan Agama

Salah satu tema utama dalam filsafat kebudayaan adalah hubungan kebudayaan dengan agama. Agama dipandang sebagai sumber nilai, simbol, dan makna yang membentuk kebudayaan. Clifford Geertz, misalnya, menafsirkan agama sebagai sistem simbol yang mengarahkan tindakan manusia dengan membentuk suasana hati dan motivasi yang kuat.¹ Dalam perspektif ini, kebudayaan dan agama saling terkait secara dialektis: agama memberi fondasi transenden bagi kebudayaan, sementara kebudayaan memberikan bentuk konkret bagi ekspresi religiusitas.

8.2.       Kebudayaan dan Identitas Manusia

Kebudayaan juga menjadi sarana pembentukan identitas manusia, baik secara individual maupun kolektif. Identitas kultural menegaskan siapa manusia dalam relasi dengan komunitas dan sejarahnya. Stuart Hall menekankan bahwa identitas bersifat konstruktif, historis, dan senantiasa berubah.² Dengan demikian, filsafat kebudayaan tidak hanya membahas kebudayaan sebagai produk, tetapi juga sebagai proses yang membentuk jati diri manusia.

8.3.       Kebudayaan dan Bahasa sebagai Medium Simbolik

Bahasa merupakan medium simbolik utama kebudayaan. Ernst Cassirer menekankan bahwa bahasa adalah sistem simbol yang memungkinkan manusia menafsirkan dan membangun realitas.³ Melalui bahasa, manusia tidak sekadar menyampaikan informasi, melainkan membentuk makna kolektif. Bahasa juga menjadi sarana pewarisan tradisi dan pengetahuan antar generasi, sehingga ia menjadi inti dari filsafat kebudayaan.

8.4.       Kebudayaan, Teknologi, dan Modernitas

Tema lain yang krusial adalah hubungan kebudayaan dengan teknologi. Martin Heidegger, dalam esainya “The Question Concerning Technology,” memperingatkan bahwa teknologi modern dapat mengubah cara manusia memahami dunia, menjadikannya sekadar “standing reserve” atau sumber daya yang siap dieksploitasi.⁴ Dengan demikian, filsafat kebudayaan perlu mengkaji dampak teknologi terhadap nilai, cara hidup, dan relasi manusia dengan alam.

Modernitas sendiri membawa dinamika baru dalam kebudayaan, seperti lahirnya budaya massa, konsumerisme, dan globalisasi. Zygmunt Bauman menyebut fenomena ini sebagai “modernitas cair,” di mana nilai-nilai dan identitas menjadi fleksibel, cair, dan penuh ketidakpastian.⁵

8.5.       Kebudayaan dalam Konteks Globalisasi

Globalisasi menjadikan kebudayaan semakin saling berinteraksi, berbaur, bahkan bertabrakan. Samuel P. Huntington memperkenalkan gagasan “benturan peradaban,” di mana identitas budaya dan agama menjadi faktor utama dalam konflik global.⁶ Namun, banyak pemikir lain menekankan dimensi dialogis globalisasi, yakni peluang untuk membangun pemahaman lintas budaya dan memperkuat multikulturalisme.⁷

Dengan demikian, filsafat kebudayaan menghadirkan kerangka kritis untuk memahami globalisasi bukan hanya sebagai proses ekonomi, tetapi juga sebagai transformasi nilai dan identitas manusia.


Footnotes

[1]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 90–91.

[2]                Stuart Hall, Cultural Identity and Diaspora, dalam Identity: Community, Culture, Difference, ed. Jonathan Rutherford (London: Lawrence & Wishart, 1990), 222–225.

[3]                Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944), 85–90.

[4]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–15.

[5]                Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 6–9.

[6]                Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Simon & Schuster, 1996), 21–22.

[7]                Wolfgang Welsch, Undoing Aesthetics (London: Sage Publications, 1997), 47–49.


9.           Kritik dan Isu Kontemporer dalam Filsafat Kebudayaan

9.1.       Tantangan Globalisasi dan Homogenisasi Budaya

Salah satu isu utama dalam filsafat kebudayaan kontemporer adalah dampak globalisasi. Globalisasi, di satu sisi, mempertemukan berbagai kebudayaan dalam interaksi yang semakin intensif, tetapi di sisi lain juga berisiko melahirkan homogenisasi budaya.¹ Produk-produk budaya populer, seperti musik, film, dan fesyen global, kerap mendominasi sehingga melemahkan identitas lokal.² Hal ini menimbulkan pertanyaan filosofis mengenai keberlangsungan keragaman budaya dalam dunia yang semakin terintegrasi.

9.2.       Multikulturalisme dan Dialog Antarbudaya

Sebagai respons atas homogenisasi, muncul wacana multikulturalisme yang menekankan pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan budaya. Bhikhu Parekh menegaskan bahwa multikulturalisme bukan sekadar toleransi pasif, melainkan keterlibatan aktif dalam membangun dialog dan koeksistensi antarbudaya.³ Filsafat kebudayaan berperan penting dalam menyediakan landasan normatif untuk membangun relasi yang adil antara berbagai identitas budaya.

9.3.       Krisis Nilai dan Budaya Konsumerisme

Isu lain yang menonjol adalah krisis nilai akibat berkembangnya budaya konsumerisme. Zygmunt Bauman menyatakan bahwa dalam “masyarakat konsumen,” nilai manusia diukur dari kapasitasnya untuk mengonsumsi, bukan dari kualitas moral atau spiritualnya.⁴ Kondisi ini memunculkan krisis makna, di mana kebudayaan direduksi menjadi komoditas yang kehilangan kedalaman etis dan eksistensial.

9.4.       Isu Poskolonial dan Dekolonisasi Pengetahuan

Dalam kajian kontemporer, filsafat kebudayaan juga menyoroti warisan kolonialisme yang masih membentuk relasi pengetahuan dan kekuasaan. Edward Said, melalui Orientalism, menunjukkan bagaimana wacana Barat membangun representasi tentang Timur sebagai “yang lain” untuk melanggengkan dominasi.⁵ Pemikiran poskolonial menuntut dekolonisasi pengetahuan, yakni membongkar hierarki epistemologis yang menempatkan kebudayaan Barat sebagai pusat dan budaya lain sebagai perifer.⁶

9.5.       Kebudayaan Digital dan Tantangan Baru

Revolusi digital menghadirkan tantangan baru dalam filsafat kebudayaan. Dunia digital menciptakan ruang virtual di mana identitas, interaksi, dan ekspresi budaya berlangsung secara intensif. Manuel Castells menyebut fenomena ini sebagai “masyarakat jaringan,” di mana budaya terbentuk dalam ruang siber yang transnasional.⁷ Namun, kebudayaan digital juga menimbulkan persoalan etis, seperti penyebaran informasi palsu, polarisasi sosial, dan hilangnya otoritas pengetahuan tradisional.⁸

9.6.       Kritik Umum terhadap Filsafat Kebudayaan

Secara metodologis, filsafat kebudayaan juga dikritik karena dianggap terlalu abstrak dan kurang operasional dibandingkan ilmu-ilmu sosial. Beberapa sarjana menilai bahwa filsafat kebudayaan cenderung spekulatif tanpa dukungan empiris yang memadai.⁹ Namun, kritik ini sekaligus memperkuat posisi filsafat kebudayaan sebagai refleksi normatif dan kritis yang melengkapi analisis empiris dari disiplin lain.


Footnotes

[1]                Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 27–30.

[2]                John Tomlinson, Globalization and Culture (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 79–83.

[3]                Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge: Harvard University Press, 2000), 13–16.

[4]                Zygmunt Bauman, Consuming Life (Cambridge: Polity Press, 2007), 11–15.

[5]                Edward W. Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979), 1–3.

[6]                Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 56–60.

[7]                Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 469–472.

[8]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 21–24.

[9]                Wolfgang Welsch, Unsere postmoderne Moderne (Weinheim: VCH, 1987), 90–93.


10.       Relevansi Filsafat Kebudayaan bagi Kehidupan Kontemporer

10.1.    Refleksi Kritis terhadap Dinamika Zaman

Filsafat kebudayaan memiliki relevansi besar dalam menganalisis dinamika kehidupan kontemporer. Dunia modern ditandai oleh percepatan teknologi, globalisasi, dan transformasi nilai. Dalam kondisi demikian, filsafat kebudayaan berfungsi sebagai refleksi kritis untuk menimbang kembali arah perkembangan masyarakat.¹ Melalui perspektif filosofis, kebudayaan dipahami bukan sekadar fenomena sosial, tetapi juga medan nilai yang menentukan kualitas peradaban manusia.

10.2.    Peran dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter

Pendidikan merupakan salah satu ruang paling penting bagi penerapan filsafat kebudayaan. Kebudayaan, melalui nilai, simbol, dan tradisi, menjadi sarana pembentukan identitas dan karakter manusia.² Dalam kerangka ini, filsafat kebudayaan berfungsi menuntun pendidikan agar tidak hanya berorientasi pada pengetahuan teknis, tetapi juga pada pengembangan moral, estetika, dan spiritualitas.³ Pendidikan yang berakar pada filsafat kebudayaan membantu melahirkan manusia yang tidak tercerabut dari tradisinya, namun tetap terbuka pada dialog dengan dunia global.

10.3.    Dialog Antarbudaya dan Perdamaian Global

Dalam era globalisasi, konflik identitas kultural sering menjadi sumber ketegangan. Filsafat kebudayaan menyediakan landasan reflektif bagi dialog antarbudaya untuk membangun pemahaman lintas perbedaan. Paul Ricoeur menekankan pentingnya hermeneutika dialogis sebagai cara untuk membuka ruang pertemuan yang saling memperkaya antartradisi budaya.⁴ Dengan demikian, filsafat kebudayaan berkontribusi pada upaya menciptakan perdamaian global melalui pemahaman dan penghargaan terhadap keragaman.

10.4.    Respon terhadap Tantangan Teknologi Digital

Perkembangan teknologi digital telah mengubah pola interaksi, identitas, bahkan cara manusia memahami dunia. Filsafat kebudayaan memiliki peran penting untuk mengkritisi dampak teknologi digital terhadap nilai dan makna kehidupan. Manuel Castells menyebut era ini sebagai “masyarakat jaringan” di mana kebudayaan bersifat cair, transnasional, dan terus berubah.⁵ Filsafat kebudayaan membantu manusia menyikapi fenomena ini dengan kesadaran kritis agar tidak terjebak dalam alienasi atau reduksi makna.

10.5.    Kebudayaan sebagai Basis Pembangunan Manusiawi

Akhirnya, filsafat kebudayaan relevan dalam merumuskan paradigma pembangunan yang lebih manusiawi. Alih-alih berorientasi semata pada pertumbuhan ekonomi, pembangunan harus memperhatikan dimensi kebudayaan: identitas, nilai, dan kreativitas masyarakat.⁶ Dengan demikian, filsafat kebudayaan berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan, berakar pada tradisi, tetapi tetap terbuka terhadap pembaruan.


Sintesis Relevansi Kontemporer

Keseluruhan analisis menunjukkan bahwa filsafat kebudayaan tetap aktual dalam dunia kontemporer. Ia bukan sekadar refleksi akademis, tetapi juga praksis kritis yang menuntun manusia memahami diri, berinteraksi lintas budaya, serta menghadapi tantangan global. Dengan demikian, filsafat kebudayaan memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan antara tradisi, modernitas, dan kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Wolfgang Welsch, Unsere postmoderne Moderne (Weinheim: VCH, 1987), 112–115.

[2]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1962), 23–27.

[3]                Ferry Hidayat, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 78–81.

[4]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 318–322.

[5]                Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 469–472.

[6]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 35–39.


11.       Penutup

Filsafat kebudayaan hadir sebagai cabang filsafat yang berupaya memahami hakikat, struktur, nilai, dan dinamika kebudayaan dalam kehidupan manusia. Kajian ini menegaskan bahwa kebudayaan bukan sekadar kumpulan adat atau praktik sosial, melainkan wujud eksistensial manusia sebagai makhluk historis, simbolis, dan kreatif.¹ Melalui pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis, filsafat kebudayaan membuka horizon pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana kebudayaan terbentuk, dimaknai, dan diwariskan.

Secara historis, filsafat kebudayaan diperkaya oleh tokoh-tokoh seperti Wilhelm Dilthey, Oswald Spengler, Ernst Cassirer, hingga pemikir kontemporer seperti Paul Ricoeur dan Clifford Geertz.² Pemikiran mereka menunjukkan keragaman perspektif dalam memandang kebudayaan—baik sebagai organisme hidup, struktur simbol, teks terbuka, maupun jaring makna yang menuntut interpretasi. Keanekaragaman pendekatan ini menjadi kekayaan metodologis sekaligus memperlihatkan kompleksitas kebudayaan itu sendiri.

Dalam konteks kontemporer, filsafat kebudayaan semakin relevan di tengah tantangan globalisasi, homogenisasi budaya, krisis nilai, serta perkembangan teknologi digital.³ Ia tidak hanya berfungsi sebagai refleksi teoretis, melainkan juga sebagai praksis kritis yang menuntun manusia menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan identitas dan nilai kemanusiaannya. Filsafat kebudayaan mendorong dialog antarbudaya, memperkuat pendidikan berbasis nilai, dan mengkritisi ideologi-ideologi dominan yang dapat mereduksi makna hidup manusia.

Dengan demikian, filsafat kebudayaan memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, antara partikularitas lokal dan universalitas global. Ia meneguhkan kebudayaan sebagai sarana pembentukan manusia seutuhnya, sekaligus membuka jalan bagi pembangunan peradaban yang lebih manusiawi.⁴ Oleh sebab itu, pengembangan filsafat kebudayaan di masa depan perlu terus diarahkan pada upaya memperkuat refleksi kritis dan memperluas dialog lintas tradisi demi terciptanya kehidupan global yang damai, adil, dan bermakna.


Footnotes

[1]                Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944), 85–90.

[2]                Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences, trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 59–65; Oswald Spengler, The Decline of the West, trans. Charles Francis Atkinson (New York: Alfred A. Knopf, 1926), 71–80; Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 87–90.

[3]                Zygmunt Bauman, Consuming Life (Cambridge: Polity Press, 2007), 12–15; Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 469–472.

[4]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 35–39.


Daftar Pustaka

Alisjahbana, S. T. (1977). Kebudayaan, pembangunan, dan pembangunan kebudayaan. Jakarta: Dian Rakyat.

Appadurai, A. (1996). Modernity at large: Cultural dimensions of globalization. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Barthes, R. (1972). Mythologies (A. Lavers, Trans.). New York: Hill and Wang.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Cambridge: Polity Press.

Bauman, Z. (2007). Consuming life. Cambridge: Polity Press.

Cassirer, E. (1944). An essay on man: An introduction to a philosophy of human culture. New Haven: Yale University Press.

Castells, M. (1996). The rise of the network society. Oxford: Blackwell.

Dewantara, K. H. (1962). Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.

Dilthey, W. (1988). Introduction to the human sciences (R. J. Betanzos, Trans.). Detroit: Wayne State University Press.

Dilthey, W. (2002). Selected works, Volume III: The formation of the historical world in the human sciences (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds.). Princeton: Princeton University Press.

Donnelly, J. (2003). Universal human rights in theory and practice. Ithaca: Cornell University Press.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. New York: Basic Books.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.

Hall, S. (1990). Cultural identity and diaspora. In J. Rutherford (Ed.), Identity: Community, culture, difference (pp. 222–237). London: Lawrence & Wishart.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, Volume One: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.

Herskovits, M. J. (1972). Cultural relativism: Perspectives in cultural pluralism. New York: Random House.

Hidayat, F. (2012). Filsafat kebudayaan: Sebuah pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Hughes, H. S. (1952). Oswald Spengler: A critical estimate. New York: Scribner’s.

Huntington, S. P. (1996). The clash of civilizations and the remaking of world order. New York: Simon & Schuster.

Iqbal, M. (1930). The reconstruction of religious thought in Islam. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Kluckhohn, C. (1949). Mirror for man: The relation of anthropology to modern life. New York: Whittlesey House.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Kuntowijoyo. (1987). Kebudayaan, mentalitet dan pembangunan. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lévi-Strauss, C. (1963). Structural anthropology. New York: Basic Books.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Mignolo, W. D. (2011). The darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Durham: Duke University Press.

Nussbaum, M. C. (2000). Women and human development: The capabilities approach. Cambridge: Cambridge University Press.

Ortega y Gasset, J. (1932). The revolt of the masses. New York: W. W. Norton.

Parekh, B. (2000). Rethinking multiculturalism: Cultural diversity and political theory. Cambridge: Harvard University Press.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Fort Worth: Texas Christian University Press.

Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the human sciences: Essays on language, action, and interpretation (J. B. Thompson, Ed. & Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Said, E. W. (1979). Orientalism. New York: Vintage Books.

Schutz, A. (1967). The phenomenology of the social world (G. Walsh & F. Lehnert, Trans.). Evanston: Northwestern University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. New York: Alfred A. Knopf.

Spengler, O. (1926). The decline of the West (C. F. Atkinson, Trans.). New York: Alfred A. Knopf.

Tylor, E. B. (1871). Primitive culture: Researches into the development of mythology, philosophy, religion, language, art, and custom (Vol. 1). London: John Murray.

Weber, A. (1935). Kulturgeschichte als Kultursoziologie. Munich: Piper.

Welsch, W. (1987). Unsere postmoderne Moderne. Weinheim: VCH.

Welsch, W. (1997). Undoing aesthetics. London: Sage Publications.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. New York: PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar