Filsafat Kebudayaan
Konsep, Sejarah, dan Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai filsafat kebudayaan
sebagai cabang filsafat yang berupaya memahami hakikat, struktur, nilai, dan
dinamika kebudayaan. Kajian dimulai dengan penelusuran konseptual tentang
definisi kebudayaan dalam perspektif filosofis, dilanjutkan dengan telaah
historis mengenai perkembangan filsafat kebudayaan di Barat maupun di luar
Barat, serta kontribusi tokoh-tokoh utama seperti Wilhelm Dilthey, Oswald
Spengler, Ernst Cassirer, José Ortega y Gasset, hingga Paul Ricoeur dan
Clifford Geertz. Artikel ini juga menguraikan dimensi ontologis, epistemologis,
dan aksiologis kebudayaan sebagai basis refleksi filosofis yang mendalam.
Selanjutnya, berbagai tema kunci, isu kritis, serta problem kontemporer seperti
globalisasi, multikulturalisme, krisis nilai, poskolonialisme, hingga
kebudayaan digital dianalisis secara filosofis. Artikel ini menegaskan bahwa
filsafat kebudayaan relevan untuk menghadapi tantangan zaman modern melalui
refleksi kritis, penguatan nilai, dialog antarbudaya, dan pembangunan
manusiawi. Dengan demikian, filsafat kebudayaan berperan strategis dalam
menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, serta dalam merumuskan arah
peradaban yang lebih adil, damai, dan bermakna.
Kata kunci: filsafat
kebudayaan, ontologi, epistemologi, aksiologi, globalisasi, identitas, simbol,
multikulturalisme, modernitas, peradaban.
PEMBAHASAN
Konsep, Sejarah, dan Relevansi Filsafat Kebudayaan
1.          
Pendahuluan
Filsafat kebudayaan merupakan salah
satu cabang filsafat yang berupaya memahami hakikat, asal-usul, struktur, serta
dinamika kebudayaan sebagai fenomena khas manusia. Dalam kerangka ini,
kebudayaan tidak sekadar dipandang sebagai sekumpulan adat, tradisi, atau
artefak, tetapi sebagai manifestasi dari eksistensi manusia dalam sejarah.
Dengan demikian, filsafat kebudayaan berfungsi sebagai refleksi kritis atas
makna dan nilai dari seluruh produk rohani dan material manusia, sekaligus
membuka horizon pemahaman yang lebih luas mengenai peran kebudayaan dalam
membentuk peradaban manusia.¹
Kelahiran filsafat kebudayaan dapat ditelusuri
ke Eropa pada akhir abad ke-19, ketika para pemikir seperti Wilhelm Dilthey,
Oswald Spengler, dan Ernst Cassirer berusaha merumuskan pemahaman filosofis
tentang kebudayaan di tengah krisis modernitas.² Bagi Dilthey, kebudayaan
dipahami melalui pengalaman historis manusia, sementara Spengler menekankan
pada siklus naik-turunnya peradaban, dan Cassirer melihat kebudayaan sebagai
ekspresi simbolis dari manusia sebagai animal symbolicum.³ Dengan
beragam perspektif ini, filsafat kebudayaan berkembang menjadi medan kajian
yang tidak hanya historis, melainkan juga kritis dan reflektif.
Dalam konteks kontemporer, kajian
filsafat kebudayaan semakin relevan mengingat dinamika globalisasi,
multikulturalisme, serta transformasi teknologi digital yang membawa perubahan
signifikan dalam pola hidup manusia. Kebudayaan kini tidak lagi terbatas pada
ruang geografis tertentu, melainkan hadir dalam bentuk interaksi global yang
kompleks. Hal ini menimbulkan pertanyaan filosofis tentang identitas, nilai,
serta arah perkembangan peradaban di masa depan.⁴ Dengan demikian, filsafat
kebudayaan hadir bukan hanya sebagai upaya teoritis, melainkan juga sebagai
praksis reflektif untuk memahami tantangan dan peluang zaman modern.
Artikel ini bertujuan menyajikan
pembahasan komprehensif mengenai filsafat kebudayaan, mencakup aspek
konseptual, historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, hingga isu-isu
kontemporer. Melalui kerangka sistematis, diharapkan pembaca dapat memahami
bagaimana filsafat kebudayaan berfungsi sebagai instrumen kritis dalam
menafsirkan kehidupan manusia dan relevansinya bagi dunia modern.
Footnotes
[1]               
Ferry Hidayat, Filsafat Kebudayaan: Sebuah
Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 5.
[2]               
Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences,
trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 23–30.
[3]               
Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to
a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944),
25–40; Oswald Spengler, The Decline of the West, trans. Charles Francis
Atkinson (New York: Alfred A. Knopf, 1926), 56–60.
[4]               
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 89–95.
2.          
Konsep Dasar
Filsafat Kebudayaan
2.1.      
Definisi Kebudayaan
Kebudayaan merupakan salah satu konsep
sentral dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial. Secara etimologis, istilah
“kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta budhayah, bentuk jamak dari buddhi,
yang berarti “budi” atau “akal.” Dengan demikian, kebudayaan
dapat dipahami sebagai segala hasil olah budi manusia.¹ Dalam perspektif
antropologi modern, Edward B. Tylor mendefinisikan kebudayaan sebagai “keseluruhan
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
adat-istiadat, dan kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat.”²
Definisi ini menunjukkan bahwa
kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan sebuah konstruksi historis
yang hidup, berkembang, dan diwariskan antar generasi. Dalam kerangka filsafat,
kebudayaan dipandang bukan sekadar sebagai fenomena empiris, melainkan sebagai
objek refleksi kritis mengenai hakikat manusia dan dunia yang diciptakannya.³
2.2.      
Filsafat Kebudayaan
sebagai Disiplin Filsafat
Filsafat kebudayaan lahir sebagai
respons terhadap kebutuhan memahami kebudayaan secara mendasar. Sebagai cabang
filsafat, ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti: Apa
hakikat kebudayaan? Bagaimana kebudayaan terbentuk dan berkembang? Apa nilai
dan tujuan kebudayaan? Pertanyaan-pertanyaan ini menempatkan filsafat
kebudayaan dalam posisi unik di antara filsafat umum dan ilmu-ilmu budaya.⁴
Objek material filsafat kebudayaan
adalah kebudayaan itu sendiri, sementara objek formalnya adalah cara pandang
filosofis terhadap kebudayaan. Dengan demikian, filsafat kebudayaan berbeda
dengan antropologi, sosiologi, atau ilmu budaya murni, karena ia tidak hanya
mendeskripsikan, tetapi juga menafsirkan makna terdalam kebudayaan.⁵
2.3.      
Hakikat dan Unsur
Kebudayaan
Secara filosofis, kebudayaan dipahami
sebagai ekspresi eksistensial manusia yang mewujud dalam simbol, nilai, dan
norma. Ernst Cassirer, dalam kerangka filsafat simboliknya, menyatakan bahwa
manusia adalah animal symbolicum—makhluk yang hidup dalam dunia simbol.⁶
Melalui bahasa, seni, agama, dan ilmu pengetahuan, manusia mengonstruksi
realitas budaya yang melampaui dunia biologisnya.
Unsur-unsur kebudayaan mencakup dimensi
material (teknologi, artefak), sosial (hubungan antar manusia, institusi),
serta spiritual (agama, filsafat, nilai moral).⁷ Keseluruhan unsur tersebut
membentuk jalinan kompleks yang tidak dapat dipisahkan dari identitas dan
perkembangan manusia.
2.4.      
Posisi Filsafat
Kebudayaan dalam Khazanah Filsafat
Filsafat kebudayaan memiliki
keterkaitan erat dengan cabang-cabang filsafat lainnya. Dalam aspek ontologis,
ia bersinggungan dengan filsafat manusia (antropologi filosofis) karena
sama-sama membahas eksistensi manusia sebagai pencipta kebudayaan. Dalam aspek
epistemologis, ia berhubungan dengan hermeneutika, semiotika, dan filsafat
ilmu, sebab kebudayaan harus ditafsirkan melalui simbol dan bahasa. Sedangkan
dalam aspek aksiologis, filsafat kebudayaan menyinggung etika dan estetika
karena berhubungan dengan nilai dan keindahan dalam kehidupan manusia.⁸
Dengan demikian, filsafat kebudayaan
berfungsi sebagai jembatan antara refleksi filosofis dengan realitas historis,
sosial, dan spiritual manusia. Ia membantu manusia memahami bukan hanya apa
kebudayaan itu, melainkan juga mengapa dan untuk apa kebudayaan
hadir dalam kehidupan.
Footnotes
[1]               
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi
(Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 181.
[2]               
Edward B. Tylor, Primitive Culture: Researches into
the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art, and Custom,
vol. 1 (London: John Murray, 1871), 1.
[3]               
Ferry Hidayat, Filsafat Kebudayaan: Sebuah
Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 12–15.
[4]               
Alois Wierlacher, Einführung in die
Kulturwissenschaft (München: Wilhelm Fink, 2003), 7–10.
[5]               
Kuntowijoyo, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 22.
[6]               
Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to
a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944), 25.
[7]               
Clyde Kluckhohn, Mirror for Man: The Relation of
Anthropology to Modern Life (New York: Whittlesey House, 1949), 23–26.
[8]               
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences:
Essays on Language, Action, and Interpretation, ed. and trans. John B.
Thompson (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 67–70.
3.          
Sejarah dan
Perkembangan Filsafat Kebudayaan
3.1.      
Latar Historis
Kemunculan Filsafat Kebudayaan
Filsafat kebudayaan sebagai disiplin
filosofis lahir pada penghujung abad ke-19 hingga awal abad ke-20, terutama di
Eropa. Kelahirannya dipengaruhi oleh situasi sosial-intelektual pada masa itu,
yakni krisis modernitas, industrialisasi, serta perubahan struktur masyarakat
yang cepat.¹ Dalam kondisi demikian, filsafat kebudayaan muncul sebagai respons
untuk memahami kebudayaan bukan sekadar sebagai fenomena empiris, melainkan
sebagai kenyataan mendasar yang menentukan arah peradaban.
Selain itu, berkembangnya ilmu-ilmu
budaya (humaniora) dan meningkatnya kesadaran historis turut memberi ruang bagi
filsafat kebudayaan untuk merumuskan dirinya sebagai cabang filsafat yang
berdiri sendiri.²
3.2.      
Tokoh-Tokoh Pelopor
Beberapa tokoh penting meletakkan dasar
bagi filsafat kebudayaan:
·                    
Wilhelm Dilthey
(1833–1911)
Dilthey menekankan pentingnya Geisteswissenschaften
(ilmu-ilmu kemanusiaan) yang berbeda dari ilmu-ilmu alam. Menurutnya,
kebudayaan harus dipahami melalui pengalaman hidup dan pemahaman historis
(Verstehen).³
·                    
Oswald Spengler
(1880–1936)
Dalam karya monumentalnya Der Untergang des Abendlandes
(The Decline of the West), Spengler menafsirkan kebudayaan sebagai
organisme hidup yang memiliki siklus lahir, berkembang, mencapai puncak, lalu
merosot.⁴ Pandangan ini menekankan relativitas dan pluralitas peradaban.
·                    
Ernst Cassirer
(1874–1945)
Cassirer mengembangkan filsafat simbolik dengan gagasan
bahwa manusia adalah animal symbolicum, yakni makhluk yang menciptakan
kebudayaan melalui simbol-simbol: bahasa, seni, mitos, dan ilmu pengetahuan.⁵
Tokoh-tokoh ini membuka jalan bagi
kajian filsafat kebudayaan modern yang menghubungkan refleksi filosofis dengan
pemahaman budaya secara historis dan simbolik.
3.3.      
Perkembangan di
Dunia Non-Barat
Filsafat kebudayaan tidak hanya
berkembang di Eropa, tetapi juga mendapatkan elaborasi di dunia non-Barat.
Dalam konteks dunia Islam, misalnya, pemikir seperti Muhammad Iqbal menekankan
pentingnya dinamika budaya dan spiritualitas Islam dalam menghadapi
modernitas.⁶ Di Indonesia, pemikir seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan Kuntowijoyo
mengangkat dimensi filosofis kebudayaan dalam kaitannya dengan pembangunan dan
identitas nasional.⁷
Perkembangan ini menunjukkan bahwa
filsafat kebudayaan memiliki karakter dialogis, yakni dapat berinteraksi dengan
tradisi-tradisi pemikiran lokal tanpa kehilangan pijakan filosofisnya.
3.4.      
Dinamika Kontemporer
Memasuki abad ke-20 akhir hingga kini,
filsafat kebudayaan semakin terhubung dengan isu-isu global seperti
multikulturalisme, poskolonialisme, globalisasi, dan teknologi digital. Pemikir
seperti Paul Ricoeur menekankan pentingnya hermeneutika untuk memahami
kebudayaan lintas batas.⁸ Clifford Geertz, meskipun seorang antropolog, juga
memberikan kontribusi penting dalam pendekatan interpretatif yang menekankan
kebudayaan sebagai “jaring makna” yang ditenun manusia.⁹
Dengan demikian, filsafat kebudayaan
terus berkembang dari refleksi historis menjadi kerangka kritis yang relevan
untuk memahami tantangan peradaban kontemporer.
Footnotes
[1]               
Wolfgang Welsch, Unsere postmoderne Moderne
(Weinheim: VCH, 1987), 15–20.
[2]               
Alois Wierlacher, Einführung in die
Kulturwissenschaft (München: Wilhelm Fink, 2003), 12–14.
[3]               
Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences,
trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 59–65.
[4]               
Oswald Spengler, The Decline of the West,
trans. Charles Francis Atkinson (New York: Alfred A. Knopf, 1926), 71–80.
[5]               
Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to
a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944),
40–45.
[6]               
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1930), 101–105.
[7]               
Sutan Takdir Alisjahbana, Kebudayaan, Pembangunan,
dan Pembangunan Kebudayaan (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), 33–38;
Kuntowijoyo, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1987), 45–50.
[8]               
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences:
Essays on Language, Action, and Interpretation, ed. and trans. John B.
Thompson (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 115–120.
[9]               
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 5.
4.          
Ontologi Kebudayaan
4.1.      
Hakikat Kebudayaan
Kajian ontologi kebudayaan berfokus
pada pertanyaan mengenai apa kebudayaan itu dalam hakikatnya. Secara filosofis,
kebudayaan dipahami sebagai eksistensi objektif sekaligus hasil ciptaan
manusia.¹ Sebagai eksistensi objektif, kebudayaan memiliki realitas yang hidup
dalam bentuk nilai, norma, bahasa, seni, dan simbol yang diwariskan. Namun, ia
juga merupakan hasil dari aktivitas manusia yang mengolah pengalaman, akal
budi, dan kreativitasnya.² Dengan demikian, kebudayaan tidak hanya sekadar
kumpulan adat atau tradisi, melainkan bentuk perwujudan dari eksistensi manusia
itu sendiri.
4.2.      
Relasi Kebudayaan
dengan Alam dan Sejarah
Kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari
relasinya dengan alam dan sejarah. Manusia sebagai makhluk historis membentuk
kebudayaan melalui interaksi dengan lingkungan alam dan kondisi sosialnya.³
Kebudayaan, dengan demikian, berfungsi sebagai sarana adaptasi manusia terhadap
alam sekaligus sebagai jejak historis yang menandai perkembangan suatu
masyarakat.
Dalam pandangan Oswald Spengler,
kebudayaan bahkan dipahami seperti organisme yang tumbuh dalam konteks ruang
dan waktu tertentu, dengan siklus lahir, berkembang, matang, lalu mengalami
kemunduran.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki dimensi temporal
yang erat dengan sejarah manusia.
4.3.      
Struktur dan Unsur
Kebudayaan
Ontologi kebudayaan juga menyentuh pada
pertanyaan mengenai struktur internal kebudayaan. Clyde Kluckhohn
mengidentifikasi bahwa kebudayaan memiliki unsur-unsur universal, seperti
sistem nilai, norma, teknologi, bahasa, seni, serta pranata sosial.⁵
Unsur-unsur ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait membentuk
sebuah totalitas.
Dalam perspektif Ernst Cassirer,
kebudayaan hadir melalui dunia simbol. Bahasa, mitos, seni, dan ilmu
pengetahuan merupakan ekspresi simbolik manusia yang membentuk realitas
kultural.⁶ Ontologi kebudayaan, dalam kerangka ini, menegaskan bahwa kebudayaan
bukan sekadar kumpulan fakta, tetapi struktur simbolik yang melampaui realitas
biologis.
4.4.      
Kebudayaan sebagai
Objektivasi Roh Manusia
Wilhelm Dilthey melihat kebudayaan
sebagai bentuk objektivasi roh (spirit) manusia. Melalui kebudayaan, pengalaman
subjektif manusia memperoleh bentuk objektif yang dapat diwariskan antar
generasi.⁷ Seni, agama, dan filsafat menjadi medium bagi manusia untuk
mengekspresikan kehidupan batinnya. Dengan demikian, kebudayaan dipahami
sebagai jembatan antara subjektivitas individu dengan realitas kolektif umat
manusia.
Hal ini juga menegaskan bahwa
kebudayaan bukan sekadar produk material, melainkan ekspresi kehidupan rohani
manusia yang meneguhkan eksistensinya di dunia.
Kesimpulan Ontologis
Secara ontologis, kebudayaan dapat
dipahami sebagai realitas yang bersifat ganda: ia sekaligus produk manusia dan
realitas objektif yang membentuk manusia. Kebudayaan memiliki struktur
simbolik, historis, dan spiritual yang menjadikannya inti dari eksistensi
manusia. Ontologi kebudayaan, dengan demikian, membantu manusia memahami
dirinya sebagai makhluk historis, simbolis, dan kreatif.
Footnotes
[1]               
Ferry Hidayat, Filsafat Kebudayaan: Sebuah
Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 18–19.
[2]               
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi
(Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 181.
[3]               
Kuntowijoyo, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 41–42.
[4]               
Oswald Spengler, The Decline of the West,
trans. Charles Francis Atkinson (New York: Alfred A. Knopf, 1926), 56–60.
[5]               
Clyde Kluckhohn, Mirror for Man: The Relation of
Anthropology to Modern Life (New York: Whittlesey House, 1949), 23–26.
[6]               
Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to
a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944),
40–45.
[7]               
Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences,
trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 69–72.
5.          
Epistemologi
Kebudayaan
5.1.      
Hakikat Pengetahuan
tentang Kebudayaan
Epistemologi kebudayaan membahas
pertanyaan mendasar tentang bagaimana manusia mengetahui, memahami, dan
menafsirkan kebudayaan. Pengetahuan tentang kebudayaan berbeda dari pengetahuan
tentang alam. Jika ilmu alam berusaha menjelaskan (erklären) gejala
dengan hukum kausal, maka pemahaman tentang kebudayaan lebih bersifat
hermeneutik, yaitu upaya memahami (verstehen) makna yang terkandung
dalam simbol, bahasa, dan tindakan manusia.¹ Dengan demikian, epistemologi
kebudayaan menekankan pendekatan interpretatif ketimbang eksperimental.
5.2.      
Metode Pengetahuan
Kebudayaan
Berbagai metode epistemologis digunakan
untuk memahami kebudayaan, di antaranya:
·                    
Hermeneutika
Sebagai metode penafsiran, hermeneutika digunakan untuk
memahami makna teks, tradisi, atau simbol budaya. Wilhelm Dilthey menekankan
bahwa memahami kebudayaan berarti masuk ke dalam horizon pengalaman hidup orang
lain melalui interpretasi.²
·                    
Fenomenologi
Edmund Husserl dan penerusnya memandang kebudayaan sebagai
fenomena kesadaran yang harus digali maknanya secara esensial. Alfred Schutz,
misalnya, mengembangkan fenomenologi sosial yang menyoroti bagaimana tindakan
manusia membentuk realitas intersubjektif.³
·                    
Strukturalisme dan
Semiotika
Claude Lévi-Strauss mengembangkan analisis struktural untuk
menyingkap pola-pola universal dalam mitos, bahasa, dan adat. Roland Barthes
melanjutkan tradisi ini dengan semiotika, melihat kebudayaan sebagai sistem
tanda yang sarat makna.⁴
Metode-metode ini memperlihatkan bahwa
epistemologi kebudayaan beragam, namun tetap berpusat pada upaya memahami makna
simbolis dari kehidupan manusia.
5.3.      
Ilmu-ilmu Budaya dan
Filsafat Kebudayaan
Epistemologi kebudayaan juga berkaitan
erat dengan ilmu-ilmu budaya (cultural sciences). Antropologi, sosiologi,
filologi, sejarah, hingga ilmu komunikasi menyediakan data empiris tentang
praktik budaya. Namun, filsafat kebudayaan memberikan refleksi kritis atas
dasar, makna, dan tujuan kebudayaan itu sendiri.⁵ Dengan kata lain, filsafat
kebudayaan melengkapi ilmu-ilmu budaya dengan perspektif normatif dan
reflektif.
5.4.      
Kebudayaan sebagai
Teks Terbuka
Paul Ricoeur mengembangkan pandangan bahwa
kebudayaan dapat dipahami sebagai teks yang selalu terbuka untuk interpretasi.⁶
Teks budaya, seperti karya sastra, ritus keagamaan, atau simbol politik, tidak
memiliki makna tunggal, melainkan senantiasa terbuka pada penafsiran baru
sesuai dengan konteks historis. Clifford Geertz menegaskan hal serupa dengan
menyatakan bahwa kebudayaan adalah “jaring makna” yang ditenun manusia,
sehingga memahaminya berarti membaca tanda-tanda kehidupan sosial.⁷
5.5.      
Dimensi Kritis
Epistemologi Kebudayaan
Epistemologi kebudayaan tidak hanya
berhenti pada deskripsi makna, tetapi juga melibatkan kritik. Habermas,
misalnya, melalui teori tindakan komunikatif, mengingatkan bahwa komunikasi
budaya dapat didistorsi oleh kepentingan kekuasaan.⁸ Dengan demikian, epistemologi
kebudayaan juga berperan sebagai alat kritis untuk membongkar struktur
ideologis yang tersembunyi dalam kebudayaan.
Footnotes
[1]               
Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences,
trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 59–65.
[2]               
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–275.
[3]               
Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social
World, trans. George Walsh and Frederick Lehnert (Evanston: Northwestern
University Press, 1967), 12–18.
[4]               
Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology
(New York: Basic Books, 1963), 206–210; Roland Barthes, Mythologies,
trans. Annette Lavers (New York: Hill and Wang, 1972), 109–112.
[5]               
Ferry Hidayat, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 33–35.
[6]               
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and
the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press,
1976), 87–90.
[7]               
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 5.
[8]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Volume One: Reason and the Rationalization of Society, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–290.
6.          
Aksiologi Kebudayaan
6.1.      
Kebudayaan sebagai
Ranah Nilai
Aksiologi kebudayaan membahas dimensi
nilai dari kebudayaan: apa yang dianggap baik, indah, dan bernilai dalam
kehidupan manusia. Kebudayaan tidak hanya berupa sistem simbol dan praktik
sosial, tetapi juga wadah bagi internalisasi nilai-nilai yang membentuk
orientasi hidup manusia.¹ Nilai-nilai tersebut dapat berupa etika, estetika,
religiusitas, maupun norma sosial yang mengarahkan perilaku manusia. Dengan
demikian, kebudayaan menjadi arena di mana manusia bukan hanya “ada”,
melainkan juga “bermakna.”
6.2.      
Relativisme Budaya
dan Universalisme Nilai
Salah satu problem utama dalam
aksiologi kebudayaan adalah hubungan antara relativisme dan universalisme
nilai. Relativisme budaya beranggapan bahwa setiap kebudayaan memiliki sistem
nilai yang unik dan tidak dapat diukur dengan standar kebudayaan lain.² Namun,
perspektif ini sering ditantang oleh gagasan universalisme yang menekankan
adanya nilai-nilai dasar yang bersifat universal, seperti keadilan, kebenaran,
dan martabat manusia.³
Debat antara relativisme dan universalisme
ini tampak jelas dalam diskursus hak asasi manusia, di mana nilai-nilai
universal sering dipertanyakan relevansinya dalam konteks kebudayaan lokal.⁴
Filsafat kebudayaan berfungsi untuk menjembatani ketegangan ini dengan
menawarkan refleksi kritis terhadap dasar-dasar normatif kebudayaan.
6.3.      
Etika dalam
Kebudayaan
Etika dalam kebudayaan menyangkut
bagaimana masyarakat membentuk norma moral untuk mengatur kehidupan bersama.
Dalam perspektif Alasdair MacIntyre, kebudayaan menyediakan kerangka naratif
yang memungkinkan manusia memahami konsep baik dan buruk.⁵ Etika budaya bukan
hanya bersifat normatif, tetapi juga historis karena ia tumbuh dari tradisi
tertentu.
Selain itu, kebudayaan juga dapat
menjadi medium kritik etika. Misalnya, budaya konsumerisme atau hedonisme
sering dipandang sebagai bentuk penyimpangan nilai yang harus ditinjau ulang
secara kritis.⁶
6.4.      
Estetika dan
Kreativitas Budaya
Selain etika, kebudayaan juga sarat
dengan nilai estetis. Seni, musik, sastra, dan arsitektur adalah manifestasi
estetika yang memperkaya kehidupan manusia. Ernst Cassirer menekankan bahwa
melalui simbol-simbol estetis, manusia mengaktualisasikan dimensi kreatifnya
dan menegaskan identitas kulturalnya.⁷ Estetika dalam kebudayaan tidak sekadar
menghadirkan keindahan, tetapi juga berfungsi sebagai medium komunikasi nilai
dan pengalaman eksistensial.
6.5.      
Kebudayaan dan
Religiusitas
Dimensi lain yang penting adalah
religiusitas dalam kebudayaan. Clifford Geertz menafsirkan agama sebagai sistem
simbol yang membentuk suasana hati dan motivasi manusia dengan memberikan
kerangka makna terhadap dunia.⁸ Nilai-nilai religius ini menjadi salah satu
fondasi kebudayaan yang menghubungkan manusia dengan yang transenden. Dengan
demikian, aksiologi kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari dimensi spiritual
yang menyatu dalam kehidupan manusia.
6.6.      
Kebudayaan sebagai
Sarana Pembentukan Manusia Seutuhnya
Akhirnya, aksiologi kebudayaan
menegaskan bahwa kebudayaan memiliki fungsi humanistik, yakni membentuk manusia
seutuhnya. Melalui nilai-nilai etika, estetika, dan religiusitas, kebudayaan
menjadi medium untuk mengembangkan martabat, kebebasan, dan tanggung jawab
manusia.⁹ Filsafat kebudayaan, dengan demikian, tidak hanya mengkaji makna
kebudayaan secara teoritis, tetapi juga mengajukan refleksi kritis atas
bagaimana kebudayaan dapat memperkuat kemanusiaan.
Footnotes
[1]               
Ferry Hidayat, Filsafat Kebudayaan: Sebuah
Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 52–55.
[2]               
Melville J. Herskovits, Cultural Relativism:
Perspectives in Cultural Pluralism (New York: Random House, 1972), 31–35.
[3]               
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development:
The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
38–42.
[4]               
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and
Practice (Ithaca: Cornell University Press, 2003), 25–28.
[5]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral
Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007),
216–220.
[6]               
Zygmunt Bauman, Consuming Life (Cambridge:
Polity Press, 2007), 12–15.
[7]               
Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to
a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944),
85–90.
[8]               
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 90–91.
[9]               
Kuntowijoyo, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 61–65.
7.          
Tokoh-Tokoh Utama
dalam Filsafat Kebudayaan
7.1.      
Wilhelm Dilthey
(1833–1911)
Wilhelm Dilthey dianggap sebagai salah
satu peletak dasar filsafat kebudayaan modern. Ia membedakan ilmu-ilmu alam (Naturwissenschaften)
dengan ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Menurutnya, ilmu
alam menjelaskan (erklären) fenomena melalui hukum kausal, sementara
ilmu kemanusiaan memahami (verstehen) makna kehidupan manusia.¹
Kebudayaan, bagi Dilthey, merupakan objektivasi dari pengalaman hidup yang
hanya dapat dipahami melalui interpretasi historis.² Dengan demikian, ia
menekankan pentingnya hermeneutika dalam studi kebudayaan.
7.2.      
Oswald Spengler
(1880–1936)
Oswald Spengler terkenal melalui
karyanya Der Untergang des Abendlandes (The Decline of the West),
di mana ia memandang kebudayaan sebagai organisme hidup dengan siklus tertentu:
lahir, berkembang, mencapai puncak, dan akhirnya mengalami kemunduran.³
Pandangan ini menolak gagasan linearitas sejarah dan menggantinya dengan
pluralitas kebudayaan yang masing-masing memiliki “jiwa” dan dinamika
sendiri.⁴ Spengler menekankan relativisme historis kebudayaan, meskipun
pandangannya sering dikritik karena deterministik.
7.3.      
Ernst Cassirer
(1874–1945)
Ernst Cassirer memberikan kontribusi
penting dengan mengembangkan filsafat simbolik. Ia menegaskan bahwa manusia
adalah animal symbolicum, yakni makhluk yang membangun dunianya melalui
simbol-simbol seperti bahasa, mitos, seni, dan ilmu pengetahuan.⁵ Dengan
demikian, kebudayaan tidak dipahami sekadar sebagai produk material, melainkan
sebagai struktur simbolis yang menegaskan identitas manusia. Pemikiran Cassirer
memperluas horizon filsafat kebudayaan dengan mengintegrasikan dimensi
epistemologis dan semiotik.
7.4.      
José Ortega y Gasset
(1883–1955)
Filsuf Spanyol José Ortega y Gasset
mengembangkan gagasan bahwa manusia senantiasa hidup dalam situasi historis
yang spesifik. Melalui karyanya The Revolt of the Masses, ia mengkritik
budaya massa modern yang dianggap mengikis individualitas dan kualitas
intelektual.⁶ Ortega y Gasset menekankan pentingnya kebudayaan sebagai wadah
pembentukan pribadi dan tanggung jawab sosial.
7.5.      
Alfred Weber
(1868–1958)
Sebagai adik dari Max Weber, Alfred
Weber mengembangkan teori kebudayaan dengan menekankan aspek nilai dan
kreativitas spiritual. Ia membedakan antara proses sosial-ekonomi yang dapat
diukur dengan perkembangan kebudayaan yang sarat nilai.⁷ Kebudayaan,
menurutnya, merupakan ekspresi bebas dari daya cipta manusia, bukan sekadar
akibat dari faktor ekonomi.
Pemikir Kontemporer: Paul Ricoeur dan Clifford Geertz
Pada abad ke-20, Paul Ricoeur
mengembangkan pendekatan hermeneutika yang sangat berpengaruh dalam filsafat
kebudayaan. Ia menekankan bahwa kebudayaan dapat dipahami sebagai “teks”
yang terbuka bagi penafsiran tanpa akhir.⁸ Clifford Geertz, seorang antropolog,
memberikan kontribusi dengan pendekatan interpretatif, di mana kebudayaan
dipandang sebagai “jaring makna” yang ditenun manusia.⁹ Meskipun bukan
seorang filsuf murni, Geertz memperkaya epistemologi kebudayaan dengan
metodologi interpretatif yang filosofis.
Sintesis Peran Tokoh
Tokoh-tokoh utama dalam filsafat
kebudayaan menunjukkan keragaman pendekatan: Dilthey dengan hermeneutika
historis, Spengler dengan teori siklus kebudayaan, Cassirer dengan filsafat
simbolik, Ortega y Gasset dengan kritik budaya massa, Weber dengan teori nilai,
serta Ricoeur dan Geertz dengan hermeneutika dan interpretasi budaya.
Seluruhnya menegaskan bahwa kebudayaan adalah medan makna yang tak habis
ditafsirkan dan menjadi pusat eksistensi manusia.
Footnotes
[1]               
Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences,
trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 59–65.
[2]               
Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume III: The
Formation of the Historical World in the Human Sciences, ed. Rudolf A.
Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 2002),
103–107.
[3]               
Oswald Spengler, The Decline of the West,
trans. Charles Francis Atkinson (New York: Alfred A. Knopf, 1926), 56–60.
[4]               
H. Stuart Hughes, Oswald Spengler: A Critical
Estimate (New York: Scribner’s, 1952), 45–49.
[5]               
Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to
a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944),
25–30.
[6]               
José Ortega y Gasset, The Revolt of the Masses,
trans. Anonymous (New York: W.W. Norton, 1932), 12–15.
[7]               
Alfred Weber, Kulturgeschichte als Kultursoziologie
(Munich: Piper, 1935), 88–92.
[8]               
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and
the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press,
1976), 45–50.
[9]               
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 5.
8.          
Tema-Tema Kunci
dalam Filsafat Kebudayaan
8.1.      
Kebudayaan dan Agama
Salah satu tema utama dalam filsafat
kebudayaan adalah hubungan kebudayaan dengan agama. Agama dipandang sebagai
sumber nilai, simbol, dan makna yang membentuk kebudayaan. Clifford Geertz,
misalnya, menafsirkan agama sebagai sistem simbol yang mengarahkan tindakan
manusia dengan membentuk suasana hati dan motivasi yang kuat.¹ Dalam perspektif
ini, kebudayaan dan agama saling terkait secara dialektis: agama memberi
fondasi transenden bagi kebudayaan, sementara kebudayaan memberikan bentuk
konkret bagi ekspresi religiusitas.
8.2.      
Kebudayaan dan
Identitas Manusia
Kebudayaan juga menjadi sarana pembentukan
identitas manusia, baik secara individual maupun kolektif. Identitas kultural
menegaskan siapa manusia dalam relasi dengan komunitas dan sejarahnya. Stuart
Hall menekankan bahwa identitas bersifat konstruktif, historis, dan senantiasa
berubah.² Dengan demikian, filsafat kebudayaan tidak hanya membahas kebudayaan
sebagai produk, tetapi juga sebagai proses yang membentuk jati diri manusia.
8.3.      
Kebudayaan dan
Bahasa sebagai Medium Simbolik
Bahasa merupakan medium simbolik utama
kebudayaan. Ernst Cassirer menekankan bahwa bahasa adalah sistem simbol yang
memungkinkan manusia menafsirkan dan membangun realitas.³ Melalui bahasa,
manusia tidak sekadar menyampaikan informasi, melainkan membentuk makna
kolektif. Bahasa juga menjadi sarana pewarisan tradisi dan pengetahuan antar
generasi, sehingga ia menjadi inti dari filsafat kebudayaan.
8.4.      
Kebudayaan,
Teknologi, dan Modernitas
Tema lain yang krusial adalah hubungan
kebudayaan dengan teknologi. Martin Heidegger, dalam esainya “The Question
Concerning Technology,” memperingatkan bahwa teknologi modern dapat
mengubah cara manusia memahami dunia, menjadikannya sekadar “standing
reserve” atau sumber daya yang siap dieksploitasi.⁴ Dengan demikian,
filsafat kebudayaan perlu mengkaji dampak teknologi terhadap nilai, cara hidup,
dan relasi manusia dengan alam.
Modernitas sendiri membawa dinamika
baru dalam kebudayaan, seperti lahirnya budaya massa, konsumerisme, dan
globalisasi. Zygmunt Bauman menyebut fenomena ini sebagai “modernitas cair,”
di mana nilai-nilai dan identitas menjadi fleksibel, cair, dan penuh
ketidakpastian.⁵
8.5.      
Kebudayaan dalam
Konteks Globalisasi
Globalisasi menjadikan kebudayaan
semakin saling berinteraksi, berbaur, bahkan bertabrakan. Samuel P. Huntington
memperkenalkan gagasan “benturan peradaban,” di mana identitas budaya
dan agama menjadi faktor utama dalam konflik global.⁶ Namun, banyak pemikir
lain menekankan dimensi dialogis globalisasi, yakni peluang untuk membangun
pemahaman lintas budaya dan memperkuat multikulturalisme.⁷
Dengan demikian, filsafat kebudayaan
menghadirkan kerangka kritis untuk memahami globalisasi bukan hanya sebagai
proses ekonomi, tetapi juga sebagai transformasi nilai dan identitas manusia.
Footnotes
[1]               
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 90–91.
[2]               
Stuart Hall, Cultural Identity and Diaspora,
dalam Identity: Community, Culture, Difference, ed. Jonathan Rutherford
(London: Lawrence & Wishart, 1990), 222–225.
[3]               
Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to
a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944),
85–90.
[4]               
Martin Heidegger, The Question Concerning
Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977),
12–15.
[5]               
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge:
Polity Press, 2000), 6–9.
[6]               
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations
and the Remaking of World Order (New York: Simon & Schuster, 1996),
21–22.
[7]               
Wolfgang Welsch, Undoing Aesthetics (London:
Sage Publications, 1997), 47–49.
9.          
Kritik dan Isu
Kontemporer dalam Filsafat Kebudayaan
9.1.      
Tantangan
Globalisasi dan Homogenisasi Budaya
Salah satu isu utama dalam filsafat
kebudayaan kontemporer adalah dampak globalisasi. Globalisasi, di satu sisi,
mempertemukan berbagai kebudayaan dalam interaksi yang semakin intensif, tetapi
di sisi lain juga berisiko melahirkan homogenisasi budaya.¹ Produk-produk
budaya populer, seperti musik, film, dan fesyen global, kerap mendominasi
sehingga melemahkan identitas lokal.² Hal ini menimbulkan pertanyaan filosofis
mengenai keberlangsungan keragaman budaya dalam dunia yang semakin
terintegrasi.
9.2.      
Multikulturalisme
dan Dialog Antarbudaya
Sebagai respons atas homogenisasi,
muncul wacana multikulturalisme yang menekankan pengakuan dan penghargaan
terhadap perbedaan budaya. Bhikhu Parekh menegaskan bahwa multikulturalisme
bukan sekadar toleransi pasif, melainkan keterlibatan aktif dalam membangun
dialog dan koeksistensi antarbudaya.³ Filsafat kebudayaan berperan penting
dalam menyediakan landasan normatif untuk membangun relasi yang adil antara
berbagai identitas budaya.
9.3.      
Krisis Nilai dan
Budaya Konsumerisme
Isu lain yang menonjol adalah krisis
nilai akibat berkembangnya budaya konsumerisme. Zygmunt Bauman menyatakan bahwa
dalam “masyarakat konsumen,” nilai manusia diukur dari kapasitasnya
untuk mengonsumsi, bukan dari kualitas moral atau spiritualnya.⁴ Kondisi ini
memunculkan krisis makna, di mana kebudayaan direduksi menjadi komoditas yang
kehilangan kedalaman etis dan eksistensial.
9.4.      
Isu Poskolonial dan
Dekolonisasi Pengetahuan
Dalam kajian kontemporer, filsafat
kebudayaan juga menyoroti warisan kolonialisme yang masih membentuk relasi
pengetahuan dan kekuasaan. Edward Said, melalui Orientalism, menunjukkan
bagaimana wacana Barat membangun representasi tentang Timur sebagai “yang
lain” untuk melanggengkan dominasi.⁵ Pemikiran poskolonial menuntut
dekolonisasi pengetahuan, yakni membongkar hierarki epistemologis yang
menempatkan kebudayaan Barat sebagai pusat dan budaya lain sebagai perifer.⁶
9.5.      
Kebudayaan Digital
dan Tantangan Baru
Revolusi digital menghadirkan tantangan
baru dalam filsafat kebudayaan. Dunia digital menciptakan ruang virtual di mana
identitas, interaksi, dan ekspresi budaya berlangsung secara intensif. Manuel
Castells menyebut fenomena ini sebagai “masyarakat jaringan,” di mana
budaya terbentuk dalam ruang siber yang transnasional.⁷ Namun, kebudayaan
digital juga menimbulkan persoalan etis, seperti penyebaran informasi palsu,
polarisasi sosial, dan hilangnya otoritas pengetahuan tradisional.⁸
9.6.      
Kritik Umum terhadap
Filsafat Kebudayaan
Secara metodologis, filsafat kebudayaan
juga dikritik karena dianggap terlalu abstrak dan kurang operasional
dibandingkan ilmu-ilmu sosial. Beberapa sarjana menilai bahwa filsafat
kebudayaan cenderung spekulatif tanpa dukungan empiris yang memadai.⁹ Namun,
kritik ini sekaligus memperkuat posisi filsafat kebudayaan sebagai refleksi
normatif dan kritis yang melengkapi analisis empiris dari disiplin lain.
Footnotes
[1]               
Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural
Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press,
1996), 27–30.
[2]               
John Tomlinson, Globalization and Culture
(Chicago: University of Chicago Press, 1999), 79–83.
[3]               
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge: Harvard University
Press, 2000), 13–16.
[4]               
Zygmunt Bauman, Consuming Life (Cambridge:
Polity Press, 2007), 11–15.
[5]               
Edward W. Said, Orientalism (New York: Vintage
Books, 1979), 1–3.
[6]               
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western
Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University
Press, 2011), 56–60.
[7]               
Manuel Castells, The Rise of the Network Society
(Oxford: Blackwell, 1996), 469–472.
[8]               
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New
York: PublicAffairs, 2019), 21–24.
[9]               
Wolfgang Welsch, Unsere postmoderne Moderne
(Weinheim: VCH, 1987), 90–93.
10.      
Relevansi Filsafat
Kebudayaan bagi Kehidupan Kontemporer
10.1.   
Refleksi Kritis
terhadap Dinamika Zaman
Filsafat kebudayaan memiliki relevansi
besar dalam menganalisis dinamika kehidupan kontemporer. Dunia modern ditandai
oleh percepatan teknologi, globalisasi, dan transformasi nilai. Dalam kondisi
demikian, filsafat kebudayaan berfungsi sebagai refleksi kritis untuk menimbang
kembali arah perkembangan masyarakat.¹ Melalui perspektif filosofis, kebudayaan
dipahami bukan sekadar fenomena sosial, tetapi juga medan nilai yang menentukan
kualitas peradaban manusia.
10.2.   
Peran dalam
Pendidikan dan Pembentukan Karakter
Pendidikan merupakan salah satu ruang
paling penting bagi penerapan filsafat kebudayaan. Kebudayaan, melalui nilai,
simbol, dan tradisi, menjadi sarana pembentukan identitas dan karakter
manusia.² Dalam kerangka ini, filsafat kebudayaan berfungsi menuntun pendidikan
agar tidak hanya berorientasi pada pengetahuan teknis, tetapi juga pada
pengembangan moral, estetika, dan spiritualitas.³ Pendidikan yang berakar pada
filsafat kebudayaan membantu melahirkan manusia yang tidak tercerabut dari
tradisinya, namun tetap terbuka pada dialog dengan dunia global.
10.3.   
Dialog Antarbudaya
dan Perdamaian Global
Dalam era globalisasi, konflik
identitas kultural sering menjadi sumber ketegangan. Filsafat kebudayaan
menyediakan landasan reflektif bagi dialog antarbudaya untuk membangun
pemahaman lintas perbedaan. Paul Ricoeur menekankan pentingnya hermeneutika
dialogis sebagai cara untuk membuka ruang pertemuan yang saling memperkaya
antartradisi budaya.⁴ Dengan demikian, filsafat kebudayaan berkontribusi pada
upaya menciptakan perdamaian global melalui pemahaman dan penghargaan terhadap
keragaman.
10.4.   
Respon terhadap
Tantangan Teknologi Digital
Perkembangan teknologi digital telah
mengubah pola interaksi, identitas, bahkan cara manusia memahami dunia.
Filsafat kebudayaan memiliki peran penting untuk mengkritisi dampak teknologi digital
terhadap nilai dan makna kehidupan. Manuel Castells menyebut era ini sebagai “masyarakat
jaringan” di mana kebudayaan bersifat cair, transnasional, dan terus
berubah.⁵ Filsafat kebudayaan membantu manusia menyikapi fenomena ini dengan
kesadaran kritis agar tidak terjebak dalam alienasi atau reduksi makna.
10.5.   
Kebudayaan sebagai
Basis Pembangunan Manusiawi
Akhirnya, filsafat kebudayaan relevan
dalam merumuskan paradigma pembangunan yang lebih manusiawi. Alih-alih
berorientasi semata pada pertumbuhan ekonomi, pembangunan harus memperhatikan
dimensi kebudayaan: identitas, nilai, dan kreativitas masyarakat.⁶ Dengan
demikian, filsafat kebudayaan berkontribusi pada pembangunan yang
berkelanjutan, berakar pada tradisi, tetapi tetap terbuka terhadap pembaruan.
Sintesis Relevansi Kontemporer
Keseluruhan analisis menunjukkan bahwa
filsafat kebudayaan tetap aktual dalam dunia kontemporer. Ia bukan sekadar
refleksi akademis, tetapi juga praksis kritis yang menuntun manusia memahami
diri, berinteraksi lintas budaya, serta menghadapi tantangan global. Dengan
demikian, filsafat kebudayaan memiliki peran strategis dalam menjaga
keseimbangan antara tradisi, modernitas, dan kemanusiaan.
Footnotes
[1]               
Wolfgang Welsch, Unsere postmoderne Moderne
(Weinheim: VCH, 1987), 112–115.
[2]               
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan (Yogyakarta:
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1962), 23–27.
[3]               
Ferry Hidayat, Filsafat Kebudayaan: Sebuah
Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 78–81.
[4]               
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 318–322.
[5]               
Manuel Castells, The Rise of the Network Society
(Oxford: Blackwell, 1996), 469–472.
[6]               
Amartya Sen, Development as Freedom (New York:
Alfred A. Knopf, 1999), 35–39.
11.      
Penutup
Filsafat kebudayaan hadir sebagai
cabang filsafat yang berupaya memahami hakikat, struktur, nilai, dan dinamika
kebudayaan dalam kehidupan manusia. Kajian ini menegaskan bahwa kebudayaan
bukan sekadar kumpulan adat atau praktik sosial, melainkan wujud eksistensial
manusia sebagai makhluk historis, simbolis, dan kreatif.¹ Melalui pendekatan
ontologis, epistemologis, dan aksiologis, filsafat kebudayaan membuka horizon
pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana kebudayaan terbentuk, dimaknai,
dan diwariskan.
Secara historis, filsafat kebudayaan
diperkaya oleh tokoh-tokoh seperti Wilhelm Dilthey, Oswald Spengler, Ernst
Cassirer, hingga pemikir kontemporer seperti Paul Ricoeur dan Clifford Geertz.²
Pemikiran mereka menunjukkan keragaman perspektif dalam memandang
kebudayaan—baik sebagai organisme hidup, struktur simbol, teks terbuka, maupun
jaring makna yang menuntut interpretasi. Keanekaragaman pendekatan ini menjadi
kekayaan metodologis sekaligus memperlihatkan kompleksitas kebudayaan itu
sendiri.
Dalam konteks kontemporer, filsafat
kebudayaan semakin relevan di tengah tantangan globalisasi, homogenisasi
budaya, krisis nilai, serta perkembangan teknologi digital.³ Ia tidak hanya
berfungsi sebagai refleksi teoretis, melainkan juga sebagai praksis kritis yang
menuntun manusia menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan identitas dan
nilai kemanusiaannya. Filsafat kebudayaan mendorong dialog antarbudaya,
memperkuat pendidikan berbasis nilai, dan mengkritisi ideologi-ideologi dominan
yang dapat mereduksi makna hidup manusia.
Dengan demikian, filsafat kebudayaan
memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan antara tradisi dan
modernitas, antara partikularitas lokal dan universalitas global. Ia meneguhkan
kebudayaan sebagai sarana pembentukan manusia seutuhnya, sekaligus membuka
jalan bagi pembangunan peradaban yang lebih manusiawi.⁴ Oleh sebab itu,
pengembangan filsafat kebudayaan di masa depan perlu terus diarahkan pada upaya
memperkuat refleksi kritis dan memperluas dialog lintas tradisi demi
terciptanya kehidupan global yang damai, adil, dan bermakna.
Footnotes
[1]               
Ernst Cassirer, An Essay on Man: An Introduction to
a Philosophy of Human Culture (New Haven: Yale University Press, 1944),
85–90.
[2]               
Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences,
trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 59–65;
Oswald Spengler, The Decline of the West, trans. Charles Francis
Atkinson (New York: Alfred A. Knopf, 1926), 71–80; Paul Ricoeur, Interpretation
Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian
University Press, 1976), 87–90.
[3]               
Zygmunt Bauman, Consuming Life (Cambridge:
Polity Press, 2007), 12–15; Manuel Castells, The Rise of the Network Society
(Oxford: Blackwell, 1996), 469–472.
[4]               
Amartya Sen, Development as Freedom (New York:
Alfred A. Knopf, 1999), 35–39.
Daftar Pustaka
Alisjahbana, S. T. (1977). Kebudayaan,
pembangunan, dan pembangunan kebudayaan. Jakarta: Dian Rakyat.
Appadurai, A. (1996). Modernity at
large: Cultural dimensions of globalization. Minneapolis: University of
Minnesota Press.
Barthes, R. (1972). Mythologies
(A. Lavers, Trans.). New York: Hill and Wang.
Bauman, Z. (2000). Liquid
modernity. Cambridge: Polity Press.
Bauman, Z. (2007). Consuming life.
Cambridge: Polity Press.
Cassirer, E. (1944). An essay on
man: An introduction to a philosophy of human culture. New Haven: Yale
University Press.
Castells, M. (1996). The rise of
the network society. Oxford: Blackwell.
Dewantara, K. H. (1962). Pendidikan.
Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
Dilthey, W. (1988). Introduction
to the human sciences (R. J. Betanzos, Trans.). Detroit: Wayne State
University Press.
Dilthey, W. (2002). Selected
works, Volume III: The formation of the historical world in the human sciences
(R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds.). Princeton: Princeton University Press.
Donnelly, J. (2003). Universal
human rights in theory and practice. Ithaca: Cornell University Press.
Geertz, C. (1973). The
interpretation of cultures. New York: Basic Books.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and
method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.
Hall, S. (1990). Cultural identity
and diaspora. In J. Rutherford (Ed.), Identity: Community, culture,
difference (pp. 222–237). London: Lawrence & Wishart.
Habermas, J. (1984). The theory of
communicative action, Volume One: Reason and the rationalization of society
(T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.
Herskovits, M. J. (1972). Cultural
relativism: Perspectives in cultural pluralism. New York: Random House.
Hidayat, F. (2012). Filsafat
kebudayaan: Sebuah pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hughes, H. S. (1952). Oswald
Spengler: A critical estimate. New York: Scribner’s.
Huntington, S. P. (1996). The
clash of civilizations and the remaking of world order. New York: Simon
& Schuster.
Iqbal, M. (1930). The
reconstruction of religious thought in Islam. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.
Kluckhohn, C. (1949). Mirror for
man: The relation of anthropology to modern life. New York: Whittlesey
House.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar
ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kuntowijoyo. (1987). Kebudayaan,
mentalitet dan pembangunan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lévi-Strauss, C. (1963). Structural
anthropology. New York: Basic Books.
MacIntyre, A. (2007). After virtue:
A study in moral theory (3rd ed.). Notre Dame: University of Notre Dame
Press.
Mignolo, W. D. (2011). The darker
side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Durham: Duke
University Press.
Nussbaum, M. C. (2000). Women and
human development: The capabilities approach. Cambridge: Cambridge
University Press.
Ortega y Gasset, J. (1932). The
revolt of the masses. New York: W. W. Norton.
Parekh, B. (2000). Rethinking
multiculturalism: Cultural diversity and political theory. Cambridge: Harvard
University Press.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation
theory: Discourse and the surplus of meaning. Fort Worth: Texas Christian
University Press.
Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics
and the human sciences: Essays on language, action, and interpretation (J.
B. Thompson, Ed. & Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as
another (K. Blamey, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Said, E. W. (1979). Orientalism.
New York: Vintage Books.
Schutz, A. (1967). The phenomenology
of the social world (G. Walsh & F. Lehnert, Trans.). Evanston:
Northwestern University Press.
Sen, A. (1999). Development as
freedom. New York: Alfred A. Knopf.
Spengler, O. (1926). The decline
of the West (C. F. Atkinson, Trans.). New York: Alfred A. Knopf.
Tylor, E. B. (1871). Primitive
culture: Researches into the development of mythology, philosophy, religion,
language, art, and custom (Vol. 1). London: John Murray.
Weber, A. (1935). Kulturgeschichte
als Kultursoziologie. Munich: Piper.
Welsch, W. (1987). Unsere
postmoderne Moderne. Weinheim: VCH.
Welsch, W. (1997). Undoing
aesthetics. London: Sage Publications.
Zuboff, S. (2019). The age of
surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of
power. New York: PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar