Senin, 27 Oktober 2025

Etika Diskursus: Rasionalitas Komunikatif, Moralitas Universal, dan Ruang Publik dalam Filsafat Kontemporer

Etika Diskursus

Rasionalitas Komunikatif, Moralitas Universal, dan Ruang Publik dalam Filsafat Kontemporer


Alihkan ke: Filsafat Lingkungan.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif gagasan Etika Diskursus (Diskursethik) yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas sebagai upaya rekonstruksi rasionalitas moral dalam konteks modernitas yang terfragmentasi. Etika Diskursus berangkat dari kritik terhadap rasionalitas instrumental dan menawarkan paradigma baru berbasis rasionalitas komunikatif, yaitu bentuk rasionalitas yang berorientasi pada pemahaman, konsensus, dan komunikasi bebas dari dominasi. Melalui pendekatan intersubjektif, Habermas menegaskan bahwa legitimasi moral dan politik tidak berasal dari otoritas eksternal, tetapi dari proses diskursus rasional yang inklusif dan reflektif.

Artikel ini menelusuri landasan historis Etika Diskursus dari akar Kantian, pragmatisme Amerika, dan teori tindakan simbolik George Herbert Mead, serta menguraikan struktur ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Secara aksiologis, Etika Diskursus mengandung nilai rasionalitas, otonomi moral, dan solidaritas yang menjadi dasar bagi etika publik dan demokrasi deliberatif. Pada tataran sosial dan politik, etika ini menegaskan pentingnya ruang publik yang rasional sebagai arena pembentukan legitimasi hukum dan moral melalui partisipasi warga yang setara.

Berbagai kritik dari aliran postmodern, feminis, dan komunitarian menyoroti keterbatasan universalisme Habermas dan idealisasi komunikasi bebas dari kekuasaan. Namun, kritik-kritik tersebut justru memperkaya Etika Diskursus, menjadikannya teori terbuka yang terus berevolusi. Dalam konteks kontemporer—terutama di era digital dan globalisasi—Etika Diskursus tetap relevan sebagai landasan etis bagi demokrasi, ruang publik digital, dan dialog lintas budaya.

Sebagai sintesis, artikel ini menempatkan Etika Diskursus dalam kerangka Etika Komunikatif Humanistik, yaitu visi moral yang menggabungkan rasionalitas dengan kemanusiaan, moralitas dengan solidaritas, serta teori dengan praksis sosial. Melalui komunikasi reflektif dan dialog etis, manusia tidak hanya menegakkan keadilan dan kebenaran, tetapi juga memulihkan makna kemanusiaan dalam kehidupan sosial yang plural dan kompleks.

Kata Kunci: Etika Diskursus, Jürgen Habermas, Rasionalitas Komunikatif, Moralitas Universal, Demokrasi Deliberatif, Solidaritas, Ruang Publik, Etika Humanistik, Komunikasi Intersubjektif, Filsafat Moral Kontemporer.


PEMBAHASAN

Etika Diskursus Jürgen Habermas


1.           Pendahuluan

Krisis rasionalitas dan moralitas yang melanda masyarakat modern, terutama setelah dominasi rasionalitas instrumental dalam proyek modernitas, menimbulkan kebutuhan mendesak akan rekonstruksi etika yang berakar pada komunikasi dan konsensus. Dalam konteks inilah Jürgen Habermas memperkenalkan Etika Diskursus (Diskursethik) sebagai upaya untuk mengembalikan dimensi rasionalitas ke ruang moral dan sosial yang intersubjektif. Etika ini tidak hanya menjadi reaksi terhadap kegagalan modernitas, tetapi juga menawarkan paradigma baru tentang bagaimana kebenaran, keadilan, dan norma moral dapat dibentuk melalui proses komunikasi bebas dari dominasi.¹

Habermas menolak reduksi rasionalitas menjadi sekadar alat efisiensi teknis seperti yang dikritik oleh generasi pertama Mazhab Frankfurt.² Ia menilai bahwa rasionalitas sejati terletak pada kemampuan manusia untuk berkomunikasi dan berargumentasi secara rasional dalam mencari kesepahaman (Verständigung).³ Dengan demikian, moralitas bukan lagi produk kehendak subjektif atau kekuasaan, tetapi hasil konsensus yang dicapai melalui dialog yang terbuka dan jujur.⁴ Etika Diskursus, dalam kerangka ini, merupakan bentuk rasionalitas komunikatif yang memulihkan etika dalam ranah publik dan sosial.

Kelahiran Etika Diskursus tidak dapat dilepaskan dari tradisi filsafat Kantian, pragmatisme Amerika, dan teori tindakan simbolik George Herbert Mead, yang menekankan interaksi sosial sebagai basis pembentukan makna.⁵ Habermas menggabungkan semangat universalisme moral Kant dengan praksis komunikasi sosial, sehingga moralitas tidak lagi bersifat monologis, melainkan dialogis dan intersubjektif.⁶ Prinsip moral dalam Etika Diskursus bukanlah hukum apriori yang diturunkan secara metafisik, tetapi hasil partisipasi rasional dari semua pihak yang terkena dampak norma tersebut.⁷

Selain dimensi moral, Etika Diskursus juga mengandung implikasi sosial dan politik yang signifikan. Dalam pandangan Habermas, komunikasi yang bebas dari dominasi adalah fondasi bagi demokrasi deliberatif, di mana legitimasi politik tidak berasal dari kekuasaan atau tradisi, tetapi dari proses diskursus publik yang terbuka dan rasional.⁸ Dengan demikian, Etika Diskursus bukan sekadar teori etika normatif, melainkan juga landasan bagi rekonstruksi demokrasi dan ruang publik yang inklusif.

Relevansi Etika Diskursus semakin nyata di era kontemporer yang ditandai oleh polarisasi sosial, krisis kepercayaan publik, dan budaya post-truth di mana emosi dan kepentingan sering kali menyingkirkan rasionalitas.⁹ Dalam kondisi semacam ini, konsep Habermas tentang komunikasi tanpa dominasi menjadi penting sebagai jalan menuju rekonsiliasi sosial dan pembentukan norma moral yang adil.¹⁰ Artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara sistematis landasan historis, ontologi, epistemologi, aksiologi, serta relevansi Etika Diskursus, sekaligus mengkaji kritik-kritik yang mengiringinya. Melalui pendekatan filosofis yang kritis dan reflektif, kajian ini berupaya menegaskan kembali posisi Etika Diskursus sebagai etika rasional yang berakar pada komunikasi manusia dan berorientasi pada pembentukan moralitas universal yang inklusif.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 43–44.

[2]                Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), 3–4.

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 10–12.

[4]                Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 273–275.

[5]                George Herbert Mead, Mind, Self, and Society (Chicago: University of Chicago Press, 1934), 135–138.

[6]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge: MIT Press, 1996), 107–109.

[7]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge: MIT Press, 1978), 304–306.

[8]                Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 78–81.

[9]                Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” Social Text 25/26 (1990): 56–80.

[10]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 89–91.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Etika Diskursus yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas berakar pada tradisi panjang filsafat moral dan sosial Barat, khususnya dalam konteks proyek modernitas dan kritik terhadapnya. Untuk memahami kedalaman dan arah pemikirannya, diperlukan penelusuran genealogis terhadap konteks historis yang membentuknya: mulai dari warisan Immanuel Kant dan rasionalisme moralnya, melalui pengaruh Charles Sanders Peirce, George Herbert Mead, hingga transformasi kritis dalam Mazhab Frankfurt generasi kedua. Etika Diskursus muncul sebagai usaha sistematis untuk menjawab krisis legitimasi rasionalitas modern dan menghidupkan kembali moralitas universal dalam konteks pluralisme dan komunikasi intersubjektif.¹

2.1.       Akar Kantian dan Universalitas Moral

Warisan utama yang mendasari Etika Diskursus adalah filsafat moral Immanuel Kant, khususnya gagasan tentang otonomi moral dan imperatif kategoris. Bagi Kant, tindakan moral yang benar adalah tindakan yang dapat dijadikan hukum universal bagi semua makhluk rasional.² Namun, dalam pandangan Habermas, universalisme Kant bersifat monologis, karena menempatkan subjek moral sebagai agen tunggal yang menentukan kebenaran moral melalui refleksi internal, tanpa memperhitungkan dimensi komunikatif dan sosial dari moralitas.³ Oleh karena itu, Habermas berupaya mendemokratisasi prinsip Kantian, dengan mengubah monolog reflektif menjadi dialog komunikatif di mana legitimasi moral muncul dari proses diskursus rasional antar-subjek.⁴ Dengan demikian, ia merekonstruksi etika deontologis Kant menjadi etika diskursif yang berakar pada komunikasi intersubjektif dan konsensus.

2.2.       Tradisi Pragmatisme dan Filsafat Bahasa

Habermas juga banyak terinspirasi oleh pragmatisme Amerika, terutama pemikiran Charles Sanders Peirce dan John Dewey, yang menekankan bahwa kebenaran dan makna terbentuk dalam komunitas peneliti yang berdialog secara terbuka.⁵ Dari Peirce, Habermas menyerap ide bahwa “kebenaran adalah hasil kesepakatan akhir dari komunitas rasional” (the opinion which is fated to be ultimately agreed upon by all who investigate).⁶ Sedangkan dari Mead, ia mengambil konsep tindakan simbolik dan intersubjektivitas, di mana identitas diri terbentuk melalui komunikasi sosial yang reflektif.⁷ Dengan menggabungkan kedua pengaruh ini, Habermas memandang bahwa komunikasi linguistik adalah medium fundamental di mana makna, norma, dan identitas sosial dibentuk.⁸

Filsafat bahasa, khususnya melalui perkembangan linguistic turn abad ke-20, juga menjadi landasan penting bagi Etika Diskursus. Habermas memandang bahwa bahasa bukan hanya alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga arena normatif di mana klaim kebenaran, kejujuran, dan ketepatan diuji secara rasional.⁹ Di sinilah konsep rasionalitas komunikatif menemukan basis ontologis dan epistemologisnya: dalam tindakan berbicara, subjek tidak sekadar mengekspresikan kehendak, tetapi juga menuntut pengakuan intersubjektif terhadap klaim validitasnya.¹⁰

2.3.       Warisan dan Transformasi Mazhab Frankfurt

Etika Diskursus juga lahir dari tradisi teori kritis Mazhab Frankfurt, terutama sebagai reaksi terhadap pesimisme rasionalitas dalam karya Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno. Dalam Dialectic of Enlightenment, Horkheimer dan Adorno mengungkap bagaimana rasionalitas yang awalnya membebaskan berubah menjadi alat dominasi melalui teknologi, ekonomi, dan birokrasi.¹¹ Habermas, yang dikenal sebagai tokoh generasi kedua Frankfurt School, menganggap kritik tersebut penting namun belum lengkap. Ia berpendapat bahwa rasionalitas tidak harus diidentikkan dengan dominasi; terdapat bentuk rasionalitas lain yang bersifat komunikatif, yang berfungsi untuk mencapai pemahaman dan kesepakatan, bukan untuk menguasai.¹²

Dengan demikian, Habermas merevisi teori kritis klasik menjadi teori rekonstruktif, yang berupaya membangun dasar normatif baru bagi emansipasi manusia.¹³ Ia menolak pandangan nihilistik terhadap modernitas dan berupaya menyelamatkan potensi rasionalitasnya melalui konsep “ruang publik” (Öffentlichkeit) sebagai arena di mana warga negara dapat berpartisipasi dalam diskursus rasional untuk membentuk opini dan kehendak kolektif.¹⁴ Etika Diskursus menjadi dimensi moral dari proyek ini, di mana legitimasi norma hanya dapat dihasilkan melalui prosedur komunikasi yang bebas dari dominasi (herrschaftsfreie Kommunikation).¹⁵

2.4.       Pengaruh Fenomenologi dan Hermeneutika

Selain Kant dan tradisi kritis, Etika Diskursus juga berhutang pada fenomenologi Husserlian dan hermeneutika Gadamerian. Habermas mengadopsi konsep Lebenswelt (dunia kehidupan) dari Edmund Husserl, yaitu dunia makna intersubjektif yang menjadi latar bagi setiap tindakan komunikatif.¹⁶ Dari Hans-Georg Gadamer, ia menyerap gagasan bahwa pemahaman selalu bersifat historis dan dialogis.¹⁷ Namun, berbeda dari Gadamer yang menekankan tradisi dan konsensus hermeneutik, Habermas menambahkan unsur kritik dan rasionalitas normatif: komunikasi tidak hanya untuk memahami, tetapi juga untuk menilai dan mengoreksi norma sosial yang ada.¹⁸

2.5.       Genealogi Menuju Paradigma Komunikatif

Melalui perpaduan berbagai tradisi ini—Kantianisme, pragmatisme, teori kritis, dan hermeneutika—Habermas merumuskan paradigma komunikatif sebagai basis bagi etika dan teori sosial modern.¹⁹ Etika Diskursus bukan sekadar teori moral, tetapi proyek epistemologis dan sosial yang menegaskan bahwa validitas moral hanya dapat dipertahankan melalui partisipasi rasional semua subjek yang terkena dampak norma.²⁰ Dalam hal ini, Habermas menggeser fokus etika dari subjek individual ke komunitas komunikatif, dari refleksi ke interaksi, dan dari rasionalitas instrumental ke rasionalitas komunikatif.²¹

Dengan fondasi historis ini, Etika Diskursus dapat dipahami sebagai upaya sistematik untuk melanjutkan proyek Pencerahan tanpa terjebak pada positivisme atau nihilisme.²² Habermas menegaskan bahwa pencerahan masih mungkin, asalkan rasionalitas dipahami bukan sebagai dominasi atas dunia, tetapi sebagai komunikasi untuk membangun dunia bersama.²³


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 42–44.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 27–30.

[3]                Karl-Otto Apel, Diskurs und Verantwortung: Das Problem des Übergangs zur postkonventionellen Moral (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1990), 12–14.

[4]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 110–112.

[5]                Richard J. Bernstein, The Restructuring of Social and Political Theory (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1976), 88–91.

[6]                Charles Sanders Peirce, Collected Papers, vol. 5, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1934), 407.

[7]                George Herbert Mead, Mind, Self, and Society (Chicago: University of Chicago Press, 1934), 135–139.

[8]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 312–315.

[9]                Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–290.

[10]             Ibid., 291–295.

[11]             Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), 3–5.

[12]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 327–330.

[13]             Axel Honneth, Critique of Power: Reflective Stages in a Critical Social Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 15–19.

[14]             Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere (Cambridge: Polity Press, 1989), 27–30.

[15]             Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge, 1980), 274–278.

[16]             Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1970), 105–109.

[17]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method (New York: Continuum, 1989), 320–325.

[18]             Habermas, On the Pragmatics of Communication (Cambridge: MIT Press, 1998), 235–239.

[19]             David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason (New Haven: Yale University Press, 1987), 54–58.

[20]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 65–68.

[21]             Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press, 1986), 89–93.

[22]             Stephen White, The Recent Work of Jürgen Habermas: Reason, Justice and Modernity (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 45–47.

[23]             Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 311–313.


3.           Ontologi Etika Diskursus

Etika Diskursus yang diperkenalkan oleh Jürgen Habermas berakar pada sebuah ontologi yang bersifat intersubjektif, di mana eksistensi manusia dipahami melalui kemampuan komunikatifnya, bukan melalui kesadaran individual yang terisolasi. Dalam pandangan ini, realitas moral tidak ditemukan di dalam kesadaran otonom seperti pada etika Kantian, melainkan diciptakan melalui interaksi komunikatif yang rasional dan reflektif.¹ Dengan demikian, Etika Diskursus menolak model ontologis yang menempatkan individu sebagai pusat absolut, dan menggantinya dengan paradigma komunitas komunikatif sebagai ruang ontologis bagi pembentukan kebenaran dan norma moral.

3.1.       Manusia sebagai Makhluk Komunikatif

Dalam kerangka Habermas, manusia bukan sekadar homo sapiens yang berpikir (sebagaimana dalam rasionalisme klasik), tetapi makhluk komunikatif yang eksistensinya hanya bermakna dalam relasi intersubjektif.² Ontologi Etika Diskursus didasarkan pada tindakan komunikatif (kommunikatives Handeln)—yakni tindakan sosial yang bertujuan mencapai Verständigung (kesepahaman) antara para partisipan melalui argumentasi rasional.³ Melalui komunikasi ini, individu tidak hanya bertukar informasi, melainkan juga mengajukan klaim validitas (Geltungsansprüche) yang mencakup kebenaran, ketepatan normatif, dan kejujuran.⁴

Setiap tindakan komunikatif secara ontologis mengandaikan adanya dunia yang terbagi menjadi tiga dimensi: dunia objektif (fakta), dunia sosial (norma), dan dunia subjektif (ekspresi diri).⁵ Dalam percakapan, ketiganya saling terhubung dan membentuk struktur dasar keberadaan manusia sebagai makhluk yang hidup di dalam dunia kehidupan (Lebenswelt). Dunia kehidupan ini, dalam terminologi Habermas, merupakan horizon makna intersubjektif yang menopang komunikasi dan menjadi dasar ontologis dari seluruh tindakan moral.⁶

3.2.       Dunia Kehidupan (Lebenswelt) sebagai Fondasi Ontologis

Konsep Lebenswelt—yang diadaptasi Habermas dari Edmund Husserl dan Alfred Schutz—merupakan inti ontologi Etika Diskursus.⁷ Dunia kehidupan bukanlah dunia eksternal yang objektif, tetapi jaringan makna, nilai, dan norma yang diwariskan melalui tradisi dan bahasa.⁸ Habermas menggambarkan dunia kehidupan sebagai sumber daya semantik yang menyediakan kerangka orientasi bersama bagi komunikasi manusia.⁹ Namun, berbeda dari Husserl yang menekankan dunia kehidupan sebagai fenomenologis, Habermas melihatnya sebagai ruang intersubjektif yang terus dibentuk dan direproduksi melalui komunikasi sosial.¹⁰

Dalam Etika Diskursus, dunia kehidupan berperan sebagai ruang moral-ontologis tempat subjek-subjek berinteraksi secara rasional untuk menegaskan norma yang sah.¹¹ Setiap norma moral memperoleh validitasnya hanya jika dapat diterima secara rasional oleh semua partisipan komunikasi dalam konteks dunia kehidupan yang sama.¹² Dengan demikian, realitas moral tidak bersifat metafisis, melainkan transaksional dan prosedural, yakni muncul dari kesepahaman rasional di antara individu yang saling mengakui satu sama lain sebagai makhluk bebas dan setara.¹³

3.3.       Intersubjektivitas dan Rasionalitas Komunikatif

Ontologi Etika Diskursus berpusat pada gagasan intersubjektivitas, yang menggantikan paradigma subjektivisme epistemik modern.¹⁴ Habermas menolak pandangan Cartesian yang menjadikan kesadaran individu sebagai titik pangkal kebenaran. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa kebenaran dan norma moral hanya dapat lahir dari konteks sosial dialogis di mana subjek saling menguji klaim validitasnya secara terbuka.¹⁵ Dengan demikian, “ada” bagi manusia bukanlah kesendirian berpikir (cogito), tetapi “ada dalam komunikasi.”¹⁶

Intersubjektivitas dalam Etika Diskursus juga bersifat rasional, karena komunikasi yang sejati selalu mengandung struktur argumentatif. Habermas menyatakan bahwa komunikasi ideal harus bebas dari paksaan (herrschaftsfrei), agar para partisipan dapat berbicara dan menilai dengan setara.¹⁷ Ontologi ini dengan demikian memandang kebebasan bukan sebagai keadaan individual, melainkan sebagai kondisi struktural yang muncul dari komunikasi tanpa dominasi.¹⁸ Oleh sebab itu, tindakan moral tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial dan institusi yang memungkinkan terciptanya kondisi diskursif yang adil.¹⁹

3.4.       Rasionalitas, Norma, dan Dunia Moral

Etika Diskursus mengasumsikan bahwa realitas moral tidak bersumber dari kehendak ilahi, tradisi, atau intuisi subjektif, tetapi dari rasionalitas komunikatif yang bersifat universal.²⁰ Rasionalitas ini bukanlah instrumen untuk mencapai tujuan, melainkan proses reflektif di mana klaim normatif diuji berdasarkan kesepahaman argumentatif.²¹ Norma moral dianggap sah (gültig) apabila semua pihak yang terkena dampaknya dapat menyetujuinya melalui diskursus rasional.²² Dengan demikian, ontologi moral Etika Diskursus menegaskan bahwa ada moral adalah ada bersama yang berkomunikasi secara rasional dan terbuka.²³

Rasionalitas komunikatif juga memiliki dimensi ontologis yang menentang dualisme modern antara fakta dan nilai.²⁴ Habermas memandang bahwa fakta sosial selalu terikat pada bahasa dan makna, sehingga pemisahan ontologis antara deskriptif dan normatif menjadi tidak relevan.²⁵ Dalam komunikasi, kebenaran faktual, kejujuran subjektif, dan ketepatan normatif beroperasi dalam satu kesatuan yang membentuk struktur dunia moral manusia.²⁶

3.5.       Ontologi Etika Diskursus sebagai Ontologi Sosial-Etis

Dengan menempatkan komunikasi sebagai fondasi ontologis, Habermas mengusulkan paradigma baru bagi filsafat moral dan sosial: ontologi sosial-etis.²⁷ Ontologi ini berasumsi bahwa keberadaan sosial dan moral manusia selalu saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.²⁸ Moralitas bukan sekadar aturan perilaku, melainkan modus keberadaan bersama yang menuntut pengakuan, dialog, dan solidaritas.²⁹ Dalam kerangka ini, Etika Diskursus menghadirkan pandangan bahwa “ada” berarti “berpartisipasi dalam wacana,” dan bahwa etika adalah bentuk ontologi praksis yang mewujudkan kebebasan melalui komunikasi yang saling mengakui.³⁰

Melalui fondasi ontologis ini, Habermas tidak hanya membangun teori etika, tetapi juga metafisika komunikasi, yang berusaha menjelaskan bagaimana kebenaran, keadilan, dan keberadaan moral manusia hanya dapat dijelaskan dalam horizon intersubjektivitas rasional.³¹ Dengan demikian, Etika Diskursus menjadi jawaban atas krisis ontologi modern yang memisahkan individu dari komunitas, fakta dari nilai, dan rasio dari moralitas—sebuah krisis yang hanya dapat disembuhkan melalui kembalinya manusia pada hakikat ontologisnya sebagai makhluk komunikatif.³²


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 42–44.

[2]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 289–292.

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.

[4]                Ibid., 99–101.

[5]                Ibid., 120–123.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 124–126.

[7]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1970), 105–107.

[8]                Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1967), 14–18.

[9]                Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2, 125–127.

[10]             David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason (New Haven: Yale University Press, 1987), 54–57.

[11]             Karl-Otto Apel, Diskurs und Verantwortung: Das Problem des Übergangs zur postkonventionellen Moral (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1990), 112–115.

[12]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 66–68.

[13]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 80–83.

[14]             Stephen K. White, The Recent Work of Jürgen Habermas: Reason, Justice and Modernity (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 44–47.

[15]             Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 108–111.

[16]             Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge, 1980), 273–275.

[17]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, 295–298.

[18]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 91–94.

[19]             Nancy Fraser, “Social Justice in the Age of Identity Politics,” The Tanner Lectures on Human Values 19 (1997): 15–18.

[20]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 70–72.

[21]             Ibid., 74–77.

[22]             Karl-Otto Apel, Diskurs und Verantwortung, 116–118.

[23]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2, 328–331.

[24]             David Rasmussen, Reading Habermas (Oxford: Blackwell, 1990), 121–124.

[25]             Habermas, On the Pragmatics of Communication (Cambridge: MIT Press, 1998), 237–240.

[26]             Ibid., 241–243.

[27]             Axel Honneth, Critique of Power: Reflective Stages in a Critical Social Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 43–47.

[28]             Benhabib, Situating the Self, 85–87.

[29]             McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas, 304–306.

[30]             Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 311–314.

[31]             Richard Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1983), 98–101.

[32]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, 332–335.


4.           Epistemologi Rasionalitas Komunikatif

Epistemologi dalam Etika Diskursus Jürgen Habermas berakar pada gagasan bahwa pengetahuan, kebenaran, dan moralitas tidak dapat dipahami sebagai hasil dari kesadaran individu yang terisolasi, melainkan sebagai produk komunikasi intersubjektif yang rasional.¹ Habermas berupaya menggeser paradigma epistemologis modern yang berpusat pada subjek (subject-centered reason) menuju paradigma baru yang berpusat pada komunikasi (communication-centered reason).² Dalam kerangka ini, rasionalitas tidak lagi dipahami sebagai kemampuan instrumental untuk menguasai dunia, melainkan sebagai proses dialogis yang bertujuan mencapai kesepahaman (Verständigung) dan konsensus di antara individu yang berpartisipasi secara bebas dan setara.³

4.1.       Rasionalitas sebagai Proses Komunikatif

Habermas menolak dua ekstrem dalam epistemologi modern: positivisme yang mengobjektifikasi pengetahuan sebagai fakta empiris, dan relativisme postmodern yang meniadakan klaim universal terhadap kebenaran.⁴ Sebagai gantinya, ia mengajukan rasionalitas komunikatif, yaitu kemampuan manusia untuk berpartisipasi dalam diskursus rasional di mana klaim validitas diuji secara argumentatif.⁵ Dalam konteks ini, komunikasi bukan sekadar medium untuk menyampaikan informasi, tetapi merupakan modus epistemik di mana makna, norma, dan kebenaran dikonstruksi secara sosial.⁶

Rasionalitas komunikatif menuntut adanya situasi ideal di mana para partisipan dapat berbicara tanpa tekanan atau dominasi (herrschaftsfreie Kommunikation).⁷ Hanya dalam kondisi tersebut, setiap individu dapat mengajukan dan menilai klaim validitas berdasarkan alasan yang dapat diterima bersama.⁸ Dengan demikian, epistemologi Habermas tidak berangkat dari observasi objektif atau intuisi subjektif, tetapi dari prosedur argumentatif yang mengandaikan kebebasan dan kesetaraan partisipan diskursus.⁹

4.2.       Tiga Klaim Validitas sebagai Struktur Pengetahuan

Epistemologi rasionalitas komunikatif berlandaskan pada tiga klaim validitas universal (universelle Geltungsansprüche) yang melekat dalam setiap tindakan komunikatif: (1) kebenaran (Wahrheit), (2) ketepatan normatif (Richtigkeit), dan (3) kejujuran (Wahrhaftigkeit).¹⁰ Ketiganya membentuk struktur epistemik dasar bagi segala bentuk komunikasi rasional.

·                     Kebenaran mengacu pada hubungan proposisi dengan dunia objektif; suatu pernyataan dianggap benar bila sesuai dengan fakta.¹¹

·                     Ketepatan normatif berkaitan dengan dunia sosial; suatu pernyataan sah apabila sejalan dengan norma yang disetujui oleh komunitas komunikatif.¹²

·                     Kejujuran berhubungan dengan dunia subjektif; suatu pernyataan autentik bila mencerminkan maksud dan keyakinan pembicara secara jujur.¹³

Dengan menggabungkan tiga dimensi ini, Habermas membangun epistemologi yang bersifat multi-dimensional dan dialogis, di mana kebenaran bukanlah sifat internal proposisi, melainkan hasil dari pengujian intersubjektif dalam ruang komunikasi.¹⁴ Setiap tindakan berbicara mengandung potensi reflektif untuk mempertanyakan dan memverifikasi ketiga klaim tersebut secara terbuka.¹⁵

4.3.       Pengetahuan dan Diskursus: Prosedur Epistemik

Dalam pandangan Habermas, pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui diskursus, yakni bentuk komunikasi di mana klaim validitas diuji melalui argumentasi rasional dan bebas dari paksaan.¹⁶ Diskursus bukan sekadar percakapan, melainkan prosedur epistemik yang memungkinkan pembentukan konsensus rasional di antara partisipan.¹⁷ Habermas membedakan antara tindakan komunikatif (kommunikatives Handeln) yang bersifat praktis dan diskursus (Diskurs) yang bersifat reflektif.¹⁸

Dalam tindakan komunikatif, individu bertujuan mencapai kesepahaman dalam praktik sosial sehari-hari, sedangkan dalam diskursus, individu secara sadar menangguhkan kepentingan praktis untuk menilai secara rasional validitas klaim.¹⁹ Dengan demikian, diskursus berfungsi sebagai mekanisme kritis bagi rasionalitas, karena melalui proses ini masyarakat dapat menilai dan memperbarui norma-norma moral dan sosialnya secara rasional.²⁰

Epistemologi ini menegaskan bahwa kebenaran bersifat prosedural, bukan substansial.²¹ Artinya, kebenaran tidak ditemukan, tetapi dihasilkan melalui proses argumentatif di mana partisipan berupaya mencapai konsensus.²² Habermas dengan demikian merekonstruksi epistemologi Kantian tentang pengetahuan apriori menjadi epistemologi transendental-komunikatif, di mana validitas tidak ditentukan oleh subjek tunggal, melainkan oleh komunitas diskursif yang ideal.²³

4.4.       Perbedaan antara Rasionalitas Komunikatif dan Rasionalitas Instrumental

Habermas membedakan antara dua jenis rasionalitas: instrumental dan komunikatif. Rasionalitas instrumental, yang menjadi ciri khas ilmu pengetahuan modern dan ekonomi kapitalistik, berorientasi pada efisiensi dan kontrol atas objek.²⁴ Rasionalitas ini cenderung menyingkirkan dimensi etis dan normatif dari tindakan manusia.²⁵ Sebaliknya, rasionalitas komunikatif berorientasi pada pemahaman dan legitimasi normatif, bukan pada keberhasilan teknis.²⁶

Dalam kerangka epistemologis, perbedaan ini menunjukkan pergeseran mendasar: pengetahuan bukan lagi alat untuk menguasai realitas, melainkan sarana untuk membangun konsensus yang berlandaskan alasan rasional.²⁷ Dengan demikian, epistemologi Etika Diskursus memiliki karakter emansipatoris, karena bertujuan membebaskan individu dari bentuk pengetahuan yang menindas melalui dialog reflektif yang egaliter.²⁸

4.5.       Kebenaran, Konsensus, dan Universalisme

Epistemologi Habermas berpuncak pada gagasan bahwa kebenaran bersifat konsensual dan universal, tetapi bukan dalam arti absolut metafisis.²⁹ Kebenaran, bagi Habermas, adalah klaim yang dapat diterima oleh semua pihak yang rasional dalam kondisi diskursus ideal.³⁰ Ia menolak relativisme, tetapi juga tidak kembali ke absolutisme.³¹ Sebaliknya, ia mengusulkan universalisme prosedural, yakni prinsip bahwa kebenaran moral dan rasionalitas dapat diuji melalui prosedur argumentatif yang terbuka bagi semua subjek.³²

Dalam kerangka ini, setiap subjek epistemik memiliki hak dan tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam diskursus.³³ Rasionalitas bukan lagi monopoli para ahli atau elit intelektual, tetapi menjadi potensi universal manusia yang diaktualkan dalam interaksi sosial.³⁴ Dengan demikian, epistemologi Etika Diskursus menegaskan bahwa pengetahuan sejati adalah hasil solidaritas rasional, bukan kemenangan argumentasi sepihak.³⁵

4.6.       Implikasi Epistemologis bagi Moralitas dan Demokrasi

Epistemologi rasionalitas komunikatif memiliki implikasi luas, terutama dalam bidang etika, politik, dan hukum. Dalam ranah moral, ia menegaskan bahwa norma etis hanya sah jika dapat disepakati melalui diskursus rasional oleh semua pihak yang terkena dampaknya.³⁶ Dalam ranah politik, prinsip yang sama diterapkan dalam model demokrasi deliberatif, di mana legitimasi kekuasaan didasarkan pada partisipasi komunikatif warga negara.³⁷ Dalam ranah hukum, hal ini berarti bahwa keadilan tidak hanya bergantung pada prosedur legal formal, tetapi juga pada proses komunikasi publik yang rasional dan inklusif.³⁸

Dengan demikian, epistemologi Etika Diskursus tidak berhenti pada teori pengetahuan, tetapi menembus ke ranah praksis sosial. Ia memulihkan hubungan antara pengetahuan, moralitas, dan kebebasan, serta menegaskan bahwa rasionalitas hanya bermakna sejauh ia berakar pada komunikasi yang bebas, reflektif, dan egaliter.³⁹


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 42–44.

[2]                Stephen K. White, The Recent Work of Jürgen Habermas: Reason, Justice, and Modernity (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 38–41.

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.

[4]                Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1983), 64–68.

[5]                Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, 295–297.

[6]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 312–314.

[7]                Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge, 1980), 273–275.

[8]                Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 110–113.

[9]                Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 88–91.

[10]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 75–78.

[11]             Ibid., 80–81.

[12]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 129–132.

[13]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 78–81.

[14]             David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason (New Haven: Yale University Press, 1987), 54–57.

[15]             Habermas, On the Pragmatics of Communication (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 237–240.

[16]             Karl-Otto Apel, Diskurs und Verantwortung: Das Problem des Übergangs zur postkonventionellen Moral (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1990), 116–119.

[17]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 82–85.

[18]             Ibid., 86–88.

[19]             McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas, 318–320.

[20]             Axel Honneth, Critique of Power: Reflective Stages in a Critical Social Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 15–17.

[21]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2, 134–136.

[22]             Ibid., 138–140.

[23]             Stephen K. White, The Recent Work of Jürgen Habermas, 49–51.

[24]             Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), 3–6.

[25]             Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 311–314.

[26]             Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press, 1986), 92–95.

[27]             Habermas, Between Facts and Norms, 122–125.

[28]             Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism, 70–74.

[29]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 89–92.

[30]             Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy, 276–278.

[31]             Richard Bernstein, The New Constellation: The Ethical-Political Horizons of Modernity/Postmodernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 104–107.

[32]             Habermas, Between Facts and Norms, 128–130.

[33]             Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” Social Text 25/26 (1990): 60–63.

[34]             Habermas, On the Pragmatics of Communication, 245–248.

[35]             McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas, 324–326.

[36]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 93–96.

[37]             Habermas, The Inclusion of the Other: Studies in Political Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 107–110.

[38]             David Rasmussen, Reading Habermas (Oxford: Blackwell, 1990), 123–126.

[39]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, 332–335.


5.           Aksiologi Etika Diskursus

Aksiologi dalam Etika Diskursus Jürgen Habermas berakar pada keyakinan bahwa nilai moral dan etis tidak bersumber dari dogma, kehendak ilahi, atau preferensi subjektif, melainkan dari proses komunikasi rasional yang bebas dari dominasi.¹ Nilai moral, dalam pandangan ini, bukanlah entitas tetap yang eksis secara metafisik, melainkan hasil dari prosedur intersubjektif di mana para partisipan diskursus secara rasional mencapai kesepakatan tentang apa yang seharusnya dianggap benar, adil, dan baik.² Dengan demikian, aksiologi Etika Diskursus bertumpu pada tiga pilar utama: rasionalitas, otonomi moral, dan solidaritas sosial.

5.1.       Nilai Rasionalitas sebagai Fondasi Moral

Habermas menempatkan rasionalitas komunikatif sebagai nilai tertinggi dalam etika, bukan rasionalitas instrumental.³ Rasionalitas komunikatif berfungsi sebagai mekanisme normatif yang menuntun individu untuk bertindak berdasarkan alasan yang dapat diterima oleh semua pihak secara universal.⁴ Melalui komunikasi rasional, manusia menegaskan martabatnya sebagai makhluk otonom yang tidak tunduk pada kehendak eksternal, melainkan pada kekuatan argumentasi yang baik (zwangloser Zwang des besseren Arguments).⁵

Nilai rasionalitas dalam Etika Diskursus tidak bersifat individualistik, melainkan intersubjektif dan partisipatif.⁶ Rasionalitas moral dihasilkan dari dialog reflektif yang memungkinkan setiap partisipan untuk mengajukan, menguji, dan menolak klaim moral secara terbuka.⁷ Dalam hal ini, Habermas menolak relativisme nilai yang meniadakan kriteria universal, namun juga menghindari absolutisme moral yang menutup ruang dialog.⁸ Ia mengusulkan universalisme prosedural, yaitu gagasan bahwa norma moral hanya sah bila dapat diterima secara rasional oleh semua pihak yang terkena dampaknya.⁹

5.2.       Otonomi Moral dan Tanggung Jawab Intersubjektif

Dalam kerangka aksiologis Etika Diskursus, otonomi moral dipahami bukan sebagai kebebasan individual untuk menentukan kebenaran, melainkan sebagai kemampuan reflektif untuk berpartisipasi dalam pembentukan norma bersama.¹⁰ Habermas mengembangkan gagasan Kantian tentang otonomi moral dengan menambahkan dimensi komunikatif: subjek moral bukanlah entitas tertutup, tetapi anggota komunitas rasional yang saling mengakui dan menilai satu sama lain.¹¹

Dengan demikian, moralitas memiliki dimensi intersubjektif: seseorang hanya dapat mengklaim tindakannya sebagai benar bila dapat mempertanggungjawabkannya secara rasional di hadapan orang lain.¹² Aksiologi Etika Diskursus menuntut agar setiap individu memiliki komitmen terhadap prinsip tanggung jawab komunikatif, yaitu kesediaan untuk berpartisipasi dalam diskursus moral dan menghormati klaim validitas pihak lain.¹³

Prinsip ini memperluas konsep tanggung jawab dari ranah pribadi ke ranah sosial. Dalam dunia yang semakin kompleks, tanggung jawab moral tidak dapat dipahami hanya sebagai keputusan etis individu, melainkan sebagai proses kolektif deliberatif di mana warga masyarakat turut menentukan arah moral bersama.¹⁴ Dalam hal ini, Habermas menekankan pentingnya struktur sosial yang mendukung partisipasi setara—karena tanpa keadilan sosial dan kebebasan komunikasi, otonomi moral tidak mungkin terwujud secara autentik.¹⁵

5.3.       Solidaritas dan Etika Universalitas

Habermas memandang solidaritas sebagai nilai normatif yang menyatukan rasionalitas dan moralitas dalam praktik sosial.¹⁶ Solidaritas bukan sekadar simpati emosional, melainkan hasil kesadaran rasional bahwa keberadaan manusia bersifat kooperatif dan saling tergantung.¹⁷ Etika Diskursus dengan demikian menolak egoisme moral maupun partikularisme etnis dan kultural; ia menegaskan pentingnya kesetaraan moral universal yang mengakui martabat setiap individu.¹⁸

Nilai solidaritas juga menjadi fondasi bagi legitimasi demokrasi deliberatif. Dalam ruang publik yang ideal, solidaritas sosial memungkinkan warga untuk menanggapi argumen dengan itikad baik, mengakui perspektif lain, dan mencari titik temu normatif.¹⁹ Habermas menulis bahwa tanpa solidaritas, rasionalitas moral akan kehilangan maknanya, karena kesepakatan etis hanya dapat dicapai bila partisipan memiliki komitmen pada keadilan dan pengakuan timbal balik.²⁰

Aksiologi Etika Diskursus dengan demikian bersifat dialogis dan kosmopolitik: ia membuka ruang bagi pembentukan nilai-nilai bersama lintas budaya, agama, dan sistem sosial.²¹ Melalui prinsip diskursus, masyarakat dapat membangun moralitas universal yang tidak memaksakan satu pandangan dunia, tetapi muncul dari kesepakatan rasional yang menghargai pluralitas.²²

5.4.       Nilai Keadilan dan Legitimasi Moral

Dalam konteks normatif, Etika Diskursus menjadikan keadilan sebagai ekspresi konkret dari nilai rasionalitas dan solidaritas.²³ Habermas menolak pandangan utilitarian yang mengukur moralitas berdasarkan konsekuensi material atau kebahagiaan terbesar, karena hal itu mengabaikan dimensi intersubjektif dari keadilan.²⁴ Sebaliknya, keadilan dalam Etika Diskursus dipahami sebagai hasil kesepakatan rasional yang dicapai tanpa dominasi, di mana semua pihak terlibat secara setara dalam proses pembentukan norma.²⁵

Keadilan juga berfungsi sebagai dasar legitimasi hukum dan politik.²⁶ Norma sosial dianggap adil jika dapat diterima oleh seluruh warga negara yang berpartisipasi dalam ruang publik deliberatif.²⁷ Dengan demikian, Etika Diskursus melampaui batas etika individual menuju etika sosial-politik, di mana nilai keadilan bersumber dari komunikasi publik yang reflektif.²⁸

5.5.       Moralitas sebagai Konsensus Rasional

Aksiologi Etika Diskursus berpuncak pada gagasan bahwa moralitas adalah konsensus rasional.²⁹ Moralitas tidak dapat dipaksakan melalui otoritas eksternal, melainkan dihasilkan melalui argumentasi yang rasional dan inklusif.³⁰ Habermas menegaskan bahwa tindakan hanya bermoral bila normanya dapat diterima oleh semua yang terkena dampaknya dalam proses diskursus ideal (Diskursprinzip D).³¹ Prinsip ini menegaskan bahwa norma yang benar adalah norma yang mampu bertahan dalam pengujian rasional di hadapan semua partisipan yang bebas dan setara.³²

Melalui prinsip tersebut, Etika Diskursus mengubah orientasi moral dari “kewajiban terhadap hukum” menjadi “keterlibatan dalam komunikasi.”³³ Moralitas menjadi praksis dialogis yang menuntut partisipasi aktif, keterbukaan terhadap kritik, dan kesediaan untuk merevisi pandangan moral sesuai hasil argumentasi terbaik.³⁴ Dengan demikian, aksiologi Etika Diskursus menolak moralitas dogmatis dan mengedepankan moralitas reflektif yang tumbuh dari rasionalitas bersama.³⁵


Sintesis Aksiologis: Emansipasi dan Kemanusiaan

Nilai tertinggi yang lahir dari Etika Diskursus adalah emansipasi manusia melalui komunikasi.³⁶ Habermas berupaya membebaskan manusia dari bentuk-bentuk penindasan struktural—baik ekonomi, ideologis, maupun budaya—melalui pembentukan rasionalitas publik yang egaliter.³⁷ Dengan menekankan komunikasi yang terbuka dan non-dominatif, Etika Diskursus menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan sosial dan kebebasan etis.³⁸

Akhirnya, Etika Diskursus menghadirkan visi aksiologis yang humanistik: manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki martabat karena kemampuannya berkomunikasi secara rasional dan etis.³⁹ Nilai tertinggi bukanlah kekuasaan atau keuntungan, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dalam kebenaran, keadilan, dan solidaritas yang dibangun secara reflektif.⁴⁰


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 42–44.

[2]                Karl-Otto Apel, Diskurs und Verantwortung: Das Problem des Übergangs zur postkonventionellen Moral (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1990), 112–114.

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.

[4]                Ibid., 291–294.

[5]                Ibid., 297.

[6]                Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 78–80.

[7]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 312–314.

[8]                Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1983), 64–67.

[9]                Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 110–113.

[10]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 28–31.

[11]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 67–70.

[12]             Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge, 1980), 273–275.

[13]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 91–93.

[14]             David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason (New Haven: Yale University Press, 1987), 57–60.

[15]             Nancy Fraser, “Social Justice in the Age of Identity Politics,” The Tanner Lectures on Human Values 19 (1997): 17–20.

[16]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 128–131.

[17]             Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press, 1986), 92–94.

[18]             Habermas, Between Facts and Norms, 116–119.

[19]             Ibid., 122–125.

[20]             Habermas, On the Pragmatics of Communication (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 237–240.

[21]             Richard Bernstein, The New Constellation: The Ethical-Political Horizons of Modernity/Postmodernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 104–107.

[22]             Habermas, The Inclusion of the Other: Studies in Political Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 108–111.

[23]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 84–87.

[24]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 54–57.

[25]             Habermas, Between Facts and Norms, 130–133.

[26]             Axel Honneth, Critique of Power: Reflective Stages in a Critical Social Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 15–18.

[27]             Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere (Cambridge: Polity Press, 1989), 27–31.

[28]             Stephen K. White, The Recent Work of Jürgen Habermas: Reason, Justice, and Modernity (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 49–52.

[29]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 90–93.

[30]             Karl-Otto Apel, Diskurs und Verantwortung, 115–117.

[31]             Habermas, Between Facts and Norms, 134–136.

[32]             Ibid., 138–141.

[33]             Benhabib, Situating the Self, 85–87.

[34]             McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas, 324–326.

[35]             Habermas, On the Pragmatics of Communication, 245–248.

[36]             Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 311–314.

[37]             Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism, 70–74.

[38]             Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” Social Text 25/26 (1990): 58–61.

[39]             Habermas, The Inclusion of the Other, 113–116.

[40]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, 332–335.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Hukum Etika Diskursus

Dimensi sosial, politik, dan hukum dalam Etika Diskursus Jürgen Habermas menegaskan bahwa moralitas tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial dan institusional tempat ia beroperasi. Etika Diskursus bukanlah sistem normatif yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari proyek teori tindakan komunikatif yang berusaha merekonstruksi rasionalitas modern dalam ranah publik, demokrasi, dan hukum.¹ Dalam pandangan Habermas, legitimasi sosial dan politik hanya dapat terwujud jika didasarkan pada komunikasi rasional yang bebas dari dominasi, di mana setiap warga memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam pembentukan kehendak bersama.²

6.1.       Rasionalitas Komunikatif dalam Struktur Sosial

Habermas melihat masyarakat modern sebagai sistem yang terbagi antara dua subsistem besar: sistem (system) dan dunia kehidupan (Lebenswelt).³ Dunia kehidupan adalah ranah interaksi sosial yang dijiwai oleh komunikasi, norma, dan solidaritas, sedangkan sistem mencakup mekanisme ekonomi dan administrasi yang diatur oleh kekuasaan dan uang.⁴ Etika Diskursus muncul sebagai upaya normatif untuk menjaga keseimbangan antara sistem dan dunia kehidupan, agar rasionalitas komunikatif tidak terkolonisasi oleh rasionalitas instrumental.⁵

Dalam kerangka sosial ini, komunikasi memiliki fungsi integratif: ia mengikat individu dalam relasi yang didasarkan pada kesepahaman rasional, bukan dominasi.⁶ Dengan demikian, keutuhan sosial tidak dibangun melalui paksaan atau tradisi, melainkan melalui konsensus yang dicapai lewat argumentasi publik.⁷ Etika Diskursus dengan demikian berfungsi sebagai etika sosial yang memastikan legitimasi moral dari struktur sosial, di mana setiap norma hanya sah bila diterima oleh semua pihak melalui komunikasi yang adil dan terbuka.⁸

6.2.       Dimensi Politik: Demokrasi Deliberatif dan Ruang Publik

Etika Diskursus menemukan aplikasi praksisnya paling jelas dalam teori demokrasi deliberatif (deliberative democracy), yang menjadi inti dari filsafat politik Habermas.⁹ Dalam sistem ini, kekuasaan politik tidak bersumber dari kehendak mayoritas atau otoritas negara semata, melainkan dari kekuatan argumentasi rasional di ruang publik.¹⁰

Ruang publik (Öffentlichkeit) berperan sebagai arena diskursus di mana warga negara secara rasional berpartisipasi dalam pembentukan opini dan kehendak kolektif (Willensbildung).¹¹ Habermas menegaskan bahwa legitimasi demokrasi hanya dapat dipertahankan bila proses pengambilan keputusan politik didasarkan pada komunikasi yang inklusif, bebas, dan rasional.¹² Di sinilah Etika Diskursus berfungsi sebagai fondasi normatif demokrasi deliberatif, karena ia menyediakan prinsip moral untuk menilai keabsahan argumen publik dan kebijakan politik.¹³

Lebih jauh, Etika Diskursus menolak pandangan politik yang bersifat elitis atau teknokratis.¹⁴ Rasionalitas politik bukanlah monopoli ahli atau institusi negara, tetapi merupakan hasil proses partisipatif warga yang berargumentasi secara terbuka.¹⁵ Dalam hal ini, Habermas menegaskan bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan budaya komunikasi publik yang etis—yakni budaya di mana setiap warga diperlakukan bukan sebagai objek kebijakan, melainkan sebagai subjek moral yang rasional.¹⁶

6.3.       Etika Diskursus dan Legitimasi Hukum

Habermas mengembangkan hubungan erat antara Etika Diskursus dan teori hukum normatif, terutama dalam karya Between Facts and Norms (1996).¹⁷ Dalam konteks ini, hukum tidak sekadar sistem peraturan yang mengatur perilaku, tetapi juga prosedur rasional untuk mencapai keadilan sosial.¹⁸ Ia berpendapat bahwa legitimasi hukum hanya sah jika norma hukum dapat dibenarkan melalui proses diskursus publik yang bebas dan partisipatif.¹⁹

Hukum, menurut Habermas, adalah media institusionalisasi rasionalitas komunikatif.²⁰ Norma hukum memperoleh kekuatan mengikatnya bukan dari kekuasaan politik, melainkan dari prosedur deliberatif yang menjamin partisipasi semua warga negara yang terkena dampak.²¹ Dalam kerangka ini, hukum menjadi sarana untuk menghubungkan dua bentuk rasionalitas: rasionalitas komunikatif (yang berasal dari dunia kehidupan) dan rasionalitas fungsional (yang bekerja dalam sistem administratif dan ekonomi).²²

Etika Diskursus memberikan legitimasi moral terhadap sistem hukum melalui prinsip diskursus normatif (D-Prinzip): “Hanya norma-norma yang mendapat persetujuan dari semua pihak yang terlibat dalam diskursus praktis yang sah.”²³ Prinsip ini menjadi dasar bagi keadilan prosedural, di mana keabsahan hukum diukur bukan oleh hasilnya, melainkan oleh keadilan proses deliberatif yang melahirkannya.²⁴

6.4.       Keterkaitan antara Moralitas, Politik, dan Hukum

Habermas menolak pandangan yang memisahkan moralitas dan hukum secara kaku.²⁵ Ia melihat bahwa moralitas, politik, dan hukum adalah dimensi berbeda dari rasionalitas komunikatif yang sama. Moralitas berhubungan dengan orientasi nilai universal, hukum berfungsi sebagai institusi normatif yang mengatur kehidupan bersama, dan politik menyediakan ruang deliberatif bagi pembentukan kehendak kolektif.²⁶

Hubungan ketiganya bersifat transversal dan dialogis: moralitas memberi arah bagi hukum dan politik, sementara hukum dan politik menyediakan sarana bagi realisasi moralitas dalam tatanan sosial yang konkret.²⁷ Dalam kerangka ini, Etika Diskursus tidak berhenti pada tataran etika normatif, melainkan bertransformasi menjadi proyek sosial-emansipatoris yang menegaskan pentingnya partisipasi komunikatif dalam kehidupan publik.²⁸

Habermas menegaskan bahwa hanya masyarakat yang membuka ruang bagi partisipasi komunikatif dapat mencapai legitimasi rasional.²⁹ Demokrasi deliberatif dan sistem hukum yang reflektif berfungsi sebagai medium konkret untuk mengaktualisasikan rasionalitas moral dalam institusi sosial.³⁰ Oleh karena itu, Etika Diskursus bukan hanya etika teoritis, tetapi juga etika praksis sosial-politik yang berperan dalam menjaga kohesi sosial dan memperkuat tatanan hukum yang berkeadilan.³¹

6.5.       Tantangan Sosial Kontemporer: Kolonisasi Dunia Kehidupan

Habermas memperingatkan bahwa masyarakat modern menghadapi ancaman berupa kolonisasi dunia kehidupan (Kolonialisierung der Lebenswelt) oleh sistem ekonomi dan birokrasi.³² Ketika logika uang dan kekuasaan mendominasi ruang publik, rasionalitas komunikatif terpinggirkan, dan warga kehilangan kemampuan untuk berpartisipasi secara reflektif dalam diskursus moral dan politik.³³

Etika Diskursus, dalam konteks ini, berfungsi sebagai alat kritis dan emansipatoris untuk menolak dominasi rasionalitas instrumental.³⁴ Ia menyerukan pemulihan ruang publik yang memungkinkan warga berkomunikasi tanpa paksaan dan memulihkan legitimasi moral lembaga sosial.³⁵ Dalam dunia yang semakin diwarnai oleh polarisasi politik dan disinformasi digital, Etika Diskursus menawarkan paradigma baru bagi demokrasi reflektif yang menegaskan nilai dialog, transparansi, dan keadilan prosedural.³⁶


Sintesis: Etika Diskursus sebagai Basis Sosial bagi Keadilan

Dimensi sosial, politik, dan hukum Etika Diskursus menegaskan bahwa keadilan dan legitimasi bukanlah hasil dari kekuasaan, melainkan dari komunikasi rasional antarwarga yang setara.³⁷ Habermas memberikan kerangka filosofis bagi masyarakat yang ingin menegakkan moralitas universal melalui prosedur demokratis.³⁸

Etika Diskursus dengan demikian bukan hanya teori etika, tetapi arsitektur normatif bagi masyarakat modern yang plural dan kompleks.³⁹ Ia menawarkan jalan untuk menyatukan moralitas dan hukum, kebebasan dan solidaritas, dalam struktur komunikasi yang adil dan reflektif.⁴⁰


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–287.

[2]                Ibid., 290–293.

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 124–127.

[4]                Ibid., 129–133.

[5]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 312–316.

[6]                Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2, 140–144.

[7]                Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge, 1980), 273–275.

[8]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 66–68.

[9]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 110–113.

[10]             Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press, 1986), 92–94.

[11]             Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere (Cambridge: Polity Press, 1989), 27–30.

[12]             Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” Social Text 25/26 (1990): 60–63.

[13]             Habermas, Between Facts and Norms, 122–125.

[14]             Stephen K. White, The Recent Work of Jürgen Habermas: Reason, Justice, and Modernity (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 47–49.

[15]             David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason (New Haven: Yale University Press, 1987), 56–58.

[16]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 91–93.

[17]             Habermas, Between Facts and Norms, 134–136.

[18]             Karl-Otto Apel, Diskurs und Verantwortung: Das Problem des Übergangs zur postkonventionellen Moral (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1990), 116–118.

[19]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 84–86.

[20]             Habermas, Between Facts and Norms, 137–139.

[21]             Ibid., 140–142.

[22]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2, 327–330.

[23]             Habermas, Between Facts and Norms, 144–147.

[24]             Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 78–80.

[25]             Habermas, On the Pragmatics of Communication (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 237–240.

[26]             Axel Honneth, Critique of Power: Reflective Stages in a Critical Social Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 43–47.

[27]             McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas, 324–327.

[28]             Richard Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1983), 70–74.

[29]             Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 311–314.

[30]             Habermas, The Inclusion of the Other: Studies in Political Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 107–110.

[31]             Habermas, Between Facts and Norms, 150–153.

[32]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2, 354–358.

[33]             Ibid., 359–362.

[34]             Fraser, “Social Justice in the Age of Identity Politics,” The Tanner Lectures on Human Values 19 (1997): 15–17.

[35]             Habermas, On the Pragmatics of Communication, 245–248.

[36]             Habermas, The Inclusion of the Other, 112–115.

[37]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 91–94.

[38]             Benhabib, Critique, Norm, and Utopia, 96–98.

[39]             Bernstein, The New Constellation: The Ethical-Political Horizons of Modernity/Postmodernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 104–107.

[40]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, 332–335.


7.           Kritik terhadap Etika Diskursus

Etika Diskursus yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas merupakan salah satu tonggak penting dalam filsafat moral dan sosial abad ke-20. Ia berupaya merekonstruksi rasionalitas modern dengan menegaskan bahwa legitimasi moral dan politik hanya dapat muncul melalui diskursus komunikatif yang rasional dan bebas dari dominasi.¹ Namun, berbagai kritik telah diarahkan terhadap Etika Diskursus dari berbagai aliran filsafat kontemporer, mulai dari postmodernisme, feminisme, komunitarianisme, hingga realisme politik. Kritik-kritik ini menyoroti keterbatasan konsep rasionalitas universal Habermas, idealisasi situasi komunikasi, serta kesulitan penerapan praktis dalam masyarakat plural dan kompleks.

7.1.       Kritik Postmodern: Masalah Universalisme dan Kekuasaan

Kritik paling tajam datang dari para filsuf postmodernis, terutama Jean-François Lyotard dan Michel Foucault. Lyotard dalam The Postmodern Condition menolak gagasan Habermas tentang “narasi besar” (grand narrative) yang mengandaikan universalitas rasionalitas dan konsensus moral.² Menurut Lyotard, kondisi pengetahuan modern justru ditandai oleh “permainan bahasa” (language games) yang bersifat lokal, heterogen, dan tidak dapat disatukan dalam satu kerangka rasionalitas universal.³ Ia menilai bahwa upaya Habermas untuk menegakkan rasionalitas komunikatif justru menciptakan bentuk baru dari hegemoni epistemik, di mana satu gaya berargumentasi (rasionalitas logis-linguistik) dianggap lebih sah daripada bentuk komunikasi lain seperti narasi, emosi, atau simbol budaya.⁴

Sementara itu, Foucault menyoroti hubungan antara rasionalitas dan kekuasaan. Dalam Power/ Knowledge, ia menegaskan bahwa setiap wacana rasional selalu terjerat dalam jaringan kekuasaan, sehingga komunikasi yang “bebas dari dominasi” hanyalah ideal abstrak yang tidak mungkin terwujud dalam realitas sosial.⁵ Menurut Foucault, tidak ada diskursus yang netral, karena setiap bentuk pengetahuan mengandung mekanisme kontrol dan eksklusi.⁶ Dengan demikian, Etika Diskursus dituduh gagal mengenali dimensi mikropolitik kekuasaan yang bekerja di balik klaim rasionalitas dan kebenaran.⁷

Habermas sendiri menanggapi kritik ini dengan mengakui pentingnya sensitivitas terhadap perbedaan dan konteks, tetapi tetap menegaskan perlunya norma universal komunikasi agar kritik sosial memiliki dasar yang kuat.⁸ Baginya, tanpa prinsip rasionalitas komunikatif, wacana etis akan terjebak dalam relativisme nihilistik yang meniadakan kemungkinan kritik moral terhadap ketidakadilan.⁹

7.2.       Kritik Feminisme: Rasionalitas dan Bias Maskulin

Para pemikir feminis seperti Seyla Benhabib, Nancy Fraser, dan Iris Marion Young memberikan kritik konstruktif terhadap Etika Diskursus dengan menyoroti bias gender yang tersirat dalam konsep rasionalitas Habermas.¹⁰ Benhabib berpendapat bahwa walaupun Etika Diskursus membuka ruang untuk dialog universal, modelnya masih terlalu abstrak dan formalistik, sehingga mengabaikan dimensi pengalaman konkret dan emosi yang berperan penting dalam komunikasi etis.¹¹

Fraser menambahkan bahwa ideal Habermasian tentang “ruang publik tunggal yang rasional” berpotensi menyingkirkan suara-suara marginal, terutama kelompok subordinat yang tidak memiliki akses setara dalam proses diskursus.¹² Dalam masyarakat yang tidak simetris secara sosial-ekonomi, prasyarat “kesetaraan komunikasi” sulit terwujud.¹³ Young lebih jauh mengkritik Habermas karena mengidealkan bentuk komunikasi yang menekankan argumentasi logis, padahal bentuk komunikasi lain seperti narasi, ekspresi emosional, dan kesaksian pribadi juga memiliki nilai epistemik dan moral yang penting.¹⁴

Namun demikian, kritik feminis juga memperkaya Etika Diskursus. Benhabib kemudian berupaya merevisi teori Habermas dengan memperkenalkan konsep “interaksi konkret” (concrete other) untuk melengkapi gagasan Habermas tentang “interaksi umum” (generalized other), sehingga etika dapat lebih menghargai konteks partikular individu dan perbedaan sosial.¹⁵

7.3.       Kritik Komunitarian: Abstraksi Moral dan Konteks Sosial

Aliran komunitarianisme yang diwakili oleh Michael Sandel, Charles Taylor, dan Alasdair MacIntyre juga menolak universalitas moral Habermas.¹⁶ Mereka berpendapat bahwa manusia tidak dapat dipahami sebagai subjek rasional yang netral, melainkan sebagai makhluk yang tertanam dalam tradisi, sejarah, dan komunitas moral tertentu.¹⁷ Dengan demikian, Etika Diskursus dianggap terlalu “kosmopolitik” dan mengabaikan nilai-nilai partikular yang membentuk identitas kolektif masyarakat.¹⁸

Sandel, dalam Liberalism and the Limits of Justice, menilai bahwa Habermas mewarisi individualisme liberal yang menyisihkan makna keterikatan komunitas dalam pembentukan moralitas.¹⁹ Taylor juga mengkritik Habermas karena terlalu mengandalkan bahasa rasional dan proposisional, tanpa memperhitungkan “pra-refleksif” horizon makna yang muncul dari budaya dan pengalaman historis bersama.²⁰ Menurut MacIntyre, klaim Habermas tentang konsensus rasional justru menciptakan moralitas prosedural yang kehilangan orientasi terhadap virtue dan tradisi etis yang hidup.²¹

Habermas menanggapi kritik ini dengan menegaskan bahwa Etika Diskursus tidak menolak tradisi atau komunitas, melainkan menyediakan kerangka rasional untuk mengkritik dan menilai tradisi tersebut.²² Ia menolak partikularisme moral karena berpotensi membenarkan praktik ketidakadilan dalam nama budaya atau komunitas tertentu.²³

7.4.       Kritik Realis dan Pragmatis: Idealitas dan Aplikasi

Kritik lain datang dari kalangan realis politik dan pragmatis, seperti Chantal Mouffe, Richard Rorty, dan John Gray, yang menilai bahwa Etika Diskursus terlalu idealistik dan sulit diterapkan dalam praktik sosial dan politik yang kompleks.²⁴ Mouffe, dalam The Democratic Paradox, berargumen bahwa masyarakat demokratis selalu mengandung konflik nilai dan kepentingan yang tidak dapat diselesaikan melalui konsensus rasional semata.²⁵ Ia mengusulkan konsep “agonistik demokrasi”, di mana perbedaan diakui sebagai kekuatan kreatif, bukan masalah yang harus dihapuskan.²⁶

Rorty mengkritik fondasi epistemologis Etika Diskursus yang mengklaim universalitas rasional.²⁷ Menurutnya, solidaritas sosial tidak memerlukan dasar rasional universal, melainkan dapat dibangun melalui empati, imajinasi, dan konsensus lokal yang bersifat historis.²⁸ John Gray menilai bahwa gagasan Habermas tentang komunikasi ideal tidak realistis karena mengabaikan kondisi pluralisme nilai dan kekuasaan politik yang inheren dalam masyarakat modern.²⁹

Meski demikian, kritik ini juga memunculkan refleksi mendalam terhadap keterbatasan teori Habermas. Dalam tulisan-tulisan terakhirnya, Habermas mengakui bahwa Etika Diskursus perlu diperkaya dengan sensitivitas terhadap konteks pluralitas budaya dan globalisasi, tanpa meninggalkan prinsip universal komunikasi.³⁰

7.5.       Kritik Internal: Ketegangan antara Moralitas dan Hukum

Beberapa pemikir dalam tradisi teori kritis sendiri, seperti Axel Honneth dan Thomas McCarthy, mengajukan kritik internal terhadap Habermas.³¹ Honneth menilai bahwa Etika Diskursus terlalu menekankan rasionalitas formal dan kurang memperhatikan dimensi afektif dan pengakuan sosial (Anerkennung) sebagai basis moralitas.³² Moralitas, menurutnya, tidak hanya lahir dari argumentasi rasional, tetapi juga dari relasi empatik dan penghargaan timbal balik yang mendahului diskursus.³³

McCarthy menyoroti ketegangan antara moralitas diskursif dan legitimasi hukum dalam karya Habermas.³⁴ Menurutnya, transisi dari komunikasi etis ke sistem hukum formal tidak sepenuhnya jelas, karena hukum yang dilembagakan sering kali kehilangan semangat deliberatif yang menjadi inti Etika Diskursus.³⁵


Sintesis Kritis: Antara Rasionalitas dan Pluralitas

Kritik-kritik di atas menunjukkan bahwa Etika Diskursus berada di persimpangan antara rasionalitas universal dan pluralitas sosial.³⁶ Meskipun banyak diperdebatkan, sebagian besar kritik tidak menolak keseluruhan proyek Habermas, melainkan menekankan perlunya revisi kontekstual agar teori ini lebih inklusif dan realistis.³⁷

Etika Diskursus tetap memiliki nilai normatif yang tinggi karena menawarkan cara untuk menilai moralitas dan legitimasi tanpa bergantung pada otoritas metafisis.³⁸ Namun, agar relevan dalam dunia global yang penuh ketimpangan, teori ini harus memperhatikan ketimpangan kekuasaan, perbedaan budaya, dan bentuk-bentuk komunikasi non-formal yang juga mengandung kebenaran dan nilai moral.³⁹ Dengan demikian, kekuatan Etika Diskursus terletak bukan pada kesempurnaan teoretisnya, tetapi pada kemampuannya untuk menjadi ruang reflektif bagi kritik sosial dan moral yang berkelanjutan.⁴⁰


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 43–45.

[2]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 31–33.

[3]                Ibid., 36–38.

[4]                Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1983), 71–73.

[5]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977 (New York: Pantheon Books, 1980), 98–100.

[6]                Ibid., 102–104.

[7]                David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason (New Haven: Yale University Press, 1987), 57–59.

[8]                Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 315–317.

[9]                Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 328–330.

[10]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 78–80.

[11]             Ibid., 82–84.

[12]             Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” Social Text 25/26 (1990): 56–58.

[13]             Ibid., 59–61.

[14]             Iris Marion Young, Inclusion and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 37–39.

[15]             Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press, 1986), 95–97.

[16]             Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 5–7.

[17]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 32–34.

[18]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984), 222–224.

[19]             Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 12–14.

[20]             Taylor, Sources of the Self, 45–47.

[21]             MacIntyre, After Virtue, 230–233.

[22]             Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 108–110.

[23]             Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge, 1980), 275–277.

[24]             Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000), 81–83.

[25]             Ibid., 85–87.

[26]             Ibid., 92–94.

[27]             Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 45–47.

[28]             Ibid., 58–60.

[29]             John Gray, Enlightenment’s Wake: Politics and Culture at the Close of the Modern Age (London: Routledge, 1995), 112–114.

[30]             Habermas, The Inclusion of the Other: Studies in Political Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 111–113.

[31]             Axel Honneth, Critique of Power: Reflective Stages in a Critical Social Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 15–17.

[32]             Ibid., 19–22.

[33]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 89–91.

[34]             Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 326–329.

[35]             Ibid., 330–332.

[36]             Bernstein, The New Constellation: The Ethical-Political Horizons of Modernity/Postmodernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 106–109.

[37]             Benhabib, Situating the Self, 90–92.

[38]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 95–97.

[39]             Nancy Fraser, “Social Justice in the Age of Identity Politics,” The Tanner Lectures on Human Values 19 (1997): 17–20.

[40]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 332–335.


8.           Relevansi Kontemporer Etika Diskursus

Dalam konteks dunia modern yang ditandai oleh pluralitas nilai, globalisasi, serta krisis legitimasi moral dan politik, Etika Diskursus Jürgen Habermas tampil sebagai paradigma filsafat yang memiliki relevansi teoretis dan praktis yang mendalam. Etika ini tidak hanya memberikan kerangka normatif bagi komunikasi yang etis di antara individu dan kelompok, tetapi juga menawarkan prinsip rasional bagi kehidupan sosial, politik, dan teknologi di era global dan digital.¹

8.1.       Etika Diskursus dalam Dunia Global dan Plural

Habermas memandang bahwa masyarakat kontemporer ditandai oleh pluralisme budaya, agama, dan moral yang belum pernah terjadi sebelumnya.² Dalam kondisi ini, kebutuhan akan dasar moral yang universal menjadi semakin mendesak. Etika Diskursus menyediakan fondasi tersebut dengan menekankan prosedur rasional komunikasi yang terbuka bagi semua pihak tanpa memaksakan nilai partikular.³ Prinsip ini memungkinkan terciptanya ruang etis lintas budaya, di mana norma moral tidak ditentukan oleh kekuasaan atau tradisi tunggal, melainkan oleh argumentasi rasional yang inklusif.⁴

Dalam konteks globalisasi, Etika Diskursus dapat menjadi kerangka untuk dialog antarperadaban dan antaragama.⁵ Prinsip rasionalitas komunikatif Habermas memberikan dasar bagi intercultural dialogue yang menghargai perbedaan, tetapi tetap mencari kesepakatan universal melalui argumentasi moral yang dapat diterima secara rasional oleh semua.⁶ Konsep ini menjadi sangat relevan dalam menghadapi konflik ideologis, ekstremisme, dan fundamentalisme yang muncul akibat benturan nilai global.⁷

8.2.       Relevansi dalam Demokrasi Deliberatif dan Ruang Publik Modern

Dalam bidang politik, Etika Diskursus memperkuat model demokrasi deliberatif yang menekankan peran diskursus publik sebagai sumber legitimasi politik.⁸ Di tengah krisis demokrasi liberal yang ditandai oleh menurunnya kepercayaan publik, populisme, dan polarisasi opini, Etika Diskursus menegaskan pentingnya komunikasi publik yang rasional, partisipatif, dan non-dominatif.⁹

Habermas menunjukkan bahwa legitimasi politik hanya sah jika keputusan publik dapat dibenarkan melalui proses deliberatif yang inklusif dan transparan.¹⁰ Prinsip ini semakin penting di era digital, di mana informasi dan disinformasi menyebar secara simultan, sehingga ruang publik membutuhkan landasan etis baru untuk memelihara keadaban diskursif.¹¹ Dalam konteks ini, Etika Diskursus memberikan dasar normatif untuk memulihkan rasionalitas publik yang terkikis oleh logika komersialisasi media dan algoritma media sosial.¹²

Selain itu, Etika Diskursus memberikan arah baru bagi politik global melalui ruang publik transnasional.¹³ Habermas memperkenalkan gagasan bahwa etika komunikasi dapat menjadi prinsip moral bagi masyarakat dunia, di mana keputusan global—seperti isu iklim, migrasi, atau hak asasi manusia—dapat dibicarakan secara deliberatif dalam kerangka rasionalitas universal.¹⁴

8.3.       Etika Diskursus dan Teknologi Digital

Era digital menghadirkan bentuk baru dari komunikasi publik yang bersifat simultan, interaktif, namun juga rentan terhadap distorsi.¹⁵ Media sosial, algoritma rekomendasi, dan kecerdasan buatan (AI) menciptakan ruang diskursus yang tidak selalu bebas dari dominasi, karena terkadang dikendalikan oleh kepentingan ekonomi, politik, atau teknologis.¹⁶ Dalam situasi ini, Etika Diskursus menjadi relevan sebagai kerangka etika digital untuk memastikan komunikasi di ruang maya berlangsung secara adil, jujur, dan reflektif.¹⁷

Habermas sendiri mengkritik bentuk komunikasi digital yang cenderung dangkal dan emosional, karena sering kali menggantikan argumentasi rasional dengan ekspresi instan.¹⁸ Oleh karena itu, penerapan Etika Diskursus dalam konteks digital berarti menegakkan nilai-nilai transparansi, kejujuran, tanggung jawab, dan keterbukaan dalam interaksi daring.¹⁹ Prinsip diskursus dapat menjadi pedoman dalam merumuskan etika komunikasi publik di dunia maya, seperti dalam regulasi konten, kebebasan berekspresi, dan penggunaan teknologi AI yang berkeadilan sosial.²⁰

8.4.       Etika Diskursus dan Krisis Moral Kontemporer

Krisis moral global yang muncul akibat ketimpangan ekonomi, degradasi lingkungan, dan konflik identitas menuntut paradigma etika baru yang mampu menyatukan kepentingan universal dengan keberagaman lokal.²¹ Etika Diskursus memberikan solusi melalui pendekatan yang menggabungkan rasionalitas dan solidaritas, dua nilai yang sering terpecah dalam wacana modern.²²

Dalam isu lingkungan, misalnya, Etika Diskursus dapat menjadi dasar bagi etika ekologis deliberatif, di mana kebijakan publik tentang perubahan iklim atau eksploitasi alam dibentuk melalui dialog yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk komunitas terdampak dan generasi mendatang.²³ Dengan cara ini, etika Habermas dapat memperluas cakupan moral ke arah keadilan ekologis dan intergenerasional.²⁴

Lebih jauh lagi, dalam menghadapi kemerosotan moral akibat polarisasi sosial, Etika Diskursus menekankan rekonstruksi ruang etis publik yang menghidupkan kembali nilai kejujuran, empati, dan tanggung jawab kolektif.²⁵ Dalam masyarakat yang didominasi logika konsumsi dan sensasionalisme media, prinsip diskursus berfungsi sebagai pengingat bahwa keadilan sosial tidak dapat dicapai tanpa komunikasi yang reflektif dan rasional.²⁶

8.5.       Etika Diskursus sebagai Paradigma Pendidikan dan Kebudayaan

Dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, Etika Diskursus memiliki peran penting dalam membentuk kewargaan reflektif (reflective citizenship).²⁷ Pendidikan yang berlandaskan prinsip diskursus menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, keterbukaan terhadap perbedaan, dan tanggung jawab moral terhadap komunitas.²⁸ Habermas menegaskan bahwa masyarakat demokratis hanya dapat bertahan jika warganya mampu berpartisipasi dalam komunikasi publik secara rasional dan etis.²⁹ Oleh karena itu, Etika Diskursus relevan sebagai dasar filosofis bagi pendidikan demokratis dan multikultural di abad ke-21.³⁰

Selain pendidikan, Etika Diskursus juga memberikan arah bagi kebudayaan reflektif—yakni budaya yang menolak dominasi ideologis dan membuka diri terhadap kritik rasional.³¹ Dengan memulihkan nilai rasionalitas komunikatif dalam kebudayaan, Habermas berupaya membangun masyarakat yang beradab, dialogis, dan berkeadilan epistemik.³²


Relevansi Global: Dari Etika ke Kosmopolitanisme Moral

Pada tingkat global, Etika Diskursus memiliki relevansi dalam pembentukan kosmopolitanisme moral, yaitu pandangan bahwa warga dunia memiliki tanggung jawab etis lintas batas negara.³³ Dalam karya The Postnational Constellation, Habermas berpendapat bahwa dunia global membutuhkan bentuk baru dari solidaritas transnasional yang berbasis pada komunikasi rasional.³⁴ Etika Diskursus, dengan prinsip universalitas komunikatifnya, dapat menjadi dasar bagi etika global, di mana keputusan politik, ekonomi, dan ekologis diambil melalui mekanisme deliberatif lintas negara dan budaya.³⁵

Dengan demikian, Etika Diskursus berfungsi sebagai jembatan antara etika normatif dan praktik global, antara moralitas dan politik, antara kebenaran dan pluralitas.³⁶ Dalam dunia yang diwarnai oleh fragmentasi ideologis dan krisis komunikasi, teori Habermas tetap menawarkan harapan: bahwa kebebasan dan keadilan hanya dapat diwujudkan melalui rasionalitas yang hidup dalam komunikasi antar manusia.³⁷


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 43–45.

[2]                Jürgen Habermas, The Inclusion of the Other: Studies in Political Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 110–112.

[3]                Karl-Otto Apel, Diskurs und Verantwortung: Das Problem des Übergangs zur postkonventionellen Moral (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1990), 116–119.

[4]                Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 85–88.

[5]                Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 32–34.

[6]                Habermas, The Inclusion of the Other, 114–117.

[7]                Richard J. Bernstein, The New Constellation: The Ethical-Political Horizons of Modernity/Postmodernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 104–107.

[8]                Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 110–113.

[9]                Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” Social Text 25/26 (1990): 56–58.

[10]             Habermas, Between Facts and Norms, 125–127.

[11]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 91–93.

[12]             Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere (Cambridge: Polity Press, 1989), 27–30.

[13]             Habermas, The Postnational Constellation: Political Essays (Cambridge, MA: MIT Press, 2001), 59–63.

[14]             Ibid., 64–68.

[15]             Habermas, On the Pragmatics of Communication (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 237–240.

[16]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 94–97.

[17]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 54–57.

[18]             Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 311–314.

[19]             Rafael Capurro, “Digital Ethics,” AI & Society 37, no. 2 (2022): 321–323.

[20]             Luciano Floridi, Ethics of Artificial Intelligence (Oxford: Oxford University Press, 2021), 66–69.

[21]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 12–15.

[22]             David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason (New Haven: Yale University Press, 1987), 57–60.

[23]             John Dryzek, Deliberative Democracy and Beyond (Oxford: Oxford University Press, 2000), 89–92.

[24]             Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 34–36.

[25]             Nancy Fraser, “Social Justice in the Age of Identity Politics,” The Tanner Lectures on Human Values 19 (1997): 15–17.

[26]             Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press, 1986), 92–95.

[27]             Martha Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 54–56.

[28]             Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 1998), 41–44.

[29]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 96–98.

[30]             Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 87–90.

[31]             Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity, 319–321.

[32]             Benhabib, Situating the Self, 90–92.

[33]             Habermas, The Postnational Constellation, 71–74.

[34]             Ibid., 75–77.

[35]             Ulrich Beck, World Risk Society (Cambridge: Polity Press, 1999), 142–145.

[36]             Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge, 1980), 277–279.

[37]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 332–335.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Etika Komunikatif Humanistik

Etika Diskursus yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas merupakan salah satu upaya paling ambisius dalam filsafat kontemporer untuk merehabilitasi rasionalitas tanpa jatuh pada absolutisme metafisis atau relativisme nihilistik.¹ Dalam bagian sintesis ini, Etika Diskursus akan dipahami sebagai landasan bagi pembentukan Etika Komunikatif Humanistik, yakni suatu paradigma moral yang memadukan rasionalitas, dialog, dan kemanusiaan dalam satu kesatuan praksis sosial yang reflektif.

Etika Komunikatif Humanistik dimaksudkan bukan sekadar sebagai penjelasan teoritis, tetapi sebagai proyek peradaban moral yang meneguhkan martabat manusia melalui komunikasi rasional yang terbuka, empatik, dan inklusif.² Dalam kerangka ini, manusia tidak hanya dipahami sebagai makhluk rasional, tetapi juga sebagai makhluk dialogis dan etis, yang keberadaannya ditentukan oleh relasi intersubjektif dengan yang lain.

9.1.       Sintesis Rasionalitas dan Kemanusiaan

Habermas merekonstruksi konsep rasionalitas dari bentuk instrumental dan teknokratis menjadi rasionalitas komunikatif, yang berorientasi pada pemahaman dan konsensus moral.³ Dalam pandangan humanistik, rasionalitas sejati tidak diukur dari kemampuan untuk mengendalikan dunia, melainkan dari kemampuan untuk memahami dan mengakui sesama.⁴

Etika Komunikatif Humanistik mengambil alih prinsip ini dengan menegaskan bahwa moralitas tidak dapat dilepaskan dari komunikasi yang mengakui keberadaan orang lain sebagai subjek yang setara.⁵ Dengan demikian, kebenaran moral tidak lagi bersifat monologis seperti dalam rasionalisme klasik, melainkan intersubjektif, lahir dari perjumpaan manusia dalam ruang dialogis yang terbuka.⁶

Rasionalitas komunikatif menjadi dasar bagi kemanusiaan baru yang berakar pada pengakuan dan solidaritas, bukan dominasi atau subordinasi.⁷ Di sinilah nilai humanistik Etika Diskursus menemukan bentuk konkretnya: komunikasi bukan hanya sarana, melainkan juga ekspresi terdalam dari eksistensi manusia sebagai makhluk moral yang berorientasi pada kebaikan bersama.⁸

9.2.       Etika sebagai Praksis Dialogis

Dalam Etika Komunikatif Humanistik, etika dipahami bukan sebagai sistem normatif tertutup, tetapi sebagai praksis dialogis yang terus menerus diperbarui melalui komunikasi rasional.⁹ Proses ini memungkinkan individu dan masyarakat untuk secara reflektif menilai dan merevisi norma-norma moral sesuai dengan perkembangan sosial dan historisnya.¹⁰

Habermas menolak pandangan metafisis yang menempatkan moralitas sebagai hukum yang statis dan universal dalam arti substansial.¹¹ Sebaliknya, ia menekankan universalitas prosedural, yakni bahwa norma moral hanya sah jika dapat diterima oleh semua pihak yang terkena dampaknya melalui argumentasi rasional.¹² Etika dalam konteks ini bersifat dinamis, terbuka terhadap koreksi, dan menolak segala bentuk otoritarianisme moral.¹³

Etika Komunikatif Humanistik memperluas gagasan ini dengan menambahkan dimensi empatik dan eksistensial, yaitu bahwa partisipasi dalam diskursus bukan hanya kewajiban rasional, tetapi juga tanggung jawab kemanusiaan untuk saling mendengarkan, memahami, dan mengakui penderitaan orang lain.¹⁴ Dengan demikian, komunikasi etis tidak hanya menegakkan keadilan, tetapi juga menumbuhkan belas kasih dan penghargaan terhadap martabat manusia.¹⁵

9.3.       Rekonstruksi Hubungan antara Moralitas dan Solidaritas

Salah satu kontribusi penting Habermas bagi filsafat moral modern adalah integrasinya antara moralitas (Moralität) dan solidaritas (Solidarität).¹⁶ Moralitas mengacu pada prinsip-prinsip universal yang dapat diterima secara rasional, sementara solidaritas menunjuk pada keterikatan emosional dan sosial antarindividu dalam komunitas moral.¹⁷

Etika Komunikatif Humanistik menyintesiskan keduanya dengan cara menegaskan bahwa moralitas tanpa solidaritas kehilangan sisi humanistiknya, sementara solidaritas tanpa moralitas berisiko menjadi eksklusif dan partikularistik.¹⁸ Dalam masyarakat global yang plural, keseimbangan antara keduanya menjadi landasan bagi kehidupan etis yang adil dan empatik.¹⁹

Prinsip ini memiliki implikasi praksis yang luas: dalam kebijakan publik, misalnya, keputusan politik tidak cukup rasional secara formal, tetapi juga harus mempertimbangkan dimensi moral-afektif berupa empati terhadap kelompok rentan.²⁰ Dengan kata lain, Etika Komunikatif Humanistik mengembalikan “jiwa” pada etika modern yang cenderung kering oleh formalisme rasional.²¹

9.4.       Dialog sebagai Jalan Menuju Emansipasi

Habermas memahami dialog bukan hanya sebagai pertukaran informasi, tetapi sebagai proses emansipatoris yang membebaskan manusia dari dominasi, manipulasi, dan ketimpangan struktural.²² Dalam komunikasi yang bebas dari paksaan, individu menemukan kembali otonomi moralnya, karena ia tidak lagi tunduk pada otoritas eksternal, melainkan pada kekuatan argumen terbaik.²³

Etika Komunikatif Humanistik mengembangkan gagasan ini menjadi prinsip praksis global: bahwa pembebasan manusia dari ketidakadilan hanya dapat terjadi melalui dialog reflektif yang mengakui kesetaraan moral semua pihak.²⁴ Komunikasi rasional menjadi sarana transformasi sosial, karena melalui dialog manusia bersama-sama menciptakan makna, hukum, dan moralitas yang adil.²⁵

Dengan demikian, Etika Komunikatif Humanistik berfungsi sebagai filosofi emansipasi, yang menolak logika kekuasaan, dominasi ekonomi, dan eksklusi budaya.²⁶ Ia membangun visi masyarakat di mana kebebasan tidak lagi dipahami sebagai kebebasan dari orang lain, tetapi sebagai kebebasan bersama melalui komunikasi yang etis.²⁷

9.5.       Humanisme Diskursif: Manusia sebagai Subjek Etis dan Komunikatif

Etika Komunikatif Humanistik berakar pada humanisme baru yang menolak individualisme liberal sekaligus menentang kolektivisme dogmatis.²⁸ Manusia dipahami sebagai subjek etis yang hanya menjadi dirinya sendiri melalui relasi komunikatif dengan sesama.²⁹ Prinsip humanisme diskursif ini memulihkan pengertian klasik tentang homo dialogicus—makhluk yang menjadi manusia sejati hanya dalam pertemuan dan percakapan dengan yang lain.³⁰

Habermas menegaskan bahwa rasionalitas dan kemanusiaan bersifat ko-konstitutif: manusia hanya dapat menjadi rasional sejauh ia mampu bersikap etis terhadap orang lain, dan ia hanya dapat menjadi etis sejauh ia rasional dalam berkomunikasi.³¹ Humanisme diskursif ini menolak dikotomi antara logos dan ethos, serta menggantinya dengan visi rasionalitas yang berbelas kasih.³²

Etika Komunikatif Humanistik, dengan demikian, tidak hanya menjadi teori moral, tetapi juga pandangan hidup (Lebensphilosophie) yang memandang dialog sebagai bentuk tertinggi dari kemanusiaan.³³ Ia membayangkan masa depan etika global yang menempatkan dialog sebagai sumber kebenaran, solidaritas sebagai dasar moralitas, dan pengakuan timbal balik sebagai wujud tertinggi dari martabat manusia.³⁴


Menuju Etika Komunikatif Universal: Perspektif Global

Dalam era globalisasi, Etika Komunikatif Humanistik memiliki relevansi universal. Ia mampu melampaui sekat-sekat kebangsaan, agama, dan ideologi dengan menyediakan bahasa moral bersama bagi umat manusia.³⁵ Melalui prinsip diskursus, Habermas memberikan kemungkinan bagi munculnya etika global deliberatif, di mana keputusan etis dan politik dapat diambil berdasarkan konsensus transkultural yang reflektif.³⁶

Etika ini juga memiliki implikasi bagi pembangunan perdamaian, keadilan global, dan keberlanjutan ekologis.³⁷ Dalam setiap level kehidupan—dari komunitas lokal hingga tatanan dunia—komunikasi rasional menjadi instrumen untuk menegakkan keadilan dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.³⁸ Dengan demikian, Etika Komunikatif Humanistik membuka jalan bagi transformasi etika menjadi praktik kemanusiaan universal, di mana rasionalitas tidak lagi menjadi alat dominasi, tetapi menjadi bahasa bersama bagi solidaritas global.³⁹


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 43–45.

[2]                Karl-Otto Apel, Diskurs und Verantwortung: Das Problem des Übergangs zur postkonventionellen Moral (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1990), 112–115.

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.

[4]                Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1983), 64–67.

[5]                Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 78–80.

[6]                Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 110–113.

[7]                Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 91–93.

[8]                Habermas, The Inclusion of the Other: Studies in Political Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 108–110.

[9]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 312–314.

[10]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 66–68.

[11]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 28–30.

[12]             Habermas, Between Facts and Norms, 122–125.

[13]             Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge, 1980), 273–275.

[14]             Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 78–81.

[15]             Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 1998), 45–47.

[16]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 127–130.

[17]             Honneth, Critique of Power: Reflective Stages in a Critical Social Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 15–17.

[18]             Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press, 1986), 92–95.

[19]             Habermas, Between Facts and Norms, 128–131.

[20]             Nancy Fraser, “Social Justice in the Age of Identity Politics,” The Tanner Lectures on Human Values 19 (1997): 15–18.

[21]             David Rasmussen, Reading Habermas (Oxford: Blackwell, 1990), 123–126.

[22]             Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 311–314.

[23]             McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas, 318–320.

[24]             Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 58–61.

[25]             Habermas, On the Pragmatics of Communication (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 237–240.

[26]             Bernstein, The New Constellation: The Ethical-Political Horizons of Modernity/Postmodernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 104–107.

[27]             Habermas, The Postnational Constellation: Political Essays (Cambridge, MA: MIT Press, 2001), 65–68.

[28]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 32–34.

[29]             Benhabib, Situating the Self, 85–88.

[30]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 50–53.

[31]             Habermas, The Inclusion of the Other, 114–116.

[32]             Nussbaum, Love’s Knowledge: Essays on Philosophy and Literature (Oxford: Oxford University Press, 1990), 97–99.

[33]             Paulo Freire, Pedagogy of Hope: Reliving the Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1994), 101–104.

[34]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 93–96.

[35]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 36–38.

[36]             Ulrich Beck, World Risk Society (Cambridge: Polity Press, 1999), 142–145.

[37]             Habermas, The Postnational Constellation, 70–74.

[38]             Honneth, The Struggle for Recognition, 95–98.

[39]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, 332–335.


10.       Kesimpulan

Etika Diskursus Jürgen Habermas merupakan tonggak penting dalam perkembangan filsafat moral dan sosial kontemporer. Ia berhasil merekonstruksi tradisi rasionalisme modern dengan cara menggeser pusat rasionalitas dari subjek individual menuju komunikasi intersubjektif, sekaligus mengembalikan moralitas pada basis sosial yang rasional dan partisipatif.¹ Melalui Etika Diskursus, Habermas menunjukkan bahwa norma moral yang sah tidak berasal dari otoritas eksternal, melainkan dari proses dialog reflektif yang bebas dari dominasi, di mana setiap individu diakui sebagai partisipan rasional yang setara.²

Etika ini bukan sekadar teori etika normatif, melainkan juga proyek emansipatoris yang bertujuan memulihkan potensi rasionalitas dalam masyarakat modern yang terfragmentasi oleh kekuasaan, ekonomi, dan teknologi.³ Dengan menegaskan bahwa moralitas adalah hasil konsensus yang dicapai melalui komunikasi yang adil dan terbuka, Habermas menghadirkan paradigma baru yang menempatkan bahasa dan argumentasi sebagai fondasi etika dan legitimasi sosial.⁴

10.1.    Sintesis Normatif dan Praksis

Secara filosofis, Etika Diskursus menyatukan tiga dimensi utama: rasionalitas, moralitas, dan praksis sosial.⁵ Rasionalitas komunikatif berfungsi sebagai medium normatif yang memungkinkan individu menilai dan menjustifikasi norma sosial secara reflektif. Moralitas menjadi prinsip universal yang menjamin kesetaraan partisipasi, sementara praksis sosial menjadi arena aktualisasi dari prinsip tersebut dalam kehidupan nyata.⁶

Etika Diskursus menolak baik relativisme etis maupun absolutisme moral.⁷ Ia menawarkan jalan tengah berupa universalisme prosedural, yakni keyakinan bahwa kebenaran dan keadilan dapat ditemukan bukan melalui dogma metafisis, melainkan melalui proses argumentatif yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan.⁸ Dengan demikian, Etika Diskursus memberikan legitimasi moral yang bersifat rasional, terbuka terhadap kritik, dan adaptif terhadap konteks sosial yang berubah.⁹

10.2.    Implikasi Sosial dan Politik

Dalam ranah sosial-politik, Etika Diskursus menyediakan kerangka teoritis bagi demokrasi deliberatif—sebuah sistem politik yang menempatkan dialog publik sebagai sumber legitimasi kekuasaan.¹⁰ Habermas menegaskan bahwa demokrasi yang sejati hanya dapat terwujud jika warga negara berpartisipasi secara aktif dan setara dalam pembentukan opini dan kehendak politik bersama.¹¹ Etika Diskursus memberikan dasar moral bagi struktur hukum dan pemerintahan yang transparan, inklusif, serta berorientasi pada keadilan prosedural.¹²

Selain itu, prinsip komunikasi bebas dari dominasi juga menjadi fondasi bagi keadilan sosial dan pengakuan timbal balik antarindividu.¹³ Dalam masyarakat global yang diwarnai ketimpangan dan disinformasi, Etika Diskursus menawarkan model rasionalitas kritis yang mampu menegakkan otonomi individu tanpa meniadakan solidaritas sosial.¹⁴

10.3.    Relevansi Global dan Etika Humanistik

Etika Diskursus juga memiliki relevansi global yang melampaui batas kebangsaan.¹⁵ Prinsip rasionalitas komunikatif Habermas dapat menjadi dasar bagi etika kosmopolitik, di mana norma-norma global mengenai keadilan, hak asasi manusia, dan tanggung jawab ekologis dibangun melalui dialog antarbudaya dan antarperadaban.¹⁶ Dalam dunia yang semakin terhubung, konsep ini menawarkan jalan etis untuk menghadapi tantangan global seperti krisis lingkungan, polarisasi politik, dan kecanggihan teknologi digital.¹⁷

Dalam dimensi humanistik, Etika Diskursus menegaskan kembali martabat manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan berkomunikasi.¹⁸ Melalui dialog rasional, manusia tidak hanya mengonstruksi norma moral, tetapi juga mengafirmasi keberadaannya sebagai makhluk etis yang bebas, reflektif, dan bertanggung jawab.¹⁹ Dengan demikian, Etika Diskursus memadukan rasionalitas dengan kemanusiaan, menjadikannya fondasi bagi etika komunikatif humanistik yang relevan untuk peradaban modern dan masa depan.²⁰

10.4.    Kritik dan Prospek Pengembangan

Meski memiliki kekuatan teoritis yang besar, Etika Diskursus tidak lepas dari kritik.²¹ Para pemikir postmodern, feminis, dan komunitarian menyoroti potensi bias universalismenya, serta kesulitannya dalam menghadapi realitas kekuasaan, ketimpangan, dan pluralitas budaya.²² Namun, justru dari kritik inilah Etika Diskursus menemukan vitalitasnya: ia bukan teori dogmatis, melainkan proyek reflektif yang selalu terbuka terhadap revisi dan dialog.²³

Ke depan, Etika Diskursus perlu dikembangkan lebih lanjut dalam konteks digitalisasi, ekologi global, dan pluralisme religius, dengan memperluas makna komunikasi rasional ke dalam bentuk-bentuk baru interaksi manusia.²⁴ Dalam kerangka ini, Etika Diskursus dapat menjadi filsafat transformatif yang menggabungkan rasionalitas kritis, kesadaran ekologis, dan empati moral untuk membangun peradaban yang lebih manusiawi dan berkeadilan.²⁵


Penutup: Rasionalitas, Keadilan, dan Kemanusiaan

Sebagai penutup, Etika Diskursus Habermas mengajarkan bahwa rasionalitas sejati adalah rasionalitas yang berakar pada komunikasi, bukan pada dominasi; dan bahwa keadilan sejati lahir dari dialog, bukan kekuasaan.²⁶ Dalam dunia yang semakin terpecah oleh ideologi, Etika Diskursus menghadirkan alternatif moral yang mengembalikan filsafat kepada fungsi utamanya: membimbing manusia untuk hidup bersama secara rasional, etis, dan manusiawi.²⁷

Dengan menjadikan komunikasi sebagai dasar ontologis dan moral, Etika Diskursus tidak hanya menghidupkan kembali ideal Pencerahan dalam bentuk baru yang reflektif dan inklusif, tetapi juga membuka jalan bagi etika global yang berakar pada martabat manusia.²⁸ Maka, warisan Habermas tidak berhenti sebagai teori, melainkan sebagai undangan untuk berdialog—sebuah praksis hidup menuju kemanusiaan yang rasional, adil, dan penuh solidaritas.²⁹


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.

[2]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 43–46.

[3]                Karl-Otto Apel, Diskurs und Verantwortung: Das Problem des Übergangs zur postkonventionellen Moral (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1990), 112–115.

[4]                Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 110–113.

[5]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 312–314.

[6]                Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press, 1986), 92–94.

[7]                Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1983), 71–73.

[8]                Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge, 1980), 273–275.

[9]                Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 66–68.

[10]             Jürgen Habermas, The Inclusion of the Other: Studies in Political Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 107–110.

[11]             Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere (Cambridge: Polity Press, 1989), 27–30.

[12]             Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” Social Text 25/26 (1990): 60–63.

[13]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 91–93.

[14]             David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason (New Haven: Yale University Press, 1987), 57–60.

[15]             Habermas, The Postnational Constellation: Political Essays (Cambridge, MA: MIT Press, 2001), 59–63.

[16]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 34–36.

[17]             Ulrich Beck, World Risk Society (Cambridge: Polity Press, 1999), 142–145.

[18]             Habermas, The Inclusion of the Other, 112–115.

[19]             Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 1998), 45–47.

[20]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity Press, 1992), 85–88.

[21]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 31–33.

[22]             Nancy Fraser, “Social Justice in the Age of Identity Politics,” The Tanner Lectures on Human Values 19 (1997): 15–18.

[23]             Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 311–314.

[24]             Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 58–60.

[25]             Axel Honneth, Critique of Power: Reflective Stages in a Critical Social Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 15–18.

[26]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 95–97.

[27]             Bernstein, The New Constellation: The Ethical-Political Horizons of Modernity/Postmodernity (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 104–107.

[28]             Habermas, The Postnational Constellation, 70–74.

[29]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, 332–335.


Daftar Pustaka

Apel, K.-O. (1980). Towards a transformation of philosophy. London: Routledge.

Apel, K.-O. (1990). Diskurs und Verantwortung: Das Problem des Übergangs zur postkonventionellen Moral. Frankfurt am Main: Suhrkamp.

Beck, U. (1999). World risk society. Cambridge: Polity Press.

Benhabib, S. (1986). Critique, norm, and utopia: A study of the foundations of critical theory. New York: Columbia University Press.

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community, and postmodernism in contemporary ethics. Cambridge: Polity Press.

Bernstein, R. J. (1983). Beyond objectivism and relativism: Science, hermeneutics, and praxis. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Bernstein, R. J. (1992). The new constellation: The ethical-political horizons of modernity/postmodernity. Cambridge, MA: MIT Press.

Dobson, A. (1998). Justice and the environment: Conceptions of environmental sustainability and dimensions of social justice. Oxford: Oxford University Press.

Dryzek, J. S. (2000). Deliberative democracy and beyond. Oxford: Oxford University Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977. New York: Pantheon Books.

Fraser, N. (1990). Rethinking the public sphere: A contribution to the critique of actually existing democracy. Social Text, 25/26, 56–80.

Fraser, N. (1997). Social justice in the age of identity politics. The Tanner Lectures on Human Values, 19, 15–20.

Freire, P. (1994). Pedagogy of hope: Reliving the pedagogy of the oppressed. New York: Continuum.

Freire, P. (1998). Pedagogy of freedom: Ethics, democracy, and civic courage. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.

Gray, J. (1995). Enlightenment’s wake: Politics and culture at the close of the modern age. London: Routledge.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action: Reason and the rationalization of society (Vol. 1). Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1987). The theory of communicative action: Lifeworld and system: A critique of functionalist reason (Vol. 2). Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1987). The philosophical discourse of modernity: Twelve lectures. Cambridge, MA: MIT Press.

Habermas, J. (1989). The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois society. Cambridge: Polity Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action. Cambridge, MA: MIT Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy. Cambridge, MA: MIT Press.

Habermas, J. (1998). On the pragmatics of communication. Cambridge, MA: MIT Press.

Habermas, J. (1998). The inclusion of the other: Studies in political theory. Cambridge, MA: MIT Press.

Habermas, J. (2001). The postnational constellation: Political essays. Cambridge, MA: MIT Press.

Honneth, A. (1991). Critique of power: Reflective stages in a critical social theory. Cambridge, MA: MIT Press.

Honneth, A. (1995). The struggle for recognition: The moral grammar of social conflicts. Cambridge: Polity Press.

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment: Philosophical fragments. Stanford, CA: Stanford University Press.

Ingram, D. (1987). Habermas and the dialectic of reason. New Haven: Yale University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Klein, N. (2014). This changes everything: Capitalism vs. the climate. New York: Simon & Schuster.

Küng, H. (1991). Global responsibility: In search of a new world ethic. New York: Crossroad.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority. Pittsburgh: Duquesne University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge. Minneapolis: University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (1984). After virtue: A study in moral theory. Notre Dame: University of Notre Dame Press.

McCarthy, T. (1978). The critical theory of Jürgen Habermas. Cambridge, MA: MIT Press.

Mead, G. H. (1934). Mind, self, and society from the standpoint of a social behaviorist. Chicago: University of Chicago Press.

Mouffe, C. (2000). The democratic paradox. London: Verso.

Nussbaum, M. C. (1990). Love’s knowledge: Essays on philosophy and literature. Oxford: Oxford University Press.

Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A classical defense of reform in liberal education. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought: The intelligence of emotions. Cambridge: Cambridge University Press.

Rasmussen, D. M. (1990). Reading Habermas. Oxford: Blackwell.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge: Cambridge University Press.

Sandel, M. J. (1982). Liberalism and the limits of justice. Cambridge: Cambridge University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

White, S. K. (1988). The recent work of Jürgen Habermas: Reason, justice, and modernity. Cambridge: Cambridge University Press.

Young, I. M. (2000). Inclusion and democracy. Oxford: Oxford University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. New York: PublicAffairs.

Beck, U. (1999). World risk society. Cambridge: Polity Press.

Bernstein, R. J. (1992). The new constellation: The ethical-political horizons of modernity/postmodernity. Cambridge, MA: MIT Press.

Capurro, R. (2022). Digital ethics. AI & Society, 37(2), 321–323.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford: Oxford University Press.

Floridi, L. (2021). Ethics of artificial intelligence. Oxford: Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar