Martabat Manusia (Human Dignity)
Fondasi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis dalam
Filsafat dan Etika Modern
Alihkan ke: Ilmu Hukum. 
Abstrak
Konsep martabat manusia (human dignity)
merupakan fondasi normatif yang menopang keseluruhan bangunan etika, hukum, dan
politik modern. Artikel ini menelaah martabat manusia secara sistematis melalui
tiga dimensi utama: ontologis, epistemologis, dan aksiologis,
sekaligus menelusuri akar historis dan relevansinya dalam konteks kontemporer.
Secara ontologis, martabat manusia dipahami sebagai struktur keberadaan yang
rasional, bebas, dan sadar akan nilai kebaikan. Dimensi ini berakar pada
tradisi Aristotelian-Thomistik yang memandang manusia sebagai ens per se
yang berpartisipasi dalam rasionalitas ilahi. Secara epistemologis, martabat
dikenali melalui refleksi moral dan kesadaran intersubjektif, sebagaimana
ditegaskan dalam fenomenologi nilai dan hermeneutika etis—di mana pengetahuan
tentang martabat lahir dari pengalaman empatik dan dialog sosial. Sementara
secara aksiologis, martabat berfungsi sebagai nilai tertinggi (summum bonum)
yang menjadi dasar bagi etika universal dan hak asasi manusia.
Kajian ini juga menguraikan dimensi sosial,
politik, dan hukum dari martabat, yang menjadikannya prinsip meta-politik dalam
pembentukan keadilan, pengakuan, dan demokrasi deliberatif. Dalam konteks
kontemporer, martabat manusia menghadapi tantangan serius dari tiga arah: reduktionisme
biologis dan teknologis, relativisme postmodern, serta krisis
dehumanisasi dalam kapitalisme digital. Melalui pendekatan sintesis
filosofis, artikel ini menegaskan bahwa martabat manusia tetap relevan sebagai
horizon etik dan ontologis yang terbuka, yang mampu menyesuaikan diri dengan
dinamika teknologi, ekologi, dan pluralisme budaya. Dengan demikian, martabat
manusia bukanlah konsep statis, melainkan proyek filosofis terbuka yang
menuntut pembaruan terus-menerus dalam pemahaman dan praksis kemanusiaan.
Kata Kunci: Martabat manusia; ontologi; epistemologi;
aksiologi; hak asasi manusia; etika; fenomenologi; hermeneutika; teknologi;
posthumanisme.
PEMBAHASAN
Konsep Martabat Manusia (Human Dignity) dan Perannya dalam
Etika dan Hukum Modern
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang Permasalahan
Konsep martabat manusia (human dignity)
merupakan salah satu gagasan paling fundamental dalam filsafat, teologi, hukum,
dan etika kontemporer. Ia menandai keyakinan bahwa setiap manusia memiliki
nilai intrinsik yang tidak dapat direduksi oleh status sosial, ras, agama, atau
kemampuan ekonomi. Gagasan ini menjadi dasar moral bagi hak asasi manusia dan
sistem etika modern, sekaligus menjadi medan perdebatan dalam menghadapi krisis
kemanusiaan yang disebabkan oleh perang, ketimpangan sosial, dan perkembangan
teknologi yang menantang batas-batas kemanusiaan itu sendiri.¹
Dalam lintasan sejarah pemikiran, martabat manusia
mengalami transformasi makna: dari konsepsi teologis tentang imago Dei
pada abad pertengahan hingga konsep otonomi moral rasional dalam filsafat
Immanuel Kant.² Di era modern, makna tersebut semakin diperluas melalui
diskursus hak asasi manusia dan personalisme, yang menekankan relasi sosial dan
kesadaran diri sebagai fondasi martabat.³ Namun, globalisasi dan kemajuan
teknologi informasi telah membawa problem baru: komodifikasi manusia dalam
sistem kapitalisme digital, reduksi identitas manusia menjadi data, serta
ancaman dehumanisasi melalui kecerdasan buatan (artificial intelligence).⁴
Dalam konteks ini, kajian tentang martabat manusia
menjadi sangat mendesak, bukan hanya sebagai refleksi etis, tetapi juga sebagai
fondasi ontologis bagi keberadaan manusia di tengah dinamika sosial dan politik
global. Filsafat memiliki tugas untuk menafsir ulang martabat manusia,
menempatkannya kembali dalam horizon eksistensial yang lebih luas—antara
spiritualitas, rasionalitas, dan teknologi.⁵
1.2.      
Rumusan Masalah dan Tujuan Kajian
Kajian ini berupaya menjawab beberapa pertanyaan
mendasar: (1) apa hakikat ontologis dari martabat manusia; (2) bagaimana
manusia mengenali dan mengakui martabatnya sendiri secara epistemologis; dan
(3) bagaimana martabat manusia dapat menjadi dasar aksiologis bagi etika,
hukum, dan politik. Tujuannya ialah mengonstruksi kerangka konseptual yang
komprehensif tentang martabat manusia yang melampaui sekadar norma moral, yakni
sebagai prinsip metafilosofis yang menuntun peradaban global menuju
penghormatan terhadap kehidupan manusia secara utuh.⁶
1.3.      
Metode Kajian
Penelitian ini menggunakan metode analisis
filosofis-historis dengan pendekatan hermeneutika konseptual, yaitu
menelusuri perubahan makna dan konteks martabat manusia dari periode klasik
hingga kontemporer.⁷ Kajian ini juga bersifat komparatif, dengan
membandingkan pandangan para filsuf besar—dari Thomas Aquinas dan Kant hingga
Habermas dan Nussbaum—untuk menyingkap dinamika dan kontinuitas gagasan
martabat dalam berbagai paradigma pemikiran.⁸
Selain itu, penelitian ini berpijak pada rasionalitas
kritis, yakni sikap filsafat yang terbuka terhadap koreksi, skeptis
terhadap absolutisasi nilai, namun tetap berkomitmen pada kebenaran dan
penghormatan terhadap kemanusiaan.⁹ Dengan demikian, pembahasan tentang
martabat manusia bukan sekadar wacana normatif, tetapi juga upaya reflektif
untuk memahami eksistensi manusia sebagai makhluk bermartabat dalam dunia yang
terus berubah.¹⁰
Footnotes
[1]               
George Kateb, Human Dignity (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2011), 2–5.
[2]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 93,
a. 6.
[3]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
42–45.
[4]               
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 9–14.
[5]               
Jürgen Habermas, The Future of Human Nature
(Cambridge: Polity Press, 2003), 10–12.
[6]               
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Belknap Press, 2011), 25–27.
[7]               
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
rev. ed. (London: Continuum, 2004), 302–307.
[8]               
Karol Wojtyła, Person and Act, trans.
Andrzej Potocki (Dordrecht: Reidel, 1979), 19–21.
[9]               
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy,
trans. Adey and Frisby (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 54–56.
[10]            
Charles Taylor, The Ethics of Authenticity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 80–83.
2.          
Landasan Historis dan Genealogis
2.1.      
Akar Konseptual dalam Filsafat Kuno
Gagasan tentang martabat manusia dapat ditelusuri
hingga filsafat Yunani Kuno, di mana manusia dipahami sebagai makhluk rasional
(zoon logon echon) dan politis (zoon politikon).¹ Bagi Plato,
martabat manusia berkaitan dengan kemampuan jiwa untuk mencapai pengetahuan
sejati melalui kontemplasi terhadap dunia ide, suatu proses yang membedakan
manusia dari makhluk lain.² Aristoteles kemudian menekankan bahwa manusia
mencapai “keutamaan” (arete) melalui rasionalitas dan tindakan
etis yang seimbang, yang memungkinkan manusia mewujudkan potensi kodratinya.³
Dengan demikian, martabat manusia dalam konteks Yunani awal tidak dipahami
sebagai hak universal, melainkan sebagai hasil dari aktualisasi kapasitas moral
dan intelektual yang tertinggi.
Konsepsi ini memberikan dasar ontologis awal bahwa
nilai manusia terletak pada kesanggupannya mengenali kebaikan dan kebenaran.
Meski bersifat elitis—karena membatasi martabat pada mereka yang rasional dan
berpendidikan—gagasan ini menjadi fondasi penting bagi konsep dignitas
hominis di era berikutnya.⁴
2.2.      
Pengaruh Teologi Kristen dan
Filsafat Abad Pertengahan
Pada Abad Pertengahan, makna martabat manusia
mengalami transformasi radikal melalui pengaruh teologi Kristen. Pandangan imago
Dei—bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian
1:27)—menjadi dasar teologis bagi nilai manusia yang tidak dapat direduksi oleh
kondisi duniawi.⁵ Augustine dari Hippo menafsirkan martabat sebagai partisipasi
manusia dalam rasionalitas dan kehendak ilahi, sedangkan Thomas Aquinas
menggabungkan teologi dengan filsafat Aristotelian untuk menjelaskan bahwa
martabat manusia bersumber dari jiwa rasional yang diarahkan kepada kebaikan
tertinggi (summum bonum).⁶
Aquinas menulis bahwa manusia, sebagai makhluk yang
memiliki akal dan kehendak bebas, diciptakan bukan sekadar untuk keberadaan
biologis, melainkan untuk kesempurnaan moral dan spiritual.⁷ Dalam
pandangannya, martabat bukan hanya status metafisik, tetapi juga panggilan
moral untuk bertindak sesuai kodrat rasional. Konsep ini kemudian menjadi
fondasi bagi tradisi natural law (hukum kodrat), yang menganggap bahwa
hak dan kewajiban manusia bersumber dari martabat alamiahnya.⁸
2.3.      
Renaissance dan Humanisme Modern
Awal
Kebangkitan kembali minat pada manusia dan dunia
empiris pada masa Renaissance menggeser fokus dari teosentrisme ke
antroposentrisme. Giovanni Pico della Mirandola, dalam karyanya Oration on
the Dignity of Man (1486), menyatakan bahwa manusia adalah makhluk unik
karena dikaruniai kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri, “neither
heavenly nor earthly,” melainkan penentu nasibnya di antara dua dunia.⁹
Dengan kebebasan ini, manusia menjadi pencipta sekaligus penjaga martabatnya
sendiri—suatu gagasan yang akan memengaruhi filsafat modern tentang otonomi.
Humanisme Renaissance menegaskan bahwa martabat
manusia bukan sekadar anugerah ilahi, tetapi juga hasil pengembangan
intelektual dan moral melalui pendidikan dan kebudayaan (studia humanitatis).¹⁰
Dalam kerangka ini, martabat manusia bersifat dinamis, tumbuh seiring dengan kemampuan
manusia mengolah akal budi, bahasa, dan moralitasnya.
2.4.      
Pencerahan dan Etika Otonomi Kantian
Pencerahan abad ke-18 membawa konseptualisasi baru
terhadap martabat manusia melalui rasionalitas dan otonomi moral. Immanuel Kant
menegaskan bahwa martabat manusia terletak pada kemampuannya bertindak
berdasarkan hukum moral yang ia berikan sendiri (autonomia voluntatis).¹¹
Manusia, bagi Kant, bukan sekadar sarana untuk tujuan lain, tetapi “tujuan
pada dirinya sendiri” (Zweck an sich selbst), karena ia memiliki
rasionalitas yang memungkinkan tindakan moral universal.¹²
Pandangan ini menandai pergeseran penting dari
teologi ke moralitas sekuler, di mana martabat tidak lagi bergantung pada asal
ilahi, melainkan pada kapasitas otonomi manusia. Dengan demikian, martabat
menjadi dasar normatif bagi hak asasi manusia modern, sekaligus menegaskan
kesetaraan universal antarindividu.¹³
2.5.      
Perkembangan Kontemporer
Pasca-Perang Dunia II, konsep martabat manusia
menjadi pusat dalam penyusunan Universal Declaration of Human Rights
(1948), yang menyatakan bahwa “all human beings are born free and equal in
dignity and rights.”¹⁴ Pernyataan ini meneguhkan gagasan bahwa martabat
bersifat melekat (inherent) dan tak dapat dicabut, tidak bergantung pada
kondisi sosial atau politik.
Dalam abad ke-20 dan ke-21, wacana martabat manusia
berkembang melalui pendekatan personalisme (Karol Wojtyła), hermeneutika
eksistensial (Paul Ricoeur), dan teori pengakuan (Axel Honneth).¹⁵ Kesemuanya
berupaya menafsir ulang martabat manusia dalam konteks sosial yang plural dan
kompleks, menekankan bahwa martabat bukan hanya kualitas individual, tetapi
juga hasil relasi intersubjektif di antara manusia.¹⁶
Dengan demikian, secara genealogis, konsep martabat
manusia telah mengalami perjalanan panjang dari metafisika ke moralitas, dari
teologi ke intersubjektivitas, dan dari identitas individual ke tanggung jawab
universal. Genealogi ini menunjukkan bahwa martabat manusia bukan ide statis,
melainkan horizon historis yang terus berkembang dalam merespons tantangan
zaman.¹⁷
Footnotes
[1]               
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett
(Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a.
[2]               
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 508e–509a.
[3]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1097b–1100a.
[4]               
Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek
Culture, vol. 1 (Oxford: Basil Blackwell, 1945), 432–436.
[5]               
The Holy Bible: Genesis 1:27 (New Revised Standard
Version).
[6]               
Augustine, De Civitate Dei, trans. Henry
Bettenson (London: Penguin Books, 2003), XIX.13.
[7]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 93,
a. 6.
[8]               
John Finnis, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 33–35.
[9]               
Giovanni Pico della Mirandola, Oration on the
Dignity of Man, trans. Elizabeth Forbes (Cambridge: Cambridge University
Press, 1998), 4–5.
[10]            
Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and
Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 178–181.
[11]            
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
42–45.
[12]            
Ibid., 46–49.
[13]            
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 129–133.
[14]            
United Nations, Universal Declaration of Human
Rights, adopted December 10, 1948, Article 1.
[15]            
Karol Wojtyła, Person and Act, trans.
Andrzej Potocki (Dordrecht: Reidel, 1979), 19–21.
[16]            
Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The
Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge, MA: MIT
Press, 1995), 92–96.
[17]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 290–294.
3.          
Ontologi Martabat Manusia
3.1.      
Hakikat Keberadaan Manusia
Kajian ontologis tentang martabat manusia berangkat
dari pertanyaan paling mendasar: apa yang membuat manusia memiliki nilai
yang unik dan tak ternilai dibanding makhluk lainnya? Sejak zaman klasik
hingga modern, manusia dipahami sebagai entitas yang berada di antara dunia
materi dan dunia spiritual—memiliki tubuh yang fana namun jiwa yang abadi.¹
Dalam tradisi metafisika Aristotelian-Thomistik, manusia disebut sebagai ens
per se yang rasional, yakni makhluk yang memiliki bentuk substansial (forma
substantialis) berupa jiwa rasional (anima rationalis) yang memberi
struktur dan arah bagi seluruh aktivitasnya.²
Thomas Aquinas menegaskan bahwa martabat manusia
berakar pada kemampuannya untuk mengenal dan mencintai Tuhan secara bebas,
karena hanya manusia yang diciptakan dengan kehendak bebas (liberum
arbitrium) dan rasio yang dapat menimbang kebaikan.³ Oleh karena itu,
martabat manusia tidak bersifat eksternal atau sosial semata, tetapi melekat
pada kodratnya sebagai makhluk yang berpartisipasi dalam rasionalitas ilahi.⁴
Sementara itu, dalam tradisi modern, ontologi
manusia mulai dilepaskan dari fondasi teologis. Immanuel Kant memahami martabat
manusia sebagai akibat dari eksistensi moral yang otonom: manusia adalah
makhluk yang memiliki kemampuan untuk bertindak berdasarkan hukum moral yang ia
berikan pada dirinya sendiri.⁵ Martabat, dalam kerangka ini, bukan kualitas
metafisik melainkan status moral yang muncul dari kapasitas rasional praktis.
Dengan demikian, martabat adalah “nilai yang tidak dapat ditukar” (unvergleichbarer
Wert)—suatu nilai absolut yang tidak dapat digantikan dengan harga apa pun.⁶
3.2.      
Dignity sebagai Struktur Ontologis
Dari perspektif ontologis, martabat dapat dipahami
sebagai struktur yang melekat dalam eksistensi manusia. Max Scheler, dalam
kerangka fenomenologi nilai, menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang
memiliki ordo amoris—tatanan cinta yang mengarahkan pengalaman nilai
secara hierarkis.⁷ Melalui kapasitas untuk mengalami dan menilai, manusia
menyadari dirinya sebagai subjek nilai, bukan sekadar objek di antara
benda-benda lain. Maka, martabat bukan sekadar atribut moral, melainkan kondisi
ontologis yang mengafirmasi bahwa manusia adalah pusat pemaknaan nilai di
dunia.⁸
Emmanuel Levinas menambahkan dimensi etis dalam
ontologi ini dengan mengemukakan bahwa eksistensi manusia terstruktur oleh “wajah
yang lain” (le visage de l’Autre).⁹ Kehadiran yang lain menyingkap
martabat manusia sebagai tanggung jawab tanpa batas terhadap sesama. Dengan
demikian, martabat bukan hanya hasil refleksi diri, tetapi juga relasi
ontologis dengan yang lain yang menuntut pengakuan dan kasih sayang.¹⁰
Karol Wojtyła (Paus Yohanes Paulus II)
mengembangkan pendekatan personalistik yang memadukan ontologi dan
aksiologi. Menurutnya, martabat manusia bersumber dari kepribadian (personhood),
yaitu kemampuan manusia untuk memiliki dirinya sendiri dan bertindak secara
sadar.¹¹ Tindakan (actus humanus) yang mencerminkan kebebasan dan
kesadaran diri menjadi manifestasi konkret dari martabat tersebut. Dalam
kerangka ini, martabat tidak dapat dilepaskan dari kebebasan ontologis yang
memungkinkan manusia menjadi subjek moral sekaligus tujuan eksistensialnya
sendiri.¹²
3.3.      
Perbandingan Ontologis:
Aristotelian–Thomistik, Eksistensialis, dan Fenomenologis–Personalistis
Dalam membandingkan berbagai paradigma, tampak
bahwa konsep martabat manusia memiliki dimensi yang beragam namun saling
melengkapi.
3.3.1.   
Aristotelian–Thomistik:
Paradigma ini menekankan bahwa martabat bersifat
kodrati dan tetap (ontological fixity), karena berakar pada substansi
manusia sebagai makhluk rasional dan berjiwa spiritual.¹³ Martabat bukan hasil
pencapaian, tetapi status ontologis yang melekat sejak penciptaan.
3.3.2.   
Eksistensialis:
Sebaliknya, dalam eksistensialisme modern, seperti
dalam pemikiran Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger, martabat manusia tidak
diberikan, melainkan diciptakan melalui tindakan dan pilihan bebasnya.¹⁴ Sartre
menegaskan bahwa “eksistensi mendahului esensi,” yang berarti manusia
membentuk dirinya sendiri melalui keputusan eksistensial yang otentik.¹⁵ Dalam
pandangan ini, martabat menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan terus-menerus
dalam proyek kebebasan.
3.3.3.   
Fenomenologis–Personalistis:
Pendekatan fenomenologis menempatkan martabat dalam
konteks kesadaran diri dan relasi dengan orang lain. Menurut Scheler dan
Wojtyła, martabat manusia tidak dapat direduksi pada moralitas individual
semata, karena ia bersifat intersubjektif: manusia memiliki martabat karena ia
hidup dalam relasi saling pengakuan.¹⁶ Dalam arti ini, martabat adalah realitas
ontologis yang selalu terbuka terhadap dialog dan komunikasi etis.¹⁷
Dari perbandingan tersebut dapat disimpulkan bahwa
ontologi martabat manusia mengandung dua kutub yang saling melengkapi: kodrat
universal (yang melekat pada eksistensi manusia) dan aktualitas
eksistensial (yang diwujudkan melalui kebebasan, tindakan, dan relasi). Keduanya
menyatu dalam pengertian bahwa martabat manusia bukan sekadar ada (being),
tetapi juga menjadi (becoming)—sebuah proses ontologis yang
dinamis menuju kesempurnaan kemanusiaan.¹⁸
Footnotes
[1]               
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1908), XII.7, 1072b.
[2]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 75,
a. 4.
[3]               
Ibid., I-II, q. 1, a. 1.
[4]               
Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 12–15.
[5]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
42–43.
[6]               
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 130–132.
[7]               
Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal
Ethics of Values, trans. Manfred Frings and Roger Funk (Evanston, IL:
Northwestern University Press, 1973), 97–99.
[8]               
Dietrich von Hildebrand, The Nature of Love
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2009), 44–46.
[9]               
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh, PA: Duquesne University Press, 1969),
199–203.
[10]            
Ibid., 215–218.
[11]            
Karol Wojtyła, Person and Act, trans.
Andrzej Potocki (Dordrecht: Reidel, 1979), 104–107.
[12]            
John F. Crosby, The Selfhood of the Human Person
(Washington, DC: Catholic University of America Press, 1996), 56–58.
[13]            
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 148–151.
[14]            
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
222–226.
[15]            
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 26–29.
[16]            
Max Scheler, Man’s Place in Nature, trans.
Hans Meyerhoff (Boston: Beacon Press, 1961), 40–43.
[17]            
Emmanuel Mounier, Personalism, trans. Philip
Mairet (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1952), 32–35.
[18]            
Karol Wojtyła, Love and Responsibility,
trans. H.T. Willetts (San Francisco: Ignatius Press, 1981), 133–136.
4.          
Epistemologi Martabat Manusia
4.1.      
Bagaimana Martabat Diketahui dan
Dikenali
Epistemologi martabat manusia berupaya menjawab
pertanyaan mendasar: bagaimana manusia mengetahui dan memahami martabatnya
sendiri serta martabat sesamanya? Pengetahuan tentang martabat manusia
tidak bersumber dari pengalaman empiris murni, karena martabat bukanlah objek
yang dapat diindera seperti halnya benda-benda material.¹ Sebaliknya, martabat
diketahui melalui refleksi rasional, pengalaman moral, dan kesadaran
eksistensial yang mengungkap nilai tak terukur dari keberadaan manusia.
Dalam kerangka Kantian, pengenalan terhadap
martabat manusia muncul dari kesadaran praktis, yaitu kemampuan akal untuk
mengenali dirinya sebagai subjek hukum moral yang otonom.² Manusia menyadari
martabatnya ketika ia menilai tindakannya berdasarkan hukum moral yang
universal dan tidak bergantung pada dorongan empiris.³ Oleh karena itu,
pengetahuan tentang martabat tidak dicapai melalui observasi, melainkan melalui
kesadaran normatif: “Aku harus, karena aku dapat.”⁴
Sementara itu, tradisi fenomenologis menekankan
bahwa pengetahuan akan martabat lahir dari pengalaman intersubjektif. Max
Scheler berpendapat bahwa manusia mengenali martabat dirinya dan orang lain
melalui Mitgefühl (empati), yaitu kemampuan untuk mengalami nilai orang
lain tanpa mereduksinya menjadi objek.⁵ Empati memungkinkan munculnya kesadaran
bahwa setiap pribadi memiliki nilai absolut yang tidak dapat diukur secara
instrumental.⁶
4.2.      
Dimensi Rasional dan Empiris dalam
Pengakuan Martabat
Pengetahuan tentang martabat manusia memiliki dua
dimensi yang saling terkait: rasional-transendental dan empiris-sosial.
Dimensi rasional memungkinkan manusia memahami bahwa martabat bersifat
universal dan melekat pada semua individu, sedangkan dimensi empiris
menunjukkan bagaimana martabat itu diwujudkan dan diakui dalam konteks sosial,
budaya, dan historis.⁷
Jürgen Habermas, melalui teori tindakan
komunikatif, menegaskan bahwa pengakuan terhadap martabat manusia terjadi dalam
ruang diskursus rasional yang terbuka.⁸ Dalam komunikasi etis, subjek tidak
hanya menyampaikan argumen, tetapi juga saling mengakui kedudukan moral satu
sama lain sebagai pribadi yang setara.⁹ Dengan demikian, martabat tidak hanya
diketahui secara individual, tetapi juga dipahami dalam praksis sosial sebagai
norma intersubjektif.¹⁰
Selain itu, dari perspektif hermeneutik, Hans-Georg
Gadamer menekankan bahwa pengetahuan tentang martabat selalu bersifat
interpretatif: manusia menafsirkan makna martabatnya dalam konteks sejarah dan
bahasa.¹¹ Artinya, kesadaran akan martabat manusia berkembang melalui dialog
antara tradisi dan pengalaman aktual, bukan melalui deduksi abstrak.¹² Proses
hermeneutik ini memungkinkan reinterpretasi martabat di tengah perubahan
nilai-nilai sosial, seperti yang terjadi pada pergeseran dari martabat teologis
menuju martabat sekuler.
4.3.      
Kritik Epistemologis terhadap
Reduksionisme dan Positivisme
Dalam filsafat modern dan kontemporer, pemahaman
tentang martabat manusia menghadapi tantangan dari aliran positivisme, materialisme,
dan biologisme. Kaum positivis menolak eksistensi entitas non-empiris
seperti “martabat” karena tidak dapat diverifikasi secara ilmiah.¹³
Akibatnya, manusia dipandang hanya sebagai fenomena biologis atau sosial tanpa
nilai intrinsik.
Michel Foucault, meski tidak menolak martabat
secara eksplisit, mengkritik bahwa konsep martabat sering digunakan sebagai
alat legitimasi kekuasaan yang tersembunyi di balik wacana humanisme.¹⁴
Menurutnya, “manusia” sebagai subjek moral adalah konstruksi historis
yang lahir dari sistem pengetahuan dan kekuasaan modern.¹⁵ Kritik ini menantang
epistemologi tradisional dengan menunjukkan bahwa pengetahuan tentang martabat
selalu berhubungan dengan relasi kekuasaan dan struktur sosial.
Namun demikian, pendekatan hermeneutis dan kritis
tetap mempertahankan bahwa pengenalan terhadap martabat manusia bersifat
reflektif dan dialogis, bukan empiris atau dogmatis.¹⁶ Pengetahuan tentang
martabat menuntut kesadaran akan keterbatasan perspektif manusia sendiri serta
keterbukaan terhadap pengalaman etis yang melampaui rasionalitas
instrumental.¹⁷ Dengan demikian, epistemologi martabat manusia menegaskan bahwa
memahami martabat bukan sekadar mengetahui apa itu manusia, tetapi juga
menyadari bagaimana dan mengapa manusia harus diperlakukan secara
bermartabat.¹⁸
Footnotes
[1]               
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 94–96.
[2]               
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30–32.
[3]               
Ibid., 35–37.
[4]               
Henry E. Allison, Kant’s Theory of Freedom
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 122–125.
[5]               
Max Scheler, The Nature of Sympathy, trans.
Peter Heath (New Brunswick: Transaction Publishers, 2008), 9–11.
[6]               
Ibid., 15–17.
[7]               
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 290–292.
[8]               
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 66–70.
[9]               
Ibid., 86–89.
[10]            
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender,
Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity
Press, 1992), 33–36.
[11]            
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
rev. ed. (London: Continuum, 2004), 301–304.
[12]            
Ibid., 306–308.
[13]            
Auguste Comte, The Positive Philosophy of
Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons,
1896), 19–21.
[14]            
Michel Foucault, The Order of Things: An
Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage Books, 1973), 387–390.
[15]            
Ibid., 421–423.
[16]            
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of
Philosophy, trans. Adey and Frisby (London: Routledge & Kegan Paul,
1980), 112–115.
[17]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989),
25–27.
[18]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Belknap Press, 2011), 32–34.
5.          
Aksiologi dan Etika Martabat Manusia
5.1.      
Martabat sebagai Dasar Etika
Normatif
Dalam ranah aksiologi, martabat manusia (human
dignity) dipandang sebagai nilai tertinggi (summum bonum) yang
menjadi dasar dari seluruh norma moral.¹ Sebagai nilai intrinsik, martabat
manusia tidak bergantung pada prestasi, status sosial, atau fungsi utilitarian
seseorang, melainkan melekat pada eksistensinya sebagai pribadi yang otonom dan
rasional.² Oleh karena itu, penghormatan terhadap martabat manusia menjadi
prinsip etika universal yang mengatur bagaimana manusia harus bertindak
terhadap sesamanya.
Immanuel Kant menegaskan bahwa setiap individu
memiliki “harga yang tak ternilai” (Würde), yang membedakannya
dari sekadar “harga pasar” (Preis).³ Dalam Groundwork for the
Metaphysics of Morals, ia menulis: “Tindakan moral yang sejati adalah
tindakan yang memperlakukan kemanusiaan, baik dalam diri sendiri maupun orang
lain, selalu sebagai tujuan dan tidak pernah semata-mata sebagai alat.”⁴
Pernyataan ini menjadi fondasi etika deontologis yang menempatkan penghormatan
terhadap martabat sebagai imperatif moral tertinggi.
Martabat manusia juga menjadi prinsip dasar bagi
teori hak asasi manusia (HAM). Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948)
menyebutkan bahwa “pengakuan terhadap martabat yang melekat dan hak-hak yang
sama dari semua anggota keluarga manusia merupakan dasar kebebasan, keadilan,
dan perdamaian di dunia.”⁵ Dengan demikian, aksiologi martabat tidak hanya
berfungsi dalam ranah moral individu, tetapi juga dalam etika sosial dan hukum
internasional sebagai norma universal yang mengikat seluruh umat manusia.⁶
5.2.      
Hubungan antara Martabat dan Nilai
Moral
Secara aksiologis, martabat manusia menjadi sumber
bagi nilai-nilai moral seperti keadilan, kebebasan, dan solidaritas.⁷ Max
Scheler mengklasifikasikan nilai-nilai manusia secara hierarkis, di mana nilai
spiritual dan personal menempati tingkat tertinggi karena hanya dapat
diwujudkan oleh makhluk yang memiliki kesadaran moral.⁸ Dalam kerangka ini,
martabat manusia merupakan nilai dasar transendental yang memungkinkan
munculnya semua nilai lain: tanpa martabat, keadilan dan kebajikan kehilangan
landasan ontologisnya.
Dalam perspektif personalisme, sebagaimana
dikembangkan oleh Emmanuel Mounier dan Karol Wojtyła, nilai moral tertinggi
tidak dapat dilepaskan dari keberadaan pribadi manusia yang unik dan tak
terulang.⁹ Penghormatan terhadap martabat berarti pengakuan terhadap keunikan
dan kebebasan pribadi. Tindakan yang melanggar kebebasan atau
menginstrumentalisasi manusia merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai moral
tertinggi itu sendiri.¹⁰
Lebih jauh, Martha C. Nussbaum menghubungkan
martabat manusia dengan kemampuan manusia untuk berfungsi secara utuh (capability
approach).¹¹ Menurutnya, martabat menuntut agar setiap manusia memiliki
kondisi yang memungkinkan untuk mengembangkan potensi dasar seperti berpikir,
berelasi, dan hidup dengan integritas.¹² Dengan demikian, etika martabat juga
bersifat sosial dan struktural: ia menuntut tatanan sosial yang adil untuk
menjamin aktualisasi potensi kemanusiaan.
5.3.      
Etika Kewajiban dan Hak Asasi
Manusia
Etika kewajiban (deontologis) menempatkan martabat
sebagai sumber keharusan moral yang bersifat universal. Dalam kerangka Kantian,
martabat manusia menjadi alasan mengapa hukum moral bersifat mutlak (categorical
imperative), karena rasionalitas manusia mengandung nilai tujuan pada
dirinya sendiri.¹³ Sebaliknya, dalam tradisi etika keutamaan (virtue ethics),
seperti Aristoteles dan Thomas Aquinas, martabat diwujudkan melalui pembentukan
karakter dan kebiasaan baik (habitus), yang memampukan manusia mencapai
kesempurnaan kodratinya.¹⁴
Dalam konteks hak asasi manusia modern, martabat
menjadi dasar bagi setiap klaim moral terhadap negara dan masyarakat.¹⁵ Prinsip
ini tercermin dalam pemikiran Jürgen Habermas, yang menyatakan bahwa legitimasi
etika dan hukum bergantung pada pengakuan timbal balik antarpribadi sebagai
subjek yang setara.¹⁶ Oleh karena itu, pelanggaran terhadap martabat manusia
bukan sekadar tindakan tidak bermoral, tetapi juga bentuk negasi terhadap
rasionalitas komunikatif dan kebersamaan sosial.¹⁷
Etika martabat juga memengaruhi wacana bioetika
kontemporer. Dalam isu-isu seperti euthanasia, rekayasa genetika, dan
kecerdasan buatan, penghormatan terhadap martabat manusia menjadi prinsip moral
yang menuntun batas intervensi manusia terhadap kehidupan.¹⁸ Etika martabat
mengingatkan bahwa kemajuan teknologi tidak boleh mengorbankan nilai intrinsik
manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan, kesadaran, dan nilai absolut.
Implikasi
dalam Etika Terapan
Aksiologi martabat manusia memiliki dampak yang
luas dalam etika terapan. Dalam bioetika, prinsip martabat menolak
perlakuan terhadap manusia sebagai objek eksperimental semata dan menegaskan
hak atas integritas tubuh dan kehidupan.¹⁹ Dalam etika teknologi,
martabat menjadi dasar bagi perdebatan seputar kecerdasan buatan (AI) dan
privasi digital, di mana manusia harus tetap menjadi pusat nilai, bukan sekadar
variabel dalam sistem algoritmik.²⁰
Dalam etika ekologi, gagasan martabat
diperluas untuk mengakui nilai kehidupan non-manusia, menandai pergeseran dari
antroposentrisme menuju eco-humanism yang menekankan solidaritas lintas
spesies.²¹ Sedangkan dalam etika sosial-politik, martabat menjadi dasar
perjuangan melawan dehumanisasi yang disebabkan oleh ketimpangan ekonomi,
diskriminasi, dan eksploitasi.²²
Dengan demikian, etika martabat manusia tidak
berhenti pada tataran teoretis, tetapi menuntut praksis: penghormatan terhadap
martabat harus diwujudkan dalam struktur sosial, kebijakan publik, dan hubungan
antarpribadi. Aksiologi martabat manusia pada akhirnya merupakan panggilan etis
bagi seluruh umat manusia untuk membangun peradaban yang berpusat pada
kemanusiaan.²³
Footnotes
[1]               
Robert Spaemann, Persons: The Difference Between
Someone and Something, trans. Oliver O’Donovan (Oxford: Oxford University
Press, 2006), 17–20.
[2]               
Josef Seifert, What Is Life? The Originality,
Irreducibility, and Value of Life (Amsterdam: Rodopi, 1997), 65–67.
[3]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
42–44.
[4]               
Ibid., 46–47.
[5]               
United Nations, Universal Declaration of Human
Rights, adopted December 10, 1948, preamble.
[6]               
James Griffin, On Human Rights (Oxford:
Oxford University Press, 2008), 31–33.
[7]               
John Finnis, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 100–102.
[8]               
Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal
Ethics of Values, trans. Manfred Frings and Roger Funk (Evanston, IL: Northwestern
University Press, 1973), 115–118.
[9]               
Emmanuel Mounier, Personalism, trans. Philip
Mairet (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1952), 25–27.
[10]            
Karol Wojtyła, Person and Act, trans.
Andrzej Potocki (Dordrecht: Reidel, 1979), 89–91.
[11]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Belknap Press, 2011), 32–34.
[12]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 75–77.
[13]            
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 128–131.
[14]            
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q.
55, a. 3.
[15]            
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory
and Practice, 3rd ed. (Ithaca, NY: Cornell University Press, 2013), 19–21.
[16]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William
Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 82–85.
[17]            
Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The
Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge, MA: MIT
Press, 1995), 107–109.
[18]            
Leon R. Kass, Life, Liberty, and the Defense of
Dignity: The Challenge for Bioethics (San Francisco: Encounter Books,
2002), 12–14.
[19]            
Daniel Callahan, The Troubled Dream of Life:
Living with Mortality (Washington, DC: Georgetown University Press, 2000),
85–88.
[20]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 394–398.
[21]            
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties
to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 98–100.
[22]            
Martha Nussbaum and Amartya Sen, eds., The
Quality of Life (Oxford: Clarendon Press, 1993), 45–47.
[23]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David
Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 117–120.
6.          
Dimensi Sosial, Politik, dan Hukum Martabat
Manusia
6.1.      
Martabat Manusia dalam Diskursus Hak
Asasi
Martabat manusia (human dignity) merupakan
dasar konseptual yang menopang seluruh bangunan hak asasi manusia (HAM) modern.
Sejak disahkannya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada
tahun 1948, martabat diakui sebagai “nilai yang melekat” (inherent
value) yang dimiliki setiap individu tanpa kecuali.¹ Pernyataan ini
menandai pergeseran historis dari hak yang berbasis kontrak sosial menjadi hak
yang bersifat ontologis—diperoleh bukan karena keanggotaan politik, tetapi
karena keberadaan manusia itu sendiri.²
John Rawls memandang martabat sebagai prinsip moral
yang menjadi dasar bagi keadilan sosial.³ Dalam A Theory of Justice, ia
mengemukakan bahwa sistem politik yang adil adalah sistem yang memperlakukan
setiap warga negara sebagai pribadi otonom yang memiliki kapasitas moral untuk
merumuskan konsepsi kebaikan.⁴ Martabat di sini menjadi kriteria normatif bagi
kesetaraan dan partisipasi politik: setiap kebijakan publik harus menghormati
status moral yang sama bagi semua individu.
Lebih lanjut, Jack Donnelly menekankan bahwa
martabat manusia adalah “akar filosofis universal” bagi hak asasi
manusia, yang menjembatani perbedaan budaya dan ideologi.⁵ Dalam konteks
globalisasi, martabat berfungsi sebagai bahasa moral universal yang
memungkinkan kerja sama lintas negara dalam menegakkan keadilan dan
perdamaian.⁶ Oleh karena itu, pelanggaran terhadap martabat manusia—melalui
penyiksaan, diskriminasi, atau eksploitasi ekonomi—bukan sekadar pelanggaran
etis, tetapi juga kejahatan terhadap nilai universal kemanusiaan.⁷
6.2.      
Perspektif Sosio-Politik: Pengakuan
dan Keadilan
Dalam ranah sosial dan politik, martabat manusia
menuntut pengakuan (recognition) dan keadilan distributif. Axel Honneth
menegaskan bahwa hubungan sosial yang sehat hanya dapat terwujud bila setiap
individu diakui sebagai subjek moral yang memiliki nilai intrinsik.⁸ Ia
membedakan tiga bentuk pengakuan: cinta (pengakuan personal), hak (pengakuan hukum),
dan solidaritas (pengakuan sosial).⁹ Ketika salah satu bentuk pengakuan ini
gagal, terjadi disrespect—yaitu pengalaman sosial yang melukai martabat
manusia dan mengakibatkan alienasi.¹⁰
Konsep pengakuan ini sejalan dengan pandangan
Jürgen Habermas tentang “rasionalitas komunikatif.” Menurutnya, martabat
manusia diwujudkan dalam ruang publik di mana individu dapat berpartisipasi
secara bebas dan setara dalam diskursus tanpa dominasi.¹¹ Dalam masyarakat yang
demokratis, setiap kebijakan hanya dapat dianggap sah apabila dihasilkan
melalui komunikasi rasional yang menghormati martabat setiap warga negara.¹²
Dengan demikian, penghormatan terhadap martabat manusia menjadi dasar
legitimasi moral bagi demokrasi deliberatif.
Di sisi lain, teori keadilan Martha Nussbaum
menekankan capability approach—bahwa penghormatan terhadap martabat
menuntut penciptaan kondisi sosial yang memungkinkan setiap individu
mengembangkan potensinya.¹³ Martabat manusia, dalam kerangka ini, tidak dapat
direduksi pada hak formal semata, tetapi harus diwujudkan melalui distribusi
sumber daya yang adil agar semua orang dapat hidup bermakna.¹⁴ Pandangan ini
menempatkan martabat manusia sebagai orientasi moral dari kebijakan sosial,
ekonomi, dan politik.
6.3.      
Keterkaitan dengan Hukum dan Negara
Dalam bidang hukum, martabat manusia berfungsi
sebagai prinsip normatif tertinggi (Grundnorm) yang mengarahkan seluruh
sistem perundang-undangan.¹⁵ Konstitusi Jerman, misalnya, secara eksplisit
menetapkan dalam Artikel 1 Grundgesetz bahwa “martabat manusia tidak
dapat diganggu gugat; menghormatinya dan melindunginya adalah kewajiban seluruh
kekuasaan negara.”¹⁶ Prinsip ini menegaskan bahwa hukum tidak hanya
mengatur perilaku, tetapi juga melindungi nilai moral fundamental yang melekat
pada setiap individu.
Dalam konteks hukum internasional, gagasan martabat
manusia menjadi landasan moral bagi banyak instrumen hukum seperti International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Convention Against
Torture.¹⁷ Kedua perjanjian tersebut menegaskan bahwa pelanggaran terhadap
martabat manusia merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan
universal.
Dari sudut pandang filsafat hukum, Lon L. Fuller
mengemukakan bahwa hukum yang sah tidak hanya tunduk pada prosedur formal,
tetapi juga harus mengandung substansi moral yang menghormati martabat
manusia.¹⁸ Hukum yang menindas atau mengabaikan nilai kemanusiaan bukanlah
hukum yang adil, melainkan sekadar instrumen kekuasaan.¹⁹ Karenanya, prinsip
martabat berfungsi sebagai ukuran evaluatif terhadap validitas moral suatu
sistem hukum.
Di era kontemporer, muncul pula tantangan baru
terhadap martabat manusia dalam ranah hukum digital. Perlindungan data pribadi,
privasi, dan integritas digital kini dipandang sebagai ekspresi modern dari hak
atas martabat manusia.²⁰ Dalam masyarakat algoritmik, di mana identitas manusia
mudah direduksi menjadi data dan statistik, hukum harus beradaptasi untuk
memastikan bahwa manusia tidak kehilangan statusnya sebagai subjek yang
bermartabat.²¹
Sintesis
Sosial-Politik-Hukum
Dimensi sosial, politik, dan hukum martabat manusia
saling terjalin dalam satu kesatuan normatif. Martabat manusia menjadi fondasi sosial
bagi pengakuan dan solidaritas, politik bagi legitimasi demokrasi dan
keadilan distributif, serta hukum bagi perlindungan hak-hak dasar.²²
Tanpa penghormatan terhadap martabat, hukum kehilangan legitimasi moral,
politik kehilangan arah keadilan, dan masyarakat kehilangan integritas etisnya.
Dengan demikian, martabat manusia berfungsi sebagai
prinsip meta-normatif—suatu tolok ukur yang melampaui hukum positif dan
kebijakan politik, menuntut agar setiap sistem sosial diatur demi penghormatan
terhadap nilai intrinsik manusia.²³ Ia menjadi jembatan antara etika individual
dan tatanan institusional, antara moralitas dan legalitas, antara hak dan
tanggung jawab.²⁴
Footnotes
[1]               
United Nations, Universal Declaration of Human
Rights, adopted December 10, 1948, Article 1.
[2]               
Charles Beitz, The Idea of Human Rights
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 47–49.
[3]               
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 18–20.
[4]               
Ibid., 51–53.
[5]               
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory
and Practice, 3rd ed. (Ithaca, NY: Cornell University Press, 2013), 25–27.
[6]               
Mary Ann Glendon, A World Made New: Eleanor
Roosevelt and the Universal Declaration of Human Rights (New York: Random
House, 2001), 33–35.
[7]               
George Kateb, Human Dignity (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2011), 40–42.
[8]               
Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The
Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge, MA: MIT
Press, 1995), 92–94.
[9]               
Ibid., 108–111.
[10]            
Ibid., 120–122.
[11]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–89.
[12]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William
Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 108–110.
[13]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Belknap Press, 2011), 35–38.
[14]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 75–77.
[15]            
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max
Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 193–195.
[16]            
Grundgesetz für die Bundesrepublik Deutschland, Article 1 (1949).
[17]            
United Nations, International Covenant on Civil
and Political Rights, adopted December 16, 1966, Preamble.
[18]            
Lon L. Fuller, The Morality of Law, rev. ed.
(New Haven: Yale University Press, 1969), 162–165.
[19]            
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), 180–183.
[20]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 396–400.
[21]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 75–78.
[22]            
Seyla Benhabib, Dignity in Adversity: Human
Rights in Troubled Times (Cambridge: Polity Press, 2011), 14–16.
[23]            
Jürgen Habermas, The Future of Human Nature
(Cambridge: Polity Press, 2003), 9–11.
[24]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David
Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 115–118.
7.          
Kritik terhadap Konsep Martabat Manusia
7.1.      
Kritik dari Biologisme dan
Materialisme
Salah satu kritik paling tajam terhadap konsep
martabat manusia datang dari perspektif biologisme dan materialisme
ilmiah, yang menolak pandangan bahwa manusia memiliki nilai metafisik atau
moral yang melekat. Dalam kerangka ini, manusia dianggap tidak berbeda secara
hakiki dari makhluk hidup lain, melainkan hasil evolusi biologis yang tunduk
pada hukum alam semata.¹ Thomas H. Huxley dan para evolusionis awal menegaskan
bahwa moralitas manusia hanyalah produk dari seleksi alam yang menguntungkan
kelangsungan spesies.² Dengan demikian, konsep martabat manusia, dalam
pandangan ini, hanyalah konstruksi budaya tanpa dasar ontologis objektif.
Richard Dawkins memperkuat pandangan ini melalui
teori selfish gene, yang memandang perilaku manusia, termasuk altruisme
dan moralitas, sebagai strategi genetik untuk mempertahankan kelangsungan gen.³
Dari sudut pandang tersebut, nilai-nilai seperti “martabat” hanyalah mekanisme
adaptif, bukan prinsip normatif universal. Kritik semacam ini menantang fondasi
metafisik dan etis dari martabat manusia, karena menafsirkan manusia secara
reduksionis sebagai entitas biologis tanpa tujuan moral intrinsik.⁴
Namun, para pemikir humanis seperti Alasdair
MacIntyre dan Charles Taylor mengkritik balik pendekatan reduksionis ini,
dengan menegaskan bahwa pengalaman moral manusia tidak dapat dijelaskan secara
memadai oleh biologi atau genetika.⁵ Bagi mereka, moralitas manusia bersumber
dari rasionalitas praktis dan struktur makna yang terbentuk secara historis,
bukan dari dorongan instingtif semata.⁶
7.2.      
Kritik dari Postmodernisme dan
Nihilisme
Filsafat postmodern, terutama melalui Michel
Foucault, Jacques Derrida, dan Jean-François Lyotard, memandang konsep “martabat
manusia” sebagai produk wacana modernitas yang sarat dengan kekuasaan dan
eksklusi. Foucault, misalnya, menunjukkan bahwa gagasan tentang “manusia”
yang bermartabat muncul bersamaan dengan institusi disipliner yang justru
menundukkan tubuh dan subjek melalui mekanisme pengetahuan dan kekuasaan.⁷
Dalam The Order of Things, ia menulis bahwa “manusia adalah penemuan
baru-baru ini, dan mungkin akan segera lenyap seperti wajah yang digambar di
pasir di tepi laut.”⁸
Pernyataan ini merupakan kritik radikal terhadap
humanisme yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai. Bagi Foucault, martabat
manusia tidak bersifat universal, melainkan hasil konstruksi historis yang
dapat berubah atau bahkan hilang seiring perubahan struktur wacana.⁹
Demikian pula, dalam perspektif dekonstruktif
Derrida, konsep martabat manusia tidak dapat dipahami secara stabil karena bergantung
pada permainan bahasa dan tanda (différance).¹⁰ Nilai “martabat”
selalu ditunda dan direproduksi melalui sistem makna yang tidak pernah final.¹¹
Hal ini menantang ide bahwa martabat manusia memiliki esensi tetap atau dasar
rasional universal.
Sementara itu, Friedrich Nietzsche sebelumnya telah
melancarkan kritik paling mendasar terhadap humanisme moral. Ia menolak konsep
martabat sebagai residu moralitas Kristen yang mengekang kehendak untuk
berkuasa (will to power).¹² Dalam kerangka Nietzschean, martabat manusia
hanyalah ilusi yang diciptakan untuk menenangkan kelemahan manusia modern yang
takut terhadap absurditas hidup.¹³ Manusia yang sejati bukanlah makhluk
bermartabat dalam arti moral universal, melainkan individu yang menegaskan
nilai-nilainya sendiri secara kreatif.¹⁴
7.3.      
Kritik Tekno-Instrumentalis dan
Krisis Martabat di Era Digital
Di era teknologi digital dan kecerdasan buatan,
kritik terhadap konsep martabat manusia muncul dalam bentuk teknologisasi
kehidupan (technologization of life) yang mengaburkan batas antara
manusia dan mesin. Martin Heidegger, dalam esainya The Question Concerning
Technology, memperingatkan bahwa teknologi modern memandang manusia
semata-mata sebagai “sumber daya” (Bestand), yaitu entitas yang
dapat diatur dan dimanfaatkan secara efisien.¹⁵ Dengan demikian, manusia
kehilangan kedudukan ontologisnya sebagai subjek yang bebas dan menjadi objek
dalam sistem teknologis global.¹⁶
Kritik ini berlanjut dalam pemikiran Jean
Baudrillard, yang menyoroti fenomena simulasi dan hiperrealitas di mana
nilai-nilai manusia direduksi menjadi representasi digital tanpa makna
intrinsik.¹⁷ Dalam dunia yang dikuasai oleh citra dan algoritma, martabat
manusia terancam larut dalam logika konsumsi dan reproduksi simbolik.¹⁸
Shoshana Zuboff kemudian memperluas kritik tersebut
melalui konsep surveillance capitalism, di mana identitas manusia diubah
menjadi “data perilaku” yang dapat diprediksi dan diperjualbelikan.¹⁹
Dalam sistem ini, martabat kehilangan maknanya karena manusia tidak lagi menjadi
pemilik dirinya sendiri, melainkan menjadi komoditas dalam ekosistem digital.²⁰
Dengan demikian, kritik tekno-instrumentalis
memperlihatkan bahwa ancaman terhadap martabat manusia tidak hanya berasal dari
ideologi atau sistem politik, tetapi juga dari teknologi yang mengobjektifikasi
manusia atas nama efisiensi dan inovasi.²¹
7.4.      
Kritik Kultural dan Relativisme
Nilai
Kritik lain terhadap konsep martabat manusia datang
dari perspektif relativisme budaya, yang menolak klaim universalitas
konsep tersebut.²² Para pemikir postkolonial seperti Amartya Sen dan Bhikhu
Parekh menegaskan bahwa definisi martabat sering kali berakar pada tradisi
Barat, sehingga gagal mengakomodasi pemahaman martabat dalam konteks budaya
non-Barat.²³ Misalnya, dalam tradisi Asia dan Afrika, martabat lebih sering
dipahami dalam kerangka komunal—berbasis keharmonisan sosial dan tanggung jawab
kolektif—bukan pada individualisme otonom sebagaimana dalam filsafat Eropa
modern.²⁴
Relativisme nilai ini mengingatkan bahwa konsep
martabat harus selalu ditafsirkan ulang dalam konteks historis dan kultural
yang berbeda.²⁵ Namun, tantangan bagi filsafat kontemporer adalah bagaimana
menjaga keseimbangan antara universalisme moral dan pluralisme budaya tanpa
merelatifkan nilai kemanusiaan itu sendiri.²⁶
Refleksi
atas Kritik
Kritik-kritik tersebut, meskipun menantang, justru
memperkaya pemahaman filosofis tentang martabat manusia. Reduksionisme biologis
mengingatkan kita akan batas antara fakta dan nilai; postmodernisme
memperingatkan bahaya totalisasi makna; teknologi menyoroti ancaman
dehumanisasi; dan relativisme kultural menuntut dialog antarperadaban.²⁷
Filsafat martabat manusia, karenanya, harus
bersifat dialektis dan reflektif, terbuka terhadap koreksi namun tetap
mempertahankan horizon normatifnya.²⁸ Martabat manusia bukan dogma metafisik
yang beku, tetapi prinsip etis yang harus diperjuangkan dalam sejarah, politik,
dan budaya.²⁹
Footnotes
[1]               
Ernst Mayr, The Growth of Biological Thought:
Diversity, Evolution, and Inheritance (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1982), 56–59.
[2]               
Thomas H. Huxley, Evolution and Ethics (New
York: D. Appleton and Company, 1894), 12–15.
[3]               
Richard Dawkins, The Selfish Gene (Oxford:
Oxford University Press, 1976), 3–6.
[4]               
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 18–21.
[5]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed.
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 51–54.
[6]               
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989),
25–27.
[7]               
Michel Foucault, Discipline and Punish: The
Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1977),
28–31.
[8]               
Michel Foucault, The Order of Things: An
Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage Books, 1973), 387.
[9]               
Ibid., 421–423.
[10]            
Jacques Derrida, Writing and Difference,
trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 279–281.
[11]            
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
25–27.
[12]            
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals,
trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1967), 45–47.
[13]            
Ibid., 52–54.
[14]            
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. R.J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1969), 110–113.
[15]            
Martin Heidegger, The Question Concerning
Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper &
Row, 1977), 17–19.
[16]            
Ibid., 26–28.
[17]            
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
1–3.
[18]            
Ibid., 11–13.
[19]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 8–10.
[20]            
Ibid., 396–398.
[21]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 76–79.
[22]            
Michael Walzer, Spheres of Justice: A Defense of
Pluralism and Equality (New York: Basic Books, 1983), 314–317.
[23]            
Amartya Sen, Identity and Violence: The Illusion
of Destiny (New York: W. W. Norton, 2006), 152–155.
[24]            
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2000), 125–127.
[25]            
Raimon Panikkar, The Intrareligious Dialogue
(New York: Paulist Press, 1999), 56–59.
[26]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press,
2006), 59–61.
[27]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 287–290.
[28]            
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of
Philosophy, trans. Adey and Frisby (London: Routledge & Kegan Paul,
1980), 112–115.
[29]            
Jürgen Habermas, The Future of Human Nature
(Cambridge: Polity Press, 2003), 10–12.
8.          
Relevansi Kontemporer Martabat Manusia
8.1.      
Martabat Manusia di Era Teknologi
dan Kecerdasan Buatan
Dalam konteks kontemporer, relevansi konsep martabat
manusia semakin mendesak ketika teknologi digital dan kecerdasan buatan (artificial
intelligence) berkembang melampaui batas-batas tradisional etika dan
hukum.¹ Perkembangan teknologi algoritmik yang mampu membuat keputusan secara
otonom telah menimbulkan pertanyaan baru: apakah martabat manusia masih dapat
dipertahankan dalam dunia yang didominasi oleh sistem non-manusia yang memiliki
“rasionalitas buatan”?²
Shoshana Zuboff, melalui konsep surveillance
capitalism, mengungkapkan bahwa manusia kini cenderung direduksi menjadi
sumber data—entitas yang keberadaannya diukur berdasarkan nilai ekonomi dan
perilaku yang dapat diprediksi.³ Dalam situasi ini, martabat manusia terancam
oleh komodifikasi eksistensi: nilai manusia ditentukan oleh produktivitas
digital, bukan oleh otonomi moralnya.⁴
Sementara itu, Luciano Floridi menawarkan
pendekatan information ethics, yang menempatkan manusia sebagai “agen
moral informasi” dalam ekosistem digital.⁵ Menurut Floridi, mempertahankan
martabat di era digital berarti memastikan bahwa setiap individu memiliki
kendali atas representasi dirinya dalam dunia informasi.⁶ Dengan demikian,
martabat manusia harus ditafsirkan ulang tidak hanya sebagai nilai metafisik,
tetapi juga sebagai hak epistemik untuk mempertahankan identitas dan integritas
digital.
8.2.      
Martabat Manusia dan Isu Ekologis
Global
Krisis ekologis global menantang antroposentrisme
klasik yang mendasari banyak konsep martabat manusia.⁷ Selama berabad-abad,
manusia dianggap sebagai pusat nilai dan tujuan alam, sehingga legitimasi moral
sering kali berujung pada eksploitasi lingkungan. Namun, paradigma baru seperti
ecological humanism dan deep ecology berupaya memperluas cakupan
martabat ke seluruh komunitas kehidupan.⁸
Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility
menekankan bahwa tanggung jawab etis manusia kini mencakup keberlangsungan
seluruh makhluk hidup.⁹ Ia menulis bahwa tindakan moral masa kini harus
mempertimbangkan “martabat kehidupan” sebagai keseluruhan, bukan hanya
martabat manusia secara individual.¹⁰ Dengan demikian, martabat memperoleh
dimensi ekologis—ia menjadi prinsip moral bagi relasi manusia dengan alam,
bukan sekadar antarindividu.
Dalam konteks ini, konsep biocentric dignity
mulai muncul, menegaskan bahwa seluruh makhluk memiliki nilai intrinsik,
meskipun manusia tetap memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena
kapasitas reflektifnya.¹¹ Gagasan ini menantang dominasi humanisme eksklusif
dan mendorong pembentukan etika ekologis baru yang bersifat holistik dan
interdependen.¹²
8.3.      
Martabat dalam Konteks Sosial dan
Ekonomi Global
Di era globalisasi, martabat manusia juga diuji
oleh struktur ekonomi neoliberal yang sering kali mengabaikan nilai kemanusiaan
demi efisiensi dan keuntungan.¹³ Sistem ekonomi global telah menciptakan kesenjangan
sosial ekstrem yang merusak integritas martabat manusia, terutama di wilayah
dunia ketiga. Martha C. Nussbaum dan Amartya Sen, melalui capability
approach, menegaskan bahwa martabat tidak dapat direduksi menjadi kebebasan
formal atau kesejahteraan material semata; ia memerlukan kondisi nyata bagi
manusia untuk hidup bermakna dan produktif.¹⁴
Sen menulis bahwa keadilan sejati menuntut “pemberdayaan
kemampuan dasar manusia untuk memilih dan bertindak.”¹⁵ Oleh karena itu,
mempertahankan martabat manusia berarti menghapus hambatan struktural seperti
kemiskinan, ketimpangan gender, dan marginalisasi sosial. Nussbaum menambahkan
bahwa kebijakan publik harus didasarkan pada prinsip bahwa “setiap kehidupan
manusia bernilai dan harus diberi peluang untuk berkembang sepenuhnya.”¹⁶
Dalam ranah sosial-politik, Jürgen Habermas juga
menegaskan relevansi martabat sebagai norma dasar bagi demokrasi deliberatif.¹⁷
Dalam ruang publik yang sehat, setiap individu memiliki hak untuk berbicara dan
didengar sebagai subjek moral yang setara. Dengan demikian, martabat bukan
hanya ideal etis, tetapi juga prasyarat praktis bagi keberlanjutan masyarakat
demokratis.¹⁸
8.4.      
Martabat, Identitas, dan Pluralisme
Budaya
Dalam dunia yang semakin plural, martabat manusia
menjadi medan dialektis antara universalitas dan partikularitas. Pluralisme
budaya menuntut reinterpretasi martabat agar tidak jatuh ke dalam dogma moral
universal yang menafikan keunikan tradisi lokal.¹⁹ Bhikhu Parekh berargumen
bahwa martabat harus dipahami sebagai “nilai bersama yang diartikulasikan
secara berbeda” dalam setiap konteks budaya.²⁰ Artinya, penghormatan
terhadap martabat tidak boleh diidentikkan dengan homogenisasi nilai, tetapi
harus membuka ruang bagi keragaman moral dan spiritual manusia.
Di sisi lain, Charles Taylor menekankan pentingnya
pengakuan (recognition) dalam membangun martabat di masyarakat
multikultural.²¹ Menurutnya, pengabaian terhadap identitas kultural seseorang
dapat menjadi bentuk dehumanisasi yang halus, karena mengingkari aspek
fundamental dari kemanusiaannya.²² Maka, menjaga martabat dalam konteks global
berarti menegakkan keadilan simbolik dan eksistensial: mengakui bahwa perbedaan
adalah bagian dari kemanusiaan itu sendiri.²³
8.5.      
Martabat Manusia di Era
Post-Humanisme
Perkembangan bioteknologi, rekayasa genetika, dan
transhumanisme memunculkan pertanyaan filosofis baru: apakah martabat manusia
masih relevan ketika batas antara manusia dan mesin, alam dan buatan, semakin
kabur?²⁴ Francis Fukuyama memperingatkan bahwa proyek transhumanisme berpotensi
menghancurkan esensi manusia yang menjadi dasar bagi martabat.²⁵ Ia menyebut
kehilangan batas biologis sebagai “ancaman terbesar terhadap martabat
manusia di abad ke-21.”²⁶
Namun, sejumlah filsuf seperti Rosi Braidotti
menawarkan pandangan post-human yang lebih afirmatif.²⁷ Menurutnya, martabat
tidak harus dibatasi pada spesies manusia, tetapi dapat diperluas menjadi “dignity
of life” yang meliputi makhluk non-manusia dan sistem ekologis.²⁸ Dengan
demikian, relevansi martabat manusia di masa depan terletak bukan pada
mempertahankan keistimewaan manusia, tetapi pada merumuskan ulang tanggung
jawab etis dalam jaringan kehidupan yang semakin kompleks.²⁹
Sintesis
Relevansi
Martabat manusia tetap relevan dalam dunia
kontemporer sejauh ia ditafsirkan secara dinamis, kritis, dan inklusif. Ia
menuntut reinterpretasi dalam ranah teknologi, ekologi, ekonomi,
politik, dan kebudayaan, tanpa kehilangan inti etisnya:
penghormatan terhadap nilai intrinsik setiap pribadi.³⁰ Filsafat martabat di
abad ke-21 tidak lagi dapat bersandar pada metafisika statis, melainkan pada
dialog lintas disiplin antara etika, sains, dan kemanusiaan.³¹
Dengan demikian, martabat manusia bukan sekadar
warisan moral masa lalu, melainkan horizon terbuka bagi masa depan etika global
yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berperikemanusiaan.³²
Footnotes
[1]               
Jürgen Habermas, The Future of Human Nature
(Cambridge: Polity Press, 2003), 3–5.
[2]               
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers,
Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 6–8.
[3]               
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 9–11.
[4]               
Ibid., 389–392.
[5]               
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 71–73.
[6]               
Ibid., 80–82.
[7]               
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our
Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–1207.
[8]               
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 29–31.
[9]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 121–124.
[10]            
Ibid., 126–128.
[11]            
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties
to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 97–99.
[12]            
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
41–43.
[13]            
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights:
Cosmopolitan Responsibilities and Reforms (Cambridge: Polity Press, 2002),
3–5.
[14]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Belknap Press, 2011), 18–20.
[15]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 75–77.
[16]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Belknap Press,
2006), 59–61.
[17]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William
Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 84–86.
[18]            
Ibid., 88–90.
[19]            
Seyla Benhabib, Dignity in Adversity: Human
Rights in Troubled Times (Cambridge: Polity Press, 2011), 22–25.
[20]            
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2000), 128–130.
[21]            
Charles Taylor, The Politics of Recognition,
in Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition, ed. Amy
Gutmann (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1994), 25–27.
[22]            
Ibid., 30–32.
[23]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David
Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 115–118.
[24]            
Andy Miah, Human Futures: Art in an Age of
Uncertainty (Liverpool: Liverpool University Press, 2008), 44–46.
[25]            
Francis Fukuyama, Our Posthuman Future:
Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and
Giroux, 2002), 7–9.
[26]            
Ibid., 218–220.
[27]            
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 1–3.
[28]            
Ibid., 43–45.
[29]            
Cary Wolfe, What Is Posthumanism?
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 2010), 56–59.
[30]            
George Kateb, Human Dignity (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2011), 110–112.
[31]            
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of
Philosophy, trans. Adey and Frisby (London: Routledge & Kegan Paul,
1980), 130–133.
[32]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 292–295.
9.          
Sintesis Filosofis
9.1.      
Integrasi Historis dan Konseptual
Martabat manusia merupakan konsep yang menembus
lintasan sejarah filsafat, dari teologi klasik hingga etika modern, dari
metafisika hingga teori sosial. Ia bukan sekadar konstruksi moral, tetapi hasil
dialektika panjang antara rasionalitas, kebebasan, dan eksistensi manusia.¹
Dalam tradisi klasik—seperti pada Aristoteles dan Thomas Aquinas—martabat
manusia dimaknai sebagai kodrat rasional yang berakar pada tujuan final (telos)
yang mengarah kepada kebaikan tertinggi (summum bonum).² Ontologi ini
memandang manusia sebagai makhluk yang berpartisipasi dalam rasionalitas ilahi
dan memiliki potensi moral bawaan.³
Namun, sejak era modern, terutama melalui Immanuel
Kant, makna martabat manusia bergeser dari partisipasi metafisis menuju otonomi
moral.⁴ Martabat tidak lagi dilihat sebagai anugerah kodrati, melainkan sebagai
status moral yang melekat pada subjek rasional yang mampu menegakkan hukum
moral universal.⁵ Paradigma ini menegaskan kesetaraan moral antarindividu dan
menjadi dasar bagi etika sekuler serta hak asasi manusia.
Sementara itu, filsafat kontemporer—melalui
pemikiran fenomenologis dan hermeneutik seperti Max Scheler, Karol Wojtyła, dan
Paul Ricoeur—menegaskan kembali bahwa martabat tidak hanya bersifat individual,
tetapi juga relasional.⁶ Manusia menemukan martabatnya dalam interaksi,
pengakuan, dan tanggung jawab terhadap yang lain.⁷ Dengan demikian, sintesis
historis ini memperlihatkan bahwa martabat manusia memiliki dua poros yang tak
terpisahkan: keutuhan individual (otonomi dan kesadaran diri) dan keterarahan
intersubjektif (relasi dan solidaritas).⁸
9.2.      
Martabat sebagai Prinsip Meta-Etik
dan Meta-Politik
Secara filosofis, martabat manusia dapat dipahami
sebagai prinsip meta-etik—yakni dasar dari segala penilaian moral yang
tidak dapat direduksi pada norma partikular.⁹ Sebagai prinsip meta-etik, martabat
menyediakan horizon normatif yang memungkinkan lahirnya etika universal tanpa
menghapus perbedaan budaya. Ia menjadi “asumsi tak terelakkan” dalam
setiap wacana moral: bahkan ketika seseorang menolak martabat, ia tetap
mengandaikan nilai diri dan orang lain sebagai subjek yang layak dihormati.¹⁰
Sebagai prinsip meta-politik, martabat
manusia berperan sebagai fondasi legitimasi bagi hukum dan negara.¹¹ Jürgen
Habermas menegaskan bahwa martabat merupakan “nilai konstitutif” bagi demokrasi
modern karena ia menjamin kesetaraan komunikasi dan partisipasi politik.¹²
Tanpa penghormatan terhadap martabat, hukum kehilangan validitas moral dan
politik berubah menjadi mekanisme kekuasaan tanpa legitimasi etis.¹³
Lebih jauh, Martha Nussbaum dan Amartya Sen
menunjukkan bahwa martabat dapat berfungsi sebagai kategori lintas bidang yang
menghubungkan etika, ekonomi, dan politik.¹⁴ Dalam perspektif capability
approach, martabat manusia bukan hanya hak untuk dihormati, tetapi juga
kapasitas untuk mewujudkan kehidupan yang bernilai.¹⁵ Dengan demikian, martabat
menjadi prinsip penghubung antara being dan acting, antara
eksistensi dan praksis sosial.
9.3.      
Sintesis
Ontologis–Epistemologis–Aksiologis
Dalam perspektif sintesis filsafat, martabat
manusia dapat dipahami melalui integrasi tiga dimensi utama:
·                    
Ontologis: manusia
memiliki martabat karena struktur keberadaannya sebagai makhluk rasional dan
bebas, yang mampu memahami kebenaran dan menimbang kebaikan.¹⁶
·                    
Epistemologis: pengetahuan
tentang martabat muncul dari kesadaran diri, empati, dan pengalaman
intersubjektif yang mengakui keberadaan orang lain sebagai subjek bernilai.¹⁷
·                    
Aksiologis: martabat
menjadi sumber nilai moral tertinggi, yang mengatur tindakan etis, hukum, dan
struktur sosial demi kebaikan bersama.¹⁸
Ketiga dimensi ini membentuk suatu kesatuan
dinamis: manusia mengetahui martabatnya karena ia sadar akan keberadaannya yang
bernilai; dan ia mewujudkan nilai itu melalui tindakan yang menghormati
sesama.¹⁹ Oleh sebab itu, martabat bukanlah esensi statis, melainkan proses
dialektis antara refleksi diri, pengenalan terhadap yang lain, dan realisasi
nilai moral dalam dunia.²⁰
9.4.      
Martabat Manusia sebagai Horizon
Terbuka
Sintesis filsafati tentang martabat manusia
menegaskan bahwa konsep ini bersifat terbuka dan evolutif.²¹ Ia
senantiasa dapat dikembangkan seiring perubahan sejarah, teknologi, dan budaya.
Dalam konteks kontemporer, martabat manusia tidak lagi dapat dipahami semata
dalam kerangka metafisika klasik, tetapi juga dalam dialog dengan bioetika,
teknologi informasi, dan ekologi global.²²
Filsafat post-human, meskipun sering dianggap
mengancam otonomi manusia, justru membuka kemungkinan baru untuk memperluas
cakupan martabat hingga ke makhluk non-manusia dan sistem kehidupan planet.²³
Dengan demikian, martabat manusia di abad ke-21 bukan hanya tentang
mempertahankan keistimewaan manusia, tetapi tentang memperdalam tanggung
jawabnya terhadap seluruh tatanan eksistensi.²⁴
Sintesis ini memperlihatkan bahwa martabat manusia
merupakan prinsip transversal—menembus batas disiplin, budaya, dan
zaman—serta menjadi jembatan antara rasionalitas, spiritualitas, dan praksis
etis.²⁵ Ia adalah dasar normatif yang memungkinkan manusia tetap menjadi subjek
moral dalam dunia yang semakin kompleks, dan sekaligus horizon filosofis yang
terus memanggil kita untuk menafsir ulang makna kemanusiaan di tengah perubahan
zaman.²⁶
Footnotes
[1]               
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989),
25–27.
[2]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1097b–1100a.
[3]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q.
1, a. 1.
[4]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 42–44.
[5]               
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 130–133.
[6]               
Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal
Ethics of Values, trans. Manfred Frings and Roger Funk (Evanston, IL:
Northwestern University Press, 1973), 98–100.
[7]               
Karol Wojtyła, Person and Act, trans.
Andrzej Potocki (Dordrecht: Reidel, 1979), 19–21.
[8]               
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 287–290.
[9]               
Robert Spaemann, Persons: The Difference Between
Someone and Something, trans. Oliver O’Donovan (Oxford: Oxford University
Press, 2006), 17–19.
[10]            
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of
Philosophy, trans. Adey and Frisby (London: Routledge & Kegan Paul,
1980), 112–114.
[11]            
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max
Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 193–195.
[12]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William
Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 82–84.
[13]            
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), 180–183.
[14]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Belknap Press, 2011), 18–20.
[15]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 75–77.
[16]            
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 148–151.
[17]            
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 94–96.
[18]            
Josef Seifert, What Is Life? The Originality,
Irreducibility, and Value of Life (Amsterdam: Rodopi, 1997), 66–68.
[19]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh, PA: Duquesne University Press, 1969),
199–201.
[20]            
Max Scheler, Man’s Place in Nature, trans.
Hans Meyerhoff (Boston: Beacon Press, 1961), 40–42.
[21]            
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith,
trans. William Dych (New York: Crossroad, 1982), 103–106.
[22]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 126–128.
[23]            
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 41–43.
[24]            
Francis Fukuyama, Our Posthuman Future:
Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and
Giroux, 2002), 218–220.
[25]            
Seyla Benhabib, Dignity in Adversity: Human
Rights in Troubled Times (Cambridge: Polity Press, 2011), 22–25.
[26]            
Paul Ricoeur, The Just, trans. David
Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 115–118.
10.      
Kesimpulan
10.1.   
Rekapitulasi Argumentatif
Kajian tentang martabat manusia menunjukkan bahwa
konsep ini bukan sekadar gagasan etis yang bersifat normatif, melainkan
struktur filosofis yang mendasari seluruh tatanan moral, sosial, dan politik.¹
Dalam telaah historis, martabat manusia berakar pada pandangan metafisis
klasik—seperti Aristoteles dan Thomas Aquinas—yang menempatkan manusia sebagai
makhluk rasional dan bermoral, diciptakan untuk mencapai kebaikan tertinggi (summum
bonum).² Tradisi modern, terutama melalui Immanuel Kant, menafsir ulang
martabat sebagai nilai yang melekat pada otonomi moral manusia, yang menjadi
dasar bagi universalitas hukum moral dan hak asasi.³
Dalam konteks kontemporer, martabat manusia
mengalami perluasan makna. Pemikiran fenomenologis dan hermeneutik (Scheler,
Wojtyła, Ricoeur) menunjukkan bahwa martabat bukan hanya hak individu, tetapi
juga relasi etis yang diwujudkan melalui pengakuan dan tanggung jawab terhadap
yang lain.⁴ Dengan demikian, martabat manusia adalah kategori dinamis yang
mengandung dimensi ontologis (hakikat manusia sebagai makhluk rasional dan
bebas), epistemologis (kesadaran akan nilai dan pengakuan), serta aksiologis
(sumber nilai moral universal).⁵
10.2.   
Implikasi Teoretis dan Praktis
Secara teoretis, konsep martabat manusia berfungsi
sebagai prinsip meta-etis dan meta-politik yang mengarahkan seluruh
sistem moral dan hukum.⁶ Ia menjadi dasar legitimasi bagi hak asasi manusia,
demokrasi, dan keadilan sosial.⁷ Namun, secara praktis, martabat menuntut
perwujudan dalam kebijakan publik, sistem ekonomi, dan relasi sosial yang
menghargai nilai manusia secara utuh—bukan hanya sebagai tenaga kerja,
konsumen, atau data digital.⁸
Dalam dunia teknologi dan globalisasi, martabat
manusia menghadapi ancaman reduksionisme baru: manusia direduksi menjadi
entitas algoritmik dan ekonomis.⁹ Tantangan etika abad ke-21 adalah mempertahankan
martabat manusia dalam konteks post-human dan technological society,
di mana batas antara manusia, mesin, dan alam semakin kabur.¹⁰ Oleh karena itu,
pembelaan terhadap martabat manusia tidak dapat hanya bersifat moralistik,
tetapi harus bersifat reflektif dan struktural, mencakup dimensi ekonomi,
politik, dan ekologi.¹¹
Etika martabat juga memiliki relevansi global.
Dalam masyarakat plural, penghormatan terhadap martabat menuntut adanya
keadilan interkultural, yaitu pengakuan terhadap perbedaan tanpa kehilangan
prinsip universal kemanusiaan.¹² Hal ini menegaskan bahwa martabat bukanlah
nilai yang eksklusif bagi satu tradisi, tetapi horizon moral bersama yang
menyatukan umat manusia di tengah keberagaman.¹³
10.3.   
Arah Kajian Lanjutan
Kajian tentang martabat manusia masih terbuka untuk
pengembangan lebih lanjut, terutama dalam menghadapi tantangan transhumanisme,
bioteknologi, dan kecerdasan buatan.¹⁴ Pertanyaan mendasar
muncul: apakah konsep martabat masih relevan ketika manusia mulai memodifikasi
dirinya secara genetis, atau ketika kecerdasan buatan mulai meniru kesadaran
moral?¹⁵ Pertanyaan ini menuntut pembaruan ontologis dan etis yang lebih
mendalam.
Selain itu, perlu dikembangkan pendekatan eko-humanistik
yang memperluas konsep martabat ke seluruh sistem kehidupan, agar manusia tidak
lagi menjadi pusat dominasi, tetapi pelindung dan penjaga keberlangsungan
biosfer.¹⁶ Dengan demikian, martabat manusia masa depan tidak akan terletak
pada superioritasnya atas makhluk lain, melainkan pada kemampuannya untuk
bertanggung jawab terhadap seluruh ciptaan.¹⁷
Penutup:
Martabat sebagai Horizon Filsafat Kemanusiaan
Akhirnya, martabat manusia dapat dipahami sebagai horizon
filsafat kemanusiaan yang tak pernah tertutup. Ia adalah prinsip yang
menghubungkan metafisika keberadaan dengan praksis moral, mengikat pengetahuan
dan tindakan dalam satu kesatuan etis.¹⁸ Sebagaimana ditegaskan Paul Ricoeur,
manusia adalah “makhluk yang menjanjikan”—ia menegaskan martabatnya
bukan karena apa yang telah dicapainya, tetapi karena kemampuannya untuk
mengupayakan kebaikan dan keadilan.¹⁹
Dengan demikian, martabat manusia bukanlah konsep
yang selesai, melainkan proyek filosofis yang terbuka—sebuah komitmen
untuk terus memperjuangkan kemanusiaan di tengah perubahan zaman.²⁰ Di abad ke-21,
tugas filsafat bukan lagi sekadar mempertahankan martabat manusia sebagai ide,
tetapi menegaskannya sebagai praksis etis yang konkret: membela kehidupan,
kebebasan, dan keadilan sebagai ekspresi tertinggi dari kemanusiaan itu
sendiri.²¹
Footnotes
[1]               
Robert Spaemann, Persons: The Difference Between
Someone and Something, trans. Oliver O’Donovan (Oxford: Oxford University
Press, 2006), 17–19.
[2]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q.
1, a. 1.
[3]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
42–44.
[4]               
Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal
Ethics of Values, trans. Manfred Frings and Roger Funk (Evanston, IL:
Northwestern University Press, 1973), 97–99.
[5]               
Karol Wojtyła, Person and Act, trans.
Andrzej Potocki (Dordrecht: Reidel, 1979), 104–107.
[6]               
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of
Philosophy, trans. Adey and Frisby (London: Routledge & Kegan Paul,
1980), 112–115.
[7]               
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William
Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 82–85.
[8]               
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Belknap Press, 2011), 32–34.
[9]               
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 389–392.
[10]            
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers,
Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 7–10.
[11]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 121–124.
[12]            
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2000), 128–130.
[13]            
Seyla Benhabib, Dignity in Adversity: Human
Rights in Troubled Times (Cambridge: Polity Press, 2011), 14–16.
[14]            
Francis Fukuyama, Our Posthuman Future:
Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and
Giroux, 2002), 218–220.
[15]            
Andy Miah, Human Futures: Art in an Age of
Uncertainty (Liverpool: Liverpool University Press, 2008), 44–46.
[16]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility,
130–133.
[17]            
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties
to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 98–100.
[18]            
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh, PA: Duquesne University Press, 1969),
199–203.
[19]            
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 289–292.
[20]            
Charles Taylor, The Ethics of Authenticity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 80–83.
[21]            
Jürgen Habermas, The Future of Human Nature
(Cambridge: Polity Press, 2003), 10–12.
Daftar Pustaka 
Allison, H. E. (1990). Kant’s
theory of freedom. Cambridge University Press.
Aquinas, T. (1947). Summa
Theologiae (Vol. I–II). Blackfriars / Eyre & Spottiswoode.
Apel, K.-O. (1980). Towards
a transformation of philosophy (A. Adey & D. Frisby, Trans.). Routledge
& Kegan Paul.
Aristotle. (1885). Politics
(B. Jowett, Trans.). Clarendon Press.
Aristotle. (1985). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Augustine. (2003). The
city of God (H. Bettenson, Trans.). Penguin Books.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra
and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.
Beitz, C. (2009). The
idea of human rights. Oxford University Press.
Benhabib, S. (1992). Situating
the self: Gender, community and postmodernism in contemporary ethics. Polity
Press.
Benhabib, S. (2011). Dignity
in adversity: Human rights in troubled times. Polity Press.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence:
Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.
Braidotti, R. (2013). The
posthuman. Polity Press.
Callahan, D. (2000). The
troubled dream of life: Living with mortality. Georgetown University
Press.
Comte, A. (1896). The
positive philosophy of Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). George Bell
& Sons.
Crosby, J. F. (1996). The
selfhood of the human person. Catholic University of America Press.
Dawkins, R. (1976). The
selfish gene. Oxford University Press.
Derrida, J. (1976). Of
grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Derrida, J. (1978). Writing
and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Donnelly, J. (2013). Universal
human rights in theory and practice (3rd ed.). Cornell University Press.
Dworkin, R. (1977). Taking
rights seriously. Harvard University Press.
Finnis, J. (1980). Natural
law and natural rights. Clarendon Press.
Floridi, L. (2013). The
ethics of information. Oxford University Press.
Foucault, M. (1973). The
order of things: An archaeology of the human sciences. Vintage Books.
Foucault, M. (1977). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Fukuyama, F. (2002). Our
posthuman future: Consequences of the biotechnology revolution. Farrar,
Straus and Giroux.
Fuller, L. L. (1969). The
morality of law (Rev. ed.). Yale University Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth
and method (2nd rev. ed.). Continuum.
Gilson, É. (1991). The
spirit of medieval philosophy. University of Notre Dame Press.
Glendon, M. A. (2001). A
world made new: Eleanor Roosevelt and the Universal Declaration of Human Rights.
Random House.
Griffin, J. (2008). On
human rights. Oxford University Press.
Habermas, J. (1984). The
theory of communicative action (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1990). Moral
consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen,
Trans.). MIT Press.
Habermas, J. (1996). Between
facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy
(W. Rehg, Trans.). MIT Press.
Habermas, J. (2003). The
future of human nature. Polity Press.
Heidegger, M. (1962). Being
and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1977). The
question concerning technology and other essays (W. Lovitt, Trans.).
Harper & Row.
Hildebrand, D. von. (2009).
The nature of love. St. Augustine’s Press.
Honneth, A. (1995). The
struggle for recognition: The moral grammar of social conflicts (J.
Anderson, Trans.). MIT Press.
Husserl, E. (1982). Ideas
pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy
(F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.
Huxley, T. H. (1894). Evolution
and ethics. D. Appleton and Company.
Jaeger, W. (1945). Paideia:
The ideals of Greek culture (Vol. 1). Basil Blackwell.
Jonas, H. (1984). The
imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kant, I. (1997). Groundwork
for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press.
Kant, I. (1997). Critique
of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kateb, G. (2011). Human
dignity. Harvard University Press.
Kelsen, H. (1967). Pure
theory of law (M. Knight, Trans.). University of California Press.
Kristeller, P. O. (1979). Renaissance
thought and its sources. Columbia University Press.
Levinas, E. (1969). Totality
and infinity (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
MacIntyre, A. (2007). After
virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
Mayr, E. (1982). The
growth of biological thought: Diversity, evolution, and inheritance.
Harvard University Press.
Miah, A. (2008). Human
futures: Art in an age of uncertainty. Liverpool University Press.
Mounier, E. (1952). Personalism
(P. Mairet, Trans.). University of Notre Dame Press.
Naess, A. (1989). Ecology,
community and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.).
Cambridge University Press.
Nietzsche, F. (1967). On
the genealogy of morals (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.
Nietzsche, F. (1969). Thus
spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books.
Norton, B. G. (2005). Sustainability:
A philosophy of adaptive ecosystem management. University of Chicago
Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating
capabilities: The human development approach. Belknap Press.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers
of justice: Disability, nationality, species membership. Belknap Press.
Nussbaum, M. C., & Sen,
A. (Eds.). (1993). The quality of life. Clarendon Press.
Parekh, B. (2000). Rethinking
multiculturalism: Cultural diversity and political theory. Harvard
University Press.
Pieper, J. (1966). The
four cardinal virtues. University of Notre Dame Press.
Pico della Mirandola, G.
(1998). Oration on the dignity of man (E. Forbes, Trans.). Cambridge
University Press.
Pogge, T. (2002). World
poverty and human rights: Cosmopolitan responsibilities and reforms.
Polity Press.
Rahner, K. (1982). Foundations
of Christian faith (W. Dych, Trans.). Crossroad.
Rawls, J. (1999). A
theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself
as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (2000). The
just (D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.
Rolston, H., III. (1988). Environmental
ethics: Duties to and values in the natural world. Temple University
Press.
Scheler, M. (1961). Man’s
place in nature (H. Meyerhoff, Trans.). Beacon Press.
Scheler, M. (1973). Formalism
in ethics and non-formal ethics of values (M. Frings & R. Funk,
Trans.). Northwestern University Press.
Scheler, M. (2008). The
nature of sympathy (P. Heath, Trans.). Transaction Publishers.
Seifert, J. (1997). What
is life? The originality, irreducibility, and value of life. Rodopi.
Sen, A. (1999). Development
as freedom. Alfred A. Knopf.
Sen, A. (2006). Identity
and violence: The illusion of destiny. W. W. Norton.
Singer, P. (2011). Practical
ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.
Spaemann, R. (2006). Persons:
The difference between someone and something (O. O’Donovan, Trans.).
Oxford University Press.
Taylor, C. (1989). Sources
of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.
Taylor, C. (1991). The
ethics of authenticity. Harvard University Press.
Taylor, C. (1994). The
politics of recognition. In A. Gutmann (Ed.), Multiculturalism:
Examining the politics of recognition (pp. 25–73). Princeton University
Press.
United Nations. (1948). Universal
Declaration of Human Rights. universal-declaration-of-human-rights
United Nations. (1966). International
Covenant on Civil and Political Rights. professionalinterest
Walzer, M. (1983). Spheres
of justice: A defense of pluralism and equality. Basic Books.
White, L. Jr. (1967). The
historical roots of our ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.
science
Wojtyła, K. (1979). Person
and act (A. Potocki, Trans.). Reidel.
Wojtyła, K. (1981). Love
and responsibility (H. T. Willetts, Trans.). Ignatius Press.
Wood, A. W. (2008). Kantian
ethics. Cambridge University Press.
Wolfe, C. (2010). What
is posthumanism? University of Minnesota Press.
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism. PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar