Kasyf (Penyingkapan Batin)
Konsep, Jenis, dan Relevansinya dalam Tasawuf
Alihkan ke: Tajallī
(Penampakan
Ilahi).
Abstrak
Artikel ini membahas konsep kasyf (penyingkapan
batin) dalam tradisi tasawuf Islam sebagai salah satu bentuk pengalaman
ruhani yang khas dalam proses penyucian jiwa dan pendekatan spiritual kepada
Allah Swt. Kasyf dipahami sebagai tersingkapnya tabir yang menutupi realitas
batin, sehingga seorang hamba dapat menyaksikan hakikat tertentu secara
langsung melalui cahaya ilahi. Kajian ini menguraikan definisi kasyf dari segi
etimologis dan terminologis, pandangan para sufi klasik seperti Al-Ghazali,
Junaid al-Baghdadi, dan Ibnu Arabi, serta membedakan jenis-jenis kasyf: ‘aqli,
qalbi, ruhi, dan hissi. Selanjutnya, dibahas pula syarat dan adab yang harus
dipenuhi oleh seorang salik agar terhindar dari kekeliruan spiritual, serta
bahaya penyimpangan akibat kasyf palsu atau delusif. Dalam konteks kontemporer,
kasyf memiliki nilai relevansi dalam memperkuat dimensi spiritual umat Islam di
tengah tantangan modernitas, selama ia tetap dipahami dalam bingkai syariat dan
dibimbing oleh mursyid yang arif. Artikel ini menegaskan bahwa kasyf adalah
anugerah ruhani yang tidak boleh dijadikan alat legitimasi otoritas, melainkan
sarana untuk memperdalam ketundukan dan akhlak kepada Allah.
Kata Kunci: Tasawuf, Kasyf, Penyucian Jiwa, Ilmu Ladunni,
Syariat, Mistisisme Islam.
PEMBAHASAN
Konsep Kasyf Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Tasawuf merupakan
dimensi spiritual dan esoterik dalam ajaran Islam yang menekankan pada
penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), pendekatan kepada Allah (taqarrub), serta
penghayatan batin atas nilai-nilai keimanan dan amal saleh. Dalam sejarahnya,
tasawuf berkembang sebagai respons terhadap kecenderungan formalisme dalam
pelaksanaan syariat dan kekosongan ruhani yang dirasakan oleh sebagian umat
Islam pasca-perluasan wilayah kekuasaan Islam yang pesat pada abad-abad awal
hijriyah1. Para sufi tidak hanya menekankan aspek syariat lahiriah,
tetapi juga mendalami dimensi batiniah, termasuk pengalaman-pengalaman
spiritual yang dikenal dengan istilah kasyf (penyingkapan).
Istilah kasyf
secara bahasa berasal dari kata kerja kasyafa yang berarti “menyingkap”
atau “membuka tabir.” Dalam konteks tasawuf, kasyf merujuk pada
terbukanya hijab antara hamba dan realitas hakiki (al-ḥaqīqah), sehingga seseorang
dapat menyaksikan hakikat sesuatu secara batin melalui cahaya hati yang
tercerahkan2. Konsep ini diyakini muncul sebagai hasil dari
penyucian jiwa dan kedekatan spiritual kepada Allah, bukan karena usaha
intelektual semata. Oleh karena itu, dalam tradisi sufi, kasyf bukanlah tujuan
utama, melainkan hasil atau atsar dari perjalanan ruhani yang
benar dan bersih dari kepentingan duniawi3.
Kasyf memiliki
posisi yang cukup signifikan dalam literatur tasawuf klasik. Para tokoh seperti
Imam Al-Qusyairi dalam Risalah Qusyairiyah menjelaskan
bahwa kasyf adalah bagian dari pengalaman ruhani yang tidak dapat dicapai
kecuali oleh mereka yang telah mencapai maqam tertentu dalam suluk (perjalanan
spiritual)4. Sementara itu, Imam Al-Ghazali dalam Iḥyā’
‘Ulūm al-Dīn membedakan antara ilham dan kasyf, namun mengakui
bahwa keduanya merupakan bentuk pengetahuan yang diberikan langsung oleh Allah
kepada hamba-Nya yang bersih hatinya5.
Akan tetapi, penting
untuk dicatat bahwa pengalaman-pengalaman spiritual seperti kasyf tidak dapat
dijadikan hujjah (landasan hukum) dalam syariat Islam. Kasyf harus selalu
ditempatkan di bawah otoritas syariat dan tidak boleh bertentangan dengannya.
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti Imam Nawawi dan Imam Asy-Syathibi,
memberikan peringatan keras terhadap kecenderungan berlebihan dalam mempercayai
penyingkapan batin yang tidak diuji dengan prinsip syariat yang kokoh6.
Oleh karena itu,
kajian tentang kasyf dalam tasawuf tidak hanya penting dalam memahami dimensi
batin ajaran Islam, tetapi juga menjadi medan pengujian antara pengalaman
ruhani dan otoritas wahyu. Artikel ini bertujuan untuk mengulas konsep kasyf
secara komprehensif: mulai dari definisinya, jenis-jenisnya menurut para sufi,
syarat dan adabnya, hingga relevansinya dalam kehidupan spiritual kontemporer
umat Islam.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, vol. 2
(Jakarta: UI Press, 1985), 58–60.
[2]
Abdul Qadir Isa, Haqa’iq ‘an al-Tasawwuf (Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, 2002), 222.
[3]
Abu Nasr al-Sarraj, Kitab al-Luma’ fi al-Tashawwuf, ed.
Reynold A. Nicholson (London: E. J. W. Gibb Memorial Trust, 1914), 323–325.
[4]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi Ilm al-Tashawwuf, ed.
Ma’ruf al-Karkhi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 93–95.
[5]
Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 17–21.
[6]
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 1 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1997), 283–285.
2.
Pengertian Kasyf
2.1.
Definisi Bahasa dan
Terminologi
Secara etimologis,
kata kasyf
(كشف) dalam bahasa Arab berarti “menyingkap”,
“membuka”, atau “menghilangkan tabir.” Kata ini sering digunakan
dalam konteks penghilangan sesuatu yang menutupi, baik dalam makna fisik maupun
metafisik1. Dalam Al-Qur’an, istilah ini muncul dalam berbagai ayat
yang menggambarkan penghilangan hijab antara manusia dan realitas akhirat,
seperti dalam QS. Qaf [50] ayat 22, “Kami telah menyingkap dari padamu tabirmu,
maka penglihatanmu pada hari ini sangat tajam”, yang menjadi
fondasi tekstual bagi konsep kasyf dalam sufisme2.
Dalam terminologi
tasawuf, kasyf
merujuk pada penyingkapan batin terhadap hakikat sesuatu yang tersembunyi dari
indra lahiriah, sebagai hasil dari penyucian hati dan kedekatan spiritual
kepada Allah. Ini bukan sekadar pengalaman mistik, tetapi suatu bentuk
pengetahuan intuitif (ma‘rifah) yang diperoleh bukan melalui proses rasional
atau empiris, melainkan melalui penyinaran ilahiah terhadap hati seseorang3.
2.2.
Definisi Menurut
Para Tokoh Sufi
Imam Al-Qusyairi (w.
465 H), dalam Risalah Qusyairiyah-nya,
menjelaskan bahwa kasyf adalah kondisi di mana hati seseorang diterangi oleh
cahaya ilahi, sehingga ia dapat melihat apa yang tidak tampak oleh mata biasa.
Kasyf bukanlah hasil dari usaha manusia semata, tetapi buah dari kedekatan
dengan Allah setelah menjalani tahapan-tahapan spiritual (maqamat)
dan kondisi-kondisi batin (ahwal)4.
Imam Al-Ghazali (w.
505 H), dalam karya monumentalnya Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, menyatakan
bahwa ketika hijab telah tersingkap dari hati, maka muncul cahaya kebenaran
yang disebut dengan nur al-yaqīn. Ia membedakan antara
pengetahuan yang diperoleh melalui rasio dan pancaindra (ilmu kasbi), dengan
pengetahuan yang diperoleh melalui kasyf atau ilham (ilmu ladunni)5.
Menurutnya, kasyf adalah kondisi yang hanya dicapai oleh para wali dan ahli
suluk yang telah berhasil membersihkan hati dari kotoran duniawi.
Sementara itu, Ibnu
Arabi (w. 638 H), seorang tokoh besar dalam tradisi tasawuf falsafi, mengaitkan
kasyf dengan tajalli (penampakan Tuhan). Ia
memandang bahwa seluruh ciptaan adalah manifestasi dari hakikat ilahi, dan
kasyf adalah momen ketika realitas tersebut tersingkap kepada hamba, sesuai
dengan kapasitas rohaninya6. Dalam pandangannya, kasyf bukanlah
fenomena luar biasa, tetapi bagian dari dinamika ruhani orang yang telah fana
dalam kehadiran Allah.
2.3.
Hubungan Kasyf
dengan Ilham, Firasat, dan Tajalli
Kasyf memiliki
hubungan erat dengan istilah-istilah lain dalam literatur tasawuf seperti ilham
(bisikan ilahi ke dalam hati), firasat (ketajaman intuisi), dan tajalli
(penampakan asma’ atau sifat Allah kepada hamba-Nya). Namun, para ulama sufi
membedakan antara kasyf dan mimpi atau ilusi. Kasyf bersifat sadar (yakazah),
terjadi dalam keadaan jaga, dan merupakan hasil dari kejernihan hati, sedangkan
mimpi bisa dialami siapa pun, bahkan tanpa kondisi ruhani tertentu7.
Adapun firasat yang
disebut dalam hadis Nabi Saw, “Ittaqû firâsat al-mu’min, fa-innahû yanzhuru
bi nûrillâh” (Berhati-hatilah terhadap firasat orang beriman,
karena ia melihat dengan cahaya Allah), sering dipahami sebagai bentuk kasyf
ringan yang diberikan kepada mukmin yang hatinya bersih8.
Kasyf juga dibedakan
dari wahyu. Wahyu adalah komunikasi khusus dari Allah kepada para nabi,
sedangkan kasyf hanya bersifat personal dan tidak mengandung hukum syariat
baru. Oleh karena itu, kasyf tidak dapat dijadikan dasar dalam menetapkan
hukum, melainkan hanya sebagai penguat spiritual bagi pelakunya9.
Footnotes
[1]
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J.
Milton Cowan (Urbana: Spoken Language Services, 1994), 810.
[2]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 13 (Jakarta: Lentera
Hati, 2004), 47–48.
[3]
Abdul Qadir Isa, Haqa’iq ‘an al-Tasawwuf (Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, 2002), 221–223.
[4]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi Ilm al-Tasawwuf, ed.
Ma’ruf al-Karkhi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 94.
[5]
Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 17–19.
[6]
Ibn al-‘Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya
(Cairo: Al-Hay’ah al-‘Ammah, 1972), vol. 2, 66–68.
[7]
Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 209–210.
[8]
Al-Munawi, Fayd al-Qadir Sharh al-Jami‘ al-Saghir, vol. 1
(Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1972), 367.
[9]
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 1 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1997), 283–284.
3.
Landasan
Teologis dan Dalil
3.1.
Dalil Al-Qur’an
Konsep kasyf dalam
tasawuf memiliki fondasi teologis yang dapat dirujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an,
meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan istilah “kasyf” dalam
pengertian teknis sufistik. Salah satu ayat yang paling sering dikutip adalah
QS. Qaf [50] ayat 22:
لَقَدْ كُنْتَ فِي
غَفْلَةٍ مِنْ هَٰذَا فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ
"Laqad
kunta fī ghaflatin min hādzā fakasfanā ‘anka ghithā’aka fabasharuka al-yawma
ḥadīd."
Artinya: "Sesungguhnya kamu
berada dalam kelalaian dari (hal) ini, maka Kami singkapkan darimu penutup
(yang menutupi), maka penglihatanmu pada hari ini tajam."_1
Ayat ini menunjukkan
bahwa manusia secara fitrah memiliki potensi batiniah yang tertutupi oleh hijab
duniawi, dan bahwa penyingkapan (kasyf) dapat terjadi, terutama pada akhirat,
namun juga dapat dirasakan sebagian oleh orang-orang yang hatinya telah
tercerahkan di dunia menurut para ulama sufi. Al-Ghazali memaknai ayat ini
sebagai isyarat bahwa hati manusia bisa melihat kebenaran jika telah terbebas
dari kegelapan hawa nafsu2.
Selain itu, QS.
An-Nur [24] ayat 35 yang menyebut Allah sebagai “Cahaya langit dan bumi” (نور السماوات والأرض), dan menggambarkan
perumpamaan cahaya dalam hati sebagai mishkat (lubang kecil tempat cahaya
bersinar), juga menjadi dasar bagi para sufi dalam memahami proses ilham dan
kasyf sebagai bentuk penyinaran dari cahaya ilahi3. Dalam pandangan
sufi, ayat ini tidak hanya menunjukkan sifat Allah sebagai sumber cahaya,
tetapi juga menggambarkan perjalanan batin menuju penerimaan cahaya tersebut
dalam bentuk penyingkapan.
QS. Al-A’raf [7]
ayat 26 yang menyatakan bahwa pakaian takwa adalah yang terbaik, juga sering
dikaitkan oleh para mufasir sufi dengan pentingnya penyucian diri agar dapat
menerima cahaya spiritual, termasuk kasyf4.
3.2.
Dalil Hadis
Landasan kasyf dalam
hadis dapat ditemukan dalam sabda Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi:
اتَّقُوا فِرَاسَةَ
الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُورِ اللَّهِ
"Ittaqu
firasatal mu’min fa innahu yanzhuru bi nurillah"
("Takutlah kalian pada firasat orang
mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah.")5
Meskipun yang
disebut adalah firasat, para ulama tasawuf
menghubungkannya erat dengan kasyf karena keduanya merupakan bentuk pengetahuan
batiniah yang lahir dari kejernihan hati. Menurut Imam Nawawi, hadis ini
menunjukkan bahwa seorang mukmin yang hatinya bersih dapat mengetahui hal-hal
yang tersembunyi karena hatinya diberi cahaya oleh Allah6.
Selain itu, hadis
qudsi yang masyhur dalam Shahih Bukhari tentang wali Allah
juga menjadi acuan:
إِنَّ
اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا، فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ،
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ
عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ، حَتَّى
أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ
الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي
يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي
لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
"Sesungguhnya Allah Ta‘ālā berfirman:
Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh Aku nyatakan perang terhadapnya. Dan
tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku
cintai daripada apa yang Aku wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya.
Maka apabila Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk
mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia
gunakan untuk memegang, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia
memohon kepada-Ku, pasti Aku kabulkan; dan jika ia meminta perlindungan
kepada-Ku, pasti Aku lindungi." _7
Hadis ini dijadikan
dasar oleh para sufi bahwa ada kondisi spiritual di mana seseorang yang dekat
dengan Allah akan mendapatkan penyingkapan makna batin melalui indera batin
yang tajam.
3.3.
Pendekatan Teologis
Ahlus Sunnah wal Jamaah
Meskipun kasyf bukan
bagian dari doktrin akidah yang pokok, ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, terutama
dalam tradisi Asy'ariyah dan Maturidiyah, tidak menolak kemungkinan terjadinya
kasyf, selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Al-Ghazali, yang
merupakan representasi Ahlus Sunnah, menyatakan bahwa ilmu ladunni dan kasyf
adalah bagian dari karamah yang diberikan Allah kepada
hamba-hamba-Nya yang saleh8.
Sementara itu, Imam
Asy-Syathibi memperingatkan bahwa segala bentuk pengetahuan batin yang tidak
bisa diverifikasi oleh syariat harus ditanggapi dengan hati-hati. Dalam Al-I‘tiṣām,
ia menegaskan bahwa wahyu telah sempurna, dan segala bentuk kasyf tidak boleh
menjadi dasar hukum atau menggugurkan ajaran yang sudah ditetapkan dalam
Al-Qur’an dan hadis9.
Dengan demikian,
landasan teologis kasyf bertumpu pada pemahaman bahwa penyingkapan batin bukan
merupakan penyimpangan dari Islam, melainkan bagian dari dinamika kerohanian
yang dijaga oleh adab dan syariat. Ia merupakan karunia, bukan klaim, serta
tidak mengandung otoritas normatif di luar wahyu.
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2005), QS. Qaf [50] ayat 22.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 18–19.
[3]
Sayyid Hussein Nasr, The Study Quran: A New Translation and
Commentary, ed. Caner K. Dagli et al. (New York: HarperOne, 2015),
670–675.
[4]
Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir, vol. 14 (Beirut: Dar
Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, n.d.), 119–121.
[5]
Al-Munawi, Fayd al-Qadir Sharh al-Jami‘ al-Saghir, vol. 1
(Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1972), 367.
[6]
Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Adzkar (Kairo: Dar al-Hadits,
2003), 128–130.
[7]
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab
al-Riqaq, Bab 38 (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), hadis no. 6502.
[8]
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dhalal (Beirut: Dar
al-Fikr, 1998), 70–74.
[9]
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 1 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1997), 283–285.
4.
Jenis-Jenis Kasyf dalam Tasawuf
Dalam khazanah
tasawuf, kasyf
dipahami sebagai pengalaman batin yang bervariasi tingkatannya sesuai dengan
maqam (tingkatan spiritual) dan keikhlasan hati seorang salik (penempuh jalan
spiritual). Para sufi klasik mengklasifikasikan kasyf dalam berbagai bentuk,
baik berdasarkan sumber, sifat, maupun objek penyingkapannya. Penggolongan ini
penting untuk memahami bahwa tidak semua kasyf memiliki bobot yang sama dan
tidak semua layak dijadikan rujukan kecuali dengan panduan syariat dan
bimbingan mursyid.
4.1.
Kasyf ‘Aqli
(Penyingkapan Intelektual)
Jenis ini mengacu
pada penyingkapan yang terjadi melalui proses reflektif, perenungan, dan
kontemplasi yang mendalam terhadap ciptaan Allah. Meskipun tampak rasional,
para sufi menegaskan bahwa kekuatan akal yang telah disucikan dari hawa nafsu
akan terbuka untuk menerima hakikat-hakikat yang lebih tinggi, bahkan tanpa
harus melalui argumen logika konvensional1. Al-Ghazali menyatakan
bahwa seorang arif dapat “melihat” kebenaran bukan dengan mata kepala, melainkan
dengan mata hati yang diperkuat oleh akal yang tercerahkan2.
Kasyf jenis ini
sangat umum dalam tulisan-tulisan filsafat Islam dan tasawuf falsafi, di mana
akal dipandang sebagai sarana penting dalam mendekati hakikat, selama ia tidak
mengklaim kebenaran mutlak tanpa penyaksian batin.
4.2.
Kasyf Qalbi
(Penyingkapan Hati)
Ini adalah bentuk
kasyf yang paling banyak dibahas dalam literatur tasawuf. Ia terjadi ketika
hati seorang hamba bersih dari kotoran dunia, lalu Allah menyingkapkan padanya
pengetahuan atau makna batin secara langsung. Kasyf qalbi merupakan dasar dari
ilham dan firasat, dan sering kali terjadi pada wali-wali Allah yang senantiasa
menjaga keikhlasan dan muraqabah (kesadaran batin terhadap kehadiran Allah)3.
Menurut Abdul Qadir
Isa, jenis kasyf ini bersifat internal dan sering kali tidak melibatkan
penglihatan luar biasa, namun berupa pemahaman mendalam atas makna-makna
spiritual yang tidak bisa dijangkau oleh akal biasa4.
4.3.
Kasyf Ruhi
(Penyingkapan Spiritual)
Kasyf ini terjadi
pada tingkat ruh yang telah mengalami penyatuan kehendak dengan kehendak ilahi,
biasanya setelah mengalami fase fana’ (lebur dalam kehendak Allah).
Dalam kondisi ini, seseorang dapat merasakan kehadiran asma’ dan sifat Allah dalam
segala sesuatu, serta mampu menyaksikan tajalli (penampakan ilahi) sesuai
kapasitas ruhani masing-masing5.
Ibnu Arabi, sebagai
salah satu tokoh penting dalam kategori ini, menggambarkan bagaimana seorang
sufi yang mengalami kasyf ruhi bisa melihat realitas batin dari
fenomena-fenomena lahiriah, bahkan menyaksikan hakikat wujud sebagai pantulan
sifat-sifat Allah6.
Kasyf ruhi bersifat
lebih dalam dan mengandung bahaya kesalahan takwil (interpretasi berlebihan),
terutama jika tidak dibimbing oleh prinsip-prinsip syariat. Oleh sebab itu,
para sufi besar selalu menekankan pentingnya membedakan antara pengalaman
spiritual yang sahih dan ilusi batin (waham).
4.4.
Kasyf Hissi
(Penyingkapan Indrawi/Sensorik)
Ini adalah bentuk
kasyf yang sering kali mengandung unsur supranatural, seperti melihat makhluk
gaib (jin, malaikat), mendengar suara dari alam malakut, atau menyaksikan
kejadian yang belum/telah terjadi secara inderawi. Jenis ini paling rentan
terhadap gangguan setan dan delusi spiritual. Oleh sebab itu, banyak ulama
seperti Imam Asy-Syathibi dan Imam Al-Qusyairi memperingatkan agar kasyf jenis
ini tidak dijadikan rujukan tanpa verifikasi syariat dan kejelasan batin7.
Kasyf hissi sering
kali menimbulkan kekaguman publik, namun dalam tradisi tasawuf sejati, ia tidak
dianggap sebagai indikator kedekatan dengan Allah. Bahkan bisa menjadi fitnah
bagi pelakunya jika menimbulkan rasa ujub dan takabbur.
4.5.
Kasyf Haqiqi vs. Kasyf
Wahmi
Para sufi juga
membedakan antara kasyf haqiqi (penyingkapan yang
benar-benar berasal dari Allah) dan kasyf wahmi (penyingkapan palsu
yang berasal dari delusi jiwa atau bisikan setan). Kasyf haqiqi selalu
mendorong kepada ketundukan, akhlak mulia, dan peningkatan iman, sementara
kasyf wahmi justru membawa pada rasa bangga diri dan kecondongan kepada
keajaiban8.
Sebagaimana
dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali, salah satu ciri kasyf yang sahih adalah bahwa
hasilnya tidak pernah bertentangan dengan syariat. Jika kasyf seseorang
memunculkan keyakinan atau tindakan yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah, maka
itu adalah kebatilan, meskipun tampak mengagumkan9.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 90–92.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 18–21.
[3]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi Ilm al-Tasawwuf, ed.
Ma’ruf al-Karkhi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 95.
[4]
Abdul Qadir Isa, Haqa’iq ‘an al-Tasawwuf (Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, 2002), 225.
[5]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 137–139.
[6]
Ibn al-‘Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya
(Cairo: Al-Hay’ah al-‘Ammah, 1972), vol. 2, 75–78.
[7]
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 2 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1997), 98–100.
[8]
Harun Nasution, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 94.
[9]
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dhalal (Beirut: Dar
al-Fikr, 1998), 72–73.
5.
Syarat, Adab, dan Bahaya Kasyf
5.1.
Syarat Terjadinya
Kasyf
Kasyf bukanlah
fenomena yang dapat dicapai melalui usaha intelektual atau latihan spiritual
semata. Ia merupakan karamah, yakni anugerah ilahi yang
diberikan kepada hamba-Nya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu dalam
suluk (perjalanan spiritual). Para ulama tasawuf menegaskan bahwa penyingkapan
batin hanya terjadi jika seseorang telah menempuh proses penyucian jiwa secara
mendalam.
Imam Al-Ghazali
menyebut beberapa syarat penting untuk tercapainya kasyf, antara lain: (1)
tazkiyatun nafs (penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela), (2) mujahadah
(perjuangan menundukkan hawa nafsu), (3) muraqabah (kesadaran batin
terus-menerus akan kehadiran Allah), dan (4) khusyuk dalam ibadah1.
Ia menekankan bahwa kasyf hanya datang kepada mereka yang telah mencapai
tingkat mukasyafah,
yaitu tersingkapnya hakikat dalam batin sebagai hasil dari mujahadah
yang istiqamah2.
Dalam Risalah
Qusyairiyah, Imam Al-Qusyairi menyatakan bahwa orang yang diberi
kasyf adalah mereka yang telah bersih hatinya dari keinginan duniawi dan
terbebas dari kekotoran syahwat3. Dengan demikian, kasyf bukanlah
hasil manipulasi spiritual, tetapi buah dari ketulusan dalam bertaqarrub kepada
Allah.
5.2.
Adab dalam Menyikapi
Kasyf
Meskipun kasyf
dianggap sebagai karunia agung, para sufi mengajarkan sikap rendah hati dan
penuh kehati-hatian dalam menyikapi pengalaman tersebut. Hal ini disebabkan
karena kasyf, jika tidak disikapi dengan adab yang benar, dapat menjadi sumber
ujub, riya’, atau bahkan kesesatan.
Pertama, seseorang
tidak boleh mengklaim kasyf sebagai bukti keistimewaan dirinya. Seperti
ditegaskan oleh Junaid al-Baghdadi, “Segala bentuk kasyf dan karamah tidak boleh
membuatmu merasa lebih tinggi dari orang lain, karena bisa jadi itu hanya
istidraj (jebakan Tuhan).”_4
Kedua, isi kasyf
tidak boleh diumbar kepada khalayak, terutama jika tidak ada maslahat yang
nyata. Dalam tradisi tarekat, pengalaman batin disampaikan hanya kepada guru
(mursyid) atau orang-orang yang amanah dan dapat menjaga rahasia, untuk
menghindari fitnah dan kesalahpahaman5.
Ketiga, hasil dari
kasyf tidak boleh dijadikan sumber hukum atau keyakinan baru yang bertentangan
dengan syariat. Kasyf harus tunduk pada Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan, Imam
Syathibi memperingatkan bahwa siapa pun yang mendasarkan hukum agama pada
kasyf, maka ia telah terjerumus dalam bid‘ah6.
5.3.
Bahaya dan
Kekeliruan dalam Kasyf
Meskipun kasyf
adalah potensi spiritual yang mungkin terjadi, namun bahaya dari pengalaman ini
tidak bisa dianggap sepele. Banyak kasus dalam sejarah tasawuf yang menunjukkan
bagaimana seseorang yang tergoda oleh kasyf palsu atau keliru akhirnya
menyimpang dari jalan yang lurus.
Salah satu bahaya
utama adalah waham (delusi). Menurut
Al-Ghazali, orang yang belum matang jiwanya bisa saja mengira bahwa yang datang
kepadanya adalah ilham ilahi, padahal sebenarnya itu adalah bisikan hawa nafsu
atau bahkan godaan setan7. Inilah yang disebut oleh Ibnu Taimiyah
sebagai “ilusi spiritual” yang sangat sulit dibedakan dari inspirasi sejati
tanpa pengetahuan syariat yang kuat8.
Bahaya lain adalah takabbur
ruhani, yaitu merasa dirinya lebih tinggi karena diberi
pengalaman kasyf, lalu mulai meremehkan syariat atau merasa tidak membutuhkan
bimbingan mursyid. Hal ini pernah ditegaskan oleh Abu Yazid al-Bustami yang
berkata, “Seburuk-buruknya
orang adalah yang menyangka dirinya telah sampai, padahal ia masih terjerat
oleh dirinya sendiri.”_9
Sebagian besar ulama
sufi menyarankan agar pengalaman kasyf diuji melalui tiga hal:
1)
Kesesuaian dengan
Al-Qur’an dan Sunnah
2)
Konsultasi dengan mursyid
atau ulama yang arif
3)
Dampak moral dan spiritual
yang positif
Jika kasyf membawa
pelakunya pada kesombongan, keengganan taat syariat, dan fanatisme terhadap dirinya,
maka itu patut dicurigai sebagai kasyf wahmi (penyingkapan yang keliru).
Footnotes
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 18–20.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Mishkat al-Anwar (Beirut: Dar al-Fikr,
1996), 42–45.
[3]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi Ilm al-Tasawwuf, ed.
Ma’ruf al-Karkhi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 93–95.
[4]
Abdul Qadir Isa, Haqa’iq ‘an al-Tasawwuf (Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, 2002), 229.
[5]
Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: The Islamic Texts
Society, 1993), 75–76.
[6]
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 1 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1997), 286.
[7]
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dhalal (Beirut: Dar
al-Fikr, 1998), 71–73.
[8]
Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, vol. 10 (Riyadh: Dar
al-Wafa’, 2005), 217–220.
[9]
Sahl al-Tustari, Tafsir al-Tustari, ed. Annabel Keeler and Ali
Keeler (Louisville: Fons Vitae, 2011), 13.
6.
Kasyf dalam Perspektif Sufi Terkenal
Kasyf sebagai bagian
dari dinamika ruhani dalam tasawuf mendapatkan perhatian khusus dari para tokoh
sufi besar sepanjang sejarah Islam. Meskipun masing-masing memiliki pendekatan
yang berbeda—baik praktis, etis, maupun filosofis—mereka sepakat bahwa kasyf
bukanlah tujuan utama, melainkan dampak dari kedekatan eksistensial seorang
hamba kepada Allah. Pengalaman kasyf ditanggapi dengan sikap kritis, waspada,
dan tetap berada dalam kerangka syariat.
6.1.
Al-Ghazali: Kasyf
sebagai Puncak Ilmu Ladunni
Imam Abu Hamid
al-Ghazali (w. 505 H), dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, memandang kasyf
sebagai bentuk pengetahuan yang tertinggi, yang disebutnya sebagai ilmu
mukāsyafah. Ini merupakan pengetahuan langsung yang diterima oleh
hati yang telah disucikan dari pengaruh duniawi. Al-Ghazali menjelaskan bahwa
ilmu mukasyafah adalah jenis ilmu yang “tidak bisa diungkapkan dengan
kata-kata,” tetapi hanya bisa dirasakan dan dialami secara batiniah1.
Namun demikian,
dalam Al-Munqidh
min al-Dhalal, ia memberi peringatan tegas bahwa tidak semua kasyf
berasal dari Allah. Bisa jadi itu hanya pantulan dari hawa nafsu atau gangguan
setan. Oleh karena itu, menurutnya, setiap bentuk kasyf harus diuji dengan neraca
syariat dan tidak boleh dijadikan dasar hukum agama2.
6.2.
Junaid al-Baghdadi:
Kasyf sebagai Efek, Bukan Tujuan
Junaid al-Baghdadi
(w. 298 H), salah satu pendiri mazhab tasawuf sunni yang moderat, menekankan
bahwa pengalaman batin seperti kasyf bukanlah tujuan utama seorang salik. Ia
menolak pendekatan tasawuf yang berorientasi pada pencarian pengalaman luar
biasa. Menurut Junaid, kasyf hanyalah atsar (dampak sampingan) dari
keikhlasan dalam beribadah dan fana’ dalam Allah3.
Dalam riwayat yang
dikutip oleh Al-Qusyairi, Junaid pernah berkata, “Jalan kami ini dibangun di atas Al-Qur’an dan
Sunnah. Barang siapa tidak membaca Al-Qur’an, tidak menulis hadis, tidak faqih
dalam agama, maka ia tidak layak diikuti dalam jalan ini.”4
Pernyataan ini menunjukkan bahwa bagi Junaid, kasyf tidak sah tanpa landasan
syariat yang kuat.
6.3.
Ibnu ‘Arabi: Kasyf
dan Wahdat al-Wujud
Ibnu ‘Arabi (w. 638
H), tokoh besar tasawuf falsafi, dikenal dengan konsep wahdat
al-wujud (kesatuan eksistensi) yang erat kaitannya dengan
pengalaman kasyf tingkat tinggi. Dalam Al-Futuhat al-Makkiyyah, ia
menjelaskan bahwa realitas hakiki dunia ini dapat tersingkap melalui kasyf
ruhani yang mendalam. Menurutnya, alam semesta adalah tajalli (manifestasi)
dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah, dan melalui kasyf, seorang arif bisa
menyaksikan kenyataan ini secara langsung5.
Namun, karena
pendekatannya yang sangat filosofis dan simbolis, konsep kasyf dalam pandangan
Ibnu ‘Arabi sering disalahpahami sebagai bentuk panteisme. Padahal, ia sendiri
memberi peringatan agar tidak semua orang mendalami maqam kasyf tanpa
bimbingan, karena dapat menyebabkan kekeliruan dalam memahami realitas spiritual6.
6.4.
Imam Al-Haddad dan
Tradisi Sufi Hadhramaut: Kasyf yang Tunduk pada Syariat
Dalam tradisi sufi
Sunni moderat dari Hadhramaut, seperti yang diwakili oleh Imam Abdullah bin
Alawi al-Haddad (w. 1132 H), kasyf dipandang sebagai karunia ruhani yang hanya
boleh diterima dengan adab dan ketundukan total kepada syariat. Dalam An-Nashaih
ad-Diniyyah, Al-Haddad menyatakan bahwa kasyf yang sejati tidak
akan mengajak kepada selain syariat, dan jika suatu kasyf bertentangan dengan
Al-Qur’an dan hadis, maka harus ditolak7.
Tradisi ini juga
menekankan pentingnya bimbingan mursyid yang arif untuk membimbing salik agar
tidak tergelincir dalam ilusi spiritual. Para tokoh tarekat Alawiyyin dikenal
sangat berhati-hati dalam menyikapi fenomena batin dan tidak menjadikan kasyf
sebagai bahan pameran spiritual, melainkan sebagai alat introspeksi dan
peningkatan kualitas akhlak8.
6.5.
Penegasan Ulama
Ahlus Sunnah
Ulama-ulama Ahlus
Sunnah seperti Imam Nawawi dan Imam Asy-Syathibi menegaskan bahwa pengalaman
kasyf tidak boleh menggugurkan hukum-hukum syariat. Kasyf adalah pengalaman
personal yang tidak bisa dijadikan hujjah umum. Oleh karena itu, mereka sangat
menekankan pentingnya memelihara keseimbangan antara pengalaman spiritual dan
otoritas wahyu9.
Footnotes
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 17–21.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dhalal (Beirut: Dar
al-Fikr, 1998), 72–74.
[3]
Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam (London: Routledge,
1914), 34–36.
[4]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi Ilm al-Tasawwuf, ed.
Ma’ruf al-Karkhi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 91.
[5]
Ibn al-‘Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya
(Cairo: Al-Hay’ah al-‘Ammah, 1972), vol. 2, 78–80.
[6]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics
of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 190–192.
[7]
Abdullah bin Alawi al-Haddad, An-Nashaih ad-Diniyyah wal Washaya
al-Imaniyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), 45–47.
[8]
Umar bin Hafiz, Adab as-Suluk (Tarim: Dar al-Mustafa, 2014),
28–30.
[9]
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 1 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1997), 284–286.
7.
Relevansi Kasyf dalam Konteks Kontemporer
Dalam era modern
yang ditandai oleh rasionalitas, sekularisasi, dan disrupsi teknologi,
pengalaman spiritual seperti kasyf tampaknya menjadi wacana yang
terpinggirkan dalam arus besar pemikiran keagamaan. Namun demikian, di kalangan
tertentu, khususnya komunitas tasawuf yang berakar pada tradisi Ahlus Sunnah
wal Jama‘ah, fenomena kasyf tetap dijaga keberadaannya sebagai bagian dari
warisan spiritual Islam yang penting, meskipun harus disikapi secara
proporsional dan kritis.
7.1.
Kasyf sebagai
Inspirasi Penyucian Diri
Dalam konteks
kehidupan spiritual kontemporer, kasyf dapat dipahami bukan sebagai
tujuan akhir yang dicari-cari, melainkan sebagai indikasi dari kemajuan seseorang dalam
proses tazkiyatun
nafs (penyucian jiwa). Kesadaran ini menjadi semakin penting di
tengah kehidupan modern yang cenderung menekankan aspek lahiriah dan melupakan
dimensi batiniah manusia. Sejumlah studi menunjukkan bahwa meningkatnya minat
terhadap tasawuf di kalangan urban Muslim—termasuk dalam bentuk majelis dzikir,
tarekat, dan komunitas spiritual—berasal dari kerinduan terhadap kedalaman
makna hidup dan keseimbangan jiwa1.
Dalam studi
sosiologis tentang tasawuf urban di Indonesia, Ahmad Najib Burhani mengungkap
bahwa praktik sufisme modern lebih menekankan pada transendensi batin dan nilai-nilai
moral daripada pengalaman kasyf itu sendiri. Namun, konsep kasyf tetap menjadi
motivator simbolik bagi para salik (penempuh jalan spiritual) untuk lebih
disiplin dalam beribadah, berdzikir, dan membersihkan hati dari penyakit batin2.
7.2.
Tantangan:
Penyalahgunaan Klaim Kasyf
Relevansi kasyf
dalam dunia kontemporer juga tidak bisa dilepaskan dari risiko penyalahgunaan.
Fenomena pemimpin spiritual yang mengklaim memiliki kasyf atau “penglihatan
batin” terkadang digunakan untuk mengontrol pengikut, bahkan dalam kasus
ekstrem, untuk membenarkan tindakan yang bertentangan dengan syariat atau akal
sehat. Ini terjadi terutama ketika kasyf dijadikan legitimasi terhadap otoritas
agama yang absolut tanpa pertanggungjawaban ilmiah dan syar‘i.
Imam Syathibi dalam Al-I‘tisham
secara tegas menyatakan bahwa siapa pun yang mendasarkan praktik agama atau
hukum syariat pada kasyf yang tidak dapat diuji melalui wahyu yang qath‘i
(pasti), maka ia telah menyimpang dari jalan Ahlus Sunnah3.
Pandangan ini menjadi sangat relevan dalam menghadapi praktik keagamaan yang
mencampurkan antara mistisisme, okultisme, dan fanatisme spiritual.
Fenomena ini juga
menjadi sorotan dalam beberapa jurnal akademik kontemporer yang mengkaji
hubungan antara sufisme, psikologi, dan otoritas sosial. Misalnya, Fazlur
Rahman memperingatkan bahwa pengalaman kasyf, jika tidak diiringi ilmu dan
bimbingan, mudah menjadi alat manipulasi spiritual, apalagi di tengah krisis
otoritas keagamaan4.
7.3.
Kasyf dalam Dialog
Sains dan Spiritualitas
Di luar aspek
tradisional, relevansi kasyf juga mulai dibahas dalam konteks dialog
antara spiritualitas dan sains kontemporer, khususnya dalam
kajian spiritual
consciousness dan psikologi transpersonal. Beberapa tokoh, seperti
Seyyed Hossein Nasr, menyatakan bahwa Islam—melalui tasawuf—memiliki kerangka
epistemologis yang memungkinkan terjadinya penyingkapan batin sebagai bentuk
valid dari pengetahuan yang transenden5.
Dalam pemikiran
Nasr, kasyf berperan dalam menyeimbangkan ilmu pengetahuan modern yang
cenderung empiris dengan dimensi metafisik yang lebih dalam. Artinya,
pengalaman kasyf, ketika dipahami secara benar, dapat menjadi jembatan antara
iman dan akal, antara religiusitas dan rasionalitas, serta antara manusia dan
Tuhannya.
7.4.
Moderasi dan
Bimbingan sebagai Kunci Relevansi
Agar tetap relevan
dan tidak menimbulkan penyimpangan, konsep kasyf dalam praktik kontemporer
perlu dikembalikan pada posisi yang seharusnya: yaitu sebagai buah
dari ketulusan ibadah dan bukan sebagai otoritas. Dalam hal
ini, bimbingan dari guru yang mursyid dan berilmu menjadi sangat penting.
Ulama-ulama sufi klasik menekankan bahwa kasyf harus senantiasa diuji dengan
neraca syariat, dipelihara dengan adab, dan ditundukkan kepada kerendahan hati6.
Dengan pendekatan
yang moderat dan proporsional, kasyf dapat tetap menjadi sumber inspirasi untuk
memperkuat hubungan dengan Allah Swt dalam kehidupan modern, tanpa jatuh pada
mistisisme yang menyesatkan.
Footnotes
[1]
Zainal Abidin Bagir, “The Revival of Sufism in Contemporary Indonesia:
Interpretations and Implications,” Studia Islamika 21, no. 3 (2014):
405–428.
[2]
Ahmad Najib Burhani, “Pluralism, Liberalism and Islamism: Religious
Outlook of Santri in Indonesian Pesantrens,” Studia Islamika 19, no. 3
(2012): 423–425.
[3]
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 1 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1997), 284–286.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 146.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 118–121.
[6]
Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: The Islamic Texts
Society, 1993), 74–77.
8.
Penutup
Kasyf sebagai konsep
spiritual dalam tradisi tasawuf menempati posisi yang penting namun penuh
kehati-hatian. Ia merupakan bentuk penyingkapan batin yang hanya terjadi
melalui karunia ilahi kepada hamba-hamba-Nya yang telah menempuh jalan panjang
penyucian jiwa, memperdalam muraqabah, dan menjaga istiqamah dalam ibadah.
Dalam kerangka epistemologi Islam, kasyf masuk dalam kategori ma‘rifah
laduniyyah—pengetahuan yang diperoleh bukan dari akal dan
pengalaman inderawi, melainkan dari cahaya Allah yang menembus hati1.
Para sufi klasik
seperti Al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, dan Ibnu Arabi sepakat bahwa kasyf
bukanlah tujuan akhir dari suluk, tetapi hanyalah atsar atau efek sampingan dari
kedekatan ruhani dengan Tuhan. Bahkan, Al-Ghazali mengingatkan bahwa kasyf
sejati akan selalu melahirkan rasa takut, kerendahan hati, dan ketundukan
kepada syariat, bukan rasa bangga atau otoritas batin yang membebaskan diri
dari kewajiban syar’i2.
Di sisi lain,
sejarah juga mencatat bahwa kasyf dapat disalahgunakan, baik oleh individu yang
tidak memahami hakikatnya maupun oleh kelompok-kelompok yang menjadikannya alat
legitimasi kekuasaan spiritual. Oleh karena itu, para ulama Ahlus Sunnah seperti
Imam Syathibi, Imam Nawawi, dan Imam Al-Haddad menegaskan bahwa segala bentuk
penyingkapan batin harus selalu dikembalikan pada standar syariat: Al-Qur’an,
Sunnah, dan ijma’ ulama. Tanpa kontrol ini, pengalaman kasyf bisa tergelincir
menjadi waham
(delusi), bahkan bisa dimanfaatkan sebagai alat manipulasi dalam ranah
keagamaan maupun sosial3.
Dalam konteks
kontemporer, pembahasan tentang kasyf masih tetap relevan, terutama dalam
menjawab kerinduan manusia modern terhadap pengalaman religius yang otentik dan
transenden. Akan tetapi, penting ditekankan bahwa relevansi ini bukan pada
aspek fenomenalnya, melainkan pada nilai-nilai spiritual yang menyertainya—seperti
kesucian hati, kesabaran, dan kehambaan yang total. Dengan demikian, kasyf
dapat diposisikan secara proporsional sebagai motivasi untuk memperdalam
hubungan ruhani dengan Allah, bukan sebagai bentuk pencapaian mistik yang
dijadikan klaim keistimewaan diri.
Akhirnya, dapat
disimpulkan bahwa kasyf adalah karunia, bukan tujuan; ia adalah
amanah, bukan klaim otoritas. Kasyf yang sejati adalah yang
mendorong pelakunya untuk semakin taat kepada Allah, menjauhi keburukan, dan
semakin mencintai kebenaran. Dalam dunia yang penuh kegaduhan batin dan krisis
makna, nilai-nilai spiritual dari konsep kasyf dapat menjadi cahaya yang
menuntun manusia untuk kembali pada keheningan hati dan keluhuran jiwa.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 107–108.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 18–21.
[3]
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 1 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1997), 284–286.
Daftar Pustaka
Abidin, Z. (2014). The
revival of Sufism in contemporary Indonesia: Interpretations and implications. Studia
Islamika, 21(3), 405–428. https://doi.org/10.15408/sdi.v21i3.1268
Al-Ghazali, A. H. (n.d.). Iḥyā’
‘ulūm al-dīn (Vol. 3). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Al-Ghazali, A. H. (1996). Mishkāt
al-anwār (A. M. Abu Zayd, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Ghazali, A. H. (1998). Al-munqidh
min al-ḍalāl. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Haddad, A. b. A. (2002).
An-naṣā’iḥ ad-dīniyyah wa al-waṣāyā al-īmāniyyah. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Qusyairi, A. (2002). Risālah
al-Qusyairiyyah fī ‘ilm at-taṣawwuf (M. al-Karkhi, Ed.). Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Syathibi, A. I. (1997). Al-i‘tishām
(Vols. 1–2). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Burhani, A. N. (2012).
Pluralism, liberalism and Islamism: Religious outlook of santri in Indonesian
pesantrens. Studia Islamika, 19(3), 415–448. https://doi.org/10.15408/sdi.v19i3.363
Chittick, W. C. (1989). The
Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination.
Albany: SUNY Press.
Departemen Agama RI.
(2005). Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an.
Ibn al-‘Arabi. (1972). Al-Futūḥāt
al-Makkiyyah (O. Yahya, Ed., Vol. 2). Cairo: Al-Hay’ah al-‘Āmmah.
Ibn Taymiyyah. (2005). Majmū‘
al-fatāwā (Vol. 10). Riyadh: Dar al-Wafa’.
Isa, A. Q. (2002). Ḥaqā’iq
‘an at-taṣawwuf. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi.
Lings, M. (1993). What
is Sufism? Cambridge: The Islamic Texts Society.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge
and the sacred. Albany: State University of New York Press.
Nasr, S. H., Dagli, C. K.,
Dakake, M. M., Lumbard, J. E. B., & Rustom, M. (Eds.). (2015). The
Study Quran: A new translation and commentary. New York: HarperOne.
Nicholson, R. A. (1914). The
mystics of Islam. London: Routledge.
Rahman, F. (1982). Islam
and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago:
University of Chicago Press.
Razi, F. al-D. (n.d.). Tafsīr
al-kabīr (Vol. 14). Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi.
Tustari, S. (2011). Tafsīr
al-Tustarī (A. Keeler & A. Keeler, Eds. & Trans.). Louisville:
Fons Vitae.
Wehr, H. (1994). A
dictionary of modern written Arabic (J. M. Cowan, Ed.). Urbana: Spoken
Language Services.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar