Sabtu, 05 April 2025

Kasyf (Penyingkapan Batin): Konsep, Jenis, dan Relevansinya dalam Tasawuf

Kasyf (Penyingkapan Batin)

Konsep, Jenis, dan Relevansinya dalam Tasawuf


Alihkan ke: Tajallī (Penampakan Ilahi).


Abstrak

Artikel ini membahas konsep kasyf (penyingkapan batin) dalam tradisi tasawuf Islam sebagai salah satu bentuk pengalaman ruhani yang khas dalam proses penyucian jiwa dan pendekatan spiritual kepada Allah Swt. Kasyf dipahami sebagai tersingkapnya tabir yang menutupi realitas batin, sehingga seorang hamba dapat menyaksikan hakikat tertentu secara langsung melalui cahaya ilahi. Kajian ini menguraikan definisi kasyf dari segi etimologis dan terminologis, pandangan para sufi klasik seperti Al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, dan Ibnu Arabi, serta membedakan jenis-jenis kasyf: ‘aqli, qalbi, ruhi, dan hissi. Selanjutnya, dibahas pula syarat dan adab yang harus dipenuhi oleh seorang salik agar terhindar dari kekeliruan spiritual, serta bahaya penyimpangan akibat kasyf palsu atau delusif. Dalam konteks kontemporer, kasyf memiliki nilai relevansi dalam memperkuat dimensi spiritual umat Islam di tengah tantangan modernitas, selama ia tetap dipahami dalam bingkai syariat dan dibimbing oleh mursyid yang arif. Artikel ini menegaskan bahwa kasyf adalah anugerah ruhani yang tidak boleh dijadikan alat legitimasi otoritas, melainkan sarana untuk memperdalam ketundukan dan akhlak kepada Allah.

Kata Kunci: Tasawuf, Kasyf, Penyucian Jiwa, Ilmu Ladunni, Syariat, Mistisisme Islam.


PEMBAHASAN

Konsep Kasyf Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Tasawuf merupakan dimensi spiritual dan esoterik dalam ajaran Islam yang menekankan pada penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), pendekatan kepada Allah (taqarrub), serta penghayatan batin atas nilai-nilai keimanan dan amal saleh. Dalam sejarahnya, tasawuf berkembang sebagai respons terhadap kecenderungan formalisme dalam pelaksanaan syariat dan kekosongan ruhani yang dirasakan oleh sebagian umat Islam pasca-perluasan wilayah kekuasaan Islam yang pesat pada abad-abad awal hijriyah1. Para sufi tidak hanya menekankan aspek syariat lahiriah, tetapi juga mendalami dimensi batiniah, termasuk pengalaman-pengalaman spiritual yang dikenal dengan istilah kasyf (penyingkapan).

Istilah kasyf secara bahasa berasal dari kata kerja kasyafa yang berarti “menyingkap” atau “membuka tabir.” Dalam konteks tasawuf, kasyf merujuk pada terbukanya hijab antara hamba dan realitas hakiki (al-ḥaqīqah), sehingga seseorang dapat menyaksikan hakikat sesuatu secara batin melalui cahaya hati yang tercerahkan2. Konsep ini diyakini muncul sebagai hasil dari penyucian jiwa dan kedekatan spiritual kepada Allah, bukan karena usaha intelektual semata. Oleh karena itu, dalam tradisi sufi, kasyf bukanlah tujuan utama, melainkan hasil atau atsar dari perjalanan ruhani yang benar dan bersih dari kepentingan duniawi3.

Kasyf memiliki posisi yang cukup signifikan dalam literatur tasawuf klasik. Para tokoh seperti Imam Al-Qusyairi dalam Risalah Qusyairiyah menjelaskan bahwa kasyf adalah bagian dari pengalaman ruhani yang tidak dapat dicapai kecuali oleh mereka yang telah mencapai maqam tertentu dalam suluk (perjalanan spiritual)4. Sementara itu, Imam Al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn membedakan antara ilham dan kasyf, namun mengakui bahwa keduanya merupakan bentuk pengetahuan yang diberikan langsung oleh Allah kepada hamba-Nya yang bersih hatinya5.

Akan tetapi, penting untuk dicatat bahwa pengalaman-pengalaman spiritual seperti kasyf tidak dapat dijadikan hujjah (landasan hukum) dalam syariat Islam. Kasyf harus selalu ditempatkan di bawah otoritas syariat dan tidak boleh bertentangan dengannya. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti Imam Nawawi dan Imam Asy-Syathibi, memberikan peringatan keras terhadap kecenderungan berlebihan dalam mempercayai penyingkapan batin yang tidak diuji dengan prinsip syariat yang kokoh6.

Oleh karena itu, kajian tentang kasyf dalam tasawuf tidak hanya penting dalam memahami dimensi batin ajaran Islam, tetapi juga menjadi medan pengujian antara pengalaman ruhani dan otoritas wahyu. Artikel ini bertujuan untuk mengulas konsep kasyf secara komprehensif: mulai dari definisinya, jenis-jenisnya menurut para sufi, syarat dan adabnya, hingga relevansinya dalam kehidupan spiritual kontemporer umat Islam.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, vol. 2 (Jakarta: UI Press, 1985), 58–60.

[2]                Abdul Qadir Isa, Haqa’iq ‘an al-Tasawwuf (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 2002), 222.

[3]                Abu Nasr al-Sarraj, Kitab al-Luma’ fi al-Tashawwuf, ed. Reynold A. Nicholson (London: E. J. W. Gibb Memorial Trust, 1914), 323–325.

[4]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi Ilm al-Tashawwuf, ed. Ma’ruf al-Karkhi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 93–95.

[5]                Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 17–21.

[6]                Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997), 283–285.


2.           Pengertian Kasyf

2.1.       Definisi Bahasa dan Terminologi

Secara etimologis, kata kasyf (كشف) dalam bahasa Arab berarti “menyingkap”, “membuka”, atau “menghilangkan tabir.” Kata ini sering digunakan dalam konteks penghilangan sesuatu yang menutupi, baik dalam makna fisik maupun metafisik1. Dalam Al-Qur’an, istilah ini muncul dalam berbagai ayat yang menggambarkan penghilangan hijab antara manusia dan realitas akhirat, seperti dalam QS. Qaf [50] ayat 22, “Kami telah menyingkap dari padamu tabirmu, maka penglihatanmu pada hari ini sangat tajam”, yang menjadi fondasi tekstual bagi konsep kasyf dalam sufisme2.

Dalam terminologi tasawuf, kasyf merujuk pada penyingkapan batin terhadap hakikat sesuatu yang tersembunyi dari indra lahiriah, sebagai hasil dari penyucian hati dan kedekatan spiritual kepada Allah. Ini bukan sekadar pengalaman mistik, tetapi suatu bentuk pengetahuan intuitif (ma‘rifah) yang diperoleh bukan melalui proses rasional atau empiris, melainkan melalui penyinaran ilahiah terhadap hati seseorang3.

2.2.       Definisi Menurut Para Tokoh Sufi

Imam Al-Qusyairi (w. 465 H), dalam Risalah Qusyairiyah-nya, menjelaskan bahwa kasyf adalah kondisi di mana hati seseorang diterangi oleh cahaya ilahi, sehingga ia dapat melihat apa yang tidak tampak oleh mata biasa. Kasyf bukanlah hasil dari usaha manusia semata, tetapi buah dari kedekatan dengan Allah setelah menjalani tahapan-tahapan spiritual (maqamat) dan kondisi-kondisi batin (ahwal)4.

Imam Al-Ghazali (w. 505 H), dalam karya monumentalnya Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, menyatakan bahwa ketika hijab telah tersingkap dari hati, maka muncul cahaya kebenaran yang disebut dengan nur al-yaqīn. Ia membedakan antara pengetahuan yang diperoleh melalui rasio dan pancaindra (ilmu kasbi), dengan pengetahuan yang diperoleh melalui kasyf atau ilham (ilmu ladunni)5. Menurutnya, kasyf adalah kondisi yang hanya dicapai oleh para wali dan ahli suluk yang telah berhasil membersihkan hati dari kotoran duniawi.

Sementara itu, Ibnu Arabi (w. 638 H), seorang tokoh besar dalam tradisi tasawuf falsafi, mengaitkan kasyf dengan tajalli (penampakan Tuhan). Ia memandang bahwa seluruh ciptaan adalah manifestasi dari hakikat ilahi, dan kasyf adalah momen ketika realitas tersebut tersingkap kepada hamba, sesuai dengan kapasitas rohaninya6. Dalam pandangannya, kasyf bukanlah fenomena luar biasa, tetapi bagian dari dinamika ruhani orang yang telah fana dalam kehadiran Allah.

2.3.       Hubungan Kasyf dengan Ilham, Firasat, dan Tajalli

Kasyf memiliki hubungan erat dengan istilah-istilah lain dalam literatur tasawuf seperti ilham (bisikan ilahi ke dalam hati), firasat (ketajaman intuisi), dan tajalli (penampakan asma’ atau sifat Allah kepada hamba-Nya). Namun, para ulama sufi membedakan antara kasyf dan mimpi atau ilusi. Kasyf bersifat sadar (yakazah), terjadi dalam keadaan jaga, dan merupakan hasil dari kejernihan hati, sedangkan mimpi bisa dialami siapa pun, bahkan tanpa kondisi ruhani tertentu7.

Adapun firasat yang disebut dalam hadis Nabi Saw, “Ittaqû firâsat al-mu’min, fa-innahû yanzhuru bi nûrillâh” (Berhati-hatilah terhadap firasat orang beriman, karena ia melihat dengan cahaya Allah), sering dipahami sebagai bentuk kasyf ringan yang diberikan kepada mukmin yang hatinya bersih8.

Kasyf juga dibedakan dari wahyu. Wahyu adalah komunikasi khusus dari Allah kepada para nabi, sedangkan kasyf hanya bersifat personal dan tidak mengandung hukum syariat baru. Oleh karena itu, kasyf tidak dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum, melainkan hanya sebagai penguat spiritual bagi pelakunya9.


Footnotes

[1]                Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J. Milton Cowan (Urbana: Spoken Language Services, 1994), 810.

[2]                M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2004), 47–48.

[3]                Abdul Qadir Isa, Haqa’iq ‘an al-Tasawwuf (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 2002), 221–223.

[4]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi Ilm al-Tasawwuf, ed. Ma’ruf al-Karkhi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 94.

[5]                Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 17–19.

[6]                Ibn al-‘Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya (Cairo: Al-Hay’ah al-‘Ammah, 1972), vol. 2, 66–68.

[7]                Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 209–210.

[8]                Al-Munawi, Fayd al-Qadir Sharh al-Jami‘ al-Saghir, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1972), 367.

[9]                Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997), 283–284.


3.            Landasan Teologis dan Dalil

3.1.       Dalil Al-Qur’an

Konsep kasyf dalam tasawuf memiliki fondasi teologis yang dapat dirujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an, meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan istilah “kasyf” dalam pengertian teknis sufistik. Salah satu ayat yang paling sering dikutip adalah QS. Qaf [50] ayat 22:

لَقَدْ كُنْتَ فِي غَفْلَةٍ مِنْ هَٰذَا فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ

"Laqad kunta fī ghaflatin min hādzā fakasfanā ‘anka ghithā’aka fabasharuka al-yawma ḥadīd."

Artinya: "Sesungguhnya kamu berada dalam kelalaian dari (hal) ini, maka Kami singkapkan darimu penutup (yang menutupi), maka penglihatanmu pada hari ini tajam."_1

Ayat ini menunjukkan bahwa manusia secara fitrah memiliki potensi batiniah yang tertutupi oleh hijab duniawi, dan bahwa penyingkapan (kasyf) dapat terjadi, terutama pada akhirat, namun juga dapat dirasakan sebagian oleh orang-orang yang hatinya telah tercerahkan di dunia menurut para ulama sufi. Al-Ghazali memaknai ayat ini sebagai isyarat bahwa hati manusia bisa melihat kebenaran jika telah terbebas dari kegelapan hawa nafsu2.

Selain itu, QS. An-Nur [24] ayat 35 yang menyebut Allah sebagai “Cahaya langit dan bumi” (نور السماوات والأرض), dan menggambarkan perumpamaan cahaya dalam hati sebagai mishkat (lubang kecil tempat cahaya bersinar), juga menjadi dasar bagi para sufi dalam memahami proses ilham dan kasyf sebagai bentuk penyinaran dari cahaya ilahi3. Dalam pandangan sufi, ayat ini tidak hanya menunjukkan sifat Allah sebagai sumber cahaya, tetapi juga menggambarkan perjalanan batin menuju penerimaan cahaya tersebut dalam bentuk penyingkapan.

QS. Al-A’raf [7] ayat 26 yang menyatakan bahwa pakaian takwa adalah yang terbaik, juga sering dikaitkan oleh para mufasir sufi dengan pentingnya penyucian diri agar dapat menerima cahaya spiritual, termasuk kasyf4.

3.2.       Dalil Hadis

Landasan kasyf dalam hadis dapat ditemukan dalam sabda Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi:

اتَّقُوا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُورِ اللَّهِ

"Ittaqu firasatal mu’min fa innahu yanzhuru bi nurillah"

("Takutlah kalian pada firasat orang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah.")5

Meskipun yang disebut adalah firasat, para ulama tasawuf menghubungkannya erat dengan kasyf karena keduanya merupakan bentuk pengetahuan batiniah yang lahir dari kejernihan hati. Menurut Imam Nawawi, hadis ini menunjukkan bahwa seorang mukmin yang hatinya bersih dapat mengetahui hal-hal yang tersembunyi karena hatinya diberi cahaya oleh Allah6.

Selain itu, hadis qudsi yang masyhur dalam Shahih Bukhari tentang wali Allah juga menjadi acuan:

‏إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا، فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ، حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ

"Sesungguhnya Allah Ta‘ālā berfirman: Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh Aku nyatakan perang terhadapnya. Dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk memegang, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, pasti Aku kabulkan; dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, pasti Aku lindungi." _7

Hadis ini dijadikan dasar oleh para sufi bahwa ada kondisi spiritual di mana seseorang yang dekat dengan Allah akan mendapatkan penyingkapan makna batin melalui indera batin yang tajam.

3.3.       Pendekatan Teologis Ahlus Sunnah wal Jamaah

Meskipun kasyf bukan bagian dari doktrin akidah yang pokok, ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, terutama dalam tradisi Asy'ariyah dan Maturidiyah, tidak menolak kemungkinan terjadinya kasyf, selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Al-Ghazali, yang merupakan representasi Ahlus Sunnah, menyatakan bahwa ilmu ladunni dan kasyf adalah bagian dari karamah yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang saleh8.

Sementara itu, Imam Asy-Syathibi memperingatkan bahwa segala bentuk pengetahuan batin yang tidak bisa diverifikasi oleh syariat harus ditanggapi dengan hati-hati. Dalam Al-I‘tiṣām, ia menegaskan bahwa wahyu telah sempurna, dan segala bentuk kasyf tidak boleh menjadi dasar hukum atau menggugurkan ajaran yang sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadis9.

Dengan demikian, landasan teologis kasyf bertumpu pada pemahaman bahwa penyingkapan batin bukan merupakan penyimpangan dari Islam, melainkan bagian dari dinamika kerohanian yang dijaga oleh adab dan syariat. Ia merupakan karunia, bukan klaim, serta tidak mengandung otoritas normatif di luar wahyu.


Footnotes

[1]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2005), QS. Qaf [50] ayat 22.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 18–19.

[3]                Sayyid Hussein Nasr, The Study Quran: A New Translation and Commentary, ed. Caner K. Dagli et al. (New York: HarperOne, 2015), 670–675.

[4]                Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir, vol. 14 (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, n.d.), 119–121.

[5]                Al-Munawi, Fayd al-Qadir Sharh al-Jami‘ al-Saghir, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1972), 367.

[6]                Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Adzkar (Kairo: Dar al-Hadits, 2003), 128–130.

[7]                Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Riqaq, Bab 38 (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), hadis no. 6502.

[8]                Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dhalal (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 70–74.

[9]                Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997), 283–285.


4.           Jenis-Jenis Kasyf dalam Tasawuf

Dalam khazanah tasawuf, kasyf dipahami sebagai pengalaman batin yang bervariasi tingkatannya sesuai dengan maqam (tingkatan spiritual) dan keikhlasan hati seorang salik (penempuh jalan spiritual). Para sufi klasik mengklasifikasikan kasyf dalam berbagai bentuk, baik berdasarkan sumber, sifat, maupun objek penyingkapannya. Penggolongan ini penting untuk memahami bahwa tidak semua kasyf memiliki bobot yang sama dan tidak semua layak dijadikan rujukan kecuali dengan panduan syariat dan bimbingan mursyid.

4.1.       Kasyf ‘Aqli (Penyingkapan Intelektual)

Jenis ini mengacu pada penyingkapan yang terjadi melalui proses reflektif, perenungan, dan kontemplasi yang mendalam terhadap ciptaan Allah. Meskipun tampak rasional, para sufi menegaskan bahwa kekuatan akal yang telah disucikan dari hawa nafsu akan terbuka untuk menerima hakikat-hakikat yang lebih tinggi, bahkan tanpa harus melalui argumen logika konvensional1. Al-Ghazali menyatakan bahwa seorang arif dapat “melihat” kebenaran bukan dengan mata kepala, melainkan dengan mata hati yang diperkuat oleh akal yang tercerahkan2.

Kasyf jenis ini sangat umum dalam tulisan-tulisan filsafat Islam dan tasawuf falsafi, di mana akal dipandang sebagai sarana penting dalam mendekati hakikat, selama ia tidak mengklaim kebenaran mutlak tanpa penyaksian batin.

4.2.       Kasyf Qalbi (Penyingkapan Hati)

Ini adalah bentuk kasyf yang paling banyak dibahas dalam literatur tasawuf. Ia terjadi ketika hati seorang hamba bersih dari kotoran dunia, lalu Allah menyingkapkan padanya pengetahuan atau makna batin secara langsung. Kasyf qalbi merupakan dasar dari ilham dan firasat, dan sering kali terjadi pada wali-wali Allah yang senantiasa menjaga keikhlasan dan muraqabah (kesadaran batin terhadap kehadiran Allah)3.

Menurut Abdul Qadir Isa, jenis kasyf ini bersifat internal dan sering kali tidak melibatkan penglihatan luar biasa, namun berupa pemahaman mendalam atas makna-makna spiritual yang tidak bisa dijangkau oleh akal biasa4.

4.3.       Kasyf Ruhi (Penyingkapan Spiritual)

Kasyf ini terjadi pada tingkat ruh yang telah mengalami penyatuan kehendak dengan kehendak ilahi, biasanya setelah mengalami fase fana’ (lebur dalam kehendak Allah). Dalam kondisi ini, seseorang dapat merasakan kehadiran asma’ dan sifat Allah dalam segala sesuatu, serta mampu menyaksikan tajalli (penampakan ilahi) sesuai kapasitas ruhani masing-masing5.

Ibnu Arabi, sebagai salah satu tokoh penting dalam kategori ini, menggambarkan bagaimana seorang sufi yang mengalami kasyf ruhi bisa melihat realitas batin dari fenomena-fenomena lahiriah, bahkan menyaksikan hakikat wujud sebagai pantulan sifat-sifat Allah6.

Kasyf ruhi bersifat lebih dalam dan mengandung bahaya kesalahan takwil (interpretasi berlebihan), terutama jika tidak dibimbing oleh prinsip-prinsip syariat. Oleh sebab itu, para sufi besar selalu menekankan pentingnya membedakan antara pengalaman spiritual yang sahih dan ilusi batin (waham).

4.4.       Kasyf Hissi (Penyingkapan Indrawi/Sensorik)

Ini adalah bentuk kasyf yang sering kali mengandung unsur supranatural, seperti melihat makhluk gaib (jin, malaikat), mendengar suara dari alam malakut, atau menyaksikan kejadian yang belum/telah terjadi secara inderawi. Jenis ini paling rentan terhadap gangguan setan dan delusi spiritual. Oleh sebab itu, banyak ulama seperti Imam Asy-Syathibi dan Imam Al-Qusyairi memperingatkan agar kasyf jenis ini tidak dijadikan rujukan tanpa verifikasi syariat dan kejelasan batin7.

Kasyf hissi sering kali menimbulkan kekaguman publik, namun dalam tradisi tasawuf sejati, ia tidak dianggap sebagai indikator kedekatan dengan Allah. Bahkan bisa menjadi fitnah bagi pelakunya jika menimbulkan rasa ujub dan takabbur.

4.5.       Kasyf Haqiqi vs. Kasyf Wahmi

Para sufi juga membedakan antara kasyf haqiqi (penyingkapan yang benar-benar berasal dari Allah) dan kasyf wahmi (penyingkapan palsu yang berasal dari delusi jiwa atau bisikan setan). Kasyf haqiqi selalu mendorong kepada ketundukan, akhlak mulia, dan peningkatan iman, sementara kasyf wahmi justru membawa pada rasa bangga diri dan kecondongan kepada keajaiban8.

Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali, salah satu ciri kasyf yang sahih adalah bahwa hasilnya tidak pernah bertentangan dengan syariat. Jika kasyf seseorang memunculkan keyakinan atau tindakan yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah, maka itu adalah kebatilan, meskipun tampak mengagumkan9.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 90–92.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 18–21.

[3]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi Ilm al-Tasawwuf, ed. Ma’ruf al-Karkhi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 95.

[4]                Abdul Qadir Isa, Haqa’iq ‘an al-Tasawwuf (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 2002), 225.

[5]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 137–139.

[6]                Ibn al-‘Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya (Cairo: Al-Hay’ah al-‘Ammah, 1972), vol. 2, 75–78.

[7]                Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 2 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997), 98–100.

[8]                Harun Nasution, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 94.

[9]                Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dhalal (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 72–73.


5.           Syarat, Adab, dan Bahaya Kasyf

5.1.       Syarat Terjadinya Kasyf

Kasyf bukanlah fenomena yang dapat dicapai melalui usaha intelektual atau latihan spiritual semata. Ia merupakan karamah, yakni anugerah ilahi yang diberikan kepada hamba-Nya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu dalam suluk (perjalanan spiritual). Para ulama tasawuf menegaskan bahwa penyingkapan batin hanya terjadi jika seseorang telah menempuh proses penyucian jiwa secara mendalam.

Imam Al-Ghazali menyebut beberapa syarat penting untuk tercapainya kasyf, antara lain: (1) tazkiyatun nafs (penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela), (2) mujahadah (perjuangan menundukkan hawa nafsu), (3) muraqabah (kesadaran batin terus-menerus akan kehadiran Allah), dan (4) khusyuk dalam ibadah1. Ia menekankan bahwa kasyf hanya datang kepada mereka yang telah mencapai tingkat mukasyafah, yaitu tersingkapnya hakikat dalam batin sebagai hasil dari mujahadah yang istiqamah2.

Dalam Risalah Qusyairiyah, Imam Al-Qusyairi menyatakan bahwa orang yang diberi kasyf adalah mereka yang telah bersih hatinya dari keinginan duniawi dan terbebas dari kekotoran syahwat3. Dengan demikian, kasyf bukanlah hasil manipulasi spiritual, tetapi buah dari ketulusan dalam bertaqarrub kepada Allah.

5.2.       Adab dalam Menyikapi Kasyf

Meskipun kasyf dianggap sebagai karunia agung, para sufi mengajarkan sikap rendah hati dan penuh kehati-hatian dalam menyikapi pengalaman tersebut. Hal ini disebabkan karena kasyf, jika tidak disikapi dengan adab yang benar, dapat menjadi sumber ujub, riya’, atau bahkan kesesatan.

Pertama, seseorang tidak boleh mengklaim kasyf sebagai bukti keistimewaan dirinya. Seperti ditegaskan oleh Junaid al-Baghdadi, “Segala bentuk kasyf dan karamah tidak boleh membuatmu merasa lebih tinggi dari orang lain, karena bisa jadi itu hanya istidraj (jebakan Tuhan).”_4

Kedua, isi kasyf tidak boleh diumbar kepada khalayak, terutama jika tidak ada maslahat yang nyata. Dalam tradisi tarekat, pengalaman batin disampaikan hanya kepada guru (mursyid) atau orang-orang yang amanah dan dapat menjaga rahasia, untuk menghindari fitnah dan kesalahpahaman5.

Ketiga, hasil dari kasyf tidak boleh dijadikan sumber hukum atau keyakinan baru yang bertentangan dengan syariat. Kasyf harus tunduk pada Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan, Imam Syathibi memperingatkan bahwa siapa pun yang mendasarkan hukum agama pada kasyf, maka ia telah terjerumus dalam bid‘ah6.

5.3.       Bahaya dan Kekeliruan dalam Kasyf

Meskipun kasyf adalah potensi spiritual yang mungkin terjadi, namun bahaya dari pengalaman ini tidak bisa dianggap sepele. Banyak kasus dalam sejarah tasawuf yang menunjukkan bagaimana seseorang yang tergoda oleh kasyf palsu atau keliru akhirnya menyimpang dari jalan yang lurus.

Salah satu bahaya utama adalah waham (delusi). Menurut Al-Ghazali, orang yang belum matang jiwanya bisa saja mengira bahwa yang datang kepadanya adalah ilham ilahi, padahal sebenarnya itu adalah bisikan hawa nafsu atau bahkan godaan setan7. Inilah yang disebut oleh Ibnu Taimiyah sebagai “ilusi spiritual” yang sangat sulit dibedakan dari inspirasi sejati tanpa pengetahuan syariat yang kuat8.

Bahaya lain adalah takabbur ruhani, yaitu merasa dirinya lebih tinggi karena diberi pengalaman kasyf, lalu mulai meremehkan syariat atau merasa tidak membutuhkan bimbingan mursyid. Hal ini pernah ditegaskan oleh Abu Yazid al-Bustami yang berkata, “Seburuk-buruknya orang adalah yang menyangka dirinya telah sampai, padahal ia masih terjerat oleh dirinya sendiri.”_9

Sebagian besar ulama sufi menyarankan agar pengalaman kasyf diuji melalui tiga hal:

1)                  Kesesuaian dengan Al-Qur’an dan Sunnah

2)                  Konsultasi dengan mursyid atau ulama yang arif

3)                  Dampak moral dan spiritual yang positif

Jika kasyf membawa pelakunya pada kesombongan, keengganan taat syariat, dan fanatisme terhadap dirinya, maka itu patut dicurigai sebagai kasyf wahmi (penyingkapan yang keliru).


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 18–20.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Mishkat al-Anwar (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 42–45.

[3]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi Ilm al-Tasawwuf, ed. Ma’ruf al-Karkhi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 93–95.

[4]                Abdul Qadir Isa, Haqa’iq ‘an al-Tasawwuf (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 2002), 229.

[5]                Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1993), 75–76.

[6]                Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997), 286.

[7]                Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dhalal (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 71–73.

[8]                Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, vol. 10 (Riyadh: Dar al-Wafa’, 2005), 217–220.

[9]                Sahl al-Tustari, Tafsir al-Tustari, ed. Annabel Keeler and Ali Keeler (Louisville: Fons Vitae, 2011), 13.


6.           Kasyf dalam Perspektif Sufi Terkenal

Kasyf sebagai bagian dari dinamika ruhani dalam tasawuf mendapatkan perhatian khusus dari para tokoh sufi besar sepanjang sejarah Islam. Meskipun masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda—baik praktis, etis, maupun filosofis—mereka sepakat bahwa kasyf bukanlah tujuan utama, melainkan dampak dari kedekatan eksistensial seorang hamba kepada Allah. Pengalaman kasyf ditanggapi dengan sikap kritis, waspada, dan tetap berada dalam kerangka syariat.

6.1.       Al-Ghazali: Kasyf sebagai Puncak Ilmu Ladunni

Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, memandang kasyf sebagai bentuk pengetahuan yang tertinggi, yang disebutnya sebagai ilmu mukāsyafah. Ini merupakan pengetahuan langsung yang diterima oleh hati yang telah disucikan dari pengaruh duniawi. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu mukasyafah adalah jenis ilmu yang “tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” tetapi hanya bisa dirasakan dan dialami secara batiniah1.

Namun demikian, dalam Al-Munqidh min al-Dhalal, ia memberi peringatan tegas bahwa tidak semua kasyf berasal dari Allah. Bisa jadi itu hanya pantulan dari hawa nafsu atau gangguan setan. Oleh karena itu, menurutnya, setiap bentuk kasyf harus diuji dengan neraca syariat dan tidak boleh dijadikan dasar hukum agama2.

6.2.       Junaid al-Baghdadi: Kasyf sebagai Efek, Bukan Tujuan

Junaid al-Baghdadi (w. 298 H), salah satu pendiri mazhab tasawuf sunni yang moderat, menekankan bahwa pengalaman batin seperti kasyf bukanlah tujuan utama seorang salik. Ia menolak pendekatan tasawuf yang berorientasi pada pencarian pengalaman luar biasa. Menurut Junaid, kasyf hanyalah atsar (dampak sampingan) dari keikhlasan dalam beribadah dan fana’ dalam Allah3.

Dalam riwayat yang dikutip oleh Al-Qusyairi, Junaid pernah berkata, “Jalan kami ini dibangun di atas Al-Qur’an dan Sunnah. Barang siapa tidak membaca Al-Qur’an, tidak menulis hadis, tidak faqih dalam agama, maka ia tidak layak diikuti dalam jalan ini.”4 Pernyataan ini menunjukkan bahwa bagi Junaid, kasyf tidak sah tanpa landasan syariat yang kuat.

6.3.       Ibnu ‘Arabi: Kasyf dan Wahdat al-Wujud

Ibnu ‘Arabi (w. 638 H), tokoh besar tasawuf falsafi, dikenal dengan konsep wahdat al-wujud (kesatuan eksistensi) yang erat kaitannya dengan pengalaman kasyf tingkat tinggi. Dalam Al-Futuhat al-Makkiyyah, ia menjelaskan bahwa realitas hakiki dunia ini dapat tersingkap melalui kasyf ruhani yang mendalam. Menurutnya, alam semesta adalah tajalli (manifestasi) dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah, dan melalui kasyf, seorang arif bisa menyaksikan kenyataan ini secara langsung5.

Namun, karena pendekatannya yang sangat filosofis dan simbolis, konsep kasyf dalam pandangan Ibnu ‘Arabi sering disalahpahami sebagai bentuk panteisme. Padahal, ia sendiri memberi peringatan agar tidak semua orang mendalami maqam kasyf tanpa bimbingan, karena dapat menyebabkan kekeliruan dalam memahami realitas spiritual6.

6.4.       Imam Al-Haddad dan Tradisi Sufi Hadhramaut: Kasyf yang Tunduk pada Syariat

Dalam tradisi sufi Sunni moderat dari Hadhramaut, seperti yang diwakili oleh Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad (w. 1132 H), kasyf dipandang sebagai karunia ruhani yang hanya boleh diterima dengan adab dan ketundukan total kepada syariat. Dalam An-Nashaih ad-Diniyyah, Al-Haddad menyatakan bahwa kasyf yang sejati tidak akan mengajak kepada selain syariat, dan jika suatu kasyf bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis, maka harus ditolak7.

Tradisi ini juga menekankan pentingnya bimbingan mursyid yang arif untuk membimbing salik agar tidak tergelincir dalam ilusi spiritual. Para tokoh tarekat Alawiyyin dikenal sangat berhati-hati dalam menyikapi fenomena batin dan tidak menjadikan kasyf sebagai bahan pameran spiritual, melainkan sebagai alat introspeksi dan peningkatan kualitas akhlak8.

6.5.       Penegasan Ulama Ahlus Sunnah

Ulama-ulama Ahlus Sunnah seperti Imam Nawawi dan Imam Asy-Syathibi menegaskan bahwa pengalaman kasyf tidak boleh menggugurkan hukum-hukum syariat. Kasyf adalah pengalaman personal yang tidak bisa dijadikan hujjah umum. Oleh karena itu, mereka sangat menekankan pentingnya memelihara keseimbangan antara pengalaman spiritual dan otoritas wahyu9.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 17–21.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dhalal (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 72–74.

[3]                Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam (London: Routledge, 1914), 34–36.

[4]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi Ilm al-Tasawwuf, ed. Ma’ruf al-Karkhi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 91.

[5]                Ibn al-‘Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya (Cairo: Al-Hay’ah al-‘Ammah, 1972), vol. 2, 78–80.

[6]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 190–192.

[7]                Abdullah bin Alawi al-Haddad, An-Nashaih ad-Diniyyah wal Washaya al-Imaniyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), 45–47.

[8]                Umar bin Hafiz, Adab as-Suluk (Tarim: Dar al-Mustafa, 2014), 28–30.

[9]                Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997), 284–286.


7.           Relevansi Kasyf dalam Konteks Kontemporer

Dalam era modern yang ditandai oleh rasionalitas, sekularisasi, dan disrupsi teknologi, pengalaman spiritual seperti kasyf tampaknya menjadi wacana yang terpinggirkan dalam arus besar pemikiran keagamaan. Namun demikian, di kalangan tertentu, khususnya komunitas tasawuf yang berakar pada tradisi Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, fenomena kasyf tetap dijaga keberadaannya sebagai bagian dari warisan spiritual Islam yang penting, meskipun harus disikapi secara proporsional dan kritis.

7.1.       Kasyf sebagai Inspirasi Penyucian Diri

Dalam konteks kehidupan spiritual kontemporer, kasyf dapat dipahami bukan sebagai tujuan akhir yang dicari-cari, melainkan sebagai indikasi dari kemajuan seseorang dalam proses tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Kesadaran ini menjadi semakin penting di tengah kehidupan modern yang cenderung menekankan aspek lahiriah dan melupakan dimensi batiniah manusia. Sejumlah studi menunjukkan bahwa meningkatnya minat terhadap tasawuf di kalangan urban Muslim—termasuk dalam bentuk majelis dzikir, tarekat, dan komunitas spiritual—berasal dari kerinduan terhadap kedalaman makna hidup dan keseimbangan jiwa1.

Dalam studi sosiologis tentang tasawuf urban di Indonesia, Ahmad Najib Burhani mengungkap bahwa praktik sufisme modern lebih menekankan pada transendensi batin dan nilai-nilai moral daripada pengalaman kasyf itu sendiri. Namun, konsep kasyf tetap menjadi motivator simbolik bagi para salik (penempuh jalan spiritual) untuk lebih disiplin dalam beribadah, berdzikir, dan membersihkan hati dari penyakit batin2.

7.2.       Tantangan: Penyalahgunaan Klaim Kasyf

Relevansi kasyf dalam dunia kontemporer juga tidak bisa dilepaskan dari risiko penyalahgunaan. Fenomena pemimpin spiritual yang mengklaim memiliki kasyf atau “penglihatan batin” terkadang digunakan untuk mengontrol pengikut, bahkan dalam kasus ekstrem, untuk membenarkan tindakan yang bertentangan dengan syariat atau akal sehat. Ini terjadi terutama ketika kasyf dijadikan legitimasi terhadap otoritas agama yang absolut tanpa pertanggungjawaban ilmiah dan syar‘i.

Imam Syathibi dalam Al-I‘tisham secara tegas menyatakan bahwa siapa pun yang mendasarkan praktik agama atau hukum syariat pada kasyf yang tidak dapat diuji melalui wahyu yang qath‘i (pasti), maka ia telah menyimpang dari jalan Ahlus Sunnah3. Pandangan ini menjadi sangat relevan dalam menghadapi praktik keagamaan yang mencampurkan antara mistisisme, okultisme, dan fanatisme spiritual.

Fenomena ini juga menjadi sorotan dalam beberapa jurnal akademik kontemporer yang mengkaji hubungan antara sufisme, psikologi, dan otoritas sosial. Misalnya, Fazlur Rahman memperingatkan bahwa pengalaman kasyf, jika tidak diiringi ilmu dan bimbingan, mudah menjadi alat manipulasi spiritual, apalagi di tengah krisis otoritas keagamaan4.

7.3.       Kasyf dalam Dialog Sains dan Spiritualitas

Di luar aspek tradisional, relevansi kasyf juga mulai dibahas dalam konteks dialog antara spiritualitas dan sains kontemporer, khususnya dalam kajian spiritual consciousness dan psikologi transpersonal. Beberapa tokoh, seperti Seyyed Hossein Nasr, menyatakan bahwa Islam—melalui tasawuf—memiliki kerangka epistemologis yang memungkinkan terjadinya penyingkapan batin sebagai bentuk valid dari pengetahuan yang transenden5.

Dalam pemikiran Nasr, kasyf berperan dalam menyeimbangkan ilmu pengetahuan modern yang cenderung empiris dengan dimensi metafisik yang lebih dalam. Artinya, pengalaman kasyf, ketika dipahami secara benar, dapat menjadi jembatan antara iman dan akal, antara religiusitas dan rasionalitas, serta antara manusia dan Tuhannya.

7.4.       Moderasi dan Bimbingan sebagai Kunci Relevansi

Agar tetap relevan dan tidak menimbulkan penyimpangan, konsep kasyf dalam praktik kontemporer perlu dikembalikan pada posisi yang seharusnya: yaitu sebagai buah dari ketulusan ibadah dan bukan sebagai otoritas. Dalam hal ini, bimbingan dari guru yang mursyid dan berilmu menjadi sangat penting. Ulama-ulama sufi klasik menekankan bahwa kasyf harus senantiasa diuji dengan neraca syariat, dipelihara dengan adab, dan ditundukkan kepada kerendahan hati6.

Dengan pendekatan yang moderat dan proporsional, kasyf dapat tetap menjadi sumber inspirasi untuk memperkuat hubungan dengan Allah Swt dalam kehidupan modern, tanpa jatuh pada mistisisme yang menyesatkan.


Footnotes

[1]                Zainal Abidin Bagir, “The Revival of Sufism in Contemporary Indonesia: Interpretations and Implications,” Studia Islamika 21, no. 3 (2014): 405–428.

[2]                Ahmad Najib Burhani, “Pluralism, Liberalism and Islamism: Religious Outlook of Santri in Indonesian Pesantrens,” Studia Islamika 19, no. 3 (2012): 423–425.

[3]                Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997), 284–286.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 146.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 118–121.

[6]                Martin Lings, What is Sufism? (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1993), 74–77.


8.           Penutup

Kasyf sebagai konsep spiritual dalam tradisi tasawuf menempati posisi yang penting namun penuh kehati-hatian. Ia merupakan bentuk penyingkapan batin yang hanya terjadi melalui karunia ilahi kepada hamba-hamba-Nya yang telah menempuh jalan panjang penyucian jiwa, memperdalam muraqabah, dan menjaga istiqamah dalam ibadah. Dalam kerangka epistemologi Islam, kasyf masuk dalam kategori ma‘rifah laduniyyah—pengetahuan yang diperoleh bukan dari akal dan pengalaman inderawi, melainkan dari cahaya Allah yang menembus hati1.

Para sufi klasik seperti Al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, dan Ibnu Arabi sepakat bahwa kasyf bukanlah tujuan akhir dari suluk, tetapi hanyalah atsar atau efek sampingan dari kedekatan ruhani dengan Tuhan. Bahkan, Al-Ghazali mengingatkan bahwa kasyf sejati akan selalu melahirkan rasa takut, kerendahan hati, dan ketundukan kepada syariat, bukan rasa bangga atau otoritas batin yang membebaskan diri dari kewajiban syar’i2.

Di sisi lain, sejarah juga mencatat bahwa kasyf dapat disalahgunakan, baik oleh individu yang tidak memahami hakikatnya maupun oleh kelompok-kelompok yang menjadikannya alat legitimasi kekuasaan spiritual. Oleh karena itu, para ulama Ahlus Sunnah seperti Imam Syathibi, Imam Nawawi, dan Imam Al-Haddad menegaskan bahwa segala bentuk penyingkapan batin harus selalu dikembalikan pada standar syariat: Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ ulama. Tanpa kontrol ini, pengalaman kasyf bisa tergelincir menjadi waham (delusi), bahkan bisa dimanfaatkan sebagai alat manipulasi dalam ranah keagamaan maupun sosial3.

Dalam konteks kontemporer, pembahasan tentang kasyf masih tetap relevan, terutama dalam menjawab kerinduan manusia modern terhadap pengalaman religius yang otentik dan transenden. Akan tetapi, penting ditekankan bahwa relevansi ini bukan pada aspek fenomenalnya, melainkan pada nilai-nilai spiritual yang menyertainya—seperti kesucian hati, kesabaran, dan kehambaan yang total. Dengan demikian, kasyf dapat diposisikan secara proporsional sebagai motivasi untuk memperdalam hubungan ruhani dengan Allah, bukan sebagai bentuk pencapaian mistik yang dijadikan klaim keistimewaan diri.

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kasyf adalah karunia, bukan tujuan; ia adalah amanah, bukan klaim otoritas. Kasyf yang sejati adalah yang mendorong pelakunya untuk semakin taat kepada Allah, menjauhi keburukan, dan semakin mencintai kebenaran. Dalam dunia yang penuh kegaduhan batin dan krisis makna, nilai-nilai spiritual dari konsep kasyf dapat menjadi cahaya yang menuntun manusia untuk kembali pada keheningan hati dan keluhuran jiwa.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 107–108.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 18–21.

[3]                Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I‘tisham, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997), 284–286.


Daftar Pustaka

Abidin, Z. (2014). The revival of Sufism in contemporary Indonesia: Interpretations and implications. Studia Islamika, 21(3), 405–428. https://doi.org/10.15408/sdi.v21i3.1268

Al-Ghazali, A. H. (n.d.). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn (Vol. 3). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Al-Ghazali, A. H. (1996). Mishkāt al-anwār (A. M. Abu Zayd, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Ghazali, A. H. (1998). Al-munqidh min al-ḍalāl. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Haddad, A. b. A. (2002). An-naṣā’iḥ ad-dīniyyah wa al-waṣāyā al-īmāniyyah. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Qusyairi, A. (2002). Risālah al-Qusyairiyyah fī ‘ilm at-taṣawwuf (M. al-Karkhi, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Syathibi, A. I. (1997). Al-i‘tishām (Vols. 1–2). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Burhani, A. N. (2012). Pluralism, liberalism and Islamism: Religious outlook of santri in Indonesian pesantrens. Studia Islamika, 19(3), 415–448. https://doi.org/10.15408/sdi.v19i3.363

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. Albany: SUNY Press.

Departemen Agama RI. (2005). Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

Ibn al-‘Arabi. (1972). Al-Futūḥāt al-Makkiyyah (O. Yahya, Ed., Vol. 2). Cairo: Al-Hay’ah al-‘Āmmah.

Ibn Taymiyyah. (2005). Majmū‘ al-fatāwā (Vol. 10). Riyadh: Dar al-Wafa’.

Isa, A. Q. (2002). Ḥaqā’iq ‘an at-taṣawwuf. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi.

Lings, M. (1993). What is Sufism? Cambridge: The Islamic Texts Society.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H., Dagli, C. K., Dakake, M. M., Lumbard, J. E. B., & Rustom, M. (Eds.). (2015). The Study Quran: A new translation and commentary. New York: HarperOne.

Nicholson, R. A. (1914). The mystics of Islam. London: Routledge.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Razi, F. al-D. (n.d.). Tafsīr al-kabīr (Vol. 14). Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi.

Tustari, S. (2011). Tafsīr al-Tustarī (A. Keeler & A. Keeler, Eds. & Trans.). Louisville: Fons Vitae.

Wehr, H. (1994). A dictionary of modern written Arabic (J. M. Cowan, Ed.). Urbana: Spoken Language Services.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar