Sabtu, 11 Oktober 2025

Filsafat Islam Klasik: Konsep, Sejarah, Tokoh, dan Relevansi

Filsafat Islam Klasik

Konsep, Sejarah, Tokoh, dan Relevansi


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif Filsafat Islam Klasik dengan menelusuri konsep dasar, sejarah perkembangan, tokoh-tokoh utama, aliran, tema filosofis, kritik, serta relevansinya dalam konteks kontemporer. Filsafat Islam klasik dipahami bukan sekadar sebagai hasil adopsi filsafat Yunani, melainkan sebagai proses kreatif yang mengintegrasikan akal, wahyu, dan intuisi. Melalui tokoh-tokoh sentral seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rushd, Suhrawardi, dan Mulla Sadra, tradisi ini melahirkan kontribusi penting dalam bidang ontologi, kosmologi, epistemologi, etika, politik, dan relasi agama dengan filsafat.

Sejarah filsafat Islam klasik menunjukkan dinamika yang dipengaruhi oleh gerakan penerjemahan, dialog lintas budaya, serta perdebatan antara filsafat, kalam, dan tasawuf. Kritik al-Ghazali terhadap para filsuf serta pembelaan Ibn Rushd menandai dialektika kreatif yang memperkaya tradisi intelektual Islam, sekaligus berkontribusi terhadap filsafat skolastik Barat. Dalam refleksi kontemporer, filsafat Islam klasik memiliki relevansi signifikan untuk menjawab tantangan modern seperti hubungan sains dan agama, krisis moral global, serta kebutuhan akan dialog antarperadaban.

Artikel ini menegaskan bahwa filsafat Islam klasik adalah warisan intelektual yang hidup, yang tidak hanya penting bagi sejarah peradaban Islam, tetapi juga memiliki kontribusi universal bagi filsafat dunia dan diskursus etika global.

Kata Kunci: Filsafat Islam Klasik; Ontologi; Epistemologi; Etika; Politik; Kalam; Tasawuf; Ibn Sina; Ibn Rushd; Relevansi Kontemporer.


PEMBAHASAN

Konsep, Sejarah, Tokoh, dan Filsafat Islam Klasik


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Filsafat Islam klasik merupakan salah satu puncak pencapaian intelektual dalam sejarah peradaban Islam. Sejak abad ke-8 hingga abad ke-12 M, dunia Islam mengalami masa keemasan di mana karya-karya filsafat, ilmu pengetahuan, dan teologi berkembang secara pesat. Periode ini ditandai dengan hadirnya tokoh-tokoh besar seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rushd, dan Suhrawardi, yang berperan penting dalam membangun tradisi berpikir filosofis dalam Islam.¹ Mereka tidak hanya mengembangkan gagasan yang bersumber dari filsafat Yunani, khususnya Plato dan Aristoteles, tetapi juga merekonstruksinya sesuai dengan kerangka teologis Islam.²

Gerakan penerjemahan besar-besaran di bawah perlindungan khalifah Abbasiyah melalui institusi seperti Bayt al-Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad menjadi katalisator penting dalam perkembangan filsafat Islam.³ Tradisi filsafat ini kemudian berinteraksi erat dengan disiplin ilmu lain seperti ilmu kalam (teologi dialektis) dan tasawuf (mistisisme Islam), yang sering kali melahirkan perdebatan teoretis maupun sintesis pemikiran.⁴

1.2.       Rumusan Masalah

Kajian filsafat Islam klasik menghadirkan sejumlah pertanyaan mendasar yang perlu dijawab:

·                     Bagaimana definisi dan ruang lingkup filsafat Islam klasik?

·                     Bagaimana sejarah perkembangan filsafat Islam klasik dari masa penerjemahan hingga masa puncak kejayaannya?

·                     Siapa saja tokoh-tokoh sentral dalam tradisi ini, dan apa kontribusi mereka?

·                     Apa tema-tema filosofis utama yang dibahas dalam filsafat Islam klasik?

·                     Bagaimana relevansi filsafat Islam klasik bagi pemikiran kontemporer?

1.3.       Tujuan Kajian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1)                  Menguraikan konsep dasar filsafat Islam klasik dan posisi uniknya dalam tradisi intelektual Islam.

2)                  Menganalisis perkembangan historis filsafat Islam klasik serta konteks sosial-politik yang melatarbelakanginya.

3)                  Mengkaji pemikiran tokoh-tokoh utama dan kontribusi mereka terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan.

4)                  Menggali relevansi filsafat Islam klasik terhadap peradaban modern, baik dalam konteks akademik, keagamaan, maupun etika global.

1.4.       Signifikansi Kajian

Kajian ini memiliki signifikansi akademik dan praktis. Secara akademik, ia membantu memperluas wawasan tentang interaksi antara filsafat Islam dan filsafat dunia, termasuk kontribusi besar yang diberikan kepada tradisi Barat abad pertengahan.⁵ Secara praktis, pemahaman atas filsafat Islam klasik memungkinkan kita untuk merefleksikan nilai-nilai intelektual, etis, dan spiritual yang dapat dijadikan sumber inspirasi dalam menjawab tantangan kontemporer, seperti krisis moral, ketidakadilan sosial, dan relasi agama dengan sains modern.⁶

1.5.       Metodologi Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan historis-filosofis. Pendekatan historis digunakan untuk melacak perkembangan filsafat Islam klasik dalam konteks sosial-politik dan intelektualnya. Sementara itu, pendekatan filosofis dipakai untuk menganalisis gagasan-gagasan inti yang diajukan para filsuf Muslim klasik. Sumber-sumber primer, seperti karya-karya al-Kindi (Falsafat al-Ula), Ibn Sina (al-Shifa’, al-Najat), al-Ghazali (Tahafut al-Falasifah), Ibn Rushd (Tahafut al-Tahafut), dan Suhrawardi (Hikmat al-Isyraq), akan dijadikan bahan utama kajian. Di samping itu, literatur sekunder berupa kajian kontemporer dari para sarjana modern akan digunakan sebagai pendukung analisis.⁷


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 5–7.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 12–15.

[3]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (London: Routledge, 1998), 30–34.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 21–24.

[5]                Richard C. Taylor, “Averroes and the Philosophy of Religion,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 180–182.

[6]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Shirkat Printing Press, 1981), 45–48.

[7]                Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1982), 3–6.


2.           Konsep Dasar Filsafat Islam

2.1.       Definisi Filsafat Islam

Filsafat Islam merupakan istilah yang mengacu pada tradisi berpikir rasional-filosofis yang berkembang di dunia Islam sejak abad ke-8 M hingga periode klasik peradaban Islam. Secara terminologis, istilah ini menimbulkan perdebatan karena ada yang menolak menghubungkan “filsafat” dengan “Islam” sebagai agama wahyu.¹ Sebagian sarjana berpendapat bahwa filsafat Islam adalah hasil adopsi dan adaptasi filsafat Yunani ke dalam kerangka epistemologis Islam.² Sementara yang lain berargumen bahwa filsafat Islam adalah ekspresi orisinal pemikiran Muslim yang memadukan wahyu, akal, dan intuisi dalam rangka memahami hakikat realitas, Tuhan, manusia, dan alam.³

Meskipun demikian, filsafat Islam berbeda dari filsafat Yunani karena tidak hanya berdiri di atas rasionalitas murni, tetapi juga mempertimbangkan wahyu sebagai sumber pengetahuan. Hal inilah yang memberi warna khas, sekaligus membedakannya dari tradisi filsafat sekuler Barat.⁴

2.2.       Ruang Lingkup Filsafat Islam

Ruang lingkup filsafat Islam mencakup berbagai persoalan fundamental yang menjadi perhatian para pemikir Muslim klasik. Di antaranya adalah:

·                     Ontologi:

Pembahasan tentang wujud (al-wujūd), esensi (māhiyyah), dan hubungan antara keduanya. Ibn Sina, misalnya, membedakan secara tegas antara esensi dan eksistensi.⁵

·                     Kosmologi:

Kajian mengenai asal-usul alam semesta, penciptaan, dan hubungan kausalitas. Pemikiran tentang emanasi (fayḍ) yang dipengaruhi Neoplatonisme banyak diadopsi oleh filsuf Muslim seperti al-Farabi dan Ibn Sina.⁶

·                     Epistemologi:

Pertanyaan tentang sumber pengetahuan, baik dari akal, pengalaman, maupun intuisi. Para filsuf Muslim mencoba mengharmoniskan peran wahyu dengan akal.⁷

·                     Etika:

Diskusi mengenai tujuan hidup manusia, kebahagiaan (sa‘ādah), serta relasi antara moralitas dan agama.⁸

·                     Filsafat Politik:

Pemikiran tentang negara ideal, kepemimpinan, dan hukum, sebagaimana dirumuskan al-Farabi dalam karyanya al-Madīnah al-Fāḍilah.⁹

Ruang lingkup tersebut menunjukkan bahwa filsafat Islam tidak hanya bergerak di ranah abstrak-metafisis, tetapi juga menyentuh aspek praktis kehidupan sosial dan politik.

2.3.       Ciri Khas Filsafat Islam Klasik

Ada beberapa ciri khas filsafat Islam klasik yang membedakannya dari tradisi filosofis lainnya:

1)                  Integrasi antara wahyu dan akal:

Filsafat Islam klasik tidak menolak wahyu sebagai sumber kebenaran, melainkan berusaha memadukan dengan akal. Hal ini tampak dalam usaha Ibn Rushd yang menegaskan bahwa filsafat dan syariat tidak saling bertentangan, tetapi sejalan dalam tujuan mencari kebenaran.¹⁰

2)                  Pengaruh Yunani, Persia, dan India:

Meski banyak mengadopsi gagasan Aristoteles, Plato, dan Plotinus, para filsuf Muslim melakukan asimilasi kreatif, bukan sekadar imitasi.¹¹

3)                  Keterkaitan dengan ilmu Kalam dan Tasawuf:

Filsafat Islam berkembang berdampingan, bahkan berdebat, dengan ilmu kalam yang lebih teologis dan tasawuf yang lebih spiritual.¹²

4)                  Tujuan Etis dan Transendental:

Filsafat Islam tidak berhenti pada spekulasi logis, melainkan diarahkan pada pencapaian kebahagiaan tertinggi, baik di dunia maupun di akhirat.¹³

2.4.       Relasi Filsafat, Kalam, dan Tasawuf

Hubungan filsafat dengan ilmu kalam dan tasawuf merupakan tema sentral dalam memahami filsafat Islam klasik. Filsafat berusaha menjelaskan realitas dengan argumentasi rasional, sementara kalam bertujuan mempertahankan akidah Islam dari tantangan internal maupun eksternal.¹⁴ Adapun tasawuf menekankan pengalaman batiniah langsung dengan Tuhan.

Meski ketiganya memiliki metode berbeda, tidak jarang terjadi persinggungan. Ibn Sina, misalnya, mengembangkan filsafat dengan logika dan metafisika, tetapi juga mengakui peran intuisi. Al-Ghazali, yang dikenal sebagai kritikus filsafat, pada akhirnya merekonsiliasi pendekatan filosofis dengan pengalaman sufistik.¹⁵ Dengan demikian, filsafat Islam klasik dapat dilihat sebagai ruang dialog kreatif antara akal, wahyu, dan intuisi.

2.5.       Posisi Filsafat dalam Peradaban Islam

Filsafat Islam klasik menempati posisi penting dalam peradaban Islam karena memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Konsep-konsep logika Aristotelian yang diadopsi oleh al-Farabi dan Ibn Sina menjadi dasar dalam pengembangan ilmu kedokteran, matematika, astronomi, hingga hukum Islam.¹⁶ Lebih dari itu, pemikiran filsafat Islam turut berpengaruh pada filsafat skolastik Barat melalui penerjemahan karya Ibn Sina dan Ibn Rushd ke dalam bahasa Latin.¹⁷

Dalam konteks modern, filsafat Islam klasik sering dipandang sebagai jembatan antara tradisi intelektual Islam dan Barat, sekaligus sumber inspirasi untuk merefleksikan persoalan kontemporer.¹⁸ Oleh sebab itu, memahami konsep dasar filsafat Islam tidak hanya berarti menelaah warisan intelektual masa lalu, tetapi juga menyiapkan landasan untuk dialog peradaban di masa kini.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 2–4.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 1–3.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 23–25.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 36–39.

[5]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 55–59.

[6]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 1988), 78–82.

[7]                Richard M. Frank, Al-Ghazali and the Ash‘arite School (Durham: Duke University Press, 1994), 12–15.

[8]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Shirkat Printing Press, 1981), 45–48.

[9]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 7–10.

[10]             Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E. Butterworth (Leiden: Brill, 2001), 43–45.

[11]             Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A History of Philosophy without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016), 88–90.

[12]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 12–14.

[13]             Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 45–47.

[14]             Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 33–36.

[15]             Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), xxv–xxviii.

[16]             George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 53–55.

[17]             Charles Burnett, “The Coherence of the Arabic-Latin Translation Program in Toledo in the Twelfth Century,” Science in Context 14, no. 1–2 (2001): 249–288.

[18]             Nasr, Science and Civilization in Islam, 190–193.


3.           Sejarah Perkembangan Filsafat Islam Klasik

3.1.       Latar Sosial, Politik, dan Intelektual Dunia Islam Klasik

Perkembangan filsafat Islam klasik tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan intelektual peradaban Islam pada masa Dinasti Abbasiyah (750–1258 M). Baghdad sebagai pusat kekuasaan menjadi kota kosmopolitan di mana para ilmuwan, filsuf, teolog, dan sastrawan dari berbagai tradisi bertemu dan bertukar gagasan.¹ Dukungan khalifah, terutama al-Ma’mun (813–833 M), mendorong lahirnya iklim intelektual yang subur melalui pendirian Bayt al-Hikmah (Bait al-Hikmah atau House of Wisdom), lembaga penerjemahan dan penelitian yang menjadi ikon perkembangan ilmu pengetahuan Islam.²

Kondisi ini menjadikan dunia Islam sebagai pusat studi ilmu pengetahuan global. Hubungan dagang dan politik dengan Bizantium, Persia, serta India memfasilitasi pertukaran pengetahuan yang intensif. Dalam suasana demikian, filsafat tumbuh bukan sekadar sebagai hasil adopsi dari luar, melainkan sebagai produk sintesis kreatif yang dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat Muslim untuk merumuskan pemahaman yang koheren antara wahyu, akal, dan realitas sosial.³

3.2.       Gerakan Penerjemahan dan Asimilasi Filsafat Yunani

Gerakan penerjemahan teks Yunani ke dalam bahasa Arab, yang berlangsung antara abad ke-8 hingga ke-10 M, merupakan fondasi utama filsafat Islam klasik.⁴ Karya-karya Aristoteles, Plato, Plotinus, Galen, dan Hippokrates diterjemahkan oleh para penerjemah Kristen Suriah, seperti Hunayn ibn Ishaq (809–873 M), yang menerjemahkan karya-karya medis dan filosofis ke dalam bahasa Arab.⁵

Namun, para filsuf Muslim tidak sekadar menyalin pemikiran Yunani, melainkan juga melakukan reinterpretasi. Al-Kindi, filsuf Muslim pertama, berupaya mengharmoniskan filsafat Yunani dengan ajaran Islam.⁶ Selanjutnya, al-Farabi (870–950 M) mengembangkan teori negara utama (al-Madina al-Fadilah) yang terinspirasi dari Plato, tetapi diberi landasan religius.⁷ Ibn Sina (980–1037 M) mengembangkan teori wujud dan esensi yang akan menjadi fondasi metafisika Islam, sekaligus berpengaruh besar pada pemikiran Latin Skolastik.⁸

3.3.       Masa Keemasan Filsafat Islam (Abad ke-10 hingga ke-12 M)

Puncak kejayaan filsafat Islam terjadi pada abad ke-10 hingga ke-12 M. Periode ini ditandai dengan sistematisasi filsafat yang matang, serta perdebatan intens antara filsafat, teologi, dan tasawuf. Ibn Sina menyusun ensiklopedia filsafat monumental melalui karya al-Shifa’ dan al-Najat.⁹ Sementara itu, al-Ghazali (1058–1111 M), melalui Tahafut al-Falasifah, mengkritik keras filsafat rasional yang dianggap menyalahi prinsip-prinsip akidah Islam, terutama dalam tiga isu utama: kekekalan alam, pengetahuan Tuhan terhadap partikular, dan kebangkitan jasmani.¹⁰

Sebagai respon terhadap kritik al-Ghazali, Ibn Rushd (1126–1198 M) menulis Tahafut al-Tahafut untuk membela filsafat.¹¹ Ia menekankan bahwa akal dan wahyu tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Karya-karya Ibn Rushd kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan memberi pengaruh besar pada filsafat Eropa, khususnya pada Thomas Aquinas dan para filsuf skolastik.¹²

3.4.       Penyebaran ke Barat dan Dunia Islam Timur

Melalui Andalusia dan Sisilia, filsafat Islam menyebar ke Barat Latin, menjadi jembatan penting dalam transmisi ilmu pengetahuan dari Timur ke Eropa.¹³ Tokoh-tokoh seperti Ibn Rushd (Averroes) dan Ibn Tufayl (penulis novel filsafat Hayy ibn Yaqzan) memainkan peran besar dalam mengenalkan filsafat Islam kepada dunia Kristen.¹⁴

Sementara di dunia Islam Timur, muncul tradisi filsafat baru seperti filsafat iluminasi (hikmat al-isyrāq) yang dikembangkan oleh Suhrawardi (1154–1191 M), serta filsafat hikmah transendental (al-hikmah al-muta‘āliyyah) yang mencapai puncaknya dalam pemikiran Mulla Sadra (1571–1640 M).¹⁵ Meskipun secara kronologis Mulla Sadra termasuk dalam periode pasca-klasik, ia tetap dianggap sebagai puncak perkembangan tradisi filsafat Islam yang berakar pada warisan klasik.

3.5.       Kemunduran dan Warisan

Seiring melemahnya kekuatan politik dan militer dunia Islam pada abad ke-13 M akibat invasi Mongol, pusat-pusat intelektual seperti Baghdad mengalami kehancuran.¹⁶ Namun, warisan filsafat Islam tidak punah. Ia terus hidup melalui madrasah, tarekat sufi, serta pengaruhnya terhadap filsafat Eropa abad pertengahan. Bahkan, hingga hari ini, filsafat Islam klasik menjadi rujukan penting dalam diskusi tentang relasi akal dan wahyu, ilmu dan agama, serta etika dan spiritualitas.¹⁷


Footnotes

[1]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 2 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 27–29.

[2]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (London: Routledge, 1998), 40–44.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 8–11.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 15–17.

[5]                Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, 65–68.

[6]                Peter Adamson, Al-Kindi (Oxford: Oxford University Press, 2007), 23–26.

[7]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 18–21.

[8]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 62–65.

[9]                Ibn Sina, Al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour (Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah, 1952), 5–7.

[10]             Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 142–145.

[11]             Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, ed. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 211–215.

[12]             Richard C. Taylor, “Averroes and the Rationality of Religious Belief,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 177–180.

[13]             Charles Burnett, “Arabic into Latin: The Reception of Arabic Philosophy into Western Europe,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, 370–372.

[14]             Lenn Evan Goodman, Ibn Tufayl’s Hayy Ibn Yaqzan: A Philosophical Tale (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 3–5.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 67–71.

[16]             Bernard Lewis, The Middle East: A Brief History of the Last 2,000 Years (New York: Scribner, 1995), 112–114.

[17]             George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 77–80.


4.           Aliran dan Tema Sentral Filsafat Islam

4.1.       Filsafat Peripatetik (al-Masya’iyyun)

Filsafat peripatetik dalam Islam merupakan kelanjutan tradisi Aristotelian yang diadaptasi dan dikembangkan oleh para filsuf Muslim. Aliran ini dikenal dengan orientasinya pada logika, metafisika, dan kosmologi, serta penekanannya pada argumen rasional sistematis.¹ Al-Kindi (w. 873) sebagai filsuf Muslim pertama memperkenalkan filsafat Yunani dalam kerangka Islam dengan menekankan kompatibilitas antara akal dan wahyu.² Al-Farabi (870–950) kemudian menyusun sistem filsafat komprehensif mencakup logika, etika, dan politik, yang mencapai puncaknya pada karya al-Madina al-Fadilah.³ Ibn Sina (980–1037) mengembangkan filsafat peripatetik lebih lanjut dengan membedakan secara tajam antara esensi (mahiyyah) dan eksistensi (wujud), yang menjadi landasan penting metafisika Islam.⁴

4.2.       Filsafat Illuminasionis (al-Isyraqiyyun)

Filsafat illuminasi dikembangkan oleh Shihab al-Din al-Suhrawardi (1154–1191), yang berusaha menggabungkan rasionalitas peripatetik dengan intuisi dan iluminasi spiritual.⁵ Dalam Hikmat al-Isyraq, ia mengemukakan teori “cahaya” sebagai prinsip fundamental realitas, di mana segala sesuatu merupakan manifestasi dari intensitas cahaya Ilahi.⁶ Aliran ini memperkenalkan dimensi mistis ke dalam filsafat Islam, sekaligus mengintegrasikan elemen neoplatonis dan Zoroastrianisme Persia.⁷ Dengan demikian, filsafat illuminasi menekankan pentingnya penyatuan pengetahuan rasional dan pengalaman intuitif dalam memahami kebenaran.

4.3.       Filsafat Hikmah Transendental (al-Hikmah al-Muta‘aliyah)

Aliran hikmah transendental, yang mencapai puncaknya dalam pemikiran Mulla Sadra (1571–1640), merupakan sintesis antara filsafat peripatetik, iluminasi, dan tasawuf.⁸ Mulla Sadra memperkenalkan konsep “primasi eksistensi atas esensi” (asalat al-wujud), yang menyatakan bahwa eksistensi adalah realitas fundamental sedangkan esensi hanyalah konsepsi mental.⁹ Ia juga menekankan gerak substansial (al-harakah al-jawhariyyah) sebagai dasar perubahan kosmos.¹⁰ Dengan demikian, hikmah transendental menegaskan kesatuan ontologis segala sesuatu dalam wujud Tuhan.

4.4.       Tema Ontologi

Ontologi dalam filsafat Islam klasik berpusat pada pembahasan tentang wujud (al-wujud). Ibn Sina menegaskan adanya perbedaan antara esensi dan eksistensi, di mana esensi tidak dengan sendirinya ada kecuali jika diwujudkan oleh sesuatu yang lain.¹¹ Pemikiran ini kemudian memengaruhi diskursus metafisika dalam filsafat skolastik Eropa. Sementara itu, Mulla Sadra menegaskan superioritas eksistensi atas esensi, suatu gagasan yang memunculkan paradigma baru dalam filsafat Islam.¹²

4.5.       Tema Kosmologi

Kosmologi Islam klasik sangat dipengaruhi oleh Neoplatonisme, terutama teori emanasi (fayḍ). Al-Farabi dan Ibn Sina mengadopsi gagasan bahwa dari Tuhan Yang Esa memancar akal-akal kosmik, yang kemudian membentuk tatanan alam semesta secara hierarkis.¹³ Meskipun mendapat kritik dari kalangan teolog, teori ini berusaha menjelaskan keteraturan kosmos dan hubungan kausalitas antara Tuhan dan alam.

4.6.       Tema Epistemologi

Epistemologi dalam filsafat Islam membahas sumber dan validitas pengetahuan. Para filsuf Muslim berusaha mengharmoniskan peran akal dan wahyu. Ibn Sina, misalnya, mengemukakan teori akal aktif (al-‘aql al-fa‘‘al) sebagai penghubung antara jiwa manusia dan pengetahuan universal.¹⁴ Sementara al-Ghazali, meski kritis terhadap filsafat rasional, tetap mengakui adanya pengetahuan intuitif yang dicapai melalui pengalaman spiritual.¹⁵ Dengan demikian, epistemologi Islam klasik membuka ruang bagi sintesis antara rasionalitas, pengalaman empiris, dan intuisi mistis.

4.7.       Tema Etika

Etika Islam klasik berfokus pada pencapaian kebahagiaan (sa‘adah) sebagai tujuan akhir kehidupan manusia. Menurut al-Farabi, kebahagiaan tertinggi hanya dapat dicapai melalui pengetahuan intelektual yang dipadukan dengan kehidupan moral.¹⁶ Ibn Miskawayh dalam Tahdhib al-Akhlaq menekankan pentingnya moderasi dalam perilaku sebagai jalan menuju kesempurnaan moral.¹⁷ Etika dalam filsafat Islam tidak hanya berlandaskan akal, tetapi juga berorientasi pada keselarasan dengan syariat dan tujuan transendental.

4.8.       Tema Politik

Filsafat politik Islam klasik berkembang dalam konteks pencarian model negara ideal. Al-Farabi, melalui gagasan al-Madina al-Fadilah, menggambarkan negara utama yang dipimpin oleh seorang filosof-raja yang serupa dengan nabi.¹⁸ Pemikiran ini menjadi salah satu teori politik paling berpengaruh dalam filsafat Islam. Ibn Rushd, di sisi lain, menekankan perlunya sistem hukum yang adil dan sesuai dengan prinsip rasional, sekaligus tidak bertentangan dengan syariat.¹⁹

4.9.       Relasi antara Agama dan Filsafat

Salah satu tema sentral filsafat Islam adalah relasi antara agama dan filsafat. Ibn Rushd berpendapat bahwa wahyu dan filsafat memiliki tujuan yang sama, yakni mencari kebenaran, hanya berbeda dalam metode: wahyu ditujukan untuk masyarakat umum, sedangkan filsafat untuk kalangan intelektual.²⁰ Perspektif ini memperlihatkan usaha filsafat Islam klasik untuk menegaskan keselarasan, bukan pertentangan, antara agama dan rasionalitas.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 35–38.

[2]                Peter Adamson, Al-Kindi (Oxford: Oxford University Press, 2007), 41–44.

[3]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 12–16.

[4]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 72–75.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 56–59.

[6]                Shihab al-Din al-Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1977), 88–91.

[7]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 23–27.

[8]                Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, eds., History of Islamic Philosophy, vol. 2 (London: Routledge, 1996), 553–556.

[9]                Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khajavi (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 1981), 33–35.

[10]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 64–68.

[11]             Goodman, Avicenna, 81–83.

[12]             Nasr dan Leaman, History of Islamic Philosophy, 561–563.

[13]             Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 48–52.

[14]             Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 1988), 132–135.

[15]             Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), xx–xxii.

[16]             Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah, ed. Ja‘far Al-Yasin (Beirut: Dar al-Andalus, 1981), 25–29.

[17]             Ibn Miskawayh, Tahdhib al-Akhlaq, ed. Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 12–15.

[18]             Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, 20–24.

[19]             Ibn Rushd, Bidayat al-Mujtahid, ed. Ahmad Shamsuddin (Cairo: Dar al-Hadith, 1999), 9–12.

[20]             Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E. Butterworth (Leiden: Brill, 2001), 43–46.


5.           Tokoh-Tokoh Utama Filsafat Islam Klasik

5.1.       Al-Kindi (801–873 M)

Al-Kindi, yang sering dijuluki sebagai “Filsuf Arab Pertama,” merupakan tokoh pionir dalam mengintroduksi filsafat Yunani ke dalam dunia Islam.¹ Ia memandang filsafat sebagai sarana untuk memahami kebenaran universal dan menegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat dan agama.² Dalam karyanya Falsafat al-Ula (Filsafat Pertama), Al-Kindi menekankan pentingnya rasionalitas dalam menjelaskan hakikat wujud, sekaligus mengakui peran wahyu sebagai sumber kebenaran tertinggi.³ Warisannya membuka jalan bagi generasi filsuf Muslim setelahnya, terutama dalam mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama.

5.2.       Al-Farabi (870–950 M)

Al-Farabi, yang dikenal sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles, mengembangkan sistem filsafat yang komprehensif mencakup logika, metafisika, etika, dan politik.⁴ Ia berusaha menyatukan filsafat Plato dan Aristoteles, kemudian menyesuaikannya dengan kerangka pemikiran Islam.⁵ Karya terkenalnya, al-Madina al-Fadilah (Kota Utama), menggambarkan negara ideal yang dipimpin oleh seorang filosof-nabi, di mana kebahagiaan kolektif dicapai melalui pengetahuan dan moralitas.⁶ Kontribusinya dalam filsafat politik dan logika menjadikan Al-Farabi sebagai salah satu figur sentral dalam tradisi filsafat Islam klasik.

5.3.       Ibn Sina (980–1037 M)

Ibn Sina, atau Avicenna dalam tradisi Barat, adalah filsuf sekaligus dokter yang karya-karyanya berpengaruh besar dalam dunia Islam dan Eropa.⁷ Dalam filsafat, ia dikenal dengan gagasan ontologisnya tentang perbedaan esensi (mahiyyah) dan eksistensi (wujud), serta konsep Wajib al-Wujud (Yang Wajib Ada) sebagai dasar kosmologi dan teologi.⁸ Karya monumentalnya, al-Shifa’ (Kesembuhan), merupakan ensiklopedia filsafat dan ilmu pengetahuan yang meliputi logika, fisika, metafisika, dan etika.⁹ Selain itu, al-Qanun fi al-Tibb (Kanon Kedokteran) menjadi rujukan medis di universitas-universitas Eropa hingga abad ke-17.¹⁰ Pemikirannya menempatkan Ibn Sina sebagai figur kunci dalam perkembangan filsafat peripatetik Islam.

5.4.       Al-Ghazali (1058–1111 M)

Al-Ghazali adalah seorang teolog, sufi, sekaligus kritikus filsafat.¹¹ Melalui karyanya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf), ia mengkritik pemikiran Ibn Sina dan al-Farabi, khususnya terkait kekekalan alam, pengetahuan Tuhan terhadap partikular, dan kebangkitan jasmani.¹² Kritiknya mengguncang legitimasi filsafat peripatetik di dunia Islam, namun di sisi lain ia juga memberi kontribusi besar dalam merekonsiliasi akal, iman, dan tasawuf.¹³ Karya spiritualnya, Ihya’ Ulum al-Din, menekankan pentingnya pembersihan jiwa, etika, dan hubungan dengan Tuhan.¹⁴ Dengan demikian, meskipun dikenal sebagai pengkritik filsafat, al-Ghazali sesungguhnya turut memperkaya tradisi filsafat Islam dengan dimensi etis dan spiritual.

5.5.       Ibn Rushd (1126–1198 M)

Ibn Rushd, atau Averroes di Barat, dikenal sebagai pembela filsafat yang gigih.¹⁵ Dalam karyanya Tahafut al-Tahafut (Kerancuan atas Kerancuan), ia menanggapi kritik al-Ghazali dan membela rasionalitas filosofis.¹⁶ Ibn Rushd berpendapat bahwa wahyu dan filsafat tidak bertentangan, melainkan dua jalan yang berbeda menuju kebenaran yang sama.¹⁷ Ia juga dikenal sebagai komentator utama Aristoteles, sehingga dijuluki “The Commentator” di Eropa.¹⁸ Pemikirannya sangat berpengaruh pada filsafat skolastik Barat, khususnya pada Thomas Aquinas.¹⁹ Di dunia Islam sendiri, gagasannya lebih banyak diperdebatkan, namun di Eropa ia menjadi jembatan penting antara filsafat Islam dan filsafat Latin.

5.6.       Suhrawardi (1154–1191 M)

Shihab al-Din al-Suhrawardi adalah pendiri filsafat iluminasi (hikmat al-isyrāq).²⁰ Ia mengkritik keterbatasan rasionalisme peripatetik dan menawarkan pendekatan filosofis yang menekankan peran cahaya dan intuisi spiritual dalam memahami realitas.²¹ Dalam Hikmat al-Isyraq, ia menggambarkan hierarki wujud sebagai intensitas cahaya yang berpuncak pada Cahaya Tertinggi (Tuhan).²² Meskipun hidup singkat, pemikirannya meninggalkan pengaruh mendalam pada tradisi filsafat Islam Timur, terutama dalam integrasi antara filsafat dan tasawuf.²³

5.7.       Mulla Sadra (1571–1640 M)

Mulla Sadra, meskipun hidup pada periode pasca-klasik, sering dianggap sebagai kulminasi tradisi filsafat Islam klasik.²⁴ Melalui filsafat hikmah transendental (al-hikmah al-muta‘āliyyah), ia mensintesiskan peripatetik, iluminasi, dan tasawuf.²⁵ Konsep utamanya adalah asalat al-wujud (primasi eksistensi) yang menekankan bahwa eksistensi lebih fundamental daripada esensi.²⁶ Ia juga mengembangkan teori gerak substansial (al-harakah al-jawhariyyah) untuk menjelaskan dinamika kosmos.²⁷ Pemikirannya hingga kini masih menjadi rujukan utama dalam kajian filsafat Islam di Iran dan dunia Muslim.²⁸


Footnotes

[1]                Peter Adamson, Al-Kindi (Oxford: Oxford University Press, 2007), 3–5.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 61–63.

[3]                Al-Kindi, On First Philosophy, ed. Alfred Ivry (Albany: SUNY Press, 1974), 12–14.

[4]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 8–12.

[5]                Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 75–78.

[6]                Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State (Oxford: Clarendon Press, 1985), 15–18.

[7]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 33–37.

[8]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 1988), 90–94.

[9]                Ibn Sina, Al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour (Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah, 1952), 5–9.

[10]             Jon McGinnis, Avicenna (Oxford: Oxford University Press, 2010), 121–125.

[11]             Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 21–23.

[12]             Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 142–146.

[13]             Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology, 98–100.

[14]             Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, ed. Bulaq (Cairo: al-Matba‘ah al-Amiriyyah, 1937), 1:15–17.

[15]             Richard C. Taylor, “Averroes and the Rationality of Religious Belief,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 177–180.

[16]             Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, ed. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 2:211–215.

[17]             Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E. Butterworth (Leiden: Brill, 2001), 43–45.

[18]             Ernest Renan, Averroès et l’Averroïsme (Paris: Calmann-Lévy, 1861), 101–103.

[19]             Taylor, “Averroes and the Rationality of Religious Belief,” 183–185.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 57–59.

[21]             Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 22–24.

[22]             Shihab al-Din al-Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1977), 33–36.

[23]             Nasr, Three Muslim Sages, 61–63.

[24]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 12–15.

[25]             Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, eds., History of Islamic Philosophy, vol. 2 (London: Routledge, 1996), 553–556.

[26]             Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khajavi (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 1981), 27–30.

[27]             Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, 64–68.

[28]             Nasr dan Leaman, History of Islamic Philosophy, 561–563.


6.           Tema-Tema Filosofis dalam Filsafat Islam Klasik

6.1.       Ontologi: Wujud dan Esensi

Ontologi merupakan salah satu tema paling fundamental dalam filsafat Islam klasik. Ibn Sina mengemukakan perbedaan radikal antara esensi (mahiyyah) dan eksistensi (wujūd).¹ Menurutnya, esensi sesuatu dapat dipahami tanpa harus disertai dengan keberadaan aktual, sehingga eksistensi menjadi sesuatu yang ditambahkan oleh sebab eksternal.² Dari sini, ia menyimpulkan adanya Wajib al-Wujūd (Yang Wajib Ada), yaitu Tuhan, sebagai sumber segala eksistensi.³ Konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Mulla Sadra dengan menegaskan asalat al-wujūd (primasi eksistensi) atas esensi, yang menekankan bahwa realitas sejati adalah eksistensi itu sendiri, sementara esensi hanyalah konstruksi intelektual.⁴

6.2.       Kosmologi: Asal-Usul dan Tatanan Alam

Kosmologi dalam filsafat Islam banyak dipengaruhi oleh Neoplatonisme, khususnya teori emanasi (fayḍ). Al-Farabi merumuskan bahwa dari Tuhan sebagai Yang Esa terpancar akal-akal kosmik secara hierarkis, yang akhirnya menghasilkan dunia materi.⁵ Ibn Sina mengembangkan model ini dengan menjelaskan adanya sepuluh akal, di mana akal kesepuluh disebut al-‘aql al-fa‘‘al (akal aktif) yang berhubungan langsung dengan dunia sublunar.⁶ Teori ini, meski dikritik oleh teolog seperti al-Ghazali karena dianggap membatasi kekuasaan Tuhan, dimaksudkan untuk menjelaskan keteraturan kosmos secara rasional dan filosofis.⁷

6.3.       Epistemologi: Akal, Wahyu, dan Intuisi

Epistemologi dalam filsafat Islam klasik menekankan pentingnya akal sebagai instrumen utama untuk memperoleh pengetahuan. Ibn Sina membedakan antara tiga bentuk pengetahuan: pengetahuan indrawi, pengetahuan rasional, dan pengetahuan intuitif.⁸ Pengetahuan intuitif ini dianggap sebagai cara tertinggi dalam mencapai kebenaran, yang dalam tradisi sufi dipandang sebagai kasyf (penyingkapan batin).⁹ Ibn Rushd, di sisi lain, menegaskan bahwa filsafat dan wahyu tidak saling bertentangan karena keduanya merupakan jalan berbeda menuju kebenaran yang sama.¹⁰ Dengan demikian, epistemologi Islam klasik memadukan antara akal, pengalaman empiris, intuisi, dan wahyu.

6.4.       Etika: Jiwa, Kebajikan, dan Kebahagiaan

Tema etika dalam filsafat Islam klasik sangat dipengaruhi oleh tradisi Yunani, terutama Aristoteles, namun dengan corak religius yang khas. Al-Farabi menegaskan bahwa tujuan akhir manusia adalah mencapai kebahagiaan (sa‘ādah), yang hanya dapat diperoleh melalui kesempurnaan akal dan praktik kebajikan.¹¹ Ibn Miskawayh dalam Tahdhīb al-Akhlāq menekankan pentingnya moderasi sebagai jalan tengah dalam pembentukan karakter moral.¹² Etika dalam filsafat Islam tidak hanya menekankan dimensi individual, tetapi juga sosial, sebab kebajikan individu akan bermuara pada keteraturan masyarakat dan tercapainya kebahagiaan kolektif.¹³

6.5.       Politik: Negara Ideal dan Keadilan

Filsafat politik Islam klasik banyak dipengaruhi oleh Republik Plato, namun diberi muatan teologis. Al-Farabi, dalam al-Madīnah al-Fāḍilah, menggambarkan negara utama sebagai tatanan politik yang dipimpin oleh seorang filosof-raja yang juga nabi.¹⁴ Pemimpin ideal ini memiliki pengetahuan rasional dan wahyu sehingga dapat menuntun masyarakat menuju kebahagiaan tertinggi. Ibn Rushd juga membahas politik dengan menekankan pentingnya hukum yang adil dan berbasis akal.¹⁵ Dengan demikian, filsafat politik Islam berupaya mengintegrasikan idealisme filosofis dengan prinsip-prinsip syariat.

6.6.       Relasi antara Agama dan Filsafat

Salah satu tema sentral dalam filsafat Islam klasik adalah upaya untuk menjelaskan relasi agama dan filsafat. Ibn Rushd menekankan bahwa syariat dan filsafat tidaklah bertentangan, melainkan sejalan.¹⁶ Wahyu ditujukan untuk khalayak umum dengan pendekatan simbolik, sedangkan filsafat ditujukan untuk kalangan intelektual dengan pendekatan demonstratif.¹⁷ Al-Ghazali, meski keras mengkritik filsafat, akhirnya mengakui bahwa filsafat dapat digunakan sejauh tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama.¹⁸ Relasi ini menunjukkan adanya dialektika kreatif antara iman dan rasio dalam tradisi intelektual Islam.


Footnotes

[1]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 55–58.

[2]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 1988), 134–137.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 105–107.

[4]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 42–46.

[5]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 18–21.

[6]                Goodman, Avicenna, 67–70.

[7]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 141–144.

[8]                Ibn Sina, Al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour (Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah, 1952), 2:33–36.

[9]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 27–29.

[10]             Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E. Butterworth (Leiden: Brill, 2001), 42–45.

[11]             Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah, ed. Ja‘far Al-Yasin (Beirut: Dar al-Andalus, 1981), 25–28.

[12]             Ibn Miskawayh, Tahdhib al-Akhlaq, ed. Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 15–18.

[13]             Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 122–124.

[14]             Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, 22–25.

[15]             Ibn Rushd, Bidayat al-Mujtahid, ed. Ahmad Shamsuddin (Cairo: Dar al-Hadith, 1999), 12–15.

[16]             Richard C. Taylor, “Averroes and the Rationality of Religious Belief,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 177–179.

[17]             Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, 47–49.

[18]             Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 99–102.


7.           Perdebatan dan Kritik dalam Filsafat Islam Klasik

7.1.       Pertentangan antara Filsafat dan Ilmu Kalam

Salah satu perdebatan besar dalam sejarah intelektual Islam adalah relasi antara filsafat (falsafah) dan ilmu kalam. Ilmu kalam, yang berkembang lebih awal, berfokus pada pembelaan akidah Islam dari tantangan internal (seperti perdebatan dengan kelompok Khawarij dan Mu‘tazilah) maupun eksternal (agama lain, filsafat Yunani).¹ Sementara itu, filsafat Islam mengedepankan metode demonstratif (burhānī) untuk menjelaskan realitas.²

Kaum teolog, khususnya aliran Asy‘ariyah, kerap mengkritik para filsuf yang dianggap terlalu rasionalis dan kurang memberi tempat pada otoritas wahyu.³ Sebaliknya, para filsuf seperti al-Farabi dan Ibn Sina berusaha menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan esensial antara filsafat dan agama.⁴ Pertentangan ini melahirkan dinamika dialektis yang memperkaya tradisi intelektual Islam, meskipun juga memunculkan ketegangan berkepanjangan.

7.2.       Kritik Al-Ghazali terhadap Filsafat

Tokoh sentral dalam kritik terhadap filsafat adalah Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111 M). Dalam Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf), al-Ghazali menuduh para filsuf Muslim seperti Ibn Sina dan al-Farabi telah terjerumus dalam kekeliruan teologis.⁵ Ia menyoroti tiga doktrin yang dianggap kufur: (1) keyakinan akan kekekalan alam semesta, (2) anggapan bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal universal, bukan partikular, dan (3) penolakan terhadap kebangkitan jasmani.⁶

Bagi al-Ghazali, filsafat yang terlalu dipengaruhi oleh Aristotelianisme dan Neoplatonisme berpotensi merusak akidah Islam.⁷ Namun, ia tidak menolak filsafat secara total. Dalam bidang logika, misalnya, al-Ghazali justru mengintegrasikannya ke dalam metodologi usul fikih.⁸ Dengan demikian, kritiknya tidak berarti penolakan mutlak terhadap rasionalitas, melainkan upaya untuk menempatkan filsafat dalam koridor teologi Islam.

7.3.       Pembelaan Ibn Rushd terhadap Filsafat

Sebagai tanggapan, Ibn Rushd (1126–1198 M) menulis Tahafut al-Tahafut (Kerancuan atas Kerancuan), yang secara sistematis membantah argumen al-Ghazali.⁹ Ia menekankan bahwa wahyu dan filsafat tidak saling bertentangan, melainkan sama-sama mengarah pada kebenaran. Menurut Ibn Rushd, syariat Islam bahkan mendorong penggunaan akal untuk merenungkan ciptaan Tuhan.¹⁰

Ibn Rushd juga berpendapat bahwa kritik al-Ghazali lebih mencerminkan bias teologis daripada argumentasi filosofis.¹¹ Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa filsafat harus tetap dipertahankan sebagai sarana untuk memahami kebenaran secara mendalam. Pandangan ini kemudian memberi pengaruh besar pada filsafat skolastik di Barat Latin, meskipun di dunia Islam sendiri tidak memperoleh penerimaan luas.¹²

7.4.       Kontroversi Ortodoksi dan Resistensi Sosial

Selain perdebatan intelektual, filsafat Islam juga menghadapi resistensi sosial-politik. Banyak ulama fiqh dan kalam menuduh filsafat sebagai ajaran asing yang membahayakan kemurnian akidah Islam.¹³ Beberapa filsuf, seperti Suhrawardi, bahkan dihukum mati karena ajaran-ajarannya dianggap sesat oleh otoritas politik dan keagamaan.¹⁴ Kondisi ini memperlihatkan bahwa filsafat Islam tidak hanya diuji dalam ranah akademik, tetapi juga dalam arena politik dan ortodoksi keagamaan.

Meski demikian, tradisi filsafat tidak pernah sepenuhnya hilang. Di Timur Islam, pemikiran filsafat tetap berkembang, terutama melalui sintesis antara filsafat, kalam, dan tasawuf.¹⁵ Warisan ini menjadi bukti bahwa meskipun menghadapi kritik keras, filsafat Islam klasik tetap bertahan sebagai bagian integral dari peradaban Islam.

7.5.       Pengaruh Perdebatan terhadap Filsafat Barat

Perdebatan antara filsuf Muslim dan teolog Islam tidak berhenti dalam lingkup dunia Islam. Karya-karya Ibn Sina, al-Ghazali, dan Ibn Rushd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan memengaruhi diskursus filsafat Eropa abad pertengahan.¹⁶ Kritik al-Ghazali menginspirasi diskusi tentang keterbatasan akal dalam teologi Kristen, sementara pembelaan Ibn Rushd terhadap filsafat memberi pengaruh besar pada Thomas Aquinas dan tradisi skolastik.¹⁷ Dengan demikian, polemik internal filsafat Islam klasik memiliki dampak transnasional yang luas.


Footnotes

[1]                Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 45–47.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 8–11.

[3]                Richard M. Frank, Al-Ghazali and the Ash‘arite School (Durham: Duke University Press, 1994), 22–25.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 15–17.

[5]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), xxv–xxviii.

[6]                Ibid., 143–145.

[7]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 97–101.

[8]                Al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, ed. Hamzah al-Malibari (Jeddah: Dar al-Minhaj, 2011), 12–15.

[9]                Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, ed. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 211–214.

[10]             Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E. Butterworth (Leiden: Brill, 2001), 43–45.

[11]             Richard C. Taylor, “Averroes and the Rationality of Religious Belief,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 179–182.

[12]             Ernest Renan, Averroès et l’Averroïsme (Paris: Calmann-Lévy, 1861), 110–113.

[13]             Bernard Lewis, The Middle East: A Brief History of the Last 2,000 Years (New York: Scribner, 1995), 98–100.

[14]             Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 66–69.

[15]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 23–26.

[16]             Charles Burnett, “Arabic into Latin: The Reception of Arabic Philosophy into Western Europe,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, 370–372.

[17]             Thomas F. Glick, Steven J. Livesey, dan Faith Wallis, eds., Medieval Science, Technology, and Medicine: An Encyclopedia (New York: Routledge, 2005), 50–52.


8.           Relevansi Filsafat Islam Klasik dalam Dunia Modern

8.1.       Pengaruh terhadap Tradisi Intelektual Barat

Filsafat Islam klasik memiliki dampak transformatif yang melampaui batas dunia Islam. Pemikiran Ibn Sina, Ibn Rushd, dan al-Farabi diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sejak abad ke-12 dan menjadi fondasi penting bagi filsafat skolastik Eropa.¹ Thomas Aquinas, misalnya, terinspirasi oleh perbedaan Ibn Sina antara esensi (mahiyyah) dan eksistensi (wujūd) dalam merumuskan konsep metafisikanya.² Sementara itu, komentar Ibn Rushd terhadap Aristoteles menjadikan filsafat Islam sebagai penghubung utama antara filsafat Yunani kuno dan Renaisans Eropa.³ Dengan demikian, warisan filsafat Islam klasik tetap relevan karena ia menjadi bagian integral dari sejarah filsafat dunia, bukan sekadar tradisi regional.

8.2.       Kontribusi bagi Pemikiran Islam Kontemporer

Dalam konteks dunia Muslim modern, filsafat Islam klasik berfungsi sebagai sumber refleksi kritis untuk menjawab persoalan kontemporer. Pemikiran al-Farabi tentang negara utama, misalnya, memberi inspirasi dalam diskusi tentang politik Islam dan ideal kepemimpinan berbasis moral.⁴ Konsep Ibn Sina tentang harmoni akal dan wahyu relevan dalam menjembatani ketegangan antara tradisi keagamaan dan tuntutan modernitas.⁵ Bahkan kritik al-Ghazali terhadap filsafat mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara rasionalitas dan iman, suatu isu yang terus aktual dalam menghadapi sekularisme maupun fundamentalisme.⁶

8.3.       Filsafat Islam sebagai Jembatan antara Sains dan Agama

Salah satu tantangan besar dunia modern adalah relasi antara sains dan agama. Filsafat Islam klasik, yang sejak awal berusaha mengintegrasikan akal dan wahyu, menyediakan paradigma alternatif bagi dialog ini. Ibn Sina dan al-Farabi, misalnya, tidak melihat kontradiksi antara studi empiris dengan metafisika religius.⁷ Tradisi ini dapat dijadikan model untuk membangun epistemologi integratif yang menolak dikotomi antara ilmu pengetahuan sekuler dan pengetahuan religius.⁸ Dalam era ilmu pengetahuan yang semakin terfragmentasi, warisan filsafat Islam klasik berpotensi menghadirkan kerangka holistik yang memadukan sains, etika, dan spiritualitas.

8.4.       Etika dan Krisis Moral Kontemporer

Dunia modern menghadapi krisis moral global, seperti hedonisme, ketidakadilan sosial, serta degradasi lingkungan. Etika filsafat Islam klasik, yang menekankan kebajikan (fadhīlah) dan kebahagiaan (sa‘ādah), menawarkan alternatif penting. Al-Farabi dan Ibn Miskawayh, misalnya, menekankan pentingnya keutamaan moral dalam kehidupan individu dan kolektif.⁹ Nilai-nilai ini dapat diaplikasikan dalam konteks modern untuk merumuskan etika publik yang berakar pada kebajikan, bukan sekadar utilitas. Selain itu, spiritualitas dalam filsafat Suhrawardi dan Mulla Sadra dapat menjadi penyeimbang bagi masyarakat modern yang cenderung materialistis.¹⁰

8.5.       Relevansi dalam Dialog Antarperadaban

Filsafat Islam klasik lahir dalam interaksi intensif dengan filsafat Yunani, Persia, dan India.¹¹ Warisan ini menunjukkan bahwa Islam pernah menjadi pusat dialog peradaban yang terbuka dan kreatif. Dalam konteks globalisasi saat ini, semangat dialog tersebut sangat relevan untuk membangun hubungan antaragama dan antarbudaya yang lebih harmonis. Konsep Ibn Rushd tentang keselarasan antara akal dan wahyu, misalnya, dapat dijadikan pijakan untuk mendorong pluralisme intelektual yang sehat.¹²

8.6.       Revitalisasi untuk Tantangan Global

Filsafat Islam klasik tidak hanya berfungsi sebagai warisan sejarah, tetapi juga sebagai sumber inspirasi bagi upaya revitalisasi pemikiran Islam kontemporer. Tantangan global seperti ketidakadilan ekonomi, krisis lingkungan, dan konflik antaragama membutuhkan pendekatan yang memadukan rasionalitas, etika, dan spiritualitas.¹³ Warisan para filsuf Muslim klasik, dengan sintesis antara akal, iman, dan pengalaman intuitif, dapat membantu umat Islam berkontribusi dalam percaturan global dengan membawa solusi berbasis nilai universal.¹⁴


Footnotes

[1]                Charles Burnett, “Arabic into Latin: The Reception of Arabic Philosophy into Western Europe,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 370–373.

[2]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 97–99.

[3]                Richard C. Taylor, “Averroes and the Rationality of Religious Belief,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, 177–180.

[4]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 15–19.

[5]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 1988), 142–145.

[6]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 99–102.

[7]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 105–108.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 34–36.

[9]                Ibn Miskawayh, Tahdhib al-Akhlaq, ed. Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 23–27.

[10]             Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 25–28.

[11]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 11–14.

[12]             Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E. Butterworth (Leiden: Brill, 2001), 42–45.

[13]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 212–215.

[14]             Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, eds., History of Islamic Philosophy, vol. 2 (London: Routledge, 1996), 564–567.


9.           Sintesis dan Refleksi Filosofis

9.1.       Posisi Filsafat Islam dalam Tradisi Intelektual Dunia

Filsafat Islam klasik tidak dapat dipahami semata sebagai hasil adopsi dari filsafat Yunani, melainkan sebagai proses kreatif yang melibatkan adaptasi, reinterpretasi, dan inovasi. Para filsuf Muslim seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd mengembangkan sistem pemikiran yang bukan hanya melestarikan warisan filsafat Yunani, tetapi juga menempatkannya dalam kerangka teologis Islam.¹ Dengan demikian, filsafat Islam berperan sebagai jembatan antara peradaban kuno dan peradaban modern, sekaligus berkontribusi dalam membentuk fondasi intelektual filsafat Barat.²

9.2.       Kontribusi Unik terhadap Peradaban Manusia

Salah satu kontribusi penting filsafat Islam klasik adalah kemampuannya menyatukan berbagai disiplin ilmu: metafisika, kosmologi, epistemologi, etika, politik, hingga kedokteran dan sains alam.³ Ibn Sina, misalnya, tidak hanya dikenal sebagai filsuf metafisika, tetapi juga sebagai ilmuwan dan dokter yang memberi kontribusi besar terhadap kedokteran modern.⁴ Al-Farabi menyusun teori politik filosofis yang menggabungkan inspirasi Plato dengan visi religius Islam.⁵ Ibn Rushd, di sisi lain, memberi model bagi filsafat kritis dengan usahanya menegaskan kompatibilitas wahyu dan rasio.⁶ Dengan demikian, filsafat Islam klasik tidak hanya berbicara pada ruang abstrak filosofis, melainkan juga pada ranah praktis kehidupan manusia.

9.3.       Perspektif Integratif: Filsafat, Sains, dan Agama

Refleksi filosofis atas tradisi Islam klasik menunjukkan adanya paradigma integratif yang menghubungkan filsafat, sains, dan agama. Para filsuf Muslim klasik tidak melihat ketiganya sebagai entitas yang saling menegasikan, melainkan sebagai jalur berbeda yang menuju pada kebenaran yang sama.⁷ Konsep Ibn Sina tentang akal aktif, teori emanasi al-Farabi, serta filsafat iluminasi Suhrawardi memperlihatkan bagaimana rasionalitas, spiritualitas, dan wahyu dapat dipadukan dalam satu kerangka pemikiran.⁸ Model integratif ini sangat relevan untuk menjawab tantangan modern yang ditandai oleh fragmentasi pengetahuan dan dikotomi antara ilmu dan agama.⁹

9.4.       Kritik, Batasan, dan Potensi Pengembangan

Meski memiliki kontribusi besar, filsafat Islam klasik tidak lepas dari kritik. Al-Ghazali menuduh sebagian doktrin filsuf bertentangan dengan akidah, khususnya dalam isu kekekalan alam dan kebangkitan jasmani.¹⁰ Kritik ini memperlihatkan adanya keterbatasan filsafat Islam dalam mengharmoniskan seluruh aspek agama dengan filsafat Yunani. Namun, keterbatasan itu justru melahirkan dinamika kreatif, di mana filsafat berkembang lebih hati-hati dengan tetap memperhatikan ortodoksi teologis.¹¹

Di sisi lain, refleksi kontemporer menunjukkan bahwa filsafat Islam klasik masih menyimpan potensi besar untuk dikembangkan. Pemikiran Ibn Rushd tentang keselarasan akal dan wahyu, konsep Mulla Sadra tentang primasi eksistensi, serta gagasan etika Ibn Miskawayh tentang kebajikan masih dapat diaplikasikan dalam diskursus etika global, filsafat sains, maupun dialog antaragama.¹² Dengan demikian, tradisi filsafat Islam klasik bukan hanya warisan sejarah, melainkan sumber inspirasi filosofis yang hidup dan terus dapat direkontekstualisasikan.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 23–25.

[2]                Charles Burnett, “Arabic into Latin: The Reception of Arabic Philosophy into Western Europe,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 370–372.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 101–104.

[4]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 33–36.

[5]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 15–18.

[6]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E. Butterworth (Leiden: Brill, 2001), 43–46.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 23–26.

[8]                Shihab al-Din al-Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1977), 33–37.

[9]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 211–214.

[10]             Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 141–143.

[11]             Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 97–100.

[12]             Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, eds., History of Islamic Philosophy, vol. 2 (London: Routledge, 1996), 564–567.


10.       Penutup

10.1.    Kesimpulan Umum

Kajian mengenai filsafat Islam klasik memperlihatkan bahwa tradisi intelektual Islam bukanlah sekadar reproduksi filsafat Yunani, tetapi sebuah usaha kreatif dan kritis dalam mengolah warisan intelektual asing agar sesuai dengan konteks teologis, sosial, dan kultural Islam.¹ Filsafat Islam klasik, sebagaimana tampak pada karya-karya al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rushd, Suhrawardi, hingga Mulla Sadra, menampilkan keragaman pemikiran yang luas, mulai dari ontologi, kosmologi, epistemologi, hingga etika dan politik.² Dengan demikian, filsafat Islam klasik merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah filsafat dunia, karena memberikan kontribusi signifikan baik bagi peradaban Islam maupun Barat.³

10.2.    Implikasi Teoretis dan Praktis

Secara teoretis, filsafat Islam klasik memperlihatkan bahwa akal dan wahyu dapat dipadukan dalam kerangka yang harmonis.⁴ Ibn Rushd, misalnya, menegaskan bahwa filsafat dan syariat sama-sama mengarah pada kebenaran, meski dengan metode berbeda.⁵ Secara praktis, filsafat Islam klasik menghadirkan orientasi etis yang menekankan kebajikan (fadhīlah) dan kebahagiaan (sa‘ādah) sebagai tujuan akhir kehidupan, yang relevan bagi pembentukan etika publik kontemporer.⁶

Selain itu, refleksi atas kritik al-Ghazali terhadap filsafat dan tanggapan Ibn Rushd menunjukkan bahwa perdebatan rasional yang sehat justru memperkuat tradisi intelektual Islam.⁷ Artinya, filsafat Islam klasik mengajarkan pentingnya ruang dialog, kritik, dan sintesis dalam menjaga dinamika pemikiran Islam agar tidak membeku dalam dogmatisme.

10.3.    Relevansi Kontemporer

Warisan filsafat Islam klasik masih sangat relevan dalam konteks dunia modern. Di tengah krisis moral global, degradasi lingkungan, serta ketegangan antara sains dan agama, paradigma integratif filsafat Islam klasik dapat menjadi inspirasi.⁸ Nilai-nilai universal yang terkandung dalam pemikiran filsuf Muslim klasik—seperti pencarian kebenaran, harmoni antara akal dan wahyu, serta orientasi pada kebajikan—dapat dijadikan pedoman untuk merumuskan etika global yang inklusif dan transenden.⁹

Selain itu, filsafat Islam klasik menunjukkan bahwa Islam sejak awal adalah peradaban yang terbuka terhadap dialog antarbudaya.¹⁰ Semangat keterbukaan ini patut dihidupkan kembali untuk memperkuat peran umat Islam dalam percaturan intelektual global. Dengan merevitalisasi tradisi filsafat klasik, umat Islam dapat menghadirkan kontribusi nyata bagi pembangunan peradaban yang lebih manusiawi dan berkeadilan.

10.4.    Saran Kajian Lanjutan

Untuk penelitian berikutnya, kajian filsafat Islam klasik dapat diperluas dengan menghubungkannya pada isu-isu kontemporer yang lebih spesifik, seperti bioetika, filsafat lingkungan, dan filsafat teknologi.¹¹ Dengan cara ini, filsafat Islam klasik tidak hanya dipandang sebagai warisan historis, tetapi juga sebagai sumber daya intelektual yang hidup, yang mampu memberikan jawaban terhadap tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 23–25.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 75–78.

[3]                Charles Burnett, “Arabic into Latin: The Reception of Arabic Philosophy into Western Europe,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 370–373.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 23–26.

[5]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E. Butterworth (Leiden: Brill, 2001), 43–45.

[6]                Ibn Miskawayh, Tahdhib al-Akhlaq, ed. Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 15–18.

[7]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 141–143.

[8]                Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, eds., History of Islamic Philosophy, vol. 2 (London: Routledge, 1996), 564–567.

[9]                Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah, ed. Ja‘far Al-Yasin (Beirut: Dar al-Andalus, 1981), 25–29.

[10]             Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (London: Routledge, 1998), 88–91.

[11]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 211–214.


Daftar Pustaka

Adamson, P. (2007). Al-Kindi. Oxford University Press.

Adamson, P., & Taylor, R. C. (Eds.). (2005). The Cambridge Companion to Arabic Philosophy. Cambridge University Press.

Al-Farabi. (1968). Al-Madina al-Fadilah (A. N. Nader, Ed.). Dar al-Mashriq.

Al-Farabi. (1981). Tahsil al-Sa‘adah (J. Al-Yasin, Ed.). Dar al-Andalus.

Al-Ghazali. (1937). Ihya’ Ulum al-Din (Vol. 1). al-Matba‘ah al-Amiriyyah.

Al-Ghazali. (1997). Tahafut al-Falasifah (M. E. Marmura, Ed.). Brigham Young University Press.

Al-Ghazali. (2011). al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul (H. al-Malibari, Ed.). Dar al-Minhaj.

Al-Kindi. (1974). On First Philosophy (A. Ivry, Ed.). SUNY Press.

Burnett, C. (2001). The coherence of the Arabic-Latin translation program in Toledo in the twelfth century. Science in Context, 14(1–2), 249–288.

Burnett, C. (2005). Arabic into Latin: The reception of Arabic philosophy into Western Europe. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge Companion to Arabic Philosophy (pp. 370–372). Cambridge University Press.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination. SUNY Press.

Fakhry, M. (2004). A History of Islamic Philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Frank, R. M. (1994). Al-Ghazali and the Ash‘arite School. Duke University Press.

Goodman, L. E. (1992). Avicenna. Routledge.

Goodman, L. E. (2009). Ibn Tufayl’s Hayy Ibn Yaqzan: A Philosophical Tale. University of Chicago Press.

Griffel, F. (2009). Al-Ghazali’s Philosophical Theology. Oxford University Press.

Gutas, D. (1988). Avicenna and the Aristotelian Tradition. Brill.

Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society. Routledge.

Hodgson, M. G. S. (1974). The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization (Vol. 2). University of Chicago Press.

Ibn Miskawayh. (1966). Tahdhib al-Akhlaq (C. K. Zurayk, Ed.). American University of Beirut.

Ibn Rushd. (1954). Tahafut al-Tahafut (S. van den Bergh, Ed.). Luzac.

Ibn Rushd. (1999). Bidayat al-Mujtahid (A. Shamsuddin, Ed.). Dar al-Hadith.

Ibn Rushd. (2001). Fasl al-Maqal (C. E. Butterworth, Ed.). Brill.

Ibn Sina. (1952). Al-Shifa’ (I. Madkour, Ed.). al-Hay’ah al-‘Ammah.

Kalin, I. (2010). Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition. Oxford University Press.

Leaman, O. (2001). An Introduction to Classical Islamic Philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Lewis, B. (1995). The Middle East: A Brief History of the Last 2,000 Years. Scribner.

McGinnis, J. (2010). Avicenna. Oxford University Press.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and Civilization in Islam. Harvard University Press.

Nasr, S. H., & Leaman, O. (Eds.). (1996). History of Islamic Philosophy (Vol. 2). Routledge.

Renan, E. (1861). Averroès et l’Averroïsme. Calmann-Lévy.

Saliba, G. (2007). Islamic Science and the Making of the European Renaissance. MIT Press.

Sheikh, M. S. (1981). Studies in Muslim Philosophy. Shirkat Printing Press.

Suhrawardi, S. al-D. (1977). Hikmat al-Isyraq (H. Corbin, Ed.). Institute of Islamic Studies.

Taylor, R. C. (2005). Averroes and the rationality of religious belief. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge Companion to Arabic Philosophy (pp. 177–185). Cambridge University Press.

Walzer, R. (1985). Al-Farabi on the Perfect State. Clarendon Press.

Wolfson, H. A. (1976). The Philosophy of the Kalam. Harvard University Press.

Ziai, H. (1990). Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq. Scholars Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar