Filsafat Islam Klasik
Konsep, Sejarah, Tokoh, dan Relevansi
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif Filsafat Islam Klasik dengan
menelusuri konsep dasar, sejarah perkembangan, tokoh-tokoh utama, aliran, tema
filosofis, kritik, serta relevansinya dalam konteks kontemporer. Filsafat Islam
klasik dipahami bukan sekadar sebagai hasil adopsi filsafat Yunani, melainkan
sebagai proses kreatif yang mengintegrasikan akal, wahyu, dan intuisi. Melalui
tokoh-tokoh sentral seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn
Rushd, Suhrawardi, dan Mulla Sadra, tradisi ini melahirkan kontribusi penting
dalam bidang ontologi, kosmologi, epistemologi, etika, politik, dan relasi
agama dengan filsafat.
Sejarah filsafat Islam klasik menunjukkan dinamika yang dipengaruhi oleh
gerakan penerjemahan, dialog lintas budaya, serta perdebatan antara filsafat,
kalam, dan tasawuf. Kritik al-Ghazali terhadap para filsuf serta pembelaan Ibn
Rushd menandai dialektika kreatif yang memperkaya tradisi intelektual Islam,
sekaligus berkontribusi terhadap filsafat skolastik Barat. Dalam refleksi
kontemporer, filsafat Islam klasik memiliki relevansi signifikan untuk menjawab
tantangan modern seperti hubungan sains dan agama, krisis moral global, serta
kebutuhan akan dialog antarperadaban.
Artikel ini menegaskan bahwa filsafat Islam klasik adalah warisan
intelektual yang hidup, yang tidak hanya penting bagi sejarah peradaban Islam,
tetapi juga memiliki kontribusi universal bagi filsafat dunia dan diskursus
etika global.
Kata Kunci: Filsafat
Islam Klasik; Ontologi; Epistemologi; Etika; Politik; Kalam; Tasawuf; Ibn Sina;
Ibn Rushd; Relevansi Kontemporer.
PEMBAHASAN
Konsep, Sejarah, Tokoh, dan Filsafat Islam Klasik
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang
Filsafat Islam klasik merupakan salah
satu puncak pencapaian intelektual dalam sejarah peradaban Islam. Sejak abad
ke-8 hingga abad ke-12 M, dunia Islam mengalami masa keemasan di mana
karya-karya filsafat, ilmu pengetahuan, dan teologi berkembang secara pesat.
Periode ini ditandai dengan hadirnya tokoh-tokoh besar seperti al-Kindi,
al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rushd, dan Suhrawardi, yang berperan
penting dalam membangun tradisi berpikir filosofis dalam Islam.¹ Mereka tidak
hanya mengembangkan gagasan yang bersumber dari filsafat Yunani, khususnya
Plato dan Aristoteles, tetapi juga merekonstruksinya sesuai dengan kerangka
teologis Islam.²
Gerakan penerjemahan besar-besaran di
bawah perlindungan khalifah Abbasiyah melalui institusi seperti Bayt
al-Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad menjadi katalisator penting dalam
perkembangan filsafat Islam.³ Tradisi filsafat ini kemudian berinteraksi erat
dengan disiplin ilmu lain seperti ilmu kalam (teologi dialektis) dan tasawuf
(mistisisme Islam), yang sering kali melahirkan perdebatan teoretis maupun
sintesis pemikiran.⁴
1.2.      
Rumusan Masalah
Kajian filsafat Islam klasik
menghadirkan sejumlah pertanyaan mendasar yang perlu dijawab:
·                    
Bagaimana definisi dan
ruang lingkup filsafat Islam klasik?
·                    
Bagaimana sejarah
perkembangan filsafat Islam klasik dari masa penerjemahan hingga masa puncak
kejayaannya?
·                    
Siapa saja tokoh-tokoh
sentral dalam tradisi ini, dan apa kontribusi mereka?
·                    
Apa tema-tema filosofis
utama yang dibahas dalam filsafat Islam klasik?
·                    
Bagaimana relevansi
filsafat Islam klasik bagi pemikiran kontemporer?
1.3.      
Tujuan Kajian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1)                 
Menguraikan konsep dasar
filsafat Islam klasik dan posisi uniknya dalam tradisi intelektual Islam.
2)                 
Menganalisis perkembangan
historis filsafat Islam klasik serta konteks sosial-politik yang
melatarbelakanginya.
3)                 
Mengkaji pemikiran
tokoh-tokoh utama dan kontribusi mereka terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan.
4)                 
Menggali relevansi filsafat
Islam klasik terhadap peradaban modern, baik dalam konteks akademik, keagamaan,
maupun etika global.
1.4.      
Signifikansi Kajian
Kajian ini memiliki signifikansi
akademik dan praktis. Secara akademik, ia membantu memperluas wawasan tentang
interaksi antara filsafat Islam dan filsafat dunia, termasuk kontribusi besar
yang diberikan kepada tradisi Barat abad pertengahan.⁵ Secara praktis,
pemahaman atas filsafat Islam klasik memungkinkan kita untuk merefleksikan
nilai-nilai intelektual, etis, dan spiritual yang dapat dijadikan sumber
inspirasi dalam menjawab tantangan kontemporer, seperti krisis moral,
ketidakadilan sosial, dan relasi agama dengan sains modern.⁶
1.5.      
Metodologi Kajian
Kajian ini menggunakan pendekatan
historis-filosofis. Pendekatan historis digunakan untuk melacak perkembangan
filsafat Islam klasik dalam konteks sosial-politik dan intelektualnya.
Sementara itu, pendekatan filosofis dipakai untuk menganalisis gagasan-gagasan
inti yang diajukan para filsuf Muslim klasik. Sumber-sumber primer, seperti
karya-karya al-Kindi (Falsafat al-Ula), Ibn Sina (al-Shifa’, al-Najat),
al-Ghazali (Tahafut al-Falasifah), Ibn Rushd (Tahafut al-Tahafut),
dan Suhrawardi (Hikmat al-Isyraq), akan dijadikan bahan utama kajian. Di
samping itu, literatur sekunder berupa kajian kontemporer dari para sarjana
modern akan digunakan sebagai pendukung analisis.⁷
Footnotes
[1]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 5–7.
[2]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 12–15.
[3]               
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The
Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society
(London: Routledge, 1998), 30–34.
[4]               
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna,
Suhrawardi, Ibn ‘Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 21–24.
[5]               
Richard C. Taylor, “Averroes and the Philosophy of
Religion,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter
Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005),
180–182.
[6]               
M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy
(Lahore: Shirkat Printing Press, 1981), 45–48.
[7]               
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge,
1982), 3–6.
2.          
Konsep Dasar
Filsafat Islam
2.1.      
Definisi Filsafat
Islam
Filsafat Islam merupakan istilah yang
mengacu pada tradisi berpikir rasional-filosofis yang berkembang di dunia Islam
sejak abad ke-8 M hingga periode klasik peradaban Islam. Secara terminologis,
istilah ini menimbulkan perdebatan karena ada yang menolak menghubungkan “filsafat”
dengan “Islam” sebagai agama wahyu.¹ Sebagian sarjana berpendapat bahwa
filsafat Islam adalah hasil adopsi dan adaptasi filsafat Yunani ke dalam
kerangka epistemologis Islam.² Sementara yang lain berargumen bahwa filsafat
Islam adalah ekspresi orisinal pemikiran Muslim yang memadukan wahyu, akal, dan
intuisi dalam rangka memahami hakikat realitas, Tuhan, manusia, dan alam.³
Meskipun demikian, filsafat Islam
berbeda dari filsafat Yunani karena tidak hanya berdiri di atas rasionalitas
murni, tetapi juga mempertimbangkan wahyu sebagai sumber pengetahuan. Hal
inilah yang memberi warna khas, sekaligus membedakannya dari tradisi filsafat sekuler
Barat.⁴
2.2.      
Ruang Lingkup
Filsafat Islam
Ruang lingkup filsafat Islam mencakup
berbagai persoalan fundamental yang menjadi perhatian para pemikir Muslim
klasik. Di antaranya adalah:
·                    
Ontologi: 
Pembahasan tentang wujud (al-wujūd), esensi (māhiyyah),
dan hubungan antara keduanya. Ibn Sina, misalnya, membedakan secara tegas
antara esensi dan eksistensi.⁵
·                    
Kosmologi: 
Kajian mengenai asal-usul alam semesta, penciptaan, dan
hubungan kausalitas. Pemikiran tentang emanasi (fayḍ) yang dipengaruhi
Neoplatonisme banyak diadopsi oleh filsuf Muslim seperti al-Farabi dan Ibn
Sina.⁶
·                    
Epistemologi: 
Pertanyaan tentang sumber pengetahuan, baik dari akal,
pengalaman, maupun intuisi. Para filsuf Muslim mencoba mengharmoniskan peran
wahyu dengan akal.⁷
·                    
Etika: 
Diskusi mengenai tujuan hidup manusia, kebahagiaan (sa‘ādah),
serta relasi antara moralitas dan agama.⁸
·                    
Filsafat Politik: 
Pemikiran tentang negara ideal, kepemimpinan, dan hukum,
sebagaimana dirumuskan al-Farabi dalam karyanya al-Madīnah al-Fāḍilah.⁹
Ruang lingkup tersebut menunjukkan
bahwa filsafat Islam tidak hanya bergerak di ranah abstrak-metafisis, tetapi
juga menyentuh aspek praktis kehidupan sosial dan politik.
2.3.      
Ciri Khas Filsafat
Islam Klasik
Ada beberapa ciri khas filsafat Islam
klasik yang membedakannya dari tradisi filosofis lainnya:
1)                 
Integrasi antara wahyu
dan akal: 
Filsafat Islam klasik tidak menolak wahyu sebagai sumber
kebenaran, melainkan berusaha memadukan dengan akal. Hal ini tampak dalam usaha
Ibn Rushd yang menegaskan bahwa filsafat dan syariat tidak saling bertentangan,
tetapi sejalan dalam tujuan mencari kebenaran.¹⁰
2)                 
Pengaruh Yunani, Persia,
dan India: 
Meski banyak mengadopsi gagasan Aristoteles, Plato, dan
Plotinus, para filsuf Muslim melakukan asimilasi kreatif, bukan sekadar imitasi.¹¹
3)                 
Keterkaitan dengan ilmu
Kalam dan Tasawuf: 
Filsafat Islam berkembang berdampingan, bahkan berdebat,
dengan ilmu kalam yang lebih teologis dan tasawuf yang lebih spiritual.¹²
4)                 
Tujuan Etis dan
Transendental: 
Filsafat Islam tidak berhenti pada spekulasi logis,
melainkan diarahkan pada pencapaian kebahagiaan tertinggi, baik di dunia maupun
di akhirat.¹³
2.4.      
Relasi Filsafat,
Kalam, dan Tasawuf
Hubungan filsafat dengan ilmu kalam dan
tasawuf merupakan tema sentral dalam memahami filsafat Islam klasik. Filsafat
berusaha menjelaskan realitas dengan argumentasi rasional, sementara kalam
bertujuan mempertahankan akidah Islam dari tantangan internal maupun
eksternal.¹⁴ Adapun tasawuf menekankan pengalaman batiniah langsung dengan
Tuhan.
Meski ketiganya memiliki metode
berbeda, tidak jarang terjadi persinggungan. Ibn Sina, misalnya, mengembangkan
filsafat dengan logika dan metafisika, tetapi juga mengakui peran intuisi.
Al-Ghazali, yang dikenal sebagai kritikus filsafat, pada akhirnya
merekonsiliasi pendekatan filosofis dengan pengalaman sufistik.¹⁵ Dengan
demikian, filsafat Islam klasik dapat dilihat sebagai ruang dialog kreatif
antara akal, wahyu, dan intuisi.
2.5.      
Posisi Filsafat
dalam Peradaban Islam
Filsafat Islam klasik menempati posisi
penting dalam peradaban Islam karena memberikan kontribusi signifikan terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan. Konsep-konsep logika Aristotelian yang diadopsi
oleh al-Farabi dan Ibn Sina menjadi dasar dalam pengembangan ilmu kedokteran,
matematika, astronomi, hingga hukum Islam.¹⁶ Lebih dari itu, pemikiran filsafat
Islam turut berpengaruh pada filsafat skolastik Barat melalui penerjemahan
karya Ibn Sina dan Ibn Rushd ke dalam bahasa Latin.¹⁷
Dalam konteks modern, filsafat Islam
klasik sering dipandang sebagai jembatan antara tradisi intelektual Islam dan
Barat, sekaligus sumber inspirasi untuk merefleksikan persoalan kontemporer.¹⁸
Oleh sebab itu, memahami konsep dasar filsafat Islam tidak hanya berarti
menelaah warisan intelektual masa lalu, tetapi juga menyiapkan landasan untuk
dialog peradaban di masa kini.
Footnotes
[1]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 2–4.
[2]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 1–3.
[3]               
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 23–25.
[4]               
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
36–39.
[5]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge,
1992), 55–59.
[6]               
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian
Tradition (Leiden: Brill, 1988), 78–82.
[7]               
Richard M. Frank, Al-Ghazali and the Ash‘arite
School (Durham: Duke University Press, 1994), 12–15.
[8]               
M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy
(Lahore: Shirkat Printing Press, 1981), 45–48.
[9]               
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert N.
Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 7–10.
[10]            
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E.
Butterworth (Leiden: Brill, 2001), 43–45.
[11]            
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A
History of Philosophy without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press,
2016), 88–90.
[12]            
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989),
12–14.
[13]            
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 45–47.
[14]            
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam
(Cambridge: Harvard University Press, 1976), 33–36.
[15]            
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael
E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), xxv–xxviii.
[16]            
George Saliba, Islamic Science and the Making of
the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 53–55.
[17]            
Charles Burnett, “The Coherence of the Arabic-Latin
Translation Program in Toledo in the Twelfth Century,” Science in Context
14, no. 1–2 (2001): 249–288.
[18]            
Nasr, Science and Civilization in Islam,
190–193.
3.          
Sejarah Perkembangan
Filsafat Islam Klasik
3.1.      
Latar Sosial,
Politik, dan Intelektual Dunia Islam Klasik
Perkembangan filsafat Islam klasik
tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan intelektual peradaban
Islam pada masa Dinasti Abbasiyah (750–1258 M). Baghdad sebagai pusat kekuasaan
menjadi kota kosmopolitan di mana para ilmuwan, filsuf, teolog, dan sastrawan
dari berbagai tradisi bertemu dan bertukar gagasan.¹ Dukungan khalifah,
terutama al-Ma’mun (813–833 M), mendorong lahirnya iklim intelektual yang subur
melalui pendirian Bayt al-Hikmah (Bait al-Hikmah atau House of Wisdom),
lembaga penerjemahan dan penelitian yang menjadi ikon perkembangan ilmu
pengetahuan Islam.²
Kondisi ini menjadikan dunia Islam
sebagai pusat studi ilmu pengetahuan global. Hubungan dagang dan politik dengan
Bizantium, Persia, serta India memfasilitasi pertukaran pengetahuan yang intensif.
Dalam suasana demikian, filsafat tumbuh bukan sekadar sebagai hasil adopsi dari
luar, melainkan sebagai produk sintesis kreatif yang dipengaruhi oleh kebutuhan
masyarakat Muslim untuk merumuskan pemahaman yang koheren antara wahyu, akal,
dan realitas sosial.³
3.2.      
Gerakan Penerjemahan
dan Asimilasi Filsafat Yunani
Gerakan penerjemahan teks Yunani ke
dalam bahasa Arab, yang berlangsung antara abad ke-8 hingga ke-10 M, merupakan
fondasi utama filsafat Islam klasik.⁴ Karya-karya Aristoteles, Plato, Plotinus,
Galen, dan Hippokrates diterjemahkan oleh para penerjemah Kristen Suriah,
seperti Hunayn ibn Ishaq (809–873 M), yang menerjemahkan karya-karya medis dan
filosofis ke dalam bahasa Arab.⁵
Namun, para filsuf Muslim tidak sekadar
menyalin pemikiran Yunani, melainkan juga melakukan reinterpretasi. Al-Kindi,
filsuf Muslim pertama, berupaya mengharmoniskan filsafat Yunani dengan ajaran
Islam.⁶ Selanjutnya, al-Farabi (870–950 M) mengembangkan teori negara utama (al-Madina
al-Fadilah) yang terinspirasi dari Plato, tetapi diberi landasan religius.⁷
Ibn Sina (980–1037 M) mengembangkan teori wujud dan esensi yang akan menjadi
fondasi metafisika Islam, sekaligus berpengaruh besar pada pemikiran Latin
Skolastik.⁸
3.3.      
Masa Keemasan
Filsafat Islam (Abad ke-10 hingga ke-12 M)
Puncak kejayaan filsafat Islam terjadi
pada abad ke-10 hingga ke-12 M. Periode ini ditandai dengan sistematisasi
filsafat yang matang, serta perdebatan intens antara filsafat, teologi, dan
tasawuf. Ibn Sina menyusun ensiklopedia filsafat monumental melalui karya al-Shifa’
dan al-Najat.⁹ Sementara itu, al-Ghazali (1058–1111 M), melalui Tahafut
al-Falasifah, mengkritik keras filsafat rasional yang dianggap menyalahi
prinsip-prinsip akidah Islam, terutama dalam tiga isu utama: kekekalan alam,
pengetahuan Tuhan terhadap partikular, dan kebangkitan jasmani.¹⁰
Sebagai respon terhadap kritik
al-Ghazali, Ibn Rushd (1126–1198 M) menulis Tahafut al-Tahafut untuk
membela filsafat.¹¹ Ia menekankan bahwa akal dan wahyu tidak saling
bertentangan, melainkan saling melengkapi. Karya-karya Ibn Rushd kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan memberi pengaruh besar pada filsafat
Eropa, khususnya pada Thomas Aquinas dan para filsuf skolastik.¹²
3.4.      
Penyebaran ke Barat
dan Dunia Islam Timur
Melalui Andalusia dan Sisilia, filsafat
Islam menyebar ke Barat Latin, menjadi jembatan penting dalam transmisi ilmu
pengetahuan dari Timur ke Eropa.¹³ Tokoh-tokoh seperti Ibn Rushd (Averroes) dan
Ibn Tufayl (penulis novel filsafat Hayy ibn Yaqzan) memainkan peran
besar dalam mengenalkan filsafat Islam kepada dunia Kristen.¹⁴
Sementara di dunia Islam Timur, muncul
tradisi filsafat baru seperti filsafat iluminasi (hikmat al-isyrāq) yang
dikembangkan oleh Suhrawardi (1154–1191 M), serta filsafat hikmah transendental
(al-hikmah al-muta‘āliyyah) yang mencapai puncaknya dalam pemikiran
Mulla Sadra (1571–1640 M).¹⁵ Meskipun secara kronologis Mulla Sadra termasuk
dalam periode pasca-klasik, ia tetap dianggap sebagai puncak perkembangan
tradisi filsafat Islam yang berakar pada warisan klasik.
3.5.      
Kemunduran dan
Warisan
Seiring melemahnya kekuatan politik dan
militer dunia Islam pada abad ke-13 M akibat invasi Mongol, pusat-pusat
intelektual seperti Baghdad mengalami kehancuran.¹⁶ Namun, warisan filsafat
Islam tidak punah. Ia terus hidup melalui madrasah, tarekat sufi, serta
pengaruhnya terhadap filsafat Eropa abad pertengahan. Bahkan, hingga hari ini,
filsafat Islam klasik menjadi rujukan penting dalam diskusi tentang relasi akal
dan wahyu, ilmu dan agama, serta etika dan spiritualitas.¹⁷
Footnotes
[1]               
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam:
Conscience and History in a World Civilization, vol. 2 (Chicago: University
of Chicago Press, 1974), 27–29.
[2]               
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The
Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society
(London: Routledge, 1998), 40–44.
[3]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 8–11.
[4]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 15–17.
[5]               
Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, 65–68.
[6]               
Peter Adamson, Al-Kindi (Oxford: Oxford
University Press, 2007), 23–26.
[7]               
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert N.
Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 18–21.
[8]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge,
1992), 62–65.
[9]               
Ibn Sina, Al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour
(Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah, 1952), 5–7.
[10]            
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael
E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 142–145.
[11]            
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, ed. Simon van
den Bergh (London: Luzac, 1954), 211–215.
[12]            
Richard C. Taylor, “Averroes and the Rationality of
Religious Belief,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy,
ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press,
2005), 177–180.
[13]            
Charles Burnett, “Arabic into Latin: The Reception of
Arabic Philosophy into Western Europe,” dalam The Cambridge Companion to
Arabic Philosophy, 370–372.
[14]            
Lenn Evan Goodman, Ibn Tufayl’s Hayy Ibn Yaqzan: A
Philosophical Tale (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 3–5.
[15]            
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna,
Suhrawardi, Ibn ‘Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 67–71.
[16]            
Bernard Lewis, The Middle East: A Brief History of
the Last 2,000 Years (New York: Scribner, 1995), 112–114.
[17]            
George Saliba, Islamic Science and the Making of
the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 77–80.
4.          
Aliran dan Tema
Sentral Filsafat Islam
4.1.      
Filsafat Peripatetik
(al-Masya’iyyun)
Filsafat peripatetik dalam Islam
merupakan kelanjutan tradisi Aristotelian yang diadaptasi dan dikembangkan oleh
para filsuf Muslim. Aliran ini dikenal dengan orientasinya pada logika,
metafisika, dan kosmologi, serta penekanannya pada argumen rasional
sistematis.¹ Al-Kindi (w. 873) sebagai filsuf Muslim pertama memperkenalkan
filsafat Yunani dalam kerangka Islam dengan menekankan kompatibilitas antara
akal dan wahyu.² Al-Farabi (870–950) kemudian menyusun sistem filsafat
komprehensif mencakup logika, etika, dan politik, yang mencapai puncaknya pada
karya al-Madina al-Fadilah.³ Ibn Sina (980–1037) mengembangkan filsafat
peripatetik lebih lanjut dengan membedakan secara tajam antara esensi (mahiyyah)
dan eksistensi (wujud), yang menjadi landasan penting metafisika Islam.⁴
4.2.      
Filsafat
Illuminasionis (al-Isyraqiyyun)
Filsafat illuminasi dikembangkan oleh
Shihab al-Din al-Suhrawardi (1154–1191), yang berusaha menggabungkan
rasionalitas peripatetik dengan intuisi dan iluminasi spiritual.⁵ Dalam Hikmat
al-Isyraq, ia mengemukakan teori “cahaya” sebagai prinsip
fundamental realitas, di mana segala sesuatu merupakan manifestasi dari
intensitas cahaya Ilahi.⁶ Aliran ini memperkenalkan dimensi mistis ke dalam
filsafat Islam, sekaligus mengintegrasikan elemen neoplatonis dan Zoroastrianisme
Persia.⁷ Dengan demikian, filsafat illuminasi menekankan pentingnya penyatuan
pengetahuan rasional dan pengalaman intuitif dalam memahami kebenaran.
4.3.      
Filsafat Hikmah
Transendental (al-Hikmah al-Muta‘aliyah)
Aliran hikmah transendental, yang mencapai
puncaknya dalam pemikiran Mulla Sadra (1571–1640), merupakan sintesis antara
filsafat peripatetik, iluminasi, dan tasawuf.⁸ Mulla Sadra memperkenalkan
konsep “primasi eksistensi atas esensi” (asalat al-wujud), yang
menyatakan bahwa eksistensi adalah realitas fundamental sedangkan esensi
hanyalah konsepsi mental.⁹ Ia juga menekankan gerak substansial (al-harakah
al-jawhariyyah) sebagai dasar perubahan kosmos.¹⁰ Dengan demikian, hikmah
transendental menegaskan kesatuan ontologis segala sesuatu dalam wujud Tuhan.
4.4.      
Tema Ontologi
Ontologi dalam filsafat Islam klasik
berpusat pada pembahasan tentang wujud (al-wujud). Ibn Sina menegaskan
adanya perbedaan antara esensi dan eksistensi, di mana esensi tidak dengan
sendirinya ada kecuali jika diwujudkan oleh sesuatu yang lain.¹¹ Pemikiran ini
kemudian memengaruhi diskursus metafisika dalam filsafat skolastik Eropa.
Sementara itu, Mulla Sadra menegaskan superioritas eksistensi atas esensi,
suatu gagasan yang memunculkan paradigma baru dalam filsafat Islam.¹²
4.5.      
Tema Kosmologi
Kosmologi Islam klasik sangat
dipengaruhi oleh Neoplatonisme, terutama teori emanasi (fayḍ). Al-Farabi
dan Ibn Sina mengadopsi gagasan bahwa dari Tuhan Yang Esa memancar akal-akal
kosmik, yang kemudian membentuk tatanan alam semesta secara hierarkis.¹³
Meskipun mendapat kritik dari kalangan teolog, teori ini berusaha menjelaskan
keteraturan kosmos dan hubungan kausalitas antara Tuhan dan alam.
4.6.      
Tema Epistemologi
Epistemologi dalam filsafat Islam
membahas sumber dan validitas pengetahuan. Para filsuf Muslim berusaha
mengharmoniskan peran akal dan wahyu. Ibn Sina, misalnya, mengemukakan teori
akal aktif (al-‘aql al-fa‘‘al) sebagai penghubung antara jiwa manusia
dan pengetahuan universal.¹⁴ Sementara al-Ghazali, meski kritis terhadap
filsafat rasional, tetap mengakui adanya pengetahuan intuitif yang dicapai
melalui pengalaman spiritual.¹⁵ Dengan demikian, epistemologi Islam klasik
membuka ruang bagi sintesis antara rasionalitas, pengalaman empiris, dan
intuisi mistis.
4.7.      
Tema Etika
Etika Islam klasik berfokus pada
pencapaian kebahagiaan (sa‘adah) sebagai tujuan akhir kehidupan manusia.
Menurut al-Farabi, kebahagiaan tertinggi hanya dapat dicapai melalui
pengetahuan intelektual yang dipadukan dengan kehidupan moral.¹⁶ Ibn Miskawayh
dalam Tahdhib al-Akhlaq menekankan pentingnya moderasi dalam perilaku
sebagai jalan menuju kesempurnaan moral.¹⁷ Etika dalam filsafat Islam tidak
hanya berlandaskan akal, tetapi juga berorientasi pada keselarasan dengan
syariat dan tujuan transendental.
4.8.      
Tema Politik
Filsafat politik Islam klasik
berkembang dalam konteks pencarian model negara ideal. Al-Farabi, melalui
gagasan al-Madina al-Fadilah, menggambarkan negara utama yang dipimpin
oleh seorang filosof-raja yang serupa dengan nabi.¹⁸ Pemikiran ini menjadi salah
satu teori politik paling berpengaruh dalam filsafat Islam. Ibn Rushd, di sisi
lain, menekankan perlunya sistem hukum yang adil dan sesuai dengan prinsip
rasional, sekaligus tidak bertentangan dengan syariat.¹⁹
4.9.      
Relasi antara Agama
dan Filsafat
Salah satu tema sentral filsafat Islam
adalah relasi antara agama dan filsafat. Ibn Rushd berpendapat bahwa wahyu dan
filsafat memiliki tujuan yang sama, yakni mencari kebenaran, hanya berbeda
dalam metode: wahyu ditujukan untuk masyarakat umum, sedangkan filsafat untuk
kalangan intelektual.²⁰ Perspektif ini memperlihatkan usaha filsafat Islam
klasik untuk menegaskan keselarasan, bukan pertentangan, antara agama dan
rasionalitas.
Footnotes
[1]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 35–38.
[2]               
Peter Adamson, Al-Kindi (Oxford: Oxford
University Press, 2007), 41–44.
[3]               
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert N.
Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 12–16.
[4]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge,
1992), 72–75.
[5]               
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna,
Suhrawardi, Ibn ‘Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 56–59.
[6]               
Shihab al-Din al-Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq,
ed. Henry Corbin (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1977), 88–91.
[7]               
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study
of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 23–27.
[8]               
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, eds., History
of Islamic Philosophy, vol. 2 (London: Routledge, 1996), 553–556.
[9]               
Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad
Khajavi (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 1981), 33–35.
[10]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 64–68.
[11]            
Goodman, Avicenna, 81–83.
[12]            
Nasr dan Leaman, History of Islamic Philosophy,
561–563.
[13]            
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 48–52.
[14]            
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian
Tradition (Leiden: Brill, 1988), 132–135.
[15]            
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael
E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), xx–xxii.
[16]            
Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah, ed. Ja‘far
Al-Yasin (Beirut: Dar al-Andalus, 1981), 25–29.
[17]            
Ibn Miskawayh, Tahdhib al-Akhlaq, ed.
Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 12–15.
[18]            
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, 20–24.
[19]            
Ibn Rushd, Bidayat al-Mujtahid, ed. Ahmad
Shamsuddin (Cairo: Dar al-Hadith, 1999), 9–12.
[20]            
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E.
Butterworth (Leiden: Brill, 2001), 43–46.
5.          
Tokoh-Tokoh Utama
Filsafat Islam Klasik
5.1.      
Al-Kindi (801–873 M)
Al-Kindi, yang sering dijuluki sebagai
“Filsuf Arab Pertama,” merupakan tokoh pionir dalam mengintroduksi filsafat
Yunani ke dalam dunia Islam.¹ Ia memandang filsafat sebagai sarana untuk
memahami kebenaran universal dan menegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara
filsafat dan agama.² Dalam karyanya Falsafat al-Ula (Filsafat Pertama),
Al-Kindi menekankan pentingnya rasionalitas dalam menjelaskan hakikat wujud,
sekaligus mengakui peran wahyu sebagai sumber kebenaran tertinggi.³ Warisannya
membuka jalan bagi generasi filsuf Muslim setelahnya, terutama dalam
mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama.
5.2.      
Al-Farabi (870–950
M)
Al-Farabi, yang dikenal sebagai “Guru
Kedua” setelah Aristoteles, mengembangkan sistem filsafat yang komprehensif
mencakup logika, metafisika, etika, dan politik.⁴ Ia berusaha menyatukan
filsafat Plato dan Aristoteles, kemudian menyesuaikannya dengan kerangka
pemikiran Islam.⁵ Karya terkenalnya, al-Madina al-Fadilah (Kota Utama),
menggambarkan negara ideal yang dipimpin oleh seorang filosof-nabi, di mana
kebahagiaan kolektif dicapai melalui pengetahuan dan moralitas.⁶ Kontribusinya
dalam filsafat politik dan logika menjadikan Al-Farabi sebagai salah satu figur
sentral dalam tradisi filsafat Islam klasik.
5.3.      
Ibn Sina (980–1037
M)
Ibn Sina, atau Avicenna dalam tradisi
Barat, adalah filsuf sekaligus dokter yang karya-karyanya berpengaruh besar
dalam dunia Islam dan Eropa.⁷ Dalam filsafat, ia dikenal dengan gagasan
ontologisnya tentang perbedaan esensi (mahiyyah) dan eksistensi (wujud),
serta konsep Wajib al-Wujud (Yang Wajib Ada) sebagai dasar kosmologi dan
teologi.⁸ Karya monumentalnya, al-Shifa’ (Kesembuhan), merupakan
ensiklopedia filsafat dan ilmu pengetahuan yang meliputi logika, fisika,
metafisika, dan etika.⁹ Selain itu, al-Qanun fi al-Tibb (Kanon
Kedokteran) menjadi rujukan medis di universitas-universitas Eropa hingga abad
ke-17.¹⁰ Pemikirannya menempatkan Ibn Sina sebagai figur kunci dalam
perkembangan filsafat peripatetik Islam.
5.4.      
Al-Ghazali
(1058–1111 M)
Al-Ghazali adalah seorang teolog, sufi,
sekaligus kritikus filsafat.¹¹ Melalui karyanya Tahafut al-Falasifah
(Kerancuan Para Filsuf), ia mengkritik pemikiran Ibn Sina dan al-Farabi,
khususnya terkait kekekalan alam, pengetahuan Tuhan terhadap partikular, dan
kebangkitan jasmani.¹² Kritiknya mengguncang legitimasi filsafat peripatetik di
dunia Islam, namun di sisi lain ia juga memberi kontribusi besar dalam
merekonsiliasi akal, iman, dan tasawuf.¹³ Karya spiritualnya, Ihya’ Ulum
al-Din, menekankan pentingnya pembersihan jiwa, etika, dan hubungan dengan
Tuhan.¹⁴ Dengan demikian, meskipun dikenal sebagai pengkritik filsafat,
al-Ghazali sesungguhnya turut memperkaya tradisi filsafat Islam dengan dimensi
etis dan spiritual.
5.5.      
Ibn Rushd (1126–1198
M)
Ibn Rushd, atau Averroes di Barat,
dikenal sebagai pembela filsafat yang gigih.¹⁵ Dalam karyanya Tahafut
al-Tahafut (Kerancuan atas Kerancuan), ia menanggapi kritik al-Ghazali dan
membela rasionalitas filosofis.¹⁶ Ibn Rushd berpendapat bahwa wahyu dan
filsafat tidak bertentangan, melainkan dua jalan yang berbeda menuju kebenaran
yang sama.¹⁷ Ia juga dikenal sebagai komentator utama Aristoteles, sehingga
dijuluki “The Commentator” di Eropa.¹⁸ Pemikirannya sangat berpengaruh
pada filsafat skolastik Barat, khususnya pada Thomas Aquinas.¹⁹ Di dunia Islam
sendiri, gagasannya lebih banyak diperdebatkan, namun di Eropa ia menjadi
jembatan penting antara filsafat Islam dan filsafat Latin.
5.6.      
Suhrawardi
(1154–1191 M)
Shihab al-Din al-Suhrawardi adalah
pendiri filsafat iluminasi (hikmat al-isyrāq).²⁰ Ia mengkritik
keterbatasan rasionalisme peripatetik dan menawarkan pendekatan filosofis yang
menekankan peran cahaya dan intuisi spiritual dalam memahami realitas.²¹ Dalam Hikmat
al-Isyraq, ia menggambarkan hierarki wujud sebagai intensitas cahaya yang
berpuncak pada Cahaya Tertinggi (Tuhan).²² Meskipun hidup singkat, pemikirannya
meninggalkan pengaruh mendalam pada tradisi filsafat Islam Timur, terutama
dalam integrasi antara filsafat dan tasawuf.²³
5.7.      
Mulla Sadra
(1571–1640 M)
Mulla Sadra, meskipun hidup pada
periode pasca-klasik, sering dianggap sebagai kulminasi tradisi filsafat Islam
klasik.²⁴ Melalui filsafat hikmah transendental (al-hikmah al-muta‘āliyyah),
ia mensintesiskan peripatetik, iluminasi, dan tasawuf.²⁵ Konsep utamanya adalah
asalat al-wujud (primasi eksistensi) yang menekankan bahwa eksistensi
lebih fundamental daripada esensi.²⁶ Ia juga mengembangkan teori gerak
substansial (al-harakah al-jawhariyyah) untuk menjelaskan dinamika
kosmos.²⁷ Pemikirannya hingga kini masih menjadi rujukan utama dalam kajian
filsafat Islam di Iran dan dunia Muslim.²⁸
Footnotes
[1]               
Peter Adamson, Al-Kindi (Oxford: Oxford
University Press, 2007), 3–5.
[2]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 61–63.
[3]               
Al-Kindi, On First Philosophy, ed. Alfred Ivry
(Albany: SUNY Press, 1974), 12–14.
[4]               
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert N.
Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 8–12.
[5]               
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 75–78.
[6]               
Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State
(Oxford: Clarendon Press, 1985), 15–18.
[7]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge,
1992), 33–37.
[8]               
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian
Tradition (Leiden: Brill, 1988), 90–94.
[9]               
Ibn Sina, Al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour
(Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah, 1952), 5–9.
[10]            
Jon McGinnis, Avicenna (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 121–125.
[11]            
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 21–23.
[12]            
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael
E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 142–146.
[13]            
Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology,
98–100.
[14]            
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, ed. Bulaq
(Cairo: al-Matba‘ah al-Amiriyyah, 1937), 1:15–17.
[15]            
Richard C. Taylor, “Averroes and the Rationality of
Religious Belief,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy,
ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press,
2005), 177–180.
[16]            
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, ed. Simon van
den Bergh (London: Luzac, 1954), 2:211–215.
[17]            
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E.
Butterworth (Leiden: Brill, 2001), 43–45.
[18]            
Ernest Renan, Averroès et l’Averroïsme (Paris:
Calmann-Lévy, 1861), 101–103.
[19]            
Taylor, “Averroes and the Rationality of Religious
Belief,” 183–185.
[20]            
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna,
Suhrawardi, Ibn ‘Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 57–59.
[21]            
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study
of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 22–24.
[22]            
Shihab al-Din al-Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq,
ed. Henry Corbin (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1977), 33–36.
[23]            
Nasr, Three Muslim Sages, 61–63.
[24]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 12–15.
[25]            
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, eds., History
of Islamic Philosophy, vol. 2 (London: Routledge, 1996), 553–556.
[26]            
Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Muhammad
Khajavi (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 1981), 27–30.
[27]            
Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy,
64–68.
[28]            
Nasr dan Leaman, History of Islamic Philosophy,
561–563.
6.          
Tema-Tema Filosofis
dalam Filsafat Islam Klasik
6.1.      
Ontologi: Wujud dan
Esensi
Ontologi merupakan salah satu tema
paling fundamental dalam filsafat Islam klasik. Ibn Sina mengemukakan perbedaan
radikal antara esensi (mahiyyah) dan eksistensi (wujūd).¹
Menurutnya, esensi sesuatu dapat dipahami tanpa harus disertai dengan
keberadaan aktual, sehingga eksistensi menjadi sesuatu yang ditambahkan oleh
sebab eksternal.² Dari sini, ia menyimpulkan adanya Wajib al-Wujūd (Yang Wajib
Ada), yaitu Tuhan, sebagai sumber segala eksistensi.³ Konsep ini kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh Mulla Sadra dengan menegaskan asalat al-wujūd
(primasi eksistensi) atas esensi, yang menekankan bahwa realitas sejati adalah
eksistensi itu sendiri, sementara esensi hanyalah konstruksi intelektual.⁴
6.2.      
Kosmologi: Asal-Usul
dan Tatanan Alam
Kosmologi dalam filsafat Islam banyak
dipengaruhi oleh Neoplatonisme, khususnya teori emanasi (fayḍ).
Al-Farabi merumuskan bahwa dari Tuhan sebagai Yang Esa terpancar akal-akal
kosmik secara hierarkis, yang akhirnya menghasilkan dunia materi.⁵ Ibn Sina
mengembangkan model ini dengan menjelaskan adanya sepuluh akal, di mana akal
kesepuluh disebut al-‘aql al-fa‘‘al (akal aktif) yang berhubungan
langsung dengan dunia sublunar.⁶ Teori ini, meski dikritik oleh teolog seperti
al-Ghazali karena dianggap membatasi kekuasaan Tuhan, dimaksudkan untuk
menjelaskan keteraturan kosmos secara rasional dan filosofis.⁷
6.3.      
Epistemologi: Akal,
Wahyu, dan Intuisi
Epistemologi dalam filsafat Islam
klasik menekankan pentingnya akal sebagai instrumen utama untuk memperoleh
pengetahuan. Ibn Sina membedakan antara tiga bentuk pengetahuan: pengetahuan
indrawi, pengetahuan rasional, dan pengetahuan intuitif.⁸ Pengetahuan intuitif
ini dianggap sebagai cara tertinggi dalam mencapai kebenaran, yang dalam
tradisi sufi dipandang sebagai kasyf (penyingkapan batin).⁹ Ibn Rushd, di sisi
lain, menegaskan bahwa filsafat dan wahyu tidak saling bertentangan karena
keduanya merupakan jalan berbeda menuju kebenaran yang sama.¹⁰ Dengan demikian,
epistemologi Islam klasik memadukan antara akal, pengalaman empiris, intuisi,
dan wahyu.
6.4.      
Etika: Jiwa,
Kebajikan, dan Kebahagiaan
Tema etika dalam filsafat Islam klasik
sangat dipengaruhi oleh tradisi Yunani, terutama Aristoteles, namun dengan
corak religius yang khas. Al-Farabi menegaskan bahwa tujuan akhir manusia
adalah mencapai kebahagiaan (sa‘ādah), yang hanya dapat diperoleh
melalui kesempurnaan akal dan praktik kebajikan.¹¹ Ibn Miskawayh dalam Tahdhīb
al-Akhlāq menekankan pentingnya moderasi sebagai jalan tengah dalam
pembentukan karakter moral.¹² Etika dalam filsafat Islam tidak hanya menekankan
dimensi individual, tetapi juga sosial, sebab kebajikan individu akan bermuara
pada keteraturan masyarakat dan tercapainya kebahagiaan kolektif.¹³
6.5.      
Politik: Negara
Ideal dan Keadilan
Filsafat politik Islam klasik banyak
dipengaruhi oleh Republik Plato, namun diberi muatan teologis.
Al-Farabi, dalam al-Madīnah al-Fāḍilah, menggambarkan negara utama
sebagai tatanan politik yang dipimpin oleh seorang filosof-raja yang juga
nabi.¹⁴ Pemimpin ideal ini memiliki pengetahuan rasional dan wahyu sehingga
dapat menuntun masyarakat menuju kebahagiaan tertinggi. Ibn Rushd juga membahas
politik dengan menekankan pentingnya hukum yang adil dan berbasis akal.¹⁵
Dengan demikian, filsafat politik Islam berupaya mengintegrasikan idealisme
filosofis dengan prinsip-prinsip syariat.
6.6.      
Relasi antara Agama
dan Filsafat
Salah satu tema sentral dalam filsafat
Islam klasik adalah upaya untuk menjelaskan relasi agama dan filsafat. Ibn
Rushd menekankan bahwa syariat dan filsafat tidaklah bertentangan, melainkan
sejalan.¹⁶ Wahyu ditujukan untuk khalayak umum dengan pendekatan simbolik,
sedangkan filsafat ditujukan untuk kalangan intelektual dengan pendekatan
demonstratif.¹⁷ Al-Ghazali, meski keras mengkritik filsafat, akhirnya mengakui
bahwa filsafat dapat digunakan sejauh tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama.¹⁸
Relasi ini menunjukkan adanya dialektika kreatif antara iman dan rasio dalam
tradisi intelektual Islam.
Footnotes
[1]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge,
1992), 55–58.
[2]               
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian
Tradition (Leiden: Brill, 1988), 134–137.
[3]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 105–107.
[4]               
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 42–46.
[5]               
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert N.
Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 18–21.
[6]               
Goodman, Avicenna, 67–70.
[7]               
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael
E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 141–144.
[8]               
Ibn Sina, Al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour
(Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah, 1952), 2:33–36.
[9]               
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989),
27–29.
[10]            
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E. Butterworth
(Leiden: Brill, 2001), 42–45.
[11]            
Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah, ed. Ja‘far
Al-Yasin (Beirut: Dar al-Andalus, 1981), 25–28.
[12]            
Ibn Miskawayh, Tahdhib al-Akhlaq, ed.
Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 15–18.
[13]            
Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
122–124.
[14]            
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, 22–25.
[15]            
Ibn Rushd, Bidayat al-Mujtahid, ed. Ahmad
Shamsuddin (Cairo: Dar al-Hadith, 1999), 12–15.
[16]            
Richard C. Taylor, “Averroes and the Rationality of
Religious Belief,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy,
ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press,
2005), 177–179.
[17]            
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, 47–49.
[18]            
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 99–102.
7.          
Perdebatan dan
Kritik dalam Filsafat Islam Klasik
7.1.      
Pertentangan antara
Filsafat dan Ilmu Kalam
Salah satu perdebatan besar dalam
sejarah intelektual Islam adalah relasi antara filsafat (falsafah) dan
ilmu kalam. Ilmu kalam, yang berkembang lebih awal, berfokus pada pembelaan
akidah Islam dari tantangan internal (seperti perdebatan dengan kelompok
Khawarij dan Mu‘tazilah) maupun eksternal (agama lain, filsafat Yunani).¹
Sementara itu, filsafat Islam mengedepankan metode demonstratif (burhānī)
untuk menjelaskan realitas.²
Kaum teolog, khususnya aliran
Asy‘ariyah, kerap mengkritik para filsuf yang dianggap terlalu rasionalis dan
kurang memberi tempat pada otoritas wahyu.³ Sebaliknya, para filsuf seperti
al-Farabi dan Ibn Sina berusaha menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan
esensial antara filsafat dan agama.⁴ Pertentangan ini melahirkan dinamika
dialektis yang memperkaya tradisi intelektual Islam, meskipun juga memunculkan
ketegangan berkepanjangan.
7.2.      
Kritik Al-Ghazali
terhadap Filsafat
Tokoh sentral dalam kritik terhadap
filsafat adalah Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111 M). Dalam Tahafut
al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf), al-Ghazali menuduh para filsuf Muslim
seperti Ibn Sina dan al-Farabi telah terjerumus dalam kekeliruan teologis.⁵ Ia
menyoroti tiga doktrin yang dianggap kufur: (1) keyakinan akan kekekalan alam
semesta, (2) anggapan bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal universal, bukan
partikular, dan (3) penolakan terhadap kebangkitan jasmani.⁶
Bagi al-Ghazali, filsafat yang terlalu
dipengaruhi oleh Aristotelianisme dan Neoplatonisme berpotensi merusak akidah
Islam.⁷ Namun, ia tidak menolak filsafat secara total. Dalam bidang logika,
misalnya, al-Ghazali justru mengintegrasikannya ke dalam metodologi usul
fikih.⁸ Dengan demikian, kritiknya tidak berarti penolakan mutlak terhadap
rasionalitas, melainkan upaya untuk menempatkan filsafat dalam koridor teologi
Islam.
7.3.      
Pembelaan Ibn Rushd
terhadap Filsafat
Sebagai tanggapan, Ibn Rushd (1126–1198
M) menulis Tahafut al-Tahafut (Kerancuan atas Kerancuan), yang secara
sistematis membantah argumen al-Ghazali.⁹ Ia menekankan bahwa wahyu dan
filsafat tidak saling bertentangan, melainkan sama-sama mengarah pada
kebenaran. Menurut Ibn Rushd, syariat Islam bahkan mendorong penggunaan akal
untuk merenungkan ciptaan Tuhan.¹⁰
Ibn Rushd juga berpendapat bahwa kritik
al-Ghazali lebih mencerminkan bias teologis daripada argumentasi filosofis.¹¹
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa filsafat harus tetap dipertahankan sebagai
sarana untuk memahami kebenaran secara mendalam. Pandangan ini kemudian memberi
pengaruh besar pada filsafat skolastik di Barat Latin, meskipun di dunia Islam
sendiri tidak memperoleh penerimaan luas.¹²
7.4.      
Kontroversi
Ortodoksi dan Resistensi Sosial
Selain perdebatan intelektual, filsafat
Islam juga menghadapi resistensi sosial-politik. Banyak ulama fiqh dan kalam
menuduh filsafat sebagai ajaran asing yang membahayakan kemurnian akidah
Islam.¹³ Beberapa filsuf, seperti Suhrawardi, bahkan dihukum mati karena
ajaran-ajarannya dianggap sesat oleh otoritas politik dan keagamaan.¹⁴ Kondisi
ini memperlihatkan bahwa filsafat Islam tidak hanya diuji dalam ranah akademik,
tetapi juga dalam arena politik dan ortodoksi keagamaan.
Meski demikian, tradisi filsafat tidak
pernah sepenuhnya hilang. Di Timur Islam, pemikiran filsafat tetap berkembang,
terutama melalui sintesis antara filsafat, kalam, dan tasawuf.¹⁵ Warisan ini
menjadi bukti bahwa meskipun menghadapi kritik keras, filsafat Islam klasik
tetap bertahan sebagai bagian integral dari peradaban Islam.
7.5.      
Pengaruh Perdebatan
terhadap Filsafat Barat
Perdebatan antara filsuf Muslim dan
teolog Islam tidak berhenti dalam lingkup dunia Islam. Karya-karya Ibn Sina,
al-Ghazali, dan Ibn Rushd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan memengaruhi
diskursus filsafat Eropa abad pertengahan.¹⁶ Kritik al-Ghazali menginspirasi
diskusi tentang keterbatasan akal dalam teologi Kristen, sementara pembelaan
Ibn Rushd terhadap filsafat memberi pengaruh besar pada Thomas Aquinas dan
tradisi skolastik.¹⁷ Dengan demikian, polemik internal filsafat Islam klasik
memiliki dampak transnasional yang luas.
Footnotes
[1]               
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam
(Cambridge: Harvard University Press, 1976), 45–47.
[2]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 8–11.
[3]               
Richard M. Frank, Al-Ghazali and the Ash‘arite
School (Durham: Duke University Press, 1994), 22–25.
[4]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 15–17.
[5]               
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael
E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), xxv–xxviii.
[6]               
Ibid., 143–145.
[7]               
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 97–101.
[8]               
Al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, ed.
Hamzah al-Malibari (Jeddah: Dar al-Minhaj, 2011), 12–15.
[9]               
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, ed. Simon van
den Bergh (London: Luzac, 1954), 211–214.
[10]            
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E.
Butterworth (Leiden: Brill, 2001), 43–45.
[11]            
Richard C. Taylor, “Averroes and the Rationality of
Religious Belief,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy,
ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press,
2005), 179–182.
[12]            
Ernest Renan, Averroès et l’Averroïsme (Paris:
Calmann-Lévy, 1861), 110–113.
[13]            
Bernard Lewis, The Middle East: A Brief History of
the Last 2,000 Years (New York: Scribner, 1995), 98–100.
[14]            
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna,
Suhrawardi, Ibn ‘Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 66–69.
[15]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 23–26.
[16]            
Charles Burnett, “Arabic into Latin: The Reception of
Arabic Philosophy into Western Europe,” dalam The Cambridge Companion to
Arabic Philosophy, 370–372.
[17]            
Thomas F. Glick, Steven J. Livesey, dan Faith Wallis,
eds., Medieval Science, Technology, and Medicine: An Encyclopedia (New
York: Routledge, 2005), 50–52.
8.          
Relevansi Filsafat
Islam Klasik dalam Dunia Modern
8.1.      
Pengaruh terhadap
Tradisi Intelektual Barat
Filsafat Islam klasik memiliki dampak
transformatif yang melampaui batas dunia Islam. Pemikiran Ibn Sina, Ibn Rushd,
dan al-Farabi diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sejak abad ke-12 dan menjadi
fondasi penting bagi filsafat skolastik Eropa.¹ Thomas Aquinas, misalnya,
terinspirasi oleh perbedaan Ibn Sina antara esensi (mahiyyah) dan
eksistensi (wujūd) dalam merumuskan konsep metafisikanya.² Sementara
itu, komentar Ibn Rushd terhadap Aristoteles menjadikan filsafat Islam sebagai
penghubung utama antara filsafat Yunani kuno dan Renaisans Eropa.³ Dengan
demikian, warisan filsafat Islam klasik tetap relevan karena ia menjadi bagian
integral dari sejarah filsafat dunia, bukan sekadar tradisi regional.
8.2.      
Kontribusi bagi
Pemikiran Islam Kontemporer
Dalam konteks dunia Muslim modern,
filsafat Islam klasik berfungsi sebagai sumber refleksi kritis untuk menjawab
persoalan kontemporer. Pemikiran al-Farabi tentang negara utama, misalnya,
memberi inspirasi dalam diskusi tentang politik Islam dan ideal kepemimpinan
berbasis moral.⁴ Konsep Ibn Sina tentang harmoni akal dan wahyu relevan dalam
menjembatani ketegangan antara tradisi keagamaan dan tuntutan modernitas.⁵
Bahkan kritik al-Ghazali terhadap filsafat mengajarkan pentingnya menjaga
keseimbangan antara rasionalitas dan iman, suatu isu yang terus aktual dalam
menghadapi sekularisme maupun fundamentalisme.⁶
8.3.      
Filsafat Islam sebagai
Jembatan antara Sains dan Agama
Salah satu tantangan besar dunia modern
adalah relasi antara sains dan agama. Filsafat Islam klasik, yang sejak awal
berusaha mengintegrasikan akal dan wahyu, menyediakan paradigma alternatif bagi
dialog ini. Ibn Sina dan al-Farabi, misalnya, tidak melihat kontradiksi antara
studi empiris dengan metafisika religius.⁷ Tradisi ini dapat dijadikan model
untuk membangun epistemologi integratif yang menolak dikotomi antara ilmu
pengetahuan sekuler dan pengetahuan religius.⁸ Dalam era ilmu pengetahuan yang
semakin terfragmentasi, warisan filsafat Islam klasik berpotensi menghadirkan
kerangka holistik yang memadukan sains, etika, dan spiritualitas.
8.4.      
Etika dan Krisis
Moral Kontemporer
Dunia modern menghadapi krisis moral
global, seperti hedonisme, ketidakadilan sosial, serta degradasi lingkungan.
Etika filsafat Islam klasik, yang menekankan kebajikan (fadhīlah) dan
kebahagiaan (sa‘ādah), menawarkan alternatif penting. Al-Farabi dan Ibn
Miskawayh, misalnya, menekankan pentingnya keutamaan moral dalam kehidupan
individu dan kolektif.⁹ Nilai-nilai ini dapat diaplikasikan dalam konteks
modern untuk merumuskan etika publik yang berakar pada kebajikan, bukan sekadar
utilitas. Selain itu, spiritualitas dalam filsafat Suhrawardi dan Mulla Sadra
dapat menjadi penyeimbang bagi masyarakat modern yang cenderung
materialistis.¹⁰
8.5.      
Relevansi dalam
Dialog Antarperadaban
Filsafat Islam klasik lahir dalam
interaksi intensif dengan filsafat Yunani, Persia, dan India.¹¹ Warisan ini
menunjukkan bahwa Islam pernah menjadi pusat dialog peradaban yang terbuka dan
kreatif. Dalam konteks globalisasi saat ini, semangat dialog tersebut sangat
relevan untuk membangun hubungan antaragama dan antarbudaya yang lebih
harmonis. Konsep Ibn Rushd tentang keselarasan antara akal dan wahyu, misalnya,
dapat dijadikan pijakan untuk mendorong pluralisme intelektual yang sehat.¹²
8.6.      
Revitalisasi untuk
Tantangan Global
Filsafat Islam klasik tidak hanya
berfungsi sebagai warisan sejarah, tetapi juga sebagai sumber inspirasi bagi upaya
revitalisasi pemikiran Islam kontemporer. Tantangan global seperti
ketidakadilan ekonomi, krisis lingkungan, dan konflik antaragama membutuhkan
pendekatan yang memadukan rasionalitas, etika, dan spiritualitas.¹³ Warisan
para filsuf Muslim klasik, dengan sintesis antara akal, iman, dan pengalaman
intuitif, dapat membantu umat Islam berkontribusi dalam percaturan global
dengan membawa solusi berbasis nilai universal.¹⁴
Footnotes
[1]               
Charles Burnett, “Arabic into Latin: The Reception of
Arabic Philosophy into Western Europe,” dalam The Cambridge Companion to
Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 370–373.
[2]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge,
1992), 97–99.
[3]               
Richard C. Taylor, “Averroes and the Rationality of
Religious Belief,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy,
177–180.
[4]               
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert N.
Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 15–19.
[5]               
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian
Tradition (Leiden: Brill, 1988), 142–145.
[6]               
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 99–102.
[7]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 105–108.
[8]               
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 34–36.
[9]               
Ibn Miskawayh, Tahdhib al-Akhlaq, ed.
Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 23–27.
[10]            
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study
of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 25–28.
[11]            
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 11–14.
[12]            
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E.
Butterworth (Leiden: Brill, 2001), 42–45.
[13]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 212–215.
[14]            
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, eds., History
of Islamic Philosophy, vol. 2 (London: Routledge, 1996), 564–567.
9.          
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
9.1.      
Posisi Filsafat
Islam dalam Tradisi Intelektual Dunia
Filsafat Islam klasik tidak dapat
dipahami semata sebagai hasil adopsi dari filsafat Yunani, melainkan sebagai
proses kreatif yang melibatkan adaptasi, reinterpretasi, dan inovasi. Para
filsuf Muslim seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd mengembangkan sistem
pemikiran yang bukan hanya melestarikan warisan filsafat Yunani, tetapi juga
menempatkannya dalam kerangka teologis Islam.¹ Dengan demikian, filsafat Islam
berperan sebagai jembatan antara peradaban kuno dan peradaban modern, sekaligus
berkontribusi dalam membentuk fondasi intelektual filsafat Barat.²
9.2.      
Kontribusi Unik
terhadap Peradaban Manusia
Salah satu kontribusi penting filsafat
Islam klasik adalah kemampuannya menyatukan berbagai disiplin ilmu: metafisika,
kosmologi, epistemologi, etika, politik, hingga kedokteran dan sains alam.³ Ibn
Sina, misalnya, tidak hanya dikenal sebagai filsuf metafisika, tetapi juga
sebagai ilmuwan dan dokter yang memberi kontribusi besar terhadap kedokteran
modern.⁴ Al-Farabi menyusun teori politik filosofis yang menggabungkan
inspirasi Plato dengan visi religius Islam.⁵ Ibn Rushd, di sisi lain, memberi
model bagi filsafat kritis dengan usahanya menegaskan kompatibilitas wahyu dan
rasio.⁶ Dengan demikian, filsafat Islam klasik tidak hanya berbicara pada ruang
abstrak filosofis, melainkan juga pada ranah praktis kehidupan manusia.
9.3.      
Perspektif
Integratif: Filsafat, Sains, dan Agama
Refleksi filosofis atas tradisi Islam
klasik menunjukkan adanya paradigma integratif yang menghubungkan filsafat,
sains, dan agama. Para filsuf Muslim klasik tidak melihat ketiganya sebagai
entitas yang saling menegasikan, melainkan sebagai jalur berbeda yang menuju
pada kebenaran yang sama.⁷ Konsep Ibn Sina tentang akal aktif, teori emanasi
al-Farabi, serta filsafat iluminasi Suhrawardi memperlihatkan bagaimana
rasionalitas, spiritualitas, dan wahyu dapat dipadukan dalam satu kerangka
pemikiran.⁸ Model integratif ini sangat relevan untuk menjawab tantangan modern
yang ditandai oleh fragmentasi pengetahuan dan dikotomi antara ilmu dan agama.⁹
9.4.      
Kritik, Batasan, dan
Potensi Pengembangan
Meski memiliki kontribusi besar,
filsafat Islam klasik tidak lepas dari kritik. Al-Ghazali menuduh sebagian
doktrin filsuf bertentangan dengan akidah, khususnya dalam isu kekekalan alam
dan kebangkitan jasmani.¹⁰ Kritik ini memperlihatkan adanya keterbatasan
filsafat Islam dalam mengharmoniskan seluruh aspek agama dengan filsafat
Yunani. Namun, keterbatasan itu justru melahirkan dinamika kreatif, di mana
filsafat berkembang lebih hati-hati dengan tetap memperhatikan ortodoksi
teologis.¹¹
Di sisi lain, refleksi kontemporer
menunjukkan bahwa filsafat Islam klasik masih menyimpan potensi besar untuk
dikembangkan. Pemikiran Ibn Rushd tentang keselarasan akal dan wahyu, konsep
Mulla Sadra tentang primasi eksistensi, serta gagasan etika Ibn Miskawayh
tentang kebajikan masih dapat diaplikasikan dalam diskursus etika global,
filsafat sains, maupun dialog antaragama.¹² Dengan demikian, tradisi filsafat
Islam klasik bukan hanya warisan sejarah, melainkan sumber inspirasi filosofis
yang hidup dan terus dapat direkontekstualisasikan.
Footnotes
[1]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 23–25.
[2]               
Charles Burnett, “Arabic into Latin: The Reception of
Arabic Philosophy into Western Europe,” dalam The Cambridge Companion to
Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 370–372.
[3]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 101–104.
[4]               
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge,
1992), 33–36.
[5]               
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert N.
Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 15–18.
[6]               
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E.
Butterworth (Leiden: Brill, 2001), 43–46.
[7]               
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 23–26.
[8]               
Shihab al-Din al-Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq,
ed. Henry Corbin (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1977), 33–37.
[9]               
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 211–214.
[10]            
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael
E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 141–143.
[11]            
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 97–100.
[12]            
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, eds., History
of Islamic Philosophy, vol. 2 (London: Routledge, 1996), 564–567.
10.      
Penutup
10.1.   
Kesimpulan Umum
Kajian mengenai filsafat Islam klasik
memperlihatkan bahwa tradisi intelektual Islam bukanlah sekadar reproduksi
filsafat Yunani, tetapi sebuah usaha kreatif dan kritis dalam mengolah warisan
intelektual asing agar sesuai dengan konteks teologis, sosial, dan kultural
Islam.¹ Filsafat Islam klasik, sebagaimana tampak pada karya-karya al-Kindi,
al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rushd, Suhrawardi, hingga Mulla Sadra,
menampilkan keragaman pemikiran yang luas, mulai dari ontologi, kosmologi,
epistemologi, hingga etika dan politik.² Dengan demikian, filsafat Islam klasik
merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah filsafat dunia, karena
memberikan kontribusi signifikan baik bagi peradaban Islam maupun Barat.³
10.2.   
Implikasi Teoretis
dan Praktis
Secara teoretis, filsafat Islam klasik
memperlihatkan bahwa akal dan wahyu dapat dipadukan dalam kerangka yang
harmonis.⁴ Ibn Rushd, misalnya, menegaskan bahwa filsafat dan syariat sama-sama
mengarah pada kebenaran, meski dengan metode berbeda.⁵ Secara praktis, filsafat
Islam klasik menghadirkan orientasi etis yang menekankan kebajikan (fadhīlah)
dan kebahagiaan (sa‘ādah) sebagai tujuan akhir kehidupan, yang relevan
bagi pembentukan etika publik kontemporer.⁶
Selain itu, refleksi atas kritik
al-Ghazali terhadap filsafat dan tanggapan Ibn Rushd menunjukkan bahwa
perdebatan rasional yang sehat justru memperkuat tradisi intelektual Islam.⁷
Artinya, filsafat Islam klasik mengajarkan pentingnya ruang dialog, kritik, dan
sintesis dalam menjaga dinamika pemikiran Islam agar tidak membeku dalam
dogmatisme.
10.3.   
Relevansi
Kontemporer
Warisan filsafat Islam klasik masih
sangat relevan dalam konteks dunia modern. Di tengah krisis moral global,
degradasi lingkungan, serta ketegangan antara sains dan agama, paradigma
integratif filsafat Islam klasik dapat menjadi inspirasi.⁸ Nilai-nilai
universal yang terkandung dalam pemikiran filsuf Muslim klasik—seperti
pencarian kebenaran, harmoni antara akal dan wahyu, serta orientasi pada
kebajikan—dapat dijadikan pedoman untuk merumuskan etika global yang inklusif
dan transenden.⁹
Selain itu, filsafat Islam klasik
menunjukkan bahwa Islam sejak awal adalah peradaban yang terbuka terhadap
dialog antarbudaya.¹⁰ Semangat keterbukaan ini patut dihidupkan kembali untuk
memperkuat peran umat Islam dalam percaturan intelektual global. Dengan
merevitalisasi tradisi filsafat klasik, umat Islam dapat menghadirkan
kontribusi nyata bagi pembangunan peradaban yang lebih manusiawi dan
berkeadilan.
10.4.   
Saran Kajian
Lanjutan
Untuk penelitian berikutnya, kajian
filsafat Islam klasik dapat diperluas dengan menghubungkannya pada isu-isu
kontemporer yang lebih spesifik, seperti bioetika, filsafat lingkungan, dan
filsafat teknologi.¹¹ Dengan cara ini, filsafat Islam klasik tidak hanya
dipandang sebagai warisan historis, tetapi juga sebagai sumber daya intelektual
yang hidup, yang mampu memberikan jawaban terhadap tantangan zaman.
Footnotes
[1]               
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 23–25.
[2]               
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 75–78.
[3]               
Charles Burnett, “Arabic into Latin: The Reception of
Arabic Philosophy into Western Europe,” dalam The Cambridge Companion to
Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 370–373.
[4]               
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 23–26.
[5]               
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Charles E.
Butterworth (Leiden: Brill, 2001), 43–45.
[6]               
Ibn Miskawayh, Tahdhib al-Akhlaq, ed.
Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 15–18.
[7]               
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael
E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 141–143.
[8]               
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, eds., History
of Islamic Philosophy, vol. 2 (London: Routledge, 1996), 564–567.
[9]               
Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah, ed. Ja‘far
Al-Yasin (Beirut: Dar al-Andalus, 1981), 25–29.
[10]            
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The
Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society
(London: Routledge, 1998), 88–91.
[11]            
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 211–214.
Daftar Pustaka
Adamson, P. (2007). Al-Kindi.
Oxford University Press.
Adamson, P., & Taylor, R. C.
(Eds.). (2005). The Cambridge Companion to Arabic Philosophy. Cambridge
University Press.
Al-Farabi. (1968). Al-Madina
al-Fadilah (A. N. Nader, Ed.). Dar al-Mashriq.
Al-Farabi. (1981). Tahsil
al-Sa‘adah (J. Al-Yasin, Ed.). Dar al-Andalus.
Al-Ghazali. (1937). Ihya’ Ulum
al-Din (Vol. 1). al-Matba‘ah al-Amiriyyah.
Al-Ghazali. (1997). Tahafut
al-Falasifah (M. E. Marmura, Ed.). Brigham Young University Press.
Al-Ghazali. (2011). al-Mustasfa
min ‘Ilm al-Usul (H. al-Malibari, Ed.). Dar al-Minhaj.
Al-Kindi. (1974). On First
Philosophy (A. Ivry, Ed.). SUNY Press.
Burnett, C. (2001). The coherence of
the Arabic-Latin translation program in Toledo in the twelfth century. Science
in Context, 14(1–2), 249–288.
Burnett, C. (2005). Arabic into
Latin: The reception of Arabic philosophy into Western Europe. In P. Adamson
& R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge Companion to Arabic Philosophy
(pp. 370–372). Cambridge University Press.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi
Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination. SUNY Press.
Fakhry, M. (2004). A History of
Islamic Philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Frank, R. M. (1994). Al-Ghazali
and the Ash‘arite School. Duke University Press.
Goodman, L. E. (1992). Avicenna.
Routledge.
Goodman, L. E. (2009). Ibn
Tufayl’s Hayy Ibn Yaqzan: A Philosophical Tale. University of Chicago
Press.
Griffel, F. (2009). Al-Ghazali’s
Philosophical Theology. Oxford University Press.
Gutas, D. (1988). Avicenna and the
Aristotelian Tradition. Brill.
Gutas, D. (1998). Greek Thought,
Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early
‘Abbāsid Society. Routledge.
Hodgson, M. G. S. (1974). The
Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization (Vol. 2).
University of Chicago Press.
Ibn Miskawayh. (1966). Tahdhib
al-Akhlaq (C. K. Zurayk, Ed.). American University of Beirut.
Ibn Rushd. (1954). Tahafut
al-Tahafut (S. van den Bergh, Ed.). Luzac.
Ibn Rushd. (1999). Bidayat
al-Mujtahid (A. Shamsuddin, Ed.). Dar al-Hadith.
Ibn Rushd. (2001). Fasl al-Maqal
(C. E. Butterworth, Ed.). Brill.
Ibn Sina. (1952). Al-Shifa’
(I. Madkour, Ed.). al-Hay’ah al-‘Ammah.
Kalin, I. (2010). Knowledge in
Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition.
Oxford University Press.
Leaman, O. (2001). An Introduction
to Classical Islamic Philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.
Lewis, B. (1995). The Middle East:
A Brief History of the Last 2,000 Years. Scribner.
McGinnis, J. (2010). Avicenna.
Oxford University Press.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim
Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and
Civilization in Islam. Harvard University Press.
Nasr, S. H., & Leaman, O. (Eds.).
(1996). History of Islamic Philosophy (Vol. 2). Routledge.
Renan, E. (1861). Averroès et
l’Averroïsme. Calmann-Lévy.
Saliba, G. (2007). Islamic Science
and the Making of the European Renaissance. MIT Press.
Sheikh, M. S. (1981). Studies in
Muslim Philosophy. Shirkat Printing Press.
Suhrawardi, S. al-D. (1977). Hikmat
al-Isyraq (H. Corbin, Ed.). Institute of Islamic Studies.
Taylor, R. C. (2005). Averroes and
the rationality of religious belief. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The
Cambridge Companion to Arabic Philosophy (pp. 177–185). Cambridge
University Press.
Walzer, R. (1985). Al-Farabi on
the Perfect State. Clarendon Press.
Wolfson, H. A. (1976). The
Philosophy of the Kalam. Harvard University Press.
Ziai, H. (1990). Knowledge and
Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq. Scholars Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar