Jumat, 28 Maret 2025

Hikmah al-Isyraq: Sintesis Filsafat Peripatetik dan Iluminasi dalam Tradisi Islam

Hikmah al-Isyraq

Sintesis Filsafat Peripatetik dan Iluminasi dalam Tradisi Islam


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran filsuf Muslim Persia, Shihab al-Din Suhrawardi (1155–1191 M), sebagai pendiri mazhab Hikmah al-Isyraq (filsafat iluminasi). Melalui pendekatan historis-filosofis, artikel ini menjelaskan bagaimana Suhrawardi menyintesis filsafat Peripatetik yang diwarisi dari tradisi Ibn Sina dengan dimensi iluminatif dan intuisionis yang berakar dalam spiritualitas Islam Timur. Penelitian ini menunjukkan bahwa Suhrawardi tidak menolak rasionalitas, melainkan mengintegrasikannya dengan pengalaman batin, simbolisme, dan penyucian jiwa sebagai metode menuju pengetahuan hakiki. Filsafatnya menempatkan cahaya sebagai realitas ontologis dan epistemologis tertinggi, serta menjadikan imajinasi sebagai instrumen sah dalam mengakses alam transenden. Artikel ini juga menguraikan pengaruh jangka panjang Hikmah al-Isyraq terhadap pemikir-pemikir besar seperti Mulla Sadra dan Ibn 'Arabi, serta menunjukkan relevansinya dalam menjawab krisis makna, fragmentasi ilmu, dan kekeringan spiritual di era modern. Dengan demikian, Suhrawardi tampil sebagai tokoh kunci dalam tradisi filsafat Islam yang menjembatani akal dan ruh, logos dan cahaya.

Kata Kunci: Suhrawardi, Hikmah al-Isyraq, filsafat Islam, iluminasi, Peripatetik, intuisi, simbolisme, pengetahuan melalui kehadiran, filsafat Timur, spiritualitas Islam.


PEMBAHASAN

Suhrawardi dan Hikmah al-Isyraq


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam pada abad pertengahan mengalami perkembangan yang sangat dinamis, terutama ketika para filsuf Muslim mulai mengintegrasikan warisan filsafat Yunani dengan prinsip-prinsip metafisika dan spiritualitas Islam. Salah satu tokoh yang memberikan kontribusi paling signifikan dalam pembentukan corak filsafat Islam yang unik adalah Shihab al-Din Yahya Suhrawardi (w. 1191 M). Ia dikenal sebagai pendiri Hikmah al-Isyraq atau filsafat iluminasi, sebuah sistem filsafat yang berupaya menyinergikan pendekatan rasional dari tradisi Peripatetik (al-Masysha'i), sebagaimana dikembangkan oleh Ibn Sina, dengan pengalaman mistis dan intuisi iluminatif sebagai sumber pengetahuan metafisik yang otentik.¹

Suhrawardi menganggap bahwa filsafat rasional (burhānī) tidak cukup untuk mengungkap kebenaran tertinggi tanpa disertai penyucian jiwa dan pencapaian iluminasi batin. Oleh karena itu, ia mengkritik keterbatasan pendekatan peripatetik yang hanya mengandalkan logika formal dan konsep-konsep abstrak, dan ia mengajukan sistem alternatif yang mengutamakan tajalli (penyingkapan) cahaya sebagai dasar ontologi dan epistemologi.² Dengan pendekatan ini, Suhrawardi tidak sekadar mereformulasi filsafat Islam, tetapi menciptakan paradigma baru yang menyatukan filsafat, mistisisme, dan simbolisme dalam satu kesatuan yang harmonis.

Pemikiran Suhrawardi muncul dalam konteks keilmuan yang telah banyak dipengaruhi oleh warisan Aristoteles dan Neoplatonisme, melalui tokoh-tokoh seperti Al-Farabi dan Ibn Sina. Namun, Suhrawardi tidak berhenti pada pewarisan intelektual ini. Ia melakukan reorientasi besar terhadap dasar-dasar filsafat rasional dengan menghidupkan kembali unsur esoterik dan iluminatif yang ia yakini juga merupakan bagian dari warisan kuno para "hikmah Timur" (ḥukamā’ al-furs) seperti Zoroaster, Hermes, dan Plato.³ Konsep “cahaya” (nūr) yang menjadi pusat dalam sistem filsafatnya bukan hanya metafora spiritual, melainkan realitas metafisik yang menjadi dasar eksistensi segala sesuatu.

Pendekatan Suhrawardi ini mendapat perhatian luas di dunia Islam Timur, terutama dalam tradisi filsafat Persia dan kemudian berkembang dalam aliran Hikmah Muta‘āliyah yang dikembangkan oleh Mulla Sadra.⁴ Bahkan di dunia kontemporer, banyak cendekiawan seperti Henry Corbin dan Hossein Ziai yang menilai bahwa Hikmah al-Isyraq adalah representasi tertinggi dari filsafat simbolik dan spiritual dalam Islam, yang masih sangat relevan dalam menjawab krisis rasionalisme kering dan kehilangan dimensi transenden dalam kehidupan modern.⁵

Karena itu, mempelajari pemikiran Suhrawardi bukan hanya berarti menelusuri sejarah intelektual Islam klasik, melainkan juga menyentuh wacana filsafat universal tentang cara manusia memahami realitas melalui gabungan antara rasio dan intuisi. Artikel ini akan membahas secara sistematis bagaimana Suhrawardi menggabungkan filsafat Peripatetik dan iluminasi dalam satu sistem filsafat integral yang disebut Hikmah al-Isyraq.


Footnotes

[1]                Henry Corbin, The Philosophy of Illumination (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 7–9.

[2]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 21–24.

[3]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 45–48.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 178.

[5]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 123–125.


2.           Biografi Singkat Suhrawardi

Shihab al-Din Yahya ibn Habash Suhrawardi (1155–1191 M) adalah seorang filsuf Persia yang dikenal sebagai pendiri mazhab Hikmah al-Isyraq atau filsafat iluminasi. Ia dilahirkan di kota Suhraward, dekat Zanjan di Iran barat laut, pada pertengahan abad ke-12 M. Sejak usia muda, ia menunjukkan kecintaan yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang logika, filsafat, dan ilmu keislaman.¹

Suhrawardi memulai pendidikannya di Maraghah, sebuah kota yang pada masa itu menjadi pusat keilmuan penting, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Isfahan yang menjadi pusat filsafat Peripatetik. Di sana, ia belajar kepada para murid Ibn Sina dan mendalami warisan filsafat Yunani-Islam. Namun, Suhrawardi tidak berhenti pada tradisi rasionalistik; ia mulai mengembangkan pendekatan filsafat yang menggabungkan logika dengan intuisi spiritual, yang kelak menjadi ciri khas pemikirannya.²

Setelah menyelesaikan studinya, Suhrawardi melakukan pengembaraan intelektual ke berbagai kota seperti Aleppo dan Damaskus. Di Aleppo, ia mendapatkan perlindungan dari Malik Zahir, putra Sultan Salahuddin al-Ayyubi. Di bawah naungan penguasa muda ini, Suhrawardi menulis karya-karya utamanya, termasuk Ḥikmat al-Ishrāq, magnum opus-nya yang menyusun sistem filsafat iluminasi secara utuh.³

Namun, pemikirannya yang bersifat filosofis dan esoterik menimbulkan kecurigaan di kalangan ulama ortodoks. Mereka menuduh Suhrawardi menyimpang dari ajaran Islam ortodoks, bahkan menganggapnya telah menyebarkan pandangan-pandangan yang berbahaya. Tekanan dari para ulama membuat Sultan Salahuddin, yang dikenal berpandangan konservatif, akhirnya mengabulkan permintaan para penuduh untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Suhrawardi.⁴ Ia wafat dalam usia muda, sekitar 36 tahun, kemungkinan besar dieksekusi atau dibunuh di penjara pada tahun 1191 M di Aleppo.

Kematian Suhrawardi tidak menghentikan penyebaran pemikirannya. Justru setelah wafatnya, mazhab Hikmah al-Isyraq berkembang luas di Iran dan Dunia Islam Timur, terutama melalui karya-karyanya yang tetap dipelajari hingga kini.⁵ Sebagai seorang pemikir brilian dan mistikus, Suhrawardi berhasil memadukan warisan filsafat Yunani, pemikiran Islam, serta spiritualitas Timur kuno dalam satu kerangka metafisik yang unik, menjadikannya sebagai salah satu tokoh paling orisinal dalam sejarah filsafat Islam.


Footnotes

[1]                Henry Corbin, The Philosophy of Illumination (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 5.

[2]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 16–17.

[3]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 53–55.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 176.

[5]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 124.


3.           Konteks Filsafat Islam Sebelum Suhrawardi

Untuk memahami latar lahirnya filsafat iluminasi Suhrawardi, penting terlebih dahulu meninjau kondisi dan perkembangan filsafat Islam sebelum kemunculannya. Pada abad ke-9 hingga ke-11 M, filsafat Islam berkembang pesat berkat interaksi yang intens antara pemikiran Islam dan filsafat Yunani, khususnya melalui gerakan penerjemahan besar-besaran di bawah kekhalifahan Abbasiyah. Karya-karya Plato, Aristoteles, dan terutama Plotinus (melalui korpus yang disangka sebagai karya Aristoteles) diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan memengaruhi para filsuf Muslim awal.¹

Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam pengembangan filsafat Islam pada masa ini adalah Al-Farabi (w. 950 M), yang dikenal sebagai "Guru Kedua" (al-Mu‘allim al-Thani) setelah Aristoteles. Ia merupakan pelopor sistematisasi filsafat Yunani dalam kerangka Islam. Al-Farabi menggabungkan logika Aristoteles dengan metafisika Neoplatonik dan berupaya menjelaskan bagaimana akal manusia dapat bersatu dengan akal aktif dalam proses pencapaian pengetahuan yang tertinggi.² Gagasannya menjadi fondasi bagi perkembangan filsafat Peripatetik (al-Masysha’i) dalam dunia Islam.

Pemikiran ini kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh Ibn Sina (Avicenna, w. 1037 M), filsuf dan ilmuwan Persia yang sangat berpengaruh. Ibn Sina membangun sistem filsafat rasional yang utuh, mencakup logika, fisika, metafisika, dan psikologi. Ia memperkenalkan konsep wujud (eksistensi) dan mahiyyah (hakikat), serta gagasan tentang wajib al-wujud (Yang Wajib Ada) sebagai prinsip pertama dalam ontologi metafisikanya.³ Bagi Ibn Sina, pengetahuan tertinggi diperoleh melalui penyempurnaan akal dengan bantuan akal aktif (al-‘aql al-fa‘‘āl), yang bertindak sebagai sumber iluminasi intelektual, meskipun masih dalam kerangka rasional.⁴

Namun, filsafat Peripatetik tidak lepas dari kritik, terutama dari kalangan teolog dan sufi. Al-Ghazali (w. 1111 M), dalam karya terkenalnya Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filsuf), menuduh para filsuf seperti Ibn Sina telah menyimpang dari ajaran Islam dalam tiga hal pokok: kekekalan alam, pengetahuan Tuhan tentang partikular, dan kebangkitan jasmani.⁵ Kritik ini melemahkan pengaruh filsafat rasional di dunia Islam selama beberapa dekade. Meskipun demikian, pemikiran Ibn Sina tetap menjadi kerangka dominan dalam pendidikan filsafat Islam hingga masa Suhrawardi.

Selain kritik teologis, dari kalangan mistik juga muncul pandangan bahwa filsafat yang hanya mengandalkan logika dan diskursus tidak mampu menjangkau kebenaran yang bersifat hakiki. Para sufi seperti Al-Hallaj, Al-Suhrawardi (yang lain), dan Ibn Arabi menekankan pentingnya kasyf (penyingkapan) dan dzauq (rasa batin) dalam memperoleh pengetahuan sejati.⁶ Inilah yang kemudian menginspirasi Suhrawardi untuk menyusun suatu sistem filsafat alternatif yang tidak semata-mata bertumpu pada akal, tetapi juga mengakomodasi pengalaman batin dan intuisi spiritual sebagai jalan menuju kebenaran metafisik yang lebih tinggi.

Dengan demikian, latar belakang filsafat sebelum Suhrawardi ditandai oleh kejayaan filsafat Peripatetik yang kuat secara rasional, tetapi juga mengalami tantangan dari dimensi spiritual Islam. Dalam ruang dialektika inilah Suhrawardi tampil sebagai pembaru yang tidak menolak rasionalitas, tetapi melengkapinya dengan dimensi iluminatif dalam bentuk Hikmah al-Isyraq.⁷


Footnotes

[1]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early 'Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 3–5.

[2]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 63–65.

[3]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 30–36.

[4]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 12.

[5]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–5.

[6]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 15–16.

[7]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 123–124.


4.           Dasar-Dasar Filsafat Peripatetik dalam Pemikiran Suhrawardi

Meskipun dikenal sebagai pendiri Hikmah al-Isyraq (filsafat iluminasi), Suhrawardi tidak sepenuhnya meninggalkan warisan filsafat Peripatetik (al-Masysha’i) yang telah mengakar kuat dalam tradisi intelektual Islam sejak Al-Farabi dan Ibn Sina. Bahkan, Suhrawardi menunjukkan penguasaan yang mendalam terhadap filsafat Peripatetik baik dalam logika, metafisika, maupun psikologi. Karya-karya awalnya, seperti Talwīḥāt dan Lamaḥāt, mencerminkan pendekatan diskursif-rasional khas peripatetik, yang kemudian ia padukan dengan pendekatan iluminatif dalam karya utamanya, Ḥikmat al-Ishrāq

Dalam struktur pemikiran Suhrawardi, terdapat banyak unsur Peripatetik yang ia adopsi dan reformulasikan. Misalnya, ia menerima kerangka logika Aristotelian sebagai alat berpikir filosofis yang sah dan tetap menggunakan pendekatan deduktif dalam penjelasan rasional.² Suhrawardi tidak menolak fungsi logika, tetapi baginya logika hanyalah alat bantu, bukan sumber utama pengetahuan metafisik tertinggi. Hal ini sejalan dengan pendekatan Ibn Sina yang menggunakan logika sebagai jalan menuju pemahaman realitas.

Dalam bidang ontologi, Suhrawardi juga memulai dari premis-premis dasar yang diwariskan oleh Ibn Sina, seperti pembedaan antara wujūd (eksistensi) dan māhiyyah (esensi), serta pembahasan tentang wājib al-wujūd (yang wajib ada) sebagai sumber dari segala yang ada.³ Namun, berbeda dengan Ibn Sina yang menjadikan eksistensi sebagai prinsip dasar dalam filsafatnya, Suhrawardi justru menjadikan cahaya sebagai prinsip metafisika utama.⁴ Meski demikian, struktur analisis eksistensial yang digunakan Suhrawardi tetap memperlihatkan jejak peripatetik dalam cara menyusun argumentasi dan kategorisasi ontologis.

Dalam psikologi filsafat, Suhrawardi juga mengadopsi banyak konsep Ibn Sina, seperti teori tentang jiwa (nafs), potensi-potensi akal (‘aql bi al-quwwah, ‘aql bi al-fi‘l), dan peran ‘aql fa‘‘āl (akal aktif) sebagai penghubung antara dunia intelek dan manusia.⁵ Ia menerima bahwa akal manusia harus menjalani proses penyempurnaan untuk mencapai iluminasi intelektual. Akan tetapi, Suhrawardi mengembangkan teori ini lebih jauh dengan menambahkan dimensi tajalli (penyingkapan) sebagai bentuk kesempurnaan akal yang bersumber langsung dari cahaya ilahi.

Perlu dicatat bahwa dalam filsafat Peripatetik, proses pencapaian pengetahuan bersifat bertingkat, dimulai dari indera, imajinasi, hingga akhirnya akal aktual. Suhrawardi mempertahankan struktur bertingkat ini, tetapi memperkenalkan dimensi transenden di atasnya, yaitu alam al-anwār (dunia cahaya) yang tidak bisa dicapai hanya dengan rasio, tetapi melalui penyucian jiwa dan intuisi spiritual.⁶ Di sini terlihat bahwa Suhrawardi bukan sekadar menolak Peripatetik, tetapi membangunnya kembali dalam kerangka metafisika iluminatif.

Dengan demikian, filsafat Peripatetik dalam pemikiran Suhrawardi berfungsi sebagai fondasi epistemologis dan metodologis, yang kemudian dilampaui melalui pendekatan iluminatif. Alih-alih memposisikan Peripatetik dan Iluminasi secara dikotomis, Suhrawardi menghadirkan keduanya dalam sintesis harmonis: rasionalitas sebagai jalan, dan iluminasi sebagai tujuan tertinggi pengetahuan filsafat.⁷


Footnotes

[1]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 18–20.

[2]                Henry Corbin, The Philosophy of Illumination (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 21.

[3]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 42–43.

[4]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 87.

[5]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 66–68.

[6]                William C. Chittick, The Heart of Islamic Philosophy: The Quest for Self-Knowledge in the Teachings of Afdal al-Din Kashani (Oxford: Oxford University Press, 2001), 48.

[7]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 127–128.


5.           Kritik Suhrawardi terhadap Filsafat Peripatetik

Walaupun Suhrawardi memiliki latar belakang pendidikan yang kuat dalam filsafat Peripatetik dan menggunakan banyak instrumen rasional dalam karya-karyanya, ia justru dikenal sebagai salah satu pengkritik utama pendekatan Peripatetik murni dalam filsafat Islam. Kritik Suhrawardi tidak dimaksudkan untuk menolak akal atau logika, melainkan untuk menyoroti keterbatasan metode rasionalistik dalam mengungkapkan hakikat realitas yang lebih dalam dan transenden.¹

Suhrawardi berpendapat bahwa pendekatan filsafat yang hanya mengandalkan rasio dan argumentasi logis tidak cukup untuk mengantarkan manusia pada pengetahuan yang sejati, terutama mengenai realitas metafisik. Ia menyatakan bahwa pengetahuan sejati (al-ḥikmah) tidak hanya berasal dari burhān (demonstrasi logis), tetapi juga harus diperoleh melalui dzauq (rasa batin), kasyf (penyingkapan), dan tajalli (iluminasi ruhani).² Bagi Suhrawardi, para filsuf Peripatetik seperti Ibn Sina gagal memahami bahwa realitas tertinggi tidak dapat dijangkau hanya melalui deduksi akal semata.

Kritik utama Suhrawardi terhadap Ibn Sina terletak pada pemahaman tentang wujūd (eksistensi). Ibn Sina menjadikan eksistensi sebagai konsep metafisik utama dan membedakannya dari mahiyyah (hakikat). Namun, Suhrawardi menolak prioritas eksistensi atas esensi dan mengajukan konsep “cahaya” (nūr) sebagai prinsip ontologis yang paling dasar dan nyata. Menurutnya, segala yang ada merupakan gradasi dari cahaya, dari Cahaya atas Segala Cahaya (Nūr al-Anwār) hingga kegelapan relatif.³ Dengan demikian, metafisika Suhrawardi lebih bersifat hierarkis dan simbolik daripada abstrak-deduktif seperti dalam sistem Ibn Sina.

Selain itu, Suhrawardi juga mengkritik konsep akal aktif (al-‘aql al-fa‘‘āl) dalam filsafat Peripatetik. Menurut Ibn Sina, akal aktif adalah sumber dari pengetahuan universal dan perantara antara Tuhan dan manusia dalam memperoleh intelek. Suhrawardi tidak sepenuhnya menolak gagasan ini, namun ia merasa bahwa konsep tersebut tidak cukup menjelaskan hubungan spiritual antara manusia dan realitas ilahiah. Dalam sistem iluminatifnya, hubungan ini tidak semata-mata intelektual, tetapi eksistensial dan mistikal, di mana cahaya ilahi “menyinar” jiwa manusia yang telah disucikan.⁴

Dalam hal epistemologi, Suhrawardi berpendapat bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan melalui kehadiran (‘ilm ḥudūrī), bukan semata pengetahuan konseptual (‘ilm ḥuṣūlī). Pengetahuan tidak diperoleh hanya dengan menyusun premis dan kesimpulan, melainkan melalui pengalaman langsung akan realitas, seperti seorang pencari yang menyaksikan cahaya yang menyilaukan setelah menempuh perjalanan spiritual yang panjang.⁵

Secara keseluruhan, kritik Suhrawardi terhadap filsafat Peripatetik mencerminkan aspirasi intelektual untuk melampaui batas-batas rasionalitas dan membuka kembali ruang bagi pengalaman batin yang intuitif dan mistikal dalam pencarian akan kebenaran. Ia tidak menolak logika, tetapi menempatkannya dalam posisi sebagai alat bantu, bukan sebagai puncak metode filosofis. Dengan demikian, Suhrawardi berusaha menghadirkan kembali dimensi esoteris dari hikmah dalam tradisi Islam, yang menurutnya telah dilupakan oleh para filosof Peripatetik.⁶


Footnotes

[1]                Henry Corbin, The Philosophy of Illumination (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 26.

[2]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 31–33.

[3]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 77–79.

[4]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 89.

[5]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 205.

[6]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 129–130.


6.           Filsafat Iluminasi: Konsep Dasar Hikmah al-Isyraq

Filsafat iluminasi (Ḥikmah al-Isyrāq) merupakan kontribusi orisinal Suhrawardi dalam khazanah filsafat Islam. Istilah isyrāq sendiri berasal dari akar kata Arab sh-r-q yang berarti “terbit” atau “memancar,” dan secara filosofis merujuk pada penyingkapan pengetahuan melalui pancaran cahaya batiniah. Dalam sistem filsafat ini, Suhrawardi menyatakan bahwa hakikat segala sesuatu adalah cahaya, dan pengetahuan sejati hanya dapat dicapai melalui iluminasi spiritual, bukan sekadar proses intelektual yang diskursif.¹

Dalam karya monumentalnya Ḥikmat al-Isyrāq, Suhrawardi membangun suatu sistem filsafat yang didasarkan pada pengalaman intuitif dan penyinaran ruhani. Ia membedakan dua bentuk hikmah (kebijaksanaan), yaitu hikmah bahsiyyah (kebijaksanaan demonstratif, seperti dalam filsafat Peripatetik) dan hikmah isyrāqiyyah (kebijaksanaan iluminatif), yang dianggapnya lebih tinggi karena melibatkan pembersihan jiwa dan kesadaran batin yang mendalam.² Ia bahkan menegaskan bahwa filsuf sejati bukan hanya orang yang mampu berargumentasi, tetapi juga yang mencapai tajalli—pengalaman langsung terhadap realitas melalui cahaya ilahi.

Pusat ontologi dalam Hikmah al-Isyraq adalah konsep “cahaya” (nūr). Bagi Suhrawardi, cahaya adalah realitas paling dasar dan tidak membutuhkan definisi karena sifatnya yang langsung ditangkap oleh kesadaran.³ Semua wujud selain Cahaya Murni (Nūr al-Anwār) adalah gradasi dari cahaya, dan semakin jauh suatu entitas dari cahaya ini, semakin rendah tingkat realitasnya, hingga mencapai kegelapan simbolik (yang bukan ketiadaan, tetapi kekurangan cahaya).⁴ Ini menciptakan sistem kosmologi hierarkis di mana dunia ruhani, alam akal, dan alam materi tersusun berdasarkan intensitas cahaya.

Cahaya tertinggi, yang disebut “Nūr al-Anwār” atau “Cahaya atas segala cahaya,” adalah prinsip pertama dan sumber dari semua wujud.⁵ Dari cahaya ini terpancar tingkatan-tingkatan cahaya yang lebih rendah secara bertahap, hingga ke dunia inderawi. Suhrawardi mengadopsi semangat Neoplatonisme dalam pemaparan emanasi ini, tetapi dengan simbolisme khas Timur dan bahasa spiritualitas Islam.⁶ Model hierarki ini tidak hanya bersifat kosmologis, tetapi juga epistemologis: semakin tinggi derajat pencahayaan batin seseorang, semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya.

Dalam epistemologi iluminatif, Suhrawardi mengajukan konsep “pengetahuan melalui kehadiran” (‘ilm ḥuḍūrī), yaitu pengetahuan yang diperoleh bukan melalui representasi mental atau konsepsi logis, melainkan melalui kehadiran langsung objek dalam jiwa subjek.⁷ Pengetahuan semacam ini lebih tinggi daripada ‘ilm ḥuṣūlī (pengetahuan representatif), karena bersifat langsung dan intuitif. Filsuf iluminatif harus terlebih dahulu menyucikan jiwanya melalui asketisme, etika tinggi, dan perenungan, agar layak menerima pancaran cahaya kebenaran.

Selain itu, Suhrawardi juga memperkenalkan alam mitsal (‘ālam al-mithāl), yaitu dunia imajinal yang berada di antara alam materi dan alam intelek. Dunia ini bukan ilusi, tetapi realitas objektif yang dapat diakses oleh jiwa yang telah tercerahkan.⁸ Konsep ini memiliki pengaruh besar dalam tradisi filsafat dan tasawuf Islam Timur, karena menjelaskan bagaimana simbol-simbol spiritual dapat menghubungkan manusia dengan alam transenden.

Dengan menyatukan unsur-unsur rasional dari tradisi Peripatetik dan pendekatan simbolik-intuitif dari tradisi Timur serta mistisisme Islam, Suhrawardi menciptakan sistem filsafat yang integratif dan transformatif. Hikmah al-Isyraq bukan hanya sistem spekulatif metafisika, tetapi juga jalan spiritual menuju penyatuan dengan sumber segala cahaya.


Footnotes

[1]                Henry Corbin, The Philosophy of Illumination (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 35.

[2]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 25–27.

[3]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 81.

[4]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 91–92.

[5]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 132.

[6]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 140.

[7]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 60–61.

[8]                Henry Corbin, Alone with the Alone: Creative Imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1997), 11–13.


7.           Sintesis Antara Peripatetik dan Iluminasi

Salah satu keistimewaan pemikiran Suhrawardi adalah kemampuannya mensintesis dua pendekatan filosofis besar dalam Islam: rasionalisme Peripatetik (al-Masysha’i) dan intuisionisme iluminatif (al-Isyrāqī). Ia tidak sekadar menolak warisan filsafat sebelumnya, melainkan mengintegrasikannya dalam kerangka yang lebih komprehensif, di mana pendekatan rasional tetap dihargai, tetapi diletakkan dalam posisi pelengkap terhadap intuisi spiritual.¹

Dalam karya-karyanya, terutama Ḥikmat al-Isyrāq, Suhrawardi membagi ilmu filsafat ke dalam dua bentuk: hikmah bahsiyyah (filsafat diskursif yang berbasis argumentasi logis) dan hikmah dzauqiyyah atau isyrāqiyyah (filsafat iluminatif yang berbasis intuisi dan penyaksian ruhani).² Filsafat Peripatetik, seperti yang dikembangkan oleh Ibn Sina, sangat ditekankan pada pendekatan burhānī (demonstratif), sedangkan Suhrawardi menambahkan dimensi dzauq (rasa) dan kasyf (penyingkapan), yang menurutnya lebih mendalam dan memberikan akses langsung kepada realitas metafisik.³

Sintesis ini tidak bersifat artifisial, melainkan muncul dari kebutuhan filosofis dan spiritual. Suhrawardi memulai argumennya dengan pendekatan rasional Peripatetik, menggunakan struktur logika Aristotelian untuk membangun fondasi filsafatnya. Namun, setelah sampai pada batas kemampuan akal, ia mengalihkan pendekatannya kepada iluminasi batin sebagai metode epistemologis yang lebih tinggi.⁴ Dengan demikian, akal digunakan untuk menyiapkan jalan menuju iluminasi, bukan sebagai tujuan akhir.

Dalam ontologi, Suhrawardi tetap mempertahankan elemen-elemen utama dari tradisi Peripatetik, seperti hierarki wujud dan konsep tentang ‘aql fa‘‘āl (akal aktif), tetapi ia menginterpretasikannya secara simbolik dalam kerangka cahaya. Akal aktif, dalam pandangan Suhrawardi, bukan hanya entitas intelektual tetapi juga salah satu tingkatan cahaya dalam sistem kosmologi isyrāqī.⁵

Lebih jauh lagi, Suhrawardi memperkenalkan alam mitsal (dunia imajinal) sebagai ruang transisional antara dunia materi dan dunia intelek. Konsep ini secara filosofis menjembatani dualisme Peripatetik antara bentuk-bentuk universal dan substansi partikular dengan model epistemologi simbolik yang diwarnai oleh imajinasi kreatif.⁶ Dengan demikian, dunia imajinal menjadi ruang tempat berlangsungnya pengalaman spiritual yang sah, tanpa harus melanggar prinsip-prinsip rasional yang diterima oleh tradisi filsafat.

Pendekatan sintetik ini juga terlihat dalam cara Suhrawardi menjelaskan kosmologi dan antropologi metafisik. Ia menggunakan kerangka emanasi Neoplatonik yang telah diadaptasi oleh para filsuf Peripatetik, namun menyusunnya kembali dalam model gradasi cahaya yang menekankan keterkaitan spiritual antara wujud-wujud dalam hierarki kosmos. Jiwa manusia, dalam konteks ini, diposisikan sebagai entitas cahaya yang terperangkap dalam materi, dan filsafat berfungsi sebagai jalan pembebasan menuju sumber asalnya, yaitu Cahaya atas Segala Cahaya (Nūr al-Anwār).⁷

Sintesis antara filsafat Peripatetik dan iluminasi yang ditawarkan oleh Suhrawardi membuka jalan bagi perkembangan lebih lanjut dalam tradisi filsafat Islam Timur, terutama dalam mazhab Hikmah Muta‘āliyah yang dikembangkan oleh Mulla Sadra. Sadra menggabungkan konsep wujud Ibn Sina, isyrāq Suhrawardi, dan kasyf Ibn ‘Arabi dalam satu sistem metafisika spiritual yang mendalam.⁸ Hal ini menunjukkan bahwa sintesis Suhrawardi bukan hanya berpengaruh dalam konteks zamannya, tetapi juga meletakkan fondasi bagi perkembangan filsafat Islam berikutnya.

Dengan demikian, filsafat Suhrawardi tidak dapat dipahami hanya sebagai reaksi terhadap Peripatetikisme atau sebagai mistisisme murni, melainkan sebagai bentuk reformasi filosofis yang menghadirkan integrasi antara akal dan cahaya, antara argumentasi dan penyaksian, antara filsafat dan spiritualitas.


Footnotes

[1]                Henry Corbin, The Philosophy of Illumination (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 33.

[2]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 37–39.

[3]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 85.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 179.

[5]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 134.

[6]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 142–143.

[7]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 63.

[8]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 12–14.


8.           Peran Simbolisme dan Imajinasi

Salah satu unsur paling menonjol dan membedakan Hikmah al-Isyraq Suhrawardi dari sistem filsafat Peripatetik sebelumnya adalah penggunaan simbolisme dan imajinasi filosofis secara intens dan sistematis. Simbolisme dalam filsafat Suhrawardi bukan sekadar ornamen sastra, tetapi merupakan media epistemologis dan ontologis yang esensial dalam mengungkap realitas transenden yang tidak dapat dijangkau secara langsung oleh akal diskursif.¹

Suhrawardi berpandangan bahwa realitas metafisik tertinggi tidak bisa direpresentasikan sepenuhnya oleh konsep-konsep rasional. Oleh karena itu, ia menggunakan simbol-simbol cahaya, bayangan, kerajaan malaikat, burung-burung ruhani, dan mitos-mitos Timur kuno sebagai sarana untuk menunjuk kepada hakikat-hakikat spiritual yang hanya bisa "dihayati" melalui intuisi dan pengalaman batin.² Henry Corbin menyebut pendekatan ini sebagai ta’wil isyraqi, yaitu penafsiran simbolik-iluminatif yang mengungkap lapisan-lapisan makna terdalam dalam wujud-wujud kasatmata.³

Simbolisme Suhrawardi memiliki dimensi ontologis yang kuat. Misalnya, dalam struktur kosmologinya, cahaya adalah simbol realitas absolut, sedangkan kegelapan merepresentasikan non-eksistensi relatif. Entitas-entitas seperti anwar mujarradah (cahaya-cahaya murni) menggambarkan malaikat-malaikat intelek yang memiliki eksistensi tingkat tinggi dalam hirarki ontologis.⁴ Bahkan jiwa manusia, dalam simbolisme Suhrawardi, dipandang sebagai "burung" yang terperangkap dalam sangkar tubuh, dan filsafat berfungsi sebagai upaya pembebasan jiwa agar bisa kembali ke kerajaan cahaya.⁵

Selain simbol, Suhrawardi juga mengembangkan peran imajinasi filosofis (khayāl) sebagai alat pengetahuan yang sah. Berbeda dengan filsuf Peripatetik yang sering menempatkan imajinasi pada posisi rendah dalam hirarki kognitif, Suhrawardi melihat imajinasi sebagai jembatan epistemologis antara indera dan intelek, serta antara alam materi dan alam spiritual.⁶ Imajinasi mampu mengakses alam mitsal (‘ālam al-mithāl), yaitu dunia transendental-imajinal yang bersifat objektif, bukan khayalan subyektif. Alam ini merupakan medan pertemuan antara dunia cahaya dan dunia bayangan, tempat manifestasi dari realitas ruhani dalam bentuk-bentuk visual simbolik.

Alam mitsal sangat penting dalam Hikmah al-Isyraq karena memungkinkan pengalaman spiritual—melalui mimpi, visi, atau ilham—menjadi bagian dari epistemologi filosofis. Dalam dunia ini, realitas metafisik muncul dalam bentuk gambar, warna, atau suara yang membawa makna-makna tinggi.⁷ Suhrawardi menyusun narasi-narasi filosofis yang kental dengan unsur imajinatif, seperti dalam risalah Qissat al-Ghurba (Kisah Keterasingan) dan Hayākil al-Nūr (Candi-Candi Cahaya), yang tidak hanya filosofis tetapi juga visioner dan puitis.

Simbolisme dan imajinasi dalam filsafat Suhrawardi kemudian menjadi warisan penting dalam tradisi filsafat Islam Timur dan sufisme. Tokoh-tokoh seperti Ibn ‘Arabi dan Mulla Sadra melanjutkan pemikiran ini, memperkaya konsep-konsep alam mitsal, ta’wil batini, dan pengetahuan imajinal dalam sistem mereka masing-masing.⁸ Pendekatan ini juga memberikan kontribusi besar dalam membangun jembatan antara filsafat dan mistisisme, menjadikan pengalaman estetis dan spiritual sebagai bagian integral dari filsafat Islam.

Dengan demikian, simbolisme dan imajinasi bukan hanya pelengkap retoris dalam filsafat Suhrawardi, melainkan sarana untuk menyingkap realitas yang lebih tinggi, yang tidak bisa dijangkau hanya oleh nalar formal. Dalam tradisi Hikmah al-Isyraq, simbol membuka jalan bagi penyingkapan (tajalli), dan imajinasi menjadi medan pertemuan antara akal, jiwa, dan cahaya ilahi.


Footnotes

[1]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 45–46.

[2]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 93–94.

[3]                Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (New Lebanon: Omega Publications, 1994), 4–5.

[4]                Henry Corbin, The Philosophy of Illumination (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 50.

[5]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 70.

[6]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 147–149.

[7]                Henry Corbin, Alone with the Alone: Creative Imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1997), 11–15.

[8]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 85–86.


9.           Pengaruh dan Warisan Hikmah al-Isyraq

Filsafat iluminasi yang dirumuskan oleh Suhrawardi dalam Hikmah al-Isyraq meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah pemikiran Islam, khususnya dalam tradisi filsafat Islam Timur. Meskipun Suhrawardi wafat pada usia muda dan pemikirannya sempat ditentang oleh sebagian ulama konservatif, warisan intelektualnya justru berkembang pesat di Iran, Asia Tengah, dan wilayah Dunia Islam Timur lainnya.¹

Setelah kematian Suhrawardi pada tahun 1191 M di Aleppo, para pengikutnya di Persia dan sekitarnya mulai menyebarkan dan mensistematisasikan ajaran-ajarannya. Salah satu aspek yang membuat Hikmah al-Isyraq bertahan dan bahkan menjadi dasar mazhab filsafat tersendiri adalah keselarasan antara sistem metafisiknya dengan spiritualitas Islam, terutama dalam ranah tasawuf dan teosofi.² Dalam hal ini, warisan Suhrawardi menjembatani kesenjangan antara rasionalisme filosofis dan pengalaman batin keagamaan.

Tokoh-tokoh penting yang mengembangkan dan memperluas sistem Suhrawardi di antaranya adalah Qutb al-Din Shirazi (w. 1311 M), yang menulis komentar-komentar penting atas karya-karya Suhrawardi, dan Shams al-Din al-Shahrazuri, yang menyusun biografi intelektualnya dan juga memberikan elaborasi terhadap filsafat iluminasi.³ Komentar dan karya mereka menjadi rujukan utama dalam memahami dan mengajarkan Hikmah al-Isyraq di berbagai lembaga pendidikan Islam di wilayah Persia.

Puncak dari pengaruh Suhrawardi dapat dilihat dalam karya-karya Mullā Ṣadrā (w. 1640 M), pendiri mazhab Hikmah Muta‘āliyah (Filsafat Transendental). Mulla Sadra secara eksplisit menggabungkan tiga aliran besar dalam filsafat Islam: Peripatetik (Ibn Sina), Iluminasi (Suhrawardi), dan irfan/tasawuf (Ibn ‘Arabi). Ia mengambil inspirasi dari konsep cahaya Suhrawardi dan mengintegrasikannya dengan doktrinnya tentang ashālat al-wujūd (primordialitas eksistensi).⁴ Dalam sistem Sadra, ide-ide iluminasi Suhrawardi tetap hidup dan diberi makna yang lebih dalam melalui konsep perubahan eksistensial (harakah jawhariyyah) dan pengetahuan melalui kehadiran (‘ilm ḥuḍūrī).

Tidak hanya terbatas dalam tradisi filsafat Persia, pengaruh Suhrawardi juga meresap ke dalam karya-karya para sufi dan mistikus Islam. Misalnya, simbol-simbol cahaya, burung, penjara tubuh, dan kerajaan malaikat dalam karya Suhrawardi menjadi bagian dari imajinasi simbolik dalam literatur tasawuf.⁵ Henry Corbin menyebut Suhrawardi sebagai “penyair filsuf” yang berhasil membangun jembatan antara filsafat dan wahyu, antara nalar dan visi batin.⁶

Di era modern, Hikmah al-Isyraq mendapatkan perhatian baru dari para orientalis, filsuf, dan akademisi Muslim kontemporer. Tokoh seperti Henry Corbin mempopulerkan kembali pemikiran Suhrawardi di Barat dan menegaskan bahwa filsafat iluminasi adalah bentuk “teosofi kreatif” yang sejajar dengan mistisisme Kristen dan Neoplatonisme.⁷ Di kalangan akademisi Muslim, nama-nama seperti Hossein Ziai, Mehdi Aminrazavi, dan Seyyed Hossein Nasr telah melakukan kajian mendalam terhadap pemikiran Suhrawardi, baik dari aspek metafisika, epistemologi, maupun relevansinya dengan dunia modern.⁸

Lebih dari sekadar sistem filsafat, Hikmah al-Isyraq merupakan jalan spiritual dan kosmologis yang menuntun manusia untuk kembali pada sumber asalnya: Cahaya atas segala cahaya (Nūr al-Anwār). Filsafat ini menekankan pentingnya transformasi diri, pembersihan jiwa, dan pengalaman langsung terhadap realitas metafisik. Oleh karena itu, warisan Suhrawardi tidak hanya bertahan dalam wacana filsafat spekulatif, tetapi juga mengilhami dimensi etis dan eksistensial kehidupan spiritual umat Islam dari abad ke abad.


Footnotes

[1]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 136–137.

[2]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 58.

[3]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 102–103.

[4]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 23–25.

[5]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 72.

[6]                Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (New Lebanon: Omega Publications, 1994), 3–5.

[7]                Henry Corbin, The Philosophy of Illumination (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), x–xi.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn 'Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 81–84.


10.       Relevansi Kontemporer Pemikiran Suhrawardi

Di tengah krisis makna dan disorientasi spiritual yang melanda dunia modern, pemikiran Suhrawardi dalam Hikmah al-Isyraq justru semakin menunjukkan relevansinya. Dunia kontemporer, yang sangat dipengaruhi oleh pendekatan positivistik dan materialistik, cenderung memisahkan ilmu pengetahuan dari dimensi etis dan spiritual. Dalam konteks inilah, filsafat iluminasi Suhrawardi menawarkan alternatif penting berupa paradigma integratif antara rasio, intuisi, dan spiritualitas

Salah satu aspek yang sangat relevan adalah konsep pengetahuan sebagai iluminasi. Berbeda dengan epistemologi modern yang umumnya bersifat empiris-analitis, Suhrawardi mengedepankan bahwa pengetahuan sejati diperoleh melalui kehadiran eksistensial dan penyinaran batin, bukan semata akumulasi informasi.² Dalam dunia yang kian dipenuhi informasi namun miskin kebijaksanaan, konsep ‘ilm ḥuḍūrī (pengetahuan melalui kehadiran) sangat penting untuk mengembalikan makna mendalam dari proses mengetahui. Hal ini sejalan dengan gagasan kontemporer tentang embodied knowledge dan lived experience dalam filsafat fenomenologi.³

Lebih jauh, sistem Hikmah al-Isyraq memulihkan posisi imajinasi dan simbolisme sebagai alat epistemologis yang sah. Dalam dunia modern yang mengagungkan rasionalitas instrumental, Suhrawardi mengingatkan bahwa manusia tidak hanya makhluk rasional, tetapi juga makhluk simbolik dan spiritual. Imajinasi dalam filsafatnya bukan ilusi, tetapi sarana untuk mengakses alam mitsal, yaitu realitas antara dunia inderawi dan intelek.⁴ Gagasan ini membuka ruang bagi pendekatan transdisipliner dalam sains, seni, filsafat, dan spiritualitas yang selama ini dipisahkan secara kaku dalam kerangka modernisme.

Dalam konteks pendidikan, filsafat Suhrawardi dapat menjadi fondasi pendidikan holistik yang tidak hanya berorientasi pada kemampuan kognitif, tetapi juga pengembangan dimensi batin, akhlak, dan intuisi.⁵ Suhrawardi menunjukkan bahwa transformasi intelektual harus diiringi dengan transformasi eksistensial. Filsuf bukan hanya orang yang pandai berargumen, tetapi juga yang mampu menyucikan jiwanya dan mendekat kepada realitas ilahiah.

Selain itu, Hikmah al-Isyraq juga relevan dalam menjawab krisis ekologis dan eksistensial yang bersumber dari cara pandang manusia modern yang memisahkan dirinya dari kosmos. Suhrawardi memandang kosmos sebagai struktur hierarkis cahaya yang sakral, bukan sekadar objek eksploitasi.⁶ Dengan demikian, filsafatnya dapat memperkaya wacana etika lingkungan berbasis spiritualitas, sejalan dengan pendekatan ekoteologi dan filsafat ekologi kontemporer.

Secara sosial-politik, filsafat Suhrawardi mendorong kesadaran akan pembebasan ruhani dan otonomi batin sebagai prasyarat bagi kebebasan sejati. Dalam dunia yang kian terjebak dalam dominasi ideologi, ekonomi, dan teknologi, konsep tajalli dan pencerahan batin Suhrawardi menjadi kritik halus terhadap ketergantungan manusia pada struktur luar dan mengajak kembali kepada pencerahan internal.⁷

Di dunia akademik, pemikiran Suhrawardi telah menarik perhatian banyak sarjana kontemporer baik di Timur maupun di Barat. Tokoh seperti Henry Corbin menilai bahwa filsafat Suhrawardi merupakan bentuk teosofi kreatif yang bisa menjadi jembatan antara filsafat, agama, dan seni.⁸ Hossein Ziai bahkan menyatakan bahwa Hikmah al-Isyraq adalah bentuk awal dari epistemologi alternatif yang lebih inklusif terhadap intuisi dan simbolisme sebagai sumber pengetahuan filosofis.⁹

Dengan demikian, pemikiran Suhrawardi tidak hanya penting dalam sejarah filsafat Islam, tetapi juga berpotensi menjadi tawaran filosofis yang aktual untuk menjawab berbagai tantangan zaman: fragmentasi ilmu, kehilangan makna, dan kekeringan spiritual. Ia mengajarkan bahwa filsafat tidak hanya soal berpikir, tetapi juga soal mengalami dan menjadi—melalui cahaya.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 12.

[2]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 40.

[3]                Henry Corbin, The Philosophy of Illumination (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 31.

[4]                Henry Corbin, Alone with the Alone: Creative Imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1997), 15.

[5]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 104.

[6]                Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (New Lebanon: Omega Publications, 1994), 10–11.

[7]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 118.

[8]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 137–138.

[9]                Hossein Ziai, “Beyond Philosophy: Suhrawardi’s Epistemology of Immediate Experience,” in The Philosophy of Illumination, ed. John Walbridge (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 83–84.


11.       Penutup

Pemikiran Shihab al-Din Suhrawardi dalam Hikmah al-Isyraq merupakan titik balik penting dalam sejarah filsafat Islam, karena menghadirkan sebuah sistem filsafat yang secara radikal menyintesis antara rasionalisme Peripatetik dengan spiritualitas iluminatif. Suhrawardi tidak menolak pendekatan diskursif-rasional yang diwarisi dari para filsuf besar seperti Ibn Sina, namun ia melampauinya dengan memasukkan dimensi intuisi, simbolisme, dan pengalaman ruhani sebagai sumber sah pengetahuan metafisik.¹

Melalui Hikmah al-Isyraq, Suhrawardi berhasil membangun kerangka filsafat yang integratif, yang tidak hanya menghubungkan antara akal dan intuisi, tetapi juga antara filsafat dan tasawuf, antara bentuk intelektual dan pengalaman eksistensial.² Dalam kerangka ini, pengetahuan tidak sekadar dipahami sebagai hasil konstruksi logis, tetapi juga sebagai tajalli—penyingkapan cahaya kebenaran kepada jiwa yang telah disucikan. Pendekatan semacam ini membuka cakrawala baru dalam filsafat Islam, sekaligus memperluas definisi hikmah sebagai gabungan antara ilmu dan dzauq.

Lebih dari itu, filsafat Suhrawardi telah meninggalkan pengaruh yang sangat luas, baik di kalangan filsuf maupun sufi, terutama di dunia Islam Timur. Pemikirannya menjadi fondasi bagi mazhab Hikmah al-Isyraq dan turut memberi kontribusi besar dalam kelahiran Hikmah Muta‘āliyah oleh Mulla Sadra.³ Suhrawardi tidak hanya dikenang sebagai seorang filsuf, tetapi juga sebagai pembaru spiritual yang mengajak manusia untuk kembali menyadari asal-usul cahayanya, dan untuk menjalani kehidupan intelektual yang selaras dengan pencerahan batin.

Dalam konteks kontemporer, pemikiran Suhrawardi menghadirkan relevansi yang kuat terhadap tantangan zaman, seperti krisis makna, fragmentasi ilmu, dan dominasi materialisme. Filsafat iluminasi mengajak kita untuk melihat ilmu tidak hanya sebagai alat kontrol, tetapi juga sebagai jalan kembali kepada realitas ilahiah.⁴ Ia menghidupkan kembali kesadaran bahwa manusia adalah entitas cahaya yang memiliki potensi untuk menyatu dengan sumber cahaya tertinggi melalui penyucian dan pengetahuan.

Dengan demikian, Suhrawardi dan filsafat iluminasinya tidak hanya penting untuk dipelajari secara historis, tetapi juga perlu dihidupkan kembali dalam wacana intelektual dan spiritual umat Islam masa kini. Ia adalah contoh agung dari bagaimana filsafat dapat menjadi jalan pencerahan, bukan hanya bagi akal, tetapi juga bagi hati dan ruh. Seperti dikatakan oleh Henry Corbin, “Filsafat bagi Suhrawardi bukan hanya logos, tetapi juga cahaya.”_⁵


Footnotes

[1]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 41–42.

[2]                Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 109–110.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 45–47.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 19–20.

[5]                Henry Corbin, The Philosophy of Illumination (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 13.


Daftar Pustaka

Aminrazavi, M. (1997). Suhrawardi and the school of illumination. Richmond: Curzon Press.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-ʿArabi’s metaphysics of imagination. Albany: State University of New York Press.

Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of God: Principles of Ibn al-ʿArabi’s cosmology. Albany: State University of New York Press.

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy (L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). London: Kegan Paul.

Corbin, H. (1994). The man of light in Iranian Sufism. New Lebanon: Omega Publications.

Corbin, H. (1997). Alone with the alone: Creative imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi. Princeton: Princeton University Press.

Corbin, H. (1998). The philosophy of illumination. Provo, UT: Brigham Young University Press.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early 'Abbasid society. London: Routledge.

Goodman, L. E. (2006). Avicenna. London: Routledge.

Izutsu, T. (2007). The concept and reality of existence. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic philosophy: Mullā Ṣadrā on existence, intellect, and intuition. Oxford: Oxford University Press.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Cambridge: Polity Press.

Leaman, O. (2002). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn 'Arabi. Cambridge: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred science. Albany: State University of New York Press.

Ziai, H. (1990). Knowledge and illumination: A study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq. Atlanta: Scholars Press.

Ziai, H. (1999). Beyond philosophy: Suhrawardi’s epistemology of immediate experience. In J. Walbridge (Ed.), The philosophy of illumination (pp. 79–92). Provo, UT: Brigham Young University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar