Hikmah al-Isyraq
Sintesis Filsafat Peripatetik dan Iluminasi dalam
Tradisi Islam
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
filsuf Muslim Persia, Shihab al-Din Suhrawardi (1155–1191 M), sebagai pendiri
mazhab Hikmah al-Isyraq (filsafat iluminasi). Melalui pendekatan
historis-filosofis, artikel ini menjelaskan bagaimana Suhrawardi menyintesis
filsafat Peripatetik yang diwarisi dari tradisi Ibn Sina dengan dimensi
iluminatif dan intuisionis yang berakar dalam spiritualitas Islam Timur.
Penelitian ini menunjukkan bahwa Suhrawardi tidak menolak rasionalitas,
melainkan mengintegrasikannya dengan pengalaman batin, simbolisme, dan
penyucian jiwa sebagai metode menuju pengetahuan hakiki. Filsafatnya
menempatkan cahaya sebagai realitas ontologis dan epistemologis tertinggi,
serta menjadikan imajinasi sebagai instrumen sah dalam mengakses alam
transenden. Artikel ini juga menguraikan pengaruh jangka panjang Hikmah
al-Isyraq terhadap pemikir-pemikir besar seperti Mulla Sadra dan Ibn
'Arabi, serta menunjukkan relevansinya dalam menjawab krisis makna, fragmentasi
ilmu, dan kekeringan spiritual di era modern. Dengan demikian, Suhrawardi
tampil sebagai tokoh kunci dalam tradisi filsafat Islam yang menjembatani akal
dan ruh, logos dan cahaya.
Kata Kunci: Suhrawardi, Hikmah al-Isyraq, filsafat Islam,
iluminasi, Peripatetik, intuisi, simbolisme, pengetahuan melalui kehadiran,
filsafat Timur, spiritualitas Islam.
PEMBAHASAN
Suhrawardi dan Hikmah al-Isyraq
1.
Pendahuluan
Filsafat Islam pada abad pertengahan mengalami
perkembangan yang sangat dinamis, terutama ketika para filsuf Muslim mulai
mengintegrasikan warisan filsafat Yunani dengan prinsip-prinsip metafisika dan
spiritualitas Islam. Salah satu tokoh yang memberikan kontribusi paling
signifikan dalam pembentukan corak filsafat Islam yang unik adalah Shihab
al-Din Yahya Suhrawardi (w. 1191 M). Ia dikenal sebagai pendiri Hikmah
al-Isyraq atau filsafat iluminasi, sebuah sistem filsafat yang
berupaya menyinergikan pendekatan rasional dari tradisi Peripatetik
(al-Masysha'i), sebagaimana dikembangkan oleh Ibn Sina, dengan pengalaman
mistis dan intuisi iluminatif sebagai sumber pengetahuan metafisik yang
otentik.¹
Suhrawardi menganggap bahwa filsafat rasional
(burhānī) tidak cukup untuk mengungkap kebenaran tertinggi tanpa disertai
penyucian jiwa dan pencapaian iluminasi batin. Oleh karena itu, ia mengkritik
keterbatasan pendekatan peripatetik yang hanya mengandalkan logika formal dan
konsep-konsep abstrak, dan ia mengajukan sistem alternatif yang mengutamakan tajalli
(penyingkapan) cahaya sebagai dasar ontologi dan epistemologi.² Dengan
pendekatan ini, Suhrawardi tidak sekadar mereformulasi filsafat Islam, tetapi
menciptakan paradigma baru yang menyatukan filsafat, mistisisme, dan simbolisme
dalam satu kesatuan yang harmonis.
Pemikiran Suhrawardi muncul dalam konteks keilmuan
yang telah banyak dipengaruhi oleh warisan Aristoteles dan Neoplatonisme,
melalui tokoh-tokoh seperti Al-Farabi dan Ibn Sina. Namun, Suhrawardi tidak
berhenti pada pewarisan intelektual ini. Ia melakukan reorientasi besar
terhadap dasar-dasar filsafat rasional dengan menghidupkan kembali unsur
esoterik dan iluminatif yang ia yakini juga merupakan bagian dari warisan kuno
para "hikmah Timur" (ḥukamā’ al-furs) seperti Zoroaster, Hermes, dan
Plato.³ Konsep “cahaya” (nūr) yang menjadi pusat dalam sistem
filsafatnya bukan hanya metafora spiritual, melainkan realitas metafisik yang
menjadi dasar eksistensi segala sesuatu.
Pendekatan Suhrawardi ini mendapat perhatian luas
di dunia Islam Timur, terutama dalam tradisi filsafat Persia dan kemudian
berkembang dalam aliran Hikmah Muta‘āliyah yang dikembangkan oleh Mulla
Sadra.⁴ Bahkan di dunia kontemporer, banyak cendekiawan seperti Henry Corbin
dan Hossein Ziai yang menilai bahwa Hikmah al-Isyraq adalah representasi
tertinggi dari filsafat simbolik dan spiritual dalam Islam, yang masih sangat
relevan dalam menjawab krisis rasionalisme kering dan kehilangan dimensi
transenden dalam kehidupan modern.⁵
Karena itu, mempelajari pemikiran Suhrawardi bukan
hanya berarti menelusuri sejarah intelektual Islam klasik, melainkan juga
menyentuh wacana filsafat universal tentang cara manusia memahami realitas
melalui gabungan antara rasio dan intuisi. Artikel ini akan membahas secara
sistematis bagaimana Suhrawardi menggabungkan filsafat Peripatetik dan
iluminasi dalam satu sistem filsafat integral yang disebut Hikmah al-Isyraq.
Footnotes
[1]
Henry Corbin, The Philosophy of Illumination
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 7–9.
[2]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
21–24.
[3]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination
(Richmond: Curzon Press, 1997), 45–48.
[4]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
178.
[5]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993),
123–125.
2.
Biografi
Singkat Suhrawardi
Shihab al-Din Yahya ibn Habash Suhrawardi (1155–1191 M) adalah seorang filsuf Persia yang
dikenal sebagai pendiri mazhab Hikmah al-Isyraq atau filsafat iluminasi.
Ia dilahirkan di kota Suhraward, dekat Zanjan di Iran barat laut, pada
pertengahan abad ke-12 M. Sejak usia muda, ia menunjukkan kecintaan yang
mendalam terhadap ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang logika, filsafat, dan
ilmu keislaman.¹
Suhrawardi memulai pendidikannya di Maraghah,
sebuah kota yang pada masa itu menjadi pusat keilmuan penting, kemudian
melanjutkan perjalanannya ke Isfahan yang menjadi pusat filsafat Peripatetik.
Di sana, ia belajar kepada para murid Ibn Sina dan mendalami warisan filsafat
Yunani-Islam. Namun, Suhrawardi tidak berhenti pada tradisi rasionalistik; ia
mulai mengembangkan pendekatan filsafat yang menggabungkan logika dengan
intuisi spiritual, yang kelak menjadi ciri khas pemikirannya.²
Setelah menyelesaikan studinya, Suhrawardi
melakukan pengembaraan intelektual ke berbagai kota seperti Aleppo dan
Damaskus. Di Aleppo, ia mendapatkan perlindungan dari Malik Zahir, putra Sultan
Salahuddin al-Ayyubi. Di bawah naungan penguasa muda ini, Suhrawardi menulis
karya-karya utamanya, termasuk Ḥikmat al-Ishrāq, magnum opus-nya yang
menyusun sistem filsafat iluminasi secara utuh.³
Namun, pemikirannya yang bersifat filosofis dan
esoterik menimbulkan kecurigaan di kalangan ulama ortodoks. Mereka menuduh
Suhrawardi menyimpang dari ajaran Islam ortodoks, bahkan menganggapnya telah
menyebarkan pandangan-pandangan yang berbahaya. Tekanan dari para ulama membuat
Sultan Salahuddin, yang dikenal berpandangan konservatif, akhirnya mengabulkan
permintaan para penuduh untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Suhrawardi.⁴ Ia
wafat dalam usia muda, sekitar 36 tahun, kemungkinan besar dieksekusi atau
dibunuh di penjara pada tahun 1191 M di Aleppo.
Kematian Suhrawardi tidak menghentikan penyebaran
pemikirannya. Justru setelah wafatnya, mazhab Hikmah al-Isyraq berkembang luas
di Iran dan Dunia Islam Timur, terutama melalui karya-karyanya yang tetap
dipelajari hingga kini.⁵ Sebagai seorang pemikir brilian dan mistikus,
Suhrawardi berhasil memadukan warisan filsafat Yunani, pemikiran Islam, serta
spiritualitas Timur kuno dalam satu kerangka metafisik yang unik, menjadikannya
sebagai salah satu tokoh paling orisinal dalam sejarah filsafat Islam.
Footnotes
[1]
Henry Corbin, The Philosophy of Illumination
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 5.
[2]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
16–17.
[3]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of
Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 53–55.
[4]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
176.
[5]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 124.
3.
Konteks
Filsafat Islam Sebelum Suhrawardi
Untuk memahami latar lahirnya filsafat iluminasi
Suhrawardi, penting terlebih dahulu meninjau kondisi dan perkembangan filsafat
Islam sebelum kemunculannya. Pada abad ke-9 hingga ke-11 M, filsafat Islam
berkembang pesat berkat interaksi yang intens antara pemikiran Islam dan
filsafat Yunani, khususnya melalui gerakan penerjemahan besar-besaran di bawah
kekhalifahan Abbasiyah. Karya-karya Plato, Aristoteles, dan terutama Plotinus
(melalui korpus yang disangka sebagai karya Aristoteles) diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab dan memengaruhi para filsuf Muslim awal.¹
Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam
pengembangan filsafat Islam pada masa ini adalah Al-Farabi (w. 950 M),
yang dikenal sebagai "Guru Kedua" (al-Mu‘allim al-Thani) setelah
Aristoteles. Ia merupakan pelopor sistematisasi filsafat Yunani dalam kerangka
Islam. Al-Farabi menggabungkan logika Aristoteles dengan metafisika Neoplatonik
dan berupaya menjelaskan bagaimana akal manusia dapat bersatu dengan akal aktif
dalam proses pencapaian pengetahuan yang tertinggi.² Gagasannya menjadi fondasi
bagi perkembangan filsafat Peripatetik (al-Masysha’i) dalam dunia Islam.
Pemikiran ini kemudian dilanjutkan dan
disempurnakan oleh Ibn Sina (Avicenna, w. 1037 M), filsuf dan ilmuwan
Persia yang sangat berpengaruh. Ibn Sina membangun sistem filsafat rasional
yang utuh, mencakup logika, fisika, metafisika, dan psikologi. Ia
memperkenalkan konsep wujud (eksistensi) dan mahiyyah (hakikat),
serta gagasan tentang wajib al-wujud (Yang Wajib Ada) sebagai prinsip
pertama dalam ontologi metafisikanya.³ Bagi Ibn Sina, pengetahuan tertinggi
diperoleh melalui penyempurnaan akal dengan bantuan akal aktif (al-‘aql
al-fa‘‘āl), yang bertindak sebagai sumber iluminasi intelektual, meskipun masih
dalam kerangka rasional.⁴
Namun, filsafat Peripatetik tidak lepas dari
kritik, terutama dari kalangan teolog dan sufi. Al-Ghazali (w. 1111 M),
dalam karya terkenalnya Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filsuf),
menuduh para filsuf seperti Ibn Sina telah menyimpang dari ajaran Islam dalam
tiga hal pokok: kekekalan alam, pengetahuan Tuhan tentang partikular, dan
kebangkitan jasmani.⁵ Kritik ini melemahkan pengaruh filsafat rasional di dunia
Islam selama beberapa dekade. Meskipun demikian, pemikiran Ibn Sina tetap
menjadi kerangka dominan dalam pendidikan filsafat Islam hingga masa
Suhrawardi.
Selain kritik teologis, dari kalangan mistik juga
muncul pandangan bahwa filsafat yang hanya mengandalkan logika dan diskursus
tidak mampu menjangkau kebenaran yang bersifat hakiki. Para sufi seperti Al-Hallaj,
Al-Suhrawardi (yang lain), dan Ibn Arabi menekankan pentingnya kasyf
(penyingkapan) dan dzauq (rasa batin) dalam memperoleh pengetahuan
sejati.⁶ Inilah yang kemudian menginspirasi Suhrawardi untuk menyusun suatu
sistem filsafat alternatif yang tidak semata-mata bertumpu pada akal, tetapi
juga mengakomodasi pengalaman batin dan intuisi spiritual sebagai jalan menuju
kebenaran metafisik yang lebih tinggi.
Dengan demikian, latar belakang filsafat sebelum
Suhrawardi ditandai oleh kejayaan filsafat Peripatetik yang kuat secara
rasional, tetapi juga mengalami tantangan dari dimensi spiritual Islam. Dalam
ruang dialektika inilah Suhrawardi tampil sebagai pembaru yang tidak menolak
rasionalitas, tetapi melengkapinya dengan dimensi iluminatif dalam bentuk Hikmah
al-Isyraq.⁷
Footnotes
[1]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early 'Abbasid Society
(London: Routledge, 1998), 3–5.
[2]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 63–65.
[3]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 2006), 30–36.
[4]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 12.
[5]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers,
trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–5.
[6]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-ʿArabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989),
15–16.
[7]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993),
123–124.
4.
Dasar-Dasar
Filsafat Peripatetik dalam Pemikiran Suhrawardi
Meskipun dikenal sebagai pendiri Hikmah
al-Isyraq (filsafat iluminasi), Suhrawardi tidak sepenuhnya meninggalkan
warisan filsafat Peripatetik (al-Masysha’i) yang telah mengakar kuat
dalam tradisi intelektual Islam sejak Al-Farabi dan Ibn Sina. Bahkan,
Suhrawardi menunjukkan penguasaan yang mendalam terhadap filsafat Peripatetik
baik dalam logika, metafisika, maupun psikologi. Karya-karya awalnya, seperti Talwīḥāt
dan Lamaḥāt, mencerminkan pendekatan diskursif-rasional khas
peripatetik, yang kemudian ia padukan dengan pendekatan iluminatif dalam karya
utamanya, Ḥikmat al-Ishrāq.¹
Dalam struktur pemikiran Suhrawardi, terdapat
banyak unsur Peripatetik yang ia adopsi dan reformulasikan. Misalnya, ia
menerima kerangka logika Aristotelian sebagai alat berpikir filosofis yang sah
dan tetap menggunakan pendekatan deduktif dalam penjelasan rasional.²
Suhrawardi tidak menolak fungsi logika, tetapi baginya logika hanyalah alat
bantu, bukan sumber utama pengetahuan metafisik tertinggi. Hal ini sejalan
dengan pendekatan Ibn Sina yang menggunakan logika sebagai jalan menuju
pemahaman realitas.
Dalam bidang ontologi, Suhrawardi juga memulai dari
premis-premis dasar yang diwariskan oleh Ibn Sina, seperti pembedaan antara wujūd
(eksistensi) dan māhiyyah (esensi), serta pembahasan tentang wājib
al-wujūd (yang wajib ada) sebagai sumber dari segala yang ada.³ Namun,
berbeda dengan Ibn Sina yang menjadikan eksistensi sebagai prinsip dasar
dalam filsafatnya, Suhrawardi justru menjadikan cahaya sebagai prinsip
metafisika utama.⁴ Meski demikian, struktur analisis eksistensial yang
digunakan Suhrawardi tetap memperlihatkan jejak peripatetik dalam cara menyusun
argumentasi dan kategorisasi ontologis.
Dalam psikologi filsafat, Suhrawardi juga
mengadopsi banyak konsep Ibn Sina, seperti teori tentang jiwa (nafs),
potensi-potensi akal (‘aql bi al-quwwah, ‘aql bi al-fi‘l), dan
peran ‘aql fa‘‘āl (akal aktif) sebagai penghubung antara dunia intelek
dan manusia.⁵ Ia menerima bahwa akal manusia harus menjalani proses
penyempurnaan untuk mencapai iluminasi intelektual. Akan tetapi, Suhrawardi
mengembangkan teori ini lebih jauh dengan menambahkan dimensi tajalli
(penyingkapan) sebagai bentuk kesempurnaan akal yang bersumber langsung dari
cahaya ilahi.
Perlu dicatat bahwa dalam filsafat Peripatetik,
proses pencapaian pengetahuan bersifat bertingkat, dimulai dari indera,
imajinasi, hingga akhirnya akal aktual. Suhrawardi mempertahankan struktur
bertingkat ini, tetapi memperkenalkan dimensi transenden di atasnya, yaitu alam
al-anwār (dunia cahaya) yang tidak bisa dicapai hanya dengan rasio, tetapi
melalui penyucian jiwa dan intuisi spiritual.⁶ Di sini terlihat bahwa
Suhrawardi bukan sekadar menolak Peripatetik, tetapi membangunnya kembali dalam
kerangka metafisika iluminatif.
Dengan demikian, filsafat Peripatetik dalam
pemikiran Suhrawardi berfungsi sebagai fondasi epistemologis dan metodologis,
yang kemudian dilampaui melalui pendekatan iluminatif. Alih-alih memposisikan
Peripatetik dan Iluminasi secara dikotomis, Suhrawardi menghadirkan keduanya
dalam sintesis harmonis: rasionalitas sebagai jalan, dan iluminasi sebagai
tujuan tertinggi pengetahuan filsafat.⁷
Footnotes
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
18–20.
[2]
Henry Corbin, The Philosophy of Illumination
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 21.
[3]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 2006), 42–43.
[4]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 87.
[5]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of
Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 66–68.
[6]
William C. Chittick, The Heart of Islamic
Philosophy: The Quest for Self-Knowledge in the Teachings of Afdal al-Din
Kashani (Oxford: Oxford University Press, 2001), 48.
[7]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 127–128.
5.
Kritik
Suhrawardi terhadap Filsafat Peripatetik
Walaupun Suhrawardi memiliki latar belakang
pendidikan yang kuat dalam filsafat Peripatetik dan menggunakan banyak
instrumen rasional dalam karya-karyanya, ia justru dikenal sebagai salah satu
pengkritik utama pendekatan Peripatetik murni dalam filsafat Islam. Kritik
Suhrawardi tidak dimaksudkan untuk menolak akal atau logika, melainkan untuk
menyoroti keterbatasan metode rasionalistik dalam mengungkapkan hakikat
realitas yang lebih dalam dan transenden.¹
Suhrawardi berpendapat bahwa pendekatan filsafat
yang hanya mengandalkan rasio dan argumentasi logis tidak cukup untuk
mengantarkan manusia pada pengetahuan yang sejati, terutama mengenai realitas
metafisik. Ia menyatakan bahwa pengetahuan sejati (al-ḥikmah) tidak
hanya berasal dari burhān (demonstrasi logis), tetapi juga harus
diperoleh melalui dzauq (rasa batin), kasyf (penyingkapan), dan tajalli
(iluminasi ruhani).² Bagi Suhrawardi, para filsuf Peripatetik seperti Ibn Sina
gagal memahami bahwa realitas tertinggi tidak dapat dijangkau hanya melalui
deduksi akal semata.
Kritik utama Suhrawardi terhadap Ibn Sina terletak
pada pemahaman tentang wujūd (eksistensi). Ibn Sina menjadikan eksistensi
sebagai konsep metafisik utama dan membedakannya dari mahiyyah
(hakikat). Namun, Suhrawardi menolak prioritas eksistensi atas esensi dan
mengajukan konsep “cahaya” (nūr) sebagai prinsip ontologis yang paling
dasar dan nyata. Menurutnya, segala yang ada merupakan gradasi dari cahaya,
dari Cahaya atas Segala Cahaya (Nūr al-Anwār) hingga kegelapan relatif.³
Dengan demikian, metafisika Suhrawardi lebih bersifat hierarkis dan simbolik
daripada abstrak-deduktif seperti dalam sistem Ibn Sina.
Selain itu, Suhrawardi juga mengkritik konsep akal
aktif (al-‘aql al-fa‘‘āl) dalam filsafat Peripatetik. Menurut Ibn Sina,
akal aktif adalah sumber dari pengetahuan universal dan perantara antara Tuhan
dan manusia dalam memperoleh intelek. Suhrawardi tidak sepenuhnya menolak
gagasan ini, namun ia merasa bahwa konsep tersebut tidak cukup menjelaskan
hubungan spiritual antara manusia dan realitas ilahiah. Dalam sistem
iluminatifnya, hubungan ini tidak semata-mata intelektual, tetapi eksistensial
dan mistikal, di mana cahaya ilahi “menyinar” jiwa manusia yang
telah disucikan.⁴
Dalam hal epistemologi, Suhrawardi berpendapat
bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan melalui kehadiran (‘ilm
ḥudūrī), bukan semata pengetahuan konseptual (‘ilm ḥuṣūlī).
Pengetahuan tidak diperoleh hanya dengan menyusun premis dan kesimpulan,
melainkan melalui pengalaman langsung akan realitas, seperti seorang
pencari yang menyaksikan cahaya yang menyilaukan setelah menempuh perjalanan
spiritual yang panjang.⁵
Secara keseluruhan, kritik Suhrawardi terhadap
filsafat Peripatetik mencerminkan aspirasi intelektual untuk melampaui
batas-batas rasionalitas dan membuka kembali ruang bagi pengalaman batin yang
intuitif dan mistikal dalam pencarian akan kebenaran. Ia tidak menolak logika,
tetapi menempatkannya dalam posisi sebagai alat bantu, bukan sebagai puncak
metode filosofis. Dengan demikian, Suhrawardi berusaha menghadirkan kembali
dimensi esoteris dari hikmah dalam tradisi Islam, yang menurutnya telah
dilupakan oleh para filosof Peripatetik.⁶
Footnotes
[1]
Henry Corbin, The Philosophy of Illumination
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 26.
[2]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
31–33.
[3]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of
Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 77–79.
[4]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 89.
[5]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God:
Principles of Ibn al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 205.
[6]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993),
129–130.
6.
Filsafat
Iluminasi: Konsep Dasar Hikmah al-Isyraq
Filsafat iluminasi (Ḥikmah al-Isyrāq)
merupakan kontribusi orisinal Suhrawardi dalam khazanah filsafat Islam. Istilah
isyrāq sendiri berasal dari akar kata Arab sh-r-q yang berarti
“terbit” atau “memancar,” dan secara filosofis merujuk pada penyingkapan
pengetahuan melalui pancaran cahaya batiniah. Dalam sistem filsafat ini,
Suhrawardi menyatakan bahwa hakikat segala sesuatu adalah cahaya, dan
pengetahuan sejati hanya dapat dicapai melalui iluminasi spiritual,
bukan sekadar proses intelektual yang diskursif.¹
Dalam karya monumentalnya Ḥikmat al-Isyrāq,
Suhrawardi membangun suatu sistem filsafat yang didasarkan pada pengalaman
intuitif dan penyinaran ruhani. Ia membedakan dua bentuk hikmah
(kebijaksanaan), yaitu hikmah bahsiyyah (kebijaksanaan demonstratif,
seperti dalam filsafat Peripatetik) dan hikmah isyrāqiyyah
(kebijaksanaan iluminatif), yang dianggapnya lebih tinggi karena melibatkan
pembersihan jiwa dan kesadaran batin yang mendalam.² Ia bahkan menegaskan bahwa
filsuf sejati bukan hanya orang yang mampu berargumentasi, tetapi juga yang
mencapai tajalli—pengalaman langsung terhadap realitas melalui cahaya
ilahi.
Pusat ontologi dalam Hikmah al-Isyraq adalah
konsep “cahaya” (nūr). Bagi Suhrawardi, cahaya adalah realitas paling
dasar dan tidak membutuhkan definisi karena sifatnya yang langsung
ditangkap oleh kesadaran.³ Semua wujud selain Cahaya Murni (Nūr al-Anwār)
adalah gradasi dari cahaya, dan semakin jauh suatu entitas dari cahaya ini,
semakin rendah tingkat realitasnya, hingga mencapai kegelapan simbolik (yang
bukan ketiadaan, tetapi kekurangan cahaya).⁴ Ini menciptakan sistem kosmologi
hierarkis di mana dunia ruhani, alam akal, dan alam materi tersusun
berdasarkan intensitas cahaya.
Cahaya tertinggi, yang disebut “Nūr al-Anwār”
atau “Cahaya atas segala cahaya,” adalah prinsip pertama dan sumber dari
semua wujud.⁵ Dari cahaya ini terpancar tingkatan-tingkatan cahaya yang lebih
rendah secara bertahap, hingga ke dunia inderawi. Suhrawardi mengadopsi
semangat Neoplatonisme dalam pemaparan emanasi ini, tetapi dengan simbolisme
khas Timur dan bahasa spiritualitas Islam.⁶ Model hierarki ini tidak hanya
bersifat kosmologis, tetapi juga epistemologis: semakin tinggi derajat pencahayaan
batin seseorang, semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya.
Dalam epistemologi iluminatif, Suhrawardi
mengajukan konsep “pengetahuan melalui kehadiran” (‘ilm ḥuḍūrī),
yaitu pengetahuan yang diperoleh bukan melalui representasi mental atau konsepsi
logis, melainkan melalui kehadiran langsung objek dalam jiwa subjek.⁷
Pengetahuan semacam ini lebih tinggi daripada ‘ilm ḥuṣūlī (pengetahuan
representatif), karena bersifat langsung dan intuitif. Filsuf iluminatif harus
terlebih dahulu menyucikan jiwanya melalui asketisme, etika tinggi, dan
perenungan, agar layak menerima pancaran cahaya kebenaran.
Selain itu, Suhrawardi juga memperkenalkan alam
mitsal (‘ālam al-mithāl), yaitu dunia imajinal yang berada di antara
alam materi dan alam intelek. Dunia ini bukan ilusi, tetapi realitas objektif
yang dapat diakses oleh jiwa yang telah tercerahkan.⁸ Konsep ini memiliki
pengaruh besar dalam tradisi filsafat dan tasawuf Islam Timur, karena
menjelaskan bagaimana simbol-simbol spiritual dapat menghubungkan manusia dengan
alam transenden.
Dengan menyatukan unsur-unsur rasional dari tradisi
Peripatetik dan pendekatan simbolik-intuitif dari tradisi Timur serta
mistisisme Islam, Suhrawardi menciptakan sistem filsafat yang integratif dan
transformatif. Hikmah al-Isyraq bukan hanya sistem spekulatif
metafisika, tetapi juga jalan spiritual menuju penyatuan dengan sumber
segala cahaya.
Footnotes
[1]
Henry Corbin, The Philosophy of Illumination
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 35.
[2]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
25–27.
[3]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of
Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 81.
[4]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 91–92.
[5]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 132.
[6]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of
Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 140.
[7]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989),
60–61.
[8]
Henry Corbin, Alone with the Alone: Creative
Imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi (Princeton: Princeton University
Press, 1997), 11–13.
7.
Sintesis
Antara Peripatetik dan Iluminasi
Salah satu keistimewaan pemikiran Suhrawardi adalah
kemampuannya mensintesis dua pendekatan filosofis besar dalam Islam:
rasionalisme Peripatetik (al-Masysha’i) dan intuisionisme iluminatif
(al-Isyrāqī). Ia tidak sekadar menolak warisan filsafat sebelumnya, melainkan mengintegrasikannya
dalam kerangka yang lebih komprehensif, di mana pendekatan rasional tetap
dihargai, tetapi diletakkan dalam posisi pelengkap terhadap intuisi spiritual.¹
Dalam karya-karyanya, terutama Ḥikmat al-Isyrāq,
Suhrawardi membagi ilmu filsafat ke dalam dua bentuk: hikmah bahsiyyah
(filsafat diskursif yang berbasis argumentasi logis) dan hikmah dzauqiyyah
atau isyrāqiyyah (filsafat iluminatif yang berbasis intuisi dan penyaksian
ruhani).² Filsafat Peripatetik, seperti yang dikembangkan oleh Ibn Sina, sangat
ditekankan pada pendekatan burhānī (demonstratif), sedangkan Suhrawardi
menambahkan dimensi dzauq (rasa) dan kasyf (penyingkapan), yang menurutnya
lebih mendalam dan memberikan akses langsung kepada realitas metafisik.³
Sintesis ini tidak bersifat artifisial, melainkan
muncul dari kebutuhan filosofis dan spiritual. Suhrawardi memulai argumennya
dengan pendekatan rasional Peripatetik, menggunakan struktur logika
Aristotelian untuk membangun fondasi filsafatnya. Namun, setelah sampai pada
batas kemampuan akal, ia mengalihkan pendekatannya kepada iluminasi batin
sebagai metode epistemologis yang lebih tinggi.⁴ Dengan demikian, akal
digunakan untuk menyiapkan jalan menuju iluminasi, bukan sebagai tujuan akhir.
Dalam ontologi, Suhrawardi tetap mempertahankan
elemen-elemen utama dari tradisi Peripatetik, seperti hierarki wujud dan konsep
tentang ‘aql fa‘‘āl (akal aktif), tetapi ia menginterpretasikannya
secara simbolik dalam kerangka cahaya. Akal aktif, dalam pandangan
Suhrawardi, bukan hanya entitas intelektual tetapi juga salah satu tingkatan
cahaya dalam sistem kosmologi isyrāqī.⁵
Lebih jauh lagi, Suhrawardi memperkenalkan alam
mitsal (dunia imajinal) sebagai ruang transisional antara dunia materi dan
dunia intelek. Konsep ini secara filosofis menjembatani dualisme Peripatetik
antara bentuk-bentuk universal dan substansi partikular dengan model
epistemologi simbolik yang diwarnai oleh imajinasi kreatif.⁶ Dengan demikian,
dunia imajinal menjadi ruang tempat berlangsungnya pengalaman spiritual yang
sah, tanpa harus melanggar prinsip-prinsip rasional yang diterima oleh tradisi
filsafat.
Pendekatan sintetik ini juga terlihat dalam cara
Suhrawardi menjelaskan kosmologi dan antropologi metafisik. Ia
menggunakan kerangka emanasi Neoplatonik yang telah diadaptasi oleh para filsuf
Peripatetik, namun menyusunnya kembali dalam model gradasi cahaya yang
menekankan keterkaitan spiritual antara wujud-wujud dalam hierarki kosmos. Jiwa
manusia, dalam konteks ini, diposisikan sebagai entitas cahaya yang
terperangkap dalam materi, dan filsafat berfungsi sebagai jalan pembebasan
menuju sumber asalnya, yaitu Cahaya atas Segala Cahaya (Nūr al-Anwār).⁷
Sintesis antara filsafat Peripatetik dan iluminasi
yang ditawarkan oleh Suhrawardi membuka jalan bagi perkembangan lebih lanjut
dalam tradisi filsafat Islam Timur, terutama dalam mazhab Hikmah Muta‘āliyah
yang dikembangkan oleh Mulla Sadra. Sadra menggabungkan konsep wujud Ibn
Sina, isyrāq Suhrawardi, dan kasyf Ibn ‘Arabi dalam satu sistem
metafisika spiritual yang mendalam.⁸ Hal ini menunjukkan bahwa sintesis Suhrawardi
bukan hanya berpengaruh dalam konteks zamannya, tetapi juga meletakkan fondasi
bagi perkembangan filsafat Islam berikutnya.
Dengan demikian, filsafat Suhrawardi tidak dapat
dipahami hanya sebagai reaksi terhadap Peripatetikisme atau sebagai mistisisme
murni, melainkan sebagai bentuk reformasi filosofis yang menghadirkan
integrasi antara akal dan cahaya, antara argumentasi dan penyaksian, antara
filsafat dan spiritualitas.
Footnotes
[1]
Henry Corbin, The Philosophy of Illumination
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 33.
[2]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
37–39.
[3]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of
Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 85.
[4]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
179.
[5]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993), 134.
[6]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of
Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 142–143.
[7]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 63.
[8]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 12–14.
8.
Peran
Simbolisme dan Imajinasi
Salah satu unsur paling menonjol dan membedakan Hikmah
al-Isyraq Suhrawardi dari sistem filsafat Peripatetik sebelumnya adalah penggunaan
simbolisme dan imajinasi filosofis secara intens dan sistematis. Simbolisme
dalam filsafat Suhrawardi bukan sekadar ornamen sastra, tetapi merupakan media
epistemologis dan ontologis yang esensial dalam mengungkap realitas
transenden yang tidak dapat dijangkau secara langsung oleh akal diskursif.¹
Suhrawardi berpandangan bahwa realitas metafisik
tertinggi tidak bisa direpresentasikan sepenuhnya oleh konsep-konsep
rasional. Oleh karena itu, ia menggunakan simbol-simbol cahaya,
bayangan, kerajaan malaikat, burung-burung ruhani, dan mitos-mitos Timur kuno
sebagai sarana untuk menunjuk kepada hakikat-hakikat spiritual yang hanya bisa
"dihayati" melalui intuisi dan pengalaman batin.² Henry Corbin
menyebut pendekatan ini sebagai ta’wil isyraqi, yaitu penafsiran
simbolik-iluminatif yang mengungkap lapisan-lapisan makna terdalam dalam
wujud-wujud kasatmata.³
Simbolisme Suhrawardi memiliki dimensi ontologis
yang kuat. Misalnya, dalam struktur kosmologinya, cahaya adalah simbol
realitas absolut, sedangkan kegelapan merepresentasikan non-eksistensi
relatif. Entitas-entitas seperti anwar mujarradah (cahaya-cahaya murni)
menggambarkan malaikat-malaikat intelek yang memiliki eksistensi tingkat tinggi
dalam hirarki ontologis.⁴ Bahkan jiwa manusia, dalam simbolisme Suhrawardi,
dipandang sebagai "burung" yang terperangkap dalam sangkar
tubuh, dan filsafat berfungsi sebagai upaya pembebasan jiwa agar bisa kembali
ke kerajaan cahaya.⁵
Selain simbol, Suhrawardi juga mengembangkan peran imajinasi
filosofis (khayāl) sebagai alat pengetahuan yang sah. Berbeda dengan
filsuf Peripatetik yang sering menempatkan imajinasi pada posisi rendah dalam
hirarki kognitif, Suhrawardi melihat imajinasi sebagai jembatan epistemologis
antara indera dan intelek, serta antara alam materi dan alam spiritual.⁶
Imajinasi mampu mengakses alam mitsal (‘ālam al-mithāl), yaitu
dunia transendental-imajinal yang bersifat objektif, bukan khayalan subyektif.
Alam ini merupakan medan pertemuan antara dunia cahaya dan dunia bayangan,
tempat manifestasi dari realitas ruhani dalam bentuk-bentuk visual simbolik.
Alam mitsal sangat penting dalam Hikmah
al-Isyraq karena memungkinkan pengalaman spiritual—melalui mimpi, visi,
atau ilham—menjadi bagian dari epistemologi filosofis. Dalam dunia ini,
realitas metafisik muncul dalam bentuk gambar, warna, atau suara yang membawa
makna-makna tinggi.⁷ Suhrawardi menyusun narasi-narasi filosofis yang kental
dengan unsur imajinatif, seperti dalam risalah Qissat al-Ghurba (Kisah
Keterasingan) dan Hayākil al-Nūr (Candi-Candi Cahaya), yang tidak hanya
filosofis tetapi juga visioner dan puitis.
Simbolisme dan imajinasi dalam filsafat Suhrawardi
kemudian menjadi warisan penting dalam tradisi filsafat Islam Timur dan sufisme.
Tokoh-tokoh seperti Ibn ‘Arabi dan Mulla Sadra melanjutkan pemikiran ini,
memperkaya konsep-konsep alam mitsal, ta’wil batini, dan pengetahuan
imajinal dalam sistem mereka masing-masing.⁸ Pendekatan ini juga memberikan
kontribusi besar dalam membangun jembatan antara filsafat dan mistisisme,
menjadikan pengalaman estetis dan spiritual sebagai bagian integral dari
filsafat Islam.
Dengan demikian, simbolisme dan imajinasi bukan
hanya pelengkap retoris dalam filsafat Suhrawardi, melainkan sarana untuk menyingkap
realitas yang lebih tinggi, yang tidak bisa dijangkau hanya oleh nalar
formal. Dalam tradisi Hikmah al-Isyraq, simbol membuka jalan bagi
penyingkapan (tajalli), dan imajinasi menjadi medan pertemuan antara
akal, jiwa, dan cahaya ilahi.
Footnotes
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
45–46.
[2]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of
Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 93–94.
[3]
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism
(New Lebanon: Omega Publications, 1994), 4–5.
[4]
Henry Corbin, The Philosophy of Illumination
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 50.
[5]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-ʿArabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 70.
[6]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of
Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 147–149.
[7]
Henry Corbin, Alone with the Alone: Creative
Imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi (Princeton: Princeton University
Press, 1997), 11–15.
[8]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 85–86.
9.
Pengaruh
dan Warisan Hikmah al-Isyraq
Filsafat iluminasi yang dirumuskan oleh Suhrawardi
dalam Hikmah al-Isyraq meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah
pemikiran Islam, khususnya dalam tradisi filsafat Islam Timur. Meskipun
Suhrawardi wafat pada usia muda dan pemikirannya sempat ditentang oleh sebagian
ulama konservatif, warisan intelektualnya justru berkembang pesat di Iran, Asia
Tengah, dan wilayah Dunia Islam Timur lainnya.¹
Setelah kematian Suhrawardi pada tahun 1191 M di
Aleppo, para pengikutnya di Persia dan sekitarnya mulai menyebarkan dan
mensistematisasikan ajaran-ajarannya. Salah satu aspek yang membuat Hikmah
al-Isyraq bertahan dan bahkan menjadi dasar mazhab filsafat tersendiri
adalah keselarasan antara sistem metafisiknya dengan spiritualitas Islam,
terutama dalam ranah tasawuf dan teosofi.² Dalam hal ini, warisan Suhrawardi
menjembatani kesenjangan antara rasionalisme filosofis dan pengalaman batin
keagamaan.
Tokoh-tokoh penting yang mengembangkan dan
memperluas sistem Suhrawardi di antaranya adalah Qutb al-Din Shirazi (w.
1311 M), yang menulis komentar-komentar penting atas karya-karya Suhrawardi,
dan Shams al-Din al-Shahrazuri, yang menyusun biografi intelektualnya
dan juga memberikan elaborasi terhadap filsafat iluminasi.³ Komentar dan karya
mereka menjadi rujukan utama dalam memahami dan mengajarkan Hikmah al-Isyraq
di berbagai lembaga pendidikan Islam di wilayah Persia.
Puncak dari pengaruh Suhrawardi dapat dilihat dalam
karya-karya Mullā Ṣadrā (w. 1640 M), pendiri mazhab Hikmah
Muta‘āliyah (Filsafat Transendental). Mulla Sadra secara eksplisit
menggabungkan tiga aliran besar dalam filsafat Islam: Peripatetik (Ibn Sina),
Iluminasi (Suhrawardi), dan irfan/tasawuf (Ibn ‘Arabi). Ia mengambil inspirasi
dari konsep cahaya Suhrawardi dan mengintegrasikannya dengan doktrinnya tentang
ashālat al-wujūd (primordialitas eksistensi).⁴ Dalam sistem Sadra,
ide-ide iluminasi Suhrawardi tetap hidup dan diberi makna yang lebih dalam
melalui konsep perubahan eksistensial (harakah jawhariyyah) dan
pengetahuan melalui kehadiran (‘ilm ḥuḍūrī).
Tidak hanya terbatas dalam tradisi filsafat Persia,
pengaruh Suhrawardi juga meresap ke dalam karya-karya para sufi dan
mistikus Islam. Misalnya, simbol-simbol cahaya, burung, penjara tubuh, dan
kerajaan malaikat dalam karya Suhrawardi menjadi bagian dari imajinasi simbolik
dalam literatur tasawuf.⁵ Henry Corbin menyebut Suhrawardi sebagai “penyair
filsuf” yang berhasil membangun jembatan antara filsafat dan wahyu, antara
nalar dan visi batin.⁶
Di era modern, Hikmah al-Isyraq mendapatkan
perhatian baru dari para orientalis, filsuf, dan akademisi Muslim kontemporer.
Tokoh seperti Henry Corbin mempopulerkan kembali pemikiran Suhrawardi di
Barat dan menegaskan bahwa filsafat iluminasi adalah bentuk “teosofi
kreatif” yang sejajar dengan mistisisme Kristen dan Neoplatonisme.⁷ Di
kalangan akademisi Muslim, nama-nama seperti Hossein Ziai, Mehdi Aminrazavi,
dan Seyyed Hossein Nasr telah melakukan kajian mendalam terhadap pemikiran
Suhrawardi, baik dari aspek metafisika, epistemologi, maupun relevansinya
dengan dunia modern.⁸
Lebih dari sekadar sistem filsafat, Hikmah
al-Isyraq merupakan jalan spiritual dan kosmologis yang menuntun
manusia untuk kembali pada sumber asalnya: Cahaya atas segala cahaya (Nūr
al-Anwār). Filsafat ini menekankan pentingnya transformasi diri,
pembersihan jiwa, dan pengalaman langsung terhadap realitas metafisik. Oleh
karena itu, warisan Suhrawardi tidak hanya bertahan dalam wacana filsafat
spekulatif, tetapi juga mengilhami dimensi etis dan eksistensial kehidupan
spiritual umat Islam dari abad ke abad.
Footnotes
[1]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993),
136–137.
[2]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 58.
[3]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of
Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 102–103.
[4]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 23–25.
[5]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 72.
[6]
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism
(New Lebanon: Omega Publications, 1994), 3–5.
[7]
Henry Corbin, The Philosophy of Illumination
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), x–xi.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages:
Avicenna, Suhrawardi, Ibn 'Arabi (Cambridge: Harvard University Press,
1964), 81–84.
10. Relevansi Kontemporer Pemikiran Suhrawardi
Di tengah krisis makna dan disorientasi spiritual
yang melanda dunia modern, pemikiran Suhrawardi dalam Hikmah al-Isyraq
justru semakin menunjukkan relevansinya. Dunia kontemporer, yang sangat
dipengaruhi oleh pendekatan positivistik dan materialistik, cenderung
memisahkan ilmu pengetahuan dari dimensi etis dan spiritual. Dalam konteks
inilah, filsafat iluminasi Suhrawardi menawarkan alternatif penting berupa paradigma
integratif antara rasio, intuisi, dan spiritualitas.¹
Salah satu aspek yang sangat relevan adalah konsep
pengetahuan sebagai iluminasi. Berbeda dengan epistemologi modern yang
umumnya bersifat empiris-analitis, Suhrawardi mengedepankan bahwa pengetahuan
sejati diperoleh melalui kehadiran eksistensial dan penyinaran batin, bukan
semata akumulasi informasi.² Dalam dunia yang kian dipenuhi informasi namun
miskin kebijaksanaan, konsep ‘ilm ḥuḍūrī (pengetahuan melalui kehadiran)
sangat penting untuk mengembalikan makna mendalam dari proses mengetahui. Hal
ini sejalan dengan gagasan kontemporer tentang embodied knowledge dan lived
experience dalam filsafat fenomenologi.³
Lebih jauh, sistem Hikmah al-Isyraq
memulihkan posisi imajinasi dan simbolisme sebagai alat epistemologis yang
sah. Dalam dunia modern yang mengagungkan rasionalitas instrumental,
Suhrawardi mengingatkan bahwa manusia tidak hanya makhluk rasional, tetapi juga
makhluk simbolik dan spiritual. Imajinasi dalam filsafatnya bukan ilusi, tetapi
sarana untuk mengakses alam mitsal, yaitu realitas antara dunia inderawi
dan intelek.⁴ Gagasan ini membuka ruang bagi pendekatan transdisipliner dalam
sains, seni, filsafat, dan spiritualitas yang selama ini dipisahkan secara kaku
dalam kerangka modernisme.
Dalam konteks pendidikan, filsafat Suhrawardi dapat
menjadi fondasi pendidikan holistik yang tidak hanya berorientasi pada
kemampuan kognitif, tetapi juga pengembangan dimensi batin, akhlak, dan
intuisi.⁵ Suhrawardi menunjukkan bahwa transformasi intelektual harus diiringi
dengan transformasi eksistensial. Filsuf bukan hanya orang yang pandai
berargumen, tetapi juga yang mampu menyucikan jiwanya dan mendekat kepada
realitas ilahiah.
Selain itu, Hikmah al-Isyraq juga relevan
dalam menjawab krisis ekologis dan eksistensial yang bersumber dari cara
pandang manusia modern yang memisahkan dirinya dari kosmos. Suhrawardi
memandang kosmos sebagai struktur hierarkis cahaya yang sakral, bukan
sekadar objek eksploitasi.⁶ Dengan demikian, filsafatnya dapat memperkaya
wacana etika lingkungan berbasis spiritualitas, sejalan dengan pendekatan
ekoteologi dan filsafat ekologi kontemporer.
Secara sosial-politik, filsafat Suhrawardi
mendorong kesadaran akan pembebasan ruhani dan otonomi batin sebagai
prasyarat bagi kebebasan sejati. Dalam dunia yang kian terjebak dalam dominasi
ideologi, ekonomi, dan teknologi, konsep tajalli dan pencerahan batin
Suhrawardi menjadi kritik halus terhadap ketergantungan manusia pada struktur
luar dan mengajak kembali kepada pencerahan internal.⁷
Di dunia akademik, pemikiran Suhrawardi telah
menarik perhatian banyak sarjana kontemporer baik di Timur maupun di Barat.
Tokoh seperti Henry Corbin menilai bahwa filsafat Suhrawardi merupakan
bentuk teosofi kreatif yang bisa menjadi jembatan antara filsafat,
agama, dan seni.⁸ Hossein Ziai bahkan menyatakan bahwa Hikmah al-Isyraq
adalah bentuk awal dari epistemologi alternatif yang lebih inklusif
terhadap intuisi dan simbolisme sebagai sumber pengetahuan filosofis.⁹
Dengan demikian, pemikiran Suhrawardi tidak hanya
penting dalam sejarah filsafat Islam, tetapi juga berpotensi menjadi tawaran
filosofis yang aktual untuk menjawab berbagai tantangan zaman: fragmentasi
ilmu, kehilangan makna, dan kekeringan spiritual. Ia mengajarkan bahwa filsafat
tidak hanya soal berpikir, tetapi juga soal mengalami dan menjadi—melalui
cahaya.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred
Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 12.
[2]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 40.
[3]
Henry Corbin, The Philosophy of Illumination
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 31.
[4]
Henry Corbin, Alone with the Alone: Creative
Imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi (Princeton: Princeton University
Press, 1997), 15.
[5]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of
Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 104.
[6]
Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism
(New Lebanon: Omega Publications, 1994), 10–11.
[7]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God:
Principles of Ibn al-ʿArabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 118.
[8]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul, 1993),
137–138.
[9]
Hossein Ziai, “Beyond Philosophy: Suhrawardi’s
Epistemology of Immediate Experience,” in The Philosophy of Illumination,
ed. John Walbridge (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 83–84.
11. Penutup
Pemikiran Shihab al-Din Suhrawardi dalam Hikmah
al-Isyraq merupakan titik balik penting dalam sejarah filsafat Islam,
karena menghadirkan sebuah sistem filsafat yang secara radikal menyintesis
antara rasionalisme Peripatetik dengan spiritualitas iluminatif. Suhrawardi
tidak menolak pendekatan diskursif-rasional yang diwarisi dari para filsuf
besar seperti Ibn Sina, namun ia melampauinya dengan memasukkan dimensi
intuisi, simbolisme, dan pengalaman ruhani sebagai sumber sah pengetahuan
metafisik.¹
Melalui Hikmah al-Isyraq, Suhrawardi
berhasil membangun kerangka filsafat yang integratif, yang tidak hanya
menghubungkan antara akal dan intuisi, tetapi juga antara filsafat dan tasawuf,
antara bentuk intelektual dan pengalaman eksistensial.² Dalam kerangka ini,
pengetahuan tidak sekadar dipahami sebagai hasil konstruksi logis, tetapi juga
sebagai tajalli—penyingkapan cahaya kebenaran kepada jiwa yang telah
disucikan. Pendekatan semacam ini membuka cakrawala baru dalam filsafat Islam,
sekaligus memperluas definisi hikmah sebagai gabungan antara ilmu dan dzauq.
Lebih dari itu, filsafat Suhrawardi telah
meninggalkan pengaruh yang sangat luas, baik di kalangan filsuf maupun
sufi, terutama di dunia Islam Timur. Pemikirannya menjadi fondasi bagi mazhab Hikmah
al-Isyraq dan turut memberi kontribusi besar dalam kelahiran Hikmah
Muta‘āliyah oleh Mulla Sadra.³ Suhrawardi tidak hanya dikenang sebagai
seorang filsuf, tetapi juga sebagai pembaru spiritual yang mengajak
manusia untuk kembali menyadari asal-usul cahayanya, dan untuk menjalani
kehidupan intelektual yang selaras dengan pencerahan batin.
Dalam konteks kontemporer, pemikiran Suhrawardi
menghadirkan relevansi yang kuat terhadap tantangan zaman, seperti
krisis makna, fragmentasi ilmu, dan dominasi materialisme. Filsafat iluminasi
mengajak kita untuk melihat ilmu tidak hanya sebagai alat kontrol, tetapi juga
sebagai jalan kembali kepada realitas ilahiah.⁴ Ia menghidupkan kembali
kesadaran bahwa manusia adalah entitas cahaya yang memiliki potensi untuk
menyatu dengan sumber cahaya tertinggi melalui penyucian dan pengetahuan.
Dengan demikian, Suhrawardi dan filsafat
iluminasinya tidak hanya penting untuk dipelajari secara historis, tetapi juga perlu
dihidupkan kembali dalam wacana intelektual dan spiritual umat Islam masa kini.
Ia adalah contoh agung dari bagaimana filsafat dapat menjadi jalan pencerahan,
bukan hanya bagi akal, tetapi juga bagi hati dan ruh. Seperti dikatakan oleh
Henry Corbin, “Filsafat bagi Suhrawardi bukan hanya logos, tetapi juga
cahaya.”_⁵
Footnotes
[1]
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990),
41–42.
[2]
Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of
Illumination (Richmond: Curzon Press, 1997), 109–110.
[3]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 45–47.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred
Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 19–20.
[5]
Henry Corbin, The Philosophy of Illumination
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1998), 13.
Daftar Pustaka
Aminrazavi, M. (1997). Suhrawardi and the school
of illumination. Richmond: Curzon Press.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of
knowledge: Ibn al-ʿArabi’s metaphysics of imagination. Albany: State University
of New York Press.
Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of
God: Principles of Ibn al-ʿArabi’s cosmology. Albany: State University of
New York Press.
Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy
(L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). London: Kegan Paul.
Corbin, H. (1994). The man of light in Iranian
Sufism. New Lebanon: Omega Publications.
Corbin, H. (1997). Alone with the alone:
Creative imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi. Princeton: Princeton
University Press.
Corbin, H. (1998). The philosophy of
illumination. Provo, UT: Brigham Young University Press.
Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture:
The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early 'Abbasid society.
London: Routledge.
Goodman, L. E. (2006). Avicenna. London:
Routledge.
Izutsu, T. (2007). The concept and reality of
existence. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic
philosophy: Mullā Ṣadrā on existence, intellect, and intuition. Oxford:
Oxford University Press.
Leaman, O. (1999). A brief introduction to
Islamic philosophy. Cambridge: Polity Press.
Leaman, O. (2002). An introduction to classical
Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages:
Avicenna, Suhrawardi, Ibn 'Arabi. Cambridge: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred
science. Albany: State University of New York Press.
Ziai, H. (1990). Knowledge and illumination: A
study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq. Atlanta: Scholars Press.
Ziai, H. (1999). Beyond philosophy: Suhrawardi’s
epistemology of immediate experience. In J. Walbridge (Ed.), The philosophy
of illumination (pp. 79–92). Provo, UT: Brigham Young University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar