Filsafat Ketuhanan dan Teodise
Konsep, Sejarah, Kritik, dan Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas filsafat ketuhanan dan problem teodise sebagai dua
pilar penting dalam filsafat agama. Filsafat ketuhanan berupaya menjawab
pertanyaan mendasar tentang eksistensi dan esensi Tuhan, sementara teodise
berusaha menanggapi kontradiksi antara keyakinan akan Tuhan yang Mahakuasa dan
Mahabaik dengan kenyataan adanya kejahatan dan penderitaan. Kajian ini disusun
melalui pendekatan filosofis-analitis, historis, komparatif, dan reflektif.
Pembahasan diawali dengan penguraian konsep dasar filsafat ketuhanan yang
mencakup dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis, serta dilanjutkan
dengan penelusuran sejarah pemikiran dari tradisi Yunani Kuno, agama-agama
Abrahamik, filsafat modern, hingga pemikiran kontemporer.
Selanjutnya, artikel ini menelaah definisi dan problem utama teodise,
termasuk model-modelnya seperti teodise Augustinian (free will defense),
Irenaean (soul-making theodicy), Leibnizian (the best possible world),
serta pendekatan modern yang dikembangkan oleh Plantinga, Hick, dan Swinburne.
Kritik kontemporer, baik dari ateisme klasik dan baru, eksistensialisme, maupun
refleksi pasca-Holocaust, memperlihatkan keterbatasan teodise tradisional
sekaligus mendorong rekonstruksi konseptual. Pada akhirnya, artikel ini
menegaskan bahwa filsafat ketuhanan dan teodise tetap relevan dalam dunia
modern, tidak hanya sebagai wacana metafisik, tetapi juga sebagai kerangka etis
dan humanis dalam merespons penderitaan, membangun solidaritas, serta membuka
ruang dialog antaragama dan ilmu pengetahuan.
Kata Kunci: Filsafat
Ketuhanan; Teodise; Filsafat Agama; Kejahatan dan Penderitaan; Free Will
Defense; Soul-Making; Filsafat Kontemporer.
PEMBAHASAN
Konsep, Sejarah, Kritik, dan Relevansi Filsafat
Ketuhanan dan Teodise
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang
Masalah
Pertanyaan mengenai eksistensi Tuhan
dan problem kejahatan merupakan salah satu tema paling tua dan kompleks dalam
filsafat agama. Filsafat ketuhanan, sebagai cabang filsafat yang berusaha
memahami konsep dan realitas ketuhanan melalui akal budi, telah menjadi arena
perdebatan para pemikir sejak era Yunani Kuno hingga zaman modern. Pemikiran
Plato tentang “Idea Tertinggi” dan Aristoteles tentang “Penggerak
yang Tak Tergerakkan” menjadi fondasi awal diskursus rasional tentang Tuhan
yang kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh tradisi agama-agama Abrahamik.¹
Di sisi lain, persoalan teodise lahir
dari kontradiksi antara keyakinan akan Tuhan yang Mahabaik, Mahakuasa, dan
Mahatahu dengan kenyataan adanya kejahatan, penderitaan, dan absurditas dalam
kehidupan.² Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Jika Tuhan itu Mahabaik
dan Mahakuasa, mengapa kejahatan tetap ada? Problem ini tidak hanya
bersifat teoretis, tetapi juga eksistensial, karena menyentuh pengalaman
konkret manusia dalam menghadapi tragedi, bencana, dan ketidakadilan.³
Dalam sejarah pemikiran, Agustinus dari
Hippo menegaskan bahwa kejahatan bukanlah sesuatu yang substansial, melainkan
ketiadaan kebaikan (privatio boni).⁴ Sementara itu, Gottfried Wilhelm
Leibniz memperkenalkan konsep “the best possible world” sebagai upaya
membela keselarasan antara eksistensi Tuhan dan kenyataan dunia yang penuh
penderitaan.⁵ Namun, kritik-kritik modern, khususnya dari ateisme baru dan
filsafat eksistensialis, menyoroti kelemahan argumen klasik teodise, terutama
ketika berhadapan dengan penderitaan massal seperti Holocaust atau bencana
kemanusiaan lainnya.⁶
1.2.      
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
beberapa rumusan masalah utama yang menjadi fokus kajian ini adalah:
1)                 
Bagaimana filsafat
ketuhanan memaknai eksistensi dan esensi Tuhan dalam perspektif historis dan
kontemporer?
2)                 
Bagaimana berbagai model
teodise menjawab problem kejahatan dan penderitaan?
3)                 
Sejauh mana kritik terhadap
teodise tradisional relevan dalam konteks pemikiran modern dan pengalaman
manusia kontemporer?
4)                 
Apa relevansi filsafat
ketuhanan dan teodise dalam membangun etika, makna hidup, dan solidaritas
sosial di dunia modern?
1.3.      
Tujuan Penelitian/ Kajian
Tulisan ini bertujuan untuk:
1)                 
Menguraikan secara
komprehensif konsep filsafat ketuhanan beserta kerangka epistemologis,
ontologis, dan aksiologisnya.
2)                 
Menelusuri sejarah
pemikiran teodise dari klasik hingga kontemporer.
3)                 
Mengkritisi
kelemahan-kelemahan argumen tradisional dan mengkaji pendekatan baru terhadap
problem kejahatan.
4)                 
Merefleksikan relevansi
filsafat ketuhanan dan teodise dalam menghadapi krisis kemanusiaan dan
tantangan global kontemporer.
1.4.      
Metodologi dan
Pendekatan
Kajian ini menggunakan pendekatan
filosofis-analitis dengan metode historis, komparatif, dan reflektif.
Pendekatan filosofis-analitis digunakan untuk menguraikan argumen-argumen
konseptual mengenai Tuhan dan teodise; metode historis digunakan untuk menelusuri
perkembangan gagasan dari masa ke masa; metode komparatif dipakai untuk melihat
persamaan dan perbedaan berbagai model teodise; sementara metode reflektif
dimanfaatkan untuk mengaitkan gagasan filsafat dengan pengalaman manusia
modern.⁷
1.5.      
Sistematika Penulisan
Artikel ini dibagi ke dalam sembilan
bab. Bab I membahas pendahuluan, mencakup latar belakang, rumusan masalah,
tujuan, metodologi, dan sistematika penulisan. Bab II membahas konsep filsafat
ketuhanan, Bab III sejarah pemikiran tentang Tuhan, Bab IV problem teodise, Bab
V model-model teodise, Bab VI kritik dan isu kontemporer, Bab VII relevansi
modern, Bab VIII sintesis dan refleksi filosofis, dan Bab IX penutup.
Footnotes
[1]               
Plato, The Republic, terj. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 509b.
[2]               
John Hick, Evil and the God of Love (London:
Palgrave Macmillan, 2010), 5.
[3]               
Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand
Rapids: Eerdmans, 1977), 10–12.
[4]               
Augustine, Confessions, terj. Henry Chadwick
(Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.12.
[5]               
Gottfried Wilhelm Leibniz, Theodicy: Essays on the
Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil, terj. E. M.
Huggard (La Salle: Open Court, 1985), 128.
[6]               
Richard Dawkins, The God Delusion (London:
Bantam Press, 2006), 108–110.
[7]               
William L. Rowe, “The Problem of Evil and Some
Varieties of Atheism,” American Philosophical Quarterly 16, no. 4
(1979): 335–341.
2.          
Konsep Filsafat
Ketuhanan
2.1.      
Definisi dan Ruang
Lingkup
Filsafat ketuhanan merupakan cabang
dari filsafat agama yang secara khusus menelaah hakikat, eksistensi, dan
atribut ketuhanan melalui pendekatan rasional dan kritis.¹ Ia berupaya menjawab
pertanyaan mendasar mengenai apa itu Tuhan, bagaimana keberadaan-Nya dapat
diketahui, serta apa implikasi konsepsi Tuhan bagi manusia dan dunia. Ruang
lingkup filsafat ketuhanan mencakup pembahasan ontologi Tuhan (ada dan esensi),
epistemologi ketuhanan (sumber pengetahuan tentang Tuhan), serta aksiologi
ketuhanan (nilai dan fungsi kepercayaan terhadap Tuhan).²
2.2.      
Kedudukan Filsafat
Ketuhanan dalam Filsafat Agama
Dalam tradisi filsafat agama, filsafat
ketuhanan menjadi pusat perdebatan karena ia menentukan kerangka berpikir
mengenai iman, etika, dan makna kehidupan.³ Jika filsafat agama lebih luas
mencakup isu-isu seperti iman, keabadian, dan hubungan agama dengan moral, maka
filsafat ketuhanan lebih fokus pada problem ontologis dan epistemologis terkait
Tuhan. Hal ini menjadikannya sebagai fondasi teoretis dari diskursus filsafat
agama.⁴
2.3.      
Ontologi Tuhan
Pembahasan ontologi Tuhan berkaitan
dengan eksistensi dan esensi ketuhanan. Pertanyaan yang muncul antara lain: Apakah
Tuhan ada? Bagaimana sifat keberadaan-Nya? Argumen klasik yang banyak
dibicarakan dalam tradisi filsafat ketuhanan meliputi:
1)                 
Argumen Kosmologis: 
Segala yang ada memiliki sebab, sehingga harus ada “sebab
pertama” yang tak disebabkan, yakni Tuhan.⁵
2)                 
Argumen Teleologis: 
Tatanan dan keteraturan alam menunjuk pada adanya perancang
yang cerdas.⁶
3)                 
Argumen Ontologis: 
Tuhan, yang didefinisikan sebagai wujud paling sempurna,
harus ada karena eksistensi merupakan bagian dari kesempurnaan.⁷
4)                 
Argumen Moral: 
Keberadaan hukum moral universal mengandaikan adanya sumber
moral absolut, yaitu Tuhan.⁸
Masing-masing argumen ini menuai kritik
dan pembelaan dalam sejarah filsafat, menunjukkan dinamika pemikiran yang terus
berkembang.
2.4.      
Epistemologi
Ketuhanan
Epistemologi ketuhanan menyoal
bagaimana manusia dapat mengetahui dan mengenal Tuhan. Tradisi agama mengajukan
wahyu sebagai sumber utama, sementara filsafat menekankan pada peran rasio,
intuisi, dan pengalaman eksistensial.⁹ Dalam Islam, misalnya, Al-Farabi dan Ibn
Sina menekankan peran akal dalam mencapai pengetahuan tentang Tuhan, sedangkan
Al-Ghazali mengkritik rasionalisme berlebihan dan menegaskan pentingnya intuisi
dan wahyu.¹⁰ Dalam filsafat Barat, Kant menolak kemungkinan membuktikan
eksistensi Tuhan secara rasional, namun menegaskan bahwa ide tentang Tuhan
memiliki fungsi praktis dalam moralitas.¹¹
2.5.      
Aksiologi Ketuhanan
Dimensi aksiologi ketuhanan menyoroti
peran konsep Tuhan dalam membentuk nilai, etika, dan orientasi hidup manusia.¹²
Keyakinan akan Tuhan seringkali menjadi landasan moral, sumber makna hidup, dan
pendorong solidaritas sosial. Di sisi lain, kritik Nietzsche yang menyatakan “Tuhan
telah mati” menyingkap krisis nilai dalam masyarakat modern ketika konsep
ketuhanan ditinggalkan.¹³ Maka, filsafat ketuhanan tidak hanya membicarakan
eksistensi Tuhan secara abstrak, tetapi juga mengaitkannya dengan kehidupan
nyata manusia, baik dalam ranah etis maupun sosial.
Footnotes
[1]               
William L. Rowe, Philosophy of Religion: An
Introduction (Belmont: Wadsworth, 2007), 5.
[2]               
Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of
Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 2–3.
[3]               
John Hick, Philosophy of Religion (Englewood
Cliffs: Prentice Hall, 1990), 1.
[4]               
Chad Meister, Introducing Philosophy of Religion
(London: Routledge, 2009), 9–10.
[5]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I.q.2.a.3,
terj. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros.,
1947).
[6]               
William Paley, Natural Theology (Oxford: Oxford
University Press, 2006), 12–14.
[7]               
Anselm of Canterbury, Proslogion, terj. Thomas
Williams (Indianapolis: Hackett, 1996), II–III.
[8]               
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason,
terj. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 129–131.
[9]               
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 170–175.
[10]            
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael
Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 214–217.
[11]            
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj.
Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A592/B620–A604/B632.
[12]            
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–237.
[13]            
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.
3.          
Sejarah Pemikiran
tentang Tuhan
3.1.      
Filsafat Yunani Kuno
Pemikiran tentang Tuhan dalam tradisi
filsafat Barat berawal dari para filsuf Yunani. Plato mengemukakan gagasan
tentang Idea Tertinggi atau The Good, yang dipandang sebagai
sumber segala realitas dan kebenaran.¹ Aristoteles kemudian mengembangkan
konsep Penggerak yang Tak Tergerakkan (Unmoved Mover), yaitu
prinsip pertama yang menjadi sebab final bagi segala gerak dan perubahan di
alam.² Plotinus, tokoh neoplatonisme, memperkenalkan gagasan tentang “Yang Esa”
(The One), realitas transenden yang melampaui segala kategori.³
Pemikiran ini menjadi dasar metafisika ketuhanan yang kelak berpengaruh besar
pada agama-agama Abrahamik.
3.2.      
Tradisi Agama Abrahamik
Dalam tradisi Yahudi, Maimonides
menekankan konsep ketuhanan yang transenden, menolak segala bentuk
antropomorfisme, serta mengajukan pendekatan negatif (via negativa)
dalam memahami Tuhan.⁴ Dalam Kristen, Thomas Aquinas menggabungkan teologi dengan
filsafat Aristotelian melalui lima jalan (quinque viae) untuk
membuktikan eksistensi Tuhan.⁵ Sementara dalam Islam, Al-Farabi dan Ibn Sina
mengajukan konsep Wajib al-Wujud (wujud niscaya), yang menegaskan bahwa
Tuhan adalah sebab pertama yang tidak bergantung pada apapun.⁶ Al-Ghazali
mengkritik rasionalisme ekstrem para filosof dan menggarisbawahi bahwa
pengetahuan tentang Tuhan pada akhirnya hanya mungkin melalui wahyu dan intuisi
spiritual.⁷
3.3.      
Filsafat Modern
Pada era modern, René Descartes mencoba
membuktikan eksistensi Tuhan melalui argumen ontologis dalam Meditationes de
prima philosophia, menyatakan bahwa ide tentang wujud sempurna dalam
pikiran manusia meniscayakan keberadaan-Nya.⁸ Baruch Spinoza memandang Tuhan
identik dengan alam (Deus sive Natura), sehingga menolak pemisahan
antara Pencipta dan ciptaan.⁹ Gottfried Wilhelm Leibniz mengembangkan teodise
dengan menyatakan bahwa dunia ini adalah “dunia terbaik yang mungkin ada”
karena dipilih oleh Tuhan yang Mahabijaksana.¹⁰ Immanuel Kant mengkritik semua
argumen rasional tentang eksistensi Tuhan, namun menegaskan bahwa gagasan Tuhan
tetap penting secara praktis dalam kerangka moral.¹¹
3.4.      
Filsafat Kontemporer
Memasuki abad ke-19 dan 20, kritik
terhadap konsep Tuhan semakin tajam. Friedrich Nietzsche mendeklarasikan bahwa
“Tuhan telah mati,” yang dimaknai sebagai krisis nilai dan runtuhnya
fondasi moral tradisional.¹² Søren Kierkegaard, sebaliknya, menekankan
pentingnya lompatan iman (leap of faith) sebagai jawaban eksistensial
atas absurditas.¹³ Martin Heidegger tidak membicarakan Tuhan secara teologis,
melainkan mengkaji Sein (Ada) sebagai horizon makna.¹⁴ Jean-Paul Sartre
mengembangkan ateisme eksistensialis, menyatakan bahwa jika Tuhan tidak ada,
manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas penciptaan makna hidupnya.¹⁵
Di sisi lain, filsuf analitik agama
seperti Alvin Plantinga dan John Hick berusaha merehabilitasi filsafat
ketuhanan melalui argumen epistemologis dan teodise modern. Plantinga
memperkenalkan Free Will Defense untuk membela keberadaan Tuhan di
tengah kejahatan, sementara Hick menekankan teodise soul-making yang
melihat penderitaan sebagai sarana pembentukan moral dan spiritual manusia.¹⁶
3.5.      
Kontribusi Filsafat
Timur
Selain tradisi Barat, filsafat ketuhanan
juga diperkaya oleh warisan Timur. Dalam Hindu, konsep Brahman dipahami sebagai
realitas tertinggi yang imanen dan transenden sekaligus.¹⁷ Dalam Buddhisme,
meskipun tidak mengenal Tuhan personal, terdapat gagasan tentang Dharma
dan Nirvana sebagai prinsip kosmis yang menjadi tujuan akhir eksistensi.¹⁸
Dalam Taoisme, Tao dipandang sebagai prinsip universal yang melandasi
keteraturan alam.¹⁹ Tradisi-tradisi ini memberikan perspektif alternatif yang
lebih kosmologis dan holistik, melengkapi diskursus filsafat ketuhanan yang
dominan di Barat.
Footnotes
[1]               
Plato, The Republic, terj. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 509b.
[2]               
Aristotle, Metaphysics, terj. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), XII.6–7.
[3]               
Plotinus, The Enneads, terj. A. H. Armstrong
(Cambridge: Harvard University Press, 1966), V.1.7.
[4]               
Moses Maimonides, The Guide of the Perplexed,
terj. Shlomo Pines (Chicago: University of Chicago Press, 1963), I.50.
[5]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I.q.2.a.3,
terj. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros.,
1947).
[6]               
Ibn Sina, Metaphysics of the Healing, terj.
Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), IX.1.
[7]               
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael
Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 214–217.
[8]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
terj. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation
V.
[9]               
Baruch Spinoza, Ethics, terj. Edwin Curley
(London: Penguin, 1996), Part I.
[10]            
Gottfried Wilhelm Leibniz, Theodicy: Essays on the
Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil, terj. E. M.
Huggard (La Salle: Open Court, 1985), 128.
[11]            
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj.
Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A592/B620–A604/B632.
[12]            
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.
[13]            
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, terj.
Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 54–57.
[14]            
Martin Heidegger, Being and Time, terj. John
Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 38–42.
[15]            
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
terj. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–31.
[16]            
Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand
Rapids: Eerdmans, 1977), 30–34; John Hick, Evil and the God of Love
(London: Palgrave Macmillan, 2010), 253–256.
[17]            
Radhakrishnan, Sarvepalli, Indian Philosophy, Vol.
1 (London: George Allen & Unwin, 1923), 47–52.
[18]            
Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New
York: Grove Press, 1974), 36–40.
[19]            
Laozi, Tao Te Ching, terj. D. C. Lau (London:
Penguin, 1963), 1–3.
4.          
Teodise: Definisi
dan Permasalahan
4.1.      
Definisi Teodise
Istilah teodise pertama kali
dipopulerkan oleh filsuf Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz dalam karyanya Essais
de Théodicée (1710).¹ Secara etimologis, istilah ini berasal dari bahasa
Yunani theos (Tuhan) dan dike (keadilan), yang berarti “membenarkan
Tuhan.”² Dengan demikian, teodise merujuk pada upaya rasional untuk
mempertahankan keadilan dan kebaikan Tuhan di tengah kenyataan adanya
kejahatan, penderitaan, dan ketidakadilan dalam dunia.³
Teodise berbeda dengan apologetika
teologis. Apologetika bertujuan membela kebenaran iman secara umum, sedangkan
teodise secara khusus menyoroti problem kejahatan (the problem of evil)
dan pertanyaan bagaimana keberadaan Tuhan yang Mahabaik, Mahakuasa, dan
Mahatahu dapat tetap dipertahankan di tengah realitas penderitaan.⁴
4.2.      
Akar Historis
Teodise
Sebelum Leibniz, refleksi tentang
teodise telah hadir dalam pemikiran agama dan filsafat. Agustinus dari Hippo
menafsirkan kejahatan bukan sebagai substansi positif, melainkan sebagai privatio
boni (ketiadaan kebaikan).⁵ Ia menegaskan bahwa kejahatan lahir dari
penyalahgunaan kebebasan manusia. Sementara itu, Irenaeus melihat penderitaan
sebagai sarana pembentukan moral dan kedewasaan spiritual, suatu gagasan yang
kemudian dikenal sebagai soul-making theodicy.⁶
Leibniz menyintesiskan
pandangan-pandangan tersebut dengan menyatakan bahwa dunia yang kita huni
adalah “dunia terbaik yang mungkin ada” (the best possible world), sebab
dipilih oleh Tuhan yang Mahabijaksana dari antara berbagai kemungkinan dunia
lain.⁷ Gagasan ini sangat berpengaruh, namun juga menimbulkan kritik tajam,
terutama setelah munculnya tragedi-tragedi besar seperti gempa Lisbon (1755)
dan Holocaust abad ke-20.⁸
4.3.      
Problem Kejahatan
dan Penderitaan
Masalah utama yang coba dijawab oleh
teodise adalah kontradiksi antara tiga proposisi berikut:
1)                 
Tuhan Mahakuasa.
2)                 
Tuhan Mahabaik.
3)                 
Kejahatan nyata ada di
dunia.
Secara logis, jika Tuhan Mahakuasa, Ia
mampu mencegah kejahatan; jika Tuhan Mahabaik, Ia tentu tidak menghendaki
adanya kejahatan; namun faktanya kejahatan tetap ada. Inilah yang disebut
sebagai logical problem of evil.⁹
Selain itu, terdapat pula evidential
problem of evil, yakni argumen bahwa jumlah dan intensitas penderitaan di
dunia ini membuat keberadaan Tuhan yang Mahabaik menjadi sangat tidak
mungkin.¹⁰ Pandangan ini diperkuat oleh kritik ateisme modern yang menekankan
absurditas penderitaan yang tidak proporsional, seperti penderitaan anak-anak
atau bencana alam yang merenggut banyak korban.¹¹
4.4.      
Hubungan Teodise
dengan Teologi dan Etika
Teodise berada pada persimpangan antara
filsafat, teologi, dan etika. Dari sisi teologi, teodise menjadi upaya membela
atribut Tuhan (keadilan, kebaikan, kuasa) agar tetap konsisten dengan realitas
dunia. Dari sisi etika, refleksi tentang teodise menuntun pada pertanyaan
tentang tanggung jawab manusia dalam menghadapi penderitaan, bukan hanya
menyerahkannya kepada penjelasan metafisis.¹²
Dengan demikian, teodise bukan sekadar
upaya spekulatif untuk “membenarkan Tuhan,” melainkan juga sarana
refleksi eksistensial dan moral tentang bagaimana manusia seharusnya bersikap
terhadap penderitaan.¹³ Ia menyingkap batas-batas rasionalitas manusia
sekaligus membuka ruang bagi dimensi iman, empati, dan tindakan etis dalam
menanggapi realitas kejahatan.
Footnotes
[1]               
Gottfried Wilhelm Leibniz, Theodicy: Essays on the
Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil, terj. E. M.
Huggard (La Salle: Open Court, 1985), 55.
[2]               
John Hick, Evil and the God of Love (London:
Palgrave Macmillan, 2010), 5.
[3]               
Brian Davies, The Reality of God and the Problem of
Evil (London: Continuum, 2006), 7–8.
[4]               
Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand
Rapids: Eerdmans, 1977), 8.
[5]               
Augustine, Confessions, terj. Henry Chadwick
(Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.12.
[6]               
John Hick, Philosophy of Religion (Englewood
Cliffs: Prentice Hall, 1990), 41–42.
[7]               
Leibniz, Theodicy, 128.
[8]               
Susan Neiman, Evil in Modern Thought: An
Alternative History of Philosophy (Princeton: Princeton University Press,
2002), 246–249.
[9]               
J. L. Mackie, “Evil and Omnipotence,” Mind 64,
no. 254 (1955): 200–212.
[10]            
William L. Rowe, “The Problem of Evil and Some
Varieties of Atheism,” American Philosophical Quarterly 16, no. 4
(1979): 335–341.
[11]            
Richard Dawkins, The God Delusion (London:
Bantam Press, 2006), 108–110.
[12]            
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 2
(Chicago: University of Chicago Press, 1957), 50–52.
[13]            
Eleonore Stump, Wandering in Darkness: Narrative
and the Problem of Suffering (Oxford: Oxford University Press, 2010),
85–87.
5.          
Model dan Pendekatan
Teodise
5.1.      
Teodise Augustinian
(Free Will Defense)
Teodise Augustinian berakar pada
pemikiran Agustinus dari Hippo yang menyatakan bahwa kejahatan bukanlah
substansi yang diciptakan, melainkan ketiadaan kebaikan (privatio boni).¹
Menurutnya, Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan baik, tetapi kebebasan
manusia memungkinkan munculnya penyalahgunaan kehendak yang berujung pada
dosa.² Teodise ini kemudian diperkuat oleh Alvin Plantinga melalui argumen Free
Will Defense, yakni bahwa keberadaan kejahatan logis dapat dipahami sebagai
konsekuensi niscaya dari kebebasan moral manusia yang bernilai tinggi.³
5.2.      
Teodise Irenaean
(Soul-Making Theodicy)
Berbeda dengan Agustinus, Irenaeus
menekankan bahwa penderitaan memiliki fungsi pedagogis dalam rencana ilahi.⁴
John Hick mengembangkan gagasan ini menjadi soul-making theodicy, dengan
menekankan bahwa dunia yang penuh penderitaan justru memberikan kesempatan bagi
manusia untuk bertumbuh secara moral dan spiritual.⁵ Dengan demikian,
penderitaan dipandang bukan sekadar konsekuensi negatif, tetapi sebagai sarana
pembentukan karakter yang lebih mulia.
5.3.      
Teodise Leibnizian
(The Best Possible World)
Leibniz berpendapat bahwa dunia yang
kita huni adalah “dunia terbaik yang mungkin ada” (the best possible
world), karena dipilih oleh Tuhan yang Mahabijaksana dari berbagai
kemungkinan dunia lain.⁶ Menurutnya, meskipun dunia ini tidak sempurna, segala
ketidaksempurnaan yang ada memiliki tempat dalam keseluruhan harmoni kosmik.⁷
Kritik terhadap teodise ini muncul terutama pasca gempa Lisbon (1755), ketika
penderitaan massal tampak sulit dipertahankan sebagai bagian dari dunia
terbaik.⁸
5.4.      
Teodise Modern
Pemikir modern berusaha memperbaharui
kerangka klasik. Alvin Plantinga mengajukan argumen bahwa tidak ada kontradiksi
logis antara eksistensi Tuhan dan keberadaan kejahatan jika kebebasan moral
manusia diperhitungkan.⁹ Richard Swinburne menambahkan dengan greater good
theodicy, bahwa penderitaan dapat dibenarkan sejauh berkontribusi pada
kebaikan yang lebih besar, seperti keberanian, empati, atau solidaritas.¹⁰ John
Hick, sebagaimana disebutkan, menekankan fungsi edukatif penderitaan.¹¹ Dengan
demikian, teodise modern mencoba memberikan penjelasan yang lebih kontekstual
terhadap problem penderitaan tanpa sepenuhnya melepaskan kerangka iman teistik.
5.5.      
Kritik terhadap
Teodise Tradisional
Meski beragam model teodise telah
dikembangkan, kritik tajam muncul dari filsafat ateis dan eksistensialis. J. L.
Mackie menyatakan bahwa keberadaan kejahatan tetap menimbulkan kontradiksi
logis dengan konsep Tuhan yang Mahakuasa dan Mahabaik.¹² Sementara itu, filsuf
eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus menolak teodise karena
dianggap merasionalisasi penderitaan manusia.¹³ Dalam pandangan Camus,
penderitaan absurd tidak bisa “dijustifikasi,” melainkan harus dihadapi
dengan pemberontakan moral terhadap absurditas.¹⁴
Footnotes
[1]               
Augustine, Confessions, terj. Henry Chadwick
(Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.12.
[2]               
Augustine, The City of God, terj. Henry
Bettenson (London: Penguin, 2003), XII.6.
[3]               
Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand
Rapids: Eerdmans, 1977), 29–34.
[4]               
John Hick, Evil and the God of Love (London:
Palgrave Macmillan, 2010), 211.
[5]               
Ibid., 253–254.
[6]               
Gottfried Wilhelm Leibniz, Theodicy: Essays on the
Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil, terj. E. M. Huggard
(La Salle: Open Court, 1985), 128.
[7]               
Nicholas Jolley, Leibniz (London: Routledge,
2005), 89–90.
[8]               
Susan Neiman, Evil in Modern Thought: An
Alternative History of Philosophy (Princeton: Princeton University Press,
2002), 246–249.
[9]               
Plantinga, God, Freedom, and Evil, 44–45.
[10]            
Richard Swinburne, Providence and the Problem of
Evil (Oxford: Clarendon Press, 1998), 110–112.
[11]            
Hick, Evil and the God of Love, 260–261.
[12]            
J. L. Mackie, “Evil and Omnipotence,” Mind 64,
no. 254 (1955): 200–212.
[13]            
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
terj. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–31.
[14]            
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj.
Justin O’Brien (New York: Vintage, 1991), 32–33.
6.          
Kritik dan Isu
Kontemporer
6.1.      
Kritik Ateisme
Klasik dan Baru
Sejak abad ke-18, teodise menuai kritik
keras dari para pemikir ateis. Voltaire, dalam karyanya Candide, secara
satir mengejek optimisme Leibnizian yang menyebut dunia ini sebagai “dunia
terbaik yang mungkin ada,” terutama setelah bencana gempa Lisbon 1755.¹
Kritik ini menunjukkan bahwa penderitaan massal sulit direduksi menjadi bagian
dari harmoni kosmik.
Dalam perkembangan kontemporer, ateisme
baru (New Atheism) yang dipelopori oleh Richard Dawkins, Christopher
Hitchens, dan Sam Harris menegaskan bahwa kehadiran kejahatan dan penderitaan
merupakan bukti kuat terhadap ketiadaan Tuhan.² Mereka menolak semua bentuk
teodise sebagai upaya apologetik yang tidak memadai dalam menjawab realitas
penderitaan manusia.³
6.2.      
Perspektif
Eksistensialis
Pemikiran eksistensialis menyoroti
aspek absurditas dari penderitaan. Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa tanpa
Tuhan, manusia “dikondisikan untuk bebas” dan sepenuhnya bertanggung
jawab atas penciptaan makna hidupnya.⁴ Albert Camus dalam The Myth of
Sisyphus menyatakan bahwa penderitaan merupakan absurditas yang tidak bisa
dijustifikasi oleh argumen metafisik manapun.⁵ Menurutnya, respons etis yang
tepat bukanlah mencari pembenaran teologis, melainkan pemberontakan terhadap
absurditas melalui keberanian untuk tetap hidup dan memberi makna.⁶
6.3.      
Isu Holocaust dan
Trauma Kolektif
Salah satu kritik paling signifikan
terhadap teodise muncul dari refleksi atas Holocaust. Theodor W. Adorno
menegaskan bahwa “menulis puisi setelah Auschwitz adalah barbar,” sebuah
ungkapan yang menunjukkan keterkejutan moral atas penderitaan yang sulit
diterima akal.⁷ Emil Fackenheim kemudian menambahkan bahwa tragedi Holocaust
menuntut umat beragama untuk tidak lagi merumuskan teodise tradisional,
melainkan menghadirkan iman yang berakar pada tanggung jawab etis dan
historis.⁸ Dengan demikian, Holocaust menjadi ujian berat bagi validitas
teodise klasik dan mendorong lahirnya pendekatan baru dalam filsafat agama.
6.4.      
Penderitaan Alamiah
dan Kejahatan Non-Manusia
Selain penderitaan akibat ulah manusia,
problem besar lainnya adalah kejahatan natural, seperti bencana alam, penyakit,
dan penderitaan hewan. William Rowe menekankan bahwa penderitaan hewan yang
tampaknya tidak memiliki tujuan moral atau spiritual menimbulkan persoalan
serius bagi teodise.⁹ Argumen ini memperluas cakupan problem kejahatan dari
dimensi antropologis menuju kosmologis, menantang gagasan bahwa segala
penderitaan memiliki makna edukatif atau moral.¹⁰
6.5.      
Dialog dengan Sains
dan Etika Kontemporer
Dalam era modern, isu teodise juga
dipertemukan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Evolusi biologis, misalnya,
menunjukkan adanya proses seleksi alam yang penuh penderitaan, konflik, dan
kepunahan.¹¹ Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah penderitaan biologis
merupakan bagian dari desain ilahi atau sekadar konsekuensi alamiah dari
mekanisme evolusi?
Dalam etika global, problem kejahatan
sering dikaitkan dengan ketidakadilan sosial, krisis lingkungan, dan konflik
politik.¹² Teodise, dalam konteks ini, tidak cukup hanya membenarkan keberadaan
penderitaan, tetapi harus memberi inspirasi etis untuk menghadapi realitas
dunia dengan solidaritas, empati, dan tanggung jawab.¹³
Footnotes
[1]               
Voltaire, Candide, terj. Theo Cuffe (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 16–18.
[2]               
Richard Dawkins, The God Delusion (London:
Bantam Press, 2006), 108–110.
[3]               
Christopher Hitchens, God Is Not Great: How
Religion Poisons Everything (New York: Twelve, 2007), 189–191.
[4]               
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
terj. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–31.
[5]               
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj.
Justin O’Brien (New York: Vintage, 1991), 32–33.
[6]               
Ibid., 54–55.
[7]               
Theodor W. Adorno, Negative Dialectics, terj.
E. B. Ashton (New York: Continuum, 1973), 362.
[8]               
Emil L. Fackenheim, To Mend the World: Foundations
of Post-Holocaust Jewish Thought (Bloomington: Indiana University Press,
1982), 214–216.
[9]               
William L. Rowe, “The Problem of Evil and Some
Varieties of Atheism,” American Philosophical Quarterly 16, no. 4
(1979): 335–341.
[10]            
Michael Murray, Nature Red in Tooth and Claw:
Theism and the Problem of Animal Suffering (Oxford: Oxford University
Press, 2008), 14–16.
[11]            
Charles Darwin, On the Origin of Species
(London: John Murray, 1859), 201–204.
[12]            
Susan Neiman, Evil in Modern Thought: An
Alternative History of Philosophy (Princeton: Princeton University Press,
2002), 267–269.
[13]            
Eleonore Stump, Wandering in Darkness: Narrative
and the Problem of Suffering (Oxford: Oxford University Press, 2010),
85–87.
7.          
Relevansi Filsafat
Ketuhanan dan Teodise dalam Dunia Modern
7.1.      
Filsafat Ketuhanan
dan Krisis Makna
Dunia modern ditandai oleh
sekularisasi, pluralisme agama, dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat.
Dalam konteks ini, filsafat ketuhanan tetap relevan karena menawarkan jawaban
atas krisis makna yang dialami manusia modern.¹ Kehadiran ide tentang Tuhan
menjadi fondasi bagi refleksi tentang tujuan hidup, kebebasan, dan moralitas,
terutama ketika modernitas cenderung menyingkirkan dimensi transenden.² Dengan
kata lain, filsafat ketuhanan berfungsi sebagai ruang kritis untuk mempertanyakan
kembali hubungan manusia dengan yang Ilahi di tengah dominasi rasionalitas
instrumental dan konsumerisme global.³
7.2.      
Teodise dan Trauma
Kolektif
Tragedi-tragedi modern, seperti perang
dunia, genosida, bencana alam, dan pandemi global, telah menghidupkan kembali
diskursus teodise. Pertanyaan tentang “di mana Tuhan” ketika umat
manusia mengalami penderitaan kolektif terus menjadi tantangan filosofis dan
teologis.⁴ Misalnya, refleksi pasca-Holocaust menuntut pergeseran teodise dari
sekadar pembenaran metafisik menuju respons etis dan historis yang berfokus
pada solidaritas dan pencegahan kejahatan serupa di masa depan.⁵ Dengan
demikian, teodise modern tidak hanya membicarakan Tuhan, tetapi juga bagaimana
manusia bertanggung jawab secara etis dalam sejarah.⁶
7.3.      
Implikasi Etis dan
Sosial
Relevansi filsafat ketuhanan dan
teodise juga terlihat dalam pembentukan etika sosial. Keyakinan akan Tuhan yang
adil dan penuh kasih memberi motivasi bagi manusia untuk mengupayakan keadilan,
perdamaian, dan penghormatan terhadap martabat manusia.⁷ Teodise yang
mengaitkan penderitaan dengan pertumbuhan moral, seperti soul-making
theodicy, dapat mendorong individu dan komunitas untuk menghadapi
penderitaan dengan ketabahan sekaligus aksi nyata.⁸ Dengan demikian, filsafat
ketuhanan tidak berhenti pada spekulasi abstrak, tetapi turut memandu praktik
etis dalam kehidupan publik.
7.4.      
Teodise dalam Sains
dan Teknologi
Perkembangan sains modern juga
menantang relevansi filsafat ketuhanan dan teodise. Misalnya, teori evolusi
menyingkap proses biologis yang sarat penderitaan, sementara teknologi medis
dan bioteknologi menimbulkan pertanyaan baru tentang batas campur tangan
manusia dalam kehidupan.⁹ Dalam konteks ini, filsafat ketuhanan berfungsi untuk
memberi kerangka normatif dan refleksi moral atas implikasi etis dari sains.¹⁰
Teodise pun bertransformasi, tidak lagi hanya mempertahankan keadilan Tuhan,
tetapi juga menyoal tanggung jawab manusia terhadap penderitaan yang muncul
dari pilihan-pilihan teknologisnya.¹¹
7.5.      
Dialog Antaragama
dan Humanisme Global
Dalam dunia yang semakin plural dan
terhubung, filsafat ketuhanan dan teodise dapat menjadi medium dialog
antaragama. Masalah penderitaan adalah pengalaman universal yang melampaui
sekat teologis, sehingga refleksi bersama dapat memperkuat solidaritas
global.¹² Selain itu, relevansi teodise juga terletak pada kemampuannya untuk
berkontribusi pada etika kemanusiaan lintas iman, mengajak umat manusia untuk
menghadapi problem kejahatan dengan empati dan kerja sama demi kebaikan bersama.¹³
Footnotes
[1]               
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge:
Belknap Press, 2007), 25–27.
[2]               
Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York:
Harper & Row, 1957), 42–44.
[3]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 2, terj. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987), 77–78.
[4]               
Susan Neiman, Evil in Modern Thought: An
Alternative History of Philosophy (Princeton: Princeton University Press,
2002), 268–269.
[5]               
Emil L. Fackenheim, To Mend the World: Foundations
of Post-Holocaust Jewish Thought (Bloomington: Indiana University Press,
1982), 214–216.
[6]               
Theodor W. Adorno, Negative Dialectics, terj.
E. B. Ashton (New York: Continuum, 1973), 362.
[7]               
John Hick, Philosophy of Religion (Englewood
Cliffs: Prentice Hall, 1990), 90–92.
[8]               
Hick, Evil and the God of Love (London:
Palgrave Macmillan, 2010), 253–254.
[9]               
Michael Ruse, Darwinism and Its Discontents
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 143–145.
[10]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 6–8.
[11]            
Philip Clayton, Adventures in the Spirit: God,
World, Divine Action (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 121–122.
[12]            
Diana L. Eck, Encountering God: A Spiritual Journey
from Bozeman to Banaras (Boston: Beacon Press, 1993), 205–207.
[13]            
Raimon Panikkar, The Intrareligious Dialogue
(New York: Paulist Press, 1999), 145–147.
8.          
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
8.1.      
Keterbatasan Rasio
dalam Memahami Tuhan
Sejarah filsafat ketuhanan dan teodise
menunjukkan bahwa akal manusia mampu merumuskan berbagai argumen rasional
mengenai eksistensi Tuhan dan problem kejahatan. Namun, pada saat yang sama,
semua argumen itu memiliki keterbatasan.¹ Immanuel Kant menegaskan bahwa Tuhan
tidak dapat dibuktikan melalui argumen ontologis, kosmologis, atau teleologis,
tetapi keberadaan-Nya tetap memiliki fungsi praktis dalam moralitas.² Dengan
demikian, refleksi filosofis membuka kesadaran bahwa rasio tidak dapat
menjangkau hakikat Tuhan secara tuntas, melainkan hanya memberi kerangka
berpikir yang parsial.
8.2.      
Dialektika antara
Filsafat, Teologi, dan Spiritualitas
Filsafat ketuhanan dan teodise tidak
bisa dipisahkan dari dimensi teologis dan spiritual. Filsafat memberi kerangka
analitis, sementara teologi menghadirkan perspektif iman, dan spiritualitas
memberikan pengalaman eksistensial.³ Dialektika ketiganya memperlihatkan bahwa
problem kejahatan tidak hanya menuntut jawaban rasional, tetapi juga respons
iman dan praksis hidup.⁴ Dengan cara ini, teodise tidak berhenti pada tataran
konseptual, tetapi juga berfungsi sebagai inspirasi praksis etis dan religius
dalam menghadapi penderitaan.
8.3.      
Rekonstruksi Konsep
Teodise di Era Kontemporer
Kritik modern terhadap teodise
tradisional memunculkan kebutuhan akan rekonstruksi konseptual.⁵ Alih-alih
hanya berusaha membenarkan Tuhan, teodise kontemporer menekankan pada
partisipasi manusia dalam menanggulangi penderitaan.⁶ Hal ini terlihat pada
pendekatan teologi proses yang menekankan Tuhan sebagai realitas dinamis yang
turut menderita bersama ciptaan-Nya, bukan sebagai penguasa yang sepenuhnya
menentukan.⁷ Dalam perspektif ini, penderitaan dipahami bukan sekadar masalah
metafisik, melainkan tantangan etis untuk diwujudkan dalam tindakan nyata.
8.4.      
Refleksi
Humanis-Transenden
Filsafat ketuhanan dan teodise membuka
kemungkinan bagi sintesis antara perspektif humanis dan transenden. Humanisme
modern menekankan martabat dan kebebasan manusia, sementara religiositas
menegaskan keterhubungan manusia dengan Yang Ilahi.⁸ Refleksi filosofis dapat
mengintegrasikan keduanya: menghadapi kejahatan dan penderitaan dengan
keberanian eksistensial sekaligus keyakinan transenden.⁹ Dengan demikian,
filsafat ketuhanan dan teodise tidak lagi dilihat sebagai upaya apologetik
semata, melainkan sebagai ruang dialog yang menumbuhkan empati, solidaritas, dan
keterbukaan terhadap misteri.
Footnotes
[1]               
Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of
Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 2–3.
[2]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj.
Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A592/B620–A604/B632.
[3]               
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–237.
[4]               
John Hick, Evil and the God of Love (London:
Palgrave Macmillan, 2010), 358–360.
[5]               
Susan Neiman, Evil in Modern Thought: An Alternative
History of Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2002),
267–269.
[6]               
Eleonore Stump, Wandering in Darkness: Narrative
and the Problem of Suffering (Oxford: Oxford University Press, 2010),
85–87.
[7]               
Charles Hartshorne, Omnipotence and Other
Theological Mistakes (Albany: State University of New York Press, 1984),
10–12.
[8]               
Jürgen Moltmann, The Crucified God (London: SCM
Press, 1974), 276–278.
[9]               
Raimon Panikkar, The Intrareligious Dialogue
(New York: Paulist Press, 1999), 145–147.
9.          
Penutup
9.1.      
Kesimpulan Umum
Kajian filsafat ketuhanan dan teodise
memperlihatkan bahwa persoalan Tuhan dan problem kejahatan merupakan tema
sentral yang terus aktual dalam filsafat agama. Dari Yunani Kuno hingga
pemikiran kontemporer, manusia selalu bergulat dengan pertanyaan tentang
eksistensi dan esensi Tuhan, serta bagaimana menjelaskan keberadaan penderitaan
dalam dunia yang diyakini diciptakan oleh Tuhan yang Mahabaik dan Mahakuasa.¹
Beragam model teodise—Augustinian,
Irenaean, Leibnizian, hingga teodise modern seperti free will defense
Plantinga atau soul-making Hick—memberi kontribusi penting dalam
memperkaya refleksi filosofis. Namun, semua model tersebut tidak terlepas dari
kritik, baik dari ateisme klasik maupun kontemporer, maupun dari perspektif
eksistensialis yang menolak usaha merasionalisasi penderitaan.² Kritik ini
justru memperlihatkan keterbatasan rasio manusia dalam menyingkap misteri
ketuhanan dan problem kejahatan, sekaligus membuka ruang untuk sintesis yang
lebih reflektif.³
9.2.      
Kontribusi Kajian
Kajian ini memberikan kontribusi dalam
tiga hal utama. Pertama, memperlihatkan dinamika historis pemikiran tentang
Tuhan dan problem kejahatan, yang menunjukkan bagaimana setiap zaman melahirkan
respons baru.⁴ Kedua, menegaskan relevansi filsafat ketuhanan dan teodise dalam
menghadapi krisis modern, mulai dari Holocaust hingga isu-isu global seperti
bencana alam, penderitaan hewan, dan problem etika teknologi.⁵ Ketiga,
menawarkan kerangka refleksi filosofis yang mengintegrasikan dimensi rasional,
teologis, dan eksistensial, sehingga teodise tidak sekadar membenarkan Tuhan,
tetapi juga mendorong manusia untuk bertanggung jawab secara etis dalam
menghadapi penderitaan.⁶
9.3.      
Saran untuk Studi
Lanjutan
Ke depan, kajian filsafat ketuhanan dan
teodise perlu lebih banyak berinteraksi dengan disiplin lain, seperti ilmu
pengetahuan modern, psikologi eksistensial, dan studi interreligius.⁷ Hal ini
penting agar teodise tidak hanya dipandang sebagai argumen abstrak, tetapi juga
sebagai sarana membangun empati, solidaritas, dan makna dalam kehidupan nyata.⁸
Dengan demikian, filsafat ketuhanan dan teodise dapat terus berperan sebagai
jembatan antara refleksi transenden dan praksis kemanusiaan.
Footnotes
[1]               
Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of
Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 1–3.
[2]               
J. L. Mackie, “Evil and Omnipotence,” Mind 64,
no. 254 (1955): 200–212; Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj.
Justin O’Brien (New York: Vintage, 1991), 32–33.
[3]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj.
Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A592/B620–A604/B632.
[4]               
John Hick, Philosophy of Religion (Englewood
Cliffs: Prentice Hall, 1990), 1–5.
[5]               
Susan Neiman, Evil in Modern Thought: An
Alternative History of Philosophy (Princeton: Princeton University Press,
2002), 268–269.
[6]               
Eleonore Stump, Wandering in Darkness: Narrative
and the Problem of Suffering (Oxford: Oxford University Press, 2010),
85–87.
[7]               
Philip Clayton, Adventures in the Spirit: God,
World, Divine Action (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 121–122.
[8]               
Diana L. Eck, Encountering God: A Spiritual Journey
from Bozeman to Banaras (Boston: Beacon Press, 1993), 205–207.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W. (1973). Negative
dialectics (E. B. Ashton, Trans.). Continuum.
Aquinas, T. (1947). Summa
theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger
Bros.
Aristotle. (1924). Metaphysics
(W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.
Augustine. (1991). Confessions
(H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press.
Augustine. (2003). The city of God
(H. Bettenson, Trans.). Penguin.
Camus, A. (1991). The myth of
Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage.
Clayton, P. (2008). Adventures in
the spirit: God, world, divine action. Fortress Press.
Darwin, C. (1859). On the origin
of species. John Murray.
Davies, B. (2004). An introduction
to the philosophy of religion. Oxford University Press.
Davies, B. (2006). The reality of
God and the problem of evil. Continuum.
Dawkins, R. (2006). The God
delusion. Bantam Press.
Descartes, R. (1996). Meditations
on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Eck, D. L. (1993). Encountering
God: A spiritual journey from Bozeman to Banaras. Beacon Press.
Fackenheim, E. L. (1982). To mend
the world: Foundations of post-Holocaust Jewish thought. Indiana University
Press.
Ghazali, A. (2000). The
incoherence of the philosophers (Tahafut al-Falasifah) (M. Marmura,
Trans.). Brigham Young University Press.
Habermas, J. (1987). The theory of
communicative action, Vol. 2 (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Hartshorne, C. (1984). Omnipotence
and other theological mistakes. State University of New York Press.
Hick, J. (1990). Philosophy of
religion. Prentice Hall.
Hick, J. (2010). Evil and the God
of love. Palgrave Macmillan.
Hitchens, C. (2007). God is not
great: How religion poisons everything. Twelve.
Jolley, N. (2005). Leibniz.
Routledge.
Jonas, H. (1984). The imperative
of responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kant, I. (1997). Critique of
practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure
reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and
trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin.
Laozi. (1963). Tao Te Ching
(D. C. Lau, Trans.). Penguin.
Leibniz, G. W. (1985). Theodicy:
Essays on the goodness of God, the freedom of man and the origin of evil
(E. M. Huggard, Trans.). Open Court.
Maimonides, M. (1963). The guide
of the perplexed (S. Pines, Trans.). University of Chicago Press.
Murray, M. (2008). Nature red in
tooth and claw: Theism and the problem of animal suffering. Oxford
University Press.
Neiman, S. (2002). Evil in modern
thought: An alternative history of philosophy. Princeton University Press.
Nietzsche, F. (1974). The gay
science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.
Paley, W. (2006). Natural theology.
Oxford University Press.
Panikkar, R. (1999). The
intrareligious dialogue. Paulist Press.
Philo, of Alexandria. (1996). Proslogion
(T. Williams, Trans.). Hackett.
Plantinga, A. (1977). God,
freedom, and evil. Eerdmans.
Plantinga, A. (2000). Warranted
Christian belief. Oxford University Press.
Plotinus. (1966). The Enneads
(A. H. Armstrong, Trans.). Harvard University Press.
Rahula, W. (1974). What the Buddha
taught. Grove Press.
Radhakrishnan, S. (1923). Indian
philosophy, Vol. 1. George Allen & Unwin.
Rowe, W. L. (1979). The problem of
evil and some varieties of atheism. American Philosophical Quarterly, 16(4),
335–341.
Rowe, W. L. (2007). Philosophy of
religion: An introduction. Wadsworth.
Ruse, M. (2006). Darwinism and its
discontents. Cambridge University Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism
is a humanism (P. Mairet, Trans.). Yale University Press.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E.
Curley, Trans.). Penguin.
Stump, E. (2010). Wandering in
darkness: Narrative and the problem of suffering. Oxford University Press.
Swinburne, R. (1998). Providence
and the problem of evil. Clarendon Press.
Taylor, C. (2007). A secular age.
Belknap Press.
Tillich, P. (1951). Systematic
theology, Vol. 1. University of Chicago Press.
Tillich, P. (1957). Systematic
theology, Vol. 2. University of Chicago Press.
Tillich, P. (1957). Dynamics of
faith. Harper & Row.
Voltaire. (2009). Candide (T.
Cuffe, Trans.). Oxford University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar