Jumat, 10 Oktober 2025

Filsafat Ketuhanan dan Teodise: Konsep, Sejarah, Kritik, dan Relevansi Kontemporer

Filsafat Ketuhanan dan Teodise

Konsep, Sejarah, Kritik, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas filsafat ketuhanan dan problem teodise sebagai dua pilar penting dalam filsafat agama. Filsafat ketuhanan berupaya menjawab pertanyaan mendasar tentang eksistensi dan esensi Tuhan, sementara teodise berusaha menanggapi kontradiksi antara keyakinan akan Tuhan yang Mahakuasa dan Mahabaik dengan kenyataan adanya kejahatan dan penderitaan. Kajian ini disusun melalui pendekatan filosofis-analitis, historis, komparatif, dan reflektif. Pembahasan diawali dengan penguraian konsep dasar filsafat ketuhanan yang mencakup dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis, serta dilanjutkan dengan penelusuran sejarah pemikiran dari tradisi Yunani Kuno, agama-agama Abrahamik, filsafat modern, hingga pemikiran kontemporer.

Selanjutnya, artikel ini menelaah definisi dan problem utama teodise, termasuk model-modelnya seperti teodise Augustinian (free will defense), Irenaean (soul-making theodicy), Leibnizian (the best possible world), serta pendekatan modern yang dikembangkan oleh Plantinga, Hick, dan Swinburne. Kritik kontemporer, baik dari ateisme klasik dan baru, eksistensialisme, maupun refleksi pasca-Holocaust, memperlihatkan keterbatasan teodise tradisional sekaligus mendorong rekonstruksi konseptual. Pada akhirnya, artikel ini menegaskan bahwa filsafat ketuhanan dan teodise tetap relevan dalam dunia modern, tidak hanya sebagai wacana metafisik, tetapi juga sebagai kerangka etis dan humanis dalam merespons penderitaan, membangun solidaritas, serta membuka ruang dialog antaragama dan ilmu pengetahuan.

Kata Kunci: Filsafat Ketuhanan; Teodise; Filsafat Agama; Kejahatan dan Penderitaan; Free Will Defense; Soul-Making; Filsafat Kontemporer.


PEMBAHASAN

Konsep, Sejarah, Kritik, dan Relevansi Filsafat Ketuhanan dan Teodise


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Masalah

Pertanyaan mengenai eksistensi Tuhan dan problem kejahatan merupakan salah satu tema paling tua dan kompleks dalam filsafat agama. Filsafat ketuhanan, sebagai cabang filsafat yang berusaha memahami konsep dan realitas ketuhanan melalui akal budi, telah menjadi arena perdebatan para pemikir sejak era Yunani Kuno hingga zaman modern. Pemikiran Plato tentang “Idea Tertinggi” dan Aristoteles tentang “Penggerak yang Tak Tergerakkan” menjadi fondasi awal diskursus rasional tentang Tuhan yang kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh tradisi agama-agama Abrahamik.¹

Di sisi lain, persoalan teodise lahir dari kontradiksi antara keyakinan akan Tuhan yang Mahabaik, Mahakuasa, dan Mahatahu dengan kenyataan adanya kejahatan, penderitaan, dan absurditas dalam kehidupan.² Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Jika Tuhan itu Mahabaik dan Mahakuasa, mengapa kejahatan tetap ada? Problem ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga eksistensial, karena menyentuh pengalaman konkret manusia dalam menghadapi tragedi, bencana, dan ketidakadilan.³

Dalam sejarah pemikiran, Agustinus dari Hippo menegaskan bahwa kejahatan bukanlah sesuatu yang substansial, melainkan ketiadaan kebaikan (privatio boni).⁴ Sementara itu, Gottfried Wilhelm Leibniz memperkenalkan konsep “the best possible world” sebagai upaya membela keselarasan antara eksistensi Tuhan dan kenyataan dunia yang penuh penderitaan.⁵ Namun, kritik-kritik modern, khususnya dari ateisme baru dan filsafat eksistensialis, menyoroti kelemahan argumen klasik teodise, terutama ketika berhadapan dengan penderitaan massal seperti Holocaust atau bencana kemanusiaan lainnya.⁶

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa rumusan masalah utama yang menjadi fokus kajian ini adalah:

1)                  Bagaimana filsafat ketuhanan memaknai eksistensi dan esensi Tuhan dalam perspektif historis dan kontemporer?

2)                  Bagaimana berbagai model teodise menjawab problem kejahatan dan penderitaan?

3)                  Sejauh mana kritik terhadap teodise tradisional relevan dalam konteks pemikiran modern dan pengalaman manusia kontemporer?

4)                  Apa relevansi filsafat ketuhanan dan teodise dalam membangun etika, makna hidup, dan solidaritas sosial di dunia modern?

1.3.       Tujuan Penelitian/ Kajian

Tulisan ini bertujuan untuk:

1)                  Menguraikan secara komprehensif konsep filsafat ketuhanan beserta kerangka epistemologis, ontologis, dan aksiologisnya.

2)                  Menelusuri sejarah pemikiran teodise dari klasik hingga kontemporer.

3)                  Mengkritisi kelemahan-kelemahan argumen tradisional dan mengkaji pendekatan baru terhadap problem kejahatan.

4)                  Merefleksikan relevansi filsafat ketuhanan dan teodise dalam menghadapi krisis kemanusiaan dan tantangan global kontemporer.

1.4.       Metodologi dan Pendekatan

Kajian ini menggunakan pendekatan filosofis-analitis dengan metode historis, komparatif, dan reflektif. Pendekatan filosofis-analitis digunakan untuk menguraikan argumen-argumen konseptual mengenai Tuhan dan teodise; metode historis digunakan untuk menelusuri perkembangan gagasan dari masa ke masa; metode komparatif dipakai untuk melihat persamaan dan perbedaan berbagai model teodise; sementara metode reflektif dimanfaatkan untuk mengaitkan gagasan filsafat dengan pengalaman manusia modern.⁷

1.5.       Sistematika Penulisan

Artikel ini dibagi ke dalam sembilan bab. Bab I membahas pendahuluan, mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan, metodologi, dan sistematika penulisan. Bab II membahas konsep filsafat ketuhanan, Bab III sejarah pemikiran tentang Tuhan, Bab IV problem teodise, Bab V model-model teodise, Bab VI kritik dan isu kontemporer, Bab VII relevansi modern, Bab VIII sintesis dan refleksi filosofis, dan Bab IX penutup.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, terj. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 509b.

[2]                John Hick, Evil and the God of Love (London: Palgrave Macmillan, 2010), 5.

[3]                Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids: Eerdmans, 1977), 10–12.

[4]                Augustine, Confessions, terj. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.12.

[5]                Gottfried Wilhelm Leibniz, Theodicy: Essays on the Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil, terj. E. M. Huggard (La Salle: Open Court, 1985), 128.

[6]                Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 108–110.

[7]                William L. Rowe, “The Problem of Evil and Some Varieties of Atheism,” American Philosophical Quarterly 16, no. 4 (1979): 335–341.


2.           Konsep Filsafat Ketuhanan

2.1.       Definisi dan Ruang Lingkup

Filsafat ketuhanan merupakan cabang dari filsafat agama yang secara khusus menelaah hakikat, eksistensi, dan atribut ketuhanan melalui pendekatan rasional dan kritis.¹ Ia berupaya menjawab pertanyaan mendasar mengenai apa itu Tuhan, bagaimana keberadaan-Nya dapat diketahui, serta apa implikasi konsepsi Tuhan bagi manusia dan dunia. Ruang lingkup filsafat ketuhanan mencakup pembahasan ontologi Tuhan (ada dan esensi), epistemologi ketuhanan (sumber pengetahuan tentang Tuhan), serta aksiologi ketuhanan (nilai dan fungsi kepercayaan terhadap Tuhan).²

2.2.       Kedudukan Filsafat Ketuhanan dalam Filsafat Agama

Dalam tradisi filsafat agama, filsafat ketuhanan menjadi pusat perdebatan karena ia menentukan kerangka berpikir mengenai iman, etika, dan makna kehidupan.³ Jika filsafat agama lebih luas mencakup isu-isu seperti iman, keabadian, dan hubungan agama dengan moral, maka filsafat ketuhanan lebih fokus pada problem ontologis dan epistemologis terkait Tuhan. Hal ini menjadikannya sebagai fondasi teoretis dari diskursus filsafat agama.⁴

2.3.       Ontologi Tuhan

Pembahasan ontologi Tuhan berkaitan dengan eksistensi dan esensi ketuhanan. Pertanyaan yang muncul antara lain: Apakah Tuhan ada? Bagaimana sifat keberadaan-Nya? Argumen klasik yang banyak dibicarakan dalam tradisi filsafat ketuhanan meliputi:

1)                  Argumen Kosmologis:

Segala yang ada memiliki sebab, sehingga harus ada “sebab pertama” yang tak disebabkan, yakni Tuhan.⁵

2)                  Argumen Teleologis:

Tatanan dan keteraturan alam menunjuk pada adanya perancang yang cerdas.⁶

3)                  Argumen Ontologis:

Tuhan, yang didefinisikan sebagai wujud paling sempurna, harus ada karena eksistensi merupakan bagian dari kesempurnaan.⁷

4)                  Argumen Moral:

Keberadaan hukum moral universal mengandaikan adanya sumber moral absolut, yaitu Tuhan.⁸

Masing-masing argumen ini menuai kritik dan pembelaan dalam sejarah filsafat, menunjukkan dinamika pemikiran yang terus berkembang.

2.4.       Epistemologi Ketuhanan

Epistemologi ketuhanan menyoal bagaimana manusia dapat mengetahui dan mengenal Tuhan. Tradisi agama mengajukan wahyu sebagai sumber utama, sementara filsafat menekankan pada peran rasio, intuisi, dan pengalaman eksistensial.⁹ Dalam Islam, misalnya, Al-Farabi dan Ibn Sina menekankan peran akal dalam mencapai pengetahuan tentang Tuhan, sedangkan Al-Ghazali mengkritik rasionalisme berlebihan dan menegaskan pentingnya intuisi dan wahyu.¹⁰ Dalam filsafat Barat, Kant menolak kemungkinan membuktikan eksistensi Tuhan secara rasional, namun menegaskan bahwa ide tentang Tuhan memiliki fungsi praktis dalam moralitas.¹¹

2.5.       Aksiologi Ketuhanan

Dimensi aksiologi ketuhanan menyoroti peran konsep Tuhan dalam membentuk nilai, etika, dan orientasi hidup manusia.¹² Keyakinan akan Tuhan seringkali menjadi landasan moral, sumber makna hidup, dan pendorong solidaritas sosial. Di sisi lain, kritik Nietzsche yang menyatakan “Tuhan telah mati” menyingkap krisis nilai dalam masyarakat modern ketika konsep ketuhanan ditinggalkan.¹³ Maka, filsafat ketuhanan tidak hanya membicarakan eksistensi Tuhan secara abstrak, tetapi juga mengaitkannya dengan kehidupan nyata manusia, baik dalam ranah etis maupun sosial.


Footnotes

[1]                William L. Rowe, Philosophy of Religion: An Introduction (Belmont: Wadsworth, 2007), 5.

[2]                Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 2–3.

[3]                John Hick, Philosophy of Religion (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1990), 1.

[4]                Chad Meister, Introducing Philosophy of Religion (London: Routledge, 2009), 9–10.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I.q.2.a.3, terj. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[6]                William Paley, Natural Theology (Oxford: Oxford University Press, 2006), 12–14.

[7]                Anselm of Canterbury, Proslogion, terj. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1996), II–III.

[8]                Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, terj. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 129–131.

[9]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 170–175.

[10]             Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 214–217.

[11]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A592/B620–A604/B632.

[12]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–237.

[13]             Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.


3.           Sejarah Pemikiran tentang Tuhan

3.1.       Filsafat Yunani Kuno

Pemikiran tentang Tuhan dalam tradisi filsafat Barat berawal dari para filsuf Yunani. Plato mengemukakan gagasan tentang Idea Tertinggi atau The Good, yang dipandang sebagai sumber segala realitas dan kebenaran.¹ Aristoteles kemudian mengembangkan konsep Penggerak yang Tak Tergerakkan (Unmoved Mover), yaitu prinsip pertama yang menjadi sebab final bagi segala gerak dan perubahan di alam.² Plotinus, tokoh neoplatonisme, memperkenalkan gagasan tentang “Yang Esa” (The One), realitas transenden yang melampaui segala kategori.³ Pemikiran ini menjadi dasar metafisika ketuhanan yang kelak berpengaruh besar pada agama-agama Abrahamik.

3.2.       Tradisi Agama Abrahamik

Dalam tradisi Yahudi, Maimonides menekankan konsep ketuhanan yang transenden, menolak segala bentuk antropomorfisme, serta mengajukan pendekatan negatif (via negativa) dalam memahami Tuhan.⁴ Dalam Kristen, Thomas Aquinas menggabungkan teologi dengan filsafat Aristotelian melalui lima jalan (quinque viae) untuk membuktikan eksistensi Tuhan.⁵ Sementara dalam Islam, Al-Farabi dan Ibn Sina mengajukan konsep Wajib al-Wujud (wujud niscaya), yang menegaskan bahwa Tuhan adalah sebab pertama yang tidak bergantung pada apapun.⁶ Al-Ghazali mengkritik rasionalisme ekstrem para filosof dan menggarisbawahi bahwa pengetahuan tentang Tuhan pada akhirnya hanya mungkin melalui wahyu dan intuisi spiritual.⁷

3.3.       Filsafat Modern

Pada era modern, René Descartes mencoba membuktikan eksistensi Tuhan melalui argumen ontologis dalam Meditationes de prima philosophia, menyatakan bahwa ide tentang wujud sempurna dalam pikiran manusia meniscayakan keberadaan-Nya.⁸ Baruch Spinoza memandang Tuhan identik dengan alam (Deus sive Natura), sehingga menolak pemisahan antara Pencipta dan ciptaan.⁹ Gottfried Wilhelm Leibniz mengembangkan teodise dengan menyatakan bahwa dunia ini adalah “dunia terbaik yang mungkin ada” karena dipilih oleh Tuhan yang Mahabijaksana.¹⁰ Immanuel Kant mengkritik semua argumen rasional tentang eksistensi Tuhan, namun menegaskan bahwa gagasan Tuhan tetap penting secara praktis dalam kerangka moral.¹¹

3.4.       Filsafat Kontemporer

Memasuki abad ke-19 dan 20, kritik terhadap konsep Tuhan semakin tajam. Friedrich Nietzsche mendeklarasikan bahwa “Tuhan telah mati,” yang dimaknai sebagai krisis nilai dan runtuhnya fondasi moral tradisional.¹² Søren Kierkegaard, sebaliknya, menekankan pentingnya lompatan iman (leap of faith) sebagai jawaban eksistensial atas absurditas.¹³ Martin Heidegger tidak membicarakan Tuhan secara teologis, melainkan mengkaji Sein (Ada) sebagai horizon makna.¹⁴ Jean-Paul Sartre mengembangkan ateisme eksistensialis, menyatakan bahwa jika Tuhan tidak ada, manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas penciptaan makna hidupnya.¹⁵

Di sisi lain, filsuf analitik agama seperti Alvin Plantinga dan John Hick berusaha merehabilitasi filsafat ketuhanan melalui argumen epistemologis dan teodise modern. Plantinga memperkenalkan Free Will Defense untuk membela keberadaan Tuhan di tengah kejahatan, sementara Hick menekankan teodise soul-making yang melihat penderitaan sebagai sarana pembentukan moral dan spiritual manusia.¹⁶

3.5.       Kontribusi Filsafat Timur

Selain tradisi Barat, filsafat ketuhanan juga diperkaya oleh warisan Timur. Dalam Hindu, konsep Brahman dipahami sebagai realitas tertinggi yang imanen dan transenden sekaligus.¹⁷ Dalam Buddhisme, meskipun tidak mengenal Tuhan personal, terdapat gagasan tentang Dharma dan Nirvana sebagai prinsip kosmis yang menjadi tujuan akhir eksistensi.¹⁸ Dalam Taoisme, Tao dipandang sebagai prinsip universal yang melandasi keteraturan alam.¹⁹ Tradisi-tradisi ini memberikan perspektif alternatif yang lebih kosmologis dan holistik, melengkapi diskursus filsafat ketuhanan yang dominan di Barat.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, terj. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 509b.

[2]                Aristotle, Metaphysics, terj. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), XII.6–7.

[3]                Plotinus, The Enneads, terj. A. H. Armstrong (Cambridge: Harvard University Press, 1966), V.1.7.

[4]                Moses Maimonides, The Guide of the Perplexed, terj. Shlomo Pines (Chicago: University of Chicago Press, 1963), I.50.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I.q.2.a.3, terj. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[6]                Ibn Sina, Metaphysics of the Healing, terj. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), IX.1.

[7]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 214–217.

[8]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, terj. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation V.

[9]                Baruch Spinoza, Ethics, terj. Edwin Curley (London: Penguin, 1996), Part I.

[10]             Gottfried Wilhelm Leibniz, Theodicy: Essays on the Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil, terj. E. M. Huggard (La Salle: Open Court, 1985), 128.

[11]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A592/B620–A604/B632.

[12]             Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.

[13]             Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, terj. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 54–57.

[14]             Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 38–42.

[15]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–31.

[16]             Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids: Eerdmans, 1977), 30–34; John Hick, Evil and the God of Love (London: Palgrave Macmillan, 2010), 253–256.

[17]             Radhakrishnan, Sarvepalli, Indian Philosophy, Vol. 1 (London: George Allen & Unwin, 1923), 47–52.

[18]             Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 36–40.

[19]             Laozi, Tao Te Ching, terj. D. C. Lau (London: Penguin, 1963), 1–3.


4.           Teodise: Definisi dan Permasalahan

4.1.       Definisi Teodise

Istilah teodise pertama kali dipopulerkan oleh filsuf Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz dalam karyanya Essais de Théodicée (1710).¹ Secara etimologis, istilah ini berasal dari bahasa Yunani theos (Tuhan) dan dike (keadilan), yang berarti “membenarkan Tuhan.”² Dengan demikian, teodise merujuk pada upaya rasional untuk mempertahankan keadilan dan kebaikan Tuhan di tengah kenyataan adanya kejahatan, penderitaan, dan ketidakadilan dalam dunia.³

Teodise berbeda dengan apologetika teologis. Apologetika bertujuan membela kebenaran iman secara umum, sedangkan teodise secara khusus menyoroti problem kejahatan (the problem of evil) dan pertanyaan bagaimana keberadaan Tuhan yang Mahabaik, Mahakuasa, dan Mahatahu dapat tetap dipertahankan di tengah realitas penderitaan.⁴

4.2.       Akar Historis Teodise

Sebelum Leibniz, refleksi tentang teodise telah hadir dalam pemikiran agama dan filsafat. Agustinus dari Hippo menafsirkan kejahatan bukan sebagai substansi positif, melainkan sebagai privatio boni (ketiadaan kebaikan).⁵ Ia menegaskan bahwa kejahatan lahir dari penyalahgunaan kebebasan manusia. Sementara itu, Irenaeus melihat penderitaan sebagai sarana pembentukan moral dan kedewasaan spiritual, suatu gagasan yang kemudian dikenal sebagai soul-making theodicy.⁶

Leibniz menyintesiskan pandangan-pandangan tersebut dengan menyatakan bahwa dunia yang kita huni adalah “dunia terbaik yang mungkin ada” (the best possible world), sebab dipilih oleh Tuhan yang Mahabijaksana dari antara berbagai kemungkinan dunia lain.⁷ Gagasan ini sangat berpengaruh, namun juga menimbulkan kritik tajam, terutama setelah munculnya tragedi-tragedi besar seperti gempa Lisbon (1755) dan Holocaust abad ke-20.⁸

4.3.       Problem Kejahatan dan Penderitaan

Masalah utama yang coba dijawab oleh teodise adalah kontradiksi antara tiga proposisi berikut:

1)                  Tuhan Mahakuasa.

2)                  Tuhan Mahabaik.

3)                  Kejahatan nyata ada di dunia.

Secara logis, jika Tuhan Mahakuasa, Ia mampu mencegah kejahatan; jika Tuhan Mahabaik, Ia tentu tidak menghendaki adanya kejahatan; namun faktanya kejahatan tetap ada. Inilah yang disebut sebagai logical problem of evil.⁹

Selain itu, terdapat pula evidential problem of evil, yakni argumen bahwa jumlah dan intensitas penderitaan di dunia ini membuat keberadaan Tuhan yang Mahabaik menjadi sangat tidak mungkin.¹⁰ Pandangan ini diperkuat oleh kritik ateisme modern yang menekankan absurditas penderitaan yang tidak proporsional, seperti penderitaan anak-anak atau bencana alam yang merenggut banyak korban.¹¹

4.4.       Hubungan Teodise dengan Teologi dan Etika

Teodise berada pada persimpangan antara filsafat, teologi, dan etika. Dari sisi teologi, teodise menjadi upaya membela atribut Tuhan (keadilan, kebaikan, kuasa) agar tetap konsisten dengan realitas dunia. Dari sisi etika, refleksi tentang teodise menuntun pada pertanyaan tentang tanggung jawab manusia dalam menghadapi penderitaan, bukan hanya menyerahkannya kepada penjelasan metafisis.¹²

Dengan demikian, teodise bukan sekadar upaya spekulatif untuk “membenarkan Tuhan,” melainkan juga sarana refleksi eksistensial dan moral tentang bagaimana manusia seharusnya bersikap terhadap penderitaan.¹³ Ia menyingkap batas-batas rasionalitas manusia sekaligus membuka ruang bagi dimensi iman, empati, dan tindakan etis dalam menanggapi realitas kejahatan.


Footnotes

[1]                Gottfried Wilhelm Leibniz, Theodicy: Essays on the Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil, terj. E. M. Huggard (La Salle: Open Court, 1985), 55.

[2]                John Hick, Evil and the God of Love (London: Palgrave Macmillan, 2010), 5.

[3]                Brian Davies, The Reality of God and the Problem of Evil (London: Continuum, 2006), 7–8.

[4]                Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids: Eerdmans, 1977), 8.

[5]                Augustine, Confessions, terj. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.12.

[6]                John Hick, Philosophy of Religion (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1990), 41–42.

[7]                Leibniz, Theodicy, 128.

[8]                Susan Neiman, Evil in Modern Thought: An Alternative History of Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2002), 246–249.

[9]                J. L. Mackie, “Evil and Omnipotence,” Mind 64, no. 254 (1955): 200–212.

[10]             William L. Rowe, “The Problem of Evil and Some Varieties of Atheism,” American Philosophical Quarterly 16, no. 4 (1979): 335–341.

[11]             Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 108–110.

[12]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 2 (Chicago: University of Chicago Press, 1957), 50–52.

[13]             Eleonore Stump, Wandering in Darkness: Narrative and the Problem of Suffering (Oxford: Oxford University Press, 2010), 85–87.


5.           Model dan Pendekatan Teodise

5.1.       Teodise Augustinian (Free Will Defense)

Teodise Augustinian berakar pada pemikiran Agustinus dari Hippo yang menyatakan bahwa kejahatan bukanlah substansi yang diciptakan, melainkan ketiadaan kebaikan (privatio boni).¹ Menurutnya, Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan baik, tetapi kebebasan manusia memungkinkan munculnya penyalahgunaan kehendak yang berujung pada dosa.² Teodise ini kemudian diperkuat oleh Alvin Plantinga melalui argumen Free Will Defense, yakni bahwa keberadaan kejahatan logis dapat dipahami sebagai konsekuensi niscaya dari kebebasan moral manusia yang bernilai tinggi.³

5.2.       Teodise Irenaean (Soul-Making Theodicy)

Berbeda dengan Agustinus, Irenaeus menekankan bahwa penderitaan memiliki fungsi pedagogis dalam rencana ilahi.⁴ John Hick mengembangkan gagasan ini menjadi soul-making theodicy, dengan menekankan bahwa dunia yang penuh penderitaan justru memberikan kesempatan bagi manusia untuk bertumbuh secara moral dan spiritual.⁵ Dengan demikian, penderitaan dipandang bukan sekadar konsekuensi negatif, tetapi sebagai sarana pembentukan karakter yang lebih mulia.

5.3.       Teodise Leibnizian (The Best Possible World)

Leibniz berpendapat bahwa dunia yang kita huni adalah “dunia terbaik yang mungkin ada” (the best possible world), karena dipilih oleh Tuhan yang Mahabijaksana dari berbagai kemungkinan dunia lain.⁶ Menurutnya, meskipun dunia ini tidak sempurna, segala ketidaksempurnaan yang ada memiliki tempat dalam keseluruhan harmoni kosmik.⁷ Kritik terhadap teodise ini muncul terutama pasca gempa Lisbon (1755), ketika penderitaan massal tampak sulit dipertahankan sebagai bagian dari dunia terbaik.⁸

5.4.       Teodise Modern

Pemikir modern berusaha memperbaharui kerangka klasik. Alvin Plantinga mengajukan argumen bahwa tidak ada kontradiksi logis antara eksistensi Tuhan dan keberadaan kejahatan jika kebebasan moral manusia diperhitungkan.⁹ Richard Swinburne menambahkan dengan greater good theodicy, bahwa penderitaan dapat dibenarkan sejauh berkontribusi pada kebaikan yang lebih besar, seperti keberanian, empati, atau solidaritas.¹⁰ John Hick, sebagaimana disebutkan, menekankan fungsi edukatif penderitaan.¹¹ Dengan demikian, teodise modern mencoba memberikan penjelasan yang lebih kontekstual terhadap problem penderitaan tanpa sepenuhnya melepaskan kerangka iman teistik.

5.5.       Kritik terhadap Teodise Tradisional

Meski beragam model teodise telah dikembangkan, kritik tajam muncul dari filsafat ateis dan eksistensialis. J. L. Mackie menyatakan bahwa keberadaan kejahatan tetap menimbulkan kontradiksi logis dengan konsep Tuhan yang Mahakuasa dan Mahabaik.¹² Sementara itu, filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus menolak teodise karena dianggap merasionalisasi penderitaan manusia.¹³ Dalam pandangan Camus, penderitaan absurd tidak bisa “dijustifikasi,” melainkan harus dihadapi dengan pemberontakan moral terhadap absurditas.¹⁴


Footnotes

[1]                Augustine, Confessions, terj. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.12.

[2]                Augustine, The City of God, terj. Henry Bettenson (London: Penguin, 2003), XII.6.

[3]                Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids: Eerdmans, 1977), 29–34.

[4]                John Hick, Evil and the God of Love (London: Palgrave Macmillan, 2010), 211.

[5]                Ibid., 253–254.

[6]                Gottfried Wilhelm Leibniz, Theodicy: Essays on the Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil, terj. E. M. Huggard (La Salle: Open Court, 1985), 128.

[7]                Nicholas Jolley, Leibniz (London: Routledge, 2005), 89–90.

[8]                Susan Neiman, Evil in Modern Thought: An Alternative History of Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2002), 246–249.

[9]                Plantinga, God, Freedom, and Evil, 44–45.

[10]             Richard Swinburne, Providence and the Problem of Evil (Oxford: Clarendon Press, 1998), 110–112.

[11]             Hick, Evil and the God of Love, 260–261.

[12]             J. L. Mackie, “Evil and Omnipotence,” Mind 64, no. 254 (1955): 200–212.

[13]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–31.

[14]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1991), 32–33.


6.           Kritik dan Isu Kontemporer

6.1.       Kritik Ateisme Klasik dan Baru

Sejak abad ke-18, teodise menuai kritik keras dari para pemikir ateis. Voltaire, dalam karyanya Candide, secara satir mengejek optimisme Leibnizian yang menyebut dunia ini sebagai “dunia terbaik yang mungkin ada,” terutama setelah bencana gempa Lisbon 1755.¹ Kritik ini menunjukkan bahwa penderitaan massal sulit direduksi menjadi bagian dari harmoni kosmik.

Dalam perkembangan kontemporer, ateisme baru (New Atheism) yang dipelopori oleh Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan Sam Harris menegaskan bahwa kehadiran kejahatan dan penderitaan merupakan bukti kuat terhadap ketiadaan Tuhan.² Mereka menolak semua bentuk teodise sebagai upaya apologetik yang tidak memadai dalam menjawab realitas penderitaan manusia.³

6.2.       Perspektif Eksistensialis

Pemikiran eksistensialis menyoroti aspek absurditas dari penderitaan. Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa tanpa Tuhan, manusia “dikondisikan untuk bebas” dan sepenuhnya bertanggung jawab atas penciptaan makna hidupnya.⁴ Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus menyatakan bahwa penderitaan merupakan absurditas yang tidak bisa dijustifikasi oleh argumen metafisik manapun.⁵ Menurutnya, respons etis yang tepat bukanlah mencari pembenaran teologis, melainkan pemberontakan terhadap absurditas melalui keberanian untuk tetap hidup dan memberi makna.⁶

6.3.       Isu Holocaust dan Trauma Kolektif

Salah satu kritik paling signifikan terhadap teodise muncul dari refleksi atas Holocaust. Theodor W. Adorno menegaskan bahwa “menulis puisi setelah Auschwitz adalah barbar,” sebuah ungkapan yang menunjukkan keterkejutan moral atas penderitaan yang sulit diterima akal.⁷ Emil Fackenheim kemudian menambahkan bahwa tragedi Holocaust menuntut umat beragama untuk tidak lagi merumuskan teodise tradisional, melainkan menghadirkan iman yang berakar pada tanggung jawab etis dan historis.⁸ Dengan demikian, Holocaust menjadi ujian berat bagi validitas teodise klasik dan mendorong lahirnya pendekatan baru dalam filsafat agama.

6.4.       Penderitaan Alamiah dan Kejahatan Non-Manusia

Selain penderitaan akibat ulah manusia, problem besar lainnya adalah kejahatan natural, seperti bencana alam, penyakit, dan penderitaan hewan. William Rowe menekankan bahwa penderitaan hewan yang tampaknya tidak memiliki tujuan moral atau spiritual menimbulkan persoalan serius bagi teodise.⁹ Argumen ini memperluas cakupan problem kejahatan dari dimensi antropologis menuju kosmologis, menantang gagasan bahwa segala penderitaan memiliki makna edukatif atau moral.¹⁰

6.5.       Dialog dengan Sains dan Etika Kontemporer

Dalam era modern, isu teodise juga dipertemukan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Evolusi biologis, misalnya, menunjukkan adanya proses seleksi alam yang penuh penderitaan, konflik, dan kepunahan.¹¹ Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah penderitaan biologis merupakan bagian dari desain ilahi atau sekadar konsekuensi alamiah dari mekanisme evolusi?

Dalam etika global, problem kejahatan sering dikaitkan dengan ketidakadilan sosial, krisis lingkungan, dan konflik politik.¹² Teodise, dalam konteks ini, tidak cukup hanya membenarkan keberadaan penderitaan, tetapi harus memberi inspirasi etis untuk menghadapi realitas dunia dengan solidaritas, empati, dan tanggung jawab.¹³


Footnotes

[1]                Voltaire, Candide, terj. Theo Cuffe (Oxford: Oxford University Press, 2009), 16–18.

[2]                Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 108–110.

[3]                Christopher Hitchens, God Is Not Great: How Religion Poisons Everything (New York: Twelve, 2007), 189–191.

[4]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–31.

[5]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1991), 32–33.

[6]                Ibid., 54–55.

[7]                Theodor W. Adorno, Negative Dialectics, terj. E. B. Ashton (New York: Continuum, 1973), 362.

[8]                Emil L. Fackenheim, To Mend the World: Foundations of Post-Holocaust Jewish Thought (Bloomington: Indiana University Press, 1982), 214–216.

[9]                William L. Rowe, “The Problem of Evil and Some Varieties of Atheism,” American Philosophical Quarterly 16, no. 4 (1979): 335–341.

[10]             Michael Murray, Nature Red in Tooth and Claw: Theism and the Problem of Animal Suffering (Oxford: Oxford University Press, 2008), 14–16.

[11]             Charles Darwin, On the Origin of Species (London: John Murray, 1859), 201–204.

[12]             Susan Neiman, Evil in Modern Thought: An Alternative History of Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2002), 267–269.

[13]             Eleonore Stump, Wandering in Darkness: Narrative and the Problem of Suffering (Oxford: Oxford University Press, 2010), 85–87.


7.           Relevansi Filsafat Ketuhanan dan Teodise dalam Dunia Modern

7.1.       Filsafat Ketuhanan dan Krisis Makna

Dunia modern ditandai oleh sekularisasi, pluralisme agama, dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Dalam konteks ini, filsafat ketuhanan tetap relevan karena menawarkan jawaban atas krisis makna yang dialami manusia modern.¹ Kehadiran ide tentang Tuhan menjadi fondasi bagi refleksi tentang tujuan hidup, kebebasan, dan moralitas, terutama ketika modernitas cenderung menyingkirkan dimensi transenden.² Dengan kata lain, filsafat ketuhanan berfungsi sebagai ruang kritis untuk mempertanyakan kembali hubungan manusia dengan yang Ilahi di tengah dominasi rasionalitas instrumental dan konsumerisme global.³

7.2.       Teodise dan Trauma Kolektif

Tragedi-tragedi modern, seperti perang dunia, genosida, bencana alam, dan pandemi global, telah menghidupkan kembali diskursus teodise. Pertanyaan tentang “di mana Tuhan” ketika umat manusia mengalami penderitaan kolektif terus menjadi tantangan filosofis dan teologis.⁴ Misalnya, refleksi pasca-Holocaust menuntut pergeseran teodise dari sekadar pembenaran metafisik menuju respons etis dan historis yang berfokus pada solidaritas dan pencegahan kejahatan serupa di masa depan.⁵ Dengan demikian, teodise modern tidak hanya membicarakan Tuhan, tetapi juga bagaimana manusia bertanggung jawab secara etis dalam sejarah.⁶

7.3.       Implikasi Etis dan Sosial

Relevansi filsafat ketuhanan dan teodise juga terlihat dalam pembentukan etika sosial. Keyakinan akan Tuhan yang adil dan penuh kasih memberi motivasi bagi manusia untuk mengupayakan keadilan, perdamaian, dan penghormatan terhadap martabat manusia.⁷ Teodise yang mengaitkan penderitaan dengan pertumbuhan moral, seperti soul-making theodicy, dapat mendorong individu dan komunitas untuk menghadapi penderitaan dengan ketabahan sekaligus aksi nyata.⁸ Dengan demikian, filsafat ketuhanan tidak berhenti pada spekulasi abstrak, tetapi turut memandu praktik etis dalam kehidupan publik.

7.4.       Teodise dalam Sains dan Teknologi

Perkembangan sains modern juga menantang relevansi filsafat ketuhanan dan teodise. Misalnya, teori evolusi menyingkap proses biologis yang sarat penderitaan, sementara teknologi medis dan bioteknologi menimbulkan pertanyaan baru tentang batas campur tangan manusia dalam kehidupan.⁹ Dalam konteks ini, filsafat ketuhanan berfungsi untuk memberi kerangka normatif dan refleksi moral atas implikasi etis dari sains.¹⁰ Teodise pun bertransformasi, tidak lagi hanya mempertahankan keadilan Tuhan, tetapi juga menyoal tanggung jawab manusia terhadap penderitaan yang muncul dari pilihan-pilihan teknologisnya.¹¹

7.5.       Dialog Antaragama dan Humanisme Global

Dalam dunia yang semakin plural dan terhubung, filsafat ketuhanan dan teodise dapat menjadi medium dialog antaragama. Masalah penderitaan adalah pengalaman universal yang melampaui sekat teologis, sehingga refleksi bersama dapat memperkuat solidaritas global.¹² Selain itu, relevansi teodise juga terletak pada kemampuannya untuk berkontribusi pada etika kemanusiaan lintas iman, mengajak umat manusia untuk menghadapi problem kejahatan dengan empati dan kerja sama demi kebaikan bersama.¹³


Footnotes

[1]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Belknap Press, 2007), 25–27.

[2]                Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 42–44.

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 2, terj. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987), 77–78.

[4]                Susan Neiman, Evil in Modern Thought: An Alternative History of Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2002), 268–269.

[5]                Emil L. Fackenheim, To Mend the World: Foundations of Post-Holocaust Jewish Thought (Bloomington: Indiana University Press, 1982), 214–216.

[6]                Theodor W. Adorno, Negative Dialectics, terj. E. B. Ashton (New York: Continuum, 1973), 362.

[7]                John Hick, Philosophy of Religion (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1990), 90–92.

[8]                Hick, Evil and the God of Love (London: Palgrave Macmillan, 2010), 253–254.

[9]                Michael Ruse, Darwinism and Its Discontents (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 143–145.

[10]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–8.

[11]             Philip Clayton, Adventures in the Spirit: God, World, Divine Action (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 121–122.

[12]             Diana L. Eck, Encountering God: A Spiritual Journey from Bozeman to Banaras (Boston: Beacon Press, 1993), 205–207.

[13]             Raimon Panikkar, The Intrareligious Dialogue (New York: Paulist Press, 1999), 145–147.


8.           Sintesis dan Refleksi Filosofis

8.1.       Keterbatasan Rasio dalam Memahami Tuhan

Sejarah filsafat ketuhanan dan teodise menunjukkan bahwa akal manusia mampu merumuskan berbagai argumen rasional mengenai eksistensi Tuhan dan problem kejahatan. Namun, pada saat yang sama, semua argumen itu memiliki keterbatasan.¹ Immanuel Kant menegaskan bahwa Tuhan tidak dapat dibuktikan melalui argumen ontologis, kosmologis, atau teleologis, tetapi keberadaan-Nya tetap memiliki fungsi praktis dalam moralitas.² Dengan demikian, refleksi filosofis membuka kesadaran bahwa rasio tidak dapat menjangkau hakikat Tuhan secara tuntas, melainkan hanya memberi kerangka berpikir yang parsial.

8.2.       Dialektika antara Filsafat, Teologi, dan Spiritualitas

Filsafat ketuhanan dan teodise tidak bisa dipisahkan dari dimensi teologis dan spiritual. Filsafat memberi kerangka analitis, sementara teologi menghadirkan perspektif iman, dan spiritualitas memberikan pengalaman eksistensial.³ Dialektika ketiganya memperlihatkan bahwa problem kejahatan tidak hanya menuntut jawaban rasional, tetapi juga respons iman dan praksis hidup.⁴ Dengan cara ini, teodise tidak berhenti pada tataran konseptual, tetapi juga berfungsi sebagai inspirasi praksis etis dan religius dalam menghadapi penderitaan.

8.3.       Rekonstruksi Konsep Teodise di Era Kontemporer

Kritik modern terhadap teodise tradisional memunculkan kebutuhan akan rekonstruksi konseptual.⁵ Alih-alih hanya berusaha membenarkan Tuhan, teodise kontemporer menekankan pada partisipasi manusia dalam menanggulangi penderitaan.⁶ Hal ini terlihat pada pendekatan teologi proses yang menekankan Tuhan sebagai realitas dinamis yang turut menderita bersama ciptaan-Nya, bukan sebagai penguasa yang sepenuhnya menentukan.⁷ Dalam perspektif ini, penderitaan dipahami bukan sekadar masalah metafisik, melainkan tantangan etis untuk diwujudkan dalam tindakan nyata.

8.4.       Refleksi Humanis-Transenden

Filsafat ketuhanan dan teodise membuka kemungkinan bagi sintesis antara perspektif humanis dan transenden. Humanisme modern menekankan martabat dan kebebasan manusia, sementara religiositas menegaskan keterhubungan manusia dengan Yang Ilahi.⁸ Refleksi filosofis dapat mengintegrasikan keduanya: menghadapi kejahatan dan penderitaan dengan keberanian eksistensial sekaligus keyakinan transenden.⁹ Dengan demikian, filsafat ketuhanan dan teodise tidak lagi dilihat sebagai upaya apologetik semata, melainkan sebagai ruang dialog yang menumbuhkan empati, solidaritas, dan keterbukaan terhadap misteri.


Footnotes

[1]                Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 2–3.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A592/B620–A604/B632.

[3]                Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–237.

[4]                John Hick, Evil and the God of Love (London: Palgrave Macmillan, 2010), 358–360.

[5]                Susan Neiman, Evil in Modern Thought: An Alternative History of Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2002), 267–269.

[6]                Eleonore Stump, Wandering in Darkness: Narrative and the Problem of Suffering (Oxford: Oxford University Press, 2010), 85–87.

[7]                Charles Hartshorne, Omnipotence and Other Theological Mistakes (Albany: State University of New York Press, 1984), 10–12.

[8]                Jürgen Moltmann, The Crucified God (London: SCM Press, 1974), 276–278.

[9]                Raimon Panikkar, The Intrareligious Dialogue (New York: Paulist Press, 1999), 145–147.


9.           Penutup

9.1.       Kesimpulan Umum

Kajian filsafat ketuhanan dan teodise memperlihatkan bahwa persoalan Tuhan dan problem kejahatan merupakan tema sentral yang terus aktual dalam filsafat agama. Dari Yunani Kuno hingga pemikiran kontemporer, manusia selalu bergulat dengan pertanyaan tentang eksistensi dan esensi Tuhan, serta bagaimana menjelaskan keberadaan penderitaan dalam dunia yang diyakini diciptakan oleh Tuhan yang Mahabaik dan Mahakuasa.¹

Beragam model teodise—Augustinian, Irenaean, Leibnizian, hingga teodise modern seperti free will defense Plantinga atau soul-making Hick—memberi kontribusi penting dalam memperkaya refleksi filosofis. Namun, semua model tersebut tidak terlepas dari kritik, baik dari ateisme klasik maupun kontemporer, maupun dari perspektif eksistensialis yang menolak usaha merasionalisasi penderitaan.² Kritik ini justru memperlihatkan keterbatasan rasio manusia dalam menyingkap misteri ketuhanan dan problem kejahatan, sekaligus membuka ruang untuk sintesis yang lebih reflektif.³

9.2.       Kontribusi Kajian

Kajian ini memberikan kontribusi dalam tiga hal utama. Pertama, memperlihatkan dinamika historis pemikiran tentang Tuhan dan problem kejahatan, yang menunjukkan bagaimana setiap zaman melahirkan respons baru.⁴ Kedua, menegaskan relevansi filsafat ketuhanan dan teodise dalam menghadapi krisis modern, mulai dari Holocaust hingga isu-isu global seperti bencana alam, penderitaan hewan, dan problem etika teknologi.⁵ Ketiga, menawarkan kerangka refleksi filosofis yang mengintegrasikan dimensi rasional, teologis, dan eksistensial, sehingga teodise tidak sekadar membenarkan Tuhan, tetapi juga mendorong manusia untuk bertanggung jawab secara etis dalam menghadapi penderitaan.⁶

9.3.       Saran untuk Studi Lanjutan

Ke depan, kajian filsafat ketuhanan dan teodise perlu lebih banyak berinteraksi dengan disiplin lain, seperti ilmu pengetahuan modern, psikologi eksistensial, dan studi interreligius.⁷ Hal ini penting agar teodise tidak hanya dipandang sebagai argumen abstrak, tetapi juga sebagai sarana membangun empati, solidaritas, dan makna dalam kehidupan nyata.⁸ Dengan demikian, filsafat ketuhanan dan teodise dapat terus berperan sebagai jembatan antara refleksi transenden dan praksis kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 1–3.

[2]                J. L. Mackie, “Evil and Omnipotence,” Mind 64, no. 254 (1955): 200–212; Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1991), 32–33.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A592/B620–A604/B632.

[4]                John Hick, Philosophy of Religion (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1990), 1–5.

[5]                Susan Neiman, Evil in Modern Thought: An Alternative History of Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2002), 268–269.

[6]                Eleonore Stump, Wandering in Darkness: Narrative and the Problem of Suffering (Oxford: Oxford University Press, 2010), 85–87.

[7]                Philip Clayton, Adventures in the Spirit: God, World, Divine Action (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 121–122.

[8]                Diana L. Eck, Encountering God: A Spiritual Journey from Bozeman to Banaras (Boston: Beacon Press, 1993), 205–207.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W. (1973). Negative dialectics (E. B. Ashton, Trans.). Continuum.

Aquinas, T. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press.

Augustine. (2003). The city of God (H. Bettenson, Trans.). Penguin.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage.

Clayton, P. (2008). Adventures in the spirit: God, world, divine action. Fortress Press.

Darwin, C. (1859). On the origin of species. John Murray.

Davies, B. (2004). An introduction to the philosophy of religion. Oxford University Press.

Davies, B. (2006). The reality of God and the problem of evil. Continuum.

Dawkins, R. (2006). The God delusion. Bantam Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Eck, D. L. (1993). Encountering God: A spiritual journey from Bozeman to Banaras. Beacon Press.

Fackenheim, E. L. (1982). To mend the world: Foundations of post-Holocaust Jewish thought. Indiana University Press.

Ghazali, A. (2000). The incoherence of the philosophers (Tahafut al-Falasifah) (M. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.

Habermas, J. (1987). The theory of communicative action, Vol. 2 (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Hartshorne, C. (1984). Omnipotence and other theological mistakes. State University of New York Press.

Hick, J. (1990). Philosophy of religion. Prentice Hall.

Hick, J. (2010). Evil and the God of love. Palgrave Macmillan.

Hitchens, C. (2007). God is not great: How religion poisons everything. Twelve.

Jolley, N. (2005). Leibniz. Routledge.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin.

Laozi. (1963). Tao Te Ching (D. C. Lau, Trans.). Penguin.

Leibniz, G. W. (1985). Theodicy: Essays on the goodness of God, the freedom of man and the origin of evil (E. M. Huggard, Trans.). Open Court.

Maimonides, M. (1963). The guide of the perplexed (S. Pines, Trans.). University of Chicago Press.

Murray, M. (2008). Nature red in tooth and claw: Theism and the problem of animal suffering. Oxford University Press.

Neiman, S. (2002). Evil in modern thought: An alternative history of philosophy. Princeton University Press.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Paley, W. (2006). Natural theology. Oxford University Press.

Panikkar, R. (1999). The intrareligious dialogue. Paulist Press.

Philo, of Alexandria. (1996). Proslogion (T. Williams, Trans.). Hackett.

Plantinga, A. (1977). God, freedom, and evil. Eerdmans.

Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief. Oxford University Press.

Plotinus. (1966). The Enneads (A. H. Armstrong, Trans.). Harvard University Press.

Rahula, W. (1974). What the Buddha taught. Grove Press.

Radhakrishnan, S. (1923). Indian philosophy, Vol. 1. George Allen & Unwin.

Rowe, W. L. (1979). The problem of evil and some varieties of atheism. American Philosophical Quarterly, 16(4), 335–341.

Rowe, W. L. (2007). Philosophy of religion: An introduction. Wadsworth.

Ruse, M. (2006). Darwinism and its discontents. Cambridge University Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (P. Mairet, Trans.). Yale University Press.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). Penguin.

Stump, E. (2010). Wandering in darkness: Narrative and the problem of suffering. Oxford University Press.

Swinburne, R. (1998). Providence and the problem of evil. Clarendon Press.

Taylor, C. (2007). A secular age. Belknap Press.

Tillich, P. (1951). Systematic theology, Vol. 1. University of Chicago Press.

Tillich, P. (1957). Systematic theology, Vol. 2. University of Chicago Press.

Tillich, P. (1957). Dynamics of faith. Harper & Row.

Voltaire. (2009). Candide (T. Cuffe, Trans.). Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar