Etika Penelitian
Fondasi, Prinsip, dan Implementasi dalam Ilmu Pengetahuan Kontemporer
Alihkan ke: Filsafat Moral.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai Etika Penelitian:
Fondasi, Prinsip, dan Implementasi dalam Ilmu Pengetahuan Kontemporer.
Etika penelitian dipahami sebagai kerangka normatif yang menuntun peneliti
untuk menjaga integritas akademik, melindungi martabat subjek penelitian, serta
memastikan tanggung jawab sosial dari aktivitas ilmiah. Kajian dimulai dari landasan
konseptual etika penelitian dan akar filosofisnya, kemudian menelusuri
perkembangan historis sejak tradisi klasik hingga tragedi abad ke-20 yang
melahirkan regulasi internasional seperti Nuremberg Code, Declaration
of Helsinki, dan Belmont Report.
Artikel ini juga menguraikan prinsip-prinsip utama etika penelitian,
seperti kejujuran, integritas, informed consent, keadilan, tanggung
jawab sosial, serta perlindungan data. Pembahasan dilanjutkan pada isu
metodologis dalam penelitian kuantitatif, kualitatif, interdisipliner, hingga
riset berbasis big data dan kecerdasan buatan. Sejumlah kasus pelanggaran etika
penelitian, baik global maupun di Indonesia, dipaparkan sebagai refleksi
tentang bahaya penelitian tanpa landasan moral.
Dalam konteks kontemporer, etika penelitian menghadapi tantangan baru
berupa privasi digital, rekayasa genetik, globalisasi riset, dan fenomena
jurnal predator. Oleh karena itu, strategi penanaman dan penguatan etika
penelitian melalui pendidikan, bimbingan akademik, sistem evaluasi, serta
integrasi nilai religius, budaya, dan kemanusiaan menjadi sangat penting.
Artikel ini menegaskan bahwa etika penelitian bukan sekadar regulasi formal,
melainkan juga komitmen moral kolektif demi menjaga kredibilitas ilmu
pengetahuan dan keberlanjutan kehidupan.
Kata Kunci: Etika
Penelitian; Integritas Akademik; Informed Consent; Regulasi; Big Data;
Kecerdasan Buatan; Bioetika; Tanggung Jawab Sosial.
PEMBAHASAN
Kajian Etika Penelitian dalam Ilmu Pengetahuan Kontemporer
1.          
Pendahuluan
Penelitian ilmiah merupakan salah satu
pilar utama dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui
penelitian, manusia berupaya untuk menemukan kebenaran, memecahkan masalah,
serta memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, sejarah
mencatat bahwa proses penelitian tidak selalu berjalan sesuai dengan prinsip
moral dan nilai kemanusiaan. Berbagai kasus pelanggaran, seperti manipulasi
data, plagiarisme, hingga eksploitasi subjek penelitian, menimbulkan pertanyaan
mendasar tentang bagaimana penelitian seharusnya dijalankan secara etis.¹
Etika penelitian hadir sebagai kerangka
normatif yang menuntun peneliti dalam menjaga integritas akademik dan tanggung
jawab sosialnya. Dalam konteks modern, etika penelitian tidak hanya berbicara
mengenai hubungan antara peneliti dan subjek penelitian, tetapi juga mencakup
aspek yang lebih luas seperti kejujuran dalam publikasi ilmiah, keadilan dalam
kolaborasi, dan transparansi dalam pendanaan.² Dengan demikian, etika
penelitian menjadi prasyarat penting untuk memastikan bahwa hasil penelitian
tidak hanya valid secara ilmiah, tetapi juga sahih secara moral.
Urgensi etika penelitian semakin
meningkat seiring berkembangnya teknologi, globalisasi, dan keterhubungan
antardisiplin ilmu. Penelitian di era digital, misalnya, menimbulkan persoalan
baru terkait perlindungan data, privasi individu, dan penggunaan kecerdasan
buatan (AI).³ Di sisi lain, kolaborasi internasional menghadirkan tantangan
etis terkait perbedaan standar budaya, hukum, dan regulasi. Oleh karena itu,
kajian mengenai etika penelitian menjadi penting untuk menegaskan kembali
komitmen akademisi terhadap nilai-nilai universal, seperti kejujuran, keadilan,
dan tanggung jawab.
Artikel ini bertujuan untuk menguraikan
fondasi konseptual, prinsip-prinsip dasar, serta implementasi etika penelitian
dalam ilmu pengetahuan kontemporer. Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman yang lebih komprehensif tentang bagaimana etika dapat menjadi
landasan bagi peneliti dalam melaksanakan kegiatan ilmiah, sekaligus menjadi
pedoman dalam menghadapi dinamika dan tantangan penelitian masa kini.
Footnotes
[1]               
David B. Resnik, The Ethics of Science: An
Introduction (London: Routledge, 2005), 2–4.
[2]               
Shamoo, Adil E., and David B. Resnik, Responsible
Conduct of Research, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2015),
10–12.
[3]               
Mark Israel, Research Ethics and Integrity for
Social Scientists: Beyond Regulatory Compliance, 2nd ed. (London: SAGE
Publications, 2015), 45–49.
2.          
Konsep Dasar Etika
Penelitian
2.1.      
Definisi Etika
Penelitian
Secara umum, etika dapat dipahami
sebagai refleksi kritis mengenai prinsip moral yang mengatur tindakan manusia
dalam kehidupan sosial.¹ Dalam konteks penelitian, etika merujuk pada
seperangkat norma, aturan, dan prinsip yang menuntun perilaku peneliti agar
aktivitas ilmiah yang dilakukan tidak hanya sahih secara metodologis, tetapi
juga dapat dipertanggungjawabkan secara moral.² Etika penelitian dengan
demikian menuntut adanya keseimbangan antara pencarian kebenaran ilmiah dan
penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Beberapa lembaga internasional, seperti
World Medical Association (WMA) dan Council for International
Organizations of Medical Sciences (CIOMS), mendefinisikan etika penelitian
sebagai standar yang bertujuan untuk melindungi martabat, hak, dan
kesejahteraan subjek penelitian, serta untuk menjaga kejujuran ilmiah.³ Dalam
ranah akademik, etika penelitian mencakup kejujuran dalam pengumpulan data,
akurasi dalam analisis, serta keadilan dalam penyebarluasan hasil penelitian. Dengan
kata lain, etika penelitian tidak hanya berkaitan dengan hubungan antara
peneliti dan subjek, melainkan juga dengan masyarakat luas sebagai penerima
manfaat dari hasil penelitian.
2.2.      
Hubungan Etika
Penelitian dengan Filsafat Moral
Etika penelitian berakar pada
teori-teori etika dalam filsafat moral. Pendekatan deontologis, misalnya,
menekankan kewajiban peneliti untuk bertindak sesuai aturan moral universal
tanpa melihat konsekuensi akhir.⁴ Prinsip seperti informed consent
(persetujuan berdasarkan informasi) merupakan bentuk aplikasi deontologi,
karena menuntut peneliti menghormati otonomi subjek penelitian.
Sebaliknya, pendekatan utilitarianisme
memandang etika penelitian dari segi manfaat dan dampak. Penelitian dianggap
etis apabila hasilnya memberikan kebaikan yang lebih besar bagi masyarakat
dibandingkan risiko yang ditimbulkannya.⁵ Pandangan ini banyak digunakan dalam
evaluasi penelitian medis, terutama dalam menimbang keseimbangan antara risiko
eksperimen dan potensi manfaat terapeutik.
Sementara itu, etika kebajikan (virtue
ethics) berfokus pada karakter peneliti sebagai individu bermoral.⁶ Dalam
perspektif ini, seorang peneliti dituntut untuk memiliki integritas, kejujuran,
keberanian moral, serta kerendahan hati intelektual. Dengan mengintegrasikan
berbagai perspektif filsafat moral ini, etika penelitian tidak hanya menjadi
seperangkat aturan, melainkan juga refleksi atas watak peneliti sebagai pelaku
intelektual.
2.3.      
Ruang Lingkup Etika
Penelitian
Etika penelitian memiliki cakupan yang
luas dan multidimensional. Pertama, etika dalam tahap perencanaan, yang
menuntut peneliti untuk merancang penelitian dengan memperhatikan prinsip
keadilan, relevansi sosial, dan kelayakan metodologis. Kedua, etika dalam tahap
pelaksanaan, yang berkaitan dengan cara peneliti berinteraksi dengan subjek,
menjaga kerahasiaan data, serta meminimalkan risiko yang mungkin timbul.
Ketiga, etika dalam tahap pelaporan, yang menekankan kejujuran dalam penyusunan
laporan, penghindaran plagiarisme, serta transparansi dalam publikasi.⁷
Selain itu, etika penelitian juga
mencakup dimensi kelembagaan dan sosial. Di tingkat kelembagaan, Institutional
Review Board (IRB) atau komisi etik penelitian berperan sebagai pengawas
yang memastikan penelitian telah sesuai dengan standar etika.⁸ Di tingkat
sosial, penelitian harus dipandang sebagai tanggung jawab kolektif yang
berdampak pada masyarakat, lingkungan, dan generasi mendatang. Oleh karena itu,
etika penelitian berfungsi sebagai jembatan antara kebebasan akademik dan
tanggung jawab sosial.
2.4.      
Urgensi Etika dalam
Riset Kontemporer
Dalam dunia kontemporer, perkembangan
teknologi informasi, bioteknologi, dan kecerdasan buatan membawa tantangan baru
bagi etika penelitian. Penelitian berbasis big data menimbulkan
persoalan serius mengenai privasi, kepemilikan data, dan kemungkinan
penyalahgunaan informasi.⁹ Sementara itu, kemajuan bioteknologi memunculkan
dilema moral terkait rekayasa genetik, penelitian pada embrio, dan terapi
eksperimental. Tantangan lain adalah komersialisasi penelitian yang seringkali
menimbulkan konflik kepentingan antara kepentingan akademik dan kepentingan
industri.¹⁰
Dengan demikian, pemahaman yang kokoh
tentang konsep dasar etika penelitian menjadi fondasi penting bagi setiap
peneliti. Tanpa etika, penelitian dapat kehilangan makna sosialnya, berubah
menjadi instrumen eksploitasi, dan merusak kepercayaan publik terhadap sains.
Etika penelitian tidak hanya berfungsi sebagai aturan eksternal, tetapi juga
sebagai kompas moral yang mengarahkan peneliti dalam menjaga kehormatan ilmu
pengetahuan serta kemanusiaan.
Footnotes
[1]               
Alasdair MacIntyre, A Short History of Ethics
(London: Routledge, 2002), 5–7.
[2]               
Adil E. Shamoo and David B. Resnik, Responsible
Conduct of Research, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2015), 3.
[3]               
World Medical Association, Declaration of Helsinki:
Ethical Principles for Medical Research Involving Human Subjects
(Ferney-Voltaire: WMA, 2013), 2–4.
[4]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, ed. and trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 31–33.
[5]               
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles
of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 14–16.
[6]               
Rosalind Hursthouse, “Virtue Ethics,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Fall 2013 Edition), ed. Edward N. Zalta, ethics-virtue.
[7]               
Nicholas H. Steneck, Introduction to the
Responsible Conduct of Research (Washington, DC: Office of Research
Integrity, 2007), 45–52.
[8]               
Ezekiel J. Emanuel et al., Ethical and Regulatory
Aspects of Clinical Research (Baltimore: Johns Hopkins University Press,
2003), 27–29.
[9]               
Mark Israel, Research Ethics and Integrity for
Social Scientists: Beyond Regulatory Compliance, 2nd ed. (London: SAGE
Publications, 2015), 112–118.
[10]            
Sheila Jasanoff, Science at the Bar: Law, Science,
and Technology in America (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995),
88–92.
3.          
Sejarah dan
Perkembangan Etika Penelitian
3.1.      
Etika Penelitian
dalam Tradisi Klasik
Sejarah etika penelitian berakar pada refleksi
moral yang telah ada sejak zaman kuno. Filsuf Yunani, seperti Hippokrates,
menekankan pentingnya prinsip primum non nocere (jangan membahayakan)
dalam praktik kedokteran, yang kemudian menjadi fondasi bagi etika medis.¹ Di
dunia Islam abad pertengahan, ilmuwan seperti Ibnu Sina dan Al-Razi tidak hanya
memberikan kontribusi dalam ilmu kedokteran dan sains, tetapi juga menekankan
perlunya kejujuran, tanggung jawab sosial, dan kepatuhan pada nilai-nilai agama
dalam penelitian.² Tradisi ini menunjukkan bahwa sejak awal, kegiatan ilmiah
telah dipahami bukan sekadar usaha intelektual, melainkan juga aktivitas moral
yang membawa konsekuensi etis.
3.2.      
Periode Modern Awal
dan Revolusi Ilmiah
Revolusi ilmiah abad ke-16 dan ke-17
melahirkan paradigma baru dalam penelitian, ditandai dengan metode
eksperimental dan rasionalitas modern. Tokoh seperti Francis Bacon menekankan
pentingnya observasi empiris dan pengendalian metode ilmiah, namun pada saat
yang sama juga mengingatkan bahwa pengetahuan harus digunakan demi
kesejahteraan umat manusia, bukan untuk eksploitasi.³ Meski demikian, dalam
praktiknya, kesadaran etis sering kali tertinggal dibandingkan semangat
penemuan ilmiah. Eksperimen terhadap hewan dan manusia dilakukan tanpa regulasi
ketat, mencerminkan lemahnya instrumen etika penelitian pada masa itu.
3.3.      
Tragedi dan
Kesadaran Etis Abad ke-20
Pelanggaran serius terhadap etika
penelitian mencapai puncaknya pada abad ke-20. Eksperimen medis yang dilakukan
Nazi Jerman terhadap tahanan perang menjadi titik balik kesadaran global akan
pentingnya standar etis. Hal ini melahirkan Nuremberg Code tahun 1947,
yang menetapkan prinsip dasar seperti perlunya persetujuan sukarela (informed
consent) dan perlindungan terhadap subjek penelitian.⁴
Tragedi berikutnya adalah studi
Tuskegee di Amerika Serikat (1932–1972), di mana sekelompok pria Afrika-Amerika
dengan sifilis dibiarkan tanpa pengobatan untuk tujuan penelitian, meski terapi
efektif sudah tersedia.⁵ Kasus ini mengguncang dunia akademik dan memicu
penyusunan Belmont Report (1979), yang merumuskan tiga prinsip utama:
penghormatan terhadap individu (respect for persons), kebaikan (beneficence),
dan keadilan (justice).⁶
Selain itu, Declaration of Helsinki
yang pertama kali diadopsi pada tahun 1964 oleh World Medical Association
memperluas prinsip Nuremberg, menekankan tanggung jawab peneliti, perlindungan
subjek yang rentan, dan pentingnya menyeimbangkan risiko dengan manfaat.⁷
Deklarasi ini terus diperbarui hingga kini, menjadi salah satu pedoman
internasional terpenting dalam penelitian biomedis.
3.4.      
Perkembangan
Regulasi dan Kode Etik Internasional
Seiring dengan meningkatnya kolaborasi
lintas negara, kebutuhan akan standar etika yang bersifat global semakin
mendesak. Organisasi seperti UNESCO mengeluarkan Universal Declaration on
Bioethics and Human Rights (2005), yang menegaskan hak-hak individu,
solidaritas sosial, dan tanggung jawab generasi mendatang dalam penelitian.⁸
Dalam konteks ilmu sosial, berbagai
asosiasi profesi juga mengembangkan kode etiknya masing-masing. Misalnya, American
Sociological Association (ASA) menekankan integritas ilmiah, kerahasiaan
partisipan, serta kewajiban untuk menghindari konflik kepentingan.⁹ Sementara
itu, di Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, kini BRIN) telah
merumuskan panduan etika penelitian yang menekankan kejujuran akademik,
tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap hukum serta norma budaya
lokal.¹⁰
3.5.      
Era Digital dan
Tantangan Baru
Perkembangan teknologi digital,
bioteknologi, dan kecerdasan buatan pada abad ke-21 membuka babak baru dalam
diskursus etika penelitian. Penelitian berbasis big data menimbulkan
pertanyaan mengenai privasi, keamanan informasi, dan otorisasi penggunaan
data.¹¹ Dalam bioteknologi, isu kontroversial muncul terkait rekayasa genetik,
kloning, serta eksperimen pada sel embrionik.¹²
Di sisi lain, publikasi ilmiah
menghadapi masalah predatory journals, manipulasi sitasi, dan tekanan
kuantifikasi kinerja akademik.¹³ Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa
meskipun regulasi etika penelitian telah berkembang pesat, prinsip-prinsip
tersebut harus terus diperbarui agar relevan dengan dinamika ilmu pengetahuan
kontemporer.
Refleksi Historis
Dari perspektif historis, perkembangan
etika penelitian dapat dipahami sebagai respons terhadap penyalahgunaan ilmu
pengetahuan. Setiap tragedi dan pelanggaran melahirkan kesadaran baru, yang
kemudian dikodifikasikan dalam bentuk pedoman etis. Oleh karena itu, etika
penelitian bukanlah sesuatu yang statis, melainkan konstruksi sosial dan moral
yang senantiasa berkembang mengikuti perubahan zaman. Evolusi ini menegaskan
bahwa tanggung jawab ilmuwan tidak hanya terletak pada pencapaian akademik,
tetapi juga pada komitmen untuk menjaga martabat manusia dan keberlanjutan
kehidupan.
Footnotes
[1]               
Hippocrates, Hippocratic Writings, ed. G. E. R.
Lloyd (London: Penguin, 1978), 67–69.
[2]               
Ibn Sina, The Canon of Medicine, trans. O.
Cameron Gruner (New York: AMS Press, 1973), 12–14.
[3]               
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine
and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 89–91.
[4]               
United States v. Karl Brandt et al. (The Nuremberg
Doctors’ Trial), Nuremberg Code, 1947, 181–182.
[5]               
James H. Jones, Bad Blood: The Tuskegee Syphilis
Experiment (New York: Free Press, 1993), 25–30.
[6]               
National Commission for the Protection of Human
Subjects of Biomedical and Behavioral Research, The Belmont Report
(Washington, DC: U.S. Government Printing Office, 1979), 4–6.
[7]               
World Medical Association, Declaration of Helsinki:
Ethical Principles for Medical Research Involving Human Subjects
(Ferney-Voltaire: WMA, 2013), 7–10.
[8]               
UNESCO, Universal Declaration on Bioethics and
Human Rights (Paris: UNESCO, 2005), 3–5.
[9]               
American Sociological Association, Code of Ethics
(Washington, DC: ASA, 2018), 8–12.
[10]            
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kode Etik
Peneliti Indonesia (Jakarta: LIPI, 2014), 5–7.
[11]            
Mark Israel, Research Ethics and Integrity for
Social Scientists: Beyond Regulatory Compliance, 2nd ed. (London: SAGE
Publications, 2015), 112–118.
[12]            
Sheila Jasanoff, Designs on Nature: Science and
Democracy in Europe and the United States (Princeton: Princeton University
Press, 2005), 142–146.
[13]            
Jeffrey Beall, “Predatory Publishers Are Corrupting
Open Access,” Nature 489, no. 7415 (2012): 179.
4.          
Prinsip-Prinsip
Etika Penelitian
4.1.      
Kejujuran dan
Integritas Ilmiah
Prinsip pertama yang menjadi landasan
etika penelitian adalah kejujuran (honesty) dan integritas ilmiah.
Seorang peneliti wajib menyajikan data dan temuan apa adanya, tanpa rekayasa,
fabrikasi, atau manipulasi.¹ Integritas ilmiah menuntut konsistensi antara
nilai moral dengan tindakan akademik, baik dalam proses pengumpulan data,
analisis, maupun publikasi hasil penelitian.² Pelanggaran terhadap prinsip ini,
seperti plagiarisme atau falsifikasi data, tidak hanya merusak reputasi
individu peneliti, tetapi juga mengancam kredibilitas ilmu pengetahuan secara
keseluruhan.
4.2.      
Otonomi dan
Persetujuan Berdasarkan Informasi (Informed Consent)
Penghormatan terhadap otonomi individu
merupakan prinsip fundamental dalam etika penelitian.³ Subjek penelitian berhak
mengetahui tujuan, prosedur, potensi risiko, serta manfaat penelitian sebelum
memberikan persetujuan untuk berpartisipasi. Prinsip informed consent
memastikan bahwa partisipasi subjek didasarkan pada kebebasan dan pemahaman
penuh, bukan paksaan atau manipulasi.⁴ Dalam penelitian biomedis, aspek ini
menjadi sangat penting, karena menyangkut keselamatan, hak, dan martabat
manusia.
4.3.      
Keadilan dan
Non-Diskriminasi
Prinsip keadilan menuntut agar
penelitian dilakukan dengan memperhatikan distribusi manfaat dan risiko yang
proporsional.⁵ Tidak boleh ada kelompok masyarakat yang dieksploitasi sebagai
subjek penelitian hanya karena status sosial, ekonomi, atau kondisi
kerentanannya.⁶ Dalam konteks ini, penelitian harus menghindari diskriminasi berbasis
ras, gender, agama, atau status sosial. Prinsip keadilan juga menggarisbawahi
kewajiban peneliti untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat luas,
bukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu.
4.4.      
Tanggung Jawab
Sosial dan Keberlanjutan
Etika penelitian menuntut tanggung
jawab sosial peneliti terhadap dampak jangka panjang dari aktivitas ilmiah.⁷
Penelitian yang dilakukan tidak boleh semata-mata bertujuan memenuhi
kepentingan pribadi atau komersial, melainkan harus mempertimbangkan implikasi bagi
kesejahteraan sosial, pelestarian lingkungan, dan keberlanjutan generasi
mendatang.⁸ Dalam era kontemporer, prinsip ini semakin relevan, misalnya dalam
riset terkait teknologi kecerdasan buatan atau bioteknologi, yang berpotensi
membawa manfaat besar sekaligus risiko etis yang signifikan.
4.5.      
Kerahasiaan dan
Perlindungan Data
Prinsip lain yang tidak kalah penting
adalah menjaga kerahasiaan data subjek penelitian.⁹ Informasi pribadi yang
diberikan oleh partisipan harus dilindungi dengan ketat, baik dalam tahap
pengumpulan, penyimpanan, maupun publikasi. Pelanggaran terhadap kerahasiaan
dapat merugikan subjek penelitian secara psikologis, sosial, bahkan hukum.¹⁰
Dengan berkembangnya penelitian berbasis big data dan digitalisasi
informasi, isu perlindungan data semakin menjadi perhatian utama dalam
diskursus etika penelitian.
4.6.      
Prinsip-Prinsip
Tambahan dalam Konteks Kontemporer
Selain lima prinsip utama di atas,
terdapat pula prinsip tambahan yang relevan dengan dinamika penelitian modern.
Misalnya, prinsip transparansi dalam kolaborasi internasional, akuntabilitas
dalam penggunaan dana riset, serta keterbukaan dalam publikasi ilmiah (open
access).¹¹ Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa etika penelitian bersifat
dinamis, senantiasa berkembang untuk menjawab tantangan baru yang muncul
seiring perubahan zaman dan kemajuan teknologi.
Refleksi Prinsip-Prinsip Etis
Prinsip-prinsip etika penelitian yang
telah dirumuskan secara internasional maupun nasional tidak hanya bersifat
normatif, tetapi juga operasional. Etika penelitian harus dipahami bukan
sekadar sebagai seperangkat aturan yang mengikat secara formal, melainkan juga
sebagai panduan moral yang melekat pada integritas peneliti sebagai insan
akademik.¹² Dengan demikian, prinsip-prinsip etika penelitian bukan hanya
menjaga hubungan antara peneliti dan subjek penelitian, tetapi juga memperkuat
kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk mencapai
kebenaran dan kesejahteraan bersama.
Footnotes
[1]               
David B. Resnik, The Ethics of Science: An Introduction
(London: Routledge, 2005), 30–33.
[2]               
Nicholas H. Steneck, Introduction to the
Responsible Conduct of Research (Washington, DC: Office of Research
Integrity, 2007), 47–49.
[3]               
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics, 7th ed. (New York: Oxford University Press, 2013),
120–122.
[4]               
World Medical Association, Declaration of Helsinki:
Ethical Principles for Medical Research Involving Human Subjects
(Ferney-Voltaire: WMA, 2013), 6–8.
[5]               
National Commission for the Protection of Human Subjects
of Biomedical and Behavioral Research, The Belmont Report (Washington,
DC: U.S. Government Printing Office, 1979), 4–5.
[6]               
James H. Jones, Bad Blood: The Tuskegee Syphilis
Experiment (New York: Free Press, 1993), 57–59.
[7]               
Adil E. Shamoo and David B. Resnik, Responsible
Conduct of Research, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2015),
15–18.
[8]               
Sheila Jasanoff, Science and Public Reason
(London: Routledge, 2012), 73–76.
[9]               
Mark Israel, Research Ethics and Integrity for
Social Scientists: Beyond Regulatory Compliance, 2nd ed. (London: SAGE
Publications, 2015), 133–135.
[10]            
Helen Nissenbaum, Privacy in Context: Technology,
Policy, and the Integrity of Social Life (Stanford: Stanford University Press,
2009), 21–23.
[11]            
Jeffrey Beall, “Predatory Publishers Are Corrupting
Open Access,” Nature 489, no. 7415 (2012): 179.
[12]            
Shamoo and Resnik, Responsible Conduct of Research,
20–22.
5.          
Etika dalam
Metodologi Penelitian
5.1.      
Etika dalam
Penelitian Kuantitatif
Penelitian kuantitatif, yang sering
melibatkan eksperimen laboratorium, survei berskala besar, atau uji klinis,
memiliki tantangan etis yang kompleks. Prinsip utama yang harus dijaga adalah
validitas data, keamanan subjek, serta transparansi prosedur penelitian.¹ Dalam
uji klinis misalnya, subjek harus mendapatkan informasi yang jelas mengenai
risiko, manfaat, dan prosedur sebelum menandatangani informed consent.²
Peneliti juga wajib menghentikan penelitian jika terbukti menimbulkan bahaya
serius bagi partisipan, sebagaimana diatur dalam Declaration of Helsinki.³
Selain itu, penggunaan instrumen statistik harus dilakukan secara jujur, tidak
dimanipulasi untuk mendukung hipotesis semata.
5.2.      
Etika dalam
Penelitian Kualitatif
Dalam penelitian kualitatif, seperti
wawancara mendalam, observasi partisipan, atau etnografi, tantangan etika lebih
banyak terkait dengan kedekatan antara peneliti dan subjek penelitian. Hubungan
interpersonal yang terjalin sering kali menimbulkan risiko bias, manipulasi,
atau pelanggaran privasi.⁴ Oleh karena itu, peneliti kualitatif wajib menjaga
kerahasiaan identitas partisipan serta memastikan bahwa informasi yang sensitif
tidak disalahgunakan.⁵ Selain itu, peneliti harus bersikap reflektif terhadap
posisinya sendiri dalam proses penelitian, karena kehadirannya dapat
memengaruhi data yang dikumpulkan.⁶ Dengan demikian, etika penelitian
kualitatif tidak hanya berkaitan dengan prosedur formal, tetapi juga kesadaran
moral dan sensitivitas budaya.
5.3.      
Etika Penelitian
Interdisipliner dan Multidisipliner
Perkembangan ilmu pengetahuan mendorong
munculnya penelitian interdisipliner, yang menggabungkan berbagai bidang
keilmuan untuk memecahkan masalah kompleks. Penelitian semacam ini sering
menghadirkan persoalan etis terkait perbedaan standar, norma, dan metodologi
antarbidang.⁷ Misalnya, penelitian yang menggabungkan biologi molekuler,
teknologi informasi, dan ilmu sosial dalam studi genom manusia tidak hanya
berhadapan dengan isu privasi data, tetapi juga dengan keadilan akses dan
distribusi manfaat penelitian.⁸ Oleh karena itu, penelitian interdisipliner
membutuhkan kerangka etika yang inklusif, mampu mengakomodasi keberagaman
pendekatan, sekaligus menegakkan prinsip universal seperti kejujuran, tanggung
jawab, dan keadilan.
5.4.      
Etika dalam Penggunaan
Big Data dan Kecerdasan Buatan
Era digital menghadirkan tantangan baru
bagi etika penelitian, khususnya dalam penggunaan big data dan
kecerdasan buatan (AI). Data yang dikumpulkan dari media sosial, aplikasi
digital, atau sensor teknologi sering kali diperoleh tanpa persetujuan langsung
dari individu yang menjadi subjek.⁹ Hal ini menimbulkan persoalan serius
terkait privasi, keamanan data, dan hak kepemilikan informasi.¹⁰
Selain itu, algoritma AI yang digunakan
dalam penelitian dapat mengandung bias sistematis yang berpotensi menghasilkan
diskriminasi, misalnya dalam penelitian medis atau sosial.¹¹ Oleh karena itu,
peneliti dituntut untuk memastikan transparansi dalam proses pengolahan data,
menggunakan metode analisis yang adil, serta memberikan perlindungan maksimal
terhadap kerahasiaan partisipan.¹² Isu ini menegaskan bahwa integrasi teknologi
dalam penelitian tidak boleh mengabaikan nilai-nilai etis yang mendasar.
Refleksi atas Etika dalam Metodologi
Dari berbagai bentuk metodologi penelitian,
baik kuantitatif maupun kualitatif, interdisipliner maupun berbasis teknologi
digital, terlihat bahwa etika penelitian bukanlah perangkat tambahan, melainkan
bagian integral dari proses ilmiah itu sendiri. Etika hadir sejak tahap
perencanaan, dilaksanakan dalam proses pengumpulan data, dan tetap dijaga
hingga tahap publikasi.¹³ Dengan demikian, metodologi penelitian yang sahih
secara ilmiah harus sekaligus sahih secara etis.
Footnotes
[1]               
David B. Resnik, The Ethics of Science: An
Introduction (London: Routledge, 2005), 56–59.
[2]               
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics, 7th ed. (New York: Oxford University Press, 2013),
142–145.
[3]               
World Medical Association, Declaration of Helsinki:
Ethical Principles for Medical Research Involving Human Subjects
(Ferney-Voltaire: WMA, 2013), 8–10.
[4]               
Mark Israel, Research Ethics and Integrity for
Social Scientists: Beyond Regulatory Compliance, 2nd ed. (London: SAGE
Publications, 2015), 92–96.
[5]               
Bruce L. Berg and Howard Lune, Qualitative Research
Methods for the Social Sciences, 8th ed. (Boston: Pearson, 2012), 90–94.
[6]               
Martyn Hammersley and Paul Atkinson, Ethnography:
Principles in Practice, 3rd ed. (London: Routledge, 2007), 215–218.
[7]               
Sheila Jasanoff, Designs on Nature: Science and
Democracy in Europe and the United States (Princeton: Princeton University
Press, 2005), 121–124.
[8]               
Francis S. Collins, The Language of Life: DNA and
the Revolution in Personalized Medicine (New York: HarperCollins, 2010),
178–181.
[9]               
Luciano Floridi and Mariarosaria Taddeo, “What Is Data
Ethics?” Philosophical Transactions of the Royal Society A 374, no. 2083
(2016): 1–3.
[10]            
Helen Nissenbaum, Privacy in Context: Technology,
Policy, and the Integrity of Social Life (Stanford: Stanford University
Press, 2009), 36–38.
[11]            
Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How
Search Engines Reinforce Racism (New York: New York University Press,
2018), 65–68.
[12]            
Brent Daniel Mittelstadt et al., “The Ethics of
Algorithms: Mapping the Debate,” Big Data & Society 3, no. 2 (2016):
4–7.
[13]            
Nicholas H. Steneck, Introduction to the
Responsible Conduct of Research (Washington, DC: Office of Research
Integrity, 2007), 65–67.
6.          
Regulasi dan Kode
Etik Penelitian
6.1.      
Standar
Internasional
Perkembangan regulasi etika penelitian
tidak terlepas dari berbagai tragedi sejarah yang mengungkap pelanggaran serius
terhadap hak asasi manusia. Dari kasus eksperimen Nazi hingga studi Tuskegee,
lahirlah standar internasional yang menjadi acuan bagi penelitian di seluruh
dunia. Salah satu dokumen terpenting adalah Nuremberg Code (1947), yang
menekankan pentingnya persetujuan sukarela (voluntary consent) sebagai
syarat mutlak dalam penelitian medis.¹ Kode ini kemudian dilengkapi dengan Declaration
of Helsinki (1964) yang dikeluarkan oleh World Medical Association.
Dokumen ini memperluas prinsip Nuremberg dengan menekankan tanggung jawab
peneliti, perlindungan subjek yang rentan, serta keharusan menyeimbangkan
risiko dan manfaat penelitian.²
Selain itu, Belmont Report
(1979) di Amerika Serikat memperkenalkan tiga prinsip utama—penghormatan
terhadap individu (respect for persons), kebaikan (beneficence),
dan keadilan (justice)—yang menjadi kerangka normatif bagi penelitian
biomedis maupun ilmu sosial.³ Di level global, UNESCO juga menerbitkan Universal
Declaration on Bioethics and Human Rights (2005) yang menegaskan
keterkaitan antara penelitian, hak asasi manusia, dan solidaritas sosial.⁴
6.2.      
Regulasi Nasional
Setiap negara kemudian mengadaptasi
standar internasional sesuai dengan konteks hukum dan sosialnya. Di Amerika
Serikat, regulasi dikenal dengan Common Rule (1991, diperbarui 2017),
yang mengatur prosedur penelitian manusia, kewajiban Institutional Review
Board (IRB), serta perlindungan kelompok rentan.⁵
Di Indonesia, regulasi etika penelitian
diatur oleh berbagai lembaga, termasuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi, serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebelum dilebur ke BRIN, telah mengeluarkan Kode
Etik Peneliti Indonesia yang menekankan prinsip kejujuran akademik,
tanggung jawab sosial, dan kepatuhan terhadap norma budaya.⁶ Selain itu,
penelitian kesehatan diatur oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan (KEPK)
yang memastikan penelitian medis memenuhi standar internasional sekaligus
nilai-nilai lokal.⁷
6.3.      
Kode Etik Profesi
Selain regulasi formal dari negara,
berbagai asosiasi profesi juga memiliki kode etik penelitian yang spesifik.
Misalnya, American Psychological Association (APA) menekankan tanggung
jawab peneliti dalam menjaga kerahasiaan data, menghindari konflik kepentingan,
dan melindungi kesejahteraan partisipan.⁸ Dalam ilmu sosial, American
Sociological Association (ASA) memiliki kode etik yang menuntut integritas
ilmiah, penghormatan terhadap partisipan, serta akuntabilitas publikasi.⁹
Sementara itu, dalam bidang kedokteran, etika penelitian melekat pada sumpah
profesi yang menekankan prinsip non-maleficence dan beneficence.
Kode etik profesi berfungsi sebagai
pedoman praktis sekaligus alat untuk membangun kepercayaan publik terhadap
penelitian. Dengan adanya kode etik yang jelas, pelanggaran dapat diminimalkan
dan standar akademik dapat terjaga.
6.4.      
Peran Institutional
Review Board (IRB) dan Komite Etik
IRB atau Komite Etik Penelitian
merupakan lembaga pengawas yang dibentuk untuk meninjau, menyetujui, dan
memantau penelitian agar sesuai dengan prinsip etika. IRB berperan memastikan
penelitian tidak membahayakan subjek, menjaga keseimbangan risiko dan manfaat,
serta menegakkan prinsip informed consent.¹⁰
Di Indonesia, fungsi ini dijalankan
oleh KEPK di universitas maupun rumah sakit. Kehadiran IRB/KEPK menunjukkan
bahwa etika penelitian bukan hanya tanggung jawab individu peneliti, melainkan
juga mekanisme kolektif yang terintegrasi dalam sistem akademik.¹¹
Refleksi atas Regulasi dan Kode Etik
Regulasi dan kode etik penelitian
membentuk kerangka formal yang memastikan penelitian berjalan sesuai standar
moral universal dan kebutuhan lokal. Namun, perlu disadari bahwa regulasi tidak
boleh dipahami secara legalistik semata, melainkan harus dilihat sebagai
instrumen untuk menumbuhkan budaya etis dalam dunia akademik.¹² Dengan
demikian, regulasi dan kode etik berfungsi ganda: sebagai pengendali potensi
penyalahgunaan penelitian, dan sebagai pendorong integritas yang melekat pada
profesi ilmuwan.
Footnotes
[1]               
United States v. Karl Brandt et al. (The Nuremberg
Doctors’ Trial), Nuremberg Code, 1947, 181–182.
[2]               
World Medical Association, Declaration of Helsinki:
Ethical Principles for Medical Research Involving Human Subjects
(Ferney-Voltaire: WMA, 2013), 6–10.
[3]               
National Commission for the Protection of Human
Subjects of Biomedical and Behavioral Research, The Belmont Report
(Washington, DC: U.S. Government Printing Office, 1979), 4–6.
[4]               
UNESCO, Universal Declaration on Bioethics and
Human Rights (Paris: UNESCO, 2005), 3–5.
[5]               
U.S. Department of Health and Human Services, Federal
Policy for the Protection of Human Subjects (‘Common Rule’), revised
January 2017, 1–3.
[6]               
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kode Etik
Peneliti Indonesia (Jakarta: LIPI, 2014), 5–7.
[7]               
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman
Nasional Etik Penelitian Kesehatan (Jakarta: Kemenkes RI, 2017), 11–13.
[8]               
American Psychological Association, Ethical
Principles of Psychologists and Code of Conduct (Washington, DC: APA,
2017), 10–12.
[9]               
American Sociological Association, Code of Ethics
(Washington, DC: ASA, 2018), 8–12.
[10]            
Ezekiel J. Emanuel et al., Ethical and Regulatory
Aspects of Clinical Research (Baltimore: Johns Hopkins University Press,
2003), 27–29.
[11]            
Mark Israel, Research Ethics and Integrity for
Social Scientists: Beyond Regulatory Compliance, 2nd ed. (London: SAGE
Publications, 2015), 140–142.
[12]            
Adil E. Shamoo and David B. Resnik, Responsible
Conduct of Research, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2015), 20–22.
7.          
Kasus Pelanggaran
Etika Penelitian
7.1.      
Plagiarisme,
Fabrikasi, dan Falsifikasi Data
Salah satu bentuk pelanggaran etika
penelitian yang paling sering terjadi adalah plagiarisme, yakni pengambilan
karya atau gagasan orang lain tanpa atribusi yang tepat.¹ Selain itu, terdapat
praktik fabrikasi (pembuatan data fiktif) dan falsifikasi (manipulasi data agar
sesuai dengan hipotesis).² Kasus terkenal terjadi pada ilmuwan Korea Selatan,
Hwang Woo-suk, yang pada awal 2000-an mengklaim berhasil melakukan kloning sel
punca manusia. Setelah investigasi, terbukti bahwa sebagian besar data yang
dipublikasikan telah dipalsukan.³ Kasus ini menjadi peringatan keras bagi
komunitas ilmiah bahwa integritas akademik tidak dapat dikompromikan demi
prestise atau keuntungan pribadi.
7.2.      
Eksploitasi Subjek
Penelitian
Sejarah penelitian mencatat banyak
kasus eksploitasi terhadap subjek, khususnya pada kelompok yang rentan. Studi
Tuskegee (1932–1972) merupakan contoh paling mencolok, di mana ratusan pria
Afrika-Amerika penderita sifilis dibiarkan tanpa pengobatan, meskipun penawar
penyakit tersebut sudah tersedia.⁴ Penelitian ini dilakukan demi kepentingan “pengamatan
ilmiah” semata, dengan mengorbankan hak asasi dan keselamatan subjek.
Di luar itu, terdapat pula kasus
eksperimen medis Nazi pada Perang Dunia II, ketika tahanan kamp konsentrasi
dipaksa menjadi objek uji coba brutal tanpa persetujuan.⁵ Peristiwa ini
kemudian memicu lahirnya Nuremberg Code sebagai pijakan etika penelitian
internasional. Eksploitasi subjek penelitian menjadi pengingat bahwa ilmu
pengetahuan dapat berubah menjadi instrumen kekejaman jika dilepaskan dari
prinsip moral.
7.3.      
Konflik Kepentingan
dalam Pendanaan Penelitian
Pelanggaran etika juga sering muncul
dalam bentuk konflik kepentingan, terutama ketika penelitian didanai oleh pihak
yang memiliki kepentingan komersial. Misalnya, dalam industri farmasi, ada
kasus di mana hasil penelitian yang menunjukkan efek samping obat disembunyikan
demi menjaga keuntungan perusahaan.⁶ Konflik kepentingan ini merusak
kepercayaan publik terhadap penelitian ilmiah dan menimbulkan keraguan atas
validitas data yang dipublikasikan.
Kasus serupa pernah terungkap dalam
penelitian tentang bahaya rokok. Selama beberapa dekade, industri tembakau
mendanai penelitian yang dirancang untuk menutupi bukti hubungan antara merokok
dan kanker paru-paru.⁷ Tindakan ini tidak hanya mencederai etika penelitian,
tetapi juga menyebabkan kerugian kesehatan yang masif bagi masyarakat.
7.4.      
Studi Kasus di
Indonesia
Di Indonesia, meskipun belum sebesar
skandal internasional, kasus pelanggaran etika penelitian juga terjadi.
Misalnya, plagiarisme dalam publikasi akademik masih sering ditemukan, baik
pada karya mahasiswa maupun dosen.⁸ Terdapat pula laporan mengenai penelitian
medis yang tidak sepenuhnya mengikuti prosedur informed consent,
terutama di daerah dengan literasi rendah.⁹ Kondisi ini menunjukkan perlunya
penguatan sistem pengawasan etik serta edukasi yang lebih masif mengenai
pentingnya integritas akademik.
Refleksi atas Kasus Pelanggaran
Kasus-kasus pelanggaran etika
penelitian, baik di tingkat global maupun nasional, menegaskan bahwa
pelanggaran dapat muncul dari berbagai motif: ambisi pribadi, tekanan
publikasi, kepentingan ekonomi, hingga bias politik. Refleksi dari kasus-kasus
tersebut menunjukkan bahwa regulasi dan kode etik saja tidak cukup.¹⁰
Diperlukan internalisasi nilai-nilai etis dalam diri peneliti serta budaya
akademik yang menjunjung tinggi integritas dan tanggung jawab sosial. Hanya
dengan cara ini kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan dapat
dipertahankan.
Footnotes
[1]               
Miguel Roig, Avoiding Plagiarism, Self-Plagiarism,
and Other Questionable Writing Practices (Washington, DC: Office of
Research Integrity, 2015), 3–5.
[2]               
Nicholas H. Steneck, Introduction to the Responsible
Conduct of Research (Washington, DC: Office of Research Integrity, 2007),
45–47.
[3]               
David Cyranoski, “Stem-Cell Scandal Hits South Korea,”
Nature 438, no. 7069 (2005): 1056–57.
[4]               
James H. Jones, Bad Blood: The Tuskegee Syphilis
Experiment (New York: Free Press, 1993), 25–30.
[5]               
United States v. Karl Brandt et al. (The Nuremberg
Doctors’ Trial), Nuremberg Code, 1947, 181–182.
[6]               
Adriane Fugh-Berman, “The Corporate Co-Opting of
Medical Research: The Case of Ghostwriting,” Journal of General Internal
Medicine 25, no. 5 (2010): 488–90.
[7]               
Robert N. Proctor, Golden Holocaust: Origins of the
Cigarette Catastrophe and the Case for Abolition (Berkeley: University of
California Press, 2012), 112–115.
[8]               
Retno Listyarti, “Plagiarisme di Kalangan Akademisi
Indonesia: Analisis dan Refleksi,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 19,
no. 2 (2013): 234–237.
[9]               
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman
Nasional Etik Penelitian Kesehatan (Jakarta: Kemenkes RI, 2017), 15–16.
[10]            
Adil E. Shamoo and David B. Resnik, Responsible
Conduct of Research, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2015),
20–22.
8.          
Etika Penelitian
dalam Era Kontemporer
8.1.      
Penelitian Berbasis
Teknologi Digital dan Big Data
Era kontemporer ditandai dengan
meluasnya penggunaan teknologi digital dalam penelitian. Sumber data yang
diambil dari media sosial, aplikasi daring, hingga perangkat wearable
menghadirkan peluang sekaligus tantangan etis. Peneliti kini dapat mengakses
data dalam jumlah besar (big data), namun sering kali data tersebut
diperoleh tanpa persetujuan langsung dari pemiliknya.¹ Situasi ini menimbulkan
pertanyaan etis terkait privasi, keamanan, dan kepemilikan informasi pribadi.²
Selain itu, algoritma yang digunakan
dalam analisis big data dapat memunculkan bias sistematis. Misalnya, penelitian
berbasis machine learning sering kali mereproduksi stereotip sosial
karena dilatih dengan data historis yang bias.³ Oleh karena itu, prinsip
transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan data harus dijunjung tinggi dalam
penelitian berbasis digital.
8.2.      
Penelitian Bioteknologi
dan Rekayasa Genetik
Kemajuan bioteknologi juga menimbulkan
dilema etis baru. Penelitian terkait rekayasa genetik, terapi gen, hingga
pengembangan embrio manusia membuka peluang besar dalam bidang kesehatan, namun
sekaligus menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai batas moral ilmu
pengetahuan.⁴
Controversy muncul, misalnya, dalam
kasus ilmuwan Tiongkok He Jiankui yang pada 2018 mengumumkan kelahiran bayi
hasil rekayasa genetik menggunakan teknologi CRISPR-Cas9.⁵ Kasus ini
memicu perdebatan global tentang keamanan, legalitas, dan moralitas penelitian
bioteknologi. Di satu sisi, teknologi tersebut berpotensi mengurangi penyakit
genetik, namun di sisi lain dapat membuka jalan menuju praktik designer
babies yang sarat problem etis.
8.3.      
Globalisasi dan Kolaborasi
Internasional
Globalisasi memperluas ruang lingkup
penelitian lintas negara dan budaya. Kolaborasi internasional menghadirkan
manfaat berupa pertukaran pengetahuan, tetapi juga menimbulkan tantangan etis.
Perbedaan standar hukum dan norma budaya dapat menimbulkan konflik, terutama
dalam hal perlindungan subjek penelitian, distribusi manfaat, dan hak kekayaan
intelektual.⁶
Fenomena ethics dumping menjadi
perhatian serius, yaitu ketika penelitian berisiko tinggi dilakukan di negara
dengan regulasi lemah untuk menghindari pengawasan ketat di negara asal.⁷
Praktik ini bukan hanya merugikan masyarakat lokal, tetapi juga mencederai
keadilan global dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, etika penelitian
kontemporer menuntut adanya standar universal yang dapat diakui lintas budaya,
sekaligus menghormati nilai lokal.
8.4.      
Etika dalam
Publikasi Ilmiah
Salah satu isu utama era kontemporer
adalah maraknya jurnal predator (predatory journals) yang memanfaatkan
model publikasi open access tanpa mekanisme peer review yang
memadai.⁸ Fenomena ini menimbulkan ancaman serius bagi kualitas penelitian dan
kepercayaan publik terhadap publikasi ilmiah. Selain itu, tekanan untuk
menerbitkan karya ilmiah (publish or perish) sering mendorong peneliti
melakukan pelanggaran etika, seperti duplikasi publikasi, manipulasi sitasi,
hingga pemalsuan hasil penelitian.⁹
Di sisi lain, gerakan open science
yang mendorong akses terbuka terhadap data dan hasil penelitian juga membawa
dilema. Meski dapat memperkuat transparansi, akses terbuka dapat menimbulkan
risiko penyalahgunaan data jika tidak diatur secara hati-hati.¹⁰ Oleh karena
itu, etika publikasi dalam era digital harus menyeimbangkan antara keterbukaan
informasi dan perlindungan terhadap integritas ilmiah.
8.5.      
Tantangan Penelitian
Interdisipliner
Era kontemporer juga ditandai dengan
meningkatnya penelitian interdisipliner, seperti riset mengenai perubahan
iklim, kesehatan global, atau kecerdasan buatan. Penelitian semacam ini
memerlukan kolaborasi berbagai bidang ilmu dengan standar etika yang
berbeda-beda.¹¹ Tantangan muncul ketika perbedaan standar etis tersebut
menimbulkan konflik, misalnya dalam penggunaan hewan percobaan, pengolahan data
manusia, atau paten teknologi.
Untuk itu, penelitian interdisipliner
harus mengembangkan kerangka etika yang fleksibel, mampu mengintegrasikan
perbedaan metodologis, sekaligus tetap berpegang pada nilai-nilai universal
seperti keadilan, tanggung jawab, dan kejujuran.¹²
Refleksi Etika Penelitian Kontemporer
Dinamika kontemporer menunjukkan bahwa
etika penelitian bukanlah konsep statis, melainkan prinsip yang harus terus
diperbarui seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan masyarakat.
Isu-isu seperti privasi digital, rekayasa genetik, globalisasi, hingga krisis
iklim menegaskan bahwa penelitian tidak bisa dilepaskan dari dimensi moral dan
sosial.¹³ Oleh karena itu, peneliti abad ke-21 dituntut bukan hanya sebagai
pencari kebenaran ilmiah, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan
dan keberlanjutan.
Footnotes
[1]               
Luciano Floridi and Mariarosaria Taddeo, “What Is Data
Ethics?” Philosophical Transactions of the Royal Society A 374, no. 2083
(2016): 2–3.
[2]               
Helen Nissenbaum, Privacy in Context: Technology,
Policy, and the Integrity of Social Life (Stanford: Stanford University
Press, 2009), 36–38.
[3]               
Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How
Search Engines Reinforce Racism (New York: New York University Press,
2018), 65–68.
[4]               
Sheila Jasanoff, Designs on Nature: Science and
Democracy in Europe and the United States (Princeton: Princeton University
Press, 2005), 142–146.
[5]               
Antonio Regalado, “China’s CRISPR Babies: Read
Exclusive Excerpts from the Unseen Original Research,” MIT Technology Review,
December 3, 2019.
[6]               
Mark Israel, Research Ethics and Integrity for
Social Scientists: Beyond Regulatory Compliance, 2nd ed. (London: SAGE
Publications, 2015), 150–152.
[7]               
Doris Schroeder et al., Ethics Dumping: Case
Studies from North-South Research Collaborations (Cham: Springer, 2018),
5–7.
[8]               
Jeffrey Beall, “Predatory Publishers Are Corrupting
Open Access,” Nature 489, no. 7415 (2012): 179.
[9]               
David B. Resnik and Zubin Master, “Policies and
Initiatives Aimed at Addressing Research Misconduct in High-Income Countries,” PLoS
Medicine 10, no. 3 (2013): 2–3.
[10]            
Sabina Leonelli, Data-Centric Biology: A
Philosophical Study (Chicago: University of Chicago Press, 2016), 187–190.
[11]            
Julie Thompson Klein, Interdisciplinarity: History,
Theory, and Practice (Detroit: Wayne State University Press, 1990),
203–205.
[12]            
Adil E. Shamoo and David B. Resnik, Responsible
Conduct of Research, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2015),
72–74.
[13]            
Sheila Jasanoff, Science and Public Reason
(London: Routledge, 2012), 98–101.
9.          
Strategi Penanaman
dan Penguatan Etika Penelitian
9.1.      
Pendidikan Etika
Penelitian di Perguruan Tinggi
Strategi utama untuk menanamkan etika
penelitian adalah melalui pendidikan formal di perguruan tinggi. Mahasiswa,
sebagai calon peneliti, perlu dibekali dengan pemahaman mendalam tentang
integritas akademik, prinsip moral, dan tanggung jawab sosial dalam
penelitian.¹ Beberapa universitas internasional telah menjadikan mata kuliah Responsible
Conduct of Research (RCR) sebagai bagian wajib dari kurikulum
pascasarjana.² Program ini mengajarkan isu-isu penting seperti plagiarisme,
konflik kepentingan, perlindungan subjek penelitian, serta keterbukaan data.
Di Indonesia, beberapa perguruan tinggi
juga mulai memasukkan materi etika penelitian dalam mata kuliah metodologi
penelitian. Namun, implementasi ini masih perlu diperkuat dengan modul khusus,
studi kasus, dan simulasi etis, agar mahasiswa tidak hanya memahami aturan
secara normatif, tetapi juga mampu menginternalisasi nilai-nilai etika dalam
praktik ilmiah.³
9.2.      
Peran Dosen
Pembimbing dan Komunitas Akademik
Selain pendidikan formal, pembinaan
etika penelitian juga harus dilakukan melalui bimbingan langsung oleh dosen dan
komunitas akademik. Dosen pembimbing berperan penting dalam memberikan teladan
integritas, terutama dalam proses penulisan skripsi, tesis, atau disertasi.⁴
Budaya akademik yang menekankan keterbukaan, diskusi kritis, dan penghargaan
terhadap orisinalitas karya dapat mencegah praktik curang sejak dini.
Komunitas akademik, seperti asosiasi
profesi dan kelompok riset, juga dapat memperkuat internalisasi nilai etika
dengan mengadakan seminar, lokakarya, atau forum diskusi yang berfokus pada
dilema etis dalam penelitian.⁵ Dengan cara ini, mahasiswa dan peneliti muda
memiliki ruang untuk merefleksikan keputusan etis yang mungkin dihadapi dalam
penelitian mereka.
9.3.      
Penguatan Sistem
Evaluasi dan Sanksi
Penguatan etika penelitian tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan sistem evaluasi dan mekanisme sanksi yang jelas.
Setiap lembaga penelitian perlu memiliki Institutional Review Board
(IRB) atau Komite Etik yang berfungsi menilai kelayakan etis suatu penelitian
sebelum dilaksanakan.⁶ Mekanisme ini bertujuan memastikan penelitian berjalan
sesuai prinsip keadilan, keamanan, dan kejujuran.
Selain pencegahan, mekanisme sanksi
terhadap pelanggaran etika juga harus ditegakkan dengan konsisten. Kasus
plagiarisme, fabrikasi, atau eksploitasi subjek penelitian harus ditindak tegas
agar menimbulkan efek jera.⁷ Namun demikian, penegakan sanksi harus disertai
dengan pendekatan edukatif, sehingga tujuan utamanya bukan hanya menghukum,
tetapi juga memperbaiki budaya akademik secara keseluruhan.
9.4.      
Integrasi Nilai
Religius, Budaya, dan Kemanusiaan
Strategi penguatan etika penelitian
juga perlu memperhatikan konteks lokal. Di Indonesia, misalnya, integrasi nilai
religius dan budaya menjadi aspek penting dalam membentuk etika penelitian.
Nilai kejujuran, amanah, dan tanggung jawab sosial yang diajarkan dalam
berbagai tradisi agama dan budaya dapat memperkuat landasan moral peneliti.⁸
Selain itu, pendekatan berbasis nilai
kemanusiaan universal harus tetap menjadi pijakan utama. Penelitian tidak boleh
hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi harus menjunjung tinggi martabat
manusia dan keberlanjutan lingkungan hidup.⁹ Dengan menggabungkan nilai
religius, budaya lokal, dan prinsip universal, etika penelitian dapat lebih
mudah diterima dan diinternalisasi oleh masyarakat akademik.
9.5.      
Membangun Budaya
Etika Penelitian yang Berkelanjutan
Penanaman etika penelitian bukan
sekadar proyek jangka pendek, melainkan proses berkelanjutan yang membutuhkan
komitmen institusional. Budaya etis hanya dapat terbentuk jika seluruh elemen
akademik—mahasiswa, dosen, peneliti, hingga pimpinan lembaga—memiliki visi yang
sama dalam menjunjung tinggi integritas ilmiah.¹⁰
Upaya ini dapat diperkuat melalui
kebijakan open science yang transparan, kolaborasi internasional yang
etis, serta dukungan teknologi untuk mendeteksi pelanggaran akademik seperti
plagiarisme. Dengan membangun budaya etis yang berkesinambungan, dunia
penelitian tidak hanya menghasilkan temuan yang valid secara ilmiah, tetapi
juga sahih secara moral dan bermanfaat bagi kemanusiaan.¹¹
Footnotes
[1]               
Nicholas H. Steneck, Introduction to the
Responsible Conduct of Research (Washington, DC: Office of Research
Integrity, 2007), 3–5.
[2]               
Adil E. Shamoo and David B. Resnik, Responsible
Conduct of Research, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2015),
20–22.
[3]               
Retno Listyarti, “Plagiarisme di Kalangan Akademisi
Indonesia: Analisis dan Refleksi,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 19,
no. 2 (2013): 235–236.
[4]               
David B. Resnik, The Ethics of Science: An
Introduction (London: Routledge, 2005), 40–42.
[5]               
Mark Israel, Research Ethics and Integrity for
Social Scientists: Beyond Regulatory Compliance, 2nd ed. (London: SAGE
Publications, 2015), 178–180.
[6]               
Ezekiel J. Emanuel et al., Ethical and Regulatory
Aspects of Clinical Research (Baltimore: Johns Hopkins University Press,
2003), 29–31.
[7]               
Miguel Roig, Avoiding Plagiarism, Self-Plagiarism,
and Other Questionable Writing Practices (Washington, DC: Office of
Research Integrity, 2015), 12–14.
[8]               
Azyumardi Azra, Integrasi Ilmu dan Agama:
Interpretasi dan Aksi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 55–57.
[9]               
UNESCO, Universal Declaration on Bioethics and
Human Rights (Paris: UNESCO, 2005), 4–6.
[10]            
Sheila Jasanoff, Science and Public Reason
(London: Routledge, 2012), 98–100.
[11]            
Sabina Leonelli, Data-Centric Biology: A
Philosophical Study (Chicago: University of Chicago Press, 2016), 193–196.
10.      
Penutup
Etika penelitian merupakan pilar
fundamental yang menopang integritas dan kredibilitas ilmu pengetahuan.
Sepanjang sejarahnya, pelanggaran etika—dari eksperimen medis Nazi hingga studi
Tuskegee—telah menunjukkan betapa berbahayanya penelitian yang dilepaskan dari
nilai moral.¹ Dari refleksi historis ini, lahirlah berbagai regulasi dan kode
etik internasional seperti Nuremberg Code, Declaration of Helsinki,
dan Belmont Report, yang kini menjadi acuan utama dalam melaksanakan
penelitian yang bermartabat.²
Dalam perkembangan kontemporer, etika
penelitian tidak lagi terbatas pada isu klasik seperti informed consent
atau keadilan distribusi manfaat, melainkan juga merambah pada tantangan baru
yang dihadirkan oleh teknologi digital, big data, kecerdasan buatan, serta
bioteknologi.³ Situasi ini menegaskan bahwa etika penelitian adalah konsep yang
dinamis, yang harus senantiasa diperbarui agar relevan dengan konteks zaman.
Selain regulasi formal, strategi
penguatan etika penelitian perlu dilaksanakan melalui pendidikan, pembimbingan
akademik, serta pembentukan budaya integritas di lingkungan perguruan tinggi
dan lembaga riset. Nilai-nilai religius, budaya lokal, dan prinsip kemanusiaan
universal harus diintegrasikan untuk memperkuat fondasi moral peneliti.⁴ Dengan
demikian, etika penelitian tidak hanya menjadi kewajiban normatif, tetapi juga
bagian dari karakter ilmuwan yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dan
lingkungan.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa etika
penelitian adalah jantung dari praktik ilmiah yang sehat. Tanpa etika,
penelitian berisiko menjadi instrumen eksploitasi; dengan etika, penelitian
dapat menjadi sarana yang adil, jujur, dan berkontribusi bagi kesejahteraan
umat manusia.⁵ Oleh karena itu, komitmen terhadap etika penelitian harus
menjadi kesadaran kolektif, bukan hanya aturan eksternal, demi menjaga martabat
ilmu pengetahuan sekaligus keberlanjutan kehidupan.
Footnotes
[1]               
James H. Jones, Bad Blood: The Tuskegee Syphilis
Experiment (New York: Free Press, 1993), 25–30.
[2]               
World Medical Association, Declaration of Helsinki:
Ethical Principles for Medical Research Involving Human Subjects
(Ferney-Voltaire: WMA, 2013), 6–8.
[3]               
Luciano Floridi and Mariarosaria Taddeo, “What Is Data
Ethics?” Philosophical Transactions of the Royal Society A 374, no. 2083
(2016): 2–4.
[4]               
Azyumardi Azra, Integrasi Ilmu dan Agama:
Interpretasi dan Aksi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 55–57.
[5]               
Adil E. Shamoo and David B. Resnik, Responsible
Conduct of Research, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2015),
22–24.
Daftar Pustaka
American Psychological Association.
(2017). Ethical principles of psychologists and code of conduct.
Washington, DC: APA.
American Sociological Association.
(2018). Code of ethics. Washington, DC: ASA.
Azra, A. (2000). Integrasi ilmu
dan agama: Interpretasi dan aksi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Bacon, F. (2000). Novum organum
(L. Jardine & M. Silverthorne, Eds.). Cambridge: Cambridge University
Press.
Beall, J. (2012). Predatory
publishers are corrupting open access. Nature, 489(7415), 179. https://doi.org/10.1038/489179a
Beauchamp, T. L., & Childress, J.
F. (2013). Principles of biomedical ethics (7th ed.). New York: Oxford
University Press.
Bentham, J. (1907). An
introduction to the principles of morals and legislation. Oxford: Clarendon
Press.
Berg, B. L., & Lune, H. (2012). Qualitative
research methods for the social sciences (8th ed.). Boston: Pearson.
Collins, F. S. (2010). The
language of life: DNA and the revolution in personalized medicine. New
York: HarperCollins.
Cyranoski, D. (2005). Stem-cell
scandal hits South Korea. Nature, 438(7069), 1056–1057. https://doi.org/10.1038/4381056a
Emanuel, E. J., et al. (2003). Ethical
and regulatory aspects of clinical research. Baltimore: Johns Hopkins
University Press.
Floridi, L., & Taddeo, M. (2016).
What is data ethics? Philosophical Transactions of the Royal Society A:
Mathematical, Physical and Engineering Sciences, 374(2083), 1–3. https://doi.org/10.1098/rsta.2016.0360
Fugh-Berman, A. (2010). The corporate
co-opting of medical research: The case of ghostwriting. Journal of General
Internal Medicine, 25(5), 488–490. https://doi.org/10.1007/s11606-010-1256-9
Hammersley, M., & Atkinson, P.
(2007). Ethnography: Principles in practice (3rd ed.). London:
Routledge.
Hippocrates. (1978). Hippocratic
writings (G. E. R. Lloyd, Ed.). London: Penguin.
Hursthouse, R. (2013). Virtue ethics.
In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2013
Edition). Stanford University. https://plato.stanford.edu/entries/ethics-virtue/
Ibn Sina. (1973). The canon of
medicine (O. C. Gruner, Trans.). New York: AMS Press.
Israel, M. (2015). Research ethics
and integrity for social scientists: Beyond regulatory compliance (2nd
ed.). London: SAGE Publications.
Jasanoff, S. (1995). Science at
the bar: Law, science, and technology in America. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Jasanoff, S. (2005). Designs on
nature: Science and democracy in Europe and the United States. Princeton:
Princeton University Press.
Jasanoff, S. (2012). Science and
public reason. London: Routledge.
Jones, J. H. (1993). Bad blood:
The Tuskegee syphilis experiment. New York: Free Press.
Kant, I. (1998). Groundwork of the
metaphysics of morals (M. Gregor, Ed. & Trans.). Cambridge: Cambridge
University Press.
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. (2017). Pedoman nasional etik penelitian kesehatan. Jakarta:
Kemenkes RI.
Klein, J. T. (1990). Interdisciplinarity:
History, theory, and practice. Detroit: Wayne State University Press.
Leonelli, S. (2016). Data-centric
biology: A philosophical study. Chicago: University of Chicago Press.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
(2014). Kode etik peneliti Indonesia. Jakarta: LIPI.
Listyarti, R. (2013). Plagiarisme di
kalangan akademisi Indonesia: Analisis dan refleksi. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, 19(2), 234–237.
MacIntyre, A. (2002). A short history
of ethics. London: Routledge.
Mittelstadt, B. D., Allo, P., Taddeo,
M., Wachter, S., & Floridi, L. (2016). The ethics of algorithms: Mapping
the debate. Big Data & Society, 3(2), 1–21. https://doi.org/10.1177/2053951716679679
National Commission for the
Protection of Human Subjects of Biomedical and Behavioral Research. (1979). The
Belmont report. Washington, DC: U.S. Government Printing Office.
Nissenbaum, H. (2009). Privacy in context:
Technology, policy, and the integrity of social life. Stanford: Stanford
University Press.
Noble, S. U. (2018). Algorithms of
oppression: How search engines reinforce racism. New York: New York
University Press.
Proctor, R. N. (2012). Golden
holocaust: Origins of the cigarette catastrophe and the case for abolition.
Berkeley: University of California Press.
Regalado, A. (2019, December 3).
China’s CRISPR babies: Read exclusive excerpts from the unseen original
research. MIT Technology Review. https://www.technologyreview.com
Resnik, D. B. (2005). The ethics
of science: An introduction. London: Routledge.
Resnik, D. B., & Master, Z.
(2013). Policies and initiatives aimed at addressing research misconduct in
high-income countries. PLoS Medicine, 10(3), e1001406. https://doi.org/10.1371/journal.pmed.1001406
Roig, M. (2015). Avoiding
plagiarism, self-plagiarism, and other questionable writing practices.
Washington, DC: Office of Research Integrity.
Schroeder, D., et al. (2018). Ethics
dumping: Case studies from North-South research collaborations. Cham:
Springer.
Shamoo, A. E., & Resnik, D. B.
(2015). Responsible conduct of research (3rd ed.). Oxford: Oxford
University Press.
Steneck, N. H. (2007). Introduction
to the responsible conduct of research. Washington, DC: Office of Research
Integrity.
UNESCO. (2005). Universal
declaration on bioethics and human rights. Paris: UNESCO.
United States v. Karl Brandt et al.
(1947). Nuremberg code. Nuremberg: International Military Tribunal.
U.S. Department of Health and Human
Services. (2017). Federal policy for the protection of human subjects
(‘Common Rule’). Washington, DC: U.S. Government Printing Office.
World Medical Association. (2013). Declaration
of Helsinki: Ethical principles for medical research involving human subjects.
Ferney-Voltaire: WMA.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar