Keadilan Lingkungan
Fondasi Etika dan Politik Ekologis dalam Masyarakat
Kontemporer
Alihkan ke: Etika Lingungan.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif prinsip Keadilan
Lingkungan (Environmental Justice) sebagai fondasi etika, sosial, dan
politik dalam merespons krisis ekologis global. Kajian ini menunjukkan bahwa
keadilan lingkungan tidak hanya merupakan isu kebijakan publik atau hukum
positif, melainkan suatu paradigma filosofis yang mencakup dimensi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Secara ontologis, keadilan lingkungan
menegaskan keterikatan eksistensial antara manusia dan alam, menolak dualisme
antroposentris yang menempatkan manusia sebagai penguasa atas alam. Secara
epistemologis, ia menuntut pluralitas pengetahuan dan pengakuan terhadap
kearifan ekologis masyarakat adat, menolak hegemoni pengetahuan modern yang
reduksionistik. Sementara itu, secara aksiologis, keadilan lingkungan
menegakkan nilai-nilai moral universal seperti tanggung jawab, solidaritas, dan
keberlanjutan sebagai dasar tindakan etis terhadap bumi dan seluruh makhluk
hidup.
Kajian ini juga menyoroti dimensi sosial, ekonomi,
dan politik keadilan lingkungan, yang memperlihatkan hubungan erat antara
degradasi ekologis dan ketimpangan struktural global. Krisis iklim, eksploitasi
sumber daya di Selatan global, serta marginalisasi komunitas miskin dan adat
menjadi bukti bahwa persoalan ekologis sesungguhnya adalah persoalan moral dan
politik. Dengan mengintegrasikan refleksi filosofis dari para pemikir seperti Aldo
Leopold, Hans Jonas, Arne Naess, David Schlosberg, Vandana Shiva, dan Thomas
Berry, artikel ini menawarkan sebuah sintesis filosofis menuju etika
keadilan ekologis integral. Etika ini memadukan rasionalitas ilmiah,
kesadaran moral, dan spiritualitas ekologis dalam satu visi kosmosentris—di
mana manusia bukan penguasa, melainkan penjaga kehidupan.
Melalui pendekatan interdisipliner dan reflektif,
artikel ini menyimpulkan bahwa keadilan lingkungan merupakan paradigma baru
bagi keberlanjutan peradaban manusia di era Antroposen. Ia tidak hanya
memulihkan keseimbangan ekologis, tetapi juga menegakkan martabat manusia dalam
harmoni kosmik.
Kata Kunci: Keadilan Lingkungan, Etika Ekologis,
Filsafat Lingkungan, Ekosentrisme, Solidaritas Ekologis, Etika Tanggung Jawab,
Kosmosentrisme, Krisis Ekologis, Humanisme Ekologis, Keberlanjutan.
PEMBAHASAN
Gagasan Environmental Justice sebagai Respon Moral dan
Politik
1.          
Pendahuluan:
Krisis Ekologis dan Tuntutan Keadilan
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia menghadapi
krisis ekologis yang kian mendalam. Perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman
hayati, deforestasi masif, serta degradasi tanah dan air telah menimbulkan
penderitaan ekologis yang tidak merata di seluruh dunia. Fenomena ini bukan
sekadar masalah lingkungan, melainkan juga masalah keadilan sosial, ekonomi,
dan moral yang menuntut refleksi filosofis yang mendalam. Krisis ekologis
menjadi cermin dari relasi timpang antara manusia dan alam yang dibangun di
atas paradigma antroposentris dan kapitalistik—yakni pandangan yang menempatkan
manusia sebagai pusat dan penguasa alam semesta demi kepentingan ekonomi jangka
pendek.¹
Kesadaran bahwa dampak ekologis tidak dirasakan
secara merata melahirkan gagasan keadilan lingkungan (environmental
justice). Prinsip ini menegaskan bahwa beban kerusakan ekologis sering kali
ditanggung secara tidak proporsional oleh kelompok masyarakat miskin, komunitas
adat, dan negara-negara berkembang, sementara keuntungan ekonomi lebih banyak
dinikmati oleh segelintir korporasi dan negara maju.² Dengan demikian, isu
ekologis bertransformasi menjadi isu moral dan politik yang menuntut tanggapan
etis terhadap ketimpangan dalam distribusi risiko dan manfaat lingkungan.³
Konsep keadilan lingkungan menggeser fokus etika lingkungan
dari sekadar pelestarian alam menuju pembelaan atas hak-hak manusia yang
terpinggirkan akibat kerusakan ekologis.⁴ Sebagai prinsip etis, keadilan
lingkungan tidak hanya berbicara tentang perlindungan alam, tetapi juga tentang
distribusi yang adil atas sumber daya alam, hak atas lingkungan yang sehat, dan
partisipasi setara dalam pengambilan keputusan yang berdampak ekologis.⁵
Gerakan ini lahir dari kesadaran bahwa degradasi lingkungan bukan hanya masalah
teknis yang dapat diatasi melalui sains atau teknologi, tetapi juga masalah
moral yang berakar pada struktur sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil.⁶
Lebih jauh, keadilan lingkungan berperan sebagai
jembatan antara etika lingkungan dan teori keadilan sosial. Ia
menuntut agar prinsip-prinsip keadilan yang biasa diterapkan pada manusia juga
diperluas kepada makhluk hidup lain dan sistem ekologis secara keseluruhan.⁷
Dalam konteks ini, etika lingkungan bergeser menuju paradigma ekologis-partisipatif,
yang mengakui keterkaitan dan ketergantungan semua makhluk dalam satu komunitas
kehidupan.⁸
Oleh karena itu, pembahasan mengenai keadilan
lingkungan bukan hanya relevan bagi wacana etika lingkungan semata, tetapi juga
penting untuk membangun kesadaran moral baru di era Antroposen—zaman di mana
aktivitas manusia telah menjadi kekuatan geologis yang mengubah bumi secara
radikal.⁹ Artikel ini bertujuan untuk menelusuri fondasi filosofis, historis,
epistemologis, aksiologis, dan politis dari prinsip keadilan lingkungan, serta
menilai relevansinya dalam menghadapi tantangan ekologis kontemporer.
Footnotes
[1]               
Clive Hamilton, Requiem for a Species: Why We
Resist the Truth About Climate Change (London: Earthscan, 2010), 14–15.
[2]               
Robert D. Bullard, Dumping in Dixie: Race,
Class, and Environmental Quality (Boulder, CO: Westview Press, 1990),
21–23.
[3]               
David Schlosberg, Defining Environmental
Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press,
2007), 3–5.
[4]               
Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice,
Sustainability, and Peace (London: Zed Books, 2005), 9.
[5]               
Andrew Dobson, Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 12–13.
[6]               
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 25–26.
[7]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 60–61; lihat juga Bryan G. Norton,
“Environmental Ethics and Weak Anthropocentrism,” Environmental Ethics
6, no. 2 (1984): 131–148.
[8]               
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range
Ecology Movement: A Summary,” Inquiry 16 (1973): 95–100.
[9]               
Paul J. Crutzen, “Geology of Mankind,” Nature
415, no. 6867 (2002): 23.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis Keadilan Lingkungan
Gagasan keadilan lingkungan (environmental
justice) muncul sebagai respon terhadap ketimpangan sosial-ekologis yang
semakin nyata pada paruh akhir abad ke-20. Gerakan ini berakar dari kesadaran
bahwa masalah lingkungan tidak dapat dipisahkan dari persoalan keadilan sosial,
ekonomi, dan politik. Secara historis, prinsip keadilan lingkungan lahir dari
persinggungan antara gerakan hak-hak sipil, kritik terhadap kapitalisme
industri, serta perjuangan komunitas marjinal yang menjadi korban langsung dari
kebijakan pembangunan yang eksploitatif.¹
Gerakan Environmental Justice pertama kali
mendapatkan momentum pada awal 1980-an di Amerika Serikat, terutama melalui
kasus Warren County, North Carolina (1982), di mana komunitas
Afrika-Amerika memprotes pembuangan limbah beracun polychlorinated biphenyls
(PCB) di wilayah mereka.² Protes tersebut membuka kesadaran publik bahwa
pencemaran dan degradasi lingkungan sering kali menimpa komunitas minoritas dan
masyarakat berpendapatan rendah secara tidak proporsional.³ Istilah environmental
racism pun muncul untuk menggambarkan praktik diskriminatif dalam
distribusi risiko ekologis yang berakar pada struktur sosial rasial dan
ekonomi.⁴
Dalam konteks genealogis, keadilan lingkungan dapat
dipahami sebagai perkembangan evolutif dari gerakan ekologi klasik. Gerakan
ekologis pada awal abad ke-20—yang diwakili oleh tokoh seperti John Muir
dan Gifford Pinchot—berfokus pada konservasi alam dan pengelolaan sumber
daya. Namun, gerakan ini sering kali bersifat elitis dan mengabaikan dimensi
sosial dari masalah lingkungan.⁵ Baru setelah munculnya karya Rachel Carson,
Silent Spring (1962), yang menyoroti dampak pestisida terhadap kehidupan
manusia dan ekosistem, perhatian publik mulai bergeser menuju pemahaman
ekologis yang lebih kritis dan inklusif.⁶
Pada dekade 1970-an, muncul pemikiran ekologis yang
lebih radikal seperti deep ecology (Arne Naess) dan eco-socialism
yang mengaitkan kerusakan lingkungan dengan struktur ekonomi kapitalis global.⁷
Namun, para aktivis keadilan lingkungan menilai bahwa kedua arus tersebut masih
terlalu fokus pada aspek metafisik dan ekologis, tanpa cukup menyoroti dimensi
sosial dan politik ketidakadilan ekologis.⁸ Karena itu, environmental
justice movement mencoba menggabungkan kepedulian terhadap alam dengan
pembelaan terhadap hak-hak manusia yang tertindas oleh sistem ekonomi dan
politik yang tidak adil.
Selain di Amerika, gagasan serupa berkembang dalam
gerakan sosial di Selatan global, seperti perjuangan petani India yang dipimpin
oleh Vandana Shiva melawan perusahaan agribisnis multinasional, serta
gerakan masyarakat adat Amazon yang menentang deforestasi dan eksploitasi
minyak bumi.⁹ Dalam konteks Asia dan Afrika, keadilan lingkungan menjadi bagian
dari perjuangan melawan kolonialisme ekologis, yaitu bentuk dominasi baru yang
memindahkan beban ekologis dari negara maju ke negara berkembang.¹⁰
Secara intelektual, genealoginya juga dapat
ditelusuri ke dalam teori-teori keadilan sosial yang dikembangkan oleh John
Rawls, Amartya Sen, dan Nancy Fraser, yang kemudian
diadaptasi oleh pemikir ekologis seperti David Schlosberg.¹¹ Schlosberg
mengusulkan bahwa keadilan lingkungan tidak hanya mencakup dimensi distributif
(pembagian manfaat dan beban), tetapi juga dimensi pengakuan (recognition)
dan partisipasi (participation).¹² Dengan demikian, keadilan lingkungan
berkembang dari sekadar isu aktivisme menjadi paradigma etika dan politik yang
menuntut struktur sosial-ekologis baru yang lebih adil dan partisipatif.
Secara keseluruhan, genealoginya menunjukkan pergeseran
penting dalam wacana etika lingkungan: dari konservasi alam yang antroposentris
menuju pembelaan hak ekologis yang bersifat intersubjektif dan global. Keadilan
lingkungan menandai lahirnya kesadaran baru bahwa keutuhan ekosistem tidak
dapat dipisahkan dari keutuhan manusia, masyarakat, dan budaya yang hidup di
dalamnya.¹³
Footnotes
[1]               
David Schlosberg, Defining Environmental
Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press,
2007), 15–17.
[2]               
Robert D. Bullard, Dumping in Dixie: Race,
Class, and Environmental Quality (Boulder, CO: Westview Press, 1990), 3–5.
[3]               
Luke W. Cole and Sheila R. Foster, From the
Ground Up: Environmental Racism and the Rise of the Environmental Justice
Movement (New York: New York University Press, 2001), 10–12.
[4]               
Benjamin Chavis, “Testimony before the United
States Congress on Toxic Wastes and Race,” U.S. House of Representatives
Subcommittee on Environmental Justice, 1987.
[5]               
Samuel P. Hays, Beauty, Health, and Permanence:
Environmental Politics in the United States, 1955–1985 (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 33–36.
[6]               
Rachel Carson, Silent Spring (Boston:
Houghton Mifflin, 1962), 5–8.
[7]               
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range
Ecology Movement: A Summary,” Inquiry 16 (1973): 95–100.
[8]               
Ramachandra Guha and Joan Martinez-Alier, Varieties
of Environmentalism: Essays North and South (London: Earthscan, 1997),
47–49.
[9]               
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology,
and Development (London: Zed Books, 1988), 22–25.
[10]            
Joan Martinez-Alier, The Environmentalism of the
Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation (Cheltenham: Edward
Elgar, 2002), 41–44.
[11]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 52–54; Amartya Sen, Development as
Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 87–90; Nancy Fraser, Redistribution
or Recognition? A Political-Philosophical Exchange (London: Verso, 2003),
7–9.
[12]            
Schlosberg, Defining Environmental Justice,
28–31.
[13]            
Bruno Latour, Politics of Nature: How to Bring
the Sciences into Democracy (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2004), 23–26.
3.          
Ontologi:
Manusia, Alam, dan Relasi Keadilan
Secara ontologis, prinsip keadilan lingkungan
berakar pada pemahaman tentang hubungan eksistensial antara manusia dan alam.
Krisis ekologis global memperlihatkan bahwa paradigma ontologis modern—yang
menempatkan manusia sebagai subjek rasional yang terpisah dari dunia alam—telah
menghasilkan bentuk dominasi dan eksploitasi yang sistematis terhadap
lingkungan.¹ Paradigma ini berakar pada tradisi antroposentrisme, yakni
pandangan yang menganggap nilai moral tertinggi hanya dimiliki oleh manusia,
sementara alam hanyalah instrumen bagi pemenuhan kebutuhan manusia.² Dalam
konteks ini, keadilan lingkungan muncul sebagai kritik terhadap ontologi
dualistik antara subjek dan objek, manusia dan alam, serta sebagai upaya
membangun ontologi ekologis yang holistik dan relasional.³
Dalam ontologi keadilan lingkungan, manusia
dipahami bukan sebagai penguasa atas alam, tetapi sebagai bagian integral dari komunitas
ekologis yang saling bergantung.⁴ Pandangan ini berakar pada gagasan ekosentrisme,
yang menempatkan nilai intrinsik (intrinsic value) pada seluruh entitas
alam, baik hidup maupun tak hidup.⁵ Dalam kerangka ini, keadilan tidak hanya
menyangkut relasi antar-manusia, tetapi juga mencakup relasi etis antara
manusia dan alam sebagai keseluruhan sistem kehidupan (biospheric community).⁶
Dengan demikian, konsep keadilan lingkungan memperluas horizon moral
tradisional yang sebelumnya terbatas pada komunitas manusia menuju cakupan yang
bersifat ekologis universal.⁷
Pemikiran Aldo Leopold dalam The Land
Ethic menjadi tonggak awal pergeseran ontologis ini. Leopold berpendapat
bahwa manusia harus melihat dirinya sebagai “anggota dan warga” dari
komunitas biotik, bukan sebagai penakluknya.⁸ Prinsip keadilan ekologis, dalam
pandangan ini, menuntut adanya penghormatan terhadap integritas, stabilitas,
dan keindahan keseluruhan komunitas alam.⁹ Dengan menolak pandangan mekanistik
Cartesian yang memisahkan manusia dari alam, Leopold dan para penerusnya
menegaskan bahwa keberlanjutan moral tidak dapat dicapai tanpa kesadaran akan
keterikatan ontologis manusia dalam jejaring kehidupan.¹⁰
Lebih lanjut, pemikiran Hans Jonas
menegaskan dimensi ontologis dari tanggung jawab ekologis. Dalam karyanya The
Imperative of Responsibility, Jonas menegaskan bahwa eksistensi manusia
yang berdaya teknologi tinggi menciptakan tanggung jawab moral yang baru
terhadap masa depan kehidupan di bumi.¹¹ Manusia, sebagai satu-satunya makhluk
yang mampu memahami akibat tindakannya terhadap keseluruhan sistem ekologis,
memiliki tanggung jawab ontologis untuk menjaga keberlangsungan kehidupan itu
sendiri.¹² Di sini, keadilan lingkungan memperoleh landasan metafisiknya:
tanggung jawab bukan hanya kepada sesama manusia, melainkan juga kepada seluruh
eksistensi yang hidup dan akan hidup.
Dalam konteks filsafat Timur dan kosmologi
tradisional, relasi ontologis antara manusia dan alam juga digambarkan secara
harmonis. Konsep pratītyasamutpāda (saling ketergantungan) dalam
Buddhisme dan pandangan panentheistik dalam tradisi mistik Islam
mengajarkan bahwa segala sesuatu memiliki keterkaitan yang mendalam dalam satu
realitas kosmik yang utuh.¹³ Dengan demikian, eksploitasi terhadap alam bukan
hanya pelanggaran ekologis, tetapi juga pelanggaran ontologis terhadap tatanan
keberadaan itu sendiri.¹⁴
Secara filosofis, ontologi keadilan lingkungan
menolak logika dominasi dan mengusulkan bentuk keberadaan yang saling berelasi
(relational ontology).¹⁵ Alam tidak lagi dipahami sebagai objek
material, melainkan sebagai mitra etis dan eksistensial manusia.¹⁶ Dalam
kerangka ini, keadilan lingkungan menjadi konsekuensi logis dari pengakuan
bahwa semua makhluk hidup memiliki tempat dan nilai dalam tatanan keberadaan
yang sama.¹⁷
Dengan demikian, dimensi ontologis keadilan
lingkungan menandai perubahan mendasar dalam cara manusia memahami dirinya di
dunia: dari subjek pengendali menjadi bagian dari jaringan kehidupan yang lebih
besar. Kesadaran ini menjadi fondasi bagi rekonstruksi etika, epistemologi, dan
aksiologi yang berpihak pada kelestarian ekologis dan keseimbangan kosmik.¹⁸
Footnotes
[1]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row,
1980), 41–43.
[2]               
Bryan G. Norton, “Environmental Ethics and Weak
Anthropocentrism,” Environmental Ethics 6, no. 2 (1984): 131–148.
[3]               
Bruno Latour, We Have Never Been Modern
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 10–12.
[4]               
Arne Naess, “The Deep Ecological Movement: Some
Philosophical Aspects,” Philosophical Inquiry 8, no. 1–2 (1986): 10–31.
[5]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties
to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 98–100.
[6]               
J. Baird Callicott, In Defense of the Land
Ethic: Essays in Environmental Philosophy (Albany: SUNY Press, 1989),
67–69.
[7]               
Andrew Dobson, Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 17–19.
[8]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford:
Oxford University Press, 1949), 224.
[9]               
Ibid., 240.
[10]            
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific
Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 28–31.
[11]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 11–13.
[12]            
Ibid., 123–125.
[13]            
Thich Nhat Hanh, The Heart of Understanding:
Commentaries on the Prajnaparamita Heart Sutra (Berkeley: Parallax Press,
1988), 22–24; Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of
Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 54–57.
[14]            
Nasr, Man and Nature, 73–75.
[15]            
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 41–43.
[16]            
Karen J. Warren, “The Power and the Promise of
Ecological Feminism,” Environmental Ethics 12, no. 2 (1990): 125–146.
[17]            
David Schlosberg, Defining Environmental
Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press,
2007), 38–39.
[18]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the
Future (New York: Bell Tower, 1999), 102–104.
4.          
Epistemologi
Keadilan Lingkungan: Pengetahuan, Kekuasaan, dan Persepsi Ekologis
Epistemologi keadilan lingkungan berangkat dari
kesadaran bahwa pengetahuan tentang alam tidak pernah netral. Pengetahuan
ekologis selalu diproduksi dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik tertentu
yang menentukan siapa yang berhak mendefinisikan “masalah lingkungan”
dan bagaimana solusi ditetapkan.¹ Dalam konteks modernitas, ilmu pengetahuan
sering kali menjadi instrumen dominasi yang melegitimasi eksploitasi alam
melalui paradigma positivistik dan rasionalitas instrumental.² Keadilan
lingkungan menantang cara pandang ini dengan menegaskan bahwa persoalan
ekologis tidak dapat dipahami semata melalui data ilmiah, tetapi juga melalui
pengalaman sosial, budaya, dan spiritual komunitas yang hidup di dalam
ekosistem tersebut.³
Sejak Revolusi Industri dan munculnya sains modern,
epistemologi Barat telah membangun relasi asimetris antara manusia dan alam.
Alam direduksi menjadi objek pengetahuan dan sumber daya yang harus
dikendalikan, diukur, dan dieksploitasi demi kepentingan produksi.⁴ Proses ini,
sebagaimana dikritik oleh Michel Foucault, menunjukkan bagaimana
pengetahuan selalu berkelindan dengan kekuasaan—di mana yang disebut “rasional”
sering kali berfungsi untuk menindas yang “lokal” dan “subaltern.”⁵
Dalam konteks lingkungan, bentuk eco-knowledge yang hegemonik sering
mengabaikan atau menyingkirkan pengetahuan lokal (local knowledge) yang
lebih berakar pada praktik hidup dan relasi ekologis konkret.⁶
Gerakan keadilan lingkungan menegaskan perlunya pluralisme
epistemologis, yaitu pengakuan terhadap keberagaman cara mengetahui dan
berhubungan dengan alam.⁷ Kearifan ekologis masyarakat adat—seperti konsep sumak
kawsay di Amerika Latin, adat ekologi di Nusantara, atau pandangan kincentric
ecology di kalangan masyarakat pribumi Amerika Utara—menunjukkan bentuk epistemologi
alternatif yang tidak memisahkan manusia dari lingkungan hidupnya.⁸ Dalam
epistemologi ini, pengetahuan tidak hanya bersifat representasional, melainkan
relasional dan partisipatif; alam bukan sekadar objek untuk diketahui,
melainkan subjek yang berbicara melalui pengalaman ekologis manusia.⁹
Donna Haraway menyebut bentuk pengetahuan seperti ini sebagai situated knowledge—pengetahuan
yang tidak mengklaim objektivitas universal, tetapi menyadari keterbatasan dan
keterhubungan antara pengamat dan yang diamati.¹⁰ Dalam konteks keadilan
lingkungan, hal ini berarti bahwa klaim pengetahuan tentang “alam” harus
terbuka terhadap dialog lintas budaya, gender, dan kelas sosial.¹¹ Pengetahuan
ekologis yang adil bukanlah yang paling “ilmiah,” melainkan yang paling
mampu mengakomodasi kompleksitas relasi kehidupan dan mendukung keberlanjutan
komunitas ekologis.¹²
Epistemologi keadilan lingkungan juga menyoroti
ketimpangan akses terhadap informasi dan partisipasi dalam pengambilan
keputusan.¹³ Sering kali, masyarakat lokal yang paling terdampak oleh degradasi
lingkungan justru tidak memiliki suara dalam menentukan arah kebijakan
ekologis. Ketidakadilan epistemik ini menjadi bagian dari struktur
ketidakadilan ekologis itu sendiri.¹⁴ Oleh karena itu, memperjuangkan keadilan
lingkungan juga berarti memperjuangkan keadilan epistemik—yakni hak
setiap komunitas untuk diakui sebagai sumber pengetahuan yang sah tentang
lingkungannya.¹⁵
Dalam pengertian yang lebih luas, epistemologi
keadilan lingkungan mengandaikan bahwa pengetahuan ekologis sejati hanya dapat
muncul dari hubungan timbal balik antara memahami dan merawat.¹⁶ Mengetahui
berarti ikut menjaga keseimbangan kehidupan, bukan sekadar menguasai atau
memanfaatkan.¹⁷ Paradigma ini mengubah epistemologi menjadi etika ekologis:
proses memahami dunia sekaligus menjadi tindakan moral untuk melestarikannya.¹⁸
Dengan demikian, epistemologi keadilan lingkungan tidak hanya mendobrak
dominasi ilmu modern, tetapi juga membangun dasar bagi pengetahuan ekologis yang
partisipatif, dialogis, dan berkeadilan.¹⁹
Footnotes
[1]               
David Schlosberg, Defining Environmental
Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press,
2007), 44–45.
[2]               
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic
of Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), 1–3.
[3]               
Bruno Latour, Politics of Nature: How to Bring
the Sciences into Democracy (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2004), 27–30.
[4]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row,
1980), 12–15.
[5]               
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings, 1972–1977 (New York: Pantheon Books, 1980),
98–100.
[6]               
Arturo Escobar, Encountering Development: The
Making and Unmaking of the Third World (Princeton, NJ: Princeton University
Press, 1995), 192–194.
[7]               
Kyle Whyte, “Indigenous Climate Change Studies:
Indigenizing Futures, Decolonizing the Anthropocene,” English Language Notes
55, no. 1–2 (2017): 153–162.
[8]               
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of
the South: Justice Against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers,
2014), 47–50.
[9]               
Deborah Bird Rose, Reports from a Wild Country:
Ethics for Decolonisation (Sydney: University of New South Wales Press,
2004), 89–91.
[10]            
Donna Haraway, Situated Knowledges: The Science
Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective, Feminist
Studies 14, no. 3 (1988): 575–599.
[11]            
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?
Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991),
123–126.
[12]            
Fikret Berkes, Sacred Ecology (New York:
Routledge, 2008), 14–16.
[13]            
Sheila Jasanoff, States of Knowledge: The
Co-Production of Science and Social Order (London: Routledge, 2004), 23–25.
[14]            
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and
the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.
[15]            
Nancy Tuana, “Climate Apartheid: The Forgetting of
Race in the Anthropocene,” Critical Philosophy of Race 4, no. 1 (2016):
1–31.
[16]            
Val Plumwood, Environmental Culture: The
Ecological Crisis of Reason (London: Routledge, 2002), 52–55.
[17]            
Karen J. Warren, “The Power and the Promise of
Ecological Feminism,” Environmental Ethics 12, no. 2 (1990): 125–146.
[18]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the
Future (New York: Bell Tower, 1999), 104–106.
[19]            
Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice,
Sustainability, and Peace (London: Zed Books, 2005), 22–24.
5.          
Aksiologi:
Nilai-Nilai Moral dalam Keadilan Lingkungan
Dimensi aksiologis keadilan lingkungan berkaitan
dengan pertanyaan mendasar tentang nilai-nilai moral yang seharusnya
mengarahkan hubungan manusia dengan alam. Dalam konteks ini, keadilan
lingkungan tidak hanya dipahami sebagai isu politik atau hukum, tetapi juga
sebagai persoalan nilai — yakni bagaimana manusia menilai kehidupan,
keberlanjutan, dan keseimbangan ekologis sebagai kebaikan moral yang harus
dijaga.¹ Aksiologi keadilan lingkungan berupaya memperluas horizon moral
manusia dari komunitas sosial menuju komunitas ekologis (biotic community),
di mana setiap makhluk hidup memiliki nilai intrinsik yang patut dihormati.²
Paradigma etika modern yang berakar pada
rasionalitas antroposentris cenderung menilai alam secara instrumental,
yakni hanya sebatas sarana bagi kepentingan manusia.³ Dalam kerangka ini,
nilai-nilai ekologis sering direduksi menjadi nilai ekonomi atau utilitarian,
seperti efisiensi sumber daya atau keuntungan pembangunan.⁴ Sebaliknya,
keadilan lingkungan menolak reduksi ini dan mengusulkan pandangan ekosentris
— bahwa alam memiliki nilai intrinsik yang melekat, bukan karena fungsinya bagi
manusia, melainkan karena keberadaannya sendiri.⁵ Etika ini menuntut
transformasi kesadaran moral: dari logika pemanfaatan menuju logika
penghormatan.
Menurut Hans Jonas, tanggung jawab moral terhadap
lingkungan lahir dari kesadaran akan daya destruktif manusia modern. Dalam The
Imperative of Responsibility, Jonas menegaskan bahwa tindakan etis di era
teknologi harus mempertimbangkan konsekuensinya bagi keberlangsungan kehidupan
di masa depan.⁶ Ia merumuskan “imperatif tanggung jawab” sebagai prinsip
moral baru: “Bertindaklah sehingga akibat dari tindakanmu selaras dengan
kelestarian kehidupan autentik di bumi.”⁷ Prinsip ini menjadi dasar
aksiologis keadilan lingkungan: setiap tindakan moral harus mempertimbangkan
dampaknya terhadap ekosistem global dan generasi mendatang.
Keadilan lingkungan juga berakar pada nilai solidaritas
ekologis, yaitu pengakuan bahwa kesejahteraan manusia bergantung pada
kesejahteraan alam.⁸ Solidaritas ini melahirkan bentuk moralitas yang melampaui
batas etnosentris dan nasional, menuju kesadaran kosmopolit ekologis.⁹ Dalam
konteks ini, nilai keadilan tidak hanya menyangkut distribusi sumber daya
secara adil, tetapi juga tanggung jawab ekologis bersama untuk
memelihara bumi sebagai rumah bersama (common home).¹⁰ Pandangan ini
sejalan dengan seruan Laudato Si’ oleh Paus Fransiskus yang menekankan
pentingnya “ekologi integral” — integrasi antara keadilan sosial dan
keutuhan ciptaan.¹¹
Selain itu, keadilan lingkungan juga menuntut nilai
partisipasi moral, yaitu keterlibatan aktif komunitas dalam menentukan
arah kebijakan ekologis.¹² Partisipasi ini bukan sekadar prosedural, tetapi
moral, karena mencerminkan pengakuan terhadap martabat dan pengalaman ekologis
setiap kelompok masyarakat.¹³ Ketika masyarakat adat, perempuan, dan komunitas
miskin diberi ruang untuk bersuara dalam pengelolaan sumber daya alam, maka
nilai keadilan moral diwujudkan secara konkret dalam tatanan ekologis.
Nilai moral lain yang penting dalam keadilan lingkungan
adalah keberlanjutan (sustainability).¹⁴ Dalam perspektif aksiologis,
keberlanjutan bukan hanya prinsip kebijakan, tetapi ekspresi dari kebajikan
etis yang berakar pada kesadaran intergenerasional.¹⁵ Menjaga lingkungan
berarti menegakkan keadilan bagi mereka yang belum lahir — generasi mendatang
yang berhak atas bumi yang layak huni.¹⁶ Dalam konteks ini, nilai moral
keadilan lingkungan bertransformasi menjadi tanggung jawab lintas waktu: etika
yang tidak hanya berpikir tentang “sekarang,” tetapi juga tentang “nanti.”
Akhirnya, seluruh nilai moral keadilan lingkungan
berpuncak pada kesadaran sakralitas kehidupan. Alam bukan sekadar sistem
material, melainkan ruang spiritual di mana manusia berjumpa dengan makna
eksistensialnya.¹⁷ Dengan mengakui nilai-nilai intrinsik, solidaritas ekologis,
tanggung jawab moral, dan keberlanjutan, keadilan lingkungan tidak hanya
membangun tatanan sosial yang adil, tetapi juga menegakkan tatanan moral yang
selaras dengan kosmos.¹⁸ Aksiologi ini menegaskan bahwa keadilan terhadap alam
sejatinya adalah keadilan terhadap diri manusia sendiri — sebab manusia adalah
bagian dari kehidupan yang ia rawat.¹⁹
Footnotes
[1]               
Andrew Dobson, Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 21–23.
[2]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford:
Oxford University Press, 1949), 224.
[3]               
Bryan G. Norton, “Environmental Ethics and Weak
Anthropocentrism,” Environmental Ethics 6, no. 2 (1984): 131–148.
[4]               
Herman E. Daly, Beyond Growth: The Economics of
Sustainable Development (Boston: Beacon Press, 1996), 45–47.
[5]               
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties
to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 96–99.
[6]               
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 11–13.
[7]               
Ibid., 123–125.
[8]               
David Schlosberg, Defining Environmental
Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press,
2007), 39–41.
[9]               
Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New
Modernity (London: Sage Publications, 1992), 35–38.
[10]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our
Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 50–52.
[11]            
Ibid., 67–69.
[12]            
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997),
41–42.
[13]            
Sheila Jasanoff, States of Knowledge: The
Co-Production of Science and Social Order (London: Routledge, 2004), 22–24.
[14]            
Herman E. Daly dan John B. Cobb Jr., For the
Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a
Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1989), 401–403.
[15]            
Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity: A
Legal Framework for Global Environmental Change,” Environmental Change and
International Law 23, no. 2 (1990): 21–41.
[16]            
Brian Barry, Sustainability and
Intergenerational Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1999),
17–19.
[17]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of
Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 73–76.
[18]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the
Future (New York: Bell Tower, 1999), 105–107.
[19]            
Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice,
Sustainability, and Peace (London: Zed Books, 2005), 23–25.
6.          
Dimensi
Sosial, Ekonomi, dan Politik Keadilan Lingkungan
Dimensi sosial,
ekonomi, dan politik dari keadilan lingkungan menyoroti fakta bahwa krisis
ekologis tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan berakar pada struktur
ketimpangan sosial dan sistem ekonomi global yang eksploitatif.¹ Isu lingkungan
tidak hanya menyangkut pencemaran, deforestasi, atau perubahan iklim sebagai
fenomena biofisik, tetapi juga terkait erat dengan distribusi kekuasaan, akses
terhadap sumber daya, dan representasi politik dalam pengambilan keputusan
ekologis.² Dengan demikian, keadilan lingkungan merupakan medan perjuangan
sosial yang mempersoalkan siapa yang menanggung beban ekologis dan siapa yang
menikmati manfaatnya.³
6.1.       Dimensi Sosial: Ketimpangan dan Marginalisasi
Ekologis
Dalam perspektif
sosial, keadilan lingkungan mengungkap ketimpangan distribusi risiko ekologis.
Komunitas miskin, kelompok minoritas, dan masyarakat adat sering kali menjadi
korban utama degradasi lingkungan — dari pembuangan limbah industri hingga
pencemaran udara dan air.⁴ Fenomena ini dikenal dengan istilah environmental
racism, yakni bentuk diskriminasi struktural di mana kelompok
tertentu secara sistematis ditempatkan di wilayah berisiko tinggi secara
ekologis.⁵ Studi klasik Robert D. Bullard menunjukkan
bagaimana kebijakan pembangunan dan zonasi industri di Amerika Serikat telah
memperdalam segregasi sosial-ekologis tersebut.⁶
Keadilan lingkungan
menuntut pengakuan terhadap ecological citizenship — gagasan
bahwa setiap warga memiliki hak moral dan politik atas lingkungan yang sehat.⁷
Ini berarti bahwa keadilan sosial harus diperluas untuk mencakup dimensi
ekologis, termasuk hak atas udara bersih, air layak konsumsi, dan tanah yang
subur.⁸ Di sisi lain, partisipasi masyarakat lokal dalam perumusan kebijakan lingkungan
menjadi bagian penting dari demokratisasi ekologi, yaitu upaya untuk
mendistribusikan kekuasaan ekologis secara lebih setara.⁹
6.2.       Dimensi Ekonomi: Kapitalisme dan Beban Ekologis
Global
Secara ekonomi,
keadilan lingkungan berhadapan langsung dengan logika kapitalisme global yang
bertumpu pada pertumbuhan tanpa batas dan eksploitasi sumber daya alam.¹⁰
Sistem ekonomi modern beroperasi dengan paradigma extractivism — menganggap alam
sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi tanpa batas demi akumulasi modal.¹¹
Hal ini menimbulkan apa yang disebut Joan Martinez-Alier sebagai “ekonomi
ketidakadilan ekologis,” di mana keuntungan ekonomi dihasilkan dengan
memindahkan beban ekologis ke wilayah dan populasi lain, terutama di
negara-negara Selatan global.¹²
Fenomena ini tampak
jelas dalam praktik perdagangan karbon, ekspansi agribisnis, dan
industrialisasi ekstraktif yang memicu deforestasi di Amazon, Asia Tenggara,
dan Afrika.¹³ Dalam kerangka keadilan lingkungan, kritik terhadap sistem
ekonomi ini menuntut transformasi menuju ekonomi ekologis — sistem yang
berorientasi pada keseimbangan, bukan pertumbuhan tanpa batas.¹⁴ Prinsip degrowth
atau post-growth
economy, seperti dikemukakan oleh Serge Latouche dan Tim
Jackson, menjadi alternatif moral dan struktural yang menolak
mitos kemakmuran material sebagai ukuran kemajuan.¹⁵
Lebih jauh, aspek
keadilan antargenerasi juga memiliki dimensi ekonomi yang kuat. Eksploitasi
sumber daya alam tanpa mempertimbangkan keberlanjutan berarti melanggar hak
ekonomi generasi mendatang.¹⁶ Oleh karena itu, keadilan lingkungan juga
menuntut redistribusi tanggung jawab ekologis antara negara maju dan berkembang
— sebagaimana ditegaskan dalam prinsip common but differentiated responsibilities
dalam Paris
Agreement.¹⁷
6.3.       Dimensi Politik: Kekuasaan, Representasi, dan
Kedaulatan Ekologis
Secara politik,
keadilan lingkungan berhubungan dengan pertanyaan siapa yang memiliki kekuasaan
untuk menentukan arah pembangunan dan siapa yang diabaikan dalam proses
tersebut.¹⁸ Dalam banyak kasus, kebijakan lingkungan diambil berdasarkan
kepentingan ekonomi dan politik elit, bukan berdasarkan kepentingan masyarakat
lokal atau ekosistem itu sendiri.¹⁹ Hal ini menciptakan bentuk kolonialisme
ekologis, di mana negara-negara maju mengekspor beban ekologis
mereka ke wilayah global selatan melalui industri ekstraktif dan perdagangan
bebas.²⁰
Keadilan lingkungan
menuntut model politik baru yang disebut ekodemokrasi (ecodemocracy),
yakni sistem politik yang mengintegrasikan prinsip ekologis ke dalam struktur
pengambilan keputusan publik.²¹ Dalam ekodemokrasi, alam tidak hanya menjadi
objek regulasi, tetapi juga diakui sebagai entitas yang memiliki hak
representatif — sebagaimana dicontohkan oleh pemberian status hukum pada Sungai
Whanganui di Selandia Baru atau Sungai Atrato di Kolombia.²² Langkah-langkah
seperti ini menunjukkan perluasan subjek politik dari manusia ke alam, yang
merefleksikan paradigma post-humanist justice.²³
Lebih jauh, keadilan
lingkungan menuntut integrasi etika ekologis dalam kebijakan publik global.
Instrumen seperti Paris Climate Agreement dan Sustainable
Development Goals (SDGs) dapat menjadi kerangka kerja bagi
solidaritas ekologis global, asalkan tidak direduksi menjadi retorika tanpa
transformasi struktural.²⁴ Dalam kerangka ini, politik keadilan lingkungan
harus bersifat partisipatif, interkonektif, dan berorientasi pada tanggung
jawab moral global terhadap bumi sebagai entitas bersama.²⁵
Dengan demikian,
keadilan lingkungan merupakan perjuangan multidimensional yang menautkan etika
ekologis dengan keadilan sosial, ekonomi, dan politik. Ia menuntut tatanan
dunia baru yang tidak hanya berkelanjutan secara ekologis,
tetapi juga adil secara sosial dan setara
secara politik — suatu visi yang hanya dapat terwujud melalui rekonstruksi
nilai dan kekuasaan dalam sistem global.²⁶
Footnotes
[1]               
David Schlosberg, Defining Environmental
Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 73–75.
[2]               
Andrew Dobson, Justice and the
Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of
Social Justice (Oxford: Oxford
University Press, 1998), 32–34.
[3]               
Ulrich Beck, World at Risk (Cambridge: Polity Press, 2009), 56–58.
[4]               
Robert D. Bullard, Dumping in Dixie: Race,
Class, and Environmental Quality
(Boulder, CO: Westview Press, 1990), 21–25.
[5]               
Luke W. Cole and Sheila R. Foster, From
the Ground Up: Environmental Racism and the Rise of the Environmental Justice
Movement (New York: New York
University Press, 2001), 10–12.
[6]               
Bullard, Dumping in Dixie, 45–46.
[7]               
Andrew Dobson, Citizenship and the
Environment (Oxford: Oxford
University Press, 2003), 91–93.
[8]               
Martha C. Nussbaum, Frontiers
of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006),
300–302.
[9]               
David Schlosberg, Defining Environmental
Justice, 84–86.
[10]            
Herman E. Daly, Steady-State Economics (San Francisco: W. H. Freeman, 1977), 18–21.
[11]            
Alberto Acosta, Extractivism and
Neoextractivism: Two Sides of the Same Curse (Quito: Rosa Luxemburg Foundation, 2013), 8–10.
[12]            
Joan Martinez-Alier, The
Environmentalism of the Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation (Cheltenham: Edward Elgar, 2002), 43–46.
[13]            
Naomi Klein, This Changes
Everything: Capitalism vs. the Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 57–59.
[14]            
Herman E. Daly dan John B. Cobb Jr., For
the Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and
a Sustainable Future (Boston: Beacon
Press, 1989), 401–404.
[15]            
Serge Latouche, Farewell to Growth (Cambridge: Polity Press, 2009), 20–23; Tim Jackson, Prosperity without Growth (London: Earthscan, 2009), 47–49.
[16]            
Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity: A Legal Framework for
Global Environmental Change,” Environmental
Change and International Law 23, no.
2 (1990): 21–41.
[17]            
United Nations, Paris Agreement (New York: UN, 2015), Article 2.
[18]            
Bruno Latour, Politics of Nature: How
to Bring the Sciences into Democracy
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 45–47.
[19]            
Arturo Escobar, Encountering
Development: The Making and Unmaking of the Third World (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1995),
191–193.
[20]            
Ramachandra Guha dan Joan Martinez-Alier, Varieties of Environmentalism: Essays North and South (London: Earthscan, 1997), 50–52.
[21]            
John Dryzek, The Politics of the
Earth: Environmental Discourses
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 97–100.
[22]            
Erin O’Donnell dan Julia Talbot-Jones, “Creating Legal Rights for
Rivers: Lessons from Australia, New Zealand, and India,” Ecology and Society
23, no. 1 (2018): 1–8.
[23]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight
Lectures on the New Climatic Regime
(Cambridge: Polity Press, 2017), 89–92.
[24]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care
for Our Common Home (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 2015), 70–73.
[25]            
Vandana Shiva, Earth Democracy:
Justice, Sustainability, and Peace
(London: Zed Books, 2005), 29–31.
[26]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way
into the Future (New York: Bell
Tower, 1999), 112–115.
7.          
Kritik
terhadap Konsep Keadilan Lingkungan
Meskipun prinsip keadilan
lingkungan (environmental justice) telah menjadi fondasi etis penting
dalam wacana ekologi kontemporer, berbagai kritik filosofis, politik, dan
konseptual telah diarahkan terhadapnya. Kritik ini tidak hanya menyoroti
kelemahan dalam penerapan praktisnya, tetapi juga mempertanyakan asumsi-asumsi
dasar yang melandasi gagasan keadilan lingkungan, baik dari segi cakupan moral,
orientasi antropologis, maupun universalisme normatifnya.¹
7.1.       Kritik terhadap Antroposentrisme Terselubung
Salah satu kritik
utama datang dari kalangan ekosentris dan biofilosofis
yang menilai bahwa keadilan lingkungan masih beroperasi dalam kerangka
antroposentris.² Meskipun secara retoris menekankan keadilan bagi “alam”
dan “ekosistem,” dalam praktiknya gagasan ini sering kali tetap berfokus
pada penderitaan dan kepentingan manusia, bukan pada nilai intrinsik alam itu
sendiri.³ Dalam pandangan Arne Naess, keadilan lingkungan
cenderung bersifat “dangkal” (shallow ecology) karena masih
menempatkan manusia sebagai pusat moralitas.⁴ Sebaliknya, ia mengusulkan etika deep
ecology yang mengakui semua makhluk sebagai subjek moral sejajar.⁵
Kritik ini menantang fondasi moral keadilan lingkungan untuk melampaui
kepentingan manusia dan benar-benar memasukkan komunitas ekologis sebagai
entitas etis yang setara.⁶
Selain itu, sejumlah
pemikir seperti Val Plumwood menyoroti bahwa
keadilan lingkungan sering kali gagal mengatasi dikotomi biner antara manusia
dan alam, sehingga tetap mereproduksi hierarki ontologis yang menjadi akar
krisis ekologis itu sendiri.⁷ Dalam kerangka ini, gagasan “keadilan”
masih diasumsikan dalam model hubungan sosial manusia, bukan dalam konteks
ekosistem yang kompleks dan saling bergantung.⁸
7.2.       Kritik terhadap Bias Barat dan Universalisme Moral
Kritik lain
menyoroti kecenderungan eurocentrism dalam wacana
keadilan lingkungan. Banyak teori dan kebijakan yang mengatasnamakan keadilan
lingkungan didasarkan pada nilai-nilai liberal Barat seperti hak individu,
rasionalitas hukum, dan konsep kepemilikan.⁹ Pandangan ini sering kali tidak
sesuai dengan epistemologi dan kosmologi masyarakat non-Barat yang memandang
alam sebagai bagian integral dari komunitas spiritual dan kultural.¹⁰ Boaventura
de Sousa Santos menyebut hal ini sebagai bentuk epistemicide
— pemusnahan cara mengetahui lain di luar paradigma Barat yang dominan.¹¹
Dalam konteks ini,
para pemikir dari Selatan global, seperti Vandana Shiva dan Arturo
Escobar, menekankan perlunya dekolonisasi ekologis.¹² Mereka
berargumen bahwa keadilan lingkungan sejati hanya dapat tercapai jika sistem
pengetahuan, praktik ekonomi, dan kebijakan ekologis membuka ruang bagi
pluralitas epistemik — termasuk kearifan lokal, spiritualitas kosmik, dan
relasi ekologis komunitas adat.¹³ Dengan kata lain, keadilan lingkungan harus
bersifat multikultural dan kontekstual,
bukan universal dalam bentuk tunggal.¹⁴
7.3.       Kritik terhadap Dimensi Struktural dan Politik
Kritik ketiga
menyoroti dimensi politik dan struktural dari keadilan lingkungan. Banyak
aktivis dan teoretikus berpendapat bahwa konsep ini terlalu fokus pada
distribusi risiko dan manfaat lingkungan (distributive justice), sementara
mengabaikan akar sistemik ketidakadilan yang bersumber dari kapitalisme global
dan relasi kekuasaan ekonomi-politik.¹⁵ David Harvey dan John
Bellamy Foster menegaskan bahwa keadilan lingkungan tidak dapat
dicapai tanpa transformasi struktural terhadap sistem produksi kapitalis yang
mendasari degradasi ekologis.¹⁶ Dalam konteks ini, keadilan lingkungan harus
dihubungkan dengan ekososialisme, yakni gagasan
bahwa pembebasan sosial dan ekologis merupakan satu kesatuan perjuangan.¹⁷
Selain itu, Nancy Fraser
mengkritik kecenderungan wacana keadilan lingkungan untuk memisahkan isu “pengakuan”
dan “redistribusi.”¹⁸ Baginya, keadilan ekologis hanya mungkin terwujud
jika masyarakat mengintegrasikan dimensi ekonomi, kultural, dan politik dalam
satu kerangka transformasi sosial.¹⁹ Kritik ini menunjukkan bahwa keadilan
lingkungan bukan hanya proyek moral, tetapi juga proyek politik yang menuntut
perubahan struktural terhadap relasi kekuasaan dan sistem ekonomi global.²⁰
7.4.       Kritik terhadap Ambiguitas Konseptual dan Praktis
Secara konseptual,
keadilan lingkungan juga dikritik karena sifatnya yang terlalu
luas dan ambigu.²¹ Istilah “keadilan” dapat mencakup
berbagai dimensi — dari hukum, etika, hingga spiritualitas — sehingga sulit
diterapkan secara operasional dalam kebijakan publik.²² Beberapa peneliti
menilai bahwa konsep ini telah menjadi catch-all term yang kehilangan
kekuatan analitisnya karena digunakan secara retoris tanpa definisi filosofis
yang konsisten.²³ Misalnya, dalam banyak forum internasional, istilah “justice”
sering digunakan secara simbolik untuk menunjukkan komitmen moral tanpa diikuti
perubahan substantif dalam praktik ekonomi dan politik.²⁴
Kritik lain datang
dari kalangan realist environmental policy yang
menilai bahwa keadilan lingkungan sering kali idealistis dan sulit
diimplementasikan di negara dengan kapasitas politik dan ekonomi terbatas.²⁵
Namun, para pendukungnya membalas bahwa idealisme etis justru diperlukan untuk
menantang struktur dominan dan membuka horizon normatif baru dalam tata kelola
global.²⁶
7.5.       Sintesis Kritis: Menuju Keadilan Ekologis Integral
Kritik-kritik
tersebut tidak serta-merta menolak gagasan keadilan lingkungan, tetapi justru
memperkaya dan memperluasnya.²⁷ Melalui kritik terhadap antroposentrisme, bias
Barat, dan kelemahan struktural, muncul kesadaran baru bahwa keadilan
lingkungan harus bersifat ekologis, intersubjektif, dan pluralistik.²⁸
Ia harus mampu mengintegrasikan nilai ekologis intrinsik, solidaritas sosial,
serta transformasi politik dan ekonomi secara bersamaan.²⁹ Dengan demikian,
keadilan lingkungan tidak boleh berhenti pada level distribusi atau pengakuan
semata, melainkan harus bergerak menuju keadilan ekologis integral yang
mengakui seluruh jaringan kehidupan sebagai subjek moral dan politik yang
saling terhubung.³⁰
Footnotes
[1]               
David Schlosberg, Defining Environmental
Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 91–93.
[2]               
Bryan G. Norton, “Environmental Ethics and Weak Anthropocentrism,” Environmental Ethics
6, no. 2 (1984): 131–148.
[3]               
Holmes Rolston III, Environmental
Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988),
102–104.
[4]               
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement: A
Summary,” Inquiry 16 (1973): 95–100.
[5]               
Ibid., 97.
[6]               
Warwick Fox, Toward a Transpersonal
Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990), 45–47.
[7]               
Val Plumwood, Feminism and the
Mastery of Nature (London:
Routledge, 1993), 55–57.
[8]               
Ibid., 61–63.
[9]               
Andrew Dobson, Justice and the
Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of
Social Justice (Oxford: Oxford
University Press, 1998), 49–51.
[10]            
Arturo Escobar, Encountering
Development: The Making and Unmaking of the Third World (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1995),
190–192.
[11]            
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies
of the South: Justice Against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 45–48.
[12]            
Vandana Shiva, Staying Alive: Women,
Ecology, and Development (London:
Zed Books, 1988), 18–21.
[13]            
Arturo Escobar, Designs for the
Pluriverse: Radical Interdependence, Autonomy, and the Making of Worlds (Durham, NC: Duke University Press, 2018), 76–79.
[14]            
Santos, Epistemologies of the
South, 51–52.
[15]            
David Harvey, Justice, Nature, and
the Geography of Difference (Oxford:
Blackwell, 1996), 118–120.
[16]            
John Bellamy Foster, Marx’s
Ecology: Materialism and Nature (New
York: Monthly Review Press, 2000), 221–223.
[17]            
James O’Connor, “The Second Contradiction of Capitalism,” Capitalism, Nature, Socialism 1, no. 1 (1988): 11–38.
[18]            
Nancy Fraser, Justice Interruptus:
Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 49–52.
[19]            
Ibid., 55–57.
[20]            
Schlosberg, Defining Environmental
Justice, 95–97.
[21]            
Robin Attfield, Environmental Ethics:
An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 83–85.
[22]            
Peter Singer, One World: The Ethics
of Globalization (New Haven, CT: Yale
University Press, 2002), 68–69.
[23]            
Noel Castree, “The Nature of Nature in Environmental Politics,” Progress in Human Geography 26, no. 2 (2002): 208–210.
[24]            
Jennifer Clapp dan Peter Dauvergne, Paths
to a Green World: The Political Economy of the Global Environment (Cambridge, MA: MIT Press, 2011), 12–14.
[25]            
Andrew Dobson, Fairness and Futurity:
Essays on Environmental Sustainability and Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1999), 30–32.
[26]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight
Lectures on the New Climatic Regime
(Cambridge: Polity Press, 2017), 123–126.
[27]            
Karen J. Warren, “The Power and the Promise of Ecological Feminism,” Environmental Ethics
12, no. 2 (1990): 125–146.
[28]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way
into the Future (New York: Bell
Tower, 1999), 108–111.
[29]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care
for Our Common Home (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 2015), 76–78.
[30]            
Vandana Shiva, Earth Democracy:
Justice, Sustainability, and Peace
(London: Zed Books, 2005), 28–31.
8.          
Relevansi
Kontemporer dan Aplikasi Praktis
Dalam konteks
kontemporer, prinsip keadilan lingkungan (environmental justice)
semakin menempati posisi sentral dalam wacana etika, politik global, dan
kebijakan publik. Krisis iklim, ketimpangan ekonomi global, dan degradasi
sumber daya alam memperlihatkan urgensi untuk menafsirkan kembali hubungan
manusia dan lingkungan dalam kerangka keadilan yang lebih luas—baik
antargenerasi, antarkelas, maupun antarspesies.¹ Keadilan lingkungan kini bukan
hanya ideal moral, melainkan juga tuntutan praktis untuk menata ulang sistem
sosial-ekologis dunia yang sedang menuju ambang krisis planet.²
8.1.       Keadilan Iklim dan Solidaritas Global
Salah satu bentuk
paling nyata dari penerapan keadilan lingkungan adalah gerakan
keadilan iklim (climate justice movement). Gerakan ini berupaya
menghubungkan isu perubahan iklim dengan struktur ketidakadilan global,
menyoroti bahwa negara-negara kaya penyumbang emisi karbon terbesar sering kali
paling sedikit menanggung dampaknya, sementara negara berkembang menghadapi
konsekuensi paling parah.³ Prinsip common but differentiated responsibilities
dalam Paris
Agreement menjadi refleksi normatif dari gagasan ini, yang menuntut
distribusi tanggung jawab ekologis berdasarkan kapasitas dan kontribusi
historis terhadap kerusakan lingkungan.⁴
Dalam praktiknya,
isu keadilan iklim juga mendorong munculnya solidaritas lintas negara dan
lintas kelas. Gerakan seperti Fridays for Future dan Extinction
Rebellion menjadi platform global yang menuntut perubahan sistemik,
sementara masyarakat adat dan komunitas lokal di Selatan global memperjuangkan
hak atas tanah dan air mereka dalam kerangka keadilan ekologis.⁵ Fenomena ini
memperlihatkan bahwa keadilan lingkungan telah menjadi gerakan sosial
transnasional yang menggabungkan etika, politik, dan advokasi ilmiah dalam satu
perjuangan moral global.⁶
8.2.       Implementasi dalam Kebijakan Publik dan Tata Kelola
Lingkungan
Dalam ranah
kebijakan, prinsip keadilan lingkungan mulai diintegrasikan ke dalam berbagai
instrumen hukum dan program pembangunan berkelanjutan.⁷ Misalnya, Environmental
Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat secara resmi mengadopsi
kebijakan Environmental
Justice Strategy yang menekankan pemerataan manfaat dan risiko
lingkungan bagi seluruh kelompok masyarakat.⁸ Di Uni Eropa, kerangka European
Green Deal juga memasukkan aspek keadilan sosial dalam transisi
menuju ekonomi hijau, memastikan bahwa kebijakan dekarbonisasi tidak
menimbulkan “korban sosial baru.”⁹
Di tingkat global,
keadilan lingkungan juga tercermin dalam tujuan Sustainable Development Goals (SDGs),
terutama tujuan ke-13 (aksi terhadap perubahan iklim) dan ke-16 (keadilan dan
institusi yang kuat).¹⁰ Namun, berbagai pengamat menilai bahwa implementasi
prinsip keadilan sering kali masih bersifat normatif dan simbolis.¹¹ Oleh karena
itu, diperlukan pendekatan kebijakan yang menggabungkan dimensi etis dan
partisipatif—di mana komunitas terdampak memiliki suara langsung dalam
perumusan dan pelaksanaan kebijakan lingkungan.¹²
8.3.       Ekonomi Ekologis dan Transisi Berkelanjutan
Dalam bidang ekonomi,
keadilan lingkungan berperan penting dalam merumuskan paradigma ekonomi
ekologis (ecological economics).¹³ Paradigma ini menolak logika
pertumbuhan tak terbatas yang menjadi akar krisis ekologis dan menekankan
keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan daya dukung bumi.¹⁴ Praktik ekonomi
sirkular (circular
economy), pertanian regeneratif, serta transisi energi hijau
merupakan bentuk konkret dari penerapan prinsip keadilan lingkungan dalam
konteks ekonomi.¹⁵
Namun, kritik tetap
muncul terhadap dominasi korporasi dalam wacana keberlanjutan. Banyak inisiatif
“hijau” justru dikendalikan oleh kepentingan bisnis dan menjadi bentuk
baru dari green
capitalism.¹⁶ Untuk memastikan bahwa transisi menuju ekonomi hijau
tidak mengulangi ketimpangan lama, keadilan lingkungan menuntut transisi
yang adil (just transition)—yakni transformasi ekonomi yang
memperhatikan hak pekerja, masyarakat lokal, dan kelompok rentan dalam setiap
tahap perubahan.¹⁷
8.4.       Dimensi Teknologi, Digitalisasi, dan Etika
Lingkungan Baru
Relevansi keadilan
lingkungan juga meluas ke ranah teknologi dan digitalisasi. Isu seperti jejak
karbon digital, penggunaan sumber daya langka untuk perangkat
elektronik, dan limbah e-waste menunjukkan bahwa revolusi digital membawa
tantangan etis baru.¹⁸ Di satu sisi, teknologi digital dapat membantu mitigasi
perubahan iklim melalui sistem informasi lingkungan dan energi cerdas (smart
energy systems); namun di sisi lain, teknologi juga memperluas
bentuk baru ketidakadilan ekologis antara pusat dan pinggiran ekonomi global.¹⁹
Oleh karena itu, etika digital kini harus disinergikan dengan prinsip keadilan
ekologis agar inovasi teknologi berjalan dalam batas tanggung jawab planet.²⁰
8.5.       Pendidikan, Spiritualitas, dan Kesadaran Ekologis
Pada level kultural,
keadilan lingkungan memiliki relevansi mendalam dalam pendidikan
dan spiritualitas ekologis. Pendidikan lingkungan tidak hanya
bertujuan menanamkan pengetahuan teknis tentang ekosistem, tetapi juga
membentuk kesadaran moral dan spiritual mengenai keterhubungan manusia dengan
alam.²¹ Gagasan “ecological citizenship” dan “environmental virtue
ethics” menjadi bagian dari kurikulum pendidikan global untuk membentuk
generasi yang berempati terhadap bumi.²²
Selain itu,
spiritualitas ekologis — baik dalam tradisi agama-agama besar maupun dalam
filsafat humanistik — menekankan tanggung jawab moral terhadap kehidupan
sebagai dimensi transenden dari keadilan lingkungan.²³ Seperti ditegaskan oleh Thomas
Berry, tugas manusia bukan sekadar melestarikan alam, tetapi
berpartisipasi dalam “perayaan kosmos” sebagai ekspresi kesadaran
ekologis yang integral.²⁴
8.6.       Sintesis Relevansi Kontemporer
Secara keseluruhan,
keadilan lingkungan dalam konteks kontemporer menunjukkan tiga arah utama:
(1)              
transformasi struktural dalam
ekonomi dan politik global,
(2)              
transisi etis menuju tanggung jawab
ekologis kolektif, dan
(3)              
rekonstruksi kesadaran yang
mengakui keterikatan eksistensial manusia dengan bumi.²⁵ 
Prinsip keadilan
lingkungan kini bukan hanya gerakan aktivis, melainkan paradigma moral dan
praksis sosial yang menuntun umat manusia menuju tata dunia baru—lebih
berkelanjutan, lebih adil, dan lebih manusiawi.²⁶
Footnotes
[1]               
Andrew Dobson, Justice and the
Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of
Social Justice (Oxford: Oxford
University Press, 1998), 73–75.
[2]               
David Schlosberg, Defining Environmental
Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 103–105.
[3]               
Naomi Klein, This Changes
Everything: Capitalism vs. the Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 57–60.
[4]               
United Nations, Paris Agreement (New York: UN, 2015), Article 2.
[5]               
Greta Thunberg, No One Is Too Small to
Make a Difference (London: Penguin
Books, 2019), 12–14.
[6]               
Schlosberg, Defining Environmental
Justice, 109–110.
[7]               
Luke W. Cole dan Sheila R. Foster, From
the Ground Up: Environmental Racism and the Rise of the Environmental Justice
Movement (New York: New York
University Press, 2001), 115–118.
[8]               
U.S. Environmental Protection Agency (EPA), Environmental Justice Strategy (Washington, DC: EPA Publications, 2022), 3–4.
[9]               
European Commission, The
European Green Deal (Brussels:
European Union, 2019), 9–12.
[10]            
United Nations, Sustainable Development
Goals Report 2023 (New York: UN,
2023), 44–47.
[11]            
Robin Attfield, Environmental Ethics:
An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 112–114.
[12]            
Sheila Jasanoff, States of Knowledge:
The Co-Production of Science and Social Order (London: Routledge, 2004), 28–31.
[13]            
Herman E. Daly, Beyond Growth: The
Economics of Sustainable Development
(Boston: Beacon Press, 1996), 38–40.
[14]            
Serge Latouche, Farewell to Growth (Cambridge: Polity Press, 2009), 24–27.
[15]            
Tim Jackson, Prosperity without
Growth (London: Earthscan, 2009),
52–54.
[16]            
Joan Martinez-Alier, The
Environmentalism of the Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation (Cheltenham: Edward Elgar, 2002), 77–79.
[17]            
International Labour Organization (ILO), Guidelines for a Just Transition towards Environmentally
Sustainable Economies and Societies for All (Geneva: ILO, 2015), 4–7.
[18]            
Kate Crawford, Atlas of AI: Power,
Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven, CT: Yale University Press, 2021), 15–18.
[19]            
Jennifer Gabrys, Digital Rubbish: A
Natural History of Electronics (Ann
Arbor: University of Michigan Press, 2011), 62–65.
[20]            
Shannon Vallor, Technology and the
Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 101–103.
[21]            
Fikret Berkes, Sacred Ecology (New York: Routledge, 2008), 17–19.
[22]            
Andrew Light dan Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Oxford: Blackwell, 2003), 411–414.
[23]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion
and the Order of Nature (New York:
Oxford University Press, 1996), 88–90.
[24]            
Thomas Berry, The Great Work: Our Way
into the Future (New York: Bell Tower,
1999), 112–114.
[25]            
Vandana Shiva, Earth Democracy:
Justice, Sustainability, and Peace
(London: Zed Books, 2005), 31–33.
[26]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care
for Our Common Home (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 2015), 98–100.
9.          
Sintesis
Filosofis: Menuju Etika Keadilan Ekologis Integral
Sintesis filosofis
dari gagasan keadilan lingkungan (environmental justice)
menuntut integrasi antara tiga dimensi fundamental filsafat—ontologi,
epistemologi, dan aksiologi—dalam satu kerangka etika ekologis yang utuh dan
menyeluruh. Prinsip ini tidak hanya berbicara tentang bagaimana manusia
memperlakukan alam, tetapi juga tentang bagaimana manusia memahami dirinya
sebagai bagian dari tatanan kosmik yang saling berelasi.¹ Dengan demikian,
keadilan lingkungan tidak dapat direduksi menjadi wacana hukum atau kebijakan
teknokratis; ia merupakan ethos of being—suatu cara berada
dan berpikir yang menegaskan keterikatan eksistensial manusia dengan dunia
kehidupan.²
9.1.       Integrasi Ontologis: Dari Antroposentrisme Menuju
Kosmosentrisme
Ontologi keadilan
lingkungan menuntut rekonstruksi paradigma keberadaan: dari manusia sebagai
pusat dan penguasa menuju manusia sebagai bagian dari komunitas
ekologis.³ Paradigma kosmosentris mengandaikan bahwa
seluruh entitas—manusia, hewan, tumbuhan, dan ekosistem—memiliki nilai
intrinsik yang saling menopang dalam jaringan kehidupan.⁴ Kesadaran
kosmosentris ini menolak dikotomi antara subjek dan objek serta menegaskan
keterpaduan antara being dan bios.⁵
Dalam kerangka ini, keadilan bukan sekadar relasi sosial, melainkan ekspresi
harmoni ontologis antara eksistensi manusia dan keberlanjutan alam.⁶
Pemikiran Aldo
Leopold tentang land ethic dan Hans
Jonas tentang imperatif tanggung jawab
memperlihatkan arah sintesis ini: bahwa etika ekologis sejati lahir ketika
manusia menyadari dirinya sebagai penjaga, bukan penguasa.⁷ Kesadaran ini
bersifat ontologis karena berakar dalam pengenalan terhadap makna keberadaan
manusia di dunia sebagai makhluk yang bergantung dan berpartisipasi dalam
tatanan kosmik.⁸
9.2.       Integrasi Epistemologis: Menuju Pengetahuan yang
Relasional dan Partisipatif
Dari sisi
epistemologi, keadilan ekologis integral menolak klaim pengetahuan objektif dan
dominatif yang diwariskan oleh paradigma positivistik modern.⁹ Pengetahuan ekologis
sejati tidak lahir dari dominasi terhadap alam, melainkan dari dialog dan
partisipasi di dalamnya.¹⁰ Konsep epistemologi relasional yang
diperkenalkan oleh Donna Haraway dan diperluas
oleh Arturo
Escobar menunjukkan bahwa mengetahui berarti terlibat—to know
is to care.¹¹ Dengan demikian, epistemologi keadilan lingkungan
bersifat etis karena melibatkan empati dan tanggung jawab terhadap makhluk
lain.¹²
Keadilan epistemik,
sebagaimana digagas Miranda Fricker, juga menjadi
fondasi penting dari sintesis ini.¹³ Pengakuan terhadap pluralitas
epistemik—terutama pengetahuan lokal dan spiritualitas ekologis masyarakat
adat—merupakan prasyarat bagi terwujudnya keadilan ekologis global.¹⁴ Etika
ekologis integral dengan demikian menuntut pembebasan pengetahuan dari dominasi
tunggal sains modern menuju kosmologi pengetahuan yang terbuka, partisipatif,
dan saling melengkapi.¹⁵
9.3.       Integrasi Aksiologis: Nilai Intrinsik, Solidaritas,
dan Tanggung Jawab
Aksiologi keadilan
ekologis integral berpijak pada pengakuan bahwa nilai kehidupan tidak bersifat
hierarkis, melainkan koeksistensial.¹⁶ Semua makhluk memiliki martabat ekologis
(ecological
dignity) yang menuntut penghormatan.¹⁷ Prinsip moral ini menuntun
pada pembentukan etika tanggung jawab ekologis (ecological
responsibility) dan solidaritas lintas kehidupan (biospheric
solidarity).¹⁸ Dalam semangat Jonas, tanggung jawab manusia
tidak hanya bersifat moral individual, tetapi juga kosmik—menyangkut masa depan
seluruh kehidupan di planet ini.¹⁹
Etika tanggung jawab
ini berpadu dengan gagasan Thomas Berry tentang earth
community, yaitu visi moral bahwa bumi adalah subjek kolektif dari
keadilan.²⁰ Keadilan lingkungan, dalam sintesis aksiologisnya, bukan hanya soal
pembagian sumber daya, tetapi tentang pemulihan relasi kasih sayang antara
manusia dan bumi.²¹ Maka, etika ekologis integral menjadi dasar bagi spiritualitas
ekologis, di mana tindakan ekologis adalah bentuk doa, dan
pelestarian alam adalah wujud konkret dari keadilan moral.²²
9.4.       Kesadaran Transformatif: Ekosofi sebagai Puncak
Sintesis
Puncak dari sintesis
filosofis keadilan lingkungan adalah kesadaran ekosofi—sebuah kebijaksanaan
ekologis yang menggabungkan dimensi teoretis, praksis, dan spiritual.²³
Ekosofi, sebagaimana digagas oleh Arne Naess, menuntut
transformasi paradigma hidup: dari konsumsi ke kontemplasi, dari eksploitasi ke
empati, dan dari dominasi ke koeksistensi.²⁴ Dalam ekosofi, etika menjadi jalan
hidup (way of
life), bukan sekadar prinsip moral abstrak.²⁵
Kesadaran ini
menuntun manusia untuk menghidupi keadilan ekologis bukan hanya sebagai sistem
nilai, tetapi sebagai bentuk eksistensi yang sadar dan bertanggung jawab
terhadap kosmos.²⁶ Dengan demikian, sintesis filosofis keadilan lingkungan
melampaui batas antara teori dan praktik, antara filsafat dan tindakan—menjadikannya
sebagai proyek peradaban baru yang berlandaskan kasih, kesetaraan, dan
keberlanjutan.²⁷
9.5.       Menuju Etika Keadilan Ekologis Integral
Etika keadilan
ekologis integral merupakan buah dari dialog antara rasionalitas ilmiah dan
kesadaran moral-spiritual manusia.²⁸ Ia menegaskan bahwa keadilan terhadap alam
adalah bentuk tertinggi dari keadilan terhadap diri manusia, karena
keberlangsungan eksistensi manusia bergantung pada integritas ekologis bumi.²⁹
Dalam pandangan ini, etika ekologis tidak hanya menjadi cabang filsafat
terapan, tetapi fondasi baru bagi humanisme ekologis: humanisme yang rendah
hati, dialogis, dan kosmik.³⁰
Dengan
mengintegrasikan kesadaran ontologis tentang kesalingbergantungan, epistemologi
relasional yang inklusif, dan aksiologi yang berakar pada tanggung jawab
kosmik, keadilan lingkungan bertransformasi menjadi etika
ekologis integral — suatu paradigma moral yang menuntun manusia
menuju harmoni dengan seluruh ciptaan.³¹ Inilah arah baru filsafat etika
lingkungan: bukan sekadar untuk “menyelamatkan bumi,” melainkan untuk menyelamatkan
makna kemanusiaan di dalam bumi itu sendiri.³²
Footnotes
[1]               
David Schlosberg, Defining Environmental
Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 123–125.
[2]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way
into the Future (New York: Bell
Tower, 1999), 106–109.
[3]               
Bruno Latour, Politics of Nature: How
to Bring the Sciences into Democracy
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 45–47.
[4]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford: Oxford University Press, 1949), 224–226.
[5]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New
Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 30–33.
[6]               
Holmes Rolston III, Environmental
Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 96–98.
[7]               
Hans Jonas, The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984),
123–125.
[8]               
Leopold, A Sand County Almanac, 240.
[9]               
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), 11–13.
[10]            
Donna Haraway, Situated Knowledges:
The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective, Feminist Studies 14, no. 3 (1988): 575–599.
[11]            
Arturo Escobar, Designs for the
Pluriverse: Radical Interdependence, Autonomy, and the Making of Worlds (Durham, NC: Duke University Press, 2018), 22–24.
[12]            
Karen J. Warren, “The Power and the Promise of Ecological Feminism,” Environmental Ethics
12, no. 2 (1990): 125–146.
[13]            
Miranda Fricker, Epistemic Injustice:
Power and the Ethics of Knowing
(Oxford: Oxford University Press, 2007), 3–5.
[14]            
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies
of the South: Justice Against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 45–48.
[15]            
Escobar, Designs for the
Pluriverse, 80–82.
[16]            
Andrew Dobson, Justice and the
Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of
Social Justice (Oxford: Oxford University
Press, 1998), 76–79.
[17]            
David Schlosberg, Defining Environmental
Justice, 138–140.
[18]            
Val Plumwood, Feminism and the
Mastery of Nature (London:
Routledge, 1993), 87–89.
[19]            
Jonas, The Imperative of
Responsibility, 128–130.
[20]            
Berry, The Great Work, 112–115.
[21]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion
and the Order of Nature (New York:
Oxford University Press, 1996), 70–72.
[22]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care
for Our Common Home (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 2015), 88–90.
[23]            
Arne Naess, “The Deep Ecological Movement: Some Philosophical Aspects,”
Philosophical Inquiry 8, no. 1–2 (1986): 10–31.
[24]            
Ibid., 15–16.
[25]            
Naess, Ecology, Community, and
Lifestyle: Outline of an Ecosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 29–31.
[26]            
Capra, The Web of Life, 210–213.
[27]            
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 94–96.
[28]            
Pope Francis, Laudato Si’, 95–97.
[29]            
Vandana Shiva, Earth Democracy:
Justice, Sustainability, and Peace
(London: Zed Books, 2005), 42–44.
[30]            
Nasr, Religion and the Order
of Nature, 91–93.
[31]            
Berry, The Great Work, 120–123.
[32]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight
Lectures on the New Climatic Regime
(Cambridge: Polity Press, 2017), 180–183.
10.       Kesimpulan
Keadilan lingkungan merupakan salah satu puncak
refleksi etis dan filosofis dari kesadaran manusia modern terhadap krisis
ekologis global. Ia bukan sekadar isu teknis atau kebijakan publik, melainkan
paradigma moral dan ontologis yang menuntut perubahan mendasar dalam cara
manusia memahami, mengetahui, dan hidup bersama alam.¹ Prinsip ini mengajak
kita untuk melihat kembali relasi manusia dan lingkungan bukan sebagai hubungan
dominasi, tetapi sebagai tanggung jawab bersama dalam komunitas kehidupan
(biotic community).² Dengan demikian, keadilan lingkungan menjadi fondasi
bagi peradaban yang berkeadilan ekologis dan berkelanjutan secara spiritual,
sosial, dan ekonomi.³
Secara ontologis, keadilan lingkungan mengajarkan
bahwa manusia bukan entitas terpisah dari alam, melainkan bagian integral dari
kosmos.⁴ Eksistensi manusia memperoleh maknanya bukan dari penaklukan terhadap
alam, tetapi dari keterlibatannya dalam menjaga harmoni kehidupan. Kesadaran
ini menegaskan bahwa penghancuran alam berarti penghancuran diri manusia
sendiri, karena keduanya saling terkait dalam jaringan eksistensial yang sama.⁵
Dengan demikian, prinsip ontologis keadilan lingkungan memulihkan kesadaran
kosmik yang selama ini tereduksi oleh pandangan mekanistik modern.⁶
Secara epistemologis, keadilan lingkungan menantang
paradigma pengetahuan yang eksklusif dan hegemonik.⁷ Ia mengusulkan bentuk epistemologi
partisipatif, di mana pengetahuan ekologis tidak hanya berasal dari
laboratorium atau teori, tetapi juga dari pengalaman komunitas, budaya lokal,
dan kearifan ekologis masyarakat adat.⁸ Dengan membuka ruang bagi pluralitas
cara mengetahui, keadilan lingkungan menegakkan keadilan epistemik,
yaitu pengakuan terhadap semua bentuk pengetahuan yang berakar pada
keterhubungan manusia dengan dunia hidupnya.⁹ Dalam hal ini, pengetahuan
ekologis tidak lagi bersifat dominatif, melainkan relasional dan empatik.¹⁰
Secara aksiologis, keadilan lingkungan menegakkan
nilai-nilai moral universal yang mencakup tanggung jawab, solidaritas, dan
keberlanjutan.¹¹ Nilai-nilai ini memperluas horizon moral manusia dari
individualitas menuju tanggung jawab kolektif terhadap bumi sebagai rumah
bersama (common home).¹² Dalam semangat Hans Jonas, etika
tanggung jawab menuntut agar setiap tindakan manusia mempertimbangkan
konsekuensinya terhadap keberlangsungan kehidupan masa depan.¹³ Dengan
demikian, keadilan lingkungan tidak hanya menyangkut distribusi sumber daya
secara adil, tetapi juga menyangkut tanggung jawab moral lintas generasi dan
spesies.¹⁴
Dari sisi sosial dan politik, keadilan lingkungan
menuntut rekonstruksi struktur kekuasaan global yang lebih adil.¹⁵ Isu-isu
seperti environmental racism, eksploitasi sumber daya di Selatan global,
dan ketimpangan tanggung jawab iklim menunjukkan bahwa krisis ekologis
sejatinya adalah krisis moral dan politik.¹⁶ Karena itu, perjuangan keadilan
lingkungan juga berarti perjuangan melawan kolonialisme ekologis dan
kapitalisme destruktif yang menjadikan alam sebagai objek ekonomi semata.¹⁷
Melalui ecodemocracy dan partisipasi komunitas lokal, keadilan ekologis
dapat diwujudkan secara substantif—bukan hanya melalui hukum, tetapi melalui
transformasi budaya dan kesadaran etis masyarakat.¹⁸
Sintesis dari seluruh dimensi ini menunjukkan bahwa
keadilan lingkungan adalah etika yang menyatukan ilmu, moralitas, dan
spiritualitas.¹⁹ Ia mengundang manusia untuk melihat bumi bukan sebagai
sumber daya yang dieksploitasi, tetapi sebagai komunitas kehidupan yang
sakral.²⁰ Dalam bahasa Thomas Berry, tugas besar umat manusia di abad
ini adalah mengubah “impian ekonomi” menjadi “impian bumi,” yakni
visi peradaban yang selaras dengan hukum kosmik dan keutuhan ciptaan.²¹ Etika
keadilan ekologis dengan demikian bukan sekadar wacana akademik, melainkan
panggilan moral universal untuk membangun masa depan yang berkelanjutan dan
penuh kasih.²²
Pada akhirnya, keadilan lingkungan memadukan aspek ontologis
(keberadaan yang saling terhubung), epistemologis (pengetahuan yang
partisipatif), dan aksiologis (nilai-nilai tanggung jawab dan keberlanjutan)
dalam satu kesatuan filsafat ekologis integral.²³ Paradigma ini menandai
pergeseran dari etika antroposentris menuju etika kosmosentris, di mana
manusia berperan bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai penjaga kehidupan.²⁴
Keadilan terhadap alam adalah bentuk tertinggi dari keadilan terhadap
kemanusiaan itu sendiri, sebab dalam menjaga bumi, manusia sesungguhnya menjaga
keberadaannya.²⁵
Footnotes
[1]               
David Schlosberg, Defining Environmental
Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press,
2007), 141–143.
[2]               
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford:
Oxford University Press, 1949), 224.
[3]               
Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the
Future (New York: Bell Tower, 1999), 112–115.
[4]               
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific
Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 30–32.
[5]               
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968),
71–73.
[6]               
Bruno Latour, We Have Never Been Modern
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 12–14.
[7]               
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row,
1980), 42–44.
[8]               
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of
the South: Justice Against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers,
2014), 45–47.
[9]               
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and
the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–3.
[10]            
Arturo Escobar, Designs for the Pluriverse:
Radical Interdependence, Autonomy, and the Making of Worlds (Durham, NC:
Duke University Press, 2018), 77–80.
[11]            
Andrew Dobson, Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 81–83.
[12]            
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our
Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 65–67.
[13]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 11–13.
[14]            
Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity: A
Legal Framework for Global Environmental Change,” Environmental Change and
International Law 23, no. 2 (1990): 21–41.
[15]            
Ulrich Beck, World at Risk (Cambridge:
Polity Press, 2009), 56–58.
[16]            
Robert D. Bullard, Dumping in Dixie: Race,
Class, and Environmental Quality (Boulder, CO: Westview Press, 1990),
22–24.
[17]            
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 76–79.
[18]            
John Dryzek, The Politics of the Earth:
Environmental Discourses (Oxford: Oxford University Press, 2013), 98–100.
[19]            
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San
Francisco: Sierra Club Books, 1988), 92–94.
[20]            
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of
Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 70–72.
[21]            
Berry, The Great Work, 116–118.
[22]            
Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice,
Sustainability, and Peace (London: Zed Books, 2005), 40–42.
[23]            
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the
New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 180–183.
[24]            
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989),
28–30.
[25]            
Pope Francis, Laudato Si’, 98–100.
Daftar Pustaka 
Aldo, L. (1949). A Sand County Almanac.
Oxford University Press.
Acosta, A. (2013). Extractivism and Neoextractivism:
Two Sides of the Same Curse. Rosa Luxemburg Foundation.
Attfield, R. (2014). Environmental Ethics: An
Overview for the Twenty-First Century. Polity Press.
Barry, B. (1999). Sustainability and
Intergenerational Justice. Harvard University Press.
Beck, U. (1992). Risk Society: Towards a New
Modernity. Sage Publications.
Beck, U. (2009). World at Risk. Polity
Press.
Berkes, F. (2008). Sacred Ecology (2nd ed.).
Routledge.
Berry, T. (1988). The Dream of the Earth.
Sierra Club Books.
Berry, T. (1999). The Great Work: Our Way into
the Future. Bell Tower.
Bishop, P., & Daley, H. E. (1989). For the
Common Good: Redirecting the Economy Toward Community, the Environment, and a
Sustainable Future. Beacon Press.
Boaventura de Sousa, S. (2014). Epistemologies
of the South: Justice Against Epistemicide. Paradigm Publishers.
Brown Weiss, E. (1990). Intergenerational equity: A
legal framework for global environmental change. Environmental Change and
International Law, 23(2), 21–41.
Bullard, R. D. (1990). Dumping in Dixie: Race,
Class, and Environmental Quality. Westview Press.
Callicott, J. B. (1989). In Defense of the Land
Ethic: Essays in Environmental Philosophy. State University of New York
Press.
Capra, F. (1996). The Web of Life: A New Scientific
Understanding of Living Systems. Anchor Books.
Carson, R. (1962). Silent Spring. Houghton
Mifflin.
Castree, N. (2002). The nature of nature in
environmental politics. Progress in Human Geography, 26(2), 208–210.
Chavis, B. (1987). Testimony before the United
States Congress on toxic wastes and race. U.S. House of Representatives
Subcommittee on Environmental Justice.
Clapp, J., & Dauvergne, P. (2011). Paths to
a Green World: The Political Economy of the Global Environment. MIT Press.
Cole, L. W., & Foster, S. R. (2001). From
the Ground Up: Environmental Racism and the Rise of the Environmental Justice
Movement. New York University Press.
Crawford, K. (2021). Atlas of AI: Power,
Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence. Yale University
Press.
Crutzen, P. J. (2002). Geology of mankind. Nature,
415(6867), 23.
Daly, H. E. (1977). Steady-State Economics.
W. H. Freeman.
Daly, H. E. (1996). Beyond Growth: The Economics
of Sustainable Development. Beacon Press.
Dobson, A. (1998). Justice and the Environment:
Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice.
Oxford University Press.
Dobson, A. (1999). Fairness and Futurity: Essays
on Environmental Sustainability and Social Justice. Oxford University
Press.
Dobson, A. (2003). Citizenship and the
Environment. Oxford University Press.
Dryzek, J. (2013). The Politics of the Earth:
Environmental Discourses. Oxford University Press.
Escobar, A. (1995). Encountering Development:
The Making and Unmaking of the Third World. Princeton University Press.
Escobar, A. (2018). Designs for the Pluriverse:
Radical Interdependence, Autonomy, and the Making of Worlds. Duke
University Press.
European Commission. (2019). The European Green
Deal. European Union.
Foster, J. B. (2000). Marx’s Ecology:
Materialism and Nature. Monthly Review Press.
Fox, W. (1990). Toward a Transpersonal Ecology:
Developing New Foundations for Environmentalism. Shambhala.
Fraser, N. (1997). Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition. Routledge.
Fraser, N. (2003). Redistribution or
Recognition? A Political-Philosophical Exchange. Verso.
Fricker, M. (2007). Epistemic Injustice: Power
and the Ethics of Knowing. Oxford University Press.
Gabrys, J. (2011). Digital Rubbish: A Natural
History of Electronics. University of Michigan Press.
Guha, R., & Martinez-Alier, J. (1997). Varieties
of Environmentalism: Essays North and South. Earthscan.
Hamilton, C. (2010). Requiem for a Species: Why
We Resist the Truth About Climate Change. Earthscan.
Haraway, D. (1988). Situated knowledges: The
science question in feminism and the privilege of partial perspective. Feminist
Studies, 14(3), 575–599.
Harding, S. (1991). Whose Science? Whose
Knowledge? Thinking from Women’s Lives. Cornell University Press.
Harvey, D. (1996). Justice, Nature, and the
Geography of Difference. Blackwell.
Hays, S. P. (1987). Beauty, Health, and
Permanence: Environmental Politics in the United States, 1955–1985.
Cambridge University Press.
Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic
of Enlightenment. Stanford University Press.
International Labour Organization. (2015). Guidelines
for a Just Transition Towards Environmentally Sustainable Economies and
Societies for All. ILO.
Jackson, T. (2009). Prosperity without Growth.
Earthscan.
Jasanoff, S. (2004). States of Knowledge: The
Co-Production of Science and Social Order. Routledge.
Jonas, H. (1984). The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age. University
of Chicago Press.
Klein, N. (2014). This Changes Everything:
Capitalism vs. the Climate. Simon & Schuster.
Latouche, S. (2009). Farewell to Growth.
Polity Press.
Latour, B. (1993). We Have Never Been Modern.
Harvard University Press.
Latour, B. (2004). Politics of Nature: How to
Bring the Sciences into Democracy. Harvard University Press.
Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight Lectures
on the New Climatic Regime. Polity Press.
Leopold, A. (1949). A Sand County Almanac.
Oxford University Press.
Light, A., & Rolston, H. III. (Eds.). (2003). Environmental
Ethics: An Anthology. Blackwell.
Martinez-Alier, J. (2002). The Environmentalism
of the Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation. Edward Elgar.
Merchant, C. (1980). The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution. Harper & Row.
Naess, A. (1973). The shallow and the deep,
long-range ecology movement: A summary. Inquiry, 16, 95–100.
Naess, A. (1986). The deep ecological movement:
Some philosophical aspects. Philosophical Inquiry, 8(1–2), 10–31.
Naess, A. (1989). Ecology, Community, and
Lifestyle: Outline of an Ecosophy. Cambridge University Press.
Nasr, S. H. (1968). Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man. George Allen and Unwin.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of
Nature. Oxford University Press.
Nhat Hanh, T. (1988). The Heart of
Understanding: Commentaries on the Prajnaparamita Heart Sutra. Parallax
Press.
Norton, B. G. (1984). Environmental ethics and weak
anthropocentrism. Environmental Ethics, 6(2), 131–148.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership. Harvard University Press.
O’Connor, J. (1988). The second contradiction of
capitalism. Capitalism, Nature, Socialism, 1(1), 11–38.
O’Donnell, E., & Talbot-Jones, J. (2018).
Creating legal rights for rivers: Lessons from Australia, New Zealand, and
India. Ecology and Society, 23(1), 1–8.
Pope Francis. (2015). Laudato Si’: On Care for
Our Common Home. Libreria Editrice Vaticana.
Plumwood, V. (1993). Feminism and the Mastery of
Nature. Routledge.
Plumwood, V. (2002). Environmental Culture: The
Ecological Crisis of Reason. Routledge.
Rolston, H. III. (1988). Environmental Ethics:
Duties to and Values in the Natural World. Temple University Press.
Rose, D. B. (2004). Reports from a Wild Country:
Ethics for Decolonisation. University of New South Wales Press.
Santos, B. de S. (2014). Epistemologies of the
South: Justice Against Epistemicide. Paradigm Publishers.
Schlosberg, D. (2007). Defining Environmental
Justice: Theories, Movements, and Nature. Oxford University Press.
Sen, A. (1999). Development as Freedom.
Alfred A. Knopf.
Shiva, V. (1988). Staying Alive: Women, Ecology,
and Development. Zed Books.
Shiva, V. (2005). Earth Democracy: Justice,
Sustainability, and Peace. Zed Books.
Singer, P. (2002). One World: The Ethics of
Globalization. Yale University Press.
Thunberg, G. (2019). No One Is Too Small to Make
a Difference. Penguin Books.
Tuana, N. (2016). Climate apartheid: The forgetting
of race in the Anthropocene. Critical Philosophy of Race, 4(1), 1–31.
United Nations. (2015). Paris Agreement.
United Nations.
United Nations. (2023). Sustainable Development
Goals Report 2023. United Nations Publications.
U.S. Environmental Protection Agency (EPA). (2022).
Environmental Justice Strategy. EPA Publications.
Vallor, S. (2016). Technology and the Virtues: A
Philosophical Guide to a Future Worth Wanting. Oxford University Press.
Warren, K. J. (1990). The power and the promise of
ecological feminism. Environmental Ethics, 12(2), 125–146.
Whyte, K. (2017). Indigenous climate change
studies: Indigenizing futures, decolonizing the Anthropocene. English
Language Notes, 55(1–2), 153–162.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar