Selasa, 28 Oktober 2025

Keadilan Lingkungan: Fondasi Etika dan Politik Ekologis dalam Masyarakat Kontemporer

Keadilan Lingkungan

Fondasi Etika dan Politik Ekologis dalam Masyarakat Kontemporer


Alihkan ke: Etika Lingungan.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif prinsip Keadilan Lingkungan (Environmental Justice) sebagai fondasi etika, sosial, dan politik dalam merespons krisis ekologis global. Kajian ini menunjukkan bahwa keadilan lingkungan tidak hanya merupakan isu kebijakan publik atau hukum positif, melainkan suatu paradigma filosofis yang mencakup dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Secara ontologis, keadilan lingkungan menegaskan keterikatan eksistensial antara manusia dan alam, menolak dualisme antroposentris yang menempatkan manusia sebagai penguasa atas alam. Secara epistemologis, ia menuntut pluralitas pengetahuan dan pengakuan terhadap kearifan ekologis masyarakat adat, menolak hegemoni pengetahuan modern yang reduksionistik. Sementara itu, secara aksiologis, keadilan lingkungan menegakkan nilai-nilai moral universal seperti tanggung jawab, solidaritas, dan keberlanjutan sebagai dasar tindakan etis terhadap bumi dan seluruh makhluk hidup.

Kajian ini juga menyoroti dimensi sosial, ekonomi, dan politik keadilan lingkungan, yang memperlihatkan hubungan erat antara degradasi ekologis dan ketimpangan struktural global. Krisis iklim, eksploitasi sumber daya di Selatan global, serta marginalisasi komunitas miskin dan adat menjadi bukti bahwa persoalan ekologis sesungguhnya adalah persoalan moral dan politik. Dengan mengintegrasikan refleksi filosofis dari para pemikir seperti Aldo Leopold, Hans Jonas, Arne Naess, David Schlosberg, Vandana Shiva, dan Thomas Berry, artikel ini menawarkan sebuah sintesis filosofis menuju etika keadilan ekologis integral. Etika ini memadukan rasionalitas ilmiah, kesadaran moral, dan spiritualitas ekologis dalam satu visi kosmosentris—di mana manusia bukan penguasa, melainkan penjaga kehidupan.

Melalui pendekatan interdisipliner dan reflektif, artikel ini menyimpulkan bahwa keadilan lingkungan merupakan paradigma baru bagi keberlanjutan peradaban manusia di era Antroposen. Ia tidak hanya memulihkan keseimbangan ekologis, tetapi juga menegakkan martabat manusia dalam harmoni kosmik.

Kata Kunci: Keadilan Lingkungan, Etika Ekologis, Filsafat Lingkungan, Ekosentrisme, Solidaritas Ekologis, Etika Tanggung Jawab, Kosmosentrisme, Krisis Ekologis, Humanisme Ekologis, Keberlanjutan.


PEMBAHASAN

Gagasan Environmental Justice sebagai Respon Moral dan Politik


1.           Pendahuluan: Krisis Ekologis dan Tuntutan Keadilan

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia menghadapi krisis ekologis yang kian mendalam. Perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, deforestasi masif, serta degradasi tanah dan air telah menimbulkan penderitaan ekologis yang tidak merata di seluruh dunia. Fenomena ini bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan juga masalah keadilan sosial, ekonomi, dan moral yang menuntut refleksi filosofis yang mendalam. Krisis ekologis menjadi cermin dari relasi timpang antara manusia dan alam yang dibangun di atas paradigma antroposentris dan kapitalistik—yakni pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa alam semesta demi kepentingan ekonomi jangka pendek.¹

Kesadaran bahwa dampak ekologis tidak dirasakan secara merata melahirkan gagasan keadilan lingkungan (environmental justice). Prinsip ini menegaskan bahwa beban kerusakan ekologis sering kali ditanggung secara tidak proporsional oleh kelompok masyarakat miskin, komunitas adat, dan negara-negara berkembang, sementara keuntungan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh segelintir korporasi dan negara maju.² Dengan demikian, isu ekologis bertransformasi menjadi isu moral dan politik yang menuntut tanggapan etis terhadap ketimpangan dalam distribusi risiko dan manfaat lingkungan.³

Konsep keadilan lingkungan menggeser fokus etika lingkungan dari sekadar pelestarian alam menuju pembelaan atas hak-hak manusia yang terpinggirkan akibat kerusakan ekologis.⁴ Sebagai prinsip etis, keadilan lingkungan tidak hanya berbicara tentang perlindungan alam, tetapi juga tentang distribusi yang adil atas sumber daya alam, hak atas lingkungan yang sehat, dan partisipasi setara dalam pengambilan keputusan yang berdampak ekologis.⁵ Gerakan ini lahir dari kesadaran bahwa degradasi lingkungan bukan hanya masalah teknis yang dapat diatasi melalui sains atau teknologi, tetapi juga masalah moral yang berakar pada struktur sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil.⁶

Lebih jauh, keadilan lingkungan berperan sebagai jembatan antara etika lingkungan dan teori keadilan sosial. Ia menuntut agar prinsip-prinsip keadilan yang biasa diterapkan pada manusia juga diperluas kepada makhluk hidup lain dan sistem ekologis secara keseluruhan.⁷ Dalam konteks ini, etika lingkungan bergeser menuju paradigma ekologis-partisipatif, yang mengakui keterkaitan dan ketergantungan semua makhluk dalam satu komunitas kehidupan.⁸

Oleh karena itu, pembahasan mengenai keadilan lingkungan bukan hanya relevan bagi wacana etika lingkungan semata, tetapi juga penting untuk membangun kesadaran moral baru di era Antroposen—zaman di mana aktivitas manusia telah menjadi kekuatan geologis yang mengubah bumi secara radikal.⁹ Artikel ini bertujuan untuk menelusuri fondasi filosofis, historis, epistemologis, aksiologis, dan politis dari prinsip keadilan lingkungan, serta menilai relevansinya dalam menghadapi tantangan ekologis kontemporer.


Footnotes

[1]                Clive Hamilton, Requiem for a Species: Why We Resist the Truth About Climate Change (London: Earthscan, 2010), 14–15.

[2]                Robert D. Bullard, Dumping in Dixie: Race, Class, and Environmental Quality (Boulder, CO: Westview Press, 1990), 21–23.

[3]                David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 3–5.

[4]                Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace (London: Zed Books, 2005), 9.

[5]                Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 12–13.

[6]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 25–26.

[7]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 60–61; lihat juga Bryan G. Norton, “Environmental Ethics and Weak Anthropocentrism,” Environmental Ethics 6, no. 2 (1984): 131–148.

[8]                Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement: A Summary,” Inquiry 16 (1973): 95–100.

[9]                Paul J. Crutzen, “Geology of Mankind,” Nature 415, no. 6867 (2002): 23.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Keadilan Lingkungan

Gagasan keadilan lingkungan (environmental justice) muncul sebagai respon terhadap ketimpangan sosial-ekologis yang semakin nyata pada paruh akhir abad ke-20. Gerakan ini berakar dari kesadaran bahwa masalah lingkungan tidak dapat dipisahkan dari persoalan keadilan sosial, ekonomi, dan politik. Secara historis, prinsip keadilan lingkungan lahir dari persinggungan antara gerakan hak-hak sipil, kritik terhadap kapitalisme industri, serta perjuangan komunitas marjinal yang menjadi korban langsung dari kebijakan pembangunan yang eksploitatif.¹

Gerakan Environmental Justice pertama kali mendapatkan momentum pada awal 1980-an di Amerika Serikat, terutama melalui kasus Warren County, North Carolina (1982), di mana komunitas Afrika-Amerika memprotes pembuangan limbah beracun polychlorinated biphenyls (PCB) di wilayah mereka.² Protes tersebut membuka kesadaran publik bahwa pencemaran dan degradasi lingkungan sering kali menimpa komunitas minoritas dan masyarakat berpendapatan rendah secara tidak proporsional.³ Istilah environmental racism pun muncul untuk menggambarkan praktik diskriminatif dalam distribusi risiko ekologis yang berakar pada struktur sosial rasial dan ekonomi.⁴

Dalam konteks genealogis, keadilan lingkungan dapat dipahami sebagai perkembangan evolutif dari gerakan ekologi klasik. Gerakan ekologis pada awal abad ke-20—yang diwakili oleh tokoh seperti John Muir dan Gifford Pinchot—berfokus pada konservasi alam dan pengelolaan sumber daya. Namun, gerakan ini sering kali bersifat elitis dan mengabaikan dimensi sosial dari masalah lingkungan.⁵ Baru setelah munculnya karya Rachel Carson, Silent Spring (1962), yang menyoroti dampak pestisida terhadap kehidupan manusia dan ekosistem, perhatian publik mulai bergeser menuju pemahaman ekologis yang lebih kritis dan inklusif.⁶

Pada dekade 1970-an, muncul pemikiran ekologis yang lebih radikal seperti deep ecology (Arne Naess) dan eco-socialism yang mengaitkan kerusakan lingkungan dengan struktur ekonomi kapitalis global.⁷ Namun, para aktivis keadilan lingkungan menilai bahwa kedua arus tersebut masih terlalu fokus pada aspek metafisik dan ekologis, tanpa cukup menyoroti dimensi sosial dan politik ketidakadilan ekologis.⁸ Karena itu, environmental justice movement mencoba menggabungkan kepedulian terhadap alam dengan pembelaan terhadap hak-hak manusia yang tertindas oleh sistem ekonomi dan politik yang tidak adil.

Selain di Amerika, gagasan serupa berkembang dalam gerakan sosial di Selatan global, seperti perjuangan petani India yang dipimpin oleh Vandana Shiva melawan perusahaan agribisnis multinasional, serta gerakan masyarakat adat Amazon yang menentang deforestasi dan eksploitasi minyak bumi.⁹ Dalam konteks Asia dan Afrika, keadilan lingkungan menjadi bagian dari perjuangan melawan kolonialisme ekologis, yaitu bentuk dominasi baru yang memindahkan beban ekologis dari negara maju ke negara berkembang.¹⁰

Secara intelektual, genealoginya juga dapat ditelusuri ke dalam teori-teori keadilan sosial yang dikembangkan oleh John Rawls, Amartya Sen, dan Nancy Fraser, yang kemudian diadaptasi oleh pemikir ekologis seperti David Schlosberg.¹¹ Schlosberg mengusulkan bahwa keadilan lingkungan tidak hanya mencakup dimensi distributif (pembagian manfaat dan beban), tetapi juga dimensi pengakuan (recognition) dan partisipasi (participation).¹² Dengan demikian, keadilan lingkungan berkembang dari sekadar isu aktivisme menjadi paradigma etika dan politik yang menuntut struktur sosial-ekologis baru yang lebih adil dan partisipatif.

Secara keseluruhan, genealoginya menunjukkan pergeseran penting dalam wacana etika lingkungan: dari konservasi alam yang antroposentris menuju pembelaan hak ekologis yang bersifat intersubjektif dan global. Keadilan lingkungan menandai lahirnya kesadaran baru bahwa keutuhan ekosistem tidak dapat dipisahkan dari keutuhan manusia, masyarakat, dan budaya yang hidup di dalamnya.¹³


Footnotes

[1]                David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 15–17.

[2]                Robert D. Bullard, Dumping in Dixie: Race, Class, and Environmental Quality (Boulder, CO: Westview Press, 1990), 3–5.

[3]                Luke W. Cole and Sheila R. Foster, From the Ground Up: Environmental Racism and the Rise of the Environmental Justice Movement (New York: New York University Press, 2001), 10–12.

[4]                Benjamin Chavis, “Testimony before the United States Congress on Toxic Wastes and Race,” U.S. House of Representatives Subcommittee on Environmental Justice, 1987.

[5]                Samuel P. Hays, Beauty, Health, and Permanence: Environmental Politics in the United States, 1955–1985 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 33–36.

[6]                Rachel Carson, Silent Spring (Boston: Houghton Mifflin, 1962), 5–8.

[7]                Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement: A Summary,” Inquiry 16 (1973): 95–100.

[8]                Ramachandra Guha and Joan Martinez-Alier, Varieties of Environmentalism: Essays North and South (London: Earthscan, 1997), 47–49.

[9]                Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1988), 22–25.

[10]             Joan Martinez-Alier, The Environmentalism of the Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation (Cheltenham: Edward Elgar, 2002), 41–44.

[11]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 52–54; Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 87–90; Nancy Fraser, Redistribution or Recognition? A Political-Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 7–9.

[12]             Schlosberg, Defining Environmental Justice, 28–31.

[13]             Bruno Latour, Politics of Nature: How to Bring the Sciences into Democracy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 23–26.


3.           Ontologi: Manusia, Alam, dan Relasi Keadilan

Secara ontologis, prinsip keadilan lingkungan berakar pada pemahaman tentang hubungan eksistensial antara manusia dan alam. Krisis ekologis global memperlihatkan bahwa paradigma ontologis modern—yang menempatkan manusia sebagai subjek rasional yang terpisah dari dunia alam—telah menghasilkan bentuk dominasi dan eksploitasi yang sistematis terhadap lingkungan.¹ Paradigma ini berakar pada tradisi antroposentrisme, yakni pandangan yang menganggap nilai moral tertinggi hanya dimiliki oleh manusia, sementara alam hanyalah instrumen bagi pemenuhan kebutuhan manusia.² Dalam konteks ini, keadilan lingkungan muncul sebagai kritik terhadap ontologi dualistik antara subjek dan objek, manusia dan alam, serta sebagai upaya membangun ontologi ekologis yang holistik dan relasional.³

Dalam ontologi keadilan lingkungan, manusia dipahami bukan sebagai penguasa atas alam, tetapi sebagai bagian integral dari komunitas ekologis yang saling bergantung.⁴ Pandangan ini berakar pada gagasan ekosentrisme, yang menempatkan nilai intrinsik (intrinsic value) pada seluruh entitas alam, baik hidup maupun tak hidup.⁵ Dalam kerangka ini, keadilan tidak hanya menyangkut relasi antar-manusia, tetapi juga mencakup relasi etis antara manusia dan alam sebagai keseluruhan sistem kehidupan (biospheric community).⁶ Dengan demikian, konsep keadilan lingkungan memperluas horizon moral tradisional yang sebelumnya terbatas pada komunitas manusia menuju cakupan yang bersifat ekologis universal.⁷

Pemikiran Aldo Leopold dalam The Land Ethic menjadi tonggak awal pergeseran ontologis ini. Leopold berpendapat bahwa manusia harus melihat dirinya sebagai “anggota dan warga” dari komunitas biotik, bukan sebagai penakluknya.⁸ Prinsip keadilan ekologis, dalam pandangan ini, menuntut adanya penghormatan terhadap integritas, stabilitas, dan keindahan keseluruhan komunitas alam.⁹ Dengan menolak pandangan mekanistik Cartesian yang memisahkan manusia dari alam, Leopold dan para penerusnya menegaskan bahwa keberlanjutan moral tidak dapat dicapai tanpa kesadaran akan keterikatan ontologis manusia dalam jejaring kehidupan.¹⁰

Lebih lanjut, pemikiran Hans Jonas menegaskan dimensi ontologis dari tanggung jawab ekologis. Dalam karyanya The Imperative of Responsibility, Jonas menegaskan bahwa eksistensi manusia yang berdaya teknologi tinggi menciptakan tanggung jawab moral yang baru terhadap masa depan kehidupan di bumi.¹¹ Manusia, sebagai satu-satunya makhluk yang mampu memahami akibat tindakannya terhadap keseluruhan sistem ekologis, memiliki tanggung jawab ontologis untuk menjaga keberlangsungan kehidupan itu sendiri.¹² Di sini, keadilan lingkungan memperoleh landasan metafisiknya: tanggung jawab bukan hanya kepada sesama manusia, melainkan juga kepada seluruh eksistensi yang hidup dan akan hidup.

Dalam konteks filsafat Timur dan kosmologi tradisional, relasi ontologis antara manusia dan alam juga digambarkan secara harmonis. Konsep pratītyasamutpāda (saling ketergantungan) dalam Buddhisme dan pandangan panentheistik dalam tradisi mistik Islam mengajarkan bahwa segala sesuatu memiliki keterkaitan yang mendalam dalam satu realitas kosmik yang utuh.¹³ Dengan demikian, eksploitasi terhadap alam bukan hanya pelanggaran ekologis, tetapi juga pelanggaran ontologis terhadap tatanan keberadaan itu sendiri.¹⁴

Secara filosofis, ontologi keadilan lingkungan menolak logika dominasi dan mengusulkan bentuk keberadaan yang saling berelasi (relational ontology).¹⁵ Alam tidak lagi dipahami sebagai objek material, melainkan sebagai mitra etis dan eksistensial manusia.¹⁶ Dalam kerangka ini, keadilan lingkungan menjadi konsekuensi logis dari pengakuan bahwa semua makhluk hidup memiliki tempat dan nilai dalam tatanan keberadaan yang sama.¹⁷

Dengan demikian, dimensi ontologis keadilan lingkungan menandai perubahan mendasar dalam cara manusia memahami dirinya di dunia: dari subjek pengendali menjadi bagian dari jaringan kehidupan yang lebih besar. Kesadaran ini menjadi fondasi bagi rekonstruksi etika, epistemologi, dan aksiologi yang berpihak pada kelestarian ekologis dan keseimbangan kosmik.¹⁸


Footnotes

[1]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 41–43.

[2]                Bryan G. Norton, “Environmental Ethics and Weak Anthropocentrism,” Environmental Ethics 6, no. 2 (1984): 131–148.

[3]                Bruno Latour, We Have Never Been Modern (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 10–12.

[4]                Arne Naess, “The Deep Ecological Movement: Some Philosophical Aspects,” Philosophical Inquiry 8, no. 1–2 (1986): 10–31.

[5]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 98–100.

[6]                J. Baird Callicott, In Defense of the Land Ethic: Essays in Environmental Philosophy (Albany: SUNY Press, 1989), 67–69.

[7]                Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 17–19.

[8]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford: Oxford University Press, 1949), 224.

[9]                Ibid., 240.

[10]             Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 28–31.

[11]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–13.

[12]             Ibid., 123–125.

[13]             Thich Nhat Hanh, The Heart of Understanding: Commentaries on the Prajnaparamita Heart Sutra (Berkeley: Parallax Press, 1988), 22–24; Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 54–57.

[14]             Nasr, Man and Nature, 73–75.

[15]             Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 41–43.

[16]             Karen J. Warren, “The Power and the Promise of Ecological Feminism,” Environmental Ethics 12, no. 2 (1990): 125–146.

[17]             David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 38–39.

[18]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 102–104.


4.           Epistemologi Keadilan Lingkungan: Pengetahuan, Kekuasaan, dan Persepsi Ekologis

Epistemologi keadilan lingkungan berangkat dari kesadaran bahwa pengetahuan tentang alam tidak pernah netral. Pengetahuan ekologis selalu diproduksi dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik tertentu yang menentukan siapa yang berhak mendefinisikan “masalah lingkungan” dan bagaimana solusi ditetapkan.¹ Dalam konteks modernitas, ilmu pengetahuan sering kali menjadi instrumen dominasi yang melegitimasi eksploitasi alam melalui paradigma positivistik dan rasionalitas instrumental.² Keadilan lingkungan menantang cara pandang ini dengan menegaskan bahwa persoalan ekologis tidak dapat dipahami semata melalui data ilmiah, tetapi juga melalui pengalaman sosial, budaya, dan spiritual komunitas yang hidup di dalam ekosistem tersebut.³

Sejak Revolusi Industri dan munculnya sains modern, epistemologi Barat telah membangun relasi asimetris antara manusia dan alam. Alam direduksi menjadi objek pengetahuan dan sumber daya yang harus dikendalikan, diukur, dan dieksploitasi demi kepentingan produksi.⁴ Proses ini, sebagaimana dikritik oleh Michel Foucault, menunjukkan bagaimana pengetahuan selalu berkelindan dengan kekuasaan—di mana yang disebut “rasional” sering kali berfungsi untuk menindas yang “lokal” dan “subaltern.”⁵ Dalam konteks lingkungan, bentuk eco-knowledge yang hegemonik sering mengabaikan atau menyingkirkan pengetahuan lokal (local knowledge) yang lebih berakar pada praktik hidup dan relasi ekologis konkret.⁶

Gerakan keadilan lingkungan menegaskan perlunya pluralisme epistemologis, yaitu pengakuan terhadap keberagaman cara mengetahui dan berhubungan dengan alam.⁷ Kearifan ekologis masyarakat adat—seperti konsep sumak kawsay di Amerika Latin, adat ekologi di Nusantara, atau pandangan kincentric ecology di kalangan masyarakat pribumi Amerika Utara—menunjukkan bentuk epistemologi alternatif yang tidak memisahkan manusia dari lingkungan hidupnya.⁸ Dalam epistemologi ini, pengetahuan tidak hanya bersifat representasional, melainkan relasional dan partisipatif; alam bukan sekadar objek untuk diketahui, melainkan subjek yang berbicara melalui pengalaman ekologis manusia.⁹

Donna Haraway menyebut bentuk pengetahuan seperti ini sebagai situated knowledge—pengetahuan yang tidak mengklaim objektivitas universal, tetapi menyadari keterbatasan dan keterhubungan antara pengamat dan yang diamati.¹⁰ Dalam konteks keadilan lingkungan, hal ini berarti bahwa klaim pengetahuan tentang “alam” harus terbuka terhadap dialog lintas budaya, gender, dan kelas sosial.¹¹ Pengetahuan ekologis yang adil bukanlah yang paling “ilmiah,” melainkan yang paling mampu mengakomodasi kompleksitas relasi kehidupan dan mendukung keberlanjutan komunitas ekologis.¹²

Epistemologi keadilan lingkungan juga menyoroti ketimpangan akses terhadap informasi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.¹³ Sering kali, masyarakat lokal yang paling terdampak oleh degradasi lingkungan justru tidak memiliki suara dalam menentukan arah kebijakan ekologis. Ketidakadilan epistemik ini menjadi bagian dari struktur ketidakadilan ekologis itu sendiri.¹⁴ Oleh karena itu, memperjuangkan keadilan lingkungan juga berarti memperjuangkan keadilan epistemik—yakni hak setiap komunitas untuk diakui sebagai sumber pengetahuan yang sah tentang lingkungannya.¹⁵

Dalam pengertian yang lebih luas, epistemologi keadilan lingkungan mengandaikan bahwa pengetahuan ekologis sejati hanya dapat muncul dari hubungan timbal balik antara memahami dan merawat.¹⁶ Mengetahui berarti ikut menjaga keseimbangan kehidupan, bukan sekadar menguasai atau memanfaatkan.¹⁷ Paradigma ini mengubah epistemologi menjadi etika ekologis: proses memahami dunia sekaligus menjadi tindakan moral untuk melestarikannya.¹⁸ Dengan demikian, epistemologi keadilan lingkungan tidak hanya mendobrak dominasi ilmu modern, tetapi juga membangun dasar bagi pengetahuan ekologis yang partisipatif, dialogis, dan berkeadilan.¹⁹


Footnotes

[1]                David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 44–45.

[2]                Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), 1–3.

[3]                Bruno Latour, Politics of Nature: How to Bring the Sciences into Democracy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 27–30.

[4]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 12–15.

[5]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977 (New York: Pantheon Books, 1980), 98–100.

[6]                Arturo Escobar, Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1995), 192–194.

[7]                Kyle Whyte, “Indigenous Climate Change Studies: Indigenizing Futures, Decolonizing the Anthropocene,” English Language Notes 55, no. 1–2 (2017): 153–162.

[8]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 47–50.

[9]                Deborah Bird Rose, Reports from a Wild Country: Ethics for Decolonisation (Sydney: University of New South Wales Press, 2004), 89–91.

[10]             Donna Haraway, Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective, Feminist Studies 14, no. 3 (1988): 575–599.

[11]             Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 123–126.

[12]             Fikret Berkes, Sacred Ecology (New York: Routledge, 2008), 14–16.

[13]             Sheila Jasanoff, States of Knowledge: The Co-Production of Science and Social Order (London: Routledge, 2004), 23–25.

[14]             Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.

[15]             Nancy Tuana, “Climate Apartheid: The Forgetting of Race in the Anthropocene,” Critical Philosophy of Race 4, no. 1 (2016): 1–31.

[16]             Val Plumwood, Environmental Culture: The Ecological Crisis of Reason (London: Routledge, 2002), 52–55.

[17]             Karen J. Warren, “The Power and the Promise of Ecological Feminism,” Environmental Ethics 12, no. 2 (1990): 125–146.

[18]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 104–106.

[19]             Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace (London: Zed Books, 2005), 22–24.


5.           Aksiologi: Nilai-Nilai Moral dalam Keadilan Lingkungan

Dimensi aksiologis keadilan lingkungan berkaitan dengan pertanyaan mendasar tentang nilai-nilai moral yang seharusnya mengarahkan hubungan manusia dengan alam. Dalam konteks ini, keadilan lingkungan tidak hanya dipahami sebagai isu politik atau hukum, tetapi juga sebagai persoalan nilai — yakni bagaimana manusia menilai kehidupan, keberlanjutan, dan keseimbangan ekologis sebagai kebaikan moral yang harus dijaga.¹ Aksiologi keadilan lingkungan berupaya memperluas horizon moral manusia dari komunitas sosial menuju komunitas ekologis (biotic community), di mana setiap makhluk hidup memiliki nilai intrinsik yang patut dihormati.²

Paradigma etika modern yang berakar pada rasionalitas antroposentris cenderung menilai alam secara instrumental, yakni hanya sebatas sarana bagi kepentingan manusia.³ Dalam kerangka ini, nilai-nilai ekologis sering direduksi menjadi nilai ekonomi atau utilitarian, seperti efisiensi sumber daya atau keuntungan pembangunan.⁴ Sebaliknya, keadilan lingkungan menolak reduksi ini dan mengusulkan pandangan ekosentris — bahwa alam memiliki nilai intrinsik yang melekat, bukan karena fungsinya bagi manusia, melainkan karena keberadaannya sendiri.⁵ Etika ini menuntut transformasi kesadaran moral: dari logika pemanfaatan menuju logika penghormatan.

Menurut Hans Jonas, tanggung jawab moral terhadap lingkungan lahir dari kesadaran akan daya destruktif manusia modern. Dalam The Imperative of Responsibility, Jonas menegaskan bahwa tindakan etis di era teknologi harus mempertimbangkan konsekuensinya bagi keberlangsungan kehidupan di masa depan.⁶ Ia merumuskan “imperatif tanggung jawab” sebagai prinsip moral baru: “Bertindaklah sehingga akibat dari tindakanmu selaras dengan kelestarian kehidupan autentik di bumi.”⁷ Prinsip ini menjadi dasar aksiologis keadilan lingkungan: setiap tindakan moral harus mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem global dan generasi mendatang.

Keadilan lingkungan juga berakar pada nilai solidaritas ekologis, yaitu pengakuan bahwa kesejahteraan manusia bergantung pada kesejahteraan alam.⁸ Solidaritas ini melahirkan bentuk moralitas yang melampaui batas etnosentris dan nasional, menuju kesadaran kosmopolit ekologis.⁹ Dalam konteks ini, nilai keadilan tidak hanya menyangkut distribusi sumber daya secara adil, tetapi juga tanggung jawab ekologis bersama untuk memelihara bumi sebagai rumah bersama (common home).¹⁰ Pandangan ini sejalan dengan seruan Laudato Si’ oleh Paus Fransiskus yang menekankan pentingnya “ekologi integral” — integrasi antara keadilan sosial dan keutuhan ciptaan.¹¹

Selain itu, keadilan lingkungan juga menuntut nilai partisipasi moral, yaitu keterlibatan aktif komunitas dalam menentukan arah kebijakan ekologis.¹² Partisipasi ini bukan sekadar prosedural, tetapi moral, karena mencerminkan pengakuan terhadap martabat dan pengalaman ekologis setiap kelompok masyarakat.¹³ Ketika masyarakat adat, perempuan, dan komunitas miskin diberi ruang untuk bersuara dalam pengelolaan sumber daya alam, maka nilai keadilan moral diwujudkan secara konkret dalam tatanan ekologis.

Nilai moral lain yang penting dalam keadilan lingkungan adalah keberlanjutan (sustainability).¹⁴ Dalam perspektif aksiologis, keberlanjutan bukan hanya prinsip kebijakan, tetapi ekspresi dari kebajikan etis yang berakar pada kesadaran intergenerasional.¹⁵ Menjaga lingkungan berarti menegakkan keadilan bagi mereka yang belum lahir — generasi mendatang yang berhak atas bumi yang layak huni.¹⁶ Dalam konteks ini, nilai moral keadilan lingkungan bertransformasi menjadi tanggung jawab lintas waktu: etika yang tidak hanya berpikir tentang “sekarang,” tetapi juga tentang “nanti.”

Akhirnya, seluruh nilai moral keadilan lingkungan berpuncak pada kesadaran sakralitas kehidupan. Alam bukan sekadar sistem material, melainkan ruang spiritual di mana manusia berjumpa dengan makna eksistensialnya.¹⁷ Dengan mengakui nilai-nilai intrinsik, solidaritas ekologis, tanggung jawab moral, dan keberlanjutan, keadilan lingkungan tidak hanya membangun tatanan sosial yang adil, tetapi juga menegakkan tatanan moral yang selaras dengan kosmos.¹⁸ Aksiologi ini menegaskan bahwa keadilan terhadap alam sejatinya adalah keadilan terhadap diri manusia sendiri — sebab manusia adalah bagian dari kehidupan yang ia rawat.¹⁹


Footnotes

[1]                Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 21–23.

[2]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford: Oxford University Press, 1949), 224.

[3]                Bryan G. Norton, “Environmental Ethics and Weak Anthropocentrism,” Environmental Ethics 6, no. 2 (1984): 131–148.

[4]                Herman E. Daly, Beyond Growth: The Economics of Sustainable Development (Boston: Beacon Press, 1996), 45–47.

[5]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 96–99.

[6]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–13.

[7]                Ibid., 123–125.

[8]                David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 39–41.

[9]                Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity (London: Sage Publications, 1992), 35–38.

[10]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 50–52.

[11]             Ibid., 67–69.

[12]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 41–42.

[13]             Sheila Jasanoff, States of Knowledge: The Co-Production of Science and Social Order (London: Routledge, 2004), 22–24.

[14]             Herman E. Daly dan John B. Cobb Jr., For the Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1989), 401–403.

[15]             Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity: A Legal Framework for Global Environmental Change,” Environmental Change and International Law 23, no. 2 (1990): 21–41.

[16]             Brian Barry, Sustainability and Intergenerational Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 17–19.

[17]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 73–76.

[18]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 105–107.

[19]             Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace (London: Zed Books, 2005), 23–25.


6.           Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Politik Keadilan Lingkungan

Dimensi sosial, ekonomi, dan politik dari keadilan lingkungan menyoroti fakta bahwa krisis ekologis tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan berakar pada struktur ketimpangan sosial dan sistem ekonomi global yang eksploitatif.¹ Isu lingkungan tidak hanya menyangkut pencemaran, deforestasi, atau perubahan iklim sebagai fenomena biofisik, tetapi juga terkait erat dengan distribusi kekuasaan, akses terhadap sumber daya, dan representasi politik dalam pengambilan keputusan ekologis.² Dengan demikian, keadilan lingkungan merupakan medan perjuangan sosial yang mempersoalkan siapa yang menanggung beban ekologis dan siapa yang menikmati manfaatnya.³

6.1.       Dimensi Sosial: Ketimpangan dan Marginalisasi Ekologis

Dalam perspektif sosial, keadilan lingkungan mengungkap ketimpangan distribusi risiko ekologis. Komunitas miskin, kelompok minoritas, dan masyarakat adat sering kali menjadi korban utama degradasi lingkungan — dari pembuangan limbah industri hingga pencemaran udara dan air.⁴ Fenomena ini dikenal dengan istilah environmental racism, yakni bentuk diskriminasi struktural di mana kelompok tertentu secara sistematis ditempatkan di wilayah berisiko tinggi secara ekologis.⁵ Studi klasik Robert D. Bullard menunjukkan bagaimana kebijakan pembangunan dan zonasi industri di Amerika Serikat telah memperdalam segregasi sosial-ekologis tersebut.⁶

Keadilan lingkungan menuntut pengakuan terhadap ecological citizenship — gagasan bahwa setiap warga memiliki hak moral dan politik atas lingkungan yang sehat.⁷ Ini berarti bahwa keadilan sosial harus diperluas untuk mencakup dimensi ekologis, termasuk hak atas udara bersih, air layak konsumsi, dan tanah yang subur.⁸ Di sisi lain, partisipasi masyarakat lokal dalam perumusan kebijakan lingkungan menjadi bagian penting dari demokratisasi ekologi, yaitu upaya untuk mendistribusikan kekuasaan ekologis secara lebih setara.⁹

6.2.       Dimensi Ekonomi: Kapitalisme dan Beban Ekologis Global

Secara ekonomi, keadilan lingkungan berhadapan langsung dengan logika kapitalisme global yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa batas dan eksploitasi sumber daya alam.¹⁰ Sistem ekonomi modern beroperasi dengan paradigma extractivism — menganggap alam sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi tanpa batas demi akumulasi modal.¹¹ Hal ini menimbulkan apa yang disebut Joan Martinez-Alier sebagai “ekonomi ketidakadilan ekologis,” di mana keuntungan ekonomi dihasilkan dengan memindahkan beban ekologis ke wilayah dan populasi lain, terutama di negara-negara Selatan global.¹²

Fenomena ini tampak jelas dalam praktik perdagangan karbon, ekspansi agribisnis, dan industrialisasi ekstraktif yang memicu deforestasi di Amazon, Asia Tenggara, dan Afrika.¹³ Dalam kerangka keadilan lingkungan, kritik terhadap sistem ekonomi ini menuntut transformasi menuju ekonomi ekologis — sistem yang berorientasi pada keseimbangan, bukan pertumbuhan tanpa batas.¹⁴ Prinsip degrowth atau post-growth economy, seperti dikemukakan oleh Serge Latouche dan Tim Jackson, menjadi alternatif moral dan struktural yang menolak mitos kemakmuran material sebagai ukuran kemajuan.¹⁵

Lebih jauh, aspek keadilan antargenerasi juga memiliki dimensi ekonomi yang kuat. Eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan keberlanjutan berarti melanggar hak ekonomi generasi mendatang.¹⁶ Oleh karena itu, keadilan lingkungan juga menuntut redistribusi tanggung jawab ekologis antara negara maju dan berkembang — sebagaimana ditegaskan dalam prinsip common but differentiated responsibilities dalam Paris Agreement.¹⁷

6.3.       Dimensi Politik: Kekuasaan, Representasi, dan Kedaulatan Ekologis

Secara politik, keadilan lingkungan berhubungan dengan pertanyaan siapa yang memiliki kekuasaan untuk menentukan arah pembangunan dan siapa yang diabaikan dalam proses tersebut.¹⁸ Dalam banyak kasus, kebijakan lingkungan diambil berdasarkan kepentingan ekonomi dan politik elit, bukan berdasarkan kepentingan masyarakat lokal atau ekosistem itu sendiri.¹⁹ Hal ini menciptakan bentuk kolonialisme ekologis, di mana negara-negara maju mengekspor beban ekologis mereka ke wilayah global selatan melalui industri ekstraktif dan perdagangan bebas.²⁰

Keadilan lingkungan menuntut model politik baru yang disebut ekodemokrasi (ecodemocracy), yakni sistem politik yang mengintegrasikan prinsip ekologis ke dalam struktur pengambilan keputusan publik.²¹ Dalam ekodemokrasi, alam tidak hanya menjadi objek regulasi, tetapi juga diakui sebagai entitas yang memiliki hak representatif — sebagaimana dicontohkan oleh pemberian status hukum pada Sungai Whanganui di Selandia Baru atau Sungai Atrato di Kolombia.²² Langkah-langkah seperti ini menunjukkan perluasan subjek politik dari manusia ke alam, yang merefleksikan paradigma post-humanist justice.²³

Lebih jauh, keadilan lingkungan menuntut integrasi etika ekologis dalam kebijakan publik global. Instrumen seperti Paris Climate Agreement dan Sustainable Development Goals (SDGs) dapat menjadi kerangka kerja bagi solidaritas ekologis global, asalkan tidak direduksi menjadi retorika tanpa transformasi struktural.²⁴ Dalam kerangka ini, politik keadilan lingkungan harus bersifat partisipatif, interkonektif, dan berorientasi pada tanggung jawab moral global terhadap bumi sebagai entitas bersama.²⁵

Dengan demikian, keadilan lingkungan merupakan perjuangan multidimensional yang menautkan etika ekologis dengan keadilan sosial, ekonomi, dan politik. Ia menuntut tatanan dunia baru yang tidak hanya berkelanjutan secara ekologis, tetapi juga adil secara sosial dan setara secara politik — suatu visi yang hanya dapat terwujud melalui rekonstruksi nilai dan kekuasaan dalam sistem global.²⁶


Footnotes

[1]                David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 73–75.

[2]                Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 32–34.

[3]                Ulrich Beck, World at Risk (Cambridge: Polity Press, 2009), 56–58.

[4]                Robert D. Bullard, Dumping in Dixie: Race, Class, and Environmental Quality (Boulder, CO: Westview Press, 1990), 21–25.

[5]                Luke W. Cole and Sheila R. Foster, From the Ground Up: Environmental Racism and the Rise of the Environmental Justice Movement (New York: New York University Press, 2001), 10–12.

[6]                Bullard, Dumping in Dixie, 45–46.

[7]                Andrew Dobson, Citizenship and the Environment (Oxford: Oxford University Press, 2003), 91–93.

[8]                Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 300–302.

[9]                David Schlosberg, Defining Environmental Justice, 84–86.

[10]             Herman E. Daly, Steady-State Economics (San Francisco: W. H. Freeman, 1977), 18–21.

[11]             Alberto Acosta, Extractivism and Neoextractivism: Two Sides of the Same Curse (Quito: Rosa Luxemburg Foundation, 2013), 8–10.

[12]             Joan Martinez-Alier, The Environmentalism of the Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation (Cheltenham: Edward Elgar, 2002), 43–46.

[13]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 57–59.

[14]             Herman E. Daly dan John B. Cobb Jr., For the Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1989), 401–404.

[15]             Serge Latouche, Farewell to Growth (Cambridge: Polity Press, 2009), 20–23; Tim Jackson, Prosperity without Growth (London: Earthscan, 2009), 47–49.

[16]             Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity: A Legal Framework for Global Environmental Change,” Environmental Change and International Law 23, no. 2 (1990): 21–41.

[17]             United Nations, Paris Agreement (New York: UN, 2015), Article 2.

[18]             Bruno Latour, Politics of Nature: How to Bring the Sciences into Democracy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 45–47.

[19]             Arturo Escobar, Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1995), 191–193.

[20]             Ramachandra Guha dan Joan Martinez-Alier, Varieties of Environmentalism: Essays North and South (London: Earthscan, 1997), 50–52.

[21]             John Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses (Oxford: Oxford University Press, 2013), 97–100.

[22]             Erin O’Donnell dan Julia Talbot-Jones, “Creating Legal Rights for Rivers: Lessons from Australia, New Zealand, and India,” Ecology and Society 23, no. 1 (2018): 1–8.

[23]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 89–92.

[24]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 70–73.

[25]             Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace (London: Zed Books, 2005), 29–31.

[26]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 112–115.


7.           Kritik terhadap Konsep Keadilan Lingkungan

Meskipun prinsip keadilan lingkungan (environmental justice) telah menjadi fondasi etis penting dalam wacana ekologi kontemporer, berbagai kritik filosofis, politik, dan konseptual telah diarahkan terhadapnya. Kritik ini tidak hanya menyoroti kelemahan dalam penerapan praktisnya, tetapi juga mempertanyakan asumsi-asumsi dasar yang melandasi gagasan keadilan lingkungan, baik dari segi cakupan moral, orientasi antropologis, maupun universalisme normatifnya.¹

7.1.       Kritik terhadap Antroposentrisme Terselubung

Salah satu kritik utama datang dari kalangan ekosentris dan biofilosofis yang menilai bahwa keadilan lingkungan masih beroperasi dalam kerangka antroposentris.² Meskipun secara retoris menekankan keadilan bagi “alam” dan “ekosistem,” dalam praktiknya gagasan ini sering kali tetap berfokus pada penderitaan dan kepentingan manusia, bukan pada nilai intrinsik alam itu sendiri.³ Dalam pandangan Arne Naess, keadilan lingkungan cenderung bersifat “dangkal” (shallow ecology) karena masih menempatkan manusia sebagai pusat moralitas.⁴ Sebaliknya, ia mengusulkan etika deep ecology yang mengakui semua makhluk sebagai subjek moral sejajar.⁵ Kritik ini menantang fondasi moral keadilan lingkungan untuk melampaui kepentingan manusia dan benar-benar memasukkan komunitas ekologis sebagai entitas etis yang setara.⁶

Selain itu, sejumlah pemikir seperti Val Plumwood menyoroti bahwa keadilan lingkungan sering kali gagal mengatasi dikotomi biner antara manusia dan alam, sehingga tetap mereproduksi hierarki ontologis yang menjadi akar krisis ekologis itu sendiri.⁷ Dalam kerangka ini, gagasan “keadilan” masih diasumsikan dalam model hubungan sosial manusia, bukan dalam konteks ekosistem yang kompleks dan saling bergantung.⁸

7.2.       Kritik terhadap Bias Barat dan Universalisme Moral

Kritik lain menyoroti kecenderungan eurocentrism dalam wacana keadilan lingkungan. Banyak teori dan kebijakan yang mengatasnamakan keadilan lingkungan didasarkan pada nilai-nilai liberal Barat seperti hak individu, rasionalitas hukum, dan konsep kepemilikan.⁹ Pandangan ini sering kali tidak sesuai dengan epistemologi dan kosmologi masyarakat non-Barat yang memandang alam sebagai bagian integral dari komunitas spiritual dan kultural.¹⁰ Boaventura de Sousa Santos menyebut hal ini sebagai bentuk epistemicide — pemusnahan cara mengetahui lain di luar paradigma Barat yang dominan.¹¹

Dalam konteks ini, para pemikir dari Selatan global, seperti Vandana Shiva dan Arturo Escobar, menekankan perlunya dekolonisasi ekologis.¹² Mereka berargumen bahwa keadilan lingkungan sejati hanya dapat tercapai jika sistem pengetahuan, praktik ekonomi, dan kebijakan ekologis membuka ruang bagi pluralitas epistemik — termasuk kearifan lokal, spiritualitas kosmik, dan relasi ekologis komunitas adat.¹³ Dengan kata lain, keadilan lingkungan harus bersifat multikultural dan kontekstual, bukan universal dalam bentuk tunggal.¹⁴

7.3.       Kritik terhadap Dimensi Struktural dan Politik

Kritik ketiga menyoroti dimensi politik dan struktural dari keadilan lingkungan. Banyak aktivis dan teoretikus berpendapat bahwa konsep ini terlalu fokus pada distribusi risiko dan manfaat lingkungan (distributive justice), sementara mengabaikan akar sistemik ketidakadilan yang bersumber dari kapitalisme global dan relasi kekuasaan ekonomi-politik.¹⁵ David Harvey dan John Bellamy Foster menegaskan bahwa keadilan lingkungan tidak dapat dicapai tanpa transformasi struktural terhadap sistem produksi kapitalis yang mendasari degradasi ekologis.¹⁶ Dalam konteks ini, keadilan lingkungan harus dihubungkan dengan ekososialisme, yakni gagasan bahwa pembebasan sosial dan ekologis merupakan satu kesatuan perjuangan.¹⁷

Selain itu, Nancy Fraser mengkritik kecenderungan wacana keadilan lingkungan untuk memisahkan isu “pengakuan” dan “redistribusi.”¹⁸ Baginya, keadilan ekologis hanya mungkin terwujud jika masyarakat mengintegrasikan dimensi ekonomi, kultural, dan politik dalam satu kerangka transformasi sosial.¹⁹ Kritik ini menunjukkan bahwa keadilan lingkungan bukan hanya proyek moral, tetapi juga proyek politik yang menuntut perubahan struktural terhadap relasi kekuasaan dan sistem ekonomi global.²⁰

7.4.       Kritik terhadap Ambiguitas Konseptual dan Praktis

Secara konseptual, keadilan lingkungan juga dikritik karena sifatnya yang terlalu luas dan ambigu.²¹ Istilah “keadilan” dapat mencakup berbagai dimensi — dari hukum, etika, hingga spiritualitas — sehingga sulit diterapkan secara operasional dalam kebijakan publik.²² Beberapa peneliti menilai bahwa konsep ini telah menjadi catch-all term yang kehilangan kekuatan analitisnya karena digunakan secara retoris tanpa definisi filosofis yang konsisten.²³ Misalnya, dalam banyak forum internasional, istilah “justice” sering digunakan secara simbolik untuk menunjukkan komitmen moral tanpa diikuti perubahan substantif dalam praktik ekonomi dan politik.²⁴

Kritik lain datang dari kalangan realist environmental policy yang menilai bahwa keadilan lingkungan sering kali idealistis dan sulit diimplementasikan di negara dengan kapasitas politik dan ekonomi terbatas.²⁵ Namun, para pendukungnya membalas bahwa idealisme etis justru diperlukan untuk menantang struktur dominan dan membuka horizon normatif baru dalam tata kelola global.²⁶

7.5.       Sintesis Kritis: Menuju Keadilan Ekologis Integral

Kritik-kritik tersebut tidak serta-merta menolak gagasan keadilan lingkungan, tetapi justru memperkaya dan memperluasnya.²⁷ Melalui kritik terhadap antroposentrisme, bias Barat, dan kelemahan struktural, muncul kesadaran baru bahwa keadilan lingkungan harus bersifat ekologis, intersubjektif, dan pluralistik.²⁸ Ia harus mampu mengintegrasikan nilai ekologis intrinsik, solidaritas sosial, serta transformasi politik dan ekonomi secara bersamaan.²⁹ Dengan demikian, keadilan lingkungan tidak boleh berhenti pada level distribusi atau pengakuan semata, melainkan harus bergerak menuju keadilan ekologis integral yang mengakui seluruh jaringan kehidupan sebagai subjek moral dan politik yang saling terhubung.³⁰


Footnotes

[1]                David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 91–93.

[2]                Bryan G. Norton, “Environmental Ethics and Weak Anthropocentrism,” Environmental Ethics 6, no. 2 (1984): 131–148.

[3]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 102–104.

[4]                Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement: A Summary,” Inquiry 16 (1973): 95–100.

[5]                Ibid., 97.

[6]                Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Boston: Shambhala, 1990), 45–47.

[7]                Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 55–57.

[8]                Ibid., 61–63.

[9]                Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 49–51.

[10]             Arturo Escobar, Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1995), 190–192.

[11]             Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 45–48.

[12]             Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1988), 18–21.

[13]             Arturo Escobar, Designs for the Pluriverse: Radical Interdependence, Autonomy, and the Making of Worlds (Durham, NC: Duke University Press, 2018), 76–79.

[14]             Santos, Epistemologies of the South, 51–52.

[15]             David Harvey, Justice, Nature, and the Geography of Difference (Oxford: Blackwell, 1996), 118–120.

[16]             John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 221–223.

[17]             James O’Connor, “The Second Contradiction of Capitalism,” Capitalism, Nature, Socialism 1, no. 1 (1988): 11–38.

[18]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 49–52.

[19]             Ibid., 55–57.

[20]             Schlosberg, Defining Environmental Justice, 95–97.

[21]             Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 83–85.

[22]             Peter Singer, One World: The Ethics of Globalization (New Haven, CT: Yale University Press, 2002), 68–69.

[23]             Noel Castree, “The Nature of Nature in Environmental Politics,” Progress in Human Geography 26, no. 2 (2002): 208–210.

[24]             Jennifer Clapp dan Peter Dauvergne, Paths to a Green World: The Political Economy of the Global Environment (Cambridge, MA: MIT Press, 2011), 12–14.

[25]             Andrew Dobson, Fairness and Futurity: Essays on Environmental Sustainability and Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1999), 30–32.

[26]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 123–126.

[27]             Karen J. Warren, “The Power and the Promise of Ecological Feminism,” Environmental Ethics 12, no. 2 (1990): 125–146.

[28]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 108–111.

[29]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 76–78.

[30]             Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace (London: Zed Books, 2005), 28–31.


8.           Relevansi Kontemporer dan Aplikasi Praktis

Dalam konteks kontemporer, prinsip keadilan lingkungan (environmental justice) semakin menempati posisi sentral dalam wacana etika, politik global, dan kebijakan publik. Krisis iklim, ketimpangan ekonomi global, dan degradasi sumber daya alam memperlihatkan urgensi untuk menafsirkan kembali hubungan manusia dan lingkungan dalam kerangka keadilan yang lebih luas—baik antargenerasi, antarkelas, maupun antarspesies.¹ Keadilan lingkungan kini bukan hanya ideal moral, melainkan juga tuntutan praktis untuk menata ulang sistem sosial-ekologis dunia yang sedang menuju ambang krisis planet.²

8.1.       Keadilan Iklim dan Solidaritas Global

Salah satu bentuk paling nyata dari penerapan keadilan lingkungan adalah gerakan keadilan iklim (climate justice movement). Gerakan ini berupaya menghubungkan isu perubahan iklim dengan struktur ketidakadilan global, menyoroti bahwa negara-negara kaya penyumbang emisi karbon terbesar sering kali paling sedikit menanggung dampaknya, sementara negara berkembang menghadapi konsekuensi paling parah.³ Prinsip common but differentiated responsibilities dalam Paris Agreement menjadi refleksi normatif dari gagasan ini, yang menuntut distribusi tanggung jawab ekologis berdasarkan kapasitas dan kontribusi historis terhadap kerusakan lingkungan.⁴

Dalam praktiknya, isu keadilan iklim juga mendorong munculnya solidaritas lintas negara dan lintas kelas. Gerakan seperti Fridays for Future dan Extinction Rebellion menjadi platform global yang menuntut perubahan sistemik, sementara masyarakat adat dan komunitas lokal di Selatan global memperjuangkan hak atas tanah dan air mereka dalam kerangka keadilan ekologis.⁵ Fenomena ini memperlihatkan bahwa keadilan lingkungan telah menjadi gerakan sosial transnasional yang menggabungkan etika, politik, dan advokasi ilmiah dalam satu perjuangan moral global.⁶

8.2.       Implementasi dalam Kebijakan Publik dan Tata Kelola Lingkungan

Dalam ranah kebijakan, prinsip keadilan lingkungan mulai diintegrasikan ke dalam berbagai instrumen hukum dan program pembangunan berkelanjutan.⁷ Misalnya, Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat secara resmi mengadopsi kebijakan Environmental Justice Strategy yang menekankan pemerataan manfaat dan risiko lingkungan bagi seluruh kelompok masyarakat.⁸ Di Uni Eropa, kerangka European Green Deal juga memasukkan aspek keadilan sosial dalam transisi menuju ekonomi hijau, memastikan bahwa kebijakan dekarbonisasi tidak menimbulkan “korban sosial baru.”⁹

Di tingkat global, keadilan lingkungan juga tercermin dalam tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama tujuan ke-13 (aksi terhadap perubahan iklim) dan ke-16 (keadilan dan institusi yang kuat).¹⁰ Namun, berbagai pengamat menilai bahwa implementasi prinsip keadilan sering kali masih bersifat normatif dan simbolis.¹¹ Oleh karena itu, diperlukan pendekatan kebijakan yang menggabungkan dimensi etis dan partisipatif—di mana komunitas terdampak memiliki suara langsung dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan lingkungan.¹²

8.3.       Ekonomi Ekologis dan Transisi Berkelanjutan

Dalam bidang ekonomi, keadilan lingkungan berperan penting dalam merumuskan paradigma ekonomi ekologis (ecological economics).¹³ Paradigma ini menolak logika pertumbuhan tak terbatas yang menjadi akar krisis ekologis dan menekankan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan daya dukung bumi.¹⁴ Praktik ekonomi sirkular (circular economy), pertanian regeneratif, serta transisi energi hijau merupakan bentuk konkret dari penerapan prinsip keadilan lingkungan dalam konteks ekonomi.¹⁵

Namun, kritik tetap muncul terhadap dominasi korporasi dalam wacana keberlanjutan. Banyak inisiatif “hijau” justru dikendalikan oleh kepentingan bisnis dan menjadi bentuk baru dari green capitalism.¹⁶ Untuk memastikan bahwa transisi menuju ekonomi hijau tidak mengulangi ketimpangan lama, keadilan lingkungan menuntut transisi yang adil (just transition)—yakni transformasi ekonomi yang memperhatikan hak pekerja, masyarakat lokal, dan kelompok rentan dalam setiap tahap perubahan.¹⁷

8.4.       Dimensi Teknologi, Digitalisasi, dan Etika Lingkungan Baru

Relevansi keadilan lingkungan juga meluas ke ranah teknologi dan digitalisasi. Isu seperti jejak karbon digital, penggunaan sumber daya langka untuk perangkat elektronik, dan limbah e-waste menunjukkan bahwa revolusi digital membawa tantangan etis baru.¹⁸ Di satu sisi, teknologi digital dapat membantu mitigasi perubahan iklim melalui sistem informasi lingkungan dan energi cerdas (smart energy systems); namun di sisi lain, teknologi juga memperluas bentuk baru ketidakadilan ekologis antara pusat dan pinggiran ekonomi global.¹⁹ Oleh karena itu, etika digital kini harus disinergikan dengan prinsip keadilan ekologis agar inovasi teknologi berjalan dalam batas tanggung jawab planet.²⁰

8.5.       Pendidikan, Spiritualitas, dan Kesadaran Ekologis

Pada level kultural, keadilan lingkungan memiliki relevansi mendalam dalam pendidikan dan spiritualitas ekologis. Pendidikan lingkungan tidak hanya bertujuan menanamkan pengetahuan teknis tentang ekosistem, tetapi juga membentuk kesadaran moral dan spiritual mengenai keterhubungan manusia dengan alam.²¹ Gagasan “ecological citizenship” dan “environmental virtue ethics” menjadi bagian dari kurikulum pendidikan global untuk membentuk generasi yang berempati terhadap bumi.²²

Selain itu, spiritualitas ekologis — baik dalam tradisi agama-agama besar maupun dalam filsafat humanistik — menekankan tanggung jawab moral terhadap kehidupan sebagai dimensi transenden dari keadilan lingkungan.²³ Seperti ditegaskan oleh Thomas Berry, tugas manusia bukan sekadar melestarikan alam, tetapi berpartisipasi dalam “perayaan kosmos” sebagai ekspresi kesadaran ekologis yang integral.²⁴

8.6.       Sintesis Relevansi Kontemporer

Secara keseluruhan, keadilan lingkungan dalam konteks kontemporer menunjukkan tiga arah utama:

(1)               transformasi struktural dalam ekonomi dan politik global,

(2)               transisi etis menuju tanggung jawab ekologis kolektif, dan

(3)               rekonstruksi kesadaran yang mengakui keterikatan eksistensial manusia dengan bumi.²⁵

Prinsip keadilan lingkungan kini bukan hanya gerakan aktivis, melainkan paradigma moral dan praksis sosial yang menuntun umat manusia menuju tata dunia baru—lebih berkelanjutan, lebih adil, dan lebih manusiawi.²⁶


Footnotes

[1]                Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 73–75.

[2]                David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 103–105.

[3]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 57–60.

[4]                United Nations, Paris Agreement (New York: UN, 2015), Article 2.

[5]                Greta Thunberg, No One Is Too Small to Make a Difference (London: Penguin Books, 2019), 12–14.

[6]                Schlosberg, Defining Environmental Justice, 109–110.

[7]                Luke W. Cole dan Sheila R. Foster, From the Ground Up: Environmental Racism and the Rise of the Environmental Justice Movement (New York: New York University Press, 2001), 115–118.

[8]                U.S. Environmental Protection Agency (EPA), Environmental Justice Strategy (Washington, DC: EPA Publications, 2022), 3–4.

[9]                European Commission, The European Green Deal (Brussels: European Union, 2019), 9–12.

[10]             United Nations, Sustainable Development Goals Report 2023 (New York: UN, 2023), 44–47.

[11]             Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 112–114.

[12]             Sheila Jasanoff, States of Knowledge: The Co-Production of Science and Social Order (London: Routledge, 2004), 28–31.

[13]             Herman E. Daly, Beyond Growth: The Economics of Sustainable Development (Boston: Beacon Press, 1996), 38–40.

[14]             Serge Latouche, Farewell to Growth (Cambridge: Polity Press, 2009), 24–27.

[15]             Tim Jackson, Prosperity without Growth (London: Earthscan, 2009), 52–54.

[16]             Joan Martinez-Alier, The Environmentalism of the Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation (Cheltenham: Edward Elgar, 2002), 77–79.

[17]             International Labour Organization (ILO), Guidelines for a Just Transition towards Environmentally Sustainable Economies and Societies for All (Geneva: ILO, 2015), 4–7.

[18]             Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven, CT: Yale University Press, 2021), 15–18.

[19]             Jennifer Gabrys, Digital Rubbish: A Natural History of Electronics (Ann Arbor: University of Michigan Press, 2011), 62–65.

[20]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 101–103.

[21]             Fikret Berkes, Sacred Ecology (New York: Routledge, 2008), 17–19.

[22]             Andrew Light dan Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Oxford: Blackwell, 2003), 411–414.

[23]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 88–90.

[24]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 112–114.

[25]             Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace (London: Zed Books, 2005), 31–33.

[26]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 98–100.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Etika Keadilan Ekologis Integral

Sintesis filosofis dari gagasan keadilan lingkungan (environmental justice) menuntut integrasi antara tiga dimensi fundamental filsafat—ontologi, epistemologi, dan aksiologi—dalam satu kerangka etika ekologis yang utuh dan menyeluruh. Prinsip ini tidak hanya berbicara tentang bagaimana manusia memperlakukan alam, tetapi juga tentang bagaimana manusia memahami dirinya sebagai bagian dari tatanan kosmik yang saling berelasi.¹ Dengan demikian, keadilan lingkungan tidak dapat direduksi menjadi wacana hukum atau kebijakan teknokratis; ia merupakan ethos of being—suatu cara berada dan berpikir yang menegaskan keterikatan eksistensial manusia dengan dunia kehidupan.²

9.1.       Integrasi Ontologis: Dari Antroposentrisme Menuju Kosmosentrisme

Ontologi keadilan lingkungan menuntut rekonstruksi paradigma keberadaan: dari manusia sebagai pusat dan penguasa menuju manusia sebagai bagian dari komunitas ekologis.³ Paradigma kosmosentris mengandaikan bahwa seluruh entitas—manusia, hewan, tumbuhan, dan ekosistem—memiliki nilai intrinsik yang saling menopang dalam jaringan kehidupan.⁴ Kesadaran kosmosentris ini menolak dikotomi antara subjek dan objek serta menegaskan keterpaduan antara being dan bios.⁵ Dalam kerangka ini, keadilan bukan sekadar relasi sosial, melainkan ekspresi harmoni ontologis antara eksistensi manusia dan keberlanjutan alam.⁶

Pemikiran Aldo Leopold tentang land ethic dan Hans Jonas tentang imperatif tanggung jawab memperlihatkan arah sintesis ini: bahwa etika ekologis sejati lahir ketika manusia menyadari dirinya sebagai penjaga, bukan penguasa.⁷ Kesadaran ini bersifat ontologis karena berakar dalam pengenalan terhadap makna keberadaan manusia di dunia sebagai makhluk yang bergantung dan berpartisipasi dalam tatanan kosmik.⁸

9.2.       Integrasi Epistemologis: Menuju Pengetahuan yang Relasional dan Partisipatif

Dari sisi epistemologi, keadilan ekologis integral menolak klaim pengetahuan objektif dan dominatif yang diwariskan oleh paradigma positivistik modern.⁹ Pengetahuan ekologis sejati tidak lahir dari dominasi terhadap alam, melainkan dari dialog dan partisipasi di dalamnya.¹⁰ Konsep epistemologi relasional yang diperkenalkan oleh Donna Haraway dan diperluas oleh Arturo Escobar menunjukkan bahwa mengetahui berarti terlibat—to know is to care.¹¹ Dengan demikian, epistemologi keadilan lingkungan bersifat etis karena melibatkan empati dan tanggung jawab terhadap makhluk lain.¹²

Keadilan epistemik, sebagaimana digagas Miranda Fricker, juga menjadi fondasi penting dari sintesis ini.¹³ Pengakuan terhadap pluralitas epistemik—terutama pengetahuan lokal dan spiritualitas ekologis masyarakat adat—merupakan prasyarat bagi terwujudnya keadilan ekologis global.¹⁴ Etika ekologis integral dengan demikian menuntut pembebasan pengetahuan dari dominasi tunggal sains modern menuju kosmologi pengetahuan yang terbuka, partisipatif, dan saling melengkapi.¹⁵

9.3.       Integrasi Aksiologis: Nilai Intrinsik, Solidaritas, dan Tanggung Jawab

Aksiologi keadilan ekologis integral berpijak pada pengakuan bahwa nilai kehidupan tidak bersifat hierarkis, melainkan koeksistensial.¹⁶ Semua makhluk memiliki martabat ekologis (ecological dignity) yang menuntut penghormatan.¹⁷ Prinsip moral ini menuntun pada pembentukan etika tanggung jawab ekologis (ecological responsibility) dan solidaritas lintas kehidupan (biospheric solidarity).¹⁸ Dalam semangat Jonas, tanggung jawab manusia tidak hanya bersifat moral individual, tetapi juga kosmik—menyangkut masa depan seluruh kehidupan di planet ini.¹⁹

Etika tanggung jawab ini berpadu dengan gagasan Thomas Berry tentang earth community, yaitu visi moral bahwa bumi adalah subjek kolektif dari keadilan.²⁰ Keadilan lingkungan, dalam sintesis aksiologisnya, bukan hanya soal pembagian sumber daya, tetapi tentang pemulihan relasi kasih sayang antara manusia dan bumi.²¹ Maka, etika ekologis integral menjadi dasar bagi spiritualitas ekologis, di mana tindakan ekologis adalah bentuk doa, dan pelestarian alam adalah wujud konkret dari keadilan moral.²²

9.4.       Kesadaran Transformatif: Ekosofi sebagai Puncak Sintesis

Puncak dari sintesis filosofis keadilan lingkungan adalah kesadaran ekosofi—sebuah kebijaksanaan ekologis yang menggabungkan dimensi teoretis, praksis, dan spiritual.²³ Ekosofi, sebagaimana digagas oleh Arne Naess, menuntut transformasi paradigma hidup: dari konsumsi ke kontemplasi, dari eksploitasi ke empati, dan dari dominasi ke koeksistensi.²⁴ Dalam ekosofi, etika menjadi jalan hidup (way of life), bukan sekadar prinsip moral abstrak.²⁵

Kesadaran ini menuntun manusia untuk menghidupi keadilan ekologis bukan hanya sebagai sistem nilai, tetapi sebagai bentuk eksistensi yang sadar dan bertanggung jawab terhadap kosmos.²⁶ Dengan demikian, sintesis filosofis keadilan lingkungan melampaui batas antara teori dan praktik, antara filsafat dan tindakan—menjadikannya sebagai proyek peradaban baru yang berlandaskan kasih, kesetaraan, dan keberlanjutan.²⁷

9.5.       Menuju Etika Keadilan Ekologis Integral

Etika keadilan ekologis integral merupakan buah dari dialog antara rasionalitas ilmiah dan kesadaran moral-spiritual manusia.²⁸ Ia menegaskan bahwa keadilan terhadap alam adalah bentuk tertinggi dari keadilan terhadap diri manusia, karena keberlangsungan eksistensi manusia bergantung pada integritas ekologis bumi.²⁹ Dalam pandangan ini, etika ekologis tidak hanya menjadi cabang filsafat terapan, tetapi fondasi baru bagi humanisme ekologis: humanisme yang rendah hati, dialogis, dan kosmik.³⁰

Dengan mengintegrasikan kesadaran ontologis tentang kesalingbergantungan, epistemologi relasional yang inklusif, dan aksiologi yang berakar pada tanggung jawab kosmik, keadilan lingkungan bertransformasi menjadi etika ekologis integral — suatu paradigma moral yang menuntun manusia menuju harmoni dengan seluruh ciptaan.³¹ Inilah arah baru filsafat etika lingkungan: bukan sekadar untuk “menyelamatkan bumi,” melainkan untuk menyelamatkan makna kemanusiaan di dalam bumi itu sendiri.³²


Footnotes

[1]                David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 123–125.

[2]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 106–109.

[3]                Bruno Latour, Politics of Nature: How to Bring the Sciences into Democracy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 45–47.

[4]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford: Oxford University Press, 1949), 224–226.

[5]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 30–33.

[6]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 96–98.

[7]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 123–125.

[8]                Leopold, A Sand County Almanac, 240.

[9]                Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), 11–13.

[10]             Donna Haraway, Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective, Feminist Studies 14, no. 3 (1988): 575–599.

[11]             Arturo Escobar, Designs for the Pluriverse: Radical Interdependence, Autonomy, and the Making of Worlds (Durham, NC: Duke University Press, 2018), 22–24.

[12]             Karen J. Warren, “The Power and the Promise of Ecological Feminism,” Environmental Ethics 12, no. 2 (1990): 125–146.

[13]             Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 3–5.

[14]             Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 45–48.

[15]             Escobar, Designs for the Pluriverse, 80–82.

[16]             Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 76–79.

[17]             David Schlosberg, Defining Environmental Justice, 138–140.

[18]             Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 87–89.

[19]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 128–130.

[20]             Berry, The Great Work, 112–115.

[21]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 70–72.

[22]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 88–90.

[23]             Arne Naess, “The Deep Ecological Movement: Some Philosophical Aspects,” Philosophical Inquiry 8, no. 1–2 (1986): 10–31.

[24]             Ibid., 15–16.

[25]             Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 29–31.

[26]             Capra, The Web of Life, 210–213.

[27]             Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 94–96.

[28]             Pope Francis, Laudato Si’, 95–97.

[29]             Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace (London: Zed Books, 2005), 42–44.

[30]             Nasr, Religion and the Order of Nature, 91–93.

[31]             Berry, The Great Work, 120–123.

[32]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 180–183.


10.       Kesimpulan

Keadilan lingkungan merupakan salah satu puncak refleksi etis dan filosofis dari kesadaran manusia modern terhadap krisis ekologis global. Ia bukan sekadar isu teknis atau kebijakan publik, melainkan paradigma moral dan ontologis yang menuntut perubahan mendasar dalam cara manusia memahami, mengetahui, dan hidup bersama alam.¹ Prinsip ini mengajak kita untuk melihat kembali relasi manusia dan lingkungan bukan sebagai hubungan dominasi, tetapi sebagai tanggung jawab bersama dalam komunitas kehidupan (biotic community).² Dengan demikian, keadilan lingkungan menjadi fondasi bagi peradaban yang berkeadilan ekologis dan berkelanjutan secara spiritual, sosial, dan ekonomi.³

Secara ontologis, keadilan lingkungan mengajarkan bahwa manusia bukan entitas terpisah dari alam, melainkan bagian integral dari kosmos.⁴ Eksistensi manusia memperoleh maknanya bukan dari penaklukan terhadap alam, tetapi dari keterlibatannya dalam menjaga harmoni kehidupan. Kesadaran ini menegaskan bahwa penghancuran alam berarti penghancuran diri manusia sendiri, karena keduanya saling terkait dalam jaringan eksistensial yang sama.⁵ Dengan demikian, prinsip ontologis keadilan lingkungan memulihkan kesadaran kosmik yang selama ini tereduksi oleh pandangan mekanistik modern.⁶

Secara epistemologis, keadilan lingkungan menantang paradigma pengetahuan yang eksklusif dan hegemonik.⁷ Ia mengusulkan bentuk epistemologi partisipatif, di mana pengetahuan ekologis tidak hanya berasal dari laboratorium atau teori, tetapi juga dari pengalaman komunitas, budaya lokal, dan kearifan ekologis masyarakat adat.⁸ Dengan membuka ruang bagi pluralitas cara mengetahui, keadilan lingkungan menegakkan keadilan epistemik, yaitu pengakuan terhadap semua bentuk pengetahuan yang berakar pada keterhubungan manusia dengan dunia hidupnya.⁹ Dalam hal ini, pengetahuan ekologis tidak lagi bersifat dominatif, melainkan relasional dan empatik.¹⁰

Secara aksiologis, keadilan lingkungan menegakkan nilai-nilai moral universal yang mencakup tanggung jawab, solidaritas, dan keberlanjutan.¹¹ Nilai-nilai ini memperluas horizon moral manusia dari individualitas menuju tanggung jawab kolektif terhadap bumi sebagai rumah bersama (common home).¹² Dalam semangat Hans Jonas, etika tanggung jawab menuntut agar setiap tindakan manusia mempertimbangkan konsekuensinya terhadap keberlangsungan kehidupan masa depan.¹³ Dengan demikian, keadilan lingkungan tidak hanya menyangkut distribusi sumber daya secara adil, tetapi juga menyangkut tanggung jawab moral lintas generasi dan spesies.¹⁴

Dari sisi sosial dan politik, keadilan lingkungan menuntut rekonstruksi struktur kekuasaan global yang lebih adil.¹⁵ Isu-isu seperti environmental racism, eksploitasi sumber daya di Selatan global, dan ketimpangan tanggung jawab iklim menunjukkan bahwa krisis ekologis sejatinya adalah krisis moral dan politik.¹⁶ Karena itu, perjuangan keadilan lingkungan juga berarti perjuangan melawan kolonialisme ekologis dan kapitalisme destruktif yang menjadikan alam sebagai objek ekonomi semata.¹⁷ Melalui ecodemocracy dan partisipasi komunitas lokal, keadilan ekologis dapat diwujudkan secara substantif—bukan hanya melalui hukum, tetapi melalui transformasi budaya dan kesadaran etis masyarakat.¹⁸

Sintesis dari seluruh dimensi ini menunjukkan bahwa keadilan lingkungan adalah etika yang menyatukan ilmu, moralitas, dan spiritualitas.¹⁹ Ia mengundang manusia untuk melihat bumi bukan sebagai sumber daya yang dieksploitasi, tetapi sebagai komunitas kehidupan yang sakral.²⁰ Dalam bahasa Thomas Berry, tugas besar umat manusia di abad ini adalah mengubah “impian ekonomi” menjadi “impian bumi,” yakni visi peradaban yang selaras dengan hukum kosmik dan keutuhan ciptaan.²¹ Etika keadilan ekologis dengan demikian bukan sekadar wacana akademik, melainkan panggilan moral universal untuk membangun masa depan yang berkelanjutan dan penuh kasih.²²

Pada akhirnya, keadilan lingkungan memadukan aspek ontologis (keberadaan yang saling terhubung), epistemologis (pengetahuan yang partisipatif), dan aksiologis (nilai-nilai tanggung jawab dan keberlanjutan) dalam satu kesatuan filsafat ekologis integral.²³ Paradigma ini menandai pergeseran dari etika antroposentris menuju etika kosmosentris, di mana manusia berperan bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai penjaga kehidupan.²⁴ Keadilan terhadap alam adalah bentuk tertinggi dari keadilan terhadap kemanusiaan itu sendiri, sebab dalam menjaga bumi, manusia sesungguhnya menjaga keberadaannya.²⁵


Footnotes

[1]                David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 141–143.

[2]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford: Oxford University Press, 1949), 224.

[3]                Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 112–115.

[4]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 30–32.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen and Unwin, 1968), 71–73.

[6]                Bruno Latour, We Have Never Been Modern (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 12–14.

[7]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 42–44.

[8]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 45–47.

[9]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–3.

[10]             Arturo Escobar, Designs for the Pluriverse: Radical Interdependence, Autonomy, and the Making of Worlds (Durham, NC: Duke University Press, 2018), 77–80.

[11]             Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford: Oxford University Press, 1998), 81–83.

[12]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 65–67.

[13]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–13.

[14]             Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity: A Legal Framework for Global Environmental Change,” Environmental Change and International Law 23, no. 2 (1990): 21–41.

[15]             Ulrich Beck, World at Risk (Cambridge: Polity Press, 2009), 56–58.

[16]             Robert D. Bullard, Dumping in Dixie: Race, Class, and Environmental Quality (Boulder, CO: Westview Press, 1990), 22–24.

[17]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 76–79.

[18]             John Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses (Oxford: Oxford University Press, 2013), 98–100.

[19]             Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 92–94.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 70–72.

[21]             Berry, The Great Work, 116–118.

[22]             Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace (London: Zed Books, 2005), 40–42.

[23]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 180–183.

[24]             Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–30.

[25]             Pope Francis, Laudato Si’, 98–100.


Daftar Pustaka

Aldo, L. (1949). A Sand County Almanac. Oxford University Press.

Acosta, A. (2013). Extractivism and Neoextractivism: Two Sides of the Same Curse. Rosa Luxemburg Foundation.

Attfield, R. (2014). Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century. Polity Press.

Barry, B. (1999). Sustainability and Intergenerational Justice. Harvard University Press.

Beck, U. (1992). Risk Society: Towards a New Modernity. Sage Publications.

Beck, U. (2009). World at Risk. Polity Press.

Berkes, F. (2008). Sacred Ecology (2nd ed.). Routledge.

Berry, T. (1988). The Dream of the Earth. Sierra Club Books.

Berry, T. (1999). The Great Work: Our Way into the Future. Bell Tower.

Bishop, P., & Daley, H. E. (1989). For the Common Good: Redirecting the Economy Toward Community, the Environment, and a Sustainable Future. Beacon Press.

Boaventura de Sousa, S. (2014). Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide. Paradigm Publishers.

Brown Weiss, E. (1990). Intergenerational equity: A legal framework for global environmental change. Environmental Change and International Law, 23(2), 21–41.

Bullard, R. D. (1990). Dumping in Dixie: Race, Class, and Environmental Quality. Westview Press.

Callicott, J. B. (1989). In Defense of the Land Ethic: Essays in Environmental Philosophy. State University of New York Press.

Capra, F. (1996). The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems. Anchor Books.

Carson, R. (1962). Silent Spring. Houghton Mifflin.

Castree, N. (2002). The nature of nature in environmental politics. Progress in Human Geography, 26(2), 208–210.

Chavis, B. (1987). Testimony before the United States Congress on toxic wastes and race. U.S. House of Representatives Subcommittee on Environmental Justice.

Clapp, J., & Dauvergne, P. (2011). Paths to a Green World: The Political Economy of the Global Environment. MIT Press.

Cole, L. W., & Foster, S. R. (2001). From the Ground Up: Environmental Racism and the Rise of the Environmental Justice Movement. New York University Press.

Crawford, K. (2021). Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence. Yale University Press.

Crutzen, P. J. (2002). Geology of mankind. Nature, 415(6867), 23.

Daly, H. E. (1977). Steady-State Economics. W. H. Freeman.

Daly, H. E. (1996). Beyond Growth: The Economics of Sustainable Development. Beacon Press.

Dobson, A. (1998). Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice. Oxford University Press.

Dobson, A. (1999). Fairness and Futurity: Essays on Environmental Sustainability and Social Justice. Oxford University Press.

Dobson, A. (2003). Citizenship and the Environment. Oxford University Press.

Dryzek, J. (2013). The Politics of the Earth: Environmental Discourses. Oxford University Press.

Escobar, A. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World. Princeton University Press.

Escobar, A. (2018). Designs for the Pluriverse: Radical Interdependence, Autonomy, and the Making of Worlds. Duke University Press.

European Commission. (2019). The European Green Deal. European Union.

Foster, J. B. (2000). Marx’s Ecology: Materialism and Nature. Monthly Review Press.

Fox, W. (1990). Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism. Shambhala.

Fraser, N. (1997). Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition. Routledge.

Fraser, N. (2003). Redistribution or Recognition? A Political-Philosophical Exchange. Verso.

Fricker, M. (2007). Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing. Oxford University Press.

Gabrys, J. (2011). Digital Rubbish: A Natural History of Electronics. University of Michigan Press.

Guha, R., & Martinez-Alier, J. (1997). Varieties of Environmentalism: Essays North and South. Earthscan.

Hamilton, C. (2010). Requiem for a Species: Why We Resist the Truth About Climate Change. Earthscan.

Haraway, D. (1988). Situated knowledges: The science question in feminism and the privilege of partial perspective. Feminist Studies, 14(3), 575–599.

Harding, S. (1991). Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women’s Lives. Cornell University Press.

Harvey, D. (1996). Justice, Nature, and the Geography of Difference. Blackwell.

Hays, S. P. (1987). Beauty, Health, and Permanence: Environmental Politics in the United States, 1955–1985. Cambridge University Press.

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of Enlightenment. Stanford University Press.

International Labour Organization. (2015). Guidelines for a Just Transition Towards Environmentally Sustainable Economies and Societies for All. ILO.

Jackson, T. (2009). Prosperity without Growth. Earthscan.

Jasanoff, S. (2004). States of Knowledge: The Co-Production of Science and Social Order. Routledge.

Jonas, H. (1984). The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age. University of Chicago Press.

Klein, N. (2014). This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate. Simon & Schuster.

Latouche, S. (2009). Farewell to Growth. Polity Press.

Latour, B. (1993). We Have Never Been Modern. Harvard University Press.

Latour, B. (2004). Politics of Nature: How to Bring the Sciences into Democracy. Harvard University Press.

Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime. Polity Press.

Leopold, A. (1949). A Sand County Almanac. Oxford University Press.

Light, A., & Rolston, H. III. (Eds.). (2003). Environmental Ethics: An Anthology. Blackwell.

Martinez-Alier, J. (2002). The Environmentalism of the Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation. Edward Elgar.

Merchant, C. (1980). The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution. Harper & Row.

Naess, A. (1973). The shallow and the deep, long-range ecology movement: A summary. Inquiry, 16, 95–100.

Naess, A. (1986). The deep ecological movement: Some philosophical aspects. Philosophical Inquiry, 8(1–2), 10–31.

Naess, A. (1989). Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy. Cambridge University Press.

Nasr, S. H. (1968). Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. George Allen and Unwin.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford University Press.

Nhat Hanh, T. (1988). The Heart of Understanding: Commentaries on the Prajnaparamita Heart Sutra. Parallax Press.

Norton, B. G. (1984). Environmental ethics and weak anthropocentrism. Environmental Ethics, 6(2), 131–148.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership. Harvard University Press.

O’Connor, J. (1988). The second contradiction of capitalism. Capitalism, Nature, Socialism, 1(1), 11–38.

O’Donnell, E., & Talbot-Jones, J. (2018). Creating legal rights for rivers: Lessons from Australia, New Zealand, and India. Ecology and Society, 23(1), 1–8.

Pope Francis. (2015). Laudato Si’: On Care for Our Common Home. Libreria Editrice Vaticana.

Plumwood, V. (1993). Feminism and the Mastery of Nature. Routledge.

Plumwood, V. (2002). Environmental Culture: The Ecological Crisis of Reason. Routledge.

Rolston, H. III. (1988). Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World. Temple University Press.

Rose, D. B. (2004). Reports from a Wild Country: Ethics for Decolonisation. University of New South Wales Press.

Santos, B. de S. (2014). Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide. Paradigm Publishers.

Schlosberg, D. (2007). Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature. Oxford University Press.

Sen, A. (1999). Development as Freedom. Alfred A. Knopf.

Shiva, V. (1988). Staying Alive: Women, Ecology, and Development. Zed Books.

Shiva, V. (2005). Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace. Zed Books.

Singer, P. (2002). One World: The Ethics of Globalization. Yale University Press.

Thunberg, G. (2019). No One Is Too Small to Make a Difference. Penguin Books.

Tuana, N. (2016). Climate apartheid: The forgetting of race in the Anthropocene. Critical Philosophy of Race, 4(1), 1–31.

United Nations. (2015). Paris Agreement. United Nations.

United Nations. (2023). Sustainable Development Goals Report 2023. United Nations Publications.

U.S. Environmental Protection Agency (EPA). (2022). Environmental Justice Strategy. EPA Publications.

Vallor, S. (2016). Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting. Oxford University Press.

Warren, K. J. (1990). The power and the promise of ecological feminism. Environmental Ethics, 12(2), 125–146.

Whyte, K. (2017). Indigenous climate change studies: Indigenizing futures, decolonizing the Anthropocene. English Language Notes, 55(1–2), 153–162.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar