Kebajikan (Virtue)
Dari Etika Klasik hingga
Pemikiran Kontemporer
Alihkan ke: Konsep-Konsep Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif perkembangan
gagasan kebajikan (virtue) dalam filsafat, mulai dari tradisi Yunani
Klasik hingga pemikiran kontemporer. Kajian ini menunjukkan bahwa kebajikan
selalu dipahami sebagai disposisi karakter yang membimbing manusia menuju
kehidupan baik, meskipun orientasi dan penekanannya berbeda sesuai konteks
historis dan kultural. Pada periode Yunani Klasik, Socrates, Plato, dan
Aristoteles menekankan keterkaitan kebajikan dengan pengetahuan, harmoni jiwa,
dan eudaimonia. Era Hellenistik dan Romawi memperluas horizon ini dengan
menempatkan kebajikan sebagai sarana mencapai ataraxia, hidup selaras
dengan logos, atau fondasi kehidupan publik. Tradisi Abad Pertengahan
mengintegrasikan kebajikan dengan iman, terutama melalui Augustinus yang
merumuskan ordo amoris dan Thomas Aquinas yang menyintesiskan kebajikan
kardinal dan teologis. Filsafat modern memperlihatkan fragmentasi: Machiavelli
memahami kebajikan sebagai kecakapan politik, Hume menekankannya pada sentimen
moral, Kant menegaskannya dalam kerangka kewajiban universal, sementara
Nietzsche menggugat genealogis kebajikan tradisional. Kebangkitan kembali etika
kebajikan di abad ke-20 melalui Anscombe, MacIntyre, Hursthouse, dan Nussbaum
menegaskan kembali pentingnya karakter, praktik sosial, dan dimensi global. Pada
akhirnya, artikel ini menyimpulkan bahwa kebajikan tetap relevan dalam menjawab
tantangan kontemporer, seperti pendidikan karakter, krisis moral publik,
bioetika, lingkungan, hingga etika teknologi, menjadikan kebajikan sebagai
paradigma etis yang dinamis dan kontekstual bagi abad ke-21.
Kata Kunci: Kebajikan; Virtue Ethics; Etika Klasik; Filsafat Abad
Pertengahan; Filsafat Modern; Filsafat Kontemporer; Karakter; Eudaimonia;
Moralitas; Etika Terapan.
PEMBAHASAN
Kebajikan (Virtue) dalam Perspektif
Filsafat
1.               
Pendahuluan
Pertanyaan tentang “kebajikan”
(virtue) adalah jantung dari refleksi etika sejak kelahiran filsafat hingga
perdebatan moral kontemporer. Secara historis, istilah Yunani aretê
merujuk pada “keunggulan” atau “kesempurnaan” kapasitas suatu
hal—dari alat hingga karakter manusia—sementara istilah Latin virtus
menandai kualitas unggul yang layak dipuji, terutama dalam konteks kepribadian
dan kehidupan publik.¹ ² Dalam tradisi filsafat, kebajikan dipahami bukan semata-mata
sebagai seperangkat aturan, melainkan sebagai disposisi kokoh (habitus) yang
dibentuk oleh latihan rasional dan praksis berulang, sehingga mengarahkan
pelakunya kepada kehidupan yang baik dan bermakna (eudaimonia).³
Dalam filsafat
klasik Yunani, Socrates menautkan kebajikan dengan pengetahuan—sebuah tesis
radikal bahwa siapa yang sungguh mengetahui kebaikan tidak mungkin dengan sadar
memilih yang buruk.⁴ Plato kemudian mensistematisasi gagasan ini ke dalam empat
kebajikan kardinal—kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, dan
keadilan—sebagai harmoni tatanan jiwa dan polis.⁵ Aristoteles melangkah lebih
jauh: kebajikan adalah hexis (habitus) yang berada pada “jalan
tengah” (mesotês) relatif terhadap kita,
ditentukan oleh rasio praktis (phronêsis) dan dibentuk melalui
pembiasaan.³ Pendekatan ini mengikat erat etika kebajikan dengan teleologi
manusia—yakni pemahaman tentang tujuan kodrati yang mekar dalam praksis sosial.
Pada era Helenistik
dan Romawi, peta kebajikan kian beragam. Kaum Stoa menegaskan bahwa kebajikan
adalah satu-satunya kebaikan sejati dan hidup bajik berarti selaras dengan logos
kosmik serta kebijaksanaan praktis menghadapi takdir.⁶ Epikureanisme,
sebaliknya, memandang kebajikan dalam kaitannya dengan ataraxia
(ketenangan jiwa): kebajikan bernilai sejauh menopang kehidupan yang bebas dari
rasa takut dan sakit yang berlebihan.⁷ Sementara itu, tradisi republik
Romawi—terutama melalui Cicero—menempatkan kebajikan sebagai fondasi kewajiban,
ketertiban, dan kepemimpinan sipil.⁸
Abad Pertengahan
memadukan warisan klasik dengan teologi. Augustinus menafsirkan kebajikan dalam
horizon cinta teratur (ordo amoris), di mana cinta kepada
Tuhan mengarahkan dan menata cinta-cinta lain.⁹ Puncaknya tampak pada sintesis
Thomas Aquinas: kebajikan kardinal (kehati-hatian, keadilan, pengendalian diri,
keperkasaan) dilengkapi oleh kebajikan teologis (iman, harap, kasih) yang
menyiapkan manusia bagi tujuan terakhirnya.¹⁰ Dalam kerangka ini, kebajikan
menjadi jembatan antara logika kodrati dan rahmat, antara akal budi praktis dan
telos transenden.
Memasuki zaman
modern, peta kebajikan “retak” dan direkontekstualisasi. Machiavelli
mengimbuhkan nuansa virtù politik—kecakapan efektif
menghadapi Fortuna—yang kadang bertabrakan dengan moralitas tradisional.¹¹ Hume
menekankan bahwa penilaian moral berakar pada sentimen; kebajikan menyenangkan
karena membangkitkan persetujuan simpatik pada pengamat.¹² Kant menggeser fokus
pada otonomi rasional dan hukum moral universal; kebajikan terkait disiplin
kehendak untuk menaati kewajiban, bukan pencapaian teleologis tertentu.¹³
Nietzsche lalu menggugat genealogis “kebajikan-kebajikan” yang diwarisi
tradisi, menyingkap dinamika daya yang menyusunnya dan mengajak merumuskan “kebajikan”
baru di luar moralitas reaktif.¹⁴
Kebangkitan kembali
etika kebajikan pada abad ke-20 dimulai (antara lain) dari kritik Anscombe
terhadap kosakata moral modern yang “kehilangan hukum ilahi” namun masih
berbicara tentang “kewajiban” seolah-olah fondasinya utuh.¹⁵ MacIntyre
memulihkan kebajikan sebagai disposisi yang dibentuk oleh praktik, tradisi, dan
narasi hidup manusia, seraya menunjukkan bagaimana fragmentasi modern menggerus
rasionalitas moral bersama.¹⁶ Dari sana, etika kebajikan berkembang dalam
bentuk-bentuk analitis yang matang (mis. Hursthouse) dan lintas-budaya (mis.
Nussbaum), yang menekankan peranan kebijaksanaan praktis, keutuhan karakter,
dan konteks sosial dalam penilaian moral.¹⁷ ¹⁸
Relevansi konsep
kebajikan hari ini tampak di beragam medan: pendidikan karakter dan pembentukan
integritas warga; bioetika dan profesi (di mana phronêsis mengarahkan keputusan
dalam ketidakpastian); hingga etika teknologi dan kecerdasan buatan yang
menuntut “kebajikan digital” seperti kehati-hatian, keadilan, dan
tanggung jawab sosial.¹⁹ Bahkan psikologi positif berupaya mengklasifikasikan “kekuatan
karakter” yang menyerupai kebajikan, memperkaya dialog interdisipliner
tentang pembentukan karakter dalam praktik.²⁰ Dengan demikian, mengkaji
kebajikan bukanlah nostalgia klasik semata, melainkan strategi konseptual untuk
menavigasi dilema moral yang kompleks, lintas tradisi dan disiplin.
Artikel ini menempuh
tiga tujuan utama. Pertama, memetakan evolusi gagasan kebajikan dari Yunani
Klasik hingga refleksi kontemporer. Kedua, menganalisis perbedaan dan titik
temu etika kebajikan dengan deontologi dan utilitarianisme, terutama dalam
konteks pengambilan keputusan nyata. Ketiga, menimbang relevansi kebajikan bagi
lanskap etika abad ke-21—pendidikan, profesi, dan teknologi. Secara
metodologis, kajian memadukan pembacaan tekstual-historis (terhadap naskah
primer) dengan analisis konseptual dan komparatif, serta memberi contoh
aplikatif yang menyambungkan teori dan praksis. Struktur artikel mengikuti alur
historis-konseptual: mulai dari konsep dasar dan warisan klasik, perkembangan
abad pertengahan dan modern, kebangkitan kontemporer, perbandingan lintas
tradisi, hingga implikasi mutakhirnya.
Footnotes
[1]               
Henry George Liddell and Robert Scott, A Greek–English Lexicon,
rev. by Henry Stuart Jones (Oxford: Clarendon Press, 1940), s.v. “ἀρετή”.
[2]               
Oxford Latin Dictionary, 2nd
ed. (Oxford: Oxford University Press, 2012), s.v. “virtus”.
[3]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed.
(Indianapolis: Hackett, 2019), II.1–6.
[4]               
Plato, Protagoras, in Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett, 1997), 352c–360e.
[5]               
Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett,
2004), IV 427e–434c.
[6]               
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D.
Hicks, 2 vols. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), VII.94–95.
[7]               
Diogenes Laertius, Lives, X.128–132; see also Epicurus,
“Letter to Menoeceus,” in The Epicurus Reader, trans. and ed. Brad
Inwood and L. P. Gerson (Indianapolis: Hackett, 1994).
[8]               
Cicero, On Duties (De Officiis), ed. and trans. M. T. Griffin
and E. M. Atkins (Cambridge: Cambridge University Press, 1991).
[9]               
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin, 2003), XIX.
[10]            
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, qq. 55–70, in Summa
Theologiae: Latin–English Edition, ed. Thomas Gilby (Cambridge: Cambridge
University Press, 2006).
[11]            
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield,
2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1998), ch. 6.
[12]            
David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), sec. I, IX.
[13]            
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
and ed. Mary Gregor and Jens Timmermann (Cambridge: Cambridge University Press,
2012).
[14]            
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans.
Maudemarie Clark and Alan J. Swensen (Indianapolis: Hackett, 1998).
[15]            
G. E. M. Anscombe, “Modern Moral Philosophy,” Philosophy 33,
no. 124 (1958): 1–19.
[16]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007).
[17]            
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999).
[18]            
Martha C. Nussbaum, “Non-Relative Virtues: An Aristotelian Approach,”
in World, Mind, and Ethics: Essays on the Ethical Philosophy of Bernard Williams,
ed. J. E. J. Altham and Ross Harrison (Cambridge: Cambridge University Press,
1995), 242–273.
[19]            
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016).
[20]            
Christopher Peterson and Martin E. P. Seligman, Character Strengths
and Virtues: A Handbook and Classification (Oxford: Oxford University
Press; Washington, DC: American Psychological Association, 2004).
2.               
Konsep Dasar Kebajikan
(Virtue)
Konsep kebajikan (virtue)
menempati posisi sentral dalam sejarah filsafat moral. Sejak masa Yunani Kuno,
kebajikan dipahami bukan sekadar sebagai perilaku baik yang terputus-putus,
melainkan sebagai disposisi yang menetap dalam diri seseorang, yang mengarahkan
tindakannya kepada kebaikan sejati. Dalam bahasa Yunani, istilah yang digunakan
adalah aretê,
yang berarti keunggulan atau kesempurnaan suatu fungsi.¹ Istilah ini tidak
hanya merujuk pada kualitas moral, tetapi juga pada kemampuan atau kecakapan
dalam melaksanakan fungsi kodrati suatu entitas. Misalnya, aretê
sebuah pisau adalah ketajamannya; maka aretê manusia adalah kapasitasnya
untuk mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan rasionalitas dan keadilan.²
Di dunia Latin,
konsep ini diterjemahkan sebagai virtus, yang awalnya terkait dengan
keberanian dan kualitas seorang pria dalam medan perang, namun kemudian
berkembang menjadi istilah umum yang meliputi segala bentuk keunggulan moral.³
Dari titik inilah lahir gagasan bahwa kebajikan adalah sifat karakter yang
membuat seseorang layak dipuji (praiseworthy) dalam kehidupan
privat maupun publik. Definisi ini sejalan dengan konsepsi etika klasik yang
menekankan pada formasi karakter dan integritas sebagai basis kehidupan moral.
Secara filosofis,
kebajikan dipahami sebagai habitus—yaitu disposisi yang
relatif stabil dalam jiwa—yang terbentuk melalui pembiasaan (ethismos).
Aristoteles menegaskan bahwa kebajikan etis bukanlah sesuatu yang lahir secara
alami, melainkan dibentuk melalui latihan berulang yang membiasakan manusia
untuk bertindak baik.⁴ Dengan demikian, kebajikan bukan hanya potensi,
melainkan kemampuan yang terwujud dalam praksis. Lebih lanjut, kebajikan dapat
dipahami sebagai jalan tengah (mesotês) antara dua ekstrem:
misalnya, keberanian terletak di antara kenekatan dan ketakutan.⁵ Rumusan ini
memperlihatkan bahwa kebajikan adalah orientasi praktis yang membutuhkan rasio
(logos)
sebagai penuntun.
Di luar dimensi
moral individu, kebajikan juga memiliki aspek teleologis: ia mengarahkan
manusia kepada tujuan tertinggi hidupnya, yakni eudaimonia (kebahagiaan atau
kesejahteraan jiwa).⁶ Dengan kata lain, kebajikan bukanlah tujuan akhir,
melainkan sarana fundamental untuk mencapai kehidupan yang baik. Plato
menegaskan bahwa hanya jiwa yang teratur oleh kebajikanlah yang dapat hidup
harmonis, baik dalam diri individu maupun dalam polis.⁷ Pandangan ini kemudian
melahirkan distingsi penting: bahwa kebajikan berfungsi bukan hanya bagi
kebaikan diri pribadi, melainkan juga bagi kesejahteraan masyarakat.
Dalam filsafat moral
kontemporer, pengertian kebajikan tetap mempertahankan dimensi dasarnya sebagai
disposisi karakter, tetapi diperkaya dengan refleksi baru. Rosalind Hursthouse,
misalnya, mendefinisikan kebajikan sebagai kualitas karakter yang memungkinkan
individu untuk berkembang (flourish) sesuai kodratnya sebagai
manusia.⁸ MacIntyre menambahkan bahwa kebajikan tidak bisa dilepaskan dari
praktik dan tradisi sosial tertentu; ia adalah kualitas yang memungkinkan
seseorang mencapai “kebaikan internal” dari suatu praktik, serta
menopang pencarian telos hidup manusia secara naratif.⁹
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa kebajikan adalah disposisi karakter yang melekat,
terbentuk melalui latihan dan kebiasaan, serta berfungsi mengarahkan manusia
pada kehidupan baik—baik dalam aspek individual (self-realization) maupun sosial (common
good). Kebajikan bukan sekadar norma eksternal, melainkan kualitas
internal yang membentuk integritas moral, sehingga menjadi fondasi bagi sistem
etika dari masa klasik hingga hari ini.
Footnotes
[1]               
Henry George Liddell and Robert Scott, A Greek–English Lexicon,
rev. by Henry Stuart Jones (Oxford: Clarendon Press, 1940), s.v. “ἀρετή”.
[2]               
Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford
University Press, 1993), 34–35.
[3]               
Oxford Latin Dictionary, 2nd
ed. (Oxford: Oxford University Press, 2012), s.v. “virtus”.
[4]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed.
(Indianapolis: Hackett, 2019), II.1–2.
[5]               
Ibid., II.6.
[6]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, I.7–13.
[7]               
Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett,
2004), IV 427e–434c.
[8]               
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 28–30.
[9]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 187–203.
3.               
Kebajikan dalam Filsafat
Klasik Yunani
Pembahasan mengenai
kebajikan (aretê)
mencapai bentuk yang paling awal dan sistematis dalam filsafat Yunani Klasik.
Tiga figur utama—Socrates, Plato, dan Aristoteles—telah meletakkan dasar
konseptual yang terus memengaruhi diskursus etika hingga kini. Bagi mereka,
kebajikan bukan sekadar aturan eksternal, melainkan kualitas batin yang
membentuk karakter dan mengarahkan manusia pada kehidupan baik (eudaimonia).
3.1.       Socrates: Kebajikan
sebagai Pengetahuan
Socrates (469–399
SM) merupakan tokoh yang menegaskan bahwa inti dari kebajikan adalah
pengetahuan. Menurutnya, “tidak seorang pun dengan sadar berbuat jahat;
kejahatan muncul dari ketidaktahuan.”¹ Dalam dialog Protagoras,
ia menolak pandangan relativistik kaum sofis, dengan menegaskan bahwa kebajikan
adalah sesuatu yang dapat diajarkan dan berakar pada rasio.² Dengan demikian,
bagi Socrates, kebajikan bersifat uniter: semua kebajikan (keberanian,
keadilan, kesalehan) pada dasarnya adalah manifestasi pengetahuan tentang kebaikan.³
Pandangan ini menekankan peran intelektual dalam moralitas, sehingga
memunculkan tesis “virtue is knowledge.”
3.2.       Plato: Harmoni Jiwa dan
Kebajikan Kardinal
Plato (427–347 SM),
murid Socrates, mengembangkan konsep kebajikan dalam kerangka metafisis dan
politik. Dalam Republic, ia menjelaskan empat
kebajikan utama—kebijaksanaan (sophia), keberanian (andreia),
pengendalian diri (sôphrosynê), dan keadilan (dikaiosynê).⁴
Keempatnya merupakan pilar harmoni jiwa:
·                    
Kebijaksanaan
terkait fungsi rasional,
·                    
Keberanian
pada unsur thumos (semangat),
·                    
Pengendalian
diri pada aspek keinginan,
·                    
Keadilan
sebagai keteraturan keseluruhan, yakni ketika tiap bagian jiwa dan kelas sosial
dalam polis menjalankan perannya dengan baik.⁵
Kebajikan, dengan demikian,
bukan sekadar sikap individual, melainkan struktur kosmis dan politis yang
menjaga keharmonisan individu dan masyarakat. Plato memandang kebajikan sebagai
partisipasi jiwa dalam dunia ide, terutama ide kebaikan (idea tou
agathou), yang menjadi sumber keteraturan moral.⁶
3.3.       Aristoteles: Kebajikan
sebagai Habitus dan Jalan Tengah
Aristoteles (384–322
SM) mengembangkan teori kebajikan yang lebih empiris dan praktis dalam Nicomachean
Ethics. Baginya, kebajikan adalah hexis (habitus) yang diperoleh
melalui pembiasaan (ethismos), bukan bakat bawaan.⁷
Dengan latihan berulang, manusia membentuk disposisi stabil untuk bertindak
dengan cara yang benar.
Aristoteles
membedakan dua jenis kebajikan:
1)                 
Kebajikan dianoetik
(intellectual virtues), seperti kebijaksanaan (sophia) dan
kehati-hatian (phronêsis), yang dikembangkan melalui pengajaran.
2)                 
Kebajikan etis
(ethical virtues), seperti keberanian dan kemurahan hati, yang
dibentuk melalui kebiasaan.⁸
Prinsip fundamental
etika Aristoteles adalah doktrin “jalan tengah” (mesotês):
kebajikan berada di antara dua ekstrem yang salah. Contohnya, keberanian adalah
jalan tengah antara kenekatan dan ketakutan; kemurahan hati adalah jalan tengah
antara pemborosan dan kekikiran.⁹ Jalan tengah ini bukan formula matematis,
melainkan ditentukan oleh rasio praktis (phronêsis) sesuai dengan keadaan.
Selain itu,
kebajikan erat kaitannya dengan telos manusia, yaitu eudaimonia—kehidupan
baik yang sesuai dengan fungsi khas manusia sebagai makhluk rasional.¹⁰ Dengan
demikian, kebajikan bukan tujuan akhir, melainkan sarana utama untuk mencapai
kebahagiaan sejati.
3.4.       Signifikansi Tradisi
Yunani Klasik
Sumbangan ketiga
filsuf besar Yunani Klasik ini dapat diringkas sebagai berikut:
·                    
Socrates meletakkan dasar
intelektualisme moral, bahwa kebajikan bersumber dari pengetahuan.
·                    
Plato merumuskan kebajikan
sebagai harmoni jiwa dan tatanan politik yang adil.
·                    
Aristoteles
mengartikulasikan kebajikan dalam kerangka empiris, sebagai disposisi praktis
yang menuntun manusia menuju eudaimonia.
Kerangka konseptual
ini menjadi fondasi bagi tradisi etika Barat maupun pemikiran lintas budaya.
Bahkan dalam etika kontemporer, gagasan Aristoteles tentang kebajikan sebagai habitus
dan “jalan tengah” terus menjadi inspirasi utama bagi kebangkitan virtue
ethics.¹¹
Footnotes
[1]               
Plato, Apology, in Plato: Complete Works, ed. John M.
Cooper (Indianapolis: Hackett, 1997), 25e–26a.
[2]               
Plato, Protagoras, in Plato: Complete Works, ed.
Cooper, 352c–360e.
[3]               
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 205–210.
[4]               
Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett,
2004), IV 427e–434c.
[5]               
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford:
Oxford University Press, 1981), 120–128.
[6]               
Plato, Republic, VI 504d–509c.
[7]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed.
(Indianapolis: Hackett, 2019), II.1.
[8]               
Ibid., VI.1–3.
[9]               
Ibid., II.6.
[10]            
Aristotle, Nicomachean Ethics, I.7–13.
[11]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 147–164.
4.               
Bab III – Tradisi
Hellenistik dan Romawi
Setelah era klasik
Socrates, Plato, dan Aristoteles, pemikiran etika Yunani berkembang ke dalam
berbagai aliran filsafat Hellenistik (abad ke-3 SM – abad ke-3 M). Periode ini
ditandai oleh pencarian hidup yang baik dalam konteks dunia yang lebih luas,
penuh gejolak politik, dan ketidakpastian sosial akibat runtuhnya polis klasik.
Dalam situasi ini, kebajikan (aretê) semakin dipahami bukan hanya
sebagai harmoni kosmos atau tujuan teleologis, melainkan juga sebagai sarana
mencapai ketenangan batin (ataraxia) dan kebebasan dari
penderitaan. Tradisi Hellenistik yang paling menonjol adalah Stoisisme dan
Epikureanisme, sedangkan dalam tradisi Romawi, tokoh-tokoh seperti Cicero
menekankan dimensi politis dan hukum dari kebajikan.
4.1.       Stoisisme: Kebajikan
sebagai Satu-Satunya Kebaikan
Kaum Stoa, yang
didirikan oleh Zeno dari Citium (ca. 334–262 SM), menekankan bahwa kebajikan
adalah satu-satunya kebaikan sejati, sedangkan segala hal eksternal seperti
kekayaan, kesehatan, atau kedudukan hanyalah “indifferents” (hal-hal
yang tidak menentukan nilai moral sejati).¹ Hidup bajik berarti hidup selaras
dengan logos,
prinsip rasional kosmik yang mengatur alam semesta.²
Stoisisme
mengajarkan empat kebajikan utama: kebijaksanaan (sophia), keberanian (andreia),
keadilan (dikaiosynê),
dan pengendalian diri (sôphrosynê).³ Kebajikan ini
memampukan manusia untuk menerima takdir dengan ketenangan jiwa, sebab yang
berada dalam kuasa manusia hanyalah kehendak dan sikap batinnya, bukan
peristiwa eksternal. Epictetus menekankan bahwa kebebasan sejati adalah
kebebasan dari keterikatan pada hal-hal yang tidak berada dalam kendali kita.⁴
Marcus Aurelius,
kaisar-filosof, menegaskan bahwa kebajikan adalah bentuk pelayanan kosmis:
manusia bajik hidup selaras dengan kodrat universal, menunaikan kewajiban
sosial, dan memelihara integritas batin.⁵ Dengan demikian, Stoisisme memadukan
kebajikan individual dengan kewajiban universal, melahirkan visi etika
kosmopolitan yang melampaui batas polis.
4.2.       Epikureanisme: Kebajikan
sebagai Sarana Ataraxia
Berbeda dengan kaum
Stoa, Epikureanisme, yang didirikan oleh Epicurus (341–270 SM), mengajarkan
bahwa tujuan hidup adalah mencapai ataraxia (ketenangan jiwa) dan aponia
(bebas dari penderitaan fisik).⁶ Namun, kebajikan tetap penting: ia bernilai
sejauh menjadi sarana untuk mencapai kehidupan yang menyenangkan dalam arti
yang berimbang, bukan hedonisme berlebihan.
Epicurus menegaskan
bahwa kebajikan dan kenikmatan tidak dapat dipisahkan: “Kebajikan hidup
dalam kenikmatan, dan kenikmatan sejati tidak mungkin tanpa kebajikan.”⁷
Misalnya, kebijaksanaan diperlukan untuk memilih kesenangan yang tidak membawa
penderitaan lebih besar; keadilan mendatangkan ketenangan karena melindungi
dari ketakutan akan hukuman atau konflik; pengendalian diri mencegah
keserakahan yang merusak kebahagiaan jangka panjang.⁸
Dengan demikian,
dalam Epikureanisme, kebajikan bukanlah tujuan akhir, tetapi sarana rasional
untuk mencapai hidup yang bebas dari rasa takut (terutama ketakutan akan para
dewa dan kematian).
4.3.       Tradisi Romawi: Kebajikan
sebagai Fondasi Publik
Dalam tradisi
Romawi, terutama melalui Marcus Tullius Cicero (106–43 SM), kebajikan mendapat
dimensi politik dan hukum yang lebih menonjol. Dalam karyanya De
Officiis (On Duties), Cicero menggabungkan
filsafat Stoik dengan tradisi republikan Romawi, menekankan bahwa kebajikan
adalah dasar kewajiban dan keteraturan negara.⁹
Cicero
mengklasifikasikan empat kebajikan utama: kebijaksanaan (prudentia),
keadilan (iustitia),
keberanian (fortitudo), dan pengendalian diri (temperantia).¹⁰
Dengan menunaikan kebajikan ini, warga negara mendukung res
publica dan menjaga kesejahteraan bersama. Bagi Cicero, keadilan
adalah kebajikan tertinggi dalam kehidupan publik, sebab tanpanya, institusi
hukum dan negara akan runtuh.¹¹
Selain Cicero,
filsuf Romawi lainnya seperti Seneca menekankan dimensi etis kebajikan Stoik,
khususnya pentingnya mengelola emosi agar tercapai ketenangan.¹² Romawi dengan
demikian menafsirkan kebajikan tidak hanya sebagai kualitas pribadi, melainkan
sebagai fondasi peradaban, hukum, dan pemerintahan.
4.4.       Signifikansi Era
Hellenistik dan Romawi
Tradisi Hellenistik
dan Romawi memperkaya pemahaman kebajikan dalam tiga dimensi utama:
1)                 
Dimensi kosmologis
(Stoisisme): kebajikan sebagai hidup selaras dengan logos
kosmik.
2)                 
Dimensi
hedonistis-rasional (Epikureanisme): kebajikan sebagai sarana
menuju ataraxia.
3)                 
Dimensi politis-hukum
(Romawi): kebajikan sebagai fondasi kewajiban sosial dan
negara.
Ketiga arah ini
menunjukkan bahwa kebajikan bukan sekadar etika pribadi, melainkan suatu visi
menyeluruh tentang bagaimana manusia seharusnya hidup—baik dalam
keterhubungannya dengan kosmos, dirinya sendiri, maupun masyarakat.
Footnotes
[1]               
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D.
Hicks, 2 vols. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), VII.94–95.
[2]               
A. A. Long and D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers,
vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 356–360.
[3]               
Cicero, Tusculan Disputations, trans. J. E. King (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1927), V.10.
[4]               
Epictetus, Discourses, trans. Christopher Gill (London:
Everyman, 1995), I.1.
[5]               
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2002), II.1–5.
[6]               
Epicurus, “Letter to Menoeceus,” in The Epicurus Reader, ed.
Brad Inwood and L. P. Gerson (Indianapolis: Hackett, 1994), 123–125.
[7]               
Ibid., 132.
[8]               
Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford
University Press, 1993), 189–192.
[9]               
Cicero, On Duties (De Officiis), ed. and trans. M. T. Griffin
and E. M. Atkins (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), I.7–8.
[10]            
Ibid., I.15–20.
[11]            
Ibid., II.12–14.
[12]            
Seneca, Letters on Ethics: To Lucilius, trans. Margaret Graver
and A. A. Long (Chicago: University of Chicago Press, 2015), Letter IX.
5.               
Kebajikan dalam Filsafat
Abad Pertengahan
Periode Abad
Pertengahan menandai babak penting dalam perkembangan konsep kebajikan, ketika
filsafat Yunani dikontekstualisasikan dalam horizon religius, khususnya
Kristen. Jika filsafat klasik menekankan kebajikan sebagai harmoni jiwa dan
sarana menuju eudaimonia, maka pemikir abad
pertengahan menambahkan dimensi transendental: kebajikan dipahami sebagai
orientasi manusia kepada Tuhan sebagai tujuan akhir (summum bonum). Dua tokoh
sentral yang merepresentasikan perkembangan ini adalah Aurelius Augustinus
(354–430 M) dan Thomas Aquinas (1225–1274 M).
5.1.       Augustinus: Kebajikan
sebagai Ordo Amoris
Augustinus
menafsirkan kebajikan dalam kerangka teologis, terutama dalam De
Civitate Dei (The City of God). Bagi Augustinus,
kebajikan bukan semata keteraturan jiwa seperti dalam tradisi Platonis,
melainkan keteraturan cinta (ordo amoris).¹ Setiap manusia
memiliki cinta, tetapi cinta yang salah arah melahirkan dosa dan kehancuran;
sedangkan cinta yang teratur (yaitu cinta kepada Tuhan di atas segala sesuatu,
lalu cinta kepada sesama dalam terang kasih ilahi) merupakan fondasi semua
kebajikan.²
Ia mendefinisikan
kebajikan sebagai “ordo amoris”—penataan cinta secara benar.³ Dengan
demikian, keadilan, keberanian, atau pengendalian diri hanya benar-benar bajik
jika diarahkan oleh cinta kepada Allah. Konsep ini sekaligus menggeser telos
Aristotelian (eudaimonia) menuju telos
transendental: kebahagiaan sejati adalah beatitudo atau kebersatuan dengan
Allah.⁴
Augustinus juga
menolak klaim bahwa kebajikan pagan (Plato, Aristoteles, Cicero) sejati dapat
membawa manusia pada keselamatan. Bagi Augustinus, tanpa rahmat, kebajikan
hanyalah “virtutes splendidae” (kebajikan yang tampak cemerlang) tetapi
pada dasarnya kosong secara rohani.⁵ Perspektif ini menunjukkan bahwa kebajikan
dalam kerangka Kristen selalu terkait erat dengan iman dan kasih karunia ilahi.
5.2.       Thomas Aquinas: Sintesis
Aristotelian dan Teologi Kristen
Thomas Aquinas,
tokoh skolastik terbesar, menyusun teori kebajikan yang sistematis dalam Summa
Theologiae. Ia mengintegrasikan filsafat Aristoteles dengan doktrin
Kristen, menghasilkan dua kategori kebajikan: kebajikan kardinal dan kebajikan
teologis.⁶
·                    
Kebajikan
kardinal: kehati-hatian (prudentia), keadilan (iustitia),
keberanian (fortitudo), dan pengendalian diri (temperantia).
Keempat kebajikan ini berakar pada rasio praktis dan dapat dicapai melalui
habituasi manusia.⁷
·                    
Kebajikan
teologis: iman (fides), harapan (spes), dan
kasih (caritas). Kebajikan ini melampaui kodrat manusia, ditanamkan
oleh rahmat Allah, dan langsung mengarahkan jiwa kepada tujuan adikodrati,
yakni persatuan dengan Allah.⁸
Aquinas memahami
kebajikan sebagai habitus operativus bonus, yaitu
disposisi tetap dalam jiwa yang memungkinkan tindakan baik.⁹ Berbeda dengan
Aristoteles yang menekankan phronêsis, Aquinas menekankan
keterarahan kebajikan pada telos tertinggi: beatitudo aeterna (kebahagiaan
kekal).¹⁰ Oleh karena itu, kebajikan etis manusiawi (kardinal) tetap penting,
tetapi tidak mencukupi tanpa kebajikan teologis.
Dalam kerangka
Aquinas, hubungan antara rasio dan rahmat, kodrat dan wahyu, menjadi harmonis.
Kebajikan natural mengarahkan manusia pada kebaikan duniawi dan sosial, sedangkan
kebajikan teologis mengangkat manusia pada dimensi adikodrati.¹¹
5.3.       Signifikansi Tradisi Abad
Pertengahan
Tradisi kebajikan
abad pertengahan menandai pergeseran besar:
1)                 
Dari aretê Yunani yang
menekankan pembiasaan rasional menuju virtus christiana yang menekankan
keterarahan kepada Tuhan.
2)                 
Dari teleologi eudaimonistik
(kebahagiaan duniawi) menuju teleologi teologis (keselamatan kekal).
3)                 
Dari kebajikan yang
universal-humanistik menuju integrasi antara kebajikan moral dan iman
keagamaan.
Dengan demikian,
Abad Pertengahan mewariskan sintesis kaya: Augustinus menekankan cinta sebagai
prinsip moral, sedangkan Aquinas menyusun kerangka sistematis yang memadukan
kebajikan kardinal dan teologis. Sintesis inilah yang menjadi landasan
diskursus etika teologis di Barat dan berpengaruh hingga ke pemikiran modern.
Footnotes
[1]               
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin, 2003), XIX.13.
[2]               
James Wetzel, Augustine and the Limits of Virtue (Cambridge:
Cambridge University Press, 1992), 58–63.
[3]               
Augustine, City of God, XV.22.
[4]               
R. A. Markus, Saeculum: History and Society in the Theology of St.
Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 71–75.
[5]               
Augustine, City of God, XIX.25; cf. John M. Rist, Augustine:
Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994),
236.
[6]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, qq. 55–70, in Summa
Theologiae: Latin–English Edition, ed. Thomas Gilby (Cambridge: Cambridge
University Press, 2006).
[7]               
Ibid., I–II, q. 61, a. 2.
[8]               
Ibid., I–II, q. 62, a. 1.
[9]               
Ibid., I–II, q. 55, a. 4.
[10]            
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, q. 5, a. 5.
[11]            
Servais Pinckaers, The Sources of Christian Ethics, trans.
Mary Thomas Noble (Washington, DC: Catholic University of America Press, 1995),
381–385.
6.               
Kebajikan dalam Filsafat
Modern
Memasuki zaman
modern (abad ke-16 hingga ke-19), pemahaman tentang kebajikan mengalami
pergeseran seiring perubahan besar dalam politik, ilmu pengetahuan, dan
filsafat. Jika Abad Pertengahan menekankan integrasi kebajikan dengan iman dan
rahmat, maka filsafat modern mulai menguji kembali fondasi etika dengan
menekankan rasionalitas, empirisme, dan kritik terhadap tradisi. Tokoh-tokoh
seperti Niccolò Machiavelli, David Hume, Immanuel Kant, dan Friedrich Nietzsche
memberikan kontribusi penting dalam membentuk wajah baru diskursus kebajikan,
baik dalam politik, etika empiris, moralitas rasional, maupun kritik genealogis
terhadap nilai-nilai moral.
6.1.       Machiavelli: Virtù
sebagai Kecakapan Politik
Niccolò Machiavelli
(1469–1527) memperkenalkan konsep virtù dalam konteks politik yang
berbeda dari tradisi klasik maupun Kristen. Dalam Il Principe (The
Prince), ia menggunakan istilah virtù untuk menunjuk pada kemampuan
seorang penguasa dalam memanfaatkan kesempatan (fortuna) demi mempertahankan
kekuasaan dan stabilitas negara.¹ Virtù di sini tidak lagi identik
dengan moralitas tradisional, tetapi dengan kecakapan praktis, keberanian, dan
kelicikan yang diperlukan dalam realitas politik.²
Dengan demikian,
Machiavelli mendefinisikan kebajikan secara pragmatis: tindakan yang secara
tradisional dianggap “jahat” dapat disebut bajik jika berguna bagi
kelestarian kekuasaan dan keamanan negara.³ Perspektif ini merepresentasikan
pergeseran dari kebajikan sebagai ideal moral menuju kebajikan sebagai
instrumen politik.
6.2.       David Hume: Sentimen
Moral dan Kebajikan sebagai Sumber Simpati
David Hume
(1711–1776) merekonstruksi etika kebajikan dalam kerangka empiris. Dalam An
Enquiry Concerning the Principles of Morals, ia menegaskan bahwa
moralitas tidak berakar pada rasio semata, melainkan pada sentimen manusia.⁴
Kebajikan dipandang sebagai kualitas yang membangkitkan persetujuan simpatik
dari pengamat, karena kebajikan bermanfaat dan menyenangkan baik bagi diri
sendiri maupun orang lain.⁵
Hume membedakan
kebajikan “alami” (seperti kebaikan hati, kemurahan, belas kasih) dan
kebajikan “buatan” (seperti keadilan, yang lahir dari kebutuhan
sosial).⁶ Ia menolak reduksi kebajikan pada hukum ilahi atau rasio murni, dan
sebaliknya menekankan bahwa fondasi moralitas terletak pada sifat manusia
sebagai makhluk yang mampu berempati.⁷ Dengan demikian, Hume memberi landasan
emosional bagi konsep kebajikan, yang kelak berpengaruh besar dalam psikologi
moral modern.
6.3.       Immanuel Kant: Kebajikan
dan Kewajiban Moral
Immanuel Kant
(1724–1804) memposisikan kebajikan dalam kerangka deontologis. Dalam Metaphysics
of Morals, ia membedakan antara hukum moral yang bersifat objektif
dan kebajikan sebagai disposisi kehendak untuk menaatinya.⁸ Kebajikan bukanlah
sekadar hasil pembiasaan atau sentimen, melainkan kekuatan otonomi rasional
untuk menundukkan dorongan-dorongan natural kepada prinsip moral universal.⁹
Bagi Kant, kebajikan
adalah kemampuan kehendak untuk bertindak sesuai dengan imperatif kategoris: “Bertindaklah
hanya menurut maksim yang dapat engkau kehendaki sekaligus menjadi hukum
universal.”¹⁰ Dengan demikian, kebajikan erat kaitannya dengan disiplin
diri, keteguhan moral, dan penghormatan pada martabat manusia sebagai tujuan
pada dirinya sendiri (homo noumenon).¹¹ Etika Kant
menandai pergeseran besar: kebajikan tidak lagi dipahami dalam horizon
teleologi Aristotelian, melainkan dalam horizon otonomi moral dan universalitas
hukum praktis.
6.4.       Friedrich Nietzsche:
Kritik Genealogis atas Kebajikan Tradisional
Friedrich Nietzsche
(1844–1900) melancarkan kritik radikal terhadap konsep kebajikan yang diwarisi
dari tradisi klasik maupun Kristen. Dalam On the Genealogy of Morality, ia
menyingkap asal-usul nilai moral dalam “moralitas budak” yang menurutnya
lahir dari kebencian dan kelemahan.¹² Kebajikan tradisional seperti kerendahan
hati, belas kasih, dan ketaatan dipandang Nietzsche sebagai ekspresi dekadensi,
bukan kekuatan hidup.¹³
Sebaliknya, ia
menekankan perlunya “transvaluasi nilai” (Umwertung aller Werte), di mana
kebajikan sejati adalah kebajikan yang menegaskan kehidupan, kreativitas, dan
kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).¹⁴ Nietzsche dengan
demikian menggugat fondasi metafisis dan teologis dari kebajikan, serta
mengusulkan visi baru tentang “kebajikan aristokrat” yang lahir dari
afirmasi diri, keberanian, dan penciptaan nilai.¹⁵
Signifikansi
Era Modern
Dari keempat tokoh
di atas terlihat bahwa pemahaman kebajikan dalam filsafat modern mengalami
fragmentasi:
·                    
Machiavelli menafsirkan
kebajikan secara pragmatis dan politis.
·                    
Hume menekankan fondasi
emosional dan sosial dari kebajikan.
·                    
Kant menegaskan dimensi
rasional dan normatif kebajikan dalam kerangka kewajiban universal.
·                    
Nietzsche membongkar
genealogis kebajikan tradisional dan menawarkan horizon baru yang berpusat pada
afirmasi kehidupan.
Periode modern
dengan demikian memperlihatkan pergeseran dari kebajikan sebagai harmoni
kodrati atau kasih ilahi menuju kebajikan yang dipahami dalam kerangka politik,
psikologis, rasional, maupun eksistensial. Fragmentasi ini justru membuka jalan
bagi kebangkitan kembali etika kebajikan di abad ke-20, yang berupaya
merekonsiliasi dimensi historis, emosional, dan rasional dalam kerangka baru.
Footnotes
[1]               
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield,
2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1998), ch. 6.
[2]               
Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought,
vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 130–135.
[3]               
Maurizio Viroli, Machiavelli (Oxford: Oxford University Press,
1998), 56–62.
[4]               
David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), sec. I.
[5]               
Ibid., sec. IX.
[6]               
Ibid., sec. III–IV.
[7]               
Stephen Darwall, The British Moralists and the Internal ‘Ought’
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 145–152.
[8]               
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 6:380–6:381.
[9]               
Ibid., 6:390.
[10]            
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor and Jens Timmermann (Cambridge: Cambridge University Press, 2012),
4:421.
[11]            
Allen W. Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 168–172.
[12]            
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans.
Maudemarie Clark and Alan J. Swensen (Indianapolis: Hackett, 1998), Essay I.
[13]            
Ibid., Essay II.
[14]            
Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, trans. Duncan
Large (Oxford: Oxford University Press, 1998), “Skirmishes,” §37.
[15]            
Brian Leiter, Nietzsche on Morality, 2nd ed. (London:
Routledge, 2015), 112–120.
7.               
Kebajikan dalam Filsafat
Kontemporer
Kebajikan kembali
menjadi perhatian utama filsafat moral sejak paruh kedua abad ke-20, setelah
periode panjang didominasi oleh dua paradigma etika besar: deontologi (Kantian)
dan utilitarianisme. Meskipun keduanya berpengaruh besar, banyak filsuf
kontemporer menilai bahwa keduanya gagal menjelaskan secara memadai dimensi
karakter, emosi, dan praksis dalam kehidupan moral.¹ Kritik ini melahirkan
kebangkitan kembali virtue ethics (etika kebajikan)
sebagai alternatif yang lebih komprehensif, dengan tokoh-tokoh penting seperti
G.E.M. Anscombe, Alasdair MacIntyre, Rosalind Hursthouse, Martha Nussbaum, dan
Shannon Vallor.
7.1.       Kritik Anscombe dan
Kebangkitan Virtue Ethics
Tonggak awal
kebangkitan etika kebajikan ditandai dengan esai G. E. M. Anscombe, Modern
Moral Philosophy (1958). Anscombe menilai bahwa kategori etika
modern seperti “kewajiban” dan “kewajiban moral” kehilangan dasar
metafisis sejak runtuhnya konsep hukum ilahi, sehingga tidak lagi memiliki
koherensi.² Ia menyerukan kembalinya etika ke dalam kerangka aretê
Aristotelian, yang berfokus pada karakter dan tujuan hidup manusia.³ Pandangan
ini membuka ruang bagi etika kebajikan sebagai pendekatan yang menekankan
disposisi moral daripada sekadar aturan tindakan.
7.2.       Alasdair MacIntyre:
Kebajikan, Praktik, dan Tradisi
Alasdair MacIntyre
melalui karyanya After Virtue (1981) menegaskan
bahwa modernitas mengalami krisis moral karena fragmentasi tradisi etika.
Menurutnya, kebajikan hanya dapat dipahami dalam konteks praktik
(praktik sosial yang bermakna, seperti seni, ilmu, atau politik), tradisi
(sejarah intelektual yang membentuk komunitas), dan narasi (kesatuan biografis
kehidupan manusia).⁴
MacIntyre
mendefinisikan kebajikan sebagai kualitas yang memungkinkan seseorang mencapai
“kebaikan internal” (internal goods) dari suatu praktik,
bukan sekadar “kebaikan eksternal” seperti uang atau status.⁵ Dengan
demikian, kebajikan terkait erat dengan komunitas dan identitas moral, bukan
sekadar tindakan individu yang terisolasi. Kebajikan seperti kejujuran,
keberanian, dan keadilan menopang kelangsungan tradisi yang memungkinkan
manusia memahami telos hidupnya.⁶
7.3.       Rosalind Hursthouse:
Etika Kebajikan sebagai Teori Normatif
Rosalind Hursthouse
berperan penting dalam mengembangkan virtue ethics ke dalam bentuk teori
normatif yang matang. Dalam On Virtue Ethics (1999), ia
menegaskan bahwa pertanyaan moral utama bukan hanya “Apa yang harus saya
lakukan?” (seperti dalam deontologi/utilitarianisme), tetapi “Bagaimana
seharusnya saya hidup?” atau “Orang macam apa saya harus menjadi?”.⁷
Hursthouse
mengusulkan bahwa kebajikan adalah disposisi yang mendorong manusia untuk
bertindak dengan benar dalam berbagai situasi, dan tindakan yang benar adalah
tindakan yang sesuai dengan kebajikan.⁸ Dengan pendekatan ini, etika kebajikan
menjadi teori yang mampu memberikan panduan praktis sekaligus menekankan
integritas karakter.
7.4.       Martha Nussbaum: Daftar
Kebajikan dan Kapasitas Manusia
Martha Nussbaum
memperluas cakupan etika kebajikan dengan menghubungkannya ke dalam teori “kapasitas
manusia” (capabilities approach). Dalam
kerangka ini, kebajikan dikaitkan dengan pengembangan potensi dasar manusia
yang universal—seperti kehidupan, kesehatan, imajinasi, afeksi, dan partisipasi
politik.⁹
Nussbaum juga
berargumen bahwa kebajikan memiliki karakter non-relatif: meski berbeda konteks
budaya, kebajikan seperti keadilan, keberanian, dan empati tetap diperlukan
bagi kehidupan manusia yang bermartabat.¹⁰ Dengan demikian, ia memberikan dasar
normatif yang kuat bagi penerapan etika kebajikan dalam wacana keadilan global,
feminisme, dan hak asasi manusia.
7.5.       Shannon Vallor: Kebajikan
di Era Teknologi
Shannon Vallor
membawa etika kebajikan ke wilayah baru dalam Technology and the Virtues (2016).
Ia menilai bahwa dunia digital menuntut pengembangan “kebajikan baru”
yang relevan dengan tantangan teknologi modern, seperti kebijaksanaan digital,
keberanian moral dalam ruang daring, dan tanggung jawab kolektif terhadap
dampak teknologi.¹¹
Vallor berargumen
bahwa etika kebajikan lebih sesuai dibandingkan teori etika lain dalam
menghadapi era teknologi, karena ia menekankan pembentukan karakter dan
kebiasaan yang konsisten, bukan sekadar kepatuhan pada aturan atau kalkulasi
utilitarian.¹²
Signifikansi
Kontemporer
Etika kebajikan
kontemporer memperlihatkan tiga hal utama:
1)                 
Dimensi historis:
kebangkitan kembali virtue ethics sebagai respons terhadap kegagalan
teori moral modern.
2)                 
Dimensi normatif:
pengembangan teori kebajikan sebagai panduan praktis (Hursthouse) dan kerangka
universal (Nussbaum).
3)                 
Dimensi aplikatif:
relevansi kebajikan dalam menghadapi isu kontemporer seperti politik,
feminisme, bioetika, hingga etika teknologi (Vallor).
Dengan demikian,
kebajikan dalam filsafat kontemporer tidak hanya menjadi wacana akademis,
tetapi juga pedoman moral yang kontekstual, transformatif, dan mampu merespons
kompleksitas abad ke-21.
Footnotes
[1]               
James Wallace, Virtue and Reason (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1978), 12–15.
[2]               
G. E. M. Anscombe, “Modern Moral Philosophy,” Philosophy 33,
no. 124 (1958): 1–19.
[3]               
Roger Crisp and Michael Slote, eds., Virtue Ethics (Oxford:
Oxford University Press, 1997), 6–7.
[4]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 187–203.
[5]               
Ibid., 190.
[6]               
Kelvin Knight, Aristotelian Philosophy: Ethics and Politics from Aristotle
to MacIntyre (Cambridge: Polity Press, 2007), 134–139.
[7]               
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 28–30.
[8]               
Ibid., 36–38.
[9]               
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2011), 17–20.
[10]            
Martha C. Nussbaum, “Non-Relative Virtues: An Aristotelian Approach,”
in World, Mind, and Ethics: Essays on the Ethical Philosophy of Bernard
Williams, ed. J. E. J. Altham and Ross Harrison (Cambridge: Cambridge
University Press, 1995), 242–273.
[11]            
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 4–9.
[12]            
Ibid., 20–22.
8.               
Perbandingan Lintas Tradisi
Konsep kebajikan
memiliki lintasan panjang dan beragam, tidak hanya dalam tradisi filsafat
Yunani dan Eropa Barat, tetapi juga dalam tradisi Kristen dan Islam.
Masing-masing tradisi menawarkan pendekatan unik, baik dari segi epistemologis,
teleologis, maupun praktis. Membandingkan tradisi-tradisi ini memperlihatkan
persamaan universal kebajikan, sekaligus perbedaan penekanannya.
8.1.       Yunani Klasik: Harmoni
Jiwa dan Eudaimonia
Dalam filsafat
Yunani, kebajikan (aretê) dipahami sebagai disposisi
jiwa yang mengarahkan manusia menuju eudaimonia
(kebahagiaan/kesejahteraan hidup). Plato menekankan empat kebajikan
kardinal—kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, dan keadilan—sebagai
harmoni antara bagian jiwa dan struktur polis.¹ Aristoteles menambahkan
kerangka teleologis, yakni bahwa kebajikan adalah habitus yang memungkinkan
manusia memenuhi telos kodratinya sebagai makhluk rasional.²
8.2.       Tradisi Kristen: Ordo
Amoris dan Kebajikan Teologis
Tradisi Kristen
mengadopsi dan merevisi kebajikan klasik. Augustinus menafsirkan kebajikan
sebagai ordo
amoris (penataan cinta), di mana cinta kepada Tuhan menjadi prinsip
utama dari semua kebajikan.³ Thomas Aquinas kemudian menyusun sintesis
sistematis: kebajikan kardinal (prudence, justice, temperance, fortitude)
melengkapi kebajikan teologis (faith, hope, charity).⁴ Dengan demikian, kebajikan
tidak berhenti pada eudaimonia duniawi, melainkan
mengarah kepada beatitudo aeterna (kebahagiaan
kekal) melalui kasih karunia.
8.3.       Tradisi Islam: Kebajikan
sebagai Jalan Menuju Falāḥ
Dalam tradisi
filsafat dan teologi Islam, kebajikan sering dibahas dalam kerangka akhlaq
(etika) dan adab (disiplin moral). Al-Fārābī,
misalnya, mengadopsi Aristoteles dan Plato dalam karyanya al-Madīnah
al-Fāḍilah, dengan menekankan bahwa masyarakat bajik hanya mungkin
tercapai jika dipimpin oleh pemimpin yang memiliki kebajikan intelektual dan
moral.⁵ Ibn Miskawayh, dalam Tahdhīb al-Akhlāq, mengembangkan
etika kebajikan dengan menekankan keseimbangan jiwa: keberanian, kesederhanaan,
kebijaksanaan, dan keadilan.⁶
Sementara itu,
Al-Ghazālī memadukan Aristotelianisme dengan perspektif sufistik: kebajikan
adalah penyucian jiwa dan pengendalian hawa nafsu agar sesuai dengan kehendak
Tuhan.⁷ Teleologi kebajikan dalam Islam adalah falāḥ (keselamatan dan
keberuntungan), yang mencakup dimensi duniawi dan ukhrawi.
8.4.       Tradisi Modern dan
Kontemporer: Rasionalitas, Sentimen, dan Rehabilitasi Kebajikan
Dalam era modern,
Hume menekankan kebajikan sebagai kualitas yang menimbulkan simpati sosial,
sementara Kant menekankan otonomi rasional sebagai dasar kebajikan.⁸ Nietzsche
mengkritik kebajikan tradisional sebagai “moralitas budak,” sementara
pemikir kontemporer seperti MacIntyre, Hursthouse, dan Nussbaum berusaha
merehabilitasi kebajikan dengan mengaitkannya pada praktik sosial, integritas
karakter, dan keadilan global.⁹
8.5.       Titik Temu dan Perbedaan
·                    
Titik
Temu: 
Hampir semua tradisi mengakui kebijaksanaan,
keadilan, keberanian, dan pengendalian diri sebagai kebajikan fundamental.¹⁰
Baik dalam filsafat Yunani, Kristen, Islam, maupun modern, kebajikan dipandang
sebagai disposisi yang membentuk karakter moral dan kehidupan baik.
·                    
Perbedaan:
þ Yunani menekankan teleologi duniawi (eudaimonia).
þ Kristen dan Islam menambahkan horizon transendental
(beatitudo / falāḥ).
þ Modern menekankan otonomi, sentimen, atau kritik
genealogis.
þ Kontemporer merehabilitasi kebajikan dengan
mengaitkannya pada praksis sosial dan konteks global.
Signifikansi
Perbandingan
Membandingkan lintas
tradisi menunjukkan bahwa kebajikan bukanlah konsep statis, melainkan gagasan
dinamis yang terus mengalami reinterpretasi. Meski berbeda orientasi
(kosmologis, teologis, rasional, atau praksis), kebajikan tetap menjadi inti
dari filsafat moral lintas budaya. Hal ini menegaskan universalitas aspirasi
manusia untuk membentuk karakter yang baik, sekaligus pluralitas cara
mengartikulasikan kebajikan sesuai konteks historis dan religiusnya.
Footnotes
[1]               
Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett,
2004), IV 427e–434c.
[2]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed.
(Indianapolis: Hackett, 2019), I.7–13.
[3]               
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin, 2003), XIX.13.
[4]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, qq. 55–70, ed. Thomas
Gilby (Cambridge: Cambridge University Press, 2006).
[5]               
Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader (Beirut:
Dar el-Mashreq, 1993), 86–92.
[6]               
Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa-Taṭhīr al-A‘rāq, ed. C.
Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 34–38.
[7]               
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Cairo: al-Maktabah
al-Tijariyah al-Kubra, 1937), 5–15.
[8]               
David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), sec. III–IV;
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary
Gregor and Jens Timmermann (Cambridge: Cambridge University Press, 2012),
4:421.
[9]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 187–203; Rosalind
Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999),
28–30; Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2011), 17–20.
[10]            
Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford
University Press, 1993), 38–40.
9.               
Relevansi Konsep Kebajikan
di Era Kontemporer
Konsep kebajikan
tidak berhenti sebagai gagasan klasik dalam sejarah filsafat, tetapi tetap
relevan untuk menjawab problem moral, sosial, dan global pada abad ke-21.
Kehidupan modern, yang ditandai oleh pluralisme nilai, krisis lingkungan,
perkembangan teknologi digital, dan tantangan globalisasi, memerlukan
pendekatan etika yang lebih komprehensif daripada sekadar aturan kaku atau
kalkulasi utilitarian. Dalam konteks ini, etika kebajikan menawarkan kerangka
yang berorientasi pada pembentukan karakter, integritas, dan disposisi moral
yang konsisten.¹
9.1.       Kebajikan dalam
Pendidikan dan Pembentukan Karakter
Salah satu bidang
paling menonjol yang menegaskan pentingnya kebajikan adalah pendidikan.
Pendidikan karakter modern menekankan kebajikan sebagai inti dari pembentukan
pribadi dan warga negara yang bertanggung jawab.² Sebagaimana Aristoteles
menegaskan bahwa kebajikan dibentuk melalui habituasi (ethismos),³
pendidikan saat ini mengembangkan kurikulum yang menekankan nilai-nilai seperti
kejujuran, tanggung jawab, empati, dan keberanian. Pendekatan ini tidak hanya
membekali peserta didik dengan pengetahuan, tetapi juga dengan kualitas moral
yang tahan uji dalam menghadapi dinamika sosial.
9.2.       Kebajikan dalam Kehidupan
Sosial dan Politik
Krisis kepercayaan
publik terhadap institusi politik kontemporer menunjukkan urgensi kebajikan
publik seperti keadilan, integritas, dan keberanian moral.⁴ Pemikiran MacIntyre
tentang kebajikan dalam konteks praktik sosial sangat relevan: politik hanya
dapat menopang kesejahteraan bersama bila dijalankan oleh aktor yang memiliki
kualitas moral, bukan semata-mata mengejar kepentingan pribadi.⁵ Dengan kata
lain, kebajikan kembali diperlukan untuk mengembalikan makna keadaban publik (civility)
dalam demokrasi.
9.3.       Kebajikan dan Tantangan
Teknologi Digital
Revolusi digital
melahirkan ruang sosial baru dengan peluang sekaligus risiko etis, seperti
penyebaran disinformasi, polarisasi, dan krisis privasi. Shannon Vallor
menegaskan perlunya “kebajikan teknologi” (technomoral virtues), seperti
kehati-hatian digital, kejujuran daring, dan tanggung jawab kolektif.⁶ Etika
kebajikan memungkinkan kita melihat teknologi bukan sekadar alat, melainkan
ruang pembentukan karakter, di mana pengguna dapat menumbuhkan kebajikan atau
sebaliknya jatuh dalam keburukan moral.
9.4.       Kebajikan dalam Krisis Ekologi
dan Bioetika
Etika lingkungan
kontemporer juga menuntut kebajikan baru: kesederhanaan, tanggung jawab
ekologis, dan rasa hormat terhadap alam.⁷ Virtue ethics menyoroti bahwa
penyelesaian krisis ekologi tidak hanya membutuhkan regulasi hukum, tetapi juga
perubahan disposisi moral individu dan komunitas. Demikian pula dalam bioetika,
kebajikan seperti belas kasih, integritas, dan kehati-hatian sangat penting
dalam pengambilan keputusan medis di tengah kompleksitas teknologi kesehatan
modern.⁸
9.5.       Kebajikan dalam Konteks
Global dan Multikultural
Dalam era
globalisasi, interaksi lintas budaya menuntut kebajikan kosmopolitan, seperti
toleransi, keadilan global, dan solidaritas. Martha Nussbaum menekankan bahwa
kebajikan memiliki dimensi non-relatif: meski konteks berbeda, kebajikan
seperti empati, keadilan, dan martabat manusia tetap menjadi dasar kehidupan
global yang adil.⁹ Dengan demikian, kebajikan berfungsi sebagai jembatan antara
nilai-nilai lokal dan tuntutan etika universal.
Signifikansi
Abad ke-21
Relevansi kebajikan
di era kontemporer terletak pada fleksibilitas dan kedalaman konsepnya:
·                    
Ia mampu menjawab krisis
identitas moral dalam pendidikan.
·                    
Ia menawarkan dasar
karakter bagi kehidupan sosial-politik yang sehat.
·                    
Ia menyediakan kerangka etis
untuk menghadapi teknologi digital dan biomedis.
·                    
Ia memberikan orientasi
moral untuk merespons tantangan global dan ekologis.
Dengan demikian,
etika kebajikan tidak hanya merupakan warisan klasik, tetapi juga paradigma
normatif yang aktual, dinamis, dan diperlukan untuk menghadapi kompleksitas
dunia kontemporer.
Footnotes
[1]               
James Wallace, Virtue and Reason (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1978), 12–15.
[2]               
David Carr, Educating the Virtues: Essay on the Philosophical
Psychology of Moral Development and Education (London: Routledge, 1991),
45–50.
[3]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed.
(Indianapolis: Hackett, 2019), II.1–2.
[4]               
John Kekes, The Morality of Pluralism (Princeton: Princeton
University Press, 1993), 87–92.
[5]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 187–203.
[6]               
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 20–25.
[7]               
Ronald Sandler, Character and Environment: A Virtue-Oriented
Approach to Environmental Ethics (New York: Columbia University Press,
2007), 18–23.
[8]               
Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Virtues in Medical
Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 69–73.
[9]               
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2011), 17–20.
10.         
Penutup
Kajian mengenai
kebajikan (virtue)
memperlihatkan bahwa konsep ini merupakan salah satu gagasan paling sentral dan
tahan lama dalam sejarah filsafat. Sejak Yunani Klasik hingga era kontemporer,
kebajikan selalu dipahami sebagai disposisi karakter yang mengarahkan manusia
pada kehidupan yang baik, meskipun cara memaknainya berbeda-beda sesuai dengan
horizon historis, kultural, dan religius masing-masing tradisi.
Dalam filsafat
Yunani, kebajikan berhubungan erat dengan eudaimonia dan harmoni jiwa.
Socrates mengidentifikasikan kebajikan dengan pengetahuan; Plato menekankannya
sebagai harmoni jiwa dan polis melalui empat kebajikan kardinal; Aristoteles
menyusunnya dalam kerangka teleologis sebagai habitus yang dibentuk oleh
pembiasaan dan rasio praktis.¹ ²
Tradisi Hellenistik
memperluas horizon tersebut. Kaum Stoa menegaskan kebajikan sebagai
satu-satunya kebaikan sejati, hidup selaras dengan logos kosmik; sementara
Epikureanisme menempatkan kebajikan sebagai sarana menuju ataraxia.³
Tradisi Romawi, khususnya melalui Cicero, menafsirkan kebajikan sebagai fondasi
hukum dan kewajiban publik.⁴
Abad Pertengahan
menambahkan dimensi transendental. Augustinus menekankan kebajikan sebagai ordo
amoris, keteraturan cinta yang berpusat pada Allah,⁵ sedangkan
Thomas Aquinas menyintesiskan Aristotelianisme dengan teologi Kristen melalui
kebajikan kardinal dan teologis yang mengarahkan manusia kepada beatitudo
aeterna.⁶
Filsafat modern
menunjukkan fragmentasi baru. Machiavelli menafsirkan kebajikan sebagai
kecakapan politik (virtù), Hume menekankan fondasi
sentimental dan sosial kebajikan, Kant menegaskannya sebagai disposisi untuk
menundukkan kehendak pada hukum moral universal, dan Nietzsche menggugat secara
genealogis konsep kebajikan tradisional serta mengusulkan transvaluasi nilai.⁷
⁸
Kebangkitan etika
kebajikan pada abad ke-20 melalui Anscombe, MacIntyre, Hursthouse, dan Nussbaum
menandai usaha rehabilitasi. Etika kebajikan kembali dipandang relevan, tidak
hanya sebagai alternatif normatif, tetapi juga sebagai kerangka yang mampu
menjawab tantangan kontemporer, termasuk teknologi digital (Vallor), bioetika,
dan krisis lingkungan.⁹ ¹⁰
Perbandingan lintas
tradisi (Yunani, Kristen, Islam, modern) menegaskan bahwa meski berbeda
horizon, ada titik temu universal: kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan
pengendalian diri tetap dianggap sebagai kebajikan fundamental.¹¹ Namun,
orientasi teleologisnya berbeda: dari eudaimonia Yunani, beatitudo
Kristen, falāḥ
Islam, hingga rekonstruksi kontemporer yang menekankan integritas karakter
dalam praksis sosial dan global.
Dengan demikian,
kajian ini memperlihatkan bahwa kebajikan tetap relevan dalam menjawab krisis
moral dunia kontemporer. Ia menuntun manusia bukan hanya untuk bertindak sesuai
aturan, melainkan untuk menjadi pribadi yang bajik—yang
keutamaan moralnya tampak dalam integritas, tanggung jawab, dan kebijaksanaan
praktis. Dalam menghadapi era pluralisme nilai, disrupsi teknologi, dan
tantangan global, etika kebajikan menjadi jembatan antara tradisi filsafat
klasik dan kebutuhan etika masa kini.
Footnotes
[1]               
Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett,
2004), IV 427e–434c.
[2]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed.
(Indianapolis: Hackett, 2019), II.1–6.
[3]               
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D.
Hicks, 2 vols. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), VII.94–95,
X.128–132.
[4]               
Cicero, On Duties (De Officiis), ed. and trans. M. T. Griffin
and E. M. Atkins (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), I.7–8.
[5]               
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin, 2003), XIX.13.
[6]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, qq. 55–70, ed. Thomas
Gilby (Cambridge: Cambridge University Press, 2006).
[7]               
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield,
2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1998), ch. 6.
[8]               
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans.
Maudemarie Clark and Alan J. Swensen (Indianapolis: Hackett, 1998), Essay I.
[9]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 187–203.
[10]            
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 20–25.
[11]            
Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford
University Press, 1993), 38–40.
Daftar
Pustaka
Annas, J. (1981). An
introduction to Plato’s Republic. Oxford University Press.
Annas, J. (1993). The
morality of happiness. Oxford University Press.
Anscombe, G. E. M. (1958).
Modern moral philosophy. Philosophy, 33(124), 1–19. doi.org
Aristotle. (2019). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.; 3rd ed.). Hackett.
Augustine. (2003). The
city of God (H. Bettenson, Trans.). Penguin.
Carr, D. (1991). Educating
the virtues: Essay on the philosophical psychology of moral development and
education. Routledge.
Cicero. (1927). Tusculan
disputations (J. E. King, Trans.). Harvard University Press.
Cicero. (1991). On
duties (De officiis) (M. T. Griffin & E. M. Atkins, Eds. &
Trans.). Cambridge University Press.
Crisp, R., & Slote, M.
(Eds.). (1997). Virtue ethics. Oxford University Press.
Darwall, S. (1995). The
British moralists and the internal ‘ought’. Cambridge University Press.
Diogenes Laertius. (1925). Lives
of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.; Vols. 1–2). Harvard
University Press.
Epicurus. (1994). Letter to
Menoeceus. In B. Inwood & L. P. Gerson (Eds. & Trans.), The
Epicurus reader (pp. 123–132). Hackett.
Epictetus. (1995). Discourses
(C. Gill, Trans.). Everyman.
Ghazālī, A. H. (1937). Iḥyā’
‘ulūm al-dīn (Vol. 3). al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra.
Hume, D. (1998). An
enquiry concerning the principles of morals (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford
University Press.
Hursthouse, R. (1999). On
virtue ethics. Oxford University Press.
Ibn Miskawayh. (1966). Tahdhīb
al-akhlāq wa-taṭhīr al-a‘rāq (C. Zurayk, Ed.). American University of
Beirut.
Kant, I. (1996). The
metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (2012). Groundwork
of the metaphysics of morals (M. Gregor & J. Timmermann, Eds. &
Trans.). Cambridge University Press.
Kekes, J. (1993). The
morality of pluralism. Princeton University Press.
Knight, K. (2007). Aristotelian
philosophy: Ethics and politics from Aristotle to MacIntyre. Polity Press.
Leiter, B. (2015). Nietzsche
on morality (2nd ed.). Routledge.
Liddell, H. G., &
Scott, R. (1940). A Greek–English lexicon (Rev. H. S. Jones, Ed.).
Clarendon Press.
Long, A. A., & Sedley,
D. N. (1987). The Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge
University Press.
MacIntyre, A. (2007). After
virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
Marcus Aurelius. (2002). Meditations
(G. Hays, Trans.). Modern Library.
Markus, R. A. (1970). Saeculum:
History and society in the theology of St. Augustine. Cambridge University
Press.
Machiavelli, N. (1998). The
prince (H. C. Mansfield, Trans.; 2nd ed.). University of Chicago Press.
Nussbaum, M. C. (1995).
Non-relative virtues: An Aristotelian approach. In J. E. J. Altham & R.
Harrison (Eds.), World, mind, and ethics: Essays on the ethical philosophy of
Bernard Williams (pp. 242–273). Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating
capabilities. Harvard University Press.
Oxford Latin Dictionary.
(2012). (2nd ed.). Oxford University Press.
Pellegrino, E. D., &
Thomasma, D. C. (1993). The virtues in medical practice. Oxford
University Press.
Peterson, C., &
Seligman, M. E. P. (2004). Character strengths and virtues: A handbook and
classification. Oxford University Press; American Psychological
Association.
Pinckaers, S. (1995). The
sources of Christian ethics (M. T. Noble, Trans.). Catholic University of
America Press.
Plato. (1997). Plato:
Complete works (J. M. Cooper, Ed.). Hackett.
Plato. (2004). Republic
(C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett.
Rist, J. M. (1994). Augustine:
Ancient thought baptized. Cambridge University Press.
Sandler, R. (2007). Character
and environment: A virtue-oriented approach to environmental ethics.
Columbia University Press.
Seneca. (2015). Letters
on ethics: To Lucilius (M. Graver & A. A. Long, Trans.). University of
Chicago Press.
Skinner, Q. (1978). The
foundations of modern political thought (Vol. 1). Cambridge University
Press.
Thomas Aquinas. (2006). Summa
theologiae (Latin–English ed., T. Gilby, Ed.). Cambridge University Press.
Vallor, S. (2016). Technology
and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford
University Press.
Viroli, M. (1998). Machiavelli.
Oxford University Press.
Vlastos, G. (1991). Socrates:
Ironist and moral philosopher. Cornell University Press.
Wallace, J. (1978). Virtue
and reason. Cornell University Press.
Wetzel, J. (1992). Augustine
and the limits of virtue. Cambridge University Press.
Wood, A. W. (1999). Kant’s
ethical thought. Cambridge University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar