Kamis, 09 Oktober 2025

Kebajikan (Virtue): Dari Etika Klasik hingga Pemikiran Kontemporer

Kebajikan (Virtue)

Dari Etika Klasik hingga Pemikiran Kontemporer


Alihkan ke: Konsep-Konsep Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif perkembangan gagasan kebajikan (virtue) dalam filsafat, mulai dari tradisi Yunani Klasik hingga pemikiran kontemporer. Kajian ini menunjukkan bahwa kebajikan selalu dipahami sebagai disposisi karakter yang membimbing manusia menuju kehidupan baik, meskipun orientasi dan penekanannya berbeda sesuai konteks historis dan kultural. Pada periode Yunani Klasik, Socrates, Plato, dan Aristoteles menekankan keterkaitan kebajikan dengan pengetahuan, harmoni jiwa, dan eudaimonia. Era Hellenistik dan Romawi memperluas horizon ini dengan menempatkan kebajikan sebagai sarana mencapai ataraxia, hidup selaras dengan logos, atau fondasi kehidupan publik. Tradisi Abad Pertengahan mengintegrasikan kebajikan dengan iman, terutama melalui Augustinus yang merumuskan ordo amoris dan Thomas Aquinas yang menyintesiskan kebajikan kardinal dan teologis. Filsafat modern memperlihatkan fragmentasi: Machiavelli memahami kebajikan sebagai kecakapan politik, Hume menekankannya pada sentimen moral, Kant menegaskannya dalam kerangka kewajiban universal, sementara Nietzsche menggugat genealogis kebajikan tradisional. Kebangkitan kembali etika kebajikan di abad ke-20 melalui Anscombe, MacIntyre, Hursthouse, dan Nussbaum menegaskan kembali pentingnya karakter, praktik sosial, dan dimensi global. Pada akhirnya, artikel ini menyimpulkan bahwa kebajikan tetap relevan dalam menjawab tantangan kontemporer, seperti pendidikan karakter, krisis moral publik, bioetika, lingkungan, hingga etika teknologi, menjadikan kebajikan sebagai paradigma etis yang dinamis dan kontekstual bagi abad ke-21.

Kata Kunci: Kebajikan; Virtue Ethics; Etika Klasik; Filsafat Abad Pertengahan; Filsafat Modern; Filsafat Kontemporer; Karakter; Eudaimonia; Moralitas; Etika Terapan.


PEMBAHASAN

Kebajikan (Virtue) dalam Perspektif Filsafat


1.                Pendahuluan

Pertanyaan tentang “kebajikan” (virtue) adalah jantung dari refleksi etika sejak kelahiran filsafat hingga perdebatan moral kontemporer. Secara historis, istilah Yunani aretê merujuk pada “keunggulan” atau “kesempurnaan” kapasitas suatu hal—dari alat hingga karakter manusia—sementara istilah Latin virtus menandai kualitas unggul yang layak dipuji, terutama dalam konteks kepribadian dan kehidupan publik.¹ ² Dalam tradisi filsafat, kebajikan dipahami bukan semata-mata sebagai seperangkat aturan, melainkan sebagai disposisi kokoh (habitus) yang dibentuk oleh latihan rasional dan praksis berulang, sehingga mengarahkan pelakunya kepada kehidupan yang baik dan bermakna (eudaimonia).³

Dalam filsafat klasik Yunani, Socrates menautkan kebajikan dengan pengetahuan—sebuah tesis radikal bahwa siapa yang sungguh mengetahui kebaikan tidak mungkin dengan sadar memilih yang buruk.⁴ Plato kemudian mensistematisasi gagasan ini ke dalam empat kebajikan kardinal—kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, dan keadilan—sebagai harmoni tatanan jiwa dan polis.⁵ Aristoteles melangkah lebih jauh: kebajikan adalah hexis (habitus) yang berada pada “jalan tengah” (mesotês) relatif terhadap kita, ditentukan oleh rasio praktis (phronêsis) dan dibentuk melalui pembiasaan.³ Pendekatan ini mengikat erat etika kebajikan dengan teleologi manusia—yakni pemahaman tentang tujuan kodrati yang mekar dalam praksis sosial.

Pada era Helenistik dan Romawi, peta kebajikan kian beragam. Kaum Stoa menegaskan bahwa kebajikan adalah satu-satunya kebaikan sejati dan hidup bajik berarti selaras dengan logos kosmik serta kebijaksanaan praktis menghadapi takdir.⁶ Epikureanisme, sebaliknya, memandang kebajikan dalam kaitannya dengan ataraxia (ketenangan jiwa): kebajikan bernilai sejauh menopang kehidupan yang bebas dari rasa takut dan sakit yang berlebihan.⁷ Sementara itu, tradisi republik Romawi—terutama melalui Cicero—menempatkan kebajikan sebagai fondasi kewajiban, ketertiban, dan kepemimpinan sipil.⁸

Abad Pertengahan memadukan warisan klasik dengan teologi. Augustinus menafsirkan kebajikan dalam horizon cinta teratur (ordo amoris), di mana cinta kepada Tuhan mengarahkan dan menata cinta-cinta lain.⁹ Puncaknya tampak pada sintesis Thomas Aquinas: kebajikan kardinal (kehati-hatian, keadilan, pengendalian diri, keperkasaan) dilengkapi oleh kebajikan teologis (iman, harap, kasih) yang menyiapkan manusia bagi tujuan terakhirnya.¹⁰ Dalam kerangka ini, kebajikan menjadi jembatan antara logika kodrati dan rahmat, antara akal budi praktis dan telos transenden.

Memasuki zaman modern, peta kebajikan “retak” dan direkontekstualisasi. Machiavelli mengimbuhkan nuansa virtù politik—kecakapan efektif menghadapi Fortuna—yang kadang bertabrakan dengan moralitas tradisional.¹¹ Hume menekankan bahwa penilaian moral berakar pada sentimen; kebajikan menyenangkan karena membangkitkan persetujuan simpatik pada pengamat.¹² Kant menggeser fokus pada otonomi rasional dan hukum moral universal; kebajikan terkait disiplin kehendak untuk menaati kewajiban, bukan pencapaian teleologis tertentu.¹³ Nietzsche lalu menggugat genealogis “kebajikan-kebajikan” yang diwarisi tradisi, menyingkap dinamika daya yang menyusunnya dan mengajak merumuskan “kebajikan” baru di luar moralitas reaktif.¹⁴

Kebangkitan kembali etika kebajikan pada abad ke-20 dimulai (antara lain) dari kritik Anscombe terhadap kosakata moral modern yang “kehilangan hukum ilahi” namun masih berbicara tentang “kewajiban” seolah-olah fondasinya utuh.¹⁵ MacIntyre memulihkan kebajikan sebagai disposisi yang dibentuk oleh praktik, tradisi, dan narasi hidup manusia, seraya menunjukkan bagaimana fragmentasi modern menggerus rasionalitas moral bersama.¹⁶ Dari sana, etika kebajikan berkembang dalam bentuk-bentuk analitis yang matang (mis. Hursthouse) dan lintas-budaya (mis. Nussbaum), yang menekankan peranan kebijaksanaan praktis, keutuhan karakter, dan konteks sosial dalam penilaian moral.¹⁷ ¹⁸

Relevansi konsep kebajikan hari ini tampak di beragam medan: pendidikan karakter dan pembentukan integritas warga; bioetika dan profesi (di mana phronêsis mengarahkan keputusan dalam ketidakpastian); hingga etika teknologi dan kecerdasan buatan yang menuntut “kebajikan digital” seperti kehati-hatian, keadilan, dan tanggung jawab sosial.¹⁹ Bahkan psikologi positif berupaya mengklasifikasikan “kekuatan karakter” yang menyerupai kebajikan, memperkaya dialog interdisipliner tentang pembentukan karakter dalam praktik.²⁰ Dengan demikian, mengkaji kebajikan bukanlah nostalgia klasik semata, melainkan strategi konseptual untuk menavigasi dilema moral yang kompleks, lintas tradisi dan disiplin.

Artikel ini menempuh tiga tujuan utama. Pertama, memetakan evolusi gagasan kebajikan dari Yunani Klasik hingga refleksi kontemporer. Kedua, menganalisis perbedaan dan titik temu etika kebajikan dengan deontologi dan utilitarianisme, terutama dalam konteks pengambilan keputusan nyata. Ketiga, menimbang relevansi kebajikan bagi lanskap etika abad ke-21—pendidikan, profesi, dan teknologi. Secara metodologis, kajian memadukan pembacaan tekstual-historis (terhadap naskah primer) dengan analisis konseptual dan komparatif, serta memberi contoh aplikatif yang menyambungkan teori dan praksis. Struktur artikel mengikuti alur historis-konseptual: mulai dari konsep dasar dan warisan klasik, perkembangan abad pertengahan dan modern, kebangkitan kontemporer, perbandingan lintas tradisi, hingga implikasi mutakhirnya.


Footnotes

[1]                Henry George Liddell and Robert Scott, A Greek–English Lexicon, rev. by Henry Stuart Jones (Oxford: Clarendon Press, 1940), s.v. “ἀρετή”.

[2]                Oxford Latin Dictionary, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2012), s.v. “virtus”.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed. (Indianapolis: Hackett, 2019), II.1–6.

[4]                Plato, Protagoras, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett, 1997), 352c–360e.

[5]                Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), IV 427e–434c.

[6]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks, 2 vols. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), VII.94–95.

[7]                Diogenes Laertius, Lives, X.128–132; see also Epicurus, “Letter to Menoeceus,” in The Epicurus Reader, trans. and ed. Brad Inwood and L. P. Gerson (Indianapolis: Hackett, 1994).

[8]                Cicero, On Duties (De Officiis), ed. and trans. M. T. Griffin and E. M. Atkins (Cambridge: Cambridge University Press, 1991).

[9]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin, 2003), XIX.

[10]             Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, qq. 55–70, in Summa Theologiae: Latin–English Edition, ed. Thomas Gilby (Cambridge: Cambridge University Press, 2006).

[11]             Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1998), ch. 6.

[12]             David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), sec. I, IX.

[13]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. and ed. Mary Gregor and Jens Timmermann (Cambridge: Cambridge University Press, 2012).

[14]             Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Maudemarie Clark and Alan J. Swensen (Indianapolis: Hackett, 1998).

[15]             G. E. M. Anscombe, “Modern Moral Philosophy,” Philosophy 33, no. 124 (1958): 1–19.

[16]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007).

[17]             Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999).

[18]             Martha C. Nussbaum, “Non-Relative Virtues: An Aristotelian Approach,” in World, Mind, and Ethics: Essays on the Ethical Philosophy of Bernard Williams, ed. J. E. J. Altham and Ross Harrison (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 242–273.

[19]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016).

[20]             Christopher Peterson and Martin E. P. Seligman, Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification (Oxford: Oxford University Press; Washington, DC: American Psychological Association, 2004).


2.                Konsep Dasar Kebajikan (Virtue)

Konsep kebajikan (virtue) menempati posisi sentral dalam sejarah filsafat moral. Sejak masa Yunani Kuno, kebajikan dipahami bukan sekadar sebagai perilaku baik yang terputus-putus, melainkan sebagai disposisi yang menetap dalam diri seseorang, yang mengarahkan tindakannya kepada kebaikan sejati. Dalam bahasa Yunani, istilah yang digunakan adalah aretê, yang berarti keunggulan atau kesempurnaan suatu fungsi.¹ Istilah ini tidak hanya merujuk pada kualitas moral, tetapi juga pada kemampuan atau kecakapan dalam melaksanakan fungsi kodrati suatu entitas. Misalnya, aretê sebuah pisau adalah ketajamannya; maka aretê manusia adalah kapasitasnya untuk mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan rasionalitas dan keadilan.²

Di dunia Latin, konsep ini diterjemahkan sebagai virtus, yang awalnya terkait dengan keberanian dan kualitas seorang pria dalam medan perang, namun kemudian berkembang menjadi istilah umum yang meliputi segala bentuk keunggulan moral.³ Dari titik inilah lahir gagasan bahwa kebajikan adalah sifat karakter yang membuat seseorang layak dipuji (praiseworthy) dalam kehidupan privat maupun publik. Definisi ini sejalan dengan konsepsi etika klasik yang menekankan pada formasi karakter dan integritas sebagai basis kehidupan moral.

Secara filosofis, kebajikan dipahami sebagai habitus—yaitu disposisi yang relatif stabil dalam jiwa—yang terbentuk melalui pembiasaan (ethismos). Aristoteles menegaskan bahwa kebajikan etis bukanlah sesuatu yang lahir secara alami, melainkan dibentuk melalui latihan berulang yang membiasakan manusia untuk bertindak baik.⁴ Dengan demikian, kebajikan bukan hanya potensi, melainkan kemampuan yang terwujud dalam praksis. Lebih lanjut, kebajikan dapat dipahami sebagai jalan tengah (mesotês) antara dua ekstrem: misalnya, keberanian terletak di antara kenekatan dan ketakutan.⁵ Rumusan ini memperlihatkan bahwa kebajikan adalah orientasi praktis yang membutuhkan rasio (logos) sebagai penuntun.

Di luar dimensi moral individu, kebajikan juga memiliki aspek teleologis: ia mengarahkan manusia kepada tujuan tertinggi hidupnya, yakni eudaimonia (kebahagiaan atau kesejahteraan jiwa).⁶ Dengan kata lain, kebajikan bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana fundamental untuk mencapai kehidupan yang baik. Plato menegaskan bahwa hanya jiwa yang teratur oleh kebajikanlah yang dapat hidup harmonis, baik dalam diri individu maupun dalam polis.⁷ Pandangan ini kemudian melahirkan distingsi penting: bahwa kebajikan berfungsi bukan hanya bagi kebaikan diri pribadi, melainkan juga bagi kesejahteraan masyarakat.

Dalam filsafat moral kontemporer, pengertian kebajikan tetap mempertahankan dimensi dasarnya sebagai disposisi karakter, tetapi diperkaya dengan refleksi baru. Rosalind Hursthouse, misalnya, mendefinisikan kebajikan sebagai kualitas karakter yang memungkinkan individu untuk berkembang (flourish) sesuai kodratnya sebagai manusia.⁸ MacIntyre menambahkan bahwa kebajikan tidak bisa dilepaskan dari praktik dan tradisi sosial tertentu; ia adalah kualitas yang memungkinkan seseorang mencapai “kebaikan internal” dari suatu praktik, serta menopang pencarian telos hidup manusia secara naratif.⁹

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebajikan adalah disposisi karakter yang melekat, terbentuk melalui latihan dan kebiasaan, serta berfungsi mengarahkan manusia pada kehidupan baik—baik dalam aspek individual (self-realization) maupun sosial (common good). Kebajikan bukan sekadar norma eksternal, melainkan kualitas internal yang membentuk integritas moral, sehingga menjadi fondasi bagi sistem etika dari masa klasik hingga hari ini.


Footnotes

[1]                Henry George Liddell and Robert Scott, A Greek–English Lexicon, rev. by Henry Stuart Jones (Oxford: Clarendon Press, 1940), s.v. “ἀρετή”.

[2]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 34–35.

[3]                Oxford Latin Dictionary, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2012), s.v. “virtus”.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed. (Indianapolis: Hackett, 2019), II.1–2.

[5]                Ibid., II.6.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics, I.7–13.

[7]                Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), IV 427e–434c.

[8]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 28–30.

[9]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 187–203.


3.                Kebajikan dalam Filsafat Klasik Yunani

Pembahasan mengenai kebajikan (aretê) mencapai bentuk yang paling awal dan sistematis dalam filsafat Yunani Klasik. Tiga figur utama—Socrates, Plato, dan Aristoteles—telah meletakkan dasar konseptual yang terus memengaruhi diskursus etika hingga kini. Bagi mereka, kebajikan bukan sekadar aturan eksternal, melainkan kualitas batin yang membentuk karakter dan mengarahkan manusia pada kehidupan baik (eudaimonia).

3.1.       Socrates: Kebajikan sebagai Pengetahuan

Socrates (469–399 SM) merupakan tokoh yang menegaskan bahwa inti dari kebajikan adalah pengetahuan. Menurutnya, “tidak seorang pun dengan sadar berbuat jahat; kejahatan muncul dari ketidaktahuan.”¹ Dalam dialog Protagoras, ia menolak pandangan relativistik kaum sofis, dengan menegaskan bahwa kebajikan adalah sesuatu yang dapat diajarkan dan berakar pada rasio.² Dengan demikian, bagi Socrates, kebajikan bersifat uniter: semua kebajikan (keberanian, keadilan, kesalehan) pada dasarnya adalah manifestasi pengetahuan tentang kebaikan.³ Pandangan ini menekankan peran intelektual dalam moralitas, sehingga memunculkan tesis “virtue is knowledge.”

3.2.       Plato: Harmoni Jiwa dan Kebajikan Kardinal

Plato (427–347 SM), murid Socrates, mengembangkan konsep kebajikan dalam kerangka metafisis dan politik. Dalam Republic, ia menjelaskan empat kebajikan utama—kebijaksanaan (sophia), keberanian (andreia), pengendalian diri (sôphrosynê), dan keadilan (dikaiosynê).⁴ Keempatnya merupakan pilar harmoni jiwa:

·                     Kebijaksanaan terkait fungsi rasional,

·                     Keberanian pada unsur thumos (semangat),

·                     Pengendalian diri pada aspek keinginan,

·                     Keadilan sebagai keteraturan keseluruhan, yakni ketika tiap bagian jiwa dan kelas sosial dalam polis menjalankan perannya dengan baik.⁵

Kebajikan, dengan demikian, bukan sekadar sikap individual, melainkan struktur kosmis dan politis yang menjaga keharmonisan individu dan masyarakat. Plato memandang kebajikan sebagai partisipasi jiwa dalam dunia ide, terutama ide kebaikan (idea tou agathou), yang menjadi sumber keteraturan moral.⁶

3.3.       Aristoteles: Kebajikan sebagai Habitus dan Jalan Tengah

Aristoteles (384–322 SM) mengembangkan teori kebajikan yang lebih empiris dan praktis dalam Nicomachean Ethics. Baginya, kebajikan adalah hexis (habitus) yang diperoleh melalui pembiasaan (ethismos), bukan bakat bawaan.⁷ Dengan latihan berulang, manusia membentuk disposisi stabil untuk bertindak dengan cara yang benar.

Aristoteles membedakan dua jenis kebajikan:

1)                  Kebajikan dianoetik (intellectual virtues), seperti kebijaksanaan (sophia) dan kehati-hatian (phronêsis), yang dikembangkan melalui pengajaran.

2)                  Kebajikan etis (ethical virtues), seperti keberanian dan kemurahan hati, yang dibentuk melalui kebiasaan.⁸

Prinsip fundamental etika Aristoteles adalah doktrin “jalan tengah” (mesotês): kebajikan berada di antara dua ekstrem yang salah. Contohnya, keberanian adalah jalan tengah antara kenekatan dan ketakutan; kemurahan hati adalah jalan tengah antara pemborosan dan kekikiran.⁹ Jalan tengah ini bukan formula matematis, melainkan ditentukan oleh rasio praktis (phronêsis) sesuai dengan keadaan.

Selain itu, kebajikan erat kaitannya dengan telos manusia, yaitu eudaimonia—kehidupan baik yang sesuai dengan fungsi khas manusia sebagai makhluk rasional.¹⁰ Dengan demikian, kebajikan bukan tujuan akhir, melainkan sarana utama untuk mencapai kebahagiaan sejati.

3.4.       Signifikansi Tradisi Yunani Klasik

Sumbangan ketiga filsuf besar Yunani Klasik ini dapat diringkas sebagai berikut:

·                     Socrates meletakkan dasar intelektualisme moral, bahwa kebajikan bersumber dari pengetahuan.

·                     Plato merumuskan kebajikan sebagai harmoni jiwa dan tatanan politik yang adil.

·                     Aristoteles mengartikulasikan kebajikan dalam kerangka empiris, sebagai disposisi praktis yang menuntun manusia menuju eudaimonia.

Kerangka konseptual ini menjadi fondasi bagi tradisi etika Barat maupun pemikiran lintas budaya. Bahkan dalam etika kontemporer, gagasan Aristoteles tentang kebajikan sebagai habitus dan “jalan tengah” terus menjadi inspirasi utama bagi kebangkitan virtue ethics.¹¹


Footnotes

[1]                Plato, Apology, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett, 1997), 25e–26a.

[2]                Plato, Protagoras, in Plato: Complete Works, ed. Cooper, 352c–360e.

[3]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 205–210.

[4]                Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), IV 427e–434c.

[5]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 120–128.

[6]                Plato, Republic, VI 504d–509c.

[7]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed. (Indianapolis: Hackett, 2019), II.1.

[8]                Ibid., VI.1–3.

[9]                Ibid., II.6.

[10]             Aristotle, Nicomachean Ethics, I.7–13.

[11]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 147–164.


4.                Bab III – Tradisi Hellenistik dan Romawi

Setelah era klasik Socrates, Plato, dan Aristoteles, pemikiran etika Yunani berkembang ke dalam berbagai aliran filsafat Hellenistik (abad ke-3 SM – abad ke-3 M). Periode ini ditandai oleh pencarian hidup yang baik dalam konteks dunia yang lebih luas, penuh gejolak politik, dan ketidakpastian sosial akibat runtuhnya polis klasik. Dalam situasi ini, kebajikan (aretê) semakin dipahami bukan hanya sebagai harmoni kosmos atau tujuan teleologis, melainkan juga sebagai sarana mencapai ketenangan batin (ataraxia) dan kebebasan dari penderitaan. Tradisi Hellenistik yang paling menonjol adalah Stoisisme dan Epikureanisme, sedangkan dalam tradisi Romawi, tokoh-tokoh seperti Cicero menekankan dimensi politis dan hukum dari kebajikan.

4.1.       Stoisisme: Kebajikan sebagai Satu-Satunya Kebaikan

Kaum Stoa, yang didirikan oleh Zeno dari Citium (ca. 334–262 SM), menekankan bahwa kebajikan adalah satu-satunya kebaikan sejati, sedangkan segala hal eksternal seperti kekayaan, kesehatan, atau kedudukan hanyalah “indifferents” (hal-hal yang tidak menentukan nilai moral sejati).¹ Hidup bajik berarti hidup selaras dengan logos, prinsip rasional kosmik yang mengatur alam semesta.²

Stoisisme mengajarkan empat kebajikan utama: kebijaksanaan (sophia), keberanian (andreia), keadilan (dikaiosynê), dan pengendalian diri (sôphrosynê).³ Kebajikan ini memampukan manusia untuk menerima takdir dengan ketenangan jiwa, sebab yang berada dalam kuasa manusia hanyalah kehendak dan sikap batinnya, bukan peristiwa eksternal. Epictetus menekankan bahwa kebebasan sejati adalah kebebasan dari keterikatan pada hal-hal yang tidak berada dalam kendali kita.⁴

Marcus Aurelius, kaisar-filosof, menegaskan bahwa kebajikan adalah bentuk pelayanan kosmis: manusia bajik hidup selaras dengan kodrat universal, menunaikan kewajiban sosial, dan memelihara integritas batin.⁵ Dengan demikian, Stoisisme memadukan kebajikan individual dengan kewajiban universal, melahirkan visi etika kosmopolitan yang melampaui batas polis.

4.2.       Epikureanisme: Kebajikan sebagai Sarana Ataraxia

Berbeda dengan kaum Stoa, Epikureanisme, yang didirikan oleh Epicurus (341–270 SM), mengajarkan bahwa tujuan hidup adalah mencapai ataraxia (ketenangan jiwa) dan aponia (bebas dari penderitaan fisik).⁶ Namun, kebajikan tetap penting: ia bernilai sejauh menjadi sarana untuk mencapai kehidupan yang menyenangkan dalam arti yang berimbang, bukan hedonisme berlebihan.

Epicurus menegaskan bahwa kebajikan dan kenikmatan tidak dapat dipisahkan: “Kebajikan hidup dalam kenikmatan, dan kenikmatan sejati tidak mungkin tanpa kebajikan.”⁷ Misalnya, kebijaksanaan diperlukan untuk memilih kesenangan yang tidak membawa penderitaan lebih besar; keadilan mendatangkan ketenangan karena melindungi dari ketakutan akan hukuman atau konflik; pengendalian diri mencegah keserakahan yang merusak kebahagiaan jangka panjang.⁸

Dengan demikian, dalam Epikureanisme, kebajikan bukanlah tujuan akhir, tetapi sarana rasional untuk mencapai hidup yang bebas dari rasa takut (terutama ketakutan akan para dewa dan kematian).

4.3.       Tradisi Romawi: Kebajikan sebagai Fondasi Publik

Dalam tradisi Romawi, terutama melalui Marcus Tullius Cicero (106–43 SM), kebajikan mendapat dimensi politik dan hukum yang lebih menonjol. Dalam karyanya De Officiis (On Duties), Cicero menggabungkan filsafat Stoik dengan tradisi republikan Romawi, menekankan bahwa kebajikan adalah dasar kewajiban dan keteraturan negara.⁹

Cicero mengklasifikasikan empat kebajikan utama: kebijaksanaan (prudentia), keadilan (iustitia), keberanian (fortitudo), dan pengendalian diri (temperantia).¹⁰ Dengan menunaikan kebajikan ini, warga negara mendukung res publica dan menjaga kesejahteraan bersama. Bagi Cicero, keadilan adalah kebajikan tertinggi dalam kehidupan publik, sebab tanpanya, institusi hukum dan negara akan runtuh.¹¹

Selain Cicero, filsuf Romawi lainnya seperti Seneca menekankan dimensi etis kebajikan Stoik, khususnya pentingnya mengelola emosi agar tercapai ketenangan.¹² Romawi dengan demikian menafsirkan kebajikan tidak hanya sebagai kualitas pribadi, melainkan sebagai fondasi peradaban, hukum, dan pemerintahan.

4.4.       Signifikansi Era Hellenistik dan Romawi

Tradisi Hellenistik dan Romawi memperkaya pemahaman kebajikan dalam tiga dimensi utama:

1)                  Dimensi kosmologis (Stoisisme): kebajikan sebagai hidup selaras dengan logos kosmik.

2)                  Dimensi hedonistis-rasional (Epikureanisme): kebajikan sebagai sarana menuju ataraxia.

3)                  Dimensi politis-hukum (Romawi): kebajikan sebagai fondasi kewajiban sosial dan negara.

Ketiga arah ini menunjukkan bahwa kebajikan bukan sekadar etika pribadi, melainkan suatu visi menyeluruh tentang bagaimana manusia seharusnya hidup—baik dalam keterhubungannya dengan kosmos, dirinya sendiri, maupun masyarakat.


Footnotes

[1]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks, 2 vols. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), VII.94–95.

[2]                A. A. Long and D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 356–360.

[3]                Cicero, Tusculan Disputations, trans. J. E. King (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1927), V.10.

[4]                Epictetus, Discourses, trans. Christopher Gill (London: Everyman, 1995), I.1.

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), II.1–5.

[6]                Epicurus, “Letter to Menoeceus,” in The Epicurus Reader, ed. Brad Inwood and L. P. Gerson (Indianapolis: Hackett, 1994), 123–125.

[7]                Ibid., 132.

[8]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 189–192.

[9]                Cicero, On Duties (De Officiis), ed. and trans. M. T. Griffin and E. M. Atkins (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), I.7–8.

[10]             Ibid., I.15–20.

[11]             Ibid., II.12–14.

[12]             Seneca, Letters on Ethics: To Lucilius, trans. Margaret Graver and A. A. Long (Chicago: University of Chicago Press, 2015), Letter IX.


5.                Kebajikan dalam Filsafat Abad Pertengahan

Periode Abad Pertengahan menandai babak penting dalam perkembangan konsep kebajikan, ketika filsafat Yunani dikontekstualisasikan dalam horizon religius, khususnya Kristen. Jika filsafat klasik menekankan kebajikan sebagai harmoni jiwa dan sarana menuju eudaimonia, maka pemikir abad pertengahan menambahkan dimensi transendental: kebajikan dipahami sebagai orientasi manusia kepada Tuhan sebagai tujuan akhir (summum bonum). Dua tokoh sentral yang merepresentasikan perkembangan ini adalah Aurelius Augustinus (354–430 M) dan Thomas Aquinas (1225–1274 M).

5.1.       Augustinus: Kebajikan sebagai Ordo Amoris

Augustinus menafsirkan kebajikan dalam kerangka teologis, terutama dalam De Civitate Dei (The City of God). Bagi Augustinus, kebajikan bukan semata keteraturan jiwa seperti dalam tradisi Platonis, melainkan keteraturan cinta (ordo amoris).¹ Setiap manusia memiliki cinta, tetapi cinta yang salah arah melahirkan dosa dan kehancuran; sedangkan cinta yang teratur (yaitu cinta kepada Tuhan di atas segala sesuatu, lalu cinta kepada sesama dalam terang kasih ilahi) merupakan fondasi semua kebajikan.²

Ia mendefinisikan kebajikan sebagai “ordo amoris”—penataan cinta secara benar.³ Dengan demikian, keadilan, keberanian, atau pengendalian diri hanya benar-benar bajik jika diarahkan oleh cinta kepada Allah. Konsep ini sekaligus menggeser telos Aristotelian (eudaimonia) menuju telos transendental: kebahagiaan sejati adalah beatitudo atau kebersatuan dengan Allah.⁴

Augustinus juga menolak klaim bahwa kebajikan pagan (Plato, Aristoteles, Cicero) sejati dapat membawa manusia pada keselamatan. Bagi Augustinus, tanpa rahmat, kebajikan hanyalah “virtutes splendidae” (kebajikan yang tampak cemerlang) tetapi pada dasarnya kosong secara rohani.⁵ Perspektif ini menunjukkan bahwa kebajikan dalam kerangka Kristen selalu terkait erat dengan iman dan kasih karunia ilahi.

5.2.       Thomas Aquinas: Sintesis Aristotelian dan Teologi Kristen

Thomas Aquinas, tokoh skolastik terbesar, menyusun teori kebajikan yang sistematis dalam Summa Theologiae. Ia mengintegrasikan filsafat Aristoteles dengan doktrin Kristen, menghasilkan dua kategori kebajikan: kebajikan kardinal dan kebajikan teologis.⁶

·                     Kebajikan kardinal: kehati-hatian (prudentia), keadilan (iustitia), keberanian (fortitudo), dan pengendalian diri (temperantia). Keempat kebajikan ini berakar pada rasio praktis dan dapat dicapai melalui habituasi manusia.⁷

·                     Kebajikan teologis: iman (fides), harapan (spes), dan kasih (caritas). Kebajikan ini melampaui kodrat manusia, ditanamkan oleh rahmat Allah, dan langsung mengarahkan jiwa kepada tujuan adikodrati, yakni persatuan dengan Allah.⁸

Aquinas memahami kebajikan sebagai habitus operativus bonus, yaitu disposisi tetap dalam jiwa yang memungkinkan tindakan baik.⁹ Berbeda dengan Aristoteles yang menekankan phronêsis, Aquinas menekankan keterarahan kebajikan pada telos tertinggi: beatitudo aeterna (kebahagiaan kekal).¹⁰ Oleh karena itu, kebajikan etis manusiawi (kardinal) tetap penting, tetapi tidak mencukupi tanpa kebajikan teologis.

Dalam kerangka Aquinas, hubungan antara rasio dan rahmat, kodrat dan wahyu, menjadi harmonis. Kebajikan natural mengarahkan manusia pada kebaikan duniawi dan sosial, sedangkan kebajikan teologis mengangkat manusia pada dimensi adikodrati.¹¹

5.3.       Signifikansi Tradisi Abad Pertengahan

Tradisi kebajikan abad pertengahan menandai pergeseran besar:

1)                  Dari aretê Yunani yang menekankan pembiasaan rasional menuju virtus christiana yang menekankan keterarahan kepada Tuhan.

2)                  Dari teleologi eudaimonistik (kebahagiaan duniawi) menuju teleologi teologis (keselamatan kekal).

3)                  Dari kebajikan yang universal-humanistik menuju integrasi antara kebajikan moral dan iman keagamaan.

Dengan demikian, Abad Pertengahan mewariskan sintesis kaya: Augustinus menekankan cinta sebagai prinsip moral, sedangkan Aquinas menyusun kerangka sistematis yang memadukan kebajikan kardinal dan teologis. Sintesis inilah yang menjadi landasan diskursus etika teologis di Barat dan berpengaruh hingga ke pemikiran modern.


Footnotes

[1]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin, 2003), XIX.13.

[2]                James Wetzel, Augustine and the Limits of Virtue (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 58–63.

[3]                Augustine, City of God, XV.22.

[4]                R. A. Markus, Saeculum: History and Society in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 71–75.

[5]                Augustine, City of God, XIX.25; cf. John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 236.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, qq. 55–70, in Summa Theologiae: Latin–English Edition, ed. Thomas Gilby (Cambridge: Cambridge University Press, 2006).

[7]                Ibid., I–II, q. 61, a. 2.

[8]                Ibid., I–II, q. 62, a. 1.

[9]                Ibid., I–II, q. 55, a. 4.

[10]             Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, q. 5, a. 5.

[11]             Servais Pinckaers, The Sources of Christian Ethics, trans. Mary Thomas Noble (Washington, DC: Catholic University of America Press, 1995), 381–385.


6.                Kebajikan dalam Filsafat Modern

Memasuki zaman modern (abad ke-16 hingga ke-19), pemahaman tentang kebajikan mengalami pergeseran seiring perubahan besar dalam politik, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Jika Abad Pertengahan menekankan integrasi kebajikan dengan iman dan rahmat, maka filsafat modern mulai menguji kembali fondasi etika dengan menekankan rasionalitas, empirisme, dan kritik terhadap tradisi. Tokoh-tokoh seperti Niccolò Machiavelli, David Hume, Immanuel Kant, dan Friedrich Nietzsche memberikan kontribusi penting dalam membentuk wajah baru diskursus kebajikan, baik dalam politik, etika empiris, moralitas rasional, maupun kritik genealogis terhadap nilai-nilai moral.

6.1.       Machiavelli: Virtù sebagai Kecakapan Politik

Niccolò Machiavelli (1469–1527) memperkenalkan konsep virtù dalam konteks politik yang berbeda dari tradisi klasik maupun Kristen. Dalam Il Principe (The Prince), ia menggunakan istilah virtù untuk menunjuk pada kemampuan seorang penguasa dalam memanfaatkan kesempatan (fortuna) demi mempertahankan kekuasaan dan stabilitas negara.¹ Virtù di sini tidak lagi identik dengan moralitas tradisional, tetapi dengan kecakapan praktis, keberanian, dan kelicikan yang diperlukan dalam realitas politik.²

Dengan demikian, Machiavelli mendefinisikan kebajikan secara pragmatis: tindakan yang secara tradisional dianggap “jahat” dapat disebut bajik jika berguna bagi kelestarian kekuasaan dan keamanan negara.³ Perspektif ini merepresentasikan pergeseran dari kebajikan sebagai ideal moral menuju kebajikan sebagai instrumen politik.

6.2.       David Hume: Sentimen Moral dan Kebajikan sebagai Sumber Simpati

David Hume (1711–1776) merekonstruksi etika kebajikan dalam kerangka empiris. Dalam An Enquiry Concerning the Principles of Morals, ia menegaskan bahwa moralitas tidak berakar pada rasio semata, melainkan pada sentimen manusia.⁴ Kebajikan dipandang sebagai kualitas yang membangkitkan persetujuan simpatik dari pengamat, karena kebajikan bermanfaat dan menyenangkan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.⁵

Hume membedakan kebajikan “alami” (seperti kebaikan hati, kemurahan, belas kasih) dan kebajikan “buatan” (seperti keadilan, yang lahir dari kebutuhan sosial).⁶ Ia menolak reduksi kebajikan pada hukum ilahi atau rasio murni, dan sebaliknya menekankan bahwa fondasi moralitas terletak pada sifat manusia sebagai makhluk yang mampu berempati.⁷ Dengan demikian, Hume memberi landasan emosional bagi konsep kebajikan, yang kelak berpengaruh besar dalam psikologi moral modern.

6.3.       Immanuel Kant: Kebajikan dan Kewajiban Moral

Immanuel Kant (1724–1804) memposisikan kebajikan dalam kerangka deontologis. Dalam Metaphysics of Morals, ia membedakan antara hukum moral yang bersifat objektif dan kebajikan sebagai disposisi kehendak untuk menaatinya.⁸ Kebajikan bukanlah sekadar hasil pembiasaan atau sentimen, melainkan kekuatan otonomi rasional untuk menundukkan dorongan-dorongan natural kepada prinsip moral universal.⁹

Bagi Kant, kebajikan adalah kemampuan kehendak untuk bertindak sesuai dengan imperatif kategoris: “Bertindaklah hanya menurut maksim yang dapat engkau kehendaki sekaligus menjadi hukum universal.”¹⁰ Dengan demikian, kebajikan erat kaitannya dengan disiplin diri, keteguhan moral, dan penghormatan pada martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri (homo noumenon).¹¹ Etika Kant menandai pergeseran besar: kebajikan tidak lagi dipahami dalam horizon teleologi Aristotelian, melainkan dalam horizon otonomi moral dan universalitas hukum praktis.

6.4.       Friedrich Nietzsche: Kritik Genealogis atas Kebajikan Tradisional

Friedrich Nietzsche (1844–1900) melancarkan kritik radikal terhadap konsep kebajikan yang diwarisi dari tradisi klasik maupun Kristen. Dalam On the Genealogy of Morality, ia menyingkap asal-usul nilai moral dalam “moralitas budak” yang menurutnya lahir dari kebencian dan kelemahan.¹² Kebajikan tradisional seperti kerendahan hati, belas kasih, dan ketaatan dipandang Nietzsche sebagai ekspresi dekadensi, bukan kekuatan hidup.¹³

Sebaliknya, ia menekankan perlunya “transvaluasi nilai” (Umwertung aller Werte), di mana kebajikan sejati adalah kebajikan yang menegaskan kehidupan, kreativitas, dan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).¹⁴ Nietzsche dengan demikian menggugat fondasi metafisis dan teologis dari kebajikan, serta mengusulkan visi baru tentang “kebajikan aristokrat” yang lahir dari afirmasi diri, keberanian, dan penciptaan nilai.¹⁵


Signifikansi Era Modern

Dari keempat tokoh di atas terlihat bahwa pemahaman kebajikan dalam filsafat modern mengalami fragmentasi:

·                     Machiavelli menafsirkan kebajikan secara pragmatis dan politis.

·                     Hume menekankan fondasi emosional dan sosial dari kebajikan.

·                     Kant menegaskan dimensi rasional dan normatif kebajikan dalam kerangka kewajiban universal.

·                     Nietzsche membongkar genealogis kebajikan tradisional dan menawarkan horizon baru yang berpusat pada afirmasi kehidupan.

Periode modern dengan demikian memperlihatkan pergeseran dari kebajikan sebagai harmoni kodrati atau kasih ilahi menuju kebajikan yang dipahami dalam kerangka politik, psikologis, rasional, maupun eksistensial. Fragmentasi ini justru membuka jalan bagi kebangkitan kembali etika kebajikan di abad ke-20, yang berupaya merekonsiliasi dimensi historis, emosional, dan rasional dalam kerangka baru.


Footnotes

[1]                Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1998), ch. 6.

[2]                Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 130–135.

[3]                Maurizio Viroli, Machiavelli (Oxford: Oxford University Press, 1998), 56–62.

[4]                David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), sec. I.

[5]                Ibid., sec. IX.

[6]                Ibid., sec. III–IV.

[7]                Stephen Darwall, The British Moralists and the Internal ‘Ought’ (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 145–152.

[8]                Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 6:380–6:381.

[9]                Ibid., 6:390.

[10]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor and Jens Timmermann (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 4:421.

[11]             Allen W. Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 168–172.

[12]             Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Maudemarie Clark and Alan J. Swensen (Indianapolis: Hackett, 1998), Essay I.

[13]             Ibid., Essay II.

[14]             Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, trans. Duncan Large (Oxford: Oxford University Press, 1998), “Skirmishes,” §37.

[15]             Brian Leiter, Nietzsche on Morality, 2nd ed. (London: Routledge, 2015), 112–120.


7.                Kebajikan dalam Filsafat Kontemporer

Kebajikan kembali menjadi perhatian utama filsafat moral sejak paruh kedua abad ke-20, setelah periode panjang didominasi oleh dua paradigma etika besar: deontologi (Kantian) dan utilitarianisme. Meskipun keduanya berpengaruh besar, banyak filsuf kontemporer menilai bahwa keduanya gagal menjelaskan secara memadai dimensi karakter, emosi, dan praksis dalam kehidupan moral.¹ Kritik ini melahirkan kebangkitan kembali virtue ethics (etika kebajikan) sebagai alternatif yang lebih komprehensif, dengan tokoh-tokoh penting seperti G.E.M. Anscombe, Alasdair MacIntyre, Rosalind Hursthouse, Martha Nussbaum, dan Shannon Vallor.

7.1.       Kritik Anscombe dan Kebangkitan Virtue Ethics

Tonggak awal kebangkitan etika kebajikan ditandai dengan esai G. E. M. Anscombe, Modern Moral Philosophy (1958). Anscombe menilai bahwa kategori etika modern seperti “kewajiban” dan “kewajiban moral” kehilangan dasar metafisis sejak runtuhnya konsep hukum ilahi, sehingga tidak lagi memiliki koherensi.² Ia menyerukan kembalinya etika ke dalam kerangka aretê Aristotelian, yang berfokus pada karakter dan tujuan hidup manusia.³ Pandangan ini membuka ruang bagi etika kebajikan sebagai pendekatan yang menekankan disposisi moral daripada sekadar aturan tindakan.

7.2.       Alasdair MacIntyre: Kebajikan, Praktik, dan Tradisi

Alasdair MacIntyre melalui karyanya After Virtue (1981) menegaskan bahwa modernitas mengalami krisis moral karena fragmentasi tradisi etika. Menurutnya, kebajikan hanya dapat dipahami dalam konteks praktik (praktik sosial yang bermakna, seperti seni, ilmu, atau politik), tradisi (sejarah intelektual yang membentuk komunitas), dan narasi (kesatuan biografis kehidupan manusia).⁴

MacIntyre mendefinisikan kebajikan sebagai kualitas yang memungkinkan seseorang mencapai “kebaikan internal” (internal goods) dari suatu praktik, bukan sekadar “kebaikan eksternal” seperti uang atau status.⁵ Dengan demikian, kebajikan terkait erat dengan komunitas dan identitas moral, bukan sekadar tindakan individu yang terisolasi. Kebajikan seperti kejujuran, keberanian, dan keadilan menopang kelangsungan tradisi yang memungkinkan manusia memahami telos hidupnya.⁶

7.3.       Rosalind Hursthouse: Etika Kebajikan sebagai Teori Normatif

Rosalind Hursthouse berperan penting dalam mengembangkan virtue ethics ke dalam bentuk teori normatif yang matang. Dalam On Virtue Ethics (1999), ia menegaskan bahwa pertanyaan moral utama bukan hanya “Apa yang harus saya lakukan?” (seperti dalam deontologi/utilitarianisme), tetapi “Bagaimana seharusnya saya hidup?” atau “Orang macam apa saya harus menjadi?”.⁷

Hursthouse mengusulkan bahwa kebajikan adalah disposisi yang mendorong manusia untuk bertindak dengan benar dalam berbagai situasi, dan tindakan yang benar adalah tindakan yang sesuai dengan kebajikan.⁸ Dengan pendekatan ini, etika kebajikan menjadi teori yang mampu memberikan panduan praktis sekaligus menekankan integritas karakter.

7.4.       Martha Nussbaum: Daftar Kebajikan dan Kapasitas Manusia

Martha Nussbaum memperluas cakupan etika kebajikan dengan menghubungkannya ke dalam teori “kapasitas manusia” (capabilities approach). Dalam kerangka ini, kebajikan dikaitkan dengan pengembangan potensi dasar manusia yang universal—seperti kehidupan, kesehatan, imajinasi, afeksi, dan partisipasi politik.⁹

Nussbaum juga berargumen bahwa kebajikan memiliki karakter non-relatif: meski berbeda konteks budaya, kebajikan seperti keadilan, keberanian, dan empati tetap diperlukan bagi kehidupan manusia yang bermartabat.¹⁰ Dengan demikian, ia memberikan dasar normatif yang kuat bagi penerapan etika kebajikan dalam wacana keadilan global, feminisme, dan hak asasi manusia.

7.5.       Shannon Vallor: Kebajikan di Era Teknologi

Shannon Vallor membawa etika kebajikan ke wilayah baru dalam Technology and the Virtues (2016). Ia menilai bahwa dunia digital menuntut pengembangan “kebajikan baru” yang relevan dengan tantangan teknologi modern, seperti kebijaksanaan digital, keberanian moral dalam ruang daring, dan tanggung jawab kolektif terhadap dampak teknologi.¹¹

Vallor berargumen bahwa etika kebajikan lebih sesuai dibandingkan teori etika lain dalam menghadapi era teknologi, karena ia menekankan pembentukan karakter dan kebiasaan yang konsisten, bukan sekadar kepatuhan pada aturan atau kalkulasi utilitarian.¹²


Signifikansi Kontemporer

Etika kebajikan kontemporer memperlihatkan tiga hal utama:

1)                  Dimensi historis: kebangkitan kembali virtue ethics sebagai respons terhadap kegagalan teori moral modern.

2)                  Dimensi normatif: pengembangan teori kebajikan sebagai panduan praktis (Hursthouse) dan kerangka universal (Nussbaum).

3)                  Dimensi aplikatif: relevansi kebajikan dalam menghadapi isu kontemporer seperti politik, feminisme, bioetika, hingga etika teknologi (Vallor).

Dengan demikian, kebajikan dalam filsafat kontemporer tidak hanya menjadi wacana akademis, tetapi juga pedoman moral yang kontekstual, transformatif, dan mampu merespons kompleksitas abad ke-21.


Footnotes

[1]                James Wallace, Virtue and Reason (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1978), 12–15.

[2]                G. E. M. Anscombe, “Modern Moral Philosophy,” Philosophy 33, no. 124 (1958): 1–19.

[3]                Roger Crisp and Michael Slote, eds., Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1997), 6–7.

[4]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 187–203.

[5]                Ibid., 190.

[6]                Kelvin Knight, Aristotelian Philosophy: Ethics and Politics from Aristotle to MacIntyre (Cambridge: Polity Press, 2007), 134–139.

[7]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 28–30.

[8]                Ibid., 36–38.

[9]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 17–20.

[10]             Martha C. Nussbaum, “Non-Relative Virtues: An Aristotelian Approach,” in World, Mind, and Ethics: Essays on the Ethical Philosophy of Bernard Williams, ed. J. E. J. Altham and Ross Harrison (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 242–273.

[11]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 4–9.

[12]             Ibid., 20–22.


8.                Perbandingan Lintas Tradisi

Konsep kebajikan memiliki lintasan panjang dan beragam, tidak hanya dalam tradisi filsafat Yunani dan Eropa Barat, tetapi juga dalam tradisi Kristen dan Islam. Masing-masing tradisi menawarkan pendekatan unik, baik dari segi epistemologis, teleologis, maupun praktis. Membandingkan tradisi-tradisi ini memperlihatkan persamaan universal kebajikan, sekaligus perbedaan penekanannya.

8.1.       Yunani Klasik: Harmoni Jiwa dan Eudaimonia

Dalam filsafat Yunani, kebajikan (aretê) dipahami sebagai disposisi jiwa yang mengarahkan manusia menuju eudaimonia (kebahagiaan/kesejahteraan hidup). Plato menekankan empat kebajikan kardinal—kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, dan keadilan—sebagai harmoni antara bagian jiwa dan struktur polis.¹ Aristoteles menambahkan kerangka teleologis, yakni bahwa kebajikan adalah habitus yang memungkinkan manusia memenuhi telos kodratinya sebagai makhluk rasional.²

8.2.       Tradisi Kristen: Ordo Amoris dan Kebajikan Teologis

Tradisi Kristen mengadopsi dan merevisi kebajikan klasik. Augustinus menafsirkan kebajikan sebagai ordo amoris (penataan cinta), di mana cinta kepada Tuhan menjadi prinsip utama dari semua kebajikan.³ Thomas Aquinas kemudian menyusun sintesis sistematis: kebajikan kardinal (prudence, justice, temperance, fortitude) melengkapi kebajikan teologis (faith, hope, charity).⁴ Dengan demikian, kebajikan tidak berhenti pada eudaimonia duniawi, melainkan mengarah kepada beatitudo aeterna (kebahagiaan kekal) melalui kasih karunia.

8.3.       Tradisi Islam: Kebajikan sebagai Jalan Menuju Falāḥ

Dalam tradisi filsafat dan teologi Islam, kebajikan sering dibahas dalam kerangka akhlaq (etika) dan adab (disiplin moral). Al-Fārābī, misalnya, mengadopsi Aristoteles dan Plato dalam karyanya al-Madīnah al-Fāḍilah, dengan menekankan bahwa masyarakat bajik hanya mungkin tercapai jika dipimpin oleh pemimpin yang memiliki kebajikan intelektual dan moral.⁵ Ibn Miskawayh, dalam Tahdhīb al-Akhlāq, mengembangkan etika kebajikan dengan menekankan keseimbangan jiwa: keberanian, kesederhanaan, kebijaksanaan, dan keadilan.⁶

Sementara itu, Al-Ghazālī memadukan Aristotelianisme dengan perspektif sufistik: kebajikan adalah penyucian jiwa dan pengendalian hawa nafsu agar sesuai dengan kehendak Tuhan.⁷ Teleologi kebajikan dalam Islam adalah falāḥ (keselamatan dan keberuntungan), yang mencakup dimensi duniawi dan ukhrawi.

8.4.       Tradisi Modern dan Kontemporer: Rasionalitas, Sentimen, dan Rehabilitasi Kebajikan

Dalam era modern, Hume menekankan kebajikan sebagai kualitas yang menimbulkan simpati sosial, sementara Kant menekankan otonomi rasional sebagai dasar kebajikan.⁸ Nietzsche mengkritik kebajikan tradisional sebagai “moralitas budak,” sementara pemikir kontemporer seperti MacIntyre, Hursthouse, dan Nussbaum berusaha merehabilitasi kebajikan dengan mengaitkannya pada praktik sosial, integritas karakter, dan keadilan global.⁹

8.5.       Titik Temu dan Perbedaan

·                     Titik Temu:

Hampir semua tradisi mengakui kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan pengendalian diri sebagai kebajikan fundamental.¹⁰ Baik dalam filsafat Yunani, Kristen, Islam, maupun modern, kebajikan dipandang sebagai disposisi yang membentuk karakter moral dan kehidupan baik.

·                     Perbedaan:

þ Yunani menekankan teleologi duniawi (eudaimonia).

þ Kristen dan Islam menambahkan horizon transendental (beatitudo / falāḥ).

þ Modern menekankan otonomi, sentimen, atau kritik genealogis.

þ Kontemporer merehabilitasi kebajikan dengan mengaitkannya pada praksis sosial dan konteks global.


Signifikansi Perbandingan

Membandingkan lintas tradisi menunjukkan bahwa kebajikan bukanlah konsep statis, melainkan gagasan dinamis yang terus mengalami reinterpretasi. Meski berbeda orientasi (kosmologis, teologis, rasional, atau praksis), kebajikan tetap menjadi inti dari filsafat moral lintas budaya. Hal ini menegaskan universalitas aspirasi manusia untuk membentuk karakter yang baik, sekaligus pluralitas cara mengartikulasikan kebajikan sesuai konteks historis dan religiusnya.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), IV 427e–434c.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed. (Indianapolis: Hackett, 2019), I.7–13.

[3]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin, 2003), XIX.13.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, qq. 55–70, ed. Thomas Gilby (Cambridge: Cambridge University Press, 2006).

[5]                Al-Fārābī, Al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar el-Mashreq, 1993), 86–92.

[6]                Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa-Taṭhīr al-A‘rāq, ed. C. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 34–38.

[7]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1937), 5–15.

[8]                David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), sec. III–IV; Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor and Jens Timmermann (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 4:421.

[9]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 187–203; Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 28–30; Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 17–20.

[10]             Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 38–40.


9.                Relevansi Konsep Kebajikan di Era Kontemporer

Konsep kebajikan tidak berhenti sebagai gagasan klasik dalam sejarah filsafat, tetapi tetap relevan untuk menjawab problem moral, sosial, dan global pada abad ke-21. Kehidupan modern, yang ditandai oleh pluralisme nilai, krisis lingkungan, perkembangan teknologi digital, dan tantangan globalisasi, memerlukan pendekatan etika yang lebih komprehensif daripada sekadar aturan kaku atau kalkulasi utilitarian. Dalam konteks ini, etika kebajikan menawarkan kerangka yang berorientasi pada pembentukan karakter, integritas, dan disposisi moral yang konsisten.¹

9.1.       Kebajikan dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter

Salah satu bidang paling menonjol yang menegaskan pentingnya kebajikan adalah pendidikan. Pendidikan karakter modern menekankan kebajikan sebagai inti dari pembentukan pribadi dan warga negara yang bertanggung jawab.² Sebagaimana Aristoteles menegaskan bahwa kebajikan dibentuk melalui habituasi (ethismos),³ pendidikan saat ini mengembangkan kurikulum yang menekankan nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan keberanian. Pendekatan ini tidak hanya membekali peserta didik dengan pengetahuan, tetapi juga dengan kualitas moral yang tahan uji dalam menghadapi dinamika sosial.

9.2.       Kebajikan dalam Kehidupan Sosial dan Politik

Krisis kepercayaan publik terhadap institusi politik kontemporer menunjukkan urgensi kebajikan publik seperti keadilan, integritas, dan keberanian moral.⁴ Pemikiran MacIntyre tentang kebajikan dalam konteks praktik sosial sangat relevan: politik hanya dapat menopang kesejahteraan bersama bila dijalankan oleh aktor yang memiliki kualitas moral, bukan semata-mata mengejar kepentingan pribadi.⁵ Dengan kata lain, kebajikan kembali diperlukan untuk mengembalikan makna keadaban publik (civility) dalam demokrasi.

9.3.       Kebajikan dan Tantangan Teknologi Digital

Revolusi digital melahirkan ruang sosial baru dengan peluang sekaligus risiko etis, seperti penyebaran disinformasi, polarisasi, dan krisis privasi. Shannon Vallor menegaskan perlunya “kebajikan teknologi” (technomoral virtues), seperti kehati-hatian digital, kejujuran daring, dan tanggung jawab kolektif.⁶ Etika kebajikan memungkinkan kita melihat teknologi bukan sekadar alat, melainkan ruang pembentukan karakter, di mana pengguna dapat menumbuhkan kebajikan atau sebaliknya jatuh dalam keburukan moral.

9.4.       Kebajikan dalam Krisis Ekologi dan Bioetika

Etika lingkungan kontemporer juga menuntut kebajikan baru: kesederhanaan, tanggung jawab ekologis, dan rasa hormat terhadap alam.⁷ Virtue ethics menyoroti bahwa penyelesaian krisis ekologi tidak hanya membutuhkan regulasi hukum, tetapi juga perubahan disposisi moral individu dan komunitas. Demikian pula dalam bioetika, kebajikan seperti belas kasih, integritas, dan kehati-hatian sangat penting dalam pengambilan keputusan medis di tengah kompleksitas teknologi kesehatan modern.⁸

9.5.       Kebajikan dalam Konteks Global dan Multikultural

Dalam era globalisasi, interaksi lintas budaya menuntut kebajikan kosmopolitan, seperti toleransi, keadilan global, dan solidaritas. Martha Nussbaum menekankan bahwa kebajikan memiliki dimensi non-relatif: meski konteks berbeda, kebajikan seperti empati, keadilan, dan martabat manusia tetap menjadi dasar kehidupan global yang adil.⁹ Dengan demikian, kebajikan berfungsi sebagai jembatan antara nilai-nilai lokal dan tuntutan etika universal.


Signifikansi Abad ke-21

Relevansi kebajikan di era kontemporer terletak pada fleksibilitas dan kedalaman konsepnya:

·                     Ia mampu menjawab krisis identitas moral dalam pendidikan.

·                     Ia menawarkan dasar karakter bagi kehidupan sosial-politik yang sehat.

·                     Ia menyediakan kerangka etis untuk menghadapi teknologi digital dan biomedis.

·                     Ia memberikan orientasi moral untuk merespons tantangan global dan ekologis.

Dengan demikian, etika kebajikan tidak hanya merupakan warisan klasik, tetapi juga paradigma normatif yang aktual, dinamis, dan diperlukan untuk menghadapi kompleksitas dunia kontemporer.


Footnotes

[1]                James Wallace, Virtue and Reason (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1978), 12–15.

[2]                David Carr, Educating the Virtues: Essay on the Philosophical Psychology of Moral Development and Education (London: Routledge, 1991), 45–50.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed. (Indianapolis: Hackett, 2019), II.1–2.

[4]                John Kekes, The Morality of Pluralism (Princeton: Princeton University Press, 1993), 87–92.

[5]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 187–203.

[6]                Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 20–25.

[7]                Ronald Sandler, Character and Environment: A Virtue-Oriented Approach to Environmental Ethics (New York: Columbia University Press, 2007), 18–23.

[8]                Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 69–73.

[9]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 17–20.


10.          Penutup

Kajian mengenai kebajikan (virtue) memperlihatkan bahwa konsep ini merupakan salah satu gagasan paling sentral dan tahan lama dalam sejarah filsafat. Sejak Yunani Klasik hingga era kontemporer, kebajikan selalu dipahami sebagai disposisi karakter yang mengarahkan manusia pada kehidupan yang baik, meskipun cara memaknainya berbeda-beda sesuai dengan horizon historis, kultural, dan religius masing-masing tradisi.

Dalam filsafat Yunani, kebajikan berhubungan erat dengan eudaimonia dan harmoni jiwa. Socrates mengidentifikasikan kebajikan dengan pengetahuan; Plato menekankannya sebagai harmoni jiwa dan polis melalui empat kebajikan kardinal; Aristoteles menyusunnya dalam kerangka teleologis sebagai habitus yang dibentuk oleh pembiasaan dan rasio praktis.¹ ²

Tradisi Hellenistik memperluas horizon tersebut. Kaum Stoa menegaskan kebajikan sebagai satu-satunya kebaikan sejati, hidup selaras dengan logos kosmik; sementara Epikureanisme menempatkan kebajikan sebagai sarana menuju ataraxia.³ Tradisi Romawi, khususnya melalui Cicero, menafsirkan kebajikan sebagai fondasi hukum dan kewajiban publik.⁴

Abad Pertengahan menambahkan dimensi transendental. Augustinus menekankan kebajikan sebagai ordo amoris, keteraturan cinta yang berpusat pada Allah,⁵ sedangkan Thomas Aquinas menyintesiskan Aristotelianisme dengan teologi Kristen melalui kebajikan kardinal dan teologis yang mengarahkan manusia kepada beatitudo aeterna.⁶

Filsafat modern menunjukkan fragmentasi baru. Machiavelli menafsirkan kebajikan sebagai kecakapan politik (virtù), Hume menekankan fondasi sentimental dan sosial kebajikan, Kant menegaskannya sebagai disposisi untuk menundukkan kehendak pada hukum moral universal, dan Nietzsche menggugat secara genealogis konsep kebajikan tradisional serta mengusulkan transvaluasi nilai.⁷ ⁸

Kebangkitan etika kebajikan pada abad ke-20 melalui Anscombe, MacIntyre, Hursthouse, dan Nussbaum menandai usaha rehabilitasi. Etika kebajikan kembali dipandang relevan, tidak hanya sebagai alternatif normatif, tetapi juga sebagai kerangka yang mampu menjawab tantangan kontemporer, termasuk teknologi digital (Vallor), bioetika, dan krisis lingkungan.⁹ ¹⁰

Perbandingan lintas tradisi (Yunani, Kristen, Islam, modern) menegaskan bahwa meski berbeda horizon, ada titik temu universal: kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan pengendalian diri tetap dianggap sebagai kebajikan fundamental.¹¹ Namun, orientasi teleologisnya berbeda: dari eudaimonia Yunani, beatitudo Kristen, falāḥ Islam, hingga rekonstruksi kontemporer yang menekankan integritas karakter dalam praksis sosial dan global.

Dengan demikian, kajian ini memperlihatkan bahwa kebajikan tetap relevan dalam menjawab krisis moral dunia kontemporer. Ia menuntun manusia bukan hanya untuk bertindak sesuai aturan, melainkan untuk menjadi pribadi yang bajik—yang keutamaan moralnya tampak dalam integritas, tanggung jawab, dan kebijaksanaan praktis. Dalam menghadapi era pluralisme nilai, disrupsi teknologi, dan tantangan global, etika kebajikan menjadi jembatan antara tradisi filsafat klasik dan kebutuhan etika masa kini.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), IV 427e–434c.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed. (Indianapolis: Hackett, 2019), II.1–6.

[3]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks, 2 vols. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), VII.94–95, X.128–132.

[4]                Cicero, On Duties (De Officiis), ed. and trans. M. T. Griffin and E. M. Atkins (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), I.7–8.

[5]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin, 2003), XIX.13.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, qq. 55–70, ed. Thomas Gilby (Cambridge: Cambridge University Press, 2006).

[7]                Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1998), ch. 6.

[8]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Maudemarie Clark and Alan J. Swensen (Indianapolis: Hackett, 1998), Essay I.

[9]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 187–203.

[10]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 20–25.

[11]             Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 38–40.


Daftar Pustaka

Annas, J. (1981). An introduction to Plato’s Republic. Oxford University Press.

Annas, J. (1993). The morality of happiness. Oxford University Press.

Anscombe, G. E. M. (1958). Modern moral philosophy. Philosophy, 33(124), 1–19. doi.org

Aristotle. (2019). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.; 3rd ed.). Hackett.

Augustine. (2003). The city of God (H. Bettenson, Trans.). Penguin.

Carr, D. (1991). Educating the virtues: Essay on the philosophical psychology of moral development and education. Routledge.

Cicero. (1927). Tusculan disputations (J. E. King, Trans.). Harvard University Press.

Cicero. (1991). On duties (De officiis) (M. T. Griffin & E. M. Atkins, Eds. & Trans.). Cambridge University Press.

Crisp, R., & Slote, M. (Eds.). (1997). Virtue ethics. Oxford University Press.

Darwall, S. (1995). The British moralists and the internal ‘ought’. Cambridge University Press.

Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.; Vols. 1–2). Harvard University Press.

Epicurus. (1994). Letter to Menoeceus. In B. Inwood & L. P. Gerson (Eds. & Trans.), The Epicurus reader (pp. 123–132). Hackett.

Epictetus. (1995). Discourses (C. Gill, Trans.). Everyman.

Ghazālī, A. H. (1937). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn (Vol. 3). al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra.

Hume, D. (1998). An enquiry concerning the principles of morals (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.

Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics. Oxford University Press.

Ibn Miskawayh. (1966). Tahdhīb al-akhlāq wa-taṭhīr al-a‘rāq (C. Zurayk, Ed.). American University of Beirut.

Kant, I. (1996). The metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (2012). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor & J. Timmermann, Eds. & Trans.). Cambridge University Press.

Kekes, J. (1993). The morality of pluralism. Princeton University Press.

Knight, K. (2007). Aristotelian philosophy: Ethics and politics from Aristotle to MacIntyre. Polity Press.

Leiter, B. (2015). Nietzsche on morality (2nd ed.). Routledge.

Liddell, H. G., & Scott, R. (1940). A Greek–English lexicon (Rev. H. S. Jones, Ed.). Clarendon Press.

Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge University Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays, Trans.). Modern Library.

Markus, R. A. (1970). Saeculum: History and society in the theology of St. Augustine. Cambridge University Press.

Machiavelli, N. (1998). The prince (H. C. Mansfield, Trans.; 2nd ed.). University of Chicago Press.

Nussbaum, M. C. (1995). Non-relative virtues: An Aristotelian approach. In J. E. J. Altham & R. Harrison (Eds.), World, mind, and ethics: Essays on the ethical philosophy of Bernard Williams (pp. 242–273). Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities. Harvard University Press.

Oxford Latin Dictionary. (2012). (2nd ed.). Oxford University Press.

Pellegrino, E. D., & Thomasma, D. C. (1993). The virtues in medical practice. Oxford University Press.

Peterson, C., & Seligman, M. E. P. (2004). Character strengths and virtues: A handbook and classification. Oxford University Press; American Psychological Association.

Pinckaers, S. (1995). The sources of Christian ethics (M. T. Noble, Trans.). Catholic University of America Press.

Plato. (1997). Plato: Complete works (J. M. Cooper, Ed.). Hackett.

Plato. (2004). Republic (C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett.

Rist, J. M. (1994). Augustine: Ancient thought baptized. Cambridge University Press.

Sandler, R. (2007). Character and environment: A virtue-oriented approach to environmental ethics. Columbia University Press.

Seneca. (2015). Letters on ethics: To Lucilius (M. Graver & A. A. Long, Trans.). University of Chicago Press.

Skinner, Q. (1978). The foundations of modern political thought (Vol. 1). Cambridge University Press.

Thomas Aquinas. (2006). Summa theologiae (Latin–English ed., T. Gilby, Ed.). Cambridge University Press.

Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford University Press.

Viroli, M. (1998). Machiavelli. Oxford University Press.

Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral philosopher. Cornell University Press.

Wallace, J. (1978). Virtue and reason. Cornell University Press.

Wetzel, J. (1992). Augustine and the limits of virtue. Cambridge University Press.

Wood, A. W. (1999). Kant’s ethical thought. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar